BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesehatan Kerja Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I
pasal 2, Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum. 2.2
Penyakit Akibat Kerja Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja. PAK dapat dicegah, dan berat ringannya penyakit yang disebabkan pekerjaan tergantung dari jenis dan tingkat penyakitnya (Effendy, 1998). Gangguan kesehatan pada pekerja dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa status kesehatan kerja dari masyarakat pekerja bukan hanya dipengaruhi oleh bahaya-bahaya kesehatan ditempat kerja dan lingkungan kerja, tetapi juga faktorfaktor pelayanan kesehatan kerja, perilaku kerja serta faktor-faktor lainnya (Depkes RI, 1992). Pada prinsipnya penyebab terjadinya PAK sama dengan penyebab penyakit lainnya yaitu tidak adanya keseimbangan antara host (manusia), agent (penyebab), dengan environment (lingkungan).
7 Universitas Sumatera Utara
8
2.3
Penyakit Kulit Akibat Kerja Penyakit kulit akibat kerja atau Occupational Dermatitis adalah segala
kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Penyakit ini merupakan 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja, sebagian besar disebabkan karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah atau dihasilkan oleh pekerjaan itu (Suma’mur, 2014). Penyebabnya dapat digolongkan atas: a.
Faktor Mekanik Gesekan, tekanan trauma, menyebabkan hilangnya barrier sehingga
memudahkan terjadinya sekunder infeksi. Penekanan kronis menimbulkan penebalan kulit seperti pada kuli-kuli bangunan dan pelabuhan. b.
Faktor Fisik 1. Suhu tinggi di tempat kerja dapat menyebabkan miliara, combustion. 2. Suhu rendah menyebabkan chillblains, trenchfoot, frostbite. 3. Kelembaban terlalu rendah menyebabkan kulit dan selaput lendir saluran pernafasan menjadi kering dan pecah-pecah sehingga dapat terjadi perdarahan pada kulit dan selaput lendir. 4. Radiasi elektromagnetik non ionisasi seperti ultraviolet dan infra merah. 5. Kelembaban yang menyebabkan kulit menjadi basah, hal ini dapat menyebabkan malerasi, paronychia dan penyakit jamur. 6. Kecepatan aliran udara yang lambat menyebabkan kemungkinan kontak dengan bahan kimia dalam bentuk gas, uap, asap, kabut menjadi lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
9
Faktor Biologi
c.
Bakteri, virus, jamur, serangga, kutu, cacing menyebabkan penyakit pada karyawan pelabuhan, rumah potong, pertambangan, peternakan, tukang cuci dan lain-lain. Faktor Kimia (penyebab terbanyak)
d.
Apabila kulit terpapar dengan bahan kimia dapat terjadi kelainan kulit berupa dermatitis kontak iritasi atau dermatitis kontak alergi. Faktor penyebab terbanyak adalah agen kimia yang terdiri dari 4 kategori: 1.
Iritan primer-asam, basa, pelarut lemak, deterjen, garam-garam logam (arsen, air raksa, dan lain-lain).
2.
Sensitizer; logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobal, dan lainlain).
3.
Agen-agen aknegenik-naftalen dan bifenil klor, minyak mineral, dan lainlain.
4.
Photosensitizer-antrasen, pitch, devirate asam benzoate, hidrokarbon aromatic, pewarna akridin, dan lain-lain.
2.4
Dermatosis Akibat Kerja
2.4.1 Definisi Dermatosis akibat kerja adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh pekerjaan dan atau lingkungan kerja. Istilah lain untuk dermatosis akibat kerja adalah dermatosiss atau penyakit kulit yang timbul karena hubungan kerja. Penyakit tersebut timbul pada waktu tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau disebabkan oleh faktor-faktor yang berada pada lingkungan kerja.
