Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
PERANAN SASTRA INGGRIS DALAM ILMU BUDAYA Oleh : Dra. Mahyar Diana, M.Pd. Dosen UNPAB, Medan Abstrak Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan sastra Inggris dalam Ilmu Budya. Metode penulisan menggunakan metode library reserach. Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa sebagai ilmu yang pernah dianggap menyimpang dalam dunia akademik cultural studies mencoba menyingkap segala bentuk kekuasaan dalam praktik-praktik budaya dan telah menjadi stu displin yang menjadi bagian integral dunia akademik saat ini serta struktur kekuasaan yang dimilikinya. Hanya di India saja cultural studies masih berfungsi sebagai pergerakan intelektual yang idependen dengan segala keragamannya. Cultural studies bukanlah ideologi, apalagi agama, sekaligus tidak bisa mengajari kita bagaimana menjalankan suatu moral dalam kehidupan ini. Yang bisa dilakukan oleh cultural studies adalah membantu kita memahami mekanisme kekuatan budaya luar dan menemukan cara dan alat untuk mengantisipasinya. Inilah yang membuat cultural studies akan tetap menjadi penting dan menarik. Sebagai disiplin ilmu yang unik cultural studies akan tetap terbuka dengan segala kemungkinan yang tidak terbayangkan sebelumnya terutama untuk wilayah di luar Barat. Kejenuhan studi sastra, dalam hal ini sastra Inggris, dalam salah satu premisnya bahwa pembaca sastra diharapkan bisa merasakan kondisi universal manusia yang klise nampaknya sudah semakin nyata. Pengalaman universal tersebut nampaknya hanya berjalan satu arah yaitu dari dunia yang dominan ke dunia yang terdominasi. Kata kunci : sastra Inggris dan ilmu budaya 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebelum masuk lebih jauh dalam diskusi ini perlu kiranya gambaran sekilas tentang cultural studies ini diberikan. Cultural studies telah merasuki seluruh sendi karya akademik, mulai dari ilmu seni (arts), Ilmu humaniora (humanities), ilmu sosial, dan bahkan dalam sains dan teknologi. Cultural studies muncul di berbagai ranah keilmuan dan semakin hari semakin banyak diperbincangkan dan diperdebatkan. Akan tetapi apakah yang dimaksud sebenarnya dengan cultural studies itu? Istilah ‘studi’ atau ‘kajian’ sendiri sering mengacu pada makna yang sama ketika muncul pada istilah ‘business studies, managemen studies, Islamic studies atau American studies. Jadi apakah cultural studies itu merupakan cultural studies? Kita sudah mahfum dengan istilah ‘business, management, Islam, atau Amerika tetapi istilah budaya atau culture merupakan hal yang sangat berbeda.
Ketidakjelasan definisi istilah ‘budaya’ atau ‘culture’ sudah menjadi hal yang lumrah dalam kancah akademik. Banyak antropolog yang beranggapan bahwa ‘culture’ atau budaya adalah perilaku sosial. Bagi beberapa kalangan antropolog yang lain, budaya merupakan sebuah abstraksi dari perilaku. Bagi sebagian kapak batu, punden berundak, musik, tarian, sampai dengan trend pakaian mewakili budaya tetapi untuk sebagian lain objek-objek material seperti itu bukan merupakan bagian dari budaya. Bahkan banyak juga yang beranggapan bahwa budaya hanya ada di kepala saja. Seorang antropolog Inggris, Sir E.B. Tylor (1832-1971), mengatakan dalam bukunya Primitive Culture (1871) bahwa budaya adalah keseluruhan yang rumit meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan atau kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Antropolog berkebangsaan Inggris, Margaret Mead (1901-1978) mendefinisakan budaya sebagai perilaku yang dipelajari oleh
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
sekelompok masyarakat atau orang. Cendikiawan Inggris sekaligus perintis cultural studies, Raymond William (1921-1988) mendefinisikan budaya sebagai organisasi produksi, struktur keluarga, struktur institusi yang mengutarakan dan mengatur hubungan sosial, dimana karakteristiknya dibentuk melalui komunikasi anggota masyarakat. Antropolog ternama, Clifford Geertz (1926), mendefinisikan budaya sebagai paduan cerita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri tentang diri kita sendiri. Dari beberapa definisi di atas bisa dikatakan bahwa hampir semua hal yang dilakukan manusia bisa disebut sebagai budaya maka cultural studies adalah studi tentang semua hal yang dilakukan manusia. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah mengenai subjek dari cultural studies. Dengan melihat definisi di atas maka bisa dikatakan cultural studies tidak memiliki batasan khusus mengenai subjeknya. Lebih lanjut subjek cultural studies bisa disimpulkan adalah studi tentang praktek-praktek dari unsur -unsur kebudayaan yang sangat luas dan terbuka. Hal inilah yang menyebabkan cultural studies menjadi sangat berbeda dari keilmuan lainnya seperti sosiologi, filsafat, ilmu alam yang memiliki subjek dan objek studi yang sangat jelas. Terlepas dari kekaburan mengenai subjek areanya, cultural studies juga tidak memiliki prinsip, teori, dan metodenya sendiri walaupun memiliki sejarah yang sangat khas. Jika cultural studies tidak memiliki metodologi dan teorinya, lantas bagaimana cultural studies memiliki fungsinya? Cultural studies memiliki fungsi dengan cara meminjam dari ilmu-ilmu sosial dan semua cabang ilmu humaniora maupun seni, mulai dari antropologi, sosiologi, psikologi, sastra, linguistik, filsafat, ilmu politik, dan teori seni. Hampir semua metode dari analisis tekstual maupun psikoanalisis bisa digunakan dalam cultural studies. Jadi cultural studies memiliki kebebasan mengambil teori dan metode manapun yang dipandang perlu untuk mencapai tujuannya. Konsequensinya cultural studies meliputi banyak hal. Cultural studies bernaung di bawah payung intelektual dan
