PERAN KEPALA DISTRIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DISTRIK NABIRE KABUPATEN NABIRE Oleh : Rahmawan
Abstrak Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan ditentukan oleh kemampuan sumnber daya manusia aparatur, khusus di kabupaten nabire, distrik nabire, peneyelenggaraan pemerintahan distrik difokuskan pada peraturan bupati nomor 65 tahun 2009 tentang penjabaran tugas pokok dan fungsi Distrik Nabire Kabupaten Nabire yang menegaskan kewenangan kepala distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kepala distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan yang meliputi koordinasi dalam pemberdayaan masyarakat, koordinasi dalam pembinaan pemerintahan desa dan kelurahan, serta koordinasi terhadap kebutuhan di desa dan kelurahan. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat sebagai informan utama, serta aparat pemerintah kecamatan sebagai informan kunci yang dianggap mengetahui tentang peran kepala distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan di Distrik Nabire. Hasil dari tujuan ini menunjukkan bahwa peran kepala distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan di Distrik Nabire terbatas pada kewenangan kepala distrik itu sendiri, hal ini disebabkan karena adanya regulasi yang membatasi wilayah kewenangan kepala distrik berbeda dengan desa yang diberikan otonomi, sedangkan disrtik hanya sebatas pada koordinasi antara pemerintah yang ada di desa dan kelurahan dengan pemerintah kabupaten.
Kata Kunci: Peran, Kepala Distrik, Penyelenggaraan Pemerintahan.
I. Pendahuluan Dalam Struktur pemerintahan Indonesia setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diganti dengan Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah, Distrik mengalami suatu perubahan tentang kedudukannya dalam struktur pemerintahan dari Undang-undang sebelumnya. Pada Undang-undang yang terakhir sebelum Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah pada pasal 72 bahwa Distrik adalah Wilayah adminisratif, pada pasal 76 disebut bahwa Kepala Wilayah Distrik disebut dengan Kepala Distrik yang kalau kita teruskan pada pasal 80 menyatakan bahwa Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan, mengkoordinir pembangunan dan membina kehidupan masyarakat disegala bidang. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada pasal 66 ayat 1 menyebutkan bahwa Distrik merupakan perangkat Daerah Kabupaten/ Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Distrik, pada ayat 2 disbutkan bahwa Kepala Distrik disebut Kepala Distrik dan pada ayat 4 berbunyi Kepala Distrik menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota. Undang-undang No.32 tahun 2004 pada pasal 126 ayat 1 menyatakan bahwa Distrik dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah, ayat 2, Distrik sebagaimana dimaksud ayat 1 dipimpin oleh Kepala Distrik yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, disamping itu pada ayat 3 disebutkan selain tugas sebagaimana disebut pada ayat 2 Kepala Distrik juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Pada penjelasan pasal 126 ayat 1 dikatakan bahwa Distrik adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Dari Undang-undang yang dikemukakan diatas, terdapat perbedaan baik status Distrik maupun kedudukan Kepala Distrik dari waktu yanglalu,yang tentunya mempengaruhi terhadap apa yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Distrik menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berstatus sebagai Wilayah Administratif, yaitu merupakan tingkatan Wilayah
sebagai
perpanjangan
dari
Pemerintah
Pusat,
Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya/Kota Adminstratif. Kepala Distrik merupakan Kepala Wilayah yang memiliki kewenangan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan
umum dan sebagai Penguasa Tunggal dibidang pemerintahan, koordinasi pelaksanan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dalam UU No. 22 tahun 1999, Distrik merupakan perangkat daerah sama dengan perangkat daerah lainnya, yang kepalanya adalah Kepala Distrik, oleh karena itu pada hakekatnya Kepala Distrik hanya berkedudukan sebagai staf saja dilingkungan Pemerintah Daerah, kewenangannya sangat
tergantung
pada
pendelegasian
kewenangan
yang
diberikan
oleh
Bupati/Walikota. Kepala Distrik tidak memiliki kewenangan atributif tetapi hanya memiliki kewenangan delegatif. Dapat diartikan bahwa kewenangan Kepala Distrik sangat tergantung pada seberapa besar dan seberapa banyak kewenangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada Kepala Distrik. Pada dasarnya tidak ada kewenangan yang dapat
“memutuskan”
