Prosiding Seminar Nasional Bahasa & Sastra
SENABASTRA | 8 978 – 602 – 18506 – 1 – 9
ISBN
978-602-18506-1-9
Editor Diah Ikawati A., SS., M.Pd Iqbal Nurul Azhar, SS., M. Hum Erika Citra Sari H., SS., M. Hum Tim Seleksi Tim Senabastra | 8 Layout Tim Senabastra | 8 Desain Sampul Tim Senabastra | 8 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Cetakan I, Juni 2016
Diterbitkan oleh
Prodi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura Jl Raya Telang No. 2 Telang, Kamal, Bangkalan, Jawa Timur. 69162 www.sasing.trunojoyo.ac.id |
[email protected]
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
i
KATA PENGANTAR
Seminar akademik merupakan media bertemunya berbagai ide kreatif dan terbaru terkait dengan satu disiplin ilmu tertentu. Interaksi seperti ini sangat positif untuk mempertemukan isu-isu krusial dari sudut pandang yang unik, yang didasarkan pada hasil penelitian mendalam maupun pemikiran yang kritis atas berbagai macam fenomena, utamanya fenomena kebahasaan dan kesastraan yang ada di sekitar kita. Seminar akademik juga penting untuk dunia penelitian kebahasaan dan kesastraan karena dewasa ini penelitian dibidang ini terus berkembang dan memberikan sumbangsih berarti bagi masyarakat. Seminar akademik adalah media yang tepat untuk mendesiminasikan hasil-hasil penelitian tersebut. Atas dasar inilah Program Studi Sastra Inggris Universitas Trunojoyo Madura dengan bangga melaksanakan kegiatan seminar nasional tahunan yaitu Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII. Buku ini adalah kumpulan kertas kerja yang telah dipresentasikan oleh para pemakalah dan diedit oleh editor Seminar Nasional Bahasa dan Sastra ke-8 (SENABASTRA VIII). Tujuan dari diadakannya SENABASTRA VIII adalah untuk memberikan nilai tambah dalam mewarnai khazanah keilmuan terutama dalam bidang kebahasaan dan kesusastraan. Selain pada tataran akademik, hasil-hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan menjadi bahan pertimbangan oleh para stakeholders dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan. Konsekuensinya, kegiatan seperti ini tidak hanya terhenti pada kegiatan rutin semata, akan tetapi mampu menjadikan ruh baik dalam bertindak ataupun bertutur dalam konteks yang lebih luas. Terdapat 75 (tujuh puluh lima) kertas kerja yang secara ilmiah bergabung pada empat domain yaitu ilmu bahasa, ilmu sastra, ilmu budaya, dan pendidikan bahasa dan sastra. Karena inilah, buku inipun terbagi menjadi empat subbahasan menyesuaikan pada empat domain tersebut. Subbahasan pertama adalah peletakan gagasan terhadap trend dan isu yang ada dalam dunia ilmu bahasa. Subbahasan kedua merangkum segala permasalahan dalam dunia ilmu sastra. Subbahasan ketiga adalah tentang budaya, dan subbahasan terakhir, yang menjadi penyempurna SENABASTRA VIII kita kali ini adalah hal-hal menarik terkait pengajaran bahasa dan sastra. Senabastra VIII memiliki tipikal yang berbeda dengan Senabastra sebelumnya. Jika pada senabastra sebelumnya, pemakalah yang ada dalam buku ini merupakan duta dari bidang keilmuan mereka yang masing-masing yang memiliki hasrat yang sama yaitu memberikan aspirasi maupun inspirasi pada masyarakat dalam bingkai tema Senabastra, maka Senabastra VIII kali ini jauh lebih berwarna. Dikatakan berwarna karena topik-topik bahasan memiliki bentang cakupan yang sangat luas, mulai dari cakupan bahasan yang bersifat lokal, hingga internasional, sehingga dapat kita katakan bahwa Senabastra VIII kali ini adalah ibarat pelangi, berwarna warni, berwarna lokal, maupun juga berselera internasional. Karena banyaknya kertas kerja yang ada dalam buku ini, maka tim editor pada pengantar ini hanya dapat menampilkan sedikit cuplikan dari warna-warni pelangi tersebut. Cuplikan ini dapat dijadikan sebagai salam pembuka dari editor terhadap pembaca tercinta buku ini. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
ii
Subtopik pertama yaitu ilmu bahasa, telah dieksplorasi oleh Abd. Rahman. Dalam kertas kerjanya yang berjudul “Superioritas dan Inferioritas Bahasa: Sebuah Problematika Penulisan Sejarah Lokal Di Loloda Halmahera Abad XX”, Rahman menyajikan dengan jelas warna pelangi dari sebuah wilayah Nusantara yang disebut sebagai Halmahera, tepatnya Loloda. Secara jelasnya Rahman menyatakan bahwa secara historis Loloda adalah salah satu kerajaan lokal tertua di Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku bagian utara tepatnya di sepanjang pesisir pantai barat daya pulau Halmahera yang diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-13 M. Kerajaan ini sejak awal terbentuknya diperintah oleh seorang raja yang bergelar kolano, namun di sekitarnya terdapat empat kerajaan lain yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha (empat kerajaan gunung Maluku) yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Empat kerajaan ini diperkirakan baru terbentuk pada sekitar abad ke-14 M. Secara kultural Loloda adalah suatu entitas budaya tersendiri. Salah satu komponen dari budayanya adalah bahasa. Bahasa Loloda tergolong rumpun bahasa non-Austronesia sebagaimana halnya yang dipakai oleh umumnya penduduk pesisir pantai barat daya Halmahera. Sayangnya sampai saat ini pengungkapan sejarah Kerajaan Loloda menurut bahasa sumber Loloda sendiri lisan maupun tulisan masih mengalami kesulitan yang sangat serius hingga menjelang akhir abad ke-20. Kendalanya adalah munculnya fenomena superioritas dan inferioritas bahasa dalam upaya penulisan sejarah Loloda. Sumber-sumber sejarah Loloda yang ketersediaanya amat terbatas umumnya dilisankan dan dituliskan dalam bahasa Ternate. Akibatnya karya-karya sejarah Loloda yang berbahasa Loloda sulit ditemukan. Bahasa Ternate menjadi bahasa sumber yang dominan sedangkan bahasa Loloda sendiri hilang tidak terpakai. Permasalahannya adalah mengapa bahasa Ternate menjadi bahasa superior dalam upaya penulisan sejarah Loloda, sedangkan bahasa Loloda menjadi bahasa inferior. Pengungkapan warna kedua dari pelangi lokalitas adalah tulisan yang disajikan oleh Baiq Rismarini Nursaly yang berjudul “Pola Pemakaian Bahasa Sumbawa di Enclave Karang Taliwang Kota Mataram”. Dalam Kertas kerjanya, Nursaly menyatakan bahwa Lingkungan Karang Taliwang Kota Mataram, NTB adalah sebuah enclave Bahasa Sumbawa (BS) yang merupakan sebuah pemukiman padat dengan wilayah tidak terlalu luas. Wilayah ini merupakan domisili bagi keturunan etnis Sumbawa yang dikelilingi oleh pemukiman lain di sekitarnya, yang merupakan domisili bagi etnis Bali dan etnis Sasak. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pola pemakaian BS di enclave Karang Taliwang dalam lima ranah pemakaian, yaitu: ranah keluarga, pendidikan, pekerjaan, pergaulan masyarakat, dan adat-istiadat atau keagamaan, berdasarkan analisis komponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek; linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan dalam pola komunikasi. Hymes (1964a:4) mengistilahkan studi ini dengan Ethnography of Speaking yang merupakan penggabungan dari etnologi dan linguistik yang mengkaji situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktifitas tersendiri. Istilah itu kemudian dirubah oleh Hymes menjadi Ethnography of Communication. Diungkapkan oleh Hymes bahwa, Ethnography of Communication bertujuan untuk menganalisis perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan. Warna lokalitas kedaerahan juga dapat dijumpai di Subtopik kedua yaitu Sastra. Di Subtopik ini, terdapat satu tulisan yang menarik tentang Sunda yang disajikan oleh Ypsi Soeria Soemantri, yang berjudul “The Expression Of Natural Beauty Of Sundanese Land In The Poems Translation.” Dalam tulisannya, Soemantri menjelaskan tentang keindahan alam dari bumi Sunda yang dapat ditangkap dari puisi-puisi berbahasa Sunda. Sunda oleh Soemantri dinyatakana sebagai bumi yang begitu indah yang dapat dilihat dari hutan, perbukitan dan semesta yang lain. Soemantri juga menyatakan secara jelas akan kebahagiaan orang Sunda menerima karunia alam yang begitu besar. Selain mengungkap warna lokalitas, subtopik Sastra juga mengungkap terna-terna Internasional seperti yang disajikan oleh Nanda Ruli Maulidiyah dan Priesty Adeline dalam kertas kerjanya yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
iii
berjudul “Perbedaan Kelas Sosial dalam Cerpen Richard Connel’s The Most Dangerous Game,” sebuah novel berselera Internasional. Dalam tulisannya Maulidiyah dan Adeline menyatakan bahwa dalam tatanan masyarakat perbedaan kelas sosial masih terlihat. Penggolongan kelas sosial salah satunya berdasarkan kekuasaan dan materi. Dalam cerpen The Most Dangerous Game terdapat tiga kelas sosial yakni aristokrat, borjuis dan kaum buruh atau proletar. Perbedaan kelas sosial itu direpresentasikan oleh tiga tokoh yaitu Rainsford,General Zaroff dan Ivan. Seorang pemburu bernama Rainsford terjatuh dari kapal dan terjebak di sebuah pulau kecil di Karibia. Disana, ia diburu oleh suku Cossack. Kejadian itu mempertemukannya dengan seorang pembunuh bernama General Zaroff yang mempunyai pengikut setia bernama Ivan. Namun marxisme melihat sebuah kemajuan datang melalui perjuangan tanpa membedakan kelas sosial, yang berarti siapapun bisa berhasil atau mengalami kemajuan dengan perjuangan keras tanpa melihat darimana seseorang itu berasal. Hal itu terbukti dengan bebasnya Rainsford dari permainan yang diciptakan oleh General Zaroff. (amerika) Warna-warna internasional juga terlihat pada subtopik ketiga yaitu budaya. Warna ini disajikan oleh Aidatul Chusna dan Eni Nur Aeni melalui kertas kerjanya yang berjudul “Tentang Sedih di Victoria Park’: Raising Indonesians’ Awareness On Migrant’s Life Through Migration Literature.” Dalam tulisannya, Chusna dan Aeni menyajikan tentang suka duka kaum buruh migrant di Hongkong. Dalam tulisannya, buruh migran di Hongkong dicerminkan sebagai kaum yang kuat yang dbangun oleh kondisi yang keras. Mereka dijadikan sebagai sumber penghasilan bagi keluarga di tanah air. Mereka mengambil alih peran para alelaki untuk mencari nafkah dan memberi makan anak-anak mereka. Dalam tulisannya, Chusna dan Aeni juga memaparkan tentang perilaku lesbi yang ada dalam novel tersebut sebagai perilaku yang disebabkan sebagai salah satu bentuk pelarian dari tekanan batin akibat dikhianati oleh para suami. Warna internasional selanjutnya ada dalam kertas kerja yang ditulis oleh Roh Jung Ju, yang berjudul “Representasi Alam Neraka dalam Webtoon Singwa Hamkkie.” Dalam tulisannya, Ju menjelaskan bahwa Webtoon (World Wide Web+Cartoon) merupakan sebuah genre komik yang baru Korea, hasil gabungan jaringan komunikasi dengan akses individu ke komputer. Webtoon ini sudah masuk ke beberapa negara, termasuk Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai konten baru yang menunjukkan budaya Korea. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan budaya tradisional Korea, khususnya gambaran bentuk neraka dalam webtoon Singwa Hamkkie(With God), dengan mengkaji semiotik cerita. Peristiwa cerita dalam Singwa Hamkkie(With God) menggali kepercayaan alam neraka dalam masyarakat Korea, yaitu budaya tradisional Korea. Dengan analisis semiotik, Singwa Hamkkie mewakili budaya tradisional Korea dan menunjukkan sebuah basis yang benar. Berdasarkan penelitian ini, konten baru Singwa Hamkkie pada webtoon mampu menjadi sebuah pedoman budaya tradisional Korea bagi para orang luar Korea. Bahasa dan sastra yang bersifat tradisional maupun global harus berjalan beriringan dengan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Untuk memastikan hal ini, pikiran-pikiran yang kritis yang berusaha untuk menemukan cara-cara yang kreatif menyandingkan tiga jenis bahasa yang berbeda tersebut mutlak diperlukan. Kritik akan kondisi terkait cara-cara pemertahanan dan pengembangan kebahasaan dan kesastraan Indonesia kontemporer utamanya di perguruan tinggi disajikan oleh Agustinus Indradi dalam kertas kerjanya yang berjudul “Mengkritisi Kontribusi Matakuliah Bahasa Indonesia dalam Menunjang Peningkatan Kemampuan Menulis Mahasiswa.” Dalam tulisannya, Indradi menyatakan bahwa Pada saat ini, mata kuliah (MK) Bahasa Indonesia merupakan MK wajib bagi mahasiswa program diploma dan sarjana. Karena bersifat umum dan wajib, maka MK Bahasa Indonesia saat ini sering disebut sebagai MKWU (Mata Kuliah Wajib Umum). Namun sayangnya, MK Bahasa Indonesia masih sering dianggap belum mampu menunjukkan peran dan fungsinya secara maksimal. Memamg materi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
iv
pembelajaran MK Bahasa Indonesia dalam buku ajar yang selama ini beredar tampak masih terlalu banyak mengajarkan teori tentang bahasa dan teori menulis, bukan tentang ajakan untuk aktif menulis. Oleh karena itu, paparan berikut ini bertujuan mencari alternatif model materi pembelajaran yang diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi peningkatan kemampuan mahasiswa dalam menulis, khususnya menulis karya ilmiah. Melalui tulisan-tulisan yang tersusun dalam buku ini, diharapkan dapat membantu memperluas cakrawala pembaca akan fenomena kebahasaan, kesastraan, kebudayaan, serta pengajaran bahasa dan sastra di tanah air. Dengan bertambahnya cakrawala tersebut, diharapkan dunia linguistik, ilmu sastra, ilmu budaya dan pengajaran bahasa dan sastra di Indonesia menjadi berkembang. Sebagai penutup, kami haturkan jutaan terima kasih kepada banyak pihak; panitia, para pemakalah, peserta SENABASTRA VIII, serta kepada semua pihak yang telah berkenan bekerjasama dengan kami untuk menerbitkana buku ini. Kami berharap, kerjasama ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang. Sampai jumpa di SENABASTRA IX 2017
Bangkalan, 5 Juni 2016 Tim Editor D.I.A, I.N.A & E.C.S.H
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
v
DAFTAR ISI
Pengantar Editor Daftar Isi BAHASA Superiority and Inferiority of Language: A Problem of Local Historiography in Loloda-Halmahera on The Twentieth Abd. Rahman
1
Analisis Wacana Pemberitaan Artis pada Media Portal: Studi Kasus Berita Marshanda Di Merdeka.Com Agwin Degaf
9
Stereotype on “Neato Botvac” Vacuum Cleaner Advertisement in Malaysia : A Critical Discourse Study Ana Rufaidah, Ainun Ika Pratiwi
14
Pola Pemakaian Bahasa Sumbawa di Enclave Karang Taliwang Kota Mataram Baiq Rismarini Nursaly
18
Klasifikasi Leksikal Bahasa Kawi dalam Gendhing-Gendhing Jawa: Sebuah Kajian Linguistik Kebudayaan Bimo Herdianto Prabowo, Ika Nurfarida
24
Analisis Diksi Kata Black dan White dalam Novel Black and White Karangan Lewis Shiner Bunga Diantirta Yapati Puteri
29
Euphemism: Does It Express Politeness When It Is Used in Communication? Chatarini Septi Ngudi Lestari, Trisnayanti
35
Using News Report as a Reading Material in Text Analysis Teaching For EFL Adolescent Learners: Critical Discourse Analysis Approach Bramantya Pradipta, Salim Anshori
40
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
vi
Komunikasi Politik Jokowi: Analisis Wacana Kritis D. Jupriono, Agus Sukristyanto, Arief Darmawan
44
Perencanaan Bahasa di Indonesia: Implementasi dan Hambatan Dalwiningsih, Salim Anshori
51
Islamophobia Portrayed in Donald Trump’s Presidential Speeches Dewi Gita Puspitasari, Wardatul Baidlo’
57
Flouting The Conversational Maxims in TV Advertisements to Influence Children Dhyaan Annisa Djuita Nugroho, Firda Djuita
61
Critical Discourse Analysis: A Comparative Study in Anti-Smoking Campaign Video in Indonesia and Thailand Dian Purwitasari
66
African American Vernacular English (Aave): Eksistensi dan Penggunaannya oleh Orang Kulit Putih Amerika, Studi Kasus pada Novel The Adventures of Huckleberry Finn Dian Riesti Ningrum, Fitriyatuz Zakiyah
71
Sikap Berbahasa Mahasiswa dalam Era Globalisasi Dina Merdeka C., Siti Maryam
76
A Social Semiotics and Post-Colonial Beauty Representation in Shinzui Body Lotion Advertisement Eka Noraisa Putri Corina
81
Analysis on the Use of Argumentation in High School Debate Competition by the Motion This House Will Ban Junk Food Eva Nur Mazidah
85
Senyapan Dalam Produksi Ujaran Presiden Joko Widodo pada Saat Dialog Interaktif Bersama Najwa Shihab Fiyan Ilman Faqih, Prasetyo Adi Wibowo
91
Iklan Kampanye Legislatif: Pencitraan melalui Komponen Lingual dan Visual Harum Munazharoh
97
Mapping and Defining Hate Speech in Instagram’s Comments: A Study of Language Use in Social Media Ika Nurfaida, Laudetta Dianne Fitri
105
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
vii
Bahasa Jerman sebagai Bahasa Plurisentris Iwa Sobara
110
Bahasa dan Kekuasaan (Perspektif Analisis Wacana Kritis) Mujianto
115
Bahasa Indonesia Kekinian di Era Teknologi Komunikasi Nani Sunarni
121
Development of Language Used in A Puppet Show: A Study of Code Switching Nita Suryawati
127
Tindak Tutur Memuji oleh Guru Perempuan dalam Interaksi Pembelajaran Bahasa Indonesia Pandu Meidian Pratama, Gamal Kusuma Zamahsari
137
Rhetorical Features in Research Article Abstracts Written By Non-Native English-Speaking Novice Researchers Rita Darmayanti
147
Bahasa Kontemporer: Syurga atau Neraka? Rozali Jauhari Alfanani, Nursyahidah, Abdul Nasip
151
Are We Really Equal? : Questioning Gender Equality and The Gender Ideology of the Representation of Male and Female in Thematic English Text Books Published by The Ministry of National Education, A Critical Discourse Analysis Sabta Diana
156
Pemertahanan Bahasa Daerah oleh Masyarakat Suku Madura di Yogyakarta Sigit Arba’i
165
Dispreferred Response in Journey 2: The Mysterious Island Movie Nur Mufidah, Diah Ikawati A.
173
Cohesive Analysis of Chaterine Mansfield’s The Fly Rosyida Ekawati
180
Antroponim sebagai Cerminan Identitas Bangsa Susi Machdalena
186
Sikap Bahasa Para Guru Bidang Studi Nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap Bahasa Indonesia Yani Paryono
190
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
viii
Campur Kode dalam Dakwah Tan Mei Wha Yuyun Kartini
195
Jargon in Lamongan Cisc’s Chants Yusita Fatmawati, Iqbal Nurul Azhar
200
Pengaruh Bahasa Terhadap Kelestarian Budaya dalam Masyarakat Bima Zulkifli, Apriyanto Wawan Darmawan Putra
205
Interjeksi dalam Novel ‘Donyane Wong Culika’ Karya Suparta Brata Siti Komariyah
210
The Expression of Natural Beauty of Sundanese Land in the Poems Translatiom Ypsi Soeria Soemantri
217
Locally Produced, Internationally Consumed: Netnography Iklan Berbahasa Inggris pada Iklan Produk Lokal sebagai Upaya Product Campaign di Era MEA Annysa Endriastuti, Eko S. Kusumo
222
SASTRA ‘Tentang Sedih di Victoria Park’: Raising Indonesians’ Awareness on Migrant’s Life through Migration Literature Aidatul Chusna, Eni Nur Aeni
230
Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang Anisa Fajriana Oktasari
234
Materialism in D.H. Lawrence’s The Rocking-Horse Winner Abdhul M. Aziz, Hardono
239
Potret Tokoh Lara Cameron dalam Novel Kilau Bintang Menerangi Bumi Karya Sidney Sheldon: Sebuah Kajian Feminisme dalam Teks Sastra Besin Gaspar
243
Mendedahkan Nilai Kemanusiaan dalam Novel Adinda: Kulihat Beribu-Ribu Cahaya Di Matamu Karya Ayu Sutarto Dian Roesmiati
250
Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis (Kajian Teks Sastra Menggunakan Perspektif Teori Kritis) Endah Tri Priyatni
256
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
ix
Commodifying Daughters: A Marxist Analysis in S. Rukiah’s The Fall And The Heart Izza Puja Lestari, Erika Citra Sari H.
262
Poskolonialisme dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Kajian Sastra Bandingan) Ika Febriani
265
Bentuk-Bentuk Kritik Kemiskinan dalam Novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu Karya Wiwid Prasetyo Kusyairi
272
Afghanistan Class Stratification in Khaled Hosseini’s and the Mountain Echoed Kurnia Angger Eka P, Diva Wenanda
276
Tragedy of Macbeth and the Age of Shakespeare: The Interaction of Literary Work and Its Society Miftahur Roifah
282
Defocalized Narrative in Gabriel Garcia Marquez’s An Old Man with a Very Enormous Wings Niko Fedyanto
287
Pandangan Kritis terhadap Aspek Rasisme dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli Ninawati Syahrul
292
A Portrayal of Gender and Equality: Disney’s Pocahontas between Fiction and History Nopita Trihastutie
299
Perbedaan Kelas Sosial dalam Cerpen Richard Connel’s the Most Dangerous Game Nanda Ruli Maulidiyah, Priesty Adeline
302
Ekspresi Kesadaran Perempuan terhadap Kebodohan yang Membelenggu Kaumnya Rina Ratih
306
Tubuh Perempuan: Timur yang Imajiner (Pembacaan Orientalisme atas Cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi Karya Seno Gumira Ajidarma) Royyan Julian
312
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
x
Kosmopolitanisme dalam Memoar Eat, Pray Love Karya Elizabeth Gilbert Syarif Hidayat
317
Redefining Gender Roles of ‘the Snow Queen’ in Frozen Sudianto, Ike Dewi Lestari
322
Hutan dan Imperialisme Ekologis dalam Tiga Cerpen Digital Asap Pak Tua Karya Melda Savitri, Titik Api Karya Rasyad Fadhilah dan Roh Penunggu Hutan Karya Rendy Mahendra Usma Nur Dian Rosyidah
327
Using “White Heron” to Boost Students’ Empathy on Environmental Issue Mia Fitria Agustina
332
BUDAYA Analisis Wacana Kritis Lesbianisme dalam Film Carol (2015) Diya Sri Widiyanti
337
Peran Aktif Pelajar Madura dalam Mengenal dan Melestarikan Ludruk sebagai Drama (Kesenian) Tradisional Linta Wafdan Hidayah
343
Representasi Perempuan Madura dalam Dunia Politik : Dulu, Kini dan Masa Depan (Analisis Tekstual Perempuan Madura dalam Sejarah Buku Madura dan Media Massa) Netty Dyah Kurniasari
348
Representasi Alam Neraka dalam Webtoon Singwa Hamkkie Roh Jung Ju
355
Misi Pemberadaban dalam Iklan Komersial Toms Shoes for One, Another. Diunggah 21 September 2015 di Akun Resmi Toms Youtube Rusi Aswidaningrum, Novia Adibatus Shofah, Melanatus Shelikha
360
PENDIDIKAN From Classroom to Workroom: Translation Students’ Challenges in Globalized Business Communication Asrofin Nur Kholifah
365
Mengkritisi Kontribusi Matakuliah Bahasa Indonesia dalam Menunjang Peningkatan Kemampuan Menulis Mahasiswa Agustinus Indradi
369
Pandangan Hidup Guru Bahasa Indonesia Liberal Smk Kartika IV-1 Malang Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto, Nur Aisyah Sefrianah
375
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
xi
The Implementation of Three Questioning Strategy in Learning Reading Descriptive Texts Fauris Zuhri
381
Stimulate Children to Speak English at Home by Using Star Signs Fitrah Yuliawati
386
Creative Writing in Poetry Class for Beginners Lilis Lestari Wilujeng
390
Students’ Strategies to Overcome Speaking Problems in EFL Speaking Class (Intermediate Class) in Tertiary Level Maula Khoirunnisa’
395
Using Simulation Game to Improve Speaking Abilty of The Second Semester Students of English Education Department at Madura Islamic University Samsi Rijal
401
The Correlation Between Sport Science Students’ Beliefs about Language Learning and Their Learning Strategies Suvi Akhiriyah
406
UNESA Students’ Difficulty in Doing TEP Test Wiwiet Eva Savitri
412
The Controversial Tiffany’s Music Video Clip Entitled “Jangan Bersedih” Ummi Barirroh, Luluk Warsiti
417
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
xii
BAHASA
1 SUPERIORITAS DAN INFERIORITAS BAHASA: SEBUAH PROBLEMATIKA PENULISAN SEJARAH LOKAL DI LOLODA HALMAHERA ABAD XX Abd. Rahman Program Studi Ilmu Sejarah-Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate Abstrak: Secara historis Loloda adalah salah satu kerajaan lokal tertua di Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku bagian utara tepatnya di sepanjang pesisir pantai barat daya pulau Halmahera yang diperkirakan telah berdiri sejak abad ke-13 M. Kerajaan ini sejak awal terbentuknya diperintah oleh seorang raja yang bergelar kolano, namun di sekitarnya terdapat empat kerajaan lain yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha (empat kerajaan gunung Maluku) yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Empat kerajaan ini diperkirakan baru terbentuk pada sekitar abad ke-14 M. Secara kultural Loloda adalah suatu entitas budaya tersendiri. Salah satu komponen dari budayanya adalah bahasa. Bahasa Loloda tergolong rumpun bahasa non-Austronesia sebagaimana halnya yang dipakai oleh umumnya penduduk pesisir pantai barat daya Halmahera. Sayangnya sampai saat ini pengungkapan sejarah Kerajaan Loloda menurut bahasa sumber Loloda sendiri lisan maupun tulisan masih mengalami kesulitan yang sangat serius hingga menjelang akhir abad ke-20. Kendalanya adalah munculnya fenomena superioritas dan inferioritas bahasa dalam upaya penulisan sejarah Loloda. Sumber-sumber sejarah Loloda yang ketersediaanya amat terbatas umumnya dilisankan dan dituliskan dalam bahasa Ternate. Akibatnya karya-karya sejarah Loloda yang berbahasa Loloda sulit ditemukan. Bahasa Ternate menjadi bahasa sumber yang dominan sedangkan bahasa Loloda sendiri hilang tidak terpakai. Permasalahannya adalah mengapa bahasa Ternate menjadi bahasa superior dalam upaya penulisan sejarah Loloda, sedangkan bahasa Loloda menjadi bahasa inferior. Kata Kunci: Superioritas-Problematika-Kebahasan-Sejarah-Loloda.
PENDAHULUAN Loloda adalah sebuah kerajaan tua, yang usianya hampir sama dengan kerajaan Moro, yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-13. Tetapi pada abad ke-17, kedua kerajaan ini sudah tidak berpengaruh lagi, kabar berita mengenai Loloda pun hilang dalam percaturan politik regional di antara kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan laut dan kepulauan Maluku ini, seperti Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sesungguhnya Loloda dan keempat kerajaan lokal yang disebut terakhir adalah lima kerajaan utama di dunia Maluku sepanjang sejarah Maluku sebagai kawasan kepulauan rempah-rempah Nusantara. Peran Loloda sebagai salah satu kerajaan utama sesungguhnya juga memiliki peran penting di kawasan ini namun sudah dinyatakan hilang di abad ke-17 dan hampir semua informasi kesejarahan mengenai dunia Maluku menginformasikan bahwa hilangnya peran Loloda dalam sejarah sejak abad itu, adalah karena dianeksasi oleh Ternate, terutama sejak Sultan Hamzah yang memerintah pada 1627-1648 (kata “memerintah” selanjutnya akan disingkat dengan “m”). Pertanyaannya adalah apakah karena dikuasai oleh Ternate sejak dari abad ke-17 itu sejarah Loloda itu lantas hilang? Nampaknya ini adalah pertanyaan umum yang menarik. Akan tetapi menurut hasil analisis beberapa data terkait yang tersebar dan terpisah-pisah di sana-sini ditemukan adanya informasi yang mengatakan bahwa hingga awal abad ke-21 sekarang ini ternyata Loloda masih eksis. Bahkan Loloda di abad ke-14 hingga abad ke-15, masih sempat membangun kerajaan di kawasan laut dan kepulauan Sulawesi bagian utara, yaitu Kerajaan Maadon (Manado) selain itu ada juga informasi yang masih perlu diuji kebenarannya yang mengatakan bahwa Loloda adalah cikal bakal kemunculan dinasti/keluarga para raja dan bangsawan kerajaan di
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
1
Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Sehubungan dengan topik artikel ini, maka dapat dikemukakan beberapa teori dan kosep dari Anthony Giddens dan Pierre Felix Bourdieu. Setiap masyarakat, baik pramodern, modern, dan modernitas radikal, selalu saja memiliki kesadaran akan perlunya keteraturan sosial dan ingin merasa aman dan mantap di tempat ia hidup. Struktur menurut Giddens tidak hanya menghambat dan menentukan bentuk-bentuk tertentu tingkah laku, akan tetapi juga memberi kemampuan bagi prilaku: artinya struktur memberikan pembatasan dan kesempatan sekaligus. Ada keinginan akan terbentuknya lembaga/institusi yang kuat yang menjadi wahana bagi perwujudan keberadaan diri dan identitasnya. Giddens menyebut kondisi eksistensial ini dengan “sekuritas ontology” (Jones, 2009: 250, dan Lubis, 2014:143). Sekuritas ontologis dapat diwujudkan melalui perkawinan, kehidupan keluarga, kehidupan di tempat kerja, dalam komunitas, semua ini memerlukan kenyamanan dan stabilitas. Untuk keteraturan dan ketertiban diperlukan adanya struktur dan aturan. Pada masa tradisionalisme stabilitas itu tercapai, namun pada era sekarang ini, di mana perubahan berlangsung dengan cepat “sekuritas ontologis” itu terancam. Menurut Giddens, kehidupan kita dipenuhi berbagai masalah sehingga hampir tidak ada waktu untuk berefleksi diri, dan memikirkan apa yang sesungguhnya dilakukan. Ketika perubahan cepat berlangsung—tradisi dan kebiasaan lama mulai hilang, orang hampir tidak tahu apa yang ia lakukan dengan perkawinan, dengan hubungan sosial lainnya, karena pranata-pranata dan pandangan hidup lama itu telah berubah. Sadar atau tidak sadar dalam konteks kehidupan seperti ini orang mulai berpikir dalam konteks resiko. Kehidupan kita dihadapkan pada masa depan pribadi yang semakin terbuka, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, akan tetapi juga bersama dengan kesempatan dan kemungkinannya akan memunculkan berbagai bahaya yang menyertainya (Giddens, 1999, dan Lubis, 2014: 143). Kehidupan dalam setiap era memaksa kita untuk memikirkan dan membentuk diri secara terus menerus agar kita mampu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita. Ini berarti bahwa kita secara rutin harus beradaptasi dengan kesadaran kita tentang apa yang sedang terjadi, membentuk self (identitas) agar kita senantiasa dapat memahami dan mengantisipasi berbagai hal yang mungkin terjadi. Proses inilah yang disebut oleh Giddens dengan “refleksivitas”. Apa yang dimaksud dengan struktur itu? Giddens memberikan pengertian struktur yang agak khas, sebagai kumpulan aturan dan sumber daya yang diorganisasikan secara berulang-ulang. Definisi Giddens tentang sistem sebagai praktik sosial yang dilakukan secara berulang-ulang secara umum diterima oleh sebagian besar sosiolog. Tetapi, Margaret S. Archer mengkritik Giddens serta pemikir lain yang mengabaikan faktor kultur dan memusatkan perhatiannya pada struktur (Ritzer dan Douglas J; Goodmans, 2004: 542, dalam Lubis, 2014: 145). Perbedaan konsep atau defenisi antara Giddens dengan Archer ini adalah tentang struktur yang dilatarbelakangi oleh teori-teori yang mempengaruhi mereka. Archer dipengaruhi oleh teori sistem, sehingga ia cenderung mereduksi agen pada sistem, khususnya sistem sosio-kultural. Sementara Giddens dipengaruhi oleh fungsionalisme, strukturalisme, eksistensialisme, fenomenologi, semiotika, hermeneutika, dan etnometodologi, sehingga ia melihat agen sebagai aktor yang aktif dan kreatif. Giddens (1984) dengan teori strukturasinya mengambil konsep kunci berupa penyatuan dua pandangan yang dominan dan oposisional antara agen (individu) dan struktur (sosial). Metode strukturasi agen dan struktur—memang berbeda, akan tetapi bukan sebagai dualitas (oposisi) sebagaimana yang dipandang oleh teori modern umumnya, namun sebagai dua hal yang saling berkaitan. Giddens melihat bahwa agen terlibat dalam struktur dan struktur juga melibatkan agen. Struktur bagi Giddens bukan saja sebagai pemaksa terhadap agen seperti yang digambarkan oleh Durkheim. Selain pemaksa, struktur juga dapat memberi peluang bagi agen. Ada dua konsep lain yang terkait dengan Giddens sehubungan dengan kajian bahasa dan budaya etnik Loloda. Konsep-konsep ini dapat digunakan sebagai dua elemen penting dalam membahas kehidupan sosial masyarakat kerajaan Loloda yang terabaikan, bahkan hilang dalam hampir semua catatan sejarah yang pernah ada dan yang sudah ada kini. Dua konsep itu adalah structural constrain (kekangan struktural) dan cultural power atau cultural freedom (kekuatan atau kebebasan kultural). Untuk bisa memahami Loloda dalam sejarah sosialnya, maka dua konsep ini dapat dipakai dan keduanya berimplikasi pada adanya teori-teori sosial terkait sejarah Loloda di Maluku Utara. Hilangnya Loloda
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
2
dalam catatan-catatan sejarah lokal, adalah karena Loloda sejauh ini hanya dilihat dari dimensi politik saja. Berbeda halnya ketika sejarah Loloda didekati dari sisi sosiologis dan antropologis dengan pendekatan sosial, bahasa dan etnik yang tidak terlepas dari konsep-kosep struktur (sosial), aktor, agen, agensi, dan sekuritas ontologis dari Giddens (Lihat Giddens, 1984 dalam Lubis, 2014). Selain Giddens, terdapat pula Pierre Felix Bourdieu dengan teori dan konsep-konsepnya mengenai Strukturalisme Konstruktif, yang meliputi habitus, kapital (Sosial, budaya, politik, dan Ekonomi). Penggunaan istilah konstruktif oleh Bourdieu sejalan dengan pandangan sosial konstruktivisme atau postmodernisme yang mengakui peran subjek dan objek dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pada sosiologi kultural dan reflektifnya, ia mencoba memadukan dualitas (oposisi biner) antara subjektivitas versus objektivitas, agen versus struktur, makro versus mikro yang ada pada ilmu pengetahuan sosial-budaya. Selain habitus teori sosial-kultural Bourdieu bertumpu pula pada beberapa konsep penting antara lain yaitu: arena (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy). Bourdieu menolak dominasi subjek(tivitas) dalam menentukan tingkah laku. Ia juga menolak determinasi struktur sosial (materialisme historis) pada tingkah laku manusia. Hubungan oposisional yang berkembang dalam teori sosial-budaya modern, menurut Bourdieu merupakan kekeliruan mendasar yang harus diatasi. Adapun metode Bourdieu ditujukan pada kemampuan memahami fenomena sosial budaya (antropologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain) yang begitu kompleks dan lebih utuh. Strukturalisme konstruktif yang dirancang Bourdieu adalah untuk memahami asal-usul struktur sosial maupun disposisi habitus para agen yang tinggal di dalam struktur-struktur itu. Ada hubungan yang saling mempengaruhi antara subjektivitas dan objektivitas, antara agen dan struktur. Menurut Bourdieu, dari saling keterkaitan antara habitus dan field (arena) itulah prakik sosial dan individual muncul. Struktur pada Bourdieu, adalah struktur objektif (aturan, hukum, pola) yang secara tidak sadar berperan mengorientasikan dan membatasi praktik sosial dan tindakan individu. Dunia sosial adalah merupakan konstruksi (strukturasi) dari struktur ganda, yaitu aspek subjektif dan aspek objektif (Bourdieu, 1987:158, dalam Lubis, 2014:101). Bagi Bourdieu, objek atau benda-benda budaya (pakaian, kendaraan, atau rumah) bukan saja bersifat objek dan material, akan tetapi memiliki dimensi subjek(tivitas)/intelektual dan emosional. Analisis Bourdieu juga memasuki analisis (refleksi) sistematik tentang bahasa serta peran bahasa itu dalam perkembangan kehidupan sosial. Melalui analisis ini dengan tajam Bourdieu mengkritik “formalisme” dan “interaksionisme” sosiologis. Menurutnya, formalisme (strukturalisme) bahasa mengabaikan kondisi sosial dan praktik politik dari pembentukan dan penggunaan bahasa, sedangkan “interaksionisme” sosiologis gagal melihat peran bahasa dalam membentuk dan melahirkan struktur sosial yang dapat membentuk perkembangan masyarakat. Melalui langue pada Saussure atau ‘kompeten’ pada Chomsky, pengguna bahasa ideal dapat menggunakan bahasa gramatika dengan bagus, namun tujuan kompetensi itu menurut Bourdieu adalah abstrak, sejauh bahasa itu tidak berhubungan dengan kapasitas penggunaan ekspresi bahasa dalam situasi tertentu (Bourdieu, 1987: 158, dalam Lubis, 2014: 101). Pengguna bahasa tidak hanya memerlukan kompetensi linguistik saja, akan tetapi juga kompetensi praktis, yang memungkinkan penggunaan kalimat (bahasa) secara strategis dengan berbagai fungsi bahasa, termasuk kekuatan penggunaan bahasa, yang tanpa sadar memaksa orang untuk mendengarkan. Ahli bahasa struktural mengabaikan situasi komunikasi, tidak memahami teori tindak bahasa dan “performatif utterance” yang memberi jalan bagi pemahaman pada relasi dan kekuatan bahasa. Teori tindak bahasa berkaitan erat dengan kekuasaan pengguna bahasa, di mana makna bahasa juga bukan berkaitan dengan benar atau tidak benar, tetapi apakah tepat atau tidak tepat, atau pantas atau tidak pantas diucapkan seseorang. Menarik sekali ketika Bordieu mengaitkan bahasa performatif dengan distribusi “kapital simbolik” di mana ucapan dikaitkan dengan status sosial, kewenangan sesorang atau lembaga. Boudieu membawa analisis bahasa kedalam teori dan praktik (pengaruh Wittgenstein), dan kerangka teori yang ia kemukakan mampu untuk mengungkapkan praktik simbolik model-model kekerasan dalam penggunaan bahasa. Kekerasan bahasa merupakan kekerasan yang tidak dilihat dan tidak disadari yang disebut sebagai “kekerasan lembut” atau kekerasan simbolik (symbolic violence).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
3
Kekarasan simbolik adalah kekerasan dalam relasi komunikasi yang saling berkaitan dengan relasi kekuasaan. Pemilahan bahasa resmi dan tidak resmi, sesungguhnya juga tidak dapat dilepaskan dari kekerasan epistemik. PEMBAHASAN Sebagai suatu entitas kultural, Loloda memiliki bahasa tersendiri sebagaimana halnya yang dimiliki oleh etnis lainnya di Maluku Utara. Pada umumnya bahasa-bahasa di Nusantara tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Namun di Maluku Utara di samping terdapat bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Austronesia terdapat pula bahasa-bahasa yang memiliki cirri-ciri yang berlainan sama sekali yaitu yang disebut sebagai bahasa-bahasa non-Austronesia. Di Indonesia, bahasabahasa yang tergolong non-Austronesia itu lebih banyak terdapat di sekitar Kepala Burung (Irian Jaya), sehingga para ahli bahasa menamakan bahasa-bahasa non-Austronesia yang terdapat di Indonesia ini sebagai bahasa non-Austronesia dari kelompok West Papua Phylum (Leirissa, 1999a:54; Masinambow, 2001:142-143; dan Mansyur, 2013:51). Di Maluku Utara, terdapat kurang lebi 36 bahasa daerah termasuk Loloda. Di antara bahasabahasa itu ada yang tergolong rumpun Austronesia dan ada pula yang tergolong rumpun non-Austronesia (West Papua Phylum). Bahasa-bahasa yang tergolong non-Austronesia terdapat di Halmahera Utara. Halmahera Utara yang dimaksud dalam kelompok bahasa non-Austronesia meliputi juga Halmahera bagian barat, karena sebelum wilayah ini dijadikan sebagai Kabupaten Halmahera Barat, yang terpisah dari Kabupaten Halmahera Utara, istilah Halmahera Utara mencakup kedua kabupaten tersebut, dan yang tergolong Austronesia lebih banyak tersebar di Halmahera Selatan(Leirissa, 1999a:54; Masinambow, 2001:142-143; dan Mansyur, 2013:51). Dengan demikian maka secara geografis, wilayah Loloda yang terletak di Halmahera bagian utara dan bagian barat kini, termasuk ke dalam rumpun bahasa nonAutronesia. Sebagai suatu entitas kultural, Loloda memiliki bahasa tersendiri sebagaimana halnya yang dimiliki oleh etnis lainnya di Maluku Utara. Pada umumnya bahasa-bahasa di Nusantara tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Namun di Maluku Utara di samping terdapat bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Austronesia terdapat pula bahasa-bahasa yang memiliki ciri-ciri yang berlainan sama sekali yaitu yang disebut sebagai bahasa-bahasa non-Austronesia. Di Indonesia, bahasabahasa yang tergolong non-Austronesia itu lebih banyak terdapat di sekitar Kepala Burung (Irian Jaya), sehingga para ahli bahasa menamakan bahasa-bahasa non-Austronesia yang terdapat di Indonesia ini sebagai bahasa non-Austronesia dari kelompok West Papua Phylum (Leirissa, 1999a:54; Masinambow, 2001:142-143; dan Mansyur, 2013:51). Di Maluku Utara, terdapat kurang lebi 36 bahasa daerah termasuk Loloda. Di antara bahasabahasa itu ada yang tergolong rumpun Austronesia dan ada pula yang tergolong rumpun non-Austronesia (West Papua Phylum). Bahasa-bahasa yang tergolong non-Austronesia terdapat di Halmahera Utara. Halmahera Utara yang dimaksud dalam kelompok bahasa non-Austronesia meliputi juga Halmahera bagian barat, karena sebelum wilayah ini dijadikan sebagai Kabupaten Halmahera Barat, yang terpisah dari Kabupaten Halmahera Utara, istilah Halmahera Utara mencakup kedua kabupaten tersebut, dan yang tergolong Austronesia lebih banyak tersebar di Halmahera Selatan (Leirissa, 1999a:54; Masinambow, 2001:142-143; dan Mansyur, 2013:51). Dengan demikian maka secara geografis, wilayah Loloda yang terletak di Halmahera bagian utara dan bagian barat kini, termasuk ke dalam rumpun bahasa nonAutronesia. Sebagai rumpun non-Austronesia, bahasa Loloda banyak memiliki persamaan dengan bahasabahasa tetangga lainnya di utara Halmahera. Persamaan itu tampak pula pada bahasa Ternate, Tobelo, dan Galela. Di desa Supu Kecamatan Loloda Utara, sebagian masyarakatnya menggunakan bahasa Loloda dan sebahagiannya lagi menggunakan bahasa Galela. Penggunaan dua bahasa di Kampung Supu telah berlangsung setidak-tidaknya sejak abad ke-19. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis ole M.J. van Baarda mengenai perbandingan dialek bahasa Loloda dan Galela pada 1904, menyebutkan bahwa masyarakat di kampung Supu memakai bahasa Loloda dan bahasa Galela (Van Baarda, 1904:319).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
4
Sebagai perbandingan, di bawah ini ditampilkan beberapa contoh kosa kata antara bahasa Ternate, Loloda, Galela, dan Tobelo. Berdasarkan realitas saat ini, di Loloda setidaknya terdapat empat bahasa, yakni bahasa Loloda, Galela, Tobaru, dan Ternate. Bahasa Loloda adalah yang terbanyak digunakan oleh masyarakat Loloda. Bahasa Galela digunakan oleh sebagian penduduk Desa Supu. Bahasa Tobaru digunakan di Desa Tasye, Linggua, Jano, dan Tugis. Keempat desa ini terletak di Loloda bagian selatan. Sementara bahasa Ternate digunakan di Desa Soa Sio, Kahatola, Tolofuo, dan sebagian penduduk Desa Baja. Desa-desa ini juga terletak di Loloda bagian selatan, kecuali Desa Baja terletak di Loloda bagian tengah. Khusus untuk bahasa Loloda, bahasa ini memeiliki beberapa varian dialek, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa Loloda dibagi ke dalam beberapa dialek yakni dialek Bakun, Laba, dan Kedi. Ketiga dialek ini mewakili kelompok masyarakat yang menggunakan dialek tersebut. Bakun, Laba, dan Kedi adalah nama desa di Loloda bagian Selatan. Dialek Bakun adalah yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Loloda, yang persebarannya sampai ke Loloda Utara dan Loloda Utara Kepulauan, sehingga dialek inilah yang mungkin dikenal sebagai bahasa Loloda. Sementara dialek Laba hanya terdapat di Desa Laba Besar dan Laba Kecil. Kedua desa ini terletak di hulu sungai Laba. Adapun Desa Bakun terletak di hulu Sungai Soa-Sio. Di pedalaman Desa Bakun terdapat Desa Jano yang berpenduduk Suku Tobaru. Sementara dialek Kedi digunakan oleh masyarakat Kedi. Jika diperhatikan secara seksama, dialek Kedi ini merupakan campuran dari dialek Bakun dan bahasa Tobaru. Pengaruh bahasa Tobaru terhadap dialek Kedi mungkin karena letak Desa Kedi bertetangga dengan Desa Tasye. Jarak antara Desa Kedi dengan Tasye hanya sekitar 1 km. Kondisi ini memungkinkan interaksi mereka terbangun. Adapun Bahasa Ternate yang digunakan oleh masyarakat di Desa Soa-Sio, Kahatola, Tolofuo, dan sebagian penduduk Desa Baja menunjukkan adanya hubungan budaya dengan orang Ternate. Khusus untuk Desa Soa-Sio, letaknya bertetangga dengan Desa Kedi yang berjarak kurang lebih 150 meter. Namun sebelumnya, penduduk Soa-Sio ini tinggal di hulu Sungai SoaSio yang bertetangga langsung dengan Desa Bakun. Berdasarkan uraian mengenai bahasa-bahasa di atas, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa itu muncul dari proses interaksi dari berbagai kelompok masyarakat dan kemudian melembaga ke dalam sistem sosial budaya dan sosial politik di Loloda. Perbandingan Kosa Kata Bahasa Ternate, Loloda, Galela, dan Tobelo
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Indonesia Raja perdana menteri Adipati Hidung Rambut Makan Mati telinga dua anak lima manusia besar Anjing sembilan
Ternate kolano jogugu sangaji ngun hutu oho sone ngau sinoto ngofa romtoha mancia lamo kaso sio
Loloda kolano jogugu sangaji ngunungu utu ojomo sonenge ngauku sinoto ngoaka motoa nyawa lamo kaso sio
Galela kolano jogugu sangaji ngunu Hutu Odo sone ngau sinoto ngoapa motoha nyawa lamo Kaso Sio
Tobelo kolano jogugu sangaji ngunungu Utu odomo honenge ngauku Hinoto Ngohaka Motoa Nyawa Iyamoko Kaho Hio
Sumber: diolah dari Hueting. 1908:376; Andi Atjo, 2009a:8 dan Mansyur, 2013:52).
SIMPULAN Keberagaman bahasa Loloda di atas berikut dialeknya ternyata tidak menjadi dominan digunakan dalam penulisan sejarahnya baik secara lisan maupun tulisan. Hampir semua informan yang diwawancarai di lapangan dalam rangka itu umumnya menggunakan bahasa Melayu Ternate dan bahasa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
5
Ibu Ternate. Bahasa Loloda sendiri baik dalam dialek Kedi, Laba, dan Bakum meskipun dalam corak yang sudah bercampur dengan bahasa Melayu sangat sulit ditemukan. Buku-buku sejarah Lokal yang ditulis baik oleh penulis pemerhati, penikmat, atau peminat sejarah tidak pernah sekalipun ditemukan adanya kata-kata dan kalimat-kalimat yang menggunakan bahasa Loloda untuk mengungkapkannya. Dalam teks-teks buku sejarah lokal dan nasional yang memang juga sangat kurang membahas tentang sejarah Loloda umumnya hanya menggunakan bahasa Melayu Ternate dan bahasa etnis Ternate dengan melupakan penggunaan bahasa Loloda itu sendiri. Kondisi di atas menunjukkan bahwa bahasa Ternate telah menjadi superioritas dalam penulisan sejarah Loloda di mana penggunaan bahasanya hilang sama sekalai secara historiografis sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa Loloda adalah bahasa yang sudah mengalami inferioritas. Oleh karena itu nampak diperlukan upaya pengkajian bahasa-bahasa Loloda kini dan kedepan secara lebih mendalam yang bertujuan untuk penelitian sejarah Loloda sebagai entitas politik tersendiri di dalam Sejarah Maluku Utara. REFERENSI Abdulrahman, H.M. Jusuf. (2002). Kesultanan Ternate dalam “Jou Ngon Ka Dada Madopo Fangare Ngom Ka Alam Madiki” (Moti Verbond 1322). Menado: Media Pustaka. Abdulrahman, Yusuf. (2005). “Mengungkapkan Catatan Budaya Maloko Kie Raha” dalam Mudaffar Sjah, et al., Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate: HPMT Press, hlm. 4. Abdurrachman, Paramita R, R.Z. Leirissa, dan C.P.F. Luhulima, dkk. (1973). Bunga Rampai Sejarah Maluku I. Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku. Abdurrachman, Paramita R. (2008). Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia. Jakarta: LIPI Press-Asosiasi Persahabatan dan Kerja sama IndonesiaPortugal dan Yayasan Obor Indonesia. Amal, M. Adnan. (2007). Kepulauan Rempah-Rempah: Maluku Utara Perjalanan Sejarah 12501950. Makassar: Bursa Kawasan Timur Indonesia (BaKTI). Amal, M. Adnan. (2010). Kepulauan Rempah-Rempah: Maluku Utara Perjalanan Sejarah 12501950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Andaya, Leonard. (1993). The world of Maluku. Honolulu: University of Hawaii. Baretta, J.M. (1917). Halmahera en Morotai Bewerk Naar de Memorie van Den Kapitein van Den Generalen Staf. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij. Crab, P. Van der. (1862). De Moluksche Eilanden: Reis van Z.E den Gouverneur-Generaal Charles Ferdinand Pehud door den Molukschen Archipel. Batavia: Lange en Co. De Clercq, F.S.A. (1890). De Bijdragen tot de Kennis der Residentie Ternate. Leiden: Brill. Djafaar, Irza Arnyta. (2005). Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal Biografi Politik Sultan Ternate Iskandar Muhammad Djabir Sjah. Yogyakarta: Bio Pustaka. Djafaar, Irza Arnyta. (2006). Jejak Portogis di Maluku Utara. Jakarta: Ombak. E.W. Parengkuan, Fendy. (1982/1983). Pengaruh Penyebaran Agama Islam terhadap Kehidupan Sosial Politik di Daerah Sulawesi Utara, kumpulan tulisan dalam Departemen P & K. 1982/1983. Seminar Sejarah Nasional III: Seksi Pasca Kuno. Jakarta: Departemen P & K-Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional-Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, hlm. 216-247. Fashri, Fauzi. (2014). Pierre Bourdieu, Menyingkap Kuasa Simbol. Yogyakarta: Jalasutra. Fraassen, Ch. F. Van.1985. Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel: van Soa Organisatie en Vier Deling-Een Studie van Traditionale Samenleving en en culture Indonesie, 1 Vol. Leiden: Leiden Universiteit. ---------.(1987). Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel: van Soa Organisatie en Vier DelingEen Studie van Traditionale Samenleving en en culture in Indonesie, 2 Vols. Leiden: Leiden Universiteit.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
6
Giddens, Anthony. (1984). The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. California USA: University of California Press. Jafar, Nani, dkk. (2007). Profil Sejarah dan Budaya Halmahera Barat (hasil penelitian). Ternate: Fakultas Sastra dan Budaya-Unkhair. Jenkins, Richard. (2013). Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (hasil terjemahan oleh Nurhadi). BantulYogyakarta: Kreasi Wacana. Jones, P.I.P. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: dari Teori Fungsionalisme hingga Pomodernisme (Terjemahan Achmad Fediyani Saifuddin). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lapian, B. Adrian. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Abad XIX. Pustaka Hikmah Disertasi (Ph.D) Seri III. Depok: Komunitas Bambu. Leirissa, R.Z. (1990). Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah Masyarakat Maluku Utara. Disertasi. Jakarta: Fakultas Pascasarjana-Universitas Indonesia. Leirissa, R.Z. (1996). Halmahera Timur dan Raja Jailolo: Pergolakan Sekitar Laut Seram Awal Abad Ke-19. Jakarta: Balai Pustaka. Leirissa, R.Z. (1999a). Sejarah Kebudayaan Maluku. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Leirissa, R.Z. (1999b). Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia. Leirissa, R.Z. (2001). “Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera” dalam Yusuf Abdulrahman, et al., Ternate Bandar Jalur Sutera. Ternate: Lintas. Lewis, Bernard. (2009). Sejarah: Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-Ciptakan. Yogyakarta: Ombak. Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme, Teori dan Penerapannya. Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada. Mapanawang, Arend. L. (2012). Loloda Kerajaan Pertama Moluccas (Sejarah Kerajaan Loloda Maluku). Tobelo: Yayasan Medika Mandiri Halmahera. Masinambow, E.K.M. (ed.). (1980). Halmahera dan Raja Ampat Konsep dan Strategi Penelitian. Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LIPI). Mansyur, Mustafa. (2013). Transformasi Politik di Loloda Maluku Utara (1808-1945). Bandung: PPSUNPAD (Tesis). Muhammad, Syahril. (2004). Kesultanan Ternate Sejarah Sosial Ekonomi & Politik. Yokyakarta: Ombak. M. Sjah, Hidayatullah. (2005). “Sultan Jailolo; melengkapi Kesempurnaan Moloku Kie Raha” dalam Mudaffar Sjah, et al., Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate: HPMT Press. Pires, Tome. (2014). Suma Oriental, Armando Cortessao: Perjalanan dari Laut Merah hingga ke Cina dan Buku Francisco Rodrigues (terjemahan oleh: Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti dengan kata pengantar oleh: Sri Margana). Yogyakarta: Ombak. Putuhena, Saleh. (1983). “Struktur Pemerintahan Kesultanan Ternate dan Agama Islam”. dalam E.K.M. Masinambow, Halmahera dan Raja Ampat. Jakarta: Leknas LIPI. Qudsy, Saifuddin Zuhri (ed.). (2010). Anthony Giddens: Teori Strukturasi (Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Resink, G.J. 2013. Bukan 350 Tahun Dijajah (Kata Pengantar: A.B. Lapian). Depok: Komunitas Bambu. Sahlins, Marshall D. (1987). Islands of History. London: Tavistock Publication, Ltd. & Chicago: Chicago University-USA. Sahlins, Marshall D. (1987). Historical Metaphors and Mythical Realities. Michigan: Michigan University-USA. Salim, Agus. (2002). Perubahan Sosial; Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia. Yokyakarta: Tiara Wacana. Sjah, Mudaffar, et al. (2005). Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate: HPMT Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
7
Suryo, Djoko. (2005). “Bulan Sabit di Bawah Rimbunan Cengkeh; Islamisasi Ternate atau Ternatesasi Islam” dalam Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate: HPMT Press. Van Baarda, M.J. (1904). “Het Loda'sch, in Vergelijking met het Galala'sch Dialect op Halmaheira”. BKI, Vol. 56. No.1. 1904. Diakses dari http://www.kitlvjournals.nl /index.php /btlv/article/viewFile/6762/7529, pada 20 November 2012, pkl. 19.48 WIB. Yusup, Talabudin. (2005). “Sejarah Kesultanan Ternate” dalam Mudaffar Sjah, et al., Moloku Kie Raha dalam Perspektif Budaya dan Sejarah Masuknya Islam. Ternate. HPMT Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
8
2 ANALISIS WACANA PEMBERITAAN ARTIS PADA MEDIA PORTAL: STUDI KASUS BERITA MARSHANDA DI MERDEKA.COM Agwin Degaf UIN Maulana Malik Ibrahim Malan Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi tekstual yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu dalam pemberitaan artis pada media portal. Penelitian ini terfokus pada berita mengenai konflik antara Marshanda dengan mantan pengacaranya -sebagai sumber data- untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana berparadigma kritis model Noman Fairclough. Pada teks berita artis di merdeka.com, wacana kedurhakaan dan ketegaan Marshanda sebagai seorang anak (kepada Ibunya) dan seorang klien (kepada pengacaranya) dapat dilihat dari bagaimana Marshanda direpresentasikan. Marshanda diberitakan dengan menggunakan kata-kata yang buruk seperti “melawan Ibu”. “seorang anak yang melaporkan ibunya”, “melawan orang tuanya”, “Marshanda pecat pengacara”, dan “Chaca malah menuduh Afdal”. Analisis selanjutnya adalah tentang relasi, yaitu bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Dalam teks berita pada penelitian ini, yang diterangkan secara jelas ada dua: Marshanda dan mantan pengacaranya. Kedua pihak itu bukan hanya digambarkan secara bertolak belakang, tetapi juga relasi yang dibuat. Mantan pengacara Marshanda berusaha untuk menasehati agar tidak melawan Ibunya, sementara Marshanda adalah anak durhaka yang malah “menghukum” orang baik yang memberinya nasehat. Aspek yang terakhir adalah identitas. Teks tersebut menggambarkan bagaimana pembaca diletakkan pada posisi orang baik (mantan pengacara Marshanda) dan bukan pada posisi Marshanda. Oleh karena itu, dalam teks berita itu dari awal sampai akhir berisi tentang keburukan Marshanda. Dia seakan menjadi musuh bersama bukan hanya mantan pengacaranya (karena dipecat), tetapi juga musuh masyarakat (Marshanda sebagai anak durhaka yang berani melawan Ibunya). Kata Kunci: analisis wacana, representasi, relasi, identitas, berita Marshanda
PENDAHULUAN Salah satu jenis berita yang menjadi primadona dalam media massa di Indonesia adalah infotainment. Jika diamati, hampir seluruh stasiun televisi di Indonesia menyuguhkan acara-acara yang isinya memberitakan kehidupan artis. Bukan hanya media televisi dan media cetak,bahkan media online juga memiliki halaman tersendiri yang khusus membahas berita mengenai artis. Biasanya, berita yang dipilih media massa untuk disajikan kepada publik, dinilai merupakan isu yang mereka harapkan menjadi perhatian masyarakat. Dengan demikian, mengingat hampir semua media memiliki halaman khusus yang memberitakan kehidupan artis, bisa dipastikan jika infotainment juga merupakan isu penting yang layak dan sepatutnya diangkat menjadi berita. Ketika pemberitaan mengenai artis menjadi pergunjingan khalayak, maka berita tersebut telah menjadi sebuah wacana. Lull (1998: 225 dalam Sobur, 2012: 11) mengatakan bahwa wacana adalah cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas, dan dengan demikian, pemberitaan mengenai artis menjadi menarik untuk diteliti menggunakan pendekatan analisis wacana. Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna (Darma, 2009: 15). Dalam hal ini, para pakar analis wacana mencoba untuk memberikan alternatif dalam memahami hakikat bahasa tersebut. Stubbs (1983: 1) berpendapat bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan atau tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi seharihari. Kartomiharjo (1999: 21) mengungkap bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Analisis wacana
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
9
lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis. Berbicara mengenai makna, menurut Hall (1982: 67) makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Media massa pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemakaian katakata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana. Dalam kaitannya dengan makna, media dapat dilihat sebagai forum bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, dan argumentasi masingmasing (Eriyanto, 2009: 38). Targetnya adalah pandangannya lebih diterima oleh khalayak. Richardson (2007: 47) berpendapat bahwa analisis terhadap kata-kata tertentu yang digunakan oleh media merupakan tahapan awal dalam menganalisis teks atau wacana. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kata dapat menyampaikan makna yang kuat karena dapat mempengaruhi orangorang untuk percaya dan mengontrol pikiran pembaca atau pendengar tentang suatu peristiwa di mana kata tersebut sering mewakili kekuatan atau legitimasi dari pencipta teks. Selain itu, ketika terdapat pilihan terhadap leksikalisasi, memilih suatu kata daripada kata lainnya seringkali memiliki alasan kontekstual, seperti pendapat dari seseorang terhadap individu atau kelompok lainnya (Dijk, 2009: 40). Berdasakan uraian-uraian di atas, peneliti memutuskan untuk memilih portal berita online yang memiliki halaman khusus terkait pemberitaan mengenai artis -yang dalam hal ini adalah merdeka.com- sebagai sumber data untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. METODOLOGI Penulis menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Data pada penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka karena sumber data adalah teks yang terdapat pada media portal (merdeka.com). Sumber data penelitian ini adalah berita artis tentang kasus Marshanda berjudul Peringatkan Jangan Lawan Ibu, Marshanda Pecat Pengacara Ini. Untuk menjawab rumusan masalah, metode yang digunakan adalah metode padan, yaitu metode penelitian yang alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan dimensi pertama dari analisis wacana model Fairclough, yaitu analisis atas teks. Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Setiap teks pada dasarnya dapat diuraikan dan dianalisis dari tiga unsur, yaitu: representasi, relasi, dan identitas. Hasil analisis data kemudian disajikan secara informal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata (Kesuma, 2007: 73). Data juga dianalisis secara kontekstual, yakni bergantung pada konteks wacana diungkapkan. PEMBAHASAN Fairclough melihat teks dalam berbagai tingkatan. Setiap teks pada dasarnya, menurut Fairclough, dapat diuraikan dan dianalisis dari tiga unsur, yaitu: representasi, relasi, dan identitas (dalam Eriyanto, 2009: 285). Model Fairclough ini bisa digunakan umtuk menganalisis teks berita berikut: teks berita mengenai perselisihan antara Marshanda dengan Ibunya (lampiran 1.1). Dalam teks berita 1.1, wacana yang dikembangkan dalam media adalah kedurhakaan Marshanda (alias Chaca). Ia digambarkan bukan hanya tega melaporkan ibunya ke pihak yang berwajib, tetapi juga tega memecat pengacaranya yang memperingatkan Chaca untuk tidak melawan Ibunya. Dalam teks berita tersebut diberitakan jika Chaca sedang “sakit” sehingga harus mendapatkan perawatan di rumah sakit namun Chaca menolak dan malah mempolisikan Ibunya yang dianggap memaksanya untuk tinggal di rumah sakit meskipun Chaca merasa tidak sakit. Kemudian Chaca juga memecat pengacaranya yang dianggap lebih membela Ibu Chaca daripada kliennya (Chaca). Teks berita ini secara umum menggambarkan bagaimana teganya Chaca dan betapa malangnya nasib Ibu dan pengacaranya. Katakanlah Chaca memang salah, mempolisikan Ibunya sendiri tentu saja tidak bisa dibenarkan. Akan tetapi, wacana yang dikembangkan berita ini menghakimi Chaca, tanpa sekalipun dan sedikit pun menyinggung peran Ibu dalam kehidupan Chaca. Kenapa Ibunya meminta Chaca dirawat di rumah sakit? Sakit apakah Chaca? Isi berita sama sekali tidak menyertakan informasi semacam itu, yang tergambar adalah seorang anak yang tega mempolisikan Ibunya, untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
10
selanjutnya dia memecat pengacaranya yang dianggap lebih membela Ibunya. Di sana tidak digambarkan, bagaimana perasaan Chaca. Kenapa ia melakukannya? Seluruh uraian teks ini tidak menyertakan bagaimana peran Ibu dan pengacaranya dalam seluruh proses kehidupan Chaca. Wacana ketegaan Chaca sebagai seorang anak dapat dilihat melalui bagaimana Chaca ditampilkan (direpresentasikan) dalam teks. Chaca sendiri dilabeli dengan kata-kata yang buruk seperti “melawan Ibu”. Kata semacam ini seolah mengasosiasikan kesalahan pada diri Chaca semata. Sumber dari masalah pemecatan pengacaranya itu adalah ketegaan Chaca semata, bukan lantaran karena ketidakmampuan pengacaranya sehingga layak dipecat. Perbuatan Chaca ini juga diperkuat dengan kata-kata yang buruk seperti “seorang anak yang melaporkan ibunya”, “melawan orang tuanya”, “Marshanda pecat pengacara”, dan “Chaca malah menuduh Afdal”. Sama dengan kata yang menggambarkan Chaca, kata ini juga melabeli dengan sebutan yang buruk. Perbuatan Chaca memecat pengacaranya itu bukan disebabkan karena kesalahan pengacaranya tetapi karena memang perbuatan “tega” dari Chaca. Dengan memberi justifikasi pada ketegaan, maka segala alibi atau alasan pemecatan itu menjadi tidak berguna sama sekali. Seluruh teks ini seolah menimpakan kesalahan semata pada Chaca. Ia adalah perempuan yang tega dan durhaka. Teks tidak mempermasalahkan dan mengeluarkan sosok Ibu (yang menyebabkan Chaca harus menjalani perawatan di Rumah Sakit) dan juga sosok pengacaranya (yang dianggap tidak profesional) dalam pembicaraan. Ini dapat dilihat dari bagaimana kalimat-kalimat disusun sehingga membentuk pengertian tertentu. Kalimat “Peringatkan jangan lawan ibu, Marshanda pecat pengacara ini” yang dijadikan judul berita oleh teks berita tersebut, misalnya. Kalimat ini mengasosiasikan pemecatan pengacara itu karena durhakanya Chaca. Pembaca menjadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin karena si pengacara memperingatkan Marshanda agar jangan melawan ibunya, Marshanda malah memecat pengacaranya. Teks judul semacam itu mengasosiasikan peringatkan jangan lawan Ibu adalah tindakan yang dibenarkan secara moral dan agama, tetapi perbuatan yang benar itu malah membuat Chaca memecat pengacaranya. Kalimat ini mengelurakan si pengacara dalam pemberitaan. Tanpa menjelaskan informasi bahwa pemecatan itu dilakukan secara terpaksa, seakan-akan si pengacara terbebas sama sekali dari tuduhan ketidak profesionalannya. Masalah hanya dibatasi pada Chaca yang merupakan anak durhaka dan tega. Akibatnya, pemecatan dibatasi sebatas masalah Chaca saja, tidak dirunut, misalnya, penyakit apa yang diderita Chaca sehingga Ibunya harus memaksa Chaca melakukan perawatan di rumah sakit, atau munculnya pihak lain yang memberikan nasihat kepada Chaca agar memecat pengacaranya, atau bisa juga memberitakan ketidak-profesionalan pengacara Chaca sehingga layak dipecat, yang bisa menjadi alasan terjadi pemecatan. Misalnya saja dalam kutipan kalimat berikut: “Setelah ditelusuri, Afdal berasumsi Chaca memang harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dan sudah mengantongi rekomendasi dokter. Ia kemudian berinisiatif menghalangi usaha Chaca untuk melaporkan Ibunya ke pihak berwajib”. Kalimat ini seakan menegaskan bahwa alasan pemecatan itu semata hanya persoalan menghalangi usaha melaporkan Ibunya ke polisi. Tentu saja hal ini membuat kesan jika Chaca adalah anak yang tega (memecat orang yang baik) dan durhaka (mempolisikan Ibunya), menjadi semakin kuat dalam pandangan pembaca. Hal yang kemudian bisa dianalisis, adalah kalimat dalam lead berita: “Masalah Marshanda dengan ibunya, Riyanti Sofyan, jauh dari kata surut. Baru-baru ini, mantan kuasa hukum perceraian Chaca, Afdal Zikri, angkat bicara tentang konflik keluarga yang menghebohkan tersebut”. Kalimat tersebut berhubungan dengan pertanyaan apakah informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi. Kasus yang menimpa Marshanda dapat dikatakan menunjuk kasus yang jelas, dapat juga dengan membuat suatu abstraksi seperti jauh dari kata surut. Makna yang diterima khalayak akan berbeda, karena dengan membuat abstraksi peristiwa yang sebenarnya (dalam berita itu) hanya membahas masalah pemecatan pengacara, dengan abstraksi dikomunikasikan seakan ada banyak masalah antara Marshanda dengan Ibunya. Khalayak akan mempersepsikan lain antara yang disebut secara jelas dengan yang dibuat dalam bentuk abstraksi. Penyebutan dalam abstraksi ini, seringkali bukan disebabkan oleh ketidaktahuan wartawan mengenai informasi yang pasti, tetapi seringkali lebih sebagai strategi wacana wartawan untuk menampilkan sesuatu. Bandingkan, misalnya, antara kalimat dengan abstraksi: “Masalah Marshanda denga ibunya, Riyanti Sofyan, jauh dari kata surut”, dengan kalimat yang menggunakan objektivasi:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
11
“Masalah Marshanda dengan ibunya, Riyanti Sofyan, bertambah lagi dengan kasus pemecatan pengacaranya”. Dalam kalimat pertama, pembaca akan mempersepsikan jika Marshanda memiliki banyak masalah yang tidak terselesaikan, bahkan semakin bertambah rumit. Kalimat kedua disebut secara jelas kasus terbaru dari Marshanda, dengan demikian pembaca akan bisa mempersepsikan kasus terbaru dari Marshanda hanyalah satu kasus saja (pemecatan pengacara), bukan banyak kasus, maupun kasus yang malah memperumit hubungan Marshanda dengan Ibunya. Analisis selanjutnya adalah dengan melihat rangkaian antar kalimat dalam lead berita. Hal ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan dengan bagian yang lain. Misalnya, Marshanda sedang berkonflik dengan Ibunya, Riyanti Sofyan. Konflik Marshanda ini mendapat tanggapan di antaranya dari mantan pengacaranya, yaitu Afdal Zikri yang lebih pro dengan Ibunda Marshanda. Bagaimana kalimat ini dirangkai? Rangkaian kalimat itu bukan hanya berhubungan dengan teknik penulisan, karena rangkaian itu bisa mempengaruhi makna yang ditampilkan kepada pembaca. Dalam lead berita, kalimat yang memberitakan masalah Marshanda dengan Ibunya bisa ditampilkan di muka, mendahului kalimat pemberitaan tentang mantan pengacara Marshanda yang angkat bicara. Bisa juga sebaliknya seperti: “Baru-baru ini, mantan kuasa hukum perceraian Chaca, Afdal Zikri, angkat bicara tentang konflik antara Chaca dan ibunya, Riyanti Sofyan yang jauh dari kata surut”. Bentuk yang pertama (lampiran 1.1) dan kedua mempunyai makna yang berbeda. Dalam bentuk yang kedua, efek yang dihasilkan seakan kunci dari konflik Marshanda dan ibunya ada pada mantan kuasa hukumnya. Atau bisa juga ditafsirkan, dengan berbicaranya si mantan kuasa hukum Marshanda di depan publik, maka kesimpang siuran pemberitaan mengenai konflik Marshanda dan ibundanya akan menjadi jelas atau bahkan si mantan pengacara Marshanda bisa menawarkan solusi atas konflik tersebut. Sebaliknya, dalam bentuk pertama, kesaksian dari mantan pengacara Marshanda ini ditempatkan tidak penting, hanya bagian kecil dari beragam pendapat. Yang lebih dipentingkan adalah konflik antara Marshanda dan Ibunya. Dengan kata lain, lead berita memperkuat kesan kepada khalayak mengenai Marshanda yang durhaka. Wacana dalam media juga dapat dilihat bagaimana relasi yang hendak dibangun dalam teks. Teks berita ini menyertakan lima pihak yang saling berhubungan, yakni Chaca, Ibunya, mantan pengacaranya, dokter yang memeriksa Chaca dan pengacara Chaca yang baru (OC Kaligis). Dalam teks berita ini, Marshanda meskipun namanya disebut dalam teks berita, tetapi tidak ada kutipan pernyataan/wawancara dari dirinya. Yang lebih tidak dijelaskan dalam teks adalah “dokter yang memberikan rekomendasi” atas perawatan Chaca di Rumah Sakit. Teks itu sama sekali tidak menyertakan keterangan mengenai dokter ini, meskipun dalam jalinan isi berita seharusnya posisinya sangat penting, dan kemungkinan itu yang membuat Chaca nekat melawan ibunya. Tidak adanya keterangan ini meyebabkan dalam teks tersebut tidak terdapat informasi yang memadai. Praktis dalam teks berita ini yang diterangkan secara jelas ada dua: Chaca dan mantan pengacaranya (Afdal Zikri). Dua pihak itu digambarkan secara berbeda dalam teks. Chaca dianggap sebagai anak yang durhaka kepada Ibunya, dan tega kepada orang lain (karena melakukan pemecatan). Sementara mantan pengacaranya digambarkan sebagai seseorang yang moralis dan agamis. Kedua pihak itu bukan hanya digambarkan secara bertolak belakang, tetapi juga relasi yang dibuat. Mantan pengacara Chaca berusaha untuk menasehati Chaca agar tidak melawan Ibunya, sementara Chaca adalah anak durhaka yang malah “menghukum” orang baik yang memberinya nasehat. Masih berkaitan dengan relasi, adalah identitas pihak-pihak yang diberitakan dalam teks. Teks tersebut menggambarkan bagaimana pembaca diletakkan pada posisi orang baik (mantan pengacara Marshanda) dan bukan pada posisi Marshanda. Teks itu, misalnya, tidak mensugestikan kepada khalayak untuk menyelami kehidupan Chaca, kenapa ia sampai melakukan perbuatan itu (melawan ibunya dan melakukan pemecatan). Padahal kalau dicermati pada paragraf terakhir dari teks berita, sesungguhnya yang melakukan pemecatan adalah pengacara Chaca yang baru, yaitu OC Kaligis. Dalam proses kerja penulisan berita, wartawan pada dasarnya membuat abstraksi bagaimana fakta-fakta yang saling terpisah dan tercerai berai digabungkan sehingga menjadi kisah yang dapat dipahami oleh khalayak dan membentuk pengertian. Pengertian yang berusaha dibentuk melalui teks berita ini adalah bahwa Marshanda yang melakukan pemecatan, bukan OC Kaligis, atau minimal atas saran dari OC Kaligis. Teks justru memposisikan pembaca agar berempati kepada mantan pengacara Chaca. Oleh karena itu, dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
12
teks berita itu dari awal sampai akhir berisi tentang keburukan Chaca. Chaca seakan menjadi musuh bersama bukan hanya mantan pengacaranya (karena dipecat), tetapi juga musuh masyarakat (Chaca sebagai anak durhaka yang berani melawan Ibunya). SIMPULAN Analisis atas berita Marshanda pada pembahasan di atas, menunjukkan bagaimana teks berita sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Di sini menurut van Dijk, dapat menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi (seperti anak yang melawan orang tuanya adalah anak durhaka), melalui kontrol media, dan sebagainya. Terkait dengan tingkatan analisis dalam analisis wacana, Fairclough mengusulkan analisis atas teks sebagai dimensi pertama yang harus dilihat. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaiamana suatu objek digambarkan, tetapi juga bagaimana antar objek didefinisikan. Setiap teks pada dasarnya, menurut Fairclough dapat diuraikan dan dianalisis berdasarkan tiga unsur: representasi, relasi, dan identitas. Pada teks berita artis di atas, wacana kedurhakaan dan ketegaan Marshanda sebagai seorang anak (kepada Ibunya) dan seorang klien (kepada pengacaranya) dapat dilihat dari bagaimana Marshanda direpresentasikan. Marshanda diberitakan dengan menggunakan kata-kata yang buruk seperti “melawan Ibu”. “seorang anak yang melaporkan ibunya”, “melawan orang tuanya”, “Marshanda pecat pengacara”, dan “Chaca malah menuduh Afdal”. Kalau representasi berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang, kelompok, kegiatan, tindakan, keadaan, atau sesuatu ditampilkan dalam teks, maka relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam media berhubungan dan ditampilkan dalam teks. Dalam teks berita di atas, yang diterangkan secara jelas ada dua: Chaca dan mantan pengacaranya (Afdal Zikri). Kedua pihak itu bukan hanya digambarkan secara bertolak belakang, tetapi juga relasi yang dibuat. Mantan pengacara Chaca berusaha untuk menasehati Chaca agar tidak melawan Ibunya, sementara Chaca adalah anak durhaka yang malah “menghukum” orang baik yang memberinya nasehat. Aspek yang terakhir adalah identitas. Aspek identitas ini terutama dilihat oleh Fairclough dengan melihat bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan ditampilkan dan dikonstruksi dalam teks pemberitaan. Teks tersebut menggambarkan bagaimana pembaca diletakkan pada posisi orang baik (mantan pengacara Marshanda) dan bukan pada posisi Marshanda. Oleh karena itu, dalam teks berita itu dari awal sampai akhir berisi tentang keburukan Chaca. Chaca seakan menjadi musuh bersama bukan hanya mantan pengacaranya, tetapi juga musuh masyarakat. REFERENSI Darma, Yoce Aliah. (2009). Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Eriyanto. (2009). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Fairclough, Norman. (1989). Language and Power. Harlow: Longman. Fairclough, Norman. (1995). Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. USA: Longman Publishing. Hall, Stuart. (1982). The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in Media Studies. Dalam Gurevitch, M., et al. (ed.), Culture, Society and the Media. London: Methuen. 1982. Hlm. 67. Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Phillips. (2002). Discourse Analysis as Theory and Method. London: Sage Publications. Kartomihardjo, Soeseno. (1998). Pidato Promosi Drs. Agustinus Ngadiman, M.Pd. untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Pendidikan Bahasa Inggris Tanggal 26 Februari. Kesuma, Tri Matoyo Jati. (2007). Penganta (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Richardson, John E. (2007). Analyzing Newspaper: An Approach from Critical Discourse Analysis. New York: Palgrave Macmillan. Sobur, Alex. (2012). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. van Dijk, Teun A. 2009. Critical Discourse Analysis. Diakses dari
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
13
www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20analysis.pdf. (Tanggal akses: 2 Agustus 2014).
3 STEREOTYPE ON “NEATO BOTVAC” VACUUM CLEANER ADVERTISEMENT IN MALAYSIA : A CRITICAL DISCOURSE STUDY Ana Rufaidah Ainun Ika Pratiwi Department of English Language and Letters Maulana Malik Ibrahim State Islamic University Malang, East Java Abstract: Advertisement is one of the media used in promoting products to the consumers. It becomes one of the efficient ways to persuade the consumers to use the product because people can find and access it in any kinds of places. Advertisements are usually short verbal texts that are generally accompanied with visuals and texts, which make advertisements interesting for the readers who interact with them. According to Cook (2001) the advertising discourse is a combination of language and images. The use and choice of word, picture, color, and the other elements in advertising somehow has its own role in order to catch reader attention toward it. The researchers find Neato Botvac vacuum cleaner advertisement in Malaysia which indeed represents nationality stereotype towards Indonesian workers. This study basically focuses on investigating the use of language in Neato Botvac vacuum cleaner advertisement in Malaysia. The tool for the analysis of Neato Botvac vacuum cleaner advertisement in Malaysia is Fairclough’s model of critical discourse analysis (CDA) that uses the analysis of the relationship of society and discourse, text and context, power and language. This study uses descriptive qualitative approach methodology by collecting the data from Neato Botvac vacuum cleaner advertisement in Malaysia and doing library research. Keyword: CDA, advertisement, Indonesian worker, stereotype.
INTRODUCTION Advertisement is a form of discourse by the means of language that would consciously influence our behaviors and thoughts in our daily lives. The use of wordplay, puns, rhymes, pictures, colors and other elements in advertising somehow has its own role in order to catch our attention towards it. According to El-daly (2011), advertising is “any type of form of public announcement intended to direct people’s attention to the availability, qualities, and/or cost of specific commodities or services” (p. 25). Advertisements are short verbal texts that are generally accompanied with visuals and texts, which make advertisements interesting for the readers who interact with them. This study investigates and analyzes the short verbal texts found in the advertisement of vacuum cleaner product in Malaysia which indeed represents racism towards Indonesian worker, approached with critical discourse analysis by Fairclough. As we know that Indonesia and Malaysia are two Southeast Asian neighborsthat have diplomatic relationship. One of the topics discussed in the diplomatic relationship is about Indonesian workers in Malaysia. Basically, Indonesia is one of the countries which send workers to abroad in huge number. There are about 400,000 foreign domestic workers are now employed in Malaysia. It shows that the number of the workers is profoundly high. However, there are actually other workers also coming from another country such as Vietnam, Philippines, and the others. From that fact, we know that the workers in Malaysia actually do not only come from Indonesia, but also other countries. Vacuum cleaner is a device that uses an air pump to create a partialvacuum to suck up dust and dirt, usually from floors, and from other surfaces such as upholstery and draperies. It is commonly used in
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
14
homes, industries or others. Neato Botvac is one of the vacuum cleaner advertisements which promotes autonomous robotic vacuum cleaner in Malaysia. To attract the reader, the producer makes a discourse which has certain purpose and controversial message. The short verbal text made by Neato Botvac vacuum cleaner expresses stereotype towards Indonesian maid and causes contradictive perspective of netizenor the readers toward the discourse of the advertisement of Neato Botvac vacuum cleaner. The netizen might believe that the work of Indonesian maid is worse after reading that advertisement and it indeed represents the identity of Indonesian itself. Therefore, the researcher will examine the characteristics of language used in the advertisement of Neato Botvac vacuum cleaner in Malaysia which indeed represent stereotype toward Indonesian maid, approached by Fairclough's model critical discourse analysis. METHODOLOGY The data was taken from the advertisement of the product of vacuum cleaner in Malaysia posted by http://news.detik.com/ in February 2015. This study uses descriptive qualitative research. In this case, I analyze and interpret the data collected to reflect on, search for pattern, and try to create a full understanding of the research context (Heigham and Croker, 2009). This study uses qualitative research because of some characteristics. First, the data are in the form of words or utterances from the advertisement. Second, the purpose of this study is to get a better understanding and deep information on how racism expressed in the advertisement of Neato Botvac vacuum cleaner in Malaysia approached by CDA. In analyzing the data, the researchers apply the study of critical discourse analysis by Fairclough (1995). In conducting the study, the researchers only analyze the verbal text made by the producer and discourse practice itself. DISCUSSION Textual Analysis In textual analysis, According to Faircolough's (1992) we mainly focus on the way they describe the things and what type of vocabulary they are using when they advertiseof the product and how it represents the stereotype of Indonesian maid through the short verbal text in the discourse. In Neato Botvac vacuum cleaner advertisement, the pronoun used and chosen by the producer is very clear. The pronoun “Indonesian” in the ads indicates that Indonesian maids are worse as it is strengthened by underlining that word. It is clearly stated that this advertisement indeed represents racism towards Indonesian maid and it marginalizes the existence of Indonesian maid. As we know that the maids who work in Malaysia do not only come from Indonesia, but also from other countries such as, Thailand, Philippine, Myanmar, and others. Thus, the marginalization expressed by the producer in the discourse represents racism or stereotype towards Indonesian maid. Besides, it also seems that there is different social action, practices, and political system experienced by Indonesian workers there. Implicitly, the hidden message delivered by the producer through the discourse shows that vacuum cleaner is better than Indonesian maid and the existence of Indonesian maid itself should be changed by this product because we know that in Malaysia many Indonesian maids work as a house maid. Moreover, the readers might be influenced by this discourse and they may think that Indonesian maids are mostly worse. This kind of textual feature also indicates that Indonesian maids are not worth and it indeed demeans the national identity of Indonesia. Fairclough's also study the grammatical feature and grammatical categories under the heading of textual feature. One of the aspects found in the text is the verb. It gives strong effect towards the readers or netizen. This verb is also related with the purpose of the producer which can persuade the readers or netizen to buy it. The verb “fire” in the verbal text of the advertisement shows that it is an imperative and it persuades the readers to do it and change the maid into this vacuum cleaner product. The verb “fire” profoundly gives a strong effect towards the readers as in Cambridge dictionary the word “fire” means to remove someone from their job, either because they have done something wrong or badly, or as a way of saving the cost of employing them. Hence, it shows that the producer,in this case the company, force
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
15
Malaysian to fire Indonesian maid because Indonesian maid have done mistakes and it is justifiable to fire them as the punishment of Indonesian maid activity. Another linguistic aspect used in the discourse of the advertisement is adverb of time. The word “NOW” in the text also portrays that it should be done now or at this time. It emphasizes that changing the Indonesian maid into vacuum cleaner is a must. Besides, it also shows that the existence of Indonesian itself is not important and worth. Therefore, the short verbal text found in Neato Botvac vacuum cleaner indeed represents stereotype towards Indonesian maid as it is expressed through the verb “fire” and the adverb “NOW”. These kinds of aspects can persuade the readers to buy it and influence their perspective towards Indonesian maid. Discourse Practice Discourse practice is a text which is produce to create a discourse in society which is divided into two parts such as text production and text consumption. Text production is a discourse practice which is produced in line with media’s side such as a new which shows the position of the media in making themselves as the truest of others (Eriyanto, 2001). Meanwhile, text consumption is on society sides where the discourse was created to take in society’s opinion. For instance, the society can make an assumption about the text they read. According to Faiclough, discourse is used for particular parts such as meaning- making as an element of social process; the language associated with a particular social field or practices; and a way of construing aspect of the world associated with a particular social perspective (Hanford& Gee, 2012). Therefore, the researchers try to identify whether the utterance on the vacuum cleaner advertisement consist of those points. The advertisement of vacuum cleaner from Malaysia says “Fire Your Indonesian Maid”. Before going to the discussion, let’s know about the background of the advertisement first. We basically know the relation between Indonesia and Malaysia, they are good in bilateral relationship especially in Indonesia workers. From 2008-2014, there are 833.414 workers were sent to Malaysia to work in particular place to be a housekeeper, baby sitter, and others. Recently, in 2015 there is an advertisement of Robotic Vacuum Cleaner in Malaysia which says “Fire Your Indonesian Maid”. The researchers wonder why the vacuum cleaner use the word ”Indonesia” while there are lots of worker from another countries. In addition, the vacuum cleaner puts the underline in the word “Indonesia” which is highlight. By having two linguistics feature such as specific country “Indonesian” and underline meaning that the advertisement is telling about Indonesia worker which has some problems in Malaysia. The use underline feature is giving emphasize to the reader that the maid should be fired is only Indonesia. Moreover, the advertisement use the word “Fire” which means that the industry of vacuum cleaner try to persuade the society to change the Indonesian maid to the new vacuum cleaner. Therefore, the advertisement indicates the use of discourse is creating meaning of social practice of Indonesian worker in Malaysia and the utterance produced by the company also indicates that the text production is on media or company’s side by giving bad implicit meaning on the advertisement. CONCLUSION After analyzing the discourse of an advertisement comes from Neato Botvac vacuum cleaner companies in Malaysia, the researcher found some findings such as racism and discrimination towards Indonesian maid. First, the short verbal text indicates racism as it is stated through the nominalization “Indonesian maid” and the capital word on “NOW”. Those two things refer to the racism by implicitly saying that it is urgent to fire the Indonesian maid right now. Secondly, the advertisement brings discrimination on Indonesian worker by declaring the exact nation. It clearly shows that there is a trouble among Indonesian worker and they are okay to be fired and be changed by the vacuum cleaner. Therefore, the advertisement brings a harmful message for all reader and they can have a bad assumption about Indonesian maid which is not proven bad.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
16
Hopefully this study becomes an open gate to other researchers to conduct the further studies on the discourse found in the advertisement approached by CDA because advertisement is commonly found in everywhere. Thus, it will be beneficial for the reader to think critically in consuming the product and understand the message and the text expressed in the advertisement because there are many advertisements which are indeed controversial and may demean other parties. In addition, it can help the researcher to analyze and expand the understanding of any kind of controversial issues found in the discourse of advertisement approached with critical discourse analysis. REFERENCES Barker, C. 2008. Cultural Studies: Theory and Practice Third Edition. London: Sage Publication Cook, G. 2001. The discourse of advertising. London: Routledge. El-daly, H. M. 2011. Towards an Understanding of the Discourse of Advertising: Review of Research with Special Reference to Egyptian Media. African Nebula, Isssue 3, pp. 25-47. Fairclough, N. 1989.Language and Power. London: Longman Fairclough, N. 1995.Critical Discourse Analysis. London: Longman. Fairclough, N. 1995.Critical Discourse Analysis.The Critical Study of Language. London: Longman. Haryanto, A. 2015.IklanLecehkan TKI di Malaysia, IndonesiaPertimbangkanTempuhJalurHukum.Retrieved fromhttp://news.detik.com/berita/2822753/iklan-lecehkan-tki-di-malaysia-indonesiapertimbangkan-tempuh-jalur-hukumon February 04, 2015. Iqbal, A., Danish M. H, and Maria R.T. 2014. Exploitation of Women in Beauty Products of “Fair and Lovely”: A Critical Discourse Analysis Study. Volume 2, Issue 9, September 2014, PP 122-131. International Journal on Studies in English Language and Literature (IJSELL). Lunyal, V. 2004.Examining the Discourse of Perfume Advertisements: An Analysis of the Verbal and the Visual.Vol 19 No. 1-2. Journal of NELTA. Storey, John. 2015.Cultural Studies and the Study of Popular Culture, 3rd edn, Edinburgh: Edinburgh University Press. Van Dijk, T.A. 1993. Elite Discourse and Racism. London: Sage Publications. Pp.242282https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesian_migrant_worker Gee, James Paul& Hanford, Michael. 2012. The Routledge Handbook of Discourse Analysis. New York: Routledge. Eriyanto. 2001. AnalisisWacana: PengantarAnalisisTeks Media. Yogyakarta: LKiS BNPPTKI, 2015.BNP2TKI MintaPemerintah Malaysia TindakTegasPemasanganIklanLecehkan TKI. Retrieved from http://www.bnp2tki.go.id/read/9856/BNP2TKI-Minta-Pemerintah-MalaysiaTindak-Tegas-Pemasangan-Iklan-Lecehkan-TKI
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
17
4 POLA PEMAKAIAN BAHASA SUMBAWA DI ENCLAVE KARANG TALIWANG KOTA MATARAM Baiq Rismarini Nursaly STKIP Hamzanwadi Selong, Lotim, NTB Abstrak: Lingkungan Karang Taliwang Kota Mataram, NTB adalah sebuah enclave Bahasa Sumbawa (BS) yang merupakan sebuah pemukiman padat dengan wilayah tidak terlalu luas. Wilayah ini merupakan domisili bagi keturunan etnis Sumbawa yang dikelilingi oleh pemukiman lain di sekitarnya, yang merupakan domisili bagi etnis Bali dan etnis Sasak. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pola pemakaian BS di enclave Karang Taliwang dalam lima ranah pemakaian, yaitu: ranah keluarga, pendidikan, pekerjaan, pergaulan masyarakat, dan adat-istiadat atau keagamaan, berdasarkan analisis komponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek; linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan dalam pola komunikasi. Hymes (1964a:4) mengistilahkan studi ini dengan Ethnography of Speaking yang merupakan penggabungan dari etnologi dan linguistik yang mengkaji situasi, penggunaan, pola, dan fungsi berbicara sebagai suatu aktifitas tersendiri. Istilah itu kemudian dirubah oleh Hymes menjadi Ethnography of Communication. Diungkapkan oleh Hymes bahwa, Ethnography of Communication bertujuan untuk menganalisis perilaku komunikasi manusia yang berhubungan erat dengan kebudayaan. Kata kunci: enclave, pola pemakaian bahasa, etnografi komunikasi
PENDAHULUAN Pulau Lombok yang terletak di antara Pulau Bali dan Pulau Sumbawa menyebabkan masyarakatnya menjadi multietnis dan multilingual. Penduduk asli pulau Lombok adalah etnis Sasak, namun di wilayah barat yaitu Kota Mataram banyak ditemukan etnis-etnis lain seperti: etnis Bali, etnis Jawa, etnis Sumbawa, etnis Bima- Dompu, etnis Madura, etnis Sunda, etnis Makasar, bahkan ada juga etnis Arab dan etnis Tionghoa. Di Kota Mataram terdapat sebuah Kecamatan yang memiliki satu Kelurahan yang sebagian besar didiami oleh suku Sumbawa sehingga menjadikannya sebagai enclave Bahasa Sumbawa di Pulau Lombok, yaitu Kelurahan Karang Taliwang, Kecamatan Cakranegara. Kecamatan Cakranegara merupakan salah satu pusat perdagangan di Pulau Lombok, hal ini menimbulkan adanya pergaulan atau komunikasi antaretnis dalam frekuensi yang cukup tinggi dan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga mengakibatkan munculnya pola komunikasi yang beragam. Secara umum masyarakat di wilayah ini menguasai tiga bahasa yaitu; BS sebagai bahasa ibu (mother tongue), BSk sebagai bahasa pengantar di wilayah itu, dan BI sebagai Bahasa Nasional. Hal ini menjadi menarik untuk dicermati secara sosiolinguistis dengan kajian Etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi adalah bagian dari sosiolinguistik yang memerikan suatu masyarakat atau etnis, etnografi tentang suatu bahasa yang memfokuskan pada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau komunikasi menggunakan bahasa. Sementara sosiolinguistik sendiri lebih mengungkapkan pemakaian bahasa bukan struktur bahasa. Etnografi komunikasi merupakan gambaran dari keseluruhan Faktor yang terkait dengan pemahaman bagaimana suatu kejadian komunikasi tertentu dapat mencapai tujuannya (Wardhaugh, 1986: 238-241). Studi etnografi komunikasi adalah salah satu bentuk penelitian kualitatif yang mengkhususkan pada penemuan berbagai pola komunikasi yang digunakan manusia dalam suatu masyarakat tutur (SavilleTroike, 2003:2-3). Pola-pola komunikasi tersebut ditemukan berdasarkan analisis komponen tutur yang dipengaruhi oleh aspek-aspek; linguistik, interaksi sosial, dan kebudayaan yang merupakan tiga aspek penting sebagai dasar pemolaan komunikasi.Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pola pemakaian bahasa penutur BS yang bermukim di enclave Karang Taliwang pada ranah-ranah; keluarga, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, dan pergaulan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
18
METODOLOGI Tulisan ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan fokus kajian etnografi komunikasi yang menyajikan data-data berupa data verbal (oral) dari komunikasi antara dua orang atau lebih pada situasi formal maupun nonformal di lokasi penelitian. Lokasi penelitian adalah Kelurahan Karang Taliwang, Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sumber data penelitian ini didapatkan melalui pengamatan secara langsung proses komunikasi dalam komunitas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak, dan cakap (Mahsun, 2011: 93116) dimana metode menyimak adalah; memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa secara lisan maupun tertulis. Kemudian metode cakap, yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan percakapan antara peneliti dengan yang diteliti, dimana terjadi kontak diantara mereka sehingga datanya berbentuk bahasa lisan. Analisis data menggunakan metode etnografi komunikasi Hymes (1964a:13); Schiffrin (1994:141-42); Duranti (1998:221) pada ranah-ranah; keluarga, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, dan pergaulan. PEMBAHASAN Data terbaru Kecamatan Cakranegara tahun 2013 menyatakan bahwa, Kelurahan Karang Taliwang terdiri dari 3 lingkungan yaitu; Lingkungan Karang Taliwang, Karang Jero dan Karang Bagu dengan luas wilayah 61.566 Ha dengan jumlah penduduk 5.412 jiwa. Dari keseluruhan jumlah tersebut hampir dua pertiganya adalah etnis Sumbawa, sehingga pemakaian Bahasa di wilayah ini memiliki kekhasan tersendiri. Penduduk etnis Sumbawa menguasai 3 bahasa yaitu; Bahasa Sumbawa (BS) sebagai Bahasa ibu, Bahasa Sasak (BSk) sebagai bahasa wilayah atau bahasa pergaulan dengan masyarakat sekitar, dan Bahasa Indonesia (BI) sebagai Bahasa Nasional. Ranah Keluarga (pola BS + BSk) Pada ranah ini masyarakat Karang Taliwang dominan menggunakan BS, karena secara umum masyarakatnya masih sangat kuat menunjukkan diri mereka sebagai etnis Sumbawa yang sangat mempertahankan bahasa nenek moyang mereka. Identitas etnis ini sangat kental dipertunjukkan oleh generasi yang lebih tua sehingga dalam ranah keluarga mereka selalu menggunakan BS, sementara untuk generasi yang lebih muda walaupun tetap menggunakan BS namun seringkali muncul campur kode dengan BSk. Contoh: Percakapan Antara seorang Ibu dengan anak lelakinya, Peristiwa tutur I, ranah: keluarga, kode tutur: BS dan BSk, lokasi: rumah, partisipan: A (ibu berusia 43 tahun) dan B (anak lakilaki berusia 21 tahun), tujuan tuturan: menanyakan cara menggunakan alat perekam suara. A: Berembe caran rekam lek alat perekam (Bagaimana cara merekam menggunakan alat perekam) B: Enyak rekod dunu (Tekan tombol record dulu.) A: Ko kan suda berjalan, tebedengar kan suda, tris stop bari lanjutang bero, me kebedengar, bali ko merekod. (Ini kan sudah berjalan, kemudian kita dengarkan, terus stop kemudian dilanjutkan, ini sedang kudengarkan, kembali lagi merekam.) B: Enyak rekod tris rekam dirik, tris enyak stop (Tekan record, terus rekam suara ibu sendiri, terus tekan stop.) A: Angkak tutuk wah ko ngerekam suda iyo kan nat ko bedengar. (Makanya, ini sudah selesai kurekam, sekarang akan kudengarkan.)
Percakapan di atas terjadi di sebuah rumah dalam situasi yang akrab, dimana seorang ibu bertanya kepada anaknya tentang bagaimana cara menggunakan alat perekam karena si Ibu (A) baru pertama kali melihat alat perekam model baru. Si Anak (B) menjawab dengan kalimat-kalimat ringkas karena dia merasa merekam menggunakan alat tersebut sangat mudah untuk dilakukan. Dalam percakapan muncul campur kode antara BS dengan BSk seperti pada kata-kata “berembe” (bagaimana) dan “angkak”(makanya) dan “tutuk” (selesai) yang muncul dari A karena merasa sedikit kesal pada B yang tidak menjelaskan dengan rinci bagaimana caranya menggunakan alat perekam tersebut. Hal itu dilakukan A sebenarnya untuk memperkuat/menegaskan kalimatnya bahwa apa yang diberitahukan oleh B telah dilakukannya. Generasi yang lebih muda dalam masyarakat itu sudah sangat familiar dengan kosa kata BSk dan menggunakannya seringkali dalam porsi yang cukup besar ketika berbicara menggunakan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
19
BS. Dalam BS sendiri terdapat padanan untuk ketiga kata tersebut yaitu; “meluk (bagaimana), nanlok (makanya), dan suda (selesai)”. B tetap tidak menunjukkan ketertarikan pada topik yang ditanyakan oleh A. Ini terlihat dari jawabannya yang sangat ringkas tanpa menjelaskan dengan lebih terperinci. Walaupun B terkesan kurang sopan, namun A tidak memperlihatkan kegusaran karena pertuturan terjadi antara seorang ibu dan anaknya yang justru menimbulkan suasana akrab. Ranah Pendidikan (Pola BS + BSk + BI) Pada ranah ini masyarakat Karang Taliwang biasanya akan melakukan campur kode antara BS, BSk dan BI seperti yang terlihat pada peristiwa tutur II yang terjadi di salah satu Sekolah Dasar Negeri yang ada di wilayah Karang Taliwang di bawah ini. Peristiwa tutur II, ranah: pendidikan, lokasi: Sekolah Dasar, kode tutur: BS, BSk, BI, partisipan: A (orang tua siswa, seorang ibu berusia 38 tahun) B (wanita, guru kelas I SD berusia 35 tahun), tujuan tuturan: Guru menjelaskan tentang pentingnya orang tua mengawasi anaknya belajar di rumah (sebelum acara pembagian rapor semester ganjil). A: Halo, Assalamualaikum bu guru, sibuk? (Halo, Assalamualaikum bu guru, apakah sedang sibuk?) B: Waalaikum salam tumben bu, arak napi? (Waalaikum salam, tumben bu, ada keperluan apa?) A: Nonyak, iya kujalan-jalan, kutulung berisi rapot ndek roa, ndek tama kelas ode-ode? (tidak ada apaapa, ini saya hanya jalan-jalan, mau saya bantu mengisi rapor tapi tidak bisa, apakah anak-anak tidak masuk kelas?) B: Ndek, Odi jangan lari-lari nanti jatuh! (melarang seorang murid yang sedang berlari kencang ke arahnya) (Tidak, Odi jangan berlari nanti jatuh!) B: Silak-silak masuk dulu. (silahkan masuk dulu) B: (Di dalam kelas guru berbicara kepada para orang tua siswa) “Bagi siswa yang masih kurang atau nilainya belum terpenuhi yaitu masih kurang dari kkm, sekolah mohon bantuan pada Bapak/Ibu untuk mengawasi putra-putrinya ketika siswa belajar di rumah , karena pendidikan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah, jadi yang berperan paling besar bagi siswa adalah pendidikan di rumah”.
Peristiwa tutur di atas terjadi di sebuah Sekolah Dasar di Lingkungan Karang Taliwang. Partisipan adalah A salah satu orang tua siswa yang adalah penutur BS dengan B guru kelas I SD yang adalah penutur BSk. Situasi tuturan adalah resmi dan tidak resmi, pada saat masih di luar kelas suasananya tidak resmi, namun ketika para orang tua siswa sudah masuk ke dalam kelas untuk menerima rapor anak-anak mereka, suasananya berubah menjadi resmi. B memberikan beberapa informasi dan memohon bantuan kepada orang tua siswa untuk mengawasi pembelajaran terhadap anak mereka saat berada di rumah. Pada saat A yang akan mengambil rapor anaknya menegur guru di luar kelas dia menggunakan bahasa yang akrab karena mereka berdua sudah saling mengenal. A mengucapkan salam dan langsung berbicara menggunakan BI,” Halo, Assalamualaikum bu guru, sibuk?” B menjawab salamnya dan berbicara menggunakan BSk, “Waalaikum salam tumben bu, arak napi?” dijawab kembali oleh A dalam BS,” Nonyak, iya kujalan-jalan, kutulung berisi rapot ndek roa, ndek tama kelas ode-ode?” A menjawab lagi menggunakan BSk,”Ndek” namun langsung beralih kode menggunakan BI ketika ada seorang murid yang berlari kencang ke arahnya,” Odi jangan lari-lari nanti jatuh!” Hal itu terjadi karena guru tersebut ingin agar muridnya memperhatikan dan segera menghentikan kegiatannnya yang berbahaya tersebut. Alih kode juga terjadi pada saat guru SD tersebut masuk ke dalam kelas, sebelum acara pembagian rapor, ketika masih di luar kelas dan mempersilahkan para orang tua siswa masuk, B masih menggunakan campur kode BSk dan BI seperti pada kalimat,”Silak-silak (silahkan) masuk dulu”, ketika sudah berada di dalam kelas B langsung beralih kode ke BI. Ranah Pemerintahan (pola BI + BS) Peristiwa tutur III, lokasi: Puskesmas Karang Taliwang, ranah: pemerintahan, kode tutur: BI dan BS, partisipan: A (seorang ibu penduduk asli Karang Taliwang pengunjung Puskesmas berusia 40 tahun dengan seorang perawat yang berasal dari pulau Sumbawa berusia 25 tahun) Tujuan tuturan: A meminta B untuk datang ke rumahnya memeriksa pasien.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
20
A: Assalamualaikum Fitri, mau ngomong sebentar, nanti siang pulang dari puskesmas datang ke rumah kontrol nenek sebentar ya, ini Mamak bawakan nasi taruh ya. B: Waalaikum salam, e..e Mamak repot-repot. (Waalaikum salam, e..e Mamak kok merepotkan.) A: lok ang aneh becat ku belangan taruh nasinya dulu sama airnya, nanti tidak sempat beli. (tidak apaapa, ambil ini saya mau segera pergi, simpan dulu nasi dan airnya, nanti tidak sempat pergi untuk membeli makan) B: bisa beli di depan (Saya bisa membeli di warung depan Puskesmas) A: yaok aneh wah ubak nanti jam berapa pulang? ( ayolah ambil), nanti jam berapa pulang?) B: jam 2 pulangnya. A: Bisa ngontrol kalau jam 2? Cuma nensi sama lihat keadaannya saja ya, biar mamak tidak capek ke puskesmas soalnya nenek itu berat. B: iya mamak, terima kasih. A: aok aneh. (baiklah.)
Peristiwa tutur ini terjadi di sebuah Puskesmas di Wilayah Karang Taliwang Antara seorang pengunjung Puskesmas dengan seorang perawat (pegawai Puskesmas). Situasi pertuturan cukup resmi karena terjadi pada salah satu kantor pemerintahan. Kode yang digunakan pada awalnya adalah BI yang kemudian oleh penutur A dicampur dengan BS karena kebetulan B (perawat) berasal dari pulau Sumbawa. Penutur A yang merasa cukup kenal dan akrab dengan penutur B berusaha mengajak penutur B untuk berbicara dalam BS, namun penutur B sampai pertuturan berakhir tetap menjawab menggunakan BI. Hal tersebut terjadi karena B memperlihatkan kesopanannya terhadap A, kemudian B dengan tersamar mengingatkan kepada A bahwa, walaupun mereka cukup akrab, namun ranah tuturan mereka adalah di kantor, sehingga sebaiknya menggunakan Bahasa yang resmi, agar orang-orang di sekitar mereka yang kebetulan tidak mengerti BS mengetahui apa yang diperbincangkan, dan yang terakhir adalah B sengaja tidak menjawab menggunakan BS karena ada kecenderungan bahwa orang Sumbawa yang tinggal atau menetap untuk keperluan bekerja atau sekolah di Mataram (ibukota Provinsi NTB) merasa enggan menggunakan BS dan beralih kode menggunakan BI atau BSk. Ranah Keagamaan (BS + BSk) Pada ranah ini data diambil pada acara pengajian tetap bulanan yang dilakukan oleh ibu-ibu di wilayah Lingkungan Karang Taliwang. Biasanya pada acara ini mereka mendatangkan ustad/ustadzah untuk memberikan bimbingan mengenai agama atau berlatih qasidah. Peristiwa tutur IV, Ranah: Keagamaan, lokasi: rumah salah satu warga, kode tutur: BS dan BSk, partisipan: A (Pemimpin grup qasidah), B,C,D, … (sejumlah ibu-ibu anggota grup qasidah), tujuan tuturan: membuka acara qasidahan. B: piran mulai ne? (kapan akan dimulai?) C: aneh mulaiang oah, baeh juluan magrib. (ayolah dimulai, nanti keburu magrib) A: Ka mulaiang. Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh. (Mari kita mulai, assalamualikum, ….) B,C,D, …: Waalaikumsalam Warrahmatullahi Wabbarakatuh A: se ndekman te mulaiang acara qasidahan, silak batur-batur te baca basmallah “Bismillahirohmanirahim” tris fatihah untuk keluarga dan dirik dita masing-masing, tris te baca shalawat. (Sebelum kita mulaikan acara qasidahan, silahkan teman-teman kita membaca basmallah “Bismillahirohmanirahim” kemudian kita baca al-fatihah untuk keluarga dan diri kita masing-masing, kemudian kita baca shalawat. Pada ranah ini, pertuturan seringkali menggunakan BSk yang bercampur dengan BS, bahkan ketika ada ustad/ ustadzah yang memberikan ceramah agama, mereka akan menggunakan BSk. Hal ini terjadi karena tidak semua penduduk di wilayah itu adalah keturunan Sumbawa, ada juga yang memang orang Sasak asli. Walaupun penduduk di wilayah itu dominan adalah keturunan Sumbawa, mereka tidak serta merta menggunakan BS untuk menghormati orang-orang Sasak yang tidak memahami BS. Umumnya hampir semua penduduk di lingkungan Karang Taliwang memahami BSk, sementara orang Sasak sebagian besar tidak memahami BS. Hal tersebut menyebabkan para ibu-ibu memilih menggunakan BSk pada ranah keagamaan walaupun terjadi sedikit campur kode yaitu terselipnya beberapa kosa kata BS, BI, maupun Bahasa Arab. Seperti pada kalimat yang digunakan oleh ketua grup
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
21
qasidah untuk membuka acara yaitu kosa kata BS: tris (terus/kemudian), dita (kita); kosa kata BI: keluarga, dan, untuk, masing-masing; kosa kata Bahasa Arab; Assalamualaikum, basmallah, fatihah, dan shalawat. Ranah Pergaulan dalam Masyarakat (pola BS +BS) Percakapan Antara seorang laki-laki pengurus kuda pacuan dengan tetangganya, Peristiwa tutur V, Ranah: pergaulan dalam masyarakat, lokasi: sebuah tempat pemeliharaan kuda/ dekat kandang kuda pacuan, kode: BS, partisipan: A (seorang bapak berusia 50 tahun) dan B (pengurus kuda pacuan berusia 25 tahun), tujuan tuturan: Menanyakan perihal kuda pacuan. A: Eme mauk jaran no kan? (Darimana mendapatkan kuda ini? B: Sumba (Sumba) A: Me lako mbalap, melaga’an? (Kemana kalau balap atau berlaga?) B: Sumbawa, Bima (Sumbawa, Bima) A: Mauk juara ko? (Apakah mendapat juara?) B: Mauk (Dapat) A: Ubak lalo Sumbawa misal ingkin token Sumbawa apakah me sewaang ato ndek, balap mesak mandita ato sewa’ang jaran? (Kalau pergi ke Sumbawa apakah disewakan atau tidak, balap sendiri menggunakan orang kita atau menyewakan kuda?) B: balap mesak mandita oran (Balap sendiri menggunakan orang kita sendiri saja) A: misal kaen meli token Bima, sai epen jaran? (Kalau kuda ini dibeli dari Bima, siapa yang jadi pemiliknya? B: Haji Na’im (Bapak Haji Na’im)
Pertuturan terjadi di sebuah tempat pemeliharaan kuda pacuan milik Haji Na’im seseorang yang kaya raya di kampung tersebut. Penutur A datang ke lokasi itu karena tertarik melihat kuda-kuda pacuan yang tinggi, besar, dan berbulu halus. Penutur A bertemu dengan B yang kebetulan memang sudah dikenalnya karena rumah mereka berdekatan. Pertuturan terjadi pada situasi yang akrab karena menggunakan BS tanpa ada alih kode maupun campur kode. Namun suasana pertuturan terkesan berjalan satu arah karena A dengan begitu antusias bertanya-tanya, tetapi B menjawabnya dengan ringkas. Hal itu terjadi karena B sedang melaksanakan tugasnya yaitu merawat kuda-kuda, dan takut ketahuan oleh majikannya (dianggap tidak serius bekerja). Walaupun B sebenarnya sangat menghormati A dan ingin bercakap dengan serius dan akrab dengan A, tetapi dia menahan diri, karena sedang melakukan pekerjaannya. SIMPULAN Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat di lingkungan Karang Taliwang adalah masyarakat yang menguasai tiga bahasa yaitu; BS, BSk dan BI dengan hampir sama baiknya antara bahasa yang satu dengan Bahasa yang lain. Bagaimana mereka memilih Bahasa apa yang akan mereka gunakan, dimana, kepada siapa, dan untuk tujuan apa, ditentukan oleh berbagai faktor Antara lain; ranah pemakaian, situasi/ suasana tuturan, bahasa yang dikuasai oleh partisipan, kedekatan hubungan antarpartisipan. Pada ranah pemakaian yang paling tidak resmi seperti pada ranah keluarga dan pergaulan dengan masyarakat, mereka akan menggunakan pola BS+BS, untuk ranah keagamaan terjadi campur kode sehingga polanya BS+BSk, untuk ranah pekerjaan polanya BI+BS, dan ranah pendidikan digunakan pola BI+BSk+BS. REFERENSI Duranti, A. 1988. “Ethnography of Speaking” dalam New Meyer, Frederick, J. Language. The sociocultural context volume IV. Linguistics: The Cambridge Survey. Cambridge: Cambridge University Press, PP. 216-228. Grosjean, I. 1982. Lifes with Two Languages. Cambridge: Hardvard University Press. Gumperz, J.J. 1964. “Language and Social Interaction in Two communities”. American Anthropologist, 66 (6). Pp. 137-154.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
22
Gumperz, J.J. dan Hymes, D. 1972. Direction in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Holmes, J. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Hymes, D. 1964a. “Introduction: Toward Ethnographies of Communication” dalam American Anthroplogiest 66. Spesial Publication: J.J. Gumperz & D. Hymes. (eds) The Ethnography of Communication, pp. 1-34 (part 2). Ervin -Tripp, Susan, M. 1972. “An Analysis of The Interaction of Language Topic and Listener” dalam Fishman Reading in The Sociology of Language. Paris: Mouton. Fishman, J. 1989. Language and Ethnicity in Minority: Sociolinguistics perspective. Clevendon: Multilingual Matters Ltd. Grosjean, I. 1982. Lifes with Two Languages. Cambridge: Hardvard University Press. Gumperz, J.J. dan Hymes, D. 1972. Direction in Sociolinguistics. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Hymes, D. 1964a. “Introduction: Toward Ethnographies of Communication” dalam American Anthroplogiest 66. Spesial Publication: J.J. Gumperz & D. Hymes. (eds) The Ethnography of Communication, pp. 1-34 (part 2). Mahsun, 2011, Metode Penelitian Bahasa. Tahapan strategi, metode dan tehniknya. Jakarta: Rajawali Pers. Poedjosoedarmo, S. 1978. “Kode dan Alih Kode” dalam Widyaparma 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Saville-Troike, M. 2003. Ethnography of Communication: An Introduction. New York: Blackwell publishing. Wijana, I Dewa Putu. 2010. Berkenalan dengan Linguistik. Yogyakarta: A. com Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
23
5 KLASIFIKASI LEKSIKAL BAHASA KAWI DALAM GENDHING-GENDHINGJAWA: SEBUAH KAJIANLINGUISTIK KEBUDAYAAN Bimo Herdianto Prabowo Ika Nurfarida Universitas Airlangga Abstrak: Tulisan ini mendiskusikan Bahasa Kawi yang terdapat dalam Gendhing–Gendhing Jawa pengiring pewayangan. Bahasa Kawi saat ini masih digunakan dalam Gendhing – Gendhing Jawa yang terdapat dalam iringan pewayangan. Bahasa Kawi memiliki kata–kata yang berbeda dengan Bahasa Jawa pada umumnya. Sehingga, peneliti dapat menyampaikan makna leksikal dan kategorinya beserta makna budaya yang terdapat dalam Gendhing pengiring pewayangan. Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji Gendhing-Gending Jawa pewayangan yaitu kualitatif deskriptif. Peneliti memilih 3 gendhing yang terdapat dalan Gendhing Slendro Pewayangan. Untuk mencari arti dalam setiap kata, peneliti mewawancarai seorang budayawan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia pewayangan. Langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan berdasarkan teorilinguistik kebudayaan. Penelitian ini ditekankan untuk menjawab pengklasifikasian leksikal dan mengetahui makna budaya yang terdapat dalam Gendhing – Gendhing Jawa. Hasil dari penelitian yang dilakukan yaitu dalam data 1 menjawab bahwa gendhing ini digunakan pada saat pembukaan/memulai wayangan dengan pesan bahwa orang hidup harus mengerti dan tidak boleh mengingkari janji. Data 2 menunjukkan bahwa seorang perempuan sebaiknya tidak memainkan perasaan seorang lelaki. Sedangkan padadata ketiga digunakan untuk mengiringi prajurit akan berangkat berperang. Sedangkan untuk klasifikasi leksikon yaitu terdapat kata benda sebanyak 36, kata kerja atau verba sebanyak 21, adjektiva sebanyak 10, dan adverbia 3, selain itu terdapat 6 kata penghubung dan partikel sebanyak 4. Kata Kunci: Bahasa Kawi, Gendhing – Gendhing Jawa, Linguistik Kebudayaan, Kebudayaan
PENDAHULUAN Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keanekaragaman Bahasa dan budaya. Terdapat banyak bahasa dan budaya yang tersebar di pulau Jawa. Oleh karena banyak ragam bahasa, Ragam bahasa mulai dari Jawa di ujung timur sampai Jawa yang paling barat. Mulai dari Banyuwangi yang terkenal dengan istilah Osing, lalu Surabaya yang erat dengan istilah Arek, ada juga dari Madura yang mempunyai bahasa Madura. Kemudian beralih ke Jawa Tengah. Yogyakarta dan Solo memiliki bahasa Jawa yang mana dianggap sebagai pusatnya bahasa Jawa atau kota yang memiliki bahasa Jawa yang baku (Rahayu, 2013), bahasa induk atau dapat dikatakan sebagai bahasa pakemnya (Prasetiyo, 2011). Selain itu, ada pula wilayah Banyumas yang dikenal atau kental dengan nuansa ngapak. Di wilayah lain, yaitu Jawa Barat, terdapat satu wilayah yakni Cirebon. Cirebon merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah di pantai utara pulau Jawa sehinggadipengaruhi oleh budaya Jawa dan Sunda (Fikri, 2012). Dengan banyaknya variasi bahasa yang ada di pulau Jawa, maka makin menegaskan pula bahwa pulau Jawa ialah pulau yang kaya dengan bahasa. Bahasa Jawa sebagai bahasa local atau bahasa daerah memiliki banyak fungsi. Bahasa daerah, salah satunya bahasa Jawa, memiliki fungsi sebagai (1) lambangkebanggaandaerah, (2) lambangidentitasdaerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977). Adapun Nababan (1984) mengungkapkan bahwa bahasa memiliki empat fungsi. Empat fungsi tersebut adalah fungsi kebudayaan, kemasyarakatan, perorangan, dan pendidikan. Di sisi lain, menurut Moeliono (1981), bahasa memiliki lima fungsi. Fungsi pertama adalah sebagai bahasa formal dalam ruang lingkup kenegaraan atau kedaerahan. Fungsi kedua adalah sebagai bahasa perhubungan luas pada taraf subnasional, nasional, maupun internasional. Fungsi ketiga yaitu sebagai bahasa untuk maksud
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
24
khusus. Fungsi selanjutnya adalah sebagai bahasa dalam system pendidikan sebagai bahasa pengantar dan objek studi. Dan fungsi terakhir ialah sebagai bahasa dalam kebudayaan di bidang seni, ilmu, danteknologi. Pada penelitian ini, penulis ingin berfokus pada fungsi bahasa sebagai bahasa dalam kebudayaan, terutama dalam bidang seni. Bahasa dan seni tidak bias dipisahkan. Seni memerlukan bahasa untuk menunjukkan ekspresi yang ingin diungkapkan oleh para seniman. Sebaliknya, bahasa juga memerlukan seni. Apabila bahasa tanpa seni maka bahasa tersebut seakan-akan tidak ada apa-apanya. Bahasa tanpa seni menimbulkan tidak adanya fenomena yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu, bahasa dan seni memiliki hubungan satu sama lain. Seni memiliki berbagai macam jenis, yaitu seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni lainnya. Penelitian ini akan berfokus pada seni musik, khususnya karawitan. Kata ‘karawitan’ berasal dari bahasa Jawa yaitu rawit yang memiliki arti rumit, berbelit-belit, namun rawit ternyata juga memiliki arti halus, cantik, berliku-liku, enak (Purwadi, 2009, hal. 4). Karawitan umumnya mengacu pada seperangkat gamelan, yaitu music khas Indonesia yang mempunyai sistem nada non diatonic (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan system notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk saji aninstrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar (Purwadi, 2009, hal. 4). Gendhing-gendhing dalam gamelan Jawa tentunya memiliki banyak fungsi. Menurut Palgunadi (2002), gamelan yang merupakan alat musikt radisional biasa digunakan sebagai pelengkap berbagai kegiatan ritual, kesenian, dan hiburan oleh masyarakat (hal.1). Gendhing-gendhing yang tersaji dalam karawitan disesuaikan dengan apa yang akan disajikan. Salah satu fungsi yang telah disebutkan di atas adalah sebagai pelengkap dalam kegiatan kesenian. Kesenian dalam pewayangan juga tidak terlepas dari karawitan. Pada umumnya penyajian kesenian wayang diiringi oleh karawitan karena karawitan juga berperan untuk membantu dalang. Dalam karawitan itu sendiri tidak jarang ditemui adanya notasi vokal yang dinyanyikan oleh para pesindhen atau wiraswara. Oleh karena itu, peneliti tertarik menganalisis notasi vokal yang dinyanyikan para pesindhen dalam iringan pewayangan. Peneliti tertarik dengan penelitian yang memiliki unsure kebudayaan terutama kebudayaan Jawa, karena menurut peneliti masih adapotensi yang bias digali melalui penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap kebudayaan Jawa, khususnya karawitan dan wayang. Selain itu, peneliti ingin menggali nilai-nilai yang terkandung dalam notasi vokal yang dinyanyikan oleh para wiraswara dan memiliki keinginan untuk menyampaikan bahwa dalam kesenian wayang sering mengandung nilai-nilai yang merefleksikan kehidupan manusia. METODOLOGI Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji Gendhing-Gending Jawa pewayangan yaitu kualitatif. Peneliti memilih 3 gendhing yang terdapat dalan Gendhing Slendro Pewayangan. Untuk mencari arti dalam setiap kata dan makna dari ketiga notasi tersebut, peneliti mewawancarai seorang budayawan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia pewayangan. Langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan berdasarkan kelas kata yang terdapat di dalam ketiga Gendhing Pewayangan tersebut. Pendekatan leksikal merupakan teori yang cocok untuk mengelompokan kata – kata dalam Gendhing Jawa. Peneliti mengklasifikasikan dalam tabel yang telah dterjemahkan artinya ke dalam Bahasa Indonesia. PEMBAHASAN Bahasa dan budaya berperan penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dalam Nababan(Ichsan, 2015) menyatakan bahwa bahasa sebagai pengembang budaya dalam kaitan fungsi bahasa itu sendiri. Oleh karena itu bahasa sangat berperan dalam mempertahankan kebudayaan dalam masyarakat dengan cara memperkenalkan secara terus menerus ataupun melalui pendidikan. Sehingga berdasarkan Ichsan(2015), dalam praktik komunikasi yang terjadi, masyarakat menggunakan bahasa dalam ‘membangun kebudayaan’.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
25
Peneliti mencoba membahas tentang bahasa yang terdapat dalam Gendhing – Gendhing Pewayangan. Peneliti memilih tiga notasi vokal diakrenakan notasi vokal tersebut sering diguanakan dalam pementasan pewayangan di Jawa Timur. Berikut ketiga notasi vokal dalam Gendhing Pewayangan Jawa: 1. Notasi Vokal Ayak-Ayakan (Patalon) 2. Notasi Vokal Ladrang Sri Katon Slendro 6 Slendro Manyura Romo Romo Carang Wrekso Wrekso kang rineko jal mono ra gampang Golek dalan ing utomo Romo Romo Mong ing tirto Romo Tirto mijil ing sari royo Yo romo gones Sopo boyo Bangit ngudi boso jowo Romo Boso purwo Lalu diwasaning suryo Yo mulane Ojo gingsir ing prasetyo
Tambang Kumba Witana mungging bacira Pangi kete Wangsalan winoring gangsa Parabe sang mara bangun Sepat domba kali o ya Aja dolan lan wong pria Geng remeh na ra prasaja
3. Notasi Vokal Dwirodometo Slendro 6 Jarwo purwo Tunggal basane baskoro Ami witi Romo romo Sinden sendoning pradonggo Romo ramane dewe Parab Kresno Bupati andel ngalengko Ramane dewe murweng gito Murweng gito wangsalan winoring gongso Ala Romo kusumastro Romo careming reh polo kromo Romo moring gending Yo bapak pinatut lawan wiromo Yo gones yo nenes ala romo saji siswo Arane boso nawolo Nadyan lamong Nyalemong tanpo ukoro Dari ketiga notasi vokal di atas, peneliti membagi berdasarkan kelas kata dari setiap kata yang membentuk kalimat Gendhing Jawa. Peneliti memilih kelas kata untuk menganalisis kata – kata yang berasal dari ketiga notasi Gendhing Jawa dikarenakan untuk mengetahui makna dari notasi – notasi tersebut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
26
Hasil dari pengklasifikasian tersebut terdapat 36 nomina, 10 adjektiva, 21 verba, 6 kata penghubung, 4 partikel, dan 3 adverbia. Klasifikasi tersebut berdasrkan kelas kata (part of speech). Berdasarkan Finoza (2002,66) nomina atau kata benda adalah kata yang mengacu kepada sesuatu benda (konkret ataupun abstrak). Kata benda sangat perlu dikenali karena kata benda akan berfungsi sebagai subjek, objek, pelengkap dan keterangan dalam kalimat (Kardi, 2014). Dalam notasi di atas terdapat 36 nomina yang menjadi penanda dsubjek dan objek seperti: Romo, carang, jalmono, dan kumba. Adjektiva atau lebih dikenal dengan kata yang menerangkan sifat, keadaan, watak, tabiat seseorang, binatang, atau suatu benda (Finoza 2002 dalam Kardi, 2014). Dalam notasi di atas adverbia ditunjukkan pada kata utomo, bangit, dan ra prasaja. Terdapat 10 adjektiva yang ditemukan dalam ketiga notasi Gendhing Jawa tersebut. Klasifikasi selanjutnya yaitu verba atau kata kerja yang menyatakan perbuatana atau tindakan, proses dan keadaan yang bukan merupakan kata sifat Finoza dalam (Kardi, 2014), namun berbeda yang disampaikan, kata kerja umumnya berfungsi sebagai predikat dalam kalimat. Yang termasuk dalam verba yaitu dolan, sendoning, ami witi, dan diwasaning. Peneliti menemukan 21 verba yang terdapat pada notasi Gendhing Jawa tersebut. Kata penghubung atau konjungsi yaitu kata tuas yang berfungsi menghubungkan dua kata atau kalimat, karena perannya sebagai penghubung kata sambung disebut juga dengan konjungtor (Kardi, 2014). Kata penghubung yang ditemukan dalam notasi genhing Jawa ada 6 kata yaitu kang, ing, mong, boyo, lan, dan geng. Selanjutnya yaitu klasifikasi adverbia atau dikenal dengan kata keterangan kerja yang dimana menerangkan bentuk predikat. Terdapat 3 adverbia yang ditemukan dalam notasi – notasi tersebut yaitu aja, tanpo, dan ojo. Sedangkan untuk partikel terdapat 4 kata yang termasuk dalam partikel yaitu ala, nadyan, yo dan sopo. Terdaapt 6 kata penghubung yaitu kang, ing, mong, boyo, geng dan lan. Sedangkan untuk makna yang terkandung dalam setiap notasi Gendhing Jawa tersebut yaitu dalam data pertama atau Gendhing Notasi Vokal Ayak – Ayakan (Patalon) Slendro 6memiliki makna bahwa gendhing ini digunakan pada saat pembukaan/memulai wayangan dengan pesan bahwa orang hidup harus mengerti dan tidak boleh mengingkari janji. Data 2 yaitu Gendhing Notasi Vokal Ladrang Sri Kedaton Slendro Manyura bermakna bahwaseorangperempuansebaiknya tidak memainkan perasaan seorang lelaki. Notasi gendhing tersebut dinyanyikan pada saat wayang pertama kali keluar dan dipakai saat ada acara perkumpulan atau pertemuan. Data terakhir yaitu Gendhing Notasi Vokal Dwirodometo Slendro 6 yang digunakan untuk mengiringi prajurit akan berangkat berperang. SIMPULAN Dari ketiga notasi Gendhing Jawa yang diteliti ini, peneliti menarik kesimpulan bahwa bahasa dan kebudayaan memiliki keterikatan yang kuat. Keduanya saling membentuk ciri dari masing – masing bahasa yang timbul karena adanya pengaruh budaya. Bahasa yang digunakan dalam Genhing pewayangan ini memakai bahasa Jawa Kawi yang biasanya digunakan dalam lagu iringan pewayangan ataupun pementasan ketoprak. Peneliti mengklasifikasikan berdasarkan makna dari setiap leksikal yang terdapat dalam ketiga notasi tersebut. REFERENSI Bahasa, P. P. (1977). Hasil Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Seri Penyuluhan 3. Danesi, M. (2004). A Basic Course In Anthropological Linguistics. Toronto: Canadian Scholars Press Inc. Fikri, K. (2012). Variasi Bahasa Jawa Dialek Cirebon. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Ichsan, S. (2015). Penggunaan Bahasa Jawa Oleh Remaja (Studi Fenomenologi Terhadap Komunikasi Berbahasa Jawa Pada Remaja di Desa Mantingan, Ngawi). Doctoral Disertation, 1-44. Kardi, V. (2014). Tinjauan Pustaka. Kennedy, L. M. (2008). Syntax, Semantics, and Discourse. Oxford: Oxford University Press. Kreidler, C. W. (2002). Introducing English Semantics. London: Routledge. Moeliono, A. (1981). Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jambatan: Jakarta. Nababan, P. W. (1991). Sosiolinguistik suatu Pengantar. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
27
Palgunadi, B. (2002). Serat Kandha Karawitan Jawi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Prasetiyo, K. A. (2011). Status Kebahasaan Jawa-Sunda dan Bilingualisme di Kabupaten Tangerang, Banten. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Purwadi. (2009). Seni Kerawitan I. Pendidikan Bahasa Daerah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Purwadi. (2009). Seni Kerawtian I. Pendidikan Bahasa Daerah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Rahayu, I. M. (2013). Variasi Dialek Bahasa Jawa di Wilayah Kabupaten Ngawi: Kajian Dialektologi. Skriptorium, 1(2).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
28
6 ANALISIS DIKSI KATA BLACK DAN WHITE DALAM NOVEL BLACK AND WHITE KARANGAN LEWIS SHINER Bunga Diantirta Yapati Puteri Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Abstrak: Makalah ini berisi analisis diksi kata Black dan White dalam novel Black and White karangan Lewis Shiner. Kata Black dan White dipilih berdasarkan fenomena perang rasial yang masih terjadi di kawasan Amerika sejak 1960 hingga saat ini. Pada 1960, kata Black berarti hitam atau yang sering dikonotasikan dengan ras kulit hitam, sedangkan kata White berarti putih atau yang sering dikonotasikan dengan ras kulit putih. Sejak saat itu, banyak novel yang mengkisahkan perang rasial antara kulit hitam dengan kulit putih, misalnya novel Black and White karangan Lewis Shiner. Dalam novel tersebut, ditemukan perkembangan gaya penulisan kata yang berkonotasi dengan Black (kulit hitam) dan White (kulit putih). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis diksi atau pilihan kata Black dan White dalam novel Black and White karangan Lewis Shiner. Analisis ini dilakukan dengan mengambil sample kalimat yang menggunakan pilihan kata Black dan White, kemudian dijelaskan secara deskriptif kualitatif. Dengan menggunakan software Antconc dan Antword Profiler, analisis tersebut dilakukan dari sudut pandang linguistik korpus. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kata Black dan White menduduki peringkat pertama dalam pilihan kata yang digunakan dalam novel tersebut dengan diikuti kata benda dan kata sifat sehingga pendekatan deskriptif kualitatif bisa disimpulkan merupakan pendekatan yang baik dalam menganalisis diksi atau pilihan kata Black dan White dalam novel Black and White karangan Lewis Shiner tersebut. Kata Kunci: diksi, black, white, perang rasial.
PENDAHULUAN Sejak jaman dulu, perang rasial kerap terjadi. Sehingga kata Black dan White sering diidentikkan dengan warna kulit hitam dan putih. Kulit hitam untuk bangsa Afrika Amerika, sedangkan putih untuk orang kulit putih. Dan hal itu banyak ditranskripsikan dalam novel atau karya sastra. Lantas bagaimana dengan karya sastra sejak tahhun 2000an? Sebagai contoh, karya sastra karangan Lewis Shiner yang berjudul Black and White. Dalam dunia karang-mengarang, Lewis Shiner terkenal akan beberapa novelnya. Beberapa judul di antaranya adalah novel Black & White, yang diterbitkan pada tahun 2008. Dalam novel ini, dikisahkan bahwa seorang tokohnya, Michael, melakukan perjalanan ke Carolina Utara demi mengikuti arwah ayahnya yang telah meninggal dunia. Ia berrmimpi bertemu arwah ayahnya tersebut serta berniat untuk membongkar misteri penyebab ayahnya meninggal. Petunjuk yang ia peroleh membawanya ke sebuah daerah tempat tinggal komunitas kulit hitam di daerah Selatan, yaitu Hayti. Sehingga misteri ayah Michael tersebut menjadi urusan hidup dan mati Michael, sebagaimana konflik rasial terjadi menjadi sebuah peristiwa yang biasa di sana seperti sejak tahun 1960. Berakar dari kisah nyata yang dialami Pemerintah Amerika Serikat mengenai kebijakan urban, novel Black & White merupakan karya thriller, kisah keluarga, serta penelitian mengenai rasa kebencian komunitas kulit hitam secara institusi. Dalam novel Black & White, banyak disinggung kata-kata atau klausa yang mengarah pada kaum kulit putih dan kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Sehingga akan sangat menarik bila dianalisa diksi, kolokasi, serta kata apakah yang diikuti dan mengikuti kata black (kulit hitam) dan white (kulit putih). Adapun rumusan masalah makalah ini adalah (1) Bagaimana diksi yang digunakan oleh penulis, Lewis Shiner, dalam novelnya, Black and White? (2) Apakah kolokasi kata Black dan White yang digunakan Lewis Shiner dalam novel Black and White? Penelitian-penelitian terkait dalam makalah ini adalah penelitian berjudul A Meshfree Local RBF Collocation Method For Anti-Plane Transverse Elastic Wave Propagation Analysis In 2D Phononic
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
29
Crystals dan A New Implementation of the Finite Collocation Method for Time Dependent PDEs. Meskipun begitu, makalah ini berbeda bila dibandingkan dengan dua penelitian terkait. Tujuan utama makalah ini adalah membedah diksi dan kolokasi kata Black dan White yang digunakan Lewis Shiner dalam novel Black and White. Secara keseluruhan, makalah ini akan membahas Analisis Diksi dan Kolokasi kata Black dan White dalam novel Black and White karangan Lewis Shiner. Teori yang akan digunakan adalah teori diksi. Sedangkan yang menjadi subjek studi adalah cerita dalam novel Black and White karangan Lewis Shiner. Dalam novel berjudul Black and White, dikisahkan bahwa seorang tokohnya, Michael, melakukan perjalanan ke Carolina Utara demi mengikuti arwah ayahnya yang telah meninggal dunia. Pria ini bermimpi bertemu arwah ayahnya tersebut serta berniat untuk membongkar misteri penyebab ayahnya meninggal. Petunjuk yang ia peroleh membawanya ke sebuah daerah tempat tinggal komunitas kulit hitam di daerah Selatan, yaitu Hayti. Sehingga misteri ayah Michael tersebut menjadi urusan hidup dan mati Michael. Dan di Hayti, ia menghadapi konflik rasial, antara kulit putih dan kulit hitam, sebagaimana konflik rasial menjadi sebuah peristiwa yang biasa di sana seperti sejak tahun 1960. Pengertian diksi, menurut Keraf (2006:22) adalah lebih luas dari apa yang diperoleh berdasar pilihan kata tersebut. Istilah diksi bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Dalam menggunakan ungkapan-ungkapan, kekayaan berbahasa atau kosakata sangatlah diperlukan. Sebab kekayaan kosakata dapat menjadi penyalur gagasan atau ide, sehingga membuat seseorang semakin mudah dalam menyampaikan gagasan atau idenya. “Bila kita menyadari bahwa kata merupakan alat penyalur gagasan, maka hal itu berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Mereka yang menguasai banyak gagasan, atau dengan kata lain, mereka yang luas kosa katanya, dapat dengan mudah dan lancar mengadakan komunikasi dengan orang-orang lain.” (Keraf, 2006:21)
Sehingga, bila seseorang memiliki pilihan kata atau diksi yang beragam, akan memudahkan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. Seseorang akan menguasai banyak gagasan atau ide, sebab dapat mengungkapkan banyak gagasan atau ide tersebut. Lewis Shiner, lahir pada 30 Desember 1950, adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika. Shiner memulai karirnya sebagai penulis fiksi ilmiah, tapi kemudian dilanjutkan dengan cyberpunk. Baginya, menulis novel lebih utama, meskipun sering dengan realisme dan fantasi elemen magis. Dia adalah mantan warga Texas dan sekarang tinggal di North Carolina. Shiner lulus dari Southern Methodist University pada 1973. Beberapa novelnya memiliki genre rock sebagai tema atau fokus utama, terutama yang menceritakan musisi dari akhir 1960-an. Misalnya, Shiner 1993, Glimpses sebagai album The Doors, Brian Wilson, The Beatles dan Jimi Hendrix. Say Goodbye: The Laurie Moss Story (1999) berfokus pada musisi perempuan fiksi dan album berikutnya yang turun. Slam (1990) direkam dalam genre musik punk dan budaya anarkis. Mungkin karena novel dengan musik sebagai tema utama, umumnya tidak dianggap sebagai materi bergenre mainstream, karyanya jadi sering diabaikan. Dia adalah seorang penulis yang berkontribusi pada antologi George R.R. Martin-Antologi Wild Cards yang diedit, terutama yang menciptakan karakter paling kuat bahwa alam semesta ini, Fortunato. Pada Juli 2007 Shiner menciptakan situs web Fiction Liberation Front (FLF) sebagai venue untuk cerita pendek. Cerita-cerita tersebut dirilis di bawah lisensi Creative Commons dan tersedia dalam format HTML dan PDF. Dia telah menulis sebuah manifesto kecil yang menjelaskan mengapa ia melakukan hal tersebut. Sejak tahun 2006, Shiner telah menjadi anggota serikat pekerja radikal, the Industrial Workers of
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
30
the World. Pada 22 Juli 2007, The News & Observer mulai menerbitkan kolom mingguan yang ditulis oleh Shiner, berjudul “Graphic Scenes”, tentang komik. METODOLOGI Jenis penelitian kualitatif, dengan metode pengumpulan data dari perpustakaan. Menurut Djajasudarma (1993:6), metode pengumpulan data perpustakaan adalah bahwa data dari informasiinformasi lain yang terkait berasal dari buku. Jenis data yang digunakan adalah written text, yaitu data tertulis. Yang digunakan oleh penulis, adalah novel berjudul Black & White, karya Lewis Shiner. Tipe analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analsia deskriptif interpretatif. Menurut Djajasudarma (1993:8), analisa deskriptif mempelajari beberapa masalah dan fenomena dalam lingkungan masyarakat yang dikisahkan dalam novel. Akan ada analisa data yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginterpretasikan fenomena pada data. PEMBAHASAN Menurut The Contemporary English-Indonesian Dictionary, black adalah hitam, dan white adalah putih. Sehingga bila dicari kolokasi kata black dan white dalam novel Black & White, karya Lewis Shiner, yaitu: Kolokasi kata Black, dengan tiga kata di sebelah kanan Black, 0 kata di sebelah kiri Black. Kolokasi juga dilihat berdasarkan frekwensi kemunculan. Dalam software Antconc, dimasukkan kata Black. Maka akan diperoleh hasil 12 urutan kolokasi teratas:
Maka akan diperoleh kata ‘white’ menduduki peringkat pertama. Kata ‘white’ tersebut terletak di posisi dalam kalimat:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
31
Namun ternyata kata Black & White tersebut termasuk sub judul yang ada di setiap halaman, kecuali pada kalimat urutan ke 3, 9, 77, dan 99, maka kata White bisa dieliminasi. Jadi yang menduduki peringkat pertama adalah kata ‘and’. Kata ‘and’ muncul dalam kalimat:
Dalam kalimat-kalimat tersebut, sebagian besar diperoleh arti ‘black’ adalah ‘kulit hitam’ atau ‘ras Afrika Amerika’. Sedangkan kolokasi kata ‘white’ adalah:
Kecuali kata ‘the’, sebab sebagian besar kata ‘the’, terdeteksi terletak di sebelah kanan kata ‘white’ yang sebagai sub judul, kecuali dalam kalimat urutan nomor 5, 6, 7, 10, 12, 13, 14, 16, 18, 20, 21, 23, 24, 26, dan 27. Jadi frekwensi kemunculan kata ‘the’ sebanyak 15 kali.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
32
Jadi kolokasi kata tertinggi dari kata ‘white’ adalah kata ‘man’, yang dalam novel karangan Lewis Shiner tersebut berarti ‘orang’ atau ‘laki-laki’. Jadi kata ‘white’ dalam novel tersebut berarti ‘kulit putih’.
SIMPULAN Jadi dapat disimpulkan bahwa kata ‘black’ dan ‘white’ dalam novel Black & White karangan Lewis Shiner tersebut memiliki arti ‘kulit hitam’ dan ‘kulit putih’. Kata tersebut masih sering digunakan untuk merepresentasikan ras kulit hitam dan kulit putih.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
33
REFERENSI Antconc. Software. Antword Profiler. Software. Djajasudarma, Dr. Fatimah T. (1993). Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: P.T. Refika Aditama. https://en.wikipedia.org/wiki/Lewis_Shiner [6 Januari 2016] Salim, Drs. Peter, M.A. (1996). The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Seventh Edition. Jakarta: Modern English Press. Shiner, Lewis. (2008). Black & White. Burton: Subterranean Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
34
7 EUPHEMISM: DOES IT EXPRESS POLITENESS WHEN IT IS USED IN COMMUNICATION? Chatarini Septi Ngudi Lestari Trisnayanti STIBA SatyaWidya Surabaya Abstract: Euphemism is one of the kinds of figurative language, which is often used in a communication, both written and spoken in a certain context. Communicators use euphemism to cover up or soften the unpleasant connotations and denotations meanings of some words or expressions. Therefore, this paper attempts to investigate the use of euphemism in The Jakarta Post’s articles which publishedfrom March to April 2015. The aims of this paper are to classify what kinds of euphemism are used in The Jakarta Post’s articles; to describe how the form of euphemism when it is used; and to explain why euphemism is used. In analyzing the data, it applied a qualitative approach since the data are in the form of words and it also employs content analysis method in order to get the descriptive information which manifest content of communication occurred in these articles of The Jakarta Post. After analyzing the data, it has been found that the kinds of euphemism used in these articles are varied and the dominant euphemism is semantic change. Euphemism used in these articles in order to avoid an unpleasant thing, to show a politeness, to avoid a bad connotation, to protect reputation, to avoid a prejudice against someone. In conclusion, the use of euphemism in communication is as an alternative to express politeness Keywords: euphemism, politeness, communication, context
INTRODUCTION People use language for communication in their everyday life. They use language in order to share their ideas, wants, and emotion. They also use the language to buildthe relationship among others. Trugill (1984:13) says that language is not simply as means of communicating information about any subject but it is also very important means of establishing and maintaining the relationship to others. It can be meant that language is very important for human life since it is not only used to communicate, but also to deliver the message and tomaintain the relationship among other.Communication clearly depends on not only recognizing the meaning of words in an utterance, but recognizing what speakers mean by their utterances (Yule,2010:127). Realising the phenomena from written communication (i.e. a newspaper) and spoken communication (i.e.an interview on TV)) that everybody uses language in order to pay attention from hearer(s)/ interlocutor(s), un(conciously) they try to manipulate their linguistic resourses. If it is looked in details, there is a strong reaction to the world around by imposing their linguistic behavior. Language is used as a shield against malign fate and the disapprobation of fellow human beings. They use the language as a weapon against enemies and as a release valve when they are angry, frustrated or hurt (see Allan and Burridge, 2006:2). This is an interesting perspective on the human behavior. That is why this present paperattempts to describe those phenomena, that is how to express their linguistic behaviour to cover up or soften the unpleasant connotations and denotations meanings of some words or expressions. The technical term usually is called euphemism. This term derived from Greek (Allan and Burridge, ibid:29), ‘eu’ means ‘good, well’ and ‘pheme’ means ‘speaking’. So it is also called ‘Sweet Talking’. Euphemism is an expression which loses its literal meanings which refer to something in order to hide its unpleasantness. Euphemism can occur in spoken (everyday life) and written (literature, newspaper).The use of euphemism in their communication, indeed they want to express their politeness in order that the hearer(s)/ interlocutor(s) are not hurt. The way how to express euphemism they sometimes apply acronym, borrowing, clipping, and even semantic change, which may be the meaning of the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
35
word(s) different from the real meaning. This paper investigates the use of euphemism in Jakarta Post’s articles in order to know what kinds of euphemism used in these articles, to describe how euphemism formed, why euphemism used, and whether the use of euphemism expresses politeness.So that this analysis conducted to see that euphemism is used to express a politeness or bring other meanings. To get an objective description of euphemism, it is very important to discuss the related theories to support the analysis. Euphemism is one of the kinds of figurative language.Kennedy(2002:119) states that figurative language is language which is not a real meaning. The figurative meaning is not fit again with the concept of the word, it is transferred from a real meaning, and there is still relation between them, if we want to understand it deeply. Leech (1981: 45) defines euphemism as the practice of referring to something offensive or delicate in terms that make it sound more pleasant.Allan and Burridge(1991:11) also state that euphemism is used as an alternative to a dispreferred expression, in order to avoid possible loss of face. So it can be captured that euphemism is a way or an alternative to deliver something to someone without offending.Meanwhile, Sanderson (1999: 259) adds that euphemism can be used as a way of being vague and unclear, or to cover up the truth or reality of a situation. Cruse (2006:57) emphasizes that euphemism is an expression that refers to something that people hesitate to mention lest it cause offence, but which lessens the offensiveness by referring indirectly in some way.Johnstone (2008: 59) also adds that euphemism is the use of a supposedly less objectionable variant for a word with negative connotations a.All of them can be concluded that euphemisms are kinds of strategies which are used as a way of not wanting to frustrate or hurt those in sorrow but to somehow please them by using less offensive words in place of offensive ones.It can be meant that euphemism is an expression of a word or phrase which is used to avoid saying an unpleasant or offensive word, for instance, Senior citizen instead ofOld person. There are several ways how to form of euphemism (see Sebkova, 2012:8). The processes of euphemism are as follows: a. Borrowing words from other languages (English, Latin, French), for instance, Latin terminology for body parts used by educators, medical terms; French “au naturel” for naked, “lingerie” for women’s underwear. Foreign words may be used to replace an impolite expression, such as “faux” for “fake” or “faux pas” for “foolish error” b. Semantic change, it is divided into: 1) Circumlocution, it means expressing oneself about way. It usually uses longer expressions. For example, “ little girl’s room” means “toilet”; “flatulence” for “farting”; “perspiration” for “sweat”; “mentally Challenged” for “stupid” 2) Widening, that is increasing the level of abstraction. For examples, “solid human waste” for “feces”; “before I go” means “before I die). 3) Metaphorical transfer, it is a comparison of one things to another things. For examples, “blossom” for “pimple”; “the cavalry’s come” means “menstruation. c. Phonetic distortion, it includes: 1) Clipping and abbreviation, they are longer words are reduced to shorter words. For examples: clipping (“ladies” for “ladies’ room; “bra” for “brassiere”); abbreviation ( “BS” for “bullshit”; “BO” for “body odor”). 2) Reduplication, the expressions are expressed by repeating all or part of a word. For example, “pee-pee” for “piss”; “jeepers creeper” for “Jesus Christ”. 3) Distortion of pronunciation, for instance, “shoot” or “shite” for “shit”; “fudge” for “fuck”, “cripes” or “crusty” for “Christ” Language is a means of communication. Language in communication is to accomplish social function. This means that language cannot be separated from the situational context in which it is used. Language use in the community or in the situational context consists of various kinds of language functions. Discussing language function can be described from different point of view. Related to the topic of the present paper, euphemism, it is clear that there is a tight relationship between politeness and euphemism. Since politeness is a matter of minimizing the negative effects of what one says on the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
36
feelings of other and maximizing the positive effects (Cruse, 2006:131), so the function of using euphemisms (Alwasilah, 1999:46; Wardhaugh, 2002:14) are: (1) to substitute bad connotation of utterances, (2) toprotect someone or group of people from the feeling of shame, (3) to substitute the word to express their ideas, (4) to avoid of saying taboo word , (5) to neutralize unpleasant thing to be said, (6) to protect personal name or group, (7) to amplify or exaggerate, (8) to speak politely and courteously METHODOLOGY In this present analysis, it applied a qualitative approach in order to know the phenomena happen in Jakarta Post’s articles (March-April 2015). It is used since the data are collected in the form of words. Qualitative methodologies refer to research procedures which produce descriptive data (see Bogdan and Taylor, 1975:4 and Bogdan and Biklen, 1998:29). Creswell (2009:4) adds that qualitative research is a means for exploring and understanding the meaning individuals or groups describe to a social or human problem. It means that descriptive research is used to get any information related to the current phenomena and to give a detail description of those phenomena. In analyzing the data, it employed content analysis method. It is used in order to achieve a better understanding of what happen and how to interpret to the current situation (Borg and Gall, 1991:511). The procedures of data collection are: (1) reading the articles carefully, (2) segmenting the articles into paragraph, and (3) identifying the data which are related to topic (euphemism). While how to analyze the identified data take the following procedures, they are: (1) classifying the types of euphemism, (2) describing how euphemism formed, and (3) explaining why euphemism used. DISCUSSION From the analysis, it can be known that all kinds of euphemism are found in Jakarta Post’s articles (March-April 2015), that are borrowing, semantic change, and phonetic distortion. The forms of euphemism which found are metaphorical transfer, widening, abbreviation, reduplication. While euphemism used in these articles in order to show politeness, to avoid the unpleasant things, to protect from the conflict. To make them clear, it can be seen in the following table, they are as follows: Table 1 Summary of the Result of theAnalysis No 1
Data
Kinds of Euphemism away Semantic change
Form of Euphemism Widening
3
Passed peacefully One of the legendary Semantic change figures of Asia in 20th and 21st century Lose-lose game Phonetic distortion
4
Grieved beyond words
Semantic change
Widening
5
Semantic change
Circumlocution
6
Red-and-white Coalition BRCAI
Phonetic distortion
Abbreviation
7
Suspicious budget
Semantic change
Metaphorical transfer
2
Use of Euphemism To show politeness
Metaphorical transfer
To appreciate charismatic leader
Reduplication
To avoid of saying as default a country or save loss face To amplify the deep sadness in unpleasant situation To neutralize unpleasant thing to be said To avoid unpleasant thing ( to suffer from illness) by shortening the longer word To avoid unpleasant
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
the
37
8
An economic weapon
Semantic change
Metaphorical transfer
9
OPEC
Phonetic distortion
Abbreviation
10
Maladies
Borrowing word
French medical term
11
#RIP Olga Syahputra
Semantic change
Metaphorical transfer
12
Plays down
Semantic change
Metaphorical transfer
13
Potty mouth
Semantic change
Metaphorical transfer
14
Gubernurmonyet (the Semantic change Monkey Governor) Players Semantic change
Metaphorical transfer
16 17
Too slowly Semantic change Steambaths (de facto Semantic change brothels)
Metaphorical transfer Metaphorical transfer
18
Dana siluman (sneaky Semantic change budget)
Metaphorical transfer
19
To grill
Semantic change
Metaphorical transfer
20
HIV
Phonetic distortion
Abbreviation
21
A blusukan Semantic change (impromptu visit) Sexually-transmitted Semantic change diseases
Metaphorical transfer
23
Predator priests
Metaphorical transfer
24
Dirty old men’s sick Semantic change pedophilic perverted longings
15
22
Semantic change
Metaphorical transfer
Metaphorical transfer
Widening
thing to hear To avoid unpleasant situation or to protect the reputation of a country To shorten the longer word To replace the word illness To express very deep sadness situation by neutralizing unpleasant thing to be said (death) To protect a group from conflict (as political purposes) To avoid substitute bad connotation of utterances in order not to hurt the feeling To avoid bad connotation To avoid unpleasant thing (prejudice) To speak politely To avoid of saying taboo word (refer to brothel house) To protect someone or a group of people from the feeling guilty To explain the state of someone To protect someone from the feeling of shame To impress popularity To substitute unpleasant thing ( disease transmission) To avoid unpleasant thing (taboo word: bad attitude) To punish someone by saying directly due to the reprehensible actions
From the table above, it can be described that semantic change appears 19 times from 24 identified data. It can be said that semantic change is the most dominant. It indicates that kind of
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
38
euphemism in the form of a word or a phrase whose meanings have a tendency to change over time related to the context. While the form of euphemisms which appears related to semantic change are metaphorical transfer, widening, and circumlocution. Metaphorical transfer used to compare one thing to another thing.Widening used to increasing the level of abstraction. Circumlocution used toexpress oneself about way. Phonetic distortion appears 4 times. The form of phonetic distortions which is used is abbreviation and reduplication.Borrowing word from other language appears once. While the function of euphemism which are used in these articles (March-April 2015) varied, such as showing politeness, appreciating, avoiding of saying unpleasant things, neutralizing unpleasant things to be said, protecting someone or a group of people, expressing very deep sadness, punishing someone by saying directly, explaining the state of someone, shortening the longer words, and avoiding of saying as default a country or saving loss of face. CONCLUSION From the result of the analysis it can be concluded that euphemisms which are used in Jakarta Post’s articles from March to April 2015 varied. They are borrowing (1), semantic change (19), and phonetic distortion (4). Semantic change is the most dominant euphemisms are used in Jakarta Post’s articles.The form of euphemisms is metaphorical transfer, widening, circumlocution, abbreviation, and reduplication. The euphemistic expression used in order to soften the expression, to be polite, to be impolite. By using euphemism, it can be hoped that the communication can run smoothly since euphemism is an alternative to a dispreferred expression in order to avoid possible loss of face. REFERENCES Allan, Keith. andBurridge, Kate. 2006. Forbidden Words: Taboo and censoring of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Bogdan, R.C. and Biklen, S.K. 1998. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc. Borg, Walter R and Gall, Meredith Damien. 1991. Educational Research: An Introduction 94th Edition). USA: Longman. Creswell, John W. 2009. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches 3rd Edition. United States of America: SAGE Publications, Inc. Cruse, Alan. 2006. A Glossary of Semantics and Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press https://lynnschneiderbooks.com/.../20-examples https://examples.yourdictionary.com/examples-of-euphemism Johnstone, B. 2008.Discourse Analysis 2ndEdition.United of Kingdom: Blackwell Leech, Geofrey. 1981. Semantics 2nd Edition. Harmondsorth: Penguin Books Pour, BehnazSanaty. 2010. “A Study of Euphemisms from the Perspectives of Cultural Translation and Linguistics” A paper from Translation Journal: Cultural Aspects, Vol. 14. No. 4. URL:http://translationjournal.net/journal/54euphemism.htm Sebkova, Mgr. Kristyna. 2012. Euphemism. Brno: Masaryk University Brno Sanderson, P. 1999. Using Newspaper in the Classroom..United of Kingdom: Cambridge University Press. Trudgilll, Peter. 1984.:An Introduction to language and Society. England: Northumberland Press Ltd. Yule, George. 2010. The Study of Language 4th Edition. Cambridge: Cambridge University Press Wardhaugh,Ronald.2006. An Introduction to Sociolinguistics ( 5th Ed). Blackwell Publishing
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
39
8 USING NEWS REPORT AS A READING MATERIAL IN TEXT ANALYSIS TEACHING FOR EFL ADOLESCENT LEARNERS: CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS APPROACH BramantyaPradipta1 SalimAnshori 1, 2 1 Universitas Airlangga 2 Universitas Trunojoyo Madura Abstract: Language, in this case English, can be obtained from two ways, acquisition and learning. In this essay, it concerns about learning as a way to obtain the language because it is a second language and the learners here are adolescent. In English, there are four skills that are used in learning English. The four skills are speaking, listening, reading and writing. Reading skills in a foreign or second language is one of the essential skills required of people living in multilingual and international setting. However, teaching reading is a complex task as it requires a combination of skill and sub skills that include largely while processing information from a text. There are so various method in reading teaching, one of those is critical reading that is awareness of the fact that all texts are crafted objects, written by persons with particular dispositions or orientations to the information, regardless of how factual or neutral the products may attempt to be.News reports are used as the reading material in text analysis teaching because they proposed some advantages to the learners.In getting comprehension of learning by using critical reading, critical discourse analysis approach is applied. Keywords: language, critical reading, news article, critical discourse analysis INTRODUCTION As a global language, English is the most use language in the world above Chinese language although the number of English native speaker fewer than Chinese native speaker. The number of English native speakers are 375 million people, meanwhile the number of Chinese native speakers are 982 million people. However, the number of total speakers of English language are 1.500 million people whereas the number of total speakers of Chinese language are 1.100 million people (http://www.statista.com/statistics/266808/the-most-spoken-languages-worldwide/). Therefore, learning English can be considered as a useful thing. One of the skills in learning English is a reading skill. It is undeniable fact that reading ability in a foreign or second language is one of the essential skills required of people living in multilingual and international setting. As stated by Anderson (2003), reading comprehension is an essential skill for learners of English and for most of the learners it is the most important skill to master in order to ensure success in learning . Among the four macro skills of English, reading is often challenging for the learners to develop. Teaching reading is a complex task as it requires a combination of skill and sub skills that include largely while processing information from a text. Moreover, the fact that different readers read a text with different purposes has led to the innovation of a variety of approaches or methods which are being practiced in many foreign or second language learning contexts. Reading comprehension method used in this study is critical reading. Critical reading is an awareness of the fact that all texts are crafted objects, written by persons with particular dispositions or orientations to the information, regardless of how factual or neutral the products may attempt to be
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
40
(Freebody and Luke,1990). Lessons that include critical literacy perspectives help learners examine biases and purpose of texts, assess the broader societal messages about values, attitude, and all power relationships that are being conveyed through the text. The method of text analysis used in this paper is related to critical discourse analysis. Related to teaching, critical discourse analysis is a creative and disciplined enterprise which is based on a speech act theory that says that language is used not only to describe things but to do things as well (Brown and Yule, 1985). It is essentially an approach to language analysis, which concerns itself with issues of language, power and ideology. Critical discourse analysis focuses on language as it used by real people with real intentions, emotions and purposes. Critical Discourse Analysis (CDA) is a perspective on critical scholarship: a theory and a method of analyzing the way that individuals and institutions use language. A Critical discourse analyst focuses on social problems and especially the role of discourse in the production and reproduction of power abuse or domination (van Dijk, 2001, cited in Richardson, 2007:1). In Critical Discourse Analysis, discourse is not understood as study of language only. In this case, the language is not only related to the texts itself but also related to the contexts. The usage of language related to the contexts is producing and distributing certain ideology for certain practice and purpose. Since people acquire, express and reproduce their ideologies largely by text or talk, a discourse analytical study of ideology is the most relevant. Fairclough (1992) have another view on critical discourse analysis related to analyzing text, he proposed that the critical discourse analysis of a text should pass through the three stages of description, interpretation of the relationship between text and interaction, and explanation of the relationship between interaction and social context. In this approach, he distinguished between three types of value that formal feature of a text may have. The first is the experimental value in which the text producer’s experience of the natural and social world is represented through the content in the form of personal knowledge and beliefs. The second is the relational value in which the social relationship is enacted via the text in the discourse, and the third is the expressive value in which the producer of a text evaluates an aspect of reality or social identities. Objective of the Study This study tries to investigate if teaching reading class based on critical discourse analysis by using news article as reading material will take any effect on learners overall comprehension. DISCUSSION Teaching reading can be done by various method and approach. In this essay, the writer tried to use different approach in teaching reading class. Teaching reading by using critical discourse analysis approach has some advantages compared to other approach. Based on Miller (1997), CDA differs from other forms of textual analysis in six major respects. First, it tries to acknowledge the fact that authentic texts are produced and read (or heard) not in isolation but in some real-world context with all of its complexity. CDA is thus highly context-sensitive: It tries to take into account the most relevant textual and contextual factors, including historical ones that contribute to the production and interpretation of a given text. Second, although critical discourse analysis casts a broad net, it is a highly integrated form of discourse analysis in that it tries to unite at least three different levels of analysis: the text; the discursive practices (that is, the processes of writing/speaking and reading/hearing) that create and interpret that text; and the larger social context that bears upon it. In so doing, CDA aims to show how these levels are all interrelated. Third, critical discourse analysis is very much concerned with important societal issues. This feature derives partly from the first, inasmuch as "context" is meant to include not only the immediate environment in which a text is produced and interpreted but also the larger societal context including its relevant cultural, political, social, and other facets. CDA researchers and theorists feel that since there are no restrictions on the scope of an analysis, we might as well choose texts that potentially have real consequences in the lives of a large number of people.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
41
Fourth, in analyzing such texts, CDA practitioners typically take an ethical stance, one that draws attention to power imbalances, social inequities, non-democratic practices, and other injustices in hopes of spurring readers to corrective action. This is why the term critical is used: CDA not only describes unfair social/political practices but is explicitly critical of them. Fifth, critical discourse analysis assumes a "social constructionist" view of discourse. Following the poststructuralist philosophies of Michel Foucault, Mikhail Bakhtin, and others, CDA practitioners assume that people's notions of reality are constructed largely through interaction with others, as mediated by the use of language and other semiotic systems. Thus, "reality" is not seen as immutable but as open to change which raises the possibility of changing it for the better. By focusing on language and other elements of discursive practice, CDA analysts try to illuminate ways in which the dominant forces in a society construct versions of reality that favor the interests of those same forces. By unmasking such practices, CDA scholars aim to support the victims of such oppression and encourage them to resist it. Finally, in pursuit of these democratic goals, critical discourse analysts try to make their work as clear as possible to a broad, nonspecialist readership. In particular, we try to minimize the use of scholarly jargon and convoluted syntax, even at the risk of losing some precision in the analysis. This view is quite similar to view of Dijk (1997), Critical Discourse Analysis is a approach to the analysis of language use that shares the premises of the more social approaches to discourse. Firstly, it considers discourse as a practical, social and cultural phenomenon. Secondly, it views the relationship between discourse and context as dialectical, whereby the former is influenced by and at the same time shapes the latter. And, thirdly, it distinguishes between local and more global functions of discourse in a hierarchy that goes from the particular pragmatic function of a discourse move in the text (for example, apologizing, inviting) to social, political, and cultural functions (for example, promoting globalization, discriminating). The activity will be organized into three phases corresponding to three levels of analysis: social practice, discursive practice, and textual practices. In applying three levels of analysis of CDA can be implemented in the classroom, it can use the format that Wilis (1996) proposes for task: pre-task, task cycle and language focus. The pre-task phase involves basically an introduction by the teachers to the topic and task, identifying the essential notions that students will have to use. The task cycle is divided into three stages: the task, the planning or preparation of the report, and the presentation of the report. Finally, in the language focus phase, the students examine and discuss specific features of the text, try to reach some conclusions, and apply them to specific practice. CONCLUSION AND SUGGESTION From the explanation above, it is still cannot be concluded yet, but from limited data can give brief description a new approach to teach critical reading by using critical discourse analysis. Critical discourse analysis approach provides eight advantages as it is used in teaching critical reading. The first is, the learners will know that the authentic textis always related with the contexts. Second, CDA tries to integrate all three aspect in comprehending discourse, they are the text itself, the discursive practices and larger social contexts. Third, critical discourse analysis is very much concerned with important societal issues. Fourth, CDA not only describes unfair social/political practices but is explicitly critical of them. Fifth, critical discourse analysis assumes a "social constructionist" view of discourse. The last is critical discourse analysts try to make their work as clear as possible to a broadnonspecialist readership in pursuit of these democratic goals. From the explanation above, the learners who used this approach are expected to be more sensitive in social problems, not only the reading the news articles and then analyze them but also applying their analyses into the social practices. It will also add some knowledge for the learners to know the problem directly from the real situation. Suggestion for the following research is to compare the results of critical reading by using critical discourse analysis approach with other approaches. Besides, if the genre of the news articles are different from each meeting, do they make significant different result to the learners?
