1
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik terminal (PGKT) atau chronic kidney disease G5 (D) (KDIGO, 2013) merupakan masalah kesehatan dunia karena senantiasa terjadi peningkatan insidensi, prevalensi dan tingkat morbiditas serta mortalitas. Angka kematian akibat PGKT terus meningkat di banyak negara termasuk di negara berkembang seperti Indonesia (Kher, 2002, Kuo et al., 2007, Stevens et al., 2006). Menurut US Renal Data System dalam laporan tahunannya menyebutkan bahwa prevalensi dan insidensi PGKT di Amerika serikat terus meningkat. Tahun 2000 prevalensi PGKT di Amerika sebesar 1.311 tiap sejuta penduduk dengan jumlah penderita sebesar 20 juta dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai dua kalinya (Go et al., 2004, Stevens et al., 2006). Insidensi penyakit ginjal kronik di Indonesia diduga sebesar 100-150 tiap 1 juta penduduk per tahun (Bakri, 2005). Seiring dengan penurunan kualitas hidup penderita PGK dan PGKT, jumlah penderita mengalami peningkatan risiko kematian (Cohen et al., 2007, Kimmel, 2000). Risiko kematian penderita PGKT pada tahun pertama mencapai 20% dan meningkat menjadi 60% pada tahun kelima sakit (Albert et al, 2004, Dalrymple & Go, 2008). Pasien yang terdiagnosis PGKT dengan atau tanpa diabetes memiliki kemungkinan mengalami kematian 5 sampai 10 kali lebih besar jika dibandingkan penderita penyakit kardiovaskuler (Go et al., 2004, Mcclellan & Flanders, 2003).
2
Disamping menurunnya glomerular filtration rate (GFR), faktor infeksi akut dan penyakit penyerta serta gaya hidup tak sehat merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas penderita PGKT dengan hemodialisis. Infeksi akut oleh virus, bakteri maupun jamur sering dialami oleh penderita PGKT dengan dialisis (Fabrizi et al., 2007, 2009). Studi di Amerika menunjukkan bahwa kunjungan ke rumah sakit akibat infeksi pada penderita PGKT pada tahun pertama sakit mencapai 32% untuk prosedur hemodialisis dan 24 % untuk peritoneal dialisis dan angka tersebut meningkat menjadi 50% pada tahun ketiga sakit (Burdick et al., 2003, Dalrymple & Go, 2008). Penyakit ginjal kronik adalah suatu keadaan terdapat penurunan fungsi ginjal oleh karena adanya kerusakan dari parenkim ginjal yang bersifat kronik dan irreversibel. Penyakit ginjal kronik terjadi apabila laju filtrasi glomeruler (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama tiga bulan atau lebih (Bakri, 2005, KDIGO, 2013, Remuzzi et al., 2002). Sampai saat ini penanganan penderita PGKT bertumpu pada tiga tindakan yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialisis (PD) dan transplantasi ginjal. Di Indonesia penanganan penderita PGKT bertumpu pada hemodialisis yang berbiaya cukup tinggi. Penderita PGKT membutuhkan 8-12x hemodialisis per bulan untuk menggantikan fungsi ginjal yang sudah rusak permanen, dengan biaya rata-rata Rp 600.000/hemodialisis (Bakri, 2005). Penderita PGKT biasanya memiliki kualitas hidup yang rendah (Cohen et al., 2007, Scott et al., 2007; Wu et al., 2004). Penyakit ginjal kronik terminal memerlukan perawatan dengan biaya perawatan besar tetapi dengan "outcome" yang
3