dan
“mengomandoi”,
hanya
“menyelenggarakan”
dan
“melaksanakan” serta “menyarankan”. Pada Undang-undang No. 32 tahun 2004, prinsip yang dianut oleh Undang-undang No. 22 tahun 1999 tetap dilanjutkan dengan penambahan berupa menyelenggarakan tugas umum pemerintahan berupa koordinasi pemberdayaan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum, penerapan dan penegakan peraturan perundang undangan, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; membina penyelenggaraan kegiatan pemerintahan desa atau kelurahan; melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa atau kelurahan. Hal yang sangat penting dikemukakan bahwa disebutkan pula Distrik adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah, artinya hanya menentukan lokasi tempat bekerja, tidak merupakan wilayah pemerintahan, yaitu batas kekuasaan ataupun kewenangan untuk mengatur dan memerintah. Dengan kata lain, bahwa Kepala Distrik bukan lagi merupakan Pimpinan/Kepala Pemerintahan, tetapi tidak lebih sebagai Pimpinan/Kepala Satuan Kerja ataupun Kepala Kantor. Perubahan perundang undangan yang di kemukakan diatas membawa pengaruh yang kurang baik terhadap eksistensi Distrik, dimana kewenangan yang dimilikinya tidak kuat dan bahkan ada yang tidak mempunyai kewenangan yang lebih terinci, sehingga Kepala Distrik beserta perangkatnya menjalankan tugas apa adanya dan sangat menggantungkan kepada apa yang diperintahkan oleh Bupati /Walikota. Sementara itu, hubungan Pemerintah Desa hanya bersifat koordinatif dan terkesan hanya basa basi, Kepala Distrik kurang berkompeten dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah
Desa, bahkan tidak jarang terjadi kepala desa tidak mematuhi/mengindahkan apa yang disarankan oleh Kepala Distrik (kepala desa menyampaikan laporan/pertanggung jawaban kepada Bupati melalui Kepala Distrik). Dari segi pelayanan yang akan dilaksanakan oleh Distrik terbatas, baik dari segi jenisnya maupun kualitas penyelesaiannya, masih banyak jenis pelayanan yang dilakukan di Kabupaten/kota dan tetap menjadi kewenangan kabupaten/kota, Distrik belum banyak yang dapat memberikan pelayanan yang tuntas, hanya baru bersifat antara. Dalam pada itu pengisian pimpinan Distrik tidak lagi mendasarkan kepada pertimbangan kompetensi atau profesional, banyak pimpinan Distrik diisi dari tenagatenaga yang kurang mengetahui tentang tekhnis penyelenggaraan pemerintahan, ataupun pengalaman kerja dibidang tersebut, pengisian jabatan Kepala Distrik disamakan saja pertimbangannya dengan pengisian perangkat daerah lainnya. Sangat berbeda pada waktu yang lalu, untuk menjadi Kepala Distrik ada pertmbangan khusus dari segi latar belakang ilmu/pendidikan/pelatihan serta pengalaman pekerjaannya.Hal ini dikarenakan pimpinan Distrik/Kepala Distrik tidak sekedar pimpinan unit kerja tetapi langsung menghadapi persoalan masyarakat dan membina masyarakat. Kemungkinan cara pengisian jabatan Kepala Distrik ini terjadi akibat dari kedudukan Kepala Distrik yang tidak lagi kepala pemerintahan tetapi kepala unit perangkat daerah. Masyarakat sampai saat ini,masih memandang Kepala Distrik tetap sebagai Kepala Pemerintahan. Pandangan masyarakat itu ada benarnya, karena dalam praktek di lapangan Kepala Distrik melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mencerminkan fungsi itu seperti
dalam
melakukan
pembinaan
terhadap
unit
pemerintahan
terendah
(Desa/Kelurahan) ataupun kegiatan kemasyarakatan, apalagi Kepala Distrik sehari-hari memakai tanda jabatan yang menjadi simbol sebagai Kepala Pemerintahan. Perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis kepada yang desentralistis seperti sekarang ini sudah barang tentu membawa perobahan terhadap peran yang dimainkan oleh aparatur pemerintahan di Daerah. Pada waktu yang lalu cenderung aparatur bekerja hanya melaksanakan dan menyelenggarakan apa yang diarahkan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah pada tingkat atasnya, sedikit sekali yang merupakan inisiatif dari Pemerintah Daerah, dan kalau pun ada masih menunggu petunjuk dari tingkat yang lebih atas. Dengan diterapkannya prinsip otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus daerah
dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan Daerah bertambah banyak jenisnya dan juga kualitasnya, yang mengharuskan agar aparatur Daerah dapat mengurus kewenangan itu untuk tercapainya tujuan dari otonomi Daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, pelayanan yang lebih prima serta memberdayakan masyarakat. Konsekuensinya adalah aparatur Daerah harus diperkuat baik dari segi manusianya maupun dari segi kelembagaan dan tata kerjanya. Dari segi manusianya, memerlukan perubahan tehadap mind set, wawasan, mental dan perilaku serta semangat kerjanya, sedangkan dari segi kelembagaan dan tata kerja harus diarahkan kepada pencapaian
