TESIS
LESI HEMISFER KIRI BERKORELASI POSITIF DENGAN DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PASCASTROKE
DEDDY ANDAKA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
LESI HEMISFER KIRI BERKORELASI POSITIF DENGAN DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PASCASTROKE
DEDDY ANDAKA NIM 0814068201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
!
LESI HEMISFER KIRI BERKORELASI POSITIF DENGAN DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PASCASTROKE
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
DEDDY ANDAKA NIM 0814068201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii !
!
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 8 OKTOBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) NIP 195401141980121001
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila M.Sc. Sp.And NIP 194402011964091001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,FAACS NIP 194612131971071001
iii !
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001
!
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 7 Oktober 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1907/UN14.4/HK/2013, Tanggal 3 Oktober 2013
Ketua : dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) Sekretaris : Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS 2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 3. Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro
iv !
!
UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah saya memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya akhir ini sebagai persyaratan mendapatkan tanda keahlian di bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga saya dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya karya akhir ini. Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan keahlian. Kepada dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan sekaligus sebagai pembimbing akademik, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, didikan, nasehat, motivasi, dan petunjuk yang diberikan selama pendidikan. Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada pembimbing karya akhir ini, dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K) dan Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And, atas segala bimbingan, saran, waktu, dan kesabaran yang diberikan selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini. Terima kasih saya ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS., Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D., dan Prof. Dr. dr. Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro selaku anggota penguji yang telah membuka wawasan dan memberikan masukan, juga kepada dr. Putu Eka Widyadharma, M.Sc yang telah memberikan bimbingan statistik dalam penyusunan karya akhir ini. Kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Ketua Program Studi saat saya diterima sebagai peserta PPDS-1 Neurologi, dan juga Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M.Kes., Sp.OT(K), saya ucapkan terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana. Kepada Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes., serta dr. I Wayan Sutarga, MPHM dan dr. I Gusti Lanang Made Rudiartha, MHA., selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar saat saya menjalani pendidikan sebagai peserta PPDS-1 Neurologi, saya ucapkan v !
!
terima kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan. Kepada dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV, selaku Ketua TKP PPDS-1 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dan dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K) selaku Ketua TKP PPDS-1 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah saat saya diterima, terima kasih atas kesempatan yang diberikan dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Neurologi. Kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K), dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K), Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K), dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K), dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S(K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K), dr. Anna MG Sinardja, Sp.S(K), dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S, dr. I Komang Arimbawa, Sp.S, dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S, dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S, dr. Putu Eka Widyadharma, M.Sc., Sp.S, dr. Kumara Tini, Sp.S, dr. Ketut Widyastuti, Sp.S, dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S, dan dr. Ida Ayu Sri Indrayani, Sp.S, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala bimbingan dan saran selama saya mengikuti pendidikan. Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Setiawati Hartawan, M.Kes selaku Direktur Utama RSUD Wangaya Denpasar, dr. Ni Ketut Candra Wiratni, Sp.S dan dr. Ketut Sumada, Sp.S selaku supervisor Neurologi di RSUD Wangaya, atas izin dan bimbingan yang diberikan kepada saya ketika mengumpulkan sampel untuk karya akhir ini. Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Desie Yuliani, Sp.S dan dr. Luh Putu Lina Kamelia, Sp.S yang selalu memberi dorongan semangat kepada saya untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih kepada semua teman sejawat PPDS1 Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat, dan pengertian teman-teman selama saya mengikuti pendidikan ini, khususnya kepada dr. Ni Putu Witari, dr. Dewa Ngurah Agung Satriawan, dr. Yoanes Gondowardojo, dr. Lussy Natalia Hendrik, dr. Ernesta Patricia Ginting, dr. Made Rudy, dr. Oktavianus Darmawan, dan dr. Angelika Lestari Siregar yang banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih tak terhingga kepada keluarga saya tercinta, ayahanda dr. Andaka Murti dan ibunda (almh) dr. Liliek Andaka yang telah mendidik saya dengan cinta kasih yang luar biasa. Terima kasih kepada ayahanda dan ibunda mertua Mathias Suyanto dan Linda Septindra, kakak-kakak saya tercinta dr. Winda Andaka, Sp.OG, dr. Dina Andaka, M.Biomed(AAM) beserta suami yang telah memberikan doa dan semangat dalam penyelesaikan pendidikan ini. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada istri tercinta dr. Martha, Sp.KK, M.Kes atas segala kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan, dorongan semangat, bantuan, dan doanya selama saya menjalani pendidikan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua.
vi !
!
ABSTRAK LESI HEMISFER KIRI BERKORELASI POSITIF DENGAN DISFUNGSI EREKSI PADA PASIEN PASCASTROKE Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Masih sedikit yang mengkaji masalah seksual pascastroke. Mekanisme dan faktor-faktor yang memprediksi disfungsi ereksi pada stroke belum banyak diketahui. Beberapa penelitian mencoba menghubungkan lokasi lesi dan faktorfaktor komorbid dengan disfungsi ereksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan disfungsi ereksi pada pasien pascastroke. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang. Pasien pascastroke digolongkan menjadi pasien dengan lesi hemisfer kanan atau kiri, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi ereksi dengan menggunakan IIEF-5. Dari 74 orang pasien pascastroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sampel pada penelitian ini didapatkan 25 orang (33,8%) yang mengalami disfungsi ereksi dan 10 orang (13,5%) tidak mengalami disfungsi ereksi pada pasien pascastroke dengan lesi di hemisfer kiri. Sedangkan pada pasien pascastroke dengan lesi di hemisfer kanan, didapatkan 13 orang (17,6%) yang mengalami disfungsi ereksi dan 26 orang (35,1%) yang tidak mengalami disfungsi ereksi. Hasil ini menunjukkan bahwa lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan disfungsi ereksi pada pasien pascastroke (r=0,361; p=0,032). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan disfungsi ereksi pada pasien pascastroke. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah lesi hemisfer kiri pada pasien pascastroke merupakan faktor risiko terjadinya disfungsi ereksi. Kata kunci: pascastroke, disfungsi ereksi, hemisfer kiri
vii !
!
ABSTRACT A POSITIVE CORRELATION WAS PROVED BETWEEN LEFT SIDED HEMISPHERICAL LESION AND ERECTILE DYSFUNCTION IN POST STROKE PATIENTS Stroke is one of the leading causes of mortality and morbidity worldwide. Study about sexual function is not widely done yet, especially in persons with post stroke condition. Mechanism and factors as predictor of erectile dysfunction has been questioned. Several studies had administered about the relationship between location of the lesion and comorbid status with erectile dysfunction. Therefore, this study was developed in order to identify the positive relationship between left sided hemispherical lesion and erectile dysfunction in post stroke patients. This was a cross-sectional observational study design. All inclusion patients were classified into two groups, each one with left-sided lesion, and the other was right-sided lesion. They were interviewed using IIEF-5. A total of 74 patients met as subjects in this study. In left-sided lesion, it was found 25 patients (33,8%) with erectile dysfunction and 10 patients (13,5%) were not. In right-sided lesion, there were 13 patients (17,6%) with erectile dysfunction and 26 patients (35,1%) were not. Therefore, this study showed that left sided hemispherical lesion was correlating positively with erectile dysfunction in post stroke patients (r=0,361; p=0,032). As conclusions, a positive correlation was proved between left sided hemispherical lesion and erectile dysfungtion in post stroke patients. Future research should be done for exploring the value of left-sided cerebral lesion as a risk factor of erectile dysfunction. Key words: post stroke, erectile dysfunction, left hemisphere
viii !
!
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM .....................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ............................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................................ iv UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................................
v
ABSTRAK ................................................................................................................... vii ABSTRACT ................................................................................................................ viii DAFTAR ISI ............................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xiii DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH ................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ...........................................................................................
5
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................................................
5
1.4.1 Manfaat akademik .................................................................................
5
1.4.2 Manfaat praktis ......................................................................................
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ......................................................................................
7
2.1. Stroke ..............................................................................................................
7
2.1.1. Definisi stroke.......................................................................................
7
2.1.2. Epidemiologi stroke ..............................................................................
7
2.1.3. Klasifikasi stroke ..................................................................................
8
2.1.4. Diagnosis stroke ................................................................................... 11 2.2. Disfungsi Ereksi ............................................................................................. 11 2.2.1. Definisi DE ........................................................................................... 11 2.2.2. Epidemiologi DE ................................................................................. 12
ix !
!
2.2.3. Fisiologi ereksi penis ........................................................................... 12 2.2.4. Patofisiologi dan faktor risiko DE ........................................................ 16 2.2.5. Diagnosis DE ........................................................................................ 21 2.3. DE pada Stroke ............................................................................................... 23 2.3.1. Pengaruh susunan saraf terhadap aktivitas seksual .............................. 23 2.3.2. Korelasi klinis DE pada stroke ............................................................. 28 2.3.3. Pemeriksaan DE pada stroke ................................................................ 31 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ..... 33 3.1. Kerangka Berpikir ......................................................................................... 33 3.2. Konsep ........................................................................................................... 34 3.3. Hipotesis ........................................................................................................ 35 BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................................. 36 4.1. Rancangan Penelitian ..................................................................................... 36 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 36 4.3. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 37 4.4. Penentuan Sumber Data ................................................................................. 37 4.4.1 Populasi target ...................................................................................... 37 4.4.2 Populasi terjangkau ............................................................................... 37 4.4.3 Sampling frame ..................................................................................... 37 4.4.4 Kriteria subyek ..................................................................................... 37 4.4.5 Besaran sampel ..................................................................................... 38 4.4.6 Teknik pengambilan sampel ................................................................. 39 4.5. Variabel Penelitian ......................................................................................... 39 4.5.1 Klasifikasi variabel ............................................................................... 39 4.5.2 Definisi operasional varibel .................................................................. 39 4.6. Instrumen Penelitian ...................................................................................... 42 4.7. Prosedur Penelitian ........................................................................................ 42 4.8. Analisis Data .................................................................................................. 45
x !
