23
PERAN KYAI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI NON AKADEMIK (Study Analisis Di Pondok Pesantren Al-Utsmani Bondowoso) Oleh: Saeful Kurniawan Sekolah Tinggi Aagama Islam (STAI) At-Taqwa Bondowoso dan Mahasiswa Program Doktor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) E-mail:
[email protected] Abstract Boarding school is very potential to be developed as religious institutions, educational and social which is suitable to the conditions of our nation's culture. Therefore, it is very reasonable, if then boarding a lot glance to be used as an alternative option in the face of educational needs based on religion. To formulate a national education system that is not uprooted from The Indonesian historical roots and is not reduced their efficiency and effectiveness. And Kyai are leaders, leading institutions such as madrasah or schools, an effort to conduct enlightenment and increase non-academic interpretation of Islam syi'ar forward, to fortify the generations of people of Prophet Muhammad Islam further. Research on the role of the Kyai in non Academic Achievement Improvement Case Study in Pondok Pesantren alOttoman Village Jambesari Jambesari Darussholah Bondowoso Subdistrict uses a qualitative approach, the reason researchers use this type of approach because it is a case study. Keywords : The role of religious scholars, non Academic Achievement Improvement, and Boarding schools Latar Belakang Menurut Ki Hadjar, pendidikan yang dilaksanakan dengan penuh rasa kasih sayang, keikhlasan, kejujuran, keagamaan dan suasana kekeluargaan itu disebut dengan sistem among. Selanjutnya para pendidik yang bisa memerankan fungsinya secara baik disebut dengan pamong. 1 Guru atau Dosen bahkan Kyai tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa / santri sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari bahkan malam hari pun, seorang guru, dosen 1
Ki Supriyoko, ―Mengembalikan Roh Pendidikan‖, Jawa Pos (Surabaya), 15 Mei 2009, h.4
atau kyai harus ikhlas memberikan bimbingan kepada siswa / santrinya. Peran kyai dalam kegiatan pembangunan mental masyarakat tersebut, memang sangat menarik bukan lantaran pemimpin agama mempunyai predikat pewaris para nabi melainkan karena pada kenyataannya ia merupakan manusia biasa yang benar-benar utuh yang berperan luas sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan masyarakat. Konflik dalam masyarakat akan menyebabkan aneka perubahan sosial Kyai pun mengalami pergeseran peran. Dari peran spesifik keagamaan menjadi
24
general kemasyarakatan, dan menjadi kunci setiap pokok persoalan yang sedang dihadapi masyarakat lingkungannya bahkan di luar lingkungan kyai tersebut berada. Dari persoalan pendidikan, ekonomi, sosial bahkan persoalan ataupun terlibat langsung dengan urusan politik.
keagamaan. Dari sisi semangat keilmuannya itu, seorang kyai adalah seorang intlektual atau cendikiawan. Sebagai seorang intelektual, tanggung jawab moral utama para kyai adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat berdasar kapasitas keilmuan yang mereka miliki. 4
Kyai itu bukan cendikiawan yang seperti -ditamsilkan Arif Budimanberumah di angin. Pergulatan ilmiah memang menempati satu ruang istimewa dalam prihidup kyai, tapi bukan yang paling banyak menyita energinya. Melanjutkan tradisi yang telah dimapankan sejak era Walisongo, sosok kyai hadir terutama sebagai misionaris. 2
Dengan keilmuannya itu, disimbolikkan sebagai lentera yang menerangi masyarakat. Perannya dimasyarakat diharapkan mampu membawa masyarakat dari lembah kegelapan (darkness) menuju puncak pencerahan (lightness) di berbagai sendi kehidupan. Di sinilah wujud pencerahan tersebut kyai membentuk lembagalembaga pencerahan atau pendidikan seperti madrasah-madrasah atau pondok-pondok pesantren.
Dalam perkembangan kiprahnya, kyai beserta para pengikutnya membangun komunitas tersendiri yang independen –oleh Gus Dur digambarkan sebagai subkultur- dimana kyai kemudian tegak sebagai pemimpin paripurna. Dia mengayomi kehidupan rohani pengikut-pengikutnya, sekaligus menggeluti segala tungkas-lumus duniawi mereka. Dia mewakili, memakelari dan sering harus mengonsolidasikan mereka untuk 3 ―menghadapi dunia luar‖. Kyai berdasar pada paradigma semiotika-strukturalisme Saussure, kata kyai adalah penanda (signifier) yang merepresentasikan makna (petanda / signified) tentang seorang yang alim dan cendikia dalam keilmuan
Kepemimpinan ialah kemampuan untuk menciptakan perubahan yang paling efektif dalam perilaku kelompok; bagi yang lain, dia adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok ke arah penetapan tujuan dan pencapaian tujuan.5 Kepemimpinan bukan berarti menguasai, melainkan seni meyakinkan orang untuk bekerja keras menuju sasaran bersama. Dalam rangka memantapkan karier diri sendiri, ada yang lebih penting selain mengenali perasaan-perasaan terdalam mengenai hal-hal yang dikerjakan dan perubahanperubahan yang membuat seseorang 4
2
Yahya C. Staquf, ―Dekadensi Politik Kyai‖, Jawa Pos (Surabaya), 29 Oktober 2009, h.4 3 Yahya C. Staquf, ―Dekadensi Politik Kyai‖, Jawa Pos (Surabaya), 29 Oktober 2009, h.4
Muhammad Muhibbuddin, ―Kyai dan Do’a Restu Politik‖, Jawa Pos (Surabaya), 30 Mei 2009, h.4 5 Rohit, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Bandung : PT. Refika Aditama, 1998), cet. Ke-1, h.14
25
lebih puas dengan pekerjaannya. Terdapat beberapa alasan yang kurang mencolok tentang mengapa bakat-bakat emosional bergerak menjadi ujung tombak keterampilan berbisnis yang mencerminkan perubahan besar di tempat kerja. 6 Pemimpin adalah orang yang dapat menggerakkan rakyat yang dipimpinnya untuk menuju kebaikan bersama. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahat-ma Gandhi, Kemal Ataturk, Nepoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Soekarno, Nelson Mandela dan seterusnya. Mereka bukan sekedar tokoh masyarakat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan. 7 Pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan. Jika ini terjadi, dia masih dalam kategori apa yang disebut Francis Fukuyama sebagai the first man, manusia yang hanya butuh petunjuk secara otoriter, yang berbeda dengan kategori the last man yang sudah mementingkat harkat dan martabat. 8 6
Rohit, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah, h.32 7 Saratri Wilonoyudho, ―Senjakala Kepemimpinan‖, Jawa Pos (Surabaya), 27 November 2009, h.4 8 Saratri Wilonoyudho, ―Senjakala Kepemimpinan‖, Jawa Pos (Surabaya), 27 November 2009, h.4
