II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tanaman Jati Unggul Nusantara Kayu jati sangat terkenal untuk berbagai penggunaan karena kekuatan dan
keawetannya, namun karena pertumbuhannya sangat lambat menyebabkan keseimbangan antara penyediaan kayu jati dengan kebutuhan industri tidak seimbang. Upaya pemenuhan kebutuhan kayu jati yang telah dilakukan untuk mengatasi kontinuitas pasokan kayu jati, yaitu: 1. Melakukan penelitian untuk menghasilkan klon unggul tanaman pohon jati yang lebih cepat. 2. Membudidayakan klon unggulan tersebut untuk dapat dipanen dalam masa daur pendek. Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perum Perhutani sejak tahun 1990 telah melakukan penelitian untuk menghasilkan benih jati unggul asli Indonesia. Pengembangan benih unggul berasal dari pohon plus tanaman jati Perum Perhutani di Pulau Jawa. Hasil pengembangan ini disebut klon Jati Plus Perhutani (JPP). Benih pohon Jati Plus Perhutani (JPP) yang dikembangkan Perum Perhutani, kemudian dilanjutkan pengembangannya oleh pihak PT Setyamitra Bhakti Persada bekerjasama dengan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara di bawah pengawasan Kementerian Kehutanan. Bibit JUN dihasilkan dari proses pengembangan genetik dari bibit-bibit jati
terbaik
seluruh
Indonesia
(PT.
Setyamitra
Bhaktipersada,
2008).
Pengembangan dilakukan dengan melakukan penelitian kualitas bibit jati yang berasal dari stek pucuk. Penelitian dilakukan dengan menginduksi (menstimulasi dengan hormon tumbuh) sistem perakaran calon tanaman. Penelitian tersebut
menghasilkan bibit tanaman jati dengan akar tunggang majemuk pada usia dini. Sesuai hasil penelitian tersebut menunjukkan sifat klon jati baru, yang kemudian disebut klon Jati Unggul Nusantara (JUN). Tanaman JUN diperhitungkan dapat dipanen pada umur antara 5-15 tahun. Sesuai sifatnya, tanaman JUN memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dan kondisi pertumbuhan relatif seragam pada saat usia tahun kedua. Pada umur tanaman antara 3-5 tahun, diameter tanaman dapat mencapai rata-rata 23 cm dan tinggi pohon 10 m. JUN memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah memiliki perakaran tunjang majemuk, cepat besar, kokoh, sehingga tidak mudah roboh, dan memiliki daya serap yang tinggi terhadap nutrisi. Keunggulan lainnya adalah JUN dapat di panen pada tahun ke lima dengan memiliki kualitas kelas awet III-V, kelas kuat III, dan persentase teras 26-27 persen (UBH-KPWN, 2012). Pola pengelolaan intensif tanaman JUN lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Produktivitas potensi rata-rata JUN pada tahun kelima diperhitungkan dapat mencapai 0,235 m3/pohon. Penanaman JUN akan lebih baik ditanam pada daerah ketinggian antara 50-600 m dpl. Iklim yang baik bagi pertumbuhan tanaman JUN pada kisaran curah hujan antara 1500-2000 mm/tahun, dan sebaiknya ditanam pada area yang memiliki sistem drainase yang baik (UBHKPWN, 2012). 2.2
Evaluasi Proyek Evaluasi proyek merupakan pengkajian suatu proyek yang sudah berjalan ,
apakah proyek dapat dilanjutkan (go project) atau dihentikan (no go project), dengan berdasarkan berbagai aspek kajian (Husnan dan Suwarsono, 1994). Dalam mengevaluasi suatu proyek yang efektif harus mempertimbangkan aspek yang
9
saling berkaitan dan secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut (Gittinger, 1986). Dilihat dari kapan evaluasi dilakukan pada proyek, dapat dibedakan 4 jenis evaluasi proyek: 1. Evaluasi terhadap usulan proyek yang akan didirikan (pre project evaluation). 2. Evaluasi terhadap proyek yang sedang dibangun (on construction project evaluation). 3. Evaluasi terhadap proyek yang telah dioperasionalisasikan (on going project evaluation). 4. Evaluasi terhadap proyek yang telah berakhir (post project evalution study). 2.2.1
Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial merupakan analisis yang melihat suatu proyek
dari sudut pandang lembaga/badan yang mempunyai kepentingan langsung dalam proyek dengan menggunakan metode cash flow analysis. Metode tersebut untuk menganalisis komponen penerimaan atau benefit (inflow) dan menganalisis komponen biaya atau pengeluaran (outflow). Selisih keduanya disebut manfaat bersih yang seharusnya dapat diterima para pihak. Analisis kelayakan finansial bertujuan untuk mengevaluasi pendanaan dan aliran kas usaha, sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya rencana usaha yang dimaksud untuk dilanjutkan. Sesuai metode tersebut, analisis kelayakan finansial pada kegiatan pengelolaan JUN UBH-KPWN menggunakan instrumen analisis, yaitu:
10
a. Perhitungan Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan manfaat bersih yang diterima selama umur proyek pada tingkat diskonto tertentu. Ukuran ini bertujuan untuk menghasilkan alternatif yang dipilih karena adanya kendala biaya modal, dimana usaha ini memberikan NPV biaya yang sama atau NPV penerimaan yang kurang lebih sama setiap tahun. Jika NPV menghasilkan nilai positif maka investasi tersebut dapat dilanjutkan, sedangkan jika NPV tersebut bernilai negatif maka sebaiknya investasi tersebut dihentikan (Kasmir dan Jakfar, 2003). b. Perhitungan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah besarnya manfaat tambahan pada setiap tambahan biaya sebesar satu satuan. Net B/C merupakan perbandingan antara nilai sekarang (present value) dari net benefit yang positif dengan net benefit yang negatif. Proyek layak dilanjutkan bila Net B/C lebih besar dari satu (Gray et al., 1986). c. Perhitungan Internal Rate of Return (IRR) Investasi dikatakan layak dilanjutkan jika IRR lebih besar dari tingkat diskonto, sedangkan jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek tersebut tidak layak dilanjutkan. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dinyatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku (Ibrahim, 2003). d. Payback Period (PBP) Payback Period adalah jangka waktu kembalinya keseluruhan jumlah investasi yang ditanamkan, dihitung mulai dari permulaan proyek sampai dengan
11
arus nilai netto produksi tambahan mencapai jumlah keseluruhan investasi yang ditanamkan (Gittinger, 1986). Husnan dan Suwarsono (1994), mengungkapkan bahwa analisis payback period mengukur seberapa cepat investasi kembali, sehingga satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Jika payback period ini lebih pendek dari umur proyek, maka proyek dikatakan layak dan baik untuk dilanjutkan, sedangkan jika umur proyek lebih lama maka proyek tidak layak dilanjutkan. Dasar perhitungan yang digunakan adalah aliran kas bukan laba. Perhitungan tingkat pengembalian dilakukan dengan metode payback period, dimana nilai manfaat bersih yang terdapat pada cash flow didiskontokan dan diakumulatifkan dari tahun ke tahun (Gittinger, 1986). 2.2.2
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas (sensitivity analysis) dilakukan untuk melihat
kepekaan /pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya manfaat (Kadariah, 2001). Analisis sensitivitas adalah suatu analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Menurut Gittinger (1986), proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, yaitu: 1. Perubahan harga jual produk. 2. Keterlambatan pelaksanaan proyek. 3. Kenaikan biaya. 4. Perubahan volume produksi.
