PENANGANAN AWAL PASIEN ASMA BRONKIALE PADA SAAT SERANGAN
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
Oleh : Anita Purwaningsih NIM ST13003
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillahi robbil ‘alamin kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan petunjuk-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Penanganan Awal Pasien Asma Bronkiale pada Saat Serangan”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dra. Agnes Sri Harti, MSi. selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta
2.
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3.
Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing Utama yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4.
Alfyana Nadya Rachmawati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Penguji yang telah memberikan saran dan masukan pada penyusunan skripsi ini.
6.
Plt. Kepala UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
iv
7.
Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu penulis
8.
Bapak Sutar. H.S dan Ibu Harsiwi, Bapak dan Ibu tercinta yang selalu mengajarkan arti kesabaran dan kekuatan, yang tak henti – hentinya mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9.
Suamiku tercinta, Bapak Rudi Wiratno yang juga tak henti – hentinya mendoakan dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
10. Kakek, nenek serta saudara – saudara yang tersayang atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 11. Anak – anak tersayang, ananda Hammam Firdausi dan Huwaida Mumtazah yang telah rela berbagi perhatian dengan proses studi maupun penyusunan skripsi yang penulis lakukan. 12. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan (ST13) Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang tak pernah berhenti memberikan dukungan kepada penulis dan telah berjuang bersama dalam penyelesaian skripsi. 13. Perawat dan staff UPT Rawat Inap Purwantoro yang telah
banyak
membantu dalam penyusunan skripsi ini. 14. Seluruh partisipan yang telah berkenan menjadi partisipan dalam penelitian ini dan telah membantu penulis dalam memberikan informasi.
v
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta,
Agustus 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN LOGO
i
LEMBAR JUDUL
ii
LEMBAR PENGESAHAN
iii
SURAT PERNYATAAN
iv
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR SKEMA
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xv
ABSTRAK
xvi
ABSTRACT
xvii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
1
1.2.Rumusan Masalah
8
1.3.Tujuan Penelitian
8
1.4. Manfaat Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Penyakit Asma Bronkiale
10
2.1.1. Pengertian
10
2.1.2. Etiologi
10
vii
2.1.3. Manifestasi Klinik
11
2.1.4. Pathofisiologi
11
2.1.5. Faktor Resiko
13
2.1.6. Klasifikasi
15
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
16
2.1.8. Pengertian Serangan Asma
17
2.1.8.1.Pengertian Penanganan Awal Pada Pasien Asma Pada Saat Serangan
17
2.1.8.2. Tujuan Penanganan Awal Pada Penderita Asma
19
2.1.8.3. Tindakan Pertama yang Dilakukan Saat Serangan Asma 2.1.9. Penatalaksanaan
19 19
2.1.9.1. Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Farmakologis
19
2.1.9.2. Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Non Farmakologis
20
2.1.9.2.1. Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Fisik
21
2.1.9.2.2. Fisioterapi pada Asma
24
2.1.9.2.3. Penanganan Asma Bronkiale Secara Psikologis
viii
32
BAB III
BAB IV
2.2. Keaslian Penelitian
34
2.3. Kerangka Teori
38
2.4. Fokus Penelitian
39
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
40
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
41
3.3. Populasi dan Sampel
42
3.4. Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data
44
3.5. Analisa Data
53
3.6. Keabsahan Data
54
3.7. Etika Penelitian
56
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Tempat Penelitian
58
4.2. Gambaran Karakteristik Partisipan
59
4.3. Hasil Penelitian
72
4.3.1. Pemahaman Partispan tentang Penyakit Asma 4.3.1.1.Kategori Pengetahuan
73 73
4.3.2. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Fisik pada Asma
85
4.3.2.1.Kategori Penanganan Fisik Pada Asma
85
4.3.3. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Supportif pada Asma
ix
94
4.3.3.1. Kategori Penanganan Supportif Pada Asma 94 BAB V
PEMBAHASAN 5.1. Pemahaman Partisipan tentang Penyakit Asma 5.1.1.Kategori Pengetahuan
103 103
5.2. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Fisik Pada Asma
111
5.2.1.Kategori Penanganan Fisik pada Asma
111
5.3. Pemahaman Keluarga tentang Penanganan Supportif
BAB VI
Pada Asma
120
5.3.1.Kategori Penanganan Supportif pada Asma
120
PENUTUP 6.1. Kesimpulan
127
6.2. Saran
128
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Judul Tabel
Nomor Tabel
Halaman
2.1
Klasifikasi Asma Berdasarkan Derajat Keparahannya
16
2.2
Keaslian Penelitian
35
xi
DAFTAR SKEMA
Nomor Skema 2.3 2.4 4.3.1.1 4.3.1.2 4.3.1.3 4.3.1.4 4.3.2.1 4.3.2.2 4.3.2.3 4.3.3.1 4.3.3.2 4.3.3.3
Judul Skema
Kerangka Teori FokusPenelitian Tema Pengertian Tema Tanda dan Gejala Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma Tema Faktor Pencetus Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik Tema Metode Penanganan Fisik Tema Efek Penanganan Fisik Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif Tema Metode Penanganan Supportif Tema Efek Penanganan Supportif
xii
Halaman
38 39 76 78 79 84 87 89 93 96 98 102
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran 1 2
3 4
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Judul Lampiran
Permohonan Studi Pendahuluan Penelitian dari STIKes Kusuma Husada Surakarta Surat Rekomendasi Studi Pendahuluan dari UPT Rawat Inap Purwantoro Pengantar Permohonan Penelitian dari STIKes Kusuma Husada Surakarta Surat Rekomendasi tentang Survey/Riset/Penelitian/Pengabdian Masyarakat dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Wonogiri Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari UPT Rawat Inap Purwantoro Permohonan Menjadi Partisipan Persetujuan Menjadi Partisipan Lembar Biodata Partisipan Pedoman Wawancara Transkrip Wawancara dengan Salah Satu Partisipan Analisa Tematik Dokumentasi Proses Wawancara dengan Keempat Partisipan Lembar Konsultasi Pembimbing Utama Lembar Konsultasi Pembimbing Pendamping Lembar Konsultasi Penguji POA Penyusunan Skripsi
xiii
Keterangan
DAFTAR SINGKATAN
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nama Singkatan APE B2 Agonis BGA CO CO2 E=MC2 FEV1 FGD FVC GINA IgE mg mmHg NaCl O2 PA O2 RISKESDAS UPT WHO WIB
Keterangan Arus Puncak Ekspirasi Beta 2 Agonis Adrenoreseptor Blood Gas Analysis Karbon Monoksida Karbondioksida Rumus Energi=Massa x Constanta kuadrat Force Expiratory Volume 1 Focus Group Discussion Force Vital Capacity Global Initiative for Atsma Immunoglobulin E Miligram Milimeter Merkuri Hidrargyrum Natrium Klorida Oksigen Partial Alveolar Oxygen Riset Kesehatan Dasar Unit Pelaksana Teknis World Health Organization Waktu Indonesia Barat
xiv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
Anita Purwaningsih Penanganan Awal Pasien Asma Bronkiale pada Saat Serangan
Abstrak
Asma bronkiale merupakan penyakit yang mengganggu kerja sistem pernapasan yang apabila tidak segera diobati dan ditangani akan mengakibatkan gagal napas dan kegawatan, karena pernapasan adalah proses vital kehidupan. Penanganan non farmakologis merupakan penanganan awal untuk mengatasi serangan supaya keadaan tidak memburuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penanganan awal secara non farmakologis saat serangan asma. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap 4 partisipan dewasa dengan asma bronkiale, kooperatif, mampu berkomunikasi verbal baik, pernah mengalami serangan asma minimal dua tahun terakhir dan pernah menjalani perawatan karena asma di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Pengambilan dan rekruitmen partisipan dengan purposive sampling. Analisa data menggunakan metode Colaizzi. Hasil penelitian didapatkan 10 tema: (a) pengertian; (b) tanda dan gejala; (c) faktor pencetus; (d) waktu pertama mengalami serangan asma, (e) peran keluarga pada penanganan fisik; (f) metode penanganan fisik; (g) efek penanganan fisik, (h) peran keluarga pada penanganan supportif; (i) metode penanganan supportif; (j) efek penanganan supportif. Penanganan awal saat serangan secara fisik didukung support secara psikologis yang dilakukan keluarga yang dilakukan dengan tepat efeknya mengurangi gejala saat serangan. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pelayanan keperawatan di institusi pelayanan kesehatan dan keluarga sehingga aplikasi pemberian asuhan keperawatan terhadap penderita asma bronkiale dapat optimal. Kata Kunci : Penanganan awal, Asma bronkiale, Saat serangan Daftar Pustaka : 32 (2005-2014)
xv
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015
Anita Purwaningsih Early Management of Bronchial asthma Patients at the Time of Its Attack
ABSTRACT Bronchial asthma is a disease which interrupts the breathing system. It must immediately be managed as it is a vital process of life. If the asthma is not dealt with, this will cause the breathing failure and emergency. Nonpharmacological management is the early management to deal with the attack so that the condition will not get worse. The objective of this research is to investigate the early non-pharmacological management at the time of asthma attack. This research used the qualitative phenomenological method. The data of research were collected through in-depth interview with adult participants who had bronchial asthma. They were cooperative and able to communicate verbally. In addition, they ever experienced its attack at least during the last two years and underwent the asthma treatment at the Technical Implementation in Patient Unit of Public Health Center of Purwantoro, Wonogiri Regency. The participants of research were taken by using the purposive sampling technique. The data of research were analyzed by using the Colaizzi’s method. The result of research shows that there were 10 themes, namely: (a) definition bronchial asthma; (b) signs and symptoms of bronchial asthma; (c) precipitating factors; (d) the first time of having asthma attack, (e) family’s role in physical management; (f) method of physical management; (g) effect of physical management; (h) family’s role in supportive management; (i) supportive management method; and (j) effect of supportive management. The early management at the time of asthma attack was physically supported by psychological support which was extended the family. It was done properly so that it reduced the symptoms at the time of its attack. The result of this research was expected to give information to the nurses’ services at the health service institutions and the family so that the application of the nursing care administration to the bronchial asthma patients could be optimal. Keywords: early management, bronchial asthma, at the time of attack References: 32 (2005-2014)
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif, intermitten, reversible dimana trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (Musliha, 2010). Secara klinis asma adalah suatu serangan dengan sesak yang disertai dengan suara napas “mengi” (wheezing/wheeze), yang dapat timbul sewaktu - waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun hanya sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat-obatan tertentu/sifat reversibilitas (Danusantoso, 2011). Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara intrinsik asma bisa disebabkan oleh infeksi (virus influensa, pneumoni mycoplasmal), fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur), iritan seperti zat kimia, polusi udara (CO, asap rokok, parfum), faktor emosional (takut, cemas dan tegang) juga aktivitas yang berlebihan. Secara ekstrinsik/imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi dan inhalasi alergen (debu, serbuk, bulu binatang) (Danusantoso, 2011). Stadium dini gejala
yang muncul pada asma antara lain: batuk
berdahak dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada wheezing, belum ada kelainan bentuk thorak, ada peningkatan eosinofil darah dan IgE, sesak napas, penurunan tekanan parsial O2. Pada stadium lanjut, tanda dan gejala yang muncul pada asma adalah: batuk, ronchi, napas berat,
1
2
dan dada seakan tertekan, dahak lengket, suara napas melemah dan bahkan tak terdengar (silent chest), bentuk thorak barel chest, terdapat tarikan otot sternokleidmastoideus, sianosis, BGA Pa O2 kurang dari 80%, rontgent paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri, hipokapnea, alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Danusantoso, 2011). Secara garis besar penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis pengobatan asma menggunakan reliever yaitu obat yang berfungsi untuk menghilangkan obstruksi dan controller sebagai anti inflamasi. Termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2 (seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol, isoprenalin), anti kolinergik sebagai broncodilator misalnya: ipratropium bromide dalam bentuk inhalasi, teofilin dan kortikosteroid sistemik. Obat yang termasuk dalam golongan controller antara lain: kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin anti lambat (Rengganis, 2008). Secara non farmakologis penatalaksanaan pada pasien asma pada dasarnya dapat dibedakan secara fisik maupun psikologis, secara fisik pada saat serangan dapat diberikan tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat massage pada area punggung, adanya kesadaran penderita asma akan arti penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas secara tepat ( hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan membuat
3
rileks saluran pernapasan), mengetahui adanya faktor pencetus. Penanganan secara psikologis antara lain: pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, mengenali faktor alergi (tungau, debu rumah, alergen dari hewan, jamur, zat dari tepung sari, polusi udara), pemberian support untuk mengontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Menurut WHO (2006) sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara – negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru – baru ini menunjukkan tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan di Amerika Serikat dan Eropa . Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya (GINA, 2006). Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Pada tahun 2003 dilaporkan 5,2%. Hasil survey prevalensi asma di beberapa kota di Indonesia
(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma berkisar 3,7– 6,4%. Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah dan Kesehatan tahun 2007, prevalensi nasional adalah sebesar 4% (Yunus, 2012). Berdasarkan riset kesehatan dasar nasional tahun 2013 adalah 4,5%, prevalensi asma bronkiale
4
adalah sebesar 3,01% dari total penduduk Jawa Tengah 4,3%
dan untuk
Kabupaten Wonogiri sebesar1,6% (RISKESDAS, 2013), Menurut Sudoyo (2006) tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada serangan akut/mendadak penanganan awal pada pasien asma saat serangan bertujuan agar tidak terjadi obstruksi jalan napas atau keadaan yang semakin memburuk yaitu kegagalan napas. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, di wilayah kerja UPT Rawat Inap Purwantoro berdasarkan rekapitulasi laporan 10 besar penyakit pada tahun 2013 jumlah kunjungan pasien dengan asma bronkiale adalah sejumlah 68 pasien, tahun 2014 sejumlah 76 pasien dan bulan Februari sampai dengan Juli 2015 sejumlah 44 pasien. Dari 10 pasien yang ditemui di tempat pelayanan kesehatan UPT Rawat Inap Purwantoro, diperoleh data bahwa gejala yang muncul saat terjadi serangan asma bronkiale adalah sesak napas, kadang ada rasa seperti tercekik pada leher, pusing, nyeri dada, cemas, panik dan secara obyektif pada auskultasi paru terdengar suara wheezing. Empat dari sepuluh pasien yang ditemui peneliti mengatakan bahwa datang ke tempat pelayanan kesehatan UPT Rawat Inap Purwantoro adalah sebagai pilihan untuk mendapatkan
perawatan dan penanganan secara
farmakologis saat serangan, dalam hal ini penanganan yang dimaksud adalah pemberian terapi inhalasi (nebulizer, menggunakan 1 unit (2,5 ml) obat inhalasi
5
yang mengandung kombinasi ipratroprium bromide 0,5 mg dan salbutamol 2,5 mg yang diencerkan dengan NaCl dengan perbandingan 1:1). Namun terdapat upaya non farmakologis sebelum mendapat penanganan medis/farmakologis yang dilakukan oleh keluarga yang diyakini keempat pasien dapat meringankan gejala saat serangan adalah penanganan non farmakologis baik secara fisik maupun psikologis, penanganan fisik yang dimaksud adalah massage ringan, “kerokan” dengan menggunakan minyak kayu putih atau minyak. lain yang menghangatkan pada area dada dan punggung. Keempatnya mengungkapkan bahwa setelah diberikan penanganan fisik tersebut gejala yang muncul saat serangan seperti batuk, sesak napas terasa berkurang, napas terasa lebih lega dan dada pun juga terasa longgar/tidak tertekan. Menurut Monalisa (2012), berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penanganan pasien asma, massage dada dengan minyak kayu putih akan memberikan efek anti spasmodik sehingga mengurangi obstruksi jalan napas. Menurut Dessianti (2015), kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi.
6
Campuran minyak kayu putih dengan air hangat dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma dibutuhkan zat yang yang terkandung dalam minyak kayu putih bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad, 2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma, maka mekanisme yang terjadi adalah ketika “kerokan” pinggiran uang logam menggores permukaan kulit. Hal ini yang membuat panas tubuh berangsur turun. Ketika pengerokan pingiran uang logam berperan seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Penanganan secara psikologis/supportif yang diyakini oleh keempat pasien dapat meringankan gejala adalah support keluarga untuk mengendalikan pernapasan, tenang/tidak panik dan cemas. Keempatnya mengungkapkan bahwa apabila mereka mampu mengendalikan diri, tenang, tidak cemas maka gejala yang muncul seperti sesak napas berkurang dan dada terasa lebih longgar. Menurut Setyoningsih (2008), berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penanganan pasien asma, didapatkan hasil bahwa self management (dalam hal ini kemampuan pasien dalam mengenali faktor pencetus, mengendalikan stress dan emosi saat serangan) dapat mengurangi gejala asma. Dinyatakannya pula bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self management saat
7
mendapatkan serangan. Dalam hal ini support keluarga yang dimaksud adalah pengendalian stress dan emosi pasien asma saat mendapatkan serangan sehingga gejala yang muncul saat serangan tidak semakin parah. Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otot-otot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma, bila dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu santai, maka ketika asma kambuh otot-otot pernapasan pada dinding thorak harus bekerja extra keras untuk membantu paru memompa udara keluar dari dalam paru agar segera berganti dengan udara yang baru. Itulah sebabnya support untuk mengatur napas otot perut/diafragma begitu dianjurkan bagi penderita asma, sebab support tersebut akan memberikan efek relaksasi secara mental dan selanjutnya kondisi tenang tersebut akan menurunkan frekuensi pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013). Serangan asma merupakan kondisi kegawatan pada pernapasan yang memerlukan penanganan awal secara fisik maupun supportif, karena apabila kondisi serangan tidak tertangani dengan baik akan mengakibatkan kegagalan napas sebagai salah satu proses vital kehidupan (Musliha, 2010). Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang penanganan awal secara fisik maupun psikologis/supportif sebelum pengobatan medis yang dilakukan keluarga sebagai tindakan untuk mengurangi gejala pada pasien asma saat mendapatkan serangan.
8
1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana penanganan awal pasien asma bronkiale saat terjadinya serangan?” 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui penanganan awal pada pasien asma bronkiale pada saat terjadinya serangan. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui pemahaman partisipan tentang penyakit asma bronkiale. 2. Mengetahui
pemahaman
partisipan
dan
keluarga
tentang
penanganan awal secara fisik pada serangan asma. 3. Mengetahui
pemahaman
partisipan
dan
keluarga
tentang
penanganan awal secara psikologis/supportif pada serangan asma 1.4. MANFAAT PENELITIAN 1.4.1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan / Puskesmas Rawat Inap 1. Sebagai bahan masukan/referensi dalam meningkatkan pemberian perawatan pada pasien asma bronkiale dengan terapi supportif dan massage ringan untuk mengurangi gejala yang muncul seperti sesak napas, nyeri dada, cemas dan tegang.
9
2. Memberikan pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam praktik layanan keperawatan kepada klien khususnya pada pasien dengan asma bronkiale. 1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan/referensi bagi institusi pendidikan keperawatan untuk materi pembelajaran dalam asuhan keperawatan pada pasien asma bronkiale. 1.4.3. Bagi Peneliti lain Merupakan acuan atau sumber bagi penelitian terkait. 1.4.4. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan pengetahuan dan skill peneliti dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien asma bronkiale saat terjadinya serangan. 1.4.5. Bagi Klien dengan Asma dan Keluarga Sebagai pengetahuan dalam upaya pencegahan terjadinya serangan di rumah dan memberikan dukungan secara fisik maupun psikologis pada klien saat terjadi serangan asma di rumah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teori
2.1.1. Pengertian Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif, intermitten, reversible dimana trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (Musliha, 2010). Secara klinis asma adalah suatu serangan dengan sesak yang disertai dengan suara napas “mengi” (wheezing/wheeze), yang dapat timbul sewaktu-waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun hanya sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat-obatan tertentu/sifat reversibilitas (Danusantoso, 2011). 2.1.2. Etiologi Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara intrinsik asma bisa disebabkan oleh infeksi (virus influensa, pneumoni mycoplasmal), fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur), iritan seperti zat kimia, polusi udara (CO, asap rokok, parfum), faktor emosional (takut, cemas
dan
tegang)
juga
aktivitas
yang
berlebihan.