Dengan ciri demikian, dalam dinamikanya, pesantren dipandang mempunyai identitas tersendiri yang, oleh Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur, diistilahkan dengan sub kultur. Memang secara jujur harus diakui bahwa ada suatu ―tradisi‖ tertentu yang tumbuh berkembang dimasyarakat pesantren, namun tidak demikian keadaannya di masyarakat luar pesantren. Pesantren memang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai institusi keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan yang cocok dengan kondisi budaya bangsa kita. Oleh karena itu sangat wajar, bila kemudian pesantren banyak dilirik untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan alternatif dalam menghadapi kebutuhan upaya merumuskan sistem perguruan nasional yang tidak tercabut dari akar historis keindonesiaan dan tidak berkurang efisiensi dan efektifitasnya. Dan seorang Kyai adalah pemimpin, memimpin lembaga seperti madrasah atau pesantren untuk lembaga dakwah dan pendidikan guna melakukan pencerahan dalam hal ilmu pengetahuan untuk syi’ar Islam ke depan, untuk membentengi generasigenerasi Islam umat Nabi Muhammad SAW ini selanjutnya. Model Kepemimpinan Kyai dalam Peningkatan Prestasi non Akademik Membahas peran kyai, tidak lepas dari kepemimpinan dan manajemen yang diterapkan atau diberlakukan di sebuah lembaga. Baik itu sekolah, ataupun sebuah pondok pesantren. Dalam kasus pondok
26
pesantren al-Utsmani yang menjadi tempat penelitian ini, peneliti ingin membahas dan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan terutama peran KH.Ghazali Utsman dalam peningkatan prestasi non akademik santri-santri pondok pesantren al-Utsmani. Penulis melihat apa yang dilakukan KH.Ghazali Utsman dalam meningkatkan beragam prestasi-prestasi non akademik di sana adalah bagian dari cara beliau memenej dan memimpin. KH.Ghazali Utsmani tergolong pemimpin cerdas yang bisa membaca peluang-peluang jauh ke depan. Pondok pesantren al-Utsmani, tergolong modern bila dibanding dengan pondok-pondok pesantren yang sudah berdiri puluhan tahun di Kabupaten Bondowoso. Peran penting KH.Ghazali Utsman tidak hanya terlihat di dalam pondok pesantren al-Utsmani saja, KH.Ghazali Utsman juga memainkan peran penting baik di dalam maupun di luar pondok pesantrennya. Perannya di luar pondok pesantren dapat dilihat dari kegiatan-kegiatannya dalam membimbing urusan keagamaan masyarakat Beddian Jambesari. Memang, bisa dikatakan bahwa pada umumnya, kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama dalam bidang politik dan agama. Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari Dhofier yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai, Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa
―sebagai suatu kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa (dan) merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.‖ 9 Mengenai kepemimpinan Saratri Wilonoyudho berpendapat, pemimpin yang cerdas adalah orang yang mampu menghargai puncak kehidupan, dan dia akan senantiasa menziarahi kebenaran (will to truth) dan bukan menziarahi kekuasaan (will to power), agar dia tidak mengalami apa yang disebut split orientation. Yakni, tidak menyatunya antara ucapan dan tindakan. 10 Dasar ini lah yang mungkin dijadikan alasan oleh KH.Ghazali Utsman dengan tidak masuk ke ranah politik atau pengurus-pengurus organisasi ’berbau’ perbedaan. Beliau, fokus untuk menangani dan mengayomi santri selama 24 jam non stop. Sehingga dengan begitu, seluruh kegiatan santri terkontrol penuh oleh beliu dan bisa membimbing lebih banyak waktu, dari pada sibuk dengan urusan lain di luar pondok pesantren. Dalam kondisi pondok pesantren yang serba terbatas seperti pondok pesantren al-Utsmani, peran kyai sangat penting. Dalam hal pembinaan terutama, untuk mencapai hasil yang diinginkan, kyai langsung terjun dan terlibat penuh untuk memantau seluruh kegiatan ekstra (non akademik) di
9
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, 1985), h.56. 10 Sararti Wilonoyudho, ―Senjakala Kepemimpinan‖, Jawa Pos, (Surabaya), 27 November 2009, h.4
27
lingkungan pondok pesantren alUtsmani. KH.Ghazali Utsmani selaku pengasuh, berusaha agar pondok pesantren al-Utsmani yang dipimpinnya unggul dalam segala bisang. Beliau adalah pemimpin cerdas dan visioner yang mampu membaca peluang kebutuhan masyarakat ke depan. Hal ini di katakan Syafaruddin bahwa sekolah hanya akan maju bila dipimpin oleh pemimpin yang visioner, memiliki keterampilan manjerial, serta integritas kepribadian dalam melakukan perbaikan mutu. 11 misalkan program wajib bahasa Arab dan Inggris, dalam satu kesempatan wawancara dengan beliau pernah menyampaikan kalau ke depan bahasa Inggris sangat dibutuhkan anak-anak santri untuk menghadapi MEA. Dalam memimpin, KH.Ghazali Utsman dalam memimpin pondok pesantren al-Utsmani bersifat demokratis, berbasis santri. Memberikan kesempatan kepada bawahan dan santri beliau untuk berkarya dan selalu mengayomi kepada mereka yang dipimpinnya. Agustin mengatakan, bahwa pemimpin sejati adalah seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai, memiliki integritas yang kuat, sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya, selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten / istiqomah. Dan yang terpenting adalam memimpin
berlandaskan atas suara hati yang fitrah.
11
12
Syafaruddin, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, (Jakarta : Grasindo, 2002), h.50
12
Ketulusan hati beliau dan keuletan serta keistiqomahan beliau mampu menjalankan sebuah pondok pesantren dengan santri kurang lebih 1200 orang sendirian, hanya dibantu oleh santri-santri dalam ISBAD (ikatan santri alumni Beddian) yang beranggotakan para alumni seniur yang mempunyai out come dimasyarakat. Terlepas dari MTs dan SMA yang masing-masing diurus oleh kepala sekolah, sampai mereka pulang sekolah. Namun, setelah pulang dari sekolah formal, mereka melakukan rutinitas kegiatan santri non akademik dengan pantauan KH.Ghazali Utsman sendirian, karena keterbatasan dana untuk mendatangkan guru / ustad yang membantu beliau mengayomi dan membina kegiatan-kegiatan santri. Beliau ingin mengarahkan pesantren al-Utsmani ke dalam era baru, memerlukan pemahaman yang komprehensif akan dinamika perubahan dan mengelola perubahan itu sendiri. KH.Ghazali Utsman melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan prestasi non akademik dalam mewujudkan pondok pesantren alUtsmani yang berprestasi yang kompetitif di berbagai bidang, yaitu bidang manajemen, kurikulum, siswa, guru, sarana dan prasarana serta hubungan dengan linkungan / masyarakat sekitar. Peranan kyai kepada santri sangat dominan dan teraplikasi dalam Agustin, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual, (Jakarta : Arga, 2001), h.114
28
kegiatan belajar mengajar pesantren, benar-benar terwujud pelaksanaannya yaitu sebagai berikut : a.
memang memanggil para tutor, seperti drama, MC, tulis menulis, sampai Qori’ untuk membina para santri di pondok pesantren alUtsmani.
Pendidik dan Pembimbing Dalam hal ini Kyai langsung terjun mendidik santri sebagai top figur mengarahkan, membimbing santri dalam belajar.
e.
Kyai menyediakan tempat asrama, belajar mengajar serta sarana prasarana yang mendukung keberlangsungan aktivitas belajar mengajar di pondok pesantren alUtsmani. Baik dari dana yang dikelola maupun dari sumbangansumbangan donatur yang ada, seperti Desperindag Bondowoso dan PNPM Mandiri Desa Jambesari.
b. Pemotivator Selain mendidik dan membimbing santri-santrinya kyai selalu memberikan suport / motivasi kepada santri agar selalu belajar dengan rutin, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan situasi terkini dalam masyarakat. c.