12
2.3
Sistem Bagi Hasil Pola bagi hasil antara pemilik modal (investor) dan pengusaha
(entrepreneur) dalam kegiatan ekonomi banyak diterapkan untuk mengatasi keterbatasan modal individu dalam memenuhi pembiayaan usaha. Sebagian besar masyarakat meyakini pola bagi hasil merupakan merupakan model kerjasama usaha yang dianggap lebih memenuhi nilai agama dengan model pembagian resiko kegagalan usaha atau pembagian keuntungan yang lebih adil dan terbuka (Jusmaliani, 2006). Terdapat dua jenis perhitungan bagi hasil, yaitu: profit/loss sharing dan revenue sharing. Pada profit/loss sharing jumlah pendapatan bagi hasil yang diterima tergantung keuntungan usaha, sedangkan pada revenue sharing penentuan bagi hasil tergantung pendapatan kotor usaha (harga jual dikalikan dengan jumlah barang yang dijual). Pada umumnya di Indonesia menerapkan sistem revenue sharing (Jusmaliani, 2006). Pengelolaan usaha pola bagi hasil yang dilaksanakan UBH-KPWN, mencakup pengelolaan dana investor yang digunakan untuk biaya operasional kegiatan penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman dan biaya pemanenan tegakan pohon jati. Saat pemanenan pada tahun kelima yang telah disepakati, manajemen UBH-KPWN akan membayarkan kembali dana hasil penjualan pohon jati kepada para pihak sesuai proporsi bagi hasil yang telah disepakati. 2.4
Manfaat Ekonomi Gittinger (1986) mendefinisikan manfaat adalah segala sesuatu yang
membantu suatu tujuan. Untuk menilai manfaat yang tidak berwujud, metode yang digunakan adalah menentukan atas harga dasar yang paling murah dari
13
kombinasi biaya berwujud yang akan timbul dimana keduanya sama penting dengan manfaat yang tidak berwujud. Mengukur manfaat suatu proyek lebih sulit daripada mengukur biayanya. Menurut Gray et al (1986), masalah-masalah yang dihadapi dalam pengukuran manfaat ini dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Mengukur jumlah manfaat Hasil produksi dari sebuah proyek adalah adanya penambahan jumlah barang dalam masyarakat setelah adanya proyek tersebut. Dengan kata lain, hasil produksi suatu proyek adalah perbedaan jumlah persediaan barang yang terdapat dalam masyarakat dengan adanya proyek dan seandainya tidak ada proyek. 2. Penentuan harga hasil produksi Hasil suatu proyek terdiri dari berbagai barang yang berbeda. Berbagai jenis produk suatu proyek dapat berbeda dengan barang yang berada dalam masyarakat baik dari segi mutu dan kualitasnya yang menyebabkan harganya menjadi berbeda. Suatu harga barang yang sama dapat berbeda pada tempat dan waktu yang berbeda. Suatu proyek yang menciptakan produk dalam jumlah yang besar dapat mempengaruhi tingkat harga. Oleh karena itu, kesalahan dalam perhitungan manfaat suatu proyek dapat terjadi karena terjadinya kesalahan dalam memberikan nilai kepada harga dari produk proyek tersebut. 3. Adanya eksternalitas Eksternalitas adalah hasil-hasil tidak langsung dan akibat-akibat sampingan dari suatu proyek. Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negatif. Keduanya sukar dihitung dan dimasukkan ke dalam biaya dan manfaat proyek,
14
tetapi perlu dipertimbangkan dalam penentuan pilihan proyek tersebut. Kesulitan dalam mengukur hasil proyek terjadi, antara lain: 1. Hasil tidak langsung atau akibat sampingan proyek itu justru berada di luar proyek itu sendiri, seperti hasil tidak langsung dari peningkatan pangan dapat terjadi kepada peningkatan perbaikan pendidikan. 2. Akibat sampingan dari suatu proyek dapat merupakan biaya masyarakat secara keseluruhan, seperti intensifikasi pertanian dalam suatu wilayah yang menggunakan pestisida dapat menambah produksi padi, tetapi hal tersebut turut berpengaruh kepada terjadinya penuruan produksi ikan pada wilayah tersebut. 3. Hasil yang tidak langsung menyebabkan sukar diukur dan dinilai dengan uang (intangible), seperti terjadi penurunan keamanan setelah pelaksanaan proyek. 2.5
Manfaat Lingkungan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan
dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Jasa lingkungan dapat dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung, seperti rekreasi, sedangkan secara tidak langsung, seperti
perlindungan
tata
air,
kualitas
udara
bersih,
dan
penyerapan
karbondioksida (CO2). Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam, seperti tanah, air, energi, surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia, sepeti keputusan bagaimana
15
menggunakan lingkungan tersebut. Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa, seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, dan bunyi. Komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa, seperti tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroorganisme (Lingkungan, 2012)1. Aspek lingkungan dalam kegiatan usaha penanaman JUN adalah eksternalitas positif terhadap kualitas lingkungan. Kegiatan JUN bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dengan cara pengelolaan yang ramah lingkungan dan mempertahankan eksistensinya sehingga fungsi hidrogis dan penyerapan karbon akan berfungsi secara optimal. 2.6
Persepsi Kartono (1987) mengatakan persepsi sebagai proses dimana seseorang
menjadi sadar segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera yang dimiliki, pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui intersepsi data indera. Persepsi tentang kesejahteraan hidup manusia terbangun melalui pengalaman dan berbagai macam proses dalam usaha manusia menjalin hubungan dengan lingkungan mereka. Terbangunnya persepsi tersebut mendorong manusia dalam usaha mendekati atau mencapai suatu kondisi kehidupan sesuai dengan gambaran hidup sejahtera yang ada dalam konsep manusia. Persepsi sebagai proses kognitif yang bisa terjadi pada setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungan yang diperoleh melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi merupakan penafsiran unik terhadap suatu situasi, bukan merupakan suatu pencaharian yang 1
Dikutip dari http://id.Wikipedia.org/wiki/lingkungan yang diakses pada tanggal 22 Februari 2012.
