Perakitan kelapaInovasi unggulPertanian melalui teknik ... Pengembangan 1(4), molekuler 2008: 259-273
259
PERAKITAN KELAPA UNGGUL MELALUI TEKNIK MOLEKULER DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEREMAJAAN KELAPA DI INDONESIA1) Hengky Novarianto Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Jalan Bethesda II, Mapanget, Kotak Pos 1004, Manado 95001
PENDAHULUAN Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupan karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya. Arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luas areal perkebunan kelapa rakyat yang mencapai 98% dari total areal kelapa nasional sekitar 3,86 juta ha, dengan produksi 3,04 juta ton ekuivalen kopra pada tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perkebunan 2007), dan melibatkan lebih dari 7 juta keluarga petani. Pengusahaan kelapa juga membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam. Salah satu permasalahan kelapa pada tingkat petani adalah rendahnya produktivitas, yaitu hanya rata-rata 1 ton kopra/ ha/tahun, padahal potensi produksinya dapat mencapai 3-5 ton kopra/ha/tahun (Novarianto et al. 2004). Rendahnya produktivitas disebabkan petani belum menggunakan benih kelapa unggul. Petani pernah melakukan peremajaan dengan kelapa hibrida, tetapi kurang berhasil.
1) Naskah disarikan dari bahan Seminar Praorasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 12 Juni 2008 di Bogor.
Belajar dari pengalaman petani dengan kelapa hibrida maka penyediaan benih unggul kelapa bagi petani hendaknya diseleksi dari jenis kelapa Dalam. Kebutuhan benih kelapa untuk program peremajaan mencapai 15% dari total luas kelapa, yakni sekitar 583.500 ha. Pada saat ini, kebun induk kelapa Dalam unggul belum tersedia secara cukup. Penyediaan benih kelapa Dalam unggul harus disiapkan sejak awal, mengingat umur produktif tanaman kelapa cukup panjang. Dalam rangka menunjang program peremajaan kelapa, diperlukan strategi penyediaan benih kelapa Dalam unggul untuk jangka pendek dan jangka panjang Program penyediaan benih jangka pendek dapat dilakukan melalui pemanfaatan kelapa Dalam unggul lokal, sedangkan program pembangunan kebun induk kelapa untuk jangka panjang dilaksanakan dengan membangun Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit (KIKD Komposit). Untuk mempercepat seleksi varietas kelapa unggul di setiap daerah dan sebagai tetua dalam perakitan kelapa Dalam komposit, dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik molekuler. Sudah saatnya setiap daerah (provinsi/kabupaten) mempunyai pusatpusat sumber benih kelapa unggul, yang selain sebagai sumber benih kelapa lokal, juga secara tidak langsung akan melesta-
260
rikan keragaman genetik kelapa secara in situ atau on-farm conservation. Makalah ini mengulas perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler serta implikasinya terhadap prgoram peremajaan kelapa di Indonesia.
PERKEMBANGAN PEMULIAAN KELAPA DI INDONESIA Produktivitas kelapa menurun pada awal tahun 1970, padahal permintaan minyak goreng meningkat. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan produksi kopra, antara lain peremajaan kelapa tua dan perluasan areal dengan kelapa hibrida. Untuk memenuhi kebutuhan benih kelapa hibrida dalam jumlah banyak dan cepat, pemerintah mengintroduksi kelapa hibrida PB121 dari Pantai Gading serta membangun kebun induk kelapa hibrida di 11 provinsi dengan luas 1.856 ha (Novarianto et al. 1998). Kelapa hibrida yang dihasilkan adalah silangan kelapa Genjah Kuning Nias x Dalam Afrika Barat atau disebut MAWA. Di samping mendatangkan kelapa hibrida dari luar negeri, pemerintah melalui Badan Litbang Pertanian juga merakit kelapa hibrida lokal. Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode pemanfaatan keragaman genetik plasma nutfah secara sistematis untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam upaya menghasilkan kelapa unggul untuk mempercepat peremajaan kelapa maka tujuan program pemuliaan pada masa lalu (19701990) adalah menghasilkan bahan tanaman dalam skala luas dan memiliki karakteristik hasil kopra tinggi dan cepat berbuah (Liyanage 1974). Metode pemuliaan yang dipilih adalah seleksi dan hibridisasi untuk
Hengky Novarianto
merakit berbagai jenis kelapa hibrida, terutama kelapa hibrida silangan antara kelapa Genjah x kelapa Dalam.
Kelapa Hibrida Perakitan kelapa hibrida dilakukan untuk menghasilkan varietas kelapa yang cepat berbuah dan produktivitasnya tinggi. Pola persilangan kelapa hibrida dapat dipilih antara tipe Dalam x Dalam, Genjah x Genjah, Genjah x Dalam atau Dalam x Genjah. Tanaman kelapa digolongkan atas dua tipe, yaitu tipe Genjah dan tipe Dalam. Kelapa Genjah umumnya menyerbuk sendiri, sedangkan kelapa Dalam biasanya menyerbuk silang. Akibatnya, secara fenotipe kelapa Genjah lebih homogen dan genotipenya lebih homozigous dibanding kelapa Dalam yang lebih heterogen dan heterozigous. Kelapa Genjah mulai berbuah pada umur 3-4 tahun, sedangkan kelapa Dalam pada umur 6-7 tahun. Berdasarkan pola penyerbukan, umur pertama berbuah, potensi produksi buah, hasil kopra, serta kualitas kopra dan minyak, untuk menghasilkan kelapa hibrida yang cepat berbuah dan hasil kopra tinggi, dipilih pola persilangan kelapa Genjah x Dalam. Perakitan kelapa hibrida Genjah x Dalam dilakukan sejak tahun 1975. Berdasarkan hasil evaluasi dan seleksi bahan tanaman kelapa Genjah dan kelapa Dalam dari plasma nutfah kelapa, ditetapkan kelapa Genjah Kuning Nias asal Pulau Nias, Sumatera Utara sebagai tetua betina, sedangkan sebagai tetua jantan atau sumber polen dipilih tiga varietas kelapa Dalam, yaitu Dalam Tenga asal Sulawesi Utara, Dalam Bali asal Bali, dan Dalam Palu asal Sulawesi Tengah. Tiga varietas kelapa hibrida yang dihasilkan adalah KHINA 1 (Genjah Kuning Nias x Dalam Tenga),
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
KHINA 2 (Genjah Kuning Nias x Dalam Bali), dan KHINA 3 (Genjah Kuning Nias x Dalam Palu). Dengan pemeliharaan yang intensif, kelapa hibrida tersebut mampu berproduksi 4-5 ton kopra/ha/tahun (Novarianto et al. 1992a). Ketiga kelapa hibrida tersebut telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 1984. KHINA-1 mulai berbuah pada umur 34 tahun, hasil kopra rata-rata 4 ton/ha/ tahun dengan hasil tertinggi 5 ton/ha/ tahun, dan kadar minyak kopra 64%. KHINA-2 mulai berbuah umur 3,5 tahun, kadar kopra cukup tinggi yaitu 296 g/butir, atau membutuhkan 3-4 butir kelapa untuk menghasilkan 1 kg kopra, hasil kopra 4 ton/ ha/tahun dengan kadar minyak kopra 64%. KHINA-3 menghasilkan kopra rata-rata 4 ton/ha/tahun, lebih tahan kekeringan dibanding KHINA-1 dan KHINA-2, serta kadar minyak kopra cukup tinggi yaitu 65%. Petani kelapa umumnya tidak melakukan pemupukan pada tanaman kelapa, sehingga saat membudidayakan kelapa hibrida, sebagian besar petani tidak dapat memenuhi syarat pemeliharaan yang baik, terutama pemupukan secara intensif. Akibatnya, tanaman tidak mampu berproduksi sesuai dengan potensinya serta buah berukuran kecil. Selain produksi rendah, kelapa hibrida introduksi PB121 dan MAWA sangat peka terhadap penyakit busuk pucuk dan gugur buah yang disebabkan oleh Phythopthora palmivora (Bennett et al. 1985; Warokka dan Mangindaan 1992), serta kurang tahan terhadap kekeringan (Tampake et al. 1982). Hal tersebut membuat petani menjadi kecewa. Kelapa hibrida KHINA-1, KHINA2 dan KHINA-3 lebih baik dibanding PB121 dan MAWA, tetapi sebagian besar petani terlanjur tidak menyukai meremajakan tanaman kelapa dengan kelapa hibrida.
