PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi
SUBEKTI RAHAYU E351070011
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis peran agroforest karet dalam pelestarian spesies pohon: studi kasus di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten, Bungo, Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip pada karya ini yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Bogor, 2009 Subekti Rahayu E351070011
ABSTRACT SUBEKTI RAHAYU. Role of Rubber Agroforest on Conserving Timber Tree Species: Case study in Lubuk Beringin, Bathin III Ulu, Bungo, Jambi, under supervision by AGUS HIKMAT, AGUS PRIYONO KARTONO and SONYA DEWI. Rubber agroforests still have potential to serve as refugium for the tree diversity of the original lowland rainforest in Indonesia, depending on farmer management and policy (dis)incentives. Comparing tree species richness, diversity and dispersal profile for sapling, pole and tree stages, identify survival timber tree species up to reproductive stage and potential species extinct of rubber agroforests un various age, secondary forest and primary forest in the tropical forest margins of Jambi, Sumatra conducted in Lubuk Beringin village. Amount of 22 plots sample set it up. Each plot sample contains 3 nested plots with different size. 40 m x 1 m plot used to observe sapling, 40 m x 5 m to observe pole and 100 m x 20 m to observe tree stage. All timber species in each nested plot were identified trough leaves collecting, tree population counting and diameter breast height (dbh) measuring for sapling and tree stage. Timber species richness and diversity of sapling, pole and tree in old rubber agroforest 60 years is not significant different with natural forest, but significant different with young and medium age of rubber agroforest 13 and 30 years. Highest tree diversity of sapling found in agroforest 60 years, pole in secondary forest 25 years and tree in primary forest. In contrast, lowest tree diversity of sapling found in rubber agroforest 30 years close to primary, pole in rubber agroforest 13 years and tree in rubber agroforest 30 years far from primary forest. Availability of seed bank, seed dispersers and minimum management in old rubber agroforest 60 years is an important factor as triggering seed germination and growing to sapling stage. Generally, about 70% timber tree species in Lubuk Beringin is zoochory. Only seven species (5%) of timber tree in old rubber agroforest 60 years were survived from sapling to pole and tree stage. Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria conferta and an unidentified species has high potential to extinct in Lubuk Beringin. Seed viability of these species is low and need specific characteristic for growing.
RINGKASAN SUBEKTI RAHAYU. Peran Agroforest Karet dalam Pelestarian Spesies Pohon: Studi kasus di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi, dibimbing oleh AGUS HIKMAT sebagai Ketua, AGUS PRIYONO KARTONO dan SONYA DEWI sebagai Anggota. Agroforest karet masih memiliki potensi sebagai refugia bagi keanekaragaman spesies pohon di hutan hujan dataran rendah Indonesia. Membandingkan kekayaan dan keanekaragaman spesies, profil pemencaran biji, mengidentifikasi spesies pohon yang mampu bertahan hingga mencapai stadia reproduksi dan dapat dipanen serta mengidentifikasi spesies pohon yang berpotensi mengalami kepunahan pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon di berbagai umur agroforest karet, hutan sekunder dan hutan primer dilakukan di Desa Lubuk Beringin, Jambi, Sumatra. Pengamatan dilakukan pada 22 petak contoh diamati masing-masing petak contoh terdiri atas 3 petak tersarang dengan ukuran yang berbeda. Petak berukuran 40 m x 1 m untuk pengamatan tingkat pancang, 40 m x 5 m untuk tingkat tiang dan 100 m x 20 m untuk tingkat pertumbuhan pohon. Semua spesies yang ditemukan pada masing-masing petak contoh sesuai dengan kriterianya diidentifikasi spesies dan dihitung jumlah individunya. Untuk tingkat tiang dan pohon dilakukan pengukuran diameter setinggi dada. Kekayaan dan keanekaragam spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada agroforest karet tua 60 tahun tidak berbeda nyata dengan hutan primer dan hutan sekunder, tetapi berbeda nyata dengan agroforest karet muda 13 dan 30 tahun. Keanekaragaman spesies pancang tertinggi terdapat pada agroforest karet 60 tahun, tingkat tiang pada hutan sekunder 25 tahun dan tingkat pohon pada hutan primer. Sedangkan keanekaragaman spesies terendah tingkat pancang terdapat pada agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer, tingkat tiang pada agroforest karet 13 tahun dan tingkat pohon pada agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer. Ketersediaan sumber benih, agen pemencar biji dan rendahnya intensitas pengelolaan kebun merupakan faktor yang mempengaruhinya. Secara umum, 70% dari spesies pohon di Desa Lubuk Beringin dipencarkan oleh satwa. Ditemukan tujuh spesies (5%) pohon yang mampu beregenerasi dari tingkat pancang ke tiang dan pohon pada agroforest karet kompleks. Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria conferta satu spesies yang belum teridentifikasi berpotensi mengalami kepunahan di Lubuk Beringin. Spesies-spesies tersebut memiliki viabilitas biji yang rendah dan memerlukan kondisi lingkungan tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang.
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERAN AGROFOREST KARET DALAM PELESTARIAN SPESIES POHON: Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin Kecamatan Bathin III Ulu Kabupaten Bungo Provinsi Jambi
SUBEKTI RAHAYU
Thesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 30 Agustus 1966, merupakan anak pertama dari Bapak R. Moeloed Wignyosaputro dan Ibu Soepartinah. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Yogyakarta. Pada tahun 1985, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Setahun kemudian, mengambil Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian yang diselesaikan pada tahun 1990. Dari tahun 1990 sampai dengan 1993 penulis bekerja pada Integrated Pest Management Project, yakni proyek kerjasama Food Agriculture Organization (FAO) dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Pada tahun 1991, penulis menikah dengan Bambang Soeharto dan dikaruniai empat anak yaitu Pramundito Prasetyo Bayu, Pramundito Kusumo Bayu (alm.), Jasminesia Sekarsari Bayu dan Hanindito Haryotomo Bayu. Penulis sempat bekerja di Plant Resources South East Asia (PROSEA) sebelum bergabung dengan International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF). Sejak tahun 1994 sampai sekarang, penulis bekerja di World Agroforestry Centre (ICRAF). Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor untuk Program Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika, Fakultas Kehutanan.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya atas karunia-Nya thesis ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Dr. Sonya Dewi selaku Anggota Komisi Pembimbing atas bimbingannya sehingga thesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Dr. Meine van Noordwijk yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi sambil bekerja, serta Landscape Mosaic Project yang telah memberikan dana penelitian kepada penulis. Tak lupa pula, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Mas Bambang yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat melanjutkan studi, kepada Tyo, Nesia dan Aryo yang selalu mengerti dan memahami penulis di saat apapun 2. Harti Ningsih (Nining) atas kerjasamanya yang baik selama melakukan penelitian dan Pak Baiki sebagai ahli nama lokal pohon di lokasi penelitian 3. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan doa restu 4. Rekan-rekan di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika angkatan 2007, Bu Merry, Bu Rosa, Dewi, Glen, Toto, Iman, Andi, Pak Aswan, Paijo dan Tedi yang selalu memberikan hiburan segar ketika penulis sedang ‘stress’ dengan kuliah dan pekerjaan 5. Rekan-rekan di ICRAF, Betha, Ni’ma, Tonny, Rahmat dan Novi atas dukungannya.
KATA PENGANTAR Thesis ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Isi yang tertuang dalam Thesis ini merupakan kesepakatan bersama antara peneliti dengan Komisi Pembimbing yang telah disampaikan dalam suatu seminar di hadapan forum dan diuji oleh penguji di luar Komisi Pembimbing. Thesis ini memuat latar belakang, tujuan, kondisi umum lokasi, metodologi, hasil, pembahasan, kesimpulan dan saran serta pustaka yang telah digunakan dalam pendukung penulisan. Keseluruhan isi dari Thesis ini diharapkan dapat memberikan gambaran awal bagi para peneliti untuk melakukan penelitian secara lebih dalam dan bagi para pengambil kebijakan diharapkan dapat memberikan gambaran dalam pengelolaan kawasan yang dapat berperan sebagai areal konservasi. Akhir kata, penulis menyadari sepenuhnya bahwa sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, maka penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan ketidak-sempurnaan. Meskipun demikian, penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Agustus 2009 Subekti Rahayu E351070011
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... I.
i ii iii
PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1.2. Tujuan ................................................................................................ 1.3. Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.4. Perumusan Masalah ........................................................................... 1.5. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 1.6. Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
1 1 2 3 3 4 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1. Agroforestry ...................................................................................... 2.2. Keanekaragaman Spesies Pohon pada Agroforestry Karet ............. 2.3. Kepunahan dan Kolonisasi Spesies .................................................. 2.4. Ancaman Kepunahan Spesies ........................................................... 2.4.1. Faktor Fisik-mekanik ............................................................. 2.4.2. Faktor Bioekologi ..................................................................
6 6 7 8 9 9 10
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................... 3.1. Luas dan Letak Desa ......................................................................... 3.2. Iklim .................................................................................................. 3.3. Geologi dan Tanah ............................................................................ 3.4. Hidrologi ........................................................................................... 3.5. Penutupan Lahan ............................................................................... 3.6. Aksesibilitas ....................................................................................... 3.7. Flora dan Fauna ................................................................................. 3.7.1. Flora ........................................................................................ 3.7.2. Fauna ...................................................................................... 3.8. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .......................................... 3.8.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk ......................................... 3.8.2. Pendidikan .............................................................................. 3.8.3. Mata Pencaharian dan Pendapatan ........................................ 3.8.4. Persepsi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan ............. 3.8.5. Ketergantungan Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan ....................................................................................... 3.9. Kondisi Plot Pengambilan Contoh .................................................... 3.9.1. Hutan primer .......................................................................... 3.9.2. Agroforest karet 60 tahun jauh dari hutan primer .................. 3.9.3. Agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer ....................... 3.9.4. Agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer .................. 3.9.5. Agroforest karet 13 tahun jauh dari hutan primer .................. 3.9.6. Hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer ......................... 3.9.7. Hutan sekunder 13 tahun jauh dari hutan primer.................... 3.9.8. Hutan sekunder 10 tahun dekat hutan primer .........................
13 13 13 13 14 14 15 15 15 16 17 17 18 18 18
(i)
18 19 19 20 20 21 21 22 22 23
IV. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 4.2. Peralatan dan Bahan Penelitian ........................................................ 4.3. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 4.3.1. Penentuan dan Penarikan Unit Contoh ................................. 4.3.2. Variabel Pengamatan ............................................................. 4.4. Metode Analisa Data ........................................................................ 4.4.1. Kekayaan spesies pohon .......................................................... 4.4.2. Keanekaragaman spesies pohon ............................................ 4.4.3. Indeks Similaritas ................................................................... 4.4.4. Pola sebaran spasial spesies ................................................... 4.4.5. Identifikasi spesies yang terancam punah .............................
24 24 25 25 25 27 27 27 28 29 29 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 5.1. Kekayaan Spesies dan Keanekaragaman Spesies ............................. 5.1.1. Kekayaan spesies ................................................................... 5.1.2. Akurasi pendugaan kekayaan spesies dengan metode rarefaction................................................................................. 5.1.3. Keanekaragaman spesies ......................................................... 5.2. Profil Pemencaran Biji ....................................................................... 5.2.1. Profil pemencar biji pada berbagai tingkat pertumbuhan ....... 5.2.2. Ketersambungan habitat .......................................................... 5.2.3. Pola sebaran spasial ................................................................ 5.3. Kuantifikasi Spesies yang Mampu Beregenerasi pada Agroforest Karet ................................................................................. 5.3.1. Komposisis spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan ........ 5.3.2. Similaritas spesies antar tingkat pertumbuhan ...................... 5.3.3. Similaritas spesies antar tipe tutupan lahan............................. 5.4. Potensi Kepunahan Spesies Kayu .................................................... 5.5. Aspek Ekonomi Agroforest Karet .......................................................
31 31 31 35 36 39 39 45 45 51 51 52 54 58 60
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 6.1. Kesimpulan ....................................................................................... 6.2. Saran ..................................................................................................
62 62 63
VII. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
64
LAMPIRAN .....................................................................................................
67
(ii)
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Spesies pohon yang ditemukan pada agroforest karet di Desa Lubuk Beringin ........................................................................................................
16
2. Spesies fauna yang di temukan di Desa Lubuk Beringin .............................
17
3. Unit pengambilan contoh pada berbagai tipe tutupan lahan, stadia pertumbuhan dan jarak dari hutan ................................................................
26
4. Harapan jumlah spesies dan jumlah spesies actual yang ditemukan di berbagai tipe tutupan lahan pada tingkat pancang, tiang dan pohon serta nilai simpangan baku............................................................................
31
(iii)
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman 1. Kondisi tutupan hutan primer dan lantai hutan ..........................................
19
2. Kondisi agroforest karet 60 tahun jauh dari hutan ......................................
20
3. Kondisi agroforest karet 30 tahun dekat hutan ...........................................
20
4. Kondisi agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan ......................................
21
5. Kondisi agroforest karet 13 tahun jauh dari hutan ......................................
21
6. Kondisi hutan sekunder tua 25 tahun dekat hutan ......................................
22
7. Kondisi hutan sekunder muda 13 tahun jauh dari hutan.............................
22
8. Kondisi hutan sekunder muda 10 tahun dekat hutan ..................................
23
9. Lokasi penelitian ..........................................................................................
24
10. Lokasi plot pengambilan contoh penelitian ................................................
26
11. Petak pengamatan untuk survei keanekaragaman spesiea pohon. .............
27
12. Kekayaan spesies harapan dan aktual hasil pengamatan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon pada berbagai tipe tutupan lahan .....................
36
13. Indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang, tiang dan pohon pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
37
14. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
40
15. Hubungan antara jumlah individu tiang dan pohon per petak contoh dan jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin (’anemochory’) ............
42
16. Jumlah spesies tiang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan ........................................................................................
43
17. Jumlah spesies pohon berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
44
18. Jumlah spesies pancang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
47
19. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan ........................................................................................
48
20. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan ........................................................................................
48
21. Jumlah spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang memiliki pola sebaran mengelompok pada berbagai umur lahan .....................................
50
22. Jumlah spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan ................................................................
52
(iv)
23. Similaritas antar tingkat pertumbuhan pada berbagai tipe tutupan lahan.............................................................................................................
53
24. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pancang pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
54
25. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
56
26. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang pada berbagai tipe tutupan lahan .........................................................................
57
(v)
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agroforest karet dapat menjadi refugia bagi keanekaragaman pohon di hutan hujan dataran rendah (Vickery 1984, Haeruman 1980), karena merupakan kawasan lindung yang efektif di zona ekologi Sumatra (Joshi et al. 2003, Beukema et al. 2003, Rasnovi et al. 2008, Tata et al. 2008). Pohon mempunyai peranan penting dalam mendukung kehidupan masyarakat lokal, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti bahan pangan, bangunan, serat dan obatobatan. Pohon-pohon yang memberikan hasil hutan bukan kayu seperti buahbuahan, damar, obat-obatan, serat atau kayu bakar memiliki dampak relatif kecil bagi kebijakan kehutanan dan keberadaannya dalam sistem agroforest dapat memberikan keuntungan. Resin dari damar (Shorea javanica), jelutung (Dyera costulata), kemenyan (Styrax benzoin) dan gutta percha (Palaquium gutta) merupakan hasil hutan bukan kayu yang telah lama dibudidayakan dalam sistem agroforest (Michon & de Foresta 1997a). Selain memberikan hasil langsung berupa kayu maupun non kayu, keanekaragaman hayati pohon juga menyediakan jasa dalam sumber daya genetik tanaman hutan dan habitat bagi berbagai spesies satwa. Tegakan pohon yang rapat dan lapisan seresah pada agroforest karet merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang memberikan jasa lingkungan seperti pengatur iklim melalui penyerapan karbon, penyerap air sehingga merupakan penyangga aliran sungai, memberikan perlindungan terhadap erosi dan longsor serta pendaur ulang hara. Namun, alih guna lahan dari hutan alam menjadi perkebunan karet, kelapa sawit dan perkebunan kayu monokultur terjadi secara cepat (McGinley 2007; Rasnovi 2006), begitu pula intensifikasi agroforest karet (Ekadinata & Vincent 2008), sehingga peluang untuk memanfaatkan agroforest karet sebagai bagian dari strategi konservasi menjadi semakin kecil. Fragmentasi habitat dan semakin sedikitnya pohon penghasil kayu yang mencapai stadia reproduksi menyebabkan gagalnya regenerasi pohon pada agroforest karet. Hilangnya penyerbuk dan pemencar biji (Tabarelli et al. 2004) serta belum adanya insentif bagi masyarakat lokal yang mau menanam spesies pohon penghasil kayu di lahannya
2 mengakibatkan beberapa spesies kayu menjadi langka, bahkan menjadi punah. Kepunahan spesies tersebut tidak akan terjadi apabila pemerintah memberikan kebijakan yang mendukung inisiatif masyarakat lokal dan menyediakan sertifikasi kepada masyarakat yang menanam spesies pohon penghasil kayu di lahannya (Tata 2008). Rasnovi (2006) menemukan adanya indikasi perubahan profil spesies pada tingkat anakan apabila diklasifikasikan berdasarkan tipe penyebaran bijinya, yaitu persentase yang lebih banyak pada pohon yang dipencarkan oleh angin, persentase yang lebih sedikit pada pohon berbiji besar yang memencar sendiri dan presentase yang proporsional pada pohon yang dipencarkan oleh satwa, baik pada jarak pendek maupun jarak jauh. Budidaya pohon penghasil kayu melalui pengelolaan kebun dengan sistem agroforest berpotensi dalam mempertahankan kelestariannya. Sebenarnya, potensi regenerasi alami spesies pohon penghasil kayu masih terjadi pada agroforest karet, baik pada kebun yang intensitas pengelolaannya rendah maupun sedang. Penelitian terdahulu membandingkan antara keanekaragaman anakan spesies pohon pada agroforest karet yang dikelola secara intensif dengan hutan sekunder. Hasil penelitian menemukan bahwa keanekaragaman anakan pohon penghasil kayu skala plot (keanekaragaman alpha) dan skala landskap (keanekaragaman betha) pada agroforest karet yang dikelola secara intensif mirip dengan hutan sekunder (Michon & de Foresta 1997b, Rasnovi 2006, Tata 2008). Keanekaragaman pada tingkat pertumbuhan tiang dan pohon juga telah diteliti, tetapi hanya dalam jumlah plot yang terbatas (Tata et al. 2008). 1.2. Tujuan Tujuan penelitian tentang peran agroforest karet dalam pelestarian keanekaragaman spesies pohon adalah: 1). Membandingkan kekayaan dan keanekaragaman spesies pohon penghasil kayu pada berbagai umur agroforest karet dengan hutan alam yang dikelola masyarakat untuk tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon 2). Membandingkan profil pemencaran biji spesies pohon penghasil kayu pada berbagai umur agroforest karet dengan hutan alam yang dikelola masyarakat untuk tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon
3 3). Mengkuantifikasi spesies pohon penghasil kayu yang mampu bertahan hingga mencapai stadia reproduksi dan dapat dipanen pada berbagai umur agroforest karet dalam hubungannya dengan pengelolaan oleh petani 4). Mengidentifikasi spesies pohon penghasil kayu yang berpotensi mengalami kepunahan pada berbagai umur agroforest karet dan hutan alam yang dikelola masyarakat 1.3. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan analisa mengenai keanekaragaman, profil pemencaran biji, spesies pohon penghasil kayu yang mampu beregenerasi dan mencapai stadia reproduksi serta dapat dipanen pada berbagai umur agroforest karet maupun hutan alam yang dikelola masyarakat dan mengidentifikasi spesies pohon penghasil kayu yang berpotensi mengalami kepunahan lokal di Desa Lubuk Beringin. Informasi yang didapat akan sangat berguna dalam perencanaan penataan penggunaan lahan pada skala lanskap yang tersusun dari mosaik lahan-lahan pemukiman, perkebunan, agroforest karet, hutan sekunder, hutan alam dan sebagainya. 1.4. Perumusan Masalah Agroforest karet di Desa Lubuk Beringin yang dibangun dari proses alih guna lahan menyebabkan beberapa spesies pohon penghasil kayu tidak ditemukan, terutama pada kebun karet yang dikelola dengan intensitas sedang. Sementara itu, spesies pohon tersebut memiliki fungsi penting dalam kelangsungan hidup manusia maupun makhluk hidup lainnya yaitu sebagai sumber makanan, bahan bangunan, bahan obat-obatan dan tempat tinggal. Secara tidak langsung, spesies pohon juga memberikan jasa lingkungan berupa pengendali banjir dan erosi serta penyerap karbon. Seiring dengan berkurangnya intensitas pengelolaan dan umur kebun, jumlah spesies pohon yang tumbuh pada agroforest karet semakin bertambah. Meskipun demikian, ada beberapa spesies pohon penghasil kayu yang tidak mampu beregenerasi pada agroforest karet. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada peranan agroforest karet dalam memberikan peluang bagi spesies pohon penghasil kayu untuk dapat beregenerasi.