Secara
ekstrinsik/imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi dan inhalasi alergen (debu, serbuk, bulu binatang) (Danusantoso, 2011).
10
11
2.1.3. Manifestasi Klinis Pada stadium dini gejala yang muncul antara lain: batuk berdahak dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada wheezing, belum ada kelainan bentuk thorak, ada peningkatan eosinofil darah dan IgE, sesak napas, penurunan tekanan parsial O2. Pada stadium lanjut, tanda dan gejala yang muncul adalah: batuk, ronchi, sesak napas berat dan dada seakan tertekan, dahak lengket, suara napas melemah dan bahkan tak terdengar (silent chest) bentuk thorak barel chest, terdapat tarikan otot sternokleidomastoideus, sianosis, BGA Pa O2 kurang dari 80%, rontgent paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri, hipokapnea (alkalosis bahkan asidosis respiratorik) (Danusantoso,
2011).
2.1.4. Patofisiologi Triger (pemicu) yang berbeda akan menyebabkan eksaserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronchospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen, polusi udara, infeksi saluran napas, kecapaian, perubahan cuaca, makanan, obat atau ekspresi emosi yang berlebihan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkhokontriksi akibat pelepasan Ig-E dependent dari mast sel saluran pernapasan dari mediator, termasuk diantaranya histamin, prostaglandin, leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos.
12
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiperresponsif terhadap bermacam – macam jenis rangsangan. Pada asma akut mekanisme yang menyebabkan bronchokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi
otot
polos.
Peningkatan
permeabilitas
dan
kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan. Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progesif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkhioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran, hiperinflasi pulmoner
dan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang merupakan
konsekuensi
dari
peningkatan
kerja
pernapasan,
ketidakefektifan pertukaran gas dan kelelahan otot- otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru berhubungan erat dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi. Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi
13
yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto toraks, yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktifitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular. Hiperinflasi paru akan meningkatkan afterload pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru (Sudoyo, 2006 ). 2.1.5. Faktor Resiko Menurut Wong (2006), resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu tersebut adalah: predisposisi genetik asma, alergi, hiperreaktifitas bronkus, jenis kelamin, ras/etnik. Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu : a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma. b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala asma menetap.
14
2.1.5.1 Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma adalah : a. Allergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti minyak, kosmetik, alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga. b. Sensitisasi (bahan) lingkungan kerja. c. Asap rokok. d. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan. e. Infeksi pernapasan (virus). f. Diet. g. Status sosioekonomi. h. Besarnya keluarga. i. Obesitas. 2.1.5.2 Faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau menyebabkan gejala asma menetap adalah : a. Allergen di dalam maupun di luar ruangan. b. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan. c. Infeksi pernapasan. d. Olah raga dan hiperventilasi. e. Perubahan cuaca. f. Makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan). g. Obat-obatan, seperti asetil salisilat. h. Ekspresi emosi yang berlebihan. i. Asap rokok.
15
j. Iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang. 2.1.6. Klasifikasi Menurut GINA(2006), klasifikasi asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi
atau serangan asma dapat
bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya. 2.1.6.1 Klasifikasi Menurut Etiologi. Usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. 2.1.6.2 Klasifikasi Menurut Kontrol Asma Dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang beratnya hiperreaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hiperreaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat non spesifik.
16
2.1.6.3 Klasifikasi asma bronkiale menurut derajat keparahannya dapat dibedakan seperti di bawah ini:
Tabel 2.1 Klasifikasi asma bronkiale menurut derajat keparahan asma. (Sumber : GINA, 2006 ). Keparahan Asma
Gejala Klinis
Step I Intermiten
Gejala kurang dari 1x / bulan kekambuhan singkat Gejala malam hari kurang dari 2x / bulan Step II Gejala lebih dari 1x / minggu Persistant Ringan tetapi kurang dari 1x / hari Kekambuhan mengganggu aktivitas tidur Gejala malam hari lebih dari 2x / bulan Step III Gejala setiap hari kekambuhan Persistant Sedang Mengganggu aktivitas dan tidur Gejala malam hari >1x /minggu Penggunaan B2 agonis setiap hari Step IV Gejala setiap hari Persistant Berat Kekambuhan sering Gejala malam hari Aktifitas fisik terbatas
Fungsi Paru Arus Puncak Ekspirasi (APE) > 80 % Varibilitas APE < 20 % APE >80 % Variabilitas APE 20 – 30%
APE 60 – 80 % Variabilitas APE > 30 % APE < 60 % Variabilitas APE 30 %
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Pada asma bronkiale pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain : 1. Test faal paru dan ukur APE (dilakukan pada pagi dan malam hari). 2. Tes kulit, misalnya ditemukan debu dan serpih kulit berarti mempunyai atopi. 3. Tes darah eosinofil.
17
4. Tes profokasi, dengan cara bernapas dalam lingkungan pekerjaan, muncul dalam beberapa saat/malam harinya diukur dengan APE, atau lari selama 6 menit, catat APE sebelum dan sesudah lari. 5. Scanning paru, dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru – paru. 6. Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 (Force Expiratory Volume) atau FVC lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi (Musliha, 2010). 2.1.8
Pengertian Serangan Asma Serangan asma adalah terdapatnya tanda-tanda sulit untuk bernapas disertai bunyi “mengi” (wheezing), cemas, kulit wajah pucat dan membiru dan apabila dibiarkan akan menyebabkan pingsan (Musliha, 2010). Menurut Danusantoso (2011) serangan pertama asma (waktu pertama didapatkan serangan) dapat timbul pada masa kanak – kanak sampai masa setengah umur. Menurut Sudoyo (2006) dengan
18
mengetahui gambaran klinis pada anak dan saat pertama timbulnya serangan asma, maka dapat dilihat luas permasalahan dan seberapa jauh dilakukannya upaya untuk mencegah serangan asma. Berikut episode serangan pertama asma berdasarkan kriteria usia pada masa anak – anak: 1. Asma Episodik Jarang Sering ditemukan pada usia 3-6 tahun, 70-75% dari populasi asma pada anak. 2. Asma Episodik Sering Dua pertiga pada golongan ini serangan pertam terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan serangan terjadi pada usia 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi. 3. Asma Kronik Persisten 25% anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum anak berusia 6 bulan, 75% sebelum usia 3 tahun. 50% mendapat serangan asma secara episodik pada dua tahun pertama dan hampir selalu terjadi “mengi” setiap hari. 2.1.8.1 Pengertian Penanganan Awal pada Pasien Asma pada Saat Serangan Penanganan awal pada pasien asma pada saat serangan adalah tindakan awal yang diberikan pada penderita asma saat tiba – tiba mendapatkan serangan yang bertujuan untuk mengurangi intensitas sesak napas agar tidak semakin parah atau mengakibatkan gagal napas (Musliha, 2010).
19
2.1.8.2 Tujuan Penanganan Awal pada Penderita Asma Tujuan penanganan awal pada penderita asma adalah untuk mengurangi intensitas sesak napas agar tidak semakin memburuk (Musliha, 2010). 2.1.8.3 Tindakan Pertama yang Dilakukan saat Terjadi Serangan Asma Tindakan yang pertama dilakukan saat terjadi serangan asma adalah tenangkan penderita dengan membantunya untuk duduk dan istirahat, menghindarkan dari faktor alergen, memberikan posisi yang nyaman, bantu pasien menggunakan inhaler dan mengambil obatnya, melakukan fisioterapi dada dan latihan napas, dan bila serangan terlihat berkepanjangan maka sesegera mungkin membawa penderita ke tempat pelayanan medis (Musliha, 2010). 2.1.9
Penatalaksanaan Menurut Rengganis (2008), secara garis besar penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis.
2.1.9.1
Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Farmakologis Secara farmakologis pengobatan asma menggunakan reliever yaitu obat yang berfungsi untuk menghilangkan obstruksi dan controller sebagai anti inflamasi.Termasuk golongan reliever adalah agonis beta-2 (seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol, isoprenalin),
anti
kolinergik
sebagai
broncodilator
misalnya:
ipratropium bromide dalam bentuk inhalasi, teofilin dan kortikosteroid
20
sistemik. Obat yang termasuk dalam golongan controller antara lain: kortikosteroid,
natrium
kromoglikat,
natrium
nedokromil
dan
antihistamin anti lambat (Rengganis, 2008). 2.1.9.2 Penatalaksanaan Asma Bronkiale Secara Non Farmakologis Secara non farmakologis penatalaksanaan pada pasien asma meliputi penanganan secara fisik dan psikologis (Rengganis, 2008). Penatalaksanaan ini pada dasarnya dapat dibedakan secara fisik maupun psikologis, secara fisik pada saat serangan dapat diberikan tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat massage pada area punggung, meningkatkan kesadaran penderita asma akan arti penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap untuk mengurangi gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas secara tepat (karena hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan membuat rileks saluran pernapasan) serta mengetahui adanya faktor pencetus dan allergi. Penanganan asma secara psikologis antara lain: edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, pemberian support untuk mengontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Menurut Monalisa (2012), berdasarkan peneltian yang sudah dilakukan pada pasien asma bahwa, upaya pengobatan penderita asma mencakup
upaya
pengobatan
medis
(farmakologis)
dan
non
21
farmakologis, seperti massage dengan minyak kayu putih pada area dada dan punggung, sebab massage itu sendiri memberikan efek relaksasi yang mampu melebarkan jalan napas dan minyak kayu putih yang memberikan rasa hangat memberikan efek anti spasmodik sehingga mengurangi
obstruksi
jalan
napas.
Secara
non
farmakologis
penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi 2, yaitu penanganan secara fisik dan psikologis. 2.1.9.2.1 Penanganan Asma Bronkiale Secara Fisik Menurut Musliha (2010), penanganan asma bronkiale secara fisik pada dasarnya adalah bagaimana penderita asma mengetahui adanya faktor pencetus (seperti penggunaan aspirin dan anti inflamasi non steroid), mengenali faktor alergi (tungau, debu rumah, alergen dari hewan, jamur, zat dari tepung sari, polusi udara). Hal yang tak kalah penting adalah kesadaran penderita asma akan arti penting exercise karena dengan olah raga sepeti senam asma dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Secara fisik penanganan pada saat serangan yaitu dapat diberikan tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat massage pada area punggung, meningkatkan kesadaran penderita asma akan arti penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang dan jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas secara tepat (karena hal ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan
22
membuat rileks saluran pernapasan), mengetahui adanya faktor pencetus dan alergi (Musliha, 2010). Menurut Dessianti (2015),
saat serangan asma dibutuhkan
tindakan massage dengan media zat yang bersifat memberi relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan
bantuan
ekstra.
Kemudian
juga
memberikan
efek
menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran pernapasan (Ahmad, 2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma, maka proses yang terjadi adalah pinggiran uang logam menggores permukaan kulit. Kondisi ini yang membuat panas tubuh
23
berangsur turun. Goresan/pengerokan dengan pingiran uang logam tersebut mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Penanganan secara psikologis/supportif yang diyakini oleh keempat pasien dapat meringankan gejala adalah support keluarga untuk mengendalikan pernapasan, tenang/tidak panik dan cemas. Keempatnya mengungkapkan bahwa apabila mereka mampu mengendalikan diri, tenang, tidak cemas maka gejala yang muncul seperti sesak napas berkurang dan dada terasa lebih longgar. Menurut Setyoningsih (2008), berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada penanganan pasien asma, didapatkan hasil bahwa self management (dalam hal ini kemampuan pasien dalam mengenali faktor pencetus, mengendalikan stress dan emosi saat serangan) dapat mengurangi gejala asma. Dinyatakannya pula bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self management saat mendapatkan serangan. Dalam hal ini support keluarga yang dimaksud adalah pengendalian stress dan emosi pasien asma saat mendapatkan serangan sehingga gejala yang muncul saat serangan tidak semakin parah.
24
2.1.9.2.2 Fisioterapi pada Asma Menurut Wong (2008),
pada penderita asma selain
meresepkan obat, dokter biasanya juga menyarankan fisioterapi. Terapi pada paru-paru ini akan membantunya mengeluarkan lendir, sehingga pasien bisa bernapas lega kembali. Umumnya untuk kasus batuk pilek atau asma yang ringan hanya dibutuhkan 1-2 kali fisioterapi tapi untuk kasus yang berat bisa dibutuhkan sampai 7 kali, bahkan lebih. Manfaat fisioterapi bukan hanya meringankan batuk pilek karena infeksi saja, tapi juga gangguan pernapasan akibat asma atau pilek karena alergi. Namun fisioterapi di rumah harus dijadikan satu paket dengan kunjungan ke dokter. Maksudnya, tetap harus diingat bahwa tujuan fisioterapi adalah memperingan gejala sementara pengobatan tetap harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan dokter. Fisioterapi dada bertujuan untuk merelaksasi fisik dan mental, memperkuat otot pernapasan, serta membantu pola pernapasan yang efisien. Kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada adalah melatih bernapas dan pengendalian napas yang dapat mencegah inflamasi berlebih dan meningkatkan efektifitas batuk. Menurut Wong (2008) fisioterapi di rumah dapat dilakukan pada semua usia, dari bayi hingga dewasa. Tahapan - tahapan fisioterapi antara lain :
25
a. Inhalasi Inhalasi adalah pengobatan dengan cara memberikan obat dalam bentuk uap kepada penderita langsung melalui alat pernapasannya (hidung ke paru-paru). Alat terapi inhalasi bermacam-macam. Salah satunya yang efektif bagi adalah alat terapi dengan kompresor (nebulizer) yang di dalamnya digunakan kombinasi ipratroprium bromide 0,5 mg dan salbutamol 2,5 mg yang diencerkan dengan NaCl dengan perbandingan 1:1. Cara penggunaannya cukup praktis yaitu pasien diminta menghirup uap yang dikeluarkan nebulizer dengan menggunakan masker. Obat-obatan yang dimasukkan ke dalam nebulizer bertujuan melegakan pernapasan atau menghancurkan lendir. Semua penggunaan obat harus selalu dalam pengawasan dokter. Dosis obat pada terapi inhalasi jelas lebih sedikit tapi lebih efektif daripada obat oral/obat minum seperti tablet atau sirup, karena dengan inhalasi obat langsung mencapai sasaran. Bila tujuannya untuk mengencerkan lendir/sekret di paru-paru, obat akan langsung menuju ke paru. b. Latihan batuk Batuk
merupakan
cara
efektif
dan
efisien
untuk
mengeluarkan lendir di saluran pernapasan. Agar batuk jadi efektif maka perlu diberikan latihan batuk. Namun latihan ini hanya bisa dilakukan pada penderita yang sudah bisa diajak
26
sedikit bekerja sama (kooperatif) atau mulai di usia batita. Untuk bayi, teknik batuk pada fisioterapi di rumah biasanya ditiadakan. Bayi
biasanya
mengeluarkan
lendir
dengan
cara
memuntahkannya. Adapun latihan batuk yang bisa dilakukan adalah pasien duduk dengan agak membungkuk. Instruksikan pasien untuk menarik napas dalam-dalam lalu tahan dan kontraksikan otot perut. Tiup napas lebih kuat dan batukkan. c. Latihan pernapasan (Breathing exercise) Pada penderita asma, latihan pernapasan selain ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih penderita untuk mengatur pernapasan jika terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma. Breathing Exercise berbeda dengan gim atau latihan-latihan yang bertujuan memperbaiki kelenturan rongga dada serta diafragma. Tujuan utamanya pada penderita asma adalah untuk melakukan pernapasan yang benar (efisien). Pada penderita asma, latihan pernapasan selain ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat pernapasan, juga bertujuan melatih penderita untuk mengatur pernapasan jika terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma. Latihan pernapasan utama bagi penderita asma adalah latihan napas perut atau diafragma. Kekhususan di dalam latihan yakni waktu mengeluarkan napas dikerjakan secara aktif. Sedangkan sewaktu menarik napas, lebih banyak secara pasif.
27
Mengeluarkan napas melalui mulut yang mencucu seperti sewaktu
meniup
lilin
atau
bersiul,
pelan-pelan,
dengan
mengempiskan dinding perut. Sewaktu inspirasi, dinding perut relaks (pasif) dan udara masuk ke paru-paru melalui hidung. d. Penggunaan Minyak Kayu Putih dalam Massage Dada dan Kerokan pada Asma Asma adalah suatu kondisi kronis yang terjadi pada sistem pernapasan, dan bisa merespon aromaterapi (minyak kayu putih atau minyak gosok lain yang memberikan sensasi rasa hangat) dengan cukup baik. Minyak kayu putih atau minyak gosok yang memiliki
sensasi
hangat,
merupakan
bagian
yang
tidak
terpisahkan dari aromaterapi, menunjukkan sifat dekongestan dan antispasmodic
yang membantu meringankan gejala asma
(Faishal, 2007). Minyak kayu putih/minyak gosok yang diekstrak dari tanaman
umumnya
digunakan
untuk
aromaterapi
dalam
mengobati berbagai macam penyakit termasuk asma. Penggunaan minyak kayu putih untuk mendapatkan manfaat terapeutik bisa dilakukan
dengan
cara
menghirup
atau
memijatkannya.
Penggunaan minyak kayu putih atau minyak gosok yang memberikan sensasi hangat untuk asma telah didukung oleh testimonial yang positif, telah banyak diterima dalam pengobatan terkait
masalah-masalah
pernapasan.