261
Hasil survei pengusahaan kelapa di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa 98% petani memilih kelapa Dalam untuk digunakan dalam perluasan areal, peremajaan, dan rehabilitasi (Akuba et al. 1992). Rethinam et al. (2002) melaporkan 94,44% petani kelapa di Indonesia lebih menyukai kelapa Dalam unggul lokal dan kelapa hibrida lokal dalam program pengembangan dibanding kelapa hibrida. Preferensi petani terhadap kelapa Dalam tercermin dari areal kelapa Dalam yang mencapai 93% dari total areal kelapa. Petani umumnya memilih kelapa Dalam dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) walaupun potensi produksi kelapa hibrida lebih tinggi dibanding kelapa Dalam, kelapa hibrida membutuhkan pemeliharaan intensif, terutama pemupukan dan pengendalian penyakit untuk mencapai hasil yang maksimal dan stabil; (2) kelapa Dalam berdasarkan pengalaman tidak memerlukan pemeliharaan intensif untuk mencapai tingkat produksi yang menguntungkan, serta lebih tahan terhadap cekaman lingkungan terutama kekeringan (Akuba 1998) dan serangan penyakit busuk pucuk (Hosang dan Lolong 1998), sehingga produksinya lebih stabil dan berkesinambungan dibanding kelapa hibrida; (3) benih kelapa Dalam lebih murah dibanding benih kelapa hibrida, karena petani dapat menggunakan buah hasil panen dari kebunnya sebagai benih atau membeli benih kelapa Dalam unggul yang relatif murah dari instansi terkait; dan (4) petani memiliki pengalaman traumatis dengan menanam kelapa hibrida PB-121 dan MAWA, yaitu Setelah kurang lebih 10 tahun mengusahakan kelapa hibrida PB121, 5-83% tanaman kelapa dalam suatu areal terserang penyakit busuk pucuk dan gugur buah (Akuba 1991).
262
Hengky Novarianto
Kelapa Dalam Dengan mempertimbangkan keinginan petani kelapa, pemuliaan kelapa pada tahun 1990-2000 ditujukan untuk menghasilkan varietas kelapa Dalam yang mampu menghasilkan kopra tinggi tanpa pemeliharaan yang intensif, terutama pemupukan. Artinya, tanpa pemupukan intensif, pertumbuhan dan hasil kelapa Dalam lebih baik dibanding kelapa hibrida (Tampake et al. 1983). Peningkatan produktivitas kelapa Dalam dapat dilakukan melalui seleksi massa. Seleksi massa berdasarkan bobot buah tanpa sabut dapat meningkatkan hasil pada turunannya. Seleksi 5% pohon induk terbaik akan meningkatkan hasil 14,4%, selanjutnya seleksi 10% dan 15% memberikan kenaikan hasil berturut-turut 10,1% dan 7,9% (Liyanage 1972; Liyanage 1973). Jumlah buah dan hasil kopra kelapa Dalam Mapanget yang diseleksi dari induk dengan potensi hasil kopra 45-50 kg/pohon/ tahun lebih baik daripada kelapa Dalam Tenga, Bali, dan Palu (Rompas et al. 1990). Evaluasi komponen buah pada 17 kultivar kelapa Dalam asal Sulawesi Utara memperoleh enam kelompok dengan keragaman genetik terbesar 52,27% (Miftahorrachman et al. 1996). Pada tahun 2000-2008, disiapkan proposal pelepasan 10 varietas kelapa Dalam unggul. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa varietas kelapa Dalam memiliki potensi hasil tinggi dan dapat diusulkan untuk dilepas (Novarianto 2001; Novarianto dan Tenda 2002). Varietas kelapa Dalam yang direkomendasikan sebagai benih unggul adalah Dalam Mapanget, Dalam Tenga, Dalam Bali, Dalam Palu, dan Dalam Sawarna asal Jawa Barat. Hasil kopra kelima varietas tersebut selama 2-5 tahun observasi di kebun Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) dan petani berkisar antara 2,2-3,5 ton kopra/ha/tahun, lebih tinggi daripada hasil kelapa Dalam rakyat yang hanya 1,0-1,5 ton kopra/ha/tahun (Tenda et al. 2004; Tenda et al. 2006). Kelapa Dalam Mapanget, Tenga, Bali, dan Palu telah dilepas sebagai varietas unggul pada tahun 2004, dan kelapa Dalam Sawarna dilepas pada tahun 2006. Lima varietas lainnya akan dilepas pada tahun 2008. Varietas kelapa Dalam unggul tersebut telah dimanfaatkan untuk peremajaan kelapa rakyat. Untuk meningkatkan produktivitas kelapa unggul, kelima kelapa Dalam unggul tersebut telah dimanfaatkan dalam perakitan varietas kelapa Dalam komposit. Pengujian kelapa Dalam komposit sedang berlangsung di Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Jawa Timur.