!
BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................................... 46 5.1. Karakteristik Subjek ...................................................................................... 46 5.2. Korelasi Antara Lesi Hemisfer Kiri dengan DE pada Pasien Pascastroke .... 48 BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................... 50 6.1. Karakteristik Subjek ...................................................................................... 50 6.2. Korelasi Antara Lesi Hemisfer Kiri dengan DE pada Pasien Pascastroke .... 58 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 63 7.1. Simpulan ........................................................................................................ 63 7.2. Saran .............................................................................................................. 63 Daftar Pustaka .............................................................................................................. 64 LAMPIRAN ................................................................................................................ 73
xi !
!
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi dan Penyebab DE ...................................................................... 16 Tabel 2.2 Tes Diagnostik yang Spesifik ....................................................................... 22 Tabel 2.3 Indikasi dilakukan Tes Diagnostik yang Spesifik ........................................ 23 Tabel 5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok usia, jenis stroke, lokasi lesi, hipertensi, DM, merokok, obesitas, hiperkolesterolemia, depresi, disfungsi ereksi dan derajat DE pada pasien pascastroke ........................... 47 Tabel 5.2 Korelasi antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke........ 49
xii !
!
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Anatomi dan mekanisme ereksi penis ...................................................... 14 Gambar 2.2 Pengaturan pusat dan perifer fungsi seksual ............................................ 24 Gambar 2.3 Sikuit Papez .............................................................................................. 26 Gambar 2.4 Inervasi genitalia pria ............................................................................... 27 Gambar 3.1 Konsep ..................................................................................................... 34 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian .................................................................... 36 Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian .............................................................................. 44
xiii !
!
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN, DAN ISTILAH SINGKATAN ATP
: Adult Treatment Panel
ADAM
: Androgen Deficiency of the Aging Male
ACh
: Asetilkolin
BSFI
: The Brief Sexual Function Inventory
cAMP
: cyclic adenosine monophosphate
cGMP
: cyclic nucleotides guanosine monophosphate
CT-sken
: Computed Axial Tomography Scanning
DALY
: Disability Adjusted Life Years
DE
: Disfungsi Ereksi
DHEA
: dehydroepiandrosterone
DICC
: Dynamic infusion cavernosometry or cavernosography
DM
: Diabetes Mellitus
EDITS
: Erectile Dysfunction Index of Treatment Satisfaction
eNOS
: sintase NO endotelial
FDA
: Food and Drug Administration
HDL
: high-density lipoprotein
IIEF
: International Index for Erectile Function
IMT
: Indeks Massa Tubuh
JNC
: Joint National Comitee
LACI
: Lacunar Infarct
MONICA
: Monitoring of trends and determinants in cardiovascular disease
MRI
: Magnetic Resonance Imaging
mRS
: Modified Ranking Scale
NA
: Noradrenalin
nNOS
: sintase NO neuronal
NO
: Nitrit oksida
NPTR
: Nocturnal penile tumescence and rigidity
NPY
: Neuropeptida Y
xiv !
!
nRVL
: nukleus retikulatis bagian rostral ventrolateral
PACI
: Partial Anterior Circulation Infarct
PAIRS
: Psychological and Interpersonal Relationship Scale
PDE5
: Phosphodiesterase (type) 5
PIS
: Perdarahan intra serebral
PMS
: Pure motor stroke
POCI
: Posterior Circulation Infarct
PSA
: Perdarahan subarakhnoid
PSS
: Pure sensory stroke
SEAR
: Self Esteem and Relationship
SNB
: spinal nucleus of the bulbocavernosus
TACI
: Total Anterior Circulation Infarct
TIA
: Trasient Ischemic Attack
VIP
: visoactive intestinal peptide
WHO
: World Health Organization
xv !
!
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Persetujuan Setelah Penjelasan ................................................................ 73 Lampiran 2 Formulir Persetujuan Tertulis ................................................................... 74 Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data ...................................................................... 75 Lampiran 4 International Index of Erectile Function-5 (IIEF-5) ................................. 78 Lampiran 5 Skala Depresi Hamilton ........................................................................... 80 Lampiran 6 Skor Skala Rankin yang Dimodifikasi ..................................................... 83 Lampiran 7 Data hasil penelitian ................................................................................. 84 Lampiran 8 Surat keterangan kelaikan etik dan izin penelitian ................................... 93
xvi !
!
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Stroke merupakan masalah kesehatan yang serius. Bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, stroke dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Stroke juga dapat menimbulkan kecacatan yang menetap seperti kelumpuhan, gangguan bicara, dan bibir mencong. Timbulnya kecacatan menetap ini memberikan persepsi yang mengerikan pada masyarakat terhadap penyakit stroke. Menurut World Health Organization (WHO) Multinational Monitoring of Trends and Determinants in Cardiovascular Disease (MONICA) Project tahun 1988, stroke merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global, menetap lebih dari 24 jam atau kurang dari 24 jam yang disertai dengan kematian, semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (Truelsen dkk., 2003). Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia dengan insiden 5,5 juta orang per tahun dan bertanggung jawab terhadap 50 juta disability adjusted life years (DALY) (Mukherjee dan Patil, 2011). Dalam 20 tahun kedepan, stroke diprediksi akan meningkat dari peringkat ketujuh menjadi keempat pada tabel DALY (Ebrahim, 2001). Penelitian epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bukti angka kematian akibat stroke sebanding dengan angka kematian akibat penyakit jantung. Sebuah tinjauan sistematis dari literatur tahun 1980 sampai 2010 didapatkan
1 !
!
2
insiden stroke di Asia Tenggara bervariasi antara 123-145 per 100.000 penduduk dengan prevalensi 45-471 per 100.000 penduduk (Kulshreshtha dkk., 2012). Berdasarkan survei berbasis komunitas pada 120 daerah di Indonesia dengan 4.269.629 sampel didapatkan prevalensi stroke sebesar 1,7-22 per 100.000 penduduk (Kusuma dkk., 2009). Angka stroke sebagai penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia semakin meningkat (Misbach dan Ali, 2000). Dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tendensi kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan semakin panjangnya usia harapan hidup dan gaya hidup yang berubah. Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan nomor satu di Indonesia (Soendoro, 2008). Kecacatan pascastroke lebih banyak menimbulkan masalah fisik seperti kesulitan berjalan, berbicara, dan juga masalah psikis seperti depresi pascastroke. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada seluruh aktivitas kehidupan termasuk yang ada hubungannya dengan masalah seksual (Jannis dan Misbach, 2011). Masih sedikit yang mengkaji masalah seksual pascastroke (Kimura dkk., 2001; Pistoia dkk., 2006). Padahal hal ini sering ditemukan pada penyakit kronis dan pasien-pasien dengan kecacatan fisik seperti misalnya pada gangguan serebrovaskular (Bener dkk., 2008; Jackson, 2013). Beberapa kajian pustaka dan penelitian menunjukkan fungsi seksual sering mengalami gangguan setelah stroke (Kimura dkk., 2001; Bener dkk., 2008; Jung dkk., 2008; Duits dkk., 2009; Thompson dan Walker, 2011) dan akan mempengaruhi kualitas hidup penderita (Pistoia dkk., 2006). Pada sebuah kajian sistematik, masalah seksual menjadi
!
!
3
salah satu dari lima konsekuensi sosial pada penderita stroke disamping masalah pekerjaan, hubungan kekeluargaan, keuangan, dan aktivitas sosial (Daniel dkk., 2009). Di Indonesia, tidak banyak laporan tentang gangguan fungsi seksual pada penderita setelah mengalami serangan stroke. Ada beberapa kemungkinan mengapa tidak banyak laporan tentang disfungsi seksual pada penderita stroke, yaitu perhatian dokter lebih ditujukan pada menyelamatkan penderita, mengatasi faktor risiko, dan mengurangi kecacatan fisik penderita stroke untuk meningkatkan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Penderita stroke sebagian besar berusia di atas 50 tahun yang secara alami mulai menurun keinginan seksualnya. Orang yang mengalami stroke merasa bersyukur dapat lolos dari maut akibat stroke, sehingga untuk melaporkan adanya gangguan fungsi seksual khawatir dianggap terlalu mengada-ada, atau penderita merasa malu untuk melaporkan gangguan yang dianggap tidak fatal itu, dan pasangan orang yang mengalami stroke mungkin menganggap wajar bila setelah stroke terjadi gangguan fungsi seksual, sehingga merasa tidak wajar untuk memintanya berkonsultasi lebih lanjut (Pangkahila, 2006; Jannis dan Misbach, 2011). Pada pria, masalah seksual yang sering dijumpai pada pasien pascastroke adalah disfungsi ereksi (DE) (Jannis dan Misbach, 2011). Meski hubungan antara stroke dan DE telah banyak diteliti, namun mekanisme dan faktor-faktor yang memprediksi DE pada stroke belum banyak diketahui. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara lokasi lesi pada stroke dengan terjadinya DE. Pengaturan fungsi ereksi lebih banyak
!
!