akademik dari yang paling tua sampai yang paling baru seperti Marxisme, Postkolonialisme, feminism, hingga poststrukturalisme. Cultural studies merupakan disiplin yang nomaden tergantung dari kebutuhannya. Cultural studies sebenarnya bukan merupakan suatu disiplin. Cultural studies sebenarnya merupakan sebuah istilah kolektif untuk keragaman usaha-usaha intelektual yang berlawanan satu sama lain untuk menjawab banyak pertanyaan serta memiliki posisi teoretis sekaligus politis yang berbeda-beda. Inilah sebabnya cultural studies sering disebut sebagai ‘anti-disiplin’ Walaupun cultural studies sangat sulit untuk didefinisikan hal ini tidak membuat segala sesuatu bisa dikategorikan dalam cultural studies atau sebaliknya. Sisi diakronis cultural studies memiliki karakteristik yang berbeda dan dapat dimasukkan dalam tujuan cultural studies. Adapun karakteristik cultural studies yaitu bertujuan menganalisis masalah praktik-praktik budaya dalam hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan utama yang pertama adalah memaparkan hubungan kekuasaan dan menganalisis bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi bentuk praktik-praktik budaya. Kedua, cultural studies tidak sekedar mangkaji budaya seolah-olah budaya merupakan entitas tunggal yang terpisah dari konteks sosial dan politisnya. Cultural studies bertujuan memahami budaya dalam berbagai bentuknya dan menganalisis konteks politik dan sosialnya yang termanifestasikan dalam dirinya. Ketiga, budaya dalam cultural studies selalu menampilkan dua fungsi; sebagai objek studi dan lokasi aksi maupun kritik politik. Jadi cultural studies memiliki tujuan intelektual sekaligus pragmatis. Keempat, cultural studies berusaha memaparkan dan menyatukan divisi-divisi pengetahuan sebagai cara mengatasi pemisahan bentuk tidak langsung dan objektif dari pengetahuan. Cultural studies berasumsi adanya identitas dan kepentingan yang sama antara pengamat dan yang diamati. Kelima cultural studies memiliki komitmen terhadap evaluasi moral masyarakat modern dan terhadap tindak politik garis radikal. Tradisi cultural studies bukan merupakan sesuatu yang bebas nilai akan tetapi
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
sesuatu yang bertujuan untuk merekonstruksi secara sosial dengan cara pelibatan politik kritis. Jadi cultural studies bertujuan untuk memahami dan merubah struktur dominasi di manapun pada umumnya dan masyarakat industri kapitalis pada khususnya. 1.2. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui peranan sastra Inggris dalam Ilmu Budya. 2. Uraian Teoritis 2.1. Sejarah Cultural Studies Nama kajian budaya atau ‘cultural studies’ sendiri berasal dari Inggris, tepatnya dari universitas Birmingham yang memiliki Centre for Contemporary Cultural Studies yang didirikan pada 1964. Pusat studi ini menerbitkan Working Papers in Cultural Studies dengan tujuan mendefinisikan cultural studies untuk mendapatkan tempatnya dalam kancah intelektual. Sejak saat itu pusat studi ini terus menerus mengembangkan keilmuan ini. Tulisan-tulisan Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P. Thompson, dan Stuart Hall menjadi landmark di ranah cultural studies. Tulisan mereka diyakini muncul dari situasi dan konteks diaman mereka berada. Mereka sangat peduli dengan kebudayaan Inggris yang memiliki banyak kelas. Pendidikan yang menjadi prioritas pada pasca-Perang Dunia ke-II dan kelas politik pra-perang serta budaya Amerika yang sedang popular di Inggris kala itu membentuk kesadaran baru dalam budaya Inggris. Melihat situasi seperti ini Richard Hoggart dan Raymond Williams merasa wajib mendorong kebudayaan kelas bawah atau pekerja supaya berkembang untuk melawan dominasi kebudayaan kelas menengah atas. Akan tetapi, respon kelas bawah atau pekerja tersebut terhadap budaya Amerika cukup membingungkan. Keprihatinan mereka berdua sebenarnya terletak lebih pada apa yang dilakukan kelas bawah atau pekerja ketika mereka menjumpai komoditas budaya dalam kehidupan mereka sehar- hari. Richard Hoggart dan Raymond Williams kemudian memfokuskan diri pada bagaimana budaya itu dipraktekkan dan bagaiman budaya itu diproduksi atau bagaimana praktek-praktek
budaya tersebut menjadikan kelompok masyarakat tertentu meraih dominasi budayanya. Kelompok dominan atau elite memperlihatkan kekuasaan mereka dengan memberikan legitimasi terhadap bentuk-bentuk dan praktik-praktik budayanya. Jadi perjuangan budaya melibatkan pertempuran untuk memenangkan legitimasi dan status budaya. Richard Hoggart menggambarkan kehidupan kelas pekerja yang otentik dan budaya praperang di Inggris merupakan satu kesatuan. Kedai-kedai dan klup-klub kelas pekerja saling berintegrasi dengan struktur keluarga, pola-pola bahasa, dan aktivitas masyarakat dengan baiknya sehingga menciptakan kehidupan kaya ragam yang saling terkait. Richard Hoggart juga mengkontraskan pandangan nostalgianya ini dengan kehidupan kelas pekerja di perkotaan yang sering ia sebut budaya massa yang dipengaruhi oleh budaya Amerika seperti music pop,program televisi, komik, novel cinta, dan dektektif. Menurut Richard Hoggart budaya massa itu tidak orisinal dan pretensius serta menggeser budaya tradisional yang selama ini diproduksi dan dikonsumsi oleh kelas pekerja. Lebih lanjut menurut dia cultural studies adalah studi tentang bagaimana budaya massa yang berasal dari Amerika mengkolonisasi kelas pekerja. Stuart Hall banyak disebut sebagai orang yang paling berpengaruh dalam cultural studies. Menurutnya cultural studies harus berpegang pada dua pertanyaan penting: pertanyaan teoris dan politis, yang hubungan keduanya akan selalu dalam ketegangan sebab tanpa hal ini karya intelektual bisa dimungkinkan tetapi praktik intelektualnya akan hilang. Di satu pihak pengaruh Marxisme nampak, di lain pihak dia menyangkal pengaruh itu. Menurut dia masyarakat cenderung akan berkonflik pada sex, ras, agama, dan daerah sebagaimana hal ini terjadi terhadap kelas. Selanjutnya, budaya membentuk kesadaran identitas masyarakat seperti halnya ekonomi. 2.2. Cultural Studies dan Perkembangannya Kepopuleran cultural studies secara internasional diduga muncul saat pemerintahan Margaret Tatcher. Cultural studies menyebar dari
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