Minyak
kayu
putih
28
membantu membuka saluran pernapasan yang menyempit karena asma, sehingga membantu bernapas bisa lebih mudah (Dessianti, 2013). Penggunaan minyak kayu putih atau minyak lain yang memberikan sensasi hangat dengan cara menggosok dada dan punggung bisa efektif untuk mengurangi gejala asma. Minyak kayu putih memiliki sifat anti inflamasi dan antispasmodic, sehingga dapat membantu mengurangi gejala saat serangan asma. Menggosokkan minyak kayu putih di dada dan punggung pada saat serangan asma sebenarnya bisa membantu menghentikan gangguan pernapasan dalam beberapa saat, sebelum pasien mendapatkan penanganan secara farmakologis/medis (Ahmad, 2013). Minyak kayu putih atau minyak yang memberikan sensasi hangat juga bekerja sebagai bronchodilator, artinya bisa memperlebar saluran pernapasan. Dengan demikian akan memungkinkan aliran udara ke paru-paru menjadi lebih lancar. Karena bisa meringankan saluran pernapasan, selanjutnya juga bisa untuk meringankan masalah yang terkait pernapasan termasuk asma bronkiale
(Faishal, 2007). Menurut Dessianti
(2015), saat serangan asma dibutuhkan tindakan massage dengan media zat yang bersifat memberi relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran
29
pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta hidung tersumbat. Minyak kayu putih juga membantu dalam menyingkirkan lendir
serta
membantu
mengencerkan
dahak,
sehingga
memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada
serangan
asma
dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad, 2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma, maka proses yang terjadi adalah ketika “kerokan” pinggiran uang logam menggores permukaan kulit. Kondisi ini yang membuat panas tubuh berangsur turun. Goresan/pengerokan dengan pingiran uang logam tersebut
30
mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Ternyata Kerokan tidak hanya populer di indonesia, tetapi juga sering di lakukan oleh orang-orang di negara asia lainnya, seperti di Vietnam menyebut kerokan sebagai "cao giodi", sedangkan di Kamboja menyebutnya "goh kyol", bahkan di China yang terkenal dengan akupunturnya menyebut kerokan dengan sebutan "gua sua", namun bedanya orang China memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam seperti yang umumnya dipakai oleh orang Indonesia. (Deimon, 2013). Kerokan ini pun dipercaya sebagai bukti nyata dalam perwujudan ilmu Einstein (E=MC2) yang menerangkan bahwa energi muncul karena pergesekan dua benda. Jika permukaan tubuh kita digosok-gosokan dengan tangan atau benda tumpul dengan cepat, maka suhu panas dalan tubuh akan meningkat. Karena meningkatnya panas dalam tubuh, maka akan terjadilah perlebaran pembuluh darah sehingga oksigenasi menjadi lebih baik karena peredaran darah kembali lancar dan rasa sakit ditubuhpun mereda. (Deimon, 2013). Prinsip kerokan menurut dr. Koosnadi Saputra, Sp.R, akupunkturis
klinik,
mirip
prinsip
pemanasan
dengan
menggunakan moxa yang sering dipakai saat jarum akupunktur
31
ditusukkan pada tubuh untuk mengatasi masuk angin. Prinsip ini juga tidak jauh berbeda dengan model terapi kop yang biasanya menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet, tabung bambu dan lain-lain. Di negeri asal teknik akupunktur, model terapi ini sudah resmi dipakai sebagai sarana penyembuhan. (Forumviva, 2011). Menurut
Mochtar
Wijayakusuma,
putra
Hembing
Wijayakusuma yang juga seorang akupunkturis, penelitian mengapa “kerokan” memiliki efek menyembuhkan juga pernah dilakukan di Universitas Ghuan Thou, sebuah universitas terkenal di Cina. (Forumviva, 2011). Dengan terlalu sering kerokan muncul anggapan kulit rusak, pori-pori melebar,pembuluh darah pecah. Tetapi menurut penelitian yang ada dengan kerokan tidak ada kulit yang rusak ataupun pembuluh darah yang pecah. Tetapi terjadi pori-pori yang melebar. Melebarnya pori-pori ini justru membuat aliran darah lancar dan suplai oksigen dalam darah jadi meningkat. Sehingga kulit ari juga akan terlepas seperti halnya saat luluran. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa kadar endorfin orang-orang yang di”kerok” naik signifikan. Dengan adanya peningkatan endorfin ini membuat mereka nyaman, rasa sakit hilang termasuk seak napas pada asma, tubuh menjadi lebih segar dan bersemangat. (sahabathawa, 2013)
32
e. Penanganan Asma Bronkiale Secara Psikologis/Supportif saat Serangan Secara psikologis pasien asma saat menghadapi serangan membutuhkan dukungan mental dari orang terdekat, terutama keluarga. Berdasarkan Skripsi Pajarani Mogar Setyoningsih (2008), penerapan self management pada pasien asma dengan meminimalisasi serangan asma bertujuan agar pasien asma dapat hidup dengan normal, sehingga kualitas hidupnya meningkat. Self management pada pasien asma yang dimaksud adalah bagaimana seorang penderita asma mengenali faktor pencetus asma, mengendalikan stress dan emosi, tidak panik saat menghadapi serangan asma, memilih olah raga secara bijaksana untuk upaya pencegahan, seperti jogging, renang, senam asma dan menentukan tindakan yang tepat untuk mengatasi serangan. Self management yang baik pada penderita asma akan mampu mengontrol dan mengendalikan gejala yang muncul saat serangan, sehingga mengurangi derajat keparahan. Fisioterapi dada juga memberikan efek secara psikologis. Fisioterapi dada bertujuan untuk merelaksasi fisik dan mental, memperkuat otot pernapasan, serta membantu pola pernapasan yang efisien. Kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada adalah melatih bernapas dan pengendalian napas yang dapat mencegah inflamasi berlebih dan meningkatkan efektifitas batuk
33
(Wong, 2008). Secara psikologis penanganan awal serangan asma adalah pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, diberikan latihan relaksasi/support dengan kontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otot-otot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma, bila dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu santai, maka ketika asma kambuh otot-otot pernapasan pada dinding thorak harus bekerja extra keras untuk membantu paru memompa udara keluar dari dalam paru agar segera berganti dengan udara yang baru. Itulah sebabnya support untuk mengatur napas otot perut/diafragma begitu dianjurkan bagi penderita asma, sebab support tersebut akan memberikan efek relaksasi secara mental dan selanjutnya kondisi tenang tersebut akan menurunkan frekuensi pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013).
34
2.2
Keaslian Penelitian Penelitian ini difokuskan pada pasien asma bronkiale yang mengalami serangan/kekambuhan dengan menekankan pada aspek penanganan farmakologis dan non farmakologis (mencakup penanganan fisik dan psikologis) pada penderita asma bronkiale untuk mengurangi gejala saat mendapatkan serangan.
1. Monalisa (2012)
Nama Peneliti
Pengalaman Ibu Merawat Anak Penderita Asma yang Mengalami Masalah Kualitas Hidup
Judul Penelitian
35
Metode Hasil Penelitian Penelitian Kualitatif 1. Gejala asma biasanya dimulai dengan batuk yang kadang disertai pilek, adanya gejala yang terkait pernapasan seperti sesak napas, dengan pendekatan bunyi “mengi”, tarikan dinding dada dan sampai terjadi sianosis. fenomenologi Dampak dari serangan asma adalah kebutuhan tidur pada anak terganggu, anak sering absen sekolah, dan terdapat keterbatasan aktivitas bermain dengan teman. 2. Asma yang tidak tertangani dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak yang berupa hambatan aktivitas dan menyebabkan kehilangan hari sekolah. 3. Pengalaman ibu dalam merawat pasien asma akan berdampak pada cepatnya tindakan yang dilakukan ibu saat dihadapkan pada gejala serangan asma. 4. Ibu merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam memberikan perawatan asma pada anak mereka. Kemampuan ibu mencapai peran yang kompeten dipengaruhi oleh faktor pandangan diri, penghargaan dan bentuk penerimaan diri ibu dalam perannya. 5. Upaya pengobatan untuk pasien asma mencakup upaya pengobatan medis (farmakologis), pengobatan tradisional ataupun non farmakologis seperti massage dada dan pemberian obat tradisional seperti massage pada dada dan punggung dengan minyak kayu putih dapat meringankan gejala, karena minyak kayu putih memiliki efek anti spasmodik yang mampu memperlebar atau mengurangi obstruksi pada jalan napas.
Tabel 2.2 Keaslian Penelitian
2. Pajarani Mogar Setyoningsih ( 2008 )
Self Management Mahasiswa Penderita Asma yang Tinggal di Kost
Kualitatif dengan pendekatan fenomenologi
7.
6.
5.
4.
3.
2.
1.
Penerapan self management (dalam hal ini bagaimana pasien mengenali faktor pencetus asmanya) pada pasien asma bertujuan agar penderita asma dapat hidup dengan normal. Dengan meminimalisasi serangan asma diharapkan kualitas hidup penderita asma meningkat. Penderita asma yang kurang memiliki informasi yang mendasar mengenai asma dapat dipastikan bahwa dalam melakukan pengelolaan asmanya kurang maksimal. Penderita asma sangat dianjurkan untuk berolahraga, meskipun mereka harus memilih jenis olah raganya secara bijaksana. Olah raga yang dianjurkan untuk penderita asma adalah jogging, renang, senam asma. Olah raga bagi penderita asma bertujuan melatih otot – otot pernapasan. Secara psikologis keluarga merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self management saat mendapatkan serangan. Dalam hal ini support keluarga yang dimaksud adalah dalam pengendalian stress dan emosi pasien asma saat mendapatkan serangan sehingga gejala yang muncul saat serangan tidak semakin parah. Ketidaknormalan suara pernapasan pada pasien asma bronkiale
6. Ibu pada pasien dengan asma bronkiale sering melaporkan bahwa serangan asma pertama pada anaknya sering didapatkan ketika anak berada pada usia bemain.
36
saat serangan ditandai dengan munculnya suara wheezing/”mengi”, sesak napas, peningkatan respirasi sampai dengan obstruksi jalan napas.
37
2.3 Kerangka Teori (Sumber: Setyoningsih, 2008)
Gambar 2.1 INTRINSIK
EKSTRINSIK
ASMA BRONKIALE
MUNCUL SERANGAN ASMA
PENANGANAN AWAL
NON FARMAKOLOGIS
FARMAKOLOGIS
FISIK
TIDAK MELAKUKAN
MUNCUL GEJALA ASMA
PSIKOLOGIS
MELAKUKAN TAPI GAGAL
MUNCUL GEJALA ASMA
38
BERHASIL MELAKUKAN
JARANG /TIDAK MUNCUL GEJALA ASMA
39
2.4 Fokus Penelitian Gambar 2.2
Farmakologis Asma Bronkiale
Fisik Non Farmakologis Psikologis
Keterangan :
- - - - - - - - Tidak diteliti Diteliti
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010), penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus. Fenomenologi menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya dapat memahami tentang bagaimana dan makna apa yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan partisipan sehari – harinya (Sutopo, 2006). Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
untuk
mengeksplorasi pengalaman pasien asma bronkiale yang mendapatkan terapi fisik (massage pada dada dan punggung dengan minyak yang memberikan rasa hangat) dan psikologis (motivasi dari orang terdekat terutama keluarga
40
41
dalam pengendalian napas, pengendalian kepanikan) saat mendapatkan serangan asma di rumah dan selanjutnya mendapatkan penanganan secara medis/famakologis. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengungkapkan dampak yang terjadi setelah dilakukan massage dada dan punggung dengan minyak yang memberikan rasa hangat dan dukungan psikologis dari orang terdekat (keluarga) dalam pengendalian napas dan kepanikan pada saat mengalami serangan asma. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat ditentukan benar – benar menggambarkan kondisi partisipan yang sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi partisipan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraeni, 2010). Penelitian ini telah dilakukan di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri terhadap pasien asma bronkiale yang dirawat di ruang perawatan Dahlia (ruang perawatan pasien dewasa) UPT Rawat Inap Purwantoro dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai penanganan awal pada pasien asma bonkiale pada saat serangan sebelumnya di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. UPT Rawat Inap Purwantoro telah berdiri sejak tahun 1988,
42
terbagi dalam dua ruang perawatan, yaitu Ruang Dahlia untuk ruang perawatan pasien dewasa dan Ruang Anggrek untuk ruang perawatan pasien anak. Khusus Ruang Dahlia berkapasitas 14 tempat tidur dengan standar ruang perawatan kelas II berkapasitas 7 tempat tidur dan kelas III berkapasitas 7 tempat tidur. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu mulai tanggal 12 Februari sampai dengan 02 Mei 2015. 3.3 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya: manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada (Nursalam, 2011). Saryono & Anggraeni (2010), konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih partisipan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan terpercaya mengenai elemen – elemen yang ada yang akan diteliti. Pada penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah pasien dewasa yang dirawat di Ruang Perawatan Dahlia UPT Rawat Inap Puwantoro Kabupaten
43
Wonogiri. Pengambilan dan rekruitmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris yang dihadapi. Dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi sumber data yang akurat (Sutopo, 2006). Kekhususan penelitian ini adalah pasien yang pernah mengalami serangan asma
yang dapat mengungkapkan pengalamannya setelah
mendapatkan massage pada dada dan punggung dengan minyak yang memberikan rasa hangat dan dukungan psikologis untuk pengendalian pernapasan dan kepanikan pada saat mengalami serangan asma. Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Pasien dewasa dengan serangan asma bronkiale. 2. Pernah menjalani perawatan karena asma di Ruang Dahlia UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. 3. Berusia 30 – 50 tahun. 4. Telah menderita asma bronkiale sejak minimal 2 tahun terakhir. 5. Mampu berkomunikasi secara verbal dengan baik. 6. Pasien yang kooperatif. 7. Bersedia menjadi partisipan selama penelitian berlangsung.
44
Rekruitmen partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama – nama partisipan yang didapatkan di rekam medik atau catatan nama – nama pasien yang menjalani perawatan di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah empat orang sesuai dengan kriteria yang telah dibuat. Hal ini sesuai pendapat Saryono & Anggraeni (2010), bahwa fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan yang sedikit dan sampai dengan saturasi jenuh, artinya peneliti tidak menemukan data baru. 3.4
Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data
3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data Saryono & Anggraeni (2010), dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrumen utama penelitian. Manusia yang dimaksud adalah peneliti sebagai alat atau instrumen utama pengumpul data. Kompetensi dan kredibilitas peneliti dalam hal ini sangat penting, karena pada penelitian kualitatif peneliti merupakan subyek yang menentukan hasil akhir penelitiannya (Afiyanti, 2014). Adapun proses pengumpulan data pada penelitian ini diawali peneliti
dari
menentukan
topik
penelitian,
mengeksplorasi
dan
memperoleh informasi sampai melakukan interpretasi atau memberikan deskripsi akhir dari hasil penelitian. Sebagai alat/instrumen utama penelitian, peneliti juga berespons dan beradaptasi terhadap respons – respons yang dialami atau diungkapkan oleh pasien dengan asma
45
bronkiale ketika menghadapi serangan. Selain itu peneliti
juga
mengembangkan pemahamannya terhadap pasien asma bronkiale melalui komunikasi interpersonal secara verbal maupun non verbal, melakukan klarifikasi untuk akurasi interpretasinya dan mengeksplorasi berbagai respons yang luar biasa dan tak terduga dari fenomena yang diteliti (Sutopo, 2006). 3.4.2
Prosedur Pengumpulan Data
3.4.2.1 Cara Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) : a.
Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In dept interview). Wawancara mendalam (In dept interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan partisipan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan partisipan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Pedoman wawancara dalam penelitian ini dibuat sesuai dengan
46
indikator – indikator pasien asma bronkiale yang mengalami serangan. b. Dokumen Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Dalam penelitian ini mengambil sumber data dari dokumen rekam medik dan dokumentasi laporan 10 besar penyakit di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri yang bertujuan untuk mengetahui data nama pasien yang dirawat dengan asma bronkiale. c.
Observasi Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari partisipan. Dalam penelitian ini pengumpulan data secara observasi dilakukan untuk mengetahui indikator - indikator seperti adanya wheezing, silent chest, barel chest, ronchi, tarikan otot napas sternokleidmastoideus, hipokapnea, alkalosis atau bahkan asidosis respiratorik.
47
3.4.2.2 Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data penelitian ini terdiri dari : a. Lembar alat pengumpulan data mengenai nama, umur, alamat dan lembar transkrip wawancara dan pertanyaan. Lembar alat pengumpul data aalah berupa lembar yang digunakan peneliti untuk mencatat biodata partisipan seperti: nama, umur dan alamat partisipan (Kavler, 2011). Transkrip data pada alat pengumpul data di penelitian ini berisi teks tetulis yang bersumber dari hasil pengumpulan data dari catatan rekam medik dan transkrip wawancara bersumber dari kegiatan hasil wawancara dengan partisipan. Adapun isi transkrip wawancara pada penelitian ini berupa transformasi dari bahasa dan ekspresi verbal atau berbagai interaksi yang terjadi pada kegiatan penelitian yang ditulis mengikuti aturan tertentu dalam bentuk tulisan perkataan para partisipan (Kavler, 2011). b. Alat tulis. Sebelum memulai wawancara peneliti juga menyiapkan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara dan hasil catatan lapangan dan hal – hal dalam konteks percakapan (Kavler, 2011). c. Alat perekam. Rekaman sangat membantu peneliti untuk mengingat kata demi kata partisipan sehingga akan mudah dibuat transkrip. Alat perekam dipilih yang ukurannya tidak terlalu besar tetapi mampu menangkap
48
suara dari jarak yang cukup. Alat tersebut diletakkan di tempat yang tidak mengganggu peneliti sebagai pewawancara dengan partisipan (Afiyanti, 2014). Dalam hal ini peneliti menggunakan alat perekam digital dan handphone sebagai back up alat perekam. Sebelum memulai wawancara, peneliti memastikan bahwa alat perekam berfungsi dengan baik dan dalam kondisi sempurna agar menghasilkan rekaman yang berkualitas. Langkah berikutnya, peneliti melakukan test terhadap alat perekam baik kondisinya, jumlah baterainya maupun kapasitas memorinya. Selanjutnya, peneliti menyediakan alat perekam cadangan untuk memback up alat perkam utama. Langkah peneliti untuk mendapatkan suasana kondusif da hasil rekaman yang jelas, peneliti memastikan ruangan tidak bising/gaduh dan jarak perekam dengan partisipan dengan peneliti cukup dekat yaitu satu meter. (Afiyanti, 2014). Setelah wawancara, alat perekam diberi label berupa nama dan tanggal dan dipindahkan pada hardisk dan disalin atau dibuat back up untuk menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Hanya nama samaran (inisial) yang ditulis pada rekaman atau transkrip, nama partisipan dan samaran/inisialnya disimpan di tempat yang berbeda (Kavler, 2011).
49
d. Lembar catatan lapangan. Lembar catatan lapangan adalah dokumen tertulis peneliti yang berasal dari hasil observasi yang khusus, berisi catatan pribadi, berbagai respons subyektif dan berbagai interpretasi dari prosesproses sosial yang ditemui peneliti selama mengambil data, deskripsi tentang hal-hal yang diamati. Catatan ini juga digunakan untuk mencatat ekspresi wajah, bahasa tubuh dan reaksi patisipan ketika berbicara. Catatan lapangan ini dibuat sepanjang wawancara seperti halnya dengan kontak mata yang harus dilakukan peneliti (Saldana, 2009). 3.4.2.3 Tahap Pengumpulan Data a. Tahap Orientasi Peneliti melakukan pengumpulan data segera dilakukan setelah peneliti memperoleh izin dari UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri dan selanjutnya peneliti melihat data identitas calon partisipan di dokumen rekam medik dan laporan bulanan 10 besar penyakit. Setelah menentukan calon partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan kepala puskesmas dan perawat di ruang perawatan Dahlia UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri, peneliti bertemu langsung dengan calon partisipan untuk menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, hak – hak partisipan serta peran partisipan dalam penelitian.
50
Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti menanyakan kesediaan calon partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini. Jika calon partisipan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat dan waktu dilakukannya wawancara. Partisipan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). b. Tahap Pelaksanaan Setelah peneliti melakukan kontrak waktu dengan calon partisipan dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini serta telah menandatangani informed consent, selanjutnya adalah wawancara mendalam terhadap partisipan. Peneliti memberikan pertanyaan kepada partisipan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah dibuat pada saat persiapan sebelum penelitian dilakukan. Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkrip hasil wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang pertanyaan
yang
mungkin
perlu
untuk
dikembangkan
dan
ditambahkan. Pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara dibuat berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada saat studi pendahuluan dan sesuai dengan kategori – kategori dimensi penanganan awal pada pasien asma bronkiale saat serangan dengan berbagai macam pengembangan sesuai dengan keadaan partisipan. Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara namun tidak bersifat santai
51
atau luwes karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan teori yang telah ditetapkan dalam penelitian. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari pengaruh orang lain baik dari keluarganya maupun orang terdekat dari partisipan, mengingat dampak positif dari massage pada dada dan punggung dengan minyak yang menghangatkan serta dukungan psikologis dalam pengendalian napas dan kepanikan merupakan hal subyektif yang hanya dapat diungkapkan oleh partisipan penderita asma bronkiale yang sebelumnya mengalami serangan mendadak, sehingga informasi tersebut diperoleh langsung dari sumbernya. Saat tahap pengumpulan data, peneliti melakukan analisa data dengan metode Colaizzi yang sesuai dengan transkrip wawancara yang telah dibuat, setelah menemukan kata kunci dan makna serta tema sementara dari analisa yang dilakukan peneliti melakukan wawancara terhadap partisipan selanjutnya. Peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu perekaman wawancara. Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan dua kali pertemuan. Peneliti selalu memperhatikan kondisi partisipan sehingga jika pada saat pertemuan pertama belum tercapai semua tujuan penelitian maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya, mengingat partisipan
52
tidak selalu dalam kondisi yang baik pada saat dilakukan wawancara dan pengambilan data sehingga wawancara disesuaikan dengan kondisi partisipan. Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data serta telah ditetapkan kata kunci, makna dan tema sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema – tema yang sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka mengenai kualitas hidup berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat oleh peneliti. Pada wawancara kedua peneliti juga merasa penting melakukan recheking hasil wawancara untuk memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan verifikasi/ konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi mereka dari pengalaman – pengalaman mereka mengenai
dampak
positif
yang
dirasakan
partisipan
setelah
mendapatkan terapi massage dada dan punggung dan dukungan psikologis
dalam
pengendalian
napas
dan
kepanikan
ketika
mendapatkan serangan asma untuk lebih menambah keakuratan dari penelitian ini. Setelah wawancara kedua selesai dan dilakukan transkrip wawancara, transkrip dirujuk kedalam kata kunci dan makna serta tema – tema yang telah dibuat sebelumnya sehingga setelah
53
wawancara kedua ini, tema – tema sudah ditetapkan sebagai pernyataan yang tegas. 3.5. Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Beck 2006), metode Colaizzi dinilai efektif digunakan dalam penelitian ini, dikarenakan dengan metode Colaizzi fenomena – fenomena dapat terungkap dengan jelas sesuai dengan makna – makna yang didapat. Adapun langkah – langkah analisa data adalah sebagai berikut : 1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan yang diteliti yaitu penanganan awal pada pasien asma bronkiale pada saat serangan. 2. Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena partisipan berupa pengalaman pasien asma bronkiale yang pada saat menghadapi serangan mendapatkan massage dada, “kerokan” pada punggung/seluruh tubuh serta dukungan psikologis/supportif dari keluarga untuk mengendalikan napas dan kepanikan. 3. Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang – ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan – pernyataan mengenai penanganan awal pada pasien asma bronkiale saat serangan.