4
dipengaruhi oleh susunan saraf parasimpatis dibanding simpatis (Suffren dkk., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa otak hemisfer kiri dominan mengatur modulasi parasimpatis, sedangkan otak hemisfer kanan dominan untuk simpatis (Wittling dkk., 1998; Tokgözoglu dkk., 1999; Avnon dkk., 2004). Beberapa penelitian menyatakan DE lebih sering didapatkan pada stroke dengan lesi hemisfer kanan (Coslett dan Heilman, 1986; Agarwal dan Jain, 1989). Penelitian lain menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu pada lesi hemisfer kiri (Kimura dkk., 2001; Mulyadi, 2005; Sikiru dkk., 2009). Jung dkk. (2006) menyatakan lesi pada ganglia basalis kiri dan serebelum kanan berhubungan dengan menurunnya hasrat seksual dan gangguan ejakulasi. Sikiru dkk. (2009) menyatakan DE sering dijumpai pada penderita stroke dengan hemiplegia kanan. Namun penelitian lain menyatakan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lokasi lesi dengan terjadinya DE pada pasien pascastroke (Boldrini dkk., 1991; Korpelainen dkk., 1999; Supit, 2004). Didapatkan hasil yang berbeda-beda tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bidang ini. Selain itu, faktor komorbid yang diduga memiliki peranan penting terjadinya DE pada penderita stroke adalah hipertensi, diabetes mellitus (DM), dan hiperkolesterolemia (Pangkahila, 2000; Kimura dkk., 2001; Roumeguère dkk., 2003; Hood dan Kirby, 2004; Wespes dkk., 2006; Duits dkk., 2009). Faktor risikonya adalah usia, merokok dan obesitas (Korpelainen dkk., 1998; Baldo dan Eardley, 2005; Bener dkk., 2008). Di samping faktor fisik tersebut, faktor psikis juga memiliki peranan dalam terjadinya DE (Lue, 2000; Kimura dkk., 2001; Choi-
!
!
5
Kwon dan Kim, 2002; Jung dkk., 2008; Bener dkk., 2008; Paraskevas dkk., 2008; Thompson dan Walker, 2011). Depresi pascastroke merupakan gangguan emosi yang paling sering dijumpai pada pasien pascastroke (Gaete dan Bogousslavsky, 2008) dan pada pasien yang mengalami depresi pascastroke sering juga dijumpai disfungsi seksual (Pistoia dkk., 2006). Dalam hubungannya dengan stroke, lesi hemisfer kiri dikaitkan dengan terjadinya depresi (Bhogal dkk., 2004), walaupun pada tinjauan sistematis yang lain stroke dengan lokasi lesi di hemisfer kanan dan kiri dikatakan tidak berbeda bermakna dengan depresi (Carson dkk., 2000).
1.2 Rumusan Masalah Apakah lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan DE pada pasien pascastroke?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan DE pada pasien pascastroke.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik Dari hasil penelitian akan diperoleh informasi ilmiah tentang hubungan lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke.
!
!
6
1.4.2 Manfaat praktis Dengan mengetahui hubungan antara lesi hemisfer kiri dan DE pada pasien pascastroke, akan berguna dalam memperkirakan terjadinya DE pada pasien pascastroke.
!
!
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Stroke
2.1.1 Definisi stroke Menurut WHO MONICA Project tahun 1988, stroke merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global, menetap lebih dari 24 jam atau kurang dari 24 jam disertai dengan kematian, semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (Truelsen dkk., 2003).
2.1.2 Epidemiologi stroke Stroke merupakan penyebab kematian yang ketiga terbanyak di dunia dengan insiden 5,5 juta orang per tahun dan bertanggung jawab terhadap 50 juta DALY (Mukherjee dan Patil, 2011). Diprediksi dalam 20 tahun kedepan, stroke akan meningkat dari peringkat ketujuh menjadi keempat pada tabel DALY (Ebrahim, 2001). Penelitian epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bukti angka kematian akibat stroke sama tingginya dengan angka kematian akibat penyakit jantung. Sebuah tinjauan sistematis dari literatur tahun 1980 sampai 2010 didapatkan insiden stroke di Asia Tenggara bervariasi antara 123-145 per 100.000 penduduk dengan prevalensi 45-471 per 100.000 penduduk (Kulshreshtha dkk., 2012). Berdasarkan survei berbasis komunitas pada 120 daerah di Indonesia
7 !
!
8
dengan 4.269.629 sampel didapatkan prevalensi stroke sebesar 1,7-22 per 100.000 penduduk (Kusuma dkk., 2009). Angka stroke sebagai penyebab kematian dan kecacatan di Indonesia semakin meningkat (Misbach dan Ali, 2000). Dari data sporadis di rumah sakit terlihat adanya tren kenaikan angka morbiditas stroke yang seiring dengan semakin panjangnya usia harapan hidup dan gaya hidup yang berubah. Menurut laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, stroke merupakan penyebab kematian (15,4%) dan kecacatan nomor satu di Indonesia (Soendoro, 2008).
2.1.3 Klasifikasi stroke Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke, berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi, sistem pembuluh darah, dan stadium atau pertimbangan waktu. Klasifikasi stroke berdasarkan modifikasi Marshall (Misbach dan Jannis, 2011), yaitu: a. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya 1) Stroke iskemik a. Serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack / TIA) b. Trombosis serebri c. Emboli serebri 2) Stroke hemoragik a. Perdarahan intra serebral (PIS) b. Perdarahan subarakhnoid (PSA)
!
!
9
b. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu 1) TIA 2) Stroke in evolution 3) Completed stroke c. Berdasarkan sistem pembuluh darah 1) Sistem karotis 2) Sistem vertebro-basilar
Bamford dkk. (1991), mengajukan klasifikasi klinis yang dapat dijadikan pegangan, yaitu: a.
Total Anterior Circulation Infarct (TACI) Gambaran klinik berupa hemiparesis dengan atau tanpa gangguan sensorik
pada kontralateral sisi lesi, hemianopsia pada kontralateral sisi lesi, gangguan fungsi luhur berupa disfasia, gangguan visuospasial, hemineglek, agnosis, dan apraksia.
b.
Partial Anterior Circulation Infarct (PACI) Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi serebral pada
sistem karotis, yaitu: 1) Defisit motorik/sensorik dan hemianopsia 2) Defisit motorik/sensorik disertai gejala fungsi luhur 3) Gejala fungsi luhur dan hemianopsia
!
!
10
4) Gejala motorik/sensorik murni yang kurang ekstensif dibanding infark lakunar 5) Gangguan fungsi luhur saja
c.
Lacunar Infarct (LACI) Disebabkan oleh infark pada arteri kecil dalam otak (small deep infarct) yang
lebih sensitif dilihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) daripada Computed Axial Tomography Scanning (CT-sken) otak. Tanda klinis dapat berupa tidak ada defisit visual, tidak ada gangguan fungsi luhur, tidak ada gangguan fungsi batang otak, defisit maksimum pada satu cabang arteri kecil, pure motor stroke (PMS), pure sensory stroke (PSS), hemiparesis ataksik.
d.
Posterior Circulation Infarct (POCI) Terjadi oklusi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis. Penyebab sangat
heterogen dibanding tiga tipe terdahulu. Gejala klinis dapat berupa: 1) Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral, dan gangguan motorik/sensorik kontralateral 2) Gangguan motorik/sensorik bilateral 3) Gangguan gerakan konjugat mata (horizontal atau vertikal) 4) Disfungsi serebelar tanpa gangguan long-tract ipsilateral 5) Isolated hemianopsia atau buta kortikal
!
!
11
2.1.4 Diagnosis stroke Diagnosis stroke dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Dari anamnesis dan temuan klinis akan didapatkan gejala defisit neurologis fokal (seperti kelumpuhan anggota gerak separuh tubuh, bibir mencong, atau suara pelo) atau global (pasien dengan koma dalam) yang muncul mendadak dan menetap lebih dari 24 jam atau kurang dari 24 jam yang disertai dengan kematian, yang disebabkan karena gangguan pembuluh darah otak (Truelsen dkk., 2003; Warlow dkk., 2007). Dari anamnesis juga digali faktorfaktor risiko terjadinya stroke, baik yang tidak dapat dimodifikasi maupun yang dapat dimodifikasi (Furie dkk., 2011). CT-sken kepala tanpa kontras merupakan pemeriksaan baku emas untuk perdarahan otak. Bila tidak memungkinkan CTsken kepala, maka dapat digunakan sistem skoring seperti skor stroke Siriraj. Pungsi lumbal dapat dilakukan bila ada indikasi khusus. MRI dapat dilakukan untuk menentukan lesi patologik stroke yang lebih tajam.
2.2
Disfungsi Ereksi
2.2.1 Definisi DE DE didefinisikan sebagai ketidakmampuan yang menetap dan atau kambuhan (setidaknya tiga bulan) untuk mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk memungkinkan hubungan seksual yang memuaskan (Wespes dkk., 2002). Walaupun DE merupakan gangguan yang tidak berbahaya, DE berhubungan dengan kesehatan fisik dan psikologis, dan memiliki pengaruh yang
!
!
12
bermakna pada kualitas hidup, baik bagi penderita maupun keluarganya (Hatzimouratidis dkk., 2010; Wespes dkk., 2012).
2.2.2 Epidemiologi DE DE diperkirakan mempengaruhi 20 juta sampai 30 juta pria di Amerika Serikat (Lue, 2000). Penelitian epidemiologi memperkirakan sekitar 5-20% pria menderita DE sedang sampai berat. Adanya perbedaan dalam laporan insiden kemungkinan disebabkan karena perbedaan metodologi, usia, dan status sosioekonomi dari populasi penelitian (Hatzimouratidis dkk., 2010). DE dapat dipengaruhi faktor psikologis, neurologis, gangguan hormonal, arteri atau kavernosus, atau dari kombinasi faktor ini (Lue, 2000).
2.2.3 Fisiologi ereksi penis Ereksi penis adalah peristiwa neurovaskular yang dimodulasi oleh faktor psikologis dan status hormonal. Ereksi penis terjadi ketika arteri di penis mengalami dilatasi dan jaringan erektil (korpura kavernosus dan korpura spongiosum) mengalami relaksasi (Giuliano dan Rampin, 2004). Secara hemodinamika, telah diketahui beberapa fase ereksi sebagai berikut: 1. Fase flaksid (lemas) Pada fase ini otot polos trabekular berkontraksi, aliran darah arteri berkurang, dan aliran darah vena meningkat. Tekanan dalam korpura kavernosus kurang lebih sama dengan tekananan vena.
!
!