belum memuaskan (Fukuhara et al., 2003, Go et al., 2004, Mark et al., 2011, Teerawattananon et al., 2007;;), oleh karena itu perlu difikirkan penanganan permasalahan PGKT di Indonesia dari yang berorientasi kuratif menjadi berorientasi preventif promotif. Faktor risiko yang berhubungan dengan progresifitas PGKT dapat dibagi menjadi 4 (Levey, 2007) yaitu faktor risiko susceptibility yang meningkatkan kerentanan kerusakan ginjal antara lain; status minoritas ras atau etnik, usia tua, riwayat keluarga dengan PGKT, reduksi massa ginjal, obesitas, berat badan lahir rendah, status edukasi dan berpenghasilan rendah (Chalmer and Kaskei, 2006; Haroun et al., 2003). Faktor risiko yang kedua yaitu faktor inisiasi berupa kerusakan ginjal awal langsung seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit autoimmune, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih bawah dan toksisitas obat (Burdick et al., 2003, Fabrizi et al., 2007,Hwang et al., 2008). Termasuk faktor risiko inisiasi PGKT adalah hiperurisemia baik pada penderita hipertensi maupun tanpa hipertensi. Hiperurisemia terbukti sebagai faktor risiko hipertensi, melalui penghambatan fungsi NO pada endotel hiperurisemia berperan dalam patogenesis hipertensi (Pasalic et al., 2011). Faktor yang ketiga adalah faktor progresi yang menyebabkan perburukan kerusakan ginjal atau cepatnya penurunan GFR seperti kadar proteinuria yang tinggi, tekanan darah tinggi, pemeriksaan gula darah yang tidak teratur pada penderita DM dan merokok (Baggio et al., 2002, Hidayati et al., 2008, Kasiske and Klinger, 2000). Faktor risiko keempat atau yang terakhir yaitu faktor risiko yang menyebabkan kenaikan morbiditas dan
4
mortalitas pada penyakit ginjal kronik seperti dosis dialysis rendah (Kt/V), anemia, kadar albumin serum rendah dan keterlambatan rujukan ke ahli ginjal (Baylis, 2006, Fored, 2003, Hallan et al., 2006, Joan et al., 2004, Lokateli et al., 2009, Moist et al., 2008). Tiga
mekanisme
patofisiologi
utama
pada
kejadian
PGKT
adalah
glomerulosklerosis, fibrosis tubulointerstisial dan sklerosis vaskular (Chatziantoniou & Dussaule, 2005, Medrum et al., 2007). Injuri pada ginjal akibat iskemia atau hipoksia, infeksi atau paparan bahan toksik termasuk rokok dan udara kotor memacu reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi pada ginjal yang melibatkan komponen sistem imun seluler (CD4Th dan CD4CD25 Treg) dan humoral termasuk sitokin (transforming growt factor-β/TGF-β), mediator inflamasi dan faktor pertumbuhan (insulin like growt factor-1/IGF-1) akan diikuti dengan adanya perubahan hemodinamik akibat perubahan struktur glomerulus atau adanya kerusakan dan disfungsi pada tubulus (Ishizawa, 2011). Perubahan hemodinamik dicirikan dengan adanya vasokontriksi arteri afferent yang berakhir pada penurunan GPF (glomerular plasmaflow) dan tekanan glomerular (P) maupun kontraksi sel mesangial yang berakhir pada penurunan laju filtrasi glomerulus. Glomerulosklerosis yang berujung pada glomerulopati maupun terbentuknya fibrosis tubulus merupakan perubahan struktur ginjal yang bersifat menetap akibat inflamasi kronik yang dipicu adanya injuri ginjal (Kaysen & Eiserich, 2004, Nangaku, 2006). Hasil
penelitian
di
RSU
PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta
(RPMY)
menunjukkan bahwa 21% penderita PGKT yang menjalani hemodialisis di RPMY
5
