Peran IDKI Membina Dokter Pelayanan Primer dan Program Kembali Kerja* L Meily Kurniawidjaja1,2, Sudi Astono1,3, Istiati Suraningsih1, Kadwirini Lestari1, Erdy Techrisna Satyadi,1 Hanny Harjulianti.1 1
2
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia Universitas Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja 3 Universitas Negeri Jakarta Program Pascasarjana Doktoral Manajemen Sumber Daya Manusia
A. Latar Belakang Pada tahun 2015 yang akan datang, BPJS Ketenagakerjaan akan segera dimulai dengan penekanan program pada jaminan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Program ini berfokus pada upaya preventif dan promotif dalam rangka perlindungan hak setiap pekerja. Guna mendukung program ini maka perlu adanya penguatan kapasitas dokter pelayanan primer di tempat kerja dalam rangka mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, mencegah penurunan produktivitas, serta mencegah pengeluaran pembiayaan santunan pada pekerja yang berlebihan akibat sakit ataupun kecelakaan yang diderita oleh pekerja. Hal lain yang diperlukan guna mendukung program ini adalah adanya percepatan realisasi dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat yang dicanangkan Kementerian Kesehatan RI, yaitu perubahan paradigma dari upaya kesehatan kerja yang berfokus pada pelayanan kuratif menjadi pelayanan preventif dan promotif. Sebagai salah satu pengelola kesehatan kerja yang berperan melindungi hak pekerja untuk dapat tetap hidup sehat, dokter layanan primer di tempat kerja memerlukan kompetensi tambahan di bidang kesehatan kerja di luar tujuh kompetensi dokter. Kompetensi tambahan tersebut adalah kompetensi manajemen kesehatan kerja di lapangan. Hal ini sejalan dengan penjelasan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) yang disusun oleh IDI pada tahun 20131, bahwa ada tiga macam kegiatan pokok seorang dokter yaitu dokter fungsional menjalankan profesi sebagai dokter, bekerja di bidang pendidikan, dan bekerja di bidang manajemen kesehatan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter pelayanan primer di tempat kerja perlu mendapatkan pembinaan melalui IDKI, yang secara tatalaksana organisasi profesi bekerja sama
* Dipublikasi pada www.idki.org pada tanggal 17 Juli 2014 Alamat korespondensi:
[email protected] 1
dengan Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (PDPP), yaitu Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI).
B. Tujuan dan Ruang Lingkup Kesehatan Kerja Undang-undang No. 36 tahun 2009 RI tentang Kesehatan pasal 64 mengatakan Kesehatan Kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan; selanjutnya disebutkan bahwa cara mencapainya melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan.2 Selain itu, komisi gabungan ILO/WHO dalam Kesehatan Kerja pada tahun 1950 merumuskan Kesehatan Kerja adalah upaya mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerja yang setinggitingginya baik fisik, mental dan kesejahteraan sosial. Mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; melindungi pekerja dari faktor risiko pekerjaan yang merugikan kesehatan; penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja disesuaikan dengan kapabilitas fisiologi dan psikologinya, dan disimpulkan sebagai adaptasi pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaannya. Selanjutnya, pada tahun 1995 komisi gabungan yang sama menjelaskan fokus utama upaya Kesehatan Kerja adalah mencapai tiga tujuan yaitu 1) Pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerjanya 2) Perbaikan kondisi lingkungan kerja dan pekerjaan yang kondusif bagi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 3) Pengembangan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja ke arah yang mendukung Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Juga meningkatkan kondisi sosial yang positif dan operasi yang lancar dan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan. Konsep budaya kerja yang dimaksudkan dalam kerangka ini adalah refleksi sistem nilai pokok yang diadopsi oleh perusahaan tertentu. Budaya yang demikian itu diwujudkan dalam praktek sebagai sistem manajemen, kebijakan personalia, prinsip partisipasi, kebijakan pelatihan dan manajemen mutu perusahaan.3 Pelayanan kesehatan kerja diselenggarakan secara paripurna, terdiri dari pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan di tempat kerja dalam suatu sistem kesehatan yang terpadu. Upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerjanya serta pencegahan terjadinya gangguan kesehatan pada pekerja dilakukan dengan 1) melakukan penempatan pekerja dalam suatu sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas fisiologi dan psikologinya; 2) memperbaiki perilaku hidup dan perilaku kerjanya; 3) memperbaiki