13
2. Fase pengisian awal Pada
stimulasi
seksual,
impuls
saraf
menyebabkan
pelepasan
neurotransmiter dari saraf kavernosus terminal dan faktor relaksasi dari sel-sel endotel di penis, sehingga terjadi relaksasi otot polos arteri dan arteriol yang memasok jaringan ereksi dan peningkatan beberapa kali lipat aliran darah penis (Wespes dkk., 2002). Pada saat yang sama, relaksasi dari otot trabekular halus meningkatkan kepatuhan dari sinusoid, memfasilitasi pengisian cepat dan perluasan sistem sinusoidal (gambar 2.1). 3. Fase tumesensi Pada fase ini tekanan interkavernosus mulai meningkat dan ukuran penis terus bertambah. Aliran arteri perlahan-lahan mulai berkurang sampai terjadi fase ereksi penuh. 4. Fase ereksi penuh Selanjutnya terjadi kompresi pada pleksus venular subtunika antara trabekule dan tunika albuginea, sehingga menyebabkan oklusi hampir total dari aliran vena. Peristiwa ini menjebak darah di dalam korpura kavernosus dan menegakkan penis dari posisi tergantung, dengan tekanan intrakavernosus sekitar 100 mmHg (fase ereksi penuh) (Lue, 2000). 5. Fase ereksi kaku Selama hubungan seksual yang memicu refleks bulbokavernosus, otot-otot ischiokavernosus dengan kuat menekan dasar korpura kavernosus yang dipenuhi darah dan penis menjadi lebih keras lagi, dengan tekanan intrakavernosus
!
!
14
mencapai beberapa ratus milimeter air raksa. Selama fase ini, arus masuk dan keluar darah berhenti sementara. 6. Fase detumesensi Detumesensi (ukuran yang mengecil) dapat dihasilkan dari penghentian pelepasan neurotransmiter, pemecahan messenger kedua oleh fosfodiesterase, atau pelepasan simpatik saat ejakulasi. Kontraksi otot polos trabekula membuka kembali saluran vena, darah yang terperangkap dikeluarkan, dan kembali ke keadaan flaksid (Lue, 2000). DRUG THERAPY
Prostate Cavernous nerve (autonomic)
Deep dorsal vein Dorsal artery
Dorsal nerve (somatic)
Dorsal artery Dorsal nerve
Erect
(somatic)
Circumflex artery Circumflex vein
Sinusoidal spaces
Flaccid Deep dorsal vein Tunica albuginea
Sinusoidal spaces Corpora cavernosa Cavernous artery
Helicine arteries Trabecular smooth muscle Subtunical venular plexus
Figure 1. Anatomy and Mechanism of Penile Erection. The cavernous nerves (autonomic), which travel posterolaterally to the prostate, enter the corpora cavernosa and corpus spongiosum to regulate penile blood flow during erection and detumescence. The dorsal nerves (somatic), which are branches of the pudendal nerves, are primarily responsible for penile sensation. The mechanisms of erection and flaccidity are shown in the upper and lower inserts, respectively. During erection, relaxation of the trabecular smooth muscle and vasodilatation of the arterioles results in a severalfold increase in blood flow, which expands the sinusoidal spaces to lengthen and enlarge the penis. The expansion of the sinusoids compresses the subtunical venular plexus against the tunica albuginea. In addition, stretching of the tunica compresses the emissary veins, thus reducing the outflow of blood to a minimum. In the flaccid state, inflow through the constricted and tortuous helicine arteries is minimal, and there is free outflow via the subtunical venular plexus.
Gambar 2.1 Anatomi dan mekanisme ereksi penis (Lue, 2000)
! Psychogenic Erectile Dysfunction
prove libido but lead to difficulties with erection, or16
!
15
Neurotransmiter yang dilepaskan ujung saraf pascaganglionik simpatis dan parasimpatis di penis memegang peranan penting dalam mengontrol ereksi. Noradrenalin (NA) dan neuropeptida Y (NPY) dilepaskan oleh ujung serat simpatis. NA adalah agen kontraktil utama dari otot polos dan arteri penis, dan NPY menambah dampaknya. NA berperan pada flaksiditas dan detumesensi. Ujung serat parasimpatis melepaskan asetilkolin (ACh), visoactive intestinal peptide (VIP), dan nitrit oksida (NO) (Giuliano dan Rampin, 2004; Thorve dkk., 2011). Ditemukannya NO sebagai pembawa pesan interselular membuka era baru pentingnya mekanisme yang mendasari fisiologi dan patofisiologi pada organ dan jaringan otonom (Maas dkk., 2002). NO disintesis dan dilepaskan dari ujung saraf non-adrenergik, non-kolinergik oleh sintase NO neuronal (nNOS) dan dari endotelium oleh sintase NO endotelial (eNOS). NO memodulasi tonus pembuluh darah, agregasi dan adhesi platelet, serta proliferasi otot polos vaskular. Lebih lanjut, NO berfungsi sebagai neurotransmiter non-adrenergik, non-kolinergik dari serat saraf parasimpatis pascaganglion, termasuk korpura kavernosus. NO berperan dalam mempertahankan tekanan intrakavernosus, vasodilatasi penis, dan ereksi penis (Toda dkk., 2005). NO meningkatkan produksi cyclic nucleotides guanosine monophosphate (cGMP) pada otot polos dan merupakan aktivator yang penting untuk relaksasi lokal dari otot polos penis. Seperti diketahui, ereksi terutama disebabkan oleh peningkatan sintesis dua second messenger intraseluler, cGMP dan cyclic adenosine monophosphate (cAMP). cGMP dan cAMP dihancurkan oleh fosfodiesterase (Giuliano dan Rampin, 2004).
!
!
16
2.2.4 Patofisiologi dan Faktor Risiko DE DE dapat diklasifikasikan sebagai psikogenik, organik (neurogenik, hormonal, arterial, kavernosal, atau karena obat), atau campuran psikogenik dan organik (Tabel 2.1). Bentuk terakhir adalah yang paling umum.
Tabel 2.1 Klasifikasi dan Penyebab DE (Lue, 2000) Kategori DE Psikogenik
Kelainan yang sering Kecemasan Masalah hubungan Stres psikologis Depresi
Patofisiologi Penurunan libido, overinhibisi, kegagalan pelepasan NO
Neurogenik
Stroke Penyakit Alzheimer Trauma medula spinalis Neuropati diabetik Trauma pelvis
Kegagalan memulai impuls saraf atau kegagalan transmisi
Hormonal
Hipogonadism Hiperprolaktinemia
Kehilangan libido dan pelepasan NO yang tidak memadai
Vaskulogenik (arterial atau kavernosal)
Aterosklerosis Hipertensi DM Trauma
Aliran arteri yang tidak adekuat atau sumbatan vena
Drug-induced
Antihipertensi Antidepresan Antipsikotik Antiandrogens Antihistamin Ketergantungan alkohol Merokok
Penekanan sentral
Usia tua DM Gangguan ginjal kronis Penyakit jantung koroner
Biasanya multifaktorial, disebabkan oleh neural dan disfungsi vaskular
Penyebab akibat penuaan dan penyakit sistemik lain
!
Penurunan libido Neuropati alkoholik Insufisiensi vaskular
!
17
2.2.4.1 DE psikogenik Penyebab umum dari disfungsi ereksi psikogenik meliputi kecemasan kinerja, hubungan yang tegang, kurang hasrat seksual, dan gangguan jiwa seperti depresi dan skizofrenia. Hubungan yang kuat antara depresi dan disfungsi ereksi telah dikonfirmasi dalam dua studi terbaru. Risiko DE meningkat seiring durasi dan episode depresi yang berulang (Bhogal dkk., 2004; Cuzin dkk., 2011). Depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dijumpai pada pasien pascastroke (Gaete dan Bogousslavsky, 2008), dan pada pasien yang mengalami depresi pascastroke sering juga dijumpai disfungsi seksual (Pistoia dkk., 2006). Kecemasan memegang peranan dalam persepsi dan menetapnya masalah seksual, juga dalam efektivitas dari pengobatan DE (Cuzin dkk., 2011). Pada pria dengan skizofrenia, penurunan libido adalah masalah utama yang dilaporkan dan obat neuroleptik meningkatkan libido tetapi menyebabkan kesulitan ereksi, orgasme, dan kepuasan seksual (Lue, 2000).
2.2.4.2 DE neurogenik Gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson, penyakit Alzheimer, stroke, dan trauma serebri sering menyebabkan disfungsi ereksi dengan menurunnya libido atau mencegah inisiasi ereksi. Pada pria dengan cedera tulang belakang, tingkat fungsi ereksi tergantung pada sifat, lokasi, dan tingkat lesi. Keterlibatan sensorik alat kelamin sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan ereksi refleksogenik, dan ini menjadi lebih penting lagi mengingat efek rangsangan psikologis menurun seiring usia (Lue, 2000).
!
!
18
2.2.4.3 DE hormonal Defisiensi androgen menurunkan ereksi nokturnal dan libido. Androgen penting untuk pertumbuhan penis dan berperan pada fisiologi ereksi melalui beberapa mekanisme. Androgen dapat mempengaruhi neuromodulasi ereksi sistem saraf pusat dan regulasi perifer tonus otot kavernosus (Derouet dkk., 2002). Testosteron mengatur struktur dan fungsi saraf, ekspresi dan aktivitas sintesis NO, phosphodiesterase 5 (PDE5), pertumbuhan dan diferensiasi selular (Traish dkk., 2007). Kuesioner Androgen Deficiency of the Aging Male (ADAM) dapat digunakan untuk skrining diagnosis klinis insufisiensi androgen (Blümel dkk., 2009). Hiperprolaktinemia menyebabkan gangguan reproduksi dan seksual karena prolaktin menghambat aktivitas dopaminergik sentral, yang menyebabkan sekresi gonadotropin-releasing
hormone,
sehingga
terjadi
hipogonadisme
hipogonadotropik (Lue, 2000).
