PERAN LEKSIS DALAM ANALISIS TEKS*
oleh Riyadi Santosa Sastra Inggris, Fakultas Sastra, UNS
1. Pendahuluan Yang dimaksud dengan leksis ialah, secara sederhana, kata yang digunakan di dalam merealisasikan proses sosial verbal atau teks. Oleh karena itu istilah leksis ini dibedakan dengan leksikon, yang berarti daftar kata-kata yang lepas konteks, seperti yang terdapat di dalam kamus. Untuk mempermudah pembahasan istilah leksis dan kata dalam makalah ini digunakan secara bersama-sama untuk merujuk kata yang digunakan untuk merealisasikan teks. Seperti pada level-level di atasnya, leksis juga merupakan realisasi makna ideasional (realitas eksperiensial dan logis), interpersonal (realitas sosial) maupun tekstual (realitas simbol). Makna ideasional tidak akan dibahas tersendiri di dalam makalah ini, karena sudah banyak buku yang membahas kata dalam fungsi ideasional eksperiensial di dalam cakupan semantik, walaupun nantinya hal ini tidak bisa dipisakan begitu saja di dalam pembahasan leksis ini. Makalah ini hanya akan memfokuskan bahasan yang belum banyak dianalisis di dalam semantik, yaitu makna tekstual / simbol dan makna interpersonal.
2. Pembahasan Kata dalam makna tesktual atau simbol merupakan realitas semiotik atau simbol, yang akan mencakup proses penyimbulan realitas eksperiensial dan logis atau sosial ke dalam dunia simbol, yakni bahasa, khususnya kata. Di dalam tradisi Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), yang melatarbelakangi pembahasan ini dikenal ada dua sistem penyimbulan yaitu: penyimbulan kongruen dan inkongruen.
*
Makalah dipresentasikan pada KLN X MLI di Denpasar, Bali pada tanggal 17 - 20 Juli 2002 1
Kemudian masih di dalam wilayah sistem kongruensi dan inkongruensi, pembahasan akan dilanjutkan dengan sistem penyimbulan lain yaitu: teknikalitas dan abstraksi. Kemudian untuk merealisasikan makna interpersonal di dalam kata, di dalam tradisi linguistik ini dikenal sistem leksis deskriptif dan atitudinal. Pada hakekatnya kita tidak bisa memisahkan antara makna ideasional, interpersonal, maupun tekstual suatu kata secara jelas. Hal ini disebabkan ketiga makna tersebut secara simultan tersimbolkan menjadi satu di dalam satu simbol, yaitu kata. Oleh karena itu di dalam pembahasan nanti bisa terjadi tumpang tindih.
a. Sistem Kongruensi dan Inkongruensi Leksis Seperti yang dibahas di muka, bahwa bahasa merupakan simbol realitas sehari-hari (realitas eksperiensial, logikal dan sosial) yang ada di sekitar kita. Suatu kata yang kita gunakan untuk menyatakan realitas itu bisa merupakan hasil proses penyimbulan langsung, dan bisa merupakan hasil proses penyimbulan tak langsung, yang di dalam linguistik ini disebut proses penyimbulan kongruen dan inkongruen. Proses realisasi penyimbulan kongruen adalah suatu proses penandaan yang bersifat langsung, transparan dari realitas ke dalam simbolnya. Penyimbulan ini juga disebut penyimbulan bersifat ‘unmarked’, karena menggunakan secara alamiah menggunakan logika simbol yang paralel. Misalnya, realitas benda disimbolakn menjadi kata benda, realitas keadaan direalisasikan dengan kata sifat, realitas aktifitas atau proses ditandai dengan kata kerja, dan hubungan logis disimbolkan dengan kata sambung. Perhatikan contoh berikut ini:
Harimau itu mati ketika ditembak dengan peluru tajam
Realitas Eksperiensial dan Logis:
Realitas Simbol:
- harimau, peluru (benda)
- kata benda
- mati, tajam (keadaan)
- kata sifat
- ketika (hubungan logis:waktu)
- kata sambung
- ditembak (proses: aktifitas)
- kata kerja
2
