Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB)
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia
Ruth Grace Aurora, Aurika Sinambela, Carolina Hasiana Noviyanti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: Hiperkolesterolemia merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan kadar low-density lipoprotein (LDL) puasa tanpa disertai peningkatan kadar trigliserida. Peningkatan kadar LDL merupakan faktor risiko mayor penyakit jantung koroner. Penanganan pasien hiperkolesterolemia mencakup aspek farmakologis dan non-farmakologis. Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) merupakan penanganan awal pasien hiperkolesterolemia yang dianjurkan oleh Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Penerapan TLC memerlukan motivasi diri serta dukungan lingkungan sekitar. Konseling gizi yang baik dan berkelanjutan berperan penting dalam menciptakan motivasi diri untuk mencapai perubahan gaya hidup pasien hiperkolesterolemia. J Indon Med Assoc. 2012;62:193-201. Kata kunci: hiperkolesterolemia, konseling, Therapeutic Lifestyle Changes (TLC)
Korespondensi: Ruth Grace Aurora Email:
[email protected]
194
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia
The Role of Continuous Counseling in Managing Patients with Hypercholesterolemia Ruth Grace Aurora, Aurika Sinambela, Carolina Hasiana Noviyanti Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta
Abstract: Hypercholesterolemia is a condition characterized by elevated levels of low-density lipoprotein (LDL) without any increase in fasting triglyceride levels. Increased levels of LDL is a major risk factors for coronary heart disease. Treatment of hypercholesterolemia includes nonpharmacological and pharmacological aspect. Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) is the initial treatment of hypercholesterolemia recommended by Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Implementation of TLC requires self motivation and environment support. Good and sustainable nutrition counseling plays an important role in creating self-motivation to achieve lifestyle modification of hypercholesterolemic patient. J Indon Med Assoc. 2012;62:197-204.. Keywords: hypercholesterolemia, counseling, Therapeutic Lifestyle Changes (TLC)
Pendahuluan Penyakit jantung koroner (PJK) adalah pembunuh nomor satu di dunia saat ini.1 Penyebab utama penyakit ini adalah aterosklerosis koroner. Aterosklerosis timbul secara perlahan akibat disfungsi endotel, inflamasi vaskuler, dan tertumpuknya kolesterol pada dinding pembuluh darah. 2 Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor risiko mayor PJK.1 World Health Organization (WHO) memperkirakan hiperkolesterolemia berkaitan dengan lebih dari separuh kejadian penyakit jantung koroner dan lebih dari empat juta kematian tiap tahunnya.3 American Heart Association (AHA) memperkirakan lebih dari 100 juta penduduk Amerika memiliki kadar kolesterol total >200 mg/dl, yang termasuk kategori cukup tinggi, dan lebih dari 34 juta penduduk dewasa Amerika memiliki kadar kolesterol >240 mg/dl, yang termasuk tinggi dan membutuhkan terapi.3 Di Indonesia, prevalensi hiperkolesterolemia pada kelompok usia 25-34 tahun adalah 9,3% dan meningkat sesuai dengan pertambahan usia hingga 15,5% pada kelompok usia 55-64 tahun.4 Hiperkolesterolemia umumnya lebih banyak ditemukan pada wanita (14,5%) dibandingkan pria (8,6%).4 Penatalaksanaan hiperkolesterolemia di Indonesia menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) mencakup terapi non-farmakologis yang disebut perubahan gaya hidup terapeutik Therapeutic Lifestyle Changes ( TLC) dan penggunaan obat-obat penurun kolesterol.5 Konseling secara personal merupakan salah satu peran pelayanan kesehatan dalam menciptakan perubahan pola hidup dan pola makan.5 