2.2.4.4 Penyebab vaskular DE Faktor risiko yang sering berhubungan dengan insufisiensi arteri penis adalah hipertensi, hiperlipidemia, merokok, dan DM (Chobanian dkk., 2003; Baldo dan Eardly, 2005; Wespes dkk., 2006; Rudianto dkk., 2011). Stenosis fokal dari arteri penis paling sering terjadi pada pria yang mengalami trauma panggul, misalnya kecelakaan bersepeda. Pada pria dengan hipertensi, fungsi ereksi yang terganggu bukan karena peningkatan tekanan darah itu sendiri namun karena lesi stenosis arteri. Kegagalan pembuluh darah untuk menutup selama ereksi (disfungsi veno
!
!
19
oklusi) dapat menyebabkan DE. Disfungsi veno oklusi dapat terjadi pada usia tua, DM, dan trauma (fraktur penis) (Lue, 2000).
2.2.4.5 DE oleh karena obat-obatan Banyak obat-obatan telah dilaporkan dapat menyebabkan DE. Jalur neurotransmiter sentral, termasuk serotonergik, noradrenergik, dan dopaminergik terlibat dalam fungsi seksual dan dapat terganggu oleh obat-obatan antipsikotik, antidepresan, dan obat antihipertensi (Baldo dan Eardly, 2005). Obat golongan penghambat β-adrenergik dapat menyebabkan DE dengan mempotensiasi aktivitas α1-adrenergik pada penis. Tiazid diuretik juga dilaporkan dapat menyebabkan DE, namun mekanismenya belum jelas. Spironolakton dapat menyebabkan DE, ginekomastia, dan penurunan libido (Lue, 2000). Disfungsi seksual sering dijumpai pada penggunaan diuretik yang dikombinasikan dengan obat lain dan masalah yang sama juga sering dijumpai pada pasien yang mendapat β-bloker (Manolis dan Doumas, 2012). Merokok dapat menginduksi vasokontriksi dan kebocoran vena penis karena efek kontraktil pada otot polos kavernosus. Dalam sebuah analisis berbasis bukti oleh McVary dkk. (2001) menyatakan bahwa bukti yang menghubungkan merokok dengan DE tidak sepenuhnya lengkap karena adanya hubungan dengan faktor-faktor lain. Namun terdapat bukti adanya hubungan yang konsisten antara merokok dan penyakit endotel. Alkohol dalam jumlah sedikit meningkatkan ereksi dan libido karena efek vasodilatasi dan menekan kecemasan. Namun dalam jumlah banyak dapat
!
!
20
menyebabkan sedasi sentral, penurunan libido, dan DE yang sementara. Peminum alkohol yang kronis dapat menyebabkan hipogonadism dan polineuropati yang dapat mempengaruhi fungsi saraf penis. Simetidin, antagonis receptor histamin H2 dilaporkan dapat menurunkan libido dan menyebabkan kegagalan ereksi. Simetidin
bekerja
seperti
antiandrogen
dan
dapat
menyebabkan
hiperprolaktinemia. Obat-obat lain yang dikenal dapat menyebabkan DE adalah estrogen dan obat dengan cara kerja antiandrogenik, seperti ketokonazol dan siproteron asetat (Lue, 2000).
2.2.4.6 DE akibat penuaan dan penyakit sistemik lain Fungsi seksual secara progresif akan menurun seiring bertambahnya usia. Seperti misalnya, periode laten antara stimulasi seksual dan ereksi memanjang, ereksi akan lebih lembek, ejakulasi kurang kuat dan volumenya menurun, dan periode refrakter antara ereksi memanjang. Terdapat juga penurunan pada sensitivitas penis dan stimulasi taktil, penurunan konsentrasi serum testosteron, dan meningkatnya tonus otot kavernosus (Lue, 2000). Sekitar 50% pria dengan DM mengalami DE. Selain mengenai pembuluh darah kecil, DM juga mengenai ujung saraf kavernosus dan sel endotel, sehingga menyebabkan defisiensi neurotransmiter. Pria dengan miokard infark atau gagal jantung juga dapat mengalami DE akibat kecemasan, depresi, atau insufisiensi arteri penis yang konkomitan (Lue, 2000).
!
!
21
2.2.5 Diagnosis DE 2.2.5.1 Anamnesis Langkah pertama untuk menilai DE adalah anamnesis pasien dan pasangannya. Anamnesis ini bertujuan untuk mencari beberapa kelainan yang sering berhubungan dengan DE (Tabel 2.1). Suasana wawancara dibuat serileks mungkin sehingga lebih memudahkan bertanya tentang fungsi ereksi dan aspek lain dari riwayat seksual, juga untuk menjelaskan diagnosis dan pendekatan terapi pada pasien dan pasangannya (Wespes dkk., 2012). Riwayat seksual mencakup informasi tentang hubungan seksual saat ini dan sebelumnya, status emosional saat ini, onset dan durasi gangguan ereksi, dan riwayat konsultasi, dan pengobatan sebelumnya. Kuesioner yang telah tervalidasi seperti International Index for Erectile Function (IIEF) membantu untuk memeriksa semua domain fungsi seksual (fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, ejakulasi, intercourse, dan kepuasan secara keseluruhan), dan juga pengaruh dari modalitas pengobatan (Rosen dkk., 1997; Baldo dan Eardley, 2005; Wespes dkk., 2012). Selain IIEF, terdapat juga kuesioner lain yang telah tervalidasi seperti The Brief Sexual Function Inventory (BSFI) untuk mengukur kepuasan seksual, fungsi ereksi dan ejakulasi; Self Esteem and Relationship (SEAR) untuk mengukur variabel psikososial pada pasien DE; Psychological and Interpersonal Relationship Scales (PAIRS) untuk mengukur kualitas hidup; dan Erectile Dysfunction Index of Treatment Satisfaction (EDITS) untuk menilai kepuasan pengobatan (Baldo dan Eardley, 2005).
!
!
22
2.2.5.2 Pemeriksaan fisik Setiap pasein dilakukan pemeriksaan fisik yang terfokus pada urogenital, endokrin, vaskular, dan sistem saraf. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan diagnosis seperti penyakit Peyronie, pembesaran prostat atau kanker prostat, tanda dan gejala yang dicurigai sebagai hipogonadisme (testis kecil, perubahan pada karakteristik seksual sekunder, berkurangnya hasrat seksual, dan perubahan mood). Pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah dan nadi rutin dikerjakan (Wespes dkk., 2012).
2.2.5.3 Tes dan pemeriksaan spesifik Meskipun sebagian besar pasien dengan DE dapat ditangani pada pelayanan kesehatan primer, pada beberapa kasus memerlukan tes diagnostik spesifik (Tabel 2.2) yang sesuai indikasi (Tabel 2.3). Pemeriksaan laboratorium memiliki peranan untuk menentukan faktor risiko DE. Hal ini berhubungan dengan penatalaksanaan yang spesifik (Baldo dan Eardley, 2005).
Tabel 2.2 Tes Diagnostik yang Spesifik (Wespes dkk., 2012) Nocturnal penile tumescence and rigidity (NTPR) menggunakan Rigiscan Pemeriksaan vaskular - Injeksi obat vasoaktif intrakavernosus - Duplex ultrasound dari arteri kavernosus - Dynamic infusion kavernosometry or kavernosography (DICC) - Arteriografi pudendus interna Pemeriksaan neurologis seperti latensi refleks bulbokavernosus, pemeriksaan konduksi saraf Pemeriksaan endokrinologis Penilaian spesialis psikodiagnostik
!
!
23
Tabel 2.3 Indikasi dilakukan Tes Diagnostik yang Spesifik (Wespes dkk., 2012) Kelainan ereksi primer (bukan disebabkan kelainan organik atau psikogenik) Pasien usia muda dengan riwayat trauma pelvis Pasien dengan deformitas penis yang memerlukan pembedahan Pasien dengan gangguan psikiatri atau psikoseksual yang kompleks Pasien dengan gangguan endokrin yang kompleks Atas permintaan pasien atau pasangannya Alasan medikolegal seperti implan penis prostesis atau kekerasan seksual
2.3 DE pada Stroke 2.3.1 Pengaruh susunan saraf terhadap aktivitas seksual Susunan saraf, termasuk susunan saraf pusat dan perifer mempengaruhi fungsi seksual. Hasrat seksual dan ereksi (sexual arousal) dipengaruhi oleh beberapa komponen dari pusat dan perifer. 2.3.1.1 Susunan saraf pusat Peranan nukleus pada ereksi tergantung dari jumlah eksitasi dan inhibisi yang diterima dari perifer dan nukleus sentral lainnya, serta dari keadaan hormonal (Giuliano dan Rampin, 2004). Sistem lìmbik terdiri dari hipotalamus, amigdala, hipokampus, singuli anterior, dan inti septal. Susunan ini mengatur fungsi dasar homeostasis seperti rasa lapar, haus, dan mempunyai hubungan dengan emosi. Hipotalamus yang terletak di medial otak merupakan bagian paleo-korteks dan sudah berfungsi sejak lahir. Nukleus medial hipotalamus lateral bersifat simpatis yang mempunyai efek eksitasi sehingga menyebabkan hiperaktif. Daerah preoptik medial dari hipotalamus merupakan struktur penting pada pengaturan pusat dari kebiasaan seksual pria. Bagian parvoselular dari nukleus paraventrikular
!
!
24
hipotalamus mengandung neuron yang dapat mengirim secara langsung oksitosinergik dan vasopresinergik ke lumbosakral. Lesi pada nukleus paraventrikular dapat meningkatkan latensi ereksi. Nukleus paragigantoselularis batang otak berperan pada serat desending serotonergik ke lumbosakral (Giuliano dan Rampin, 2004). Amigdala merupakan bagian neokorteks yang secara embriologis merupakan bagian pertama ganglia basalis. Kerusakan akan menyebabkan kekacauan orientasi seksual dan bila terjadi kerusakan bilateral akan terjadi perilaku seksual abnormal seperti berhubungan dengan spesies lain (bestiality). Selain itu, amigdala berperan menerima stimuli seksual dari lawan jenis dan penentu sensorik terutama penciuman (Jannis dan Misbach, 2011).
