PEMBIAKAN IN VITRO DAN ANALISIS MOLEKULER KELAPA KOPYOR
SUKENDAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT SUKENDAH. In Vitro Propagation and Molecular Analysis of Kopyor Coconut. Supervised by SUDARSONO, WITJAKSONO, and NURUL KHUMAIDA Kopyor coconut is a mutant that cannot be propagated by conventional technique. Morphologically kopyor coconut cannot be differentiated from normal coconut. The aims of these studies were to improve efficiency of coconut zygotic embryo culture and to develop a protocol for clonal propagation through somatic embryogenesis. Moreover, the study was to design a molecular marker to differentiate kopyor coconut from normal one. A series of experiments such as: additions of organic addenda, subculture period, increasing of plantlet rooting by IBA on the zygotic embryo culture technique and embryo splitting technique were carried out to increase the production of plantlets and seedling of kopyor coconut. To develop a protocol of somatic embryogenesis, some experiments were conducted such as: factors that affected callus induction (2,4-D concentration, mode of excision embryo, explant age, and organic addenda), effect of gelled gum concentration, BAP and 2,4-D on the formation of somatic embryos, and effect of ABA on the development of somatic embryos. Designing molecular marker was done to analyze genes related to kopyor trait such as α-D galactosidase, sucrose synthase (SUS), abscicic acid insensitive (ABI), and stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD). Some of those markers were used to analyze the genetic diversity of kopyor fruited and normal coconut. For plantlet production, efficiency of coconut zygotic embryo culture increased to 80% by addition liquid coconut endosperm 150 ml/l in the germination phase, excising the embryo explants into two pieces, subculturing of plantlet every 2-3 months, addition of IBA 1-2 mg/l to induce root of plantlet. For clonal propagation, a protocol of coconut somatic embryogenesis has been established and consisted of callus initiation, callus proliferation, somatic embryo and plantlet formation. Growth regulator 2,4-D at concentration of 50-125 uM induced coconut embryogenic callus. Amino acid was the best organic addendum to increase callus formation, while BAP 10 mg/l+2,4-D 2-5 mg/l was the best concentration on the somatic embryo and plantlet formation. A specific molecular marker for α-D galactosidase was designed to analyze kopyor, kopyor fruited and normal coconut. Based on some specific markers of CnSUS1A, CnSUS1B, CnABI3, CnSACPD, and EgFAD3, kopyor fruited coconut from East Java could be separated from Central Java. Some progenies of hybrid kopyor fruited coconuts in the Central Java are suggested to be originated from tall and dwarf kopyor fruited coconut of the Central Java.
Key words: zygotic embryo culture, somatic embryo, α-D galactosidase, molecular marker.
RINGKASAN SUKENDAH. Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor. Dibimbing oleh SUDARSONO, WITJAKSONO, dan NURUL KHUMAIDA. Kelapa kopyor bernilai komersial tinggi, tersedia terbatas dengan harga mahal. Endosperma mempunyai nilai gizi yang lebih sehat dari pada endosperma kelapa normal. Keterbatasan dalam penyediaan disebabkan oleh alasan genetik (mutan) yang terjadi pada bagian endosperma, sehingga endosperma tidak fungsional dan embrio tidak dapat berkecambah secara alami. Satu-satunya cara memperbanyak kelapa kopyor adalah dengan teknik in vitro melalui metode kultur embrio yang telah dikembangkan selama 35 tahun. Walaupun demikian, teknik-teknik yang ada belum mampu menghasilkan bibit secara efisien. Oleh sebab itu perlu modifikasi teknik kultur in vitro untuk meningkatkan efisiensinya. Ada dua pendekatan yang dilakukan, yaitu; (1) memperbaiki kultur embrio sigotik pada tahap perkecambahan, pertumbuhan planlet, dan tahap sebelum aklimatisasi, serta mengembangkan teknik pembelahan eksplan embrio, (2) mengembangkan teknik pembiakan klonal dengan embriogenesis somatik melalui tahap kalus. Perbaikan kultur embrio sigotik dilakukan dengan menambahkan berbagai macam bahan aditif (air kelapa 150 ml/l, air santan 150 ml/l, thio-urea 50 mg/l, dan thio-urea 100 mg/l) di media Eeuwens pada fase perkecambahan. Pada fase pertumbuhan planlet, menambahkan air kelapa konsentrasi 100, 150, 200 ml/l dan mengatur periode subkultur, yaitu 1, 2, 3, dan 4 bulan. Pada fase sebelum aklimatisasi, memberi perlakuan IBA 1, 2, 3 mg/l ke dalam media kultur untuk meningkatkan perakaran planlet. Teknik pembelahan eksplan embrio dilakukan dengan cara membelah embrio sigotik dan kecambah pada titik tumbuh di daerah meristem apikal menjadi dua belahan. Ke dalam media kultur ditambahkan BAP konsentrasi 2.5-7.5 mg/l untuk menginduksi proliferasi tunas samping. Pengembangan teknik embriogenesis somatik dilakukan dengan melalui beberapa tahap, yaitu: inisiasi kalus, proliferasi kalus, pembentukan dan pematangan embrio somatik, dan perkembangan/pembentukan planlet. Kalus embriogenik diinduksi dengan 2,4-D pada konsentrasi 50, 75, 100 dan 125 uM dan model pembelahan embrio secara longitudinal & horizontal. Untuk meningkatkan pembentukan kalus ke dalam media ditambahkan bahan aditif seperti asam amino, casein hydrolisate, dan air kelapa. Pada tahap pembentukan embrio somatik, ZPT BAP 10 mg/l yang dikombinasikan dengan 2,4-D 2.5 dan 5.0 mg/l digunakan menginduksi pembentukan embrio somatik, sedangkan untuk perkembangan embrio somatik digunakan perlakuan konsentrasi phytagel dan ZPT ABA 25 dan 50 uM. Analisis morfologi dan histologi juga dilakukan untuk mengamati perkembangan kalus, embrio somatik dan kecambah asal embrio somatik. Berdasarkan pangamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil, yaitu: persentase perkecambahan embrio ditingkatkan mencapai 95% pada perlakuan air kelapa 150 ml/l. Pada fase planlet, penambahan air kelapa meningkatkan jumlah planlet yang lengkap, yaitu planlet dengan perkembangan tunas dan akar primer dan lateral. Lama periode yang paling tepat untuk melakukan subkultur adalah setiap 2-3 bulan sekali. Pemberian IBA 1 mg/l mampu menghasilkan planlet
dengan akar primer sebesar 85.7%, sedangkan untuk menginduksi keluarnya akar lateral diperlukan IBA 2 mg/l. Pada penelitian ini, untuk pertama kalinya telah berhasil menginduksi tunas dan akar dari eksplan embrio sigotik yang dibelah. Pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan 58% belahan embrio dapat tumbuh menjadi planlet, tunas, atau akar saja. Perlakuan BAP 5.0-7.5 mg/l pada eksplan belah kecambah meningkatkan perolehan planlet sampai 100%. Konsentrasi BAP yang paling baik untuk menghasilkan planlet lebih banyak adalah 5 mg/l. ZPT BAP juga berpengaruh pada pertumbuhan tunas planlet meskipun tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar. Protokol teknik embriogenesis somatik telah berhasil dikembangkan untuk pertama kalinya pada kelapa kopyor dalam penelitian ini. Pembentukan kalus embriogenik kelapa kopyor memerlukan zat pengatur tumbuh 2,4- D dengan konsentrasi antara 50-125 uM. Bahan aditif asam amino dapat meningkatkan produksi kalus embriogenik. Struktur embrio somatik mulai terbentuk ketika kultur dipindah dari media yang mengandung 2,4-D tinggi ke media dengan 2.4-D lebih rendah dan dikombinasikan dengan BAP. BAP 10 mg/l+2,4-D 5 mg/l menghasilkan embrio somatik lebih banyak daripada BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l. Sebaliknya, BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l lebih baik dalam meningkatkan jumlah planlet. Penambahan ABA dan phytagel tidak banyak berpengaruh pada perkembangan embrio somatik. Analisis morfologi memperlihatkan bahwa embrio somatik kelapa kopyor mirip dengan embrio sigotiknya. Planlet asal embrio sigotik mempunyai batang ramping tegar dengan daun lurus. Planlet asal embrio sigotik mempunyai satu akar primer dan akar-akar lateral yang keluar dari akar primer. Sementara itu, planlet asal embrio somatik mempunyai daun sedikit tidak beraturan dan akar primer lebih dari satu dan tidak bisa dibedakan antara akar primer dan akar lateral. Perkembangan embrio somatik juga menghasilkan bentuk-bentuk yang abnormal seperti bentuk akar tanpa tunas, kecambah dengan banyak tunas, atau kecambah dengan tunas dan akar berasal dari embrio yang berbeda. Morfologi bibit kelapa kopyor yang dihasilkan dari kultur in vitro, dan bibit kelapa berbuah kopyor yang dihasilkan oleh petani, serta bibit kelapa normal tidak bisa dibedakan. Untuk membedakan ketiga jenis bibit ini sedini mungkin hanya bisa dilakukan dengan penanda (marker) molekuler. Fenomena kopyor pada tanaman kelapa ada kaitannya dengan gen α-D Galaktosidase yang ditemukan tidak aktif pada endosperma kelapa kopyor. Untuk itu dalam penelitian ini dikembangkan penanda molekuler gen α-D Galaktosidase yang dirancang dari runutan nukleotida DNA kelapa berbuah kopyor. Hasil analisis runutan nukleotida DNA kelapa berbuah kopyor menunjukkan runutan nukleotida DNA α-D Galaktosidase kelapa tersebut berbeda dengan runutan nukleotida DNA α-D Galaktosidase normal dari berbagai spesies tanaman. Diduga kuat bahwa DNA α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor telah mengalami mutasi. Dengan demikian runutan nukleotida DNA α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor dapat dijadikan penanda molekuler untuk membedakan tanaman kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dengan kelapa yang hanya berpotensi menghasilkan buah normal. Dalam penelitian ini, maka untuk pertama kalinya dihasilkan 4 (empat) pasangan primer spesifik, GAL22 (GAL22-F2 & GAL22-R2); GAL23 (Gal22-F2 & Gal33-R3); GAL33 (GAL33-F3 & GAL33-R3), dan GAL13 (GAL11-F1 & GAL33-R3) yang
dapat digunakan untuk membedakan tanaman kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dengan kelapa yang hanya berpotensi menghasilkan buah normal. Komposisi senyawa endosperma buah kelapa kopyor ditemukan berbeda dengan endosperma buah kelapa normal. Endosperma kelapa kopyor mengandung sukrosa dan karbohidrat lebih tinggi daripada kelapa normal. Sebaliknya, kandungan lemak lebih rendah. Asam lemak pada endosperma kelapa kopyor lebih banyak terdiri dari asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2). Berdasarkan perbedaan tersebut dirancang sejumlah primer spesifik untuk gen Sucrose synthase (SUS), Stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan Absicid acid insensitive (ABI). Enam (6) pasang primer telah berhasil dirancang, yaitu 4 pasang primer spesifik untuk gen SUS (CnSUS1A, CnSUS1B, CnSUS2A, CnSUS2B), sepasang primer gen SACPD (CnSACPD), dan dua pasang gen ABI (CnABI3A dan CnABI3B). Enam primer spesifik tersebut di atas ditambah dengan primer spesifik gen FAD (EgFAD), gen LTP (EgLTP), gen FATB (EgFATB), dan gen ARF1 (EgARF1) digunakan untuk menganalisis keragaman genetik menggunakan metode SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) pada populasi kelapa berbuah kopyor di P. Jawa. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kelapa berbuah kopyor asal Jawa Timur membentuk subgroup tersendiri yang terpisah dari subgroup populasi asal Jawa Tengah. Meskipun demikian belum bisa dibedakan antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan populasi kelapa normal. Kelapa berbuah kopyor jenis dalam, genjah dan hibrida juga belum bisa dipisahkan secara tegas dengan primer-primer tersebut.
Kata kunci: kultur embrio, embriogenesis somatik, penanda molekuler, keragaman genetik
PEMBIAKAN IN VITRO DAN ANALISIS MOLEKULER KELAPA KOPYOR
SUKENDAH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi : Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor Nama : Sukendah NIM : A. 361050161
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Agus Purwito, M.S. Dr. Ir. Darda Effendi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, M.Sc. Dr. Ir. Bambang Heliyanto, M.Sc.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: Pembiakan In Vitro dan Analisis Molekuler Kelapa Kopyor adalah karya sendiri dan belum pernah penulis ajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 18 Agustus 2009
Sukendah A. 361050161
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan segala rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul: PEMBIAKAN IN VITRO DAN ANALISIS MOLEKULER KELAPA KOPYOR. Penelitian ini memuat beberapa topik seperti: (1) Perbaikan Teknik Kultur Embrio Sigotik Kelapa Kopyor, (2) Regenerasi Kelapa Kopyor dengan Metode Pembelahan Eksplan Embrio Sigotik, (3) Regenerasi Kelapa Kopyor Melalui Embriogenesis Somatik, (4) Pengembangan Penanda Molekuler Gen α-D Galaktosidase, (5) Isolasi dan Analisis Fragmen DNA Gen-Gen yang Diduga Berhubungan dengan Sifat Kopyor, (6) Keragaman Genetik Kelapa Berbuah Kopyor di P. Jawa. Sebagian penelitian ini dibiayai oleh UPN ”Veteran” Jatim dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui proyek Hibah Bersaing, Program Sandwich, dan Program Hibah Doktor. Sebagian disertasi telah dipublikasikan ke jurnal Bulletin Agronomi (36)(1):16-23 (2008) dengan judul: Perbaikan Teknik Kultur Embrio Kelapa Kopyor (Cocos nucifera L.) Asal Sumenep Jawa Timur Melalui Penambahan Bahan Aditif dan Pengujian Periode Subkultur. Sebagian disertasi juga telah didaftarkan untuk memperoleh hak paten pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. dengan judul invensi (1): Metode Pembiakan Klonal Kelapa Kopyor Melalui Embriogenesis Somatik dengan No. Registrasi: P00200800263 (15 Mei 2008), dan (2): Deteksi Dini Kelapa Kopyor Menggunakan Penanda Molekuler Spesifik Gen α-D Galaktosidase dengan No. Registrasi: P00200900431 (12 Agustus 2009). Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan pada berbagai pihak yang telah membantu dengan caranya masingmasing dalam studi, penelitian maupun penyempurnaan tulisan disertasi: (1) Kepada keluarga: suami dan anak-anak yang saya cintai, rasa hormat dan terima kasih yang tidak pernah habis kepada keluarga besar W. Sanoesi (mas Mustadi dan mbak Erna, mas Ayup Soepeno (almarhum) dan mbak Emmy, adik Pri dan Wahyu, mas Yanto sekeluarga) dan keluarga besar Stephan (mas Wayan dan mbak Poppy, mas George Eddy sekeluarga, mas Theodore sekeluarga, dik Iswanyudi dan Lely, dik Didik dan Tetty). (2) Kepada komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. yang telah banyak memberikan pengetahuan dalam bidang molekuler, ketajaman dalam menganalisis, mengelola penelitian dengan baik, dan saran-saran dalam tulisan disertasi. Dr. Ir. Witjaksono, MSc. yang ahli di bidang kultur jaringan telah banyak memberikan arahan dan ketajaman dalam detail-detail penelitian in vitro, serta saran-saran dalam tulisan disertasi. Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS. yang selalu memotivasi dan memberi masukan pada tulisan disertasi. (3) Kepada Rektor, Ketua LPPM, dan Dekan Fak. Pertanian UPN ”Veteran” Jatim yang selalu membantu dalam kelancaran studi dan penelitian sampai terbentuknya kerja sama antara UPN ”Veteran” Jatim dengan IPB dalam bentuk MOU untuk pengelolaan penelitian kelapa kopyor. (4) Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah membantu memperoleh kesempatan dalam program Sandwich di Thailand dan program Hibah Doktor untuk menyelesaikan studi S3.
(5) Kepada Dr.Hugo Volkaert yang telah membimbing dalam teknik molekuler, dan selalu mencurahkan waktunya dalam mengarahkan dan memberi saran selama penelitian di Lab. CAB Kasetsart University, Thailand. Dr. Pongthep Aktratanakul Direktur CAB, Kasetsart University, Thailand yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian dan menggunakan segala fasilitas laboratorium di CAB. Teman-teman di CAB: Poom Preedakoon, Songkran Thongthawee, Meow, Uug, dan Eik yang selalu siap membantu dalam penelitian dan yang telah memperkenalkan kebudayaan dan kehidupan orang Thailand. (6) Kepada Direktur Kantor HKI-IPB dan staf: bu Ade, pak Romli, mas Andre dan mas Hendri yang telah membantu dalam proses dan pendaftaran paten kelapa kopyor ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. (7) Kepada sahabat dan teman Lab. Biologi Molekuler: Nenny, Bu Renny, Bu Surti, Bu Loly, Pak Syamsudin, Pak Darmawan, Pak Zhulhermana, Susilowati, mbak Narti, dan mas Agus. Terima kasih atas kebersamaan, kerja sama dan semangat yang diberikan selama penelitian. (8) Kepada sahabat-sahabat kost: Lisnawita kebersamaan kita selama masa-masa sulit selalu memberiku semangat untuk menyelesaikan studi ini, Niken, Ria, Nenni, Annisa, Bu Hesti yang selalu memberi motivasi meskipun sudah berada di institusi masing-masing. (9) Kepada sahabat-sahabat kuliah: Sigit, Awang, Nanas, Rai, Edi, Joko, bersama kalian kuliah di IPB terasa sangat menyenangkan seberat apapun tugas dan materi yang diberikan oleh dosen. (10) Kepada sahabat-sahabat kantor: Jonny, Ziah, Ida, Hadi, Guntoro, Bu Widi, Bu Pongky, Bu Guniarti dan Pak Agus yang selalu menyampaikan beritaberita penting dari UPN dan membantu dalam penyiapan bahan tanam dari Jawa Timur. (11) Kepada Bapak Ir. Hartoyo yang membantu menelusuri kelapa kopyor di Jember dan dalam pengambilan sampel, serta perhatian yang besar atas pengembangan bibit kelapa kopyor di Jawa Timur. (12) Akhirnya kepada sahabat, teman dan pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuan yang diberikan selama penulis studi S3 dan penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Bogor, 18 Agustus 2009
Sukendah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada 31 Oktober 1963. Penulis putri keempat dari pasangan Bapak W. SANOESI dan Ibu NASIKAH. Penulis mempunyai satu saudara laki-laki (Nadiyanto) dan tiga saudara perempuan (Emmy, Herna, dan Wahyuningsih). Penulis menikah dengan Willy Richard Stephan pada tahun 1991 sampai sekarang dan dikaruniai satu anak laki-laki, Atthur K. Willyanda dan satu anak perempuan, Arrum Y. Willyanda. Penulis menyelesaikan 6 tahun sekolah dasar di SDN Margorejo II di Surabaya dan melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SMPN VI pada kota yang sama. Pada tahun 1983 lulus dari sekolah menengah atas di SMAN V Surabaya dan melalui Proyek Perintis II diterima di Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1987. Setelah lulus sarjana, penulis bergabung dengan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur pada tahun 1988. Pada tahun 1999 penulis menerima beasiswa dari IPGRI (International Plant Genetic Resources Institute) di bawah pengelolaan SEARCA untuk studi program master di bidang Plant Genetic Resources and Management di Departemen Hortikultura UPLB (University of the Philippines Los Banos) Filipina. Penulis mengambil topik: Coconut In Vitro Conservation sebagai master thesis dibawah bimbingan Dr. Maria Lourdes O. Cedo. Sambil menyelesaikan studi masternya, penulis diberi kesempatan menjadi presiden pertama PSSN (the Philippine Society for the Study of Nature) Inc. Los Baños Chapter periode 2000-2001 dan menjadi anggota sampai sekarang. Organisasi ini banyak memberikan pelajaran, inspirasi dan tantangan dalam membangun hubungan sosial antar warganegara dari berbagai bangsa dan dari berbagai disiplin ilmu. Tahun 2001 penulis diundang untuk bergabung dengan the Gamma Sigma Delta Honor Society of Agriculture (GSD-HAS) Philippine. Setelah kembali ke institusi penulis mengembangkan Laboratorium Bioteknologi di Jurusan Agronomi dan menjadi Kepala Laboratorium Bioteknologi periode tahun 2002-2006 serta mulai mengembangkan bibit kelapa kopyor di Jawa Timur. Pada tahun 2005 penulis menerima Dana Pendidikan dari UPN “Veteran” Jatim untuk melanjutkan studi S3 di Pasca Sarjana IPB dengan mengambil bidang bioteknologi di Departemen Agronomi dan Hortikultura Fak. Pertanian. Penulis diberi kesempatan penelitian di CAB (Center for Agricultural Biotechnology) Kasetsart University, Thailand pada September 2008-Januari 2009 oleh Pascasarjana IPB melalui program Sandwich yang diselenggarakan oleh Dikti.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………………………………………………. DAFTAR GAMBAR....………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………. I.
II
III.
IV.
xv xviii xxii
PENDAHULUAN Latar Belakang………………………………………………….. Tujuan Penelitian………………………………………………… Manfaat Penelitian……………………………………………….
1 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Kelapa Kopyor…………………………………………………… Kultur Embrio Sigotik Kelapa…………………………………… Kultur Embrio Somatik.................................................................. Perkembangan Kultur Embrio Somatik pada Tanaman Kelapa..... Penanda Molekular......................................................................... Penggunaan Penanda Molekuler pada Tanaman Kelapa………… Gen-gen Penting pada Endosperma dan Perkecambahan Kelapa..
7 9 12 14 20 21 22
PERBAIKAN TEKNIK KULTUR EMBRIO SIGOTIK KELAPA KOPYOR Abstrak............................................................................................ Abstract........................................................................................... Pendahuluan.................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Metode penelitian........................................................................... Hasil Penelitian .............................................................................. Pembahasan.................................................................................... Kesimpulan.....................................................................................
24 25 26 28 28 32 41 43
REGENERASI KELAPA KOPYOR DENGAN METODE PEMBELAHAN EKSPLAN EMBRIO SIGOTIK PADA DAERAH MERISTEM APIKAL Abstrak............................................................................................ Abstract........................................................................................... Pendahuluan.................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Metode penelitian........................................................................... Hasil Penelitian .............................................................................. Pembahasan.................................................................................... Kesimpulan.....................................................................................
45 46 47 48 48 50 55 56
xii
REGENERASI TANAMAN KELAPA KOPYOR MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK Abstrak............................................................................................ Abstract........................................................................................... Pendahuluan.................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Metode penelitian.......................................................................... Hasil Penelitian ............................................................................. Pembahasan.................................................................................... Kesimpulan.....................................................................................
57 58 59 60 60 64 78 80
PENGEMBANGAN PENANDA MOLEKULER SPESIFIK UNTUK GEN α-D GALAKTOSIDASE KELAPA KOPYOR Abstrak........................................................................................... Abstract........................................................................................... Pendahuluan.................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Metode penelitian........................................................................... Hasil Penelitian .............................................................................. Pembahasan.................................................................................... Kesimpulan.....................................................................................
81 82 83 84 85 88 99 102
ISOLASI DAN ANALISIS FRAGMEN DNA TERHADAP GEN- GEN YANG DIDUGA BERHUBUNGAN DENGAN SIFAT KOPYOR PADA TANAMAN KELAPA Abstrak........................................................................................... Abstract.......................................................................................... Pendahuluan.................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Metode penelitian........................................................................... Hasil Penelitian .............................................................................. Pembahasan.................................................................................... Kesimpulan.....................................................................................
104 105 106 108 108 111 121 124
VIII. KERAGAMAN GENETIK POPULASI KELAPA BERBUAH KOPYOR DI PULAU JAWA BERDASARKAN PCR-SINGLE STRAND CONFORMATION POLYMORPHISM (SSCP) Abstrak.............................................................................................. Abstract............................................................................................. Pendahuluan...................................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................... Metode penelitian............................................................................... Hasil Penelitian .................................................................................. Pembahasan........................................................................................ Kesimpulan.........................................................................................
125 126 127 129 129 133 142 144
XI.
145
V.
VI.
VII.
PEMBAHASAN UMUM..............................................................
xiii
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan..................................................................................... Saran...............................................................................................
153 154
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………
155
LAMPIRAN……………………………………………………..
168
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 2.1
2.2
2.3
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
4.1
4.2
Kandungan komposisi senyawa kimia air kelapa dan endosperma kelapa kopyor dengan kelapa normal yang dihitung berdasarkan persentase bahan kering………………...
9
Protokol komposisi media kultur embrio kelapa yang dikembangkan oleh berbagai negara.........................................
11
Mikropropagasi secara klonal pada tanaman kelapa melalui proses embriogenesis somatik………………………………...
15
Persentase daya kecambah dan waktu yang dibutuhkan embrio kelapa kopyor untuk berkecambah.............................................
34
Persentase embrio kelapa kopyor yang mengalami browning, stagnasi, dan embrio tidak viabel pada fase perkecambahan di berbagai media tanpa bahan aditif dan dengan bahan aditif ….
34
Pertumbuhan planlet kelapa kopyor setelah umur 5 bulan pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi air kelapa.............................
35
Persentase planlet kelapa kopyor yang diperoleh pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi air kelapa setelah 8 bulan dalam proses pengkulturan.........................................................
36
Persentase planlet kelapa kopyor yang berhasil diinduksi akarnya pada media padat Eeuwens dengan penambahan ZPT IBA.............................................................................................
38
Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik pada media Eeuwens dengan penambahan berbagai konsentrasi IBA setelah 2 dan 4 bulan perlakuan......
38
Persentase eksplan belahan embrio yang tumbuh menjadi tunas dan akar (planlet lengkap) atau tunas atau akar saja pada berbagai konsentrasi BAP..........................................................
51
Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor dari eksplan belah embrio pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi BAP.........................................................
53
xv
4.3
4.4
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
6.1
6.2
7.1
Persentase eksplan belahan kecambah kelapa kopyor yang tumbuh menjadi tunas dan akar (planlet lengkap), tunas, atau akar saja pada media yang mengandung berbagai konsentrasi BAP...........................................................................................
54
Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor dari eksplan belahan kecambah pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi BAP....................................
54
Pengaruh model pembelahan longitudinal pada induksi dan pertumbuhan kalus kelapa kopyor di media Eeuwens dengan penambahan berbagai konsentrasi 2,4-D...................................
67
Pengaruh model pembelahan embrio secara horizontal pada pembentukan kalus dan embrio somatik kelapa kopyor di media Eeuwens padat dengan berbagai konsentrasi 2,4-D……
69
Persentase pembentukan kalus, diameter dan berat kalus kelapa kopyor pada eksplan embrio muda (10 bulan) dan tua (12 bulan) dengan penambahan berbagai konsentrasi 2,4-D….
70
Pengaruh penambahan bahan aditif pada induksi dan pertumbuhan kalus kelapa kopyor di media Eeuwens padat.....
71
Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media yang mengandung 2,4-D dan BAP………………………………….
72
Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media dengan berbagai konsentrasi phytagel……………………………………………….
73
Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media dengan berbagai konsentrasi ABA .......................................................................
74
Hasil rancangan pasangan primer degenerate yang dikembangkan berdasarkan runutan DNA gen α-D Galaktosidase normal yang ada di DNA data base ..................
89
Hasil amplifikasi PCR dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor dan primer degenerate yang dirancang berdasarkan gen α-D Galaktosidase normal yang ada di DNA data base.....
91
Pasangan primer dan suhu penempelan yang digunakan untuk amplifikasi PCR gen SUS, SACPD, dan ABI dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor jenis dalam dan perkiraan ukuran produk PCR yang dihasilkan..........................................
112
xvi
7.2
8.1
8.2
8.3
8.4
Hasil analisis runutan nukleotida fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI3 pada tanaman kelapa berbuah kopyor hasil amplifikasi pasangan primer SUS1, SUS2, SACPD, dan ABI3...........................................................................................
114
Deskripsi sampel tanaman yang digunakan untuk analisis keragaman genetik populasi pohon kelapa berbuah kopyor di Jawa Tengah dan Jawa Timur…………………………………
130
Pasangan primer spesifik dan suhu penempelan yang digunakan untuk amplifikasi PCR berbagai gen yang berhubungan dengan sifat kopyor pada genom populasi kelapa berbuah kopyor di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta panjang fragmen yang dihasilkan………………………………………
133
Pola pita SSCP alel polimorfik dan keragaman gen antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal untuk masing-masing lokus gen SUS, SACPD, ABI3, dan FAD……………………………………………………………..
137
Kemungkinan asal tetua kelapa berbuah kopyor hibrida di Jawa Tengah…………………………………………………...
140
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.1
2.1
3.1
3.2
3.3
3.4
4.1
4.2
5.1
5.2
5.3
5.4
Bagan alur kerangka penelitian teknik pembiakan in vitro dan analisis molekuler pada tanaman kelapa kopyor.................
6
Fenotipe endosperma buah kelapa normal dan kelapa kopyor.........................................................................................
7
Endosperma kelapa kopyor yang berisi embrio setelah diambil dari buah kelapa kopyor (a) dan embrio kelapa kopyor yang telah dikeluarkan dari endosperma dan dimasukkan dalam erlenmeyer untuk proses sterilisasi (b)………………………..
29
Berbagai respon embrio kelapa kopyor pada media perkecambahan………………………………………………...
33
Persentase planlet kelapa kopyor yang mengalami browning pada fase pertumbuhan di berbagai media tanpa air kelapa dan dengan air kelapa konsentrasi 100 ml/l, 150 ml/l, dan 200 ml/l…………………………………………………………….
37
Proses pertumbuhan planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sebelum dan sesudah aklimatisasi..............................................
40
Proses regenerasi kelapa kopyor dari embrio sigotik yang dibelah sampai menjadi planlet sempurna pada media yang mengandung BAP…………………………………………….
52
Respon eksplan belahan kecambah kelapa kopyor yang ditanam pada media Eeuwens dengan penambahan BAP…….
54
Berbagai struktur kalus dan embrio somatik kelapa kopyor.........................................................................................
65
Produktivitas per 100 embrio yang dibelah secara longitudinal menjadi 2, 4, dan 8 dalam pembentukan kalus embriogenik kelapa kopyor.............................................................................
67
Morfologi eksplan embrio sigotik yang diiduksi menjadi kalus dan planlet kelapa kopyor pada setiap tahap embriogenesis somatik.......................................................................................
75
Morfologi kalus non-embriogenik (a) dan bentuk abnormalitas kecambah kelapa kopyor (b-f)....................................................
75
xviii
5.5
6.1
6.2
6.3
6.4
6.5
6.6
7.1
7.2
Struktur kecambah embrio sigotik dan somatik kelapa kopyor.........................................................................................
77
Diagram struktur parsial gen α-D Galaktosidase normal dari tanaman Vitis vinifera (No.AM423271) dan posisi primer degenerate yang dirancang.........................................................
89
Representasi hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan DNA genom tiga jenis kelapa berbuah kopyor dengan pasangan primer degenerate GAL22 -F2 dan GAL22-R2 atau pasangan primer GAL11-F1 dan GAL33-R3............................
91
Identifikasi plasmid rekombinan yang membawa potongan DNA hasil PCR dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor dan pasangan primer degenerate GAL22-F2 dan GAL22-R2 (a), GAL11-F1 dan GAL33-R3 (b), dan GAL22-F2 dan GAL33-R3 (c)............................................................................
93
Potongan DNA 6 plasmid rekombinan kelapa berbuah kopyor di dalam diagram struktur parsial gen α-D Galaktosidase dari tanaman Vitis vinifera (No.AM423271) dan posisi primer degenerate yang dirancang.........................................................
95
Analisis 6 runutan nukleotida dari potongan gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor di program GeneDoc versi 2.6.002. Pensejajaran dimulai dari sekuen potongan gen α-D Galaktosidase yang diamplifikasi primer forward2 GAL 22 dan reverse3 GAL33.............................................................
96
Pensejajaran runutan α-D Galaktosidase pada ekson 10 dan ekson 12 antar plasmid rekombinan kelapa berbuah kopyor untuk analisis primer spesifik (forward dan reverse) berdasarkan ClustalW dan program GeneDoc...........................
98
Hasil amplifikasi PCR genom kelapa berbuah kopyor dalam dari Kecamatan Tayu dan Margoyoso dengan 3 macam pasangan primer yang digunakan dalam penelitian ini................................................................................................
112
Posisi masing-masing pasangan primer (F & R) dan fragmen DNA kelapa berbuah kopyor di dalam diagram struktur parsial gen Sucrose synthase (SUS), Stearoyl Acyl Carrier Protein Desaturase (SACPD), dan Absicic Acid Insensitive (ABI)...........................................................................................
115
xix
7.3
7.4
7.5
7.6
8.1
8.2
8.3
8.4
Pensejajaran runutan asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA kelapa berbuah kopyor CnSus1A+B dan CnSus2A+B dengan tanaman monokotil lainnya seperti Oncidium AF530567, Tulipa gesneriana X96938, Triticum aestivum AJ000153, Sacharrum officinarum AF263384, Oryza sativa Z15028, Hordeum vulgare X69931, Zea mays L22296, dan Bambusa oldhamii AF412037………………….
117
Pensejajaran runutan asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA gen SACPD dan ABI kelapa berbuah kopyor hasil amplifikasi pasangan primer SACPD dan ABI3 dengan tanaman monokotil dan dikotil lainnya dan variasi asam amino yang ditimbulkan antar runutan nukleotida....................
118
Dendrogram runutan asam amino Sucrose synthase (SUS) kelapa berbuah kopyor CnSus1A+B dan CnSus2A+B dengan spesies Tulipa gesneriana X96938, Triticum aestivum AJ000153, Saccharum officinarum AF263384, Oryza sativa Z15028, Hordeum vulgare X69931, Zea mays L22296, Bambusa oldhamii AF412037, Oncidium AF530567, Vigna radiata D10266, Glycine max AF030231, Hordeum vulgare X69931, Citrus lanatus AB018561, Vicus faba M97551, Pisum sativum AJ012080, Medicago truncale AJ131943, Gossypium hirsutum U73587, Citrus unshiu, Lycopersicon esculentum L19762, dan Daucus carota X75332, yang runutan asam aminonya tersedia di data base............................
119
Dendrogram asam amino gen SACPD dan ABI dengan tanaman monokotil dan dikotil yang runutan asam aminonya tersedia di data base…………………………………………...
120
Representasi hasil amplifikasi PCR yang menggunakan DNA genom kelapa berbuah kopyor jenis kelapa dalam dengan primer spesifik yang digunakan dalam penelitian ini dan ukuran fragmen DNA yang dievaluasi pada agarose gel 1%.....
135
Keragaman pola pita SSCP (Single Strand Conformation Polimorphism) pada sebagian aksesi kelapa berbuah kopyor di gel poliakrilamid 11.5 %............................................................
135
Fenogram populasi kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) dan normal (dalam dan genjah) asal Dukuh Seti, Tayu, Margoyoso, dan Jember berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJ-Hierarchical…………
138
Fenogram populasi kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) asal Dukuh Seti, Margoyosos, Tayu (Jawa Tengah), dan Jember (Jawa Timur) yang dikontruksi berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJHierarchical…………………………………………………..
139
xx
8.5
9.1
Fenogram populasi kelapa berbuah normal (dalam dan genjah) asal Dukuh Seti, Tayu, Margoyoso, dan Jember berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJHierarchical……………………………………………………
141
Diagram skema pembiakan kelapa kopyor melalui kultur in vitro yang dikembangkan dari eksplan embrio sigotik buah kelapa kopyor………………………………………………….
147
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
2
3
4
5
Komposisi media Eeuwens yang digunakan sebagai media dasar pada pembiakan in vitro kelapa kopyor…………………………...
168
Nama dan kode asam amino serta urutan kodon yang digunakan untuk menterjemahkan runutan nukleotida DNA kelapa berbuah kopyor……………………………………………………………..
169
Kode untuk nukleotida degenerate yang digunakan untuk merancang primer degenerate pada gen-gen yang berkaitan dengan sifat kopyor pada tanaman kelapa………………………...
170
Registrasi dan No. Pendaftaran Hak Paten Kelapa Kopyor dengan Invensi: Metode Pembiakan Klonal Kelapa Kopyor Melalui Embriogenesis Somatik...................................................................
171
Registrasi dan No. Pendaftaran Hak Paten Kelapa Kopyor dengan Invensi: Deteksi Dini Kelapa Kopyor Menggunakan Penanda Molekuler Spesifik Gen α-D Galaktosidase………………………
172
xxii
GLOSSARY
alel
: salah satu bentuk alternatif dari gen yang dapat muncul sebagai lokus tunggal
akar dari embrio
: akar yang berkembang dari embrio somatik atau embrio somatik yang tumbuh menjadi akar
data biner
: data pola pita yang distandarisasi menjadi suatu nilai yaitu satu (1) bila ada pita atu nol (0) bila tidak ada pita sehingga data bisa dianalis secara statistik
BLAST
: program yang terkenal untuk membandingkan sebuah runutan nukleotida DNA (sequence) dengan semua runutan nukleotida DNA yang ada di data base
ClustalW
: program yang terkenal untuk mensejajarkan banyak runutan nukleotida DNA (sequence alignments)
dendrogram
: nama lain dari pohon filogenetik yaitu pohon yang menggambarkan sejarah kekerabatan dari sekelompok runutan nukleotida DNA yang mempunyai nenek moyang yang sama
endosperma
: jaringan nutrisi pada biji (albumen)
ekson
: coding region, bagian gen yang ditranslasikan atau yang mengkode protein (dibaca dan ditranslasi menjadi protein)
eksplan
: jaringan yang diambil dari tempat asalnya dan ditransfer ke media buatan untuk pertumbuhan atau pemeliharaan
embrio sigotik
: embrio hasil fertilisasi antara gamet jantan dengan betina
embrio somatik
: embrio yang berkembang dari sel somatik atau bukan berasal dari hasil fertilisasi
embriogenesis
: proses pembentukan embrio dari sigot
filogenetik
: rekonstruksi dari sejarah evolusi dari kerabat gen berdasarkan perbandingan gen
gap
: representasi dari insersi atau delesi di dalam pensejajaran runutan nukleotida DNA
GenBank
: data base dari nukleotida xxiii
haustorium
: struktur pada bagian embrio yang berfungsi melakukan penetrasi pada jaringan endosperma untuk mengambil makanan (sebutan di beberapa daerah: kentos, abung)
homolog
: dua gen homolog jika mereka berbagi nenek moyang yang sama
intron
: bagian dari open reading frame (ORF) sebuah gen yang tidak ditranslasikan
kalus embriogenik
: kalus yang mempunyai kemampuan untuk membentuk embrio
kecambah normal
: kecambah yang mempunyai bagian tunas dan akar
kecambah abnormal
: bentuk-bentuk penyimpangan dari embrio menjadi tanaman (kecambah dengan tunas majemuk, kecambah dengan tunas dan akar dari embrio yang berbeda)
kelapa berbuah kopyor
: pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa kopyor dan normal dalam satu tandanya
kelapa kopyor
: pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa kopyor 100% (total semua buah yang dihasilkan adalah kopyor)
kelapa berbuah normal
: pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa normal 100%
konversi tanaman
: perkembangan embrio somatik ke bentuk planlet (tunas dan akar) atau tunas saja
penanda molekuler
: lokasi fisik pada kromosom yang teridentifikasi dan pewarisannya dapat dimonitor
perkecambahan
: munculnya tunas dan akar dari benih/biji setelah melewati masa dormansi
planlet
: tanaman yang dipelihara dalam botol kultur atau secara in vitro
planlet tunas
: planlet yang hanya dilengkapi dengan tunas daun tanpa adanya akar (akar dapat diinduksi kemudian)
planlet lengkap
: planlet yang mempunyai daun dan akar
planlet sempurna
: planlet dengan daun dan akar proporsional
xxiv
plumula
: kotiledon pada tanaman rumput-rumputan dan tanaman monokotil lainnya yaitu daun yang sangat termodifikasi terdiri dari skutelum dan koleoptil
polimorfik
: bentuk lain atau bentuk yang berbeda dari gen dan runutan nukleotida lainnya
primer degenerate
: sebuah primer yang di sejumlah posisi nukelotidanya mempunyai kemungkinan basa nitrogen lebih dari satu
runutan nukleotida
: susunan/ urutan basa nitrogen (A, T, C, G) dalam rantai DNA
xxv
DAFTAR SINGKATAN
a.a ABA ABI ANOVA ARF1 BAP BLAST bp CAB cds EBI dNTP DNA DN DK 2,4-D DMRT FAD FATB GK GN HE HY IBA LTP NCBI NJ-WNJ NTSYS PCA SACPD SIMQUAL SSCP SUS Taq TBA
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Asam amino Abscisic Acid Abscisic Acid Insensitive Analisis Varian Auxin Response Factor1 6-Benzyl amino purine Basic Local Alignment Search Tool base pair Central for Agricultural Biotechnology coding segment European Bioinformatics Institute 2’-deoxy any base 5’-triphosphate Deoxyribonucleic acid Dalam Normal Dalam Kopyor 2,4-dichiorophenoxyacetic acid Duncan Multiple Range Test ER-linoleate desaturase Palmitoyl-ACP thioesterase Genjah Kopyor Genjah Normal Hemakktosilin-eosin Hibrida Indolyl-3-butyric acid Lipid transfer protein National Center for Biotechnology Information Neighbor Joining-Weighted Neighbor Joining Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System Philippine Coconut Authority Stearoyl acyl carrier protein desaturase Similarity for Qualitative Data Single Strand Conformation Polymorphism Sucrose synthase Thermus aquaticus Tertiary Butyl Alcohol
xxvi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa kopyor adalah kelapa mutan yang mempunyai endosperma bergumpal-gumpal yang lepas dari tempurungnya. Endosperma yang tidak normal tersebut justru sangat disukai oleh konsumen. Di lain pihak buah kelapa kopyor tidak selalu tersedia di pasar. Akibatnya, buah kelapa kopyor dijual dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan buah kelapa biasa. Buah kelapa kopyor menjadi salah satu komoditi pertanian dengan nilai komersial tinggi. Abnormalitas endosperma buah kelapa kopyor menyebabkan embrio dalam buah kelapa kopyor gagal berkecambah. Endospermanya tidak dapat dimanfaatkan oleh embrio sebagai sumber energi dalam proses perkecambahan. Buah kelapa kopyor sebagai biji jika ditanam akan segera membusuk sehingga embrio tidak dapat tumbuh. Selama ini buah kelapa kopyor diperoleh dari pohon kelapa normal yang menghasilkan buah kelapa normal dan buah kelapa kopyor dalam satu tandannya. Pohon kelapa berbuah kopyor ini menghasilkan buah kopyor hanya 1-2 (1-2%) buah per pohon. Pohon kelapa jenis ini ditumbuhkan dari benih kelapa yang fenotipenya normal, tetapi membawa gen untuk sifat kopyor pada salah satu alel dalam lokus yang mengatur sifat kopyor. Di samping itu, meskipun pohon kelapa tersebar luas di seluruh Indonesia namun pohon kelapa berbuah kopyor hanya bisa ditemukan pada daerah-daerah tertentu seperti di daerah Pati, Sumenep, Jember dan Banyuwangi.
Tegakan pohon kelapa
berbuah kopyor masih terbatas jumlahnya dan ada di kebun-kebun rakyat yang berskala kecil. Kedua hal tersebut secara simultan menyebabkan buah kelapa kopyor tersedia dalam jumlah terbatas dan mahal. Mengingat cara reproduksi dan penyediaan bibit kelapa berbuah kopyor yang sulit serta keterbatasan jumlah tegakan pohon kelapa berbuah kopyor yang ada, ada kekhawatiran bahwa genotipe kelapa yang bernilai komersial tinggi tersebut secara bertahap menjadi hilang dan secara sengaja atau tidak sengaja
2
menjadi tergantikan dengan tegakan kelapa biasa pada proses peremajaan perkebunan kelapa rakyat (proses replanting). Tegakan kelapa berbuah kopyor yang saat ini dikonservasi secara in situ oleh sejumlah petani di berbagai sentra produksi kelapa telah berumur ratusan tahun karena biasanya sebagai tanaman warisan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya mengembangkan budidaya pohon kelapa yang dapat menghasilkan buah kopyor dalam persentase tinggi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitasnya sehingga layak menjadi komoditi ekspor sekaligus menjadi buah unggulan lokal. Hal ini terbukti sangat sulit dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Seiring dengan perkembangan ilmu bioteknologi, embrio sigotik kelapa kopyor dapat dikecambahkan dengan menanamnya dalam media agar secara aseptik yang disebut dengan teknik kultur embrio (embryo rescue). Melalui teknik ini diperoleh bibit kelapa kopyor yang pada saat berproduksi dapat menghasilkan buah kelapa kopyor 100% per pohon. Penggunaan teknologi kultur embrio untuk memperbanyak bibit kelapa kopyor telah dirintis oleh de Guzman pada tahun 1971 (de Guzman 1971; Del Rosario & de Guzman 1976) dan bahkan telah dikomersialkan (Tahardi 1997; Del Rosario 1997). Meskipun demikian efisiensi teknik kultur embrio sigotik dalam menghasilkan planlet dan bibit kelapa kopyor masih rendah, yaitu kurang dari 30% (Mashud 1999). Sedikitnya persentase bibit kelapa kopyor yang diperoleh bersumber dari dua hal, yaitu pertama kehilangan materi tanaman selama proses pengkulturan baik pada fase perkecambahan maupun fase pendewasaan planlet yang disebabkan oleh embrio tidak viabel, kontaminasi, browning, dan stagnasi.
Ke dua,
kehilangan materi tanaman pada saat periode aklimatisasi planlet dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo (Engelmann 1998). Perbaikan-perbaikan proses kultur embrio untuk kelapa kopyor masih perlu dilakukan untuk meningkatkan perkecambahan embrio dan mempertahankan planlet yang dihasilkan. Planlet kelapa kopyor tergolong tanaman yang sulit untuk diaklimatisasi. Persentase keberhasilan sejauh ini rata-rata 50% atau kurang (Mashud 1999; Sukendah 2005). Ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan untuk meningkatkan daya bertahan hidup planlet kelapa kopyor pada proses
3
aklimatisasi, misalnya: kondisi planlet sebelum aklimatisasi, media aklimatisasi dan lingkungan aklimatisasi (suhu, kelembaban dan cahaya). Oleh sebab itu masih perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi baik faktor-faktor sebelum dan pada saat proses aklimatisasi. Dalam penelitian ini dilakukan
perbaikan
perakaran
planlet
sebelum
diaklimatisasi
untuk
meningkatkan daya tahan planlet pada kondisi luar. Pembiakan kelapa kopyor dengan metode kultur embrio sigotik hanya menghasilkan sedikit bibit karena satu embrio maksimal hanya menghasilkan satu tanaman. Perolehan bibit kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik yang tidak banyak mengakibatkan harga bibit kelapa kopyor sangat mahal yang sulit terjangkau oleh keuangan petani. Oleh sebab itu dibutuhkan alternatif metode kultur jaringan selain kultur embrio untuk meningkatkan jumlah planlet dan bibit kelapa kopyor. Metode yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah teknologi pembelahan meristem apikal dan embriogenesis somatik. Metode embriogenesis somatik banyak digunakan untuk menghasilkan bibit tanaman secara masal dan dapat digunakan untuk kepentingan manipulasi genetik pada program pemuliaan tanaman. Pada kelapa kopyor sejauh ini belum banyak publikasi yang melaporkan keberhasilan perakitan bibit kelapa kopyor melalui proses embriogenesis somatik. Walaupun demikian teknologi embrio somatik telah digunakan secara intensif oleh beberapa peneliti untuk tanaman kelapa normal yang tidak berbuah kopyor (Blake 1990; Verdeil et al. 1992; Hornung 1995; Chan et al. 1998; Samosir et al. 1998; Hocher et al. 1998). Sementara itu perbanyakan kelapa kopyor melalui teknik pembelahan embrio pada daerah meristem tunas dan akar apikal belum ada publikasi ilmiahnya. Hasil observasi menunjukkan bahwa secara morfologi tidak ada perbedaan antara bibit atau pohon kelapa kopyor, kelapa berbuah kopyor dengan kelapa normal. Perbedaan ketiga macam kelapa tersebut hanya terletak pada bagian endosperma dan baru terlihat setelah memasuki fase generatif. Satu-satunya cara untuk membedakan ketiga macam kelapa ini sedini mungkin adalah pada level DNA dengan menggunakan analisis molekuler. Karakteristik abnormal endosperma kelapa kopyor diduga berhubungan dengan aktivitas enzim α-D Galaktosidase. Aktivitas enzim α-D Galaktosidase
4
diketahui meningkat sejalan dengan proses pematangan dan perkecambahan buah kelapa (Mujer et al. 1984). Pada dua spesies buah kopi yaitu Coffea arabica dan Coffea canephora var. Robusta, aktivitas enzim α-D Galaktosidase meningkat secara gradual selama pembentukan endosperma dan mencapai puncaknya 30 minggu setelah pembungaan, yang mana diiringi oleh mengerasnya endosperma (Marraccini et al. 2005). Pada kelapa kopyor aktivitas enzim α-D Galaktosidase sangat rendah, bahkan tak terdeteksi (Mujer et al. 1984). Penelitian tentang analisis molekular gen α-D Galaktosidase pada kelapa atau kelapa kopyor belum pernah dilaporkan. Penelitian yang ada adalah tentang pemanfaatan penanda molekular untuk menganalisis keragaman genetik kelapa kopyor dengan menggunakan marker molekuler RAPD yang dihasilkan oleh random primer OPC09, OPH03, OPH05, dan OPH09 (Toruan & Ginting 1998) dan marker molekuler SSRs dari pasangan primer CNZ 21, CNZ 51, CNZ 09, CNZ 18, dan CnCr4 (Maskromo 2005). Namun demikian, marker molekuler yang ada belum dapat dijadikan sebagai marker untuk secara spesifik mendeteksi bibit kelapa kopyor atau menandai gen penentu sifat kopyor pada kelapa. Hal ini diduga karena marker-marker yang ada tidak terpaut (tidak ada dalam kromosom yang sama) dengan gen mutan penyebab sifat kopyor pada kelapa. Primer spesifik yang digunakan untuk menghasilkan marker SSR pada kelapa oleh Rivera et al. (1999) belum dapat digunakan untuk membedakan pohon kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal. Untuk itu perlu dikembangkan penanda molekuler spesifik
untuk gen α-D Galaktosidase yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi keberadaan gen mutan yang menyebabkan sifat kopyor pada endosperma kelapa. Komposisi beberapa senyawa seperti sukrosa, lemak dan protein dalam endosperma kelapa kopyor dan kelapa normal sangat berbeda. Oleh sebab itu di samping gen α-D Galaktosidase juga akan dieksplorasi dan dianalisis gen-gen lainnya yang berkaitan erat dengan sintesis sukrosa dan lemak. Berdasarkan runutan DNA gen-gen tersebut, maka akan dikembangkan penanda molekuler spesifik untuk menganalisis perbedaan genetik pohon kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kopyor dengan kelapa yang berpotensi menghasilkan buah normal.