efektivitas
dan
efisiensi
dalam
menberikan
pelayanan
maupun
menyelesaikan program yang telah digariskan. Distrik yang dipimpin oleh Kepala Distrik bukanlah hanya sekedar “wilayah kerja”, tetapi adalah “wilayah pemerintahan”, mempunyai kewenangan pemerintahan (walaupun dalam pengertian administratif) dalam hal membina, mengawasi, memfasilitasi dan mengomandoi penyelenggaraan kebijakan pemerintah kabupaten/kota ditingkat Desa/Kelurahan. Distrik juga memerankan sebagai komunikator antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Desa/Kelurahan, yang lazim disebut dengan istilah “verlengstuuk” atau perpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam menjalankan fungsi ini, maka sebagian besar kewenangan Kabupaten/Kota terutama yang menyangkut kewenangan dibidang pemerintahan umum dan pelayanan langsung masyarakat dilimpahkan kepada Distrik. Kordinasi perencanaan pembangunan Desa /Kelurahan
menjadi
mengharmonisasikan
hal
yang
antara
penting
kebutuhan
diperankan
oleh
Desa/Kelurahan
Distrik,
termasuk
dengan
program
Kabupaten/Kota. Peran Kepala Distrik yang di maksud dalam penelitian ini adalah; Peran Kepala Distrik dalam melaksanakan Tugas Pokok Dan Fungsi, sesuai dengan Peraturan Bupati Nomor.65 Thn 2009 Tentang penjabaran Tugas, Pokok Dan Fungsi Distrik Kabupaten Nabire, dalam Pasal 3 ayat 1 menyebutkan: a) Mengkordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b) Mengkordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c) Mengkordinasikan penetapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; d) Mengkordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
e) Mengkordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemeliharaan di tingkat Distrik; f) Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan; g) Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan /atau yang belum dapat di laksanakan pemerintahan desa / kelurahan. Sesuai dengan observasi awal yang peneliti lakukan ada permasalahan seperti: Lemahnya pelaksanaan kordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat di Distrik Nabire, Kordinasi pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum, dan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan Desa/Kelurahan. Indikasi dari masalah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pemberdayaan masyarakat yang ada di lingkup kelurahan sewilayah Distrik Nabire masih belum maksimal, di buktikan dengan, Belum adanya kelompok-kelompok usaha di masyarakat. Contohnya; masih banyak pengangguran yang terjadi di lingkup Distrik Nabire. 2. Pembinaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan di Distrik Nabire belum dilaksanakan dengan baik, hal ini dapat di buktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang timbul di kelurahan-kelurahan. Akibat masih kurangnya kemampuan Aparat Kelurahan/desa dalam menyelenggarakan pemerintahan di Kelurahan/desa. Dalam hal ini Kepala Distrik kurang memberikan pengawasan dan motivasi kepada Pemerintah Kelurahan di lingkup Distrik Nabire. Contohnya; pegawai-pegawai yang ada di kelurahan di lingkup distrik Nabire, dalam pengurusan berkas tertentu, sering tidak tepat waktu. Tidak biasanya terjadi hal seperti ini. Masyarakat di lingkup distrik Nabire pun merasa resa. Dalam pengurusan berkas seperti akta kelahiran, surat-surat tanah, KTP, KK, Dll. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, dimana lemahnya peran Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik itu dalam bentuk pengawasan kepada pemerintah desa/kelurahan yang ada di lingkup Distrik Nabire, maupun koordinasi perencanaan pembangunan desa/kelurahan. Seringkali Kepala Distrik hanya mendelegasikan sekretaris Distrik untuk melakukan pengawasan dan pendampingan, terkadang Kepala Distrik beberapa kali tidak datang di kantor, sehingga menyulitkan staf di Distrik untuk melakukan koordinasi, bahkan penyelesaian administrasi Distrik. Berdasarkan pada latar belakang penelitian diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “Bagaimana peran Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan, di Distrik Nabire?”. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui dan menjelaskan peran Kepala Distrik untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan khususnya mengkordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat dan membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan Kelurahan.