Di dalam kalimat di atas, realitas eksperiensial dan logis secara langsung, transparan dan konsisten atau secara kongruen direalisasikan ke dalam realitas simbol yang sama. Kata ‘harimau, peluru’ dalam realitas pengalaman merupakan benda atau sesuatu, dalam kalimat ini disimbolkan dengan kata benda. Demikian juga kata ‘mati, dan tajam’ yang di dalam realitas
merupakan keadaan atau sifat,
diekspresikan ke dalam kata sifat dalam realitas simbol. Kemudian kata ‘ketika’, yang merupakan realitas logis: hubungan waktu, direalisasikan ke dalam kata sambung. Dan akhirnya ‘tertembak’, yang di dalam realitas merupakan proses, aktifitas, disimbolkan dengan kata kerja. Sekali lagi proses realisasi yang bersifat langsung seperti ini disebut dengan realisasi secara kongruen. Sementara itu proses penyimbulan inkongruen dimaksudkan sebagai suatu proses penandaan yang tidak langsung, tidak transparan atau tidak sepadan antara realitas pengalaman. logis dengan simbolnya. Penyimbulan ini bersifat ‘marked’ dengan logika simbol yang lebih rumit. Misalnya, realitas logis atau keadaan atau aktifitas disimbolkan dengan kata kerja, atau realitas logis direalisasikan dengan kata kerja, dan sebagainya. Misalnya:
Banjir di Solo disebabkan oleh hujan deras kemarin malam.
Salah satu faktor banjir di Solo ialah hujan deras kemarin malam.
Realitas Pengalaman dan Logis - disebabkan (hubungan logis)
Realitas Simbol - kata kerja
- faktor (hubungan logis)
- kata benda
- banjir (proses)
- kata benda
- hujan (proses)
- kata benda
Kata yang bergaris bawah di dalam contoh di atas merupakan contoh proses penyimbulan yang tidak langsung, tidak transparan, tidak konsisten, atau
3
inkongruen. Kata ‘disebabkan’ di dalam realitas merupakan hubungan logis, yaitu sebab akibat, tetapi di dalam realitas simbol kata itu tidak disimbolkan dengan kata sambung, melainkan dengan kata kerja, yang secara kongruen merupakan realisasi proses. Kemudian kata ‘faktor’ juga merupakan realitas logis, sebab-akibat, tetapi di dalam realitas simbol kata itu diekspresikan dengan kata benda. Akhirnya kata ‘banjir, dan hujan’ di dalam realitas merupakan proses, aktifitas alam, tetapi di dalam realitas simbol kata itu disimbolkan sebagai kata benda, yang secara kongruen biasanya merealisasikan sesuatu atau benda. Dari proses penyimbulan kongruensi dan kongruensi ini akan dapat menimbulkan banyak pilihan simbol yang masing-masing bisa mempunyai konteks penggunaan yang berbeda-beda. Misalnya saja, kita mengambil contoh di atas, yaitu bahwa ada ‘realitas pengalaman’: tempat: Solo; aktifitas/proses: hujan deras, banjir; waktu: kemarin malam, keesokan harinya. Kemudian ‘realitas logisnya’ berupa hubungan logis sebab akibat. Di dalam teks kedua realitas tersebut bisa disimbolkan sebagai berikut: 1. Solo kemarin malam hujan deras, kemudian keesokan harinya banjir. 2. Sesudah hujan deras kemarin malam, keesokan harinya Solo banjir. 3. Sebelum banjir di keesokan harinya, malamnya Solo hujan deras. 4. Solo kemarin malam hujan deras, sehingga keesokan harinya banjir. 5. Hujan deras kemarin malam di Solo menyebabkan banjir di keesokan harinya. 6. Banjir di Solo di pagi hari disebabkan hujan deras pada malam harinya. 7. Faktor (utama) banjir di Solo ialah hujan deras pada malam harinya. Pada kalimat 1,2, 3, dan 4 penyimbulan lebih bersifat kongruen. Perbedaannya pada kalimat 1,2, dan 3 hubungan logisnya direalisaikan dengan kata sambung urutan waktu, sedangkan pada kalimat 4, hubungan logisnya direalisasikan dengan kata sambung sebab akibat. Akan tetapi pada kalimat 5 dan 6 penyimbulannya lebih bersifat inkongruen’ karena hubungan logis sebab akibatnya direalisasikan dengan kata kerja. Proses atau aktifitas alamnya disimbolkan dengan kata benda. Kemudian pada kalimat 7 hubungan sebab akibatnya disimbolkan dengan kata benda.