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
42
REFERENCES Anderson, N.J. (2003). Scrolling, Clicking, and Reading English: online reading strategies in second/foreign language. The ReadingMatrix, 3(3).Retrieved from http://www.readingmatrix.com/articles/anderson/article.pdf. Brown, Gillian and Yule, George. 1985. DiscourseAnalysis. Cambridge: Cambridge University Press. Fairclough, N. 1992.Discourse and Social Change. London: Poltiy Press. Freebody,P., & Luke, A. ‘Literacies’ Programs: Debates and Demands in Cultural Context . ‘Prospect, 5 (3), 7-16. Ghazali, Fawzi Al. 2007. Critical Discourse Analysis: How Can Awareness of CDA Influence Teaching Techniques? Miller, Tom. 1997. Functional Approaches to Written Text: Classroom Applications. Washington D.C: United States Information Agency. Richardson, John E. 2007. AnalyzingNewspaper: An approach from critical discourse analysis. 2007. New York: Palgrave Macmillan vanDijk, T.A. 1997. Discourse as Interaction in Society in T.A. van Dijk (ed.). Discourse as Social Interaction. London: Sage. Wilis, J. 1996. A Framework for Task-based Learning. Harlow: Longman Pearson Education
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
43
9 KOMUNIKASI POLITIK JOKOWI: ANALISIS WACANA KRITIS D. Jupriono Agus Sukristyanto Arief Darmawan FISIP, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Abstrak: Semua tokoh politik sangat memperhitungkan retorika verbal dan tanda-tanda nonverbal dalam berkomunikasi kepada publik. Tokoh-tokoh politik tidak sembarangan dalam ber-retorika: memilih kata, memakai bentuk kalimat, menyertakan gaya dan ekspresi saat berkomunikasi di ruang publik. Begitu juga Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo (Jokowi). Dengan perspektif analisis wacana kritis (critical discourse analysis, CDA), dapat disimpulkan bahwa dalam berkomunikasi di hadapan publik dan media massa, Jokowi senantiasa memilih kata tertentu dan bentuk kalimat tertentu untuk menyampaikan gagasan program atau memberikan reaksi terhadap komentar dan peristiwa sosial politik. Untuk menyampaikan pokok-pokok persoalan yang mengandung pesan positif (keberhasilan, kemajuan), Jokowi selalu menggunakan bentuk kalimat aktif. Sebaliknya, pokok persoalan yang mengandung pesan negatif (kegagalan, kemunduran) akan disampaikan dalam bentuk kalimat pasif. Tidak jauh berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, Jokowi memilih bentuk-bentuk kalimat ini sebagai retorika politik untuk menonjolkan keberhasilan dan sekaligus menutupi kegagalan sebagai presiden/kepala pemerintahan dalam merealisasikan program-program perubahan yang dijanjikan di awal pemerintahannya. Kata kunci: komunikasi politik, retorika politik, critical discourse analysis (CDA), kalimat aktif, kalimat pasif PENDAHULUAN Semua aktivitas komunikasi yang bersangkut paut dengan upaya meraih, mempertahankan, dan memperkuat kekuasaan, layak disebut sebagai komunikasi politik. Dalam komunikasi politik pesan dipertukarkan melalui simbol-simbol verbal dan nonverbal; pesan dimaksud tentulah pesan politik. (Haynes 2014; cf. Cangara 2014). Tindakan retorik seorang tokoh (politisi, legislatif, eksekutif, presiden, dll.), yang sedang menyampaikan pernyataan, wawancara, pidato, pada hakikatnya sedang melancarkan upaya meraih kekuasaan. Dengan demikian, ia tengah melancarkan komunikasi politik. Tidak terkecuali Jokowi—Presiden Republik Indonesia Ir. H. Djoko Widodo, tentu saja. Dalam belantara perpolitikan di Indonesia nama Jokowi adalah sosok baru yang meroket mengungguli tokohtokoh politik kawakan, seperti SBY, Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo, Amien Rais, Wieranto. Perjalanan karier politik Jokowi dapat dibilang “terlalu cepat” bak meteor. Pada 2005 Jokowi terpilih menjadi Walikota Solo; 2009 Walikota Solo lagi; 2012 Gubernur DKI; 2014 Presiden RI! Sosok Jokowi muncul dengan citra yang berbeda dengan politisi-politisi kawakan yang lebih dahulu terjun di kancah politik. Gaya oratori dan gerak Jokowi jauh terkesan kalem, merakyat, sederhana, lugu. Selama ini tokoh-tokoh politik lazim sangat memperhitungkan retorika verbal dan simbol nonverbal dalam melancarkan komunikasi politik. (Micciche 2004; cf. Billig2008). Mereka sangat memperhitungkan pilihan kata, bentuk kalimat, serta gaya dan ekspresi saat saat berkomunikasi di ruang publik. (cf. Fowler1996; Wodak2007). Bagaimana komunikasi politik gaya Jokowi? Bagaimana retorika Jokowi ketika menyampaikan realitas menyenangkan (keberhasilan)? Bagaimana bentuk kalimat Jokowi saat harus menyampaikan realitas tidak menyedangkan (kegagalan, belum berhasil)? Inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Bahwa pertanyaan-pertanyaan ini banyak dipergunjingkan di ngerumpi sehari-hari, dipolemikkan di
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
44
media TV dan media sosial, itu sudah jelas. Akan tetapi, hingga hari ini – jika saja telusuran penulis bisa dipercaya – riset akademik serius terhadap semua ini belum pernah penulis temukan. Seorang tokoh (politisi, presiden, menteri, ketua DPR, dll.) cenderung memilih kata dan kalimat tertentu untuk mencapai tujuannya (cf. van Dijk 1998). Pemakaian kata, kalimat, gaya, intonasi tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berbahasa/berkomunikasi, tetapi, lebih dari itu, harus dipahami sebagai strategi politis untuk memengaruhi opini publik, menggalang dukungan, memeroleh legitimasi, dan menyingkirkan lawan/pesaing politis (Fowler, 1996; Haynes 2014). Bahkan, dapat digeneralisakan bahwa apa pun yang diucapkan dan dilakukan seorang tokoh di hadapan atau ditujukan kepada publik harus dipandang sebagai sebuah bentuk komunikasi politik (cf. Cangara 2011). Tokohtokoh politik cenderung mengatakan sesuatu yang positif dan menguntungkan dirinya dan menyamarkan atau bahkan membunyikan segala yang negatif dan merugikan dirinya. Pada saat yang sama lazimnya ia lebih banyak—bahkan hanya—menyatakan sesuatu yang negatif mengenai lawan-lawan politisnya (Fowler, 1996). Pesan-pesan seorang politisi diorganisasikan dengan pertimbangan-pertimbangan berikut. Over power’em theory: pesan yang sering diulang, panjang dan cukup keras, akan ditinggalkan khalayak. Glamour theory: pesan yang dikemas cantik, ditawarkan dengan daya persuasif, akan menarik minat publik. Don’t tele’em theory: jika ide tidak disampaiakn, khalayak tidak akan mengetahui mdan juga tidak menanyakannya. One side issue: hanya menonjolkan kebaikan (diri sendiri) dan atau keburukan (lawan politik). Two-side issue: bukan hanya menyampaikan kelebihaan dan kebaikan (diri), tetapi juga kekurangan dan keburukan (lawan) (cf. Putnam2014, 2015; Gronbeek 2014). METODOLOGI Ancangan (approach) dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis (critical discourse analysis) (Bungin 2015) versi van Dijk dan Fowler (1996) tentang keaktifan-kepasifan bahasa-kalimat sebagai cermin bagaimana seorang komunikator menempatkan dirinya (Beaugrande2006;Eriyanto 2009). Dengan ancangan analisis wacana kritis, pernyataan-pernyataan Jokowi tidak akan dikaji secara deskriptif melulu dari aspek struktur gramatikalnya, tetapi dikaji secara kritis dengan menginterpretasikan mengapa Jokowi memilih bentuk bahasa tersebut, sesuai dengan konteks sosial historis yang terjadi saat pernyataan tersebut disampaikan (cf. Bungin 2015) sepanjang 2015-2016. Sebagai penelitian komunikasi, fokus yang relevan untuk dikaji adalah tujuan, maksud terselubung, atau citra yang dikehendaki oleh pembicara (Presiden Jokowi) dan bukan struktur gramatikal atau deskripsi konstruksi pernyataannya (Fowler 1996; Eriyanto 2009). Yang dimasalahkan bukan “apa yang dinyatakan”, tetapi “bagaimana pesan disampaikan” dan “mengapa memilih cara itu” (Beaugrande2006; Wodak, 2007). Data dijaring melalui teknik dokumentasi dari pernyataan dan teks pidato Presiden Jokowi selama kurun pemerintahan 2015-2016:pidato kenegaraan di depan DPR dan DPD pada 14 Agustus 2015, pidato Presiden di COP21 Paris 30 November 2015, pernyataan kemarahan Jokowi terkait kasus “Papa Minta Saham” 7 Desember 2015, sambutan Presiden RI pada peresmian gedung baru KPK 29 Desember 2015, pernyataan Presiden pada pembebasan 10 ABK WNI, Minggu, 01 Mei 2016 (www.setneg.go.id/index.php?). Analisis data dilakukan dengan mengikuti langkah berikut. Pertama, menandai bagian-bagian teks pernyataan Jokowi yang mengandung informasi/makna keberhasilan atau kegagalan. Kedua, menentukan bentuk bahasa (kalimat) yang dipilih Jokowi untuk mewadahi informasi keberhasilan/kegagalan. Ketiga, menafsirkan makna komunikasi dari pemilihan bentuk bahasa aktif dan pasif tersebut. PEMBAHASAN Presiden Jokowi harus mengkomunikasikan rencana, implementasi, dan penilaian terhadap program-program yang dijalankan oleh Kabinet Indonesia Hebat serta memberikan pernyataan terkait masalah-masalah aktual yang sedang menjadi opini publik. Sehubungan dengan itu, temuanpengkajian tentang komunikasi politik Presiden Jokowi dapat dideskripsikan sebagai berikut. Pertama, sesuatu yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
45
tidak berisiko, yang positif, yang mengandung informasi keberhasilan, yang tidak berpotensi mengundang kritik, akan disampaikan Jokowidalamkalimat aktif. Kedua, kalimat pasif pada pidato Jokowi 2015— 2016 hampir selalu digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kurang positif, yang berpotensi memicu kritik, yang bersangkut paut dengan hal-hal tidak berhasil atau gagal. Jokowi sering memilih bahasa yang berbentuk kalimat aktif ketika menyampaikan sesuatu yang tidak berisiko, yang positif, yang mengandung informasi keberhasilan, yang tidak berpotensi mengundang kritik. Perhatikan data (1) Data 1): Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, hadirin sekalian yang berbahagia. Mengawali pidato ini, saya mengajak hadirin, untuk bersyukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya, kita dapat menghadiri Sidang Paripurna dalam rangka Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. ... melalui forum ini terbuka ruang bagi saya untuk mengajak Lembaga-lembaga Negara membangun kekompakan demi memperkuat sistem pemerintahan Presidensial. (Pidato 14-08-2015)
Semua yang disampaikan dalam data (1) adalah informasi netral, tidak berisiko, tidak berpotensi mengundang kritik dan caci maki. Mengajak hadirin bersyukur kepada Tuhan, mengajak lembagalembaga negara (DPR, DPD,DPA, BPK, MA, MK, KY) agar senantiasa membangun kekompakan, marupakan hal-hal biasa saja. Siapa pun presidennya memang akan dan selalu begitu. SBY, Megawati, Habibie, Gus Dur, Suharto, juga memakai retorika yang sama dalam pidato-pidatonya ketika menyapa hadirin, mengajak bersyukur, menghimbau semua agar selalu menjaga persatuan dan kesatuan (cf. Jupriono 2012; Jupriono, Sudaryanto, Sumarah 2016). Untuk hal-hal yang biasa dan netral seperti ini, Jokowi memilih bahasa berbentuk kalimat aktif.Tidak ada yang luar biasa! Sekadar mengingatkan Pembaca, bentuk kalimat aktif ditandai kata kerja berprefiks (awalan) me. (Alwi, Lapoliwa, Dardjowidjojo2003). Bentuk aktif retorika Jokowi dalam data 1 tampak pada klausa: mengajak hadirin, menghadiri Sidang, mengajak Lembaga-lembaga Negara, membangun kekompakan, dan memperkuat sistem pemerintahan. Kalimat aktif juga dipilih Jokowi sebagai media untuk menyampaikan pandangan, rencana, program, serta memberitahu kepada publik bahwa pemerintah telah (mulai) melakukan, menjalankan, mengimplementasikan suatu program. Perhatikan data (2) Data (2): ... Pemerintah secara bertahap menjalankan program pembangunan nasional seperti digariskan dalam Nawacita. Pemerintah melakukan transformasi fundamental ekonomi dan mengubah paradigma pembangunan dari yang bersifat konsumtif ke produktif. Untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi, selain mendorong berkembangnya ekonomi kreatif, Pemerintah fokus melakukan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, waduk, dan pembangkit listrik. Pemerintah juga mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif dan jaring pengaman sosial. Kini pemerintah sedang membagikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Asistensi Sosial untuk Penyandang Disabilitas Berat. (Pidato 14-08-2015)
Di sini, pada data (2), Jokowi memaparkan program-program pembangunanyang telah dijalankan, tetapi tidak menyertakan bagaimana tingkat keberhasilan implementasinya, tidak menjelaskan bagaimana dampaknya bagi masyarakat luas. Untuk keperluan ini, bentuk bahasa yang dipakai Jokowi adalah kalimat aktif. Bentuk aktif ini tampak pada pilihan kata kerja: menjalankan program pembangunan, melakukan transformasi fundamental ekonomi, mengubah paradigma pembangunan, mengungkit pertumbuhan ekonomi, mendorong berkembangnya ekonomi kreatif, melakukan pembangunan infrastruktur, mengalihkan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif, membagikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Asistensi Sosial ... Dengan bentuk aktif, keberadaan Jokowi dieksplisitkan, apa yang dilakukan juga sangat konkret kelihatan. Karena masih dalam tataran rencana dan tahap awal implementasi program pembangunan, tingkat efektivitas dan keberhasilannya tidak bisa dilihat, tidak bisa dievaluasi, sekaligus tidak ada peluang bagi publik untuk menyalahkan Jokowi! Bahkan, ketika Jokowi terus terang mengakui kegagalan (keadaan buruk) sekalipun, yang menonjol atau ditonjolkan adalah aktivitas usaha keras pemerintah untuk memperbaiki keadaan yang buruk. Aktivitas tersebut disampaikan Jokowi dalam bentuk kalimat aktif: ... memerangi persoalan-persoalan. Perhatikan data (3) Data (3): ... Pemerintah mengakui masih banyak persoalan yang menghadang kita.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
46
Sampai hari ini ketidakstabilan harga pangan masih terjadi, kesenjangan kaya dan miskin dan antarwilayah masih terbuka, praktik korupsi masih berlangsung, dan penegakkan hukum belum sepenuhnya kokoh. Pemerintah akan bekerja keras untuk memerangi persoalan-persoalan tersebut. (Pidato 14-08-2015)
Pada data (3) kelihatannya dipaparkan cukup rinci sederet kegagalan atau keadaan buruk. Kegagalan ini “dikunci” Jokowi dengan dua kalimat aktif yang membuka dan menutupnya, seakan ingin menutupi kegagalan-kegalan tersebut. Kedua kalimat aktif itu adalah Pemerintah mengakui... dan Pemerintah akan bekerja keras untuk memerangi persoalan. Kalimat aktif pertama (Pemerintah mengakui) mengesankan keterbukaan, sifat ksatria dan “kejantanan” seorang Jokowi. Kalimat aktif berikutnya seakan mengirim pesan kunci bahwa rakyat tidak usah khawatir karena pemerintah (Jokowi) tidak akan tinggal diam; Jokowi akan bekerja keras memerangi keadaan buruk tersebut. Maka, bahkan untuk keadaan yang gagal sekalipun, kesan yang terbit tetaplah kebaikan dan keaktifan Jokowi sebagai presiden dan bukan kegagalan itu sendiri. Padahal, yang secara konkret dirasakan rakyat adalah keadaan serba buruk yang membuat hidup mereka menderita. Inilah dampak luar biasa manajemen struktur pesan dalam komunikasi politik (cf. Fairclough2005; Beaugrande2006; Haryatmoko2013). Maka, tidak salah apa yang dinyatakan Fowler (1996;) bahwa pemakaian kata, kalimat, tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berbahasa/ berkomunikasi, tetapi, lebih dari itu, harus dipahami sebagai strategi politis untuk memengaruhi opini publik, menggalang dukungan, memeroleh legitimasi, dan bahkan menyingkirkan lawan/pesaing politis. (Wodak 2007; Putnam2015). Seorang tokoh politik, tak terkecuali Jokowi, cenderung mengatakan sesuatu yang positif dan menguntungkan dirinya dan menyamarkan atau bahkan membunyikan segala yang negatif dan merugikan dirinya, seperti presiden-presiden sebelumnya (Jupriono 2012; Jupriono, Sudaryanto, Sumarah 2016). Maka, selugu apa pun seorang Jokowi tetaplah seorang politisi yang memilih cara-cara tertentu dalam melancarkan komunikasi politik. Sekali lagi (data 4) dihadirkan data berikut ini untuk menegaskan bahwa sesuatu yang bersifat positif, kebaikan, keberhasilan, yang tidak berisiko menuai kritik publik, akan disampaikan Jokowi dalam kalimat aktif. Data (4): ... Kita semuanya mengecam tindakan yang mengganggu keamanan masyarakat, mengganggu ketenangan rakyat dan menimbulkan teror ke masyarakat. ... Saya memerintahkan Kapolri, Menko Polhukam untuk kejar, tangkap, baik yang di eristiwa maupun yang ada di jaringanjaringan ini. ... Negara, bangsa dan rakyat tidak boleh takut, tidak boleh kalah oleh aksi teror seperti ini. (Pernyataan Presiden Jokowi, Cirebon, 14 Januari 2016)
Inilah pernyataan keras Presiden Joko Widodo yang ketika sedang melakukan kunjungan kerja di Cirebon telah menerima laporan ledakan bom teroris di sekitar Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari 2016, yang menurut kepolisian menewaskan 4 orang. Jatuh korban jiwa tak berdosa karena ledakan bom, tentu sangat melukai rasa kemanusiaan. Maka, sangat wajar jika Jokowi berani bersikap tegas mengecam tindakan teror dengan menggunakan bentuk kalimat aktif untuk menyampaikan sikapnya. Hal ini jelas sekali tanpa risiko, tanpa peluang memicu kritik (jika sudah menyatakan kecaman). Justru kalau tidak berani bersikap tegas, misalnya salah satunya dengan cara memilih bentuk kalimat pasif, Jokowi akan disayangkan, dipergunjingkan, bahkan bukan musathail dikecam oleh publik. Dengan pilihan ini simpati dan empati kemanusiaan Jokowi kepada korban dapat disaksikan oleh semua. Begitulah, ternyata sekadar retorika bentuk kalimat pun dapat menuai pesan komunikasi tertentu. Maka, dalam komunikasi politik, bahasa tidak pernah netral. Bahasa selalu mengundang konsekuensi politis juga (Beaugrande2006; Billig2008; Gronbeek2014). Selanjutnya. bagaimana retorika Jokowi ketika menyampaikan informasi yang mengandung kegagalan, keadaan buruk, tidak menyenangkan, dan karenanya pastilah berpotensi mengundang kritik? Perhatikan data (5)! Data (5): ... Tanpa diduga, beberapa bulan lalu pesawat Hercules milik TNI AU jatuh di Medan dan merenggut sejumlah prajurit terbaik kita dan masyarakat sipil. Pemerintah tentu tidak hanya berpangku tangan. Dengan kemampuan yang ada, kita berikan bantuan dan pertolongan kepada warga yang tertimpa musibah. Kita berikan penghormatan dan penghargaan kepada para prajurit yang gugur akibat jatuhnya pesawat Hercules. (Pidato 14-08-2015)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
47
Jokowi mengawali kalimat dengan bentuk pasif: Tanpa diduga ... Ini bukan kebetulan. Kalimat pasif dipilih sebagai wujud retorika politis di saat harus melaporkan keadaan yang tidak menyenangkan kepada rakyat/publik. Jokowi tidak memilih bentuk aktif. Jika memilih bentuk aktif, Jokowi harus menyebut “siapa yang tidak menduga”: Saya tidak menduga ... Jika bentuk aktif yang dipilih, Jokowi terpaksa harus mengakui bahwa ia tidak menduga; dan itu kesalahan. Sebagai presiden, seluruh yang terjadi di semua departemen dan TNI menjadi tanggung jawabnya. Jokowi harus mengetahui bahwa pesawat Hercules C-130 sudah sangat uzur, usang, sudah waktunya diganti dengan pesawat yang baru. Menurut kajian kebahasaan (linguistik), perbedaan kalimat aktif dan kalimat pasif adalah: kalimat aktif mengandung kata kerja berawalan me-, sedang kalimat pasif memakai kata kerja berawalan di- atau ter-. Konsekuensinya, kalimat aktif menuntut hadirnya pelaku (subjek), sedang untuk kalimat pasif, kehadiran pelaku tidak wajib, boleh ada, boleh tidak (cf. Alwi, Lapoliwa, Dardjowidjojo2003). Dalam perspektif analisis wacana kritis, pemakaian bentuk kalimat dicurigai sebagai upaya untuk menonjolkan sesuatu (yang baik) dan menutupi sesuatu (yang buruk) dari diri sendiri. Dalam setiap wacana politik dan kekuasaan terdapat retorika dan penyesatan. Kata membatasi perspektif. Pilihan kata (diduga ataukah menduga, misalnya) akan mengarahkan cara berpikir tertentu dan menafikan cara berpikir yang lain (Haryatmoko 2012; 2013). Kata menduga (bentuk aktif) dalam hal ini, memaksa Jokowi hadir dalam kalimat yang diucapkan, sedang kata diduga tidak mewajibkan Jokowi menyebut dirinya, atau kata gantinya (saya, pemerintah) sebagai subjek. Dengan kata lain, bentuk aktif memaksa komunikator wajib bertanggung jawab atas terjadinya sesuatu (kegagalan, musibah), sedang bentuk pasif memberi peluang kepada komunikator untuk lari bersembunyi dari tanggung jawab (cf. Jupriono 2012).Dalam komunikasi politik, semua akibat pemakaian bahasa dikalkulasi sebagai retorika politis (Micciche2004; Wodak 2007). Mengingatkan Pembaca, pada 30 Juni 2015 pesawat Hercules C-130 milik TNI AUjatuh di Medan, merenggut 141 korban jiwa (TNI, sipil). Pesawat tsb jatuh di Jalan Jamin Ginting, Kec. Medan Tuntungan pada Selasa siang sekitar pk12.00 WIB, setelah terbang sekitar 2 menit dari Lanud Soewondo Medan menuju Tanjung Pinang, Kep. Riau. Dalam media massa dan media sosial ramai kritik terhadap kegagalan dan ketidakpdedulian pemerintah atas perawatan dan peremajaan pesawat-pesawat udara macam Hercules yang beroperasi di daerah-daerah terpencil. Selanjutnya, perhatikan data (6)! Data (6): ... Baru-baru ini, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut. El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun telah dapat diselesaikan. Penegakan hukum secara tegas dilakukan. Langkah prevensi telah disiapkan dan sebagian mulai diimplementasikan. Salah satunya dengan restorasi gambut ... (Pidato 30 November 2015).
Dalam data (6) terdapat empat kata kerja pasif: diselesaikan, dilakukan, disiapkan, dan diimplementasikan. Jika pengkajian dilakukan dengan perspektif analisis wacana biasa (deskriptif), eksplanasi yang diberikan hanyalah: kalimat ini kalimat pasif; pelaku (agent) tidak hadir. Dengan analisis wacana deskriptif, makna (wacana) terselubung dari teks pernyataan tidak dapat diungkap (cf. Jupriono 2012). Bentuk pasif memang tidak menuntut hadirnya subjek pelaku: diselesaikan (oleh siapa), dilakukan (oleh siapa), disiapkan (oleh siapa), dan diimplementasikan (oleh siapa). Dalam pernyataan Penegakan hukum secara tegas dilakukan, misalnya, siapa pun tahu bahwa yang dimaksudkan telah secara tegas melakukan penegakan hukum adalah Jokowi (pemerintah). Jika Jokowi memilih bentuk aktif, harus disebut eksplisit dirinya: Pemerintah/saya secara tegas melakukan penegakan hukum. Mengapa tidak berani menyebut tegas saya, Jokowi, atau pemerintah? Dalam perspektif analisis wacana kritis, setiap teks tidak bisa dilepaskan dari konteks waktu dan tempat yang melahirkannya (Eriyanto 2009; Haryatmoko 2013; Bungin 2015). Jokowi pastilah menyadari bahwa realitas empiris penegakan hukum dan supremasi hukum di Indonesia masih “jauh panggang dari api”. Keadilan hukum yang diharapkan lahir dari proses resmi pengadilan belum terjadi. Dengan kata lain, Jokowi sangat sadar apa konsekuensi dan dampak sosialnya jika memilih bentuk aktif. Dengan memilih bentuk pasif, dirinya tidak harus dimunculkan; dalam kalimat pasif Jokowi bisa bersembunyi di balik kegagalannya menegakkan hukum di Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
48
Sebagai “PR” buat pembaca, perhatikan pernyataan Jokowi berikut (data 7, perhatikan yang bercetak miring): Data 7: ... Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, akhirnya 10 ABK WNI yang disandera oleh kelompok bersenjata sejak tanggal 26 Maret 2016 yang lalu, saat ini telah dapat dibebaskan .... Oleh karena itu saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak, seluruh anak bangsa yang telah membantu proses upaya pembebasan ini .... Saat ini, kita masih terus bekerja keras untuk pembebasan 4 ABK WNI yang lainnya," (01-05-2016, www.setneg.go.id)
SIMPULAN Paling tidak ada dua simpulan yang bisa ditarik. Pertama, sesuatu yang tidak berisiko, yang positif, yang mengandung informasi keberhasilan, yang tidak berpotensi mengundang kritik, akan disampaikan Jokowi pada pidato Jokowi 2015—2016 dengan retorika berbentuk kalimat aktif. Kedua, kalimat pasif hampir selalu digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kurang positif, yang berpotensi memicu kritik, yang memungkinkan Jokowi sebagai pelaku (agent) untuk bersembunyi. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa untuk menyampaikan keberhasilan, retorika Jokowi memilih bentuk aktif, sedang untuk menyampaikan kegagalan, Jokowi dalam batas-batas tertentu akan menggunakan bentuk kalimat pasif. Buru-buru harus dinyatakan di sini bahwa hal ini bukan khas Jokowi. Presiden-presiden sebelumnya (SBY, Megawati, Habibie, Suharto) – kecuali Gus Dur -- pun memilih cara retorika politik yang sama. Akan tetapi, berbeda dengan presiden-presiden terdahulu, Jokowi lebih banyak memilih bentuk kalimat aktif. Hal ini berarti bahwa dibandingkan dengan presiden-presiden terdahulu, Jokowi lebih berani mengakui kekurangan dan kegagalan kepada rakyatnya. Temuan penelitian ini diharapkan dapat merangsang pembaca untuk melakukan pengkajian lebih jauh. Kajian selanjutnya disarankan dilakukan untuk difokuskan pada penyelesaian satu masalah dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Dalam hal pemerantasan korupsi, misalnya, bagaimana retorika politis yang digunakan, realitas apa yang diselubungkan, makna apa yang diharapkan oleh Jokowi, dst. Perspektif yang diterapkan pun hendaknya dikembangkan sesuai fokus kajian yang ditentukan. Misalnya peneliti dapat menerapkan analisis wacana kritis versi Derrida, Fairclough, Mills, Foucault, dst. REFERENSI Alwi, H., Lapoliwa, H., Dardjowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta: Balai Pustaka. Billig, M. (2008). The language of critical discourse analysis: Thecase of nominalization. Discourse & Society, 19(6), hal.783-800. Beaugrande, R. de. (2006). Critical discourse analysis: History, ideology, methodology. Studies in Language & Capitalism 1, hal. 29-56. Bungin, B. (2015). Penelitian kualitatif: Komunikasi, ekonomi, kebijakan publik, ilmu sosial lainnya. Ed. II. Jakarta: Prenada Media Group. Akses 25-04-2016. Cangara, H. (2014). Komunikasi politik: Konsep, teori, dan strategi. Jakarta Utara: Rajawali Pers. Eriyanto. (2009). Analisis wacana: Pengantar analisis teks media. Jogjakarta: LKIS. Fairclough, N. (2005). Critical discourse analysis. Marges Linguistiques 9, hal. 76-94. Fiscal.co.id. (2015). Catur empat langkah Jokowi matikan kawan dan lawan. www.fiskal.co.id/berita/fiskal-4/6611/catur-empat. Akses 25-04-2016. Fowler, R. (1996). On critical linguistics. Dlm. C.R. Caldas-Coulthard & M. Coulthard (ed.),Text and practices: Reading in critical discourse analysis. London-New York: Routledge, hlm. 1—14. Gronbeek, B.E. (2014). Rhetoric and Politics. Dlm. L.L. Kaid (ed.), Handbook of political communication research. Hal. 135-154. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Haryatmoko. (2013). Critical discourse analysis (analisis wacana kritis). (Tidak dipublikasikan). Materi Pelatihan Analisis Wacana: Teori dan Aplikasi, UK2JT, Unair Surabaya, 28 Nov. 2013.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
49
Haynes, K.J.M. (2014). Design and creation a controlled vocabulary for political communication. Dlm. L.L. Kaid (ed.), Handbook of political communication research. Hal. 109-132. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Jupriono, D. (2004). Analisis wacana kritis pidato kenegaraan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam perspektif komunikasi politik. (Tidak dipublikasikan). Tesis S2 Magister Ilmu Komunikasi, PPS Unitomo Surabaya. Jupriono, D. (2009). Wacana humor verbal Gus Dur dalam perspektif tindak tutur. http://sastrabahasa.blogspot.co.id/2009/09/wacana-humor-gus-dur....html. Akses 25-04-2016. Jupriono, D. (2012).Politik pencitraan Presiden SBY melalui bentuk kalimat: Kajian linguistik kritis. http://sastra-bahasa.blogspot.co.id/2012/01/politik-pencitraan-presiden-sby-melalui.html.Akses 25-04-2016 Jupriono, D., Sudaryanto, E., Sumarah, N. (2016). Retorika politik Jokowi: Kalimat aktif untuk keberhasilan, kalimat pasif untuk kegagalan. Dlm. Widayatmoko & Winduwati, S. (ed.), Prosiding ICCIC 3: Komunikasi, industri, & komunitas. Hal. 1035-1045. Jakarta Barat: Fikom Untar. Micciche, L.R. (2004). Making a case for rhetorical grammar. College Composition and Communication55(4)June, hal. 716-736. Putnam, M. (2014). Analyzing political rhetoric: Images and issues. www.uta.edu/faculty/mputnam/COMS4302/Notes/PoliRhetIAI.html.Akses 25-04-2016. Putnam, M. (2015). Ethos: A Dominant factor in rhetorical communication. www.uta.edu/faculty/mputnam/COMS4302/Notes/Ch5.html.Akses 25-04-2016. Republika.co.id. (2015). Pidato kenegaraan Presiden Jokowi saat sidang DPR-DPD. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/15/08/14/ Setkab.go.id. (2015). Sambutan Presiden Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Guru Nasional ke-21 di Istora Senayan, Jakarta, 24 November 2015. http://setkab.go.id/sambutan-presiden-jokowidodo-... van Dijk, T.A. (1998). What is political discourse analysis?. www.hum.uva.nl/teunAkses 25-04-2016. Wodak, R. (2007). Pragmatics and critical discourse analysis: a cross-disciplinaryInquiry. Pragmatics & Cognition 19, hal. 203-225.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
50
10 PERENCANAAN BAHASA DI INDONESIA: IMPLEMENTASI DAN HAMBATAN Dalwiningsih 1, 2 Salim Anshori 2, 3 1 Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur 2 Universitas Airlanggga 3 Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Perencanaan bahasa diterapkan untuk membangun kestabilan kehidupan berbangsa dalam suatu negara.Dalam perkembangan zaman yang global diperlukan perencanaan bahasa yang tepat dengan tetap mempertimbangkan kondisi bahasa nasional dan bahasa daerah. Pemerintah terus memantapkan status dan peran bahasa Indonesia dan daerah agar tetap dapat terjaga dan bertahan dalam perkembangan budaya dan teknologi yang semakin maju. Upaya pemantapan terhadap bahasa Indonesia terkait pemodernan bahasa nasional agar dapat menjadi bahasa bertaraf sederajat dengan bahasa lain yang disebut berkembang juga harus terus dilakukan. Kita bergaul dalam dunia yang akan selalu dinamis dengan perkembangan budaya dan bahasanya, sehingga kita harus bisa menempatkan dan memposisikan diri dengan kuat secara kebahasaan Oleh karena itu, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dan daerah dikukuhkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Selain UU, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Perundangan terkait pengembangan, pembinaan dan pelindungan bahasa untuk memperkuat implementasinya tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Akan selalu ada tantangan yang dihadapi dalam upaya pengembangan dan pembinaan bahasa, hal ini dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Jadi, bagaimananapun bahasa Indonesia harus kita utamakan, bahasa daerah wajib kita pelihara, dan bahasa asing harus tetap kita kuasai. Kata kunci: perencanaan bahasa, undang-undang, implementasi, tantangan
PENDAHULUAN Perencanaan berawal dari usaha pemerintah yang berwenang secara sengaja dan berkesinambungan dalam jangka panjang untuk mengubah fungsi suatu bahasa di dalam masyarakat yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah dalam komunikasi (Weinstein dalam Wardaugh, 2006:357). Perencanaan bahasa diterapkan untuk membangun kestabilan kehidupan berbangsa dalam kadar tertentu di beberapa negara. Dalam perkembangan zaman globalisasi, diperlukan perencanaan bahasa yang tepat bagi suatu negara dengan tetap mempertimbangkan kondisi bahasa nasional dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa perekat dan pemersatu bangsa harus di jaga dan dikembangkan agar dapat bertahan dalam perkembangan dan perubahan zaman. Indonesia yang memiliki ratusan suku dengan beragam budaya dan bahasanya memerlukan sebuah bahasa yang dapat menjembatani semua perbedaan itu. Para pemuda dan cendekiawan dahulu sudah menyadari akan kebutuhan dan kepentingan bahasa nasional. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928 di ikrarkanlah sebuah sumpah oleh para pemuda dari seluruh Nusantara. Dengan dicetuskannya sumpah itu, para pemuda berjanji akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana persatuan, komunikasi, dan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Pemerintah terus memantapkan status dan peran bahasa Indonesia agar tetap dapat terjaga dan bertahan dalam perkembangan budaya dan teknologi yang semakin maju. Saat ini UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 25 ayat 1 berbunyi “Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 UUD 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa”. Ayat berikutnya pada pasal itu lebih menegaskan pada fungsi bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Dan ayat terakhir juga masih menekan kan fungsi penting bahasa Indonesia sebagai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
51
bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.UU Nomor 24 Tahun 2009 mengatur secara rinci status dan kewajiban penggunaannya. Berdasarkan status dan fungsi bahasa Indonesia yang menempati posisi penting dalam negara Indonesia, maka seperangkat kewajiban dan peraturan yang menyertai kedudukannya tentu melingkupi banyak aspek dan bidang dalam sendi kehidupan bernegara Republik Indonesia. Kewajiban-kewajiban yang melekat dalam penggunaan bahasa Indonesia menurut undangundang tersebut antara lain (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan, (2) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi Negara, (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional dan (4) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan. Oleh karena itu perlu tetap diupayakan langkah-langkah preventif terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia selaras dengan perkembangan dunia dan masyarakatnya. Semua upaya itu semata-mata demi tetap terjaganya identitas bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa seperti amanat para pemuda yang sudah berikrar dalam Sumpah Pemuda dan juga amanat UUD 1945 bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud eksistensi bangsa dan menjadi simbol kedaulatan serta kehormatan negara. Upaya-upaya yang dilakukan harus dilaksanakan oleh seluruh lapisan dan segenap warga negara Indonesia tanpa terkecuali. PEMBAHASAN Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dan Daerah Kedudukan dan Fungsi bahasa Indonesia juga semakin dikukuhkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pada Pasal 41 dinyatakan bahwa pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan zaman. Meskipun begitu pada Pasal 42 juga dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Disini terlihat peran dan posisi negara dalam mengambil sikap dan kebijakan terkait bahasa nasional dan bahasa daerah.Saat ini pun sedang dibahas atau digodok Rancangan Undang-Undang Bahasa Daerah untuk tetap mengakomodasi kepentingan bahasa daerah sebagai warisan budaya. Jadi bahasa Indonesia tetap wajib dijunjung tinggi sebagai bahasa nasional dan persatuan sejalan dengan bahasa daerah sebagai keanekaragaman bahasa dan identitas penutur serta nilai linguistik dan historis. Supaya bahasa Indonesia juga dikenal luas dalam pergaulan dunia, diperlukan peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Untuk itu diperlukan upaya pemerintah secara bertahap, sestematis, dan berkelanjutan.Untuk mengurusi atau menjalankan tugas itu pemerintah menunjuk badan atau lembaga kebahasaan.Meskipun begitu pemerintah tetap memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.Jadi sebagai negara yang berkembang dan berbaur dengan bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia juga harus tetap dapat menempatkan atau memposisikan diri untuk dapat mengikuti kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Sehingga ketiga bahasa yang hidup di Indonesia yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing tetap hidup dan berkembang selaras dan harmoni sesuai dengan porsi, kepentingan dan kebutuhannya. Oleh karena itu istilah bahwa bahasa Indonesia itu wajib, bahasa asing itu perlu, dan bahasa daerah juga harus memang dapat menjadi nyata. Jika ketiga bahasa itu dapat dikelola dan masing-masing menempati perannya, maka pengaruh arus globalisasi tidak perlu dikhawatirkan akan mengikis identitas bahasa bangsa. Selanjutnya diperlukan perencanaan bahasa dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa serta peningkatan fungsi bahasa Indonesia.Badan pemerintah yang ditugasi untuk menangani hal ini yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.Badan Bahasa ini adalah lembaga kebahasaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang mempunyai tugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
52
pelindungan bahasa dan sastra Indonesia. Badan Bahasa juga mempunyai unit pelaksana teknis yang berada di tiap provinsi di wilayah Indonesia dan saat ini terdapat 30 Balai/Kantor Bahasa yang menangani masalah kebahasaan di daerah serta menjalankan fungsi sebagai lembaga bahasa resmi pemerintah. Perencanaan Bahasa Nasional dan Daerah Tantangan yang dihadapi bahasa Indonesia dan daerah dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Secara eksternal tentu saja berkaitan dengan arus globalisasi yang semakin membawa bangsa kita ke dalam percaturan global.Dalam ranah itu kita dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kemutakhiran ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu bahasa Indonesia juga tetap terbuka dengan perkembangan istilah-istilah yang memang tidak dipunyai atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau daerah. Proses pembentukan istilah asing pun tetap ada aturan yang digunakan, cara penyerapan ataupun cara penerjemahannya. Jika memang diperlukan mengadopsi secara utuh suatu istilah asing, kosakata itu juga akan dapat menambah dan memperkaya perbendaharaan dengan mengingat kebutuhannya. Tantangan secara internal antara lain faktor geografis, yaitu menyangkut permukiman di daerah terpencil dan faktor demografis, yaitu mereka hanya hidup diantara suku mereka saja. Kebutuhan untuk menggunakan bahasa selain bahasa dalam suku mereka atau bahasa ibu dirasa tidak perlu dan penting untuk dipelajari. Selain itu juga perlu dilakukan upaya pemantapan terhadap bahasa Indonesia terkait pemodernan bahasa nasional agar dapat menjadi bahasa bertaraf sederajat dengan bahasa lain yang disebut berkembang. Pemodernan ini menyangkup beberapa aspek seperti pemekaran kosakata dan pengembangan jumlah laras bahasa dan bentuk wacananya. Pemekaran kosakata diperlukan untuk pelambangan konsep dan gagasan kehidupan modern.Laras bahasa berkaitan dengan pemakaian bahasa menurut bidangnya seperti bidang politik, ilmu, teknologi, kesenian, kepercayaan, perundang-undangan, keamanan dan pertahanan. Sedangkan untuk bahasa daerah, saat ini generasi muda kurang memiliki minat untuk mempelajari atau mengenal lebih jauh tentang budaya dan bahasa lokal yang ada di lingkungan mereka. Pemerintah juga masih kurang tegas dalam memberikan himbauan tentang perlunya pembelajaran muatan lokal sebagai kekayan dan warisan yang bermuatan kearifan lokal. Upaya yang dilakukan oleh lembaga bahasa yang diberi wewenang oleh pemerintah dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia diwujudkan dalam berbagai program dan kegiatan. Upaya dalam bidang pengkajian bahasa dan sastra seperti 1)penelitian tentang bahasa dan susastra Indonesia serta Nusantara termasuk perkamusan dan pengembangannya, 2) penelitian di bidang pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, serta 3) penelaahan hasil kegiatan pembinaan dan dan pengembangan bahasa dan susastra. Terkait dengan kegiatan pembinaan bahasa dan sastra dilakukan dengan melakukan pembinaan dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kebahasaan dan kesastraan Indonesia serta memasyarakatkan informasi mutakhir tentang kebahasaan dan kesastraan Indonesia. Upaya konkrit yang dilakukan untuk masyarakat antara lain penyelenggaraan kegiatan yang terkait dengan keterampilan berbahasa maupun bersastra Indonesia bagi masyarakat dan pemasyarakatan informasi mutakhir (baik pengetahuan, kebijakan, perencanaan, maupun kegiatan) tentang kebahasaan Indonesia kepada masyarakat Semua upaya di atas bertujuan untuk meningkatkan sikap positif agar masyarakat memiliki kesadaran, kebanggaan, dan kesetiaan terhadap norma berbahasa Indonesia; meningkatkan kedisiplinan dan keteladanan dalam penggunaan Bahasa Indonesia; meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penggunaan Bahasa Indonesia; menciptakan suasana yang kondusif untuk Pembinaan Bahasa Indonesia; dan meningkatkan mutu penggunaan Bahasa Indonesia. Upaya untuk mengembangkan bahasa daerah harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergi dari pemerintah daerah serta pihak-pihak yang peduli terhadap keberlangsungan bahasa daerah. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain: 1) Pemerintah daerah perlu memainkan peranan yang lebih besar dalam peranan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
53
2) Para ahli bahasa di daerah perlu dilibatkan dalam meningkatkan mutu pemakaian bahasa daerah di lingkungan pemerintah daerah 3) Pemerintah daerah perlu membuka peluang kerja yang lebih luas bagi sarjana jurusan bahasa daerah Setelah semua paparan tentang tantangan serta upaya yang dilakukan terkait fungsi dan status bahasa Indonesia dan daerah, tentu harus ditinjau dari payung hukum yang dijadikan landasan. Menurut Meoliono (2011) istilah politik bahasa sering disinonimkan dengan kebijakan bahasa atau garis haluan bahasa yang dapat dianggap tumpang tindih dengan perencanaan bahasa. Kebijakan bahasa mengenai bahasa nasional, bahasa daerah atau etnis lain yang ada di Nusantara, dan bahasa asing yang terdapat di Indonesia digunakan dengan tujuan tertentu dan berdasarkan kedudukan dan fungsinya masing-masing. Untuk mengatasi masalah-masalah yang mungkin muncul terhadap bahasa Indonesia diperlukan perencanaan bahasa yaitu (1) Perencanaan Status: berkaitan dengan mutu penutur dan jumlah penutur/pengguna, (2) Perencanaan Korpus: berkaitan dengan mutu bahasa (ejaan, kamus, tata bahasa), (3) Perencanaan Akuisisi: berkaitan dengan pemeroleh bahasa (kegiatan pembinaan dan visualisiasi), (4) Perencanaan bahasa dalam pendidikan, dan (5) Perencanaan Gengsi: berkaitan dengan promosi (publikasi, melakukan kerja sama, penyiaran melalui media elektronik). Setelah upaya perencanaan bahasa dilakukan, diperlukan langkah lain untuk saling mendukung dan memperkuat antara kebijakan satu dan lainnya. Selain UU yang sudah di sebutkan sebelumnya, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Perundangan terkait pengembangan, pembinaan dan pelindungan bahasa untuk memperkuat implementasinya. Perpu terbaru yang sudah disahkan terkait hal itu adalah Peraturan Perundangan Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Dalam Perpu tersebut dijelaskan tentang fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.Selanjutnya pada Perpu itu juga dirincikan tentang kewenangan pengembangan, pembinaan dan pelindungan bahasa. Pengembangan bahasa upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional. Pembinaan bahasa yaitu upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat.Pelindungan bahasa yaitu upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya. Terkait dengan pelindungan bahasa daerah, di Jawa Timur sudah diterbitkan Pergub Nomor 19 Tahun 2014 tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah sebagai Muatan Lokal Wajib bagi Sekolah atau Madrasah. Hal ini tentunya menggembirakan ditengan upaya pengembangan dan pemertahanan bahasa daerah.Pengajaran bahasa daerah ditujukan untuk meningkatkan mutu penguasaan dan pemakaian bahasa daerah yang dipelihara oleh masyarakat penuturnya. Peningkatan mutu pengajaran bahasa daerah dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan, misalnya pengembangan kurikulum bahasa daerah: 1) Pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan perkembangan metodologi pengajaran bahasa 2) Pengembangan tenaga kependidikan kebahasaan yang profesional 3) Pengembangan sarana pendidikan yang memadai 4) Penyediaan program pendidikan bahasa daerah di jemjang pendidikan tinggi setempat 5) Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas permulaan pada jenjang pendidikan dasar. SIMPULAN Simpulan dalam makalah ini dapat dirincikan sebagai berikut: Bahasa Indonesia. Untuk memperkukuh fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia, ada beberapa langkah yang harus ditindaklanjuti, antara lain: 1) Bahasa Indonesia tidak hanya perlu dibina oleh lembaga bahasa dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud tetapi juga oleh departemen atau instansi lain, organisasi profesi dan dunia usaha.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
54
2)
Pengindonesiaan nama dan kata asing di tempat umum perlu diperluas dan dilaksanakan di seluruh Indonesia. 3) Pengembangan bahan ajar bahasa bahasa Indonesia perlu dilakukan dengan memanfaatkan sumbersumber rujukan dari lembaga yang berwenang (Badan Bahasa) 4) Kemampuan berbahasa Indonesia semua guru bidang studi di semua jenis dan jenjang pendidikan perlu ditingkatkan secara terarah dan terpadu. 5) Kemampuan berbahasa Indonesia para pejabat dan tokoh masyarakat perlu ditingkatkan agar dapat memberikan teladan yang baik 6) Pemasyarakatan bahasa Indonesia yang baik dan benar perlu ditingkatkan agar menjangkau kelompok masyarakat yang masih buta bahasa Indonesia. 7) Pemerintah memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa Daerah. Upaya yang harus dilakukan untuk memantapkan peran bahasa daerah, antara lain: 1) Pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia perlu dilaksanakan secara lebih terencana 2) Penrbitan buku, surat kabar, dan majalah dalam bahasa daerah harus lebih digiatkan dan di dorong 3) Pengembangan bahan ajar bahasa daerah perlu ditingkatkan dengan memanfaatkan sumber-sumber rujukan yang diterbitkan Badan Bahasa 4) Pemerintah memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah. Bahasa Asing. Penerjemahan bahan pustaka sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan dan teknologi dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia perlu digalakkan Oleh karena kita bergaul dalam dunia yang akan selalu dinamis dengan perkembangan budaya dan bahasanya, kita harus bisa menempatkan dan memposisikan diri secara kuat secara kebahasaan. Jadi Bahasa Indonesia harus kita utamakan, bahasa daerah wajib kita pelihara, dan bahasa asing harus tetap kita kuasai. REFERENSI Alwi, Hasan. (2011). Bahasa Indonesia Pemakai dan Pemakaiannya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Collins, James T. (2009). Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Johnson, David Cassels.(2013). Language Policy. England: Palgrave Macmillan. Kemendikbud. (2011). Kumpulan Putusan Kongres Bahasa Indonesia I—IX Tahun 1938—2008. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kemendikbud. (2011). Perencanaan Bahasa pada Abad Ke-21:Kendala dan Tantangan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Moeliono, Anton M. (2011). Kebijakan Bahasa dan Perencanaan Bahasa d Indonesia: Kendala dan Tantangan (Risalah Simposium Internasional Perencanaan Bahasa). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Munsyi, Alif Danya. (2005). Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia Muslich, Masnur. (2010). Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi Kedudukan, Fungsi, Pembinaan dan Pengembangan). Jakarta: Bumi Aksara Pamungkas, Sri. (2012). Bahasa Indonesia dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Andi Offset Purwo, Bambang Kaswanti. (2000). Kajian Serba Linguistik: untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: Gunung Mulia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
55
Suhardi, Basuki. (1998). Pengembangan Sikap Positif dalam Berbahasa Indonesia (Risalah Kongres Bahasa Indonesia VI).Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wardaugh, Ronald.(1988). An Introduction to Sociolinguistics. Basil Blackwell Ltd.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
56
11 ISLAMOPHOBIA PORTRAYED IN DONALD TRUMP’S PRESIDENTIAL SPEECHES Dewi Gita Puspitasari Wardatul Baidlo’ English Letters and Language Department Maulana Malik Ibrahim State Islamic University Malang, East Java Abstract: Islamophobia is nowadays becoming a new trend issue among Non-Muslim countries all over the world. It is recently indicated in the United States of America through some speeches of one of the president candidates, that is Donald Trump. Trump said in his presidential campaign speeches that Muslim is forbidden to come to America even though they come merely for travelling or on vacation. These controversial speeches have been indicating that there are several racisms of race and religion toward Muslims in USA. The researchers find out the notion to reveal the concept on what Trump is trying to say about Islam and Muslim by using critical discourse analysis (CDA) of Fairclough Norman. This research is very significant to conduct because the speeches were delivered by an important and influential man in USA. Therefore, this research is aimed to reveal power domination brought by Trump and absolutely to uphold the intended messages behind what Trumps has said through his speeches. The researchers use a descriptive qualitative approach by describing the political situation and condition in USA. The data is collected through the internet from several trusted online newspapers such as BBC, CNN, and the New York Times so the validity of the data is considerably trustable. Keywords: Islamophobia, racism, Donald Trump’s presidential speeches, power domination
INTRODUCTION This study investigates Donald Trump’s speeches that contained racism toward Muslim, approached by critical discourse analysis rules. The researcher will try to give a comprehensive-discursive analysis on the content of Trump’s speech and relating it with the power he has in which to create Anti Muslim. In this context, the analysis can give a head start on how Trump makes a new paradigm and ideology of Muslim’s image in the mind of Non-Muslim in America. War of politics in presidential election in the United States has been started since the last period of President Obama which is about less than a year. The United States presidential election of 2016, scheduled for Tuesday, November 8, 2016, which will be the 58th quadrennial U.S. presidential election. Before President Obama has finished his duty in White House, there are potential and surprising issues from the candidates of next United States’ president. It has been announced that there will be 5 candidates of it. Those candidates are Hillary Clinton from Democrats, Bernie Sanders from Democrats, Ted Cruz from Republicans, John Kasich from Republicans, and Donald Trump from Republicans. Five of them are the representatives of each party they hold. They have met each other for several times in several incredible opportunities at debate programs in which a way to promote themselves and introduce their vision and mission to make them win the polling and be a president of United States of America, afterwards. The five candidates have already delivered their speeches which covered as a campaign whether in a television program, talk show program, press conferences, and/ or another chances. They point out their incoming planning of U.S. in detail and propose their own slogan to attract and persuade people. They deliver some main points to make people overwhelmed. Their speeches in which definitely contain political framework for whether inside or outside the United States has been posted in the mass media, both printed and recorded. Surprisingly, the most shocking and controversial speeches among them were coming from Donald Trump. Donald Trump is one of the U.S. presidential candidates and one of the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
57
representatives of republic party. He is a very successful businessman and the owner of large accompany under Trump’s name and control. Donald in his several campaigns stated that he called to bar all Muslims from entering the country until the nation’s leaders can figure out what is going on. It is such a prohibition of Muslims – an unprecedented proposal, and an idea more typically associated with hate groups – reflects a progression of mistrust that is rooted in ideology as much as politics. He is not only giving that polemic instruction to Muslims who had intention to immigrate to live in the USA but also to Muslims who solely are travelling to USA. Donald said that Muslims in U.S. hate American and they only care of their jihad which is likely heading to a radical organisation called ISIS. From the above statements through his speeches, it is obviously known that Donald Trump did any stereotyping, racism, and ethnocentric to particular religion which are held on by Muslims in USA. Donald delivered his controversial speeches a day after President Obama conveyed his speech in White House which is dedicated to all societies in USA. President Obama’s speech is instructing American not to turn against Muslims in USA as a revenge for their brothers and friends in San Bernardino in the wake of the terrorist attack. Donald perceived terrorist attacks in Paris and San Bernardino as the hatred actions of Muslims so he wants to bar Muslim from entering U.S. The discourse delivered by Donald Trump through his speeches is containing discrimination, racism, offensive statements, and ideology. It creates pros and cons among people in the United States. The discourse has become serious and shocking as it conveys the power of Donald Trump which is in a project of constructing new image of Muslim as a whole, especially Muslims representation in the USA. Trump’s speech which contains hatred sense can make people rethink about Islam and Muslim; they will question the population of Muslim in USA as solely a troublemaker in which to make chaos and destroy USA smoothly with their paradigm of Jihad and rely on radical organisation, ISIS. It also becomes my main concern to explore how powerful this speech is to the audience, and how much bias on the word meaning that can be translated flexibly on the ways depending on the context. This prejudice has brought this paper is seemingly clear that the notion is irrelevant according to the speech, and this is the main point on why the thesis was written at the very first place. The researcher is using critical discourse analysis rules to elaborate the finding which portrays the project behind Trump’s speeches in his campaign rally. This method of research is relevant to the finding in the discussion since it talks about discourse which contains racism in Trump’s speeches. METHODOLOGY The research is the kind of qualitative method, conveying the process of interpretating, elaborating, and clarifying the text script of Trump’s speeches. This research is using critical discourse analysis in revealing the discourse of the idea of Muslim’s images. It can be seen from the three main points of critical discourse analysis that is micro, macro, mezzo by Norman Fairclough. Language is imbricated in social relations. Language is a material form of ideology, and language is invested by ideology. Discourses have three interrelated dimensions: social practice, discourse practice and text. Ideology enters in the ideological elements of producing and interpreting a text and in the ways in which these elements are articulated together and orders of discourse rearticulated in discourse events. Ideology is reflected on the ‘content’ but also on the ‘form’. Formal features of texts at various levels may be ideologically invested (Fairclough:1995). Fairclough (1995) integrates “micro” and “macro” research and identifies three levels of social phenomena: the social formation, the social institution, and social action. The institutional frame includes “formulation and symbolizations of a particular set of ideological representations: particular ways of talking are based upon particular ‘ways of seeing’” (p.38). Ways of talking and seeing are inseparably related. Social institutions are pluralistic and this leads to institutional struggles that are connected to class struggles. After that, analyze the macro data by using racism theory. Racism is not simply of individual psychology or pathology, but of patterns of cultural representation deeply ingrained within the practices, discoursed and subjectivities of western societies (Barker:2008).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
58
DISCUSSION According to Fairclough, two sentences can be combined to form a new idea so the meaning can be taken. Therefore, the researchers combine two sentences to derive meaning. One of the quotation of Trump is "a total and complete shutdown of Muslim entering The United States" and the report of the news stating that "his words provoked extended applause". Mr. Trump's statement on his proposal of banning Muslim’s entrance to the United States seems to say that he is standing for anti-Muslim in the United States. Therefore, the second sentence implies a response of the audience supporting Trump's statement. In the other word, the researchers interpret that Islamophobia constructed by Donald Trump, one of which is a political strategy to gain more polls from anti Muslim group. The other proof that support the researcher’s interpretation is coming from the report stating that Mr Trump seemed less comfortable with his statement. He read it word for word and doubly noted that he has a Muslim friend. He ever said that he loved Muslims even he has several businesses cooperation with Muslim friends in Islamic countries. However, it turns 180 degrees since there are many terrorist attacks that give disadvantages for America and he now hates Muslims as he conveys through his controversial speeches. Another way to view text by Fairclough is using representation. Representation is seen from how events, group, people, situation, condition or anything represented in a text. The researchers pick one vocabulary from Trump's speeches "Many Muslim nurse hatred toward America", "The hatred is beyond comprehension. Where this hatred come from and why?". The word "hatred" is chosen by Trump to represent group of Muslim and the terrorism happens in California and San Bernardino. Through his vocabulary, he tried to provoke people that Muslim hate America as their reason to attack them. He also noted that Muslim's hated toward America is unreasonable that was followed by his question why and where the hatred come from? Trump tries to convey his believe that America never hurt or do such bad things to Muslim that led him to question why. Then it comes to a conclusion that Muslim is hateful group of people that could probably attack other countries easily, not only America, with no reasons according to Trump. In the end, the word "hatred" provoked by trump will shape the believe of people that Muslim worth to be hated and ignored as their savageries hating and attacking with no reasons. "Muslims are hateful" is not the only image that Trump tries to construct. He pointed other claim about Muslim through his other vocabulary "Jihad" depicted from his speech "Until we (do) our country cannot be the victims of horrendous attack by people that believe only in jihad". Jihad that is believed by Muslim as a holy war, is re-constructed by Trump as a savage action in the form of horrendous attack that trigger many victims. Since "jihad" represents a savage deed, the believer of jihad (Muslim) is indirectly claimed as cruel people because they do inhuman action with terrorism. Although the representation of jihad as a savage action done by inhuman people, Trump’s statement about jihad as the only believe of Muslim to do the attack which implies that jihad is the only underlying purpose of the terrorism. As jihad believed only by Muslim, Trump seems to say that attack and terrorism happened or will happen in around the world is done by no one else but Muslim. Donald Trump is a rich man so that he is a very influential person in America especially in economic sector. In his speeches, he said if he could be a president of America, he would beat China, Japan, Mexico, and Middle East countries. With his slogan “America will great again”, Trump criticizes the entire things which make America becomes loser, especially in the period of President Obama. He believed that president Obama is not a good negotiator, he only said and did nonsense things for America. With all his promises, Trump takes a vow in front of his supporters in his campaign to be a good negotiator which gives advantages for the United States. Trump said confidently that he is a rich people so he can do everything with his own money. The power domination is strongly identified here in his statement that he indirectly shows his successful business all over the world, especially his business with some Middle East countries like Israel and Arab Saudi. However, he hates Iran because many terrorists which are Muslims come from that country due to the problem of oil trade done by America and Iran. This notion of terrorist makes Trump generalizes that all Muslims are terrorist, including Muslims who live in the United States of America.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
59
The social political context constructed by Norman Fairclough is also seen in Donald Trump’s speeches that indicate; first, the internal conflict of America and second, Trump’s political characteristics. The internal conflict is assumed by Trump himself. He thinks that President Obama should have not come to a country when its president does not welcome and honour him as a President of the United States of America. Because it means that the president of that country ignores him and Trump sees it as a show of such insults. Another conflict is still related to President Obama. It happens when President Obama responses Trump’s speech that is addressed toward Non-Muslim to turn against Muslims because of the terrorism attach at that time. President Obama commands his society, in his speech in White House, not to turn against Muslim because it is none of their fault. Obama appeals the society to not spread the notion of Anti-Muslim and keep the peace among them. The speech of President Obama makes Trump give his respond at one of his campaign. Trump said that, “why does President Obama defend Muslims in America? Oh, I can see that he is one of them, he is a Muslim, right?” From here, we can conclude that Trump really hates Muslim and President Obama. Through this big smash toward President Obama, he tries to construct the bad image of Muslim to gain supports polls form the society. He seems that he builds his own image of being a hero for Non-Muslim society by spreading Anti Muslim idea, especially toward the family of terrorism victims. The political characteristic of Trump is very well structured. His campaign is successfully done wherever it is. He often gives charity and gives money donors to several institutions in America. Besides, he seems very powerful by always beating his rivals in presidential debate program especially Hillary Clinton. His character is so tough that he is courageous and arrogant of his ability. He always delivers his comment toward some cases directly on the point without any hesitation though it is addressed to the first person of America or to his rivals. His controversial speeches are likely a weapon to curse the society to vote for him. Those kinds of notion of Anti- Muslim by Donald Trump are categorized as racisms of religion and race in the USA. He is a racist toward several innocent people who do not give any contribution to the attack. His speeches about Muslim can give disadvantages of them while they live and work there. He ruins the “peace icon” that all presidents try to build among his multicultural society. He just seems that he wish the war between Muslims and Non Muslims happens so they will hate each other. For further reason, there will be no Muslims in the USA and they cannot come to USA in order to destroy that country. That’s all what Trump is trying to convey in his controversial speeches bout Muslims. He controls the condition and situation of the society. Finally, he is seemingly success in creating Islamophobia among them. CONCLUSION In conclusion, researchers believe that Donald Trump as one of the presidential candidates of the United States of America has made the environment and situation in the USA that is now in a serious anxiety after terrorism in California and San Bernardino. He tries to take advantages from the attack that is apparently committed by Muslim, by positioning himself as an anti-Muslim, standing for anti-Muslim people, and deliberately proposing to ban Muslim entering America through his speech campaign. Therefore, he gained more polls for these. As he gain more poll from anti-Muslim he is standing for, he uses this power to construct some bad image and discourse about Muslim to provoke people to stand with them (and to be anti-Muslim) in order gain more polls. REFERENCES Barker, C. 2008. Cultural Studies: Theory and Practice Third Edition. London: Sage Publication Fairclough, N. 1995. Critical discourse analysis. The critical study of language. London: Longman. Storey, John. 2015. Cultural Studies and the Study of Popular Culture, 3rd edn, Edinburgh: Edinburgh University Press. http: Donald Trump Rally, Some See Bias Where Others See Strength - The New York Times. Html accessed on March 20, 2016. http: Cameron criticises Donald Trump 'Muslim ban' call – BBC News. Html accessed on March 20, 2016.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
60
12 FLOUTING THE CONVERSATIONAL MAXIMS IN TV ADVERTISEMENTS TO INFLUENCE CHILDREN Dhyaan Annisa Djuita Nugroho Pasca Sarjana FIKOM UNITOMO, OTO PLUS, Gramedia Kompas Firda Djuita STIBA “Satya Widya” Surabaya Abstract: Children are fragile target of advertisements as their cognitive ability is not mature enough to resist the influence of advertisements, meanwhile persuasive language used in advertisements can influence them greatly. In the ‘Copy Elements’, Advertisers mostly flouts the conversational maxims which actually create a vague or even unreal information for viewers especially children. Moreover, the development of Informational Technology has made it possible for advertising people to enrich the performance of their advertisements to bring stronger influence to the viewers through the ‘Graphic Elements’. As a matter of fact, ‘Marketing Juggernaut’ has driven commercialization of children as marketing people realize that if they can influence children, automatically they can influence their parents to buy their product, this is the fact that makes “Ford Motor Company, Target, Embassy Suites, and the Bahamas Ministry of Tourism use Nickelodeon, the number one television channel for kids, to advertise their products and service.” (Schor, 2005:24). In this article, the writers show that advertisement makers flout the conversational maxims which can influence consumers especially children. Keywords: Advertisement, conversational maxim, flouts, influence INTRODUCTION Television has become the most dominant media for Indonesian as it has uncomparable features compared to other medias. As an audio visual media, television can present “real information” and the development of information technology has made it possible for people to make use of television to communicate ideas in many interesting ways. Business people have long been using television to promote their products through advertisements and so far TV viewers have noticed that consumerism is a significant impact of TV advertisements both to adults and children. Many reasearches on the influence of TV advertisements have proved that TV Advertisements have influenced and shaped the children’s buying behavior (Hameed, Abdul. et.al, 2014), eating habits (Murty, T. N, et. Al, 2013), life style and many other behavioral concepts. These bring the writers to pay closer attention to TV Advertisements and focus their attention to the language used in TV Advertisements. Janet Holmes (2001 : 2 ) explains that "Language serves a range of functions, such as to ask for and give people information, to express indignation and annoyance, as well as admiration and respect, and sometimes to both convey information and express feelings". It implies that utterances or sentences in written language can be an effective means to express feeling, to order or request someone to do something, to give information, and to attract attention of the hearer or the reader. The use of language in advertisementscan be classified as persuasive discourse as Robin Lakoff (1982) in Anand et.al explained that persuasive discourse is a nonreciprocal “attempt or intention of one party to change the behavior, feelings, intentions, or viewpoint of another by communicative means.” Advertising, propaganda, political rhetoric, and religious sermons are obvious examples of persuasive discourse. Related to the main function of advertisements, it is clear that the language used in advertisements is meant to persuade the consumers to change their behavior and viewpoints toward the products.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
61
DISCUSSION Special Features of Advertisement Anand et.al (2011:135) explain that “Advertising sometimes is deliberately designed for multiple (favourable) interpretations, so consumers can read into it the most desirable interpretation. This is facilitated when the interpretation depends not on words but pictures, music and other forms of nonverbal communication” Refering to their idea, the writers can say that advertisements makers have deliberately developed their product using the power of language. Moreover, supported by technology they can create attractive advertisement. Anand et.al further state that ” the interpretation of a message or ad is tied to culture, social experience, and education. There is an open texture in ads in that there is no final, fixed interpretation.” It shows that advertisements makers create the ads which lead the potential customers to multiple interpretations so to be able to interprete an advertisement, they need to have a mature cognitive ability. They need to undertand the cultural background of the ads thus they need to have social experience and education in order to come to the right interpretation. There are two most important elements of advertisements those are the copy element and the graphic element. In the copy element, advertisement makers should communicate the message in clear, consice and focused language. They usually “ start with a headline to grab the readers’ attention, spark interest in the product and convey the message succintly” (Hudgin, 2013:1) Meanwhile in the graphic element, the use of “Photography, illustration and logo symbols raise interest in any ads. Related to this idea, the writers believe that television can present interesting advertisements as it can produce moving pictures supported by colors, sound, and music. Children and Advertisements Children watch television much, even many mothers might think that television is their savior at their busy time as television can be a faithful companion to their children. TV stations really understand this point so they lulaby busy mothers with children special programs and along with them there come the advertisements. “Kids can recognize logos by eighteen months, and before reaching their second birthday, they are asking for products by brand name” (Schor, 2005:19) This means that advertisements can influence children from their very early childhood. Unfortunately, parents are not aware of this commercialization of childhood which is being driven by number of factors, including broad social trends. Television brings trends to our life by introducing new products and their intense effort can be seen as Marketing Juggernaut, a massive inexorable movement of marketing, and as the result “these days, when kids ask, they ask for particular brands. A 2001 Nickelodeon study found that the average ten year old has memorized 300 to 400 brands. Among eight to fourteen year olds, 92 percent of requests are brand specific.” (ibid, 25) This fact shows that children are bonded to brands and it was television advertisements who introduce them to the children. The Language of Advertisements Jonathan Dee as quoted by Jean Kilbourne (2000: 75) stated that “words can be made to mean anything, which is hard to distinguish from the idea that words mean nothing”. Related to this idea, the writers can understand that language is very powerful and the creativity of language users can produce different meanings of the word used. Referring to the main function of advertisement that is to influence potential customers to buy the product being advertised, so the language used in advertisements, should be adjusted to this function. The language of advertising is viewed as persuasive language and one successful way is by flouting the conversational maxims.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
62
Grice’s Theory of Cooperative Principle To have a successful conversation, the participants shouldcooperate each other, in this case they should apply the theory of cooperative principle. Grice in Renkema (1993:9) formulates a general principle of language use which is known as ‘The Cooperative Principle’ which says “Make people conversational contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the speech exchange in which you are engaged” In short it can be explainedthat cooperative is achieved by following four maxims. 1) Maxim of Quantity. Hymes in Brown and Yule(1983:109) stated: Make your contribution as informative as is required (for the current purpose of the exchange) and do not make your contribution more informative than is required. It shows that the speaker should give necessary information only. He may not give insufficient information or too much information in order that the hearer can get the information clearly. 2) Maxim of Quality. This maxim says:Do not say what you believe to be false and do not say that for which you lack adequate evidence.This maxim clearly explains that a speaker may not tell lie. Heshould tell the truth or does not tell something that he does not know well when he does not have enough evidence for it. 3) Maxim of Relevance. This maxim emphasizes that the speaker should give a relevant answer to the topic being discussed. It means that a speaker should give a relevant response in accordance to the topic. 4) Maxim of Manner. This maxim determines that the speakers should be perspicuous by avoiding obscurity of expression, ambiguity, unnecessary prolixity (be brief) and be orderly.The four points explain that people should avoid obscurity of expression byproducing utterances which are not confusing so that they can avoid ambiguous meaning and it can be done by producing brief and orderly utterances.Related to the concept of be orderly, a speaker should speak in a good order to avoid misunderstanding or confusing. According to Thomas (1995:65) “A flout occurs when speaker blatantly fails to observe a maxim at the level of what is said, with deliberate intention of generating an implicature” This statement shows that a speaker flouts certain maxim purposely but in relation to this quotation, Cook (1989:31) said that “There are also times when meaning derives from deliberate violations or ‘flouting’ as Grice calls them of the cooperative principles.” In communicating, people normally obey Cooperative principle, but in many cases they violate or flout the maxim purposely. Thomas (1995:65) stated that “A flout occurs when a speaker blatantly fails to observe a maxim at the level of what is said, with deliberate intention of generating of implicature”. This statement means that flouting a maxim happens when the speaker intentionally breaks maybe because he wants to deceive or to mislead the hearer so that the hearer should look for the meaning implied in the utterance. Flouting the conversational maxim in advertisement To show the advertiser makers flout the conversational maxims in their advertisements, the writers will present two advertisements as the example. Energen 7 dari 10 anak Indonesia kekurangan gizi sarapan (elementary school students sleeping in class) Untuk itu perlu sarapan sehat yang mengandung ¼ gizi harian.(Prof. Hardinsyah speaking , students drinking energen as the background) Ayo sarapan sehat sebelum jam 9. (students jumping happily)
This adstarts with a headline to grab the readers’ attention and to spark interest in the product. The statement “7 dari 10 anak Indonesia kekurangan gizi sarapan”, brings an emotional appeal to viewers. Their fear of malnutrition will make them believe of what the advertiser says.Then in “ . . . perlu sarapan sehat yang mengandung ¼ gizi harian” clearly flouts the maxim of Manner as it does not give clear information about what is meant by “sarapan sehat” while this phrase can mean “Energen”. Furthermore, the phrase “mengandung ¼ gizi harian” also flouts the maxim of manner as it does not give
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
63
clear information about how much one should eat to fulfill their daily nutrition need and how much does Energen contain. This ad is closed with a suggestion to have healthy breakfast before 9:00 a.m. The speaker suggests to have healthy breakfast with the implied meaning to ask children to drink Energen as it is supported by the background of children jumping happily after drinking Energen, in this case he flouts the maxim of manner as he does not speak clearly, in this case the phrase “sarapansehat” does not have clear meaning. In this version the advertiser also uses the method of testimony to influence the viewers by using Professor Hardiansyah, an expert on food and nutrition from IPB. In Indonesian culturea professor is considered as a very clever and respectful person and people accept what he says as a truth and as the result they may think that drinking Energen is enough for breakfast. Mie Gelas Boy : Jajan apa ya dek? Girl : Ingat kata mama kak! (1) Mom : (in buble) Jajan harus enak dan sehat Boy and Girl : Mie Gelas ...... Man : (apprearing from hanging mie gelas) Pinter! (2) Jingle: Mie gelas dengan ekstra sayuran 2X Mie Gelas mie yang sehat, dengan ekstra sayuran, Lembut mienya, jernih kaldunya. Mom: Pinter ya jajannya (3) Boy : Mie Gelas kan Ma? (4) Mie Gelas lezat penuh manfaat
The girl’s reply (1) flouts the maxim of relevance and as it is followed by the mother speaking in buble “jajanharusenakdansehat” it can be concluded that it is her reply to the boy’s question. This utterance carries an implied meaning that mie gelas is healthy snack.The man’s statement (2) flouts the maxim of Manner as it is not clear, who or what is meant by Pinter, the children or the snack. Meanwhile the phrase “dengan ekstra sayuran” flout the maxim of quantity as it gives insufficient information and in (3 &4) the speakesr also flout the maxim of manner as these utterances are ambiguous. Furthermore the phrase “jernihkaldunya” flouts the maxim of Quality. In Indonesian culture kaldu means broth, that is soup made from meat or vegetables cooked in stock, but in the packaging we can see that they use “ Perisaidentikalamiayam” which means they only use chicken flavor. In these two examples we can find the advertisement makers flout the conversational maxims and supported with other persuasive device, they manage to influence potential customers to buy the product. As the result we can see that there are many children children and also partents who think that it is enough to have Energen for breakfast and there are also people who consume instant noodle and do not realize of the unnatural material such as “Perisa identik alami ayam” in Mie Gelas. CONCLUSION The two examples discussed above show that advertisement makers deliberately flout the conversational maxims as making an ad requires a preparation such as making the scenario for the text, the pictures, etc. They flouts the maxim by not giving sufficient or clear information, making ambiguous statement, and even give false or mislead information. Beside flouting the conversational maxims they also use other means of persuasion such as testimony of important people and strengthen the interpretation using pictures, color and sound. For mature viewers, they may be able to make good interpretation or they may find further information such as by reading the information on the packaging but for children who do not have mature cognitive ability, they may not be able to find the right interpretation. REFERENCES Anand, Pranav. (2011).” Believe Me-We Can Do This! Annotating Persuasive Acts in Blog Text”, A paper. Brown, G & Yule.(1983). Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Cook, Guy. (1989). Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
64
Hameed, Abdul, et.al. (2014). Impact of TV Advertisement on Children Buying Behavior, International Journal of Humanities and Social Science, Vol.4 No. 2 Holmes, Janet. (2001). An Introduction- Sociolinguistics – Second Edition. London: Pearson Education Limited. Hudgin, Catherine. (2014). 7 Elements of Advertising, Smallbusiness.chron.com>advertising&marketing>/advertising. Kilbourne, Jane. (1999). Can’t Buy my Love. New York: Touchstone, Rockefeller Center Murthy, T. N, et.al, (2013). Impact of Advertising on Children with Special Reference to Eating Habits, ABHINAV- International Monthly Refereed Journal of Research in Management and Technology , Vol. 2, May 2013 Renkema, Jan. (1993). Discourse Studies – An Intoductory Textbook, Philadelpia: John Benjamin Company. Schor, Juliet B. (2005). Born to Buy. New York: Scribner Thomas, J. (1995). Meaning in interaction: an introduction to pragmatics. New York: Longman Publishing.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
65
13 CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS: A COMPARATIVE STUDY IN ANTI-SMOKING CAMPAIGN VIDEO IN INDONESIA AND THAILAND Dian Purwitasari Department of English Language and Letter Islamic State University Maulana Malik Ibrahim Malang Abstract: Cigarette is widely-known in all part of the world. In fact, cigarette is still highly consumed in spite of its poisonous substance that has been proved to cause respirational issue and risk of death. According to WHO, cigarette does not only damage the human but also the entire planet since the cigarette waste contains toxic for the environment (Tobacco Atlas, 2015). As a solution in facing such problem, some action is promoted to prevent higher use of cigarette. One of these action is anti-smoking campaign video broadcasted in mass media. Almost every country produces this type of campaign including Indonesia and Thailand. In both country, the campaign convey the same message that smoking is a dangerous habit that leads to death. Those videos are created to pursue people to stop smoking. In spite of the same message and purpose, there are some aspects that differ the antismoking video campaign made in Thailand and Indonesia. This study, therefore, is intended to analyze the distinguished aspects between anti-smoking video campaign created in Thailand and Indonesia in case of comparative study. The theory used for this analysis is critical discourse analysis by Teun Van Dijk. The result of the study shows that Indonesian anti-smoking campaign tend to show the risk of smoking towards the smoker only, explicitly delivered through warnings and some are created with humor. While Thai anti-smoking campaign tend to show the bad effect both to the smokers and people around them, implicitly expressed by action and created seriously. Keywords: Anti-smoking campaign; Critical discourse analysis; Indonesia; Smoking; Thailand
INTRODUCTION Cigarette has been a very debatable issue, especially in Indonesia. The government supported by medical scientists has proven that smoking cigarette is harmful for our body. The smoke actually do not only effect the smoker only, but also the second hand smoker who inhale the waste gas of the smoke. As an international health organization, WHO, proposed Framework Convention on Tobacco Control or FCTC to limit tobacco use for member countries of WHO. This framework is firstly opened for signature in 29th June 2004. FCTC treaty covers production, display, purchase and the use of tobacco products. One point of FCTC is restriction on tobacco products advertisement stated in Article 13 of WHO FCTC about tobacco advertising, promotion and sponsorship (WHO, 2005). Today, there are 180 countries has signed this treaty, including Thailand. However, Indonesia is the only country which has not signed the FCTC in Asia. Rodman (2006) suggested that advertisement may have notion of puffery that is advertisers had always shown an exaggeration in advertising claim. Therefore, it is possible that the exaggeration could express the image of the product being advertised. In cigarette advertisement, for example, the advertisement is created provocatively and in very interesting way to attract people to start smoking (Octaviani, 2009). As a gatekeeper, the cigarette company has managed to make a masculine image in almost every cigarette advertisement (Wijaya, 2013). As Barker (2008) suggest that masculinity encompassed the values of strength, power, stoicism, action, control, independence, self-sufficiency, male mateship and work. In Indonesia’s cigarette advertisement, the action shown could be a man climbing a mountain, man drifting his car at the edge of cliff, or a man walking across a wire from one cliff to another. These ‘dangerous’ and ‘adventurous’ actions, have clearly shown the value of strength and power. Champan (1984) argued that there might be no relation between smoking and masculinity,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
66
however, the cigarette company has successfully created the image of masculinity in their advertisements that lead to an understanding that smoking is a symbol of masculinity As the cigarette advertisement has been performing ‘extravagantly’, we need to analyze how its opponent performance in attracting people’s attention. Anti-smoking campaign, therefore, should be expressed in more than logical way. Chapman (1984) explained that a logical attraction with dangerousbasic-information to prevent smoking is not going to work. This explanation is basically taken from the understanding that cigarette advertisement has successfully hiding the harm of smoking by replacing it with ‘heroic masculine image’. Logical warning, therefore, will not change this ‘mythical’ image. Further, he suggested that it will be the best way to ‘destroy’ the positive image given by the cigarette advertisement. If we take an example, the image of strong power could be replaced by its opponent, the value of life. Anti-smoking cigarette should be able to emphasize that life is valuable, and cigarette presence could be explained to be ‘the destroyer’ of life. In such way, people will tend to think more about the life instead of the ‘masculinity’ of smoking. DISCUSSION Critical Discourse Analysis Critical discourse analysis or CDA is a type of discourse analysis studying the way social power abuse, dominance, and inequality are enacted, reproduced, and resisted by texts in the social and political context (Dijk, 1993) . Critical discourse analysis is used to understand, expose, and ultimately resist social inequality. The importance of CDA analyst is to be awarene of their role in society. They also argue that science, especially discourse, is influenced by social structure and produced in social interaction. Critical discourse analysis some purposes, such as: 1) As is often the case for more marginal research traditions, CDA research has to be "better" than other research in order to be accepted. 2) It focuses primarily on , social problems and political issues, rather than on current paradigms and fashions. 3) Empirically adequate critical analysis of social problems is usually multidisciplinary. 4) Rather than merely describe discourse structures, it tries to explain them in terms of properties of social interaction and especially social structure. 5) More specifically, CDA focuses on the ways discourse structures enact, confirm,legitimate, reproduce, or challenge relations of power and dominance in society. Fairclough and Wodak (1997: 271-80) summarized the main tenets of CDA: 1) CDA addresses social problems 2) Power relations are discursive 3) Discourse constitutes society and culture 4) Discourse does ideological work 5) Discourse is historical 6) The link between text and society is mediated 7) Discourse analysis is interpretative and explanatory 8) Discourse is a form of social action. One of the aims of CDA is to analyze the power relation whether a certain discourse is more powerful or less powerful than the other. One important element in analysing CDA is to understand the power relation as the one which control. The discourse is analyzed whether it has power base to control over society or not and how the power could occur. Once the discourse is possible to have the power base, therefore, there is chance for the text to control the society’s mind, paradigm or point of view of a certain thing. Within a CDA, "mind control" involves more than just acquiring beliefs about the world through discourse and communication. Anti-Smoking Campaign-Indonesia The first sample of anti-smoking campaign is taken from Indonesia Heart Foundation (YJI) which shows a man in a public place who was about to smoke. Suddenly, the people around him, who were
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
67
previously working, walking, talking and eating, run to him, and read Surah Yaasin. Later on, the man kept back his cigarette and his face showed a confusion. All at once, the people left him. Next, the man was about to turn on his cigarette again, and the people did the same thing again. The videos showed a sentence saying “Smoking brings you closer to death”. The second one is from the Ministry of Health Indonesia. This video used a real second-hand smoker that becomes the victim of smoking as the actor. It showed a woman showing a hole in her neck. The text next to her said “I have VOCAL CORD CANCER because of the I EXPOSURED TO CIGARETTE SMOKE, even though I DON’T SMOKE”. The woman then spoke with unclear voice “I lost my voice. Stop smoking, your smoke kills the people’s dream around you”. The last one from DEPKOMINFO, GIS and Bhakti Husada shows a flaming cigarette with some texts saying “May be, smoking seems nice for teenager. For some women, smoking is a lifestyle. But, do you know what substances that cigarette brings? There are more than 4000 different chemical substances. 43 of them are known to be causing cancer. Will you keep smoking or STOP?” From those descriptions, we can conclude that the three different campaigns have the similar pattern especially in the language used which tend to be as warning sentence only. The campaign retell the people that smoking harmful and it gives us bad effect. The video with Surah Yaasin clearly stated that smoking would bring us closer to death. It emphasize the intention to “scare” people with Surah Yaasin which is usually read by people as a prayer to the dead people.. The other warning also comes from the woman in the second video that by saying “Your smoke kills the people’s dream around you”. This sentence is an implicit expression that smoking can possibly cause someone else, the second-hand smoker, to suffer from cancer. The term ‘dream’ here could describe the condition of the people losing their vocal cord that they are unable to speak and it prevents them from reaching their life goals. The other distinguished aspect is the action shown in the videos. It showed various actions such as fictitious action, real-life victim speech and a flaming cigarette image. Those images show that the theme in Indonesia’s anti-smoking campaign is various. In the Surah Yaasin video, however, there is an exaggeration on how people run towards the man who almost do smoke. This action is nearly impossible to happen in the real life, therefore, instead to be warning action, it may stand as humor. The other action can be seen as flat-toned video. Indonesia’s anti-smoking campaign also sometimes use agent to tell the bad effect of smoking. In the Surah Yaasin video, the people running to the man is the agent, the woman with cancer in the second video is also the agent. However, the agent here act to be as the informer only. They only act as to warn people. The bad effect of smoking does not affect them. Anti-smoking Campaign-Thailand The first sample from Thai anti-smoking campaign is entitled “The Smoking Kid”. It started with sentence “Adults know that smoking is harmful, but don’t remind them of this fact”. This video is created from a hidden camera recording two children came to some smoking adults and asked for their light to smoke. All of the adults advice the kids that smoking was bad, could cause cancer, and any other bad impacts. After that, the children gave them a piece of paper which written “You worry about me, but why not with yourself? Reminding yourself is the most effective warning to help you quit. Call 1600 hotline to quit smoking”. The second one showed about a smoking man. He remembered, one day, when he smoked, he intended to stop when he had a child. However, he started to smoke again with his friends and he thought that smoking was not that bad and it would not give any bad effect to the other people. That man was eventually sick. His family, as they had to pay his medication, suffered from financial problem. They had to sell their belongings to pay his medical bills. The man died at the end. The last anti-smoking campaign has mother theme. It showed a mother when she gave a birth to her baby boy. She loved, raised and took care him. Until one day, the boy grew up and she realized that her son do smoke. When he grew older, he was sick, and his mother, who has been very old, stayed with him, taking care of him just the way when he was a baby. When his illness was getting worse, he remembered that one day he did not want to go to school because he wanted to stay with his mother. His
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
68
mother, knowing that his son would face his death, said “Don’t go son. If you leave, who will stay with me?” Her son died at the end. Thai anti-smoking campaign do not retell people that smoking is dangerous because people have known it already. Therefore, they tell them something beyond the bad effect towards the smoker itself. The message that we can imply from the last two campaign, which both showed that the smoker died at the end, is that smoking will do your family suffering and smoking will apart you from mother’s life-time love. These videos emphasize the ‘value of life’ which shown to be very valuable and smoking will destroy all of their happiness. The language used is implicit. The last video about a mother showed a statement “How many mother that should lost their children because of smoking?” This statement do not state directly that smoking do kills, but it has “a mother losing their child”, it has “a mother” as a reference. Therefore, this sentence presents an image that a mother will be the one who will be suffering if her children died because of smoking. This language can be said as “touching” because it reminds us that there are people which need to be protected from the danger of smoking. With this way of delivery, people will tend to think more about smoking because they will think the further effect of smoking instead thinking that “smoking kills”. None of Thailand’s anti-smoking campaign uses humor. All the campaigns are made seriously and most of them showed that the smoker died at the end. Compared to Indonesia’s anti-smoking campaign, Indonesia’s only tell people that smoking kills. They do not show how ‘scary’ death is and how miserable their family will be facing their death from such disease. Thailand’s anti-smoking campaign has managed to show how death is by the action that the smoker will end up having unhealable cancer in hospital, accompanied with his family. The family is also shown to be suffering. In the real life, it do makes sense if one of our family is getting sick, we feel sad. If the sick person is our closest family, there is also possibility that we could think about them deeply and we get sick about it. In Thailand’s antismoking campaign, the suffering to both the smoker and the family is shown clearly. As in the video about mother having a smoking son, the sequence showed how she gave birth to him and took care of him until one day he smoked and got sick. His mother, therefore, seemed to be very sad knowing that her beloved son died. This video emphasized on how mother has struggle for our life and we should not waste it by smoking, because if we do, she would be the one who will be very sad because we would sick and we waste all of her love and effort for our entire life. This video is shown with the song which support the theme about mother’s love. The first video, “The Smoking Kid” has also successfully managed to be the best anti-smoking campaign. This video also has the same pattern in delivering message that it does not retell people that smoking is harmful. However, it “tease” how the adult react if a child do smokes. In the video, it is shown that all of the smoking adults advise them that smoking is dangerous and cause cancer. This action has proved that all adults understand that smoking is a harmful behavior. Therefore, the anti-smoking campaign only showing the danger of smoking only will not make any difference because people has understood it already. The children then asked them in the other way about why they worry about the child, why do they ignore the harm for themselves. This sentence has successfully remind people that we should not worry about someone else before we worry about ourselves. In case of smoking, those adults are asked why they smoke if they knew it already. This sentence will lead to ‘deeper’ thinking about the harm of smoking for themselves. Aspect Language
Action
Indonesia Explicit, explaining the bad effect of smoking directly by words as warningand description Various. Some are presented as facts, the other are fictions. Emphasizes logical thinking that smoking is dangerous
Thailand Introduced implicitly, but using inderect way of telling the main message at the end May be seen as irrational but there is still possibility to happen. Emphasize the effect of smoking with life-alikeexaggeration
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
69
Tone
Theme Agent
Humorous or flat
Created seriously with actions and background song supporting the tone of the action Various (religious, real victim, merely Life as a warning) May use agent, but the agent may not Always using agent to emphasize that play as important role as the smoker. smoking effects the smokers as well Except for the video showing the real as the people surrounding them victim of being passive smoker.
CONCLUSION In sort, Indonesia’s anti-smoking campaign is not “srong” enough to reduce the number of smoking people because they are only at the stage of retelling people the harm of cigarette and people have already known it already. While Thailand’s anti-smoking campaign can be said to be ‘touching’ enough because it has managed to portray the continuing effect of smoking, that it may also cause our family to suffer. Therefore, Thailand’s anti-smoking campaign may have bigger effect towards society rather than Indonesia’s anti-smoking campaign. REFERENCES Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. London: Longman Dijk. Teun Van. 1993. Discourse and Society. London: SAGE Publication Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Theory and Practice. London: SAGE Publication Chapman, Simon and Garry Egger. 1984. Myth in Cigarette Advertisement and Health Promotion. In Davis, Howard and Paul Walton. Language, Image, Media. Oxford: Basil Blackwell Qadafi, Ahmad Muammar and Ribut Wahyudi. 2014. Advertising Language: A Pragmatic Approach to Cigarette Advertisement in Indonesia. Journal of Issues in Language Studies. Vol. 3 No 1 – 2014 Rodman, George. 2006. Mass Media in a Changing World. New York: The Mc Graww Hill Company Thailand-Restriction on Importations of Internal Taxes on Cigarette. Report of the Panel adopted on 7 November 1990 (DS10R – 37S/200) Tobacco Control Research and Knowledge Management Center (TRC). 2008. Thailand Tobacco Control Country Profile. Bangkok: Mahidol University WHO, Michael Eriksen, et. Al. 2015. Tobacco Atlas. New York: American Cancer Society
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
70
14 AFRICAN AMERICAN VERNACULAR ENGLISH (AAVE): EKSISTENSI DAN PENGGUNAANNYA OLEH KULIT PUTIH AMERIKA STUDI KASUS PADA NOVEL THE ADVENTURES OF HUCKLEBERRY FINN Dian Resti Ningrum Fitriyatuz Zakiyah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga Abstract: Bahasa merupakan sesuatu yang dinamis, maka bahasa akan terus berkembang, teramasuk pula AAVE yang semakin luas penggunaannya dan menarik minat para ahli bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh penulis telah menunjukkan adanya perubahan bahasa yang digunakan oleh orang kulit putih yang disebabkan oleh faktor kelas sosial dan social network. Kurangya pendidikan dan adanya kedekatan dengan seseorang merupakan dua di antara beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa yang ia kenal sehari-hari. (Trudgill, 1983) menyatakan “the social background is the clues which can appear among the language users seen by their grammatical differences.” Sehingga dalam kasus ini, penggunaan AAVE oleh Huck dikarenakan latar belakang sosialnya sebagai seorang anak remaja yang kurang mendapatkan pendidikan yang baik sehingga ia cenderung menggunakan bahasa vernakular. Namun, tidak semua fitur digunakan oleh Huck karena meski ia berteman baik dengan Jim sebagai orang kulit hitam, ia juga mendapatkan sedikit pendidikan seperti membaca, tata krama, dan table manner dari bibinya. Keywords: African-American, Vernacular English, Huckleberry Finn
PENDAHULUAN African American Vernacular English (AAVE) merupakan bahasa yang digunakan oleh keturunan bangsa kulit hitam di Amerika. Dalam perkembangannya, AAVE telah menjadi karakteristik dari bangsa kulit hitam Amerika itu sendiri. Baugh dalam bukunya menyatakan bahwa African American Vernacular English (AAVE) merupakan bahasa percakapan yang digunakan oleh orang Afrika Amerika di USA (Baugh, 2000). Selain itu, Green juga berpendapat bahwa AAVE merupakan variasi berbicara yang diadopsi oleh keturunan kelas pekerja dari budak-budak di Amerika yang digunakan sebagai bahasa kumunikasi sehari-hari (Green & Lisa, 2002). Jadi, African American Vernacular English (AAVE) merupakan salah satu dari variasi bahasa yang digunakan oleh keturunan bangsa kulit hitam Amerika dalam berkomunikasi sehari-hari. Keberadaan AAVE selalu mengundang ribuan pertanyaan antara para ahli bahasa. Salah satu pertanyaan yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini adalah keberadaan AAVE sebagai suatu bahasa baru atau hanya sebagai suatu variasi dari bahasa Inggris saja. Hal ini disebutkan oleh Bailey, AAVE sebagai suatu bahasa atau hanya sekedar variasi dalam bahasa Inggris menuai banyak ketidak setujuan diantara para ilmuan dunia (Bailey, 2001). Mengenai hal ini, ada beberapa perbedaan pendapat. Yang pertama adalah Ebonic. Ebonic berpendapat bahwa AAVE bukanlah suatu variasi dalam bahasa inggris. Pendapat yang kedua yakni creolized. Mereka perbendapat bahwa AAVE merupakan suatu kreol yang didekreolisasi. Mereka memandang bahwa terdapat perbedaan yang significant antara AAVE dan SWVE (Bailey, 2001). Sedangkan pendapat yang ketiga, menyebutkan bahwa AAVE merupakan suatu variasi dari bahasa Inggris yang telah dipelajari oleh para budak dari pemilik mereka yakni bangsa kulit putih Amerika di Amerika selatan. Pandangan ini merupakan pandangan dari kelompok Anglicist (Bailey, 2001). Mereka menemukan bahwa AAVE dan SWVE memiliki kesamaan kelas sosial di tempat yang sama. Namun, terlepas dari perdebatan-perdebatan tersebut AAVE saat ini telah berkembang dengan baik. AAVE tidak hanya digunakan dalam komunikasi sehari-hari saja, melainkan juga dalam beberapa karya sastra seperti novel dan lagu. Salah satu pelopor penggunaan AAVE dalam karya sastra Amerika
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
71
yakni Samuel Langhourne Clamens atau lebih dikenal dengan sebutan Mark Twain dengan novelnya yang berjudul “The Adventures of Huckleberry Finn” yang terbit pada tahun 1884. Seperti yang telah dijelaskan oleh Donnelly dalam bukunya. Ia menjelaskan bahwa novel ini merupakan vernakular kerakyatan pada pertengahan abad 19 (Donnelly, 1980). Novel tersebut telah menjadi novel pertama yang mencoba untuk melawan perbudakan di Amerika. Hal ini dikarenakan novel The Adventures of Huckleberry Finn ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Huck yang berteman dengan seorang budak bernama Jim. Mereka kemudian berpetualang dan menemukan banyak rintangan. Hingga pada akhirnya Huck berhasil membebaskan Jim agar bisa bersama dengan keluarganya. Novel ini menggunakan Petesburg, Hannibal Missouri sebagai setting tempatnya. Dan tahun 1840 sebagai setting waktunya. Donnelly menjelaskan bahwa pada masa itu di Missouri terjadi sitem perbudakan, yang mana orang negro atau kulit hitam dari Afrika menjadi budak orang kulit hitam Amerika dan memperlakukan mereka seperti hewan peliharaan (Donnelly, 1980). Sehingga novel ini dikatakan sebagai novel yang melawan perbudakan dengan alur cerita dan penggunaan AAVE dalam novel ini pada si tokoh utama yakni Huck yang merupakan orang kulit putih Amerika. Penggunaan AAVE dalam novel ini lah yang kemudian menarik minat peneliti untuk mengetahui bagaimana penggunaan AAVE pada orang kulit putih. Pasalnya, penggunaan AAVE pada masa itu hanyalah untuk kalangan kulit hitam Amerika saja. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Baugh bahwa African American Vernacular English (AAVE) merupakan bahasa percakapan yang digunakan oleh orang Afrika Amerika di USA (Baugh, 2000). Namun pada novel ini, Twain menggambarkan sosok tokoh utama sebagai orang kulit putih yang menggunakan AAVE. Sehingga muncullah beberapa pertanyaan mengenai bagaimana penggunaan AAVE oleh orang kulit putih pada novel ini dan faktor apa sajakah yang mempengaruhi penggunaan AAVE oleh mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penggunaan AAVE pada orang kulit putih. Dalam hal ini penulis berfokus pada tokoh utama yakni Huck. Hal ini dikarenakan dia sebagai tokoh utama digambarkan sebagai seorang anak usia 14 tahun yang berasal dari keluarga kulit putih. Akan tetapi dalam berkomunikasi dia menggunakan AAVE. Padahal pada masa itu AAVE merupakan bahasa orang kulit hitam dan termasuk bahasa vernakular. Selain itu, penelitian ini mencoba menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan AAVE oleh Huck pada novel ini. Sehingga dari penelitian ini, kita bisa melihat bahwa setiap orang mampu menggunakan beberapa variasi bahasa bahkan ketika bahasa itu dikatakan sebagai bahasa yang vernacular. Penggunaan variasi bahasa tertentu tersebut tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi pada diri seseorang dan masyarakat. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan teks dalam menganalisis data. Teks tersebut berupa novel The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain pada tahun 1884. Dalam pengumpulan data, terdapat empat tipe yang dapat diaplikasikan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi, wawancara, audio-visual dan analisis dokumen (Creswell, 1994). Dalam penelitian ini, tentu saja peneliti menggunakan tipe analisis dokumen. Oleh karena itu peneliti menerapkan content analysis study dalam penelitian ini dimana “content analysis entails a systematic reading of a body of texts, images, and symbolic matter, not necessary from an author’s or user’s perspective.” (Krippendorff, 2004). Dengan content analysis, peneliti mengungkap macam-macam fitur AAVE dan penggunannya oleh Huck dengan membaca teks dengan cermat dan menginterpretasikannya. Dalam menganalisis data, peneliti mengidentifikasi penggunan AAVE dalam setiap percakapan oleh Huck sebagai tokoh utama dalam novel dimana percakapan tersebut meliputi percakapan yang dilakukan oleh Huck dengan orang kulit hitam seperti Jim dan percakapan yang dilakukannya dengan beberapa orang kulit putih. Setelah mengidentifikasi percakapan, peneliti menganalis dan mengkategorisasi fitur-fitur AAVE yang digunakan oleh Huck dalam percakapan tersebut. Tak hanya itu, peneliti pun membandingkan sikap Huck terhadap AAVE dengan orang kulit putih lainnya. Apakah sikap positif ataukah negatif yang ia tunjukkan. Setelah itu peneliti membandingkan sikap Huck dengan sikap orang putih yang lainnya terhadap penggunaan AAVE dalam percakapan mereka. Dari sini akan dapat teridentifikasi bagaimana pandangan masyarakat mengenai AAVE pada masa itu.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
72
Tahapan terakhir yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan AAVE oleh Huck sebagai orang kulit putih Amerika. Penggunaan variasi bahasa atau bahasa tertentu seringkali dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut bisa berupa faktor internal dari dalam diri orang tersebut, bisa juga berupa faktor eksternal yaitu hubungan atau kontak dengan masyarakat lainnya. PEMBAHASAN Hasil menunjukkan bahwa penggunaan AAVE oleh orang kulit putih, dalam hal ini Huck, sebagai tokoh utama dalam novel tidaklah siginifikan. Dari 15 fitur AAVE yang dikemukakan oleh Rickford, Trudgill, dan Wardhaugh, Huck hanya menggunakan 5 fitur saja yaitu: special auxiliary verb uses of “been” and” done”, existential “it” functions as there, multiple negations, the use of “ain’t”, word final consonant clusters especially those ending in “t” or “d”. Berikut adalah contoh penggunaan fitur AAVE oleh Huck: Jim Huck Jim Huck Jim Huck
: “I come heah de night arter you’s killed.” : “What, all the time?” : “Yes—indeedy.” : “And ain’t you had nothing but that kind of rubbage to eat?” : “No, sah—nuffn else.” : “Well, you must be most starved, ain’t you?”
Percakapan di atas adalah percakapan antara Huck dengan Jim si budak, dimana dalam percakapan tersebut penggunaan ain’t seringkali digunakan untuk menggantikan kalimat negatif menggunakan is not, am not, dan are not dalam SE. Penggunaan ain’t oleh Huck tidak hanya muncul ketika ia berkomunikasi dengan Jim sebagai orang kulit hitam, tetapi fitur ini juga muncul saat ia berkomunikasi dengan orang kulit putih ketika ia pergi ke kota untuk mencari tahu kondisi sekitar sejak kepergiannya dengan Jim. Huck bertemu dengan seorang perempuan berusia 40 tahun dalam sebuah rumah dan terjadilah percakapan berikut: Woman Huck Woman Huck
: “Where ‘bouts do you live? In this neighborhood?” : “No’m. In Hookerville, seven mile below. I’ve walked all the way and I’m all tired out.” : “Hungry, too, I reckon. I’ll find you something.” : “No’m. I ain’t hungry. I was so hungry I had to stop two miles below here at a farm; so I ain’t hungry no more.”
Selain penggunaan ain’t yang seringkali digunakan oleh Huck, adapula salah satu fitur AAVE yang banyak digunakan yaitu penggunaan auxiliary verb seperti been dan done. Fitur ini juga digunakan Huck ketika berbicara dengan orang kulit hitam maupun orang kulit putih. Huck Jim Huck Jim
: “Strawberries and such truck. Is that what you live on?” : “I couldn’ git nuffn else.” : “Why, how long you been on the island, Jim?” : “I come heah de night arter you’s killed.”
Seperti yang terlihat dalam percakapan di atas, penggunaan auxiliary verb of been muncul ketika Huck berkomunikasi dengan Jim sebagai orang kulit hitam. Begitu pula ketika berkomunikasi dengan keluarga orang kulit putih yang memiliki jabatan sebagai kolonel di daerah Mississipi sebagaimana berikut: Huck Buck Huck Buck Huck Buck Huck
: “Can you spell, Buck?” : “Yes.” : “I bet you can’t spell my name.” : “I bet you what you dare I can.” : “All right, go ahead.” : “G-e-o-r-g-e J-a-x-o-n—there now.” : “Well, you done it, but I didn’t think you could. It ain’t no slouch of a name to spell—right off without studying.”
Dalam percakapan di atas bahkan Huck tidak hanya menggunakan satu fitur saja, tetapi ia juga menggunakan fitur lain dalam satu kalimat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan AAVE tidak hanya terbatas pada orang kulit hitam saja, tetapi orang kulit putih pun terkdang dapat memilih untuk menggunakan variasi ini dalam konteks tertentu.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
73
Adapun penggunaan AAVE oleh Huck dalam novel The Adventure of Huckleberry Finn disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kelas sosial dan social network. Wardhaugh dalam bukunya menjelaskan bahwa variasi bahasa selain dapat dilihat dari pembagian wilayah dalam masyarakat, juga bisa dilihat dari pembagian kelas sosial dalam masyarakat dan hubungan komunikasi antar masyarakat atau social network (Wardhaugh & Fuller, 2015). Namun dalam mengidentifikasi kelas sosial seseorang, terdapat beberapa kesulitan. Wardhaugh menjelaskan bahwa kesulitan yang paling utama adalah banyaknya dimensi dalam memandang kelas sosial seseorang (Wardhaugh & Fuller, 2015). hal ini juga dibenarkan oleh para ahli lainnya seperti Milroy dan Gordon. Karenanya, dalam berbicara mengenai kelas sosial ada beberapa kriteria dalam mengidentifikasinya. Selain itu, antara satu peneliti dengan peneliti lainnya memiliki perbedaan dalam menentukan kriteria kelas sosial sesuai dengan tempat dan keadaan masyarakat yang diteliti. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Labov di New York pada tahun 1966. Dia menggunakan 3 kriteria yaitu pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Hal ini berbeda dengan Shuy tahun 1968, dia menggunakan 3 kriteria yakni pendidikan, pekerjaan dan tempat dimana mereka tinggal (Wardhaugh & Fuller, 2015). Sehingga hasil yang didapat dari tahun ke tahun akan berbeda-beda. Dalam novel karya Twain tersebut, Huck dikategorikan sebagai anak dari keluarga kelas bawah. Dalam bukunya, Raban menjelaskan bahwa Huck diperkenalkan oleh Twain dalam novel tersebut sebagai sosok yang sangat dikasihani dan kurang kasih sayang dari seorang ibu. Raban juga menambahkan bahwa Huck juga diadopsi oleh seorang janda yang baik (Raban, 1968). Dalam buku lain Donnelly juga menjelaskan bahwa Huck adalah seorang anak yang berusia 14 tahun yang diadopsi oleh seorang janda. Dia merupakan anak yang bebas dan tidak berpendidikan. Ayahnya adalah seorang pemabuk dan dia bahkan berpura-pura mati untuk menghindari ayahnya (Donnelly, 1980). Rabban juga menambahkan pernyataannya dengan menyebutkan bahwa pada novel sebelumnya yang berjudul Tom Sawyer, Huck diperkenalkan sebagai seorang anak dari kasta terendah atau (Juvenile Pariah) (Raban, 1968). Dari beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Huck merupakan anak dari orang berkelas sosial rendah. Sehingga ia harus diadopsi oleh seorang janda agar dapat memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak. Latar belakang Huck yang berasal dari kelas sosial rendah mempengaruhi penggunaan bahasanya. Seperti bahasa AAVE yang pada masa itu dianggap sebagai bahasa vernakular.Trudgil (dalam Wardhaugh, 2015) menjelaskan hasil penelitiannya bahwa seseorang dengan kelas sosial rendah akan menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan struktur kebahasaan yang benar (Wardhaugh & Fuller, 2015). Kelas sosial Huck dalam novel tersebut menunjukkan pengaruh pada penggunaan AAVE oleh Huck yang dianggap vernakular oleh sebagian besar masyarakat kulit putih Amerika. Faktor kedua yakni hubungan sosial atau social network. Wardhaugh mengatakan bahwa semakin erat hubungan seseorang dengan orang lain maka akan mempengaruhi variasi bahasa yang mereka gunakan dalam komunikasi sehari-hari (Wardhaugh & Fuller, 2015). Hubungan Huck dengan kaum negro khususnya Jim terjalin sangat erat. Fonner mengatakan bahwa pada novel The Adventures of Huckleberry Finn ini, Twain memunculkan sosok lelaki yang tangguh yaitu teman dan bahkan rekan Huck dalam perjalanan petualangannya (Foner, 1958). Dari pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa Jim memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Huck dimana Huck lebih banyak menghabiskan waktu dengan Jim sebagai teman dan rekan dalam perjalanan petualangannya. Raban juga menjelaskan bahwa dia menerima pengetahuan tentang suku negro, dan kontak secara langsung dengan mereka dalam perjalan pengalaman hidupnya (Raban, 1968). Dari beberapa penjelasan diatas telah menunjukkan bahwa hubungan Huck dengan orang negro sebagai pengguna AAVE khususnya Jim sangatlah dekat dan dapat dikategorikan sebagai hubungan yang multiplex. Selain sebagai teman Jim juga sebagai rekan yang membantunya dalam perjalanan. Sehingga kontak sosial yang terjadi antara Huck dan Jim lebih erat dan kuat jika dibandingkan dengan yang lainnya. Hal inilah yang mepengaruhi penggunaan AAVE dari Huck itu sendiri. sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wardhaugh bahwa semakin erat hubungan seseorang dengan orang lainnya akan menunjukkan variasi bahasa dari keduanya selama berkomunikasi (Wardhaugh & Fuller, 2015). Selain itu tempat dimana Huck tumbuh dewasa juga mempengaruhi bahasanya. Huck tumbuh dan besar di Amerika bagian selatan. Hal ini didukung oleh pernyataan Foner yang mengatakan bahwa Huck
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
74
sangat menghormati Jim sebagaimana orang kulit putih dari selatan Amerika dihormati oleh budak (Foner, 1958). Pada masa itu di Missouri terdapat sistem perudakan. Seperti yang telah dijelaskan oleh Donnelly bahwa pada masa itu di Missouri terjadi sitem perbudakan, yang mana orang negro atau kulit hitam dari Afrika menjadi budak orang kulit hitam Amerika dan memperlakukan mereka seperti hewan peliharaan (Donnelly, 1980). Sehingga peluang untuk berkomunikasi dengan orang kulit hitam bahkan berteman dengan mereka sangatlah besar mengingat usia Huck yang masih labil yakni 14 tahun dan ditambah dengan kelas sosial yang rendah serta memiliki jiwa yang bebas dan kurang berpendidikan. Hal inilah yang memungkinkan Huck belajar atau terbiasa menggunakan AAVE dalam komunikasi seharihari meskipun dia berasal dari orang kulit putih Amerika. SIMPULAN Karena bahasa merupakan sesuatu yang dinamis, maka bahasa akan terus berkembang, teramasuk pula AAVE yang semakin luas penggunaannya dan menarik minat para ahli bahasa. Penelitian yang dilakukan oleh penulis telah menunjukkan adanya perubahan bahasa yang digunakan oleh orang kulit putih yang disebabkan oleh faktor kelas sosial dan social network. Kurangya pendidikan dan adanya kedekatan dengan seseorang merupakan dua di antara beberapa faktor yang menyebabkan seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa yang ia kenal sehari-hari. (Trudgill, 1983) menyatakan “the social background is the clues which can appear among the language users seen by their grammatical differences.” Sehingga dalam kasus ini, penggunaan AAVE oleh Huck dikarenakan latar belakang sosialnya sebagai seorang anak remaja yang kurang mendapatkan pendidikan yang baik sehingga ia cenderung menggunakan bahasa vernakular. Namun, tidak semua fitur digunakan oleh Huck karena meski ia berteman baik dengan Jim sebagai orang kulit hitam, ia juga mendapatkan sedikit pendidikan seperti membaca, tata krama, dan table manner dari bibinya. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya situasi sosial dan variasi bahasa dalam style-shifting dan dialect switching. (Holmes, 1992) pun berpendapat: “Certain social factors have been relevant in accounting for the particular variety used. Some relate to the users of language—the participants; others relate to its uses—the social setting and function of the interaction. Who is talking to whom (e.g. wife-husband, customer-shop keeper, boss-worker). The setting or social context (e.g. home, work, school). The aim or purpose of the interaction (e.g. informative, social)”
REFERENSI Bailey, G. (2001). Social Cultural And Historical Contexts of african American English. Dalam The Relationship Between African American And Whites Vernacular in The American South (hal. 53). Amsterdam: John Benjamin Publishing Company. Baugh, J. (2000). Beyond Ebonics: Linguistik Pride and Racial Prejudice. New York: Oxford University Press. Creswell, J. W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitave Approach. London: Sage Publication. Donnelly, B. (1980). Mark Tain: The Adventure of Huckleberry Finn. London: Longman York Press. Foner, P. (1958). Mark Twain Social Critic. New York: International Publisher. Green, & Lisa, J. (2002). African American English: A Linguistic Introduction. Cambridge: Cambridge University. Holmes, J. (1992). An Introduction to Sociolinguistics. England: Longman. Krippendorff, K. (2004). Content Analysis: An Introduction to Its Methodology. California: Sage Publication. Raban, J. (1968). Mark Twain: Huckleberry Finn. London: Edward Arnold Ltd. Trudgill, P. (1983). Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society. London: Penguin Books. Wardhaugh, R., & Fuller, J. (2015). An Introduction to Sociolinguistics 7th Ed. Chicester: John Willey & Sons, Inc.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
75
15 SIKAP BERBAHASA MAHASISWA DALAM ERA GLOBALISASI Dina Merdeka Citraningrum Siti Maryam Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Jember Abstrak: Sebagai identitas bangsa, bahasa Indonesia dijadikan satu bidang studi yang wajib diikuti oleh siswa maupun mahasiswa dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tujuan dari pembinaan bahasa Indonesia melalui pendidikan formal tersebut di samping bermaksud agar siswa/mahasiswa memiliki keterampilan berbahasa lisan maupun tulis, juga diharapkan mahasiswa memiliki jati diri yang ajeg. Sebagai calon tenaga pendidik, mahasiswa diharapkan memiliki sikap berbahasa Indonesia yang baik. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui kesadaran mahasiswa dalam berbahasa Indonesia. Untuk menjaring data tentang sikap tersebut, penulis mengimplementasikan kriteria penilaian sikap yang dikemukakan Likert, yaitu instrumen yang berisikan seperangkat pernyataan yang harus dijawab oleh mahasiswa. Pernyataan-pernyataan tersebut diharapkan dapat menggiring kecenderungan mahasiswa menampakkan sikap berbahasanya yang positif yaitu dari mulai sangat setuju, setuju, tidak setuju, sampai sangat tidak setuju. Kata Kunci: Sikap berbahasa, globalisasi
PENDAHULUAN Sikap yang dimiliki seorang pembelajar perlu dipertimbangkan dalam pendidikan, karena sikap akan banyak berpengaruh baik terhadap kegiatan belajar maupun hasil belajarnya. Evan (1965: 2) menyatakan bahwa sikap tertentu dalam belajar pada pertumbuhan anak merupakan bagian penting dalam pendidikan. Para ahli psikologi, sosiologi, dan psikologi sosial sudah banyak memberikan rumusan konseptual mengenai sikap. Sikap merupakan sesuatu yang sangat pribadi serta mempunyai latar belakang konseptual yang cukup rumit, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Sikap tersusun dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi dalam kontinum positif dengan melewati daerah-daerah netral ke arah negatif, sedangkan kualitas sikap dinyatakan dalam ekstrim dari kedudukan yang ditempati pada arah kontinum sikap. Intensitas sikap menyatakan kuatnya reaksi sikap, yaitu semakin jauh dari posisi netral akan semakin kuat reaksi sikapnya. Selanjutnya, sikap memiliki ciriciri tertentu, yaitu 1) arah sikap, merupakan efek yang membekas dirasakan terhadap suatu objek, dapat bersifat negatif atau positif; 2) derajat perasaan, merupakan derajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai positif (Newcomb et al, 1977:1981). Sikap bahasa (language attitude) adalah peristiwa kejiwaaan dan merupakan bagian dari sikap (attitude) pada umumnya. Rusyana (1989: 31-32) menyatakan bahwa sikap bahasa dari seorang pemakai bahasa atau masyarakat bahasa baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan akan berwujud berupa perasaan bangga atau mengejek, menolak atau sekaligus menerima suatu bahasa tertentu atau masyarakat pemakai bahasa tertentu, baik terhadap bahasa yang dikuasai oleh setiap individu maupun oleh anggota masyarakat. Hal itu ada hubungannya dengan status bahasa dalam masyarakat, termasuk di dalamnya status politik dan ekonomi. Demikian juga penggunaan bahasa diasosiasikan dengan kehidupan kelompok masyarakat tertentu, sering bersifat stereotip karena bahasa bukan saja merupakan alat komunikasi melainkan juga menjadi identitas sosial. Sikap bahasa itu ditandai oleh tiga ciri, yaitu 1) kesetiaan bahasa (language loyality), 2) kebanggaan bahasa (language pride), dan 3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Kesetiaan bahasa menurut konsep tersebut adalah sikap yang terdorong suatu masyarakat untuk turut
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
76
mempertahankan kemandirian bahasanya, apabila perlu mencegah masuknya pengaruh asing. Kebanggaan bahasa merupakan sikap yang mendorong seseorang atau kelompok menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lain. Sedangkan kesadaran adanya norma bahasa mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun, dan layak. Kesadaran yang demikian merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa akan adanya norma bahasa merupakan ciri-ciri positif terhadap suatu bahasa (Garvin dan Mathiot dalam Suwito, 1989:149). Esensi dari semuanya itu menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan sikap yang dimiliki oleh para pemakai bahasa. baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek, menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain, sikap berbahasa itu bisa bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciriciri yaitu kebanggaan berbahasa, kesetiaan berbahasa, dan kesadaran berbahasa. METODOLOGI Penelitian bermaksud untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang sikap berbahasa mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Jember khususnya yang berkaitan dengan 1) Sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional, 2) Sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai Mata Kuliah, dan 3) Sikap berbahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jember. Peneliti beranggapan bahwa mahasiswa yang tidak memiliki sikap positif terhadap mata kuliah yang dipelajarinya akan sukar memperoleh hasil yang baik. Perkuliahan Bahasa Indonesia (BI) di UM Jember diberikan di setiap fakultas, jurusan, maupun program studi. Begitu juga di Prodi Ilmu Komunikasi, perkuliahan bahasa Indonesia bertujuan agar mahasiswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar baik secara lisan maupun tulisan, serta memiliki sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia, di samping mereka mahir berbahasa asing. Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi dapat dikategorikan ke dalam masyarakat yang multibahasawan, karena tidak hanya menguasai bahasa daerah dan bahasa nasional, tetapi juga menguasai bahasa asing yang dipilihnya seperti bahasa Arab dan bahasa Mandarin. Kondisi mereka yang demikian akan berpengaruh terhadap sikap berbahasanya baik sebagai bahasa nasional, bidang studi (mata kuliah) , maupun dalam praktik berbahasanya di masyarakat. Alat ukur yang paling populer digunakan untuk meneliti sikap hingga saat ini adalah model skala Likert dan model Trustone (Ferguson:1952, Edward, 1957, Openhein, 1973, dari Karsono, 1986:84). Skala Likert ini dikenal dengan metode The Method of Summated Ratting yang dikembangkan pada Tahun 1932. Skala Likert ini berisikan seperangkat pernyataan yang harus dijawab oleh mahasiswa. Pernyataan-pernyataan tersebut diharapkan dapat menggiring kecenderungan mahasiswa menampakkan sikap sikap berbahasanya yang positif yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Penskoran setiap jenis respon terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah pernyataannya. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka respon pernyataan sikap dalam penelitian ini ada empat, yaitu kategori Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan kategori netral atau ragu-ragu tidak diikutsertakan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sikap mahasiswa yang tidak jelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Nasution (1982:75) bahwa penelitian yang mencegah adanya kelompok yang netral atau menunjukkan pendirian tidak menentu, dapat memaksa mahasiswa untuk memilih salah satu posisi, pihak yang setuju atau tidak setuju. Dengan demikian mahasiswa memiliki ketegasan dalam menentukan sikapnya. Untuk memberikan bobot nilai setiap pernyataan dilakukan secara apriori, yaitu untuk pernyataan positif Sangat Setuju (SS) diberi bobot 4, Setuju (S) diberi bobot 3, Tidak Setuju (TS) diberi bobot 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif yaitu Sangat Setuju (SS) diberi bobot 1, Setuju (S) diberi bobot 2, Tidak Setuju (TS) diberi bobot 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 4.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
77
1) 2) 3)
Instrumen pengumpul data sikap berbahasa dalam penelitian ini dibagi tiga indikator, yaitu: sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional (STBN); sikap terhadap bahasa Indonesia sebagai mata kuliah (STMK); dan sikap dalam bahasa menggunakan bahasa Indonesia (SB).
PEMBAHASAN Sebagaimana telah dikemukakan pada batasan masalah dalam penelitian ini, variabel sikap berbahasa Indonesia meliputi tiga indikator. Ketiga indikator itu adalah Sikap terhadap Bahasa Nasional (STBN), Sikap terhadap Mata Kuliah Bahasa Indonesia (STMK), dan Sikap Menggunakan Bahasa Indonesia sehari-hari (SMBI). Data variabel sikap berbahasa dijaring dengan 50 butir pernyataan. Dari 50 butir pernyataan ini skor terendah yang mungkin diperoleh mahasiswa adalah 50, tertinggi 200, dan rata-rata idealnya 125. Kriteria sikap berbahasa yang dikategorikan positif dan negatif diambil dari rata-rata skor ideal(125), artinya mahasiswa dikatagorikan bersikap positif apabila memperoleh skor 125 dan bersikap negatif apabila skor yang diperoleh < 125. Sikap terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional Dari 14 butir pernyataan sikap terhadap bahasa nasional (STBN) yang diajukan, skor terendah yang diperoleh adalah 14, tertinggi 56, dan rata-rata idealnya adalah 35. Kriteria sikap positif dan negatif terhadap bahasa nasional ini berdasarkan rata-rata ideal (skor 35). Artinya mahasiswa dikatakan bersikap positif terhadap bahasa nasional apabila memperoleh skor 35, dan sikap negatif jika skor yang diperoleh adalah < 35. Berdasarkan data hasil pengukuran, diperoleh skor pada rentang 34 sampai 53, SD 4,8, dan skor rata-rata sebesar 42,71, berada di atas skor ideal yaitu 35. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa mempunyai sikap positif terhadap bahasa nasional. Skor yang terbanyak berada pada rentang 40 sampai 42 atau nilai tengah sebesar 41 sebanyak 22 mahasiswa. Mahasiswa yang mempunyai skor 35 sebanyak 51 orang (69%), dan < 35 sebanyak 23 (31%). Dengan demikian dari 74 mahasiswa yang memiliki sikap positif terhadap bahasa nasional sebanyak 51 orang (69%), sedangkan yang bersikap negatif sebanyak 23 (31%). Dapat ditafsirkan bahwa mahasiswa bersikap cukup positif terhadap bahasa nasional. Seperti sikap yang dinyatakan 69 mahasiswa terhadap pernyataan No. 6 yang berbunyi: “Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional perlu dipertahankan karena merupakan identitas bangsa”, atau terhadap pernyataan No. 7 yang berbunyi: “Saya merasa senang dapat memperkenalkan bahasa Indonesia kepada bangsa asing”. Artinya bahwa mahasiswa sangat mendukung terhadap status bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan selalu berusaha untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan bahasa Indonesia. Hal tersebut sangat tepat bagi mahasiswa yang sedang belajar bahasa asing, karena mereka memiliki modal penguasaan bahasa asing sebagai bahasa pengantarnya yang akan lebih mempermudah dalam memperkenalkan sekaligus mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang asing. Sikap terhadap Mata Kuliah Dari 17 butir pernyataan untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap Mata Kuliah Bahasa Indonesia (MKBI) yang diajukan, diperoleh skor terndah 17, tertinggi 68, dan rata-rata ideal 42,50. Kriteria sikap positif dan negatif terhadap mata kuliah bahasa Indonesia ini berdasarkan rata-rata ideal (skor 42,50). Artinya mahasiswa dikategorikan bersikap positif terhadap mata kuliah BI apabila memperoleh skor 42,50, dan negatif jika skor yang diperoleh adalah < 42,50. Berdasarkan data hasil pengukuran diperoleh skor pada rentang 34 sampai 65, SD sebesar 4,43, dan skor rata-rata sebesar 51,67, ternyata berada di atas rata-rata ideal (skor 42,50). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa rata-rata mempunyai sikap posistif terhadap mata kuliah B.I. Skor yang terbanyak berada pada rentang antara 39 -53 atau nilai tengah sebesar 51 sebanyak 27 orang. Mahasiswa yang mempunyai skor 42, 50 sebanyak 50 orang (68 %), dan < 42,50 sebanyak 24 orang (32 %).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
78
Hasil perhitungan di atas dapat dikatakan bahwa dari 74 mahasiswa yang bersikap positif terhadap mata kuliah BI sebanyak 50 orang atau 68%, dan yang negatif sebanyak 24 atau 32%. Mahasiswa memiliki sikap cukup positif terhadap MKBI. 74 mahasiswa (100%) menyatakan setuju sampai sangat setuju terhadap pernyataan No. 1 yang berbunyi: “Saya yakin akan kegunanan Mata Kuliah Bahasa Indonesia bagi setiap disiplin ilmu yang lainnya”. Juga respon terhadap pernyataan No. 20 yang berbunyi: “Saya menyarankan agar perkuliahan bahasa Indonesia ditingkatkan mutunya” menandakan besarnya perhatian mereka terhadap MKBI. Mereka telah merasakan manfaat MKBI bagi setiap disiplin ilmu yang mereka pelajari. Ternyata bahwa pengausaan kaidah bahasa Indonesia yang baik sangat besar manfaatnya bagi bidang ilmu lainnya yang meraka pelajari. Oleh karena itu untuk mencapai target yang diharapkan yaitu terampil berbahasa baik lisan maupun tulis, meraka menyarankan agar kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi perlu ditingkatkan. Hal itu menandakan adanya rasa tanggung jawab pada diri mahasiswa terhadap keberlangsungan maupun kesinambungan perkuliahan bahasa Indonesia. 51 mahasiswa merespon positif terhadap pernyataan No. 24 yang berbunyi: “Saya merasa senang membaca buku-buku kebahasaan dan kesastraan yang diwajibkan dalam Perkuliahan Bahasa Indonesia” dan mereka selalu hadir dalam perkuliahan bahasa Indonesia seperti pada pernyataan No. 27 yang berbunyi: “Saya selalu hadir dalam tiap kali perkuliahan bahasa Indonesia. Artinya mahasiswa selalu bersedia dan siap untuk bertindak terhadap suatu objek (MKBI). Pada diri mahasiswa ada kecenderungan berusaha untuk meningkatkan kemampuan dirinya, yaitu dengan cara membaca literatur yang dianjurkan dosen, dan sanggup mengikuti perkuliahan atas kesadaran dirinya. Pernyataan sikap berbahasa positif tersebut didukung oleh respon positif terhadap pernyataan No. 21 yang berbunyi: “Saya berpendapat bahwa dengan mempelajari bahasa Indonesia dapat lebih mempertebal rasa bangga terhadap bahasa Indonesia” Dan dan respon positif terhadap pernyataan No. 17 yang berbunyi: “Saya harus menekuni MKBI karena saya adalah calon guru”. Selain sikap positif terhadap MKBI yang dikemukakan di atas, penulis juga menemukan kecenderungan respoden yang bersikap negatif. Dari 74 mahasiswa terdapat 17 yang menyatakan setuju sampai sangat setuju pada pernyataan: ”Saya mempelajari Mata Kuliah Bahasa Indonesia hanya untuk memenuhi tuntutan SKS”. MKBI bagi sebagian mahasiswa hanya sebagai mata kuliah pelengkap. Padahal di satu sisi MKBI merupakan mata kuliah bidang studi yang wajib diikuti setiap mahasiswa dari setiap jurusan/program studi apapun. Untuk meningkatkan respon yang baik terhadap MKBI, sudah sewajarnya ditanamkan sikap yang baik sejak dini. Sikap yang baik terhadap MKBI dapat ditafsirkan sebagai suatu reaksi positif yang timbul dalam diri pribadi individu (mahasiswa) akan kegunaan MKBI baik secara akademis maupun praktis, yaitu sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Demikian perlunya kemampuan berbahasa Indonesia dimiliki oleh mahasiswa sehingga melupakan pembinaan sikap berbahasa, seperti 1) kesetiaan bahasa (language loyality), 2) kebanggaan bahasa (language pride), dan 3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Sikap Menggunakan Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Sehari-hari Dari 17 butir pernyataan yang diajukan kepada mahasiswa untuk mengetahui sikapnya salam menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, diperoleh skor terendah 17, tertinggi 76, dan rata-rata ideal sebesar 46,50. Kriteria sikap positif dan negatif ini berdasarkan rata-rata ideal (skor 46,50). Artinya mahasiswa memiliki sikap berbahasa Indonesia positif apabila memperoleh skor 46,50 dan negatif jika skor yang diperoleh < 46,50. Mahasiswa telah menunjukkan bahwa mereka memiliki sikap positif sehari-harinya dalam berbahasa Indonesia. Mereka selalu berusaha berbahasa Indonesia yang normatif dan memperhatian kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Seperti respon 54 mahasiswa terhadap pernyataan No. 32 yang berbunyi: “Saya merasa senang dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari‟. Didukung oleh respon terhadap pernyataan No. 39 sebagai berikut: “Saya berpendapat bahwa kata para dalam tuturan berikut tidak perlu dipergunakan” -Para hadirin dipersilahkan duduk kembali. Respon positif terhadap pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mereka mengetahui dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
79
memahami peraturan pemakaian bentuk jamak, dan mereka telah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa memiliki sikap berbahasa positif dalam menggunakan BI sehari-hari. Seperti yang dinyatakan 50 mahasiswa sebagai respon terhadap pernyataan no. 49 sebagai berikut: “Kata suka sangat tepat digunakan dalam kalimat seperti ini: Kalau berjalan jauhkakiku suka sakit. Hanya sedikit mahasiswa yang merespon pernyataan dengan tidak setuju sampai sangat tidak setuju terhadap pernyataan negatif. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa bersikap positif dalam menggunakan BI sehari-hari. Timbulnya respon positif karena mereka mengetahui bahwa kata suka berarti senang. Kata yang tepat untuk digunakan dalam pernyataan di atas adalah kata terasa atau biasanya bukan kata suka. Jadi kalimat itu dapat diubah seperti ini: Kalau berjalan jauh kakiku terasa/biasanya sakit. SIMPULAN Kategori sikap positif terhadap bahasa nasional ialah mereka yang memiliki perasaan bangga, terhormat menjadi bangsa Indonesia yang mempunyai bahasa nasional sebagai bahasa kesatuan. Sebagai mahasiswa yang sehari-harinya mempelajari bahasa asing akan turut mewarnai tindak tutur baik secara lisan maupun tertulis dalam bahasa Indonesia. REFERENSI Alwasila, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan Paul. Fishbein, Martin (ed). 1967. Attitude Theory and Measurement. New York: John Wiley and Sons. Inc. Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict. Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton. Mifflin Company. Mar‟at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalin Indonesia. Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro. ---------------- 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPLPT. Subino, 1987. Kontruksi dan Analisis Tes Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukurannya. Jakarta: PPLPTK Depdikbud. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset Solo. Winkel, W.S. 1964. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
80
16 A SOCIAL SEMIOTICS AND POST-COLONIAL BEAUTY REPRESENTATION IN SHINZUI BODY LOTION ADVERTISEMENT Eka Noraisa Putri Corina UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Abstract: Nowadays, the ideal beauty concept of Indonesian is having bright skin and ideal body with long blonde hair. This image of beauty adapted from Japanese beauty concept that frequently appears in cosmetic advertisement, like Shinzui body lotion. Advertisement is a sign product which has certain meaning to be understood as a system of representation (Barthes: 2014). In this study, advertisement is seen as a systematic arrangement of the meaning constructed by advertisement. This study will analyze the content of Shinzui Body Lotion advertisement and beauty concept brought by this advertisement using Gunther Kress & Theo Van Leeuwen theory in Social Semiotics and Homi K. Bhabha’s Post-Colonial theory. The data analyzed using descriptive qualitative technique. The study shows that, the meaning constructed by the advertisement and the dominance cultural tendency brought by the advertisement. Keywords: Advertisement, Beauty Representation, Indonesia, Post-Colonial, Social Semiotics.
INTRODUCTION Advertisements have become a major means to influence the society in Indonesia. As a major controller, it has softly command and shape the society as they want. Tanaka in Qadafi (2015) points out that the recent advertisement has shown how effective it is to influence society through many ways. In relation with cultural studies, this study reveals on how sign in the advertisement construct meaning. As Williamson has said in his book Decoding Advertisement (2007) that advertisement is a modern cultural product which is important to reflect and construct society awareness.This study investigates the utterance and visual sign representation of Shinzui Body Lotion advertisement in television, approached with social semiotics rules by Gunther Kress & Theo Van Leeuwen (1996) and Homi K. Bhabha (1985). The relation between advertisement, symbol, and meaning in this research is combining Gunther Kress and Theo Van Leeuwen theory in social semiotics and Homi K. Bhaba theory in post-colonial. Advertisement is a sign product which has certain meaning to be understood as a system of representation (Barthes:2014). Barker in Asmarani (2016) stated that every cultural practice produces by signs and it could analyze by semiotics. This research will analyze the content of Shinzui Body Lotion advertisement and beauty concept brought by this advertisement. By understanding on what meaning constructs in advertisement to the audience, it can also determine what drives the society to agree upon the advertisement, as well as do a real action towards Indonesian beauty concept. Najafian and Ketabi (2011) stated that the image, word and color, seen in this way as the product of social practices, are just three of the many semiotic modes through which social meanings of advertisements are coded. In fact, the beauty of Indonesian is different from Japanese beauty. The image of beauty in the advertisement, become the main concern to explore the social semiotics of the advertisement and the postcolonial representation of beauty in the advertisement. The aim of this research is to show the usefulness of a social semiotics approach proposed by Kress and Leeuwen (1996) and post-colonial theory by Homi K. Bhaba in analyzing advertising discourse to achieve the aims of uncovering the ideology behind. Considering the fact that post-colonial beauty is a very popular phenomenon to happen. Therefore, the researcher would find the positive correlation between post-colonial beauty and advertisement exposure. This research conducted to answer these questions: first, what is the mimicry meaning constructed in Shinzui body lotion advertisement, second, what is the ambivalency meaning
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
81
constructed in Shinzui body lotion advertisement, third, what is the hibridity meaning constructed in Shinzui body lotion advertisement. Asmarani (2016) conducted a study about semiotics by Roland Barthes and post-colonial by Homi K. Bhabha. She founds out three basics in ambivalence and hybridity of the East people. First, English is a superior language which is used in cloth designs and marketed in Indonesia which used Bahasa Indonesia as a spoken language. Second, there are denotation factors in the designs. Third, metalanguage aspect gives interpretation on cultural meaning in the designs. Overall, the meaning constructs a representation between signs of metalanguage and the idea of post-colonial, that specific products tends to deliver a superior life style and imitate by East people. The next remarkable study is conducted by Wasista (2012), she discovers that Indonesian obsession with white skin is related to the colonization of the nation. Besides, they also colonize the image of beauty, by symbolized beauty is having white skin, ideal body, and blonde hair. Those standards of beauty are analyzed by general post-colonial theory. Another interesting study is conducted by Kasiyan (2012), he used Homi K. Bhabha post-colonial theory to analyze the discourse towards designs of Ramayana store. There are five categories form of the dominant post-colonial hegemony in the representation of advertising in contemporary media in Indonesia. It is closely related to: English use, Western needs, the needs of indo, white skin, and superlativism. These studies are indeed essential to justify the credibility of analyzing my research. Besides, none of the above previous studies mention about doing a research using social semiotics and postcolonialism on advertisement and explain the impact, therefore my research is justifiable. It will also give a deep analysis about the cultural products of modern society with social semiotics and post-colonial theory. METHODOLOGY This research applies the descriptive qualitative design. According to Ratna, qualitative research not just describing the object, the important thing is find what is the meaning behind whether it is hidden or intentionally hide (2010).Only certain words, which become the keywords or the key point of the advertisement, would be the data.The data are in the form of words or utterances from the object and it will be well understood on the constructed meaning and the post-colonial beauty representation. DISCUSSION Kress and Leeuwen (1996) believe that visual design, like language and all semiotic modes, is socially constructed. Advertisement is one of sign system which deliver a certain message for the audience. Both Kress and Leeuwenidentify two processes as carrying representational meaning in images: (1) conceptual processes and (2) presentational processes. Conceptual processes explain the things are like and have a didactic function. Didactic means showing the exact way, in the other words, advertisement would show the truth that the audience would agree upon the advertisement. Shinzui Body Lotion took place in Japan, in sakura’s ground with a nice weather. The model in the advertisement were Japenese with typical Japanese look, thick nose, small lip, and bright white skin. She is wearing a beautiful fuschia dress. Fuschia is combination color of red and pink, this color combination has symbolic meanings that may change according to context. In this advertisement, fuschia symbolized youth, tenderness, and softness. Pink is also symbol of spring (universe of symbolism, 2016); it is in line with the blooming sakura in the advertisement. Kress and Leeuwen (1996) argue that lighting used in advertisement is used to convey a particular meaning. Even if the lighting used in the advertisement appears to be ‘natural’. The brightness inShinzui Body Lotion advertisement might suggest a dramatic feel to the advertisement, Kress and Leeuwen (1996). The advertisement highlighting the model as the centre of the advertisement. The elements of an image placed here are known or understood by the viewer, making theseelements a familiar and agreed-upon departure point for the message, Kress and Leeuwen (1996). The advertisement represents the horizontal axis of the advertisement; it means the elements of the advertisement in the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
82
upper section are represented as ideal. Those in the lowersection are represented as real. For something to be represented as ideal means that it is the generalisedessence of the information and therefore its most salient part. The real is opposed to this and presentsmore specific, factual, or practically orientated information.The “ideal” is quite frequently represented as the “dream” or “aspiration” and the real the more usual. The model appearsmostly in centre of the advertisement, means that its symbolic qualities are highlighted over the actual product,which is significantly positioned as both real and new. It is common for theproduct or its logo to appear in this section of an advertisement as a visual prompt. It tells the viewerthat the product can be bought and that it is the material means to acquire the values, qualities orlifestyle attributed to the product.In summary, both central and vertical axis would be more accepted for the viewers. Presentational processes deal with actions and events and so function as a narrative. The Shinzuibody lotion advertisement involves a Japanese girl walks under the sun in the sakura’s ground, enjoying the nice weather happily. It is representing the woman as a central component as an aspirational figure for the advertisement’s target audience of young adultwomen. Her beautiful skin manipulates the audience to her own ends issuggested in the text of the advertisement. Unlike the other women when they walk under the sun, they would walk faster to dodge the sun. It would make the audience think that when wearing Shinzui Body Lotion advertisement, they do not need to dodge the sun because Shinzui Body Lotion would effectively cover their skin from the sun. Hence, both conceptual processes and presentational processes in Shinzui Body Lotion advertisement shown that the advertisement team uses abstract languages to convince the audiences. These languages and expressions work well in our subconscious mind. In addition, the utterance ‘kulitlembut, secantikwanitaJepang (soft skin, beauty as Japanese)’ in the advertisement brings indirect stereotype towards the ideal beauty concept. The researcher used mimicry, hybridity, and ambivalence concept by HomiK. Bhabha (1985). Mimicry, hybridity, and ambivalence are used for analysing post-colonial text. Mimicry is the camouflage of other people. In postcolonial studies mimicry considered as unsettling imitations that are characteristic of postcolonialcultures. Hybridity is a key feature of post-colonial identity. Hybridity is the asymmetrical between the culture of the colonizer and the colonized. Ambivalence is the double consciousness of thecolonized covered. Mimicry, hybridity, and ambivalence meaning play in Shinzui Body Lotion advertisementwith persuading the audience to camouflage what they had seen in the advertisement. The audience camouflage the colonizer culture by applying Japanese ideal beauty concept, and makes it as the ideal beauty concept of Indonesian. Then Indonesian women accepted that ideal beauty concept as a usual thing and claim it as the natural beauty of Indonesian. The colonization concept of the third world are no longer in the form of violence but writing. Bhaba (1995:30) said that hegemony has been processed in such a way as to be a normal phenomenon. This concept arises because a third world awareness, organized to follow the hegemony to the will of their own in the name of modernity. These issues are increasingly complex with the development of media and technology who have experienced transitory value. This transition is called translational as transnational. Translation leads to transnational, because import product claimed as something superior and benchmark of modernity. CONCLUSION In persuading audience,the advertisers also have a strong intention to make the audiences find their identities in the advertisements. Word choices is alsohaving a strong emotive power to influence the people to believe or in other words, at least reflect or connect themselves to the wordings and the language used in the advertisements. The visualization (model) in Shinzui Body Lotion advertisement has a role to construct the ideal beauty concept for the audience. When the advertisers can successfully obtain this part as a central attention of the people, the next stage will be on how the audiences accept and appreciate the existence of that certain advertisements on television, until it stays memorable in their mind.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
83
REFERENCES Asmarani, Putri. (2016). RepresentasiIdeologispadaProdukPakaian Ramayana KajianSemiotikadanPaskaKoloni. Barnard, Malcolm. (1996). Fashion as Communication. UK: Routledge. Barthes, Roland. (1990). Image/Music/Text; Essay Selected and Translated by Stephen Heath. London: Fortana Press. Barker, Chris. (2004). The SAGE Dictionary of Cultural Studies. New Delhi: SAGE Publications Inc. Bhabha, Homi K. (1985). Signs Taken for Wonders. Brislin, Richard. (2000). Understanding Culture’s Influence on Behavior 2nd Edition. Toronto: Wadsworth. Budiawan. (2010). Ambivalensi; Post-kolonialismeMembedahMusikSampai Agama di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Eco, Umberto. (1976). A Theory of Semiotics. London: Indiana University Press. Kasiyan. (2012). HegemoniEstetikaPostkolonialdalamRepresentasiIklan di Media Massa Cetak Indonesia Kontemporer. Kress, G. &Leeuwen, Theo V. (1996). Reading Images-The Grammar of Visual Design. London: Routledge. Leeuwen, Theo V. (2004). Introducing Social Semiotics. New York: Routledge. Oxford American Dictionary for learners of English. (2013). New York: Oxford University Press. Qadafi, Ahmad M. (2015). A Social Semiotic Analysis on Emma WATSON’S HeForShe Campaign Speech. Qadafi, Ahmad M. &Wahyudi, R. (2014). Advertising Language: A Pragmatic Approach to Cigarette Advertisements in Indonesia. Journal of Issues in Language Studies, Vol.3, pp: 1-14. Ratna, N. K. (2010). MetodologiPenelitian: KajianBudayadanIlmuSosialHumaniorapadaUmumnya. PustakaPelajar: Yogyakarta. Rogers, Mary F. (1999). Barbie Culture. London: Sage Publication. Wardhana, Veven Sp. (1995). Budaya Massa danPergeseranMasyarakat. Yogyakarta: Bintang. Wasista. P. M. R. (2012). RepresentasiKecantikanPerempuan Post KolonialdalamIklan TV UC1000mg. Williamson, Judith. (2002). Decoding Advertisement: Ideology and Meaning in Advertising. London: Marion Boyars.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
84
17 ANALYSIS ON THE USE OF ARGUMENTATION IN HIGH SCHOOL DEBATE COMPETITION BY THE MOTION THIS HOUSE WILL BAN JUNK FOOD Eva Nur Mazidah Universitas Airlangga Abstract: Lately many debate competitions are held in East Java especially for high school students. Focusing on the use of argumentation used by four high school debaters, this study analyzes their spoken argumentation by applying Toulmin’s layout of arguments commonly applied in analyzing written text and spoken argument in judicial courts. Toulmin’s layout of arguments consists of six characteristics such as claim, ground, warrant, backing, rebuttal, and qualifier. The findings show that they have frequently made arguments as proposed by Toulmin’s theory. Many of their argumentations fulfill the characteristics of layout of arguments. However, some argumentation has failed to complete the layout of arguments and it is considered flaws due to the incompleteness of Toulmin’s six characteristics. Flaws on their argumentations are mostly about adding warrant, backing and qualifier. Besides, there are also some floating characteristics in the layout of argument for instance signposting resulted in a claim, rebuttal resembling a claim and a claim repetition within an argumentation. Other findings, students also take for granted their knowledge and ideas to make argumentation and overgeneralize them to the audience. As the results, there are generalization and vague. Besides that, students also often make mistakes by making unstructured argumentations which result in jumbled ideas. Keywords: debate, argumentation, discourse, Toulmin’s layout of arguments
INTRODUCTION We often hear people debating about politics, religion, cultures, and other topics. Those people actually try to prove what they believe by giving arguments. Argument does not mean a sentence per se. According to Ericson, Murphy, and Zeuscher (2003), argument is an assertion that implies the result of reasoning or proof. Argument needs reasons and proof to strengthen (Weston, 2009; Van Eemeren, Grootendorst, Jacksons, and Jacobs, 1997; Bassam, Irwin, Nardone, and Wallace, 2002). In accordance with genre analysis, one of the studies is argumentation discourse (Paltridge, 2000). The notion of argumentation discourse is to analyze the argumentation made by speakers or writers in delivering arguments in written or spoken context. Argumentative discourse is often utilized by people to see whether what has been argued makes sense or not. I see that it is not mere speaking or writing; we will see that somehow the characteristics that people apply in correlating their arguments also play significant role to make their readers or listeners understand their arguments. One of the aims of argument is to provide mature reasoning (Crusius and Channel, 2003). While analyzing the elements of argument, Toulmin proposes a general view of the generic structure of an argument (Toulmin, 2003; Van Eemeren et al.,1997, Fairclough 2003; Rottenberg, 1988). There are mainly three characteristics namely claim, data, and warrant (Van Eemeren et al.,1997; Fairclough 2003). Toulmin (2003) further adds backing, rebuttal, and qualifier to his layout of arguments. In this case, he defines claim as the statement being argued (a thesis); data (ground or support) as the fact or evidence to prove the argument; warrant as the general hypothetical (and often implicit) logical statements that serve as bridges between the claim and data-logical link; qualifier is a statement that limit the strength of the argument or statement that proposes the condition under which argument is true; rebuttal is the counter argument or statement indicating circumstances when general argument does not seem true; and backing is a statement that supports warrant to be true. When a speaker has already fulfilled six characteristics, namely claim, data, warrant, backing, qualifier and rebuttal, his argumentation is considered sound arguments because in mature reasoning the speaker is demanded to show logical links in his arguments.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
85
One of activities that I have observed for years concerning argumentative discourse is debate competition. Ericson et al. (2003) stated that speakers argue for acceptance of various answers to a given question. Debate is, of course, with arguments but some people may use different ways of delivering their arguments. What is researched in this thesis is characteristics of argument and their flaws based on Toulmin’s layout of argumenta. If an argumentation does not complete one or more characteristics, the soundness of argumentation decreases and not strong enough to persuade the audience. Besides, Van Eemeren et al. (1997) argued, “Toulmin’s theory takes judicial attention on the interchange between two opposing arguer roles. These landmark works take the first step toward studying argumentation as a linguistics activity.” The stance of the study is to see how students are consistent in fulfilling the characteristics of argumentation elements. The measurement of this consistency is by Toulmin’s claim, ground, warrant, backing, qualifier, and rebuttal (Toulmin, 2003). Based on the phenomenon above, there are two research questions namely what characteristics of argumentation are used by high school debaters in delivering their arguments and what flaws they make in their arguments according to Toulmin’s layout of argument. METHODOLOGY The approach for this research was qualitative. According to Wray, Trott, and Bloomer (2006), qualitative method showed the recognition of the importance of subjectivity of human beings. Debate was seen as a single context so that it needed interpreting and capturing its complexity. Furthermore, the nature of debate here was speaking while speaking itself was evanescent which disappears as soon as it was spoken (Cameron, 2001). That was why the speeches need recording and transcribing orthographically to ease the researcher in analyzing the data. From, 42 teams, I took four speakers from two teams. The samplings were first and second speakers of each team debating under a motion. Ericson et al. (2003) argued that constructive speeches were delivered by first and second speaker of affirmative (Government) and first and second of negative (Opposition). To distinguish which speaker and arguments were analyzed, there were codes for instance T for Team, S for Speaker, and P for Point (statement). DISCUSSION From the presentation of the transcription, each of speakers has used the characteristics of Toulmin’s layout of Argument. Below is the result of frequently used characteristics by high school debaters in delivering their arguments. Characteristics of Toulmin’s layout of Arguments First characteristic is claim. Claim is the conclusion, controlling idea or thesis, or the main point of argument. Here are examples of claim found in the speech. T1 S1 P 9: Junk food should be banned at especially school.
The argument is called claim because she considers it as a major point in proposing a motion to audience. It is what she is trying to prove. Next characteristic is data. Data are reasons given to support the claim in order that the audience can see the evidence or proof of the given claim. Here are the examples of data found in the speech. T2 S2 P174: We know that outside there are still many junk food if students wants to buy.
The statement above as data to prove his claim that it cannot make significant effect to consume the junk food. Third characteristic is warrant. Warrant is assumption or presupposition underlying the argument. It is usually in the form of general beliefs understood by the speaker and the audience. Here are the examples of warrant found in the speech. T1 S2 P119 : you will eat all poisonous thing.
The warrant above is to support a claim ‘when it is hungry, it cannot fulfill the hunger’ and data ‘it needs a lot of snack’. The statement above is called warrant because it functions as the logical link to support the claim and the data.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
86
Another characteristic is backing. Backing is the further back-up of the argumentation. Here is the example of backing found in the speech. T2 S1 P70: I told you that I consume junk food and our parents still providing us the vegetables and others.
The statement above is then called backing because it further supports the warrant ‘junk food is not dangerous’. Fifth characteristic is qualifier. Qualifier is the hedging given in the argument. Here is the example of qualifier found in the speech. T1 S1 P53: And if we combine with the nature of junk food which will lead to bad thing, into dangerous healthy thing.
To qualifies her claim, she refers to the nature of junk food to show the conditional possibility. The qualifier qualifies the claim “we equal to bad thing, to harmful thing especially for students who should be take care by school”. The last characteristic of the layout is rebuttal. Rebuttal is the counter argument or statement indicating circumstances when general argument does not seem true. Here is the example of rebuttal found in the speech. T1 S2 P127: How come you eat something containing very dangerous chemical substances?
The statement above is called rebuttal because it is directed to their opposition to be responded in the next speaker and to prove since the Government team believes that this is dangerous. Flaws in the Argumentations Made by the Speakers Toulmin has argued that there are mainly six characteristics namely claim, data, warrant, qualifier, backing, and rebuttal to make sound argumentation. To analyze the flaws, therefore, the completeness of Toulmin’s characteristics is examined. It is also to see the logics concerned with soundness of the claim, the solidity of the grounds, and the firmness of the backing. T2 S1 P (62) Rebuttal: The government side of the House believes this motion that junk food is dangerous to be consumed while the negative side of the House believe that junk food is not dangerous. T2 S1 P (62) Data: Junk food had fact that since there is the Government‟s explanation of food which Indonesian know as especially today BPOM.
Before the speaker gives his main case, he rebuts some point of the Government. He states that junk food is not dangerous and there is also BPOM. The weakness of the argumentation is that there are no warrant, backing, and qualifier. Besides that, he does not elaborate the function of BPOM. He may assume that the audiences know what BPOM is. But, it will be better if he explain what BPOM is and what it does so that his data can be strong enough to attack the Government. Based on the flaws above and overall speeches identified, argumentations made by speakers are separated or not well-arranged. They still cannot tie their arguments into some solid argumentation. As the result, there are many repetitions in their argumentations and some flaws appear. They may need to make good sign postings too from a topic to others. Signposting Resulted in a Claim Signposting resulted to be a claim means that the statement is actually a signposting to indicate the new topic to introduce but it results to be so-what claim to the argumentation. The example can be seen below. T1 S1 P19: Now I will explain first philosophically, the nature of the students.
The aim of the speaker is to show the nature of the students. Unfortunately, the statement stops and there is no further information to what the nature of students is related. Rebuttal Resembling a Claim In the argumentations, a claim is absent and rebuttal is present instead. Identified further, it is only a rebuttal that comes as a claim to be justified to oppose the opponent. It causes confusion because the function is to tackle, not to provide an argumentation. It often comes at the beginning of the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
87
presentation of debaters to refute their opponent. Some examples can be seen below. T1 S2 P112 Rebuttal: The first speaker of the negative side of the House is actually hypocrite.
The speaker uses the argument to attack the Opposition. He tries to show the audience the fallacy made by the Opposition. Data, warrant and backing are given to show that the first speaker is hypocrite. The sense is also different from the rebuttal at which a claim usually exists. Claim Repetition within an Argumentation It shows the repetition within a package of argumentation. An example is below. T2 S2 P 174: It can not make significant effect to consume the junk food. T2 S2 P177: It cannot give significant impact towards students
The argument above appears twice but in slight difference of diction. It may be aimed at reemphasizing of the whole Opposition cases because it is stated before the speech ends. Unfortunately, it was redundant because in fact it refers to the same thing as the previous argumentation. Therefore, it still belongs to an argumentation but it is called a claim repetition. Generalization Other finding is about hasty generalization (Bassam et al. 2002; Ericson, 2003). Some of their arguments are taken for granted. They use whatever-statements to strengthen their arguments. T1 S1 P2&5: Junk food is delicious and it is even cheap. It is provided at school where school is place to study.
These statements are actually the background of their proposal debate. In this case, the speaker tries to generalize her view to make sure that every school sells junk food. The question that may appear is whether all schools sell junk food or not. The assessments for her arguments are firstly this is not evidence, but it is proof; secondly, based on this data, the Government wants to claim that everyone loves junk food especially children. Since the data is not evidence, the speaker uses the proof to be their background case for the proposal and to exaggerate the claim she makes. Vagueness Besides overgeneralization made by the speaker, there are also vague words (Bassam et al. 2002) stated by speakers for instance claim from T2 S1 P71: “So the government’s fact is not significant.”
He actually rebuts the Government’s opinion to ban junk food. Unfortunately the Opposition’s claim is vague because he does not elaborate what “fact” he means in opposing the Government. Unstructured Argumentation If we see the students’ flaws on their argumentations, the argumentations made by speakers are separated or not well-arranged. They still cannot classify their arguments and tie their arguments into a solid argumentation. As the results, there we still can find some similar argumentations are repeated. Here is an example how the students’ argumentation are repeated by T1 S1 P (7) Rebuttal: these children don’t care about the future implication if they eat this junk food. P (8) Data: Junk food is delicious and it is even cheap. P (9) Claim: junk food should be banned especially at school. P (9) Qualifier: especially P (10) Data: junk food here means the food which is not healthy as the standard; contain dangerous ingredients which can make addicted-addiction- and even have food coloring which is not healthy one, sometimes fabric coloring.. P (11) Warrant: we don’t want any junk food available at school anymore, no more junk food at all, especially cilok. P (12) Backing: we, as the government side of the House, believe that junk food is
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
88
dangerous; therefore we want to ban this junk food, especially at school in Indonesia.
An argumentation above is jumbled enough. He initially gives rebuttal, data, rebuttal, claim, warrant, and then backing. His argumentation can be considered unstructured argumentation. It may cause confusion to the audience because the idea may be jumbled or difficult to understand. It is better if debaters arrange their argumentation deductively in order that adjudicators are eased to understand. Such condition may refer to speakers’ preference in delivering their argumentations. They sometimes use deductive or inductive ones. But at least they need to understand several points for instance claim should be preceded by qualifier or combined in a sentence and backing should be preceded by the presence of warrant because backing is the support for warrant. CONCLUSION In accordance with enriching the study on argumentation discourse, the researcher has studied the use of argumentation in high school debaters. In high school debate competition, it is found that debaters frequently use the characteristics proposed in Toulmin’s layout of argument like claim, data, warrant, backing, qualifier, and rebuttal though not all of their argumentations use the six characteristics. The findings show that many of their argumentations fulfill the characteristics of Toulmin’s layout of arguments while there are also some argumentation failing to complete the layout of arguments and flaws due to the incompleteness. The incompleteness makes argumentation less sound. Flaws in their argumentations are mostly about adding warrant, backing and qualifier. To the findings, there are also some floating characteristics in the layout of argumentations for instance signposting resulted in a claim. Other is rebuttal resembling a claim. The function of a statement is to rebut while assertion for the statement make it as a claim. The last floating is a claim repetition within an argumentation. Further, some of their arguments also overlap with other argumentation theories from Ericson et al. and Bassam et al. even though according to Toulmin’s layout of argument those argumentations are fine and complete. The overlaps refer to generalization, vague, and unstructured argumentation. Generalization happens because some of their arguments are taken for granted, speakers do not scope down the term in accordance with the assumption made by the speaker that their audience have the same idea as the speakers. Vagueness happens because the speaker does not clearly refer to what points. It really causes uncertainty to which point the speaker refers. For the last finding, unstructured argumentation results in jumbled idea. It is due to the fact that they do not follow the pattern of Toulmin’s layout of arguments. In addition, some of floating arguments occur because students’ argumentation is sometimes not well arranged so there are many repetitions thus making argumentations not tight and separated. Besides that, students also take for granted their knowledge and ideas and overgeneralize them to the audience. All in all Toulmin’s layout of arguments helps to structure the argumentation. It is hoped that by reading this thesis, readers as well as teachers and coaches can have insight to prepare their students to learn how to debate especially in making argumentation. They can encourage their students to join debate competition. For students, they can know what skills they need to understand to join debate especially recognize the elements to arrange and make sound argumentations. Further, may this study give more insight to argumentative discourse. REFERENCES Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2002). Critical thinking. Boston: McGraw Hill. Cameron, D. (2001). Working with spoken discourse. Sage. Crusius, T. W., & Channell, C. E. (2002). The aims of argument: A text and reader. McGraw-Hill Humanities Social. Ericson, J. M., Murphy, J. J., & Zeuschner, R. B. (2011). The debater's guide. SIU Press. Fairclough, N. (2003). Analysing discourse: Textual analysis for social research. London and New York: Routledge, 41. Paltridge, B., & Burton, J. (2000). Making sense of discourse analysis. Gold Coast, Queensland: Antipodean Educational Enterprises. Rottenberg, Annette T. (1988). Elements of Argument: a Text and Reader. 2nd
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
89
Edition. NY: St. Martin‟s Press Inc. Toulmin, S. E. (2003). The uses of argument. Cambridge University Press. Van Eemeren, Frans H., Grootendoorst, Rob., Jacksons, Sally., and Jacobs, Scott. (1997). "Argumentation‟ in Teun Van Dijk (ed.), Discourse as structures and process: Discourse studies a multidisciplinary inroduction (Vol. 1). London: Sage. Wray, A., & Bloomer, A. (2006). Projects in linguistics: A practical guide to researching language. Hodder Arnold. Weston, A. (2009). A rulebook for arguments. Hackett Publishing
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
90
18 SENYAPAN DALAM PRODUKSI UJARAN PRESIDEN JOKO WIDODO PADA SAAT DIALOG INTERAKTIF BERSAMA NAJWA SHIHAB Fiyan Ilman Faqih Prasetyo Adi Wibowo Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang Abstrak: Berujar adalah suatu kegiatan yang pasti dilakukan oleh seseorang. Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu bentuk pengujaran yang lancar. Namun, tidak selamanya seseorang dapat berujar secara lancar, seseorang pasti pernah mengalami keraguan atau lupa pada saat berujar sehingga menimbulkan kesenyapan, tidak terkecuali ujaran seorang presiden. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan letak senyapan dalam ujaran presiden Joko Widodo. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada dua bentuk senyapan dalam ujaran presiden Joko Widodo, yaitu senyapan diam dan senyapan terisi. Peneliti juga menemukan bentuk senyapan terisi yang terisi dua sampai tiga jenis isi dan senyapan yang didahului oleh senyapan diam kemudian dilanjutkan dengan senyapan terisi. Sementara itu, ada tiga letak senyapan dalam ujaran presiden Joko Widodo, yaitu senyapan yang terletak pada jeda gramatikal, senyapan yang terletak di antara konstituen satu dengan konstituen lainnya, dan senyapan yang terletak sebelum kata utama dalam konstiuen. Kata kunci: senyapan, produksi ujaran, presiden, dialog interaktif.
PENDAHULUAN Pengujaran yang ideal terwujud dalam suatu bentuk pengujaran yang lancar, mulai dari awal ujaran hingga ujaran itu selesai. Namun, pada saat memproduksi ujaran, tidak selamanya seseorang dapat berujar secara lancar. Secara tidak sengaja, seseorang pernah mengalami keraguan pada saat berujar sehingga menimbulkan kesenyapan. Hal itu terjadi karena pada umumnya, orang berbicara sambil berpikir. Tarigan (2009:172) menjelaskan bahwa telaah mengenai keraguan dalam ujaran yang spontan melukiskan perbedaan pengolahan leksikal dan sintaksis. Kesenyapan dapat terjadi pada setiap orang, tidak terkecuali seorang presiden. Kesenyapan ini merupakan studi tentang produksi ujaran. Hal itu juga sejalan dengan pernyataan Dardjowidjojo (2003:141) yang mengatakan bahwa studi tentang produksi ujaran tidak dapat dilakukan secara langsung karena tidak mungkin membedah tengkorak untuk mengetahui di mana dan bagaimana aliran ektrik pada neuron terjadi. Glodman-Eisler (dalam Swets, 1969) juga menambahkan bahwa salah satu alasan untuk mempelajari kesenyapan, yaitu kesenyapan diyakini dapat menjelaskan proses produksi ujaran. METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu transkrip dialog interaktif presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab. Data tersebut berasal dari sumber data, yaitu video dialog interaktif presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab. Dalam penelitian ini, prosedur pengumpulan data yang digunakan, yaitu metode dokumentasi yang berupa rekaman dialog interaktif presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengadaptasi dari teknik analisis yang dikemukanan oleh Burhan Bungin (2003:70), yaitu (1) reduksi data (data reduction), (2) display data, dan (3) verifikasi dan penegasan kesimpulan (conclution drawing dan verification). Ada tiga tahap penelitian dalam penelitian ini. Pertama, tahap persiapan, yaitu tahapan ketika peneliti mengunduh video dialog interaktif presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab di salah satu situs di internet. Kedua, tahap pelaksanaan, yaitu tahap ketika peneliti melakukan analisis data tentang senyapan dalam dialog interaktif presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab kemudian mengklasifikasikan berdasarkan bentuk dan letak senyapan. Ketiga, tahap
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
91
pelaporan, yaitu tahap ketika peneliti melaporkan hasil analisis data secara deskriptif kemudian peneliti membuat kesimpulan. PEMBAHASAN Bentuk Senyapan Presiden Joko Widodo dalam Dialog Interaktif bersama Najwa Shihab dan Alasan Melakukan Senyapan Dardjowidjojo (2003:143) mengatakan bahwa ketidaksiapan, lupa, dan keberhati-hatian dalam berujar diwujudkan dalam dua macam senyapan, yaitu senyapan diam dan kesenyapan terisi. Senyapan diam terjadi pada saat pembicara berhenti sejenak dan diam saja untuk mencari kata-kata yang diperlukannya, setelah dia menemukan kata-kata yang diperlukannya, maka dia akan melanjutkan kalimatnya. Berikut beberapa ujaran presiden Jokowi yang mengalamani senyapan diam. No 1 2 3
Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan Diam Ujaran Waktu Selama Senyapan Seluruh jajaran di… angkatan laut 03.12 detik Artinya inilah… hidup yang penuh misteri 01.90 detik Harapan besar dari masyarakat untuk… perbaikan- 01.71 detik perbaikan kesejahteraan mereka
Pada ujaran nomor (1) terdapat senyapan diam yang berada di antara kata depan “di” dengan frasa “angkatan laut”. Proses timbulnya senyapan diam pada ujaran nomor (1), yaitu presiden Joko Widodo lupa dengan salah satu cabang angkatan perang. Untuk itu, tindakan presiden Jokowi selanjutnya ialah meretrifnya sehingga munculah ujaran “angkatan laut”. Namun, senyapan diam yang disebabkan lupa sejenak tidak tergambar pada ujaran nomor (2) dan nomor (3). Jika dilihat dari kata-kata setelah senyapan diam, kata-kata tersebut tidak mengacu kepada kata, nama, istilah atau hal lain yang sulit diingat. Maka dari itu, senyapan diam yang terjadi pada nomor (2) dan nomor (3) lebih disebabkan oleh keberhati-hatian presiden Joko Widodo dalam berujar. Selain senyapan diam, ada pula senyapan terisi. Dardjowidjojo (2003:144) juga mengatakan bahwa senyapan terisi disebabkan karena disebabkan oleh lupa atau keberhatian-hatian. Berikut senyapan terisi yang terjadi pada ujaran presiden Jokowi. No 1 2 3
Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan Terisi Ujaran Waktu Selama Senyapan tidak harus kayak apa Indonesian idol 01.31 detik Sepertinya mereka eee ingin sekali adanya sebuah 01.20 detik perubahan besar Tidak mungkin langsung balikan tangan dan 01.68 detik kemudian eee . Jadi saya kira itu
Pada ujaran nomor (1) senyapan terisi kata “apa”. Senyapan terisi tersebut terletak di antara kata “kayak” dengan frasa “Indonesian Idol”. Proses terjadinya senyapan ini karena presiden lupa dengan nama salah satu acara ajang pencarian bakat yang ada di TV, sehingga presiden Joko Widodo harus meretrif nama acara tersebut. Dalam proses meretrif inilah muncullah kata “apa”. Berbeda dengan senyapan terisi yang terjadi karena lupa, pada ujaran nomor (2) terjadi karena kehati-hatian presiden Jokowi dalam berujar. Hal tersebut dapat diketahui dari kata sesudah senyapan terisi. Pada ujaran nomor (2) kata sesudah senyapan terisi, yaitu kata “ingin”. Kata “ingin” bukan merupakan sebuah kata atau nama yang sulit diretrif. Lain halnya dengan ujaran (1) dan (2), pada ujaran (3) presiden tidak berhasil meretrif kata atau frasa yang dicarinya. Tindakan yang dipilih ketika presiden Joko Widodo tidak berhasil meretrif kata tersebut, yaitu memilih meneruskan kalimat berikutnya. Hal itu, menunjukkan bahwa presiden Jokowi sangat berhati-hati dalam berujar. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Dardjowidjojo (2003:145) yang menyatakan bahwa salah satu menteri (politisi) terkenal banyak menggunakan senyapan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
92
terisi, mungkin karena keberhati-hatian untuk tidak menimbulkan dampak yang keliru atau menghebohkan. Berikut jumlah keseluruhan senyapan diam dan dan terisi presiden Jokowi. Hasil Analisis Senyapan Diam dan Senyapan Isi di Dalam Ujaran Presiden Jokowi pada Acara Dialog Interaktif Bersama Najwa Shihab Bentuk Senyapan Jumlah Total Waktu Senyapan yang Diperlukan Diam 44 93.94 Isi 45 103.89
Berdasarkan tabel 2.1 jumlah senyapan diam di dalam ujaran presiden Joko Widodo sebanyak 44 senyapan dengan total waktu senyapan sebanyak 93.94 detik. Sedangkan jumlah senyapan isi di dalam ujaran Presiden Joko Widodo sebanyak 45 senyapan dengan total waktu 103.89 detik. Waktu senyapan diam tercepat, yaitu 00.70 milidetik dan waktu senyapan diam terlama, yaitu 03.55 detik, sehingga waktu senyapan diam presiden Joko Widodo, antara 00.70 milidetik—03.55 detik. Sedangkan waktu senyapan terisi tercepat, yaitu 00.93 milidetik dan waktu senyapan terisi terlama, yaitu 04.53 detik, sehingga waktu senyapan isi presiden Joko Widodo, antara 00.93 milidetik—04.53 detik. Jadi, jumlah, total waktu, dan rata-rata waktu yang diperlukan untuk melakukan senyapan terisi presiden Joko Widodo lebih banyak daripada senyapan diam. Dalam ujaran presiden Jokowi juga terdapat senyapan terisi yang terisi dua—tiga isi dan senyapan yang didahului senyapan diam kemudian senyapan terisi (campuran). Berikut data senyapan yang menggunakan dua sampai tiga jenis isi. Daftar Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan Terisi dengan Menggunakan dua—tiga jenis isi No Ujaran Waktu Selama Senyapan 1 Saya harus emm eee ngomong apa adanya 01.38 detik 2 saya kira itu apa eee juga tantangan 01.93 detik 3 seperti yang saya sampaikan di awal apa eee 18.16 atau 18.15 03.15 detik 4 bisa menyampaikan apa eee keadaan-keadaan 01.93 5 bisa eee apa emm berdialog dengan presiden 04.81
Berdasarkan ujaran presiden Joko Widodo tersebut terdapat senyapan terisi yang berisi dua sampai tiga isi, yaitu bunyi “emm” dengan bunyi “eee”, kata “apa” dengan bunyi “eee”, dan bunyi “eee”, kata “apa”, dan bunyi “emm”. Namun, senyapan yang terisi dua sampai tiga jenis bunyi tidak mempunyai pengaruh pada waktu senyapan sehingga menjadi waktu senyapan menjadi lebih lama. Ada pula senyapan terisi yang di dalamnya didahului oleh senyapan diam kemudian menggunakan senyapan terisi. Berikut data senyapan yang menggunakan senyapan diam terlebih dahulu kemudian diisi oleh bunyi atau kata. Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan Terisi yang Didahului oleh senyapan diam kemudian menggunakan senyapan terisi. No Ujaran Waktu Selama Senyapan 1 Setiap hari dan… yaaa kesulitan-kesulitan 02.20 detik 2 Pasti ada yang… apa komplen 01.84 Detik 3 yang… eee di dalamnya 02.76 Detik 4 meng… eee akomodasi 02.16 detik 5 gaya yang berbeda dan… eee itu sah-sah saja kan 03.65 detik
Sama halnya dengan senyapan terisi yang berisi dua sampai tiga jenis isi, senyapan terisi yang didahului oleh senyapan diam kemudian diisi oleh bunyi-bunyi tertentu atau kata juga tidak berhubungan dengan waktu senyapan yang menjadi lebih lama. Contohnya pada ujaran nomor (1), waktu senyapan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
93
yang digunakan hanya 02.20 detik. Sedangkan senyapan terisi yang berisi satu bunyi tertentu pada ujaran “pada kita kan juga bisa eee melakukan pertemuan” memerlukan waktu senyapan yang lebih lama, yaitu 02.91 detik. Hal itu sesuai dengan Dardjowidjojo (2003:145) yang mengatakan bahwa bunyi-bunyi tersebut hanya sekadar merupakan pengisi belaka. Letak-letak Senyapan Presiden Joko Widodo dalam Dialog Interaktif bersama Najwa Shihab dan Alasan Melakukan Senyapan Pertama, senyapan yang terjadi pada jeda gramatikal. Dardjowidjojo (2003:146) senyapan pada jeda gramatikal (grammatical juncture) adalah tempat senyap untuk merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan. Senyapan ini juga digunakan untuk bernapas. Berikut beberapa senyapan pada ujaran presiden Joko Widodo yang terletak pada jeda gramatikal dan waktu yang diperlukan dalam senyapan. Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan yang Terletak pada Jeda Gramtikal No Ujaran Waktu Selama Senyapan 1 Tidak saya bayangkan waktu saya kecil… (01.78) Saya juga tidak 01.78 detik punya cita-cita untuk menjadi walikota, gubernur, apalagi presiden 2 dari papua, dari aceh, dari jawa timur, jawa tengah, dari Sulawesi 04.20 detik dari kalimantan, dari sumatera… (04.20) Ada yang satu bus, dua bus, tiga bus, empat bus 3 Saya kira non aktif tidak, tidak, tidak memegang partai... (03.24) 03.24 detik Terserah itu disebut kompromi
Bentuk senyapan presiden Joko Widodo yang terletak pada jeda gramatikal, hanyalah senyapan diam. Hal tersebut dilakukan untuk merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan dan juga digunakan untuk bernapas. Contohnya pada ujaran nomor (1), setelah kalimat “Tidak saya bayangkan waktu saya kecil…” presiden Jokowi berhenti untuk bernapas dan merencanakan kerangka atau konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan selanjutnya. Setelah waktu untuk bermapas dirasa sudah cukup dan proses menyusun kerangka konstituen pertama dari kalimatnya sudah selesai, presiden Jokowi kalimat selanjutnya, yaitu “saya juga tidak punya cita-cita untuk menjadi walikota, gubernur, apalagi presiden”. Begitu juga pada ujaran nomor (2) dan (3). Senyapan diam pada jeda gramatikal nomor (2) dan (3) juga digunakan presiden Joko Widodo untuk mengambil nafas dan menyusun kerangka kalimat yang akan diujarkan berikutnya. Berikut total data senyapan yang terjadi pada jeda gramatikal pada presiden Jokowi. Letak Senyapan
Jeda gramatikal
Data Senyapan yang Terjadi pada Jeda Gramtikal Jumlah Total Waktu Jumlah Total Waktu Senyapan Senyapan yang Senyapan Isi Senyapan yang Diam Diperlukan Diperlukan 5 10.62 10.62
Kedua, senyapan yang terjadi pada batas antara satu konstituen dengan konstituen yang lain. Dardjowidjojo (2003:146) mengatakan bahwa seseorang bisa melakukan senyapan pada batas konstituen karena di sinilah seseorang tersebut merencanakan rincian konstituen berikutnya. Marc Swerts (1997) juga mengatakan bahwa senyapan pada awal frase mencerminkan pengolahan yang lebih dalam (seperti konseptulisasi). Berikut beberapa senyapan presiden Joko Widodo yang terjadi pada batas antara satu konstituen dengan konstituen yang lain. Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan yang Terletak pada Batas Konstituen yang Satu dengan Konstituen yang Lain
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
94
No 1 2 3 4
Ujaran Dari Semanggi sampek istana… penuh dengan lautan rakyat. Bagi relawan yang ingin… memberikan masukan-masukan saya melihat eee lautan manusia Sepertinya mereka eee ingin sekali
Waktu Selama Senyapan 02.10 detik 01.80 Detik 02.59 detik 01.20 detik
Pada ujaran nomor (1) dan nomor (2) menggunakan bentuk senyapan diam. Sedangkan pada ujaran nomor (3) dan nomor (4) menggunakan bentuk senyapan terisi. Pada ujaran nomor (1) senyapan diam terletak di antara klausa “dari semanggi sampek istana” dengan klausa “penuh dengan lautan rakyat. Senyapan ini digunakan untuk merencanakan konstituten berikutnya, yaitu “penuh dengan lautan rakyat”. Begitu juga dengan ujaran (2). Berbeda dengan ujaran nomor (1) dan nomor (2), ujaran pada nomor (3) dan (4) menggunakan bentuk senyapan terisi. Pada ujaran nomor (3), senyapan terisi berada di antara klausa “saya melihat” dengan frasa “lautan manusia”. Ada dua alasan mengapa presiden Jokowi melakukan senyapan terisi tersebut. Pertama, presiden Jokowi melakukannya secara sengaja, karena untuk menandai suatu yang sulit atau sebuah istilah yang harus di dengar oleh penanya. Kedua, presiden Jokowi mengalami keraguraguan ketika hendak mengatakan frasa tersebut dan secara tidak langsung frasa tersebut memiliki informasi yang tinggi. Hal itu sesuai dengan sesuai dengan perkataan Goldman-Eisler (dalam Marc Swerts, 1997) yang mengatakan bahwa keraguan-raguan memiliki probabilitas transisi rendah sehingga memiliki informasi yang tinggi, akibatnya senyapan mungkin tersebut berguna bagi pendengar. Dardjowidjojo (2003:146) mengatakan bahwa pada umumnya bentuk senyapan yang muncul pada batasan konstituen, yaitu bentuk senyapan terisi. Namun, berdasarkan data yang diperoleh peneliti, yaitu ujaran presiden Joko Widodo dalam dialog interaktif bersama Najwa Shihab hal tersebut berbanding terbalik, yaitu senyapan diam lebih banyak daripada senyapan berisi. Walaupun selisih jumlah senyapan diam dengan senyapan terisi sangat tipis, yaitu dua senyapan. Berikut data senyapan yang terjadi pada batas konstituen. Data Senyapan yang Terjadi pada Batas Konstituen Jumlah Total Waktu Jumlah Total Waktu Senyapan Senyapan yang Senyapan Isi Senyapan yang Diam Diperlukan Diperlukan Antara konstituen dengan 19 31.27 17 34.58 konstituen yang lain Letak Senyapan
Ketiga, senyapan sebelum kata utama konstituen. Clark (dalam Tarigan, 2009:173) menamai senyapan ini dengan nama selaan istimewa (idiosyncratic pauses). Selaan istimewa dianggap sebagai usaha untuk memantulkan kesulitan permulaan kata pada pihak pembicara. Dardjowidjojo (2003:146) mengatakan bahwa setelah kerangka terbentuk, maka konstituen harus diisi dengan kata-kata. Posisi kesenyapan dalam frasa sangat penting karena senyapan di dalam frasa menunjukkan proses pencarian leksikal (Shriberg dalam Marc Swerts, 1994). Berikut beberapa senyapan presiden Joko Widodo yang terjadi sebelum kata utama kosntituen atau di dalam frasa. Daftar Beberapa Ujaran Presiden Jokowi yang Mengalami Senyapan yang Terletak sebelum Kata Utama Konstituen No Ujaran Waktu Selama Senyapan 1 sebuah… beban 02.24 detik 2 sebuah eee harapan 01.43 detik 3 sebuah apa ruang 00.98 detik 4 itu apa eee juga tantangan 01.93 detik
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
95
Pada ujaran nomor 1 senyapan diam terletak di antara kata “sebuah” dengan kata “beban”. Setelah presiden Joko Widodo mengucapkan kata “sebuah” presiden Jokowi kesulitan meretrif kata “beban” sehingga munculnya senyapan diam. Begitu pula dengan ujaran nomor (2), nomor (3) dan nomor (4). Alasan presiden Jokowi mengalami kesenyapan diam atau terisi karena kesulitan meretrif kata selanjutnya. Dardjowidjojo (2003:147) juga mengatakan bahwa pada umumnya senyapan sebelum kata utama konstituen merupakan senyapan diam. Namun, berdasarkan data yang ditemukan dalam ujaran presiden Joko Widodo, senyapan yang paling banyak adalah senyapan terisi. Berikut data senyapan yang terjadi sebelum kata utama konstituen. Data Senyapan yang Terjadi sebelum Kata Utama Konstituen Jumlah Total Waktu Jumlah Total Waktu Senyapan Senyapan yang Senyapan Isi Senyapan yang Diam Diperlukan Diperlukan Sebelum kata 28 51.25 32 72.94 utama dalam konstituen Letak Senyapan
SIMPULAN Ada dua bentuk senyapan yang terjadi dalam ujaran presiden Jokowi dalam acara dialog interaktif bersama Najwa Shihab, yaitu senyapan diam dan senyapan terisi. Jumlah senyapan terisi lebih banyak dari pada senyapan diam, walalupun selisihnya sangat tipis, yaitu satu senyapan. Presiden Jokowi juga melakukan senyapan terisi yang menggunakan dua sampai tiga jenis isi dan senyapan yang didahului oleh senyapan diam kemudian menggunakan senyapan isi dalam satu senyapan. Namun, senyapan-senyapan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada waktu senyapan sehingga menjadi waktu senyapan menjadi lebih lama. Adapun letak senyapan presiden Jokowi, yaitu pada jeda gramatikal, antara konstituen satu dengan konstituen yang lain, dan sebelum kata utama dalam konstituen. Pertama, bentuk senyapan yang terletak pada jeda gramatikal, hanyalah senyapan diam. Kedua, senyapan antara konstituen satu dengan konstituen yang lain. Ada dua jenis senyapan yang terletak di batas konstituen yang lain, yaitu senyapan diam dan senyapan terisi. Ketiga, senyapan sebelum kata utama dalam konstituen. REFERENSI Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Marc Swerts. 1997. Filled Pauses as Marked of Discourse Structure. Eindhoven: Universitaire lnstelling Antwerpen (UIA). Tarigan, H. G. 2009. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
96
19 IKLAN KAMPANYE LEGISLATIF: PENCITRAAN MELALUI KOMPONEN LINGUAL DAN VISUAL Harum Munazharoh Abstrak: Pencitraan dilakukan untuk tujuan popularitas di ranah publik. Bermedia iklan kampanye statis, para caleg berupaya menampilkan citra agar lebih dekat, lebih dikenal, dan selanjutnya didukung dalam pemilu. Iklan kampanye statis ditempatkan di ruang publik sehingga antarcalon dimungkinkan bersaing secara terbuka. Kompetisi itu terkait dengan komposisi di dalamnya. Kohesivitas dan koherensivitas menjadi penting agar menampilkan konstruksi citra sesuai tujuan iklan. Paparan terkait komponen pembangun iklan kampanye memungkinkan siapapun memproduksi iklan statis lebih komunikatif dan sesuai sasaran. Iklan kampanye statis memberikan ruang analisis wacana lebih beragam. Pada akhirnya, batas kepentingan antarkomponen menjadi hal yang relatif berimbang. Mereka dapat diperlakukan secara luwes dan selaras kepentingan pengiklan. Pemahaman atas komponen pembangun dapat memupuk kesadaran calon pemilih dalam menentukan wakil pilihannya. Pencitraan dibangun melalui komponen verbal dan komponen visual. Komponen verbal adalah keseluruhan satuan-satuan lingual, meliputi identifikasi calon anggota dewan, slogan, pesan tokoh, paparan visi-misi, penanda waktu pelaksanaan pemilihan umum, dan imbauan lain di luar pemilu. Komponen visual adalah keseluruhan satuan-satuan visual, meliputi visualisasi calon, visualisasi aktivitas, visualisasi tujuan keterwakilan, visualisasi tokoh partai politik, visualisasi surat suara, dan visualisasi lambang negara. Komponen-komponen itu disusun sedemikian rupa sehingga dapat membentuk iklan kampanye menjadi iklan sederhana atau pun iklan kampanye kompleks. Semakin kompleks unsur-unsur tersebut, iklan menjadi lebih informatif dan memungkinkan pembangunan sebuah citra tunggal maupun citra yang beragam. Kata kunci: pencitraan, iklan kampanye politik, kohesi-koherensi
PENDAHULUAN Penelitian ini berpijak pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yayuk Eni Rahayu (2002) dan Yusrita Yanti (tt). Iklan kampanye merupakan upaya persuasif untuk meraih dukungan suara dalam pemilihan umum. Hal tersebut menurut Yayuk Eni Rahayu (2002) tercermin pada dominasi tindak wicara permintaan, tindak wicara komisif, dan pemanfaatan register bidang politik. Selain itu, upaya persuasif juga dilakukan dengan cara mengikutsertakan figur publik ke dalam wacana, menyampaikan pesan melalui figur publik dan melalui peristiwa yang menarik khalayak, dan menyajikan pesan yang mengandung anjuran. Lebih lanjut, Rahayu (tt) melalui slogan kampanye, iklan politik dimanfaatkan untuk mencapai efek-efek propaganda. Faktor-faktor eksternal, seperti fungsi, tujuan, dan tempat pemasangan iklan, juga menjadi pertimbangan untuk menciptakan satuan lingual yang singkat, padat, ringkas, dan jelas. Oleh karena itu, bentuk-bentuk yang diciptakan sengaja dipilih dengan tujuan sekilas baca, pesan sampai. Sebanyak dua hal utama yang dirumuskan pada penelitian tersebut adalah persoalan fungsi satuan lingual dalam iklan kampanye terkait dengan strategi penyampaian dan persoalan emosi yang tercermin dari tindak wicara. Persoalan yang belum mendapat proporsi berimbang adalah paparan terkait makna dan pesan dalam komponen visual. Kehadiran komponen visual dimungkinkan telah dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan sehingga tidak lagi memerlukan komponen verbal. Demikian pula sebaliknya. Dominasi komponen verbal telah dapat mewakili pesan pewicara.. Hal ini berangkat dari pengamatan bahwa keberadaan komponen visual dan komponen verbal dalam membangun wacana idealnya berkesinambungan, mengandung informasi utuh sehingga pesan yang diinginkan pewicara sampai pada mitra wicara. Keduanya bekerja sama mewakili hal-hal yang kurang terwakili dalam masing-masing
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
97
komponen. Keduanya pun bekerja sama dalam rangka upaya membangun citra, menggiring opini khalayak ke arah penilaian positif. Pada kerangka wacana, kohesi (pertautan bentuk) dan koherensi (pertautan makna) menjadi hal penting. Merujuk pada iklan kampanye, wacana tersebut terdiri atas komponen verbal dan komponen visual. Keduanya tentu tidak selalu mendapatkan proporsi yang sama Masing-masing komponen sangat dimungkinkan telah mempunyai citra tersendiri sebelum membangun dan (atau) mempertahankan citra pada sebuah iklan kampanye. Ketika kedua komponen dipertemukan dan dikonstruksikan menjadi makna (baru), keselarasan atau pun ketidakselarasan dapat terjadi. Hal ini berarti pembuat pesan sekadar menjadi salah satu faktor yang diacu dalam penafsiran dan perbandingan, dan tidak menjadi satu-satunya sumber makna. Sebaliknya, pembuat pesan bagaikan suatu medium tempat berlangsungnya pergulatan antarcitra itu sendiri, seperti yang akan tampak pada representasi iklan-iklan kampanye sebagai kesatuan masalah. (bandingkan dengan Ajidarma, 2011: 1—18) METODOLOGI Iklan dihimpun dari pengamatan pemanfaatan komponen verbal dan komponen visual iklan pada momentum kampanye legislatif 2014 dan sebelumnya. Data tidak terbatas pada salah satu caleg karena yang dipentingkan adalah variasi bentuk sebagai representasi citra calon anggota dewan. Data juga tidak terbatas pada asal partai politik tertentu karena pengamatan yang dilakukan bukan pada citra partai politik. Data visual iklan kampanye statis dikumpulkan dengan cara memotret sumber data dan mengunduh dari forum jejaring sosial yang secara khusus membahas iklan-iklan kampanye dari berbagai wilayah. Data visual kemudian diamati satu persatu, dicatat, dan diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur yang membangun iklan kampanye tersebut. Selanjutnya, data terklasifikasi diuraikan dan ditafsirkan berdasarkan kerangka analisis wacana. PEMBAHASAN Komponen verbal dan komponen visual mengarah pada satu tujuan agar calon pemilih mendukung-memberikan suara padanya pada saat pemilu. Demi tujuan tersebut, proporsi antarkomponen dirancang seefeketif mungkin. Efektivitas itu pun dimungkinkan tidak berimbang. Komponen verbal lebih dominan daripada komponen visual, atau sebaliknya. Hal tersebut karena keduanya merupakan dua bagian yang saling melengkapi dan saling mendukung. Komponen-komponen itu saling terkait dalam rangka membangun citra positif calon. Komponen Visual Lebih Dominan Daripada Komponen Verbal Komponen visual merekam keseluruhan pesan melalui visualisasi diri, baik secara personal (visualisasi calon anggota dewan) maupun secara sosial (visualisasi aktivitas). Visualiasi personal calon anggota dewan disesuaikan dengan visi-misi yang dibawa. Hal-hal yang ditampilkan secara visual pun disesuaikan dengan sasaran calon pemilih. Popularitas calon anggota dewan dipertimbangkan dalam rangka mengenalkan diri secara personal. Mereka yang relatif dikenal calon pemilih menampilkan visualisasi diri yang lebih sederhana daripada mereka yang baru memasuki bursa calon anggota dewan. Citra positif pun dibangun. Kepedulian kepada kelompok-kelompok masyarakat divisualisasikan. Demikian pula, dengan visualisasi secara personal. Kepedulian kepada profesi petani misalnya, divisualisasikan melalui latar tanah garapan. Ia membangun kedekatan dengan calon pemilih setempat yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Citra pekerja keras nan cekatan ditampilkan melalui kesediaan berinteraksi langsung ke masyarakat sasaran. Tak terkecuali anak-anak. Kepedulian terhadap anak-anak ditujukan kepada calon pemilih di ranah pendidikan formal sekolah, tenaga kesehatan anak, bahkan kepada figur-figur pendidik di lingkungan rumah. Popularitas pun dimanfaatkan untuk membangun citra positif. Tokoh dihadirkan membersamai calon anggota dewan. Mereka adalah figur pemimpin yang dipandang berpengaruh dan berhasil dalam kepemimpinan suatu periode. Kedekatan secara personal antara calon anggota dewan dan tokoh pun dibangun. Keduanya merupakan kader-kader partai politik bersangkutan. Namun tidak menutup
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
98
kemungkinan bahwa calon anggota dewan itu sendiri telah cukup dikenal oleh masyarakat calon pemilih. Karena itu, visualisasi dirinya dihadirkan secara tunggal dan lebih sederhana dibandingkan dengan calon anggota dewan lainnya. Efektivitas informasi antarcalon anggota dewan dipentingkan dalam iklan kampanye. Calon pemilih berfokus langsung pada para calon anggota dewan dengan tingkat keterwakilan yang berbeda. Sekalipun berada pada legitimasi partai politik yang sama, antarcalon anggota dewan tetap menempatkan diri sebagai rival sekaligus rekan yang nantinya akan menduduki jabatan tertentu di tingkat parlemen yang berbeda.