5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: (1) memperbaiki teknologi kultur embrio sigotik kelapa kopyor untuk meningkatkan perkecambahan embrio dan meningkatkan jumlah planlet serta mempelajari teknik aklimatisasi bibit kelapa kopyor, (2) mengkaji teknologi pembiakan in vitro dengan teknik pembelahan embrio pada daerah meristem tunas dan akar embrio kelapa kopyor, (3) mengkaji teknologi embrio somatik untuk pembiakan klonal kelapa kopyor, (4) mengembangkan penanda molekuler gen α-D Galaktosidase pada kelapa berbuah kopyor, (5) menganalisis fragmen DNA sejumlah gen yang diduga berkaitan erat dengan sifat kopyor, dan (6) menganalisis keragaman genetik populasi kelapa berbuah kopyor di Pulau Jawa. Kerangka pendekatan penelitian untuk mencapai tujuan penelitian tersebut disajikan pada Gambar 1.1.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) memberikan masukan kepada peneliti dan laboratorium yang akan mengembangkan bibit kelapa kopyor melalui teknik kultur embrio sigotik dan somatik, (2) membantu meningkatkan penyediaan bibit kelapa kopyor, (3) membantu mendeteksi bibit kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kopyor dari bibit kelapa yang berpotensi menghasilkan buah normal,
dan (4) menambah informasi dalam memahami
fenomena kopyor pada tanaman kelapa, terutama untuk gen-gen yang berkaitan erat dengan sifat kopyor.
6
Pohon Kelapa Berbuah Kopyor
Pembiakan in vitro
Analisis Molekuler
Data base GeneBank
Isolasi DNA Genom
Embrio
Kultur Embrio Sigotik
Disain Primer Degenerate
Pembelahan Embrio
Embriogenesis Somatik
DNA Genom Perkecambahan Embrio
PCR dan Purifikasi
Proliferasi tunas/planlet
Kalus Embriogen
Embrio Somatik
Ligasi dan Kloning
Penentuan runutan nukleotida
Planlet
Disain Primer Spesifik Primer Spesifik
PCR-SSCP Aklimatisasi Analisis Keragaman Genetik Kopyor Gen terpaut sifat kopyor
2.Penanda molekuler sifat kopyor
1.Bibit Kelapa Kopyor
Gambar 1.1 Bagan alur kerangka penelitian teknik pembiakan in vitro analisis molekuler pada tanaman kelapa kopyor.
dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Kopyor
Kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) (2n=2x=32) sama dengan tanaman kelapa lainnya merupakan anggota dari famili monokotiledon Aracaceae (Palmaceae). Cocos nucifera adalah satu-satunya spesies dalam genus Cocos subfamili Cocoideae (Harris 1990). Buah kelapa kopyor adalah buah kelapa yang endospermanya tidak normal (remah) (Gambar 2.1). Buah dengan karakteristik tersebut dihasilkan dari pohon kelapa tertentu yang sebagian besarnya buahnya normal dan sebagian kecil tidak normal (kopyor) (Wahyuni 2000). Biasanya pohon jenis ini hanya mempunyai buah kelapa kopyor dengan frekuensi antara 1-2 buah kopyor per tandan. Abnormalitas endosperma kelapa kopyor bersifat genetik dan ditimbulkan oleh beberapa faktor resesif (Zuniga dalam Tahardi & Warga-Dalem 1982). Sifat kopyor dibawa oleh pasangan gen resesif, yaitu 50% dari induk betina dan 50%
a
b
Gambar 2.1 Fenotipe endosperma buah kelapa normal dan kelapa kopyor. a. Buah kelapa normal dengan endosperma padat dan masif, b. Buah kelapa kopyor dengan endosperma bergumpal-gumpal dan mengelupas dari tempurung.
8
dari induk jantan. Buah kopyor akan terbentuk jika terjadi persilangan antara polen dan stigma yang masing-masing memiliki sifat kopyor (Tahardi 1997). Sifat kopyor secara genetik dikendalikan oleh genotipe endosperma (betina) dan genotipe polen (jantan). Bila satu pohon kelapa kopyor bunga betinanya konsisten diserbuki oleh polen dari pohon kelapa kopyor, maka dapat dipastikan pohon tersebut akan menghasilkan 100% buah kopyor. Morfologi pohon kelapa kopyor dan kelapa berbuah kopyor tidak bisa dibedakan dari kelapa normal. Hasil observasi menunjukkan tidak ada penanda morfologi yang bisa digunakan untuk membedakan ketiga jenis pohon kelapa tersebut (Maskromo 2005). Kepastian tanaman berbuah kopyor diketahui setelah buahnya dipanen. Salah satu cara sederhana untuk mengetahui buah kelapa kopyor adalah dengan mengguncang buah tersebut. Pada saat diguncang buah kopyor akan berbunyi gemericik, yang menandakan endosperma telah hancur dan telah terlepas dari tempurung sehingga bercampur dengan air kelapa. Fenotipe endosperma abnormal pada kelapa kopyor terkait dengan tidak aktifnya gen penyandi enzim α-D Galaktosidase. Pada kelapa normal, aktivitas enzim α-D Galaktosidase diketahui meningkat sejalan dengan proses pematangan dan perkecambahan buah kelapa. Pada kebanyakan tanaman, misalnya pada tanaman kopi proses mengerasnya endosperma dikontrol secara langsung oleh aktivitas gen α-Gal, melalui pelepasan residu galactosyl dari rantai mannan (Marraccini et al. 2005). Pada kelapa kopyor, aktivitas enzim α-D Galaktosidase sangat rendah dan bahkan tak terdeteksi menyebabkan endospermanya menjadi abnormal (remah). Mutasi genetik yang terjadi pada kelapa kopyor dan terekspresi secara khusus pada endosperma dalam bentuk berkurangnya aktivitas enzim α-D Galaktosidase atau tidak aktif sama sekali menjadi penyebab fenotipe endosperma buah kelapa yang tidak normal tersebut (Mujer et al. 1984). Perbedaan fenotipe endosperma antara kelapa kopyor dengan kelapa normal ternyata tidak hanya dalam teksturnya tetapi juga senyawa-senyawa kimia yang dikandungnya (Tabel 2.1). Pada kelapa normal endosperma merupakan sumber lemak utama, tetapi pada kelapa kopyor kandungan utama adalah karbohidrat, diikuti oleh lemak (Santoso et al. 1996). Rosario & Gabuya (1980)
9
Tabel 2.1 Kandungan komposisi senyawa kimia air kelapa dan endosperma kelapa kopyor dengan kelapa normal yang dihitung berdasarkan persentase bahan kering Jenis kelapa
Protein
Lemak
Karbohidrat
Sukrosa
Glukosa
Fruktosa
Vit.C
αtocopherol
AKN* AKK EKN EKK
9.36 10.4 7.10 4.93
2.67 4.79 62.64 30.71
79.5 72.8 29.1 62.3
9.24 60.8 4.77 10.70
26.7 6.29 0.24 2.42
25.7 5.24 0.46 2.08
7.08 2.42 5.27 12.3
ND** 0.01 0.94 2.34
*Sampel buah diambil pada umur 12 bulan setelah penyerbukan, AKN=Air kelapa normal, AKK=air kelapa kopyor, EKN=Endosperma kelapa normal, EKN=endosperma kelapa kopyor ** ND = tidak terdeteksi Sumber: Santoso et al. (1996)
melaporkan bahwa bahan dasar utama dinding sel pada kelapa “Makapuno” (sebutan kelapa kopyor di Filipina) adalah pektin sedangkan pada kelapa normal adalah hemisellulosa. Kandungan vitamin C dan α-tocopherol pada endosperma kelapa kopyor jauh lebih tinggi daripada kelapa normal. Begitu juga kandungan sukrosa, galaktosa dan fruktosa lebih tinggi pada endosperma kelapa kopyor. Menurut Santoso et al. (1996) kombinasi antara kandungan gula yang tinggi, asam sitrat dan asam malat menimbulkan rasa lezat pada endosperma kelapa kopyor. Sementara itu kandungan senyawa protein seperti lisina sangat rendah dibandingkan kelapa normal. Protein pada endosperma kelapa kopyor didominasi oleh asam glutamina, arginina dan asam aspartat.
Kultur Embrio Sigotik Kelapa
Produktivitas buah kelapa kopyor per pohon yang dihasilkan dari pohon asal buah kelapa normal namun membawa sifat kopyor pada salah satu alelnya sangat rendah yaitu antara 2.1-17.5% dari seluruh jumlah kelapa yang dihasilkan, sedangkan pohon kelapa kopyor yang ditanam dari kultur embrio sigotik buah kelapa kopyor secara potensial dapat menghasilkan buah kopyor antara 75-100% (Novarianto 1999). Kultur embrio adalah isolasi steril dan pertumbuhan suatu embrio muda atau embrio masak secara in vitro dengan tujuan mendapatkan sebuah tanaman normal (Mariska & Hobir 1998; Gunawan 1995).
10
Metode kultur embrio telah dikembangkan secara intensif oleh COGENT (International Coconut Genetic Resources Network) sejak tahun 1997 untuk pertukaran plasma nutfah dan konservasi ex situ kelapa (Engelmann 1998). Metode ini juga digunakan oleh UPLB (University of Philippines at Los Banos) untuk mengembangkan kelapa “Makapuno” (kopyor). Hasilnya saat ini terdapat beberapa macam protokol media kultur untuk tanaman kelapa yang dikembangkan oleh PCA (Philippine Coconut Authority), CPCRI (Central Plantation Crops Research Institute) India, ORSTOM/CIRAD Perancis, dan UPLB (Tabel 2.2). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap keempat macam protokol tersebut menunjukkan bahwa meskipun protokol yang terbaikpun seperti UPLB persentase embrio yang berhasil mencapai tahap aklimatisasi di screen house masih di bawah 50%. Selanjutnya plantlet-planlet yang berhasil mencapai tahap aklimatisasi dan berhasil bertahan hidup dibawah 30% (Mashud 1999). International Coconut Embryo Culture Workshop, 2000, di Mexico meyimpulkan perlunya upgrading teknik kultur embrio untuk tanaman kelapa dan meningkatkan efisiensinya. Keragaman respon yang tinggi embrio kelapa kopyor ketika dikulturkan menyebabkan kesenjangan waktu yang lama untuk proses aklimatisasi antara embrio satu dengan embrio lainnya untuk periode inokulasi yang sama. Hal ini karena pertumbuhan planlet satu dengan lainnya tidak seragam.
Ada planlet
kelapa kopyor yang tumbuh sangat cepat sehingga hanya dibutuhkan waktu 5-6 bulan untuk diaklimatisasi (Sukendah 2003). Di lain pihak ada planlet yang membutuhkan waktu hampir satu tahun baru bisa diaklimatisasi.
Vigor
(ketegaran) planlet kelapa kopyor juga sangat beragam. Hal ini berkaitan dengan perkembangan tunas dan sisten perakaran yang kurang baik.
Untuk planlet-
planlet yang kondisinya tidak siap untuk proses aklimatisasi perlu dilakukan peningkatan vigor planlet, salah satunya dengan cara memperbaiki sistem perakarannya. Perakaran seringkali merupakan kendala yang serius pada kultur embrio sigotik kelapa (Verdeil et al. 1997). Pada tahun-tahun yang lalu hampir semua embrio sigotik yang berkecambah tidak berkembang akarnya atau mempunyai sistem perakaran yang tidak bagus. Perlakuan yang terbaik untuk menginduksi
11
perakaran adalah dengan menambahkan ZPT NAA 20 mg/l. Untuk meningkatkan pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa, Magdalita et al. (2004) menambahkan GA3 20 uM. GA3 pada konsentrasi ini berpengaruh pada panjang tunas, jumlah akar, dan berat segar dan berat kering planlet, namun tidak mempengaruhi panjang akar.
Tabel 2.2 Protokol komposisi media kultur embrio kelapa yang dikembangkan oleh berbagai negara Senyawa kimia (mg/l)
PCA (Y3)
UPLB (Y3)
CPCRI (Y3)
ORSTOM (MS)
NH4NO3 NH4Cl KNO3 MgSO4.7H2O CaCl2.2H2O KCl KH2PO4 NaH2PO4.2H2O
535 2020 247 294 1492 312
535 2020 247 294 1492 312
535 2020 247 294 1492 312
1650 1900 370 440 170 -
KI H3BO3 MnSO4.4H2O ZnSO4.7H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O NaMoO4.H2O NiCl.6H2O
8.3 3.1 11.2 7.2 0.25 0.24 0.24 0.024
8.3 3.1 11.2 7.2 0.25 0.24 0.24 0.024
8.3 3.1 11.2 7.2 0.25 0.24 0.24 0.024
0.83 6.2 22.3 8.6 0.025 0.025 0.025 -
Fe2SO4.7H2O Na2EDTA
13.9 37.3
41.7 55.8
13.9 37.3
24.9 26.1
Myo-inositol Pyridoxine HCl Thiame HCl Nicotinic Acid
100 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 -
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 1.0 -
100 0.05 0.5 0.05 0.5 0.5 1.0 5.0
1.0 1.0 1.0 1.0 0.01 100 -
Ca-D-pantothenate
Biotin Folic acid Glycine Na Ascorbate BAP* NAA* NAA** IBA**
*Media perkecambahan , **Media perakaran, Y3= media dasar Eeuwens, MS= media dasar Murashage & Skoog Sumber: Engelmann (1998)
12
Kultur Embrio Somatik
Embriogenesis somatik adalah serangkaian proses pada struktur bipolar (mirip embrio sigotik) yang berkembang dari sel non-sigotik tanpa ada hubungan vaskular dengan jaringan sel induknya (Arnold et al.
2002).
Sel-sel yang
ditumbuhkan secara in vitro ini membentuk embrio somatik. Embrio somatik dapat berkembang dari satu sel dalam suatu eksplan (embriogenesis somatik langsung), atau didahului oleh proses proliferasi sel kalus (embriogenesis somatik tidak langsung) (Witjaksono 2003). Pada embriogenesis somatik tidak langsung, ekplan seperti daun, bunga, tunas, hipokotil, atau bagian organ lainnya dikulturkan di dalam media yang mengandung auksin (2,4-D) untuk memperoleh kultur embriogenik.
Dengan
adanya auksin, sel yang sedang mengalami pembelahan dengan cepat distimulasi untuk membelah dengan tidak equal. Hal ini menghasilkan dua bentuk sel, yaitu sel yang besar dengan banyak vakuola, dan sel kecil yang sitoplasmik yang kompeten untuk embriogenesis (Litz & Gray 1995). Embriogenesis somatik tidak langsung terjadi pada sel-sel induced embriogenic determined cell (IEDC) yaitu sel-sel yang mengalami dediferensiasi, pembelahan sel dan transformasi menjadi sel embriogenik. Embriogenesis somatik langsung dapat terjadi pada tanaman tahunan seperti mangga yang dikulturkan dari nuselus (Litz 1984) dan apukat (Witjaksono & Litz 1999). Embriogenesis somatik langsung, embrio somatik dapat ditumbuhkan dari eksplan (embrio sigotik muda, nuselus, hipokotil) tanpa melalui fase kalus. Embrio somatik dapat diinisiasi dari sel embrionik yang sudah ada di dalam eksplan, yaitu pada sel-sel preembriogenic determined cell (PEDC).
Sel-sel
PEDC tersebut membutuhkan zat pengatur tumbuh untuk pembentukan embrio somatik. Induksi embriogenesis somatik langsung pada tanaman tahunan terjadi pada nucelus mangga poliembrioni (Litz et al. 1995) dan kotiledon pear tipe liar (de March et al. 1993). Faktor yang sangat mempengaruhi terbentuknya kultur embriogenik adalah hormon terutama auksin. Jenis tanaman palma (kelapa sawit, kurma, sagu) umumnya menggunakan auksin 2,4-D untuk menginduksi kultur embriogenik (de
13
Touchet et al. 1991; Esraghi et al. 2005; Riyadi et al. 2005). Walupun demikian, auksin juga mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan embrio (Litz & Gray 1992). Karena sifat inilah auksin tidak ditambahkan ke dalam media pada proses perkembangan lebih lanjut dari embrio. Auksin dapat mengacaukan polarisasi pembelahan sel yang dibutuhkan dalam pertumbuhan proembrio menjadi embrio somatik (Kawahara & Komamine 1995). Pada kurma proliferasi suspensi kalus dipelihara tanpa auksin (2,4-D), namun ditambahkan glutamina untuk meningkatkan proliferasi embrio somatik (Zouine & Hadrami 2007). Pada mangga proliferasi proembrioni dan apukat dipengaruhi oleh genotipe tanaman (Witjaksono & Litz 1999). Pada wortel tipe liar, proliferasi dipengaruhi oleh pH media. pH rendah sangat ideal untuk terjadinya proliferasi dilain pihak pH tinggi dibutuhkan untuk perkembangan embrio somatik (Smith & Krikorian 1990). Tahap perkembangan embrio somatik hampir sama dengan jalur yang ditempuh oleh biji/embrio sigotik pada proses perkecambahan, yaitu: tahap globular, hati, torpedo dan kotiledon untuk spesies dikotil (Arnold et al. 2002). Pada spesies tanaman monokotil tahap yang ditempuh adalah globular, skutelar, dan koleoptil (Gray 2005). Perkembangan embrio somatik diinisiasi setelah embrio ditransfer ke media tanpa atau dengan auksin rendah. Walaupun demikian hormon seperti ABA mengontrol pendewasaan embrio somatik sebelum dikonversi menjadi tanaman utuh. Nickel & Yeung (1993) berpendapat bahwa ABA mungkin menginduksi diferensiasi jaringan tunas meristem dan mencegah perkecambahan dini. Periode kritikal
terakhir adalah
konversi
penumbuhan tunas dan akar dari embrio somatik.
tanaman
yaitu
proses
Masalah utama dalam
embriogenesis somatik pada tanaman tahunan seperti kurma, mangga dan apukat, yaitu rendahnya frekuensi konversi tanaman (0-5%).
Huong et al. (1999)
menambahkan BAP 0.2 mg/l untuk meningkatkan konversi tanaman kurma mencapai 76%. Mathews & Wetzstein (1993) menggunakan hormon BA 100 uM dan 3 mg/l anti etilen perak nitrat pada embrio somatik pecan dan meningkatkan perkecambahan dari 3 menjadi 47% serta konversi tanaman dari 2 menjadi 13%. Beberapa peneliti menggunakan GA3 dikombinasi dengan meningkatkan konversi tanaman.
IAA untuk
14
Perkembangan Kultur Embrio Somatik pada Tanaman Kelapa
Sejauh ini propagasi klonal melalui embriogenesis somatik pada kelapa kopyor belum banyak dilaporkan. Sifat pertumbuhan kelapa (normal atau kopyor) yang monopodial (tidak bercabang) dan tak ada sucker, rimpang atau anakan yang tumbuh menyebabkan kelapa secara genetik sulit diperbanyak secara vegetatif. Walaupun demikian dengan berpedoman pada teori totipotensi bahwa setiap sel tanaman mempunyai otonomi dan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman utuh, beberapa peneliti mencoba memperbanyak kelapa secara vegetatif dari sel somatiknya (2n). Perbanyakan klonal melalui embriogenesis somatik pada kelapa dimulai pada era 80-an oleh Blake dengan koleganya.
Penelitian
embriogenesis somatik pada kelapa mulai intensif dikerjakan setelah CIRAD bekerja sama dengan IRD pada tahun 1991 untuk mengembangkan metode propagasi klonal kelapa dari eksplan seperti infloresens muda (Verdeil et al. 1994; Magnaval et al. 1997), dan plumula (Hornung 1995). Kloning in vitro tanaman kelapa melalui embriogenesis somatik menjajikan prospek yang baik di masa mendatang. Studi untuk mendapatkan embrio somatik telah dilaksanakan menggunakan berbagai jenis eksplan, termasuk daun muda, akar, embrio muda dan infloresens keberhasilan (Oropeza et al. 2003.).
dengan berbagai tingkat
Pada awal tahun 1990-an kalus dapat
diperoleh dari berbagai sumber eksplan tersebut, tetapi embrio somatik dan regenerannya hanya dapat diperoleh dari daun muda (Buffard-Morel et al. 1992; Karunaratne et al. 1991) dan infloresens (Branton & Blake 1986; Verdeil et al. 1994). Studi pendahuluan yang dilakukan oleh Hornung (1995) dan Chan et al. (1998) menunjukkan bahwa pembentukan embrio somatik dan regenerannya lebih tinggi diperoleh dari eksplan plumula daripada jenis eksplan lainnya. Perkembangan penelitian embrio somatik kelapa dirangkum pada Tabel 2.2, yang menunjukkan macam eksplan yang digunakan, formulasi media, dan berbagai respon kultur terhadap perlakuan yang diberikan.
Hasil-hasil yang
diperoleh pada penelitian kelapa tersebut telah dijadikan sebagai sumber acuan untuk melakukan regenerasi kelapa kopyor melalui embriogenesis somatik.
15
Tabel 2.3 Mikropropagasi secara klonal pada tanaman kelapa melalui proses embriogenesis somatik No.
Eksplan
Media Kultur
Respon/Hasil
Autor
1.
-Potongan jaringan batang -Infloresens muda
-Media dasar: Makro MS (1962) +MikroY3(1976)+Vitamin Blake (1970) -Hormon: 2,4D 10-4 – 107 M dan BAP 5x10-6M -Arang aktif: 2.5 g/l
-Terbentuk kalus nodular yang bersifat meristematik setelah 16 minggu sejak dari penanaman
Branton & Blake (1983)
2.
-Daun Tidak disebutkan muda non- (kemungkinan untuk klorofil kepentingan paten) -Infloresens (rachis)
-Kalus dengan struktur memanjang (elongated calli) dari eksplan infloresens setelah 3-5 bulan
Verdeil et al. (1989)
-Kalus berbentuk nodular dengan daerah meristematik dari eksplan daun non klorofil (4-5 bulan)
3.
-Daun Media: Buffard-Morel et muda non- al. (1992) + 2,4D 80 mg/l klorofil + arang aktif 2/3 g/l -Infloresens (spikelet)
-Kalus terbentuk setelah 4-9 bulan
Verdeil et al. (1992)
-Embriogenesis tampak setelah 12 bulan dan ada pembentukan proembrio seperti pada tahap awal embriogenesis embrio sigotik -Tunas terbentuk pada media yang bebas hormon
4.
Daun muda nonklorofil -Infloresens
Media Eeuwens (Y3) + Vitamin (Morel & Wetmore) + sukrosa 40 g/l + agar 7.5 g/l +arang aktif 2/3 g/l Hormon: 30-80 g/l
-Dua tipe Verdeil embriogenesis et al. somatik pada kelapa: (1994) * tipe organogenetik yang berasal dari struktur meristematik komplek epidermal,
16
Lanjutan Tabel 2.3 No.
Eksplan
Media Kultur
Respon/Hasil
Autor
membentuk embriogenesis multicellular origin *tipe unicellular origin, dengan individu sel embriogenik yang akan mengarah pada pembentukan proembrio (karakteristik pada pembentukan embrio sigotik) 5.
Daun muda nonklorofil -Infloresens muda
Media Eeuwens + Vitamin Morel & Wetmore + sukrosa 30 g/l + agar 7.5 g/l + arang aktif 2 g/l Hormon: 2,4-D 40-70 mg/l
-Proses embriogenesis kelapa membutuhkan NH4+, Ca2+, Mg2+ dan sukrosa lebih besar per gram berat kering
BuffardMorel et al. (1995)
- Terbentuk embrio somatik dengan jaringan haustorium dan embriogenesis tidak lengkap (terbentuk haustorium dengan atau tanpa daerah akar) 6.
Embrio sigotik muda
Media Branton & Blake (1983), semi-solid gelrite 0.3%, gula 30 g/l, arang aktif 2.5 g/l Hormon: • Induksi dan multiplikasi kalus: Media dasar+ 2,4-D 2x10-4M • Pembentukan & pematangan ES: Media dasar+2,4-D 1x10-4-5x10-5M • Perkecambahan: Media dasar+2,4D1x10-5M +2iP 2x10-6M
-Terbentuk nodular kalus setelah 3 minggu pada bagian pusat kotiledon -Sebagian besar embrio somatik tidak berkecambah tetapi tumbuh menjadi bentuk yang tidak beraturan dengan struktur akar yang banyak sekali -Didapatkan 2 planlet dari perkecambahan embrio somatik
Cueto et al. (1997)
17
Lanjutan Tabel 2.3 No. 7.
8.
Eksplan
Media Kultur
Plumula dari Media Eeuwens + gelrite 3 embrio g/l + arang aktif 2.5 g/l sigotik Hormon: • Induksi kalus: Media dasar + 2,4-D 0.1 mM • Pembentukan embrio & Perkecambahan: Media dasar + 2,4-D 1 uM + 50 uM BAP
Belahan embrio secara longitudinal
•
•
•
Induksi kalus: media Eeuwens+Morel &Wetmore vitamin+sukrosa 30g/l+arang aktif 2.5g/l+agar 7 g/l+2,4D 125 uM+BA 5 uM+ 2iP 5 uM Pembentukan & Pematangan ES: Media Y3+sukrosa 40 g/l+ arang aktif 2.5 g/l+agar 7 g/l+2,4-D 10 uM+ BA 5 uM+ 2iP 5 uM Perkecambahan: Media Y3+sukrosa 60 g/l+ arang aktif 2.5 g/l+ agar 7 g/l tanpa hormon
Respon/Hasil
Autor
Chan et -40% kalus meristematik al. (1997) terbentuk setelah 3 bulan. Embrio somatik terbentuk setelah 7-9 bulan -Embrio somatik dapat berkecambah membentuk tunas yang berkembang menjadi planlet setelah disubkultur 3 bulan sekali (planlet membutuhkan waktu 1-1.5 tahun) -Belahan embrio pada daerah kotiledon yang paling responsif untuk induksi kalus -Kalus nodular secara gradual berubah menjadi tunas dan berkembang menjadi kecambah dengan tunas yang menggulung - Banyak ditemukan perkembangan yang dominan pada awal pembentukan planlet
Samosir et al. (1998)
18
Lanjutan Tabel 2.3 No.
Eksplan
Media Kultur
Respon/Hasil
Autor
9.
Embrio yang dibelah
-Induksi kalus: Media Y3+ 7 g/l agar+ sukrosa 90 mM+ arang aktif 2.5 g/l + 2,4-D 125 uM Ditambah bahan aditif: AVG (1.5 uM), STS (3 uM), putrescine (7.5 mM), dan spermine (1 uM) -Proliferasi: Media Y3+agar 7 g/l+sukrosa 90 mM+arang aktif 2.5 g/l+2,4-D 125 uM -Pematangan dan Regenerasi: Media Y3+agar 7 g/l+sukrosa 175 mM
-Penambahan bahan aditif untuk kontrol produksi etilen (AVG & STS) dan penggunaan poliamina pada induksi kalus akan meningkatkan embriogenesis somatik
Adkins et al. (1998)
10.
Embrio sigotik muda
-Induksi kalus: Basal Medium 72 (Sri Langka) + 2,4-D 24 uM + 2.5 g/l -Regenerasi tanaman: 1. 2,4-D 8 uM+ BAP 2-10 uM 2. * Diferensiasi kalus : BM 72+agar 8 g/l+sukrosa 60 g/l+arang aktif 2.5 g/l+ABA 2.5-5 uM * Perkecambahan: Media Y3+2,4-D 0.1 uM+BAP 5 uM+agar 8 g/l+ arang aktif 2.5 g/l
-Penambahan 2.5-5 uM ABA meningkatkan produksi embrio somatik
Fernando & Gamage (2000)
-Penambahan ABA menunjukkan pembentukan tunas yang normal dan planlet yang lengkap
Embriogenesis somatik adalah proses regenerasi yang melalui beberapa tahap. Pada tanaman kelapa sedikitnya ada empat tahap, yaitu: Inisiasi kalus embriogenik. Ada dua faktor yang sangat berpengaruh pada pembentukan kalus embriogenik pada tanaman kelapa. Pertama adalah sel yang berkompeten menjadi kalus embriogenik pada tanaman kelapa sangat
19
terbatas. Tiga macam eksplan yang biasa digunakan untuk induksi kalus, yaitu: infloresens muda, embrio sigotik, dan plumula (Cueto et al. 1994; Buffard-Morel et al. 1995; Samosir et al. 1998; Chan et al. 1998). Faktor ke dua adalah auksin mutlak dibutuhkan untuk induksi kalus embriogenik tanaman kelapa. Umumnya dari golongan auksin sintetik yang kuat seperti 2,4-D.
Konsentrasi 2,4-D
sebanyak 250 uM dibutuhkan untuk menginduksi kalus dari eksplan meristem bunga yang muda (infloresens muda) (Verdeil et al. 2001).
Eksplan plumula
membutuhkan 2,4-D 100 uM untuk membentuk kalus (Chan et al. 1998), sedangkan eksplan embrio sigotik konsentrasi yang dibutuhkan sebesar 125 uM (Samosir et al. 1998). Proliferasi kalus embriogenik. Untuk multiplikasi kalus embriogenik, kalus disubkultur 3- 4 kali pada media yang mengandung 2,4-D dengan konsentrasi sama seperti pada saat inisiasi kalus (Cueto et al. 1994), atau kalus dipelihara dengan mengurangi konsentrasi 2,4-D pada setiap subkultur yang dilakukan 4 minggu sekali (Buffard-Morel et al. 1995). Induksi dan pematangan embrio somatik. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa faktor yang menentukan untuk menginduksi embriogenesis somatik kelapa adalah mengurangi level konsentrasi 2,4-D pada saat yang tepat (Buffard-Morel et al. 1995), karena ada kalanya proembrio sudah terbentuk pada waktu kalus dipelihara pada media dengan 2,4-D tinggi dan pematangan embrio dicapai saat level 2,4-D dikurangi secara gradual pada media yang ditambah BAP (Verdeil et al. 1994). Pengurangan 2,4-D yang terlalu cepat mengakibatkan proses pematangan embrio yang tidak sempurna dan menimbulkan bentuk-bentuk yang menyimpang. Untuk meningkatkan produksi embrio somatik,
Adkins et al.
(1998) menambahkan poliamina (putrescine 7.5 mM dan spermine 1 uM). Sementara Fernando & Gamage (2000) menambahkan ABA 2.5-5.0 uM untuk meningkatkan jumlah embrio somatik dan planlet lengkap. Samosir et al. (1998) menemukan bahwa cahaya menghambat produksi embrio somatik kelapa dan sedikit berpengaruh pada pematangan embrio, namun dibutuhkan pada saat regenerasi planlet dari embrio somatik. Konversi tanaman. Konversi embrio kelapa menjadi tunas atau planlet umumnya dilakukan pada media tanpa auksin. Walaupun demikian, beberapa
20
peneliti melakukan konversi embrio menjadi planlet pada media mengandung 2,4D sangat rendah yang dikombinasikan dengan BAP (50 uM) di bawah kondisi yang bercahaya (Chan et al. 1998).
Penanda Molekuler
Penanda molekuler belakangan ini telah digunakan secara luas untuk menganalisis variasi sekuen DNA di dalam dan antar spesies tanaman. Penanda molekuler diidentifikasi sebagai fragmen DNA yang pendek yang berada pada posisi tertentu di dalam kromosom dan dapat mendeteksi perbedaan sekuen pada posisi fragmen tersebut antara berbagai spesies atau galur tanaman. Penanda molekuler didasarkan pada keragaman yang terjadi pada sekuen DNA hasil dari mutasi titik, delesi atau insersi, atau adanya variasi pada jumlah copy dari fragmen DNA berulang. Keragaman genetik di dalam atau antar spesies atau organisme dideteksi sebagai polimorfisme (Patwary 2004). Pada saat ini telah dikembangkan sistem pendeteksi marker untuk mengidentifikasi penanda yang terkait dengan sifat tertentu, baik melalui genome wide marker maupun dengan gene specific marker. Genome wide marker dikembangkan menggunakan teknik seperti RAPD, AFLP, RFLP, SSR. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) banyak digunakan karena kesederhanaan, mudah dan cepat dalam penerapannya (Tingey et al. 1992). Marker AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) juga tidak sulit untuk dilakukan dan bisa mendeteksi ratusan lokus dalam genom tanaman untuk satu kali analisis. Walaupun demikian belakangan ini banyak digunakan penanda molekuler SSR (Simple Sequence Repeats) atau microsatellite untuk studi keragaman genetik, filogeni, pemetaan genom, dan evolusi. SSR dapat menghasilkan lebih banyak pita polimorfik dan membutuhkan pengetahuan tentang informasi sekuen DNA tentang keberadaan Simple Sequence Repeats dalam genom tanaman (Godwin et al. 1997). Gene specific marker atau Penanda Molekuler Spesifik merupakan penanda molekuler yang dapat mendeteksi secara spesifik keberadaan gen target yang merupakan penentu sifat terkait pada genom tanaman. Pendekatan dilakukan
21
dengan menggunakan informasi tentang runutan DNA (DNA sequence) dari gen target. Penanda molekuler spesifik biasanya dikembangkan dengan mendisain primer spesifik untuk gen target dan menggunakan SNP (Single Nucleotide Polymorphism) atau SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) untuk mengetahui polimorfisme sekuen DNA.
SSCP banyak digunakan untuk
menganalisis keragaman alel (Magome et al. 1999) dan mutasi yang diakibatkan oleh delesi atau insersi (Chuayjaeng & Volkaert 2006). Polimorfisme diakibatkan oleh perbedaan mobilitas DNA utas tunggal pada gel poliakrilamid yang mana sangat tergantung pada struktur sekunder yang dibentuk oleh
urutan basa
nukleotidanya (Glavac & Dean 1993).
Penggunaan Penanda Molekuler pada Tanaman Kelapa
Penggunaan berbagai penanda molekuler pada tanaman kelapa selama ini lebih banyak ditujukan untuk mempelajari keragaman genetik, karakterisasi atau studi evolusi. Studi keragaman genetik populasi kelapa dan karakterisasi plasma nutfah kelapa dari berbagai lokasi negara telah dilakukan dengan menggunakan RAPD (Ashburner et al. 1997; Roslim et al. 2003; Katsuyuki et al. 2003; Upadhyay et al. 2004; Parthasarathy et al. 2005), RFLP (Lebrun et al. 1998), AFLP (Perera et al. 1998), dan SSR (Rivera et al. 1999; Noel et al. 2007). Penggunaan penanda molekuler untuk menelusuri nenek moyang kelapa diulas secara detail oleh Harris et al. (2004). Shalini et al. (2007) mengidentifikasi penanda molekuler SSR dan RAPD yang berasosiasi dengan resistensi tanaman kelapa terhadap kutu (Aceria guerreronis). Sementara itu Warokka et al. (2006) menggunakan teknik nested PCR dengan kombinasi primer P1/P7 dan R16F2n/R16R2 untuk mendeteksi phytoplasma yang menyebabkan penyakit layu Kalimantan pada tanaman kelapa. Penggunaan penanda molekular pada tanaman kelapa kopyor tidak banyak dilaporkan. Beberapa studi molekular pada tanaman kelapa kopyor bertujuan untuk menganalisis keragaman genetik kelapa kopyor dan usaha untuk membedakan antara tanaman kelapa yang menghasilkan buah normal dan kopyor dengan penanda RAPD (Toruan & Ginting 1998) atau SSR (Maskromo 2005).
22
Penanda molekuler RAPD yang dihasilkan oleh primer acak OPH03, OPH05, OPH09, dan OPC09 (Toruan & Ginting 1998) dan penanda molekuler SSRs yang dihasilkan oleh pasangan primer CNZ 21, CNZ 51, CNZ 09, CNZ 18, dan CnCr4 (Maskromo 2005) belum dapat dijadikan sebagai marker untuk secara spesifik mendeteksi bibit kelapa kopyor atau bibit kelapa berbuah kopyor. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa karakteristik abnormal endosperma kelapa kopyor diduga dikendalikan oleh mutan resesif yang secara alami muncul di antara kelapa normal (Samonthe 1989). Penanda morfologi tidak dapat digunakan untuk membedakan pohon kelapa kopyor dan kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal (Maskromo
2005).
Sampai saat ini, belum ada penanda yang secara akurat dapat mendeteksi bibit atau pohon kelapa kopyor dan kelapa berbuah kopyor dengan kelapa normal atau penanda molekuler yang terpaut dengan gen penentu sifat kopyor pada kelapa.
Gen-gen Penting pada Endosperma dan Perkecambahan Kelapa
Endosperma
pada
tanaman
kelapa
sebagian
besar
terdiri
dari
galaktomanan. Galaktomanan menduduki 50-61% polisakarida endosperma (Balasubramaniam 1976; Redgwell 2003). Galaktomanan merupakan senyawa penyimpan polisakarida dinding sel pada endosperma berbagai spesies tanaman seperti Cyamopsis tetragonoloba (Overbeeke 1989), Coffea arabica L. (Redgwell 2003), dan Trigonella foemungraecum L. (Reid & Bewley 1979). Galaktomanan akan didegradasi pada saat proses perkecambahan. Salah satu enzim penting dalam
degradasi
galaktomanan
adalah
α-D
Galaktosidase (Mathew &
Balasubramaniam 1987). Aktivitas enzim α-D Galaktosidase meningkat seiring dengan perkembangan endosperma dan mencapai puncaknya pada saat buah kelapa umur 11-12 bulan (Mujer et al 1984), di mana pada saat tersebut proses perkecambahan embrio dimulai. Mobilisasi
galaktomanan
sebagai
sumber
energi
pada
proses
perkecambahan dikontrol oleh hormon ABA (Abscisic acid) (Buckeridge et al. 2000).
Degradasi galaktomanan pada endosperma Sesbania virgata dihambat
23
oleh pemberian ABA, penghambatan ini berpengaruh pada penyerapan air oleh embrio (Potomati & Buckeridge 2002). Aktivitas
α-D Galaktosidase tidak terdeteksi pada endosperma kelapa
kopyor (Mujer et al. 1984). Ketidakaktifan enzim α-D Galaktosidase diikuti oleh menumpuknya galaktomanan dalam endosperma kelapa kopyor. Sementara pada kelapa normal galaktomanan pada fase lanjut menurun dengan drastis. Pada buah kelapa kopyor tidak terjadi mobilisasi galaktomanan yang berperan sebagai sumber energi untuk perkecambahan embrio. Hal ini mengakibatkan embrio pada buah kelapa kopyor gagal berkecambah. Analisis biokimia menunjukkan bahwa komposisi senyawa kimia seperti karbohidrat, protein, dan lemak pada endosperma kelapa kopyor dan kelapa normal sangat berbeda.
Endosperma kelapa kopyor mengandung lebih tinggi
karbohidrat (62.3%) daripada lemak (30.71%), berbanding terbalik dengan endosperma kelapa normal. Kandungan sukrosa pada endosperma dan air kelapa kopyor jauh lebih tinggi daripada kelapa normal (2-10 kali). Kandungan asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2) ditemukan lebih tinggi pada endosperma kelapa kopyor (Santoso et al. 1996). Sintesis sukrosa pada endosperma berbagai tanaman dikatalisis oleh enzim sucrose
synthase
yang
mengatur
glukosa+fruktosa↔sukrosa+UDP
(Sturn
reaksi &
Tang
bolak 1999).
balik: Pada
UDPawal
perkecambahan kelapa, aktivitas sukrosa meningkat dan selanjutnya menurun sampai level sangat rendah pada fase berikutnya (Balasubramaniam 1973). Sintesis asam lemak tak jenuh (asam oleat) dari asam lemak jenuh (asam stearat) dikatalisis oleh enzim stearoyl-acyl carrier protein desaturase (SACPD). SACPD mengubah asam stearat menjadi asam oleat dengan membuat ikatan rangkap-cis pada karbon posisi 9 rantai asam stearat (Kachroo et al. 2008).
24
BAB III PERBAIKAN TEKNIK KULTUR EMBRIO SIGOTIK KELAPA KOPYOR 1 Abstrak Kultur embrio kelapa kopyor baik untuk penyelamatan embrio maupun untuk produksi bahan tanam belum efisien. Penelitian ini telah berusaha meningkatkan efisiensi protokol yang sudah ada dengan melakukan manipulasi pada media pertumbuhan ( Eeuwens yang mengandung sukrosa 60 g/l dan arang aktif 2.5 g/l) termasuk penambahan bahan aditif seperti air kelapa, air santan, thio-urea; penambahan IBA, dan periode subkultur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air kelapa 150 ml/l meningkatkan perkecambahan embrio mencapai 95% dan meningkatkan pembentukan planlet lengkap, yaitu planlet dengan tunas dan akar. Walaupun demikian, air kelapa tidak mempunyai pengaruh yang nyata pada pertumbuhan planlet seperti panjang tunas, jumlah daun, dan lebar daun. Pertumbuhan dan jumlah plantlet yang diperoleh maksimal jika planlet disubkultur ke media baru setiap 2 bulan sekali. Penambahan IBA 1 mg/l menghasilkan 87.5% planlet yang berakar, sedangkan IBA 2 mg/l dibutuhkan untuk pembentukan akar lateral.
Kata kunci: air kelapa, IBA, penyelamatan embrio 1
Bagian bab ini telah dipublikasikan dalam Bulletin Agronomi 36(1):16-23 (2008) dengan judul: Perbaikan Teknik Kultur Embryo Kelapa Kopyor (Cocos nucifera L.) asal Sumenep Jawa Timur Melalui Penambahan Bahan Aditif dan Pengujian Periode Subkultur
25
IMPROVEMENT OF ZYGOTIC EMBRYO CULTURE TECHNIQUE OF KOPYOR COCONUT1 Abstract Embryo culture of kopyor coconut zygotic embryo for its rescue and subsequent planting material production has not been efficient. We attempted to improve the protocols by manipulation of growth medium (Eeuwens medium containing 60 g/l sucrose and 2.5 g/l active charcoal) that include addition of organic addenda such as liquid coconut endosperm, coconut milk, thio-urea; addition of IBA, and subculture period. The results showed that addition of 150 ml/l liquid coconut endosperm improved embryo germination to 95% and the frequency of complete plantlet formation i.e. with both shoot and root. While it did not have any significant effect on the growth of plantlet like shoot length, number of leaves, and leaf width. Growth and number of plantlets were maximum when they were transferred to fresh medium every 2 months. Addition of 1 mg/l IBA produced 85.7% rooted plantlets, while 2 mg/l of IBA was required for the formation of lateral roots.
Key words: coconut water, IBA, embryo rescue 1
Part of this chapter has been published in the Bulletin Agronomi (36)(1):16-23 (2008), with title: Improving Embryo Culture Technique of Kopyor Coconut (Cocos nucifera L.) Obtained from Sumenep East Java through Addition of Additive Agents and Different Periods of Subculture
26
Pendahuluan
Kelapa kopyor merupakan salah satu jenis kelapa mutan yang ada di Indonesia. Mutasi yang terjadi pada endosperma buah kelapa kopyor menyebabkan embrio yang berada di dalamnya tidak mampu berkecambah karena tidak ada sumber energi yang tersedia dalam proses perkecambahan.
Petani
memperoleh buah kelapa kopyor dari pohon kelapa biasa yang menghasilkan tandan dengan buah kelapa biasa (normal) dan kelapa kopyor.
Jumlah buah
kopyor yang dihasilkan dari pohon jenis ini sangat rendah yaitu antara 1-2 buah per tandan. Untuk meningkatkan jumlah buah kopyor per pohon dapat dilakukan dengan cara menanam embrio yang diambil dari buah kelapa kopyor pada media buatan. Metode ini disebut dengan teknik kultur embrio. Pohon kelapa yang ditanam dari bibit hasil teknik kultur embrio dapat menghasilkan buah kopyor sampai mencapai 100% (Novarianto 1999; Tahardi 1997). Banyak kendala yang dihadapi dalam proses pengkulturan embrio kelapa kopyor sehingga persentase keberhasilan dalam memperoleh bibit masih tergolong rendah yaitu kurang dari 30% (Mashud 1999). Protokol untuk kultur embrio kelapa kopyor sampai sekarang masih mengacu pada protokol kelapa “Makapuno” (sebutan kelapa kopyor di Filipina) ekotipe “Laguna Tall” yang dikembangkan oleh Del Rosario & de Guzman (1978) dengan media dasar Eeuwens (1976). Di Indonesia protokol untuk kelapa kopyor telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor dengan media dasar MS (Tahardi & Warga-Dalem 1982). Masing-masing protokol dikembangkan sesuai dengan ekotipe kelapa yang dikulturkan. Sukendah (2002) telah mengembangkan protokol embrio kelapa kopyor ekotipe Sumenep dan Jember di Jawa Timur dengan memakai media dasar Eeuwens. Melalui pengujian berbagai protokol bentuk media (padat dan cair) selama dua tahun (dua kali periode pengujian), ternyata embrio kelapa kopyor asal Sumenep Jawa Timur hanya bisa tumbuh baik pada serangkaian media Eeuwens padat (fase perkecambahan; fase pertumbuhan planlet; fase penguatan planlet) dengan persentase perolehan planlet sekitar 40% (Sukendah
2005).
Embrio
kelapa kopyor sulit berkecambah pada media cair, baik pada media dasar
27
Eeuwens maupun MS, tidak seperti embrio kelapa ”Makapuno” yang bisa berkecambah dengan baik pada media Eeuwens cair. Secara potensial dengan pemakaian protokol media yang dimodikasi tersebut perolehan planlet kelapa kopyor masih bisa ditingkatkan sekitar 40 % jika jumlah planlet yang pertumbuhannya lambat, stagnan atau browning dapat diturunkan.
Kehilangan planlet karena hal ini bisa mencapai 30%. Hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Sukendah & Rachmat (2003) menunjukkan bahwa dari berbagai bahan aditif yang diuji (sari tauge & tomat, air kelapa, dan ekstrak
ragi)
perkecambahan
hanya
air
embrio
pertumbuhan planlet.
kelapa
kelapa
yang
kopyor
dapat sekitar
meningkatkan 16%
dan
persentase
mempercepat
Beberapa penelitian menggunakan air santan yang
diperoleh dari endosperma padat buah kelapa untuk meningkatkan pertumbuhan kultur in vitro (Al-Khayri et al. 1992; Boase & Wright 1993). Air kelapa merupakan endosperma cair yang berfungsi sebagai sumber nutrisi (selain endosperma padat) bagi perkembangan dan perkecambahan embrio kelapa. Oleh sebab itu sangat menarik untuk mengkaji jenis air kelapa yang mana yang lebih baik yaitu air kelapa biasa atau air kelapa dari endosperma padat (santan) untuk proses perkecambahan in vitro embrio kelapa kopyor. Di samping itu masih perlu dicari bahan aditif lainnya yang kemungkinan dapat meningkatkan dan mempercepat perkecambahan embrio kelapa kopyor yang lebih baik dari pada air kelapa. Permasalahan pertumbuhan planlet kelapa kopyor yang lambat dan stagnan (planlet berhenti tumbuh pada periode-periode tertentu) pernah dicoba diatasi dengan pemberian GA3 (Astuti 2002). Zat pengatur tumbuh GA3 dapat mempercepat pertumbuhan planlet kelapa kopyor namun planlet yang dihasilkan menjadi sangat ramping (tidak kokoh) sehingga berpengaruh pada vigor planlet. Pemberian ZPT dari jenis sitokinin seperti kinetin juga tidak banyak berpengaruh pada pertumbuhan planlet kelapa kopyor dari Jawa Timur (Astuti 2002). Jika pada percobaan sebelumnya (Sukendah & Rachmat 2003)
air kelapa dapat
mempercepat perkecambahan embrio kelapa kopyor kemungkinan air kelapa juga dapat mempercepat pertumbuhan planlet. Salah satu percobaan dalam penelitian ini menjawab hal tersebut. Usaha lain untuk menjaga planlet agar tetap tumbuh adalah melakukan kegiatan subkultur yaitu memindahkan planlet pada media baru dengan komposisi
28
media yang sama atau berbeda dengan media sebelumnya.
Pada protokol
sebelumnya subkultur dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan periode subkultur 3-4 bulan. Keberhasilan pembentukan bibit kelapa kopyor dari kultur embrio tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan selama proses pengkulturan embrio tetapi juga sangat ditentukan oleh periode pasca pengkulturan. Kedua periode tersebut saling terkait untuk menghasilkan persentase bibit yang tinggi. Pada periode in vitro planlet ditumbuhkan dalam botol kultur di bawah kondisi steril, intensitas cahaya rendah, dan tingkat kelembaban tinggi pada media yang mengandung gula dan nutrisi yang menyebabkan tanaman hidup secara heterotrop (Hazarika 2003). Kondisi in vitro tersebut menginduksi fenotipe planlet dengan karakteristik yang rentan dengan kondisi ex vitro. Planlet tidak akan dapat bertahan hidup jika langsung ditanam di rumah kaca atau di lapangan. Oleh sebab itu perlu teknik pengadaptasian atau proses aklimatisasi yang tepat untuk planlet-planlet tersebut. Pada tanaman kelapa, kendala utama pada pemindahan planlet asal kultur embrio sigotik dari kondisi in vitro ke ex vitro adalah sistem perakaran yang kurang baik (Ashbuhrner et al. 1993). Untuk itu perlu dilakukan perbaikan sistem perakaran planlet kelapa kopyor sebelum dilakukan aklimatisasi di rumah kaca.
Tujuan Penelitian
Penelitian berikut ini bertujuan memperbaiki efisiensi pembentukan planlet kelapa kopyor siap aklimatisasi dari embrio sigotik melalui peningkatan: (1) persentase perkecambahan embrio, (2) persentase pembentukan planlet, dan (3) persentase planlet berakar pra-aklimatisasi.
Metode Penelitian
Pemilihan Sumber Eksplan Buah kelapa kopyor sebagai sumber eksplan diambil dari kebun petani yang mempunyai pohon kelapa berbuah kopyor, yaitu di daerah Sumenep, Jawa
29
Timur mulai bulan Agustus 2006. Buah kelapa kopyor yang diambil embrionya dipilih yang kira-kira berumur 11-12 bulan dengan berat buah yang hampir sama. Buah kelapa kopyor dibersihkan sabutnya sehingga yang tertinggal hanya tempurung kelapanya. Tempurung kelapa kemudian dibelah secara horizontal dan diambil bagian endosperma yang berisi embrio dengan alat semacam spatula. Ukuran endosperma yang diambil kira-kira 2 cm (Gambar 3.1a). Endosperma yang mengandung embrio dikumpulkan di tabung gelas steril yang berisi akuades steril dan dibawa ke laboratorium Bioteknologi Agronomi UPN ”Veteran” Jatim.