II. Metode Penelitian Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Hal ini dianggap sesuai dengan tujuan penelitian dengan maksud menggambarkan, mendeskripsikan dan bermaksud menginterpretasi masalah yang berkaitan dengan peran Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan di Distrik Nabire, berdasarkan pengamatan atas fakta yang terjadi di lapangan.
Informan Penelitian Informan yang akan diwawancara di dalam penelitian ini tidak hanya terbatas pada kalangan Pemerintah Distrik, tetapi juga kalangan di luar unsur Pemerintah Distrik. Adapun Informan yang diyakini dapat memberikan data atau informasi yang tepat dan akurat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kepala Distrik 2. Sekretaris Distrik, dan Kepala Seksi Distrik 3. Kepala Desa/Lurah 4. Masyarakat
Fokus Penelitian Untuk memudahkan suatu pemahaman agar dapat memudahkan penelitian ini maka penulis memberikan beberapa batasan penelitian dan fokus penelitian ini sebagai berikut:
Mengkordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat
Membina penyelenggaraan pemerintahan Desa dan /atau Kelurahan
Peran Kepala Distrik mengharmonisasikan kebutuhan di desa dengan program pemerintah kabupaten.
Sumber Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: Pertama, Data Primer yaitu data yang diperoleh dengan teknik pengamatan langsung terhadap objek maupun wawancara langsung kepada para informan yang relevan dengan fokus penelitian. Kedua, Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objeknya, tetapi melalui sumber lain baik secara lisan maupun tulisan. Teknik penelitian merupakan usaha untuk mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan penelitian yang dapat berupa data, fakta, gejala, maupun informasi yang sifatnya valid (sebenarnya), realiable (dapat dipercaya), dan objektif (sesuai dengan kenyataan). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. 2. Wawancara mendalam, adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan diwawancarai (yang memberikan jawaban atas pertanyaan). 3. Studi Kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca buku, majalah, surat kabar, dokumen-dokumen, Undang-Undang dan media informasi lain yang ada hubungannya dengan masalah dalam penelitian ini. 4. Penelusuran data online, data yang dikumpulkan melalui fasilitas online seperti internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online sehingga memungkinkan Peneliti dapat memanfaatkan data dan informasi yang berupa data maupun informasi, teori, atau pun pendapat dari berbagai ahli yang menjadi acuan dalam penelitian. 5. Dokumentasi, teknik ini bertujuan melengkapi teknik observasi dan teknik wawancara. Teknik dokumentasi ini berupa catatan resmi mengenai hasil evaluasi pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta pencapaian hasil kinerjanya.
Teknik Analisis Data Didalam penelitian ini data yang telah dikumpulkan dan diseleksi menggunakan teknik analisis data deskriptif yaitu data-data yang telah dihimpun dan dikumpulkan baik primer maupun sekunder, kemudian diambil kesimpulan sebagai jawaban masalah yang diteliti. Adapun mengenai teknik analisis data diatas yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen dalam Jam’an Satori dan Aan Komariah (2010:39) dapat diterapkan melalui 3 alur penerapan sebagai berikut : 1. Reduksi Data Reduksi
data
adalah
proses
pemilihan,
pemusatan,
pemerhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. 2. Penyajian Data Penyajian data dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, misalnya dituangkan dalam berbagai jenis matriks, grafik, jaringan, dan bagan.Lebih lajut Miles dan Huberman (Sugiyono, 2010:341) bahwa yang paling sering digunakan untuk penyajian data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. 3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi data Penarikan kesimpulan merupakan kegiatan mencari arti, mencatat keteraturan, polapola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin sesuai dengan alur sebab akibat, dan proporsi. Kesimpulan juga diverifikasi, yaitu pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penganalisis selama penyimpulan, tinjauan ulang pada catatan lapangan atau meminta respon atau komentar responden yang telah dijaring datanya untuk membaca kesimpulan yang telah disimpulkan peneliti, kekokohan dan kecocokannya.