India, Kanada, Australia,Prancis, dan kawasan Asia lainnya dengan karakter uniknya masing masing. Di satu daerah cultural studies menjadi tidak terlalu politis dan lebih cenderung ke nilai estetis dan analisis tekstual dan sebaliknya di wilayah lain sehingga perkembangannya menjadi sangat beragam dan bervariasi. Di Amerika cultural studies menarik banyak disiplin lain dengan kecenderungannya pada politik identitas sosial dan penelitian pada representasi bentuk-bentuk budaya. Sebagai contohnya bergesernya penekanan keilmuan studi media yaitu ethnografi pemirsanya. Teksteks media juga diteliti berkaitan dengan peran dalam menciptakan formasi budaya popular. Pendek kata tidaklah sulit bagi struktur akademik Amerika Serikat untuk mengadopsi dan menyerap cultural studies. Di Amerika bahasa teknis yang didapat dari semiotika dan teori sastra mengubahnya menjadi disiplin yang mandiri walaupun masih adanya anggapan bahwa cultural studies adalah anti-disiplin. Berawal dari tradisi intelektual, cultural studies di Amerika Serikat menjadi aktivitas profesional yang terorganisir dalam kancah keilmuan liberal yang amat luas. Tidak seperti di Inggris cultural studies di Amerika Serikat tidak berhubungan secara khusus dengan tindakan politis. Pertanyaan kekuasaan dan politik, kelas dan formasi intelektual, yang sangat fundamental bagi cultural studies di Inggris kehilangan arti pentingnya di Amerika Serikat. Namun demikian perkembangan cultural studies di Amerika Serikat mendapat kritikan serta kecaman dari pionir-pionir cultural studies di Inggris dan dari cendikiawan cultural studies yang berasal dari benua lain yang ingin menduplikasi sejarah formal cultural studies. Kecaman yang paling tajam adalah tentang generalisasi cultural studies Amerika Serikat pada analisis tekstual dan teori yang sangat mengambang. Hal ini terjadi karena pengaruh post-moderisme sehingga arti penting budaya sebagai praktik, bentuk, dan institusi memudar. Kanada memiliki kisah perjalanan cultural studies yang berbeda walau waktu kedatangannya hampir bersamaan dengan ketika cultural studies tiba di Amerika Serikat dan menetap pada tempat yang sama yaitu pada program studi komunikasi. Akan tetapi
studi komunikasi di Kanada memiliki tujuan yang berbeda dengan Amerika Serikat serta merefleksikan secara khusus masalah-masalah yang ada di Kanada. Cultural studies di Kanada memfokuskan pada sesuatu yang disebut sebagai ‘pengalaman Kanada (Canadian Experience]’. Kanada yang memiliki perbatasan negara yang sama denga Amerika Serikat serta populasi yang relatif kecil dengan tiga bahasa yang digunakan yaitu Inggris, Prancis, dan pribumi yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan dan perhatian. Hal ini membuat cultural studies di Kanada sangat memperhatikan masalah kebangsaan dengan beberapa pertanyaan utama, misalnya bagaimana penduduk Kanada dengan latar belakang yang sangat beragam dan menempati wilayah yang sangat luas bisa bertransformasi menjadi bangsa yang satu. Atau bagaimana individualitas Pengalaman Kanada dalam film, televisi, musik, dan media lain maupun produk budaya konsumen adalah bukan dari Amerika Serikat. Jadi cultural studies di Kanada memfokuskan diri pada investigasi definisi diri mereka sendiri. Di Australia, cultural studies berusaha mempertanyakan konsep ‘karakter nasional’ baik dalam film, sejarah, juga teori sastranya yang memfokuskan pada teks-teks lokal, institusi, maupun diskursus-diskursus. Tidak seperti saudara tuanya Inggris, identitas Australia bisa dimengerti ketika dianalisis dalam terminologi bangsa, dan tidak bisa dilihat dalam terminologi kelas atau subkultur seperti di Inggris walaupun kategori analisis dan teorinya berasal dari Inggris. Di Prancis cultural studies sangat berhubungan dengan dua pertanyaan yang sangat fundamental; ‘Apakah Prancis itu?’ dan ‘Siapakah orang Prancis itu?’. Untuk memahami kerumitan pertanyaan ‘apakah Prancis itu?’, kita harus mengapresiasi pemisahan utara-selatan di Prancis. Beberapa daerah seperti Corsica, Inggris, dan provinsi-provinsi di Timur keluar masuk wilayah Prancis dalam beberapa waktu. Hal ini mempengaruhi pandangan bagaimana daerah-daerah itu memandang Prancis dan dirinya sendiri. Hegemoni Paris terhadap beberapa daerah Prancis membuat ketegangan di daerah-daerah itu. Pertanyaan mengenai siapa orang prancis itu bahkan lebih
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
problematis lagi. Kaum imigran dari Eropa Timur, Tengah, dan Mediteranian maupun dari Afrika Utara telah berubah menjadi bangsa multi etnis campuran Prancis. Banyak bangsa yang berbahasa prancis seperti Belgia, Switzerland, dan di Afrika Utara. Pertanyaan utama terhadap cultural studies Prancis adalah apakah pengetahuan budaya seperti bahasa sehari-hari itu merupakan hal yang penting bagi orang Prancis. Kebijakan asimilasi yang diterapkan pemerintah Prancis memiliki tujuan utama yaitu mengasimilasi bangsa-bangsa menjadi satu bangsa besar namun kebijakan itu gagal dan digantikan dengan teori asosiasi. Hal ini ditandai dengan maraknya silabi di sekolahsekolah yang memberikan perhatian pada pengetahuan budaya dan daerah asal para imigran walau pada akhirnya budaya Prancislah yang masih merajai. Identitas Prancis juga dipengaruhi oleh kekuatan budaya dari luar. Sejak lama pengaruh Jerman menancap kuat di Prancis tetapi sejak 1945 Amerika ah yang mempengaruhi Prancis dalam hal budaya dan ekonomi. Amerikanisasi Prancis sudah menjadi masalah utama dalam cultural studies di Prancis. Pemikiran Amerika serta budaya konsumernya telah mengganti norma dalam budaya Prancis. Bangsa Prancis merasa menjadi subjek pasif dari kekuatan dari luar. Orang Prancis melihat film-film Amerika sebagai ‘Kuda Troya’ dan Walt-Disney sebagai ‘budaya Chernobyl’ untuk menggambarkan betapa berbahayanya pengaruh film-film WaltDisney. Karakter Asterix, seorang prajurit bangsa Gaul yang luar biasa yang berperang melawan bangsa Roma dan merayakan rasa kebangsaan menjadi symbol perlawanan terhadap hegemoni komik-komik Amerika. Pierre Bourdieu (1984: 4) seorang sosiolog dan pakar pendidikan merupakan eksponen yang berpengaruh dalam cultural studies Prancis. Dia dengan luar biasa menggambarkan hubungan intrinsik yang komplek antara perjuangan untuk kekuasaan sosial dan kegunaan produk budaya oleh kelompok sosial yang berbeda. Pertanyaan besarnya adalah: siapa mengkonsumsi budaya yang mana? Dan efek apa yang ditimbulkan dari konsumsi itu? Dari dua pertanyaan ini diketahui ternyata kelompok masyarakat