2
kondisi lingkungan kerja dan ergonomi pekerjaan yang kondusif bagi kesehatan dan keselamatan pekerja; 4) mengembangkan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja ke arah yang mendukung kesehatan pekerja. Dokter Kesehatan Kerja adalah Dokter Pelayanan Primer yang memberikan pelayanan kesehatan kerja di tempat kerja, sebagai bagian penting dari tim keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan/organisasi. Mereka bekerja di sektor jasa, industri, pertanian, kehutanan, kesehatan, transportasi, laboratorium, rumah sakit atau di tempat lainnya. Pelayanan yang diberikan Dokter Pelayanan Primer di bidang kesehatan kerja terutama berfokus pada manusia, pelayanan promotif dan preventif diberikan kepada masyarakat pekerja yang sehat, sedangkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif diberikan kepada pekerja yang sudah terganggu kesehatannya. Ruang lingkup pelayanan kesehatan kerja yang diberikan dokter pelayanan primer antara lain mencakup pelayanan seperti berikut.4 Pertama, dokter kesehatan kerja bertanggung jawab atas penempatan pekerja pada pekerjaan/jabatan yang sesuai (fit to work) dengan kapasitas kerja dan status kesehatannya, merupakan upaya preventif. Kesesuaian tersebut adalah keserasian antara status kesehatan, kapasitas dan kapabilitas pekerja secara fisik, mental dan sosial, dengan tuntutan kondisi kerja yang bersumber dari lingkungan, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja. Pemeriksaan kesehatan dilakukan sebelum penempatan (pre-placement test), untuk pekerja baru dan pekerja lama yang akan dipindah tugaskan. Untuk itu, perlu deskripsi tuntutan tugas (task demand) meliputi data kondisi lingkungan higiene industri, kondisi ergonomi pekerjaan dan kondisi stres kerja yang bersumber dari pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja. Penempatan pekerja juga mempertimbangkan hasil pemeriksaan kesehatan dan surveilans kesehatan kerja. Kedua, dokter kesehatan kerja mengelola program promosi kesehatan di tempat kerja/PKDTK (workplace health promotion) untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kapasitas kerja serta pencegahan penyakit, merupakan upaya promotif dan preventif. PKDTK bertujuan untuk mengendalikan faktor risiko yang bersumber dari perilaku hidup dan perilaku bekerja yang kurang sehat. Perilaku hidup tidak sehat misalnya pola makan, aktivitas fisik, berat badan, konsumsi rokok, alkohol atau narkoba, kurang tidur kurang istirahat dan tidak cukup rekreasi, dilaksanakan untuk mencegah penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, stroke dan hipertensi; sedangkan perilaku bekerja tidak sehat contohnya adalah bekerja tidak sesuai prosedur standar, bekerja sambil bercanda, ceroboh tidak hati-hati atau tidak menggunakan alat pelindung diri. PKDTK adalah ilmu 3
dan seni yang membantu pekerja dan manajemen mengubah perilaku hidup dan perilaku bekerja untuk mencapai kapasitas kerja dan tingkat kesehatan yang optimal, sehingga meningkatkan kinerja. produktivitas dan kapasitas kerja, serta menurunkan risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Di lapangan, PKDTK diaplikasikan sebagai program yang dirancang melalui proses peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan (pendidikan), dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat di tempat kerja. Hal tersebut sesuai dengan kondisi dan potensi tempat kerja, dengan pendekatan pendidikan, organisasi, masyarakat lingkungan dan keluarganya, sehingga mampu mengendalikan kesehatan pekerja. Ketiga, dokter kesehatan kerja melakukan pencegahan penyakit akibat kerja dengan melakukan diagnosis dini berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dilanjutkan dengan studi epidemiologi yang dipadukan dengan informasi pajanan hazard atau bahaya yang bersumber dari sistem kerja, yaitu hazard lingkungan berupa faktor fisik, kimia dan biologik; hazard ergonomik yang bersumber dari aktivitas atau pekerjaan, mesin dan peralatan kerja, serta desain tempat kerja. Diagnosis dini bermanfaat untuk tindakan pencegahan dan pengobatan segera, serta memberikan informasi untuk dilakukan perbaikan sistem kerja. Keempat adalah menilai kondisi psikologik pekerja untuk mendeteksi dini adanya stres kerja dan/kelelahan berlebih pada kelompok kerja tertentu. Hasil penilaian ini bermanfaat dalam membantu pekerja dan pemberi kerja dalam hal peningkatan hubungan kerja khususnya dalam pengembangan pengorganisian