(1)
(2)
(3)
Lebih lanjut, meskipun menempati media yang sama, proporsi Roberto Everhard lebih dominan daripada dua calon anggota dewan lainnya, Sri Lestari (Nunung) dan Bagus Suryanto. Kapitalisasi nomor urut dilakukan secara tunggal. Selain itu, ikon coblos hanya dilekatkan pada nomor urut Roberto Everhard, sedangkan dua calon anggota dewan lain tidak disertai ikon tersebut. Bahkan, kapitalisasi dapat dilakukan secara manasuka. Calon anggota dewan lain, A. Baskoro Wibowo H., S.Pi. dan Choliq Nugroho Adji, tidak dihadirkan secara visual. Identitas calon anggota dewan lain sekadar dihadirkan melalui nama dan keterwakilan di posisi akhir wacana. Kehadiran calon anggota dewan lain dapat dialienasi tanpa mengurangi esensi dominasi calon anggota dewan Drs. Wibisono Joko Hartono, M.B.A. secara personal.
4a.
4b.
Selain itu, ikon penutur dapat dihadirkan secara proporsional namun informasi antarpenutur timpang. Nilai popularitas seolah-olah sekadar berlaku pada salah satu penutur. Penutur yang lain dilekatkan sedemikian rupa sehingga tampak proporsional. Penutur, Siti Hediati Soeharto, S.E., membangun citra Putri Ngayogyakarta,Putrine Pak Harto sebagai putra daerah dan mempertahankan citra besar keturunan Soeharto. Sebaliknya, penutur Rosa Isabela Arum A., S.Pd. memberikan informasi umum terkait gelar akademik sarjana pendidikan dan informasi keterwakilan calon anggota dewan DPRD Kota Yogyakarta. Informasi keterwakilan masing-masing calon anggota dewan dapat dihadirkan melalui komponen visual. Ketidakseimbangan justru melalui kehadiran ikon keterwakilan yang hanya dilekatkan pada salah satu calon anggota dewan. Keterwakilan calon anggota dewan yang lain dihadirkan melalui bentuk verbal. Ruang kosong kemudian diisi dengan ikon partai politik sebagai bentuk legitimasi. Sementara itu, meskipun dalam satu media, penonjolan citra dilakukan secara personal. Citra lokal ditampilkan oleh calon anggota dewan KPH. Wironegoro, sedangkan calon anggota dewan Jaka Maryata lebih netral. Calon anggota dewan Jaka Maryata mengenakan kemeja putih beremblem partai politik dan songkok
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
99
hitam. Citra personal kader partai politik kemeja atau pun religius songkok hitam menjadi samar karena warna kemeja calon anggota dewan serasi dengan ikon warna merah putih yang dijadikan latar belakang media iklan.
(5)
(6)
(7)
Komponen Verbal Lebih Dominan Daripada Komponen Visual (8) TERIMA KASIH Para sahabat, mitra dan tim pemenangan Mas Narto, untuk tidak mememasang atribut Mas Narto di tiang listrik, dipaku di pohon, dll. (sesuai peraturan KPU No. 15 Tahun 2013)|serta tetap menjaga kesopanan dan etika berkomunikasi dengan mengedepankan karya nyata tanpa basa basi (9) Menjadi orang baik penting itu baik tetapi lebih penting menjadi orang baik|Mohon doa restu dan dukungannya|”Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda agama dan pemikiran.” Visi: semanak, grapyak lan migunani tumraping liyan Misi: Meningkatkan sumber daya manusia|Meningkatkan infrastruktur|Meningkatkan pemberdayaan masyarakat|Mendorong kreativitas dan inovasi|Memupuk keberagaman dan kebudayaan Program: Optimalisasi program pendidikan|Peningkatan kualitas layanan publik|Program pengembangan industri kecil dan menengah|Tidak diskriminatif terhadap semua pemeluk agama maupun golongan (10) Warga TIRTONADI yang saya cinta, Assalamualaikum Wr Wb!!.. - Tinggal di Batokan, Tirtonadi, Sleman, Selatan. - Sarjana Fakultas Ekonomi UGM, Jurusan Ekonomi Pembangunan. - Sarjana Akta IV Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. - Pengurus IPPNU Pekalongan Timur. - Santri Pondok Pesantren Lama, Payaman, Magelang. - … - Trainer pelatihan perpustakaan di berbagai propinsi. Terus berkarya majukan Indonesia (11) Abdul Rani Rasyid merupakan caleg yang diusung Partai Bulan Bintang untuk daerah pemilihan di Bangka--Belitung, dengan nomor urut 4. Pilih yang berkualitas, contreng nomor 4 brarti anda telah ikut menyumbangkan aspirasi demi sebesar-besar kemakmuran warga Bangka--Belitung. Rani tidak hanya mengobral janji, tetapi Rani akan terus berjuang mensejahterakan warga dengan program-programnya yang berpotensi. Iklan Kampanye Sederhana (12) 7 sahabat perubahan (13) Ojo lali DPRD DIY V coblos no 3 (14) visual: 1 Calon DPD RI DIY Teramat pentingnya nomor urut justru meminimalisasi unsur nama diri. Unsur nama ditampilkan dengan komposisi minimal (13) dan (14) bahkan dilesapkan-digantikan dengan slogan (12). Di sisi yang lain, strategi penggantian unsur nama menjadi slogan mengedepankan citra sesuai dengan slogan yang ditampilkan. Calon pemilih dipancing melalui bentuk sederhana iklan kampanye untuk merunut informasi dari luar terkait slogan tersebut. Rantai informasi itu dapat berupa iklan kampanye lain yang lebih kom-
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
100
pleks atau pun penelusuran pada media sosial. Dengan demikian, citra dimungkinkan lebih kompleks daripada visualisasi iklan kampanye. Iklan Kampanye Kompleks Citra berpendidikan (15) dibangun melalui paparan riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan dan gelar akademik yang disematkan pada nama diri. Dominasi visual justru mengarahkan pada citra lokal. Citra lokal dibangun melalui pemakaian atribut khas daerah, pemanfaatan bahasa lokal, alamat asal, dan visualisasi potensi (wisata) wilayah setempat. Unsur-unsur tersebut menyatakan bahwa calon anggota dewan merupakan putra daerah. Putra Republik Indonesia Magelang Asli Rukun Guyub Ora bakal Ngapusi Opo anane (Pri Margono) merupakan strategi pembangun citra lokal melalui akronim nama diri (16). Strategi tersebut pun membangun citra jujur. Kedekatan dengan masyarakat dibangun melalui bentuk verbal bersaTu menuJU toto titi tentrem raharja gemah ripah loh jinawi ‘bersatu menuju (masyarakat) tentram, raharja, dan sejahtera’. Citra yang beragam ini diarahkan pada citra tunggal, lokal, yang lebih dominan unsur-unsur pembangunnya. Lokalitas dibangun melalui kode bahasa yang digunakan dalam menyampaikan informasi, atribut pakaian yang dikenakan, visualisasi tokoh, dan potensi wilayah tingkat keterwakilan. Lebih lanjut, citra nasionalisme dibangun melalui satuan lingual cinta tanah air, visualisasi tokoh nasional, dan penyematan lambang-lambang kenegaraan. Istilah golput (golongan putih) ‘tidak mencoblos’ direproduksi menjadi nama golongan pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Akronim lain digunakan secara produktif untuk menyampaikan visi-misi. Satuan verbal Tiga Sekawan (Partai nomor urut 3, Caleg urutan keempat), Sekawan (SElalu Komitmen Akan keWajiban dan pelayanAN) dibentuk sehingga secara panjang dapat dibaca sebagai ‘caleg PKS nomor urut 4 selalu komitmen akan kewajiban dan pelayanan’. Secara tersurat penutur menawarkan diri sebagai harapan baru yang berkomitmen dan melayani kepentingan mitra tutur. Sebagai kader partai, tawaran tersebut didukung juga oleh pengalamannya yang divisualkan dalam dokumentasi kegiatan bersama masyarakat. Repetisi dilakukan secara visual-verbal dalam penonjolan lambang burung garuda dan penyebutan Indonesia; foto aktivitas penutur di masyarakat dan kader PKS; sehingga janji-janji politik disampaikan melalui komponenkomponen itu. Nasionalisme ditonjolkan melalui kapitalisasi lambang-lambang kenegaraan meskipun partai tersebut dikenal sebagai partai berlandaskan agama islam. (15) Verbal: Mohon doa restu dan dukungan Caleg DPR RI no 4 dapil DIY| Asli Kalicode Jogoyudan| Istiqomah berjuang untuk kesejahteraan masyarakat|Hindartono bin R. Moch. Sugeng|Caleg DPR RI Daerah Istimewa Yogyakarta Tempat tanggal lahir: Yogyakarta, 14 Desember 1964 Pendidikan: SDN Lempuyangan|SMPN VI Yogyakarta|SMA Bopkri II Yogyakarta|Universitas Proklamasi 45|Pascasarjana Universitas Jayabaya Jakarta Organisasi: Wasekjen PP Parmusi|Ketua PP GMNI 2003—2010|Hamka DIY 1982|Pelatih Perisai Mataram|Kasie Intelpam Yon Gab I Menwa Mahakarta|…|DPP KNPI Pekerjaan: guru, dosen, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Visual: Visualisasi tunggal pakaian khas jawa, Tugu Yogyakarta, 11 orang beskap dan kain batik solo (16) Verbal: bersaTu menuJU toto titi tentrem raharja gemah ripah loh jinawi|Caleg Provinsi Jateng|Pri Margono (Putra Republik Indonesia Magelang Asli Rukun Guyub Ora bakal Ngapusi Opo anane)|Ojo lali dino Rebo Pon tgl 9 April 2014|Pilih wakilmu Provinsi|Buka surat suara warna biru, cari moncong putih di kanan atas|Coblos Pri Margono no urut 7 Visual:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
101
Objek wisata Provinsi Jawa Tengah yang ada di Magelang (Candi Borobudur, Gunung MerapiMerbabu, Candi-candi, Masjid Agung Magelang|Garuda Pancasila|Soekarno-Megawati-Puan Maharani|Gubernur Jawa Tengah|Visualisasi diri (17) Verbal: GOLPUT GAK PUNYA JANJI|3 Sekawan|Suaramu untuk INDONESIA|Coblos no. 4 (pada surat suara)|KADER Selalu Komitmen Akan keWajiban dan pelayanAN (TIGA SEKAWAN) Visual: PKS caleg urut Sekawan, Garuda Pancasila, aktivitas bersama masyarakat SIMPULAN Unsur penting iklan kampanye, sekurang-kurangnya, adalah nomor urut atau visualisasi personal, nama calon anggota dewan, dan tingkat keterwakilan di parlemen. Unsur-unsur penting itu merujuk pada kertas suara yang akan dihadapi calon pemilih pada saat pemungutan suara. Pada tingkat keterwakilan DPR dan DPRD, kertas suara menampilkan daftar nama calon anggota dewan berdasarkan nomor urut dan perwakilan partai politik. Pada tingkat keterwakilan DPD, kertas suara menampilkan visualisasi calon anggota dewan berdasarkan nomor urut. Rujukan itu kemudian memungkinkan bahwa iklan kampanye paling sederhana untuk keterwakilan DPR dan DPRD tidak lagi mementingkan visualisasi personal, tetapi nomor urut. Sebaliknya, iklan kampanye paling sederhana untuk keterwakilan DPD lebih mementingkan visualisasi calon anggota dewan. Komponen verbal yang lebih dominan melengkapi ketidakcukupan komponen visual dalam mendeskripsikan pesan iklan kampanye. Visualisasi tunggal calon anggota dewan memungkinkan pembangunan citra melalui atribut yang dikenakan. Sementara itu, komponen verbal dapat membangun citra lebih beragam. Pencitraan melalui komponen verbal dibentuk dari ucapan terima kasih, paparan visimisi, slogan, pesan tokoh yang diusung, dan deskripsi riwayat pengalaman organisasi. Kompleksitas unsur menjadikan iklan lebih informatif. Semakin banyak unsur yang dimuat memungkinkan semakin banyak pula citra yang dibangun. Namun demikian, ada kalanya kompleksitas unsur menjadikan iklan kampanye padat informasi. Keberagaman citra yang dibangun itu mengarahkan pada satu citra tertentu. REFERENSI Ajidarma, Seno Gumira. 2011. Panji Tengkorak: Kedudayaan dalam Perbincangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Baryadi, Praptomo I. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS. Basundono, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak. Cangara, Hafied. 2009. “Kampanye untuk Pemasaran Politik-I dan II” dalam Komunikasi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 275—451. Darmawan, Alex. 2013. “Iklan Kampanye Calon Legislatif (Studi Kasus di Kota Padang). Tesis. Program Pascasarjana Linguistik FIB UGM. Ensiklopesia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. 2010. Yogyakarta: Narasi. Ensiklopedi Wayang Indonesia 1 (a—b). 1999. Jakarta: Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) dan PT Sakanindo Printama. Ensiklopedi Wayang Indonesia 5 (t, u, w, y, dan lakon). 1999. Jakarta: Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) dan PT Sakanindo Printama. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. -----------. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group. Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
102
Fairclough, Norman. 1992. Kesadaran Bahasa Kritis. (terj.) Critical Language Awareness. Semarang: IKIP Semarang Press. ------------- (ed). 1997. Critical Discourse Analysis: The Critcial Study of Language. London and New York: Longman. H-Hoed, Benny. 2011. ‘Etik dalam Periklanan’ dan ‘Caleg Selebritas, Aset yang Terlupakan’ dalam Caleg Selebritas, Kekerasan, & Korupsi: Menelusuri Tanda dalam Dinamika Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. _____________. 2014. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Edisi ketiga. Jakarta: Komunitas Bambu. Halliday, M. A. K. & Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotika Sosial. (terj.) Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-Semiotics Perspective. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hasanah, Wawa Uswatun. 2009. “Identitas Kota Yogyakarta dalam Iklan Layanan Publik: Sebuah Kajian Sosiolinguistik”. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ibrahim, Gufran Ali. 2005. “Idiom Kegamangan dalam Bahasa Politik Kita” dalam Prosiding Seminar Nasional PESAT 2005. Jakarta: Universitas Gunadarma. Diunduh dari repository.gunadarma.ac.id:8000/kommit2004_sastra_008_355.pdf pada 17 Mei 2010 pukul 21.00 WIB. Jurnal Penelitian 4. tt. Yogyakarta: Bappeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Pustaka. Kurniawati, Asti. 2006. “Yogyakarta ‘Kota Pendidikan’ Perjalanan Pencitraan Sebuah Kota di Jawa pada Abad XX’. Tesis. Program Pascasarjana Prodi Ilmu Sejarah FIB UGM. Marbun, B. N. 1996. Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan. McKenna Regis. 2003. “Pemasaran adalah Segala-galanya” dalam Strategi Pemasan. Usmara A. (ed). Jogjakarta: Amara Books. (hlm. 283—311). McNair, Brian. 2011. An Introduction to Political Communication. Fourt edition. New York: Roudledge Taylor & Francis Group. Mukminatun. 2002. “Iklan Kosmetik Bayi dalam Media Massa Cetak: Struktur Wacana, Analisis Kritis Interaksi Sosial, dan Unsur-unsur Direktif, Sebuah Pendekatan Sosiolinguistik”. Tesis. Program Pascasarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Prodi Linguistik UGM. Mulyawan, I Wayan. 2010. Hipersemiotika Periklanan (Analisis Praktis). Denpasar: Udayana University Press. Munandar, Aris. 2001. “Analisis Wacana Selebaran Partai Rakyat Demokratik (PRD)”. Tesis. Yogyakarta: FIB UGM. Nugroho, Garin. 2005. ‘Kampanye Pemilu: Inga-inga Etika Merayu Massa’ dalam Seni Merayu Massa. Jakarta: Kompas. Nugroho, Wakhid. 2013. “Analisis Wacana President Lecture ole Habibie: (Kajian Analisis Wacana Kritis). Tesis. Prodi Linguistik. Program Pascasarjana FIB UGM. Passer, Michael W. & Ronald E. Smith. 2008. ‘Language and Thinking’ dalam Pshychology: The Science of Mind and Behaviour. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. p.291—327. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika. Yogyakarta: Jalasutra. Qomariyah, U’um. 2007. “Citra dan Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah karya Fahri Asiza: Telaah Fokalisasi Mieke Bal”. Tesis. Program Pascasarjana UGM. Rahayu, Yayuk Eny. 2002. “Identitas Wacana Kampanye Politik”. Tesis. Program Pascasarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Prodi Linguistik UGM. _______. tt. “Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Spanduk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah DI Yogyakarta”. Diunduh dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Yayuk%20Eni%20Rahayu,%20M.Hum./naska h%20publikasi%20penelitian%20spanduk%20kampanya%20pdf.pdf. Pada 25 Agustus 2013. Santoso, Anang. 2008. “Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis” dalam Jurnal Bahasa dan Seni, tahun 36, nomor I. Diunduh dari http://sastra.um.ac.id/wp-
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
103
content/uploads/2009/10/Jejak-Halliday-dalam-Linguistik-Kritis-dan-Analisis-Wacana-KritisAnang-Santoso.pdf. Pada 17 Mei 2010 pukul 21.00 WIB. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. (terj) Approches to Discourse. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (bab II, IX—XII). Sirulhaq, Ahmad. 2008. “Ideologi Gender Bahasa Berita Samarinda Pos dalam Merepresentasikan Perempuan: (Studi Analisis Wacana Kritis)”. Tesis. Program Studi Linguistik Jurusan IlmuIlmu Humaniora Sekolah Pascasarjana FIB UGM. Stokes, Jane. 2003. How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksananakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. (terj.) How To Do Media and Cultural Studies. Yogyakarta: Bentang. Subagyo, Paulus Ari. 2008. “Tiga Pendekatan dalam Analisis Wacana” dalam Prosiding Seminar 80 tahun Prof. Ramlan. Yogyakarta: Sastra Indonesia, FIB, UGM. (tidak diterbitkan) Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. ----------------, tt. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tampubolon, P. Daulat. 1999. “Gejala-gejala Kematian Bahasa: Suatu Observasi Ragam Politik Orde Baru” dalam PELLBA Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. Yogyakarta: Kanisius. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. 1991. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Webster’s New Twentieth Century Dictionary. 1983. Second Edition. USA: The Word Publising Company. Widyaningtyas, Monica. 2012. “Iklan Politik Calon Legislator DI Yogyakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM. Winardi. 1992. Promosi dan Reklame. Edisi kedua. Bandung: Mandar Maju. Yanti, Yusrita. Tt. “Cerminan Basic Emotions dalam Slogan Pemilu”. Diunduh dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/080-Yusrita-Yanti-Univ.-Bung-Hatta-BasicEmotions-as-Reflected-in-Political-Slogans.pdf. pada 25 Agustus 2013 Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas: Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Dukacita. Yogyakarta: Tim UII Press. Zoetmoelder, P.J. dan S.O. Robson. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 2 P—Y. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zein, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS. SUMBER AUDIO-VISUAL “Gengsi Berebut Kursi” dalam Mata Najwa 15 Januari 2014. Diunduh http://www.youtube.com/watch?v=QGSs72JEfoA pada 20 Oktober 2014. “Pilihlah Aku” dalam Mata Najwa 19 Februari 2014. Diunduh http://www.youtube.com/watch?v=UZRKTF5AfMk pada 20 Oktober 2014.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
dari dari
104
20 MAPPING AND DEFINING HATE SPEECH IN INSTAGRAM’S COMMENTS: A STUDY OF LANGUAGE USE IN SOCIAL MEDIA Ika Nurfarida Laudetta Dianne Fitri Abstract: Hate speech is a contemporary phenomenon that spreading as the impact of social media development. Instagram, as one of social media platform for self expressing through photos and short videos, attracts its users to give harsh or negative comment to other people. The aim of this paper is to classify hate speech in Bella Sofie’s Instagram account to defining kind of utterance that considered as hate speech to get better understanding of hate speech. Bella Sofie’s Instagram account is chosen since most of online news portals claim her as the celebrity with most haters in Indonesia. The comments are classified into six categories of hate speech depend on ethnics/race, religion, ability, social status, mental and blasphemies appearance. Based on the comments in 2 pictures and 3 videos of Bella Sofie’s Instagram account, there are 2 speeches in vilify ethnic, no speech in vilify religion, 33 comments for ability, 15 comments humiliate the social status, 42 hate comments her moral actions, and 180 hate comments in her appearance look. These kinds of comments can be considered as violation of human right since it degrading someone’s dignity. The use of hate speech is a contrast to Indonesian cultures that uphold politeness and respect to each other. Moreover, it can lead into law consequences. Therefore, better understanding of harsh comment/hate speech and its category can be set as boundaries to be smart and wise social media users. Keyword: hate speech, instagram, discourse analysis, content analysis
INTRODUCTION Communication is how to people communicate what they want and they feel, because without communication we don’t understand what other people want. According to Griffin(2012), communication is the relational process of creating and interpreting messages that elicit a response. The communication it self, always has meaning is delivered although the messages through direct or indirect and verbal and non verbal communication. Direct communication is how to people communicate face to face to deliver the purpose whereas inderect communication is way of delivere purpose without meet people face to face also the communicant use metaphor languange. Verbal communication is the communication that use languange directly, on the other hand non-verbal communication use symbols, gestures, and any kind of sign to deliver purpose with each communican Language as one of tool to communicate with each other. That is why, language is important in human life because without language we can communicate and understanding the purpose from other people. Based on theory by Sapir-Whorf hypothesis of linguistic relativity, claim that the structure of a language shapes what people think and do; the social construction of reality (Griffin, 2012). So, languange build the people think and do for interact with each other. Language can be delivered in oral or written way. One of the written communication is letter and the oral communication is face to face communication. But, the commonts in social media can be categorized in to oral communication. Nowadays, the social media as communication tool with each other. One of the famous and have many user is Instagram. Instagram one of growing social media in the world because from it we can shares any photos or videos. By the user of Instagram or known as Instagramers the photos or picture can be given comments by other user. Depend on the Yuheng Hu et. al (2014), it provides users an instantaneous way to capture and share their life moments with friends through a series of (filter manipulated) photos and videos. The comments that given by other user of Instagram can be categorized into oral verbal communication because the language use indirectly. One of the problem of living nowadays society is that people will not clearly understand about the limitation of giving personal opinion towards other people. The way of communication is changing from
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
105
times to times. Latest generation creates new trend of indirect communication using their gadgets. People get used to one way communication which means they only want the chance to say something without expecting any response to whom they talked to. It can make rudeness of speech in social media eventhough people do that because they want to give good advice. When the technological development has been growing rapidly in decades. The development also results in further usage of internet in daily life. The internet has a huge impact of developing way of communication among people. It has certain ability to erode barriers between nations while in other hand has given personal space for expression. The chance of expressing personal expression is provided in social media. There are many social media that can be used such as Facebook, Twitter, Instagram, Path, My Space, Friendster, etc. These platforms have various features that can fulfil the user’s need in attempt to expressing themselves. However, the users of social media have certain obligation not only to obey the national law, but also to the rules of the platform where they choose to express themselves. The comments that have in rudeness comment can give good aim for few people, not the others because it can be included into hate speech and categorize as an bullying communation. Related to this context, it is important to know the certain law and policy of some social media regarding to the use of hate speech or any kind of speech that inappropriate.Youtube’sCommunity Guidelines have reference to hate speech is“We encourage free speech and defend everyone’s right to express unpopular points of view. But we do not permit hate speech: speech which attacks or demeans a group based on race or ethnic origin, religion, disability gender, age, veteran status, or sexual orientation/gender identity.” On the other hand Facebook’s terms about hate speech is similar, “Facebook do not permit hate speech, but distinguishes between serious and humorous speech. While we encourage you to challenge ideas, institutions, events, and practices, we do not permit individuals or groups to attack others based on race, ethnicity, national origin, religion, sex, gender, sexual orientation, disability, or medical condition”. Regardless of how large the scope of freedom expression is, the clear limitation and restriction are needed in some particular matters. The freedom of expression is not that free. Using of hate speech in social media nowadays is assumed as a common thing. It is a contrast to Indonesian cultures that uphold politeness and respect to each other. Moreover, the using of hate speech is degrading someone’s or some groups’ dignity. This action is seen as a violation of the human right. Besides, it needed to be used properly so that it would not violate other right. The right to freedom of expression can thus be limited by the right to freedom of thought, conscience or religion (Weber, 2013). The writers are interested to analyzed the topic of hate speech in social media such as Instagram. This social media contain photos and videos from people’s activities that have comments from other user of Instagram. The writers choose Instagram from Bella Sofie who is one of public figure in Indonesia. She has haters that always attack her with rude comments. METHODOLOGY In this research, the writers classified and analyzed the comments of the Instagram use in Bella Sofie’s account into discourse analysis of utterance. The writers use qualitative approach to analyzed the data in which the data taken from of sentences. According to Ary.et al (Franendya, 2014) qualitative inquiry deals with data that are in the form of word rather than numbers and statistic. The data were taken from the Instagram account of Bella Sofie, one of celebrity in Indonesia. The writers taken the comments from 2 photos and 3 videos that contain more than 400 comments. In spite of the contribution from this research to give insightful knowledge of hate speech, there are some limitations. First, the findings in this research cannot generalize the hate speech uttered by the haters in social media due to the limitation of the data that only focused on hate speech in one platform, Instagram. Moreover, the data analysed here is conducted from single post only. Therefore, further studies about hate speech with more sources of data and taken from other platforms of social media (e.g. Facebook, Twitter, etc) are suggested.The writers analyzed the comments into six (6) categories, these are race/ethnic, religion, ability, social status, moral, and appearance look. The writers classified depend on the comments who are given by the instagram’s user.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
106
DISCUSSION Instagram is a social media aplication who contain photos and videos from the user. instagram provides the users an instantaneous way to capture and share their life moments with friends through a series of (filter manipulated) photos and videos (Yuheng Hu, 2014). The function of this aplication are showing activities, advertising, working bussines, and creating images. Nowadays people use Intagrams for communicate each other with known of their activities or where the other people now. In instagram’s photos or videos we can give comments and like to show our expression about these. Most of public figures use an Intagram for communicate with the other people, such as the artist, politicians, until, the presidents. People who has an Instagram account want to communicate with other people in different way. They use their photos or videos to delivered their activities and tell other people their condition. Actually the social media is forming an identity from the user itself because what is shared show their credentials. Yuheng Hu et al(2014), describes how to use these Instagram account is the user using their smartphones, apply different manipulation tools – 16 filters – in order to transform the appearance of an image, and share them instantly on multiple platforms (e.g., Twitter) in addition to the user’s Instagram page. It also allows users to add captions, hashtags using the # symbol to describe the pictures and videos, and tag or mention other users by using the @ symbol (which effectively creates a link from their posts to the referenced user’s account) before posting them. The technological development has been growing rapidly in decades. The development also results in further usage of internet in daily life. The internet has a huge impact of developing way of communication among people.The online space allows people to expressing themselves while getting responses to their expression. It is a good way for democracy but on the other side can trigger unhealthy communication since it gives chance to post bad viewpoints or hateful comments. The utter of hateful comments can be frankly giving their opinion with showing real or fake identity.The problem is most of the haters are anonymous or have fake identities.(T)he internet facilitates anonymous and pseudonymous discourse, which can just as easily accelerate destructive behaviour as it can fuel public discourse(Norton, 2011). The chance of spreading hate speech are big because of the anonymity. It can be easily understood that people in the internet feel free to give their comments without afraid of dealing with consequenses as when they utter the hate speech in real life. Moreover, the using of hate speech is degrading someone’s or some groups’ dignity.Richard Delgado and Jean Stefancic explain that “Hate speech is not merely unpleasant or offensive. It may leave physical impacts on those it visits....The immediate, short-term harms of hate speech include rapid breathing, headaches,raised blood pressure, dizziness, rapid pulse rate, drug-taking, risk-takingbehavior, and even suicide (Richard and Stefancic, 2011)”. Furthermore, Indonesia has certain law about hate speech. Hate speech is considered as unpleasant action towards other people. The victim of hate speech can sue the utter of hate speech with accusationasdefamation. It is important to have better understanding about the theory that will be used to analyze the hate speech in social media. This study is aimed to get hate speech classification based on discourse analysis which divided by content analysis technique.Human culture is the consequence and proof of the increasing dominance of human on the nature and its potential to internally change it in line with its own use. This is a sort of human information through the social labour which constitutes the basis of each new step of the human in the productive and historical life. This information transforms into material in production, materialism in social organization, improves with the enhancement of technique as well as the practise and is primarily hidden in and transmitted by language(Hall 1990:2014 cited in Koncavar, 2013). Based on Hall’s statement, discourse can be considered as cultural content that displayed in form of written and verbal which also providing several informations. Further, discourse is not only a structured language in the form of sentence but more than phrases.The relation between language and power is explained in discourse, since discourse is used and affecting us in daily lives. By controlling discourse it means we have power in controlling other people point of view and actions.It is explained by Teun Van Dijk that Controlling the information, ideology and attitude is a guaranteed way for controlling the people’s minds rather than their actions (Dijk, 2006).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
107
The classification of hate speech is based on discourse analysis that divide the types of hate speech. In the attempt of conducting any utterence of hate speech, all the comments are classified by its content and composition. The grouping of the hate utterences based on the content can be explained by Gagliardone, et all:These approaches examine potential hate messages within their social and political context to understand the meanings, motivations, and ideologies behind the messages, and to unpick the components of a message and its delivery. They do not aim to track trends in frequency or location, but to understand how hate messages are constructed and how they influence recipients. They are often labourintensive, and are typically used on relatively small sets of data (comprising perhaps a few hundred messages) rather than for large-scale monitoring (Iginio. Gagliardone, 2014). From the explanation before, it is needed to see the content of each comments to determine whether those comments can be considered as hate speeches. The content is seen by the words constructed in that comments. It means there are some keywords used repeatedly to built hate speeches. According to Binark (Koncavar, 2013), the cause of hate speech including to hate crime which consist of the crimes committed against the people or property, in which the victim, property or the target of crime committed is selected due to the actual or perceived relation, loyalty, sense of belonging, support or membership to a group that has similar characteristics in terms of the actual or felt race, nationality or ethnical origin, language, colour, sex, age, mental or physical disability, sexual orientation or other factors. From the theories above, the writers classifed the comments from Bella Sofie’s Instagram into six categories these are race/ethnics, religion, ability, social status, moral, and appearance look. Why the writers choose six categories to classified, because these categories represents the cultural background of Indonesia. Moreover, the data most of contain about these categories. The race or ethnics category consist of speech that humiliate and offend the race or ethnics. The writers find two comments that related into area or ethnic and in this comment mentioning Medan which one of area in Indonesia. The comments which include into racial comments in these data are: 1. bikin malu anak medan aja! 2. suara yg kluar nadanya redah, tapi jerit2 kejet2 guling2 sampe kaki juga diangkat2, kirain mau ngeluarin suara 100 oktaf. yg ginian ga usah diupload lah. bikin malu anak medan aja! The next category about religion because these comments connect the attitude of this public figure with her religion. Massaro describe the religion is wrong – over others – that members of these groups are bad, inferior, or otherwise deserving of contempt (Massaro, 1991) but in Indonesia there is not one of religion being the inferior one. So, in this data the writers do not find the religion blasphemy. As the public figure, she is free to share her activities include her vocal training activities. The video about her vocal training is not give good comments from other Instagram user, because they think her vocal is bad. The writers find the utterance that mock her ability in singing. Depend on the data the writers categorized the utterance into mocking ability. The examples of this utterance are: 1. Paarraaahhh,,, knp bs jd penyanyi.org jg lgsng pd ganti channel psti klo die nyanyi di tipik 2. Hah Kamu itu nggak tahu nyanyi nggak usah nyanyi ngeles itu bau amis bau jengkol 3. jdi artis maksa, nyanyi maksa, umur maksa muda. tolong media televisi indonesia stoplah menyiarkan siaran yg tak ada gunanya The writers find the comments that humiliate the social status. These comments discuss and compare her social status. There are bad comments in all her post include in these data. From five data there are bad comments that is mocking her. The example are: 1. Gua liat semua baju yang di pake si perempuan ini kelihatan banget murahannya, KATROK. Sumpahhhhh 2. Katanya horanggg kayahhh, koq bros nya itu melulu sih bel, ganti dongggg 3. Biar dibilang kyk kartika putri gtdeh.. Urus anak sodara gt hihh The next category is moralism because as the public figure can give good influence and free from any kind of bad news about attitude. However, there is other way to be famous that is create a sensation
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
108
but according to Massaro (1991), very few people, including intellectuals, truly believe that all ideas are of equal social value. The writers find the data that is categorized into moralism, such as utterance above: 1. Kecantikannya palsu sama ama kehidupannya yg penuh kepalsuan dan kepura2an... 2. Aurat aurat...udh pergi ke umrah tobat bukan nambah ngubar aurat. 3. Artis munafik ntr pake hijab ntr ga hadeuuuh ama hijab aja ga konsisten gimna ama kehidupannya The last category is appearance look because most of people measure the public figure from her appearance. The Instagramers most commented about her appearance although in photos or videos. These are the utterance that is commented about her appearance: 1. Kayak manequin jadinya.. make-upnya natural donk 2. Lipstik merah,baju pink,mata tajem gitu,rambut pirang hahahaha norak lu 3. Bel kamu sehat.kok suaranya rusak 8 oktaf The finding of this research is there are six big classification of hate speech in instagram’s comments, these are ethnics, religion, disability, social status, and blasphemies appearance. The comments that include into hate speech there are 2 speechs in vilify ethnich, no speech in vilify religion, 33 comments for ability, 15 comments humiliate the social status, 42 hate comments her moral actions, and 180 hate comments in her appearance look. The other comments are included into free speech. CONCLUSION There are some differences between language used in real life and online platforms. It is triggered by the opportunity to say harsh things without afraid of identity revealed. The appropriate language use in social media needs to be understood to avoid hate speech. The study provides some examples of the way Indonesian Instagram’s users responding to other people’s expression in that platform and in this way potentially contribute to devising better language in social media and reminding to Indonesia’s culture which uphold politeness toward the others depend on the result of this research. REFERENCES Dijk, T. A. (2006). Discourse and Manipulation. Discourse and Society, 359-383. Franendya, R. A. (2014). Phonological and Lexical Exploration on Dialect Differences Between Kemiren and Tampo Osing. Malang: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Griffin, E. (2012). A First Look At Communication Theory: eight edition. New York: McGraw-Hill. Iginio. Gagliardone, A. P. (2014). Mapping and Analysing Hate Speech Online: Opportunities and Chalenge for Ethiopia. Oxford: University of Oxford. Koncavar, A. (2013). Hate Speech in New Media. Academic Journal of Interdiciplinary Studies, 675-681. Massaro, T. M. (1991). Equality and Freedom of Expression: The Hate Speech Dilemma. William & Mary Law Review, 211-267. Norton, K. C. (2011). Intermediaries and Hate Speech: Fostering digital citizenship for our Information Age. Boston University Law Review, 1435-1484. Stefancic, R. D. (2011). Intoduction. In K. W. Saunders, Degradation: What the History of Obscenity Tell Us about Hate Speech (p. 2). New York: New York University Press. Weber, A. (2013). Hate Speech in New Media. In A. Koncavar, Academic Journal of The Interdisciplinary Studies (pp. 675-681). Rome: MCSER Publishing. Yuheng Hu, L. M. (2014). What We Instagram A First Analysis of Instagram Photo Content and User Types. ICWSM.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
109
21 BAHASA JERMAN SEBAGAI BAHASA PLURISENTRIS Iwa Sobara
Universitas Negeri Malang
Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bahasa Plurisentris di dunia terutama bahasa Jerman. Bahasa plurisentris adalah bahasa yang dapat dijumpai di dua negara atau lebih. Status bahasa di negara-negara tersebut menduduki posisi penting sebagai bahasa resmi pemerintahan. Konsep bahasa plurisentris untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Kloss pada tahun 1952. Ia menjelaskan tentang bahasa Jerman yang tidak hanya digunakan di negara Jerman, melainkan juga muncul di beberapa negara lainnya. Fakta ini tentunya didukung oleh teori-teori linguistik. Bahasa Jerman dikatakan sebagai bahasa plurisentris karena digunakan di empat negara, yaitu di Jerman, Liechtenstein, Austria, dan Swiss. Di samping itu, bahasa Jerman juga digunakan di Belgia dan di Südtirol Italia. Pengguna bahasa Jerman terbanyak terdapat di tiga negara, yaitu Jerman, Austria, dan Swiss. Di tiga negara ini banyak ditemukan berbagai varian kata yang mengacu pada suatu kata yang sama. Sebagai contoh adalah kata “walikota”, kata tersebut di Jerman dikenal dengan Oberbürgermeister. Namun, di Austria digunakan kata Bürgermeister dan di Swiss disebut dengan Stadtamman atau Stadtpräsident. Kata-kata Kunci: Bahasa Plurisentris, Jerman, Asutria, Swiss, Varian Bahasa
PENDAHULUAN Bahasa Jerman merupakan bahasa ibu dari sekitar 102 juta jiwa. Di Uni Eropa bahasa Jerman menempati urutan pertama sebagai bahasa ibu yang banyak digunakan oleh penduduk Uni Eropa dengan jumlah 90 juta orang. Angka tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengguna bahasa Perancis sekitar 62 juta jiwa dan bahasa Inggris sekitar 58 juta jiwa. Namun, jika ditambahkan dengan pembicara bahasa kedua (L2), total penduduk Uni Eropa yang berbicara bahasa Inggris berada pada urutan pertama dengan total 51%, kemudian diikuti oleh bahasa Jerman sekitar 32% dan bahasa Perancis 26% (Huneke & Steinig, 2010:53). Bahasa Jerman merupakan bahasa yang digunakan di negara Jerman, Austria, dan Swiss (selain bahasa Perancis, Italia, dan Retoromania). Selain itu, bahasa Jerman juga memiliki status sebagai bahasa resmi yang juga digunakan di Keharyapatihan Liechtenstein dengan sekitar 22.000 jiwa penduduk. Begitu juga halnya di negara Luxemburg. Di negara tersebut, bahasa Jerman memiliki status bahasa resmi selain bahasa Perancis dan bahasa Letzeburg dengan sekitar 372.000 jiwa penggunanya. Selain di beberapa negara yang telah disebutkan di atas, bahasa Jerman juga memiliki status sebagai bahasa resmi regional di Südtirol (Italia) dengan 280.000 jiwa pengguna serta di bagian selatan Belgia dengan 66.000 jiwa pengguna. Tidak hanya itu, bahasa Jerman juga digunakan di daerah ElsassLothringen yang terletak di bagian selatan Perancis sebagai bahasa dengan status istimewa. Jumlah pengguna bahasa Jerman di Elsass-Lothringen sekitar 1,5 juta jiwa. Begitu juga halnya di Nordschleswig, yaitu daerah yang berada di bagian selatan negara Denmark. Bahasa Jerman berstatus istimewa bagi sekitar 30.000 jiwa pengguna bahasa tersebut di daerah itu. Di luar kawasan Uni Eropa, bahasa Jerman juga digunakan oleh sekitar 1,61 juta jiwa di Amerika Serikat, 1,104 juta jiwa di negara-negara pecahan Uni Sovyet, 1,5 juta di Brasil, 0,439 juta di Kanada, 0,3 juta jiwa di Argentina, 0,22 juta jiwa di Hungaria, 0,22 juta jiwa di Rumania, 0,125 juta jiwa di Paraguay, 0,109 juta jiwa di Australia, dan di berbagai negara lain di seluruh dunia sebagai bahasa minoritas.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
110
PEMBAHASAN Bahasa Jerman sebagai Bahasa Asing Bahasa Jerman sebagai bahasa asing juga banyak dipelajari di seluruh dunia. Belakangan ini bahasa Jerman sejajar dengan bahasa Spanyol berada di urutan ketiga sebagai bahasa asing yang banyak dipelajari di dunia (Dominczak, 1992). Pada tahun 2002, pembelajar bahasa Jerman di seluruh dunia mencapai 20 juta jiwa. Pada tahun 1989 jumlah pembelajar bahasa Jerman di beberapa negara seperti Hungaria, Republik Ceko, dan Slowakia lebih banyak dibandingkan pembelajar bahasa Inggris (Fӧldes, 1994). Meski terjadinya pengurangan dalam kurun waktu belakangan ini, namun bahasa Jerman tetap dipelajari di negara-negara Eropa Tengah dan Timur. Negara Rusia merupakan negara yang berada di baris pertama dengan jumlah 3,2 juta jiwa yang mempelajari bahasa Jerman. Kemudian diikuti oleh Polandia (2,2 juta), Perancis (1,2 juta), Ukraina (0,8 juta), Usbekistan (0,7 juta), dan Hungaria (0,6 juta) pembelajar bahsa Jerman sebagai bahasa asing. Di seluruh benua Eropa bahasa Jerman diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, di luar Eropa bahasa Jerman sebagai bahasa asing diajarkan hanya di separuh dari total negara yang ada di dunia. Bahasa Jerman seperti halnya bahasa Spanyol di sekolah-sekolah Eropa merupakan bahasa asing kedua yang diajarkan setelah bahasa Inggris. Negara Jerman merupakan negara yang tidak memiliki sejarah panjang kolonial atau penjajahan di negara lain jika dibandingkan dengan negara-negara koloni lain seperti Inggris, Perancis, Spanyol, dan Portugal. Maka tidaklah mengherankan jika di kawasan luar Eropa tidak di satu negara pun yang menjadikan bahasa Jerman sebagai bahasa pemerintahan negaranya. Pada konferensi-konferensi internasional dan organisasi dunia bahasa Jerman juga jarang digunakan sebagai bahasa sebagai bahasa resmi. Begitu juga halnya di Uni Eropa, bahasa Jerman memiliki status yang lebih rendah dibandingkan bahasa Inggris dan bahasa Perancis meskipun dibandingkan kedua bahasa tersebut jumlah pembicara bahasa Jerman adalah yang terbanyak di Uni Eropa. Variasi Bahasa Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa (Chaer, 2007:55). Chaer juga menyebutkan ada tiga istilah yang berhubungan dengan variasi bahasa. Ketiga istilah tersebut adalah idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek diartikan sebagai variasi atau ragam bahasa yang bersifat pribadi atau mengacu pada ciri khas bahasa perorangan. Berikutnya adalah dialek. Menurut Chaer, dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat pada suatu tempat atau waktu tertentu. Terakhir adalah ragam atau ragam bahasa. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk kebutuhan terntentu. Chaer menjelaskan, bahwa untuk situasi formal tertentu maka ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa baku atau formal. Namun, untuk situasi tidak resmi maka ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa tidak baku atau nonstandar. Variasi Bahasa Jerman Variasi bahasa Jerman dapat ditemukan dalam bahasa lisan yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Variasi atau ragam bahasa ini berhubungan dengan asal geografis seseorang, status sosial, usia, jenis kelamin, situasi sosial, dan esensi dari pembicaraan. Secara geografis, kawasan pengguna bahasa Jerman dapat dibagi menjadi beberapa kawasan dengan dialek tertentu. Dialek bahasa Jerman baik di negara Jerman sendiri atau di Austria, Swiss berbahasa Jerman, dan daerah-daerah yang berbatasan dengan Jerman seperti negara Luxemburg, Südtirol (Italia), dan Elsass (Perancis) sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Di negara Jerman, dialek-dialek tersebut dibedakan berdasarkan kawasannya menjadi: 1) Daerah bagian utara dan barat tengah Jerman. Di area ini selain bahasa Jerman standar juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bahasa pergaulan bahasa regional atau dialek. Contohnya: di daerah Bayern dan Baden-Württemberg (selatan), serta Rheinland-Pfalz dan Saarland (barat), 2) Daerah bagian timur Jerman, seperti di Rheinland dan Hessen bagian utara, 3) Daerah bagian utara Jerman, seperti di Schlesswig Holstein.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
111
Situasi serupa juga dapat dijumpai di negara Austria. Dialek yang berkembang di sana hampir mirip dengan dialek yang digunakan oleh masyarakat yang berada di daerah Bayern, bagian selatan Jerman. Sementara itu, di Swiss dialek digunakan di dalam semua situasi. Bagi orang Swiss, bahasa Jerman standar yang digunakan oleh orang Jerman adalah bahasa asing. Dalam dialek Jerman Swiss baik kosakata, struktur, ataupun pengucapan sangat jauh berbeda dengan bahasa Jerman standar. Namun demikian, bahasa Jerman standar dipelajari oleh orang Swiss di sekolah serta digunakan di media massa, di kantor-kantor pemerintahan, dan ruang publik lainnya. Berikut ini merupakan contoh beberapa kata dalam bahasa Jerman dengan berbagai varian yang dapat dijumpai di negara Jerman, Austria, dan Swiss. No 1.
Kata dalam bahasa Jerman Standar Bundestag
Austria
Swiss
Nationalrat
Nationalrat
2.
Ministerpräsident
Landeshauptmann
Landammann, Regierungspräsid ent
(Ministerpräsident hanya digunakan untuk kepala pemerintahan untuk urusan luar negeri)
Terjemahan Kata Dewan Perwakilan Rakyat Kepala Pemerintahan Sebuah Negara Bagian
3.
Oberbürgermeister
Bürgermeister
4.
Geldautomat
Bankomat
5.
Kneipe
Beisl, Gasthaus, Wirtshaus
(Ministerpräsiden t hanya digunakan untuk kepala pemerintahan untuk urusan luar negeri) Stadtammann, Stadtpräsident Bancomat, Postomat Beiz
6.
Schreibwarengeschäft
Papierhandlung
Papeterie
Toko Alat Tulis
7.
Abmahnung
Mahnung
Surat Peringatan
8.
Abitur
Unterlassungsaufforderun g Matura
Matur
9.
Federmappe
(Schul-)Etui
10.
Grundschule
Federpennal, Federschachtel Volksschule
Ujian Akhir Sekolah Setingkat SMA Kotak Pensil
Primarschule
Sekolah Dasar (SD)
11.
Hörnchen
Kipferl
Gipfel(i)
Croissant
12.
Brühe
(klare) Suppe
Bouillon
Kaldu
13.
Abendbrot
Nachtmahl
Nachtessen
Makan Malam
Walikota ATM Bar
Masyarakat Bahasa Chaer (2007:59) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Jika ada sekelompok orang yang merasa sama-sama menggunakan bahasa Inggris, maka mereka bisa disebut dengan masyarakat bahasa Inggris. Begitu juga halnya dengan masyarakat bahasa Jerman. Mereka dapat dikatakan demikian jika sekelompok masyarakat tersebut merasa sama-sama menggunakan bahasa Jerman. Chaer menitikberatkan pengertian bahasa pada “merasa menggunakan bahasa yang sama”. Dengan demikian, konsep masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan menjadi sempit. Masyarakat bahasa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
112
dapat melewati batas propinsi, batas negara, bahkan juga batas benua (Chaer, 2007:60). Secara sempit Chaer mencontohkan masyarakat bahasa Baduy dan bahasa Osing di Banyuwangi, Jawa Timur. Namun, masyarakat lebih luas seperti contohnya masyarakat bahasa Perancis dan masyarakat bahasa Inggris. Oleh karena itu, patokan linguistik umum mengenai bahasa menjadi longgar. Ditinjau dari sisi linguistik, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia adalah bahasa yang sama. Oleh karena itu, orang Malaysia dapat mengerti bahasa Indonesia dan juga sebaliknya. Hal ini karena banyaknya persamaan pada kedua bahasa tersebut. Namun, orang Indonesia tidak merasa berbahasa Malaysia dan orang Malaysia juga sebaliknya tidak merasa menggunakan bahasa Indonesia. Chaer menyebut untuk kasus ini dengan sebutan dua masyarakat bahasa, yaitu masyarakat bahasa Indonesia dan masyarakat bahasa Malaysia. Contoh lain yang dikemukakan oleh Chaer adalah bahasa Denmark, bahasa Swedia, dan bahasa Norwegia. Secara linguistik tiga bahasa tersebut juga merupakan satu bahasa. Alasannya adalah penduduk tiga negara tersebut dapat berkomunikasi satu sama lain tanpa menemui hambatan pada saat menggunakan satu bahasa. Namun, mereka merasa memiliki bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Denmark, bahasa Swedia, dan bahasa Norwegia. Oleh karena itu, di sana ada tiga masyarakat bahasa (Chaer, 2007:60). Bahasa Plurisentris Bahasa plurisentris dapat berarti juga sebagai sebuah bahasa peralihan antara sebuah "bahasa" dan "dialek". Ciri utamanya adalah bahasa ini digunakan di dua atau lebih negara. Di negara-negara pengguna bahasa tersebut, bahasa ini memiliki status tertentu misalnya sebagai bahasa resmi atau bahasa pemerintahan. Konsep bahasa plurisentris dapat dilihat dari peneilitian yang dilakukan pada tahun 1952 oleh Heinz Kloss yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Die Entwicklung neuerer germanischer Kultursprachen seit 1800. Hasil peneilitiannya menunjukkan bahwa bahasa Jerman digunakan tidak hanya di negara Jerman saja, melainkan di beberapa negara lain seperti Austria dan Swiss. Fakta tersebut tentu saja didukung oleh teori linguistik. Kloss menyebut istilah "polisentris" untuk bahasa yang digunakan di dua negara dan "plurisentris" untuk bahasa yang digunakan di lebih dari dua negara. Bahasa Jerman sebagai Bahasa Plurisentris Bahasa Jerman di negara Austria memiliki status sebagai bahasa resmi. Mayoritas penduduk Austria menggunakan bahasa Jerman. Begitu pula halnya di negara Swiss. Bahasa Jerman di negara tersebut merupakan salah satu bahasa resmi selain bahasa Perancis dan bahasa Italia yang digunakan sebagai bahasa di pemerintahan. Namun, pengguna bahasa Jerman di negara Swiss merupakan yang terbesar. Di kedua negara tersebut, bahasa Jerman secara resmi digunakan di kantor-kantor pemerintahan, lembaga-lembaga formal, sekolah, dan media. Penggunaan bahasa dalam konteks kondisi politik, sosial, dan ekonomi di masing-masing negara tersebut seiring berjalannya waktu akan berpengaruh juga terhadap bahasa. Sebuah konstruksi bahasa satu dengan yang lainnya tentu saja berbeda jika struktur linguistik keduanya baik pengucapan (Aussprache), kosakata (Wortschatz), tata bahasa (Grammatik), dan sistem kebahasaan lain yang dimilikinya tidak dapat dipahami oleh bukan penutur bahasa tersebut tanpa mempelajarinya. Kriteria ini disebut Kloss (1978) sebagai "linguistischer Abstand" (jarak linguistik). Semakin besar jarak (perbedaan linguistik) terhadap masyarakat bahasa lain, maka dapat diasumsikan bahwa bahasa tersebut adalah bahasa independen. Namun, kriteria jarak linguistik saja tidak cukup untuk mendefinisikan suatu bahasa. Dialek dalam bahasa Jerman antara satu dengan yang lainnya berbeda, sehingga dari sudut pandang linguistik hal ini dapat diklasifikasikan sebagai "bahasa". Sebaliknya, ada beberapa bahasa yang secara linguistik telah menjadi bahasa yang berdiri sendiri namun ditemukan kemiripan dengan bahasa lainnya, contohnya adalah bahasa yang digunakan di Denmark, Norwegia dan Swedia. Selain itu, kemiripan juga dapat ditemukan pada bahasa Ceko dan Slowakia. Hal serupa juga dapat ditemukan di kawasan Balkan pada bahasa-bahasa penerus SerboKroasia. Kloss (1978:25) menyebut semua itu sebagai "bahasa" dengan alasan adanya "soziologische
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
113
Verselbständigung" (kemerdekaan sosiologis). Artinya, bahwa bahasa tersebut secara simbolis telah menjadi representasi masyarakat pengguna bahasa tersebut atau bahkan menjadi bahasa sebuah negara. Semua bahasa di dunia dengan pengguna terbesar menurut Clyne (1992) dapat dikatakan bahasa plurisentris. Bahasa-bahasa tersebut seperti bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Hindi-Urdu, Melayu, Spanyol, dan Portugis. Bahasa plurisentris lainnya adalah bahasa Armenia, Belanda, dan Korea. Selain itu, perkembangan politik yang membawa munculnya negara-negara baru juga dapat menjadikan bahasa tersebut dikategorikan sebagai bahasa plurisentris. Hal ini terjadi, jika negara-negara yang merdeka tersebut masih menggunakan bahasa yang sama dari sebelumnya. Seperti contohnya adalah bahasa Rusia dan Albania yang dapat dikategorikan sebagai calon bahasa plurisentris dengan alasan politis tersebut. Seperti halnya bahasa-bahasa yang telah disebutkan di atas, bahasa Jerman tidak diragukan lagi termasuk juga ke dalam bahasa plurisentris. Bahasa Jerman digunakan di empat negara berbeda, yaitu di Jerman, Liechtenstein, Austria dan Swiss. Namun, karena negara Liechtenstein secara demografis sebagai sebuah negara terhitung sangat kecil, maka negara tersebut tidak termasuk sebagai sentra dari bahasa Jerman sebagai bahasa plurisentris seperti halnya tiga negara lainnya Jerman, Austria, dan Swiss. Selain itu, bahasa Jerman juga digunakan di Süd-Tirol (Italia) dan Belgia. SIMPULAN Berbeda dengan Inggris, bahasa Jerman dipandang sebagai salah satu contoh bahasa plurisentris. Alasannya adalah kata-kata yang terdapat di bahasa Jerman standar merupakan dominasi dari bahasa yang berlaku di negara Jerman. Hal ini salah satunya disebabkan oleh pengguna terbesar bahasa Jerman berada di negara Jerman. Namun, varian dalam bahasa Jerman juga sering kali tidak dapat dibedakan. Selain itu, berbagai varian lain di Austria dan Swiss sering keliru ditafsirkan sebagai variasi regional. Meski bahasa Jerman di Austria, Swiss, dan Jerman sebagai satu bahasa yang sama, namun fenomena penggunaannya di ranah publik tidak demikian. Penggunaan bahasa Jerman standar atau dalam kata lain sering disebut Hochdeutsch yang dapat dijumpai di media-media massa, di sekolah-sekolah, dan di bidang politik di negara-negara pengguna bahasa Jerman sering mengalami perbedaan. Perbedaanperbedaan tersebut terlihat pada bidang fonologi, kosakata, struktur kalimat, dan juga penulisan. REFERENSI Biro Statistik Jerman. (2009). Bevӧlkerung und Erwerbstätigkeit, Bevӧlkerung mit Migrationshintergrund, Ergebnisse des Mikrozensus 2006. Wiesbaden. Chaer, Abdul. (2007). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Clyne, Michael (ed.) (1992): Pluricentric Languages. Different Norms in Different Countries. Berlin/New York: Mouton/de Gruyter. Dominczak, Henryk. (1992). Ist das Deutsche eine Sprache von Weltgeltung? Dalam: Deutsch als Fremdsprache 29-1, Halaman 46-47. Fӧldes, Csaba. (1994). Deutsch als Fremdsprache in Mittel-, Ost- und Südosteuropa. Überlegungen zu Bestandund Bedarf. Dalam: Deutsch als Fremdsprache 31-1, Halaman 3-11. Hopf, Diether. (1987). Herkunft und Schulbesuch ausländischer Kinder. Eine Untersuchung am Beispiel griechischer Schüler. Berlin: Max-Planck-Institut für Bildungsforschung. Huneke, Hans-Werner & Steinig, Wolfgang. (2010). Deutsch als Fremdsprache. Eine Einführung. Berlin: Erich Schmidt Verlag. Kloss, Heinz (1978): Die Entwicklung neuerer germanischer Kultursprachen seit 1800. 2. erw. Aufl. Düsseldorf: Schwann (= Schriften des IDS Mannheim, Bd. 37).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
114
22 BAHASA DAN KEKUASAAN (Perspektif Analisis Wacana Kritis) Mujianto
Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Malang Abstrak: Dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang ada seseorang yang sengaja menggunakan kata atau ungkapan tertentu untuk mengajak, mempengaruhi, bahkan meyakinkan orang lain. Sebaliknya, orang lain, sebagai lawan tutur menerima, ‘mengamini’, bahkan melakukan segala sesuatu sebagai implikatur dari ungkapan atau kata-kata yang disampaikan oleh penutur tanpa reserve. Dalam hypnotainment, penghipnotis menggunakan kata-kata atau ungkapan tertentu untuk menghipnotis kliennya, sehingga kliennya mengikuti dan melakukan segala yang diminta oleh penghipnotis. Dalam konteks pendidikan, kata ujian, seleksi, dan tes merupakan kata yang mengandung implikasi yang sangat serius bagi siswa. Hal ini terbukti banyak upaya yang dilakukan oleh para siswa dalam menghadapi UNAS, baik yang berbentuk akademis, maupun nonakademis. Dalam sistem pemerintahan, kata atau ungkapan tertentu dapat digunakan untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan, tetapi dapat juga untuk menjatuhkan lawan politik. Yang menjadi permasalahan adalah mengapa bahasa dapat mempengaruhi dan ‘mendegradasi’ pikiran orang lain, meneguhkan kekuasaan, tetapi juga dapat menjatuhkan kekuasaan? Tujuan penulisan ini adalah mengeksplanasi alasan adanya kekuatan atau kuasa bahasa dalam mempengaruhi orang, melanggengkan kekuasaan, dan menjatuhkan kekuasaan. Berdasarkan perspektif kritis, praktik interaksi antarposisi (kedudukan) dalam pranata sosial dipandang sebagai praktik dialektika kekuasaan antara pihak dominan (posisi atas) dengan pihak didominasi (posisi lemah). Melalui bahasa seseorang dapat melaksanakan peran sosialnya dengan baik sesuai dengan posisi yang didudukinya. Bahkan melalui bahasa seseorang dapat membangun kekuasaannya. Melalui pemilihan kata atau ungkapan tertentu, kekuasaan dapat ditunjukkan, ditanamkan, dan dilanggengkan. Namun, kesalahan strategi kewacanaan dalam membangun kekuasaan justru berbalik dapat meruntuhkan kekuasaan. Hal ini karena dalam perspektif kritis bahasa, kata atau istilah tertentu memiliki ‘kekuatan atau kuasa bahasa’ untuk mempengaruhi dan memaksa orang lain. Kata kunci: perspektif kritis, kuasa bahasa, kekuasaan
PENDAHULUAN Kata ujian, seleksi, dan tes merupakan kata yang mengandung implikasi yang sangat serius bagi peserta atau pengikut tes untuk mempersiapakan secara maksimal dengan berbagai cara. Bahkan istilah ujian nasional (UNAS), baik untuk tingkat SD, SMP, maupun SMA telah menjadi ‘momok nasional’. Hal ini terbukti banyaknya upaya yang dilakukan oleh para siswa SD s.d SMA, orang tua, dan institusi sekolah dalam menghadapi UNAS. Upaya-upaya tersebut ada yang berbentuk akademis, misalnya mengikuti bimbingan belajar di sekolah maupun di lembaga bimbingan belajar profesional. Selain itu, banyak pula upaya nonakademis yang dilakukan, misalnya melakukan kegiatan ritual keagamaan (puasa, sholat, dan istighotsah) dan kegiatan ritual budaya (membuat sesaji, datang ke makam sesepuh, dan sebagainya). Kondisi tersebut masih akan berlanjut ketika para siswa yang lulus UNAS akan melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi dengan melaui tes atau seleksi. Mereka mempersiapkan diri dengan upaya akademis (mengikuti bimbingan belajar di sekolah dan di lembaga bimbingan belajar profesional), nonakademis (ritual keagamaan dan budaya), bahkan ada beberapa yang melakukan kerja sama dengan ‘orang dalam’ untuk mempermudah lulus dalam seleksi ujian masuk. Fenomena tersebut akan terulang lagi bagi seseorang atau sekelompok orang yang akan mengikuti tahap ‘ujian/seleksi/tes’ pada jenjang apa pun. Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah mengapa kata ujian/seleksi/tes mengimplikasikan perlakuan bagi pesertanya untuk melakukan sesuatu
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
115
dengan berbagai cara, baik rasional maupun irrasional? Hal ini terjadi karena adanya kekuatan atau kuasa bahasa yang terkandung dalam kata ujian/seleksi/tes. Melalui kekuatan atau kuasa bahasa kata ujian dapat mendegradasi pikiran dan mental bagi peserta ujian. Hal ini tidak hanya terjadi pada siswa SD, SMP, dan SMA. Mahasiswa S3 pun ketika mendengara kata ujian akan mengalami hal yang sama. Sebaliknya, ketika seorang dosen mengatakan, “Kelas ini tidak perlu ada ujian akhir, silakan ambil satu makalah yang paling baik di antara tiga makalah yang telah dibuat”, para mahasiswa menyambutnya dengan wajah ekspresif dan berkata “Alhamdulillah”. Dalam era linguistik sekarang ini, bahasa memiliki peran sangat penting bagi masyarakat, khususnya pemanfaatan bahasa sebagai sarana pengembangan ideologi dan kekuasaan (Fairclough, 1989:25). Sebagai contoh, pada era Orde Baru pemerintah selalu mempergunakan predikat atau sebutan tertentu yang cukup ditakuti oleh ‘lawan’ politiknya. Sebutan-sebutan ‘antipembangunan’, ‘antiPancasila’, ‘ekstrim kanan’, ekstrim kiri’, ‘tidak bersih’ begitu intensif digunakan untuk menjatuhkan lawan politik Orde Baru. Pada masa itu, bahasa Indonesia secara khusus digunakan oleh para politisi untuk tujuan-tujuan politis tertentu, seperti menutupi kekurangan, melarikan diri dari tanggung jawab, menangkis atau menghindar dari serangan lawan politik, membungkus kebusukan dengan bahasa kemasan, menjatuhkan mental lawan, meneror atau menakut-nakuti masyarakat, dan sebagainya (Santoso, 2006:57). Contoh lainya, pada era pemerintahan Gus Dur bahasa Indonesia digunakan sebagai sarana untuk merepresetasikan kekuasaan, yang mengarah pada ‘debirokratisasi’ dan ‘egalitariansi’ kekuasaan, yang sangat kontras dengan rezim Orde Baru. Gaya berwacana Gus Dur sangat spontan-konfrontatif, misalnya menantang lawan politiknya secara terbuka, mengeluarkan dekrit untuk membubarkan partai Golkar, meminta para petinggi TNI dan Polri untuk mengundurkan diri, dan membubarkan MPR. Namun, gaya berwacana Gus Dur ini justru menjadi senjata bagi lawan politiknya untuk menjatuhkan Gus Dur. Hasilnya, lawan-lawan politik berhasil menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden melalui proses ‘impechment’ di DPR. Dengan demikian, Gus Dur gagal memanfaatkan bahasa untuk membangun kekuasaan politiknya (Rahardjo, 2004:40). Berdasarkan beberapa contoh di atas dapat dikemukakan bahwa di dalam bahasa, kata atau istilah tertentu terdapat ‘kekuatan atau kuasa bahasa yang mengharuskan pihak lain melakukan sesuatu. Di samping itu, melalui bahasa yang digunakan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang dapat dikalahkan atau dihilangkan. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa bahasa memiliki kekuatan atau kuasa dan mengapa kekuasaan bisa hilang karena bahasa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut diuraikan tentang bahasa dalam perspektif kekuasaan, konsepsi kekuasaan, teori posisi dan peran dalam perspektif kritis, dan hilangnya kekuasaan karena faktor bahasa (kewacanaan). PEMBAHASAN Bahasa dalam Perspektif Kekuasaan Bahasa tidak pernah memiliki satu arti yang definitif. Hal ini disebabkan bahasa bersifat multidimensional, artinya bahasa dapat dipandang dari berbagai sisi. Berdasarkan perspektif komunikasi, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat yang berupa lambang bunyi ujar (Rusdiarti, 2003). Keluarga dibangun di dalam kerangka bahasa, begitu pula masyarakat dan bangsa. Menurut Stuart (1997:15), bahasa adalah esensi komunitas. Oleh karena itu, segala ekspresi individual dan kolektif dalam masyarakat tidak lepas dari konstruk bahasa. Dari perspektif budaya, bahasa adalah alat ekspresi kultural (Koentjaraningrat, 2010:20). Bahasa merupakan medium kreatif manusia dengan segala bentuknya. Berbagai bentuk produk budaya direpresentasikan dalam bentuk bahasa. Seseorang dapat memahami budaya melalui kajian bahasa. Bahkan seseorang bisa menemukan karakter diri dan komunitasnya dengan memahami struktur bahasa yang digunakan sehari-hari. Dengan demikian, seseorang bisa bercermin dengan bahasanya. Selanjutnya, dari perspektif kekuasaan bahasa merupakan medium kekuasaan (Faucault, 2002:20). Bahasa dapat digunakan untuk membangun kekuasaan dan sekaligus dapat meruntuhkan kekuasaan. Dengan demikian, bahasa bukan entitas otonom dan netral yang lepas dari penuturnya. Bahasa dalam pandangan ini dipahami sebagai sarana penutur untuk membentuk subjek tertentu dengan tujuan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
116
tertentu. Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentuk kekuasaan oleh penutur yang ditujukan kepada mitra tuturnya. Dalam paradigma kritis, setiap bahasa yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apa pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan (Santoso, 2006:60-62). Tiada kata tanpa agenda. Wacana sesepele apa pun adalah bentuk pertarungan kekuasaan itu. Dengan demikian, setiap analisis wacana selalu dikaitkan dengan dimensi kuasa. Tugas analis adalah mengkritisi kekuasaan yang tersembunyi dalam teks-teks bahasa. Dari paparan singkat itu dapat diperoleh pemahaman bahwa kajian bahasa tidak bisa lagi menempatkan bahasa dalam sistem tertutup, tetapi harus menempatkannya dalam konstelasi kekuasaan. Analisisnya akan selalu mengungkap bagaimana ideologi atau kekuasaan yang terkonstrtuk dalam bahasa yang digunakan. Konsepsi Kekuasaan Kekuasaan adalah konsep penting dalam setiap kajian fenomena sosial. Kekuasaan amat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Kekuasaan sering diwujudkan melalui bahasa, bahkan dilaksanakan melalui bahasa. Bahasa digunakan oleh pihak yang kuat untuk mendominasi pihak yang lemah. Pengaruh kekuasaan itu tampak mulai dari hubungan pribadi dua orang sampai hubungan yang luas dalam sistem kenegaraan dan organisasi dunia. Dalam dialog antarpribadi, misalnya, mengapa seseorang sedikit melakukan pengambilan giliran (turn-taking), salah satu penyebabnya adalah persoalan kekuasaan. Dalam relasi antarnegara, mengapa Amerika Serikat memperoleh hak-hak istimewa dalam pelbagai pengambilan keputusan, faktor penyebab yang paling signifikan adalah persoalan kekuasaan (Santoso, 2006:15). Fowler (1985:61) mengemukakan bahwa kuasa merupakan kemampuan seseorang atau institusi dalam mengontrol perilaku dan kehidupan material orang lain. Sementara itu, menurut Fairclough (1997:1), kekuasaan secara konseptual memiliki dua makna, yaitu (1) ketidaksimetrisan antarpartisipan dalam peristiwa-peristiwa wacana, dan (2) ketidaksamaan kapasitas dalam mengontrol bagaimana sebuah bahasa diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam konteks sosial budaya. Berbeda dengan Marx yang memandang kekuasaan itu milik kelas penguasa atau borjuis, Foucault (1979: 49) memandang kekuasaan bukan milik kelas penguasa. Kekuasaan adalah sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya hubungan yang tidak setara antara yang kuat dan yang lemah. Hal ini sesuai dengan uangkapan, “di mana ada kekuasaan di situ ada perlawanan.” Ada hubungan yang asimetris antara penghasil teks dan konsumen teks. Kekuasaan tidak melulu—atau tidak boleh selalu—dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu yang menegasikan, sebaliknya kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Foucault (1979:76) memaparkannya sebagai berikut. Kita harus menghentikan penggambaran kekuasaan dan pengaruhnya sebagai sesuatu yang negatif, membuang, menekan, memberangus, menyensor, abstrak, menutupi, dan menyembunyikan. Kita harus mulai menggambarkan bahwa kekuasaan itu produktif, produktif dalam pengertian menciptakan, menghasilkan, dan melahirkan realitas, wilayah objek, dan ritual kebenaran.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa representasi kekuasaan adalah bahasa. Oleh karenanya, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan yang terkandung di dalam piranti bahasa yang digunakan. Menurut perspektif kritis setiap wacana tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan (Eriyanto,2011:66). Melalui kajian analisis wacana kritis dapat diketahui siapa mengontrol siapa. Kontrol tidak selalu bersifat fisik, tetapi bisa juga mental atau psikis. Misalnya, kelompok dominan mengharuskan kelompok yang tidak dominan bertindak sesuai dengan yang diinginkannya, karena kelompok dominan ini memiliki akses dibanding kelompok yang tidak dominan. Seseorang yang memiliki posisi penting memiliki kekuasaan untuk menentukan orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, kekuasaan dipengaruhi oleh posisi atau kedudukan pengguna bahasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
117
Teori Posisi dan Peran dalam Perspektif Kritis Posisi adalah kedudukan seseorang dalam sistem sosial tertentu. Krech, dkk. (1983:310) berpendapat posisi adalah keberadaan seseorang dalam masyarakat yang memiliki kontribusi untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana fungsinya. Dengan kata lain, posisi adalah kedudukan atau jabatan seseorang dalam pranata sosial tertentu sesuai dengan harapan masyarakat. Misalnya, posisi dokter dan pasien dalam sistem sosial kesehatan, posisi ayah, ibu, dan anak dalam sistem sosial keluarga, posisi guru dan siswa dalam interaksi kelas, dan sebagainya. Setiap individu dapat memiliki beberapa posisi dalam masyarakat. Pada saat tertentu seseorang menduduki jabatan kepala sekolah ketika berada di kantor, pada saat yang sama orang tersebut berposisi sebagai ketua takmir ketika di masjid, dan pada saat yang sama pula orang itu sebagai ketua RW di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini sering dijumpai dalam masyarakat, karena biasanya orang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dianggap mampu menduduki berbagai posisi dalam masyarakat. Setiap posisi atau kedudukan memiliki fungsi atau peran (role) tertentu sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Artinya, peran yang harus dilakukan oleh posisi tertentu merupakan hasil kesepakatan masyarakat pada umumnya. Misalnya, guru (posisi) oleh masyarakat dituntut untuk mengajar dan mendidik siswa, sedangkan siswa (posisi) dituntut untuk belajar dan mematuhi semua peraturan sekolah. Krech (1983:311) mengatakan peran adalah tugas yang harus dijalankan oleh posisi sesorang atau sekelompok orang dalam pranata sosial tertentu. Sebagai contoh, seorang dokter (posisi) berkewajiban menangani setiap pasien yang datang dengan empati, jujur, dan profesional mulai dari diagnose, penyediaan resep, cara meminum obat, sampai dengan tindakan yang harus dilakukan oleh pasien. Sementara itu, pasien harus mengikuti segala nasihat yang disampaikan oleh dokter. Peran memiliki tiga karakteristik, yaitu indipenden, fleksibel, dan normatif (Krech, 1983: 312). Yang dimaksud independen adalah peran bersifat bebas, tidak dipengaruhui oleh posisi lain, walaupun yang bersangkutan memilki beberapa posisi atau kedudukan. Misalnya, ketika seseorang menduduki posisi kepala sekolah, peran yang harus dilaksanakan adalah menjalankan tugas sebagai kepala sekolah, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak lain maupun dirinya sendiri ketika menduduki posisi yang berbeda. Fleksibel berarti peran yang harus dilakukan oleh posisi tertentu harus berubah ketika posisi atau kedudukan juga berubah. Hal ini sesuai dengan keberadaan seseorang yang multiposisi dan multiperan dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika seseorang berposisi sebagai kepala sekolah, orang itu harus menjalankan peran atau kewajiban sebagai kepala sekolah, ketika sebagai ketua takmir harus menjalankan kewajiban sebagai takmir, dan sebagai ketua RW harus menjalankan kewajiban sebagai ketua RW. Selanjutnya, ciri normatif berarti pelaksanaan peran harus sesuai dengan norma atau standar yang telah ditetapkan. Contohnya, posisi kepala sekolah harus menjalankan tugas dan kewajiban kepala sekolah sesuai dengan ketentuan atau deskripsi tugas kepala sekolah. Posisi kepala bagian keuangan harus menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Secara normatif pengejawantahan peran biasanya diwujudkan dalam deskripsi tugas atau tugas pokok dan fungsi yang dirumuskan dengan menggunakan kalimat deklaratif atau imperatif. Jika peran atau kewajiban dilaksanakan dengan baik oleh masing-masing posisi, maka dalam sistem sosial di mana posisi itu berada tidak akan terjadi konflik. Sebaliknya, jika masing-masing posisi tidak menjalankan perannya dengan baik, maka pasti akan terjadi konflik. Sebagai contoh, konflik yang terjadi dalam keluarga pasti disebabkan salah satu posisi dalam keluarga tidak menjalankan perannya dengan baik. Isteri marah karena suami tidak menjalankan peran sebagai suami, karena suami selingkuh atau tidak memberi nafkah yang cukup. Berdasarkan perspektif kritis, praktik interaksi antarposisi (kedudukan) dalam pranata sosial dipandang sebagai praktik dialektika kekuasaan antara pihak dominan (posisi atas) dengan pihak didominasi (posisi lemah) (Fairclough, 1989:126). Misalnya, dalam pranata sosial ‘sekolah’ interaksi antara guru dengan siswa dipandang sebagai praktik dialektik antara pihak kuasa (guru) dengan pihak lemah (siswa). Dalam pranata sosial ‘Dinas Pendidikan’ interaksi antara kepala dinas pendidikan dengan staf dan guru dipandang sebagai praktik dialektik antara pihak kuasa (kepala dinas) dengan pihak lemah (staf dan guru).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
118
Berdasarkan perspektif kritis, sebaik apa pun peran atau kewajiban yang dilakukan oleh masingmasing posisi sehingga tidak memungkinkan terjadi konflik dipandang sebagai bentuk praktik kekuasaan. Apa pun yang dikatakan oleh guru akan diamini dan dikerjakan oleh siswa. Demikian pula, apa pun yang dikatakan oleh kepala dinas pendidikan seluruh staf dan guru akan mengikutinya. Hal ini terjadi karena implementasi peran oleh masing-masing posisi diwujudkan dalam pilihan kebahasaan yang mengandung ‘kuasa atau kekuatan’ sehingga posisi lawan atau mitra cenderung mengamini dan melaksanakan sesuai dengan harapan pihak kuasa. Hilangnya Kekuasaan karena Faktor Kewacanan (Bahasa) Dalam bahasa Jawa terdapat pribahasa ‘ajining diri ana ing lathi’. Artinya, keselamatan jiwa seseorang sangat tergantung pada kepandaian menjaga ucapannya. Pribahasa ini sama artinya dengan hadist Nabi Muhammad SAW ‘salaamatul insaani fii khifdhil lisaani’ (Al Hasyimi, 1977:489). Artinya, keselamatan manusia sangat tergantung pada kepandaian menjaga lisan atau ucapannya. Hal ini berarti ucapan, bahasa sangat penting dalam kehidupan seseorang. Melalui bahasa seseorang dapat melaksanakan peran sosialnya dengan baik sesuai dengan posisi yang didudukinya. Namun, melalui bahasa seseorang bisa mengalami konflik dengan orang lain, bahkan bisa kehilangan kekuasaannya. Dalam perspektif kritis piranti kebahasaan yang digunakan secara intensif dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan (Santoso, 2006:56). Seperti halnya bahasa yang digunakan oleh Presiden Soeharto pada rezim Orde Baru. Namun, penggunaan bahasa sebagai representasi atau pengejawantahan peran yang tidak sesui dengan posisi dapat menimbulkan konflik, bahkan delegimitasi kekuasaan. Sebagai contoh, Gus Dur gagal membangun kekuasaan politiknya karena penggunaan bahasa yang cenderung bertentangan dengan posisinya sebagai presiden. Sebagai contoh, Gus Dur sering membuat isu, menjelek-jelekkan TNI dan Polri, mengejek DPR, membubarkan partai golkar, dan sebagainya. Ungkapan kebahasaan seperti itu tidak layak disampaikan oleh presiden karena bertentangan dengan peran yang seharusnya dijalankan oleh posisi presiden. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahadjo (2004:43), kegagalan Gus Dur dalam membangun kekuasaan politiknya karena sifat spontanitas dalam berwacana (bahasa), kurang terjaganya konsistensi antarwacana, banyaknya pernyataan yang saling bertentangan, dan tidak ada korespondensi antara pernyataan dengan kenyataan. Dengan kata lain, Gus Dur kurang mampu memanfaatkan ‘kekuatan bahasa’ dalam membangun wacana politik. Kelemahankelemahan inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk menggulingkan kekuasaan Gus Dur dari kursi presiden. SIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut, pertama, dalam perspektif kekuasaan , bahasa merupakan medium kekuasaan. Bahasa dapat digunakan untuk membangun kekuasaan dan sekaligus dapat meruntuhkan kekuasaan. Dengan demikian, bahasa bukan entitas otonom dan netral yang lepas dari penuturnya. Dengan kata lain, bahasa merupakan sarana pembentuk kekuasaan oleh penutur yang ditujukan kepada mitra tuturnya. Oleh karena itu, bahasa, kata atau istilah tertentu memiliki ‘kuasa atau kekuatan’. Kedua, kekuasaan adalah sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya hubungan yang tidak setara antara yang kuat dan yang lemah. Hal ini sesuai dengan uangkapan, “di mana ada kekuasaan di situ ada perlawanan. Kekuasaan tidak melulu—atau tidak boleh selalu—dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu yang menegasikan. Sebaliknya, kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Ketiga, berdasarkan perspektif kritis, praktik interaksi antarposisi (kedudukan) dalam pranata sosial dipandang sebagai praktik dialektika kekuasaan antara pihak dominan (posisi atas) dengan pihak didominasi (posisi lemah) Keempat, melalui bahasa seseorang dapat melaksanakan peran sosialnya dengan baik sesuai dengan posisi yang didudukinya. Dengan kata lain, melalui bahasa seseorang dapat membangun kekuasaannya. Namun, melalui bahasa pula seseorang bisa mengalami konflik dengan orang lain, bahkan bisa kehilangan kekuasaannya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
119
REFERENSI Al Hasyimi, A A. (1977). Mukhtarul Ahadits. Bandung: Penerbit PT Almaarif Eriyanto, 2011. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Cetakan ke-9, Yogyakarta: LKiS. Fairclough, N dan Wodak, R. (1997). “Critical Discourse Analysis” Dalam Teun Van Dijk (ed) Discourse as Sosial Interaction: Discourse Studies a Multidisciplinary Intruduction, Vol 2. London.: Sage Publication. Fairclough, N dan Wodak, R.(1989). Language and Power. England: Addison Wesley longman Limited. Edinburg Gate Harlow, Foucault, M. (1979). Discipline and Punish. Harmondsworth: Penguin. Foucault, M .(2002). Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya Penting Foucault). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. Hall, S. (1997). “Encoding/Decoding”dalam Stuart Hall, Dorothy Hobson, Andrew Lowe.dan Paul Willis (ed) Culture, Media, Language. London: Hutchinson and CCCS. Koentjaraningrat, (2010). Sejarah Teori Antropologi. Jakata: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Krech, D.; Crutchfield, R S.; and Ballachey, E L. (1983). Individual in Society: a Textbook of Social Psychology. Japan: McGraw-Hill Book Company. Rahardjo, M. (2004). Bahasa dan Kekuasaan: Studi Wacana Politik Abdurrachman Wachid. Surabaya: Program Doktor Ilmu Sosial,Program Pascasarjana, Universitas Airlangga. Rusdiarti, S R. (2003). “Bahasa, Pertarungan Simbolik, dan Kekuasaan”. Basis Vol VII (11-12):31-40. Santoso, A. (2006). Bahasa, Masyarakat, dan Kuasa: Topik-topik Kritis dalam Kajian Ilmu Bahasa. Malang: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
120
23 BAHASA INDONESIA KEKINIAN DI ERA TEKNOLOGI KOMUNIKASI Nani Sunarni Universitas Padjadjaran Abstrak: Bahasa Indonesia berkembang seiring perkembangan ekonomi,sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Banyak nilai-nilai positif dari penggunaan teknologi khususnya teknologi komunikasi. Seperti komunikasi jarak jauh, dari segi waktu dapat lebih efektif, namundari segi ruang menyebabkan pengaruh negatif. Misaldalam komunikasi tulisan dengan pengggunaan gadget dapat ditemukan bahasa atau kata-kata yang keluar dari aturan kebahasaan dan etika berkomunikasi. Seperti banyak penggunaan singkatan seperti selamat disingkat menjadi slmat,lagi disingkat menjadi lg, 4l4y 4bIi35(Alay Abis) atau (sangat kampungan). Selain itu, sering pula terjadi kesalahan tulis yang dianggap biasa, seperti penulisan kata tempat menjadi tempoat yang diakibatkan oleh kedekatan huruf dalam alat komunikasi. Contoh lain seperti kata kerja tertawa ditulis dengan gkgkgk. Ketidakteraturan tersebut dianggapsesuatu hal yang dianggap biasa sehingga mendapat permakluman dari masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.Data yang digunakan adalah leksikon bahasa sosial media. Setelah data terkoleksi kemudian dianalisis melalui pendekatan etnolinguistik pandangan dari Philip Riley (2008).Dari hasil penelitian teridentifikasi, bahwa dari komunikasi yang menggunakan teknologi komunikasi dihasilkan bahasa yang disebut Bahasa Sosial Media sebagai salah satu bahasa Indonesia kekinian atau kontemporer. Penggunaan bahasa ini, sangat berpengaruh pada ihwal santun berbahasa. Hasil penelitian secara teoretis bermanfaat untuk menambah pustaka di bidang etnolinguistik.Dan secara praktis bermanfaat untuk materi pembelajaran pragmatic failuredan sociolinguistic failure sebagai kajian etnolinguistik. Kata Kunci: bahasa Indonesia, kekininian, teknologi komunikasi, bahasa sosial media.
PENDAHULUAN Dari segi kebakuanbahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahasa Indonesia baku atau standard dan bahasa Indonesia tidak baku yang bersifat kekinian atau kontemporer.Bahasa Indonesia kontemporer sangat variatif. Perubahan dan kevariatifan ini disebabkan oleh penutur, situasi, faktor bahasa daerah dan bahasa asing yang mempengaruhi bahasa Indonesia, serta alat komunikasi yang digunakan. Adanya variasi perubahan bahasa ini menunjukkan sikap bahasa bangsa Indonesia yang sangat terbuka baik terbuka untuk lokal maupun global. Manusia sebagai makhluk sosiobudaya tidak dapat hidup isoliter. Namun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan komunikasi dengan orang lain. Secara periodik perkembangan sistem komunikasi dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu pertama masa pra sejarah, kedua masa komunikasi cetakan, ketiga masatelekomunikasi, dan keempat masakomunikasi interaktif. Masaprasejarah (sebelum 3000 SM) manusia berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau isyarat.Dan artefaknya dapat ditemukan melalui symbol atau gambar yang ada di gua-gua tempat mereka tinggal. Setelah masa tersebut dan setelah manusia mengenal peralatan, di Indonesia alat-alat seperti kentongan, bedug (peralatan yang ditabuh), peralatan dari bambu dan lain-lain dijadikan alat komunikasi.Tahun 1456- 1983, ditemukan mesin cetak yang dapat dijadikan alat komunikasi. Sehingga masa tersebut disebut masa komunikasi cetakan.Setelah itu, teknologi komunikasi berkembang dengan menggunakan system teknologi telekomunikasi.Pada waktu itu disebut masa telekomunikasi.Dan di zaman sekarang system komunikasi dapat dilakukan secara interaktif dengan menggunakan peralatan yang lebih modern.Sehingga masa ini disebut masa komunikasi interaktif. Masakomunikasi interaktif berkembang sangat cepat seiring dengan perkembangan pembaharuan alat komunikasi seperti e-mail dengan menggunakangadget.Pada dasarnya dalam setiap komunikasi baik langsung maupun tidak langsung, tulis maupun lisan, tanpa menggunakan alat maupun dengan alat tidak
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
121
lepas dari etika komunikasi yang meliputi pilihan kata atau kalimat secara verbalmaupun nonverbal dengan menggunakan bahasa tubuh. Namunakhir-akhir ini di era globalisasidan teknologi komunikasi penggunaan media komunikasi seperti gadget yang terbatas oleh ruang dan waktu menyebabkan penggunaan bahasa yang tidak baku namun dapat diterima oleh peserta tutur. Bahasa yang digunakan dalam media sosial ini disebut bahasa media sosial.Melalui makalah ini dideskripsikan bahasa media sosialyang bersifat kekinian atau kontemporer. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.Data dikumpulkan melalui studi lapangan dengan mengumpulkan bahasa yang digunakan dalam media sosial. Untuk mendapatkan keabsahan data dilanjutkan dengan wawancara terutama dilakukan wawancara dengan anak muda di sekitar kota Bandung Jawa Barat. Hasil dari langkah tersebut didapat leksikon yang digunakan dalam media sosial khususnya sebagai bahasa anak muda.Setelah data terkoleksi kemudian diklasifikasikan berdasarkan bentuk. Dan hasil klasifikasi teridentifikasi bahasa media sosial berupa berupa akronim, bahasa sosial media berupa singkatan huruf awal, bahasa sosial media berupa partikel fatis/ mimesis, bahasa sosial media berupa serapan, bahasa sosial media berupa kata plesetan, dan symbol- simbol khusus. Setelah teridentifikasi bentuk-bentuk kebahasaan selanjutnya dianalisis berdasarkan representasi kultural, dan pengaruh positif serta negatif dari bahasa sosial media tersebut. PEMBAHASAN Dibagian ini dideskripsikan bentuk bahasa sosial media anak muda dan representasi budaya anak muda Indonesia kekininian, serta dampak positif dan negatif dari penggunaan teknologi komunikasi dan solusi. Bentuk bahasa sosial media ini secara bentuk dapat digolongkan menjadi lima seperti berikut. Bahasa Sosial Media Berupa Akronim Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar (1995: 18). Berdasarkan data akronim ini ada yang berasal dari bahasa asing, bahasa Indonesia, atau campuran dari bahasa daerah, seperti yang terdapat dalam tabel berikut. Tabel 1.1: Bahasa Sosial Media Berupa Akronim
No. 1 2 3 4
Bahasa Sosial Media Mager Peres Jutek Kepo
5
Alay
6 7 8 9 10 11
Cukstaw Rempong Kamseupay Gan Congrats Ctrz
12 13 14 15
Congrats CUKTAW CURCOL DELCON
Makna Males gerak Palsu, bohong, nggak tulus. Judes, galak dan tidak ramah. Knowing Everything Particular Object (ingin tahu, mencampuri urusan orang lain, dan tidak bisa diam). Anak lebay, anak kelayapan, anak layangan, anak-anak yang sok eksis, narsis, norak dsb. Cukup tahu. Ribet, repot, rese. Kampungan sekali, udik, payah Panggilan ‘juragan’ (disingkat ‘gan‘), Congratulations ‘Selamat atau mengucapkan Selamat’ Coters/Bacot/Bacoters (sebutan untuk orang yang banyak bicara/yang banyak ngetweet) Congratulations ‘Selamat atau mengucapkan Selamat’ cukup tahu. Curhat Colongan. Delete (hapus) Contact
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
122
16 17 18 19
JADUL MAHO Ababil Gan
20 21 22 23
Cekidot Leh uga tuh Astajim mikum
Jaman Dulu “Kuno”. Manusia Homo Anak Baru Gede Labil / ABG Labil. Singkatan dari kata ‘juragan’ (agar terdengar lebih bersahabat) ‘check it out’ (silakan dilihat). Boleh juga Astagfirulloh aladzim Assalamualaikum
Bahasa Sosial Media Berupa Singkatan Huruf Awal Selain akronim dalam bahasa sosial media ditemukan pula singkatan dengan mengambil huruf awal seperti berikut. Tabel 1.2: Bahasa Sosial Media Berupa Singkatan Huruf Awal
No. 1 2
Bahasa sosial Media BRB NP
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
A.K.A : BTW OTW JWU PHP LDR NTKY OMG SBB TT DJ LOL
Makna Be right back (bakal kembali). Now Playing (umumnya digunakan untuk orang yang sedang mendengarkan lagu). As Know As (Alias / sebutan lain) By The Way ( Omong-ngomong) on the way ( sedang di jalan) Just Woke Up ( baru saja bangun tidur). Pemberi Harapan Palsu. Long Distance relationship ( Pacaran jarak jauh). Nice To Know You, (Senang berkenalan denganmu). Oh My God ( Oh Tuhan ku!) Sory Baru Bales Titi dijei, Hati-hati di jalan Laugh Out Loud (Tertawa Terbahak-bahak).
Bahasa Sosial Media Berupa Partikel Fatis/Mimesis Fatis berasal dari bahasa Inggris phatic.Bentuk bahasa yang digunakan disebut kata fatis yang berfungsi sebagai fungsi sosial (social function). Tidak sedikit ekspresi fatis ini secara teknis tidak dapat diterjemahkan, tetapi dapat dideskripsikan berdasarkan peralatan yang terlibat atau diacu dalam “konteks situasi” serta cara bertindak yang berkenaan dengan konteks. Komunikasi seperti ini disebut komunikasi patis (phatic communication).Dalam tataran bahasa kata-kata atau ekspresi fatis ini berada dalam tataran luar bahasa seperti kajian pragmatik.Dalam bahasa sosial media kata-kata fatis ini ada yang diambil dari mimesis.Menurut kamus besar bahasa Indonesia, mimesis adalah tiruan perilaku atau peristiwa antar manusia (1995: 656).Kata-kata fatis dalam bahasa sosialmedia sebagai contoh dapat dilihat dalam table berikut. Tabel 1.3: Partikel Fatis Berupa Mimesis
No 1
Bahasa Sosial Media Pukpuk
Makna
Makna Pragmatik
memberikan perasaan kasihan Jata ini sering digunakan anak muda untuk terhadap orang yang sedang sedih, memberikan perasaan kasihan terhadap orang patah hati, galau, dsb. yang sedang sedih, patah hati, galau, dsb.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
123
2
KRIK
sangat
3
Eeaa
#eaaa
garing
/
tidak
lucu. Mimesis dan singkatan dari kata jangkrik dalam suasanya yang sepi. Namun berubah untuk menggambarkan situasi yang sangat tidak lucu. Di Twitter digunakan seseorang utk nge-tweet kata-kata gombal
Bahasa Sosial Media Berupa Kata Serapan dengan Adaptasi dari Bahasa Asing/Bahasa Daerah Dalam bahasa media sosial sering ditemukan kata-kata yang berasal dari bahasa asing khususnya bahasa Inggris dan bahasa daerah. Kata-kata tersebut seolah-olah menjadi bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut ada yang diadaptasi seperti bahasa asal, ada pula dengan cara adaptasi dari segi bunyi, dari segi makna namun seolah-olah sudah menjadi bahasa Indonesia. Kata-kata buatan orang Indonesia yang dianggap bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Inggris disebut kata Indonesia Inggris atau disingkat menjadi Indolish. Di pihak lain terdapat pula kata yang berasal dari bahasa daerah seperti Sunda seperti kata garing. Kata tersebut dalam bahasa Sunda memiliki makna denotative kering. Namun dalam makna konotatif menunjukkan sifat yaitu tidak ada apa-apa.Dari kata tersebut diadaptasi ke dalam bahasa sosial media dan makna tersebut meluas menjadi tidak lucu. Tabel 1.4: Bahasa Sosial Media dengan Adaptasi dari Bahasa Asing/Bahasa Daerah
1 2
Bahasa Sosial Media dengan Adaptasi dari Bahasa Asing/Bahasa Daerah Hoax Garing
3
Woles
Santai atau Slow
4
Ilfil
5
Yawn
illfeel/ ill feel (perasaan yg memuakkan, biasa digunakan untuk mengekspresikan rasa muak karena ada orang yg bertingkah jorok, tidak mengenakkan atau gak tau malu). Mengantuk
No
Makna
Asal Kata
berita palsu “tidak lucu”.
Inggris Perluasan maknadari bahasa Sunda Adaptasi dari bahasa Inggris SLOW diucapkan menjadi SELOW di balik menjadi WOLES. Serapan dari bahasa Inggris dengan penyesuaian bunyi.
Inggris
Bahasa Sosial Media Berupa Kata Plesetan Karena bahasa sosial media pada umumnya bahasa tidak formal, banyak ditemukan kata-kata dengan diplesetkan atau mengambil dari fonemena yang sedang ngetop.Kata-kata tersebut diantaranya dapat dilihat dalam table berikut. Tabel 1.5 Bahasa Sosial Media Berupa Plesetan
No
Bahasa Plesetan
Makna
1
Unyu
2
Afgan
lucu, imut, ngegemesin. bisa nego tapi jangan sadis!
kata ini sering dipake untuk menunjukkan hal-hal yang lucu, imut, ngegemesin Awalnya dari lagu Afgan (penyanyi) uyang berjudul sadis. Isitilah ini awalnya digunakanoleh orang-orang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
124
3 4
Lebeh Ember
5 6 7
Beud Gawl Metyaw
8 9 10 11
Keles Otre Bingit Cuco
12 13
Akika Jayus
14 15 16
Xmx zmz 4l4y 4bIi35 Hi…hi…/he…he….
di forum jual beli di Kaskus. Misal : iklan, “Jual motor, bisa nego, no afgan,” . berlebihan. Pelesetan dari lebay Memang Begitu Plesetan dari kata (m) emang diambil dari bunyi –emdan bunyi /e/ dekat dengan bunyi /b/ menjadi suku kata –ber-. Banget! Plesetan dan mengambil fonem awal /b/ Gaul. Plesetan dan mengambil fonem awal /g/ Selamat Ya! Plesetan dan mengambil suku kata – mat- menjadi – met- dan kata ya diplesetkan dengan menambah bunyi [w] kali, barangkali. Contoh: “Ga gtu juga Keles”(“Ga gtu juga kali) Oke. Banget "Cakep" atau "keren" Saya, aku Gak Lucu, garing sms Alay Abis Pengganti tertawa Untuk menunjukkan emosi senang atau akrab.
Representasi Kultural Yang Tercermin Dalam Bahasa Media Sosial Terwujudnya bahasa sosial media berupa singkatan dari bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa asing, serta terwujudnya bahasa Indolish (Indonesian English) atau Indonesia Inggris, sertasimbol-simbol membuktikan adanya perkembangan bahasa dan perubahan sosial budaya. Bahasa Indonesia sangat dinamis.Hal tersebut mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia khususnya anak muda sangat dinamis, kreatif, dan inovatif.Bahasa merupakan salah satu unsur budaya.Seperti sudah dijelaskan di atas pada zaman dahulu komunikasi dapat dilakukan melalui symbol-simbol yang dibuat masyarakat dalam gua dan sekarang pun menggunakan symbol lagi.Hanya yang berbeda, symbol zaman dahulu digunakan symbol yang sangat sederhana namun zaman sekarang sudah menggunakan symbol yang lebih modern dan lebih instant karena sudah tersedia dalam alat komunikasi. Hal ini dapat menyebabkan manusia kurang kreatif. Dengan adanya fenomena kebahasaan sosialmedia menunjukkan bahwa budaya berkembang dan terus berputar. Dampak Positif dan Dampak Negatif dari Penggunaan Teknologi Komunikasi Adanya peralatan komunikasi dengan teknologi yang tinggi seperti internet dengan menggunakan media gadget dan sebagainya dapat menyebabkan terwujudnya komunikasi interaktif yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu serta menjadikan anak muda yang kreatif.Bahkan dengan komunikasi jarak jauh menyebabkan alat komunikasi baik televisi maupun gadget bagaikan jendela dunia, menjadikan manusia memiliki wawasan yang lebih luas. Namun, sebaliknya dengan adanya alat-alat tersebut dapat menyebabkan hubungan sosial terganggu sehingga muncul kalimat “ menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh.Selain itu, dengan banyaknya penyingkatan-penyingkatan kata secara kesantunan sudah meninggalkan santun komunikasi bahkan dalam beberapa kosa kata yang berasal dari tataran religi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
125
dapat menimbulkan perubahan makna yang menyebabkan fatal. Dengan adanya hal ini, perlu dibentuk aturan yang terkait dengan bahasa sosial media. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data teridentifikasi bahwa bahasa sosialmedia dapat mewujudkan halhal negative dan positif. Bila dipetakan bahasa Indonesia secara kebakuan dapat dibagi menjadi dua yaitu bahasa Indonesia ragam baku dan non baku yang bersifat kekinian atau kontemporer. Salah satu bahasa yang bersifat kekinian itu adalah bahasa sosial media.Dari segi pengguna, karena pada umumnya bahasa sosial media ini digunakan dalam lingkungan masyarakat anak muda sehingga bila digunakan kepada tataran lingkungan yang lebih luas dapat menimbulkan kesalahan pragmatic (pragmatic failure) atau kesalahan sosiolinguistik (sociolinguistic failure) REFERENSI Akihiko, Yonekawa. (1989). Shingo to Ryukougo.Tokyo: 南雲堂 Chaer, Abdul. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. (1995). Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Jahya, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Riley, Philip. (2008). Language, Culture, and Identity. London: Continuum. Sunarni, Nani. (2014). Penelitian di Bidang Leksikografi, Peristilahan, Etimologi, dan Toponimi (Prosiding). Lab. Leksikologi dan Leksikografi. Jakarta: Departemen Linguistik. FIB Universitas Indonesia. Sutami, Hermina. (2012). Ungkapan Fatis dalam Pelbagai Bahasa. Jakarta: Pusat Leksikologi dan Leksikogrfi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI. Toshio, Nakao.et.al. (2002). Shakaigengogaku Gairon.Tokyo: Kuroshio Shuppan. Wiyadi, Alberths dkk. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
126
24 DEVELOPMENT OF LANGUAGE USED IN A PUPPET SHOW: A STUDY OF CODE SWITCHING Nita Suryawati Faculty of Humanities Airlangga University Abstract: The phenomenon in using code switching often happens in daily conversation among people. However, the using of code switching also affects in Javanese show like a puppet show in which the original language used is Javanese. The interesting thing which found in this study that is the using code switching (Bahasa Indonesia to Javanese, even sometimes to English and vice versa) Through this study, the writer aims to investigate the types, the factors, and the functions in employing code switching in a puppet show in Lamongan. The method used by the writer in conducting this study was by observing three times performances and interviewing a puppeteer. The data were classified by the writer into two types of code switching; situational code switching and metaphorical code switching based on Holmes’ theory (2001). However, the writer used Gumperz’ theory in identifying the functions of code switching which occurred during performances. The results show that the use of code switching of JavaneseIndonesian during performances occurs frequently. The second, situational code switching is more frequent used by the characters of the puppet rather than metaphorical code switching; situational code switching were found about 58, while metaphorical code switching were found about 11. The third, the use of code switching by the characters of puppet are mostly influenced by the participant and the function. The last, situational code switching carries many functions such as interjection, message qualification, addressee specification, personalization versus objectification, and reiteration. Besides that, situational code switching also carries other functions such as motivating friends, giving advice, joking, making compliment and so on. Keywords: code, code switching, metaphorical code switching, situational code switching, puppet.
INTRODUCTION In this globalization era, the held view of bilingual or multilingual people becomes common thing which can be found everywhere. This is true that people’s network time by time is going to be larger because of their interaction with others not only from the same society, but also from the different tribe even nationalities. In this case, people should have a strategy to cover that matter by choosing an appropriate language or code. The choosing of another language or code in the conversation later defined as a code switching. As Numan and Carter (2001: 275) stated that code switching as a phenomenon of switching from one language to another in the same discourse. This can be understood that people will deliver their messages in the same conversation but by different way. Furthermore, in employing code switching, it can happen in a single sentence or utterance. Wardaugh (2005: 100) argued that whenever people choose to speak, and they may also decide to switch from one code to another or to mix codes sometimes occurs in the very short utterances. Thus, they can use only one sentence to switch into another code in which already represent their means. To be more specific, Holmes (2001: 35) classifies code switching into two categories, namely situational and metaphorical code switching. Situational code switching can be identified by the reason of code switching employment. Meanwhile, metaphorical code switching is identified as a code switching with no intended meaning (Holmes, 2001: 40). In Indonesia, the phenomenon of code switching might happen everywhere and also can be done by everyone from youth until adult. Considering that Indonesia is a country has a wide territory in which the citizens consist of various ethnic, regional language, and also cultural background (Chaer & Agustina, 2004). Thus, by the various people background in Indonesia, it could be a big deal to use such code
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
127
switching to have a good interaction with others. Based on the common phenomenon which occurs in the human relation, however, the phenomenon of using code switching could occur in the cultural performance such as puppet show at this time. The phenomenon of using code switching found by the writer in Lamongan. This phenomenon is interesting to investigate further because commonly the language used in this performance is only Javanese. By the study of this case, it is expected to know the reason behind the using of code switching occurs in the puppet show. There have been many studies that are studied about code switching. As a reference for the writer study, the first was a research that is conducted by Megan Wells (2011) titled “Code switching in the Comedy of George Lopez”. In his study, he found that the using of code switching Spanish-English by George Lopez is efficient to create humor and share solidarity toward the different audience, whether American or Spanish audience as a performer. The second study is conducted by Schau, Dellande, & Gilly (2007) titled “The impact of code switching on service encounters”. In this study, the writers found that applying code switching via language, dialect, or brand code is a reasonable approach to understanding the interaction between employee and customer in which to compete on service. Due to the studies that have been conducted, many of these studies investigate the people’s relation. Therefore, the writer chooses a puppet show since the writer interested in the phenomenon about the using of code switching in her own environment in which the puppeteer is her own father. Furthermore, this phenomenon assumes that although numerous studies have paid attention of codes switching in different subject, there are few researchers that have been conducted a research about code switching in the puppet show. Therefore, the writer would examine and investigate about the phenomenon of code switching in the puppet show. In addition, the writer would also reveal about the types, factors, function of using code switching during the performance. METHODOLOGY In conducting the study, the writer prefers to use a descriptive qualitative as a research approach to describe the statement of the problem. Besides that, the writer also uses Sociolinguistic approach to know the detail information about code switching. Sociolinguistics is concerned with relationship between language and the context in which used. Thus, the writer will know the purpose of utterance used by the puppeteer. For the participant of the study, the writer investigated only one puppeteer because she did a case study. The participant is a puppeteer in Lamongan. Then, to obtain the data, the writer used some tools, handy cam and SLR digital camera. After that, the source of the data is the transcription that already transcribed by the writer from those recording. Therefore, to obtain the data, the writer did an observation in the live performance and an interview to the puppeteer. An observation is conducted to observe utterances from the puppeteer during performance. The writer used three recording from three times performances which contain of code switching. The steps of data collection are watched the live performance, rechecked the live performance of the puppeteer’s utterances which contain code switching by using video, and then transcribed the utterance in a paper. Then, interview is conducted in order to confirm the function of code switching which used by the puppeteer to empower the research questions in this study. Last, after the data got by the writer, then she selected which utterances contain code switching based on Holmes’ theory categorized into metaphorical or situational. Finally, the steps in analyzing the data are; finding out the code switching from the data, explaining how the language changing, classifying the types of code switching, and interpreting and conclusion. DISCUSSION Holmes differentiates code switching into two types, situational and metaphorical code switching. Because of plenty of the data, the writer chose some data which represent each categorization of code switching.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
128
Situational Code Switching Situational code switching is done when the speaker has certain purpose in changing the language within one utterance. In this case, the speaker is aware to do the switching. Based on the research, the data collected are as following: Excerpt (1) Prabu Duryudana
Patih Sengkuni
Prabu Duryudana Patih Sengkuni
: Paman, kula nampi surat saka Ngamarta sing surasane kula dikengken nang Ngamarta merga Pandhawa ngawonten pesta raja ondro wina dengan kata lain prasmanan besar-besaran. (Uncle, I was asked to come to Ngamarta because Pandhawa hold a big party) : Menawi ngaten, keleresan pasumbang minuman sing jagane kangge Kurawa niku selir mboten ngangge racun. (If it is like that, it is coincidently to give a drinking; the drink for Kurawa is free from poison) : Kalau begitu saya sangat setuju dengan usul panjenengan paman. (I agree with your suggestion, uncle) : Menawi ngaten mangga dipun samektaaken pasumbang dateng negara Ngamarta. (In occasion, let’s go there) (Transcription 1, Scene 1)
The context in the excerpt (1) includes some aspects. They are participant, setting, topic, and function. This dialogue is uttered by prabu Duryudana and patih Sengkuni. Both of these characters have a high class society in which they have an authority in the kingdom. The setting of the conversation takes place in Ngastina country. In this situation, prabu Duryudana and patih Sengkuni are doing a meeting in which discuss about a trick to give a poison into Pandhawa’s drink. The factor which influences the use of code switching in this excerpt which is uttered by prabu Duryudana is only to give a function. In this case, there is no new participant joins conversation, there is no change of topic of discussion, and the setting still takes place in Ngastina. The function of code switching based on the excerpt above is functioned as translation. In this case, the character of prabu Duryudana intentionally did the code switching in order to give a better understanding about the word “pesta raja ondro wina” in Indonesian. This is because the term “ondro wina” in Javanese language is a term which is not common in daily life. Metaphorical Code Switching Metaphorical code switching is done when the speaker has no certain purpose in changing the language within one utterance. In this case, the speaker is not aware to do the switching. Based on the research, the data collected are as following. Excerpt (2) Togog Bilung Togog Bilung Togog Bilung
: Otot kawat (muscle of conductor) : Balung besi (steel bone) : Kulit tembaga (copper skin) : Sum-sum gigolo (sum-sum gigolo) : Kowe kok isa wae Lung (you can do everything, Lung) : Ya iya lah. (it easy) (Transcription 1, Scene 3)
The context of the excerpt (2) can be described that the character of puppet which join the conversation is only low class society. They are Togog and Bilung. The setting of the conversation above takes place in the Candipura country. The dialogue above occurs in the middle of conversation in which the conversation is dominated by Togog and Bilung. In this case, the topic which is talked by them is describing raden Gatutkaca who already kill prabu Candi Wasesa’s parents. The factors which influence the use of code switching into Indonesian by Bilung above is only participant. In this case, because the participants who dominate the conversation is low class, thus the characters feel free to say anything such phrase “ya iya lah” which is uttered by Bilung above. Here, the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
129
use of code switching by Bilung has no certain purpose and meaning. The phrase “ya iya lah” is only common term in daily life and because the puppeteer when he uttered Bilung’s character already familiar with that term. By the unintentionally code switching which is uttered by Bilung above, in this excerpt has no function of the use of code switching. Thus, the code switching which occurs in this excerpt (4) can be categorized as metaphorical code switching. Addressee Specification The first function is addressee specification which defined by Gumperz (1982) as the switch serves to direct the message to one of several possible addressees. Excerpt (3) Bambang Priyanggada :
Petruk Dewi Mustakaweni
Aku Bambang Priyanggada, apa pancen kowe kang nyolong Jamus Kalimasada? (I am Bambang Priyanggada. Is it true that you have stolen Jamus Kalimasada?) : Wah inggih ndoro, pasti tiyang estri niki. Ayo mengaku saja. (it seems ndoro, of course this women. Come on just admit it) : Iyo pancen aku sing nyolong Jamus Kalimasada. Kowe arep apa? (that’s right. I stole that Jamus Kalimasada. What do you want?) (Transcription 2, Scene 9)
The context in this excerpt can be described that the participants which involve in the conversation is high class society and low class society. The setting of the conversation takes place in Candi Sapta Rengga. This conversation occurs in the end of conversation in which there is a new participant comes that is Dewi Mustakaweni. In this case, Petruk switch his code into Indonesian at the time of Dewi Mustakaweni comes. Before Dewi Mustakaweni comes, Petruk only used one code that is Javanese language. The factor which influences the use of code switching in this conversation is only participant and function. As the description above, Dewi Mustakaweni is the first factor which influences the use of code switching by Petruk. Then, the second factor in employment such code switching by Petruk is to deliver direct message to Dewi Mustakaweni. In this case, the use of code switching “ayo mengaku saja” is intentionally done by Petruk in order to treat Dewi Mustakawani. The function of code switching in this excerpt above can be functioned as Addressee specification in which servers to direct message to the addressee (Gumperz, 1982). Thus, by the intentionality of the use of code switching by Petruk, the type of code switching in this excerpt is situational code switching. Interjection Excerpt (4) Duryudana
Patih Sengkuni
: Paman, kula nampi surat saka Ngamarta sing surasane kula dikengken nang Ngamarta merga Pandhawa ngawonten pesta raja ondro wina dengan kata lain prasmanan besar-besaran. (uncle, I got a letter from Ngamarta in which it asked me to go Ngamarta because Pandhawa celebrates a king party) : Menawi ngaten, keleresan pasumbang minuman sing jagane kangge Kurawa niku selir mboten ngangge racun. (if that, coincidently the drink for Kurawa is originally without poison) (Transcription 1, Scene 1)
As described in the excerpt (4), the context can be said that the participants which includes in the conversation above are prabu Duryudana and Patih Sengkuni. The setting of the conversation is in the Ngastina country. They have a high class society and an authority in the kingdom. In this conversation, they are doing meeting in which Duryudana tells that Ngamarta country invites him to join a party. Then, Patih Sengkuni proposes an idea to kill Pandhawa by giving a poison in the drink that will be delivered by
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
130
Duryudana. This situation can be said as formal situation because the conversation occurs in the meeting activity. Based on the situation, it can be analyzed that the factor which influences the use of code switching by prabu Duryudana is only a function. In this case, there are no changes in the participant, setting, and also topic. The conversation is still in the same discourse and place. The function of the use of code switching which is uttered by prabu Duryudana “dengan kata lain prasmanan besar-besaran” can functioned as interjection. Gumperz (1982) stated that interjection as switch serves to mark an interjection or sentence filler. This is because phrase of “pesta raja ondro wina” is a term or uncommon word in Javanese language. Thus by switch phrase to Indonesian “dengan kata lain prasmanan besar-besaran”, it is expected to be more clear to be understood by the audience. Here, interjection is almost same with translation function such as previous excerpt (excerpt 1) in which to repeat into another word in order to make the utterance more clear. Reiteration Excerpt (5) Bambang Pamikat Tresna
Bagong
: Yen pancen ora ono pepalangane laku ayo padha dibacutake menyang Negara Pringgadanai. (if there is no matter, let’s go to Pringgadani country) : Mikat. Mari ndoro (Come on ndoro, come on) (Transcription 1, Scene 4)
The context of the excerpt (5) can be described that the participants which joins conversation above are Bambang Pamikat Tresno and Bagong. Here, the class of those characters is different. Bambang Pamikat Tresna has a high class society, while Bagong is a low class society. The setting of this conversation is in the forest in which they discuss to go to Pringgadani country as soon as possible. In the conversation above, Bambang Pamikat Tresna used a low variety to Bagong, while Bagong used a high variety switched into Indonesian. The factor which influences the use of codes switching by Bagong is only function. This can be seen from the conversation that there are no changes in the participant, setting and also topic. The use of code switching is intentionally done by Bagong in order to clarify the word “mikat” in Javanese into “mari ndoro” in Indonesian. Thus, the function of code switching in this excerpt is a reiteration in which it is functioned to clarify utterance by using another code. In this utterance, the word “mikat” is easier to be understood if it is uttered in Indonesian. The repetition a primer language into another code later can be called as reiteration. This is supported by Gumperz (1982) said that frequently a message is repeated in the other code, either literally or in somewhat modified form. Message Qualification Excerpt (6) Raden Setyaki Prabu Kresna
Prabu Baladewa
Raden Samba
: Sanget ing pamundi kula, saengga jejimat. (with my high honor, my highness) : Koko prabu, wonten wigatos menapa rawuh paduka wonten negari Duwarawati? (brother, what happen by coming here?) : Rawuhipun kakang sepisan tilik marang kuwarasane si Adi. Ping pindho, ndeleng pembangunan Negara Duwarawati wes beda kelawan taun-taun yang lalu. Tempat-tempat ibadah sudah dibangun megah, masjid, musholla dan gereja … (my visit today have purposes to visit my little brother, and the second I would like to know the development of Duwarawati in which already different from previous years. The worship places were already built such mosque, church..) : Nuwun inggih kanjeng rama, mangestoaken dawuh. (if it is like that, that is right, my highness) (Transcription 2, Scene 1)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
131
The context of the excerpt (6) can be described that the characters which join the conversation is only high class society. All of the characters above have a big authority in the kingdom. In this case, the setting of the conversation is in the Duwarawati country in which discussing about the significant development of Duwarati country. The factor which influences the use of code switching in this conversation is only a function. Prabu Baladewa intentionally did a code switching into Indonesian because he wants to deliver some information through Indonesian. This is because at the time of prabu Baladewa did a code switching, he was talking about social matter. The function of code switching which is uttered by prabu Baladewa above can be called as message qualification. In this case, by using Indonesian, the social matter such development of a country can be explained clearly by the speaker. Thus, the information about social matter above can be understood easily by audiences of puppet show. Personalization versus Objectification Excerpt (7) Gareng Petruk Bagong
: Iyo mo desa mbesi iki sak taun ono wong papat sing nanggap karo awak dewe. (that’s right, Mbesi village in this year, there are four people who ask a show with us) : Kang Gareng ojo larang-larang bah pira-pira pokok e bisa tanggapan mrene. (Kang Gareng, do not be too expensive) : Iyo kang Gareng, jangan dipersulit masalah biaya jangan mahal-mahal walaupun sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit supaya bisa lancar. (that’s alright kang Gareng, we just no need to make too expensive about the payment, little by little is going to be hill) (Transcription 1, Scene 3)
The context in the excerpt (7) can be described that the characters which involve in the conversation above are low class. They are Semar, Petruk, and Bagong. The setting of the conversation takes place in the Candipura country. Actually, this conversation occurs almost in the end of the conversation in which dominated by low class society. In this case, the code switching from Javanese to Indonesian uttered by Bagong is intentionally done in order to deliver a knowledge about how to be exist to get customer for puppet show by charge a middle price (not too expensive). The factor which influences the use of codes switching in which uttered by Bagong above is only function. In this case, there is no new participant which joins the conversation. The topic is still discussing about the price tag of puppet show. Further, the setting is still in the Candipura country. The function of the use of code switching which is uttered by Bagong is intentionally done in order to deliver an idea about the price tag of the puppet show. This function later defined as personalization versus objectivication. Gumperz (1982) stated that whether a statement reflects personal opinion or knowledge; whether it refers to specific instances authority of generally know fact could occur in this function. Further, the type of code switching in this excerpt is situational code switching. Euphemism Excerpt (8) Bilung Togog
: Agih kang Togog. (come on kang Togog) : Wak, aku ojo dikesusoni. Aku nek kesusu malah kliru kabeh. Lha wong aku tau kate penting yo kliru kabeh. (please, do not make me hurry. If I am hurry I can be wrong in doing something. I ever did something hurry, then it was totally wrong) (Transcription 1, Scene 3)
The context of the excerpt (8) can be described that the character which join the conversation is only low class. They are Bilung and Togog. Actually, this conversation occurs in the middle of conversation which takes place in Candipura country. Based on the dialogue above, it can be seen that the conversation is discussing about humor of short message.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
132
The factor which influences the use of code switching above is only function. During conversation, the topic gets no change. Based on the excerpt, Bilung just asks Togog to be hurry to do something. Then, to reply Bilung’s statement, Togog switches a code into Indonesian to ask Bilung to be relaxed. Togog intentionally switch a word “penting” in order to make polite confession. This is because the term ”penting” is kind of term to express something in doing a love. Thus, by use that code, it is expected to keep politeness expression to the audiences of the puppet show. Based on the analysis above, the function of code switching in this excerpt can be identified as euphemism. Thus, by intentional of code switching employment in this excerpt, it expected to appreciate the audience. Equivalence Excerpt (9) Gareng Bagong Petruk
: Kok nganggo bahasa Indonesia barang? (why does it use Indonesian?) : Cek keren Reng. (so cool Reng) : diperbaharui yo dipermodern. (be a new and modern) (Transcription 1, Scene 4)
The context in the excerpt (9) can be described that the conversation uttered by low class and occurs in gara-gara. This situation is informal which takes place in the forest. The topic that being talked by the characters is about the use of bahasa Indonesia in the puppet show at this time. The factor that can be identified in the excerpt above which influences the use of code switching in that conversation is only function. In this case, there is no change in topic of discussion, participant, and also the place of conversation. In this case, Petruk intentionally switches his language into Indonesian because that term “diperbaharui” and “dipermodern” is more appropriate and to represent the mean of the character’s utterance in which to deliver how amazing of the use of bahasa Indonesia. Thus, the function of code switching in this excerpt can be called as equivalence. Expressing Feeling Excerpt (10) Prb. Bumiloka
Resi Kalapujangga
: Eyang resi Kalapujangga, ini bagaimana eyang negeri saya kena pageblug Mayangkara? Sehingga banyak orang yang menderita sakit. Sore sakit, pagi meninggal. (Eyang resi Kalapujngga, how is this, my country attacked by pageblug Mayangkara? So many people die. They are sick in the evening, then they die in the morning) : Putu prabu Bumiloka, negaramu kang kena pageblug iku bisa waluya jati kaya wingi wuni yen yen ditumbali pusaka jamus kalimasada. (Prabu Bumiloka, your country which is attacked by that pageblug can be recover by jamus kalimasada) (Transcription 2, Scene 3)
The context in the excerpt (10) can be described that the characters which join the conversation comes from high class society. The code switching which occurs in the conversation is on the beginning in which prabu Bumiloka tries to express his sad feeling to his grandfather, resi Kalapujangga. This conversation takes place in the Negeri Hima Himantaka in which their rendezvous is to discussing a problem solving about disease that which has been spreading in that country. In this conversation, the characters who join the discussion are almost high class and the conversation almost dominated by them as well. The factor which influences the use of code switching in this excerpt is only function. The code switching into Indonesian intentionally done by prabu Bumiloka in order to express his sad feeling more
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
133
dramatize and it is expected to get sympatric from the audience. Thus, the function of the use of code switching which uttered by prabu Bumiloka can be identified to express a feeling. Joking Excerpt (11) Begawan Jaya Wilapa
Bambang Priyanggada
Semar
Petruk
: Putuku Bambang Priyanggada, dak sawang pirang-pirang dina kok katon surem cahyane peteng palatamu. Apa sing mbok pikir? (my grandson, seems you so sad at recently time, what do you think?) : Duh, Eyang sinten sejatine kanjeng rama ingkang ngukir jiwa raga kula menika? (grandfather, actually who is my parents?) : Nggeh panembahan mangga dipun blakani kemawon awit ndara Bambang Priyanggada niku sampun dewasa kepengen sumerep tiyang sepuhipun. (that’s right Lord, just tell him, he is already mature) : Yah panembahan tolong diberitahu terus terang saja kalau tidak diberitahu nanti bisa marah lho. (that’s right lord, just tell the truth, because if you do not tell him, he can be angry) (Transcription 2, Scene 6)
The context in the excerpt (15) can be described that the characters which join the conversation are various, high and low class society. The high class is Begawan Jaya Wilapa and Bambang Priyanggada, while low class is Petruk and Semar. This conversation takes place in Pertapan Arga Wilapa. The domination of high and low class is balance in this conversation. This situation is formal because the high class is discussing about something important. The factors which influence the use of code switching in this conversation are participant and function. During the conversation occurs, Petruk suddenly comes and joins that conversation. Besides that, the use of code switching above is intentionally done by Petruk in order to employ a function. Based on the analysis above, Petruk switches a language into Indonesian intentionally to create a humor. Thus, the atmosphere is not tension anymore. Because the use of code switching into Indonesian is intentional, thus the type of code switching in this excerpt is a situational code switching. Motivating Friends Excerpt (12) Togog
Bilung Petruk Gareng
: Iku ono satriya tak takoni ora gelem ngaku apa pancen budek apa pancen bisu. Coba takonono Lung. (there is a hero is asked but he does not answer. Maybe he is deef. Let ask him Lung) : Ayo kang Togog dipaksa jangan sampai tidak mau mengaku. (come on kang Togog, let ask him) : Kang Gareng, ndoro dikroyok banyak ayo ditulungi mesaake kang Gareng. (Kang Gareng, our majesty attacked by swan, let help him) : Wah, kasihan ndoro Truk, mari kita tolong kesana. (yes, that’s right Truk, let’s go there) (Transcription 2, Scene 7)
The context in the excerpt (12) can be described that the characters who join the conversation above are high and low class in which the high class is only one named Bambang Priyanggada. Meanwhile, the low class societies are Petruk and Gareng. However, Bambang Pryinggada joins the conversation only in the end of the conversation. Thus this conversation happens between low classes. This conversation happens in the forest in which discussing about the coming of Bambang Priyanggada in the forest suddenly. Then, the low class tries to beg Bambang Priyanggada about his identity. During low class begs him, they do not let Bambang Priyanggada to talk. They just let him in the end of the conversation. But, before low class successes in interrogating Bambang Priyanggada, actually there is
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
134
something happens suddenly that Petruk gets misunderstand about the Togog’s statement. That is why Petruk asks Gareng to safe their majesty by saying “wah, kasihan ndoro Truk, mari kita tolong ke sana”. The factor which influences is only function. Based on the excerpt, there is no change in the topic of discussion, participant, and also the setting. This utterance is intentionally done by Petruk in order to motivate Gareng to join to safe their majesty. Thus, the type of code switching which occurs in this excerpt is a situational code switching. Giving Advice Excerpt (13) Raden Citraksi Patih sengkuni
Durmagati
: Man, ses ses ses Sengkuni kula man nyadung dawuh. (uncle, Sengkuni I ask an instruction) : O hala Citraksi kowe iki yen ora bisa ngomong mbok ora usa ngomong … supaya pusaka Ngamarta ora diselehake Petruk ben disilihake aku nang Petruk malah nantang karo aku diseret turut kale. Jangkrik ..krik .. (Citraksi, if you could not speak, you just no need to speak, please .. so the pusaka of Ngamarta will not be lent to Petruk, but for me. However, I just be kicked along the drainase, oh what a shit .. : Man, paman itu seorang patih seharusnya tidak boleh bicara jangkrik jangkrik karena itu artinya misuh man… (uncle, you are a prime minister, you are suppose to be not talking jangkrik-jangkrik because that swore is forbidden) (Transcription 3, Scene 2)
The context in the excerpt (13) can be described that the characters who join conversation are almost high class. But, there is one character who are not high class named raden Durmogati. This conversation takes place in alun-alun Ngamarta in which discussing about the patih Sengkuni ignored to borrow pusaka from Ngamarta. This situation can be called as formal situation because they are holding such little discussion or meeting. The factors which influence the use of code switching are participant and function. In this case, raden Durmogati suddenly comes in the middle of conversation. Further, because patih Sengkuni say something forbidden remember that he is a patih. Then, Durmogati tries to remind him that his utterance is wrong by switching into Indonesian. Based on the excerpt above, the function of code switching can be identified as giving advice. This can be seen from the excerpt that raden Durmagati has a good advice to make patih Sengkuni realize his wrong utterance. After all data were analyzed, it can be concluded that the function of code switching in the puppet show are suitable with the function of from Gumperz (1982). From the six functions of code switching which is stated by Gumperz, there are five functions are found by the writer in this study. They are addressee specification, interjection, reiteration, message qualification, and personalization versus objectivication. Besides, other functions of code switching in this study is also found by the writer such as giving advice, motivating friends, joking, expressing feeling, complaining, euphemism, and equivalence. CONCLUSION Just like human being, the puppet show can be said as a multilingual community by the various class societies in the story. It is supported by the various languages or codes used by different character that are Javanese and Indonesian during performance. The Javanese language itself divided into three varieties in spoken namely low variety (ngoko), middle variety (madya), and high variety (krama). Code switching employment among character in the puppet show happens in two ways, they are aware when doing the switching and they are not. When they are not aware with the language they switch, it means that code switching occurs because of nothing (metaphorical code switching). It is possibly happens because the puppeteer’s brain has been accustomed to the particular languages, especially Indonesian and Javanese. In short, the puppeteer linguistic repertoire is Javanese and Indonesian. Therefore, sometimes they may speak something using different language within one utterance and it is done unconsciously.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
135
Nevertheless, there is also code switching that they employ intentionally. They are aware when they utter this. Most of them are aware with the switching they do when the switch has a purpose such as to make a joke, share solidarity with interlocutors, etc. However, the tendency to employ situational code switching is more than metaphorical code switching. This fact reveals that although puppet show characters are various, the puppeteer tries to commit to use Javanese during performance. The tendency of using situational code switching also shows that they use the switching to create attractive performance to entertain the audiences. Meanwhile, the code switching in the puppet show is motivated by four factors; the scene, the participants, the aims, and the topics. Then, most of Javanese function is to intimate the participants horizontally while Indonesian is to build a gap among the character. Besides, Indonesian has a higher sense value than Javanese which makes Indonesian is appropriate enough in giving information and translation. Finally, Indonesian is a good also to create a joke and functions as a bridge for non-Javanese audiences to build intimacy with other Javanese audiences. Overall, the code switching among the character in the puppet show is one of the efforts to keep existence in this era. Through code switching, it is expected to make puppet show recognized by many people as Indonesian heritage. REFERENCES Abdillah, I. (2010). Tingkat Tutur Bahasa. Retrieved May 5, 2013, from http://nguriurijawa.blogspot.com/2010/05/tingkat-tutur-bahasa-jawa.html Arumingtyas, L. (2013). Wayang Kulitku Kini. Retrieved April 11, 2013, from: http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/21/wayang-kulitku-kini-544616.html Chaer, A. (2004). Sosiolinguistik: Perkembangan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Chan, B. (2004). Beyond “Contextualization” Code Switching as a Textualization Cue (Journal of Language and Social Psychology) 2004, 23:7 Gumperz, J. (1989). Strategies Discourse. England: Cambridge University Press. Holmes, J. (2001). An Introduction to Sociolinguistics: Second Edition. London: Pearson Education Limited. Isharyanti, N. (2009). Code Switching and Code Mixing in Internet Chatting: between ‘yes’, ‘ya’, and ‘si’ A Case Study (Jaltcall Journal), Vol.5, No.3, Pages 67-78 Kim, E. (2006). Reason and Motivation for Code switching and Code Mixing (Spring 2006 Issues in EFL), Vol.4 No.1 Mulyono, S. (1979). Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang: Sebuah Tinjuan Filosofis. Jakarta: PT Inti Idayu Press. Murtiyoso, B. (2004). Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta. Notopoertomo, M. (2010). 51 Karakter Tokoh Wayang Populer. Klaten: PT Hamafira BA, Soekatno. ( 1992). Wayang Kulit Purwa: Klasifikasi Jenis dan Sejarah. Semarang: CV Aneka Ilmu. Schau, Dellande, & Gilly. (2007). TheImpact of Code Switching on Service Encounters (Journalof Retailling 83), Vol.1, 2007, No. 65-78 Sudjarwo, H. (2010). Rupa dan Karakter wayang Purwa. Jakarta: Kaki Langit Kencana. Wardaugh, R. (2002). An Introduction to Sociolinguistics: Second Edition. United Kingdom: Blackwell Publishers. Wardaugh, R. (2005). An Introduction to Sociolinguistics: Fifth Edition. United Kingdom: Blackwell Publishers. Webster. (2006). English Dictionary. Batam: Karisma Publishing Group. Wells, M. (2011). Code switching in the Comedy of George Lopez (Apples-Journal of Applied Language Studies), Vol.5,1, 2011, No. 65-76
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
136
25 TINDAK TUTUR MEMUJI OLEH GURU PEREMPUAN DALAM INTERAKSI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Pandu Meidian Pratama Gamal Kusuma Zamahsari Pascasarjana Universitas Negeri Malang Abstrak: Penelitian tentang tindak tutur guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia ini dilandasi oleh pola komunikasi yang terjadi antara guru dan siswa dalam konteks pembelajaran di kelas. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan (1) wujud tindak tutur memuji, (2) fungsi tindak tutur memuji, dan (3) modus tindak tutur memuji yang dituturkan oleh kaum perempuan yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia. Selain mendeskripsikan wujud, fungsi, dan modus tindak tutur memuji, penelitian ini juga berusaha mendeskripsikan penggunaan bahasa perempuan dipandang dari sudut pandang budaya dan fitur-fitur yang digunakannya, yaitu (1) tag question, (2) avoidance of strong swear words, (3) superpolite form, dan (4) empty adjectives.
PENDAHULUAN Bahasa adalah alat komunikasi dan alat interaksi manusia. Melalui bahasa manusia mengungkapkan kepribadian, buah pikiran, maksud, keinginan, perasaan, dan juga jati diri. Bahasa adalah sistem yang terintegrasi, yang dalam hal ini segala sesuatu “berpadu” membentuk makna: kata, gramatika, dan alat ilokusionari. Pendapat tentang bahasa ini didasarkan pada fungsi utama bahasa sebagai alat komunikasi dan sistem bahasa sebagai pengemas makna. Sebagai alat komunikasi yang bermakna, bahasa berperan penting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Proses kegiatan belajar mengajar di sekolah menuntut siswa untuk mencapai kompetensi yang diharapkan oleh pendidik. Keinginan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan tersebut, pendidik mengaitkannya dengan kondisi psikologi siswa di kelas. Guru memiliki berbagai cara untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan, salah satunya dengan memberikan reward kepada para peserta didik. Bentuk reward yang mudah ditemukan dalam interaksi pembelajaran adalah memberikan motivasi dalam bentuk memuji peserta didik yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku dan cara belajar siswa yang menyangkut ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tindak tutur memuji yang dilakukan guru kepada siswa dalam rangka mengubah cara belajar dan tingkah laku merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap prestasi belajar yang ditunjukkan oleh siswa. Berkaitan dengan tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas, guru perempuan memiliki perbedaan dalam berbahasa dengan guru laki-laki. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Brown (1980:112) yang menyebutkan bahwa gaya tutur perempuan ditandai dengan ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan, dan kesopanan. Gaya tutur perempuan ditandai oleh ciri-ciri yang menunjukkan keraguan, kesementaraan, dan kesopanan. Kaum perempuan secara umum akan berbicara lebih formal dan lebih sopan, karena kaum perempuan secara kultural diposisikan pada status yang relatif sekunder terhadap laki-laki dan karena tingginya kadar kesopanan dimunculkan dari bawahan kepada atasan. Tindak tutur memuji oleh perempuan yang berprofesi sebagai guru dalam kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia merupakan suatu fenomena dari kegiatan tindak tutur yang berhubungan dengan ilmu pragmatik. Selain pendapat Brown yang menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki pilihan bahasa yang khas, terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa bahasa perempuan adalah bahasa yang dimiliki oleh komunitas perempuan saja. Pendapat ini dijelaskan oleh Jespersen (1954:237) yang menyatakan wanita itu memiliki kata-kata dan frase yang kaum lain dalam hal ini laki-laki tidak pernah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
137
menggunakannya, dengan demikian membuktikan bahwa dalam percakapan mereka tampak seolah-olah kaum perempuan memiliki bahasa lain daripada laki-laki. Salah satu contohnya disebutkan oleh Jespersen (1954:250) bahwa perempuan agak malu-malu dalam berbahasa. Lebih lanjut Jespersen juga mengungkapkan bahwa perempuan lebih sering menggunakan kata sifat apabila dibandingkan dengan laki-laki dalam berbahasa misalnya, perempuan kerap menggunakan adorable, charming, sweet, atau lovely dibandingkan dengan kata yang netral, seperti great, terrific, cool, atau neat. Tindak tutur memuji yang disampaikan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas, tentu harus berdasarkan konteks dan teks yang dituturkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Austin (1962:26) bahwa terdapat dua aspek kondisi yang memengaruhi tindak tutur yaitu (1) konteks yang membuat tuturan itu benar dan sesuai dan (2) teks sebagaimana yang diucapkan sesuai dengan yang dilakukan. Selain itu, Halliday (1994:6) mengemukakan bahwa konteks adalah teks yang menyertai teks. Artinya konteks itu hadir menyertai teks. Kebermaknaan suatu tindak tutur memuji di dalam interaksi pembelajaran, tidak dapat lepas dari konteks yang melatarbelakangi. Penggunaan bahasa dalam gender tidak hanya berkaitan dengan preferensi lingusitiknya saja, namun juga hal-hal yang menyangkut psikologis penutur. Hal ini dijelaskan oleh Lakoff (2004:67) bahwa ada beberapa hal yang mendasari munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Laki-laki digambarkan berbahasa lebih tegas, matang, dan suka berbicara terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Berbeda dengan bahasa perempuan yang tidak tegas, tidak secara terang-terangan dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta sering meggunakan kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat/metapesan. Terdapat penelitian sejenis yang membahas tentang tindak tutur perempuan yaitu (1) Daya Pragmatik Tindak Tutur Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama oleh Yuliana, Rohmadi, dan Suhita (2013), (2) Speech Acts and Politeness Strategies in an EFL Classroom in Georgia oleh Kurdghelashvili (2015), dan (3) Bahasa Perempuan Sebagai Kajian Budaya Warna Lokal Jawa dalam Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin dan Madam Kalinyamat: Penentuan Sastra Marginal oleh Puji Retno Hardiningtyas (2010). Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, maka secara umum fokus penelitian ini adalah “Mendeskripsikan tindak tutur memuji yang dilakukan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang”. Masalah umum tersebut dapat dirinci dalam tiga sub masalah yaitu (1) wujud tindak tutur memuji yang dituturkan guru perempuan kepada siswa kelas X dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, (2) fungsi tindak tutur memuji yang dituturkan guru perempuan kepada siswa kelas X dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, dan (3) modus tindak tutur memuji yang dituturkan guru perempuan kepada siswa kelas X dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMKN 6 Malang. Sejalan dengan hal tersebut, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut yaitu deskripsi penelitian yang faktual dan alamiah. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena dilakukan pada beberapa subjek penelitian pada satu latar belakang tertentu, yaitu peristiwa tindak tutur memuji dalam konteks interakasi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Berdasarkan orientasi teorisisnya, penelitian dilakukan dengan kajian sosiopragmatik. Penggunaan jenis keilmuan ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa penelitian tersebut memiliki karakteristik yang sesuai dengan fokus penelitian. Jenis tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai permasalahan yang secara implisit sehingga dapat diketahui deskripsi tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Oleh sebab itu, dalam proses analisis datanya, penelitian ini memadukan cara kerja yang digunakan dalam penelitian bahasa yaitu teori tindak tutur dan teori bahasa perempuan. METODOLOGI Tujuan penelitian ini mendeskripsikan fitur-fitur tuturan yang digunakan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMKN 6 Malang. Sejalan dengan hal tersebut,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
138
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut yaitu deskripsi penelitian yang faktual dan alamiah. Data yang diperoleh berupa data kata-kata, bukan data angka yang disertai perhitungan statistik. Hal ini sesuai dengan hakikat penelitian kualitatif yaitu mempelajari sesuatu di dalam latarnya yang alamiah dan berusaha untuk memahaminya. Menurut Bogdan dan Biklen (2003:33-36) penelitian kualitatif memiliki karakteristik (1) penelitian ini menggunakan latar alamiah atau pada konteks suatu keutuhan yang berasal dari tindak ilokusi memuji guru perempuan kepada siswa di dalam kelas selama kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung, (2) penelitian ini bersifat deskriptif karena data penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat dan bukan angka-angka, (3) penelitian ini disamping mengutamakan proses juga hasil atau produk, (4) analisis data bersifat deskriptif dan induktif, dan (5) makna dipandang sebagai sesuatu yang esensial, artinya hasil analisis data dan temuan penelitian bermakna dalam konteksnya. Pendeskripsian fitur-fitur tuturan yang digunakan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang berorientasi pada teori pragmatik. Menurut Miles dan Huberman (1992:16-20) jenis penelitian deskriptif kualitatif pada deskripsi fitur-fitur tuturan guru perempuan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, menganalisis data berdasarkan bahan yang diperoleh tanpa menambah atau mengurangi data kemudian menganalisisnya. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena dilakukan pada beberapa subjek penelitian pada satu latar belakang tertentu, yaitu peristiwa tindak tutur guru perempuan dalam konteks interakasi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Berdasarkan orientasi teorisisnya, penelitian dilakukan dengan kajian sosiopragmatik. Penggunaan jenis keilmuan ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa penelitian tersebut memiliki karakteristik yang sesuai dengan fokus penelitian. Jenis tersebut dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai permasalahan yang secara implisit sehingga dapat diketahui deskripsi fitur-fitur tuturan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas. Salah satu ciri penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah peneliti sebagai alat atau instrumen. Moleong (2014:9) mengatakan, peneliti merupakan alat pengumpul data utama. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci. Oleh karena itu, pada waktu pengumpulan data di lapangan, kehadiran peneliti sangat diwajibkan sekaligus dituntut peran aktif peneliti dalam penelitian ini. Peran peneliti dalam penelitian yaitu sebagai pengamat penuh, peneliti hanya mengamati penggunaan fitur-fitur tuturan guru perempuan kepada siswa tanpa terlibat di dalam interaksi tersebut. Instrumen penelitian yang digunakan untuk menjaring data ada dua macam, yaitu instrumen utama dan instrumen tambahan. Instrumen utama yang dimaksud adalah peneliti berperan aktif dalam rangka mendapatkan data. Data di dalam penelitian ini, peneliti secara aktif mengamati, mencatat, merekam tuturan, mentranskripsi, sekaligus menginterpretasikan data, untuk selanjutnya menyimpulkan kesistematisan fungsi tutur berdasarkan kaidah fungsi di SMKN 6 Malang. Aspek-aspek tuturan yang dicatat adalah wujud tuturan dan konteksnya. Sedangkan instrumen tambahan yang dimaksud adalah alat perekam dan catatan lapangan. Dikatakan sebagai instrumen tambahan karena fungsinya sebagai alat bantu peneliti untuk mendapatkan data penelitian di lapangan. Data kajian ini difokuskan pada data tentang penggunaan bahasa yang berwujud tuturan dalam suatu wacana tuturan. Data bersumber dari tindak tutur perempuan yang berprofesi sebagai guru di SMKN 6 Malang yang diperoleh dari interaksi yang bersifat formal dan nonformal. Interaksi tersebut menghasilkan wacana tuturan bahasa Indonesia resmi dan wacana tuturan bahasa Indonesia tidak resmi. Wacana bahasa Indonesia resmi dan tidak resmi diperoleh dari kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas. Pengambilan latar resmi dan tidak resmi dilakukan sebab tindak ilokusi memuji ditentukan oleh aspek-aspek latar, situasi tutur, dan konteks tutur. Sumber data diambil dari empat orang guru perempuan yang berinteraksi secara langsung di dalam kelas. Interaksi yang dilakukan antara guru perempuan dengan murid di dalam kelas terdapat fenomena linguistik. Terkait fokus penelitian, tindak tutur guru perempuan tersebut berbentuk kalimat yang digunakan oleh guru perempuan kepada siswa yang telah ditranskrip dalam bentuk teks tertulis serta diidentifikasi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
139
berdasarkan fokus penelitian yang berisi deskripsi tindak tutur guru perempuan kepada siswa yang berfokus pada tindak ilokusi ekspresif memuji dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti. Berbekal kajian teori dan metodologi pendidikan yang relevan, peneliti secara aktif melakukan observasi dan penelitian terhadap subjek penelitian. Data yang terkumpul selanjutnya akan diseleksi dan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam melakukan penelitian ini, peneliti dilengkapi dengan instrumen pendukung yaitu alat rekam sebagai perekaman data penelitian dan instrumen pengumpulan data. Dengan instrumen tersebut diharapkan diperoleh data yang sesuai dengan fokus penelitian sehingga dapat mencukupi data yang diinginkan oleh peneliti. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga teknik, yaitu perekaman, observasi, dan catatan lapangan. Teknik perekaman digunakan untuk mendapatkan data deskriptif. Teknik ini digunakan dengan bantuan alat perekam elektronik yang dapat digunakan sebagai alat perekam. Perekaman dilakukan secara tidak mencolok agar tuturan yang direkam dapat menghasilkan data yang alamiah sesuai tujuan penelitian ini. Kegiatan ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai diperoleh data yang dibutuhkan. Setelah melakukan perekaman dengan alat perekam, peneliti mentranskripsikan hasil rekaman secara bertahap dimulai sejak perekaman pertama sampai akhir. Selain kegiatan perekaman, dilakukan pula observasi. Kegiatan observasi adalah kegiatan “merekam” suatu gejala. Kegiatan observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, peneliti terjun langsung dan terus menerus, serta melibatkan diri secara aktif dalam objek yang diteliti. Cara tersebut disebut sebagai observasi partisipan-aktif, yaitu dengan cara mengobservasi tindak tutur guru bahasa Indonesia perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di kelas secara alamiah. Kedua, peneliti hanya berperan sebagai penerima dan tidak berperan serta dalam interaksi. Cara ini disebut sebagai partisipan-pasif karena tidak melakukan kegiatan intervensi di dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia. PEMBAHASAN Wujud Tindak Tutur Memuji Berdasarkan temuan di lapangan, wujud tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, berupa wujud tindak tutur memuji langsung dan tidak langsung. Wujud tindak tutur memuji langsung dan tidak langsung merupakan realisasi dari pandangan Searle yang memandang bahwa dalam percakapan, partisipan tidak selalu mengatakan apa yang dimaksudkan. Searle (1975:61) mengatakan bahwa fenomena ini sebagai ilokusi tidak langsung (indirect illocution) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), yaitu tindak yang dilakukan secara tidak langsung melalui tindak ilokusi lain. Pengertian tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung didasarkan pada dua dimensi, yaitu pilihan pada bentuk dan pilihan pada isi. Penjelasan tentang wujud tindak tutur memuji akan diuraikan sesuai dengan data di lapangan, sebagai berikut. Wujud Tindak Tutur Memuji Bersifat Langsung Kriteria memuji yang bersifat langsung berdasarkan tingkat kelangsungan sebuah tuturan yang dapat diukur dari besar kecilnya jarak tempuh. Kriteria kelangsungan berkenaan dengan seberapa panjang jarak yang ditempuh oleh “daya ilokusi” sampai tiba di “tujuan ilokusi”. Semakin dekat jarak tempuh ilokusi dari Pn kepada Mt, maka akan semakin langsung tuturan tersebut. Tindak tutur memuji langsung ditemukan dalam tuturan memuji berikut ini. (1) Guru
:
Rado
:
“Sebelum aktivitas belajar dimulai, silakan ketua kelas memimpin berdoa terlebih dahulu, silakan ketua kelasnya Rado cah bagus segera dipimpin berdoa teman-temannya!” (tersenyum) “Iya Bu.”
Pada tuturan (1), guru memuji ketua kelas yaitu Rado dengan sapaan cah bagus dimaksudkan agar anak tersebut segera melakukan tugasnya yaitu menyiapkan teman-temannya untuk memulai pembelajaran dengan berdoa. Pada tuturan tersebut, fitur tuturan perempuan yang khas juga dimunculkan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
140
yaitu bentuk superpolite form. Superpolite form yang dimunculkan oleh guru tersebut saat memuji, digunakan dalam bentuk tuturan yang sifatnya imperatif atau memerintah dengan mengutamakan kesopanan yang halus. Wujud tindak tutur memuji langsung juga dapat terdapat pada tuturan berikut ini. (2) Siswa Guru
:
(menjawab tapi tidak serentak) “Abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, koda Bu.” : “Nah bagus, lha itu masih ingat kok katanya lupa? Coba Rina, selain struktur teks anekdot, tentu ada unsur kebahasaan yang khas. Sebutkan unsurnya, Rin!”
Pada tuturan (2), guru memuji para siswa yang berhasil menguraikan struktur yang terkandung di dalam teks anekdot, meski pada awalnya memuji tetapi guru pada akhirnya sedikit ragu dengan sikap siswa yang sebelumnya terdiam ketika diberi pertanyaan tetapi tidak memberikan respons apapun pada pertanyaan yang diajukan oleh guru. Pada tuturan ini muncul fitur bahasa perempuan berupa tag question yang menunjukkan keraguan guru dalam memuji para siswa dengan pertanyaan “lha itu masih ingat kok katanya lupa?”. Wujud tindak tutur memuji langsung juga ditemukan pada tuturan berikut (3) dan (4) ini. (3) Guru Siswa (4) Guru
: “Nah, itu masih ingat, coba apa saja?” : (menjawab tapi tidak serentak) “Abstraksi, koda, Bu.” : “Sip, pertahankan yang seperti ini ya!”
orientasi,
krisis,
reaksi,
Pada tuturan (3) tersebut, guru memberikan pujian langsung dengan penanda “nah itu masih ingat.” Tuturan tersebut dimaksudkan untuk memuji ketepatan jawaban siswa dalam meguraikan struktur teks anekdot. Hal ini dilakukan untuk membangun kembali kemampuan mengingat siswa dalam hal mengingat kembali pembelajaran pada pertemuan sebelumnya. Pada tuturan tersebut terdapat fitur bahasa perempuan yaitu tag question. Fungsi tag question pada tuturan ini memiliki fungsi yaitu memberikan efek memperkuat pernyataan bahwa siswa-siswinya tidak lupa dengan pembelajaran seelumnya. Sedangkan pada tuturan (4) guru memunculkan fitur superpolite form untuk memerintah siswa agar mempertahankan prestasi belajarnya. Selain itu, tuturan ini merupakan bentuk tuturan memuji siswa. (5) Guru
: “He.em bagus terus opo lagi sik banyak lho ini pasti wes lupa, ya kan?”
Pada tuturan (5) tersebut, guru memuji siswa yang dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tuturan memuji ditandai dengan kata “bagus”. Tuturan memuji yang diajukan oleh guru nampak ragu-ragu. Hal ini ditandai dengan adanya tag question di akhir kalimat. Penggunaan tag question pada tuturan tersebut, tidak sekadar menjawab iya atau tidak pertanyaan yang diajukan Pn yaitu guru kepada Mt yaitu siswa, tetapi guru tersebut menginginkan jawaban yang lebih dari itu. Berdasarkan data tuturan (1), (2), (3), (4), dan (5) di atas, guru melakukan strategi memuji langsung sebagai bagian dari interaksi pembelajaran bahasa Indonesia. Dari data tersebut, diketahui bahwa guru lebih mendominasi interaksi pembelajaran daripada siswa. Hal ini diakibatkan oleh posisi guru di dalam kelas lebih mutlak daripada siswa. Selain itu, ditemukan beberapa fitur bahasaperempuan yang tetap dipertahankan yaitu superpolite form dan tag question. Temuan data tentang penggunaan superpolite form dan tag question dalam tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, dapat memperkuat bahwa guru perempuan ketika melakukan tindak tutur memuji langsung kepada siswa sebagai bagian memberikan penghargaan, tidak meninggalkan ciri khas kebahasaannya sebagai perempuan. Wujud Tindak Tutur Memuji Bersifat Tidak Langsung Kriteria tindak tutur memuji yang sifatnya tidak langsung didasarkan pada semakin jauh jarak tempuh ilokusi dari Pn ke Mt, maka akan semakin tidak langsung tuturan tersebut. Deskripsi tindak tutur memuji tidak langsung yang dilakukan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang dipaparkan pada tuturan (6) berikut ini. (6) Guru
: “Lho, kok lupa dan terdiam semuanya?? Ini terlalu pintar atau terlalu meremehkan materi? (sambil tersenyum). Oke, sekarang Ibu mulai ingatkan kalian pelan-pelan. Masih ingat dengan struktur teks anekdot?”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
141
Siswa
:
(menjawab serentak) “Masih, Bu.”
Pada tuturan (6) guru melakukan strategi memuji tidak langsung dalam bentuk pertanyaan sebagai bentuk memancing siswa agar dapat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Penanda bahwa guru memuji siswanya adalah kalimat “Ini terlalu pintar atau terlalu meremehkan materi?”. Pada kutipan tuturan tersebut, guru bertanya kepada siswa dengan menyisipkan kata pintar, sehingga terkesan memuji siswa tetapi sebetulnya tidak. Pada tuturan tersebut, guru perempuan tersebut juga menggunakan fitur bahasanya berupa tag question. Fitur tag question ini digunakan dalam hal ketika penutur dan mitra tutur mengetahui apa jawaban yang semestinya, dan tidak membutuhkan konfirmasi. Wujud tindak tutur memuji tidak langsung juga terdapat pada tuturan (7) berikut ini. (7) Guru : “Wih kok pinter banget TKJ 1 sampai-sampai yang diingat hanya materinya saja.” Pada tuturan (7) guru melakukan strategi memuji tidak langsung berupa kata pintarnya sebagai bentuk sindiran. Pada kutipan tuturan tersebut, guru menyindir halus siswa dengan tujuan agar siswa tidak merasa sedang disalahkan. Fitur bahasa perempuan yang muncul adalah empty adjectives. Fitur ini muncul dengan penanda pinter banget sebagai bentuk kata sifat spesifik yang menunjukkan persetujuan atau kekaguman penutur terhadap sesuatu. Berdasarkan data tuturan (6) dan (7), guru menggunakan strategi memuji yang sifatnya tidak langsung dengan tujuan yang berbeda. Pada tuturan (6) dan (7) strategi tindak tutur memuji tidak langsung dlakukan untuk menyindir siswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, sehingga guru tersebut menggunakan tuturan yang seolah memuji tetapi pada akhirnya buka itu tujuan yang sesungguhnya dan digunakan guru untuk memerintah siswa. Pada tuturan ini guru perempuan tidak meninggalkan ciri khas kebahasaannya dengan memakai fitur bahasa berupa tag question dan superpolite form. Fungsi Tindak Tutur Memuji Secara umum fungsi tindak tutur memuji adalah untuk menjalin hubungan antarpartisipan agar lebih akrab. Terdapat empat fungsi tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, yaitu (1) fungsi memperhalus perintah, (2) fungsi memperhalus teguran, (3) fungsi memberi penguatan, dan (4) fungsi penerimaan. Keempat fungsi tersebut dipaparkan sebagai berikut. Fungsi Memuji untuk Memperhalus Perintah Pujian dapat menjalankan fungsi perintah atau imperatif secara halus. Fungsi pujian memperhalus perintah ditemukan dalam tuturan (8) berikut. (8) Guru : “Supaya kalian tidak malas-malasan di rumah dan tambah pintar lagi materi anekdot ini, silakan baca teks anekdot halaman 108 berjudul Politisi Blusukan, lalu kerjakan tugas di bawahnya!” Pada tuturan (8) guru memuji siswanya yang telah usai mengerjakan tugasnya. Tuturan tersebut terjadi pada saat kegiatan penutupan pembelajaran, yaitu guru memberikan tugas rumah kepada seluruh siswa. Pada tuturan tersebut, tuturan memuji ditandai dengan “tambah pintar”. Hal tersebut merupakan bentuk memperhalus perintah dan merupakan bentuk fitur superpolite form yang dituturkan guru saat memerintah siswanya. Fitur superpolite form pada tuturan tersebut berfungsi untuk agar Pn mengajukan perintah yang santun kepada Mt. Fungsi memuji untuk memperhalus perintah juga tampak pada tuturan (9) dan (10) berikut ini. (9) Guru : “Sudah ayo ndang disiapkan. Pimpin berdoa terlebih dahulu biar barokah dan masuk kepala kalau belajar!” (10) Guru : “Ini yang piket siapa? Tolong dihapus papan tulisnya!” Pada tuturan (9) guru memerintahkan ketua kelas agar kelas dalam kondisi siap dan melakukan doa sebelum pelajaran. Ketika memerintah, guru menyisipkan penawaran kepada siswa dalam bentuk “biar barokah” dan (10) guru memerintahkan siswa untuk menghapus papan tulis. Agar perintah yang dituturkan oleh guru seolah tidak memaksa siswa, maka guru menggunakan kata tolong sebagai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
142
permohonan. Kata tolong ini sebenarnya merupakan bagian dari fitur bahasa perempuan yaitu superpolite form. Berdasarkan tuturan (8), (9), dan (10) dapat disimpulkan bahwa tuturan memuji dapat berfungsi untuk memperhalus perintah. Ketika pembelajaran berlangsung, guru perempuan menggunakan strategi memuji untuk memerintah untuk memudahkan mengondisikan siswa. Selain itu, penggunaan kata tolong sebagai bagian dari strategi memuji untuk memperhalus perintah merupakan bentuk eksistensi kaum perempuan dalam hal ini adalah guru perempuan. Fungsi Memuji untuk Memperhalus Teguran Data tuturan yang dilakukan selama penelitian menunjukkan adanya tindak tutur memuji yang disampaikan oleh guru memiliki fungsi untuk menegur siswa dengan cara halus. Bentuk teguran yang dihaluskan dengan cara memuji tersebut dapat dilihat pada tuturan (11) berikut ini. (11) Guru : “Ini demi kebaikanmu juga. Banyak PR tetap harus belajar. Wes ya silakan dikerjakan di rumah, wong hanya 10 soal saja kok. Baiklah, kita akhiri dahulu pertemuan hari ini. Terima kasih. Wassalammualaikum Wr.Wb.”
Pada tuturan (11) tersebut, guru melakukan teguran dengan cara memuji siswa yang melakukan protes. Tindak tutur memuji dengan fungsi menegur ditandai dengan “Ini demi kebaikanmu.” Fitur bahasa perempuan yang nampak pada tuturan tersebut adalah superpolite form yang berfungsi untuk memperhalus perintah. Fungsi memuji untuk memperhalus perintah juga nampak pada tuturan (12) berikut ini. (12) Rina Guru
: “Masih bingung, bu” :“Astaghfirullahhaladzim, Rin. Ini kan pertanyaan mudah, yang lain pasti bisa menjawab. Masuk ulangan semesteran lho ini. Kamu kalau malam pasti tidak belajar, ya kan?”
Pada tuturan (12) tersebut, guru perempuan guru perempuan menggunakan dua fitur bahasa perempuan sekaligus yaitu avoidance of strong swear words dan tag question. Penggunaan avoidance of strong swear words sebagai bentuk menghindar dari kata-kata kasar digunakan saat siswa tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru dengan penanda Astaghfirullahhaladzim. Fitur lain yaitu tag question dapat dilihat pada pertanyaan “Kamu kalau malam pasti tidak belajar, ya kan?”. Penggunaan tag question dalam pertanyaan tersebut digunakan untuk memastikan bahwa siswa tersebut benar-benar tidak belajar, meski guru tahu bahwa siswa tidak belajar. Berdasarkan data tuturan (11) dan (12) tersebut, guru melakukan strategi memuji yang berfungsi untuk memperhalus teguran. Pada paparan data tersebut, diketahui guru dalam hal ini Pn melakukan strategi memuji kepada siswa yaitu Mt yang berfungsi sebagai perintah. Strategi memuji untuk memerintah tersebut digunakan agar sisiwa tidak merasa mendapatkan perintah secara langsung dari guru. Selain itu, ditemukan beberapa fitur bahasa perempuan yang tetap dipertahankan yaitu superpolite form, avoidance of strong swear words, dan tag question. Temuan data tentang penggunaan superpolite form, avoidance of strong swear words, dan tag question dalam fungsi tindak tutur memuji untuk memperhalus teguran oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang menyimpulkan bahwa dalam memerintah siswa, guru perempuan cenderung menggunakan strategi memuji dan tidak memilih melakukan perintah secara langsung, tetapi lebih santun. Fungsi Memuji untuk Memberikan Penguatan Berdasarkan data penelitian yang ditemukan, tindak tutur memuji dapat berfungsi untuk mendukung penampilan. Indikatornya adalah (a) Pn menggunakan tuturan memuji agar Mt memiliki rasa percaya diri, (b) Pn menggunakan tuturan memuji agar dapat merawat kohesi sosial dalam hal ini guru dan siswa. Fungsi memuji untuk memberikan penguatan nampak pada tuturan (13) berikut ini. (13) Guru
: “Kalau muridnya pintar, cerdas, terus nilainya bagus-bagus itu lho gurunya juga ikutan senang. Sudah kerjakan 30 menit, boleh diskusi dengan teman sebangku.”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
143
Pada tuturan (13) guru melakukan tindak tutur memuji yang berfungsi untuk memberikan penguatan. Tuturan tersebut terjadi pada saat guru siswa mengeluh karena mendapatkan tugas yang banyak dari guru. Guru menuturkan tuturan pintar, cerdas, dan nilai bagus untuk memberi penguatan dan semangat belajar pada siswa. Berkaitan dengan fitur bahasa perempuan maka tuturan di atas termasuk ke dalam superpolite form, karena guru memberikan saran yang halus kepada siswa. Fungsi Memuji untuk Penerimaan Siswa Pada data tindak tutur memuji ditemukan tuturan yang berfungsi sebagai penerimaan terhadap suatu pendapat. Indikator penerimaan siswa ditandai dengan tuturan memuji “jelas, Bu”, Paham, Bu” hal ini dapat dilihat pada konteks tuturan yang melatari, yakni pada saat guru menjelaskan pelajaran, siswa ramai sehingga guru kesal. Dalam hal ini siswa menggunakan prinsip kerjasama agar guru mengurangi rasa kecewannya. Fungsi memuji untuk penerimaan siswa dapat diperhatikan pada tuturan (14) berikut ini. (14) Guru Siswa
: “Berarti sudah jelas semuanya? Tidak ada yang pertanyaan?” : “Jelas, Bu.”
Pada tuturan (14) situasi terjadi pada saat akhir pembelajaran dan guru telah menyimpulkan halhal yang sudah dipelajari pada materi tersebut. Hal yang paling umum adalah pada akhir pembelajaran guru selalu ingin memastikan bahwa tidak ada penjelasan materi yang tertinggal, namun ada kalanya siswa asal sudah selesai maka dijawab “jelas bu” atau “paham bu.” Modus Tindak Tutur Memuji Berdasarkan analisis terhadap interpretasi wujud tindak tutur memuji oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang, ditemukan lima bentuk modus tuturan memuji yaitu (1) menguatkan, (2) memerintah, (3) mengkritik, (4) basa-basi, dan (5) menyetujui. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Memuji Sebagai Modus Menguatkan Wujud tindak tutur memuji sebagai modus menguatkan sesuatu yang positif merupakan pujian yang paling banyak ditemukan dalam kegiatan belajar mengajar. Pujian dengan interpretasi menguatkan ini ditemukan dalam pujian guru perempuan kepada siswanya. Dalam situasi kegiatan belajar mengajar guru sering memberikan penguatan pada siswa atas keberhasilan meraih nilai bagus, mampu menjawab pertanyaan, atau prestasi yang telah dicapai. Modus memuji sebagai penguatan dapat dilihat pada kutipan tuturan (15) berikut ini. (15) Guru : “Wah saya terkejut banget lo ini. Ternyata Ryan jawabnya Lengkap sekali. Bagus, Le. Pasti belajar ini semalam. Kalau terlihat cerdas begini kan banyak perempuan yang mendekati kamu akhirnya.” Pada tuturan (15) tersebut, guru melakukan modus memuji bagus dan terlihat cerdas sebagai menguatkan siswa. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari strategi meningkatkan rasa percaya diri yang dimiliki siswa. Fitur bahasa perempuan yang muncul pada tuturan tersebut adalah empty adjectives yaitu pada kalimat “wah saya terkejut lo ini. Fitur dengan penanda “wah” tersebut menunjukkan kekaguman penutur terhadap sesuatu yang didengarnya yaitu ketika siswa bisa menjawab pertanyaan dengan tepat dan lengkap. Memuji sebagai modus menguatkan juga muncul pada tuturan (16) dan (17) berikut ini. (16) Guru : “Nah gitu lho bisa menjawab. Selain konjugsi atau kata hubung, yaitu adanya verba atau kata kerja. Tadi selain konjungsi, verba, ada juga partisipan manusia, lalu anekdot itu mengandung lelucon atau humor yang menyindir dan mengkritik tokoh yang hangat diperbincangkan. Selain itu apa lagi ada yang bisa jawab?” (17) Guru : “Sudah kerjakan saja secara individu. Nanti juga pasti dapat nilai yang bagus kok.”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
144
Pada tuturan (16) dan (17) tersebut, guru melakukan tindak tutur memuji dengan tujuan untuk menguatkan motivasi siswa atas keberhasilan siswa dapat menjawab pertanyaan guru dan memotivasi siswa supaya mengerjakan tugas dengan baik. Memuji Sebagai Modus Memerintah Tuturan memuji dapat digunakan sebagai modus memerintah. Memuji sebagai modus memerintah dilakukan oleh guru sebagai Pn kepada siswa sebagai Mt. Hal ini dilakukan oleh Pn untuk Pada bagian ini akan dipaparkan data tindak tutur memuji yang digunakan sebagai perintah. (18) Guru : “Ayo Le, hapus papannya! Kamu tinggi kalau menghapus pasti bersih semuanya.”
Pada tuturan (18) tersebut, guru perempuan memerintah siswanya untuk menghapus papan tulis, tetapi guru tidak sekedar memerintah saja tetapi memberikan pujian terhadap siswa tersebut yang memiliki postur yang tinggi. Pada tuturan memuji ini, guru memunculkan fitur bahasa perempuannya yaitu superpolite form. Fitur tersebut merupakan bentuk memerintah yang sangat sopan, yang tidak memerlukan kepatuhan secara terang-terangan tetapi menyarankan sesuatu untuk dilakukan sebagai suatu pertolongan atau simpati kepada penutur. Memuji Sebagai Modus Mengkritik Memuji juga dapat digunakan untuk mengkritik orang lain. Mengkritik merupakan tindak mengancam muka. Tindakan yang mengkritik adalah suatu tindakan yang menunjukkan kelemahan seseorang. Keberadaan pujian mereduksi tindakan mengancam muka. Tindakan mengkritik yang disampaikan oleh guru justru memberikan solusi namun kritikannya menggiring siswa pada kelakuan positif. Memuji sebagai modus mengkritik dapat dilihat pada tuturan (19) berikut ini. (19) Guru Ryan
: “Sudah, sudah. Cukup bercandanya. Lama-lama pintar juga Ryan ini ya. Padahal kelihatannya biasa saja. Pertahankan kecerdasanmu, Le” : “Iya, Bu.”
Memuji Sebagai Modus Menyetujui Memuji juga dapat digunakan untuk menyetujui. Paparan data berikut ini merupakan pujian yang memiliki makna menyetujui yang dituturkan guru perempuan pada siswanya. Indikatornya adalah (a) Mt memahami tuturan memuji Pn yang bertujuan meminta persetujuan atau penegasan, (b) Respon Mt menyetujui, menolak permintaan Pn. Hal ini dapat diperhatikan pada tuturan (20), (21), (22), dam (23) berikut ini. (20) Guru : “Baik setelah mengerjakan tugas tadi adakah yang tidak dipahami?” Siswa : “Tidak ada, Bu.” (21) Guru : “Berarti sudah jelas semuanya? Tidak ada yang pertanyaan?” Siswa : “Jelas, Bu.” (22) Guru : “Iya sama-sama. Wes ya saya tunggu hasilnya jika belum paham silakan ditanyakan.” Siswa : “Paham, Bu.” (23) Guru : “Oke, sudah paham ya penjelasan masalah struktur teks negosiasi, ciriciri kalimat santun dalam teks negosiasi, dan faktor-faktor dalam teks negosiasi.” Siswa : “Sudah paham Bu.”
Pada tuturan (20), (21), (22), dan (23) tersebut, Pn yaitu guru bahasa Indonesia mengajukan pertanyaan dan dapat dipahami oleh Mt yaitu siswa. Respons yang diberikan oleh Mt berupa persetujuan atas permintaan Pn dan Mt nampak memahami tuturan memuji Pn. Selain itu, ketika melakukan tuturan memuji sebagai modus menyetujui tersebut guru perempuan masih belum yakin dengan pengakuan kepahaman siswa sehingga masih disertai fitur tuturan dalam bentuk tag question di akhir tuturan seperti, “Masak sudah paham?”, “Kok tidak ada yang bertanya?”, “Dari zaman saya dulu pertama ngajar sampai sekarang tidak pernah ada lho yang bertanya, sebetulnya jelas apa blas?”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
145
SIMPULAN Penelitian ini mengungkapkan tentang deskripsi bentuk tindak tutur memuji yang dituturkan oleh guru perempuan dalam interaksi pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Negeri 6 Malang. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada data penelitian. Bagi peneliti lain, dapat mengambil topik ini dengan menambah data sehingga dapat merepresentasikan bentuk tindak tutur memuji yang dilakukan perempuan dengan berbagai macam profesi secara luas. Peneliti lain juga dapat membandingkan bentuk tindak tutur memuji perempuan dengan tindak tutur memuji laki-laki, karena pada dasarnya fitur bahasa perempuan dan fitu bahasa laki-laki berbeda. Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif rujukan dalam hal peneltian bahasa dan gender. Selain itu, Penelitian ini dapat menjadi acuan bahwa perempuan tidak meninggalkan ciri khas kebahasaannya. REFERENSI Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press. Bogdan, R. C. dan Biklen S. K. 2003. Qualitative research for education : an introduction to theory and methods. Boston: Ally and Bacon. Brown, P. 1980. How and Why Are Women More Polite: Some Evidence From A Mayan Community. New York: Praeger. Halliday, M.A.K. dan Martin, J. R. 1993. Writing Science: literacy and discursive power. London: Falmer. Hardiningtyas, P. R. 2010. Bahasa Perempuan Sebagai Kajian Budaya Warna Lokal Jawa dalam Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin dan Madam Kalinyamat: Penentuan Sastra Marginal. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa, Magister Linguistik PPS UNDIP Semarang, 6 Mei 2010. Jespersen, O. 1954. Language: It’s Nature, Development, and Origin. London: George Allen & Unwin. Kurdghelashvili, T. 2015. Speech Acts and Politeness Strategies in an EFL Classroom in Georgia. International Journal of Social, Education, Economics and Management Engineering, (Online), 9 (1): 306-309, (https://www.waset.org/abstracts/17320), diakses 9 Juni 2015. Lakoff, R. T. 2004. Language and Woman's Place: Text and Commentaries. New York: Oxford University Press. Miles, M. dan Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta:UI Press. Moleong, L. J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Searle, J. R. 1975. Indirect Speech Acts. Dalam Cole, P. & Morgan, J. L. (Eds.), Syntax and Semantics, vol. 3: Speech Acts (hlm. 59-82). New York: Academic Press. Yuliana, R., Rohmadi, M., dan Suhita, R. 2013. Daya Pragmatik Tindak Tutur Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal BASASTRA Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya, (Online), 2 (1): 1-14, (http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/bhs_indonesia/article/view/2146/15 1), diakses 11 Juni 2015. Wierzbicka, A. 1991. Pragmatics, The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
146
26 RHETORICAL FEATURES IN RESEARCH ARTICLE ABSTRACTS WRITTEN BY NON-NATIVE ENGLISH-SPEAKING NOVICE RESEARCHERS Rita Darmayanti State Polytechnic of Malang Abstract: This study aims at investigating the discourse pattern and structure of research article abstracts. The characteristics of the language used in abstracts written by non-native English-speaking (NNES) novice researchers are mainly examined in terms of rhetorical moves and the degree of variability of the rhetorical features as indicated by the structure of clauses and the linguistic features of the text. To this end, 20 abstracts written by undergraduate students of accounting department at the State Polytechnic of Malang in 2015 were employed as the data of this study. Findings showed that the most frequently used pattern of rhetorical move is I(Introduction)-P(Purpose)-M(Method)-Pr(Product or Result)-C(Conclusion) with the significant use of active sentence and present and past tense. The findings of the study are projected to be utilized for evaluating the quality of students’ abstracts and generating pedagogical proposal of ESP writing course or at least providing critical review of current practices in ESP program intended for non-native English students at tertiary level. Keywords: rhetorical features, rhetorical moves, non-native English-speaking (NNES) novice researchers INTRODUCTION As communicating and sharing knowledge through publication become essential in academic world, increased attention being given to writing research articles especially in ESP (English for Specific Purposes) course. Thus, it is essential for NNES (non-native English-speaking) novice researchersto learn certain conventions characterizing scientific writing article to make them able to write research article appropriately. Abstract as the most important section in research article is generally the readers’ first encounter with a text, and is often the point at which they decide whether to continue and give the accompanying article further attention or to ignore it (Hyland, 2002 as cited in Suntara and Usaha, 2013). It might be challenging for NNES novice writer to write a good and acceptable abstract, however abstract is often used as the starting point learnt by NNES to familiarize themselves with the rhetorical features of research article. This study focuses on exploring authorial identity markers and rhetorical moves in abstracts written by NNESnovice researchers and excludes such aspects as metadiscourse covering interpersonal discourse, word play, logical connectives, sequencing items, and hedges. The rhetorical features discussed here limitedly refer to form and organization of abstract. It is undeniable that in order to produce effective texts, mastering textual organization and other linguistic features constituting a successful abstract is essential for novice academics (Suntara and Usaha, 2013). The findings of this study is expected to identify the structures of students’ abstract, students’ inappropriateness and difficulties in writing abstract to create pedagogical proposal for ESP writing course. METHODOLOGY The total of randomly chosen 20 abstracts written by undergraduate students of accounting department at the State Polytechnic of Malang in 2015 were used as the data of this study. The rhetorical structure in this study was analysed based on the five rhetorical moves proposed by Hyland’s (2000) covering introduction, purpose, method, product or result, and conclusion. The unit of coding for the abstracts was a sentence. Each sentence was labelled according to the function it serves. However, one
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
147
sentence may contain two or move moves for example a sentence may introduce the purpose and describing methodology. The data analysis was carried out by identifying the rhetorical structure or macrostructure of each abstract and labelling each move in each sentence covering I (Introduction), P (Purpose), M (Method), Pr (Products), and C (Conclusions). DISCUSSION The findings show that the abstracts written by NNES novice researchers at accounting department of State Polytechnic of Malang follow the international convention as indicated by the basic structural units covering introduction, purpose, method, results and conclusion. According to Hyland (2000), rhetorical moves in research abstract are classified as follows: Table 1. Rhetorical Moves in Research Abstract (Hyland, 2000)
Move Introduction Purpose Method Product Conclusion
Function Establishes context of the paper and motives the research or discussion. Indicate purpose, thesis or hypothesis, outlines the intention behind the paper. Provides information on design, procedures, assumption, approach, data, etc. States main findings or results, the argument, or what was accomplished. Interprets or extends results beyond scope of paper, draws inferences, points to applications or wider implications.