pekerja tidak menaruh perhatian pada galeri seni dan tidak tertarik pada seni modern. Menurut kelompok masyarakat itu galeri seni tidak lebih dari gereja ketimbang perpustakaan atau tempat belanja. Kelompok masyarakat itu, menurut Bourdieu, telah mengalami antagonism dan alienasi atau pengasingan ketimbang kelas menegah dan atas. Galeri seni diperuntukkan bagi kelas masyarakat kelas atas, dan privilege ini dilegitimasikan dengan klaim suatu pembedaan antara selera ‘yang baik’ dan yang vulgar. Selanjutnya Bourdieu mengatakan penilai estetis tidak mengikuti logika estetis yang otonom dan objektif melainkan merupakan subtitusi pembeda selera kelas sebagai simbol pembeda kelas. Lanjutnya kelas pekerja memiliki sedikit capital budaya dan secara sistemasik kalah dalam adu kekuatan budaya. Ketika ‘kapital budaya’ (cultural capital) dimanifestasikan dalam selera, sangat menguntungkan kaum yang memilikinya dan menjadi legitimator kaum yang berkuasa. Bourdieu dalam bukunya Distinction (1984) mengatakan bahwa karya seni memiliki daya tarik dan makna hanya bagi mereka yang memiliki ‘kapital budaya’ dan bisa membaca kode-kode yang tersirat di dalam karya seni itu. Di Asia Selatan perkembangan cultural studies bisa dikatakan cukup fenomenal. Perintisnya adalah Vinay Lal dengan karyanya South Asian Cultural Studies (1996) bahwa seperti olah raga kriket cultural studies adalah penemuan orang India yang secara tidak sengaja diperkenalkan oleh bangsa Inggris. Evolusi perubahan cultural studies di India melalui cabang ilmu pengatahuan yang mempremiskan bahwa kecendekiaan radikal di India didorong oleh kepercayaan bahwa seluruh pengetahuan adalah intervensi politik. Cultural studies di Asia Selatan memiliki tiga aliran besar: pertama adalah aliran yang diprakarsai oleh Centre for the Study of Developing Societies (CSDS) yang didirikan di Delhi pada 1963 yang mempraktekan model khusus cultural studies yang berakar pada bentuk asli pengetahuan sosial setempat. Aliran ini mempermasalahkan ide budaya dan mempertanyakan kategori standar politik, ekonomi dan sains. Aliran mefokuskan pada tiga hal . pertama adalah pengalaman
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
transformasi masyarakat ke dalam kolektivitas bersama. Kajian empiris dan teoretis tentang etnisitas, agama, dan gender bisa digolongkan sebagai usaha untuk mengungkap keadaan ketika struktur historis bersinggungan dengan struktur ahistoris. Kedua menfokuskan pada perbincangan budaya. Aliran ini percaya bahwa budaya mempertahankan kekuatannya ketika tidak hanya berdialog dengan budaya lain tetapi ketika budaya itu tidak berkomunikasi apapun dengan budaya lain. Ketiga adalah yang melibatkan pemulihan budaya dari pihak yang secara politis termarginalkan oleh Negara, hegemoni ideologis nasionalisme, sekularisme, syahwat ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan universalisme budaya. Di sini fokusnya adalah mekanisme marginalisasi dan taktik yang diadopsi oleh budaya pengkriktik pemerintah untuk menantang situasi yang tidak menguntungkan dan sulit. Aliran kedua adalah The Centre of Contemporary Studies (CCS) di Nehru Memorial Museum dan Perpustakaan atau ‘Teen Murti’ di Dehli yang mempraktekkan bentuk cultural studies yang lebih konvensional. Ketiga adalah Subaltern Studies Collective yang bermarkas di Universitas Dehli. Kegiatan utama mereka adalah jurnal tahunan Subaltern Studies: Writing on South Asian History and Society yang dipublikasikan pertama kali pada 1982. Istilah subaltern diambil dari tulisan Gramsci yang berjudul “On the Margins of History: history of the subaltern social group” yang dipublikasikan pada tahun 1934. Menurut Gramsci penggunaan istilah subaltern adalah sebagai gambaran kolektif untuk berbagai kelompok terdominasi dan tereksploitasi yang secara jelas kurang atau tidak memiliki kesadaran kelas. Lanjutnya, terminologi ini digunakan untuk menggambarkan para petani atau pemberontak yang secara berkala bangkit melawan kolonialis Inggris atau yang lebih dikenal sebagai ‘rakyat jelata’. Subalten ini menggambarkan perbedaan demografis antara populasi India dan yang digambarkan sebagai elit. Jadi Subalten Studies pada dasarnya adalah aliran sejarah colonial India. Tujuan utamanya adalah meneliti dan menggambarkan kontribusi rakyat jelata dengan seluruh usahanya sendiri tanpa tergantung kaum elit yang menimbulkan kesadaran kaum
subaltern tersebut. Tokoh utama adalah Gayatri Spivak yang mengatakan bahwa tujuan utama studi Subaltern adalah merusaha meng-klaim kembali sejarah dan menawarkan suatu teori kesadaran dan perubahan yang agen perubahan berada di tangan kaum subaltern atau pemberontak. Kelompok Subaltern Studies ini membawa perubahan yang luar biasa dalam studi sejarah dan politik di Asia Selatan. South Asian Cultural Studies dipengaruhi oleh dua hal penting Pertama adalah pengaruh Gandhi, sang bapak India modern. Pemikirannya tentang ekologi memberikan pengaruh yang luar biasa pada gerakan ekologi akar-rumput di India serta usahanya untuk menemukan suatu hubungan antar alam dan manusia yang lebih manusiawi dan diandalkan. Kedua adalah peran dan posisi Inggris di India. Fokus permasalahan ada pada bagaimana bahasa Inggris bisa menjadi bahasa rakyat, peran bahasa Inggris secara politis, serta asosiasi bangsa Inggris dalam struktur kelas dan kasta di India, dan sebagainya. Orang yang banyak dianggap sebagai bapak cultural studies Asia Selatan adalah Ashis Nandi. Fokus utama Nandi adalah membuat cultural studies sebagai usaha yang sepenuhnya asli pribumi. Secara kategoris, lanjutnya, ia menempatkan dirinya dengan korban-korban sejarah dan korban-korban besar pemikiran orang Barat seperti ilmu pengetahuan, rasionalitas, pembangunan, dan negara bangsa (nation state). Menurut Nandi korban-korban tiran sejarah serta penjajahan ide dan konsep terletak dalam ruang geografis, peradaban, intelektual dan konseptual dengan apa yang disebut ‘Barat’ sebagai mana yang terdapat di ‘Non-Barat.’ Nandi berusaha menyatukan korban-korban itu dan meningkatkan kesadaran tentang posisi menjadi korban. Ide-ide Nandi adalah, pertama, tentang kolonialisme; yaitu bahwa kolonisasi bukan saja merendahkan yang terkoloni tetapi juga pengkoloni. Kolonialisme Inggris terhadap negara-negara lain menjadikan Inggris yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai bangsa berbudaya lembut dan mengintrospeksi dirinya secara feminine namun disisi lain dalam budaya negara terjajah wajah Inggris menjadi sangat maskulin.