4
Jika ditinjau dari gaya alamiah bahasa (ada dua, yaitu: gaya lisan (spoken) yang lebih kongruen dan gaya tulis (written) yang lebih inkongruen), maka kalimat tersebut dapat disusun di dalam garis kontinum gaya bahasa sebagai berikut:
1
2
3
lebih bersifat lisan
4
5
6
7
lebih bersifat tulis
Jika dipakai di dalam bahasa sehari-hari (colloquial) tampaknya kalimat 1,2,3, dan 4 lebih dapat diterima, dibanding dengan kalimat 5,6,dan 7. Akan tetapi di dalam konteks penggunaan yang lebih bersifat akademik kalimat 5,6, dan 7 banyak digunakan. Di dalam konteks akademikpun, jika pelibatnya berbeda, juga mempunyai konsekuensi keberterimaan yang berbeda pula. Misalnya, untuk audien anak dengan umur sampai dengan 12 tahun, kalimat 1,2,3,dan 4 lebih bisa diterima karena tingkat abstraksi pemikiran anak pada umumnya masih bersifat kongruen, sedangkan kalimat 5,6, dan apalagi 7 untuk mereka yang mempunyai tingkat abstraksi pemikiran yang lebih tinggi.
b. Abstraksi dan Tehnikalitas Proses penyimbulan inkongruen kata ‘faktor, banjir, dan hujan’ di dalam kalimat contoh di atas juga disebut proses abstraksi dengan cara nominalisasi. Hubungan logis, proses, keadaan dan lain sebagainya bisa diabstraksikan menjadi kata benda di dalam realitas simbol, melalui proses gramatika yang disebut nominalisasi. Selain abstraksi, proses nominalisasi ini juga terjadi pada proses teknikalitas. Dulu proses abstraksi hanya terjadi pada ilmu-ilmu, humaniora, dan teknikalitas terjadi pada sains. Akan tetapi sekarang keduanya terjadi baik di dalam ilmu sosial, humaniti, maupun sains. 1). Abstraksi di dalam Ilmu Sosial Abstraksi pada hakekatnya juga menggunakan proses penyimbulan inkongruen untuk merealisasikan realitas sosial dan fisik ke dalam dunia simbol. Secara gramatika abstraksi menggunakan proses pembendaan atau nominalisasi.
5
Misalnya, orang menggunakan kata ‘kekacauan’ untuk merujuk realitas fisik dan sosial yang tidak menentu, hukum tidak berlaku, orang mau menang sendiri; ‘kegalauan’ untuk merujuk realitas psikologis yang kacau, tak menentu, sedih bercampur gelisah dan sebagainya. Secara gramatika ‘kekacauan dan kegalauan’ merupakan kata benda yang berasal dari kata sifat ‘kacau dan galau’. Seperti sudah dikatakan di atas, untuk memahami abstraksi diperlukan kematangan intelegensi dalam memahami realitas sosial, fisik, psikis tersebut. Artinya, anak yang belum mencapai tingkat intelegensi tertentu akan belum bisa memahami abstraksi realitas fisik, sosial, dan psikis tersebut. Karena tingkat inkongruensi / abstraksi berkorelasi dengan tingkat intelegensi dan perkembangan pikir seseorang / anak maka proses penyimbulan kongruensi dan inkongruensi akan menyebabkan teks mempunyai gaya atau style atau register tertentu. Suatu teks akan mempunyai gaya tulis, akademik apabila banyak terjadi inkongruensi atau abstraksi di dalam teksnya. Sebaliknya, gayanya akan menjadi lebih encer, populer, apabila suatu teks banyak terdapat proses penyimbulan kongruen (lihat Halliday, dan Martin, 1996; Martin dan Veel, 1998).