Sterilisasi dan Penanaman Embrio Endosperma yang berisi embrio disterilisasi dengan Natrium hipoklorit (NaClO) 1% selama 20 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya di dalam Laminair Air Flow Cabinet embrio dikeluarkan dari endosperma dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, masing-masing erlenmeyer diisi 50 embrio (Gambar 3.1b). Embrio kemudian disterilisasi dengan 0.5% NaClO selama 5 menit. Sterilisasi ini diulang sekali dengan waktu yang sama. Selanjutnya embrio dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Embrio ditanam pada tabung reaksi yang berisi media Eeuwens (Eeuwens 1976) (Tabel Lampiran 1) padat yang ditambah dengan berbagai bahan aditif (air kelapa 150 ml/l, air santan 150 ml/l, thio-urea 50 mg/l, dan thio-urea 100 mg/l), arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l dengan pH media 5.8 sebelum sterilisasi.
a
b
Gambar 3.1 Endosperma kelapa kopyor yang berisi embrio setelah diambil dari buah kelapa kopyor (a) dan embrio kelapa kopyor yang telah dikeluarkan dari endosperma dan dimasukkan dalam erlenmeyer untuk proses sterilisasi (b).
30
Satu tabung ditanam satu embrio. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dimasukkan dalam kotak stereofoam steril untuk dibawa ke laboratorium Biologi Molekuler Dept. Agronomi dan Hortikultura IPB Bogor.
Perkecambahan Embrio pada Berbagai Bahan Aditif Percobaan dirancang dengan faktor tunggal (bahan aditif)
dengan 4
perlakuan (air kelapa 150 ml/l, air santan 150 ml/l, thio-urea 50 mg/l, dan thiourea 100 mg/l). Air kelapa dan air santan diambil dari buah kelapa normal yang tua (umur 11-12 bulan). Air kelapa dan santan disaring sebelum dicampur dengan media dan disterilisasi. Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan 25 botol kultur per ulangan, sehingga ada 300 satuan percobaan. Embrio yang telah ditanam pada tabung reaksi sesuai dengan perlakuan masing-masing diletakkan dalam rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam kondisi gelap dengan suhu ± 25◦C.
Proses perkecambahan ditandai dengan munculnya bakal tunas dan/atau
bakal akar. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase daya kecambah embrio, persentase embrio browning, persentase embrio yang stagnasi, persentase embrio tidak viabel, dan waktu yang dibutuhkan embrio berkecambah. Data-data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) untuk menentukan pengaruh perlakuan (SAS Institute, 1992). Rata-rata nilai tengah dibedakan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Pertumbuhan Planlet pada Media dengan Air Kelapa dan Periode Subkultur Embrio kelapa kopyor yang telah berkecambah diseleksi berdasarkan pertumbuhan tunas dan akar. Kecambah yang menunjukkan adanya tunas dan akar dengan ukuran ±1.0 cm dipilih untuk bahan penelitian ini.
Kecambah
selanjutnya dipindah ke media pertumbuhan planlet, yaitu media Eeuwens (Eeuwens 1976) padat yang mengandung sukrosa 60 g/l dan arang aktif 2.5 g/l. Ke dalam media ditambahkan air kelapa dengan berbagai konsentrasi: 0 ml/l, 100 ml/l, 150 ml/l, 200 ml/l. Air kelapa diambil dari buah kelapa normal yang sudah tua (umur 11-12 bulan). Air kelapa disaring dan disterilisasi dengan autoklaf bersama media.
31
Planlet disubkultur sesuai dengan perlakuan periode subkultur yaitu 1, 2, 3, dan 4 bulan sekali. Selanjutnya masing-masing perlakuan kombinasi (konsentrasi air kelapa dan periode subkultur) diulang 3 kali dengan 5 botol planlet per ulangan. Planlet diletakkan pada rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan kondisi lama penyinaran 9 jam dan suhu ± 25◦C. Evaluasi perlakuan dilakukan dengan mengamati tinggi planlet, jumlah dan lebar daun, % planlet browning, % planlet dengan pertumbuhan akar yang sempurna, % planlet yang belum keluar akar, dan jumlah planlet siap aklimatisasi. Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) memakai Program SAS versi 6.12. Untuk membedakan rata-rata nilai tengan dilakukan uji lanjut dengan memakai Uji Duncan (DMRT) 5%.
Pengakaran Planlet Kelapa Kopyor Pra-aklimatisasi dengan ZPT IBA Sebelum diaklimatisasi planlet perlu diperbaiki pertumbuhan akarnya. Untuk mempercepat pertumbuhan akar, planlet kelapa kopyor perlu diberi perlakuan hormon auksin seperti IBA. Planlet-planlet yang tanpa akar digunakan untuk percobaan pengakaran planlet pra-aklimatisasi. Planlet tanpa akar disubkultur ke botol kultur pada media cair 50 ml yang mengandung senyawa makro dan mikro Eeuwens (1976) dan vitamin dari Morel & Wetmore (1951), agar untuk kultur jaringan (Phytotech) 7 g/l, dan arang aktif Jepang 2.5 g/l dan zat pengatur tumbuh IBA (Sigma 87-51-4) dengan berbagai konsentrasi: 1.0; 2.0; dan 3.0 mg/l. Setiap perlakuan diulang 9 kali.
Planlet
selanjutnya diletakkan di rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dipelihara dalam ruang yang diberi cahaya selama 12 jam penyinaran dengan suhu ± 25◦C.
Planlet dipelihara sampai kurang lebih selama dua bulan atau
sampai keluar akar-akar baru. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah daun, tinggi planlet, jumlah akar lateral, panjang akar primer, persentase planlet yang membentuk akar lateral, persentase planlet yang tidak membentuk akar. Data selanjutnya dianalisis dengan ANOVA sesuai dengan rancangannya, yaitu RAL. Jika ada pengaruh nyata dari perlakuan analisis diteruskan untuk mencari perbedaan diantara perlakuan dengan uji DMRT 5%.
32
Aklimatisasi Planlet Planlet-planlet yang siap diaklimatisasi kemudian dikeluarkan dari laboratorium dan diadaptasikan pada kondisi ex vitro dalam ruang tanam selama dua minggu. Selanjutnya planlet dikeluarkan dari media kultur cair,
dicuci
akarnya dan direndam dalam fungisida selama 5 menit. Planlet kelapa kopyor ditanam pada polybag kecil ukuran 10 x 10 cm atau gelas plastik yang diisi dengan media campuran tanah dengan pupuk organik (1:3). Semua macam media sebelum digunakan disterilisasi lebih dahulu dengan autoklaf pada suhu 121◦C selama 30 menit dan dicampur merata setelah dingin. Polybag selanjutnya dalam sungkup plastik untuk 1-2 bulan.
Setelah satu bulan atau jika sudah ada
penambahan daun baru, bibit kelapa kopyor disemprot dengan pupuk daun dan sungkup plastik bisa dibuka. Bibit dipindah ke polybag dengan ukuran yang lebih besar dan diletakkan di udara terbuka.
Hasil Penelitian
Perkecambahan Embrio pada Berbagai Bahan Aditif Ada berbagai bentuk respon embrio setelah embrio dikulturkan pada media dengan penambahan bahan aditif atau tanpa bahan aditif, yaitu (1) embrio segera membesar dan berkecambah (Gambar 3.2a), (2) embrio membesar tetapi tidak menunjukkan kemajuan pertumbuhan ke arah perkecambahan (Gambar 3.2 b). Kemungkinan embrio masih bisa berkecambah jika diberi perlakuan khusus, seperti penambahan zat pengatur tumbuh dan dipindah ke media baru. NuritaToruan (1978) menambahkan IAA 10 mg/l untuk merangsang embrio kelapa agar berkecambah, (3) embrio membesar kemudian embrio mengalami browning (pencoklatan) dan akhirnya embrio mati (Gambar 3.2c), dan (4) embrio tidak menunjukkan respon apapun, kemungkinan embrio tidak viabel (Gambar 3.2d). Perkecambahan embrio kelapa kopyor pada media padat Eeuwens yang mengandung berbagai macam bahan aditif seperti air kelapa, air santan dan thiourea ditandai dengan membesarnya embrio sampai keluarnya tonjolan bakal akar primer dan bakal primordium daun ke arah lateral (Gambar 3.2a). Rata-rata embrio kelapa kopyor membutuhkan waktu untuk berkecambah 1-1½ bulan
33
(Tabel 3.1). Embrio yang dikulturkan pada media dengan air kelapa 150 ml/l lebih cepat berkecambah, yaitu kurang dari satu bulan (29 hari) dan nyata berbeda dengan media tanpa bahan aditif. Embrio pada media thio-urea 50 mg/l juga berkecambah dalam waktu yang tidak berbeda nyata dengan media air kelapa 150 ml/l.
Waktu yang dibutuhkan oleh embrio pada media air
santan
untuk
berkecambah lebih lama daripada embrio pada media air kelapa namun masih lebih cepat daripada embrio pada media tanpa bahan aditif (Tabel 3.1). Embrio pada media thio-urea 100 mg/l membutuhkan waktu untuk berkecambah nyata lebih lama dibandingkan dengan media air kelapa 150 ml/l atau thio-urea 50 mg/l. Bahkan 3 hari lebih lama dibandingkan dengan media tanpa bahan aditif, meskipun kedua media tersebut tidak berbeda nyata. Daya kecambah embrio kelapa kopyor pada media dengan bahan aditif atau tanpa bahan aditif berbeda nyata. Daya kecambah embrio pada media air kelapa 150 ml/l nyata lebih besar dibandingkan pada media air santan 150 ml/l atau thio-urea 50 dan 100 mg/l atau pada media tanpa bahan aditif (Tabel 3.1). Penambahan bahan aditif air santan 150 ml/l, thio-urea 50 mg/l, dan thio-urea 100 mg/l tidak dapat meningkatkan persentase daya kecambah embrio,
yang
dibuktikan dengan daya kecambah yang tidak berbeda nyata dengan embrio yang dikulturkan pada media tanpa bahan aditif (Tabel 3.1).
akar tunas
a
b
c
d
Gambar 3.2 Berbagai respon embrio kelapa kopyor pada media perkecambahan. a. Embrio yang berkecambah tumbuh bakal tunas dan akar, b. Embrio yang hanya membesar tetapi tidak menunjukkan pertumbuhan ke arah perkecambahan, c. Embrio yang sudah berkecambah namun mengalami browning, d. Embrio yang tidak viabel atau tidak bisa berkecambah.
34
Tabel 3.1 Persentase daya kecambah dan waktu yang dibutuhkan embrio kelapa kopyor untuk berkecambah Bahan aditif
Daya kecambah (%)
Waktu untuk berkecambah (hari)
74.0b* 95.0a 76.5ab 75.0b 59.0b
45.0a 29.0b 39.0ab 30.0b 47.0a
Tanpa bahan aditif Air kelapa 150 ml/l Air santan 150 ml/l Thio-urea 50 mg/l Thio-urea 100 mg/l
*Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (DMRT) 5%
Tabel 3.2 Persentase embrio kelapa kopyor yang mengalami browning, stagnasi, dan embrio tidak viabel pada fase perkecambahan di berbagai media tanpa bahan aditif dan dengan bahan aditif Bahan aditif
Tanpa bahan aditif Air kelapa 150 ml/l Air santan 150 ml/l Thio-urea 50 mg/l Thio-urea 100 mg/l
% Browning
% Stagnasi
% Embrio yang tidak viabel
6.0 0.0 23.5 15.0 40.0
18.0 4.0 0.0 3.0 1.0
2.0 1.0 0.0 1.9 0.0
Daya kecambah embrio kelapa kopyor di media tanpa bahan aditif atau media dengan penambahan thio-urea 100 mg/l rata-rata masih di bawah 75%. Sekitar 25% dari embrio tidak mampu berkecambah.
Ketidakmampuan embrio
untuk berkecambah dapat disebabkan oleh embrio yang tidak viabel, stagnasi atau embrio mengalami browning. Browning embrio banyak terjadi pada media dengan penambahan thio-urea 100 mg/l atau air santan (Tabel 3.2). Rata-rata browning embrio yang terjadi pada media tersebut berkisar antara 24.5% (air santan) sampai 40% (thio-urea 100 mg/l).
Browning merupakan salah satu
kendala utama pada pengkulturan jaringan secara in vitro.
Browning terjadi
apabila jaringan tanaman mengeluarkan senyawa fenolik ke media dan teroksidasi. Senyawa ini bisa menghambat aktivitas enzim dan mengakibatkan pencoklatan media dan eksplan yang berakibat kematian jaringan (Laukkanen et
35
al. 1999).
Sementara itu, pada media tanpa bahan aditif embrio yang tidak
mampu berkecambah sebagian besar disebabkan oleh embrio yang berhenti tumbuh setelah embrio membesar (stagnasi).
Pertumbuhan Planlet Pertumbuhan planlet kelapa kopyor dievaluasi melalui pengukuran panjang planlet dan lebar daun, penghitungan jumlah daun, serta persentase planlet yang dihasilkan. Tidak ada interaksi yang nyata antara periode subkultur dengan konsentrasi air kelapa pada pertumbuhan planlet kelapa kopyor. Pertumbuhan planlet kelapa kopyor lebih dipengaruhi oleh periode subkultur atau konsentrasi air kelapa secara sendiri-sendiri.
Dengan melihat pertumbuhan
panjang planlet dan lebar daun umur 5 bulan, maka periode subkultur 2 bulan lebih baik untuk pertumbuhan planlet kelapa kopyor daripada periode subkultur lainnya (Tabel 3.3). Panjang planlet dan lebar daun pada media yang diganti setiap 2 bulan sekali nyata lebih panjang dan lebih lebar daripada planlet pada periode subkultur lainnya. Persentase total planlet yang dihasilkan pada periode
Tabel 3.3
Pertumbuhan planlet kelapa kopyor setelah umur 5 bulan pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi air kelapa
Perlakuan
Panjang planlet (cm)
Jumlah daun
Lebar daun (cm)
Periode subkultur: 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
2.26b* 3.28a 1.90b 1.70b
1.25 1.63 1.63 1.38
0.24b 0.51a 0.34ab 0.26b
Konsentrasi air kelapa: 100 ml/l 150 ml/l 200 ml/l Tanpa air kelapa
2.17ab* 2.70a 1.66b 2.60a
1.50 1.63 1.25 1.50
0.30 0.45 0.27 0.34
*Angka rata-rata dalam kolom yang sama pada masing-masing perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (DMRT) 5%
36
Tabel 3.4 Persentase planlet kelapa kopyor yang diperoleh pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi air kelapa setelah 8 bulan dalam proses pengkulturan Perlakuan
% Planlet yang belum berkembang akarnya
% Planlet dengan perkembangan akar yang baik
% Total planlet yang diperoleh
Periode subkultur: 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
25.00 31.82 33.33 20.00
35.00 45.46 47.62 25.00
60.00 77.28 80.95 45.00
Konsentrasi air kelapa: Tanpa air kelapa 100 ml/l 150 ml/l 200 ml/l
42.86 25.00 36.34 5.88
33.33 45.00 40.90 41.18
76.19 70.00 77.24 47.06
subkultur 2 bulan sekali setelah 8 bulan dalam proses pengkulturan juga cukup tinggi. Planlet yang diperoleh sebesar 77.28% yang terdiri dari 45% adalah planlet dengan pertumbuhan akar yang baik, sedangkan 31.82% adalah planlet dengan pertumbuhan akar yang belum berkembang sempurna. Walaupun demikian, jika persentase total planlet yang dijadikan bahan pertimbangan, maka periode subkultur 3 bulan dapat menjadi alternatif berapa lama planlet harus disubkultur. Persentase total planlet yang dihasilkan 3% lebih tinggi daripada periode subkultur 2 bulan (Tabel 3.4). Sebaliknya kultur yang terlalu sering dipindah ke media yang baru (subkultur 1 bulan sekali) atau terlalu lama dipindah (subkultur 4 bulan sekali) justru menghasilkan total planlet paling sedikit. Air kelapa tidak banyak memberi peningkatan pertumbuhan planlet kelapa kopyor. Pertumbuhan planlet seperti jumlah dan lebar daun pada berbagai media air kelapa 100, 150, dan 200 ml/l serta media tanpa air kelapa tidak berbeda nyata (Tabel 3.3). Media dengan air kelapa 200 ml/l justru menghasilkan panjang planlet nyata lebih tinggi dan total planlet yang diperoleh lebih banyak daripada media tanpa air kelapa (Tabel 3.4).
Hal yang menarik adalah air kelapa
meningkatkan persentase planlet dengan perkembangan akar yang sempurna.
37
25
% Browning
21.1
20
20
18.18
15 11.76 10 5 0 0 ml/l
100 ml/l
150 ml/l
200 ml/l
Konsentrasi Air Kelapa
Gambar 3.3
Persentase planlet kelapa kopyor yang mengalami browning pada fase pertumbuhan di berbagai media tanpa air kelapa dan dengan air kelapa konsentrasi 100 ml/l, 150 ml/l, dan 200 ml/l.
Meskipun begitu, penambahan air kelapa 150 ml/l menghasilkan persentase planlet dengan perkembangan akar yang lebih baik dengan akar primer dan sekunder. Planlet-planlet seperti ini biasanya dapat langsung diaklimatisasi tanpa melewati masa penguatan akar untuk menginduksi akar-akar lateral pada planlet yang belum sempurna akarnya. Planlet yang sempurna perkembangan akarnya rata-rata lebih tinggi pada media dengan air kelapa daripada media tanpa air kelapa (Tabel 3.4). Namun di lain pihak air kelapa juga cenderung menghasilkan persentase browning planlet yang lebih besar daripada media tanpa air kelapa (Gambar 3.3). Browning planlet pada media air kelapa meningkat sekitar 7-10% dibandingkan dengan media tanpa air kelapa.
Pengakaran Planlet Sebelum Periode Aklimatisasi Sebelum memasuki periode aklimatisasi planlet yang belum mempunyai akar namun pertumbuhan tunasnya bagus (Gambar 3.4a) perlu dirangsang perakarannya dengan perlakuan zat pengatur tumbuh (ZPT) dari golongan auksin. Zat pengatur tumbuh IBA ternyata mampu menginduksi keluarnya akar primer planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik setelah dua bulan dalam pengkulturan.
Walaupun demikian tidak semua planlet bisa diinduksi akar
38
primernya. ZPT IBA dapat menginduksi keluar akar primer planlet kelapa kopyor rata-rata antara 78-86%, dan masih ada sekitar 14 sampai 22% planlet yang kurang respon terhadap IBA (Tabel 3.5).
Berbagai konsentrasi IBA yang
diberikan mulai dari 1-3 mg/l tidak menunjukkan pola khusus tentang pengaruhnya terhadap perakaran planlet kelapa kopyor. Konsentrasi IBA 1 mg/l sudah cukup baik untuk menginduksi keluarnya akar primer planlet kelapa kopyor (85.75% planlet berakar). Jika konsentrasi IBA ditingkatkan lebih dari 1 mg/l, pembentukan akar primer bahkan semakin menurun. Tabel 3.5 Persentase planlet kelapa kopyor yang berhasil diinduksi akarnya pada media padat Eeuwens dengan penambahan ZPT IBA Konsentrasi IBA
1 mg/l 2 mg/l 3 mg/l
% Planlet keluar akar
85.71 77.78 80.00
% Planlet dengan akar lateral 20.00 60.00 50.00
Tabel 3.6 Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik pada media Eeuwens dengan penambahan berbagai konsentrasi IBA setelah 2 dan 4 bulan perlakuan Konsentrasi IBA
Tinggi planlet (cm)
Jumlah daun
Lebar daun (cm)
Panjang akar primer (cm)
Jumlah akar lateral
1.62 1.62 1.56
1.36 1.00 0.83
1.5b* 7.5a 4.5ab
1.85 1.80 1.65
2.675 2.435 1.425
1.50b 7.50a 5.50a
Dua bulan setelah pemberian IBA 1 mg/l 2 mg/l 3 mg/l
21.01 16.81 16.79
2.60 2.37 2.92
Empat bulan setelah pemberian IBA 1 mg/l 2 mg/l 3 mg/l
21.73 17.99 18.30
3.00 2.75 3.00
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%
39
Setelah planlet-planlet tersebut berhasil membentuk akar primer (Gambar 3.4b), biasanya diikuti oleh keluarnya akar-akar lateral (sekunder) dari akar-akar primer (Gambar 3.4c). Untuk menginduksi keluarnya akar lateral dibutuhkan konsentrasi IBA lebih tinggi dari 1mg/l. Persentae planlet yang membentuk akar lateral tertinggi terdapat pada konsentrasi IBA 2 mg/l. Pada perlakuan IBA 2 mg/l sebanyak 60% planlet mempunyai akar lateral, dibandingkan IBA 1mg/l yang hanya 20% planletnya mempunyai akar lateral. Konsentrasi IBA di atas 2 mg/l cenderung menghasilkan planlet dengan akar lateral lebih rendah (Tabel 3.5). IBA yang diberikan pada fase akhir kultur embrio sigotik kelapa kopyor tidak mempengaruhi pertumbuhan tunas planlet kelapa kopyor. Tinggi planlet, jumlah daun dan lebar daun planlet tidak berbeda nyata antara ketiga level konsentrasi IBA, baik pada 2 bulan maupun 4 bulan setelah pemberian IBA (Tabel 3.6).
ZPT IBA lebih berpengaruh pada jumlah akar lateral planlet,
sedangkan panjang akar primer planlet juga tidak berbeda di antara level konsentrasi IBA. Beberapa peneliti kelapa berpendapat bahwa akar-akar lateral sangat penting untuk menunjang penyerapan unsur hara sehingga planlet lebih bisa bertahan pada kondisi luar setelah diaklimatisasi nanti. Untuk merangsang keluarnya akar lateral, konsentrasi IBA 2 mg/l lebih efektif daripada 1 mg/l atau 3 mg/l (Tabel 3.5). Pada konsentrasi IBA 2 mg/l menghasilkan jumlah akar lateral nyata lebih banyak daripada IBA 1 mg/l. IBA 2 mg/l, jumlah akar lateralnya tidak berbeda nyata dengan IBA 3 mg/l baik pada 2 bulan maupun 4 bulan setelah pemberian IBA. Sejumlah planlet yang mempunyai pertumbuhan tunas dan perakaran yang bagus berhasil diaklimatisasi (Gambar 3.4d) dan dapat bertahan hidup sampai di luar kondisi rumah plastik (Gambar 3.4e). Planlet yang mempunyai tunas dan akar yang berkembang baik, yaitu ada akar primer dan akar lateral, maka persentase planlet yang berhasil diaklimatisasi mencapai ± 75-80%. Hal penting yang dilakukan sebelum planlet ditanam pada media aklimatisasi adalah mencuci sisa media kultur dari akar dengan hati-hati supaya akar lateral tidak putus dan akar direndam dalam larutan fungisida selama 5 menit. Planlet diletakkan dalam ruang tanam selama 1-2 minggu sebelum dipindah di rumah plastik. Setelah planlet menyesuaikan dengan kondisi media tanam yang baru, planlet dipindah ke rumah plastik. Masa kritis planlet terjadi pada awal sampai umur 1-2 bulan setelah dipindah ke rumah plastik. Kematian bibit pada masa tersebut disebabkan oleh
40
kegagalan bibit untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan di luar botol kultur dan serangan cendawan yang mengakibatkan busuk batang.
Akar primer Akar lateral
b
a
d
c
e
Gambar 3.4 Proses pertumbuhan planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sebelum dan sesudah aklimatisasi. a. Planlet kelapa kopyor siap aklimatisasi hasil kultur embrio sigotik pada media cair Eeuwens yang belum mempunyai akar, b. Planlet dengan akar primer setelah pemberian IBA, c Planlet dengan akar lateral yang keluar dari akar primer pada perlakuan IBA 2 mg/l, d. Bibit kelapa kopyor umur ± 3 bulan setelah aklimatisasi yang ditanam pada media tanah dan pupuk organik (1:3), e. Bibit kelapa kopyor setelah dikeluarkan dari rumah plastik dan ditanam ke polybag dengan media campuran tanah dan pupuk organik (2:1) umur ± 6 bulan setelah aklimatisasi.
41
Pembahasan
Perbaikan kultur embrio sigotik kelapa kopyor dilakukan mulai dari proses perkecambahan sampai dengan pengakaran planlet sebelum periode aklimatisasi. Pada fase perkecambahan diantara berbagai bahan aditif yang dicoba, hanya air kelapa 150 ml/l yang dapat meningkatkan perkecambahan embrio kelapa kopyor dengan waktu berkecambah lebih cepat. Embrio kelapa kopyor pada umumnya rata-rata membutuhkan waktu berkecambah sekitar 6 sampai 8 minggu (Miftahorrachman et al. 1991; Sukendah et al. 2006), dengan penambahan air kelapa 150 ml/l waktu berkecambah dipercepat sekitar 1-2 minggu.
Daya
kecambah embrio kelapa kopyor pada media air kelapa 150 ml/l pada penelitian ini jauh lebih baik dibandingkan daya kecambah embrio kelapa kopyor pada media penelitian sebelumnya dengan bahan adtif seperti sari tauge, sari buah tomat, dan ekstrak ragi (Sukendah & Rachmat 2003) atau daya kecambah embrio kelapa kopyor pada media tanpa bahan aditif di berbagai laboratorium di Filipina yang berkisar antara 50-78% (Rillo 1998). Kemungkinan karena komposisi air kelapa mengandung beberapa hormon seperti auksin, sitokinin dan giberelin. Air kelapa juga mengandung bahan organik gula dan vitamin; asam amino termasuk asam glutamat, asparagin, prolin, dan glisin; serta bahan anorganik seperti fosfat (P), magnesium (Mg), dan kalium (K) (Raghavan 1977). Menurut Unagul et al. (2007), air kelapa mengandung monosakarida dengan kandungan gula setara dengan 60 g/l dan sejumlah vitamin untuk menunjang pertumbuhan biomasa rumput laut secara in vitro. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan air kelapa pada media dapat meningkatkan pertumbuhan planlet, seperti pada planlet kapulaga dengan penambahan air kelapa 50-200 ml/l (Tefera & Wannakrairoj 2004), planlet kiwi dengan penambahan air kelapa 100 ml/l (Boase & Wright 1993). Disamping itu embrio yang dikecambahkan pada media dengan air kelapa 150 ml/l hampir tidak mengalami browning yang dapat menyebabkan kematian pada embrio (Tabel 3.2). Dengan demikian air kelapa terbukti merupakan bahan aditif yang paling cocok untuk proses perkecambahan embrio kelapa kopyor.
42
Pada periode pertumbuhan planlet, berbagai usaha dilakukan antara lain mengatur periode subkultur dan pemberian air kelapa untuk mempertahankan planlet terus tumbuh dan supaya tidak mengalami browning atau stagnasi. Pada penelitian ini periode subkultur yang paling baik antara 2-3 bulan. Protokol kultur embrio untuk kelapa dari UPLB (Filipina),
ORSTOM (Perancis) dan CPRI
(India) rata-rata melakukan subkultur untuk pertumbuhan planlet setiap 4 minggu (1 bulan) atau 6 minggu (1.5 bulan).
Ini berarti frekuensi subkultur dapat
dikurangi tanpa mengakibatkan pengaruh negatif pada pertumbuhan planlet kelapa kopyor, bahkan dengan subkultur 2 bulan pertumbuhan planlet dan jumlah planlet yang diperoleh lebih baik daripada periode subkultur satu bulan sekali. Sedangkan periode subkultur untuk protokol sebelumnya yang dikembangkan oleh Sukendah (2002) adalah 3-4 bulan sekali.
Pada penelitian ini planlet
membutuhkan periode subkultur lebih sering dibandingkan dengan protokol sebelumnya untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan jumlah planlet. Penambahan air kelapa pada periode pertumbuhan planlet tidak mempunyai pengaruh yang banyak, namun air kelapa dapat meningkatkan persentase planlet yang berakar dengan baik. Walaupun demikian air kelapa juga cenderung meningkatkan planlet yang browning (Gambar 3.3). Umumnya pada sistem kultur jaringan, senyawa fenolik terutama senyawa fenolik yang teroksidasi berakibat buruk pada jaringan yang ditanam, yaitu eksplan yang mati akibat browning (Arnaldos et al. 2001; Laukkanen et al. 1999). Konsentrasi senyawa fenolik ini dapat dipengaruhi oleh beberapa bahan organik, terutama karbohidrat yang ditambahkan pada media (Lux-Endrich et al. 2000). Penambahan air kelapa ke dalam media akan meningkatkan kandungan karbohidrat pada media sehingga kemungkinan konsentrasi senyawa fenolik meningkat dan mengakibatkan eksplan rentan terhadap browning. Proses aklimatisasi merupakan tahap kritis bagi planlet kelapa kopyor untuk dapat bertahan hidup di luar kondisi laboratorium. Hal penting yang harus diperhatikan agar planlet dapat bertahan pada saat proses aklimatisasi adalah vigor atau kondisi planlet sebelum dikeluarkan dari lingkungan laboratorium yang serba terkontrol. Daya bertahan hidup planlet dapat ditingkatkan dengan pemberian hormon untuk perkembangan akar (Van Telgen et al. 1992; Diaz-Perez et al.
43
1995). Ada sejumlah planlet kelapa kopyor yang sudah layak untuk diaklimatisasi (mempunyai 3-4 daun yang membuka sempurna) tetapi belum mempunyai akar atau sistem perakarannya kurang baik. Planlet-planlet yang demikian butuh diperbaiki sistem perakarannya sebelum diaklimatisasi dengan perlakuan hormon atau zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang keluarnya akar. Penambahan
zat pengatur tumbuh IBA pada media Eeuwens sangat
berpengaruh pada perakaran planlet kelapa kopyor. Konsentrasi IBA 2 mg/l merupakan konsentrasi terbaik untuk menghasilkan akar lateral. Beberapa peneliti menyatakan bahwa IBA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar pada kultur in vitro (Bogetti et al. 2001; De-Klerk et al. 2001). IBA dengan konsentrasi 3 mg/l dapat digunakan untuk meningkatkan perakaran planlet sambung mikro kina (Toruan-Mathius et al. 2006).
Di samping IBA, golongan auksin lainnya
seperti IAA dan NAA juga digunakan untuk meningkatkan perakaran panlet in vitro.
Pada tanaman kopi untuk pengakaran lebih baik menggunakan IBA
daripada NAA, konsentrasi IBA 3 mg/l mempunyai jumlah akar dan panjang akar tertinggi (Ebrahim et al. 2007). Di antara 3 macam auksin IAA, IBA dan NAA, IBA yang paling banyak dipakai untuk pengakaran keluarga Rubiace. Untuk pengakaran Ceanophora arabica yang paling baik menggunakan IBA 1.0 mg/l (Ganesh & Sreenath 1997). Keberhasilan bibit bertahan hidup pada proses aklimatisasi juga ditentukan oleh jenis hormon yang dipakai pada saat pengakaran planlet (Ebrahim et al. (2007). Planlet yang akarnya dirangsang dengan
ZPT IBA dan IAA
menghasilkan bibit bertahan hidup lebih baik daripada ZPT
NAA.
Hal ini
disebabkan NAA menghasilkan akar yang lebih pendek dan adanya massa kalus di basal batang tempat akar berada. Tampaknya banyak jenis tanaman yang lebih sesuai menggunakan ZPT IBA daripada jenis auksin lainnya untuk merangsang perakaran dengan konsentrasi berkisar antara 1-3 mg/l.
Kesimpulan
Secara keseluruhan untuk perbaikan teknik kultur embrio kelapa kopyor adalah pada fase perkecambahan sebaiknya ditambahkan air kelapa 150 ml/l
44
untuk meningkatkan daya kecambah dan mempercepat perkecambahan embrio. Sedangkan pada fase pertumbuhan planlet tidak perlu ditambahkan bahan aditif, kecuali jika ingin memperoleh lebih banyak planlet dengan perkembangan akar yang baik, maka pemakaian air kelapa 150 ml/l dapat dipertimbangkan. Periode subkultur yang bisa dipakai untuk meningkatkan pertumbuhan planlet kelapa kopyor adalah 2 bulan. Pengakaran pada planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik yang belum mempunyai akar sebelum proses aklimatisasi, sangat efektif diinduksi oleh perlakuan ZPT IBA. persentase di atas 75%.
Rata-rata planlet dapat berakar dengan
Konsentrasi IBA 1 mg/l sudah dapat menghasilkan
persentase planlet berakar sekitar 85%, namun untuk merangsang keluarnya akar lateral dibutuhkan konsentrasi IBA 2 mg/l. Planlet hasil kultur embrio sigotik berhasil diaklimatisasi pada media campuran tanah dan bahan organik (1:3) dan dapat bertahan hidup sampai di luar lingkungan rumah plastik.
BAB IV REGENERASI KELAPA KOPYOR DENGAN METODE PEMBELAHAN EKSPLAN EMBRIO SIGOTIK PADA DAERAH MERISTEM APIKAL Abstrak Kultur embrio hanya menghasilkan satu planlet per embrio sigotik yang ditanam. Pembelahan embrio sigotik secara longitudinal akan meningkatkan eksplan menjadi dua kali. Belahan eksplan embriogenik diambil dari embrio segar yang diisolasi dari buah dan embrio yang berkecambah dengan plumula dan radikel setelah dikultur selama satu bulan. Setelah ditanam pada media padat Eeuwens yang mengandung sukrosa 60g/l, arang aktif 2.5 g/l, dan BAP 2.5-7.5 mg/l, kedua macam eksplan tumbuh menjadi planlet lengkap, tunas, atau akar saja. Eksplan belahan embrio yang tumbuh menjadi planlet dan tunas mencapai 83%, sedangkan eksplan belahan kecambah mencapai 100%. BAP meningkatkan pertumbuhan tunas namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar dan konsentrasi yang terbaik adalah 5 mg/l.
Kata kunci: induksi tunas, BAP, kultur embrio 1
Bagian bab ini dalam proses pengajuan paten ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. dengan judul invensi: Pembelahan Eksplan Embrio Sigotik untuk Peningkatan Jumlah Planlet dan Bibit Kelapa Kopyor
46
REGENERATION OF KOPYOR COCONUT BY EXCISING OF ZYGOTIC EMBRYO EXPLANT IN THE APICAL MERISTEM 1 Abstract Embryo rescue produces only one plantlet per zygotic embryo cultured. Longitudinally excision the zygotic embryos would increase the explants 2-fold. The half embryonic explants were excised from freshly isolated embryo of the fruit or from the germinating embryo that has grown plumule and radicle one month after cultured. Upon transferred to Eeuwens solid medium containing 60 g/l sucrose, 2.5 g/l activated charcoal, and 2.5-7.5 mg/l BAP, both kinds of explants regenerated into a complete plantlet, shoot without root, or root only. The halved embryo explants regenerated plantlet and shoot up to 83%, while the halved germinating embryo regenerated plantlet up to 100%. BAP improved shoot growth but not root growth and the best was 5 mg/l.
Key words: shoot induction, BAP, embryo culture 1
Part of this chapter is in the process of patent application to the Directorate General of Intellectual Property, Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia, with tittle of invention: Splitting of Zygotic Embryo Explant to Increase Number of Kopyor Coconut Plantlet and Seedling.
47
Pendahuluan
Pohon kelapa maupun pohon kelapa berbuah kopyor mempunyai batang lurus, tidak bercabang dan berbentuk silinder yang berasal dari satu titik tumbuh (meristem apikal). Bagian meristematik tanaman hanya terdapat pada tunas apikal dan ujung akar. Pohon kelapa juga tidak mempunyai sucker atau anakan sehingga sifat-sifat tersebut menyebabkan tanaman kelapa tidak bisa diperbanyak secara klonal. Metode perbanyakan yang umum digunakan adalah dengan perbanyakan generatif melalui buah kelapa yang dikecambahkan. Khusus untuk kelapa kopyor, teknik perbanyakan yang dipakai adalah dengan mengecambahkan buah kelapa dari pohon kelapa normal yang berbuah kopyor. Bibit yang didapat dari teknik perbanyakan tersebut akan menghasilkan buah kelapa normal dan buah kelapa kopyor. Perkembangan di bidang kultur jaringan memungkinkan memperbanyak tanaman kelapa kopyor yang dapat menghasilkan buah kelapa yang semuanya kopyor, yaitu melalui teknik kultur embrio.
Teknik ini telah dikembangkan
dengan intensif oleh beberapa laboratorium kultur jaringan untuk memproduksi bibit kelapa kopyor. Meskipun demikian, banyak kendala yang ditemukan dengan teknik kultur embrio sehingga persentase bibit kelapa kopyor yang diperoleh masih cukup rendah. Dengan sistem kultur embrio yang ada saat ini, jumlah maksimal bibit kelapa kopyor yang dapat diperoleh hanya sebanyak embrio yang ditanam pada saat awal. Jumlah bibit kelapa kopyor yang diperoleh dapat diperbesar jika tingkat multiplikasi planlet ditingkatkan.
Pada sebagian besar tanaman multiplikasi
planlet dilakukan melalui multiplikasi tunas-tunas lateral (lateral buds). Problem dengan kelapa dan juga kelapa kopyor adalah tunas lateral sulit diinduksi menjadi tunas-tunas baru yang tumbuh dari daerah meristem pucuk.
Kemungkinan
dominasi apikal pada daerah meristem pucuk sangat kuat. Oleh sebab itu fokus sekarang dialihkan pada embrio kelapa kopyor sebagai satu-satunya sumber eksplan untuk memperbanyak bibit kelapa kopyor secara in vitro. Pada penelitian ini, daerah meristem pucuk yang mengandung bakal tunas dan bakal akar dibelah secara longitudinal. Tujuannya adalah memecah titik tumbuh tunas dan akar
48
sehingga dapat berkembang menjadi individu-individu tunas dan akar yang baru. Tergantung pada jumlah pembelahan, jika embrio dibelah menjadi dua dengan tepat maka masing-masing belahan diharapkan menjadi planlet baru. Dengan demikian, multiplikasi planlet bisa ditingkatkan dua kali atau dari satu embrio dapat diperoleh dua planlet baru.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mencari metode memperbanyak planlet kelapa kopyor melalui pembelahan eksplan embrio sigotik dan dengan pembelahan eksplan kecambah.
Metodologi Penelitian
Bahan Tanam dan Media Kultur Bahan penelitian embrio kelapa kopyor berasal dari buah kelapa kopyor yang diambil pada bulan September 2007 dari sentra kebun kelapa berbuah kopyor di Sumenep, Jawa Timur. Embrio diambil dari buah kelapa kopyor umur 11-12 bulan dengan menggunakan spatula dalam bentuk silinder endosperma yang didalamnya mengandung embrio. Silinder endosperma selanjutnya dibawah ke laboratorium untuk disterilisasi. Sterilisasi silinder endosperma menggunakan Natrium hipoklorit (NaClO) 1% selama 20 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Di dalam Laminair Air Flow Cabinet embrio dikeluarkan dari silinder endosperma dan dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Setiap gelas erlemenyer berisi 50 embrio. Embrio kemudian disterilisasi dengan NaClO 0.5% selama 5 menit dan sterilisasi ini diulang sekali lagi dengan waktu yang sama. Setelah itu embrio dicuci dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Media dasar yang dipakai adalah media cair dan padat yang mengandung senyawa makro dan mikro Eeuwens (1976) dan vitamin dari Morel & Wetmore (1951). Media juga mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l, agar 7 g/l dengan pH media 5.8. sebelum disterilisasi. Media disterilisasi selama 20 menit dengan tekanan 15 psi dan suhu 121°C.
49
Induksi Tunas dari Eksplan Embrio Kelapa Kopyor yang Dibelah Embrio kelapa kopyor dibuang bagian haustorium dan dibelah menjadi dua bagian secara longitudinal.
Masing-masing potongan embrio ini kemudian
ditanam pada media Eeuwens padat. Media berisi arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l, 2,4-D 2.5 mg/l dan berbagai konsentrasi BAP (0, 2.5; 5.0; 7.5 mg/l). Setiap botol kultur yang mewakili satu unit percobaan diisi dengan 2 potongan embrio yang berasal dari satu embrio yang sama. Setiap perlakuan ada 15 botol kultur. Kultur diletakkan dalam rak kultur dengan susunan sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) di bawah kondisi yang gelap selama dua bulan atau sampai keluar tunas. Suhu ruangan dipertahankan sekitar 25◦C. Setelah tunas/dan akar muncul, planlet disubkultur ke media Eeuwens padat yang mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l dan BAP (2.5; 5.0; 7.5 mg/l ). Selanjutnya kultur dipindah ke ruang yang terang dengan penyinaran 16 jam terang dan 8 jam gelap. Eksplan yang tumbuh tunas atau tumbuh tunas dengan akar disubkultur dua bulan sekali, sedangkan eksplan yang hanya tumbuh akar dibuang. Planlet-planlet yang hanya tumbuh tunas tanpa akar (dari media tanpa BAP) diinduksi perakarannya pada media yang mengandung ZPT auksin IBA. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah eksplan yang berhasil tumbuh, jumlah eksplan yang tumbuh tunas dan akar, jumlah eksplan yang hanya membentuk tunas, jumlah eksplan yang hanya tumbuh akar, panjang tunas, dan panjang akar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) untuk menentukan pengaruh perlakuan (SAS Institute, 1992).
Rata-rata nilai
tengah dibedakan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Induksi Tunas Kelapa Kopyor dari Eksplan Kecambah yang Dibelah Embrio kelapa kopyor dikulturkan pada media Eeuwens cair 10 ml/tabung reaksi yang mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l dan pH media 5.8 sebelum sterilisasi. Embrio yang telah keluar bakal tunas dan akar dijadikan sumber eksplan untuk dibelah secara longitudinal menjadi dua bagian. Bagian haustorium dipotong dan dibuang.
Masing-masing potongan kecambah ini
50
ditanam pada media Eeuwens padat 20 ml/l/botol kultur yang mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 45 g/l, 2,4-D 2.5 mg/l. Pada media ditambahkan perlakuan ZPT BAP dengan berbagai konsentrasi, yaitu 2.5; 5.0; dan 7.5 mg/l.
Setiap
perlakuan diulang 15 kali. Kultur disusun sesuai dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dipelihara dalam kondisi gelap dengan suhu 25◦C sampai ada pertumbuhan tunas. Planlet selanjutnya disubkultur ke media Eeuwens padat 40 ml/l yang mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 45 g/l dan BAP (2.5; 5.0; 7.5 mg/l). Kultur kemudian dipindah ke ruang yang terang dengan penyinaran 16 jam terang dan 8 jam gelap. Evaluasi perlakuan dilakukan dengan cara mengamati jumlah eksplan yang berhasil tumbuh, jumlah eksplan yang tumbuh tunas dan akar, jumlah eksplan yang hanya membentuk tunas, jumlah eksplan yang hanya tumbuh akar, panjang tunas, dan panjang akar. Data-data dianalisis dengan ANOVA menggunakan program SAS versi 6.12. Jika ada pengaruh perlakuan, analisis dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% untuk membedakan rata-rata nilai tengah.
Hasil Penelitian
Induksi Tunas dari Eksplan Embrio yang Dibelah Kelapa kopyor seperti tanaman kelapa pada umumnya hampir tak pernah mempunyai cabang yang berasal dari perkembangan tunas lateral. Namun dengan teknik pembelahan meristem apikal pada tahap embrio dan kecambah, ternyata masing-masing belahan embrio atau kecambah masih bisa tumbuh. Lebih dari 80% eksplan belahan embrio tumbuh pada media dengan BAP 2.5 mg/l (Tabel 4.1). Hal yang menarik adalah eksplan belahan embrio yang tumbuh semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP,
pada konsentrasi 7.5 mg/l
hanya sekitar 58% yang berhasil tumbuh (Tabel 4.1). Tanpa pemberian BAP, belahan embrio masih bisa tumbuh tetapi eksplan yang berhasil tumbuh hanya 37.5% yang terdiri dari 25% tumbuh tunas dan
51
Tabel 4.1 Persentase eksplan belahan embrio yang tumbuh menjadi tunas dan akar (planlet lengkap) atau tunas atau akar saja pada berbagai konsentrasi BAP Konsentrasi BAP (mg/l)
% Tumbuh tunas & akar
% Tumbuh tunas
% Tumbuh akar
Total (%)
0.00 8.33 0.00 8.33
25.00 62.50 50.00 37.50
12.50 12.50 20.83 12.50
37.5 83.33 70.83 58.33
0.00 2.50 5.00 7.50
sisanya 12.5% tumbuh akar (Tabel 4.1). Planlet tanpa akar ini disubkultur ke media perakaran dengan menambahkan IBA 2 mg/l. Sementara itu, perlakuan BAP meningkatkan jumlah planlet yang terbentuk lebih dari dua kali dibanding perlakuan tanpa BAP. Walaupun demikian penambahan BAP ke dalam media tidak bisa diberikan secara sendiri.
BAP masih membutuhkan zat pengatur
tumbuh lain dari jenis auksin yaitu 2,4-D untuk meningkatkan persentase eksplan belahan embrio tumbuh. Jika BAP diberikan tanpa 2,4-D, eksplan sulit tumbuh dan bahkan tidak memberi respon apapun. Hal ini hampir sama dengan embrio asam jawa (tamarin) yang juga dibelah secara longitudinal dan ditumbuhkan pada media MS. Tunas adventif yang dibentuk dari belahan embrio tersebut terbaik pada media yang mengandung BAP 44.39 uM dan dikombinasikan dengan NAA 2.69 uM (Mehta 2000). Pertumbuhan eksplan belahan embrio sebagian besar menjadi tunas atau menjadi akar, sedangkan eksplan yang tumbuh menjadi tunas+akar sedikit jumlahnya (Tabel 4.1). Bahkan media yang tanpa BAP dan media dengan BAP 5.0 mg/l menunjukkan tidak ada belahan eksplan yang tumbuh menjadi tunas+ akar. Persentase belahan eksplan yang tumbuh menjadi tunas tertinggi pada BAP 2.5 mg/l. Konsentrasi di atas 2.5 mg/l, persentase belahan eksplan yang menjadi tunas semakin menurun (Tabel 4.1). Produksi tunas lateral secara in vitro pada tanaman bambu justru dapat ditingkatkan dengan BAP sampai konsentrasi 5 mg/l (Jimenez et al. 2006).
52
cc A
a
b
d
e
f
g
Gambar 4.1 Proses regenerasi kelapa kopyor dari embrio sigotik yang dibelah sampai menjadi planlet sempurna pada media yang mengandung BAP. a. Eksplan embrio sigotik, b. Eksplan setelah dikultur selama 1 bulan di media Eeuwens cair, c. Belahan eksplan yang ditanam pada media padat, d. Belahan eksplan yang mulai tumbuh, e. Belahan eksplan mulai menampakkan warna hijau daun, f. Belahan eksplan tumbuh membentuk daun baru, g. Belahan eksplan menjadi planlet normal.
53
Tabel 4.2 Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor dari eksplan belah embrio pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi BAP Konsentrasi BAP (mg/l) 2.50 5.00 7.50
Panjang tunas (cm)
Jumlah daun
Panjang akar (cm)
0.95 1.35 1.50
1.50 2.00 2.50
1.25 0.95 1.10
Pemecahan titik tumbuh pada meristem apikal embrio kelapa kopyor tidak selamanya menghasilkan belahan embrio yang mampu tumbuh menjadi planlet. Ada sekitar 20-40% belahan embrio tidak tumbuh. Kemungkinan bagian ini tidak mengandung meristem tunas atau akar. Proses regenerasi planlet kelapa kopyor dari pembelahan embrio sigotik tahap demi tahap adalah belahan embrio mulai membesar 5-7 hari setelah penanaman di media padat (Gambar 4.1c) dan muncul tunas dan akar setelah 3-4 minggu. Belahan eksplan embrio mulai tumbuh tunas tak berklorofil (Gambar 4.1d) sekitar 5-6 minggu setelah penanaman dan tunas mulai membentuk klorofil (Gambar 4.1e) setelah dipindah ke tempat yang terang dengan pencahayaan dari lampu TL. Planlet mulai membentuk daun baru setelah 2-3 bulan (Gambar 4.1f) dan menjadi planlet yang sempurna. Pertumbuhan tunas dan akar dari eksplan embrio yang dibelah menunjukkan tidak ada perbedaan pada pertumbuhan panjang tunas, panjang akar dan jumlah daun yang muncul antara konsentrasi BAP yang dicoba (Tabel 4.2). Namun ada kecenderungan bahwa pertumbuhan tunas yang ditunjukkan oleh panjang tunas dan jumlah daun meningkat dengan meningkatnya konsentrasi BAP. Induksi Tunas dari Eksplan Kecambah yang Dibelah Hampir semua eksplan belah kecambah yang ditanam pada media BAP tumbuh, bahkan konsentrasi BAP 5.0-7.5 mg/l tumbuh dengan persentase mencapai 100% (Tabel 4.3). Hasil ini jauh lebih baik daripada eksplan belahan embrio. Di samping itu eksplan yang tumbuh sebagian besar adalah eksplan yang menjadi tunas dan akar (Gambar 4.2c) dan hampir tidak ada yang tumbuh menjadi akar (Tabel 4.3). Berdasarkan persentase belahan eksplan yang tumbuh dan
54
b
a
c
Gambar 4.2 Respon eksplan belahan kecambah kelapa kopyor yang ditanam pada media Eeuwens dengan penambahan BAP. a. Eksplan belahan kecambah yang tumbuh tunas, b. Eksplan yang tumbuh menjadi akar, c. Eksplan yang tumbuh menjadi tunas dan akar.