Universitas Sumatera Utara
10
Terminologi dermatosis lebih tepat dari pada penggunaan kata dermatitis, sebab kelainan kulit akibat kerja tidak selalu berupa suatu peradangan (infeksi), melainkan juga tumor atau alergi atau rangsangan fisik dan lainnya dapat menjadi penyebab penyakit tersebut. Jadi penamaannya yang benar bukan dermatitis akibat kerja, karena dermatitis akibat kerja hanya merupakan salah satu aspek saja dari dermatosis akibat kerja. Selain itu dapat pula dipergunakan istilah kelainan kulit akibat kerja. Persentasi dermatosis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60 %, maka dari itu penyakit ini pada tempatnya mendapat perhatian yang proporsional. Selain prevalensi yang tinggi, dermatosis akibat kerja yang kelainannya biasanya terdapat pada lengan, tangan dan jari sangat mengganggu penderita melakukan pekerjaan sehingga sangat berpengaruh negatif terhadap produktivitas kerjanya. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 (dua) jenis kelompok penyakit kulit akibat kerja, yaitu: 1.) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisis, kimiawi atau biologis, dan 2.) Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan
oleh
ter,
pic,
bitumen,
minyak
mineral,
antrasen
atau
persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut. 2.4.2
Faktor Penyebab Penyebab dermatosis akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Faktor fisis, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu dingin, sinar matahari, sinar X, dan sinar elektromagnetis lainnya; 2. Bahan yang berasal dari tanaman atau tumbuhan, yaitu daun, ranting, kayu, akar, umbi, bunga, getah, debu dan lainnya;
Universitas Sumatera Utara
11
3. Mahluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga, dan kutu dan sejenisnya serta hewan lain dan bahan yang berasal dari padanya; 4. Zat atau bahan kimia, yaitu asam dan garam zat kimia anorganis, persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya. Dari semua penyebab itu faktor kimiawi adalah yang terpenting, oleh karena zat dan bahan kimia banyak digunakan pada proses produksi dalam berbagai industri. Ada dua mekanisme zat atau bahan kimia menimbulkan dermatosis, yaitu, pertama, dengan jalan perangsangan primer (primary irritant), penyebabnya disebut iritan primer, dan, kedua, melalui sensitisasi dan penyebabnya disebut pemeka (sensitizer). Iritan primer mengadakan rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, mengambil air dari lapisan kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi susunan kimia kulit, sehingga keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul dermatosis. Sensitisasi oleh zat kimia pemeka biasanya disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur molekul sedemikian rupa sehingga dapat bergabung dengan zat putih telur untuk membentuk antigen. Faktor kimiawi sebagai penyebab dermatosis akibat kerja dapat berupa zat atau bahan kimia perangsang primer (iritan) atau pemeka (sensitizer). Perangsang primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya yang langsung kepada kulit normal di tempat terjadinya kontak zat atau bahan tersebut dengan kulit untuk kuantitas dan kadar zat atau bahan dimaksud yang cukup serta untuk waktu yang cukup lama pula. Pemeka kulit adalah zat atau bahan kimia yang tidak usah menimbulkan perubahan pada kulit ketika
Universitas Sumatera Utara
12
berlangsungnya kontak pertama dengan kulit, tetapi menyebabkan efek khas di kulit tempat terjadinya kontak maupun pada tempat lain setelah selang waktu 5 atau 7 hari sejak kontak yang pertama. Faktor
penyebab
fisis-mekanis
tekanan,
tegangan
atau
gesekan
menimbulkan dermatosis akibat kerja dengan terjadinya kerusakan langsung kepada kulit. Kerusakan demikian adalah kelainan sel atau jaringan kulit. Dermatosis akibat kerja yang berupa kanker kulit timbul melalui patogenesis (proses terjadinya sakit) penyakit kanker yaitu rangsangan kronis dan sifat karsinogenisitas suatu zat atau bahan kimia. Bakteri, virus, jamur, dll menyebabkan dermatosis akibat kerja melalui mekanisme peradangan (infeksi) yang tanda-tandanya meliputi warna merah di kulit (rubor), panas (color), sakit (dolor), dan kelainan fungsi (functio laesa). Infestasi parasit adalah hidup atau menembusnya parasit di kulit yang menyebabkan iritasi dan kerusakan kulit. 2.4.3
Jenis Menurut Pekerjaan Sebagaimana penyakit akibat kerja pada umumnya, dermatosis akibat
kerja pun sering sangat khas menurut jenis pekerjaan dan lingkungan kerja. Penyakit kulit karena antraks (anthrax) sering terdapat pada pekerja yang mengolah bahan dari hewan misalnya pada penyamakan kulit. Penyakit jamur sporotrikhosis ditemukan khusus pada pekerja pemelihara tanaman bunga, oleh karena jamur penyebab sakit tersebut biasanya hidup pada rumpun bunga. Pekerja bengkel badannya selalu berlumur oli dan gemuk biasanya menderita dermatitisoli (oil dermatitis) yang sebetulnya penamaan penyakit seperti itu tidak tepat oleh karena etiologi penyakitnya bukan infeksi melainkan akibat pengaruh oli dan
Universitas Sumatera Utara
13