Peyandang Dana Keberadaan pondok pesantren alUtsmani dalam keadaan serba kekurangan karena tidak memilki sumber dana lain. Maka kyai sebagai pengelola dan pimpinan bertanggung jawab dalam urusan dana selain dana yang berasal dari santri untuk memajukan keberlangsungan proses belajar mengajar di pondok pesantren alUtsmani dengan cara pengelolaan baik mengedepankan faktor prioritas.
d. Pencari Nara Sumber / Pembina dan Pendukung Dalam mengantisipasi kurangnya SDM yang mumpuni untuk diasramakan agar bisa membantu kegiatan non akademik santri, KH.Ghazali Utsman mengutus beberapa santri senior untuk belajar privat ke para ahli masing-masing bidang. Sesekali waktu, kyai
Penyedia Sarana dan Prasarana
f.
Koordinator Efektif Segala hal kegiatan di pondok pesantren al-Utsmani langsung dikoordinatori oleh kyai langsung. Kyai sebagai koordinator akan selalu berkoordinasi dengan pengurus-pengurus yang lain dan juga santri-santri yang menjadi pengurus ISBAD (ikatan santri Beddian) dan IQBAL (ikatan guru bantú al-Utsmani) dalam memajukan prestasi non akademik di pondok pesantren al-Utsmani.
Selain itu, KH.Ghazali Utsman menjadikan pondok pesantren alUtsmani sesuai dengan fungsi pesantren itu sendiri. Yakni pesantren sebagai transfer ilmu dan nilai agama telah diterapkan di al-Utsmani, seperti yang diterapkan oleh kebanyakan pesantrenpesantren pada umumnya. Al-Utsmani oleh KH.Ghazali Utsman akan dijadikan sebagai lembaga yang berfungsi terhadap kontrol sosial
29
dan rekayasa sosial secara keseluruhan. Para alumnus pesantren al-Utsmani nantinya diharapkan mampu berkiprah di masyarakatnya, pemahaman agama yang dimiliki alumnus tentu diharapkan dapat di transformasikan dengan baik sesuai dengan kekhasan karakter sebuah pesantren. KH.Ghazali Utsman berusaha agar kepercayaan masyarakat terhadap alumnus pesantren al-Utsmani nantinya meningkat, kaitannya dengan kualitas kepribadian seorang santri. Hal inilah yang menjadi sorotan beliau dalam memegang kepemimpinan pesantren, beliau tidak mengutamakan kuantitas santri melainkan menitikberatkan pada kualitas santrisantrinya. Beliau menghendaki sedikit tapi berkualitas. Oleh karenanya posisi pesantren pada poin kedua, yakni fungsi terhadap kontrol sosial sedikit banyak nantinya mendapat tempat bagi kalangan masyarakat. KH.Ghazali Utsman berharap nantinya pesantren al-Utsmani dan para alumnusnya mampu menjadi panutan dan kiblat oleh masyarakatnya, baik itu urusannya dengan pemahaman keagamaan, kultur budaya, hukum dan politik dan lain-lain. Sedang pencapaian pada fungsi rekayasa sosial, Pesantren al-Utsmani semaksimal mungkin telah melakukan usaha sedemikian rupa di bawah kepemimpinan KH.Ghazali Utsaman. Hanya saja belum terlihat jelas dan belum menuai hasil yang memuaskan. Rekayasa sosial dapat didefinisikan sebagai ruang penciptaan kreatif sebagai solusi atas beberapa persoalan kultural masyarakatnya. Sehingga mampu mengatasi kebuntuan dan stagnan.
Pembekalan pada wilayah ini memang harus menjadi prioritas pengasuh dan pengurus yang lain untuk bersama-sama, bagaimana seharusnya pesantren al-Utsmani mampu menciptakan santri sebagai tokoh yang kreatif, inofatif, dan produktif Sekaligus sebagai motor penggerak untuk masyarakat, bangsa dan negara. Seperti yang di katakan KH. Musthofa Bisri dalam sebuah tulisannya, dengan membandingkan anggapan orang tentang pondok pesantren yang merupakan cikal bakal ‖teroris‖ beliau mengatakan; ‖...inilah yang merupakan tantangan utama kyai dan pesantren saat ini. Mereka --yang memiliki sanad, mata rantai keIslaman sampai ke Rasulullah SAW-- dituntut untuk tampil sebagaimana kyai dan pesantren dulu untuk mengenalkan kerahmatan Islam dan kesantunan serta kasih sayang Nabi Muhammad SAW. Jangan sampai generasi kita dididik oleh mereka yang yang –sadar atau tidak, karena kepentingan atau kebodohan—justru ingin mencemarkan nama baik Islam dan merusak tanah air kita. 13 Peran dan prilaku KH.Ghazali Utsman dalam memimpin pondok pesantren al-Utsmani tidak jauh beda seperti psikolog, dokter dan penjaga restoran. Hal ini di sampaikan beliau dalam kesempatan wawancara beberapa waktu lalu, bahwa di pondok pesantren kyai, hanya memuaskan keingin para orang tua, terhadap putra putri mereka agar dididik menjadi orang berguna dan 13
KH. A. Musthofa Bisri, Kiai dan Pesantren Indonesia, www.gusmus.net, 10 Oktober 2009
30
sekaligus menyembuhkan segala ’penyakit’ psikologi yang dibawa dari rumahnya masing-masing. Hal serupa di sampaikan oleh A. Haedar Ruslan dalam tulisannya, ‖dalam kaitannya dengan perilaku yang tampak pada diri pemimpin, maka tidak terlepas dari sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin tersebut. Sebab antara perilaku dan sifat yang melekat pada seorang pemimpin tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian mempelajari perilaku pemimpin sama artinya dengan mempelajari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para psikologi dan pakar organisasi dalam mengkaji kepemimpinan dengan cara mengenali karakteristik sifat atau ciri-ciri 14 pemimpin yang berhasil..‖ Ragam Prestasi non Akademik Dalam budaya pondok pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Tugasnya sebagai pengasuh pondok termasuk mencari dana bagi pondok, menghadapi santri baru dan mengerjakan urusan-urusan lembaga pesantren al-Utsmani. Sebagai pengasuh, KH.Ghazali Utsman berjuang untuk perkembangan dan kemajuan pondok pesantrennya biar tidak ditinggalkan oleh kemajuan dalam masyarakat umum. Misalnya, pada saat ini, KH.Ghazali Utsman membuat terobosan untuk santri yang berminat
Bahasa Inggris dan Bahasa Arab diasramakan khusus dan program guru tugas bagi santri yang sudah lulusa Madrasah Diniyah Ulya kebeberapa lembaga pendidikan yang membutuhkan. KH.Ghazali Utsman memang mengambil sikap yang lapang dalam menyelenggarakan modernisasi pondok pesantrennya. Pendapat ini pula ditarik oleh Dhofier, yang pada umumnya sangat positif mengenai keterampilan para kyai dalam ―memperbarui sistem pendidikan pesantren tanpa meninggalkan aspekaspek positif daripada sistem 15 pendidikan Islam tradisional.‖ Selain dari perannya sebagai pengasuh pondok, peran kyai yang bisa disebut paling penting adalah sebagai guru dan pembimbing bagi para santri. Peran KH.Ghazali Utsman dalam pondok pesantran al-Utsmani adalah untuk memberi motivasi kepada santrinya dan membentuk putri-putri untuk menjadi wanita yang sholehah dalam bidang keluarga dan bangsa. Hubungan di antara KH.Ghazali Utsman dan para santri merupakan bagian yang penting sekali dalam peran kyai sebagai guru dan pembimbing. Keadaan dan suasana hubungan kyai dan santri memang berbeda di antara satu pondok dengan pondok lain karena hubungan tersebut sangat tergantung pada sikap kyai. Kalau belum mengalami sendiri budaya pondok pesantren, memang gampang untuk menarik kesimpulan bahwa walaupun lingkungan pondok sangat terbatas sehingga penghuni
14
Haedar Ruslan, Dinamika Kepemimpinan Kyai di Pesantren, www.re-searchengines.com, 19 Juni 2007
15
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, h.174
31