Input emosional
Input sensorik
Korteks serebri
Medula spinalis
Struktur subkorteks Hipotalamus, Area limbik, Substansia nigra
Sistem saraf otonom (simpatis, parasimpatis)
Sistem saraf motorik
Organ seksual perifer
Gambar 2.2 Pengaturan pusat dan perifer fungsi seksual (Pistoia dkk., 2006)
!
!
25
Daerah sistem limbik ini amat penting untuk menimbulkan libido dan ereksi pada pria. Rangsangan pada daerah ini menimbulkan ereksi psikogenik atau ereksi serebral. Daerah ini dipengaruhi oleh hormon seksual. Rangsangan pada hipotalamus diteruskan ke perifer melalui kolumna anterior dan lateralis. Sebagai regulator, hipotalamus mengatur sexual arousal dan berhubungan dengan kelenjar hipofisis, lobus frontalis, dan temporalis (Jannis dan Misbach, 2011). Stimulasi saraf ke otak saat sexual intercourse meningkatkan produksi hormon testosterone dan dehydroepiandrosterone (DHEA) melalui sumbu hipotalamus-pituitari-testis dan hipotalamus-pituitari-adrenal. Hormon ini bersifat anabolik dan merangsang pembentukan NO di jaringan penis (Karmaya dkk., 2010). Aktivitas seksual juga dipengaruhi oleh faktor emosi. Telah dikenal suatu lintasan atau sirkuit Papez yang mengatur emosi melalui hipokampus, kemudian menuju badan mamilari melalui fornik, lalu menuju ke kelompok nuklei talamus anterior melalui traktus mamilotalamik, kemudian menuju ke girus singulata, girus parahipokampus, untuk kemudian kembali ke hipokampus (gambar 2.3). Lintasan ini bersifat resiprokal (Noback dkk., 2005). Terdapat juga jalur septal dan amigdala yang memiliki fungsi penting di dalam sistem limbik. Jalur septal meliputi area septal, korteks singulata anterior, stria terminalis, hipokamus dan amigdala yang berhubungan dengan ingatan perilaku seksual. Perangsangan area septal dapat menyebabkan perasaan bahagia, euforia, gairah seksual sampai orgasme. Jalur amigdala meliputi amigdala dan
!
!
26
neokorteks yang memiliki peranan dalam perilaku presumtif seperti perkelahian, perasaan, makan, dan fungsi viseral lainnya (Noback dkk., 2005). 394
The Human Nervous System
Figure 22.4: The “Papez circuit” includes the hippocampus via fornix → mammillary body via 2.3 Sikuitnuclear Papezgroup (Noback dkk.,gyrus 2005) mammillothalamic tractGambar → anterior thalamic → cingulate → parahippocampal gyrus → hippocampus. The subiculum is a pivotal cortical area projecting to widespread regions of the cerebrum. Many connections are reciprocal.
2.3.1.2 saraf ordinate Susunan position; (4) the perifer amygdala,
nucleus tion of the neocortex gives higher mammals accumbens, septal area, and orbitofrontal corand especially humans the capacity for probtex are vital in the regulation of emotion. lem solving and rational thought. Ereksi penis merupakan peristiwa vaskular yang dikontrol oleh sistem saraf MacLean’s influential theory asserted that the The Septal and Amygdala Pathways cingulate cortex, along with the neocortex, MacLean delimited two saraf functional can be identified withdan forms of emotional otonom (Giuliano Rampin, 2004). Pusat ereksi(1955) di perifer adalah otonom subdivisions within the LS: (1) The septal behavior that illustrate the evolutionary transipathway includes the septal area, anterior cintion from the primitive brain of therapsid (simpatis danreptiles parasimpatis). Sistem gulate sarafcortex, simpatis berasal hippocampus, dan kolumna stria terminalis, (mammal-like) to the early mamand amygdala, which are associated with memmalian brain during the geologic Paleozoic ory 1related to social lumbal and sexual behaviors, Era and then to the highly evolved neocortex intermediolateral medula spinalis thorakal (T1) sampai 2 (L2) (Noback including mating, procreation, and care of offof mammals, including humans during the spring. These are important for the preservation Cenozoic Era. According to this theory, the dkk., 2005). Kemudian menjadi nervusof hipogastrikus yang of mensarafi kelenjar the species. Stimulation the septal area evolution of the LS enabled mammals to experesults in pleasurable feelings, euphoria, and rience and expresses emotions and, thus, sexual arousal leading tosimpatis an orgasm. The emancipated themvas fromdeferens, stereotypicdan behaviors prostat, testis, vesika seminalis. Aktivitas ini(2)mengatur amygdaloid pathways, including amygdala and dictated by the brainstem (often referred to as neocortex, have a presumptive role in behaviors the reptilian brain). In this schema, the evolu-
ejakulasi dan sebagian ereksi melalui pleksus hipogastrikus (L1-2) (Baehr dan Frotscher, 2005).
!
!
6
27 306 · 6 Diencephalon and Autonomic Nervous System
L1 Hypogastric plexus
Corpora cavernosa
Pudendal n.
Sympathetic preganglionic Sympathetic postganglionic Parasympathetic preganglionic Parasympathetic postganglionic Afferent pathways
S2 (to s4) S4
Fig. 6.19 Innervation of the male genitalia (erection and ejaculation)
Gambar 2.4 Inervasi genitalia pria (Baehr dan Frotscher, 2005) pairs voluntary abdominal pressing. Sphincter closure is often inadequate beSaraf parasimpatis terdiri dari aferen somatik untuk kulit genital, daerah cause of spastic weakness. Fecal incontinence. Lesions di of dorsal the sacral spinal cord (S2S4) abolish anal reperigenital, skrotal, termasuk penis. Aferen viseral berasal darithe kandung flex and produce fecal incontinence. If the stool is watery, involuntary loss of kemih stool melalui occurs. saraf parasimpatis diteruskan melalui radiks sakralis 2-4, kemudian
diInnervation saraf pelvis (erigentes). Setelah mengadakan sinaps di pleksus prostat, vesika of the Male Genitalia Efferent sympathetic the upper lumbar darah spinalkorpura cord travel by way of seminalis, vas deferens,fibers dan from terutama di pembuluh kavernosus, a periarterial nervous plexus (the hypogastric plexus) to the seminal vesicles,
akan menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena diofpenis sehingga mengakibatkan prostate, and ductus deferentes. Stimulation the plexus causes ejaculation (Fig. 6.19).
pembesaran korpura kavernosus dan terjadi ereksi (Baehr dan Frotscher, 2005). Parasympathetic fibers from segments S2 through S4 travel through the pelvic splanchnic nerves (the nervi erigentes) to the corpora cavernosa. Parasympathetically induced vasodilatation in the corpora cavernosa brings about penileventral, erection (Fig. 6.19). urethral sphincter and the ischiocavernosus and bagian mensarafi ototThe bulbospongiosus dan iskiokavernosus melalui saraf bulbospongiosus muscles are innervated by the pudendal nerve. pudendus (Giuliano 2000). Kontraksi otot-otot ini pada peniscenters, yang Genital functiondan is Rampin, ultimately under the control of hypothalamic which exert their effects partly through neural connections (reticulospinal flaksid ereksi.means Namun ketika otot-otot ini berkontraksi pada fibers)tidak and menyebabkan partly by humoral (hormones).
Motorneuron pudendus (nukleus Onufrowicz’ [Onuf]), yang terletak di sakral
penis yang ereksi, rigiditas penis dan tekanan di dalam penis ditingkatkan (Giuliano dan Rampin, 2004). Baehr, Duus' Topical Diagnosis in Neurology © 2005 Thieme All rights reserved. Usage subject to terms and conditions of license. !
!
28
2.3.2 Korelasi Klinis DE pada Stroke Beberapa kajian pustaka dan penelitian menunjukkan fungsi seksual sering mengalami gangguan setelah stroke (Kimura dkk., 2001; Bener dkk., 2008; Jung dkk., 2008; Duits dkk., 2009; Thompson dan Walker, 2011) dan akan mempengaruhi kualitas hidup penderita (Pistoia dkk., 2006). Pada laki-laki dengan stroke sering dijumpai adanya penurunan libido, frekuensi berhubungan seksual, gangguan ereksi dan ejakulasi. Penyebab DE sering melibatkan banyak faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi faktor fisik dan psikososial. Beberapa laki-laki yang mengalami masalah seksual sementara, biasanya mengalami gangguan ereksi setelah tujuh minggu pascastroke, dan dapat memburuk seiring waktu (Pistoia dkk., 2006). Belum banyak literatur yang membahas DE pada pasien pascastroke. Beberapa menunjukkan masih adanya kontroversi yang menjelaskan hubungan antara faktor premorbid, komorbid dan disfungsi seksual pascastroke. Menurut Korpelainen dkk. (1999), masalah seksual berhubungan dengan banyak faktor, seperti pandangan umum terhadap seksualitas, depresi pascastroke, atau kondisi medis seperti DM atau pengobatan kardiovaskular. Lebih lanjut dikatakan tidak ditemukan adanya hubungan antara perubahan seksual dan status pernikahan pasien, etiologi stroke, dan lokasi lesi. Penelitian lain menunjukkan adanya hubungan antara lokasi lesi pada stroke dengan terjadinya DE. Beberapa penelitian menyatakan DE lebih sering didapatkan pada stroke dengan lesi hemisfer kanan (Coslett dan Heilman, 1986; Agarwal dan Jain, 1989). Ada juga yang menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu
!
!