Move Pattern and Frequency The most frequently used move pattern by the writers is I-P-M-Pr-C. The use of I-P-M-Pr-C shows that the writers intend to build the context of the paper and presents the background of their research. However, rhetorical move from introduction directly to purpose indicates the absence of the description of the problem of the study. Only 4 out 20 abstracts used P-M-Pr-C. Introduction move is classified as optional in abstract because the percent of occurrence was less than 60% (Suntara and Usaha, 2013). Thus, due to the naturally condensed content of abstract, the absence of introduction is acceptable and mentioning the purpose of the study at the first sentence is preferable. Move 1: Introduction Move Introduction move provides information dealing with the context of the study, presents the gap found in previous research, and a continuing debate of the current topic being studied. Hyland (2000) pointed out that the ability to identify a problem in introduction move is a critical step in claiming insider status in all disciplines, but it was crucial in soft fields and that writers represented a problem as something which was unknown or unresolved by the community. In this present study, the problem addressed by the students in their abstracts mainly contains the current fact or issue which is correlated to theory and method. However, the majority of the students used descriptive, non-evaluative verb, and neutral sentence which do not adequately indicate their critical perspective or criticism on the context of their research. Move 2: Purpose Move Purpose move is defined as a way of indicating purpose, thesis or hypothesis, and outlining the intention behind the paper (Hyland: 2000). The pattern of purpose move found in this study is as follows.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
148
Table 3. Pattern of Purpose Move in NNES Novice Researcher
Diectic Item This (9) The purpose of (11)
Inquiry type or genre study (11) paper (6) research (3)
Reporting verb Is (11) analyzes (3) analyzed (1) aims to (2) dicusses (1)
investigates (1) explores (1)
As shown in Table 4, “the purpose of” is more preferable that “this”. For inquiry type or genre, “study” is the most frequently used and the second alternative used is paper. It might be due to the fact that this is the students’ first time in writing research article (minor thesis) thus they prefer to use those two words. In contrast, the least used word is “research”. This might be as a result of students’ lack of confidence about the value of their research. Furthermore, the highest occurrence of verb used was “be” or “is” while the commonly used reporting verbs were analyses, analysed, investigates, aims to, discusses and explores. It turns out that the students may have limited word choice in mentioning the purpose move. As the alternatives, the students can use such reporting verbs as examine, explore, report, attempt to, was designed to, describe, reports, deal with, is concerned with etc. On the other hand, the occurrences of present tense were 9, while those of past tense was only 1. This shows that generally students focus on one move in one sentence. Although one sentence can express more than one ideas, the students tend to focus on presenting purpose of the research as a single point rather than mixing it with move 3 (describing the methodology). Move 3: Method Move Hyland (2000) states that method move provides information on design, procedures, assumption, approach, data, etc. There is a tendency that the students prefer to use several simple sentences in brief to shorten the data and method. The students’ preference in using past tense for retelling the research methodology used in the study is appropriate and acceptable. In addition, the frequently used active voice was found in method move indicating the focus on the actor/ doer who was actively involved in the study. However, 6 misuse of active voice was found in the sense that the students made grammatical mistakes and should use passive voice to avoid certain ambiguities. Move 4: Product Move Product move shows main findings or results. In this study, it turns out that the product move is conventional. The most common opening noun used is “result” (13) followed by “finding” (6) and “analysis” (1). The students commonly present the result and discussion section by referring to the results of statistical analysis, thus “result” is widely used. The word “finding” is only used by students who conducted qualitative study while “analysis” is used to refer to the statistical analysis. For the reporting verbs, the most frequent is “show” for 15 times, “indicate” for 3 timesand “reveal” for twice. All of the students used past tense to report their resultsbut they used the present tense for showing their interpretations and comments on the results. According to Pho (2008) as cited in (Suntara and Usaha, 2013), the use of past tense to report the result of the study left the reader with the impression that the writer was being objective and was plainly reporting the findings of the research while the present tense gave the idea that the writer was generalizing beyond the results of the study, which left the impression that the results were widely accepted. In addition, it seems that the majority of the students used the same diction and move in their abstract which might be due to their limited vocabulary and inadequate knowledge on the sentence style used in abstract. Move 5: Conclusion Move According to Hyland (2000), conclusion move deals with the interpretation of the results beyond scope of paper, draws inferences, points to applications or wider implications. Generally, the students used present tense and hedged their conclusion by mentioning verbs indicating tentativeness such as “seems”, “is possible” and such modal auxiliary verbs as “can”, “may”, “could”, and “might”. This shows that limitation of the conclusions and the issues need to be investigated deeper by the next researcher.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
149
CONCLUSION In the present study, the common pattern used in NNES novice researcher is I-P-M-Pr-C. The writers presents the context of the paper and presents the background of their research. In introduction, the abstracts mainly contains the current fact or issue which is correlated to theory and method. However, the students need to be more critical in showing their perspective concerning the context and situation of their research. In purpose move, the clause “the purpose of this study is…” was used by most of the students with the predominant use of present tense. In method move, simple sentences containing information on the data and method which were put in past tense and active voice were found. The product move is conventional that the most common opening noun used is “result” followed by the reporting verbs “show”. Past tense was used to report the resultsof the study while the present tense was used to show the interpretations and comments on the results. In conclusion move, verbs indicating tentativeness and modal auxiliary verbs were used to hedge the conclusion drawn. In addition, it seems that the majority of the students used the same move pattern and diction in their abstract which might be due to their limited vocabulary and inadequate knowledge on the sentence style used in abstract. This shows that abstract writing needs to be incorporated in academic writing taught in ESP classes at Accounting Department, State Polytechnic of Malang. Familiarizing the students with common terms and collocation in accounting field and vocabulary used in writing research or academic English is also undeniably essential In order to provide useful instruction on abstract writing to novice writers, they need to learn how to structure an abstract and how to realize the structure linguistically because it is very important that the novice writers need to know not only what the prototypical moves of an abstract in their discipline are but also how to organize them and how to compose each move so it is linguistically appropriate (Suntara and Usaha, 2013). REFERENCES Hyland, K. 2000. Disciplinary Discourses: Social Interactions in Academic Writing. Harlow: Pearson Education. Hyland, K. 2004. Disciplinary interactions: Metadiscourse in L2 Postgraduate Writing. Journal of Second Language Writing, 13, 133-151. Kwan, B. 2006. The Schematic Structure of Literature Reviews in Doctoral Theses of Applied Linguistics. English for Specific Purposes, 25, 30-55. McAdoo, T. 2009. Use of First Person in APA Style. Retrieved from blog.apastyle.org/apastyle/2009/09.use_of_first_person_in_APA_style on May 2nd 2016 Pho, P. D. 2008. Research article abstracts in applied linguistics and educational technology: a study of linguistic realizations of rhetorical structure and authorial stance. Discourse Studies, 10(2), 231-250. http://dx.doi.org/10.1177/1461445607087010 Ruiying, Y & Allison, D. 2003. Research Articles in Applied Linguistics: Moving from Results to Conclusions. English for Specific Purposes, 22, 365-385. Santos, M. 1996. The Text Organization of Research Papers Abstracts in Applied Linguistics. Text, 16(4), 481-499. Suntara, W. & Usaha, S. 2013. Research Article Abstracts in Two Related Disciplines: Rhetorical Variation between Linguistics and Applied Linguistics. English Language Teaching, 6(2), 8499. http://dx.doi.org/10.5539/elt.v6n2p84
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
150
27 BAHASA KONTEMPORER: SYURGA ATAU NERAKA? Rozali Jauhari Alfanani Nursyahidah Abdul Nasip Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram Abstrak: Fenomena kebahasaan yang masih menjadi bahan kajian yang seolah misterius adalah yang berkaitan dengan bahasa slang, bahasa gaul, bahasa alay, dan sebagainya yang dalam hal ini penulis kelompokan dalam satu rumpun yang disebut dengan bahasa kontemporer. Bahasa kontemporer itu sendiri dikaitkan dengan kemunculannya yang semakin hari semakin meluas di tengah masyarakat, mulai dari dunia maya hingga dunia nyata, mulai anakanak, remaja, bahkan dewasa, dan tentu kelas-kelas sosial yang biasa memiliki komunitas tersendiri ikut ambil peran dalam penyebarluasan pengaruh bahasa kontemporer tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian yang lebih lanjut mengenai efek keberadaan dan perkembangan bahasa kontemporer yang semakin signifikan dalam kehidupan sosial dan linguistik. Oleh sebab itu, tujuan dilakukannya penulisan ini ialah untuk sama-sama mengetahui secara mendalam bagaimana kemunculan dan perkembangan berbagai bahasa dalam ranah kekontemporeran tersebut serta dampak yang dihasilkan dalam tatanan kehidupan berbahasa di masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang tampak menyimpang seperti baper, galau, cucok, lekong, capcus, dan lain-lain tersebut memiliki wadah tersendiri untuk menjadi bagian kajian linguistik sehingga masyarakat memahami hakikat kemunculan dan perkembangannya. Kata kunci: fenomena, bahasa kontemporer, linguistik, masyarakat
PENDAHULUAN Bahasa merupakan sarana terbaik seseorang atau sekelompok orang untuk menyampaikan berbagai ide, gagasan, dan visi-misinya kepada orang atau kelompok orang. Hal tersebut sesuai dengan salah satu fungsi bahasa yakni sebagai alat atau sarana dalam pengungkapan ide, gagasan, ataupun citacita. Secara mendasar dan telah diketahui bersama bahwa bahasa merupakan alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks formal maupun informal. Bahasa dapat pula dipahami sebagai sesuatu yang tanpa batas karena dengan menggunakan bahasa, manusia dapat mengekspresikan keinginan, menyampaikan pemikiran, dan atau juga membentuk opini di tengah kehidupan masyarakat. Masyarakat sebagai anggota tutur telah mengerti dan paham bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang sejak lama sudah digunakan, baik dalam tataran formal maupun tataran nonformal. Selain itu, antaranggota masyarakat dalam komunitasnya selalu menjadikan bahasa sebagai salah satu unsur penting yang tidak bisa mereka terlepas darinya. Oleh sebab itu, masyarakat sangat menjunjung tinggi keberadaan bahasa sebagai suatu hal yang dapat membantu mereka dalam berbagai aktivitas. Beberapa aktivitas masyarakat yang tidak terlepas dari penggunaan bahasa misalnya, aktivitas pada bidang pertanian, peternakan, kelautan, sosial, ekonomi, hukum, budaya, keagamaan, seni, dan bahkan aktivitas politik. Dalam pada itu, perkembangan bahasa sebagai sebuah hal yang penting dalam kehidupan bermasyarkat telah berada pada jalur yang dianggap ekstrim. Hal tersebut dikarenakan banyaknya muncul varian-varian baru berbahasa yang sejauh ini telah dikatakan sebagai sesuatu yang wajar. Varian-varian kebahasaan tersebut muncul dan mendominasi sistem kebahasaan zaman sekarang karena mayoritas pencipta, pemilik, dan penggunanya ialah kaum muda yang notabenenya merupakan agen-agen penting dalam keberadaan suatu hal, termasuk di dalamnya unsur kebahasaan. Bonus demografi bangsa ini yang memang telah banyak mendatangkan keuntungan, di sisi lain menjadi kewaspadaan tersendiri karena para agen yang masuk dalam kategori bonus demografi tersebut telah mulai mengenyampingkan esensi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
151
perjuangan para pemuda masa lalu yang dengan sungguh-sungguh menguatkan diri dengan sumpahnya mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa yang nomor satu. Jika melihat fenomena yang sekarang terjadi, maka kemirisan sebenarnya kata yang tepat untuk disematkan kepada para generasi penerus yang diharapkan menjadi tokoh-tokoh penting dalam pembangunan bangsa ke depan. Kemirisan tersebut dikarenakan salah satu hal yang dianggap sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu bahasa, telah mengalami pergeseran kepentingan dan keluarbiasaan di kalangan masyarakat, khususnya kalangan pemuda. Para pemuda zaman ini lebih nyaman dan merasa lebih modern ketika mereka menggunakan bahasa-bahasa yang memang secara tataran nonformal hal tersebut sah-sah saja, namun secara linguistik dan perkembangan efek kebahasaan nantinya dikhawatirkan akan mendatangkan berbagai kendala yang malah semakin lama semakin mengikis nasionalisme kebahasaan kita yang mulai terkurung dalam bentuk-bentuk komunitas dengan bahasanya masing-masing. Komunitas-komunitas dengan bahasabahasanya tersebut terangkum dalam format kebahasaan yang penulis nyatakan sebagai bahasa kontemporer. Bahasa kontemporer tentu dirasa lebih tepat karena sebenarnya bahasa-bahasa yang muncul dalam setiap komunitas tersebut, hanya terbatas pada tataran komunikasi antaranggota komunitas itu dan kecenderungan kebertahanannya tidak terlalu lama, artinya setiap komunitas dengan momen atau zaman yang terus berkembang akan mengalami perubahan kebahasaan yang signifikan, walaupun masih tetap juga harus menjadi perhatian bersama agar kekhawatiran akan punahnya nasionalisme kebahasaan tersebut tidaklah terjadi. Oleh sebab itu, bahasa kontemporer sebagai bagian lain dari keberadaan unsur bahasa dalam lingkup komunikasi manusia harus menjadi perhatian bersama. Hal tersebut tentu sebagai langkah positif dalam memaklumi sekaligus mewaspadai keberadaan bahasa-bahasa komunitas yang tergolong ke dalam bahasa kontemporer. Intinya, setiap bahasa tidak ada yang salah, yang ada hanya menyimpang dan berpegang pada ideologi kebahasaan tersendiri yang dalam hal ini hal tersebut terkadang menjadi kebanggaan berbahasa karena sifat bahasa yang manasuka dan dinamis, namun di sisi lain juga menjadi bagian pengganggu bagi eksistensi nasionalisme kebahasaan kita sebagai pemilik dan pengguna bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan demikian, bahasa kontemporer tersebut harus benar-benar mampu dipandang dari dua sisi, yakni sisi positifnya sebagai sebuah “syurga” dalam kajian linguistik, namun juga sebagai sebuah “neraka” dalam tataran nasionalisme kebahasaan. PEMBAHASAN Variasi Bahasa Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksud, yaitu faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa terdiri atas status sosial, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, dan lainnya. Sementara itu, faktor situasional yang memengaruhi pemakaian bahasa terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa (Fishman dalam Aslinda,2014:16-17). Faktor-faktor tersebut juga akan memengaruhi terjadinya atau munculnya variasi kebahasaan. Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya (Poedjosoedarmo dalam Aslinda,2014:17). Hartman dan Stork (dalam Chaer dan Agustina) membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria, (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Dengan demikian, bahasa dalam suatu wadah kemasyarakatan akan memiliki variasi-variasi berdasar kriteria yang ada di atas. Adapun bahasa kontemporer termasuk pula dalam kriteria penggunaan bahasa dari segi penutur dan keformalan. Bahasa kontemporer yang termasuk dalam segi penutur ialah bahasa-bahasa dengan variasi yang disebut sebagai basilek, yaitu variasi bahasa yang dianggap kurang bergengsi atau bahkan dianggap lebih rendah. Di samping variasi bahasa basilek, dikenal pula istilah variasi bahasa vulgar yaitu variasi bahasa yang ciri-cirinya tampak pada tingkat intelektual penuturnya. Selain itu, variasi bahasa juga ada yang disebut variasi slang yaitu variasi bahasa yang bercirikan dengan kosa kata yang ditemukan dan cepat berubah. Variasi bahasa slang digunakan oleh kaula muda atau kelompok sosial tertentu. Artinya,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
152
variasi bahasa ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas dan bersifat rahasia. Ada pula variasi bahasa lain yang disebut dengan kolokial, yaitu variasi sosial yang digunakan oleh penutur dalam percakapan sehari-hari. Jargon, juga menjadi variasi lain dalam tataran bahasa, yaitu bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu dan tidak dimengerti oleh kelompok lainnya. Sementara itu, jika dilihat dari variasi bahasa berdasarkan keformalannya maka posisi bahasa kontemporer berada pada tataran ragam bahasa santai (casual) dan ragam bahasa akrab (intimate). Dalam hal ini, ragam bahasa santai adalah ragam bahasa yang digunakan dalam situasi santai. Ragam bahasa seperti ini sering digunakan dalam situasi yang tidak resmi untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan atau keluarga. Selain itu, ragam bahasa akrab adalah ragam bahasa yang digunakan antara teman yang sudah akrab atau juga keluarga. Ciri ragam bahasa ini adalah banyaknya pemakaian kode bahasa yang bersifat pribadi, tersendiri, dan relative tetap dalam kelompoknya. Dalam ragam bahasa seperti ini, penggunaan bahasanya sering tidak lengkap, pendek-pendek, atau disingkat karena peserta tutur sudah saling paham dan pengertian terkait bahasa yang mereka gunakan. Bahasa Kontemporer Bahasa kontemporer, sejauh dimungkinkan dan pemakaiannya memang diterima masyarakat bahasa penuturnya, selalu terbuka kemungkinan untuk dijadikan sumber pengembangan leksikon bahasa itu. Dikatakan begitu karena bahasa yang hidup, seperti juga sosok bahasa Indonesia, selalu berusaha berubah dan mengembangkan diri agar lebih berdaya ungkap. Salah satu sumber pengembangan itu, selain dari pemakaian bentuk serapan asing, juga tentu saja pemberdayaan akar-akar kata bahasa sendiri secara internal. Ketika pemakaian kontemporer ditandai hadirnya bentuk-bentuk yang memiliki kebaruankebaruan, yang relatif arkhais tetapi cenderung potensial tetap digunakan, yang memiliki ciri afektif atau bernilai rasa, bentuk-bentuk ikonik yang meniru-niru bunyi asli objek tertentu dalam masyarakat, bentukbentuk semacam itu semuanya sangat potensial untuk dijadikan sumber pengembangan leksikon bahasa. Kendatipun demikian ada satu hal cukup mendasar yang harus dicatat dalam rangka pengembangan dan pemekaran leksikon, yakni bahwa bahasa yang terlampau banyak memiliki leksikon baru akan memiliki kecenderungan tidak efektif digunakan. Pasalnya, fakta kebahasaan itu menambah beban berat bagi pemahaman kosakatanya. Kata-kata yang semula dianggap berhomonim dalam daftar leksikon, perlu ditafsirkan ulang keberkaitan maknanya sehingga dapat dijadikan pasangan berpolisemi. Dengan pemolisemian itu, jumlah lema sebuah daftar leksikon bahasa akan menjadi berkurang, namun satuan-satuan makna dari sebuah lema akan berkembang secara lebar. Dilihat dari segi efektivitas pemakaian bahasa, semakin banyak kata yang berpolisemi akan semakin efektiflah bahasa itu. Sebaliknya, semakin banyak kata berhomonim dengan lema yang melimpah-limpah, akan kian kurang efektif bahasa itu digunakan sebagai aparatus komunikasi. Maka berkaitan dengan pemunculan lema-lema baru dalam pemakaian kontemporer, perlu sekali hal-ihwal kehomoniman dan kepolisemian itu diteliti secara lebih akurat, agar hasilnya tidak justru memberatkan masyarakat penggunanya (Rahardi,2003). Namun demikian, dalam hal ini terdapat banyak jenis atau ragam bahasa di tengah masyarakat, khususnya kalangan muda yang masuk dalam ranah bahasa kontemporer tersebut. Bahasa-bahasa yang dimaksud ialah bahasa Gaul, bahasa Alay, bahasa Prokem, bahasa Slang, bahasa Sporty, bahasa Medsos, bahasa Waria, bahasa LGBT, dan sebagainya. Ragam bahasa tersebutlah yang terkadang menjadi momok tersendiri bagi pengembangan bahasa dalam taraf nasionalisme kebahasaan bagi bahasa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi, tidak sedikit pula pihak yang menganggap kemunculan bahasa tersebut sebagai hal yang wajar dan malah akan memperkaya khazanah perkembangan kebahasaan yang memang salah satu cirinya ialah dinamis. Bahasa Kontemporer: Syurga atau Neraka? Permasalahan yang terkait dengan faktor kebahasaan memang tidak akan pernah ada habisnya. Hal tersebut dikarenakan sifat bahasa yang arbitrer yang pada akhirnya secara tidak langsung dan mungkin tidak juga disadari akan melahirkan varian-varian baru kebahasaan yang tentu dengan kearbitreran tersebut menjadi menyimpang dari kaidah kebahasaan yang telah diatur sedemikian rupa. Selain itu, sifat bahasa yang ada di masyarakat berupa kedinamisan tersebut membuka peluang tersendiri
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
153
bagi bahasa-bahasa lain di luar ranah bahasa baku untuk selalu mengembangkan diri dan mengambil peluang karena penggunanya yang semakin hari semakin banyak, disebabkan oleh berkembangnya teknologi komunikasi dan informasi di tengah masyarakat, terutama di kalangan remaja atau pemuda. Hal ini tentu menjadi suatu kewaspadaan tersendiri bagi pemangku kebahasaan yang dalam hal ini pihak pemerintah, akademisi atau praktisi, dan juga masyarakat. Dalam hal ini, kaitannya dengan bahasa kontemporer yang menjadi paying dari segenap variasi bahasa yang telah dimunculkan di atas tentu membawa atau memiliki dampak tersendiri pula bagi kepentingan kebahasaan itu. Bahasa kontemporer, sebagai sesuatu yang telah menjadi bagian dalam kehidupan bermasyarakat juga tentu dipandang secara berbeda oleh pihak-pihak yang berada pada lingkup kebahasaan itu sendiri. Pandangan yang satu menyatakan bahwa bahasa kontemporer merupakan bentuk aplikatif yang nyata dari dua sifat bahasa yaitu arbitrer (manasuka) dan dinamis (berkembang). Bahasa kontemporer juga dianggap malah memperkaya khazanah kebahasaan di tengah situasi kehidupan masyarakat yang telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga keberadaan bahasa kontemporer tersebut tidaklah bisa dipungkiri begitu saja. Bahasa kontemporer dengan beragam bentuknya dalam tiap komunitas penggunanya juga dianggap sebagai bentuk kreativitas intelektualitas kebahasaan yang dimiliki oleh pencipta, pemilik, dan pengguna bahasabahasa yang termasuk dalam ranah kontemporer tersebut. begitulah cara pandang satu sisi yang menyatakan bahwa keberadaan bahasa kontemporer yang sudah kadung tidak bisa dipungkiri tersebut merupakan hal yang sebenarnya positif, terutama dalam kaitannya dengan khazanah kebahasaan di masyarakat. Cara pandang inilah yang membentuk wacana kebahasaan mengenai bahasa kontemporer sebagai bahasa yang berlandaskan efek syurga. Artinya, bahasa tersebut positif adanya, diharapkan dan digunakan secara massiv, dan membawa dampak yang tergolong baik dalam pengembangan intelektualitas dan kreativitas kebahasaan. Namun demikian, terdapat pula satu sisi lain yang memandang bahwa kemunculan dan keberadaan bahasa kontemporer sebenarnya membawa dampak yang cenderung ke arah negatif. Alasannya, varian-varian bahasa yang terdapat dalam ranah bahasa kontemporer tersebut lebih mengarah pada bentuk penyimpangan yang disengaja terhadap standar baku berbahasa yang telah lama ada. Bahasa kontemporer juga dianggap lama kelamaan malah akan menjadi ‘perusak’ bagi perkembangan bahasa secara nasional dengan memenuhi standar baku. Walaupun memang, bahasa kontemporer digunakan dalam aktivitas nonformal, namun tetap saja dianggap akan ikut memengaruhi kemampuan berbahasa masyarakat yang jika nantinya dibiarkan begitu saja malah akan terjerumus untuk menggunakan bahasabahasa kontemporernya ke dalam bahasa baku yang lisan maupun tertulis. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran para pemangku kebijakan terkait bahasa akibat muncul dan berkembangnya variasi-variasi kebahasaan yang ada dalam tataran kontemporer tersebut. bahasa kontemporer masih tetap menjadi hal yang tidak semestinya mengalami perkembangan yang signifikan, apalagi arus teknologi komunikasi tersebut tidak hanya merambah para pemuda untuk era sekarang, namun sudah mulai merasuki para orang tua yang esok lusa dikhawatirkan akan terkikis dengan sendirinya dalam hal kebahasaan yang formal tersebut. oleh sebab itulah, dalam hal ini banyak pula pihak yang mengatakan bahwa bahasa kontemporer nantinya akan menjadi momok yang menakutkan dan dianggap sebagai “neraka” nya bahasa. Dengan demikian, adanya pro-kontra terkait bahasa kontemporer ini harus segera ditangani secara serius agar memperoleh pandangan yang sama-sama baik dan tidak terkesan hanya menguntungkan atau bahkan merugikan satu konsep, baik itu konsep bahasa kontemporer maupun konsep bahasa standar. Peran serta masyarakat dalam membantu tugas praktisi dan mengawasi kebijakan kebahasaan dari pemangku kebijakan sangatlah dibutuhkan. Hal tersebut semata untuk mencari “keridhoan” dalam hal bahasa kontemporer yang dipandang berbeda, baik sebagai syurga maupun sebagai neraka. SIMPULAN Bahasa merupakan sarana terbaik seseorang atau sekelompok orang untuk menyampaikan berbagai ide, gagasan, dan visi-misinya kepada orang atau kelompok orang. Hal tersebut sesuai dengan salah satu fungsi bahasa yakni sebagai alat atau sarana dalam pengungkapan ide, gagasan, ataupun citacita. Secara mendasar dan telah diketahui bersama bahwa bahasa merupakan alat komunikasi lingual
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
154
manusia, baik secara lisan maupun tertulis dalam konteks formal maupun informal. Bahasa dapat pula dipahami sebagai sesuatu yang tanpa batas karena dengan menggunakan bahasa, manusia dapat mengekspresikan keinginan, menyampaikan pemikiran, dan atau juga membentuk opini di tengah kehidupan masyarakat. Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor-faktor nonlinguistik yang dimaksud, yaitu faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa terdiri atas status sosial, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, dan lainnya. Sementara itu, faktor situasional yang memengaruhi pemakaian bahasa terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa (Fishman dalam Aslinda,2014:16-17). Faktor-faktor tersebut juga akan memengaruhi terjadinya atau munculnya variasi kebahasaan. Bahasa kontemporer, sejauh dimungkinkan dan pemakaiannya memang diterima masyarakat bahasa penuturnya, selalu terbuka kemungkinan untuk dijadikan sumber pengembangan leksikon bahasa itu. Dikatakan begitu karena bahasa yang hidup, seperti juga sosok bahasa Indonesia, selalu berusaha berubah dan mengembangkan diri agar lebih berdaya ungkap. Salah satu sumber pengembangan itu, selain dari pemakaian bentuk serapan asing, juga tentu saja pemberdayaan akar-akar kata bahasa sendiri secara internal. Ketika pemakaian kontemporer ditandai hadirnya bentuk-bentuk yang memiliki kebaruankebaruan, yang relatif arkhais tetapi cenderung potensial tetap digunakan, yang memiliki ciri afektif atau bernilai rasa, bentuk-bentuk ikonik yang meniru-niru bunyi asli objek tertentu dalam masyarakat, bentukbentuk semacam itu semuanya sangat potensial untuk dijadikan sumber pengembangan leksikon bahasa. REFERENSI Aslinda. 2014. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkanalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Pangaribuan, Tangson. Hubungan Variasi Bahasa dengan Kelompok Sosial dan Pemakaian Bahasa. Medan: UNIMED Rahardi, Kunjana. 2003. Bahasa dalam Era Kekinian. Dioma: Jakarta. Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
155
28 ARE WE REALLY EQUAL? : QUESTIONING GENDER EQUALITY AND THE GENDER IDEOLOGY OF THE REPRESENTATION OF MALE AND FEMALE IN ENGLISH TEXT BOOKS PUBLISHED BY THE MINISTRY OF NATIONAL EDUCATION, A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS Sabta Diana
Universitas Jember Abstract: The study investigates the gender representation of male and female in English text books published by the Ministry of National Education. Gender equality is one of the requirements to be taken into account in school text books. This is due to the circumstance in which schools are crucial places to introduce an awareness of gender equality to students. Following the post-structuralist’s view on the construction of gender in the society, this study attempts to deconstruct female and male gender representation by using Critical Discourse Analysis approach. Data is taken from 3 English text books for Junior High School. Sampling of data includes clauses produced by female and male described in the short stories and in the interaction role play in the books. Systemic Functional Linguistic is applied to analyze the metafunction of clauses produced by both genders. Fairclough’s framework on CDA is applied to reveal and provide evidences of the imbalance gender representation in the books. Transitivity analysis and Mood and Modality analysis indicates that the clauses produced by the both gender indicates imbalance representation of gender. The finding shows that the ideology of gender is still constructed as imbalance traditional values of men and women. Keywords: Gender, Representation, CDA, SFL, Fairclough’s dimension of meaning.
INTRODUCTION It has been widely recognized that text book plays important roles in the education. Textbooks function either as a medium to transfer and disseminate knowledge or as a medium for social change. They are important for shaping students’ knowledge and for providing examples of social behaviour, norms, and values. This brings about world’s great concern, especially the issues on gender equality in the textbook. UNESCO addresses this as a part of its movement called ‘Education for All’, giving opportunity of equality to all level of education for both females and males and to abolish the disparity of gender, race and minorities with goals to ensure the primary education for all, to promote equality and empowerment of women and ensuring to achieve this in the year of 2015. In line with UNESCO, Indonesia passes regulation issued by Minister of Education and Culture (PERMENDIKBUD) no 84 Year 2008 about gender awareness in the educational institution and no 8 year 2016 about books used for educational institution, including both textbooks and non-textbooks. The regulation strongly promotes abolition of discrimination of race, religion, tribes as well as gender equality. It also emphasizes on sanction given for schools indicating violation. Sanction varies from lowering school’s accreditation, suspension of educational aids, discontinuation of educational funding and aids, to closing or revocation of the institution’s license. At this point, therefore, monitoring the content of textbook, ensuring good textbook, warranting the proper usage is an obligation (Brugeilles and Cromer, 2009). It takes clear policy to ensure this would be achieved. Despite all facts concerning the promotion of gender equality, ironic reality is occurring. For decades, textbooks have been studied for the gender representation and ideology revealing gender imbalances, gender bias, under representation of women, gender stereotyping of social roles. Most studies uses content analysis and linguistic analysis in the level of semantic system. Dated back then, the earlier researches conducted U’Ren (1971), Coles (1977), Shteiwi (2003), used content analysis to count females and males gender roles. The results indicated that males were represented as performing more masculine and powerful activity compared to females. Porreca study in 1984 exposed clearly the imbalance
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
156
representation of the US female in textbooks. Furthermore, females continued to be under represented with stereotypical role mainly domestic in nature such as nurturing as well as having subordinate position, while male gender were assigned to have more professional roles at offices, such as doctor, academician (Ansary and Babaii, 2003; Gupta and Lee, 1990; Sakita, 1995). Several similar researches were also conducted to investigate gender representation in the countries committed to gender equality. Still using similar method, Dominguez (2003) found out that gender roles were represented equally in EFL books called New Interchange. The research revealed that females and males were represented as having the same roles and stereotypes on female traditional role was absent. This seems quite promising to see the gender depicted equally, assuring that commitment works really well. However, research done in Sweden, a nation with national commitment to egalitarian society, gender bias and gender stereotype were still found in the textbooks. Male gender was described to have various occupations, meanwhile females one was described without jobs or with stereotypical domestic occupation (Holmqvist and Gjorup, 2006). Even over period of time, the bias, the stereotypical roles, the underrepresentation, of female over male gender continues. Research conducted by Lee (2006) demonstrated that textbooks from 1970 to 2004 indicated that female continuously was represented as having traditional roles both at home and at offices, such as being a secretary, a maid or a typist. What is even surprising, further, a study by Hamdan, (2010) showed that in Iranian textbooks, gender representation was more imbalanced compared to that in the community. Meanwhile, in Indonesia, where patriarchy and religious influence especially moslem culture exist in the society, balance representation of male and female also remain to be questioned. Several researches on gender representation were conducted both in textbooks, non-fiction books. Azhar (2009) investigated gender construction in Maduresse language textbooks and uncovered that gender bias was prevalent in both society and in the textbooks. Using content analysis by counting the frequency and speech acts analysis on the dialogues, gender imbalance manifested in the texts, dialogue and illustration. Further, Sari’s (2011) study of series of English textbook for primary school evidenced male domination. Combining CDA with Systemic Functional Analysis she found that male appeared more than female, gender stereotyping existed in social roles, in which male dominated female both in domestic or professional roles. It was even more surprising that imbalance representation was also discovered even in the language, Bahasa Indonesia. Linguistic analysis by Budiwati (2011) showed idiomatic expression system indicating that male gained more access to various matter, meanwhile, female merely had domestic roles. What is more, gender imbalances were also seen as constructed in non-fiction books. 40 stories of KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya) were investigated by Soelistyarini (2013) exposed clearly the patriarchal ideology constructed in those stories. Male was depicted as having superior position, and gender practice was even created by parents’ legitimacy over their children. This study reinforced that gender was culturally practiced and constructed by those children writers in their writings. Additionally, recent study about gender representation in bahasa Indonesia textbooks (Hamidah, 2014) revealed that females and males were continuously represented as dichotomy, physically, intellectually, and emotionally. Hamidah further asserted that males had more access to productivity, with limited reproduction roles and higher status in both professional and domestic life. On the contrary, female possessed greater responsibility for domestic roles, had inferior status and were depicted as marginalised, discriminated and dominated. Addressing ongoing issues related to gender representation, this research attempts to disclose the imbalances of gender, and the ideology of gender represented in English textbooks published by the Ministry of Education. Using Critical Discourse Analysis, henceforth CDA, approach, the textbooks are viewed as a form of social practice. Following Fairclough and Wodak, 1997), gender is constituted by social and political realities and through the discourse in textbook. In other words, textbooks can portray social reality about gender, knowledge of social situations, interpersonal roles, identity and relationship among genders. CDA also believes that this representation of gender is a form of choices the writers socially construct through linguistics or other semiotic signs (Hall, 1981). The representation is also believed to invest ideology. Moreover, this ideology would be ‘formulated, reproduced and reinforced and shared by the member of the group’ (Barker and Galasinski, 2001: 65). This means that the ideology
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
157
of gender contain rules or moral behaviour that people believe and do. The biggest concerns are when the textbook clearly represent bias, and how then children or teenagers perceive it as a norm or beliefs how they should perform their gender roles in the society. Since the ideology somehow cannot be easily seen in the text, it is often within ‘textual layers of discourse’ (Baker and Galasinski, 2001: 67). This study also uses Systemic Functional Linguistics (SFL) by Halliday and Hasan (1985), in which text is commonly recognized as multifunctional by carrying three functions; the ideational, the interpersonal, the textual. The ideational function exposes what speakers perceive about the reality in the world and also their perceptions of thoughts. Meanwhile, interpersonal function allows speakers to evaluate and to interact using the text, and to have the relationship with the addressee. Textual functions deals with how the speakers make the text meaningful related to the context in which it occurs. In sum, using only two of the tools; the ideational and the interpersonal, the study would uncover the gender ideology contained in the textbooks. Related to Fairclough’s three-dimensional framework, this study analyses discourse in terms of text, discourse practice, and sociocultural practice (Fairclough, 1995). Thus, it analyses the text without separating it from the textbook production, its distribution and consumption. Therefore, the gender representation and gender ideology would be originated from the text in the textbooks, and the social context where the textbooks are published as well as the users of the book. Not only was the textual analysis used, the content analysis was also applied to elucidate the gender representation depicted in the textbooks. Frequency of occurrence of male and female are computed to reveal how illustration indicated imbalance. Assuming that imbalance exists, this research aims at deconstructing gender representation by: 1. Proving gender stereotypes, bias, and underrepresentation of female in the textbooks, 2. Revealing gender ideology underlying the construction of gender METHODOLOGY This study is a qualitative and quantitative. Mixed methodology is used as an approach in which data are also in the form of numbers calculated from clauses and from the number of illustration. Three English textbooks published by the Ministry of Education were used in this study. Written by both female and male authors, the textbooks, published in 2013 and 2015, were used by Junior high school students. The 1st book entitled When English Rings the Bells for 7th graders of SMP/MTs, comprises 8 chapters, and particularly discusses basic introduction topics such as describing oneself, people, places and objects. The 2nd book, When English Rings the Bells for 8th graders for SMP/MTs, consists of 12 chapters discussing various topics ranging from ability, basic communication skills such as inviting, comparing, expressing feeling, retelling, to commanding. The 3d book, Think Globally, Act Locally for the graders of SMP/MTs have 14 chapters discussing complimenting, offering, instructing, story and event describing and retelling. Content analysis was based on calculating the frequency of female and male characters appearance in all pages of 3 textbooks, and was design to categorize the social roles. Meanwhile, textual analysis was applied to deconstruct meaning behind the clause to find ideology of gender representation in the books. the analysis uses transitivity analysis to find the ideational meaning, and mood and modality analysis to reveal the interpersonal meaning in the clause. For this purpose, sampling was collected randomly in the form of clauses. 60 clauses were selected from each book comprising total number of 180 clauses from 3 textbooks. Using Fairclough’s framework on CDA, the results indicating the interpretation of imbalances and ideology would be in the form of elaboration of text, context, socio-cultural practices. DISCUSSIONS Content analysis was done to find out how illustration indicated the representation. Table 1 shows that both male and female were almost equally represented, albeit males’ appearance frequency was still higher than female. Thus, table 2 evidenced that the illustrations in the book indicated the ‘almost balance’ representation of gender. It reveals that 7th grade and 8th grade books still favour males representation more than female.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
158
Table 1. Number of Appearance and the gender role in the illustration
Textbooks 7th grade 8th grade 9th grade
Male 494 361 144
Appearance Female 383 306 150
Furthermore, the 9th grade book seemed to have 2.2% slightly higher representation of females from that of males. It is evidenced that the author attempted to address the national commitment of the Ministry of Education and Culture’s regulation about gender equality. However, we should not be tricked by ‘the almost equal number of table 2’ since the numbers merely expose the frequency of appearance. Table 2. Distribution of appearance through illustration
Textbook
7th grade 8th grade 9th grade
Appearance Percentage of male Total and female Male Female 56.3% 43.7% 100% 54.1% 45.9% 100% 48.9% 51.1% 100%
The table 3 below reveals how real representation actually takes place. Illustrations are sorted according to gender roles. Most characters appearing in all textbook are rarely depicted as doing their domestic roles, (shown by table 4). Roles describe gender mostly in school activities and at home. Hence, non domestic roles appear to be dominating the illustration. However, the domestic roles remain exist in both female and male illustration. Table 3 Number of Distribution of roles
Textbooks
7th grade 8th grade 9th grade
Male Appearance Domestic role 494 361 144
4 14 0
Nondomestic role 490 347 144
Female Appearance Domestic role 383 306 150
24 5 10
Nondomestic role 359 301 140
7th grade book shows that male domestic role is almost invisible compared to that of female comprising 6.3% of the total female appearance. Domestic role varies from nurturing, housework, cooking etc. Meanwhile (see table 4), the textbook for 8th grade reveals that 2.3% greater role assigned to male gender instead of female. What is interesting is that, the domestic role of male tends to be addressed to pet or animals instead of human and this is due to context related to topic discussing about the zoo. 9 th grade textbook obviously does not portray male as having domestic roles, yet domestic roles are assigned to female gender instead. This is a clear signs of bias in the social roles. Female for over period of time remains to be assigned for domestic roles, which contributes to the stereotyping practice in the textbooks. Table 4. Distribution of gender roles
Textbooks Male percentage Appearance Domestic Nonrole domestic role 7th grade 494 0.8% 99.2% th 8 grade 361 3.9% 96.1% 9th grade 144 0% 100%
Female percentage Appearance Domestic Nonrole domestic role 383 6.3% 93.7.% 306 1.6% 98.4% 150 6.6% 93.4%
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
159
What should be taken into account is that practice of bias and stereotyping is mistakenly perceived as imbalance frequency of occurrence without considering that traditional roles of male and female is also constructed unconsciously through the social roles assigned to both genders. Not only do illustrations or pictures represent gender, clauses in the discourse produced by the authors embedded in the dialogues of the characters also convey the representation. Systemic Functional Linguistics SFL analysis is done to the micro level of analysis. In this case, clauses produced by female and male gender are labelled with Halliday’s theory of metafunctions. Two metafunction namely transitivity and mood and modality analysis are applied to 180 clauses randomly se lected in the textbooks. Table 5 Transitivity analysis shows several processes of verbs found in the clauses. Table 5. Transitivity and distribution of verb processes
Textbooks
Gender
Process Mate Mental rial
Behavio ural
Relati onal
Verb al
Existent ial
Total
7th grade
Female Male
5 10
1 4
1 0
20 12
2 4
1 0
30 30
8th grade
Female Male
17 15
3 5
0 1
9 9
0 0
1 0
30 30
9th grade
Female Male
13 15
3 1
0 1
12 11
1 2
1 0
30 30
From table 5, 7th and 9th grade books shows that male gender produces more material clauses than female, revealing that male tend to express the way they perceive about the world (Eggins, 2004) compared to female counterpart. 7th grade book indicates lower usage of material process by female, which is 1:2 compared to male’s. 3 out of 5 actors in the process are mostly males (he, my grandpa, the boy), indicating females speak less for themselves, positioning males as the doer of the action and as the people that can influence others. Meanwhile males uses more inclusive pronoun ‘we’ to describe their involvement as actors that do something. 8th grade book indicates higher material process used by female, yet all actors are other people. These female characters tend to share facts about other people through their clauses. Meanwhile 5 out of 15 clauses have males as the actor of the clauses. 9 th grade book continues to represent female using less number of material processes, however 5 out of 13 clauses have themselves as the actors, with only one clause using inclusive pronoun ‘we’. Meanwhile, 10 out of 15 clauses use male actors addressing to the speaker or other male speakers. This evidence that female gender is still underrepresented compared to male counterpart in terms of being described as the actors of the clauses. Table 5 also discloses the mental process used by the characters. The mental process includes process of thinking, sensing, and feeling (Eggins, 2004). 7 grade book shows that males shows more mental process compared to female, which is 4 out of 30 clauses. All clauses are process of feeling. Meanwhile, the only one mental process used by female is mental process of cognition, yet it is used to address other female speaker. This is a sign of process of thinking. 8 th grade book displays domination of mental process by male gender. male has 3 mental processes of cognition, 2 of perceptions, and only 1 affection, meanwhile female merely displays 2 perceptions processes and 1 affection process. In 9 th grade book, female uses 3 mental process of affection and male merely uses 1 mental process of perception. In terms of representation, it can be concluded that the realization of mental processes in the clauses used in three books still portray domination of male having cognition processes compared to females. In other words, the process of cognition relates to thinking and understanding (Eggins, 2004). Thus, the female
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
160
gender expresses more affection and feeling yet they are lack of process of thinking. A stereotyping of female tendency to use feeling rather than cognition occurs in the clauses and this leads to positioning female as subordinate. Table 5 also display relational process which is dominated by female gender. Relational process is process in which it is used either for attributing or identifying. This process mostly used to describe entities. 7th grade book is ranked the 1st in using the relational process. This is due to the topic of the book that deals with describing people, introducing people, and describing places. Meanwhile, 8th grade and 9 grade book display balance number of relational processes used by male and female, in which processes are used to describe things or people. Related to other processes, behavioural process is displayed as 1:2 for female over male respectively. It is a process positioned between material and mental (Eggins, 2004). In three books, male likely performs more behavioural process compared to female, which means they perform more physiological action. Table 5 also shows that male has more verbal processes compared to female. Three books accumulates the appearance of verbal process of 6 for males and 3 for female, all verbal clauses are addressed the hearer in the form of interrogative, performing a demand of information. The last process, existential process, all clauses belonging to female, meaning that, female explains about the existence of something while male does not. Mood and Modality The second analysis of clauses is mood and modality which views language as a means of interaction, to maintain relationship, to influence behaviour, to express point of view, to elicit or influence other people’s point of view. Four basic speech roles are identified such as giving information (statement), demanding information (questions), giving goods and services (offer), demanding goods and services (command) (Halliday and Mattiessen, 2004). Table 6. Mood and Modality
Textbooks th
7 grade 8th grade 9th grade
Gender Female Male Female Male Female Male
Speech function Declaratives Interrogatives 18 9 19 10 16 12 14 15 30 0 27 3
Imperatives 3 1 2 1 0 0
From table 6 above, 7th, 8th, and 9th grade books reveals that female apparently has more clauses functioning as declaratives However, the ratio does not significantly mark imbalance. Male uses more interrogative speech function compared to female. Interestingly, female produces more imperative speech function compared to male. Declarative function appears equal for both gender since most clauses in the book function as exchanging facts and information. Using declarative mood mostly during the interaction means that the information was based on strong actual facts. On the contrary male dominates the use of interrogative mood type to ask for information and to demand goods and services. Female use interrogative similarly, however, two yes or no questions show only two options answers, addressing authoritative speakers. Female does not have interrogative mood type in 9th grade book. All of female clauses are declarative showing that female merely exchange facts for the information. Imperative types in table 6 above ware dominated by female in 7th grade books. The absence of actor in the imperative clauses indicated command or request. To sum up, through this analysis, the interaction of male and female gender mostly balance with a sight of being authoritative, female considered equal to male.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
161
CDA, The Ideology and the Representation of Gender in the English Textbook. As opposed to sex that differentiates women from men based on biological and physiological properties, gender is socially constructed. Post-structuralist theory mentions that ‘‘texts are read as discursive constructs rather than reflections of an individual author’s experience’ (Mills et al. 1989: 8). Thus, gender representation in the book is also a form of discursive construct seen through illustration and the use of language. The representation appears in the form of the ideas about being female and male and the relation of gender, which sometimes allowing practices of bias, abuse, domination and exercise of power. Critical Discourse Analysis addresses such problem. Wodak (2001: 2) mentions that CDA ‘critically’ speaks out against injustice ‘as it is expressed, signalled, constituted, legitimised by language use’. The result of the study show that imbalance representation occurs in the textbooks as indicated by the illustration and as signalled in the language used in the three textbook. Striving hard for the commitment to promote gender balance, the authors of the books manage to represent gender equality through the appearance of gender in the books, especially for 9th grade book. However, other books still portrayed more males than female. Thus, two books represent gender bias favouring males over female in the illustration. Moreover, gender stereotypes of female social roles found almost in every book, female was portrayed as having traditional roles such as nurturing family members, working in the kitchen, preparing food for the family. Domestic roles are also found in the male gender but it is merely addressed for nurturing the animals or pet rather than human beings. Further, professional roles are addressed mostly for male gender. Male occupied wider range of jobs such as doctors, engineers, police officer, teacher, farmers, and gardeners. Meanwhile, only one female depicted as police officer or illustrated as going home from work in the evening. Female was also described as having business but again domestication seems prevalent, the business is related to kitchen work such as owning a restaurant. This portrayal was quite different from that of reality. Indonesian female are now given the same opportunities to have their professional roles. Working mothers are common phenomena nowadays, and females are given the same opportunities as men in schools, at work, and in the social life. This is in line with Hamdan’s research (2010) that these school textbooks portrayed more imbalances both in domestic roles as well as in professional roles compared to that of the real life. Meanwhile, linguistic analysis as system of choices reveals that traditional, patriarchal, and bias are prevalent in the language used by the characters in the book. Transitivity system exposes that male dominates material process both in the process they produce and as the actor of the process produced by female. This indicates that male has more ability to do something, to influence others, to perform action than female counterpart. In other words, through linguistic system, even male was represented as more powerful than female. Furthermore, males was described as more logical in a way that they have more mental processes such as believing, understanding, thinking etc. on the contrary, female is depicted as using more feelings and affection, in such a way that it assigns and legitimates female traditional roles as mother. Female dominates the role of explaining, describing yet male involve more in physiological activity. Interpersonal meaning derived from both gender clauses also exposes information. Mood and modality analysis shows that during the interaction female uses more declaratives clauses indicating more access to delivering facts, explaining, and strong factual argument. Male has more interrogative speech function allowing access to more information, demanding and requesting goods and services. Female domination on the use of imperative form elucidates command. Related to the topic mostly interrogative and imperative expressed by female are more related to domestic role rather in professional role. This research finally, validated what so far has been done by Indonesian researchers over period of years from 2009-2014. CONCLUSION Summing up, the textbook indeed portray the balances in the form of number of frequency of female and male appearance in the illustration. However, the authors disregarded the linguistics aspects and the representation of the illustrations. Discursive practice is enacted in the text when gender is reflected not only through visible illustration, but also through the hidden ideology in the language.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
162
Traditional gender roles are clearly portrayed in the textbooks where it should become the first place to promote gender quality. Bias is also still found and the practice of domestication of female is obvious. Promoting gender equality awareness should start from education, and textbooks are one of the elements in the education where students without access to books will first encounter information from it. It is urgent that authors also understand that representation of gender and the perception of students towards their gender can be constructed through the books they write. The gender inequality, bias and stereotyping should be extinguished from textbooks, as the important element in education; and yes, indeed, we are not equal. REFERENCES Ansary H., and Babaii E. (2003). Subliminal sexism in current ESL/EFL textbooks. Asian EFL Journal, 5, pp. 200-241. Azhar, I.N. (2009). Konstruksi gender dalam buku ajar muatan lokal bahasa Madura (studi isu gender dalam bahasa Madura. PROSODI Journal, 3 (1) Barker, C. & Dariusz, G. (2001). Cultural studies and discourse analysis. A dialogue on language and identity. London: Sage. Brugeilles, C. & Sylvie, C. (2009). Promoting gender equality through textbooks. A methodological guide. Paris: United Nations Educational Scientific and Cultural Organization Budiwati, T.R. (2011). Representasi wacana gender dalam ungakapan berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris: Analisa Wacana Kritis. Jurnal Kawistara 1(3), 213-230 Coles, G. (1977). Dick and Jane grew up: ideology in adult basic education readers. Urban Education, 12, 37-53. Dominguez, L. M. (2003). Gender Textbook Evaluation. Centre for English Language Studies: University of Birmingham, retrieved from http://www.cels.bham.ac.uk/resources/essays/Dominguez5.pdf. Eggins, S. (2004). An introduction to systemic functional linguistics 2nd edition. London: Continuum. Fairclough, N. & Wodak, R. (1997). Critical discourse analysis. In van Dijk, T. (ed.) Discourse as Social Interaction Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction, 2 London: Sage. 258–84. Fairclough, N. (1995) Critical discourse analysis. London: Longman. Gunawan, A. et.al. (2013) Bahasa Inggris, When English rings the bell. Untuk SMP/MTs Kelas VII. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gunawan, A. et.al. (2013) Bahasa Inggris, When English rings the bell. Untuk SMP/MTs Kelas VII. Pusat Kurikulum Balitbang, Kemendikbud. Gupta, A F. and Lee, A.S.Y. (1990). Gender representation in English textbooks used in the Singapore primary schools. Language and Education, 4, 29-50. Hall, S. (1981) `Encoding/Decoding', in S. Hall, D. Hobson, A. Lowe and P. Willis, Culture, Media, Language. London: Hutchinson .Halliday, M.A.K & Matthiessen, C. (2004) An introduction to functional grammar 3rd Edition. New York: Oxford University Press Inc. Halliday, M.A.K. and Hasan, R. (1985) Language, context, and text. Oxford: Oxford Hamdan, S. (2010). English-language textbooks reflect gender bias. A case study in Jordan. Advances in Gender and Education, 2 (22-26) Hamidah, S.C. (2014). Representasi ideology gender dalam buku teks bahasa Indonesia. retrieved from http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/37015 Holmqvist, P., and Gjörup, L. (2006). The representation of gender and gender roles in English textbooks.Retrieved from http://dspace.mah.se:8080/bitstream/2043/3426/1/representation%20of%20gender.pdf http://www.eoc.org.hk/eoc/upload/2006711112336211184.pdf. Lee, J.F.K. (2006). Gender Representation in Hong Kong English textbooks. Retrieved from http://www.eoc.org.hk/eoc/upload/2006711112336211184.pdf. Media, Language. London: Hutchinson. Porreca, K. L. (1984). Sexism in current ESL textbooks. TESOL Quarterly, 18, 704-724.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
163
Sakita, T. I. (1995). Sexism in Japanese English education: A survey of EFL Texts. Woman and Language. 18, 5-12. Sari, N. A. (2011). Visible boys, invisible girls: the Representation of gender in Learn English with Tito (A critical discourse analysis of English Language textbooks for primary school). Indonesian Journal of Applied linguistics vol. 1 no. 1 retrieved from ejournal.upi.edu. Shteiwi, M. (2003). Gender role stereotypes in primary school textbooks in Jordan. DIRASAT, Social and Human Sciences, 30, 90-104, retrieved from http://dar.ju.edu.jo/dirasatonline/getArticles.asp?art=10830010090. Soelistyarini, T.D. (2013). Representasi gender dalam cerita-cerita karya penulis anak Indonesia. Mozaik: Jurnal Ilmu Humaniora, 14(2) 100-219. Sunderland, J. (1998). New dimensions in the study of language education and learner gender. Retrieved from www.ling.lancs.ac.uk/groups/crile/docs/crile43sunderland.pdf. U’Ren, M. B. (1971). The image of women in textbooks. In: Gronick V., and Moran, B. K. (Eds): Women in sexist society: studies in power and powerlessness. New York: Basic Books, 318 – 328. Wachidah, S. & Gunawan. (2014). Bahasa Inggris, When English rings a bell. Untuk SMP/MTs Kelas VII. Pusat Kurikulum Balitbang, Kemendikbud Wachidah, S. et.al. (2015). Bahasa Inggris, think globally act locally!. Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud Wodak, R. 2001. What CDA is about – a summary of its history, important concepts and its development. In R. Wodak and M. Meyer (eds.) Methods of critical discourse analysis, , 1–13. London: Sage.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
164
29 PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH OLEH MASYARAKAT SUKU MADURA DI YOGYAKARTA Sigit Arba’i, S.Pd. Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta Abstrak: Masyarakat suku Madura yang berada di Yogyakarta pada umumnya bilingual, mereka dihadapkan pada pemilihan salah satu bahasa untuk berinteraksi. Pemilihan tersebut didasari oleh aspek sosial yang mencakup usia, tingkat pendidikan, dan status sosial sebagai masyarakat. Pemilihan itu mengakibatkan salah satu bahasa mengalami pergeseran. Pada ranah pergaulan dimungkinkan terjadi fenomena kebahasaan yang bervariasi dan yang lebih jauh fenomena tersebut dapat mencerminkan ada tidaknya pemertahanan atau pergeseran bahasa. Penelitian ini membahas tentang pemertahanan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakatsuku Madura di Yogyakarta. Masalah yang dibicarakan dalam bilingualisme antara lain adalah kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian dan sejauh mana bahasa pertama seorang penutur bilingual dapat memengaruhi bahasa keduanya atau sebaliknya.Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode angket dengan penyebaran kuesioner. Hasil penelitian dianalisis melalui pendekatan sosiolinguistik dan analisis kuantitatif.Melalui pendekatan sosiolinguistik dan analisis kuantitatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Madura di Kota Yogyakarta kurang. Kata kunci: jati diri, pemertahanan, sikap bahasa.
PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multilingual, yaitu masyarakat yang mempunyai kemampuan berbahasa menggunakan beberapa bahasa dalam berkomunikasi. Suku Madura adalah salah satu suku dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia. Masyarakat Madura seperti pada umumnya masyarakat lain di Indonesia juga merupakan masyarakat yang multilingual. Masyarakat Madura banyak yang mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang dan jasa di kota lain. Yogyakarta adalah salah satu kota yang menjadi daerah rantauan masyakat Madura. Di KotaYogyakarta terdapat lebih dari seribu orang bersuku Madura. Keberadaan mereka tersebardiseluruh kecamatan yang ada di KotaYogyakarta. Masyarakat Madura, terutama yang berada diKotaYogyakarta, paling tidak menggunakan dua bahasa dalam komunikasi sehari hari. Kedua bahasa tersebut ialah bahasa Madura sebagai bahasa Ibu dan bahasa Jawa sebagai bahasa kedua. Telaah terhadap pemertahanan bahasa dalam masyarakat multilingual sudah banyak dilakukan. Sumarsono (1993) telah melakukan penelitian terhadap pemertahanan bahasa Melayu Loloan di Bali. Menurutnya bahasa Melayu Loloan dan bahasaIndonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu Loloan hanya berperan dalam rumah tangga, ketetanggaan, dan agama. Tetapi dalam kenyataannya situasi diglosia itu cenderung bocor. Maksudnya pemakaian bahasa Indonesia sudah mulai merembeh ke ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan kekariban. Peneliti lain adalah Martis (1999), Dia melakukan kajian terhadap bahasa Minangkabau dalam lingkungan keluarga di Jakarta. Ia mencoba melihat apakah terjadi pergeseran pemakaian bahasa Minangkabau oleh pemakaian bahasa Indonesia dalam keluarga Minang di Jakarta. Menurutnya telah terjadi pergeseran pemakaian bahasa Minangkabau oleh bahasa Indonesia. Hal itu dapat dibuktikan bahwa dalam kegiatan berintegrasi, baik seetnik maupun antaretnik di lingkungan tempat tinggal, responden menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dialek Betawi. Hasil penelitian penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang diteliti telah tergeser oleh bahasa Indonesia atau tingkat pemertahanannya sangat rendah. Masalah utama yang ingin diungkapkan dalam penelitian ini adalah apakah orang Madura yang berada di Yogyakarta masih mempertahankan pemakaian bahasa Madura dalam berkomunikasi. Masalah ini akan dibagi beberapa submasalah sebagai berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
165
1) 2) 3) 4)
Siapa saja yang masih mempertahankan bahasa Madura? Kapan bahasa Madura digunakan? Di mana bahasa Madura digunakan? Bagaimana sikap bahasa orang Madura terhadap pemakaian bahasa Madura? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap seberapa jauh pemertahanan bahasa Madura di KotaYogyakarta sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas. Ruang lingkup penelitian ini adalah pemakaian bahasa Madura oleh etnis Madura di KotaYogyakarta dalam kehidupan masyarakat sehari hari. Selain itu, sikap orang Madura terhadap pemakaian bahasa Madura juga termasuk dalam penelitian ini. Penelitian ini secara khusus menggambarkan masalah multilingualisme atau bilingualisme. Multilingualisme diartikan sebagai gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kemampuan dan kebiasaan menggunakan bahasa lebih dari satu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Fishman dalam Chaer, 1995:112). Masalah yang dibicarakan dalam bilingualisme antara lain adalah kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian dan sejauh mana bahasa pertama seorang penutur bilingual dapat memengaruhi bahasa keduanya atau sebaliknya. Kapan seseorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian, bersangkutan dengan masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Hal ini menyangkut masalah pokok linguistik yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan tujuannya apa. Sejauh mana bahasa pertama seorang penutur bilingual dapat memengaruhi bahasa keduaanya atau sebaliknya menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu dan kesempatan untuk menggunakannya. Seberapa jauh pengaruh bahasa satu terhadap bahasa yang lain tergantung pada tingkat penguasaan terhadap bahasa bahasa tertentu. Menurut Chaer (1995:177), penggunaan dua bahasa seperti itu dapat menimbulkan perubahan dan pergeseran bahasa bahasa yang dipakai. Perubahan bahasa menyangkut soal bahasa sebagai kode. Sesuai dengan sifatnya yang dinamis dan sebagai akibat persentuhan dengan kode-kode lain, bahasa itu bisa berubah. Pergeseran bahasa menyangkut masalah mobilitas penutur. Perpindahan penutur itu dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa, seperti penutur yang semula menggunakan bahasa ibu kemudian menjadi tidak menggunakannya lagi. METODOLOGI Subjek penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria bahwa responden mengenal dan menggunakan lebih dari satu bahasa untukberkomunikasi. Sampel dari penelitian ini adalah etnis Madura yang tinggal di wilayah KotaYogyakarta. Sampel terdiri atas 20 orang yang terdiri dari 10 suami dan 10 istri, tetapi bukan pasangan dari responden tersebut. Pemilihan sampel ini dilakukan atas pertimbangan kemudahan pemerolehan responden. Selain itu, padarumah tangga dimungkinkan terjadinya fenomena kebahasaan yang bervariasi dan lebih jauh fenomena tersebut dapat mencerminkan ada tidaknya pemertahanan bahasa Ibu responden. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode angket dengan penyebaran kuesioner. Kuesioner disusun terlebih dahulu berdasarkan masalah dan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini. Kuesioner yang telah disusun itu kemudian disebarkan kepada para responden. Responden mengisi kuesioner tanpa menyebutkan nama dengan harapan responden bersikap jujur dan terbuka, tidak ragu-ragu dan tidak merasa takut mengisi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner itu. Kuesioner yang telah diisi responden menjadi data yang siap diolah. Data diolah berdasarkan analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung tingkat kekerapan pemilihan bahasa yang digunakan responden. Langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil data. Untuk menentukantingkat pemertahanan bahasa Madura yang digunakan responden, digunakan batasan penilaian sebagai berikut. 1) Persentase pemertahanan antara 80—100dianggap pemertahanan bahasa Maduranya baik. 2) Persentase pemertahanan antara 66—79dianggap pemertahanan bahasa Maduranya cukup baik. 3) Persentase pemertahanan antara 56—65dianggap pemertahanan bahasa Maduranya cukup.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
166
4) Persentase pemertahanan antara 45—55dianggap pemertahanan bahasa Maduranya kurang. 5) Persentase pemertahanan antara 1—44dianggap pemertahanan bahasa Maduranya sangat kurang. 6) Persentase pemertahanan 0 dianggap pemertahanan bahasa Maduranya tidak ada. PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan dua hal, yaitu tinjauan terhadap sosial responden yang terdiriatas suami (ayah) dan istri (ibu). Kemudian akan diuraikan bahasa yang digunakan oleh suami dan istri ketika berkomunikasi sehari-hari. Bahasa yang digunakan suami dan istri ini diuraikan atas tiga belas kelompok, yaitu (a) bahasa yang dipakai suami dan istri ketika membicarakan topik resmi,(b) bahasa yang digunakansuami dan istri ketika membicarakan topik tidak resmi, (c) bahasa yang digunakan dalam menulis, (d) bahasa yang digunakan ketika beribadah, (e) bahasa yang digunakan ketika beradadi lingkungan luar rumah, (f) bahasa yang digunakan ketika beradadi tempat umum, (g) bahasa yang digunakan suami dan istri ketika marah, (h) bahasa yang digunakan dalam lingkungan kerja, (i) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan pasangan suami/istri, (j) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang tua kandung, (k) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan mertua, (l) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih muda atau lebih tua, (m) bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal. Setelah itu akan diuraikan sikap berbahasa suami dan istri. Latar Belakang Sosial Kepala Keluarga Data yang diperoleh dari hasil penyebaran angket untuk kepala keluarga dalam penelitian ini meliputi usia, tempat lahir, pendidikan, pekerjaan, dan bahasa pertama (bahasa ibu). Variabel usia dibagi menjadi empat kelompok, yaitu 16-25 tahun, 26-35 tahun, 36-45 tahun, dan 46 tahun keatas. Variabel tempat lahir dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Madura, Yogyakarta, dan lainnya. Variabel pendidikan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sekolah dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), Perguruan Tinggi, dan lainnya. Variabel pekerjaan meliputi pedagang, wiraswasta, pegawai swasta, pegawai negeri, dan lainnya. Variabel bahasa pertama (bahasa ibu) meliputi bahasa Madura, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya. Data memperlihatkan variabel usia suami yang termasuk kelompok 16—25 tahun ada1 responden, atau 10%. Kemudian usia 26—35 tahun ada2 responden, usia 46 tahun ke atas ada 3 reponden, dan yang terbanyak responden berusia 36—45 tahun yaitu 4 responden atau 40%. Jika dilihat dari tempat lahir responden, secara keseluruhan responden lahir di Madura. Di antara responden, tidak ada yang memiliki pendidikan lebih dari SLTA. Mereka rata-rata hanya memiliki pendidikan sampai tingkat SD dan SLTP, ada 5 responden yang memiliki pendidikan SD dan 5 responden memiliki pendidikan sampai SLTP. Berarti mereka memperoleh pelajaran bahasa Indonesia minimal selama 6 tahun, bahkan ada yang sampai 9 tahun. Faktor-faktor tersebut jelas sangat berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam pergaulan. Faktor-faktor lainpun pasti berpengaruh pada pemakaian bahasa, baik dengan anggota lain di dalam keluarga maupun ketika berinteraksi sosial dalam masyarakat. Pekerjaan suami terbagi atas dua kelompok, yaitu pedagang dan wiraswasta. Umumnya responden memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Dari 10 responden suami (ayah), 7 atau 70 % memiliki pekerjaan sebagai pedagang, dan 3 atau 30% memiliki pekerjaan berwiraswasta. Jika ditinjau dari bahasa Ibu responden, ternyata bahasa Ibu responden secarakeseluruhan atau 100% adalah bahasa Madura. Di antara kesepuluh responden, ada 5 atau 50% responden yang sudah lebih dari lima belas tahun tinggal di Yogyakarta. Antara 11—15 tahun ada 3 atau 30% responden, dan ada 2 atau 20% mulai tinggal di Yogyakarta antara 1—10 tahun. Secara keseluruhan atau 100% responden sudah berpergian ke Madura. Pemertahanan Bahasa Madura Suami (Ayah) Untuk mengetahui pemertahanan bahasa Madura suami (ayah) sebagai kepala rumah tangga, berikut diuraikan bahasa yang dipakai suami dalam kehidupan sehari-harinya.Adapun urian tersebut meliputi penggunaan bahasa dalam membicarakan topik resmi; penggunaan bahasa dalam membicarakan topik tidak resmi; penggunaan bahasa ketika menulis; penggunaan bahasa ketika beribadah; penggunaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
167
bahasa ketika berada dalam lingkungan luar rumah; penggunaan bahasa ketika berada ditempat umum; penggunaan bahasa ketika marah; penggunaan bahasa ketika beradadi lingkungan kerja; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan istri; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan anak kandungnya; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan bapak/ibu kandungnya; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan bapak/ibu mertua; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan saudara kandung; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan orang yang lebih tua; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan orang yang lebih muda; dan yang terakhir penggunaan bahasa ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal. Bahasa yang digunakan oleh suami (ayah) ketika membicarakan topik resmi terbagi tiga, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Madura, dan bahasa Jawa. Jika dilihat dari hasil penyebaran kuesioner, ada 2 responden atau 20% menggunakan bahasa Madura, 1 responden menggunakan bahasa Jawa, dan 7 responden menggunakan bahasa Indonesia. Sementara topik tidak resmi bahasa yang digunakan oleh responden sangat bervariasi, ada 7 responden menggunakan bahasa Madura dan 3 responden menggunakan bahasa Jawa. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan oleh responden ketika menulis, ada 8 responden yang menggunakan bahasa Indonesia, dan 2 responden menggunakan bahasa Madura. Dalam beribadah, responden yang menggunakan bahasa Madura ada 5 responden dan 5 responden menggunakan bahasa Jawa. Ketika berada di lingkungan luar rumah, ada 7 responden menggunakan bahasa Jawa dan hanya 3 responden yang menggunakan bahasa Madura. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan oleh responden ketika berada di tempat umum, seperti pasar maupun pusat perbelanjaan lainnya, ada 7 responden menggunakan bahasa Indonesia, dan hanya ada 3 responden yang menggunakan bahasa Jawa. Responden yang menggunakan bahasa Indonesia biasanya belum bisa atau belum menguasai jika harus menggunakan bahasa Jawa. Sehingga ketujuh responden tersebut lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia. Ketika marah, penggunaan bahasa responden ada dua bahasa. Ada 6 responden ketika marah menggunakan bahasa Madura dan 4 responden ketika marah menggunakan bahasa Jawa. Masyarakat Madura ketika beradadi lingkungan kerja akan berhadapan dan berinteraksi dengan pelanggan, karena keseluruhan responden mempunyai pekerjaan sebagai pedagang dan berwiraswasta. Sehingga akan selalu melakukan komunikasi dengan pelanggan mereka. Ketika berada di lingkungan kerja, responden yang menggunakan bahasa Jawa ada 7 atau 70%, dan hanya 3 responden atau 30% menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh suami ketika berbicara dengan istri secara keseluruhan atau 100% menggunakan bahasa Madura. Sementara ketika berbicara dengan anak kandung, bahasanya sangat bervariasi. Ada 3 responden yang menggunakan bahasa Jawa, 3 reponden menggunakan bahasa Indonesia, dan 4 responden menggunakan bahasa Madura. Bahasa yang digunakan oleh responden suami (ayah) ketika berbicara dengan ayah kandungnya secara keseluruhan menggunakan bahasa Madura. Begitu juga bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan ibu kandungnya, secara keseluruhan atau 100% responden menggunakan bahasa Madura. Karena bahasa Madura merupakan bahasa ibu mereka. Ketika berbicara dengan Ibu mertua, responden secara keseluruhan menggunakan bahasa Madura. Begitu juga ketika responden berbicara dengan bapak mertua, secara keseluruhan responden menggunakan bahasa Madura. Ketika berbicara dengan saudara kandung, responden suami (ayah) 100% menggunakan bahasa Madura. Bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, ada 5 responden menggunakan bahasa Madura, 5 responden menggunakan bahasa Jawa. Hal tersebut sama dengan bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan orang yang lebih muda, ada 5 responden menggunakan bahasa Madura dan 5 responden menggunakan bahasa Jawa. Sementara bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal 8 responden atau 80% mereka menggunakan bahasa Indonesia dan 2 responden atau 20% menggunakan bahasa Jawa. Ini berarti bahasa Madura tidak pernah mereka gunakan ketika berbicara dengan orang yang baru saja dikenal. Sikap Bahasa Masyarakat Suku Madura terhadap Bahasa Madura Sikap bahasa di sini meliputi pemakaian bahasa yang berhubungan dengan pemakaian bahasa Madura di radio atau televisi, pemakaian bahasa Madura terhadap anak;pemakaian bahasa Madura terhadap responden.Pertama akan diuraikan sikap bahasa suami (ayah) suku Madura terhadap bahasa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
168
Madura dalam siaran radio maupun televisi. Media elektronik berpengaruh sekali dalam membawa perkembangan suatu bahasa dalam masyarakatnya. Media radio daerah kadangkala menyelipkan program acara. Dari hasil penelitian yang dilakukakan, secara keseluruhan responden pernah mendengarkan atau melihat siaran radio maupun televisi berbahasa Madura. Namun hal itu dilakukan ketika responden berada di Madura. Selama berada di Yogyakarta, mereka jarang mendengarkan atau melihat siaran berbahasa Madura, baik di radio maupun di televisi. Namun jika dilihat dari sikap mereka, 8 responden atau 80% mereka sangat senang terhadap siaran berbahasa Madura. Sementara responden yang menyatakan senang hanya ada 2 atau 20%. Selain sikap terhadap siaran berbahasa Madura, akan diuraikan pula sikap mereka terhadap pembelajaran bahasa Madura. Sikap responden terhadap pembelajaran bahasa Madura secara keseluruhan atau 100% mereka sangat ingin mengajarkan bahasa Madura terhadap anaknya. Mereka juga sangat menginginkan anaknya bisa berbahasa Madura. Selain itu, mereka juga ingin keluarganya selalu menggunakan bahasa Madura. Latar Belakang Sosial Istri (Ibu) Sama halnya dengan suami (ayah), data yang diperoleh dari hasil penyebaran angket untuk istri (ibu) dalam penelitian ini meliputi usia, tempat lahir, pendidikan, pekerjaan, dan bahasa pertama (bahasa ibu). Variabel usia dibagi menjadi empat kelompok, yaitu 16—25tahun, 26—35tahun, 36—45 tahun, dan 46 tahun keatas. Variabel tempat lahir dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Madura, Yogyakarta, dan lainnya. Variabel pendidikan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sekolah dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), Perguruan Tinggi, dan lainnya. Variabel pekerjaan meliputi pedagang, wiraswasta, pegawai swasta, pegawai negeri, dan lainnya. Variabel bahasa pertama (bahasa ibu) meliputi bahasa Lampung, bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya. Data memperlihatkan variabel usiaistri yang termasuk kelompok 16—25 tahun ada 3 responden atau 30%. Kemudian usia 26—35 tahun ada 3 responden atau 30%, usia 46 tahun ke atas ada 2 responden atau 20%, dan responden yang berusia 36—45 tahun yaitu 2 responden atau 20%. Jika dilihat dari tempat lahir responden, secara keseluruhan responden lahir di Madura. Di antara responden, hanya ada satu orang yang memiliki pendidikan SLTA. Mereka rata-rata hanya memiliki pendidikan sampai tingkat SD dan SLTP, ada 3 responden yang memiliki pendidikan sampai SLTP dan 6 responden memiliki pendidikan SD. Responden istri memperoleh pelajaran bahasa Indonesia rata-rata minimal selama 6 tahun. Faktor-faktor tersebut jelas sangat berpengaruh pada bahasa yang digunakan dalam pergaulan. Faktor-faktor lainpun pasti berpengaruh pada pemakaian bahasa, baik dengan anggota lain di dalam keluarga maupun ketika berinteraksi sosial dalam masyarakat. Umumnya responden memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Dari 10 responden istri (ibu), secara keseluruhan memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Begitu juga dengan bahasa Ibu responden, ternyata bahasa Ibu responden secarakeseluruhan atau 100% adalah bahasa Madura. Di antara kesepuluh responden, ada 4 atau 40% responden yang sudah lebih dari lima belas tahun tinggal di Yogyakarta. Antara 11—15 tahun ada 3 atau 30% responden, dan ada 3 atau 30% mulai tinggal di Yogyakarta antara 1—10 tahun. Secara keseluruhan atau 100% responden istri (ibu) sudah berpergian ke Madura. Pemertahanan Bahasa Madura Istri (Ibu) Untuk mengetahui sejauh mana pemertahanan bahasa Madura istri (ibu) sebagai ibu rumah tangga, berikut diuraikan bahasa yang dipakai istri dalam kehidupan sehari-harinya. Adapun urian tersebut meliputi penggunaan bahasa dalam membicarakan topik resmi; penggunaan bahasa dalam membicarakan topik tidak resmi; penggunaan bahasa ketika menulis; penggunaan bahasa ketika beribadah; penggunaan bahasa ketika berada dalam lingkungan luar rumah; penggunaan bahasa ketika berada ditempat umum; penggunaan bahasa ketika marah; penggunaan bahasa ketika berada di lingkungan kerja; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan istri; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan anak kandungnya; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan bapak/ibu kandungnya; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan bapak/ibu mertua; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan saudara kandung; penggunaan bahasa ketika berbicara dengan orang yang lebih tua; penggunaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
169
bahasa ketika berbicara dengan orang yang lebih muda; dan yang terakhir penggunaan bahasa ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal. Bahasa yang digunakan oleh istri (ibu) ketika membicarakan topik resmi terbagi dua, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Madura. Jika dilihat dari hasil penyebaran kuesioner, ada 2 responden atau 20% menggunakan bahasa Madura dan 8 responden menggunakan bahasa Indonesia. Sementara topik tidak resmi bahasa yang digunakan oleh istri (ibu) sangat bervariasi, ada 5 responden menggunakan bahasa Madura, 2 responden menggunakan bahasa Indonesia, dan 3 responden menggunakan bahasa Jawa. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan oleh responden ketika menulis, secara keseluruhan responden menggunakan bahasa Indonesia. Dalam beribadah, istri (ibu) yang menggunakan bahasa Madura ada 3 dan 7 responden menggunakan bahasa Jawa. Ketika berada di lingkungan luar rumah, ada 6 responden menggunakan bahasa Jawa dan 4 responden yang menggunakan bahasa Madura. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan oleh istri (ibu) ketika berada di tempat umum, seperti pasar maupun pusat perbelanjaan lainnya, ada 9 responden menggunakan bahasa Indonesia, dan hanya ada 1 responden yang menggunakan bahasa Jawa. Ketika marah, penggunaan bahasa istri ada dua bahasa. Ada 7 responden ketika marah menggunakan bahasa Madura dan 3 responden ketika marah menggunakan bahasa Jawa. Masyarakat Madura ketika berada di lingkungan kerja akan berhadapan dan berinteraksi dengan pelanggan, karena keseluruhan responden istri (ibu) mempunyai pekerjaan sebagai pedagang. Sehingga akan dihadapkan untuk berkomunikasi dengan pelanggan mereka. Ketika berada di lingkungan kerja, responden yang menggunakan bahasa Jawa ada 5 atau 50%, dan 5 responden menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan oleh istri (ibu) ketika berbicara dengan suaminya secara keseluruhan atau 100% menggunakan bahasa Madura. Sementara ketika berbicara dengan anak kandung, bahasanya sangat bervariasi. Ada 1 responden yang menggunakan bahasa Jawa, 1 responden menggunakan bahasa Indonesia, dan 8 responden menggunakan bahasa Madura. Bahasa yang digunakan oleh responden istri (ibu) ketika berbicara dengan ayah kandungnya secara keseluruhan menggunakan bahasa Madura. Begitu juga bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan ibu kandungnya, secara keseluruhan atau 100% responden menggunakan bahasa Madura. Karena bahasa Madura merupakan bahasa ibu mereka. Ketika berbicara dengan ibu mertua, responden secara keseluruhan menggunakan bahasa Madura. Begitu juga ketika responden berbicara dengan Bapak mertua, secara keseluruhan responden menggunakan bahasa Madura. Ketika berbicara dengan saudara kandung, secara keseluruhan atau 100% responden menggunakan bahasa Madura. Selanjutnya jika dilihat dari bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, ada 5 responden menggunakan bahasaIndonesia, 5 responden menggunakan bahasa Jawa. Sementara bahasa yang digunakan oleh istri (ibu) ketika berbicara dengan orang yang lebih muda, ada 5 responden menggunakan bahasa Madura dan 5 responden menggunakan bahasa Jawa. Sementara bahasa yang digunakan oleh responden ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal secara keseluruhan responden istri (ibu) menggunakan bahasa Indonesia. Ini berarti bahasa Madura maupun bahasa Jawa tidak pernah mereka gunakan ketika berbicara dengan orang yang baru saja dikenal. Sikap Bahasa Istri (Ibu) Suku Madura terhadap Bahasa Madura Sikap bahasa di sini meliputi pemakaian bahasa yang berhubungan dengan pemakaian bahasa Madura di radio atau televisi; pemakaian bahasa Madura terhadap anak; pemakaian bahasa Madura terhadap responden.Pertama akan diuraikan sikap bahasa istri (ibu) suku Madura terhadap bahasa Madura dalam siaran radio maupun televisi. Media elektronik berpengaruh sekali dalam membawa perkembangan suatu bahasa dalam masyarakatnya. Media radio daerah kadangkala menyelipkan program acara. Dari hasil penelitian yang dilakukakan, secara keseluruhan responden pernah mendengarkan atau melihat siaran radio maupun televisi. Sama halnya dengan responden suami (ayah), responden istri mendengarkan atau melihat siaran berbahasa Madura ketika responden berada di Madura. Selama berada di Yogyakarta, mereka jarang mendengarkan atau melihat siaran berbahasa Madura, baik di radio maupun di televisi. Namun sikap mereka sangat positif terhadap siaran berbahasa Madura, 8 responden atau 80% mereka sangat senang terhadap siaran berbahasa Madura. Sementara responden yang menyatakan senang hanya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
170
ada 2 atau 20%. Selanjutnya akan diuraikan pula sikap mereka terhadap pembelajaran bahasa Madura. Sikap responden terhadap pembelajaran bahasa Madura secara keseluruhan atau 100% mereka sangat ingin mengajarkan bahasa Madura terhadap anaknya. Mereka juga sangat menginginkan anaknya bisa berbahasa Madura. Selain itu, 6 responden sangat ingin dan 4 responden ingin keluarganya selalu menggunakan bahasa Madura. SIMPULAN Penelitian terhadap pemertahanan bahasa Madura di KotaYogyakarta ini tergolong penelitian pemula. Dari penelitian ini terungkap beberapa simpulan, yaitu sebagai berikut.Populasi penelitian ini adalah keluarga suku Madura di KotaYogyakarta. Pada ranah rumah tangga seperti itu dimungkinkan terjadi fenomena kebahasaan yang bervariasi dan yang lebih jauh fenomena tersebut dapat mencerminkan ada tidaknya pemertahanan atau pergeseran bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Madura suami (ayah) sebagai kepala rumah tangga dalam berbicara topik resmi tingkat pemertahanannya 20%, bahasa yang digunakan suami ketika membicarakan topik tidak resmi tingkat pemertahanannya 70%, bahasa yang digunakan suami dalam menulis tingkat pemertahanannya 20%, bahasa yang digunakan suami ketika beribadah tingkat pemertahannya 50%, bahasa yang digunakan suami ketika berada di lingkungan luar rumah tingkat pemertahanannya 30%, bahasa yang digunakan suami ketika berada di tempat umum tingkat pemertahanannya 0%, bahasa yang digunakan suami ketika marah tingkat pemertahanannya 60%, bahasa yang digunakan suami dalam lingkungan kerja tingkat pemertahanannya 0%, bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan pasangan istri tingkat pemertahanannya 100%,bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan anak kandung tingkat pemertahanannya 40%, bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan orang tua kandung tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan mertua tingkat pemertahanannya 100%,bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan saudara kandung tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan orang yang lebih muda tingkat pemertahanannya 50%, yang lebih tua tingkat pemertahanannya 50%,bahasa yang digunakan suami ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal tingkat pemertahanannya 0%. Secara keseluruhan tingkat pemertahanan bahasa Madura yang digunakan oleh suami 20%+70%+20%+50%+30%+0%+60%+0%+100%+40%+100%+100%+100%+100%+100%+50%+50% +0%=990:18= 55. Dengan demikian tingkat pemertahanan suami terhadap bahasaMadura di KotaYogyakarta dianggap kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Madura istri (ibu) sebagai ibu rumah tangga dalam berbicara topik resmi tingkat pemertahanannya 20%, bahasa yang digunakan istri ketika membicarakan topik tidak resmi tingkat pemertahanannya 50%, bahasa yang digunakan istri dalam menulis tingkat pemertahanannya 0%, bahasa yang digunakan istri ketika beribadah tingkat pemertahannya 30%, bahasa yang digunakan istri ketika berada di lingkungan luar rumah tingkat pemertahanannya 40%, bahasa yang digunakan istri ketika berada di tempat umum tingkat pemertahanannya 0%, bahasa yang digunakan istri ketika marah tingkat pemertahanannya 70%, bahasa yang digunakan istri dalam lingkungan kerja tingkat pemertahanannya 0%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan pasangan suami tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan anak kandung tingkat pemertahanannya 80%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan orang tua kandung tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan mertua tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan saudara kandung tingkat pemertahanannya 100%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan orang yang lebih muda tingkat pemertahanannya 50%, yang lebih tua tingkat pemertahanannya 50%, bahasa yang digunakan istri ketika berbicara dengan orang yang baru dikenal tingkat pemertahanannya 0%. Secara keseluruhan tingkat pemertahanan bahasa Madura yang digunakan oleh istri 20%+50%+0%+30%+40%+0%+70%+0%+100%+80%+100%+100%+100%+100%+100%+0%+50%+0 %=940:18= 52,22. Dengan demikian tingkat pemertahanan istri terhadap bahasaMadura di KotaYogyakarta dianggap kurang. Secara keseluruhan, tingkat pemertahanan bahasa Madura di
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
171
KotaYogyakarta 55+52,22=107,22:2=53,61. Dengan demikian pemertahanan bahasa Madura diKotaYogyakarta dianggap kurang. Penelitian ini adalah penelitian permulaan terhadap pemertahanan bahasa Madura di KotaYogyakarta. Hasil penelitian ini belumlah tuntas karena terbatasnya responden, hanya kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga saja yang menjadi acuan. Jumlah data yang minim memungkinkan penelitian ini belum dapat menggambarkan kondisi, sehingga gambaran mengenai pemertahanan bahasa Madura belum secara total terwujud. Semoga penelitian ini dapat merupakan proses berkelanjutan bagi penelitian mengenai pemakai dan keberadaan bahasa Madura di kotaYogyakarta. REFERENSI Astar, Hidayatul. (1993). Pemertahanan Bahasa China di Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sumarsono. (1993). Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Lumintaintang, Yayah B. (1990). “Pola Pemakaian Bahasa Sunda dalam Perkawinan Campuran: Telaah terhadap Beberapa Keluarga Jawa-Sunda Karyawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.” Jakarta: Disertasi Universitas Indonesia. Chaer, Abdul. (1995). Sosiolinguistik: Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Fishman, Jhosua A. (1968). Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton. Tim. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
172
30 DISPREFERRED RESPONSE IN JOURNEY 2: THE MYSTERIOUS ISLAND MOVIE Nur Mufidah Diah Ikawati Ayuningtias English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: This paper aims to explain types and features of dispreferred response found in Journey 2: The Mysterious Island movie. In addition, to analyze the data, it uses the theory proposed by Yule (1996) for types and Glaser (2009) for features. Moreover, a qualitative research design is applied since the data are in the form of words which are the utterances of all the characters in Journey 2: The Mysterious Island movie which contain dispreferred response. The data are collected by using content analysis method. In the finding, there are 52 data. It is found five dispreferred response types proposed by Yule (1996) which are disagree for assessment (19 data), refuse for invitation (6 data), decline for offer (2 data), disagree for proposal (12 data) and refuse for request (12 data). It is added another type which was double type (1 data). It is also found 5 of 12 features of dispreferred response proposed by Glaser (2009). Those are token agreement (1 data), request for clarification (3 data), providing reason and explanation (4 data) bare exclamation (4 data) and blunt statement of the opposite (8 data). The rest of the data have more than one feature which make the researcher adds two more features which are double features (24 data) and triple features (3 data). Besides all those features, there are also other features found in the data which are suggestion (3 data) and avoidance (2 data). The result of this study shows that non-native speaker’s features proposed by Glaser (2009) are also applied by native speakers. Keywords: Dispreferred Response, Journey 2: The Mysterious Island.
INTRODUCTION A particular utterance in a communication cannot stand alone. In other word, a communication occurs if there are participants. In this case, there must be the speaker or writer and hearer or reader. In a direct communication, what is uttered by a speaker will be directly responded by the hearer. In addition, the response is related to the speaker’s utterance. For instance, invitation will be responded by an acceptance. This pair of invitation and acceptance is called adjencey pair. the The responses given y the hearer depends on the production of the first part participant of an adjacency pair. Adjacency pair refers to conversational sequence in which it is the fundamental organization in order to make the conversation between one speaker and other speakers run smoothly. Adjacency pairs is defined by Paltridge (2006) as utterances produced by two successive speakers in a way that the second utterance is identified as related to the first one as an expected follow-up to that utterance. However there are some freedoms in responding to some first pair parts. For instance, an invitation can be answered by an ‘acceptance’ or ‘rejection’. Thus, some second pair parts may be preferred and others may be dispreferred (Paltridge, 2006). For example, an assessment may be followed by an agreement (the preferred response) or a disagreement (the dispreferred response). Yule (1996) defines the dispreferred is the structurally unexpected next act. It means that dispreferred response is unpredicted response received by the first pair part participant of particular communication. Yule (1996) also stated that in any adjacency pair, silence in the second part is always an indication of a dispreferred response. According to Yule (1996), there are five types of dispreferred response which are disagree for assessment, refuse for invitation, decline for offer, disagree for proposal, and refuse for request. See the table below:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
173
First pair parts Assessment Invitation Offer Proposal Request
Table 1: Types of Dispreferred Response Second pair parts Preferred Dispreferred Agree Disagree Accept Refuse Accept Decline Agree Disagree Accept Refuse
In line with what Yule has been stated, Glaser (2009) claimed that regardless of whether the attribute ‘dispreferred’ is perceived in a more systemic sense as ‘marked’ or in a more emotional sense as ‘undesired’, it is certainly safe to note that dispreferred speech act are more complex and challenging than their preferred counterparts. Glaser divides the features of dispreferred response into two parts i.e. the features used by Native Speaker and the features used by Non-native Speaker. See the following table:
a.
b. c. d. e. f. g. h. i.
Table 2: Features of Dispreferred Response Native Speaker Features Non-native Speaker Features Token agreement which is a structure in which the a. The bare exclamation “No!” disagreement is perceived by an expression of agreement, often b. Blunt statements of the opposite, of the Yes, but… c. On-record realization, e.g. by Hedges: well, just, I think, etc. using the performative “I Modal expression: may, might, could. disagree”. Suprasegmental mitigation: hesitation and/or pausing. Request for clarification Repetition of the prior speaker’s words, Providing reason & explanations, Expression of regret, Positive remarks – compliments, signals of cooperation etc.
Journey 2: The Mysterious Island, an American 3D science fiction adventure movie in which all types of dispreferred response types proposed by Yule (1996) can be found in it., has been chosen as source of data. The purposes of this study are to describe the types and features of dispreferred response found in Journey 2: The Mysterious Island. Dispreferred response types will be analyzed based on Yule (1996) and dispreferred response features will be analyzed based on Glaser (2009). METHODOLOGY This analysis is designed as descriptive qualitative research since it describes the information about types and features of dispreferred response found in Journey 2: The Mysterious Island movie. The data are the utterances of the characters of Journey 2: The Mysterious Island movie which contain dispreferred response. The key instrument of this analysis is the researcher herself. The method of data collection uses content analysis method proposed by Kothari (2004) and the method of data analysis uses the method proposed by Miles and Huberman (1994). FINDING AND DISCUSSIONS The data analysis were classified into the types of dispreferred response based on Yule (1996). The types of dispreferred response proposed by Yule (1996) were disagree for assessment, refuse for invitation, decline for offer, disagree for proposal and refuse for request. However, it was found another type of dispreferred response which was named double type. This double type is the type of dispreferred
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
174
response which contains more than one type of dipreferred response. Total of data were 52 data. 19 data belonged to disagree for assessment. 2 data belonged to decline for offer. Disagree for proposal and refuse for request had the same frequency. Each of those had 12 data. The lowest frequency was double types. It had only one data. Based on the data analysis, the features of dispreferred response were analyzed based on Glaser (2009). However, more than half of the data had more than one feature. Therefore, it was added 2 features more which are double features for 2 features and triple features for 3 features. Besides, it was also found other features which were suggestion and avoidance. From the data analysis, it can be found 1 data belonged to token agreement, 3 data belonged to request for clarification, 4 data for both providing reason and explanation and bare exclamation, 8 data belonged to blunt statement of the opposite, 2 data for avoidance, 3 data for suggestion, 24 data belonged to double features and 3 data belonged to triple features. Nevertheless, for hedges, modal expression, suprasegmental mitigation, expression of regret, positive remarks, and on-record realization could not be found in the data. Types of Dispreferred Response which were Found in Journey 2: The Mysterious Island Movie 1. Disagree for Assessment In the following conversation which belonged to one of data collection, Hank as the first pair part participant produced an assessment related to Sean’s behavior. Sean, Liz’s son, left the conversation among Liz, Hank, and him when Liz considered the conversation should not be ended yet. In disagree for assessment, Liz as the second pair part participant disagreed with Hank’s assessment. It can be called disagree if the speaker oppose the interlocutor’s utterances whether it is opinion, assessment, and so on. See the following example below: Hank : It's okay, Liz. Liz : No, it's not. Sean! In the extract above, Liz produced a disagreement regarding Hank’s assessment by saying ‘No, it’s not.’ By saying this negative statement, it can be known that Liz against Hank’s assessment related to Sean’s behavior. In considering assessment as first part, agreement is the preferred and disagreement is the dispreferred second part. This disagreement is called as dispreferred speech act. 2. Refuse for Invitation Refusing is a complex issue, as the speaker directly or indirectly says no to his/her interlocutor’s request, invitation or suggestion (Campillo, Sarfont-Jorda, & Cordina-Espurz, 2010). This dispreferred response treats the interlocutor’s face negatively. See the following example: Hank : Hey. Sean, we gotta talk about this. Sean : No, I'm still confused, who gave him a speaking part? The conversation among Hank, and Sean above shows that Sean refused Hank’s invitation to talk about a particular problem caused by Sean himself. Before this conversation took place, Sean had been arrested by the police because he had broken into a satellite facility in the middle of the night. Hank was Sean’s stepfather who had the right to let Sean off a bargain because of his position in the Navy and also the police who caught Sean were Hank’s friends. By saying ‘No, I’m still confused.’ it can be known that Sean refused Hank’s invitation directly. ‘Who gave him a speaking part?’ described that Sean did not regard Hank as his family to convey his opinion. Although, after all what Hank was done for Sean -let Sean off the bargain- Sean delivered an unexpected question. This unexpected question simply conveyed that there were a distance between Hank and Sean. 3. Decline for Offer The rejection which is given by the speakers to their interlocutor’s either tender, recommendation or offer is called decline for offer based on the types of dispreferred response proposed by Yule. Further explanation will be explained below:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
175
Sean : Hey! You get money for $1000! Tour Guide : Only a fool trades his life for money. │go│ The conversation above happened when Sean asked the tour guide to guide him to the mysterious island. Sean offered some money as a commission if the tour guide wanted to do his job. The conversation between Sean and the tour guide above shows that the tour guide as the offeree (the one who got an offer) declined Sean’s offer. The tour guide declined indirectly by saying ‘Only a fool trades his life for money.’ as the explanation why he could not accept Sean’s offer. He strengthened his declination by his going and left Sean. 4. Disagree for Proposal Proposal is any suggestion or advice which is given by the proposer to their interlocutor. In this case, proposal can be disagreed by proposing other suggestion, alternative, idea, or plan. See the following example: Kailani : Papa! We gotta get out of here now! Gabato : I was thinking the same thing! Sean : No, no, no. Wait! The Mysterious Island, chapter one! "The passengers had been taken into the circling movement of a column of air." In the extract above, Sean disagreed with Kailani’s proposal. By riding Gabato’s helicopter, Sean, Hank, Kailani, and Gabato flew to the coordinates mentioned in the message received by Sean. The coordinates would put them into 100 miles off the coast of Palau, in the middle of the South Pacific. There was where they would find the mysterious island. However, in the middle of the flight, they were confronted with a Category 5 hurricane. Kailani proposed to get out avoiding a Category 5 hurricane. The extract above showed that Kalinai proposed her proposal to her father -Gabato, as the pilot- and Gabato had the same idea with Kailani. Nevertheless Sean who truly wanted to find out the mysterious island disagreed with what had been proposed by Kalinai to Gabato by saying ‘No, no, no. Wait! The Mysterious Island, chapter one! "The passengers had been taken into the circling movement of a column of air."’. The way Sean produced his disagreement by saying more than one ‘No’. It indicated that he really disagreed if the helicopter had to turn against the hurricane. 5. Refuse for Request Refuse for request is an act that is harmfully threatened the interlocutor’s face caused by incapability to perform the act the requester needs. See the following example: Alexander : Brilliant. Music is nature's painkiller. Sing him a song. Hank : No. Alexander requested Hank to sing when he found Gabato’s guitar. At that time, he thought that music would make Sean felt better. Since Sean had dislocated ankle caused by fallen from the bee he had been ridden on. However, Hank refused Alexander’s request. The conversation between Hank and Alexander above shows that Hank refused Alexander’s request directly by saying ‘No.’. This statement became lack powerful because Hank did not explain why he could not perform Alexander’ request after he had said that he could sing a little bit in their previous conversation. 6. Double Type Double type is the type which contains more than one type of dispreferred response. See he example below: Hank : This chopper's not gonna work out. Let’s go! Sean : Actually Hank, you know what? Now that I get a better look at it, this chopper's pretty freaking gorgeous.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
176
The conversation above happened when Hank and Sean saw -for the first time- Gabato’s helicopter. Hank and Sean were looking for a transportation which would bring them to the mysterious island. By the time they looked at Gabato’s helicopter, they completely shocked by its presentation because the helicopter seemed too old to be ridden. In the extract above, there are two types of dispreferred response that can be found in it. The first one is disagree for assessment and the second one is refuse for invitation. In this case, the utterances produced by Hank can be divided into two parts; ‘This chopper's not gonna work out.’ was the assessment for Gabato’s helicopter which became their vehicle brought them to the mysterious island and the other ‘Let’s go!’ was Hank’s invitation to Sean to find out other vehicles. Therefore Sean’s dispreferred response ‘Actually, Hank, you know what? Now that I get a better look at it, this chopper's pretty freaking gorgeous.’ can be divided also into two dispreferred response type. The first one was Sean’s directly disagreement regarding Hank’s assessment (‘This chopper's not gonna work out.’) and his indirectly refusal regarding Hank’s invitation (‘Let’s go!’). So, it is clearly stated that this data belong to two types of disprefered response. Therefore the data is called double type. Features of Dispreferred Response Used by the Characters in Journey 2: The Mysterious Island Movie 1. Token Agreement Token agreement is a statement which was given by the speaker as if s/he agrees or accepts his or her interlocutor’s wants. Sean : Let's make the time. Volcanic gold? That's a huge scientific breakthrough. Hank : I understand that, but we gotta get to the Nautilus. The conversation between Sean and Hank above happened when Sean invited to come to the mountain of gold in the middle of the trip. However, Hank refused Sean’s invitation by presenting a token agreement (‘I understand that, but we gotta get to the Nautilus.’). See the way Hank produced his refusal by saying ‘I understand that,’ in the beginning of his utterances as if he accepted Sean invitation. However, his utterances was ended by saying (‘but we gotta get to the Nautilus’) showing his inability to cooperate with Sean’s idea to go to the mountain of gold. This feature, showing understanding as if the speaker would accept the invitation but actually s/he could not accept it, was called token agreement. 2. Request for Clarification All the data that belonged to this feature were in the form of question. The second part participants produced their dispreferred response by presenting a question in order to get a clarification in particular thing. Hank : Okay. You get down now. Alexander : Why would I get down? This conversation happened when Alexander rode a giant bee in the mysterious island. Hank requested Alexander to get down from the bee. However, Alexander refused Hank’s request by presenting a request for clarification (‘Why would I get down?’). This request for clarification which was produced by Alexander indicated that he produced his dispreferred response regarding Hank’s request rather than simply conveyed a single question to Hank. 3. Providing Reason and Explanation This feature was used to explain why the second part participant could not agree or accept the first part participant wanted. Gabato : We could build a boat. Hank : The storm around this island will chew it up, spit it out. The conversation between Gabato and Hank above happened when they knew that the mysterious island would sink soon and they realized that they did not have any transportation in order to get them off from the island. Then, Gabato proposed to build a boat. However, Hank explained to Gabato
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
177
that the storm around the island would crash the boat just like what was happened with Gabato’s helicopter. Absolutely it was clearly conveyed that Hank produced his dispreferred by presenting one of features proposed by Glaser (2009) which was providing reason and explanation by saying (‘The storm around this island will chew it up, spit it out.’). 4. Bare Exclamation Bare exclamation is one of features in which the speaker directly produced his or her dispreferred response. It usually appeared in the form of ‘No!’. See the following example: Hank : It's okay, Liz. Liz : No, it's not. Sean! The conversation between Hank and Liz above happened when they tried to get an explanation from Sean related with his problem that made him was caught by the police. Liz got Sean to clarify why he broke into a satellite facility in the middle of the night. However, Sean left the conversation between them before Liz got a clear answer. The feature used by Liz to produce her dispreferred was by presenting bare exclamation (‘No, it's not.’). 5. Blunt Statement of the Opposite Blunt statement of the opposite means the speaker produces another statement which opposes against his or her interlocutor’s prior utterances. Gabato : Oh, man…. that's one gooey rock. Hank : No one move. These aren't rocks. They're eggs. The conversation above happened when Hank cracked a really giant lizard egg which he and others (Sean, Gabato, and Kailani) thought it was a rock when they walked on it. At the time, when Hank cracked the egg which they all considered as the rocks, Gabato produced his assessment by saying ‘Oh, man…. that's one gooey rock.’. Then, Hank disagreed with Gabato’s assessment by produced blunt statement of the opposite (‘These aren't rocks. They're eggs.’). 6. Suggestion Alexander Hank
: After all, how hard can it be to crack a code by converting a string of Vernian characters into a list of dots and dashes. : Or you could have just sent a message not in code.
In the conversation above, it can be known that Hank produced a dispreferred response delivered to Alexander. The feature used by Hank was presenting a suggestion (‘Or you could have just sent a message not in code’). This suggestion produced when Alexander assessed that cracking the code he was sent to Sean in order to discover the mysterious island was not a hard thing. However, Hank disagreed with Alexander’s assessment and then he produced the suggestion to Alexander. 7. Avoidance The data showed that the way the characters produced this feature, avoidance, was by uttered the utterances that was not correlated with their interlocutor’s previous utterances. Gabato : I love you, sweetness. Hey, can you wish Sean a happy birthday for me? And maybe I'll call you later. Say in five minutes? Kailani : Bye, Papa. │end the call│ The conversation above happened when Kailani, Gabato, Sean, Hank, and Alexander, all of them had already successfully left the mysterious island safely by using Captain Nemo’s submarine. After that, several months later, Kailani was going to Sean’s birthday party. By the time Kailani almost arrived in Sean’s house, her father -Gabato- called her. The conversation between Gabato and Kailani above
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
178
shows that Kailani produced a refusal regarding Gabato’s request to wish Sean happy birthday from him. The feature used on it was avoidance (‘Bye, Papa.’) and she ended the call. 8. Double Features Double features were the data which had two features. See the following example: Sean : Big man's afraid of a little lizard? Huh? Hank : Big man's not afraid of anything. I love lizards when they're boots and belts. The term ‘big man’ in the conversation above refers to Hank himself. Sean produced his assessment by the time Hank felt panic when he had rubbed up against a man who brought a Lizard in his shoulder. However, Hank produced a disagreement regarding Sean’s assessment. The features of the disagreement which was produced by Hank, showed that Hank presented blunt statement of the opposite (‘Big man's not afraid of anything.’) indicated his disagreement and then an explanation was presented after that (‘I love lizards when they're boots and belts.’) to explain why Hank disagreed with Sean’s assessment related to him himself. It also explained why he said that he was not afraid of Lizard. 9. Triple Features Triple features were the data which had three features. See the following example: Sean : I mean, today just seems especially majestic. Kailani : "Majestic"? Really? I have to finish this in-flight safety check. The conversation happened when they were on the helicopter flown to the mysterious island. Sean fell in love with Kailani since the first time he saw her. In addition, Sean love at the first sight with Kailani. The data above showed that Kailani produced her disagreement regarding Sean’s assessment. The features used by Kailani when produced her disagreement regarding Sean’s assessmemnt were begun by repetition of the prior speaker’s words (‘Majestic?’). Request for clarification was invoked here (‘Really?’) to make the speaker’s disagreement lees harmful, then it was ended by explanation (‘I have to finish this in-flight safety check.’). CONCLUSIONS The aim of this study is to describe the types and features of dispreferred response found in Journey 2 : The Mysterious Island movie. There are 52 data belong to dispreferred response found in the movie. Yule (1996) is used to analyze the types of dispreferred response and Glaser (2009) for features. Moreover, based on the data analysis, it can be concluded that 2 of 3 non-native speakers’ features which are bare exclamation and blunt statement of the opposite, these two features were not only used by nonnative speaker. These features were also found in the data in which the characters of the movie were all native speakers. In addition, after conducting this research, it can be conclude that non-native speaker’s features were also able to be applied by native speakers. REFERENCES Campillo, P. S., Sarfont-Jorda, M. P., & Cordina-Espurz, V. (2010). Refusal Strategies: A Proposal from a Sociopragmatic Approach. Revista Electronicade Linguistica Aplicada. 8, 139-150 Glaser, Karen. (2009). Acquiring Pragmatic Competence in a Foreign Language - Mastering Dispreferred Speech Acts. Interface between Pragmatics and Other Linguistic Disciplines. 4, 50-57 Kothari, C. R. (2004). Research methodology: Method & techniques. New Delhi: Publishers. Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis (2nd ed.). United States: SAGE Publications. Paltridge, Brian. (2008). Discourse analysis. Ney York: Continuum. Yule, George. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
179
31 COHESION ANALYSIS OF KATHERINE MANSFIELD’S THE FLY Rosyida Ekawati English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: This study deals with the cohesion analysis of the opening of the short story. It is from the view of reference, substitution, ellipsis, conjunction, and lexical cohesions. It is a descriptive qualitative research. The data are the opening of Catherine Mansfield’s short story entitled The Fly. The opening of the story gives the introduction and clear background of the story so that it is better to make an analysis on it. By analyzing the short story from the point of view of cohesion, is expected to help us understand how the function of cohesion in the text to understand the overall structure of the work as a whole text. From the analysis it is found that the story uses cohesive ties in form of reference, substitution, conjucntion and lexical cohesion. There is no ellipsis used in the text. The absence of elliptical form in the text profoundly provides no questionable the omited materials but the fixed and clear one. Keywords: Grammatical, Lexical, Cohesion, The Fly
INTRODUCTION Analyzing texts of any kind is a very useful method for the aim of describing language functions. When we speak of a text, we speak of any passage, spoken or written, of whatever length, that forms a unified whole. The question that is put first is what is a text and what is not, what are the features that distinguish text from a collection of unrelated sentences. Halliday defines text as any authentic stretch of written or spoken language. Beyond the grammar and lexis of language, understanding the mechanisms for how text is structured is the basis for his work. Halliday also adds that every text has a texture. Texture is the basis for unity and semantic interdependence within text and a text without texture would just be a group of isolated sentences with no relationship to one another A text derives this texture from the fact that it functions as a unity with respect to its environment. There are certain linguistic features that contribute to textual unity. Apart from other concepts this fact is described by the concept of cohesion. The concept of cohesion is a semantic one; it refers to relations of meaning that exist within the text, and that define it as a text. Cohesion occurs where the interpretation of some element in the discourse is dependent on that of another. The common view that a literary text is likely to be comprehended better if it is studied in parallel with stylistic analysis which emphasizes the crucial role of the linguistic features of the text contributes much to the development of literary criticism. Halliday is one of the text linguists who sees grammar as a network of systems of relationships which account for all the semantically relevant choices in language, which is the standpoint of the stylistic analysis as well. In the light of Halliday’s discipline, the study analyzes a piece of literary text written by Katherine Mansfield in the format of a short story entitled The Fly and try to criticize the text objectively in relation to its cohesion features, particularly the opening part of the short story. By analyzing the short story from cohesion point of view, it is hoped to help us understanding how cohesion functions within text in order to understand the overall structure of the work as a whole text. From the previous background, the objectives of this study are: a) to identify the cohesive devices used in the text leads to the wholeness of the text in order it will be easier to comprehend the text; b) to explain the function of the element of cohesive devices in the text; c) to provide an alternative way in understanding and comprehending literary text, especially short story.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
180
STUDY FRAMEWORK Before examining the cohesive ties in the short story it is necessary to have a general understanding of cohesion and its function in texts. Baker (1992) states that cohesion is the network of lexical, grammatical, and other relations which provide links between various parts of a text. These relations or ties organize and, to some extent create a text, for instance by requiring the reader to interpret words and expressions by reference to other words and expressions in the surrounding sentences and paragraphs. Cohesion is a surface relation; it connects together the actual words or expressions that we can see or hear. Normally, we can recognize a text as a sentence or a group of sentences because we can see a clear relationship of ideas unfolding. For example: Wash and core six cooking apples. Put them into a fireproof dish. This text is coherent because them in the second sentence clearly refers back to apples in the first. By itself, either sentence would not mean the same as they do together, and, in fact, the second sentence without its contextual reference would not make much sense. While a text may be of any length, it is normally longer than one sentence. Such things as public notices and slogans, however, may be only a short phrase: a) No smoking, and b) Site of an early chapel. The cohesive relationships between words and sentences in both sentences have certain definable qualities that allow us to recognize reference, substitution, ellipsis, and conjunction, and lexical cohesion as well. Halliday and Hasan elaborate five types of cohesive devices in English and in the lexicogrammatical system of the language. They are reference, substitution, ellipsis, conjunction, and lexical cohesion. Reference, substitution, and ellipsis are grammatical; lexical cohesion is lexical; conjunction stands on the border line between the two categories. In other words, it is mainly grammatical but sometimes involves lexical selection. a. Reference Referencing functions to retrieve presupposed information in text and must be identifiable for it to be considered as cohesive. In written text, referencing indicates how the writer introduces participants and keeps track of them throughout the text. There are three general types of referencing: exophoric referencing, which refers to information from the immediate context of situation, and endophoric referencing, which refers to information that can be “retrieved” from within the text. It is this endophoric referencing which is the focus of cohesion theory. Endophoric referencing can be divided into three areas: anaphoric, cataphoric, and exophoric. Anaphoric refers to any reference that “points backwards” to previously mentioned information in text. Cataphoric refers to any reference that “points forward” to information that will be presented later in the text. Exophoric refers to any reference within the same nominal group or phrase which follows the presupposed item. For cohesive purposes, anaphoric referencing is the most relevant as it provides a link with a previous portion of the text (Halliday and Hasan, 1976). Functionally speaking, there are three main types of cohesive references: personal, demonstrative, and comparative. Personal reference keeps track of function through the speech situation using noun pronouns like “he, him, she, her”, etc. and possessive determiners like “mine, yours, his, hers”, etc. Demonstrative reference keeps track of information through location using proximity references like “this, these, that, those, here, there, then, and the”. Comparative reference keeps track of identity and similarity through indirect references using adjectives like “same, equal, similar, different, else, better, more”, etc. and adverbs like “so, such, similarly, otherwise, so, more”, etc. (Halliday and Hasan, 1976). b. Substitution and Ellipsis Whereas referencing functions to link semantic meanings within text, substitution and ellipsis differs in that it operates as a linguistic link at the lexicogrammatical level. In Bloor and Bloor (1995), substitution and ellipsis is used when “a speaker or writer wishes to avoid the repetition of a lexical item and is able to draw on one of the grammatical resources of the language to replace the item”. Ellipsis is a cover-term for a number of linguistic phenomena where a sentence lacks material that would normally be obligatory and the missing material is nevertheless semantically recoverable from the local syntactic or semantic context (Collins & Parker, 2014). The three types of classification for substitution and ellipsis:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
181
nominal, verbal and clausal, reflect its grammatical function. When something in text is being substituted, it follows that the substituted item maintains the same structural function as the presupposed item. In nominal substitution, the most typical substitution words are “one and ones” and they substitute nouns. In verbal substitution, the most common substitute is the verb “do” and is sometimes used in conjunction with “so” as in “do so” and substitute verbs. Halliday and Hasan (1976) point out that “do” often operates with the reference items “it”and “that” but still have the main function as a verbal substitute because of its grammatical role. In clausal substitution, an entire clause is substituted and though it may seem to be similar to either nominal or verbal substitution, the difference is the presupposed anaphoric reference. Though substitution and ellipsis are similar in their function as the linguistic link for cohesion, ellipsis differs in that it is “substitution by zero. Ellipsis refers to a presupposed anaphoric item although the reference is not through a “place-marker” like in substitution. The presupposed item is understood through its structural link. As it is a structural link, ellipsis operates through nominal, verbal and clausal levels. Halliday and Hasan further classify ellipsis in systemic linguistic terminology as deictic, numerative, epithet, classifier, and qualifier. c. Conjunction Conjunction, as described by Bloor and Bloor (1995: 98) acts as a “cohesive tie between clauses or sections of text in such a way as to demonstrate a meaningful pattern between them”, though Halliday and Hasan (1976) indicate that “conjunctive relations are not tied to any particular sequence in the expression”. Therefore, amongst the cohesion forming devices within text, conjunction is the least directly identifiable relation. Conjunction acts as a semantic cohesive tie within text in four categories: additive, adversative, causal and temporal. Additive conjunction acts to structurally coordinate or link by adding to the presupposed item and are signaled through “and, also, too, furthermore, additionally”, etc. Additive conjunction may also act to negate the presupposed item and is signaled by “nor, and...not, either, neither”, etc. Adversative conjunctions act to indicate “contrary to expectation” and are signaled by “yet, though, only, but, in fact, rather”, etc. Causal conjunction expresses “result, reason and purpose” and is signaled by “so, then, for, because, for this reason, as a result, in this respect, etc.”. The last conjunctive category is temporal and links by signaling sequence or time. Some sample temporal conjunctive signals are “then, next, after that, next day, until then, at the same time, at this point”, etc. d. Lexical cohesion Lexical cohesion differs from the other cohesive elements in text in that it is non-grammatical. Lexical cohesion refers to the “cohesive effect achieved by the selection of vocabulary” (Halliday & Hasan, 1976). The two basic categories of lexical cohesion are reiteration and collocation. Reiteration pertains to the repetition of a lexical item, either directly or through the use of a synonym, a superordinate or a generally related word. Collocation pertains to lexical items that are likely to be found together within the same text. Collocation occurs when a pair of words are not necessarily dependent upon the same semantic relationship but rather they tend to occur within the same lexical environment (Halliday & Hasan, 1976). The closer lexical items are to each other between sentences, the stronger the cohesive effect. A group of words is lexically cohesive when all of the words are semantically related; for example, when they all concern the same topic. Lexical cohesion can also form relational patterns in text in a way that links sentences to create an overall feature of coherence with the audience, sometimes overlapping with other cohesion features. Lexical cohesion concerns such features as synonymy, antonymy, metonymy, collocation, repetition. METHODOLOGY It is a descriptive qualitative research. It is interpretation of the data from the perpective of cohesion theory proposed by Halliday. The data are the opening of Catherine Mansfield’s short story entitled The Fly. The opening of the story gives the introduction and clear background of the story so that it is better to make an analysis on it. The data are analyzed through cohesion analysis proposed by Halliday in form of analysis of reference, analysis of ellipsis, analysis of substitution, analysis of conjunction, and analysis of lexical cohesion as well.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
182
RESULT AND DISCUSSION The opening of the short story (1) “Y’are very snug in here,” piped old Mr. Woodifield, and he peered out of the great, green leather armchair by his friend, the boss’s desk, as a baby peers out of its pram. (2) His talk was over, it was time for him to be off. (3) But he did not want to go. (4) Since he had retired, since his...stroke, the wife and the girls kept him boxed up in the house every day of the week except Tuesday. (5) On Tuesday he was dressed up and brushed and allowed to cut back to the city for the day. (6) Though what he did there the wife and girls couldn’t imagine. (7) Made a nuisance of himself to his friends, they supposed…(8) Well, perhaps so. (9) All the same, we cling to our last pleasures as the tree clings to its last leaves. (10) So there sat old Woodifield, smoking a cigar and staring almost greedily at the boss, who rolled in his office chair, stout, rosy, five years older than he, and still going strong, still at the helm. (11) It did one good to see him. Analysis of Reference In this short story, there are more pronominal forms acting as tie across sentences. In sentence (1), “Y’are very snug in here,”, Y (You) as the personal pronoun for the boss. It refers forward cataphorically to the boss mentioned later on. In the next clause, there is personal pronoun. This he refers back anaphorically to Mr. Woodifield mentioned before. Then, there is possessive adjective his which also refers back anaphorically to Mr. Woodifield. While in the last clause of this sentence, there is also possessive adjective its which refers back anaphorically to baby mentioned before. In sentence (2), we are introduced to his and him. Both refer to Mr. Woodifield, not to the boss because there is no reference to the boss. We are introduces also to it. The it in this sentence can refer to the talk that was over. In sentence (3), personal pronoun he occurs. It refers also to Mr. Woodifield that actually mentioned in the first sentence. In sentence (4), there are personal pronoun as subject he, possessive adjective his, and personal pronoun as object him. All are clear reference to Mr. Woodifield and provide one obvious way in which this sentence is tied to the previous sentences. In sentence (5), there is only one personal pronoun as subject he which is also refers back anaphorically to Mr. Woodifield in sentence (1). In addition, in sentence (6), the personal pronoun he is a clear reference to Mr. Woodifield, too. It is tied to the previous sentences. The there refers to the city in the previous sentence. Menawhile, in sentence (7), the reflexive pronoun himself and possessive adjective his also clear reference back to Mr. Woodifield. There are no other references aside from Mr. Woodifield mentioned before or later on. This sentence is tied to the previous sentence. Besides, there is also personal pronoun they. As they is the personal pronoun as subject for plural, it is impossible a reference back to Mr. Woodifield. In the previous sentence, sentence (6), it is mentioned the wife and the girls. So that, the they here is a clear reference back to the wife and the girls, Mr. Woodifiled’s wife and Mr. Woodifield’s daughters. In sentence (9), there appears personal pronoun as subject we and possessive adjective our. They seem to be exophoric reference. The we is actually used for first person plural. Another form of references in this sentence is possessive pronoun its. The its is an anaphoric reference to the tree comes earlier in the sentence. Furthermore, in sentence (10), there are personal pronoun his followed by office. It makes a clear reference that the one who has the office is the boss. So that his here refers back anaphorically to the boss comes earlier in this sentence. Then, there is also personal pronoun he following the previous pronominal. Of course, he does not have the same reference as the previous pronominal form his, since there is a comparison form. Clearly, he has reference back to Mr. Woodifield. In sentence (11), at the beginning of the sentence there is it. The it can refer to the fact visiting the boss in his office is a good activity. Further, the personal pronoun as object him at the end of the sentence. The him refers back anaphorically to the boss, as it is said good to see him. The one who see someone is Mr. Woodifield, so that it is impossible if Mr. Woodifield sees himself. So that, the clear reference should be the boss to whom Mr. Woodifield is visiting.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
183
From the analysis of reference, it is understood that the use of pronominal are often used. It can be said that pronominal here as the reference which is absent in the surface structure from the exact person referred to, means that with its reference being left open for contextual interpretations. Analysis of Substitution There is only one substitution form in this text, it is in sentence (8), ‘Well, perhaps so’. It is assumed that so is a substitute for clause ‘made a nuisance of himself to his friends’ mentioned in the previous sentence. The so here occupies the same function as the item substitute for, though sometimes it embraces more than single function. The only one substitution used in the opening of Catherine Mansfields’s The Fly make no open interpretation of the text. Substituion and ellipsis in this matter can be one of the contraints in understanding of content. Analysis of Conjunction In sentence (3), the sentence is started by coordinating conjunction but. But has a function to contrast, so that the coordinating conjunction but here in this sentence is to contrast between the statement in the previous sentence. Actually he has to be off at that time, but he does not. In sentence (4), there is subordinating conjunction since. Since joins a subordinate clause to a main clause in the sentence referring to time. In sentence (6), the subordinating conjunction though supplies concession for the main clause. In sentence (10), the coordinating conjunction so denotes equality of relationship between the ideas it join. Analysis of Lexical Cohesion There is repetition form of conjunction since. The repetition is for emphasizing the condition that Mr. Woodifield has retired because of his stroke. There is also repetition of the same words the wife and the girls. Both refer to Mr. Woodifield’s. The repetition makes clearer understanding and links between sentences. Another form of repetition is the name of the day, Tuesday. It is repeated twice in sentences (4) and sentence (5). It is assumed to make clear understanding that in that day, every Tuesday, Mr. Woodifield is freer than other days within the week. Only on Tuesday, he can enjoy his life because at that day, his wife did not keep him boxed up in the house but she allowed him to cut back to the city. Repetition of cling and last in sentence (9) functions as comparison. Formal visit is usually done by Mr. Woodifield introduced by dressed up. He visits his friend in his office. So that he needs to be more formal than usual. Armchair and desk are under the same group of furniture.Friendship is shown by piped in which someone who greets his friend in that manner, commonly they are close friend and knowing each other. In this story, Mr. Woodifield visits his friend, perhaps, his former office mate or boss during his working period. There are example of contrastive cohesion between Mr. Woodifield and the boss. This contrast can be an implicit social between Mr. Woodifield who is not working anymore because of his health. He had retired since his stroke, while the boss is still strong enough though he is older than Mr. Woodifield. Happy and unhappy life of both characters involved is also the example contrastive cohesion. Happy life of the boss and unhappy life of Mr. Woodifield. The boss is very snug while Mr. Woodifield’s wife kept him boxed up in the house. Then, the jealousy is involved as theme. It is introduced by Mr. Woodifield’s greeting to the boss shown in the first sentence ‘Y’are very snug in here’. Such expression, particularly snug shows that Mr. Woodifield, in his life, is not as comfortable as the boss. Then, in sentence (10) ‘there sat old Woodifield..’ shows that Mr. Woodifield is not happy in his life comparing to the boss who is stout, rosy, still going strong though he is 5 years older than he, and also he still at the helm. On the contrary, Mr. Woodifield is younger than the boss but he had retired and getting stroke.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
184
CONCLUSION In the short story, cohesion of the text is achieved through some cohesive devices. They are grammatical cohesion in the form of reference, substitution and conjunction. There is no ellipsis form, assumed that the writer wants to make clear description or understanding on the story. Besides, the cohesion of the text is also achieved through lexical cohesive devices. From the analysis of cohesion, it is simply to make the comprehensive view of understanding the text as a whole one.
REFERENCES Baker, M. (1992). In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Routledge. Blake, N.F. 1990. An Introduction to the Language of Literature. Macmillan Education Ltd. Hampshire. London. Bloor, T. and Bloor, M. (1995). The Functional Analysis of English London, New York, etc: Arnold Colin, Phillips and Dan Parker. (2014). The Psycholinguistics of Ellipsis. Lingua 151(78-95. www.elsevier.com/locate/lingua Haliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. (1976). Cohesion in English. London. Longman Group. Ltd. Morris, Jane. & Hirst, Graeme. (1991). Lexical Cohesion Computed by Thesaural Relations as an indicator of the Structure of Text. www.portal.acm.org/citation.cfm?id=971740&dl=GUIDE Querol, Mercedes. (2005). Substitution As a Device of Grammatical Cohesion in English Narative and Its Translation into Spanish. Jornades de Foment de la Investigació. Spanyol. Universitat Jaume. Tomeldan, Yolanda V. et all. (1986). Prism. An Introduction to Literature. National Book Store. Quezon City.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
185
32 ANTROPONIM SEBAGAI CERMINAN IDENTITAS BANGSA Susi Machdalena, Ph.D Program Studi Bahasa Rusia - Fakuktas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Abstrak: Antroponim merupakan bagian ilmu linguistik yang mempelajari nama-nama orang. Antroponim Rusia memiliki struktur yang teratur dapat dibedakan berdasarkan antroponim untuk gender laki-laki atau perempuan. Antroponim Rusia sangat unik. Keunikan ini dapat dijadikan salah satu identitas orang Rusia, karena orang Rusia memiliki tiga kata untuk nama mereka, yang terdiri dari nama keluarga, nama diri, dan nama ayah, contoh Medvedev Dmitriy Anatolevič untuk nama laki-laki, sedangkan nama perempuan Medvedeva Anna Anatolevna. Lebih unik lagi adalah penggunaan nama-nama orang Rusia. Untuk dapat menggunakan nama-nama orang Rusia yang sesuai dengan etiket dan tradisi mereka perlu diperhatikan beberapa faktor, di antaranya jarak sosial, situasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. data-data diperoleh melalui observasi langsung di di Institut Bahasa Rusia A.S Pushkin Moskow, karya sastra yang mengandung unsur-unsur sapaan pada orang Rusia. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa antroponim Rusia dapat menunjukkan identitas orang Rusia karena dari antroponim dan penggunaannnya yang memiliki banyak turunan tercermin budaya Rusia yang kental. Antroponim turunan dibentuk dengan menambahkan berbagai macam sufiks yang berbeda pada nama diri, contoh nama diri Dmitriy - Dima - Dimka -Dimuška dll. Untuk dapat menggunakan antroponim turunan tersebut jarak sosial dan situasi sapaan sangat menentukan. Kekhasan antroponim Rusia dapat dijadikan salah satu identitas orang Rusia. Kata kunci: Atroponim, keunikan, etiket, tradisi, identitas bangsa
PENDAHULUAN Di Indonesia kajian antroponimika belum banyak dikembangkan. Diduga salah satu penyebabnya adalah belum banyak ahli linguistik Indonesia yang melirik tema ini. Padahal Indonesia kaya akan potensi keanekaragamanan budaya. Keanekaragamanan budaya ini sudah tentu memiliki ciri-ciri tersendiri dalam bidang antroponim. Kekayaan budaya Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan banyaknya suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. Terdapat beberapa suku bangsa yang memiliki ciri khas dalam sistem antroponim di antaranya suku bangsa Batak dengan antroponim marga, Manado - fam, contoh: marga Siahaan, Nasution, Pakpahan, Tobing, Sitinjak, Lubis hanya terdapat dalam masyarakat Batak, sedangkan di Manado - Romokoi, Rondonuwu, di Ambon - Pattinama, Pattirajawane dll. Sistem antroponim Rusia berbeda dengan sistem antroponim di Indonesia. Antroponim Rusia sangat spesifik karena sistem antroponim negera ini memiliki struktur yang terdiri dari tiga kata, dimulai dengan nama keluarga, nama diri lalu nama ayah serta dibedakan antara struktur antroponim untuk gender maskulin dan feminin (Tchaikovskiy Peter Ilich untuk antroponim maskulin dan Sharapova Maria Yurievna untuk antroponim feminin). Tema ini diteliti dengan tujuan mendeskripsikan sistem antroponim Rusia yang spesifik agar kendala yang dialamai orang Indonesia dalam memahami antroponim Rusia ini dapat terurai. Pengalaman mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar Negeri Rusia di Moskow pada tahun 2010 para diplomat Indonesia menggunakan antroponim Rusia dengan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Barat, yaitu dengan memanggilnya Mr. + nama belakang (Vladimir Vladimirovich Shlyakov), maka orang Indonesia memanggilnya Mr. Shlyakov. Dalam budaya Rusia panggilan tersebut tidak lazim dan dapat dikatakan tidak sopan, tetapi karena yang memanggil orang asing mereka akan memakluminya. Kesulitan dalam memahami antroponim Rusia ini dialami pula oleh para mahasiswa Indonesia yang kuliah di Rusia. Bagaimana harus menyapa dosen baik dosen yang usianya masih muda maupun dosen sudah berusia lanjut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
186
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif.. Data diperoleh melalui sadap rekam dari penutur asli di Institut Bahasa Rusia A.S Pushkin Moskow periode tahun 2010-2012 dan September – November 2013, Mei 2014, Okrober – November 2015. Selain itu, data diperoleh melalui karya sastra yang mengandung unsur-unsur sapaan pada orang Rusia. Data yang terkumpul memalui sadap rekam meliputi data dalam situasi formal (dalam situasi sidang terbuka untuk program doktor) dan nonformal dalam arti situasi percakapan sehari-hari antara atasan dan bawahan atau hubungan dosen dengan para pegawai administrasi, sesama dosen yang memiliki hubungan pertemanan yang akrab, yang kurang akrab di Institut tersebut. Data dari karya sastra terkumpul 543 data yang berasal dari berbagai karya sastra baik karya sastra klasik maupun karya sastra modern yang ditulis dan diterbitkan pada tahun 2008. Data dianalisis berdasarkan situasi formal, nonformal, jarak sosial, usia. PEMBAHASAN Hasil analisis penelitian ini dipaparkan melaui data-data yang diperoleh baik data lisan yang berupa sadap rekam maupun data tertulis dari karya sastra dalam situasi forman dan nonformal. Situasi Formal Dalam situasi formal dipilih data lisan pada saat promosi sidang terbuka untuk ujian doktor. Situasi percakapan: Situasi percakaan terjadi pada saat sidang terbuka.di Institut Bahasa Rusia A.S Pushkim. Ketua sidang terbuka bernama Prof.Dr.Kostomarov Vitalii Grigorevich membuka sidang lalu bertanya Kostomarov Vitalii Grigorevich : “вопрос есть?” ‘ada pertanyaan?’ Burvikova Natalya Dmitrievna : mengangkat tangan, Kostomarov Vitalii Grigorevich : пожалуйста Natalya Dmitrievna ‘silakan Natalya Dmitrievna’ Burvikova Natalya Dmitrievna : спасибо Vitalii Grigorevich ‘terima kasih Vitalii Grigorevich. Dalam situasi formal antroponim Rusia yang digunakan adalah nama diri (Vitalii dan Natalya) + nama ayah (Grigorevich dan Dmitrievna). Padahal keduanya bergelar Profesor. Dr., tetapi sapaan yang digunakan justru nama diri + nama ayah. Hubungan kedua Profesor ini dekat bahkan akrab dan tidak ada jarak sosial di antara mereka. Dari sudut usia Vitalii Grigorevich lebih tua 10 dari Natalya Dmitrievna. Ini berarti bahwa masyarakat Rusia lebih menghargai nama leluhur dibandingkan dengan gelar akademik yang disandang mereka. Sapaan nama diri + nama ayah menunjukkan simbol penghormatan pada ayah dan leluhur. Sapaan ini merupakan sapaan yang digunakan secara nasional dalam masyarakat baik yang tinggal di desa-desa maupun yang tinggal di kota-kota besar. Situasi Nanformal Berikut data yang disajikan adalah data dalam situasi nonformal Percakapan tidak resmi antara sekretaris senat (Baklanova Irina Ivanovna) dan rektor (Proxorov Yurii Yevgenevich) di koridor institut: Proxorov Yurii Yevgenevich : Irina Ivanovna, Вы не получили мою новую книгу? Irina Ivanovna Anda sudah terima buku saya yang baru? Baklanova Irina Ivanovna : ещё нет Yurii Yevgenevich. ‘Belum Yurii Yevgenevich’. Dalam situasi nonformal pun digunakan sapaan nama diri + nama ayah. Hubungan kedua peserta komunikasi tersebut adalah hubungan antara atasan dan bawahan keduanya bergelar Profesor Doktor, usia mereka terpaut banyak. Dalam masyarakat Rusia nama ayah sangat penting digunakan karena dari nama ayah akan tercermin dengan jelas siapa keturunanya. Nama ayah merupakan salah satu bagian dari tradisi Rusia. Selain itu, nama ayah terkait dengan berbagai macam hukum yang berlaku di Rusia, misalnya hak waris.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
187
Nama Pendek Nama pendek merupakan turunan dari nama diri (Lyudmila – Lyuda nama perempuan; Yurii – Yura nama laki-laki). Nama ini digunakan untuk mengungkapkan rasa sayang, senang, hubungan batin yang dekat baik dalam kelaurga maupun dalam lingkungan di luar keluarga khususnya dengan temanteman yang sudah lama dikenal seolah-olah sudah menjadi bagian keluarganya sendiri. Data berikut diambil dari karya Lyudmila Ulitskaya “Skvoznaya liniya” terbitan tahun 2008. Люда заговорила, и это был высший шик – одновременно на четырёх языках: с Женей по-русски, с Мишелем по-французски, с Гердой по-немецки, а со своим мужем, уроженцем Локарно, по-итальянски. – Люда, Вы просто лингвист! – восхитилась Женя. – Вы так прекрасно говорите на иностранных языках… Lyuda berbicara, dalam waktu yang hampir bersamaan dalam empat bahasa: dengan Zhenya dia berbahasa Rusia, dengan Michell berbahasa Perancis, dengan Gerda berbahasa Jerman, dan dengan suaminya berbahasa Itali. Anda seorang linguist, puji Zhenya. Anda sangat baik berbicara dalam bahasa asing. Teman-teman Lyudmila memanggil Lyudmila dengan nama pendek Lyuda. Hubungan mereka sangat dekat dan mereka sebaya. Mereka berasal kelompok orang-orang terpelajar, salah satu cirinya adalah mereka memanggil Lyudmila dengan nama pendek (Lyuda) tetapi menggunakan pronomina Vy (Anda) sebagai penggnti Lyuda. Pronomina Vy (untuk bentuk tunggal) menunjukkan penghormatan pada pada orang yang disapa. Mereka tidak menggunakan pronomina ty (kamu) walaupun hunungan mereka dekat dan sebaya. Dalam komunikasi lisan dan tulisan penggunaan kedua pronomina tersebut memberikan perbedaan hubungan dan lingkungan. Pronomina Vy digunakan untuk menyapa orang dengan sopan. Sapaan ini ditujukan pada orang yang lebih tua, orang yang belum dikenal dengan baik, orang yang sama sekali belum dikenal, sedangkan pronomina ty digunakan untuk menyapa sahabat, teman-teman, anggota keluaga (ayah, ibu, kakak adik) atau menyapa anak kecil, remaja atau orang yang lebih muda. Nama Diminutif Nama diminutif dalam masyarakat Rusia sangat luas digunakan. Nama diminutif ini banyak sekali memiliki sufiks. Sufiks tersebut di antaranya adalah sufiks –ushka. Berikut data yang disajikan dikutip dari karya Arkadii Gaidar penulis awal abad 20. Situasi percakapan ini terjadi di rumah antara ibu dan anak laki-lakinya, suasana percakapan ini menyenangkan bagi keduanya. Уже совсем засыпая, он почувствовал, как кто-то подошел к его постели - Димушка, не спишь? - Н-ет еще, мам. [Аркадий Гайдар «Р В С»]. “dia sudah tertidur, tapi dia merasa seseorang mendekati tempat tidurnya’. – Dimushka, kamu sudah tidur? Masih belum, Mam’. Ibu menyapa anak laki-lakinya dengan panggilan Dimushka. Sapaan ini menunjukkan bahwa si ibu menyapa anak laki-lakinya dengan rasa gembira, bangga, cinta. Sapaan itu begitu lembut terdengar, sehingga si anak pun menjawabnya panggilan ibunya dengan mengatakan bahwa dia belum tidur, padahal dia sudah tertidur lelap. Walaupun anak laki-lakinya sudah dewasa ibu tetap menyapanya dengan sapaan seolah anak laki-lakinya masih kecil. Sapaan semacam ini digunakan dalam lingkungan keluarga atau teman-teman yang sangat dekat.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
188
SIMPULAN Dalam masyarakat Rusia antroponim memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Secara pragmatis nama-nama panggilan tersebut bagi orang Rusia merupakan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Dari sapaan-sapaan orang Rusia dapat dietahui bagaimana hubungan antara peserta komunikasi, apakah hubungan itu merupakan hubungan atasan-bawahan, antarteman dekat, hubungan dalam keluarga yang dapat mengungkapkan perasaan sayang, cinta yang mendalam tanpa perlu mengungkapkan kata-kata cinta atau sayang, atau hubungan yang menunjukkan rasa kesal bahkan marah pada yang disapa. Hal semacam ini tidak terdapat dalam sistem sapaan bahasa Indonesia dan bahasa asing lainnya. Sapaan nama diri + nama ayah ditujukan pada orang dewasa, nama singkat juga nama dimunutif digunakan untuk anak-anak, walaupun demikian sapaan diminutif ini bisa ditujukan pada orang dewasa (dalam hal ini perlu situasi yang spesifik dan hubungan peserta komunikasi yang sangat khusus misalnya suami –istri, di dalam keluarga). Melalui antroponim dapat dikeltahui identitas orang Rusia, karena pemberian nama pada anak merupakan bagian dari budaya Rusia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Jenis-jenis antroponim yang digunakan pun merupakan ciri khas antroponim Rusia oleh sebab itu, bangsa lain akan mudah menerkanya.Begitu kompleksnya sistem antroponim Rusia sehingga perlu perhatian khusus untuk menggunakannya. REFERENSI Formnovskaya N.I.Речевое взаимодействие: коммуникация и прагматика. М., 2007. - 478 с. Kultunova. 2000. Язык и деловое общение ‘Bahasa dan Komunikasi bisnis’. Moskow: Ekonomika Machdalena Susi.2012. Русское личное имя в этикетной функции (с точки зрения индонезийского языка и культуры). Disertasi. Institut russkogo yazyka im. A.S. Pushkina. Moskow. Mulyana Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi. Bandung: Rosdakarya. Vereščagin E. M. dan Kostomarov. V.G. 1990. Язык и культуры 'Bahasa dan Kebudayaan’. Moskow: Russkii yazyk. Vežbitskaya Anna. 1997. Язык, культура познание ‘Bahasa, Kebudaya, Kognitif’. Moskow: Russkii slovari.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
189
33 SIKAP BAHASA PARA GURU BIDANG STUDI NONBAHASA INDONESIA DI JAWA TIMUR TERHADAP BAHASA INDONESIA Yani Paryono Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Abstrak: Penelitian yang berjudul Sikap Bahasa Para Guru Nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap Bahasa Indonesia ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap bahasa para guru bidang studi nonbahasa Indonesia tingkat di Jawa Timur terhadap bahasa Indonesia. Metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Adapun pengumpulan data penelitian kualitatif ini menggunakan kuesioner dengan tiga puluh pertanyaan yang berkaitan dengan kesetiaan bahasa, kepatuhan terhadap kaidah bahasa, dan kebanggaan terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Data penelitian ini diperoleh informan yang berasal dari para guru nonbahasa Indonesia yang berada di wilayah di Jawa Timur. Teori yang digunakan teori sikap bahasa Fasold, yang menyatakan bahwa sikap bahasa adalah segala macam perilaku tentang bagaimana bahasa diperlakukan, termasuk sikap-sikap terhadap usaha perencanaan dan pelestarian bahasa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menyatakan bahwa guru nonbahasa Indonesia di Jawa Timur memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan kesetiaan, kepatuhan dan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia sangat tinggi walaupun antara sikap dan tindakannya terkadang berbeda. Kata kunci: sikap, guru, dan bahasa Indonesia
LATAR BELAKANG Guru merupakan pendidik profesional dalam dunia pendidikan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap masa depan bangsa. Dengan segudang persoalan yang melingkari, guru masih diharapkan mampu memberikan andil besar menyulap kebobrokan bangsa ini menjadi bangsa yang berwibawa dan bermartabat di mata dunia. Hal itu, tidak berlebihan, karena di tangan para gurulah ide-ide cemerlang dan pemikiran inovatif untuk perbaikan bangsa dan negara dapat tumbuh dan berkembang. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, guru juga sebagai ujung tombak dalam menumbuhkembangkan sikap posistif terhadap simbol-simbol negara termasuk terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Sesuai dengan fungsinya, bahasa Indonesia memiliki fungsi yang sangat strategis yakni sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Bahkan yang paling penting adalah bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Oleh karena itu, para guru wajib bersikap positif dalam menggunakan bahasa Indonesia dan dunia pendidikan. Hal itu sesui dengan keberadaan bahasa Indonesia yang semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan adalah sebagai sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Hal itu diperkuat dengan (Permendagri) Nomor 40 Tahun 2007 tentang kebijakan pemerintah daerah dalam rangka pelestarian dan pengembangan bahasa negara yaitu bahasa Indonesia di daerah sekaligus melakukan sosialisasi penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan, forum pertemuan resmi pemerintah dan pemerintahan daerah dan surat menyurat resmi. Namun di sisi lain, penggunaan bahasa Indonesia para guru nonbidang studi bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih memprihatinkan. Mereka mengganggap bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang penting komunikatif dan tidak perlu menggunakan kaidah bahasa yang terlalu ketat sehingga interaksi belajar mengajar dapat dengan mudah dilakukan dan ilmu yang disampaikan guru ke siswa mudah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
190
terserap. Ada anggapan bahwa pemakaian bahasa Indonesia di sekolah-sekolah favorit justru banyak dirusak oleh guru-guru nonbahasa Indonesia. Hal itu sangat wajar karena rata-rata guru-guru favorit di sekolah itu biasanya bukan dari guru bahasa Indonesia tetapi guru-guru nonbidang studi bahasa Indonesia. Siswa lebih suka mengikuti sikap dan cara berbahasa sang guru yang dianggap favorit. Banyak para guru nonbidang studi bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa pergaulan dan alat komunikasi saja untuk menyampaikan pesan kepada orang lain termasuk di dalam dunia pendidikan. Mereka lebih bersikap sesuka hati memperlakukan bahasa Indonesia tanpa memedulikan kaidah bahasa yang berlaku. Mereka jarang menempatkan bahasa Indonesia yang memiliki kedudukan sangat penting di negeri ini yakni sebagai bahasa negara. Penelitian tentang sikap dan kesetian bahasa sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian tersebut antara lain: 1) Sikap Bahasa Wanita Karir dan Implikasinya pada Pemertahanan Bahasa Jawa di Wilayah Yogyakarta ( Rahayu dan Listyorini, 2009); 2) Kesetiaan Berbahasa Etnik Sunda di Daerah Istimewa Yogyakarta.(Karsana, 2009); 3) Pengaruh Sikap Bahasa dan Motivasi Belajar Bahasa terhadap Prestasi pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Siswa SMA Se-Bandar Lampung (Budiawan, 2008); 4) Sikap Bahasa di Kalangan Pengajar Se-Kota Jayapura terhadap Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing (Mariati, 2013: 93—108); 5) Sikap Bahasa Masyarakat Samin (Studi Kasus: Masyarakat Samin Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, (Ruriana dan Arif Izak, 2011; 6) Sikap Bahasa Para Pejabat di Jawa Timur (Paryono, dkk.2014); 7) Sikap Bahasa Para pengusaha Kuliner di Surabaya dan sekitarnya ( Paryono, dkk. 2015). Dari beberapa penelitian tersebut tidak ada satu pun yang membahas tentang sikap bahasa para guru nonbidang studi bahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap bahasa Indonesia. Oleh karena itu, peneliti termotivasi untuk membahas tentang “ Sikap Bahasa Para Guru Bidang Studi Nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap Bahasa Indonesia” dengan mengangkat masalah bagaimanakah gambaran singkat tentang keberadaan sikap bahasa para guru bidang studi nonbahasa Indonesia SMP di Jawa Timur terhadap pemakaian bahasa Indonesia. METODE PENELITIAN Sumber data diperoleh dari responden pemakai bahasa Indonesia di kalangan para guru nonbidang studi bahasa Indonesia di Jawa Timur. Responden berjumlah seratus diminta untuk mengisi kuesioner yang berisi tiga puluh pertanyaan tentang sikap responden terhadap bahasa Indonesia. Responden dalam penelitian ini diambil dari para guru nonbidang studi bahasa Indonesia secara acak di Jawa Timur. Metode pengukuran sikap bahasa yang digunakan adalah metode pengukuran sikap bahasa secara langsung (Ruriana, 2011: 12). Data diperoleh dengan menggunakan sejumlah pertanyaan yang disusun secara sistematis dan selektif sesuai dengan kriteria yang digunakan oleh penulis. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang sikapnya terhadap bahasa Indonesia yang berkembang dan digunakan oleh responden. Jawaban responden berdasarkan daftar pertanyaan kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan sikap para guru bidang studi nonbahasa Indonesia berdasarkan variabel yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun urutan analisis yang akan dilakukan sebagai berikut: 1) eleksi data, yaitu memeriksa daftar tanyaan yang telah didisi responden, yaitu dengan memilih mana yang dapat diolah dan tidak dapat; 2) Penetapan skor, yaitu menghitung skor yang diperoleh dari setiap responden; 3) Tabulasi data, yaitu menabulasi data penelitian untuk tiap-tiap responden ke dalam table disertai penghitungan statistic; 4) Data yang diperoleh dari wawancara digunakan sebagai data pendukung; dan 5) Penerapan sikap para guru ini diwujudkan dalam bentuk kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa dan kesadaran bahasa. Penentuan skor dilakukan berdasarkan atas pembagian pernyataan-pernyataan yang bersifat positif atau dukungan atau pernyataan yang bersifat negatif atau penolakan. Responden diminta menilai pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dengan memilih salah satu jawaban berikut ( Skala Likert).Sangat Setuju (SS) dengan skor nilai 5, Setuju (S) dengan skor nilai 4, Ragu-Ragu (R) dengan skor nilai 3, Tidak Setuju (TS) dengan skor nilai 2, Sangat Tidak Setuju (STS) dengan skor nilai 1.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
191
Kelima pilihan di atas, setiap pilihan memiliki kategori sebagai berikut. SS berarti dukungan yang kuat terhadap pernyataan sikap tersebut. S berarti dukungan yang lemah terhadap pernyataan sikap tersebut. R berarti ragu-ragu terhadap pernyataan sikap tersebut. TS berarti penolakan yang lemah terhadap pernyataan sikap tersebut. STS berarti penolakan yang kuat terhadap pernyataan sikap tersebut. Selain itu, setiap kategori akan dideskripsikan berdasarkan tiga faktor, yaitu: a. pengetahuan responden b. penilaian responden atas akibat dari pernyataan sikap tersebut c. pengalaman nyata yang dialami responden 1) 2) 3) 4) 5)
PEMBAHASAN Sikap Bahasa Para Guru Nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap Bahasa Indonesia Untuk mengetahui sikap para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap bahasa Indonesia, peneliti mengacu pada pendapat Fasold (2001: 147) tentang yang didefinisikan sebagai suatu keadaan siap, suatu variabel yang berpengaruh terhadap rangsangan yang mempengaruhi seseorang dan tanggapannya. Menurut pandangan ini, sikap mempersiapkan seseorang untuk bereaksi terhadap stimulus dengan suatu cara tertentu. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 2004: 152) mengemukakan tiga ciri sikap bahasa (sikap positif), antara lain yaitu; (1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong suatu masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; (3) kesadaran akan norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use. Oleh karena itu, sebagai bahan acuan, peneliti membuat kuesioner yang terdiri atas tiga kelompok pertanyaan. Ketiga kelompok pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang berkaitan dengan kesetiaan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur, kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan kepatuhan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang benar, dan ketiga, pertanyaan yang berkaitan dengan kebanggaan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesetiaan Bahasa Pejabat terhadap Bahasa Indonesia Kesetiaan bahasa para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur terhadap bahasa Indonesia dalam penelitian ini mengacu pada sikap bahasa yang berkaitan langsung dengan sikap penuturnya dalam memilih dan menetapkan bahasa yang digunakan. Sikap bahasa ditekankan pada kesadaran diri sendiri dalam menggunakan bahasa secara tertib. Untuk mengetahui sikap bahasa para guru bidang studi nonbahasa Indonesia terhadap bahasa Indonesia, peneliti membuat sepuluh pertanyaan yang harus dijawab oleh informan dengan cara memberi tanda silang terhadap salah satu jawaban yang sesuai dengan sikapnya. Berdasarkan kuesioner, diketahui bahwa para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan jawaban informan yang menjawab setuju dan sangat setuju 88,6 % adapun yang menjawab raguragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju hanya 11, 4% terhadap lima pernyataan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi di kantor dan di masyarakat, kesukaan menggunakan bahasa Indonesia; kesukaan informan mengoreksi kesalahan penutur lain yang berbahasa Indonesia, kesukaan memberi contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada penutur lain sesuai dengan situasi dan kondisi; niat untukmeningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia saya, dan kesukaan mengajarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada anaknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesetiaan informan terhadap bahasa Indonesia sangat tinggi.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
192
Kepatuhan Para Guru Nonbahasa Indonesia di Jawa Timur Menggunakan Kaidah Bahasa Indonesia Salah satu ciri sikap positif terhadap pemakaian bahasa Indonesia dapat dilihat dari kepatuhan penutur bahasa Indonesia mengunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kesadaran pemakai bahasa Indonesia terhadap kaidah bahasa adalah suatu posisi/keadaan dari diri seseorang untuk patuh terhadap suatu aturan. Kesadaran ini mendorong seseorang untuk menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah atau tata bahasa baku yang berlaku dalam bahasa tersebut. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, kesadaran terhadap norma bahasa dilihat dari bagaimana penutur menggunakan bahasa sesuai dengan konteks situasi dengan siapa dan dalam situasi seperti apa. Kesadaran terhadap norma mendorong masyarakat pemakai bahasa untuk memakai bahasanya secara baik, benar, santun, dan layak (Sumarsono, 2002: 365). Dalam proses pembelajaran, khusunya pembelajaran bahasa Indonesia, pemakaian bahasa secara baik dan benar dilihat dari kaidah tata bahasa baku bahasa Indonesia yang berlaku. Pemakaian bahasa secara santun tercermin dalam tuturan seseorang untuk berujar sesuai dengan konteks situasi. Untuk mengetahui kepatuhan informan dalam penggunaan kaidah bahasa Indonesia, peneliti menggunakan sepuluh daftar pertanyaan sebagai berikut. 1) Saya suka menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa yang berlaku; 2) Saya merasa malu bila tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar; 3) Saya perlu mengerti tentang tata bahasa Indonesia sebagai bahasa negara; 4) Saya suka mengikuti perkembangan bahasa Indonesia di media massa; 5) Saya akan ikut serta dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia; 6) Saya tidak suka menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa yang berlaku; 7) Saya tidak merasa malu, tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar; 8). Saya tidak perlu mengerti tentang tata bahasa Indonesia sebagai bahasa negara; 9) Saya tidak suka mengikuti perkembangan bahasa Indonesia di media massa; dan 10) Saya tidak akan ikut serta dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia. Dari sepuluh pertanyaan tersebut, jawaban para guru nonbahasa Indonesia menunjukkan memiliki kepatuhan yang tinggi terhadap kaidah bahasa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan jawaban informan yang menjawab setuju dan sangat setuju 93,6 % adapun yang menjawab ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju hanya 6,4% terhadap lima pernyataan yang berkaitan dengan kepatuhan penggunaan bahasa Indonesia, yaitu: kesukaan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa yang berlaku, perasaan malu bila tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, perlu mengerti tentang tata bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, dan kesukaan mengikuti perkembangan bahasa Indonesia di media massa, keikutsertaan dalam usaha pembinaan bahasa Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan terhadap bahasa Indonesia sangat tinggi. Kebanggaan Para Guru Bidang Studi Nonbahasa Indonesia terhadap Bahasa Indonesia Kebanggaan bahasa (language pride) dapat mendorong seseorang mengembangkan bahasa yang digunakannya sebagai identitas diri dan masyarakat penuturnya. Kebanggaan bahasa adalah suatu keyakinan terhadap bahasa, yang tertanam pada diri seseorang untuk menjadikan bahasa tersebut sebagai identitas diri (Sumarsono, 2004: 365) Kebanggaan bahasa diwujudkan melalui tuturan serta perilaku seseorang. Dari aspek tuturan, seseorang yang memiliki rasa bangga terhadap bahasa, akan bertutur menggunakan bahasa yang disukainya, sedangkan dari aspek sikap, seseorang yang memiliki rasa bangga terhadap bahasa, akan bersikap positif terhadap bahasa yaitu dengan menganggap bahasanya penting, bahkan percaya bahwa bahasanya dapat eksis di era globalisasi. Kebanggaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat pendukung bahasa itu untuk menjadikan bahasanya sebagai penanda jati diri identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dari etnik lain. Salah satu ciri sikap positif terhadap pemakaian bahasa Indonesia dapat dilihat dari kebanggaan seseorang bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang berlaku. Untuk mengetahui kebanggaan pejabat terhadap bahasa Indonesia, peneliti menggunakan sepuluh daftar pertanyaan sebagai berikut: 1) Saya bangga menggunakan bahasa Indonesia; 2) Saya menganggap bahasa Indonesia sangat penting bagi masyarakat Indonesia; 3) Saya menganggap pejabat di seluruh Jawa Timur harus bisa menjadi teladan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar; 4) Saya merasa lebih bergengsi jika mampu
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
193
menggunakan bahasa Indonesia; 5) Saya percaya bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional; 6) Saya tidak bangga menggunakan bahasa Indonesia; 7) Saya menganggap bahasa Indonesia tidak penting bagi masyarakat Indonesia; 8) Saya menganggap pejabat di seluruh Jawa Timur tidak harus menjadi teladan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar; 9) Saya tidak merasa lebih bergengsi jika mampu menggunakan bahasa Indonesia; dan 10) Saya tidak percaya bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional. Berdasarkan jawaban informan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur memiliki kebanggaan cukup tinggi terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan jawaban informan yang menjawab setuju dan sangat setuju 64 % adapun yang menjawab raguragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju berjumlah 46% terhadap lima pernyataan, yakni Saya bangga menggunakan bahasa Indonesia, Saya menganggap bahasa Indonesia sangat penting bagi masyarakat Indonesia, Saya menganggap pejabat di seluruh Jawa Timur harus bisa menjadi teladan dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar, Saya merasa lebih bergengsi jika mampu menggunakan bahasa Indonesia, dan saya percaya bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa internasional. Berdasarkan jawaban kuesioner para guru bidang studi nonbahasa Indonesia di Jawa Timur dapat dipastikan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Namun, di sisi lain sikap para guru bidang studi bahasa Indonesia sehari-hari kadang-kadang bertolak belakang seolah-olah tidak memiliki kesetiaan, kepatuhan, dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Mereka lebih suka menggunakan istilah-istilah asing atau bahasa daerah karena berbagai faktor, antara lain ketidaktahuan, gengsi, ingin dianggap lebih lebih berilmu, atau tugas lain di masyarakat yang menuntut harus menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia. SIMPULAN Berdasarkan kuesioner yang terdiri atas tiga puluh pertanyaan yang berisi tentang kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, kepatuhan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia terhadap kaidah bahasa Indonesia, dan kebangggaan para guru bidang studi nonbahasa Indonesia terhadap pemakaian bahasa Indonesia dapat peneliti simpulkan pejabat di Jawa Timur memiliki sikap positif yang sangat tinggi terhadap bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. 2011. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Fasold, Ralph. 2001. The Sociolinguistics of Society. USA: Blackwell. Karsana, Deni. 2009. Kesetiaan Berbahasa Sunda di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.56 Paryono, Yani dkk. 2014. Sikap Bahasa Pejabat di Jawa Timur terhadap Bahasa Indonesia. Surabaya: Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Rahayu, Yayuk Eny dan Ari Listyorini. 2009. Sikap Bahasa Wanita Karir dan Implikasinya pada Pemertahanan Bahasa Jawa di Wilayah Yogyakarta. Tesis. Fakultas Bahasa dan Seni Uiversitas Negeri Yogyakarta.. Ruriana, Puspa dan Arif Izzak. 2011. Sikap Bahasa Masyarakat Samin: Studi Kasus: Masyarakat Samin di Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro. Surabaya: Balai Bahasa Surabaya. Suhardi, Basuki. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjanadan Mahasiswa di Jakarta. Jakarta: FSUI. Sumarsono dan Paina Martana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. _______. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. _______. 2003. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional ________.2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.Jakarta: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
194
34 CAMPUR KODE DALAM DAKWAH TAN MEI WHA Yuyun Kartini Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur Abstrak: Campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, yang termasuk di dalam campur kode adalah pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan. dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan campur kode dalam dakwah Tan Mei Wha. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang meliputi metode pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis data. Teknik dalam pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, dan catat. Sumber data dari penelitian ini berupa rekaman dakwah Tan Mei Wha yang ditayangkan oleh stasiun televisi JTV. Selain itu, data juga berupa CD yang diperoleh dari perpustakaan televisi JTV yang berada di Surabaya. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya beberapa campur kode yaitu campur kode bahasa Indonesia dengan bahasa Indonesia dialek Jakarta/Betawi, bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dialek Suroboyoan, bahasa Indonesia dengan bahasa Arab, bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia dengan bahasa Tionghoa. Kata Kunci: campur kode, Tan Mei Wha, dakwah.
PENDAHULUAN Bahasa merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, sebab bahasa adalah alat yang digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, manusia tidak hanya mengenal satu bahasa saja melainkan mempunyai beberapa varian bahasa dan dikenal dengan istilah kode. Istilah kode mengacu pada salah satu varian dalam hierarki kebahasaan yaitu adanya bahasa, variasi, dan register (Suwito, 1983). Menurut Kridalaksana (1993) kode adalah (1) lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu dan bahasa manusia adalah kode, (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat, dan (3) variasi tertentu dalam suatu bahasa. Campur kode terjadi disebabkan oleh adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Hal ini berarti bahwa penutur yang mempunyai latar belakang tertentu cenderung memilih bercampur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk mewujudkan status sosial dan identifikasi pribadinya pada masyarakat. Seorang penutur yang menguasai banyak bahasa akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bercampur kode dibandingkan penutur lain yang hanya menguasai satu atau dua bahasa saja. Namun, hal itu tidak berarti bahwa penutur yang menguasai lebih banyak bahasa selalu lebih banyak bercampur kode, sebab apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya sangat menentukan pilihan bahasanya. Dengan kata lain dikatakan bahwa apabila dia memilih bercampur kode. maka pemilihannya itu dianggap cukup relevan dengan yang hendak dicapai oleh penu tur. Berbicara masalah campur kode, sebagai penutur, seorang pendakwah agama yang merupakan bilingual menguasai lebih dari satu bahasa. Oleh karena itu, dia cenderung melakukan campur kode. Hal ini dimaksudkan agar bahasa yang digunakan untuk berdakwah tersebut mudah dimengerti dan dipahami oleh para jamaah yang mengikuti dakwahnya. Selain itu, hal ini bertujuan ingin memberi kekuatan untuk lebih meyakinkan topik yang disampaikan kepada pendengarnya. Di Indonesia mempunyai banyak sekali pendakwah agama baik laki-laki maupun perempuan (ustaz maupun ustazah) dengan gaya berbicara masing-masing berbeda. Salah satu pendakwah agama yang banyak disukai ibu-ibu adalah Tan Mei Wha. Dia seorang pendakwah perempuan atau ustazah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
195
berasal dari Tionghoa. Gaya ceramahnya yang santai dan joke-joke seger maka pendakwah ini dijuluki dengan sebutan “Bu Nyai Gaul”.. Dengan demikian, untuk mengetahui campur kode apa saja yang dilakukan Tan Mei Wha dalam menyampaikan dakwahnya, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian lebih lanjut. LANDASAN TEORI Alih Kode dan Campur Kode Alih kode dan campur kode merupakan dua hal yang mempunyai kesamaan besar yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat bilingual atau multilingual. Gejala alih kode biasanya diikuti dengan gejala campur kode. Alih kode dan campur kode terjadi pada dua bahasa atau lebih atau varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Pada dasarnya, alih kode adalah penggunaan kode yang berbeda ketika melakukan komunikasi. Dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa digunakan masih memiliki fungsi otonomi sendiri dan dilakukan dengan sengaja karena disebabkan hal-hal tertentu. Dalam campur kode terdapat kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomian sebagai sebuah kode. Thelander (dalam Chaer, 2004:115) menjelaskan perbedaan antara alih kode dan campur kode. Alih kode terjadi bila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain. Sedangkan campur kode terjadi apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa maupun frasafrasa yang digunakan terdiri atas klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masingmasing klausa atau frasa tidak lagi mendukung fungsi sendiri. Kalau dalam alih kode, seseorang benarbenar memakai kode yang berbeda, maka dalam campur kode seseorang hanya mencampur kode. Chaer dan Agustina (1996:151) menyatakan bahwa dalam sebuah campur kode akan selalu ada kode utama dan ada kode lain yang bersifat tambahan saja. Jadi, dalam campur kode ada sebuah kode dasar yang diselipi dengan tambahan-tambahan dari kode lain. Kode lain tersebut tidak bisa menjadi kode secara otonom karena hanya menyumbangkan sebagian properti-propertinya saja seperti, antara lain, kosakata, idiom atau lafal. Menurut Thelander ( dalam Suwito, 1983:76) berdasarkan unsur bahasa yang disisipkan, campur kode dibagi atas dua golongan, yakni (1) campur kode ke dalam ‘inner code mixing’ dan (2) campur kode ke luar ‘outer code mixing’. Campur kode ke dalam adalah cara pemakai bahasa menyisipkan unsur-unsur variasi bahasa daerah ke dalam bahasa daerah atau menyisipkan unsur-unsur dialek ke dalam bahasa nasionalnya, sedangkan campur kode ke luar adalah cara pemakai bahasa mencampurkan unsur-unsur bahasa asing ke dalam bahasa nasinalnya atau ke dalam bahasa daerahnya. Campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu (1) penyisipan unsur-unsur yang berujud kata, (2) penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa, (3) penyisipan unsur-unsur yang berujud baster, (4) penyisipan unsur-unsur yang berujud perulangan kata, (5) penyisipan unsur-unsur yang berujud ungkapan atau idom; dan (6) penyisipan unsur-unsur yang berujud klausa (Suwito:1983). METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang meliputi metode pengumpulan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis data. Teknik dalam pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, dan catat. Data diperoleh dari rekaman dakwah Tan Mei Wha yang ditayangkan oleh stasiun televisi JTV. Selain itu, data juga diperoleh dari CD yang berasal dari perpustakaan stasiun televisi JTV. PEMBAHASAN Dari data yang diperoleh peneliti, dalam dakwah yang disampaikan oleh Tan Mei Wha terdapat campur kode yaitu campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode ke luar (outer code mixing)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
196
Campur kode ke Dalam (Inner Code Mixing) Campur kode ke dalam (inner code mixing) dalam wacana dakwah Tan Mei Hwa berupa campur kode dari (a) dari ragam Bahasa Indonesia standar ke ragam bahasa Indonesia tidak standar dan (b) ragam bahasa Indonesia standar ke bahasa Indonesia dialek Jakarta. Hal itu dapat dilihat data di bawah. Campur Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Indonesia Dialek Jakarta/ Betawi Dari data yang diperoleh, Tan Mei Hwa melakukan campur kode dari bahasa Indonesia ragam informal ke dalam bahasa Indonesia dialek Jakarta/ Betawi, seperti tampak pada data berikut. (1) ....”Sekarang saya harus keluar dari lingkungan pembunuh itu”....Ini bagian gue.... (2) Apakah yang salah cuma anak-anak kita doang, anak-anak kita thok? (JTV/KF/2011). (3) Terus doa kita mesti diterima? Ya pasti diterima oleh Allah tapi masalah dikabulkan atau tidak itu nanti. Ngelihat dari rapor kita. Kan begitu., ya to? (JTV/KD/2011). (4) Bayangin, Bu! Korun itu kuncinya aja gak ada yang berani kuat ngangkat. Itu saking besarnya saking banyaknya hartanya (JTV/KD/2011 (5) Digoda tidak apa-apa, yang penting kan jangan balik menggoda lagi pas digodain. Kita menggoda dijawilin, misalnya, dicolekin sama mbak-mbaknya. ”Mas mampir mas Abdurrahim” Haraam...grafil lho! Alhamdulillah. Begitu ya? Payah. Jadi apa? Kalau bisa menasehati lebih bagus ya diomongin (TPI/ SQ/2011). Pada data (1)—(5) terdapat campur kode ke dalam bahasa Indonesia dialek Jakarta/Betawi. Pada data (1), (2) ditemui adanya campur kode yaitu pada kata dasar gue yang berarti saya dan kata doang yang dalam bahasa Indonesia yang berarti saja. Pada data (3) juga terdapat campur kode pada kata jadian ngelihat yang dalam bahasa Indonesia berarti melihat. Pada data (4), (5) terdapat campur kode berupa afiks–i, yaitu pada kata bayangin, digodain, dijawilin, dicolekin, dan diomongin, yang seharusnya dalam bahasa Indonesia yang berarti bayangkan, digoda, dicolek, dan dibilangi. Campur Kode ke Luar (Outer Code Mixing) Alih kode ekstern dalam wacana dakwah Tan Mei Hwa berupa campur kode dari (a) Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan, (b) Bahasa Indonesia ke Bahasa Arab, (c) Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, dan (d) Bahasa Indonesia ke Bahasa Tionghoa seperti tampak pada contoh berikut. Campur Kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan Adanya campur kode ini dapat dilihat pada contoh data berikut. (6) “Sudah, saya itu sudah berdoa, gak dikabulne ambek Gusti Allah”. (JTV/KD/2011). (7) Jumlah wanita itu tiga kali lipat jumlah laki-laki saat ini, satu banding tiga. Kalah koen wong lanang koen ya! (JTV/PG/20011). (8) Jangankan poligami, wong bojone awake dewe ndelok nglirik wong wedok ngene “Mas, yo’opo ayu?” De’e njawab jujur ae kita ngamuk kok (JTV/PG/20011). (9) “Ah nggak percaya, temen ta, Bu?” (JTV/KF/2011). (10) Yang menjadi sasaran adalah wanita ketiga. Ini betapa tidak arifnya. La iyo nek gak bojomu iku mbujuki “Aku sik jaka kok”.(JTV/KF/2011). (11) “Wow, dicerai pisan ngangkrak koen, betul tidak?” (JTV/KF/2011). Pada contoh (6) - (11) ditemukan adanya penggunaan campur kode ke luar yaitu campur kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan. Pada data (6) terdapat campur kode gak dikabulne ambek Gusti Allah yang berarti tidak dikabulkan oleh Allah. Pada data (7) terdapat campur
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
197
kode kata “kalah koen.....” koen disini berarti kamu. Pada data (8), terdapat campur kode yaitu yo’ opo ayu? De’e njawab jujur ae ...dalam hal ini berarti bagaimana cantik? Dia jawab jujur saja. Pada data (9) terdapat kata temen ta dalam bahasa Suroboyoan yang berarti apakah benar jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pada data (10) terdapat campur kode dalam bahasa Suroboyoan yaitu La iyo nek gak bojomu iku mbujuki“. ini berarti tidak istrimu itu berbohong dalam bahasa Indonesia. Pada contoh (11) kata ngangkrak koen dalam bahasa Suroboyoan ini apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak laku kamu. Campur Kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Arab Dalam data telah ditemukan beberapa campur kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Arab. Campur kode tersebut dapat dilihat pada data berikut. (12) .....kita punya prinsip konsep innalillahi wa inna ilaihi roji’un bahwa apa kita ini milik Allah.....(JTV/PG/20011). (13) “.... Maka, saya menyerukan, “Wahai kepada pemimpin, jadilah pemimpin yang adil sehingga rakyat ini bisa makmur. Indonesia segera kembali menjadi negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur”. Amin! (JTV/KD/2011). (14) “.... Setelah timbul kesadaran itu jangan dihentikan yang namanya taubat itu ya ayyuhalladzina amanu tubu ilallah tawbatan nasuha. ..............(JTV/RT/2011). Pada contoh (12) - (14) ditemukan adanya penggunaan campur kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Arab yang tampak dengan digunakannya kata dan frasa. Pada data (12) innalillahi wa inna ilaihi roji’un yang berarti sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah lah kami kembali. Pada data (13) terdapat baldatun thayyibatun warabbun ghafur yang artinya negara yang tanahnya subur, di sana ada waduk besar yang mengairi perkebunan dan mencukupi kehidupan penduduknya , sedangkan pada data (14) ditemukan campur kode berbunyi ya ayyuhalladzina amanu tubu ilallah tawbatan nasuha yang berarti hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kapada Allah dengan seikhlas-ikhlas taubat. Campur Kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris Dalam data dakwah Tan Mei Wha juga ditemukan campur kode ke dalam bahasa Inggris. Campur kode tersebut dapat dilihat dalam contoh berikut. (15) “....Karena begini, dia tidak tahu bahwa berdoa itu adalah suatu foward. Apa itu foward? (JTV/KD/2011). (16) “.... Baik. Ya, saya punya teman, dia itu baik, solider sama teman itu, setia kawan, dll. tapi kita tahu pribadinya itu, dia itu suka free sex, pergaulan bebas. Seks bebas...” (TPI/ SQ/2011.). (17) “....Kalau dia tidak ikut bermaksiat, kenapa tidak? Why not? Gitu ya? Kenapa kita gak boleh? Tetep boleh kita memilih teman (TPI/ SQ/2011). Dalam data (15) telah ditemukan campur kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris yaitu digunakannya kata foward yang berarti ‘penghargaan’. Pada contoh (16) terdapat campur kode pada frasa free sex yang berarti ‘pergaulan bebas’, sedangkan pada data (17) terdapat campur kode pada kalimat Why not? yang artinya ‘Mengapa tidak’ Campur Kode Bahasa Indonesia ke Bahasa Tionghoa Dalam data yang diperoleh dari dakwah Tan Mei Wha, juga ditemukan adanya campur kode ke dalam bahasa Tionghoa. Data tersebut dapat dilihat pada contoh di bawah ini. (18) “Bagaimana kabarnya, Bu?” Alhamdulillah baik dan pemirsa JTV yang ada di rumah dan dimanapun Bapak Ibu berada, alhamdulillah dalam nuansa yang penuh rohman dan rohim kita bisa bertemu lagi dengan Bu Nyai Ce (JTV/KD/2011).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
198
(19) “.... Nah, baik ya, Cece akan sampaikan bagaimana kalau kita sebagai anak harus hidup ditengah-tengah lingkungan yang di situ terjadi maksiat yang merajalela. Entah itu, main, maling, madat, ataupun minum. Ataupun hadapi satu perzinahan (TPI/ SQ/2011). (20) “ Hayea.... Kita tunggu mic dulu ya!” ‘Hayea, Bapak-bapak belum aa?’ (JTV/PG/20011). Pada data (18) - (20) ditemukan adanya campur kode ke luar yaitu dari penggunaan Bahasa Indonesia ke Bahasa Tionghoa. Penggunaan kode Bahasa Tionghoa yaitu Ce pada data (18); Cece pada data (19); dan Hayea pada data (20). SIMPULAN Campur kode yang ditemukan dalam dakwah Tan Mei Hwa berupa campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode ke luar (outer code mixing). Campur kode ke dalam yaitu campur kode dari (a) ragam Bahasa Indonesia standar ke ragam Bahasa Indonesia tidak standar dan (b) ragam Bahasa Indonesia standar ke Bahasa Indonesia Dialek Jakarta/Betawi. Sedangkan campur kode ke luar yang terdapat dalam dakwah Tan Mei Hwa berupa campur kode dari (a) Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa Dialek Suroboyoan, (b) Bahasa Indonesia ke Bahasa Arab, (c) Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, dan (d) Bahasa Indonesia ke Bahasa Tionghoa. REFERENSI Alwi, Hasan,dkk.2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka. Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa.Bandung: Angkasa Atmawati, Dwi. 2002.. “Register Dakwah:Studi Kasus Dakwah Islam oleh K.H. Zainuddin M.Z. (Kajian Sosiolinguistik)”.Tesis. Yogyakarta:Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Chaer, Abdul dan Leonie Agustin. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Cet. Kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kunjana, Rahardi. 2001. Sosiolinguistik, Alih dan Alih Kode. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Machsum, Toha dkk. 2004. Kamus Kata Serapan Bahasa Arab Dalam Bahasa Indonesia. Surabaya. Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, Balai Bahasa Surabaya. Nababan, P.W.J. 1984.Sosiolinguistik Sebuah Pengantar.Jakarta: Gramedia. Suwito. 1983.. Sosiolinguistik. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sumarsono, Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta. Lembaga Studi Agama, Budaya, Perdamaian,dan Pustaka Pelajar .