PENGGUNAAN CIRI KARAKTER ISOZIM UNTUK SELEKSI KELAPA Pemuliaan kelapa sangat bergantung pada sumber keanekaragaman genetik. Keragaman genetik bukan hanya mengenai koleksi plasma nutfah secara fisik, tetapi juga penilaian sejauh mana keragaman genetik tersebut diperlukan dalam kegiatan manipulasi genetik ke arah perakitan varietas yang diinginkan dan jarak genetik dari sifatsifat yang digunakan dalam program persilangan (Makmur 1988). Plasma nutfah perlu dievaluasi keragaman genetiknya sebagai dasar seleksi dalam persilangan atau perakitan varietas yang diinginkan konsumen. Evaluasi plasma nutfah merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan informasi tentang potensi genetik individu populasi suatu kultivar/ jenis/aksesi dengan menggunakan metode
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
konvensional maupun nonkonvensional. Secara konvensional, evaluasi dilakukan dengan mempelajari dan mengamati karakter morfologi di lapangan. Evaluasi secara nonkonvensional dilakukan di laboratorium untuk karakter yang tidak dapat diamati di lapangan. Karakter morfologi menjadi prioritas utama dalam evaluasi plasma nutfah, karena secara fenotipe, perbedaan karakter baik kualitatif maupun kuantitatif dapat langsung terlihat. Namun, kadang-kadang karakter morfologi saja tidak cukup sehingga harus didukung dengan data molekuler. Plasma nutfah kelapa merupakan sumber sifat keturunan untuk merakit dan mengembangkan varietas kelapa unggul. Di Indonesia, koleksi plasma nutfah kelapa pertama kali dilakukan oleh ahli pemuliaan dari Belanda, yaitu Dr. Tammes, dengan mengevaluasi dan mengoleksi kelapa Dalam Mapanget asal Kecamatan Mapanget, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara pada tahun 1927. Selanjutnya pada tahun 1973 dilakukan survei plasma nutfah kelapa di 11 provinsi penghasil kelapa utama. Hingga tahun 2007, Balitka telah berhasil mengoleksi 115 aksesi kelapa dari berbagai daerah di Indonesia dan sebagian kecil hasil introduksi. Koleksi kelapa ditanam di Kebun Mapanget, Paniki, Kima Atas dan Pandu (Sulawesi Utara), serta Pakuwon (Jawa Barat). Plasma nutfah kelapa dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila potensi genetik setiap individu atau populasi diketahui. Evaluasi plasma nutfah kelapa, selain berdasarkan sifat morfologi, agronomi, dan fisiko-kimia, untuk mempercepat perakitan kelapa unggul juga perlu dilakukan secara molekuler, seperti ciri karakter isozim. Produk langsung gen berupa protein dan enzim dapat dilacak dan dipelajari
263
keragamannya dengan menggunakan gel dan elektroforesis. Isozim adalah enzimenzim yang terdiri atas berbagai molekul aktif yang berbeda komposisi asam aminonya dan mengkatalisis reaksi yang sama. Keragaman isozim dapat dilacak dengan menggunakan elektroforesis pada gel yang dihasilkan berupa pola pita setelah diberi warna. Isozim dapat digunakan sebagai penciri genetik untuk mempelajari keragaman individu dalam suatu populasi, mengidentifikasi kultivar dan hibridanya (Peirce dan Brewbaker 1973; Kut dan Evans 1984; Vences et al. 1987), menentukan keberhasilan persilangan buatan (Parfitt dan Arulsekar 1985; Mc Granahan et al. 1986), membantu menyeleksi sifat-sifat yang bernilai ekonomi penting (Adams 1983; Hayward dan Mc Adam 1988; Yupsanis dan Moustakas 1988), dan mempelajari penyebaran keragaman genetik suatu tanaman dari lingkungan yang berbeda (Second 1982; Nevo et al. 1987). Ciri genetik pola pita isozim sangat bermanfaat dalam seleksi tanaman kelapa, karena seleksi dapat dilakukan lebih cepat, mudah, dan murah. Untuk jangka panjang, penggunaan isozim dalam seleksi kelapa lebih dapat dipercaya, karena tidak atau sedikit sekali dipengaruhi lingkungan dibandingkan dengan seleksi berdasarkan morfologi. Elektroforesis enzim dengan gel sering menghadapi masalah teknis yang berkaitan dengan ekstraksi enzim aktif dari jaringan tanaman. Hal ini berkaitan dengan adanya kandungan senyawa fenol dalam jaringan tanaman tahunan, termasuk kelapa. Namun, ternyata berbagai organ tanaman kelapa dapat digunakan sebagai materi dalam analisis isozim melalui elektroforesis enzim pada gel pati. Daun kelapa termasuk jaringan tanaman yang baik, karena secara cepat seleksi pada tingkat bibit dapat
264