J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Hiperkolesterolemia Hiperkolesterolemia adalah peningkatan kadar kolesterol LDL puasa tanpa disertai peningkatan kadar trigliserida.6 Penyebab hiperkolesterolemia antara lain diet tinggi kolesterol atau tinggi asam lemak jenuh, pertambahan berat badan, proses penuaan, faktor genetik, dan penurunan kadar estrogen pada wanita yang telah menopause.6 Angka kejadian hiperkolesterolemia pada wanita sebelum menopause lebih rendah dibanding pria. Namun, setelah menopause kerentanan seorang wanita terkena hiperkolesterolemia akan sebanding dengan pria.7 Klasifikasi hiperkolesterolemia yaitu: (1) hiperkolesterolemia ringan, ditandai dengan nilai kolesterol LDL antara 140-159 mg/dl; (2) hiperkolesterolemia sedang, bila kadar kolesterol total antara 240-300 mg/dL dan lebih spesifik bila kadar kolesterol LDL berkisar antara 160-189 mg/dl; (3) hiperkolesterolemia berat, dengan kolesterol LDL >190 mg/dl.6 Kolesterol LDL merupakan kolesterol yang paling aterogenik. Low-density lipoprotein (LDL) yang teroksidasi diyakini sebagai salah satu penyebab dari kerusakan endotel, selain akibat rokok, hiperglikemi, dan agen infeksius. Kerusakan endotel mengakibatkan aterosklerosis. 2 Aterosklerosis pada arteri koroner menyebabkan PJK, pada arteri serebral dapat menyebabkan stroke, dan pada sirkulasi perifer menyebabkan klaudikasio intermiten dan gangren. Ginjal juga dapat terkena aterosklerosis.1 Tatalaksana hiperkolesterolemia di Indonesia menurut PERKENI, sesuai dengan National Cholesterol Education 195
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia
LDL ≥ 130
PJK dan Penyakit lain setara PJK*
LDL 100-129
LDL <100
LDL <100
Lanjut TLC dan obat
LDL 100-129
Pertimbangkan terapi lainnya
TLC + Obat
TLC + Pilihan Terapi
TLC + Pengontrolan Faktor Risiko Lain
*Penyakit setara PJK: (1) Diabetes Mellitus, (2) bentuk lain penyakit aterosklerotik: stroke, aneurisma aorta abdominal, (3) penyakit arteri perifer, (4) faktor risiko multipel (>2 risiko yang diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun mempunyai risiko PJK >20%) Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hiperkolesterolemia pada Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner atau Penyakit lain setara dengan PJK
Pengontrolan Faktor Risiko lain Anjuran melakukan gaya hidup sehat Evaluasi kembali 1 tahun
LDL <130 Faktor risiko multipel (≥ 2) 10-year Risk 10-20%
LDL ≥ 130
TLC
3 bulan
LDL <130
Lanjutkan TLC
LDL ≥ 130
Lanjutkan TLC Pertimbangkan pemberian obat
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hiperkolesterolemia pada Pasien dengan Faktor Risiko Multipel (10-year risk 10-20%)
Program -Adult Treatment Panel III (NCEP - ATP III), terdiri atas terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis.5 Faktor risiko yang dimaksud dalam algoritme di atas yaitu faktor risiko selain LDL yang menentukan target pencapaian LDL, yaitu: (1) umur pria >45 tahun dan wanita >55 tahun; (2) riwayat keluarga PJK dini, yakni usia ayah <55 tahun dan ibu <65 tahun; (3) kebiasaan merokok; (4) hipertensi (tekanan darah >140/90 mmHg atau sedang mendapat obat antihipertensi); (5) kolesterol HDL rendah
196
(<40 mg/dL).5 Terapi non-farmakologis terdiri atas perubahan pola hidup terapeutik (therapeutic lifestyle changes/TLC). Penggunaan terapi farmakologis, berupa obat-obatan, tergantung dari jumlah faktor risiko yang dimiliki dan besar risiko penyakit jantung koroner (PJK) 10 tahun yang dihitung berdasarkan risiko Framingham. Selain itu, terapi farmakologis juga diberikan apabila terjadi kegagalan setelah 3 bulan menjalani terapi non-farmakologis.5
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia
Pengontrolan Faktor Risiko lain Anjuran melakukan gaya hidup sehat Evaluasi kembali 1 tahun