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
Kolonialisme menggeser kesepakatan Eurosentrisme dalam menggambarkan bangsa lain sebagai bangsa barbar yang sulit dimengerti dengan stereotype bangsa asing tetapi bangsa mudah diprediksi; bangsa Oriental. Dengan kata lain bangsa oriental ialah bangsa yang religius tetapi percaya takhayul, pandai tapi kurang jujur, suka kekerasan dan merusak tetapi sebenarnya pengecut. Pada saat yang bersamaan , suatu diskursus baru dikembangkan untuk merombak dasar-dasar stereotype itu dengan cara membaliknya: suka takhayul tapi memiliki spiritualitas, tidak terdidik tapi bijak, penakut tapi pasif. Pembelot dan pemberontak telah dijinakkan. Seluruh perlawanan terhadap pengaruh hegemoni teridentifikasi kedalam dua kategori: kekerasan dan pasif. Nandy menempatkan diri pada cara ketiga yaitu para pemberontak atau pembelot yang tidak ikut bermain atau non-player. Para non-player ini memiliki permainannya sendiri, yaitu permainan visi dan masa depan yang membelot dan memberontak. Masa depan ini sendiri merupakan suatu bentuk kesadaran. Tujuan utamanya adalah merubah masa depan dengan merubah kesadaran manusia tentang masa depan. Dengan mendefinisikan apa yang ‘tidak bisa berubah’ dan apa yang ‘universal’, bangsa Barat membungkap visi kebudayaan lain untuk memastikan kesinambungan proyeksi linear masa lampau, masa kini, dan depan bangsa Barat itu sendiri. Dengan menghindari pikiran tentang masa depan, kebudayaan lain terpenjara dalam tahanan masa lampau, kini, dan masa depan dari peradaban Barat. 2.3. Cultural Studies of Science Menurut banyak pakar Cultural Studies of Science secara ideology mejadi yang paling sensitif karena sains telah dan masih menjadi totem budaya sekuler Eropa. Pada pertarungan berabad-abad antara ideologi sains dan ideologi agama, klaim utamanya adalah bahwa sains memiliki kebenaran sedang teologi dan metafisik tidak. Klaim ini berasal dari kesuksesan sains yang nyata dalam mentransformasi pengetahuan manusia dan kondisi material kemanusiaan walaupun argument ini berdasar pada sifat sains yang
seharusnya ‘objektif’ dan ‘bebas nilai’, ironisnya, kebebasan nilai ini adalah kesadaran semu. Praktek sains seperti halnya ilmu-ilmu lain secara mendalam dipengaruhi komitmen nilai. Nilai masuk dalam sains dengan banyak cara. Cara pertama adalah dengan cara seleksi masalah yang akan diinvestigasi - pilihan masalah, siapa yang membuat pilihan-pilihan itu dan atas dasar apa. Masyarakat, ralitas politik kekuasaan, prasangka, dan sistem nilai akan mempengaruhi sains yang paling murni sekalipun. Sering kali sumber dana juga menjadi penentu masalah yang akan diteliti. Jika sumber dananya adalah pemerintah maka penelitan itu merupakan refleksi prioritas pemerintah. Nilai juga memainkan peranan penting dalam menentukan apa yang sebenarnya dipandang sebagai maslah, pertanyaan apa yang ditanyakan, dan bagaimana pertanyaan tersebut dijawab. Dalam studi klasiknya Scientific Knowledge and its Social Problem (1971) Jerome Revetz banyak membahas tentang hal tersebut. Beberapa pakar seperti Hilary dan Steven Rose juga bernada sama. Akan tetapi sebenarnya di balik analisis-analisis para pakar tersebut ada satu cerita yang panjang demistifikasi sains yang melibatkan pertempuran yang sangat sengit di ranah filsafat dan sejarah sains itu sendiri. Setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, para filusuf sains mempresentasikan ajaranya sebagai sesuatu yang objektif dan bebas nilai sebagaimana sains itu sendiri, ketika sebenarnya para filusuf itu berasal dari Lingkaran Viena pada 1920an yang merupakan positivis militan yang lumayan militan. Salah satu dari filusuf itu adalah Karl Popper (1902-1994) yang menyatakan esensi sains bisa diselamatkan dengan mengganti konfirmasi logis dengan suatu prinsip etis kritik diri. Pandangan ini sangat ampuh bagi tindakan manusia secara umum, khususnya dalam politik, ketika dikumandangkan oleh Popper dalam bukunya The Open society and its Enemies (1945) dan karya inilah yang membuatnya berpengaruh. Akan tetapi ketika ia mencoba menggabungkan hal in dalam logika sains refutatif, Popper menemui banyak kesukaran. Revolusi sesungguhnya dalam filsafat sains diutarakan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
Revolutions (1962) dimana Kuhn sangat terganggu dengan bentuk pengajaran ‘triumfalis’ sejarah sains. Sains diasumsikan sebagai hal yang selalu benar dan terus menunjukkan kemajuan namun sejarawan berpendapat bahwa ketika kemajuan yang besar dibuat pasti sebelumnya ada tenggat dimana debat akan berlangsung. Bahkan lebih buruk, seringkali orang yang mengaku ilmuwan menolak apa yang kemudian diterima sebagai kebenaran ilmiah. Khun merasa bahwa sejarah tradisional sains terlalu sederhana. Studinya mengenai Aristoteles mengarahkan pada kesimpulan bahwa tiap perangkat teori memiliki validitasnya sendiri. Muncul pulalah ide kunci paradigma sehingga muncul kesimpulan akhir Khun bahwa sains sebenarnya bersifat relatif dan bahkan arbitrer. Paul Feyerabend bahkan dalam tulisannya tentang pendekatan epistemologi klasik mengatakan bahwa sains telah menggantikan posisi teologi sebagai musuh utama dari kebebasan. Dalam bukunya Against Method (1979) Feyerabend menunjukkan bahwa prinsip metode ilmiah atau praktek ilmiah yang baik telah dirusak oleh beberapa ilmuwan hebat, salah satu contohnya adalah Galileo. Maka akhirnya ia mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya ‘metode ilmiah’ itu. Setelah Feyerabend kecenderungannya berubah dari filsafat ke studi sains. Pada akhir 1970an cultural studies sains telah berkembang menjadi beberapa subyek yang matang seperti ‘sains, tehnologi, dan masyarakat, ‘ ‘studi kebijakan sains,’ dan ‘ studi sosial sains’. Pada 1980an Bruno Latour dan Steve Woolgar mempopulerkan cultural studies sains dengan judul Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (1979) , dengan satu artikel yang menurut banyak pakar ironis yaitu ‘Konstruksi Sosial Fakta Ilmiah’ (‘Social Construction of Scientific Facts’) dimana mereka berdua berpendapat bahwa ilmuwan adalah makhluk asing yang dipelajari dengan metode antropologis. Mereka menyimpulkan bahwa semua aktivitas ilmiah di laboratorium dicurahkan untuk konstruksi sosial pengetahuan.