pondok selalu bertemu dan bergaul, oleh karena pesantren membentuk lembaga pendidikan resmi yang membina kehormatan tinggi untuk ustad, ustadah dan kyainya, hubungan di antara para guru tersebut dan muridnya akan sangat formal dan tidak begitu akrab. Namun, kenyataan yang ada di lapangan berbeda. Dari pengamatan saya, bahwa hubungan di antara KH.Ghazali Utsman dan para santrinya ternyata akrab. Alasan utama untuk kesimpulan tersebut adalah karena sifat dan metode pengajaran KH.Ghazali Utsman itu sendiri. Metode pengajaran yang diambil KH.Ghazali Utsman adalah metode yang keseimbangan. Yaitu, sambil menuntut standar tinggi dari santrinya dalam aspek baik pelajarannya maupun kehidupan sehari-hari di pondok, gaya pengajar KH.Ghazali Utsman tetap terbuka dan tenang. Misalnya, dalam pengajiannya, KH.Ghazali Utsman sering membuat santri-santri tertawa dengan ceritanya dan juga kelasnya selalu interaktif. Ketika ditanyai, ―apakah kyai pernah atau sering memarahi kamu?‖, santrisantri langsung menjawab (sambil nyengir!), ―hanya negor! Tetapi dia selalu adil.‖ Metode pengajaran ini membina lingkungan pendidikan yang tenang dan nyaman dan juga membangunkan hubungan akrab di antara kyai dan para santri, tanpa meruntuhkan (atau merusak) wibawa kyai. Maka, dapat kita lihat bahwa sifat kyai sangat penting untuk menentukan suasana pondok pesantren dan dalam menciptakan prestasi-prestasi
belajar terutama non akademik bagi santri-santri beliau. Karena bagi KH.Ghazali Utsman, prestasi inilah yang akan membedakan santri mukim (mondok) dengan santri yang tidak mondok, walaupun sama-sama sekolah di pondok pesantren dan menyandang status santri, namun harus ada nilai lebih, nilai plus untuk mereka yang berada di dalam pondok pesantren. Dari itulah KH.Ghazali Utsman mewajibkan semua santrinya untuk mukim (mondok) karena di pondok banyak kesempatan yang bisa dipergunakan untuk belajar, bila dibandingkan dengan colokan (pulang pergi), takut terpengaruh dengan lingkungan. Hal ini senada dengan ungkapan, Sunarto yang diambil dari buku Kartono, dia berpendapat; ‖lingkungan masyarakat dapat menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anak-anak yang sebayanya. Apabila anak-anak yang sebaya merupakan anak-anak yang rajin belajar, maka anak akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaliknya bila anak-anak di sekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal yang berkeliaran tiada menentukan anakpun dapat terpengaruh pula‖. 16 Ragam prestasi yang di bentuk dalam pondok pesantren al-Utsmani, yang sulit kita temukan di pondokpondok pesantren lain di wilayah Kabupaten Bondowoso 1. Baca Kitab Kuning Pondok pesantren alUtsmani tergolong aktif dan berprestasi dalam bidang kepakaran 16
Sunarto, Pengertian Prestasi Belajar , www. spesialis-torch.com, 5 Januari 2009
32
kitab kuning, karena kegiatan belajar kitab kuning sangat intens sekali di al-Utsmani tergolong istimewa, karena langsung dibina oleh para pakarnya sendiri. Karena aktif dalam peningkatan kualitas baca kitab kuning, pondok pesantren al-Utsmani sering terpilih menjadi wakil Kabupaten Bondowoso dalam ajang-ajang lomba baca kitab kitab kuning tingkat nasional. 2. Percakapan Dua Bahasa Wajib menggunakan Bahasa Arab dan Inggris dalam percakapan sehari-hari dengan ketentuan memberikan vokab 3 setiap hari dan harus memasukkan dalam kalimat setiap paginya sesudah shalat Duha dan sebelum masuk sekolah masingmasing. Kewajiban penggunaan bahasa Arab dan Inggris ini pun, oleh KH.Ghazali Utsman saat ini, membuat terobosan, mengklompokkan asrama masingmasing. Yang konsentrasi bahasa Arab asramanya berbeda dengan yang konsentrasi bahasa Inggris. Hal ini oleh KH.Ghazali Utsman juga ditindak lanjuti dengan mengusahakan kerjasama dengan lembaga-lembaga kursus bahasa di Bondowoso, agar bagaimana nantinya setelah santri-santri pondok pesantren al-Utsmani keluar, mendapat pengakuan dalam bisang kemahiran mereka berbahasa Inggris maupun Arab. Hal ini juga ditunjukkan dengan kunjungan Mark Hine The Leader of LAPIS (Learning Assistance Program for Islamic
School) dan ELTIS (English LanguageTraining for Islamic School) Australia, ini bentuk net work yang dibangun oleh pondok pesantren al-Utsmani dalam memajukan prestasi non akademik santri-santri pondok pesantren al-Utsmani dengan pondok-pondok pesantren lain. 3. Cerdas Tangkas Cerdas tangkas atau cerdas cermat mungkin sudah biasa kita lihat, kita dengar. Namun di pondok pesantren al-Utsmani, berbeda tujuannya. Dari pantau peneliti bahwa cerdas tangkas yang diadakan dalam satu tahun sekali setiap menjelang acara Haflah Imtihan adalah sebagai evaluasi sejauh mana penguasaan santri terhadap materi-materi pelajaran yang diterima di dalam kelas. Soal yang di buat, berasal dari guru masing-masing pelajaran baik MTs. dan SMA dan diikuti semua santri, baik putra maupun putri. Sehingga dengan tidak langsung, setiap santri harus menguasai pelajaran-pelajaran yang sudah diberikan guru mereka di kelas. Sebab kalau tidak maka akan malu di depan kawan-kawannya yang menonoton mereka. Hal ini juga sebagai bahan ajar untuk santri-santri yang di bawah tingkat tentang apa yang mereka belum ketahui, menjadi mengetahui dari jawaban-jawaban kakak-kakak kelas mereka yang sedang bertanding. Penghargaan yang diberikan hanya piagam serta 1
33
piala yang bergilir dan uang tunai satu juta lima ratus rupiah. Namun semangat mereka luar bisa, dan langsung dipantau oleh KH.Ghazali sendiri. 4. Pentas Seni Lain cerdas tangkas lain pentas seni. Kegiatan pentas seni, sebenarnya hanya latihan mukhadarah (Pidato) namun lamakelaman berkembang, tidak hanya latihan pidato 3 bahasa (bahasa Indonesia, Arab dan Inggris) namun seni-seni yang lain. Karena antar satu santri dengan santri lainnya, minat seni mereka berbeda-beda. Ada yang main tetaer, drama, lawak, sampai hadrah dan qosidah. Belum lagi tari dan ngerap seperti penyanyi-penyanyi Barat. Hal itu dibiarkan oleh KH.Ghazali Utsman, untuk mengapresiasikan bakat seni santri-santrinya. Pentas seni dilaksanakan di depan santri-santri yang lain, setiap malam jum’at, setelah mereka sholat isya’ dan makan bareng. Untuk yang pentas, masing-masing di bagi menjadi kelompok dan satu kelompok harus menampilkan ragam seni yang mereka persiapkan. 5. Pembelajaran Akhlak Dalam membentengi akhlak santrinya KH.Ghazali Utsman, menyadur buku akhlak yang diterapkan di pondok pesantren Sidogiri, untuk diterapkan di alUtsmani. Sistem yang digunakan adalah mengambil 5-10 menit terakir setiap mata pelajaran. Semua guru mata pelajaran wajib paham
dan mengajarkan buku tersebut kepada anak didiknya. Materi ini memang diajarkan di sekolah formal, baik MTs. maupun SMA namun kurikulum yayasan. 6. Perpustakaan Pemanfaatan perpustakaan yang ada di pondok pesantren alUtsmani dengan baik, mampu menunjang prestasi pengetahuan santri-santri al-Utsmani. Karena kegemaran membaca merupakan masalah yang terjadi secara nasional. Nah hal ini di pondok pesantren al-Utsmani di antisipasi dengan cara wajib memanfaatkan koleksi-koleksi buku / kitab yang ada. Pengelolaannya memang sengaja diberikan kepada santri, agar santri-santri al-Utsmani lebih leluasa untuk memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang ada. Semua prestasi yang ada, tidak lepas dari sikap KH.Ghazali Utsman yang tidak anti terhadap kritik, malah mencari kritik terhadap pondoknya dengan cara turun ke desa-desa basis santri bersama pengurus yang lain acara pengajian rutin tiap bulan dan pengajian umum setiap tahun sekali yang berkerja sama dengan para alumni pondok pesantren lain, ini juga bentuk prestasi yang dibuat dalam membangun pondok pesantren alUtsmani beda dengan pondokpondok pesantren yang lain. Mengenai prestasi ini, Sunarto menulis yang di kutip dari tulisannya Gagne bahwa Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam
34
melakukan kegiatan, yang dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Pendapat Bloom dalam Suharsimi Arikunto menambahkan bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. 17
Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai santri-santri pondok pesantren al-Utsmani dalam proses pembelajaran di luar formal MTs. dan SMA.