4 Adapun permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini antara lain: a. Bagaimana kekayaan dan keanekaragaman spesies pohon pada berbagai umur agroforest karet dan hutan alam yang dikelola masyarakat? b. Bagaimana profil pemencaran biji spesies pohon penghasil kayu pada berbagai umur agroforest karet dan hutan alam yang dikelola masyarakat? c. Berapa banyak spesies pohon penghasil kayu yang mampu bertahan hingga mencapai stadia reproduksi dan menghasilkan pada berbagai umur agroforest karet dan hutan alam yang dikelola masyarakat? d. Spesies pohon apa saja yang berpotensi mengalami kepunahan lokal pada di Desa Lubuk Beringin? 1.5. Kerangka Pemikiran Aktivitas manusia berupa alih guna lahan hutan menjadi agroforest karet menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat, yang mengakibatkan perubahan kondisi fisik dan biotik (Tabarelli et al. 2004). Perubahan kondisi fisik dan biotik yang terjadi pada habitat terfragmen secara tidak langsung menyebabkan perubahan komposisi spesies pemencar biji (Tabarelli et al. 2004), seperti mamalia (Asquith & Chang 2005) dan hilangnya beberapa spesies burung (Cordeiro & Howe 2003). Perubahan kedua kondisi tersebut selanjutnya mengakibatkan menurunnya keanekaragaman spesies pohon. Apalagi bila ditambah dengan pengelolaan kebun karet berupa penyiangan yang mematikan beberapa spesies pohon yang tumbuh di kebun tersebut. Berkurangnya intensitas pengelolaan seiring dengan bertambahnya umur kebun karet akan terjadi proses regenerasi spesies pohon. Meskipun demikian, tidak semua spesies pohon dapat beregenerasi pada agroforest karet. Pohon yang mampu beregenerasi akan bertahan, sementara yang tidak mampu akan hilang atau punah secara lokal. Oleh karena itu perlu mengidentifikasi spesies pohon yang berpotensi terancam punah, sehingga potensi insentif bagi masyarakat lokal yang mendukung pelestarian spesies pohon penghasil kayu pada agroforest karet dapat direncanakan.
5 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Lubuk Beringin dipilih sebagai lokasi penelitian karena di desa ini masih terdapat sistem agroforest karet dari yang sederhana hingga kompleks. Tipe penggunaan lahan lain seperti hutan primer dan sekunder juga masih ditemukan. Tipe agroforest karet pada penelitian ini dikelompokkan berdasarkan umur kebun yaitu agroforest karet tua berumur 60 tahun dengan intensitas pengelolaan rendah, agroforest karet pada tahap produksi maksimum umur 30 tahun dan agroforest karet muda 13 tahun dengan intensitas pengelolaannya sedang. Pada penelitian ini tingkat pertumbuhan yang diamati hanya pancang, tiang dan pohon, karena penelitian mengenai potensi regenerasi anakan spesies pohon telah dilakukan oleh peneliti lain di kecamatan yang sama.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry Huxley
(1999)
mendefinisikan
bahwa
agroforestry
adalah
sistem
pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna lahan. Agroforestry dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan agroforestry kompleks (de Foresta & Michon 1997). Agroforestry sederhana merupakan suatu sistem pertanian yang menggabungkan antara tanaman tahunan dan tanaman setahun dalam sebidang lahan. Sistem ini dicirikan oleh adanya satu spesies pohon sebagai komponen utama dengan satu atau lebih spesies tanaman pangan setahun atau tanaman lainnya yang memiliki siklus pertumbuhan pendek. Sedangkan agroforestry kompleks merupakan suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Penciri utama dari sistem agroforestry kompleks adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder. Oleh karena itu, sistem ini disebut sebagai agroforest atau agroforest kompleks (de Foresta et al. 2000). Salah satu contoh agroforest adalah ‘agroforest karet’ di Jambi (Hairiah et al. 2003). Agroforest karet merupakan suatu sistem agroforestry kompleks berbasis produksi komoditas yang secara ekonomi dianggap penting, namun juga berperan dalam mempertahankan struktur, cadangan karbon dan kekayaan spesies dari vegetasi hutan sekunder (de Foresta & Michon 1996). Agroforest karet di Indonesia dibangun dari proses pembukaan lahan hutan dengan melibatkan kegiatan tebas, tebang dan bakar. Selanjutnya, bibit karet ditanam di lahan tersebut, disertai dengan penanaman padi lahan kering pada tahun pertama dan kedua. Spesies pohon hutan yang tumbuh kembali dari tunggul dan spesies pohon hutan sekunder yang berasal dari proses penyebaran biji
7 dibiarkan tumbuh di antara tanaman karet. Apabila lilit batang karet telah mencapai 40 cm atau berumur sekitar 5-10 tahun dan mulai akan disadap, sebagian vegetasi yang tumbuh di kebun karet dibersihkan untuk membuat jalan sadap di antara pohon karet. Ketika pohon karet telah menurun produksinya, peremajaan kebun dilakukan dengan cara ’sisipan’, yaitu menyisipkan bibit karet pada tempat kosong di dalam kebun yang terjadi karena kematian pohon (Wibawa et al. 2005). 2.2. Keanekaragaman Spesies Pohon pada Agroforest Karet Alih guna lahan hutan menjadi agroforest karet di Jambi menyebabkan penurunan jumlah spesies pohon. Michon dan de Foresta (1997) menyebutkan bahwa pada agroforest karet terdapat 92 spesies pohon. Jumlah tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan spesies pohon yang ditemukan di hutan, yaitu 117. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rasnovi (2006) di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo menemukan bahwa jumlah spesies anakan pohon di agroforest karet lebih rendah yaitu 86 spesies, bila dibandingkan dengan di hutan, yaitu 125 spesies. Sementara itu, Tata et al. (2008), menemukan bahwa jumlah spesies pohon untuk tingkat pertumbuhan anakan, tiang dan pohon pada agroforest karet dan hutan di Kabupaten Bungo dan Tebo hampir sama. Jumlah spesies di hutan pada tingkat pertumbuhan anakan 286, tiang 122 dan pohon 50. Sedangkan, jumlah spesies di agroforest karet pada tingkat pertumbuhan anakan 283, tiang 116 dan pohon 42. Tata et al. (2008), melaporkan adanya perbedaan komposisi spesies pada tingkat pertumbuhan pohon pada hutan dan agroforest karet. Spesies pohon yang hanya ditemukan di hutan adalah Shorea leprosula, Alangium javanicum, Santiria tomentosa, Myristica cf iners, dan Dimocarpus longan. Sedangkan spesies yang hanya ditemukan pada tegakan agroforest karet adalah Alstonia scholaris, Dyera costulata, Dacryodes rostrata, Koompassia malaccensis, Garcinia maingayi dan Garcinia tomentosa, Bhesa paniculata, Alstonia angustifolia, Santiria griffithii dan Nephelium lappaceum.
8 2.3. Kepunahan dan Kolonisasi Spesies Kepunahan terhadap suatu spesies terjadi karena degradasi habitat, fragmentasi habitat, eksploitasi secara berlebihan, invasi spesies dan perubahan iklim global yang sebagian besar terjadi pada daerah tropis dengan kepadatan penduduk tinggi (Wildlife Extinction and Endangered Species 2008, Rasnovi 2006). Fragmentasi lanskap yaitu terpecahnya suatu hamparan habitat yang luas menjadi habitat-habitat kecil yang umumnya terjadi karena aktitas manusia seperti pembukaan lahan dan alih guna lahan dari satu tipe vegetasi menjadi lain (Franklin et al. 2002). Beberapa studi telah menyimpulkan bahwa fragmentasi lanskap cenderung menyebabkan penurunan keanekaragaman spesies tumbuhan (Roy & Joshi 2008). Dalam ekologi lanskap fragmentasi habitat tidak hanya berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati dalam skala habitat yang terfragmen tetapi juga terhadap keanekaragaman dalam skala lanskap secara keseluruhan (Rasnovi 2006). Fargmentasi lanskap akibat alih guna lahan menyebabkan perubahan iklim mikro pada suatu habitat. Adanya perubahan tersebut, spesies yang mampu beradaptasi akan dapat berkembang, sehingga bersaing dengan spesies lainnya. Sementara, spesies yang tidak mampu bersaing tidak dapat bertahan hidup (Eldredge 1986). Apabila individu dari suatu spesies tidak mampu bertahan hidup dan bereproduksi, maka individu tersebut dikatakan punah. Di dalam ekologi, kepunahan secara non formal mengacu pada kepunahan lokal di suatu tempat yang diteliti (Indrawan et al. 2000). Fragmentasi lanskap menyebabkan terjadinya habitat ‘tepi’. Pada habitat tepi tersebut spesies bukan asli (non-native species) berkembang dengan baik dan menginvasi spesies asli serta membentuk suatu koloni (Wildlife Extinction and Endangered Species 2008). Dinamika kolonisasi-kepunahan memiliki peranan penting dalam terbentuknya struktur spasial suatu spesies tumbuhan (Husband & Barrett 1996). Populasi tumbuhan kadang-kadang memiliki struktur spasial yang terbagi-bagi (‘patchy’), karena individu suatu tumbuhan dan populasinya tidak tersebar secara kontinyu pada suatu ruang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur
9 populasi tidak selalu terjadi karena struktur habitat, tetapi lebih disebabkan karena keterbatasan penyebaran propagul tanaman (Tilman et al. 1997). 2.4. Ancaman Kepunahan Spesies Tata et al. (2008) menemukan bahwa pada hutan dan agroforest karet di Kabupaten Bungo dan Tebo, terdapat 19 spesies yang masuk dalam IUCN Red List, 7 spesies dikategorikan kritis yaitu Dipterocarpus gracilis, Dipterocarpus grandiflorus, Hopea nigra, Parashorea aptera, Parashorea lucida, Parashorea malaononan, Shorea johorensis, 6 spesies genting yaitu Anisoptera costata, Anisoptera laevis, Shorea bracteolate, Shorea lerosula, Vatica lowii, Vatica stapfiana dan 6 spesies rawan yaitu Agathis dammara, Dalbergia latifolia, Eusideroxylon zwageri, Aglaia angustifolia, Aquilaria malaccensis dan Gonystylus macrophyllus. Spesies-spesies pohon tersebut umumnya hanya ditemukan di hutan. Sejumlah 13 spesies yang termasuk kategori kritis dan genting merupakan kelompok famili Dipterocarpaceae penghasil kayu yang bernilai ekonomi. Para ahli berpendapat bahwa ancaman kepunahan suatu spesies bukan terjadi karena proses alam, tetapi karena dampak kerusakan akibat kegiatan manusia (Wildlife Extinction and Endangered Species 2008). Kegiatan manusia yang berpengaruh terhadap kepunahan lokal spesies pohon dapat dikelompokan menjadi: (1) Faktor fisik dan mekanik, (2) Faktor bioekologi dan (3) Faktor ekonomi dan demografi. 2.4.1. Faktor fisik-mekanik Alih guna lahan yang melibatkan pembukaan hutan menimbulkan kerusakan habitat, fragmentasi habitat dan perubahan iklim yang selanjutnya akan menimbulkan ancaman kepunahan terhadap suatu spesies. Kerusakan habitat merupakan faktor utama penyebab kepunahan spesies, karena menyebabkan penurunan sekitar 95% spesies yang telah terdaftar. (Wildlife Extinction and Endangered Species 2008). Alih guna lahan hutan menjadi agroforest karet di Indonesia umumnya melibatkan proses tebang-bakar (Wibawa et al. 2005). Proses pembakaran tersebut dapat mengakibatkan matinya sumber benih yang ada di dalam tanah
10 (Tabarelli et al. 2004). Dengan demikian anakan yang tumbuh menjadi berkurang, baik jumlah individu maupun jumlah spesiesnya. Selain pembukaan lahan, pengelolaan lahan yang melibatkan penyiangan pada agroforestry karet mempunyai peranan yang cukup besar terhadap kepunahan spesies pohon (van Noordwijk 2008, komunikasi pribadi). Perubahan iklim mikro seperti kelembaban udara, cahaya dan suhu yang terjadi akibat alih guna lahan menyebabkan beberapa spesies pohon tidak mampu beradaptasi dan meningkatkan kompetisi dengan spesies bukan pohon. Akibat persaingan tersebut, kematian anakan spesies pohon hutan akan meningkat (Tabarelli et al. 2004). 2.4.2. Faktor bioekologi Fragmentasi habitat yang terjadi akibat alih guna lahan berpengaruh nyata terhadap spesies, karena menyebabkan terisolasinya spesies dengan populasi kecil sehingga tidak mampu menyebar dari satu habitat ke habitat lainnya (IUCN 2008). Pada vegetasi, keberadaan agen pemencar biji penting bagi keberlangsungan regenerasi (Rasnovi 2008). Agen Pemencar Biji Biji dari suatu spesies tumbuhan dapat terpencar dengan beberapa cara antara lain melalui perantara hewan (zoochory), angin (anemochory), air (hydrochory) dan memencar sendiri (autochory) (Turner et al. 2001). Hampir 90% spesies pohon dan belukar yang menghasilkan buah lunak beradaptasi dengan hewan pemencar biji (Frankie et al. 1974). Kegagalan tumbuhnya anakan dari suatu spesies pohon berkaitan erat dengan berkurangnya biji yang terpencar akibat punahnya vertebrata pemencar biji seperti primata dan burung karena perburuan dan hilangnya habitat (Tabarelli et al. 2004). Sementara itu, tiap-tiap biji beradaptasi dengan agen pemencarnya. Biji yang dipencarkan oleh angin biasanya berukuran relatif kecil, ringan dan memiliki alat tambahan seperti sayap atau serat. Biji yang memiliki pelindung kuat seperti kulit tebal, tidak tembus air dan dapat mengapung serta memiliki viabilitas yang tinggi umumnya dipencarkan oleh air. Sedangkan satwa, menjadi
11 pemencar biji dari buah berdaging, berwarna cerah, beraroma, berasa manis atau berlemak (Rasnovi 2006). Hasil penelitian di India menunjukkan bahwa burung merupakan pemencar biji yang paling umum dijumpai (59%), yang terdiri dari 86% burung-burung kecil dan 14% burung-burung besar seperti merpati. Hampir 33% spesies pohon dari famili Lauraceae dipencarkan oleh burung, termasuk Litsea spp., Litsea insignis, Litsea glabra, Dysoxylum malabaricum dan Beilscmiedia wightii yang dipencarkan oleh burung-burung besar. Famili Elaeocarpaceae dan Guttiferae dipencarkan oleh mamalia, sementara Euphorbiaceae dipencarkan oleh agen pemencar bukan satwa (Ganesh & Davidar 2001). Prasetyo (2005), melaporkan bahwa di Desa Lubuk Beringin ditemukan 11 spesies kelelawar pemakan buah yang berpotensi sebagai pemencar biji. Balionycteris maculata yang ditemukan di desa tersebut merupakan salah satu spesies kelelawar pemencar biji.
Menurut Hodgkison & Kunz (2006), B.
maculata memakan paling sedikit 22 spesies tanaman dari sembilan famili antara lain Annonaceae (Cyanthocalyx scortechinii, Polyalthia obliqua, Pseuduvaria setosa), Ebenaceae (Diospyros sumatrana), Loganiaceae (Fragaea racemosa dan Stychnos axillaris), Melastomataceae (Memecylon megacarpum dan Pternandra echinata), Moraceae (Ficus fistulosa, F. globosa, F. scortechinii dan F. sundaica), Myrtaceae (Eugenia griffithii), Rhizophoraceae (Pellacalyx saccardianus), Rubiaceae (Diplospora mallacensis dan Nauclea officinalis) dan Theaceae (Adinandra sarosanthera). Biji yang dipencarkan oleh hewan seperti burung dan kelelawar, umumnya terpencar jauh dari induknya dan memiliki keberhasilan tumbuh lebih besar. Oleh karena itu, keberadaan hewan pemakan buah memiliki peranan penting dalam pemencaran biji dan berpengaruh nyata terhadap dinamika populasi komunitas hutan tropis (Fleming & Heithaus 1981). Di hutan, spesies pohon dominan seperti Cullenia exarillata, Palaquium ellipticum dan Aglaia elaeagnoidea umumnya terpencar secara mekanik atau dipencarkan oleh mamalia. Sedangkan spesies pohon yang dipencarkan oleh burung, populasinya relatif jarang, hanya sekali ditemukan pada contoh seluas 3,82 ha (Ganesh & Davidar 2001). Beberapa penelitian membuktikan bahwa
12 semakin jauh biji terpencar dari pohon induknya kemungkinan keberhasilan untuk mencapai dewasa semakin besar karena kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya menjadi berkurang (Garbert & Lambert, 1988). Sebagian besar spesies yang terpencar secara mekanik dan hampir semua spesies yang dipencarkan oleh burung besar berada di dalam hutan yang rapat dengan kelimpahan 50 kali lebih besar bila dibandingkan dengan habitat pinggir hutan. Sementara itu, spesies yang menghasilkan buah berdaging yang dipercarkan oleh burung kecil kerapatan populasinya di dalam hutan rendah, tetapi kepadatan populasi yang lebih tinggi terdapat pada hutan terganggu (Ganesh & Davidar 2001).