merupakan perokok aktif dan berkualitas hidup kurang (Hidayati et al., 2008). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kebiasaan merokok dan paparan asap rokok merupakan faktor risiko kejadian PGKT di RPMY (Hidayati et al., 2008). Kebiasaan merokok merupakan faktor inisiator dan prognosis kejadian PGKT. Kebiasaan merokok dan paparan asap rokok menginisiasi proses destruksi atau injuri pada ginjal, memperburuk prognosis, meningkatkan risiko mortalitas serta menurunkan kualitas hidup penderita PGKT (Cohen et al., 2007, Dalrymple & Go, 2008). Merokok dapat menimbulkan stres oksidatif yang bersifat destruktif. Kondisi stres oksidatif yang berakibat pada kerusakan/kematian sel menyebabkan terjadinya percepatan proses degeneratif sehingga menimbulkan berbagai penyakit antara lain gagal ginjal, jantung koroner (PJK), diabetes mellitus (DM) dan kanker (Baggio et al., 2002, Ejerblad et al., 2004, Orth et al., 2000;). Hasil penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kadar IGF-1 berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler, kanker, depresi, penyakit ginjal kronik, gangguan pertumbuhan maupun tingkat kebugaran dan kesehatan serta lama perawatan di rumah sakit (Hypponen et al., 2008). Bioaktivitas IGF-1 dalam tubuh dikontrol oleh berbagai faktor baik faktor genetik maupun non-genetik, seperti hormon pertumbuhan, nutrisi, lingkungan maupun gaya hidup termasuk merokok (Nindl et al., 2011, Rajpathak et al., 2009). Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) adalah faktor pertumbuhan endokrin yang merupakan mediator utama aktivitas hormon pertumbuhan (growth hormone/GH) pada proses tumbuh kembang dengan efek biologis yang beragam mulai dari sebagai
6
faktor mitogen, antiapoptosis, antioksidan, sampai antiinflamasi (Finkelstein et al., 2011, Genis et al., 2000). IGF-1 diekspresikan oleh sel pembuluh darah dan monosit atau makrofag. IGF-1 merupakan mitogen untuk sel endotel dan sel otot polos vaskuler. Pada masyarakat yang sehat, kadar IGF-1 bebas dalam darah berhubungan dengan tingkat kebugaran dan status kesehatan (Nindl et al., 2011). Dari hasil penelitian prospektif, didapatkan bahwa populasi dengan kadar IGF-1 yang terlalu rendah atau terlalu tinggi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika dibandingkan populasi yang memiliki kadar IGF-1 sedang (rata-rata), atau terdapat bentuk hubungan U- shaped kadar IGF-1 yang bermakna dengan kematian atau kejadian sakit pada populasi laki-laki (Friedrich et al., 2011). IGF-1 dihasilkan oleh gen IGF-1, yang terletak pada kromosom 12 pada manusia. Signaling IGF-1R meliputi autofosforilasi dan serangkaian fosforilasi tirosin Shc dan substrat reseptor insulin (insulin receptor substrate (IRS)) -1, -2, -3, dan -4. IRS berperan sebagai protein docking dan mengaktifasi berbagai jalur signaling, antara lain phosphatidyl inositol 3-kinase (PI3K), Akt, dan mitogenactivated protein kinase (MAPK) (Mark et al., 2008, Rajpathak et al., 2009). Efek biologis IGF-1 diawali dari aktivasi jalur signaling lewat reseptornya yang disebut IGF-1R. IGF-1 dapat meningkatkan aktivitas sel endotel yang diinduksi cJun dan NFkB. Selain itu, IGF-1 mempunyai efek mempertahankan kehidupan sel pembuluh darah dan mencegah apoptosis (Miller et al., 1992). Secara laboratorik IGF-1 dapat menurunkan progresifitas aterosklerosis, mencegah oksidasi LDL, menghambat infiltrasi makrofag ke daerah lesi, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi IL-6 dan
7