dilakukan melalui daun (Novarianto dan Hartana 1994). Sebelum ditanam di lapangan, tanaman kelapa perlu dibibitkan selama 6 bulan. Setiap bulan akan terbentuk rata-rata satu helai daun, sehingga bibit umur 6 bulan sejak berkecambah memiliki enam helai daun. Hasil pemeriksaan pada berbagai tingkat umur daun bibit kelapa menunjukkan bahwa pola pita isozim peroksidase (PER), glutamat oksaloasetat transaminase (GOT), dan esterase (EST) tidak memperlihatkan perbedaan pada individu bibit yang sama (Novarianto 1988; Novarianto dan Hartana 1994). Dengan demikian, penggunaan daun kelapa sebagai materi dalam analisis isozim sangat menguntungkan karena selain tanaman kelapa produktif, sejak tingkat bibit sudah dapat dilakukan seleksi awal. Kelapa hibrida KHINA-1, KHINA-2, dan KHINA-3 merupakan hasil perakitan dengan menggunakan varietas kelapa lokal Indonesia (Novarianto et al. 1984). Seleksi tetua ketiga kelapa hibrida tersebut didasarkan pada karakter morfologi. Potensi hasil kopra ketiga varietas kelapa hibrida tersebut tinggi dan tidak berbeda nyata. Efek heterosis terlihat pada hasil kopra ketiganya, dan nisbah kopra terhadap bobot buah utuh, buah tanpa sabut, dan buah tanpa air adalah sama (Novarianto et al. 1988c). Kemiripan ini sejalan dengan hasil analisis keragaman pola pita isozim dari daun. Ternyata ketiga varietas kelapa hibrida tersebut memiliki pola pita yang sama pada lima sistem enzim, dan perbedaan hanya terdapat pada isozim PER (Novarianto et al. 1988b). Pola pita lima sistem enzim yang tidak beragam adalah katalase (CAT), leusin amino peptidase (LAP), alkohol dehidrogenase (ADH), endopeptidase (ENP) dan asam fosfatase (ACP), serta yang beragam yaitu peroksi-
Hengky Novarianto
dase (PER). Isozim PER pada tanaman kelapa memiliki empat macam pola pita PER (Novarianto et.al. 1988a). Sebaliknya, delapan jenis kelapa hibrida Genjah x Dalam lainnya tidak memperlihatkan perbedaan nyata pada karakter morfologi lingkar batang semu, tinggi bibit, dan umur pecah daun pertama. Namun, melalui keragaman pola pita isozim PER, GOT dan EST, silangan Genjah Kuning Bali x Dalam Banyuwangi sangat tidak mirip dengan tujuh silangan lainnya (Randriany et al. 1993). Ini menunjukkan bahwa ciri genetik berdasarkan pola pita isozim dapat membantu dan memperkuat perbedaan berdasarkan morfologi dalam seleksi kelapa. Keragaman pola pita isozim telah digunakan untuk mengukur kemiripan genetik antaraksesi kelapa pada koleksi plasma nutfah. Pengelompokan berbagai aksesi kelapa sangat bermanfaat dalam pemilihan tetua untuk perakitan kelapa unggul. Untuk mempelajari kemiripan genetik kelapa, metode terbaik adalah dengan analisis gugus berdasarkan jarak Euclid (Novarianto 1994a). Keragaman pola pita isozim PER, GOT, dan EST telah digunakan untuk mengelompokkan 30 aksesi kelapa koleksi plasma nutfah di KP Bone-bone, Sulawesi Selatan, berdasarkan kemiripan genetiknya. Berdasarkan jarak Euclid pada kemiripan genetik 75%, koleksi plasma nutfah kelapa terbagi menjadi lima kelompok. Aksesi yang paling tidak mirip adalah kelapa asal Nusa Tenggara Timur, yaitu kelapa Dalam Boa, Mogdale, dan Oebafok (Novarianto dan Hartana 1993). Analisis yang sama telah dilakukan pula pada 23 aksesi kelapa koleksi plasma nutfah di KP Pakuwon, Jawa Barat. Secara umum, kelapa Dalam mengelompok sendiri, terpisah dari kelapa Genjah, kecuali Genjah Sri Tanjung dan Genjah Trenggalek yang berasal dari Jawa
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
Timur (Novarianto et al. 1988a). Tiga kelapa Genjah yang memiliki warna kulit buah kuning, yaitu Genjah Kuning Nias, Genjah Kuning Malaysia, dan Genjah Kuning Bali, paling jauh hubungan kekerabatannya dengan berbagai aksesi kelapa Dalam. Di antara kelapa Dalam, Dalam Banyuwangi dan Dalam Riau paling jauh hubungan kekerabatannya dengan aksesi kelapa Dalam lainnya (Novarianto et al. 1993a). Keragaman pola pita isozim juga telah digunakan untuk menganalisis gabungan koleksi plasma nutfah kelapa di tiga lokasi, yaitu 35 kultivar kelapa dari kebun koleksi plasma nutfah Mapanget-Sulawesi Utara, 23 kultivar dari kebun Pakuwon-Jawa Barat, dan 27 kultivar dari kebun Bonebone-Sulawesi Selatan. Hasil analisis kemiripan genetik antarkultivar kelapa menunjukkan bahwa antarkultivar kelapa tipe Genjah memiliki keragaman genetik isozim dan morfologi yang lebih besar dibanding antarkultivar kelapa Dalam. Dari 85 kultivar yang dianalisis kemiripan genetiknya, sebagian besar kultivar kelapa Genjah memiliki kemiripan genetik yang cukup jauh, namun untuk kelapa Dalam hanya beberapa kultivar saja (Novarianto et al. 1993b). Hasil ini menunjukkan bahwa antarkultivar kelapa Genjah memiliki perbedaan genetik yang lebih besar dibandingkan antarkultivar kelapa Dalam. Perbedaan keragaman genetik berdasarkan pola pita isozim dapat digunakan bersamaan dengan keragaman berdasarkan morfologi dalam seleksi tetua kelapa untuk pemuliaan lebih lanjut. Isozim dapat pula digunakan untuk memperoleh kode gen tunggal pada tanaman tahunan (Torres et al. 1978). Pada tanaman kelapa, dari tiga sistem enzim hanya satu sistem enzim, yaitu GOT yang mengikuti nisbah Mendel monohibrida.
265
Sistem enzim GOT memiliki satu gen dua alel yang mengontrol ekspresi pola pita GOT-1 dan GOT-2 (Novarianto 1994b). Ciri pola pita GOT dapat digunakan dalam seleksi tanaman kelapa yang terkait dengan sifat unggul, seperti cepat berbuah, resisten terhadap penyakit, atau toleran kekeringan.