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Luas dan Letak Desa Desa Lubuk Beringin memiliki luas areal sekitar 2.800 hektar yang terbagi dalam dua dusun yaitu Dusun Sungai Alai dan Dusun Lubuk Beringin. Dari luasan areal tersebut, 51% atau 1.436 hektar diantaranya merupakan kawasan hutan lindung. Berdasarkan posisi geografis, Desa Lubuk Beringin berada pada 01°42` 23`` sampai dengan 01°46`41``LS dan 1010 52` 39`` BT yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo. Desa ini terletak sekitar 50 kilometer sebelah barat Kota Muara Bungo dan berada pada lereng Gunung Kerinci serta berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. Secara administratif, desa ini berbatasan langsung dengan Desa Laman Panjang di sebelah utara dan timur, Desa Senamat Ulu dan Kecamatan Pelepat di sebelah selatan dan Desa Buat di sebelah barat. 3.2. Iklim Secara umum, tipe iklim untuk Desa Lubuk Beringin mengacu pada data tipe iklim untuk Kabupaten Bungo. Kabupaten Bungo termasuk daerah tipe hujan kelas A, yaitu 11-12 bulan per tahun memiliki curah hujan rata-rata di atas 100 mm dan hanya satu bulan yang memiliki curah hujan rata-rata kurang dari 60 mm (Rasnovi 2006). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh ICRAF di stasiun pengukur curah hujan terdekat di Rantau Pandan, rata-rata curah hujan tahunan antara tahun 1996-2001 adalah 2.728 mm. Suhu rata-rata untuk Kabupaten Bungo antara 27-30°C. Temperatur maksimum 32,3°C terjadi antara Bulan Mei-Oktober, sedangkan temperatur minimum 22,1°C terjadi antara Bulan Juni-September (Rachman et al. 1997). 3.3. Geologi dan Tanah Desa Lubuk Beringin memiliki topografi datar hingga bergelombang dengan ketinggian berkisar antara 450 – 1.316 m di atas permukaan laut (dpl). Desa ini sebelum tahun 2000 masuk dalam wilayah Kecamatan Rantau Pandan
14 yang terbentuk dari formasi batuan granit dan andesitik lava (Rachman et al. 1997) dengan jenis tanah podsolik (BPS Bungo 2002). 3.4. Hidrologi Desa Lubuk Beringin berada di sub daerah aliran sungai (sub-DAS) Batang Buat. Sungai Buat tersebut memiliki beberapa anak sungai yang mengalir di desa Lubuk Beringin antara lain Sungai Cino, Sungai Alai, Sungai Batu Ampar, Sungai Imun, Sungai Belakang Rumah, Sungai Pauh, Sungai Macang Manis, Sungai Lubuk Gambir dan Sungai Iden. Sungai Buat merupakan pendukung utama kebutuhan air bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin terutama untuk mencuci, mandi, mencari ikan dan pengairan sawah. Bahkan sungai merupakan tempat berlangsungnya kegiatan adat bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin yaitu membuka lubuk larangan yang dilakukan setahun sekali menjelang bulan puasa. Oleh karena itu, pada beberapa tempat di aliran Sungai Buat terdapat “lubuk larangan” yang tidak boleh di ambil ikannya sebelum waktunya tiba. Sejak tahun 2002, Sungai Buat memiliki fungsi tambahan yaitu sebagai sumber aliran listrik bagi masyarakat Desa Lubuk Beringin. Pembangkit Listrik Tenaga Air yang dibuat dengan memanfaatkan aliran Sungai Buat tersebut telah dapat dinikmati oleh masyarakat secara gratis. Meskipun secara visual kualitas air Sungai Buat masih termasuk bagus, namun beberapa masyarakat mulai mengeluhkan adanya penurunan debit dan kedalaman sungai. Masyarakat berpendapat bahwa sekitar tahun 1980an, ketika masih banyak hutan, tidak ada orang yang berani menyeberang sungai tersebut. Sekitar tahun 1998 banyak masyarakat yang membuka hutan, sehingga pada tahun 2000 terjadi banjir besar di Desa Lubuk Beringin. Saat ini, debit dan kedalaman sungai menjadi berkurang, sehingga orang dapat menyeberang dengan mudah. 3.5. Penutupan Lahan Tipe penutupan lahan yang ada di Desa Lubuk Beringin terdiri dari hutan 1.436 hektar (51,3%), sawah 47 hektar (1,7%), kebun karet 682 hektar (24,4%), kebun kulit manis 13 hektar (0,5%) dan 567 (20,3%) hektar lahan tidur yang tidak
15 diolah masyarakat serta penggunaan lain sebanyak 55 hektar (2,0%) (ICDP TNKS 2001). Kebun karet yang terdapat di Desa Lubuk Beringin bervariasi umurnya, mulai dari 1 tahun hingga lebih dari 50 tahun. Kebun karet tua yang berumur lebih dari 50 tahun umumnya terletak di dekat pemukiman (desa), sementara kebun yang lebih muda berada jauh dari desa. Pola penggunaan lahan di Desa Lubuk Beringin akhir-akhir ini mengalami perubahan terutama dari hutan menjadi kebun karet muda. Di daerah sekitar hutan banyak dijumpai kebun karet muda yang berumur antara 2-5 tahun. 3.6. Aksesibilitas Desa Lubuk Beringin yang berjarak sekitar 50 kilometer dari ibu kota kabupaten dan 15 kilometer dari ibukota kecamatan, dapat ditempuh dengan kendaraan umum roda dua maupun empat melalui jalan raya Muara Buat. Dari jalan raya tersebut, desa ini berjarak 2 kilometer. Kendaraan roda empat hanya dapat masuk setengah perjalanan melalui jalan tanah, selanjutnya hanya dapat ditempuh dengan dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki. 3.7. Flora dan Fauna 3.7.1. Flora Pada agroforest karet tua di Desa Lubuk Beringin ditemukan pohon meranti (Shorea sp.) dan jelutung (Dyera costulata) yang berdiameter di atas 50 cm. Beberapa spesies pohon dari family Myrtaceae, Sterculiaceae, Elaeocarpaceae, Moraceae, Anacardiaceae, Verbenaceae dan Annonaceae juga ditemukan pada agroforest karet tua. Pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang sering dimanfaatkan sebagai obat malaria umumnya ditemukan pada tepi jalan setapak di dalam kebun karet (Prasetyo 2005). Spesies pohon yang ditemukan pada agroforest karet berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Muntasyarah (2005) tercantum pada Tabel 1.
16 Tabel 1. Spesies pohon yang ditemukan pada agroforest karet di Desa Lubuk Beringin Nama Lokal Kayu Terap Cempedak Kayu Antui Medang Senduk Kelat Jambu Kayu Kelat Rambutan Kayu Medang Durian Asam Kandis Benit Meranti Jelutung Selurah Petai Kabau (jengkol) Medang Batu Kayu Ubi Kayu Balam Merah Kelat Jengkeng Kelat Jangkang Pulai
Nama Latin Artocarpus elasticus Artocarpus integer Artocarpus dadah Endospermum diadenum Syzygium opaca Syzygium polyanthum Nephelium maingayi Sterculia rubiginosa Durio sp. Garcinia pavifolia Papawia hirta Shorea parvifolia Dyera costulata Hydrocarpus kustleri Parkia speciosa Archidendon jiringa Alseodaphne umbeliflora Pternandra cordata Payena acuminata Syzygium lineatum Syzygium picnantum Alstonia scholaris
Famili Moraceae Moraceae Moraceae Euphorbiaceae Myrtaceae Myrtaceae Sapindaceae Sterculiaceae Bombacaceae Clusiaceae Annonaceae Dipterocarpaceae Apocynaceae Flacourtiaceae Mimosaceae Mimosaceae Lauraceae Melastomataceae Sapotaceae Myrtaceae Myrtaceae Apocynaceae
3.7.2. Fauna Keberadaan fauna di Desa Lubuk Beringin sangat dipengaruhi oleh jenisjenis flora yang ada. Flora berperan sebagai sumber makanan, tempat tinggal, tempat mengintai mangsa atau hanya sebagai tempat singgah bagi fauna tersebut. Prasetyo (2005) mengatakan bahwa di Desa Lubuk Beringin ditemukan fauna seperti simpai (Presbitys sp.), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), rangkong (Buceros sp.), kangkareng (Anthracoceros sp.), babi (Sus spp.), elang, berbagai jenis tupai dan berbagai jenis kelelawar (Cynopterus brachyotis, C. minutus, C. horsfieldi, Macroglossus sobrinus, Hippocideros cineraceus, Myotis muricola). Muntasyarah (2005) membedakan jenis-jenis fauna di Desa Lubuk Beringin berdasarkan tempat ditemukannya, yaitu hutan lindung dan kebun karet (Tabel 2.)
17 Tabel 2. Spesies fauna yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin Nama Lokal Kuau Monyet ekor panjang Babi hutan Simpai Rusa Beruk Beruang madu Harimau Kambing hutan Ungko Kijang Kancil Tupai
Nama Latin Macaca fascicularis Sus scrofa Presbytis melalophos Cervus unicolor Macaca nemestrina Helarctos malayanus Panthera tigris Naemorhedus sumatraensis Hylobates agilis Muntiacus muntjak Tragulus javanicus Tupaia glis
Hutan √ √ √ √
Kebun Karet √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √
3.8. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat 3.8.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa Lubuk Beringin memiliki 89 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 386 jiwa, 181 laki-laki dan 205 perempuan. Penduduk desa ini termasuk dalam etnis Melayu Jambi dan semua memeluk agama Islam serta menganut budaya matrilineal. Sebagian besar penduduk masih memiliki hubungan kekeluargaan, kecuali beberapa orang yang datang ke desa ini karena hubungan perkawinan. Rumah penduduk di Desa Lubuk Beringin umumnya berupa rumah panggung yang dibuat dari kayu. Hanya beberapa rumah yang bukan rumah panggung dan dibuat dari batubata. Penduduk desa masih memiliki tradisi yang sangat kuat, terutama dalam bergotong royong membangun rumah, mengerjakan sawah, mengolah padi menjadi gabah dan kegiatan peringatan hari besar agama. Bahkan, mereka mau memberikan kayu yang ditanam di kebun karetnya untuk membuat rumah tetangganya. Meskipun menurut kategori IDT digolongkan ke dalam desa miskin (Muntasyarah 2005), namun pada kenyataannya banyak penduduk usia sekolah menengah atas dan perguruan tinggi yang menempuh pendidikan di luar Propinsi Jambi. Saat ini, hampir setiap rumah di Desa Lubuk Beringin memiliki kendaraan bermotor roda dua. Bahkan beberapa rumah memiliki lebih dari satu kendaraan.
18 3.8.2. Pendidikan Masyarakat Desa Lubuk Beringin sangat memperhatikan masalah pendidikan. Meskipun saat ini hanya ada satu gedung Sekolah Dasar (SD) dan satu gedung Madrasah Ibtidaiyah, namun mereka semangat untuk belajar. Sekolah Menengah Pertama (SMP) mereka tempuh di Desa Rantau Pandan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Desa Lubuk Beringin. Pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi mereka tempuh di ibukota kabupaten yaitu di Muara Bungo atau di Propinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara. 3.8.3. Mata Pencaharian dan Pendapatan Sebagian besar (75%) masyarakat Desa Lubuk Beringin menggantungkan hidupnya pada kebun karet. Walaupun ada sekitar 15 orang yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi penghasilan utama mereka juga berasal dari kebun karet. Mengusahakan sawah mereka lakukan satu tahun sekali, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 3.8.4. Persepsi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan Masyarakat Desa Lubuk Beringin yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada kebun karet masih beranggapan bahwa sumberdaya hutan terutama kayu dan pohon buah-buahan tetap diperlukan. Kayu mereka gunakan untuk membangun rumah dan pohon buah-buahan dapat menjadi sumber penghasilan ketika pohon karet diistirahatkan dari penyadapan yaitu pada musim kemarau. Sumberdaya hutan yang mereka butuhkan mereka tanam di kebun karet atau mereka membiarkan pohon kayu dan buah-buahan tumbuh di kebun karetnya. Saat ini mereka tidak mengambil kayu dari hutan lagi, karena mereka menyadari apabila hutan ditebang maka debit air mengecil dan kincir air pembangkit listrik tidak berputar sehingga mereka tidak mendapatkan aliran listrik. 3.8.5. Ketergantungan Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muntasyarah (2005) menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat Desa Lubuk Beringin terhadap sumberdaya hutan relatif sedikit karena sebagian besar kebutuhan hidup dapat diperoleh dari kebun karet. Selain itu, jarak pemukiman ke hutan cukup jauh, yaitu sekitar 13
19 kilometer dan medan yang ditempuh cukup sulit (berlereng terjal) sehingga mereka enggan pergi ke hutan. 3.9. Kondisi plot pengambilan contoh 3.9.1. Hutan Primer Hutan primer yang diambil sebagai plot contoh adalah hamparan hutan yang merupakan kawasan hutan lindung dan berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), berada pada ketinggian 360 m di atas permukaan laut (dpl). Topografi lokasi berbukit. Jarak dari pemukiman sekitar 8 km. Hutan masih cukup rapat dengan basal area 52,5 m2/ha. Di sekitarnya dikelilingi oleh kebun karet muda sekitar 4 tahun. Kondisi hutan primer ditampilkan pada Gambar 1.
A B Gambar 1. Kondisi tutupan hutan primer (A) dan lantai hutan (B) 3.9.2. Agroforest karet 60 tahun jauh dari hutan Agroforest karet 60 tahun ini terletak sekitar 1 km dari pemukiman Desa Lubuk Beringin atau sekitar 8 km dari hutan primer. Topografinya bergelombang dan berada pada ketinggian 180 m dpl. Penyiangan dilakukan setahun sekali pada lorong sadap. Di sekitarnya berupa lahan yang baru dibuka, kebun karet 30 tahun dan kebun karet muda 4 tahun. Kondisi kebun disajikan pada Gambar 2.
20
A
B
Gambar 2. Kondisi agroforest karet 60 tahun dekat hutan primer (A) dan lantai kebun (B) 3.9.3. Agroforest karet 30 tahun dekat hutan Agroforest karet 30 tahun berada pada ketinggian antara 187-192 m dpl, topografi rata dan berjarak sekitar antara 400-500 m dari hutan primer. Plot yang diambil berada di sekitar kebun karet muda 2 dan 4 tahun, kebun karet 18 tahun serta hutan sekunder 25 dan 30 tahun. Penyiangan dilakukan setahun sekali dengan membabat bersih tumbuhan bawah. Kondisi tutupan lahan agroforest karet 30 tahun di dekat hutan disajikan pada Gambar 3.
A B Gambar 3. Kondisi agroforest karet 30 tahun dekan hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B)
21 3.9.4. Agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan Agroforest karet 30 tahun ini berada pada ketinggian antara 138-154 m dpl, topografi rata dan berjarak sekitar antara 8 km dari hutan primer. Plot contoh berada di sekitar agroforest karet 60 tahun dan sawah. Penyiangan dilakukan setahun sekali dengan membabat bersih tumbuhan bawah. Kondisi tutupan lahan agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan disajikan pada Gambar 4.
A B Gambar 4. Kondisi agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B) 3.9.5. Agroforest karet 13 tahun jauh dari hutan Agroforest karet 13 tahun berada pada ketinggian antara 114–185 m dpl dengan topografi bergelombang. Jarak dari hutan sekitar 8 km dan dari pemukiman sekitar 500 m. Penyiangan dilakukan setahun sekali dengan membabat bersih tumbuhan bawah. Agroforest karet 13 tahun ini dikelilingi oleh agroforest karet 60 tahun, agroforest karet sederhana 30 tahun, kebun karet muda 1 dan 2 tahun. Kondisi tutupan lahan agroforest karet 13 tahun disajikan pada Gambar 5.
A B Gambar 5. Kondisi agroforest karet 13 tahun jauh dari hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B)
22 3.9.6. Hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer Hutan sekunder tua 25 tahun berada pada ketinggian antara 223-269 m dpl dengan topografi bergelombang. Jarak dari hutan berkisar antara 500-1000 m dan tipe penggunaan lahan di sekitarnya berupa agroforest karet 18 tahun, belukar 4 tahun dan hutan sekunder muda 10 tahun. Kondisi hutan sekunder tua 25 tahun disajikan pada Gambar 6.
A B Gambar 6. Kondisi hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B) 3.9.7. Hutan sekunder 13 tahun jauh dari hutan Hutan sekunder muda 13 tahun berada pada ketinggian antara 168-170 m dpl dengan topografi bergelombang. Jarak dari hutan berkisar antara 5 km dan tipe penggunaan lahan di sekitarnya berupa agroforest karet 50 tahun, agroforest karet 4 tahun dan lahan terbuka bekas sawah. Kondisi hutan sekunder muda 10 tahun disajikan pada Gambar 7.
A B Gambar 7. Kondisi hutan sekunder 13 tahun jauh dari hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B)
23 3.9.8. Hutan sekunder 10 tahun dekat hutan Hutan sekunder muda 13 tahun berada pada ketinggian antara 287-302 m dpl dengan topografi rata. Jarak dari hutan berkisar antara 300-500 m dan tipe penggunaan lahan di sekitarnya berupa agroforest karet 18 tahun, hutan sekunder tua 25 tahun dan belukar 4 tahun. Kondisi hutan sekunder muda 10 tahun disajikan pada Gambar 8.
A B Gambar 8. Kondisi hutan sekunder 10 tahun dekat hutan primer (A) dan tumbuhan bawah (B)
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Desa Lubuk Beringin (01°44’10” LS, 101°56’00” BT), Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, seperti disajikan pada Gambar 9. Di lokasi dan tempat yang sama juga dilakukan penelitian untuk mengkaji struktur tegakan vegetasi pada agroforest karet oleh Harti Ningsih (2008).
Lubuk Beringin
Gambar 9. Lokasi penelitian dengan skala 1:250.000 Tipe penutupan lahan yang diamati adalah hutan primer, hutan sekunder 10, 13 dan 25 tahun, agroforest karet 13, 30 dan 60 tahun. Intensitas pengelolaan kebun pada agroforest karet 13 dan 30 tahun digolongkan sedang, yaitu dilakukan penyiangan kebun setahun sekali dengan membersihan tumbuhan selain karet dan membiarkan spesies pohon lain yang dianggap bermanfaat. Sementara itu, pada agroforest karet 60 tahun intensitas pengelolaan digolongkan rendah karena penyiangan hanya dilakukan pada lorong sadap dengan membabat tumbuhan yang ada di sepanjang lorong sadap. Penelitian dilakukan antara bulan April 2008 sampai dengan April 2009 yang dibagi dalam lima tahap yaitu: (1) persiapan dan penyusunan proposal, (2)
25 melakukan transek di Desa Lubuk Beringin untuk melihat kondisi penutupan lahan dan menentukan lokasi pengambilan contoh, (3) survei lapangan untuk mengumpulkan data spesies pohon, (4) identifikasi spesies dan analisis data, dan (5) penyusunan laporan hasil penelitian. 4.2. Peralatan dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) transek dan (2) pengumpulan data vegetasi. Transek Alat dan bahan yang digunakan adalah peta dasar desa, Geography Position System (GPS) Garmin, kompas Brunton, jam atau stopwatch, lembar isian, alat tulis dan kamera digital. Pengumpulan data vegetasi Alat dan bahan yang digunakan dalam pengumpulan data vegetasi adalah meteran berukuran 50 m, meteran untuk mengukur lilit batang, jangka sorong, tali rafia, kantong plastik ukuran 40 cm x 60 cm, kantong plastik berkapasitas 2 kilogram, karung plastik, gunting stek, spiritus, koran bekas, kertas label, label herbarium, alat tulis, ‘plack band’, lembar isian dan kamera digital. 4.3. Metode Pengumpulan Data 4.3.1. Penentuan dan Penarikan Unit Contoh Pengumpulan data vegetasi dilakukan pada tiga tipe penutupan lahan yang terdapat di Desa Lubuk Beringin yaitu: hutan primer, hutan sekunder dan agroforest karet. Tipe penutupan lahan, umur kebun, jarak dari hutan dan jumlah plot yang diaamati disajikan pada Tabel 3, dan lokasi plot pengambilan contoh disajikan pada Gambar 10.