TNF alfa serta menurunkan pembentukan superoksida di aorta. Sebaliknya IGF-1 dapat meningkatkan ekspresi eNOS dan pAkt aorta serta perkembangan sel progenitor endotel (Sukhanov et al., 2007). Pada uji in vivo, IGF-1 dapat menurunkan progresi pembentukan plak aterosklerosis, menghambat infiltrasi makrofag ke daerah lesi, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi IL-6 dan TNF alfa serta menurunkan pembentukan superoksida di aorta. Sebaliknya IGF-1 dapat meningkatkan ekspresi eNOS dan pAkt aorta serta sel endotel (Rajpathak et al., 2009; 2008). Telah dibuktikan bahwa pematangan dan keberlangsungan hidup sel limfosit T juga dipengaruhi oleh IGF-1 (Delafontaine et al., 2004, Papaconstantinou, 2009, Sukanov et al., 2007). Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, penelitian terbaru pada hewan model membuktikan bahwa penurunan kadar IGF-1 dan kenaikan kadar IGFBP-1 ternyata berhubungan dengan glomerulosklerosis, hal ini sesuai dengan bukti di klinis bahwa perubahan kadar IGF1 berhubungan dengan kejadian mikroalbuminuria dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler pada penderita PGKT dengan hemodialisis (Abdulle et al., 2007, Lepenies et al., 2010, Mark et al., 2008, Teppala et al., 2010). Penelitian epidemiologi cross sectional menunjukkan bahwa tingginya kadar IGF-1 dan vitamin D plasma berhubungan dengan berkurangnya kejadian sindroma metabolik yang merupakan sumber stres oksidatif dan inisiator proses degeneratif dan destruksi seluler termasuk nefron (Hypponen et al., 2008, Kajstura et al., 2001). Penelitian epidemiologi secara cross sectional di Amerika juga membuktikan bahwa kadar plasma IGF-1 dapat menjadi prediktor kejadian PGK (Teppala et al., 2010). Uji
8
klinik membuktikan bahwa pemberian IGF-1 pada anak-anak dengan chronic renal insufficiency (CRI/GFR<75mL/min/1.73m²) dapat memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan penderita (Mahan, 2006). Secara laboratorium telah dibuktikan bahwa pemberian IGF-1 pada tikus yang dibuat ARF dapat mempercepat perbaikan kerusakan ginjal (Miller et al., 1992). Telah dibuktikan secara in vitro peningkatan sekresi IGF-1 oleh sel mesangial ginjal mempercepat proses repair injury pada ginjal (Imberti et al., 2007). Salah satu mekanisme perbaikan oleh IGF-1 adalah dengan cara menghambat program apoptosis dari jalur mitokhondria (Kang et al., 2003). Kadar IGF-1 bebas dalam plasma diduga berhubungan dengan kejadian dan tingkat morbiditas penderita PGKT. Berkurangnya kadar IGF-1 diduga berhubungan dengan peningkatan aktivitas apoptosis dan berkurangnya aktivitas repair injury yang terjadi pada glomerulus maupun tubulus ginjal. Aktivitas IGF-1 dipengaruhi oleh 6 jenis protein pengikat IGF (IGF binding protein/IGFBP). Diantara keenam IGFBP, IGFBP-3 paling berpengaruh terhadap aktivitas, bioavaibilitas dan degradasi IGF-1. Lebih dari 90% IGF-1 di plasma terikat oleh IGFBP-3 dan hanya sekitar 1% IGF-1 yang bebas (Kawachi et al., 2005). Polimorfisme gen IGF-1 terbukti berhubungan dengan perubahan kadar dan bioaktifitas IGF-1, penurunan kadar IGF-1 dalam sirkulasi, penurunan kapasitas antioksidan endogen, penurunan respon imun, aterosklerosis, dan kerusakan sel endotel yang berujung pada timbulnya penyakit kardiovaskuler dan penurunan kualitas hidup penderita serta prognosis PGKT (Baggio et al., 2002, Ejerbald et al., 2004, Orth et al., 2000).