pekerjaan dan budaya kerja, menyangkut pengendalain stres kerja yang bersumber dari job content dan job context. Perbaikan job content seperti perbaikan mesin dan alat kerja, beban kerja, jadwal dan kecepatan kerja yang sesuai dengan kapasitas dan keterbatasan pekerja. Sedangkan contoh perbaikan job context adalah memperbaiki komunikasi antara atasan dan bawahan atau antara sesama teman pekerja; peran, hak, tanggung jawab dan wewenang yang jelas; adanya kepastian pengembangan karier. Kelima adalah melakukan surveilans kesehatan pekerja, merupakan upaya preventif. Surveilans kesehatan kerja meliputi kegiatan a) mengumpulkan data faktor risiko kesehatan di tempat kerja yang bersumber dari lingkungan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja; data kesehatan (dari hasil pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, berkala dan khusus serta data kunjungan pengobatan/ perawatan) dan kemangkiran pekerja; b) melakukan analisis dan interpretasi data berdasarkan kaidah epidemiologi untuk melihat frekuensi, distribusi dan trend perkembangan faktor risiko dan gangguan kesehatan, menilai hubungan faktor risiko dan gangguan kesehatan pekerja; c) komunikasi data dan hasil analisis untuk digunakan dalam rencana perbaikan 4
termasuk pertimbangan penempatan pekerja. Pencatatan dan pelaporan upaya pelayanan kesehatan kerja dan kasus KAK/PAK (secara agregat), dilaporkan kepada manajemen, serikat pekerja dan Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. KAK/PAK secara individu (by name) hanya dilaporkan dengan cara yang menjunjung tinggi kode etik untuk kepentingan kompensasi. Dokumentasi termasuk rekam medik dijaga kerahasiaannya dan dipertahankan minimal 30 tahun, bahkan ada yang menganjurkan dipertahankan seumur hidup. Ruang lingkup kesehatan kerja ke enam atau yang terakhir adalah pelayanan klinik, merupakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan klinik mencakup diagnosis, terapi, rahabilitasi dan bila diperlukan perhitungan cacat serta rujukan bagi pekerja yang sakit/cedera, serta pelayanan pertolongan pertama pada kecelakaan (cedera dan penyakit akut), bahkan Medical Emergency Plan yang merupakan upaya preventif. Dalam rangka pembinaan anggotannya, IDKI menggunakan tujuan dan ruang lingkup kesehatan kerja yang komprehensif ini sebagai landasan pengkajian dan pengembangan ilmu dan praktek kesehatan kerja.
C. Strategi IDKI Sejak awal pendiriannya, IDKI memposisikan diri sebagai asosiasi profesi kesehatan kerja yang bermitra dengan pemerintah, lembaga atau pihak terkait untuk bersama-sama membantu masyarakat pekerja dan dunia usaha dalam memajukan kesehatan kerja di Indonesia dan memajukan bangsa. Saat ini, IDKI menyadari bangsa kita sedang menghadapi tantangan persaingan regional dan global, yang sudah di depan mata, sehingga kesehatan kerja perlu dikembangkan melalui kerjasama yang sinergis antar pemangku kepentingan. IDKI bermitra dengan Kementerian Kesehatan RI untuk memajukan kesehatan kerja sebagai bagian dari pembangunan kesehatan nasional selaras dengan Sistem Kesehatan Nasional (Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012)5 menuju Visi “Masyarakat Sehat yang mandiri dan berkeadilan”. Sejalan dengan itu, IDKI juga bermitra dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI untuk memajukan perlindungan kesehatan tenaga kerja selaras dengan Penerapan SMK3 (PP 50 Th 2012) menuju Visi “Indonesia Berbudaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja”, mendorong dokter perusahaan dan dokter yang bekerja di tempat kerja lainnya serta setiap dokter yang bekerja pada pelayanan primer, agar berwawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan mendorong personil K3 berwawasan kesehatan kerja. 5
Dalam rangka membina dokter pelayanan primer di tempat kerja, IDKI menyusun beberapa strategi antara lain seperti berikut. 1. Membina dokter-dokter yang memberikan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja khususnya pembinaan dalam melakukan upaya preventif dan promotif kesehatan kerja. 2. Menyusun modul sebagai bahan kompetensi tambahan (kesehatan kerja) diserahkan kepada Kolegium Dokter Indonesia/KDI. 3. Mengajukan usulan kepada pemerintah (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) agar kesehatan kerja yang merupakan bagian dari penerapan SMK3 (PP No.50/2012) mempersyaratkan dokter kesehatan kerja termasuk dokter perusahaan dan dokter yang memberikan pelayanan primer di tempat kerja lainnya haruslah kompeten yang dibuktikan dengan adanya sertifikat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).