1. Peran Kepala Distrik Dalam Mengkoodinasikan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatankekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Konsep pemberdayaan masyarakat dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat
bukanlah obyek penerima manfaat (beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti
lepas
dari
tanggungjawab
negara.
Pemberian
layanan
publik
(kesehatan,pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkan potensikreasi, mengontrol lingkungandan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunandan pemerintahan. Partisipasi masyarakat ini akan meningkat apabila diberikan stimultan dengan demikian masyarakat akan mampu untuk bergerak terangkat dari ketidak berdayaannya. Musyawarah rencana pembangunan distrik diselenggarakan untuk mensinkronkan hasilhasil perencanaan partisipatif dari tingkat Desa/Kelurahan dalam satu wilayah distrik dengan rencana pembangunan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota di distrik bersangkutan sehingga dapat menjadi suatu usulan yang terpadu untuk dibahas ke musrenbang daerah kabupaten/kota. Tentunya forum ini sangat penting bagi masyarakat pada tingkat, sebab mereka dapat menyalurkan aspirasi mereka. Forum musrenbang yang diselenggarakan di distrik Nabire Kabupaten Nabire dihadiri dari berbagai kalangan, yaitu anggota DPRD Kabupaten Nabire Dapil Nabire, Tim Musrenbang, Pemerintah Desa/Kelurahan, Tokoh masyarakat, tokoh perempuan, tokoh pemuda, tokoh agama, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
2. Peran Kepala Distrik Dalam Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pembangunan nasional merupakan perwujudan tujuan nasional bangsa Indonesia pada intinya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pembangunan nasional yang dilaksanakan pada hakekatnya mencakup semua aspek kehidupan manusia yang dilakukan secara terarah, terpadu dan berkesinambungan serta menyeluruh keseluruh pelosok tanah air. Agar pembangunan nasional sesuai dengan sasaran, maka pelaksanaannya dapat diarahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kegiatan pembangunannya sendiri. Pembangunan daerah yang merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional mencakup seluruh segi kehidupan masyarakat, sudah barang tentu memerlukan pengorganisasian pemerintah yang mampu mengikuti perkembangan jaman. Pelaksanaan pembangunan yang ditujukan demi kemakmuran rakyat tersebut, penyelenggaraannya dilakukan menyeluruh sampai ke pelosok daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing, dengan kata lain bahwa negara
memberikan
kesempatan
dan
keleluasaan
kepada
daerah
untuk
menyelenggarakan otonomi. Dalam gerak pelaksanaannya sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian sekarang undang-undang tersebut telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut dalam substansinya juga mengalami perubahan, namun pada esensinya tetap menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua unsur pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Implementasi kebijakan otonomi daerah tersebut mendorong terjadinya perubahan secara struktural, fungsional dan kultural dalam keseluruhan tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu perubahan yang sangat esensial adalah yang berkenaan dengan kedudukan, kewenangan, tugas dan fungsi Kepala Distrik. Perubahan paradigmatik penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, mengakibatkan pola distribusi kewenangan Kepala Distrik menjadi sangat tergantung pada pendelegasian sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan penyelenggaraan pemerintahan umum, yang mempunyai implikasi langsung terhadap optimalisasi peran dan kinerja Kepala Distrik dalam upaya pemenuhan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak lagi merupakan satuan wilayah kekuasaan pemerintahan, melainkan sebagai satuan wilayah kerja atau pelayanan. Status
kini merupakan perangkat daerah
kabupaten/kota yang setara dengan dinas dan lembaga teknis daerah bahkan kelurahan, hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 120 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yakni, “Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, dan kelurahan”. Sejalan dengan itu, Kepala Distrik tidak lagi ditempatkan sebagai Kepala Wilayah dan Wakil Pemerintah Pusat seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, melainkan sebagai perangkat daerah. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Koeswara Kertapradja, Kepala Distrik tidak lagi berkedudukan sebagai kepala wilayah
dan sebagai alat pemerintah pusat dalam menjalankan tugas-tugas
dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang hanya memiliki sebagian kewenangan otonomi daerah dan penyelengaraan tugas-tugas umum pemerintahan dalam wilayah. Sedangkan dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a Undangundang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Distrik memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan pemerintahan desa. Yang dimaksud membina dalam ketentuan ini adalah dalam bentuk fasilitasi pembuatan peraturan desa dan terwujudnya administrasi tata pemeritahan yang baik. Pemerintah merupakan tingkat pemerintahan yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan terhadap masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan Kepala Distrik sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan serta sebagian urusan otonomi yang dilimpahkan oleh Bupati/ Walikota untuk dilaksanakan dalam wilayah . Namun, tugas tersebut tidak dengan serta merta memposisikan Kepala Distrik sebagai kepala wilayah seperti pada waktu lalu.Kepala Distrik berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah, tugas-tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan olehKepala Distrik. Selain melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan Kepala Distrik juga melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintahan di atasnya untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek Perizinan, rekomendasi, koordinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, penetapan, penyelenggaraan, kewenangan lain yang dilimpahkan. Pelimpahan sebagian wewenang ini dilakukan berdasarkan kriteria ekternalitas dan efisiensi. Eksternalitas yang dimaksud
adalah
adalah
kriteria
pelimpahan
urusan
pemerintahan
dengan
memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat internal , maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan Kepala Distrik. Sedangkan yang dimaksud dengan
efisiensi
adalah
kriteria
pelimpahan
urusan
pemerintahan
dengan
memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan dilingkup. Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani oleh, maka urusan tersebut menjadi kewenangan Kepala Distrik. Dalam upaya memberdayakan dan dalam rangka percepatan otonomi daerah, maka dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Distrik, maka dapat dijelaskan bahwa tugas Kepala Distrik dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan pemerintahan desa, meliputi : a. Melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa/ kelurahan; Dalam menjalankan perannya Kepala Distrik juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan dalam rangka tertib administrasi pemerintahan, seperti dalam proses pembuatan peraturan desa, peraturan kepala desa, maupun keputusan kepala desa, sehingga produk hukum dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Memberikan
bimbingan,
supervisi,
fasilitasi,
dan
konsultasi
pelaksanaan
administrasi desa/kelurahan; Selain melaksanakan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa, Kepala Distrik juga memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi dan konsultasi yang berkaitan dengan pelaksanaan adminstrasi desa dan/atau kelurahan. Hal ini juga senada dengan informan lainnya, yaitu: c. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa/ lurah; Kepala Distrik juga melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja kepala desa, meskipun secara de jure kepala desa bukan merupakan bawahan dari Kepala Distrik karena kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat, akan tetapi wilayah kerja kepala desa berada dalam wilayah sehingga Kepala Distrik dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa walaupun hanya
bersifat koordinatif. d. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa/kelurahan; Selain melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa, Kepala Distrik juga melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa/kelurahan. e. Melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan di tingkat ; Kepala
Distrik
juga
berkewajiban
melakukan
evaluasi
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan pada tingkat, agar dapat mengetahui sampai sejauh mana tugas-tugas pemerintahan, pelayanan dan pembangunan terhadap masyarakat yang telah dilaksanakan. f. Melaporkan
pelaksanaan
pembinaan
dan
pengawasan
penyelenggaraan
pemerintahan desa/kelurahan di tingkat kepada Bupati/Walikota. Setelah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan pada tingkat, Kepala Distrik wajib melaporkan hasil pembinaan dan pengawasan tersebut kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah, untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi yang akan digunakan dalam pelaksanaan pembangunan terhadap masyarakat pada masa yang akan datang(hasil olahan wawancara dengan para informan).