Kenaikan kadar IGFBP-1 maupun IGFBP-3 akan
9
menurunkan kadar IGF-1 bebas dalam darah (Kawachi et al., 2005, Palmer et al, 2002). Secara epidemiologis telah dibuktikan bahwa penurunan kadar IGF-1 berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler, stroke dan penyakit ginjal kronik (Baumeister et al., 2011, Teppala et al., 2010), lama perawatan di rumah sakit serta tingkat morbiditas penderita diabetes mellitus (Amin et al., 2003, Burger et al., 2006, Kaplan & Shankar, 2010;). Limfosit T CD4CD25 yang dikenal sebagai sel Tregulator (Treg) berperan penting pada respon imun adaptif seluler. Sel CD4CD25 Treg berperan sebagai pencegahan terhadap adanya reaksi alergi dan timbulnya autoimun, disamping itu limfosit CD4CD25 Treg juga terbukti berperan menurunkan respon imun dan menghambat aktivasi limfosit T (Murphy et al., 2005). Sejauh ini bagaimana peranan limfosit CD4CD25 Treg pada ginjal, jantung dan pembuluh darah masih diperdebatkan, satu sisi memberikan efek anti alergi dan mencegah respon imun berlebihan agar tidak menimbulkan autoimun disease tetapi sisi yang lain Treg yang jumlahnya berlebihan dapat menekan respon imun sehingga merugikan (Kresno, 2001, Murphy et al., 2012;). Limfosit CD4CD25 Treg sudah terbukti dapat mengontrol respon imun alamiah pasca injuri melalui pengaturan respon inflamasi (Murphy et al., 2012). Pemberian infus CD4CD25Treg pada mencit yang diinduksi aldosteron maupun angiotensin II dapat melindungi kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi dan inflamasi (Barhoumi et al., 2011, Kasal et al., 2012). Penelitian secara invivo dengan menggunakan tikus hipertensi akibat paparan infus angiotensin II, pemberian sel Treg memperbaiki hipertropi jantung dan menurunkan fibrosis jantung
10
meskipun tetap mengalami hipertensi. Perbaikan gambaran morfologi jantung diikuti dengan
perbaikan
remodeling
elektrik
arrhythmogenik,
mengindikasikan
kebermaknaan fungsi morfologi jantung yang membaik. (Kvakan et al, 2009). Hasil penelitian juga menunjukkan penurunan yang bermakna inflamasi jantung yang dicirikan penurunan infiltrasi sel inflamasi dan ekspresi TNFα. Perbaikan morfologi jantung tersebut tidak berhubungan dengan tekanan darah. Pada injuri renal akibat iskemia, telah dibuktikan bahwa Treg dapat menekan respon imun alamiah yaitu reaksi inflamasi berlebihan sehingga destruksi ginjal dapat dikurangi (Kinsey et al., 2009). Limfosit Treg juga terbukti memperbaiki kerusakan ginjal akibat paparan agen nefrotoksik cisplatin (Lee et al., 2010). Pada mencit yang defisiensi Treg, injuri renal iskemik memberikan gambaran kerusakan ginjal yang berat dengan respon inflamasi yang berlebihan. Induksi angiotensin II terbukti menurunkan sampai 43% Treg pada korpus renalis dan pemberian infus Treg dapat melindungi kerusakan pembuluh (Barhoumi et al., 2011). Treg atau CD4CD25 adalah CD4 yang mengekspresikan CD25, dimana CD25 merupakan reseptor IL-2 subunit α, yang berfungsi untuk mengatur proliferasi sehingga jumlah Treg cukup untuk menekan aktivitas respon imun alamiah (inflamasi) yang berlebihan. Respon inflamasi berlebihan pada injuri renal iskemia bertanggung jawab pada kerusakan struktur ginjal (Kim et al., 2011, Kinsey et al., 2009). Disamping CD4CD25 Treg, pengaturan respon inflamasi dan mekanisme pathogenesis kerusakan struktur ginjal juga melibatkan sitokin TGF-β. Iskemia atau stres oksidatif akibat radikal bebas maupun bahan karsinogenik dari rokok, infeksi
11
dan diabetes mellitus dapat menginduksi terjadinya PGKT atau memperburuk kondisi PGK sehingga menjadi PGKT. Perilaku merokok, paparan asap rokok, infeksi atau hiperglikemia pada pada penderita DM melalui mekanisme stres oksidatif menyebabkan injuri seluler yang memacu reaksi inflamasi dan peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-6, TNF α, TGF-β), penghambatan terhadap sekresi sitokin antiinflamasi IL-10 dan penurunan jumlah atau aktivitas CD4CD25 Treg (Liu et al., 2006). Secara laboratorik, klinik dan epidemiologi Inflamasi kronik terbukti berhubungan dengan kejadian aterosklerosis, glomerulosklerosis dan tubulopati serta penyakit degeneratif
lainnya (Hipponen et al., 2008, Kajstura et al., 2001).