26 Tabel 3. Unit pengambilan contoh pada berbagai tipe tutupan lahan, stadia pertumbuhan dan jarak dari hutan Tipe tutupan lahan Hutan primer Hutan sekunder
Agroforest karet
Umur kebun (tahun) 10 13 25-30 13 30 30 60
Kode plot Forest SH10F SH13S SH25F RA13S RA30F RA30S RA60S
Jarak dari hutan (m) 0 <500 >500 √ √ √ √ √ √ √ √
Jumlah plot 2 2 3 3 3 3 3 3
RAF30 RAF13
RAF60
FOREST
SH13
RAF30 SH25-30 SH10
Gambar 10. Lokasi plot pengambilan contoh penelitian Pengamatan keanekaragaman spesies pohon dilakukan dengan membuat plot yang ditempatkan dengan sistem stratified random sampling. Pada masingmasing tipe tutupan lahan dibuat tiga unit contoh. Unit contoh berupa petak pengamatan yang ukurannya
dibedakan
berdasarkan tipe pertumbuhan pohon yang diamati menggunakan metode yang dikembangkan oleh Hairiah et al. (2001) dan Van Noordwijk et al. (2007) seperti disajikan pada Gambar 11, yaitu:
27 (1) Petak 1 m x 40 m untuk pengamatan pancang berdiameter <10 cm dan tinggi ≥30 cm (2) Petak 5 m x 40 m untuk pengamatan tiang berdiameter 10-30 cm (3) Petak 20 m x 100 m untuk pengamatan pohon berdiameter >30 cm.
5m
1m
20 m
40 m
100 m
Gambar 11. Petak pengamatan untuk survei keanekaragaman spesies pohon 4.3.2. Variabel Pengamatan Variabel yang diamati pada plot 1 m x 40 m adalah semua spesies pohon tingkat pancang dan jumlah individu masing-masing spesies. Pada plot 5 m x 40 m dan 10 m x 200 m, variabel yang diamati adalah semua spesies pohon, jumlah individu masing-masing spesies dan diameter setinggi dada (dbh). Semua pohon yang temukan dalam plot pengamatan diidentifikasi spesiesnya di Herbarium Bogoriensis dengan mengambil contoh daun. 4.4. Metoda Analisis Data 4.4.1. Kekayaan spesies pohon Kekayaan spesies pohon diduga dengan menggunakan rarefaction (harapan jumlah spesies yang ditemukan pada suatu unit contoh) berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh Hurlbert-Sanders (1971) seperti terlihat pada Persamaan 1.
28 ⎧⎪ ⎡⎛ N − N i ⎞ ⎛ N ⎞⎤ ⎫⎪ ⎟⎟ ⎜⎜ ⎟⎟⎥ ⎬ .................................................................. (1) E ( S ) = ∑ ⎨1 − ⎢⎜⎜ ⎪⎩ ⎣⎝ n ⎠ ⎝ n ⎠⎦ ⎪⎭ dimana E(S) = harapan jumlah spesies, N = total jumlah individu yang tercatat, Ni = jumlah individu spesies ke-i dan n = ukuran contoh yang distandarkan Setelah diperoleh nilai harapan jumlah spesies, selanjutnya dihitung indeks kekayaan spesiesnya dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Margalef (1967), seperti terlihat pada Persamaan 2. S −1 ..................................................................................................... (2) ln ( N ) dimana DMg = Indeks keanekaragaman Margalef, S = spesies yang tercatat, N = DMg =
jumlah individu seluruh spesies yang tercatat 4.4.2. Keanekaragaman spesies pohon Keanekaragaman spesies pohon pada masing-masing tipe penutupan lahan (keanekaragaman alpha) dihitung dengan indeks Shannon Wiener (Shannon dan Wiener 1963), seperti terlihat pada Persamaan 3. H ' = −∑ pi ln( pi ) ............................................................................................. (3)
dimana pi = proporsi individu yang terdapat pada spesies ke-i Setelah diperoleh nilai indeks dari masing-masing tipe penutupan lahan yang diamati, kemudian dihitung ragamnya dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Whittaker (1972) seperti terlihat pada Persamaan 4.
∑ p [ln( p )] − [∑ p Var ( H ' ) = 2
]
2
s −1 ............................................ (4) N 2N 2 dimana s = jumlah spesies; N = jumlah individu i
i
i
ln( pi )
+
Selanjutnya untuk membandingkan indeks keanekaragaman Shannon Wiener antar tipe penutupan lahan dilakukan uji signifikansi dengan menggunakan uji t. Nilai t hitung dihitung berdasarkan persamaan yang dikembangkan oleh Hutchenson (1970) seperti terlihat pada Persamaan 5 dengan derajad bebas yang dihitung menggunakan Persamaan 6. th =
H 1' − H 2' Var ( H 1' ) + Var ( H 2' )
................................................................................ (5)
29
df =
[Var ( H ) + Var ( H )] ' 1
' 2
2
......................................................................... (6) ⎛ Var ( H 1' ) ⎞ ⎛ Var ( H 2' ) ⎞ ⎟⎟ ⎟⎟ + ⎜⎜ ⎜⎜ ⎝ N1 ⎠ ⎝ N 2 ⎠ Nilai t hitung pada masing-masing tipe penutupan lahan dibandingkan
dengan nilai t table. 4.4.3. Indeks similaritas
Indeks similaritas yang digunakan dalam analisa data adalah Indeks Sorensen (Sorensen 1948). Indeks ini dihitung untuk mengetahui kemiripan spesies antar tipe tutupan lahan, seperti pada Persamaan 8. IS =
2W x100% .......................................................................................... (8) a+b
dimana: IS = Indeks similaritas W = jumlah spesies yang sama yang ada pada dua tipe tutupan lahan yang berbeda a = jumlah spesies yang ditemukan pada tipe tutupan lahan A b = jumlah spesies yang ditemukan pada tipe tutupan lahan B Indek similaritas pada masing-masing tipe penutupan lahan dibandingkan, kemudian dianalisa menggunakan Analisis Cluster. 4.4.4. Pola sebaran spasial spesies
Pola sebaran spasial yaitu mengelompok, acak atau mengumpul ditentukan menggunakan pendekatan indeks penyebaran Morisita (Krebs 1989) seperti pada Persamaan 9. N
Iδ =
∑ n (n i =1
i
i
− 1)
n(n − 1)
N ...................................................................................... (9)
dimana Iδ = derajat penyebaran Morisita N = total jumlah unit contoh ni = jumlah individu pada unit contoh ke-i n
= total individu pada semua unit contoh
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kekayaan Spesies dan Keanekaragaman Spesies 5.1.1. Kekayaan spesies Kekayaan spesies mengacu pada jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas (van Dyke 1954). Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui kekayaan spesies adalah rarefaction, yaitu dengan menduga harapan jumlah spesies dalam suatu contoh individu secara acak pada ukuran contoh yang distandarkan. Harapan jumlah spesies pada ukuran plot 40 m x 1 m untuk pancang, 40 m x 5 m untuk tiang dan 100 m x 20 m untuk pohon yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin bervariasi tergantung pada tipe tutupan lahan, seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Harapan jumlah spesies dan jumlah spesies aktual yang ditemukan di berbagai tipe tutupan lahan pada tingkat pancang, tiang dan pohon serta nilai simpangan baku Tipe tutupan lahan Kode plot Forest RAF60-S RAF30-F RAF30-S RAF13-S SH25-F SH10-F SH13-S Nilai probabilitas Beda Nyata Terkecil (BNT)
Harapan 30 42 20 15 13 24 30 19
Pancang Aktual 33 48 23 16 17 27 31 20
p<0.001
p<0.001
9.82
7.78
S.B* 2.05 4.08 2.07 1.08 2.97 1.75 0.71 0.71
Harapan 9 5 2 2 2 9 6 8
p<0.001
2.688
Tiang Aktual 10 8 3 2 2 13 8 11
Harapan 22 12 5 2
Pohon Aktual 24 13 5 2
S.B* 0.78 0.94 0.07 0.00
11
12
1.01
p<0.001
p=0.008
p<0.001
3.051
8.32
5.79
S.B* 0.64 1.59 0.70 0.05 0.19 2.48 1.17 1.99
Keterangan: *) S.B adalah simpangan baku Kekayaan spesies tingkat pancang tertinggi terdapat pada agroforest karet 60 tahun, yaitu 42 spesies dan berbeda nyata (p<0,001; BNT = 9,82) dengan tipe tutupan lahan lainnya. Kekayaan spesies di hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan hutan sekunder 10 tahun tidak berbeda nyata, secara berturut-turut yaitu 30,
32 24 dan 30 spesies. Agroforest karet 13 tahun dan 30 tahun serta hutan sekunder 13 tahun memiliki kekayaan spesies lebih rendah, secara berturut-turut 13, 20, 15 dan 19 spesies. Tingginya kekayaan spesies pada agroforest karet 60 tahun terjadi karena masih terdapat sumber biji yang berasal dari induk (tingkat pertumbuhan tiang dan pohon) yang terdapat pada tipe tutupan lahan tersebut. Ditemukan 15 spesies yang kemungkinan merupakan sumber biji. Artocarpus sp. dan Dacryodes rostrata ditemukan dalam pertumbuhan pancang dan tiang, Styrax benzoin, Litsea grandis, Koompassia malaccensis, Polyalthia subcordata, Madhuca kingiana, Cratoxylon cf. arborescens ditemukan dalam pertumbuhan pancang dan pohon, Syzygium claviflorum, Cephalomappa malloticarpa, Palaquium gutta, Parkia speciosa, Pternanda azurea, Lithocarpus sp. (1)1 dan Hevea brassiliensis ditemukan dalam tingkat pertumbuhan pancang, tiang dan pohon. Selain berasal dari induk yang ditemukan pada tipe tutupan lahan tersebut, spesies tingkat pancang yang tumbuh pada agroforest karet 60 tahun berasal dari induk di tempat lain dan dipencarkan oleh satwa. Penelitian terdahulu membuktikan bahwa struktur agroforest karet yang menyerupai hutan merupakan habitat atau ’refugia’ bagi berbagai spesies satwa yang beberapa diantaranya berperan sebagai pemencar biji. Jepson dan Djarwadi (2000), menemukan 5 spesies burung pemakan buah pada agroforest karet. Jumlah tersebut sama dengan di hutan primer, tetapi lebih tinggi bila dibandingkan di perkebunan karet monokultur, yaitu hanya 2 spesies. Seperti halnya di hutan alam, pada agroforest karet masih ditemukan spesies burung berukuran besar dengan berat tubuh antara 1.281-2.560 gram. Pada agroforest karet ditemukan beberapa spesies burung yang umum terdapat di hutan alam, namun spesies burung belukar juga ditemukan di sini. Selain burung, agroforest karet juga merupakan habitat yang disukai beberapa spesies mamalia. Maryanto et al. (2000), menemukan 9 spesies mamalia pada agroforest karet dengan indeks keanekaragaman lebih tinggi dari hutan primer, yaitu 2,09 pada agroforest karet dan 1,67 pada hutan primer. Sebanyak 4 1
Angka (1) dibelakang nama Lithocarpus sp. diberikan untuk memberi tanda bahwa dalam pengamatan ditemukan spesies Lithocarpus lain yang belum teridentifikasi sampai tingkat spesies
33 spesies bajing dan 2 spesies tupai yang ditemukan pada agroforest karet berpotensi sebagai pemencar biji. Apabila dibandingkan dengan hutan primer, kekayaan spesies mamalia pada agroforest karet adalah 28,57% lebih tinggi. Pada lokasi penelitian yang sama yaitu di Desa Lubuk Beringin, Prasetyo (2007), melaporkan bahwa keanekaragaman spesies kelelawar di agroforest karet tua adalah 1,41; lebih tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer yaitu 0,78. Tingginya keanekaragaman spesies satwa pada agroforest karet tua yang berperan sebagai pemencar biji, menyebabkan tingginya kekayaan spesies tingkat pancang. Apalagi didukung oleh lebih terbukanya tutupan lahan bila dibandingkan dengan hutan primer. Tutupan lahan diduga dari biomasa tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Total biomasa pada agroforest karet 60 tahun adalah 259 ton/hektar, sedangkan di hutan primer 470 ton/hektar. Biomasa yang lebih rendah pada agroforest karet 60 tahun mengindikasikan lebih rendahnya kerapatan kanopinya sehingga memungkinkan cahaya matahari yang mencapai lantai kebun lebih banyak bila dibandingkan dengan hutan primer. Cahaya matahari tersebut memicu perkecambahan biji yang disebarkan oleh satwa maupun yang berasal dari pohon induk di dalam kebun. Agroforest karet 60 tahun ini dikelilingi oleh lahan terbuka dan kebun karet muda sehingga menyebabkan terpecahnya (fragmentasi) habitat. Van Dyke (1954), menyatakan bahwa fragmentasi habitat cenderung meningkatkan jumlah habitat tepi yang sering berasosiasi dengan kekayaan spesies lebih tinggi. Meskipun demikian, spesies yang ditemukan pada habitat tepi biasanya spesies generalis yang memiliki jarak sebaran dan kisaran geografi luas. Pada agroforest karet 60 tahun 18 spesies yang ditemukan merupakan spesies yang sangat umum dijumpai di Desa Lubuk Beringin, karena ditemukan pada 5 tipe tutupan lahan (62,5%) dari 8 yang diamati. Pada tingkat pertumbuhan tiang, kekayaan spesies pada agroforest karet menurun secara drastis bila dibandingkan dengan tingkat pancang, dan berbeda nyata (p<0.001; BNT = 2.69) dengan hutan primer, yaitu 5 spesies pada agroforest karet tua dan 9 spesies di hutan primer. Spesies tingkat tiang yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun adalah spesies yang memiliki nilai komersial sehingga
34 dibiarkan tumbuh atau bahkan sengaja ditanam seperti Palaquium gutta, Parkia speciosa, Archidendron jiringa, Dyera costulata dan Hevea brasiliensis. Kejadian yang lebih buruk terjadi pada agroforest karet 13 dan 30 tahun yang hanya memiliki 2 spesies kayu tingkat tiang. Sementara itu, kekayaan spesies pada hutan sekunder tidak berbeda nyata dengan hutan primer, kecuali pada hutan sekunder muda 13 tahun. Pada tingkat pohon, kekayaan spesies pada agroforest karet 60 tahun lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat tiang yaitu 12 spesies. Jumlah tersebut hampir sama dengan hutan sekunder 25 tahun, yaitu 11 spesies, tetapi jauh lebih rendah dari hutan primer 22 spesies. Seperti halnya pada tingkat tiang, spesies tingkat pohon yang bertahan pada agroforest karet 60 tahun adalah spesies yang memiliki nilai komersial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa rendahnya kekayaan spesies pada tingkat tiang dan pohon pada agroforest karet terjadi karena aktivitas pengelolaan kebun yang melibatkan penyiangan. Ketika melakukan pembersihan kebun, petani memilih spesies-spesies yang dianggap memiliki nilai komersial. Agroforest karet 30 tahun, baik yang berada di dekat hutan primer maupun jauh dari hutan primer dan agroforest karet 13 tahun memiliki kekayaan spesies paling rendah.
Menurut Lehebel-Peron (2008), agroforest karet 30 tahun ini
digolongkan ke dalam kelompok produksi maksimum dan agroforest karet 13 tahun digolongkan dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu, kebun dikelola secara lebih intensif untuk mempertahankan produksi karetnya melalui penyiangan setahun sekali dengan membabat habis vegetasi yang ada di dalam kebun, kecuali spesies-spesies tertentu seperti kayu komersial dan buah-buahan yang dianggap memiliki nilai ekonomi. Selain itu, rendahnya kekayaan spesies tingkat tiang pada agroforest karet 30 tahun terjadi karena jumlah spesies tingkat pancang dan pohon yang berpotensi sebagai sumber benih pada tipe tutupan lahan tersebut juga rendah. Dengan demikian, sumber benih tidak terdapat di sekitar kebun, apalagi didukung oleh rendahnya satwa pemencar biji yang ditemukan pada agroforest karet muda yang menyerupai monokultur. Maryanto et al. (2000), menyebutkan 4 spesies mamalia
35 ditemukan pada perkebunan karet dan hanya satu spesies yang kemungkinan sebagai pemencar biji yaitu bajing. Prasetyo (2007) juga melaporkan bahwa keanekaragaman kelelawar pada agroforest karet muda juga rendah, yaitu 0,57. Agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan memiliki kekayaan spesies paling rendah untuk tingkat pancang, tiang dan pohon. Kebun ini berada di sekitar pemukiman dan hamparan sawah. Pemukiman dan sawah kemungkinan menjadi penghalang bagi berbagai spesies pemencar biji dari hutan, sehingga biji-biji pepohonan tidak dapat disebarkan. O’Connor (2005), menyatakan bahwa burung yang ditemukan di sawah didominasi oleh spesies-spesies pemakan biji dari kelompok Graminae antara lain Lonchura spp., Passer montanus, Amarournis sp., Streptopelia chinensis dan jenis-jenis pemakan serangga seperti Apus sp., Collocallia esculenta, Pycnonotus sp. serta jenis-jenis pemakan hewan air kecil seperti Ixobrychus sp. Jenis burung pemakan buah yang berperan sebagai pemencar biji tidak ditemukan lagi di sawah. Apalagi, ditambah dengan aktivitas manusia melalui penyiangan kebun yang dilakukan sekali setahun memberikan sumbangan terhadap menurunnya kekayaan spesies pohon. Pada agroforest karet 13 dan 30 tahun, spesies yang dibiarkan tumbuh ketika melakukan pembersihan kebun hanya spesies utama dan satu sampai empat spesies lain yang dianggap bernilai komersial. Kondisi seperti ini menyebabkan hilangnya spesies kayu asli yang tumbuh di Desa Lubuk Beringin. Kesempatan beregenerasi
hingga
tingkat
pancangpun
tidak
memungkinkan
karena
pembersihan kebun dilakukan dengan membabat bersih setahun sekali. Akibat dari pengelolaan kebun secara intensif menyebabkan kelangkaan spesies kayu untuk kebutuhan mereka, sehingga mereka harus membeli dari tempat lain. Kejadian seperti ini mulai dialami oleh beberapa penduduk di Desa Lubuk Beringin. 5.1.2. Akurasi pendugaan kekayaan spesies dengan metode rarefaction Pendugaan kekayaan spesies pada suatu komunitas yang berbeda sangat sensitif terhadap ukuran contoh, karena spesies yang jarang sering kali sulit dijumpai pada contoh berukuran kecil. Secara sederhana kekayaan spesies dapat dikalibrasi dengan menggunakan kurva rarefaction dari hasil pendugaan dengan
36 hasil pengamatan (Kartono 2006, unpublished). Berdasarkan kurva rarefaction, nilai pendugaan kekayaan spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang diamati di Desa Lubuk Beringin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji t menunjukkan bahwa p<0.1906 pada kekayaan spesies tingkat pancang, p<0.0884 pada tingkat tiang dan p<0.3868 pada tingkat pohon antara hasil pendugaan dengan hasil pengamatan seperti disajikan pada Gambar 12. 60
Harapan-Pancang
Kekayaan spesies per plot
Aktual-Pancang
50
Harapan-Tiang Aktual-Tiang Harapan-Pohon
40
Aktual-Pohon
30 20 10 0 RA13S RA30S RA30F SH10F SH13S RA60S SH25F Forest
Tipe tutupan lahan
Gambar 12. Kekayaan spesies harapan dan aktual hasil pengamatan untuk tingkat pancang, tiang dan pohon pada berbagai tipe tutupan lahan 5.1.3. Keanekaragaman spesies Keanekaragaman spesies adalah jumlah spesies yang beragam yang hidup di suatu lokasi tertentu. Indeks kuantitatif keanekaragaman spesies dikembangkan untuk menunjukkan keanekaragaman spesies pada tiga skala geografi yang berbeda. Pada skala yang paling sederhana adalah keanekaragaman yang ditemukan pada suatu komunitas atau disebut dengan keanekaragaman alpha (Indrawan et al. 2007). Salah satu metoda untuk menghitung indeks keanekaragam spesies adalah dengan Indeks Shannon-Wiener.