Tabel 4.3 Persentase eksplan belahan kecambah kelapa kopyor yang tumbuh menjadi tunas dan akar (planlet lengkap), tunas, atau akar saja pada media yang mengandung berbagai konsentrasi BAP Konsentrasi BAP (mg/l)
% Tumbuh tunas & akar
% Tumbuh tunas
% Tumbuh akar
Total (%)
87.50 87.50 50.00
0.00 12.50 33.33
0.00 0.00 16.67
87.50 100.00 100.00
2.50 5.00 7.50
Tabel 4.4 Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor dari eksplan belahan kecambah pada media Eeuwens yang mengandung berbagai konsentrasi BAP Konsentrasi BAP (mg/l) 2.50 5.00 7.50
Panjang tunas (cm)
0.63b* 2.33a 1.73ab
Jumlah daun
3.00 2.33 2.00
Panjang akar (cm)
1.37 1.33 1.30
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%
persentase eksplan yang tumbuh menjadi tunas & akar (planlet lengkap), maka perlakuan yang terbaik adalah konsentrasi BAP 5.0 mg/l. Pada konsentrasi ini semua belahan eksplan tumbuh semua, dengan persentase eksplan tumbuh
55
tunas+akar sebesar 87.50%. Jika sisa persentase eksplan yang tumbuh menjadi tunas (12.50%) dapat diinduksi perakarannya, maka jumlah planlet pada perlakuan belah kecambah dengan BAP 5.0 mg/l bisa meningkat 100% atau dua kali dari embrio yang ditanam awal. Pertumbuhan panjang tunas eksplan belahan kecambah pada media BAP 5.0 mg/l nyata berbeda dengan BAP 2.5 mg/l. Walaupun demikian konsentrasi BAP yang lebih tinggi dari 5.0 mg/l tidak meningkatkan panjang tunas. Sementara itu pertumbuhan akar dan jumlah daun tidak berbeda antara BAP 2.5, 5.0 dan 7.5 mg/l (Tabel 4.4). Pembahasan
Usaha untuk menginduksi tunas atau akar kelapa kopyor dari belahan eksplan embrio sigotik maupun dari eksplan kecambah (embrio sigotik yang keluar plumula dan radikel) telah berhasil dilakukan dengan pemberian ZPT BAP pada media yang mengandung 2,4-D.
Dengan teknik pembelahan eksplan
tersebut, jaringan meristematik dan titik tumbuh pada bagian-bagian belahan embrio sigotik yang didapat terbukti berpotensi untuk berkembang menjadi tunas dan plantlet sehingga dapat diregenerasikan menjadi bibit kelapa kopyor. Dengan satu kali pembelahan (satu embrio sigotik menjadi dua belahan eksplan), perolehan planlet dan bibit kelapa kopyor ditingkatkan menjadi dua kali jika dibandingkan dengan tanpa pembelahan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian ini memberi potensi untuk melakukan pembelahan embrio sigotik yang lebih banyak sehingga akan lebih meningkatkan jumlah plantlet dan bibit kelapa kopyor yang didapatkan. Persentase belahan eksplan embrio sigotik yang tumbuh dan pembentukan planlet lengkap (planlet dengan tunas & akar) meningkat pada media yang mengandung BAP.
BAP banyak digunakan untuk induksi tunas dan untuk
multiplikasi tunas pada berbagai tanaman.
Tunas planlet kelapa kopyor dapat
diinduksi dari eksplan embrio atau kecambah yang dibelah dengan pemberian BAP 2.5-7.5 mg/l.
Pada tanaman jambu mete pemberian BAP 1 mg/l
menghasilkan tunas lebih banyak yang diinduksi dari eksplan nodel dan perkembangan tunas yang lebih baik daripada zeatin 1 mg/l (Osterac et al. 2005).
56
Pada tanaman manggis BAP dapat menginduksi tunas aksilar pada konsentrasi terbaik 5 mg/l, sedangkan untuk multiplikasi tunas konsentrasi 3 mg/l yang terbaik (Roostika et al. 2005). Induksi tunas dan akar dari belahan eksplan embrio sigotik kelapa kopyor selain membutuhkan BAP juga 2,4-D dengan konsentrasi 2.5 mg/l.
Pada
beberapa tanaman, induksi tunas dan proliferasi tunas dilakukan dengan pemberian kombinasi antara auksin dan sitokinin. Untuk proliferasi tunas Gloriosa superba digunakan BAP 1.5 mg/l yang dikombinasikan dengan NAA 0.5 mg/l (Hassan & Roy 2005). Pada tanaman bambu, tunas-tunas adventif diinduksi oleh pemberian BAP yang dikombinasikan dengan NAA (Mehta 2000). Penggunaan eksplan belahan kecambah lebih baik dari pada eksplan belahan embrio dalam menginduksi tunas kelapa kopyor. Pada tahap embrio titik tumbuh yang ada dalam meristem apikal sulit untuk dibelah dengan tepat. Belahan embrio yang tidak tumbuh kemungkinan tidak mengandung titik tumbuh tunas atau akar.
Eksplan kecambah lebih mudah untuk diamati bagian titik
tumbuh tunas dan akar, sehingga dapat dibelah dengan tepat.
Kesimpulan
Titik-titik tumbuh di daerah meristem apikal pada eksplan embrio dan kecambah kelapa kopyor yang dibelah dapat diinduksi menjadi individu tanaman baru. Eksplan embrio yang dibelah lebih banyak tumbuh menjadi tunas atau akar, sedangkan eksplan kecambah yang dibelah hampir semua eksplan tumbuh menjadi planlet utuh. Penambahan BAP meningkatkan jumlah planlet yang diperoleh, dengan persentase eksplan tumbuh di atas 58%. Pada eksplan embrio, persentase eksplan tumbuh semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP, sebaliknya pada eksplan kecambah persentase eksplan tumbuh semakin meningkat 100% dengan meningkatnya konsentrasi BAP. BAP berpengaruh pada pertumbuhan tunas, namun tidak berpengaruh pada pertumbuhan akar. Berdasarkan persentase eksplan tumbuh dan persentase jumlah planlet lengkap, maka perlakuan yang terbaik adalah BAP 5 mg/l pada eksplan kecambah yang dibelah.
BAB V REGENERASI TANAMAN KELAPA KOPYOR MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK1 Abstrak Regenerasi tanaman kelapa kopyor melalui embriogenesis somatik telah dikembangkan untuk pertama kalinya. Kalus embriogenik diinduksi dari eksplan embrio sigotik yang dibelah secara longitudinal dan horizontal pada media Eeuwens yang mengandung 2,4-D. Adanya 2,4-D konsentrasi 50-125 uM dibutuhkan dalam induksi kalus embriogenik kelapa kopyor. Penambahan bahan suplemen organik seperti casein hydrolisate, air kelapa, dan terutama asam amino meningkatkan induksi kalus embriogenik. Kalus embriogenik berkembang membentuk struktur embrio somatik ketika dipindah ke media dengan konsentrasi 2,4-D lebih rendah dan diperkaya dengan sitokinin BAP. Kombinasi 2,4-D 5 mg/l dan BAP 10 mg/l menghasilkan jumlah embrio somatik paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lain yang diuji, meskipun demikian, konsentrasi 2,4-D yang lebih rendah, yaitu 2.5 mg/l yang dikombinasikan dengan BAP pada konsentrasi yang sama menghasilkan planlet yang lebih baik. ABA tidak mempunyai pengaruh yang nyata dan cenderung menekan pembentukan planlet. Studi morfologi memperlihatkan bahwa embriogenesis somatik dan serangkaian perkembangan embrio somatik dilengkapi oleh perkembangan struktur yang abnormal seperti tunas tanpa akar, akar tanpa tunas, tunas majemuk, dan struktur yang tidak berkembang lebih lanjut. Tidak ada regenerasi tanaman yang terjadi dari proses tersebut, namun jika terjadi sebaliknya maka dalam hal ini embrio somatik mirip dengan embrio sigotiknya.
Kata kunci: mikropropagasi klonal, multiplikasi kalus, kalus embriogenik, embrio somatik 1
Bagian bab ini telah didaftarkan untuk memperoleh hak paten pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. dengan judul invensi: Metode Pembiakan Klonal Kelapa Kopyor Melalui Embriogenesis Somatik dan No. Registrasi: P00 200800263 (15 Mei 2008)
58
PLANT REGENERATION OF KOPYOR COCONUT THROUGH SOMATIC EMBRYOGENESIS Abstract Plant regeneration of kopyor coconut through somatic embryogenesis has been developed for the first time. Embryogenic calli were induced from longitudinally or horizontally excised zygotic embryo explants cultured on Eeuwens media containing 2,4-D. The present of 2,4-D at 50-125 uM was required for induction of embryogenic culture. Addition of organic addenda such as casein hydrolisate, liquid coconut endosperm, and especially amino acid improved the induction of embryogenic culture. The embryogenic culture developed somatic embyos upon transferred to medium with lower 2,4-D concentration and enriched with cytokinin BAP. The combination of 5 mg/l 2,4D and 10 mg/l BAP produced the highest number of somatic embryos compared to other concentration tested, however, lower concentration of 2,4-D, i.e. at 2.5 mg/l with the same BAP concentration of 10 mg/l were better for plantlet formation. ABA had no effect and tended to suppress plantlet formation. Morphological study demonstrated that somatic embryogenesis and the subsequent development of the somatic embryos were accompanied by the development of abnormal structures such as rootless shoot, shootless root, multiple shoots, and non-developed structure. Nonetheless, plant has been regenerated from this process and in that case somatic embryos resembled the zygotic counterparts.
Key words: clonal micropropagation, callus multiplication, callus embryogenic, somatic embryo
1
Part of this chapter has been registered for patent right in the Directorate General of Intellectual Property, Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia, with tittle of invention: Clonal Propagation Method of Kopyor Coconut Through Somatic Embryogenesis and Registered Number: P00 200800263 (May 15, 2008)
59
Pendahuluan
Fenotipe kelapa kopyor dicirikan oleh struktur endosperma yang remah atau tidak padat seperti pada kelapa normal. Buah kelapa kopyor tidak bisa dikecambahkan karena ketidaksempurnaan endospermanya menyebabkan embrio tidak mempunyai sumber energi untuk memulai proses perkecambahan. Oleh sebab itu
secara alami belum pernah dijumpai pohon kelapa yang mampu
menghasilkan buah kelapa 100% kopyor. Buah kelapa kopyor di alam biasanya dihasilkan dari pohon kelapa biasa yang memproduksi buah kelapa normal dan buah kelapa kopyor dalam satu tandan.
Pohon
yang demikian hanya
menghasilkan buah kopyor dengan frekuensi antara 1-2% buah kopyor per pohon per tandan (Novarianto 1999). Melalui teknologi kultur embrio (embryo rescue), embrio kelapa kopyor dapat dikecambahkan. Persentase buah kopyor yang dihasilkan dari penanaman bibit kopyor hasil kultur embrio ini mencapai 100%. Perbanyakan bibit kelapa kopyor dengan menggunakan teknik kultur embrio telah dimulai lebih dari 35 tahun yang lalu (de Guzman 1971). Di Indonesia teknik kultur embrio telah dikembangkan
oleh beberapa laboratorium (Pusat Penelitian Bioteknologi
Bogor; Balitka; UGM; UPN ”Veteran” Jatim; Balai Perkebunan Jatim). Walaupun demikian, dengan teknologi kultur embrio, jumlah bibit kelapa kopyor yang diperoleh tidak lebih banyak dari embrio yang dikulturkan. Produksi bibit yang terbatas ini menyebabkan harga jual bibit kelapa kopyor menjadi sangat mahal dan sulit terjangkau oleh keuangan petani atau industri perkebunan. Harga satu bibit kelapa kopyor asal kultur embrio lebih kurang Rp. 350 000,- per bibit. Teknologi ini menjadi tidak efisien bila digunakan untuk pembibitan kelapa kopyor.
Perlu dilakukan terobosan teknologi kultur in vitro yang dapat
memproduksi bibit kelapa kopyor secara masal. Teknologi yang bisa dipakai adalah embriogenesis somatik, yaitu menumbuhkan satu tanaman dari satu sel. Teknologi embriogenesis somatik telah digunakan untuk propagasi masal pada tanaman palem-paleman seperti kelapa sawit (Rival et al. 1997) dan kurma (Esraghi et al. 2005). Sementara itu, penggunaan teknologi embriogenesis somatik pada pembibitan kelapa kopyor belum pernah dilaporkan. Namun teknologi ini
60
telah digunakan oleh beberapa peneliti pada tanaman kelapa normal yang tidak berbuah kopyor (Blake 1990; Chan et al. 1998; Samosir et al. 1998). Hasil studi menunjukkan bahwa kalus embriogenik dan embrio somatik dapat dibentuk dari berbagai organ, seperti infloresens dan daun (Blake 1990), plumula (Chan et al. 1998), dan embrio (Samosir et al. 1998).
Kemajuan yang dicapai dalam
penelitian embriogenesis somatik kelapa ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian embriogenesis somatik pada kelapa kopyor. Pada penelitian berikut ini dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi induksi kalus embriogenik seperti model pembelahan eksplan embrio, hormon 2,4-D, dan penambahan bahan aditif.
konsentrasi
Pada fase pematangan dan
perkecambahan embrio somatik dipelajari peranan hormon seperti BAP atau ABA, serta mengkaji morfologi kalus dan embrio somatik kelapa kopyor.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada induksi kalus embriogenik kelapa kopyor, (2) mengetahui peranan hormon auksin dan sitokinin, serta bahan pemadat media dalam pembentukan dan pematangan embrio somatik, (3) mengetahui peranan hormon ABA dan bahan pemadat dalam perkecambahan embrio somatik kelapa kopyor, dan (4) studi histologi-morfologi embrio sigotik dan embrio somatik kelapa kopyor.
Metode Penelitian
Bahan Penelitian Embrio sebagai sumber eksplan diambil dari buah kelapa kopyor yang masih muda (9-10 bulan) dan yang sudah tua (11-12 bulan). Buah kelapa kopyor diambil dari kebun kelapa rakyat di daerah Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di Lab. Bioteknologi UPN “Veteran” Jatim, embrio yang masih di dalam silinder endosperma disterilisasi dengan Natrium hipoklorit 1% selama 10 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Selanjutnya embrio dikeluarkan dari dalam endosperma dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, masing-
61
masing erlenmeyer diisi 50 embrio.
Embrio kemudian disterilisasi dengan
Natrium hipoklorit 0.5 % selama 5 menit dan dibilas dengan air akuades steril. Sterilisasi ini diulang sekali lagi. Embrio yang telah dibilas dengan akuades steril, kemudian ditanam dalam tabung reaksi (15 x 20 cm) yang berisi media Eeuwens (1976) cair 10 ml yang mengandung arang aktif 2.5 g/l, sukrosa 60 g/l dengan pH media 5.8 sebelum disterilisasi. Transportasi embrio ke Lab. Biologi Molekuler IPB Bogor dikerjakan sesuai prosedur koleksi embrio di lapang (Sukendah & Muljani 2006). Di Lab. Biologi Molekuler IPB, embrio dalam tabung reaksi yang berasal dari Jawa Timur disimpan selama satu bulan sampai embrio memperlihatkan tanda-tanda akan berkecambah (keluar plumula).
Embrio ini selanjutnya
digunakan untuk bahan eksplan pada percobaan induksi kalus embriogenik.
Tahap Induksi Kalus Pengaruh Model Pembelahan Embrio Longitudinal dan Konsentrasi 2,4-D. Eksplan embrio dipotong bagian haustoriumnya. Selanjutnya,
embrio
dibelah secara longitudinal menjadi 2 (L-2), 4 (L-4), dan 8 (L-8) potong. Belahan embrio (L-2, L-4, dan L-8) ditanam pada media dasar Eeuwens padat 20 ml yang mengandung 2,4-D dengan berbagai konsentrasi (50; 75; 100; 125 uM), sukrosa 60 g/l, agar 7 g/l, arang aktif 2.5 g/l, dan pH 5.8 sebelum disterilisasi di autoclave. Setiap perlakuan ada 15 ulangan. Sebagai kontrol ditanam embrio utuh yang keluar plumula pada komposisi media yang sama dengan belahan embrio dan juga ditanam belahan embrio pada media tanpa 2,4-D. Kultur diletakkan di rak kultur di ruang gelap menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan suhu 25°C. Pengaruh Model Pembelahan Horizontal dan Konsentrasi 2,4-D. Embrio dibelah secara horizontal menjadi 3 bagian (HA: embrio bagian atas yang mengandung meristem akar dan tunas; HT: embrio bagian tengah antara daerah meristem dengan haustorium; HB: embrio bagian bawah daerah haustorium). Potongan embrio ditanam pada media Eeuwens padat 20 ml/botol kultur dengan konsentrasi 2,4-D (5.0; 7.5; 10.0; dan 12.5 mg/l), sukrosa 60 g/l, arang aktif 2.5 g/l, agar 7 g/l dan pH 5.8 sebelum disterilisasi.
Rancangan perlakuan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan setiap perlakuan diulang 15
62
kali.
Kultur kemudian dipelihara di ruang gelap dengan suhu 25°C sampai
terbentuk kalus. Pengaruh
Macam Eksplan dan Konsentrasi 2,4-D.
Embrio kelapa
kopyor yang berumur 10 bulan (immature) dan 12 bulan (mature) dibuang bagian haustoriumnya dan dibelah secara longitudinal menjadi 4 bagian. Belahan embrio dikulturkan pada media Eeuwens padat 20 ml/botol kultur yang mengandung berbagai konsentrasi 2,4-D: 50, 75, 100, dan 125 uM dan ditambahkan arang aktif 2.5 g/l, agar 7 g/l, sukrosa 60 g/l. Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Setiap perlakuan kombinasi diulang 15 kali. Kultur diletakkan pada ruang gelap dengan suhu 25°C. Pengaruh Penggunaan Berbagai Macam Bahan Aditif.
Embrio kelapa
kopyor dipotong bagian haustoriumnya dan dibelah secara longitudinal menjadi 2 bagian. Belahan embrio kemudian dikultur pada media Eeuwens padat yang mengandung sukrosa 60 g/l, arang aktif 2.5 g/l, 2,4-D 125 uM, dan berbagai macam bahan aditif, yaitu: asam amino, casein hydrolisate 3 g/l, dan air kelapa 200 ml/l. Asam amino terdiri dari campuran glutamina 0.876 g/l, asam aspartat 0.266 g/l, arginina 0.174 g/l dan glisina 0.0075 g/l, yang dilarutkan dalam 1 liter media. Setiap perlakuan bahan aditif diulang 15 kali. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap. Tiap-tiap botol perlakuan diletakkan secara acak pada rak kultur di bawah kondisi tanpa cahaya dengan suhu 25°C.
Tahap Proliferasi Kalus Eksplan yang berhasil membentuk kalus embriogenik disubkultur pada media yang sama komposisinya dengan media induksi kalus embriogenik. Subkultur ke dua dilakukan pada media dengan komposisi yang sama tetapi dengan konsentrasi 2,4-D setengah dari konsentrasi 2,4-D awal. dipelihara selama 2-4 bulan
Kultur
di ruang gelap dengan suhu 25°C. Subkultur
dilakukan satu bulan sekali selama dalam periode proliferasi kalus. Setiap kali dilakukan subkultur konsentrasi 2,4-D dikurangi setengah dari konsentrasi 2,4-D di media sebelumnya. Kalus-kalus ini digunakan untuk percobaan pada tahap embriogenesis somatik.
63
Tahap Embriogenesis Somatik dan Perkembangan Embrio Somatik Pengaruh Penambahan 2,4-D. Massa kalus embriogenik atau kalus-kalus yang berbentuk nodular (bulat atau bulat memanjang) dipindahkan ke media pembentukan embrio.
Ada 3 macam media untuk pembentukan dan
perkembangan embrio yaitu, media Eeuwens padat 25 ml/botol kultur yang mengandung BAP 10 mg/l, BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l, BAP 10 mg/l+2,4-D 5.0 mg/l. Ke dalam media ditambahkan sukrosa 60 g/l, arang aktif 2.5 g/l dengan pH media 5.8 sebelum disterilisasi.
Satu botol kultur ditanam satu massa kalus
dengan diameter ± 2.0 cm. Masing-masing perlakuan ada 45 botol. Botol kultur diatur dalam rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL). disubkultur 2 bulan sekali pada komposisi media yang sama.
Kalus
Kultur dipelihara
di bawah kondisi gelap dan suhu rata-rata 25°C. Pengaruh Bahan Pemadat (Agar). Massa kalus embriogenik berdiameter ± 2.0 cm dipindahkan ke media perkembangan dan pematangan embrio. Komposisi media pematangan embrio terdiri dari media dasar Eeuwens dengan berbagai konsentrasi gellam gum/phytagel (1.5; 2.0; 2.5 g/l), sukrosa 60 g/l, dan arang aktif 2.5 g/l. Setiap perlakuan diulang 15 kali. Kultur ditempatkan pada rak kultur secara acak menurut Rancangan Acak Lengkap. Kultur dipelihara di bawah kondisi cahaya dengan penyinaran 12 jam dan suhu ruangan 25°C. Peranan ABA pada Perkembangan Embrio Somatik. Biak yang telah membentuk struktur embrio dengan jelas digunakan sebagai bahan untuk perlakuan ABA untuk melihat pengaruhnya pada perkembangan embrio somatik. Biak ditanam pada media Eeuwens padat 25 ml/botol kultur dengan sukrosa 60 g/l, arang aktif 2.5 g/l, air kelapa 150 ml/l, dan berbagai konsentrasi ABA (0, 25, 50 uM). Kultur dipelihara di bawah kondisi cahaya dari lampu influoresens dengan fotoperiodik 8 jam. Setiap perlakuan ada 10 botol kultur sebagai ulangan. Kultur diletakkan di rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL). Embrio somatik yang mulai berubah struktur ke arah perkembangan lebih lanjut, dipindah ke media Eeuwens padat dengan komposisi sama dengan media sebelumnya tetapi tanpa zat pengatur tumbuh. Selanjutnya embrio dipelihara pada suhu 25◦C dengan lama penyinaran 8 jam.
64
Analisis Histologi dan Morfologi Kalus dan Embrio Analisis histologi dilakukan dengan mengambil sampel dari kalus dan embrio somatik pada tahap induksi kalus dan pembentukan embrio. Jaringan difiksasi dalam larutan FAA II yang terdiri dari 90 ml 70% etil alkohol, 5 ml asam asetat glasil/glacial acetic acid dan 5 ml formalin selama 24 jam.
Sampel
jaringan selanjutnya didehidrasi melalui serangkaian larutan TBA (Tertiary Butyl Alcohol) selama 48 jam. parafin cair (embedding).
Setelah proses infiltrasi jaringan dibenamkan dalam Blok parafin yang mengandung sampel jaringan
dipotong dengan mikrotom setebal 20-35 mikron.
Pelekatan sediaan/sayatan
dikaca objek dilakukan sebelum proses pewarnaan. Pewarnaan objek memakai HE (hemaktosilin-eosin), selanjutnya objek diambil gambarnya di bawah mikroskop Olympus. Pengamatan morfologi dilakukan untuk melihat karakteristik kalus, embrio somatik, dan kecambah kelapa kopyor. Sebagai bahan pembanding juga diamati morfologi kecambah asal embrio sigotik kelapa kopyor. Pengamatan morfologi dilakukan dengan mengambil gambar kalus, embrio dan embrio yang berkecambah di bawah mikroskop digital NTSC System tipe DC2-456 dan kamera digital.
Hasil Penelitian
Induksi Kalus dan Pembentukan Embrio Somatik Embrio somatik kelapa kopyor dibentuk dari fase kalus. Kalus diinduksi dari eksplan embrio sigotik yang dibelah dan ditanam pada media yang mengandung ZPT 2,4-D. Kalus mulai terbentuk sekitar 3-4 minggu setelah penanaman eksplan dan berproliferasi membentuk massa kalus. Tipe kalus yang dibentuk ada dua macam, yaitu kalus non-embriogenik dan kalus embriogenik. Kalus non-embriogenik mempunyai struktur yang sangat lembut seperti kapas atau spon (Gambar 5.1a). Kalus tipe ini biasanya berasal dari jaringan haustorium yang tidak mampu berkembang ke proses embriogenesis somatik. Sel-sel pada kalus non-embriogenik tidak berinti sel (Gambar 5.1c). Sedangkan kalus embriogenik mempunyai karakteristik friable atau kompak, nodular, dan berwarna
65
IS IS
a
GL GL
b c
d
e
E
g
f
i
h
VS VS MT MT
j
EG EG
k
l
Gambar 5.1 Berbagai struktur kalus dan embrio somatik kelapa kopyor. a. Kalus non-embriogenik yang tidak friable. b. Kalus embriogenik berbentuk nodular dan kompak. c. Irisan melintang kalus non-embriogenik. d. Irisan melintang kalus embriogenik. e. Irisan melintang struktur globular yang masih dalam kalus. f.Embrio somatik bentuk elongated globular. g.Embrio somatik bentuk globular. h. Bentuk embrio somatik fase globular, awal fase kotiledon dan akhir fase kotiledon. i. Embrio somatik berkecambah dengan keluar plumula j. Irisan melintang struktur elongated globular yang dapat dibedakan dari jaringan kalus sekitarnya. k. Irisan melintang embrio bagian haustorium dan akar yang mulai membentuk jaringan vaskular. l. Irisan melintang bagian tunas meristem dan koleoptil embrio somatik. IS:Inti Sel, GL:Globular, EG: Elongated Globular, VS:Vaskular, MT:Meristem Tunas.
putih kekuningan (Gambar 5.1b). Kalus embriogenik terdiri dari sel-sel yang berinti sel dan aktif membelah (Gambar 5.1d). Setelah lebih kurang 6-8 minggu massa kalus embriogenik mulai terdiferensiasi membentuk struktur seperti elongated
structure
dan
bentuk
nodular atau
dapat dibedakan secara jelas
bentuk
dengan jaringan
66
sekitarnya (Gambar 5.1e & j).
Struktur ini semakin terorganisir bentuknya
mengarah ke struktur globular atau elongated globular yang terpisah dengan jelas (Gambar 5.1f & g).
Pada media pematangan dan perkecambahan, struktur
globular atau elongated globular tersebut berkembang membentuk individuindividu embrio somatik yang terlepas antara satu dengan lainnya (Gambar 5.1h). Sekitar 10-12 minggu embrio somatik mulai keluar plumulanya (Gambar 5.1i). Irisan melintang pada jaringan embrio somatik menunjukkan adanya meristem tunas yang berkembang dengan baik (Gambar 5.1l).
Jaringan vascular pada
bagian akar juga mulai terbentuk pada fase setelah 12 minggu (Gambar 5.1k). Pengaruh Pembelahan Embrio Longitudinal dan Konsentrasi 2,4-D Kalus kelapa kopyor dapat diinduksi dari eksplan embrio yang dibelah secara longitudinal pada media Eeuwens dengan penambahan auksin 2,4-D. Meskipun demikian, tidak ada interaksi yang nyata antara model pembelahan dengan konsentrasi 2,4-D. Eksplan mulai terlihat membengkak sekitar 2-3 minggu setelah penanaman eksplan. Beberapa eksplan bahkan sudah membentuk kalus pada umur 4 minggu. Pembentukan kalus dipengaruhi oleh pembelahan eksplan. Embrio yang tidak dibelah tidak dapat membentuk kalus (Tabel 5.1). Embrio yang dibelah 2 nyata membentuk kalus 20% lebih tinggi daripada embrio yang dibelah 4 atau 8. Semakin banyak embrio dibelah,
persentase pembentukan kalus cenderung
semakin menurun. Namun demikian bila ditinjau dari produktifitas pembentukan kalus,
eksplan embrio yang dibelah 8 lebih tinggi daripada yang dibelah 2.
Contoh, per 100 embrio yang dikulturkan akan didapatkan 483 massa kalus untuk embrio yang dibelah 8, dibandingkan dengan embrio yang dibelah 2 yang hanya memperoleh 182 massa kalus (Gambar 5.2). Perkembangan kalus lebih lanjut tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya belahan embrio. Hal ini terlihat oleh berat segar kalus pada embrio yang dibelah 2 tidak jauh berbeda dengan embrio yang dibelah 8, bahkan embrio yang dibelah 4 nyata yang paling berat (Tabel 5.1). Pembentukan kalus kelapa kopyor tidak dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi 2,4-D. Konsentrasi 2,4-D lebih berpengaruh pada perkembangan kalus yaitu berat segar kalus. Pada 2,4-D 100 uM berat kalus nyata lebih tinggi dari
67
Tabel 5.1 Pengaruh model pembelahan longitudinal pada induksi dan pertumbuhan kalus kelapa kopyor di media Eeuwens dengan penambahan berbagai konsentrasi 2,4-D Perlakuan
% Kalus embriogenik yang terbentuk
Diameter kalus (cm)
Berat segar kalus (g)
Jumlah embrio** /inokulum
Model Pembelahan: Tanpa dibelah L-2 (Belah 2) L-4 (Belah 4) L-8 (Belah 8)
00.00 90.97a* 58.34b 60.43b
0.0000 1.1667 1.0583 0.9167
0.0000 0.4980b 0.7630a 0.4728b
00.0 17.0 16.3 11.0
Konsentrasi 2,4-D: 50 uM 75 uM 100 uM 125 uM
62.97 78.70 63.89 74.09
0.8333 1.1333 1.0222 1.2000
0.5155b 0.4243b 0.8303a 0.5415b
13.7 13.2 15.0 16.0
*Angka rata-rata dalam kolom yang sama pada perlakuan yang sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (DMRT) 5% **Embrio pada tahap awal globular
500
483
450
Produktivitas/100 embrio
400 350 300 233
250 200
182
150 100 50 0
Belah-2
Belah-4
Belah-8
Pembelahan Embrio Longitudinal
Gambar 5.2
Produktivitas per 100 embrio yang dibelah secara longitudinal menjadi 2, 4, dan 8 dalam pembentukan kalus embriogenik kelapa kopyor.
68
pada konsentrasi 2,4-D lainya (Tabel 5.1). Konsentrasi 2,4-D antara 50-125 uM dapat menginduksi kalus kelapa kopyor dan menghasilkan kalus yang tidak berbeda nyata. Rata-rata pembentukan kalus di atas 60% pada setiap level 2,4-D tersebut (Tabel 5.1). Proses pembentukan embrio somatik terlihat setelah kalus embriogenik berumur sekitar 2-3 bulan setelah penanaman eksplan. Rata-rata jumlah embrio somatik pada eksplan yang dibelah 2 tidak jauh berbeda dengan eksplan yang dibelah 4. Namun ada kecenderungan semakin banyak embrio dibelah jumlah embrio somatik yang dibentuk per eksplan semakin menurun. Hal ini terlihat pada pembelahan embrio menjadi 8 yang hanya menghasilkan embrio somatik rata-rata 11 embrio per eksplan. Sementara itu, rata-rata jumlah embrio somatik lebih banyak pada level konsentrasi 2,4-D tinggi (100-125 uM) dari pada konsentrasi rendah (50-75 uM) (Tabel 5.1). Pengaruh Pembelahan Eksplan Horizontal dan Konsentrasi 2,4-D Pembentukan kalus pada embrio yang dibelah secara horizontal tergolong rendah, rata-rata kurang dari 65% eksplan yang dapat membentuk kalus. Di samping itu ada beberapa konsentrasi 2,4-D yang tidak berhasil dalam menginduksi kalus pada berbagai potongan eksplan tersebut. Pada eksplan bagian atas (HA) konsentrasi 2,4-D 10 mg/l tidak berhasil membentuk kalus, sedangkan untuk eksplan bagian tengah (HT) konsentrasi 2,4-D 7.5 mg/l tidak menghasilkan kalus, sementara itu pada eksplan bagian bawah (HB) konsentrasi 2,4-D tinggi (10 dan 12.5 mg/l) yang tidak membentuk kalus (Tabel 5.2). Tidak semua kalus yang berasal dari eksplan bagian atas, tengah dan bawah dapat menghasilkan embrio somatik. Kalus dari embrio bagian atas dan bagian tengah dapat melanjutkan pertumbuhan sampai ke pembentukan embrio somatik (Tabel 5.2). Sebaliknya, kalus yang berasal dari eksplan embrio bagian bawah (haustorium) tidak mampu melanjutkan ke proses embriogenesis. Kalus berproliferasi secara terus menerus tanpa memperlihatkan perubahan ke struktur tertentu. Kalus yang berasal dari eksplan embrio bagian atas dapat membentuk embrio somatik pada semua level konsentrasi 2,4-D (5.0, 7.5, 10, dan 12.5 mg/l).
69
Tabel 5.2 Pengaruh model pembelahan embrio secara horizontal pada pembentukan kalus dan embrio somatik kelapa kopyor di media Eeuwens padat dengan berbagai konsentrasi 2,4-D Model Konsentrasi Pembelahan 2,4-D (mg/l)
% Eksplan yang berkalus
Diameter kalus (cm)
Berat segar kalus (g)
Jumlah embrio* / inokulum
HA (Bagian Atas)
5.0 7.5 10.0 12.5
66.7 40.0 0.0 50.0
1.8 1.4 0.0 2.0
0.944 0.460 0.000 1.366
35.0 7.0 0.0 51.0
HT (Bagian Tengah)
5.0 7.5 10.0 12.5
50.0 0.0 40.0 50.0
1.2 0.0 1.9 2.2
0.528 0.000 0.551 1.038
0.0 0.0 65 83
HB (Bagian Bawah)
5.0 7.5 10.0 12.5
36.4 60.0 0.0 0.0
1.6 1.6 0.0 0.0
0.671 0.762 0.000 0.000
0.0 0.0 0.0 0.0
*Embrio pada tahap awal globular
Kalus dari eksplan embrio bagian tengah dapat membentuk struktur embrio hanya pada konsentrasi 2,4-D tinggi (10 dan 12.5 mg/l). Embrio somatik yang dihasilkan dari kalus asal embrio bagian atas atau bagian tengah rata-rata dalam jumlah banyak (Tabel 5.2). Pada kalus asal embrio bagian atas, embrio somatik yang dihasilkan oleh konsentrasi 2,4-D 12.5 mg/l lebih banyak daripada konsentrasi 2,4-D 5.0 atau 7.5 mg/l. Demikian juga pada kalus asal embrio bagian tengah menghasilkan embrio somatik lebih banyak pada konsentrasi 2,4-D 12.5 mg/l.
Pengaruh Umur Eksplan dan Konsentrasi 2,4-D Pembentukan kalus ternyata juga dipengaruhi oleh macam eksplan, yaitu umur embrio selama masih dalam buah kelapa kopyor. Eksplan yang berasal dari embrio muda (umur 10 bulan saat dipanen) sangat mudah diinduksi kalusnya, sekitar 90% eksplan embrio muda dapat membentuk kalus (Tabel 5.3). Berbeda dengan eksplan embrio tua (umur 12 bulan) yang membentuk kalus hanya sebesar
70
Tabel 5.3 Persentase pembentukan kalus, diameter dan berat kalus kelapa kopyor pada eksplan embrio muda (10 bulan) dan tua (12 bulan) dengan penambahan berbagai konsentrasi 2,4-D Perlakuan
% Kalus embriogenik yang terbentuk
Diameter kalus (cm)
Berat segar kalus (g)
Jumlah embrio**/ inokulum
90.556a* 67.222b
1.3583 1.3000
0.4480 0.4743
7.91 10.08
66.67 91.11 71.67 86.11
1.1000c 1.4833ab 1.5500a 1.1833bc
0.2803b 0.3388ab 0.4808ab 0.7448a
4.74 10.03 11.62 8.80
Macam Eksplan: Embrio muda Embrio tua Konsentrasi 2,4-D: 50.0 uM 75.0 uM 100.0 uM 125.0 uM
*Angka rata-rata dalam kolom yang sama pada perlakuan yang sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (DMRT) 5% **Embrio pada tahap awal globular
67%. Umur eksplan embrio sangat menentukan pada saat pembentukan kalus namun tidak banyak pengaruhnya pada saat perkembangan kalus berikutnya. Diameter dan berat kalus antara kedua macam eksplan tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 5.3). Eksplan embrio muda kelapa kopyor memproduksi kalus lebih banyak, tetapi dalam pembentukan embrio somatik
kedua
macam
eksplan
tersebut tidak berbeda. Percobaan sebelumnya (model pembelahan longitudinal) menunjukkan bahwa induksi kalus pada kelapa kopyor membutuhkan 2,4-D dengan konsentrasi 50-125 uM. Dengan eksplan yang berasal dari embrio muda dan embrio tua terlihat bahwa konsentrasi antara 50.0-125 uM dapat menginduksi kalus rata-rata di atas 65% (Tabel 5.3). Sama seperti pada hasil percobaan model pembelahan longitudinal, ternyata konsentrasi 2,4-D tidak
menunjukkan pengaruh nyata
terhadap persentase pembentukan kalus. Konsentrasi 2,4-D baru berpengaruh pada pertumbuhan
kalus yang
ditunjukkan oleh besarnya diameter kalus dan berat kalus. Diameter kalus pada media dengan penambahan 2,4-D 100 uM nyata lebih besar daripada 2,4-D 125 uM atau 2,4-D 50 uM, namun tidak berbeda dengan diameter kalus pada media
71
2,4-D 75.0 uM. Berat kalus menunjukkan kenaikkan seiring dengan semakin tinggi level konsentrasi 2,4-D. Berat kalus pada media dengan konsentrasi 2,4-D 75.0 uM nyata berbeda dengan 2,4-D 50.0 uM. Meskipun berat kalus terlihat naik pada media dengan konsentrasi 2,4-D lebih besar daripada 75.0 uM tetapi secara statistik berat kalus antara konsentrasi 2,4-D 75.0, 100, dan 125 uM tidak berbeda nyata (Tabel 5.3). Dalam pembentukan embrio somatik, konsentrasi 2,4-D 75.0100 uM menghasilkan embrio lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi 2,4D di bawah atau di atas kisaran konsentrasi tersebut.
Pengaruh Berbagai Macam Bahan Aditif Macam bahan aditif seperti asam amino dan air kelapa nyata meningkatkan pembentukan kalus embriogenik, diameter, dan berat segar kalus kelapa kopyor. Sementara bahan aditif casein tidak mempunyai pengaruh apa-apa baik pada pembentukan kalus maupun pada pertumbuhan kalus (diameter dan berat kalus) (Tabel 5.4). Kecenderungan yang sama juga terjadi pada pembentukan embrio somatik, dimana jumlah embrio somatik dihasilkan oleh bahan aditif asam amino dan air kelapa lebih banyak daripada tanpa bahan aditif (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Pengaruh penambahan bahan aditif pada induksi dan pertumbuhan kalus kelapa kopyor di media Eeuwens padat Macam bahan aditif
% Kalus embriogenik
Diameter kalus (cm)
Berat segar kalus (g)
Jumlah embrio/ inokulum
Tanpa bahan aditif Asam amino** Casein 3 g/l Air Kelapa 200 ml/l
33.33b* 82.01a 33.80b 66.67ab
0.6333c 1.4233a 0.5567c 1.0667b
0.2433b 1.8483a 0.3077b 1.4947a
6.5 9.33 5.5 7.0
*Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan (DMRT) 5% **Berisi:glutamina 0.876 g/l, asam aspartat 0.266 g/l, arginina 0.174 g/l dan glisina 0.0075 g/l
Pengaruh 2,4-D dan BAP pada Perkembangan Embrio Somatik Setelah 2-3 minggu sejak biak dipindah ke media Eeuwens yang ditambah BAP 10 mg/l, BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l, dan BAP 10 mg/l+2,4-D 5 mg/l, biak
72
Tabel 5.5 Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media yang mengandung 2,4-D dan BAP Zat Pengatur Tumbuh
% Embrio yang berkembang
% Embrio menjadi planlet
% Embrio menjadi tunas
% Embrio menjadi akar
Jumlah embrio*/ inokulum
BAP 10 mg/l
70.14
11.11
18.75
40.27
11.11
BAP 10 mg/l +2,4-D 2.5 mg/l
85.71
25.38
14.28
49.97
25.38
BAP 10 mg/l + 2,4-D 5.0 mg/l
69.05
7.14
8.33
53.57
7.14
*Embrio pada fase matang
menjadi individu-individu embrio somatik yang matang. Individu embrio somatik selanjutnya berdiferensiasi yang mengarah pada proses perkecambahan atau tumbuh menjadi bentuk tertentu.
Jumlah embrio somatik pada media dengan
kombinasi BAP 10 mg/l+2,4-D 5 mg/l dua kali dari media yang BAP
10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l.
mengandung
Media yang mengandung BAP 10 mg/l
mempunyai jumlah embrio somatik lebih tinggi daripada media dengan BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l (Tabel 5.5). Pada media yang mengandung BAP 10 mg/l+2,4-D 5 mg/l, persentase planlet lengkap yang dihasilkan hanya mencapai 7%. Jika konsentrasi 2,4-D diturunkan sampai setengah yaitu pada media BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l, persentase planlet lengkap (tunas dan akar) meningkat sampai mencapai 25 %. Sementara jika 2,4-D ditiadakan atau hanya ditambahkan BAP 10 mg/l saja, maka persentase planlet yang diperoleh sebesar 11%. Persentase tunas tanpa akar lebih banyak terjadi pada media dengan BAP 10 mg/l daripada pada media BAP 10 mg/l yang ditambah dengan 2,4-D 2.5 mg/l atau 5.0 mg/l (Tabel 5.5). Tunas tanpa akar ini dapat diinduksi perakarannya sehingga menjadi planlet yang lengkap. Pada media yang mengandung 2,4-D 5 mg/l sekitar 50% embrio somatik tumbuh menjadi akar. Apabila konsentrasi 2,4-D diturunkan menjadi 2.5 mg/l, maka persentase embrio yang menjadi akar juga turun. Sementara media yang mengandung BAP tanpa 2,4-D persentase embrio somatik yang tumbuh menjadi
73
akar semakin rendah. Embrio somatik yang menjadi akar biasanya langsung dibuang karena tidak memungkinkan untuk menginduksi tunasnya.
Pengaruh Bahan Pemadat Media (Phytagel) pada Perkembangan Embrio Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang tumbuh menjadi tunas atau struktur lainnya banyak terjadi pada media dengan konsentrasi phytagel 1.5 g/l. Jika kepadatan media dinaikkan maka persentase ini semakin turun (Tabel 5.6). Rendahnya persentase embrio yang tumbuh menjadi tunas atau struktur lainnya pada media phytagel 2.5 g/l karena embrio banyak yang tidak memberikan respon. Kumpulan embrio tetap segar namun tidak ada perkembangan, dan dalam rentang waktu tertentu berubah menjadi browning. Meskipun persentase embrio yang tumbuh menjadi tunas atau struktur lainnya pada media phytagel 1.5 g/l cukup tinggi tetapi sebagian besar embrio berubah menjadi akar (Tabel 5.6), yang sulit menjadi planlet lengkap. Sebagian kecil embrio tumbuh menjadi tunas. Tunas tanpa akar ini masih bisa diinduksi perakarannya menjadi planlet lengkap. Sementara itu pada media phytagel 2.0 g/l separuh dari embrio berubah menjadi tunas, sisanya menjadi akar.
Pada media
phytagel 2.5 g/l semua embrio menjadi akar (Tabel 5.6). Tidak ada satupun dari ketiga media phytagel yang menghasilkan planlet lengkap.
Tabel 5.6 Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media dengan berbagai konsentrasi phytagel Konsentrasi phytagel (g/l) 1.5 2.0 2.5
% Embrio yang berkembang
% Embrio menjadi planlet
% Embrio menjadi tunas
% Embrio menjadi akar
% Embrio yang browning
80.0 66.7 26.5
0.00 0.00 0.00
20.00 33.33 00.00
60.00 33.33 26.50
20.00 33.33 73.50
74
Pengaruh ABA pada Perkembangan Embrio Somatik
Tabel 5.7 Persentase embrio somatik kelapa kopyor yang berkembang menjadi planlet, tunas, atau akar pada media dengan berbagai konsentrasi ABA Konsentrasi ABA Tanpa ABA 25 uM 50 uM
% Embrio yang berkembang
% Embrio menjadi planlet
62.49 66.65 72.30
2.00ab* 2.50a 1.00b
% Embrio menjadi tunas
% Embrio menjadi akar
10.49a 5.81b 1.30b
50.00 58.34 70.00
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%
Zat pengatur tumbuh ABA tidak berpengaruh pada proses perkembangan embrio somatik kelapa kopyor.
Tanpa penambahan ABA persentase embrio
somatik yang tumbuh menjadi planlet tidak berbeda nyata dengan ABA (Tabel 5.7). Penambahan ABA justru memacu pertumbuhan embrio menjadi akar, bahkan persentase embrio yang menjadi tunas nyata lebih banyak pada media tanpa ABA. Analisis Morfologi Perkembangan Embrio Somatik Menjadi Planlet Proses perkecambahan embrio somatik kelapa kopyor tidak sesederhana seperti embrio sigotik. Embrio somatik tidak dapat dikecambahkan per individu embrio, meskipun antara embrio satu dengan lainya bisa dipisahkan dengan mudah. Pada media perkecambahan, individu embrio somatik yang ditanam tidak menunjukkan respon apapun dan setelah itu browning yang berakibat kematian pada embrio. Perkecambahan hanya terjadi jika embrio somatik masih dalam massa kalus atau masih berupa kumpulan embrio (Gambar 5.3c & d). Tidak semua embrio dalam massa kalus atau kumpulan embrio tersebut bisa berkecambah membentuk planlet sempurna, yaitu planlet dengan pertumbuhan tunas dan akar yang proporsional (Gambar 5.3e). Dalam satu massa kalus ratarata didapatkan hanya satu kecambah normal, atau bahkan tidak ada kecambah normal sama sekali. Sebagian besar embrio somatik berubah menjadi struktur abnormal. Ada berbagai macam bentuk embrio yang berkembang menjadi struktur abnormal. Pertama adalah embrio yang tidak dilengkapi dengan meristem akar
75
b
a
d
c
e
f
Gambar 5.3 Morfologi eksplan embrio sigotik yang diiduksi menjadi kalus dan planlet kelapa kopyor pada setiap tahap embriogenesis somatik. a. Belahan eksplan embrio sigotik, b. Kalus embriogenik, c. Embrio somatik di dalam massa kalus berkecambah membentuk tunas, d. Salah satu embrio dalam kumpulan embrio somatik berkecambah, e. Planlet dari kecambah normal embrio somatik, f. Planlet dari embrio somatik yang telah membentuk daun sempurna.
a
b
c
e
f
tunas
d
Gambar 5.4 Morfologi kalus non-embriogenik (a) dan bentuk abnormalitas kecambah kelapa kopyor (b-f). a. Kalus non-embriogenik, b. Tunas tanpa akar, c. Tunas dan akar tumbuh dari embrio yang berbeda, d. Kecambah dengan tunas lebih dari satu, e. Kecambah dengan pertumbuhan akar berlebih, f. Akar tanpa tunas.
76
apikal.
Embrio ini berkembang menjadi tunas tanpa akar (Gambar 5.4b).
Meskipun demikian embrio ini masih bisa diinduksi akarnya secara adventif dengan perlakuan zat pengatur tumbuh dari golongan auksin. Ke dua, adalah embrio dimana bagian tunas dan akar berasal dari embrio yang berbeda, bagian tunas dan akar terhubung oleh suatu jaringan (Gambar 5.4c). Tampaknya jaringan kotiledon atau haustorium tidak berkembang dengan sempurna.
Bentuk
abnormalitas lainya adalah embrio yang berkembang membentuk banyak tunas apikal, sehingga menghasilkan bentuk seperti kecambah dengan lebih dari satu tunas daun (Gambar 5.4d). Sebaliknya ada embrio yang berkembang dengan akar berlebihan sehingga perkembangan tunas menjadi terhambat atau bagian tunas dan akar tidak proporsional (Gambar 5.4e). Terakhir adalah embrio yang hanya mengandung akar apikal dan haustorium, sehingga menghasilkan bentuk akar tanpa ada tunas yang muncul (Gambar 5.4f). Salah satu problem utama dalam proses embriogenesis somatik kelapa kopyor ini adalah rendahnya frekuensi pembentukan kecambah/planlet normal karena terjadinya proses embriogenesis yang tidak lengkap, yang ditandai dengan banyaknya pembentukan struktur abnormal. Hampir 50% embrio berkembang menjadi bentuk abnormal, bahkan pada media dengan ABA 50 uM embrio yang berkembang menjadi bentuk abnormal mencapai 70% (Tabel 5.5). Sebagian besar adalah embrio yang berkembang menjadi bentuk akar tanpa tunas (Gambar 5.4f). Buffard-Morel et al. (1995) berpendapat terjadinya penyimpangan morphogenesis embrio somatik kelapa bisa disebabkan oleh hormon yang tidak seimbang.
Analisis Morfologi Kecambah Embrio Somatik dan Embrio Sigotik Morfologi kecambah embrio somatik kelapa kopyor dan planlet asal embrio somatik menunjukkan kemiripan dengan morfologi kecambah dan planlet asal embrio sigotik (Gambar 5.5). Embrio sigotik terdiri dari 3 bagian penting yaitu bagian tunas apikal, bagian akar apikal dan bagian haustorium (Branton & Blake 1983). Embrio yang normal memiliki ketiga organ tersebut. Bagian tunas apikal akan berkembang menjadi tunas dan bagian akar apikal akan berkembang menjadi akar primer. Bagian haustorium pada embrio sigotik berfungsi sebagai organ penyimpan makanan yang diambil dari endosperma untuk proses
77
perkecambahan. Perkecambahan embrio sigotik ditandai dengan munculnya tunas dan akar dari daerah apikal meristem embrio (Gambar 5.5a). Pada kecambah embrio somatik yang normal, mengandung ketiga organ penting tersebut (tunas dan akar apikal, haustorium) seperti yang dimiliki oleh embrio sigotik. Perkecambahan dicirikan dengan munculnya tunas dari daerah apikal, namun untuk akar ada yang muncul dari daerah apikal dan ada yang muncul seolah-olah dari bagian haustorium dengan jumlah lebih dari satu (Gambar 5.5b).
Kemungkinan akar primer dan akar lateral berasal dari
perkembangan sel yang berbeda.
tunas
tunas
haustorium
calon akar
a
c
haustorium
b
akar
d
Gambar 5.5 Struktur kecambah embrio sigotik dan somatik kelapa kopyor. a.Kecambah dari embrio sigotik kelapa kopyor dengan bagian tunas, calon akar primer dan haustorium, b.Kecambah dari embrio somatik dengan bagian tunas, haustorium dan akar, c. Planlet dari embrio sigotik, d. Planlet dari embrio somatik.
78
Morfologi planlet asal embrio sigotik tampak ramping, kokoh dengan daun yang tegak dan lurus (Gambar 5.5c). Planlet asal embrio sigotik mempunyai akar primer dan dari akar primer tersebut akan keluar akar-akar lateral. Sementara itu, planlet yang berasal dari embrio somatik mempunyai daun sedikit tidak beraturan dan akar primer lebih dari satu atau tidak bisa dibedakan antara akar primer dan akar lateral (Gambar 5.5d).
Pembahasan
Pembiakan klonal kelapa kopyor melalui proses embriogenesis somatik telah berhasil dibangun, yang dimulai dengan induksi kalus, proliferasi kalus, pembentukan dan pematangan embrio somatik, dan perkembangan embrio menjadi planlet. seperti 2,4-D.