Keteledoran dalam pengendalian gula darah terbukti menurunkan kadar IGF-1 dan kenaikan IGFBP-3 serta peningkatan risiko retinopati dan IHD penderita DM (Baurneister et al., 2011, Janssen et al., 1997, Teppala and Shankar, 2010). Adanya cross talk signaling antara IGF-1 dengan sitokin proinflamasi transforming growth factor B (TGF-β), kadar dan aktivitas IGF-1 diduga berpengaruh terhadap jumlah Treg sebagai sel limfosit pengendali respon inflamasi dan toleransi sehingga diduga berhubungan dengan insidensi dan buruknya kondisi PGK yang diperparah dengan adanya stres oksidatif. Penderita dengan kapasitas aktivitas antioksidan endogen terbatas rentan terhadap adanya stress oksidatif sehingga risiko pembentukan DNA adduct meningkat dan mempermudah terjadinya mutasi dan terjadinya polimorfisme pada gen IGF-1 (Ejerblad et al., 2004, Finkelstein et al., 2011, Retnakaran et al., 2006). Stress oksidatif, termasuk adanya peroksidasi lipid akibat LDL teroksidasi,
12
dapat menurunkan kadar IGF-1 serum dan menurunkan ekspresi reseptor IGF-1R pada sel otot polos pembuluh darah (Sukhanov et al., 2007). Polimorfisme gen IGF-1 maupun IGFBP-3 terbukti berhubungan dengan perubahan kadar dan bioaktivitas IGF-1 (Dennison et al., 2009). Telah diidentifikasi adanya polimorfisme sitosin-adenin (CA) berulang pada promoter IGF-1. Dari hasil penelitian lain telah ditunjukkan bahwa adanya polimorfisme CA berulang pada promoter berpengaruh pada aktivitas transkripsi yang berpengaruh terhadap ekspresi gen IGF-1 pada tingkat jaringan (Safarinejad et al., 2011). Perlu dikembangkan upaya yang bersifat preventif dan promotif untuk penanganan masalah PGKT di Indonesia dengan melakukan pengukuran kadar plasma IGF-1 sebagai prediktor kejadian PGK, menghilangkan faktor risiko inisiator dan pemberat PGKT seperti menghentikan atau mengurangi kebiasaan merokok dan mengetahui korelasi tingkat kesehatan penderita PGKT dengan kadar IGF-1. Penurunan kadar IGF-1 plasma atau adanya polimorfisme gen IGF-1 diduga kuat dapat menjadi petanda awal adanya proses kerusakan pada pembuluh darah di glomerulus yang akan berujung pada PGKT (Juul et al., 2002; Kawachi et al., 2005; Rietveld et al., 2003). Sejauh ini penelitian untuk mengetahui bagaimana hubungan kadar IGF-1 plasma atau adanya polimorfisme gen IGF-1 dengan kejadian PGKT di Indonesia belum dilakukan. Namun begitu sampai saat ini berapa kadar plasma IGF-1 dan bagaimana hubungan polimorfisme gen IGF-1 dengan kadar plasma IGF-1 serta kejadian PGKT belum banyak diteliti. Sebagaimana merokok, polimorfisme gen IGF1 diduga berhubungan dengan kejadian PGKT di Indonesia.
13
Upaya mengendalikan reaksi inflamasi pada injuri renal iskemia melalui aktivasi Treg maupun IGF-1 diduga dapat mencegah kerusakan struktur ginjal yang menetap (PGKT). Sampai saat ini penelitian untuk mengetahui hubungan Treg maupun IGF-1 dengan kejadian PGKT di Indonesia juga belum dilakukan. Mengingat insidensi dan prevalensi PGKT semakin meningkat seiring semakin tingginya intensitas polutan udara pernafasan dan prevalensi perokok di Indonesia maka penelitian ini penting untuk mencari model penanganan permasalahan PGKT yang lebih berhasil guna dengan outcome sesuai harapan dengan penekanan penanganan yang bersifat preventif dan promotif melalui identifikasi faktor risiko biologis dan faktor risiko perilaku yang nantinya dapat diubah untuk diberikan intervensi. B. Perumusan Masalah Rumusan
masalah
umum
penelitian
adalah
bagaimanakah
hubungan
polimorfisme CA gen IGF-1, kebiasaan merokok, kadar IGF-1 dan jumlah Treg dengan kejadian PGKT. Rumusan masalah khusus penelitian ini adalah: 1. Bagaimana hubungan kadar IGF-1, IGFBP-3, TGF-β dan jumlah Treg dengan kejadian PGKT? 2. Bagaimana hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian PGKT? 3. Bagaimana hubungan antara polimorfisme CA repeat gen IGF-1 dengan kadar IGF-1? 4. Manakah genotype dan alel gen IGF-1 sebagai faktor kerentanan kejadian PGKT ?