PERAKITAN KELAPA UNGGUL MELALUI TEKNIK DNA Dengan berkembangnya teknologi penanda DNA, keanekaragaman karakter genetik dalam plasma nutfah kelapa pada tingkat DNA dapat diketahui. Penanda DNA dianggap dapat memberikan informasi keanekaragaman karakter genetik yang lebih baik, terutama untuk penanda suatu populasi atau aksesi tanaman, karena mampu memberikan pita DNA polimorfis dalam jumlah banyak, konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan. Informasi genetik berdasarkan penanda DNA dapat dilakukan dengan Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP), Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), dan Simple Sequence Repeat (SSR) atau mikrosatelit (Powel et al. 1996; Karp dan Edwards 1997). Dengan menggunakan penanda RAPD, keragaman genetik kelapa Genjah Orange Sagerat mencapai 22%, Genjah Kuning Bali 17%, dan Genjah Kuning Nias 14% (Mawikere 1998). Artinya Genjah Kuning Nias paling seragam, diikuti Genjah Kuning Nias dan Genjah Orange Sagerat. Kelapa Genjah Kuning Nias lebih dekat dengan Genjah Kuning Bali dibandingkan dengan Genjah Orange Sagerat. Kemiripan Genjah Kuning Nias dengan Genjah Kuning Bali ditemukan pula pada analisis
266
berdasarkan pola pita isozim (Novarianto et al. 1993a). Dengan demikian, sebagai bahan tanaman untuk pemuliaan, Genjah Kuning Nias lebih baik dibanding Genjah Kuning Bali dan Genjah Orange Sagerat karena lebih homogen. Studi dengan menggunakan analisis RAPD pada populasi asli dan populasi koleksi memberikan hasil yang cukup berbeda pada kultivar yang sama. Dengan teknik analisis DNA, diketahui bahwa kelapa Genjah Jombang hasil koleksi ex situ lebih beragam dibanding kultivar yang sama di tempat aslinya in situ, yaitu di Jombang (Hayati et al. 2000). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kelapa Genjah Jombang pada koleksi plasma nutfah untuk pemuliaan membutuhkan tindakan seleksi dan hibridisasi agar lebih seragam. Hasil lain yang memperkuat bahwa teknik DNA dapat mempercepat seleksi bahan tanaman kelapa dapat dilihat pada hasil penelitian jenis-jenis kelapa asal Papua. Kelapa asal Biak mempunyai hubungan kekerabatan yang jauh dengan kelapa asal Sorong, Manokwari, Jayapura, dan Merauke. Selanjutnya kelapa asal Papua mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan kelapa asal Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara, tetapi sebaliknya mempunyai hubungan yang lebih jauh dengan kelapa asal Maluku Utara (Tidore dan Ternate), Bali (Dalam Bali), dan Sulawesi Tengah (Dalam Palu) (Mawikere 2005). Kelapa Dalam Mapanget (DMT) adalah aksesi kelapa yang pertama kali dikoleksi di kebun Mapanget. Nomor-nomor terpilih kelapa ini yang mencapai 100 nomor, diseleksi berdasarkan potensi hasil buah
Hengky Novarianto
dan kopra. Pada beberapa nomor unggulan seperti DMT no. 10 dan 32 dilakukan penyerbukan sendiri untuk pemurnian genotipe. Sampai saat ini telah dilakukan penyerbukan sendiri sampai generasi keempat atau selfing DMT S4. Dengan penanda RAPD diketahui bahwa hasil penyerbukan sendiri kelapa Dalam Mapanget sampai generasi ketiga (DMT S3) sudah lebih homozigot daripada tetuanya, yaitu DMT S2 dan DMT S0 (Novarianto et al. 2001). Dengan demikian, kelapa Dalam Mapanget S3 dapat digunakan sebagai materi untuk perakitan kelapa unggul.
STRATEGI PEREMAJAAN KELAPA Penerapan kebijakan peningkatan produktivitas kelapa ditempuh antara lain melalui rehabilitasi dan peremajaan dengan menggunakan bibit unggul, khususnya pada tanaman kelapa rakyat yang tua dan rusak. Dalam rencana kegiatan penanganan agribisnis perkelapaan nasional, peremajaan dan pengembangan tanaman kelapa tahun 2006-2010 masingmasing meliputi 100.000 dan 10.000 ha, atau total selama 5 tahun seluas 550.000 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004). Jika setiap hektar areal peremajaan dan pengembangan membutuhkan 220 benih kelapa unggul maka dalam satu tahun harus tersedia benih unggul 24,2 juta butir yang berasal dari sekitar 3.000 ha kebun induk. Padahal pada saat ini belum ada kebun induk yang dapat menyuplai benih kelapa unggul. Program pengembangan kelapa bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kelapa. Pada saat ini, secara nasional proporsi tanaman tua yang berumur lebih dari 50 tahun mencapai 15% atau 583.500 ha
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
dari total areal kelapa seluas 3,89 juta ha. Agar produksi kelapa tidak menurun, peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan terus-menerus, karena tanaman muda akan menjadi tua atau rusak akibat serangan hama dan penyakit serta bencana alam. Untuk meningkatkan produktivitas tanaman yang saat ini tergolong rendah, peremajaan dan rehabilitasi memerlukan bibit unggul yang berasal dari kelapa unggul lokal dan kebun induk.
Program Pemanfaatan Kelapa Unggul Lokal Orientasi pengadaan benih kelapa sebagai bahan tanaman belum sepenuhnya memenuhi kualitas yang baik tetapi tepat jumlah harus tercukupi. Pengadaan benih dengan cara ini mengakibatkan tidak seragamnya pertanaman dan produktivitas, baik di dalam maupun di antara populasi. Apabila pohon induk kelapa sumber benih berasal dari hasil penyerbukan silang alami, maka benih yang dihasilkan stabil secara genetik mengikuti hukum keseimbangan Hardy Weinberg (Carpena et al. 1993). Hal ini berarti frekuensi genotipe populasi tanaman tidak akan berubah dari generasi ke generasi, sehingga petani dapat menggunakan buah kelapa tersebut sebagai benih tanpa terjadi penurunan kekekaran. Suatu petunjuk bahwa seleksi massa dapat memperbaiki produktivitas kelapa. Penetapan blok penghasil tinggi (BPT) dan seleksi pohon induk kelapa (PIK) merupakan metode yang dapat dipilih untuk mempercepat penyediaan bibit kelapa unggul lokal bagi setiap daerah. Setelah BPT ditetapkan, dilanjutkan dengan seleksi individu sehingga diper-
267
oleh pohon-pohon induk sumber benih untuk bahan tanaman. Tingkat seleksi PIK untuk setiap BPT dianjurkan maksimum 15% tanaman terbaik. Untuk merealisasikan kegiatan ini, diharapkan Direktorat Jenderal Perkebunan dan Dinas Perkebunan Provinsi/Kabupaten terkait dapat memprogramkan dan menyediakan dana untuk penetapan BPT dan PIK. Percepatan seleksi BPT dan PIK dapat dilakukan berdasarkan data morfologi dan molekuler. Sejak tahun 2005-2007 beberapa Dinas Perkebunan Provinsi bekerja sama dengan Balitka telah melakukan penetapan BPT dan seleksi PIK, yakni Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan Jambi. Dari 13 provinsi tersebut telah ditetapkan lebih dari 1.000 ha BPT dan terseleksi PIK sekitar 15.000 pohon dengan produksi benih 1,16 juta butir/tahun. Jumlah ini masih kurang dibandingkan kebutuhan benih jika peremajaan dan rehabilitasi berjalan sesuai dengan target Direktorat Jenderal Perkebunan, yaitu 100.000 ha/tahun. Dengan demikian, transfer teknologi benih unggul Balitka dalam kaitannya dengan penetapan BPT dan seleksi PIK kepada petugas lapangan Dinas Perkebunan di 13 provinsi tersebut perlu diperluas dan diikuti oleh Dinas terkait lainnya yang telah memprogramkan pengembangan kelapa di daerah masing-masing.