Teori Teknokultur Ide bahwa tehnologi itu otonom cukup penting dalam pemikiran modern. Determinasi teknologi bersifat linier, berhubungan kausal antara kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat. Teknologi itu sendiri selalu dianggap sesuatu yang netral dan bebas dari kontaminasi budaya dan ideologi. Gambaran ini dianggap melanggengkan hubungan pasif antara masyarakat dan teknologi yang menjauhkannya dari pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ‘siapa yang mengontrol arah teknologi?’, ‘siapa yang diuntungkan dari perkembangan teknologi?’, ‘bagaimana pilihanpilihan teknologi dibuat?’. Itulah pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh teori teknokultur . ‘Science, Technology, and Society Studies’(STSS) atau Studi Sains, Teknologi, dan Masyarakat yang muncul pada 1960an mengembangkan perspektif teori untuk mendemonstrasikan asal muasal akar sosial dan budaya dari teknologi. Teknologi spesifik sebagaimana ditunjukkan oleh STSS memiliki kekuatan sosial budaya yang terletak dibalik perkembangannya. Elemen-elemen ini, yang termasuk didalamnya ide-ide tentang alam dan sistem pemikiran, direpresentasikan dalam artefak teknologi yang spesifik. Komputer, Roket, sampai pemutar CD tercipta dengan seluruh bawaan intrinsik sosiokulturnya. Terminology ‘teknokultur’ sendiri menekankan hubungan antara teknologi dan budaya yang memaksa kita menyadari bahwa teknologi tidak bisa dipisahkan dari manusia. Manusia dan teknologi saling memiliki dan tergantung satu sama lain. Teori teknokulture menyelidiki hubangan antara manusia dan teknologi yang sangat komplek dengan berusaha menggambarkan bagaimana kemajuan teknologi mempengaruhi ruang budaya dan siapa yang diuntungkan secara sosial, kultural, dan politis dari kemajuan tersebut. Teknologi sering berimplikasi pada produksi mitos dimana didalamnya pola dominasi dan eksploitasi secara teratur direproduksi. Sebagai contoh perkembangan teknologi komputer dan kelahiran cyberspace. Ketakterbatasan akses informasi dengan prinsip demokratisnya yang membawa banyak dampak diungkap oleh teori teknokultur. Konsumerisme global, meningkatnya pengangguran, dominasi oleh
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
pengawasan korporasi antar negara menjadi wilayah teknokultur karena mengkondisikan dunia pada perang psikologis urat-syaraf dan feudalisme korporasi. Cyborg Penggagas teknokultur yang paling berpengaruh adalah Donna Haraway dengan karya monumentalnya Simians, Cyborgs, and Women (1991) yang merupakan kritik feminis terhadap sains dan teknologi. Dia memperkenalkan ide barunya tentang cyborg. Lebih jauh ia mengatakan bahwa batas antara binatang dan manusia telah ditembus. Di era dengan banyak suara, diri dan di luar diri telah menyatu. Organisme bukan lagi sekedar bentuk pengetahuan tetapi komponen biotik, suatu komponen informasi – alat pemroses. Manusia dihadapkan pada batas baru antara fiksi-sains dan realita sosial sedangkan area yang tak bertuan dihuni oleh para cyborg. Istilah cyborg yang berasal dari cybernetic-organism digunakan pertama kali oleh Manfred Clynes dan Nathan Kline pada 1960an untuk menggambarkan menyatunya antara biologi dan teknologi. Donna Haraway menyebutnya sebagai binatang mitologi chimera atau menyatunya mesin dengan organisme – makhluk dalam dunia pasca-gender, yang terbentuk dari proses sejarah dan praktek budaya. Lanjutnya, makhluk ini tidak relevan; mereka bukan bagian dari kosmos. Makhluk yang tidak memiliki kepercayaan pada seseorang atau sesuatu tetapi membutuhkan hubungan dari seseorang atau sesuatu tersebut. Haraway mengatakan bahwa kita telah menjadi cyborg sekarang dan harus siap untuk menjadi bagian dari mesin dan tidak boleh takut akan identitas kita yang terbagi dan carapandang yang kontradiktif. Ungkapnya, jika kita bertanggung jawab untuk hubungan sosial teknologi, kita tidak boleh menyingkirkannya tetapi mulai merekonstruksi batasnya dalam kehidupan keseharian, dalam hubungan dengan bagian-bagian kita denga yang lain, dan berkomunikasi dengan bagian-bagian itu. Orientalisme Imperialisme Eropa di abad 18 dan 19 berakhir pada paruh kedua abad 20 ketika bekas Negara jajahan memperoleh kemerdekaannya.