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
199
35 JARGON IN LAMONGAN CISC’S CHANTS Yusita Fatmawati Iqbal Nurul Azhar English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: This article aims to explain the kinds of jargon in Lamongan CISC’S chants and the factors that contribute to the existance of jargon in Lamongan CISC’s chants. The writers applied qualitative research. The method used to collect the data was content analysis. After collecting the data, the data were analyzed by using interactive model analysis. The results show that there are four kinds of jargon in Lamongan CISC’s chants namely phrasal jargon (26 data), lexical jargon (7 data), acronymic jargon (1 data), and abbreviation jargon (2 data). There are two factors that contribute to the existance of jargon namely; identity factor, trend and creativity. Keywords: Jargons, Lamongan CISC, Chants
INTRODUCTION Humans cannot live without language since it is used as a medium of survival and of sharing among each other. With language, they grow into skilled beings. With language, they also build civilization. Virtually, every human activity always involves language. As social beings, humans use a language to communicate. It is used in communications between individuals in a certain setting or between individuals in a group. In individual communication, language is used to share feelings, thoughts and desires. In group communication, it is used to unify the group members as well as to identify the group members with something they are interested in or bound with. As social beings, it is natural that humans like to be in a group in which the members of the group have similar thoughts or preferences. In the community where the members share similar interests, humans tend to intensify their communication. Sometimes, just to show that they have similar interests, they use such symbols that represent togetherness of the community. One of the symbols is a chant in which many jargon languages exist there. Jargon is the technical vocabulary of a particular profession. Moreover, it may not be used to exclude non group members from the conversation; merely it deals with technical peculiarities of a given field requiring a specialized vocabulary (Halligan, 2004, Palmer, 1962 in Kana (2013)). The word jargon has atleast four definitions depending on which dictionary is being used. It refers to jibberish, or specific dialects of a language, or vague language, or or several languages, yet the most common definition addressed to jargon is; the language and vocabulary that is peculiar to certain people in a profession, trade, or other groups. The word “jargon” came from a 14th century word for “twittering of birds” (Halligan, 2004). If we are not a member of a certain group, and they are talking and using jargon, it could sound like they are twittering since we will not understand what they are saying. People, who study jargon, consider that it came about just to make communication easier within a group. One of the communities which use chants that contain jargon to share togetherness of the community is Lamongan CISC community. Lamongan CISC is a community which has more than 500 members. It aims to gather people who are the fans of Chelsea Football Club. They have three gathering events in a week like playing football, watching Chelsea’s matches together and collecting charity from the society. Lamongan CISC members create chants to support their activity. Although Lamongan CISC
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
200
exists in East Java, the members create chants in English. It happens because they want to imitate the real condition of event in the England. This article aims to explore Lamongan CISC’s chants that contain jargons. There are several considerations why the writers use Lamongan CISC’s chants as the source of the data of this study. Chants which are used by CISC are uniquely. Based on the writers’ short observation, it has been found that special characteristics of linguistic units such as Jargons are utilized in the chants. Jargons in the chants are functioned well. Not only that, sometimes, the meaning jargons in the chants is only known by Lamongan CISC members. International researchers into jargon usage have tended to concentrate on the links between language and hierarchies, status and deployment of social capital. More recently, however, some specialists have started to look at the borrowing of ethnically marked codes to signal empathy and solidarity in language community (Rampton, 1995), yet none of these studies has taken jargon in football community as a serious study. In Indonesia, previous studies about jargon have been found like that was done by Rumni (2016) which was about Jargon of Areko Community in Kangean Islan, Samsi (2016) which was about Jargons used by Lesbian in Surabaya, Kana (2013) which was Word Formation Processes on Jargon Used by Barista in Coffee Corner Malang, Erlinawati (2012) which was about jargons used by barista in Coffee Corner Malang, and Yuniasih (2013) which was about Jargons in OVJ. Those studies discussed Jargons used in certain communities, yet none of them talked about Lamongan CISC jargons. Therefore, to cover the vacant space of the previous studies, the writers conducted a study about Lamongan CISC’s jargons. METHODOLOGY The type of this study is descriptive qualitative. It is because the study describes information about kinds of jargon and the factors that contribute to the existence of jargon. The sources of the data of this study are Lamongan CISC’S chants. The data are the lyrics of the chants which contain jargons. To collect the data, the writer used content analysis method through note taking technique. This study uses interactive data analysis as the method to analyze the data. DISCUSSION The writer collected 36 jargons which were found in Lamongan 5 CISC’S chants and put them into some classifications which are based on Halligan’s classification (2004), namely word, phrase, abbreviation and acronym. Based on the data analysis, among the four Halligan’s classification, the writers found all of them presenting in the source of the data. 7 jargons belong to lexical category, 26 jargons belong to phrasal category, 1 jargon belongs to acronymic category, and 2 jargons belongs to abbreviation category. See the following table:
No
Kinds of Jargon
1
Lexical jargon
Table 1. Classification of CISC’s jargons Frequency Data Yids, Zagger, Zigger, Alouette, Slums, Viva, Bid 7
2
Phrasal jargon
26
3 4
Acronymic jargon Abbreviation jargon Total
1 2 36
West London, Royal Blue, Chelsea Ranger, Northern Bastard, West Ham, Boot Boy, European Cup, The Pop, England Captain, West Side, Shed End, Blue Blood, Glory Hunters, Blue Army, Over Land, Red Scarf, True Blue, The Double, The Lane, Stamford Bridge, Super Frank, A Blue, A Red, The Kop, The Shed, A Rob ManU M.R.E, FA
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
201
From the table above, we can see that phrasal jargons appear dominantly (26). The second goes to lexical, the third goes to abbreviation and the third goes to acronymic. From this fact, we can conclude that somehow in CISC’s chants, phrases are so productive to form jargons. Lexical jargons are jargons that are formed by word/lexicon. In CISC’s, the contextual meaning of this type of jargon sometimes surpasses the lexical meaning of the lexicon/the word itself. For example, “slum” in dictionary is defined as a poor area of a city, while in CISC’s, slum is defined as the place around Anfield stadium. Here we can say that a meaning distortion occurs in CISC’s jargon. Sometimes also, in a special circumstance, the jargons are formed through coinage process. When these coinage phenomena happen, the meaning is only known by limited people. Only the members of the community are familiar with the word. Their familiarity with the word justifies their bonds with the community. To see all lexical jargons meaning, see the following table No 1 2 3 4 5 6 7
Jargon Yids Zagger Zigger Alouette Slums Viva Bid
Table 2. Lexical Jargon Meaning Literal Meaning Contextual/Jargonal Meaning All of England Premier League club Male supporter Female supporter Nanana and ouoooo A poor area of a city The place around Anfield stadium Great people The act offering particular amount of The act offering a new contract and salary money
Phrasal jargon is kind of jargon that combine two words to present new meaning. Since it is a combination/combinations, the forms of phrasal jargon are more various than lexical jargon. For example, a phrasal jargon might be formed by adjective and a noun like in Northern bastard, or determiner and a noun like in The Pop. These two are the example of phrasal jargons. Another fact about CISC phrasal jargons lies in the phrase A Blue* and A Red* and A Rob*. The aesterix signs indicates that the combinations of the constituent that construct the phrases are not usual. In A Blue and A Red, the combination is not common since it is constructed of a determiner and adjectives. It also happens in A Rob. This combination is between a determiner and a verb. From this fact we can say that sometimes, the forms of jargons are ungramatically well constructed. Other examples of phrasal jargons and their meaning can be seen in the following table. No 1 2 3
Jargon West London Royal Blue Chelsea Ranger
4 5 6 7
Northern Bastard West Ham Boot Boy European Cup
8
The Pop
9
England Captain
Table 3. Phrasal Jargon Meaning Literal Meaning Contextual/Jargonal Meaning The west area in London Chelsea Football Club Deep bright blue Rich Football Club People whose job is take The other name of Lamongan CISC care in the forest Wicked person from north Arsenal Football Club The part of pig from west West Ham Football Club A boy who uses shoe Lamongan CISC that can run quickly The name of football The trophy of UEFA Champions competition in European League. The style of modern The leader of worldwide Catholic popular music church in Rome The leader of England John Terry as the captain of England football team
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
202
10 11 12 13
West Side Shed End Blue Blood Glory Hunters
14 15
Blue Army Over Land
16 17 18
Red Scarf True Blue The Double
19 20
The Lane Stamford Bridge
21 22 23 24 25
Super Frank A Blue* A Red* The Kop The Shed
26
A rob*
A particular area in west The last small building The name of noble Person who hunts praise
Chelsea Football Club A place (chair) to sit. The other name of Lamongan CISC A group of Chelsea fans in Lamongan CISC The other name of Lamongan CISC Across land around the Location of supporters from all the world world. A scarf with red color Manchester United fans The other name of Lamongan CISC Twice as much Two trophies, European Cup and FA Cup Narrow country road The street in Liverpool city A kind of bridge in The name of arena or stadium in Stamford London that is used by Chelsea football club to play football Frank Lampard (Chelsea’s player) The kind of color Chelsea football club’s player The kind of color Liverpool’s player The people that support Liverpool The small building A group of Chelsea fans in Lamongan CISC Steal money or property People that often force the player to score and get maximal point in a match
The third kind of jargon is acronymic jargon. This type of jargon can be seen in the word ManU. ManU is acronymic. This word consists of two components which is Man (which stands for Manchaster) and U (United). The Two words are joined together as a single word and it is read also as a word. The last criterion of jargon is abbreviation jargon. This form of jargon is almost similar with the acronymic jargon. Both of them are shortened units. The examples of this type of jargon are M.R.E and F.A. The difference between acronymic jargon and abbreviation jargon lie of the way to say it. The letters of abbreviation jargon, are spelled singly (letter per letter), while the letters of acronymic jargon, are spelled in a single blow. Here, M.R.E represents the initial letters of three words while F.A represents two words. In this study, not only the types of jargon are found, the factors that contribute to the existence of jargon are also found. Based on the observation which was continued by interview to some members of CIC’s, it has been found three factors that play roles to the existance of the jargons. The first factor is trend, the second is habit, and the third is identity. According to Bayley and Lucas (in Umami, 2014) one of the goal of sociolinguistics is to understand the correlation between social factors (such as social status, age, background, and interest) and linguistic variation and ordering of linguistic constraints with respect to variability of rules. In CISC case, the relationship between social factors and linguistic variation can be seen clearly. The relationship lie on the existance of factors that initiate the existance of jargons in CISCS chants. Identity factor becomes the most dominant factor that contributes to the existence of jargon in Lamongan CISC’s chants. This factor has been mentioned by 5 members of CICS. In the community, CISC members use jargons as the egalitarian markers. Their interest in chelsea makes most of their jargons relate to Chelsea, whether to praise Chelsea Football Club or to utter negative comments against Chelsea’s opponents. Particular vocabularies like True Blue, and Blue Army are the markers Chelsea. They also praise the players such as mentioning John Terry as the England Captain. Another praise is
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
203
also given to Frank Lampard; Super Frank. Super Frank is a compliment to one of the Chelsea players, while Northern Bastard is an insult to Chelsea’s rival, Arsenal, and the groups which support it. Royal Blue represents the condition of Chelsea as a rich Football Club. Another jargon, The double, praises the Chelsea two won trophies. All jargons above have different distincted meaning when Lamongan CISC’s members use it. Trend factor becomes the second most dominant factor that contributes to the existence of jargon in Lamongan CISC'S chants. Jargons, which were created by CISC’s members, mostly follow the trend of the Chelsea supporters in England. In addition, the trend is always up to date and is sometimes boldly intended to follows the latest condition of Chelsea. The Double is an example of jargon that follows the development of Chelsea which has achieved two Cups. When the club is in a good position, the chants along with the jargon are usually full of praise. On the other hand, if Chelsea is not in good position, the chants along with the jargon usually insult the rivals. Creativity factor becomes the third most dominant factor that contributes to the existence of jargon in Lamongan CISC's. Several jargons such as Yids, True Blue, Zagger and Zigger do not have concrete meaning. They appear as the result of CISC's members crativity. The words and the phrase are not stated in any dictionary since it is purely new. Not many common people know the meaning, yet all members of CISC know well what they mean. It is all because Lamongan CISC's members creativity. CONCLUSION Jargon is worthy of the attention of linguists in its own right, but further that, as an exciting and controversial form of language which belongs to young people and to youth culture. So this leads us to believe that some present social conditions may affect the existance of it. Based on the explanation above we can conclude two things related to the objectives of this study. Firstly, the most productive jargon which appear in CISC chants is phrasal jargon. Secondly, identity factor is the dominan factor that contribute mostly to the existance of the jargons in CISC chants. REFERENCES Erlinawati, Rengga. (2012). A study on jargon used by sheltered street children on jalan muharto malang. Unpublished Thesis. Malang. Universitas Brawijaya Halligan, N. (2004). A short Course on Writing Technical Report. Technical Writing. Retrieved on April 27, 2016 from http:www.technical-writing-course/index.html Kana, Anandina. (2013). Word formation processes on jargon used by barista in coffee corner malang. Unpublished Thesis. Malang. Universitas Brawijaya Rampton, B, (2003) Crossing: Language and Ethnicity among Adolescents, Harlow and New York: Longman, p.12 Rumni, H. (2016). An Analysis of Jargon of Areko Community in Kangean Island. Thesis. Faculty of Social and Cultural Science. University of Trunojoyo Madura. Syamsi, F. (2016). Jargon Used by Lesbian in Surabaya. Thesis. Faculty of Social and Cultural Science. University of Trunojoyo Madura. Umami, R. (2014). Register used by multilevel marketing business members in pt. orindoalamayu.Unpublished Thesis. Malang: Universitas Brawijaya Yuniasih, E. (2013). An Analysis of Jargon in Opera Van Java. Thesis. Faculty of Teacher Training and Education. Sarjanawiyata Tamansiswa University.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
204
36 PENGARUH BAHASA TERHADAP KELESTARIAN BUDAYA DALAM MASYARAKAT BIMA Zulkifli Apriyanto Wawan Darmawan Putra Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram Abstrak: Bahasa menjadi sebagai sebuah fenomena yang mungkin tidak perlu dipertentangkan, tetapi melihat arus perubahan yang akhir-akhir ini semakin deras melanda dan melumat semua aspek kehidupan manusia, karena bahasa menjadikan sebuah wadah untuk melestarikan budaya daerah yang merupakan suatu kebanggaan bagi setiap masyarakat, sebab budaya menjadikan setiap masyarakat memiliki identitas budaya yang tidak dapar digeser oleh arus globalisasi yang semakin lama semakin modern. Bahasa selalu mengalami perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Proses saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah, karena dalam setiap perkembangan budaya selalu memiliki faktor yang paling dominan dalam perkembangan yaitu bahasa. Bahasa dan budaya dalam masyarakat bima menjadi satuan kesatuan yang utuh, karena masyarakat selalu memperkenalkan budaya masing-masing melalui bahasa. Maka dari itu bahasa memegang perenan yang sangat penting dalam melestarikan budaya daerah yang sudah mendarah daging bagi setiap manusia, walaupun sudah memasuki zaman yangserba modern. Namun budaya harus menjadi perhatian khusus yang tidak boleh punah oleh perkembangan arus globalisasi yang selalu menawarkan kecanggihan yang setiap saat menjamah disetiap masyarakat yang dahulu tidak mengenal dengan kecanggihan. Perkembangan zaman inilah yang nantinya akan mengubah identitas masyarakat akibat pengaruhnya yang besar dari kebudayaan barat yang semakin berkembang, akan tetapi setiap masyarakat wajib menjaga dan melestarikan budaya daerah dengan menggunakan bahasa sebagai faktor perkembangan budaya. Kata kunci: bahasa, budaya, fenomena, identitas, masyarakat.
PENDAHULUAN Bahasa dan budaya adalah dua bentuk hasil pemikiran manusia. Banyak ahli yang mengemukakan teorinya mengenai kaitan antara bahasa dan budaya, salah satunya Willem von Humboldt seorang filosof Jerman. Menurutnya “language by its very nature represents the spirit and national character of a people (bahasa adalah repesentasi/perwujudan semangat alami dan karakter nasional masyarakat)”. Setiap bahasa di dunia pasti merupakan perwujudan budaya dari masyarakat penuturnya. Jadi, pandangan yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa tertentu akan tercermin atau terwujud dalam bahasanya. Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya. Kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat. Berbagai pendapat para ahli mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan membuat tema ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sehingga pada akhirnya dapat melahirkan teori-teori baru mengenai hubungan keduanya. Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Fungsi bahasa dalam arti luas dapat dipergunakan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan segala perlambang kebudayaan antar anggota masyarakat. Sifat khas suatu kebudayaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
205
memang hanya bisa dimanifestasikan dalam beberapa unsur yang terbatas dalam suatu kebudayaan, yaitu dalam bahasanya, keseniannya, dan dalam adat istiadat upacaranya. Bahasa dan budaya, sangat sarat dengan daya-daya kohesif dan saling mempengaruhi, serta boleh dikatakan bahwa masing-masing entitas yang satu tidak bisa berdiri sendiri tanpa peranan yang lain. Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Chaer dan Agustina (2010), mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Sedemikian eratnya hubungan antara kebudayaan dan bahasa sebagai wadahnya, hingga sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata-kata dan ungkapan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, perkataan village, dalam bahasa Inggris tidaklah sama dengan desa dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam bahasa Inggris adalah lain sekali dari desa dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu ungkapan yang pernah di keluarkan oleh penulis asing menyebut kota Jakarta sebagai big village akan hilang maknanya jika diterjemahkan dengan ” desa yang besar”. PEMBAHASAN Pengertian Bahasa Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri. Sebagai suatu sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis. Artinya bahasa tersusun menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan merupakan suatu sistem yang tunggal, tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Sedangkan arbitrer (“mana suka”) di sini artinya tidak ada hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud lambang tersebut. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa: 1. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. 2. Bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya (language in use) bahasa merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam penggunaan bahasa menurut Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi “nasi” melambangkan konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’. Pengertian Budaya Hakikat kebudayaan sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Sibarani (1992:99), mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensi, normatif maupun simbolis yang tercermin dalam tingkah laku dan benda‐benda hasil karya manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Budaya (2005:169) tercantum pengertian bahwa budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat. Dari pengertian ini dapat kita simpulkan bahwa budaya adalah hasil pemikiran manusia yang dilandasi cipta, rasa, dan karsa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
206
Menurut Chaer definisi kebudayaan dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan yaitu. 1. Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan. 2. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan. 3. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku. 4. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup. 5. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur. 6. Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional. Bahasa Mempengaruhi Budaya atau Sebaliknya? Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia. Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik). Bahasa merupakan sarana pemertahanan kebudayaan. Sebuah kebudayaan akan mampu dimengerti, dipahami, dan dijunjung oleh penerima budaya jika mereka mengerti bahasa pengantar kebuadayaan tersebut. Bahkan sering timbul pendapat bahwa kebudayaan lahir karena bahasa, tanpa bahasa tidak akan pernah ada budaya. Meski begitu ternyata bahasa suatu masyarakat ternyata sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya. Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain Bahasa Sebagai Sarana Bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasa dikatakan kompleks karena di dalamnya tersimpan pemikiran-pemikiran kolektif dan semua hal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Bahasa dikatakan aktif karena bahasa terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena sifatnya tersebut, bahasa adalah aspek terpenting dalam mempelajari suatu kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Artinya, kedudukan bahasa berada pada posisi subordinat di bawah kebudayaan, tetapi sangat berkaitan. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang bersifat koordinatif, sederajat dan kedudukannya sama tinggi. Bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari sistem kebudayaan, bahkan dari bagian inti kebudayaan. Bahasa terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai nama atau istilah dari unsur-unsur dari semua aspek kebudayaan itu.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
207
Lebih penting lagi, kebudayaan manusia tidak akan mungkin terjadi tanpa bahasa karena bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Pembelajaran budaya suatu masyarakat hendaknya mengutamakan unsur-unsur bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut. Budaya dan bahasa merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Untuk belajar suatu budaya sekelompok masyarakat, seseorang harus menguasai bahasa sekelompok masyarakat tersebut. Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi di wilayah Republik Indonesia sudah mulai diminati oleh penutur asing untuk dipelajari. Di luar negeri, telah banyak universitas-universitas dan lembaga pendidikan yang mengajarkan bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Berdasarkan data yang tercatat di Pusat Bahasa, Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri misalnya, saat ini tercatat tidak kurang dari 76 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing, baik di perguruan tinggi, sekolah maupun di lembaga-lembaga kursus. Hubungan Bahasa dan Budaya Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat. Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan. Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada. Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan. Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bima misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Bima pun ada ungkapan aina edamu to’ina ntene mpa tanina ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
208
Bahasa dan Kebudayaan dalam Masyarakat Bima Pemahaman mengenai tingkah laku sosial melalui bahasa tergantung pada teori umum tentang masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pertukaran bahasa dan pengekalan bahasa juga bergantung kepada teori sosiobudaya. Kebudayaan atau kebiasaan masyarakat penutur bahasa Bima misalnya. Penutur bahasa Bima Timur bertutur antara anak dan orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Bima Barat dalam konteks yang sama, yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam masyarakat Bima Timur adanya penggunaan hu- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya dipandang sebagai hal yang biasa. Misal: mbeija ntau nahu re ni, Ina. Namun, dalam masyarakat Bima Barat, hu di sana tidak biasa digunakan sehingga dipandang “kasar”. Masyarakat Bima Barat akan menggunakan kata Mada untuk menyapa orangtuanya atau orang yang lebih tua dari dia. Karena itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Teori yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf, yang dikutip oleh banyak ahli dalam menulis buku tentang sosiolinguistik dan psikolinguistik. Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya. SIMPULAN Bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, dua buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. REFERENSI Brown, Gillian & George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Sebuah Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. David D. Steinberg, Hiroshi Nagata, & David P. Aline. 2001. Psycholinguistics Language, Mind, and World. London: Longman. Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2015. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Jenks, Chris. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kontjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Grafindo. Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi. Keduduan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara Sibarani, Robert. 1992. Hakikat Bahasa. Bandung: Citra Adtya Bakti. Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka Pelajar. Tarigan, Henry Guntur .1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Tim Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa RI. Wibowo, Wahyu .2001. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
209
37 INTERJEKSI DALAM NOVEL DONYANE WONG CULIKA KARYA SUPARTA BRATA Siti Komariyah Balai Bahasa Jawa Timur Abstrak: Interjeksi adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan pembicara. Interjeksi ini digunakan oleh penulis novel untuk menyampaikan emosi atau perasaan yang tidak hanya digambarkan melalui kata-kata atau kalimat, namun juga dapat disampaikan dengan bentuk kata yang lain yaitu interjeksi. Penelitian yang berjudul ‘Interjeksi dalam Novel Donyane Wong Culika’ Karya Suparta Brata ini bertujuan untuk mendiskripsikan bentukbentuk dan fungsi interjeksi yang digunakan dalam novel Donyane Wong Culika. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian diperoleh dengan metode simak dan teknik catat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Donyane Wong Culika terdapat 2 bentuk interjeksi yaitu (1) primer, yaitu o, e, ah, lo, lha, lho, wo, wah, heh) dan (2) sekunder, yang berbentuk kata, perulangan kata, dan frasa. Interjeksi sekunder tersebut yaitualah, alaah, adhuh, wadhuh, oallah, wo lha, e lha kok, la kok, lha wong, adhuh-adhuh, mak cles, ora lidhok, astagfirullah!, astaga. Bentuk interjeksi dalam novel Donyane wong Culika memiliki fungsi untuk mengungkapkan rasa kecewa, kesal, heran, marah, kaget, kekaguman, takjub, ketakutan, menandai makna penyangatan, menandai teringat kembali kepada sesuatu. Kata kunci: Interjeksi, novel
PENDAHULUAN Bahasa merupakan alat komunikasi manusia yang digunakan untuk berinteraksi dengan sesamanya. Kedudukan bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peran yang sangat penting, karena membawa pesan maupun informasi dari penutur kepada lawan tuturnya. Salah satu pemakaian bahasa untuk menyampaikan pesan adalah bahasa tulis yang digunakan dalam karya sastra seperti novel. Karya sastra tersebut yang mengunggulkan bahasa dalam penciptaannya, karena bahasa bersifat indah. Keindahan bahasa dalam karya sastra tampak pada penggunaan bahasa kias, penghalusan nilai rasa, dan interjeksi. Bahasa yang digunakan dalam novel terdapat pemakaian interjeksi karena novel pada umumnya menyampaikan komunikasi lisan para tokohnya dalam bentuk tulis. Penggunaan interjeksi berfungsi untuk mengungkapkan atau mengekspresikan rasa hati penutur. Bentuk pengekspresian rasa hati penutur dalam karya sastra salah satunya banyak ditemukan dalam novel. Salah satu novel yang memanfaatkan penggunaan interjeksi adalah novel Donyane Wong Culika karya Suparta Brata. Penggunaan interjeksi yang terdapat dalam novel Donyane Wong Culika karya Suparta Brata menarik untuk diteliti. Dikatakan menarik untuk diteliti karena dalam novel tersebut disajikan menggunakan bahasa Jawa dan setelah dilakukan pengamatan ditemukan penggunaan interjeksi yang cukup banyak. Hal tersebut yang melatarbelakangi dan menjadi alasan peneliti untuk meneliti novel tersebut, karena tidak semua karya sastra khususnya novel berbahasa Jawa dalam penyajiannya banyak terdapat penggunaan interjeksi. Menurut Kridalaksana (2001:84) interjeksi adalah bentuk yang tidak dapat diberi afiks dan yang tidak mempunyai dukungan sintaksis dengan bentuk lain, dan yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan. Sebagai pengungkap perasaan dan keinginan, interjeksi tidak memiliki arti komunikatif. Interjeksi tidak mengharapkan tanggapan, sambutan, atau jawaban baik dari mitra bicara maupun orang ketiga yang hadir. Interjeksi semata mengungkapkan apa yang diinginkan oleh penutur. Wedhawati, dkk. ( 2006: 417) mengatakan bahwa interjeksi adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan pembicara. Jenis perasaan yang diungkapkan dengan interjeksi dapat berupa rasa kagum, sedih, heran, jijik, kesakitan, dan sebagainya. Karena hal ini interjeksi tergolong kata yang berkadar rasa tinggi dan bersifat afektif. Interjeksi bukan merupakan bagian integral kalimat seperti kategori kata yang lain. Di
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
210
dalam tata tulis interjeksi yang dituliskan sebagai bagian dari sebuah kalimat diberi tanda koma. Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan Alwi,dkk. (2000:303) yang mengatakan bahwa interjeksi atau kata seru adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati pembicara. Untuk memperkuat rasa hati seperti rasa kagum, sedih, heran, dan jijik, orang memakai kata tertentu disamping kalimat yang mengandung makna pokok yang dimaksud. Wedhawati,dkk. (2006:417-- 418) memilah interjeksi menjadi dua, yaitu (1) interjeksi primer dan (2) interjeksi sekunder. Interjeksi primer rupakan interjeksi yang dari segi bentuk memperlihatkan bentuk yang sederhana. Bentuk interjeksi primer lazimnya bersuku kata satu dengan pola fonotaktis berupa (K)V(K ). Tergolong ke dalam interjeksi primer ialah bentuk-bentuk interjeksi primer ialah bentuk seperti o, e, wo, wu, we, ah, eh, wah, huh. Interjeksi sekunder merupakan interjeksi yang dari segi bentuknya sudah memperlihatkan pola fonotaktis seperti kata pada umumnya. Berdasarkan bentuknya, interjeksi sekunder dapat dirinci lagi ke dalam beberapa jenis, antara lain (1) berbentuk kata, (2) berbentuk pengulangan kata, (3) berbentuk frasa, dan (4) benbentuk klausa atau kalimat. Wedhawati,dkk. (2006:419) menjelaskan interjeksi yang terdapat dalam bahasa Jawa merupakan gambaran penandaan pengungkapan rasa heran, permintan perhatian, tidak setuju, perasaan heran, perasaan takut, perasaan heran campur terkejut, perasaan tidak setuju atau jengkel, keadaran teringat kembali akan sesuatu, perasaan takjub atau kagum, perasaan ketakutan, rasa kesakitan, dan perasaan girang. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk dan fungsi interjeksi dalam novel Donyane Wong Culika karya Suparta Brata.Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk dan fungsi interjeksi yang digunakan dalam novel Donyane Wong Culika karya Suparta Brata. METODE Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu menggabungkan antara metode deskriptif dan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dengan teknik catat. Metode simak adalah kegiatan yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto 1993: 133). Setelah itu data berupa tuturan dengan pemakaian interjeksi tersebut dicatat dan dikelompokkan sesuai dengan jenis interjeksi untuk dianalisis. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya di luar terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, metode padan digunakan untuk menentukan bentuk dan fungsi interjeksi dalam novel Donyane Wong Culika. Data yang telah dikumpulkan, diklasifikasikan kemudian dianalisis, yaitu berdasarkan bentuk dan fungsi. PEMBAHASAN Novel Donyane Wong Culika adalah novel berbahasa Jawa yang ditulis oleh Suparta Barata. Bahasa yang digunakan dalam percakapan para tokoh pada novel tersebut banyak menggunakan bentuk interjeksi. Interjeksi yang digunakan di dalam novel Donyane Wong Culika terdapat 2 bentuk, yaitu (1) interjeksi primer, yaitu O, e, Ah, lo, No, Lha, Lho, Wah, Heh, Huh) dan (2) interjeksi sekunder, yaitu Anu, Alaah, Halah, Adhuh, Oo, Ooo,Wadhuh, O Allah, Wo lha, E lha kok, Lho la kok, Lha wong, Adhuh-Adhuh, Mak cles, Ora lidhok, Atagfirullah!, Astaga. Bentuk interjeksi dalam novel Donyane wong Culika memiliki fungsi untuk mengungkapkan rasa kecewa, kesal, heran, marah, kaget, kekaguman, takjub, ketakutan, menandai makna penyangatan, menandai teringat kembali kepada sesuatu. Interjeksi Primer Interjeksi primer rupakan interjeksi yang dari segi bentuk memperlihatkan bentuk yang sederhana. Bentuk interjeksi primer lazimnya bersuku kata satu dengan pola fonotaktis berupa (K)V(K ). Pemakaian interjeksi primer dalam novel Donyane Wong Culika terdapat dalam contoh berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
211
Interjeksi Primer ‘o’ Berdasarkan data yang diperoleh dalam novel Donyane wong culika terdapat pemakaian interjeksi primer ‘o’ seperti data berikut. 1) O, guru Kardi niku rak mantune,nggih ta? O, guru Kardi itu kan menantunya, ya kan? 2) O, tesih, tesih kiyeng. Buruh panen nggih mesti nutug,kok. Hr, ck, ck,ck. O, masih, masih sehat dan kuat. Buruh panen juga selalu sampai selesai, kok. Hr ck,ck,ck. 3) O, Pak guru! Sampean rak Pak Guru Kardi?Sugeng Pak? O, Pak guru! Anda kan pak guru Kardi? Sehat pak? Pada contoh data 1—3 di atas, pemakaian interjeksi ‘o’ merupakan interjeksi yang berfungsi untuk mengungkapkan perasaan heran. Interjeksi Primer ‘E dan Ĕ’ Dari data yang ada, terdapat pemakaian interjeksi ‘E dan Ĕ’ untuk mengungkapkan rasa heran, ketidak setujuan, dan keragu-raguan seperti nampak pada data berikut. 4) E, Kasmin to kuwi? Layak saesuk prenjake nganter! E, Kasmin ya? Pantas sejak pagi burung prenjak berkicau! 5) E, sek niki kula mireng Mbah Sali gadhah keluwarga king njawining Bangkuning. King Semarang? E, baru sekarang saya mendengar Kakek Sali punya keluarga dari luar Bangkuning. Dari Semarang? 6) E, aja saiki. Pisah neng kene dhisik, wis. E, sekarang aja. Pisah di sini dulu. 7) E, ya muga-muga wae nggawa rezeki! E, ya semoga saja membawa rezeki. 8) Ĕ, sore mapan turu ing kene, ngimpi ketemu pangeran, terus alihan turu kana ngimpi ketemu pak direktur. Ĕ, sore tidur di sini, mimpi bertemu pangeran, terus pindah tidur di sana mimpi bertemu direktur. Pada contoh data4 dan 5 di atas, pemakaian interjeksi ‘E’ menggambarkan perasaan heran dari percakapan tokoh dalam novel. Pemakaian interjeksi ‘E’ pada contoh data 6 di atas mengungkapkan permintaan perhatian. Sedangkan pada contoh (7), interjeksi ‘E’ tersebut digunakan untuk mengungkapkan harapan. Pada contoh (8) pemakaian interjeksi ‘Ĕ’ digunakan untuk menandai permintaan perhatian. Interjeksi primer ‘Ah, Oh dan Heh’ Selain penggunaan intejeksi o,e, dan ĕ di atas terdapat pemakaian interjeksi ‘ah, oh, dan heh’ seperti pada data berikut. 9) Ah, wong yo wis suwi banget. Ah, wong ya sudah sangat lama 10) Ah, kok bisa muni kaya ngono kuwi,lo! Ah, kok bisa bunyi seperti itu, lo! 11) Ah, rejeki napa, wong artane mboten kulo tampi. Ah, rezeki apa, wong uangnya tidak saya terima. 12) Ah!, Wingenane kae ora ngira yen guru ndesa wis bebojoan ngono bisa narik kawigatene Pratinah!
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
212
Ah!, kemarin tidak disangka kalau guru desa, sudah berkeluarga bisa menarik perhatian Pratinah! 13) Ah!,Sakjane sing salah kuwi rak si Sukardi, olehe sregep nemoni Pratinah! Ah, Sebenarnya yang salah kan Sukardi, sering menemui Pratinah! 14) Oh, ngretos ndoro kanjeng. Mbetahake tiyang pinten, mengke kulaangkutane. Oh, tahu tuan.Membutuhkan berapa orang, nanti saya bawa. 15) Heh. Hariya Penangsang niku sinten, sampeyan kok kaya ngreti-ngreti. Heh, Hariya Penangsang itu siapa, kamu kok sok tahu. Pada contoh data 9—11 di atas,pemakaian interjeksi ‘ah’ digunakan untuk menandai isyarat untuk meniadakan apa yang telah disebutkan sebelumnya.Interjeksi pada data 12 dan 13 digunakan untuk menandai perasaan tidak setuju atau kejengkelan. Sedangkan pemakaian interjeksi ‘oh’ pada data 14 digunakan untuk menandai perasaan setuju. Pada data 15, interjeksi ‘heh’ digunakan untuk menandai perasaan heran. Interjeksi primer ‘Wah, Wo’ Dari data yang diperoleh, nampak pemakaian interjeksi primer ‘wah dan Wo’ dalam novel Donyane Wong Culika seperti pada data berikut. 16) Wah, niki griyane sinten? Kok dadi toko! Wah, ini rumah siapa? Kok jadi toko! 17) Wah, king pundi nggih, kulo saget pados bata? Wah, dari mana ya, saya bisa beli bata? 18) Wah, njenengan niku maringi margi kok mutawatiri ngoten. Wah, anda itu memberijalan keluar kok meng.hawatirkan 19) Wo, kulo sering dicritani simbah kula. Wo, saya sering diceritai oleh nenek saya. Interjeksi ‘wah’ pada data 16 – 18 di atas digunakan untuk menandai perasaan keragu-ragua. Sedangkan interjeksi ‘wo’ pada data 19 digunakan untuk menandai perasaan setuju. Interjeksi primer ‘La dan lha’ Pada data yang diperoleh, terdapat pemakaian interjeksi ‘la dan lha’ seperti pada data berikut. 20) La, yen niki griyane sinten? Kok cekli! La kalau yang ini rumah siapa? Kok bagus! 21) La enggih yen enten?La niku, mpun genah banon pesenan, Pak. La ya kalau ada? La itu sudah tembok pesanan, Pak. 22) Lha nggih niku, enget kok kulo. Lha, ya itu, saya ingat, kok. Pemakaian interjeksi ‘la’ pada data 20 digunakan untuk menandai permintaan perhatian. Pada data 21, interjeksi ‘la’ digunakan untuk mengungkapkan perasaan keragu-raguan. Sedangkan interjeksi ‘lha’ pada data 22 digunakan untuk mengungkapkan perasaan setuju. Interjeksi promer ‘Lo’ Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat pemakaian interjeksi ‘lo’ yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan heran campur terkejut seperti pada data 23—25 berikut. 23) Lo, kowe kuwi arep dadi pemborong kok panggonane material ora ngerti. Lo, kamu itu mau jadi pemborong kok tidak tahu tempatnya bahan bangunan. 24) Lo, Pak. Dhayohe bengak-bengok. Dhayoh ngriki yektos. Lo, Pak. Tamunya teriak-teriak. Benar tamu sini. 25) Lo, iki dak tawakke nang Sampeyan ben Sampeyan sing ngeterake.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
213
Lo, ini saya tawarkan padamu supaya kamu yang mengantar. Interjeksi primer ‘Hii, Hiih’ Pemakaian interjeksi primer lain yang terdapat dalam data adalah interjeksi ‘hii dan hiih’ yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan ketakutan seperti pada data 26 dan 27 berikut. 26) Hii. Ngeres ya? Mangka ya padha-padha bangsane dhewe. Hii. Mengerikan ya? Padahal sama-sama satu bangsa. 27) Hiiih, mrinding kabeh kulitku! Klambine sarwa ireng, lakune ngawang ora ngambah lemah. Hiih, merinding semua kulitku. Bajunya serba hitam, jalannya mengambang tidak menginjak tanah. Interjeksi Sekunder Interjeksi sekunder merupakan interjeksi yang dari segi bentuknya sudah memperlihatkan pola fonotaktis seperti kata pada umumnya.Sesuai datayang diperoleh, dalam novel Donyane Wong Culika terdapat interjeksi sekunder berbentuk (1) kata, (2) pengulangan kata, dan (3) frasa. Interjeksi Sekunder Berbentuk Kata Dalam data terdapat pemakaian interjeksi sekunder berbentuk kata yaitu ‘wadhuh, walah, Astaga, Alah, Alaah, Oalah, Halah, Yeleh dan Astaghfirullah’ seperti pada contoh berikut. 28) Wadhuh, Ndara, tanggung jawab kula ngurusi SD Inpres teng nggen kula mriki dereng saget kula tilar. Wadhuh, Tuan, tanggung jawab saya mengurus SD Inpres di daerah saya belum bisa saya tinggal. 29) Walah, genah ageng ngaten lho Bu. Barang dagangan sedaya wonten, pepak. Walah, besar begitu lho, Bu. Barang dagangan semua ada, lengkap. 30) Astaga! Mangsa ngaten? Mesthinipun rak Gusti Allah menika ingkang angka setunggal dipun sembah. Astaga!Masak begitu?Tidak baik. Seharusnya Allah yang pertama disembah. 31) Alah, rak yo podo wae, Susatya apa Kasminta, apa Rajimin. Alah, sama saja, Susatya atau Kasminta, atau Rajimin. 32) Alaah, dawane. Wong yen wis tresna, arep pisah wae omongane dowii! Allah, panjangnya. Kalau sudah cinta, mau pisah saja omongannya panjang. 33) Oalah , pados watu kali mawon thik mboten saget? Oalah, mencari batu kali saja tidak bisa? 34) Halah, Bapak! CV Gandariya sugih men, kok. Halah! Bapak! CV Gandariya sangat kaya, kok. 35) Yeleh, Ibu! Yo mung ngono! Gek ana padhangan pinggir segara! Yeleh, Ibu! Ya hanya seperti itu! Di tempat terang di pinggir laut. 36) Astaghfirullah, Mas!, Pak!, panjerite Tukinem. Mripate mblalak. Astaghfirullah, Mas!, Pak!,Tukinem berteriak. Matanya terbelalak. Pada data 28 terdapat pemakaian interjeksi‘wadhuh’yang digunakan untuk mengungkapkan kesadarn teringat akan sesuatu. Interjeksi ‘ walah’pada data 29 digunakan untuk menandai perasaan takjub atau kagum. Data 30, pemakaian interjeksi Astagadigunakan untuk mengungkapkan rasa terkejut. Pemakaian interjeksi‘Alah, Alaah dan Oalah’pada data 31, 32 dan 33digunakan untuk menandai perasaan heran. Data 34, interjeksi ‘yelehdan halah’ digunakan untuk mengungkapkan penyangatan. Sedangkan interjeksi ‘astaghfirullah,pada data 36 digunakan untuk menandai perasaan terkejut yang bercampur dengan rasa takut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
214
Interjeksi Sekunder Berbentuk Pengulangan Kata Sesuai dengan data yang diperoleh, terdapat pemakaian interjeksi berbentuk pengulangan kata ‘adhuh-adhuh, alah-alah,walah-walah dan e,e,eee’pada novel Donyane Wong Culika seperti pada data berikut. 37) Adhuh-adhuh, grapyake! Katrem tenan atine Kasminta, kaya kesuduk kerise Empu Gandring. Adhuh-adhuh , ramahnya! Sungguh senang hati Kasminta, seperti ditusuk keris Empu Gandring. 38) Alah-alah, ojo ngono Tuk. Wong nglakoni budi luhur kuwi ora kaya mengkoko patrape. Alah-alah, jangan begitu Tuk. Orang berbudi luhur bukan seperti itu tingkah lakunya. 39) Walah-walah, satus ewu niku nggih gambar Sudirman kabeh? Walah-walah, seratus ribu itu gambar Sudirman semua? 40) E, ee,eee, wong loro tiba keglundhung ndlosor. E,ee,eee, berdua jatuh terjerembab. Interjeksi berbentuk pengulangan kata‘adhuh-adhuh’ pada data 37 digunakan untuk mengungkapkan perasaan takjub. Interjeksi ‘alah-alah’dan ‘walah-walah’ 38, dan 39 di atas digunakan untuk menandai perasaan heran, sedangkan interjeksi ‘e, ee,eee’pada data40 digunakan untuk mengungkapkan rasa kaget. Interjeksi Sekunder Berbentuk Frasa Sesuai data yang diperoleh, terdapat pemakaian interjeksi berbentuk frasa ‘lha wong, e lha kok, e lae, mak cles dan ora lidhok’ dalam novel Donyane Wong Culika seperti pada data berikut. 41) Lha wong, pekarangane kepencil, dewe emple dikupengi bulak. Lha wong, rumahnya terpencil, sendirian dikelilingi tanah kosong 42) E lha kok deweke kudu njaluk idin marang Sukardi, yen arep nggarap pomahane Nini Sali. E lha kok dia harus minta izin pada Sukardi, kalau akan membongkar rumah nenek Sali. 43) E Lae, sapa teka nyang omahku nganggo sedan hedhose kaya ngono? E lae, siapa datang ke rumahku naik sedan hedhose seperti itu? 44) Mak cles, rasane atine Kasminta. Mak cles, rasa hati Kasminto. 45) Ora lidhok, ora adhoh karo angen-angen lan pamrihe Kasminta kang mengkono. Ora lidhok, tidak jauh dari angan-angan dan harapan Kasmita. Pemakaian interjeksi berbentuk frasa ‘lha wongdan e lha kok’pada data 41 dan 42digunakan untuk mengungkapkan peraan heran campur terkejut. Interjeksi ‘e lae’pada data 43 digunakan untuk menandai perasan heran. Pada data 44,interjeksi‘mak cles’ digunakan untuk mengungkapkan perasaan lega atau senang daninterjeksi ‘ora lidhok’ pada data 42 digunakan untuk menandai perasaan setuju. SIMPULAN Berdasarkan analisis data, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Donyane Wong Culika terdapat 2 bentuk interjeksi yaitu (1) interjeksi primer, yaitu O, e, Ah, lo, No, Lha, Lho, Wo, Wah, Heh) dan (2) interjeksi sekunder yang berbentuk kata, perulangan kata, dan frasa. Interjeksi sekunder tersebut meliputi alah, aalah, adhuh, wadhuh, oallah, wo lha, e lha kok, la kok, lha wong, adhuh-adhuh, alah-alah, walah-walah, e,e,ee, mak cles, ora lidhok, astagfirullah!, astaga. Bentuk interjeksi dalam novel Donyane wong Culika memiliki fungsi untuk mengungkapkan rasa kecewa, kesal,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
215
heran, marah, kaget, kekaguman, takjub, ketakutan, menandai makna penyangatan, menandai teringat kembali kepada sesuatu DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Brata, Suparta. 2011. Donyane Wong Culika. Yogyakarta: Narasi Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wedhawati,dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
216
38 THE EXPRESSION OFNATURAL BEAUTY OF SUNDANESE LAND IN THE POEMS TRANSLATION Ypsi Soeria Soemantri UniversitasPadjadjaran Abstract: The expression of adorable to the homeland can be revealed through the poems. The Sundanese tribe lives in West Java Province, especially from Bogor tothe Banjar area.Some of the poets wrote their poems about the natural beauty of their homeland. The poem are about the village, the plants, the creek and the jungle. The goal of this research are to describe the type of the translation procedures used to translate the poem from Sundanese to English, then to describe the meaning of the poems.The method of this research is descriptive analysis method in qualitative research. The data are taken from a book “Modern Sundanese Poetry, Voices from West Java, selected by AjipRosidi. The theory of procedures translation (Newmark, 1988) and Semantics (Riemer,2010) Keyword: Natural Beauty, Sundanese Poem, English translation, procedure INTRODUCTION People wrote their poems to express their feelings, especially about feeling of love. There are many kinds feelings of love, love to the God, love to their parents, love to their spouses, love totheir girl friends or boy friends, and love to their homeland. Homeland is a place where the poet was born and the place where he stayed there with his parents, relatives and also where his ancestors came from. The pictureof thehomeland will never disappear from his mind, it will stay in his mind forever. The portrait of the beautiful nature can not be eliminated from the poet’s mind. When he lives far away from his homeland, he has a strong desire to go back to his homeland. All the green plants and the blooming flowers, the sounds of the gurgling water remind him of his homeland. The place where the poet describe in his poems is the beautiful nature of his homeland, theParahyangan Land, the Parahyangan land is located in the middle of West Java province, from Bogor region to Banjar region. The Sundanese people lives there, the Sundanese calls their homeland ‘Tatar Sunda’. Tatar in Sundanese language means land, Tatar Sunda means ‘Home of the Sundanese People’. Parahyangan comes from the Sundanese words ‘para’ means many and ‘rahyang’ or ‘hyang’ means God (dewa). The meaning of Parahyangan is the place of Gods in, because the area are surroundings by many volcanic mountains, among othersGede mountain, TangkubanPerahumountain, Malabar mountain, Galunggung mountain, and Ciremai mountain. Therefore, the area is an fertility area, there are many kinds of plants grow there. There are also some lakes near the mountains, such as SituLembang, Situ Patenggang, Situ Cileunca, and Situ Bagendit. Nature enters the poets experience during childhood. The world of childhood is the place where they have been there, the surroundings that they are familiar with, the environments that that they know, such as the trees, the flowers, the clouds, the birds, the creeks, the fragrant that they used to feel. The poets souls are there. It is the poets identity, the place where they come from. The expression of adoring the poets homeland through the poems means that the poets are able to identify themselves as they have the land that can identify the feeling of belonging, love,and affection to their country. The poets will never forget their identity through all of their life.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
217
METHOD The method in this research is the descriptive analysis in a qualitative method. In descriptive analysis method, the researcher analyzes the data in an accurate way, without adding or giving self opinion to the data. The goal of this research are to describe the translation procedures used to translate the poems, and to describe the meaning of the poems. The theories to analyze the poem’s translation is Newmark’s translation procedures.The translation procedures by Newmark is divided into several categories, those are: Tranference, Naturalization, Cultural Equivalent, Functional equivalent, Descriptive equivalent, Componential Analysis, Synonymy, Through translation, Shifts or transposition, Modulation, Recognize translation, Compensation, Paraphrase, Couplets and Notes (1988:80-91). The meaning of the poems are analyzed by the theory ofRiemer (2010) The expression of the natural beauty of the poets’ homeland are written in several Sundanese poems. The source of the data are taken from the book called ‘Modern Sundanese Poetry, Voice from West Java’ which was selected by AyipRosidi and it was translated into English by Wendy Mukherjee (2001). The data of this research are three poems about the natural beauty of the homeland,Imah di MumungarangPasir (House on a Hill) by Etty R,S, Leuweung (Jungle) by Etty R.S, LeuwiDamar(LeuwiDamar) by YuniarsoRidwan. DISCUSSION The first poem is about the poet’s house, the title of the poem is ‘Imah di MunggarangPasir’ means House on a hill. The explanation of the poem is only about the first couplet. Imah di MunggarangPasir Asihkuringimahnenggang ‘namumungarang Disigerkupalawijakabagjan Térong, jagong, kacang,jeungroay House on a Hill My love is a house hidden away upon a hill Decorated with vegetables of happiness Eggplant, corn, peanuts and lima beans
The first word in line 1 asih is translated into ‘my love’ , the translation procedures of a word in source language (SL) is changed into a phrase in the Target Language (TL). This translation is categorized as a shift or transposition. The word nenggang is categorized as the functional equivalent in the theory of translation procedures. The word are translated into cultural netral words.The word nenggang means the only house in the area, the house is far from other house in the area. The word nenggang is equivalent to the phrase hidden away. In line 2, Disigeris translated into the word decorated, siger actually means the decoration crown wore by women when they dance the traditional dances. The translation procedures used isa cultural equivalent.Siger is a cultural decoration, there is no lexical equivalence in English language, the word decorated is equivalent to the word disiger. In line 3, the poets describes what is the content of palawija, such as eggplant,corn, peanuts and lima beans.Palawija is translated into vegetables.The translation procedure used in this translation is synonymy. The poet expresses her devoted to her homeland in her poem, she is longing for her home which located on a hill far away from any crowded places, it is very a quiet area cause it is a hidden area. She feels very comfortable there. She describes about her vegetableplants as a decoration in the garden of her house, the vegetables grow well, so she can pick the vegetables for her meals. She has mentioned each one of the vegetables, such as eggplant,corn,peanuts and lima beans. She still remembers the plants that are growing on her fields, it means that she feelsvery happy to have a house with all her vegetable plants in her garden. Her home is her identity, her homeland means a lot for her. Her strong love describesthat
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
218
she has a deep affection ofher homeland, of her country. No other places in the world that can change her tenderness to her homeland. Her homeland is her identity. In the second poem, the poet expresses her love to the environment around her house. The poem called Leuweung (jungle) Leuweung Hayang kuring jadileu weungganggongsinagonggong Nu mibandatalagacanèmbranghérang Keurngalokat nu parias Kakayon nu pageuhmaneuh Mugatagensatungtungnyawalumangsung Manuk-manuk nu keurreureuh Teurisinajanneuteupgeueumnacaitalaga Jungle I want to be the wild thick jungle With clear deep lakes To cure people grown pallid Strong trees standing tall May they last as long as I have breath in my body Birds taking rest Have no fear, even when they look down on the frightening lakes The poet great interest to the natural beauty of her homeland is expressed through the poem called the jungle. Jungle is a description of the environment around her house. The expressive sentence hayangkuringjadileuweungganggongsinagonggong is translated into English as‘ I want to be the wild thick jungle’. Each word from the sentence is categorized as using the componential analysis. In the second line, the word talagais equivalent to the word lake. The poet just describes that the lake is very clear. The descriptive equivalent is used to describe the lake with the phrase ‘clear deep lakes’. The plural form of the lake is categorizes as transposition, a lake in the SL is translated into plural form in TL. Ngalokat is equivalent to cure people, the translation procedures used is cultural equivalent. In Sundanese culture the word ngalokat means to take a bath as to throw the disease away. In the next line, the poet describes the big trees which is very strong and tall. The translation procedures used is a componential analysis for every word in the sentence. The translation procedures in line 6 is thesynonymy, manuk-manuk nu keurreureuh in SL is equivalent to ‘birds taking rest’ in TL. The last line is using the cultural equivalent, risi means afraid of, the sentence is using the cultural translation. The meaning of the poem is describing the natural beauty of the jungle near the poet’s house. She expresses the natural beauty of the jungle, she wants to become the wild thick jungle means that the poet want to become a jungle. In the jungle there are some strong trees and lakes. The poets is longed for the natural beauty around her homeland, she wants to become somebody who has many benefits to other people just like the ‘jungle has many benefits to other creatures, such as birds and the strong trees. LeuwiDamar Masihsempetngagolèr Nyatetbiruwalungan Hejowalungan Heranglauk Hitungbatu Hayangjadiwalungan Jadidaun Jadilauk Jadibatu Jadihiji
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
219
LeuwiDamar There’s still time stretch out And note the river’s blue The leaves’ green The fish’s flash The stone’s black I want to become the river Become the leaves Become the fish Become the stone And be one The title of the poem by JuniarsoRidwan is not translated into English, it is the name of a creek. The translation procedures used is transference. To translate the first line, the synonymy is used, the word ngagoler means to lie down is the synonym of to stretch out. Almost all of the lines are in synonymy. The poet expresses that he still puts the notes of the colors of the natural beauty of his homeland in his mind. The color of the river is blue, the leaves are green, the stone is black. He also remembers the movement of the fish in the creek. He wants to become the river, the leaves, the fish, and the stone, to become one. The meaning is the poet dreams to live in harmony with the nature. The nature gives him a pleasant feeling, the feeling of lonesome, he misses the natural beauty of his homeland. The strong love to his homeland means that the poet knows his identity, he has a deep affection to his homeland, to his country. CONCLUSION The three Sundanese poems are translated into English. The poems is translated into several categories of translation procedures, such as cultural equivalent, descriptive equivalent, functional equivalent, transposition, and synonymy. The readers who do not understand Sundanese poems will understand the poems through English translation. The three Sundanese poems are about the natural beauty of the poets homeland that is called ‘Tatar Sunda’ which is located in the middle of West Java province in the area of “ Parahyangan”. The three poems express the natural beauty of the poets’ homeland,the Sundanese Land. They describe about the happiness when they feel the atmosphere of their house and the surroundings. They love their homeland, they can tell their identity, where they come from. The memory about the happiness time in their homeland is expressed through their poems. Living around the natural beauty of the homeland is a happiness. BIBLIOGRAPHY Danadibrata, R. (2006). Kamus Basa Sunda. bandung: Kiblat. Lubis, N. H. (2015). Sejarah Kebudayaan Sunda. Bandung: Yayasan Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Jawa Barat . Newmark, P. (1988). A Texbook of Translation. UK: Prentice Hall Ltd. Ordudari, M. (2007). Translation Procedures, Strategy and Methods. Translation Journal , Journal 41. Rahyono, F. (2015). Kearifan Budaya Indonesiadalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya. Rahyono, F. (2012). Studi Makna. Jakarta: Penau. Ratna, N. K. (2014). Peranan Karya Sastra, Seni dan Budaya dalam Pendidikan Karakter. Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Riemer, N. (2010). Introducing Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Rosidy, A. (2001). Modern Sundanese Poetry, Voice from West Java. Jakarta: PT Dunia Usaha Jaya. SoeriaSoemantri, Y. (2012). The Names of Human's Parts of The Body in Compound Words. Bahasa dalam Era Globalisasi (pp. 249-253). Bandung: Fakultas Bahasa Universitas Widyatama.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
220
SoeriaSoemantri, Y. (2015). The Productivity of the Sundanese Reduplication and Its English Equivalence. Linguistics Scientific Meeting (pp. 592-596). Bandung: Faculty ofHumanities Postgraduate Program Padjadjaran University 2015. Sujatna, e. T. (2014). Menyusun Artikel Ilmiah. Bandung: CV Semiotika. Sumardjo, J. (2011). Sunda Pola Rasionalisasi Budaya. Bale Endah: Kelir.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
221
39 LOCALLY PRODUCED, INTERNATIONALLY CONSUMED: RELEVANSI PENGGUNAAN BAHASA PADA IKLAN PRODUK LOKAL SEBAGAI UPAYA PRODUCT CAMPAIGN TERHADAP PROFIT EXPANSION DI ERA MEA Annysa Endriastuti Fakultas Vokasi, Universitas Airlangga Eko Sulistyo Kusumo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Abstrak: Ide mengenai gerakan internasionalisasi produk lokal menembus masyarakat internasional pada era MEA merupakan impian setiap perusahaan dalam memperoleh keuntungan tertentu. Penelitian ini akan membahas tiga contoh iklan pada produk Indonesia yang mencoba melepaskan diri dari local boundaries (wilayah lokal) melalui penggunaan bahasa promosi yang efektif. Salah satu bagian terpenting dalam aspek promosi adalah penggunaan bahasa iklan secara tepat kepada target sasaran berkenaan dengan kebutuhan konsumen meliputi proses leksikal dan efek-efek yang ditimbulkan pada konteks kalimat. Penggunaan Bahasa Inggris, bahasa lokal, maupun penggabungan di antara keduanya akan mempengaruhi kesan masyarakat terhadap iklan yang disampaikan. Metode yang digunakan meliputi wawancara kepuasan pelanggan (consumer insight) dan netnography yang dipandang mampu memberikan informasi dalam studi simbol, arti, dan pola-pola konsumsi pada kelompok konsumen online (netizen). Identifikasi menyeluruh terhadap proses pemilihan diksi menjadi informasi penting terhadap fitur visual yang mengarah pada kesimpulan awal (preliminary ratiocination) dari ketiga produk tersebut dengan tujuan untuk menyampaikan adanya peningkatan profit yang signifikan. Kata kunci: bahasa, iklan produk lokal, product campaign, profit expansion
PENDAHULUAN Di era global, manusia menjadi sangat konsumtif terhadap barang-barang yang disampaikan melalui iklan. Fill (2006:172) menyatakan bahwa iklan dapat mempengaruhi masyarakat dengan cara menginformasikan maupun mengingatkan mereka akan produk yang dijual. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi pembeli potensial (potential buyers) agar membeli produk tersebut. Melalui iklan, masyarakat tahu jenis produk apa saja yang dijual di pasar. Iklan dapat ditampilkan di media cetak, media online, pada bilboard yang dipajang di pinggir jalan, melalui televisi dan radio, atau di beberapa tempat strategis lain yang mudah diakses oleh masyarakat. Oleh sebab itu, iklan memainkan peranan penting dan dianggap sebagai ujung tombak perusahaan dalam melakukan promosi penjualan produk dan berpotensi meningkatkan pendapatan perusahaan. Globalisasi mendorong Bahasa Inggris yang disebut sebagai Lingua Franca memiliki peran penting dalam komunikasi internasional pada beberapa dekade terakhir ini. Tidak sedikit perusahaan multinational (MNC’s) memilih untuk menstandarisasikan bahasa korporasi mereka dan menggunakan Bahasa Iggris dalam komunikasi global (Welch & Piekkari, 2005). Dibentuknya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang menyebabkan adanya internasionalisasi pada iklan mengharuskan perusahaanperusahaan tersebut memilih untuk menstandarisasikan bahasa korporasi mereka atau melakukan adaptasi terhadap bahasa lokal. Kedua pilihan tersebut tentu saja memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga memunculkan pilihan ketiga untuk melakukan penggabungan pada bahasa iklan (De Mooij, 2005; Gerritsen & Nickerson, 2010). Melalui penggabungan Bahasa Inggris dan bahasa lokal diharapkan tercipta keselarasan antara keduanya dalam membangun sebuah kemasan iklan yang menarik. Menurut Goldstein (2011), penggunaan Bahasa Inggris pada iklan memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi dekoratif (decorative function) dan fungsi komunikatif (communicative function). Fungsi dekoratif
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
222
mengacu pada karakteristik yang digunakan dalam iklan meliputi ukuran huruf, warna huruf, dan penempatannya pada halaman. Fungsi komunikatif mengacu pada kata-kata dalam Bahasa Inggris yang dapat dibaca dan dipahami oleh orang yang berbahasa selain Bahasa Inggris, sehingga mereka mampu mengkomunikasikan arti dari kata-kata tersebut. Sedangkan kata-kata yang tidak dapat dibaca dan tidak banyak memiliki fungsi komunikatif akan lebih cenderung bersifat dekoratif. Oleh sebab itu, pemilihan kata dalam Bahasa Inggris pada iklan hendaknya disesuaikan dengan penggunaan bahasa lokal sebagai upaya untuk menciptakan pemahaman bagi pembacanya. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendemonstrasikan penggunaan Bahasa Inggris pada iklan di negara-negara yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utamanya (Baumgardner, 2008; Goldstein, 2011; Spierts; 2015). Namun demikian, belum banyak diketahui tentang efektivitas penggunaan Bahasa Inggris dibandingkan dengan penggunaan bahasa lokal dalam iklan. Sementara itu, penggunaan bahasa lokal pada iklan dipandang sebagai salah satu pola adaptif yang penting. Para pendukungnya menyatakan bahwa semua perusahaan harus mampu memberikan respon atas faktor-faktor lingkungan makro pada setiap pasar yang mereka masuki. Faktor-faktor bahasa, iklim, ras, budaya, dan rasa yang berbeda terhadap selera dunia akan sangat penting untuk diadaptasi dalam membangun strategi pemasaran baru yang berbeda-beda, disesuaikan dengan karakteristik masing-masing pasar (Vrontis & Thrassou, 2007). Mekipun demikian, beberapa penelitian mengkritisi kedua pandangan tersebut dan menyatakan bahwa keduanya tidak sepenuhnya benar (Nilvander & Hyder; 2011, Gerritsen et al, 2007). Oleh sebab itu, sangat dianjurkan agar setiap perusahaan melakukan pendekatan terhadap masing-masing situasi pasar secara terpisah dan membuat strategi yang tepat pada masing-masing pasar secara spesifik. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah melakukan penggabungan di antara keduanya (standarisasi dan adaptasi). Namun, penggabungan kedua perspektif tersebut belum memiliki bukti konkrit atas keberhasilannya, sehingga diperlukan adanya penelitian lebih lanjut. Di Indonesia, penggunaan Bahasa Inggris marak ditemui pada iklan-iklan online. Beberapa di antaranya juga telah melakukan standarisasi, adaptasi, maupun melakukan penggabungan di antara keduanya. Bahkan beberapa iklan cenderung memilih menggunakan Bahasa Inggris dibandingkan bahasa lokal meskipun konsumennya adalah masyarakat lokal. Dalam artikel ini penulis akan membahas penggunaan bahasa iklan pada tiga contoh iklan yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Iklan online dipilih karena bentuk iklan ini mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mencatat adanya kenaikan jumlah pengguna internet yang telah mencapai 82 juta di tahun 2014 dan akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya (www.kominfo.go.id). Oleh sebab itulah banyak perusahaan yang mulai gemar mengiklankan produk dan jasa mereka secara online. Di samping biaya yang relatif rendah, pembuatan iklan secara online juga dirasa lebih efisien karena dapat diubah sewaktu-waktu tanpa perlu menunggu edisi baru diluncurkan, sehingga perusahaan dengan mudah menentukan dan mengubah target pasarnya (Ronald & Barbara, 2002). Dalam artikel ini penulis akan melihat apakah penggunaan Bahasa Inggris, bahasa lokal, atau penggabungan di antara keduanya pada iklan online akan mempengaruhi respon konsumen terhadap produk yang dijual. Selain itu, apakah penggunaan ketiganya mempengaruhi pandangan masyarakat tentang kualitas produk yang dijual? Bahasa iklan manakah yang lebih menarik perhatian masyarakat? Iklan berbahasa Inggris, berbahasa Indonesia, atau iklan berbahasa campuran? Adaptation vs Standardization Diskusi yang membahas tentang pemilihan bahasa yang adaptif (menggunakan bahasa lokal) atau penggunaan bahasa yang distandarisasikan (menggunakan bahasa internasional, yaitu Bahasa Inggris) dalam iklan mulai menjadi pembahasan yang menarik. Jika bahasa dijadikan dasar dalam melakukan standarisasi maupun adaptasi dalam iklan, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah iklan yang telah distandarisasikan akan lebih persuasif dibandingkan dengan iklan yang menggunakan bahasa lokal? Gerritsen dkk (2007) telah membandingkan efek yang ditimbulkan dari penggunaan Bahasa Inggris pada iklan di Belanda, Jerman, dan Spanyol kepada wanita-wanita berpendidikan tinggi di ketiga negara
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
223
tersebut. Dari ketiga observasi yang telah dilakukannnya, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan atas perilaku konsumen terhadap bahasa iklan yang digunakan, baik bahasa lokal maupun Bahasa Inggris. Di satu sisi para responden beranggapan bahwa perilaku konsumen akan semakin positif apabila iklan disampaikan dalam bahasa lokal. Namun di sisi lain, penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan menjadikan produk yang disampaikan terkesan lebih moden. Dalam eksperimen yang berbeda, Puntoni dkk (2008) menunjukkan bahwa responden yang melihat iklan berbahasa lokal lebih memiliki ikatan emosional dibandingkan dengan ikatan yang ditimbulkan pada iklan berbahasa Inggris. Namun demikian, Krishna dan Ahluwali (2008) memiliki pandangan yang berbeda tentang penggunaan bahasa dalam iklan. Merujuk pada penelitian yang telah mereka lakukan, tipe peran perusahaan (multinasional atau lokal) dan tipe produk (barang mewah atau keperluan seharihari) akan menentukan keefektifan penggunaan slogan-slogan dalam iklan. Perusahaan multinasional yang mengiklankan barang-barang mewah (misalnya parfum) akan lebih diminati apabila menggunakan Bahasa Inggis, sementara itu iklan produk keperluan sehari-hari (misalnya detergen) akan diminati ketika disampaikan dalam bahasa lokal. Slogan berbahasa Inggris lebih diasosiasikan dengan kemewahan (sophistication), sementara slogan berbahasa lokal lebih diasosiasikan dengan kepemilikan (belongingness). Sehingga pada akhirnya, belum ditemukan banyak bukti yang diperoleh apakah bahasa iklan yang telah distandarisasikan akan lebih atau kurang positif dibandingkan dengan penggunaan bahasa lokal yanga dianggap adaptif. Peran Bahasa sebagai Simbolisme Produk Makna simbolis dari suatu produk dapat terbentuk dari berbagai aspek yang ditampilkan oleh produk tersebut. Salah satu aspek yang signifikan adalah bahasa, yang dalam penggunaanya dapat merepresentasikan nilai-nilai tertentu. Bagi Luna dan Peracchio (2001), code switching begitu efektif untuk menumbuhkan skema pemahaman dari bahasa yang berbeda. Horniks dan van Meurs (2013) mengambil permisalan dari slogan iklan mobil Audi “Vorsprung durch Technik.” Bagi mereka, bahasa Jerman mengindikasikan kesan inferential (tersirat), yaitu negara dengan teknologi mesin yang canggih. Oleh sebab itu, bahasa Jerman berperan sebagai slogan mobil Audi yang diproduksi oleh negara canggih di dunia. Karakter asosiatif tersebut membuat bahasa ini lebih efektif. Haarmann (1989) melihat bahwa terdapat keterkaitan positif antara tipe produk dengan bahasa asing. Dia meyakini bahwa negara Perancis begitu populer dengan produk mewah seperti parfum. Dari sudut pandang tersebut, Svartivik dan Leech (2006: 229) melihat lebih jauh bahwa fungsi bahasa tidak terbatas pada sisi komunikatif saja, namun bersifat emblematic (desain representatif dari suatu grup, tipe, kualitas, dll). Oleh karenanya, bahasa mampu menyampaikan pesan yang dalam meskipun disampaikan dengan beberapa kata dalam iklan. METODE Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah netnography. Netnography merupakan salah satu metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk melihat isu-isu yang berkenaan dengan kelompok dan nilai-nilai budaya yang terbentuk melalui interaksi sosial di dalam internet. Hal ini serupa dengan kutipan Kozinets (2010: 12) berikut: “Online communities form or manifest cultures, the learned beliefs, values and customs that serve to order, guide, and direct the behaviorof a perticular society or group”. Bagi Kozinet (2011: 262), netnography teradaptasi dari beragam karakter dalam jaringan sosial dan budaya online yang terekspresikan melalui komunikasi maya di komputer. Netnografi mengikuti tujuh langkah penelitian etnografi meliputi: perencanaan, koleksi data, interpretasi, dan representasi (Kozinet, 2010). Data yang diperoleh berupa testimonial dan hasil kuesioner online (mailing online signed-up testimonies). Data kemudian diinterpretasikan dengan melihat pemilihan diksi dan penerapanya pada konteksnya (sentence context meaning). PEMBAHASAN Dalam penelitian ini 15 responden memiliki peranan penting dalam mendeskripsikan iklan-iklan online yang telah dipilih. Para responden tersebut memiliki latar belakang pendidikan minimal SLTA. Pemilihan responden didasarkan pada tingkat konsumtivitas terhadap salah satu produk yang dikaji dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
224
penelitian ini. Rincian responden ditulis secara fiktif atau simbolis (nom de guerre) untuk menjaga kerahasiaan. Berikut kajian yang peneliti susun secara deskriptif terkait sisi responsif konsumen dari ketiga iklan yang dikaji. Ketiga iklan di bawah ini merupakan contoh iklan yang dikemas dalam model yang berbeda-beda dilihat dari segi penggunaan bahasanya. Ketiganya merupakan produk yang diproduksi di Indonesia oleh perusahaan lokal. Gambar 1 merupakan iklan minuman yang keseluruhan bahasanya distandarisasikan (menggunakan Bahasa Inggris). Sementara gambar 2 adalah iklan yang keseluruhan bahasanya menggunakan bahasa lokal (Bahasa Indonesia). Sedangkan gambar 3 merupakan iklan yang dikemas dalam dua bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia). Gambar 1. Iklan Berbahasa Indonesia
Gambar 2. Iklan Berbahasa Inggris
Gambar 3. Iklan Berbahasa Inggris dan Berbahasa Indonesia
Bahasa Iklan dan Nasionalisme Telah disampaikan di atas bahwa bahasa yang digunakan dalam sebuah iklan dapat menyampaikan suatu pesan kepada para konsumennya. Pada iklan berbahasa Indonesia (gambar 1) memungkinkan dimunculkannya sense of belonging (rasa memiliki) akan hasil rempah tanah Indonesia. Penamaan produk ‘Teh Pucuk Harum’ dan penggunaan slogan yang berbunyi “Rasa teh terbaik ada di pucuknya” dalam Bahasa Indonesia, secara inferensial mengindikasikan bahwa Indonesia adalah negara dengan hasil rempah (daun teh) yang berlimpah dan kualitas yang unggul di mata konsumennya. Oleh karena itu, kepercayaan bahwa iklan menyediakan makna simbolik kepada konsumen dalam mengidentifikasi dan membedakan diri mereka adalah benar adanya (Ghorban, 2012). Dalam wawancara dengan responden S dan L, mereka berpendapat bahwa iklan dalam Bahasa Indonesia cenderung menunjukkan sisi ke-Indonesiaannya. Iklan tersebut mendeskripsikan tentang produk teh yang dibuat oleh perusahaan lokal, dari hasil karya anak bangsa, dan dipersembahkan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan tersebut akhirnya mengarah pada bentuk nasionalisme konsumennya. K juga berpendapat bahwa nasionalisme tumbuh dengan subur apabila dipupuk setiap saat, di berbagai sisi kehidupan manusia, salah satunya adalah dengan penggunaan Bahasa Indonesia dalam iklan. K menambahkan bahwa produk-produk lokal yang dibuat menggunakan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
225
bahan baku lokal dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat lokal akan banyak diminati apabila disampaikan dalam bahasa setempat. Apabila disampaikan dalam bahasa internasional (Bahasa Inggris) kesan yang ditampilkan oleh iklan teh tersebut akan berbeda. Bisa saja konsumen berpikir bahwa bahanbahan yang digunakan adalah bahan-bahan impor yang kualitasnya bisa jadi di bawah bahan baku yang ada di Indonesia. Rasa teh yang ditawarkan tidak sesuai dengan lidah orang Indonesia atau harganya cenderung mahal karena iklan yang ditampilkan berbahasa Inggris (berstandar internasional). Lebih lanjut K mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam iklan teh tersebut diasosiasikan sebagai salah satu karakter nasional bangsa (negara penghasil teh) dan produk lokal yang merepresentasikan kekayaan negara. Sehingga sebagai orang Indonesia yang berselera Indonesia, maka para responden akan mengkonsumsi jenis produk yang diiklankan dalam bahasa lokal. Kelly-Holmes (2000) menyebut kondisi ini sebagai ‘languange fetish in intercultural advertising’. Selain itu K juga menambahkan bahwa iklan berbahasa Inggris akan lebih cocok apabila digunakan peda produk-produk yang berkelas dan mahal. Meskipun demikian, M berpendapat bahwa iklan berbahasa Indonesia tersebut hanya akan banyak diminati oleh orang Indonesia saja. Iklan-iklan dengan model demikian memang terkesan lebih tradisional dan diasosiasikan dengan produk-produk yang dikonsumsi sehari-hari dan cenderung kurang berkelas. Kemasan teh dalam botol dengan kisaran harga ± Rp 3.000,- merupakan sebuah produk yang terjangkau bagi masyarakat Indonesia dan dikonsumsi secara massal. Oleh karenanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa iklan berbahasa Indonesia dapat menumbuhkan perilaku nasionalisme yang menjadi dasar bagi para konsumen untuk membeli produk tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh Rawwas dkk. (1996) bahwa nasionalisme konsumen merupakan bentuk sentimen dan loyalitas konsumen terhadap negaranya, melalui efek yang signifikan dalam perilaku dan pembelian produk. Hal ini berarti bahwa konsumen yang memiliki nasionalitas tinggi akan lebih memilih produk-produk yang dibuat oleh produsen lokal dan menggambarkan karakter bangsanya. ‘Insight into the Unconscious Mind’ Istilah Insight into the Unconscious Mind menangkap bagaimana jika suatu iklan produk dapat masuk menyelami konsumen. Jika iklan berbahasa Indonesia, sebagai contoh, lebih diasosiasikan dengan nasionalisme yang tradisional dan konsumtif, lalu bagaimana dengan iklan produk berbahasa Inggris? Beberapa penelitian dilakukan untuk menemukan makna dari penggunaan bahasa Inggris dalam iklan. Beberapa di antaranya adalah: ‘simbol atas pertumbuhan urban’ (Graddol, 2006), ‘modernisasi dan internasionalisasi’ (Bhatia, 1992; Piller, 2003), ‘muda, dinamis, dan internasional’ (Gerritsen dkk., 2000), ‘prestise dan teknologi yang superior’ (Martin, 2002), ‘superior atas produk lokal’ (James & Hill, 1991). Nilai-nilai simbolik di atas merupakan nilai-nilai yang seringkali direkatkan dengan penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan. Gambar 2 merupakan salah satu contoh iklan online yang menggunakan Bahasa Inggris. Dalam iklan tersebut, perusahaan lebih menekankan penggunaan bahasa yang kurang familiar bagi masyarakat lokal. Kata ‘EIGER’ dengan slogan ‘The Real Adventure Gear’ menjadikan iklan tersebut terkesan sangat modern dan berkelas internasional. Seperti yang diungkapkan responden P, K, dan L yang menyatakan bahwa bahasa yang digunakan pada iklan tersebut diasosiasikan dengan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat internasional, berkelas, merupakan produk mahal, berkualitas tinggi, dan kehidupan yang modern. Meskipun demikian, penggunaan Bahasa Inggris dalam iklan tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat lokal. Responden P menyatakan bahwa dirinya tidak memahami seluruh arti yang disampaikan dalam iklan berbahasa Inggris tersebut. Baginya, kesan yang muncul dalam iklan tersebut adalah gambaran tentang modernitas dan produk berkelas internasional dengan berbagai karakteristik yang menempel padanya. Kata ‘gear’ merupakan kata yang tidak bisa dia deskripsikan artinya. Oleh karena itu, responden P melihat sebagian dari teks yang tidak dia pahami sebagai fungsi dekoratif saja, bukan fungsi komunikatif. Sudut pandang berbeda dari suatu iklan rokok diatas, dengan penekanan ‘Lead Now!’(berwarna merah) walaupun terkesan kontestatif, hal yang terjadi sebenarnya seolah mengesankan initial contact
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
226
(sentuhan awal) pada aspirasi suatu komunitas atau individu yang memiliki jiwa dan karakter-ayo sekarang harus maju, dan memimpin. Nasionalisasi dan Internasionalisasi Pilihan penggunaan bahasa iklan yang adaptif (bahasa lokal) atau penggunaan bahasa iklan yang terstandarisasi (bahasa internasional, Bahasa Inggris) ternyata tidak sepenuhnya menjadi pilihan yang paling tepat. Hal ini terbukti dari respon dan perilaku masyarakat terhadap kedua model bahasa yang digunakan dalam iklan-iklan di atas. Pilihan ketiga yang ditawarkan adalah penggabungan di antara kedua bahasa. Banyak perusahaan yang mulai menggunakan model ini. Gambar 3 merupakan salah satu contoh model penggabungan bahasa dalam iklan. Penggabungan dua bahasa yang dimaksud mampu menyajikan efek yang seimbang dan menghadirkan pandangan baru tentang konsep merk nasional dan internasional yang seringkali dimaknai sebagai level yang lebih moderat (Mantensel dkk., 2007). Namun, apakah cara ini efektif dalam menyampaikan pesan dalam iklan? Ternyata tidak selalu demikian. Penggabungan dua bahasa dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda tergantung pada budaya dan latar belakang pengetahuan konsumen terhadap bahasa asing. Permasalahan yang dihadapi hampir serupa dengan penggunaan bahasa internasional dalam iklan di mana konsumen tidak memahami arti yang disampaikan oleh iklan tersebut. Memang dalam penggunaan model ini dimungkinkan untuk merangkul kelompok konsumen yang lebih besar, namun konsumen lokal kadangkala memaknainya sebagai tindakan yang tidak menghargai nilai-nilai lokalitas dan kultural yang ada (Neelankavil dkk, 1994). Responden K menyatakan bahwa penggabungan bahasa dalam iklan pada gambar 3 membuat dia kehilangan makna secara keseluruhan. Kalimat ‘Lead now’ menjadi tidak sesuai dengan kalimat ‘Ambil Keputusan Tentukan Jalan’. Menurutnya, tidak ada hubungan yang jelas di antara kedua kalimat tersebut. Pemahaman K tentang penggabungan kedua kalimat tersebut memunculkan arti bahwa seorang pria harus tetap merokok meskipun ketika ada yang melarang dia harus tetap terus merokok. Responden L mengartikan kalimat dan gambar yang ditampilkan merupakan bentuk pembangkangan karena jika dipadukan dengan gambar yang ditampilkan, sang pria pada gambar tidak memiliki keselarasan arah dengan masyarakat di sekitarnya. Sementara itu, responden M mengartikan pesan yang dimuculkan dalam bahasa iklan sebagai bentuk pembedaan yang positif, di mana seorang pria harus menjadi pemenang dan harus mampu memimpin dengan cara yang berbeda. Munculnya berbagai macam pemahaman yang berbeda-beda menjadikan pesan iklan menjadi tidak tersampaikan secara paralel. Hal inilah yang kemudian menjadikan penggabungan kalimat tersebut menjadi tidak efektif. Pergulatan Periklanan Produk Kampanye suatu produk tidak lepas dari bagaimana respon dari pasar, khususnya para konsumen di suatu daerah tertentu. Sebagai faktor penentu utama tingkat penjualan suatu produk, konsumen juga memiliki andil dalam memberikan keputusan apakah suatu produk sebaiknya memiliki kekhasan karakter penjualan atau secara masif dikonsumsi oleh banyak orang. Salah satu responden M memberikan penegasan dalam sebuah dialog testimoninya: P: apakah jika produk ‘Teh Pucuk Harum’ dilabeli dengan bahasa Inggris anda akan tetap mencoba saat pertama membeli? M: awalnya saya akan melihat penjualanya di media TV, perusahaan yang memproduksi dan mungkin setelah itu akan saya coba. Namun kenyataanya tidak dalam bahasa Inggris dan tetap saya konsumsi karena karakter rasa dan kualitas rasanya. Pertimbangan responden M dari suatu produk lebih mengendepankan pada hasil uji rasa dan karakter kuat dari produk tersebut, sebaliknya pertimbangan pemilihan kata (lexical processing) sebagai bentuk visualisasi (promosi) produk tidak terlalu signifikan. Berbeda ketika peneliti mencoba menginterpretasikan ungkapan responden N (sebagai salah satu pendaki nasional): P: apa yang membuat anda betul-betul ‘Eiger lovers’?
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
227
N: saya sudah sejak awal memang pecinta Eiger-real adventurer-lah, walaupun kelasnya nasional namun kualitas internasional patut diacungi jempol. Kita bandingkan saja dengan produk internasional, Eiger secara nasional dari segi harga unggul dan kualitas pun juga bersaing secara internasional. Berbeda pada responden N yang melihat sisi pemilihan diksi kata yang familier (bersifat keakraban) yang memadu dengan karakter konsumen karena kualitas seorang penjelajah dipadu dengan kualitas pendukung, yakni produk Eiger-yang memenuhi kebutuhan penjelajah dari sisi kualitas, bahan, dan fungsi. Keakraban diksi dengan tingkat frekuensi tepat (tanpa adanya tingkat ambiguitas kata), dan tingkat akuisisi yang sesuai usia konsumen, berpengaruh pada interpretasi awal dari konsumen. Dari sudut pandang tersebut dalam kajian product campaign, terkait profit expansion, penekanan pada pemilihan diksi bahasa yang interaktif tidak lepas dari pertimbangan karakter konsumen terhadap suatu produk. Ketepatan penggunaan diksi tidak lepas dari bagaimana initial contact terjadi, aktivasi dan rekognisi, dan integrasi konteks-kapan dan bagaimana, begitupula pantauan atau kontrol terhadap perkembangan yang tidak menutup kemungkinan adanya faktor X untuk melakukan perubahan bahasa iklan. Aspek-aspek tersebut begitu penting sebagai pertimbangan, terlebih lagi ketika seting MEA sedang berkembang, prosentasi serapan keberhasilan sisi informasi suatu iklan produk menuntut pertumbuhan produk dengan pemilihan diksi yang harus akurat, dan cepat. SIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk melihat relevansi pemilihan dan penggunaan bahasa dalam iklan. Segi kebahasaan yang dimaksud adalah penggunaan bahasa yang adaptif (bahasa lokal), bahasa yang terstandarisasi (bahasa internasional, yaitu Bahasa Inggris), dan penggabungan di antara keduanya. Sebagai salah satu penggerak ekonomi, perusahaan memiliki peran penting dalam mengatur pola konsumsi masyarakat. Salah satu ujung tombak dalam melakukan product campaign adalah melalui kegiatan periklanan. Periklanan secara online menjadi sangat populer mengingat jumlah pengguna internet yang semakin tahun semakin meningkat. Oleh sebab itu, perusahaan harus menerapkan strategi pemasaran yang disesuaikan dengan kondisi pasar. Pemilihan bahasa dalam iklan dapat disesuaikan dengan jenis barang yang dijual, keadaan kultur masyarakat yang dituju, serta pertimbangan karakter atau pola masyarakat pengonsumsi produk. DAFTAR PUSTAKA Bhatia, T. K. (1992). Discourse functions and pragmatics of mixing: Advertising across cultures. World Englishes, 11, 195-215. De Mooij, M. (2005). Global marketing and advertising: Understanding cultural paradoxes (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Fill, C. (2006) Simply Marketing Communications. Harlow: Prentice Hall Gerritsen, M., Korzilius, H., Van Meurs, F., & Gijsbers, I. (2000). English in Dutch commercials: Not understood and not appreciated. Journal of Advertising Research, 40, 17-31. Haarmann, H. (1989). Symbolic values of foreign language use: From the Japanese case to a general sociolinguistic perspective. Berlin: Mouton de Gruyter Gerritsen, M. & Nickerson, C. (2010). Cross-cultural Brand Management and Language Choice. Response to the Use of English in Product Advertisements in Non English Speaking Countries in Western and Southern Europe. In Business developments Across Countries and Cultures, edited by Vrontis, D, Weber, Y, Kaufmann, R and Tarba, S. EuroMed Press, Nicosia, 439-455. Graddol, D. (2006). English next: Why global English may mean the end of ‘English as a Foreign Language’ Retrieved from:
. Hornikx, J., van Meurs, F., & Hof, R. J. (2013). The effectiveness of foreign-language display in advertising for congruent versus incongruent products. Journal of International Consumer Marketing, 25(3), 152-165. James, W. L., & Hill, J. S. (1991). International advertising messages: To adapt or not to adapt (that is the question). Journal of Advertising Research
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
228
Kelly-Holmes, H. (2000). Bier, parfum, kaas: Language fetish in European advertising. European Journal of Cultural Studies, 3, 67-82. Kozinet, R.V. (2010). Netnography. Doing Ethnography Research Online. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Kozinets, R.V. (2011) Netnografi – etnografiska undersökningar på nätet. Lund: Studentlitteratur Krishna, A., & Ahluwalia, R. (2008). Language choice in advertising to bilinguals: Asymmetric effects for multinationals versus local firms. Journal of Consumer Research, 35, 692-705. Luna, D., & Peracchio, L. A. (2005). Advertising to bilingual consumers: the impact of codeswitching on persuasion. Journal of Consumer Research, 31(4), 760-765. Neelankavil, J.P., Mummalaneni, V., & Sessions, D.N. (1994). Use of Foreign Language adn Models in Print Advertisements in East Asian Countries: A Logit Modelling Approach. European Journal of Marketing 29(4), 24-38. Nilvander, F., & Hyder, A. (2011). Adaptation in international service marketing: Standardization versus adaptation in Eastern Europe. NFF Conference School of Business, Stockholm University. August, Stockholm, Sweden Piller, I. (2003). Advertising as a site of language contact. Annual Review of Applied Linguistics, 23, 170– 183. Puntoni, S., De Langhe, B., & Van Osselaer, S. M. J. (2008). Bilingualism and the emotional intensity of advertising language. Journal of Consumer Research, 35, 1012-1025. Rawwas, M. Y., Rajendran, K. N., & Wuehrer, G. A. (1996). The influence of worldmindedness and nationalism on consumer evaluation of domestic and foreign products. International Marketing Review, 13(2), 20-38. Ronald, E.G. dan A.L. Barbara (2002). Consumer Response to Web sites and Their Influrnce on Advertising Effectiveness. Interet Research, 12 (4), 318-328 Svartvik, J, Leech, G. (2006) English – One tongue, many voices. Basingstoke: Palgrave Macmillan Vrontis, D., & Thrassou, A. (2007). Adaptation vs. standardization in international marketing–the country-of-origin effect. Innovative Marketing, 3(4), 7-20. Welch, D., Welch, L., & Piekkari, R. (2005). Speaking in tongues: the importance of language in international management processes. International Studies of Management & Organization, 35(1), 10-27.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
229
SASTRA
40 ‘TENTANG SEDIH DI VICTORIA PARK’: RAISING INDONESIANS’ AWARENESS ON MIGRANT’S LIFE THROUGH MIGRATION LITERATURE Aidatul Chusna Eni Nur Aeni Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Abstract: For decades, migrant worker has become a never ending issue in Indonesia. Sexual abuse, violence, overstay worker, illegal worker, minimum wage are some problems that Indonesian workers have to deal with. However, these issues do not get much attention from Indonesian government and Indonesian people as well. This paper is aimed at describing the plight of Indonesian migrant workers in host land as portrayed in migrant literature. ‘Tentang Sedih di Victoria Park’, which is written by Fransiska Ria Susanti, exemplifies migrant literature as it tells about the life of Indonesian Migrant workers in Hong Kong. Textual analysis is employed which focuses on the text itself. This paper focuses on the characters and their experiences as migrant workers in Hongkong depicted in the book. Keywords: migrant literature, alienation, prejudice, cultural identity, distress
INTRODUCTION Migration is becoming a trending issue in twentieth century, as Salman Rushdie (cited in Moslund, 2010:1) states that ‘mass migration, mass displacement, globalized finances and industries’ are the ‘the distinguishing feature of our time’. Scholars give more attention to issues of migration from various academic disciplines, including literature. Through its elements, like the story, the character, the setting, and many others, literature manifests migrants’ experiences in the host land. Migration Literature becomes a new type of writing which has its own formulas. Thematically, as mentioned by Frank Sorens (2008: 19), Migration Literature deals with human identity (personal, cultural, and national) with history and geography as the fundamental components. It describes how the migrant characters cope with migration differently, from the identity displacement which is ‘destructive, agonizing, and painful’ to the practice of migration and displacement as ‘productive, fascinating, and appealing’. Added by Moslund (2010, 4), another feature of Migration Literature is the highlighting of cultural hybridity, as the result of migrants’ positioning in between cultures, a process of intermixture fusions of two or more cultures. It deals with hybridity as a mode of representation which shows the complex, multiplicitious, and drifting propagation of identity in migration. In short, Migration Literature rewrites migrants’ identities in order to evoke the mixed and heterogeneous character’. Tentang sedih di Victoria Park is written by Fransisca Ria Susanti, a journalist who stayed in Hongkong from 2006 to 2010. In this book, she reported a lot about the life of woman migrant workers from Indonesia who faces various problems and obstacles during their stay in Hongkong.Victoria Park, which is a large and famous place located in the central of Hongkong City, is described not only as the place for those woman workers to let their fatigue go after doing a series of harsh works, but also as the field for them to struggle for their rights and better lives. This paper is aimed at describing issues related to their identity as woman migrant workers and how they survive and struggle against the injustices they have to receive as migrant workers in Hong Kong.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
230
METHODOLOGY This study employs a descriptive qualitative approach, as Denzin and Lincoln (Spencer and Snape, 2) define that qualitative research is: a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set of interpretive, material practices that makes the world visible. These practices ... turn the world into a series of representations including field notes, interviews, conversations, photographs, recordings and memos to the self. At this level, qualitative research involves an interpretive, naturalistic approach to the world. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or to interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. This study focuses on the migrant issues as the phenomenon discussed in the book. The characters and the stories told in ‘Tentang Sedih di Victoria Park’ becomes the main data. Moreover, some information in relation to Indonesian migrant workers are also used to support the analysis. DISCUSSION Through the stories of the migrant workers depicted in the book, issues related to gender identity occurred to almost every character of the book. The woman migrant workers in Hong Kong become the main source of income for the famiy, while their husband are taking role in looking after the children. Moreover, another gender issue found in the book is about their sexuality. Many migrant worker have same sex relationship with other migrant worker. They become lesbian since their husbands have betrayed them while they are away in Hong Kong. Another interesting issue discussed is about the migrant community which is present to help themselves overcoming their work related problems, especially those dealing with Hong Kong Law. Gender Identity Migrant worker is viewed as ‘shadow household’ tied to a core household through an implicit contract, whereby the household sends the migrant and the migrant sends remittance (Caces, et. all in Lindley, 2013: 322). This kind of connection is also experienced by the woman migrant workers in Hongkong. The majority of the women coming to Hongkong to work as domestic workers have the same purpose. They want to escape from complex financial condition which is identical with poverty. Most of them are trapped in an unremitting debt. Such situation triggered them to find a quick solution to overcome the problem, and going to a country that can accept them to work as domestic workers is assumed as one of the most effective solutions. In this case, those women take the role which in Indonesian culture is commonly on the man’s shoulder as the breadwinner for their family. Those women are willing to be in such situation due to some reasons. One of the most crucial ones is their children. Most of them want to give a proper life condition for their children. They decide to exchange their responsibility with their husband. The role of taking care of their children is done by their husband while they are away from home to get the money. Their absence in the household is replaced by the remittance they send. Thus, remittance has not only economic, but also sociocultural significances. Bryceson and Vuorela argue that remitting can be viewed as a form of relational work, as a way to maintain a sense of familial and social relation, affectionate relationship in the absence of face-to-face interaction within the family, as well as an act of altruism. (Lindley, 320) Beside the shifting role in the household, ‘Tentang Sedih di Victoria Park’ also talks about migrants’ sexuality. The author portrays the same sex relationships between woman migrant workers. Escapism is one of the reasons for choosing becoming a lesbian. Their husband who is expected to take care of the family life has affair with another woman or even gets re-married. They throw around the money sent by their wife instead of using it for financial support. Such shocking experience send them back to Hongkong and make them try to find an escape from feeling hurt.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
231
Community Building Working as domestic workers in Hong Kong, woman migrant workers deals with various problems. They are often treated unkindly and even brutally. Many of them are tortured by their landladies just because their work performance does not meet their landlady’s expectation. Some of them are also sexually abused by their landlords and even almost being raped. Moreover, local people often despise them. These migrant workers are considered as lower class due to their profession as domestic workers. The local people commonly treat them in an unfriendly way anytime they meet women with “Indonesian face”. This situation even happens to the author when she visited an Indonesian who was hospitalized. At that time she was together with some Indonesian workers in an escalator. Inside, there was a local woman who felt trapped among the “dirty” women. During their time inside the escalator, she kept closing her nose with one hand and waving her other hand as if she tried to drive out the bad smell coming out from the Indonesian women bodies. Of course this is so insulting for the author, but the other women then told her that it commonly happens there, and they have already been so familiar with such behavior. Another example is told by the author that there is a situation in a public transportation. In that vehicle there is a woman who is not willing to take an available seat just because it is beside a domestic worker. She prefers to keep standing rather than to take a seat beside that woman. From those examples, it is seen that they are treated really unkindly As normal people, of course they will react to such situation. For the migrant workers; however, they can only accept the mistreatment without fighting back. The only thing they can do is just sharing with other workers. Victoria Park becomes a favorite place for Indonesian workers to meet up when they are on holiday. From this gathering, they could share information and knowledge about various issues experienced by them. They could find some positive ways and take the advantages of having big number of Indonesian people who work in Hong Kong. Victoria Park becomes a symbol of home for migrant workers. Alfred Schutz (cited in Werbner, 2013: 106) states that ‘to feel at home’ is an expression of the highest degree of familiarity and intimacy’. The weekly agenda indicates that they find familiarity and intimacy through their gathering with other Indonesian migrant workers. Using Javanese language, these migrant workers are creating their ‘homeland’ in Victoria Park. Beside doing their job as domestic workers, some of smart workers who have critical thinking start to express their position and establish some organizations that mostly are aimed at helping those who have problems and facilitating those who want to express their “hidden” skill, talent and ability. Such idea result in some prospective activities such as rising fund for building shelters to accommodate foreign workers who are jobless in Hongkong, being involved in some international events discussing about the rights of foreign workers, and even there are some communities that accommodate those who have skills in writing. From that community, there are born some talented authors who write poems, articles, short stories and even writing scripts for movies. This at least can be counted as a good sign that in the future, it is expected that the Indonesian workers in foreign country will be smarter and pay more attention to their rights, so that they will be accepted as skilled workers. And certainly, it will lead them to a better life. CONCLUSION ‘Tentang Sedih di Victoria Park’ presents issues of gender identity and community building among the woman migrant workers in Hong Kong. These migrant workers reflect the changing role of woman in household. Through their remittance sent to the family, they are taking the role as the breadwinner, while their husbands are taking care of their children. Moreover, their remittance also has sociocultural function. It signifies their familial affection due to their absence from the family. The book also portrays the migrants’ sexuality. Some of these women choose to have same sex relationship. They choose this type of romance as escapism from their husbands’ betrayal. Another important thing discussed in the book is the community built among the workers. Living far from home and experiencing the hardship as domestic workers, these women find sisterhood and
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
232
family among themselves. Their weekly meeting at Victoria Park develops into a community which help themselves dealing with their problems and gain their rights as workers. REFERENCES Jenkins, R. (2004). Social Identity. London: Routledge Lindley, A. (2013). “Diaspora and Trnasnational Perspectives on Remittances”. In A Companion to Diaspora and Transnationalism.Quayson, Ato and Girish Daswani (Ed.). Oxford: Willey Blackwell Manthovani, R. (2015). Pemulangan TKI illegal di Hongkongdan Macau: Kebijakan versus Realitas. http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/130905-pemulangan-tki-ilegal-di-hong-kong-danmacau-kebijakan-versus-realitas.html. Retrieved on May 1, 2016 Moslund, S.P. (2010). Migration Literature and Hybridity. Hempshire: Palgrave Macmillan Ryan, M. (2010). Cultural Studies: A practical Introduction. Oxford: Wiley-Blackwell Publishing Soren, F. (2008).Migration and Literature. NY: Palgrave Macmillan Snape, D, and Spencer, L..(2003). In Qualitative Research Practice.Jane Ritchie and Jane Lewis (Eds.). London: Sage Publications Susanti, F.R. (2013). TentangSedih di Victoria Park. Bandung: NuansaCendekia Werbner, P. (2013). ‘Migration and Transnational studies: Between Simultaneity and Rupture’. In A Companion to Diaspora and Transnationalism.Quayson, Ato and Girish daswani (Ed.). Oxford: Willey Blackwell Weedon, C. (2004). Identity and Culture: Narratives of Difference and Belonging. NY: Open University Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
233
41 NILAI BUDAYA DALAM SASTRA LISAN PANJI LARAS DI DESA MADEGAN SAMPANG Anisa Fajriana Oktasari Universitas Madura Abstrak: Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata dilakukan sejak kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan yang terus melekat pada masyarakat era modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi berikutnya. Penelitian ini menggunakan teori nilai budaya, yaitu menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai pandangan dalam permasalahan kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Nilai Budaya dalam Sastra Lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang?” Tujuannya untuk memperoleh deskripsi objektif tentang nilai budaya dalam sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah informan KH. Ihksan Mawardi Dohri dengan teknik wawancara. Metode penelitian yang digunakan adalah metode observasi, perekaman. Dari hasil analisis data tentang nilai budaya dalam sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Peneliti dapat menarik simpulan sebagai berikut: nilai kenyataan (kebanaran). Kata Kunci: Nilai Budaya, Cerita rakyat
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kebudayaan lahir turun temurun dari nenek moyang. Kebudayaan sabung ayam ternyata dilakukan sejak kebudayaan nenek moyang kerajaan–kerajaan Hindu-Budha berkembang. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya sastra lisan Panji Laras yang di dalamnya bercerita tentang kebudayaan yang terus melekat pada masyarakat era modern. Sastra lisan Panji Laras di Desa Madegan, Sampang merupakan salah satu bentuk sastra lisan meliputi tradisi sastra yang pewarisan dan perkembangannya dilakukan secara lisan dan turun-temurun sampai pada generasi berikutnya. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1). Kajian sastra lisan termasuk kajian foklor. Foklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantaranya kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat. (Pusposari, 2011: 1). Pada umumnya sastra lisan tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan yang jauh dari perkotaan, walaupun demikian hal ini bukan berarti bahwa sastra lisan tidak terdapat di dalam masyarakat yang telah mengenal tulisan, hanya peranannya tidak sebesar di dalam masyarakat yang belum atau sedikit mengenal tulisan. Di Desa Madegan memiliki cagar budaya yang melekat di hati masyarakatnya. Madegan adalah pusat pemerintahan dari kerajaan Madura yang ada di Sampang, di Desa Madegan ini juga terdapat buktibukti atau benda peninggalan yang berhubungan dengan cerita Panji Laras. Benda yang ada di Desa Madegan merupakan benda yang sangat berarti bagi masyarakat Madegan, karena benda tersebut merupakan bukti tentang keberadaan kerajaan pertama di Madura. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
234
Bagaimanakah nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang? Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penalaahan dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengamatan dan wawancara dan sastra lisan cerita panji laras di desa madegan sampang dianggap cerita lisan yang perlu adanya pengamatan, perekaman, pencatatan, wawancara mendalam dan teknik pengalihan wacana dari lisan ketulisan. Analisis Data Secara Induktif Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif karena analisis induktif lebih dapat menemukan pengaruh bersama dan mempertajam hubungan-hubungan dalam konteks penelitian ini adalah untuk mempertajam hubungan-hubungan fokus yang dikaji yaitu nilai budaya dalam sastra lisan cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Teori dan Dasar (Grounded Theory) Penelitian kualitatif menghendaki arah bimbingan penyusunan teori subtantif yang berasal dari kata. Dalam penelitian ini menggunakan teori yang telah disusun secara sistematis yang menyesuaikan dari data yang dikaji. Deskriptif Mengutamakan deskripsi, dengan kegiatan antologis. Data yang dikumpulkan dan dimaksudkan untuk memberikan gambaran sewajarnya dari objek kajian. Dalam penelitian ini, data diidentifikasi dan diklasifikasikan menurut fokus kajian, setelah itu diberikan intrepretasi atau gambaran sewajarnya sesuai dengan fokus kajian yaitu nilai budaya. Teori Budaya dapat dibedakan antara kata “budaya dan kebudayaan”, tapi dalam ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama (Soelaeman, 2005:2). Secara etimoligis kebudayaan berasal dari kata Sanskerta Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi berarti budi atau akal. Kata kebudayaan mempunyai arti yang sama dengan Culture yang berasal dari kata latin Colere, yang artinya mengolah, mengerjakan, meyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Koentjaraningrat (dalam Sukidin dkk, 2003:4) mendefinikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” dan “daya” yang berarti cinta, karsa, dan rasa (Setiadi, dkk, 2006:27). Koentjaraningrat (dalam Widyosiswoyo, 1993:33) meyebutkan paling sedikitnya ada tiga wujud kebudayaan yaitu: 1) Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. 2) Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Sebagai benda-benda hasil karyanya Abrams menyatakan bahwa (dalam Sudikan, 2001:6) pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. PEMBAHASAN Nilai Kenyataan (kebenaran) Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran beberapa cara di tempuh untuk memperoleh kebenaran. Di dalam kehidupan nilai-nilai harus di junjung tinggi terutama nilai kebenaran, kadangkala sebagian orang tidak memikirkan hal itu, mereka hanya memikirkan diri sendiri tanpa melihat disekitar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
235
kita ada mahkluk lain yang ingin dipelihara layakya manusia tanpa harus disakiti dan dianiaya. Hal ini terdapat pada cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saamponna pan berempan arè tellor gelle’ teddes ajâm sè bhâgus. Ajâm gelle’ è berri’ nyama Cendi Laras sareng èbhuna. Ajâm gelle’ bhânarè èkèbhâ amaèn ka alas sambi èlatè sareng Panji Laras” (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:1/6) Kebenaran tercermin di dalam tingkah laku tokoh bernama Panji Laras yang senantiasa merawat ayam peliharaanya dengan sepenuh hati dan kasih sayangnya sehingga dia memberikan nama kepada ayamnya dengan nama Cendi Laras. Pada kenyataannya di lingkungan persabungan ayam tidak hanya anak remaja yang senantiasa menonton atau ikut andil di dalam pertandingan ayam akan tetapi seseorang yang sangat dewasa kakekkakek juga ikut menonton. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saampona ajâmma èyaddhu pas ajâma mosona è pakala kabbhi pas Emba gelle’ atanya polè dâ’ Panji Laras “tojjuna bâ’na èntara dâ’ emma nak?” Panji Laras ajâwâb “tojjuna kaulâ nyarèa ajâm sè lebbi koat dâri sareng ajâm kaulâ terros kaulâ nyarèa rama kaulâ”. O..bâdâ nak iye arèa ajâmma Adipati Aryo Wiraraja sè bâdâ è Sorbâjâ. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/2). Mengadu ayam di zaman dulu sudah marak dilakukan dan dijadikan kebiasaan, tidak hanya dikalangan remaja dewasa, orang yang sudah tua pun juga ikut-ikutan andil di dalam tontonan seru sawung ayam dan kebiasaan orang zaman dulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat masa kini khususnya di daerah Madegan Sampang dan wilayah madura pada umumnya. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun daya cipta dan karya manusia berdasarka proses kebiasaan yang dilakukannya secara turun-temurun. Seringkali seseorang mengadakan kesepakatan bersama sebelum melakukan pertandingan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran supaya di akhir pertandingan tidak ada penyimpangan. Hal ini juga terdapat di dalam cerita Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Adipati Aryo Wiraraja peggel Adipati Aryo Wiraraja atanya “anoapa bâ’na dâteng dâ’ enna’ bân tojjuna apa?” kaulâ terro ngaddhuwâ tang ajâm jâwâbbâ Panji Laras sambi mèsem, dengan salèra kaku Adipati Aryo Wiraraja ta’ nola’ tantanganna tapè Adipati Aryo Wiraraja ngajuaghi parjanjiyân, mon ajâmma Panji Laras sè mennang bi’ sèngko’ è berri’na hadiya sèaropa pèssè emmas, tapè mon tang ajâm sè mennang bâ’na kodhu toro’ oca’ apah sè èkaparènta engko’. Tabâren jârèya Panji Laras ta’ nola’ alias saroju’. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/3). Seorang Adipati Wiraraja membuat kesepakatan kepada Panji Laras sebelum pertandingan ayam dilakukan biar nanti sesudah pertandingan tidak terjadi kekacauan. Tidak hanya dikehidupan nyata di dalam sebuah cerita juga terdapat kenyataan (kebenaran) yang dibuat seseorang itu akan terbawa dalam kehidupan sekarang ini. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Nangèng nyatana saampona èyaddhu ajâma Panji Laras sè mennang. Akhèrra prajurit kerajaan Adipati Aryo Wiraraja bânnya’ sè ngallè pas noro’ Panji Laras molè ka alas. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:2/4). Kesepakatan yang dibuat Adipati Wiraraja harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya demi menjunjung tinggi nilai kebenaran di dalam sebuah kebiasaan yang diadakan oleh Adipati Wiraraja. Di dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tidak mungkin tanpa kebenaran. Segala sesuatu yang berkaitan dengan ide-ide maupun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
236
daya cipta dan manusia berdasarkan proses kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Seringkali seseorang mengikuti sawung ayam dan ayamnya selalu menang pastinya banyak orang yang kagum pada ayam yang tergolong kuat dan biasanya nama dari si pemilik ayam juga ikut terkenal di kalangan orangorang penyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Sajân abit pangèkotna Panji Laras sajân bânnya’ polana sènneng dâ’ ajâmma Panji Laras. Sèllang pan berempan bulân, Panji Laras ollè sorat undangan kahormadhân dâri istana kerajaan Adipati Aryo Wiraraja undanganna sèamonyè masalah sayèmbara sabung ajâm. Pas kalagghuna Panji Laras pamèt dâ’ ka èbhuna kalabân nèat hadir dâ’ sayèmbara ganèko. Saampona dâpa’ ka arèna sabung ajâm, langsung èyund, terros kabenderren ajâmma Panji Laras amoso sareng ajâmma kerajaan Bali. Ternyata saampona èyaddhu mennang ajâmma Panji Laras (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:3/1). Lantaran ayam Panji Laras selalu menang dalam sawung ayam sehingga banyak orang yang senang kepada ayam Panji Laras, mereka yang kagum dengan ayam Panji Laras bersedia menjadi pengikut Panji Laras dan nama Panji Laras pun juga ikut dikenal sebagai pemilik ayam jago yang kuat juga tangguh. Tidak jarang Panji Laras mendapat surat undangan untuk mengikuti sawung ayam. Kebiasaan seseorang yang dirasa sejalan dengan hati rohaninya akan terbawa di dalam pergaulan sehari-harinya walaupun orang itu dalam keadaan susah sekalipun dia akan berusaha menyelipkan ditengah kesibukannya hanya demi memelihara dan menyawung ayam. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Samarèna jârèya Panji Laras èparèngi pakon ghuruna sè asma èpon Mbah Sabelang, èparèngi pakon nyebbaraghi ajhârân aghâma islam è daèra Pasuruan, polana èka’ dissa bâdâ bèntèng bâlândhâ sèrammè kabârrâ pareppa’na ghanèka kadhâddhiyân pembhunoan dâ’ Untung Sanopati, mèlana dâri ka’dinto Panji Laras bân Mbah Sabelang langsung ka Probolinggo teppa’ èdhisa Bantaran. Sabbân arèna Panji Laras èngghi ka’dinto dâ’emma’a saos pagghun ngeppe’ ajâm, saèngghâ èdhimma’a bhâi Panji Laras ngoladhi orèng neggu’ otabâ ngaddhu ajâm, Panji Laras pastè matabâr ajâm jagona onto’ èsabung tapè sabelluna èsabung Panji Laras ngajhuaghi parjhanjiyân, (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:4/4). Walaupun Panji Laras dalam keadaan terontang-anting dalam menjalankan tugasnya yaitu berdakwah menyebarkan agama islam dia menyempatkan kebiasaannya menyawung ayam, akan tetapi menyawung ayam disini hanya sebagai sarana dan prasarana dakwah untuk menislamkan para pesawung ayam yang marak sekali pada waktu itu. Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran tanpa melaksnakan konflik kebenaran, manusia kan mengalami pertentangan batin, karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan (kebenaran) dalam hidupnya yang dimana yang selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Hal ini juga terdapat dalam cerita lisan Panji Laras di Desa Madegan Sampang. Berikut kutipannya: “Saampona ollè aontaon è daèra Pasuruan, akhèrra èkèding bi’ kompennè bâlândhâ. Terros bi’ masyarat Probolinggo èsoro ngallè dâ’ daèra laèn. Akhèrra Panji Laras bân Mbah Sabelang ngallè dâ’ Situbondo teppa’ è daèra Kendik, èdissa Panji Laras bân Mbah Sabelang sapartè biasa ngala’sanaaghi tojjhuna èpon ènggghi ka’dinto nyebbereghi aghâma islam kalabân cara nyabung ajâm sè ngangguy kasapakadhân tertanto. (KH. Ikhsan Mawardi Dohri, 2010:5/1). Bahwasanya di dalam menegakkan kebenaran kadangkala seseorang harus terontang-anting demi menyampaikan kebenaran itu kepada sesorang yang banyak menyimpang dari kebanaran walaupun dengan jalan menyabung ayam.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
237
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data tentang nilai budaya dalam cerita Panji Laras di desa Madegan Sampang yaitu nilai kenyataan (kebenaran), Nilai kenyataan (kebanaran) yakni nilai yang tercermin di dalam sikap atau tingkah laku seorang tokoh Panji Laras yang senantiasa memelihara dan menyawung ayam, hingga dijadikan sarana dan prasana dalam proses pencarian ayah kandungnya dan sebagai alat untuk berdakwah menyebarkan agama islam. DAFTAR PUSTAKA Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Komda Jatim. Pusposari, Dewi. (2011). Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran. Setiadi, Elly. (2006). Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Prenadamedia. Sudikan, Setya Yuwana. (2001). Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana. Sudikin. (2003). Pengantar Ilmu Budaya. Surabaya: Intan Cendikia. Soelaeman, Munandar. (2005). Ilmu Budaya Dasar. Bandung: PT. Renika Cipta. Widyosiswoyo, Supartono. (1993). Ilmu Budaya Dasar. Bogor Selatan : Ghalia Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
238
42 MATERIALISM IN D.H. LAWRENCE’S“THE ROCKING-HORSE WINNER” A.M. Aziz Hardono STIBA “Satya Widya” Surabaya Abstract: The idea of this paper belongs to the topic of literature for humanity. Materialism, reverberation and cerelity are, at least, the three main features of modernity. These characteristics are portrayed in a short story written by David Herbert Lawrence of Great Britain “The Rocking-Horse Winner”. Hester, one of the major characters, is depicted as a materialistic woman because of her greed of wealth, greed of power, fear of malevolence, cruelty, and ruthless sacrifice. The uproar of modernity is demonstrated by the mad, loud and repeated whisper “There must be more money” in Hester’s house and the haste of modern life can be seen in Hester’s willingness to get five thousand pounds at once on her birthday while, actually, it is planned to be given to her for the next consecutive years. Hester is in debt. The absence of spiritualism in Hester’s life is due to the absence of love in her turned-to-stone heart. She never admits that her son Paul has luck , but she enjoys the results of his undertakings with his rocking-horse to get money for her. She loses her humanity and she never stops for a moment to contemplate the true meaning of life. It is true that D.H. Lawrence successfully portrayed his own society of his time in the short story but it has universal values which transcend generation, place and time. This paper, then, is within the framework of sociology of literature. Keywords: Materialism, Spiritualism, Modernity, Sociology of Literature
INTRODUCTION In 1915 D.H. Lawrence, a British short story writer, used the metaphor of disease to describe the pestilential influence of money upon both the individual and his society (Bloom and Bloom, 1969: 3745). Even the theme of his short story “The Rocking-Horse Winner” is related to the corrupting and killing effects of money and other gross forms of materialism upon the so-called civilized modernity (ibid., 374). In this particular story D.H. Lawrence disclosed a character named Hester as a materialistic woman. This does not necessarily mean that only women are the materialistic ones, but it happens that in the story Hester becomes one of the major characters that deserves full character development from Lawrence. In the theory of sociology of literature, literary works, Laurenson and Swingewood (1971:91) point out, do not arise autonomously, but are connected with a number of social factors determining their genesis, form, and content. These factors include the type and economic level of society in which the writer is working, the social classes and groups to which he belongs or with which he relates directly or indirectly, the character of his audience, sponsorship, and patronage, the literary tradition in which he works and his own psychology. Any comprehensive study in sociology of literature must consider some of these variables. And indeed some of these points are covered up in this paper. To judge whether or not someone is materialistic, Rabindranath Tagore’s essay “Woman” can be put into consideration. In this essay, Tagore discusses the spiritual and material aspects of human’s life, especially Woman’s. Part of the essay depicts how the woman of the Western world suffers from a certain restlessness apparently because women “condemn the things that are commonplace”. In fact, Tagore argues, spiritually, the everyday life has invisible beauty of the commonplace on which people have to use their sensitivity to depend to realize its wonders. If people can see beyond the surface, they will find that the world in its commonplace aspects is a miracle. People realize this truth intuitively through the power of love. The absence of love signifies the absence of spiritual life. What remains is just materialism which is characterized by greed of wealth, greed of power, fear of malevolence, cruelty, and ruthless sacrifice (pp. 432-5).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
239
Iyubenu (2016) offers a solution to the reverberation and celerity of modernity. These two might prevent people from finding out the beauty of the commonplace of day-to-day life. Iyubenu suggests people to stop and rest for a moment to contemplate the meaning of life. For years people’s conscience has been put aside, whereas they are completely aware that that attitude siginifies the loss of humanity. In George Orwell’s words, Iyubenu continues, human being who is not fully humane is never more important than animal which is never beastlier than other animals. SYNOPSIS Hester is a beautiful and rich woman, but there is no love in her heart. She cannot love her children though people think she adores them. She lives in a pleasant and stylish house, but she always feels anxious in it because she always has the grinding sense of the shortage of money. Thus, she decides to do something, but she does not know where to start. She racks her brain and tries this thing and the other, but she cannot find anything successful. The failure makes deep lines appear on her face. Hester feels that there must be more money. This is because, among other things, her children must go to school. Her feeling is demonstrated in the story by a strange, noisy and repeated voice: There must be more money! There must be more money! Everyone in the house hears this voice but no body is sure where it comes from. She has a great belief in herself, but she does not succeed any better and her tastes remain expensive. Hester feels that she is the poor member of the family because in her opinion she got married to an unlucky husband. According to Hester, it is better to be born lucky than rich because if a person is rich then he may lose his money, but if he is lucky then he will always get more money. To Hester, luck is what causes someone to have money, but she does not know what it is and she thinks no one ever knows why one person is lucky and another unlucky. Hester does not trust her son Paul when he tells her that he is a lucky person because he knows what causes him to have money. Paul himself knows that his mother does not believe him and does not pay attention to his assertion. This angers Paul and thus he insists on compelling her attention. Hester gets a letter from the family lawyer telling about a present of a thousand pounds for her birthday for five successive years. Without her awareness, the birthday present is actually from her son Paul. She goes to town and has a long interview with the lawyer. She wants to get the whole five thousand pounds at once, whereas the money has been planned to be given to her a thousand pounds at a time on her birthday for the next consecutive five years. To this Paul has no objection. Hester asks Paul to go to the seaside to calm down his nerves and to forget the gambling on horse races. Paul refuses. Hester’s voice becomes heavy when she is opposed. She has a plan to make Bassett, the gardener, stay away from Paul because Paul asks Basset’s help to bet. In addition, she will ask her brother Oscar, Paul’s uncle, not to talk racing to Paul. Hester finds Paul’s health condition critical. Bassett wants to visit Paul. First, Hester is angry, but on second thought she lets him see Paul. Bassett informs Paul that he is successful in winning over eighty thousand pounds. Paul tells his mother that he is a lucky person because he gets that much amount of money. Hester has actually turned into a stone-hearted woman. Even in this critical moment she does not believe her son’s statement that he is a lucky person. Therefore, her son passed away that night. Hester’s brother addresses her ‘a poor devil’ and thus Paul has ‘best gone out of a life where he rides his rockinghorse to find a winner’. DISCUSSION D.H. Lawrence portrays the absence of love in Hester’s heart through the narrator’s description “Only she herself knew that at the center of her heart was a hard little place that could not feel love, no, not for anybody” (p.439). It can be seen here that Hester does not have love for human being. It can be inferred here that what she loves is only the materials. This is the reason why she cannot love her children and why she cannot love her husband. It is true that people think she is a good mother because she adores her children, but only she herself and her children themselves know it is not so. Also, it is true that she got married for love, but then the love turned into dust, the love ended.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
240
The manifestation of Hester’s feeling in the form of an unspoken but uproarious voice There must more money! There must be more money! (p.439) indicates the reverberation of modern life. The voice even gets a lot noisier after Hester gets five thousand pounds all at once on her birthday. It turns into a thrilling and screaming ecstasy “There must be more money! Oh-h-h; there must be more money. Oh, now, now-w! Now-w-w-there must be more money!—more than ever! More than ever!” (p.449). This signifies the deteriorating dissatisfaction of a modern person with the abundant material gain he/she has got easily, without much hardship. Hester is actually a never satisfied woman. Working as a maker of sketches for drapery advertisement, she earns several hundreds, but again she is dissatisfied. Hester’s willingness to have five thousand pounds at one time brings out the hurry of a modern person living his/her life. Her only reason to own such a willingness is “she was in debt” (p.449). This reason, in fact, is difficult to accept because debt has its own determined due-date. The story itself very likely does not mention when the due-date is. Therefore, it can inferred that Hester just makes the reason up. The actual reason that she has in mind is likely that she wants to have more and more money. This does not go hand in hand with why Paul intends to grant such a birthday present to her mother. She would like her to “have anything nice” (p.448) for her birthday nor for her debt. Hester’s greed of wealth is brought out by her own speech to her son Paul “…it’s better to be born lucky than rich. If you’re rich, you may lose your money. But if you’re lucky, you will always get more money” (p.440). This speech shows the way Hester thinks about being lucky. She herself actually desires more money. It indicates her greed of wealth. She thinks she is not really lucky because she married an unlucky husband. Therefore, she decides to do something to get more money, but she does not know where to start. Finally she goes to town nearly every day to work secretly in her friend’s studio. This friend of hers, who is an artist, earns several thousand pounds while Hester only makes several hundreds. She is dissatisfied. She really wants to be first in something, but she is not successful. Hester’s dissatisfaction with her income proves more about her material greed. Her greed of power can be noticed in the narrator’s description of Hester “her voice becoming heavy when she was opposed” (p.450). The way Hester reacts to Paul’s refusal to go to the seaside delineates her desire to control him. Not only does Hester want to have power over Paul but also to Basset and Oscar. This appears in Hester’s speech to Paul “I shall have to send Bassett away, and ask Uncle Oscar not to talk racing to you” (ibid). In this case, Hester desires to have control over her son, her brother, and her inferior. Hester tends not to look at her own self. She should have considered thinking about what she herself can do so as to make Paul’s health condition better rather than putting the blame on others. Hester’s speech also indicates that she is afraid of others’ malevolence to Paul. She is afraid that Bassett and Oscar will do evil or cause harm to Paul. This is based on her experience with her parents. In the past, her family was a gambling family. It caused damage to the family. Hester herself confesses before Paul that the gambling “has done damage” (p.450). This means that the gambling has caused damage toward Hester. It is no wonder that now Hester concentrates so much on achieving material gains. Her cruelty is shown in Hester’s speech to Paul when his health condition is critical “No, you never did” (p.453). She does not believe that Paul is a lucky person because he knows and succeeds in getting a lot of money. Even in such a critical health condition and no matter how hard Paul is trying to prove the accuracy of his statement, she still does not believe him. This is because according to the narrator that “her heart had gone, turned actually into a stone” (p.453). Hester’ materialistic way of life causes ruthless sacrifice. The sacrifice can be seen in the death of Paul. The narrator describes this in “the boy died in the night” (p.453). Paul is sick and very disappointed because his sacrifice for his mother is not appreciated at all by her. Therefore, according to his uncle Oscar, death is the best thing for Paul. Life in his house is ruthless. Hester’s cruelty and ruthlessness signify that she is not humane. This has something to do with the use of horse in the story. Hester is ridden by a “horse” or an animal spirit within herself. Therefore, she has no compassion towards others, including her own offsprings. This is in contrast with what happens to her son Paul. He is the winner of his rocking-horse. It means he is the person who rides his
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
241
“horse” within himself to be the champion because he is concerned with his mother and he wants to make his mother happy. D.H. Lawrence, in fact, does not only use Hester to describe his society. Even Hester and all members of her family have materialistic way of life. Lawrence uses only one family because society starts from a family and family is the smallest unit of society. The motive of this family is that they “felt themselves superior to anyone in the neighborhood” but their income is “not nearly enough for the social position which they had to keep up” (p.439). Lawrence presents this motive at the beginning part of the story to bring out paradox in materialism. The paradoxes can be noticed in the way Lawrence delineates Hester. She is beautiful but she does not have love for anyone; she is rich but she is greedy of wealth; she has power to control her inferior but she is afraid that the inferior will do something bad to the member of her family; she tries to show her motherhood inclination by sitting next to her sick son but she fails to appreciate what he has done for her and other people consider her a good mother but her own brother regards her as a poor devil. CONCLUSION Theories of materialism and spiritualism are significant in portraying Hester as a materialistic woman. Such character portrayal contributes to the deeper understanding of a literary work. As a part of a materialistic society, Hester fails to become a sane and spiritual individual. As a matter of fact, the existence of spiritualism lies there in her own heart. Her failure to follow it results in the deteriorations of both herself and the people she is supposed to love. It is fair then to conclude that materialism is paradoxical. The framework of sociology of literature enables the understanding of the socio-origin of the story, its language, and its theme. As a writer, D.H. Lawrence was directly or indirectly related to his society. Such a materialistic society very likely inspired him to create the story. Materialism does not merely belong to the modern age. Just because modernity exists in D.H. Lawrence’s “The Rocking-Horse Winner”, it does not necessarily mean that materialism cannot occur in other eras. It is the human character, especially in terms of consciousness and unconsciousness, which determines whether or not somebody is materialistic. Therefore, further analysis of Hester as a materialistic woman can make good use of psychoanalytic theoretical frameworks. BIBLIOGRAPHY Bloom, Lillian D. & Edward A. Bloom. (1969). The Variety of Fiction: A Critical Anthology. New York: The Odyssey Press. Iyubenu, Edi A.H. “Kesunyian Laut di Dalam Batin”/“Stillness of the Sea in the Heart” (Article) p.4 in Jawa Pos Sunday, 24 January 2016. Laurenson, Diana & Alan Swingewood. (1971). Sociology of Literature. London: Paladin. Lawrence, D.H. “The Rocking-Horse Winner” pp. 438-454 in The Reader’s Digest Association. 1978. Great Short Stories of the World. New York: The Reader’s Digest Association, Inc. Tagore, Rabindranath. “Woman” (Essay) pp. 430-438 in Rabindranath Tagore. 2007. The English Writings of Rabindranath Tagore Volume 4: Essays. New Delhi: Antlantic.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
242
43 POTRET TOKOH LARA CAMERON DALAM NOVEL KILAU BINTANG MENERANGI BUMI KARYA SIDNEY SHELDON: SEBUAH KAJIAN FEMINISME DALAM TEKS SASTRA Besin Gaspar Pusat Bahasa, Politeknik UBAYA Abstrak: Penelitian ini berkaitan dengan kajian teks sastra dengan perspektif feminisme dan bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana tokoh wanita Lara Cameron digambarkan dalam novel dilihat dari sudut pandang feminsme liberal. Data diambil dari novel versi terjemahan dengan menggunakan teknik close reading. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam novel ini tokoh Lara Cameron digambarkan sebagai seorang feminis yang kuat pada awalnya tetapi akhirnya dia diperdaya oleh tokoh lelaki dan kalah. Potret tokoh Lara Cameron sebagai seorang feminis yang kuat dan sukses dapat dilihat dari perjuangannya untuk bersekolah, perjuangan untuk memasuki bisnis properti mewah yang biasanya didominasi oleh kaum lelaki. Ironisnya, pada akhir cerita, dia diperdaya oleh kaum lelaki dan kehilangan segala-galanya. Belum dapat disimpulkan apakah si pengarang Sidney Sheldon adalah pengarang laki laki yang tidak mendukung perjuangan kaum feminis liberal. Perlu data lebih banyak dengan melihat novel Sidney Sheldon yang lain. Kata kunci: feminisme, novel, tokoh, analisis sastra.
PENDAHULUAN Kritik sastra feminisme merupakan bagian dari kritik sastra dengan pendekatan eksternal yang mengkaji sebuah karya sastra dengan fokus utama pada tokoh wanita dalam karya sastra tersebut, apakah tokoh wanita itu tokoh utama atau bukan, tidak menjadi masalah (Djajanegara: 2003, 51). Konsep feminisme sendiri merupakan sekumpulan dari teori sosial, gerakan politik dan filsafat moral yang berhubungan dengan hakekat dan perjuangan wanita. Novel yang dikkaji, Kilau Bintang Menerangi Buni (2005) yang diterjemahkan oleh Budijanto Pramono dari judul aslinya The Stars Shine Down (1992) karya Sidney Sheldon ini berkisah tentang seorang taipan muda dan cantik bernama Lara Cameron, yang telah bekerja mati-matian untuk mencapai sukses, kekuasaan, kemapanan hidup serta kehidupan pribadinya. Tetapi akhirnya dia harus bertekuk lutut pada seorang laki-laki bernama Paul Martin, mantan kekasih Lara yang menyimpan dendam terhadapnya dan menghancurkan bisnis Lara yang telah dibangunnya sepanjang hidupnya. Novel karya Sidney Sheldon ini patut dikaji dengan pendekatan feminisme karena beberapa alasan. Pertama, dalam novel ini ada tokoh wanita bernama Lara Cameron yang kebetulan adalah tokoh utama. Yang akan dianalisis adalah bagaimana tokoh wanita ini digambarkan oleh pengarang: sifatnya, kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat, serta cita-citanya. Yang lebih penting ialah apakah dia mengalami hambatan dalam mewujudkan cita-citanya itu karena kodratnya sebagai wanita. Kedua, ada tokoh laki-laki dalam novel ini , termasuk ayahnya sendiri James Cameron, yang memperlakukan tokoh wanita Lara Cameron secara tidak wajar.Jadi, dalam pendekatan feminisme, tokoh laki-laki juga dikaji sejauh ada hubungannya dengan tokoh wanita.. Dengan demikian kita akan melihat bagaimana sikap tokoh wanita terhadap perilaku laki-laki dan sebalikanya dalam kaitannya dengan perjuangan kaum feminis. Alasan ketiga adalah bahwa penulis novel ini, Sidney Sheldon, adalah seorang laki-laki. Hal ini penting dalam kajian feminisme karena kita dapat membuktikan apakah benar bahwa pengarang laki-laki cenderung untuk menggambarkan tokoh wanita sebagai makluk yang lemah yang selalu kalah. Makalah ini berusaha untuk menjawab pertanyaan pokok dalam hubungannya dengan judul di atas yakni: bagaimana tokoh Lara Cameron digambarkan dalam novel ini dilihat dari sudut pandang feminisme. Yang menjadi fokus análisis adalah perjuangan Lara untuk mendapatkan kebebasan,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
243
kesempatan dan hak yang sama dengan kaum pria dan sikap tokoh laki-laki terhadap Lara. Di samping itu, akan dilihat bagaimana sikap pengarang terhadap perjuangan Lara Cameron. Masalah ini akan dianalisis dengan menggunakan teori feminisme liberal. METODE Penelitian ini diklasifikasikan sebagai sebuah penelitian kualitatif deskriptif karena memotret dan menggambarkan sebuah femonmena yang terjadi dalam sebuah karya fiksi dan peneliti sendiri bertindak sebagai instrumen utama. Data utama dalam penelitian ini berupa kata, frase dan kalimat diambil dari novel Kilau Bintang Menerangi Bumi (terjemahan dari judul asli The Stars Shine Down karya Sideny Sheldon) terbitan tahun 2005 oleh PT Gramedia dengan jumlah halaman sebanyak 557. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan close reading dan data dianalisis melalui interpretasi dengan berpedoman pada konvensi sastra, konvensi budaya dan konvensi bahasa. HASIL DAN PEMBAHASAN Potret Tokoh Lara Cameron Sebagai Seorang Feminis Dalam novel ini tokoh Lara Cameron digambarkan sebagai seorang feminist yang memiliki cita-cita dan memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki. Ada beberapa perisitiwa yang dapat dijadikan bukti pendukung. Perjuangan Lara Cameron untuk Memperoleh Pendidikan Ketika Lara berumur enam tahun, anak-anak sebayanya di Glace Bay , Nova Scotia mulai masuk sekolah. Tetapi Lara tidak sekolah karena menurut ayahnya, anak perempuan tidak perlu sekolah. Sekolah hanyalah membuang-buang uang seperti terlihat dalam percakapan antara ayahnya James Cameron dengan temannya Mungo MCSween di bawah ini: McSween James Cameron McSween James Cameron
: Saya dengar anak anda belum bersekolah? : Apa perlunya itu? Dia cuma perempuan.. Dia tidak perlu bersekolah. : Anda keliru, Bung. Dia harus mendapat pendidikan. Dia harus diberi kesempatan dalam hidupnya. : Ah sudahlah. Itukan buang uang saja. (hlm. 48)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa ayah Lara, James Cameron, memiliki pandangan patriarkis yang menempatkan perempuan sebagai makluk yang lemah dan inferior yang tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi karena wilayah perempuan itu hanya di ruang privat: melahirkan, merawat anak, membersihkan rumah dan memasak. Pendidikan di sekolah tidak ada manfaatnya bagi anak perempuan. Bagi James Cameron, mendapatkan anak perempuan itu adalah suatu takdir berupa kutukan, sesuatu yang sial. Pada waktu isterinya Peggy melahirkan anak kembar, yang laki-laki meninggal bersama ibunya; sedangkan yang perempuan hidup, yaitu Lara. Oleh karena itu James sangat menyesal dan menganggap itu sebagai kutukan seperti terungkap dalam percakapan antara perawat dan Jemas Cameron di bawah ini: Perawat James C. Perawat James C. Perawat James C. Perawat
: Peggy meninggal. Sudah kucoba segalanya. Yang laki-laki tak berhasil kuselamatkan. : Oh Yesus. Takdir lagi. : Apa ? : Takdir. Takdirku selalu tidak baik. : Ini anak perempuan anda Mr Cameron. : Anak Perempuan? Buat apa anak perempuan? : Kau sungguh menjengkelkan, Bung. (hlm.44-45)
Kutipan di atas jelas sekali menunjukkan bahwa menurut James Cameron, anak perempuan itu tidak berguna “buat apa anak perempuan?” Anak laki-laki bisa menjadi “ orang” yakni pintar, kaya dan dapat merawat orang tua di hari tua. Kutipan berikut menjelaskan suasana hati James Cameron.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
244
James Cameron menetapkan niatnya untuk tidak mau tahu tentang putrinya ini. Dia mengomel pada Bertha , tetangganya: James Bertha James
: Takdir telah membunuh isteriku dan putraku. : Kau tidak boleh berkata begitu James. : Memang begitu. Kalau tidak putraku sudah jadi orang. Dia akan jadi pintar dan kaya dan bisa merawat ayahnya di hari tua. (hlm.46)
Akhirnya, James Cameron mengijinkan putrinya Lara untuk bersekolah juga tetapi bukan karena dia insyaf bahwa sekolah itu penting juga bagi anak perempuan melainkan agar dia tidak bertemu dengan anak sial itu beberapa jam dalam sehari seperti terlihat dalam kutipan ini, “MCSween bersikeras dan akhirnya James mengijinkan Lara sekolah biar tidak ribut terus. Itu akan membuat dia tidak melihat anak sial itu paling tidak beberapa jam dalam sehari.” (hlm.49) Perjuangan Lara untuk Menggantikan Peran Ayahnya Menghidupi Keluarga Menurut pandangan James Cameron, hanya anak lelaki yang dapat merawat orang tuanya di hari tua, ”kalau tidak putraku sudah jadi orang. Dia akan jadi pintar dan kaya dan biasa merawat orang tua di hari tua” (hal.46). Lara ingin membuktikan bahwa sebagai perempuan dia juga dapat menghidupi dan merawat orang tua. Kesempatan itu datang pada saat ayahnya jatuh sakit karena serangan jantung. Terpaksa dia tidak melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang tagih uang kos di setiap rumah untuk disetorkan kepada Mr. Sean MacAllister sebagai pemilik. Dalam usianya yang masih muda yakni lima belas tahun, Lara dapat mengambilalih pekerjaan ayahnya dengan sukses seperti terlihat dalam kutipan berikut. Setelah mengunjungi ayahnya di rumah sakit, Lara pulang ke rumah dan berbicara dengan Bertha, tetanggnaya: Bertha Bertha Lara Bertha
Lara
: Bagaimana? Lara menceriterakan situasinya. : Oh, Tuhan. Dan hari ini hari Jumat. : Apa? : Jumat. Hari pengumpulan sewa kos. Aku tahu bagaimana Mr.MacAllister itu. Bisa jadi kita semua diusir dari sini. Jadi, apa yang harus kita lakukan? : Jangan kuatir. Aku akan membereskannya. (hlm. 54)
Setelah itu Lara berbicara kepada penyewa kos pada saat makan malam: Lara
: Tuan tuan. Mohon dengarkan saya. Ayah saya agak sakit. Dia di rumah sakit. Jadi, sebelum dia kembali, sayalah yang akan mengumpulkan uang sewanya. Setelah makan malam ini, saya akan menemui anda di ruang tunggu.(hlm.66-67).
Pada saat Sean MacAllister akan mengganti ayahnya dengan orang lain, Lara langsung menjawabnya : Lara McAlister Lara
: Oh jangan Sir, ayadatu saya meminta saya menggantikan dia : Kamu? : Ya, Sir (hlm. 68).
Perjuangan Lara untuk Mendapatkan Pengakuan Sebagai Pengusaha real estate Kelas Dunia dan Mengatasi Pelecehan Terhadapnya oleh Kaum Lelaki Ketika berumur 17 tahun, Lara Cameron yang kerempeng dan bertungkai panjang itu telah tumbuh menjadi seorang wanita. Wajahnya menunjukkan semua ciri orang Scotch; cantik luar biasa. Rasanya sulit mengalihkan pandangan dari Lara Cameron(hlm.74). Bermodalkan kencantikannya dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
245
usianya yang masih muda itu, Lara Cameron ingin memasuki dunia bisnis sebagai pengusaha real estate, suatu bidang usaha yang didominasi oleh kaum pria. Lewat berbagai tantangan, akhirnya Lara Cameron mendapatkan pengakuan tersebut. Tantangan tantangan itu datang dari pengusaha pria yang menganggap remeh kaum perempuan dan melihat bahwa pekerjaan bangunan bukanlah wilayah pekerjaan kaum perempuan. Impiannya menjadi pengusaha real estate itu terbentuk pada saat dia bertemu dengan Bill Rogers, seorang pengusaha real estate dari Midwest. Bill Rogers Lara Cameron Bill Rogers Lara Cameron
: Seluruh masa depan terbentang di hadapanmu. Kau tahu apa yang akan kau lakukan nanti? : Aku ingin memiliki banyak hal : Oh, baju bagus dan… : Bukan. Tanah. Saya ingin memiliki tanah. (hlm.76)
Tantangan pertama datang dari Charles Cohn, seorang pengusaha toko serba ada nasional. Charles Cohn sedang mencari sebuah bangunan shopping center untuk disewa dan Lara menawarkan diri bukan untuk mencarikan gedung tetapi dia malah menawarkan diri untuk membangun dan menyediakan gedung yang dapat disewa oleh Charles Cohn. Charles Cohn ragu tentang kemampuan Lara seperti terlihat dalam dialog berikut tetapi Lara berhasil meyakinkan dia. Lara
Charles Lara
: Seandainya saya punya lokasi yang anda suka dan membangun gedung di situ, Anda mau menyewa dari saya untuk jangka waktu 5 tahun? : Anda tahu apa tentang membangun gedung? : Bukan saya yang akan membangunnya. Saya akan menyewa arsitek dan perusahaan konstruksi yang baik untuk membangunnya (hlm.80).
Ada dua hal yang perlu diberi catatan dari dialog di atas. Pertama, pertanyaan Charles Cohn mengimplikasikan bahwa perempuan tidak tahu masalah pembangunan gedung. Membangun gedung adalah pekerjaan laki-laki, bukan urusan wanita. Pandangan seperti inilah yang dilawan oleh kaum feminis liberal. Kedua, jawaban Lara menunjukkan bahwa walaupun seorang perempuan, dia dapat menjadi seorang manajer yang baik. Tantangan kedua datang dari Sean MacAllisater, seorang banker yang akan memberikan kredit kepada Lara Cameron tanpa jaminan.Tetapi sebagai gantinya dia meminta Lara tidur dengannya sebelum kredit ditandatangani. Bagi Lara, tawaran itu adalah suatu pilihan yang sulit. Demi masa depan dia menerima tawaran dengan berat hati. MacAllister Lara MacAllister
Lara
: Aku memerlukan alasan khusus untuk memberikan kredit ini padamu. Katakanlah seperti bonus. Kau punya pacar? : Saya ….. tidak. (Lara merasakan kontrak itu bakal lepas) : Kau sangat cantik. Aku ingin tidur denganmu. Coba pikirkan ini. Ini adalah peluangmu untuk mengubah jalan hidupmu.Untuk memiliki sesuatu, untuk menjadi orang. : Saya akan tidur dengan anda. Tetapi setelah saya lihat kontraknya. (hlm. 89-90)
Dialog di atas menunjukkan bahwa MacAllister menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menikmati tubuh Lara. Lara bersedia melakukan itu karena itu satu satunya jalan untuk mengubah hidupnya. Ada unsur pelecehan di sini. Tantangan ketiga berupa pelecehan datang dari seorang banker dengan jabatan vice president bernama Tom Peterson sewaktu Lara telah berada di Chicago. Dalam satu pertemuan Lara mengemukakan bahwa dia berniat membangun sebuah hotel mewah tetapi modalnya hanya 3 juta dollar. Oleh karena itu dia ingin meminjam dari bank. Tanpa diduga Tom membelokkan pembicaraan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
246
ke hal lain yang berbau seks sehingga Lara tersinggung dan merasa terhina sebagai perempuan serta marah besar seperti terlihat dalam kutipan berikut. Tom Lara Tom
: Saya senang anda datang dan kita bisa saling membantu. : Kita bisa? : Ya. Ada banyak wanita cantik di kota ini tetapi tidak secantik kau, honey. Kau bisa membuka sebuah bordil mewah dan memasok golongan eksklusif. Lara (tertegun) : Maaf? Tom : Kalo kau bisa mengumpulkan selusin cewek saja, kita bisa… Lara langsung meninggalkan Tom tanpa pamit. (hlm. 118)
Tantangan keempat datang dari seorang banker ketika Lara baru beberapa lamanya di Chicago dan mencari kredit untuk membangun hotel. Keesokan harinya Lara pergi ke beberapa bank lagi dan berbicara dengan manajer bank seperti di bawah ini: Manajer Bank Lara Manajer Bank Lara
: Lupakan saja rencana itu. Bisnis membangun real estate adalah bisnis kaum pria. Tidak ada tempat bagi wanita di sana. : Mengapa begitu? : Karena anda akan berurusan dengan sekelompok laki-laki macho yang kasar dan keras. Mereka akan memakan Anda hidup-hidup. : Mereka tidak memakan saya hidup-hidup di Glace Bay (hlm 118-119)
Dialog di atas menunjukkan bahwa manajer bank tersebut jelas-jelas melecehkan Lara sebagai perempuan pengusaha real estate. Menurut manajer tersebut, real estate adalah wilayah kerja kaum pria, bukan perempuan. Pandangan ini bertentangan dengan perjuangan kaum feminis liberal yang menginginkan kesetaraan kesempatan dalam lapangan pekerjaan. Tantangan kelima terjadi ketika Lara berkunjung ke lokasi proyek dan mengawasi para pekerja sewaktu Lara di Chicago. Pekerja menganggap remeh bos real estate yang dijabat oleh seorang perempuan dan Lara menunjukkan kewibawaannya. Mereka mencoba melecehkan kenyataan bahwa bos mereka hanyalah seorang perempuan.Mereka membuat lelucon yang melecehkan Lara. Terkadang ada pekerja yang sengaja berjalan melewati Lara lalu menyenggol payudara Lara atau menyerempet pantatnya sambil mengatakan “Uups, sorry.” Lara dengan tegas mengatakan: ”Tidak apa-apa. Ambil cekmu, keluar dari sini.” ( hlm. 162-163)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam menjalankan peran sebagai pengusaha real estate, Lara dilecehkan oleh kaum pria. Kaum pria sulit menerima seorang perempuan yang menjadi bos di tempat kerja yang mayoritasnya pria. Tantangan keenam berupa pelecehan dari Paul Martin seorang pengacara di New York sewaktu Lara telah berada di New York. Menurut Paul, perempuan tidak tepat berkecimpung di bisnis real estate. Tempat yang cocok untuk perempuan adalah dapur seperti terlihat dalam dialog berikut. Paul Martin Lara Paul Martin Lara Paul Martin Lara
: Anda sebaiknya keluar dari bisnis bangunan. Anda tidak cocok terjun di bisnis seperti itu. : Apa? : Itu bukan tempat yang baik buat wanita : Lalu tempat apa yang cocok untuk wanita? Bertelanjang kaki, hamil dan di dapur? : Ya kira-kira begitu. : Anda mungkin salah satu keturunan dinosaurus. Mungkin anda belum mendengarnya. WANITA SEKARANG SUDAH BEBAS (hlm.193)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
247
Kutipan itu menegaskan pendirian Lara Cameron bahwa wanita sekarang sudah bebas menentukan dunianya. Pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memasuki dunia bisnis real estate. Pengakuan Atas Keberhasilan Lara Cameron Setelah menyelesaikan pembangunan hotel Cameron Plaza, Lara mendapatkan pengakuan Internasional sebagai wanita yang sukses dalam real estate. Namanya dipakai sebagai nama hotel dan plaza yang dibangunnya: Chicago Cameron Plaza, New York Cameron Plaza and Hotel. Sesuai dengan namanya, Lara berarti terkenal. Lara juga dikenal dengan nama si Kupu-kupu Besi. Kesuksesan Lara adalah kesuksesan kaum feminis liberal. Yang sangat membanggakan ialah bahwa pengakuan itu datang dari Majalah Forbes yang menulisnya demikian. Lara Cameron adalah sebuah tanda zaman. Innovasinya telah mengubah konsep perhotelan. Miss Cameron telah menerobos dominasi kaum pria di bidang real estate dan membuktikan bahwa wanita bisa mengalahkan mereka semua (hlm. 251)
Dengan demikian perjuangan Lara untuk mendapatkan pengakuan sebagai seorang wanita sudah selesai. Kemenangan Lara adalah kemenangan kaum feminis liberal yang memperjuangkan kesetaraan. Potret Lara Cameron Sebagai Tokoh Feminis yang Kalah Novel ini menggambarkan Lara Cameron dari dua sisi yang berbeda. Pada satu sisi, Lara digambarkan sebagai seorang taipan yang muda dan cantik, berangkat dari keterpurukan keluarganya di masa lalu, mencapai kesuksesan, kekuasaan dan kemapanan hidup yang luar biasa. Modal dasar kesuksesannya adalah motivasi yang tinggi untuk mewujudkan mimpinya di samping kecerdasannya dan kecantikannya. Perjuangannya adalah perjuangan kesetaraan antara pria dan wanita seperti yang dicita-citakan oleh kaum feminis liberal: kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan dan jabatan sosial lainnya. Di sisi lain, Lara Cameron juga digambarkan sebagai seorang tokoh yang kalah. Yang sangat menyakitkan ialah bahwa dia kalah pada puncak kejayaannya. Mengapa kekalahan Lara Cameron dihubungkan dengan perjuangan kaum feminis liberal? Alasan yang paling mendasar ialah bahwa dia kalah karena diperdaya oleh kaum laki-laki yang merasa iri dengan kesuksesan Lara dalam bisnis real estate dan laki-laki yang cintanya ditolak oleh Lara Cameron. Pria dibalik kekalahan Lara ialah Paul Martin, seorang rekanan bisnis Lara yang juga berprofesi sebagai pengacara di New York. Dalam waktu singkat, semua property Lara disita, baik yang ada di Chicago maupun yang ada di New York seperti terlihat di kutipan berikut. Keesokan harinya sebuah artikel muncul di Business Week. Judulnya KERAJAAN BISINIS CAMERON GOYAH- LARA CAMERON MENGHADAPI GUGATAN DI RENO. BISAKAH SI KUPU-KUPU BESI MEMPERTAHANKAN KEJAANNYA? (hlm. 487).
SIMPULAN Dari analisis di atas, terlihat jelas bahwa pengarang telah menampilkan Lara Cameron dalam novel ini sebagai seorang tokoh feminis liberal yang tangguh dan berhasil tetapi pada akhirnya kalah karena diperdaya oleh kaum lelaki. Pada awalnya, Lara digambarkan sebagai seorang tokoh feminis liberal yang tangguh dan sukses yang dapat dilihat dari cita-cita yang tinggi, perjuangannnya untuk memperoleh pendidikan, perjuangan untuk menggantikan peran ayah menghidupi keluarga, perjuangan untuk memperoleh kesempatan memasuki bidang pekerjaan apa saja, termasuk bidang real estate yang biasanya didominasi oleh kaum pria. Di samping itu, perjuangan Lara Cameron sebagai seorang tokoh feminis yang tangguh dapat dilihat dari sikap tokoh laki-laki di sekitarnya yang selalu melecehkannya sebagai seorang perempuan dengan mengatakan bahwa dunia real estate adalah dunia kaum pria sedangkan tempat perempuan adalah dapur . Sebagai seorang feminis liberal, Lara dengan tegas menolak pemikiran yang keliru tersebut dan dia membuktikan bahwa dia dapat menjadi bos di dunia kerja yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
248
mayoritasnya laki-laki. Dia dijuluki ”si Kupu-kupu Besi”. Ini adalah simbol keberhasilan perjuangan kaum feminis liberal. Ironisnya, pada akhir cerita, Lara Cameron juga ditampilkan sebagai seorang tokoh feminis yang kalah. Dia jatuh karena diperdaya oleh kaum pria yang selalu iri dengan keberhasilannya. Dalam perspektif kaum feminis liberal, Lara Cameron telah memperoleh kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam dunia kerja, tetapi akhirnya dia kalah. Itu adalah salahnya sendiri. Apakah pengarang bersimpati pada Lara yang memiliki idealisme yang tinggi dan telah memperoleh kesempatan untuk mewujudkan impiannya, walaupun akhirnya kalah. Masih sulit untuk mengatakan bahwa Sidney Sheldon adalah pengarang laki-laki yang tidak mendukung perjuangan kaum feminis liberal karena simpulan seperti itu harus dilihat juga pada karya-karya Sidney Sheldon yang lain untuk menegaskan apakah dia selalu menampilkan tokoh wanita yang tangguh pada awalnya tetapi akhirnya harus mengakui keunggulan kaum pria. DAFTAR PUSTAKA Creswell, John.W. (2003). Research Design: qualitative, qualitative, quantitative and mixed methods approaches. London: Sage Publications. Djajanegara, Soenarjati. (2003). Kritik SastraFeminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Holihin dan Soenyono.2004 Teori Feminisme: sebuah refleksi ke arah pemahaman. Surabaya: Firdaus Print. Ratna, Nyoman Kutha. (2005). Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer and Doughlas. (2004). Teori Sosiologi Moderen. Yogyakarta: Pustaka Rakyat. Sheldon, Sidney. (2005). Kilau Bintang Menerangi Bumi. Terjemahan oleh Budijanto Pramono. Judul Asli The Stars Shine Down. Jakarta.Gramedia. 557 hal. Sugihastuti dan Suharto. (2013). Kritik Sastra Feminisme: teori dan aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Rakyat.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
249
44 MENDEDAHKAN NILAI KEMANUSIAAN DALAM NOVEL ADINDA: KULIHAT BERIBU-RIBU CAHAYA DI MATAMU KARYA AYU SUTARTO Dian Roesmiati, M.Hum. Balai Bahasa Jawa Timur Abstrak: Novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu karya Ayu Sutarto menarik dikaji karena novel ini mampu menukilkan fungsi estetis dan moralitas yang memberi nilai-nilai ajaran hidup bagi pembacanya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu karya Ayu Sutarto. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu antara lain (1) nilai kemanusiaan hubungan manusia dengan Tuhan; (2) nilai kemanusiaan hubungan manusia dengan sesama manusia; dan (3) nilai kemanusiaan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Berdasarkan hasil analisis diperoleh beragam nilai kemanusiaan, yaitu nilai kultural, nilai etis, nilai moral, religius, kasih sayang, kejujuran, rela berkorban, dan lain-lain. Kata-kata kunci: nilai kemanusiaan, novel, realitas sosial
PENDAHULUAN Hal mendedahkan nilai kemanusiaan adalah hal ‘menyingkapkan’ tentang nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu. Nilai kemanusiaan adalah nilai mengenai harkat dan martabat manusia. Manusia merupakan makhluk yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan sehingga nilai-nilai kemanusiaan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi di antara makhluk-makhuk lainnya. Keberadaan nilai kemanusiaan (moral) dalam karya sastra tidak lepas dari pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang dianutnya. Ajaran nilai kemanusiaan tersebut pada hakikatnya merupakan saran atau petunjuk agar pembaca memberikan respons atau mengikuti pandangan pengarang. Dunia sastra memang berbeda dengan dunia pengarang. Adapun dunia sastra pada satu sisi merupakan salah satu di antara dunia seni yang selalu berjuang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, membangun katarsis budi yang halus. Sastra memiliki fungsi menghibur dan memberikan manfaat bagi pembacanya. Sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan dan memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan) dan menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang baik dan buruk. Karya satra dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang ditangkap pengarang tentang kehidupan di sekitar. Hal tersebut disebabkan oleh sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya (Teeuw: 1983). Sastra terlahir dengan menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan; hidup dan kehidupan. Sastra, pengarang, dan lingkungan merupakan hal yang sangat berkaitan karena karya sastra tidak lepas dari budaya yang diangkatnya dan budaya merupakan bagian dari kehidupan sosial sehingga karya sastra dapat dipandang sebagai gambaran sosial masyarakat pada waktu tertentu yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial. Ratna (2004: 334) menyatakan bahwa pada umumnya pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu mengombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Hal ini disebabkan oleh pengarang dipengaruhi oleh kepekaan kemasyarakatannnya, hati nurani kemasyarakataannya, hati nurani manusianya, dan kepekaan terhadap zamannya (Lubis: 1997). Novel yang memaparkan masalah kehidupan manusia dengan salah satu tujuan, yaitu memanusiakan manusia diharapkan dapat menjadi sarana penanaman pendidikan karakter bangsa secara
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
250
tidak langsung. Novel bisanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas (expands) tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama (Sayuti, 2000: 6—7). Menurut Sudjiman (2010), novel adalah prosa rekaan yang panjang dengan menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Novel karya Ayu Sutarto berjudul Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu menarik untuk dikaji dengan fokus nilai-nilai kemanusiaan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Ian Watt (dalam Damono: 1984) mengatakan bahwa karya sastra memiliki fungsi sosial yang berhubungan dengan nilainilai sosial yang dapat dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki fungsi untuk memanusiakan manusia. Ayu Sutarto adalah sastrawan dan budayawan yang lahir di Pacitan 21 September 1949 merupakan dosen sastra Universitas Jember. SD, SMP, dan SMA diselesaikan di kota kelahirannya. Tahun 1993 memproleh beasiswa ILDEP untuk belajar dan riset di Universitas Leiden, Belanda. Tahun 1977 berhasil menyelesaikan program doktornya di Universitas Indonesia, Jakarta. Pada tahun yang sama, hasil penelitiannya tentang orang Tengger meraih juara pertama Pemilihan Naskah Bidang Humaniora yang diselenggarakan PT Balai Pustaka. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain The Legends of Madura (1985), Queen Kilisuci, The Story of Reog (1986), Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang ( 1997), Di Balik Mitos Gunung Bromo (2001), Saya Orang Tengger Saya Punya Agama (2007), Adinda, Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu (2009), Perjalanan Hati Seorang Lelaki (2009), Kamus Budaya dan religi Using (2010), dan masih banyak lagi. Ayu Sutarto juga aktif menjadi pembicara seminar, baik di dalam maupun di luar negeri. Ayu Sutarto memang bukan seorang novelis yang andal, tetapi membaca novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu memperlihatkan bahwa tulisannya sangat menyentuh perasaan dengan kalimat-kalimat yang mengalir lugas dan diksi yang berhasil mengaduk-aduk perasaan pembaca. Pandangannya terhadap berbagai fenomena begitu jernih dan penokohan yang dibangun begitu matang. Novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang Lesmana, seorang pebisnis tanaman hias yang menghabiskan sebagian usianya untuk merawat tanaman hias. Perjalanan cintanya tidak secemerlang bisnis bunganya. Berkali-kali ia gagal dalam membina hubungan kasih dengan perempuan. Yang menarik, tipe dan perilaku para perempuan yang dicintainya berbeda-beda. Terdapat beragam nilai-nilai kemanusiaan terdapat dalam novel ini membuat pembaca seolah-olah menjadi bagian dalam cerita sehingga pesan yang terkandung di dalam novel tersebut tersampaikan. Pradopo (2008) menyatakan bahwa suatu karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral. Adapun fokus penelitian ini adalah bagaimanakah nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu karya Ayu Sutarto.
METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010). Tujuan utama ppenelitian ini adalah menemukan nilai-nilai kemanusiaan dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. Adapun teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah teknik analisis teks. Teknik analisis data yang digunakan adalah menguraikan dan mendeskripsikan hasil pengolahan data yang ada. Data yang sudah dianalisis selanjutnya diubah menjadi data deskripsi. TEORI Ajaran nilai kemanusiaan yang dapat diterima oleh pembaca biasanya bersifat universal, yaitu tidak menyimpang dari kebenaran dan hak manusia. Pengarang dalam menyampaikan nilai kemanusiaan tidak selalu secara langsung atau dapat dikatakan bahwa pengarang tidak selalu menceritakan kehidupan yang baik, hal ini agar tidak menimbulkan dan memberikan kesan menggurui, tetapi juga memberi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
251
keindahan. Pengertian ini memiliki pengertian bahwa karya sastra menawarkan kehidupan yang beraneka ragam, baik yang memiliki sifat baik mauopun kurang baik. Maksudnya, pengarang menghendaki pembaca tidak meniru perilaku yang kurang baik tersebut. Nurgiyantoro (2005) menyatakan bahwa persoalan yang ada dalam sastra dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu meliputi persoalan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Namun, dalam kajian ini hanya dibahas tiga persoalan yang terkait dengan novel Adinda: Kulihat Beriburibu Cahaya di Matamu. (1) Hubungan manusia dengan Tuhan Persoalan hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah terlepas dengan sang pencipta. Sebagai manusia yang beragama pasti selalu mengingat Tuhan dengan melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Manusia adalah makluk yang religius, yakni menyembah Tuhan, melakukan ritual atau ibadah dengan meminta ampun dan menyesali diri. (2) Hubungan manusia dengan manusia lain. Nurgiyantoro (2005) menyatakan bahwa masalah yang berupa hubungan kemasyarakatan, yaitu persahabatan dan kesetiaan; hubungan keluarga: cinta kasih orang tua terhadap anak, kakak terhadap adik dan lain sebagainya yang melibatkan interaksi antarmanusia. Seperti terdapat pada butir-butir Pancasila sila kedua yang menyebutkan: saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan. Benang merah yang didapat adalah persoalan yang berupa hubungan antarmanusia antara lain adalah saling menyayangi, saling menolong, dan saling menasehati. Persoalan-persoalan tersebut mencakup hubungan kemasyarakatan dan kekeluargaan. (3) Hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Nurgiyantoro berpendapat (2005) dapat berupa eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, dan lain-lain yang lebih bersifat melibatkan ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu. Bertolak dari pengertian tersebut, persoalan yang bersifat melibatkan ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu berujud tanggung jawab, sabar, dan sadar akan perbuatan yang salah. Sosiologi Sastra Novel sebagai salah satu genre karya sastra menukilkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan dengan kreativitasnya. Pengarang melukiskan berbagai peristiwa dan kejadian dalam kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang memiliki kehidupan yang sangat berpengaruh pada hasil karyanya. Selain itu, karya sastra tidak lepas dari persoalan-persoalan yang melingkupinya (Damono: 1984). Sastra merupakan produk masyarakat karena sastrawan merupakan bagian dari masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan subjektif manusia. Wellek dan Warren (2001) mengemukakan tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu (a) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial dan ideologi sosial; (b) sosiologi sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri; dan (c) sosiologi sastra yang mempermaslahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Dengan demikian, sosiologi sastra mempunyai kecenderungan mengkaji tentang sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, nilai-nilai kemanusiaan dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu sangat bervariasi. Berikut nukilan data yang menunjukkan hal tesebut. Nilai yang Terkait Hubungan Manusia dengan Tuhan Menemukan nilai religius dalam karya sastra memang tidak mudah, diperlukan konsep tentang religi bahwa religi merupakan bentuk penyerahan diri pada Tuhan, manusia bergantung pada Tuhan dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
252
tidak mampu memperoleh keselamatan dengan kekuatannya sendiri. Dalam novel ini hubungan antara manusia dengan Tuhan berujud dalam nilai ikhtiar dan tawakal. Seperti terdapat dalam kutipan berikut. “Tuhan, apabila Engkau mengizinkan, aku berharap Engkau mengirimkan seorang perempuan yang mencintaiku dengan seluruh jiwanya. Tidak harus perempuan yang belum memiliki pengalaman dengan laki-laki atau perempuan yang tubuhnya belum pernah dijamah oleh lakilaki; perempuan dengan masa lalu yang gelap pun akan kuterima, asalkan ia sudah bertobat dan kemudian mencintaiku. Perempuan itu akan menjadi pasangan hidupku yang abadi, menjadi ibu dari anak-anakku dan menemaniku dalam derai tawa dan derai air mata.” (Sutarto, 2009:1)
Sebagai bentuk ikhtiar Lesmana adalah berdoa kepada Tuhan. Segala upaya untuk mendapatkan pendamping hidup sudah dilakukan, tetapi semua bergantung pada takdir Tuhan. Dalam setiap doanya, Lesmana selalu berharap diberikan jodoh perempuan yang sholehah, mencintai dengan seluruh jiwa. Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material maupun spiritual agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat dapat terpenuhi. Adapun tawakal adalah menyerahkan atau ungkapan lain dari penyandaran hati. Nilai hidayah adalah penjelasan dan petunjuk jalan yang akan menyampaikan kepada tujuan untuk meraih kemenangan di sisi Allah. Berikut data yang menujukkan nilai hidayah yang dialami tokoh. “Sekarang Miras hidup di desa, tinggal bersama guru spiritual Miras. Seperti saran Bapak, Miras berusaha untuk berubah.” Kiai Sholeh adalah pemilik pondok pesantren, ia diposisikan sebagai guru spiritual Miras. Kiai Sholeh menceritakan asal mula Miras sampai di pesantrennya. Mirasanti memperkenalkan siapa dirinya dari A hingga Z, ia juga memberi tahu bahwa beberapa hari sebelumnya baru saja keluar dari penjara karena menganiaya lelaki mabuk yang berlaku tidak sopan di sebuah kelab malam di Surabaya.... Kiai dan Nyai Sholeh menerima Miras dengan tangan terbuka. Di samping belajar agama, Miras mengajar bahasa Inggris dan keterampilan kepada santri putri (Sutarto, 2009: 100—101).
Tokoh Mirasanti atau Miras adalah salah satu tokoh dalam novel yang menemukan hidayah dalam kehidupannya. Awal cerita, Miras adalah perempuan yang senang dengan kehidupan malam, seks bebas, dan kehidupan yang penuh kenikmatan. Namun, di akhir cerita, perjalanan hidup menuntunnya pada kehidupan yang sesuai agama. Miras bersyukur karena Allah melindunginya dari perbuatan orangorang jahat dan sebagai ungkapan syukurnya, ia mengubah penampilan diri dengan berhijab dan masuk pondok pesantren. Miras merasa hidupnya bisa selamat karena pertolongan Allah. Nilai yang Terkait Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia Nilai-nilai yang terkait hubungannya dengan sesama manusia, antara lain saling menghormati dan tolong menolong. Kemampuan manusia dalam memberikan bantuan setiap orang tentulah tidak sama. Sebagai bentuk perwujudan tolong menolong kepada sesama, ditujukkan pada kutipan berikut. “Terima kasih. Masih ada orang yang memberi semangat kepada diriku.” “Tentu, Dad. Karena Dad selalu memberi semangat kepada orang lain.” ...Adindalah yang memasukkan obat ke dalam mulutku, yang memapah aku apabila aku ingin duduk, yang melatih aku berjalan di sekitar kamar pada pagi dan sore hari, dan yang memijit tubuhku agar darahku mengalir.Ketika aku kembali ke rumah, Adinda masih merawatku hingga aku sembuh total. (Sutarto, 2009: 96—97)
Pada bagian akhir cerita, Adinda dipertemukan dengan Lesmana di rumah sakit. Adinda dengan sepenuh hati merawat dan menolong Lesmana yang saat itu sakit karena depresi sepeninggal Mayang. Sebulan penuh Adinda merawat Lesmana tanpa letih. Adinda menolong Lesmana dengan ikhlas. Ia bahagia bisa membantu merawat Lesmana selama sakit. Pengorbanan Adinda begitu tulus kepada Lesmana.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
253
Nilai yang Terkait Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Tuhan, bisakah kira-kira Adinda menjadi pendamping hidupku? Kadang-kadang aku malu kepada Tuhan karena aku sering mengeluh atau mengadu kepadaNya, dan yang kuadukan dan kukeluhkan lebih banyak soal itu itu saja, perempuan! Adinda, andaikata aku bisa membaca isi hatimu, aku akan cepat-cepat menentukan sikap. Aku akan menyatakan tanpa malu-malu bahwa aku menginginkan dirimu sebagai pendamping hidupku. Untuk selamanya. Sampai akhir hayatku (Sutarto, 2009: 14). Tuhan, alangkah bahagianya diriku apabila aku cepat-cepat mendapatkan seorang kekasih dan kemudian kunikahi. Aku akan tunjukkan kepada ibu bahwa aku selalu menuruti kata-katanya dan mendengarkan harapannya. (Sutarto, 2009: 54).
Kutipan tersebut menunjukkan bentuk kesabaran dan kepasrahan yang dimiliki Lesmana. Kesabaran dan selalu berbesar hati adalah suatu sifat yang selalu berprasangka baik dan pasrah terhadap cobaan Tuhan. Lesmana mewujudkan rasa sabar dan pasrah ketika diusia 40 tahun belum juga mendapatkan jodoh wanita idamannya. Dalam doanya, Lesmana mohon pada Tuhan agar Adinda dapat menjadi pendamping hidupnya. Harapannya begitu besar kepada Adinda. Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu (a) Nilai Kultural Nilai ini ada apabila karya sastra menggambarkan kehidupan suatu masyarakat. Karya sastra memiliki hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan tertentu. Nilai kultural dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu menceritakan mengenai kehidupan tokoh utama yang merupakan masyarakat Jawa, tepatnya Jawa Timur. Tokoh utama bernama Lesmana, seorang laki-laki berusia 40 tahun yang sangat patuh dengan ajaran dan budaya Jawa, meskipun ia sudah berkeliling kota besar di dunia. Namaku Lesmana, sebuah nama yang diambil ayahku dari dunia wayang purwa, umur 40 tahun dan bekerja sebagai petani bunga. Aku sarjana pertanian lulusan sebuah universitas negeri di Jember. (Sutarto, 2009: 4)
Melalui tokoh Lesmana, pembaca diajak berkeliling mengenal sebagian kota Jember berikut daerah perbukitan, seperti Rembangan. Selain itu, pembaca juga mengenal daerah lain di Jawa Timur, seperti Surabaya dan Malang, serta daerah di Yogyakarta. Tempat atau latar cerita yang ditampilkan pengarang bertujuan untuk mengenalkan gambaran budaya masyarakat setempat. (b)
Nilai Etika dan Religius Etika berkaitan dengan sopan santun atau nilai kesopanan. Etika juga berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat. Nilai religius berkaitan dengan cerminan agama di dalam cerita. “Hidupku tak pernah sepi dari lelaki, Dad. Selalu ada lelaki yang menghampiriku. Selama aku menganggur, ada seorang cewek yang hadir dalam kehidupanku. Cewek itu baik dan kuanggap sebagai adikku. Kemana pun aku pergi, ia selalu menyertai sampai ia menyatakan cintanya padaku. Ternyata ia seorang lesbian.” Ia sering tidur bersamaku dan seringkali menciumiku ketika aku sedang lelap tidur (Sutarto, 2009: 13).
Kutipan tersebut menukilkan tokoh Adinda yang kehidupannya terikat dengan Salindri (seorang lesbian), yang memperlakukan Adinda layaknya seorang kekasih. Tokoh Salindri adalah tokoh yang tidak beretika dan memiliki kelainan moral. Ia berhasil menyeret tokoh Adinda ke dalam dunia kelam. Penggambaran etika dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya Di Matamu dilakukan melalui dialog dan monolog tokoh. Hidup untuk kenikmatan, for pleasure. Dan bagi Miras, yang disebut kenikmatan itu sangat sederhana, yakni musik, alkohol, dan seks. Malam itu kami bercerita banyak hal.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
254
Miras bercerita tentang pengalamannya dengan beberapa lelaki. Ia ceritakan masingmasing perilaku seksual mereka dengan tanpa ditambah atau dikurangi. (Sutarto, 2009: 26—27) Tokoh Mirasanti merupakan tokoh yang tidak mempunyai etika. Dalam dialog antartokoh didapatkan gambaran bagaimana kehidupan Miras yang seorang hedonis, menyukai seks bebas dan kehidupan dunia malam. (c) Nilai Kasih Sayang “Baiklah. Ibu ingin kamu cepat menikah.” Kata ibu sembari memelukku erat-erat. Pelukan ibu makin memantabkan keputusanku. Kulihat mata ibu berbinar-binar. Mata itu seolah mengeluarkan senyuman yang tiada habisnya. (Sutarto, 2009: 57)
Kasih sayang seorang ibu sepanjang jalan memang benar adanya. Demikian pula perhatian dan kasih sayang yang dicurahkan ibu kepada Lesmana, dalam hal memilih jodoh. Lesmana menyerahkan sepenuhnya pilihan hidupnya pada ibu tercinta, setelah beberapa kali jalinan cintanya putus tanpa kejelasan. Selain nilai kemanusiaan yang terurai tersebut, ada beberapa nilai kemanusiaan lain yang peneliti temukan, yakni nilai kejujuran, rela berkorban, dan lain-lain. Melalui nilai kemanusiaan tersebut, pengarang mengajak pembaca untuk menghargai nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari. SIMPULAN Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam novel Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu meliputi nilai yang terkait hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan terdapat nilai ikhtiar, tawakal, dan hidayah. Berdasarkan hasil penelitian, hubungan manusia dengan sesama manusia terdapat nilai tolong menolong antarsesama, sedangkan hubungan manusia dengan diri sendiri terdapat nilai kesabaran dan kepasrahan. Adapun bentuk perwujudan nilai kemanusiaan, antara lain nilai kultural, etika, religius, kasih sayang, dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. (1984). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama Fatimah, Nurul. (2015). Nilai Religius dalam Novel “Bulan Terbelah Di Langit Amerika” Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra (Kajian Intertekstual). Jurnal Nosi, 9, 119—124. Kuntowijoyo. (2006). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lubis, Mochtar. (1997). Teknik Mengarang. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Pradopo, Rachmad Djoko. (2008). Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sayuti, Suminto. (2000). Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media. Sudjiman, Panuti. (2010). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta:Pustaka Jaya. Sutarto, Ayu. (2009). Adinda: Kulihat Beribu-ribu Cahaya di Matamu. Jember: Kompyawisda. Sutopo. (2002). Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Teeuw, A. (1983). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Wellek dan Austin Warren. (2001). Teori Kesusateraan (terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
255
45 MEMBACA SASTRA DENGAN ANCANGAN LITERASI KRITIS (KAJIAN TEKS SASTRA MENGGUNAKAN PERSPEKTIF TEORI KRITIS) Endah Tri Priyatni Fakultas Sastra - Universitas Negeri Malang Abstrak: Tidak ada teks yang netral, setiap teks mewakili kepentingan tertentu dan ditulis untuk tujuan tertentu. Teori kritis memandang bahwa ada muatan ‘dominasi’ suatu ideologi dan ketidakadilan dalam teks. Literasi Kritis menggunakan perspektif teori kritis ini untuk mengkaji teks-teks sastra. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis mengajak pembelajar mempertanyakan secara kritis adanya praktik-praktik sosial di balik teks. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis bertujuan untuk membangun kesadaran kritis pembelajar tentang adanya bias dan muatan dominasi ideologi tertentu dalam teks-teks sastra yang dibaca. Dominasi kekuasaan, bias gender, eksploitasi, marginalisasi sosial, stigma negatif, ketidakberdayaan adalah bentuk-bentuk dominasi dan ketidakadilan yang tercermin dalam beragam genre teks sastra. Kata-kata kunci: membaca sastra, literasi kritis, dominasi ideologi,
PENDAHULUAN Membaca sastra didefinisikan sebagai suatu aktivitas untuk memahami, menikmati, menghayati, dan sekaligus menghargai unsur-unsur keindahan yang terpapar dalam teks sastra (Aminuddin, 1995). Definisi ini tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dikembangkannya literasi kritis dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Dalam pembelajaran bahasa dan sastra di perguruan tinggi, Alwasilah (2008) menilai pembelajaran bahasa dan sastra belum mengajak pembelajar untuk membangun literasi kritis. Literasi kritis mencakup sikap dan keterampilan kritis dan analitis yang diperlukan untuk memahami dan menginterpretasi teks baik lisan maupun tulis (Alwasilah, 2008). Literasi kritis mengajak pembelajar untuk tidak sekedar menguasai keterampilan dasar seperti memahami, memprediksi, dan meringkas, tetapi melatih mereka menjadi pemikir yang kritis terhadap segala informasi yang diterimanya (Alwasilah, 2008). Berikut ini disajikan perbandingan kegiatan membaca sastra dengan ancangan struktural dan membaca sastra dengan ancangan literasi kritis. Ada dua mahasiswa, mahasiswa A dan mahasiswa B, keduanya membaca novel berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012). Mahasiswa A, setelah membaca ia mengidentifikasi tokoh-tokoh beserta watak tokoh yang menjadi pelaku utama dan pelaku tambahan dalam novel tersebut, kemudian mengidentifikasi latar atau setting tempat, waktu, dan suasananya, dilanjutkan dengan menggambarkan alur ceritanya, menuliskan amanat, dan merumuskan tema novel tersebut. Mahasiswa B, setelah membaca ia mempertanyakan pemilihan judul dan nama-nama tokoh yang terdapat dalam novel tersebut. Ia pertanyakan kenapa pengarang memilih judul Amba, mengapa tokohtokohnya semua diambil dari nama tokoh-tokoh besar dalam kisah Mahabharata, yaitu Amba, Bhisma, Ambika, Ambalika, Salwa, dan Srikandi. Apa motif di balik pemilihan judul dan nama tersebut? Mengapa pengarang menggunakan latar peristiwa sejarah yang sangat ditabukan di Indonesia, yaitu latar peristiwa G 30 PKI? Apa motif dibalik pemilihan latar tersebut? Nasib tokoh Amba mirip dengan tokoh Amba dalam Mahabharata, yaitu kisah cinta yang tragis. Namun, Amba dalam novel Amba tidak meratapi cintanya, ia bangkit menata hidupnya ketika cintanya kandas di tengah jalan. Ia tidak ingin nasibnya sama dengan Amba dalam kisah Mahabharata (Priyatni, 2015). Ideologi apa yang melatari penulisan novel tersebut, apa sebenarnya yang ingin disuarakan oleh pengarang sehingga ia melakukan transformasi yang kontradiktif?
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
256
Dari contoh tersebut tampak jelas mahasiswa A membaca sastra dengan ancangan struktural sedangkan mahasiswa B membaca sastra dengan ancangan literasi kritis. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis mampu mengajak pembelajar untuk aktif menganalisis teks dan menawarkan strategi untuk menggali pesan-pesan yang mendasari teks. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis membekali pembelajar dengan keterampilan dan strategi untuk menggali adanya praktik-praktik sosial di balik teks, mempertanyakan ide-ide dibalik teks, dan tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh teks. Artikel ini membahas konsep literasi kritis, fokus kajian literasi kritis dalam sastra, dan contoh penerapan membaca sastra dengan ancangan literasi kritis. PEMBAHASAN Konsep Literasi Kritis
Konsep literasi kritis diadaptasi dari teori wacana kritis yang dikemukakan oleh Norman Fairlough (1995). Fairclough (1995) menyatakan bahwa tidak ada teks yang netral, setiap teks memiliki tendensi tertentu, ada ideologi tertentu yang ingin disuarakan, ada dominasi, dan ada hegemoni di balik paparan teks. Teks dipandang sebagai bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain. Kata hegemoni tidak berarti adanya pemaksaan, penindasan, atau kekerasan tetapi lebih pada kontrol terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-sarana kebudayaan (Kolakowski dalam Darma, 2009). Sebagai contoh, dalam sebuah spanduk yang terpampang di tengah kota tertulis: “APBD untuk Rakyat”. Ada gambar pembagian sembako di sebelah tulisan itu. Ini adalah salah satu bentuk hegemoni penguasa. APBD memang dianggarkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat: menyediakan lapangan pekerjaan, menyediakan layanan kesehatan, pendidikan yang memadai, menyediakan fasilitas-fasilitas umum dan infratsruktur yang bermartabat, dan sejenisnya. Mengapa harus ada tulisan APBD untuk Rakyat hanya dengan pembagian sembako yang berupa mi instan dan beras 5 kg? Apa motifnya? Inikah praktik sosial pencitraan supaya tampak baik di mata masyarakat melalui slogan yang diciptakan? Inikah cara penguasa bersembunyi dan menutupi ketidakmampuannya menyejahterakan masyarakat? Nah, inilah literasi kritis yang memandang teks/wacana sebagai bentuk praktik sosial, ada praktik-praktik sosial di balik teks yang harus disikapi secara kritis. Pembaca dengan ancangan literasi kritis tidak menerima begitu saja pendapat, slogan, atau ungkapan. Dalam pandangan wacana kritis, setiap ujaran yang disampaikan oleh penulis, ilustrator, atau pelaku sosial yang lain, disadari atau tidak, merupakan wacana yang tidak hanya berasal dari ide-ide yang ada di benak pelaku-pelaku sosial itu, tetapi berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada struktur sosial material yang riil (Fairlough, 1995). Wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action), artinya wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, membujuk, mengganggu, beraksi. Ada maksud-maksud tertentu dibalik teks/wacana yang dikemukakan. Untuk itu sikap kritis selalu diperlukan untuk mempertanyakan apa yang ada di balik kata-kata dan dari siapa kata-kata itu berasal (Ibrahim, 2008). Bahasa sebagai praktik sosial menuntut kita untuk bersikap kritis, tidak begitu saja menerima pendapat, konsep, kumpulan ide-ide yang dianggap mapan. Asumsi utamanya adalah tidak ada kata-kata yang murni atau polos. Literasi kritis adalah perpaduan antara keterampilan berpikir kritis dan perhatian pada keadilan sosial, politik, bahasa, dan kekuasaan dalam teks (Johnson dan Freedman, 2005). Konsep literasi kritis diadopsi dari analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Norman Faiclough (1995). Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang dapat digunakan untuk melakukan kajian emperis tentang hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Phillips, 2007). Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis ini akan membangun kesadaran kritis pembelajar bahwa materi dan pesan-pesan dalam teks sastra yang dibaca mengandung bias yang mencerminkan adanya hubungan antara kekuasaan pada suatu kelompok dan penindasan pada kelompok yang lain. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis bertujuan untuk menguraikan hubungan antara bahasa dengan kekuasaan. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis ini tidak hanya mewariskan ilmu
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
257
pengetahuan sastra kepada pembelajar tetapi juga mewariskan fakta-fakta sosial, kesadaran tentang hakhak politik sebagai warga negara. Dalam kajian ini, politik bukan sebagai barang angker yang ditakuti atau dibuat menakutkan. Hak-hak politik seperti perlakuan adil oleh sesama mahasiswa, dosen, kampus, dan sistem perkuliahan, dihadirkan di dalam kelas, melalui pembelajaran membaca sastra (Priyatni, 2010) Fokus Kajian Literasi Kritis Ada lima karakteristik dari analisis literasi kritis yang diadopsi dari teori wacana kritis, yaitu (1) setiap teks dikategorikan sebagai tindakan dan ada tujuan tertentu di balik tindakan tersebut, (2) konteks (latar, situasi, peristiwa, dan kondisi ) menjadi alat utama dalam memaknai teks, (3) aspek historis menjadi pertimbangan dalam memaknai teks, (4) setiap teks dipandang sebagai bentuk pertarungan kekuasaan (tidak ada teks yang netral, wajar, tanpa tendensi),dan (5) ada ideologi tertentu di balik teks (dalam Darma, 2009). Berdasarkan karakteristik analisis literasi kritis tersebut, maka kajian sastra dengan ancangan literasi kritis ini akan membangun kesadaran kritis pembelajar bahwa materi dan pesan-pesan dalam teks sastra yang dibaca mengandung bias yang mencerminkan adanya hubungan antara kekuasaan pada suatu kelompok dan penindasan pada kelompok yang lain. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis ini menguraikan hubungan antara bahasa dengan kekuasaan. Kekuasaan adalah isu yang sangat kompleks. Kekuasaan sering dimaknai secara sederhana sebagai suatu dominasi yang dilakukan oleh orang yang lebih kuat secara fisik dan mental kepada orang yang lebih lemah atau yang dilakukan oleh orang terkenal atau orang yang memunyai posisi sosial lebih tinggi kepada mereka yang memiliki posisi sosial lebih rendah. Dalam kenyataannya, kekuasaan adalah suatu tingkatan yang dimiliki seseorang karena popularitas, kekuatan fisik, atau manipulasi legal (Johnson dan Freedman, 2005). Seringkali ketika berbicara tentang kekuasaan berkaitan dengan perlakuan yang tidak seimbang yang diterima oleh orangorang tertentu karena ia berada pada suatu budaya atau masyarakat tetentu. Kekuasaan bisa bersifat legal atau ilegal, atau berupa kekerasan atau perlakukan yang tidak seharusnya (Johnson dan Freedman, 2005) Representasi kekuasaan ini dapat berupa: isu gender, ras, marginalisasi sosial, eksploitasi, dan ketidakberdayaan (powerlessness). Berdasarkan fokus kajian tersebut, maka kajian sastra dengan ancangan literasi kritis dilakukan dengan cara berikut: (1) memahami teks sastra secara intens, (2) menemukan praktik sosial yang tersembunyi di balik teks, yaitu menemukan pola-pola bahasa yang menyuarakan ide-ide khusus tentang kekuasaan, penindasan, didasarkan pada ras, klas sosial, gender, atau kombinasi dari ketiganya, (3) melakukan kajian kritis dengan mempertanyakan dan sekaligus menemukan ideologi yang dominan yang dengan intens disuarakan oleh pengarang,serta jenis karakter dan pesan dominan yang sebenarnya ingin diungkapkan dalam teks sastra tersebut. Gina Cervetti, dkk. (2001) memaparkan fokus kajian literasi kritis seperti disajikan dalam tabel 1 berikut. Tabel 1: Fokus Kajian Literasi Kritis ASPEK ESENSIAL DESKRIPSI Jenis Kajian Kritik (Critique) Tipe-tipe pertanyaan yang 1) Asumsi-asumsi apa yang ada di balik pernyataan-pernyataan penulis? diajukan 2) Apa pikiran-pikiran yang dipahami penulis terkait dengan realitas yang dijadikan pokok persoalan/bahan sastra? 3) Apa yang melatari pemahamannya terhadap realitas tersebut? 4) Apa yang hendak disuarakan? 5) Apa impikasi pernyataan-pernyataannya terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat? 6) Adakah kontradiksi antara realitas dengan perspektif penulis? Fokus Asumsi, produksi pengetahuan, kekuasaan, representasi dan implikasinya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
258
Aspek bahasa yang diamati Realitas yang diamati
Ideologi dan konstruksi realitas. Hanya terbatas pada realitas yang tercermin dalam teks.