Pembentukan kalus kelapa kopyor memerlukan auksin sintetik Terbukti pada eksplan yang tidak diberi 2,4-D tidak bisa
membentuk kalus baik pada embrio utuh maupun embrio yang dibelah. Auksin jenis 2,4-D sering dipakai untuk menginduksi sel embriogenik (Gray 1996). ZPT 2,4-D dapat menginisiasi aktivasi gen untuk diferensiasi dan meningkatkan sel embriogenik melalui pembelahan sel yang berulang-ulang (Litz & Gray 1992). Pembentukan kalus kelapa kopyor, di samping membutuhkan 2,4-D, eksplan embrio juga harus dibelah.
Embrio utuh tidak dapat membentuk kalus pada
semua media yang mengandung 2,4-D (Tabel 5.1). Embrio membengkak dan tampak akan membentuk kalus tetapi seiring dengan berjalannya waktu embrio kemudian tumbuh. Pembelahan menyebabkan sel-sel meristematik eksplan dapat mengadakan
kontak langsung dengan media yang mengandung auksin atau
sitokinin, sehingga pengaruh zat pengatur tumbuh lebih efektif.
Tanpa
pembelahan jaringan meristematik eksplan embrio tidak terekspose oleh ZPT. Walaupun demikian, pembelahan secara logitudinal lebih efektif daripada horizontal. Pada pembelahan horizontal, ada bagian potongan embrio yang tidak dapat membentuk kalus, terutama bagian potongan embrio yang posisinya ke arah haustorium (bagian bawah:HB; Tabel 5.2). Pada eksplan yang dibelah secara longitudinal, setiap potongan masih mengandung sel-sel meristematik. Sementara
79
itu, embrio yang dibelah horizontal semakin ke arah haustorium banyaknya selsel meristematik semakin berkurang. Konsentrasi 2,4-D untuk menginduksi kalus kelapa kopyor berkisar dari 50-125 uM. Di atas 125 uM, eksplan akan browning dan di bawah 50 uM eksplan hanya membengkak tetapi tidak mampu membentuk kalus, bahkan ada beberapa eksplan embrio yang tumbuh tunas. Pada tanaman kelapa normal, konsentrasi optimum 2,4-D untuk induksi kalus adalah 100 uM (Chan et al. 1998) dan 125 uM (Samosir et al. 1998). Pembentukan kalus kelapa kopyor lebih mudah diinduksi dari embrio muda daripada embrio tua. Beberapa
peneliti kelapa normal menggunakan
jaringan muda untuk menginduksi kalus embriogenik.
Cueto et al. (1997)
menggunakan infloresens dan embrio muda sebagai eksplan, sedangkan Samosir et al. (1998) memakai embrio muda yang dibelah.
Alasan yang mendasari
pemakaian eksplan muda adalah jaringan ini mengandung sel-sel meristematik yang sangat dibutuhkan dalam induksi kalus. Massa kalus embriogenik kelapa kopyor berkembang menjadi individu proembrio yang sebagian besar berbentuk bulat lonjong (elongated globular) setelah dipindah ke media dengan kandungan 2,4-D lebih rendah dan BAP. Dussert et al. (1995) mengamati bahwa sel embriogenik menjadi terpisah dari daerah meristematik dan berkembang menjadi proembrio jika kalus dipindah ke media dengan konsentrasi 2,4-D sangat rendah. Begitu juga dengan Chan et al. (1998) yang memperoleh embrio kelapa melalui pengurangan konsentrasi 2,4-D dan penambahan BAP 50 uM.
BAP telah banyak digunakan pada proses
perkembangan dan pematangan embrio somatik pada berbagai tanaman palempaleman. Pada kelapa sawit, BAP 5 dan 10 uM merupakan konsentrasi terbaik untuk pematangan embrio dan merangsang perkembangan tunas embrio (Duval et al.
1993).
Pada tanaman kurma, perkembangan embrio dirangsang oleh
kombinasi antara auksin 2,4-D dengan BAP (Eshraghi et al. 2005). Di antara bahan aditif yang ditambahkan ke media induksi kalus, asam amino yang paling baik dalam meningkatkan pembentukan kalus dan embrio somatik kelapa kopyor. Pada beberapa tanaman monokotil asam amino biasa dipakai untuk meningkatkan induksi embriogenesis somatik. Desai et al. (2004)
80
menggunakan L-glutamina untuk memperoleh respon embriogenesis somatik yang maksimum pada tanaman tebu. Zouine & El Hadrami (2007) memakai glutamina untuk meningkatkan proliferasi embrio somatik kurma. ABA tidak dibutuhkan pada proses perkembangan embrio somatik kelapa kopyor. Bahkan penggunaan ABA dengan konsentrasi tinggi (50 uM) cenderung meningkatkan persentase embrio menjadi akar.
Hal ini bertentangan dengan
hasil yang diperoleh oleh Samosir et al. (1998) dan Fernando and Gamage (2000) yang meningkatkan pembentukan dan perkecambahan embrio somatik kelapa dengan perlakuan ABA. dengan respon
Respon kelapa kopyor terhadap ABA hampir sama
yang diperlihatkan oleh embrio apukat.
Adanya ABA tidak
berpengaruh secara nyata pada produksi embrio somatik apukat, bahkan ABA meningkatkan pembentukan embrio somatik globular yang hyperhydric (PeranQuesada et al. 2004).
Kesimpulan
Pembentukan kalus kelapa kopyor dari eksplan yang dibelah menjadi 2, 4, dan 8 membutuhkan 2,4-D antara 50-125 uM. Eksplan embrio yang dibelah 8 meskipun mempunyai persentase pembentukan kalus lebih rendah daripada belah 2 dan 4, tetapi nilai produktifitas kalus lebih tinggi daripada embrio yang dibelah 2 atau 4. Penambahan bahan aditif berpengaruh tidak hanya pada pembentukan kalus tetapi juga pada perkembangan kalus kelapa kopyor. Bahan aditif asam amino nyata meningkatkan persentase eksplan yang membentuk kalus, diameter dan berat kalus. Sementara casein hydrolisate tidak memberikan perbedaan yang nyata dalam pembentukan kalus kelapa kopyor. Media yang mengandung BAP 10 mg/l+2,4-D 2.5 mg/l meningkatkan perkecambahan embrio somatik kelapa kopyor lebih baik daripada media dengan BAP 10 mg/l+2,4-D 5.0 mg/l atau hanya BAP 10 mg/l. ABA tidak dibutuhkan dalam perkecambahan kelapa kopyor. Tanpa ABA embrio somatik kelapa kopyor dapat berkecambah yang tidak berbeda dengan media dengan ABA. Morfologi kecambah embrio somatik mirip dengan kecambah embrio sigotik. Pada proses embriogenesis somatik kelapa kopyor ditemukan berbagai bentuk abnormalitas.
BAB VI PENGEMBANGAN PENANDA MOLEKULER SPESIFIK UNTUK GEN α-D GALAKTOSIDASE KELAPA KOPYOR1 Abstrak Fenomena kopyor pada tanaman kelapa diduga karena adanya defisiensi enzim α-D Galaktosidase. Aktivitas enzim α-D Galaktosidase tidak terdeteksi pada endosperma kelapa kopyor. Isolasi dan investigasi gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor dilakukan untuk pertama kalinya guna mengetahui karakteristik gen tersebut. Ada enam pasang primer degenerate α-D Galaktosidase yang berhasil dirancang menggunakan berbagai runutan DNA yang tersedia di data base, dan empat pasang di antaranya (GAL22, GAL33, GAL13, dan GAL23) dapat mengamplifikasi potongan α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor. Hasil analisis runutan nukelotida menunjukkan bahwa DNA α-D Galaktosidase mempunyai runutan nukleotida yang unik dan diduga kuat telah mengalami mutasi. Runutan nukleotida CnGal2, CnGal13-12G, CnGal23-11A, CnGal23-11B, dan CnGal23-11G mempunyai panjang potongan secara berurutan adalah 181, 616, 443, 448, 452 bp. Berdasarkan runutan nukleotida α-D Galaktosidase mutan telah dirancang 4 pasangan primer spesifik, yaitu CnGAL22, CnGAL23, CnGAL33, dan CnGAL13. Pasangan primer tersebut dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk mendeteksi gen α-D Galaktosidase mutan pada kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kopyor dan membedakannya dari kelapa yang menghasilkan buah normal.
Kata kunci: galaktomanan, endosperma kelapa, enzim degradasi, primer degenerate 1
Bagian bab ini telah didaftarkan untuk memperoleh hak paten pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R. I. dengan judul invensi: Deteksi Dini Kelapa Kopyor Menggunakan Penanda Molekuler Spesifik Gen α-D Galaktosidase dan No. Registrasi: P00200900431(12 Agustus 2009)
82
DEVELOPMENT OF GENE SPECIFIC MOLECULAR MARKER FOR α-D GALACTOSIDASE GENE OF KOPYOR COCONUT1 Abstract Kopyor phenomenon in the coconut plant is hypothesized to be due to the deficiency of α-D Galactosidase enzyme. Activity of α-D Galactosidase was not detected in endosperm of kopyor coconut. Isolation and investigation of α-D Galactosidase gene was carried out for the first time in kopyor coconut, in order to understand the feature of that gene. Six (6) degenerate primer sets of α-D Galactosidase gene were designed using several sequences available in data base, and four of which (GAL22, GAL33, GAL13, and GAL23) amplified α-D Galactosidase of kopyor fruited coconut plants. The results of sequencing analysis showed that sequences of kopyor fruited coconut α-D Galactosidase had a unique sequence, and strongly respected that this gene had mutated. The length of sequences, i.e. CnGal2, CnGal13-12G, CnGal23-11A, CnGal23-11B, and CnGal23-11G are 181, 616, 443, 448, 452 bp, respectively. Based on the sequences of mutated α-D Galactosidase, were designed 4 primer sets, i.e. CnGAL22, CnGAL23, CnGAL33, and CnGAL13. These primer sets can be used as molecular marker to detect the mutated α-D Galactosidase gene in kopyor coconut plant and to differentiate from normal one.
Key words: galactomannan, coconut endosperm, degradation enzyme, degenerate primer 1
Part of this chapter has been registered for patent right in the Directorate General of Intellectual Property, Ministry of Law and Human Rights Republic of Indonesia, with tittle of invention: Early Detection of Kopyor Coconut Using Specific Molecular Marker α-D Galactosidase Gene and Registered Number: P00200900431 (August 12, 2009)
83
Pendahuluan
Kelapa kopyor mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai komoditas spesifik daerah karena buah kopyor mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan buah kelapa normal. Selain itu, buah kelapa kopyor juga berpotensi sebagai komoditas ekspor. Permintaan konsumen terhadap buah kopyor selalu tidak dapat terpenuhi karena terbatasnya produksi buah kelapa jenis ini. Berdasarkan hal tersebut, agribisnis buah kelapa kopyor saat ini sangat menjanjikan bagi petani. Di sisi lain, pengembangan agribisnis buah kelapa kopyor masih menghadapi berbagai kendala terutama dari sisi sulitnya melakukan peningkatan produksi buah kelapa kopyor. Salah satu penyebabnya adalah kendala dalam penyiapan bibit kelapa yang mampu menghasilkan buah kopyor. Buah kelapa kopyor tidak bisa dijadikan bibit. Abnormalitas pada endoperma buah kopyor menyebabkan embrio tidak dapat tumbuh. Embrio tidak bisa memanfaatkan endosperma sebagai sumber makanan untuk proses perkecambahan. Sampai saat ini, untuk memperoleh buah kelapa kopyor, petani menanam bibit kelapa yang ditumbuhkan dari buah kelapa dengan endosperma normal tetapi embrionya membawa sifat kopyor pada salah satu alelnya. Bibit tersebut jika berproduksi menghasilkan buah kopyor dengan persentase 1-2% dari total buah yang dihasilkan per tandan. Lainnya merupakan buah kelapa normal. Peningkatan persentase buah kelapa kopyor per tandan per pohon dapat dilakukan dengan teknologi penyelamatan embrio (embryo rescue), yaitu menanam embrio dari buah kopyor di media agar secara in vitro (teknik ini telah dikemukan pada Bab III). Bibit yang dikembangkan dari kultur embrio ini menghasilkan buah kelapa 100% kopyor. Meskipun teknologi untuk memperbanyak bibit kelapa kopyor telah tersedia dan penyediaan bibit kelapa berbuah kopyor telah rutin dilakukan petani, tetapi masih ada permasalahan tentang bagaimana memastikan bahwa bibit yang dijual tersebut membawa sifat kopyor bukan bibit kelapa normal. Hasil observasi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan morfologi antara pohon kelapa kopyor, pohon kelapa berbuah kopyor, dan pohon kelapa berbuah normal (Maskromo
84
2005). Oleh sebab itu tidak ada penanda morfologi yang dapat digunakan untuk membedakan ketiga jenis kelapa tersebut. Satu-satunya cara adalah dengan mengembangkan penanda molekuler yang terkait dengan sifat kopyor dan dapat dijadikan sebagai penanda (marker) untuk membedakan kelapa yang menghasilkan buah kopyor dari kelapa yang hanya menghasilkan buah normal. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Mujer et al. (1984) telah diketahui bahwa abnormalitas endosperma buah kelapa kopyor ada hubungannya dengan tidak aktifnya enzim α-D Galaktosidase. Penulis menduga ketidakaktifan enzim α-D Galaktosidase tersebut terjadi akibat mutasi pada gen penyandi enzim α-D Galaktosidase. Atas dasar pemikiran ini, penulis menduga bahwa ada perbedaan antara runutan nukleotida DNA dari gen penyandi α-D Galaktosidase normal pada kelapa berbuah normal dengan runutan nukleotida DNA mutan pada kelapa berbuah kopyor. Deteksi dini perbedaan runutan nukleotida DNA tersebut dapat digunakan untuk pembeda antara bibit dan pohon kelapa yang hanya berbuah normal dengan bibit dan pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa kopyor. Deteksi dini tersebut dapat dilakukan berdasarkan pada perbedaan ukuran potongan DNA hasil amplifikasi PCR dengan primer spesifik gen penyandi α-D Galaktosidase mutan dari kelapa berbuah kopyor. Untuk itu perlu diidentifikasi primer spesifik yang dapat digunakan untuk deteksi dini tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bertujuan mengembangkan penanda molekuler gen α-D Galaktosidase yang dapat digunakan untuk mendeteksi bibit kelapa yang menghasilkan buah kopyor dari kelapa yang berbuah normal, dengan cara (1) merancang primer degenerate untuk gen α-D Galaktosidase berdasarkan informasi yang ada di DNA data base, (2) mengamplifikasi potongan dari gen Galaktosidase
α-D
menggunakan primer degenerate dan DNA genomik kelapa
berbuah kopyor sebagai cetakan, (3) menentukan runutan potongan DNA gen α-D Galaktosidase hasil amplifikasi PCR dan menganalisis keragaman runutan
85
potongan DNA gen α-D Galaktosidase untuk merancang pananda molekuler spesifik gen D Galaktosidase.
Metode Penelitian
Bahan Tanam dan Ekstraksi DNA Kelapa Berbuah Kopyor Sampel daun diambil dari sentra kebun kelapa berbuah kopyor di Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada bulan September 2008. Daun kelapa yang digunakan sebagai sumber DNA berasal dari pohon kelapa berbuah kopyor dalam, kopyor genjah, dan kopyor hibrida. Sampel daun diambil dari bagian pucuk tunas yaitu pelepah daun kelapa yang baru muncul dan masih menggulung (janur muda). Masing-masing jenis kelapa berbuah kopyor diambil 10 pohon sebagai sampel DNA. Sebanyak 50 mg daun segar masing-masing jenis kelapa berbuah kopyor dipotong kecil-kecil. Potongan daun dimasukkan dalam tabung eppendoft dan dihancurkan dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit dengan frekuensi 300 hertz. Proses ekstraksi DNA daun yang terdiri dari lysis, DNA binding, washing, dan elution dilakukan menurut protokol Plant Genomic DNA Mini Kit (Geneaid, Geneaid Biotech Ltd. http://www.geneaid.com). Kuantitas dan kualitas DNA dievaluasi dengan elektroforesis pada gel agarose 1%, 300 Am, dan 200 Volt selama 20 menit.
Merancang Primer Degenerate Gen α -D Galaktosidase Primer degenerate untuk amplifikasi gen α-D Galaktosidase pada tanaman kelapa berbuah kopyor dirancang berdasarkan gen α-D Galaktosidase dari spesies tanaman monokotil dan dikotil, yang runutan DNAnya tersedia di DNA data base (GenBank). Runutan DNA gen α-D Galaktosidase dari tanaman Arabidopsis thaliana (no. aksesi AY114020) digunakan untuk menemukan gen α-D Galaktosidase
lainnya
yang
tersedia
di
berbagai
data
base
DNA
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/;http://www.comphio.dfci.harvard.edu/tgi/;(http://w ww.ebi.ac.uk/embl) dengan metode BLAST (Basic Local Alignment Search Tool, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/BLAST).
Hasil
Blast
dipilih
aksesi
yang
86
mempunyai persentase kemiripan di atas 70% dengan panjang runutan DNA antara 1000-2000 bp dan dari fragmen cds atau mRNA.
Setelah didapatkan
sejumlah aksesi α-D Galaktosidase yang homolog, maka runutan DNA cds atau mRNA
disejajarkan
(http://www.ebi.ac.uk/embl).
dengan Hasil
menggunakan pensejajaran
program
runutan
ClustalW
nukleotida
α-D
Galaktosidase pada program ClustalW diekspor ke program GeneDoc versi 2.6.002 (http://www.psc.edu/biomed/genedoc) untuk dilakukan analisis secara manual guna merancang primer degenerate. Primer degenerate dirancang pada daerah-daerah ekson yang paling tinggi kesamaan urutan basanya, setelah ditentukan batas-batas intronnya. Panjang primer degenerate (forward atau reverse) antara 20-26 nukleotida dan mengandung 1-2 intron di antara primer forward dan reverse.
Amplifikasi PCR dan Kloning Potongan Gen α-D Galaktosidase Amplifikasi PCR gen α-D Galaktosidase pada 3 genom kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) dilakukan dengan primer degenerate yang telah dirancang sebelumnya.
Proses amplifikasi PCR dilakukan dengan
menggunakan mesin PCR - 100 (MJ Research) atau mesin PCR T1 Thermocycler (Biometra). Untuk setiap reaksi amplifikasi PCR, komposisi reagensia yang digunakan (total volume 15 ul) terdiri atas: cetakan (templat) DNA genom kelapa berbuah kopyor - 1 ul, sepasang primer – masing-masing - 0.75 ul, dNTPmix - 2.7 ul, buffer 10x - 1.5 ul, MgCl2 (Fermentas) - 0.15 ul, dan Taq DNA polimerase (Fermentas) - 0.075 ul. Amplifikasi PCR dilakukan dengan pengaturan suhu sebagai berikut: satu siklus pre-denaturasi dengan suhu 94°C selama 4.0 menit, diikuti dengan 40 siklus dengan setiap siklusya terdiri atas suhu denaturasi 94°C selama 45 detik, suhu penempelan primer (primer annealing) 50-55°C selama 45 detik, dan suhu pemanjangan primer (primer extension) 72°C selama 1.30-2.0 menit. Pada tahap akhir proses PCR dilakukan pemanjangan primer akhir (final primer extension) pada suhu 72°C selama 5 menit dan diikuti suhu pendinginan 16°C selama 10 menit. Keberhasilan untuk mendapatkan produk amplifikasi PCR dikonfirmasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 1% selama 20 menit, pada mesin elektroforesis yang diatur dengan arus 300 mA dan 200 V.
87
Selanjutnya produk PCR dari ketiga genom kelapa berbuah kopyor yang mempunyai ukuran hampir sama dicampur menjadi satu dan dimurnikan dengan menggunakan protokol PCR Clean Up Kit dari produk Gel/PCR DNA Extraction Kit (Geneaid). Potongan DNA hasil amplifikasi
PCR yang murni sebanyak 1.5 ul
disambungkan (diligasikan) ke vektor p GEMP-T (Promega) 0.5 ul menggunakan enzim T4 DNA ligase 0.5 ul dan buffer 2.5 ul pada suhu 4-5°C selama semalam, sehingga dihasilkan plasmid rekombinan (mengandung potongan DNA α-D Galaktosidase). DNA plasmid rekombinan 2.5 ul ditransformasi ke sel kompeten bakteri inang Eschericia coli strain DH 10B (40 ul) dengan sistem kejut listrik. Selanjutnya ke dalam larutan E. coli ditambahkan 800 ul media LB cair. Bakteri E. coli digoyang di atas shaker dengan kecepatan 220 rpm dan suhu 37°C selama lebih kurang dua jam. Sel E. coli 80 ul kemudian disebar di media LB padat yang mengandung ampisilin, IPTG dan X-gal dan diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37°C selama semalam.
Seleksi E. coli didasarkan pada warna biru-putih. Sel E. coli
transforman yang mengandung DNA sisipan (potongan DNA α-D Galaktosidase) akan membentuk koloni putih, sebaliknya E. coli yang tidak mengandung DNA sisipan akan berwarna biru. Koloni bakteri yang berwarna putih dikultur dalam media LB. Konfirmasi ada tidaknya DNA sisipan didalam plasmid dilakukan dengan PCR-primer α-D Galaktosidase.
Produk PCR koloni selanjutnya
dielektroforesis di agarose 1.0% untuk memastikan adanya DNA sisipan dan untuk menentukan ukuran DNA sisipan.
Penentuan dan Analisis Runutan Nukleotida α-D Galaktosidase Koloni bakteri rekombinan (mengandung DNA sisipan) diambil sebanyak 5 ul dan dikultur dimedia LB cair 5 ml. Bakteri rekombinan digoyang di atas shaker dengan kecepatan sekitar 220 rpm selama 16 jam. Plasmid rekombinan diekstraksi dari bakteri E. coli menurut protokol High-Speed Plasmid Mini Kit (Geneaid). DNA plasmid diukur konsentrasinya dengan metode elektroforesis dalam agarose gel 1.0 % dengan marker kuantitas. Selanjutnya DNA plasmid dikirim ke manufaktur untuk ditentukan runutan nukleotidanya.
88
Data hasil runutan nukleotida masing-masing plasmid rekombinan dibuka dan dibersihkan dari kontaminasi DNA plasmid dengan menggunakan program Chromas nukleotida
Lite
version
2.01
(http://www.technelysium.com.au).
Runutan
yang bersih dari DNA plasmid diekspor ke program GeneDoc
(http://www.psc.edu/biomed/genedoc) untuk dianalisis guna mengetahui posisi primer, intron dan ekson. Analisis pensejajaran antara runutan nukleotida α-D Galaktosidase menggunakan program ClustalW yang tersedia di situs Genebee (http://www.genebee.msu.su/clustal/advanced.html) yang selanjutnya diekspor ke program GeneDoc untuk merancang primer spesifik.
Hasil Penelitian
Primer Degenerate untuk Gen α-D Galaktosidase Berdasarkan runutan nukleotida gen α-D Galaktosidase normal yang tersedia di data base berhasil dirancang enam (6) pasang primer degenerate yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi potongan DNA gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor menggunakan teknik PCR. Dalam penelitian yang dilakukan, enam (6) pasangan primer degenerate yang dirancang adalah sebagai berikut: (1) pasangan primer GAL11 (primer GAL11-F1 dan GAL11-R1), (2) pasangan primer GAL22 (primer GAL22-F2 dan GAL22-R2),
(3) pasangan
primer GAL33 (primer GAL33-F3 dan GAL33-R3), (4) Pasangan primer kombinasi antara GAL11-F1 dan GAL22-R2, (5) pasangan primer kombinasi antara GAL22-F2 dan GAL33-R3, serta (6) pasangan primer kombinasi antara GAL11-F1 dan GAL33-R3 (Tabel 6.1). Pasangan primer degenerate gen α-D Galaktosidase dirancang pada daerah ekson 5, 7, 10, 11, dan 12 (Gambar 6.1). Pasangan primer degenerate GAL11-F1 dan GAL11-R1 dirancang untuk mengamplifikasi potongan DNA mulai dari ekson 5 sampai ekson 7. Berdasarkan struktur parsial gen α-D Galaktosidase Vitis vinifera, maka perkiraan panjang produk PCR yang dihasilkan oleh pasangan primer degenerate GAL11-F1 dan GAL11-R1 adalah 673 bp (Tabel 6.1). Primer forwad GAL11 dirancang pada posisi basa 526-545 (21 bp) dan mengandung 3 basa degenerate yaitu 2N (A/G/C/T) dan Y (C/T). Primer reverse GAL11
89
Tabel 6.1 Hasil rancangan pasangan primer degenerate yang dikembangkan berdasarkan runutan DNA gen α-D Galaktosidase normal yang ada di DNA data base No.
Kode pasangan primer degenerate
Runutan nukleotida pasangan primer degenerate
Tm
% GC
Perkiraan ukuran produk PCR (bp)
1.
GAL11-F1 GAL11-R1
5’-GGAATTTACTCNGAYGCNGGGT-3’ 5’-CAGTTATCATACTTCARRTARTC-3'
61.2 54.4
52.3 32.6
121+2intron (Vitis sp.) = 673
2.
GAL22-F2 GAL22-R2
5’-TATGCTGGACCTGGTGGNTGGAAYGG-3’ 5’-TTTCCAACTTCAAACATRTCNGGRTC-3’
68.0 60.9
57.7 40.4
50+1 intron (Vitis sp.) = 142
3.
GAL33-F3 GAL33-R3
5’-GAAGTTGGAAATGGNGGNATG-3’ 5’-ACCTTGGTTAACAGCAATNACYTC-3’
57.9 59.3
47.6 41.7
176+1 intron (Vitis sp.) = 553
4.
GAL11-F1 GAL22-R2
5’-GGAATTTACTCNGAYGCNGGGT-3’ 5’-TTTCCAACTTCAAACATRTCNGGRTC-3’
61.2 60.9
52.3 40.4
392 + 6 intron (Vitis sp.) = 1919
5.
GAL22-F2 GAL33-R3
5’-GGAATTTACTCNGAYGCNGGGT-3’ 5’-ACCTTGGTTAACAGCAATNACYTC-3’
61.2 59.3
52.3 41.7
200 + 2 intron (Vitis sp.) = 669
6.
GAL11-F1 GAL33-R3
5’-TATGCTGGACCTGGTGGNTGGAAYGG-3’ 5’-ACCTTGGTTAACAGCAATNACYTC-3’
68.0 59.3
57.7 41.7
542+7 intron (Vitis sp.) = 2446
10
11
Keterangan: N = A/G/C/T, Y=C/T, R=A/G
5 526
6
7 866
545
F1
625
647
R1
12
892
F2 893 R2
917 1045
1066
R3 907
F3
927
Gambar 6.1 Diagram struktur parsial gen α-D Galaktosidase normal dari tanaman Vitis vinifera (No.AM423271) dan posisi primer degenerate yang dirancang. Pasangan primer GAL11 (GAL11-F1 dan GAL11-R1) dirancang untuk mengamplikasi sebagian ekson 5, seluruh intron 5, ekson 6, dan intron 6, serta sebagian ekson 7 pada posisi nukleotida 526 sampai 647. Pasangan primer GAL22 (GAL22-F2 dan GAL22R2) dirancang untuk mengamplikasi sebagian ekson 10, seluruh intron 10, dan sebagian ekson 11 pada posisi nukleotida 866 sampai 917. Pasangan primer GAL33 (GAL33-F3 dan GAL33-R3) dirancang untuk mengamplikasi sebagian ekson 11, seluruh intron 11, dan seluruh ekson 12 pada posisi nukleotida 907 sampai 1066.
90
dirancang pada basa 625-647, dengan panjang 22 bp dan mengandung 3 basa degenerate N (Tabel 6.1).
Sementara itu pasangan primer GAL22-F2 dan
GAL22-R2 dirancang pada ekson 10 (forward) dan 11 (reverse) yang akan mengamplifikasi potongan DNA sepanjang 142 bp. Primer forward dirancang pada posisi basa 866-892 (26 basa) dan mengandung basa degenerate N dan Y. Primer reverse dirancang pada basa 893-917 (26 bp) yang mengandung 2 basa degenerate R (A/G) dan 1 basa N. Pasangan primer GAL33-F3 dan GAL33-R3 dirancang pada ekson 11 (forward) dan 12 (reverse) yang akan mengamplifikasi potongan DNA dengan panjang 553 bp. Primer forward dirancang pada basa 907-927 (20 bp) dan mengandung 2 basa degenerate N. Primer reverse dirancang pada basa 1045-1066 (22 bp) dan mengandung 2 basa degenerate N & Y.
Amplifikasi PCR dan Penentuan Runutan Potongan Gen α-D Galaktosidase Dari enam pasang primer degenerate yang dirancang, setelah digunakan untuk mengamplifikasi potongan DNA dari gen α-D Galaktosidase yang ada dalam genom kelapa berbuah kopyor, yang mampu menghasilkan produk amplifikasi hanya empat pasang primer, yaitu: pasangan primer GAL22-F2 dan GAL22-R2, GAL33-F3 dan GAL33-R3, kombinasi pasangan primer GAL22-F2 dan GAL33-R3, serta GAL11-F1 dan GAL33-R3.
Dua pasangan primer,
GAL11-F1 dan GAL11-R1, GAL11-F1 dan GAL22-R2,
sampai penelitian
berakhir belum berhasil mengamplifikasi gen α-D Galaktosidase genom kelapa berbuah kopyor tersebut, meskipun sudah dilakukan berbagai optimasi pada suhu penempelan, konsentrasi DNA, dan protokol campuran larutan PCR. Sebagai konsekuensinya kedua pasangan primer degenerate ini tidak bisa digunakan pada tahap selanjutnya. Pasangan primer degenerate GAL22-F2 dan GAL22-R2 menghasilkan potongan gen α-D Galaktosidase dengan ukuran lebih panjang dari perkiraan ukuran produk PCRnya (Tabel 6.1 dan 6.2).
Sebaliknya, pasangan primer
kombinasi GAL11-F1 dan GAL33-R3 menghasilkan panjang potongan DNA lebih pendek. Sementara itu pasangan primer GAL33-F3 dan GAL33-R3 serta GAL22-F2 dan GAL33-R3 menghasilkan potongan gen α-D Galaktosidase sesuai dengan perkiraan ukuran produk PCR pasangan primer tersebut.
91
Tabel 6.2 Hasil amplifikasi PCR dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor dan primer degenerate yang dirancang berdasarkan gen α-D Galaktosidase normal yang ada di DNA data base No.
Kode pasangan primer degenerate
Amplifikasi produk PCR
Genom yang teramplifikasi
Suhu penempelan C°
Kisaran ukuran potongan DNA (bp)
1.
GAL11-F1 dan GAL11-R1
Tidak ada
-
-
-
2.
GAL22-F2 dan GAL22-R2
Ada
Dalam dan Genjah
52
200-300
3.
GAL33-F3 dan GAL33-R3
Ada
Dalam dan Hibrida
52
450-550
4.
GAL11-F1 dan GAL22-R2
Tidak ada
-
-
-
5.
GAL11-F1 dan GAL33-R3
Ada
Dalam, Genjah dan Hibrida
50
1350-1500
6.
GAL22-F2 dan GAL33-R3
Ada
Dalam
52
500-700
GAL22-F2 dan GAL22-R2
M
1
2
3
GAL11-F1dan GAL33-R3
4
5
6
M
1350 bp 200 bp
Gambar 6.2 Representasi hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan DNA genom tiga jenis kelapa berbuah kopyor dengan pasangan primer degenerate GAL22 F2 dan GAL22-R2 atau pasangan primer GAL11-F1 dan GAL33-R3. 1 dan 4: hasil amplifikasi PCR dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor hibrida, 2 dan 6: dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor dalam, serta 3 dan 5: dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor genjah.
92
Hasil evaluasi produk PCR di gel agarose 1% menunjukkan bahwa tidak semua ketiga jenis genom kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) dapat diamplifikasi oleh keempat pasangan primer degenerate α-D Galaktosidase. Pasangan primer degenerate GAL22-F2 dan GAL22-R2 hanya mengamplifikasi kelapa berbuah kopyor jenis yang dalam dan genjah (Gambar 6.2). Sebaliknya pasangan primer degenerate GAL33-F3 dan Gal33-R3 mengamplifikasi kelapa berbuah kopyor dalam dan hibrida.
Bila primer GAL22-F2 dikombinasikan
dengan GAL33-R3, maka pasangan primer ini mengamplifikasi hanya kelapa berbuah kopyor jenis dalam (Gambar 6.2). Potongan DNA hasil PCR yang diamplifikasi dengan masing-masing empat pasangan primer tersebut diligasi dengan plasmid vektor GEMP-T dan ditransformasikan ke bakteri E. coli. Hasil analisis menunjukkan bahwa sejumlah koloni E. coli yang didapat, diketahui membawa plasmid rekombinan. Plasmid rekombinan yang diidentifikasi positif diketahui membawa potongan DNA hasil amplifikasi PCR menggunakan pasangan primer degenerate Gal22-F2 dan GAL22-R2 (6 buah plasmid rekombinan), Gal33-F3 dan GAL33-R3 (2 buah plasmid rekombinan), kombinasi pasangan primer Gal11-F1 dan GAL33-R3 (14 buah plasmid rekombinan), serta Gal22- F2 dan GAL33-R3 (11 buah plasmid rekombinan). Hasil evaluasi dengan gel agarose 1% terhadap plasmid rekombinan yang positif mengandung potongan DNA α-D Galaktosidase memperlihatkan ada berbagai macam ukuran potongan DNA sisipan (Gambar 6.3).
Plasmid
rekombinan yang mengandung potongan DNA hasil amplifikasi dengan pasangan primer GAL22-F2 dan GAL22-R2 mempunyai 4 macam ukuran DNA sisipan, yang berkisar antara 550-1900 bp (Gambar 6.3a). Plasmid rekombinan yang berisi potongan DNA hasil amplifikasi pasangan primer GAL11-F1 dan GAL33R3 juga memperlihatkan 4 macam ukuran, dengan panjang antara 600-2000 bp (Gambar 6.3b). Sementara itu plasmid rekombinan yang mengandung potongan DNA hasil amplifikasi pasangan primer GAL22-F2 dan GAL33-R3 mempunyai 5 macam ukuran dengan ukuran antara 500-900 bp (Gambar 6.3c). Plasmid rekombinan yang positif membawa potongan DNA hasil amplifikasi PCR menggunakan 4 pasangan primer degenerate digunakan untuk menentukan runutan nukleotida potongan DNA gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor.
93
M 1 2
3 4 5 6 M
M 1 2
3 4 5 6
7
1900
1900 800 500
800 500
a
b 1
2
3 4
5 6 7
8
9
10 11 12
M
900
900
600 550 500
600 550 500
c Gambar 6.3 Identifikasi plasmid rekombinan yang membawa potongan DNA hasil PCR dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor dan pasangan primer degenerate GAL22-F2 dan GAL22-R2 (a), GAL11-F1 dan GAL33-R3 (b), dan GAL22-F2 dan GAL33-R3 (c). Rekombinan plasmid diisolasi dari E. coli dan keberadaan potongan DNA α-D Galaktosidase diidentifikasi dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer yang sesuai. Hasil PCR dievaluasi ukurannya dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa (1%). Pada panel a: (1) plasmid rekombinan 10D-Cn dengan potongan DNA sebesar 900 bp, (2) plasmid rekombinan 12E-Cn (550 bp), (3) plasmid rekombinan 7B-Cn (1900 bp), dan (5) plasmid rekombinan 11H-Cn (650 bp). Panel b:.(1) plasmid rekombinan 5A-Cn (750 bp), (2) plasmid rekombinan 5C-Cn (600 bp), (3) plasmid rekombinan 5D-Cn (650 bp), (4) plasmid rekombinan 5F-Cn (2000 bp), (5) plasmid rekombinan 5G-Cn (2000), (6) plasmid rekombinan 6D-Cn (600 bp), dan (7) plasmid rekombinan 6C (2000 bp). Pada panel c: (1) plasmid rekombinan 11A-Cn (575 bp), (2) plasmid rekombinan 11B-Cn (900 bp), (3) plasmid rekombinan 11E-Cn (575 bp), (4) plasmid rekombinan 11D-Cn (600 bp), (5) plasmid rekombinan 11G-Cn (550), (6) plasmid rekombinan 12F-Cn (500 bp), (7) plasmid rekombinan 12E-Cn (600 bp), (8) plasmid rekombinan 12B-Cn (550 bp), (9) plasmid rekombinan 12A-Cn (575 bp), (10) plasmid rekombinan 11H-Cn (500 bp), (11) plasmid rekombinan 12H-Cn (900 bp), dan (12) plasmid rekombinan 11F-Cn (575 bp).
94
Analisis Runutan Potongan Gen α-D Galaktosidase Data-data hasil penentuan runutan potongan DNA α-D Galaktosidase dibersihkan dari kontaminasi DNA plasmid dan dianalisis pada perangkat lunak program GeneDoc (http://www.psc.edu/biomed/genedoc). Hasil analisis runutan nukleotida DNA yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dari 17 plasmid rekombinan yang membawa potongan DNA gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor, diperoleh enam (6) plasmid rekombinan (CnGal-2, CnGal3-3F, CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, dan CnGal13-12G) yang berhasil diidentifikasi positif membawa potongan DNA gen α-D Galaktosidase, berdasarkan keberadaan runutan nukleotida DNA dari primer degenerate yang digunakan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa panjang potongan DNA gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor yang diamplifikasi dengan pasangan primer GAL22-F2 dan GAL22-R2 mempunyai panjang 181 bp. Untuk yang diamplifikasi dengan pasangan primer GAL33-F3 dan GAL33-R3 menghasilkan produk amplifikasi dengan ukuran 230 bp, dan yang dengan kombinasi pasangan primer GAL22-F2 dan GAL33-R3 menghasilkan potongan DNA dengan panjang 443, 448, dan 452 bp. Kombinasi pasangan primer GAL11-F1 dan GAL33-R3 menghasilkan potongan DNA dengan ukuran panjang 616 bp. Hasil analisis potongan gen α-D Galaktosidase dari enam plasmid rekombinan selanjutnya diplotkan pada potongan gen α-D Galaktosidase dari tanaman Vitis vinifera (No.AM423271) untuk menggambarkan struktur parsial gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor (Gambar 6.4). Panjang potongan DNA α-D Galaktosidase CnGal-2 hampir sama dengan ukuran produk PCRnya dan lebih panjang daripada potongan DNA dari gen yang sama pada Vitis vinifera (Gambar 6.4a). CnGal23-11A mengandung ekson pasangan primer dengan panjang masing-masing 25 bp, 2 ekson (81 dan 75 bp), dan bagian intron. Sekuen CnGal23-11B mengandung 25 bp untuk masing-masing ekson primer, dan 2 ekson (77 dan 92 bp) serta bagian intron. CnGal23-11G terdiri dari 3 ekson (46,75, dan 92 bp) dan bagian intron (Gambar 6.4b). Panjang ketiga potongan DNA Gal-23 sedikit lebih pendek daripada ukuran yang diperkiraan pada hasil PCR (500-700bp) (Tabel 6.2). Potongan DNA CnGal3-3F terdiri dari 1 intron dengan panjang 88 bp dan 2 ekson (49 dan 92 bp) serta bagian pasangan primer
95
a.CnGal2 5
6
7 409
143
11
10 90
91
12 377
92
702
131 866
F2
892 893
b.CnGal23 7
6
5
917
R2
409
143
90
91
12
11
10 92
702
377
CnGal23-11A 443
CnGal23-11B
448
CnGal23-11G
452 86
F2
1066
1045
89
R3
c.CnGal3-3F 6
5 143
10
7 409
90
91
702
11 92
12 377
88 907
927
F3
1066
1045
R3
d.CnGal13-12G 143
526
F1
545
10
7
6
5
409
90
91
702
12
11 92
377
616b 1066
1045
R3
Gambar 6.4 Potongan DNA 6 plasmid rekombinan kelapa berbuah kopyor di dalam diagram struktur parsial gen α-D Galaktosidase dari Vitis vinifera (No.AM423271) dan posisi primer degenerate yang dirancang. a. Potongan DNA CnGal-2 yang diamplifikasi pasangan primer GAL22-R2 & GAL22-F2 mulai dari bagian ekson 10, seluruh intron 10, dan sebagian ekson 11 pada posisi basa 866 sampai 917. b.CnGal-23 yang diamplifikasi oleh pasangan primer GAL22-F2 & GAL33-R3 mulai dari sebagian ekson 10, seluruh intron 11, dan seluruh ekson 12 pada posisi basa 866 sampai 1066. c.CnGal3-3F yang diamplifikasi pasangan primer GAL33-F3 & GAL33-R3 mulai dari sebagian ekson 11, seluruh intron 11, dan seluruh ekson 12 pada posisi basa 907 sampai 1066. d. CnGal13-12G yang diamplifikasi pasangan primer GAL11-F3 & GAL33-R3 mulai dari sebagian ekson 5 sampai ekson 12 pada posisi basa 526 sampai 1066.
96
Gambar 6.5
Analisis 6 runutan nukleotida dari potongan gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor di program GeneDoc versi 2.6.002. Pensejajaran dimulai dari sekuen potongan gen α-D Galaktosidase yang diamplifikasi primer forward2 GAL 22 dan reverse3 GAL33. Daerah dengan blok hitam pada plasmid rekombinan no. CnGal2, CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, CnGal3-3F, dan CnGal13-12G merupakan daerah ekson. Daerah tanpa blok merupakan daerah intron. Runutan nukleotida dengan blok warna hijau atau merah muda merupakan primer degenerate.
97
(Gambar 6.4c). Panjang potongan DNA CnGal3-3F ini setengah dari ukuran produk PCRnya (450-550bp). CnGal13-12G mengandung sepasang ekson primer dan 5 ekson (31, 25, 28, dan 89 bp), serta bagian intron (Gambar 6.5d). Panjang potongan DNA CnGal-13 juga setengah dari ukuran produk PCRnya (1350-1500 bp). Pensejajaran
runutan
nukleotida
DNA
dari
potongan
gen
α-D
Galaktosidase kelapa berbuah kopyor yang didapat dalam penelitian dengan gen α-D Galaktosidase normal asal berbagai tanaman yang telah tersedia di DNA data base menunjukkan bahwa runutan nukleotida gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor mempunyai tingkat kesamaan yang sangat rendah dengan gen αD Galaktosidase normal yang tersedia di DNA data base (Gambar 6.5). Kesamaan runutan nukleotida DNA yang diamati diantara gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor dengan gen α-D Galaktosidase normal hanya terjadi pada daerahdaerah tertentu, terutama pada daerah yang merupakan primer degenerate yang digunakan. Hal ini mengindikasikan bahwa potongan DNA gen α-D Galaktosidase
asal
kelapa
berbuah
kopyor
yang
diamplifikasi
dengan
menggunakan pasangan primer degenerate mempunyai runutan nukleotida yang unik. Disamping itu, baik di daerah ekson maupun intron runutan nukleotida α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor terdapat gap-gap yang menunjukkan serangkaian nukleotida terdelesi pada posisi tersebut (Gambar 6.5). Dengan runutan nukleotida yang unik tersebut untuk selanjutnya α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor disebut sebagai α-D Galaktosidase mutan, yang dari runutan nuklotida unik ini dirancang pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan.
Analisis Runutan Nukleotida Forward-2 dan Reverse-3 Analisis runutan nukleotida CnGal2, CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, CnGal3-3F, dan CnGal13-12G pada daerah primer forward-2 di ekson 10
dan reverse-3 di ekson 12 (Gambar 6.6) dilakukan untuk melihat
keragaman dan kesamaan nukleotida pada daerah tersebut guna merancang primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan yang diturunkan dari runutan nukleotida αD Galaktosidase kelapa berbuah kopyor.
Analisis runutan nukleotida pada
98
Primer Forward_2 20
CnGal2 CnGal23-11A CnGal23-11B CnGal23-11G CnGal13-12G
: : : : :
TATGCTGGACCTGGTGGTTGGAATGGT TATGCTGGACCTGGTGGCTGGAACG-TATGCTGGACCTGGTGGTTGGAACG-TATGCTGGACCTGGTGGTTGGAATG-AGTGATGGA-------GATGGA-TG-taTGcTGGAcctggtgG TGGAa G
: : : : :
CnGal23-11A CnGal23-11B CnGal23-11G CnGal3-3F CnGal13-12G
: : : : :
------GAAGTACTGCTCATCTGACTCAAC ------CTCTCTTAAGGAAGTCACCTATGT -----TGAGAGCGTT-CCACCCACCA-GGT ------GAAGTAATTGCTGTTAACCAAGGT ------GAAGTGATTGCTGTTAACCAAGGT gaagt tTgc tt AcCaaggt
27 25 25 25 17
20
: : : : :
24 24 23 24 24
Primer Reverse_3 Gambar 6.6 Pensejajaran runutan α-D Galaktosidase pada ekson 10 dan ekson 12 antar plasmid rekombinan kelapa berbuah kopyor untuk analisis primer spesifik (forward dan reverse) berdasarkan ClustalW dan program GeneDoc. Pada primer forward-2 (F2): Keragaman runutan nukleotida antara plasmid rekombinan CnGal2, CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, dan CnGal13-12G. Pada primer reverse-3 (R3): Keragaman runutan nukleotida antara plasmid rekombinan CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, CnGal33F, dan CnGal13-12G.
forward-2 memperlihatkan adanya perbedaan basa di dua posisi (Gambar 6.6), yaitu pada posisi basa yang ke 18 dan ke 24 dari kiri. Hasil analisis runutan nukleotida pada daerah reverse-3 menunjukkan terdapat lebih banyak perbedaan basa pada berbagai posisi. Hal ini terutama terjadi pada CnGal23-11A, CnGal2311B, dan CnGal23-11G yang mempunyai runutan nukleotida yang unik dan berbeda dengan CnGal3-3F dan CnGal13-12G. Sedikitnya ada 5 posisi basa yang berbeda (posisi basa ke 6, 7, 12, 13, & 16) dan harus dirancang sebagai basa degenerate. Runutan nukleotida primer reverse CnGal3-3F dengan CnGal13-12G mempunyai kesamaan yang tinggi, hanya berbeda pada satu basa degenerate pada posisi basa ke 6. Selanjutnya, dengan menggunakan hasil pensejajaran runutan nukleotida berbagai potongan DNA gen α-D Galaktosidase asal kelapa berbuah kopyor yang didapat (potongan DNA pada plasmid rekombinan no CnGal2, CnGal23-11A, CnGal23-11B, CnGal23-11G, CnGal3-3F, dan CnGal13-12G), berhasil didisain
99
sejumlah pasangan primer baru yang spesifik untuk gen α-D Galaktosidase mutan. Dari runutan nukleotida potongan DNA pada plasmid rekombinan no. CnGal2, CnGal3-3F, dan CnGal13-12G dapat didisain pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan yaitu pasangan primer CnGAL22 (primer CnGAL22-F2 dan CnGAL22-R2),
pasangan
primer
CnGAL33
(primer
CnGAL33-F3
dan
CnGAL33-R3), serta pasangan primer CnGAL13 (primer CnGAL13-F1 dan CnGAL13-R3).
Sementara itu dari runutan nukleotida potongan DNA pada
plasmid rekombinan no CnGal23-11A, CnGal23-11B dan CnGal23-11G dapat dirancang satu pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan yaitu pasangan primer CnGAL23 (primer CnGAL23-F2 dan CnGAL23-R3). Dengan demikian, total pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan yang telah dikembangkan ada empat (4) pasangan primer.
Pembahasan
Fenomena kopyor pada tanaman kelapa dikaitkan dengan tidak aktifnya enzim α-D Galaktosidase pada endosperma buah kelapa kopyor (Mujer et al. 1984). Enzim α-D Galaktosidase merupakan enzim yang umum ditemukan pada berbagai tanaman (Herman & Shannon 1985; Overbeeke et al. 1989; Zhu & Goldstein 1994; Marraccini et al. 2005), dan berfungsi sebagai katalis untuk memecah
senyawa
kelompok
α-D
galactosyl
Galaktomanan (Guimaraes et al. 2001).
dari
rantai
polisakarida
Produk senyawa hasil degradasi
selanjutnya dijadikan sebagai sumber energi dan metabolit sel untuk perkecambahan. Pada dua spesies buah kopi, yaitu Coffea arabica dan Coffea canephora var. Robusta, aktivitas enzim α-D Galaktosidase meningkat secara bertahap sejalan dengan perkembangan endosperma dan mencapai puncaknya pada 30 minggu setelah antesis, yang mana diiringi oleh mengerasnya endosperma (Marraccini et al. 2005). Pada spesies buah kurma, enzim α-D Galaktosidase disintesis selama perkembangan endosperma dan terkait dengan perkembangan dinding sel serta buahnya (DeMason et al. 1992). Seperti halnya pada tanaman kopi dan kurma, Galaktomanan juga merupakan komponen penting penyusun dinding sel utama pada jaringan
100
endosperma kelapa (Balasubrahmaniam 1976). Dinding sel kelapa muda biasanya didominasi oleh Galaktomanan. Jaringan endosperma kelapa berkembang dari fase gel (gelatinous phase) yang banyak mengandung Galaktomanan ke fase padat (solid phase) yang sedikit mengandung Galaktomanan.
Sejalan dengan
perkembangan jaringan endosperma tersebut, aktivitas enzim α-D Galaktosidase pada buah kelapa normal akan meningkat dan kandungan senyawa Galaktosida dalam jaringan endosperma buah kelapa yang tua akan menurun (Rao et al. 1962). Tidak adanya aktivitas α-D Galaktosidase pada endosperma buah kelapa kopyor kemungkinan menyebabkan proses degradasi Galaktomanan secara normal
terganggu,
sehingga
menyebabkan
akumulasi
sejumlah
besar
Galaktomanan pada endosperma kelapa berbuah kopyor yang sudah tua, seperti yang dibuktikan dalam penelitian Mujer et al. (1984).