2). Teknikalitas di dalam Sains. Tehnikalitas adalah suatu penandaan/penyimbulan proses realitas fisik atau sosial melalui nominalisasi. Proses ini merupakan proses nir-awam, yang berusaha melihat gejala alam atau sosial yang relatif konsisten, melalui paradigma ilmiah, yaitu ‘verstehen’ / pemahaman, identifikasi, dan klasifikasi, yang berbeda dengan yang dimiliki oleh cara berfikir orang awam. Perhatikan contoh di bawah ini.
Ketika hujan turun di tanah yang gundul, air mengalir tanpa hambatan dengan membawa pertikel-pertikel tanah. Akibatnya terjadilah penggerusan partikel tanah oleh air yang lama kelamaan tanah terkikis habis. Proses penggerusan ini disebut erosi. Kemudian, partikel tanah tersebut terbawa ke sungai. Ketika sungainya masih deras, partikel tanah tersebut hanyut. tetapi ketika arus sungai mulai melambat di hilir partikel-partikel tersebut turun sedikit demi sedikit
6
ke dasar sungai. Lama kelamaan terjadi penimbunan partikel tanah di dasar sungai. Proses penimbunan ini disebut sedimentasi atau pengendapan. Jika pengendapan terus menerus berlangsung maka terjadilah deposit tanah yang sangat banyak dan akhirnya terjadilah pendangkalan sungai.
Istilah tehnis yang terbentuk: ‘erosi, sedimentasi, dan pendangkalan sungai’, pada hakekatnya merupakan proses atau aktifitas alam. Gejala yang relatif konsisten dan sama di setiap ruang dan waktu ini ditangkap, secara nir-awam melalui verstehen, identifikasi, dan akhirnya klasifikasi untuk membedakan dengan gejala alam lainnya. Maka terjadilah penansaan fenomena alam tersebut, yang oleh Halliday dan kawankawan disebut tehnikalitas (ibid). Dalam proses ini tentu terjadi reduksi-reduksi terhadap gejala alam tersebut. Hal-hal yang sifatnya unik pada suatu kejadian dihilangkan untuk memperoleh gejala yang umum dan generik, yang dapat diterapkan pada gejala yang sama di lain ruang dan waktu. Terciptanya proses terhnikalitas ini membantu para ilmuwan untuk berfikir secara matematis dengan menggunakan trasitifitas: proses relasional atributif atau identifikasi, yaitu berfikir logis melalui rumus X = Y atau X
Y, X menyebabkan Y
dan lain sebagainya. Misalnya:
X
=
Y
Erosi
ialah
proses penggerusan partikel tanah oleh air, atau angin secara terus menerus.
X Erosi
Y menyebabkan
pendangkalan sungai
Dengan cara seperti ini ilmuwan tidak perlu menunjuk proses alam secara langsung, yang akan banyak memerlukan banyak ruang dan waktu, tetapi cukup menyebut istilah tehnisnya, untuk merujuk gejala alam tertentu. 7
Karena efektifitas istilah tehnis dalam mengekspresikan gejala alam ini, maka ilmu sosial, politik, ekonomi, hukum, sosiologi, linguistik, dan lain sebagainya juga ikut mngembangkan istilah tehnis dengan cara yang sama terhadap gejala sosial yang dihadapinya.
c. Leksis deskriptif dan Atitudinal Leksis dikatakan deskriptif apabila leksis tersebut murni menggambarkan realitas eksperiensial yang ada tanpa tersirat adanya opini atau pendapat dari yang menggambarkan. Sementara itu leksis atitudinal juga menggambarkan realitas eksperiensial yang ada, tetapi tersirat opini, rasa, sikap terhadap realitas tersebut. Oleh karena itu leksis atitudinal ini menunjukkan makna interpersonal suatu kata. Perhatikan contoh berikut ini:
1. Ruangan ini bersih, bercat krem,dan ber-AC 2. Ruangan ini nyaman, dengan cat lembut, dan AC nan sejuk Kata ‘ruangan,bersih, bercat, krem, dan ber-AC’ di dalam kalimat pertama merupakan contoh-contoh leksis deskriptif, karena leksis tersebut merupakan penggambaran realitas eksperiensial yang ada di ruangan itu. Di pihak lain, leksis ‘nyaman, lembut, dan sejuk’ selain menggambarkan realitas eksperiensial di ruangan itu juga tersirat opini, sikap, dan rasa terhadap rungan itu. Penyimbulan dengan leksis deskriptif atau atitudinal ini sering juga memunculkan sikap seseorang terhadap realitas eksperiensial atau sosial yang ada di sekitar kita. Misalnya:
1. Pak Abas itu akhirnya dipenjara 10 tahun. 2. Koruptor akhirnya dijebloskan dalampenjara selama 10 tahun. Pemakaian kata ‘koruptordan dijebloskan ’ pada kalimat (2) jelas sekali menunjukkan sikap negatif interlokutor terhadap orang pada kalimat tersebut.