Peluang Hambatan dalam Meningkatkan Prestasi non Akademik Menjalankan pondok pesantren al-Utsmani, yang baru berusia kurang lebih 70 tahun berjalan, membuat KH.Ghazali Utsman berfikir keras bersama-sama dengan pengurus yang lain agar bagaimana pesantren alUtsmani maju dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan beliau. Fungsi manajemen dan kepemimpinan terus dilakukan dalam mengembangkan prestasi-prestasi non akademik untuk santri-santri beliau, baik itu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan mengendalikan pondok pesantren alUtsmani sendiri. Tentunya kewenangan 17
Sunarto, Pengertian Prestasi Belajar , www. spesialis-torch.com, 5 Januari 2009
yang diembankan kepada beliau oleh masayarakat genap dengan konsekuensi yang akan diterima tentunya. Dalam rangka peningkatan prestasi non akademik di pondok pesantren al-Utsmani, KH.Ghazali Utsman telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan pesantren dan santri-santri yang berprestasi. Dalam upaya menuju cita-cita luhur beliau, tentu di dukung oleh semua elemen yang ada. Baik, guru, santri, staf, orang tua dan masyarakat sekitar lingkungan pondok pesantren al-Utsmani serta iklim belajar mengajar yang enak, nyaman dan kondusif. Sebuah sudut pandang ditunjukkan oleh Goodlad, yang dikutip James J. Jones & Donald L. Walters dalam Human Resource Management in Education ia menyatakan bahwa, memahami dunia sekolah harus menjadi awal dan mendahului semua usaha dalam mengembangkan sekolah tersebut. Ia berpendapat ada kebutuhan terhadap data-data kontekstual sebagai panduan bagi proses penetapan prioritas dalam pemechan kelompok dan dibutuhkan pula pihak-pihak yang bertanggungjawab pada tingkatan 18 sekolah. Bagaimana seorang pimpinan diikuti oleh orang yang dipimpinnya. Imron Arifin mengutip pendapat Law & Glover bahwa kepemimpinan yaitu memotivasi orang lain untuk mengikuti. Yaitu motivasi pemimpin yang efektif, 18
James J. Jones & Donald L. Walters, Human Resource Management in Education (Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan), (Yogyakarta : Q-Media, 2008), h.194
35
bercita-cita dan mendekati orang lain untuk merealisasikan tujuan. Bercitacita mengikuti dengan orang lain didasarkan pada pemahaman pada siapa pengikutnya, apa kebutuhan mereka dan sumber daya yang dapat mereka 19 tawarkan pada kelompok. Lalu bagaimana KH.Ghazali Utsman, sebagai seorang pimpinan lembaga, pengasuh dalam mewujudkan prestasi. Dalam hal ini, Vilstern dalam Rosyada mengatakan, bahwa dalam rangka mewujudkan sekolah yang berprestasi, maka kepala sekolah harus melakukan beberapa tugas pokok, yaitu : pertama, mengelola kurikulum dan kegiatan pembelajaran; kedua melakukan kerja sama yang baik dengan guru dalam penetapan kurikulum dan proses pembelajaran; Ketiga, mendorong semua guru untuk melakukan yang terbaik dalam bidang dan kewenangannya; keempat, melakukan bimbingan pada guru agar terus melakukan perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya; kelima, melakukan peningkatan skill, keahlian dan profesionalisme guru dengan memberikan berbagai pelatihan dan pendidikan; keenam, menyediakan sumber-sumber belajar, alat serta berbagai fasilitas belajar yang dapat mendukung peningkatan kualitas; Ketujuh, meningkatkan iklim kerja yang stimulatif dan sesuai dengan berbagai kebutuhan, serta kedelapan, memberikan layanan dengan mudah 19
Imron Arifin, Kepemimpinan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Seri Terjemah Buku Jilian Rood Leadership in Early Childhood, (Yogyakarta : Aditya Media, 2010), h.47
bagi para guru, mudah diakses dan dapat memberikan berbagai jalan keluar dalam berbagai persoalan yang dihadapi guru di dalam kelasnya. 20 Di samping itu, untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak, terutama guru dan staf, maka seorang pimpinan sekolah / lembaga seperti pondok pesantren al-Utsmani, Salis dalam Rosyada menyatakan harus mengembangkan beberapa perlakuan sebagai berikut Libatkan guru dan staf dalam menyelesaikan masalah; 1. Bertanya kepada mereka bagaimana pandangannya tentang sesuatu dan tanya bagaimana pekerjaan itu bisa diselesaikan, dan hindari melakukan intruksi pada mereka untuk melakukan ini dan itu, begini dan begitu; 2. Libatkan dalam manajemen semaksimal mungkin untuk mempercepat peningkatan komitmen mereka; 3. Tanya kepada staf, tentang sistem dan prosedur bagaimana yang dapat menjaga kualitas pelayanan bagi siswa, orang tua, dan bahkan juga diantara mereka sendiri; 4. Pahami bahwa kemajuan berarti yang diharapkan dari guru itu tidak dapat disampaikan dengan cara pendekatan manajemen top-down; 5. Laksanakan komunikasi sistemik dan berkelanjutan diantara semua yang terlibat dalam sekolah; 6. Tingkatkan kemampuan guru dalam resolusi konflik, mengatasi masalah, negosiasi sambil terus
20
Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta : Prenada Media, 2004), h.292-293
36
mengembangkan toleransi yang tinggi untuk mengatasi konflik; 7. Mengembangkan konsep pendidikan berkualitas, seperti pembentukan tim, proses manajemen, pelayanan pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan; 8. belajarlah untuk menyerupai seorang pelatih dari pada menjadi seorang bos; 9. Kembangkan otonomi dan biarkan staf atau guru mengambil resiko dengan tetap dalam koridor kejujuran dan memberikan layanan terbaik bagi orang lain; 10. Kembangkan sikap lembut terhadap para pelanggan, seperti siswa, orang tua, serta masyarakat lainnya, dengan tetap memberikan perhatian terhadap berbagai kebutuhan pelanggan internal, yakni guru, anggota pimpinan, dan pekerja lainnya; dan 11. Kepala sekolah bersama para pimpinan lainnya harus mampu mengembangkan tim kerja yang baik, yakni tim pengajar dalam bidang studi sesuai konsorsiumnya, agar mereka mampu mengembangkan kurikulum, strategi pembelajaran serta evaluasi, dengan mendiskusikannya diantara sesama tim dalam bidang ilmu yang sama. Demikian pula dengan pegawai administrasi yang tim kerjanya tidak hanya untuk dibentuk secara horizontal, tetapi juga secara vertikal dalam unit yang sama, untuk mengerjakan tugastugas layanan terbaik, serta dilakukan
dengan kebanggaan untuk memberikan kepuasann bagi pelanggannya dalam hal ini para orang tua santri. Dalam upaya merealisasikan sekolah yang berprestasi, disamping mendapat dukungan dari berbagai komponen sebagaimana disebutkan di atas, KH.Ghazali Utsman juga mendapat hambatan, yaitu biaya / keuangan, ustad / guru, kurangnya sarana dan prasarana pendidikan, serta masih adanya kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini, Mulyasa menyatakan, bahwa masalah biaya / keuangan merupakan masalah yang cukup mendasar di sekolah. Karena seluruh komponen pendidikan sekolah erat kaitannya dengan komponen keuangan sekolah. Meskipun tidak sepenuhnya, masalah keuangan akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas sekolah, terutama berkaitan dengan sarana, prasarana dan sumber belajar. Banyak sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya karena masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak. 22 KH.Ghazali Utsman pertama yang paling dipikirkan adalah bagaimana pondok pesantren yang dikelola beliau mendapat tambahan / sumber dana yang lain untuk menjalankan lebih baik pondok