D. Arah Pengembangan IDKI terkait Kesehatan Kerja (termasuk Program RTW) Sebagai salah satu organisasi seminat kesehatan kerja di bawah IDI, IDKI membangun beberapa arah pengembangan IDKI ke depan terkait kesehatan kerja, antara lain seperti berikut. 1. Dokter yang memberikan pelayanan kesehatan kepada tenaga kerja harus kompeten dan mampu menerapkan pelayanan preventif dan promotif di samping kuratif dan rehabilitatif yang di dalamnya termasuk Program Kembali Kerja (PK2) atau dikenal luas di tempat kerja dengan nama Return to Work Program (program RTW). 2. Tersusunnya sistem rujukan timbal balik yang baku, prosedur yang mudah, cepat dalam proses dan efisien. Fasilitas di rumah sakit yang ditentukan, diharapkan ada dokter spesialis dari berbagai bidang seperti Spesialis Paru, Spesialis Kulit dan Spesialis THT, dan kekhususan spesialis Okupasi sebagai dukungan untuk menegakkan diagnosis dan terapi penyakit akibat kerja (occupational diseases) atau penyakit yang terkait dengan pekerjaan (work related diseases). 3. Dokter perusahaan dan dokter yang memberikan pelayanan primer di tempat kerja lainnya dengan kewenangannya dan kedudukannya di tempat kerja (Unit Kesehatan Kerja) diharapkan mampu menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja, serta melaksanakan program R2W dalam rangka melindungi hak pekerja mendapatkan pekerjaan yang layak dan hak perusahaan mendapatkan pekerja yang berkapasitas, karena hubungan dokter kesehatan kerja dengan para pekerja melampaui sekedar hubungan pasien-dokter di klinik.
6
E. Kompetensi Dokter Pelayanan Primer di Bidang Kesehatan Kerja Terdapat Tujuh Area Kompetensi dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang digambarkan sebagai pondasi dan pilar suatu bangunan (Gambar 1), yaitu: 1. Pengelolaan Informasi 2. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran 3. Keterampilan Klinis 4. Pengelolaan Masalah Kesehatan 5. Komunikasi Efektif 6. Mawas diri dan Pengembangan Diri 7. Profesionalitas yang Luhur.
Gambar 1. Standar Kompetensi Dokter Indonesia5
Tujuh Area Kompetensi tersebut di atas adalah kompetensi minimal seseorang dalam menjalankan tugasnya secara umum sebagai dokter. Sedangkan untuk dokter yang bekerja di bidang kesehatan kerja memerlukan kompetensi tambahan sebagaimana tuntutan pekerjaannya yang melampaui batas hubungan antara dokter dengan pasien, yaitu sebagai Dokter Kesehatan Kerja
7
yang dikenal luas sebagai Occupational Health Physician atau sering disingkat sebagai OH doctor termasuk Dokter Perusahaan yang bekerja dalam kegiatan tim kesehatan kerja di perusahaan, antara lain sebagai berikut.6 y
Health hazards mapping
y
Health mapping
y
Penyusunan program kesehatan kerja di perusahaan/organisasi kerja berdasarkan prioritas dan feasibilitas
y
Pemeriksaan kesehatan pekerja berbasis hazard kesehatan di tempat kerja (hazard based health examination)
y
Penilaian fit to work
y
Pengelolaan surveilans kesehatan kerja
y
Kajian manajerial terkait kesehatan kerja
y
Komunikasi efektif tripartit
y
Saksi ahli mediko-legal masalah kesehatan di tempat kerja
y
Penilaian, promosi dan proteksi spesifik dampak interaksi antara manusia dan sistem kerja
y
Pengelolaan kompensasi atau jaminan sosial tenaga kerja
y
Manajemen risiko kesehatan kerja
y
Sistem manajemen kesehatan kerja sebagai bagian dari sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3)
y
First aid dan medical emergency response plan di tempat kerja
y
Pengelolaan hygiene makanan di tempat kerja dan pemeriksaan kesehatan penjamah makanan (Food Hygiene)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka untuk menerapkan kesehatan kerja perlu dilakukan penjabaran terhadap Tujuh Kompetensi Dokter Indonesia dalam kaitannya dengan kesehatan kerja antara lain sebagai berikut: 1. Pengelolaan Informasi Dalam hal ini dokter kesehatan kerja harus mampu mengelola informasi yang berkaitan dengan program kesehatan kerja seperti informasi pajanan/exposure di tempat kerja, data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (PAK), hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja berbasis risiko K3, sumber potensi bahaya kesehatan kerja (potential health hazard), surveilans kesehatan kerja, safety data sheet (SDS), hasil pengukuran lingkungan kerja dan 8