LDL <130 Faktor risiko multipel (≥2) 10year Risk <10%
LDL ≥ 130
TLC
3 Bulan
LDL <160
Lanjutkan TLC
LDL ≥ 160
Lanjutkan TLC Pertimbangkan pemberian obat
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hiperkolesterolemia pada Pasien dengan Faktor Risiko Multipel (10-year risk <10%)5
LDL < 130
0-1 Faktor Risiko (10-year risk biasanya <10%)
LDL 130-159
LDL ≥ 160
Anjuran melakukan gaya hidup sehat Evaluasi kembali 5 tahun
Anjuran melakukan gaya hidup sehat Evaluasi kembali 1 tahun
TLC
3 bulan
LDL < 160
Lanjutkan TLC
LDL 160-189
Lanjutkan TLC dan pertimbangkan obat
LDL ≥ 190
Lanjutkan TLC dan pertimbangkan tambahan obat
Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Hiperkolesterolemia pada Pasien dengan 0-1 Faktor Risiko
Obat-obatan penurun lipid yang diberikan, jenis, cara kerja, dan efek yang terjadi dapat dilihat di Tabel 1. Obat pilihan pertama yang direkomendasikan oleh NCEP-ATP III ialah golongan HMG-CoA reduktase inhibitor.5,8 Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) mencakup penurunan asupan lemak jenuh dan kolesterol, pemilihan bahan makanan yang dapat menurunkan kadar LDL, penurunan berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik yang teratur. Perubahan gaya hidup sangat dipengaruhi oleh motivasi diri dan lingkungan yang memerlukan konseling gizi yang baik dan berkelanjutan.9
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Pendekatan Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) Adult Treatment Panel III (ATP III) merekomendasikan pendekatan multifaktor untuk menurunkan risiko terjadinya CHD. Pendekatan ini disebut sebagai TLC5 yang meliputi: 1.
Mengurangi asupan lemak jenuh (saturated fat) dan kolesterol a. Lemak Jenuh Lemak jenuh merupakan komponen utama makanan yang menentukan kadar LDL serum.5 Pengaruh lemak jenuh terhadap kolesterol total dalam serum telah banyak diteliti. 197
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia Tabel 1. Obat Penurun Lipid: Jenis, Cara Kerja, dan Efek 9 Jenis
Cara Kerja
Efek
Bile acid-sequestran
Menghambat sirkulasi enterohepatik asam empedu hsintesis asam empedu dan reseptor LDL isintesis kolesterol h reseptor LDL hLPL dan hhidrolisisTG isintesis VLDL hkatabolisme LDL isintesis VLDL dan LDL
i LDL-C 20-30% hHDL-C
HMG-CoA reduktase inhibitor Derivat asam fibrat
Asam nikotinik
iabsorpsi kolesterol di usus halus Asam lemak omega 3 isintesis VLDL Ezetimibe
i LDL-C 25-40% iVLDL TG 25-40% hatau iLDL-C h HDL i TG 25-85% iVLDL-C 25-35% i LDL-C 25-40% HDL mungkinh i LDL-C 16-18% i50-60% pada hiper TG berat
Analisis dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% kalori dari lemak jenuh akan disertai peningkatan LDL serum sebesar 2%. Sebaliknya, penurunan 1% asupan lemak jenuh dapat menurunkan kadar LDL serum sebesar 2%.5 Uji terbaru telah membuktikan efikasi diet rendah lemak jenuh dalam menurunkan kadar LDL. Sebagai contoh, penelitian DELTA yang meneliti pengaruh pengurangan diet lemak jenuh dari 15% hingga 6,1% kebutuhan energi total. Pada diet rendah lemak jenuh, kolesterol LDL dapat dikurangi hingga 11%. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa populasi yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol berisiko tinggi mengalami CHD. Metaanalisis yang dilakukan oleh Gordon, menunjukkan bahwa penurunan asupan lemak jenuh dapat mengurangi kolesterol serum sehingga risiko terjadinya CHD menurun secara bermakna sebesar 24%.5 b. Kolesterol Metaanalisis terbaru menunjukkan diet tinggi kolesterol dapat meningkatkan kadar LDL.10 Bahan makanan yang mengandung kolesterol yaitu produk-produk hewani, susu sapi, daging, serta telur. Beberapa data epidemiologi, antara lain The Western Electric Study, menunjukkan bahwa diet tinggi kolesterol dapat meningkatkan risiko terkena penyakit jantung melalui pengaruh diet terhadap LDL serum.5 2.