gemuk. Tenaga kerja yang selalu kontak dengan hasil pertanian dan perkebunan yang menjadi tempat bersarangnya kutu, misalnya kopra atau biji-bijian, akan menderita dermatosis yang penyebabnya adalah kutu. Pembalsem mayat yang menggunakan formaldehida untuk keperluan pekerjaannya sering menderita dermatosis sebagai akibat formaldehida yang merupakan zat kimia organis sangat reaktif. Pekerja pabrik semen atau pekerja bangunan yang lengan, tangan dan jarinya sering kontak dengan semen dapat menderita dermatosis akibat kerja dengan kulit lengan, tangan dan jari yang keriput kering, selaput tanduk kulit menipis dan di sana-sini terlihat infeksi sekunder. Selain itu pekerja yang kulitnya sering kontak dengan semen mungkin pula peka terhadap senyawa krom heksavalen kandungan semen, sehingga menderita dermatosis akibat kerja yang patogenesisnya adalah sensitisasi. Borok krom terjadi pada pekerja yang menggunakan kromat dalam melakukan pekerjaannya. Ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasen atau persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut menyebabkan penyakit epitelioma primer yaitu tumor jinak kulit pada tenaga kerja yang terpapar kepada zat-zat kimia karsinogenis tersebut. Jadi sesungguhnya tidak sulit untuk memperkirakan penyakit kulit apa yang mungkin timbul pada pekerja jika diketahui jenis pekerjaan dan keadaan lingkungan kerjanya. 2.4.4
Pencegahan Sebagaimana berlaku bagi penyakit akibat kerja pada umumnya, maka
bagi dermatosis akibat kerja pun pencegahan merupakan upaya yang paling penting dan jauh lebih berarti dari pada pengobatan. Benar bahwa terapi simptomatis cukup membantu, namun faedahnya hanya bersifat sementara dan
Universitas Sumatera Utara
14
tidak mungkin meraih kesembuhan sepenuhnya, maka dari itu satu-satunya upaya yang akan berhasil adalah meniadakan faktor penyebab dermatosis akibat kerja dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan menghilangkan seluruh risiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor penyebab yang bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat pelindung diri adalah salah satu bentuk upaya preventif. Demikian pula adanya kepatuhan menjalankan prosedur kerja melalui pendidikan dan pelatihan juga merupakan suatu pendekatan yang baik. Memindahkan penderita dari pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir dan hal itu biasanya tidak mudah dilaksanakan dan seringkali menimbulkan problema lain. Dermatosis akibat kerja selalu dapat dicegah dengan memakai cara-cara pencegahan yang telah diuraikan. Selain cara-cara umum itu, perlu diperhatikan masalah kebersihan perseorangan (higiene pribadi) dan sanitasi lingkungan kerja serta pemeliharaan ketatarumahtanggaan perusahaan yang baik. Kebersihan perseorangan misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih dan berganti pakaian tiap hari, alat pelindung diri yang bersih dan lain-lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggan perusahaan meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri yang memenuhi syarat higiene, keselamatan dan kesehatan, pembersihan debu, penerapan proses produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang dan lainnya. Diagnosis dini sangat perlu dalam upaya penanggulangan dermatosis akibat kerja, sebab dengan melakukan diagnosis dermatosis akibat kerja seawal
Universitas Sumatera Utara
15
mungkin dapat dilaksanakan upaya preventif yang cepat dan tepat serta perlindungan kesehatan pada penderita dapat sesegera mungkin diselenggarakan. 2.5
Dermatitis Kontak
2.5.1
Definisi Dermatitis Kontak Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/subtansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun kronis. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, jadi kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen. Menetapkan penyebab dermatitis kontak tidak selalu mudah dikarenakan banyak sekali kemungkinan yang ada. Selain itu banyak yang tidak tahu atau menyadari seluruh zat-zat kimia yang bersentuhan dengan kulit mereka (Djuanda dan Sularsito, 2011). Smeltzer dan Bare dalam Astrianda (2012) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan reaksi inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik akibat pajanan terhadap substansi iritatif, atau tipe alergik (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh pajanan orang yang sensitif terhadap alergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema (kemerahan) yang segera diikuti oleh gejala edema (bengkak), papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut, perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi
Universitas Sumatera Utara
16
pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura, serta pengelupasan kulit. Jika terjadi reaksi yang berulang-ulang atau bila pasien terus-menerus menggaruk kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan terjadi. 2.5.2
Jenis Dermatitis Kontak Terdapat dua jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik. Perbedaan prinsip antar keduanya yaitu dermatitis kontak iritan terjadi karena adanya penurunan kemampuan kulit dalam melakukan regenerasi sehingga mudah teriritasi oleh bahan-bahan tertentu. Penurunan kemampuan ini dipengaruhi oleh selaput tanduk dan kandungan air pada sel tanduk tersebut. Sementara pada dermatitis kontak alergik, paparan bahan kimia menimbulkan rangsangan tertentu pada imunitas tubuh. Rangsangan ini akan menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan peradangan kulit disini hanya terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat hipersensitif (mudah terkena alergi). Kedua bentuk dermatitis ini sulit dibedakan satu sama lain, sehingga memerlukan pemeriksaan medis yang spesifik untuk membedakan keduanya. 1.
Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis kontak iritan merupakan peradangan kulit akibat kontak
lansung dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis ini merupakan hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis yang disebabkan oleh substansi iritan yang kuat, seperti asam dan basa konsentrasi tinggi, dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan akut, tetapi bila disebabkan oleh substansi iritan yang lemah seperti deterjen dan air, manifestasinya sebagai dermatitis iritan kronis.
Universitas Sumatera Utara
17
Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling umum dijumpai diantara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi kira-kira dua pertiga kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2013). Hampir tiga perempat dermatitis akibat kerja tergolong jenis ini, iritan menghasilkan efek langsung pada kulit yang kontak dengannya dan efek akan lebih bergantung pada dosis dan lama pajanan dibandingkan dengan reaksi apapun dari seseorang (Harrington, 2003). Penyebab munculnya dermatitis ini ialah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lain yang dimaksud yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus atau berselang, adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan (Djuanda dan Sularsito, 2011). Faktor individu juga ikut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit diberbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan daripada kulit putih); jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada wanita); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik (Djuanda dan Sularsito, 2011).
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Dermatitis Kontak Alergik Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit akibat
kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini diakibatkan oleh suatu proses immunologis. Tidak seperti dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini tidak menyebabkan kerusakan langsung pada lapisan korneum kulit. Sebelum individu menjadi sensitif pada suatu alergen, ia harus mengalami beberapa kali kontak dengan substansi alergen tersebut terlebih dahulu (Harrianto, 2013). Dermatitis kontak alergik merupakan 15-20% dari semua dermatitis akibat kerja. Respon biasanya spesifik untuk satu bahan, tetapi biasanya tertunda satu minggu atau lebih setelah kontak. Episode sensitisasi pertama mungkin memerlukan waktu beberapa jam, tetapi reaksi berikutnya dapat tercetus oleh pemajanan yang sangat singkat (Harrington, 2005). Djuanda dan Sularsito (2011) mengemukakan berbagai faktor yang berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar matahari). 2.5.3
Gambaran Klinis Dermatitis Kontak Penderita umumnya mengeluh gatal, kelainan kulit bergantung pada
keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Dermatitis kontak alergik umumnya mempunyai gambaran klinis dermatitis, yaitu terdapat efloresensi kulit yang
Universitas Sumatera Utara
19
bersifat polimorf dan berbatas tegas. Dermatitis iritan umumnya mempunyai ruam kulit yang lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis kontak alergik. 1.
Fase Akut Pada dermatitis kontak iritan akut, satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam ataupun oleh deterjen. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Pada dermatitis kontak alergik akut, kelainan kulit umumnya muncul 2448 jam setelah melalui proses sensitisasi. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi, ada yang ringan dan ada pula yang berat. Pada yang ringan hanya berupa eritema (kemerahan) dan edema (bengkak), sedangkan pada yang berat selain eritema dan edema disertai pula vesikel atau bula (tonjolan berisi cairan) yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi cairan. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Dalam fase ini keluhan subyektif berupa gatal (Djuanda dan Sularsito, 2011). 2.