14
5. Bagaimana polimorfisme CA repeat dan wildtipe gen IGF-1 di Indonesia? C. Tujuan penelitian Tujuan umum penelitian adalah mengkaji peranan polimorfisme CA repeat gen IGF-1, merokok, kadar IGF-1, kadar IGFBP3, kadar TGF-β dan jumlah Treg pada kejadian PGKT. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mengetahui
hubungan kadar IGF-1, IGFBP-3, TGF-β dan jumlah Treg
dengan kejadian PGKT 2. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian PGKT 3. Mengetahui hubungan antara polimorfisme CA repeat gen IGF-1 dengan kadar IGF-1 4. Mengetahui genotype dan alel gen IGF-1 sebagai faktor kerentanan kejadian PGKT 5. Mengetahui gambaran kejadian polimorfisme CA repeat dan menentulan wildtipe gen IGF-1 di Indonesia
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan memberikan kemanfaatan antara lain: 1.
Secara saintifik hasil penelitian ini akan menambah informasi dan ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita gagal ginjal terminal di Indonesia yang sampai saat ini masih kurang.
15
2.
Secara praktis hasil penelitian ini akan memberikan informasi untuk para klinisi yang melaksanakan pelayanan perawatan penderita gagal ginjal terminal di RS dan para pimpinan atau pengambil kebijakan tentang upaya peningkatan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal dan pengelolaan penderita gagal ginjal kronik terminal yang juga bersifat preventif dan promotif melalui identifikasi faktor risiko biologis dan faktor risiko perilaku yang dapat diubah untuk diberikan intervensi.
E. Keaslian Penelitian Hidayati (2009) pernah melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal yang menjalani program hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hidayati (2007) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan merokok dengan kejadian gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Telah diteliti hubungan kadar plasma IGF-1 dengan derajat kesehatan masyarakat. Pada masyarakat yang sehat kadar IGF-1 bebas dalam darah berhubungan dengan tingkat kebugaran dan status kesehatan (Nindl et al., 2011). Secara epidemiologi hubungan kadar plasma IGF-1 dengan kejadian penyakit kardiovaskuler, stroke, perawatan di rumah sakit serta tingkat kesakitan juga sudah diteliti. Secara epidemiologis telah dibuktikan bahwa penurunan kadar IGF-1 berhubungan dengan kejadian penyakit kardiovaskuler, stroke, lama perawatan di rumah sakit serta tingkat morbiditas penderita diabetes mellitus (Baumeister et al., 2011). Beberapa hasil penelitian di bawah ini menunjukkan penelitian tentang IGF-1
16
terutama yang berhubungan dengan fungsi ginjal serta efektivitas terapi dengan IGF1 pada penderita dengan kelainan ginjal. Namun begitu penelitian tentang hubungan kadar plasma IGF-1 dan polimorfisme gen IGF-1 serta jumlah Treg dengan kejadian PGKT di Indonesia belum diteliti. Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Teppala et al. (2010) oleh karena menggunakan desain case control dan subjek penelitian PGKT bukan PGK. Penelitian oleh Teppala et al. (2010) dengan judul “ Association between IGF-1 and chronic kidney disease among US adults”, dengan tujuan menguji hubungan serum IGF-1 dan CKD pada orang dewasa USA dengan metoda cross sectional pada 5388 dari program Third National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III), berumur ≥20 tahun (55.2% perempuan). Penderita CKD (n = 241) ditetapkan dengan GFR <60 mL/min/1.73/m2 dengan hasil serum IGF-1 kemungkinan dapat dipakai sebagai prediktor PGK di USA. Penelitian ini berbeda dengan yang dikerjakan oleh Sesti et al. (2010) pada aspek metode dan jenis subjek. Penelitian Sesti et al. (2010) dengan judul “IGF-1 levels link estimated glomerular filtration rate to insulin resistance in obesity: A study in obese, but metabolically healthy, subjects and obese, insulin-resistant subjects”. Penelitian ini mengkaji hubungan obesitas dengan kejadian disfungsi renal, dengan metoda cross sectional pada 122 responden berberat badan normal dan 212 responden insulin-resistant obese (IRO). Heterogenesitas fenotipe obesitas mempersulit pencarian bukti obesitas sebagai faktor risiko bagi PGK.