54
4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema. Setelah tema dianalisa, merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol asli untuk memvalidasi. 5. Peneliti mengintegrasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti mengenai penanganan awal pasien asma bronkiale saat serangan. 6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali. 7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir/verifikasi tema – tema segera setelah proses verifikasi dilakukan
dan peneliti tidak
mendapatkan data tambahan baru mengenai penanganan awal pasien asma bronkiale selama verifikasi. 3.6. Keabsahan Data Kualitas data atau hasil temuan suatu penelitian kualitatif ditentukan dari keabsahan data yang dihasilkan atau lebih tepatnya keterpercayaan, keautentikan dan kebenaran terhadap data, informasi atau temuan yang dihasilkan dari hasil penelitian yang dilakukan (Afiyanti, 2014). Peneliti meyakini bahwa penelitian yang peneliti lakukan dijelaskan keabsahan
atau
validitasnya
baik
dari
definisi,
istilah
untuk
mendeskripsikannya dan prosedur untuk menetapkannya. Aspek – aspek untuk menilai validitas data pada penelitian kualitatif meliputi credibility, transferability, dependebelity dan confirmability (Afiyanti, 2014) :
55
a. Credibility atau Keterpercayaan Data Kredibilitas data atau ketepatan dan keakurasian suatu data diyakini oleh peneliti dengan melakukan triangulasi, artinya peneliti menggunakan metode wawancara sekaligus observasi terhadap partisipan yang memastikan temuan tersebut sesuai dengan pengalamannya (Sugiyono, 2011). Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif ( Sutopo, 2006). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi peneliti, data, metodologi dan teoritis. Alasan menggunakan triangulasi tersebut dikarenakan focus group discussion tidak dapat dilakukan mengingat masing – masing partisipan tidak memungkinkan dilakukan FGD dalam penelitian ini . b. Tansferability atau Keteralihan Data Transferability adalah seberapa mampu suatu hasil penelitian kualitatif dapat diaplikasikan dan dialihkan pada keadaan atau konteks lain atau kelompok atau partisipan lainnya. Transferability pada penelitian kualitatif merupakan tipe generalisasi analitik dan teoritis, artinya aspek ini diyakini peneliti untuk memahami suatu fenomena atau situasi kehidupan manusia secara mendalam (Polit & Beck, 2010). Penelitian ini menggunakan generalisasi dalam konteks mencapai tujuan utama penelitian yaitu kedalaman data tentang pengalaman hidup pasien asma bronkiale yang mendapatkan penanganan awal secara non farmakologis saat serangan.
56
c. Dependebility atau Ketergantungan Dependebility atau reliabilitas dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana studi yang sama dapat diulang atau direplikasi pada saat yang berbeda dengan metode yang sama, partisipan yang sama dan dalam konteks yang sama. Dalam hal ini peneliti meyakini untuk memperoleh hasil penelitian atau data yang konsisten maka dilakukan suatu analisis data yang terstruktur dan mengupayakan untuk hasil studi dengan benar, sehingga diharapkan pembaca dapat membuat kesimpulan yang sama dalam menggunakan perspektif, data mentah dan dokumen analisis studi yang sedang dilakukan (Afiyanti, 2014). d. Confirmability Confirmability merupakan aspek obyektivitas pada penelitian kualitatif, yaitu adanya kesediaan peneliti mengungkap secara terbuka proses dan elemen – elemen penelitiannya. Dalam hal ini peneliti meyakini bahwa untuk mengontrol hasil penelitiannya adalah dengan merefleksikannya pada jurnal terkait, konsultasi dengan peneliti ahli dan melakukan konfirmasi informasi dengan partisipan. 3.7. Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan partisipan, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit & Hungler, 2005).
57
Peneliti
meyakini
bahwa
partisipan
harus
dilindungi
dengan
memperhatikan aspek – aspek : Informed consent, Anonimity dan Confidentiality (Polit & Hungler, 2005) : 1. Informed Consent Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui penanganan awal pada pasien asma bronkile secara non farmakologis baik secara fisik maupun psikologis. Setelah partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar informed consent kepada partisipan. 2. Anonymity Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data. Berikut kode partisipan yang digunakan dalam penelitian ini: Partisipan I (P1), Partisipan II (P2), Partisipan III (P3), Partisipan IV (P4) . 3. Confidentiality Confidentiality atau kerahasiaan data merupakan kewajiban peneliti untuk menjaga kerahasiaan berbagai informasi yang diberikan oleh partisipan dengan sebaik – baiknya. Dalam hal ini peneliti menyimpan seluruh dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar persetujuan mengikuti penelitian, biodata, hasil rekaman dan transkrip wawancara dalam
tempat
khusus
yang
hanya
bisa
diakses
oleh
peneliti.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai karakteristik seluruh partisipan dan berbagai pengalaman kehidupan pasien dengan asma bronkiale yang pernah menjalani perawatan di UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Pada penelitian ini telah ditemukan tema – tema yang memberikan suatu gambaran mengenai pengalaman pasien asma bronkiale yang mendapatkan penanganan awal secara non farmakologis saat mengalami serangan. 4.1 GAMBARAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan di Ruang Perawatan Dahlia UPT Rawat Inap Purwantoro
Kabupaten Wonogiri yang telah lama melayani masyarakat
Kecamatan Purwantoro dan sekitarnya dibidang kesehatan sehingga memuaskan masyarakat dalam bidang pelayanan kesehatan masyarakat. UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri telah berdiri sejak tahun 1988 sebagai unit pelayanan kesehatan dasar yang melayani masyarakat di bidang kesehatan di wilayah Kecamatan Purwantoro dan sekitarnya. UPT Rawat Inap Purwantoro terletak pada kilometer 43 dari pusat pemerintahan Kabupaten Wonogiri dan merupakan daerah strategis karena merupakan wilayah yang berbatasan dengan tiga wilayah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Magetan, sebelah
58
59
selatan dengan Kabupaten Pacitan dan sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Ponorogo.
Seiring dan sejalan tuntutan publik, maka
pembenahan di segala aspek dilakukan oleh UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri dengan memperbaiki gedung, menambah sarana dan prasarana dan mengupayakan peningkatan mutu sumber daya manusia untuk menunjang pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. UPT Rawat Inap Purwantoro Kabupaten Wonogiri memiliki satu ruangan Unit Gawat Darurat dan dua ruang perawatan (bangsal) yang terdiri dari satu ruang perawatan dewasa (Bangsal Dahlia) dengan kapasitas 14 tempat tidur dan satu ruang perawatan anak (Bangsal Anggrek) dengan kapasitas 12 tempat tidur. Pada lini layanan keperawatan UPT Rawat Inap Purwantoro memiliki 11 orang perawat sebagai pelaku layanan keperawatan. 4.2 GAMBARAN KARAKTERISTIK PARTISIPAN 4.2.1 Partisipan I (P1) Ny.DS, seorang Pegawai Negeri Sipil, umur 32 tahun berjenis kelamin perempuan yang beralamat di Dusun Karanglo, RT. 003 RW. 001, Desa Tegalrejo, Kecamatan Purwantoro, Kabupaten Wonogiri. Ny. DS merupakan partisipan kesatu yang diwawancarai pertama kali pada hari Kamis, 12 Februari 2015 pukul 14.30 WIB setelah selesai bekerja di tempat kerjanya. Pada wawancara pertama ini pasien sudah membaik setelah tiga hari sebelumnya (pada tanggal 09 Februari 2015 dirawat di UPT Rawat Inap Purwantoro karena mengalami serangan asma dan pada
60
tanggal 11 Februari 2015 dokter menyatakan membaik dan diperbolehkan pulang). Jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dilakukan pada hari sabtu, 15 Februari 2015 pukul 14.40 WIB setelah Ny. DS selesai bekerja. Wawancara kedua juga berlangsung di ruang kerja tempat kerja Ny. DS. Saat wawancara kedua kondisi Ny.DS sudah semakin membaik. Jarak antara partisipan dengan peneliti pada wawancara kedua adalah satu meter. Ny.DS merupakan pasien asma bronkiale yang menderita asma sejak kecil (sejak usia 5 tahun) dan seringkali berobat atau bahkan dirawat di UPT Rawat Inap Purwantoro apabila mengalami serangan asma yang berat yang digambarkan Ny. DS dengan terdapatnya keluhan dada seakan terasa tertekan, sesak napas yang teramat sangat, atau sulit bernapas. Ny. DS sering mengalami serangan asma apabila terpapar oleh debu, sensasi rasa dingin termasuk minum es dan juga temperatur yang dingin. Pada tanggal 09 Februari 2015 kurang lebih pada pukul 22.00 WIB Ny. DS merasakan kegerahan karena cuaca terasa panas sehingga hal tersebut mendorong Ny. DS untuk menyalakan kipas angin hampir semalam dengan harapan bisa tidur nyenyak tanpa rasa gerah, bahkan untuk mengimbangi rasa haus yang muncul Ny. DS juga minum segelas es teh. Keesokan harinya kurang lebih pukul 05.0 WIB (pada tanggal 10 Februari 2015) Ny. DS mulai merasakan batuk, gatal pada tenggorokan, sesak napas dengan suara wheezing yang teramat sangat dan juga pusing. Untuk mengatasi keadaan yang demikian, keluarga Ny. DS segera
61
mengambil tindakan dengan memposisikan Ny. DS pada posisi tidur setengah duduk, memberinya minum hangat dan melakukan massage dada dan punggung Ny. DS dengan minyak kayu putih. Penanganan semacam ini sudah sering dilakukan Ny. DS sejak dahulu sewaktu – waktu Ny. DS mengalami serangan asma. Pukul 07.00 WIB pada tanggal yang sama (10 Februari 2015) Ny. DS dibawa oleh keluarganya ke UPT Rawat Inap Purwantoro sebagai upaya
keluarga
agar
Ny.
DS
mendapatkan
penanganan
secara
farmakologis/medis dan perawatan lebih lanjut terkait dengan serangan asmanya. Setelah diperiksa oleh dokter jaga akhirnya Ny. DS disarankan untuk dirawat dan diberikan O2, terapi oral untuk asma, terapi cairan dan juga terapi inhalasi. Keesokan harinya pada tanggal 11 Februari pukul 09.00 WIB kondisi umum Ny. DS menunjukkan perbaikan yang signifikan. Keluhan sesak napas sudah tidak ada, gatal di tenggorokan tidak ada, bunyi wheezing tidak ada dan tanda – tanda vital dalam batas normal yaitu tekanan darah: 110/70 mmHg, temperatur: 36,8 derajat celcius, nadi : 84 kali per menit, respiratory rate: 20 kali per menit. Dengan kondisi yang demikian Ny. DS diijinkan dokter untuk dibawa pulang. Setelah dirawat di UPT Rawat Inap Purwantoro dan pulang dengan kondisi membaik Ny. DS merasa bahwa sensasi dingin termasuk es dan kipas angin juga debu merupakan dua hal yang semakin disadari dapat
62
mengakibatkan serangan asma baginya. Dengan serangan asma yang dirasakan teramat sangat seperti yang Ny. DS rasakan saat terakhir mendapatkan serangan, maka hal tersebut dirasakan Ny. DS sangat mengganggu aktivitasnya. Kehadiran orang terdekat dalam hal ini suami dan ibunya, dirasakan Ny. DS merupakan sesuatu yang penting dan teramat berarti untuk Ny. DS saat menghadapi serangan asma. Penanganan awal berupa massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada dan “kerokan” pada punggung dirasakan Ny. DS sebagai terapi non farmakologis secara fisik yang pertama dan utama harus didapatkannya saat mengalami serangan, karena massage yang demikian dirasakan Ny. Ds memberikan sensasi rasa hangat dan juga melonggarkan pernapasan. Selain itu tindakan lain yang diberikan keluarga Ny. DS yang mampu meringankan gejala saat serangan adalah kehadiran dan support mental/dukungan psikologis dari keluarganya terutama suami dan ibunya. Motivasi keduanya saat serangan berupa support untuk mengendalikan pernapasan, tenang dan tidak panik dirasakan Ny. DS juga memberikan efek perasaan nyaman, tenang dan rileks. Kehadiran keluarga dan supportnya saat serangan dirasakan Ny. DS merupakan wujud empati dari keluarga sehingga kepanikan dan keluhan saat serangan berkurang dan pernapasan pun berangsur - angsur dapat dikendalikan.
63
4.2.2 Partisipan II (P2) Tn. M seorang laki – laki yang bekerja sebagai wiraswasta dan berumur 42 tahun merupakan partisipan kedua yang diwawancarai pada hari Rabu tanggal 25 Oktober 2015 pukul 16.00 – 17.00 WIB di ruang tunggu UPT Rawt Inap Purwantoro setelah Tn. M selesai melakukan kontrol kondisi kesehatannya. Tn. M bertempat tinggal di Dusun Blimbing, RT.03/RW.01 Kelurahan/Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 29 Maret 2015 pukul 14.00 – 15.00 WIB di rumh Tn. M. Jarak antara partisipan dengan peneliti saat dua kali wawancara adalah 1 meter. Tn. M merupakan penderita asma bronkiale yang sejak puluhan tahun yang lalu berkunjung ke UPT Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan apabila mengalami serangan asma. Tn. M menderita asma bronkiale sejak kecil (usia 5 tahun). Sejak masih duduk dibangku sekolah menengah Tn. M sudah mengenal rokok dan sejak saat itu pula Tn. M menjadi perokok aktif sampai dengan saat ini. Meskipun demikian sebenarnya Tn. M menyadari bahwa polusi udara oleh asap termasuk rokok merupakan faktor pencetus kambuhnya asma bronkiale yang dideritanya. Selain asap rokok Tn. M juga bisa mengalami serangan asma ketika sedang mendapatkan tekanan psikologis artinya sedang mempunyai masalah yang pelik, kedinginan, kecapaian.
64
Saat serangan asma datang biasanya Tn. M merasa sesak napas sampai terdengar bunyi wheezing, batuk berdahak, tenggorokan terasa gatal bahkan kadang terasa seperti tercekik, dada terasa sakit dan pusing. Sebelum serangan yang terakhir (tanggal 13 Maret 2015), pada malam harinya mengendarai motor keluar rumah bermaksud membeli bubur tanpa mengenakan jaket maupun helm. Kondisi cuaca saat itu dingin dan sehabis turun hujan. Sesampainya di rumah Tn. M tidak segera menghangatkan tubuh (mengenakan baju hangat) tetapi masih berbincang – bincang dengan saudaranya yang rumahnya bersebelahan sambil menyulut rokok. Dini harinya (sekitar pukul 03.00 WIB) dengan udara yang semakin terasa dingin Tn. M mulai merasakan batuk, gatal di tenggorokan, sesak napas dan pusing. Sebagai upaya awal (secara non farmakologis) untuk mengatasi keluhannya, Tn. M meminta istrinya untuk memijit punggungnya, mengerok punggung juga dengan menggunakan koin dan minyak kayu putih. Sambil memijit punggung Tn. M istri Tn. M pun juga tak segan – segan untuk memberi nasehat dan support mental kepada Tn. M untuk tidak panik saat terjadi serangan dan juga tidak mengulangi kegiatan yang sekiranya memicu serangan asma. Tn. M mengatakan meskipun minum obat kalau belum dipijit/dikerok punggungnya dengan minyak kayu putih rasanya belum lega. Selain itu kesabaran sang istri untuk selalu memberi support mental menjadikan Tn. M tabah dan tenang saat mengalami serangan.
65
Keesokan harinya masih pada tanggal 13 Maret 2015 sekitar pukul 05.00 WIB oleh keluarganya Tn. M dibawa ke sarana pelayanan kesehatan terdekat yaitu UPT Rawat Inap Purwantoro yang berjarak kurang lebih 1 kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan terapi farmakologis/medis. Saat itu meskipun bunyi wheezing masih ada tetapi Tn. M merasakan sesak napas dan pusingnya sudah berkurang. Setelah diperiksa oleh dokter setempat Tn. M disarankan untuk diobservasi sampai keadaan umumnya membaik dengan diberikan terapi inhalasi, cairan untuk memulihkan keadaan umum dan juga terapi oral. Pada saat itu ditemukan wheezing meskipun dengan pernapasan yang sudah terkendali. Pada sore harinya Tn. M sudah merasa semakin membaik dan wheezing sudah tidak ada, tidak ada sesak napas, tanda-tanda vital dalam batas normal: tekanan darah: 110/70 mmHg, temperatur: 36,6 derajat celcius, nadi: 84 kali per menit dan respiratory rate: 20 kali per menit sehingga dokter memperbolehkan Tn. M pulang. Setelah menjalani perawatan pada saat serangan asma yang terakhir,Tn. M semakin menyadari bahwa asap terutama yang bersumber dari rokok dan dingin adalah hal yang diantaranya dapat menimbulkan serangan asma dan secara tidak langsung hal tersebut mengganggu aktivitasnya sebagai seorang wiraswasta. Kehadiran istri/keluarga terdekat merupakan faktor pendukung yang berperan penting dalam upaya mengatasi keluhan Tn. M saat menghadapi serangan asma. Terapi non farmakologis secara fisik berupa massage ringan dengan minyak kayu
66
putih pada dada dan punggung juga kening serta support mental/dukungan psikologis dari keluarga untuk tenang, tidak panik saat serangan dirasakan Tn. M merupakan hal yang teramat berarti, karena dua hal tersebut memberikan rasa hangat, melonggarkan pernapasan, relaksasi, tenang, tidak panik dan napas terkendali. 4.2.3 Partisipan III (P3) Ny. K seorang perempuan berumur 54 tahun yang mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang merupakan partisipan ketiga yang diwawancarai pertama kali pada tanggal 5 April 2015 pukul 17.0 – 18.00 WIB di rumah Ny. K di Dusun Blimbing RT 01/RW 03, Kelurahan dan Kecamatan Purwantoro Kabupaten Wonogiri. Jarak antara partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Wawancara kedua dengan Ny. K dilakukan pada tanggal 6 April 2015 pada pukul 17.00 – 18.00 WIB di tempat yang sama. Jarak partisipan dengan peneliti adalah 1 meter. Waktu wawancara disepakati selalu mulai pukul 17.00 WIB karena pada jam tersebut Ny. K sudah berada posisi beristirahat dan santai bersama keluarga setelah seharian bekerja sebagai pedagang di pasar. Ny. K merupakan penderita asma bronkiale sejak ia kecil (usia 6 tahun) dan merupakan pasien yang sering berkunjung dan dirawat di UPT Rawat Inap Purwantoro apabila mengalami serangan asma yang berat yang dikarakteristikkan oleh Ny. K dengan terdapatnya rasa sesak napas yang teramat sangat sampai dada terasa tertekan, bunyi napas berbunyi
67
“ngik- ngik”, dan terbatuk- batuk. Pada tanggal 01 Maret 2015 pukul 21.00 WIB Ny. K mengalami serangan asma yang dirasakannya berat setelah pada sore harinya Ny. K sepulang dari pasar dalam kondisi capai masih memaksakan diri untuk membersihkan meja kursi dan meubelar di rumahnya yang terlihat berdebu dan setelah itu pada malam harinya kurang lebih pada pukul 19.00 WIB dengan temperatur udara yang sudah dirasakan dingin Ny. K masih memaksakan diri untuk mandi dengan air dingin. Akhirnya seiring waktu yang semakin malam dan dingin pada pukul 22.00 WIB Ny. K mengalami serangan asma yang dirasakan cukup berat. Pada keadaan yang demikian upaya awal keluarga Ny. K adalah dengan mengerok/memijat Ny.K pada bagian dada dan punggung dengan menggunakan minyak kayu putih. Selain itu kehadiran suami sebagai orang terdekat dalam hidup Ny. K merupakan hal yang teramat berarti sebab selain mengerok/memijat suami Ny. K selalu memberikan support mental/dukungan psikologis pada Ny. K saat serangan dengan selalu memotivasi Ny. K untuk tenang, tidak panik dan mengendalikan pernapasan. Sebagai upaya lanjutan dari keluarga setelah dilakukan penanganan non farmakologis maka keluarga Ny. K kemudian membawa Ny. K pada pukul 22.45 WIB ke UPT Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan perawatan dan penanganan medis. Setelah sesampainya di UPT Rawat Inap Purwantoro akhirnya dokter yang memeriksa menganjurkan agar Ny.