Fase Kronis Pada dermatitis kontak iritan kronis, disebabkan oleh kontak dengan iritan
lemah yang berulang-ulang, dan bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
20
dermatitis kontak iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain baru mampu untuk menyebabkan dermatitis kontak iritan. Pada dermatitis kontak alergik kronis merupakan fase kelanjutan dari fase akut yang akan hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenfikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau eksklorias, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit tumbuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak dikenal (Djuanda dan Sularsito, 2011). Berbagai lokasi terjadinya dermatitis kontak menurut Djuanda dan Sularsito (2011) 1.
Tangan Kejadian dermatitis kontak iritan maupun alergik paling sering di tangan,
mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Penyakit kulit akibat kerja, sepertiga atau lebih mengenai tangan. Tidak jarang ditemukan riwayat atopi pada penderita. Pada pekerjaan yang basah, misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut di salon, angka kejadian dermatitis tangan lebih tinggi. Contoh bahan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan, misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan pestisida.
Universitas Sumatera Utara
21
2.
Lengan Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan
(nikel), sarung tangan karet, debu semen, dan tanaman. Di ketiak dapat disebabkan oleh deodoran, anti perspiran, formaldehid yang ada dipakaian. 3.
Wajah Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan oleh bahan kosmetik,
spons (karet), obat topikal, alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai kacamata), semua alergen yang kontak dengan tangan dapat mengenai muka, kelopak mata, dan leher pada waktu menyeka keringat. Bila di bibir atau sekitarnya mungkin disebabkan oleh lipstick, pasta gigi, getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, maskara, eye shadow, obat tetes mata, salap mata. 4.
Telinga Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak
pada telinga. Penyebab lain, misalnya obat topikal, tangkai kacamata, cat rambut, hearing-aids, gagang telepon. 5.
Leher Penyebab kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara, zat warna pakaian. 6.
Badan Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna,
kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Universitas Sumatera Utara
22
7.
Genitalia Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, pembalut wanita,
alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Bila mengenai daerah anal, mungkin disebabkan oleh obat antihemoroid. 8.
Paha dan tungkai bawah Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci
(nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada kaki dapat disebabkan oleh deterjen, bahan pembersih lantai. 9.
Dermatitis kontak sistemik Terjadi pada individu yang telah tersensitisasi secara topikal oleh suatu
alergen, selanjutnya terpajan secara sistemik, kemudian timbul reaksi terbatas pada tempat tersebut. Walaupun jarang terjadi, reaksi dapat meluas bahkan sampai eritroderma. Penyebabnya, misalnya nikel, formaldehid, balsam peru. 2.6
Pencucian Mobil Kegiatan cuci-mencuci merupakan hal yang tidak bisa lepas dari
kehidupan sehari-hari. Namun, akibat perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai segala sesuatunya menjadi praktis, akhirnya masyarakat saat ini lebih memilih mencucikan kendaraan mereka di tempat pencucian khusus kendaraan. Selain banyak diminati oleh masyarakat dengan ritme kegiatan yang tinggi dan masyarakat menengah keatas, ternyata banyak alasan mengapa lebih memilih menggunakan jasa pencucian mobil, selain karena tidak punya waktu lebih, keterbatasan tempat mencuci dan ketersediaan air yang tidak menentu, ternyata juga turut mempengaruhi keputusan menggunakan jasa pencucian mobil.
Universitas Sumatera Utara
23
Apalagi di dukung oleh kecepatan pelayanan dan harga yang terjangkau membuat masyarakat semakin tertarik (Kesuma, 2012). Hal-hal tadi yang membuat peluang usaha pencucian mobil sangat diminati. Bahkan saat ini banyak pelaku usaha yang sudah mengembangkan potensi bisnis tersebut menjadi bisnis franchise. Mengingat minat konsumen akan jasa car wash, menunjukan peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya, sehingga semakin terbukanya peluang bagi pengusaha baru untuk memulai usaha pencucian mobil. Hasilnya, jasa pencucian mobil pun saat ini ada dimana-mana, bahkan bisa dikatakan tiap keluruhan dapat ditemui jasa pencucian mobil (Kesuma, 2012). Dengan banyaknya pengusaha jasa pencucian mobil, maka semakin banyak masyarakat yang bekerja di pencucian mobil. Padahal dengan menjadi pegawai pencucian mobil, maka orang tersebut memiliki risiko tinggi terkena dermatitis kontak akibat kontak dengan bahan-bahan kimia yang digunakan. Apalagi ditambah dengan tingginya jumlah konsumen, sehingga intensitas kontak dengan paparan bahan kimia semakin sering terjadi, risiko pun meningkat (Pratiwi, 2013). Bahan-Bahan baku yang terdapat di dalam deterjen sabun pencuci mobil (Kesuma, 2012) 1.