21
22
21
Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, h.293-294
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), h.193
37
pesantren al-Utsmani. Dengan dana Rp. 17.000,- setiap bulannya yang harus dikeluarkan santri, rasanya belum cukup untuk menopang segala kebutuhan santri. Seperti guru-guru yang profesional tentu dari luar Kabupaten Bondowoso, namun mendatangkan mereka tidak mudah, harus menyediakan honorarium dan sarana penginapan serta kebutuhan lainnya. Keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar mengajar di pesantren / sekolah bersama komponen lainnya. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan pesantren / sekolah memerlukan biaya, baik itu disadari maupun tidak disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya, agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Peningkatan prestasi di pondok pesantren ataupun sekolah juga mempersyaratkan adanya guru profesional, yaitu guru yang memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang pendidikan, memiliki kematangan emosional yang tinggi, memiliki kemandirian, memiliki komitmen yang tinggi, visioner, kreatif, dan inovatif. Di samping itu guru juga harus senantiasa mengikuti perkembangan informasi terkini. Di pondok pesantren al-Utsmani
Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso belum mampu mendatangkan guru-guru dari pondok pesantren ternama seperti al-Azhar Mesir yang merupakan inspirasi KH.Ghazali Utsman dalam mengembangkan prestasi-prestasi non akademik di pondok pesantren alUtsmani. Pentingnya peningkatan kemampuan profesional di sebuah lembaga, Bafadal menegaskan hal tersebut dari beberpa sudut pandang; pertama, ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan. Kedua, ditinjau dari kepuasan dan moral kerja. Ketiga, ditinjau dari keselamatan kerja, keempat, peningkatan kemampuan profesional guru sangat dipentingkan dalam rangka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah di sekolah.23 Adanya sebagian pengurus Yayasan dan kurangnya SDM wali santri dan sebagian masyarakat / lingkungan yang mempunyai tingkat kepercayaannya yang rendah terhadap KH.Ghazali Utsman dan podok pesantren al-Utsmani, juga menjadi penghambat dalam peningkatan prestasi non akademik di pesantren al-Utsmani. Misalnya pengurus yang iri cemburu sosial dan hanya mengharap ’penghidupan’ di pondok pesantren alUtsmani yang sering menjadi provokator dalam berbagai hal di masyarakat. Masyarakat yang latah menjadi ikut-ikutan apa yang disampaikan oknum pengurus tersebut. Disamping 23
Bafadal, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya, (Jakarta : Bumu Aksara, 2003), h.42-43
38
rendahnya SDM wali santri, sehingga banyak wali santri yang kurang memahami peraturan-peraturan / tata tertib yang diterapkan pondok pesantren al-Utsmani. Misal dalam hal pengiriman bekal, terkadang sebagian wali santri mengirim putra-putri mereka pada jamjam pelajaran efektif sehingga menjadi terganggu, padahal keluar pada jam pelajaran termasuk pelanggaran. Bukan hanya itu, terkadang orang tua wali meminta unuk putra putri mereka pulang, karena alasan kecil dan lama dikembalikan lagi ke pondok pesantren. Belum lagi kurang mendukung terhadap pelajaranpelajaran yang pernah ditempuh putraputri mereka, sehingga begitu kembali ke pondok pesantren banyak yang lupa dengan pelajaran-pelajaran mereka, terutama menyangkut bahasa. Strategi dalam Mengatasi Hambatan Untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada, KH.Ghazali Utsman menggunakan bermacammacam cara. Misalkan dalam hal pendanaan, walau tidak adanya sumber dana yang lain kecuali iuran per bulan santri, KH.Ghazali Utsman menerapkan sistem ampra terlebih dahulu. Dan jika itu tidak terlalu penting maka kyai menangguhkan terlebih dahulu. Dari itu keuangan pondok langsung dipegang kyai sendiri, yang mana sebelumnya dipegang bendahara namun terpakai oleh bendahara masuk kedalam usaha yang dia geluti. Masalah bendahara yayasan yang seperti itu, merupakan bagian dari kendala SDM pengurus itu sendiri yang belum bisa membedakan, memilah
mana uang kepentingan pondok pesantren dan mana uang milik dan bisa dipakai pribadi. Bidang SDM mengenai ketenagaan guru pembimbing, untuk sementara kyai memanfaatkan orangorang sekitar besuki yang berkompeten dalam bidang masing-masing untuk membantu memberikan diklat, pelatihan dan bimbingan kitab serta kegiatankegiatan lain di pondok pesantren alUtsmani. Terkadang santri, oleh kyai diminta untuk datang meminta bimbingan secara privat tiga sampai empat orang, dan nantinya setelah delegasi santri ini bisa, maka mereka berkewajiban membimbing adik-adik senior mereka. Dan ini dirasa efektif oleh KH.Ghazali Utsman bila dibandingkan dengan sistem, mendatangkan guru / tutor untuk membimbing semua santri yang ada. Terkadang ada yang memperhatikan serius dan ada yang masih main-main. Hambatan terasa ringan, karena masih ada pengurus, alumni, guru dan masyarakat yang mendukung. Wahjosumidjo menjelaskan, bahwa dukungan yang diperlukan itu meliputi; (1) personil, seperti; tenaga ahli, konsultan, guru, orang tua, pengawas, dan sebagainya. (2) dana yang diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas, perlengkapan dan bahan-bahan pengajaran yang lain, dan (3) dukungan berupa informasi, lembaga dan sikap politis. 24
24
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h.344
39
Sekecil apapun bentuk dukungan yang ada, namun kalau dimanfaatkan maksimal dan tepat dayaguna maka akan menjadi bagus untuk meringankan hambatan-hambatan yang ada. Dalam hal ini, kembali Wahjosumidjo mengatakan, seharusnya pimpinan / kepala; pertama, mampu memanfaatkan kepemimpinannya, tidak hanya ketepatan dalam mempergunakan keterampilan dan kemampuan dari masing-masing orang, melainkan juga dalam memperoleh dukungan psikologis untuk perbaikan program. Kepedulian, sikap keterlibatan dan rasa tanggung jawab dari masyarakat merupakan unsur esensial perubahan pendidikan. Untuk memperoleh dukungan dan tanggung jawab dari orang-orang tersebut, pimpinan harus mampu menunjukkan rasionalitas usaha perbaikan tercapainya tujuan organisasi dan harapan para individu. Kedua, di dalam suatu usaha perbaikan, orang-orang yang terlibat perlu memperoleh informasi tentang ciri-ciri dari perubahan tersebut. Oleh karena itu pimpinan harus menaruh perhatian terhadap sejumlah bentuk dan arus informasi, sehingga dapat tercipta komunikasi dua arah. Ketiga, pimpinan harus mampu mempergunakan kepemimpinannya dalam membangun seluruh komunikasi responsif yang mengarahkan arus informasi ke bawah, paralel, dan ke atas di lingkungan organisasi sekolah, maupun ke luar lingkungan masyarakat yang lebih luas. Keempat, apabila dikatakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha pembaharuan yang sedang