37 Hasil pengamatan di Desa Lubuk Beringin menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pohon bervariasi antar tipe tutupan lahan dan tingkat pertumbuhan seperti disajikan pada Gambar 13.
Indeks Shannon-Wiener
4
3 Pancang Tiang Pohon
2
1
0 RA13S RA30F RA30S RA60S SH10F SH13S SH25F Forest
Tipe tutupan lahan
Gambar 13. Indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang, tiang dan pohon di berbagai tipe tutupan lahan Keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata dengan hutan primer dan hutan sekunder, tetapi berbeda nyata pada selang kepercayaan 10% dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun. Keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan primer dan hutan sekunder. Pada tingkat pancang, keanekaragaman spesies pada agroforest karet 13 dan 30 tahun adalah 2,99 dan 2,70 sedangkan pada agroforest karet 60 tahun mencapai 3,8 (sama dengan hutan sekunder 25 tahun). Keanekaragaman pancang di hutan primer hampir sama dengan hutan sekunder 13 tahun yaitu 3,3 dan 3,2. Aktivitas penyiangan yang dilakukan pengelola kebun memiliki peran yang sangat nyata dalam penurunan keanekaragaman spesies pohon karena menyebabkan hilangnya beberapa spesies, terutama spesies yang dianggap tidak komersial. Pada tingkat tiang, agroforest karet 13 tahun dan 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki indeks keanekaragaman spesies hampir sama yaitu 0,75 dan 0,66. Agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer memiliki indeks
38 keanekaragaman lebih tinggi yaitu 1,15 meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Bila dibandingkan dengan agroforest karet 13 dan 30 tahun, maka pada tipe tutupan lahan yang dikelola secara tidak intensif memilik indeks keanekaragaman spesies pohon lebih tinggi yaitu 2,63 untuk agroforest karet 60 tahun, 2,11 dan 2,44 untuk hutan sekunder 10 dan 13 tahun, 3,25 untuk hutan sekunder 25 tahun dan 2,85 untuk hutan primer. Pada hutan sekunder, indeks keanekaragaman spesies pohon tingkat tiang semakin meningkat dengan bertambahnya umur lahan. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tingkat pancang yang pada umur yang lebih rendah dapat berkembang hingga mencapai tingkat tiang setelah rentang waktu tertentu. Pada tingkat pertumbuhan pohon, indeks keanekaragaman spesies di agroforest karet 30 tahun lebih rendah bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder dan hutan primer. Bahkan, perbedaan yang sangat nyata (pada selang kepercayaan 5%) terjadi antara hutan primer dengan agroforest karet 30 tahun jauh dari hutan primer. Indeks keanekaragaman spesies pada agroforest karet 30 tahun adalah 0,95 untuk lokasi di dekat hutan primer dan 0,16 untuk lokasi yang jauh dari hutan primer. Agroforest karet 60 tahun memiliki indeks keanekaragaman spesies lebih tinggi yaitu 2,43. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon di hutan sekunder dan hutan primer hampir sama yaitu 3,03 dan 3,11. Indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada lahan yang tidak dilekola seperti hutan primer dan hutan sekunder relatif stabil bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan yang dikelola seperti agroforest karet. Pada agroforest karet, terjadi penurunan indeks keanekaragaman spesies dari tingkat pancang ke tingkat tiang dan pohon yang sangat tajam, terutama pada agroforest
karet
30
tahun
yang
jauh
dari
hutan
primer.
Penurunan
keanekaragaman spesies tersebut terjadi karena adanya akivitas manusia di dalam kebun, antara lain penyiangan gulma. Penyiangan yang dilakukan pada lorong sadap di agroforest karet 60 tahun, maupun peyiangan seluruh lantai kebun mengakibatkan matinya beberapa spesies tingkat pancang, sehingga menurunkan keanekaragaman pada tingkat tiang dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
39 Dengan demikian penyiangan memberikan dampak penurunan keanekaragaman spesies secara nyata dari tingkat pancang ke tiang. Pada tipe tutupan lahan yang tidak dikelola oleh masyarakat seperti hutan sekunder dan hutan primer tidak terjadi perbedaan antara keanekaragaman spesies pancang, tiang dan pohon, karena masyarakat tidak melakukan aktivitas yang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman spesies. Lahan dibiarkan tumbuh secara alami, sehingga kematian atau hilangnya spesies lebih dipengaruhi oleh faktor alami seperti kompetisi. 5.2. Profil Pemencar Biji 5.2.1. Profil pemencar biji pada berbagai tingkat pertumbuhan Lebih dari 60% spesies pohon yang ditemukan di Desa Lubuk Beringin dipencarkan oleh satwa, 64% tingkat pancang, 66% tingkat tiang dan 61% tingkat pohon. Persentase ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan tropis di Panama yang berkisar antara 72-76% (Datta & Rawat 2008). Pada tingkat pancang, hutan primer dan hutan sekunder 10 tahun memiliki spesies terbanyak yang dipencarkan oleh satwa, yaitu 30 dan 37 spesies. Hutan sekunder 10 tahun merupakan lokasi yang paling dekat dengan kawasan hutan lindung. Pergerakan satwa yang berperan sebagai pemencar biji dari hutan primer atau menuju hutan primer berpeluang melintasi hutan sekunder 10 tahun tersebut, sehingga biji-biji yang dibawa kemungkinan jatuh dan beregenerasi di sini. Hutan sekunder 13 tahun dan agroforest karet 30 tahun memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa terrendah yaitu 19 dan 13 (simpangan baku = 7,2). Kedua lokasi tersebut berada di sekitar pemukiman yang jauh dari hutan primer (sekitar 8 km dari hutan primer). Hamparan sawah dan agroforest karet muda telah memisahkan lokasi ini dari hutan primer, sehingga pergerakan satwa pemencar biji tidak dapat mencapai lokasi ini. Tidak adanya pepohonan tinggi pada agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 13 tahun yang jauh dari hutan primer kemungkinan tidak menarik satwa, terutama burung berukuran besar untuk datang ke lokasi tersebut.
40 Agroforest karet 60 tahun, agroforest karet 30 tahun dan hutan sekunder 25 tahun dekat hutan primer serta agroforest karet sederhana 13 tahun jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies pancang yang dipencarkan oleh satwa hampir sama yaitu secara berturut-turut 22, 23, 24 dan 22. Jumlah spesies tingkat pancang berdasarkan tipe pemencarannya disajikan pada Gambar 14. 60
Jumlah spesies
50
Tida ada data Hydrochory Anemochory
Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory
40 30 20 10 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F
Tipe tutupan lahan
Gambar 14. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa jarak dari hutan dan struktur vegetasi berpengaruh terhadap potensi pemencaran biji oleh satwa. Hutan sekunder muda 10 tahun yang berbatasan dengan hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa hampir sama dengan hutan primer. Sedangkan hutan sekunder muda 13 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa relatif rendah. Hal ini merupakan indikasi adanya keterbatasan jarak jangkauan satwa pemencar biji tersebut. Kebun karet muda berumur 4 tahun dan persawahan merupakan penghalang bagi satwa pemencar biji, seperti yang terjadi pada agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan. Kebun karet muda yang baru dibuka dan hamparan persawahan menyebabkan fragmentasi habitat sehingga satwa yang membawa biji dari tempat lain tidak dapat melintasi areal tersebut, akibatnya spesies yang beregenerasi sampai tingkat pancang tergantung pada agen pemencar lainnya misalnya angin. Meskipun jaraknya dari hutan relatif jauh, agroforest karet kompleks 60 tahun memiliki spesies pancang yang disebarkan oleh satwa sama dengan hutan
41 sekunder tua 25 tahun dan agrforest karet 30 tahun dekat hutan primer. Struktur vegetasi pada agroforest karet 60 tahun yang terdiri dari beberapa lapisan kanopi menyerupai hutan sekunder memungkinkan satwa pemencar biji tinggal di tempat tersebut. Agroforest karet sederhana 13 tahun, meskipun berada jauh dari hutan primer dan memiliki struktur vegetasi menyerupai perkebunan tetapi memiliki spesies tingkat pancang yang dipencarkan oleh satwa sama dengan agroforest karet kompleks 60 tahun. Lokasi kebun yang dikelilingi oleh agroforest karet 60 tahun dan 30 tahun merupakan salah satu faktor penyebabnya. Satwa yang tinggal pada agroforest karet 30 dan 60 tahun kemungkinan melintasi agroforest karet 13 tahun tersebut dan memiliki peluang untuk memencarkan biji. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa banyaknya spesies pancang yang dipencarkan oleh satwa yang tumbuh pada suatu areal sangat tergantung pada struktur vegetasi di sekitarnya. Fragmentasi yang mengakibatkan perubahan struktur vegetasi menjadi lebih terbuka menyebabkan menurunnya jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa. Pada agroforest karet, jumlah spesies tingkat pancang yang dipencarkan oleh angin dipengaruhi oleh kerapatan tajuk. Semakin rendah kerapatan tajuk, semakin banyak spesies yang dipencarkan oleh angin. Pada penelitian ini, kerapatan tajuk diduga dengan menghitung jumlah individu tingkat tiang dan pohon per petak contoh. Pada tipe tutupan lahan yang relatif terbuka dengan jumlah individu sedikit, biji-bijian yang terbawa angin dapat mencapai tanah dan berkecambah, sedangkan pada tipe tutupan lahan yang kerapatannya relatif tinggi (jumlah individu banyak), maka kemungkinan biji mencapai permukaan tanah relatif sedikit karena tersangkut pada kanopi vegetasi pohon yang ada di lahan tersebut. Hubungan antara jumlah individu tiang dan pohon per petak contoh pada tiap tipe tutupan lahan dengan jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin disajikan pada Gambar 15.
42
Jumlah spesies 'anemochory'
8 7
y = 10.207e-0.053x R² = 0.7817
6 5 4
Agroforest karet
3
Hutan sekunder
2 1 0 0
10
20
30
40
50
Jumlah individu per plot
Gambar 15. Hubungan antara jumlah individu tiang dan pohon per petak contoh dan jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin (’anemochory’) Pada tingkat tiang, jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa di hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata (simpangan baku = 6,3), yaitu secara berturut-turut 15, 19 dan 14 spesies. Pada agroforest karet yang dikelola secara lebih intensif, jumlah spesies tiang yang dipencarkan oleh satwa relatif sedikit, yaitu 3 spesies pada agroforest karet 30 tahun dan 2 spesies pada agroforest karet 13 tahun. Spesies-spesies tersebut merupakan tanaman bernilai ekonomi seperti nangka (Artocarpus heterophyllus), jengkol (Archidenron jiringa) dan kayu manis (Cinnamomum iners) yang sengaja dibiarkan tumbuh. Jumlah spesies tiang berdasarkan tipe pemencaran bijinya disajikan pada Gambar 16. Jumlah spesies tingkat tiang yang dipencarkan oleh satwa mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tingkat pancang antara 20-50% pada hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer. Pada agroforest karet 13 dan 30 tahun, penurunan jumlah spesies yang dipencarkan satwa dari tiang ke pancang mencapai 85%. Meskipun demikian, pada agroforest karet 60 tahun, penurunan jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa tidak berbeda dengan hutan primer dan hutan sekunder yaitu 63%. Aktivitas pengelolaan lahan yaitu pembersihan kebun dengan membabat bersih spesies tingkat pancang pada agroforest karet 13 dan 30 tahun menyebabkan menurunnya spesies pancang, sedangkan pada hutan
43 primer dan hutan sekunder penurunan jumlah spesies terjadi karena kompetisi dengan spesies lain. 35
Jumlah spesies
30
Tida ada data Hydrochory Anemochory
Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory
25 20 15 10 5 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F
Tipe tutupan lahan
Gambar 16. Jumlah spesies tiang berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Pada tingkat pohon, jumlah spesies yang dipencarkan oleh satwa pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer masih relatif banyak yaitu 17, 20 dan 22 spesies. Spesies-spesies yang mencapai tingkat pohon tersebut merupakan spesies yang dipencarkan oleh satwa sekitar 20 tahun yang lalu atau lebih. Rendahnya pengelolaan oleh manusia selama proses regenerasi menyebabkan spesies-spesies tersebut bertahan hingga mencapai pertumbuhan pohon. Sementara itu, pada agroforest karet 30 tahun, jumlah spesies pohon yang dipencarkan oleh satwa hanya 5 spesies untuk kebun di dekat hutan primer dan 1 spesies untuk kebun yang jauh dari hutan primer. Jumlah spesies yang dipencarkan oleh angin terbanyak terdapat di hutan primer yaitu 10 spesies, kemudian di hutan sekunder 25 tahun 6 spesies. Pada agroforest karet 60 tahun hanya 2 spesies dan pada agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer hanya 1 spesies. Jumlah ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun. Jarak yang relatif jauh dari hutan, yaitu sekitar 8 km merupakan pembatas bagi pemencaran biji oleh angin. Wilkinson (1997), mengatakan bahwa mekanisme penyebaran biji oleh angin hanya mungkin
44 terjadi pada penyebaran lokal (hanya jarak beberapa diameter kanopi), sedangkan penyebaran dalam skala yang lebih luas terjadi karena pemencaran oleh burung. Jumlah spesies tingkat pohon yang dipencarkan oleh satwa tidak berbeda antara hutan primer, hutan sekunder 25 tahun dan agroforest karet 60 tahun, yaitu 22, 20 dan 17 spesies. Demikian pula dengan jumlah spesies pada tingkat pancang dan tiang. Hal ini menunjukkan bahwa pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut masih terdapat satwa pemencar biji. Jumlah spesies tingkat pohon berdasarkan tipe pemencaran bijinya disajikan pada Gambar 17. Tida ada data Hydrochory Anemochory
40
Jumlah spesies
35
Tidak teridentifikasi Autochory Zoochory
30 25 20 15 10 5 0 Forest
RA60S
RA30F
RA30S
SH25F
Tipe tutupan lahan
Gambar 17. Jumlah spesies tingkat pohon berdasarkan tipe pemencaran biji pada berbagai tipe tutupan lahan Tingginya spesies yang dipencarkan oleh biji pada hutan primer, hutan sekunder dan agroforest karet 60 tahun membuktikan bahwa satwa pemakan buah-buahan yang berpotensi sebagai pemencar biji memiliki peranan yang sangat penting dalam pelestarian spesies. Satwa yang berpotensi sebagai pemencar biji antara lain Hylobates lar agilis, Presbytis melalophos, Muntiacus muntjak, Sus barbatus, Tupaia glis, Scundasciurus hippurus, Tupaia tana, Tragulus javanicus, Macaca fascicularis, Sundasciurus lowii, Callosciurus notatus, Callosciurus prevostii, Cervus unicolor dan Trachypithecus cristatus (Maryanto et al. 2000). Prasetyo 2007, menyebutkan bahwa pada agroforest karet muda dan tua di Desa Lubuk Beringin ditemukan kelelawar pemakan buah Cynopterus brachyotis, Cynopterus horsfieldi dan Balionycteris maculate.
45 5.2.2. Ketersambungan habitat Ketersambungan habitat (habitat connectivity) adalah terhubungnya habitat melalui suatu habitat penghubung, sehingga masih memberikan kesempatan pergerakan bagi satwa dan pemencaran bagi tumbuhan. Keberhasilan regenerasi spesies pohon yang dipencarkan oleh satwa dipengaruhi oleh adanya ketersambungan habitat. Pohon-pohon yang tumbuh pada areal tidak berhutan merupakan struktur yang umum dijumpai pada suatu lansekap hutan dan memiliki nilai konservasi tinggi karena berperan sebagai penghubung (batu loncatan) pada hutan yang terfragmentasi (Herrera & Garcia 2009). Pohon penghasil buah dapat menjadi sumber biji untuk beberapa pohon hutan (Guevara et al. 1986). Agroforest karet 60 tahun dan hutan sekunder 25 tahun yang ditumbuhi berbagai spesies pohon hutan dapat berperan sebagai habitat penghubung. Pohonpohon tersebut berfungsi sebagai tempat hidup, tempat mencari makan dan tempat bertengger bagi satwa pemencar biji serta sebagai sumber biji dari beberapa spesies pohon (Guevara et al. 1986). Biji-biji yang dijatuhkan atau dibuang bersama kotoran oleh satwa pemakan biji akan tumbuh pada tempat tersebut sehingga menjadi tempat regenerasi. Herrera & Garcia 2009 menyatakan bahwa pohon-pohon yang tumbuh pada areal tidak berhutan tersebut memiliki peranan setara dengan pohon-pohon hutan dalam kaitannya dengan pemencaran biji. Beberapa pustaka ilmiah menekankan perlunya areal alami untuk tujuan konservasi (DellaSala et al. 1996) dan menghubungkan areal alami tersebut dengan habitat korodor aau habitat penghubung (Harrison 1992). Hutan sekunder yang terdapat di desa Lubuk Beringin merupakan areal alami yang perlu dilindungi. Perlindungan terhadap areal alami dalam suatu lansekap yang dikelola dapat memberikan manfaat sebagai ’refugia’ bagi tumbuhan dan satwa (Sayer et al. 1995). 5.2.3. Pola sebaran spasial spesies Di Desa Lubuk Beringin tidak ditemukan spesies yang memiliki pola sebaran acak, tetapi beberapa spesies hanya ditemukan pada satu petak Spesies
46 tingkat pancang, tiang dan pohon didominasi oleh spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok yaitu (50%) untuk tingkat pancang dan tiang serta 30% untuk tingkat pohon. Sebaran mengelompok merupakan pola yang paling banyak dijumpai pada populasi alami (Odum 1986, Krebs 1999). Pola sebaran spesies dipengeruhi oleh tipe pemencaran biji dari spesies tersebut. Selain itu, kondisi tanah, cahaya matahari, kelembaban dan topografi juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pola sebaran spasial (Datta & Rawat 2008). Pada agroforest karet 60 tahun jumlah spesies pancang yang memiliki pola sebaran mengelompok tertinggi bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainnya. Hal ini terjadi karena pada agroforest karet 60 tahun terdapat spesies pemencar biji yang beradaptasi pada tempat terbuka dan hutan primer. Mamalia pemakan buah yang ditemukan pada agroforest karet dan beradaptasi dengan habitat hutan antara lain Sus barbatus dan Callosciurus prevostii, sedangkan yang berdaptasi dengan habitat terbuka adalah Cervus unicolor (Maryanto et al. 2000). Tingginya spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok di hutan primer dan hutan sekunder tua terjadi karena masih ada pemakan buah berupa satwa yang berukuran besar. Hasil pengamatan di lapangan ditemukan burung rangkong papan (Buceros bicornis) di hutan primer. Seperti dikemukakan oleh Howe (2004), bahwa spesies pohon menyebar secara mengelompok karena adanya satwa besar yang memakan buah, baik satwa arboreal maupun terestrial. Pemencaran yang dilakukan oleh burung, kelelawar dan satwa kecil memiliki pola sebaran lebih menyebar. Jumlah spesies pancang berdasarkan tipe sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Gambar 18.