Program Pembangunan Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit Varietas komposit dihasilkan dari persilangan alami secara acak dari beberapa varietas
268
unggul yang menyerbuk silang (Hallauer dan Miranda 1982). Hibridisasi kelapa Dalam yang menghasilkan kelapa hibrida Dalam x Dalam telah dilakukan di beberapa negara penghasil kelapa. Santos et al. (2000) melaporkan bahwa kelapa hibrida Dalam x Dalam memperlihatkan penampilan lebih baik dari kedua tetuanya (efek heterosis) untuk karakter waktu berbunga, jumlah buah, dan hasil kopra. Komponen buah dari kultivar kelapa hibrida ini juga menunjukkan efek heterosis (Akuba 2002). Efek heterosis berat kopra pada kelapa hibrida Dalam Tenga x Dalam Bali dan resiproknya Dalam Bali x Dalam Tenga umur 7 tahun mencapai 8,6-37,1% (Rompas et al. 1990). Akuba (2002) melaporkan, heterosis kelapa hibrida Dalam x Dalam yang merupakan populasi dasar varietas kelapa Dalam komposit yang dikembangkan oleh Philippine Coconut Authority-Zamboanga Research Center (PCA-ZRC) berkisar 4,529,6% pada bobot buah dan 1,74-17,3% pada bobot kopra pada umur 10 tahun. Bobot kopra per buah dari kelapa Dalam komposit lebih tinggi 8,5% dari tetuanya kelapa Dalam. Penyediaan varietas kelapa unggul untuk memenuhi kebutuhan peremajaan kelapa tua dilakukan melalui perakitan kelapa hibrida Dalam x Dalam tanpa persilangan buatan, yaitu hibrida alami. Kelapa Dalam komposit memiliki beberapa kelebihan dibanding kelapa hibrida Genjah x Dalam. Selain berproduksi tinggi (minimal 2,25 ton kopra/ha/tahun), keragaman genetiknya besar sehingga lebih tahan terhadap variasi iklim. Untuk mendapatkan populasi kelapa Dalam komposit dengan efek heterosis tertinggi, diperlukan seleksi kelapa Dalam tetua yang antarvarietas memiliki ketidakmiripan genetik jauh, tetapi masing-masing varietas tersebut me-
Hengky Novarianto
miliki potensi produksi tinggi. Seleksi kelapa Dalam sebagai calon tetua dalam perakitan kelapa Dalam komposit dapat dipercepat melalui analisis data molekuler. Balitka telah bekerja sama dengan instansi terkait untuk membangun KIKD Komposit di beberapa daerah. Tetua kelapa Dalam yang digunakan dipilih berdasarkan karakter morfologi, potensi hasil, dan jarak genetik dengan menggunakan data molekuler. Pola kelapa Dalam komposit yang dibangun adalah perakitan kelapa Dalam komposit serbuk bebas dan hibrida intervarietas (Akuba 2008). Pada tahun 2003-2007 telah dibangun KIKD Komposit 114 ha lebih di beberapa provinsi, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, dengan estimasi produksi benih 1 juta butir/ tahun. Kelapa Dalam komposit serbuk bebas terdiri atas 10 varietas kelapa Dalam unggul, yakni Dalam Mapanget, Tenga, Bali, Palu, Sawarna, Lubuk Pakam, Jepara, Banyuwangi, Kima Atas, dan Rennel. Lalu pola serbuk bebas yang lain terdiri atas empat varietas unggul di atas, yaitu Dalam Mapanget, Tenga, Bali dan Palu, yang dikombinasikan dengan tiga kultivar kelapa Dalam unggul lokal setempat. Tetua kelapa Dalam komposit ditanam mengikuti model sarang lebah sehingga persilangan antarvarietas berpeluang sangat besar untuk membentuk genotipe heterozigot. Kelapa Dalam komposit hibrida intervarietas terdiri atas enam varietas unggul, yaitu Dalam Mapanget, Tenga, Bali, Palu, Sawarna, dan Rennel yang disilangkan secara buatan untuk mendapatkan 15 kombinasi hibrida. Hasil persilangan ini ditanam campuran sebagai induk kelapa Dalam komposit
269
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
hibrida intervarietas (Akuba 2008; Kumaunang 2008). Diharapkan setiap provinsi/kabupaten dapat membangun KKID Komposit secara bertahap minimal 100 ha untuk memenuhi kebutuhan benih dalam peremajaan kelapa.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Introduksi kelapa hibrida dari luar negeri ke Indonesia dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas kelapa dalam rangka memenuhi kebutuhan kopra dan minyak goreng. Petani kelapa kurang menyukai kelapa hibrida untuk peremajaan karena produktivitas rendah, ukuran buah kecil, dan peka terhadap penyakit. Petani kelapa umumnya lebih memilih kelapa Dalam dengan pertimbangan: (1) tidak membutuhkan pemeliharaan intensif; (2) lebih tahan terhadap serangan penyakit dan cekaman lingkungan kering; (3) benih lebih mudah diperoleh dan murah; dan (4) produksi lebih stabil dan ukuran buah besar. Untuk memenuhi kebutuhan petani akan benih kelapa Dalam, telah dilepas lima varietas kelapa Dalam unggul pada tahun 2004 dan 2006. Metode seleksi secara molekuler seperti teknik isozim dan DNA dapat digunakan untuk mempercepat seleksi varietas dan pohon tetua dalam pemuliaan kelapa. Teknik molekuler bermanfaat untuk mengetahui kemiripan genetik antarpopulasi, aksesi, kultivar, dan varietas kelapa. Kebutuhan benih kelapa Dalam untuk program peremajaan sangat besar dan belum tersedia sumber benih kelapa unggul yang cukup. Strategi jangka pendek untuk penyediaan benih kelapa unggul
adalah dengan memanfaatkan sumber benih kelapa Dalam unggul lokal. Selanjutnya penyediaan benih untuk jangka panjang dilakukan melalui pembangunan Kebun Induk Kelapa Dalam (KIKD) Komposit di setiap daerah. Teknik molekuler dapat digunakan untuk mempercepat seleksi kelapa sebagai tetua dalam perakitan kelapa Dalam komposit. Pembangunan KIKD Komposit dapat dilakukan dalam bentuk waralaba benih, yaitu petani, pengusaha, pemerintah daerah, dan pengguna lainnya sebagai penerima waralaba dan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain sebagai pemberi waralaba. Pembangunan KIKD Komposit dengan mengikutsertakan petani/asosiasi petani dan pemerintah daerah akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan, mendorong komersialisasi perbenihan, meningkatkan pendapatan asli daerah, serta mendukung percepatan pelaksanaan otonomi daerah.