17
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gregory et al. (2011) dalam aspek metode dan criteria subjek yang diteliti. Penelitian “Lack of circulating bioactive and immunoreactive IGF-I changes despite improved fitness in chronic kidney disease patients following 48 weeks of physical training”
oleh
Gregory et al.(2011) mengkaji hubungan serum IGF-1, IGFBP-3 dan ALS dengan fungsi renal dan kejadian proteinuria dengan metode cross sectional. Penelitian dilakukan pada pasien dengan proteinuria, hematuria dan disfungsi renal dengan mengukur kadar serum IGF-1, IGFBP-3 dan ALS pada 137 patients dengan hasil yang menyatakan kadar IGF-1 dan IGFBP-3 tidak berhubungan dengan fungsi renal dan derajat proteinuria. Kadar acid labile subunit (ALS) berubah pada penyakit ginjal dan sindroma nefrotik, dimungkinkan akibat gangguan fungsi renal, hepar atau keduanya. Penelitian yang dilakukan oleh Fischer et al. (2009) dengan judul “Differential effects of short-term growth hormone therapy on the cardiovascular risk profile in patients with chronic kidney disease: a pilot study”, mengkaji pengaruh pemberian rhGH terhadap marker faktor risiko kardiovaskuler dalam aliran darah pada pasien CKD dengan metoda eksperimental klinik, single-center, nonrandomized pilot study. Kasus pada responden penelitian ini adalah stable PGK stadium 3 - 5 dan sebagai kontrol adalah orang sehat yang sesuai jenis kelamin masing-masing n = 15, perlakuan 7 hari dengan rhGH (1.33 mg/m2 area permukaan tubuh per hari, hampir 30 μg/kg). Pemberian rhGH pada pasien PGK berpengaruh bukan hanya pada
18
metabolisme insulin, glucose tetapi juga pada profil serum lipid seperti LDL cholesterol, leptin dan homocysteine. Penelitian dengan judul “Potential role of growth factors with particular focus on growth hormone and insulin-like growth factor-1 in the management of chronic kidney disease”, yang dilakukan oleh Feldt and Nahas (2009) mengkaji peran growth hormone (GH) dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) pada terapi penderita PGK dan penatalaksanaan komplikasinya dengan metode review artikel trial klinik dan praklinik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi GH termasuk IGF-1 memungkinkan penurunan morbiditas dan mortalitas pada pasien PGKT. Penelitian lain oleh Atamer et al. (2008) yang berjudul “ Relationship between leptin, insulin resistance, insulin-like growth factor-1 and insulin-like growth factor binding protein-3 in patients with chronic kidney disease”, mengkaji hubungan leptin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), IGFBP-3 dan resistensi insulin pada pasien chronic kidney disease (CKD/PGK), dengan metoda case control. Penelitian dilakukan pada 45 pasien (23 laki-laki dan 22 perempuan) dengan PGK dan 45 relawan sehat sebagai kontrol sesuai umur, jenis kelamin dan BMI dengan hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara leptin, IGF-1, IGFBP-3 dan resistensi insulin pada pasien PGK.