68
K dirawat dan diberikan terapi medis sehubungan dengan serangan asmanya. Keesokan harinya, kondisi Ny. K sudah membaik dengan tidak adanya keluhan sesak napas, batuk jarang, wajah tampak segar, bunyi wheezing pada kedua paru - paru tidak ada dan tanda – tanda vital dalam batas normal, tekanan darah: 120/80 mmHg, temperatur: 36,5 derajat celcius, nadi: 88 kali per menit, respiratory rate: 20 kali per menit. Dengan kondisi yang demikian akhirnya pada tanggal 02 Maret 2015 dokter yang memeriksa mengijinkan Ny. K untuk pulang. Penanganan awal asma yang dilakukan oleh keluarga Ny. K tersebut merupakan terapi non farmakologis pilihan yang sejak dahulu diterapkan pada Ny. K saat mendapatkan serangan asma. Dengan adanya serangan asma yang terakhir didapatkannya Ny. K semakin menyadari bahwa debu dan dingin merupakan dua hal diantara beberapa faktor yang menyebabkan serangan asma pada Ny. K. Penanganan awal oleh keluarga berupa massage ringan/kerokan pada dada dan punggung dengan minyak kayu putih dirasakan Ny. K dapat mengurangi keluhan sesak napas yang berat, memberi rasa hangat, napas terasa longgar, sementara support mental/dukungan psikologis dari keluarga saat serangan juga berdampak mengurangi stress, kepanikan dan akhirnya napas terkendali.
69
4.2.4 Partisipan IV (P4) Tn.HS seorang laki – laki yang bekerja sebagai petani umur 58 tahun merupakan partisipan keempat yang keempat diwawancarai pertama kali pada tanggal 28 Maret 2015 mulai pukul 16.00 -17.00 WIB di rumah Tn. HS. Wawancara kedua dengan Tn. HS sebagai kelanjutan wawancara pertama juga dilakukan di rumah Tn. HS pada tanggal 29 Maret 2015 pukul 14.00 – 15.00 WIB. Jarak antara partisipan dengan peneliti saat wawancara adalah 1 meter. Tn. HS beralamat di Dusun Jangglengan RT. 03/RW.02, Desa Krandegan, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri. Tn. HS merupakan penderita asma bronkiale sejak kecil (usia 5 tahun) dan merupakan pasien asma bronkiale yang sejak puluhan tahun yang lalu berkunjung ke UPT Rawat Inap Purwantoro untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan apabila mengalami serangan asma. Tn. HS. sudah mengenal rokok sejak remaja saat itu pula Tn. HS kadang - kadang merokok apabila timbul keinginan merokok sampai dengan saat
ini.
Meskipun demikian sebenarnya Tn. HS menyadari bahwa polusi udara oleh asap termasuk rokok merupakan faktor pencetus terjadinya serangan asma bronkiale yang dideritanya. Selain asap rokok Tn. HS juga bisa mengalami searangan asma ketika sedang mengalami stress, dan juga kecapaian. Saat serangan asma datang biasanya Tn. HS merasakan sesak napas sampai terdengar bunyi wheezing, napas terengah – engah dan sulit
70
bernapas. Sebelum serangan yang terakhir (tanggal 23 April 2015), pada siang harinya Tn. HS membajak sawahnya seorang diri dan saat selesai bekerja bersama dengan tetangganya Tn. HS berulang kali menyulut rokok sebagai teman istirahat dan bersantai sejenak. Saat itu sebenarnya Tn. HS sudah mulai terbatuk – batuk tapi keluhan itu tak dihiraukannya dan bahkan beranggapan nanti kalau sudah selesai bekerja dan istirahat pasti batuk akan hilang. Dengan beranggapan seperti itu akhirnya Tn. HS tetap melanjutkan pekerjaannya sampai selesai. Malam harinya (sekitar pukul 23.00 WIB) dengan didukung udara yang semakin terasa dingin Tn. HS mulai merasakan batuk, gatal di tenggorokan, sesak napas, napas terengah – engah dan semakin sulit bernapas. Sebagai upaya awal (secara non farmakologis) untuk mengatasi keluhannya, Tn. HS meminta istrinya untuk memijit punggungnya, punggung juga kening dan telapak kakinya dengan menggunakan minyak kayu putih. Sambil memijit punggung Tn. HS istri Tn. HS pun juga tak segan – segan untuk memberi nasehat dan support mental kepadaTn. HS untuk tidak panik, bernapas panjang dan teratur, mengendalikan napas dan tidak bingung saat terjadi serangan dan juga tidak mengulangi lagi bekerja dengan memforsir tenaganya dan juga tidak lagi merokok yang keduanya sudah disadari Tn. HS dapat memicu serangan asma. Tn. HS mengatakan meskipun minum obat kalau belum dipijit punggungnya dengan minyak kayu putih rasanya belum lega. Selain itu kesabaran sang istri untuk selalu
71
memberi support mental saat serangan menjadikan Tn. HS lebih tenang saat mengalami serangan. Keesokan harinya pada tanggal 24 April 2015 sekitar pukul 05.00 WIB oleh keluarganya Tn. HS dibawa ke sarana pelayanan kesehatan terdekat yaitu UPT Rawat Inap Purwaantoro yang berjarak kurang lebih 10 kilometer dari rumahnya untuk mendapatkan terapi farmakologis/medis. Saat itu meskipun bunyi wheezing masih ada tetapi Tn. HS merasakan sesak napasnya sudah berkurang. Setelah diperiksa oleh dokter setempat Tn. HS disarankan untuk diobservasi sampai keadaan umumnya membaik, dalam hal ini terapi medis yang diberikan dokter kepada Tn. HS adalah terapi inhalasi, cairan untuk memulihkan keadaan umum dan juga terapi oral. Pada saat itu ditemukan wheezing meskipun dengan pernapasan yang sudah terkendali.
Pada sore harinya Tn. HS sudah merasa semakin
membaik dan dokter memperbolehkan pulang. Setelah menjalani perawatan pada saat serangan asma yang terakhir Tn. HS semakin menyadari bahwa asap terutama yang bersumber dari rokok dan kecapaian adalah hal yang diantaranya dapat menimbulkan serangan asma dan secara otomatis hal tersebut mengganggu aktivitasnya sebagai seorang petani. Kehadiran istri/keluarga terdekat merupakan faktor pendukung yang berperan penting dalam upaya mengatasi keluhan Tn. HS saat menghadapi serangan asma. Terapi non farmakologis secara fisik berupa massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada dan punggung juga kening dan telapak kaki serta support mental/dukungan
72
psikologis dari keluarga untuktenang, tidak panik saat serangan dirasakan Tn. HS merupakan hal yang teramat berarti, karena dua hal tersebut memberikan rasa hangat, melonggarkan pernapasan, relaksasi, tenang, tidak panik dan napas terkendali. 4.3 HASIL PENELITIAN Dalam analisa tematik akan dijelaskan mengenai tema yang telah didapat dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara. Tema – tema yang telah dihasilkan tersebut mengacu pada kategori pengetahuan, kategori penanganan fisik dan kategori penanganan supportif. Masing – masing kategori akan menghasilkan beberapa tema, dan masing – masing tema menghasilkan sub tema. Tema – tema yang telah dihasilkan dan telah teridentifikasi dari hasil wawancara tersebut akan secara rinci dibahas untuk mengungkapkan makna – makna atau arti dari berbagai pengalaman pasien asma bronkiale yang apabila mengalami serangan dan mendapatkan terapi non farmakologis secara baik fisik,
maupun secara psikologis. Tema – tema dan makna –
makna yang telah dihasilkan akan saling berhubungan satu per satu dengan yang lain. Berikut penjelasan mengenai masing – masing tema dari tiga kategori pada konteks penanganan awal pasien asma bronkiale. Tema - tema yang didapatkan berasal kategori – kategori
dari analisa
terhadap
yang didapat dari ungkapan keseluruhan partisipan.
Kategori – kategori ditetapkan dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
73
Berikut penjelasan mengenai tema - tema dan sub - sub tema dari kategori kategori tersebut: 4.3.1 Tujuan 1: Pemahaman Partisipan tentang Penyakit Asma Bronkiale 4.3.1.1 1.
Kategori Pengetahuan Tema Pengertian (Sub Tema: a) Sesak Napas; b) Mengi; c) Terengah – engah). a. Sesak Napas. Seluruh partisipan telah mengetahui tentang pengertian asma yang dikarakteristikkan oleh keempatnya dengan adanya keluhan sesak napas pada saat serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluhan sesak napas yang timbul saat serangan asma : “...setahu saya ya sesak napas mbak... .”(P1) “...yen pangertosan saya gangguan nggen pernapasan mbak, sesak napas ngaten (setahu saya adanya gangguan pernapasan mbak, ada sesak napas)... .”(P2) “...yen ngertos kulo nggih sesak napas mbak ( setahu saya sesak napas mbak)... .”(P3) “...itu ya sesak napas mbak (setahu saya sesak napas mbak)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma bronkiale adalah suatu kondisi pada gangguan pernapasan dengan
74
adanya keluhan sesak napas sebagai salah satu gejala yang dirasakan saat serangan. b. Mengi Dua partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma adalah suatu kondisi terjadinya gangguan pernapasan yang pada saat terjadinya serangan timbul suara abnormal “mengi” yang merupakan kekhasan bunyi pernapasan pada pasien asma saat mengalami serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai pengertian asma adalah adanya suara pernapasan yang secara awam dikenal dengan suara “mengi” sebagai ciri khas bunyi pernapasan saat serangan asma: “...tapi khas ada bunyi ”ngik – ngik”, orang tua bilang,“mengi” begitu mbak... .”(P1)
“...yang ada “mengi – mengi”nya itu mbak ... .”(P4) Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa pengertian asma diantaranya adalah gangguan pada saluran pernapasan yang terdapat karakteristik suara pernapasan yang khas dan secara awam keduanya menyebutnya dengan suara “mengi”. Sementara dua partisipan lainnya mengungkapkan dengan istilah atau karakteristik yang berbeda.
75
c. Terengah – engah Dua diantara empat partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma adalah terjadinya gangguan pernapasan yang apabila terjadi serangan maka keluhan yang timbul salah satunya adalah rasa terengah- engah saat bernapas. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan pernapasan yang terasa terengah- engah apabila mengalami serangan asma : “...menggeh – menggeh” ngoten nika pokoke mbak (terengahengah begitu mbak)... .”(P2)
“...mengkas-mengkis mbak yen kimat (terasa terengah-engah saat kambuh mbak)... .” (P3) Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa pengertian asma adalah apabila terjadi serangan, maka pernapasan akan terasa terengah – engah. Dua partisipaan yang lain mendeskripsikan dengan istilah yang berbeda.
76
Sesak napas
“Mengi”
Pengetahuan
Pengertian
Terengahengah
4.3.1.1 Skema Tema Pengertian 2.
Tema Tanda dan Gejala (Sub tema: a) Batuk; b) Sesak Napas; c) Kesulitan Bernapas) a. Batuk Empat dari dua partisipan mengungkapkan bahwa salah satu dari tanda dan gejala saat mengalami serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan batuk yang dikarakteristikkan oleh partisipan sebagai tanda dan gejala terjadinya serangan asma : “...biasanya didahului batuk mbak ... .”(P1)
“...enten “watuke” mbak (ada batuknya mbak) ... .”(P2)
Terdapat dua partisipan yng mengungkapkan bahwa batuk merupakan salah satu dari gejala apabila serangan asma terjadi, sementara dua partisipan lainnya menyatakan dengan adanya tanda dan gejala yang berbeda.
77
b. Sesak Napas Tiga dari empat partisipan mengungkapkan bahwa tanda dan gejala terjadinya serangan asma adalah juga adanya keluhan sesak napas. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya keluhan sesak napas yang juga dikarakteristikkan oleh partisipan merupakan tanda dan gejala terjadinya serangan asma : “...napas ini rasanya terus sesek mbak... .”(P1) “...dada niki mbak sing kraos pas serangan, sesek ngoten(ketika serangan dada terasa sesak mbak)... .”(P2) “...dada sesek raose yen pas kimat mbak(saat kambuh dada terasa sesak mbak)... .”(P3)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa diantara tanda dan gejala terjadinya serangan asma adalah sesak napas. c. Kesulitan Bernapas Keempat partisipan mengungkapkan bahwa tanda dan gejala yang lain pada serangan asma adalah adanya keluhan sulit untuk bernapas. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai adanya kesulitan untuk benapas saat serangan asma : “...rasanya napas tidak lancar... .”(P1)
78
“...ajeng ambegan susah mbak (susah untuk bernapas mbak), leher terasa seperti tercekik ... .”(P2) “...ambegan kados tertahan,angel ngoten (pernapasan seperti tertahan dan sulit)... .”(P3) “...rasanya sulit bernapas, terengah-engah mbak... .” (P4) Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa diantara tanda dan gejala apabilamengalami serangan asma adalah adanya kesulitan untuk bernapas.
Batuk
Sesak Napas
Pengetahuan
Tanda dan Gejala
Kesulitan Bernapas
4.3.1.2 Skema Tema Tanda dan Gejala
2.
Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma (Sub Tema: Sejak Kecil) Keempat partisipan mengungkapkan bahwa mereka telah menyadari dengan kondisi mereka sebagai penderita asma. Keempatnya mengungkapkan bahwa sejak kecil telah sering mengalami serangan asma, sehingga saat sekarang apabila
79
mengalami serangan bukan merupakan serangan yang pertama dialami. Berikut
ungkapan
dari
partisipan
mengenai
waktu
yang
dikarakteristikkan oleh partisipan sebagai waktu pertama kalinya diketahui terkena asma: “...sejak kecil mbak, kira – kira usia 5 tahun, waktu masih TK... .”(P1) “...wit alit mpun gadhah asma mbak, yen mboten klentu umur 5 tahun (sejak kecil saya sudah terkena asma mbak, kalau tidak salah usia 5 tahun)... .”(P2) “...sejak kecil mbak, kalau saya ndak salah pas saya 6 tahun... .”(P3) “...wiwit alit mbak mpun “menginen”, nggih kinten – kinten 5 tahunan umur kula (sejak kecil sudah mulai punya “mengi” mbak, kira-kira usia 5 tahun)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa sejak kecil mereka sudah terdeteksi terkena asma. Rentang usia pada saat mengalami serangan asma yang diungkapkan seluruh partisipan adalah 5-6 tahun.
Sejak kecil
Pengetahuan
4.3.1.3 Skema Waktu Pertama Mengalami Serangan
Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma
80
3.
Tema Faktor Pencetus (Sub Tema: a) Temperatur Dingin; b) Debu; c) Asap; d) Kelelahan Fisik; e) Emosi) a. Temperatur Dingin Tiga terpaparnya
dari
empat
mereka
partisipan
pada
mengungkapkan
temperatur
yang
bahwa
dingin
akan
mengakibatkan tercetusnya serangan asma. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan
terhadap
temperatur dingin yang merupakan salah satu faktor pencetus yang menimbulkan serangan asma: “...saya paling ndak tahan dengan dingin mbak, membuat asma saya kambuh... ”(P1) “...yen kenging angin malam terus kimat mbak (bila terkena angin malam terus kambuh mbak)... .”(P2) “...yen kademen nggih kimat mbak (bila kedinginan kambuh mbak)... .”(P3)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa terpaparnya
mereka
dengan
temperatur
yang
dingin
mengakibatkan terjadinya serangan asma. Debu Keempat partisipan mengungkapkan bahwa terpaparnya mereka dengan debu juga merupakan faktor pencetus serangan asmanya.
81
Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan terhadap debu yang dapat menimbulkan serangan asma: “...saya juga tidak tahan debu mbak... .”(P1)
“...yen kenging debu nggih kimat mbak (bila terkena debu juga kambuh mbak)... .”(P2) “...yen kenging bleduk niku nggih sesek mbak (bila terkena debu juga menimbulkan sesak napas mbak)... .”(P3) “...kalau terkena debu nggih kambuh sesek mbak (kalau terkena debu juga menyebabkan kambuh mbak)... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa debu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya serangan asma adalah apabila terpapar dengan debu. b. Asap Keempat
partisipan
mengungkapkan
bahwa
asap
merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan serangan. Diungkapkan pula oleh keempat partisipan bahwa asap yang berasal dari sisa pembakaran maupun rokok yang terhirup akan mengganggu kerja pernapasannya dan selanjutnya menimbulkan serangan asma. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai paparan terhadap asap baik dari hasil pada proses pembakaran maupun rokok merupakan faktor yang dapat menimbulkan terjadinya serangan asma:
82
“...kalau ada asap atau ada yang merokok di dekat saya itu menyebabkan saya terus sesak napas mbak... .”(P1) “...yen bibar ngrokok utawi enten asap niku dadi sesek mbak (setelah merokok atau terkena asap menyebabkan saya menjadi sesak mbak)... .”(P2) “...kulo yen mambu asap utawi kebul rokok mbak niku jan mboten remen, lha trus sesek le mbak (saya paling tidak suka kalau membau asap rokok, karena menyebabkan saya sesak napas mbak)... .”(P3) “...kalau habis merokok atau ada asap jadi sesek mbak... .”(P4) Terdapat dua partisipan yang berjenis kelamin laki – laki yang mengungkapkan bahwa asap rokok maupun asap dari sumber lain merupakan faktor yang dapat menimbulkan terjadinya serangan asma. Kedua partisipan merupakan perokok meskipun dengan intensitas yang jarang (merokok sesekali saat timbul keinginan untuk merokok saja). Sementara dua partisipan lainnya yang berjenis kelamin perempuan bukan merupakan perokok tetapi sedapat mungkin menghindarkan diri dari kepulan asap dan asap rokok, karena asap dan juga asap rokok di sekitarnya juga menimbulkan serangan asma, dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
seluruh
partisipan
mengungkapkan bahwa asap dari sisa proses pembakaran maupun rokok dapat menimbulkan serangan asma. c. Kelelahan Fisik Dua partisipan mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka menyadari dengan kesibukan mereka saat bekerja kadang – kadang akan menimbulkan kelelahan fisik. Keadaan yang demikian apabila
83
diabaikan (tidak segera beristirahat), maka hal tersebut diakui keduanya akan menimbulkan serangan asma. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kelelahan pada fisik yang menyebabkan munculnya serangan asma: “...yen kekeselen mbak terus kambuh (kalau kecapaian menyebabkan kambuh mbak)... .”(P3) “...kecapaian juga menyebabkan kambuh mbak... .” (P4) Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa kelelahan secara fisik dapat menimbulkan serangan asma, sementara dua partisipan yang lain mengungkapkan kelelahan secara fisik didukung dengan faktor- faktor lain akan menimbulkan serangan asma. d. Emosi Tiga partisipan mengungkapkan bahwa adanya respon emosi yang berlebihan/stress akan mengakibtkan serangan asma. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai emosi/stress yang menyebabkan munculnya serangan asma: “...yen kepikiran awrat nggih kimat mbak (bila ada masalah berat akan mnyebabkan kambuh mbak) ... .”(P2)
“...yen kepikiran awrat kimat mesti kambuh mbak (bila ada masalah berat pasti kambuh mbak)... .”(P3) “...yen kepikiran mesti kambuh mbak (bila banyak yang dipikirkan pasti kambuh mbak)... .”(P4)
84
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa adanya stressor dapat menimbulkan serangan asma, sementara satu partisipan lainnya tidak menyebutkan stress dalam mengidentifikasi tanda dan gejala asma.