Memilih sumber makanan yang dapat menurunkan kolesterol (stanol/sterol, serat larut air, serta soy protein) a. Stanol/Sterol Tumbuhan Sterol dapat dijumpai pada kacang kedelai dan dari minyak pohon pinus. Sterol dari tumbuhan minyak cemara dapat diesterifikasi dengan lemak tidak jenuh (unsaturated
198
fatty acid) membentuk ester sterol yang dapat meningkatkan kelarutan lemak. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa asupan yang berasal dari tumbhan stanol/sterol ester sebesar 2-3 gram perhari mampu menurunkan kadar LDL sebesar 615% tanpa mengubah kadar HDL dan trigliserida.5 Penelitian lain menunjukkan konsumsi susu fermentasi yang diperkaya sterol secara rutin setiap hari mampu menurunkan kadar LDL serum sebesar 10,6%.11 b. Peningkatan asupan serat larut Peningkatan serat larut 5-10 gram perhari dapat mengakibatkan penurunan LDL sekitar 5%.5 c.
Protein Soya Soy protein tergolong diet rendah lemak jenuh dan rendah kolesterol. Salah satu penelitian melaporkan bahwa konsumsi protein soya 25 gram/hari disertai diet rendah lemak jenuh dan kolesterol, dapat menurunkan kadar LDL sekitar 5%.5 Protein soya mengandung isoflavon, serat, dan saponin. Terdapat bukti penelitian yang menunjukkan penurunan LDL serum bergantung pada kandungan isoflavon dalam protein soya, meskipun data yang digunakan untuk menyimpulkan masih kurang adekuat.12 Asupan tinggi protein soya dapat menghasilkan penurunan ringan kadar LDL, terutama bila digunakan untuk mengganti produk hewani. 3. Penurunan Berat Badan Obesitas berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya hiperlipidemia, CHD, sindrom metabolik, hipertensi, stroke, diabetes melitus, osteoartritis, gout, serta keganasan. Panduan dari ATP III menekankan penurunan berat badan pada pasien overweight dan obesitas sebagai bagian dari intervensi penurunan LDL serum.12 Pada 12 minggu pertama, pasien menjalani pengaturan makan untuk menurunkan LDL serum sebelum diperkenalkan intervensi penurunan berat badan. Tujuan awal intervensi penurunan berat badan yaitu menurunkan berat sekitar 10% selama 6 bulan.12 4. Meningkatkan Aktivitas Fisik yang Teratur Berdasarkan panduan ATP III, aktivitas fisik yang teratur amat ditekankan karena berperan penting dalam penanganan sindrom metabolik. Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan kadar LDL, very low-density lipoprotein cholesterol, dan trigliserida, serta meningkatkan HDL.12 Tujuan peningkatan aktivitas fisik pada pasien hiperkolesterolemia yaitu untuk menciptakan keseimbangan energi, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, serta menurunkan risiko terjadinya CHD.12 Aktivitas fisik yang direkomendasikan yaitu aktivitas fisik dengan intensitas moderat selama 30 menit setiap harinya dan dilakukan minimal 3-4 kali dalam seminggu.12 Pasien hiperkolesterolemia dengan gaya hidup sedentary, dianjurkan untuk memulai aktivitas fisik yang kemudian
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia Tabel 2. Cara-Cara Untuk Meningkatkan Aktivitas Fisik 12 Sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari a
Sebagai bagian dari latihan (exercise)a,b
Berjalan atau bersepeda lebih sering Berjalan santai selama Duduk dan menyetir mobil lebih jarang 30 menit Memarkir mobil sedikit lebih jauh dari Jogging selama 15 menit tempat tujuan Bersepeda selama 30 menit Naik tangga dibanding naik tangga eskalator atau elevator Bermain aktif bersama anak Berjalan 10 menit di pagi hari, siang hari, dan setelah makan malam a