Kandungan polisakarida
Galaktomanan yang tinggi dapat mengubah karakteristik jaringan endosperma kelapa makapuno (kopyor), seperti: kehilangan daya adesi antar sel, sel yang memanjang, amitosis, dan sebagainya. Perubahan aktivitas gen α-D Galaktosidase tampaknya menyebabkan perubahan sejumlah lintasan metabolisme yang berhubungan dengan pembentukan dinding sel, interaksi sel- sel, transport antar sel, dan hormon yang berakhir dengan perubahan fenotipe endosperma kelapa makapuno (kopyor). Hasil isolasi dan analisis gen α-D Galaktosidase pada penelitian ini membuktikan bahwa gen α-D Galaktosidase dari kelapa berbuah kopyor mempunyai runutan nukleotida yang unik dan tingkat kesamaan nukleotida yang sangat rendah dengan runutan nukleotida gen α-D Galaktosidase normal dari berbagai spesies tanaman lainnya. Kesamaan nukleotida hanya terjadi pada daerah- daerah tertentu (pada daerah tempat primer degenerate dirancang). Dua pasang primer degenerate yang dirancang (GAL11-R1 & GAL11-F1 dan GAL11R1 & GAL22-R2) dari runutan nukleotida gen α-D Galaktosidase normal tidak bisa mengamplifikasi gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor meskipun sudah dilakukan berbagai optimasi pada suhu penempelan, reagensia untuk PCR, dan konsentrasi DNA. Tampaknya runutan nukleotida primer degenerate tersebut tidak bisa menempel dengan benar pada genom kelapa berbuah kopyor
101
disebabkan tidak ada kecocokan urutan basa nukleotida dengan runutan nukleotida α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor pada posisi primer tersebut, sehingga amplifikasi tidak bisa berjalan sempurna. Meskipun runutan nukleotida primer degenerate α-D Galaktosidase dirancang dari daerah dengan kesamaan nukleotida yang tinggi dari berbagai tanaman, namun runutan nukleotida primer tersebut ternyata tidak ada yang sesuai dengan runutan nukleotida α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor. Hal ini diperkuat dengan tidak ditemukan runutan nukleotida primer reverse GAL11-R1 pada runutan nukleotida potongan DNA plasmid rekombinan CnGal13-12G, hanya runutan nukleotida primer forward GAL11-F1 yang terdapat pada potongan DNA CnGal13-12G. Kenyataan bahwa runutan nukleotida gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor berbeda dengan gen α-D Galaktosidase normal dari berbagai tanaman lainnya menimbulkan dugaan bahwa gen α-D Galaktosidase pada kelapa berbuah kopyor adalah gen mutan. Mutasi yang terjadi pada coding sequence (bagian ekson dan atau intron) gen penyandi α-D Galaktosidase menghasilkan protein α-D Galaktosidase yang tidak fungsional. Fakta menunjukkan bahwa enzim α-D Galaktosidase pada buah kelapa kopyor tidak bisa menjalankan peranannya
sebagai
enzim
pendegradasi
senyawa
Galaktomanan,
yang
menyebabkan embrio kelapa berbuah kopyor kehilangan sumber energi dan tidak mampu tumbuh. Runutan nukleotida α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor yang telah mengalami mutasi dapat dijadikan dasar untuk merancang penanda molekuler spesifik untuk mendeteksi keberadaan gen α-D Galaktosidase
pada tanaman
kelapa berbuah kopyor. Ada empat (4) pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan yang telah dirancang, yaitu CnGAL22 (CnGAL22-F2 & CnGAL22-R2),
CnGAL23
(CnGAL22-F2
&
CnGAL33-R3),
CnGAL13
(CnGAL11 & CnGAL33), CnGAL33 (CnGAL33-F3 & CnGAL33-R3). Dalam hal ini untuk pertama kalinya telah berhasil dirancang penanda molekuler spesifik gen α-D Galaktosidase mutan. Dengan demikian, sekarang telah tersedia penanda molekuler spesifik yang dapat membedakan antara kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor (pohon kelapa berbuah kopyor dan pohon kelapa kopyor) dengan kelapa yang hanya menghasilkan buah kelapa normal.
102
Keempat pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan tersebut jika digunakan untuk amplifikasi PCR menggunakan cetakan DNA genom kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor maka potongan DNA yang didapat akan berasal dari gen α-D Galaktosidase mutan sehingga diperkirakan akan menghasilkan potongan DNA dengan ukuran antara 181, 230, 443, 448, atau 452 tergantung pada pasangan primer dan jenis kelapa berbuah kopyor yang digunakan dalam analisis. Sebaliknya jika digunakan untuk amplifikasi PCR dengan menggunakan cetakan DNA genom kelapa yang hanya menghasilkan buah kelapa normal maka potongan DNA yang didapat akan berasal dari gen α-D Galaktosidase normal sehingga diperkirakan akan menghasilkan potongan DNA dengan ukuran yang berbeda dengan yang diperkirakan di atas. Perbedaan panjang hasil amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan tersebut dapat digunakan sebagai pembeda antara kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dengan kelapa yang hanya menghasilkan buah kelapa normal.
Kesimpulan
Ada 6 pasangan primer degenerate gen α-D Galaktosidase untuk tanaman kelapa berbuah kopyor yang berhasil dirancang, yaitu 3 pasangan primer merupakan primer degenerate original dan 3 pasangan primer lainnya merupakan primer degenerate kombinasi dari primer original. Di antara 6 pasang primer degenerate, 4 pasangan primer dapat mengamplifikasi potongan gen α-D Galaktosidase genom kelapa berbuah kopyor, yaitu GAL22, GAL33, GAL13, dan GAL23.
Primer degenerate GAL11 dan GAL12 tidak dapat menghasilkan
produk PCR. Analisis hasil runutan potongan DNA gen α-D Galaktosidase mendapatkan 6 plasmid rekombinan, CnGal2, CnGal3-3F, Gal3-12G, CnGal2311A, CnGal23-11B, dan CnGal23-11G, yang mengandung potongan gen α-D Galaktosidase dengan panjang potongan 181, 229, 616, 443, 448 dan 452 bp. Runutan nukleotida potongan gen α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor diduga kuat telah mengalami mutasi. Berdasarkan runutan nukleotida
α-D
Galaktosidase kelapa berbuah kopyor dirancang 4 pasang primer spesifik untuk
103
membedakan kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dengan kelapa yang hanya menghasilkan buah normal, yaitu CnGAL22, CnGAL23, CnGAL32, dan CnGAL13.
104
BAB VII ISOLASI DAN ANALISIS FRAGMEN DNA TERHADAP GEN-GEN YANG DIDUGA BERHUBUNGAN DENGAN SIFAT KOPYOR PADA TANAMAN KELAPA Abstrak Kelapa kopyor merupakan mutan secara alami yang mempunyai endosperma abnormal. Untuk pertama kalinya sejumlah gen yang diduga berhubungan dengan sifat kopyor diidentifikasi berdasarkan perbedaan senyawa kimia yang ada di endosperma kelapa kopyor dengan kelapa normal. Gen sucrose synthase (SUS), stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan abscisid acid insensitive (ABI) diisolasi dan dianalisis. Empat fragmen DNA gen SUS kelapa berbuah kopyor CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, dan CnSus2B diperoleh dengan panjang fragmen secara berurutan adalah 746, 738, 780, dan 687 bp. Analisis runutan DNA dan asam amino menunjukkan CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, dan CnSus2B mempunyai tipikal kelompok monokotil dengan tipe non-rumput. Isolasi gen SACPD menghasilkan satu fragmen dengan panjang 716 bp. CnSacpd kelapa berbuah kopyor mempunyai tingkat homologi yang tinggi dengan tanaman kelapa sawit dan kedelai. Sementara itu isolasi gen ABI diperoleh dua fragmen CnAbi3A dan CnAbi3B dengan panjang 760 dan 728 bp. Fragmen CnAbi3A dan CnAbi3B memperlihatkan homologi dengan gen ABI3 dari sejumlah tanaman. Fragmen gen SUS, SACPD dan ABI kelapa berbuah kopyor yang diperoleh dijadikan runutan nukleotida cetakan untuk merancang primer spesifik gen tersebut. Didapatkan 7 pasangan primer spesifik, yaitu CnSUS1A, CnSUS1B, CnSUS2A, CnSUS2B, CnSACPD, CnABI3A, dan CnABI3B.
Kata kunci: analisis DNA, gen SUS, gen SACPD, gen ABI3
105
ISOLATION AND ANALYSIS OF DNA FRAGMENT OF GENES RELATED TO KOPYOR TRAIT IN COCONUT PLANT Abstract Kopyor coconut is a natural mutant that has abnormal endosperm development. For the first time several genes that were suspected to be related to kopyor trait were identified based on the chemical compounds of the endosperm that different from that of normal coconut. Sucrose synthase (SUS), Stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), and Absicid acid insensitive (ABI) genes were isolated and analyzed. Four DNA fragments with length of 746, 738, 780, and 687 bp (CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, and CnSus2B) were obtained from SUS gene. Sequence analysis at DNA and amino acid level showed that CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, and CnSus2B were classified into monocot SUS group with nongrass SUS type. Isolation of SACPD gene resulted in one DNA fragment with DNA length of 716 bp. CnSacpd shared a high homology with SACPD gene of oil palm and soybean. Meanwhile, isolation of ABI gene resulted in two DNA fragments, CnAbi3A and CnAbi3B, with DNA length of 760 and 728 bp, respectively. CnAbi3A and CnAbi3B showed a high homology with ABI3 gene of several plants. All DNA fragment obtained from SUS, SACPD, ABI genes were used as templates to design spesific markers for each corresponding gene. There were 7 specific primer sets designed, i.e., CnSUS1A, CnSUS1B, CnSUS2A, CnSUS2B, CnSACPD, CnABI3A, and CnABI3B.
Key words: DNA analysis, SUS gene, SACPD gene, ABI3 gene
106
Pendahuluan Di Indonesia kelapa berbuah kopyor termasuk jenis kelapa langka yang secara alami hanya bisa ditemukan populasinya di Pulau Jawa. Kelapa kopyor dicirikan oleh
endosperma yang lunak, remah dan bercampur menjadi satu
dengan air kelapanya. Meskipun demikian di pasar harga buah kopyor lebih mahal daripada kelapa biasa. Perbedaan harga kedua jenis kelapa tersebut bisa mencapai sepuluh kali lipat. Demikian juga harga bibit kelapa kopyor yang dikembangkan dari kultur embrio bisa mencapai ratusan ribu per bibit. Hal ini yang menyebabkan kelapa kopyor menjadi salah satu komoditi yang menarik untuk dikembangkan lebih jauh. Buah kelapa kopyor mengandung embrio yang berkembang dengan normal, tetapi embrio tersebut tidak mampu berkecambah di bawah kondisi lingkungan alami.
Diduga penyebab kegagalan tersebut adalah tidak adanya
energi yang tersedia pada saat embrio berkecambah. Energi yang dibutuhkan bagi embrio pada proses perkecambahan berasal dari galaktomanan yang ada pada endosperma kelapa. Galaktomanan didegradasi menghasilkan galaktosa dan manosa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan energi pada fase awal perkecambahan (Dirk et al. 1999: DeMason et al. 1985).
Galaktomanan
merupakan salah satu senyawa polisakarida dinding sel. Pada endosperma kelapa yang
telah
tua,
61%
dari
total
polisakarida
adalah
galaktomanan
(Balasubramaniam 1976). Pada kasus buah kelapa kopyor tersebut, salah satu enzim yang berfungsi untuk mendegradasi galaktomanan, yaitu α-D Galaktosidase tidak aktif (Mujer et al. 1984), sehingga proses degradasi galaktomanan secara normal menjadi terganggu. Pada Bab VI penulis telah membuktikan bahwa gen penyandi protein α-D Galaktosidase
telah mengalami mutasi, sehingga tidak
dapat menghasilkan protein/enzim α-D Galaktosidase yang fungsional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa endosperma buah kelapa kopyor dengan kelapa normal mempunyai komposisi senyawa lemak, karbohidrat, dan gula yang sangat berbeda (Santoso et al. 1996). Total lemak pada endosperma buah kelapa normal 62.4% dan karbohidrat 29.1%. Hal ini berbanding terbalik dengan endosperma kelapa kopyor yang mengandung karbohidrat 62.3% dan lemak 30.71%. Kandungan sukrosa pada endosperma buah kelapa kopyor sekitar
107
dua kali kelapa normal, sedangkan pada air kelapa kopyor kandungan sukrosa bisa mencapai delapan kali lebih tinggi dibanding kelapa normal. Asam lemak pada endosperma kelapa kopyor mengandung lebih banyak asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2). Sebaliknya air kelapa kopyor mengandung jauh lebih rendah asam oleat, asam linoleat, dan asam stearat (C18:0) dibanding kelapa normal. Enzim yang berperan utama dalam pembentukan sukrosa untuk kebutuhan energi, metabolik, dan organ penyimpan dalam sel tanaman adalah Sucrose synthase. Sucrose synthase menunjukkan aktivitas yang meningkat selama tahap akhir perkembangan endosperma buah kopi dan berjalan secara paralel dengan akumulasi sukrosa (Geromel et al. 2006). Pada beberapa studi, sintesis sukrosa dilakukan bersamaan dengan degradasi galaktomanan menjadi manosa dan galaktosa. Enzim lainnya yang berperanan penting dalam endosperma kelapa berbuah kopyor adalah Stearoyl-acyl carrier protein desaturase (SACPD), yaitu enzim yang terlibat pada sintesis asam lemak. SACPD mengubah senyawa asam stearat (asam lemak jenuh) menjadi asam oleat (asam lemak tak jenuh) dengan membuat ikatan rangkap-cis pada karbon posisi 9 di senyawa asam stearat (Kachroo et al. 2008). Mobilisasi galaktomanan pada proses perkecambahan embrio ternyata di bawah kontrol yang berbeda antar tanaman, terutama tentang peranan hormon seperti giberelin dan asam absisik (ABA). Pada tanaman legum dan non-legum, ABA mempunyai peranan sebagai modulator interaksi secara biokimia dan fisiologi antara endosperma dengan embrio pada proses perkecambahan dan awal pertumbuhan kecambah (Buckeridge et al. 2000; Potomati & Buckeridge 2002). Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memberikan informai langsung tentang gen-gen yang terlibat dalam fenomena kelapa berbuah kopyor. Penelitian yang ada lebih banyak membahas tentang keragaman genetik kelapa berbuah kopyor dengan primer yang berasal dari RAPD dan SSR. Untuk lebih memahami hal tersebut, dalam penelitian ini diisolasi dan dianalisis sejumlah gen yang berperan dalam sintesis sukrosa dan asam lemak yang ada pada endosperma kelapa berbuah kopyor serta hormon yang berperan dalam mobilisasi galaktomanan.
108
Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan bertujuan merancang penanda molekuler spesifik untuk gen SUS, SACPD, dan ABI dengan cara: (1) mengisolasi gen sucrose synthase (SUS), stearoyl-acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan abscisic acid insensitive (ABI) dari genom kelapa berbuah kopyor, (2) mengidentifikasi fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI menggunakan primer yang dirancang dan DNA genomik kelapa berbuah kopyor sebagai cetakan, (3) menentukan runutan fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI hasil amplifikasi PCR, dan menganalisis keragaman runutan fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI.
Metodologi Penelitian
Bahan Tanam dan Ekstraksi DNA Daun muda kelapa berbuah kopyor yang baru muncul (janur) digunakan sebagai bahan sumber DNA genom. Sampel daun diambil dari anak daun ke tiga dari pucuk. Sampel daun diambil dari populasi kelapa berbuah kopyor jenis dalam di dua kecamatan yaitu Kecamatan Margoyoso dan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Masing-masing kecamatan diambil sepuluh pohon kelapa berbuah kopyor secara acak. Lebih kurang 50-100 mg daun segar dari masing-masing sampel dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam tabung eppendoft bersama bola gir kecil. Sampel daun dihancurkan dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit dengan frekuensi 300 hertz. Jaringan yang sudah hancur berupa serbuk halus diinkubasi dengan buffer lisis yang mengandung RNase selama semalam, dan difiltrasi melalui filter column. Ekstraksi DNA pada tahap lysis, DNA binding, washing, dan elution selanjutnya dilakukan sesuai dengan protokol Plant
Genomic
DNA
http://www.geneaid.com).
Mini
Kit
(Geneaid,
Geneaid
Biotech
Ltd.
109
Primer dan Amplifikasi PCR Pasangan primer yang digunakan untuk mengamplifikasi fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI tidak semuanya dirancang dari awal, hanya primer degenerate gen SUS yang dirancang dalam penelitian ini. Pasangan primer gen SACPD dan ABI diambil dari pasangan primer yang sudah dirancang sebelumnya oleh CAB (Central for Agricultural Biotechnology, Kasetsart University, Thailand) untuk kelapa sawit. Amplifikasi gen SACPD menggunakan pasangan primer spesifik kelapa sawit yaitu, F:TAT CTA TAC CTT TCT GGT AGA GT dan R: ACA CCA TAT TAA CGG AGT CTA CT, sedangkan untuk gen ABI menggunakan primer degenerate kelapa sawit ABI3, F: AAG GTG TTG AAG CAR AGY GAY GT dan R: ATC ACT ATG AAR TCT CCY TCY TG. Primer degenerate untuk amplifikasi gen SUS dirancang dengan menggunakan program GeneDoc (http://www.psc.edu/biomed/genedoc), BLAST (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/)
dan
ClustalW
(http://www.ebi.ac.uk/embl).
Susunan nukleotida primer forwad dan reverse gen SUS dirancang berdasarkan runutan DNA spesies tanaman monokotil dan dikotil yang tersedia di DNA data base (GenBank). Runutan DNA gen SUS dari tanaman Oryza sativa (EF122480) dipakai untuk menemukan gen SUS lainnya yang tersedia di data base DNA (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/;
http://www.comphio.dfci.harvard.edu/tgi/;
(http://www.ebi.ac.uk/embl) dengan metode BLAST. Aksesi yang dipilih adalah aksesi yang mempunyai persentase kemiripan di atas 70% dengan panjang runutan nukleotida antara 1000-2000 bp dan dari runutan nukleotida cds atau mRNA. Pensejajaran runutan nukleotida cds atau mRNA dari aksesi yang terpilih menggunakan program ClustalW. Hasil pensejajaran runutan nukleotida SUS pada program ClustalW diekspor ke program GeneDoc version 2.6.002
untuk
dianalisis secara manual guna menentukan batas-batas intron dan ekson. Primer degenerate dirancang pada daerah-daerah ekson yang memiliki kesamaan runutan nukleotida paling tinggi. Sampel DNA kelapa berbuah kopyor diamplifikasi dengan menggunakan pasangan primer SUS1, SUS2, SACPD, dan ABI3. Reagensia PCR (volume 15 ul) terdiri dari cetakan DNA 1 ul, sepasang primer 0.75 ul, dNTPmix 2.7 ul, buffer 10x sebanyak 1.5 ul, MgCl2 (Fermentas) 0.15 ul, dan Taq DNA polimerase
110
(RBC) 0.075 ul. Kondisi PCR diatur pada suhu pre-denaturasi 94°C selama 4.0 menit yang diikuti dengan 40 siklus dengan 3 tahap reaksi yaitu suhu denaturasi 94°C selama 45 detik, suhu penempelan 52°C-55°C selama 45 detik, suhu perpanjangan 72°C selama 1.30-2.0 menit.
Pada tahap akhir proses PCR
dilakukan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72°C selama 5 menit dan diikuti suhu pendinginan 16°C selama 10 menit. Hasil produk PCR dievaluasi dengan gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 V.
Kloning dan Penentuan Runutan Fragmen DNA Produk PCR yang menunjukkan pita yang jelas dipilih untuk keperluan kloning dan penentuan runutan nukleotida. Produk PCR dari beberapa sampel kelapa berbuah kopyor di dua kecamatan dicampur menjadi satu dalam tabung eppendof dan dimurnikan. Pemurnian produk PCR dilakukan menurut protokol PCR Clean Up Kit dari produk Gel/PCR DNA Fragments Extraction Kit (Geneaid). Fragmen DNA PCR yang telah murni diperbanyak
di bakteri
Eschericia coli strain DH 10B. Fragmen DNA sebanyak 1.5 ul disambungkan (diligasi) ke vektor p GEMP-T (Promega) 0.5 ul menggunakan enzim T4 DNA ligase 0.5 ul dan buffer 2.5 ul pada suhu 4-5°C selama semalam. DNA plasmid 2.5 ul hasil ligasi ditransformasikan ke sel kompeten E. coli 40 ul dengan sistem kejut listrik. Bakteri E. coli
kemudian dikultur pada media LB cair 800 ul.
Bakteri E. coli digoyang di atas shaker dengan kecepatan 220 rpm dan suhu 37°C selama lebih kurang dua jam. Sel E. coli sebanyak 80 ul kemudian disebar di media LB padat yang mengandung ampisilin, IPTG dan X-gal. E. coli diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37°C selama semalam. Sel E. coli transforman yang mengandung fragmen DNA (DNA sisipan) akan membentuk koloni putih. Konfirmasi adanya DNA sisipan pada plasmid (plasmid rekombinan) dilakukan dengan elektrophoresis PCR koloni di agarose 1.0% . Koloni bakteri yang positif mengandung plasmid rekombinan diambil sebanyak 5 ul dan dikultur dimedia LB cair 5 ml, selanjutnya digoyang di atas shaker incubator dengan kecepatan 220 rpm selama 16 jam. Ekstraksi plasmid rekombinan dari bakteri E. coli dilakukan sesuai dengan protokol High-Speed
111
Plasmid Mini Kit (Geneaid). DNA plasmid rekombinan diukur konsentrasinya dengan metode elektroforesis dalam agarose gel 1.0 % dengan marker kuantitas. DNA plasmid rekombinan dikirim ke manufaktur untuk ditentukan runutan nukleotidanya.
Analisis Hasil Runutan Fragmen DNA Data runutan nukleotida dari DNA plasmid rekombinan dibaca di program Chromas Lite version 2.01 (http://www.technelysium.com.au) dan dibersihkan dari kontaminasi DNA plasmid. Runutan nukleotida yang telah bersih dari DNA plasmid diekspor ke program GeneDoc (http://www.psc.edu/biomed/genedoc) untuk dilakukan analisis guna mengetahui posisi primer, intron dan ekson. Tingkat kemiripan runutan nukleotida fragmen DNA masing-masing gen dengan tanaman lain selanjutnya dicari dengan metode BlastN yang dapat diakses pada situs NCBI (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/). Bagian ekson masing-masing fragmen DNA digabungkan dan ditranslasikan dengan menggunakan translated
db[tblastx]
yang
dapat
diakses
programnya
http://www.genebee.msu.su/blastnew/blastform.php?program=tblastx
di
querysitus: untuk
mengetahui runutan asam amino residunya. Analisis pensejajaran runutan asam amino residu masing-masing gen dilakukan dengan program ClustalW yang tersedia di situs Genebee (http://www.genebee.msu.su/clustal/advanced.html) dan diekspor ke GeneDoc program.
Analisis filogenetik dilakukan berdasarkan
runutan nukleotida asam amino residu hasil tblastx dalam format phylipphylogram.
Hasil Penelitian
Amplifikasi PCR dan Penentuan Runutan Fragmen DNA Empat pasangan primer digunakan untuk mengamplifikasi gen sucrose synthase (SUS), stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan abscisic acid insensitive (ABI). Dua pasangan primer degenerate gen SUS dihasilkan pada penelitian ini, yaitu SUS1 dan SUS2 dengan runutan nukleotida seperti yang tertera pada Tabel 7.1. Semua pasangan primer dapat mengamplifikasi DNA gen
112
Tabel 7.1
Pasangan primer dan suhu penempelan yang digunakan untuk amplifikasi PCR gen SUS, SACPD, dan ABI dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor jenis dalam dan perkiraan ukuran produk PCR yang dihasilkan
Kode pasangan primer
Runutan nukleotida masing-masing pasangan primer
Suhu penempelan
SUS1-F1 SUS1-R1
5’-GGTTATCCTGATACYGGNGGNCA-3’ 5’-ACAAGGTTTCCATCACTRTARTTNCC-3’
52°C
650-700 bp
SUS2-F2 SUS2-R2
5’-GATCCCAAGTTCAACATTGTNTCNCC-3’ 5’-CCAAATGCTTCATARAANGCNGG-3’
52°C
650-700 bp
SACPD-F SACPD-R
5’-TATCTATACCTTTCTGGTAGAGT-3’ 5’-ACACCATATTAACGGAGTCTACT-3’
52°C
600-750bp
ABI3-F3 ABI3-R3
5’-AAGGTGTTGAAGCARAGYGAYGT-3’ 5’-ATCACTATGAARTCTCCYTCYTG-3’
55°C
700-800bp
Kisaran ukuran fragmen DNA
Keterangan: Y=C/T, N=A/G/C/T, R=A/G
SUS M
600-700 bp ◄
Gambar 7.1
1
2
SACPD 3
M
ABI 4
5
6
7
M
►700-800 bp
Hasil amplifikasi PCR genom kelapa berbuah kopyor jenis dalam dari Kecamatan Tayu dan Margoyoso dengan 3 macam pasangan primer yang digunakan dalam penelitian ini. 1 dan 2: hasil amplifikasi dengan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor yang berasal dari Kecamatan Tayu dan Margoyoso dengan pasangan primer SUS2, 3: amplifikasi kelapa berbuah kopyor Kecamatan Margoyoso dengan pasangan primer SUS1, 4 dan 5: kelapa berbuah kopyor dari kecamatan Tayu dan Margoyoso dengan pasangan primer SACPD, serta 6 dan 7: kelapa berbuah kopyor Kecamatan Tayu dan Margoyoso dengan pasangan primer ABI3. M=marker.
113
SUS, SACPD, dan ABI dengan suhu penempelan yang berbeda, yaitu 52°C untuk gen SUS dan SACPD, serta 55°C untuk ABI (Tabel 7.1).
Pasangan primer
degenerate SUS1 dan SUS2 dengan menggunakan cetakan DNA kelapa berbuah kopyor jenis dalam menghasilkan produk PCR antara 650-700 bp (Gambar 7.1). Sementara itu pasangan primer SACPD menghasilkan produk PCR sepanjang 600-750bp, dan pasangan primer degenerate ABI3 menghasilkan produk PCR dengan ukuran 700-800 bp. Produk PCR masing-masing gen dipurifikasi dan diligasi ke plasmid vektor serta diperbanyak dalam bakteri E. coli untuk memperoleh konsentrasi plasmid rekombinan minimum 60 ng/ul.
Ekstraksi plasmid dari E. coli
menghasilkan masing-masing 2 plasmid rekombinan untuk SUS1 dan SUS2, 3 plasmid rekombinan untuk SCAPD dan ABI3. Plasmid rekombinan yang mengandung fragmen DNA SUS1, SUS2, SACPD dan ABI dikirim ke manufaktur untuk ditentukan runutan nukleotidanya.
Analisis Runutan Fragmen DNA SUS, SACPD dan ABI Runutan nukleotida gen SUS yang diamplifikasi dengan pasangan primer SUS1 menghasilkan 2 macam runutan nukleotida fragmen DNA, CnSus1A dengan ukuran fragmen DNA sebesar 746 dan CnSus1B dengan panjang 738 bp (Tabel 7.2). Perbedaan panjang kedua fragmen DNA tersebut akibat dari variasi panjang-pendeknya intron (Tabel 7.2). Pasangan primer SUS2 juga menghasilkan 2 macam runutan nukleotida fragmen DNA dengan panjang sebesar 780 (CnSus2A) dan 687 bp (CnSus2B). Panjang fragmen kedua runutan nukleotida tersebut seperti yang diharapkan sebelumnya, yaitu masih dalam kisaran ukuran produk PCR kedua pasangan primer (Tabel 7.1). Pasangan primer SACPD hanya menghasilkan satu fragmen DNA dengan panjang 716 bp (CnSacpd) dan pasangan primer ABI3 menghasilkan 2 macam fragmen dengan ukuran sebesar 760 (CnAbi3A) dan 728bp (CnAbi3B) (Tabel 7.2). Fragmen DNA CnSus1A dan CnSus1B yang diamplifikasi dengan sepasang primer SUS1 pada posisi ekson 6 (foward) dan 9 (reverse) mengandung 3 intron dengan panjang berbeda-beda (Gambar 7.2A). CnSus1A menghasilkan intron dengan panjang 78, 161, dan 134bp, sedangkan intron CnSus1B berukuran
114
Tabel 7.2 Hasil analisis runutan nukleotida fragmen DNA gen SUS, SACPD, dan ABI3 pada tanaman kelapa berbuah kopyor hasil amplifikasi pasangan primer SUS1, SUS2, SACPD, dan ABI3 Gen
Panjang Fragmen (bp)
Posisi ekson
CnSus1A
373+ 3 intron (78+161+134)=746
E-6=1-24 E-7=103-198 E-8=360-532 E-9=667-746
I-6=25-102 I-7=199-359 I-8=533-666
CnSus1B
373 + 3 intron (84+161+120) = 738
E-6=1-24 E-7=109-204 E-8=366-539 E-9=660-738
I-6=25-108 I-7=205-365 I-8=540-659
CnSus2A
482+2 intron (160+138) = 780
E-11=1-140 E-12A=301619 E-12B=758780
I-11A=141300 I-11B=620757
CnSus2B
482+2 intron (80+125)=687
E-11=1-140 E-12A=22539 E-12B=665687
I-11A=141220 I-11B=540664
Stearoyl CnSacpd Acyl Carrier Protein Desaturase
229 + 1intron (487)= 716
E-2=1-75 E-3=563-716
I-2=76-562
Absicic Acid Insensitive
CnAbi3A
251+3 intron (138+259+112) = 760
E-1=1-54 E-2=193-293 E-3=553-599 E-4=712-760
I-1=55-192 I-2=294-552 I-3=600-711
CnAbi3B
251+3 intron (129+138+210)=728
E-1=1-54 E-2=184-284 E-3=423-469 E-4=680-728
I-1=55-183 I-2=285-422 I-3=470-679
Sucrose synthase
Fragmen DNA
Posisi intron
115
-A-SUS Arabidopsis E-6
E-7
80
96
CnSus1A
E-11
E-9
E-8 79
89
143
318
CnSus2A
161
78
E-12 76
160
134
138
CnSus2B
CnSus1B 84 1062
24b pF1
120
161
1410
1085
80 25bp R1
1435
1727 26 1752 F2
125 2193
23 2215 bp R2
-B-SACPD E-2
O.sativa
E-3 338 bp
CnSacpd
E-2
E-3 487 bp
663 23
685
870
F
23 892
R
-C-ABI3 O.sativa
E-2
E-1
E-2 138bp
129bp 1615
E-3
1637 23bp
F3
112 bp
259bp
E-2
CnAbi3B
119
449
216
CnAbi3A
E-4
E-3
E-3 138bp
210bp 1843
23bp
1865
R3
Gambar 7.2 Posisi masing-masing pasangan primer (F & R) dan fragmen DNA kelapa berbuah kopyor di dalam diagram struktur parsial gen Sucrose synthase (SUS), Stearoyl Acyl Carrier Protein Desaturase (SACPD), dan Absicic Acid Insensitive (ABI). A. Pasangan primer SUS1 (SUS1-F1 & SUS1-R1) dan SUS2 (SUS2-F2 & SUS2-R2) posisinya dalam struktur parsial gen SUS dari tanaman Arabidopsis thaliana (NM122090) dan posisi runutan nukleotida fragmen DNA CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A dan CnSus2B relatif terhadap fragmen gen SUS Arabidopsis. B. Pasangan primer SACPD (SACPD-F & SACPD-R) dalam struktur parsial gen SACPD tanaman Oryza sativa (NM0010517500) dan posisi runutan nukleotida fragmen DNA CnSacpd relatif terhadap gen SACPD padi. C. Pasangan primer ABI3 (ABI3-F3 & ABI3-R3) dalam struktur parsial gen ABI tanaman O.sativa (AP003436) dan posisi fragmen DNA CnAbi3A dan CnAbi3B relatif terhadap gen ABI padi.
116
84,161, dan 120 bp. Bagian daerah yang ditranslasikan CnSus1A dan CnSus1B dimulai dari sebagian ekson 6, ekson 7, ekson 8, dan sebagian ekson 9 dengan total panjang nukleotida 373 bp. Pasangan primer SUS2 yang dirancang pada posisi ekson 11 dan 12 diperkirakan akan menghasilkan fragmen DNA yang mengandung satu intron, namun fragmen DNA CnSus2A maupun CnSus2B menghasilkan fragmen yang mengandung dua intron. Posisi intron yang pertama sama dengan posisi intron 11 gen A.thaliana, sedangkan intron ke-2 berada pada ekson 12 dan membagi ekson tersebut menjadi dua bagian tepat diposisi nukleotida primer reverse (Gambar 7.2A). Fragmen DNA CnSacpd yang diamplifikasi sepasang primer SACPD mulai dari ekson 2 sampai 3 mengandung 1 intron dengan panjang 487 bp dan total bagian yang ditranslasikan 229 bp (Tabel 7.2 & Gambar 7.2B). Sementara itu, runutan nukleotida fragmen DNA CnAbi3A dan CnAbi3B yang diamplifikasi sepasang primer ABI3 dari ekson 1 sampai 4 mengandung 3 intron. Intron fragmen CnAbi3A mempunyai ukuran 138, 259, dan 112bp, sementara itu intron CnAbi3B sebesar 129, 138, dan 210 bp. Total bagian yang ditranslasikan adalah 251 bp yang dimulai dari sebagian ekson 1, ekson 2, ekson 3, dan sebagian ekson 4 (Gambar 7.2C).
Analisis Asam Amino Residu dan Filogenetik Total bagian ekson fragmen DNA SUS, SACPD, dan ABI ditranslasikan dengan menggunakan program tblastx untuk mengetahui susunan dan panjang asam amino residu pada masing-masing fragmen. Bagian ekson fragmen DNA CnSus1A yang digabungkan dengan
ekson CnSus2A atau CnSus1B dengan
CnSus2B mempunyai panjang nukleotida 808 bp dan mengkode protein sepanjang 270 asam amino (Gambar 7.3). Runutan asam amino ini mempunyai tingkat homologi yang tinggi (90.5 dan 88.5% identik) dengan asam amino residu gen sucrose-synthase 1 dari
Oncidium cv. Goldiana (AF530567) dan Tulipa
gesneriana (X96938) (Balk & de Boer, 1999). Runutan sucrose synthase tersebut juga mempunyai homologi tinggi (identik 85-87.5%) dengan tanaman monokotil lainnya seperti Bambusa oldhamii (AF412037), Oryza sativa (Z15028),
117
Saccharum officinarum (AF263384), Zea mays (L22296), dan Triticum aestivum (AJ000153). Fragmen DNA CnSacpd kelapa berbuah kopyor mempunyai daerah yang dapat ditranslasikan sepanjang 229 bp dan mengkode 76 asam amino (Gambar 7.4A). Runutan 76 asam amino ini 98% identik dengan asam amino stearoylacyl-carrier protein desaturase Elaeis guineensis var. tenera (AF143501 dan EGU68756).
Di samping itu, runutan asam amino CnSacpd mempunyai tingkat
homologi yang tinggi (identik 90-97%) dengan tanaman berbiji yang mengandung minyak yaitu Glycine max (L34346), Arachis hypogea (AF172728), Sesame (D42086), Z. mays (AY104235), Helianthus annus (U70374), dan Ricinus communis (M59857).
Gambar 7.3 Pensejajaran runutan asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA kelapa berbuah kopyor CnSus1A+B dan CnSus2A+B dengan tanaman monokotil lainnya seperti Oncidium AF530567, Tulipa gesneriana X96938, Triticum aestivum AJ000153, Sacharrum officinarum AF263384, Oryza sativa Z15028, Hordeum vulgare X69931, Zea mays L22296, dan Bambusa oldhamii AF412037.
118
A. SACPD
G.max : A.hypogea : B.rapa : H.annuus : L.luteus : P.americana: A.thaliana : R.communis : Sesame : Z.mays : E.guineens1: E.guineens2: CnSacpd :
D.carota P.vulgaris A.thaliana P.sativum P.tricocha Z.mays CnAbi3B CnAbi3A
: : : : : : : :
* 20 * 40 * 60 * YLYLSGRVDMKQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARLAKEHGD+KLAQICG+IASD YLYLSGRVDLRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARLAKGHGDMKLAQICGMIASD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENNPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARQAKEHGDLKAQICGTIAADYLYLSGRVDMRQIQKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARHAKEHGDVKAQMCGIIAADYLYLSGRVDMKKIEKTVQYLIGSGMDPGTENNPYLGFVYTSFQERATFVSHGNTARLAKEGGDPVLARICGTIAAD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFVYTSFQERATFISHGNTARHAKEYGDDKLAKICGTIAAD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENNPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARQAKEHGDIKLAQICGTIAAD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARQAKEHGDIKLAQICGTIAAD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARLAREHGDLKLAQICGTIAAD YMYLTGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENNPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARHAKDFGDLKLAQICGIIASD YLYLSGRVDMRQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARHAKEHGDLKLAQICGIIASD YLYLSGRVDMKQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARHAKEHGDVKLAQICGTIASD YLYLSGRVDMKQIEKTIQYLIGSGMDPRTENSPYLGFIYTSFQERATFISHGNTARLAKEHGDLKLAQICGIIASD Y6YL3GRVD64qI2KT6QYLIGSGMDPrTEN PYLGF6YTSFQERATF6SHGNTAR A4ehGD kla icg iA d
: : : : : : : : : : : : :
74 76 75 75 76 76 76 76 76 76 76 76 76
* 20 * 40 * 60 * 80 KVLKQSDVGCLGRIVLPKREAETQLPQLEDRDGIQIVMEDIGTSKVWNLRYRYWPNNKSRMYVLENTGEFVKENGLQEGDFIKVLKQSDVGKLGEIVLPKKEAETHLPELEARDGISITMEDIGTSRVWNMRYRYWPNNKSRMYLLENTGDFVRANGLQEGDFIKVLKQSDVGNLGRIVLPKKEAETHLPELEARDGISLAMEDIGTSRVWNMRYRFWPNNKSRMYLLENTGDFVKTNGLQEGDFIKVLKQSDVGSLGRIVLPKKEAETHLPELEARDGISITMEDIGTSRVWNMRYRYWPNNKSRMYLLENTGDFVKANGLQEGDFIKVLKQSDVGSLGRIVLPKKEAETHLPELEARDGISIAMEDIGTSRVWNMRYRFWPNNKSRMYLLENTGDFVRTNGLQEGDFIKVLKQSDVGSLGRIVLPKKEAEVHLPELKTRDGISIPMEDIGTSRVWNMRYRFWPNNKSRMYLLENTGEFVRSNELQEGDFIV KVLKQSDVGSLGRIVLPKKEAETHLPELEARDGISITMEDIGTSRVWNMRYRYWPNNKSRMYLLENTGDFVKANGLQEGDFLKVLKQSDVGSLGRIVLPKKEAEIHLPELEARDGMSIPMEDIGTSQVWNMRYRFWPNNKSRMYLLENTGEFVRSNGLQEGDFIV KVLKQSDVG LGrIVLPK4EAEthLP2LeaRDG6s6 MEDIGTS VWN6RYR5WPNNKSRMY6LENTG FV4 NgLQEGDF6
: : : : : : : :
82 82 82 82 82 83 82 83
Gambar 7. 4
Pensejajaran runutan asam amino yang diturunkan dari fragmen DNA gen SACPD dan ABI kelapa berbuah kopyor hasil amplifikasi pasangan primer SACPD dan ABI3 dengan tanaman monokotil dan dikotil lainnya dan variasi asam amino yang ditimbulkan antar runutan nukleotida. A. Pensejajaran asam amino CnSacpd dengan Elaeis guineensis var. tenera AF143501 dan U68756, Glycine max L34346, Sesame D42086, Arachis hypogaea AF172728, Ricinus communis M59857, Helianthus annuus U70374, Arabidopsis thaliana AF395441, Persea americana AF116861, Z. mays AY104235, Lupinus luteus AF139377. B. Pensejajaran asam amino CnAbi3A dan CnAbi3B dengan Z. mays M60214, Populus trichocarpa AJ003166, Pisum sativum AB080195, A. thaliana X68141, Phaseolus vulgaris AB085836, Daucus carota AB005558.
Total daerah yang dapat ditranslasikan untuk fragmen DNA CnAbi3A atau CnAbi3B adalah 251bp yang mengkode 82 asam amino (Gambar 7.4B). Perbandingan runutan
asam amino antara CnAbi3A dengan
CnAbi3B
menunjukkan tingkat homologi 92.3%. Analisis runutan asam amino CnAbi3B menunjukkan tingkat homologi tinggi dengan asam amino dari gen ABI3 (ABA insensitive 3) Pisum sativum (identik 96.5%) (Gambar 7.4B). Dendrogram SUS, SACPD dan ABI dibuat berdasarkan runutan nukleotida asam amino yang diturunkan dari masing-masing fragmen DNAnya. Dendrogram SUS terbagi menjadi 3 group (Gambar 7.5) yaitu group 1 adalah kelompok monokotil yang terdiri dari B. oldhamii, O. sativa, S.officinarum, Z. mays, T. Aestivum, dan H. vulgare. Group yang ke 2 adalah kelompok Sucrose synthase 1
119
1
2
3
Gambar 7.5 Dendrogram runutan asam amino Sucrose synthase (SUS) kelapa berbuah kopyor CnSus1A+B dan CnSus2A+B dengan spesies Tulipa gesneriana X96938, Triticum aestivum AJ000153, Saccharum officinarum AF263384, Oryza sativa Z15028, Hordeum vulgare X69931, Zea mays L22296, Bambusa oldhamii AF412037, Oncidium AF530567, Vigna radiata D10266, Glycine max AF030231, Hordeum vulgare X69931, Citrus lanatus AB018561, Vicus faba M97551, Pisum sativum AJ012080, Medicago truncale AJ131943, Gossypium hirsutum U73587, Citrus unshiu, Lycopersicon esculentum L19762, dan Daucus carota X75332, yang runutan asam aminonya tersedia di data base. Dendrogram dibentuk dalam format phylip-rectangular. tanaman
dikotil, seperti Citrus lanatus, Vicus faba, Pisum sativum,
Medicago truncale, Gossypium hirsutum, Citrus unshiu,
Lycopersicon
esculentum, dan Daucus carota. Group ke 3 terdiri sucrose synthase kelapa berbuah kopyor (CnSus1A+CnSus2A dan CnSus1B+CnSus2B) dan Oncidium. Hal yang menarik adalah sucrose synthase kelapa berbuah kopyor berada dalam satu group dengan Oncidium dan terpisah dengan group monokotil lainnya seperti B. oldhamii, O. sativa, S.officinarum, Z. mays, dan T. aestivum. Sementara itu, dendrogram SACPD menunjukkan adanya 2 group. SACPD kelapa berbuah kopyor (CnSacpd) mengelompok dalam satu group dengan E.guineensis, G.max, H.annus, Z.mays dan A.hypogea. Group SACPD a
120
1
2
b
1
2
Gambar 7.6 Dendrogram asam amino gen SACPD dan ABI dengan tanaman monokotil dan dikotil yang runutan asam aminonya tersedia di data base. a. Dendrogram asam amino CnSacpd dengan Brassica rapa X60978, Arabidopsis thaliana AF395441, Ricinus communis M59857, Persea americana AF116861, Lupinus luteus AF139377, Sesame D42086, Elaeis guineensis AF143501 dan U68756, Z. mays AY104235, G. max L34346, Helianthus annuus U70374, dan Arachis hypogaea AF172728. b. Dendrogram asam amino CnAbi3A dan CnAbi3B dengan P. sativum AB080195, Phaseolus vulgaris AB085836, Populus trichocarpa AJ003166, A.thaliana X68141, D. carota AB005558, dan Z. mays M60214. yang lainnya terdiri dari B.rapa, A.thaliana, R.comunnis, P. Americana, Sesame dan L.luteus (Gambar 7.6a). Dendrogram gen ABI juga terbagi menjadi dua group dimana CnAbi3A dan CnAbi3B terpisah pada dua group tersebut. CnAbi3A berada dalam satu group dengan Z.mays, A.thaliana, P.trichocarpa, dan D.carota.
121
Sedangkan CnAbiC mengelompok dengan P.sativum dan P.vulgaris (Gambar 7.6b).
Pembahasan
Buah kelapa kopyor tidak dapat dijadikan bibit karena endosperma mengalami pembusukan setelah buah dipanen dari pohon, sehingga embrio tidak dapat menggunakan endosperma tersebut sebagai sumber makanan dalam proses perkecambahan. Endosperma kelapa sebagian besar terdiri dari galaktomanan. Galaktomanan disimpan di dalam dinding sel endosperma sebagai cadangan makanan dalam bentuk polisakarida dinding sel (Buckeridge et al. 2000). Khusus famili palma mempunyai endosperma dengan dinding sel tebal yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbohidrat termasuk galaktomanan,
sedangkan
lemak dan protein disimpan di dalam sel endosperma (DeMason et al. 1983). Selama proses perkecambahan embrio, sumber energi dan unsur hara berasal dari air kelapa (sukrosa) dan endosperma (karbohidrat/galaktomanan dan lemak) (Balachandran & Arumughan 1995). Pada endosperma dan air kelapa buah kopyor kandungan sukrosa ditemukan sangat tinggi dibandingkan dengan buah kelapa normal (Santoso et al. 1996). Sebaliknya, kandungan lemak lebih rendah daripada kelapa normal. Asam lemak pada endosperma kelapa kopyor terutama terdiri dari asam oleat yang kandungannya lebih tinggi daripada kelapa normal. Berdasarkan hal tersebut maka sucrose synthase (SUS), stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan absicid acid insensitive (ABI) adalah gen-gen yang kemungkinan mempunyai hubungan erat dengan sifat kopyor pada tanaman kelapa. Sucrose synthase adalah enzim yang terlibat dalam sintesis sukrosa yaitu mengkatalisis reaksi bolak balik: UDP-glukosa+fruktosa↔sukrosa+UDP (Sturn & Tang 1999).
Stearoyl acyl
carrier protein desaturase (SACPD) merupakan enzim penting dalam proses perubahan asam stearat ke bentuk asam oleat (Kachroo et al. 2008). Gen ABI sendiri mempunyai peranan penting dalam mobilisasi galaktomanan (Potomati & Buckeridge 2002).
122
Pada penelitian ini berhasil diisolasi 4 fragmen DNA CnSus. Dua fragmen DNA CnSus1A dan CnSus1B berasal dari amplifikasi sepasang primer degenerate SUS1 yang terletak pada ekson 6 dan ekson 9 dan dua fragmen masing-masing CnSus2A dan CnSus2B dari sepasang primer SUS2 yang berada di ekson 11 dan ekson 12. Pensejajaran fragmen CnSus1A dengan CnSus1B menunjukkan tingkat homologi 88.8% pada level DNA dan 91.6% pada level asam amino. Sementara itu fragmen CnSus2A dengan CnSus2B menunjukkan lebih banyak perbedaan basa nukleotida pada level DNA dengan tingkat homologi hanya 78.5%. Meskipun demikian homologi kedua fragmen tersebut pada level asam amino masih tinggi (90.5%). Perbedaan antara CnSus1A dengan CnSus1B atau CnSus2A dengan CnSus2B tidak hanya pada runutan basa atau asam aminonya namun juga pada panjang fragmennya. Perbedaan panjang fragmen disebabkan oleh variasi panjang-pendeknya daerah intron, ukuran ekson tetap sama antara fragmen tersebut.
Ukuran
keseluruhan ekson 7 dan 8 (ekson utuh) yaitu 96 dan 174 bp pada CnSus1A dan CnSus1B menunjukkan kesesuaian ukuran dengan ekson DNA sucrose synthase tanaman jeruk (Citrus SUS1dan Citrus SUSA) (Komatsu et al. 2002).
Pada
posisi ekson ke 12 dari CnSus2A dan CnSus2B terdapat sisipan satu intron. Sisipan satu intron ini merupakan tipikal struktur gen SUS pada monokot dimana hal tersebut tidak terdapat pada ekson 12 dari SUS tanaman dikotil (Komatsu et al. 2002). Seperti diketahui daerah yang dapat ditranslasikan pada gen SUS dari berbagai tanaman terdiri dari 806 sampai 812 a.a. (Komatsu et al. 2002; Chiu et al. 2006; Geromel et al. 2006). Panjang asam amino ini terbagi menjadi 13 ekson untuk tanaman dikotil dan 15 ekson untuk tanaman monokotil. Kelebihan dua ekson pada tanaman monokotil disebabkan adanya sisipan intron pada ekson 6 dan ekson 12 (Komatsu et al. 2002). Sucrose synthase pada tanaman umumnya terdapat dalam bentuk isoform dan sedikitnya dikode oleh 2 gen, sebagai contoh 2 gen SUS pada tanaman kopi (Coffea arabica) (Geromel et al. 2006), 3 gen pada jeruk (Citrus unshiu) (Komatsu et al. 2002), dan 4 gen pada bambu (Chiu et al. 2006). Sucrose synthase tanaman diklasifikasikan menjadi 4 group yang berbeda yaitu: group monokotil, group dikotil SUS1, group dikotil SUSA, dan group baru (Fu & Park 1995; Sturm
123
et al. 1999; Komatsu et al. 2002). Gen SUS pada tanaman monokotil lebih jauh dibedakan menjadi 3 kelompok: kelompok SUS1 rumput-rumputan,
SUS2
rumput-rumputan, dan SUS non-rumput (Chiu et al. 2006). Berdasarkan analisis filogenetik
runutan
asam
amino
(Gambar
7.5),
sucrose
synthase
CnSus1A+CnSus2A dan CnSus1B+CnSus2B masuk dalam group SUS nonrumput yaitu satu kelompok dengan Oncidium. Tampaknya sucrose synthase genom kelapa berbuah kopyor lebih dekat hubungannya dengan spesies anggrek daripada rumput-rumputan. Dengan primer spesifik SACPD dari kelapa sawit didapatkan satu fragmen CnSacpd dengan panjang 716 bp.
Analisis runutan asam amino CnSacpd
sepanjang 76 a.a. menunjukkan tingkat homologi tinggi (96% dan 97%) dengan SACPD E. guineensis1 (U68756) dan E. guineensis2 (AF143501). Variasi asam amino antara CnSacpd dengan E. guineensis1 terjadi pada 3 posisi a.a., yaitu a.a. 57, 64 dan 72. Untuk E. guineensis2 hanya terjadi pada 1 posisi, asam amino 57 (Gambar 7.4A). Perbedaan asam amino CnScpd dengan kelapa sawit maupun dengan tanaman lain (wijen, jarak, kedelai, kacang tanah, bunga matahari, arabidopsis, jagung) banyak ditemukan pada ekson 3 (Gambar 7.4A). Isolasi gen SACPD pada tanaman kedelai menunjukkan bahwa protein SACPD terdiri dari 386 sampai 411 asam amino yang terbagi dari ekson 1 sampai ekson 3 (Byfield et al. 2006; Kachroo et al. 2008). Seperti halnya SACPD kelapa berbuah kopyor, pada dua gen SACPD kedelai (GmSACPD-A dan GmSACPD-B) variasi asam amino juga banyak ditemukan pada ekson 3 dan tidak ada pada ekson 1 atau 2 (Byfield et al. 2006). Terdapat dua fragmen gen ABI yang diperoleh yaitu CnAbi3A (760 bp) dan CnAbi3B (728 bp). CnAbi3A dan CnAbi3B berbagi kesamaan basa nukleotida 66.5%, namun pada level asam amino tingkat homologinya sangat tinggi yaitu 92.3%.