berjalan, pimpinan harus memperoleh persetujuan dan mendapat dukungan dari yang lebih tinggi, dan; kelima, untuk memperoleh dukungan politis demi terciptanya perubahan di lingkungan sekolah, tidak cukup dengan dukunagn kepala sekolah saja, tetapi badan-badan pemerintah, organisasi guru, organisasi pesantren, orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat harus juga memberikan dukungan. 25 Dalam mengatasi hambatan yang ada, KH.Ghazali Utsman, sering melakukan komunikasi dengan jalan berdiskusi, bermusyawarah atau dialog dengan pihak-pihak yang terkait dan selalu melibatkan mereka dalam mengambil keputusan. Bukankah Allah SWT juga dalam firman-Nya surat AsySyuuraa ayat 38 mengajurkan kita untuk selalu bermusyawarah dalam setiap menyelesaikan dan mengambil keputusan. َوالَّ ِذيهَ ا ْستَ َجابُىا لِ َزبِّ ِه ْم َوأَقَا ُمىا الصَّالةَ َوأَ ْم ُزهُ ْم َُشى َري بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َس ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِقُىن Artinya : “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. )”. (QS. Asy-Syuuraa / 42 : 38) 26
25
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, h.344 26 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, h.719
40
Di setiap lembaga pendidikan apa pun itu, selalu terdapat masalah yang perlu mendapat pemecahan secara proporsional dan profesional. Setiap masalah perlu segera dicarikan jalan keluar dan pemecahannya agar tidak berlarut-larut. Dan di pondok pesantren al-Utsmani sendiri, hal itu disiasati dengan adanya pertemuan antar pengurus dan para guru tiga bulan sekali juga bersama wali santri dengan cara terjun langsung ke masyarakat seperti yang telah dilakukan ke Pujer, Tlogosari, Prajekan, Sumber Jambe, Tenggarang, dan kabupaten Jember. Disamping mengundang para wali santri dalam kegiatan-kegiatan pondok pesantren, seperti maulid Nabi dan Haflah Imtihan untuk mencairkan kebuntuan komunikasi antar pengasuh, pengurus, masyarakat dan wali santri. Terkadang masalah yang ada terletak pada jarangnya kita berkomukasi dengan sesama pengurus yang ada, atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, Imron Arifin menulis, sekalipun tidak semua pertukaran komunikasi masyarakat tingkat keterampilan yang tinggi, situasi tertentu misalnya menghadapi keluhan orang tua, memberi feedback kepada staf dan memperoleh informasi tentang kemajuan anak didik tertentu mensyaratkan penanganan yang lebih bijak dan bijaksana. Pemimpin yang efektif mengetahui rentang halangan kepada komunikasi di dalam setting tersebut dan mempertimbangkan caracara dalam dampaknya yang dapat dieliminasi atau diminimalisasi. Halangan kepada komunikasi yang ada dalam setting fisik dapat dimanipulasi
dan digunakan oleh mereka yang ingin menyabotase upaya komunikasi. 27 Di samping dengan diskusi dan musyawarah, upaya lain yang bisa kita lakukan dalam mengatasi setiap hambatan yang ada adalah dengan keterbukaan, kejujuran atau transparansi manajemen. Mulyasa menyatakan, bahwa dalam wacana demokrasi pendidikan, transparansi pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang harus diwujudkan dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan. Transparansi ini harus ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, penggunaan uang, pelayanan, dan pertanggungjawaban yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.28 Mengenai transparansi, Bafadal menambahkan, transparansi keuangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dukungan orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan seluruh program pendidikan di sekolah. Di sinilah letak pentingnya penerapan manajemen keuangan yang profesional, termasuk di dalamnya akuntansi keuangan sekolah. Lain halnya dengan Imron Arifin, memberikan solusi dalam menangani hambatan / pemecahan masalah. Dia menambahkan bahwa, dalam proses yang lebih umum, pemecahan masalah, langkah-langkah yang sama harus digunakan. Pemecahan masalah sangat berguna ketika suatu 27
Imron Arifin, Kepemimpinan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Seri Terjemah Buku Jilian Rood Leadership in Early Childhood, h.103 28 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003), h.92
41
unsur ada konflik dalam situasi tersebut. Situasi tersebut dapat didefinisikan sebagai masalah yang saling menguntungkan untuk diatasi daripada keadaan kalah-menang. Karena konflik memicu respon emosional, sehingga penting menyalurkan energi emosional menuju penyelesaian yang konstruktif dengan mengadopsi sikap saling menang (win-win) yang tepat. Dalam pemecahan masalah, adalah perlu bagi partisipan memfokuskan pada hasil positif terkait dengan proses sampai pada solusi. Anggota kelompok harus mengembangkan sikap tertentu kepada konflik sehingga sikap itu dianggap sebagai bagian proses kelompok yang sehat dan normal, dan mereka harus mau mengkomunikasikan secara jujur dan terbuka dengan satu sama lain mengenai isu tersebut. 29 Temuan Dilapangan Penelitian ini telah menemukan hasil diantaranya sebagai berikut : 1. Peran KH.Ghazali Utsman sebagai pengasuh / pimpinan pondok pesantren al-Utsmani Desa Jambesari Kecamatan Jambesari Darussholah Kabupaten Bondowoso adalah seorang kyai yang visioner, penuh kekeluargaan, demokratis dan profesional dalam mengembangkan pondok pesantren al-Utsmani sebagai pondok pesantren dengan prestasi non akademik paling unggulan di antara pondok 29
Jilian Rood, Leadership in Early Childhood dalam Imron Arifin, Kepemimpinan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Seri Terjemah, (Yogyakarta : Aditya Media, 2010), h.208-209