47
100
Ditemukan pada 1 plot Mengelompok
Jumlah spesies
80
Seragam
60 40 20 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F
Tipe tutupan lahan
Gambar 18. Jumlah spesies pancang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan Agroforest karet 60 tahun memiliki spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan terbanyak bila dibandingkan dengan tipe tutupan lahan lainnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa pada agroforest karet 60 tahun terdapat spesies yang cenderung mengalami kelangkaan, karena hanya ditemukan dalam jumlah individu dan habitat terbatas. Malhado & Petrere (2004) menyatakan bahwa analisa pola sebaran spesies dapat digunakan dalam pengelolaan hutan. Selain itu juga dapat digunakan untuk menentukan luas area yang dipilih untuk tujuan konservasi (Rossi & Higuchi 1998) dan untuk menduga kepadatan populasi spesies (Krebs 1999). Pada tingkat tiang, jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok di hutan primer, hutan sekunder dan agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata. Hutan sekunder 25 tahun memiliki jumlah terbanyak untuk spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan. Seperti halnya tingkat pancang, hal tersebut juga merupakan indikasi bahwa pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder dan hutan primer ditemukan spesies yang memiliki jumlah individu terbatas. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan di sajikan pada Gambar 19.
48 30
Ditemukan pada 1 plot Mengelompok
Jumlah spesies
25
Seragam
20 15 10 5 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F
Tipe tutupan lahan
Gambar 19. Jumlah spesies tiang berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan Hutan primer memiliki jumlah spesies tingkat pohon dengan pola sebaran mengelompok tertinggi dibandingkan tipe tutupan lahan lainnya, yaitu 19 spesies. Sementara, agroforest karet 60 tahun memiliki komposisi jumlah spesies yang menyebar secara mengelompok, maupun spesies yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan hampir sama dengan hutan sekunder 25 tahun. Jumlah spesies pohon berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Gambar 20. Ditemukan pada 1 plot Mengelompok Seragam
40
Jumlah spesies
35 30 25 20 15 10 5 0 Forest
RA60S
RA30F
RA30S
SH25F
Tipe tutupan lahan Gambar 20. Jumlah spesies pohon berdasarkan pola sebaran spasial pada berbagai tipe tutupan lahan
49 Banyaknya spesies pohon yang hanya ditemukan pada satu petak pengamatan merupakan indikator yang kuat dari potensi kepunahan suatu spesies. Di hutan primer ditemukan 6 spesies tingkat pohon yang hanya ditemukan pada satu dari 22 petak pengamatan yaitu seluas 4,5 hektar. Spesies yang ditemukan pada satu petak pengamatan di hutan sekunder 25 tahun sama dengan di agroforest karet 60 tahun, yaitu 12 spesies. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agroforest karet 60 tahun, hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun di Desa Lubuk Beringin harus tetap dipertahankan dalam kaintannya dengan konservasi spesies yang saat ini telah mengalami penurunan populasi dan memiliki sebaran terbatas. Jumlah spesies yang menyebar secara mengelompok pada agroforest karet 60 tahun semakin berkurang seiring dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan tanaman, yaitu 55 spesies pancang, 10 spesies tiang dan 13 spesies pohon. Penurunan jumlah spesies tersebut terjadi karena kompetisi antar spesies. Spesies yang mampu beradaptasi akan tumbuh hingga mencapai tingkat pertumbuhan tiang dan pohon, sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan mati. Jumlah spesies dengan pola sebaran mengelompok semakin meningkat dengan bertambahnya umur lahan, baik lahan yang dikelola seperti agroforest karet maupun lahan yang tidak dikelola seperti hutan sekunder. Semakin tua umur lahan maka semakin rapat tutupan kanopinya dan semakin bertambah spesies pohon yang tumbuh, sehingga menarik satwa pemencar biji seperti burung, mamalia besar dan primata mendatangi tempat tersebut, baik untuk bersarang maupun hanya sebagai tempat singgah dan mencari makan. Menurut Datta dan Rawat (2008), burung-burung besar seperti rangkong, mamalia dan primata menyebabkan terjadinya sebaran spesies pohon memiliki pola mengelompok. Jumlah spesies dengan pola sebaran mengelompok pada berbagai umur disajikan pada Gambar 21.
50 Pancang Agroforest karet Pancang Hutan sekunder Tiang Agroforest karet Tiang Hutan sekunder Pohon Agroforest karet
60
Jumlah spesies
50
y = 0.8773x ‐ 3.169 R² = 0.7674
40
y = 0.6963x + 9.6991 R² = 0.8952 y = 0.3567x + 5.6977 R² = 0.705
30 20 y = 0.1838x ‐ 1.8607 R² = 0.8655
10
y = 0.0882x ‐ 0.1471 R² = 0.75
0 0
10
20
30
40
50
60
70
Umur kebun (tahun)
Gambar 21. Jumlah spesies tingkat pancang, tiang dan pohon yang memiliki pola sebaran mengelompok pada berbagai umur lahan Penambahan jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok pada lahan yang tidak dikelola seperti hutan sekunder lebih cepat bila dibandingkan dengan agroforest karet baik pada tingkat pancang maupun tiang. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya aktivitas pembersihan lahan pada agroforest karet yang mengakibatkan matinya beberapa spesies terutama pada tingkat pancang. Berdasarkan Gambar 12, penambahan jumlah spesies pancang pada agroforest karet yang memiliki pola sebaran mengelompok diperkirakan hanya dua (2) spesies dalam 3 tahun, sedangkan pada hutan sekunder akan mengalami penambahan satu (1) spesies per tahun. Penyiangan yang dilakukan pada agroforest karet akan menyebabkan penambahan jumlah spesies yang memiliki pola sebaran mengelompok menjadi lebih rendah dari hutan sekunder yang tidak dikelola. Pada agroforest karet penambahan spesies tingkat tiang diperkirakan satu (1) spesies dalam 5 tahun, sedangkan pada hutan sekunder satu (1) spesies dalam 3 tahun.
51 5.3. Kuantifikasi Spesies yang Mampu Beregenerasi pada Agroforest Karet 5.3.1. Komposisi spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan Spesies memiliki potensi untuk beregenerasi apabila mampu tumbuh hingga mencapai tahap generatif. Dalam penelitian ini, spesies yang telah mencapai tingkat tiang (DBH > 10 cm) dianggap mencapai masa generatif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Datta & Rawat (2008) yang menyebutkan bahwa di hutan tropis, pohon yang telah mencapai lingkar batang lebih dari 30 cm (GBH > 30 cm) dianggap sebagai tanaman dewasa. Hasil pengamatan menemukan bahwa jumlah spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 60 tahun sebanyak 28 spesies, tidak berbeda nyata dengan hutan primer, yaitu 35 spesies dengan simpangan baku 14,5. Sementara itu, pada agroforest karet 30 tahun hanya ditemukan 6 spesies pada kebun dekat hutan primer dan 3 spesies pada kebun jauh dari hutan primer yang mampu mencapai tahap generatif. Pada hutan sekunder, jumlah spesies yang mampu mencapai tahap generatif semakin bertambah seiring pertambahan umur lahan, yaitu 11 spesies di hutan sekunder 10 tahun, 14 spesies di hutan sekunder 13 tahun dan 29 spesies di hutan sekunder 25 tahun. Jumlah spesies yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan berdasarkan tingkat pertumbuhannya disajikan pada Gambar 22. Rendahnya jumlah spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 30 tahun terjadi karena meningkatnya intensitas pengelolaan kebun yaitu pembersihan kebun setahun sekali. Pembersihan kebun dilakukan dengan menebas semua spesies pada tingkat pertumbuhan pancang dengan hanya meninggalkan
spesies
yang
dianggap
Cinnamomum iners dan Pometia pinnata.
memiliki
nilai
ekonomi
seperti
52 Pancang-Tiang-Pohon Pancang-Tiang Pancang
Tiang-Pohon Pohon
Pancang-Pohon Tiang
Jumlah spesies
100 80 60 40 20 0 Forest RA60S RA30F RA30S RA13S SH25F SH13S SH10F
Tipe tutupan lahan
Gambar 22. Jumlah spesies berdasarkan tingkat pertumbuhan yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan Spesies yang mencapai tahap generatif pada agroforest karet 60 tahun terdiri dari spesies yang memiliki nilai ekonomi seperti Archidendron jiringa, Lansium domesticum, Palaquium gutta, Koompassia malaccensis, Parashorea malaanonan, Diospyros
lanceifolius,
Shorea
gibbosa,
Shorea
sp.
Elaeocarpus
sp,
Endospermum malaccensis, Litsea firma, Litsea elliptica, Lithocarpus sp., Madhuca kingiana, Parkia speciosa, Polyalthia subcordata, Sterculia cordata, Styrax benzoin, Trema tomentosa,Trichospermum javanicum, Dillenia sp. dan Xanthophyllum incertum. Meskipun demikian, masih ditemukan spesies kayu yang kurang dikenal seperti Artocarpus sp., Cephalomappa malloticarpa, Hydnocarpus sumatrana, Girroniera nervosa, Syzygium claviforum dan Syzygium rostratum. 5.3.2. Similaritas spesies antar tingkat pertumbuhan Keberadaan suatu spesies dengan berbagai tingkat pertumbuhan dalam suatu tempat menunjukkan bahwa spesies tersebut mampu beregenerasi. Spesies pada tingkat tiang dan pohon yang telah mencapai tahap generatif merupakan sumber benih dan spesies tingkat pancang merupakan petunjuk bahwa benih yang tersedia mampu tumbuh di tempat tersebut. Similaritas antar tingkat pertumbuhan dalam suatu tipe tutupan lahan dihitung untuk menunjukkan besarnya spesies yang
53 bertahan dari tingkat pancang sampai pohon. Similaritas antar tingkat
Jumlah spesies yang sama
pertumbuhan disajikan pada Gambar 23. 25
Pancang-Tiang Pancang-Pohon
20
Tiang-Pohon
15 10 5 0 Forest RA60S SH25F SH10F SH13S RA30F RA30S RA13S
Tipe tutupan lahan
Gambar 23. Similaritas antar tingkat pertumbuhan pada berbagai tipe tutupan lahan Pada agroforest karet 60 tahun ditemukan 12 spesies pancang sama dengan spesies tiang, 17 spesies pancang sama dengan spesies pohon. Jumlah tersebut mengindikasikan bahwa hanya 29 (23%) spesies pancang dapat beregenerasi sampai tahap generatif. Sementara itu, 77% spesies pancang lainnya tidak mampu beregenerasi hingga mencapai tingkat generatif. Jumlah tersebut tidak berbeda nyata dengan hutan primer, yaitu 8 spesies pancang sama dengan spesies tiang dan 15 spesies pancang sama dengan spesies pohon, atau 20% spesies pancang mampu beregenerasi mencapai tahap generatif. Pada hutan sekunder 25 tahun jumlah spesies pancang yang sama dengan spesies tiang mencapai 20 spesies, jumlah spesies pancang yang sama dengan spesies pohon adalah 17 spesies. Berdasarkan jumlah tersebut, 38% spesies pancang mencapai tahap pertumbuhan generatif. Jumlah spesies tiang yang sama dengan spesies pohon pada agroforest karet 60 tahun dan hutan primer adalah 10 spesies (22% dari spesies di hutan primer dan 18% dari spesies di agroforest karet). Demikian juga yang ditemukan pada hutan sekunder 25 tahun yaitu 11 spesies (18%). Spesies-spesies yang mencapai pertumbuhan pohon antara lain Shorea sp. (4 spesies), Shorea gibbosa, Polyalthia
54 subcordata, Litsea firma, Litsea oppositifolia, Parashorea malaanonan, Lithocarpus sp., Knema curtisii, Hydnocarpus sumatrana, Dyera costulata, Palaquium gutta, Scaphium macropodum dan Madhuca kingiana. Pada agroforest karet 30 tahun, jumlah spesies pancang yang mencapai tingkat pohon adalah Hevea brasiliensis dan Canarium littorale. Jadi, hanya 8% spesies pancang yang mampu beregenerasi sampai tingkat tiang dan pohon. 5.3.3. Similaritas spesies antar tipe tutupan lahan Similaritas menunjukkan proporsi banyaknya spesies yang sama yang menempati tipe habitat (tutupan lahan) berbeda. Pada tingkat pancang, diagram pengelompokan similaritas spesies disajikan pada Gambar 24.
RA13S RA30S RA30F SH13S SH25F Forest RA60S SH10F 1.00
0.95
0.90
0.85
0.80
Gambar 24. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pancang pada berbagai tipe tutupan lahan Agroforest 13 tahun memiliki similaritas spesies paling dekat dengan agroforest 30 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 18 spesies yang sama (25%) dari total spesies pada keduanya. Spesies yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut merupakan spesies pioner dan umum ditemukan di berbagai tipe tutupan lahan yaitu Aporusa octandra, Canarium littorale, Desmon sp., Eugenia papilosa, Glochidion cf. arborescens, Gynotroches axillaris, Ixonanthes petiolaris, Litsea elliptica, Litsea firma, Mallotus macrostachyus,
55 Perunema canescens, Piper aduncum, Pternandra azurea, Rhodamnia cinerea, Saurauia cf. pentapetala, Teras bukit, Vitex pinnata dan Hevea brasiliensis. Spesies yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun memiliki kemiripan paling dekat dengan hutan sekunder 25 tahun. Sebanyak 30 spesies (18%) yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun juga ditemukan di hutan sekunder 25 tahun. Spesies-spesies tersebut sebagian besar merupakan spesies pioner dan umum dijumpai pada berbagai tipe tutupan lahan. Spesies spesifik yang hanya ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut adalah Parashorea malaanonan dan Urophyllum hirsutum. Spesies tingkat pertumbuhan lanjut yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan adalah Diospyros lanceifolia, Elaeocarpus stipularis, Lithocarpus sp. dan Madhuca kingiana. Agroforest karet 60 tahun dan hutan sekunder 25 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan sekunder 10 tahun dan hutan primer. Hasil pengamatan menemukan 20 spesies yang sama terdapat pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 tahun dan hutan sekunder 10 tahun. Beberapa spesies tingkat pertumbuhan lanjut seperti Diospyros lanceifolia, Elaeocarpus stipularis, Lithocarpus sp. dan Madhuca kingiana sudah ditemukan pada hutan sekunder 10 tahun, tetapi Parashorea malaanonan tidak ditemukan lagi. Spesies tingkat suksesi lanjut yang ditemukan adalah spesies-spesies ’zoochory’. Similaritas pancang antara agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 25 dan 10 tahun mengalami penurunan bila dibandingkan dengan hutan primer. Sebanyak 16 spesies (5%) dari totalditemukan pada keempat tipe tutupan lahan tersebut. Spesies-spesies tersebut adalah spesies yang memiliki kisaran habitat luas, karena ditemukan hampir pada tiap tipe tutupan lahan di Lubuk Beringin. Sementara itu, agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer memiliki similatitas spesies dengan hutan sekunder 13 tahun yang jauh dari hutan primer. Sebanyak 16 spesies (19%) ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan tersebut. Spesies yang ditemukan pada kedua tipe tutupan lahan hampir semuanya adalah spesies pioner, kecuali Shorea venulosa. Keberadaan S. venulosa yang memiliki ciri penyebaran biji ’anemochory’ kemungkinan dapat terjadi karena pohon induk berada tidak jauh dari lokasi ditemukannya. Agroforest karet 30 tahun berada
56 sekitar 300 m dari hutan primer dan hutan sekunder 13 tahun berbatasan dengan agroforest karet 50 tahun. Tipe tutupan lahan yang ada di sekitar kedua tipe tutupan lahan tersebut merupakan sumber biji dari S. venulosa. Pada tingkat tiang, similaritas spesies terdekat adalah antara hutan sekunder 10 tahun 13 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 6 spesies (21%) yang sama dan semuanya merupakan spesies pioner. Agroforest karet 60 tahun memiliki silimaritas spesies terdekat dengan hutan sekunder 10 dan 13 tahun, meskipun hanya ada 2 spesies (4%) sama yang ditemukan pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut. Spesies yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun, hutan sekunder 10 dan 13 tahun adalah Macaranga peltata dan Macaranga sp. yang merupakan tumbuhan pioner. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang disajikan pada Gambar 25.
SH13S SH10F RA60S RA30S RA30F RA13S SH25F Forest 1.00 0.98 0.95 0.93 0.90 0.88 0.85 0.82 0.80 Gambar 25. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat tiang pada berbagai tipe tutupan lahan Hutan primer memiliki similaritas spesies tingkat tiang terdekat dengan hutan sekunder 25 tahun. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 8 spesies (17%) yang sama yaitu Gymnacranthera contracta, Lithocarpus sp., Mitrephora maingayi, Scaphium macropodum, Shorea sp., Sterculia foetida,
57 Dacryodes laxa dan Elaeocarpus lanceifolius. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies yang hanya ditemukan pada hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer kecuali Lithocarpus sp. dan Elaeocarpus lanceifolius. Bila dibandingkan dengan agroforest karet 60 tahun, hanya ditemukan satu spesies tiang (1%) yang sama dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun yaitu Elaeocarpus lanceifolius. Agroforest karet 30 tahun yang jauh dari hutan primer memiliki similaritas spesies terdekat dengan agroforest karet 30 tahun dekat hutan primer dan agroforest karet 13 tahun. Pada ketiga tipe tutupan lahan tersebut hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu karet (Hevea brasiliensis). Pada tingkat pohon, agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan primer. Pada kedua tipe tutupan lahan tersebut ditemukan 7 spesies (11%) yang sama yaitu Dacryodes rostrata, Eugenia papilosa, Lithocarpus sp., Diospyros sp., Koompassia malaccensis, Palaquium gutta dan Parkia speciosa. Spesies-spesies tersebut sengaja dibiarkan tumbuh pada agroforest karet 60 tahun, karena memiliki manfaat sebagai penghasil kayu bangunan, resin dan buah. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon disajikan pada Gambar 26.