pemantauan biologik, nilai ambang batas (NAB), indeks pajanan biologik (IPB), demografi dan fasilitas kesehatan rujukan di lokasi kerjanya, serta peraturan perundangan (nasional dan internasional) dan best practice di bidang kesehatan kerja,. 2. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Karakteristik kesehatan pekerja adalah adanya potensi mengalami penyakit akibat kerja (occupational diseases) dan penyakit terkait kerja (work related diseases). Oleh karena itu dalam menangani kesehatan pekerja diperlukan pendekatan yang relatif berbeda dengan pendekatan terhadap penanganan kesehatan pasien pada umumnya. Dengan demikian maka, seorang dokter yang menangani pasien pekerja, mutlak memiliki landasan ilmiah berupa ilmu kedokteran kerja (occupational medicine) dan kompeten di bidang ilmu kesehatan kerja (occupational health) agar dapat menangani pasien pekerja secara tepat, baik dalam diagnosis maupun penatalaksanaan penyakitnya. Tanpa pendekatan kesehatan yang benar (pendekatan kesehatan kerja), maka seorang dokter yang menangani kesehatan pekerja berpotensi melakukan kesalahan karena tidak tepat dalam hal diagnosis dan penatalaksanaan penyakit yang berkaitan dengan pajanan di tempat kerja. Hal ini berpotensi sangat merugikan baik bagi karyawan maupun pengusaha, karena penyakit pekerja gagal disembuhkan, biaya pengobatan menjadi mahal sementara produktivitas pekerja berkurang. 3. Keterampilan Klinis Keterampilan klinis dokter yang menangani kesehatan pekerja terutama harus mampu mendiagnosis dan melakukan penanganan kesehatan pekerja berbasis hazard di tempat kerja (occupational health hazard based), termasuk kemampuan untuk membantu pekerja yang mengalami kecelakaan kerja dan PAK untuk mendapatkan pertolongan pertama, pengobatan segera serta kompensasi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sesuai peraturan perundangan. 4. Pengelolaan Masalah Kesehatan Mengelola masalah kesehatan pekerja memerlukan kompetensi dalam hal administrasi kesehatan kerja dan manajemen kelompok kerja. Masing-masing perusahaan/tempat kerja memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal potensi bahaya atau risiko kesehatan kerjanya. Dalam hal ini seorang dokter yang menangani kesehatan pekerja harus memiliki kompetensi dalam hal (1) manajemen risiko kesehatan kerja yaitu mampu melakukan antisipasi risiko dan rekognisi/ identifikasi hazard atau bahaya berpotensi di tempat kerja, 9
melakukan evaluasi tingkat risiko berdasarkan hasil survei dan data sekunder hasil pengukuran, serta mampu menjelaskan hirarki dan metode pengendalian risiko; (2) melakukan penilaian, promosi dan proteksi spesifik dampak interaksi antara manusia dan sistem kerja; (3) mengelola dan memberikan pelatihan bagi first-aiders serta menyiapkan respons gawat darurat medik di tempat kerja (medical emergency response plan); (4) mengelola sanitasi dan higiene makanan di tempat kerja serta melakukan pemeriksaan kesehatan penjamah makanan (food handler); (5) mengelola program promosi kesehatan di tempat kerja agar pekerja berperilaku hidup sehat dan berperilaku kerja sehat; (6) mengelola program retensi pekerja dan program kembali kerja; (7) mengelola masalah kesehatan lain yang teridentifikasi di tempat kerja seperti penyakit menular di tempat kerja, stres kerja, absenteisme yang tinggi, manajemen kelelahan pada kelompok kerja tertentu, dan masalah alkohol serta penyalahgunaan obat di tempat kerja. 