29
pada lesi hemisfer kiri (Kimura dkk., 2001; Mulyadi, 2005; Sikiru dkk., 2009). Jung dkk. (2006) menyatakan lesi pada ganglia basalis kiri dan serebelum kanan berhubungan dengan menurunnya hasrat seksual dan gangguan ejakulasi. Sikiru dkk. (2009) menyatakan DE sering dijumpai pada penderita stroke dengan hemiplegia kanan, hal ini secara tidak langsung mendukung peranan hemisfer kiri dalam hubungannya dengan DE. Amigdala kiri dilaporkan oleh Suffren dkk. (2011), berperan dalam pengaturan libido. Pada tikus jantan, subnukleus posterodorsal amigdala media hemisfer kiri lebih besar dibanding hemisfer kanan (Cooke, 2006). Pengaturan fungsi ereksi lebih banyak dipengaruhi oleh susunan saraf parasimpatis dibanding simpatis (Suffren dkk., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa otak hemisfer kiri dominan mengatur modulasi parasimpatis, sedangkan otak hemisfer kanan dominan untuk simpatis (Wittling dkk., 1998; Tokgözoglu dkk., 1999; Avnon dkk., 2004). Peneliti lain menunjukkan ada pengaruh dari keterbatasan fisik sebagai etiologi dari masalah gangguan seksual jangka panjang. Beberapa kondisi medis seperti hipertensi, infark miokard, DM, hiperkolesterolemia dapat menyebabkan penurunan intercourse seksual pada pasien yang belum mengalami stroke (Kimura dkk., 2001; Hood dan Kirby, 2004; Wespes dkk., 2006; Duits dkk., 2009). Faktor risikonya adalah usia, merokok dan obesitas (Korpelainen dkk., 1998; Baldo dan Eardley, 2005; Bener dkk., 2008). Hal ini dapat dilihat dari adanya hubungan antara kepuasan dalam kehidupan seksual dan kemampuan seseorang dalam merawat dirinya sendiri melalui Index Bartel (Pistoia dkk., 2006).
!
!
30
Perubahan perilaku pascastroke diduga memegang peranan pada etiologi perubahan seksual jika dipandang dari faktor psikososial. Perubahan seksual yang lambat (setelah 3 bulan) seperti hiperseks telah dihubungkan dengan lesi lobus temporalis, riwayat kejang pascastroke dan pengobatan antidepresan. Penelitian lain menunjukkan hubungan emosi pascastroke dan penurunan aktivitas seksual (Lue, 2000; Kimura dkk., 2001; Choi-Kwon dan Kim, 2002; Jung dkk., 2008; Bener dkk., 2008; Paraskevas dkk., 2008; Thompson dan Walker, 2011). Pada fase subakut dan kronik didapatkan gangguan emosi berhubungan secara signifikan dengan penurunan fungsi ereksi (Choi-Kwon dan Kim, 2002). Gangguan mood seperti depresi, cemas, dan sindrom stres pascatrauma pada pasien pascastroke sering mempengaruhi hubungan seksual. Depresi pascastroke merupakan gangguan emosi yang paling disering dijumpai pada pasien pascastroke (Gaete dan Bogousslavsky, 2008). Didapatkan juga bukti sebaliknya, dimana disfungsi seksual dapat menyebabkan gangguan depresi dan cemas. Perubahan mood sering dihubungkan dengan aktivitas sehari-hari dan beratnya defisit neurologis. Bukanlah suatu kebetulan pasien dengan keterbatasan fisik yang berat mengalami gangguan emosi dan penurunan kepuasan seksual lebih sering daripada mereka yang mengalami keterbatasan fisik yang ringan. Peranan faktor psikososial lebih lanjut menunjukkan disfungsi seksual tidak hanya terjadi pada pasien, tetapi juga pada pasangannya (Pistoia dkk., 2006). Sebagai tambahan pada faktor komorbid, faktor neurologis dan psikososial, peranan susunan saraf pusat juga berkontribusi terhadap gangguan seksual pada pasien pascastroke. Beberapa peneliti menduga faktor psikologis tidak berdiri
!
!
31
sendiri dalam menyebabkan gangguan seksual. Pengontrolan sistem saraf otonom seperti hiperfungsi simpatis dan hipofungsi parasimpatis pada pasien pascastroke akan mempengaruhi jantung, regulasi tekanan darah, dan sistem regulasi sudomotor dan vasomotor. Dalam konteks ini, gangguan miksi, defekasi, dan impotensi sering dijumpai dalam hubungannya dengan gangguan otonom yang mengikuti stroke (Pistoia dkk., 2006). Sejak pasien yang mampu bertahan dari stroke dan hidup dengan segala konsekuensinya semakin meningkat, maka diperlukan manajemen yang lebih baik pada pasien dan caregiver-nya sehingga dapat memberikan kualitas hidup yang lebih baik (Pistoia dkk., 2006).
2.3.3 Pemeriksaan DE pada stroke Anamnesis yang baik merupakan landasan dalam membangun diagnosis DE. Untuk mengetahui pengaruh stroke pada fungsi seksual, dapat diukur menggunakan kuesioner dari IIEF (Rosen dkk., 1999; Jung dkk., 2008; Bener dkk., 2008). IIEF disusun oleh Rosen dkk. (1997) untuk mengukur fungsi ereksi, fungsi orgasme, hasrat seksual, ejakulasi, intercourse, dan kepuasan secara keseluruhan serta menilai luaran dari penatalaksanaan impotensi. IIEF terdiri dari 15 pertanyaan dimana validitas dan reabilitisnya sudah terbukti. IIEF-5 merupakan bentuk IIEF yang terdiri dari lima pertanyaan, khusus untuk mengukur fungsi ereksi, dan memiliki sensitivitas 0,98 dan spesifisitas 0,88 (Rosen dkk., 1999; Rhoden dkk., 2002). IIEF-5 lebih umum digunakan dibanding IIEF karena lebih sederhana dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik.
!
!
32
Di Indonesia, IIEF-5 juga telah umum digunakan dalam berbagai penelitian untuk mengukur DE (Suhono, 2003; Supit, 2004; Sihaloho, 2006; Rachmadi, 2008; Saraswati dkk., 2008; Santoso, 2010). Setiap butir pertanyaan IIEF-5 memiliki skor 1 sampai 5 sehingga total skor untuk IIEF-5 adalah 5 sampai 25. Seseorang dikatakan tidak DE bila skor IIEF-5 antara 22-25 dan DE bila 5-21. Lebih lanjut lagi penderita DE dikelompokkan berdasarkan skor IIEF-5 menjadi derajat ringan (17-21), ringan-sedang (12-16), sedang (8-11), dan berat (5-7) (Rosen dkk., 1999; Rosen dkk., 2002).
!
!
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan rumusan masalah dan tinjauan pustaka, maka dapat disusun kerangka berpikir sebagai berikut: DE dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikis. Faktor psikis diantaranya adalah kecemasan, masalah hubungan dengan pasangan, stres psikologis, dan depresi. Faktor fisik meliputi kelainan neurogenik, hormonal, vaskulogenik, penyebab akibat penuaan dan penyakit sistemik lain. Kelainan neurologi yang dapat mempengaruhi DE seperti stroke, penyakit Alzheimer, trauma medula spinalis, neuropati diabetik, dan trauma pelvis. Sedangkan faktor hormonal seperti hipogonadism dan hiperprolaktinemia. Faktor vaskulogenik melibatkan arterial dan kavernosal seperti aterosklerosis, hipertensi, DM, dan akibat trauma. Di samping itu, obat-obatan juga dapat mempengaruhi DE, seperti obat antihipertensi, antidepresan, antipsikotik, antiandrogen, antihistamin, dan juga ketergantungan alkohol dan merokok. Telah banyak penelitian yang menghubungkan stroke dengan DE, namun faktor-faktor yang mempengaruhinya masih belum banyak diteliti. Dikatakan status pernikahan pasien dan etiologi stroke tidak mempengaruhi terjadinya DE. Hubungan dengan lokasi lesi masih kontroversial. Pengaturan fungsi ereksi lebih banyak dipengaruhi oleh susunan saraf parasimpatis dibanding simpatis. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa otak hemisfer kiri dominan
33 !
!
34
mengatur modulasi parasimpatis sedangkan otak hemisfer kanan dominan untuk simpatis.
3.2 Konsep Faktor fisik
Faktor psikis • depresi • • • • • •
Usia Hipertensi DM Hiperkolesterolemia Obesitas Merokok
Pasien pascastroke! CT-sken dan/MRI lesi hemisfer!
DE!
Gambar 3.1 Konsep
Pasien pascastroke digolongkan menjadi pasien dengan lesi hemisfer kanan atau kiri dengan CT-sken dan atau MRI, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi ereksi dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan kuesioner IIEF-5. Adanya
!
!
35
riwayat DE sebelum stroke dan gangguan spinal yang ditandai dengan tetra atau paraparesis akan diekslusi dari penelitian ini.
3.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep penelitian di atas, ditetapkan hipotesis penelitian sebagai berikut: lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan DE pada pasien pascastroke.
!
!
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan potong lintang. Pada subyek penelitian (pasien pascastroke) akan dilakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara lokasi lesi dengan terjadinya DE. Pasien pascastroke Lesi hemisfer
Kanan
DE
Kiri
Tidak DE
DE
Tidak DE
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan pada pasien pascastroke di poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Denpasar. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus 2013.
36 !
!
37
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berada dalam ruang lingkup ilmu penyakit saraf khususnya divisi neurovaskular.
4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi target Populasi target adalah semua pasien pascastroke.
4.4.2 Populasi terjangkau Populasi terjangkau adalah semua pasien pascastroke yang datang ke poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Denpasar.
4.4.3 Sampling frame Sampel diambil dari semua pasien pascastroke yang datang ke poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Denpasar yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.4 Kriteria subyek 4.4.4.1 Kriteria inklusi Kriteria inklusi meliputi hal-hal berikut: 1.