SH25F
Forest
RA60S
RA30F
RA30S 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80 0.75 0.70 0.65 Gambar 26. Diagram pengelompokan similaritas spesies tingkat pohon pada berbagai tipe tutupan lahan
58 Hutan sekunder 25 tahun memiliki similaritas spesies terdekat dengan hutan primer. Pada kedua tipe tutupan lahan ditemukan 10 spesies (15%) yang sama, yaitu Ficus sp., Lithocarpus sp., Litsea firma, Melanochyla sp., Parashorea malaanonan,
Scaphium
macropodum,
Shorea
sp.,
Sterculia
cordata,
Xanthophyllum incertum dan Shorea dasyphylla. Spesies-spesies tersebut hanya ditemukan pada hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, kecuali Lithocarpus sp. Agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas spesies pohon paling dekat dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun, meskipun hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu Lithocarpus sp. Agroforest karet 30 tahun yang dekat dan jauh dari hutan primer hanya ditemukan satu spesies yang sama yaitu kareta (Hevea brasiliensis). 5.4. Potensi Kepunahan Lokal Spesies Kayu Suatu spesies berpotensi mengalami kepunahan apabila tidak mampu beregenerasi. Hasil pengamatan menemukan 7 spesies yang hanya memiliki tingkat pertumbuhan pohon dengan populasi 1 batang pada luasan sekitar 4,5 hektar, yaitu Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria conferta dan 3 spesies yang belum teridentifikasi yang diberi nama Sp7, Sp27 dan Sp30. Lithocarpus sp. dan Santiria conferta ditemukan pada agroforest karet 60 tahun, sedangkan 5 spesies lainnya hanya ditemukan di hutan primer. Rendahnya populasi pohon dan tidak ditemukannya tingkat pertumbuhan pancang serta tiang merupakan suatu indikasi bahwa spesies tersebut tidak mampu beregenerasi. A. costata hanya ditemukan di hutan primer, sedangkan tiga spesies lainnya ditemukan hanya pada agroforest karet 60 tahun. Anisoptera costata Anisoptera costata yang dikenal dengan nama dagang mersawa merupakan spesies kayu yang sangat penting di Indonesia dan digolongkan dalam kelompok kayu paling komersial. Anakan dari A. costata memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dan tidak dapat bertahan hidup pada kanopi yang rapat. Pemencaran bijinya sangat terbatas, 90% anakan ditemukan di bawah pohon induknya. Viabilitas
59 bijinya sangat cepat menurun, dalam waktu 2-3 minggu laju perkecambahannya hampir 0 atau tidak dapat berkecambah (Soerianegara & Lemmens 1994). Beberapa penduduk lokal juga mengatakan bahwa anakan yang tumbuh di hutan tidak pernah berhasil hidup apabila dipindahkan ke lahan mereka (Baiki, petani di Lubuk Beringin, komunikasi pribadi). Karakteristik pertumbuhannya yang unik menyebabkan spesies tersebut tidak mampu beregenarasi sehingga memiliki potensi mengalami kepunahan. Bahkan A. costata sudah termasuk dalam status kritis menurut IUCN Red List of Treathened Species 2007. Shorea acuminata Shorea merupakan genus penghasil kayu yang secara ekonomi dianggap paling penting di Asia. Shorea merupakan spesies yang dipencarkan oleh angin. Pada kondisi angin normal dan hutan rapat, biji Shorea dapat terpencar pada jarak 30 m. Hingga saat ini, meranti merah masih dikembangbiakkan dengan biji. Namun demikian, biji meranti cepat menurun viabilitasnya (Soerianegara & Lemmens 1994). Penurunan viabilitas biji, keterbatasan penyebaran dan persyaratan tumbuh lain seperti keberadaan mikorisa menjadi kendala dalam regenerasi Shorea acuminata. Oleh karena itu, spesies ini sekarang dalam status kritis menurut IUCN Red List. Lithocarpus sp. Beberapa spesies Lithocarpus termasuk kayu bernilai ekonomi dan dapat merupakan komoditi ekspor, tetapi kemampuan regenerasinya rendah. Viabilitas bijinya sangat rendah, perkecambahan bijinya memerlukan waktu 1-9 bulan. Lithocarpus juga merupakan spesies yang tidak tahan terhadap kebakaran (Lemmens et al. 1995). Karakteristik spesies tersebut menyebabkan populasi saat ini di Desa Lubuk Beringin sangat rendah dan hanya ditemukan pada tingkat pohon (berdiameter lebih dari 30 cm). Proses tebas-bakar yang dilakukan ketika membuka lahan, baik untuk kebun karet maupun hanya dibiarkan tumbuh menjadi hutan sekunder menyebabkan Lithocarpus sp. tidak dapat bertahan hidup. Pemencaran biji Lithocarpus sp. terjadi dengan bantuan mamalia selain kelelawar (Webb & Peart 2001). Hasil pengamatan yang menemukan bahwa spesies Lithocarpus sp. ini hanya ditemukan pada agroforest karet kompleks 60
60 tahun. Sesuai dengan penelitian terdahulu (Maryanto et al. 2000) keanekaragaman spesies mamalia pada agroforest karet kompleks adalah paling tinggi bila dibandingkan dengan hutan primer, hutan bekas tebangan dan perkebunan karet. Secara global, beberapa spesies Lithocarpus endemik Indonesia masuk dalam kategori terancam punah, antara lain
Lithocarpus crassinervius dan
Lithocarpus industus dalam status rawan serta Lithocarpus kostermansii dalam status terancam punah (IUCN Red List of Treathened Species 2007). Santiria conferta Santiria conferta merupakan salah satu spesies dari Famili Burseraceae yang memiliki nilai ekonomi dan dapat diperdagangkan, tetapi spesies ini tidak dibudidayakan dalam perkebunan komersial karena viabilitas bijinya yang segar sangat rendah (Lemmens et al. 1995). Biji dari spesies Santiria umumnya dipencarkan oleh burung dan kelelawar (Webb & Peart 2001). Tingginya keanekaragaman spesies burung (Jepma & Djarwadi 2000) dan kelelawar (Prasetyo 2007) pada agroforest karet kompleks memungkinkan spesies ini dapat ditemukan. 5.5. Aspek ekonomi agroforest karet Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroforest karet 60 tahun yang dikelola dengan intensitas rendah memiliki peranan yang cukup penting dalam aspek ekologi karena memiliki keanekaragaman dan similaritas spesies pohon mendekati hutan alam, sehingga dapat berfungsi sebagai areal konservasi. Namun, keuntungan dari aspek ekologi yang disediakan oleh agroforest karet 60 tahun tersebut harus diikuti dengan keuntungan secara ekonomi agar masyarakat tetap mempertahankan kebun karetnya. Kajian mengenai aspek ekonomi dari agroforest karet sedang dilakukan oleh Budidarsono et al. (in progress). Hasil sementara kajian menujukkan bahwa agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun dan sistem sisipan tahun memerlukan input yang sangat rendah karena tidak dilakukan pemupukan dan penyemprotan pestisida sehingga tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih rendah. Bila dibandingkan dengan sistem monokultur, modal kerja per hektar pada
61 agroforest karet hanya Rp. 45.000,- per hektar, sedangkan pada monokultur mencapai Rp. 265.000,- per hektar. Besarnya ’input’ pada karet monokultur seiring dengan besarnya ’output’ berupa lateks. Rata-rata hasil karet untuk monokultur adalah 1.492 kg/ha/tahun, sedangkan pada agroforest karet dengan sistem rotasi 40 tahun adalah 439 kg/ha/tahun dan pada agroforest karet sistem sisipan adalah 401 kg/ha/tahun. Meskipun hasil karet yang diperoleh dari sistem agroforest lebih rendah, namun hasil lain berupa kayu untuk bangunan dan buahbuahan seperti durian, jengkol, petai, duku dapat dipanen setiap musim secara berkelanjutan, baik untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri maupun dijual. Agroforest karet dengan sistem sisipan memiliki hasil buah-buahan dan kayu lebih tinggi bila dibandingkan dengan sistem rotasi 40 tahun.
30 Suatu spesies dianggap memiliki pola sebaran mengelompok bila Iδ >1; acak bila Iδ = 1 dan seragam bila Iδ <1. 4.4.5. Indentifikasi spesies yang potensial terancam punah
Identifikasi spesies yang potensial terancam punah secara lokal didasarkan pada jumlah individu dan tingkat pertumbuhan yang ditemukan. Apabila suatu individu ditemukan hanya pada tingkat pertumbuhan pohon dengan populasi yang rendah, maka spesies tersebut memiliki potensi kepunahan tinggi.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai peran agroforest karet dalam pelestarian spesies pohon di Desa Lubuk Beringin dapat disimpulkan bahwa: 1. Agroforest karet 60 tahun memiliki kekayaan pancang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari hutan primer yaitu 48 spesies, tetapi pada tingkat tiang lebih rendah dari hutan primer yaitu 8 spesies, sama dengan hutan sekunder 10 tahun dan pada tingkat pohon adalah 13 spesies, tidak berbeda nyata dengan hutan sekunder 25 tahun. Keanekaragaman spesies tingkat pancang, tiang dan pohon pada agroforest karet 60 tahun tidak berbeda nyata dengan hutan primer dan hutan sekunder 25 tahun 2. Jarak lahan dari hutan primer dan umur lahan berpengaruh terhadap komposisi spesies berdasarkan profil pemencaran bijinya. Spesies di Desa Lubuk Beringin 60% dipencarkan oleh satwa dan 70% spesies pancang memiliki pola sebaran mengelompok 3. Pada agroforest karet 60 tahun jumlah spesies yang mampu beregenerasi hingga mencapai tahap generatif sebanyak 28 spesies (28%). Jumlah ini tidak berbeda nyata dengan yang ditemukan di hutan primer yaitu 35 spesies (29%). Hutan sekunder 25 tahun memiliki jumlah spesies yang mampu mencapai tahap generative tertinggi yaitu 37 spesies (38%). Pada agroforest karet 30 tahun dan 13 tahun spesies yang mencapai tahap generatif hanya karet (Hevea brasiliensis). Spesies pancang yang ditemukan pada agroforest karet 60 tahun memiliki similaritas terdekat dengan hutan sekunder 25 tahun, sedangkan untuk spesies tiang memiliki similaritas terdekat dengan hutan sekunder 10 dan 13 tahun, dan pada spesies pohon memiliki similaritas terdekat dengan hutan sekunder 25 tahun dan hutan primer 4. Ditemukan 7 spesies yang berpotensi mengalami kepunahan lokal yaitu Anisoptera costata, Shorea acuminata, Lithocarpus sp., Santiria conferta dan 2 spesies yang belum teridentifikasi.
61 Saran Dari hasil penelitian diketahui bahwa agroforest karet merupakan tipe tutupan lahan yang dapat berperan dalam pelestarian spesies pohon, disamping hutan sekunder. Oleh karena itu, penelitian mengenai mekanisme imbal jasa bagi petani yang mau mempertahankan agroforest karet 60 tahun perlu dilakukan. Selain itu, penataan lanskap juga perlu dilakukan dengan mengintegrasikan tipe tutupan lahan yang memiliki nilai konservasi seperti agroforest karet 60 tahun dan hutan sekunder dengan tipe tutupan lahan yang memiliki nilai ekonomi dalam mosaik-mosaik landskap.
VII. DAFTAR PUSTAKA Asquith NM and MM Chang. 2005. Mammals, edges effects and the lost of tropical forest diversity. Ecology 8(2):379-390. Beukema HJ, F Danielsen, G Vincent, S Hardiwinoto and J van Andel. 2007. Plant and bird diversity in rubber agroforests in the lowlands of Sumatra, Indonesia. Agroforestry Systems 70: 217-242. BPS Kabupaten Bungo. 2002. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bungo. BPS Kabupaten Bungo. Budidarsono S, L Joshi, G Wibawa and M de los Angelos. 2009. A profitability assessment of smallholder rubber agroforestry systems in Jambi, Sumatra, Indonesia. Project Report (in progress). Cordeiro NJ and HF Howe. 2003. Forest fragmentation severs mutualism between seed dispersers and an endemic African tree. PNAS 100(24): 14052-14056. Datta A and GS Rawat. 2008. Dispersal modes and spatial pattern of tree species in a tropical forest in Arunachal Pradesh, northeast India. Tropical Conservation Science 1(3):163-185. De Foresta H and G Michon. 1996. Tree improvement research for agroforestry: a notr of caution. Agrofor. Forum 7(3):8-11. De Foresta H and G Michon. 1997. The agroforest alternatives to Imparata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability. Agroforestry Systems 36:105-120. De Foresta H, G Michon and A Kusworo. 2000. Complex Agroforest. Lecture Note 1. International Centre for Reasearch in Agroforestry, Bogor.14p. DellaSala DA, JR Strittholt, RF Noss and DM Olson. 1996. A critical role for core reserves in managing inland northwest landscapes for natural resources and biodiversity. Wildl. Soc. Bull. 24(2): 209-211. Ekadinana A dan G Vincent. 2008. Dinamika tutpan lahan Kabupaten Bungo, Jambi. In: Adnan, A., et al, eds.): Belajar dari Bungo. Center International Forestry Reaserch. p:53-62. Eldredge N. 1986. Time Frames: Rethinking of Darwinian Evolution and the Theory of Punctuated Equilibria, Heinemann. Fleming TH and ER Heithaus. 1981. Frugivorous bats, seed shadows, and the structure of tropical forests. Biotropica 13(suppl.):45–53. Franklin AB, BR Noon and TL George. 2002. What is fragmentation habitat? Studies in Avian Biology 25:20-29. Frankie GW, HG Baker and PA Opler. 1974. Comparative phonological studies of trees in tropical wet and dry forest in lowland of Costa Rica. Journal of Ecology 62:881-919. Ganesh T and P Davidar. 2001. Dispersal modes of tree species in the wet forests of southern Western Ghats. Current Science 80(3):394–399.
63 Garbert PA and JE Lambert. 1988. Introduction to primate seed dispersal. Primate and seed dispersers: Ecological process and directions for future research. American Journal of Primatology 45:2-8. Guevara S, SE Purata and E Van der Maarel. 1986. The role of remnant forest trees in tropical secondary succession. Vegetacio 66: 77-84. Haeruman H. 1980. Hutan sebagai Lingkungan Hidup. Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Jakarta. Hairiah K, SM Sitompul, M van Noordwijk and C Palm. 2001. Methods for sampling carbon stocks above and below ground. ASB Lecture Note 4B. International Centre for Research in Agroforestry. 23p. Hairiah K, MA Sardjono dan S Sabarnurdin. 2003. Pengantar Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 1. World Agroforestry Center (ICRAF). 32p. Harrison RL. 1992. Toward a theory of inter-refuge corridor design. Journal of Biogeography 8: 117-124. Herrera JM and D Garcia. 2009. The role of remnant trees in seed dispersal through the matrix: Being alone is not always so sad. Biological Conservation 142(1): 149-158. Hodgkison R and TH Kunz. 2006. Balionycteris maculata (Thomas, 1893). Mammalian Species 793:1–3. Howe HF. 2004. Scatter-and clump-dispersal and seedling demography: hypothesis and implications. Oecologia 79 (3):417-426. Hutcheson K. 1970. A test for comparing diversities based on the Shannon formula. Journal of Theoritical Biology 29:151–154. Husband BC and SCH Barrett. 1996. A metapopulation perspective in plant population biology. Journal of Ecology 84:461-469. Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. Blackwell Science Ltd, UK, ISBN 0-63204047-5, 371pp. ICDP-TNKS Komponen C1. 2001. Laporan Teknis No. 4 Kawasan Penting bagi Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem Kerinci Seblat. Kawasan Hutan RKI Finger. Indrawan M, RB Primack dan J Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 626p. Jepson P. and Djarwadi. 2000. Birds. In: Gillison AN (ed). Above-ground Biodiversity Assessment Working Group Summary Report 1996-1999: Impact of Different Land Uses on Biodiversity and Social Indicators. ASB Working Group Report. ICRAF-Nairobi. p: 41-53. Joshi L, Swibawa IG, Beukema HJ, Williams S and van Noordwijk M. 2003. Technological change and biodiversity in the rubber agroecosystem of Sumatra. In: Vandermeer J,eds. Tropical agroecosystems: new directions for research. Boca Raton, Florida, USA. CRC Press. p:133-157.
64 Ketterings QM, R Coe, M van Noordwijk, Y Ambagau and CA Palm. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 120: 199-209. Kissinger. 2002. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan, Struktur tegakan dan Pola Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu di Hutan Kerangas. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 106p. Krebs CJ, 1989. Ecological Methodology. New York: Harper Collins. Krebs CJ, 1999. Ecological Methodology. 2nd ed. A. Wesley Longman, NY, USA. Lehebel-Peron A. 2008.Evaluation of the Production Potential of Complex Agroforest. University of Technology and Science Montpellier III, France. Lemmens RHMJ, I Soerianegara and WC Wong (eds). 1995. Plants Resources of South-East Asia 5 (2). Timber trees: Minor commercial timbers. Bachuys Publishers, Leiden. 655pp. Luwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods on Computing. John Willey & Sons. Malhado ACM and M Petrere Jr. 2004. Behavior of dispersion indices in pattern detection of a population angico (Adenanthera peregrine) leguminosae. Braz. J. Biol. 64(2): 243-249. Maryanto I, AP Kartono and MAH Sinaga. 2000. Survey of mammals in different land use types. In: Gillison AN (ed). Above-ground Biodiversity Assessment Working Group Summary Report 1996-1999: Impact of Different Land Uses on Biodiversity and Social Indicators. ASB Working Group Report. ICRAF-Nairobi. p:54-68. Michon G and H de Foresta. 1997a. Agroforests: pre-domestication of forest trees or true domestication of forest ecosystems? Netherlands Journal of Agricultural Science 45(4):451-462. Michon G and H de Foresta. 1997b. The Indonesia agroforest model: forest resource management and biodiversity conservation. In: Halladay P and DA Gillmour (eds.). Conserving Biodiversity Outside Protected Areas: the role of tradisional agro-ecosystems. IUCN, Gland, Switzerland. p:90-106. McGinley M. 2007. "Sumatran lowland rain forests." In: Cleveland, CJ (eds.), Encyclopedia of Earth. Washington, D.C. http://www.eoearth.org/article/Sumatran_lowland_rain_forests (Downloaded 3 April 2008: 15:52). Muntasyarah AS. 2005. Persepsi Masyarakat terhadap Agroforestry Karet sebagai Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Hutan yang Lestari (Studi Kasus di Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, Jambi). Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 125p. Ningsih H. 2008. Komposisi Vegetasi pada Tipe Lahan yang Dominan di Desa Lubuk Beringin, Bungo, Jambi.