III. Pembahasan Penguatan peran distrik semenjak dikeluarkannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa menjadi semakin lemah. Dari Undang-undang yang dikemukakan
tersebut, betapa terdapat perbedaan baik status maupun kedudukan Kepala Distrik dari waktu yang lalu, yang tentunya mempengaruhi terhadap apa yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab Kepala Distrik dalam penyelenggaraan pemerintahan. menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berstatus sebagai Wilayah Administratif, yaitu merupakan tingkatan Wilayah sebagai perpanjangan dari Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya/ Kota Adminstratif. Kepala Distrik merupakan Kepala Wilayah yang memiliki kewenangan pemerintahan khususnya penyelenggaraan pemerintahan umum dan sebagai Penguasa Tunggal dibidang pemerintahan, koordinasi pelaksanan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Dalam UU No. 22 tahun 1999,
merupakan perangkat daerah sama dengan perangkat daerah lainnya, yang kepalanya adalah Kepala Distrik, oleh karena itu pada hakekatnya Kepala Distrik hanya berkedudukan sebagai staf saja dilingkungan Pemerintah Daerah, kewenangannya sangat
tergantung
pada
pendelegasian
kewenangan
yang
diberikan
oleh
Bupati/Walikota. Kepala Distrik tidak memiliki kewenangan atributif tetapi hanya memiliki kewenangan delegatif. Dapat diartikan bahwa kewenangan Kepala Distrik sangat tergantung pada seberapa besar dan seberapa banyak kewenangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepada Kepala Distrik. Pada dasarnya tidak ada kewenangan yang dapat
”memutuskan”
dan
”mengomandoi”,
hanya
”menyelenggarakan”
dan
”melaksanakan” serta ”menyarankan”. Pada Undang–Undang No. 32 tahun 2004, prinsip yang dianut oleh Undang-Undang No.22 tahun 1999 tetap dilanjutkan dengan penambahan berupa menyelenggarakan tugas umum pemerintahan berupa koordinasi pemberdayaan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum, penerapan dan penegakan peraturan perundang undangan, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; membina penyelenggaraan kegiatan pemerintahan desa atau kelurahan; melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa atau kelurahan. Hal yang sangat penting dikemukakan bahwa disebutkan pula
adalah wilayah kerja Kepala
Distrik sebagai perangkat daerah, artinya hanya menentukan lokasi tempat bekerja, tidak merupakan wilayah pemerintahan, yaitu batas kekuasaan ataupun kewenangan untuk mengatur dan memerintah. Dengan kata lain, bahwa Kepala Distrik bukan lagi merupakan Pimpinan/Kepala Pemerintahan, tetapi tidak lebih sebagai Pimpinan/Kepala Satuan Kerja ataupun Kepala Kantor. Perubahan perundang-undangan yang di kemukakan diatas membawa pengaruh yang kurang baik terhadap eksistensi, dimana kewenangan yang dimilikinya tidak kuat dan bahkan ada yang tidak mempunyai kewenangan yang lebih terinci, sehingga Kepala Distrik
beserta
perangkatnya
menjalankan
tugas
apa
adanya
dan
sangat
menggantungkan kepada apa yang diperintahkan oleh Bupati/ Walikota. Sementara itu, hubungan Pemerintah Desa hanya bersifat koordinatif dan terkesan hanya basa basi, Kepala Distrik kurang berkompeten dalam melakukan pengawasan terhadap Pemerintah Desa, bahkan tidak jarang terjadi kepala desa tidak mematuhi/mengindahkan apa yang disarankan
oleh
Kepala
Distrik
(kepala
desa
menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban kepada Bupati melalui Kepala Distrik). Apalagi ada disuatu Daerah, satu desa satunya, sehingga Wilayah kerja Kepala Distrik berdempetan dengan Wilayah pemerintahan kepala desa. Dari segi pelayanan yang akan dilaksanakan oleh terbatas, baik dari segi jenisnya maupun kualitas penyelesaiannya, masih banyak jenis pelayanan yang dilakukan di Kabupaten/kota dan tetap menjadi kewenangan kabupaten/kota, belum banyak yang dapat memberikan pelayanan yang tuntas, hanya baru bersifat antara. Dalam pada itu pengisian pimpinan
tidak lagi mendasarkan kepada
pertimbangan kompetensi atau profesional, banyak pimpinan diisi dari tenaga-tenaga yang kurang mengetahui tentang teknis penyelenggaraan pemerintahan, ataupun pengalaman kerja dibidang tersebut (termasuk di distrik Nabire), pengisian jabatan Kepala Distrik disamakan saja pertimbangannya dengan pengisian perangkat daerah lainnya. Sangat berbeda pada waktu yang lalu, untuk menjadi Kepala Distrik ada pertimbangan khusus dari segi latar belakang ilmu/pendidikan/pelatihan serta pengalaman pekerjaannya. Hal ini dikarenakan pimpinan/Kepala Distrik tidak sekedar pimpinan unit kerja tetapi lansung menghadapi persoalan masyarakat dan membina masyarakat. Kemungkinan cara pengisian jabatan Kepala Distrik ini terjadi akibat dari kedudukan Kepala Distrik yang tidak lagi kepala pemerintahan tetapi kepala unit perangkat daerah. Masyarakat sampai saat ini ,masih memandang Kepala Distrik tetap sebagai Kepala Pemerintahan. Pandangan masyarakat itu ada benarnya, karena dalam praktek