Bahan Aktif Bahan aktif ini merupakan bahan inti dari deterjen sehingga bahan ini
harus ada dalam pembuatan deterjen. Secara kimia bahan kimia ini dapat berupa Sodium Lauryl Sulfate (SLS). SLS dengan beberapa nama dagang dengan nama texapone, Emal, luthensol, dan neopelex. Secara fungsional bahan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
24
andil dalam meningkatkan daya bersih karena bekerja dengan cara menurukan tegangan permukaan larutan sehingga dapat melarutkan minyak serta membentuk mikro emulsi yang bisa menimbulkan busa. Ciri dari bahan aktif ini mempunyai busa banyak dan bentuknya gel (pasta). Penggunaan SLS dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan terjadinya iritasi epidermis dan denaturasi rantai polipeptida suatu molekul protein sehingga merubah dari suatu struktur rantai protein (Winarno, 2002) 2.
Bahan pengisi Bahan ini berfungsi sebagai bahan pengisi dari keseluruhan bahan baku.
Pemberian
bahan
pengisi
ini
dimaksudkan
untuk
memperbesar
atau
memperbanyak volume. Keberadaan bahan ini dalam deterjen semata-mata dilihat dari aspek ekonomis. Bahan pengisi deterjen disini menggunakan sodium sulfate (Na2SO4). Bahan lain sebagai pengisi deterjen dapat mengguanakan tetra sodium pyroposphate dan sodium sitrat. Bahan ini berbentuk serbuk, berwarna putih dan mudah larut dalam air. 3.
Bahan penunjang Salah satu contoh bahan penunjang deterjen adalah soda abu (Na2CO3)
yang berbentuk serbuk putih. Bahan penunjang ini berfungsi sebagai meningkatkan daya bersih. Keberadaan bahan ini dalam deterjen tidak boleh terlalu banyak, sebab dapat menimbulkan efek panas pada tangan saat mencuci pakaian. Bahan penunjang lainnya adalah Sodium Tripolyphosphate (STPP) yang juga penyubur tanaman. Hal ini disebabkan oleh kandungan fosfat yang merupakan salah satu unsur dalam jenis pupuk tertentu.
Universitas Sumatera Utara
25
4.
Bahan Tambahan (aditif) Bahan tambahan ini sebenarnya tidak harus ada didalam pembuatan
deterjen. Namun demikian, produsen mencari hal-hal baru untuk mengangkat nilai dari deterjen itu sendiri. Salah satu contoh bahan tambahan ini adalah Carboxymethyl Cellulose (CMC). Bahan ini berbentuk serbuk putih yang berfungsi mencegah kotoran kembali. 5.
Bahan Wangi Keberadaan bahan wangi ini sangat penting keberadaannya. Parfum untuk
deterjen bentuknya cair kekuning-kuningan. 2.7
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gejala Dermatosis Akibat Kerja
1.
Usia Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
individu. Usia secara epidemiologi merupakan bagian dari karakteristik host. Menurut Cohen dalam Septiani (2012) kulit manusia mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena dermatitis. Djuanda dan Sularsito (2011) menyatakan bahwa pada anak usia dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi bahan iritan. Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Utomo (2007) di PT Inti Pantja Press Industri yaitu dari 43 orang pekerja terdapat 26 orang (60,5%) yang berusia ≤30 tahun terkena dermatitis kontak, hal
Universitas Sumatera Utara
26
ini menyimpulkan bahwa pekerja yang usianya lebih muda lebih rentan terkena dermatitis kontak. 2.
Masa Kerja Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya seseorang telah
terpajan dengan bahan kimia. Masa kerja mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja, semakin lama masa kerja seseorang semakin sering terpajan dan berkontak dengan bahan kimia (Erliana, 2008) Menurut teori Cohen (1999) pekerja dengan masa kerja panjang dapat dimungkinkan telah mengalami resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resisitensi ini dikenal sebagai proses hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia karena pajanan bahan kimia yang terusmenerus. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan terpajan bahan kimia lebih sedikit. Berbeda dengan pekerja dengan masa kerja pendek, pekerja belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaannya dan masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Erliana (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja dengan masa kerja 6-9 tahun sebanyak 61,5% menderita dermatitis kontak dan masa kerja 1-5 tahun hanya 18,8% dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan dengan masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja. 3.