Literasi Kritis: Mengungkap Prakti k Sosial dalam Teks Sastra Dalam khazanah sastra, praktik-praktik kekuasaan ini sering digunakan sebagai salah satu bahan dasar sastra. Sebagai contoh dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang tampak praktik kekuasaan dalam kelas yang dilakukan para guru, khususnya guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Di balik deretan kata-kata indah yang tersusun dalam puisi tersebut tersembunyi sebuah keprihatinan yang sangat mendalam terhadap praktik pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah yang hanya menghasilkan murid-murid yang pandai menghafal, miskin kosa kata dan tidak mampu mengembangkan daya nalar dan kreativitasnya. “Murid-murid, pada hari Senin ini Marilah kita belajar tatabahasa Dan juga sekaligus berlatih mengarang Bukalah buku pelajaran kalian Halaman enam puluh sembilan “Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi ‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’ Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri” .... Dominasi guru dalam praktik pembelajaran di kelas dan guru yang tidak memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, adalah representasi dari pembelajaran yang berpusat pada guru, pembelajaran yang bersifat mekanik, yang membatasi siswa untuk berkreasi adalah wujud praktik-praktik sosial yang berkembang di masyarakat, yang dijadikan bahan dasar penulisan puisi Taufik Ismail. Literasi kritis mengungkap praktik sosial dalam teks sastra ini untuk menumbuhkan kesadaran kritis pembelajar terhadap fakta-fakta sosial tersebut. Praktik-praktik kekuasaan dalam khazanah sastra, khususnya sastra Indonesia ini tidak hanya terjadi antar individu tetapi juga antara individu dengan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dalam novel yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari berikut. Aku mengira upacara permandian di pekuburan itu adalah syarat terakhir sebelum seorang gadis sah menjadi ronggeng. Ternyata aku salah. Orang-orang Dukuh Paruk mengatakan bahwa Srintil masih harus menyelesaikan satu syarat lagi. Sebelum hal itu terlaksana, Srintil tak mungkin naik pentas dengan memungut bayaran. Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang harus dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu. (Tohari, 1982) Dari kutipan di atas terlihat jelas bagaimana seorang ronggeng yang harus mengikuti semua perintah pengasuhnya dan kekuasaan pengasuh (dukun) yang sedemikian besar itu dilegitimasi oleh seluruh masyarakat Dukuh Paruk, bukan hanya oleh individu per individu. Dominasi laki-laki yang membatasi ruang gerak perempuan, yang menempatkan perempuan sebagai objek bukan subjek tercermin dalam karya-karya Bali Pustaka. Siti Nurbaya dalam Roman Siti
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
259
Nurbaya karya Marah Rusli, harus pasrah menerima pinangan Datuk Maringgih yang tua renta karena ayahnya berhutang pada Datuk Maringgih. Demikian juga dengan nasib Rafiah yang harus pasrah menerima caci maki dan perlakuan tidak adil dari Hanafi dalam dalam novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Perjuangan menuntut persamaan hak, mulai tampak pada karya-karya angkatan Pujangga Baru. Bahkan tuntutan persamaan seks seperti yang digagas dalam teori feminisme radikal juga telah disuarakan dengan lantang dalam novel yang berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens (2003). Dalam novel tersebut tersurat dengan jelas tuntutan agar masyarakat mau menerima pasangan lesbian sebagaimana pasangan heteroseksual. Dalam novel fenomenal yang berjudul Amba karya Laksmi Pamuntjak (2012) tampak sekali ideologi emansipasi tercermin dalam sikap dan pernyataan-pernyataan yang disuarakan oleh tokoh Amba. Secara tegas penulis Novel Amba ini memang sengaja ingin menentang penghargaan yang rendah kepada perempuan. Tokoh Amba adalah wujud penolakan penulis terhadap penggambaran profil perempuan dalam kisah Mahabharata,yang sangat bergantung pada laki-laki, perempuan yang tidak memiliki hak untuk menentukan jalan hidup dan siapa pasangan hidupnya. Tokoh Amba dalam novel Amba digambarkan sebagai profil perempuan yang berani bersikap dan menentukan tujuan, berani memperjuangkan kebebasan diri dalam mendapatkan pendidikan dan kebebasan diri dalam menentukan pasangan hidup (Fitrahayunitisna, 2014).Tokoh Amba dalam novel Amba juga merupakan penolakan terhadap budaya menerima pasangan hidup yang ditentukan oleh orang tua atau orang yang berkuasa. Tokoh Amba memilih Bhisma, pemuda yang dicintainya daripada Salwani, pemuda pilihan orang tuanya. Dari teks transformasi, novel Amba, dapat dilihat secara jelas ide-ide yang secara lantang menyuarakan emansipasi, yaitu perjuangan untuk menuntut persamaan bidang pendidikan, akses untuk bekerja, menentukan pasangan hidup, dan kebebasan dalam bersikap (Priyatni, 2015). Adanya suatu ras/suku/kelompok yang merasa lebih kuat atau lebih berkuasa daripada yang lain menyebabkan isu-isu rasisme. Dalam Cerpen Clara, Iblis Tidak Pernah Mati, karya Seno Gumira Ajidarma, tampak jelas kebencian terhadap ras Cina. Novel yang berjudul Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens (2003), bercerita tentang perjuangan pelaku utama, Patria, seorang biseksual, yang berjuang melawan marginalisasi yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Ia berjuang agar masyarakat mau menerima dirinya sebagai manusia yang tidak sakit, tidak berdosa, tidak memalukan. Ia berharap masyarakat mau menerimanya sebagai manusia normal karena menurutnya ia mencintai seorang manusia lain meskipun itu sesama wanita. Novel ini bagaikan suatu jeritan kuat untuk menuntut hak dari setiap manusia untuk mencintai seperti apa adanya. Pasangan lesbian di sini tidak dihantui rasa bersalah atau dosa, justru masyarakat, keluarga mereka, agama mereka yang membuat hidup si tokoh utama merasa tak tertahankan. Patria marah terhadap ketiadadilan ini, ia melemparkan kepada pembaca, bersama dengan penggalan kisah yang diambil selama pencariannya lewat sejarah dan filsafat. Ia menghadapi keluarganya, masyarakat dengan sakit dan kepdihan hatinya (Weiringa dalam Herlinatiens, 2003). SIMPULAN Praktik-praktik kekuasaan yang terjadi dalam berbagai ranah ini sering menjadi bahan dasar sastra. Membaca sastra dengan ancangan literasi kritis berupaya mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Tujuannya adalah agar bisa memberi kontribusi kepada perubahan sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam proses komunikasi dan masyarakat secara umum. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Aminuddin. (1995). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV Sinar Baru dan YA3 Malang. Cervetti, Gina; Michael J. Pardales; dan James S. Damico. (2001). A Tale of Differences: Comparing the Traditions, Perspectives, and Educational Goals of Critical Reading and Critical Literacy, www.readingonline.com.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
260
Darma, Yoce Aliah. (2009). Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Fairclough, N. (1995). Critical Discourse Analysis. USA: Longman Publishing. Herlinatiens. (2003). Garis Tepi Seorang Lesbian. Yogyakarta: Galang Press. Ibrahim, Abdul Syukur. (2004). Teori-Teori Pengetahuan. Model Pengayaan Mata kuliah Filsafat Bahasa. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Ismail, Taufik. Aku Malu Jadi Orang Indonesia. Johnson, Holly dan Lauren Freedman. (2005). Developing Critical Awareness at the Middle Level. Using Text as Tools for Critique and Pleasure. Newark USA: International Reading Association.
Pamuntjak, Laksmi. (2013). Amba. Jakarta: Gramedia. Priyatni, Endah Tri. (2010). Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Gramedia. Priyatni, Endah Tri. (2015). Contradictory Transformation Of Novel Amba: (Critical Response With Intertextuality Approach). Proceeding. Disajikan dalam International Conference on
Languages (ICL 2015) Faculty of Languages and Communication, Sultan Zainal Abidin University Malaysia, 10 Oktober 2015 di Hotel Sari Pacifik Malaysia. Tohari, Ahmad. (1982). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
261
46 COMMODIFYING DAUGHTERS: A MARXIST ANALYSIS IN S. RUKIAH’S THE FALL AND THE HEART Izza Puja Lestari Erika Citra Sari Hartanto English Department – Faculty of Social and Cultural Science Universitas Trunojoyo Madura Abstract: S. Rukiah’s The Fall and the Heart is interesting to be analysed because this novel captured the issue of commodification done by the character of Mother toward her three daughters. This study applies qualitative research design and is analysed by applying Marxist perspective of commodification, which is relating objects to their exchange value and sign-exchange value. The result shows that Susi and her two sisters, Dini and Lina, are treated as commodity as their mother’s demanding wishes to get benefits from them. She expects her daughters to be Ladies as to get wealthy men in order to raise their social status. Keywords: commodity, commodification, Marxism.
INTRODUCTION In Indonesia, arrange married has been an usual thing, even it becomes something which has to be done and inherited from one generation to the next generations. This phenomenon happened because of parents’ anxiety to the future of their children. Some parents are afraid that their children will get difficulties to get husbands or wives, so they decided to make a vow with the other family. In Indonesia, especially in Madura, parents used to engage their children to the other children when they are eighteen years old or below. The other factor caused this phenomenon is a belief that children should repay their parents as devotion of what parents had been done to raise them; all of their energy and money they paid to get good facilities and education for them in order to face their future. This belief seemed to make children as a ‘promising infestations’ so when the parents reach non-productive stage, they will not worry about the future of their children and themselves. The second reason which has been explained above also make the children to be more like ‘things’ than ‘humans’ which has values and are able to be ‘sold’ or ‘exchange’. In Marxism, this is called as commodity. In The Fall and the Heart, S. Rukiah obviously shows the phenomenon above. Through her novel, she implied her criticism about the social problems happened in her real life. Children— specifically daughters—as commodities which has some values stated clearly in this novel, hence, make this novel is interesting to be analyzed through Marxist perspective. This novel depicts the act of commodification as embodied in the character of Mother. S. Rukiah was one of Indonesian authors who wrote her literary works before 1970. She wrote poems, short stories, children short stories, and novel. Her first novel also appeared in 1950, entitled Kedjatuhan dan Hati (The Fall and the Heart). Though a lesser known classic, the novel strongly presents the dark side of the revolution touching the lives of peoples and their emotions. The novel is a forceful rendition of a woman's struggle during the country's independence struggle as well as in the period post-independence. It stands as the only novel that explores the negative impact of war on personal relationship through the character of a middle-class woman who lived during the Indonesian National Revolution. (https://en.wikipedia.org)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
262
RESEARCH METHOD This study applies qualitative research design, because the data are taken from the narrator’s narration and the utterances of the characters. Source of data is a novel by S. Rukiah entitled The Fall and the Heart. The analysis of the novel is by gathering the data, interpreting the data, and writing the conclusion. DISCUSSION The Fall and the Heart by S. Rukiah focused on the life and love of three daughters in a family with Susi as the main character, Dini as the first daughter, and Lina as the youngest one. The novel also tells about various problems about marriage. The requirement of Susi’s mother to demand all of her daughters to get marry with a wealthy man, however, makes Susi and her sisters live in miserable way. Surrounded by such situation, Dini, therefore, runs away from her house because she cannot fulfil her mother’s expectations and she, finally, follow her own ideals. In contrast, Lina, decides to follow her mother expectations, which is married to the man whom her mother has chosen although she does not love him at all. While, Susi, is having dilemma whether or not she has to fulfil her ideal promises about her life or to obey her mother’s wish. The character of a mother in the novel is described as a very demanding mother, not only to her daughters but also to her husband. She demands of her daughters to be beautiful women and have attitude like a lady. Susi says, “For Mother, a woman must be gentle and pretty. She had to glow, to be charming enough in speech and manner to acquire a husband... (Rukiah, 2010: 10). That situation seems to portray a mother’s perspective about her daughters as an object or a commodity. According to Karl Marx, “a commodity’s value lies not in what it can do (use value) but in the money or other commodities for which it can be traded (exchange value) or in the social status it confers on its owner (sign-exchange value)” (Tyson, 2006:62). Thus, “commodification is the act of relating to persons or things in term of their exchange values or sign-exchange value to the other considerations.” (Rukiah, 2010: 69). From mother perspective, a daughter has to make sure that she would choose a “sufficient well-off” husband “to repay her parents for the long and arduous work of raising her” (Rukiah, 2010: 10). According to her, repaying means “obeying their orders, serving them faithfully and in general repaying both in the form of kindness and material goods” (Rukiah, 2010:12). The three of them almost fulfil the first value—use value—which is to help and do the households. “Dini took care of th[e] choves”, and Susi “Kept the yard clean, fed the chicken, tidied their cage, and cleaned the bathroom” (Rukiah, 2010:11). The second daughter, Lina, “never helped Unah (their servant)” (Rukiah, 2010: 11) to do the households. Even though Lina does not fulfil this value, mother “still like Lina best” (Rukiah, 2010: 9) through the way she behaves like a lady to get the potential man. The second value which make these girls are treated like a commodity for their mother is the exchange value. As the quotation in the third paragraph, mother wants her daughters to repay by marrying a sufficient husband. She says, “A daughter should have little difficulty in making these repayments, as long as she married a man of sufficient means. And the job would be all the more easy if after finding husband she could gain complete control of his emotions” (Rukiah, 2010:13). This value will be accomplished if mother can get some benefits through married her daughters to sufficient men and give material goods to her. Dini could not gain this because she is “unlady-like” and “didn’t have the skill to attract a man and overpower his heart” (Rukiah, 2010:13). Lina, who can easily have many suitors, agrees to marry Jono, the one her mother has chosen for her. Otherwise, Susi is in between of her sisters. She has dilemma and, finally, decides to promise to accomplish both requirements; marries to make her mother and herself happy. She, sometimes, hates her mother for ridiculing her love to Rustam—man with no high social status. This also makes her hiding her second relationship with Lukman and finally marries Par, her mother’s choice because of his generosity and wealth—not because
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
263
of love. He is even “watching over and taking care [mother] expenses” (Rukiah, 2010: 80) when Susi’s mother is sick. Par fulfils the qualification as someone who, later, can be dominated by Susi and her mother, so she insists Susi to marry him. The third value—sign-exchange value—is depicted when Susi and Lina finally marry to the sufficient men to get the value. Mother believed that she would get some benefits besides the goods that a husband would give, but also a social status: equal or higher status. Mother is really concerned about what people said or thought about their family, so she pushed her daughters to marry the one she had chosen as she asked a rhetorical question to Susi about making “shame your mother and father” (Rukiah, 2010: 27). Lina easily accepts her mother’s choice because she does not have someone to love and she has almost the same perspective with her mother. Rukiah describes Lina as a character who “so weak-willed, let her own desires and attitudes towards love, husband and home deformed” (Rukiah, 2010: 33). She only needs a husband to fulfil her wishes. She is contrast to Susi who has many promises to keep her ideal and then marries Par instead of Luk. Susi does this to recover her own shame and protect her family’s social status because, apparently, she has a son from Luk. At last, Dini is the only daughter who releases herself from her mother’s deed because she follows her ideals. In contrast, Lina and Susi, finally, are doing their mother’s wishes willingly as the devotion to their mother. Mother’s perspective on commodifying her daughters gives different pains to each daughter. Dini escapes to do her own ideals, Lina with no love in her own family, and Susi with her unfulfilled promises. It is obviously that this perspective gives serious damages to each daughter’s psychology, and even the children they would have in the future. This novel provides a serious question to be answered by ourselves about the essence of love to mother and lover. CONCLUSION Rukiah’s The Fall and the Heart obviously depicts the act of commodification by the character of Mother to her daughters. She demands her daughters not only to have use value, but also exchange and sign-exchange values. Her action brings impact for Dini moves out from the house and Lina marries to a wealthy man chosen by her mother. Susi fulfils all of values that her mother wants even though, at first, she disagrees to her mother. REFERENCES Rukiah, S. (2010). The Fall and the Heart. Jakarta: The Lontar Foundation. Tyson, Lois. (2006). Critical Theory Today. USA: Routledge. Siti Rukiah. https://en.wikipedia.org/wiki/Siti_Rukiah#cite_note-2. Retrieved 15th May, 2016.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
264
47 POSKOLONIALISME DALAM NOVEL MERETAS KEBEBASAN KARYA NAGUIB KAELANI DAN NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (KAJIAN SASTRA BANDINGAN) Ike Febriani Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Dewasa ini nada poskolonialisme takbegitu terdengar gaungnya, tetapi dampaknya masih sangat terasa dalam mentalitas dan budaya masyarakat Indonesia. Poskolonialisme memengaruhi kehidupan bangsa terjajah secara holistik. Hal tersebut seperti terdapat dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Kedua novel tersebut memuat nuansa kehidupan poskolonial. Novel pertama berisi kisah heroik penduduk Mesir melawan serdadu Perancis, sedangkan novel kedua menceritakan bagaimana penduduk pribumi hidup pada masa penjajahan Belanda. Dalam makalah ini dibahas konsep-konsep teori poskolonial dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer. Konsep-konsep tersebut adalah mimikri, hibriditas, subordinasi, diaspora, dan subaltern. Dalam hasil pembahasan dapat dibuktikan kelima konsep tersebut terdapat dalam kedua novel tersebut. Kata kunci: poskolonial, novel, sastra, bandingan
PENDAHULUAN Poskolonialisme bisa didefinisikan sebagai sebuah teori dalam analisis sastra yang memfokuskan pada karya sastra yang ditulis di dalam suatu bangsa yang dahulu menjadi jajahan bangsa lain. Pendekatan ini berkonsentrasi atau memfokuskan pada tulisan-tulisan dari budaya bangsa-bangsa yang pernah dijajah, seperti Indonesia dan Mesir atau bangsa-bangsa lain serta masyarakat yang dulu didominasi atau dikuasai bangsa lain. Dalam makalah ini, dibahas perbandingan karya sastra Indonesia yang dijajah Belanda dan karya sastra tentang perjuangan rakyat Mesir melawan penjajah Perancis. Sastra dan teori poskolonial menginvestigasi apa yang akan terjadi ketika dua budaya bertemu dan bertentangan dan ketika salah satu dari keduanya dan dengan ideologi-ideologinya berkuasa dan menganggap lebih superior dari yang lain. Hal tersebut jelas terdapat dalam novel Meretas Kebebasan karya Naguib Kaelani dan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Mengenai istilah Poskolonial, Ratna menyatakan bahwa secara etimologis, Poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia Bahasa Romawi yang berarti tanah pertanian atau permukiman (2004:205). Jadi secara etimologis, kolonial tidak berarti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Pengertian tersebut muncul dengan nilai rasa di dalamnya sehingga konotasi negatif kata kolonial diterima secara umum. Hal tersebut lebih lanjut dijelaskan Ratna disebabkan oleh interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa. Poskolonialisme dalam sastra Indonesia ditandai dengan lahirnya karya sastra pada era penjajahan Belanda. Dalam periodisasi sastra Indonesia, karya tersebut termasuk dalam angkatan Balai Pustaka, yaitu antara tahun 1920 hingga 1940-an. Karya sastra Indonesia berkembang sesuai zamannya. Pada zaman penjajahan Belanda di Indonesia melahirkan karya sastra berbau kolonial. Kolonialisme di Indonesia yang menyebabkan menderitanya rakyat Indonesia memberikan dampak yang begitu besar terhadap jati diri, kondisi kejiwaan, dan masa depan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini mengakibatkan adanya perlawanan rakyat yang demikian besar terhadap penjajah saat itu. Perlawanan tersebut berdasarkan kemampuan yang dimiliki seluruh bangsa di negara ini.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
265
Sastra dan teori poskolonial menginvestigasi apa yang akan terjadi ketika dua budaya bertemu dan bertentangan dan ketika salah satu dari keduanya dan dengan ideologi-ideologinya berkuasa dan menganggap lebih superior dari yang lain. Hal tersebut memunculkan dialektik penjajah-terjajah. Oleh karena itu, terdapat pula dampak penciptaan karya sastra bertema poskolonial terhadap penjajah dalam suatu negara. Perkembangan Poskolonialisme di Indonesia takterlepas dari pengaruh kedudukan penjajah yang beratus-ratus tahun menjajah Indonesia. Selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun lamanya Indonesia dijajah Belanda itulah yang melahirkan bangsa yang memiliki mental ‘lemah’ seperti saat ini. Ratna (2004:205) menyatakan bahwa bila dikaitkan dengan teori-teori poskolonialisme yang lain, studi poskolonial termasuk relatif baru. Lebih lanjut dikemukakan bahwa cukup sulit untuk menentukan secara agak pasti kapan teori poskolonialisme lahir. Hal tersebut terjadi karena terdapat berbagai sumber dan data yang menjelaskannya. Sebelum berakhirnya kolonialisme Belanda di Hindia, terbayang berbagai cara adanya jarak ‘Indonesia’ antara diri mereka dengan realitas kehidupan kolonial; seperti diilustrasikan bahwa sudah ditemukan adanya suatu dimensi ‘post’ dalam teks-teks yang ditulis pada masa kolonial Hindia Belanda (Foulcher dan Tony, 2008: 4-5). Pernyataan tersebut berarti bahwa poskolonialisme di Indonesia terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat ketika terjadi dan telah terdapat jarak yang nyata di antaranya. PEMBAHASAN Dalam bagian ini disajikan analisis pembahasan tiap konsep teori Poskolonial sesuai dengan data yang terdapat dalam novel Meretas Kebebasan karya Naguib Kaelani dan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Novel Meretas Kebebasan selanjutnya disingkat MK, sedangkan novel Bumi Manusia selanjutnya disingkat BM. Konsep-konsep teori poskolonial yang terdiri atas lima hal diaplikasikan dengan data kedua novel, lalu disajikan perbandingan antara keduanya. Kelima konsep tersebut sesuai dengan penjelasan pada bagian terdahulu makalah ini, yakni konsep mimikri, hibriditas, subordinasi, diaspora, dan subaltern dengan pembahasan sebagai berikut. Mimikri dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Menurut Endraswara (2003:177) problem pokok yang selalu menyelimuti kaum terjajah dalam menghadapi penjajah adalah ihwal emansipasi dengan cara peniruan (mimikri). Hal tersebut digambarkan relasi penjajah-terjajah yang buruk sebagaimana terdapat dalam novel MK berikut. Alangkah indahnya jika manusia hidup tenang dan damai di mana mereka bisa berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan mereka dan memberikan yang terbaik untuk anak-cucu mereka dan masyarakat. Namun, eksistensi kejahatan dalam kehidupan inilah yang membangkitkan kekuatan-kekuatan kebaikan melawan kejahatan itu. Itu adalah sunnah kehidupan (Kaelani, 2006:50). Hubungan itu ditandai dengan adanya ketidakdamaian hidup bangsa terjajah akibat penindasan dan penjajahan. Hal ini menunjukkan dampak dari sikap negatif penjajah yang jahat dan semena-mena terhadap bangsa yang dijajah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa mimikri dalam novel BM terkandung pada bagian novel yang menceritakan relasi penjajah - terjajah. Dalam novel BM ditampilkan beragam tokoh dari berbagai bangsa. Tokoh Barat/Eropa berasal dari Belanda (Tuan Mellema dan anaknya), para guru di sekolah HBS, keluarga Miriam, temannya yang berasal dari Perancis, yaitu Jean Marais. Hadir juga warga Asia dari Cina dan Jepang. Yang tidak tertinggal adalah tokoh Indo atau anak hasil pernikahan/hubungan antara warga Eropa dan pribumi. Terakhir adalah tokoh pribumi. Tokoh pribumi yang disebut-sebut dalam BM juga beragam asalnya, dari Jawa, Madura, dan Aceh.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
266
Dan setiap penduduk Surabaya dan Wonokromo, kiraku tahu belaka: itulah rumah hartawan besar Tuan Mellema. Orang menganggap rumahnya sebuah istana pribadi, sekalipun hanya dari kayu jati. Dari kejauhan sudah nampak atap sirapnya dari kayu kelabu. Pintu dan jendela terbuka lebar. Tidak seperti pada rumah plesiran Ah Tjong (Toer, 2006:24). Berdasarkan kutipan novel di atas, terdapat mimikri dalam bentuk mimic man (istilah yang dipakai Gandhi, 2006) pada tokoh Jean. Dari segi budaya kependidikan Jean yang mencerminkan kehidupan bangsa penjajah yang merupakan kaum terpelajar. Dinyatakan dalam penggalan tersebut bahwa Jean berkuliah, lalu menggeluti cabang seni budaya, yakni seni lukis. Selain tokoh yang terlibat dalam cerita (alur), BM juga menyebut nama tokoh- tokoh nyata yang pernah ada, misal Multatuli nama samaran penulis Max Havelaar, Roorda van Eysinga yang disebut meminta perhatian Eropa agar memperlakukan bangsa Hindia secara patut (Toer, 2006:211). Ada juga Snouck Hurgronje. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori asosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Prek persetan! (Toer, 2006:175) nama Hurgronje juga muncul pada halaman 213. Hibriditas dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Hibriditas mencerminkan kejadian masa lalu berupa penjajahan yang berkepanjangan mengakibatkan mentalitas bangsa terjajah menjadi rusak dan makin parah ketika hal tersebut terjadi secara terus-menerus sehingga terwariskan kepada generasi berikutnya. Hal inilah yang kemudian menciptakan peradaban kebudayaan (mentalitas budaya) negatif bagi bangsa terjajah dalam kelangsungan hidupnya hingga turun-temurun. Hibriditas dalam novel MK didominasi oleh penjajahan yang merupakan suatu perjalanan panjang terjadi di Mesir. Bangsa terjajah tersebut mengalami penjajahan tidak mengenakkan akibat penindasan oleh bangsa lain yang asing dalam kehidupannya sebagaimana tampak dalam kutipan berikut. Bukan hanya Perancis semata yang menyebabkan penderitaan kita. Penderitaan kita yang baru ini sudah didahului sebelumnya oleh sebuah episode panjang penindasan dan nestapa yang diciptakan oleh tangan-tangan kolonialis Turki dan Mamalik. Begitu panjangnya episode itu hingga nyaris mengabaikan kesengsaraan kita di tangan mereka dan melupakannya, meskipun kita selalu merasakannya. Tampaknya perang yang sekarang ini kita hadapi akan membuat satu babak baru dalam hidup kita.” (Kaelani, 2006:50). Berdasarkan kutipan novel di atas, jelas bahwa penjajahan yang panjang dikisahkan dalam novel MK membuat masyarakat terjajah memiliki hibriditas (mentalitas ganda/percampuran) karena pengaruh penjajahan yang berlangsung dalam waktu panjang. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan kalimat “Begitu panjangnya episode itu hingga nyaris mengabaikan kesengsaraan kita di tangan mereka dan melupakannya, meskipun kita selalu merasakannya”. Tampak bahwa penjajahan yang berlangsung lama di Mesir baik penjajahan oleh bangsa Perancis maupun bangsa Turki yang terjadi sebelumnya membuat mentalitas ganda masyarakat terjajah itu muncul seolah tanpa disadarinya. Perlakuan yang sama dialami Minke yang diperlakukan sangat rendah oleh Hermann Melema sebagai seekor monyet sebagaimana dalam kutipan “Siapa kasih kowe izin datang kemari, monyet” dengusnya dalam Melayu pasar, kaku dan kasar, juga isinya” (Toer, 2006:37). Subordinasi dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Subordinasi berarti bahwa kaum terjajah sebagai kelompok masyarakat kelas dua memiliki banyak keterbatasan yang dialami di dalam bangsanya sendiri. Novel MK juga menampilkan beragam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
267
tokoh dari berbagai bangsa. Dalam novel tersebut, tokoh berasal dari penduduk Mesir, penduduk Turki, penduduk Negara-negara Arab sekitarnya, dan orang-orang Perancis sebagai penjajah. Orang-orang Perancis sebagai pendatang yang menguasai Mesir pada saat yang disebutkan dalam novel, terdiri atas Napoleon Bonaparte, Jenderal Deboi, Kapten Malos, dan Kliper. Penduduk Mesir terdiri atas tokoh Hilda, Bartalami (ayah Hilda), Haji Musthafa Busyaili, Syaikh Ali Junjaihi, Ahmad Maqbouli, Haji Sadat, Ibrahim Agha, Zaenab, dan lain-lain. Dalam novel ini terdapat permasalahan wanita dan perkawinan campuran atau keluarga campuran, pertentangan pikiran Barat dan Timur, ras, dan agama. Permasalahan tentang wanita, yakni permasalahan yang menyangkut Hilda. Di dalam novel itu, Hilda dipaksa ayahnya untuk menjadi perempuan yang dekat dengan penguasa Perancis yang menjajah Mesir. Tuntutan ayah Hilda itu hingga mengakibatkan Hilda diperkosa Jenderal Deboi di istana. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut. Deboi menatap tajam ke arah Malos. Ia lalu berkata, “Mengertilah... Aku takpernah menginginkannya. Bahkan, aku berharap bisa lepas darinya secepat mungkin. Harapanku ini tak kan tercapai kecuali hanya dengan menidurinya. Kekosongan yang ada pada dirinya harus engkau isi dengan segera demi kepentingan tertinggi. Engkau pasti tahu bahwa kita sampai saat ini masih berkepentingan dengan ayahnya. Oleh karena itu, aku memerintahkanmu pergi ke rumahnya malam ini juga (Kaelani, 2006:144-145). Dalam novel MK, jenderal Deboi tidak mau bertanggung jawab menikahi Hilda karena terikat pernikahan dengan perempuan Perancis umat Kristiani. Hal itu terjaid karena Hilda yang berasal dari bangsa terjajah meruapakan bagian dari masyarakat yang tersubordinasi. Sebagai kelompok kelas dua yang rendahan, Hilda dilakukan semena-mena oleh jenderal Deboi untuk memuaskan nafsu bejatnya. Sebagai alasan Deboi, umat Kristiani yang taat, ia tidak boleh menikahi perempuan lain, apalagi yang tidak seiman dengannya. Dalam BM, ketidakberpihakan pada perkawinan campuran, antara orang Eropa dan pribumi disajikan dengan jelas lewat perkawinan Mellema dan Nyai Ontosoroh, juga Minke dan Annelies. Dalam hukum kolonial Belanda yang hanya mengakui perkawinan secara Kristiani, perkawinan Mellema dan Ontosoroh tidak dapat dilaksanakan. Mellema masih terikat dengan perkawinan terdahulu. Perkawinan Minke dan Annelies secara Islam tidak diakui oleh hukum kolonial Belanda. Penduduk sudah begitu melaratnya selama lebih dua puluh tahun berperang. Takada didapatkan sesuatu untuk kenang-kenangan. Kopral Telinga telah memerintahkan membakar semua rumah. Tepat pada waktu itu orang-orang Aceh nampak seperti rombongan semut, laki dan perempuan. Semua berpakaian hitam. Berseru-seru dalam berbagai macam nada memanggil-manggil Allah (Toer, 2006:103). Berdasarkan kutipan tersebut, tampak bahwa masyarakat terjajah sebagai subordinan mengalami kesusahan hidup akibat penindasan dan penjajahan yang panjang. Hal itu dibuktikan dengan kemiskinan dan kehancuran semua infrastruktur pendukung hidup bangsa yang dijajah. Diaspora dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Bangsa terjajah merasa bahwa mereka mengalami keterasingan hidup di negaranya sendiri akibat penjajahan yang dilakukan oleh dunia Barat. Bentuk resistensi masyarakat terjajah sebagai warga kelas dua atau the other ‘liyan’ dan kaum yang subaltern dengan mengadakan pertempuran dan peperangan dengan bangsa penjajah merupakan cara mereka dalam memperlihatkan eksistensi dirinya di tengahtengah pergolakan penjajahan dan tradisi budaya yang begitu mengekang. Hal tersebut sebagaimana terkandung dalam penggalan novel sebagai berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
268
Aku akan mengikuti Ayah ke mana pun Ayah membawaku. Tak ada yang lebih bernilai dibanding pengorbanan seseorang untuk bangsa dan agamanya. Aku banyak membaca sejarah dan sering mendengar ceramah, Ayah... Aku selalu mengkhayalkan masa-masa kejayaan sejarah kita (Kaelani, 2006:49). Berdasarkan kutipan tersebut, si Aku yang berasal dari bangsa terjajah merasa bahwa dirinya mengalami keterasingan di dalam bangsanya sendiri. Hal itu terjadi taklain disebabkan oleh penjajahan yang panjang dilakukan oleh bangsa Perancis dan penjajah terdahulu lainnya seperti Turki dan Mamalik. Hal tersebut dinyatakan dengan diksi yang seolah sebuah kebebasan itu sangat sulit diraihnya di negaranya sendiri. Bentuk penjajahan lain juga terdapat dalam kutipan berikut. “Dia lulus tapi takmau meneruskan. Juga takmau bekerja. Sepakbola dan berburu dan berkuda saja. Itu saja...” “Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia takada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku” (Toer, 2006:97). Berdasarkan kutipan tersebut pribumi merasa terasing di tanah air sendiri. Keterasingan itu menyebabkan tokoh Robert yang disebut “Dia” dalam penggalan novel kemudian seolah berputus asa. Hal itu dibuktikan dengan keinginannya untuk bermain sepakbola dan berkuda dengan rela meninggalkan bangku sekolah. Subaltern dalam Novel Meretas Kebebasan Karya Naguib Kaelani dan Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Berdasarkan Oxford English Dictionary istilah subaltern memiliki tiga arti berbeda: secara konvensional ia dipahami sebagai sinonim sebagai subordinat, namun bisa juga berarti pekerja keras rendahan dalam ketentaraan, atau contoh khusus yang mendukung posisi universal dalam logika filsafat (Morton, 2008:156). Pengertian konsep subaltern tersebut tampaknya tidak menyimpang dari pembahasan konsep tersebut dalam teori poskolonial makalah ini. Hal tersebut berarti bahwa masyarakat golongan inferior dalam poskolonialisme merupakan kelompok marginal oleh golongan superior, yakni penjajah. Dalam novel MK, diceritakan bahwa Hilda dipaksa ayahnya untuk menjadi perempuan yang dekat dengan penguasa Perancis yang menjajah Mesir. Pemaksaan ayah Hilda tersebut tidak lain karena mereka adalah kelompok marginal sehingga bila ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada penduduk pribumi lain yang dijajah, mereka harus tunduk patuh serta menjadi spionase bagi bangsa penjajah. Tuntutan ayah Hilda itu hingga mengakibatkan Hilda diperkosa Jenderal Deboi di istana. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut. Deboi sebagai kaum penjajah menindas Hilda dengan memerkosanya. Deboi menatap tajam ke arah Malos. Ia lalu berkata, “Mengertilah... Aku takpernah menginginkannya. Bahkan, aku berharap bisa lepas darinya secepat mungkin. Harapanku ini tak kan tercapai kecuali hanya dengan menidurinya. Kekosongan yang ada pada dirinya harus engkau isi dengan segera demi kepentingan tertinggi. Engkau pasti tahu bahwa kita sampai saat ini masih berkepentingan dengan ayahnya. Oleh karena itu, aku memerintahkanmu pergi ke rumahnya malam ini juga (Kaelani, 2006:144-145). Dalam novel MK, jenderal Deboi tidak mau bertanggung jawab menikahi Hilda karena terikat pernikahan dengan perempuan Perancis umat Kristiani. Hal itu terjaid karena Hilda yang berasal dari bangsa terjajah meruapakan bagian dari masyarakat yang tersubordinasi. Sebagai kelompok kelas dua yang rendahan, Hilda dilakukan semena-mena oleh jenderal Deboi untuk memuaskan nafsu bejatnya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
269
Sebagai alasan Deboi, umat Kristiani yang taat, ia tidak boleh menikahi perempuan lain, apalagi yang tidak seiman dengannya. Dalam BM, hubungan antara penjajah dan terjajah tepatnya antara Tuan Mellema dan Sanikem sangat hierarkis. dominatif, dan menindas dengan memerkosa. Ia dipaksa Tuan Mellema untuk melayani nafsu berahinya sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut. “Diangkatnya aku lagi dan dipeluk dan diciumnya... Ia dirikan aku kembali ke lantai..... Diangkatnya badanku dari lantai, diletakkannya di ranjang. Sampai berapa lama bukit daging itu berada bersama denganku. Aku pingsan Annelies. Aku taktahu lagi apa yang terjadi (Toer, 2006:73-74). Berdasarkan kutipan di atas, ditunjukkan watak jahat penjajah dengan memerkosa dengan dominasi tinggi. Pemerkosaan itu dilakukan terhadap perempuan pribumi yang cantik dan takmemiliki daya dan lemah. Dalam BM, ketidakberpihakan pada perkawinan campuran, antara orang Eropa dan pribumi disajikan dengan jelas lewat perkawinan Mellema dan Nyai Ontosoroh, juga Minke dan Annelies. Dalam hukum kolonial Belanda yang hanya mengakui perkawinan secara Kristiani, perkawinan Mellema dan Ontosoroh tidak dapat dilaksanakan. Mellema masih terikat dengan perkawinan terdahulu. Perkawinan Minke dan Annelies secara Islam tidak diakui oleh hukum kolonial Belanda. Bentuk resistensi masyarakat terjajah sebagai warga kelas dua atau the other ‘liyan’ dan kaum yang subaltern dengan mengadakan pertempuran dan peperangan dengan bangsa penjajah merupakan cara mereka dalam memperlihatkan eksistensi dirinya di tengah-tengah pergolakan penjajahan dan tradisi budaya yang begitu mengekang. Hal tersebut sebagaimana terkandung dalam penggalan novel sebagai berikut. Aku akan mengikuti Ayah ke mana pun Ayah membawaku. Tak ada yang lebih bernilai dibanding pengorbanan seseorang untuk bangsa dan agamanya. Aku banyak membaca sejarah dan sering mendengar ceramah, Ayah... Aku selalu mengkhayalkan masa-masa kejayaan sejarah kita (Kaelani, 2006:49). Berdasarkan kutipan tersebut, si Aku yang berasal dari bangsa terjajah merasa bahwa dirinya seolah menjadi orang asing dalam negeri sendiri yang terkungkung oleh penjajahan panjang yang tiada henti. Hal tersebut dinyatakan dengan diksi yang seolah sebuah kebebasan itu sangat sulit diraihnya di negaranya sendiri. Relasi antara penjajah dan terjajah menunjukkan bahwa kaum penjajah dengan seenaknya memperbudak dan menindas kaum terjajah. Hal tersebut termasuk pada sendi kehidupan sehari-hari ketika penjajahan berlangsung. Sebagaimana kutipan berikut yang berisi bahwa kaum yang dijajah harus tunduk patuh terhadap kaum penjajah. “Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia takada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku” (Toer, 2006:97). Berdasarkan kutipan tersebut tokoh Mama dan si aku yang merupakan pribumi sangat dibenci kalangan penjajah. Selain itu, pribumi juga diperlakukan semena-mena dengan dipaksa untuk tunduk patuh serta menyerahkan semua aset yang dimiliki. Jelas, hal tersebut tidak mencerminkan mental bangsa penjajah yang baik seperti yang dianggapnya, tetapi justru mental orang jahat yang tega dan takberperikemanusiaan. SIMPULAN
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
270
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Novel MK dan BM mengambil setting waktu yang sama, yaitu penghujung abad ke-18 sampai sekitar tahun 1900-an. Keduanya terdapat permasalahan yang mirip: juga atau keluarga campuran, pertentangan pikiran Barat dan Timur, ras dan agama. Dalam BM, ketidakberpihakan pada perkawinan campuran, antara orang Eropa dan pribumi disajikan dengan jelas lewat perkawinan Mellema dan Nyai Ontosoroh, juga Minke dan Annelies. Dalam hukum kolonial Belanda yang hanya mengakui perkawinan secara Kristiani, perkawinan Mellema dan Ontosoroh tidak dapat dilaksanakan. Mellema masih terikat dengan perkawinan terdahulu. Perkawinan Minke dan Annelies secara Islam tidak diakui oleh hukum kolonial Belanda. Karena Annelies telah diakui secara sah sebagai anak Mellema yang berarti dia adalah warga Belanda, maka pengadilan kolonial dengan mudah membatalkan perkawinan mereka. Dalam MK, ketidaksukaan terhadap perkawinan campuran muncul melalui sikap Jenderal Deboi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkawianan campuran itu tidak dikehendaki bangsa penjajah karena bangsa terjajah merupakan masyarakat yang tersubordinasi (kelas dua) dan juga subaltern (kelompok marginal). Konsep mimikri terdapat baik dalam novel MK maupun BM. Konsep mimikri terkait dengan hubungan yang berjarak antara bangsa terjajah dan bangsa penjajah. Selain itu, mimikri terjadi karena bangsa penjajah memandang diri mereka adalah kaum superior yang mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada kaum terjajah. Begitu pula dengan konsep hibriditas, subordinasi, diaspora, dan subaltern terdapat dalam novel MK dan BM. Daftar Pustaka Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Foulcher, Keith dan Tony Day (ed.). (2008). Sastra Indonesia Modern: Kritik Poskolonial Clearing a Space (Edisi Revisi). Jakarta: Yayaasan Obor Indonesia. Gandhi, Leela. (2006). Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. Kaelani. 2006. Meretas Kebebasan: Kisah Perjuangan Masyarakat Mesir Melawan Penjajah Perancis. Bekasi Timur: Menara. Morton, Stephen. (2006). Gayatri Spivak: Etika, Subaltern, dan Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararaton. Ratna, Nyoman Kutha. (2004). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Toer, Pramoedya Ananta. (2006). Bumi Manusia. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
271
48 BENTUK-BENTUK KRITIK KEMISKINAN DALAM NOVEL “NAK, MAAFKAN IBU TAK MAMPU MENYEKOLAHKANMU” KARYA WIWID PRASETYO Kusyairi Universitas Madura Abstrak: Pengarang tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Ia tidak akan tinggal diam dan lewat karyanya, ia akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu merupakan salah satu karya Wiwid Prasetyo yang diterbitkan oleh Diva Press tahun 2010. Novel ini mengisahkan perjuangan ibu dan anaknya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan orang miskin di pinggiran kota yang tersisihkan dan semakin menderita karena alam yang tercemar oleh limbah hasil konpirasi pejabat dan pengusaha. Rumusan masalah penelitian ini: Bagaimanakah bentuk kritik kemiskinan dalam novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo? Tujuan penelitian: mendeskripsikan kritik kemiskinan; 1) bentuk kritik kemiskinan natural, dan (2) bentuk kritik kemiskinan struktural. Metode penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menggambarkan atau melukiskan fakta-fakta secara sistematis tentang bentuk kritik kemiskinan dalam novel. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, teknik analisis data dilakukan dengan cara; (1) Identifikasi data, (2) Klasifikasi data, (3) Interpretasi data, (4) Deskripsi data bentuk kritik kemiskinan dalam novel. Hasil penelitian : (1) bentuk kritik kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena SDA dan SDM yang tidak memungkinkan suatu masyarakat untuk lepas dari jerat kemiskinan, hal tersebut nampak pada keluarga Wak Bajo dan masyarakat Rata totok yang menderita kemiskinan karena faktor alam dan sumber daya manusia mereka yang lemah, (2) bentuk kritik kemiskinan struktural yang disebabkan campur tangan manusia yang membuat masyarakat lain menjadi miskin. Hal tersebut nampak pada novel yang menunjukkan masyarakat yang menjadi miskin disebabkan pencemaran lingkungan oleh PT Newmont dan ketidak pedulian masyarakat lain terhadap orang-orang miskin. Kata Kunci: Kritik, Natural, Stuktural, Kemiskinan, Novel
PENDAHULUAN Sastra, manusia, dan lingkungannya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan dalam kehidupan dan dirasakan penulis mengenai segi-segi kehidupan. Kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan sesuatu yang bermakna. Sastra dalam fenomenanya memberikan pemahaman mendalam terhadap beragam masalah kehidupan manusia serta menawarkan interpretasi yang luas. Sejak awal pertumbuhan karya sastra Indonesia hingga kini, banyak karya sastra yang mengandung unsur pesan sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri misalnya dalam kehidupan pendidikan, budaya, sosial, dan kemiskinan rakyat. Karya sastra yang bernilai tinggi yang di dalammya menampilkan pesan-pesan kritik sosial. Sastra yang mengandung pesan kritik dapat juga disebut sebagai sastra kritik. Sastra bernuansa kritik sosial lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam masyarakat (Nurgiyantoro, 1998: 330). Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ia tidak akan tinggal diam dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal yang diyakini kebenarannya. Berbagai penderitaan rakyat kini menjadi korban kesewenang-wenangan, pengangguran, atau selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan pihak yang selalu di bawah, kalah dan dikalahkan. Kritik sosial cenderung melihat kekuasaan dan rakyat kecil yang mengalami kemiskinan (Nurgiyantoro, 1998: 331&334). Novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu merupakan salah satu karya Wiwid Prasetyo yang diterbitkan oleh Diva Press pada tahun 2010. Novel ini mengisahkan perjuangan ibu dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
272
anaknya dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan orang miskin di daerah pinggiran kota yang tersisihkan ketika orang pejabat dan pengusaha meraup keuntungan dari alam mereka dan semakin menderita karena alam yang ditinggalkan tercemar oleh limbah hasil konpirasi pejabat dan pengusaha. Penulis termotivasi untuk meneliti tentang bentuk kritik kemiskinan novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk untuk mendeskripsikan secara objektif bentuk kritik kemiskinan; (1) bentuk kritik kemiskinan natural, dan (2) bentuk kritik kemiskinan struktural dalam novel Nak Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan.dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Penelitian jenis rancangan ini didasarkan pada jenis data yang akan dianalisis, yakni bersifat kualitatif berupa data verbal, bukan data angka yang menggunakan alat pengukur. PEMBAHASAN Kritik kemiskinan adalah bentuk kritik sosial yang memfokuskan pada masalah-masalah kemiskinan yang terjadi pada masyarakat (Suyanto, 2005: 6). Selama dasawarsa 1970-an pada saat minat dan perhatian bagi masalah kemiskinan tengah meningkat, para ahli ekonomi pembangunan mulai berusaha mengukur luasnya atau kadar perannya didalam suatu negara dan antar negara dengan cara menentukan atau menciptakan suatu batasan yang lazim disebut sebagai garis kemiskinan. Bentuk kritik kemiskinan natural dimulai dengan pernyataan Sudjatmoko (dalam Amal, 1998:107) yang mengatakan bahwa penduduk miskin tidak banyak memiliki kesempatan untuk memperbaiki hidupnya, dan lagi mereka diatomisasikan (dikucilkan). Kemiskinan penduduk sudah sedemikian parah, membuat mereka tidak mampu berbuat banyak. Terlebih-lebih atomisasi mengkibatkan mereka tak berdaya. Secara politik ekonomi, mereka tidak mempunyai kekuatan. Dari itu, menurut Sudjatmiko, lapisan miskin harus menumbuhkan menghimpun mereka menjadi suatu kekuatan yang ampuh. Pandangan kritik ini terhadap kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang identik dengan struktur menindas dan menghisap dan struktur ini langgeng sebagai batu karang karena disahkan oleh ideologinya. Maka jika seseorang mau mempersoalkan dan menyimak kemiskinan, hal yang paling mulamula dikaji adalah justru hal yang paling abstrak dalam masyarakat. Hal-hal yang seakan-akan semakin jauh dari kenyataan kemiskinan yang sepenuhnya riil dan konkrit. Sebab orang yang mati kelaparan adalah riil, pemuda yang terus menganggur adalah nyata, ibu yang harus rela melihat anaknya mati kurang makan adalah konkrit (Amal, 1998:140) Kritik Kemiskinan Natural Merupakan kemiskinan yang disebabkan karena keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tidak dapat dimanfaat manusia atau masyarakat untuk mengentaskan kemiskinannya agar menjadi layak dan hidup sejahtera. Novel Nak Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu Karya Wiwied Prasetyo penuh dengan bentuk kritik kemiskinan pada bentuk kritik natural yang dapat dilihat pada kutipan berikut; Bekerja dan bekerja teruslah kami, meskipun pekerjaan yang kami lakukan ini tak pernah membuat kami makmur. Kami tetap miskin, tetapi kami mensyukuri kemiskinan ini. Mungkin bagi Allah, inilah yang terbaik, sebab Allah tak pernah menilai kemiskinan sebagai buah keburukan. (Prasetyo, 2010: 26)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
273
Data di atas mencerminkan bentuk kritik kemiskinan natural. Kemiskinan yang tidak dapat dirubah meskipun orang-orang miskin tersebut telah berusaha dengan keras keluar dari kemiskinan tersebut. Wak Bajo sekalipun telah berusaha bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup dan berusaha menyejahterakan kehidupan keluarganya, namun sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ia miliki tidak dapat merubah keadaannya yang masuk dalam kubang kemiskinan, Wak Bajo dan anaknya, Wenas, tetap dalam keadaan miskin dan seringkali menderita kelaparan, meskipun memiliki sebidang tanah garapan. Tangan-tangan kami sudah bersiap mencabut singkong dan ubi jalar, kami sudah persiapkan tenaga sejak dari rumah meski hanya mencaplok seiris singkong rebus yang hanya mengganjal tetapi tak pernah memberikan rasa kenyang. Sebab, kami tak pernah makan kenyang, bahkan kami lupa seperti apa rasa perut yang kenyang itu. (Prasetyo, 2010: 27) Wenas yang tetap hidup dalam kemiskinan sekalipun telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun karena sumber daya alam yang tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan, akhirnya, meskipun telah bekerja keras dan berupaya sekuat mungkin, keluarga wak Bajo tidak dapat merubah nasib hidup keluarganya.. Wak Bajo yang melihat itu seketika menjadi lemas. Bagaimana bisa? Susah payah mereka menggemburkan tanah, menenm singkong, namun hasilnya gagal dan gagal lagi. Pekerjaan yang telah mereka lakukan selama beberapa bulan terakhir dipanggang oleh panas dan teriknya matahari sia-sia. Belum lagi mereka harus pergi saat mentari belum begitu merekah dan pulang saat mentari terlelap semua seakan-akan seperti menegakkan benang basah. (Prasetyo, 2010: 27-28) Data di atas menggambarkan kehidupan Wak Bajo dan anaknya yang hidup dalam garis kemiskinan sekalipun telah bekerja keras. Usaha yang mereka lakukan seolah-olah merupakan usaha yang sia-sia, karena sumber daya alam yang mereka miliki yaitu sebidang sawah garapan tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk mensejahterakan kehidupan mereka, sebagai keluarga yang prasejahtera. Namun, meskipun demikian, mereka tetap melakukan pekerjaan untuk sekedar menyambung hidup. Kemiskinan Struktural Merupakan kemiskinan yang disebabkan karena perilaku atau kesengajaan suatu pihak terhadap masyarakat yang tidak memberikan kesempatan untuk dapat bangkit dari kemiskinan atau suatu pihak yang sengaja melemahkan atau membuat kerugian orang lain yang seharusnya dapat mengentaskan diri dari kemiskinan demi keuntungan pribadi. Novel Nak Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu Karya Wiwied Prasetyo penuh dengan bentuk kritik kemiskinan pada bentuk kritik struktural yang diakibatkan oleh piha PT Newmont yang berusaha mengeruk kekayaan pulau Minahasa dan membuat limbah pabriknya ke laut dan ke suangai yang mengakibatkan hasil laut tidak dapat dikonsumsi dan diperjualbelikan karena tercermar dan sawah-sawah yang tercemar yang membuat tanaman pangan tidak berbauah, hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut; “Di sini bukan Jepang, Anak mada. Di sini Minahasa, pulau terpencil yang sangat elok dan kaya akan harta karun!” “Haha! Dipikirnya gampang membuat negeri ini seperti Jepang!” “Negeri inisudah ditakdirkan miskin dari sananya” “Miskin, tetapi kita bersyukur alam kita kaya, kita tak perlu kerja keras!” “Ayo kita pulang saja. Tak ada gunanya mendengarkan pembicaraan itu!” (Prasetyo, 2010: 25) Data di atas menunjukkan bentuk kritik kemiskinan struktural yang menimpa masyarakat miskin. Kemiskinan pada data tersebut disebabkan sikap apatis warga yang terlalu dimanja oleh alam, sehingga
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
274
tidak memiliki motivasi untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan dengan bekerja keras. Kemiskinan seperti ini merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor kesengajaan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, sehingga masyarakat harus merubah moral dan mental cinta bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri dengan meningkatkan kualitas SDM yang lebih bermutu dan bermartabat. Pak kasihanilah aku Pak, Bu, kasihanilah aku,” kata Wak Bajo dengan menengadahkan tangannya. Beberapa orang di sebelah Wak Bajo begitu tahu bahwa Wak Bajo di sebelahnya mengemis, maka langkah mereka surut ke belakang. Antara perasaan jijik bercampur kasihan. Bahkan beberapa orang menghardik. (Prasetyo, 2010: 80) Kemiskinan pada data tersebut disebabkan ketidakpedulian masyarakat terhadap nasib orang lain yang miskian dan membutuhkan pertolongan. Kemiskinan struktural dapat di atasi dengan meningkatkan rasa solidaritas masyarakat terhadap masyarakat lain yang membutuhkan dengan memberikan bantuan atau memberdayakan mereka, sehingga dapat terlepas dari lingkaran kemiskinan yang menyebabkan ketimpangan sosial dan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. SIMPULAN Kesimpulan penelitian tentang bentuk kritik kemiskinan dalam novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwied Prasetyo adalah (1) Bentuk kritik kemiskinan bentuk natural merupakan bentuk kritik kemiskinan yang disebabkan karena SDA dan SDM yang tidak memungkinkan suatu masyarakat untuk lepas dari jerat kemiskinan, hal tersebut nampak pada keluarga Wak Bajo dan masyarakat Ratatotok yang menderita kemiskinan karena faktor alam dan sumber daya manusia mereka yang lemah, (2) bentuk kritik kemiskinan struktural yang disebabkan campur tangan manusia yang membuat masyarakat lain menjadi miskin. Hal tersebut nampak pada novel novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwied Prasetyo yang menunjukkan masyarakat yang menjadi miskin disebabkan pencemaran lingkungan oleh PT Newmont dan ketidakpedulian masyarakat lain terhadap orang-orang miskin. Penelitian ini secara teoretis adalah dapat dijadikan pijakan awal dalam memahami novel Nak Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo untuk mencari fenomena sosial yang ada di dalamnya. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu arternatif bahan ajar dalam pengajaran sastra di sekolah, mengingat bahwa bahan ajar yang ada di sekolah kurang mamadai. Oleh karena itu kajian novel Nak Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo tentunya dapat dijadikan sebagai materi tambahan. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. (2009). Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Amal, Syafi’I. (1998). Kegalauan Ekonomi Politik ORBA. Bandung: Forum Komunikasi Masyarakat Giddens, Anthony. (2009). Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: Universitas Indonesia Press Mas’oed, Mohtar. (1999). Krtitik Sosial. Yogjakarta: UII Press Yogjakarta Moleong, Lexi. (2007). Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Rosda Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press Prasetyo, Wiwid. (2010). Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menykolahkanmu.. Bandung: Diva Press Suraji dan James A. Corporaso. (2008). Teori-teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suyanto, Bagong dan Karnaji. (2005). Kemiskinan dan Kesenjangan sosial : Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Universitas Airlangga Press Wiyatmi. (2006). Pengantar Kajian Sastra. Yogjakarta: Pustaka
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
275
49 AFGHANISTAN CLASS STRATIFICATION IN KHALED HOSSEINI’S AND THE MOUNTAIN ECHOED Kurnia Angger Eka P Diva Wenanda English Department – Faculty of Social and Cultural Science University of Trunojoyo Madura Abstract: This article deals with the reflection of Afghan‟s social class in Khaled Hosseini‟s And The Mountains Echoed. The aim of this article is to describe the stratification of class in Afganistan and the response of some characters towards class stratification reflected in Khaled Hosseini‟s And The Mountains Echoed. Some utterances from the novel was analyzed from marxist approach focusing in class stratification and class conflict. The result of the study are: (1) Afghan stratify their society into two; they are the upper class and the lower class. The master, the landlord, and the religious leader are included in the upper class or the dominant. While the villagers, and the servants are included in the lower class or the dominated, (2) Hard work, be adopted children, migration, fight, and Education are the response of some characters towards class stratification that reflected in thenovel. Key words : Afghanistan, Marxism, Class Stratification, Class Conflict
Introduction The authors are the part of society; it makes literature that written by them is kinds of expression of society (Wellek & Warren, 1949). It is called as sociology of literature. One of sociology of literature theory is Marxist criticism. Karl Marx made general statement about culture and society in the 1840‟s. He states that the consciousness of men that determines their being, but on the contrary, their social beings that determines about consciousness (Selden, Widdowson, & Brooker, 2005). Then this statement became controversial. Because for a long time, people have been led to believe that their ideas, their cultural life, their legal systems, and their religions were the creation of human and divine reason, which should be viewed as the unquestioned guides to human life. Marx rejected this argument and state that the ideology systems arethe product ofrealsocial and economic existence (Selden, Widowson, &Broker, 2005). The concept of class system is important problem in Marxist. People are divided into different groupings and their lives are structured according to these grouping system or classes. Some members of society are think of as haves and others are thought of as have-nots. In general, class system separates one group of people to another group. Class system also make unbalance condition in society, one class that have a power oppresses another class that powerless to get several opportunity. It is the proof of the statement above, the relationships between classes are conflict relation (Jones, 2009). Karl Marx believed that the division of society into upper and lower classes is the root cause of all the exploitation in the society. He believed that as the upper class has the means of the production in its control therefore it has the control of the entire society (Marx & Engels, 1848), wherein the labors just suffer for the self-centered incentives of the upper class (the terms used by Marx for the upper class and lower class are Bourgeoisie and Proletariat respectively). Different to industrialized society, the upper class in Afganistan is not the owner of factory but the master, the land lord, and the religious leader. While the lower class is not the physical labours, but the servant, and the villager. The system of who is as the dominant class; and who is the dominated class, Berger (1982) points out that this in turn leads to conflict between individual members of different classes. It leads to the fact that these two groups oppose each other and the conflict occurs due to class oppression. The lower which
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
276
becomes the dominated class takes action in order to accomplish its want to be the upper class and so does the upper. The upper class wants to defend their position. It is called as classconflict. Khaled Hosseini‟s And The Mountains Echoed was chosen by the writer because it novel reflected the real condition of Afganistan, and shows the stratification of Afghan‟s social class, and the conflict that they face. DISCUSSION And The Mountain Echoed is a novel which has an important role in reflecting the Afghan‟s life. By reading this novel, it could be known that the author, Khaled Hosseini, wants to show his personal critics to the domination of Afghanistan‟s dominating class and how the Afghanistan‟s response towards the domination. The Classification of Afghan’s Social Class Social stratification is always been a part of the societies from the dawn of human history. Literature as an expression of society (Wellek & Warren, 1963), being a mirror of the society, has often reflected this class warfare quite profoundly and abundantly. This phenomenon portrait in And The Mountain Echoed, Khaled Hosseini reflected the real social condition in Afghanistan start from the invasion of Russia until the Taliban. How much of the city in Afghanistan was either neglected or basically destroyed. There were a shocking number of widows, orphans, people who had lost limbs to landmines andbombs. “I can sum it up in one word: war. Or, rather, wars. No one, not two, but many wars, both big and small, just and unjust, wars with shifting casts of supposed heroes and villain. The names changed, as did the faces, and I spit on them equally for all the petty feuds, the snipers, the land mines, bombing raids, the rockets, the looting and raping and killing.” (Hosseini,p.133) The Upper Class: The Master Every single aspect of a man‟s life is an expression of his class. Their language, their food, their dress, their ways of living, sleeping and eating represent about their class. The master is one of the upper class in Afghanistan that showed in this novel. The master lives in Kabul, the capital city in Afghanistan. They are people who give a work, (domestic works, such as; cooking, cleaning, washing, and driving) to physical workers then called as the servantthatliveinthebeautifulhighwalledhouse.Nabi,aservantinthisnovel mention that his master‟s kitchen is large enough to feed all of people in his village, and his room in his master‟s house is totally better than the best house in his village. “The first time I entered the stone-tiled kitchen, my mouth fell wide open. I though it had been built large enough to feed all of my home village of Shadbagh. I had a six-burner stove, a refrigerator, a toaster, and an abundance of pots, pans, knives, and appliances at my disposal.” (Hosseini, p.82) Those Nabi’s narration about his master’s kitchen condition is in line with Philip statement that upper classes are economically previleged (1979). The Landlord “The translator drew himself forward to the edge of his chair and leaned toward me. He spoke in a confidential tone. He asked if my mind had gone to rot. Whether I had any idea what your group was willing to pay, did I have any notion of what rentals were going for now in Kabul? He said I was sitting on gold.” (Hosseini, p.143)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
277
Based on the explanation above, there is a statement that Nabi can sitting on gold. He can decide how much the foreign-workers pay him, and the foreign- workers had to accept it, because they need it. This phenomenon is suitable to Elster argument that the class who is dominant in economic sector centralized political power in their own possessing (1986). The Religious Leader As a monarchy country at the first time, Afghanistan was led by a king, but many important decisions were ruled by Mullah. It was witnessed in the novel by Nila, she states that when King Amanullah proclaimed his plan to reshape the country into a new and more enlightened nation. There is no more veil or burqa, polygamy, force of marriage, child marriage and all of women attend school, but those controversial statements make Mullahs feel angry. Finally, Mullahs fight him. “They declared jihad on him, the mullahs, the tribal chiefs. Picture a thousand fists shot heavenward! The king had made the earth move, you see, but he was surrounded by an ocean of zealots, and you know well what happens when the ocean floor trembles, Monsieur Boustouler. A tsunami of bearded rebellion crashed down upon the poor king and carried him off, flailing helplessly, and spat him out on the shores of India, then Italy, and at last Switzerland, where he crawled from the muck and died a disillusioned old man in exile.” (Hosseini,p.197) That evidence assumes that Mullah has an important position in decide important decisions. Mullah is not treated equally to the king but as superiors, and by several ranks at that. It is different with Hegel concept that the king, as a servant of God, is the top of law (2001). In Afghanistan society, as moslem country, the position of „servant of God‟ was replaced by Mullah. Because the function of Mullah is deliverGodandRasul‟s(prophet)messegesthroughteachingQur‟anandHadist. The Lower Class: The Villager Afghanistan had a long history of weak central government unable to extend its reach to all corners of the country (United Nations Office of The High Commissioner for Human Rights, 2010). So that, many areas are isolated. Afghanistan‟s governance structure is Kabul-centric and significantly disconnected from the rural poor. The lack of investment in communication and transportation routes maintained a physical disconnect between people thereby magnifying distance and difference between communities. “Kabul is an island, really. Some say it‟s progressive, and that maybe true. It‟s true enough, I suppose, but it‟s also out of touch with the rest of this country.” (Hosseini,p.43) Those utterances happen when Pari, Abdullah, and Saboor arrive in the Kabul, in the Nila‟s house. Nila asks to Saboor about his impression about Kabul. Then, Saboor answers that Kabul is crowded, and then Nila states that statement. By knowing that utterance, it proves that Kabul is an island that untouched for some people, especially for the poor. The Servant Hosseini shows the servants are also included in the lower class in Afghan‟s society. They are physical workers that serve the upper class. They are typically the poor that feell lucky with their job. “That was when I rose and told them that I had heard enough. I berated them for gossiping like a sewing circle of old women and reminded them that without people like Mr. Wahdati the likes of us would be back in our villages collecting cow dung. Where is your loyalty, your respect? I demand.” (Hosseini, p.89) That utterance happen when Suleiman Wahdati married with Nila. The group of servants met up and gossiped them, because Nila is not a good girl. She has not honor, because of her close relationship
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
278
with many man around the city. Nabi, as their servant, defends them by saying that quotation. That quotation above indicates that being a servant is better than live in the village, because they can do anything in there. So that they feell that they had to thanks to the masters for their condition and for giving them a job. They should stop to gossiping them. Afghan’s Responses towards the Class Stratification Beyond the issues facing these two different social classes, The system of who is as the dominant class; and who is the dominated class, Berger (1982) points out that this in turn leads to conflict between individual members of different classes. It leads to the fact that these two groups oppose each other and the conflict occurs due to class oppression. The dominated class realize that there had to be a moment for them to take action in order to have a better life in the future. The situation which suffered the lower class happened on and on, the lower class in Khaled Hosseini‟s And The Mountains Echoed, finally response it by take some action to fight for its position, or at least survive to still alive in their badcondition. Hard Work The lower class in Afghanistan mostly uneducated, as Philip argument about the lower class that most of lower class has no formal schooling (1979), so that what they could do was use their physical power to struggle for change their life. Their individual struggle was the lower class response towards the domination of upper class as the result of class stratification. Throughout the novel, the struggles of the working and lower classes of Afghans was found in the characterization ofNabi. “Without people like Mr. Wahdati the likes of us would be back in our villages collecting cow dung.” (Hosseini, p.89) The utterance above showed that as a servant of Suleiman and Nila Wahdati, he honored Seleiman Wahdati. He is required to do anything and everything they ask of him. It was better than live in the village that without hope. He believed that this was one of the highest positions a person of his class can hold. Be Adopted Children Abdullah who had his beloved sister Pari torn away from him when he was young. His one true friend was robbed from him, so she could life a better life. “I don’t blame you hate me. It’s your right. But-and I don’t expect you to understand, not now-this is for the best. It really is, Abdullah. It’s for the best. One day you’ll see.” (Hosseini, p.49) That utterance happen when Nila adopted Pari. Abdullah’s sacrifice of his sister for his future, is symbolic of one many Afghani have been forced to make, because of the inability of the lower classes to succeed, as a result of the way in which their society was structured. Fight “And he‟s telling us that there’s nothing he can do now without the papers, do you know what he has on his wrist? A brand-new gold watch he wasn’t wearing the last time my father saw him.” (Hosseini,p.295) Those Gholam’s utterance above shows that poor Afghans tend to bear the greatest burden. They were thus further marginalized as they, who usually depended more on public services, were least able to pay bribes for those services. Iqbal and his family were homeless now, they want to reclaim their land, but they could not do that because they had not money to pay bribes for the justice. On the other hand, Adel’s father (Baba Jan) could claimed Iqbal‟s land, even he did not have ownership document, because he has money to pay a bribes. That condition makes Iqbal fells angry, Afghan’s lower class seemed that he could not out from their bad luck. He saw no solution, so that he decided to against Baba Jan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
279
“But it wasn’t dark enough, not yet, to shroud the old man Adel saw standing at the foot of the front steps, a rock in each hand.” (Hosseini,p.298) One night, Iqbal visited Baba Jan’s house, he threw Baba Jan’s house with stone. Actually, Iqbal known that Baba Jan had many bodyguards, but Iqbal thought that there was no solution, he did not see any ways, he was homeless and poor, he could not move out from the cycle of poverty. In his desperately, this was his last action. Maybe his action could not change anything, but at least he could change Adel’s mind about his father. Migration In December 1979, the Soviet Union invaded Afghanistan to shore up a puppet communist regime. During the 1980’s, armed Afghan resistance groups had known as “mujahidin” waged war against Soviet forces (Bowman & Dale, 2009). It was a time of exodus. During that period, the city was either neglected or basically destroyed. There were a shocking number of widows, orphans, people who had lost limbs to landmines and bombs everywhere. “The 1980’s, as you know, Mr. Markos, were actually not so terrible in Kabul since most of the fighting took place in the countryside. Still, it was a time of exodus, and many families from our neighborhood packed their things and left their country for either Pakistan or Iran, with hopes of resettling somewhere in the West.” (Hosseini, p. 133) By understanding that utterance above, it can be known that in the exodus period, Afghans left their country for their own safety. Conflict between Afghan soldiers, Soviet soldiers, and Mujahidin created an unstable environment in which to work or raise a family. So that, they were going to neighboring countries like Pakistan and Iran with hopes of relocating in the west country. Education Throughout human history, most people live and die in the social class into which they were born. If they were born poor, chances are they will die poor. One way to raise their social class is by getting education. As Philip argument that the social status also related to their education background. Most of lower class has no formal schooling, they were uneducated. On the other hand, the upper class are educated (1979). By getting education, the need for workers in higher-class jobs motivates and enables people to move up in social class, which can help them to escapepoverty. Pari is one of character that changes her life. After she adopted by Nila and Suleiman Wahdati, Nila brought Pari to move to Paris. In Paris, she studied mathematics in Sorbone. “Pari accepts an offer to teach at a prominent university in Paris. She become subject, for a time, to the expected academic jostling and pettines-not surprising, given that, at thirty six, she is the youngest professor in the department and one of only two women.” (Hosseini, p.247) In her very young age, Pari became a professor in Sorbone. By get well education, Pari honored by others. It would be different if she still lived in the village and without getting education like as among Afghan’s girl. CONCLUSION In And The Mountain Echoed, social class stratified into two in Afghanistan. They are the upper class and the lower class. The upper class in Afghanistan cannot be said to be in the form as it exists in an industrialized society, where the owner of the factories as the upper class or the physical labors as the lower class. Meanwhile, the upper class in Afghan’s society that reflected in the novel are the master, the landlord and the religious leader. They are the dominant. The lower class in the novel are millions people that cannot fulfill their basic needs, they are the villagers (they lived in the remotest area) and the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
280
servants. They are thedominated. The response of Afghan‟s towards the class stratification reflected in the novel was shows in the dominated characters in the novel, such as Nabi, Abdullah, Saboor, Iqbal, Idris, Pari, and Nila. Even, there is also an action from Baba Jan as the upper class to defend their position as the dominant. It is related to Berger statement about the class conflict that not only the lower class that fight for upper position but also the upper class defend for their position. There are five response of Afghan towards the class stratification reflected in the novel. They are hard work, be adopted children, fight, migration, and education. REFERENCES Elster, J. (1986). An introduction to karl marx. New York: Cambridge University Press. Marx, K. & Engels, F. (1848). Manifesto of the communist party. Adelaide: The University of Adelaide. Philip, Bernard. (1979). Sociology, from concept to practice. USA: Mc. Grawhill Inc. Wellek, R., & Warren, A. (1949). Theory of literature. New York: Harcourt, Brace. United Nations Office of The High Commisioner for Human Rights. (2010). Human rights dimension of poverty in afghanistan. Retrieved from http://www.unama.unmissions.org
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
281
50 TRAGEDY OF MACBETH AND THE AGE OF SHAKESPEARE: THE INTERACTION OF LITERARY WORK AND ITS SOCIETY Miftahur Roifah English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: This study explores the interaction of literary work and its society. A literary work critically examines the realistic picture of social condition during certain period of time, thus literary works become the mirror and the controller of the society. Based on the theory of sociology and art, a literary work is both giving influence and being influenced by the social changes or phenomenon. Every author cannot deny his cultural and environmental background when they write their literary works. Through this essay, I am interested in exploring the connection between one of William Shakespeare works, Macbeth, with the social condition in the age of Shakespeare. The focus of the analysis is on the significance of how culture, the environment, and the social condition and the characteristics of Shakespeare’s age influence the story of Macbeth. The ideas that William Shakespeare impose in Macbeth based on the social condition of his age are associated with supernatural power and free will. Keywords : Macbeth, The age of Shakespeare, Sociology of literature, Tragedy
INTRODUCTION Hauser (1982:92) in The Sociology of art mentions that art and society are in a state of continuous mutual dependence which propagates itself like a chain reaction. It means that art and society are giving influence to each other, cannot be separated, and the relationship is resulting in certain structure of characteristics. There is a reciprocal relationship between a literary phenomenon and the social structure. The elements of social structure in literary work shows the reader the fundamental conditions of social stability and social change in certain period of time. Literary works critically examine the realistic picture of human life; therefore, literary works become the mirror and the controller of the society. In connection with the statement above, this study is going to explore the interaction of literary work and its society. The analysis focuses on the influence of social condition upon the existence of literary work. Literature does not stand in isolation, but it is always correlated with other things including cultural bond. In other words, literature is shaped by the cultural environment. Through this essay, I am interested in exploring the connection between one of William Shakespeare works, Macbeth, with the social condition of Shakespeare’s age. I am going to look at the significance of how the culture, the environment, and the social condition of Shakespeare’s age influence the story of Macbeth. Besides, the characteristics of Shakespeare’s age and how are they represented in Macbeth is also being discussed. Objective This study aims to elaborate the interaction of literary work and its society in one of William Shakespeare’s great tragedies, Macbeth, using the perspective of sociology and art. The discussion focuses on the analysis of the age of Shakespeare in shaping the story of Macbeth. It will discover the issues relating to the social conditions and phenomena in the age of Shakespeare represented in Macbeth. DISCUSSION The Interaction of Macbeth and the Age of Shakespeare William Shakespeare lived during the year of 1564 to 1616. It belonged to the transitional period between the Middle age and the Elizabethan age. His career bridged the reigns of Elizabeth I and James I,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
282
and he was a favorite of both monarchs. Shakespeare wrote Macbeth in 1606, the age under the reigned of Queen Elizabeth. It signifies that Shakespeare became the witness of a particular period. He experienced life from the Middle age to the Elizabethan age. He saw and faced the social condition that happened during those two periods. Through his literary works, Shakespeare tries to capture the social condition of his age and present the spirit of his age. He gives details portrayal and description of every single phenomenon which happened during his age. Shakespeare cannot deny his cultural and environmental background when he wrote his literary works. In elaborating the content and the story of his works, Shakespeare is very much inspired and influenced by phenomena he has faced and experienced. It is a proof that literary works cannot be separated from the society of the author. Every author, in conducting his/ her fiction must be influenced by his/her background of life. Hauser (1982: 89) mentioned that art both influence and is influenced by social changes, that it initiates social changes while itself changing with them. Hauser (1982: 92) further explained that art and society are in a state of continuous mutual dependence which propagates itself like a chain of reaction. It means that both art and society not only influence each other, but society is modified by the art whose product it is, and that art in a given society confronts a structure which presupposes many of its characteristics, but also that every change in one sphere is linked to change in the other an calls forth a further change in the system in which the change originates. Literary work is a product of society; therefore, every literary work portrays the social condition of the time it was written including Macbeth. Salingar (1991: 15) mentions that Europe in the sixteenth century was dominated by kings. He further explains that the literature of Elizabeth’s reign is centered on the Crown and the central theme of Elizabethan literature is the clash between individuals and the claims of social order. It means that the central ideas of the literature in Elizabethan age talk about the life of someone who is from high degree of society; it can be a king, a queen, or someone in the royal palace and the conflict associated with the struggle for the throne. Macbeth as the product of Elizabethan literature also elaborates the life of people who come from the royal palace. Macbeth tells the story of three people coming from the royal palace. They were Duncan, Macbeth and Banquo. Duncan was the King of Scotland, he was in the highest position of the Scotland society and he got all the respect of his people including Macbeth and Banquo. Both Macbeth and Banquo were Duncan’s General Army. Macbeth: “The service and the loyalty I owe, In doing it, pays itself. Your highness’ part Is to receive our duties; and our duties Are to your throne and state, children and servants, Which do but what they should, by doing every thing Safe toward your love and honour.” Duncan: “Welcome hither”. (Act I, p. 11) The story then goes over the conflict between the three of them. Macbeth and Banquo as the general army of the king should be loyal to him and give all their respect to him, yet both of them change to be disloyal to the king and betray him. It is due to the fact that whether Macbeth or Banquo wants to take the throne of the king. In this point, Macbeth’s willingness to take the king’s throne is bigger than Banquo’s, because Macbeth’s wife strongly supports him to be the king of Scotland. However, Macbeth and Banquo’s willingness does not suddenly come over their mind, there is a very important thing persuade them to do such an action. At the beginning of the story, three witches confront Macbeth and Banquo on their way home from the battle. The witches start their prophecy by saying “Fair is foul, and foul is fair”. They are then involving in a conversation. Macbeth: “Speak, if you can: what are you?” First Witch: “All hail, Macbeth! Hail to thee, thane of Glamis! Sec. Witch: “All hail, Macbeth! Hail to thee, thane of Cowdor! Third Witch: “All hail, Macbeth, that shalt be king hereafter! (Act I, p. 6)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
283
Macbeth receives a prophecy from a trio of witches that one day he will become King of Scotland. The witches inform Macbeth that he has inherited the title Thane of Cawdor. The witches’ prophecy gives so much influenced toward Macbeth’s life. He always thinks of the witches’ prediction and beyond his consciences it’s driving his ambition. Macbeth has a very big desire to make the witches’ prophecy becomes real. He wants to achieve the highest position in Scotland society and gains the power to control them. On the other side, Lady Macbeth, Macbeth’s wife, supports and gives strength to Macbeth to take the throne. She is also eager to be the first lady in the Scotland society. Consumed by ambition and spurred to action by his wife, Macbeth murders King Duncan and takes the throne for himself. Macbeth: “I have done the deed. Didst thou not hear a noise?” Lady Macbeth: “I heard the owl scream and the crickets cry.” …Macbeth does murder sleep,” the innocent sleep, Sleep that knits up the ravell’d sleave of care, The death of each day’s life, sore labour’s bath, Balm of hurt minds, great nature’s second course, Chief nourisher in life’s feast, (Act II, p. 25) At the beginning, Macbeth hesitates to kill Duncan even though his desire to be the king is very strong; however, it was Lady Macbeth’s inner strength that gives active strength to Macbeth. Lady Macbeth: “…I have given suck, and know How tender’t is lo love the babe that milks me: I would, while it was smiling in my face, Have pluck’d my nipple from his boneless gums, And dash’d the brains out, had I so sworn as you Have done to this.” Macbeth :”If we should fail?” Lady Macbeth: “We fail! But screw your courage to the sticking-place, And we’ll not fail. When Duncan is asleep – Whereto the rather shall his day’s hard journey Soundly invite him – his two chamberlains Will I with wine and wassail so convince That memory, the warder of the brain, Shall be a fume, and the receipt of reason A limbeck only: when in swinish sleep Their drenched nature lies as in a death, What cannot you and I perform upon The unguarded Duncan? What not put upon His spongy officers, who shall bear the gulit Of our great quell?” (Act I, p. 19-20) At this point, we can see that the witches’ prophecy is very much influenced and driving the ambition of Macbeth and Lady Macbeth. The existence of the witches here is very important toward the storyline of Macbeth. Shakespeare in appearing the witches is not without a reason. The witches become the symbol of William Shakespeare age. He presents the spirit of his age through the figure of the witches. The witches are very much having a strong relation with William Shakespeare age, the Elizabethan age. Wendroff (2007: 24) explains that like the rest of the world that is now Christian, England believes in witches and practices witchcraft long before in believed in and practiced Christianity. Much of what is true of the Elizabethan’s beliefs about ghost is also true of their beliefs about witches:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
284
the attitude toward witchcraft in Shakespeare’s day was anything but single, and anything but overwhelmingly credulous. As with ghost, probably the majority of Elizabethan from all ranks of life believes in the actual existence of witches. The word ‘witch’ in this period had a double meaning (Wendroff, 2007: 25) some believe that witches are “essentially tragic beings” who had “sold themselves to the devil” and has the demonic powers which they claim to have, the power to command nature, to see into the future, to harm people or livestock by the use of magical charms. Others believe that witches not only have supernatural powers resulting from their bargain with the devil, but are themselves supernatural, “devils” or “fiends” or “demons” or “furies” from hell that are able to take on human form in order to deceive and harm their victims. Through the prophecy of the witches which drives the ambition of Macbeth and his wife, Shakespeare wants to show that the society at the time he lived and at the time the story was written is believed on the existence of witches. The witches impose the idea that the Elizabethan age is covered by supernatural order. The supernatural order has big role in the life of the society. It controls the thought and the deed of the people. The existence of the supernatural order describes that at the age of Shakespeare, the knowledge has not entered the life of the people. As the product of Elizabethan culture, Macbeth contains the idea of supernatural order in controlling the life of the characters. Relating to the supernatural idea in Shakespeare’s works, Bradley (1960, 152) mentions: “Shakespeare also introduces the supernatural into some of his tragedies; he introduces ghosts, and witches who have supernatural knowledge. This supernatural element certainly cannot in most cases, if any, be explained away as an illusion in the mind of one of the characters. And further, it does contribute to the action, and is in more than one instance an indispensable part of it: so that to describe human character, with circumstances, as always the sole motive force in this action would be a serious error. But the supernatural is always placed in the closest relation with character.’ Moreover, another idea that Shakespeare tries to present in his work, Macbeth, related to the spirit of his age is about free will. Cummins (2009: 1) says that related to the ambition inside Macbeth’s heart; there is free will in William Shakespeare’s work which represent the age of his living. The free will is very important in Shakespeare’s work. The free will has strong relation with the existence of the witches and the tragic flow that later happened to Macbeth and his wife. The connection between free will and the witches is that, the prophecy of the witches becomes the provocation. It provokes the desire and the ambition in Macbeth’s deep heart to gain power. Probably without the prophecy of the witches, Macbeth does not realize that on the deepest of his heart he has the desire to gain the highest position in society. The provocation is then driving the strong ambition and emerging choice in Macbeth’s life. The choice is about whether or not Macbeth believes the prophecy of the witches and conducting deed to make the prophecy happen or he just forgets this prophecy. Finally, Macbeth chooses the first option. There is free will inside his though which later turns into passion. The free will leads Macbeth to do an action. Lady Macbeth as a wife encourages Macbeth’s free will. She supports Macbeth to murder Duncan. She appears to be the fourth witch and the harbinger of the darkness. Getting the support from his wife and his believed of the witches’ prophecy, Macbeth then takes decision to achieve his ambition. Unfortunately, the way Macbeth does to achieve his ambition is an unfair way. He does violent and cruel things to make his ambition achieved. It is then become the point of his down fall. His unfair way and bad process in becoming the king lead him to the tragic flow. Macbeth and his wife at the end of the story feel the bad impact of their action. In addition, through the way Shakespeare elaborates the ideas of supernatural and free will inside his play, he wants to provide his readers the real social condition of the society in his age. It shows that the works of William Shakespeare is very much influenced by the social condition of the society and the society is playing a very big part toward the story of Shakespeare’s works including Macbeth. It can be concluded that literary works born form the society and it becomes the product of the society. The influence of the social conditions to the literary works explains that literature does not stand in isolation,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
285
but it is always correlated with other things including the cultural bond itself. Literature then is shaped by the cultural environment of the social condition at that time it was written. CONCLUSION Macbeth becomes one of William Shakespeare works which represented any ideas of his age. Shakespeare portrays the social condition of his age in Macbeth. The ideas that Shakespeare impose in Macbeth associated with the social condition of his age is supernatural power and free will. Shakespeare’s work portrays several conditions of Elizabethan era. One of them is the tragic flow as the result of ambition and desire to gain highest position in society. The substance of Shakespearean tragedy represented in Macbeth is connected with the down fall of people coming from the high degree of society. In the context of Macbeth’s tragedy, Shakespeare tells the story of Macbeth which becomes the general army of King Scotland. He has high position in society because he is part of the royal palace. The story of Macbeth also associated with the calamity and the death of a people from high estate. In this context, although as the tragic hero Macbeth still alive, yet the close people of Macbeth is dead. It is his wife, Lady Macbeth who suffered strong guiltiness and madness due to the calamity of Macbeth and her actions. Finally, the decision and free will which Macbeth takes at the end bring him to the destruction and the down fall. It makes him come into the tragic flow of his life.
REFERENCES Bradley, Andrew Cecil via Levin Richard (Ed). (1960). Tragedy: Plays, Theories, and Criticism. Unites States of America: Harcourt Brace Jovanovich, INC. Cummins, Juctice P.D. (2009). Shakespeare and Madness. Journal presented in The Judicial Conference of Australia. Hauser, Arnold. (1982). The Sociology of Art. London: Routledge & Kegan Paul. Salingar, L.G via Ford, Boris (Ed). (1991). The Age of Shakespeare. New York: Penguin Books. Wendroff, Jana. (2007). Supernatural in Hamlet and Macbeth. Masaryk University BRNO: Faculty of Education Department of English Studies.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
286
51 DEFOCALIZED NARRATIVE IN GABRIEL GARCIA MARQUEZ’S AN OLD MAN WITH A VERY ENORMOUS WINGS Niko Fedyanto English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: The main problem analyzed in this research is the study of magical realism as a global phenomenon emerging in American continent inside a contemporary work of literature, i.e. Marquez’A Very Old Man with Enormous Wings. The writer presented a magical world as an opposition of realism. The writer positioned myth in opposition to empiricism, and periferal as opposed to central in social, ideology, and discursive the relation of the magic and the real. In order to answer the problems, magical realism is applied as a perspective. This research used narrative theory to see the mythical symptom of peripheral area as magical world in the influence of modernity. The first step did with this theory to by seeing the degree of magical realism in the short story, that is by determining the five elements of magical realism, then seeing the relation of the five elements and finding the function of the elements in creating defocalization. The writer acknowledge the existence of magical world in the real world but locate the magic in uncertain, and thus it made the position of perspective is ineffable. The merge of the magic and the real made a new perspective that lead the reader sees anything from a new, uncertain stand of point of view. Key Words: Marquez, narratology, defocalization
INTRODUCTION The discussion of magical realism may never be let go from the area of either post-structuralism or post-modern points of view. The upside-down or reversal logic of the way it sees literary product is the main foundation from which an assumption is built. It is not because of their distinctive style—since magical realism is not merely a style—but the stream that is used by the writers of this genre tends to use techniques that are used specifically to differentiate or confront the modern writings. Gabriel Garcia Marquez was one of the writer that was identical to the term magical realism. Although he is not the pioneer of this genre, his writings have important contribution in the development of this new wave of genre in America, if not the world. Most of his writings used historical aspects and South American myths as important elements. A Very Old Man with Enormous Wings, however is quite different. It does not have a clear historical background or specific mythical points. Still, it has a strong magical realism element in the story. This what made the researcher was interested in making this short story as the object material of this research. Magical realism, seen from its origin, is not a specific literary terms. However, in this research, the researcher referred the term as a narrative mode. The way it applied the post-structural point of view is seen from the combining the terms ‘magic’ and ‘realism’. Maggie Ann Bowers stated that the term ‘realism’ itself came into being through philosophical discussion in the mid-eighteenth century. However, it is related to the ancient Greek philosopher Aristotle’s concept of mimesis (2004: 20). In her opinion, realism in literature came into common use in the mid-nineteenth century but has since become widely recognized. However, it was then connected (if it is not combined) with the term ‘magic’. Conjuring ‘magic’ is brought about by tricks that give the illusion that something extraordinary has happened, whereas in magic(al) realism it is assumed that something extraordinary really has happened (Bowers, 2004: 19). The combining of the two separate logic shows how this term is not merely mixed term, but is more a combination. This conceptual foundation must also be applied in approaching a magical realist text. As this research is focused on discussing on the focalization of Gabriel Garcia Marquez’s A Very Old Man with
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
287
Enormous Wings, which is a magical realist one, the specific term of ‘defocalization’ was applied. Basically, the term coined by Wendy B. Faris is a specific term inside the scope of narratology, as a magical realist variant of the previously coined focalization. Thus the problem analyzed in this research is what and how is the narrative defocalized in this short story. METHOD The primary data for this research was categorized according to its characteristics by following the frame of magical realist narrative by Wendy B. Faris. The defocalization is seen from how the elements, namely they are irreducible elements, which is the real data element builder phenomenal world, which reduced the data magical, or raised doubts unresolved (unsettling doubt) are taken. Further data are data that indicate the presence of a fusion between two worlds, the magical world and the real world, and the last , disruption of data over time, space, and identity. It is because the point of view lie inside each of the elements of magical realism. The researcher also need to collect other data, derived from the text of the novel, but from outside the text, i.e. secondary data. This data is in the form of texts that have relevance to the social context, ideology and discursive. It can be found in other literature sources that support the data corresponding to the background of the novel is written. Once the data are collected and classified, the next step is to conduct an analysis of these data by applying Faris’ concept of defocalization.. In accordance with the theoretical concepts used, after the data is classified into five of these characteristics, it is necessary to verify and review to ensure that their data resides each the correct element. Once the data is located on each element, it must find the relationship between the data and magical realism. DISCUSSION Defocalization In the scope of narratology, a fiction cannot be let go from the term of story and events. Whenever events are presented, they are always presented from within a certain 'vision', i.e. point of view is chosen, a certain way of seeing things, a certain angle, whether 'real' historical facts are concerned or fictitious events (Bal, 1997: 142). However, the vision is not the only part that matter, because the outcome of the vision will also be depending on who sees it. For example, a child and an adult may have the different comment about the same object. The difference lay on how they perceive. This relation, between the vision and that which is 'seen or perceived, is then known by focalization. In the regular narratology, (if the term ‘traditional’ is not considered representative), the focalization is understood as the point where the events are presented. The point used as the basis of the focalization is often regarded as a fixed, clear, definable, and stable point.This position is then considered to be the element that made the events can build the story well. However, according to Faris (2004), it does not happen in the magical realism scope. Compared to the previous views that see the focalization as a determinate aspect, the focalization of a magical realist narrative is indeterminate and indefinable. The origins of those perceptions can also not be located. The main reason that underlay the description of “indeterminate” is begun from the term magical realism itself. This term combine two different and contradictory aspects. The term “realism” deals with the genre that flourished over a century ago, and is still developing now. This genre is influenced by the empirical mindset. It means that if something considered to be real, it has to be empirical. The “magic”, however, is in the other side, because magic is not verifiable, then it is not empiric. Faris then, stated that this term is totally different with the term non-focalized, or zerofocalization. In these two terms, it means that the focalization is made upon a certain point of view. It can be found in the omniscient point of view.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
288
The Ineffable-in-Between Wendy B. Faris (2004 ) states there are five characteristics that define a work into the group magical realism genre. To measure levels of magical realism in this novel, the reference used is the way to test this novel, whether each of these elements can be fulfilled. The five characteristics are: the irreducible elements, The Phenomenal World, Unsettling Doubt, Merging Realms, and Disruption of time, space and identity (Tampering time, space , and identity). Irreducible element is the magical part in magical realism. There are several characteristics that indicate that a part of the narrative is an irreducible element. Irreducible element of this is something that cannot be explained by the laws of the universe as it has been formulated by western empiricism based discourse, which is determined based on the " logic " , the familiar knowledge, or beliefs inherited . Therefore, the reader has difficulty to resolve questions about the status of the events and characters of this kind of fiction (magical realism). The short story has a number of objects (including objects and figures) and events that can be categorized into the magical objects or events that they have, to verify that objects or event be categorized as an irreducible element or not. The characters that fit into this category are the characters that can be objects, people, or something inanimate elements or alive. Some objects have irreducible elements include the existence of the angel in Pelayo’s house, and the climate. The old man that seem to be an angel is a magical object that has irreducible element. The object is magical because it cannot be explained in western empiricism, as mentioned by Faris ( 2004:1), a phenomenon that is “accepted but not explained”. La luz era tan mansa al mediodía, que cuando Pelayo regresaba a la casa después de haber tirado los cangrejos, le costó trabajo ver qué era lo que se movía y se quejaba en el fondo del patio. Tuvo que acercarse mucho para descubrir que era un hombre viejo, que estaba tumbado boca abajo en el lodazal, y a pesar de sus grandes esfuerzos no podía levantarse, porque se lo impedían sus enormes alas. (The light was so weak at noon that when Pelayo was coming back to the house after throwing away the crabs, it was hard for him to see what it was that was moving and groaning in the rear of the courtyard. He had to go very close to see that it was an old man, a very old man. lying face down in the mud, who inspite of his tremendous efforts,couldn’t get upimpeded by his enormous wings.)1 The element that make the old man as the magical object is that he has the aspects of being a magical creature,that isby having the big wings and fall down from the sky. Human normally does not have wings, or flies. However, this is explained by using a very detail narration, just like realism. The combination of magical object with the realistic narratives made the focalization is indefinite The second important point of magical realism is that the description detailing the very strong presence of a phenomenal world. According to Faris (2004 ) This is the realism in magical realism , magical realism distinguishes from most fantasy and allegory . The events depicted something magical uses extensive detail. Irreducible element requires the submission in detail to achieve realism. However irreducible detail of magical realism can lead to the opposite direction, namely the possibility that he becomes imaginary ( Faris , 2004: 15 ) . In this case, Faris affirms the concept of Roland Barthes , L' Effet de Reel (the effect of reality). There are two main aspects that supports the reality effect in this short-story. The first, is the description of the setting. Al tercer día de lluvia habían matado tantos cangrejos dentro de la casa, que Pelayo tuvo que atravesar su patio anegado para tirarlos al mar, pues el niño recién nacido había pasado la noche con calenturas y se pensaba que era causa de la pestilencia. El mundo estaba triste desde el martes. El cielo y el mar eran una misma cosa de ceniza, y las arenas de la playa, que en marzo. (On the third day of rain they had killed so many crabs inside the house that Pelayo had to cross his drenched courtyard and throw them into the sea, because the newborn child had a temperature all night 1
Taken from English edition, Translated by Gegory Rabasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
289
and they thought itwas due to the stench.The world had been sad since Tuesday. Sea and sky were a single ash-gray thing and the sands of the beach, which on March nights glimmered like powdered light had become a stew of mud and rotten shellfish). The clearest signal of the effect of reality is the detailed description of the location in the story. One of the most common style applied in the realist fiction is the opening with the detailed information about the setting. Second is the description of the magical object. It is not only the place and time setting, but the characters may also be the main substance that can be applied as the creation of the reality effect. Al día siguiente todo el mundo sabía que en casa de Pelayo tenían cautivo un ángel de carne y hueso. Contra el criterio de la vecina sabia, para quien los ángeles de estos tiempos eran sobrevivientes fugitivos de una conspiración celestial, no habían tenido corazón para matarlo a palos. Pelayo estuvo vigilándolo toda la tarde desde la cocina, armado con un garrote de alguacil, y antes de acostarse lo sacó a rastras del lodazal y lo encerró con las gallinas en el gallinero alumbrado. A media noche, cuando terminó la lluvia, Pelayo y Elisenda seguían matando cangrejos. (On the following day everyone knew that a fleshand-blood angel was held captive in Pelayo’s house. Against the judgment of the wise neighbor woman, for whom angels in those times were the fugitive survivors of a celestial conspiracy,they did not have the heart to club him to death.Pelayo watched over him all afternoon from the kitchen, armed with his bailiff’s club, and before going to bed he dragged him out of the mud and locked him up with the hens in the wire chicken coop.In the middle of the night, when the rain stopped, Pelayo and Elisenda were still killing crabs.) There are two important things that support the reality effect in that paragraph. First is the the description of the angel as a mortal creature, by the phrase “flesh-and-blood”. In any story, or theology, angels are figured as a non-human creature and more superior than human. Secondly, the characterization of the humans. Marquez shows an important part of most identical human motive, that is the greed, and money-oriented. It can be seen from how the angel was then used as a circus freak. This part also shows the next element of magical realism, that is the unsettling doubt. The word “angel” in the short story plays important role, because it shows how the old man is not just a man. It also shows that this is not a science fiction, because the word “angel” leads the reader’s reference into the theological definition, which is clearly not empirical. Combined with the realistic description. Further characteristics of magical realism is that there is a closeness, or nearly the merger of two of nature or the two worlds ( Faris , 2004: 21 ) . This means that the two realms were not fully mixed, but connected to each other, and gave rise to a space "in-between", the uncertainty space. In this short story, there is no certain space that is made identical with the real world. The only setting that can be mentioned is Pelayo’s house. This house is the proof of the merging realms, the combination between the real world, and the fantasy. The other indication of the merging world is the existence of real myth, that is the changing of a girl to be spider. Sucedió que por esos días, entre muchas otras atracciones de las ferias errantes del Caribe, llevaron al pueblo el espectáculo triste de la mujer que se había convertido en araña por desobedecer a sus padres. (It so happened that during those days, among so many other carnival attractions,there arrived in town the traveling show of the woman who had been changed into a spider for having disobeyed her parents) Such story appears in the myths. However, it is then combined in the story, so that it make a new merge world of real and the fantasy.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
290
The last is the existence of disruption on time, place, and identity. The beginning part, which tell about the climate anomaly, about the third day of the rain, that is the beginning of the disruption of time. Although it is not so clear, but it can be noted that the flow of the time is not based on the chronology. Al tercer día de lluvia habían matado tantos cangrejos dentro de la casa, que Pelayo tuvo que atravesar su patio anegado para tirarlos al mar, pues el niño recién nacido había pasado la noche con calenturas y se pensaba que era causa de la pestilencia. El mundo estaba triste desde el martes. (On the third day of rain they had killed so many crabs inside the house that Pelayo had to cross his drenched courtyard and throw them into the sea, because the newborn child had a temperature all night and they thought itwas due to the stench.The world had been sad since Tuesday.). However, the disruption of place seem to be more clear. Implicitly, the writer put an absurd explanation about the origin of the angel. There is no exact explanation about where did the angel come from. Meanwhile, the angel itself played the role as the representative of the disruption of identity. It has been one of Marquez’s typical style that he place the perception multifocally. As Hart (2007) said that the magic of Marquez’s writings is always ‘hide and palpitate’ behind the real (to repeat Franz Roh’s phrase). CONCLUSION The search of focalization cannot be let go from the previous elements. It is because they are the elements that build the narrative as a magical realist because of the perception. All of them, the unsettling doubt, the irreducible elements, the merging realms, the magical object, and the disruptions on time, space, and identity, creates the alternatives of perspective. The most important thing in the text is that the emergence of fantastic elements may only be the side effect, it is because the thing that came up after the reading of the short story is the emergence of the discourse. One thing that is clearly defocalized is the shift of the the angel, which is usually seen as a religious subject, is then perceived as a trading/ economics material or property. This is therefore, there is a clear changing view, about angel and slave. BIBLIOGRAPHY Barnet, Sylvan.,William Burto, William E. An introduction to literature: fiction, poetry, and drama. New York: Pearson Longman. Bowers, Maggie Ann. (2004). Magic (al) Realism. New York: Routledge Faris, Wendy B. (2004). Ordinary Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative. Nashville : Vanderbilt University Press. Hart, Stephen dan Wen Chin-Ouyang. (2007). A Companion to Magical Realism. Woodbridge : Tamesis. Márquez, Gabriel García . La Hojarasca. (1955). Colombia: Ediciones SLB Suriasumantri, Jujun S. (2007). Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
291
52 PANDANGAN KRITIS TERHADAP ASPEK RASISME DALAM NOVEL MEMANG JODOH KARYA MARAH RUSLI Ninawati Syahrul, M.Pd. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Abstrak: Pada dasarnya rasisme adalah pandangan hidup atau doktrin yang beranggapan bahwa suatu kelompok tertentu menganggap dirinya lebih bermartabat atau lebih superior daripada kelompok lain. Rasisme banyak terdapat dalam karya sastra sebagai produk refleksi perjalanan kehidupan manusia. Jika dihubungkan dengan wacana, asosiasi gagasan rasisme akan tampak jelas, yaitu mempermasalahkan adanya diskriminasi, pelecehan, prasangka, dominasi, dan kesenjangan etnik atau ras. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap rasisme dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Penelitian ini berlabel metodologis kualitatif dan deskriptif dengan pendekatan sosiologi sastra. Penelitian terpusat pada perilaku tokoh yang terkungkung oleh adat-istiadat leluhurnya. Salah satu keadaan yang masih berbau rasis di dalam novel ini adalah seputar pernikahan antarsuku. Novel ini memaparkan, sekaligus mempertanyakan posisi perem puan/istri non-Minang, termasuk anak/keturunnanya di dalam masyarakat adat. Hasil penelitian ini memperlihatkan gugatan terhadap adat Minangkabau yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman: penolakan pernikahan beda suku, poligami sebagai pemuliaan status laki-laki, dan pernikahan adalah urusan orang tua. Katakunci: diskriminasi, perkawinan, suku, adat, dan pemangku adat
PENDAHULUAN Sastra lahir, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan social. Pradopo (1997: 35) mengungkapkan sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan juga terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Karya sastra merupakan karya seni, mediumnya bahasa, dan isinya tentang manusia dan kemanusiaan. Senada dengan itu, Rusyana (1982: 5) berpendapat bahwa sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan, penghayatannya dengan menggunakan bahasa.Pengungkapan realitas kehidupan tersebut menggunakan bahasa yang indah, sehingga dapat menyentuh emosi pembaca. Damono (1978:7) mengungkapkan bahwa sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat, termasuk dalam menyelesaikan masalah kehidupan dirinya sendiri, mengubah masyarakat, serta hubungan manusia dengan keluargannya dan lingkungan sekitarnya. Dalam penelitian ini penulis mengungkap rasisme sastra dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. Rasisme juga banyak terdapat dalam sastra. Sastra merupakan pengungkapan baku dari apa yang disaksikan, dialami dalam proses kehidupan, serta apa yang direnungkan atau dipikirkan. Banyak hal menarik dalam novel ini yang dapat dipelajari melalui tokoh Hamli. Perjuangan seorang tokoh yang ingin membebaskan dirinya dari kungkungan adat untuk mencari dan memilih pasangan hidupnya. Ia mengecam keras peran orang tua yang menentukan jodoh anak-anaknya. Hamli juga menentang poligami yang dapat merusak keutuhan rumah tangga. Novel merupakan media komunikasi bagi pengarang untuk mengomunikasikan suatu pesan. Novel Memang Jodoh dapat dikatakan termasuk Angkatan Balai Pustaka. Kawin paksa dan sikap otoriter orang tua dalam menentukan jodoh anak dalam novel ini dianggap sebagai ciri karya Angkatan Balai Pustaka (Mujiyanto, 2007:26). Melalui dialog antartokoh, dapat diketahui bagaimana “pemberontakan” Marah Rusli. Ia lebih menganggap jodoh bukanlah berada di tangan orang tua atau mamak. Jodoh adalah semata-mata hak otoriter Yang Mahakuasa yang telah ia tuliskan di Lauhul
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
292
Mahfuzh. Dalam makalah ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana intrik-intrik tindakan rasisme yang dilakukan keluarga untuk menghancurkan pernikahan Hamli dan Din Wati, dalam novelnya Memang Jodoh. Novel tersebut memaparkan dan mempertanyakan bagaimana posisiwanita non-Minang di dalam masyarakat Minangkabau. Pria Minang yang menikah dengan perempuan nonMinang dianggap merusak adat Minangkabau dan anak yang dilahirkannya bukan lagi suku Minangkabau. Dalam karya terakhirnya ini Marah Rusli kembali menggugat adat Padang/Minangkabau dalam hal perjodohan, terutama di kalangan kaum bangsawan. Namun, kali ini tidak berdasarkan imajinasinya semata, tetapi apa yang ia alami sendiri selama 50 tahun pernikahannya dengan istrinya, perempuan berdarah bangsawan Sunda. Rumusan Masalah Para orang tua, ninik-mamak, dan pemangku adat memegang kedudukan dan peran penting dalam menentukan jodoh anak-anaknya demi kemurnian dan kelanggengan tradisi yang wariskan oleh para leluhurnya. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap dan pandangan/pikiran kritis seiring dengan aspek rasisme yang diperankan oleh orang tua dan para pemangku adat dengan menerapkan aturan adatistiadat dalam pernikahan antarsuku, penjodohan anak, dan poligami. LANDASAN TEORI Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan sosiobudaya atau sosiologi sastra. Menurut Grebstein (1968:164), karya sastra tidak dapat dipahami secara tuntas jika dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, atau peradaban masyarakat yang menghasilkannya. Karya sastra baginya adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor sosial dan kultural. Karya sastra bukanlah gejala yang tersendiri. Selanjutnya, dikatakan bahwa masyarakat dapat mendekati karya sastra, baik sebagai suatu kekuatan atau faktor materil istimewa maupun sebagai tradisi, yaitu kecenderungan spiritual dan kultural yang bersifat kolektif. Manfaat lain yang melihat relevansi karya sastra dengan sisiobudaya, menurut pandangan Teeuw (1982:20), dapat berwujud dalam fungsi (1) afirmasi, yaitu menetapkan norma sosiobudaya yang ada pada masa tertentu; (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan dan kerinduan pada norma yang sudah lama hilang; dan (3) negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku. Atas dasar pertimbangan tersebut, penelitian ini tidak menyoroti setiap unsur yang membangun novel Memang Jodoh, tetapi hanya pendekaran ekstrinsik (sosial budaya), yang mencakupi adat-istiadat atau aspek budaya lokal Minangkabau. Pada dasarnya rasisme adalah pandangan hidup yang mempunyai anggapan bahwa satu kelompok menganggap kelompok tertentu tidak sederajat atau belum berderajat manusia. Dalam arti manusia yang mempunyai ras rendah. Oleh karena itu, mereka yang memiliki ras rendah layak dimusnahkan, diperbudak atau diperlakukan tidak manusiawi. Gagasan rasisme mempermasalahkan adanya diskrimasi, prasangka, perbudakan, adanya dominasi, dan adanya kesenjangan etnik atau ras. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 933), rasisme diartikan sebagai paham yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri fisik (seperti warna kulit dalam masyarakat). Rasisme juga dapat diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis). Rasisme mempunyai satu basis ideologis, seperti suatu format ketidaksamaan kekuasaan dalam masyarakat. Rasisme juga perlu didefinisikan dalam kaitannya dengan berbagai jenis praktik kemasyarakatan.Wacana seperti itu bersifat membedakan interaksi, pada taraf mikro, melalui analisis dengan pengaturan kelembagaan, struktur organisasi, dan golongan hubungan dari kekuatan penyalahgunaan kekuasaan. Rasisme adalah satu sistem kesenjangan kemasyarakatan yang kompleks paling tidak mengombinasikan komponen berikut: a) secara ideologi berlandaskan penyajian kelompok masyarakat; b)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
293
model mental anggota kelompok etnik tertentu; c) sehari-hari membedakan wacana dan praktik kemasyarakatan; d) struktur kelembagaan dan aktivitas organisasi; e) hubungan kekuatan antara kelompok dominan (kulit putih), dan kelompok minoritas (kesukuan). Kajian ini hanya menyoroti beberapa fitur rasisme dan gambaran hubungan antara pengamatan nilai-nilai budaya atau adat-istiadat di satu pihak dan sikap budaya terhadap kehadiran etnik atau suku lain di dalam masyarakat adat Minangkabau. METODE PENELITIAN Cara Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat deskriptif, dengan cara pengumpulan data sumber data yaitu novel Memang Jodoh karya Marah Rusli, yang diterbitkan tahun 2013 oleh penerbit Gramedia Qanita. Metode Analisis Data Informasi didapat dari hasil cerita pada novel terkait yang selanjutnya sebagai data. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan melakukan interpretasi dan kemudian dideskripsikan. Dalam usaha mencapai maksud yang telah ditentukan diperlukan teknik penelitian, yaitu teknik menganalisis data. Langkah-langkah yang dilakukan untuk keperluan ini adalah sebagai berikut. (1) Mengadakan studi kepustakaan. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan data untuk mengungkap beberapa fitur rasisme dan gambaran hubungan antara pengamatan adatistiadat di satu pihak dan sikap budaya terhadap kehadiran etnik atau suku lain di dalam masyarakat adat Minangkabaurasisme dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli. (2) Menginventarisasi data dari novel tentang rasisme dalam novel Memang Jodoh karya Marah Rusli dengan mempergunakan pendekatan sosiologi sastra. (3) Mengidentifikasi data yang diperoleh dengan pendekatan sosiologi sastra ini dimaksudkan untuk menemukan, mamahami, dan memperkenalkan kepada khalayak pembaca memperlihatkan gugatan terhadap adat Minangkabau yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman: penolakan pernikahan beda suku, poligami sebagai pemuliaan status lakilaki, dan pernikahan adalah urusan orang tua. (4) Merumuskan simpulan penelitian tersebut. PEMBAHASAN Masyarakat Minangkabau memandang masalah pernikahan sebagai suatu peristiwa yang sangat penting artinya karena pernikahan tidak hanya menyangkut kedua calon mempelai saja, tetapi juga orang tua dan seluruh keluarga dari kedua belah pihak (Yulanda, 2011). Liku-liku kehidupan tokoh Hamli dan perjodohannya memang sangat menarik untuk disimak. Di dalam novel ini disuguhkan sebuah drama pernikahan antara Hamli dan Din Wati serta intrik tindakan rasisme keluarga untuk menghancurkan keluarga Hamli. Rasisme dalam Pernikahan Adat Antarsuku Pernikahan Marah Hamli termasuk yang kurang ideal dipandang dari adat dan sistem kekerabatan yang berlaku sejak lama dalam masyarakat Minangkabu. Apabila salah satu pasangan berasal dari non-Minang, khususnya dengan wanita non-Minang, pria Minang yang menikahinya dianggap merusak tatanan adat Minang. Dikatakan demikian karena anak yang dilahirkan dari pernikahan itu tidak dianggap sebagai suku Minangkabau. Anak itu akan menjadi beban bagi dirinya. Perlu diketahui bahwa anak-anak dalam budaya Minang adalah tanggung jawab paman/mamaknya. Sebaliknya, pria Minang bertangung jawab terhadap keponakannya. Dengan kata lain, kehadiran istri yang berasal dari orang luar Minangkabau akan menjadi beban dalam seluruh keluarga. Hamli sadar bahwa cintanya terhadap Din Wati akan mendapat tindakan rasisme atau tantangan dari keluarganya karena hal itu melanggar adat Minang yang tidak mengizinkan pernikahan beda suku. Namun, hal ini tidak menghalangi Hamli untuk menikah dengan gadis pujaannya.Atas dukungan nenek
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
294
dan restu dari ayahnya, Hamli nekad menampik ketentuan adat itu. Ia rela "dibuang" oleh kaum keluarganya demi cintanya pada Din Wati. Adat Padang yang begitu keras mengatur perjodohan dan pernikahan yang merupakan hak mutlak orang tua.Bagaimana jika si anak tidak mau menuruti perjodohan yang diatur oleh orang tuanya? Jika si anak tidak menuruti perjodohan yang diatur oleh orang tuanya, keluarga akan membuangnya dari kaum keluarga. Tindakan rasisme itu dapat dilihat pada kutipan berikut. "Anak itu sendiri, tidak boleh membantah, kalau dia tak ingin dibuang dari kaum keluarganya" (MJ: 155) Marah Hamli menggugat adat lapuk bangsawan Minangkabau yang menganggap perkawinan antara laki-laki bangsawan Padang dan perempuan daerah lain sebagai suatu hinaan. Perlakuan Rasisme sebagai Pemenuhan Jodoh Selain pandangan bahwa jodoh merupakan takdir Tuhan, dalam novel ini, memberikan pemahaman lain terhadap usaha untuk “menciptakan” takdir jodoh baru guna menandingi takdir Tuhan. Hal ini diketahui melalui perbuatan tokoh lain yang berusaha menentang takdir jodoh dari Tuhan dan jodoh ada di tangan mereka. Perbuatan ini dilakukan oleh pihak keluarga dari kedua mempelai. Lain halnya dengan keluarga Hamli di Padang.Penolakan terhadap pernikahan Hamli dengan perempuan yang bukan berbangsa Minangkabau dianggap sebagai suatu aib. Sudah sepatutnya ia menikah dengan anak mamaknya di Solok. Selain mengikuti adat, pernikahan tersebut merupakan pernikahan balas budi atas biaya yang dikeluarkan mamak Hamli untuk menyekolahkan Hamli. Mamak Hamli, Baginda Raja, melakukan berbagai cara atau perlakuan rasisme untuk memenuhi takdir yang ia “ciptakan” sendiri. Bahkan, ia tega memutuskan hubungan persaudaraannya dengan ibunda Hamli, lalu mengusirnya dari rumah yang ia tempati. Selain itu, ia juga meminta Hamli untuk mengganti semua biaya yang telah ia keluarkan untuk menyekolahkan Hamli. Hal ini berarti bahwa pihak keluarga melakukan tindakan rasisme dengan berusaha bahwa jodoh ada di tangan mereka. “Jika tidak diturutinya perkataan saya ini, maka putuslah saya berkemenakan dengan dia, dan putuslah saya bersaudarakan ibunya dan beribukan neneknya!Hamli harus mengembalikan sekalian biaya yang telah saya keluarkan untuk dirinya.” (MJ: 251) Akhirnya, Anjani, ibu Hamli, hanya dapat menangis dan meratapi hidupnya. Bukan dia yang menikahkan Hamli dengan perempuan lain, mengapa ia yang harus menanggung akibatnya? Ia hanya dapat pasrah mengikuti perkataan Sulaiman dan anggota keluarganya yang lain. Perlakuan Rasisme Berdasarkan Poligami Walau kelak Hamli menikah dengan Din Wati, keluarganya di Padang tidak menyerah. Demi kehormatan keluarga dan untuk mempertahankan adat Padang segala cara akan diupayakan keluarganya untuk meruntuhkan pernikahan Hamli dengan Din Wati, yaitu memaksa Hamli untuk berpoligami, mengambil istri kedua yang berasal dari suku Padang. Hal itu adalah sebuah kewajaran dan kehormatan bagi bangsawan Padang. "… lazim laki-laki kita beristri banyak. Bahkan baik; tanda disukai, dihargai, dan dimuliakan orang, ..." (MJ: 337) Begitu gencarnya usaha yang dilakukan oleh kaum keluarga Hamli di Padang untuk tetap menikahkannya dengan gadis Padang.Dalam novel juga diperbincangkan kebiasaan poligami bangsawan Minangkabau.Konsep kebiasaan ini secara umum yang dianut oleh masyarakat adat Minangkabau pada masa itu adalah sesuatu yang dianjurkan kepada kaum yang memiliki kedudukan tertentu di dalam masyarakat seperti bangsawan dan hartawan.Bagi Marah Hamli yang menikah dengan bukan perempuan Padang, anjuran ini bergeser menjadi sebuah kewajiban karena beliau dianggap belum menunaikan kewajiban menikah dengan perempuan Minang yang dianggap sebagai utang orang tua.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
295
Poligami dalam masyarakat Minang dianggap memuliakan status laki-laki. Hal ini disebabkan oleh penikahan bagi orang Minang adalah urusan orang tua (ninik dan mamak). Oleh karena itu, bangsawan yang memiliki beberapa istri sekaligus dianggap mulia karena dirinya diinginkan oleh banyak mamak para istrinya karena sifat keturunannya yang baik. Diceritakan dalam novel ini, Marah Hamli yang merupakan pria Minang tidak bersedia melakukan poligami bukan hanya karena istrinya tidak merestui dimadu, melainkan dirinya juga tidak mau membagi kasih sayangnya kepada orang lain. Hamli menolak untuk melakukan poligami karena menganggap dapat menimbulkan konflik dalam keluarga. Baginya cinta sejati seumur hidupnya hanyalah satu, yaitu Din Wati. Perlakuan Rasisme Berdasarkan Kepercayaan Melalui novel ini tampak juga gambaran tentang kepercayaan yang hidup di tengah-tengah kebudayaan Minangkabau dan masyarakat Sunda. Kepercayaan tersebut dapat berupa percaya pada mimpi, nujum tenung, dan ramalan. Danandjaya (1991:153) mengistilahkan kepercayaan ini dengan folk belief. Kepercayaan rakyat ini tidak berdasarkan logika sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Di dalam novel ini pengarang mewujudkan semua hasil mimpi, tenungan, nujum, dan ramalan dari kedua kultur ini Padang dan Jawa Barat dengan menikahkan Hamli dengan Radin Asmawati. Dengan begitu, pengarang tampak “memenangkan” cara tersebut sebagai suatu tanda dari Tuhan untuk memberi tahu makhluk-Nya tentang jodoh merupakan takdir Tuhan. Dalam Alquran, QS.Yusuf [12]; Ayat: 68 segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia. Dari terjemahan ayat ini dapat diketahui bahwa takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Mengenai pandangan bahwa jodoh memang sudah dituliskan di Lauhul Mahfuzh, memang tidak sedikit pun terdapat keraguan bagi orang Padang maupun orang Jawa Barat. Pandangan terhadap takdir jodoh bagi sebagian tokoh dalam novel ini, baik orang Padang maupun Jawa Barat, lebih bersikap pasrah, meskipun sebagian lain juga berusaha menolak takdir tersebut. Bagi orang yang menganggap semua yang terjadi adalah takdir Tuhan, mereka cenderung tidak berusaha apa-apa selain menyerahkan semua urusan pada Tuhan. Tokoh Ratu Maimunah, ibu dari Radin Asmawati, mencerminkan kesamaan pola pikir orang Jawa Barat dengan orang Padang. Takdir jodoh adalah sesuatu yang ketetapannya tidak dapat ditentang.Hal ini dapat dilihat pada, “Sekalian nasihat dan perkataan Adinda Patih tadi memang benar, tetapi dapatkah kita menentang takdir Tuhan?” Tuturan Ratu Maimunah ini muncul saat ia mengabari rencana perjodohan Radin Wati dengan Hamli, seorang laki-laki asal negeri seberang (Padang) kepada saudaranya, Patih Anggawinata. Ia menganggap kalau pertemuan anaknya, Din Wati dengan Hamli, adalah jodoh yang telah ditentukan sebagai takdir keduanya. Kisah perjodohan Hamli dengan Radin Wati diawali dari mimpi Anjani, ibu Hamli.Ia sangat memercayai bahwa jodoh anaknya, Hamli, tidak berasal dari tanah Minang. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. “Tatkala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah mendapat ilham, yaitu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya Sutan Bendahara, datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung bayan (Nuri) yang amat elok rupanya” (MJ:138). Karena merasa aneh pada mimpinya, Anjani mendatangi ahli nujum.Hasil nujum inilah yang selalu dipegang Anjani. “Ketika kami tanyakan kepada ahli nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di tanah Jawa” (MJ:141)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
296
Kepasrahan tokoh-tokoh dalam novel ini untuk menerima takdir jodoh dari Tuhan tidak sertamerta merupakan kepasrahan tanpa alasan. Mereka berperilaku demikian disebabkan oleh hal-hal yang bersifat kepercayaan. Perlakuan Rasisme oleh Pihak Keluarga Dekat Keluarga Radin Asmawati (Mamandanya, Radin Wangsadipura, dan Radin Wiradinata) tidak menginginkan kemenakannya, Radin Asmawati, menikah dengan Hamli.Ia ingin Radin Asmawati menikah dengan kemenakan istri Radin Anggawansa. Inilah takdir untuk Radin Asmawati yang mereka rancang. Untuk itu, mereka menemui Hamli secara langsung, bahkan menggunakan racun akan mereka lakukan. Hal ini berarti bahwa Pihak keluarga melakukan tindakan rasisme dengan berusaha menentang takdir Tuhan. “Racun masih ada, yang lebih halus jalannya daripada jatuh terjerumus ke dalam sungai.” (MJ:210) Tidak hanya Hamli, bahkan kemenakan mereka sendiri, Radin Asmawati, akan dibunuh kalau tidak mau menuruti “takdir” yang telah mereka tetapkan. Mereka menganggap apabila ia tetap menikah dengan orang di luar sukunya, hal itu akan memberi malu sehingga lebih baik Radin Asmawati dibunuh saja. “Siapa pun yang hendak mencemarkan nama baik kita, harus kita binasakan, biar pun kaum keluarga kita sendiri.” (MJ:209) Tindakan rasisme juga dilakukan oleh keluarga Radin Asmawati dengan memfitnah jika kemenakannya terkena guna-guna oleh Hamli.Hal ini diketahui dari tuturan Patih Anggawinata saat mengetahui perjodohan kemenakannya, Radin Asmawati dengan Hamli. Perlakuan Rasisme oleh Kaum Kerabat Pandangan masyarakat Minangkabau dan Sunda dalam memaknai takdir jodoh cenderung menerima takdir sebagai ketetapan Tuhan dan dikirimkan melalui mimpi, tenung, nujum, atau ramalan. Perbuatan mereka tidaklah sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut. Marah Rusli selaku pengarang, secara tegas meyakinkan pembaca akan kebenarannya. Bahkan, cara seperti niat bunuh diri Radin Asmawati dalam upaya pemenuhan takdir jodohnya untuk hidup bersama Hamli, dihadirkan pengarang untuk memperkuatnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut. Jika ananda tak diizinkan kawin dengan Hamli, biarlah ananda mati bersama-sama dengan dia, karena dia pun tak mau hidup lagi diatas dunia ini jika tidak bersamasama ananda. (MJ: 197). Kutipan tersebut merupakan tuturan Radin Asmawati saat tidak diizinkan oleh Mamanda Patih Anggawinata untuk menikah dengan Hamli. Radin Asmawati sudah begitu yakin akan tenungan Mpok Nur melalui kartu-kartunya bahwa jodohnya sudah dekat. Syukurlah! Jawab Din Wati, yang mulai percaya akan tenungan Mpok Nur ini” (MJ:108).Ini merupakan pertanda bahwa jodohnya memang sudah dekat, dan laki-laki itu adalah Hamli. Selain hasil tenungan Radin Asmawati sangat terpengaruh wasiat/ramalan dari Kiai Naidan, guru ayahnya.Hamli berasal dari seberang, berbudi baik, meskipun baru berstatus siswa.Ia dan Hamli memang jodoh, semakin memantapkan hati Radin Asmawati untuk menikah dengan Hamli. Ia meyakini itu semua, sehingga mati pun ia pilih daripada tidak jadi berjodoh dengan Hamli. Dalam pandangan Islam, perbuatan Radin Asmawati bukanlah suatu perbuatan yang sepatutnya.Perlakuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk rasisme dan pemaksaan. Orang tua mana pun akan memenuhi permintaan anaknya apabila si anak mengancam untuk bunuh diri apalagi Ratu Maimunah dan Radin Jaya Kesuma, orang tua Radin Asmawati. Mereka tidak ingin anaknya bunuh diri.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
297
Dari dua kutipan di atas diketahui begitu kuatnya pengaruh mimpi, tenungan, nujum, dan ramalan terhadap pola pikir seseorang sehingga dengan mudahnya “menyalahkan” Tuhan sebagai bentuk penerimaan akan kebenaran perilakunya. SIMPULAN Setelah melalui pembahasan novel Memang Jodoh karya Marah Rusli ini, ada beberapa hal oleh menarik yang patut dicermati oleh masyarakat yang hidup dalam alam modern ini. (1) Dalam masyarakat Minangkabau pernikahan antarsuku, bahkan dianggap merusak tatanan adat dan sistem kekerabatan. (2) Peran oang tua sebagai pengatur atau yang menentukan jodoh bagi anak-anaknya masih terlihat dominan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. (3) Poligami dianggap dapat mengangkat derajat suatu keluarga atau kaum apabila perempuan yang dinikahi berasal dari kaum bangsawan atau keturunan orang terpandang dalam masyarakat. (4) Dalam menentukan perjodohan masyarakat masih memperlihatkan pola pikir tradisional, misalnya tafsir mimpi, tenung, nujum, dan ramalan.Novel Memang Jodoh dapat diperlakukan sebagai karya sastra Indonesia modern yang melontarkan pikiran kritis yang menggugat para pemangku adat dalam memaksakan kaidah adat yang kaku dan rasis, khususnya dalam pernikahan antarsuku di ranah Minangkabau. DAFTAR PUSTAKA Alquran Digital. http://www.alquran-digital.com Damono, Sapardi Djoko. (l978). Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Danandjaya. (1991). Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti. Grebstein, Sheldon Norman. (1968). Perspectives in Contemporary Criticism. New York: Harper & Row. Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. (2007). Sejarah Sastra Indonesia (Prosa dan Puisi). Surakarta: LPP dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS. Marah Rusli. (2013). Memang Jodoh. Jakarta. Qanita. Pradopo, Rachmat Djoko. (1997). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV. Jakarta: Gramedia. Rusyana, Yus. (1982). Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Resty Yulanda. (2011). Sangsi Adat terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai Asam Kabupaten Padang Pariaman. Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang http://repository.unand.ac.id/17276/1/SANKSI_ADAT_TERHADAP_PERKAWINAN_SESU KU.pdf Teeuw, A.A. (l982). Khazanah Sastra Indonesia: Beberapa Masalah Penelitian dan Penyebarannya. Jakarta: Gramedia
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
298
53 A PORTRAYAL OF GENDER AND EQUALITY: DISNEY’S POCAHONTAS BETWEEN FICTION AND HISTORY Nopita Trihastutie Widya Kartika University Surabya Abstract: In the era of visual media, children’s stories have become popular products of entertainment industries. Disney which focuses on children’s stories production has proved itself to be the world class entertainment industry in which the stories have been spread throughout the world. Disney’s stories are developed from fairytales, folktales, and folklores in which one of the well-known stories depicts a Native American figure, Pocahontas, as a heroine. This paper will examine how Disney has promoted two issues in modern society, namely gender and equality, to the understanding of traditional children’s literature through a fictional characterization of folkloric Pocahontas.
Keywords: Fiction, Gender BACKGROUND Entertainment which has been a global industry brings pleasure to all people around the world. Though it is not the only player in global entertainment, U.S. has dominated in creating mass culture which transforms the world. Among the most famous American entertainment, Walt Disney has entertained people around, especially children the world with children’s animated stories for decades. Fairy tales and folktales have provided a source of inspiration for Disney children’s stories. Like other American popular culture products, Disney children’s stories have exported American cultural values to the world. However, critics to entertainment industries vary from negative to positive issues. Entertainment industries have been accused of harming children, shortening attention spans, trivializing culture, vulgarizing taste, sanctioning violence, polarizing audiences, and undermining communities (Blakey, 2001, p. 3). Some believers in the cultural imperialism theory laud an American cultural hegemony as the New World Order – “the best model for the future” (Rothkopf in Blakey, p. 7). While others argue that American cultural content does not make people subjects of American ideology but empowers them to develop their own identities (Blakey, p.7). Through Disney children’s stories, American cultural contents open people’s minds, especially children. Children’s stories – regardless of what form it takes – are often created and structured in really specific ways. Children are open to anything and accept it without question. Like in any children’s stories, everything in Disney’s stories, from conflicts to knowledge is more linear. They provide a simple world by making sense without too many twists and complexities to get in the way or overshadow it. The nature of children’s stories present good and evil, right and wrong, limits and possibilities are as something heartbreaking to get. However, without denying their nature as children’s stories, in Disney’s hands, fairytales, folktales, and folklores have experienced some “treatments” in term of contents. Disney has experienced in filtering out any explicit fairy tales, changing both the traditional stories and folk figure in Disney’s own version. Therefore, Disney’s stories are not merely bedtime stories. They also promote some global issues, such as gender and equality, in the packages of children’s stories. In doing so, Disney’s stories have created their own version of imaginary heroine, imaginary female celebrity as well as both imaginary and folkloric female figures. They have placed a real folkloric female figure between history and fiction. How Disney’s story promotes gender and equality to the understanding of traditional children’s literature can be seen further through its fictional characterization of folkloric Pocahontas.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
299
DISCUSSION Disney claims that the film shows a portrayal of the real life of Pocahontas and several aspects of Indian life in Powhatan culture, including farming practices and children’s games and such details as clothing, housing, and hair styles (“Film Notes” in Hasting, 1995, p. 2). However, it notes in Disney Adventures that the “real” Pocahontas “definitely didn’t look like the star of a Disney movie” (MacDonald in Hasting p. 2). In Disney’s movie, Pocahontas, the princess of Powhatan, paramount chief of Tsenacommacah, is described as a heroine. Her love story with an English colonist Captain John Smith has been superimposed on the existing materials; some fantasy elements have been added; the geography depicted is romantic and idyllic, nothing like that of Tidewater Virginia (Hasting, 1995, p.1). Disney also eliminates her subsequent capture by the English settlers, conversion to Christianity, marriage to John Rolfe, and death in England after bearing a single child (Tilton in Hasting, p.3). Disney would have chosen to portray Pocahontas as a young adult rather than the historically more accurate girl who would presumably have more appeal for the children in the audience and the aging of Pocahontas primarily supports the imposition of a love story at the center of the film (Kale in Hasting, p. 3). Based on historical facts of Virginia (Rountree, 2011), the Powhatans were a matrilineal society, which meant that the family tree was traced through the mother and any inheritance was also passed through the mother. The only real “queens” among the Powhatans were those who were rulers themselves by matrilineal inheritance. The sons and daughters of rulers were “princes” and “princesses” only if they were the children of a female in line of succession or if their father, the chief of tribe, was still alive. Pocahontas was only a princess as long as Powhatan was still alive. She was a favorite of her father’s but she was not in line to inherit a position as a sub chief or paramount chief. Pocahontas’s childhood was probably little different from that of most girls who lived in Tsenacommacah. She learned how to perform what was considered to be women’s work (Rountree, 2010). As she grew older, she helped other members of Powhatan’s household with preparations for large feasts (Rountree, 2011). Serving feasts was a regular obligation of the paramount chief (Rountree, 2010). In Powhatan society, women controlled their family food supply and became the real owners of the houses. Historical records in Official Website of National Park Service do not suggest that Smith and Pocahontas were lovers. When Smith first arrived to Virginia, Pocahontas was around the age of eleven. Historical records in Mariner Museum (2002) also Women were well respected in Powhatan society. When a man decided to marry a woman, the pressure was on him to prove himself to her as a good provider and protector. They would not accept a man who did not measure up to their expectation. Because of this, the English settlers were perceived as inadequate since they appeared to be unable to feed themselves. However, the movie describes a generational conflict between Pocahontas and her father in term of her arranged marriage according to the Powhatan tradition because of her infatuation with a white man. Disney describes how the heroine solves this conflict as a mediator between her people and the white man. Disney represents a little girl Pocahontas in history as a mature antagonist “princess” in the movie. The traits of this “princess” featured through the film are assertive, independent and adventurous. Living in a society that obeys to strict orders and respect for the chief, Pocahontas is portrayed as a woman who caught in a cultural system. However, finally she finds a breakthrough for herself. She is portrayed as highly respected female with sort of courageous behavior that allows her to search for personal success in which in this case is the right path decided by nature (Birchfield, 1998). She starts a journey based on her dream and in her searching for something she is challenged and also transformed rather than saved through a predetermined meeting with the opposite sex (Birchfield, 1998). Disney’s Pocahontas is not portrayed as a subordinated in term of her relationship with the opposite sex. The story tells how a gut, like Captain John Smith, who knows everything, has got to meet a stubborn and morally woman, Pocahontas, that can prove him wrong and show him a better world;
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
300
moreover, she is represented as more open minded than John Smith who cast a light to his weakness and need for a changed view on the world (Birchfield, 1998). Disney’s description of the existence of Pocahontas refers to what she does and performs, not to something she is born with. Being born as a female in a society which honors men’s domination, but still respect women to some extent, Disney’s Pocahontas is portrayed as a figure who learns to look, act, and participate in particular ways in relationships and communities, and see the world from a particular perspective. Her preferences and beliefs which are presented as the result of her individual history, not merely as a result of her place in the social order, develop in response to experience, and to the extent that the social order structures her experience. Disney’s portrayal of Pocahontas’ interaction with the male characters places the equal situation for female and males, and looks at both in similar perspective. Disney emphasizes Pocahontas as a folkloric figure on her role as an individual capacity without neglecting the fact that she is a part of Patriarchal society. Disney imposes to place Pocahontas not only limited on her sexual existence as female but also in a concept of social construct which refers to social and cultural distinctions associated with a given sex, meaning that it does not exist naturally, but is created by cultural and societal norms. Indeed, folkloric Pocahontas was a part of patriarchal society; however, the movie represents her neither as the objects of affection nor merely a decoration whose role to support the leading male characters. Disney portrays her as a subject who has ability to defend herself. Portraying her as a super princess and placing the central story in her unmarried – ending relationship with Captain John Smith may exceeds the reality, however, it shows how Disney endorses elements of being a princess: a possibility for a woman to be happy without marriage, pursuing personal goal and making goals come true. CONCLUSION Disney’s Pocahontas offers children an understanding to conceive the world. The understanding underlines that the idea of gender and equality is based on the individual ability. However, since Disney’s Pocahontas is merely an entertainment, it requires the children viewers’ ability to discern between realistic characters and fantasy ones. The audiences cannot take for granted the ages, characterization, and relationship between characters for the sake of entertainment. The movie is designed to promote a cultural message which addresses to the 1990s, not to the 17th century. Rather than presenting historical facts, Disney presents the interpretation of folkloric Pocahontas which is subject to ideological influence of the era when the movie is produced. The nature of this interpretation is never neutral since entertainment is always influenced by its embedding within culture industry. REFERENCES Birchfield, Stan. (1998). Embedded Values in the Disney Movie Pocahontas. Retrieved from: http://vision.stanford.edu/~birch/pocahontas.html Blakley, J. (2001). “Entertainment Goes Global: Mass Culture in a Transforming World’ in Entertainment Goes Global Project. Norman Lear Center and the Pacific Council on International Policy. Retrieved from http://learcenter.org/pdf/EntGlobal.pdf Hasting, A.W. (1995). Disney’s Pocahontas: Folklore, History, and the Culture Industry Presented in Great Plains Popular Culture Association/American Culture Association. Sioux City, IA. Official Website of U.S. National Park Service. Pocahontas: Her Life and Legend - Historic Jamestowne Part of Colonial National Historical Park. Retrieved from www.nps.gov. Rountree, H. C. (January 25, 2011). “Pocahontas (d. 1617)” in Encyclopedia Virginia. Retrieved from http://www.encyclopediavirginia.org Rountree, H. C. (November 3, 2010). “Early Virginia Indian Education” in Encyclopedia Virginia. Retrieved from http://www.encyclopediavirginia.org Official Site of Mariner’s Museum. (2002) What were the responsibilities of the Powhatan Women and Children? Retrieved from www.marinersmuseum.org
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
301
54 PERBEDAAN KELAS SOSIAL DALAM CERPEN RICHARD CONNEL’s THE MOST DANGEROUS GAME Nanda Ruli Maulidiyah Priesty Adeline Prodi Bahasa dan Sastra Inggris - Unipdu Jombang Abstrak: Dalam tatanan masyarakat perbedaan kelas sosial masih terlihat. Penggolongan kelas sosial salah satunya berdasarkan kekuasaan dan materi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa kelas sosial yang ada dalam cerpen The Most Dangerous Game. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan teori Marxism yang digagas oleh Karl Marx, seorang filsuf dari Jerman, yang mengkaji tentang perbedaan kelas sosial di dalam sebuah masyarakat. Dalam cerpen The Most Dangerous Game terdapat tiga kelas sosial yakni aristokrat, borjuis dan kaum buruh atau proletar. Perbedaan kelas sosial itu direpresentasikan oleh tiga tokoh yaitu Rainsford,General Zaroff dan Ivan. Seorang pemburu bernama Rainsford terjatuh dari kapal dan terjebak di sebuah pulau kecil di Karibia. Disana, ia diburu oleh suku Cossack. Kejadian itu mempertemukannya dengan seorang pembunuh bernama General Zaroff yang mempunyai pengikut setia bernama Ivan. Namun marxisme melihat sebuah kemajuan datang melalui perjuangan tanpa membedakan kelas sosial, yang berarti siapapun bisa berhasil atau mengalami kemajuan dengan perjuangan keras tanpa melihat darimana seseorang itu berasal. Hal itu terbukti dengan bebasnya Rainsford dari permainan yang diciptakan oleh General Zaroff. Kata kunci : Marxisme; kelas sosial; kekuasaan; materi
PENDAHULUAN Dalam hidup bermasyarakat, manusia tidak bisa lepas dari kehidupan sosial. Kehidupan sosial juga tidak bisa lepas dari kelas sosial. Soerjono Soekanto (2002:68) menyatakan struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antar posisi sosial dan antar peran. Dengan demikian pengertian struktur sosial dapat didefinisikan sebagai suatu tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timba balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan perilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Cerpen The Most Dangerous Game adalah cerpen yang ditulis oleh Richard Connel pada 19 Januari 1924 di Majalah Amerika, Collier. Richard Connell adalah asli orang Amerika dan lulusan universitas Harvard. Cerpen ini diawali dengan jatuhnya seorang pemburu bernama Rainsford dari kapal. Rainsford terpisah dari Whitney dan tersesatlah ia di sebuah pulau yaitu Ship Trap Island. Disana ia bertemu dengan suku Cossack, termasuk di dalamnya adalah General Zaroff dan asistennya, Ivan. Cossack adalah nama umum sejumlah masyarakat di wilayah Pegunungan Ural dari Eropa Timur yang saat ini adalah Rusia dan Ukraina. Banyak Cossack Rusia, seperti Zaroff dan asistennya, Ivan, yang spesialis militer; yang berjuang selama berabad-abad sebagai tentara bayaran kaisar sampai runtuhnya kekaisaran Rusia pada tahun 1917. “Ivan is an incredibly strong fellow, “remarked the general, “but he has the misfortune to be deaf and dumb. A simple fellow, but I’m afraid, like all is race, a bit of a savage.” “Is he Russian?” “He is a Cossack,”said the general, and his smile showed red lips and pointed teeth.”So am I”. Berdasarkan percakapan antara General Zaroff dan Rainsford di atas, menunjukkan bahwa ia dan Ivan adalah salah satu dari suku Cossack.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
302
Sebuah penelitian tentang Marxist juga pernah dilakukan oleh Yusuf Cahyo Udi Utomo pada tahun 2013 dengan judul Marxist Analysis of French Revolution in Charles Dickens’ A Tale of Two Cities. Tujuan dari skripsi ini adalah menganalisis apa yang memicu terjadinya revolusi di Perancis, apa akibat dari revolusi tersebut, dan ideologi apa yang ditanamkan pengarang di novel ini. Fokus makalah ini adalah menemukan bentuk-bentuk kelas sosial dalam cerpen The Most Dangerous Game karya Richard Connell. METODOLOGI Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan Marxism. Marx adalah perintis Marxisme yang ajaran-ajarannya dibakukan oleh temannya yaitu Friederich Engels. Karl Marx (18181883) seorang filsuf dan Friederich Engels(1820-1895) sebagai sosiolog bertemu setelah Marx membaca sebuah artikel yang ditulis oleh Engels dimana mereka berdua berkontribusi di dalamnya. . Tujuan dari Marxism adalah menghilangkan adanya kelas sosial berdasarkan kepemilikan umum dari alat-alat produksi, distribusi dan pertukaran. Marxist adalah filosofi materialis yang mencoba menjelaskan sesuatu tanpa mengambil adanya kekuatan diluar dunia sekitar kita dan masyarakat dimana kita tinggal. Hal itu bertujuan untuk mencari sesuatu yang kongkrit, ilmiah dan penjelasan yang logis dari fakta berdasarkan observasi. Hal itu berlawanan dengan filosofi idealis yang percaya dengan adanya keagamaan di dunia antah berantah dan memberikan penjelasan yang religius tentang hidup dan tingkah laku. Itulah awal Marxism didasarkan pada materialis. Konsep pokok dalam analisis Marx adalah “alienasi” atau “keterasingan”, yang timbul dalam masyarakat kapitalis karena eksploitasi terhadap kaum proletariat (buruh) oleh kaum borjuis. (diterjemahkan dari buku Peter Barry hal 106 tahun 2002) Marxisme merupakan aliran yang ditujukan bagi penganut ajaran Karl Marx atau lebih spesifiknya lagi adalah sebuah aliran filsafat yang ditujukan kepada ajaran-ajaran Karl Marx, dan para penganutnya disebut dengan marxis. Lahirnya Marxisme adalah awal dari penolakan Marx terhadap sistem kapitalis. Saat itu Marx melihat kesenjangan sosial telah terjadi yang dipraktikkan oleh masyarakat Eropa. Mereka adalah orang-orang Borjuis atau bangsawan yang telah menguasai kaum bawahan (buruh) atau yang bisa dianggap kaum proletar. Kaum proletar dipaksa untuk bekerja hanya demi segelintir kaum bangsawan. Makalah ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Disamping itu juga bersifat studi pustaka karena menggunakan referensi yang diperoleh dari perpustakaan. Obyek dalam makalah penelitian ini adalah cerpen The Most Dangerus Game karya Richard Connel. Teknik pengambilan data dengan simak (membaca) dan mencatat. PEMBAHASAN Dalam cerpen The Most Dangerous Game terdapat tiga kelas sosial yaitu borjuis, aristokrat dan proletar atau masyarakat kelas bawah. Aristokrat adalah penganut cita-cita kenegaraan yg berpendapat bahwa negara harus diperintah oleh kaum bangsawan (orang kaya dan orang-orang yang tinggi martabatnya) yang dikutip dari http://kbbi.web.id/aristokrat . Menurut http://kbbi.web.id/ borjuis adalah kelas masyarakat dari golongan menengah ke atas (biasanya dipertentangkan dengan rakyat jelata) Sedangkan Proletar menurut http://kbbi.web.id/proletar adalah orang dari golongan proletariat atau kaum buruh. Kaum Aristokrat Fakta pertama bahwa dalam cerpen ini terdapat golongan aristokrat adalah kesan pertama Rainsford ketika bertemu dengan General Zaroff . Ia berpikir bahwa General Zaroff adalah orang aristokrat. Rainsford melihat dari ciri-ciri fisik seorang General Zaroff. “I’ve read your book about hunting snow leopards in Tibet, you see,’’explained the man. “I am General Zaroff.” Rainsford’s first impression was that the man was singularly handsome; is second was that there was that an original, almost bizarre quality about the general’s face. He was
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
303
a tall man past middle age, for his hair was a vivid hite; but his thick eyebrows and pointed military mustache were as black as he from which Rainsford had come. His eyes, too, were black and very right. He had high cheek bones, a sharp nose, a spare, dark face, the face of a man used to giving orders, the face of an aristocrat. Turning to the giant uniform, the general made a sign. The sign put away his pistol, saluted, withdrew. (Dikutip dari buku Literature fourth edition karya Laurence Perrine : 1983:12) Orang aristokrat adalah kaum bangsawan, orang yang tinggi martabatnya. Seorang bangsawan biasanya adalah orang yang fisiknya bagus sehingga pantas untuk memimpin sebuah negara. Fisik bagus yang dimaksud adalah seperti kulit putih, hidung mancung dan lain sebagainya. Ciri fisik seperti itu dimiliki oleh General Zaroff. Fakta kedua yang menunjukkan bahwa General Zaroff golongan orang aristokrat adalah mengajak Rainsford bermain game berbahaya dimana kali ini yang akan ia buru adalah Rainsford. Karena di Ship Trap Island ia bertindak sebagai pemilik, ia merasa dirinya adalah kaum bangsawan yang mempunyai martabat yang tinggi. General Zaroff berbincang-bincang dengan Rainsford dan mengatakan bahwa ia ingin berburu tapi bukan memburu hewan. “A new animal?you’re joking.” “Not at all,”said the general. “ I never joke about hunting. I needed a new animal. I found one. So, I bought this island, built this house, and here I do my hunting. The island is perfect for my purposes there are jungles with a maze of trails in them, hills,swamps”. (Dikutip dari buku Literature fourth edition karya Laurence Perrine : 1983:15) Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa General Zaroff ingin berburu, di tempat yang ia beli yaitu Ship Trap Island Siapapun yang ada di pulau ini harus mematuhi segala peraturan yang dibuat oleh General Zaroff. Jika tidak, ia akan memerintahkan Ivan untuk menghabisi siapapun yang melawannya. Kaum Borjuis Tokoh dalam cerpen ini yang mewakili golongan Borjuis adalah Rainsford. Salah satu ciri-ciri dari orang-orang Borjuis adalah mereka mendapat kekuasaan ekonomi dan sosial dari pekerjaan, pendidikan dan kekayaan. Rainsford adalah seorang pemburu dan penulis buku tentang berburu. Dengan profesinya itu ia mendapat kekuatan. Ia bisa dikenal banyak orang, salah satu yang mengenalnya adalah General Zaroff. “Perhaps, “said General Zaroff, “you were surprised that I recognized your name. You see, I read all books on hunting published in English, French, and Russian. I have but one passion in my life, Mr. Riansford, and it is the hunt.” (Dikutip dari buku Literature fourth edition karya Laurence Perrine : 1983:13) Dari perkataan General Zaroff diatas dapat disimpulkan bahwa Rainsford adalah seorang borjuis. Ia mempunyai adalah orang dengan kelas lumayan tinggi yaitu sebagai seorang penulis dan tidak mempekerjakan orang lain. Bisa dikatakan penulis dengan kelas lumayan tinggi karena bukunya tentang berburu diterbitkan di Inggris, Prancis dan Rusia. Kaum Proletar Di dalam cerpen ini Ivan adalah tokoh yang menjadi kaum proletar. Ia berperawakan tinggi besar namun bisu dan tuli. Ia adalah asisten dari General Zaroff yang selalu menuruti perintahnya. “Follow Ivan, if you please, Mr. Rainsford,”said general. “ I was bout to have my dinner when you came. I’ll wait for you. You’ll find that my clothes will fit you, I think.”. (Dikutip dari buku Literature fourth edition karya Laurence Perrine : 1983:12)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
304
Dari penjelasan diatas dapat dilihat jika Ivan termasuk kaum proletar atau kaum buruh. Kaum buruh adalah orang yang bekerja kepada pemilik modal atau yang memiliki alat-alat. Ia melaksanakan semua perintah General Zaroff. Saat pertama kali Rainsford datang, Ivan diperintahkan untuk mengantar Rainsford ke kamar untuk istirahat. Fakta lain yang menunjukkan bahwa Ivan adalah kaum proletar, yakni ketika General Zaroff menyuruhnya mengambil perlengkapan untuk Rainsford sebelum bermain game berbahaya dengannya. Then a business like air animated him. “Ivan,” he said to Rainsford, “will supplay you with hunting clothes,food, a knife. I suggest you wear moccasins; they leave a poorer trail. (Dikutip dari buku Literature fourth edition karya Laurence Perrine : 1983:12) Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ivan adalah kaum proletar. Ia mengambilkan Rainsford perlengkapan yang akan ia gunakan untuk bermain game dengan General Zaroff. General Zaroff adalah pemilik alat yaitu,baju, makanan dan pisau. Ivan hanya sebagai seorang buruh yang mengambil alat-alat tersebut atas perintah General Zaroff. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa ada tiga golongan/kelas atau struktur sosial yang ada dalam cerpen The most dangerous Game. Rainsford si pemburu yang juga seorang penulis termasuk golongan orang Borjuis. General Zaroff pemilik Ship Trap Island adalah orang aristokrat sedangkan Ivan adalah kaum proletar atau buruh. Ia adalah asisten dari General Zaroff yang selalu menjalankan apapun yang diperintahkan oleh Zaroff. DAFTAR PUSTAKA Barry, Peter.(2002). An Introduction to literary and cultural theory second edition. ______._______. Jessop, Bob. (1982). The Capitalist State Marxist Theories and Methods. _________. Martin Robertson & Company Ltd. Perrine, Laurence (1983). Literature structure, sound and sense fourth edition. USA. Harcourt Brace Jovanovich. Ismail dan Basir. Karl Marx dan Konsep Perjuangan kelas sosial. International Journal of Islamic Thought Vol. 1: (June ) 2012 Yusuf Cahyo Udi Utomo. Marxist Analysis of French Revolution in Charles Dickens’ A Tale of Two Cities. Thesis.2013. Universitas Diponegoro Semarang. http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-status-peran-kelas-sosial.html http://kbbi.web.id/borjuis http://kbbi.web.id/aristokrat http://www.MARXISME_Penggagas Teori Sosial-Politik Karl Marx_zakiracut.html (24 November 2011) http://priyobaliyono.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-struktur-sosial-menurut-para.html (Senin 6 Agustus 2012, pukul 17:28 ) http://www.SparkNotes The Most Dangerous Game Historical Context.htm https://id.wikipedia.org/wiki/Borjuis (30 November 2014, pukul 10.47)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
305
55 EKSPRESI KESADARAN PEREMPUAN TERHADAP KEBODOHAN YANG MEMBELENGGU KAUMNYA Rina Ratih Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Abstrak: ‘Manusia dan Hatinya’ merupakan sebuah sajak karya Raden Ajeng Kartini. Pejuang emansipasi perempuan di Indonesia ini lebih dikenal sebagai putri Indonesia yang memajukan bangsanya melalui pendidikan. Ia tidak dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai seniman. Akan tetapi ia meninggalkan sebuah sajak yang merupakan ekspresi kesadarannya sebagai perempuan yang berkemajuan. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap ekspresi Kartini sebagai pejuang perempuan dari kebodohan yang membelenggu kaumnya pada masa itu. Sebagai ekspresi personal, sajak tersebut merupakan luapan perasaan sehingga aspek yang bersifat emosional atau fungsi emotifnya lebih mengedepan daripada aspek lainnya. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, pandangan, dan sikap Kartini terhadap kebodohan yang membelenggu kaum perempuan. Sebagai ekspresi kesadaran, sajak itu tampak jelas mengungkapkan bahwa Kartini adalah perempuan yang berpikir jauh melampaui zamannya. Teori Feminis eksistensial Simone de Beauvoir digunakan untuk membahas ekspresi kesadaran Kartini sebagai perempuan Indonesia yang pemikirannya sudah melampaui zamannya. Kata kunci: kesadaran perempuan, ekspresi, sajak, feminis
PENDAHULUAN Seseorang yang menjadi pelopor kebangkitan pergerakan perempuan di Indonesia tidak bisa luput dari pembicaraan tentang penulis perempuan.Raden Ajeng Kartini adalah putri bangsawan Jawa, Bupati Jepara R.M.A.A. Sosrodiningrat. Pada masa kanak-kanaknya sampai berumur 12 tahun, ia berbahagia karena dapat mengenyam pendidikan sekolah seperti saudara-saudara laki-lakinya. Hal ini bukan peristiwa biasa, karena suatu pandangan masyarakat pada waktu itu bahwa anak perempuan tidak memerlukan kepandaian apapun di dalam hidupnya.Anak perempuan bangsawan tidak patut keluar rumah dan belajar bersama dengan anak laki-laki serta bergaul dengan mereka (Sulastin, 1979: viii). Kondisi perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia, khususnya dalam lingkup keluarga (Jawa), pada masa itu dapat dirujuk surat-surat Kartini yang dibukukan pada permulaan abad ke20.Kartini (1879-1904) menuliskan semangat perjuangan, kegelisahan, dan perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan khususnya di Jawa dalam bentuk karya sastra (puisi) dan surat-surat yang dikirimkan kepada para sahabatnya.Surat-surat Kartini untuk para sahabatnya dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Door Duisternis Tot Licht (dialihbahasakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Sulastin-Sutrisno (1979). Melalui surat-suratnya, Kartini membicarakan nilai-nilai tradisi (khususnya Jawa) yang cenderung membelenggu perempuan, menjadikannya tergantung pada laki-laki, yang menyebabkan perempuan menjadi kaum yang tidak berdaya, sehingga menurut Nugroho (2008:88), mereka seakan-akan tidak diberi peranan signifikan dalam komunitas masyarakatnya. Masyarakat Indonesia mengenal Raden Ajeng Kartini (1879-1904) sebagai seorang perintis emansipasi kaum perempuan di Indonesia.Tidak banyak yang mengetahui bahwa Kartini menulis sebuah sajak berjudul “Manusia dan Hatinya’ (dalam Rampan, 1984: 15).Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui sejauh mana ekspresi kesadaran Kartini menghadapi kebodohan kaum perempuan pada zamannya.Sajak ‘Manusia dan Hatinya” ini menarik perhatian untuk dibahas karena selama ini Kartini lebih dikenal dengan surat-surat untuk para sahabatnya daripada sajak. Bahasa yang tertuang dalam sajak berbeda dengan bahasa dalam suratyang deskriptif. Sajak ini mengangkat masalah manusia dan suara hatinya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
306
PEMBAHASAN Sajak Kartini ini berjudul ‘Manusia dan Hatinya’ terdiri atas 14 bait 60 baris. Kartini menggunakan nama samaran ‘jiwa’ dan sajak ini telah dimuat dalam Api Kartini edisi Juni 1959. MANUSIA DAN HATINYA Betapa si anak manusia Betapa asing mula jadinya Cuma sekilas, hati ikrar setia Tinggal menetap, tinggal dan esa Betapa hati di dada Tersayat dengan suara Betapa asing mula tadinya Lama, lama gaungi diri laksana doa Betapa ini jiwa Dalam sorak-sorai melanglang Jantung pun gelegak berdenyar Bila itu mata sepasang Ramah pandang menatap Jabat tangan hangat diulurkan Tahu kau, samudra biru Menderai dari pantai ke pantai? Di mana, bisikkan padaku Di mana, mukjizat bersemi? Bayu, tangkas, katakan padaku Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta Mengikat hati abadi begini? Oi! Bisikkan padaku, surya bercahaya kencana Sumber sinar, sumber panas kuasa Apa gerangan mukjizat agung Nikmatkan hati bagia begini Labuhkan, lunakkan derita Yang selalu datang dengan manjanya? Sepancar surya, habis tembusi daunan Jatuh di laut pasang mengimbak-imbak Terang sekarang, gemilang dunia Dalam paduan cahaya kencana surya Permainan cahaya dan warna Pameran di tentang mata mesra Dan hati kecil yang terpesona Hembuskan doa syukur tulus rela Mukjizat ternyata tiga!
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
307
Di hamparan mutiara cair gemerlapan Dipahatkan aksara padanya oleh surya Cinta, persahabatan, simpati! Cinta, Persahabatan, Simpati Berdesau ombak membisikkan kembali Berendang kayu dan pohon Pada si anak manusia menganga bertanya Manis membelai terdengar Nyanyian gaib ombak dan bayu “seluruh, seluruh dunia Jiwa seia bakal bersua!” Tiada tenaga kuasa lerai Apa pun, pangkat, martabat Tiada peduli segala Tangan pun berjabatan! Dan bila jiwa telah seia Retak tidak, tali abadi Mengikat erat, setia arungi segala Rasa, jarak dan masa Tunggal dalam suka, satu dalam duka Seluruh hidup gagah ditempuh! Oi, bagia dia si penemu jiwa seia Yang maha kudus dia suntingkan Kartini sebagai kaum ningrat mendapat pendidikan yang baik. Ia mengagumi sajak-sajak Peter August de Geneset (1829-1860), seorang penyair Belanda (Rampan, 1984:16). Ketertarikan Kartini terhadap sajak-sajak Peter mengilhaminya menulis puisi.Kondisi sosial dan politik pada masa itu tidak memberi ruang bagi perempuan Indonesia untuk ‘berpikir dan menuangkan pikirannya’ ke dalam suatu karya di samping keterbatasan media penerbitan.Oleh sebab itu, Kartini menulis puisi dan mengirimkannya ke majalah. Salah satu sajaknya merupakan wujud kesadaran sebagai perempuan untuk mengungkap keberadaan kaumnya, sebagaimana dituangkan Kartini dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabatnya. Sajak ciptaan Kartini berjudul ‘Manusia dan Hatinya’ terdiri 14 bait dan setiap baitnya terdiri atas 4 atau 5 baris sajak.Kata-kata dipilih dengan cermat untuk memperoleh efek estetis. Pola rima pada akhir baris tampak terjaga sehingga keseluruhan sajak itu terasa puitis. Asonansi /a/ tampak dominan pada bait pertama dan kedua. Penggunaan gaya bahasa dan pertanyaan retoris mewarnai sajak ini. Sajak ini tidak bersifat diafan tetapi termasuk sajak yang banyak mengandung kata kias. Simbol digunakan untuk mengimplisitkan pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Kartini mengungkap arti eksistensi manusia sebagai persona yang harus berinteraksi, seperti diekspresikan secara puitik dalam bait-bait sajaknya. Bait pertama, ’Betapa si anak manusia/ Betapa asing mula jadinya/ Cuma sekilas, hati ikrar setia/ Tinggal menetap, tinggal dan esa’ menggambarkan keadaan manusia yang diekspresikan dengan pengulangan kata di awal baris. Kesedihan tampak pada bait kedua dengan menggunakan imaji audio, ‘Betapa hati di dada/ Tersayat dengan suara/ Betapa asing mula tadinya/ Lama, lama gaungi diri laksana doa’. Kesedihan itu dapat berganti menjadi kebahagiaan apabila terjadi interaksi dengan orang lain yang diungkapkan pada bait ketiga berupa metonimi-sinekdoki berikut ini, ‘Betapa ini jiwa/ Dalam sorak-sorai melanglang/ Jantung pun gelegak berdenyar/ Bila itu mata
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
308
sepasang/ Ramah pandang menatap/ Jabat tangan hangat diulurkan’. Ekspresi kebahagiaan itu tampak pada ungkapan ‘jiwa yang sorai-sorai melanglang’ dan jantung yang ‘gelegak berdenyar’. Bait ketiga, gaya bahasa repetisi dan pertanyaan retoris digunakan Kartini untuk memperindah bunyi, ‘Tahu kau, samudra biru/ Menderai dari pantai ke pantai?/ Di mana, bisikkan padaku/ Di mana, mukjizat bersemi?’. Bait keempat masih berupa pertanyaan, ‘Bayu, tangkas, katakan padaku/ Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama/ Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta/ Mengikat hati abadi begini?’. Penggunaan gaya bahasa repetisi dan personifikasi tampak pada bait berikutnya berfungsi memperindah bunyi dan mengemukakan hal penting yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Bait berikutnya, ‘Mukjizat ternyata tiga!/Di hamparan mutiara cair gemerlapan/Dipahatkan aksara padanya oleh surya/Cinta, persahabatan, simpati!”. Bait ini mengungkapkan bahwa mukjizat itu ada tiga, yaitu cinta, persahabatan, dan simpati. Ketiganya, bagai ombak yang ‘membisikkan kembali/Berendang kayu dan pohon/Pada si anak manusia menganga bertanya’. Akhirnya, ‘Manis membelai terdengar/Nyanyian gaib ombak dan bayu/seluruh, seluruh dunia/Jiwa seia bakal bersua!” Bait berikutnya, ‘Tiada tenaga kuasa lerai/ Apa pun, pangkat, martabat/ Tiada peduli segala/ Tangan pun berjabatan!’. Kebebasan berinteraksi untuk berkata dan berbuat itu tidak mudah diraihnya, sehingga hanya doa yang bisa dilakukan. Meskipun Kartini tidak dikenal sebagai penyair, kata-kata dalam sajaknya dipilih dengan cermat agar dapat menyampaikan pesan tanpa meninggalkan efek estetik.Pola rima /aaaa/ pada akhir baris masih tampak dalam sajaknya sebagai pengaruh puisi lama. Sajak ‘Manusia dan Hatinya’ merupakan ekspresi Kartiniyangmengharapkan kehidupan yang mencerahkan bagi manusia.Sebagai ekspresi personal, sajak tersebut merupakan luapan perasaan sehingga aspek yang bersifat emosional atau fungsi emotifnya lebih mengedepan daripada aspek lainnya. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang digunakan Kartini untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, pandangan, dan sikapnya. Kartini menyampaikan pesan agar manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di masa depan. Ia tidak menginginkan manusia, khususnya kaum perempuan di Indonesia terbelenggu tradisi terus menerus tetapi mengharapkan mereka dapat bergaul dan berkeliling dunia, seperti diekspresikannya dalam baris sajak, ‘seluruh, seluruh dunia/ jiwa seia bakal bersua!”. Ternyata dibutuhkan tiga mukjizat, sepeti diekspresikan pada baris-baris berikut, ‘Mukjizat ternyata tiga!/ Di hamparan mutiara cair gemerlapan/ Dipahatkan aksara padanya oleh surya/ Cinta, persahabatan, simpati’. Bait terakhir merupakan impian Kartini yaitu manusia yang gagah menempuh kehidupan dan kebahagiaan bagi si penemu jiwa sejati, ’Dan bila jiwa telah seia/Retak tidak, tali abadi/Mengikat erat, setia arungi segala/Rasa, jarak dan masa/Tunggal dalam suka, satu dalam duka/Seluruh hidup gagah ditempuh!/Oi, bagia dia si penemu jiwa seia’. Sajak ini juga dapat dimaknai sebagai kegalauan hati manusia yang mengalami banyak kesulitan dan memimpikan kebahagiaan dalam hidupnya. Sajak di atas secara implisit mengekspresikan perasaan Kartini sebagai perempuan yang mengharapkan terjadinya perubahan bagi kehidupan manusia (kaum perempuan) yang disampaikan secara simbolik. Sajak tersebut menjadi aspirasi perjuangan bagi kaum perempuan agar terbebas dari kebodohan dan ketergantungan menuju kecerdasan, kebahagiaan dan kemandirian.Harapan dan perjuangan Kartini agar kaum perempuan bebas dari kebodohan yang membelenggunya diekspresikan dalam sajak di atas dan pada surat-surat Kartini yang ditujukan kepada Nona E.H. Zeehandelaar, tertanggal 25 Mei 1899 (Sulastin, 1979:1) sebagai berikut. Aduh, Saudara tidak tahu bagaimana rasanya dengan sebulat hati mencintai zaman muda, zaman baru, zaman milikmu, tetapi tangan dan kaki kami masih terbelenggu; masih terikat pada hukum, adat istiadat dan kebiasaan negeri kami.Kami tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu itu. Kutipan surat di atas begitu jelas menyiratkan kegelisahan Kartini pada kaumnya. Curahan hati Kartini kepada sahabatnya yang hidup di Negara maju membuat Kartini merasa sedih tetapi betapa kuatnya tekad Kartini mengubah karakter bangsanya. Kesadaran Kartini ini muncul melihat fenomena kehidupan sosial perempuan pada masa itu. Meskipun dia sendiri tidak memiliki kekuatan untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
309
mengubah dunia, tetapi pelan pelan Kartini menggunakan strategi untuk pembebasan perempuan. Hal ini sejalan dengan konsep feminis eksistensialisme yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir. Strategi perjuangan yang dilakukan oleh Kartini untuk menghapus kebodohan kaumnya adalah melalui pendidikan dan mencari pengalaman ke dunia luas.Kartini berpandangan bahwa pendidikan dianggap syarat utama untuk membebaskan diri dari segala kebodohan dan kemiskinan.Sebagaimana diungkap Nugroho (2008:88-89) bahwa satu perjuangan yang cerdas, dalam konteks masa itu, mengingat pendidikan secara nyata dapat mengubah sistem nilai dalam masyarakat selain menawarkan berbagai kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri. Perjuangan Kartini untuk mendirikan sekolah diutarakan dalam surat yang ditujukan kepada Nyonya M.C.E. Ovink–Soer pada bulan Agustus 1900 (Sulastin, 1979:79) berikut ini. Tercapai atau tidaknya tujuan saya tersebut, hanyalah bergantung kepada kemauan dan kecakapan saya.Saya penuh harapan, penuh keberanian.Sebenarnya sekolah gadis Bumiputra itu masih belum tentu didirikan, tetapi saya tidak putus asa.Ada tandatanda bahwa beberapa orang yang berpengaruh, bahkan mungkin juga lebih banyak yang berusaha sungguh-sungguh mengangkat derajat dan membawa pelita ke dalam dunia perempuan Bumiputra, membangunkannya dari keadaannya yang menyedihkan. Usaha Kartini sebagai perempuan Indonesia mulai menampakkan hasil dengan rencana didirikannya sekolah gadis bumiputra. Surat-surat Kartini yang ditulisnya pada usia 20 tahunan itu menunjukkan semangat dan pikiran-pikiran yang maju. Ia tidak putus asa untuk memajukan kaumnya yang hidup terbelenggu dalam sistem patriarki yang kuat. Kartini secara tepat menempatkan permasalahan penindasan perempuan sebagai bagian dari permasalahan sistem budaya masyarakatnya. Maka, berdasarkan pemahaman yang cerdas, Kartini mengambil pendidikan sebagai titik strategis yang harus dibuka untuk kaum perempuan (Hafidz, 1993:94). Langkah-langkah Kartini berjuang ‘melawan’ tradisi dan kebodohan menjadi aspirasi bagi perjuangan perempuan di masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan konsep pembebasan perempuan menurut Simone de Beauvoir bahwa perempuan itu harus menjadi seorang intelektual melalui pendidikan. Simone de Beauvoir adalah seorang pendukung gerakan feminis Prancis pada tahun 1960 yang ingin membebaskan dan memberdayakan perempuan. Gagasan filosofisnya dipengaruhi oleh Jean Paul Sartre, yaitu konsep Diri yang imanen atau ego yang diamati, yang kemudian dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu Ada dalam dirinya sendiri (etreen soi), Ada untuk dirinya sendiri (etrepour soi), dan Ada untuk orang lain (etrepour les autres).Apa yang sudah dijelaskan di atas sesungguhnya sama dengan upaya kaum feminis eksistensialisme Simone de Beauvoir (2003) dalam mencapai proses pembebasan, meliputi perempuan menjadi seorang intelektual dan menjadi perempuan mandiri. Kartini sudah mulai melakukan upaya mencerdaskan perempuan melalui pendirian sekolah bagi kaum perempuan Indonesia. Perempuan sebagai manusia diharapkan dapat berinteraksi dengan dunia luar agar mimpinya meraih kebahagiaan dan kemerdekaan yang hakiki dapat diraih sebagaimana terekspresikan ke dalam sajak berjudul ‘Manusia dan Hatinya’. SIMPULAN Potret perempuan di Indonesia pada zamannya telah menggugah kesadaran Kartini mendirikan sekolah untuk mencerdaskan kaumnya. Kesadaran itu dapat dibaca pada surat-surat yang dikirim untuk para sahabatnya. Upaya ini sejalan dengan perjuangan kaum Feminis eksistensialisme Perancis yang dikemukakan oleh Simone de Beauvoir bahwasalah satu strategi pembebasan perempuan dari kebodohan adalah menjadi seorang intelektual. Melalui pendidikan, seorang perempuan mampu dan percaya diri bekerja di ranah publik untuk menunjukkan eksistensinya dan menjadi pribadi yang mandiri. Kartini sebagai putri seorang bupati memiliki kesadaran berpikir melampaui zamannya. Kegelisahan dan keprihatinan Kartini sebagai manusia diekspresikan pada sajak “Manusia dan Hatinya” yang telah dimuat di mass media. Tentu saja dengan harapan sajak tersebut dibaca dan pesannya dipahami oleh masyarakatat. Sebuah aspirasi perjuangan bagi kaum perempuan agar terbebas dari kebodohan dan ketergantungan kepada kaum pria menuju pada sosok perempuan cerdas dan mandiri. Sebagai ekspresi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
310
personal, sajak tersebut merupakan luapan perasaan sehingga aspek yang bersifat emosional atau fungsi emotifnya lebih mengedepan daripada aspek lainnya. Hal ini tampak dari penggunaan bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan gagasan, perasaan, pandangan, dan sikap Kartini terhadap kebodohan yang membelenggu kaum perempuan. Sebagai ekspresi kesadaran, sajak itu tampak jelas mengungkapkan bahwa Kartini adalah perempuan yang berpikir jauh melampaui zamannya. DAFTAR PUSTAKA de Beauvoir, Simone. (2003). Second Sex: Fakta dan Mitos. Surabaya: Pustaka Promothea. ------------------. (2003). Second Sex: Kehidupan Perempuan. Surabaya: Pustaka Promothea. Hafidz, Wardah. (1993). “Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang, dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa”. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (ed. Fauzie Ridjal dkk). Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Nugroho, Riant. (2008). Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------------. (2008). Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rampan, Korrie Layun. (1984). Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra. Jakarta: Yayasan Arus. Sulastin (penerjemah). (1979). Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan untuk Bangsanya (terjemahan Door Duisternis Tot Licht). Bandung: Harapan Offset.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
311
56 TUBUH PEREMPUAN: TIMUR YANG IMAJINER (PEMBACAAN ORIENTALISME ATAS CERPEN “DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA) Royyan Julian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan - Universitas Madura Abstrak: Eksistensi tokoh perempuan dalam cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (DMKM) karya Seno Gumira Ajidarma merupakan faktor yang menyebabkan iritasi sosial. Namun, sebenarnya yang menjadi pemicunya adalah imajinasi tentang tubuh perempuan itu sendiri. Dengan menggunakan pembacaan orientalisme Edward Said, tulisan ini mendedah cerpen tersebut dalam perspektif wacana poskolonial. Tujuannya adalah untuk melihat wacana tubuh perempuan yang digunakan sebagai alat untuk menghegemoni. Hasil pembacaan menunjukkan bahwa, sebagaimana imajinasi Barat terhadap Timur, para tokoh laki-laki dalam cerpen tersebut memandang tubuh (feminin) perempuan sebagai entitas yang asing, liar, misterius, dan erotis. Dengan cara pandang tersebut, posisi perempuan menjadi liyan (others). Dalam isu-isu kontemporer, imajinasi syahwati tubuh perempuan diperkuda sebagai premis untuk melegitimasi norma-norma yang menguntungkan pihak tertentu (laki-laki). Kata kunci: tubuh perempuan, Timur yang imajiner, orientalisme, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, Seno Gumira Ajidarma.