Imperialisme memiliki pengaruh yang cukup besar pada bangsa yang pernah mengalaminya. Imperialisme tidak hanya merampok ekonomi bangsa yang terjajah tapi juga mentransformasi budaya dan persepsi bangsa terjajah mengenai dirinya sendiri. Walaupun imperialisme secara formal telah dihapuskan tetapi imperialisme masih tetap ada dalam berbagai wujud yang berbeda. Tokoh orientalisme yang paling berpengaruh adalah Edward Said dengan karya monumentalnya Orientalisme (1978). Orientalisme digambarkan sebagai ‘narrasi terbesar’ yang menghubungkan pengetahuan Bangsa Barat dan imperialisme. Walaupun Orientalisme dipandang sebagai teori representasi yang paling umum, orientalisme diterapkan secara khusus pada Islam dan Muslim. Bagaimana Orientalisme berpengaruh pada persepsi Barat terhadap Islam dan Timur Tengah? Edward Said mengatakan bahwa sementara Perancis dan Inggris memperluas koloninya, ide tentang bangsa yang terkolonisasi sedang terbentuk. Dalam karya sastra dan karya cendikia, bangsa yang terkolonisasi digambarkan sebagai inferior, irasional, terbelakang, dan kekanak-kanakan. Lebih lanjut Edward Said mengatakan bahwa Oriental, istilah bangsa-bangsa di Timur dikenal, direpresentasikan dan diabadikan oleh kerangka yang mendominasi. Ide tentang Orient dibentuk dalam konteks dominasi dan submisi. Bangsa yang ada di wilayah Oriental bisa dimengerti, didefinisikan, dikontrol dan dimanipulasi oleh pihak yang dominan. Latar belakang sosial, politik, agama, akademik, dan sejarah terhadap kolonialisme memiliki pengaruh yang luar biasa dan ajeg. Hal ini di dorong oleh imperialisme. Nilai yang membuat eksploitasi imperialis terdapat tidak saja pada karya fiksi di awal abad 20 seperti E.M Foster, Rudyard Kipling, dan Joseph Conrad, tetapi bahkan oleh penulis besar yang jarang dikaitkan dengan imperialisme seperti Jane Austen, Charles Dickens, Thomas Hardy, dan Henry James. Bahkan menurut Said tidak ada novel Eropa tanpa imperialism. Lebih spesifik Edward Said mendefinisikan orientalisme sebagai berikut: definisi pertama adalah tradisi klasik yang mempelajari suatu wilayah dari bahasa dan tulisannya. Orang yang
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
mengajarkan, meneliti atau menulis tentang Timur adalah orentalis. Orient atau Timur di sini diasumsikan sebagai negara-negara yang berada di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Perhatian Edward said adala bahwa orientalisme semacam ini hidup melalui doktrin dan thesisnya, dengan sang ahli orient atau orientalis sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh. Definisi kedua, yang berhubungan dengan tradisi akademik ini, adalah gaya pemikiran yang berdasar pada suatu perbedaan ontologisme dan epistemologi yang dibuat antara wilayah orient (Timur - Asia) dan wilayah occident (Barat - Eropa dan Amerika). Menurut Edward Said hal ini adalah sebagai fiksi yang memunculkan retorika penyalahan. Ketiga, Orientalisme lanjut Said selalu mengontrol Timur. Sebagai suatu system pemikiran, kata Said, Orientalisme selalu muncul dari detail spesifik manusia ke detail trans-manusia; suatu pengamatan pada penyair Arab abad 10 yang berkembang menjadi suatu kebijakan terhadap mentalitas Oriental di Mesir, Iraq, dan Arab. Keempat, Orientalisme didefinisikan sebagai institusi korporasi yang berurusan dengan Timur -dengan cara membuat pernyataanpernyataan mengenai Timur, mendistorsi pandangan-pandangan terhadap wilayah ini, menggabarkan, mengajarkan tentang wilayah ini, menempati wilayah ini, menguasai wilayah ini, pendeknya, Orientalisme merupakan gaya Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menguasai Timur. Sebenarnya sudah ada beberapa pemikir yang mendiskusikan gambaran Barat tentang Timur sebelum Edward Said menulis Orientalisme. Sepuluh tahun sebelumnya cendikianwan Syria, Abdul Latif Tibawi, menuliskan hal yang sama pada monografnya yang berjudul English Speaking Orientalist (1965). Dalam Europe and Islam (1977), sejarawan sekaligus filusuf Tunisia, Hichm Djait menuliskan argumen dan bukti tentang gambaran Eropa tentang Islam yang hampir mirip dengan gambaran Said. Sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas dalam tulisannya yang sangat berpengaruh berjudul The Myth of the Lazy Native (1977) menyimpulkan tentang bagaimana kekusaan colonial mengkonstruksi wajah orang Malaya, Filipina, dan Jawa dari
abad ke 16 dan 17 dan bagaimana representasi ini membentuk ideology kapitalisme colonial. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah lalu kenapa Edward Said lebih popular sementara Tibawi, Hichem, Alatas, dan yang lain terabaikan? Untuk satu hal, lokasi para penulis ini tinggal adalah cukup penting. Tibawi bekerja pada ranah keilmuan studi Islam yang cukup asing dan tidak popular. Djait menulis dalam bahasa Arab dan tinggal di Tunis, walaupun tulisannya telah diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan Inggris. Alatas berada di Singapura dan meneliti sosiologis yang tidak popular dari perspektif dunia ketiga. Said tinggal di New York dan membungkus teorinya dalam bidang yang cukup trendi sehingga menjadi terkenal. Walaupun Said menulis hal yang sudah ada, dia menyertakan tulisan Michael Foucault tentang pemikiran sejarah pasca-strukturalis untuk memberikan satu pambaruan pada bahan yang sudah usang: Orientalisme diargumentasikan sebagai teori umum dari semua representasi seluruh kebudayaan non-Barat. Tantangan sengit untuk teori orientalisme barasal dari Antropolog Inggris, Ernest Gellner, dan Aijaz Ahmad, cendekiawan India penganut Marxisme. Gellner berpendapat bahwa hanya karena sesuatu itu merupakan produk Barat tidak berarti hal tersebut salah atau timpang. Dalam bukunya yang cukup terkenal In Theory (1992) Aijaz Ahmad menuduh Said menggunakan standard ganda dalam menilai tradisi humanis Barat. Lanjutnya, Said juga melakukan hal yang sama ketika mengacu pada Foucault dan beberapa penulis beraliran kanan dalam analisisnya. Menurut Aijaz Ahmad, pikiran Edward Said tidak orisinal dalam tulisannya. Diskursus Post-Kolonial Orientalisme memicu sebuah aliran kritis baru yang dikenal sebagai diskursus, teori, dan studi post-kolonial. Istilah post-kolonial tidak berarti ‘setelah kolonialisme’ tetapi diskursus ini menganalisis bagaimana fakta sejarah tentang kolonialisme bangsa Eropa terus membentuk hubungan antara Barat dan nonBarat setelah negara atau wilayah bekas koloni mendapatkan kemerdekaannya. Postkolonialisme menggambarkan proses yang terus menerus dari perlawanan dan rekonstruksi oleh non-Barat. Teori post-kolonial mengungkap