Kemungkinan variasi banyak terjadi pada basa ke tiga
sehingga tidak mengubah translasi asam aminonya. Perbedaan asam amino antara kedua fragmen terjadi pada 4 posisi (Gambar 7.4B). Meskipun CnAbi3A dan CnAbi3B mempunyai tingkat homologi tinggi namun kedua fragmen ini terpisah dalam group yang berbeda. CnAbi3A satu group dengan Z. mays, sementara CnAbi3B berada dalam satu group dengan P. Sativum dan P. vulgaris. Baik
124
CnAbi3A maupun CnAbi3B menunjukkan kesamaan runutan nukleotida lebih dari 90% dengan gen ABI3 dari tanaman spesies lain
seperti A. thaliana, P.
Sativum, P. tricocharpa, dan Z. mays. Di Arabidopsis telah diidentifikasi 3 lokus Abi yaitu ABI1, ABI2, dan ABI3. ABI1 dan ABI2 lebih banyak berperan dalam pertumbuhan vegetatif namun ABI3 lebih besar peranannya dalam perkembangan biji (Koornneef et al. 1984). Pada spesies P. tricocharpa gen ABI3 ditemukan ekspresinya hanya di biji yang sedang berkembang. Gen ABI3 P. trichocharpa terdiri dari 736 a.a dan mempunyai 5 intron (Rohde et al. 1998). Dengan didapatkannya berbagai fragmen DNA dari gen SUS, SACPD, dan ABI, maka runutan nukleotida CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, dan CnSus2B; CnSacpd; serta CnAbi3A dan CnAbi3B dapat dijadikan cetakan untuk merancang primer spesifik.
Primer spesifik gen-gen tersebut dapat dipergunakan untuk
analisis molekuler pada jenis tanaman kelapa berbuah kopyor, kelapa kopyor maupun kelapa normal.
Kesimpulan
Sejumlah gen yang diduga berhubungan erat dengan sifat kopyor pada tanaman kelapa berhasil diisolasi dari genom kelapa berbuah kopyor jenis dalam. Gen SUS menghasilkan empat fragmen DNA yaitu CnSus1A, CnSus1B, CnSus2A, dan CnSus2B dengan panjang secara berurutan 746, 738, 780, dan 687bp. Gen SACPD menghasilkan satu fragmen DNA yaitu CnSACPD dengan panjang 716bp dan gen ABI menghasilkan dua fragmen DNA yaitu CnAbi3A panjang 760bp dan CnAbi3B 728bp.
Fragmen DNA CnSus1A, CnSus1B,
CnSus2A, dan CnSus2B mempunyai homologi tinggi dengan gen SUS tanaman monokotil lainnya dan termasuk dalam kelompok monokotil non-rumput. CnSacpd mempunyai homologi tinggi dengan tanaman kelapa sawit dan tanaman dengan biji mengandung minyak tinggi. Fragmen DNA CnAbi3A dan CnAbi3B homolog dengan gen ABI3 pada P.trichocharpa yang hanya diekspresikan pada biji yang sedang berkembang. Enam pasangan primer spesifik untuk gen SUS, SACPD, dan ABI berhasil dirancang dengan nama: CnSUS2A, CnSUS2B, CnSACPD, dan CnABI3B.
CnSUS1A, CnSUS1B,
125
BAB VIII KERAGAMAN GENETIK POPULASI KELAPA BERBUAH KOPYOR DI PULAU JAWA BERDASARKAN PCR-SINGLE STRAND CONFORMATION POLYMORPHISM (SSCP) Abstrak Populasi kelapa berbuah kopyor yang ditemukan di P. Jawa merupakan jenis kelapa hasil mutasi alami. Sebanyak 10 primer spesifik yang dirancang dari gen SUS, SACPD, ABI3, FAD, LTP, FATB, dan ARF1 digunakan untuk menganalisis keragaman genetik populasi kelapa berbuah kopyor yang berasal dari Jawa Tengah (Dukuh Seti, Tayu, dan Margoyoso) dan Jawa Timur (Jember). Analisis menggunakan metode SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) di gel poliakrilamid. Populasi kelapa berbuah kopyor asal Jawa Timur dapat dipisahkan dari subgroup populasi asal Jawa Tengah. Walaupun demikian belum bisa dibedakan antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan populasi kelapa berbuah normal. Demikian juga dalam populasi kelapa berbuah kopyor tidak bisa dipisahkan antara jenis kelapa kopyor dalam, genjah, dan hibrida. Parentage analysis menunjukkan bahwa asal usul kelapa hibrida berbuah kopyor dari Jawa Tengah ternyata berasal dari tetua kelapa berbuah kopyor dalam dan genjah yang berada di Jawa Tengah juga.
Kata kunci: analisis genetik, kelapa dalam berbuah kopyor, kelapa genjah berbuah kopyor
126
GENETIC DIVERSITY OF KOPYOR FRUITED COCONUT POPULATION IN JAVA ISLAND BASED ON PCR-SINGLE STRAND CONFORMATION POLYMORPHISM (SSCP) Abstract Kopyor fruited coconut found in Java Island is variety of coconut resulted from natural mutation. Ten specific primers designed from SUS, SACPD, ABI3, FAD, FATB, LTP, and ARF1 genes were used for analyzing genetic diversity of kopyor fruited coconut population originated from Central Java (Dukuh Seti, Tayu, and Margoyoso) and East Java (Jember). The population was analyzed by SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) method in a polyacrylamide gel. Population of East Java kopyor fruited coconut could be separated from subgroup of Central Java population; however, they could not be separated from normal coconut. Among kopyor fruited coconut population, could not be differentiated either the tall, dwarf and hybrid cultivars. Parentage analysis demonstrated that kopyor fruited hybrid coconut from Central Java was originated from tall and dwarf parent in Central Java.
Key words: genetic analysis, kopyor fruited tall coconut, kopyor fruited dwarf coconut
127
Pendahuluan
Tanaman kelapa tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sampai sekarang telah dikoleksi lebih dari 100 aksesi dan 25 kultivar yang ditanam di kebun koleksi Mapanget BALITKA Menado (Novarianto et al. 1999). Di antara berbagai jenis kelapa tersebut, terdapat satu jenis kelapa yang disebut kelapa berbuah kopyor.
Kelapa berbuah kopyor merupakan hasil mutasi alami dari
kelapa dalam tipe liar (Samonthe et al. 1989). Mutasi ini ada kaitannya dengan ketidakaktifan enzim α-D Galaktosidase pada endosperma buah kelapa kopyor (Mujer et al. 1984).
Enzim α-D Galaktosidase berfungsi sebagai katalis untuk
memecah
kelompok
senyawa
α-D
galactosyl
dari
rantai
polisakarida
Galaktomanan (Guimaraes et al. 2001) dan senyawa hasil degradasi selanjutnya dijadikan sebagai sumber energi untuk perkecambahan embrio kelapa. Dengan demikian embrio buah kelapa kopyor tidak mampu berkecambah karena endospermanya tidak bisa mendukung pertumbuhan embrio tersebut selama proses perkecambahan. Kelapa berbuah kopyor biasanya dikembangkan dengan menanam buah kelapa dengan fenotipe normal yang berasal dari pohon kelapa berbuah kopyor. Melalui teknik ini didapatkan buah kopyor sebanyak 1-2 buah per pohon. Dengan perkembangan teknologi sekarang, buah kelapa kopyor dapat dikecambahkan melalui teknik kultur embrio (embryo rescue). Teknologi ini dapat menghasilkan bibit kelapa kopyor yang jika ditanam akan menghasilkan pohon kelapa yang berbuah 100% kopyor. Populasi kelapa kopyor (100% berbuah kopyor) dikembangkan di daerah Lampung dan Jawa Barat (Ciomas).
Populasi ini
dikembangkan dari kultur embrio dimana embrio yang digunakan berasal dari berbagai pohon kelapa berbuah kopyor yang ada di Pulau Jawa. Di alam populasi kelapa berbuah kopyor sangat terbatas dan terkonsentrasi di kebun-kebun rakyat yang berskala kecil di Pulau Jawa. Belum ada informasi yang jelas tentang asal pohon kelapa berbuah kopyor tersebut. Namun populasi kelapa berbuah kopyor dapat ditemukan
di daerah
Jember, Banyuwangi,
Sumenep, dan Pati (Jawa Timur dan Jawa Tengah). Di Jember ditemukan populasi kelapa berbuah kopyor dari jenis kelapa dalam dan genjah, sedangkan di Sumenep
128
masih jenis kelapa berbuah kopyor dalam yang ditemukan (Sukendah et al. 2002). Di Pati dijumpai 3 jenis kelapa berbuah kopyor yaitu dalam, genjah, dan hibrida. Keragaman kelapa berbuah kopyor tidak hanya tampak pada jenisnya (dalam, genjah atau hibrida) namun juga pada tekstur endosperma. Berdasarkan tekstur endosperma,
buah kelapa kopyor yang ada di Sumenep dibedakan
menjadi 3 tipe yaitu, pertama endosperma yang telah hancur yang disebut “Puan” atau “Kopyor”. Tipe ke dua, endosperma masih utuh namun sangat lunak yang disebut “Theeri” dan tipe ke tiga adalah endosperma agak lebih keras dibanding “Theeri” yang disebut “Kapungan” (Akuba et al. 2000). Hal ini menunjukkan kemungkinan ada perbedaan level ekspresi pada sifat kopyor antar populasi kelapa berbuah kopyor, sehingga menghasilkan keragaman tekstur endosperma. Pada
tulisan lain, peneliti telah mengemukakan tentang perbedaan
komposisi senyawa kimia antara endosperma kelapa kopyor dengan kelapa normal dan telah merancang primer spesifik untuk gen-gen yang dihipotesakan berhubungan dengan sifat kopyor yaitu sucrose synthase (SUS), stearoyl-acyl carrier protein desaturase (SACPD) dan abscisic
acid insensitive (ABI).
Endosperma dan air buah kelapa kopyor mengandung sukrosa lebih tinggi daripada kelapa berbuah normal. Endosperma buah kelapa kopyor juga mengandung asam oleat dan asam linoleat lebih tinggi daripada buah kelapa normal (Santoso et al. 1996). Hal yang menarik untuk dilakukan lebih lanjut adalah mengevaluasi primer gen-gen tersebut pada populasi kelapa berbuah kopyor dari berbagai jenis (dalam, genjah, dan hibrida) dan dari beberapa lokasi asal kelapa berbuah kopyor baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah. Sampai saat ini sangat sedikit usaha yang dilakukan untuk mengetahui fenomena sifat kopyor yang terjadi pada tanaman kelapa.
Observasi secara
morfologi menunjukkan tidak ada perbedaan antara tanaman kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal. Perbedaan hanya terlihat pada bagian endosperma buah kelapa. Penggunaan analisis molekuler sudah pernah dicoba untuk membedakan kedua macam kelapa tersebut dengan menggunakan teknik RAPD dan SSR, namun usaha tersebut belum berhasil mendapatkan penanda molekuler RAPD atau SSR yang terpaut dengan gen penentu sifat buah kopyor (Toruan & Ginting 1998; Maskromo 2005). Oleh sebab itu pada penelitian ini
129
pendekatan dilakukan dengan menganalisis keragaman genetik antara populasi kelapa kopyor di alam dan populasi kelapa buah normal yang berada dalam satu kebun berdasarkan primer spesifik dari gen-gen yang diduga berhubungan dengan sifat kopyor.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan genetika antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal di sekitarnya dan antar populasi kelapa berbuah kopyor, yang dilakukan dengan cara: (1) mendapatkan fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dari gen-gen yang berhubungan dengan sifat kopyor menggunakan primer spesifik gen yang bersangkutan, dan (2) menganalisis keragaman fragmen DNA yang dihasilkan oleh gel polyacrylamidesingle strand conformation polymorphism (SSCP).
Metodologi Penelitian
Bahan Tanam dan Ekstrasi DNA Sampel daun kelapa kopyor diambil dari sentra kebun kelapa kopyor rakyat di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yaitu Kecamatan Wuluhan dan Ambulu, Jember Jawa Timur dan Kecamatan Dukuh Seti, Tayu, Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Daun kelapa yang digunakan sebagai sumber DNA berasal dari pohon kelapa dalam berbuah kopyor, genjah berbuah kopyor, dan hibrida berbuah kopyor. Sampel daun diambil dari bagian pucuk tunas yaitu pelepah daun kelapa yang baru muncul dan masih menggulung (janur muda). Jumlah sampel, jenis dan asal populasi disajikan pada Tabel 8.1. Daun kelapa berbuah kopyor yang masih segar (berwarna hijau muda), tidak rusak dan tidak mengandung penyakit atau hama dari masing-masing sampel dipotong kecil-kecil sebanyak 50-100 mg. Potongan daun dimasukkan dalam tabung eppendoft bersama dengan bola gir kecil. Daun dihancurkan dalam mesin penghancur jaringan (Retsch MM301) selama 3 menit dengan frekuensi 300 hertz. Jaringan daun yang sudah berupa serbuk halus lalu diinkubasi dengan buffer lisis
130
yang mengandung RNase selama semalam, dan difiltrasi melalui filter column. Proses ekstraksi DNA daun selanjutnya dilakukan menurut protokol Plant Genomic
DNA
Mini
http://www.geneaid.com).
Kit
(Geneaid,
Geneaid
Biotech
Ltd.
Kualitas dan kuantitas DNA dievaluasi pada gel
agarose 1%, 300 Am, dan 200 Volt selama 20 menit.
Tabel 8.1 Deskripsi sampel tanaman yang digunakan untuk analisis keragaman genetik populasi pohon kelapa berbuah kopyor di Jawa Tengah dan Jawa Timur Asal populasi
Ekotipe
Jumlah sampel pohon
Kec.Dukuh Seti, Kab.Pati, JAWA TENGAH
-KD (Kopyor Dalam) -ND (Normal Dalam) -KG (Kopyor Genjah) -NG (Normal Genjah) -Hy (Hibrida)
9 12 11 11 14
Kec.Tayu, Kab.Pati, JAWA TENGAH
-KD (Kopyor Dalam) -ND (Normal Dalam) -KG (Kopyor Genjah) -NG (Normal Genjah) -Hy (Hibrida)
10 13 15 17 12
Kec.Margoyoso, Kab.Pati, JAWA TENGAH
-KD (Kopyor Dalam) -ND (Normal Dalam) -KG (Kopyor Genjah) -NG (Normal Genjah) -Hy (Hibrida)
11 13 17 17 4
Kec. Wuluhan, Kab.Jember, JAWA TIMUR
-KD (Kopyor Dalam) -ND (Normal Dalam) -KG (Kopyor Genjah) -NG (Normal Genjah)
15 12 6 2
Kec. Ambulu, Kab.Jember, JAWA TIMUR
-KG (Kopyor Genjah) -NG (Normal Genjah)
5 1
131
Primer Spesifik dan Amplifikasi PCR Enam pasangan primer spesifik kelapa berbuah kopyor untuk gen Sucrose synthase (SUS), Stearoyl-acyl carrier protein desaturase (SACPD) dan Abscisic acid insensitive3 (ABI3) yang telah dirancang sebelumnya digunakan untuk mengamplifikasi gen-gen tersebut pada genom kelapa berbuah kopyor dalam, genjah, dan hibrida yang berasal dari Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di samping itu digunakan empat primer spesifik kelapa sawit untuk gen Auxin response factor (ARF1), ER-linoleate desaturase (FAD3), Palmitoyl-ACP thioesterase (FATB), dan Lipid transfer protein (LTP) yang telah dirancang oleh Laboratorium CAB, Kasetsart University, Thailand. Amplifikasi PCR DNA berbagai sampel populasi kelapa berbuah kopyor dilakukan dengan mesin PTC-100 (MJ Research) atau pada T1 Thermocycler (Biometra). Setiap reagensia PCR dibuat dengan volume 16 ul yang terdiri dari cetakan DNA 1.0 ul, sepasang primer 1.0 ul, dNTPmix 3.0 ul, buffer 10x (RBC) sebanyak 1.5 ul,
MgCl2 (Fermentas) 0.15 ul, dan Taq DNA polimerase
(Fermentas) 0.1 ul, dan ddH2O 9.25 ul. Amplifikasi PCR dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: suhu pre-denaturasi 94°C selama 4.0 menit yang diikuti dengan 40 siklus PCR dengan 3 tahap reaksi yaitu suhu denaturasi 94°C selama 45 detik, suhu penempelan (annealing) 52°C-55°C selama 45 detik, suhu perpanjangan (extension) 72°C selama 1.30-2.0 menit. Pada tahap akhir proses PCR dilakukan perpanjangan akhir (final extension) pada suhu 72°C selama 5 menit dan diikuti suhu pendinginan 16°C selama 10 menit.
Produk PCR divisualisasi dan
dievaluasi dengan gel agarose 1% selama 20 menit pada mesin elektroforesis dengan arus 300 Am dan 200 V.
SSCP Gel Poliakrilamid Dobel helix fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dipisahkan di gel poliakrilamid dengan metode Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP). Gel poliakrilamid terdiri dari campuran buffer TBE 5x 7.2 ml, Sequagel MD (Sequagel MD, National Diagnostics, USA) 11.0-12.0 ml, APS (Ammonium persulfate) 500 µl, dan temed 50 µl. Sebelum dielektroforesis di gel poliakrilamid, fragmen DNA dicampur dengan loading buffer (2 µl DNA: 3 µl dye) dan
132
dipanaskan pada suhu 95°C selama10 menit di mesin PCR yang diikuti dengan pendingin secara cepat di dalam bongkahan es. Proses SSCP di mesin elektroforesis gel poliakrilamid dilakukan di dalam kondisi suhu 4°C selama 1516 jam pada arus konstan sebesar 3000 Amp, 300 Volt, dan 10 watt. Pewarnaan DNA gel poliakrilamid dilakukan dengan metode perak nitrat. Gel direndam dalam larutan fiksasi yang terdiri dari asam asetat 10% selama 30 menit, kemudian dilanjutkan ke larutan pewarnaan yang terdiri dari campuran perak nitrat 0.2% dan formaldehida 37% selama 30 menit setelah gel dicuci dengan
ddH20.
Larutan perak nitrat dibersihkan deri gel dengan
ddH20
dan gel
direndam dalam larutan developer yang terdiri dari campuran Na2CO3 25%, formaldehida 0.02%, dan Na2S2O3 0.0002% sampai terlihat pita-pita DNA. Langkah terakhir adalah penghentian pewarnaan di dalam larutan asam asetat 10% selama 5 menit, selanjutnya gel dicuci dengan
ddH20
dan dikeringkan pada
suhu ruangan.
Analisis Gel Poliakrilamid dan Keragaman Genetik Pola pita DNA di gel SSCP dianalisis dan dilakukan skoring pada setiap lokus. Analisis dilakukan untuk membedakan individu homosigot dan heterosigot serta untuk menentukan genotipe setiap individu. Keragaman genetik antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal dan pada populasi kelapa berbuah kopyor dianalisis dengan menggunakan program F-stat untuk mengetahui jumlah alel dalam setiap lokus dan setiap populasi dan frekuensi alel. Selanjutnya untuk analisis pengelompokkan digunakan program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System) versi2.1. Data skoring (data genotipe) dari gel SSCP dikonversi menjadi data biner, yaitu diberi nilai ”1” jika ada pita dan nilai ”0” jika tidak ada pita. Kesamaan genetik antara aksesi dihitung berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data). Koefisien kesamaan genetik selanjutnya diekspor ke program DARwin 5.0 versi 5.0157 untuk membangun pohon filogenetik dengan memakai Neighbor Joining-Weighted Neighbor Joining. Untuk mengetahui asal usul pohon kelapa berbuah kopyor hibrida digunakan parentage analysis dengan program Cervus version 2.0.
133
Hasil Penelitian
Fragmen DNA Hasil Amplifikasi PCR untuk Analisis SSCP Aksesi kelapa berbuah kopyor sebanyak 129 dan
kelapa normal 98
diamplifikasi dengan 10 pasang primer untuk lokus gen SUS (Sucrose synthase), SACPD (Stearoyl acyl carrier protein desaturase), ABI3 (Abscisic acid insensitive)
Tabel 8.2 Pasangan primer spesifik dan suhu penempelan yang digunakan untuk amplifikasi PCR berbagai gen yang berhubungan dengan sifat kopyor pada genom populasi kelapa berbuah kopyor di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta panjang fragmen yang dihasilkan Gen
Sucrose synthase
Kode primer
Runutan nukleotida pasangan primer 5’.......3’
Suhu penempel -an (◦C)
Panjang fragmen (bp)
-CnSUS1A
F-GGTTATCCTGATACYGGNGGNCA R-TTCCGGATGATCCCATTCTCCGT
52
484
-CnSUS1B
F- GGTTATCCTGATACYGGNGGNCA R-TTTCGGATAATACCAATCTCTGT
52
490
-CnSUS2A
F-TCTATTTACTTCCCTTACATGG R-TAGAAGGCAGGCTTCAACCAAC
52
728
-CnSUS2B
F-TCCATCTACTTCCCATACACCG R-TAGAAGGCCGGCTAAGCAAAGG
55
647
Stearoyl Acyl Carrier Protein Desaturase
-CnSACPD
F-CTTTCTGGTAGAGTGGACATGAA R-GTCCTAGGATCCAAAGACAGC
52
563
Abscisic Acid Insensitive
-CnABI3B
F-GGGAGAATTGTTCTGCCAAAGG R-CATTGGCTTTCACAAAGTCCC
55
666
Auxin Response Factor
-EgARF1
F-GGTCATAGTGAACAGGTCAGTC R-GAAAACTTTTTCTGCTGCTCCGA
52
545
ER-linoleate desaturase
-EgFAD3
F-AGGAGTCTGGAATCTGCAACTCG R-CGATACCAGGGAAGTTCCTCATC
55
334
PalmitoylACP thioesterase
-EgFATB2
F-TACAACACCAAAAGGATAATAGC R-GACGTCCATATCGCTCCATCT
55
383
Lipid transfer protein
-EgLTP
F-CTCAGCTTGCTCATCAACTACTG R-CCTTCACAAATTGTCCAAATGCG
52
447
134
FAD (ER-linoleate desaturase), ARF1( Auxin response factor), FADB (PalmitoylACP thioesterase), dan LTP (Lipid transfer protein). Sekitar 80% aksesi di lokuslokus tersebut dapat diamplifikasi oleh pasangan primer tersebut dengan suhu penempelan antara 52-55◦C (Tabel 8.2). Panjang fragmen DNA yang dihasilkan oleh pasangan primer CnSACPD, CnABI3B, EgFAD3, EgARF1, EgFATB2, dan EgLTP berkisar antara 300-550 bp (Gambar 8.1). Panjang fragmen berbagai aksesi kelapa berbuah
kopyor tersebut masih dalam batas kisaran panjang
fragmen masing-masing pasangan primer (Tabel 8.2). Semua fragmen DNA yang menunjukkan pita tunggal dan jelas selanjutnya dipilih untuk digunakan dalam analisis di gel poliakrilamid dengan metode SSCP. Sepuluh pasangan primer yang digunakan tidak semuanya menghasilkan pita polimorfik.
Lokus gen yang diamplifikasi dengan pasangan primer
CnSUS2A, CnSUS2B, EgARF1, EgFATB2, dan EgLTP menghasilkan pita yang monomorfik. Sementara itu pita polimorfik dihasilkan oleh lokus yang diamplifikasi oleh pasangan primer CnSUS1A, CnSUS1B, CnSACPD, CnABI3B, dan EgFAD3. Analisis pita polimorfik pada masing-masing lokus selanjutnya dilakukan dengan melihat keragaman pita SSCP pada gel poliakrilamid. Keragaman pita SSCP ditimbulkan oleh perbedaan mobilitas struktur sekunder yang dibentuk oleh DNA utas tunggal (DNA single strand) setelah dipisahkan dari DNA utas gandanya (DNA double strand). Pola pita setiap individu aksesi diskoring untuk menentukan jumlah alel, genotipe aksesi, dan analisis keragaman genetik. Pada sebagian lokus CnSUS1A (Gambar 8.2A), misalnya: terdapat 2 alel yaitu alel1 terdiri dari 2 pita yang terpisah agak jauh dan alel2 dengan dua pita berdekatan, namun ada 3 pola pita. Pola pita 1 merupakan alel1, pola pita 2 merupakan alel2 dan pola pita 3 merupakan kombinasi alel1 dan alel2 (ada 4 pita). Pada lokus tersebut terdapat 3 genotipe yaitu (11), (22), dan (12). Genotipe (11) dan (22) merupakan individu homosigot, sedangkan genotipe (12) merupakan individu heterosigot. Sementara itu pada sebagian lokus CnSACPD (Gambar 8.2B) alel1 terdiri dari 1 pita, hal ini disebabkan DNA utas tunggal 1 dan DNA utas tunggal 2 membentuk struktur sekunder yang sama, sehingga mobilitas ke dua struktur sekunder tersebut sama dan terlihat muncul 1 pita. Begitu juga alel2
135
M
1
2
3
4
5
6
400-500◄
►300-400
Gambar 8.1 Hasil amplifikasi PCR yang menggunakan DNA genom kelapa dalam berbuah kopyor dengan primer spesifik yang digunakan dalam penelitian ini dan ukuran fragmen DNA yang dievaluasi pada agarose gel 1%. 1: hasil amplifikasi PCR dengan primer EgFAD3 (± 400 bp), 2: dengan primer CnAbi3B (± 500 bp), 3: dengan primer EgARF1(±450bp), 4: dengan primer EgFATB2 (±350 bp), 5: primer CnSACPD (±350 bp), dan 6:primer EgLTP (±400 bp). 1
1
1
1 1
1
2 1 1 1 3 1 1 3 2
1 3 1
3 1 1 2 1 1 2
Pola pita
A
Ale1
Alel2
11
11
11
11 11 11
22 11 11 11 12 11 11 12 22 11 12 11
12 11 11 22 11 11 22
1
1
2
3
3
1
3
3
2
3
Pola pita
11
22
12
12
11
12
12
22
12
Genotipe
Genotipe
B
Alel1► Ale2► 11
Gambar 8.2
Keragaman pola pita SSCP (Single Strand Conformation Polimorphism) pada sebagian aksesi kelapa berbuah kopyor di gel poliakrilamid 11.5 % pada: A. Lokus CnSUS1A: terdapat 2 alel Alel2 juga terdiri dari 1 pita. Pola pita yang dibentuk ada 3 macam yaitu pola pita 1 dan 3 pola pita, serta 3 macam genotipe (11), (22), (12), B. Lokus CnSACPD terdapat 2 macam alel, 3 pola pita dan 3 genotipe.
136
yang terlihat hanya satu pita. Pada lokus ini ada 3 pola pita, yaitu pola pita 1 terdiri dari alel1, pola pita 2 adalah alel alel 2 dan pola pita 3 adalah gabungan alel 1 dan alel 2. Pada lokus CnSACPD terdapat 3 genotipe yaitu (11), (22), dan (12). Data genotipe ini digunakan sebagai analisis keragaman genetik kelapa berbuah kopyor. Keragaman Genetik Kelapa Berbuah Kopyor dengan Berbuah Normal Populasi kelapa berbuah kopyor yang meliputi 3 jenis yaitu dalam, genjah, dan hibrida dan dua jenis kelapa dalam normal dan genjah dikoleksi dari berbagai tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelapa berbuah kopyor atau normal rata-rata mempunyai 2 alel. Namun ada sejumlah aksesi yang mempunyai 3 alel yaitu kelapa genjah dan dalam berbuah kopyor; kelapa genjah dan hibrida normal dari lokus SUS1B dan hibrida berbuah kopyor dari lokus SUS1A. Alel 1 terdapat di semua lokus dengan frekuensi yang tinggi. Alel 1 tampaknya merupakan common alel yang banyak ditemukan pada semua jenis kelapa berbuah kopyor dan kelapa berbuah normal. Alel2 ditemukan lebih rendah frekuensinya daripada alel1. Alel2 hanya umum ditemukan di kelapa dalam normal dan kopyor dan kelapa genjah
kopyor pada lokus SUS1A.
Sebaliknya, alel2 sangat jarang
ditemukan di kelapa normal genjah pada lokus SUS1B dan ABI3. Pada lokus SUS1A alel 3 merupakan rare alel yang hanya ditemukan pada jenis kelapa berbuah kopyor hibrida, dengan frekuensi sebesar 0.028 (Tabel 8.3). Alel 3 juga tidak umum ditemukan pada lokus SUS1B. Alel3 ditemukan dengan frekuensi rendah pada kelapa berbuah kopyor dalam, genjah
dan hibrida serta kelapa
berbuah normal genjah. Alel 3 tidak ditemukan pada jenis kelapa dalam normal. Pada lokus SACPD, ABI3, dan FAD tidak ditemukan alel 3. Macam genotipe paling banyak ditemukan pada kelapa hibrida berbuah kopyor daripada kelapa berbuah kopyor lainnya (dalam dan genjah) maupun kelapa berbuah normal pada lokus SUS1A (Tabel 8.3). Pada lokus SUS1B jenis genotipe lebih banyak ditemukan pada kelapa genjah dan dalam berbuah kopyor. Pada lokus SACPD jenis genotipe lebih tinggi pada kelapa genjah dan dalam normal daripada kelapa hibrida dan dalam berbuah kopyor. Sebaliknya pada lokus ABI3 macam genotipe justru lebih tinggi pada kelapa berbuah kopyor
137
daripada kelapa berbuah normal. Sementara itu pada lokus FAD macam genotipe lebih banyak pada kelapa genjah daripada jenis kelapa lainnya.
Tabel 8.3 Pola pita SSCP alel polimorfik dan keragaman gen antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal untuk masingmasing lokus gen SUS, SACPD, ABI3, dan FAD Lokus
Ekotipe kelapa
Jumlah alel
Frekuensi alel
Macam genotipe
SUS1A
DK GK HY DN GN
2 2 3 2 2
A1=0.446; A2=0.554;A3=0.00 A1=0.575; A2=0.425;A3=0.00 A1=0.778;A2=0.194;A3=0.028 A1=0.519;A2=0.481;A3=0.00 A1=0.714;A2=0.286;A3=0.00
3 3 4 3 3
SUS1B
DK GK HY DN GN
3 3 3 2 3
A1=0.737;A2=0.158:A3=0.105 A1=0.818;A2=0.121;A3=0.061 A1=0.813;A2=0.125;A3=0.063 A1=0.862;A2=0.138;A3=0.000 A1=0.872;A2=0.051;A3=0.077
4 5 3 3 3
SACPD
DK GK HY DN GN
2 2 2 2 2
A1=0.833;A2=0.167 A1=0.769;A2=0.231 A1=0.804;A2=0.196 A1=0.776;A2=0.224 A1=0.738;A2= 0.263
2 3 2 3 3
ABI3
DK GK HY DN GN
2 2 2 2 2
A1=0.789;A2=0.211 A1=0.705;A2=0.295 A1=0.708;A2=0.292 A1=0.672;A2=0.328 A1=0.946;A2=0.054
3 3 2 3 2
FAD
DK GK HY DN GN
2 2 2 2 2
A1=0.720;A2=0.280 A1=0.675;A2=0.326 A1=0.875;A2=0.125 A1=0.650;A2=0.350 A1=0.757;A2=0.243
2 3 2 2 3
Keterangan: DK=Dalam Kopyor, GK=Genjah Kopyor, HY=Hibrida, DN=Dalam Normal, GN=Genjah Normal
138
A
B
C
Gambar 8.3
Fenogram populasi kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) dan normal (dalam dan genjah) asal Dukuh Seti, Tayu, Margoyoso, dan Jember berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJ-Hierarchical. DKD=Dalam Kopyor Dukuh Seti, DND=Dalam Normal Dukuh Seti, GKD=Genjah Kopyor Dukuh Seti, GND=Genjah Normal Dukuh Seti, HYD=Hibrida Dukuh Seti.DKT=Dalam Kopyor Tayu, DKM=Dalam Kopyor Margoyoso, DKJ=Dalam Kopyor Jember. Warna merah adalah aksesi yang berasal dari Jawa Timur.
Populasi pohon kelapa berbuah kopyor dan normal baik jenis dalam, genjah maupun hibrida yang berasal dari daerah Jawa Tengah (Dukuh Seti, Tayu, dan Margoyoso) dan Jawa Timur (Jember) membentuk 3 kelompok besar (Gambar 8.3). Masing-masing kelompok terdiri dari populasi campuran antara jenis kelapa berbuah kopyor dan normal.
Walaupun demikian kelapa berbuah
139
kopyor dan normal yang berasal dari daerah Jawa Timur membentuk kelompok tersendiri dalam subgroup pada kelompok A, yang terpisah dari subgroup populasi kelapa dari Jawa Tengah. Sementara itu kelompok B dan C merupakan populasi kelapa berbuah kopyor dan normal dari Jawa Tengah dimana populasi dari Dukuh Seti, Tayu dan Margoyoso menyebar secara acak pada setiap kelompok (Gambar 8.3).
Keragaman Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor
A
B
C
Gambar 8.4 Fenogram populasi kelapa berbuah kopyor (dalam, genjah, dan hibrida) asal Dukuh Seti, Margoyosos, Tayu (Jawa Tengah), dan Jember (Jawa Timur) yang dikontruksi berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJ-Hierarchical. DKD = Dalam Kopyor Dukuh Seti, DND =Dalam Normal Dukuh Seti, GKD=Genjah Kopyor Dukuh Seti, GND=Genjah Normal Dukuh Seti, HYD=Hibrida Dukuh Seti. DKT=Dalam Kopyor Tayu, DKM=Dalam Kopyor Margoyoso, DKJ=Dalam Kopyor Jember. Warna merah adalah aksesi yang berasal dari Jawa Timur.
140
Populasi kelapa berbuah kopyor berdasarkan primer gen SUS, SACPD, ABI3 dan FAD3 terpisah membentuk 3 kelompok (Gambar 8.4).
Meskipun
demikian populasi kelapa berbuah kopyor jenis dalam, genjah dan hibrida yang tumbuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak bisa dibedakan secara jelas karena jenis kopyor dalam, genjah dan hibrida menyebar secara acak dalam ketiga kelompok tersebut. Dalam kelompok B, populasi kelapa berbuah kopyor asal Jawa Timur bisa dipisahkan dari kelompok populasi kelapa berbuah kopyor asal Jawa Tengah. Kelapa berbuah kopyor dari Jawa Timur membentuk subkelompok tersendiri. Kelompok A dan kelompok C terdiri dari campuran antara berbagai jenis kelapa dan dari berbagai lokasi di Jawa Tengah. Penelusuran asal usul tetua kelapa hibrida berbuah kopyor menunjukkan bahwa beberapa kelapa hibrida berbuah kopyor yang berada di Jawa Tengah berasal dari tetua (parent) kelapa berbuah kopyor jenis dalam dan genjah yang ada di Jawa Tengah. Kelapa hibrida berbuah kopyor dari Dukuh Seti (HYD3) mempunyai tetua dari kelapa dalam berbuah kopyor dari Tayu (DKT7) dan kelapa genjah berbuah kopyor dari Margoyoso (GKM18). Kelapa hibrida berbuah kopyor dari Tayu (HYT17) mempunyai tetua yang sama dengan kelapa hibrida berbuah kopyor dari Dukuh Seti (HYD3) (Tabel 8.4). Baik HYD3, HYT1 maupun DKT7 dan GKM18 mengelompok dalam satu group yaitu di Group C (Gambar 8.4).
Tabel 8.4.
Kemungkinan asal tetua kelapa berbuah kopyor hibrida di Jawa Tengah
No. Kelapa berbuah kopyor Kelapa berbuah kopyor hibrida dalam (Offspring) (Parent 1) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
HYD3 HYT1 HYT10 HYT2 HYT3 HYM17
DKT7 DKT7 DKD2 DKM4 DKM4 DKM13
Kelapa berbuah kopyor genjah (Parent 2) GKM18 GKM18 GKT15 GKM6 GKM6 GKT 18
141
Kelapa berbuah kopyor HYT 10 (Hibrida Tayu) berasal dari tetua DKD2 (Dalam Dukuh Seti) dan GKT15 (Genjah Tayu). Ketiga jenis kelapa berbuah kopyor ini berada dalam satu group yaitu di Group A. Sementara itu kelapa berbuah kopyor HYT2 dan HYT3 (Hibrida Tayu) berasal dari tetua yang sama yaitu DKM4 (Dalam Margoyoso) dan GKM 6 (Genjah Margoyoso) (Tabel 8.4). HYT2, HYT3, DKM4, dan GKM6 berada di Group B. Kelapa berbuah kopyor HYM 17 (Hibrida Margoyoso) yang berada di Group A mempunyai tetua DKM 13 (Dalam Margoyoso) yang berasal dari Group A dan GKT18 (Genjah Tayu) yang berasal dari Group B (Gambar 8.4).
Keragaman Genetik Populasi Kelapa Berbuah Normal
A
B
C
Gambar 8.5 Fenogram populasi kelapa berbuah normal (dalam dan genjah) asal Dukuh Seti, Tayu, Margoyoso, dan Jember berdasarkan Jaccard’s similarity coefficients menggunakan SIMQUAL (Similarity for Qualitative Data) melalui NJ-WNJ-Hierarchical. DND=Dalam Normal Dukuh Seti, GND=Genjah Normal Dukuh Seti, DNM=Dalam Normal Margoyoso, GNM=Genjah Normal Margoyoso, DNT=Dalam Normal Tayu, GNT=Genjah Normal Tayu, DNJ=Dalam Normal Jember. Warna merah adalah aksesi yang berasal dari Jawa Timur.
142
Seperti halnya pada kelapa berbuah
kopyor, populasi kelapa berbuah
normal dari Jawa Tengah yang diambil dari Kecamatan Dukuh Seti, Margoyoso dan Tayu menyebar secara acak dalam tiga group. Dengan demikian tidak bisa dipisahkan antara kelapa berbuah normal jenis dalam dan genjah. Seperti halnya populasi kelapa berbuah kopyor, aksesi kelapa berbuah normal dari Jawa Timur mengelompok tersendiri dalam subgroup pada kelompok B (Gambar 8.5).
Pembahasan
Keragaman genetik populasi kelapa berbuah kopyor dianalisis dengan menggunakan 10 primer gen SUS, SACPD, ABI3, FAD3, ARF1, LTP, dan FATB. Di antara 10 primer tersebut, lima primer yaitu CnSUS1A, CnSUS1B, CnSACPD, CnABI3B, dan EgFAD3 menghasilkan pita polimorfik. Primer-primer tersebut memang dirancang dari gen-gen yang diduga terkait dengan sifat kopyor pada tanaman kelapa. Primer CnSUS1A dan CnSUS1B dirancang dari gen Sucrose synthase yaitu gen yang terlibat dalam sintesis sukrosa (Sturn & Tang 1999). Kandungan sukrosa pada endosperma dan air kelapa kopyor sangat tinggi (Santoso et al. 1999). CnSACPD merupakan primer spesifik yang dirancang dari gen Stearoyl Acyl Carrier Protein Desaturase kelapa berbuah kopyor. Enzim SACPD mengubah asam stearat menjadi asam linoleat (Kachroo et al. 2008). Enzim FAD mengontrol asam linoleat dan asam linolenik. Kandungan asam linoleat lebih tinggi pada endosperma buah kelapa kopyor daripada kelapa normal. Primer CnABI3B dirancang dari runutan nukleotida gen ABI kelapa berbuah kopyor. Absicic Acid insensitive (ABI) adalah hormon yang mengatur mobilisasi galaktomanan pada awal perkecambahan embrio. Rata-rata jumlah alel yang dapat dideteksi oleh 5 primer yang menghasilkan pita polimorfik adalah 2-3 alel per lokus. Pada lokus SUS1A dan SUS1B ditemukan alel yang mempunyai frekuensi tinggi (common alel) dan alel dengan frekuensi sangat rendah (rare alel).
Alel1 merupakan alel yang umum
ditemukan pada setiap jenis kelapa berbuah kopyor maupun kelapa berbuah normal pada setiap lokus. Alel2 meskipun bisa dijumpai pada setiap lokus namun frekuensinya tergolong rendah. Rare alel terdapat pada kelapa hibrida berbuah
143
kopyor pada lokus SUS1A dan kelapa berbuah kopyor jenis dalam, genjah, dan hibrida pada lokus SUS1B. Pada lokus SACPD, ABI, dan FAD ditemukan hanya dua alel. Keragaman genotipe pada ketiga lokus tersebut juga rendah. Berdasarkan primer yang digunakan dalam penelitian ini, populasi kelapa berbuah kopyor dan normal yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dari berbagai jenis kelapa dalam, genjah dan hibrida bercampur menjadi satu dalam 3 kelompok yang berbeda. Begitu juga ketika populasi kelapa berbuah kopyor dianalisis tersendiri, ternyata kelapa berbuah kopyor jenis dalam, genjah dan hibrida menyebar secara acak di setiap kelompok. Dengan menggunakan primer spesifik CnSUS1A, CnSUS1B, CnSACPD, CnABI3B, dan EgFAD3 belum berhasil memisahkan antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa normal atau memisahkan kelapa berbuah kopyor jenis dalam, genjah, dan hibrida. Hasil yang sama terjadi pada lima populasi kelapa normal dalam asal Pulau Jawa yang dikoleksi oleh KIP Pakuwon belum bisa dipisahkan ke dalam kelompok populasinya masing-masing dengan menggunakan 9 primer acak RAPD (Sumarno 2000). Meskipun demikian yang menarik adalah populasi dari Jember, Jawa Timur membentuk subgroup terpisah dari populasi Jawa Tengah, terutama populasi kelapa berbuah kopyor. Kemungkinan kelapa berbuah kopyor Jember berasal dari Populasi Jawa Tengah bertahun-tahun yang lalu dan telah beradaptasi dengan lingkungan yang ada di Jember dan juga berhibridasi dengan populasi kelapa di Jember sehingga membentuk sub kelompok yang terpisah dengan tetuanya. Fakta bahwa jenis kelapa kopyor lebih banyak ditemukan di Jawa Tengah daripada di Jember menunjukkan peluang yang semakin besar bahwa sentral kelapa berbuah kopyor ada di Jawa Tengah. Kemungkinan lain adalah kelapa berbuah kopyor dari Jember merupakan populasi yang berbeda dengan populasi berbuah kopyor dari Jawa Tengah namun mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi tertentu dari Jawa Tengah. Hal ini ditunjang dengan kelapa berbuah normal asal Jawa Timur yang ada di sekitar kelapa berbuah kopyor juga membentuk kelompok sendiri dan terpisah dari kelompok berbuah normal dari Jawa Tengah (Gambar 8.5).
144
Kelapa hibrida berbuah kopyor yang penulis temukan hanya di Jawa Tengah dicoba untuk ditelusuri asal usul tetuanya dengan menggunakan parentage analysis. Kelapa hibrida berbuah kopyor yang berada di Jawa Tengah ternyata tetuanya juga berasal dari Jawa Tengah. Hal ini lebih memperkuat bahwa Jawa Tengah merupakan sentra kelapa berbuah kopyor. Kelapa hibrida berbuah kopyor dari Tayu tetuanya bisa berasal dari Margoyoso atau Dukuh Seti. Hal ini menunjukkan jika kelapa berbuah kopyor dari ketiga kecamatan tersebut berasal dari satu populasi. Kenyataannya ada beberapa kelapa berbuah kopyor hibrida (HYD3 & HYT1; HYT2 & HYT3) dari Dukuh Seti dan Tayu mempunyai tetua yang sama, yaitu dari Margoyoso.
Kesimpulan
Primer spesifik yang dirancang dari gen Sucrose synthase (SUS), Stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), Abscisic acid insensitive (ABI3), ERlinoleate desaturase (FAD) menghasilkan pita polimorfik pada analisis gel poliakrilamid dengan metode SSCP (Single Strand Conformation Polimorphism). Jumlah alel yang dapat dideteksi sekitar 2 - 3 per lokus dan terdapat 2-5 macam genotipe. Rare alel ditemukan pada lokus SUS1A dan SUS1B pada aksesi kelapa berbuah kopyor jenis hibrida, genjah, dan dalam.
Primer spesifik yang
dipergunakan belum dapat memisahkan antara populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah
normal, namun dapat memisahkan populasi kelapa
berbuah kopyor asal Jember Jawa Timur dengan populasi Jawa Tengah (Dukuh Seti, Tayu, dan Margoyoso). Kelapa berbuah kopyor jenis hibrida yang berada di Jawa Tengah mempunyai tetua yang berasal dari Jawa Tengah.
145
BAB IX
PEMBAHASAN UMUM
Peristiwa mutasi yang terjadi pada endosperma buah kelapa menimbulkan jenis kelapa baru yang disebut kelapa kopyor. Perubahan tektur endosperma kelapa dari padat dan melekat pada tempurung menjadi remah bergumpal-gumpal dan tidak melekat pada tempurung menyebakan endosperma kehilangan fungsinya sebagai penyedia energi bagi embrio pada proses perkecambahan. Endoperma buah kelapa kopyor mulai mengalami proses pembusukan begitu dipetik dari pohonnya.
Dengan begitu buah kelapa kopyor tidak dapat dijadikan bibit,
endosperma yang membusuk mengakibatkan letal pada embrio. Di lain pihak perubahan tektur endoperma pada buah kelapa tersebut sangat disukai oleh konsumen, sehingga buah kelapa kopyor menjadi buah yang dikonsumsi segar dengan nilai komersial lebih tinggi daripada kelapa normal. Meskipun demikian, karena terbatasnya produksi buah kelapa jenis ini membuat permintaan konsumen terhadap buah kopyor selalu tidak dapat terpenuhi.
Buah
kelapa kopyor biasanya diperoleh dari pohon kelapa normal namun berbuah kopyor dalam salah satu tandannya. Produksi buah kopyor dari jenis pohon ini hanya 1-2 buah /tandan/pohon. Buah kelapa kopyor akhirnya menjadi salah satu komoditi pertanian yang berharga mahal dan terbatas. Saat ini, ada dua pihak yang mengembangkan tanaman kelapa kopyor yaitu petani yang mengembangkan bibit dari buah kelapa normal yang membawa sifat kopyor. Kelapa kopyor yang ditanam dari bibit ini menghasilkan pohon kelapa berbuah kopyor, yaitu pohon yang memproduksi buah kopyor dan normal dalam satu tandan. Persentase buah kopyor yang diperoleh sangat rendah (1-2% per tandan/ pohon). Pihak ke dua adalah yang mengembangkan bibit dari embrio kelapa kopyor (metode kultur embrio). Bibit yang dikembangkan dengan cara ini jika berproduksi menghasilkan buah 100 persen kopyor Pengembangan bibit melalui metode kultur embrio sudah dimulai sekitar 35 tahun yang lalu, namun pengembangan kelapa kopyor dirasa sangat lambat dan masih merupakan komoditi yang langka.
Berbagai kendala seperti tidak
146
tersedianya eksplan embrio sigotik yang disebabkan produksi buah kelapa kopyor yang sangat rendah per pohonnya, mahalnya harga buah kelapa kopyor sebagai sumber eksplan, dan sedikitnya jumlah planlet dan bibit yang dihasilkan dari kultur embrio mengakibatkan pengembangan bibit kelapa kopyor dari
kultur
embrio menjadi tidak signifikan. Metode kultur embrio telah dikembangkan secara intensif oleh COGENT (International Coconut Genetic Resources Network) sejak tahun 1997 untuk pertukaran plasma nutfah dan konservasi ex situ kelapa (Engelman 1998). Metode ini juga digunakan oleh UPLB (University of Philippines at Los Banos) untuk mengembangkan kelapa Makapuno (kopyor). Saat ini terdapat beberapa macam protokol media kultur untuk tanaman kelapa yang dikembangkan oleh PCA (Philippine Coconut Authority),
CPCRI (Central Plantation Crops
Research Institute) India, ORSTOM/CIRAD Perancis, dan UPLB. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap keempat macam protokol tersebut menunjukkan bahwa persentase embrio yang berhasil mencapai tahap aklimatisasi di screen house masih di bawah 50% (de Paz 1998; Rillo 1998). Protokol untuk kelapa kopyor di Indonesia telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor dengan media dasar MS (Tahardi & WargaDalem 1982).
Penulis sendiri telah mengembangkan protokol kultur embrio
dengan memakai media dasar Eeuwens untuk kelapa kopyor yang ada di Jawa Timur. Dengan menggunakan protokol yang dimodifikasi persentase perolehan planlet kelapa kopyor masih bisa ditingkatkan sekitar 40 % jika persentase perkecambahan ditingkatkan dan jumlah planlet yang pertumbuhannya lambat, browning atau stagnan dapat diturunkan. Untuk mengatasi jumlah planlet dan bibit kelapa kopyor yang rendah dari teknik kultur embrio yang sudah ada, maka pada penelitian ini dilakukan berbagai modifikasi teknik kultur in vitro, yaitu: (1) perbaikan protokol kultur embrio sigotik, dan (2) teknik embriogenesis somatik. Perbaikan kultur embrio sigotik dimaksudkan meningkatkan perkecambahan dan jumlah planlet. Di samping itu planlet yang diperoleh diperbaiki perakarannya guna meningkatkan daya tahan planlet dalam proses aklimatisasi untuk meningkatkan jumlah bibit kelapa kopyor
147
Embrio sigotik
IA
Pembelahan embrio pada meristem apikal
Induksi tunas dan akar
+ BAP
IB + air kelapa
Perkecambahan
II
Pengaturan periode subkultur
Planlet
+ IBA
Pengakaran planlet
Aklimatisasi Belahan embrio secara longitudinal
Pematangan embrio somatik
Struktur abnormal
+ 2,4-D
Bibit kelapa kopyor
+BAP+ 2,4-D
Induksi kalus - 2,4-D
Proliferasi kalus embriogen
+ Asam amino
Pembentukan embrio somatik
Dibuang
Gambar 9.1 Diagram skema pembiakan kelapa kopyor melalui kultur in vitro yang dikembangkan dari eksplan embrio sigotik buah kelapa kopyor. IA & B = proses melalui kultur embrio, II= proses melalui embriogensis somatik.
yang bertahan hidup. Teknik embriogenesis somatik berpotensi menghasilkan planlet dan bibit dalam jumlah masal. Pembiakan bibit kelapa kopyor melalui teknik kultur in vitro pada penelitian ini secara keseluruhan digambarkan dengan serangkaian proses sebagaimana yang tertera pada Gambar 9.1. Pada penelitian yang telah dilakukan (Bab III) persentase perkecambahan embrio sigotik kelapa kopyor ditingkatkan mencapai 95% dengan perlakuan air kelapa 150 ml/l dan perkecambahan dipercepat 1-2 minggu dari waktu sebelumnya. Untuk mempertahankan planlet kelapa kopyor tetap tumbuh maka subkultur dilakukan 2-3 bulan sekali (Gambar 9.1 IB). Dengan periode subkultur ini diperoleh persentase planlet yang siap aklimatisasi lebih kurang 80%. Perbaikan perakaran dengan ZPT IBA 1-2 mg/l sebelum aklimatisasi
148
meningkatkan daya bertahan hidup bibit dalam proses aklimatisasi mencapai 7580%. Protokol yang dikembangkan oleh India menggunakan
NAA 0.5
mg/l+BAP 0.5 mg/l untuk meningkatkan perkecambahan kelapa dengan waktu berkecambah 5-6 minggu dan selalu menggunakan zat pengatur tumbuh pada setiap fase (pertumbuhan planlet dan penguatan perakaran) (Karun et al. 1998). Penggunaan ZPT seperti NAA, BAP, IAA pada seluruh proses kultur embrio tentunya
akan
meningkatkan
biaya
produksi,
sehingga
protokol
yang
dikembangkan oleh CPCRI tersebut menjadi tidak effisien `untuk kelapa kopyor. Protokol kultur embrio yang dikembangkan oleh UPLB meskipun bebas dari penggunaan ZPT namun embrio kelapa kopyor tidak memberikan respon yang baik (Sukendah 2005). Protokol semua kultur embrio sigotik yang ada sekarang ini menghasilkan hanya satu planlet atau bibit dari satu embrio sigotik yang ditanam.