LATAR BELAKANG Dalam bukunya, Orientalisme (1978), Edward Said berkata bahwa orang Eropa menganggap Timur sebagai barang temuan mereka. Bahkan, sejak zaman dahulu, Timur telah menjadi tempat yang penuh romansa, makhluk-makhluk eksotik, kenangan, panorama yang indah, dan pengalamanpengalaman yang mengesankan (1978:1). Timur adalah dunia yang asing, misterius, primitif, brutal, feminin; ia perlu disibak dan ditemukan bagai harta karun. Keingintahuan Barat yang penuh nafsu itulah yang menjadi alasan munculnya apa yang dinamakan orientalisme. Orientalisme adalah suatu cara untuk memahami dunia Timur yang didasarkan pada keeksotikannya di mata orang Eropa (Said, 1978:2). Orientalisme menjadi sebuah disiplin, wacana, atau sebuah cara memahami Timur (sebagai objek kajiannya) untuk menyingkapkan misterinya dan pada ujung-ujungnya dimaksudkan untuk didominasi/dikuasai. Uniknya, orientalisme tidak memiliki wacana tandingan (oksidentalisme). Tulisan ini hendak mengupas cerpen Seno Gumira Ajidarma, DMKM, dengan kacamata orientalisme. Salah satu hal menarik di dalam cerpen tersebut adalah kehadiran tokoh sentral, yakni seorang perempuan. Tokoh perempuan mandi tersebut dapat dianalogkan dengan Timur yang imajiner (bagi Barat) sehingga perlu ditaklukan atau dikuasai. Dengan menggunakan wacana poskolonial saidian, analisis terhadap cerpen DMKM menampakkan isu-isu seputar peliyanan terhadap perempuan. Peliyanan tersebut bermula dari imajinasi (laki-laki) terhadap tubuh perempuan yang dipandang penuh dengan potensi erotis dan seksual. Bukannya tidak mungkin jika akumulasi imajinasi tersebut disengaja, sebab pada akhirnya, asumsi-asumsi terhadap tubuh perempuan digunakan sebagai alat untuk mengobjektivikasi perempuan itu sendiri. Sudut pandang pembacaan itulah yang lebih jauh akan dibahas dalam tulisan ini.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
312
Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk mengupas wacana tubuh perempuan sebagai Timur yang imajiner dalam cerpen DMKM dengan perspektif orientalisme. Pada pandangan yang lebih luas, pembacaan poskolonial tersebut dapat digunakan sebagai postulat untuk melihat persoalan yang menyangkut isu-isu objektivikasi/hegemoni terhadap perempuan. PEMBAHASAN Cerpen DMKM mengisahkan sebuah kampung yang “diresahkan” oleh nyanyian seorang perempuan di kamar mandi. Suara nyanyian perempuan tersebut selalu mengundang para laki-laki kampung untuk mendengarnya dan membayangkan tengah bergumul di atas ranjang dengan perempuan itu. Hal itu menyebabkan para istri cemburu sehingga menuntut Pak RT untuk menghentikan nyanyian kamar mandi si perempuan. Namun, setelah perempuan itu berhenti menyanyi, para laki-laki kampung tetap saja mendengarkan suara perempuan itu mandi: suara baju yang ditanggalkan, guyuran air, dan gosokan sabun pada tubuh. Semua itu tetap membangkitkan imajinasi syahwati para laki-laki kampung. Karena demikian, para istri ingin perempuan itu hengkang dari kampung mereka. Salah satu alasannya adalah karena hal itu telah mengganggu keharmonisan aktivitas seksual pasutri kampung itu; suami mereka malah membayangkan perempuan itu ketika tengah bersenggama dengan istrinya. Akhirnya, karena keresahan para istri itulah perempuan itu terpaksa diusir dari kampung tersebut. Ironisnya, meskipun perempuan itu telah tiada, para laki-laki di kampung itu tetap saja berimajinasi bergumul di atas ranjang dengannya. Imajinasi para laki-laki yang tidak bisa dijinakkan itulah yang membuat Pak RT mengeluarkan sebuah aturan: dilarang menyanyi di kamar mandi. Cerpen DMKM diawali dengan penggambaran tempat terjadinya perkara. Bila dianogkan, kamar mandi yang dideskripsikan sebagai tempat yang terpencil (digambarkan sebagai satu-satunya tempat di ujung gang) adalah bentuk imajinasi Barat terhadap Timur. Di tempat yang sulit dijangkau itulah Barat meletakkan imajinasi magisnya tentang Timur, yaitu segala prasangka dan asumsi yang pada akhirnya menggerakkan Barat untuk menyibak belantara Timur yang liar. Tempat di ujung gang yang “terasa” sulit dijangkau tersebut adalah sebuah tempat yang sebenarnya bersebelahan dengan permukiman warga, bahkan adalah bagian dari permukiman mereka sendiri. Namun, karena ia adalah kawasan yang “dianggap” melahirkan beragam misteri, ia menjadi liyan. Batas abstrak tersebut kemudian menjadi garis imajinatif yang membedakan antara “kita” dan “mereka”. Hal ini bisa disamakan dengan Timur dalam wacana orientalisme. Bagi orang-orang Eropa, Timur tidak hanya bersebelahan dengan kawasan mereka… (tetapi juga) bagian dari imajinasi Eropa yang terdalam. Timur adalah “yang lain” (the other) bagi Eropa (Said, 1978:2). Dengan demikian, Timur yang antah berantah adalah imajinasi Barat belaka. Kemisteriusan imajiner sebuah tempat di ujung gang dalam cerpen DMKM hanyalah sebuah fantasi warga kampung. Bagi Said (1978:6), apa yang mereka (Barat) ketahui merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan. Artinya, sebelum Timur dijangkau, Barat terlebih dahulu mengonstruksikan Timur dengan berbagai prasangka: iklim yang aneh, panorama eksotis, budaya primitif, dan makhluk-makhluknya yang abnormal. Prasangka-prasangka tersebut juga didasarkan pada pengetahuan mereka yang sedikit tentang Timur. Hal ini juga sama dengan apa yang terjadi pada warga kampung dalam cerpen DMKM, yaitu pengetahuan yang tidak banyak tentang tempat di ujung gang dan penghuninya (tokoh perempuan yang menyanyi di kamar mandi) telah mengonstruksikan citra perempuan itu sesuai dengan imajinasi yang diinginkan mereka (sensual, memuaskan, dan berbahaya). Dalam orientalisme, despotisme Timur, keagungan Timur, kebrutalan Timur, dan sensualitas Timur, berbagai sekte Timur, filsafat Timur, dan beragam kearifannya disesuaikan dengan kepentingan lokal Eropa (Said, 1978:5). Dalam cerpen DMKM, gambaran tentang perempuan yang begitu erotis dan menggairahkan diimajinasikan untuk memenuhi kebutuhan libidinal warga laki-laki. Di sisi lain, para istri berimajinasi bahwa perempuan itu adalah sejenis makhluk berbahaya yang bisa memancing nafsu birahi suami-suami mereka. Imajinasi-imajinasi tersebut disesuaikan dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, menurut V.G. Kiernan, imajinasi tentang Timur merupakan mimpi kolektif Eropa di siang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
313
bolong (Said, 1978:78). Di dalam cerpen DMKM, imajinasi tentang tokoh perempuan yang mandi di ujung gang menjelma mimpi kolektif warga kampung. Di dalam cerpen itu disebutkan, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Imajinasi-imajinasi itulah yang kemudian melahirkan representasi. Orientalisme mengungkapkan dan merepresentasikan Timur secara kultural dan ideologis dalam bentuk wacana beserta dengan institusi, kosakata, kesarjanaan, pencitraan, dan doktrin pendukungnya, bahkan dengan birokrasi dan gaya-gaya kolonialnya (Said, 1978:2). Begitu juga dalam cerpen DMKM, para laki-laki merepresentasikan perempuan yang menyanyi di kamar mandi dengan pencitraan yang sensual untuk memenuhi keinginankeinginannya. Hal itu misalnya terdapat pada bagian ketika mereka tengah mendramatisasi tahap-tahap perempuan mandi. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi ritsleiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas, byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-rupanya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantap dan penuh semangat. Namun, yang dinanti-nantikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya. Dengan penggambaran seperti itu, sejatinya para laki-laki tersebut tengah melakukan representasi. Reprensentasi itu tidak harus sesuai dengan kenyataannya. Barat (para laki-laki) seperti memiliki semacam wewenang untuk merepresentasikan Timur (perempuan itu) sebagai pihak yang inferior. Hal ini misalnya dikonsepsikan Said (1978:31) dengan istilah “truisme” (kebenaran aksiomatik): bahwa seandainya dunia Timur dapat menampilkan dirinya sendiri, tentu ia akan melakukannya, tetapi karena ia tidak mampu melakukannya, para orientalis merasa perlu untuk mewakilinya dalam bentuk teks-teks imajinatif dan ilmiah. Dalam wacana feminisme, perempuan kerap dipandang sebagai pihak yang tidak mampu menampilkan dirinya sendiri sehingga ia perlu direpresentasikan oleh orang lain (lakilaki). Karena reprensentasi itu tidak selalu benar, ia berpotensi menjadi stereotipe. Di dalam cerpen DMKM, sebenarnya para laki-laki tersebut tidak mengetahui betul atau bahkan tidak mengetahui sama sekali perempuan yang menyanyi di kamar mandi. Segala yang diatributkan kepada perempuan itu berasal dari imajinasi dan representasi. Representasi tersebut berasal dari pengetahuan eksterior belaka, bukan dari pengetahuan yang mendalam terhadap apa yang direpresentasikan. Kemudian representasi tersebut menjalar dari mulut ke mulut. Alhasil, pengetahuan tentang perempuan itu hanya berasal dari orang-orang yang juga sebelumnya tahu dari orang lain. Hal inilah yang terjadi pada Timur yang direpresentasikan. Timur yang dikaji pada umumnya adalah Timur yang berupa dunia tekstual. Dunia Timur diciptakan melalui buku-buku dan manuskripmanuskrip (Said, 1978:77). Hal itu juga menunjukkan bahwa apa yang mereka anggap sebagai Timur hanyalah Timur dari kulit luarnya. Mereka belum menggambarkan Timur secara utuh, asli, dan yang belum didefinsikan. Oleh karena itulah Said (1978:32) juga mengatakan bahwa sesuatu yang lazimnya disebarluaskan oleh eksterioritas semacam itu pada umumnya bukanlah “kebenaran”, melainkan sebatas representasi. Bagi Said yang meminjam kata-kata Wallace Steven (1978:7), konstelasi gagasan-gagasan (representasi) semacam itu adalah sesuatu yang sangat penting mengenai Timur dan bukan mengacu pada “wujudnya semata-mata”. Artinya, benar atau tidaknya representasi itu tidaklah penting; yang penting adalah bagaimana representasi tersebut sesuai dan dapat memenuhi hasrat Barat akan imajinasinya tentang Timur. Begitu juga yang terjadi pada cerpen DMKM, kebenaran terhadap perempuan yang mandi itu tidaklah penting; yang penting adalah citraan terhadap adegan mandi bisa memenuhi fantasi seksual para laki-laki. Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang bisa dianggap seksi, sesuai dengan gambaran umum mengenai suara yang seksi.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
314
Karena representasi itu seringkali tidak sesuai dengan kenyataannya, ia kerap terjebak pada penggambaran yang berlebihan. Representasi para laki-laki kampung terhadap perempuan itu menjadi berlebihan ketika mereka mendramatisasi tahap-tahap mandi, nyanyian yang menggairahkan, dan bahkan sampai membayangkan persenggamaan yang begitu seru. Dalam konteks orientalisme, pernyataan tentang Timur seringkali dilakukan dengan cara pengucilan, pencerabutan, dan pencitraan secara berlebihlebihan, melebihi “dunia Timur” yang sebenarnya, sebab ia tidak bergantung pada Timur dalam kenyataannya (Said, 1978:32). Di dalam cerpen DMKM, representasi terhadap perempuan yang mandi pada hakikatnya melangkahi wujud yang sebenarnya (karena para laki-laki tersebut belum tahu benar tentang perempuan itu). Para laki-laki menggunakan teknik representasi untuk menjadikan perempuan itu seolah-olah hadir. Bayangan itu merasuki fantasi-fantasi seksual para laki-laki hingga berimbas pada keharmonisan hubungan seksual dengan istri-istri mereka. Gambaran tentang perempuan itu bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang diingingkan oleh para laki-laki. Begitu pula yang dikeluhkan oleh para istri sebenarnya merupakan bentuk berlebih-lebihan ketika merepresentasikan potensi ancaman perempuan itu. “Jangan-jangan, khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan!” Representasi akan muncul ketika terjadi relasi subjek-objek. Dalam cerpen DMKM, subjek adalah warga kampung (baik laki-laki maupun para istrinya), sedangkan objek adalah perempuan yang menyanyi di kamar mandi sebagai manusia yang tinggal di ujung gang. Warga kampung sebagai subjek merasa berhak merepresentasikan perempuan itu (objek). Dalam konteks orientalisme, Barat sebagai subjek berhak merepresentasikan Timur sebagai subjek. Perempuan itu dan Timur adalah objek yang pada akhirnya menjadi liyan. Secara geografis, biasanya liyan dianggap sebagai makhluk yang tinggal di luar kawasan yang mengobjekkannya. Liyan kemudian menjelma sesuatu yang tidak normal karena tidak sekawasan dengan yang meliyankan. Menurut Said (1978:80), sekelompok orang yang tinggal di satu tempat tertentu akan menciptkan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan lingkungan dan kawasan luar yang mereka sebut sebagai “tanah orang-orang biadab”. Bagi para istri di kampung tersebut, perempuan yang menyanyi di kamar mandi adalah sejenis manusia “tidak biasa”, tanpa adab yang tinggal di kawasan nun jauh di sana (ujung gang). Oleh karena itu para istri mengaggap bahwa perempuan itu adalah makhluk yang meresahkan dan menggoda (meski tidak disengaja). Perempuan sebagaimana Timur adalah hal-hal yang tak biasa seperti orang asing, hal-hal yang menyalahi kebiasaan atau perilaku abnormal (Said, 1978:80). Karena pandangan terhadap perempuan itu diukur dengan norma-norma atau nilai-nilai para istri, akhirnya ia menjadi misterius karena ke-lain-annya. Begitu juga rasionalitas Barat dirongrong oleh eksotisme Timur yang dianggap sebagai sesuatu yang misterius yang diukur dari nilai-nilai normal (Barat) pada umumnya (Said, 1978:85). Padahal, sebenarnya yang menjadikan perempuan itu sebagai liyan hanyalah imajinasi warga kampung. Perempuan itu juga sama seperti manusia pada umumnya sebagaimana kutipan berikut. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita yang hidup dengan sangat teratur. Pergi ke kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah ditentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara yang serak-serak basah. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada yang abnormal pada perempuan itu. Hanya cara pandang tertentulah yang membuatnya menjadi abnormal. Pandangan terhadap Timur menjadi abnormal ketika Barat menggunakan kacamata kebaratannya untuk menilai Timur. Karena keliyanannya tersebut, perempuan itu dianggap sebagai manusia yang berbahaya. Pandangan tersebut adalah sebentuk paranoia yang biasanya menjangkiti orang/masyarakat yang terancam. Cerpen DMKM menampilkan perempuan itu sebagaimana dunia Timur yang selalu digambarkan menjadi sumber bencana bagi Barat (Said, 1978:85). “Timur” selalu berarti “bahaya” dan “ancaman” (Said, 1978:39). Oleh karena dipandang sebagai musuh, Timur diberi rasa kehampaan,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
315
kekalahan, dan malapetaka yang seolah menjadi tantangan Barat untuk menghadapi dan mengurusnya (Said, 1978:83). Mengusir perempuan itu dipandang sebagai bentuk tindakan yang tepat agar keadaan kampung kembali kondusif. Dalam konteks orientalisme, hal itu bisa berarti melakukan penguasaan terhadap Timur. Timur yang liar dan liyan perlu dijinakkan agar tidak mengancam Barat. Barat mengajarkannya, mencarikannya solusi, dan menguasainya. Singkatnya, orientalisme adalah gaya Barat untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia Timur (Said, 1978:4). Sebagai pihak yang “terzalimi”, Timur seperti tidak memiliki kekuatan untuk menolak atau menegasikan hegemoni Barat Said (1978:10). Dalam cerpen DMKM, ketika dilarang menyanyi atau diusir dari kampung tersebut, perempuan itu tidak protes. Ia tidak membela kesalahan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Ketika dilarang menyanyi di kamar mandi, perempuan itu hanya berkata, “Baiklah Pak RT, saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi.” Begitu pula ketika diusir dari kampung, perempuan itu hanya tersenyum penuh pengertian seraya berkata, “Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.” SIMPULAN Pembacaan orientalisme terhadap cerpen itu menunjukkan bahwa asumsi kaotik yang dilekatkan pada perempuan dipantik oleh imajinasi terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Fantasi seksual tentang perempuan yang ditonjolkan secara berlebihan sebagai sebuah hiperealitas disebut sebagai proses seksualisasi (Candraningrum, 2014). Dalam kultur patriarkal, prasangka atas tubuh perempuan adalah iblis, setan, dan dosa. Tubuh perempuan merupakan tubuh sosial, yaitu tubuh yang dibayangkan, diimajinasikan, didefinisikan oleh sebuah masyarakat modern (Candraningrum, 2014). Demonisasi atas tubuh perempuan mengharuskan ia untuk dinormalisasikan. Docile body adalah istilah yang digunakan Foucault untuk menjelaskan tubuh yang dijinakkan dan didisiplinkan atas nama peradaban. Untuk menguasai subjektivitas liyan, tubuh feminin perempuan harus dikuasai dan dibungkam. Ketidakberdayaan terus-menerus dipaksakan sehingga perempuan tidak sadar menerima itu sebagai sebuah status. Tujuannya semata-mata untuk merampas kebebasan dan etos pemberontakannya (Candraningrum, 2014). Dengan demikian, sebagai objek, pada akhirnya perempuan bukan pemilik tubuhnya sendiri. Ia ditentukan, dikendalikan, dan dikontrol oleh laki-laki. Perempuan tidak dibiarkan memiliki otoritas tubuhnya sendiri. Oleh karena itu, dalam praktik hidupnya, perempuan tidak punya hak menolak hubungan seksual, mengatur jarak dan menunda kehamilan, memilih kontrasepsi, menolak disunat, dan sebagainya. Perempuan tidak diperkenankan memiliki seksualitasnya sendiri (Amiruddin, 2013). DAFTAR RUJUKAN Ajidarma, Seno Gumira. (2006). Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Yogyakarta: Galang Press. Amiruddin, Mariana. (2013). Tes Keperawanan: Kebodohan yang Mempermalukan Perempuan. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org. Candraningrum, Dewi. (2014). Industrialisasi dan Seksualisasi Perempuan dalam Media. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org. ________ . (2014). Karir Patriarki. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org. ________ . (2014). Sozialkoerper des Islam dalam Praktik Berjilbab Masyarakat Indonesia. Diunduh dari www.jurnalperempuan.org. Said, Edward. (1978). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur sebagai Subjek. Terjemahan Achmad Fawaid. 2010. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
316
57 KOSMOPOLITANISME DALAM MEMOAR EAT, PRAY, LOVE KARYA ELIZABETH GILBERT Syarif Hidayat Departemen Ilmu Susastra - Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Abstrak: Kosmopolitanisme, yang secara harfiah berarti penduduk dunia atau “citizen of the world”, merupakan sebuah gagasan untuk dapat saling menghargai dan bersikap terbuka antara satu manusia dengan manusia lain di seluruh dunia, khususnya pada masalah perbedaan, seperti perbedaan kebudayaan. Gagasan kosmopolitan belakangan muncul dalam banyak karya sastra. Salah satu karya sastra yang menyajikan isu ini ialah sebuah memoar yang berjudul Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert. Gagasan kosmopolitan dalam memoar ini digambarkan melalui perjalanan tokoh utamanya, Elizabeth Gilbert, ke tiga negara yaitu Italia, India, dan Indonesia. Menariknya, dalam memperlihatkan isu mengenai kosmopolitan, memoar ini juga menunjukan adanya stereotip yang sepertinya ditujukan untuk memperjelas adanya perbedaan yang harus dihargai tersebut. Untuk itu, dengan menggunakan teori unsur-unsur narasi fiksi, yaitu tokoh, penokohan dan latar, serta teori kosmopolitanisme, penelitian ini akan membahas pertama bagaimana tokoh utama Eat, Pray, Love, Elizabeth Gilbert, berusaha untuk menjadi agen kosmopolitan, dan kedua bagaimana masalah-masalah stereotip berpengaruh terhadap isu kosmopolitan dalam memoar ini. Pada akhirnya penelitian ini menemukan bahwa memoar ini sepertinya ingin membuka kesadaran akan adanya perbedaan, khususnya budaya, dimana setiap manusia di dunia harus dapat belajar untuk dapat menerima setiap perbedaan tersebut. Kata Kunci: Kosmopolitanisme, kosmopolitan, perbedaan, “yang lain”, stereotip
PENDAHULUAN Kosmopolitanisme, yang berarti penduduk dunia (citizen of the world), ialah suatu gagasan dimana manusia yang satu dapat bersikap terbuka dan menghargai terhadap manusia lain di seluruh dunia dan juga terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing manusia tersebut, dengan kata lain kosmopolitanisme ialah sikap saling menghargai terhadap perbedaan yang ada, sebagai penduduk dunia, khususnya perbedaan kebudayaan (Kendall, 2009: 14). Konsep kosmopolitanisme ini dapat dikatakan sebagai sebuah konsep yang masih dalam perdebatan dalam perwujudannya. Hal ini disebabkan, salah satunya ialah karena adanya permasalahan-permasalahan yang rumit sehingga sangat sulit untuk dapat bertoleransi terhadap adanya perbedaan. Dalam hal ini, melalui sebuah karya sastra yang mengangkat isu atau permasalahan seperti ini, diharapkan dapat membuka wawasan seluruh manusia sehingga sikap saling menghargai dan saling toleransi terhadap suatu perbedaan dapat terwujud (Budianta dalam Budiman dan Hapsarani, 2003). Sebuah memoar berjudul Eat, Pray, Love karya Elizabeth Gilbert merupakan salah satu karya sastra yang memperlihatkan isu kosmopolitanisme. Memoar ini bercerita mengenai perjalanan Elizabeth Gilbert ke tiga negara yaitu Italia, India dan Indonesia. Dalam perjalanannya ini, Elizabeth terlihat bersifat terbuka dan menghargai terhadap orang lain yang ia temui dan banyak belajar mengenai kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut. Yang menarik ialah walaupun memoar ini berusaha menampilkan gagasan tentang kosmopolitanisme tetapi di sini masih dapat terlihat bagaimana masalah dan rintangan atas ide kosmopolitan itu muncul, seperti prasangka dan stereotip. Walaupun memoar ini sepertinya ingin menyampaikan bahwa adanya stereotip semacam ini justru dapat membuka pikiran akan adanya perbedaan, dan setiap manusia harus dapat belajar menghargai perbedaan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Georgiou (2008) bahwa “they turn to the stereotype in trying to make sense of unfamiliar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
317
diversity in an increasingly cosmopolitan Europe”. Hal ini menunjukan bahwa kemunculan stereotip dalam masyarakat kosmopolitan justru akan menumbuhkan kesadaran akan perbedaaan yang harus dihargai. Berbeda dengan Alamsyah dalam tesisnya yang menggunakan memoar eat pray love untuk melihat adanya representasi perempuan yang mandiri dalam sebuah kajian alih wahana, makalah ini akan melihat bagaimana memoar ini memberikan sebuah gagasan kosmopolitan yang disandingkan dengan masalah stereotip. Sehingga akan memperlihatkan hal yang disampaikan oleh Khan (2010) bahwa “Gilbert’s book teaches us that by having an open-mind and trying to learn from people of different cultures, one can change their outlook on life and live a life that incorporates a cosmopolitan character”. Namun demikian, Khan dalam artikelnya hanya mengungkapkan sebagian kecil masalah kosmopolitanisme yang ada dalam buku Gilbert, dan juga tanpa memperhatikan adanya stereotip dan prasangka yang juga muncul. Oleh sebab itu, makalah ini akan berusaha mengungkap masalah kosmopolitanisme dan keterkaitannya dengan stereotip yang digambarkan oleh Gilbert. METODE PENELITIAN Makalah ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teori yang digunakan dalam makalah ini ialah teori unsur-unsur narasi fiksi yaitu tokoh, penokohan, dan latar, serta teori kosmopolitanisme. Makalah ini menganalisis permasalahan kosmopolitanisme dalam memoar karya Elizabeth Gilbert berjudul Eat, Pray, Love. PEMBAHASAN “Eat”: Elizabeth sebagai agen kosmopolitan di Italia Gagasan kosmopolitanisme pada memoar Gilbert sebenarnya telah muncul dalam judul memoar Gilbert tersebut, yaitu: “Eat, Pray, Love”. Jika ada kata yang dapat mempersatukan ke tiga kata ini ialah kebutuhan manusia. Setiap manusia di seluruh dunia perlu “makan”, “berdoa”, dan “cinta”. Dengan menggunakan ketiga kata ini, memoar ini sepertinya ingin menyampaikan bahwa seluruh manusia di dunia memiliki sebuah kebutuhan yang sama yang menjadikannya seorang manusia, untuk itu sebaiknya setiap manusia memperlakukan manusia lain di seluruh dunia bukan berdasarkan perbedaan yang dimiliki melakinkan sebagai manusia, seperti yang disampaikan Hegel (dalam Fine, 2007 :ix) “a human being counts as such because he is a human being, not because he is a Jew, Catholic, Protestant, German, Italian, etc.” Dalam judul ini juga akan terlihat bagaimana masing-masing kata mewakili negara yang Elizabeth, tokoh utama memoar, kunjungi. Pertama ialah “Eat” yang dapat merepresentasikan negara Italia. Italia merupakan sebuah negara yang makanannya terkenal hampir diseluruh dunia. Pizza, Spaghetti, dan berbagai jenis pasta yang lain merupakan makanan khas orang Italia yang mana hampir seluruh penduduk dunia mengenal makanan tersebut. Salah satu hal yang dilakukan Elizabeth ketika ia mengunjungi negara Italia ialah mencicipi makanan-makanan khas Italia; “But Giovanni and I, we only talk. Well, we eat and we talk. We have been eating and talking for many pleasant weeks now, sharing pizzas and gentle grammatical corrections, and tonight has been no exception” (Gilbert, 2006). Ungkapan “sharing pizzas” tidak hanya dapat bermakna berbagi sebuah pizza antara satu orang dengan orang lainya. Tetapi, hal ini dapat bermakna bahwa seseorang memperkenalkan makanan tersebut kepada orang lain. Makanan khas suatu negara merupakan salah satu bentuk kebudayaan dari negara tersebut. Dengan memperkenalkan makanan khas suatu negara berarti seseorang telah memperkenalkan kebudayaannya terhadap orang lain. Hal ini dapat berarti bahwa antara makanan dan kosmopolitanisme memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahkan ada sebuah istilah yang dapat menggambarkan hal ini yaitu “culinary cosmopolitanism”. Culinary cosmopolitanism belongs: identifying cultural and cosmopolitan identities and practices through everyday engagements with multicultural foodways” (Jonas, 2013). Setiap negara memiliki makanan khas yang berbeda, yang mana makanan-makanan khas yang dimiliki oleh setiap negara tersebut dapat mewakili identitas budaya masing-masing negara. Dalam sebuah cita-cita kosmopolitan maka setiap penduduk dunia wajib untuk menghargai dan menghormati makanan khas yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
318
dimiliki setiap negara, dan juga berhak untuk menikmatinya, dari mana pun mereka dan makanan itu berasal. Seseorang tidak dapat mengadili makanan suatu negara karena menganggapnya lebih rendah dari makanan yang ia miliki. Dalam memoar ini, Elizabeth yang berkebangsaan Amerika datang ke Italia, dan mencicipi makanan khas Italia bersama Geovanni, penduduk asli Italia. Ketika Geovanni “merelakan” pizza sebagai makanan khas negaranya dimakan oleh Elizabaeth, itu berarti Geovanni telah membiarkan Elizabeth untuk dapat memahami rasa pizza khas Italia. Sebaliknya, dengan memakan Pizza khas Italia, dapat dikatakan bahwa Elizabeth telah menghargai salah satu kebudayaan Italia, yaitu kebudayaan kuliner. Dalam kutipan di atas terdapat pula kalimat “We talk …and gentle grammatical correction”, dan memang selain memakan makanan khas Italia, hal yang dilakukan oleh Elizabeth ialah mempelajari bahasa Italia “All it really means is that we meet a few evenings a week here in Rome to practice each other’s languages. We speak first in Italian, and he is patient with me; then we speak in English, and I am patient with him” (Gilbert, 2006). Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Holliday (2014) menyatakan bahwa There is a long-standing belief that learning a second language means learning a second culture. Dengan demikian ketika seseorang mempelajari bahasa negara lain berarti ia telah mengapresiasi salah satu bagian dari kebudayaan negara tersebut. Elizabeth yang mempelajari bahasa Italia dapat dikatakan bahwa ia telah menerima atau menghormati sebuah kebudayaan Italia yang berbeda dengan kebudayaan miliknya.Walaupun untuk mempelajari bahasa asing bukanlah hal yang cukup mudah, untuk itu dibutuhkan kesabaran untuk dapat mempelajarinya. ketika Elizabeth datang ke Italia, ia pergi ke toko buku untuk membeli sebuah buku dan menyadari bahwa “Everything was in Italian (Gilbert, 2006)”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan melihat usaha keras Elizabeth untuk belajar bahasa yang bukan “bahasa ibunya” menjadikan ia sebagai seorang agen kosmopolitan. Hal ini seperti hal yang diungkapkan Rantanen (dalam Samra, 2007) bahwa “one must leave their ‘safety zones’ in order to develop cosmopolitan qualities, through speaking/ learning another language or living with a person from another culture”. Yang menarik dalam memoar ini ialah ada sebuah stereotip gaya hidup orang amerika bahwa “Americans don’t really know how to do nothing. This is the cause of that great sad American stereotype—the overstressed executive who goes on vacation, but who cannot relax” (Gilbert, 2006). Menarik dalam kutipan ini ialah bahwa ada dua kata sifat yang bertentangan yang disandingkan dengan kata stereotip orang Amerika atau “American stereotype” yaitu kata hebat “great” dan menyedihkan “sad”. Hal ini sepertinya mungkin mewakili segelintir orang yang mengagumi gaya hidup Amerika yang suka bekerja keras, namun sebenarnya terlihat sangat menyedihkan bagi sebagian orang lain, karena walaupun dalam keadaan berlibur mereka tidak bisa tenang dan masih saja memikirkan pekerjaan mereka. Hal seperti ini terlihat pula dari pendapat orang Italia, Luca, yang merupakan teman Elizabeth, yang menyatakan bahwa “Luca has visited America a few times, though, and likes it. He finds New York City fascinating but thinks that people work too hard there, though he admits they seem to enjoy it. Whereas Romans work hard and resent it massively” (Gilbert, 2006). Bagi orang Italia, yang sepertinya mengerti bagaimana cara menikmati hidup dengan sedikit “bersantai” dengan tidak melakukan apapun, gaya hidup orang Amerika yang giat bekerja mungkin akan sedikit “aneh” di mata mereka. Dan menarik di sini menurut pandangan orang luar bahwa orang Amerika sendiri sepertinya sangat menikmati kehidupan seperti itu. Hal yang terpenting ialah sepertinya walaupun ada perbedaan budaya dan stereotip yang muncul, namun di antara Elizabeth, yang mewakili orang Amerika dan temannya, Luca yang mewakili orang Italia, mereka masih dapat menerima dan menghargai satu sama lain. Bahkan ketika Elizabeth mencoba untuk belajar menikmati hidup seperti orang Italia, teman-tamnnya justru mendukungnya, “Go ahead. Knock yourself out. Be our guest”. Nobody once said, “How completely irresponsible of you,” or “What a self-indulgent luxury” (Gilbert, 2006). Mereka tidak melarang atau pun menghina Elizabeth, dan mereka mengatakan jadilah tamu kami “be our guest”, yang sepertinya merupakan ungkapan dapat menerima orang lain tidak hanya untuk datang ke negara mereka tapi mereka juga menyiapkan “hidangan” untuk dinikmati, dalam hal ini “hidangan” yang di maksud ialah kebudayaan mereka, yang mana orang lain dipersilahkan untuk mempelajarinya. Kemunculan stereotip di sini justru dapat menyadarkan akan adanya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
319
“yang lain” atau “otherness”. Penggambaran keadaan antara Elizabeth dan temannya ini, yang dapat saling terbuka akan kehadiran “yang lain”, sepertinya bertujuan membuka kesadaran setiap manusia untuk dapat melakukan hal yang sama. Kesabaran dan pertemanan sepertinya merupakan nilai yang juga sangat dibutuhkan untuk dapat menerima dan menghargai adanya perbedaan. Hal ini seperti yang diungkapkan Harness (dalam Samra, 2007) bahwa “To be cosmopolitan is to possess a willingness to engage with the other, not in a merely superficial way but to have an 'openness towards divergent cultural experiences, a search for contrasts rather than uniformity' through specific competences”. Berdasarkan pendapat ini sebuah perbedaan sepertinya menjadi hal yang justru penting dalam sebuah cita-cita kosmopolitan. Dengan demikian stereotip yang ada, tentang gaya hidup orang Amerika, justru pada akhirnya membuka wawasan atas perbedaan tersebut. “Pray”: Elizabeth sebagai agen kosmopolitan di India “Pray” dalam memoar ini merepresentasikan masyarakat India, yang mana dalam memoar ini kata pray merujuk pada sutau jenis meditasi yaitu yoga. Yoga merupakan praktek meditasi yang berasal dari India, yang akhirnya meluas dan dipraktekan dibeberapa negara di dunia, khususnya negara barat. Sepertinya ada sebuah hal khusus yang ingin disampaikan oleh memoar ini dengan menyandingkan India dengan Yoga. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut; “Yoga, in Sanskrit, can be translated as ‘union’” (Gilbert, 2006). Dari kalimat ini sepertinya terlihat bahwa memoar ini sengaja menampilkan yoga untuk mengukuhkan gagasan kosmopolitan. Kata “union” akan mengingatkan kita terhadap pendapat kant (dalam fine, 2007:27) yang menyebutkan bahwa cita-cita kosmopolitan adalah “the perfect civil union of human kind”, di mana seluruh manusia di dunia bersatu tanpa membedakan ras, agama, suku dan bangsa. Hal ini pula yang ingin disampaikan dalam memoar ini bahwa “Yoga is not synonymous with Hinduism, nor are all Hindus Yogis …You may use your Yoga—your disciplined practices of sacred union—to get closer to Krishna, Jesus, Muhammad, Buddha or Yahweh”(Gilbert, 2006). Berdasarkan hal ini sepertinya Yoga juga dapat menjadi sebuah ruang untuk menampung perbedaan. Manusia, di dunia, dari berbagai agama yang berbeda dapat melakukan yoga dengan cara mereka masing-masing. Melalui hal ini juga, sepertinya memoar ini mencoba menyampaikan bahwa persatuan seluruh manusia sebagai penduduk dunia harus diutamakan, dan sikap terbuka terhadap perbedaan, khususnya perbedaan budaya, menjadi kuncinya. Namun jika berbicara mengenai agama maka sepertinya akan menemukan sebuah permasalahan yang cukup rumit. Pertanyaan-pertanyaan akhirnya muncul bagaimana membentuk sebuah kedamaian dari masalah agama yang begitu kompleks. Padahal menurut Gilbert (2006) “People follow different paths, straight or crooked, according to their temperament, depending on which they consider best, or most appropriate—and all reach You, just as rivers enter the ocean”. Semua yang dilakukan orang untuk membela agama yang mereka yakini benar dengan segala upaya mereka, semua itu dilakukan hanya untuk Tuhan. Untuk itu, memoar ini mencoba mengajukan solusi, yaitu untuk menuju kedamaian hati dengan segala perbedaan agama ialah dengan melihat ke dalam hati masing-masing individu “that’s your heart. That’s where God lives within you. So stop looking for answers in the world. Just keep coming back to that center and you’ll always find peace”(Gilbert, 2006). Walaupun sepertinya dalam kutipan ini pun akan terlihat bahwa sebenarnya Elizabeth sendiri yang mencoba untuk memperoleh kedamaian yang akhirnya ia dapatkan di India setelah latihan meditasinya selama berbulan-bulan. Namun demikian, melalui kutipan ini juga sepertinya memoar ini mencoba memberikan kesadaran untuk dapat bersikap terbuka terhadap agama dengan melihat ke dalam diri masing-masing. Selain itu, menyangkut masalah perbedaan agama yang sering kali menjadi batu sandungan citacita kosmopolitan memoar ini juga memberikan solusinya; “if you meet some person from different religion and he want to make argument about God. My idea is, you listen to everything this man say about God. Never argue about God with him. Best thing to say is, ‘I agree with you.’ Then you go home, pray what you want. This is my idea for people to have peace about religion”(Gilber, 2006)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
320
Pemecahan masalah agama yang sangat menarik terlihat dari kutipan di atas, bahwa tidak perlu berdebat masalah agama dengan seseorang dan cukup menjalankan agama sesuai kepercayaan masingmasing. Sikap toleransi antar umat beragama dengan menghargai adanya perbedaan agama, serta membiarkan setiap orang untuk memeluk dan menjalankan perintah agamanya tersebut dengan damai, juga merupakan salah satu prinsip moral kosmopolitan yang disampaikan oleh Pierik dan Werner (2010: 3), yaitu all-inclusiveness, bahwa setiap Individu memiliki hak asasi yang sama yang harus dilindungi oleh seluruh individu yang lain, serta masing-masing individu harus mampu bersikap saling toleransi atas perbedaan-perbedaan yang ada. “Love”: Elizabeth sebagai agen kosmopolitan di Bali Love dalam memoar ini merepresentasikan Bali. Love dalam kata ini sepertinya bermakna universal, yang berarti mencintai atau mengasihi sesama. Kemungkinan kata ini disandingkan dengan Bali ialah karena orang Bali dikenal oleh masyarakat barat, khususnya turis, dengan keramahannya, “The Balinese are famously friendly” (Gilbert, 2006). Keramahan masyarakat Bali sepertinya yang juga membawa Elizabeth kembali untuk mengunjungi Bali, setelah sebelumnya ia pernah berkunjung ke Bali bersama guru yoganya. Pada saat itu ia bertemu dengan seorang ahli pengobatan bernama Ketut Liyar, dan ia meramalkan bahwa Elizabeth akan kembali ke Bali untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada Ketut Liyar, dan Ketut Liyar akan mengajarkannya segala apa yan ia ketahui (Gilbert, 2006). Ketika Elizabeth datang kembali ke Bali, ia memutuskan bahwa orang pertama yang ia akan temui ialah Ketut Liyer. Namun setelah bertemu dan belajar banyak dari Ketut Liyer ia menyadari bahwa “for this old medicine man—I am his company. I’m somebody he can talk to because he enjoys hearing about the world and he hasn’t had much of a chance to see it” (Gilbert, 2006). Elizabeth adalah rekan yang menceritakan dunia kepada Ketut Liyer, dari sini kita dapat melihat bahwa Elizabeth merupakan seorang agen kosmopolitan yang membuat orang lain sadar atas apa yang ada di dunia terutama masalah “perbedaan yang ada”. Dengan demikian, Elizabeth dalam hal ini juga menjadikan Ketut Liyer sebagai seorang kosmopolitan karena “They do not need to travel abroad to experience otherness: others are coming to them, giving them plenty of opportunity to actively consume cultural differences in a reflective, intellectualising manner” (Salazar, 2010). Dengan memahami adanya “yang lain” dan juga perbedaan kebudayaan di dunia dapat dikatakan bahwa Ketut Liyer ialah seorang kosmopolitan. Masalah ketika Elizabeth di Bali ialah ketika ia memberikan uang, hasil sumbangan temantemannya, kepada Wayan untuk membantunya membangun rumah, namun Wayan memerlukan waktu lama untuk menemukan tanah atau rumah yang dijual. Akhirnya muncul lah sebuah prasangka dari Filipe, kekasih Elizabeth: “but I’ve lived in this country for five years and I know how things are ...Sometimes it’s hard to get to the truth of what’s actually happening. What I’m trying to say, Liz, ...Make sure she actually buys a house with it (Gilbert, 2006).” Di sini telihat adanya sebuah prasangka dan stereotip yang ditujukan kepada masyarakat Bali, yang mungkin saja menipu orang. Prasangka seperti ini sepertinya dimunculkan dalam memoar ini bahwa untuk menolong orang bukan lah hal yang mudah. “Do you think there’s any way humans can love each other without complication? (Gilbert, 2006)” Namun demikian, setiap manusia harus tetap berusaha mengendalikan prasangkanya, dan mencoba untuk berpikir positif serta menemukan jalan keluar atas prasangkanya itu. Hal ini lah yang dilakukan Elizabeth untuk berbicara langsung dengan Wayan dan memastikan Wayan untuk memakai uangnya tersebut untuk membeli rumah. Hal ini sepertinya juga menjadi solusi atas isu prasangka yang muncul yaitu dengan membicarakannya langsung atau berdialog dengan orang yang bersangkutan. Dan pada akhirnya seluruh prasangka dan stereotip itu tidak terwujud karena Wayan akhirnya dapat membeli rumah dengan uang hasil sumbangan tersebut. Dan Wayan sangat berterima kasih dengan Elizabeth dan menyatakan bahwa ia mencintai Elizabeth lebih dari apa pun. Melalui sikap Elizabeth yang membantu Wayan, memoar ini sepertinya ingin membuka kesadaran bahwa manusia seluruh dunia harus dapat mencintai dan mengasihi satu dengan yang lain, walaupun akan selalu ada masalah-masalah seperti stereotip dan prasangka. Dengan kata lain untuk mewujudkan sebuah masyarakat kosmopolitan yang mengikat seluruh penduduk dunia maka diperlukan adanya rasa saling mengasihi antara manusia satu dengan manusia lain (Pierik dan Werner, 2010).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
321
SIMPULAN Gagasan kosmopolitan dalam memoar Eat, Pray Love, terlihat dari cara tokoh utama, Elizabeth, menerima dan bersikap terbuka akan perbedaan, khususnya kebudayaan. Hal ini diperlihatkan Elizabeth dengan belajar bahasa Italia dan menikmati Pizza di Italia, Yoga di India, dan mempelajari tentang Bali. Selain menampilkan gagasan kosmopolitan, Memoar ini juga menampilkan permasalahan kosmpolitan seperti stereotip. Stereotip yang muncul dalam memoar ini ialah stereotip ras, bangsa dan agama. Namun dalam memoar ini juga memberikan sebuah jalan dari stereotip itu. Pertama menikmati adanya perbedaan itu, dengan stereotip akan menyadarkan seseorang akan perbedaan yang ada. Kedua masalah stereotip agama, memoar ini memberikan solusi dengan mencoba melihat ke diri masing-masing dan menjalani agama sesuai keyakinan yang dimiliki namun tetap bertoleransi atas perbedaan agama yang ada. Selain itu, memoar ini juga sepertinya mementingkan adanya rasa cinta dan saling mengasihi antara manusia untuk mewujudkan sebuah dunia kosmopolitan. Pada intinya, melalui penggambaran stereotip ini, sepertinya memoar ini ingin menyatakan bahwa apapun perbedaan yang ada, manusia adalah manusia, yang terikat dalam suatu kesatuaan yaitu penduduk dunia, untuk dapat saling bertoleransi dan berdialog mengenai perbedaan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, N. S. (2011). Representasi Tokoh Perempuan Mandiri dalam Alih Wahana dari Buku Memoar ke Film Eat Pray Love (Master’s Thesis). Universitas Indonesia: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Budianta, M. (2003). Sastra dan Interaksi Lintas Budaya. Dalam Budiman, M. dan Hapsarani, D (Eds). Cakrawala Tak Terbatas (pp. 165-183). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Fine, R. (2007). Cosmopolitnism. London and New York: Routledge. Georgiou, M. (2008). “In the end, Germany will always resort to hot pants”: watching Europe singing, constructing the stereotype. Popular communication, 6 (3), 141-154. Diakses melalui http://eprints.lse.ac.uk/25636/1/In_the_end_Germany_will_always_resort_to_hot_pants_%28L SERO_version%29.pdf Gilbert, E. (2006). Eat, Pray, Love: one woman’s search for everything across Italy, India and Indonesia. London: Penguin Group Holliday, A. (2014). Using existing cultural experience to stamp identity on English. Diakses melalui http://adrianholliday.com/wp-content/uploads/2014/02/beatakira24c.pdf. Jonas, T. (2013). Eating the Vernacular, Being Cosmopolitan. Diakses melalui http://epress.lib.uts.edu.au/journals/index.php/csrj/article/viewFile/3076/3428. Kendall, G., dkk. (2009). The Sociology of Cosmopolitanism: Globalization, Identity, Culture and Government. New York: Palgrave Mcmillan. Khan, M. (2010). Engagement for Week 3: Eat, Pray, Love and Cosmopolitanism. Diakses melalui http://newlitcollaborative.ning.com/profiles/blogs/engagement-for-week-3-eat-pray. Pierik, R. dan Werner, W. (2010). Cosmopolitanism in Context: Perspective from International Law and Political Theory. Cambridge: Cambridge University Press. Samra, M. (2007). Creating Global Citizens? The Case of 'Connecting Classrooms'. London: Media@lse. Diakses melalui http://www.lse.ac.uk/media@lse/research/mediaWorkingPapers/MScDissertationSeries/Past/Sa mra_final.pdf. Salazar, N.B. (2010). ‘Tourism and cosmopolitanism: a view from below’. Int. J. Tourism Anthropology, 1, 55–69. Diakses melalui https://www.academia.edu/1199184/Tourism_and_cosmopolitanism_A_view_from_below.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
322
58 REDIFINING GENDER ROLES OF ‘THE SNOW QUEEN’ IN ‘FROZEN’ Sudianto Ike Dewi Lestari English Department – Faculty of Social and Cultural Sciences University of Trunojoyo Madura Abstract: The research is entitled Redefining Gender Roles of ‘The Snow Queen’ in ‘Frozen’. It aims at redefine with no need to deconstruct the stereotype of traditional gender roles between men and women depicted by Elsa, Anna, Gerda, and Kay in the story. The data were collected from a book ‘The Snow Queen’ and an adaptation ‘Frozen’ which was released in 2013. The unit of analysis of this research is focused on actions and utterances produced by the main characters Elsa, Anna, Gerda and Kay in both sources. The result shows that women have power to stand out without men and how nature imagery reinforces the ideology in the story. The magnificent heroines, Anna and Gerda redefine their gender in her actions. The way Anna and Gerda sacrifice themselves to search for her sister and her playmate. It makes everything sense that the two produced behavior which was considered as redefinition of women’s traditional gender role—as they are powerful and also domestic. Keywords: Redefining, Gender, Feminism, Heroine, Children Literature
INTRODUCTION Literature as means of reflection of life holds an important role in social life. The role is to construct the way people think. It brings new experience to people so that they are able to change and develop in life. The development occurs, for the way author brings ideologies into literature. The ideology of the author renders impact on how people see from any perspective whether literary works might be able to send their interpretation and become open-minded to think critically over particular situation. Therefore, literature is important to be acquired to children which aim to construct their mind to develop their character. Cinderella, Snow White and Little Riding Hood are three of most influential epic fairytales read by mother before bedtime just to construct their little daughter to possess conservative fundamental concept of gender. A good girl should merit to three myths—submissive, pure and domestic. The three fairytales have the package of the beauty myth that must be possessed by women. Children in the stage of development of character will assure that what has been claimed in the narrative gives them meaning more than just terrifically old-fashioned fantasy of princess. The idea of princess attempt to bound huge motives and interests to young children, especially those who are girls. They will think that the princess must be their own role to possess. The girls manifest that she reflects her own way in fiction. Further, despite influencing successfully on mental stages, it has ability to influence in term of gender stages. The reason for choosing the topic “Redefining Gender Roles” is based on curiosity in ecranisation of The Snow Queen to Frozen. The topic of redefining gender roles is interesting because the result suggests giving us complexity in explanation regarding ideology of the author and the way male and female characters redefine gender roles. Therefore, people will understand why this gender redefining needs to happen and/or it is merely the ideology to promote deconstruction in gender upon which reflects status quo. Objective of the Study Related to the background of the study, this study will try to describe: a. To comprehend the possibilities of sisterhood as a mode of resisting patriarchy implied by Frozen.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
323
b. To know that nature imagery and symbol reinforce Gerda, Elsa and Anna’s desire in Frozen and Snow Queen. DISCUSSION Ideology in The Snow Queen and Frozen try to argue negative stereotype of women by redefining traditional gender roles. It aims to emerge wide worldview toward both of reader and viewer in respond to woman’s role in real life. Sisterhood as a Mode of Resisting Patriarchy in Frozen Patriarchy is often defined as a system of male dominance. Tyson (2006, p. 85) argues that patriarchy promotes the belief that women are inferior to men. This system is maintaining class, gender, racial, and heterosexual privilege and the status quo of power—relying on form of oppression and laws to perpetuate inequality. This system sets power in attempt to control over inferior. This construction is actually based on power and culture. It is believed that woman characters are improved in adaptation. It is likely to be more important to put highlight on the ideology into deep interpretation as it matters. The heroines in adaptation improved in the stage of redefining and polishing. The heroines are two princesses, Anna and Elsa. Both are confronted into deconstruction of gender roles in which the two act as if they are out of traditional gender norms, for instance, Anna goes on a journey and willing to sacrifice herself. This act is considered as public and it is truly a fallacy according to traditional gender roles that woman should be domestic— staying at home and raising children. Anna is seen once domestic. It is the way she redefining the roles of woman. She is considered domestic and public at once. Anna in her action “So I’m the one that needs to go after her” indicates that she is not domestic anymore. She goes on a journey and she is a public. Her action is seen to redefine traditional gender roles suppose to be—that woman has authority to act and it is fine for her. Then it is strengthening with her action climbing a steep mountain with no utilities to hold “I’m going to see her” as it implicitly manifests that she is doing this her own with no help of Kristoff—her playfellow—because she is adequately strong to do so. The only gender that requires “strong” is men and woman is in juxtaposition. Even though afterwards seems like Kristoff comes with a help but distracted by Olaf, it indicates that woman actually does not feel the need to be assisted by man in particular opportunity just to survive. She could do by her own. The ideology seems to break the light. Patriarchal is also discovered in which Hans takes a chance to kill Anna when she was so vulnerable only to be in charge of heir of Arendelle “I figured, after we married, I’d have to stage a little accident for Elsa”. It is so obvious that Elsa reign and as the only heir of Arendelle but he wants to take control to exploit her welfare and wealth. It means that Hans would like to dominate over Elsa’s position. This action is considered as patriarchal because Anna was so weak at that moment. She has no air of authority to undermine this situation. Therefore, Hans dominated her. Patriarchal prevails. However, the statement of Anna “I need you here to take care of Arendelle” to Hans instead of going on a journey with her implies that man is able to be domestic. This is how the ideology works to redefine the traditional gender roles. At the end, Anna drives the winter squall her way and survives herself alone. Then Kristoff comes with a help that indicates the ideology that woman still need man to survive somehow. However, it takes us to bear that it is not only woman needs man just to survive but to complete each other; by this means they will strong by their own. In the same scene depicted Kristoff wants to help Anna because she is in danger. Anna has her sight to save Elsa and Kristoff decides to stop running after her. It indicates that woman is strong enough to do everything on her own with no need to ask man for help—but once men rendered to be part of women, they will definitely complete to bound each other. The ideology is emerged already in this adaptation. The highly enigmatic closure takes our imagination that promoting LGBT being involved in the film. However, if we take a look once again and dig deeper every element provided then it will change our perspective to thing so-called sisterhood. Elsa’s response to Anna “you sacrificed yourself for me?”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
324
emerges that woman and another woman reunites to seek for illumination of freedom; to destruct everything considered as oppression to their political, social, economical and psychological aspects. Anna is apparently strong enough to fight against everything during her journey and she is depicted to sacrifice herself only to keep her beloved sister alive. Therefore, it is adequate to imply how woman actually helps each other; helps other woman to get back their authority and to raise freedom by promoting equality. This case is considered as sisterhood where woman are helping each other to find the light of the day— women’s equality. Nevertheless, it rises more important issue that the watershed of this lesson is that woman is strong enough to stand out and she has right to be dominant also. She has ability to think, she knows how to act and it is a mode of resisting patriarchal system. Nonetheless, she also still needs man to complete another part of her life. Nature Imagery and Symbol of The Snow Queen and Frozen Authors as the part of collective subject try to convey their worldview through literary works. As well as the ideology exists in Snow Queen and Frozen are implied to be supported by nature imagery in both of story and adaptation. Nature imagery is an imagery described by natural aspects such as water, flowers, tree, land, thunder, snow, rain, and so forth. The Snow Queen demonstrates the ideology of the author vividly to break down traditional gender role. It narrates little girl named Gerda, who succeeded in liberate Kay from the evil Snow Queen. The traditional gender roles that are built up by H.C. Andersen that woman is weak, submissive, and domestic; it is the way woman is always saved by man. Through The Snow Queen he states that woman also can be a hero, they are not constantly being the one who is rescued but also the rescuer. He expresses his ideology during the story in which Gerda for all time is supported by the nature imagery to accomplish her purpose to save Kay. It implicitly planned by the author to not give the role of the helper to the man here is Kay instead woman_here is Gerda because he wants to let reader to see the reality that traditional gender roles are unrealistic. Gerda is domestic and public at once. There are some of the nature imageries of the Snow Queen that reinforce the ideology of woman. It is represented by Gerda and it can be considered as strong, hero, and adventurous. Since the earliest part of the story, the author has included some nature imagery to support his story especially the existence of Gerda as the hero. The nature elements believe in the power of Gerda to find Kay and save his life, so they are not doubt to give some help in any kinds of direction or other things they could do to help Gerda. The nature imagery exists in the most parts of the story as described below: 1. Roses in the Flower Garden of the old woman who take care of Gerda. The roses tell Gerda that Kay still alive according to their insightful from the underground. The author takes roses to be one of the facilitations which help Gerda to seek Kay because rose is the symbol of love and power, its love and power strengthen Gerda to find her childhood friend. 2. A group of wood-pigeons that tell Gerda the existence of Kay in the carriage of the Snow Queen. Here, it can be analyzed that actually wood-pigeons are the representative purity of women, besides symbol of faithfulness in relationship. Frozen as an adaption from The Snow Queen constructed by Disney aims to redefine traditional gender role, even strengthen than in Snow Queen because the character of Kay is replaced by Elsa. Disney’s version portrays two strong women as princess who could be survive without parents and husband. The ideology of Disney throughout the film also illustrated implicitly as in The Snow Queen that is highlighted by nature imagery. As the other movies or stories include nature imagery actually has their own ideology to be illustrated through the story. Besides, the existence of nature imagery is powerfully important here to strengthen author’s worldview. The nature imagery may not as much as in Snow Queen, but there also exist some elements that imply the ideology of the author, as the same with the tears of Gerda, when Elsa cried, her tears did fade the curse experience by Anna. The tears are not usual thing, as it stated by Olaf saying “an act of true love will thaw a frozen hearth”. It implicitly deliberates woman’s power even though they are frequently
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
325
reflected on weak creation because they will cry all times. This adaptation shows the irony that woman’s tears are the symbol of her power that establishes her to be rescuer. She is not always weak and needs man. It is clear that nature imagery is an important element in the two of the stories which reinforce the ideology of the author. The author wants to convey reader that hero is not constantly man, but woman through the roles of Gerda who saved Kay, and Elsa who saved her sister are the evidence of women power in construct new worldview of the readers to redefine their conservative view about the truth of traditional gender role. It does not mean that traditional gender role is true or false, but the stereotype of woman since long time ago had brought woman to be oppressed as the weak creature who should be protected because they cannot do anything to save their life. In contrary to the Snow Queen and Frozen that made to release the stereotype of women as weakness, domestic, and sentimental. The other important symbols of the both stories are snow and tears. Tears of Gerda could Save Kay from the curse of The Snow Queen. People may assume that tears is the symbol of women weakness, but through this story, the author wants to redefine that it does not limit to that stereotype other than demonstrate the power of pure tears can give women their real power. As Olaf stated, “An act of true love will thaw a frozen heart.” As well as the tears, snow also used as the symbol by the author to represent undefeated power and strangeness embraced by cold pure ice. CONCLUSION By focusing on patriarchal power and the possibilities of sisterhood committed by Anna and Elsa in the film, we are able to comprehend that essentially the ideology of patriarchal has no attempt to be used as the main issue in film. It is essentially depicted in small scale but then the character of Hans is set to be kicked out of the ship by Anna that represents how this system is fashionably no longer used by society. It promotes the way patriarchal rules should be abolished at the first place. The way Anna and Elsa secure each other portrays that woman does not need men just to survive, she strong on her own. However, once man and woman bound to be together, they will complete each other rather than to compete in domination. Further, the traditional gender role is reinforced by the raise of nature imagery. Those elements highlight worldview of the author as the representative of their collective subject, as delivered in Snow Queen that Gerda is helped by much of nature such as plants and animals that bring her succeed to rescue Kay from the evil Snow Queen. As well as the nature imagery in Frozen that also bring the main characters, here, Anna and Elsa to show their power and cooperation to destroy the curse experience by Anna that has frozen heart and Elsa to control her fear of having ice power in her life. In both of the version which has adapted differently in the form of the movie still exactly the same ideology of the author vividly that woman is not always tied by the traditional gender roles. However, she still needs to stand on her norm as feminine. Woman can be a hero so that woman cannot be considered as domestic creation all the times. She can be good to be domestic and public at once. Nevertheless, woman and man need to be bound to be together as human being. REFERENCES Christian, H., & Andersen. (1844). The Snow Queen in Seven Stories. Tyson, Louis. (2006). Critical Theory Today: A User-friendly Guide. United States of America: Rutledge.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
326
59 HUTAN DAN IMPERIALISME EKOLOGIS DALAM TIGA CERPEN DIGITAL ASAP PAK TUA KARYA MELDA SAVITRI, TITIK API KARYA RASYAD FADHILAH, DAN ROH PENUNGGU HUTAN KARYA RENDY MAHENDRA Usma Nur Dian Rosyidah Fakultas Ilmu Budaya - Universitas Airlangga Abstrak: Beberapa tahun terakhir, kebakaran hutan telah menjadi permasalahan ekologis serius yang berdampak luar biasa pada kelestarian alam. Salah satu penyebab kebakaran hutan ditengarai akibat perubahan fungsi ekologis hutan menjadi lahan ekonomi melalui tanaman industri, terutama sawit. Prinsip untuk memperoleh keuntungan ekonomi besar mendorong pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar area hutan. Dalam sastra, tiga cerpen digital, yakni “Asap Pak Tua” oleh Melda Savitri, “Titik Api” oleh Rasyad Fadhilah dan “Roh Penunggu Hutan” oleh Rendy Mahendra adalah beberapa karya yang menyoroti isu imperialisme ekologis atas hutan. Menggunakan teori Poskolonial Ekokritisisme, analisa atas ketiga cerpen tersebut menemukan bahwa dualistic thinking dan environmental racism adalah dua faktor utama yang menyebabkan kerusakan ekologi atas hutan. Kata kunci: dualistic thinking, environmental racism, imperialisme ekologis, Poskolonial Ekokritisisme
PENDAHULUAN Di Indonesia, industri sawit berkembang sejak tahun 1970an, beriringan dengan industry ‘logging’ yang sejak awal Orde Baru telah menjadi salah satu ekspor utama Indonesia. Dalam perkembanganya, karena deforestasi hutan yang masif, ekspor industri kayu perlahan mulai digantikan oleh sawit. Sawit sendiri dianggap lebih prospektif karena produk minyaknya banyak dibutuhkan dalam banyak industri, seperti sabun, kosmetika, es krim, minyak goreng, pelumas industri, dan lainnya. Hal ini membuat sawit menjadi komoditas perkebunan penghasil devisa terbesar bagi Indonesia, setelah komoditas tambang minyak bumi dan batubara. Industrialisasi dan komodifikasi sawit yang pesat membuat para pengusaha berlomba-lomba menggunakan hak konsesi atas hutan untuk menanam sawit. Tak pelak, sejak tahun 1980an dan bahkan makin masif dua dekade terakhir, berita mengenai kebakaran hutan ataupun kabut asap, terutama di Sumatera dan Kalimantan, seolah menjadi rutinitas tahunan. Bahkan, sejak tahun 2014 lalu, kebakaran hutan dan kabut asap telah menjadi bencana nasional yang menyebabkan puluhan ribu warga menjadi korban, bahkan beberapa diantaranya meninggal dunia. Isu deforestasi, pembakaran hutan untuk dialihfungsikan sebagai lahan perkebunan sawit dan nilai kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan adalah satu kesatuan isu yang dibahas dalam tiga cerpen dalam tulisan ini, yakni “Asap Pak Tua” karya Melda Savitri, “Titik Api” karya Rasyad Fadhilah, dan “Roh Penunggu Hutan” karya Rendi Mahendra. Ketiga cerita pendek tersebut merupakan karya digital yang dipublikasikan melalui website www.cerpenku.com. Karya pertama bercerita tentang seorang pengusaha angkuh yang pada akhirnya keserakahannya dalam mengeksploitasi hutan dengan cara membakar lahan mengantarkan dia pada penjara. Cerita berikutnya adalah mengenai perjuangan penduduk lokal untuk memadamkan api di hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Sedangkan cerpen terakhir bercerita mengenai pemanfaatan teknologi modern berupa CCTV, tape recorder, dan lainnya oleh seorang peneliti dari sebuah universitas untuk menjaga kelestarian hutan lindung. Untuk mengkaji kesatuan isu dalam ketiga cerita pendek tersebut, penulis menggunakan teori Poskolonial Ekokritik. Asumsi dasar teori ini adalah “all colonial and imperial issues were, by their very nature, also environmental issues”(Mukherjee 39). Dalam ketiga teks, konteks poskolonial terlihat pada
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
327
adanya oposisi biner antara para pengusaha yang dibekingi oleh aparatur serakah yang mengeksplotasi hutan secara tidak terkontrol di satu sisi dengan warga lokal yang berusaha memanfaatkan hutan dengan cara bijak. Adapun sebagai persinggungan antara poskolonial dengan ekokritik, konteks ekokritik dalam teks bisa dilihat dari dampak lingkungan akibat kebakaran hutan dan kabut asap yang disebabkan oleh perbedaan perspektif etis terhadap lingkungan hidup antara pengusaha sebagai ‘colonizer’ yang cenderung antroposentris dibandingkan dengan warga lokal sebagai ‘colonized’ yang ekosentris. Proses ‘kolonisasi’ melalui industrialisasi dan komodifikasi sawit yang berdampak luar biasa pada kelestarian lingkungan dan kualitas hidup warga lokal adalah salah satu yang disoroti oleh Hugganmelalaui pernyataannya,“that it was impossible to analyse modern imperialism and colonialism without engaging with the massive scale of environmental devastation that they entail”(dalam Mukherjee 39). Huggan dan Tiffin menyebutkan imperialisme ekologis tersebut muncul dalam tiga bentuk, yakni 1) dualistic thinking, 2) biocolonization, dan 3) environmental racism. Namun demikian, dalam ketiga teks, isu biocolonization tidak muncul sehingga dalam tulisan ini hanya dibahas dua isu saja, yakni dualistic thinking dan environmantal racism. PEMBAHASAN Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang merupakan salah satu kebijakan Orde Baru menjadi cikal bakal imperialisme ekologis atas hutan yang dampaknya terus dirasakan hingga saat ini. Kebijakan yang dijustifikasi sebagai bagian dari proses pembangunan (development) ini adalah bagian dari neokolonisasi yang mengacu pada “the resignification of nature as environment; (as) a reinscription of the Earth into capital via science; (as) the reinterpretation of poverty as (an) effect of destroyed environment; (and as) the new lease on management and planning as arbiters between people and nature” (Escobar dalam Huggan dan Tiffin 32). Dalam ketiga teks cerpen, neokolonisasi melalui imperialisme ekologis terlihat dalam dua bentuk, yakni 1) “…dualistic thinking that continues to structure human attitudes to the environment to the masculinist, ‘reason-centered culture’ that once helped secure and sustain … imperial dominance, but now proves ruinous in the face of mass extinction and the fast-approaching ‘biophysical limits of the planet’”(Plumwood dalam Huggan dan Tiffin 3-4), dan 2) “Environmental racism, as ‘the connection, in theory and practice, of race and the environment so that the oppression of one is connected to, and supported by, the oppression of the other’” (Curtin dalam Huggan dan Tiffin 4) Dualistic Thinking Atas nama pembangunan, kegiatan ekspor yang menghasilkan devisa bagi negara dilakukan dengan cara mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam, terutama hutan, baik yang diambil hasil hutannya secara langsung, dialihfungsikan sebagai perkebunan, ataupun diubah menjadi lahan pertambangan. Dengan izin HPH yang dimiliki, para pengusaha diberi wewenang mengelola “uncultivated land into a utility for the market” (Marzek 22). Dengan izin HPH ini, yang terjadi selanjutnya adalah hutan menjadi kontestasi biner antara investor dengan penduduk sekitar. Para investor mengeksploitasi hutan untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya; sebaliknya penduduk lokal sekadar mengeksplorasi hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Meski demikian, faktanya, tidak jarang para pengusaha memanfaatkan warga lokal dengan cara mengambil keuntungan dari izin membuka lahan dengan cara dibakar untuk lahan seluas maksimal 2 hektar. Sebagaimana dilansir oleh www.bbc.com, para investor diduga seringkali mengambil celah peraturan tersebut dengan cara “membayar petani-petani kecil untuk memanfaatkan lahan konsesi – kadang-kadang hanya dengan upah rokok dan baju- dan meminta petani-petani itu membuka lahan tersebut”. Untuk membuka lahan, cara yang dipilih adalah membakar karena biaya yang dikeluarkan relatif lebih kecil dan lebih cepat dibandingkan dengan cara lain. Kondisi ini diuraikan dalam cerpen “Asap Pak Tua” sebagaimana terlihat dalam dialog antara sang pengusaha dengan orang-orang suruhannya berikut ini:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
328
“Untuk bulan ini, cukup hutan ini yang jadi proyek kalian. Dan untuk bulan berikutnya aku akan memberitakan perintah lewat kau, Dino. Kau saja yang nanti yang kasih tahu mereka. Dan aku peringatkan lagi, tolong bekerja dengan rapi. Mengerti kalian?!” Dualistic thinking amat jelas antara si pengusaha dan penduduk lokal dalam kutipan tersebut, yakni oposisi biner mengenai etika terhadap alam: antroposentris vs ekosentris. Menurut Buell, antroposentris adalah‘the assumption or view that the interests of humans are of higher priority than those of nonhumans’ (134). Sebaliknya, ekosentris merupakan ‘the interest of the ecosphere must override that of the interest of individual species’ (137). Dalam perspektif antroposentris, relasi antara manusia dengan alam bersifat vertikal; sebaliknya, ekosentris mengedepankan relasi yang horizontal atau sederajat. Hutan yang seolah dikapling-kapling sebagai milik pribadi untuk kepentingan manusia tanpa peduli kelestriannya menunjukkan pola pikir antroposentris si pengusaha. Dalam ideologi kolonialisme, hal ini menggambarkan bagaimana pihak investor memandang “non-European lands and the people and animals that inhabited them as ‘spaces’, ‘unused, underused or empty’” (Plumwood dalam Huggan dan Tiffin 5). Hutan dipandang sebagai liyan (other) yang fungsinya sekadar fisik tanpa mempedulikan jejaring ekosistem yang menjadi ruhnya. Karenanya, sebagai sistem fisik, hutan diposisikan secara hirarkis dibawah manusia, yakni “as being either external to human needs, and thus effectively dispensable, or as being permanent service to them, and thus an endlessly replenishable resource” (4). Perlakuan dan pola pikir antroposentris serta “reason-centered” selama puluhan tahun terbukti membawa dampak buruk terhadap kelestarian hutan. Penebangan ataupun pembakaran hutan dilakukan terus-menerus setiap kali para pengusaha melakukan pembersihan lahan sebelum ditanami lagi dengan sawit. Dalam “Asap Pak Tua”, hal ini digambarkan sebagai “Apa yang dipikirkan oleh para pembakar hutan itu? Kenapa mereka bisa seegois itu membakar hutan hanya untuk kepentingan segelintir orang? Kenapa pemerintah seolah diam? Apa mereka Tidak memikirkan orang yang menjadi korban gara-gara ulah mereka?” Kutipan tersebut menunjukkan kritik atas pola pikir antroposentris para pengusaha pemegang HPH. Ini menjelaskan bagaimana kondisi hutan tidak lagi penuh dengan pepohonan seperti dahulu. Hutan semakin gundul akibat penebangan dan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Tidak ada lagi pohonpohon lebat yang menjadi sumber oksigen untuk mengurangi efek sinar panas matahari.Pemanasan global yang disebabkan oleh hilangnya hutan secara nyata tidak hanya berdampak pada siklus alamnya, namun juga warga lokal, sebagaimana dalam kutipan dari cerita “Titik Api” berikut: “Matahari makin mengganas untuk melepuhkan jalanan aspal, memanaskan udara. Angin menggerakkan debu-debu, lalu bergumpalan, menyapu wajah, menempel di dedaunan, kemudian terbang tak tentu arah. Keringat merembes, melengket di kulit lalu bersatu dengan debu pada akhirnya berbau. Aku mulai tak menyukai kemarau.” Jika para pengusaha dan investor menempatkan hutan sebagai liyan dan mengabaikan keterbatasan alam dalam menghadapi berbagai eksploitasi, sebaliknya, penduduk lokal memiliki etika ekosentris terhadap hutan. Hutan tidak diposisikan secara hirarkis dibawah manusia; namun setara. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam cerita “Roh Penunggu Hutan”. Dalam cerita tersebut, si tokoh mengalami ketakutan yang luar biasa saat dia tersesat jauh masuk ke dalam hutan yang oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan angker. Meskipun tinggal di sekitar hutan, masyarakat setempat hanya memanfaatkan hutan yang tidak terlalu lebat hingga perbatasan sungai. Mereka tidak akan pernah menyentuh hutan selewat perbatasan sungai. Filsafat hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat tersebut diwariskan kepada anak cucu mereka menunjukkan bahwa mereka menempatkan hutan sederajat dengan mereka, dengan relasi yang bersifat mutualistik dan saling menghormati. Secara tidak langsung, pola pikir tersebut sangat membantu dalam menjaga kelestarian hutan. Hal ini tampak jelas pada kutipan berikut:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
329
“Aku berjalan kembali…. Ayah bilang batas hutan milik warga desa melewati batas sungai itu sampai ujung desa dan dan dari batas sungai itu sampai entahlah ujungnya dimana adalah milik roh penunggu hutan jika warga desa melewati batas itu dia akan mendapat petaka. Dan aku baru sadar batas itu telah terlewati bahkan sangat jauh, “Nasib apa yang akan menimpaku?”, bisikku dalam hati.” Environmental Racism Isu environmental racism pertama kali menyeruak seiring dengan sikap kritis dan protes yang dilakukan oleh seorang native sekaligus aktivis lingkungan dari Nigeria, Ken Saro-Wiwa. Saro-Wiwa menjadi martir lingkungan pertama karena perjuangannya untuk mempertahankan wilayah tempat tinggal sukunya, Ogoni, yang kondisi lingkungannya terancam akibat eksploitasi yang dilakukan perusahaan minyak Shell. Saro-Wiwa menyatakan There is a clear definition of genocide by the United Nations: anything done to destroy a group of people. Now if you take the Ogoni case for instance, you pollute their air, you pollute their streams, you make it impossible for them to farm or fish, which is their main source of livelihood, and then what comes out of their soil you take entirely away…. (Saro-Wiwa dalam Huggan dan Tiffin 42) Saro-Wiwa dengan tegas menyamakan eksplorasi dan eksploitasi lingkungan yang dilakukan perusahaan Shell di area pemukiman suku Ogoni sebagai genosida. Shell dianggap melakukan pembunuhan masal terhadap suku Ogoni karena aktivitas perusahaan tersebut telah mencemari dan merampas semua sumber kehidupan suku asli. Proses environmental racism berlangsung melalui dua tahapan. Berawal dari perpektif antroposentris untuk memanfaatkan kekayaan hutan sebagai penghasil devisa, selanjutnya para investor sebagai colonizer berusaha mencapai tujuan dengan cara “minimizing non-human claims to (a shared) earth” (Plumwood dalam Huggan dan Tiffin 5). Suku asli ataupun penduduk lokal dianggap sebagai liyan yang dinihilkan; dan karenanya, non-human. Dalam “Asap Pak Tua”, hal ini disampaikan oleh si pengusaha yang menyatakan “Masyarakat sekitar sudah aku kasih uang dan ajak kerjasama”. Selanjutnya, keangkuhan si pengusaha digambarkan oleh narator sebagai “… dengan wajah angkuh lalu menghembuskan asap rok*knya lagi tepat didepan pemuda pekerja yang menunduk tak berani menatap pandangan Bapak Tua nan garang itu.” Dalam kutipan tersebut, si pengusaha dengan pongah memperlakukan penduduk lokal yang menjadi pekerjanya dengan semena-mena. Eksistensi dan tanah mereka ‘diambil paksa’ menjadi properti pribadi si pengusaha. Terkait hal ini, perlakkan si pengusaha terhadap penduduk setempat menunjukkan bahwa penduduk lokal menjadi “abject poverty, slavery, dehumanization and (potential) extinction” (Saro-Wiwa dalam Huggan dan Tiffin 38). Dalam environmental racism, kemiskinan hingga potensi kepunahan penduduk lokal ataupun suku asli dapat dilihat dalam dua bentuk, yakni “narrative of deprivation” (Huggan dalam Huggan dan Tiffin 43) dan genosida. Kondisi kemarau ekstrim di tempat yang sebelumnya penuh dengan hutan hujan tropis adalah salah satu bukti. Hal ini dinyatakan dalam cerita “Titik Api” berikut ini: “Dulu, Kalimantan ditajuk sebagai paru-paru dunia. Barangkali, “dulu” tinggallah mozaik-mozaik masa silam. Dan kini, lihatlah, para penguasa, konglomerat, pebisnis, atau setara dengan itu mengeksploitasi hutan besar-besaran. Maka kemarau menjadi algojo yang paling algojo kala telah tiba.” Perubahan narasi alam, sosial, kultural, dan sebagainya tersebut kemudian diikuti oleh genosida sebagaimana terlihat dalam cerita “Asap Pak Tua” sebagai “Semenjak hari ketika Widya pingsan di lapangan sekolah karena tidak tahan dengan kabut asap. Kepalanya pusing, matanya perih, dadanya sesak.” Selanjutnya, diceritakan bahwa kondisi tersebut membuat sang tokoh pada akhirnya meninggal dunia. Genosida yang dialami penduduk lokal seperti tokoh Widya yang kehilangan nyawa adalah salah satu contoh genosida ‘literal’, yang dimulai dari turunnya kualitas kesehatan akibat buruknya kualitas udara hingga menyebabkan kematian. Diluar itu, bentuk-bentuk genosida yang lain adalah perasaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
330
terancam akan kehilangan tempat tinggal seperti kutipan dari “Titik Api” saat sang tokoh berusaha memadamkan api yang mebakar hutan disekitar rumahnya berikut ini: “Tak ayal, aku memasuki rumah, mengambil sebuah ember, dan mengisi air di kamar mandi. Maksud hatiku, untuk cepat memadamkan api itu. Aku tak ingin kehilangan hutan kecil di sayap kiri dan kanan rumah, aku masih menyukai hijuanya yang menawan.” Menurut Huggan (dalam Huggan dan Tiffin 52), “ecological disruption is co-extensive with damage to the social fabric, and that environment issues cannot be separated from questions of social justice and human rights”. Dualistic thinking dan environmental racism yang dipraktikkan oleh para pengusaha sebagai colonizer jelas sekali merupakan bentuk pelanggaran keadilan sosial dan Hak Azasi Manusia. SIMPULAN Darurat kondisi hutan di Indonesia beberapa tahun terakhir disebabkan oleh pola pikir antroposentris para pengusaha yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk dualistic thinking dan environmental racism. Kondisi tersebut selalu berulang setiap tahun karena tidak ada kepedulian lagi akan batas kemampuan alam dan kerusakan sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya yang ditimbulkan atas kesewenang-wenangan mengelola izin HPH. REFERENSI Buell, Lawrence. (2005). The Future of Environmental Criticism: Environmental Crisis and Literary Imagination. USA: Blackwell Publishing. Fadhilah, Rasyad. “Titik Api”. www.cerpenku.com, diakses tanggal 1 Mei 2016. Huggan, Graham and Helen Tiffin. (2010). Postcolonial Ecocriticism: Literature, Animal, Environment. NY: Routledge. Mahendra, Rendy. “Roh Penunggu Hutan”. www.cerpenku.com, diakses tanggal 1 Mei 2016. Marzek, Robert P. (2007). An Ecological and Postcolonial Study of Literature.NY: Palgrave Macmillan. Mukherjee, Upamanyu Pablo. (2010). Postcolonial Environments: Nature, Culture, and the Contemporary Indian Novels in English. NY: Palgrave Macmilan. Sarah, Porter. “Dapatkah Kebakaran Hutan di Indonesia Diakhiri?”. 15 Maret 2016. www.bbc.com, diakses tanggal 1 Juni 2016. Savitri, Melda. “Asap Pak Tua”. www.cerpenku.com, diakses tanggal 1 Mei 2016. Sizer, Nigel et.al. Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat Tertinggi Sejak Kondisi Darurat Kabut Asap Juni 2013.14 Maret 2014.www.wri.com, diaksestanggal 1 Juni 2016. -------. “Mengapa Kelapa Sawit Begitu Berkembang di Indonesia?”. www.nationalgeographic.co.id. 19 April 2016, diaksestanggal 1 Juni 2016.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
331
60 USING “WHITE HERON” TO BOOST STUDENTS’ EMPATHY ON ENVIRONMENTAL ISSUE Mia FitriaAgustina, M. A. English Literature - FIB UNSOED, Purwokerto Abstracts: The paper mainly discusses on how Jewett’s “White Heron” has a big contribution to make students be aware of environmental issue especially about animal extinction. Through the story, students learn how the main character, Sylvia, fights her own self to save a precious animal, a white heron. In the story, a hunter tries hard to catch the animal, and he does anything necessary to get the animal including giving Sylvia ten dollars. However, it is not about the money that makes the story is far more interesting, yet it is about Sylvia’s heart as she falls in love with the sportsman. As a girl, falling in love is one important cycle that leads him or her to be more mature. Thus, this case is thought-provoking to be studies further since this is a way to create alertness on environmental issues. Finally, in the end, through discussion, it is hoped that students are going to acquire the knowledge to shape their character to be more empathy toward nature. Keywords: White Heron, Character, and environmental issue INTRODUCTION We still remember a few months ago when forest fire caused so many environment problems. People died because they hard to breath, people had sore eyes because of the smoke, and people could not do their activities which effect on their lives. Not only humans, but also animals and plants got the effects on forest fire. We still remember a photograph shown how a monkey died as it got burn; moreover, plants were not survived as the heat struck them. Who can be blamed because of that? The solid answer is humans themselves. They are too greedy to explore the nature. The more profit, the more destruction. In the name of the development, humans take whatever it can be taken without considering the results. Hence, when it comes to the consequences, humans may only regret on what they have done before. Seeing that the problem is so crucial, it is necessary to take action immediately. There are so many ways to build understanding about the environment problems. One of those is using literature to promote awareness on the nature. As literature has so many benefits, and one of that is enabling us to develop perspectives on events occurring locally and globally, and thereby it gives us understanding and control (Roberts, 2003), giving knowledge to understanding nature through literature is something that is possible to do. Moreover, using one of new literary criticism called by eco-criticism, the messages needed to be delivered are easier to be understood. Ecocriticism is the study of the relationship between literature and physical environment (Glotfelty, 1996). It connects literature and the physical environment used earth-centered approach to do the research. Thus, the ecocriticism theory is a theory which combines ecology and earth study in literary works and it is acting like a bridge between the literary works and the environmental issue happened in the surrounding. Then, ecocriticism may act as a tool for critical response between the texts and the environmental issues that people are not yet hear about it. It also becomes a tool for critical response to unheard dialogue between the text and the environmental issues. Finally, Barry (2002) says that the ecocentred reading on the house and it environs. Since animals are also part of the environs, talking about them may give a lot advantages to the future of our place to live.Moreover, study of the relations between animals and humans in the Humanities is split between philosophical consideration of animal rights and cultural analysis of the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
332
representation of animals (Garrad, 2004).Besides, animals also have many roles to keep our earth in harmonious condition. They have jobs to sustain our ecology. They give their lives to humans to make humans can carry on they lives. In an article entitled “Importance of Animals and Plants in Ecosystem”, it is mentioned that Every little animal within the ecosystem has a vital role in the well-being of the planet. If one species is rendered extinct due to some imbalance, it can have significant cascading effects throughout the rest of the chain. For example even a small bee is in fact a crucial worker in the factory of nature. Therefore, it cannot be denied that animals hold crucial job to maintain our environment. Besides, one of a literary work which talks about animal issue is a short story entitled “White Heron” by Sarah Orne Jewett. In that short story the main issue is about animal extinctions, a white heron. The issue is very appropriate to be used as a way to promote the sustainable earth. The issue is also important to be introduced to young Indonesian generation as Indonesia is home of many animals which many of them are going to be extinct soon. Thus, this paper is going to discuss how Jewett’s “White Heron” has a big contribution to make students be aware of environmental issue especially about animal extinction. METHODOLOGY This research method discusses about type of research, data source, technique of data collection, and technique for data analysis. The type of research is qualitative method as this paper involves an interpretive, naturalistic approach to the subject matter (Denzin, Norma, and Lincoln, 2000:3). Furthermore, there are two kinds of data in this paper. Those are primary data and supporting data. The primary data are taken from a short story entitled “A White Heron” by Sarah Orne Jewett. Therefore, monologues, dialogues, and narrations in the novel which explain about ecological issue especially about the important of animals are sorted as the data. While, supporting data are taken from books, magazines, journals, essays, and articles. Those supporting data are necessary to strengthen the findings in answering how Jewett’s “White Heron” has a big contribution to make students be aware of environmental issue especially about animal extinction. Then, technique for data collection is conducted through several steps. Those steps are reading and re-reading, note taking, and data reducing. Reading and re-reading are done to get the comprehension of the subject of the study. After that, note taking is conducted to get data needed to answer how Jewett’s “White Heron” has a big contribution to make students be aware of environmental issue especially about animal extinction. Finally, the next step is data reduction which is important to be done as this step determines the data used to answer the ecological problem. The last is technique for data analysis. The data which are collected and sorted in the previous process are examined and interpreted based on the ecological problems found in the short story. In this step the sorted data is presented and explained. Next, after presenting and explaining, the data is going to be interpreted. This step involves supporting data to strengthen the finding. Moreover for some data, the implicit one, they are significant to be explored further. Thus, the interpretation also needs more process to make the finding more valid and more reliable. DISCUSSION This part is going to answer the purpose of this paper which is how Jewett’s “White Heron” has a big contribution to make students be aware of environmental issue especially about animal extinction. To answer this question, intrinsic elements are needed. Anderson (1993) divides basic building blocks of fiction into four, namely, plot, characters, setting, theme, and point of view. That is why, there will be four parts to figure out the finding.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
333
Plot Plot is a series of related episodes. It creates suspense or anxious curiosity. According to Little (1963), the elements of plot are exposition, conflict, suspense, climax, and resolution. To begin with, exposition is the presentation of the information necessary for the plot to get under way. Since the first part or the exposition of “A White Heron”, the readers have been introduced on the beautiful of the setting. In the short stories, it is described that, “The woods were already filled with shadows one June evening, just before eight o'clock, though a bright sunset still glimmered faintly among the trunks of the trees.” It can be seen in that quotation that the readers since the first moment has got presentation on the beauty of the light. The illustration shows how beautiful sunset is among the trunks of the trees. If we correlate this fact with what happens nowadays, we live in the era where the glimmered sunset may only see among buildings. These are not as beautiful as if we see it through tress. The reflections may not have meaning as strong as if they are watched in the nature. The energy is also different as trees are considered as living creatures. Einstein postulates that energy cannot be created and destroyed, and it can only be changed from one form to another. Hence, by enjoying nature, the energy may be changed. Human will receive the energy from the nature and vice versa. We may remember that human need D vitamin. The vitamin may be got from the sun; furthermore, plants need CO2 from human respiration to do photosynthesis. Based on this discussion, it can be concluded that the first part of the story has just given the point of view about the nature. Surely this can boost students’ awareness on ecology. The next part is conflict. It may about man against nature, man against man, or man against himself. In the short stories there are some conflicts, yet there is one interesting conflict. It is about a whistle described as Suddenly this little woods-girl is horror-stricken to hear a clear whistle not very far away. Not a bird's-whistle, which would have a sort of friendliness, but a boy's whistle, determined, and somewhat aggressive. Sylvia left the cow to whatever sad fate might await her, and stepped discreetly aside into the bushes, but she was just too late. The enemy had discovered her, and called out in a very cheerful and persuasive tone, "Halloa, little girl, how far is it to the road?" and trembling Sylvia answered almost inaudibly, "A good ways." The conflict exemplified in the quotation is about the emergence of the hunter. It scared the girl. The girl was more afraid seeing the hunter rather than when she was late to come home although she had to take the unfamiliar wood path. She enjoyed the journey. It is illustrated by she was not often in the woods so late as this, and it made her feel as if she were a part of the gray shadows and the moving leaves. The part saying that she was the part of gray shadows and the moving leaves indicate she loves to be in the nature. That is why, although both are terrifying experience, Sylvia, the main character in the short story, thinks that being in the wood is far better than meeting the hunter. This fact also talks that the nature is not harm us. The nature protects us on its own ways. Furthermore, it sacrifices herself to help humans carry on their lives.Hence, the discussion with the students about this can be developed intoother ecological issues that surely the discussion will provoke students’ understanding on the environment Furthermore, suspense sets up at least two opposing forces. In the short story, the suspense is about how Sylvia considers her feeling on the hunter and her thought on protecting the bird, a white heron. She thinks about it again and again. As a girl who experiences love for the first time, she tends to follow what she is feeling. However, as she loves nature especially the bird, she hesitates to tell where it is to the hunter. This can lead the students to reflect on what has been faced by Sylvia. Mostly, as the students have the same background, such as, age and experience, they will completely understand Sylvia’s emotion. Moreover, if they are reminded that they have something they like so much to be traded with the feeling, the students will have the same difficulties to choose which of which. Climax, then, is a major crisis or turning point in the whole action of a plot. In the story it is about Sylvia’s decision. At first she wanted to tell the sportsman about the bird, but then she changed her mind. She comes with the result that she must protect the bird even though another reward, 10 dollars, was
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
334
waiting for her. That time, it is a quite amount of money. This case can help the teacher to boost the students understanding on nature that loosing animals especially those which are endanger can be disadvantages for human in the future. The last is the resolution. It is the conclusion of the conflict. In the end of the story, it can be said that Sylvia did not regret with her decision although sometimes she remembers the sportsman. His present sometimes also reminds Sylvia about what she had felt. However, the memory with the bird is far more precious for Sylvia. This is what the teacher can share to the students to raise the students’ concern on the nature Characters Character is a verbal representation of a human being as presented to us by authors through the depiction of actions, conversations, descriptions, reactions, inner thoughts and reflection, and also through the author’s own interpretive commentary (Roberts, 2003). The protagonist is central to the action, moves against an antagonist and exhibits the ability to adapt to new circumstances. In the story the protagonist is Sylvia, while the antagonist is the hunter. Sylvia is definitely a protagonist since she is the central of the story; hence, the hunter is also unquestionably an antagonist since he is against Sylvia. From those characters, we have learned that Sylvia protects the animals from the danger caused by the sportsman. In real class discussion, the students learn that in this world there will be two groups. One is for the nature, and another is against it. The students also have a real example on how they can save the nature. Through a simple way the students then learn that they may help nature just because they throw rubbish in dustbin. Therefore, from the characters in the short story, the students may have real examples on how and why they have to have empathy to mother’s nature. Setting Setting is the natural, manufactured, political, cultural, and temporal environment, including everything that characters know and own (Roberts, 2003). In the story the setting is definitely in the wood where the heron is. By that kind of setting that exposes about natural beauty, the story illustrates that the natural beauty must be protected. This kind of beauty may no longer exist if we ignore to maintain it. By using and discuss the setting, students will learn that it is crucial to maintain the nature. Nature gives a lot for humans, so humans must repay what the nature gives to us. Therefore, it can be said that the story can help the student to understand more on the place where they live. Theme The fourth part of building block is theme. Theme is the main idea the story express about life and people. “A White Heron” short story has environment theme. It is about an endanger animal hunted by a sportsman. Through this kind of story, the students then know that it is important to protect the endanger animals. It is not only for this moment, but also for the next future. Without preserving the animals our great grand-children may only see some animals on the cinema or TV or museums. This will certainly be a sad story. Moreover, the ecology may not also be in balance condition. Hence through the time, the consciousness about the nature will be increasing. Point of View Omniscient narrator is a point of view seeing all the different parts of the narrative with equal clarity (Toner and Whittome, 2007). The narrator knows everything. This is kind of point of view in “A White Heron”. The narrator knows well the feeling of Sylvia. The narrator also knows that she has a big problem to reconcile with her own self because of the hunter. She is in the middle between telling or not where the heron is. Through this kind of point of view, the students will feel closer to Sylvia because they know how she feels. This will certainly promote the students to be more aware on environmental issues, and act to solve it no matter the consequences they may get including broken hearted.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
335
CONCLUSION Based on the discussion, through 4 building blocks, the students will be more empathy towards nature. Those building blocks are plot, characters, setting, theme, and point of view. In plot through it structures it can be seen that the story helps the students to be more sensitive toward ecological issues. Characters may also promote the understanding on nature problems. Knowing that a character help nature or protect it, students will see, understand and do the same. Setting in the story which is also in the nature may raise the awareness of the students. Then, theme which is about nature also asks the students to participate to protect the nature. Finally point of view can vividly show how the protagonist feeling that makes the students also feel the same. REFERENCES Anderson, Robert, et. al. (1993). Elements of Literature. Florida : Holt,Rinehart and Winston, Inc. Barry, Peter. (2002). Beginning Theory. Manchester: Machester University Press. Denzin, Norma K, and Lincoln, Yvonna S. (2000). Handbook of Qualitative Reasearch. London: Sage Publication Inc. Garrad, Greg. (2004). Ecocriticism. New York: Routledge. Glotfelty, C. (1996). The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. Edited by CheryllGlotfelty and Harold Fromm. Georgia: University of Georgia Press. Jewett, Sarah Orne. “White Heron”.Retrieved on 6th May 2016. http://www.public.coe.edu/~theller/soj/awh/heron.htm Little, Graham. (1963). Approach to Literature. Sydney: Science Press. Roberts, Edgar V. (2003). Writing About Literature.Tenth Edition. New Jersey: Prentice Hall. The New Ecologist. 2014. “Importance of Animals and Plants in Ecosystem”. Retrieved data on 6th May 2016.http://www.thenewecologist.com/2014/03/importance-of-animals-and-plants-inecosystem/ Toner, Helen and Elizabeth Whittome. (2007). English Language and Literature. United Kingdom: Cambridge University Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
336
BUDAYA
61 ANALISIS WACANA KRITIS LESBIANISME DALAM FILM CAROL (2015) Diya Sri Widiyanti Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana media khususnya film, merepresentasikan lesbianisme dalam film Carol (2015) sekaligus ingin mengetahui wacana yang disampaikan melalui film tersebut. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah Critical Discourse Analisis (CDA)dengan Socio Cognitive Approach (pendekatan kognisi sosial) oleh Teun A. Van Dijk. Sehingga penelitian ini disebut juga sebagai penelitian deskriptif kualitatif karena data dan analisis data yang dihasilkan merupakan rangkaian penjelasan baik berupa kata, kalimat atau wacana. Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukan bahwa lesbianisme merupakan bentuk seksualitas yang dianggap bukan lagi sebagai penyimpangan norman melainkan merupakan hal yang semestinya bisa diterima dikalangan masyarakat. Dalam film Carol penyimpangan bisa saja dilakukan oleh semua orang dikarenakan manusia mempunyai kebebasan dalam memilih orientasi seksualitas mereka. Sehingga film ini menujukan jika perempuan yang berkeluarga bisa mengalami penyimpangan seksualitas dan disisi lain mereka juga lebih merasa nyaman menjalani hubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis mereka atau pasangan mereka sendiri. Kata Kunci: Lesbianisme, Film, Critical Discourse Analisis (CDA), Ideologi
PENDAHULUAN Adanya oposisi biner yakni baik dan buruk membuat manusia saling membandingkan satu dengan lainnya. Sehingga terjadi kesepakatan dalam masyarakat yang mengasumsikan jika kebenaran haruslah dapat diterima dan diyakini oleh mereka kalau itu benar sesuai norma yang berlaku. Manusia yang tidak patuh pada sistem atau norma yang berlaku maka akan disebut sebagai kaum lain “the other” atauminoritas. Hardiman dalam Kymlica (2003:xii) membagi kelompok minoritas menjadi 3 kategori. Pertama gerakan sosial baru atau gerakan kaum homoseksual, feminisme, kaum miskin. Kedua minoritas nasional yakni kelompok minoritas yang berhubungan dengan kenegaraan secara langsung misalnya penduduk berbahasa perancis di Quebee dan ketiga kelompok etnis atau para imigran. Diskriminasi yang dialami masing-masing individu berbeda-beda tetapi umumnya terkait masalah strata kelas, gender, etnis dan ras, kebangsaan, dan seksualitas.Tingkat diskriminasi yang beda inilah membentuk mereka ke dalam kelompok minoritas berdasarkan dengan pengalaman mereka. Keinginan untuk mendapatkan kesetaraan akan lebih mudah mana kala mereka membentuk sebuah kelompok dan memperjuangkan hak mereka secara bersama. Fenomena – fenomena unik sering kali hadirsebagai bentuk perlawanan akan sebuah norma yang dirasa tidak sesuai bagi sebagian masyarakat. Istilah sebutan the other tidak serta merta diterima oleh kaum minoritas. Tuntutan akan persamaan hak menjadi point penting bagi mereka. Merekatidaklah ingin dianggap berbeda dengan yang lain karena memang pada dasarnya mereka juga bagian dari masyarakat yang mestinya mempunyai hak yang samauntuk diperlakukan. Sebagai contoh kasus yang sering ditemuin adalah anggapan the other bagi para lesbian. Umumnya masyarakat heteroseksual menganggap Lesbian menjadi the other karena kelainan akan orientasi seksual mereka. Namun persepsi ini hanya dilihat dari satu sudut pandang para heteroseksual. Mereka melupakan sisi lain yang ada, lesbian bukanah wabah yang mesti dihindari oleh masyarakat. Mereka juga mempunyai hak kebebasan yang sama seperti manusia pada umumnya termasuk dalam menentukan pasangan mereka.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
337
Menilik kebelakang dari sejarah kehidupan mereka di Amerika, awalnya penyimpangan seksual dipelopori oleh pergerakan komunitas homoseksual yang dilakukan di bar lesbian dan gay yang berada di New York, Stonewall Inn (1969). Mereka tidak terima karena para polisi yang berada disana memperlakukan mereka dengan tidak baik. Dari kejadian inilah mereka mulai menuntut persamaan hak asasi mereka secara terbuka setelah sebelumnya mereka menyembunyikan identitas mereka. Pada saat itu memanglah kehidupan para homoseksual dipandang buruk dalam masyarakat, mereka dianalogikan sebagai kaum sodom yang terkutuk karena menyukai sesama jenis. Pandangan ini melekat pada konsep pemikiran masyarakat akibat doktrin dari ajaran agama protestan. Berbagai bentuk kritik dilakukan atas dasar diskriminasi dan ketidakadila melalui karya sastra. Salah satunya melalui media film. Banyak film yang mengangkat wacana mengenai lesbianisme menjadi salah satu tema untuk mendapatkan kesetaraan. Film Carol merupakan salah film Amerika yang bergenre drama dan romantis yang mengusung tentang lesbianisme, dimana target pasar mereka merupakan para remaja. Film ini diadopsi dari novel karangan Patricia Highsmith yang berjudul “the price of salt”. Film yang disutradaraiolehTodd Hynedirilis pada 20 November 2015. Film ini membicarakan tetang rasa cinta antara dua perempuan yakni Therese belivet, seorang karyawati muda departement store di Manhattan tertarik dengan wanita yang berumur lebih tua darinya bahkan dia sudah berkeluarga. Dengan setting yang diangakat di tahun 70an tentunya hubungan sesama jenis sangatlah dilarang. Menurut Eriyanto (2001) film bukanlah sebuah ruang kosong, film memiliki unsur teks yang merupakan bagian kecil dari struktur besar masyarakat. Dimana, teks bukanlah sesuatu yang datang dari langit bukan juga ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk oleh diskursus suatu praktik wacana. Film Carol tidak hanya berhenti sebagai media yang menghibur untuk ditonton saja melainkan tersimpan motif atau ideologi yang ingin tersampaikan kepada audience. Hubungansesamajenis yang menimbulakan pro dankontradihadirkandalam film Carol. Film bukanlah menjadi sebuah audio visual yang hanya menayangkan “ citra bergerak (moving image), namun juga telah diikuti oleh kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup (Victor, 2000). Tidakada media apapun yang bersifatnetral. Isu mengenai lesbiaisme inilah menjadi pusat dari penelitian ini, bagaimana media khususnya film, merepresentasikan lesbianisme dalam film Carol (2015) sekaligus ingin mengetahui wacana yang disampaikan melalui film tersebut. METODE PENELITIAN Dari berbagai macam model analisa wacana kritis yang dikembangkan oleh para ahli, model Teun A. Van Dijk merupakan salah satu pendekatan yang sering digunakan dikarenakan dengan adanya pengelaborasian elemen wacana yang digunakan olehnya. Metode yang digunakan untuk penelitian tersebut dikenal dengan istilah Critical Discourse Analisis (CDA) dengan Socio Cognitive Approach (pendekatan kognisi sosial). Model kognisi sosial mengambarkan jika pendekatan tersebut tidak hanya berfokus pada analisis teks semata namun juga dihubungkan dengan suatu praktek produksi yang harus diamati. Teks bukanlah sesuatu yang datang dari langit bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana (Eriyanto, 2001:222). Teks bukanlah dipandang sebagai model tunggal yang mesti diamati sendiri melainkan teks juga bisa dilihat dari bagaimana struktur sosial dominasi, kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh dalam teks tersebut. Sehingga penelitian ini juga bisa dikatakan sebagai penelitian deskriptif kualitatif karena data dan analisis data yang dihasilkan merupakan rangkaian penjelasan baik berupa kata, kalimat atau wacana. Inti dari analisis yang dikembangkan oleh Teun A. Van Dijk.diklasifikasikan menjadi 3 bagian: pertama, bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk menegaskan suatu tema tertentu. Yang kedua merupakan level yang berhubungn dengn kognisi sosial dimana inti dari level ini berpusat pada proses produksi teks mengakibatkan kognisi individu dengan wartawan sedangkan yang terakhir menjelaskan mengenai bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah (Eriyanto, 2001:224).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
338
Model analisis Teun A. Van Dijk bisa digambarkan sebagai berikut:
teks Kognisi sosial Konteks
Sumber: (Eriyanto, 2001:225).
K Analisis Sosial Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu atau kelompok pembuat teks sehingga terlahirlah teks tertentu. Teks Stuktur atau element yang saling mengikat satu dengan lainnya dan membentuk menjadi 3 tingkatan. Pertama struktur makro, ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian- bagian teks tersusun dalam suatu berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang diamati dari bagian kecil suatu teks yakni kata, kalimat, dan gaya yang dipakai dalam suatu teks. Data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data primer utama yakni film Carol yang disutradari oleh Todd Haynes di tahun 2015 dengan mengamati narasi dalam teks tersebut untuk menganalisis dimensi teks. Sedangkan data sekunder adalah data penunjang data primer untuk menjawab permasalahan. Data ini diperoleh dengan teknik studi kepustakaan (libarary researh), sebagai acuan untuk menganalisis dimensi analisis sosial yang ada pada film Carol 2015. HASIL DAN PEMBAHASAN Representasi Lesbianisme Dalam Film Carol 2015 Wacana mengenai lesbianisme digambarkan dengan dua tokoh yang berbeda yakni Carol dan Therese. Carol wanita yang sudah berumur dan berkeluarga tetapi dari golongan kelas atassedangkan Therese gadis muda yang berasal dari strata sosial menengah kebawah. Mereka menghadirkan wacana lesbianism yang berbeda karena kondisi sosial yang tidak sama. a. Tokoh Carol Aird Dalam sebuah rumah tangga hubungan ketidakharmonisan diantara keluarga merupakan suatu hal yang wajar. Ketika mereka tidak menemukan titik kecocokan diatara satu sama lain maka perpisahan merupakan solusi dalam sebuah permasalahan. Carol, wanita yang sudah menikah selama lebih dari 10 tahun namun tidak memiliki kecocokan dengan suaminya. Meskipun dia digambarkan sebagai wanita yang secara ekonomi dan berkeluarga namun kepuasan batin dia tidaklah terpenuhi. Dia sangalah tersiksa dengan hubungan pernikahannya. Gambar dibawah ini Carol memberi gambaran jika dia berada dalam kategori wanita kalangan kelas atas.
Davis (1992). ‘what (clothing) communicates has mostly to do with the self, chiefly our social identity as this is framed by cultural value bearing on gender, sexuality, social status, age, etc.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
339
Bahwa pakaian yang digunakan dan tempat yang dia kunjungi menunjukan dari golongan kelas menegah keatas. Carol dengan santai memilih kado buat anaknya di perayaan tahun baru. Feminin, elegan, glamor ditampilkan dalam sosok Carol akan tetapi meskipun dia wanita yang terhormat arah orientasi seksualnya menyimpang. Umumnya wanita yang sudah tercukupi hidupnya baik dari segi materi dan edukasi maka mereka akan menuruti norma. Nyatanya hal ini berbanding terbalik melalui pengambaran tokoh Carol. Di ending dari cerita ia lebih mempertahankan hubungannya dengan Therese yang merupakan teman lesbiannya dibadingkan dengan suaminya. Carol : Harge dan aku tak pernah menghabiskan waktu bersama di hari tahun baru. Selalu saja ada urusan bisnis dan klien yang harus dikerjakan Rasa kecewa terhadap pasangan yang tergambar jelas dalam narasi tersebut. Hubungan dengan lawan jenisnya tidak menjamin rasa nyaman terhadap dirinya. Yang ada dia semakin tersiksa dengan kondisi dirinya akan tetapi rasa nyaman justru terbentuk ketika dia menjlain hubungan dengan Therese. Harge tidak bisa memberikan kenyamanan yan diinginkan oleh Carol. Carol : Seharusnya aku bilang untuk tunggu. Bagaimana sebuh struktur mikro berperan dalam pemberian makna dalam sebuah wacara (Eriyanto, 2001:227-225). Kalimat ini mewakili bagaimana Carol menyesal dalam mengambil keputusan karena dia menyuruh Therese untuk pergi berbanding dengan perlakuannya terhadap Harge, dia dengan tenangnya ingin melepas suaminya. Carol : Aku ingin kau bahagia. Aku tak bisa memberimu itu. Aku gagal. Tapi kita sama- sama saling memberikan Rindy satu sama lain dan dia adalah hadiah terindah dan terbaik yang pernah kuterima.kenapa kita menghabiskan banyak waktu untuk membuatnya menjauh dari kita. Apa yang terjadi dengan Therese, aku mengingikannya dan aku tak akan menolak untuk membantahnya. Tetapi aku menyesal dan sangat sedih kekacauan ini akan mengubah hidup anak kita. Harge kita berdua sama- sama bertanggung jawab. Mari kita membenahinya. Aku berfikir Harge pantas menjadi wali Rindy. Carol merasa bahwa dirinya tidak bisa berperan baik layaknya seorang istri sehingga dia ingin melepaskan Harge. Disini perempuan mempunyai peranan yang lebih dominan dibanding dengan lakilaki. Carol yang memutuskan hubungan mereka. Umumnya laki- laki yang mengkontrol perempuan dalam sistem patriaki tetapi dalam rules lesbianisme mereka dengan bebas memilih keputusan yang mereka tentukan. b. Therese Belivet Gadis muda penjaga toko yang hobi memotret hewan ini, memanglah figur yang mempunyai berbeda dalam memandang dunia. Sebagai seorang remaja tentulah Therese suka dengan berbagai hal baru yang belum dialaminya selama ini. Kekasihnya yang selama ini berada disampingnya namun tidak bisa menjadi figur yang diharapkan dalam dirinya. Keraguan dan ketidaknyamanan semakin muncul manakalah dia bertemu dengan Carol. Dengan latar belakang yang berbeda, dia menemukan sosok yang selama ini dia cari dalam kehidupannya.
Dalam gambar diatas dapat diketahui posisi dari Therese yakni sebagai seorang penjaga toko. Dia seorang gadis muda yang berbeda strata sosialnya dengan Carol. Sebenarnya dari cerita film tersebut,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
340
yang mempunyai ketertarikan pertama kali adalah Therese. Ia terus memandangi keberadaan Carol yang sedang mencari kado dan tidak sengajah sarung tangan Carol tertinggal. Therese mengembalikan sarung tangan itu dan inilah penyebab kedekatan hubungan keduanya. Therese tidak pernah bisa menolak ajakan Carol dan ketika dia ditanya mengenai hubunganya dengan laki- laki yang tinggal bersamanya maka dengan santai dia menjawab seperti dialog dibawah ini: Therese : Ada Richard yang tinggal denganku. Tidak seperti itu. Lebih tepatnya dia menginginkan menikah denganku. Baginya Richard merupakan sosok yang hanya mengingikannnya. Namun dia masih ragu untuk menikah dengan dia. Di scene berikutnya lebih tegambar dengan jelas jika dia lebih merasa nyaman dengan hubungan yang dijalani bersama Carol. Terbukti dari perkatannya sebagai berikut Therese : Aku hampir selalu mengabiskan waktu seperti ini sendirian. Di tengah keramaian. Aku tak sendiri tahun ini. Therese merasa Carol memberi warna baru dalam kehidupannya. Ketika dia menjadi perempuan pada umumnya yang tertarik pada laki- laki, dia hanya merasa kesepian meskipun berada dalam keramaian. Namun kodisi berubah ketika dia menjalani hubungan dengan sesama jenis, dia mendapatkan kenyamanan yang tidak dimilikinya selama ini. Lesbianisme Simbol Kebebasan Manusia Dalam film yang berjudul Carol tahun 2015 terdapat sebuah ideologi yang tersembunyi di balik film tersebut. Film bukanlah media yang netral namun mengandung sebuah wacana yang ingin disampaikan oleh pengarangnya. bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu atau kelompok pembuat teks sehingga terlahirlah teks tertentu (Eriyanto, 2011:225). Berdasarkan backgound filmnya, Carol diadopsi dari sebuah novel karya Patricia Highsmith yang berjudul “The Price of Salt”. Narasi dari novel tersebut terinspirasi oleh cerita pengalaman pribadi dari sang novelis. Dia menjalin cinta terlarang dengan seorang wanita yang berada di Newyork. Pada masa 70an tidak banyak novelis yang berani mengangkat tema mengenai homoseksual karena memang isu tersebut masihlah dianggap tabu. Kaum lesbian sangat diposisikan rendah dan disebut sebagai kaum Sodom. Mereka tidak diberlakukan sama dan terpinggirkan. Dengan mengunakan karya sastra mereka mencoba memberontak ketidaksetaraan tersebut. Tahun 20an isu mengenai lesbian mulai ramai dibicarakan kembali setelah kasus pelegalan pernikahan di Amerika. Banyaknya pro dan kontra akan pelegalan perkawinan sesame jenis membuat dunia perfilman terdoktrin untuk membuat film bergenre tersebut. Novel karya Patricia Highsmith yang berjudul “The Price Of Salt”hadir kembali ke ruang public namun bentuk film. Film ini membuka paradigma baru bagi masyarakat mengenai lesbianisme. Lesbianisme merupakan simbol dari kebebasan masyarakat. Mereka dengan bebas bisa memilih pasangan mereka tanpa melihat perbedaan jenis kelamin dan norma yang ada. Tidak ada aturan yang bisa membatasi hubungan seksualitas. Manusia dengan bebasnya bisa memilih pasangan mereka asalkan mereka mau. Kebebasan berarti mempunyai hak dalam menetukan segala hal tanpa adanya batasan dalam berekpresi, beropini dalam konteks sosial bahkan gaya hidup selama tidak membahayakan orang lain, J.S. Mill (dalam Abdilah, 2004:151). Hal ini terlihat dari bagaimana Carol dan Therese berjuang agar mereka bisa bersama. Banyak orang yag menetang hubungan mereka namun perjuangan mereka tidaklah berhenti pada titik tersebut malah mereka bisa hidup bersama di ending cerita. Carol memutuskan untuk bercerai dengan suaminya dan menyerahkan hak asuh Ryndi. Mereka berdua juga sepakat untuk menjul rumah mereka dan Carol tinggal di sebuah Apartement. Dengan kebebasan itulah dia mengajak Therese untuk hidup bersama denganya dan Therese pun bersedia tinggal dengannya. SIMPULAN Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukan bahwa lesbianisme merupakan bentuk seksualitas yang dianggap bukan lagi sebagai penyimpangan norma melainkan merupakan hal yang semestinya bisa diterima dikalangan masyarakat. Dalam film Carol penyimpangan bisa saja dilakukan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
341
oleh semua orang dikarenakan manusia mempunyai kebebasan dalam memilih orientasi seksualitas mereka. Sehingga film ini menujukan jika perempuan yang berkeluarga bisa mengalami penyimpangan seksualitas dan disisi lain mereka juga lebih merasa nyaman menjalani hubungan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis mereka atau pasangan mereka sendiri dan kebebasan setiap individu untukmemilihorientasiseksualnyatidaklah ditentukan oleh norma yang konservatif melainkn tumbuh dari naluri setiap manusia untuk memilih dan dipilih. DAFTAR PUSTAKA Davis, Fred. (1992). Fashion, Culture, and Identity.Chicago- USA: Universitas Press Chicag. Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:Lkis. Hanafi, Abdillah. (2004). Memasyarakatkan Ide- Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional. Kymlicka, Will. (2002). Kewarganegaan Multikultural: Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas (terjemahan: Edlina Hafmini Eddin). Jakarta: Pustaka LP3ES. Suyanto, Bagong & Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
342
62 PERAN AKTIF PELAJAR MADURA DALAM MENGENAL DAN MELESTARIKANLUDRUK SEBAGAI DRAMA (KESENIAN) TRADISIONAL Linta Wafdan Hidayah FKIP Universitas Islam Madura Abstrak: Kecanggihan dan modernitas tekhnologi mengikis perkembangan kesenian tradisional. Drama adalah salah salah satu bentuk kesenian tradisional. Kesenian tradisional merupakan warisan budaya lokal yang dirintis oleh nenek moyang kita pada masa lampau, sehingga sampai saat ini masih berkembang dan mewarnai berbagai kesenian tradisional yang ada di Indonesia. Namun, kesenian modern membuat kesenian tradisional mulai meredup bahkan tidak menutup kemungkinan aset budaya lokal tersebut akan tenggelam diterpa badai kepunahan. Sebagian besar pelajar di Madura tidak mengenal Ludruk sebagai kesenian (drama) tradisional dari Madura. Ludruk merupakan drama (kesenian) tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan pahlawan dan tema lainnya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Fenomena ludruk dalam masyarakat Jawa dan Madura telah menjadi icon dan aset budaya yang sangat dibanggakan sebagai drama (kesenian) tradisional yang mampu menampakkan perkembangan dan persaingan dengan kesenian tradisional yang lain. Pelajar Sebagai generasi muda penerus bangsa seyogyanya memiliki kepedulian terhadap kelestarian ludruk sebagai drama (kesenian) tradisional, dan menjadikan ludruk sebagai salah satu ciri khas kesenian di Madura. Melestarikan ludruk sebagai drama (kesenian) tradisional sama halnya menjaga aset dan identitas seni budaya bangsa yang berasal dari Jawa Timur, khususnya Madura. Kata Kunci: Ludruk, Drama, Kesenian, Tradisional
PENDAHULUAN Pada jaman modern saat ini maraknya klaim budaya Indonesia oleh negara lain yang disebabkan oleh banyak faktor yang mungkin terjadi. Kesenian daerah pada jaman sekarang sudah ditinggalkan dan banyak yang beralih kepada seni-seni budaya asing/luar. Kurangnya minat masyarakat dan perhatian pemerintah untuk melestarikan budaya serta regenerasi atau pengenalan budaya dan penanaman kecintaan budaya kepada generasi muda, khususnya para pelajar merupakan penyebab kesenian budaya yang mulai ditinggalkan dan pelestariannya sebagai kekayaan budaya bangsa menjadi terbengkalai. Senyatanya tantangan yang harus dihadapi oleh para pewaris aktif seni pertunjukan tradisional agar bertahan hidup di tengah-tengah pergumulan antara selera lokal dan selera global sangatlah berat. Di satu sisi mereka (para pewaris aktif) memiliki komitmen yang kuat dan tulus untuk senantiasa memelihara dan mencintai tradisinya, tetapi di sisi lain mereka harus juga berhadapan dengan kenyataan perih bahwa pasar atau penikmat tidak lagi berpihak kepada produk-produk hiburan tradisional yang mereka tawarkan. Para pewaris akktif yang dimaksud disini tentunya generasi penerus yakni para remaja (para pelajar), tak terkecuali para pelajar Madura. Banyak para remaja khususnya para pelajar tidak peduli dengan kebudayaannya masing-masing. Mereka lebih memilih mempelajari tarian modern (Modern Dance), bahkan bergaya hidup ke baratbaratan. Padahal bila sampai kebudayaan kita hilang,kita sudah tidak mempunyai ciri khas tersendiri dari daerah tersebut. Seni Tradisional adalah Unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum/suku/puah/bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah bagian dari Tradisional namun bisa musnah karena ketidak adanya ingin tahu untuk mengikuti tradisi tersebut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
343
Masyarakat Jawa Timur tak terkecuali di Madura memiliki banyak seni tradisi yang masih hidup dan dimanfaatkan serta dibanggakan oleh para pendukungnya. Tradisi-tradisi tersebut, antara lain, berupa berbagai bentuk kesenian yang memiliki banyak pewaris,baik pewaris aktif (active bearers) atau pelaku seni maupun pewaris pasif (passive bearers) atau penikmat seni. Bentuk kesenian yang masih hidup tersebut secara garis besar dapat dibagi dua, yakni kesenian agraris, antara lain, tayub, sandur, seblang, gandrung, dan reog, serta kesenian nonagraris seperti ludruk, wayang orang, kentrung,topeng, ketoprak, jinggoan, janger, dan lain-lainnya. Ludruk merupakan seni kesenian tradisional khas daerah Jawa Timur, tak terkecuali Surabaya dan Madura. Ludruk digolongkan sebagai kesenian rakyat setengah lisan yang diekspresikan dalam bentuk gerak dan dimainkan di atas panggung (teater atau sandiwara), didalamnya mengandung unsur gerak, tari, musik (kidungan), dekor, cerita dan lain-lain (“Ludruk sebagai Teater Sosial”, Kasiyanto, 1999 : 1). Kata ludruk berasal dari bahasa lodrok (Bahasa Jawa). Kata itu di kategorikan ke dalam bahasa tingkat ngoko yang berarti badhut “lawak”. Kata ludruk juga bermakna jembek, jeblok, gluprut, badut dan teather rakyat. Ludruk merupakan salah satu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, dengan menggunakan bahasa lokal/bahasa daerah, untuk mempermudah pemahaman bahasa para penonton. Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan non intelek. Ludruk bisa bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat, berupa legenda, dongeng, kisah sejarah dan kehidupan sehari-hari yang menggunakan bahasa yang sangat komunikatif, disertai lawakan yang sangat menghibur, walaupun masyarakat tidak seantusias di jaman dahulu. PEMBAHASAN Ludruk didefinisikan sebagai kesenian teater Jawa Timur yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Disebutkan, dialog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa. Sementara dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “ludruk” berarti pertunjukan sandiwara dengan menari dan bernyanyi. Dimana pengertian tersebut, disebut Zaiturrahiem RB lebih luas dari terminologi ludruk di Madura yang mengartikannya sebagai sebuah pertunjukan sandiwara (sejenis teater) yang diperankan oleh sekelompok orang yang kesemuanya adalah laki-laki _meskipun dalam kisah pertunjukannya ada peran perempuan, dan diiringi dengan menyanyi dan menari serta alunan musik tradisional. Sementara jika mengacu kepada bahasa Indonesia modern, istilah ‘badut’ berarti ‘pelawak’. Sedangkan di dalam bahasa Madura, luddruk atau loddrok, menurut Killiaan, berarti ‘tukang lelucon atau pelawak’, dan mengacu pada tjon-lotjon atau ‘punakawan’. Istilah-istilah itu, menurut Sudyarsana (1985: 36) menekankan pentingnya unsur jenaka di dalam kemunculannya di panggung pertunjukan. Sebagai produk budaya lokal yang khas, ludruk mempunya karakteristik yang tidak ditemukan dalam seni tradisional yang lain. Sedyawati (dalam Supriyanto, 1992:23-24) menyatakan bahwa ludruk sebagai drama tradisional, memiliki ciri khas, antara lain, (1) pertunjukan ludruk dilakukan secara improvisatoris, tanpa persiapan naskah; (2) memiliki pakem/ konvensi: (a) terdapat pemeran wanita yang diperankan oleh laki-laki; (b) memiliki lagu khas, berupa kidungan jula-juli; (c) iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog; (d) pertunjukan dibuka dengan tari ngremo; (e) terdapat adegan bedayan; (f) terdapat sajian/adegan lawak/dagelan; (g) terdapat selingan travesti; (h) lakon diambil dari cerita rakyat, cerita sejarah, dan kehidupan sehari-hari; (i) terdapat kidungan, baik kidungan tari ngremo, kidungan bedayan, kidungan lawak, dan kidungan adegan. Melalui pertunjukan ludruk ini, masyarakat banyak mengambil manfaat dan pelajaran sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya lokal yang berkembang saat itu. Fenomena ludruk dalam masyarakat Jawa dan Madura telah menjadi ikon dan aset budaya yang sangat dibanggakan sebagai kesenian daerah yang mampu menampakkan perkembangan dan persaingan dengan kesenian tradisional yang lain. Bagi masyarakat yang menggemari pertunjukan ludruk, mereka mempunyai kebiasan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
344
membawa anak-anak mereka untuk turut serta menonton berbagai tema menarik yang banyak menceritakan tentang perjuangan para pahlawan dalam menumpas penjajah. Di samping itu, ludruk ini merupakan sebuah pertunjukkan (drama) kelas bawah yang pada pembukaan adegannya selalu menampilkan humor-humor yang mampu memperdayakan perhatian banyak orang melalui empati, sehingga dalam setiap pertunjukannya kesenian ini selalu memberikan stimulus kepada para penonton untuk melakukan timbal balik yang merupakan bentuk interaksi sosial. Ludruk diperankan oleh sekelompok seniman yang menggelar pertunjukkan di atas panggung, dimana semua pemainnya adalah para lelaki. Pemain ludruk tidak diperankan oleh wanita oleh karena itu peran perempuan juga diperankan oleh laki - laki. Kostum dan make up yang digunakan oleh pemeran ludruk selalu berbeda menyesuaikan dengan tema cerita. Akan tetapi sekarang ini kesenian Ludruk kini makin terpuruk. Ludruk masih populer di kalangan orang tua, namun tidak di kalangan anak muda dan remaja. Pengemasan ludruk yang kurang menarik perhatian dan cenderung monoton menurunkan tingkat apresiasi penggemarnya. Mungkin banyak anak muda yang menyangka pertunjukkan kesenian ludruk itu merupakan hiburan kelas menengah ke bawah. Padahal Kesenian Tradisional Ludruk sudah menjadi ikon penting di dalam kelompok masyarakat Jawa Timur, khusunya masyarakat Madura. Adapun grup Ludruk yang terkenal di Madura yaitu Rukun Karya dari Sumenep. Hal ini lah yang membuat para pemain dan seniman Ludruk menjadi prihatin dengan keadaan seperti ini. Mereka hanya bisa berharap Masyarakat bisa memiliki rasa memiliki dan peduli akan kesenian Ludruk sebagai Drama Tradisonal yang perlu dilestarikan. Fenomena ludruk yang banyak disorot, tentu memiliki faktor pemicu. Salah satunya adalah dikarenakan ludruk sudah tidak mampu lagi membangun kepercayaan dan ketertarikan kepada masyarakat. Betapa tidak, masyarakat sekarang sudah mulai meninggalkan kesenian ini dan beralih pada kesenian modern yang lebih menantang dan menawarkan nuansa baru yang mencerahkan. Sebagian besar masyarakat sekarang sudah menganggap bahwa ludruk tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan tidak memiliki secercah harapan untuk bersaing dengan kesenian modern yang lebih menjanjikan. Alasan inilah yang barangkali membuat masyarakat tidak tertarik lagi untuk menonton ludruk, karena dianggap tidak menampilkan kesan atraktif dan kreatif. Sehingga masyarakat beralih pada media lain yang lebih dinamis dan banyaknya alternatif hiburan yang layak, semisal televisi, radio, film dan lain sebagainya.Perlu peran semua pihak, tak terkecuali pemerintah dan para pelajar sebagi generasi pewaris aktif. Karena pelajar Madura Sebagai generasi muda harus dituntut memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional, mengenal, melestarikan dan melakukan pengkajian terkait dengan meredupnya ludruk dalam kehidupan masyarakat sebagai drama (kesenian) tradisional yang ada di Jawa Timur khusunya di Madura. Pemerintah seharusnya melakukan terobosan baru agar masyarakat tidak meninggalkan kesenian tradisional tersebut. Barangkali dengan terobosan baru, masyarakat akan kembali tertarik menonton ludruk sebagai aset paling berharga bagi masyarakat Surabaya dan Madura. Misalnya, pemerintah dengan cara membentuk komunitas ludruk yang bekerjasama dengan sivitas akademik di tingkat SMP, SMA, dan Kampus untuk memperkenalkan ludruk kepada para pelajar. Ludruk sebagai drama tradisional seharusnya menjadi agenda wajib dalam pergelaran seni di tingkat sekolah maupun universitas, yang mempunyai tujuan untuk mengenal, mengembangkan, dan melestarikan ludruk dikalangan para remaja khusunya pelajar yang ada di Madura. Disini peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan pembinaan dan memfasilitasi komunitas ludruk para pelajar. Maka, revitalisasi ini perlu dilakukan ke seluruh elemen masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional ini khusunya para pelajar Madura sebagai generasi muda. Strategi untuk merevitalisasi ludruk ini adalah dengan memberikan nuansa baru dalam setiap pertunjukan yang dilaksanakan. Para pemerhati ludruk tentunya harus berupaya melakukan suatu kreativitas dan merealisasikan keinginan penonton yang menjadi penyemangat ketika pentas berlangsung. Diimbangi juga dengan pementasan dalam kemasan yang lebih menarik dan membuat penonton terhibur dengan sendiri, sehingga pada gilirannya sepinya penonton yang menyebab redupnya ludruk tidak terjadi lagi. Tak hanya itu, tema ludruk seharusnya juga disesuaikan dengan cita rasa para pelajar atau anak muda yang sekarang menjadi trending topic. Ludruk juga bisa dikemas dalam bentuk games online atau perlu
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
345
diterbitkan di media online seperti youtube, karena para remaja tak terkecuali pelajar di Madura kecanduan hal-hal yang berbau terkhnologi. Sehingga kita bisa memanfaatkan dan menyelaraskan antara modernitas dan tradisional. Oleh karena itu, semua pihak berberkompeten terhadap eksistensi ludruk dituntut untuk bekerja sama dalam melestarikan kesenian tradisional ini agar tetap eksis di tengah-tengah merebaknya era globalisasi dan modernitas kecanggihan tekhnologi yang menuntut kita semua berpacu dengan waktu. Semoga dengan dukungan banyak pihak khusunya pemerintah dan antusias para pelajar di Madura, ludruk di Jawa Timur dan di Madura akan tetap menjadi aset identitas budaya lokal yang berkembang dan tidak tergerus oleh perkembangan zaman. SIMPULAN Perkembangan kesenian tradisional dewasa ini mulai mengalami pasang surut. Berbagai problem terus mewarnai liku-liku perjalanan kesenian yang menjadi aset masyarakat dalam menumpahkan segala kreativitasnya yang dimiliki. Perlu diketahui, bahwa sebuah kesenian merupakan warisan budaya lokal yang dirintis oleh nenek moyang kita pada masa lampau, sehingga sampai saat ini masih berkembang dan mewarnai berbagai kesenian tradisional yang ada di Indonesia. Namun, seiring dengan perkembangan kesenian modern yang lebih mapan dan menjanjikan, kesenian tradisional mulai redup dari permukaan bahkan tidak menutup kemungkinan aset budaya lokal tersebut akan sirna diterpa badai kepunahan. Inilah yang terjadi dengan kesenian ludruk, yang merupakan salah satu kebanggan masyarakat Surabaya sejak dahulu kala. Ludruk dalam percaturan kesenian tanah air mulai berkembang pesat sejak tahun 70-an. Perkembangannya meluas ke seluruh elemen masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang banyak menggemari keseniaan tradisional ini. Ludruk sebagai kesenian tradisional yang tergolong pada drama atau Teater Tradisional Rakyat adalah teater yang lahir dan berkembang di tengah – tengah masyarakat kecil di kampong atau desa – desa. Lahirnya Teater Tradisional Rakyat ini atas dasar kebutuhan masyarakat tersebut akan hiburan dan juga kebutuhan sebagai sarana untuk melakukan upacara – upacara, baik upacara agama, maupun adat – istiadat. lambat laun dari kebutuhan upacara berubah fungsinya menjadi sarana hiburan saja (Durachman, 2009:). Drama tradional jenis ludruk ini diperankan oleh pria,baik memerankan tokoh wanita maupun pria itu sendiri. Berkurangnya minat remaja atau pelajar sebagai generasi penerus terhadap pergelaran kesenian drama tradisional (Ludruk) ini dipengaruhi beberapa factor, yaitu kurangnya perkenalan dan peran serta para remaja dalam pergelaran ludruk ini, sehingga pemerintah perlu kerjasama dengan beberapa instansi pendidikan baik di tingkat SMP, SMA, maupun tingkat perkuliahan mengadakan pergelaran seni ludruk yang tergolong pada drama/teater tradisional dengan cara mengemasnya dengan tema semenarik mungkin. Serta membuat program online seperti games online bertema ludruk. Tidak hanya itu, pemerintah perlu mendukung dan memfasilitas pembentukan Komunitas Ludruk Para Pelajar, yang berisikan para remaja atau pelajar sehingga mereka tidak merasa canggung memperagakan peran dengan seusia mereka dan tema yang sesuai dengan karakter dan usia mereka sendiri. Tak hanya itu, ludruk dapat juga dijadikan game online atau perlu diterbitkan lagi di media social online. Sehingga para pelajar mempunya rasa antusiasme yang lebih mendalam lagi dalam mengenal dan melestarikan kesenian tradisional dari Jawa Timur ini, yang juga merupakan kebudayaan Madura ini. Hal ini dilakukan serta merta demi keberlangsungan identitas dan aset Bangsa Indonesia serta warisan untuk para generasi penerus. DAFTAR PUSTAKA Aji Jawoto. (2008). Mengenal Kesenian Nasional 4. Ludruk. Semarang: Bengawan Ilmu Arifa, Rina. (2012). Kurangnya Minat Remaja Mempelajari Kesenian Tradisional. http://rinaarifa.blogspot.co.id/. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Ilahi, Mohammad Takdir. (2010). Ludruk, Kesenian Tradisional Yang Mulai Redup. http://mohammadtakdirilahi.blogspot.co.id/2010/01/ludruk-kesenian-tradisional-yangmulai.html. Diakses pada tanggal 25 April 2016.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
346
Hasyim, Ayyu Fityatin Luthfi; Nia Rahmawati; Winda Hayu Pratiwi. (2008). Regenerasi Ludruk Sebagai Ludruk ABG Dalam Upaya Meningkatkan Sense of Belonging Masyarakat Terhadap Budaya Lokal. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November Paramadita,Yoga. (2014). Karya Tulis Ilmiah“Kurangnya Keperdulian Remaja Modern Terhadap Kesenian Tradisional”. Barito Tengah: SMA Muara Teweh. Peacock, James L. (2005). Ritus Modernitas: Aspek Sosial Dan Simboli Teater Rakyat Indonesia. Depok: Desantara Supriyanto, Henricus. (1992). Lakon Ludruk Jawa Timur. Jakarta: Gramedia Supriyanto, Henricus. (2006). Transformasi Seni Pesisir Using ke Ludruk Madura di Jember. Denpasar: Universitas Udayana.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
347
63 REPRESENTASI PEREMPUAN MADURA DALAM DUNIA POLITIK: DULU, KINI, DAN MASA DEPAN (ANALISIS TEKSTUAL PEREMPUAN MADURA DALAM SEJARAH BUKU MADURA DAN MEDIA MASSA) Netty Dyah Kurniasari Prodi Ilmu Komunikasi - FISIB Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Perempuan Madura dalam sejarah dan dunia politik masih sebagai sosok yang termarginalkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perempuan Madura direpresentasikan dalam dunia politik. Lebih khusus lagi ingin melihat bagaimana perempuan Madura digambarkan dalam wacana (sejarah Madura, media). Metode yang digunakan yaitu analisis tekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Madura jaman dahulu masih direpresentasikan sangat subordinat. Dunia politik adalah dunia maskulin. Saat ini perempuan Madura direpresentasikan tidak hanya mengurus dunia domestik, namun dunia politik.Namun tetap saja, sekarang dan prediksi yang akan datang posisi perempuan dalam dunia politik masih belum berubahn. Perempuan masih berada pada posisi second class , bukan pengambil keputusan tapi penerima dan pengikut keputusan yang diambil oleh lakilaki. Kata kunci : Representasi, Perempuan Madura, Politik
PENDAHULUAN Kandidat politisi perempuan dan pimpinan perempuan dideskripsikan dan direndahkan oleh media (baca: wacana, sejarah) dengan menggunakan “gender-specific terms”. Dan mereka sering dijadikan subyek “negative gender distinctions” (perbedaan gender negative)—jenis kelamin mereka (perempuan) sering dijadikan alasan atau hambatan untuk masuk dalam dunia politik—namun, laki-laki dideskripsikan dalam istilah “gender- neutral” terms (gender yang netral). Meskipun politisi laki-laki juga melakukan counter terhadap image mereka, namun secara umum mereka lebih memiliki kebebasan dalam berpakaian dan bertingkah laku karena publik telah terkondisikan (terbiasa) untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin (Kurniasari, 2010). Dalam sejarah dan literature Madura, politik di Madura selalu berhubungan dengan kyai dan blater. Dua strata sosial tersebut di Madura memang menguasai dan mendominasi politik di Madura. Intinya, dunia politik di Madura sangat berbau patriarkhi dan maskulin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi perempuan Madura di dunia politik dalam lembar-lembar (wacana) sejarah Madura dan media massa. Murdock (1999) mengidentifikasi makna ganda dari ide representasi sebagai proses retorika dan ideologi tentang bagaimana sesuatu itu dideskripsikan dan bagaimana sesuatu itu muncul. Dilihat dari perspektif feminis, representasi yang rendah bagi perempuan di politik adalah masalah sosial. Dominasi laki-laki dalam sistem politik tidak dapat merepresentasikan pengalaman dan oleh karena itu dominasi laki-laki semakin tinggi (sumber : http://lse.ac.uk, akses tanggal 29 Maret 2010). Beberapa studi telah berusaha untuk mengidentifikasi alasan representasi rendah bagi perempuan. Chang dan Hitchon (1997) mengidentifikasi empat faktor (dari literatur). Pertama adalah sosialisasi. Sosialisasi dalam hal bagaimana membesarkan, mendorong usaha anak kurang jika menyangkut bidang (kepentingan) politik. Kedua persiapan professional menunjukkan bahwa, dengan memiliki jalur karir yang berbeda, perempuan sering menghadapi hambatan dalam karier politiknya. Ketiga, kendala struktural yang berarti bahwa lembaga-lembaga politik dibentuk dengan cara yang menguntungkan lakilaki. Keempat, efek media massa pada respon pemilih. Wacana secara ideologi dapat menggusur gagasan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
348
orang atau kelompok tertentu.Bagaimana penggusuran tersebut dilakukan? Yang dihadapi oleh peneliti adalah teks yang berada di hadapannya. Dengan kata lain, teks dipandang sebagai sarana sekaligus media melalui mana satu kelompok mengunggulkan diri sendiri dan memarginalkan kelompok lain. Pada titik inilah representasi penting dibicarakan (Kurniasari, 2010) Konsep representasi merujuk pada bagaimana seseorang, sebuah kelompok, atau gagasan ditampilkan dalam media media massa (Eriyanto, 2001:113). Apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan seperti apa adanya, ataukah justru representasi yang dilakukan justru mengaburkan kebenaran yang ada dan menyudutkan pihak yang direpresentasikan.Representasi ditampilkan melalui penggunaan bahasa (verbal) dan visual (gambar). Bila dalam media massa cetak, alat-alat representasi ini mencakup penggunaan kata, kalimat, grafik dan foto; sementara suara, rekaman gambar (shot kamera) dan grafis dipakai dalam media massa elektronik. METODOLOGI Penelitian ini mencoba untuk mengangkat peran perempuan Madura dalam dunia politik.Metode yang digunakan adalah analisis tekstual. Analisis tekstual mempunyai tiga dimensi tujuan yang bersifat independen dalam bidang terapannya, yang berisi seperangkat framework bagaimana seharusnya sebuah teks dianalisis. Dimensi-dimensi itu adalah dimensi penggunaan bahasa, dimensi interpretasi berdasarkan kepercayaan dan kognisi peneliti, dan penafsiran teks dari segi psikologis. Yang ketiga adalah dimensi konteks sosial dan interaksi individu anggota masyarakat. Dimensi ini menginterpretasikan teks berdasarkan makna-makna yang beredar di masyarakat (Kurniasari, 2010) .Salah satu genre analisis tekstual yang secara khusus dipakai dalam penelitian ini adalah feminist criticism. Analisis dilakukan terhadap teks teks dalam buku sejarah Madura dan pemberitaan di media Madura. PEMBAHASAN Taat dan Patuh pada Suami Dikisahkan dalam legenda sejarah Madura, bahwa untuk menepis rasa sepi karena ditinggal oleh Raja Cakraningrat ke Jawa, Sang istri Ratu Syariah akhirnya bertapa dan memohon kepadaAllah SWT. Dalam pertapaan tersebut dia berjumpa dengan Nabi Khidir.Dalam pertemuannya dengan Nabi Khidir tersebut seolah semua permohonannya akan dikabulkan. Sang Ratu senantiasamemohon agar keturunanya yang laki-laki kelas bisa menjadi pucuk pimpinan di Madura. Ratu berharap agar pimpinan pemerintahan tersebut dijabat hingga tujuh turunan (Wicaksono, Bayu Adi dan Dody Handoko, 2015). Selang beberapa hari akhirnya suaminya, Raja Cakraningrat kembali dari Mataram.Sebagai istri yang setia, tentu saja Ratu Syarifah menyambut kedatangan suaminya dengan senang hati.Ratu akhirnya bercerita tentang pertapaannya, pertemuannya dengan Nabi Khidir dan permohonannya supaya keturunannya menjadi penguasa Madura hingga tujuh turunan. Ratu berharap dia akan mendapat pujian dari suaminya, namun ternyata sebaliknya, Raja Cakraningrat justru marah dan kecewa dengan pernyataan istrinya. Berikut kutipannya: "Mengapa kamu cuma memohon untuk tujuh turunan, sebaiknya kan turutan kita selamanya harus memerintah di Madura!", tegur Pangeran Tjakraningrat I kepada Ratu Syarifah”(Wicaksono, Bayu Adi dan Dody Handoko, 2015) “Mendengar kemarahan suaminya, Sang Ratu pun menundukkan kepala dan kembali ke Desa Buduran untuk bertapa lagi.Tujuannya adalah meminta agar permohonan suaminya dikabulkan.Syariah bertapa, berdoa sambil terus menangis sampai akhirnya meninggal dunia.Ratu syariah akhirnya dimakamkan di tempat itu.Tempat itu sekarang dikenal dengan sebutan Makam Ratu Ibu atau Aer Mata.”(Wicaksono, Bayu Adi dan Dody Handoko, 2015) Perempuan lebih patuh pada aturan tidak terlepas dari konstruksi masyarakat. Seorang istri yang baik harus patuh dan taat kepada suami. Konstruksi masyarakat Jawa terdapat ajaran ‘khusus’ mengenai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
349
perempuan yang tertulis dalam konsep Jawa di Serat Centhini seperti ajaran Nyi Hartati kepada anak perempuannya Rancang Kapti mengenai ‘kias lima jari tangan’. Ajaran tersebut menuturkan bahwa istri itu pertama harus jempol (ibu jari), berarti ‘pol ing tyas’. Artinya, Sebagai istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami.Apa yang menjadi kehendak suami harus dituruti.Kedua, penunuh (telunjuk), berarti jangan sekali-kali mematahkan ‘tudhung kakung’ (petunjuk suami).Petunjuk suami tidak boleh dipersoalkan.Ketiga, penunggal (jari tengah), berarti selalu ‘meluhurkan’ (mengunggulkan) suami dan menjaga martabat suami.Keempat, jari manis. Berarti tetap manis air mukanya dalam melayani suami dan bila suami menghendaki sesuatu.Kelima,jejenthik(kelingking). Berarti istri harus selalu ‘athak ithikan’ (trampil dan banyak akal) dalam sembarang kerja melayani suami. Dalam melayani suami hendaknya cepat tapi lembut (Kurniasari, 2010) Rela Berkorban, Ikhlas dan Religius Perempuan Madura digambarkan sebagai sosok yang rela berkorban dan ikhlas. Hal ini bisa dilihat dari penggalan sejarah Madura. Raja Cakraningrat I adalah anak angkat Sultan Agung Mataram yang memerintah Madura secara keseluruhan. “Walaupun Cakraningrat memerintah Madura namun dia lebih banyak tinggal di Jawa. Hal tersebut yang membuat istrinya (Ratu Syarifah) kesepian karena tinggal di Kerajaan Sampang sendirian. Untuk mengisi kekosongan waktunya, Ratu Syarifah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di suatu bukit di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya.”(Wicaksono, Bayu Adi dan Dody Handoko, 2015) Dari uraian sejarah tersebut tampak bahwa Ratu Syariah sebagai sosok yang rela berkorban dan ikhlas ditinggal suami dalam jangka waktu yang lama.Pelarian Sang Ratu dengan memilih bertapa adalah juga wujud dari tingginya nilai religiusitas dalam dirinya. Perempuan Madura kebanyakan rela menderita bukan untuk kepentingannya, tapi demi suami dan anak-anaknya. Dia rela mengorbankan (mengalahkan) kepentingannya demi karir suami atau kebahagiaan anak. Perempuan Madur ajuga sering berpuasa untuk anak dan suaminya pada hari weton . Dalam kesediaannya untuk menderita bagi orang lain ini terdapat sifat ikhlas dan nrima yang merupakan tanda penyerahan otonom. Ada tujuh konstruksi konsep OCB atau perilaku organisasi dalam berpolitik yaitucivic virtue, sportsmanship,altruism, conscientiousness, curtesy,cheerleading, dan peacemaking,” …(Kompas, Jumat 29 Januari 2010). Hasilnya, politikus perempuan terbukti lebih dekat kepada konstruksi altruism yang berarti politikus perempuan lebih suka membantu, berkorbandan membujuk (altruistis). Lebih lanjut, politikus perempuan terbukti lebih dekat kepada konstruksi conscientiousness yang berarti politikus perempuan lebih patuh kepada aturan dan punya peran lebih (conscientiousness)” Perempuan Madura Setia dan Mencintai Suami Gambaran perempuan yang setia dan mencintai suami tampak dalam cerita rakyat ‘Legenda Joko Tole’ Diceritakan bahwa ada anak Madura yang bernama Joko tole sangat sakti. Ia berhasil menegakkan pintu gerbang Keraton Majapahit. Singkat cerita, Joko tole ini menikah dengan Putri Raja Majapahit yang bernama Dewi Ratnadi. Akan tetapi Dewi ini buta. Setelah menikah, Joko tole membawa istrinya ke Sumenep. Mereka melanjutkan perjalanan ke Sumenep dengan berjalan kaki. Dewi Ratnadi selalu setia dan patuh kepada suaminya . Hal ini bisa dilihat dari kutipan di bawah ini (Imron,2000:18) “…. Mereka terus berjalan ke arah Timur, berhari-hari lamanya mereka berjalan melewati dataran rendah yang luas dan naik turun perbukitan. “(Imron,2000:20) Sebagai seorang putri Raja, Dewi Ratnadi bias saja menolak perintah suaminya yang memintanya untuk ikut ke Sumenep apalagi dengan berjalan kaki. Namun, Dewi Ratnadi tidak meminta untuk ditandu,dia patuh, setia dan menurut terhadap perintah suaminya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
350
Ikhlas, Sabar, Pengasihdan Pantang Menyerah Dalam cerita babad Madura diceritakan bahwa Dewi Tunjungsekar (Putri Prabu Gilingwesi) diketahui hami tanpa suami.Sang Prabu karena malu memerintahkan Sang Patih untuk membunuh Putri Tanjung Sekar. Patih Pranggulang pun berangkat bersama Tunjungsekar menuju ke hutan.Setelah sehari semalam berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan lebat dekat laut. Putri Tunjungsekar berhenti dan duduk di atas sebuah batu (Imron, 2000:2) “ Ki Patih. “ ujar Tunjungsekar,” silakan hukuman mati untukku kaulaksanakan. Tetapi ingat, kalau aku tidak bersalah, engkau tidak akan bisa membunuhku.” (Imron, 2000:2) Dari perkataan Tunjungsekarbisa ditarik kesimpulan kalau Sang Dewi sebagai orang yang ikhlas menerima takdir. Dia memasrahkan nasibnya kepada Sang Kuasa. Kemudian, Patih Pranggulang menghunus pedang ke tubuh Sang putri, namun sebelum pedang menyentuh tubuh Putri, pedang tersebut jatuh ke tanah. Patih menghunus pedang lagi, tapi pedang tersebut jatuh ke tanah. Hal tersebut berulang sampai tiga kali.Akhirnya, Sang Patih menyimpulkan bahwa Sang Putri tidak bersalah. Dia kemudian meminta Putri untuk pergi. “ Tuan Putri, sebaiknya segera pergi dari tempat ini. Saya akan membuatkan rakit untuk Tuan Putri naiki menyeberang laut. Saya sendiri tidak akan kembali ke keraton. Saya akan bertapa sambil mendoakan Tuan Putri selalu selamat” (Imron, 2000:3) Setelah rakit jadi jadi, Tunjungsekar naik ke atasnya. Perlahan-lahan rakit itu bergerak meninggalkan pantai. “Rakit yang dibawa Tunjungsekar dibawa arus ke utara. Beberapa hari lamanya ia terkatung-katung di tengah laut. Ia pasrah pada kehendak tuhan, kemana saja rakit bergerak dipermainkan ombak, ia tetap tenang.”(Imron, 2000:3) Dari kutipan di atas,bisa kita lihat kepribadian Putri sebagai sosok yang ikhlas dan sabar. “…… Ketika bulan purnama sedang rembang, tiba-tiba perut Tunjungsekar terasa sakit. Beberapa saat kemudian, ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang elok parasnya. Lalu, bayi itu didekapnya dengan penuh kasih saying. Karena anak itu lahir di tengah laut, Tunjungsekar memberinya nama Raden Sagara. Menurut istilah Madura, sagara berarti laut” Tidak lama kemudian rakit yang membawa Tunjungsekar menepi dan mendarat di Pulau yang masih sepi. Mereka tidak menjumpai manusia satupun. Kejadian aneh terjadi, tiba-tiba putra Tunjungsekar meloncat ke darat berlari ke sana ke mari. Tubuhnya semakin besar, seperti anak berumur dua tahun. Lalu Raden Sagara dan ibunya menemukan sarang lebah yang berisi madu. Karena mereka menemukan madu di tanah lapang yang luas, tempat itu kemudian diberi nama Madura yang berasal dari kata maddu e ra-ara. Artinya, Madu di tanah dataran. Kelak anak dari Tunnungsekar ini naik takhta sebagai raja yang memerintah Pulau Madura (Imron, 2000:5) Uraian cerita secara eksplisit kita bisa melihat tentang perjuangan seorang perempuan yang sabar, ikhlas dan pantang menyerah. Mulai dari diusir dari rumah, hendak dibunuh, mengalami penderitaan selama berhari-hari di atas laut dalam keadaan hamil. Namun Tungjungsekar tidak pernah mengeluh. Akhirnya dengan kesabaran, ketekunan dia berhasil membawa putranya sebagai putra mahkota kerajaan Madura. Citra bahwa perempuan lebih suka membantu (altruism) tidak terlepas dari stereotipe bahwa perempuan mempunyai sifat yang lembut dan penuh perasaan, sehingga dia berusaha memenuhinya dengan memberikan bantuan dan berkorban. Konsep suka membantu (dermawan) tidak bisa terlepas dengan konsep motherhood. Konsep motherhood adalah salah satu yang termasuk dalam aliran pemikiran gender yang bersifat konservatif. Menurut Mohatta (2007), motherhood adalah pengorbanan yang diberikan seorang ibu kepada orang lain, yang secara khusus ditujukan kepada anak yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
351
dikandungnya selama 9 bulan dan kemudian ia besarkan dengan penuh kasih saying (Lubis, Rissalwan Habdy, 2007: 6). Sementara Binks (2005) menguraikan bahwa motherhood tidak hanya menyangkut hubungan ibu dengan anak, tetapi juga terkait dengan penilaian seorang ibu terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap masyarakat. Artinya, konsep motherhood tidak hanya mencakup ranah domestik bagi perempuan, tetapi juga mencakup ranah publik (politik). Kompas, dalam pemberitaan tentang politisi perempuan, juga menggambarkan bahwa politisi perempuan digambarkan mempunyai konsep motherhood (suka berkorban dan dermawan) (Lubis, Rissalwan Habdy, 2007: 6). Peran Domestik Menurut catatan VOC tanggal 15 September diceritakan bahwa perempuan Madura juga ikut berperang. (Catatan VOC Daghregister tanggal 15 September 1624 dalam http://www.lontarmadura.com) “Orang Madura nyatanya bukan hanya laki-laki yang ikut berperang, akan tetapi perempuan pun ikut berperang dan peperangan tersebut tidak kalah dari laki-laki.Apabila ada laki-laki yang luka dibagian punggungnya, maka oleh tentara wanita dibunuh sekalian, sebab dibagian punggung tersebut menunjukkan laki-laki tersebut melarikan diri dari peperangan yang kemudian dikejar oleh musuh sampai berhasil dilukai. Akan tetapi bila lukanya dibagian depan, maka oleh para wanita Madura segera di obati, karena luka yang demikian menunjukkan bahwa luka yang diakibatkan dari pertempuran yang berhadap-hadapan“(Catatan VOC Daghregister tanggal 15 September 1624 dalam http://www.lontarmadura.com) Dari kutipan di atas terlihat bahwa perempuan Madura, jika ada laki-laki yang berperang dan luka di bagian depan, akan segera diobati karena itu berarti laki-laki tersebut terluka karena berhadaphadapan. Akan tetapi jika laki-laki tersebut luka di bagian punggung, maka oleh perempuan Madura dibunuh sekalian, karena itu berarti laki-laki tersebut melarikan diri (pengecut) dari peperangan. Dalam kutipan di atas, perempuan Madura mempunyai peran dalam peperangan (baca: politik), namun perannya dalam ranah domestik (memasak dan mengobati yang terluka). Perempuan biasanya ditempatkan pada posisi dan fungsi yang identik dengan peran domestik mereka. Konstruksi sosial yang menyatakan bahwa perempuan itu tugasnya melayani suami dan mengurus anak telah terpatri selama berabad-abad. Konstruksi itu tercipta karena adanya budaya patriarki (= ”aturan laki-laki” atau ”prinsip dominasi laki-laki atas perempuan”) di Indonesia. Jargon itu diuntungkan dengan alasan melayani laki-laki adalah kodratnya perempuan. Pada hakikatnya, tugas melayani tidak memedulikan gender. Perempuan bukan hanya melayani, tetapi suatu saat boleh dilayani laki-laki. Sering muncul jargon ”istri yang baik adalah istri yang melayani suaminya”, tetapi bisakah dan lazimkah keadaannya jika dibalik bahwa ”suami yang baik adalah suami yang melayani istrinya”? Dalam kancah politik, keterlibatan perempuan hanya sebatas ”menuliskan agenda harian”, ”membuatkan kopi”, ”mengetikkan konsep”, ”memesan makanan”, ”menjadi operator telepon”, atau bahkan ” membawakan pakaian ke laundry” kesemua tugas itu diperuntukkan bagi kepentingan politikus laki-laki. Dengan demikian, peranan perempuan di bidang politik memang ”hanya menjadi pelayan lakilaki”. Kedudukan perempuan di kancah politik semestinya harus diubah.Perempuan harus berani bersaing untuk menduduki posisi penting sehingga tidak perlu mengerjakan pekerjaan seperti seorang pelayan (pesuruh).Perempuan harus berubah peran sebagai pengambil keputusan dan bukan sebagai pelaksana keputusan. Jangan ada lagi perempuan yang dijadikan budak (pelayan politik), tetapi perempuan harus menjadi pelaku politik (Kurniasari, 2010) Setia, Rela Berkorban dan Sangat Mencintai Suami Ada kerajaan antara Bangkalan dan Sampang yang diperintah oleh seorang raja.Raja ini bernama Bidarba.Bidarba mempunyai patih yang sangat licik bernama Bangsapati, Namun, baginda juga mempunyai bawahan yang sangat setia dan penurut bernama Bangsacara.Sang Raja mempunyai 7 putri yang semuanya cantik.Enam putrinya semuanya cantik-cantik. Namun ada 1 putrinya yang sakit kudis,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
352
cacar dan mengeluarkan bau amis dan tidak sedap. Putri tersebut bernama Ragapadmi.Atas desakan patih yang licik yaitu Bangsapati, putri ini diasingkan bersama dengan Bangsacara (bawahan raja yang patuh) ke sebuah desa . Akhirnya Bangsacara berhasil menyembuhkan sakit sang putri. Mereka saling jatuh cinta . (Sasra, Moh Hasan) Sang patih yang licik ini hendak merebut Ragapadmi dan membunuh Bangsacara. Akhirnya dia mencari tipu muslihat. Dia memerintahkan Bangsacara untuk mencari kambing sebanyak 300 ekor di sebuah pulau yang bernama Pulau Kambing (Pulau Mandangin).Bangsacara hampir berhasil mengumpulkan 300 kambing, namun tiba-tiba patih Bangsapati menikam Bangsapati hingga tewas. Mengetahui kalau suaminya , Ragapadmi meloncat mendekap jenazah Bangsacara dan mengenai kerisnya. Akhirnya Ragapadmi tewas juga. Jenazah keduanya dimakamkan di Pulau Kambing atau sekarang lebih dikenal dengan Pulau Mandangin (Sasra, Moh Hasan) Dalam kutipan-kutipan sastra dan budaya Jawa dan Madura, perempuan dituntut berkorban, bahkan suami yang telah meninggal pun harus menuntut pengorbanan perempuan (Kurniasari,2010). ‘yen mungguling wanudya/ kang linuwih iku/ wanudya kang patibrata/ lan kang becik suwarnanira upami/ tegese patibrata// ‘yen lakine amilu mati/ nora mati asuduka jiawa/ ta kuwu ing setrane/ yeka kawala lamun/lakinipun tumekeng pati/tan karsa karma liyan/ tumetra ing lampu/ yeka dyah kapatibrata/ sedya tumut mring delahan wong kekalih/ tembe kanthena asta/ Terjemahannnya Adapun bagi perempuan/ yang dinilai lebih ialah/ perempuan yang patibrata/ dan yang tampan wajahnya/ arti patibrata// Bila suaminya meninggal dia ikut mati/ bukan mati dengan bunuh diri/ ataupun berpondok di makam/ itu hanya berarti, bila/ suaminya sampai pada ajal/ dia tidak mau menikah dengan orang lain/ sampai ia mati/ itupun perempuan patibrata, berhasrat ikut sampai ke akherat, berdua mereka/ nanti akan bergandengan tangan// Dari isi serat di atas, terdapat dominasi laki-laki terhadap perempuan.Perempuan dituntut untuk berkorban bila suaminya meninggalpun dia tidak boleh menikah lagi. Berbicara tentang tradisi Madura berarti juga berbicara budaya Jawa. Budaya dan tradisi keraton (priyayi, bangsawan) sangat mendominasi. SIMPULAN Dalam khasanah sastra dan sejarah Madura, perempuan Madura masih diposisikan termarginalkan dalam dunia politik. Hal ini terlihat dari peran dan posisi perempuan dalam sejarah Madura tersebut. Ke depannya, menurut penulis, keadaan perempuan Madura masih akan berada dalam kungkungan dominasi budaya patriarkhi yang tetap menganggap perempuan sebagai second class. Kedepannya, posisi perempuan dalam dunia politik masih termarginalkan, karena perempuan dalam dunia politik, bukan pengambil keputusan tapi penerima dan pengikut keputusan yang diambil oleh laki-laki. DAFTAR PUSTAKA Braden, Maria. (1996). Womens Politicians and The Media.United States of America: University Press of Kentucky Eriyanto.(2001). Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS http://lse.ac.uk, akses tanggal 29 Maret 2010). Imron, D, Zawawi. (2000). Cerita Rakyat Dari Madura, Jakarta:PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Kurniasari, Netty Dyah. (2010). Gambaran Politisi Perempuan di Media. Surabaya: Universitas Airlangga Kompas online, “Sssssttt. Politikus Perempuan Lebih Patuh Aturan’, Jumat 29 Januari 2010).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
353
Wanita Madura, Pejuang Segala Jaman | Lontar Madurahttp://www.lontarmadura.com/wanita-madurapejuang-segala-jaman-2/#ixzz3oIZ1yEBo Lubis, Rissalwan Habdy. (2007). Motherhood Sebagai Landasan Kedermawanan Sosial Perempuan. (Sebuah Perspektif Pemberdayaan Perempuan Berbasis Komunitas). Jakarta: Sasra, Moh Hasan dalamhttp://madurese.lib.uiowa.edu/pdftranscripts/mvp016bangsatxtindo.pdf Portal Madura.com, Senin 15 Desember 2015” Wow, Dua Wanita di Madura Masuk Kategori Istri Pejabat Cantik di Indonesia” Wicaksono, Bayu Adi dan Dody Handoko, 2015 dalam http://www.lontarmadura.com/ratu-ibu-tangispanjang-seorang-ibu-sampai-wafat/#ixzz3oFKcv0Qj
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
354
64 REPRESENTASI ALAM NERAKA DALAM WEBTOON SINGWA HAMKKIE Roh Jung Ju Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Abstrak: Sastra dapat mencerminkan identitas kebangsaan dan kemanusiaan. Saat ini, berbagai genre sastra yang baru termuncul sesuai dengan era teknologi komunikasi. Webtoon (World Wide Web+Cartoon) merupakan sebuah genre komik yang baru Korea, hasil gabungan jaringan komunikasi dengan akses individu ke komputer. Webtoon ini sudah masuk ke beberapa negara, termasuk Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai konten baru yang menunjukkan budaya Korea. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan budaya tradisional Korea, khususnya gambaran bentuk neraka dalam webtoon Singwa Hamkkie (With God), dengan mengkaji semiotik cerita. Peristiwa cerita dalam Singwa Hamkkie (With God) menggali kepercayaan alam neraka dalam masyarakat Korea, yaitu budaya tradisional Korea. Dengan analisis semiotik, Singwa Hamkkie mewakili budaya tradisional Korea dan menunjukkan sebuah basis yang benar. Berdasarkan penelitian ini, konten baru Singwa Hamkkie pada webtoon mampu menjadi sebuah pedoman budaya tradisional Korea bagi para orang luar Korea. Kata Kunci: Webtoon, Budaya Tradisional, Korea, Neraka
PENDAHULUAN Webtoon (World Wide Web Cartoon) merupakan sebuah genre komik Korea, yang saat ini mudah diakses melalui website atau smartphone oleh masyarakat Korea. Naver, salah satu perusahaan internet portal site di Korea, mengekspor Line Webtoon sejak 2013 ke berbagai negeri, seperti Amerika, Eropa, Jepang, Thiland, dan Indonesia. Bisnis meluas sehingga karya-karya diterjemahkan tidak hanya dalam bahasa inggris, tetapi juga bahasa Tionghoa, Thailand, dan Indonesia. Menurut Nurgiyantoro (2005: 409) komik dapat dikategorikan sebagai kesusastraan populer yang memiliki keunikan tersendiri karena berupa gambar-gambar. Fungsi kata-kata tersebut menjelaskan, melengkapi, dan memperdalam penyampaian gambar dan teks secara keseluruhan sehingga gambar dan kata erat dan padu sebagai kesatuan. Kata-kata biasanya ditampilkan dalam gelembung-gelembung yang dikreasikan sedemikian rupa sehingga serasi dengan gambar-gambar. Balon-balon teks itu dapat berupa ujaran atau pikiran dan perasaan tokoh. Webtoon Singwa Hamkkie karya Ju Ho Min adalah sebuah bentuk omnibus berisi tiga serial, yaitu Serial Dunia Akhirat, Serial Duniawi, dan Serial Alam Mitologi. Sejak 8 Januari 2010, mulai terbit serial Dunia Akhirat dalam dua kali seminggu sampai 7 Oktober di webtoon Naver. Secara umum, webtoon Serial Dunia Akhirat dalam Singwa Hamkkie mengambil setting Dunia Akhirat, yang terkait dengan kepercayaan tradisional serta mitos Korea. Meski berlatar dunia akhirat dan berisi cerita serius, permasalahan tokoh dengan dunia akhirat dimodernisasi dengan penggunaan teknologi, seperti ponsel dan remot, serta transportasi. Karakter digambarkan jenaka, bahkan raja-raja neraka ditampilkan seperti manusia dan senang bercanda. Unsur-unsur tersebut meringankan cerita perjalanan alam akhirat dan memudahkan pembaca memahami kepercayaan tradisional Korea. Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini melihat bagaimana sebuah dunia neraka digambarkan dan direpresentasikan dalam webtoon Shingwa Hamkki oleh Ju Ho Min dan bagaimana nilai moral dipercayai masyarakat Korea.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
355
METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deksriptif dengan analisis sosiologi sastra Wellek dan Warren. Menurut Wellek dan Warren (1993: 111), sosiologi sastra memberikan tiga kemungkinan utama dalam analisis, yaitu (a) analisis sosiologi pengarang yaitu mempermasalahkan status sosial, ideologi politik, dan lain-lainnya menyangkut diri pengarang, (b) analisis karya sastra itu sendiri yaitu mempermasalahkan suatu karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok telaah adalah apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan, dan (c) analisis pembaca yaitu mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap masyarakat. Dalam penelitian ini, kajian sosiologi sastra difokuskan pada analisis karya sastra itu sendiri, komik Singwa Hamkki. PEMBAHASAN Kepercayaan Alam Akhirat serta Neraka dalam Korea Serial pertama Singwa Hamkkie ini bercerita tentang dua peristiwa utama. Pertama, kehidupan tiga Jeoseungsaja (the angel of death) bernama Hewonmek, Lee Deok Chun, dan ketua Kang Lim, dalam mencari hantu dendam kesumat dan menyelesaikan permasalahan. Kedua, perjalanan Kim Ja Hong dan Jin Gi Han. Setelah mengantarkan Kim Ja Hong sampai ke Chogunmun (pintu masuk dunia akhirat), ketiga Jeoseungsaja pulang ke dunia untuk mengangkat orang yang meninggal. Tokoh utama Kim Ja Hong, yang mengalami tujuh pengadilan neraka selama empat puluh hari di dunia akhirat setelah meninggal, kemudian bertemu dengan Jin Gi Han, pengacara untuk membantu pengadilan selanjutnya. Dalam makalah ini, penulis membatasi perjalanan Kim Ja Hong dan Jin Gi Han untuk mengkaji penilaian kejahatan pada setiap pengadilan alam neraka. Konsep alam akhirat tradisional Korea berbeda dengan konsep neraka dari agama Kristen. Dari perspektif Kristen masa kini, tampak kecenderungan untuk memahami dunia setelah kematian dengan hanya membagi ‘neraka’ atau ‘surga’. Kepercayaan ini dipengaruhi perbedaan agama dengan kepercayaan tradisional Korea terhadap dunia setelah kematian atau alam akhirat (Na Hi Ra, 2006: 184). Menurut Lee Gi Seon, meski kepercayaan alam akhirat Korea dibentuk setelah kedatangan agama Buddha, tetapi kepercayaan yang berkembang tidak hanya sama dengan Buddha. Karena itu, dari zaman kuno masyarakat Korea beranggapan langit adalah tempat akar-akar kejiwaan dan tempat kembalian setelah kematian. Artinya, pada masa kuno Korea pun masyarakat memiliki kepercayaan terhadap kehidupan dan kematian sebagai garis perpanjangan yang tidak bisa terpisah (Lee Gi Seon, 1993: 60). Ju Ho Min menyebutkan, sebagian besar setting dunia akhirat diangkat dari upacara Jeju, Siwangmajije (시왕맞이제). Upacara ini merupakan upacara terbesar dalam ritual shaman dan masih diadakan di Pulau Jeju. Dalam upacara tersebut, terdapat sepuluh raja dunia akhirat untuk menilai kejahatan-kejahatan manusia, bahkan menghukum sesuai tindakan kejahatan masing-masing (Lee Gi Seon, 1993: 66). Kepercayaan sepuluh raja akhirat Korea dapat disebutkan sebagai bentuk gabungan kepercayaan shaman tradisional Korea dengan Buddha (Kim Jeong Uk, 2016). Kepercayaan tersebut juga dapat dilihat dari karya Singwa Hamkkie. Representasi Alam Neraka dalam Webtoon Singwa Hamkkie Akhirat berarti tempat kedatangan orang meninggal dunia, sedangkan alam neraka adalah tempat pelaksanaan hukuman sesuai kejahatan. Webtoon Singwa Hamkkie hampir sama dengan konsep Siwangmajije (시왕맞이제) untuk menggambarkan dunia akhirat serta neraka yang memunculkan sepuluh raja neraka di alam akhirat, meski hanya tujuh raja yang terdapat dalam karya ini. Setiap raja akhirat memerintah masing-masing alam neraka, bahkan menghukum seseorang tergantung kejahatan selama hidup sebagai manusia. Pengadilan-pengadilan serta hukuman setiap raja di alam neraka menunjukkan nilai budaya serta etika utama dalam masyarakat Korea. Jenis alam neraka dalam karya ini adalah Neraka Dosan, Neraka Hwatang, Neraka Hanbing, Neraka Geomsu, Neraka Balseol, Neraka Doksa, dan Neraka Geohe. Neraka pertama dan kedua (Neraka Dosan serta Hwatang) diperintah oleh Raja Jinkwang dan Raja Chogang, yang menilai berapa banyak
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
356
sedekah yang diberikan manusia secara jasmani untuk orang lain selama hidup di dunia. Hal ini merepresentasikan tindakan menyumbang atau mengikuti aktivitas sukarelewan. Gambar 1
Dari gambar di atas, pengadilan pertama menjalankan pengadilan kilat sehingga orang yang bersalah atau tidak dilihat dari papan listrik saja. Jika ada orang yang diputuskan bersalah, orang itu langsung dihukum dengan berjalan di atas jembatan berupa pisau selamanya atau dijatuhkan ke dalam kolong api dalam neraka pertama dan kedua. Dari Raja Songje yang memerintah Neraka Hanbing, dapat diketahui bahwa ia menilai manusia berdasarkan tindakan kehormatan kepada orang tua, keharmonisan keluarga, dan kehormatan terhadap tetangga yang tua. Gambar 2
Dari gambar di atas, dapat diketahui bahwa untuk merepresentasikan nilai kehormatan, penulis komik ini menggambarkan lambang X dada orang tua. Hal ini berarti bahwa ada orang yang pernah melakukan tindakan tidak menghormati orang tua. Pelukisan X pada dada orang tua digambarkan melalui perasaan luka, seperti terpaku. Hal tersebut berkaitan dengan pepatah Korea, yaitu “memakukan luka kepada dada orang tua”. Pepatah ini berarti saat anak tidak menuruti orang tua, orang tua terluka atau sedih seperti dipaku dadanya. Ada sebuah timbangan untuk mengukur kejahatan seseorang di Neraka Geumsu, di bawah Raja Okwan. Hal ini direpresentasikan dari gambar seseorang naik ke timbangan, kemudian bermacam-macam batu timbang diletakkan di atas timbangan lain. Batu timbang berkaitan dengan jenis kejahatan dosa orang tersebut. Batu timbang pertama adalah kejahatan pembunuhan, timbang kedua adalah pencurian, timbang ketiga adalah tindakan cabul serta minum keras secara serampangan, dan terakhir dalah kejahatan ucapan kata-kata sembrono. Setelah itu, raja menilai bagian mana yang lebih berat. Kalau bagian yang seorang duduk ini lebih berat, ia akan mendapat hukuman. Setelah tokoh utama melewati keempat neraka, ia sampai di Neraka Balseol di bawahi Raja Yeomgla. Di sini hukuman berupa mencabut lidah terhadap orang yang melakukan tindakan kejahatan mengenai kata-kata selama duniawi dulu. Raja Yeomla sebagai Raja Neraka Balseol melihat sebuah kaca refeleksi yang dapat memperlihatkan semua kejahatan oleh seseorang selama hidup di dunia. Dalam webtoon, hal ini digambarkan dengan monitor komputer.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
357
Tindakan pembunuhan, pencurian, pembegalan, dan penyiksaan dinilai di Neraka Doksa, yang diperintah oleh Raja Byunseong. Hukuman berupa ular berbisa yang melingkari penjahat-penjahat. Hal ini dapat dilihat dari adegan ketika kumpulan penjahat menimbulkan kekacauan, Raja Byungseong menghukum mereka dengan ular berbisa. Perjalanan Kim Ja Hong berakhir ketika Raja Tesan sampai di Neraka Geohe. Jika terjadi kejahatan, badan penjahat akan dipotong dengan gergaji besar. Selain itu, Raja Tesan menentukan pintu untuk orang-orang berdasarkan kejahatan. Di sina terdapat tujuh pintu, yaitu pintu dunia neraka, pintu dunia hantu lapar, pintu dunia binatang, pintu dunia pertengkaran, pintu dunia manusia, pintu dunia surga. Tokoh utama akhirnya masuk ke dalam pintu manusia sehingga akan hidup kembali sebagai manusia. Perjalanan sampai Raja Tesan selama empat puluh sembilan hari merupakan kepercayaan dari Buddha bahwa jiwa pergi berjalan melalui proses yang berlangsung selama empat puluh sembilan hari. Adegan tokoh utama masuk ke pintu dunia manusia menunjukkan pengakhiran empat puluh sembilan hari dan kelahiran kembali. Pengacara Jin Gi Han memberitahu pada bagian awal bahwa Kim Ja Hong harus mengikuti lagi neraka kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh selama tiga tahun lagi apabila tidak melewati neraka ketujuh selama empat puluh sembilan hari. Karya ini hanya mengandung gambaran neraka sampai ketujuh selama empat puluh sembilan hari, bukan tiga tahun, karena kini masyarakat Korea jarang menjaga upacara pemakaman tiga tahun. Nilai Budaya dalam Masyarakat Korea Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Koentjoroningrat (1984: 8-25) mengemukakan bahwa nilai budaya adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya merupakan lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat dalam menentukan seseorang berperikemanusiaan atau tidak. Sehubungan dengan hal di atas, genre baru komik hingwa Hamkki dengan latar konsep pandangan akhirat tradisional Korea yang identik dengan masyarakat Korea, pada akhirnya harus merepresentasikan nilai budaya dengan berbagai macam ciri khas. Nilai budaya direpresentasikan melalui kepercayaan terhadap tujuh raja neraka alam, yang masing-masing menilai kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang selama di dunia. Pandangan baik (moral) dalam karya berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan kepada orang lain, penghormatan dan keharmonis terhadap orang tua, larangan pembuhuhan, pencurian, serta penyiksaan, dan berhati-hati dalam bicara kepada orang lain. Dalam komik, penghormatan kepada orang tua dan berhati-hati dalam bicara tampak paling diutamakan. Dengan demikian, representasi alam neraka dalam karya ini sesuai nilai budaya tradisional Korea serta berkomunikasi dengan masa lampau dan masa kini pembaca. Pengertian ‘kehidupan’ dan ‘kematian’ tidak dapat terlepas sehingga pandangan akhirat mempengaruhi pola pikir hidup, yang dapat mempengaruhi kematian nanti. Komik ini menghubungkan langsung cerita dan gambar dengan etika, norma, nilai budaya serta moral masyarakat Korea. Pandangan akhirat dalam komik ini dikaitkan dengan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini. SIMPULAN Masyarakat adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi komunikasi, pertalian, dan akhirnya saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Hal tersebut dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam suatu golongan karena manusia tidak bisa hidup sendiri. Oleh karena itu, untuk memahami sebuah masyarakat, proses mengetahui nilai budaya masyarakat itu penting. Kehidupan dan kematian itu berhubungan satu sama lain sehingga pandangan kehidupan dan kematian penting untuk memahami sebuah masyarakat masa kini dan masa lalu. Upacara pemakaman dari salah satu upacara sehari-hari Korea masih berbentuk tradisional sampai saat ini. Pengetahuan alam akhirat dapat menjadi perantara penting untuk komunikasi masa lampau dan masa kini. Oleh karena itu, komik ini mengamati bagaimana alam neraka yang dipercayai dalam masyarakat Korea dipresentasikan di genre komik baru ini. Sebagai tambahan, nilai budaya Korea diangkat melalui gambaran alam neraka.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
358
Dengan perluasan dan pertumbuhan pasar internet, webtoon sebagai genre baru komik sastra berpotensi menjadi sebuah jembatan yang dapat menghubungkan dunia kini. Singwa Hamkkie menggabungkan kepercayaan dan nilai masyarakat Korea tradisional dengan penyesuaian nilai dan kehidupan manusia masa kini. Webtoon ini dapat menjadi sebuah alat komunikasi baru untuk menghubungkan negara-negara, khususnya dalam memahami kebudayaan dalam masyarakat Korea. REFERENSI 주호민. (2011). 신과 함께. 애니북스. (Ju Ho Min. 2011. SINGWA HAMKKIE. Anibooks) 김정욱. (2015). 전통문화 교육 자료로서 웹툰의 활용에 대한 고찰. 어문론집, 61, 171-200. 중앙어문학회 (Kim Jeong Uk. 2015. Jeontongmeunhwa Gyuk Jaryuloseo Webtooneui Hwalyongedehan Go Chal. Aeomunlonjib, 61. 171-200. Jungangeuomunhakhe) 나희라. (2006). 고대 한국의 저승관과 지옥관념의 이해, <한국문화>38. 서울대 규장각: 한국학연구원 (Na Hi Ra. 2006. Geode Hankukeui Jeoseungkhwankwa Jiokkhwannyumeui Ihe. Hankukumunhwa, 38. Seoulde Gyujangkak: Hankukhak Yeongguwon) 이기선. (1993). 지옥도. 대원사. (Lee Gi Seon. 1993. Jiokdo. Dewonsa) Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Wellek, Rene dan Austin Warren. (1993). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Sumber Internet: Fauziah, A. 2011. Komik, Kartun, Karikatur. (diakses pada tanggal 25 September 2012).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
359
65 MISI PEMBERADABAN DALAM IKLAN KOMERSIAL TOMS SHOES FOR ONE, ANOTHER DIUNGGAH 21 SEPTEMBER 2015 DI AKUN RESMI TOMS YOUTUBE Rusi Aswidaningrum Novia Adibatus Shofah Melanatus Shelikha Magister Kajian Satra Budaya Universitas Airlangga Abstract: Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana representasi kaum kulit putih dan kaum kulit hitam dalam iklan Toms Shoes edisi For One, Another yang diunggah di Youtube pada 21 September 2015 sehingga dapat diketahui adanya misi pemberadaban yang beroprasi dibalik kegiatan pendonasian sepatu dalam iklan tersebut. Dengan memanfaatkan teori semiotika Rolland Barthes, bagaimana kaum kulit putih dan kulit hitam direpresentasikan dalam iklan tersebut dapat diungkap. Teori poskolonial diterapkan sebagai teori lanjutan untuk membongkar adanya misi pemberadaban di dalam iklan yang merupakan salah satu dari ciri isu poskolonial. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif efektif dengan teknik analisis data semiotika Rolland Barthes yang mengungkap tanda-tanda melalui gambar-gambar visual pada video iklan dan kata atau frasa kalimat dalam judul dan lirik lagu iklan yang mengandung isu poskolonial. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini membuktikan bahwa banyaknya oposisi biner antara kaum kulit hitam dan putih dibalik representasi dalam iklan sehingga dalam pendonasian sepasang sepatu dilatarbelakangi oleh adanya misi pemberadaban yang dilakukan oleh kaum kulit putih yang dinilai lebih superior, beradab, berpengetahuan, dan powerful sehingga mampu merubah kaum kulit hitam untuk menjadi lebih beradab. Namun dibalik misi pemberadaban tersebut secara implisit diungkap bahwa makna yang terkandung dalam iklan adalah kaum kulit putih ingin menguasai kaum kulit hitam secara halus yang merupakan bentuk dari penjajahan di era postmodern. Dengan adanya penelitian ini, pembaca diharapkan agar lebih kritis dan peka dalam memaknai segala bentuk iklan. Kata Kunci: Misi Pemberadaban, Oposisi Biner, Postkolonial, Semiotika.