5. Komunikasi Efektif Kesehatan kerja merupakan bagian tak terpisahkan dari K3 pada umumnya. Kedua bidang keilmuan ini bersifat multidisiplin ilmu, sehingga penanganan kesehatan kerja maupun K3 pada umumnya perlu peran dari berbagai keahlian yaitu kesehatan kerja, keselamatan kerja, higienis industri, ergonomi, psikologi, engineering, manajemen sumber daya manusia, hukum, toksikologi dan ilmu manajemen secara umum, dengan melibatkan unsur pimpinan, pekerja dengan serikat buruh/pekerja sebagai wakilnya, otoritas di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, asuransi atau badan penyelengara jaminan sosial khususnya di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan, masyarakat dan tokohnya serta pamong di lokasi kegiatan operasi. Dengan demikian, dokter kesehatan kerja dengan posisi dan kewenangannya di tempat kerja, dalam kesehariannya menangani kesehatan kerja memerlukan kompetensi komunikasi efektif dalam suatu tim K3 di perusahaan/organisasi atau melalui lembaga/unit Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3), dan komunikasi efektif dalam forum tripartid yang terdiri dari unsur perusahaan, pekerja dan pemerintah, melampaui komunikasi dengan pasien dan keluarganya di klinik. 6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri Ilmu kesehatan kerja dan K3 pada umumnya bersifat sangat dinamis, sehingga seorang dokter yang bekerja di bidang kesehatan kerja harus senantiasa mawas diri mengembangkan diri di bidang ini. Dinamika ini terjadi baik karena kemajuan ilmu kesehatan kerja dan K3 itu sendiri maupun akibat makin meningkatnya potensi bahaya di 10
tempat kerja akibat perkembangan teknologi dan material yang digunakan dalam proses industri dan proses kerja pada umumnya. 7. Profesionalitas yang Luhur Profesionalitas yang luhur sebagai salah satu ciri profesi dokter juga sangat diperlukan bagi dokter yang bekerja di bidang kesehatan kerja, mengingat dalam hal kesehatan kerja dokter berhadapan dengan permasalahan yang lebih dari permasalahan kesehatan pada umumnya. Dalam hal ini dokter kesehatan kerja berhadapan dengan permasalahan yang berkaitan dengan hubungan kerja atau hubungan industrial, hak-hak pekerja, hak-hak pemberi kerja serta kompensasi pekerja, dan lain-lain.
F. Program Kembali Bekerja (Return to Work Program) Salah satu upaya kesehatan kerja adalah program kembali bekerja. 1. Prinsip-prinsip Program Return-to-Work Kita semua memiliki kepentingan ekonomi dalam hal menjamin pekerja dapat kembali bekerja secara aman dan sesegera mungkin setelah suatu cedera atau sakit di tempat kerja. Suatu cedera pekerja yang semakin lama mendapatkan bantuan rehabilitasi dapat semakin kurang efektif untuk penyembuhan bahkan dapat berkembang menjadi cacat permanen dan menyebabkan kehilangan pekerjaan. Maka dari itu, RTW secara dini merupakan hal yang perlu diutamakan dalam sistem kompensasi pekerja. Program Return-to-Work (RTW) adalah suatu sistem di mana pengusaha wajib menyediakan di tempat kerjanya untuk kesiapan mengelola pekerja yang mengalami cedera atau sakit akibat kerja. Program ini merupakan kebijakan dan prosedur di tempat kerja yang perlu disepakati bersama antara pengusaha dengan serikat pekerja dan dikembangkan sebelum cedera atau penyakit terjadi. Efektivitas dan kontinuitas program harus direview secara berkala sesuai kesepakatan pihak-pihak terkait (pemberi kerja atau manajemen yang mewakilinya, pekerja, dokter kesehatan kerja, ahli K3, pengelola sumber daya manusia dan provider). Dalam hal ini harus ada komitmen pemberi kerja/pengusaha bahwa pekerja yang mengalami cedera diupayakan untuk dapat kembali bekerja. Semua program harus memiliki tanggal tertentu untuk direview. Konsep dasar dari Program Kembali Kerja (PK2) atau Return to Work (RTW) adalah penyerasian antara kapasitas (capacity) dan keterbatasan (limitation) pekerja dengan tuntutan dalam sistem kerja yang dihadapinya. Konsep dasar ini dikenal dengan nama fit to work atau laik 11
kerja. Terdapat beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam mengembangkan program RTW di tempat keja, yaitu terjadinya interaksi antara manusia dan sistem kerja yang mencakup interaksi antara manusia dan manusia, manusia dan lingkungan kerja, manusia dan pekerjaan atau aktivitas kerja, manusia dan mesin atau peralatan kerja, serta manusia dan organisasi dan budaya di tempat kerja.4