16
sebenarnya dari situasi tersebut. Definisi ini secara implisit menyebutkan bahwa informasi dan situasi dapat berfungsi sebagai stimulus bagi terbentuknya suatu persepsi, walaupun informasi tentang lingkungan itu juga bisa berupa situasi tertentu (tidak harus berupa rangkaian kalimat atau isyarat lain) (Sutisna, 2001). Persepsi sangat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap lingkungan. Seseorang yang mempunyai persepsi yang benar terhadap lingkungannya, kemungkinan orang tersebut akan berperilaku positif terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan dan sebaliknya (Harihanto, 2001). 2.7
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu berfungsi sebagai pendukung untuk melakukan
penelitian dan membandingkan hasil penelitian yang penulis lakukan dengan hasil-hasil yang telah dilakukan oleh orang lain yang menunjang atau memperkuat. Banyak penelitian yang menggunakan metode analisis kelayakan finansial terhadap suatu proyek, akan tetapi proyek kegiatan JUN UBH-KPWN Kabupaten Bogor memiliki perbedaan dari segi lokasi penelitian. Penelitian ini tidak hanya menganalisis dari segi finansial saja, akan tetapi mengidentifikasi dampak ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar. Hal ini menjadi perbedaan dengan penelitian lain karena penelitian yang lain hanya melihat proyek tersebut memberikan keuntungan yang besar tanpa memperhatikan keadaan masyarakat dan lingkungan sekitar. Beberapa penelitian yang dijadikan referensi yaitu penelitian tentang analisis kelayakan finansial, penelitian manfaat ekonomi, penelitian terhadap dampak lingkungan, dan penelitian persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat.
17
2.7.1 Penelitian Analisis Kelayakan Finansial Beberapa penelitian yang dilakukan untuk analisis kelayakan finansial dilakukan oleh Abdurrohman (2005) dan Puspitasari (2009). Hasil dari penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penelitian Analisis Kelayakan Finansial No
Penulis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1
Abdurrohman (2005)
Analisis Kelayakan Finansial Produksi Bibit Jati dengan Metode Kultur Jaringan pada PT. Dafa Teknoagro Mandiri, Bogor.
Berdasarkan kriteria kelayakan finansial yang diamati, usaha ini dapat dikatakan layak, NPV = Rp 301 751 403 IRR = 23.8967 persen, Net B/C = 1,695 dan waktu pengembalian pada periode lima tahun empat bulan. Switching value dikatakan layak ketika biaya produksi variabel naik sebesar 59.80293 persen dan harga output turun sebesar 20.1824 persen.
2
Ratna Puspitasari (2009)
Analisis Kelayakan Usaha Jati Unggul Nusantara dengan Pola Bagi Hasil (Studi Kasus pada Unit Usaha Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara).
JUN ini layak untuk dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari NPV = Rp 42 714 598 081, IRR sebesar 48 persen dimana lebih besar dari discount rate sebesar sembilan persen. Nilai Net B/C lebih besar dari satu, yaitu enam. Payback Period (PBP) yang diperoleh adalah sebesar 5.555 tahun atau sama dengan lima tahun enam bulan 20 hari dimana masih lebih kecil dari umur proyek, serta nilai break even point (BEP) usaha JUN ini adalah sebanyak 30 510 pohon. Berdasarkan analisis switching value, Batas penurunan jumlah produksi tanaman sebesar 12.739980852730 persen, sedangkan batas peningkatan biaya operasional adalah sebesar 65.5400500494 persen.