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
pengalaman-pengalaman penjajahan, penindasan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, ketercerabutan, dan migrasi dalam kaitanya dengan diskursus barat tentang sejarah, filsafat, sains, dan linguistik. Feminis India Gayatri Spivak dianggap kritikus post-kolonial yang paling subversif. Sebagai kritikus yang menyuarakan Derrida dan anti historisis, Spivak ingin merelokasi diskursus Barat ke dalam suatu ruang di mana heterogenitas adalah norma dan ‘penduniaan dunia’ terjadi. 3. Pembahasan Tren cultural studies yang merambah di jagad akademik sejak tahun 80an ternyata memberi pengaruh yang cukup signifikan pula pada wilayah studi sastra. Pertanyaan yang pertama kali muncul adalah apa hubungan studi sastra dan cultural studies? Banyak cendekiawan yang menyebut bahwa hubungan antara studi sastra dan cultural studies sangat komplek. Teori cultural studies bisa menggabungkan beberapa hal yang berbeda seperti sastra dan music rock, budaya kontemporer dan lampau namun dalam prakteknya karena makna muncul dari sistem perbedaan, orang melakukan cultural studies sebagai hal yang dilakukan dalam satu sisi dari pasangan biner sisi yang lain. Karena cultural studies muncul dari bagian studi sastra maka sisi biner lain yang dimaksud adalah studi sastra di mana tugas utamanya adalah menginterpretasi karya sastra sebagai pencapaian penyairnya dan prioritas penilaiannya adalah mempelajari nilai karya sastra termasuk di dalamnya kompleksitasnya, keindahannya, keuniversalitasannya, pandangannya, dan kegunaannya bagi pembacanya. Namun studi sastra sendiri tidak pernah menyatu dalam satu konsep tunggal tentang apa yang dipelajari dan arena teori-teori yang digunakannya, studi sastra menjadi disiplin yang berbeda dan terjadi persaingan di dalamnya dalam hal memperlakukan karya sastra dan non sastra untuk mendapatkan perhatian. Namun sebanarnya tidak perlu terjadi persaingan ataupun konflik antara studi sastra dan cultural studies karena studi sastra tidak memfokuskan pada konsepsi objek sastra yang harus diakui kebenarannya oleh cultural studies. Bahkan cultural studies muncul karena penerapan tehnik analisis teori sastra dalam
artefak budaya yang diperlakukan sebagai text untuk dibaca dari pada sekedar objek yang diklasifikasikan. Studi sastra bahkan akan mendapatkan sesuatu yang baru ketika karya sastra dipelajari sebagai praktek budaya tertentu dan berhubungan dengan diskursus lain. Pada prinsipnya cultural studies dengan keinginannya dalam hal mempelajari sastra sebagai praktek yang memberi signifikansi bisa memperkuat studi sastra sebagi fenomena intertextual yang kompleks. Argument tentang hubungan antara studi sastra dan cultural studies bisa digolongkan dalam dua topik besar: (1). Sebagai sesuatu yang disebut sebagai kanon sastra (literary canon) yaitu karya satra yang secara berkala dipelajari di sekolah-sekolah dan universitas-universitas sebagai peninggalan sastra. (2) metode yang cocok untuk menganalisis objek budaya. 1. 4. Kesimpulan Sebagai ilmu yang pernah dianggap menyimpang dalam dunia akademik cultural studies mencoba menyingkap segala bentuk kekuasaan dalam praktik-praktik budaya dan telah menjadi stu displin yang menjadi bagian integral dunia akademik saat ini serta struktur kekuasaan yang dimilikinya. Hanya di India saja cultural studies masih berfungsi sebagai pergerakan intelektual yang idependen dengan segala keragamannya. Cultural studies bukanlah ideologi, apalagi agama, sekaligus tidak bisa mengajari kita bagaimana menjalankan suatu moral dalam kehidupan ini. Yang bisa dilakukan oleh cultural studies adalah membantu kita memahami mekanisme kekuatan budaya luar dan menemukan cara dan alat untuk mengantisipasinya. Inilah yang membuat cultural studies akan tetap menjadi penting dan menarik. Sebagai disiplin ilmu yang unik cultural studies akan tetap terbuka dengan segala kemungkinan yang tidak terbayangkan sebelumnya terutama untuk wilayah di luar Barat. Kejenuhan studi sastra, dalam hal ini sastra Inggris, dalam salah satu premisnya bahwa pembaca sastra diharapkan bisa merasakan kondisi universal manusia yang klise nampaknya sudah semakin nyata. Pengalaman universal tersebut nampaknya hanya berjalan satu arah yaitu dari dunia yang dominan ke dunia yang terdominasi. Daftar Pustaka
Jurnal ilmiah “INTEGRITAS” Vol.1 No. 1 Januari 2015
Bourdieu, Pierre, Distinction: a Social Critique of the Judgment of Taste, trans. Richard Nice, 1984.USA: Harvard University Press. Culler, Jonathan. 1997. Literary Theory. New York: Oxford University Press. Haraway, Donna. Simians, Cyborgs and Women: The Reinvention of Nature. 1991. New York: Routledge. Hoggart, Richard. The Uses of Literacy: Aspects of Working Class Life. 1957. London: Chatto and Windus. Latour, Bruno and Steve Woolgar. Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts.1979. USA: Princeton Univ Press. Mintz, Lawrence E. 1983. “Recent Trends In The Study of Populer Culture Since 1971”. American Studiest International. No. 5, Vol. XXI, 92. Said, Edward. Orientalism, New York: Vintage, 1979. Thomson, E.P. The Making of the english working Class. 1978. London: Penguin. Tylor, E.B. Primitive Culture.1871 reissued 2010. London: Cambridge University Press. Williams, Raymond. Culture and Society 17801950. 1966. London: Penguin.