PENURUNAN KEMAMPUAN RELAKSASI OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM KELINCI AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO2 SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia” ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 3 Agustus 2009
Nur Rasyid NRP. B161020051
ABSTRACT NUR RASYID. Decreased Relaxation of Rabbit Corpus Cavernosus Smooth Muscle due to Chronic Hypoxemia by SO2 as Human Erectile Dysfunction Model. Under direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) was the chronic diseases that decrease quality of life progressively and also decrease sexual activity especially 75% of patients become erectile dysfunction. The purpose of this study is to evaluate the effect of chronic hypoxemia to total testosterone and free testosterore level; changing of smooth muscle and fibrous tissue in corpus cavernous; and deterioration of contractility and relaxation using organ bath This experimental study consisted 3 study and used 24 local rabbit (Lepus spp.). First study was the exposure SO2 gas chronically to become COPD by evaluate clinical symptoms, changing PaO2 level and pulmonary histopathology. Second study was to evaluate the changes in total testosterone and free testosterone level by radioimmunoassay technique and testicular histopathology. Third study is to evaluate contractility and relaxation of corpus cavernosus smooth muscle and improving of relaxation by (acetylcholine, sildenafil citrate and zaprinast) and corpus cavernosus histopathology with Mason-Trichrom staining technique. The result of first study showed exposure of SO2 can caused severe hypoxemia with decreased PaO2 level < 60 mmHg, but there were no significant differences in histopathology. In second study, chronic hypoxemia caused congestive, edema, peritubular fibrosis and degeneration of testicular tubule cells. There was decreasing total testosterone and free testosterone level but no significant difference. In third study, chronic hypoxemia showed decreasing contractility and relaxation corpus cavernosus smooth muscle due to decreasing number of smooth muscle and increasing fibrous tissue In this study concluded that exposure of SO2 can caused COPD. Chronic hypoxemia can caused decreasing number of smooth mucle and increasing fibrous tissue in corpus cavernosus which lead to decreasing relaxation ability that cause erectile dysfunction. Key word : hypoxemia, SO2, total testosterone, free testosterone, corpus cavernosus, sildenafil sitrat, zaprinast, erectile dysfunction
RINGKASAN NUR RASYID. Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosus Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit kronis yang cenderung menurunkan kualitas hidup penderitanya secara progresif. Semakin meningkatnya polusi udara dan kebiasaan merokok meningkatkan jumlah penderitanya. PPOK menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian perokok setelah penyakit pembuluh darah jantung. Penderita PPOK mengalami gangguan seksual yang nyata, didapatkan 75% mengalami disfungsi ereksi. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi pada penderita PPOK. Pada penelitian ini dilakukan pada 24 kelinci jantan lokal (Lepus spp.) yang dibagi dua kelompok, yaitu perlakukan dan kontrol. Pemaparan dengan gas SO2 dilakukan didalam biochamber pada suhu 21ºC, selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-5 minggu dengan kadar gas SO2 dinaikkan secara bertahap 50-300 ppm hingga terjadi PPOK yang ditandai penurunan kadar PaO2 disertai adanya gejala klinis berupa rhinorhea (mengeluarkan cairan dari hidung), batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan (dahak) disertai penurunan bobot badan sebesar 300 gr. Pada akhir penelitian kelompok pelakuan mengalami PPOK berat (<60mmHg) dengan kadar rerata PaO2 49,01 ± 5,23mmHg, sedangkan kadar rerata PaO2 kelompok kontrol 83,41 ± 10,89mmHg, terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Pada skoring histopatologi paru antara kedua kelompok tidak berdeda secara statistik, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pendahuluan yang didapatkan adanya perbedaan yang nyata. Penurunan kadar testosteron dapat menyebabkan disfungsi seksual, pada penderita PPOK berat (PaO2<60mmHg) terdapat korelasi positif antara penurunan kadar PaO2 dengan terjadinya disfungsi seksual. Pada penelitian ini kadar testosterone total diperiksa dengan teknik radioimmunoassay, kelompok perlakuan mengalami penurunan dari awal penelitian 0,817 ± 0,976 ng/dl menjadi 0,313 ± 0,464 ng/dl, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan pada awal penelitian 0,772 ± 0,779 ng/dl, menjadi 1,77 ± 1,899 ng/dl. Perubahan kadar testosteron tersebut tidak berbeda secara bermakna (P = 0,143). Kadar free testosterone yang lebih rendah pada pria usia lanjut berhubungan dengan gangguan fungsi ereksi. Pada penelitian ini kadar free testosterone pada kelompok perlakuan terjadi penurunan, pada awal penelitian 1,158 ± 1,304 menjadi 1,133 ± 1,755 ng/dl. Sedangkan pada kelinci kelompok kontrol terjadi peningkatan, pada awal
penelitian 0,883 ± 1,309 ng/dl menjadi 1,125 ± 1,772 ng/dl. tetapi perbandingan perubahan kadar free testosterone antara kedua kelompok tidak berbeda secara bermakna (P=0,775). Pada skoring histopatologi jaringan testis didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan yang mengalami lesio lebih berat pada semua jenis lesio yang terjadi berupa degenerasi, kongesti, edema dan fibrosis peritubuler. Proses ereksi terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Ereksi normal memerlukan relaksasi otot polos korpus kavernosus yang baik. Pada penelitian ini preparasi otot polos korpus kavernosus dilakukan dengan teknik operasi mikroskopis. Dengan menggunakan organ bath otot polos korpus kavernosus diperiksa kemampuan kontraksi dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, didapatkan bahwa pada kelompok kontrol kemampuan kontraksinya lebih baik dan berbeda bermakna pada semua konsentrasi. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kemampuan kontraksinya disebabkan berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum yang terlihat jelas dengan pewarnaan MassonTrichrom. Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10-4 M digunakan beberapa zat, salah satunya asetilkolin yang merupakan neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung, didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin 10-8 M sampai 10-4 M. Inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat pilihan pertama pada disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP untuk meningkatkan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus, pada penelitian ini kelompok perlakuan kemampuan relaksasinya lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10-8 sampai 10-4, karena berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat. Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai efektivitas lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada dosis 10-8 M sampai 10-6 M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10-5 M sampai 10-4 M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan hipoksemia karena PPOK, tetapi dosis yang dibutuhkan terlalu tinggi untuk dilanjutkan pada penelitian klinis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan SO2 menyebabkan PPOK sehingga terjadi hipoksemia kronis yang mengakibatkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat korpus kavernosus yang menyebabkan penurunan kemampuan relaksasinya sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi.