Temperatur Dingin
Debu
Asap
Pengetahuan
Faktor Pencetus
Kelelahan Fisik
Emosi
4.3.1.4 Skema Tema Faktor Pencetus
85
4.3.2 Tujuan 2: Pemahaman Partisipan dan Keluarga tentang Penanganan Fisik pada Serangan Asma. 4.3.2.1 Kategori Penanganan Fisik 1. Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik (Sub Tema: a) Pasangan Hidup; b) Saudara) a. Pasangan Hidup Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pasangan hidupnya merupakan orang terdekat dalam hidupnya dan selalu mengambil langkah penting yang pertama ketika partisipan mengalami serangan asma. Diungkapkan keempatnya langkah penting yang dimaksud yang dapat meringankan gejala saat serangan adalah penanganan secara fisik berupa massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada, punggung/seluruh tubuh. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluarga dalam hal ini pasangan hidup yang selalu berperan memberikan terapi fisik pada partisipan saat serangan: “...suami saya yang mijeti (memijat/melakukan massage) saya saat serangan mbak... .”(P1) “...biasane istri kulo bertindak mijeti, ngeroki ngoten pas kimat mbak (biasanya istri yang memijat saat saya kambuh mbak)... .”(P2) “...suami biasane sing sregep mijeti kula pas kimat mbak (suami saya orangnya telaten memijat saya pas kambuh mbak)... .”(P3) “...istri saya yang menolong pertama kali saat saya kambuh, saya dipijat di dada,punggung,kening dan telapak kaki mbak... .”(P4)
86
Seluruh
partisipan
mengungkapkan
bahwa
pasangan
hidup
(suami/istri)nya adalah orang yang berperan penting dan selalu ambil bagian memberikan penanganan fisik saat partisipan mengalami serangan asma b. Saudara Selain pasangan hidupnya, kadang-kadang saudara juga merupakan keluarga terdekat yang juga turut ambil bagian ketika partisipan mengalami serangan. Diungkapkan oleh dua partisipan bahwa saudara juga merupakan orang yang peduli saat serangan, yaitu dengan melakukan massage ringan dengan minyak kayu putih pada dada dan punggung/seluruh tubuh saat partisipan mengalami srangan asma. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai saudara yang juga turut berperan memberi penanganan fisik saat serangan asma: “...mbak kulo nggih bertindak sok mijeti ngoten mbak (kakak saya kadang-kadang juga bertindak dengan memijat saya mbak)... .”(P2) “...yen mboten kadang – kadang nggih adik kula sing mijeti mbak (kadang-kadang adik juga memijat saya mbak) ... .”(P3)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa saudara terdekat juga merupakan orang yang berperan memberikan penanganan fisik saat partisipan mengalami serangan asma. Dua partisipan lainnya tidak mengungkapkan hal serupa, karena bertempat tinggal agak jauh dari saudaranya.
87
Pasangan Hidup
Penanganan Fisik
Peran Keluarga Dalam Penanganan Fisik
Saudara
4.3.2.1 Skema Tema Peran Keluarga Pada Penanganan Fisik
2. Tema Metode Penanganan Fisik (Sub Tema: a) “Kerokan”; b) Massage) 4.3.2.2.1
Kerokan Cara
tradisional
yang
maknanya
sama
dengan
memijat/massage dikenal masyarakat dengan istilah “kerokan”. Pada orang-orang tertentu “kerokan” diyakini mampu mengurangi atau bahkan menyembuhkan suatu keluhan, termasuk keluhan/gejala yang timbul saat serangan asma. Dua partisipan mengungkapkan bahwa “kerokan” merupakan salah satu metode penanganan fisik pilihan untuk mengurangi gejala saat mengalami serangan asma Berikut ungkapan dari partisipan mengenai kerokan sebagai metode penanganan fisik oleh keluarga terhadap partisipan saat mengalami serangan asma:
88
“... yang dilakukan suami saat saya serangan adalah ngeroki saya pakai minyak kayu putih mbak... .”(P1) “... yen pas kimat kula dikeroki sak awak niki mbak (bila mengalami serangan saya di”keroki” pada seluruh tubuh mbak)... .”(P2)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa metode tradisional “kerokan” merupakan salah satu metode pilihan pertama yang dipilih saat partisipan mengalami serangan asma. Dua partisipan lain memilih metode penanganan fisik yang lain yang diyakini mampu meringankan gejala saat partisipan mengalami serangan asma. b. Massage Keempat pasien mengungkapkan bahwa penanganan fisik saat mengalami serangan dengn massage ringan pada dada dan punggung/seluruh tubuh dengan menggunakan minyak kayu putih adalah penanganan awal pilihan yang diyakini efektif mengurangi gejala saat serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai massage sebagai metode penanganan fisik oleh keluarga terhadap partisipan saat mengalami serangan asma:
“...suami mijeti (memijat) dada dan punggung saya dengan minyak kayu putih mbak ... .”(P1) “...dipijeti nggen punggung, dada, iga, pilingan, ngangge minyak kayu putih ngaten mbak (dipijat pada dada, iga, kening dengan minyak kayu putih)... .”(P2)
89
“...dipijet nggen bagian belakang niki, nggen punggung nggih dipliriti ngangge minyak kayu putih (dipijat di bagian belakang dan punggung dengan minyak kayu putih)... .”(P3) “...dipijat pada kening, dada, punggung, iga, telapak kaki pakai minyak kayu putih mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa massage dengan minyak kayu putih terutama pada area dada dan punggung merupakan
metode
pilihan yang diyakini mampu mengurangi
gejala saat partisipan mengalami serangan asma.
“Kerokan”
Penanganan Fisik
Metode Penanganan Fisik
Massage
4.3.2.2 Skema Tema Metode Penanganan Fisik
3.
Tema Efek Penanganan Fisik (Sub Tema: a) Sesak Napas Berkurang; b) Pernapasan Longgar ; c) Tubuh Hangat; d) Penurunan Tingkat Stress ) a.
Sesak Napas Berkurang
90
Penanganan fisik berupa massage ringan pada dada, punggung/seluruh diungkapkan
tubuh
oleh
dengan
keempat
minyak
partisipan
kayu
sebagai
putih metode
penanganan fisik yang efektif untuk mengurangi gejala saat serangan. Cara ini diakui keempatnya mampu memberikan efek mengurangi sesak napas pada saat serangan. Berikut
ungkapan
dari
partisipan
mengenai
berkurangnya sesak napas setelah mendapat penanganan fisik oleh keluarganya: “...sesek (sesak napas) berkurang mbak ... .”(P1) “...raose sesek sudo mbak (rasa sesak napas berkurang mbak)... .”(P2) “...sesekipun nggih sudo mbak (sesak napas juga berkurang)... .”(P3) “...sesak napas berkurang mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa efek dari penanganan fisik yang dilakukan keluarga saat serangan adalah mampu mengurangi keluhan sesak napas.
b. Pernapasan Longgar Penanganan
fisik
berupa
massage
punggung/seluruh
tubuh
dengan
minyak
dada kayu
dan putih
diungkapkan tiga partisipan merupakan metode penanganan
91
fisik pada pasien asma yang memberikan efek melonggarkan pernapasan saat serangan. Berikut
ungkapan
dari
partisipan
mengenai
“longgarnya” pernapasan setelah mendapat penanganan fisik oleh keluarganya saat mengalami serangan asma:
“...napas nggih dados “longgar” mbak (napas menjadi longgar mbak)... .”(P1)
“...napas kulo dados longgar mbak (napas saya menjadi longgar mbak)... .”(P3) “...dada dan napas terasa longgar mbak... .”(P4) Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa efek dari penanganan fisik yang diberikan saat serangan dapat membantu lainnya
me”longgar”kan mengungkapkan
pernapasan. berkurangnya
Satu gejala
partisipan setelah
penanganan fisik dengan istilah yang lain.
c.
Tubuh Hangat Minyak kayu putih merupakan salah satu media/bahan untuk melakukan massage pada dada dan punggung/seluruh tubuh pada pasien asma saat serangan. Dua partisipan
92
mengungkapkan bahwa efek penggunaan minyak kayu putih tersebut adalah sensasi rasa hangat pada tubuh. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perasaan hangat pada tubuh setelah mendapat penanganan fisik oleh keluarganya saat serangan asma: “...sak awak niki raose anget mbak (seluruh tubuh terasa hangat mbak)... .”(P2) “...tubuh terasa hangat... .”(P4) Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan rasa hangat pada tubuh setelah dilakukan massage dengan minyak kayu putih. Dua partisipan lainnya mengungkapkan dengan karakteristik yang lain. d.
Penurunan Tingkat Stress Penanganan fisik saat serangan asma tidak saja berpengaruh pada relaksasi fisik tetapi juga akan merelaksasi mental sehingga stress saat serangan juga berkurang. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai berkurangnya stress setelah mendapat penanganan fisik oleh keluarganya saat serangan asma: “...yen bar dipijet nggen pilingan niki raose stess kula nggih ical mbak (setelah dipijat pada kening stress saya terasa hilang mbak)... .”(P2)
93
“...bar dipijet ngoten stress kula juga berkurang mbak (setelah dipijat stress saya juga berkurang mbak)... .”(P4)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa penanganan fisik yang dilakukan oleh keluarga saat partisipan mengalami serangan juga mampu mengurangi stress yang menyertai serangan asma.
Sesak Napas Berkurang
Pernapasan “longgar”
Penanganan Fisik
Efek Penanganan Fisik
Tubuh Hangat
Penurunan Tingkat Stress
4.3.2.3 Skema Tema Efek Penanganan Fisik
4.3.3 Tujuan 3: Mengetahui Pemahaman Partisipan dan Keluarga tentang Penanganan Supportif pada Serangan Asma. 4.3.3.1
Kategori Penanganan Supportif
94
1. Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif (Sub Tema: a) Pasangan Hidup; b) Ibu) a. Pasangan Hidup Pasangan hidup (suami/istri) sebagai orang terdekat dalam hidup partisipan merupakan orang penting yang supportnya sangat dinantikan oleh partisipan terutama saat serangan. Support dari pasangn hidup bermakna secara psikologis mengurangi kecemasan dan membuat perasaan tenang saat menghadapi serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai keluarga yang berperan memberikan penanganan supportif (support psikologis) kepada partisipan saat mengalami serangan asma :
“...jelas ada mbak, suami saya selalu menunggui dan menasehati saya untuk tenang dan mengendalikan napas saat serangan... .”(P1) “...nggih mbak, suami kulo biasane yen pas kimat ngrencangi kalih ngandhan – ngandhani kula (ya mbak, pada saat serangan biasanya suami saya menemani dan menasehati/memotivasi saya)... .”(P2) “...suami saya sinambi mijeti biasane kalih ngandhani ken tenang, mboten panik mbak (sambil memijat biasanya suami saya memotivasi saya untuk tenang dan tidak panik mbak)... .”(P3) “...nggih mbak (ya mbak), biasanya istri saya yang menasehati untuk tenang pas kambuh... .”(P4) Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa pasangan hidup (suami/istri)nya merupakan orang yang berperan penting dalam memberikan support secara psikologis saat mengalami serangan
95
asma. Support mental tersebut diyakini seluruh partisipan mampu memberikan efek mengurangi gejala saat serangan asma. c. Ibu Ibu merupakan orang yang paling mengerti bagaimana dan bagaimana harus menangani anaknyasaat serangan. Meskipun telah dewasa dan berkeluarga support dari ibu juga merupakan hal yang dinantikan partisipan untuk dapat menenangkan saat mengalami serangan.
“...ibu saya itu orangnya cukup sabar menunggui menenangkan saya saat serangan mbak.. .”(P1)
dan
“...ibu kula mbak, ngandhani kula supados mboten panik mbak (ibu memotivasi saya supaya tidak panik mbak)... .”(P3)
Terdapat dua partisipan yang mengungkapkan bahwa ibu juga merupakan orang yang berperan memberikan support saat partisipan mengalami serangan asma, sehingga partisipan merasa tenang dan gejala saat serangan berkurang.
96
Pasangan Hidup
Penanganan Supportif
Peran Keluarga pada Penanganan Supportif
Ibu
4.3.3.1 Skema Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif
2.
Tema Metode Penanganan Supportif (Sub Tema: a) Support untuk Tenang; b) Support untuk Pengendalian Pernapasan) a. Support untuk Tenang Support
untuk
tenang
dari
keluarga
merupakan
metode/bentuk support yang sangat diharapkan oleh partisipan saat mengalami serangan karena dengan support tersebut partisipan merasa ada empati dari keluarga yang hal tersebut dapat mengurangi kepanikan saat serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai support dari keluarganya untuk tenang saat mengalami serangan asma:
97
“...suami saya sambil mijiti juga memotivasi saya untuk tenang mbak... .”(P1) “...kalih dikandhani supados mboten panik mbak (juga dinasehati supaya tidak panik mbak)... .”(P2) “...dikandhani supados nyantai mawon, ampun panik, ampun stress ngoten mbak (dinasehati supaya santai saja, tidak panik, tidak stress, seperti itu mbak) ... .”(P3) “...istri bilang jangan stress pak, jangan panik.. .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan support dari keluarga untuk tenang saat serangan asma merupakan support yang mampu memberikan motivasi dan efek ketenangan jiwa dan tidak panik saat partisipan mmengalami serangan asma. b. Support untuk Pengendalian Pernapasan Saat serangan asma yang terjadi adalah peningkatan kerja otot pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan menimbulkan sesak napas yang teramat sangat. Dengan support dari keluarga untuk tetap mengendalikan pernapasan saat serangan, maka hal tersebut akan memotivasi partisipan untuk tetap mengendalikan pernapasan meskipun dalam keadaan menghadapi serangan. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai support dari keluarganya untuk mengendalikan pernapasan saat serangan asma: “...supados ngatur napas ngoten mbak (supaya pernapasan begitu mbak)... .”(P2)
mengatur
98
“...ngaken kula supaya mengatur napas mbak (memotivasi saya supaya mengatur napas mbak)... .”(P3) “...napasnya diatur ngoten niku mbak (napasnya diatur, seperti itu mbak)... .”(P4)
Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa pada saat serangan asma terjadi keluarganya selalu memberikan support agar pernapasannya sedapat mungkin dikendalikan agar gejala yang timbul saat serangan berkurang. Satu partisipan lainnya mengungkapkan metode atau bentuk support yang lain.
Support untuk tenang
Penanganan Supportif
Metode Penanganan Supportif
Support untuk Pengendalian Pernapasan
4.3.3.2 Skema Tema Metode Penanganan Supportif
99
3. Tema Efek Penanganan Supportif (Sub Tema: a) Ketenangan; b) Sesak Napas Berkurang; c) Pernapasan Terkendali): a. Ketenangan Support dari keluarga untuk selalu tenang saat mengalami serangan akan memberikan efek
perasaan
menjadi tenang,
merasa tidak sendiri, stress dan juga rasa panik berkurang. Berikut ungkapan dari partisipan mengenai perasaan lebih tenang apabila secara psikologis keluarga memberikan support saat partisipan mengalami serangan asma: “...rasanya saya ayem (tenang) mbak, tidak panik lagi... .”(P1) “...rasanya saya tenang mbak, panike ical (hilang paniknya)... .”(P2) “...raose mboten stress malih mbak, mboten panik ngaten (rasanya tidak stress lagi mbak, tidak panik juga)... .”(P3) “...rasanya saya tenang dan juga tidak panik mbak... .”(P4)
Seluruh
partisipan
mengungkapkan
bahwa
support
psikologis dari keluarga saat partisipan mengalami serangan akan memberikan efek perasaan tenang dan mengurangi kepanikan, sehingga gejala yang timbul saat serangan asma juga berkurang.
b. Sesak Napas Berkurang
100
Support secara psikologis dari keluarga juga merupakan hal yang berarti pada partisipan saat mengalami serangan, karena juga akan memberikan efek berkurangnya keluhan sesak napas. Berikut
ungkapan
dari
partisipan
mengenai
berkurangnya sesak napas apabila keluarga memberikan support psikologis saat partisipan mengalami serangan asma:
“...sesak napas rasanya juga berkurang mbak... .”(P1) “...sesak napas terasa berkurang mbak... .”(P2) “...seseke raose nggih sudo mbak (rasa sesak napas juga berkurang mbak)... .”(P3) “...sesak napas terasa berkurang mbak... .”(P4)
Seluruh partisipan mengungkapkan bahwa support dari keluarga saat partisipan mengalami serangan asma mampu memberikan efek mengurangi sesak napas sebagai salah satu gejala yang muncul saat terjdi serangan asma.
c.
Pernapasan Terkendali Efek lain support psikologis dari keluarga adalah terkendalinya frekuensi pernapasan saat serangan. Dengan support
tersebut
partisipan
termotivasi
untuk
dapat
mengendalikan pernapasan saat serangan meskipun terasa sangat sesak.
101
Berikut terkendalinya
ungkapan
pernapasan
dari
apabila
partisipan
mengenai
mendapatkan
support
psikologis dari keluarganya saat mengalami serangan asma: “...rasane (rasanya) napas terkendali mbak... .”(P1) “...gek napas niki rumaos kula nggih terus saget diatur mbak (rasanya napas ini juga bisa diatur mbak)... .”(P3) “...napas bisa dikendalikan mbak... .”(P4) Terdapat tiga partisipan yang mengungkapkan bahwa support psikologis dari keluarga saat serangan asma dapat memberikan efek terkendalinya pernapasan yang tidak teratur. Satu partisipan lain mengungkapkan dengan ungkapan sesak napas yang berkurang
Ketenangan
Sesak napas berkurang
Penanganan Supportif
Efek Penanganan Supportif
Pernapasan Terkendali
4.3.3.3 Skema Tema Efek Penanganan Supportif
BAB V PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang perbandingan hasil penelitian dengan teori. Pembahasan mengarah pada hasil yang didapat dan analisa serta pemecahan masalah. Dalam bab ini juga diungkapkan masalah – masalah yang ditemui pada pasien dengan asma bronkiale pada dimensi penanganan awal secara
non
farmakologis saat mengalami serangan sesuai hasil penelitian dengan teori dan hasil penelitian terdahulu pada tema yang sama. 5.1
Tujuan 1: Pemahaman partisipan tentang penyakit asma bronkiale
5.1.1 Kategori Pengetahuan 5.1.1.1 Tema Pengertian Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pengertian asma bronkiale adalah suatu gangguan pada pernapasan yang ditandai dengan adanya keluhan sesak napas, terdapat bunyi khas yang secara awam disebut “mengi” dan pernapasan dirasakan terengah – engah. Pemahaman partisipan tentang pengertian asma ini penting untuk diketahui oleh partisipan dan keluarganya, karena dengan pemahaman terhadap pengertian asma maka hal ini akan membantu partisipan dan keluarga untuk mengambil langkah penanganan awal apabila sewaktu-waktu mengalami kondisi tersebut.