18
2.7.2
Penelitian Manfaat Ekonomi Penelitian yang melihat manfaat ekonomi dilakukan oleh Dewi (2011) dan
Putro (2011). Hasil penelitian tersebut dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penelitian Manfaat Ekonomi No
Penulis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1
Devita Ayu Dewi Persepsi Petani Terhadap (2011) Pola Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat).
Manfaat ekonomi saat ini hutan rakyat masih memberikan manfaat yang kecil tiga persen (Rp 893 333/tahun) untuk hutan rakyat monokultur dan satu persen (Rp 187 200/tahun) untuk hutan rakyat campuran karena belum ada pemanenan dari hasil kayu.
2
Imam Dwi Putro Analisis Manfaat Ekonomi (2011) Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) (Studi Kasus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Puncak Lestari, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor).
Kegiatan PHBM yang berjalan di Desa Tugu Utara memberikan kontribusi rata-rata pendapatan sebesar 39 persen terhadap pendapatan rumah tangga petani, Nilai dari penyerapan tenaga kerja pada kegiatan PHBM di Desa Tugu Utara adalah Rp 173 360 000/tahun dan nilai kontribusi LMDH dalam meningkatkan keamanan kawasan hutan adalah Rp 60 708 700 setiap tahunnya. Net benefit yang muncul dari kegiatan PHBM di Desa Tugu Utara berjumlah Rp 404 547 825 per tahunnya.
2.7.3
Penelitian Dampak Lingkungan Penelitian yang melihat dampak lingkungan pada hutan rakyat telah
dilakukan oleh Supangat (2005) dan Ghofir (2012). Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
19
Tabel 5. Penelitian Dampak Lingkungan No
Penulis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1
Agung B. Peran Hutan Supangat Tanaman Jati (2005) sebagai Pengatur Tata Air: Studi Kasus di SubDAS Kawasan Hutan Jati di KPH Cepu.
Berdasarkan hasil penelitian tata air (hidrologi) selama tujuh tahun, dapat disimpulkan secara umum sub DAS kawasan hutan jati lebih baik dibandingkan sub DAS non kawasan hutan dalam mengendalikan hujan untuk aliran permukaan maupun aliran dasar seperti ditunjukkan oleh nilai rata-rata koefisien limpasan yang lebih kecil dengan fluktuasi yang stabil. Cadangan air tanah yang dikeluarkan pada musim kering sebagai aliran dasar lebih stabil pada sub DAS kawasan hutan.
2
Abdul Ghofir (2012)
Stok karbon yang dihasilkan tegakan saat ini sebesar 16.207 tonC atau 7.704 tonC/ha yang diduga dengan persamaan terbaik berdasarkan analisis, yakni C = 1445.4 D2,82. Potensi karbon hutan rakyat berdasarkan perhitungan riap diameter tahunan jika umur daur sepuluh tahun sebesar 214.732 ton.
2.7.4
Penduga Stok Karbon (Paraserianthes falcataria) Di Desa Bandarjo, Kabupaten Semarang.
Penelitian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat Penelitian persepsi masyarakat terhadap hutan rakyat telah dilakukan oleh
Sultika (2010) dan Dewi (2011). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Penelitian Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat No
Penulis
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
1
Lalis Yuliana Sultika (2010)
Analisis Pendapatan dan Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Rakyat di Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican dan Desa Bojong Kecamatan Langkaplancar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Persepsi petani terhadap hutan rakyat berdasarkan Skala Likert adalah tinggi dengan nilai sebesar 2,72. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi persepsi adalah kerjaan pokok. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan, sosial budaya.
2
Devita Ayu Persepsi Petani terhadap Pola Dewi (2011) Pengelolaan Hutan Rakyat dan Kontribusi Hutan Rakyat terhadap Pendapatan Rumah Tangga (Kasus di Kecamatan Cimalaka dan Conggeang Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat).
Pada hutan rakyat monokultur persepsi petani hutan rakyat dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu: tingkat pendidikan dan pekerjaan sampingan, sedangkan pada hutan rakyat campuran persepsi petani hutan rakyat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu luas kepemilikan lahan dan frekuensi bertemu petani.
20