PENURUNAN KEMAMPUAN RELAKSASI OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM KELINCI AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO2 SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
i
Judul Disertasi
: Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia.
Nama
: Nur Rasyid
NRP
: B161020051
Program Studi
: Sains Veteriner
Disetujui Komisi Pembimbing
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. Ketua
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota
Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D Anggota
Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
(drh.Bambang P. Priosoeryanto,MS, PhD.)
Tanggal Ujian: 3 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertania Bogor
(Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS)
Tanggal Lulus: Agustus 2009
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Illahi atas segala karuniaNya yang telah memberikan kelapangan berpikir dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia”. Penelitian ini dilaksanakan mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 di Laboraturium Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI); Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB); Departemen Patologi Anatomi FKUI dan Makmal Terpadu FKUI. Dengan selesainya disertasi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,MS, PhD. yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penelitian ini hingga selesai. Beliau pada saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS dan Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pencerahan, dan penyempurnaan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K yang telah memberikan ide serta membuka wawasan penulis dalam pembuatan disertasi ini sekaligus sebagai anggota Komisi Pembimbing. Terimakasih saya sampaikan kepada para penguji luar ujian tertutup drh. M. Agus Setiadi PhD, dan Prof. dr. Djoko Rahardjo SpB. SpU-K, serta penguji luar ujian terbuka Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf MS. Dan Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP atas masukan sehingga melengkapi disertasi ini Terima kasih yang tulus kepada semua rekan di PS SVT – IPB dan para staf serta karyawan Departemen Urologi FKUI-RSCM, yang telah membantu baik secara langsung maupun atas kerja sama dan pengertiannya selama penulis menjalankan pendidikannya. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis tak akan berhasil tanpa doa dan dorongan orang tua kami Bapak Ir. Suyadi Cakrawijaya dan pengorbanan serta kesabaran dari istri tercinta dr. Agustina Suhanura, MARS, serta ananda tercinta Kindi Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 21 November 1964 sebagai anak ke 4 dari 4 bersaudara, pasangan almarhum H. Moh Amin dan almarhum Hj. St. Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, mulai tahun 1983 hingga 1987. Pendidikan dokter diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1994-1999 mengikuti Program Pendidikan Spesialis I Urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan memperoleh gelar Spesialis I Urologi. Penulis bekerja sebagai Staf Medis di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Subbagian Urologi Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mulai tahun 1999 sampai saat ini. Diangkat menjadi Kepala Departemen Urologi yang selama ini bertugas, sejak Februari 2009. Penulis menikah dengan dr. Agustina Suhanura, MARS pada tahun 1990 dan dikarunia 2 orang anak Kindy Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.
Publikasi yang telah di terbitkan : 1. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Testosterone and free testosterone level in COPD rabbit. Aging Male 10(2) 109. 2. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Relaxation effect of PDE inhibitor on COPD penile smooth muscle in vitro. Aging Male 10 (2).
iv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………….………………..……………
vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………..……..……………
viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………..…………….……
xii
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………
xiii
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………….
1
1.2 Tujuan ………………………………………………………….
5
1.3 Manfaat ………………………………………………………..
5
1.4 Hipotesis ………………………………………………………..
5
1.5 Kerangka Pemikiran ………………………………………….…
6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci sebagai Hewan Model …………………………………
7
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ………………………
8
2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2) ……………………………………..
9
2.4 Testosteron ……………………………………………………..
10
2.5 Mekanisme Ereksi ……………………………………………..
13
2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi …………………………….…
13
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis ……………...
15
2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel …………………..
17
2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK …………………………………… III.
23
BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu ……………………………………………...
26
3.2 Hewan Percobaan ………………………………………………
26
3.3 Bahan dan Alat …………………………………………………
26
3.4 Metode Penelitian ………………………………………………
26
3.4.1 Tahapan Persiapan ……………………………………..
29
3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO2 dan Monitor Hipoksemia
29
3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron ……………………….
30
3.4.4 Pemeriksaan Kadar Free Testosterone …………………..
30
v