102
103
Pernyataan partisipan tentang pengertian asma ini sesuai dengan teori menurut Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa secara klinis pengertian asma adalah suatu serangan dengan sesak napas yang disertai dengan suara napas
“mengi” (wheezing/wheeze), yang dapat timbul
sewaktu – waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun hanya sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat – obatan tertentu/sifat reversibilitas. Teori lain yang menguatkan kesesuaian pernyataan partisipan tentang pengertian asma adalah teori menurut Sudoyo (2006), yang menyatakan bahwa asma adalah
penyempitan
saluran pernapasan yang bersifat progresif yang akan menimbulkan peningkatan kerja pernapasan yang dimanifestasikan dengan terdapatnya suara pernapasan wheezing. Pendapat lain yang tentang pengertian asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Vitahelt dalam Monalisa (2012), yang menyatakan bahwa serangan asma merupakan suatu kondisi terganggunya saluran pernapasan yang dimulai dengan adanya batuk dengan atau tanpa pilek dan gejala tersebut terkait erat dengan munculnya keluhan sesak napas, bunyi “mengi”, tarikan dinding dada sampai dengan sianosis. Pendapat tentang pengertian asma yang juga sesuai dengan pernyataan
seluruh
partisipan
Setyoningsih (2008), yang
adalah
pendapat
Fahrani
dalam
menyimpulkan bahwa asma adalah suatu
kondisi ketidaknormalan pada saluran pernapasan penderita asma pada
104
saat serangan yang dikarakteristikkan dengan adanya gejala wheezing, sesak napas, obstruksi jalan napas dan peningkatan respirasi. Pemahaman partisipan tentang pengertian asma tidak hanya penting dalam mengambil langkah penanganan saat terjadi serangan agar tidak semakin memburuk tetapi dengan pemahaman ini kesadaran partisipan pada kondisinya meningkat dan juga dapat menjadikan pengetahuan bagi partisipan dan keluarganya untuk mengambil langkah preventif dalam upaya mengurangi intensitas serangan. Dari pernyataan keempat partisipan dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami pengertian asma dan pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan tentang pengertian asma tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.1.1.2
Tema Tanda dan Gejala Keempat partisipan mengungkapkan bahwa pada saat mengalami serangan asma gejala yang timbul dikarakteristikkan dengan adanya batuk, sesak napas, sampai dengan kesulitan bernapas. Pemahaman partisipan tentang tanda dan gejala asma ini penting bagi partisipan dan keluarganya karena dengan memahami hal tersebut partisipan akan segera menyadari ketika sewaktu-waktu merasakan tanda dan gejala tersebut merupakan awal terjadinya serangan dan bagi keluarga partisipan dapat segera memberikan langkah penanganan yang tepat.
105
Pernyataan partisipan tentang tanda dan gejala asma ini sesuai dengan teori menurut Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa manifestasi klinis stadium dini serangan asma adalah batuk berdahak dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul dan belum ada wheezing tetapi bila meningkat pada stadium lanjut maka gejala yang timbul antara lain: batuk, ronchi, sesak napas, napas berat, wheezing, dada terasa tertekan, suara napas melemah, terjadi asidosis bahkan alkalosis respiratorik. Teori lain tentang tanda dan gejala asma yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah pendapat Sudoyo (2006), yang menyatakan bahwa pasien asma saat mengalami serangan akut maka pada saluran pernapasannya hiperinflasi
akan
terjadi
pulmonar
dan
peningkatan obstruksi
resistensi
jalan
napas
aliran
udara,
dan
sebagai
konsekuensinya maka akan menimbulkan gejla peningkatan kerja otot pernapasan, kelelahan otot- otot pernapasan, sesak napas sampai dengan kesulitan bernapas. Pendapat tentang tanda dan gejala asma yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Tonsman dalam Monalisa (2012), yang menyatakan bahwa gejala asma dimulai dengan timbulnya gejala batuk dengan atau tanpa pilek, sesak napas, bunyi “mengi” dan tarikan dinding dada sampai dengan sianosis sehingga mengakibatkan pasien kesulitan bernapas. Satu pendapat lain tentang tanda dan gejala asma yang menguatkan kesesuaian pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa
106
gejala yang muncul saat serangan asma diakibatkan oleh penyempitan otot pernapasan yang ditandai dengan adanya keluhan sesak napas, wheezing sampai kesulitan bernapas. Pemahaman partisipan tentang tanda dan gejala asma ini merupakan hal penting yang perlu untuk ditingkatkan karena dengn pemahaman pada hal tersebut partisipan dapat melaukan langkah preventif agar tidak timbul tanda dan gejala yang demikian sebagai tanda terjadinya serangan dan bagi keluarga pemahaman ini juga penting karena apabila sewaktu-waktu muncul tanda dan gejala tersebut
keluarga dapat segera
menentukan metode apa dan sejauh mana penanganan terhadap partisipan akan dilakukan. Dari ungkapan keempat partisipan maka dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami tanda dan gejala asma dan pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan tentang tanda dan gejala tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma.
5.1.1.3 Tema Waktu Pertama Mengalami Serangan Asma Keempat partisipan mengungkapkan bahwa waktu pertama kali terdeteksi terkena asma adalah sejak mereka masih kecil. Ungkapan keempat partisipan tersebut diperkuat oleh pernyataan keluarga terdekat (ibu atau saudaranya) yang menyatakan hal serupa. Melihat ungkapan keempatnya tentang hal ini, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan mendapatkan serangan pertama asma pada rentang usia 5- 6
107
tahun. Ungkapan seluruh partisipan tentang waktu pertama mengalami serangan asma ini sesuai dengan teori Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa serangan pertama dapat timbul pada masa kanakkanak sampai masa setengah umur. Teori lain tentang waktu pertama mengalami serangan asma yang sesuai dengan ungkapan seluruh partisipan adalah pendapat menurut Sudoyo (2006), yang menyatakan bahwa adanya episode serangan pertama asma berdasarkan kriteria usia dapat diklasifiksikan berdasarkan kriteria usia pada masa anak – anak. Menurut Sudoyo (2006), klasifikasi episode serangan pertama asma berdasarkan kriteria usia pada masa anak-anak adalah sebagai berikut: episode jarang, ditemukan pada usia 3-6 tahun, 70-75% dari populasi asma pada anak, episode sering, serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun dan permulaan serangan terjadi pada usia 5-6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi dan pada episode kronik persisten, 25% serangan pertama terjadi sebelum anak berusia 6 bulan, 75% sebelum usia 3 tahun serta 50% mendapat serangan asma secara episodik pada dua tahun pertama dan hampir selalu terjadi “mengi” setiap hari. Kesadaran dan pemahaman partisipan tentang waktu pertama kalinya mengalami serangan asma merupakan pengetahuan yang penting untuk semakin disadari karena dengan memahami dan menyadari bahwa sejak kecil telah mengetahui bahwa mereka merupakan penderita asma, maka perilaku hidup maupun hal-hal yang
108
sekiranya sejak dulu dapat menimbulkan serangan asma dapat dihindari dan cara/metode yang efektif dalam penanganan saat serangan dapat dilanjutkan hingga sekarang. Dari pernyataan keempat partisipan tentang waktu pertama mengalami serangan asma tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan mengalami serangan pertama asma pada rentang usia 5-6 tahun dan masuk pada kategori asma episodik sering (Sudoyo, 2006), dalam hal ini seluruh partisipan juga telah menyadari dan memahami bahwa mereka telah menderita asma sejak kecil dan pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan tentang waktu pertama mengalami serangan asma tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.1.1.4
Tema Faktor Pencetus Keempat partisipan mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya serangan asma antara lain: temperatur dingin, debu, asap/asap rokok, kelelahan fisik, emosi. Pernyataan seluruh partisipan tersebut sesuai dengan teori Danusantoso (2011), yang menyatakan bahwa asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik asma disebabkan oleh infeksi (virus, influensa, pneumonia, mycoplasmal) dan secara ekstrinsik asma disebabkan oleh faktor fisik (cuaca dingin, perubahan temperatur), polusi udara (CO, asap/asap rokok) dan faktor emosional. Pendapat lain tentang faktor pencetus asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat
Wong (2006), yang menyatakan bahwa
109
faktor predisposisi asma yang menimbulkan serangan antara lain: asap rokok, polusi udara, perubahan cuaca dan ekspresi emosi yang berlebihan. Pendapat lain tentang faktor pencetus asma yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah teori Musliha (2010), yang menyatakan bahwa faktor pencetus asma antara lain: faktor alergi (tungau, debu, polusi udara) dan ekspresi emosi yang berlebihan. Menurut Mangoen Prasodjo dalam Setyoningsih (2008), tentang faktor pencetus asma yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat yang menyatakan bahwa penerapan self management yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan normalisasi hidup pada penderita asma dipengaruhi oleh bagaimana seorang penderita asma mengenali faktor pencetus asma yang bersifat intrinsik (genetik, alergi) maupun faktor ekstrinsik (debu, polusi udara, emosi, asap rokok). Kesadaran partisipan tentang faktor-faktor yang dapat mencetuskan asmanya adalah pengetahuan penting yang sangat baik untuk ditingkatkan dan disadari oleh seluruh partisipan, karena dengan kesadaran tinggi akan hal ini partisipan dapat berhati-hati agar tidak terpapar pada faktor-faktor pencetus tersebut. Dari ungkapan keempat partisipan tentang faktor pencetus serangan asma tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami dan menyadari faktor apa saja yang dapat mencetuskan serangan asmanya dan pemahaman seluruh partisipan tentang faktor pencetus asma yang
110
diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.2 Tujuan 2: Pemahaman partisipan tentang tindakan non farmakologis secara fisik pada serangan asma. 5.2.1 Kategori Penanganan Fisik 5.2.1.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Fisik Keempat partisipan mengungkapkan bahwa keluarga dalam hal ini pasangan hidup (suami/istri) dan keluarga (saudara) merupakan orang yang berperan penting dalam memberikan penanganan fisik saat partisipan mengalami serangan asma. Pernyataan seluruh partisipan tersebut sesuai dengan teori menurut Wong (2008), yang menyatakan bahwa fisioterapi dada merupakan salah satu metode penanganan fisik pada pasien asma bronkiale saat mengalami serangan dan hal ini merupakan metode yang bisa dipelajari dan dilakukan oleh keluarga. Pendapat lain tentang peran keluarga yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa pengetahuan keluarga dalam memberikan penanganan fisik dan mendukung pasien asma saat mengalami serangan penting untuk dieksplorasi dan didiskusikan bersama pasien dan keluarga sehingga efektif untuk diterapkan dengan tujuan mengurangi intensitas serangan maupun pencegahan komplikasi. Pendapat lain tentang peran keluarga pada penanganan fisik asma adalah pendapat Shidartani dalam Monalisa (2012), yang menyatakan
111
tentang bahwa ibu merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam memberikan upaya penanganan non farmakologis baik secara fisik maupun psikologis saat anak menghadapi serangan. Pendapat tentang metode penanganan fisik pada asma yang juga sesuai dengan pernyataan partisipan adalah pendapat Fahrani dalam
Setyoningsih (2008), yang
menyatakan bahwa keluarga terdekat (suami, istri, saudara) merupakan orang yang berperan penting dan secara langsung membantu pasien dalam self management saat mengalami serangan asma baik secara fisik maupun psikologis. Kesadaran dan pengertian keluarga pada pasien asma tentang arti penting keterlibatan/perannya dalam menangani anggota keluarganya yang mengalami serangan asma perlu untuk semakin ditingkatkan, mengingat penanganan awal oleh keluarga saat serangan merupakan hal yang sangat menentukan dalam keberhasilan upaya penanganan asma dan mencegah keberlanjutan/semakin buruknya kondisi saat serangan. Berdasarkan pernyataan keempat partisipan tentang peran keluarga ini maka dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan dan keluarganya telah menyadari
arti penting peran keluarga dalam
memberikan penanganan fisik saat serangan. Pemahaman keempat partisipan tentang peran keluarga pada penanganan fisik saat serangan yang diungkapkan melalui pernyataan seluruh partisipan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.2.1.2 Tema Metode Penanganan Fisik
112
Keempat partisipan mengungkapkan bahwa metode penanganan fisik pilihan saat mengalami serangan asma adalah dengan “kerokan” dan massage ringan pada dada dan punggung atau seluruh tubuh dengan menggunakan minyak kayu putih/minyak lain yang memberikan sensasi rasa hangat. Pernyataan seluruh pasien tentang hal tersebut sesuai dengan pendapat Rengganis (2008), yang menyatakan bahwa penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi dua secara farmakologis dan non farmakologis (fisik dan psikologis) dan juga teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa fisioterapi dada pada pasien asma dapat dilakukan dengan menggunakan minyak kayu putih dan dikombinasikan dengan inhalasi, latihan batuk dan breathing exercise. Menurut Dessianti (2015),
saat serangan asma dibutuhkan
tindakan massage dengan media zat yang bersifat memberi relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan. Kondisi distress pernapasan, yaitu kondisi di mana orang menderita ketidaknyamanan pada saluran pernapasan, seperti pada serangan asma seseorang dapat menggunakan manfaat minyak kayu putih untuk mendapatkan bantuan untuk meringankan rasa sesak pada dada serta hidung
tersumbat.
Minyak
kayu
putih
juga
membantu
dalam
menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan
bantuan
ekstra.
Kemudian
juga
memberikan
efek
menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih
113
dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang bersifat memberikan sebagai relaksasi otot sehingga dapat mengurangi penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad, 2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, “kerokan” yang di masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma, maka proses yang terjadi adalah ketika “kerokan” pinggiran uang logam menggores permukaan kulit. Kondisi ini yang membuat panas tubuh berangsur turun. Goresan/pengerokan dengan pingiran uang logam tersebut mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Ternyata “kerokan” tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga sering di lakukan oleh orang-orang di negara asia lainnya, seperti di Vietnam menyebut “kerokan” sebagai "cao giodi", sedangkan di Kamboja menyebutnya "goh kyol", bahkan di China yang terkenal dengan akupunturnya menyebut “kerokan” dengan sebutan "gua sua", namun bedanya orang China memakai batu giok sebagai alat pengerok, bukan kepingan uang logam seperti yang umumnya dipakai oleh orang Indonesia. (Deimon, 2013). “Kerokan” ini pun dipercaya sebagai bukti nyata dalam perwujudan ilmu Einstein (E=MC2) yang menerangkan bahwa energi
114
muncul karena pergesekan dua benda. Jika permukaan tubuh kita digosokgosokan dengan tangan atau benda tumpul dengan cepat, maka suhu panas dalan tubuh akan meningkat. Karena meningkatnya panas dalam tubuh, maka akan terjadilah perlebaran pembuluh darah sehingga oksigenasi menjadi lebih baik karena peredaran darah kembali lancar dan rasa sakit ditubuhpun mereda. (Deimon, 2013). Prinsip “kerokan” menurut Dr. Koosnadi Saputra, Sp.R, akupunkturis klinik, mirip prinsip pemanasan dengan menggunakan moxa yang sering dipakai saat jarum akupunktur ditusukkan pada tubuh untuk mengatasi masuk angin. Prinsip ini juga tidak jauh berbeda dengan model terapi kop yang biasanya menggunakan alat seperti tanduk, gelas, karet, tabung bambu dan lain-lain. Di negeri asal teknik akupunktur, model terapi ini sudah resmi dipakai sebagai sarana penyembuhan. (Forumviva.co.id, 2011). Menurut
Mochtar
Wijayakusuma,
putra
Hembing
Wijayakusuma yang juga seorang akupunkturis, penelitian mengapa kerokan memiliki efek menyembuhkan juga pernah dilakukan di Universitas
Ghuan
Thou,
sebuah
universitas
terkenal
di
Cina.