PENUTUP Orasi ini mengangkat peran aspek evaluasi keragaman plasma nutfah kelapa sebagai pangkalan data dalam pemuliaan kelapa. Dengan berdasarkan pada sumber genetik kelapa, seleksi dan hibridisasi kelapa dapat dilakukan lebih terarah dan tepat sehingga varietas kelapa unggul yang dirakit lebih sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tanaman kelapa adalah perkebunan rakyat, sehingga program peremajaan dan pengembangan kelapa harus melibatkan petani kelapa secara langsung, termasuk dalam penyediaan bahan tanaman unggul sebagai salah satu komponen produksi yang sangat penting.
270
Hengky Novarianto
DAFTAR PUSTAKA Adams, W.T. 1983. Application of isozymes in tree breeding. p.381-400. In S.D. Tanksley and T.J. Orton (Eds.). Isozymes in Plant Genetics and Breeding. Part A. Elsevier, New York. Akuba, R.H. 1991. Pemetaan daerah rawan serangan penyakit busuk pucuk kelapa di Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Kelapa 5(1): 5-11. Akuba, R.H., H. Hasni, N. Mokodongan, R. Rahman, dan M.M.M. Rumokoi. 1992. Survei pengusahaan kelapa di Sulawesi Utara. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. Akuba, R.H. 1998. Dampak kekeringan dan kebakaran terhadap kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Lampung. Pusat Penelitian dan PengembanganTanaman Industri, Bogor. Akuba, R.H. 2002. Breeding and population genetic studies on coconut (Cocos nucifera L.) composite variety using morphological and microsatellite markers. PhD Thesis. UPLB, Philippines. 230 pp. Akuba, R.H. 2008. Merakit Tree of Life. Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi Provinsi Gorontalo. 313 hlm. Bennett, C.P.A., O. Roboth, and G. Sitepu. 1985. Aspect of the control of premature nutfall disease of coconut, Cocos nucifera L. caused by Phythopthora palmivora Butler. Seminar Proteksi Tanaman Kelapa, Bogor. p.157-175. Carpena, A. L., R. R. C. Espino, T. L. Rosario and R.P. Laude. 1993. Genetics at population level. SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEAMEO-
SEARCA)-UPLB, Los Banos, Philippines. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Rencana Makro Pengembangan Agribisnis Komoditas Kelapa. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta. 50 hlm. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 81 hlm. Hallauer, A. R. and J. B. Miranda, FO. 1982. Quantitative Genetics in Maize Breeding. The Iowa State University Press. 468 pp. Hayati, P.K.D., A. Hartana, Suharsono, dan H. Aswidinnoor. 2000. Keanekaragaman genetik kelapa Genjah Jombang berdasarkan RAPD. Hayati 7(2): 35-40. Hayward, M.D. and N.J. McAdam. 1988. The effect of isozyme selection on yield and flowering time in Lolium perenne. Plant Breeding 101(1): 24-29. Hosang, M.L.A. and A.A. Lolong. 1998. Pengendalian hama dan penyakit kelapa terpadu. hlm. 202-222. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV, Lampung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Karp, A.S. and K.J. Edwards. 1997. Techniques for analysis, characterization and conservation of plant genetic resources. p. 11-22. In Karp et al. (Eds.). Molecular Tools in Plant Genetic Resources Conservation. A Guide to the Technologies. IPGRI. Kumaunang, J. 2008. Kemajuan pembangunan kebun induk kelapa Dalam Komposit dan strategi perluasannya. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 14(1): 10-11. Kut, S.A. and D.A. Evans. 1984. ADH isozymes in seed of Nicotiana species
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
and somatic hybrids. J. Hered. 75: 215219. Liyanage, D.V. 1972. Production of improved coconut seed by hybridization. Oleagineux 12: 597-599. Liyanage, D.V. 1973. Pemuliaan galur-galur kelapa berproduksi tinggi. Pemberitaan LPTI 15-16: 23-27. Liyanage, D.V. 1974. Survey of coconut germplasm in Indonesia. UNDP/FAO. Coconut Industry Development Project, Document No.1. LPTI, Bogor. 30 pp. Makmur, A. 1988. Masalah pemuliaan tanaman pada lada, cengkeh, kelapa dan kapas. Prosiding Lokakarya Pemuliaan Tanaman Cengkeh, Lada, Kapas dan Kelapa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. hlm. 57-58. Mawikere, N.D. 1998. Identifikasi dan kloning DNA ruas berulang tanaman kelapa kultivar Genjah Kuning Nias. Makalah Seminar Hasil Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mawikere, N.D. 2005. Plasma nutfah kelapa Papua dan hubungan kekerabatannya dengan populasi kelapa Indonesia dan Papua New Guinea berdasarkan penanda RAPD. Draf Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mc Granahan, G.H., W. Tulecke, S. Arulsekar, and J.J. Hansen. 1986. Intergeneric hybridization in the Juglandaceae: Terocarya sp. x Juglans regia. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 111(4): 627-630. Miftahorrachman, H.F. Mangindaan, dan H. Novarianto. 1996. Diversitas genetik komponen buah kultivar kelapa Dalam Sulawesi Utara. Jurnal Zuriat 7(1): 715. Nevo, E., A. Beiles, and D. Kaplan. 1987. Genetic diversity and environmental
271
associations of wild emmer wheat in Turkey. Heredity 61(1): 31-45. Novarianto, H., Miftahorrachman, H. Tampake, E.T. Tenda, dan T. Rompas. 1984. Pengujian F1 kelapa Genjah x Dalam. Pemberitaan Puslitbangtri 8(49): 21-27. Novarianto, H. 1988. Analisis isozim peroksidase pada bibit kelapa KHINA-1. Jurnal Penelitian Kelapa 2(2): 74-80. Novarianto, H., A. Hartana, and L.U. Gadrinab. 1988a. Keanekaragaman pola pita isozim peroksidase pada koleksi kelapa di kebun percobaan Pakuwon, Sukabumi. Floribunda 1(7): 25-28. Novarianto, H., A. Hartana, A. Makmur, dan L.U. Gadrinab. 1988b. Analisis isozim daun kelapa hibrida dan tetuanya. Pemberitaan Puslitbangtri XIII(3-4): 53-56. Novarianto, H., H. Tampake, T. Rompas, dan H.T. Luntungan. 1988c. Komponen buah kelapa hibrida Indonesia. Pemberitaan Puslitbangtri XIII(3-4): 61-64. Novarianto, H., A. Hartana, dan A. Mattjik. 1992a. Analisis kuantitatif karakter agronomi kelapa hibrida dan tetuanya. Forum Pascasarjana IPB 15(1): 11-16. Novarianto, H. dan A. Hartana. 1993. Keragaan pola pita isozim tanaman kelapa di kebun Bone-bone, Sulawesi Selatan. Pemberitaan Puslitbangtri XVIII (3-4): 81-86. Novarianto, H., A. Hartana, dan A.H. Nasoetion. 1993a. Hubungan kekerabatan antarpopulasi kelapa di kebun plasma nutfah Pakuwon, Sukabumi. Jurnal Biologi Indonesia 1(1): 55-65. Novarianto, H., A. Hartana, F. Rumawas, M.A. Rifai, E. Guharja, dan A.H. Nasoetion. 1993b. Kemiripan genetik antarpopulasi kelapa di Indonesia berdasarkan pola pita isozim. Jurnal Penelitian Kelapa 6(2): 1-8.