Aktivitas dapat dikombinasikan untuk mencapai durasi minimal 30 menit pada sebagian besar hari dalam satu minggu. b Aktivitas dengan intensitas yang moderat. Tabel 3. Komponen Therapeutic Lifestyle Changes5 Komponen Nutrisi yang meningkatkan LDL Lemak jenuh Kolesterol Nutrisi untuk menurunkan LDL Stanol/sterol tumbuhan Meningkatkan serat larut Total kalori (energi) Aktivitas fisik
Polyunsaturated fat Monounsaturated fat Lemak total Karbohidrat Serat Protein
Rekomendasi
<7% total kebutuhan kalori <200 mg/hari 2 gram/hari 10-25 gram perhari Total kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan ideal Aktifitas fisik moderat untuk membakar minimal 200 kcal perhari Hingga 10% kebutuhan energi total Hingga 20% kebutuhan energi total 25-35% kebutuhan energi total 50-60% kebutuhan energi total 20-30 gram perhari Sekitar 15% kebutuhan energi total
ditingkatkan secara bertahap. Rekomendasi TLC menurut ATP III dapat dilihat pada tabel 3. Konseling Konseling merupakan suatu bentuk percakapan dua arah yang dilakukan dengan sengaja untuk memecahkan masalah klien.13 Melalui konseling, klien diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk membuat perubahan yang merupakan penyelesaian masalahnya. Langkah yang dilakukan saat konseling menurut Egan, 2007, yaitu: (1) Tahap attending (pendekatan). Konselor menyediakan waktu untuk konsultasi dan melakukan attentive listening (mendengar aktif); (2) Exploring (menggali informasi). Tahap ini dilakukan setelah hubungan (rapport) terbentuk. Keterampilan yang dibutuhkan yaitu: 1) Questioning: mengajukan pertanyaan yang bersifat mendorong pasien mengungkapkan masalah, 2) Reflecting: kemampuan untuk mengungkapkan kembali atau memberi masukan kepada klien J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
tentang inti diskusi dengan cara meringkas dan memperjelas pendapat klien, 3) Summaring: kemampuan untuk menyimpulkan informasi yang disampaikan klien; (3) Understanding. Pada tahap ini diperlukan empati untuk memahami perasaan, masalah, dan pendapat klien; (4) Action. Klien didorong untuk menentukan sendiri tujuan dan rencana yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah.13 Sedangkan proses perubahan terdiri atas 6 tahapan, yakni: (1) pre-contemplation (sebelum memikirkan). Pada tahap ini, klien belum memiliki keinginan untuk berubah. Klien membutuhkan informasi untuk meningkatkan kesadaran pada masalah yang dihadapi; (2) contemplation (memikirkan). Pada tahap ini, klien berada dalam tahap ambivalensi (antara mau dan tidak untuk melakukan perubahan). Konselor memberikan keuntungan dan kekurangan bila melakukan perubahan; (3) preparation (persiapan). Tahap ini merupakan ambang batas untuk mendekati perubahan maupun kembali ke tahap kontemplasi sehingga diperlukan strategi untuk mencapai tujuan; (4) action (aksi). Klien melakukan aksi yang membawa perubahan untuk memperbaiki masalah; (5) maintenance (pemeliharaan). Tahap ini bertujuan untuk mencegah terjadi relapse dengan tetap melakukan follow up terhadap klien; (6) relaps (kambuh). Bila klien berada pada tahap ini, diperlukan usaha yang lebih keras untuk memulai kembali proses perubahan.13 Konseling Gizi Konseling gizi merupakan konseling yang dilakukan secara berkesinambungan untuk menilai asupan nutrisi klien pada saat awal perubahan maupun pemeliharaan. Konseling gizi dapat dilakukan pada orang sehat yang ingin menjaga kebugaran atau memperbaiki berat badan, maupun pada orang dengan penyakit kronik, misalnya hiperkolesterolemia.13 Pada saat sesi konseling, konselor dan klien melakukan analisis makanan. Metode recall 24 jam dapat digunakan untuk menilai asupan nutrisi dan pola makan klien.13 Setelah dilakukan penilaian, direncanakan perubahan diet yang juga memperhatikan faktor suku, agama, latar belakang sosioekonomi dan lingkungan. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi keberhasilan perubahan diet. Peran Konseling pada Hiperkolesterolemia Pencegahan penyakit kardiovaskular dapat dilakukan dengan menurunkan kadar kolesterol LDL. Tatalaksana hiperkolesterolemia mencakup perubahan gaya hidup dan terapi farmakologis. 5 Pada pasien hiperkolesterolemia, dilakukan terapi non-farmakologis terlebih dahulu, yakni perubahan gaya hidup.8 Hal ini sesuai anjuran NCEP-ATP III, yang meliputi: (1) diet sesuai anjuran therapeutic lifestyle change (TLC), (2) penurunan berat badan, (3) peningkatan aktivitas fisik.5 Konseling merupakan salah satu faktor yang mendukung TLC. Konseling diperlukan untuk meningkatkan pemahaman klien serta mendorong klien untuk membuat 199
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia penyelesaian terhadap masalahnya.13 Selain itu, konseling gizi diperlukan agar terjadi perubahan perilaku menjadi gaya hidup sehat. 13 Untuk melakukan perubahan tersebut dibutuhkan motivasi yang besar dan lingkungan yang mendukung. Beberapa penelitian telah menunjukkan pengaruh konseling gizi terhadap pasien hiperkolesterolemia. Batista et al14 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pasien dengan kolesterol total tinggi, dari 89,6% menjadi 47,9%; pasien dengan LDL tinggi, menurun dari 82,6% menjadi 45,7%; pasien dengan obesitas tingkat 1 dan 2 turun dari 31,9% menjadi 19,8% setelah mendapat konseling gizi sesuai NCEP ATP III selama 3 bulan. Sartorelli. et al15 membandingkan pasien hiperkolesterolemia tanpa obat antara kelompok intervensi dan kontrol. Intervensi yang diberikan berupa 3 kali konseling gizi dalam 6 bulan. Pada follow up selama 6 bulan, kelompok intervensi menunjukkan penurunan kolesterol total dan LDL yang signifikan (12,3% dan 15,5%) sedangkan kelompok kontrol menunjukkan penurunan kolesterol total yang tidak signifikan (0,2%) dan peningkatan LDL 4%. Pada follow up selama 12 bulan, kelompok intervensi mengalami penurunan kolesterol total dan LDL yang signifikan (9,5% dan 13,3%), sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan kolesterol signifikan (5,3%) namun penurunan LDL tidak signifikan (3,2%). Cheng, et al.16 melakukan penelitian pada penderita hiperkolesterolemia berusia rata-rata 52 tahun dan tidak menggunakan obat, yang mendapat konseling gizi 4 kali dalam 4 bulan dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat konseling gizi. Dari penelitian ini, pasien yang mendapat konseling mengalami penurunan kolesterol LDL yang bermakna (rata-rata 6-7%), sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar kolesterol LDL yang tidak bermakna (rata-rata <1%). Dari penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa konseling gizi berdampak besar dalam tatalaksana hiperkolesterolemia. Konseling gizi memberikan perubahan gaya hidup pada pasien hiperkolesterolemia, khususnya perubahan asupan nutrisi. Namun demikian, untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan pengetahuan konselor