(Forumviva.co.id 2011). Dengan terlalu sering kerokan muncul anggapan kulit rusak, pori-pori melebar,pembuluh darah pecah. Tetapi menurut penelitian yang ada dengan kerokan tidak ada kulit yang rusak ataupun pembuluh darah yang pecah. Tetapi terjadi pori-pori yang melebar. Melebarnya pori-pori ini justru membuat aliran darah lancar dan suplai
115
oksigen dalam darah jadi meningkat. Sehingga kulit ari juga akan terlepas seperti halnya saat luluran. Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa kadar endorfin orang-orang yang di”kerok” naik signifikan. Dengan adanya peningkatan endorfin ini membuat mereka nyaman, rasa sakit hilang termasuk seak napas pada asma, tubuh menjadi lebih segar, dan bersemangat. (sahabathawa.com, 2013) Teori lain tentang metode penanganan fisik pada serangan asma yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah pendapat Faishal (2007), yang menyatakan bahwa penggunaan minyak kayu putih dengan cara menggosok dada dan punggung efektif untuk membantu mengurangi gejala saat serangan asma, meringankan saluran pernapasan dan masalah lain yang terkait dengan pernapasan termasuk asma bronkiale. Pendapat terkait dengan metode penanganan fisik yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa upaya pengobatan untuk pasien asma bronkiale dengan minyak kayu putih. Penanganan fisik pada serangan asma yang salah satunya dengan massage ringan pada dada, punggung dan seluruh tubuh dengan minyak kayu putih merupakan upaya non farmakologis yang sering dipilih partisipan dan keluarganya untuk menangani saat terjadi serangan. Upaya dengan metode ini merupakan metode yang efektif dan praktis karena dapat langsung dilakukan oleh keluarga terdekat tanpa harus berpedoman dengan teori khusus, karena dengan minyak kayu putih, massage tersebut dapat memperlebar saluran pernapasan dan mencegah
116
obstruksi jalan napas, namun demikian keefektifan massage dengan cara tersebut akan semakin efektif dan efeknya akan lebih signifikan apabila pengetahuan keluarga ditingkatkan dan dilengkapi dengan fisioterapi dada. Berdasarkan pernyataan keempat partisipan tentang metode penanganan fisik tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa seluruh
partisipan dan keluarganya telah memahami cara memberikan penanganan awal secara fisik pada partisipan saat mengalami serangan asma. Pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan tentang metode penanganan fisik saat serangan tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.2.1.3 Tema Efek Penanganan Fisik Keempat partisipan mengungkapkan bahwa setelah dilakukan penanganan fisik (massage pada dada, punggung dan atau seluruh tubuh) pada saat mengalami serangan asma maka efek yang dirasakan adalah sesak napas berkurang, pernapasan menjadi longgar, tubuh terasa hangat dan tingkat stress menurun. Pernyataan seluruh partisipan tentang efek penanganan fisik tersebut sesuai dengan pendapat Wong (2008), yang menyatakan bahwa massage atau fisoterapi dada pada pasien asma bronkiale saat serangan akan memberikan efek berupa pengendalian pernapasan,
mencegah
inflamasi
berlebih
dan
secara
psikologis
mengurangi kecemasan. Dua teori lain tentang efek penanganan fisik (massage) pada serangan asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah
117
teori menurut Faishal (2007), yang menyatakan bahwa minyak kayu putih untuk
massage
pada
pasien
asma
bronkiale
berperan
sebagai
bronchodilator yang dapat memperlebar saluran penapasan, mengurangi obstruksi jalan napas, mengurangi sesak napas dan secara psikologis memberikan efek relaks. Satu teori lain tentang efek penanganan fisik yang sesuai dengan pernyataan partisipan adalah teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa penanganan fisik pada asma bronkiale berupa massage dan exercise berupa latihan bernapas dapat mengurangi gejala asma dan kepanikan. Pendapat yang lain tentang efek penanganan fisik pada asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Vitahelt dalam Monalisa (2012), menyatakan bahwa massage dada dengan minyak kayu putih pada pasien asma bronkiale saat mengalami serangan memberikan efek anti spasmodik sehingga mengurangi obstruksi jalan napas dan secara psikologis mampu mengurangi tingkat kecemasan/stress akibat serangan asma. Pengetahuan partisipan dan keluarga tentang sejauh mana efek penanganan fisik yang dilakukan pada saat serangan sangat baik untuk ditingkatkan, karena dengan memahami tentang hal tersebut maka bagi partisipan dapat menjadi sesuatu yang menimbulkan afirmasi positif, yaitu partisipan akan berasumsi dan tertanam dalam pemikirannya bahwa massage akan memperingan gejala yang timbul pada saat mengalami serangan. Selain itu bagi keluarga partisipan hal ini juga akan
118
menimbulkan keberanian untuk segera memberikan penanganan fisik apabila partisipan mengalami serangan. Minyak kayu putih dapat membantu dalam menyingkirkan lendir serta membantu mengencerkan dahak, sehingga memberikan bantuan ekstra. Kemudian juga memberikan efek menenangkan pada rongga hidung, sehingga udara yang terasa dingin dan hidung tersumbat akan segera teratasi. Campuran minyak kayu putih dengan air hangat juga dapat digunakan sebagai inhalan atau dioleskan pada hidung, leher, dan tengkuk sehingga melonggarkan pernapasan. Pada serangan asma dibutuhkan zat yang terkandung dalam minyak kayu putih yang bersifat memberikan
sebagai
relaksasi
otot
sehingga
dapat
mengurangi
penyempitan pada saluran udara di saluran pernapasan (Ahmad, 2013). Menurut Masyoel dalam Nafiah 2013, efek “kerokan” yang di masyarakat awam diyakini juga mampu meringankan gejala saat terjadi serangan asma, goresan pinggir uang logm permukaan kulit. membuat panas tubuh berangsur turun. Goresan/pengerokan tersebut mekanismenya seperti pemijatan, sehingga membuat rasa nyeri dan pegal, pusing, sesak napas termasuk pada asma berangsur hilang jika di sertai dengan istirahat yang cukup. Berdasarkan
ungkapan
keempat
partisipan
tentang
efek
penanganan fisik tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh partisipan telah memahami tentang arti penting dan efek dari metode penanganan fisik berupa massage ringan pada dada dan “kerokan” pada punggung serta
119
seluruh tubuh saat serangan. Pemahaman seluruh partisipan yang diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma. 5.3 Tujuan 3: Pemahaman partisipan tentang penanganan non farmakologis secara psikologis/tindakan supportif pada serangan asma. 5.3.1 Kategori Penanganan Supportif 5.3.1.1 Tema Peran Keluarga pada Penanganan Supportif Keempat partisipan mengungkapkan bahwa keluarga yang berperan memberikan penanganan supportif/dukungan psikologis saat mengalami serangan asma adalah pasangan hidupnya (suami/istri). Dua partisipan mengungkapkan bahwa selain pasangan hidupnya, ibu juga merupakan
orang
yang
turut
mengambil
peran
memberikan
support/dukungan psikologis saat mengalami serangan. Pernyataan seluruh
partisipan
tentang
keluarga
yang
berperan
memberikan
penanganan supportif saat serangan tersebut sesuai dengan teori menurut Wong (2008), yang menyatakan bahwa fisioterapi dada penting dilakukan keluarga saat pasien asma bronkiale mengalami serangan dan tindakan tersebut tidak hanya memberikan efek relaksasi pada fisik tetapi juga merelaksasi mental. Teori lain tentang efek penanganan fisik pada asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa keluarga berperan penting dalam menentukan pilihan terapi atau penanganan baik secara fisik maupun
120
mental pada pasien asma bronkiale saat mengalami serangan asma, yang penanganan tersebut akan meringankan gejala saat serangan. Pendapat Mangoen Prasodjo dalam Monalisa (2012), tentang peran keluarga pada efek penanganan fisik yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah ibu merupakan orang yang paling bertanggung jawab dalam memberikan perawatan asma pada anak mereka. Pendapat yang lain tentang hal tersebut yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Fahrani dalam Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam pengendalian stress dan emosi saat mengalami serangan sehingga gejala yang muncul tidak semakin parah. Peran keluarga pada penanganan supportif saat partisipan mengalami serangan asma sangat penting untuk diketahui, ditingkatkan dan dimotivasi, karena support dari keluarga terdekat sebagai orang yang paling dapat memahami partisipan akan memberikan arti dan efek berupa relaksasi secara mental maupun fisik, sehingga diharapkan dengan upaya tersebut gejala yang muncul saat serangan akan berkurang dan mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk.
5.3.1.2 Tema Metode Penanganan Supportif Keempat partisipan mengungkapkan bahwa saat mengalami serangan asma maka keluarga sebagai orang terdekat selalu memberikan support/dukungan psikologis untuk tetap tenang menghadapi serangan dan
121
sedapat mungkin mengendalikan pernapasan. Ungkapan seluruh partisipan tentang efek dari penanganan supportif saat serangan asma tersebut sesuai dengan teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa tindakan pertama yang dianjurkan untuk menangani pasien asma bronkiale adalah dengan menenangkan penderita, membantunya untuk duduk dan beristirahat, melakukan fisioterapi dada, memberikan posisi nyaman dan memberi support untuk melakukan latihan/pengendalian asma. Pendapat lain tentang metode pananganan supportif tersebut yang juga sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut Wong (2008), yang menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada fisioterapi dada adalah melatih/memberi support untuk bernapas dan mengendalikan napas yang keduanya dapat mencegah inflamasi berlebih dan efektifitas batuk. Pendapat tentang metode penanganan supportif yang sesuai dengan pernyataan
seluruh
partisipan
adalah
pendapat
Tonsman
dalam
Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa secara psikologis keluarga merupakan faktor penting yang membantu pasien asma dalam hal self management pada saat mendapatkan serangan, dalam hal ini yang dimaksud adalah pengendalian stress dan emosi pada saat serangan sehingga gejala yang muncul pada saat serangan tidak semakin parah. Pengetahuan tentang metode penanganan supportif tersebut penting ditingkatkan bagi keluarga partisipan asma, karena dengan demikian pada saat
partisipan
mengalami
serangan
keluarga
sedapat
mungkin
mendampingi dan berempati terhadap gejala yang dirasakan partisipan
122
dengan terus memberinya support untuk tidak panik dan tetap mengendalikan pernapasan sehingga gejala yang muncul pada saat serangan dapat berkurang dan juga dapat mencegah terjadinya kondisi yang semakin memburuk. Secara psikologis penanganan awal serangan asma
adalah
pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, diberikan latihan relaksasi/support dengan kontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otototot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma, bila dalam kondisi biasa otot-otot tersebut bekerja begitu santai, maka ketika asma kambuh otot-otot pernapasan pada dinding thorak harus bekerja extra keras untuk membantu paru memompa udara keluar dari dalam paru agar segera berganti dengan udara yang baru. Itulah sebabnya support dari keluarga
sebagai
orang
terdekat
untuk
mengatur
napas
otot
perut/diafragma begitu dianjurkan bagi penderita asma, sebab support tersebut akan memberikan efek relaksasi secara mental dan selanjutnya kondisi tenang tersebut akan menurunkan frekuensi pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013).
123
Berdasarkan ungkapan keempat partisipan tentang metode pennganan supportif tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seluruh patisipan telah memahami dan mengakui bahwa support keluarga pada saat serangan sangat dibutuhkannya. Pemahaman keempat partisipan tentang peran keluarga pada penanganan supportif yang diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma.
5.3.1.2 Tema Efek Penanganan Supportif Keempat pasien mengungkapkan bahwa efek diberikannya penanganan supportif oleh keluarga adalah adanya ketenangan, tidak cemas/panik, sesak napas berkurang dan pernapasan juga dapat dikendalikan. Pernyataan seluruh partisipan tentang efek penanganan supportif tersebut sesuai dengan teori menurut Wong (2008), yang menyatakan bahwa efek psikologis dari fisioterapi dada adalah merelaksasi mental dan secara fisik memperkuat otot pernapasan, karena di dalam fisioterapi dada terdapat tindakan memberi support untuk melakukan latihan batuk dan breathing exercise yang keduanya dapat dilakukan keluarga saat mendampingi penderita asma yang mengalmi serangan. Teori lain tentang efek penanganan supportif pada pasien asma saat serangan yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah teori menurut Musliha (2010), yang menyatakan bahwa tindakan supportif
124
pertama oleh keluarga dalam membantu pasien asma saat mengalami serangan dapat dilakukan dengan cara menenangkan pasien, memberinya posisi nyaman dan memberi support untuk latihan napas. Tindakan tersebut diharapkan akan mampu memberikan ketenangan, mengurangi kepanikan dan mengendalikan pernapasan yang abnormal saat serangan. Pendapat yang lain tentang efek penanganan supportif pada serangan asma yang sesuai dengan pernyataan seluruh partisipan adalah pendapat Walujani dan Rahmawati dalam Setyoningsih (2008), yang menyatakan bahwa support keluarga dalam pengendalian stress dan emosi pasien asma pada saat mengalami serangan akan mampu mengurangi gejala yang muncul saat serangan sehingga penderita tenang dan dapat mengendalikan pernapasannya. Secara psikologis penanganan awal serangan asma
adalah
pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana menyikapinya, diberikan latihan relaksasi/support dengan kontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan sesak napas berkurang. (Musliha, 2010). Ketika ada gangguan dalam sistem pernapasan berupa batuk atau serangan asma, maka kinerja otototot pernapasan pada dinding thorak akan dibebani pekerjaan tambahan dengan frekuensi berkali lipat dari biasa berupa kontraksi berlebihan yang begitu keras saat batuk. Begitu juga yang terjadi pada penderita asma, support keluarga terhadap penderita asma untuk mengatur napas otot perut/diafragma begitu dianjurkan, sebab support tersebut akan membawa
125
kondisi tenang dan selanjutnya akan menurunkan frekuensi pernapasan yang meningkat saat serangan (Yudiono dalam Jakfisio, 2013). Kesadaran dan pengetahuan partisipan dan keluarganya terhadap efek penanganan supportif yang dilakukan keluarga pada saat serangan merpakan pengetahuan
penting untuk ditingkatkan, karena dengan
kesadaran keluarga untuk selalu bersedia memberi support saat partisipan mengalami
serangan
akan
membantu
partisipan
untuk
dapat
mengendalikan pernapasan, tetap tenang dan tidak stress saat serangan, dengan demikian gejala yang muncul saat serangan diharapkan akan berkurang dan tidak tidak semakin memperburuk keadaan. Pemahaman keempat partisipan tentang efek penanganan supportif yang diungkapkan melalui pernyataan tentang hal tersebut telah sesuai dengan teori tentang asma.
BAB VI PENUTUP
6.1
KESIMPULAN Berdasarkan analisa dari kata kunci yang telah didapatkan dalam penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa dari tujuan pertama yaitu pemahaman partisipan tentang penyakit asma bronkiale diperoleh kategori pengetahuan yang menghasilkan tema: a) pengertian (sub tema: sesak napas, “mengi”, terengah-engah); b) tanda dan gejala (sub tema: batuk, sesak napas, kesulitan bernapas); c) waktu pertama mengalami serangan asma (sub tema: sejak kecil); d) faktor pencetus (sub tema: temperatur dingin, debu, asap/asap rokok, kelemahan fisik, emosi) Berdasarkan tujuan kedua yaitu pemahaman keluarga tentang penanganan fisik pada serangan asma, diperoleh kategori penanganan fisik yang menghasilkan tema: a) peran keluarga pada penanganan fisik (sub tema: pasangan hidup, saudara); b) metode penanganan fisik (sub tema: “kerokan”, massage); c) efek penanganan fisik (sub tema: sesak napas berkurang, pernapasan “longgar”, tubuh hangat, penurunan tingkat stress) Berdasarkan tujuan ketiga yaitu pemahaman keluarga tentang penanganan supportif pada serangan asma, diperoleh kategori penanganan supportif yang menghasilkan tema: a) peran keluarga pada penanganan supportif (sub tema: pasangan hidup, ibu); b) metode penanganan supportif 126
127
(sub tema: support untuk tenang, support untuk pengendalian pernapasan); c) efek penanganan supportif (sub tema: tenang, sesak napas berkurang, pernapasan terkendali). 6.2
SARAN Saran bagi institusi pelayanan kesehatan/puskesmas rawat inap, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan/referensi untuk meningkatkan pengetahuan dan skill, khususnya bagi perawat komunitas pada tingkat pelayanan kesehatan dasar/puskesmas rawat inap, sehingga dapat diaplikasikan khususnya pada perawatan pasien asma bronkiale dengan metode
penanganan
non
farmakologis
baik
secara
fisik
(massage/fisioterapi dada) maupun secara psikologis (terapi supportif), tanpa mengesampingkan terapi farmakologis. Metode ini juga dapat diaplikasikan oleh perawat komunitas sebagai sarana dalam memberikan edukasi kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan asma bronkiale sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat pada pasien asma bronkiale pada saat serangan. Saran bagi institusi pendidikan keperawatan, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan/referensi untuk memperkaya materi pembelajaran asuhan keperawatan pada pasien asma bronkiale. Saran bagi peneliti, penelitian ini dapat menjadi motivator untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan skill peneliti dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien asma bronkiale saat mengalami serangan.
128
Saran untuk klien asma dan keluarganya,
penelitian ini dapat
meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan keluarga khususnya dalam pemberian terapi non farmakologis dalam memberi perawatan dan penanganan pasien asma bronkiale saat terjadi serangan di rumah. Keluarga juga dapat berperan memberikan edukasi atau berbagi pengalaman kepada keluarga lain yang mempunyai anggota keluarga dengan asma,
karena keluarga merupakan orang pertama yang
berhubungan langsung dengan klien sehingga perannya secara langsung pada saat serangan akan membantu klien asma menghadapi serangan dengan berbagai gejala yang timbul. Dengan upaya non farmakologis secara fisik maupun psikologis tersebut derajat keparahan asma berkurang dan dengan pengelolaan asma yang baik maka intensitas serangan juga berkurang sehingga normalisasi hidup dapat terpenuhi. Mengingat penelitian ini belum mampu mengungkap indikator pada kategori – kategori atau tema – tema lain yang terkait dengan aspek pada kehidupan klien dengan asma seperti kategori hubungan sosial (adanya keterbatasan fisik dan tingkat ketergantungan pada orang lain), maka diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hal ini dengan metode penelitian yang berbeda, misalnya dengan metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif dengan analisa data jalinan dikarenakan indikator – indikator tersebut membutuhkan observasi secara kontinyu dan mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2013). Manfaat Pijat Aromatherapi. Diakses tanggal 05 Agustus 2015 pukul 20.00 WIB dari http : //metropolitan.inilah.com/read/detail/12705/meringankan-asma denganpijat.html. Afiyanti, Y, Rachmawati, N.I. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Riset Keperawatan, Cetakan ke-1. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Danusantoso, Halim. (2011). Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 2, Jakarta:EGC 2 Dessianti. (2013). Pertolongan Pertama pada Penderita Asma. Diakses tanggal 06 Agustus 2015 dari www.Gejala Penyebab Sakit.blogspot.com/2015/03 Deimon. (2013). Khasiat dan Efek Samping Kerokan Ketika Masuk Angin. Diakses tanggal 06 Agustus 2015 pukul 16.00 WIB dari http://deimon.pun.bz/khasiat-dan-efek-samping-kerokan.html Faishal. (2007). Cara mengobati asma dengan aromatherapi. Diakses tanggal 18 Oktober 2014 pukul.20.45 WIB dari http : //www.carakhasiat.com/artikel.html. Faizatin, Nafiah (2013). Bahaya Kerokan bagi Kesehatan. Diakses tanggal 05 Agustus 2015 pukul 16.00 WIB dari http://juzmanggis.wordpress.com /2011/02/21/ kerokan-bahaya-bagi-penderita gangguan-jantung/html Forumviva. (2011). “Tips Masuk Angin dengan Kerokan”. Diakses tanggal 05 Agustus 2015 pukul 16.15 WIB dari http: //forum.viva.co.id/kesehatan/111643-tips-masuk-angin-dengan-kerokan.html GINA (Global Initiative for Astma). (2006). Klasifikasi Asma. Diakses tanggal 4 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB, dari www.Ginaastma.org.2006 GINA (Global Initiative for Astma). (2006). Pocket Guide for Astma Management and Prevension In Children. Diakses tanggal 4 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB dari www.Ginaastma.org.2006. Indah. (2011). “Khasiat dan Bahaya Kerokan”. Diakses tanggal 05 Agustus 2015 pukul 16.00 WIB dari http://www.beritaunik.net/unik-aneh/khasiat-danbahaya-kerokan.html Kavler, S. (2011). Doing Interviews, Thousand Oaks: Sage Publications
129
130
Monalisa (2012). Pengalaman Ibu Merawat Anak Penderita Asma yang Mengalami Kualitas Hidup. Diakses tanggal 28 September 2014, pukul 16.10 WIB dari www.indonesia.digitaljournalis.org. Muchid (2007). Buku Pharmauteceutical Care untuk Penyakit Asma, Edisi V, Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI. Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat, Edisi I, Yogyakarta: Nuha Medika. Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Polit, DF & Beck, CT. (2006). Essentials of Nursing Research Methods, Appraiseland Utilization, 6th Edition, Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia Polit, DF & Hungler, BP. (2005). Nursing Research: Principles and Methods, 6th Edition, Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia. Potter, PA & Perry, Ag. (2005). Fundamental of Nursing Concept, Process and Practice, 4th Edition, Mosby Company: St. Lo Rengganis, Iris. (2008): Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkiale. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 pukul 16.45 WIB, dari www.indonesia.digitaljournalis.org. RISKESDAS. (2013). Prevalensi Asma di Jawa Tengah. Diakses tanggal 28 September 2014, pukul 16.00 WIB, dari http://health.kompas.read/2012/05/09/02341280/Polusi. Sahabathawa. (2013). “Positif dan Negatif kerokan”. Diakses tanggal 05 Agustus 2015 pukul 16.35 WIB dari http://sahabathawa.com/positif-dan-negatifkerokan/html Saldana, J. (2009). The Coding Manual for Qualitative Researcher. Thousand Oaks: Sage Publications
Saryono & Anggraeni, MD. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika: Yogyakarta.
131
Setyoningsih, Mogar, Pajarani. (2008). Self Management Mahasiswa Penderita Asma yang Tinggal di Kost, Skripsi. Diakses tanggal 28 September 2014,pukul 16.10 WIB dari www.indonesia.digitaljournalis.org Sudoyo, W.Aru. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid II, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia: Jakarta Sugiyono. (2011). Memahami Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Alfabeta: Bandung Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Tori dan Penerapannya dalam Penelitian, Edisi Kedua, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta: Surakarta Taufik. (2009). Penatalaksanan Asma Masa Kini. Diakses tanggal 24 November 2014, pukul 16.35 WIB dari Yayanakhyar.files.wordpress.com 2009. Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwatz, P.(2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatric, Jakarta: EGC. Yudiono, Hekso. (2013). Terapi Pijat untuk Asma. Diakses tanggal 05 Agustus 2015pukul 11.00 WIB dari http://www.Jakfisio/public_html/wp_html/wpcontent/plugins/schreikasten/schreikasten.phponline 804.com Yunus,F. (2012). Polusi Tingkatkan Jumlah Penderita Asma, Diakses tanggal 28 September 2014 pukul.16.00 WIB, dari http://health.kompas.read / 2012 05/ 09/02341280/Polusi