8
Sementara itu sikap itu menjadi berkurang ketika interlokutor menggunakan ‘Pak Abas, dipenjara’ (1) untuk merealisasikan orang yang sama. Dalam teks-teks politik, sosial dan budaya, leksis deskriptif atau atitudinal ini perlu diperhatikan, sebab leksis tersebut memungkinkan adanya cerminan ideologis interlokutornya. Sementara itu di dalam dunia ilmu pengetahuan leksis deskriptif banyak digunakan untuk menjaga objektifitas tulisan atau pembicaraan. Penggunaan kata atitudinal dijaga sedemikian rupa sehingga tetap menunjukkan objektifitas pendapatnyanya. Misalnya:
1. The livestock sector in Nigeris is characterized by low productivity. 2. This has resulted in rising prices for livestock product and consistent dependence on importation to meet the increasing demand for livestock product. (Jurnal ilmiah)
3. If there is any specimen lower than a fornicating preacher, it must be a shady scientist. 4. The dissolute evangelist betrays his revealed truth, but scientist who rushes half-cooked into print, worse yet, falsifies the data subverts the idea of truth. (TIMES) Kata ‘livestock, sector, low, consistent, dependence, increasing, demand’ pada kalimat 1 dan 2 merupakan leksis deskriptif yang menggambarkan realitas eksperiensial di dalam kalimat tersebut. Dengan demikian leksis deskriptif ini lebih tepat digunakan di dalam teks-teks akademik yang berusaha untuk menggambarkan fenomena secara objektif. Akan tetapi kata ‘specimen, fornicating, shady, dissolute, betrays, truth, halcooked, worse, falsifies, subverts’ mempunyai muatan opini ideologis tertentu untuk menyerang lawan penulisnya. Oleh karena itu leksis atitudinal seperti ini akan lebih
9
tepat digunakan di dalam wacana yang bersifat hortatoris, populer dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya.
3. Penutup Sekelumit pembicaraan mengenai leksis dalam analisis teks ini semoga dapat bermanfaat untuk menggali pandangan lain mengenai kata, karena sampai saat ini masih sedikit pembahasan leksis dalam konteks analisis teks yang berkenaan dengan gaya atau style suatu teks.
Daftar Pustaka Halliday, M.A.K. (1985) Spoken and Written Language, Deakin University: Victoria Halliday, M.A.K. (1994) Introduction to Functional Grammar, Edward Arnold: London Halliday, M.A.K. & Hasan, R. (1985) Language, Text , and Context: Aspects of Language in a Social-Semiotic perspective, Deakin University: Victoria Halliday, M.A.K. & Martin, J.R. (1996) Writing Science: Literacy and Discursive Power, The Palmer Press: London. Halliday, M.A.K. & Matthiessen, C. (1999) Construing Experience through Meaning: A Language-Based Approach to Cognition, Cassell: London. Martin, J.R. (1992) English Text: System and Structure, Benjamin: Amsterdam. Martin, J.R. (1987) Factual Writing: Exploring and Challenging Social Reality, Deakin University: Victoria. Martin, J.R. & Veel, R. (eds.) (1998) Reading Science: Critical and Functional Perspective on Discourse of Science, Routledge: London. Santosa, Riyadi (2001) Bahasa dalam Pandangan Semiotika Sosial, Draf Buku Fakultas Sastra, UNS.
10