mengenai hiperkolesterolemia dan tatalaksananya, keterampilan konselor dalam melakukan konseling, serta waktu pertemuan yang memadai untuk menciptakan konseling yang efektif.13 Konseling yang efektif membutuhkan waktu 20-30 menit setiap pertemuan.16 Evaluasi berulang perlu dilakukan pada minggu ke-4 hingga minggu ke-6 dan pada bulan ke-3.17 Konseling gizi juga perlu dilakukan berulang, karena jika tidak dilakukan konseling selama 6-12 bulan, kepatuhan klien tidak lagi terjaga dan tujuan konseling tidak tercapai.18 Selain itu, terdapat penelitian lain yang menilai klien setelah tidak menerima konseling dalam waktu lama. Bakx et al19 melakukan studi kohort selama 17 tahun (1977-1995) pada 200
kelompok intervensi yang diberikan konseling nutrisi setiap 2 bulan dan kelompok kontrol. Dari penelitian ini didapatkan penurunan kolesterol dan asupan lemak yang bermakna pada pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tahun pertama pemberian konseling. Setelah 17 tahun, tidak didapatkan penurunan kadar kolesterol dan asupan lemak pada kelompok intervensi. Namun demikian, didapatkan bahwa pasien yang diberikan konseling dan sudah pada tahap pemeliharaan memiliki kadar kolesterol lebih rendah. Sedangkan pada pasien yang diberikan konseling teratur namun tidak mencapai tahap pemeliharaan didapatkan kadar kolesterol lebih tinggi. Permadi et al20 melakukan penelitian pada klien dengan hiperkolesterolemia yang telah diberikan konseling, namun tidak melanjutkan konseling selama 1 tahun. Dari penelitian ini didapatkan bahwa klien tersebut mengalami peningkatan asupan protein, karbohidrat, lemak, dan kolesterol yang signifikan dibandingkan 1 tahun lalu. Selain itu, dari penelitian tersebut didapatkan 86,84% pasien kolesterol dan LDL tinggi, tidak terdapat satupun klien dengan LDL normal. Dari kedua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa meskipun konseling berkala dan terus menerus tidak memberikan dampak penurunan kolesterol yang signifikan setelah tahun pertama pemberian, konseling tetap harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan karena apabila terjadi diskontinuitas, klien dapat kembali ke gaya hidup yang lama. Keuntungan apabila diberikan konseling secara terus menerus juga tampak pada pasien dalam fase pemeliharaan. Ringkasan Hiperkolesterolemia dapat menimbulkan berbagai komplikasi serius sehingga dibutuhkan intervensi yang maksimal. Tatalaksana awal yang diberikan yakni tatalaksana non-farmakologis sesuai dengan rekomendasi NCEP ATP III, yaitu diet sesuai Therapeutic Life Changes, yang mencakup perubahan pola makan, penurunan berat badan, dan aktivitas fisik. Dalam mencapai target tata laksana hiperkolesterolemia, konseling memegang peranan yang penting dalam memberikan pengetahuan dan motivasi untuk melakukan perubahan gaya hidup yang pada akhirnya akan menurunkan kadar kolesterol LDL. Konseling secara berkala dan berkelanjutan penting untuk mempertahankan gaya hidup sehat dan kadar kolesterol LDL pada fase pemeliharaan serta mencegah pasien kembali ke gaya hidup yang lama. Ucapan Terima Kasih Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc, dr. Diyah Eka Andayani, M.Gizi, SpGK, Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Daftar Pustaka 1.
Debra AK. Medical nutrition therapy in cardiovascular disease. In: Mahan LK, Escott-Stump S, Editors. Krause’s food nutrition and diet therapy. 11th Ed. USA: Saunders; 2004. p. 860-91.