Lama Kerja Lama kerja merupakan jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan
kimia dalam hitungan jam/hari. Menurut Cohen (1999), lama kerja mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
27
kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga kelapisan yang lebih dalam dan resiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi. Penelitian Azhar dan Hananto (2011) pada petani rumput laut dapat disimpulkan bahwa waktu kerja >8 jam perhari lebih berisiko dibanding dengan waktu kerja <8 jam perhari. Semakin lama waktu kerja maka frekuensi kontak terhadap bahan iritan juga semakin tinggi yang mengakibatkan dermatitis kontak iritan pada petani rumput laut. Keterpaparan terhadap risiko kontak yang berulang-ulang dengan waktu yang semakin lama dan bersentuhan. 4.
Bahan Kimia Bahan kimia merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya dermatitis kontak (Djuanda dan Sularsito, 2011). Menurut Agius dalam Septiani (2012) paparan bahan kimia ditentukan oleh banyak faktor termasuk lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi bahan dan lain-lain. 5.
Kelembaban Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/IX/2002
mengenai nilai ambang batas kesehatan lingkungan kerja, kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40%-60%. Priatna dalam Budiyanto (2010), tempat kerja yang panas, lembab atau terkena sinar matahari langsung merupakan faktor di tempat kerja yang mendorong timbulnya penyakit kulit. Kontaminan berupa bahan kimia lebih mudah menempel di kulit pada temperatur lingkungan kerja yang panas dan lembab, yang menyebabkan kulit basah dan berkeringat. Selanjutnya, selain
Universitas Sumatera Utara
28
menjadi target organ dari beberapa bahan kimia, kulit juga merupakan tempat masuknya bahan kimia toksik dengan cara absorpsi. 2.8
Kerangka Konsep
Variabel Independen
Faktor Host (Manusia) : 1. Usia
Variabel Dependen
2. Masa kerja 3. Lama kerja
Faktor Agent (Penyebab) :
Gejala Kelainan Kulit (Dermatosis)
Bahan kimia
Faktor Environment (Lingkungan) : Kelembaban
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan konsep segitiga epidemiologi, maka penulis menyusun variabel untuk diteliti lebih lanjut yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala kelainan kulit (dermatosis) pada pekerja pencuci mobil di Kelurahan Pangkalan Masyhur Kota Medan, terbagi menjadi faktor host, agent, dan
Universitas Sumatera Utara
29
environment sebagai variabel independen dan gejala kelainan kulit (dermatosis) sebagai variabel dependen. Faktor-faktor yang yang berhubungan dengan gejala kelainan kulit (dermatosis) diantaranya adalah faktor host yaitu: usia, masa kerja, dan lama kerja, faktor agent yaitu: bahan kimia, faktor environment yaitu: kelembaban. Faktor Host:
1. a.
Usia Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari individu, usia secara epidemiologi merupakan bagian dari karakteristik host.
b.
Masa kerja Masa kerja penting diketahui untuk melihat lamanya sesorang telah terpajan dengan bahan kimia. Masa kerja mempengaruhi gejala kelainan kulit (dermatosis), semakin lama masa kerja seseorang semakin sering terpajan dan berkontak dengan bahan kimia.
c.
Lama kerja Lama kerja merupakan jangka waktu pekerja berkontak dengan bahan kimia dalam hitungan jam/hari. Lama kerja mempengaruhi gejala kelainan kulit, karena semakin lama kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga kelapisan sel yang lebih dalam dan risiko timbulnya gejala kelainan kulit (dermatosis) akan semakin tinggi.
Universitas Sumatera Utara
30
2.
Faktor Agent: Bahan kimia merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gejala kelainan kulit. Semakin banyak bahan kimia yang digunakan, maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya gejala kelainan kulit.
3.
Faktor Environment: Kelembaban Tempat kerja yang lembab merupakan salah satu faktor di tempat kerja yang mendorong timbulnya gejala kelainan kulit. Kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40-60%.
Universitas Sumatera Utara