272
Novarianto, H. 1994a. Beberapa metode analisis kemiripan genetika kelapa. Buletin Balitka 21: 15-24. Novarianto, H. 1994b. Pola pewarisan isozim pada tanaman kelapa. Jurnal Penelitian Kelapa 7(1): 30-35. Novarianto, H. dan A. Hartana. 1994. Perkembangan dan diferensiasi isozim pada tanaman kelapa. Jurnal Biologi Indonesia 1(2): 35-39. Novarianto, H., T. Rompas, and S.N. Darwis. 1998. Coconut breeding programme in Indonesia. p. 28-41. In P.A. Batugal and V. R. Rao (Eds.). Coconut Breeding. Proc. Workshop on Standardization of Coconut Breeding Research Techniques, Port Bouet, Cote de Ivoire, 20-25 June 1994. IPGRI-APO, Serdang Malaysia. Novarianto, H. 2001. Harapan unggul dari Balitka. Trubus 384: 101. Novarianto, H., J. Kumaunang, M.A. Tulalo, A. Masniawati, dan A. Hartana. 2001. Keragaman genetik kelapa Dalam Mapanget nomor 32 hasil penyerbukan sendiri berdasarkan penanda RAPD. Pemberitaan Puslitbangtri 7(2): 43-48. Novarianto, H. dan E.T. Tenda. 2002. Persiapan pelepasan lima varietas kelapa Dalam. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 8(1): 9-11. Novarianto, H., R.H. Akuba, dan M. Hosang. 2004. Memodernisasi perkelapaan Indonesia dengan inovasi teknologi. Prosiding Simposium IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan, 28-30 September 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. Parfitt, D.E. and S. Arulsekar. 1985. Identification of plum peach hybrids by isozymes analysis. Hort. Sci. 20(2): 246248.
Hengky Novarianto
Peirce, L.C. and Brewbaker. 1973. Application of isozyme analysis in horticultural science. Hort. Sci. 8(1): 17-22. Powel, W., M. Morgante, C. Andre, M. Hanavey, J. Vogel, S. Tingey, and A. Rafalski. 1996. The comparison of RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Molecular Breeding 2: 225-238. Randriany, E., H. Tampake, dan H. Novarianto. 1993. Jarak genetik beberapa jenis kelapa hibrida Genjah x Dalam berdasarkan sifat-sifat dan pola pita isozim. Jurnal Penelitian Kelapa 6(1):6772. Rethinam, P., F. Rognon, dan P. Batugal. 2002. Farmer’s perception of high yielding coconut varieties. p. 170-188. Proc. the XXXIX Cocotech Meeting, 1-5 July 2002, Pattaya, Thailand. Rompas,T., H. Novarianto, dan H. Tampake. 1990. Pengujian nomor-nomor terpilih kelapa Dalam Mapanget di Kebun Percobaan Kima Atas. Jurnal Penelitian Kelapa 4(2): 32-34. Santos, G. A., R. L. Rivera, and G. B. Baylon. 2000. Coconut synthetic variety: A sustainable option for the farmers. p. 47-92, In S.S. Magat and D.B. Masa (Eds.). Selected Topics on Current Trends and Prospects in Enhancing the Coconut Industry. Proc. the Coconut Week Symposium, 29 August 2000. PCA, Philippines. Second, G. 1982. Origin of the genic diversity of cultivated rice (Oriza spp.): Study of the polymorphism scored at 40 isozyme loci. Jpn. J. Genet. 57: 2557. Tampake, H., T. Kuswara, and T.A. Davis. 1982. Coconut germplasm survey of Nusa Tenggara Timur Province: The initial step towards resistance in co-
Perakitan kelapa unggul melalui teknik molekuler ...
conut strains. Indon. Agric. Res. Dev. J. 4(2): 52-61. Tampake, H., H. Novarianto, E.T. Tenda, dan T. Rompas. 1983. Pengaruh pemeliharaan intensif terhadap pertumbuhan kelapa hibrida. Pemberitaan Puslitbangtri 3(47-48): 6-11. Tenda, E.T., H. Novarianto, H. Tampake, Miftahorrachman, R.H. Akuba, H.T. Luntungan, T. Rompas, Z. Mahmud, dan J. Kumaunang. 2004. Empat varietas kelapa Dalam unggul untuk pengembangan kelapa di Indonesia. Proposal Pelepasan Varietas. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. 19 hlm. Tenda, E.T., H. Novarianto, H. Tampake, Miftahorrachman, R.H. Akuba, H.T. Luntungan, T. Rompas, Z. Mahmud, dan J. Kumaunang. 2006. Usulan pemutihan kelapa Dalam Sawarna dan
273
Takome. Proposal Pelepasan Varietas. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. 11 hlm. Torres, A.M, R.K. Soost, and U. Diedenhofen. 1978. Leaf isozymes as genetic markers in citrus. Amer. J. Bot. 65(8): 869-881. Vences, F.J., F. Vaquero, and M. P. de Vega. 1987. Phylogenetic relationships in Secale (Poaceae), an isozymatic study. Plant. Syst. Evol. 157(1-2): 33-47. Warokka. J.S. and H.F. Mangindaan. 1992. Penyakit busuk pucuk dan kerugian yang diakibatkannya. Buletin Balitka 16: 48-51. Yupsanis, T. and M. Moustakas. 1988. Relationship between quality colour of glume and gliadin electrophoregrans in Durum wheat. Plant Breeding 101(1): 30-35.