PENDAHULUAN Berbeda dengan penjajahan di masa modernisme yang selalu berkaitan dengan kekerasan dan perbudakan, penjajahan di jaman pascamodern ini berbentuk halus yakni melalui hegemoni yang disebut dengan postkolonialisme. Menurut Raymond William dalam Hakim (2009), hegemoni menyebarkan ideologi dan budaya dari kelompok dominan. Salah satu iklan terkenal yang dapat dikatakan mengandung isu penjajahan di jaman paska modern atau postkolonial adalah iklan Toms Shoes, salah satu brand sepatu yang terkenal di kalangan remaja di dunia. Berawal dari misi ingin membantu anak-anak kecil di Argentina, Blake Mycosckie, CEO Toms, kemudian melebarkan sayapnya untuk membantu masyarakat Afrika yang tidak mengenal sepatu dan bahkan banyak yang menderita penyakit infeksi telapak kaki karena tidak pernah memakai sepatu. Peneliti mengambil iklan Toms Shoes terbaru yang berjudul For One, Another yang muncul di TV. Iklan komersial tersebut ditayangkan di channel televisi California, Amerika Serikat yang dalam pembuatannya dikerjakan oleh Perusahaan Telekomunikasi AT&T. Iklan ini juga diunggah oleh akun resmi pihak Toms Inc. Melalui akun resmi mereka di Facebook (TOMS), web (www.toms.com), dan Youtube (TOMS) pada tanggal 21 September 2015. Banyaknya jumlah penonton dan penyuka dari video iklan tersebut yang mencapai jumlah 1 juta pada akun youtube dan jumlah penyuka mencapai ribuan pada akun Facebooknya, benar-benar membuat masyarakat percaya bahwa Toms secara suka rela dengan rasa simpati menolong kaum kulit hitam yang membutuhkan. Namun, jika dikritisi lebih dalam, iklan ini dapat
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
360
dikatakan sebagai senjata utama dari perusahaan untuk mendapatkan image sebagai penolong kaum hitam yang kemudian menjadi strategi dalam meluaskan kekuasannya atas kaum kulit hitam melalui produknya. Pada iklan Toms Shoes ini, kaum kulit putih direpresentasikan sebagai penolong kaum kulit hitam dalam memberikan bantuan berupa sepatu kepada masyarakat kulit hitam di Afrika yang belum menggunakan sepatu sebagai kebutuhan dasar mereka. Sesuai dengan jargon yang diusung oleh Toms Shoes yakni For One, Another, pihak perusahaan Toms Shoes menyumbangkan sepasang sepatu dari setiap pembelian produk sepasang sepatu kepada kaum yang membutuhkan. Dalam iklan ini, kaum yang membutuhkan bantuan berupa donasi sepatu digambarkan sebagai kaum kulit hitam yang masih berada dalam keterbelakangan di bidang ekonomi di mana sepatu bukan merupakan kebutuhan utama mereka. Dalam hal ini terlihat jelas bagaimana oposisi biner antara kaum kulit putih sebagai kelas superior dan kaum kulit hitam sebagai kelas inferior yang mencerminkan isu postkolonial yakni Self dan Othering. Selain itu, tidak hanya representasi Self (kulit putih) dan Othering (kulit hitam) yang mendukung adanya isu postkolonialisme dalam iklan ini melainkan juga adanya Civilizing Mission yang juga merupakan ciri postkolonial yang tergambarkan secara implisit dari iklan ini yakni dalam pendonasian sepatu kepada kaum kulit hitam dalam membuat mereka menjadi kaum beradab. Dengan demikian, peneliti memutuskan untuk menganalisis iklan ini berdasarkan isu postkolonialisme untuk melihat representasi kaum kulit putih dan kaum kulit hitam dalam iklan Toms Shoes edisi 21 September 2015. METODE PENELITIAN Secara umum, pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Terdapat dua sumber data yang digunakan yakni sumber pokok dan sumber data pendukung (Faruk, 2012: 40). Pertama, sumber data pokok yang digunakan adalah video iklan Tom Shoes For One, Another edisi 21 September 2015 yang diunggah di akun resmi TOMS-Youtube dan tayang di televisi Channel Kalifornia. Kedua, sumber data pendukung yang digunakan adalah refrensi kepustakaan yang menunjang teori postkolonial dan semiotika Rolland Barthes yang diperoleh dari buku sastra, jurnal online, dan penelitian terdahulu yang relevan. Data yang digunakan yakni gambar-gambar visual dan kata atau frasa ada kalimat yang digunakan dalam judul dan lirik lagu iklan Tom Shoes For One, Another edisi 21 September 2015 yang diunggah di akun resmi TOMS-Youtube. Pemerolehan data didapat melalui menyimak dan mengamati objek penelitian kemudian dianalisis. Metode tersebut disebut dengan metode simak karena peneliti tidak terlibat langsung dalam observasi. Metode analisis data yang digunakan sesuai dengan teori semiotik yakni melalui empat aspek, antara lain pesan linguistik, pesan non kode ikonik, pesan kode ikonik, dan mitos. Pesan linguistik adalah kata-kata yang ada pada video seperti judul, caption, jargon, dan lirik lagu. Pesan ikonik kode adalah pesan simbolis yang memiliki imaji konotatif. Pesan ikonik non-kode adalah maknya nyata dalam suatu gambar tanpa ada symbol apapun. Mitos adalah sitem konotatif representatif yang memuat pemahaman terhadap masa lalu dan cerita-cerita yang tidak didukung oleh bukti-bukti secara jelas misalnya ideologi (Barthes 26-29). PEMBAHASAN Untuk merepresentasikan oposisi biner antara kaum kulit putih dan kulit hitam, maka aspek pertama dalam retorika imaji Rolland Barthes yaitu pesan linguistik seperti pemilihan kata-kata pada judul video iklan yaitu For One, Another. Pemilihan kata-kata pada judul tidak serta merta tanpa alasa karena mengingat bahwa video iklan yang ditayangkan adalah mengenai pendonasian sepatu untuk orang lain. Untuk mendapatkan makna denotasi dari judul tersebut, maka peneliti dirasa perlu menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang artinya Untuk Satu, Sama Lain. Jika dilihat secara kasat mata dan dibaca berulang-ulang, Untuk Satu, Sama Lain adalah adanya keinginan untuk saling berbagi, memberi satu buah atau sesuatu untuk orang atau sesuatu yang lain. Makna konotasi atau kiasan dari judul tersebut adalah adanya kekuasaan dari satu pihak untuk menjadi pemberi dan pihak lainnya menjadi si penerima. Diantara dua pihak tersebut tentu terdapat satu kekuatan yang lebih besar daripada yang lainnya. Dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
361
video iklan ini, dapat diinterpretasi melalui aspek non-coded iconic messsage, yaitu pihak pemberi adalah orang kulit putih sedangkan si penerima adalah kaum kulit hitam. Kaum kulit putih yang telah direpresentasikan sebagai pihak pemberi adalah memiliki kuasa, daya, kemampuan, yang lebih besar daripada kaum kulit hitam. Kaum kulit hitam direpresentasikan tidak memiliki kekuatan, kemampuan, dan daya. Dari pemilihan kata-kata untuk judul, dapat diinterpretasikan bahwa ada oposisi biner yang berjalan yaitu antara kaum kulit putih sebagai pihak superior dan kaum kulit hitam sebagai pihak inferior. Terdapat caption yang tertulis: When you buy a pair of TOMS, you're not just buying a pair of shoes. You're part of a movement that believes that we can change the world with our choices. Buying a pair gives a pair. Watch our commercial to learn more about how we give and head over to TOMS.com to become part of the TOMS tribe. Ketika dianalisa menggunakan pesan linguistik maka dapat diketahui jika perusahaan TOMS dari kaum kulit putih menginformasikan kepada calom pembeli ketika membeli sepasang sepatu maka setelah itu dapat menyumbangkan sepasang sepatu lain untuk kaum yang membutuhkan. Pada kalimat selanjutnya dapat diartikan bahwa si pembeli adalah penggerak perubahan dunia untuk menjadi lebih maju atau modern. Dengan membeli sepasang sepatu maka dapat diartikan bahwa si pembeli sudah ikut berpartisipasi dalam tujuan TOMS untuk memodernkan dunia yang masih belom maju. Untuk meginterpretasi makna yang digambarkan melalui kata-kata pada caption tersebut, peneliti menggunakan aspek pesan kode ikonik. Harga sepasang sepatu TOMS yang mahal hanya dapat dibeli oleh orang yang berekonomi baik dalam hal ini adalah kaum kulit putih. Pembeli digambarkan memiliki kekuatan dalam hal ekonomi yang kemudian dapat diinterpretasi bahwa pembeli tersebut adalah kaum kulit putih yang sudah maju, modern, dan beradab, karena sepatu menurut kaum kulit putih adalah sebagai penunjang fashion, melebihi nilai guna dari sepatu itu sendiri sebagai alas kaki. Sedangkan bagi kaum kulit hitam, nilai guna dari sepatu adalah sebagai alas kaki untuk melindungi kaki dan ternyata masih banyak dari kaum kulit hitam yang belum mampu membeli sepatu karena ekonomi yang rendah. Maka dalam kata-kata di caption tersebut dapat diketahui setelah melakukan interpretasi bahwa pembeli adalah kaum kulit putih yang dapat membantu kaum yang membutuhkan dalam hal ini adalah kulit hitam. Kaum kulih putih sebagai pihak the Self dan superior yang berkemampuan untuk merubah dunia melalui pendonasian sepatu untuk kaum kulit hitam sebagai pihak Othering yang dianggap belum beradab dan modern. Penggambaran tersebut membuktikan adanya isu oposisi biner yang terjadi antara kaum the Self dan the Other. Pemilihan jargon di dalam video iklan pada detik ke 51 yang tertulis With Every Product You Purchase dan pada detik ke 53 tertulis Toms Will Help A Person In Need, juga menunjukkan oposisi biner antara the Self yang direpresentasikan sebagai pihak membantu dan Othering yang direpresentasikan sebagai pihak yang dibantu. Kulit putih direpresentasikan sebagai kaum yang secara ekonomi mampu membeli sepatu Toms yang kemudian didonasikan kepada kaum kulit hitam yang masih membutuhkan bantuan mereka. Hal ini tercermin ketika terdapatnya teks With Every Product You Purchase yang terdapat pada gambar anak-anak kulit putih yang sedang berada di kelas sekolah. Oleh karena mahalnya harga Toms shoes yang mencapai harga ratusan sampai jutaan rupiah, maka hanya kelas sosial yang tinggi saja yang mampu membelinya dan dalam hal ini dicerminkan oleh kaum kulit putih. Sebaliknya, ketika terdapat teks selanjutnya yang menyatakan bahwa Toms Will Help A Person In Need, gambar yang muncul adalah para anak-anak kulit hitam. Hal ini menunjukkan bahwa kulit hitam membutuhkan bantuan dari kulit putih untuk membantu mereka dalam membuat mereka menjadi lebih modern. Pada pergantian gambar diiringi dengan lagu dari The Alternate Routes dengan judul Nothing More. Ketika seorang anak kulit hitam dimunculkan, lirik yang muncul bersamaan adalah To a Stranger dan ketika seorang anak kulit putih yang memakai pakaian indah lengkap dengan sepatu muncul berada pada kamar yang nyaman penuh dengan buku dan mainan, lirik lagu yang muncul adalah To a Friend. Dalam hal ini, terilihat bahwa kulit hitam sebagai signifier memiliki makna signified berupa orang asing dan sementara kulit putih merupakan kawan atau teman sendiri. Dengan adanya banyak buku dan kamar yang nyaman dan bagus, menandakan bahwa kaum kulit putih adalah masyarakat yang berpendidikan dan lebih civilized. Keseluruhan aspek pesan linguistik dari kata-kata dalam judul, caption video iklan, jargon di dalam video iklan, dan lirik musik yang digunakan dapat membuktikan adanya oposisi biner yang terjadi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
362
antara kulit putih sebagai the Self dan kulit hitam sebagai the Other. Ciri dari isu tersebut membuktikan adanya sebuah ideologi yang berjalan, yaitu misi pemberadaban . Itu adalah usaha kaum the Self yang tergambar beradab, berekonomi baik, modern, memiliki kuasa, memiliki misi, untuk memodernisasikan dan membuat kaum kulit hitam menjadi beradab dengan mendonasikan sepasang sepatu hitam yang seragam. Sepatu yang didonasikan adalah yang berwarna hitam dan tidak memiliki warna ataupun motif lain, sehingga seragam. Namun tidak hanya aspek pesan linguistik saja yang membuktikan adanya oposisi biner, pada aspek non-pesan kode ikonik juga menunjukkan kaum kulit putih sebagai the Self dan kaum kulit hitam sebagai the Other. Untuk mengetahui isu oposisi biner yang terjadi di dalam video iklan tersebut, maka peneliti menganalisis malalui aspek pesan non kode ikonik, yaitu sesuatu yang nampak secara visual, yaitu pada sudut pengambilan kamera, pose model di dalam video, dan setting video. Melalui aspek tersebut dapat diungkap makna dibalik sudut pengambilan gambar ketika dihadapkan model dari kaum kulit putih dan model dari kaum kulit hitam, kemudian tempat yang dijadikan latar dari video tersebut, suasana, maupun pencahayaan dari pengambilan gambar dalam video iklan for One, Another akan nampak bagaiamana the Self dan Othering berjalan. Pada pengambilan gambar, kulit putih direpresentasikan berada di tengah kota yang merupakan sentra industri dan hal ini mencerminkan kemajuan masyarakat kota sebagai ciri manusia yang selalu berkembang. Para remaja kulit putih sedang bersenang-senang dengan teman sesama kulit putihnya di jalan tengah kota dengan menggunakan pakaian, kacamata, dan sepatu yang bergaya. Sebuah keluarga kulit putih juga direpresentasikan sedang berada dirumah yang aman, mereka memakai pakaian dan sepatu yang lengkap meski berada di dalam rumah. Sementara itu, kaum kulit hitam direpresentasikan lebih dekat dengan alam yakni masih tinggal dengan menggantungkan diri dengan alam terlihat ketika para remaja di desa bermain sepak bola dengan kaki telanjang di lapangan yang dikelilingi oleh pepohonan. Hal ini mencerminkan bahwa kulit putih memiliki makna signified sebagai manusia yang sempurna yakni memakai pakaian dan sepatu lengkap berada ditengah kota layaknya manusia, sementara kulit hitam memiliki makna signified yakni seperti binatang yang bertelanjang kaki dan dekat dengan alam. Dari sudut pengambilan gambar pun juga demikian mencerminkan penggambaran yang kontras antara posisi kulit putih dan hitam. Menurut Ming dalam artikelnya, jika sudut pengambilan kamera berada pada straight dan low angel, hal ini berarti bahwa posisi objek pada gambar berada pada posisi tinggi, berwibawa, dan superior. Hal ini terlihat ketika mengambil gambar keluarga kulit putih menggunakan low angel yang merepresentasikan bahwa kulit putih memiliki posisi sosial yang tinggi, berwibawa, memiliki kuasa, dan gagah. Sebaliknya, ketika mengambil gambar remaja kulit hitam di desa digunakan efek high angel untuk menunjukkan kehinaan, posisi yang rendah dan lemah, yang mencerminkan inferioritas kaum kulit hitam. Tergambarkan juga perbedaan fungsi dalam pemakaian sepatu. Remaja kulit putih menggunakan sepatu sudah ke tahap sebagai fashion, digambarkan dengan seorang remaja lelaki bermain skaetboard di daerah perkotaan. Para orang dewasa kulit putih lainnya juga digambarkan memakai sepatu dengan berbagai model dan warna untuk bergaya dalam setting tempat yang sudah modern yakni berubin dan berada dalam ruangan yang bagus. Sementara itu, anak-anak kulit hitam masih menggunakannya sebagai kebutuhan dasar untuk bersekolah dan itupun dibantu oleh kaum kulit putih yang mendonasikan sepatu kepada mereka. Jika kulit putih menggunakan sepatu dengan warna dan model yang berbeda-beda, kulit hitam semua menggunakan sepatu berwarna hitam yang diseragamkan. Kaum kulit hitam juga masih menginjak jalanan yang penuh dengan kerikil dan bebatuan yang mencerminkan belum modern. Dalam hal pemakaian kacamata juga demikian. Jika kulit putih menggunakan kacamata sebagai fashion, kulit hitam masih dalam tahap fungsi dasar yakni sebagai pembantu penglihatan dan itupun ditolong oleh kaum kulit putih yang memeriksakan dia ke dokter. Hal ini mencerminkan kulit hitam sebagai kaum uncivilized yang sedang dalam proses dicivilizedkan oleh kaum kulit putih dan kulit putih sebagai kaum civilized. Oleh karena pemaknaan pesan linguistik dan pesan non kode ikonik telah dijelaskan melalui teori retorika imaji di atas, maka selanjutnya dijelaskan untuk mengetahui penafsiran mitos dari hasil retorika imaji untuk mengetahui ideologi yang tersembunyi dalam video iklan tersebut. Teori dari Franz Fanon yang berbicara mengenai Misi pemberadaban dianggap sesuai untuk membedah mitos atau ideologi yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
363
diusung iklan Toms. Pemberian bantuan berupa donasi sepatu menunjukkan adanya upaya untuk memodernisasikan kaum kulit hitam yang belum menggunakan sepatu atau yang belum beradab. Karena kaum kulit putih mendefinisikan diri mereka beradab yakni dengan memakai pakaian lengkap dan rapi, maka kulit hitam yang belum menggunakan sepatu dianggap belum beradab karena seperti hewan tidak memakai alas kaki. Dalam hal ini, Fanon mengatakan munculah keinginan dari kulit putih untuk menjadikan kulit hitam lebih modern sehingga dapat beradab (civilized) seperti mereka, proses ini disebut dengan Misi pemberadaban. Misi pemberadaban merupakan upaya dari kaum kulit putih untuk menutupi masa lalu kaum kulit hitam yang memalukan yakni terjajah dengan segala bentuk dampaknya yang sampai sekarang masih terlihat untuk lebih maju dan modern seperti mereka (Achebe dalam Aschroft et. al, 2003:57). Oleh karena dampak penjajah yang menyebabkan kaum kulit hitam menjadi terbelakang dalam segala bidang, dalam hal ini kulit putih berusaha untuk mencivilizekan mereka. Sehingga dalam misi pemberadaban ini, kaum kulit putih sedang melakukan penjajahan atas kaum kulit hitam dengan cara membantu mereka untuk lebih beradab. Dengan merasa dibantu oleh kaum kulit putih, maka kulit hitam akan semakin menggantungkan nasib mereka kepada kulit putih yang memiliki power untuk merubah mereka menuju modernisasi. Oleh karena hegemoni bekerja secara halus, maka tanpa disadari oleh para kaum kulit hitam bahwa mereka sebenarnya tidak ditolong oleh kaum kulit putih melainkan sedang dijajah untuk dikuasai dalam bentuk yang ramah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa makna yang dapat diungkap dari iklan Toms shoes ini adalah adanya penjajahan halus yang dilakukan kaum kulit putih untuk mendominasi kaum kulit hitam melalui pemberian donasi berupa sepatu. SIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa penjajahan sampai saat ini masih terjadi namun secara halus masih yakni berbentuk hegemony yang sering terkandung secara implisit pada media masa. Salah satunya yakni dalam iklan Toms Shoes yang terkuak bahwa dibalik misi pendonasian dana ternyata hanyalah bentuk penguasaan atas kaum kulit hitam yang diberikan bantuan donasi sepatu. Harga yang relatif mahal secara implisit mengindikasikan hanya masyarakat kelas atas yang mampu membeli dan mendonasikan sepatu untuk kaum kulit hitam. Masyarakat pemberi donasi digambarkan sebagai kaum kulit putih. Namun, jika diaplikasikan pada kondisi sosial di Indonesia, dengan membeli sepatu Toms Shoes, masyarakat Indonesia tidak melulu dapat disebut dengan masyarakat kelas atas karena tetap saja konsep Self and Othering berlaku dimana masyarakat Indonesia menempati posisi the Other. DAFTAR PUSTAKA Ashcroft, Bill et. al. (2003). The Post-colonial Studies Reader. New York: Routledge. Babha, Homi. K. (1994). The Location of Culture. London: Redwood Books. Barthes, Rolland. (2010). Imaji Musik Teks. Jogyakarta: Jalasutra. Sumber Terjemahan: Roland Barthes, Image/Music/Text; Essay Selected And Translated By Stephen Heath (London:Fortana Press, 1990). Barthes, Rolland. (1973). Mythologies. London: Paladin. Faruk. (2012). Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Mack, Natasha, et al . (2005). Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. USA: Family Health International Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Maknya. Jogjakarta: Jalasutra. Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rubido, Dadang. (2009). Pemaknaan Sistem Tanda Pada Iklan Partai Politik di Televisi Kajian Semiotika dan Pragmatik. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya: FIB Unair.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
364
PENDIDIKAN
66 FROM CLASSROOM TO WORKROOM: TRANSLATION STUDENTS’ CHALLENGES IN GLOBALIZED BUSINESS COMMUNICATION Asrofin Nur Kholifah Jenderal Soedirman University Abstract: The aim of this paper is to explore the relation of intercultural business communication and translation. Globalized communication and translation are inevitable bound since translator acts as mediator to bridge communication gap in terms of culture and language as well. Furthermore, the phenomenal growth of international trade, the advances of technology and the internet as well as the mobility and the diversity of the international labor force have all contributed to the popularity of the field of intercultural business communication in recent years. The rapid grow of international business communication has emphasized the fact that sensitivity to the variety of cultural differences is an important determinant for success in the contemporary competitive business fields. Accordingly, translation students who commit themselves in business communication necessarily equip themselves with adequate and appropriate competences. They try to acquire a basic understanding of business economics, business law, microand macro-economics as well as basic translation and writing skills. Moreover, students have to stay up-to-date with current world events as well as think critically how these are interrelated with each other. As a matter of fact, in contrast, students are often trapped in performing ‘word-for-word’ translation instead of producing functional translation. They frequently still stick to source language structure both culturally and grammatically which results in a ‘less communicative’ translation. Thus several competences are necessarily required to face global competitiveness as professional translators as explained in this discussion. Keywords: translation students, business translation, translator competences.
INTRODUCTION Phenomenal growth of international trade, the advances of technology and the internet as well as the mobility and the diversity of the international labor force have all contributed to the popularity of the field of intercultural business communication in recent years. Business world across nations demands people to understand other culture. The differences in rules and values should be taken into account to conduct communication. One perceiving on one thing might be differently delivered among people. Thus, understanding other’s values as well as rules in certain communities would contribute to the successful interaction among people across countries. The rapid growth of international business communication has emphasized the fact that sensitivity to the variety of cultural differences is an important determinant for success in the contemporary competitive business fields. Andhere lies the contribution of the translator who acts as the person who helpspeople from different cultural and linguistic groups to share knowledge and ideas. As Torop (2002:593) observes,translation and culture are inextricably bound since translation is embedded in the particular sociocultural context ofa given language. It is through translation, a multi lingual conversation could possibly happen in business fields and those who are engaging conversation in business-oriented ones yet experiencing language gap requires the role of translators to come into scene. Translators serve as mediators who fill the cultural as well as linguistic gaps among participants. To be specific in business context, the translation is considerably significant in determining the success of the communication. Communication is vital part in business since the intended message must be accurately and effectively conveyed to the customers. Consequently, translators have to comprehend both linguistic and nonlinguistic elements during transferring message to the customers. As Panou (2012: 140) stated that a successful business translation will enable prospective buyers to understand the technicalities
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
365
of the product and probablyincrease sales for the company. Hence, business communication can be significantly improved if the translator focuses on understanding and appreciating intercultural differences. Of course, business translation is a multi-faceted procedure and not a mere code-switching repetitive process since parameters such as time and cost play a significant role. More often than not, translators are required to produce translations under temporal constraints. DISCUSSION This part of the paper will be focusing on how to observe translation studies in classroom context, translation in actual setting as challenges and then come up with several translator competences in globalized business communication. Translation in classroom context Translation studies is given in the class room in the form of several subjects. It starts with the basic concepts of translation which is aimed at providing understanding for the students about what scope and how broad this studies is. Here, the translation students are given several concepts on translation such as process of translation, strategies of translations, translator’s competences, and translation quality assessment. Process of translation is provided in order that students understand what stages that a translator takes in performing their task while strategies of translation cover several techniques as well as methods translator needs to consider while transferring message from source language into target language. The fact that the use of terminologies on these terms vary (strategies, methods and techniques) is also explained to get a better and holistic understanding. Then, translation quality assessment here is given by explaining several parameters used to measure quality of translation. It, basically, includes accuracy, acceptability and readability. The last one is translator’s competences describe what competences a translator should have to reach a good translation quality as well as to be a professional translator. This would be explained in details in separate part from this paper. Furthermore, students perform translation practices in various level; word, phrase, clause, sentence, paragraph and finally text. This different unit of analysis is given so that they know how to break down from micro unit of text to the macro one. Several exercises are given in terms of various text type and genres. In some sessions, they should identify the sentence elements and in some other sessions, they have to translate a text by considering some important elements of text such as text structure, social purpose and technical terms. In particular, looking at business translation from the student’s perspective, it could be argued that the majority ofthem tries to acquire a basic understanding of business economics, business law, micro- and macro-economics aswell as basic translation and writing skills. Perhaps the most distinguishing feature that seems to characterize allpotential translators is their acknowledgement that business English, and consequently, business translation, is adifficult area to handle. Why is this case? The answer is quite straight forward. Not only do students have to stay up-to-date with current world events but they also have to think critically how these are interrelated with each other (Panou, 2012: 140). However, most students often fell trapped or even unable to escape from word-for-word translation. They often neglect the intended or implied meaning of the text. Instead, literal translation are type that is mostly applied by the students to translate any kind of text. Consequently, the real message frequently remained incorrectly delivered. Translation in actual setting as challenges Translation in actual setting considerably challenging for students. Once they committed themselves in business translation, they have to be ready with the high dynamic of business field; the updated information, how the latest situation brings about economic impacts on certain countries along with the specific demands of companies. Professional translators are needed to transfer information between companies. The translator’s work is not limited to only converting one language to another. To attract more businesses, the translator must present something that is nice, original and competitive in price. Other than fighting cut-throat prices with other competitors, a translator should use his or her
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
366
professionalism to convince the client to give his business to him. Even, an official online translation services, www.translationbase.com, proposes that some professionalism conditions a translator must have are as followed: 1. Ethical. This is the most important code of conduct that a translator must have. Translators often come across confidential information such as business plan, marketing strategy or a new invention. They should never use this information to harm the client. By being honest and loyal, translators can build trust with their clients and thus help establish their careers and future. The translators should never accept translation work beyond their capacity. By over promise and under-deliver, it will only ruin their careers in the translation industry. 2. Efficient in language translation. To be able to convey the message correctly and efficiently, translators need to master the source and target languages. A good professional translator will be able to translate the business documents to its native language or equivalent. They will also need to be familiar with the topic or field being translated so as to translate more accurately. 3. Always willing to learn. Translators need to have the capacity and always ready to adapt to any changes in the fast-moving technological world. They should also be well-versed with modern communication tools such as instant messenger and computers. The last thing that professional translators should think about is to stop learning. Likewise, PACTE group (2005) identified distinguishing features of translator competencesinto several sub competences which is illustrated in the following figure.
Figure 1. Translation competence proposed by PACTE group (2005) The bilingual sub-competence is made up of pragmatic, socio-linguistic, textual andlexicalgrammatical knowledge in each language. The extra-linguistic sub-competenceis made up of encyclopaedic, thematic and bicultural knowledge. The translationknowledge sub-competence is knowledge of the principles that guide translation (processes, methods and procedures, etc.) and the profession (types of translationbriefs, users, etc.). The instrumental sub-competence is made up of knowledge relatedto the use of documentation sources and information technologies applied to translation.The strategic sub-competence is the most important, as it is responsible forsolving problems and the efficiency of the process. It intervenes by planning the processin relation to the translation project, evaluating the process and partial resultsobtained, activating the different sub-competencies and compensating for deficiencies, identifying translation problems and applying procedures to solve them. The psycho-physiological components are cognitive and behavioural (memory, attentionspan, perseverance, critical mind, etc.) and psychomotor mechanisms.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
367
It is obvious then that translation students who become professional translator in business communication should meet those requirements. The gap occurs between what they obtain in the class room opposed to what business world demands must be urgently answered. In regards to this,However, Svendsen points out (2001:41) that these difficulties can be overcome with “closer-to-real-life” exam assignments where students provide explanations about their choices of terminology, style, structure and critically discuss various aspects of the texts to be translated. Apart from critical thinking, translators must also have a firm knowledge of the conditions in both the countries of the source and target language as well as confidence to support their choices by watching attentively current developments in international business and combining theory with practice. CONCLUSION The rapid growth of international business communication has emphasized the fact that sensitivity to the variety of cultural differences is an important determinant for success in the contemporary competitive business fields. Accordingly, translation students who commit themselves in business communication necessarily equip themselves with adequate and appropriate competences. They try to acquire a basic understanding of business economics, business law, micro- and macro-economic as well as basic translation and writing skills. Moreover, students have to stay up-to-date with current world events as well as think critically how these are interrelated with each other. As a matter of fact, in contrast, students are often trapped in performing ‘word-for-word’ translation instead of producing functional translation. They frequently still stick to source language structure both culturally and grammatically which results in a ‘less communicative’ translation. In contrast, translation in actual setting is highly demanding. A professional translator should equip themselves with adequate skills in performing their task, including ethical, efficient in language translation and even always willing to learn. Moreover PACTE proposed a more detailed competences a translator must have which cover bilingual, extra linguistic, translation knowledge, strategic, instrumental and psycho-physiological competence. To meet the gaps, hence, a closer-to-real life assignment for students is considerably provided where students provide explanations about their choices of terminology, style, structure and criticallydiscuss various aspects of the texts to be translated. REFERENCES: Hatim, Basil & Mason, Ian. (1997). The translator as communicator. New York. Routledge http://www.translatorsbase.com/articles/1104.aspx. Accessed on April 24, 2016 PACTE group. (2005). Investigating translation competence: conceptual and methodological issues. Meta L (2), 609-619. Panou, Despoina. (2012). Intercultural business and translation: A 3-dimensional approach. English Linguistic Research1(2), 138-144. doi: 10.5430/elr.v1n2p138 Svendsen, (2001). Economic translation – how to put theory into practice. In Proceedings from the FirstInternational Conference on Specialized Translation (pp.39-41). Universitat Pompeu Fabra, Barcelona 2-4 March2000. Universitat Pompeu Frabra. Torop, P. (2002). Translation as translating as culture. Sign System Studies 30(2), 593-605.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
368
67 MENGKRITISI KONTRIBUSI MATAKULIAH BAHASA INDONESIA DALAM MENUNJANG PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA Agustinus Indradi Universitas Katolik Widya Karya Malang ABSTRAK: Pada saat ini, mata kuliah (MK) Bahasa Indonesia merupakan MK wajib bagi mahasiswa program diploma dan sarjana. Karena bersifat umum dan wajib, maka MK Bahasa Indonesia saat ini sering disebut sebagai MKWU (Mata Kuliah Wajib Umum). Namun sayangnya, MK Bahasa Indonesia masih sering dianggap belum mampu menunjukkan peran dan fungsinya secara maksimal. Memamg materi pembelajaran MK Bahasa Indonesia dalam buku ajar yang selama ini beredar tampak masih terlalu banyak mengajarkan teori tentang bahasa dan teori menulis, bukan tentang ajakan untuk aktif menulis. Oleh karena itu, paparan berikut ini bertujuan mencari alternatif model materi pembelajaran yang diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi peningkatan kemampuan mahasiswa dalam menulis, khususnya menulis karya ilmiah. Kata kunci: materi pembelajaran, MK Bahasa Indonesia, membaca, menulis, karya ilmiah
PENDAHULUAN Surat Dirjen Dikti Nomor 152/E/T/2012 perihal Publikasi Karya Ilmiah yang ditujukan kepada segenap pimpinan perguruan tinggi mendapat tanggapan yang beragam di kalangan mereka. Isi surat tersebut adalah mewajibkan kepada lulusan perguruan tinggi mulai Agustus 2012 untuk memublikasikan hasil tugas akhirnya di jurnal ilmiah. Mahasiswa program Sarjana harus memublikasikan pada jurnal ilmiah, program Magister pada jurnal nasional terakreditasi, dan program Doktor pada jurnal internasional. Terkait dengan kebijakan tersebut, ada pimpinan perguruan tinggi yang langsung mendukung, tetapi tidak sedikit pula yang berkilah dengan berbagai alasan, yang salah satunya dianggap terlalu memberatkan mahasiswa. Artinya, ada perguruan tinggi yang langsung menerapkannya, tetapi banyak pula perguruan tinggi yang belum mau menerapkan kebijakan tersebut. Kebijakan Dirjen Dikti tersebut dilandasi alasan bahwa jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi di Indonesia masih rendah. Melihat kondisi tersebut sebagian orang meresponnya dengan cara mengaitkan kontribusi mata kuliah (MK) Bahasa Indonesia terkait dengan minimnya hasil karya tulis lulusan perguruan tinggi yang bisa dipublikasikan. Padahal, kalau setiap lulusan perguruan tinggi yang telah menyelesaikan penyusunan tugas akhir, seharusnya juga bisa menghasilkan artikel ilmiah minimal sejumlah lulusan tersebut. Hal ini terjadi tentu karena berbagai alasan. Pada saat ini MK Bahasa Indonesia merupakan MK wajib bagi setiap mahasiswa di program diploma dan sarjana, apa pun program studinya. Adapun secara umum tujuan perkuliahan Bahasa Indonesia adalah membantu mahasiswa untuk mampu mengomunikasikan hasil pemikirannya, terutama dalam bentuk tulis. Kalau sampai saat ini kemampuan menulis mahasiswa masih rendah, kiranya perlu dilihat apakah memang materi pembelajaran dalam MK Bahasa Indonesia yang diberikan kepada mahasiswa sudah tepat? Oleh karena itu, paparan berikut ini bertujuan mencari alternatif model materi pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi yang bisa meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa. PEMBAHASAN Gambaran Sekilas tentang Sebagian Potensi Manusia di Indonesia Menurut data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia bahwa IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yaitu kombinasi berbagai indikator seperti kesehatan, kekayaan, dan pendidikan,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
369
peringkat Indonesia di tahun 2014 tidak berubah pada posisi 108 dari 187 dengan tahun sebelumnya. Sementara itu, Singapura menduduki peringkat 9, Brunei peringkat 30, Malaysia peringkat 62, dan Thailand peringkat 89 (http://www.bps.go.id). Untuk tahun 2015, Indonesia menempati posisi 110 dari 187 negara. Secara lebih khusus, apabila dilihat dari aspek jumlah publikasi internasional, bangsa Indonesia juga berbeda jauh bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Hal tersebut bisa dilihat dari situs olahan pemeringkatan publikasi ilmiah SCImago Lab. yang melaporkan jumlah publikasi ilmiah dari tahun 1996—2013 berdasarkan data dari SCOPUS. Portal tersebut memeringkat hasil publikasi 239 negara. Dari portal SCImago diketahui Indonesia berada pada urutan ke-61 dengan jumlah publikasi sebanyak 25.481. Indonesia kalah jauh dari negara tetangga ASEAN seperti Malaysia yang menempati urutan ke-37 dengan jumlah publikasi karya ilmiah 125.084, Singapura yang berada di peringkat ke-32 dengan jumlah publikasi 171.037, dan Thailand pada peringkat ke-43 dengan jumlah publikasi 95.690. Adapun tiga negara paling produktif menerbitkan karya-karya ilmiah, untuk peringat ke-1 diduduki oleh Amerika Serikat dengan jumlah publikasi karya ilmiah 7.846.972, peringkat ke2 adalah Tiongkok (China) dengan jumlah publikasi3.129.719, dan peringkat ke-3 yakni Inggris dengan jumlah publikasi 2.141.375 (Subekti, 2015). Berdasarkan data pada tahun 2014, perbadingan jumlah publikasi internasional dengan jumlah penduduk di negara-negara Asean menampakkan angka seperti berikut ini. Penduduk Malaysia di tahun 2014 yang berjumlah 30,1 juta publikasi internasional yang dihasilkan sejumlah 25.330 judul; Singapura yang penduduknya 5,5 juta publikasi internasional yang dihasilkan sejumlah 17.198 judul; dan Thailand yang jumlah penduduknya 67,7 juta jiwa publikasi internasional yang dihasilkan sejumlah 12.051 judul. Adapun Indonesia yang jumlah penduduknya sekitar 253,5 juta jiwa jumlah publikasi internasional yang dihasilkan baru sejumlah 5.499 judul (Istadji, 2015). Berdasarkan dua data di atas, tampak jelas sekali bahwa IPM bangsa Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia, dan dibuktikan juga dengan jumlah karya ilmiah internasionalnya yang terlalu sedikit apalagi kalau dikaitkan jumlah penduduknya yang sangat banyak. Data di tahun 2014 tersebut apabila diperbandingkan dari setiap 100.000 penduduk Singapura rata-rata menghasilkan 300 artikel internasional, Malaysia dari setiap 100.000 penduduknya rata-rata menghasilkan 80 artikel internasional, dan Indonesia dari setiap 100.000 penduduknya rata-rata menghasilkan 2 artikel internasional. Jumlah itupun sebenarnya juga sudah mengalami kenaikan yang signifikan untuk 5 tahun terakhir. Perbedaan tersebut akan terlihat semakin mencolok apabila dibandingkan dengan Singapura yang baru merdeka 20 tahun kemudian setelah Indonesia. Tetapi, entah mengapa secara ekslpisit Dirjen Dikti dalam suratnya tentang kewajiban publikasi karya ilmiah justru membandingkannya dengan Malaysia. Aneka Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Mata Kuliah Bahasa Indonesia Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir ini, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum, hanya saja perubahan tersebut lebih pada hal-hal pokok, selebihnya diserahkan pada masing-masing program studi. Terkait dengan mata kuliah Bahasa Indonesia juga telah beberapa kali mengalami perubahan kebijakan. Perubahan tersebut antara lain bisa diamati mulai dari UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-undang tersebut, MK Bahasa Indonesia belum menjadi mata kuliah wajib, sebab dalam pasal 39 yang masuk kategori wajib hanyalah (a) pendidikan Pancasila, (b) pendidikan agama, dan (c) pendidikan kewarganegaraan. Saat itu posisi MK Bahasa Indonesia sebagai MKU (Mata Kuliah Umum). Pada tahun 2000 dalam Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, terjadi perubahan penggolongan mata kuliah, dan mata kuliah Bahasa Indonesia masuk kategori MPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian). Karena dalam pelaksanaannya tidak berjalan mulus, pada tahun 2006 dikeluarkan Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan MPK di Perguruan Tinggi. Dari sanalah posisi MK Bahasa Indonesia menjadi semakin kuat karena menjadi MK yang bersifat wajib. Substansi kajian MK-nya difokuskan pada menulis akademik, yang secara umum struktur kajian terdiri atas: (1) Kedudukan Bahasa Indonesia, yang meliputi (a) sejarah bahasa Indonesia
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
370
(b) bahasa negara. (c) bahasa persatuan, (d) bahasa ilmu pengetahuan, teknologi. dan seni, dan (e) fungsi dan peran bahasa Indonesia dalam pembangunan bangsa; (2) Menulis, yang meliputi (a) makalah, (b) rangkuman/ringkasan buku atau bab. dan (d) resensi buku; (3) Membaca untuk menulis, yang meliputi (a) membaca tulisan/artikel ilmiah, (b) membaca tulisan populer, dan (c) mengakses informasi melalui internet; (4) Berbicara untuk keperluan akademik, yang meliputi (a) presentasi, (b) berseminar dan (c) berpidato dalam situasi formal. Dalam PP No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya pasal 97, dinyatakan bahwa kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi. Kompetensi tersebut paling sedikit memenuhi elemen kurikulum, antara lain sebagai landasan kepribadian. Dengan demikian kelompok MK yang tergabung dalam kelompok MPK masih ada. Entah di mana perubahannya, penulis belum menemukan awal perubahan tersebut apabila tiba-tiba penggunaan pengelompokan MPK sudah tidak digunakan lagi, tetapi sudah kembali menggunakan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) dan sebagian menggunakan istilah MKWU (Mata Kuliah Wajb Umum). Yang pasti, dalam UU Nomor 12 tahun 2012, dalam pasal 35, butir (3) dinyatakan: Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah: (a) agama, (b) Pancasila, (c) kewarganegaraan, dan (d) bahasa Indonesia. Apapun perubahan yang terjadi, karena MK Bahasa Indonesia merupakan MK wajib bagi setiap mahasiswa dan karena hakikat pembelajaran bahasa adalah pembelajaran komunikasi, maka arah pembelajaran bahasa Indonesia adalah peningkatan kemampuan komunikasi mahasiswa. Dalam Buku Pedoman KKNI pun juga sudah dijelaskan bahwa ada 6 hak dan tanggung jawab bagi lulusan sarjana (level 6) yang dua di antaranya adalah (1) mampu memublikasikan hasil tugas akhir atau karya/desain/seni/model yang dapat diakses oleh masyarakat akademik, dan (2) mampu mengomunikasikan informasi dan ide melalui berbagai media kepada masyarakat sesuai dengan bidang keahliannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, MK Bahasa Indonesia harus mampu memaksimalkan perannya dalam membantu mahasiswa untuk bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu. Materi dalam MK Bahasa Indonesia pada Saat Ini Buku ajar Bahasa Indonesia untuk perguruan tinggi paling tua yang penulis miliki adalah terbitan IKIP Malang tahun 1990 oleh para dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indomesia IKIP Malang dengan judul Bahasa Indonesia Profesi. Isi buku tersebut lebih kurang 80% berupa materi yang berkaitan dengan teori tentang bahasa (konsep dasar kebahasaindonesiaan, ejaan, kata, kalimat, dan paragraf), dan selebihnya sekitar 20% berkaitan denga wacana dan reproduksi. Pada waktu itu posisi MK Bahasa Indonesia masih sebagai MKU (Mata Kuliah Umum) dan belum bersifat wajib. Anehnya, setelah ada penegasan Dirjen Dikti melalui keputusannya Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 yang menegaskan bahwa MK Bahasa Indonesia merupakan MK wajib dan menjadi kelompok MPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) materi yang ada dalam buku-buku ajar yang beredar hampir tidak ada perubahan yang berarti dibandingkan dengan buku Bahasa Indonesia Profesi. Seandainya ada perubahan, hanya dalam pergeseran persentase teori menulis yang lebih banyak. Jadi materi ajar MK Bahasa Indonesia sebagai MPK pun tidak beda jauh dengan saat MK Bahasa Indonesia masih dalam kedudukannya sebagai MKU. Saat ini penulis memiliki puluhan buku ajar Bahasa Indonesia dari berbagai penerbit dan berbagai perguruan tinggi. Memang hampir dari keseluruhan buku tersebut isinya rata-rata masih sama, yaitu sekitar separuh tentang teori kebahasaan dan separuhnya lagi teori tentang menulis. Saat ini, posisi MK Bahasa Indonesia masih menjadi MK wajib bagi mahasiswa di program diploma dan sarjana. Pada tahun 2013 Dirjen Dikti mengeluarkan materi kuliah Bahasa Indonesia yang disusun oleh tim dengan dana dari Satker Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti tahun anggaran 2012. Materi kuliah yang tidak sampai 50 halaman itu pun isinya tidak berbeda jauh dengan dengan buku-buku yang sudah beredar selama ini. Bahkan, materi tersebut terlalu sederhana untuk sajian satu semester. Selain karena isinya terlalu sedikit, materi yang berkaitan dengan menulis pun tidak terlalu banyak. Selain itu, dalam kata pengantarnya, Dirjen Dikti tidak lagi menyebut MK Bahasa Indonesia sebagai bagian dari MPK tetapi sebagai bagian dari MKDU.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
371
Berdasarkan paparan di atas, tampaklah bahwa apa pun nama pengelompokan MK Bahasa Indonesia, toh isinya juga tetap sama. Kalau materi kuliah Bahasa Indonesia memang masih seperti itu, adakah yang masih bisa diharapkan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyusun karya ilmiah? Tawaran Model Materi Pembelajaran untuk MK Bahasa Indonesia Materi pembelajaran dalam sebuah perkuliahan haruslah disusun secara sistematis agar mampu menciptakan pembelajaran yang menarik, efektif, dan efisien. Hal ini mengingat bahwa memang penyediaan bahan ajar yang bermutu akan dapat meningkatkan minat peserta didik dalam belajar. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa mahasiswa, diperoleh jawaban bahwa materi pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan materi pembelajaran yang menjenuhkan, walaupun mereka sadar bahwa MK tersebut sangat mereka butuhkan. Kalau dalam proses pembelajarannya sudah menjenuhkan, bagaimana mungkin mahasiswa bisa belajar dengan baik? Maka, dosen perlu merancang proses pembelajaran yang tidak menjenuhkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui penyiapan materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan mahasiswa. Materi pembelajaran yang disusun haruslah mampu melibatkan mahasiswa untuk aktif dan dosen akan lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator. Saddhono dan Slamet (2014) menyatakan bahwa keterampilan menulis akan dikuasai dengan baik apabila sudah mengusai keterampilan berbahasa yang lain, khususnya membaca. Sayangnya materi pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi selama ini belum memasukkan materi “membaca”. Materi membaca sebagai pondasi untuk bisa membuat tulisan yang baik tidak diajarkan. Maka sebenarnya bisa dimaklumi apabila sampai saat ini kemampuan menulis ilmiah rata-rata mahasiswa di Indonesia masih rendah karena memang pondasinya tidak kuat. Martutik dan Rani (2012) dalam pengantar bukunya menuliskan bahwa menulis merupakan keterampilan berbahasa yang penting. Sebagai sebuah keterampilan, menulis harus dialami dan dilatihkan secara langsung kepada peserta didik. Tanpa mengalami dan berlatih secara langsung, keterampilan menulis mustahil diperoleh. Seorang mahasiswa yang belajar perlu berlatih menulis dengan benar dan dilakukan secara bertahap. Sebelum sampai pada latihan menulis secara bertahap atau berjenjang, maka mahasiswa perlu memiliki bekal sebagai bahan yang akan ditulis. Bahan tersebut sebagian besar bisa diperoleh dengan cara membaca, khususnya membaca kritis. Hal ini sejalan dengan pemikiran Syafi’ie (1999) bahwa kemampuan menulis peserta didik sangat bergantung kepada kemampuan membaca mereka. Membaca menjadi dasar untuk mengusai ilmu dan membagi ilmu. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi pula keterampilan yang dibutuhkannya. Saddhono dan Slamet (2014:149) menegaskan bahwa menulis dan membaca sebagai aktivitas komunikasi ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kebiasaan menulis tidak mungkin terlaksana tanpa kebiasaan membaca. meskipun belum tentu membawa kebiasaan menulis, kebiasaan membaca akan memperluas cakrawala pengetahuan dan wawasan. Pengetahuan dan wawasan yang luas akan menjadi dasar kegiatan menulis. Kebiasaan menulis tidak akan bermakna tanpa diikuti oleh kebiasaan membaca. Berdasarkan paparan di atas, maka tampaklah agar kemampuan menulis mahasiswa bisa meningkat dengan baik, haruslah memasukkan materi “membaca” ke dalam MK Bahasa Indonesia, dan materi tentang teori kebahasaan tidak perlu diajarkan secara khusus. Pembelajaran mengenai ejaan, kalimat efektif, dan tata tulis laporan bisa langsung dimasukkan dalam konteks, artinya menjadi bagian dalam proses membaca kritis. Sebab, bukankah kesemua materi tersebut sebenarnya juga sudah diajarkan saat mereka masih di bangku sekolah dasar dan menengah? Oleh karena itu, lewat menganalisis teks dalam membaca kritis, mahasiswa diajak untuk belajar menemukan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak benar. Dengan begitu, mahasiswa datang ke kampus bukan untuk “diberitahu” melainkan benarbenar untuk “mencari sendiri” pengetahuan baru melalui pendampingan dosen pengampu. Dengan mengetahui yang benar, maka hal yang benar itulah yang harus dilalukan saat mahasiswa tersebut menulis karya ilmiah, dan dengan mengetahui yang salah serta mampu menuliskan pembetulannya, hal yang salah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
372
tersebut tidak perlu diulang saat mereka menyusun karya ilmiah. Melalui proses pengulangan dalam membaca aneka teks tersebut mahasiswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang memadai mengenai karya ilmiah yang baik itu karya ilmiah yang seperti apa. Muatan materi membaca untuk meningkatkan kemampuan menulis kiranya menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini mengingat bahwa memang mulai tahun 1960-an tradisi membaca dan menulis di Indonesia telah mengalami pendangkalan. Model pembelajaran Bahasa Indonesia di jenjang pendidikan dasar dan menengah pun kurang memberikan kesempatan dan peluang untuk membaca dan menulis. Pembelajaran keterampilan berbahasa pun kebanyakan masih terjebak ritus atau ritual latihan soal, mengerjakan LKS dan uji coba latihan-latihan yang tidak memerlukan kemampuan berpikir kritis-kreatif pada satu pihak dan pada pihak lain tidak menumbuhkan tradisi bacatulis yang kuat (Saryono, 2011). Mengingat bahwa Bahasa Indonesia juga merupakan pelajaran wajib ketika di SD, SMP, SMA/SMK, maka materi pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi harus betul-betul memiliki pembeda—bukan sekedar mengulang—dibandingkan dengan bahan ajar bahasa Indonesia di jenjang sekolah dasar dan menengah. Materi pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya berupa materi membaca, khususnya membaca kritis, dan dilanjutkan dengan pelatihan menulis. Dalam pembelajaran membaca kritis, pendekatan saintifik yang biasa disingkat dengan 5 M (Mengamati, Menanya, Mencoba, Menalar, dan Mengomunikasikan) yang sebenarnya diadopsi dari pemikiran Dyers (2011) bisa diterapkan. Lewat membaca kritis, mahasiswa diajak untuk mengamati berbagai unsur karya ilmiah yang ada dalam teks, mempertanyakan apa yang tertulis dalam teks, mencoba merumuskan dengan cara berbeda dan menunjukkan keruntutan alur berpikirnya. Apa yang telah mereka kritisi tersebut diharapkan bisa dikomunikasikan kembali dalam sebuah karya tulis yang baru. Sehingga lewat membaca kritis, mahasiswa diajak mengamati, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai unsur dalam karya tulis. Melalui proses pembelajaran membaca kritis mahasiswa diajak untuk lebih aktif mencari ilmu pengetahuan dan bukan sekedar datang ke kampus siap untuk diberitahu untuk kemudian dituangkan dalam bentuk tulis. SIMPULAN MK Bahasa Indonesia memiliki posisi yang strategis dalam ikut meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menghasilkan karya ilmiah yang bermutu karena menjadi MK wajib bagi mahasiswa di program diploma dan sarjana. Hanya saja walaupun MK Bahasa Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan kebijakan, selama ini materi pembelajarannya masih saja mengajarkan teori kebahasaan yang rata-rata sudah diajarkan di bangku sekolah tingkat dasar dan menengah. Oleh karena itu, hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi masih belum mampu menunjukkan hasil yang menggembirakan. Agar tujuan perkuliahan MK Bahasa Indonesia mencapai sasarannya, yaitu membantu mahasiswa dalam mengomunikasikan hasil pemikirannya secara baik, khususnya dalam bentuk tulis, maka materi pembelajaran tentang teori kebahasaan tidak perlu disajikan secara khusus tetapi diganti dengan materi membaca, khususnya membaca kritis. DAFTAR RUJUKAN Dirjen Dikti. (2013). Materi Kuliah Bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Kemendikbud RI Dyers, J.H., et.al. (2011). Innovators DNA : mastering the five skills of disruptive innovators. Boston:Harvard Business Publishing. Irtadji, Suryadi. (2015). Budaya Penelitian dan Kinerja Perguruan Tinggi. Disampaikan dalam Orasi lmiah Dies Natalis XXXIII Unika Widya Karya Malang. Martutik dan Rani, A. (2012). Menulis Dasar Berbasis Tugas. Malang: Surya Pena Gemilang. Saddhono, K, dan Slamet, Y. (2014). Pembelajaran Keterampilan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Saryono, Dj. (2011). Keberaksaraan, Tradisi Baca-Tulis, dan Pembelajaran Sastra Indonesia. Pidato pengukuhan guru Besar. Malang: UM. Subekti, N.B. 2015, 13 April. “Rangking Publikasi Ilmiah Internasional Indonesia”, dalam Koran Sindo.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
373
Syafi’ie, I. 1999. Pengajaran Membaca di Kelas-Kelas Awal Sekolah Dasar. Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar UM. Malang: Universitas Negeri Malang. Syafi’ie, I. (Ed.). (1990). Bahasa Indonesia Profesi. Malang: Penerbit IKIP Malang Peraturan dan Undang-Undang: UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.. Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan MPK di Perguruan Tinggi.. PP No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Surat Dirjen Dikti Nomor 142/E/T/2012 perihal Publikasi Karya Ilmiah.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
374
68 PANDANGAN HIDUP GURU BAHASA INDONESIA LIBERAL SMK KARTIKA IV-1 MALANG Agus Purnomo Ahmad Putikadyanto Nur Aisyah Sefrianah Universitas Negeri Malang Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan hidup guru bahasa Indonesia SMK Kartika IV1 Malang yang berideologi liberal tentang tujuan pendidikan secara menyeluruh (umum), tujuan sekolah, ciri-ciri umum, anak sebagai pelajar, administrasi dan pengendalian, sifat-sifat kurikulum, implementasi mata pelajaran, metode pengajaran dan penilaian hasil belajar, dan kendali di ruang kelas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Subjek penelitian ini adalah guru bahasa Indonesia liberalSMK Kartika IV-1 Malang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara yang mendalam dan observasi. Analisis data menggunakan rambu-rambu ideologi pendidikan O’Neil (2008). Hasil penelitian ini adalah pandangan hidup guru bahasa Indonesia liberalSMK Kartika IV-1 Malangtentang tujuan pendidikan secara menyeluruh (umum), tujuan sekolah, ciri-ciri umum, anak sebagai pelajar, administrasi dan pengendalian, sifat-sifat kurikulum, implementasi mata pelajaran, metode pengajaran dan penilaian hasil belajar, dan kendali di ruang kelas beragam. Akan tetapi, pandangan hidup guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malangtidak selalu sama dengan teori rambu-rambu ideologi pendidikan liberal O’Neil. Kata kunci: Ideologi pendidikan liberal, pandangan hidup, guru Bahasa Indonesia SMK Kartika IV-1 Malang
PENDAHULUAN Ideologi terdapat dalam berbagai sendi kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Para ahli sepakat bahwa ideologi tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Zaidi (2012:71) mengungkapkan bahwa sulit menemukan praktik-praktik sosial yang tidak ada peranan bahasa dan ideologi. Hubungan antara bahasa dan ideologi sangat erat sehingga tidak bisa dipisahkan. Dalam interaksi pembelajaran di kelas misalnya, nilai-nilai tertentu dalam kelompok sosial dibentuk dan disebarkan melalui ideologi dan bahasa. Ideologi dapat dikatakan mengacu pada apa yang orang pikir dan percaya mengenai masyarakat, kekuasaan, hak, tujuan kelompok, yang kesemuanya menentukan jenis tindakan mereka. Ideologi secara luas diartikan sebagai keyakinan-keyakinan yang dirasakan logis dan wajar oleh orang-orang yang menganutnya (Thomson dan Wareing, 2007:54). Sebagai sebuah ide, ideologi dapat bersumber dari beberapa aspek kehidupan, di antaranya agama, adat istiadat, atau kebudayaan pada umumnya, seperti politik, ekonomi, sosial (Tilaar, 2009:168). Termasuk ke dalam aspek budaya adalah aliran pendidikan. Pengetahuan dan pengalaman individu tentang berbagai aspek kehidupan tersebut diinternalisasi sehingga menghasilkan ideologi. Selanjutnya, ideologi tersebut menggerakkan dan mengarahkan perilaku individu sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Ideologi erat kaitannya dengan pendidikan. Ideologi diajarkan melalui pendidikan baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Membangun pendidikan sama artinya membangun negara dan membangun ideologi pendidikan sama artinya membangun ideologi negara (Afriantoni, 2011:52). Pendapat tersebut menegaskan pentingnya peran pendidikan dalam memangun sebuah negara. Melalui pendidikan, jati diri suatu bangsa dapat dibentuk. Beberapa kalangan masyarakat, terutama praktisi pendidikan, banyak yang tidak sadar bahwa mereka sedang terlibat perdebatan politik dan ideologi melalui pendidikan. Umumnya masyarakat memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan yang mulia yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Akan tetapi, kritik dari Paulo Freire dan Ivan Illich pada tahun 70an mengenai asumsi bahwa setiap usaha pendidikan yang selalu dimuliakan dan diasumsikan mengandung kabajikan mengejutkan dunia pendidikan. Freire dan Illich menyadarkan banyak orang bahwa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
375
pendidikan yang selama ini hampir dianggap sakral dan penuh kebajikan ternyata mengandung juga penindasan (dalam Fakih, 2008:x). Sayangnya tidak banyak yang tahu bahwa pendidikan ternyata juga mengandung penindasan. Kritik yang ditujukan ke dunia pendidikan selanjutnya bermunculan. Pendidikan menjadi arena yang menggairahkan, karena memang mampu terlibat dalam proses perubahan sosial politik di berbagai gerakan sosial yang menghendaki transformasi sosial dan demokratisasi. Kritik-kritik mendasar yang ditujukan kepada dunia pendidikan tersebut justru mendewasakan pendidikan. Kritik-kritik tersebut memperkaya berbagai upaya pencarian model pendidikan sehingga melahirkan kekayaan pengalaman di lapangan mengenai praktik pendidikan. Kritik-kritik tersebut juga menyadarkan kita bahwa tidak mungkinnya pendidikan netral, melainkan syarat akan agenda ideologi (Fakih, 2008:xii). Tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia pendidikan terdapat pertikaian ideologi. Ideologi tersebut menurut klasifikasi O’Neil (2008) dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yakni ideologi pendidikan konservatif dan ideologi pendidikan liberal. Perpecahan ideologi konservatif dan liberal sejak tahun 1970 memiliki implikasi yang serius terhadap dunia pendidikan, pembuat kebijakan, maupun masyarakat (Gaziano, 2014:1). Perpecahan ideologi tersebut juga memengaruhi penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan para peneliti. Selain itu, perpecahan ideologi konservatif dan liberal memengaruhi kebijakan para sarjana, pembuat kebijakan, dan anggota masyarakat. Salah satu ideologi pendidikan adalah ideologi pendidikan liberal. Ideologi pendidikan liberal berpandangan bahwa perombakan/pembaruan sosial perlu dan penting untuk dilakukan. Tujuan pendidikan dari paradigma liberal menurut O’Neil (2008:498) adalah mendorong pembaruan/perombakan sosial yang perlu. Hal ini sesuai dengan pandangan Graziano (2014: 2) bahwa ideologi liberal erat kaitannya dengan keterbukaan terhadap ide-ide baru, toleransi, pandangan yang luas, dan mempertanyakan tradisi. Paradigma ideologi ini memandang anakakan menjadi baik dari konsekuensi-konsekuensi alamiah perilakunya sendiri dan jika diasuh dalam lingkungan sosial (masyarakat) yang baik. Perbedaan-perbendaan (keragaman)antar-individu lebih penting daripada memandang kesamaan-kesamaannya. Guru yang berideologi liberal cenderung ke arah penekanan pemahaman terhadap problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah. Perpecahan ideologi liberal dan konservatif tersebut juga berimplikasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia di SMK Kartika IV-1 Malang. SMK Kartika IV-1 Malang merupakan sekolah komitmen mencetak lulusan yang berkompeten dan peka terhadap pembaruan dengan jiwa wirausaha. Berdasarkan observasi awal, diyakini terdapat guru bahasa Indonesia yang berideologi liberal di sekolah tersebut. Guru lebih suka menggunakan cara-cara yang baru supaya sesuai dengan tuntutan jaman. Guru tersebut juga lebih demokratis dalam pembelajaran. Siswa diberi kebebasan mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Tentunya akan menarik apabila pandangan hidup guru yang berideologi liberal tersebut diketahui. Oleh karena itu, penelitian mengenai pandangan hidup guru bahasa Indonesia yang berideologi konservatif di SMK Kartika IV-1 Malang diperlukan dan layak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan hidup guru bahasa Indonesia SMK Kartika IV-1 Malang yang berideologi liberal tentang tujuan pendidikan secara menyeluruh(umum), tujuan sekolah, ciri-ciri umum, anak sebagai pelajar, administrasi dan pengendalian, sifat-sifat kurikulum, mata pelajaran, metode pengajaran dan penilaian hasil belajar, dan kendali di ruang kelas. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis studi kasus. Penelitian studi kasus digunakan untuk mengetahui pandangan hidup guru bahasa Indonesia liberal di SMK Kartika IV-1 Malang.Subjek penelitian ini adalah guru bahasa Indonesia liberalSMK Kartika IV-1 Malang. Penentuan ideologi guru bahasa Indonesia menggunakan rambu-rambu atau indikator teori ideologi pendidikan yang dikembangkan William F. O’Neil melalui teknik wawancara. Hasilnya di SMK Kartika IV-1 Malang terdapat guru bahasa Indonesia yang berideologi liberal. Selain itu, SMK Kartika IV-1 Malang merupakan sekolah unggulan di kota Malang yang mempunyai visi kuat pengembangan sikap dalam pembelajarannya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
376
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara yang mendalam dan observasi. Teknik wawancara yang mendalam digunakan untuk mengetahui pandangan hidup guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang. Instrumen penelitian pedoman wawancara dibuat berdasarkan indikator ideologi pendidikan O’Neil (2008), yakni tujuan pendidikan secara menyeluruh (umum), tujuan sekolah, ciri-ciri umum, anak sebagai pelajar, administrasi dan pengendalian, sifat-sifat kurikulum, mata pelajaran, metode pengajaran dan penilaian hasil belajar, dan kendali di ruang kelas. Indikator tersebut dikembangkan menjadi pertanyaan untuk mengetahui pandangan hidup subjek penelitian. Teknik observasi dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang belum tampak pada wawancara. Observasi dilakukan pada subjek penelitian saat mengajar di kelas untuk mengetahui pandangan hidup dari tuturan maupun cara mengajar di kelas.Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data. Data dari wawncara yang mendalam dan observasi digabungkan untuk mengetahui pandangan hidup guru bahasa Indonesia liberalSMK Kartika IV-1 Malang. PEMBAHASAN Tujuan pendidikan secara menyeluruh (umum) Indikator ideologi pendidikan pertama adalah tujuan pendidikan secara menyeluruh (umum). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, guru bahasa Indonesia liberalSMK Kartika IV-1 Malang memiliki pandangan bahwa pendidikan harus terus berkembang dan perlu pembaruan-pembaruan. Pendidikan setiap saat berkembang mengikuti perubahan jaman. Dengan adanya globalisasi, pendidikan terus berkembang mengikuti perubahan jaman. Karakter anak pun setiap tahun berbeda-beda sehingga perlu penyesuaian-penyesuaian dalam mendidik siswa. Oleh karena itu, pendidikan memerlukan pembaruan-pembaruan mengikuti perkembangan jaman. Tujuan sekolah Indikator ideologi pendidikan kedua adalah tujuan sekolah. Guru bahasa Indonesia liberal di SMK Kartika IV-1 Malang berpandangan bahwa tujuan sekolah adalah mendorong siswa belajar lebih mandiri, melatih siswa bisa beradaptasi dengan pembaruan sosial. Tujuan sekolah yang baik adalah membuat anak mandiri melalui proses. Anak-anak sekolah sebenarnya mempunyai beban yang sangat berat, apalagi anak SMK. Mereka harus mempelajari materi umum yang berbeda-beda dan banyak selain kewajibannya mempelajari materi yang berkaitan dengan jurusannya. Guru berpandangan bahwa pelajaran anak SMK akan lebih baik apabila disesuaikan saja dengan jurusannya supaya mereka lebih mandiri, lebih bisa beradaptasi dengan masyarakat, dan lebih siap terjuan ke masyarakat. Guru juga berpandangan bahwa tujuan sekolah adalah untuk menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa dan mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan. Dengan demikian, siswa lebih enak dan nyaman, tetapi dia juga punya keterampilan sebagai bekal untuk terjun dimasyarakat. Ciri-Ciri Umum Ciri umum yang dimaksudkan adalah pandangan guru terhadap urgensi pembaruan dan pengetahuan. Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan kemantapan atau stabilitas filosofis dan budaya sama pentingnya dengan kebutuhan akan perubahan. Kedua hal tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Dunia pendidikan tidak bisa mengabaikan cara-cara dahulu yang pernah dipakai dan teruji oleh waktu dan juga tidak bisa tanpa adanya perubahan. Seperti halnya sebuah bangsa tidak boleh melupakan jasa-jasa pahlawan dan tetap melakukan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Guru memandang pengetahuan sebagai alat untuk memecahkan masalah praktis, merencanakan pembaharuan, dan untuk mendapatkan keluaran yang lebih baik. Pengetahuan tersebut diberikan kepada siswa agar mereka mampu memecahkan masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru harus mengajarkan pengetahuan kepada siswa dengan baik.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
377
Guru Memandang Anak sebagai Pelajar Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang memandang anak atau siswa akan menjadi hebat dan baik dari konsekuensi-konsekuensi alamiah perilakunya sendiri dan jika diasuh dalam lingkungan sosial (masyarakat) yang baik. Tuntutan dan pengarahan yang tegas justru dapat membahayakan siswa itu sendiri. Sebagai guru, siswa-siswa yang dihadapi memili karakter yang berbeda-beda. Sehingga, tuntutan dan pegarahan yang tegas tidak bisa diterapkan pada smua siswa. Lebih baik siswa dididik dengan cara menyediakan lingkungan sosial yang baik, sehinga siswa akan tumbuh dan berkembang dengan alami. Guru memandang perbedaan-perbedaan antar siswa lebih penting daripada persamaanpersamaannya. Guru lebih suka memberi kebebasan dalam memberikan tugas kepada siswa. Misalnya dalam tugas menulis cerita, siswa diperbolehkan mengembangkan ide cerita sesuai pola pikir mereka masing-masing tanpa membatasinya. Pandangan Guru terhadap Administrasi dan Pengendalian Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan kewenangan pendidikan diberikan kepada pendidik yang memiliki keterampilan dan komitmen terhadap penyelidikan kritis. Keterampilan dan komitmen terhadap penyelidikan kritis penting dimiliki oleh guru. Keterampilan mendidik diperlukan dalam menghadapi berbagai macam karakter anak. Keterampilan penyelidikan kritis juga sangat diperlukan dalam pembelajaran apalagi menghadapi kurikulum yang baru. Menurut pandangan guru tersebut, wewenang guru didasarkan pada keterampilan dalam memndidik siswa, ketajaman intelek, dan keterlibatannya secara sosial. Keterampilan dalam mendidik siswa dan ketajaman intelek menjadi tolak ukur utama dalam pemberian wewenang guru. Kenyataannya saat ini wewenang guru masih banyak didasarkan pada kedudukan dan status sosial. Guru Memandang Sifat Kurikulum Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan sifat kurikulum berpusat pada pemecahan masalah praktis, pemahaman diri dan tindak sosial, dan kegiatan belajar yang ditentukan sendiri. Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 bahwa siswa dituntut untuk lebih diarahkan pada pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Siswa dididik agar mampu untuk beradaptasi dengan tatanan sosial (masyarakat). Berkaitan dengan matapelajaran, guru berpandangan bahwa siswa akan lebih baik apabila diberi kewenangan untuk memilih matapelajaran sesuai dengan yang dibutuhkannya. Dengan begitu, siswa bisa lebih fokus mendalami keterampilan dan pengetahuan yang dia pilih. Misalnya, di SMK , siswa masih harus mempelajari materi-materi umum yang banyak sehingga menambah beban siswa, padahal akan lebih baik kalau pelajaran siswa difokuskan. Implementasi Mata Pelajaran Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang berpandangan bahwa matapelajaran yang menekankan moral, filosofi dan/atau teologi, serta yang menekankan pelatihan dasar dalam keterampilan pokok sama pentingnya dengan mata pelajaran yang menekankan penjelajahan terbuka dan kritis serta yang menekankan problema dan isu sosial. Kedua jenis mata pelajaran tersebut saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Misalnya, mata pelajaran yang menekankan pada penjelajahan terbuka dan kritis harus diimbangi dengan mata pelajaran yang menekankan moral. Teori ideologi pendidikan liberal O’Neil menyebutkan mata pelajaran yang menekankan penjelajahan terbuka dan kritis dan yang menekankan problema dan isu sosial seharusnya lebih penting daripada yang lain. Metode Pembelajaran dan Penilaian Hasil Belajar Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan bahwa peran guru sebagai organisator atau pendorong. Guru berperan sebagai organisator atau fasilitator untuk siswa. Peran guru masih diperlukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
378
Guru cenderung ke arah penekanan pemahaman terhadap problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah. Pemahaman terhadap problema dan cara pemecahannya lebih penting daripada pelaksanaan tata cara ruang kelas yang sangat terstruktur. Pelaksanaan tata cara ruang kelas yang sangat terstruktur tidak bisa dijadikan jaminan terhadap pemahaman siswa. Kendali di Ruang Kelas Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang berpandangan bahwa guru harus bersikap demokratis dan objektif dalam menentukan tolak ukur kelakuan. Karakter siswa yang berbedabeda tidak bisa mendapat perlakuan yang sama, sehingga diperlukan tolak ukur yang demokratis dan objektif. Disiplin yang ketat dalam menentukan tolak ukur kelakuan dapat membahayakan siswa karena pada dasarnya siswa mempunyai sisi lain yang unik. Guru menganggap tindakan paling bermoral adalah tindakan paling cerdas, tetapi tindakan cerdas juga memerlukan masyarakat (lingkungan) yang cerdas pula. masyarakat Indonesia tidak hanya membutuhkan anak-anak yang pintar tetapi juga cerdas. Cerdas berarti anak tersebut dapat memecahkan masalah disekitarnya, di manapun ia berada. Banyak orang pintar di Indonesia tetapi moralnya kurang, sehingga menggunakan kepintaranya untuk sesuatu yang tidak baik. SIMPULAN Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan bahwa pendidikan harus berkembang dan memerlukan pembaruan-pembaruan. Tujuan sekolah adalah mendorong siswa belajar lebih mandiri dan melatih siswa bisa beradaptasi dengan pembaruan sosial. Selain itu, tujuan sekolah adalah untuk menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa dan mengajarkan bagaimana cara menyelesaikannya. Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan kemantapan atau stabilitas filosofis dan budaya sama pentingnya dengan kebutuhan akan perubahan. Pandangan ini kurang sesuai dengan rambu-rambu ideologi pendidikan liberal O’Neil (2008). Guru memandang pengetahuan sebagai alat untuk memecahkan masalah praktis, merencanakan pembaharuan, dan untuk mendapatkan keluaran yang lebih baik. Menurut pandangan guru, siswa akan menjadi hebat dan baik dari konsekuensi-konsekuensi alamiah perilakunya sendiri dan jika diasuh dalam lingkungan sosial (masyarakat) yang baik. Guru memandang perbedaan-perbedaan antar siswa lebih penting daripada persamaan-persamaannya. Selanjutnya mengenai pandangan guru terhadap administrasi dan pengendalian. Kewenangan pendidikan diberikan kepada pendidik yang memiliki keterampilan dan komitmen terhadap penyelidikan kritis. Menurut pandangan guru tersebut, wewenang guru didasarkan pada keterampilan dalam memndidik siswa, ketajaman intelek, dan keterlibatannya secara sosial. Guru bahasa Indonesia liberal SMK Kartika IV-1 Malang mempunyai pandangan sifat kurikulum berpusat pada pemecahan masalah praktis, pemahaman diri dan tindak sosial, dan kegiatan belajar yang ditentukan sendiri. Siswa akan lebih baik apabila diberi kewenangan untuk memilih matapelajaran sesuai dengan yang dibutuhkannya. Mata pelajaran yang menekankan moral, filosofi dan/atau teologi, serta yang menekankan pelatihan dasar dalam keterampilan pokok sama pentingnya dengan mata pelajaran yang menekankan penjelajahan terbuka dan kritis serta yang menekankan problema dan isu sosial. Pandangan ini kurang sesuai dengan rambu-rambu ideologi pendidikan liberal O’Neil (2008). Menurut pandangan guru tersebut, peran guru adalah sebagai organisator atau pendorong. Guru cenderung ke arah penekanan pemahaman terhadap problema (pengenalan masalah secara tepat) dan pemecahan masalah. Guru harus bersikap demokratis dan objektif dalam menentukan tolak ukur kelakuan. Guru menganggap tindakan paling bermoral adalah tindakan paling cerdas, tetapi tindakan cerdas juga memerlukan masyarakat (lingkungan) yang cerdas pula. Rambu-rambu ideologi pendidikan liberal O’Neil (2008) dapat digunakan untuk mencari ideologi guru bahasa Indonesia, tetapi pandangan hidup guru tersebut tidak selalu sama persis dengan rambau-rambu ideologi pendidikan liberal O’Neil (2008). Pada kenyataannya terdapat beberapa hal yang tidak bisa dipisahkan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
379
REFERENSI Afriantoni. (2011). Implikasi Pertarungan Ideologi terhadap Pendidikan Indonesia. Jurnal TA’BID edisi Juni 2011, 51-76. Fakih, M. (2003). Ideologi dalam Pendidikan. (Pengantar ideologi-ideologi pendidikan William F.O’Neil). Graziano, C. (2014). Components of the Belief Gap: Ideology and Education. JurnalSAGE open edisi Januari-Maret 2014: 1-18. O’Neil, W.F. (2008). Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Terjemahan Omi Intan Naomi) Yogyakata: Pustaka Pelajar Tilaar, H.A.R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Thomson, L. dan Wareing, S. (2007). Language, Society, and Power (Terjemahan Abdul Syukur Ibrahim). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zaidi, A. (2012). Language of ideology/ideology of language: Notes on theory and practice. “Journal JPCS Vol 3”.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
380
69 THE IMPLEMENTATION OF THREE QUESTIONING STRATEGY IN LEARNING READING DESCRIPTIVE TEXTS Fauris Zuhri English Department of Unesa Surabaya Abstract: The aims of this study are to describe how the implementation of Three Questioning Strategy in teaching reading descriptive text to the students of senior high schools of SMAN 3 Mojokerto, and to find out how the students’ reading abilities after the implementation of Three Questioning Strategy is. English becomes important and compulsory in Senior High School since it is used as first foreign language in Indonesia. In learning English, there are four language skills that must be mastered by the students. One of the most important skills is reading. This study is a descriptive qualitative research. The instruments which are used in this study are observation checklist, field note, interview, and student’s exercises. The researcher collects the data through observation in the classroom when the teaching learning process, giving students’ exercises three times, and interview the teacher in the last meeting. The result of observations and interview are described in the form of words, and the result of the students’ exercises are obtained after being analyzed using Rubrics Scoring Guide for Reading Comprehension test. The result of the study during observation shows the students are able to implement the strategy. They are able to cooperate and follow the teacher’s instructions. It could be seen from their active participation during class activity. The students’ ability is increase after the implementation of the strategy. In the third meeting, they get higher score than the first score in the first meeting. The students point out that it is very useful to help them comprehend the text. In line with the result, the researcher suggests that using appropriate strategy to teach reading comprehension is very important for the English teachers because reading is such kinds of activity that often difficult for the students. Three Questioning Strategy can motivate the students and make them interested in reading. It promotes critical thinking and conducts students’ engagement to the text during reading activity. Using Three Questioning Strategy is very good to be applied in teaching reading comprehension descriptive text. Keywords: 3 Questioning Strategy, reading descriptive text
INTRODUCTION Reading comprehension is considered as a difficult part for some students, they learn uncomfortably to understand the text in reading class. There are several problems occur for the students in reading class, especially reading a descriptive text. First, many students get bored soon as they start to read. Second, the students often fail in comprehending a reading passage, especially when they face a passage which consists of non simple sentences. Besides, many English teachers usually use textbook all the time in teaching reading. As a result students get bored in learning reading and they lose their motivation to participate in reading class. To solve the problems, the teachers have an important role to motivate the students to learn, determines the success in teaching-learning process in the classroom (Depdiknas, 2004: 2). They should give motivation and encouragement to the students in reading text; by create conducive learning atmosphere in the class, appropriate teaching materials and select suitable strategies and use of media to teach reading. Therefore, the teachers have to make the language classes more enjoyable and motivated to the learners. The teacher can use media such as pictures, games, songs, etc and also an alternative strategy to improve students reading ability. Based on the content map of the tenth grader, one kind of text that should be mastered by them is descriptive text. Descriptive text is defined as a text which describes a particular person, place, or thing (Depdiknas, 2004: 48). According to Siahaan (2008: 119) states that descriptive text can also be an abstract object such as hate, love, opinion, ideas, belief, etc. Descriptive text tries to give description what something in like (Hyland, 2004: 73). The aim of this text is to tell about subject by describing the features without including personal opinions.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
381
Harmer (2003: 206) suggests that there are several strategies which teachers can do such as; choosing the right topics, creating interests, activating schemata (background knowledge), and varying topics and genre. Teachers should be able to create an engagement between students and the text, to promote an active learning, and to conduct a contextual learning in the classroom. Teachers should also explore the strength and the weakness of the students to achieve the right treatment for them. An effective and innovative strategy will be very helpful to cover all those problems. Three questioning is a kind of strategy which is considered can resolve all the conditions above. Three Questioning or Questioning is a strategy of reading comprehension which directs the students into an active learning. It is an effective reading strategy that can boost students’ reading comprehension by emphasizing self-questioning. Often questions which are initiated by the teacher are useful for fact testing because they can be answered for the most part correctly by the “right” response. But they do not develop students’ abilities to ask their own questions or to think critically. The questioning required to deeper reading comprehension is significantly different in purpose and in application (Moreillon, 2007: 59). It is unlike IRE (initiation-response-evaluation) questions, Three Questioning assists learning provoke in the child way of thinking that he or she may not be able to produce alone by creating and answering their own questions (Whitebread in Moreillon, 2000: 70). METHODOLOGY This research is designed in descriptive qualitative research. The purpose is discovering answers the questions through the application of systematic procedure (Berg, 2006: 8). Ary, et al (1990: 381) states that descriptive research is designed to obtain information concerning the current status of phenomena. They are directed toward determining the nature of a situation as it exists at the time of the study. Therefore this study would focus on the process of teaching and learning activity, especially in reading skill in the classroom. Each detail of the situation is described clearly since everything has a potential power of becoming the clue to open a more comprehensive understanding on what happened in the classroom. After collecting the data and information which are needed enough to answer the research problems, the researcher analyzed the data and made a conclusion. The subjects are the tenth grade students of Senior high school and the English teacher. This research was conducted in X-B class which consists of 40 students. There are 18 males and 22 females. Research instrument is an equipment to collect the data. In this study, the researcher used interview, observation checklist, field notes, and students’ exercises as instruments. DISCUSSION In choosing the material, the teacher is prepared the material effectively which match with the genre that is descriptive text. The material that was descriptive text was in line with the students’ level. The texts were familiar and understandable. The material can stimulate the students to develop their idea in reading descriptive text. Before start the lesson, the teacher greeted the students. In pre reading activity in the first – third meeting, the teacher asked the students to make the questions related to the topic of the text. There was a passage with the title “Gua Tabuhan as a Lively Unique Cave” and the theme was about tourism object. There was a picture or map of the cave which representative with the title of this passage. The teacher started to introduce the title of the passage; she built the students’ prior knowledge related to the passage/topic. When the teacher tried to build the students’ prior knowledge, most of the students were kept silent. Then, the teacher motivated the students to speak. The teacher also explained the definition of descriptive text, generic structures and language features. After the teacher gave the explanation related to descriptive text, she explained about the strategy that will be used that is Three Questioning Strategy as a strategy in reading comprehension of descriptive text. She used power point slides to help her explain the strategy, added some information, and gave general examples which easy to understand.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
382
The next activity was making the questions based on the text. After the teacher chose the materials, she wrote the title of the reading passage on the board and asked the students to make the questions about the title. The teacher helped the students to make their own questions, and gave some clues to create their own questions. In this case, the teacher as a model and guider who helped them to explore their curiosity and build their prior knowledge related to the passage. In this part, most of the students gave a good responds to the teacher instructions and teacher’s guiding. From those conversations, there was the example of self questioning related to the text which have been created by student 1 (S1), that was: Who lives in Gua Tabuhan?. And then in the next paragraph, the students should make their own questions and wrote it on the board. The teacher also let the students to read aloud the text because it can make the students active and interact in making their own questions. During this activity, the students looked interest and made them read the descriptive text actively. This activity gave the advantages to the students, involved directly to the text that they were read. So, each student should read the text with their ability and then make their own questions. This strategy really useful for any level of the students reading capability, because they make their own questions based on their ability, it will give them the right predictions during the discussion in reading comprehension activity. Some of the students are actively in making some questions during this activity although some of them answered and showed their questions used Indonesia language and few of the students are kept silent when the teacher asked their opinion and their own questions that they have made. In whilst-reading activity, the teacher asked the students to read the whole text; she pointed some of the students to read the passage aloud. The students showed a good response in teacher’s instructions by raised their hand which indicates that they want to read the text loudly. The teacher asked the students to read the text carefully and made correction when the students made some mistakes in reading text including their pronunciation. The teacher also asked the students to read the text and try to find the answers of the questions that have been made by the students in pre-reading activity. The students read the passage silently. It was different with the last two meeting which the students read the text loudly. In post reading activity, the teacher asked the students to confirm or reject their own questions with their friends, like what have been done in the last two meetings. They discussed their own questions and the answers of their own questions. Then, the teacher gave the students time to do the exercises related to text on a piece of paper. After the students submitted their work, the teacher asked the students’ difficulties. Then, together with the students made summary about what they have learnt on that day. In post reading activity, after the teacher asked the students’ self questions in order to showed their participants in Three Questioning as a strategy in reading comprehension descriptive text in the prereading activity and asked the students to read the whole text in whilst-reading activity. The teacher continued with the next step. As the researcher has been explained before that the teacher asked the students to make their own questions. The students are got problems in deliver their own idea, but the teacher tried to help them and gave them a suggestion to discuss it with their friends. The students sometimes felt afraid to show their questions in front of the class because they felt shy if their sentences are wrong. So, some of them chose to keep silent. In order to solve this problem, the teacher gave some clues as their guide in making their own questions. The students are allowed to open the dictionary and discuss it with their friends; the teacher always gave motivations which help them to create their own questions. When the students already made their questions the teacher list all the students questions on the board. After that she asked the students to read the passage silently, sometimes the teacher asked a volunteer to read the passage a loud. The teacher asked the students to confirm or reject their own questions with their friends, and used some questions such as “which of these questions do you think would be the most suitable for the first paragraph?” and “why do you think this question is a good one?”, or “what do you think about this question, is it suitable for the third paragraph?” and then she also asked them to reflect on their own questions.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
383
The implementation of Three Questioning strategy can be seen from the result of observation checklists and field notes. There were three activities in implementing this technique; they were prereading activity, whilst-reading activity, and post-reading activity. In pre-reading activity, before the teacher gave material, she selected the material that appropriate with the students’ ability and difficulty and also considered with the genre of the texts that have to be mastered by the tenth grade students. Therefore, from the observations, the teacher selected interesting materials to the students in order to avoid their boredom. Teacher also always stimulated the students before giving the materials. She gave questions related to the materials in order to motivate and build the students’ curiosity. Motivation is one of the factors that influence the successful of study. By doing this activity, the teacher hoped the students had strong intention to know the material and need the material. The first thing to do by the teachers in reading comprehension is activating the background knowledge of the students. The background knowledge or pre-existent knowledge will be useful by the readers to predict the relevant content text’s content both before and during of it. Harmer (2003: 199) states that a reader, who did not have such a preexistent knowledge, would find the reading task more difficult. When the readers’ background knowledge is active, they will be able to recognize what they see or hear because it fits into patters that they already known. Moreover, during the discussion the teacher gave opportunity to the students wisely in giving their opinion or when the students created their own questions related to the text. And this opportunity was used well by the students to give their opinions. It made the students become active during the teaching and learning process. In whilst-reading activity, the students also respond to the teacher’s instruction when the teacher asked them to read the text. Some of them showed their enthusiasm in reading the text loudly and it belonged to participation’s score. In post-reading activity, the teacher with the students discussed about the questions which have been made before. The teacher also corrected the students’ mistake when they were giving opinion directly. It had a purpose to remind their mistake and explain the correct one. Therefore, the students would remember it and avoid them to make the same mistakes. The implementation of the strategy from the first meeting until the third meeting were in line with what have been explained in theoritical review. Moreillon (2007: 60) states that when the educator models and instructs the simple “sentence starter” in pre-reading activity, at the same time, contextual learning occurs in present activity, during whilst-reading and post-reading activity, teacher can do monitoring comprehension of each student by comparing their questions. It determines how significant their own questions help them to comprehend the text. This assessment will illustrate the level of comprehension of each student, and of course it measures the strength and the weakness of each student. It is important for teacher for next activities dealing with serving the right treatment for students. The difficulties which were faced by the teacher were known from the result of the interview which had done with the teacher. The teacher said that the difficulty in implementing this technique was in motivating the students to create their own questions. Only the active students would become more active while the passive students tended to be passive as usual. To overcome the difficulty, first of all, the teacher guided the students to make questions related to the topic. In the first and second meeting, she gave the example how the questions should be created, she as guider and facilitator helped the students explore their opinion until the students were able to create their own questions related to the topic. Second, to help the passive students became more active, the teacher should motivated the students by ask them to discuss their opinion with their friends. The teacher used exercises as daily assessment. It had a purpose to know how far students’ reading comprehension or students’ understanding about the material and to know the students’ result during the implementation of three questioning strategy. The exercises were in the form of short answer test or comprehension question. The teacher used a certain rubric scoring guide to know the ability of the students, which was reading comprehension scoring guide.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
384
The result of the tasks showed that the average score in the third meeting was higher than in the first meeting. It is prove the benefit of using the strategy like what have been explained before. It can be concluded that the use of three questioning strategy is effective in teaching English, especially teaching reading comprehension of descriptive text. In this case, the strategy hold an important role in promoting critical thinking to investigate the insightful meaning of a text, promoting the curiosity to keep the readers’ motivation in reading a text. It is in line with Nelson, Smith, & Dodd, in Moreillon (2007: 70) that states this strategy increases the capacities of the student by promoting criticalism of student thinking on questioning (cognitive aspect) and the curiosity to conduct student engagement to the text (motivation aspect). CONCLUSION The use of Three Questioning strategy is one technique which appropriate and useful in the teaching reading descriptive text for tenth graders. The strategy can promote critical thinking of the students; build their curiosity which makes them motivated in doing reading text and develops social skill to help each other to solve the problem in doing reading text. Besides, the technique keeps the students engage to the text and make them focus during reading activity in the classroom. Those phenomena makes the students comprehend the text easier. Though the students have problem with vocabulary but they are able to catch the insightful passage which determine that the students understand the material well. Based on the data analysis on the previous chapter, the researcher concludes that the implementation of three questioning strategy to the students of X-B SMAN 3 Kota Mojokerto is good and in line with the theory which have been explained in chapter II. Although in the first implementation the teacher doesn’t explain the strategy understandably and the students seem confused, the strategy is quite helpful in teaching reading descriptive text. In the second and third implementation both the teacher and the students are able to use the strategy in reading descriptive text well. From the data that had been got by the researcher, it shows that there is significant difference of the students’ reading ability after taught by Three Questioning strategy. The students’ comprehending reading tasks in the third meeting are better than in the first meeting. Therefore, it can be concluded that teaching reading descriptive text with Three Questioning strategy can give contribution to the students in understanding the text given by the teacher. REFERENCES Ary, D., Jacobs, L.C., & Razavieh, A. (1990). Introduction to Research in Education third edition. New York: CBS College Publishing. Depdiknas. (2004). Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Inggris Untuk SMA dan MA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Jakarta: Depdiknas. Harmer, Jeremy. (2003). The Practice of English Language Teaching: 3rd Edition. Britain: Longman. Hyland, K. (2004). Genre and Second Language Writing. Ann Arbour, MI: University of Michigan Press Moreillon, Judi. (2007). Collaborative Strategy for Teaching Reading Comprehension Maximizing Your Impact. Chicago: American Library Association.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
385
70 STIMULATE CHILDREN TO SPEAK ENGLISH AT HOME BY USING STAR SIGNS FitrahYuliawati, M.Pd. Madura Islamic University Abstract: Nowadays, English seems to be usual for children. Children learn naturally when they are having fun. The purpose to introduce English for children is to interest and stimulate them to learn English earlier. One of the most important factors in teaching foreign languages to young children is helping them form positive perceptions of communicating with foreign language. Parents have to enthusiastic and give children lots of encouragement and praise. Children will pick up on enthusiasm for the language. Whatever parents approach, the most important thing is to relax, have fun and make English an enjoyable experience for both parents and child. One of the most important factors in teaching foreign languages to young children is helping them form positive perceptions of communicating with foreign languages.A great advantage of early childhood second language exposure is that it helps children form a positive impression of foreign languages. The method used here is a star sign method. Here the children have to put the star sign into the things. The stepsare: 1) making star sign as much as the children needs with the name of children, 2) tell the children the vocabulary, 3) repetition of vocabulary, and 5) let the children to put the star. The last is parents ask children the vocabulary that sign by star. KeyWords: Stimulate, Children, English, Star Sign
INTRODUCTION According to Sulaiman (2009, learning English early on is a wise choice. It means that learning English is good for students. The students at the first grade can learn English moreover English as the international language will be needed and used by the students around the world. The students will grow and develop to be the intelligent skilled citizens and ready to take part in national development.In addition, Surya (2004) stated that learning is a process which is done by individual to get new behavior conversion overall as a result of individual experience in interacting with their environment. Every teaching-learning process aims at reaching an improvement in learning achievement. In that process, the participation of both the teacher as the educator and the students as the learners is need (Irwin, 1948). In other words, in a teaching-learning activity, teaching and learning, will present an overview of language and learning beliefs, in this century, that have affected the shift towards rather dramatic changes in our classroom dynamics. Language is learned firstly in a family. In a family, parents are responsible for the welfare of the children and offer the children an embracing, unconditional love that overlooks and compensates for their weaknesses. Through their example, they teach their children the basic values and attitudes whichthey will carry throughout life. The children, in turn, respect their parents as the source of their very being, as their teachers, and as the ones who have labored and sacrificed for their sakes. When they are grown, they should be responsible to care for their parents in their old age. These relative responsibilities should not be undertaken as a matter of duty, but rather emerge from the spontaneous promptings of parental love and the children's gratitude and respect. This is the vertical axis defining relations of love and respect between people of unequal status and different responsibilities. For the most part, it is parents who teach their young children to speak their home language. Throughout the first two years of life, it is often the mother’s voice and her special way of talking, called ‘parentese’, that teaches young children about language and how to talk.Parents, even with a basic knowledge of English, can successfully support their young child learning English by re-using and
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
386
adjusting many of these same parentese techniques. Parents may worry about their accent in English. Young children have a remarkable ability to alter their accent to match the English of their surroundings. Young children need to feel ‘I can speak English’ and ‘I like English’ and their parents’ support can help them achieve this from their first lessons. Young children are natural language acquirers; they are self-motivated to pick up language without conscious learning, unlike adolescents and adults. They have the ability to imitate pronunciation and work out the rules for themselves. Any idea that learning to talk in English is difficult does not occur to them unless it’s suggested by adults, who themselves probably learned English academically at a later age through grammar-based text books. Here, the advantage of teaching English at home is that parents can use everyday situations and real objects from around the house to practise the language naturally and in context. For example:Talk about clothes when your child is getting dressed, or when you are sorting laundry (Let’s put on your blue socks, It’s Dad’s T-shirt, etc), practise vocabulary for toys and furniture when you are helping your child to tidy their bedroom (Let’s put your teddy bear on the bed!, where is the blue car), teach food vocabulary when you are cooking or going shopping. When you go to supermarket, give your child a list of things to find (use pictures or words depending on their age). Revise the vocabulary when you put the shopping away at home.Children may lack confidence in speaking English – seeing their parents using English in various situations around the home may help them feel more comfortable speaking English. And of course it is good for children to see English being used in a place other than school. According to Wendy A.Scott and LisbethH.Ytreberg (1980) the characteristic of children is essentially to know, in which: What five to seven years old can do at their own level (characteristic) They can talk about what they are doing They can tell you about what they have done or heard They can plan activities They can argue for something and tell you why they think what they think They can use logical reasoning They can use a wide range of intonation patterns in their mother tongue They can understand direct human interaction They know that the world is governed by rules They understand situations more quickly than they understand the language used They use language skills long before they are aware of them Their own understanding comes through hands and eyes and ears They are very logical-what you say first happens first They have a very short attention and concentration span Young children sometimes have difficulty in knowing what is fact and what is fiction Young children are often happy playing and working alone but in the company of others Young children cannot decide for themselves what to learn Young children love to play and learn best when they are enjoying themselves Young children are enthusiastic and positive about learning Besides knowing the characteristic of children, here parent’s role include in children progress such as: Parental support Children need to feel that they are making progress. They need continual encouragement as well as praise for good performance, as any success motivates. Parents are in an ideal position to motivate and so help their children learn, even if they have only basic English themselves and are learning alongside their young children. By sharing, parents can not only bring their child’s language and activities into family life, but can also influence their young children’s attitudes to language learning and other cultures. It is now generally accepted that most lifelong attitudes are formed by the age of eight or nine.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
387
Why parents’ help is best: Parents can focus on their child, spending some one-to-one time with them Parents can fit English sessions into any part of their day to suit their child and themselves Parents can regulate the lenght of an English session and select activities to fit their child’s needs, interest and ability to concentrate. Parents know their child imtimately and can intuitively judge the type of English talking suitable for their individual ways of picking up language. Parents can best interpret their child’s moods and respond to them. Children have days when they eagerly absorb language and others when they find it difficult to concentrate. Parents can introduce more fun, as they are working with an individual, not a class Parents can introduce English culture into family life, so broadening their child’s outlook and understanding of their own culture as well as things English. The method is a way to transfer knowledge for others. The method used here is star sign method. According to oxford dictionary Sign is mark or symbol used to represent something.On other hands star is figure with five or more points resembling a star, often used to show quality. The sign used in this method is made by papers that form like a star in many colors. According to children characteristic color is one of the best ways to stimulate children in doing something. The physical surroundings Young children respond well to surroundings which are pleasant and familiar. It at all possible, put as much on the walls as parents can – calendars, posters, postcard, pupil drawings, writing etc. children like everything concrete. The steps using star sign here are: (1) Making star sign as much as the children needs. (2) Parents tell the children the vocabulary (name in English) of things around home. Such as: door, window, plate, glass, bedroom, chair, table, etc. include the name of the family such as father, mother, sister and brother (3) Do the repetition, (4) Let the children to put the star. (5) The last is parents ask children the vocabularies that sign by star. (6) Getting the children to respond. The next step is to try to use phrases for children to act on and respond to in English. So during these everyday events, ask children to help or ask them about their opinions. Such as: - Where is your book? - Can you put the spoons on the table? - Which is your favorite? After all the steps above the parents and children can account how many star that the children have refer to the things, such as door, window, television, spoon, plate, doll, floor, bedroom, gate, glass, shoes, etc. remember to avoid rewards. A reward is only to make the children complicated in learning something. Firstly children will enjoy the rewards but finally they will ask for the larger rewards and it will take to complicated situation between parents and children. Parents can use this method in routines activities to build good habits to their children. Children do not have to learn English formally but they can learn fun and enjoy at home by supporting from their mother and fathers. The more vocabularies the children have the more they can easily in speaking English.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
388
CONCLUSION Children are a young learner. Young learner learns better language than adults because they are natural. The earlier language introduce to the children the easier children use the language. From the discussion here, it can be seen that children cannot learn something by themselves. They need support and help from others especially from their parents. Mother takes an important role to influence children to learn language because mother is the only person who stay close with the children. Home is the first social language for the children because at home children needed fulfill. The language can be learning at home by children under support and help from parents. Let’s the children speak English as soon as possible to make them comfort with the language. REFERENCES Irwin. (1948). Publishing. Teaching to Diversity: Teaching and Learning in the Multi-Ethnic Classroom (Canadian Cataloguing in Publication Data Meyers, Mary) Oxford Dictionary. (1995). Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford University Press Sulaiman, S.B. et.al, (2009). Basic English Primary1. Surabaya: Yudhistira Surya, Mohammad. (2004). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung: PustakaBaniQuraisy Wendy A.Scott&LisbethH.Ytreberg. (1980). Teaching English to Children. Longman New york
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
389
71 CREATIVE WRITING IN POETRY CLASS FOR BEGINNERS Lilis Lestari Wilujeng English Letters Study Program - Faculty of Language and Arts Universitas Ma Chung Abstract: From the three written genres of English literature, poetry is considered as the most challenging for beginners, if compared to prose or drama. It holds true since poetry requires more critical thinking for enjoyment, interpretation or analysis. To a certain extent, the language employed in poetry is quite different from one employed in prose or drama, since it is denser, more intensified, and metaphorical, not to mention specific rules concerning its basic versification such as stanzaic forms, rhythm/metrical lines, and rhymes. Therefore, in relation to creative writing as an important enriching capacity for students, this paper is going to expose the implementation of creative writing in poetry class, particularly for the first/second year students of English Department or even high school students beginning to get acquainted with English poetry. Creative writing itself is any form of writing which is written with the creativity of mind, in which poetry writing is included. The discussion, thus, will deal with how to compose such short poems as acrostic poems, concrete poetry (the shapes of poetry), limerick, haiku-like poems, repeat-a-word poems, cinquains, riddle poems, and the like. The detailed discussion will cover the definition of each term, the characteristics of each kind of poems, and the steps of creating poems under discussion. In so doing, it is expected that poetry class will encourage students to create their own works, instead of only interpreting, analyzing, and enjoying works of other poets. Keywords: poetry, creative writing, acrostic, concrete poetry, limerick, haiku
INTRODUCTION In relation to creative writing as an important enriching capacity for students, this paper is going to expose the implementation of creative writing in poetry class for beginners, i.e. the first/second year students of English Department or even high school students beginning to get acquainted with English poetry. As a form of artistic expression, creative writingdraws on the imagination to convey meaning through the use of imagery, narrative, and drama. This genre includes poetry, fiction (novels, short stories), scripts, screenplays, and creative non-fiction (essays, memoirs, etc.)(Holland, 2003).Creative writing is also defined as any form of writing which is written with the creativity of mind, in which poetry writing is included.In poetry writing, students can have a lot of fun with language (even, inventing new terms as done by Shakespeare – bandit, gossip, swagger; Dickens – boredom) (Donovan, 2015). If compared to prose and drama writing, poetry writing is quite challenging because of several aspects. The first is its diction/choice of words which are more connotative and metaphorical leading to imagery (mental picture made out of words) (Abrams, 1999), e.g. home - house, famous - notorious, or “it cannot be love till I love him that loves me”.Furthermore, poetry has specific basic versification, such as stanzaic form, rhythm/metrical lines, rhymes, numbers of syllables in certain lines, and the like. Along with those two, there are various types of poetry with various rules of writing them. Therefore, creatively writing short poems will be quite beneficial for those students. They will be exposed to various types of English poetry, enrich their vocabulary, sharpen their artistic capacity, develop their imagination, and eventually be ready to enjoy, interpret, and analyze more complicated pieces of English poetry. DISCUSSION In relation to the objective of this paper, there are at least seven types of short poems to be implemented in poetry class for beginners, i.e. acrostic poem, shape poem/concrete poetry, repeat-a-word
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
390
poem, limerick, haiku, cinquain, and riddle poem. The detailed discussion will cover the definition of each term, the characteristics of each kind of poems, and the steps of creating poems under discussion. Acrostic Poem An acrostic poem is a type of poetry where the first, last or other letters in a line spell out a particular word or phrase. The most common and simple form of an acrostic poem is where the first letters of each line spell out the word or phrase. For example: CONFLICT Close enough to catch your shadow Oh if you could see me now Near the edge of despair Full of sorrow Lies in these shady eyes of mine If you leave me now Could this heart of mine handle it? Too hard it seems (by Felicia and Pricillia, sophomores of ELSP, Universitas Ma Chung Malang) To write an acrostic poem, first of all, students have to choose the title of the poem.It can be any subject students like to think of, e.g. an own name, hobby, someone’s name that they think very important in their life, virtues, or even assigned by the teacher or lecturer.Afterwards they write the letters of the title down the page and create the poem. Concrete Poetry (Shape Poem) Sometimes poets create poems that have a visual impact on the reader. The shape of the poem immediately shows the readers what the poem is about. Below is an example of a shape poem taken from a website on the Internet.Entitled Heart Shaped Writing for Valentines, Ogen (www.pinterest.com) arranged the words in such a way thatits shape reminds readers of love, since the diction depictsthe poet’s ideas about all the things related to love in her life.
The following steps will guide students to write their concrete poetry, i.e.: Students need to decide what they are going to write about. If the students like sport they could write about a football or tennis racket. They could also use a heart shape to write about something they love. What about nature – a butterfly, tree or snowflake, or students could think about something they like, or like doing to help students choose what to write about.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
391
Once students have decided on their object it is now time to begin writing their poem. They may jot down any words or ideas. As students need to fit their poem in a shape, keep it as short as they can. If they are having trouble, use the five senses, touch, feel, sight, sound and taste to describe their object. Once they have written their poem it is time to write their poem into a certain shape. Draw the object's shape and begin fitting the words inside. If the students have too many words, they may shorten the work, too few, add something further. With all shape poems sentences will overlap onto the next line, they don’t need to worry, since they just need to add a comma or full stop to break sentences. Their poem can also start at the bottom or from the top, it is up to them.
Repeat-A-Word Poem As the term suggests, it is a poem that contains a repeated word or phrase. For example: Betrayal Betrayal is when no one cares of your well-being Betrayal is when your loved ones avoid you Betrayal is when your parents abandon you Betrayal is when no one acknowledges your existence Betrayal is when you’re left to die. (byYosephine, a sophomore at ELSP, Universitas Ma Chung Malang) In writing a repeat-a-word poem, students need to do the following steps: Determine the theme and the title. Pick an interesting word or phrase to be repeated, since each line of the poem should contain that repeated word or phrase. The word or phrase may come at the beginning, the middle, or the end of a line. Continue writing this repeat-a-word poem until completed. The division of the stanzas and numbers of the lines are up to the poet. LIMERICK One of the most popular forms of nonsense verse is limerick. A poet called Edward Lear, who lived in the nineteenth century, wrote many limericks. He published them in A Book of Nonsense. Although he did not invent the limerick, he was the first person to make this form of verse really popular. Soon everyone was writing limericks. Below is an example of a Limerick by Edward Lear: ‘There was an old man with a beard Who said, 'It is just as I feared, Two owls and a hen A lark and a wren Have all built their nests in my beard!’ If compared to writing the other short poems, creating a limerick is the most challenging, because of several rules related to the numbers of lines, numbers of syllables in each line, and the rhyme scheme that they have to pay attention. Comprising only one stanza, the limerick consists of five lines. The last line always rhymes with the first two lines, and the third and fourth lines rhyme with each other. In short, the rhyme scheme is aabba. Lines one, two and five may have from eight to eleven syllables, and lines three and four may have from five to seven syllables. The last line of any limerick is special because it is the funny one – the one that contains the surprise or punchline. In other words, below is the stanzaic form of a limerick: Line 1 a 8 – 11 syllables Line 2 a 8 – 11 syllables Line 3 b 5 – 7 syllables
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
392
Line 4 Line 5
b a
5 – 7 syllables 8 – 11 syllables
Haiku An enjoyable way of writing students’ own poetry is to imitate the structure of the Japanese haiku. A Haiku is a type of poetry that can be written on many themes, from love to nature (Sadler and Hayllar, 1991). For examples : The sky is so blue (5 syllables) The sun is so warm up high (7 syllables) I love the summer (5 syllables) I’ve seen the future It’s quite interesting because I see my old self (by NugrahaRyadiKusuma, a student of SMAN 8 Malang) Unlike a limerick, the haiku is made up of three short lines of five, seven and five syllables respectively. It has a total of seventeen syllables.In short, a haiku consists of only a stanza containing 3 lines, as described below: Line 1 has to contain five syllables Line 2 has to contain seven syllables Line 3 has to contain five syllables Haiku poems do not need to rhyme, but for more of a challenge some poets try to rhyme lines 1 and 3. Cinquain A cinquain is a verse of five lines that do not rhyme. The word ‘cinquain’ is derived from the French word ‘cinq’ which means five. This type of poem was invented by Adelaide Crapsey. She was an American poet who took her inspiration from Japanese haiku and tanka.For example: Family Family Lovely, warm Laughing, suffering, standing Excitement on roller coasters. Everything. (byKhalishaKymita, a student of SMAN 8 Malang) A cinquain may be composed under the following steps: Each line follows a rule. Students can choose whatever topic they like to write about. The lines will be: Line 1 Title (one word) Line 2 Description (two words) Line 3 Action (three words) Line 4 Feeling (four words) Line 5 Reflection on title (one word) A Riddle A riddle is a type of poem that describes something without actually naming what it is, leaving the reader to guess. A riddle is a light hearted type of poetry which involves the readers. For example:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
393
An exotic reptile, living through time Moves with grace of a mime Every place he considered home Roof was built like the shields of ancient Rome Always humble and never mean Never forget its signature green What is it? A turtle (by Ahmad Diva, a student of SMAN 8 Malang) Seen from the sample composed by a high school student in Malang, riddles can be about anything, from riddles about animals to riddles about objects. There are no rules on how to structure a riddle poem. A riddle can be funny or it can rhyme, it depends on the person writing the riddle.Students may start by describing the object in question. Later on, they may develop those descriptions in the first four to unlimited numbers of lines, followed by the impression that they get about the object in the next lines (optional).Then the last line before the answer, they may give a question. CONCLUSION From the discussion above, composing short poems creatively can be implemented in poetry class for beginners, i.e. those who start getting acquainted with works of English poetry. The practices will lead and motivate them to further enjoy studying literature, particularly English poetry. In so doing, it is expected that poetry class will encourage students to create their own works, instead of only interpreting or analyzingworks of other poets. REFERENCES Abrams, M.H. (1999). A Glossary of Literary Terms. Seventh Ed. Boston: Heinle&Heinle, Thomson Learning. Diva, A.A Turtle. A Poem presented in “Workshop on Creative Writing: Poem Writings for Enjoyment and Inspiration” held by Universitas Ma Chung on April 14, 2016. Donovan. M. (2015).Poetry Writing Exercise: Creative Wordplay. Retrieved on 1 April 2016 from http://www. writingforward.com/category/writing_exercises/poetry-writing-exercises. Felicia and Pricillia.Conflict. A Poem Presented in Poetry Subject, October 26, 2014. Holland, S. (2003).Creative Writing: A Good Practice Guide. England: English Subject Centre. Kusuma, N.R. Haiku. A Poem presented in “Workshop on Creative Writing: Poem Writings for Enjoyment and Inspiration” held by Universitas Ma Chung on April 14, 2016. Kymita, K. Family. A Poem presented in “Workshop on Creative Writing: Poem Writings for Enjoyment and Inspiration” held by Universitas Ma Chung on April 14, 2016. Ogen. K. Heart Shaped Writing for Valentines. Retrieved from http://www.pinterest.com on April 2, 2016. Sadler, R.K., and Hayllar, T.A.S. (1991).Poetry for Pleasure. Australia: Macmillan Education Australia Pty Ltd. Yosephine.Betrayal.A Poem presented in “Workshop on Creative Writing: Poem Writings for Enjoyment and Inspiration” held by Universitas Ma Chung on April 14, 2016. _______, What is a limerick? Retrieved from https://www.studentsngwriters.co.uk/types-limerick _______, What is a cinquain? Retrieved from https://www.studentsngwriters.co.uk/types-cinquain _______, What is acrostic? Retrieved from https://www.studentsngwriters.co.uk/types-acrostic
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
394
72 STUDENTS’ STRATEGIES TO OVERCOME SPEAKING PROBLEMS IN EFL SPEAKING CLASS (INTERMEDIATE CLASS) IN TERTIARY LEVEL Maula Khoirunnisa’ Universitas Negeri Malang Abstract: This article reports on a study that aims to find out the strategies used andproblems faced by the students of Speaking 2 class of State University of Malang. Thesubjects of this study, students in Speaking 2 Classes, were all not in a created setting.They were all in their natural activities in the classes while the researcher was theobserver. The data were taken mainly by recorded-voice of the students while doingactivities in the classes. The data collected were also supported by the result ofobservation sheets, questionnaires and interview sessions. Findings and the discussionsof this research were presented systematically following the literature used. The resultshowed five problems, and these five problems are all common problems that are facedby the students. The other results showed the three concepts of the CommunicationStrategies that the students mostly used to overcome their problems in speaking. Basedon the findings and discussions, this study provides the recommendation on what thestudents can do to overcome speaking problems and what things the lecturers can do inorder to help their students to overcome the problems in performing speaking skillsespecially in speaking class. Key words: students’ strategies, speaking problems, EFL Speaking Class, tertiary
INTRODUCTION In English department, the needs of using English is not only for the sake of everyday communications, but also for the needs of communicating in their academic purposes. If the students could not perform English well, it would be a big obstacle for them to continue their study. Oral performance of English is very important to support the students’ activities in the classroom. In short, speaking classes take a very important role for the students, due to their needs to perform oral English well. Considering what has been stated by Cahyono&Widiati (2011), along with the process of learning, some other problems might arise. Many possibilities of problems would be faced mainly by the students. A common typical case is that there might be misunderstanding or even misconception between the students’ acceptance of the teacher’s explanation and the real concept of teachers’ explanation. The most common problem faced by the students is that they often get stuck. They cannot express their opinion fluently. In order to convey the messages to other people the students would absolutely try to do their best to select appropriate language expressions. Along with the trial, they would be working hard on looking for the right expressions in their language storage. Or, for those who do not have sufficient selfconfidence and/or prior knowledge of the topic, they would probably only remain silent without continuing their attempt. A number of reasons for such occurrence can be anxious feeling due to pressure which require the students to present individually and spontaneously within limited time (Padmadewi, 1998). In addition, according to Harmer (2007) feeling ashamed of being laughed at by others students also can block students speaking. Since the students are in the level of university, they might think of any other solutions toward their own problems. As stated before since the students are the ones who mainly face the problems, the solutions which come from the students could be more helpful to overcome the problems.Therefore, the focus of this research was to find out the problems that the students face and also the strategies the students used in overcoming their problems in speaking. This research was focused on the students in Speaking 2 Class of State University of Malang, year 2014/2015.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
395
THEORIES Beare (2007) stated that many English students complain that they understand English, but do not feel confident enough to join a conversation. There are a number of reasons for this including: (i) Students are trying to translate from their native language into English; (ii) Production “blocking” is occurring due to nervousness, lack of confidence, etc; (iii) The speaker is looking for a specific word, rather than using simple language to describe what is meant; (iv) There are not enough opportunities in or outside of class; (v) Students are not able to speak to peers (for example: mixed classes of adults and teenagers); (vi) Exam preparation focuses on grammar, vocabulary, etc. and leaves little time for active use. In order to cope with the problems that have been stated in the previous part, of course the existence of strategies is needed by the students. The ways of coping with the situation is called communication strategies.According to Faerch and Kasper (1984) there are two types of communication strategies. They are achievement strategies and reduction strategies. In other article, Dornyei (1995:58) stated that there are 3 main concepts communication strategies following traditional conceptualizations. Then those three main strategies are then modified into twelve (12) types of communication strategies, they are: 1. Message abandonment – leaving message of utterance unfinished because of language difficulties. 2. Topic avoidance – avoiding topics or concepts which they find difficult to express. 3. Circumlocution– describing or paraphrasing the target object or action. 4. Approximation – using an alternative term which expresses the meaning of the target lexical items as closely as possible. 5. Use of all-purpose words – extending a general, empty lexical item to contexts where specific words are lacking. 6. Words-coinage – creating a nonexisting L2 word based on a supposed rule. 7. Use nonlinguistic means – mime, gesture, facial expression, or sound imitation. 8. Literal translation – translating literally a lexical item, an idiom, a compound words or structure from L1 to L2. 9. Foreignizing – using a L1 word by adjusting it to L2 phonologically and/or morphologically. 10. Code switching – using a L1 word with L1 pronunciation in L2. 11. Appeal for help – turning to the conversation partner for help either directly. 12. Use of fillers/hesitation device – using filling words to fill pauses and to gain time to think. METHODOLOGY The approach of this study was qualitative. The data contained the problems that the students faced and strategies that were used by the students of English Department of State University of Malang. The subjects were fifty-two (52) students from Speaking 2 Classes. The instrument used were: observation sheets to record the data taken from classroom activities when the students were presenting their report; questionnaires to obtain personal information from the students; and interview guide to get deeper information which had not been obtained during the observations. DISCUSSIONS Findings and Discussions on Problems Faced by the Students The first is trying to translate from L1 into L2. This was shown in the result of the questionnaire. There are 41 students, or about 78. 8%, acknowledged that they think of what they want to say in their native language then translate it into English. This was also seen in the observation that the students often used literal translation in their speech. Thus they should face the obstacle of double-working, translating the language and the concept. Secondly, production “blocking” that sometimes cause awkward moments to the speakers. This problem might occur due to nervousness, lack of confidence, etc. In every observation, the students often stopped their speech in the presentation. It happened because of some different reasons. Based on the questionnaire given, there are some statements which refer to production “blocking”-problems. The
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
396
statement, that shows the production blocking due to nervousness, got 67. 3% of 52 respondents. The last statement about production “blocking” is about the students’ confidence during the process of speaking. It has also some reasons such as lack of vocabulary or their accuracy of pronouncing some words. In this statement the number of respondents are 36, or about 69. 2% of 52 respondents. According to Basic (2011) irregular heartbeat, perspiration, stumbling and inability to act are few symptoms that block ones capacity to act and speak. The third problem of speaking problems according to Beare (2007) is that the students are looking for specific words. The students were often doing some pauses in order to gain more time to think about specific words. They stopped for a while then continued their speech after they got the best words to express their idea. According to Linbald (2011) in process of L2 production, the students has to search his memory for the vocabulary needs then they should make an effort to put the words together in grammatically correct sentence. The fourth is dealing with the time limit of students’ speech. Even though speaking classroom has been designed to help the students in improving their speaking skill, yet the time limitation is one of the obstacles. Even though some students said that they have gotten enough time or opportunities to speak in classroom, yet this will not work the same with the others. There are also students who, perhaps, could not get the opportunities to speak. Another speaking problem is that the students are not able to speak to peers. This is caused by many reasons such as the diversity of students in the classroom. In classes that have been observed, the researcher found that each class has various students. There is a class that consist of students who have different semester, and also a class that consist of different concentrations of study. The pressure due to the feel that the other groups are more capable than their group sometimes was the major reason to not able to speak to peers. The last problems that has been stated by Beare is exam preparation focuses on grammar, vocabulary, etc. Even though this kind of problems did not occur during the observation, yet other problems related to grammar and pronunciation appeared. As Linbald (2011) stated that the students has to make an effort to put the words together in a grammatically correct sentence. In addition to those problems, the researcher found that the students also faced the difficulties to read the numbers. It can also be influenced by their native language. Since the students should think first the numbers in their native language then translate them to English, they needed more time to gain the correct information about how to say the numbers. Thus they seemed to hesitate before they read the numbers. The other problems are the students were worried about the others’ response and the students forgot or did not know how to pronounce the words. Besides grammar, the students were also being cautious about their pronunciation. The students’ concern much on their pronunciation. The ironical situation was that a student change her pronunciation on a correctly-pronounced word into wrong way. This was due to their concern about the other students’ understanding toward their speech. Findings and Discussions on Students’ Strategies in Overcoming Speaking Problems According to the result of the observation, the questionnaire, and the interview, all communication strategies mentioned by Dornyei, were employed by the students in Speaking 2 class.First, avoidance or reductions messages which is divided into two types of strategies. Message abandonment and topic avoidance. There are times when the students abandon the messages that they should deliver through their speech in class for they lack of the necessary vocabulary they need. This statement is also supported by Dornyei who stated that this happened because of language difficulties, thus the students tend to leave the message unfinished. According to the result of questionnaire and the interview, the students acknowledged themselves that they employed this strategy and they tended to leave their speech unfinished and let the others wonder themselves what is the core of their presentation. They also argue that it would be more efficient in terms of time limitation. The next strategy is topic avoidance. In the interview session, the students insisted that they did not use this kind of strategy. Yet this was contradicted by the result of the questionnaire and the result of the observation. In the observation there were times when the students avoid giving any comments on the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
397
techniques used in their friends’ presentation. They added that topic avoidance also occurs when individuals try to not let other person talk about something or disclose information on a particular topic. The next are achievement or compensatory strategies which are divided into nine strategies. Circumlocution which means describing the target words they meant is the first strategy. According to the data found, in classroom the students also described the words than looking for the exact words. According to Cook (1988, in Begovic, 2011) that paraphrasing strategy rely on the speaker to solve the problem through the second language. Thus the students tend to describe the target words using other words they are familiar with. The next strategy, use of all-purposed words, did not occurred in the observations. Yet in the questionnaire some students acknowledged themselves using the strategy. They found all-purposed words are really useful in the presentation when they could not reach the target word they meant. They would combine this strategy with gestures, mimic, or facial expressions. They would also meant to use this strategy to help them employ message abandonment strategy. It also meant to check the understanding of the audience about the topic they talked about. Approximation as the next strategy was also employed by the students. The data found shows that the students used alternative term to express the thing they meant as closely as possible. Since the students of English Department are expected to perform the language as close as possible to native speaker, so the students were likely to employ the strategies that are mostly used even by the native language. Although for some reasons they probably employed this strategy to make use of the basic vocabulary they have or to cover up their weaknesses of their limitation to more complicated vocabulary. Next, the learners sometimes also used word coinage as one of the strategies in speaking. This strategy was employed since the students only knew one form of a word. They changed the word form into another form based on the supposed rule. According to the data, the students used the supposed rule to make new words. According to Tarone (1980), word coinage is employed when the learner makes up a new word in order to communicate a desired concept. For example is the use of ‘maximalize’ instead of ‘maximize’. The student added the suffix ‘-ize’ to the basic word ‘maximal’ the change the form of the word form adjective to verb. They use the supposed rule to make up a new word that is not even exist. Even though they follow the right rule to change a form of a word based on supposed rule, but they got the wrong formation of a word instead. The use of nonlinguistic means, like gestures, facial expressions and imitations, were also employed by the students during the observation. The data show that the students were using nonlinguistic means to replace the word they wanted to say. Dornyei (1995) stated that this strategy is employed when the students use gestures, mime, facial expression, or sound imitation. This strategy was employed when the students in a hurry to say a word but they suddenly could not find any lexical items to help them expressing the target word. The next is literal translation which is described as: literally translate lexical item, idiom, compound word, or structure from L1 to L2. The students often used this strategy especially for saying terms that could not be literally translated. Yet the data show that the students ignore syntactical rules of their sentences in their presentation. Then foreignizing is explained as: using an L1 word by adjusting it to L2 phonologically and/or morphologically. These two strategies were found in data. Other data show that the students used literal translation to help them in transferring their idea using L2. Although in many ways, it can be considered as a wrong way in using L2. In addition, foreignizing which shown in data display, was used because of the students think that the words they used existed in their L2. For example, the students said ‘stop-contact’ but used English pronunciation for electric socket. One of strategies that students used the most is code-switching. Unlike foreignizing which requires adjustment of L1 to L2, code switching does not even need any adjustments. In data found, the use of code switching seemed popular for the students. According to SPAHIU (2014) the use of L1 in speaking, could save great deal of time, since it does not need to remember or think of the meaning of L1 in L2. This also could prevent misunderstanding of the meaning of words. This also helped the students to save more times when they were talking. They did not need any longer pauses to think of words they wanted to say and just code switch the words they did not know in English with their mother tongue.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
398
Lastly from achievement or compensatory strategies is appeal for help. This strategy, based on the interview sessions, was also the most often used by the students besides code switching. The data had been drawing the result of the observation that the students often used this strategy to cover their limitation. The students consider this strategy as the easiest way to overcome their problems. Since there were times when students got nervous and it could result in their ability to remember the words they wanted to talk, besides code switching they also asked for helps. They could ask to their friends or their lecturer the translation or the words. CONCLUSION From the findings and discussion presented in the previous chapter, the researcher drew some conclusions. The first conclusion is that the students, despite their level of education, had some speaking problems in the class which hampered them from improving the ability to speak English. They faced some difficulties in expressing and sharing their ideas in the process of communication in the classroom environment.. Most of the time they find ways to solve the problem or ask the person they are speaking with to help them. And it can be seen by the number of strategies they used. The problems which occurred in class were caused by some factors: translating from L1 into L2, production “blocking”, looking for specific words, not enough opportunities, not able to speak to peers and also too much concern on their accuracy. The accuracy can be in terms of grammatical order, pronunciation and also in reading the numbers. All these problems occurred while they were doing the activities in class. The findings show that for most of the students almost all problems have roles in causing difficulties to students in speaking. To cope with these problems, the students employed some communication strategies. These communication strategies are message abandonment, topic avoidance, circumlocution, approximation, use of all-purpose words, words-coinage, use nonlinguistic means, literal translation, foreignizing, code switching, appeal for help and also use of fillers/hesitation device. Although code switching is the most frequent happened in the class, almost all of these strategies were employed by the students to overcome their speaking problems. REFERENCES Basic, L. (2011) Speaking Anxiety. (Online) (http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2: 453921/FULLTEXT01.pdf accessed on September 30, 2014) Beare, K. (2007). Speaking Strategies for English Learners(http://esl.about.com/od speakingenglish/speaking_hub.htm accessed on October 6th, 2014) Begovic, N. (2011) A Study of Communicative Strategies in Upper-Secondary School. (Online) (http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:453550/FULLTEXT01.pdf accessed on October 18, 2014) Cahyono, B. Y., &Widiati, U. (2009) The Teaching of EFL Speaking in The Indonesian Context: The State of The Art. (Online) (http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/The-Teaching-ofEFL-Speaking-in-the-Indonesian-Context-The-State-of-the-Art-Utami-Widiati-Bambang-YudiCahyono.pdf Accessed on October 3, 2014) Cahyono, B. Y., &Widiati, U. (2011) The Teaching of English as a Foreign Language in Indonesia. Malang: State University of Malang Press Dailey, R. M. &Palomares, N. A. (2004) Strategic Topic Avoidance: An Investigation of Topic Avoidance Frequency, Strategies Used, and Relational Correlates. Communication Monographs Vol. 71, No. 4, pp. 471-496. Routledge: Taylo& Francis Group Dornyei, Z. (1995) On the Teachability of Communication Strategies. TESOL QUARTERLY No. 1,(Online) (http://www.zoltandornyei.co.uk/uploads/1995-dornyei-tq.pdf accessed on October 10, 2014) Fearch, C., & Kasper, G (1983) (Eds) (1983). Plans and strategies in foreign language communication. In C. Faerch& G. Kasper (Eds). Strategies in interlanguage communication (pp. 20-60). London: Longman
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
399
Harmer, J. (2001:2). The Practice of English Language Teaching (3rd edition). Pearson Education ESL. Linbald, M. (2011) Communication Strategies in Speaking English as a Foreign Languge. (Online) (http://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:453878/FULLTEXT01.pdf accessed on October 8, 2014) Littlewood, W. (1992) Foreign and Second Language Leaning: Language Acquisition Researchand Its Implications for The Classroom. New York: Cambridge University Press. Macaro, E. (2001) Analysing Student Teachers’ Codeswitching in Foreign Language Classrooms: Theories and Decision Making.The Modern Language Journal Vol. 85. pp. 531-548. Mukminatien, N. (1999) The problem of developing speaking skills: Limitations of second language acquisition in an EFL classroom. English Language Education, 5(1), 1-10. Shumin, K. (1997) Factor to Consider: Developing Adult EFL Students’ Speaking Abilities. Forum, No.35. No.3. (Online) (http://exchange .state.gov/forum//vols/vol35/no3/p8.htm, accessed on October 8, 2014) SPAHIU, I. (2014) Using Native Language in EFL Classroom. IJ-ELTS: International Journal of English Language & Translation Studies Vol: 1 (Online) (http://eltsjournal.org accessed on October 18, 2014) (http://www.kata.petra.ac.id Accessed on October 08, 2014) Wahyuni, S. (2013) L2 Speaking Strategies Employed by Indonesian EFL Tertiary Students Across Proficiency and Gender.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
400
73 USING SIMULATION GAME TO IMPROVE SPEAKING ABILTY OF THE SECOND SEMESTER STUDENTS OF ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT AT MADURA ISLAMIC UNIVERSITY Samsi Rijal Madura Islamic Univeristy Abstract: This research was conducted based on the researcher’s observation at the speaking class of the second semester students. The result showed that students’ abilty is very low, it is because of some reasons; 1) they do not have enough opportunities to speak in the class, 2) they do not have self confident to speak in front of the class, 3) and they are afraid of making mistakes to speak English. Concerning with this, the research aimed to solve the students’ problem by using Simulation Game. The research design was classroom action research (CAR). It was conducted in cycles with the phases of plan of action, the implementation, observation and reflection. The result of this research showed that Simulation Game can solve the problems and improved the students speaking ability. The data showed that before using simulation game is 26.92% students who passed the target score. In the cycle 2, the score of speaking ability is increased, it is 69.23% students. The cycle 3, the score became 88.46% students could pass the target score. Based the researcher’s data, it can conclude that using simulation game is very effective to improve the students’ speaking ability. Keywords: Simulation Game, Speaking ability
INTRODUCTION Language is one of the most important tools in the social communication among the people in many countries, and one of the languages which most of the people use in the world is English language. In Indonesia, English language is still foreign language and becomes compulsory subject from elementary school up to university. Talking about English language, there are four skills, they are listening, speaking, reading and writing. Based on the researcher’s experience, speaking skill will be the most difficult one to master and it is complex skill and difficult (Carol, 2007). It showed from the second semester students’ speaking score at English Education Department, Islamic University of Madura were not satisfied. These happened because of some reasons; 1) they do not have enough opportunities to speak in the class. On other hand, speaking activities must provide opportunities for students, and give both teacher and students feedback and motivate students because of their engaging qualities (Harmer, 1998). 2) They do not have self confident to speak in front of the class, 3) and they are afraid of making mistakes to speak English. Furthermore, there is worry among students about speaking wrongly and therefore, they are afraid of losing face in front of their classmates (Harmer, 1998). Based on the problems above, the researcher tried to implement the best strategy to make them more active and creative in participating the class. One of the strategies which can be used is simulation game. It is one of Communicative Language Teaching (CLT) which has a goal to enable students to communicate in the target language (Larsen, 2000). In addition, Harmer (1999) stated that simulation game is students’ simulate a real life encounter (such as a business meeting, an encounter in an aero plan cabin, or interview) as they were doing so in the real word. Besides that, the simulation game works so well because the students become more engaged with the subject matter than more conventional approaches to teach (lecturing, debating, discussion, etc). This occurs because when they are playing game, they will not think about the mistakes and it will be able to decrease the feeling of making mistakes and shy. This method also gives the students time more than other methods because almost all of the time during the lesson taken by the students.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
401
Furthermore, using this game will change teacher center to the student center. Larsen (2000) stated that the teacher facilitates communication in the classroom. In this role, one of the major responsibilities is to establish situation likely to promote communication. During the activities he acts as an adviser, answering the students’ questions and monitoring their performance. Related to the explanation above, the researcher tried to implement the simulation game to solve the second semester students’ speaking problem. METHODOLOGY The design of this research is Classroom Action Research (CAR). The researcher considers CAR is very essential for the English teacher to apply in the classroom since it would be beneficial for teacher as well as students in learning. Winarso (2008) stated that the aim of classroom action research is to improve the teacher’s quality and give understanding how to achieve the goal of education. Furthermore, Latief (2003) states that classroom action research may increase the teaching ability of teachers and assist them to evaluate the process of teaching. Furthermore Kasihani (2009) stated that it is oriented to solve problem found in the class by following some procedures and steps that have been set up systematically. This research has steps which is developed by Kemmis and Taggart(1981). It is started by indentifying the problem, planning, implementation (simulation game), observation, and reflection. Table of Classroom Action Research (Kemmis and Taggart)
This classroom action research was conducted at the second semester of English education department Islamic University of Madura in academic year 2016/2017. In collecting the data, the researcher took the data in every cycle. While the data analyze, the researcher used descriptive qualitative by looking at the rubric score of speaking (grammar, vocabulary, fluency and pronunciation). In doing this research, the researcher also made criteria of success to measure the improvement of students’ speaking score. the following are the indicator of success: a) 85 % students get minimum score that is 75 (B). b) Students are active and enjoy the class. The indicator of the students’ speaking ability was obtained from an authentic assessment completed with the rubric of oral performance (grammar, vocabulary, fluency and pronunciation), it meaned the data taken during the teaching and learning process. So, the data can elaborate the learners’ growth in speaking English, whereas, the indicator of students active and enjoy the class measured through their participation in the class. In addition, the indicators mentioned above are also applied to judge whether method for cycle proceeded to the next or needed to be quitted.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
402
DISCUSSION In the process of collecting the data, there were three activities that the researcher took the data; preliminary study, cycle I and cycle II. Preliminary Study In the preliminary study, the researcher found many problems faced by students especially speaking ability. The first, they did not have enough opportunities to speak in the class. The second, they did not have self confidence to speak in front of the class. The third, they were afraid of making mistake to speak English. Related to data above, most of students of the second semester at English education department Madura Islamic University could not pass the minimal score of speaking subject. There were 7 students from 26 students who passed the target score, it means there are 26.92%. Based on this data, the researcher implemented the simulation game to solve the problem in the cycle I. Cycle I In the cycle I. the researcher implemented the Simulation Game to improve their speaking skill. They were divided into small group, every student has own character to play. In this cycle, the researcher simulated students as buyer and seller at the traditional market. From the observation, the researcher found the data was increased. There were 69.23% (18 students from 26 students) who got the target score. Because the cycle I did not achieve the target minimum (it is 85% students), the researcher decided to revise the weaknesses and continue to the next cycle. Cycle II In the cycle II, the researcher still used the same game (simulation game) and different topic in teaching speaking class. They were more active in joining the class because they had already known the simulation game before. In this cycle, the score of students’ speaking skill was satisfied. The data showed that 88.46% (23 from 26 students) achieved the target score. Table of students’ score
No 1 2 3
Activities Preliminary Study Cycle I Cycle II
Score (%) 26.92% 69.23% 88.46%
Discussion on Implementing Simulation Game In implementing simulation game, there were four activities that the researcher did, they are planning, acting, observing and reflecting. Planning In this step, the researcher made a planning for the action based on the problem face by the students toward speaking. The researcher selected the material and also the topic that will be give n to the students. Acting There are three activities in this step; pre activity, main activity and closing activity. The first is pre-activity. In the pre activity the researcher motivated the students and gave brainstorming before talking about the topic. The second is main activity, the researcher started with some questions related to their experiences in the society. For example, Have you ever gone to the bank/market?. After stimulated them with some questions, the researcher divided the class into some groups, then gave them the topic to be discussed and asked them to simulate the topic in front of the class. The last activity is closing, to close the class the researcher reviewed the material by strengthening and repeating the material.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
403
Observing When researcher implemented the planning, actually he was doing observation when the teaching learning process was running, generally observation was done to see or to record the process of strategy is implemented. To record the process of teaching learning process, the researcher used format of scoring when learners were practicing or simulating the topic. So, the observation was done during teaching learning process was running. In taking the data from students and to know the score of students when they were implementing simulation game, researcher used Analytic rubrics. It was divided into separate categories representing different aspects or dimensions of performance. For example, dimensions for speaking performance might include grammar, fluency, pronunciations, and vocabulary. Analytic rubrics have two advantages. The first researcher can give different weights to different dimensions. This allows the instructor to give more credit for dimensions that are more important to the overall success of the communication task. Second it provides more information to students about the strengths and weaknesses of various aspects of their language performance. Reflecting In the reflecting, the researcher’s data were analyzed, evaluated, and concluded to judge whether the strategy needs revising or not, the cycle would be quitted if the researcher as well as students had agreed that the problem had been worked out and objective of learning had been achieved. In other hand, if the strategy did not solve problem, the researcher must see the weaknesses of the action, this was the time researcher reflects the action that had been applied before. Based on the explanation above, the researcher could conclude that the implementation of simulation game is success. The researcher found some improvement from the students’ speaking skill. Besides that, there were some benefits of implementing this simulation game; 1) The students had the same opportunities to speak because they did in a group and they collaborated to make a good presentation. 2) The students more interested in joining the class. 3) The students more concentrated than before the researcher implemented this simulation game. 4) Changed the teacher center to the student center. These benefit lined with Larsen (2000) stated that the teacher must give opportunities to his students to practice communicating in different social contexts and different social rule. Simulation game is also one of strategies in CLT (Communicative Language Teaching) which has a goal to enable students to communicate in the target language. In addition, this game also gave students more responsible managers of their own learning (Larsen 2000). CONCLUSION Based on the result of the implementation of simulation game in increasing the second semester students’ speaking ability, it can be concluded that the use of simulation to solve the problems and to improve their speaking ability run successfully because of two reasons; 1) there were the improvement score from preliminary study to the last cycle, 2) there were positive response from the students during the researcher conducted this simulation game. They were more active when the researcher implemented this game. REFERENCES Jeremy Harmer. (2001). How to teach English: An introduction to the practice of English language teaching Kasabolah, Kasihani, (2009). Workshop Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Universitas Islam Malang Kemmis, S. & R. Mc Taggart. (1981) The Action Research Planner. Victoria, Australia; Deakin University Press. Larsen. Diane. Freeman. (2000). Teaching Techniques in English as a Second Language. New York: Oxford University.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
404
Latief, (Eds). (2003). Penelitian Tindakan Kelas Pembelajaran bahasa Inggris.Malang. State University of Malang. Read, Carol. (2007). 500 Activities for the Primary Classroom. Great Britain: Macmillan Publisher Winarso, H.P. (2008). Penelitian Tindakan Kelas; Meningkatkan Professionalitas Guru dan Dosen. Malang : UM Press.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
405
74 THE CORRELATION BETWEEN SPORT SCIENCE STUDENTS’ BELIEFS ABOUT LANGUAGE LEARNING AND THEIR LEARNING STRATEGIES Suvi Akhiriyah UniversitasNegeri Surabaya ABSTRACT: Based on the writer’s experience as English teacher in Sport Science Faculty, the writer learns that acquiring English is important for the students. Yet, students sometimes feel reluctant to be active in English classbecause they are not confident. They seem to hold certain belief which correlates with their language learning strategies. Since many researchers suggest that beliefs can affect how the learners go about their learning, the writer wants to find out more about it.This is a descriptive study which appliesquantitative approach. Regression and Pearson Product-Moments were used to reveal the correlation between BALLI and SILL. The subjects of this study were students majoring in Sport Science of Sport Science Faculty who were enrolled in English 2, selected by using random sampling. The subjects were 104 students, who had submitted both questionnaire, Belief About Language Learning Inventory (BALLI)by Horwitz and Strategy Inventory for Language Learning (SILL) by Oxford, and answered the questionnaire completely. The findings showed that the relationship between BALLI as a whole and SILL Profile was not significant (p=.191, p>0.05). It is contradictory with the previous studies’ findings which found that BALLI is significantly correlated with SILL. This current study also found that when correlated with each categories of BALLI, SILL has a medium, significant correlation with category Language and Communication Strategies (r=.465, p=.015). When correlated with each statements of BALLI, SILL wassignificantly correlated only with three statements of BALLI. Keywords: sport science students’ belief, language learning, language strategies
INTRODUCTION It is generally agreed that individual language learners hold different beliefs about how language is learned. The belief that is held by the students about language learning can affect how they go about it. Horwitz (in Wenden & Rubin, 1987: 119-120) stated that beliefs about language learning refer to learners’ notions, perceived ideas, insights, concepts, opinions, representations, assumptions, expectations or mini-theories of the nature of language or language learning.Students’ beliefs about language learning is essential because these beliefs can have possible consequences for second language learning and instruction. When language classes fail to meet student expectations, students can lose confidence in the instructional approach and their ultimate achievement can be limited (Horwitz in Wenden & Rubin, 1987: 119). Students’ learning beliefs and expectation of language learning may enhance or slow down the learning process. The learning beliefs would influence strategies students would use to support their english learning. For example, learners with strong beliefs about the importance of vocabulary in language learning would be likely to use strategies that support vocabulary learning such as memorizing words, making a list of new words in a notepad, or practicing new words with others. Researchers have suggested this relationship, that learners’ beliefs about language learning would likely affect the way they use their learning strategies (Horwitz, 1987, 1988, 1999; Rubin, 1987; Wenden, 1987). Beliefs may have an effect on learning because the learners mostly engage in learning activities based on their beliefs, creating their learning strategies. Language learning strategies are steps taken by second and foreign language learners to control and improve their own language learning (Oxford, 1994: 8). Strategies are important because they are tools for developing language competence and achieving language learning.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
406
Thus, the researcher felt the necessity to explore this relationship and examine the signifance of the relationship. This study is expected to provide empirical evidence. There are two main instruments used in this study. The first is the newest version of Beliefs about Language Learning Inventory (BALLI), version 2.0, developed by Horwitz (2012) to asses the beliefs about learning a foreign language. The second instrument is Oxford’s (1990) 50-items theStrategy Inventory for Language Learning(SILL) version 7.0 (version for speakers of other languages learning English). In an early attempt to identify the types of beliefs held by language learners, Horwitz (1987) administered the BALLI (Beliefs About Language Learning Inventory) to groups of learners. Five general areas of beliefs emerged from the analysis. She divided language learning beliefs into: a. Foreign language aptitude, concerning with the general existence of specialized abilities for language learning and beliefs about the characteristics of successful and unsuccessful language learners; b. Difficulty of language learning, about general difficulty of learning a foreign language and the specific difficulty of the student’s particular target language; c. Nature of language learning, which includes a broad range of issues related to the nature of the language learning process; d. Learning and communication strategies, which addresses learning and communication strategies and are probably the most directly related to a student’s actual language learning practices; e. Motivation and Expectations, which concerns desires and opportunities the students associate with the learning of their target language.The belief items which were taken as the variable in the correlation were selected items which can be formulated into conclusion, whether the students have strong or less beliefs about certain classification.This action was taken since the categorization of beliefs should be taken as they are. It is stated by Horwitz, a single composite score is not derived from the BALLI; rather, individual items yield descriptions of student’s conceptions of language learning (1988: 284). The second instrument is SILL. Oxford developed The SILL in order to access language learner selection and frequency of LLS and to fulfill a need for a standardized questionnaire that could be used in a variety of second and foreign language learning contexts (Chamot, 2004: 16). A total of six sections, each measuring a specific type of LLS, the SILL corresponds to the six strategy types as designated by Oxford’s LLS categories: Memory strategies for storing and retrieving information, Cognitive strategies for understanding and producing the language, Compensation strategies for overcoming limitations in language learning, Metacognitive strategies for planning and monitoring learning, Affective Strategies for controlling emotions, motivation, and Social Strategies for cooperating with others in language learning METHODOLOGY This current study tried to reveal the relationship between students’ learning strategies and beliefs about language learning. It includes the statistical analyses of the relationship between students’ BALLI for each categories and their overall SILL profile, the relationship between BALLI as a whole and the SILL Profile using regression method, and the relationship between each of BALLI items and SILL Profile by using Pearson Product Momentcorrelation. Quantitative approach is employed in this study as the results of the sample were used in generalizing the fact about the population (Cresswell, 2003:153). The subjects of this study were 1st semester students majoring in Sport Science of Sport Science Faculty who were enrolled in English 2 class in academic year of 2012/2013. There were 4 classes with 38 students in each class. In other words, there were approximately 152 students as the population of the study. The sample was taken by using random sampling. In this case, all of the population received the questionnaire. The questionnaire which was later handed back to the researcher considered as the sample. In addition, there were two requirements which were set by the researcher to determine the sample. First, the subjects were students who submitted both questionnaire, BALLI and SILL. Since the two questionnaires were distributed in different day, it is assumed that not every student would fill out both questionnaires. Second, the subjects were taken as the sample when they had answered all of the statements in the questionnaire completely. Thus, from the two requirements mentioned above, the subjects who met the requirements were 104 students. Since the target of the the sample size is 30, it is considered more than enough to be the
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
407
subjects because it meets the minimum sample size in correlational study (Borg & Gall in Cohen et al., 2000: 93). DISCUSSION 1. The correlation Between BALLI for each categories and SILL Profile Table 1. Correlation between Each Categories and SILL Profile SILL Profile Beliefs r r2 P Foreign Language Aptitude .194 .038 .803 The Nature of Language Learning .269 .072 .189 Learning and Communication Strategies .465 .216 .015* Motivation and Expectations .233 .054 .477 Optimism .332 .110 .073 *correlation is significant at 0.05 level From Table 1, we can see that SILL Profile is correlated significantly only with the category Learning and Communication Strategies (r=.465, p=.015). The correlation is considered as quite significant and has medium effect (r2=.216). It means that the more they endorse many learning and communication strategies, obviously, the higher SILL they have. There is no other significant relationship between the rest categories in BALLI and the SILL Profile. The correlation is considered significant if the p-value< 0.05 (Cohen et al., 2000: 196). Yet, the Table shows that all of the p-values >0.05, except for Learning and Communication Category. 2.
The correlation Between BALLI as a whole and SILL Profile Table 2. Correlation between BALLI and SILL Model Summ ary Change Statistics Model 1
R R Square ,630 a ,397
Adjusted R Square ,087
Std. Error of the Estimate ,4597
R Square Change ,397
F Change 1,279
df1
df2 35
68
Sig. F Change ,191
a. Predictors: (Constant), B43m, B11, B1, B7, B31m, B9m, B30, B10, B28, B5, B33, B2, B29, B38, B16, B25, B8, B13, B24, B37, B42, B14, B19, B20, B23, B26, B6, B40, B4, B3, B12, B39, B34, B18, B41
Table 2 also displays that the correlation between BALLI as a whole and SILL Profile is not significant (p=.191, p>0.05). It means that there is no relationship between students’ Beliefs about Language Learning and their SILL Profile. It is contradictory with the findings in the previous studies which found that BALLI is significantly correlated to SILL (Yang, 1999; Hong, 2006; Li, 2010; and Chang & Shen, 2010). 3.
The correlation Between BALLI for each statements and SILL Profile Since the regression in Table 2 shows that the relationship between BALLI as a whole and SILL is not significant, Pearson Product-Moment Correlation is conducted to reveal intensively about the relationship. Thus, all of the statements in BALLI is correlated with SILL. The result shows that there are only three statements in BALLI which significantly correlated with the SILL Profile. They are statement number 9, 12, and 43.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
408
Table 3. Significant Correlation of the Three Statements Cor relations B9 B9
B12
B43
SILL
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 104 ,294** ,002 104 ,030 ,763 104 ,270** ,005 104
B12 ,294** ,002 104 1 104 -,114 ,248 104 ,333** ,001 104
B43 ,030 ,763 104 -,114 ,248 104 1 104 -,255** ,009 104
SILL ,270** ,005 104 ,333** ,001 104 -,255** ,009 104 1 104
**. Correlation is signif ic ant at the 0.01 lev el (2-tailed).
Many of the students disagreed with the statement number 9 which stated that “You shouldn’t say anything in English until you can say it correctly”. Their beliefs that they can speak up freely without fear of making mistakes correlated with their SILL Profile. It means that students who did not feel that they have to speak correctly all of the time tend to use more language learning as reflected by their SILL Profile. Similar to statements number 9, Statements number 12 reveals that the many students enjoy practicing English with the people they meet. It ispositively correlated with their SILL Profile, which means that the more the students enjoy practicing English, the more language learning strategies they use. Statement number 43 negatively correlated with SILL. In reply to the statement that they feel timid speaking English with other people, many of them disagreed.The fact that the correlation is negative means that the more they do not feel timid, the higher SILL will they have, in this case, they employ many language learning strategies. Yet, the correlation coefficient between those three statements and the SILL (r=.270, r=.333, r=.255) show only very slight relationship. As quoted by Cohen, Borg states that correlations ranging from 0.20 to 0.35 shows only very slight relationship between variables although they may be statistically significant (Cohen et al., 2000: 202). It can be concluded that the correlation was weak. When correlated with each categories of BALLI, SILL Profile is correlated significantly only with the category Learning and Communication Strategies (r=.465, p=.015). The correlation is considered as quite significant and has medium effect (r2=.216). It means that the more they endorse many learning and communication strategies, the higher SILL they have.Students who held certain beliefs about learning and communication strategies were likely to use all strategies more frequently than student who did not hold these beliefs. It is rather easy to understand the result when we realize that, this belief category is directly related to the use of strategies. The statistical analysis revealsthat the correlation between BALLI as a whole and SILL Profile was not significant. This is contradictory with the results in the previous studies which showed that BALLI significantly correlated with SILL (Yang, 1999; Hong, 2006; and Chang & Shen, 2010). When each statements is correlated with the SILL, there are only three statements which have moderate, significant correlation. The fact that the finding of this current study differs from the findings of the previous studies is interesting to be discussed. While many researchers suggest the relationship between beliefs and learning strategies, this current study reveals the other way around. One possible explanation which can be given is that the culture of the subjects. The subjects are Indonesian. According to Reisinger & Turner, the Indonesian culture is highly collectivistic and group oriented (1997: 142). Thus, Indonesian has many rules dealing with human interactions and public behaviour such as avoiding public disagreement, maintaining group harmony, saving face, obeying people in authority, and teaching positive regard
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
409
(Reisinger & Turner, 1997: 142). Apparently, the subjects tended to reply the statements by giving ‘correct answer’. They did not give their own opinion because they thought that it would not be the correct answers. They thought that their answer should be the general answers that anyone would give in proper way. They were afraid that their reply were considered as wrong, inappropriate; thus, were not the same as others. They were trying to give ‘positive’ reply in order to ‘save their face’ even though the answers did not reflect what actually they have in their minds, their thoughts or their attitude. Their replies may perhaps the reason why the correlation between beliefs and learning strategies is not significant.This fact suggests that there should be some sort of effective ways in revealing students’ actual beliefs and their learning strategies, mostly in dealing with Indonesian students. In other case, conflicting beliefs are also found in this study. One of the possible explanation which can be given is that, while the students hold some positive beliefs, the awareness about them was not strong enough. For example, when 85% of them belief that it is important to speak English with an excellent accent, only nearly 26% of the students try to talk like a native speaker, even though 56% reported that they practice the sounds of English. This means that they realize that talking like native is necessary, but they are reluctant to do that, for a certain reason. One of the reason might be, they found the gap existed between their ideal EFL learning situation and the actual learning situations in their class, in this case, the teacher did not or rarely teach pronounciation. This made them abandon such belief and eventually, would not apply certain strategies. CONCLUSION Correlation between students’ beliefs and their learning strategy was not significant. It means that there is no relationship between their overall beliefs and their SILL Profiles. Only one category of BALLI, Learning and Communication Strategies which has moderate, significant correlation with SILL. Furthermore, when each statements of BALLI is correlated to SILL, significant correlation was only found between three statements of BALLI (number 9, 12, and 43) and SILL Profile, although the correlation is relatively weak. One of the reason why the correlation is insignificance perhaps, the culture of Indonesian students which tend to reply in ‘correct manner’, to be the as the other students, instead of giving their own opinion. References Brown, H. Douglas. (2007). Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Education, Inc. Chamot, Anna U. &Kupper L. (1989). “Learning Strategies in Foreign Language Instruction”. Foreign Language Annuals. Vol.22, pp.13-24. Chamot, Anna U. (2004). “Issues in Language Learning Strategy Research and Teaching”. Electronic Journal of Foreign Language Teaching. Vol. 1 No. 1, pp. 14-26. Chang, Ching-yi& Shen, Ming-chang. (2010). “The effects of beliefs about language learning and learning strategy use of junior high school EFL learners in remote districts”. Research in Higher Education Journal, pp. 1-8. Cohen, Louis; Manion, Lawrence; & Morrison, Keith. (2000). Research Methods in Education. London: RoutledgeFalmer. Creswell, John. W. (2008). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Qualitative and Quantitative Research. New Jersey: Pearson Education Inc. Hong, Kyungsim. (2006). “Beliefs About Language Learning and Language Learning Strategy Use in an EFL Context: A Comparison Study of Monolingual Korean and Bilingual Korean-Chinese University Students”. Unpublished doctoral dissertation. University of North Texas. Horwitz, Elaine K. (1987). “Surveying Students Beliefs About Language Learning”. In Anita Wenden& Joan Rubin (Ed.). Learner Strategies in Language Learning. New York: Prentice Hall. Horwitz, Elaine K. (1988). “The Beliefs about Language Learning of Beginning University Foreign Language Students”. The Modern Language Journal. Vol 72 iii, pp. 283-294.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
410
Horwitz, Elaine K. (1999). “Cultural and Situational Influences on Foreign Language Learners’ Beliefs about Language Learning: A review of BALLI Studies”. System 27, pp. 557-576. Oxford, Rebecca L. (1990). Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. USA: Heinle&Heinle Publishers. O’Malley, J. Michael &Chamot, Anna Uhl. (1990). Learning Strategies in Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University Press. Reisinger, Yvette & Turner, Lindsay. (1997). “Cross-Cultural Differences in Tourism: Indonesian Tourists in Australia”. Tourism Management. Vol 18 No. 3, pp. 139-147. Wenden, Anita & Rubin, Joan (Ed.). (1987). Learner Strategies in Language Learning. New York: Prentice Hall. Yang, Nae D. (1999). “The relationship between EFL learners’ beliefs and learning strategy use”. System. Vol. 27 No. 4, pp. 515-535.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
411
75 UNESA ENGLISH DEPARTMENT STUDENTS’ DIFFICULTY IN DOING TEP TEST Wiwiet Eva Savitri, S.Pd., M.Pd. Universitas Negeri Surabaya Abstract: TEP (Test of English Proficiency) is an institution-made test of Universitas Negeri Surabaya (Unesa) which should be taken by all students there. Basically, the form of TEP is similar to paper-based TOEFL. This test is divided into three sections, i.e. Listening, Structure and Written Expression, and Reading Comprehension. Each student must be able to reach particular score before registering themselves for graduation. Different faculties and departments may require different minimum score. Unfortunately, there are many students who feel that getting the required score is a hard thing to do. Some students even need to take the test many times before getting the expected scores. Such difficulty might drive them to plan to cheat. It occurs because of being desperate. Therefore, some efforts need to be taken to help the students so that they can reach the scores without cheating. One thing to do is to identify the difficulties. It is hoped that by knowing the difficulties, solutions to overcome it could be designed and eventually applied. Thus, this study tries to elaborate in what sections students get difficulty the most, the kinds of difficulties the students face, and the efforts the students make to be able to meet the passing grade.
Keywords: TEP, difficulty, effort, test INTRODUCTION English competence is an essential thing in Asian Economic Era which began in 2015 because there are more foreigners come to Indonesia to find their fortunes in any work fields. Indonesian work force must compete with them. Good skills in doing particular works and foreign language competence, therefore, become common requirements to fulfill. Since English is one of the most used international languages, English competence is important. In order to make sure that Indonesian university students are English literate, Indonesian universities require their students to take particular English tests to prove that they are competent. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) also puts such requirement. Each Unesa student must show a certificate of a paper based English test called TEP (Test of English Proficiency) before they register themselves to take their undergraduate thesis exam. This test is administered by Unesa Language Center. Each student must take the test in the Center until they are able to meet the passing grade set by Unesa. Commonly, the passing grade is 425 for all students in S-1 and D-3 levels. However, for English department students, the requirement is higher. They are obliged to reach minimum score 525. Before being able to reach that score, they will not be allowed to enroll the S-1 thesis exam. TEP (or Test of English Proficiency) in Unesa is a paper based test which is organized in the similar form like paper based TOEFL. It consists of three parts namely listening comprehension, structure & written expression, and reading comprehension. The problems issued in this test are adjusted with the knowledge learned in seven faculties available in Unesa (FT, FMIPA, FE, FIS & H, FBS, FIP, and FIK). This test was firstly officially used in Unesa in 2004. Although it has been applied for more than 10 years, it seems that only few students of Unesa are able to meet the passing grade smoothly. Initial observation found that many students complain on the obligation to show TEP certificate before taking skripsi exam. They say that it is difficult for them to reach the passing grade. Surprisingly, students of English department also face the same problem. Passing grade 525 is not easy to get. There are students who need to take the test many times before meeting the passing grade. This kind of difficulty might trigger them to cheat. Efforts to help them needed to be taken so that they can get the scores without doing bad deeds. Knowing the difficulties will help to find solutions to
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
412
overcome the problem. Therefore, this study tries to find out the sections in which students get difficulty the most, the kinds of difficulties, and the strategies applied by the students to meet the passing grade. METHODOLOGY This study tried to get the data related to students difficulties in doing TEP test through questionnaire. The questionnaire questions are mostly in multiple choice forms. There are 10 questions in the questionnaire. This questionnaire was distributed to students from Unesa English department. Most of them are senior students who have more experiences related to TEP. The result of the study is presented in percentage to show the most chosen option. DISCUSSION The first question in the questionnaire is about how many times the students have taken TEP test. The result of this question is showed in the following table. The number of TEP test taken 2 3-5 6-10 >10
Percentage 20.8% 50% 25% 4.2%
It is obvious that all students have taken TEP test more than once. Half number of the respondents has taken the test 3 to 5 times. Surprisingly, 4.2% respondents state that they have taken TEP more than 10 times. It is an astonishing fact because it is generally assumed that students of English Department can answer TEP questions more easily than the students of other departments, and can meet the passing grade at ease. The second question is about the section which is considered the most difficult. Most respondents state that structure and written expression is the most difficult section to handle. There are 50% of total respondents who say so. The next most difficult section is reading comprehension. 41.7% of total respondents find that reading comprehension section is the one which confuses them the most. On the other hand, although it is played just once and test takers can only see the answer options in the listening section, it turns out that listening section is not the one that students fear the most. There are only 8.3% of the total respondents acknowledge that they get difficulty in this section. The chart that shows the answer for the second question is as follows.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
413
The third question is closely related to question number 2. It is about the reason why the respondents find that the section the mention is difficult for them. To answer this question, the respondent did not choose multiple choice options. Instead, they had to write their reason in the provided space. The summary of the respondents’ answers is presented in the following table. Section Listening Comprehension
Structure & written Expression
Reading Comprehension
Difficulties Difficulty in memorizing information heard Not familiar with the expression used Difficulty to cope with accent and speed Poor recording & noisy surrounding Time management Inability to apply the pattern Confusion The answer might distract Need careful/extra thought It’s always difficult Do not master tenses Many reading passages Too long with many non-frequently used vocabularies Long text, limited time (time is mostly consumed for structure) Long text, difficult words/terms Don’t know
In listening section, most students state the common problem faced by TEP test takers i.e. difficulty in memorizing the information they hear in the recording. It is actually the shortcoming of this paper based test because the test does not allow its test takers to make note. Whereas, it is human nature to make note to help themselves memorize the information in longer conversations or talks. That is why paper and pencil based TOEFL test is considered out dated and in the new model of TOEFL that is TOEFL iBT test takers are allowed to do note taking (Sharpe, 2006:67). In the 2nd section i.e. structure & written expression, most students stated that they get difficulty to manage the time. For them, 25 minutes is not enough to do all 40 questions in this section. It is actually related to another answer stated by the respondents that they are unable to apply the grammatical pattern in appropriate sentences. Therefore, error analysis part forces them to spend longer time to think of the answer of the questions. In the last section of the test i.e. reading comprehension, the respondents seem frustrated whenever they see the number and the length of the texts in this section. The difficulties they find in previous section (structure & written expression) make them exhausted when they enter the 3 rd section. Hence, seeing the texts and realizing that they have only 55 minutes to answer all questions in section 3 make them panic. The more they read and the more unfamiliar terms to find, the more panic they are in doing this section. It is an unfortunate condition because actually answers for reading comprehension section are easier to find in the texts when the test taker can think calmly and clearly. In general, the students’ responses in the questionnaire prove that TEP is not a test which is easy to handle. Even English Department students find that structure or grammar is a great obstacle for them. Their grammatical competence might be doubted. This competence is actually one of four areas in Canale and Swain’s communicative competence theory (Canale & Swain, 1980). However, the respondents of this study show that they are quite fluent in English. Hence, further research on their difficulty in dealing with grammar rules need to be conducted.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
414
The students also find difficulties in reading. This section which appears the last make them panic. As mentioned previously, they think that there are many long texts with many unfamiliar words/terms in the test, and the limited time they have to finish it make them feel burdened more. To overcome it, literacy programs might be a good way out (Bus,et.al. 1995). The more the students get accustomed to read, the more they feel that reading is not a burden. It will also improve students’ prior knowledge (Carrel & Eisterhold, 1983). Broader prior knowledge in more topics will ease the students in facing various texts in TEP. In listening section, the last part is the most difficult part for the students because of their inability to memorize due to note taking prohibition. Yet, when they are accustomed to listen to many long English conversations and talks, they would be able to guess the questions of the test by reading the options why listening to the recording. More practice by watching movies and TV and listening to English radio program might also help (ETS, 2016). Question 4 in the questionnaire seeks for the biggest problem faced in TEP. As the result, 70.8% respondents confess that they usually run out of time. Another group of respondent (8.3%) stated that difficult reading text is the biggest problem. The rests mentioned other problems as the biggest problems they faced when taking TEP. In question 5, respondents were asked whether it is necessary to take TEP preparation course. The answer for this question is almost balanced. 54.2% of the respondents said yes and 45.8% said no. In question 6 the students were asked why it is necessary to take TEP preparation course. The respondents write their answers instead of choosing some options. The students’ answers are as follow. They wrote that by taking the course, they will get some benefits. First, they will be more familiar with the test model and get used to it. Getting familiar with the test model reduce nervousness and make them feel a lot more comfortable. The second benefit is helping them to practice to manage the test time. It is important to be able to manage the time during the test so that they can answer all the questions in the provided test time. The possibility to lack of time decreases. The next one is that by joining the course, they are taught the strategy to do the test as well as more practice materials to learn. However, when in question 7 they were asked whether they are willing to spend money to take TEP preparation course, less than half number of the respondents stated that they are willing to. There are merely 45.8% stated that they are willing to pay. On the contrary, 54.2% respondents stated that they are not willing to pay. They simply want to get free of charge course. Question 8 is about students’ thought whether it is necessary for English Department to give TEP preparation training to English Department students. Most respondents i.e. 91.3% stated that it is necessary whilst 8.7% stated the contrary. Those who stated that it is not necessary to get such training believe that English Department students can study independently to prepare themselves for the TEP test. That’s what they wrote to answer question 9.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
415
The last question asks what the students do to reach their target score. The following chart shows the responses gained. The chart shows that most respondents (69.5%) read and practice the tasks in TOEFL preparation books. Other respondendts (8.7%) prefer to take TEP preparation course in Unesa Language Center. Another 4.4% respondents like to hire private teachers. Yet, there are 17.4% respondents who confess that they do no effort in order to get their target score. Unfortunately the questionnaire did not ask them to give the reasons why they do nothing although they really want to pass the passing grade. However, there are no respondents who choose the last answer option in this multiple choice question i.e. trying to cheat during the test. CONCLUSION Although Unesa English Department students learn English more intensively than the students in other departments, they are not free from difficulties when ever they do TEP test. The second section (Structure & Written Expression) and the third section (reading comprehension) in the test are the ones they need to anticipate more. The quite big number of students who feel confused and claim that they do not know how to apply grammar rules properly should trigger the authorities in the department to analyze the grammar lessons which have been carried out. The result of the analysis might help to find solution of the problems. Similar think should be done in dealing with students’ difficulties in reading comprehension section. Analysis on the reading classes teaching and learning processes need to be conducted. Beside analyzing the teaching and learning process, it is also necessary to provide the students with TEP preparation course. Most students wish to gest such training. This course is not taboo for English Department students because it will help them to be familiar with the test model as well as give them an opportunity to learn how to manage the test time efficiently. Students’ answers in the questionnaire clearly support this argument. The more familiar they are with the test, the more confidence they will be. Moreover, the more efficient they are in managing test time, the more questions will be able to be answered by the students. Yet, ability to manage time without adequate competence is nothing. Thus, making sure that students undergo proper teaching learning process in any classes they program in English department is an essential thing to do to arm them with the competence they need. REFERENCES Bus, G.A. et.al. (1995). Joint Book Reading Makes for Success in Learning to Read: A Meta-Analysis on Intergenerational Transmission of Literacy. Review of Educational Reasearch, volume 65, no 1, 1-21. Canale, M, and Swain, M. (1980). Theoretical Bases of Communicative Approaches to Second Language Teaching and Testing. London: Oxford University Press. Carrel, L.P. and Eisterhold, J.C. (1983). Schema Theory and ESL Reading Pedagogy. TESOL Quarterly, volume 17, issue 4, 553-573. ETS. (2016). Test Taker Handbook. Princeton, USA: ETS. Sharpe, Pamela J. (2006). Barron’s How to Prepare for TOEFL iBT 12th edition. Jakarta: Bina Aksara. Tim. (2015). Buku Pedoman Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Unipress Unesa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
416
76 The Controversial Tiffany’s Music Video Clip Entitled “Jangan Bersedih” Ummi Barirroh Luluk Warsiti English Letters and Language Department State Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang, East Java Abstract: Entertainment is a potential industry which controversial occurs in various purposes. Recently, a new singer named Tiffany on her music video clip of her newest song entitled “Jangan Bersedih” results a controversial between MUI and the director due to the physical appearance of Tiffany and the dancers on the video. As a Muslim, on the video Tiffany wear hijab, a set of costume or clothes usually wear by Muslim woman that covering almost all part of body from head to toe except face. In the other hand, the two dancers, male and female, danced behind her wore invisible costume which resembled to naked. Those two contradictive things unite in a video and later on lead MUI and the director of Tiffany debate with arguments as their discourse. The director argues on art perspective in which everything in art is allowed and MUI argues on Islamic perspective that art cannot be the reason something haram mixed halal. Therefore the researcher will investigate both arguments of MUI and the director, to know whether they are arguing related main topic or different one. Later on, the researchers observe those discourses impact the people and the different between Islamic and common art. Keywords: controversial Tiffany’s music video clip, MUI, director, discourse
INTRODUCTION Indonesia is a country where entertainment industry where works like music, drama, film, dance and many kinds of performance produced, and the people inside become attention of society in which they ussually express their comment through social media. Society are actively observing and evaluating the work in entertainment and delivering their opinion about through social media. Due to the activeness of the society, critics and compliments toward public figures or their work given by society through social media. For intance, when a new song or video clip is released, not for a long time it will get compliment or even critics come from the society. It is also possible that the work results a controversy among the people or some parties. Recently, a video clip of a song entitled “ Jangan Bersedih” which sang by Tiffany Kenanga, an Indonesian singer who wearing hijab, results many critics from the society, especially netizen. According to some online media, netizen critisized that the music video is inappropriate because the contradictive inside the video. On the video Tiffany as a singer as a Muslim was wearing hijab, a fashion or clothes which covering all of body parts except face, while the two female and male dancers wearing visible clothes. The male dancer on wearing tiny short pan with skin color and topless, so it seems like he doesn’t wear anything. In addition, the female dancer wearing tiny short pan and handless top with skin color. Those facts are evaluated as unsuitable by the netizen. Some online media like okezone.com and viva life quoted their comment which said that the song is good but the video is bad and the singer and the dancers are inappropriate to be united in one frame of music video. In responding this phenomenon, MUI and the director of the music video have different argument as their discourse. MUI as the highest religion institution in Indonesia give their opinion through the comment of KH. Ali Mustafa Yaqub on some media who argues the contradictive inside the music video from Islamic perspective while the director argues that the video does not have any purpose except expressing art. Those arguments as their discourse impact the people whether they agree with the MUI or the director in evaluating the video.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
417
The researcher is going to examine those discourse to know whether MUI and the director, Hestu Saputra, arguing the inline main topic or different things. Later on, by using common art perspective and Islamic perspective, the different between both perspectives will be found. Furthermore, the authors is going to explain how those discourse toward the society further thought toward the controversy of the music video. LITERARY REVIEW According to Foucault, is considered as the body of knowledge. He uses the concept discourse move away from matter of language in which deals linguistics system or grammar but closely move to concept of discipline. The term ‘discipline’ has two senses; as referring to scholarly disciplines such as science, medicine, psychiatry, sociology and so on; and as referring disciplinary institutions of social control such as the prison, the school, the hospital, the confessional and so on. His idea shows the relation between the discourse as the body of knowledge and disciplinary practices as the forms of social control and social possibility. (McHoul&Grace, 2002, page: 26). As the parties of the controversial music video of Tiffany‘s new song “Jangan Bersedih” MUI and the director produce their own discourse which relate to disciplinary practices. Majelis Ulama Indonesia (MUI) is the biggest Islamic organization which funded by the society as the place to cover the variety of Muslim in Indonesia. The duties of MUI are provide guide for the Muslim to live as a civilian and as a moslem which blessed the God, Allah. It is funded to facilitate the ulama, person who expert in Islamic knowledge especially Islamic law or syariah, and highbrow to discuss any issues in Indonesia related to moslem as the guide for them. The duties of MUI are provide guidance, teach and protect the moslems in Indonesia include creating fatwa, a binding rule in religious matters, based on Islamic perspectives relevant with Islamic law or syariah (mui.or.id). Later on, the fatwa become the guidance or law of moslem in reacting in any religious issues occurs in life. Therefore, MUI often take a part in many issues related to Islam in Indonesia. Therefore, MUI also take a part in Tiffany’s controversial music video because Tiffany here is a singer who wearing hijab as the clothes represented moslem woman. Through K.H. Ali Mustafa Yaqub, MUI deliver their opinion about the music video. In relation with art, according to Daud et.al (2013), on Islamic perspective art is defined as a value that include aesthetic and ethic, beauty and goodness in which focus on the concept of beauty closely to “art to art”. If art disregard the good and bad aspect, it will results exaggeration of attitude in art which occasionally contrast with teaching of Islam (page 1). In other words, Islam not only considers the beauty of art but also the good aspect or the message delivered in the works of art. It is purposed the art will not produce against the Islamic perspective, which believed as a good values especially for moslems. In the other hand, Hestu Saputra, a director of Pengerjar Angin and assistant of good director in Indonesia, Hanung Bramantyo, is the director the Tiffany’s music video (www.filmindonesia.or.id ). As a director he is assumed become the main actors in the music video of the song’ Jangan Bersedih”. It is believed that understand the value of art and the purpose of making such a contradictive in video. He is assumed that he understand how to direct the production of the video which results critics and bad comment come from the netizen and leads MUI to speak upon the case. In a connection with the art, the West defines the art as something idealistic and related to moral. They two approaches in seeing art: art for art in which aims to create to deliver good and bad message, art for community which arts used for social, politics and morals purpose (Daud et.al., 2013, page: 3). In this case, the director agree with the second approach where art is used for purpose, marketing purpose. DISCUSSION The music video is containing of contradictive things. Tiffany as the singer of the song is a Moslem woman who wearing hijab. She covers all the part of the body using complete clothes with veil on her head. Surely that kind of clothes does not show her body shape. In the other hand, there are two female and male dancers behind her dancing ballerina. The female dancer wears only short tight pan with skin color, topless and gold make up. In addition the male dancer wears short tight pan and handless top with
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
418
skin color and gold make up. Those kinds of custom surely show their body shape. They are dancing like a couple, moving their body based on the choreography. Therefore, the custom of Tiffany and the two dancers is considered as contradiction. Based on one of the member of MUI statement in some online media like okezone.com, K.H. Ali Mustafa Yaqub stated his argument as an offence to Tiffany’s video clip on the song “Jangan Bersedih”. He stated that the contradictive inside the video should not be united in one frame because it seems like mixing haram (bad) and halal (good) become one thing. Halal is any object or action which is permissible to use or engage in. According to Islam law, the term covers and designates not only to food, drink, products and animals but also all matters of daily life which is still in line with the norm and Islamic perspectives. Haram is the opposite of halal, something which is forbidden or prohibited by the faith. For instance, woman should cover all body parts except face and hand and man should not wear opened and tight dress.Here, Tiffany as the representation of halal because she is a Moslem woman and wearing hijab which means she obeys the rule in Islam that woman is obligated to cover their body part called aurat by wearing hijab. In the other side, the two dancers represent haram or bad things because they wearing invisible custom that shows their body shape and body parts that in Islamic perspective it should covered. It is considered as disobeying the rule in Islam that Moslem should cover their body parts, especially woman. Moreover, in the video clip the two dancers wear custom that almost naked. K.H. Ali Mustafa argues that halal and haram cannot be combined in any matter. In his view, combining something which halal and haram will make the thing turn to haram and it will make the people confused and difficult to differentiate halal and haram or good and bad. However, he stated that appreciation goes to Tiffany for wearing hijab, but asked Tiffany to do introspection. In addition, from Islamic art perspective, aesthetic is important but ethic should be considered as well. Art should be considered, art should not be contrast with Islamic perspective about good and bad message (Daud, et.al, 2013, page 3). In this case, the customs of the two dancers is seen as bad message because Islam does not order Moslem to show their body part and shape. Furthermore, they danced showing attractive movement that is not in line with Islamic law such as movement that require physical contact between opposite gender dancers, another reason is because the color of the dress is like skin color which shows fisible nearly to naked, it indicate the action is forbidden in Islam. In the other side, in some online media like viva life, the director of the music of the music video, Hestu Saputra, who respondsibles for the artistic direction of a play, including interpretation of the arrangement, choreography, recording preparation of the actors, and overall design. The power of director here is to be creative in designing such a video or another related visual art, he has his own power to have creativity as a production and contribution toward Indonesia’s entertainment. Relay on Tiffany’s video clip, he argue on his discourse that “it is just the form of art, and no limit on it. Moreover between Tiffany as the singer and the dancer has its own space. The director trying to make the video is different than the others, he believed that art is in the matter of beauty. The director did not want to revise the video clip even so many controversial comments addressed to the video, because he wanted to show that there is no a pornography acts in it. Contemporary dancers in the video clip are wearing the cloth which is similar to gold. Gold is a metaphore that symbolized prosperity or glory and the choreography represents the words sang by Tiffany with the purpose to motivated people not to be sad in facing any problem in life. According to Foucault, discourse also deals with the disciplinary practices that relate with the social control (McHoul&Grace, 2002).Since MUI is the organization that obligated to discuss this kind of issues, they are legitimate enough giving comment or judgment toward the video. In saying that the video is uniting halal and haram , MUI is actually exercising their power as the biggest religious organization that have big probability to obeyed the society. Moreover, the majority in Indonesia are Moslem. Surely, the society put much trust on MUI and believes that the argument of MUI is right. It is a predictable thing that the society will easily agree with the MUI statement. Later on, it is also possible that number of bad comments will increase after the K.H. Ali Mustafa Yaqub’s statement on media. In this case, the one who exercise the power not only MUI but also the director of the video, Hestu Saputra. The power of director is to be creative in designing such a video or another related to arts; he has his own power to have creativity as a production and contribution toward Indonesia’s
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
419
entertainment. Relay on Tiffany’s video clip, he argue on his discourse that “it is just the form of arts, and no limit on it. Moreover between Tiffany as the singer and the dancer has its own space. He wants to deliver a message on the video, even with the pro and contra toward the video people should see the message and the beauty created on the video. As the researcher believe that, there should be and intented purpose on the making of the video beside the director knowledge about arts in modern and common style. Besides, the works of arts in the video is assumed that it made in purpose. In the other words, the controversy is intentionally made in the form of marketing. It can be observed when a work which publish results a controversy, the possibility of people pay attention on it is opened, in this the Tiffany’s video. People will actively talk about the video because media keep exposing the controversial comments and judgments. It can be assumed that automatically the exposure of the video will increase and promotion occurs on the exposure. People will look for what is actually become the controversial in the video and the song will be well-known by the society. By observing those arguments of MUI and the director, it can be seen that they actually debating inline main topic. MUI seeing this issue on Islamic perspective that halal and haram should be unite. In addition MUI responded this issue on Islamic arts perspective, in which in producing arts ethic is as important as beauty. Message delivered should be suitable with the Islamic perspective. In other side, director believes that the video is in matter of arts and nothings can limit. Moreover, he intends to give the singer and the dancers their own space so that no uniting halal and haram in one frame. Besides, the different between Islamic arts and common arts can be found. Islamic arts works based on Islamic perspective, while the common arts work based on value and message with no relation with religion perspective. CONCLUSION Referring to the result of the analysis, the controversial happens between MUI and the director toward the video clip on Tiffany’s “jangan bersedih” song influenced by both MUI and the director background knowledge which leads them to have different perspective in seeing such a case, MUI wish everything that shows in entertainment still in line with Islam perspective but the directors believe in common art perspective which means it is natural. There is nothing wrong with both perspectives because basically they still talk about one branch that is art and beauty but in different way. Both of the argument reflecting their own power due to different purposes, which they believe it is right to be uphold. Later on what we need to see is how both discourses are reflecting the society and how it influences on them. REFERENCES: Daud, Z.M., MdZaid,D., Amin.R, 2013.Study on the Malaysian Islamic Visual Art: The Contemporary View.International Journal of Education and Research, Vol. 1 No. 12,1-3. McHoul, A. & Grace, W. 2002. A Foucault Primer Discourse, power and the subject. London and NewYork: Taylor & Francis e-Library. Author. (Year). Title. Retrieved month day, year, from URL Junianto, B. 2016. MUI Komentari Kontroversi Video Klip Tiffany. February, 18th 2016. Retrieved from viva.co.id. Kapanlagi. 2016. Model Liukkan Tubuh, Klip Tiffany Kenanga Tuai Kontroversi. February, 16th 2016. Retrieved from kapanlagi.com. Kurniawan,A. 2016. Video KlipTifaany Jadi Kotroversi karena Menampilkan Model “Telanjang”. February, 15th 2016. Retrieved from tabloidbintang.com. Suherli,E. 2016. Apa Kata Ulama Soal Video Klip Semi Bugi Tiffany Kenanga?. February, 16th 2016. Retrieved from bintang.com Okezone, 2016. Kata Ulama Soal Kontroversi Video Klip Tiffany Kenanga. Februari, 2016. Retrieved from: m. okezone.com Detik. 2016. Kontroversi nyaris bugil penyanyi berhijab Tiffani Kenanga di Video clip terbarunya. February, 25th 2016. Retrieved from: detikForum.com.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
420
Majelis Ulama Indonesia. Wadah Musyawarah ulama, zuama dan cendikiawan sekilas MUI. Retrieved from : mui.or.id. Sekartaji,A. 2011. Hestu Saputra:Banyak Belajar dari Hanung. November, 3rd 2011. Retrieved from: www.filmindonesia.or.id
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VIII 2016
421