Guna
meningkatkan jumlah planlet dari satu embrio yang ditanam, untuk pertama kalinya dalam penelitian ini menggunakan metode pembelahan eksplan embrio yang dikulturkan lebih dulu selama satu bulan sampai muncul plumula dan calon akar (Gambar 9.1 IA). Pertumbuhan tunas lateral diinduksi dengan ZPT BAP 5 mg/l. Dengan metode ini diperoleh dua planlet dari satu eksplan embrio sigotik. Metode pembelahan eksplan embrio dapat digunakan sebagai alternatif dari kultur embrio sigotik yang ada untuk memperoleh planlet lebih banyak. Teknik embriogenesis somatik pada tanaman kelapa (Blake 1990, Chan et al. 1998 Samosir et al. 1998) banyak dilaporkan,
namun tidak pada kelapa
kopyor. Teknik ini berpotensi untuk pembiakan klonal secara masal.
Pada
penelitian ini embriogenesis somatik kelapa kopyor dilakukan melalui kalus (Bab V). Kalus embriogenik diinduksi dari embrio sigotik yang dibelah dan diberi perlakuaan 2.4-D dengan konsentrasi antara 50-125 uM. Induksi kalus dan proliferasi kalus kelapa kopyor tidak banyak menemui kendala. Dari kalus embriogenik tersebut dengan berbagai perlakuan seperti ZPT 2,4-D, BAP dan bahan aditif asam amino atau air kelapa diperoleh banyak embrio somatik (Gambar 9.1 II). Walaupun demikian persentase embrio somatik untuk menjadi kecambah normal sangat rendah. Rata-rata diperoleh satu kecambah atau bahkan
149
tidak ada kecambah yang diperoleh dari massa kalus berukuran lebih kurang 2 cm yang berisi kumpulan embrio somatik antara 5-20 buah. Kendala utama adalah banyaknya embrio yang tumbuh menjadi bentuk-bentuk abnormal seperti kecambah dengan tunas majemuk, kecambah dengan akar yang berlebihan, dan embrio yang tumbuh menjadi akar tanpa tunas. Pembiakan kelapa kopyor dengan embriogenesis somatik meskipun mempunyai prospek yang bagus namun masih dibutuhkan banyak optimasi pada fase pematangan embrio dan perkecambahan embrio somatik. Sebagai bahan perbandingan protokol embriogenesis somatik kelapa normal yang telah dibangun sejak 26 tahun yang lalu
oleh Blake &
Branton (1983) mempunyai kendala yang sama yaitu persentase embrio menjadi tanaman kelapa klonal sangat rendah (Hocther et al. 1998; Adkins et al. 2002). Sebagian besar embrio somatik tidak berkecambah tetapi tumbuh menjadi bentuk yang tidak beraturan (Cueto et al. 1997). Terjadinya struktur abnormal pada proses embriogenesis somatik kemungkinan disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon, sehingga mengakibatkan embrio mengalami embriogenesis yang tidak komplit (Dublin et al. 1991). Untuk mencapai embriogenesis yang lengkap maka tahap demi tahap berikut ini harus diikuti: perpanjangan haustorium, diferensiasi titik tumbuh tunas yang kemudian diikuti oleh diferensiasi titik tumbuh akar. Usaha untuk mencapai embriogenesis yang komplit pada kelapa dilakukan dengan menambahkan sitokinin (BAP) dan mengurangi atau meniadakan 2,4-D pada waktu yang tepat (Buffard-Morel
1995).
Sampai sekarang embriogenesis
somatik pada tanaman kelapa normal masih menjadi topik penelitian yang intensif. Standar protokol
kultur embrio untuk
kelapa kopyor sudah komplit
dibangun. Walaupun demikian, efisiensi pada proses aklimatisasi sampai bibit kelapa kopyor siap ditanam di lapangan masih belum diketahui dengan pasti. Pengalaman aklimatisasi pada penelitian yang telah dilakukan, bibit kelapa kopyor yang telah melewati masa kritis (adaptasi terhadap lingkungan di luar laboratorium) yang ditandai dengan pertumbuhan daun baru tiba-tiba bisa menjadi browning atau daun menguning dan mengering yang berakhir pada kematian bibit. Dengan demikian, tujuan untuk penelitian ke depan adalah mempelajari media tanam dan pemakaian pupuk daun untuk aklimatisasi bibit kelapa kopyor.
150
Sementara itu untuk pembiakan bibit kelapa kopyor melalui embriogenesis somatik difokuskan untuk meningkatkan multiplikasi embrio somatik dengan kematangan yang seragam, sehingga terjadi sinkronisasi kematangan pada setiap individu embrio somatik. Perbedaan fase kematangan pada embrio menyebabkan respon embrio terhadap zat pengatur tumbuh yang diberikan menjadi bermacammacam,
sehingga
mengakibatkan
bentuk-bentuk
abnormalitas.
Untuk
mensingkronkan pertumbuhan embrio somatik dapat dilakukan melalui kultur suspensi. Metode ini sudah dicoba pada tanaman kelapa dan menghasilkan kalus yang friable dan kompeten (Buffard-Morel et al. 1995). Pada tanaman kelapa sawit metode kultur suspensi merupakan protokol untuk pembiakan klonal secara masal (de Touchet et al. 1991). Metode pembiakan kelapa kopyor melalui kultur in vitro pada penelitian ini dapat membantu dalam peningkatan penyediaan bibit kelapa kopyor yang menghasilkan persentase buah kopyor mencapai 100%. Populasi tanaman kelapa kopyor di Indonesia yang masih terbatas dan nilai komersial yang tinggi pada buah kelapa kopyor merupakan peluang untuk pengembangan tanaman ini, baik oleh petani maupun pengusaha. Hasil penelitian terhadap kandungan gizi buah kelapa kopyor menunjukkan bahwa endosperma kelapa kopyor lebih banyak mengandung kaobohidrat daripada lemak (karbohidrat 62.3%
dan lemak
30.71%), yang berbanding terbalik dengan kelapa normal yang mengandung lemak 62.4% dan karbohidrat 29.1% (Santoso et al. 1996). Informasi ini akan membuka peluang untuk industri dalam mengembangkan minuman yang lebih sehat dan berenergi tinggi. Bibit kelapa kopyor yang diperoleh dari kultur embrio maupun dari pembiakan dengan membibitkan buah kelapa normal dari pohon kelapa berbuah kopyor serta dengan bibit kelapa normal tidak bisa dibedakan secara morfologi. Perbedaan ketiga jenis bibit ini hanya bisa diketahui setelah bibit tersebut berproduksi, yaitu baru sekitar 6-7 tahun kemudian. Deteksi sedini mungkin sifat kopyor pada tanaman kelapa sangat menguntungkan pihak petani atau pengusaha yang akan mengembangkan bibit kelapa kopyor. Potensi kerugian petani dan pengembang kelapa kopyor dapat dicegah, dengan melakukan deteksi dini petani atau pengembang tahu bahwa bibit kelapa yang ditanam tersebut adalah bibit yang
151
mengandung sifat kopyor. Dalam penelitian yang telah dilakukan, deteksi dini bibit dan pohon kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dikembangkan dengan marker (penanda) molekuler menggunakan informasi DNA gen α-D Galaktosidase yang ada pada tanaman kelapa berbuah kopyor. Hasil analisis menunjukkan bahwa α-D Galaktosidase
kelapa berbuah kopyor
mempunyai runutan nukleotida DNA yang unik dan berbeda dengan runutan nukleotida DNA α-D Galaktosidase normal dari berbagai tanaman lainnya (Bab VI). Hal ini mengindikasikan bahwa runutan nukleotida DNA α-D Galaktosidase pada kelapa berbuah kopyor telah mengalami mutasi.
Berdasarkan runutan
nukleotida DNA α-D Galaktosidase mutan tersebut telah berhasil dirancang 4 pasangan primer untuk digunakan sebagai penanda molekuler gen α-D Galaktosidase mutan, yaitu CnGAL22, CnGAL33, CnGAL23, CnGAL13. Jika bibit yang dianalisis mempunyai panjang fragmen DNA gen α-D Galaktosidase yang sama dengan penanda molekuler gen α-D Galaktosidase mutan, maka dapat disimpulkan kalau bibit tersebut berpotensi menghasilkan buah kopyor. Perbedaan panjang hasil amplifikasi PCR menggunakan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan tersebut dapat digunakan sebagai pembeda antara kelapa yang berpotensi menghasilkan buah kelapa kopyor dengan kelapa yang hanya menghasilkan buah kelapa normal. Keberhasilan merancang pasangan primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan dalam penelitian ini mempunyai nilai penting untuk membantu petani dan pengembang kelapa kopyor guna memperoleh kepastian sifat kopyor pada bibit kelapa yang ditawarkan.
Kepastian ini
sangat diperlukan untuk melindungi
investasi petani yang harus membayar bibit kelapa tersebut dengan harga mahal. Perancangan primer spesifik juga dilakukan terhadap gen sucrose synthase (SUS), stearoyl acyl carrier protein desaturase (SACPD), dan absicid acid insensitive (ABI).
Perancangan primer gen-gen tersebut didasarkan pada
perbedaan komposisi senyawa endosperma buah kelapa kopyor dengan kelapa normal. Didapatkan 4 pasangan primer gen SUS (CnSUS1A, CnSUS1B, CnSUS2A, CnSUS2B), sepasang primer gen SACPD (CnSACPD), dan dua pasangan
gen ABI (CnABI3A dan CnABI3B). Enam pasangan primer ini
bersama dengan empat pasangan primer dari gen FAD (ER-linoleate desaturase),
152
ARF1(Auxin Response Factor), FATB (Palmitoyl-ACP thioesterase), dan LTP (Lipid transfer protein) digunakan untuk menganalisis keragaman genetik kelapa berbuah kopyor yang ada di Pulau Jawa. Berdasarkan primer tersebut populasi kelapa berbuah kopyor dari Jawa Timur (Jember) dapat dipisahkan dari salah satu group populasi kelapa berbuah kopyor Jawa Tengah. Hal ini menimbulkan dugaan kalau populasi kelapa berbuah kopyor dari Jawa Timur berasal dari Jawa Tengah. Dugaan ini diperkuat dengan temuan bahwa kelapa berbuah kopyor hibrida yang ada di Jawa Tengah ternyata tetuanya juga berasal dari Jawa Tengah. Walaupun demikian pasangan primer-primer tersebut belum bisa memisahkan populasi kelapa berbuah kopyor dengan kelapa berbuah normal.
153
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perbanyakan tanaman kelapa kopyor melalui kultur embrio sigotik telah berhasil diperbaiki dengan modifikasi: (1) pembelahan eksplan embrio pada meristem apikal, (2) media kultur untuk perkecambahan, (3) dalam pengaturan periode subkultur, (4) media kultur untuk pengakaran planlet. Dengan berbagai modifikasi tersebut diperoleh efisiensi sebesar 80% dari persen keberhasilan sebelumnya yaitu sebesar 40-50%. Protokol
embriogenesis
somatik
kelapa
kopyor
telah
berhasil
dikembangkan, yang terdiri dari tahap inisiasi kalus, proliferasi kalus, pembentukan dan pematangan embrio somatik, perkecambahan/pembentukan planlet, dan pembesaran planlet. Dari 1 (satu) eksplan embrio sigotik dapat diperoleh sebanyak 4-5 planlet. Cara ini merupakan metode yang sangat potensial untuk perbanyakan kelapa kopyor secara klonal dan masal. Runutan nukleotida gen penyandi ensim α-D Galaktosidase kelapa berbuah kopyor terbukti berbeda dengan runutan nukleotida α-D Galaktosidase kelapa normal, sehingga disimpulkan telah mengalami mutasi.
Runutan
nukleotida DNA α-D Galaktosidase ini digunakan untuk merancang primer spesifik gen α-D Galaktosidase mutan.
Sebanyak 4 pasangan primer yaitu
CnGAL22, CnGAL33, CnGAL23, CnGAL13 yang dapat digunakan sebagai penanda molekuler untuk membedakan antara kelapa berbuah kopyor (dengan gen α-D Galaktosidase mutan) dengan kelapa berbuah normal (dengan gen
α-D
Galaktosidase normal). Penanda molekuler spesifik gen SUS, SACPD, dan ABI3 berhasil dikembangkan berdasarkan perbedaan komposisi senyawa antara buah kelapa kopyor dengan kelapa normal.
Sebanyak 4 pasangan primer spesifik yang
berhasil dirancang untuk gen SUS, yaitu CnSUS1A, CnSUS1B, CnSUS2A, CnSUS2B, 1 pasang primer, CnSACPD, untuk gen SACPD, dan 2 pasangan primer, CnABI3A dan CnABI3B, untuk gen ABI3. Populasi kelapa kopyor yang ada di Pulau Jawa dapat dipisahkan antara populasi dari Jawa Tengah (Pati) dengan Jawa Timur (Jember) dengan
154
menggunakan pasangan primer spesifik dari gen SUS, SACPD, ABI, dan FAD. Walaupun demikian pasangan primer-primer
belum bisa memisahkan antara
populasi kelapa berbuah kopyor dengan populasi berbuah normal.
Saran
Dengan ditemukan banyak struktur abnormal maka teknik embriogenesis somatik pada kelapa kopyor masih membutuhkan optimasi dari fase embrio somatik ke fase kecambah. Dengan menggunakan penanda molekuler spesifik gen α-D Galaktosidase yang telah dirancang, perlu dianalisis runutan nukleotida DNA gen α-D Galaktosidase dari kelapa normal dan kelapa jenis lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Primer-primer spesifik gen SUS, SACPD, dan ABI dapat digunakan untuk menggali lebih dalam hubungan kekerabatan antara kelapa berbuah kopyor yang ada di Sumenep, Banyuwangi, dan daerah-daerah lain untuk mengetahui keragaman genetik dan asal usul kelapa kopyor di Indonesia.
155 DAFTAR PUSTAKA
Adkins SW, Samosir YMS, Ernawati A, Godwin ID. 1998. Control of Ethylene and Use of Polyamines Can Optimise the Conditions for Somatic Embriogenesis in Coconut (Cocos nucifera L.) and Papaya (Carica papaya L.). Di dalam: Drew RA, editor. Proceeding International Symposium Biotechnology Tropical & Subtropical Species. ISHS: Acta Hort. 461:459466. Adkins SW, Samosir YMS, Nikmatullah, Wilkins A, Ogle R, Heterington S. 2002. Towards clonal propagation of coconut. Acta Hort. 575:104-110. Akuba RH, Mashud N, Miftahorracman. 2000. Identifikasi Plasmanutfah Kelapa Potensial di Jawa Timur (Laporan Hasil Penelitian). Manado: Balitka. Al-Khayri JM, Huang FH, Morelock TE, Busharar TA. 1992. Spinach tissue culture improved with coconut water. Hort. Sci. 27:357-358. Arnaldos TL, Munoz R, Ferrer MA, Calderon AA. 2001. Changes in phenol content during strawberry (Fragaria x Ananasa, cv. Chandler) callus culture. Physiol. Plant. 113:315-322. Arnold S, Sabala I, Bozhkov P, Dyachok J, Filonova L. 2002. Developmental pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 69:233-249. Ashburner GR, Thompson WK, Burch JM. 1993. Effect of α-naphthalene acetic acid and sucrose levels on the development of cultured embryos of coconut. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 35:157-163. Ashburner GR, Thompson WK, Halloran GM. 1997. RAPD analysis of South Pacific coconut palm population. Crop Sci. 37:992-997. Astuti I. 2002. Pengaruh Asam Giberellin (GA3) pada Perkecambahan dan Pendewasaan Planlet Kelapa Kopyor (Cocos nucifera L.) (Skripsi). Surabaya: Jurusan Agronomi, Fak. Pertanian, UPN “Veteran” Jatim. Balachandran C, Arumughan C. 1995. Triglyceride deposition in tissue of germinating coconut (Cocos nucifera Linn). JAOCS. 72:647-651. Balasubramanian K. 1976. Polysaccharides of the kernel of maturing and matured coconuts. J. Food Sci. 41:1370. Balasubramanian K, Atokorala TMS, Wijesundera S, Hoover AA. 1973. Biochemichal changes during germination of coconut (Cocos nucifera L.). Ann. Bot. 37:439-445. Balk PA, Boer AD de. 1999. Rapid stalk elongation in tulip (Tulipa gesneriana L. cv. Apeldoorn) and the combined action of cold-induced invertase and the water-channel protein gamma TIP. Planta. 209:346-354.
156 Blake J. 1990. Coconut (Cocos nucifera L.): Micropropagation. Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry: Legumes and Oilseed Crops I. Berlin: Springer-Verlag. hlm 539-554. Boase MR, Wright S. 1993. Coconut milk enhancement of axillary shoot growth in vitro of kiwifruit. New Zealand J. Crop Hort. Sci. 21:171-176. Bogetti B, Jasik K, Mantell SH. 2001. In vitro root formation in Anacardium occidentale microshoots. Biol. Plant. 44:175-179. Branton RL, Blake J. 1983. Development of organized structures in callus derived from explants of Cocos nucifera L. Annals Bot. 52:673-678. Branton RL, Blake J. 1986. In-Vitro Development from Calloid Derived from Immature Inflorescence of Cocos nucifera L. Di dalam: Somers DA, Gengenbach BG, Biesboer DO, Hackett WP, Green CE, editor. International Congress of Plant Tissue and Cell Culture. Minneapolis: University of Minnesota. hlm 399. Buckeridge MS, Santos HP dos, Tine MAS. 2000. Mobilisation of storage cell wall polysaccharides in seeds. Plant Physiol. Biochem. 38:141-156. Buffard-Morel J,. Verdeil JL, Pannetier C. 1992. Embryogenese somatique du cocotier (Cocos nucifera L.) a partier d’ekplants folaires:etude histologique. Canada J. Bot. 70:735-741. Buffard-Morel J, Verdeil JL, Dussert S, Magnaval C, Huet C, Grosdemage F. 1995. Initiation of Somatic Embryogenesis in Coconut (Cocos nucifera L.). Di dalam: Oropeza C et al., editor. Lethal Yellowing: Research and Practical Aspects. Netherland: Kluwer Academic Pr. hlm 217-223. Byfield GE, Xue H, Upchurch RG. 2006. Two genes from soybean encoding soluble ∆9 stearoyl-ACP desaturases. Crop Sci. 46:840-846. Chan JL, Saenz L, Talavera C, Hornung R, Robert M, and Oropeza C. 1998. Regeneration of coconut (Cocos nucifera L.) from plumule explants through somatic embryogenesis. Plant Cell Rep. 17:515-521. Chiu WB, Lin CH, Chang CJ, Hsieh MH, Wang AY. 2006. Molecular characterization and expression of four cDNAs encoding sucrose synthase from green bamboo Bambusa oldhamii. New Phytologist. 170:53-63. Chuayjaeng S, Volkaert H. 2006. Chloroplast diversity and phylogeny in wild and cultivated rice (Oryza spp.). J. Nat. Sci. 40:306-313. Cueto CA, Ebert AW, Rillo EP, Orense OD. 1994. Response of Cococnut Cultivars to Callus Initation, Multiplication, Embryogenesis and Organogenesis Using Inflorescence as Explants. Agricultural Research (Annual Report). Zamboanga: Philippine Coconut Authority.
157 Cueto CA, Rillo EP, Orense OD, Ebert AW, Areza-Ubaldo MBB, Bonaobra ZS. 1997. In Vitro Regeneration of Cocos nucifera L. via Somatic Embryogenesis. Agricultural Research (Annual Report). Zamboanga: Philippine Coconut Authority. de Guzman EV. 1971. The growth and development of coconut “Makapuno” embryo in vitro I: the induction of rooting. Philip. Agr. 53:377-380. De Mason DA, Sexton R, Reid JSG. 1983. Structure, composition and physiological state of the endosperm of Phoenix dactylifera L. Ann. Bot. 52: 71-80. De Mason DA, Sexton R, Gorman M, Reid JSG. 1985. Structure and biochemistry of endosperm breakdown in date palm (Phoenix dactylifera L.) seeds. Protoplasma. 126:159-167. De Mason, DA, Madore MA, Sekhar KNC, Harris MJ. 1992. Role of αGalactosidase in cell wall metabolism of date palm (Phoenix dactylifera) endosperm. Protoplasma. 166:177-184. de Paz VM. 1998. Status of Coconut (Makapuno) Embryo Culture and Acclimatization Techniques in Visca , Baybay, Leyte, Philippines. Di dalam: Batugal PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos. Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 64-68. Del Rosario AG, de Guzman EV. 1976. The growth of coconut makapuno embryos as affected by mineral composition and sugar level of the medium during liquid and solid cultures. Philip. J. Sci. 105:215-222. Del Rosario A. 1998. Status of Research on Coconut Embryo Culture and Acclimatization Technique in UPLB. Di dalam: Batugal PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos. Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 12-16. De-Klerk GJ, Hanecakova J, Jasik J. 2001. The role of cytokinins in rooting of stem slices cut from apple microcuttings. Plant Biosystem. 135:79-84. . de March GE, Greiner E, Miannay N, Sulmont N, David H, David A. 1993. Potentials of somatic embryogenesis in Prunus avium immature zygotic embryos. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 34:209-215. Desai NS, Suprasanna P, Bapat VA. 2004. Simple and reproducible protocol for direct somatic embryogenesis from cultured immature inflorescence segments of sugarcane (Saccharum spp.). Curr. Sci. 87:764-768.
158 de Touchet B, Duval Y, Pannetier C. 1991. Plant regeneration from embryogenic suspension cultures of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant Cell Rep. 10:529-532. Diaz-Perez JC, Shackel KA, Sutter EG. 1995. Effect of in vitro formed roots and acclimatization of water status and gas exchange of tissue culture apple shoots. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120:435-440. Dirk LMA, Krol AR van der, Vreugdenhil D, Hilhorst HWM, Bewley JD. 1999. Galactomannan, soluble sugar and starch mobilization following germination of Trigonella foenum-graecum seeds. Plant Physiol. Biochem. 37:41-50. Dublin P, Enjalric F, Lardet L, Carron MP, Trolinder N, Pannetier C. 1991. Estate Crops. Di dalam: Debergh PC, Zimmerman RH, editor. Micropropagation Technology and Application. Dordrecht: Kluwer Academic Pr. hlm 337361. Dussert S, Verdeil JL, Buffard-Morel J. 1995. Specific nutrient uptake during inititation of somatic embryogenesis in coconut calluses. Plant Sci. 111:229-236. Duval Y, Aberlenc F, de Touchet B. 1993. Use of Embryogenic Suspension for Oil Palm Micropropagation. Di dalam: Rao V et al., editor. Recent Development in Oil Palm Tissue Culture and Biotechnology. Kuala Lumpur: Palm Oil Res. Inst. of Malasyia. hlm 38-47. Ebrahim N, Shibli R, Makhadmeh I, Shatnawi M, Abu-Ein A. 2007. In vitro propagation and in vivo acclimatization of three coffee cultivars (Coffea Arabica L.) from Yemen. World Applied Sci. J. 2:142-150. Eeuwens CJ. 1976. Mineral requirements of cultural coconut tissue. Physiol. Plant. 36:23-24. Engelmann F. 1998. Current State of The Art and Problems with In Vitro Culture of Coconut Embryos. Di dalam: Batugal PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos. Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 6-11. Eshraghi P, Zarghami R, Mirabdulbaghi M. 2005. Somatic embryogenesis in two Iranian date palm cultivars. African J. Biotech. 4:1309-1312. Fernando SC, Gamage CKA. 2000. Abscisic acid induced somatic embryogenesis in immature embryo explant of coconut (Cocos nucifera L.). Plant Sci. 151:193-198. Fu H, Park WD. 1995. Sink- and vascular-associated sucrose synthase functions are encoded by different gene classes in potato. Plant Cell. 7:1369-1385.
159 Ganesh DS, Sreenath HL. 1997. Clonal propagation of coffee through apical bud culture. J. Plant Crop. 25:169-174. Geromel C, Ferreira LP, Guerreiro SMC, Cavalari AA, Pot D, Pereira LFP, Leroy T, Vieira LGE, Mazzafera P, Marraccini P. 2006. Biochemical and genomic analysis of sucrose metabolism during coffee (Coffea arabica) fruit development. J. Exp. Bot. 57:3243-3258. . Glavac D, Dean M. 1993. Optimization of the Single Strand Conformation Polymorphism (SSCP) technique for detection of point mutations. Hum. Mutant. 2:404-414. Godwin ID, Aitken EAB, Smith LW. 1997. Application of Inter Simple Sequence Repeat (ISSR) markers to plant genetics. Electrophoresis. 18:1524-1528. Gray DJ. 1996. Nonzygotic Embryogenesis. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. Washington: CRC Pr. hlm 133-147. Gray DJ. 2005. Propagation from Nonmeristematic Tissues:Nonzygotic Embryogenesis. Di dalam: Trigiano RN, Gray DJ, editor. Plant Development and Biotechnology. Washington: CRC Pr. hlm 187-200. Guimaraes VM, Rezende ST de, Moreira MA, Barros EG de, Felix CR. 2001. Characterization of α-Galactosidases from germinating soybean seed and their use for hydrolysis of oligosaccharides. Phytochem. 58:67-73. Gunawan L. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Jakarta: Penebar Swadaya. Harries HC. 1990. Malesian Origin for a Domestic Cocos nucifera. Di dalam: Baas P, Kalkman K, Geesink R, editor. The Plant Diversity of Malesia. Dordrecht: Kluwer Academic Pr. hlm 351-357. Harries HC, Baudouin L, Cardeña R. 2004. Floating, boating and introgression: molecular techniques and the ancestry of coconut palm populations on Pacific Islands. Ethnobotany. Res. & Appl. 2:37-53.
Hassan AKMS, Roy SK. 2005. Micropropagation of Gloriosa superba L. through high frequency shoot proliferation. Plant Tiss. Cult. 15:67-74. Hazarika BN. 2003. Acclimatization of tissue-cultured plants. Curr. Sci. 85:17041712. Henry RJ. 1997. Practical Applications of Plant Molecular Biology. London: Chapman & Hall. Herman AM, Shannon LM. 1985. Accumulation and subcellular localization of αGalactosidase-Hemagglutinin in developing soybean cotyledons. Plant Physiol. 77:886-890.
160
Hocher VJ, Verdeil F, Crosdemange C, Huel R, Bourdeix Y, N'Ch A, Sangare R, Hornung HJ, Jacobson E, Rillo EP, Oropeza C, Hamon S. 1998. The development of in vitro vegetative propagation in coconut (Cocos nucifera L.). Agricultures. 6:499. Hornung R. 1995. Micropropagation of Coconut nucifera L from plumular tissues excised from mature zygotic embryos. Plantation. Rech. Develop. 212:3841. Huong LTL, Baiocco M, Huy BP, Mezzetti B, Santillocchi R, Rosati P. 1999. Somatic embryogenesis in Canary Island date palm. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 56:1-7. Jime´nez VM, Castillo J, Tavares E, Guevara E, Montiel M. 2006. In vitro propagation of the neotropical giant bamboo, Guadua angustifolia Kunth, through axillary shoot proliferation. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 86:389– 395. Kachroo A, Fu D-Q, Havens W, Navarre DR, Kachroo P, Ghabrial SA. 2008. An oleic acid–mediated pathway induces constitutive defense signaling and enhanced resistance to multiple pathogens in soybean. MPMI. 21:564–575. Karunaratne S, Santha S, Kovoor A. 1991. An in vitro assay for drought-tolerant coconut germplasm. Euphytica. 53:25-30. Karun A, Upadhyay A, Parthasarathy VA. 1998. Status of Research on Coconut Embryo Culture and Acclimatization Technique in India. Di dalam: Batugal PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos. Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 29-36. Katsuyuki I, Megumi H, Noriyuki K, Hiroshi N, Michio O, Katsuo T, Shigeto T. 2003. Genetic Diversity of Coconut (Cocos nucifera L.) in Yap State (Occasional Papers). Kagoshima University: Research Center for the Pacific Islands 39:45-49. Kawahara R, Komamine A. 1995. Molecular Basis of Somatic Embryogenesis. Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry Vol. 30, Somatic Embryogenesis and Synthetic Seed I. Berlin: Springer-Verlag. hlm 30-40. Komatsu A, Moriguchi T, Koyama K, Omura M, Akihima T. 2002. Analysis of sucrose synthase genes in citrus suggests different roles and phylogenetic relationships. J. Exp. Bot. 53:61-71. Koornneef M, Reuling G, Karssen CM. 1984. The isolation and characterization of abscisic acid-insensitive mutants of Arabidopsis thaliana. Physiol. Plant. 61:377-383.
161 . Laukkanen H, Haggman H, Kontunen-Soppela S, Hohtola A. 1999. Tissue browning of in vitro cultures of Scots pine: Role of peroxidase and polyphenol oxidase. Physiol. Plant. 106:337-343. Lebrun P, Cho YPN, Seguin M, Grivet L, Baudouin L. 1998. Genetic diversity in coconut (Cocos nucifera L.) revealed by Restriction Fragment Length Polymorphism (RAFL) markers. Euphytica. 101:103-108. Litz RE. 1984. In vitro somatic embryogenesis from nucellar callus of monoembryonic Mangifera indica L. Hort Sci. 19:715-717. Litz FA, Litz RE, Gray DJ. 1992. Organogenesis and Somatic Embryogenesis. Di dalam: Hammerschlag RE, editor. Biotechnology of Perennial Fruit Crops. Wallingword: CAB International. hlm 335-369. Litz RE, Gray DJ. 1995. Somatic embryogenesis for agricultural improvement. World J. Microbial Biotech. 11: 416-425. Litz RE, Moon PA, Mathews H, Jayasangkar S, Monsalud MJ, Pliego-Alfaro F. 1995. Somatic Embryogenesis in Woody Plants. Di dalam: Jain S, Gupta P, Newton R, editor. Vol.2, Angiosperms, Dordrecht: Kluwer Academic Pr. hlm 341-356. Lux-Endrich A, Treutter D, Feucht W. 2000. Influence of nutrients and carbohydrate supply on the phenol composition of apple shoot cultures. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 60:15-21. Magdalita PM, Damasco OP, Beredo JC, Adkins SW. 2004. Effect of Physical, Chemical and Light Treatments on Germination and Growth of Tissuecultured Coconuts. New Directions for a Diverse Plant. Proceedings of the 4th International Crop Science Congress; 26 Sep-1 Oct 2004. Brisbane. Magnaval C, Noirot M, Verdeil JL, Blattes A, Huet C, Grosdemange F, Beule T, Buffard-Morel J. 1997. Specific nutritional requirements of coconut calli (Cocos nucifera L.) during somatic embryogenesis induction. J. Plant Physiol. 130:719-728. Magome H, Yoshikawa N, Takahashi T. 1999. Single-strand conformation polymorphism analysis of apple stem grooving capillovirus sequence variants. Amer. Phytopatho. Soc. 89:136-140. Mariska I, Hobir. 1998. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui metode in vitro. J. Litbang Pertanian. 17:115-121. Marraccini P, Rogers WJ, Caillet V, Deshayes A, Granato D, Lausanne F, Lechat S, Pridmore D, Petiard V. 2005. Biochemical and molecular characterization of α-D-Galactosidase from Coffea beans. Plant Physiol. Biochem. 43:909920.
162 Mashud N. 1999. Penerapan Kultur Jaringan pada Tanaman Kelapa. Prosiding Simposium Hasil Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain. Menado: Balitka. Maskromo I. 2005. Kemiripan Genetik Populasi Kelapa Berbuah Kopyor Berdasarkan Karakter Morfologi dan Penanda DNA SSRs (Simple Sequence Repeats) (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Matthew CD, Balasubramaniam K. 1987. Mechanism of action of αGalactosidase. Phytochem. 26:1299-1300. Mathews H, Wetzstein HY. 1993. A Revised protocol for efficient regeneration of somatic embryos and acclimatization of plantlets in pecan, Carya illinoensis. Plant Sci. 91:103-108. Mehta UJ, Krishnamurthy KV, Hazra S. 2000. Regeneration of plants via adventitious bud formation from mature zygotic embryo axis of tamarind (Tamarindus indica L.). Curr. Sci. 78:1231-1234. Miftahorrachman DS, Pandin, Rompas T. 1991. Pertumbuhan embrio kelapa pada media Eeuwens yang dimodifikasi. Bul. Balitka. 14:114-124. Morel G, Wetmore RM. 1951. Fern callus tissue culture. Am. J. Bot. 38:141-143. Mujer CV, Ramirez DA, Mendoza EMT. 1984. α-D-Galactosidase deficiency in coconut endosperm: its possible pleiotropic effects in Makapuno. Phytochem. 23:893-894. Nickel TC, Yeung EC. 1993. Failure to establish a functional shoot meristem may be a cause of conversion failure in somatic embryos of Daucus carota (Apiaceae). Amer. J. Bot. 80:1284-1291. Noel KKJ, Edmond KK, Louis KJ, Patricia L, Dery SK, Abdourahamane S. 2007. Microsatellite gene diversity in coconut (Cocos nucifera L.) accessions resistants to lethal yellowing disease. African J. Biotech. 6:341-347. Novarianto H. 1999. Perbanyakan dan perbaikan genetik kelapa kopyor. (Laporan Bulanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan). Mei 1999. Menado: Balitka. hlm 6-12. Novarianto H, Kumaunang J, Maskromo I. 1999. Keragaman morfologi plasma nutfah kelapa. Bull. Palma. 25:31-38. Nurita-Toruan. 1978. Pertumbuhan dan perkembangan embrio kelapa (Cocos nucifera L.) dalam kultur aseptik. Menara Perkebunan. 46:213-217. Oropeza C, Saenz L, Zuniga JJ, Santamaria J, Burgeff D, Zizumbo D, Gonzalez T. 2003. Coconut In vitro Tissue Culture. Centro de Investigacion Cientifica de Yucatan (CICY). Mexico.
163 Osterac G, Fras MZ, Vodenik T, Luthar Z. 2005. The propagation of chesnut (Castanea sativa Mill.) nodal explants. Acta Agri. Slovenica. 85:411-418. Overbeeke N, Fellinger AJ, Toonen MY, Wassenaar D van, Verrips CT. 1989. Cloning and nucleotide sequence of the α-Galactosidase cDNA from Cyamopsis tetragonoloba (Guar). Plant Molec. Biol. 13:541-550. Qureshi JA, Kartha KK, Abrams SR, Steinhaurer L. 1989. Modulation of somatic embryogenesis in early and late stage embryos of wheat (Triticum aestivum L.) under the influence of abscisic acid and its analog. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 18:55-69. Parthasarathy U, Parthasarathy VA, Manimekalai R, Niral V, Anuradha U, Kumaran PM. 2005. Molecular diversity in coconut eco-types of coastal and inland riverine ecosystems. Indian J. Hort. 62:315-318. Patwary MU. 2004. Molecular Markers Strengths, Limitation, and Use in Plant Genetic Research. Di dalam: Islam AS, editor. In Vitro Culture, Transformation and Molecular Markers for Crop Improvement. Sci Publishers, Inc. Peran-Quesada R, Sanchez-Romero C, Barcelo-Munoz A, Pliego-Alfaro F. 2004. Factors affecting maturation of avocado somatic embryos. Scientia Hort. 102:61-73. Perera AU, Russel JR, Provan J, McNicol JW, Powell W. Evaluating genetic relationships between indigenous coconut (Cocos nucifera L.) accessions from Sri Lanka by means of AFLP profiling. Theor. Appl. Genet. 96:545550. Potomati A, Buckeridge MS. 2002. Effect of abcisic acid on the mobilisation of galactomannan and embryo development of Sesbania virgata (Cav.) Pers. (Leguminose-Faboideae). Revista Brasil Bot. 25:303-310. Raghavan V. 1977. Diets and Culture Media for Plant Embryos. Di dalam: Rechcigl Mm J, editor. Handbook Series in Nutrition and Food. Washington: CRC Pr. hlm 361-413. Redgwell RJ, Curti D, Nicolas JRP, Fischer M. 2003. Changes to the galactose/mannose ratio in galactomannans during coffee bean (Coffea arabica L.) development: implications for in vivo modification of galactomannan synthesis. Planta. 217:316-326. Reid JSG, Bewley JD. 1979. A dual role for the endosperm and its galactomannan reserves in the germinative physiology of fenugreek (Trigonella foenumgraecum L.) and endospermic leguminous seed. Planta. 147:145150. Rillo EP. 1998. PCA’s Embryo Culture Technique in the Mass Production of Makapuno Coconuts. Di dalam: Batugal PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos.
164 Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 69-78. Rival A, Arbelenc-Bertossi F, Morcillo F, Tregear J, Verdeil JL, Duval Y. 1997. Scaling-up in vitro clonal propagation through somatic embryogenesis: in case of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant Tiss. Cult. Biotech. 3:227-233.
Rivera R, Edwards KJ, Barker JHA, Arnold GM, Ayad G, Hodgkin T, Karp A. 1999. Isolation and characterization of polimorphic microsatellites in Cocos nucifera L. Genome. 42:668-675. Riyadi I, Tahardi JS, Sumaryono. 2005. The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan. 73:35-43. Rohde A, Ardiles-Diaz W, Montagu MV, Boerjan W. 1998. Isolation and expression analysis of an abcisic acid-insensitive3 (ABI3) homologue from Populus trichocharpa. J. Exp. Bot. 49:1059-1060. Roostika I, Sunarlim N, Mariska I. 2005. Mikropropagasi tanaman manggis (Garcinia mangostana). J. AgroBiogen. 1:20-25. Rosario R, Gabuya ES. 1980. Preliminary studies on the polysaccharide composition of coconut and makapuno cell wall. Philipp. J. Coconut. Stud. 5:17-21. Roslim DI, Hartana A, Suharsono. 2003. Hubungan genetika kelapa dalam Banyuwangi, Lubuk Pakam dan Paslaten berdasarkan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). J. Natur. Indonesia. 6:5-10. Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De la Cruz ND, Ramirez DA. 1989. Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochem. 28:2269-2273. Samosir YMS, Godwin ID, Adkins SW. 1998. An Improved Protocol for Somatic Embryogenesis in Coconut (Cocos nucifera L.). Di dalam: Dew RA, editor. Proceeding International Symposium Biotechnology Tropical & Subtropical Species. ISHS: Acta Hort. 461:467-474. Santoso U, Kubo K, Ota T, Tadokoro T, Maekawa A. 1996. Nutrient composition of kopyor coconuts (Cocos nucifera L.). Food Chem. 57:299-304. SAS Institute. 1992. SAS User’s Guide: Statistic. SAS Institute. Cary NC. Shalini KV, Manjunatha S, Lebrun P, Berger A, Baudouin L, Pirany N, Ranganath RM, Theertha-Prasad D. 2007. Identification of molecular markers associated with mite resistance in coconut (Cocos nucifera L.). Genome. 50:35-42.
165 Smith DL, Krikorian AD. 1990. pH Control of Carrot Somatic Embriogenesis. Di dalam: Nijkamp HJJ., Plas LHW van der, Aatrijk J van, editor. Progress in Plant Cellular and Molecular Biology. Dordrecht: Kluwer Academic Pr. hlm 449-453. Sturm A, Tang GQ. 1999. The Sucrose-cleaving enzymes of plant are crucial for development, growth and carbon partitioning. Trends in Plant Sci. 4:401404. Sturm A, Lienhard S, Schatt S, Hardegger M. 1999. Tissue-specific expression of two genes for sucrose synthase in carrot (Daucus carota). Plant Molec. Biol. 39:349-360. Sumarsono. 2000. Keanekaragaman Genetik Lima Populasi Kelapa Dalam dari Pulau Jawa Berdasarkan Penanda RAPD (Tesis). Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukendah. 2002. Pengembangan protokol media untuk kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) di Jawa Timur. J. Pertanian Mapeta. 4:38-42. Sukendah. 2003. Potensi dan Pengembangan Kelapa Kopyor Secara In Vitro di Tiga Kabupaten di Jawa Timur. (Laporan Penelitian Mandiri). Surabaya: Fakultas Pertanian. UPN “Veteran” Jawa Timur. Sukendah, Rachmat A. 2003. Pengujian bahan aditif pada media kultur embrio kelapa kopyor (Cocos nucifera L.). J. Penelitian Ilmu-ilmu Pertanian. 3:1-5 Sukendah. 2005. Optimasi protokol media untuk kultur embrio kelapa kopyor. J. Pertanian Mapeta. 7:107-112. Sukendah, Djajanegara IN, Rahmat NF. 2006. Keeratan hubungan antara kualitas sumber eksplan dengan perkecambahan dan pertumbuhan embrio zigotik kelapa kopyor. J. Ilmu-Ilmu Pertanian AgrUMY. 14:95-105. Sukendah, Muljani IR. 2006. Penggunaan Kultur Embrio dalam Kegiatan Koleksi dan Penyimpanan Jangka Pendek Sumber Daya Genetik Kelapa Kopyor. Di dalam: Sujiprihati S, et al., editor. Sinergi Bioteknologi dan Pemuliaan Dalam Perbaikan Tanaman. Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman; Bogor, 1-2 Agustus 2006. Bogor: Depat. Agronomi dan Hortikultura IPB. hlm 219-225.
Tahardi JS. 1997. Kelapa Kopyor Sebagai Komoditi Alternatif Agribisnis. Bogor: Warta Puslit Biotek Perkebunan. Bogor. hlm 16-21. Tahardi JS, Warga-Dalem K. 1982. Kultur embrio kelapa kopyor in vitro. Menara Perkebunan. 50:127-130. Tefera W, Wannakrairoj S. 2004. A micropropagation method for korarima (Aframomum corrorima [Braun] Jansen). Sci. Asia. 30:1-7.
166 Tingey SV, Rafalski JA, Williams JGK. 1992. Genetic Analysis with RAPD Markers: Aplication of RAPD Technology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia Series CSSA/ASHS/AGA; Minneapolis, 1 November 1992. Toruan NM, Ginting G. 1998. Analisis Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) pada Tanaman Kelapa Kopyor. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa I; Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Puslitbangtri:Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Toruan-Mathius N, Lukman, Purwito A. 2006. Teknik sambung mikro in vitro kina Cinchona succirubra dengan C. ledgeriana. Menara Perkebunan. 74:63-75. Unagul P, Assantachai C, Phadungruengluij S, Suphantharika M, Tanticharoen M, Verduyn C. 2007. Coconut water as a medium additive for the production of docosahexaenoic acid (C22:6 n3) by Schizochytrium mangrovei Sk-02. Bioresource Tech. 98:281-287. Upadhyay A, Jayadev K, Manimekalai R, Parthasarathy VA. 2004. Genetic relationship and diversity in Indian coconut accessions based on RAPD markers. Scientia Hortic. 99:353-362. Van Telgen HJ, Van Mil A, Kunneman B. 1992. Effect of propagation and rooting conditions on acclimatization of micropropagated plants. Acta. Bot. Neerl. 41:453-459. Verdeil JL, Buffard-Morel J, Pannetier C. 1985. Somatic embriogenesis of coconut (Cocos nuciferal L.) from leaf and inflorescence tissue research findings and prospects. Oleagineux 44: 409-411. Verdeil JL, Buffard-Morel J, Pannetier C. 1989. Somatic embryogenesis of coconut (Cocos nucifera L.) from leaf and inflorescence tissue. Oleagineux 47:465-468.
Verdeil JL, Huet C, Grosdemanges F, Rival A, Buffard-Morel J. 1992. Coconut somatic embryogenesis: obtention of several clone ramets. Oleagineux 47:465-468. Verdeil JL, Guet C, Grosdemange F, Buffard-Morel J. 1994. Plant regeneration from cultured immature inflorescences of coconut (Cocos nucifera L.): evidence for somatic embryogenesis. Plant Cell Rep. 13;218-221. Verdeil JL, Buffard-Morel J. 1995. Somatic Embryogenesis in Coconut (Cocos nucifera L.). Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agricultural and Forestry. Vol.30. Somatic Embriogenesis and Synthetic Seed I. Berlin: Springer-Verlag. hlm 298-317. Verdeil JL, Hocher V, Triques K, Lyakurwa R, Rival A, Durand-Gasselin T, Engelmann F, Sangare A, Hamom S. 1997. State of Research on Coconut Embryo Culture and Acclimatization Techniques in the IDEFOR (Cote d’Ivoire) and ORSTOM/CIRAD Laboratories (France). Di dalam: Batugal
167 PA, Engelmann F, editor. Current State of The Art and Problems with In vitro Culture of Coconut Embryos. Proceedings in Symposium of the First Workshop on Embryo Culture; Albay, 27-31 October 1997. Serdang: IPGRI. hlm 17-28. Verdeil JL, Hocher V, Huet C, Grosdemange F, Escoute J, Ferriere N, Nicole M. 2001. Ultrastructural changes in coconut calli associated with the acquisition of embryogenic competence. Ann. Bot. 88:9-18. Wahyuni M. 2000. Bertanam Kelapa Kopyor. Jakarta: Penebar Swadaya. Warokka JS, Jones P, Dickinson MJ. 2006. Detection of phytoplasmas associated with Kalimantan wilt disease of coconut by the Polymerase Chain Reaction. J. Littri. 12:154-160. Witjaksono, Litz RE. 1999. Induction and growth characteristics of embryonic avocado cultures. Plant Cell, Tiss. Org. Cult. 58: 19-29. Witjaksono. 2003. Organogenesis and Somatic Embryogenesis: Recent Advances. Chapter 2, Agricultural Biotechnology: Principle and Practice. hlm 15-31. Zhu A, Goldstein J. 1994. Cloning and functional expression of a cDNA encoding Coffee bean α-Galactosidase. Gene. 140:227-231. Zouine J, El Hadrami I. 2007. Effect of 2,4-D, Glutamine and BAP on embriogenesis suspension culture of date palm (Phoenix dactylifera L.). Scientia Hort. 112:221-226.
168 Lampiran 1. Komposisi media Eeuwens yang digunakan sebagai media dasar pada pembiakan in vitro kelapa kopyor
Komponen Kimia
Dosis (mg/l)
Macronutrients: NH4Cl KNO3 MgSO4.7H2O CaCl2.2H2O KCl NaH2PO4.2H2O
535 2020 247 294 1492 312
Micronutrients: KI H3BO3 MnSO4.7H2O ZnSO4.7H2O CuSO4.5H2O CoCl2.6H2O NaMoO4. H2O NiCl.6H2O
8.3 3.1 11.2 7.2 0.25 0.24 0.24 0.024
Iron Source: Fe2SO4.7H2O Na2EDTA
41.7 55.8
Vitamin Source: Pryridoxine HCl Thiamine HCl Nicotinic Acid Biotin Folic Acid Glycine
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 1.00
Agar Activated charcoal Sucrose pH
7000 2500 60000 5.6
169 Lampiran 2. Nama dan kode asam amino serta urutan kodon yang digunakan untuk menterjemahkan runutan nukleotida DNA kelapa berbuah kopyor
Nama Asam Amino
Singkatan
Kode
Alanine Arginine
Ala Arg
A R
Asparagine Aspartic acid Cysteine Glutamine Glutamic acid Glycine Histidine Isoleucine Leucine
Asn Asp Cys Gln Glu Gly His Ile Leu
N D C Q E G H I L
Lysine Methionine Phenylalanine Proline Serine
Lys Met Phe Pro Ser
K M F P S
Threonine Tryptophan Tyrosine Valine
Thr Trp Tyr Val
Sumber: Henry (1997)
T T Y V Stop Kodon
Kodon GCT, GCC, GCA, GCG CGT, CGC, CGA, CGG, AGA, AGG AAT, AAC GAT, GAC TGT, TGC CAA, CAG GAA, GAG GGT, GGC, GGA, GGG CAT, CAC ATT, ATC, ATA TTA, TTG, CTT, CTC, CTA, CTG AAA, AAG ATG TTT CCT, CCC, CCA, CCG TTC, TCT, TCC, TCA, TCG, AGT, AGC ACT, ACC, ACA, ACG TGG TAT, TAC GTT, GTC, GTA, GTG TAA, TAG, TGA
170 Lampiran 3. Kode untuk nukleotida degenerate yang digunakan untuk merancang primer degenerate pada gen-gen yang berkaitan dengan sifat kopyor pada tanaman kelapa
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kode
Nukleotida
R Y M K S W H B V D N
A,G C,T A,C G,T G,C A,T A,T,C G,T,C G,A,C G,A,T G,A,T,C
Sumber: Henry (1997)
171 Lampiran 4 Registrasi dan No. Pendaftaran Hak Paten Kelapa Kopyor dengan Invensi: Metode Pembiakan Klonal Kelapa Kopyor Melalui Embriogenesis Somatik
172 Lampiran 5. Registrasi dan No. Pendaftaran Hak Paten Kelapa Kopyor dengan Invensi: Deteksi Dini Kelapa Berbuah Kopyor Menggunakan Penanda Molekuler Spesifik Gen α-D Galaktosidase