65 Odum EP. 1986. Ecologia. Guanabara Koogan, Rio de Jaeneiro, RJ, Brazil. O’Connor TR. 2005. Birds in Coffee Agroforestry Systems of Lampung, Sumatra. Geographical and Environmental Studies, University of Adelaide, Australia. Dissertation. Prasetyo PN. 2007. Keanekaragaman Jenis Kelelawar pada Agroekosistem Karet di Sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, 90p. Rachman A, H Subagyo, S Sukmana, Harijogyo, B Kartiwa, A Muti dan U Sutrisno. 1997. Soil and agroclimatic characterization for determining alternatives to slash-and-burn. In: Van Noordwijk, M., et al. (eds.): Proceeding of a Workshop Alternatives to Slash-and-Burn Research In Indonesia. International Center Reasearch for Agroforestry (ICRAF-SEA). Rasnovi S. 2006. Ekologi Regenerasi Tumbuhan Berkayu pada Sistem Agroforest Karet. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 199p. Rasnovi S, Vincent G, Kusmana C and Tjitrosemito S. 2008. Keragaman Jenis Anakan Tumbuhan Berkayu pada Wanatani Karet: Pengaruh Umur dan Intensitas Manajemen. In: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL and Munggoro DW,eds. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor, Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR). p:239-256. Rosalina U. 1996. Analisis Populasi dan Penyebaran Keanekaragaman Flora. Pusat Pengkajian Keanekaragaman Hayati Tropika. Lembaga Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rossi LMN and N Higuchi. 1998. Aplicacao de metodos de analise do pradao especial am oito especies arboreas da floresta tropical umida. In: Floresta Amazonica: dinamica, generacao e manejo. C Gasco and Mautinho (eds.), CNPG/INPA, Manaus, AM Brazil, p:41-60. Roy PS and PK Joshi. 2008. Landscape fragmentation & biodiversity conservation. Indian Institute of Remote Sensing (NRSA). http://www.gisdevelopment.net/application/environment/conservation/envc 0001.htm (downloaded 26 November 2008, 16:10), 4p. Sayer JA, PA Zuidema and MH Rijks. 1995. Managing for biodiversity in humid tropical forests/ Commonwealth Forest Review 74(4): 282-287. Shannon CE and W Wiener. 1963. The mathematical theory of communication. University Illinois Press, Urbana, 360p. Sørensen, T. (1948) A method of establishing groups of equal amplitude in plant sociology based on similarity of species and its application to analyses of the vegetation on Danish commons. Biologiske Skrifter / Kongelige Danske Videnskabernes Selskab, 5 (4): 1-34. Soerianegara I and RHMJ Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia No. 5(1) Timber tress: Major commercial timbers. Plant Resources of South-East Asia, Bogor, 610p.
66 Taberelli M, JMC da Silva and C Gascon. 2004. Forest fragmentation, synergisms and the impoverishment of neotropical forest. Biodiversity and Conservation 13:1419-1425. Tata HML. 2008. Mycorrhiza on Dipterocarps in Rubber Agroforest (RAF) in Sumatra. University of Utrecht. 125p. Tata MHL, M. Van Noordwijk and M.J. Werner. 2008. Trees and regeneration strategies in rubber agroforests and other forest-derived vegetation in Jambi (Sumatra, Indonesia). Journal of Forestry Research (accepted) Turner MG, RH Gardner and O’Neill. 2001. Landscape Ecology: In theory and practice, pattern and process. Springer Science, New York (NY). Tilman D, CL Lehman and P Kareiva. 1997. Population dynamic in spatial habitats. In: Tilman D and P Kreiva (eds.) Spatial Ecology. Princenton University Press, Princenton. p:3-20. Van Dyke F. 1954. Conservation biology: foundations, concepts, applications. McGraw-Hill Companies Inc., New York, 413p. Van Noordwijk, M, M Kanninen, JL Pfund and JM Boffa. 2007. Integrating Livelihoods and Multiple Biodiversity Values in Landscape Mosaics. Action Research Protocol. Vickery ML. 1984. Ecology of Tropical Plants. John Wiley and Sons. New York. Webb CO and DR Peart. 2001. High seed dispersal rates in faunally-intact tropical rain forest: theoretical and conservation implications. Ecology Letters 4: 491-499. Whittaker RH. 1972. Evolution and measurement of species diversity. Taxon 21:213–251. Wibawa G, S Hendratmo and M van Noordwijk. 2005. Permanent Smallholder Rubber Agroforestry Systems in Sumatra, Indonesia. In: Palm, CA et al. (eds.): Slash-and-Burn Agriculture the Research for Alternatives. Columbia Press University, New York. p: 222-231. Wildlife Extinction and Endangered Species. 2008. Extinction and Endangered Species - Factors That Contribute To Species Endangerment. http://www.libraryindex.com/pages/634/Extinction-Endangered-SpeciesFACTORS-THAT-CONTRIBUTE-SPECIES-ENDANGERMENT.html [downloaded 27 November 2008, 11:58]. Wilkindson DM. 1997. Plant colonization: are wind dispersed seeds really dispersed by birds at larger spatial and temporal scales? Journal of biogeography 24:61-65.
Lampiran 1. Spesies tingkat pancang dan jumlah individu yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan Nama Species Agelaea sp. Aglaia lawii Aglaia rimosa Aglaia simplicifolia Aglaia sp. Agleaea trinervis Agrostistachys borneensis Alangium javanicum Alseodaphne cf. umbelliflora Alstonia scholaris Antidesma neurocarpum Antidesma sp. 1 Antidesma sp. 2 Apama corymbosa Aporosa falcifera Aporosa frutescens Aporosa grandistipula Aporusa octandra Archidendron bubalinum Archidendron clypearia Archidendron jiringa Ardisia junghuhniana Ardisia sanguinolenta Artocarpus anysophylla Artocarpus glaucus Artocarpus nitida Artocarpus sp. Astronia sp. Atuna excelsa Baccaurea angulata Baccaurea deflexa Breynia cernua Bridelia insulana Calophyllum rigidum Calophyllum venulosum Canarium littorale Canthium lucidulum Cephaelis cuneata Cephalomappa malloticarpa Cephalomappa sp. Cinnamommum inners Cleodendrom deflexum Clerodendrum buchananii Coffea canephora Commersonia bartramia Cratoxylon arborescens
Forest
3 4
RAF60S 1 3
RAF30F
2
6
RAF30S
RAF13S
SH25F 1
1
3
SH10F
SH13S 1
2
6 1 2 1 1 2 4 1
1 2 1
1 1 1
2 2 19 2 1
1 1 24
12
5 2
5 2
1 1
2
1 1 1
2
3 1 1
1 1
1 1 1 1 1
1
4
6 1 8
9 1 8 3 13
1 8
2 3
1
1
1 1
3
6
1 2 1
1 1 1 2 1
1
1
Nama Species Cratoxylon cf. arborescens Croton caudatus Croton laevifolius Cryptocarya griffithiana Cyanthocalyx biovulatus Cyanthocalyx sp. Dacryodes laxa Dacryodes rostrata Dacryodes rugosa Dehaasia firma Desmos sp. Dialium indum Dichapetalum sp. Dillenia excelsa Dillenia sp1. Dillenia sp2. Diospyros lanceaefolia Diospyros sp1. Dracontomelon dao Drypetes sp. Dyera costulata Dysoxylum eucelsum Dysoxylum sp. Elaeocarpus lanceifolius Elaeocarpus sp. Elaeocarpus stipularis Eugenia polyantha Eurya acuminata Eurycoma longifolia Ficus congesta Ficus fistulosa Ficus religiosa Ficus sp. Ficus variegata Galearia aristifera Galearia filiformis Garcinia dioica Garcinia gaudichaudii Garcinia parvifolia Gardenia cf. forsteriana Gironniera nervosa Glochidion arborescens Glochidion cf. arborescens Glochidion cf. borneensis Gluta aptera Gmelina elliptica Gomphia serrata Goniothalamus sp. Gonocaryum gracile Gordonia excelsa
Forest
RAF60S
RAF30F
RAF30S
RAF13S
SH25F
SH10F
2
SH13S 2
3 4 2
1 1
1 1
2 3 1
1 1 1
2 1 2
6 3
1
12 1
1
1 1
1 3 16
5 1
2 2
1 1
2
1 1
5 1
2 2 2 6
1
1
2
4 1
1 1
7
2
1 3 2 2
1
3 1
7
1 2
2
1 1
1
3 1 3 1
1
1
1
2
3 8
1
1
1 1 2 1 1 1 5
2
Nama Species Gymnacranthera contracta Gymnaeranthera cf. farquhariana Gymnaeranthera eugeniifolia Gynotroches axillaris Helicia robusta Hevea brassiliensis Homalanthus giganteus Horsfieldia glabra Horsfieldia irya Hydnocarpus sumatrana Hypserpa nitida Irvingia malayana Knema curtisii Koompassia malaccensis Lansium domesticum Lasianthus inaequalis Lasianthus iteophyllus Leea aequata Leptonychia caudata Leptonychia heteroclita Lithocarpus blumeanus Lithocarpus hystrix Lithocarpus sp.1 Litsea elliptica Litsea firma Litsea grandis Litsea mappacea Litsea oppositifolia Macaranga gigantea Macaranga peltata Macaranga sp. Madhuca kingiana Mallotus barbatus Mallotus peltatus Melanochyla sp. 1 Melastoma polyanthum Mezzetia parviflora Milletia atropurpurea Mitrephora maingayi Mussaenda cf. frondosa Mussaenda frondosa Myristica cf elliptica Neoscortechinia nicobarica Nephelium cf. cuspidatum Nephelium lappaceum Nephelium ramboutanake Palaquium gutta
Forest
RAF60S
RAF30F
RAF30S
RAF13S
SH25F
SH10F
1
2
1
4
SH13S
1 3 2 4 1
2
1
14
1
4
13
3
14
2 2 1
2 1 1 1 1 2 1
7
1 1
1
1 1 1 1
3 1 1 1 4
4 6
1 2 1
1 2
1 1
3
1 1
4
1
1 1 5 1
1 6 7 1
4 3
1 3
1 2 12
2
3
1 3 3
1 1 2
1 1 3 1 1
1
1
2 1
3
4 1
3
15
1
2
3
1 1
1
Nama Species Parashorea malaanonan Parkia speciosa Perunema canescens Pimeleodendron papaveroides Piper aduncum Platea excelsa Polyalthia subcordata Pommetia pinnata Pouteria malaccensis Prunus polystachya Psychotria cf. rostrata Psychotria robusta Psychotria sp. Psychotria viridiflora Pternanda azurea Pyrenaria acuminata Radermachera sp. Rhodamnia cinerea Rinorea anguifera Rinorea horneri Roureopsis emarginata Santiria sp. Saurauia cf. pentapetala Saurauia tristyla Scaphium macropodum Scorodocarpus sp. Shorea gibbosa Shorea pachyphylla Shorea platyclados Shorea platyclados Shorea sp1. Shorea sp2. Shorea sp3. Shorea sp4. Shorea venulosa Sloetia elongata Sp11 Sp12 Sp14 Sp16 Sp17 Sp2 Sp21 Sp22 Sp31 Sp32 Sp33 Sp5 Sp6 Sp7 Sp8
Forest
RAF60S 1 4
RAF30F
RAF30S
RAF13S
43
2
1 27
SH25F 1
SH10F
SH13S 1
8
8
2 1
2
2
1
1 1 1
1
1 3 1 1 1 4 3
32
1 23 1
1 1
3
15 6
1
5
4 55 1 1 2 4 1
3 22
125
27
17
3 7 4
2 3
14
12
24
4
2
1
2
1
1 7
22
1 1 1 1 15 1 1
1 1
1
1
2
2
2 1 1 4 6 1 5 1 3 3
6 1
5 1 1 4
2 17
2 1
2
Nama Species Sp9 Spatholobus palawanensis Sterculia coccinea Sterculia cordata Sterculia foetida Strombosia javanica Styrax benzoin Symplocos fasciculata Syzygium claviflorum Syzygium jambos Syzygium rostratum Timonius flavescens Trema tomentosa Trichospermum javanicum Urophyllum corymbosum Urophyllum ferrugineum Urophyllum hirsutum Urophyllum sp. Vatica odorata Vitex pinnata Xanthophyllum chartaceum Xanthophyllum incertum Xanthophyllum lanceolatum Xanthophytum sp. Zanthoxylum myriacanthum
Forest 1
RAF60S
RAF30F
RAF30S
RAF13S
SH25F 1
SH10F
4
1
2
2
1
4 2
1
SH13S
1 2 1 2 5
2 4
1 1 2 1 4 1
1 2
1 5 1 5
1 1
1 1
4 1
1 1 1
1
1
5 4
1
5
1 4
9
4
2
3
6
4
2
1 4
12
3 1
Lampiran 2. Spesies tingkat tiang dan jumlah individu yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan lahan Nama Spesies Aglaia simplicifolia Agrostistachys borneensis Antidesma sp. 1 Aporusa octandra Archidendron jiringa Ardisia junghuhniana Artocarpus heterophyllus Artocarpus sp. Calophyllum venulosum Canarium littorale Cephalomappa malloticarpa Cinnamommum inners Commersonia bartramia Cratoxylon cf. arborescens Cyanthocalyx biovulatus Dacryodes laxa Dacryodes rostrata Dillenia sp1. Dyera costulata Elaeocarpus griffithii Elaeocarpus lanceifolius Elaeocarpus nitidus Elaeocarpus sp. Endospermum malaccensis Eurya acuminata Ficus congesta Ficus religiosa Ficus sp. Garcinia dioica Garcinia parvifolia Gironniera nervosa Gymnacranthera contracta Gynotroches axillaris Hevea brassiliensis Hydnocarpus sumatrana Lithocarpus hystrix Lithocarpus sp1 Litsea elliptica Litsea grandis
Forest 2
RAF60S
RAF30F
RAF30S
RAF13S
SH25F
SH10F
2
SH13S 3
1 2 1
2
5
1 1 1 1 2 3 4 1 1 2
1
1 1 1 1
1
2 1 2
1 1
1 1
2 2 1 1 1 1 1
2 1
2 6
13
1 16
1
1 1
2 1 1
1 2
1
Nama Spesies Macaranga gigantea Macaranga peltata Macaranga sp. Madhuca kingiana Mallotus barbatus Millettia atropurpurea Mitrephora maingayi Palaquium gutta Parkia speciosa Perunema canescens Pimeleodendron papaveroides Pimelodendron sp. Piper aduncum Polyalthia subcordata Pometia pinnata Prunus polystachya Pternanda azurea Pyrenaria acuminata Radermachera sp. Rhodamnia cinerea Saurauia cf. pentapetala Scaphium macropodum Shorea sp2. Shorea sp3. Sp23 Sp24 Sterculia cordata Sterculia foetida Syzygium rostratum Trema tomentosa Trichospermum javanicum Vitex pinnata Xanthophyllum incertum Xanthophytum sp. Zanthoxylum myriacanthum
Forest
RAF60S
RAF30F
RAF30S
RAF13S
SH25F
1 1
SH10F 8 7 6
SH13S 3 4 4
1 1 1 1 1
1 3 3 1
2
1 1 1 1 1 2
1
3 1 1 1
1 2
1 1 1
1 5 1 1
1 1
2 1 2
1
5
4 2
1 1 1
1
Lampiran 3. Spesies tingkat pohon dan jumlah individu yang ditemukan pada berbagai tipe tutupan laha Nama Spesies Aglaia simplicifolia Alstonia scholaris Anisoptera sp. Aporusa octandra Artocarpus fretessii Artocarpus nitidus Artocarpus sp. Atuna excelsa Calophyllum venulosum Canarium littorale Cephalomappa malloticarpa Cratoxylon cf. arborescens Dacryodes laxa Dacryodes rostrata Dialium indum Dillenia sp2. Diospyros lanceaefolia Diospyros sp2 Dipterocarpus alatus Durio zibethinus Dyera costulata Elaeocarpus lanceifolius Elaeocarpus stipularis Endospermum malaccensis Ficus congesta Ficus religiosa Ficus variegata Garcinia parvifolia Gironniera nervosa Gymnacranthera contracta Gynotroches axillaris Gynotroches puberula Hevea brassiliensis Hydnocarpus sumatrana Koompassia malaccensis Lansium domesticum Lithocarpus sp1 Lithocarpus sp2 Lithocarpus sp3 Litsea elliptica Litsea firma Litsea grandis Litsea oppositifolia Macaranga sp. Madhuca kingiana Mallotus barbatus Melanochyla sp. 1 Myristica cf elliptica Nephelium ramboutan-ake Palaquium gutta
Forest
RAF60-F
RAF30-F
RAF30-S
SH25-F
2 2 1 1 1 1
1 2 2
1 4 2 1
1 3
1 3
2 2 2
1 2 5
4
13
2 1 3 3
4 1 3 1
1 1 1
4 1 1 8 3 3 5 1 1 2
15 6 2 3 4
31
21
9
1 1
1 3 1
1 1 1
1 1 1 1
4
Nama Spesies Parashorea malaanonan Parkia speciosa Perunema canescens Polyalthia subcordata Pometia pinnata Pternanda azurea Santiria conferta Scaphium macropodum Shorea acuminata Shorea dasyphylla Shorea gibbosa Shorea platyclados Shorea sp1. Shorea sp2. Shorea sp3 Sp27 Sp28 Sp3 Sp31 Sp6 Sp7 Sterculia cordata Sterculia foetida Styrax benzoin Syzygium claviflorum Syzygium rostratum Syzygium sp. Trema tomentosa Xanthophyllum incertum Zanthoxylum myriacanthum
Forest 1 1
RAF60-F 1 1
RAF30-F
RAF30-S
SH25-F 2 3 2
2 1 1 1 1 1
1 24 4
1
2
1
1 1 1
18 2
6
2 1 2 1 1
1 1 3 2 1
1 1 1
1 1
1 3 1 1 1 1
Lampiran 4. Nilai t hitung untuk indeks Shannon-Wiener pada tingkat pancang antar tipe tutupan lahan Kode plot Forest RAF60-S RAF30-F RAF30-S RAF13-S SH25-F SH10-F
RAF60-S 3.408
RAF30-S 13.889 11.275
RAF30-S 12.587 9.904 1.214
t hitung RAF13-S 11.557 9.076 0.607 0.449
SH25-F 3.946 0.626 10.489 9.15 8.443
SH10-F 6.048 2.758 8.857 7.48 6.935 2.071
SH13-S 9.347 6.75 2.905 1.829 2.052 6.143 4.565
Lampiran 5. Nilai t hitung untuk indeks Shannon-Wiener pada tingkat tiang antar tipe tutupan lahan Kode plot Forest RAF60-S RAF30-F RAF30-S RAF13-S SH25-F SH10-F
RAF60-S 1.796
RAF30-S 6.901 5.495
RAF30-S 8.569 7.257 1.585
t hitung RAF13-S 6.620 5.611 2.082 1.088
SH25-F 0.130 1.970 7.902 9.918 6.957
SH10-F 0.265 0.913 4.624 6.372 5.052 1.963
SH13-S 1.732 0.273 6.387 8.409 6.005 1.963 1.300
Lampiran 6. Nilai t hitung untuk indeks Shannon-Wiener pada tingkat pohon antar tipe tutupan lahan Kode plot Forest RAF60-S RAF30-F RAF30-S
RAF60-S 3.743
t hitung RAF30-F RAF30-S 7.553 12.648 5.501 10.792 3.160
SH25-F 0.773 2.810 6.941 11.899
Keterangan: angka yang dicetak tebal menunjukkan perbedaan yang nyata pada selang kepercayaan 95% dengan t tabel 12,76 dan derajat bebas 1 atau pada selang kepercayaan 90% dengan t tabel 6,31 dan derajad bebas 1