pesantren-pondok pesantren lain di wilayah Bondowoso. 2. Dalam pencapaian prestasi non akademik tersebut, KH.Ghazali Utsman melakukan berbagai terobosan baik bidang kurikulum antara Yayasan dan Sekolah, peraturan-peraturan pondok pesantren al-Utsmani, dan agendaagenda kegiatan santri, serta pemberdayaan para staf pengajar, proses belajar, melengkapi saran dan prasarana secara bertahap serta meningkatkan hubungan baik dengan masyarakat sekitar, dengan cara mengunjugi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan. 3. Sebagai praktek peningkatan prestasi non akademik KH.Ghazali Utsman telah memanfaatkan dukungan berbagai pihak, seperti, Peduli Jawa Pos, dinas sosial, PNPM Mandiri Desa Jambesari serta masyarakat sekitar dan terus mencari strategi agar bagaimana bisa mengatasi hambatan-hambatan yang ada. 4. Berbagai upaya yang telah dilakukan KH.Ghazali Utsman, sampai penelitian ini dilakukan boleh dikata berhasil dan menjadikan pondok pesantren alUtsmani unggul dalam prestasi non akademik, berbeda dengan pondok pesantren-pondok pesantren yang lain di wilayah Kabupaten Bondowoso Kesimpulan Berangkat dari temuan yang peneliti dapatkan dari lapangan selama kurun waktu kurang lebih 5 bulan, tentang Peran Kyai dalam Peningkatan
42
Prestasi non Akademik yang mana sebuah studi kasus di Pondok Pesantren al-Utsmani Desa Jambesari Kecamatan Jambesari Darussholah Kabupaten Bondowoso, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Peran kyai dalam meningkatkan prestasi non akademik di Pondok Pesantren al-Utsmani sangatlah penting. Sebagai seorang kyai professional, KH.Ghazali Utsman menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keprofesionalan KH.Ghazali Utsman dapat kita lihat dalam kehidupan beliau sehari-hari, diantaranya : a. KH.Ghazali Utsman, sebagai figur bagi masyaralat Desa Jambesari dan desa sektarnya sangat di segani serta dikagumi oleh masyarakat, santri dan alumni serta seluruh komponen pendidikan yang ada di lingkungan pondok pesantren alUtsmani. b. KH.Ghazali Utsman, melaksanakan peran sebagai pimpinan dan melaksanakan sebaik-baiknya untuk memperoleh apa yang beliau cita-citakan, agar santri mencetak santri berkualitas secara umum, dan mencetak mutafakkih fiddin, kalau santri yang berkualitas umum secara khusus, du’ad bil lisan, du’ad bil kitabah, du’ad bil hal. Secara khusus du’ad bil khair, yang merupakan motto pondok Trilogi santri, beriman, berilmu dan beramal. Harapan ke depan KH.Ghazali Utsman, adalah
bentuk visi yang masih terus bergulir seiring waktu. Hal ini menunjukkan kalau beliau seorang visioner dalam mewujudkan pondok pesantren al-Utsmani yang unggul dalam segala bidang. c. Dalam hal pengawasan kyai melaksanakan pengawasan sekaligus pengayoman secara langsung ataupun tidak langsung kepada santri-santrinya dalam merealisasikan ragam prestasi yang ada. Dengan sifat kekeluargaan yang dimiliki beliau, menjadikan santri-santri al-Utsmani tidak pernah merasa ditekan, walaupun beliau seorang diri mengawasi namun santri tetap segan bukan takut karena system kekeluargaan yang beliau terapkan kepada santri-santrinya. d. Pembinaan terhadap pelaksanaan pendidikan, ISBAD dan IQBAL yang ada di lingkungan pondok pesantren alUtsmani, yang dilaksanakan secara rutin kontinyu (Istiqomah) dan insidental. Dengan diberikannya wewenang kepada santri-santri senior untuk ikut mengawasi dan mengkritik pengurus yang lain dalam segala hal, menunjukkan kepemimpinan KH.Ghazali Utsman adalah demokratis, tidak otoriter dalam mengambil segala kebijakan. 2. Bentuk-bentuk prestasi non akademik yang dilakukan oleh santri di Pondok Pesantren al-
43
Utsmani sangatlah beragam, mulai (a) Guru Tugas, (b) penggunaan dan pemisahan kelas untuk masingmasing bahasa Arab dan Inggris serta percakapan bahasa Inggris dan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari, (c) melaksanakan cerdas tangkas dalam satu tahun sekali, untuk evaluasi dari semua mata pelajaran di pendidikan formal MTs. dan SMA, (d) pentas seni, adalah apresiasi bakat-bakat yang dimiliki santri-santri pondok pesantren alUtsmani baik putra maupun putrid, (e) gelar busana, yang diadakan setiap akhir semester adalah prestasi non akademik yang membanggakan, karena bias diketahui khalayak ramai, (f) dan system perpustakaan yang dikelola efektif, efesien untuk penambahan wawasan santri-santri beliau. 3. Faktor-faktor penghambat dan pendukung peran kyai dalam meningkatkan prestasi non akademik, yang paling urgen adalah sumber dana lain selain iuran santri belum ada, sehingga merembet kepada SDM guru / ustad yang ingin di datangkan KH.Ghazali Utsman, untuk membina santrisantri di pondok pesantren alUtsmani. Selain itu SDM wali santri yang tidak sama dan adanya pengurus Yayasan yang tidak solid, loyal dan peduli terhadap pondok pesantren dan adanya sebagian masyarakat sekitar yang kurang bersahabat dengan pondok pesantren al-Utsmani juga pribadi KH.Ghazali Utsman sendiri.
4. Strategi yang digunakan dalam mengatasi faktor faktor penghambat dan memberdayakan faktor pendukung di lingkungan pondok pesantren al-Utsmani, KH.Ghazali Utsman menggunakan metode skala prioritas untuk pendanaan dan untuk SDM mencari di sekitar wilayah Jember dan Bondowoso serta membina sebagian santri dan alumni yang senior. Daftar Pustaka Agustin, A, G, 2001, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual, Jakarta : Arga. Bafadal, 2003, Manajemen Perlengkapan Sekolah Teori dan Aplikasinya, Jakarta : Bumu Aksara. Dhofier, 1985, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES. Haedar Ruslan, 2007, Dinamika Kepemimpinan Kyai di Pesantren, www.researchengines.com, 19 Juni 2007 Imron Arifin, 2010, Kepemimpinan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Seri Terjemah Buku Jilian Rood Leadership in Early Childhood: Yogyakarta, Aditya Media. Jilian Rood, 2010, Leadership in Early Childhood dalam Imron Arifin, Kepemimpinan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Seri Terjemah: Yogyakarta, Aditya Media. Jones, James, J, & Donald, L, 2008, Walters, Human Resource Management in Education (Manajemen Sumber Daya
44
Manusia dalam Pendidikan): Yogyakarta, Q-Media. KH. A. Musthofa Bisri, 2009, Kiai dan Pesantren Indonesia, www.gusmus.net, 10 Oktober 2009 Ki Supriyoko, 2009, ―Mengembalikan Roh Pendidikan‖, Jawa Pos (Surabaya), 15 Mei 2009. Muhibbuddin, Muhammad, 30 Mei 2009, Kiai dan Doa Restu Politik, Jawa Pos, Surabaya. Mulyasa, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah: Bandung, Remaja Rosdakarya. Rohit, 1998, Kecerdasan Emosional Kepemimpinan Kepala Sekolah: Bandung, PT. Refika Aditama, cet. Ke-1.
Rosyada, 2004, Paradigma Pendidikan Demokratis: Jakarta, Prenada Media. Sararti Wilonoyudho, 2009, ―Senjakala Kepemimpinan‖, Jawa Pos, (Surabaya), 27 November 2009. Staquf, Yahya, C, 29 Oktober 2009, ―Dekadensi Politik Kyai‖, Jawa Pos, Surabaya. Sunarto, 2009, Pengertian Prestasi Belajar , 5 Januari 2009, www. spesialis-torch.com. Syafaruddin, 2002, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Jakarta, Grasindo. Wahjosumidjo, 2002, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya: Jakarta, Raja Grafindo Persada.