Interaksi Manusia dan Sistem Kerja (Kurniawidjaja, 2014) Organisasi dan Budaya di Tempat Kerja
Lingkungan Kerja
Mesin dan Peralatan Keja
Pekerjaan dan Aktivitas Kerja
Gambar 2. Interaksi Manusia dan Sistem Kerja (Kurniawidjaja, 2014)7
Program RTW harus mencakup area kunci sebagai berikut:
a. Pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja b. Pengembangan sistem, SOP dan implementasi Program RTW c. Konsultasi dengan pekerja, dan serikat pekerja/buruh bila memungkinkan d. Diawali dengan manajemen cedera secara dini dan RTW juga secara dini e. Penyediaan tugas atau pekerjaan yang sesuai f. Program RTW tidak merugikan bagi pekerja yang mengalami cedera dan kembali kerja. 2. Rehabilitasi kerja (Occupational Rehabilitation) Rehabilitasi kerja adalah proses memberikan bantuan kepada pekerja yang mengalami cedera untuk kembali bekerja. Pelayanan rehabilitasi kerja meliputi:
a. Penilaian kapasitas dan keterbatasan fisik dan mental pekerja b. Penilaian tuntutan fisik dan mental dari jabatan atau aktivitas kerja yang tersedia atau yang membutuhkan pekerja;
12
c. Saran tentang peralatan atau modifikasi pekerjaan bagi pekerja yang menjalankan; d. Membantu pemberi kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuk pekerja; e. Memfasilitasi komunikasi antara pekerja, pemberi kerja, dokter dan pihak asuransi; f. Membantu dalam mengidentifikasi dan memperoleh suatu pekerjaan baru jika pekerja tidak mampu untuk kembali ke pekerjaan semula. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tempat terbaik untuk melakukan rehabilitasi sebagian besar pekerja yang cedera adalah di tempat kerja. 3. Manjemen Cedera (injury management) Manajemen cedera bertujuan menjamin pekerja yang mengalami cedera atau sakit dapat kembali bekerja secara tepat, aman dan langgeng. Upaya ini meliputi perawatan cedera, rehabilitasi untuk kembali kerja, retraining dalam pekerjaan yang memerlukan keterampilan baru, manajemen klaim kompensasi kerja, dan manajemen ketenagakerjaan. Setiap orang yang terlibat dalam proses penilaian RTW bekerjasama dan berpartisipasi dalam manajemen cedera, pihak-pihak yang berkepentingan termasuk agen/asuransi kompensasi kerja, pemberi kerja atau atasan yang mewakili, pekerja yang cedera, dokter dan petugas yang menangani. Manajemen cedera yang efektif tergantung pada upaya kerjasama semua partisipan ini. Elemen kunci yang mendasari keselamatan, kecepatan dan langgengnya RTW pekerja yang cedera, antara lain meliputi:
a. Sistem yang dapat dipahami dan disetujui oleh setiap orang yang terlibat di tempat kerja b. Kronologik kejadian dan pertolongan yang telah diberikan pada saat kejadian cedera, c. Pelaporan segera kasus cedera dan lakukan intervensi segera, d. Tempat kerja menjadi tempat paling efektif bagi mayoritas pekerja untuk proses pemulihan/recover dari cedera mereka,
e. Semua pihak pemangku kepentingan bertanggung jawab dan bekerjasama. G. Peran dokter kesehatan kerja dalam RTW Dokter yang memberikan pelayanan primer di tempat kerja, harus mampu menghilangkan atau meminimalkan risiko yang diakibatkan adanya ketidaksesuaian antara pekerja dan sistem kerja melalui upaya promotif dan preventif. Di tempat kerja, upaya promotif dan preventif dikerjakan dalam tim yang anggotanya terdiri dari manajemen atau petugas yang bertanggung jawab atas
13