di
lapangan
Kepala
Distrik
melaksanakan
kegiatan-kegiatan
yang
mencerminkan fungsi itu seperti dalam melakukan pembinaan terhadap unit pemerintahan terendah (Desa/Kelurahan) ataupun kegiatan kemasyarakatan, apalagi Kepala Distrik sehari-hari memakai tanda jabatan yang menjadi simbol sebagai Kepala Pemerintahan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Peran Kepala Distrik dalam mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, masih belum maksimal. Berdasarkan hasil penelitian Kepala Distrik dalam mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat terbagi atas tiga kegiatan yaitu: mendorong partisipasi masyarakat, melakukan pembinaan dan
pengawasan, serta melakukan evaluasi. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kepala Distrik dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap unit kerja kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dibagi menjadi tiga indikator yaitu: pengarahan, pembinaan dan pengawasan. 2. Peran
Kepala
Distrik
dalam
membina
penyelenggaraan
pemerintah
desa/kelurahan terdiri dari kegiatan: melakukan pembinaan dan pengawasan tertib administrasi pemerintahan desa dan/atau kelurahan; memberikan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan konsultasi pelaksanaan administrasi desa dan/atau kelurahan; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kepala desa dan/atau lurah; melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perangkat desa dan/atau kelurahan; melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat; melaporkan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan di tingkat kepada Bupati/Walikota. 3. Peran Kepala Distrik mengharmonisasikan kebutuhan di desa dengan program pemerintah kabupaten hanyalah sebatas menyampaikan hasil-hasil perencanaan pembangunan
yang
dilaporkan
oleh
masing-masing
desa,
dimana
kewenangannya adalah dari pemerintah kabupaten.
Saran 1. Kooordinasi Kepala Distrik dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi, kepala distrik harus lebih pro aktif meminta agar kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang telah diprogramkan oleh pemerintah kabupaten dapat diberikan ke distrik Nabire. 2. Kepala Distrik diharapkan dapat bekerja sama dengan pemerintah kabupaten Nabire agar dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pelatihan bagi aparat pemerintah desa untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Aparatur sehingga dapat meningkatkan kinerja masing-masing. 3. Perlunya peningkatan peran dalam mengatur dan menentukan prioritas yang menjadi kebutuhan desa yang dimuat dalam aturan-aturan normatif, agar kedepannya peran distrik dapat lebih maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Arief Budiman, 2006, Kebebasan, Negara, Pembangungan - Kumpulan Tulisan 19652005, Avabet, Bandung Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Erlangga, Surabaya. Inu Kencana Syafei, 1999, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta Kinseng, Rilus A. 2008. Distrik di Era Otonomi Daerah: Status dan Wewenang serta Konflik Sosial. Bogor: LPPM IPB dan USAID. Kertapradja, E. Koswara, 2007, Peranan dan Kedudukan Kepala Distrik dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Makalah disampaikan sebagai bahan Diskusi pada Forum Democratic Reform Support Program (DRSP), 5 November 2007; Saleh, Hasrat Arief.2007. Pedoman Penulisan : Usulan Penelitian dan Skripsi. Makassar FISIP Universitas Hasanuddin Satori, Djam’an dan Aan Komariah, 2010. Metode Peneitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Soekanto, Soerjono. 2002. Pemerintah : Tugas dan Fungsi. Jakarta : Buni Aksara Sultan. 2007. Manajemen Sumber Daya Aparatur dalam Penyelenggaraan Good Govermance. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No. 2 (Mei). Suradinata, 2008, Membangun Daerah Menuju Indonesia Bangkit, elex media komputindo, Jakarta Sondang P. Siagian, 2007, Fungsi-Fungsi Manajerial (Edisi Revisi), Bumi Aksara, Jakarta. Yeremias T. Keban, 2004, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori Dan Isu, Gava Media, Jakarta
Sumber Lain : Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Distrik Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 65 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Distrik dan Kelurahan.
19