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
Peran Konseling Berkelanjutan pada Penanganan Pasien Hiperkolesterolemia 2.
Antman EM, Braunwald E. Acute myocardial infarction. In: Braunwald E, Editor. Heart disease: a textbook of cardiovascular medicine. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2007. p. 1197322. 3. Smith DG. Epidemiology of dyslipidemia and economic burden on the healthcare system. Am J Manag Care. 2007;13(Suppl):56871. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Status kesehatan masyarakat Indonesia. In: Soemantri S, Budiarso LR, Sandjaja, editors. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT); 2004. Volume 2. p. 34-6. 5. National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute.Third report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) expert panel on detection, evaluation, and treatment of high blood cholesterol in adults (Adult Treatment Panel III). Bethesda: National Institutes of Health; 2002. NIH publication 02-5215. 6. Grundy SM. Nutrition in the management of disorders of serum lipids and lipoproteins. In: Modern Nutrition in Health and Disease. 1st ed. Philadelphia: Lipincott William & Wilkins; 2006. p. 1076-92. 7. Rader DJ. Lipid disorders. In: Text book of cardiovascular medicine. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2003. p. 43-64. 8. John MF. Dislipidemia. In: Aru W Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, Editor. Buku Ajar Penyakit Dalam., Vol. 3. 1st Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.1948-54. 9. Dina KS. Pengaruh fitosterol terhadap kadar β-karoten serum penderita hiperkolesterolemia [dissertation]. Jakarta: Magister Sains Ilmu Gizi Klinik Universitas Indonesia; 2007. 10. Hopkins PN. Effects of dietary cholesterol on serum cholesterol: a meta-analysis and review. Am J Clin Nutr. l992;55:106070. 11. Plana N, Nicolle C, Ferre R, Camps J, Cos R, Villoria J, et al. Plant sterol-enriched fermented milk enhances the attainment
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
of LDL-cholesterol goal in hypercholesterolemic subjects. Eur J Nutr. 2008;47:32-9. McVeigh BL, Dillingham BL, Lampe JW, Duncan AM. Effect of soy protein varying in isoflavone content on serum lipids in healthy young men. Am J Clin Nutr. 2006;83:244-51. Snetselaar L. Counseling for change. In: Mahan LK, EscottStump S, Editors. Krause’s food nutrition and diet therapy. 11th Ed. USA: Saunders; 2004. p. 519-31. Batista MC, Francechini SC. Impact of nutritional counseling in reducing serum cholesterol in public health service patient. Aq Bras Cardiol. 2003;80:167-80. Sartorelli DS, Sciarra EC, Franco LJ, Cardoso MA. Beneficial effect of short term nutritional counseling at primary healthcare level among Braziian adults. Public Health Nutrition 2005;8(7):820-5. Cheng C, Graziani C, Diamon JJ. Cholesterol lowering effect of the food for heart nutrition educational program. J of Am Dietetic Association. 2004;4(12):1867-72. Ockene IS, Herbert JR, Staneck, Noculusi R, Hurley TG. Effect of physician delivered nutrition counseling training and an officesupport program on saturated fat intake, weight, and serum lipid measurements in a hyperlipidemic population. Arc Inter Med. 1999;159:725-31. Henkin Y, Shai I. Dietary treatment of hypercholesterolemia: can we predict long term success? Am J Clin Nutr 2003; 22(6):555-61. Bakx J Carel, Stafleu Annette, van Staveren Wija A, van den Hoogen Henk JM, van Weel Chris. Long-term effect of nutritional counseling: a study in family medicine. Am J Clin Nutr. 1997;65(suppl):1946S-50S. Permadi I, Sukmaniah S, Bardosono S, Andayani DE, Christianto E. Nutrient intake, body mass index, and blood lipid profile of 20 years old or older after 1 year without nutrition counseling [research report]. Jakarta: Department of Nutrition Faculty of Medicine-University of Indonesia; 2008. YDB
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 5, Mei 2012
201