keselamatan, kesehatan dan lingkungan kerja (K3L) atau dikenal dengan nama health, safety and environment management (SHEM). Tugas utama dari tim kerja ini adalah manajemen risiko (risk management), yang dimulai dengan penilaian risiko yang timbul akibat interaksi antara pekerja dan hazard kesehatan di tempat kerja (health risk assessment), dan ditindaklanjuti dengan pengendalian risiko yang timbul akibat interaksi ini. Penilaian dan pengendalian risiko di tempat kerja dilakukan secara terus-menenus merupakan siklus untuk mencapai perlindungan pekerja agar sehat, selamat, sejahtera, produktif dan kompetitif, dan, perusahaan atau organisasi mendapatkan profit serta dapat tumbuh berkesinambungan. Secara umum dokter kesehatan kerja berperan untuk menjalankan program pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif yang meliputi upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif dengan mempertimbangkan risiko kerja baik secara individu maupun secara kelompok pekerja. Hal ini selaras dengan Permenakertrans No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan kesehatan kerja dan Konvensi ILO No. 161 Tahun 1985 tentang Occupational Health Services, serta publikasi ILO, WHO dan International Comnission on Occupational Health Tahun 2005 tentang Basic Occupational Health Services. Dengan demikian program retun to work merupakan bagian dari program kesehatan kerja yang harus dilaksanakan oleh dokter kesehatan kerja yang mengelola kesehatan para pekerja. Adapun peran dokter kesehatan kerja dalam program RTW antara lain adalah sebagai berikut: 1. Koordinator program RTW: Mengembangkan manajemen cedera dan Program RTW, terintegrasi dengan program pelayanan kesehatan kerja Memberikan advokasi kepada manajemen dan sosialisasi/edukasi kepada pekerja atau wakilnya (serikat pekerja/buruh sebagai penghubung komunikasi antara pemberi kerja dan pekerja) Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan manajemen cedera dan RTW 2. Penatalaksanaan kasus RTW di tempat kerja atau di Provider RTW : mempromosikan RTW secara dini adalah aman bagi pekerja menilai kapasitas dan keterbatasan fisik dan mental pekerja dalam kasus RTW, bila diperlukan merujuk kepada dokter sepesialis seperti dokter spesialis klinik, okupasi dan rehabilitasi medik merencanakan perawatan tertentu dan melengkapi dokumen medis untuk pengajuan klaim kompensasi 14
Memonitor dan menjadi penghubung antara pihak pemberi kerja dengan pihak BPJS untuk mengembangkan dan menyetujui terhadap rencana RTW yang telah dibuat Merencanakan dan memonitor penanganan secara memadai Memberikan advis dan larangan medis tertentu terkait kesesuaian pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja Memberikan informasi kepada pemberi kerja dan BPJS terkait dengan manajemen cedera dan rencana RTW bagi pekerja yang mengalami cedera Menyatakan kapan seseorang tidak bisa bekerja (certified time off) dipandang dari sisi medis Mereview perkembangan pemulihan pekerja yang cedera dan merevisi manajemen penanganan medik terhadap pekerja sesuai kebutuhan Merencanakan rujukan kepada provider rehabilitasi pekerja jika diperlukan dan jika tidak ada inisiatif dari pemberi kerja atau pihak asuransi Memberikan advis kepada pengusaha dalam hal pekerjaan/penugasan yang sesuai
H. PENUTUP Dengan berbagai gambaran tersebut di atas, maka Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja perlu meningkatkan kegiatan pelatihan, untuk meningkatkan kapasitas dokter kesehatan kerja dalam mengelola program RTW. Pengurus pusat memberdayakan pengurus cabang dan menjalin kerjasama dengan mitra terkait untuk melaksanakan pelatihan ini sebagai bagian dari program pembinaan kepada anggotanya yang tersebar luas di tanah air.
1
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Buku Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Edisi ke-2. Jakarta: PBIDI; 2013. 2 Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan RI. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan: Available from: http://www.hukor.depkes.go.id 3 Fedotov, I.A., Saux, M., Rantanen, J. Occupational Health Services. In: Stellman, J.M., editor. Encyclopedia of Occupational Health and Safety, 4th edition. Geneva: ILO; 1998. 4 Kurniawidjaja LM. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Cetakan ketiga. Jakarta: UI Press: 2012. 5 Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012. Diunduh pada 17 Juli 2014, di http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf 6 Kurniawidjaja LM. Modul Promosi Kesehatan di Tempat Kerja. Depok; FKMUI; 2014.
15