Pasien pascastroke, laki-laki berusia 40-59 tahun, kinan, yang telah menikah dan masih tinggal bersama istri
2.
!
Minimal 6 bulan sejak terserang stroke
!
38
3.
Modified Rankin Scale (mRS) < 3
4.
Menandatangani persetujuan untuk ikut penelitian
4.4.4.2 Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi meliputi hal-hal berikut: 1. Terdapat gangguan neurologis lain selain stroke 2. Telah diketahui menderita DE sebelum stroke
4.4.5 Besaran sampel Besar sampel yang dibutuhkan dihitung menurut menurut rumus berikut (Cochran, 1977): !" ! !!(1 − !) != !! n
: besar sampel
α
: kesalahan tipe I = 5% (Zα=1,96)
P
: proporsi
d
: presisi = 10%
Dari penelitian terdahulu (Bener dkk., 2008) diketahui informasi: P
: 0,26
Besar sampel (n) yang dibutuhkan adalah: !=
1,96! !!!0,26!!!(1 − 0,26) 0,10!
! = !73,91!~!74 Berdasarkan rumus di atas, didapatkan sampel minimal sebanyak 74 orang.
!
!
39
4.4.6 Teknik pengambilan sampel Sampel diambil secara berturut-turut (consecutive) dari pasien pascastroke yang datang ke poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Denpasar, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Klasifikasi variabel Variabel penelitian meliputi: 1. Variabel bebas: pasien pascastroke 2. Variabel tergantung: DE
4.5.2 Definisi operasional variabel 1.
Pasien pascastroke adalah penderita yang telah didiagnosis stroke 6 bulan atau lebih. Diagnosis stroke ditegakkan sesuai anamnesis, pemeriksaan klinis neurologis yang ditemukan, dan dikonfirmasi dengan pencitraan menggunakan CT-sken dan atau MRI.
2.
Jenis stroke dikelompokkan menjadi stroke hemoragik dan stroke iskemik, berdasarkan hasil CT-sken dan atau MRI. Data bersifat nominal.
3.
Lokasi lesi hemisfer kanan atau kiri ditetapkan berdasarkan gambaran klinis neurologis dan CT-sken atau MRI kepala. Data berskala nominal.
4.
Skor IIEF-5 merupakan nilai yang didapat dari 5 pertanyaan kuesioner IIEF yang setiap butir pertanyaan IIEF-5 memiliki skor 1 sampai 5 sehingga total
!
!
40
skor untuk IIEF-5 adalah 5 sampai 25 (Rosen dkk., 1999; Rosen dkk., 2002). Data berskala interval. 5.
DE ditetapkan berdasarkan anamnesis berupa ketidakmampuan yang menetap dan atau kambuhan (setidaknya tiga bulan) untuk mempertahankan ereksi yang cukup untuk memungkinkan hubungan seksual yang memuaskan. Keluhan ini muncul setelah terkena stroke dan dilakukan penilaian dengan IIEF-5, dimana DE bila nilai IIEF-5 antara 5-21 dan bukan DE bila nilai IIEF-5 antara 22-25 (Rosen dkk., 1999; Rosen dkk., 2002). Data berskala nominal.
6.
Derajat berat ringannya DE dikelompokkan berdasarkan skor IIEF-5 menjadi derajat ringan (17-21), ringan-sedang (12-16), sedang (8-11), dan berat (5-7) (Rosen dkk., 1999; Rosen dkk., 2002). Data berskala ordinal.
7.
Hipertensi ditegakkan berdasarkan kriteria Joint National Committee (JNC) VII (tekanan darah sistolik > 140 mmHg; diastolik > 90 mmHg) (Chobanian dkk., 2003), tercatat pada catatan medis pasien, atau sedang dalam pengobatan. Pasien dikelompokkan menjadi hipertensi dan tidak hipertensi. Data berskala nominal.
8.
DM ditegakkan dari gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang disertai salah satu dari kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL, atau glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL, atau kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral ≥ 200 mg/dL, atau penderita dengan gejala tidak khas disertai dua kali pemeriksaan gula darah seperti tersebut pada sebelumnya (Rudianto dkk., 2011). Didapatkan
!
!
41
dari hasil wawancara, catatan medis, atau sedang dalam pengobatan. Pasien dikelompokkan menjadi DM dan tidak DM. Data berskala nominal. 9.
Hiperkolesterolemia ditegakkan berdasarkan klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP) III dengan kolesterol total > 240 mg/dl (Cleeman, 2001; Adam 2006), tercatat pada catatan medis pasien, atau sedang dalam pengobatan. Pasien dikelompokkan menjadi hiperkolesterolemia dan tidak hiperkolesterolemia. Data berskala nominal.
10.
Obesitas dilihat dari nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) yang lebih dari atau sama dengan 30 kg/m2, dimana IMT dihitung dengan rumus berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (Furie dkk., 2011). Pasien dikelompokkan menjadi obesitas dan tidak obesitas. Data berskala nominal.
11.
Depresi, merupakan keadaan psikologis yang ditandai oleh gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan menurunya aktivitas. (Maslim, 2003). Depresi dapat dinilai dengan menggunakan skala depresi Hamilton, dikatakan depresi bila nilainya > 7. Pasien dikelompokkan menjadi depresi dan tidak depresi. Data berskala nominal.
12.
Usia, ditentukan dari tanggal atau tahun lahir sampai saat awitan stroke iskemik akut berdasarkan kartu tanda penduduk atau keterangan keluarga sesuai rekam medis dan dikelompokkan menjadi 40-49 tahun dan 50-59 tahun. Data berskala nominal.
!
!
13.
42
Keterbatasan fungsional pascastroke diukur menggunakan mRS. Hasil penilaiannya adalah secara umum, terdiri dari: 5 = keterbatasan berat, 4 = keterbatasan berat sedang, 3 = keterbatasan sedang, 2 = keterbatasan ringan, 1 = keterbatasan tak bermakna, 0 = tidak ada gangguan neurologi (Banks dan Marotta, 2007; Soertidewi, 2011).
4.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan terdiri dari alat pengumpulan data dan kuesioner. Lembar pengumpulan data dan kuesioner digunakan untuk mencatat data dasar karakteristik penderita (usia, jenis stroke, lokasi lesi, hipertensi, DM, merokok, obesitas, dan hiperkolesterolemia), hasil pemeriksaan IIEF-5, juga hasil pemeriksaan skrining keterbatasan fungsional pascastroke menggunakan mRS, dan gangguan depresi menggunakan skala depresi Hamilton.
4.7 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap: 1.
Tahap Pertama Melakukan
pengambilan
sumber
data
sesuai
dengan
metode
pengambilan data yang digunakan dan dilakukan penyaringan sumber data menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang telah disepakati seperti penilaian derajat fungsional stroke dengan mRS serta bersedia menandatangani surat persetujuan setelah diberikan penjelasan.
!
!
43
2.
Tahap Kedua Melakukan pencatatan identitas subjek, pemeriksaan keadaan vital, anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan klinis neurologis, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan pencitraan sesuai indikasi. Dilakukan pengambilan kuesioner untuk menilai derajat DE dengan IIEF-5 dan skala depresi Hamilton.
3.
Tahap Ketiga Melakukan penataan data dalam bentuk tabel 2x2 dan selanjutnya dilakukan analisis data dengan program SPSS versi 20 untuk Mac, serta dibuat simpulan dalam bentuk tabel dan penjelasannya.
!
!
44
Pasien pascastroke yang datang ke Poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah dan RSUD Wangaya Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Tidak
Ya Informed Consent
- Pencatatan data - Kuesioner IIEF-5
Lesi hemisfer kanan
Lesi hemisfer kiri
DE +
DE +
DE -
ANALISIS DATA
Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian
!
DE -
Eksklusi
!
45
4.8 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan program SPSS versi 20 untuk Mac, dalam beberapa tahap 1. Deskriptif: digambarkan data berdasarkan kelompok usia, jenis stroke, lokasi lesi, faktor komorbid (hipertensi, DM, merokok, obesitas, hiperkolesterolemia, depresi), serta DE dan derajat DE. 2. Untuk mengetahui korelasi antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke dilakukan analisis korelasi koefisien Lambda.
!
!
BAB V HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 74 orang pasien pascastroke yang berobat ke poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Sanglah Denpasar dan RSUD Wangaya Denpasar selama periode bulan Februari sampai Agustus 2013. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke.
5.1 Karakteristik Subjek Terdapat 74 orang pasien pascastroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sampel pada penelitian ini. Rerata usia pasien pascastroke yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah 52,19+4,37 dengan usia termuda 42 tahun dan tertua 59 tahun. Karakteristik subjek yang meliputi kelompok usia, jenis stroke, lokasi lesi, hipertensi, DM, merokok, obesitas, hiperkolesterolemia, depresi, disfungsi ereksi, dan derajat DE disajikan pada Tabel 5.1. Pada tabel tersebut ditemukan kelompok usia terbanyak pada kelompok 50-59 tahun sebanyak 51 orang (68,9%). Berdasarkan jenis stroke, sebagian besar sampel mengalami stroke iskemik yaitu sebanyak 54 orang (73,0%), sedangkan yang mengalami stroke hemoragik sebanyak 20 orang (27,0%).
46 !
!
47
Tabel 5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok usia, jenis stroke, lokasi lesi, hipertensi, DM, merokok, obesitas, hiperkolesterolemia, depresi, disfungsi ereksi dan derajat DE pada pasien pascastroke Karakteristik Frekuensi (n=74) Persentase (%) Kelompok usia 40-49 tahun 23 31,1 50-59 tahun 51 68,9 Jenis stroke Stroke Hemoragik 20 27,0 Stroke Iskemik 54 73,0 Lokasi lesi Hemisfer kiri 35 47,3 Hemisfer kanan 39 52,7 Hipertensi Ya 45 60,8 Tidak 29 39,2 DM Ya 19 25,7 Tidak 55 74,3 Merokok Ya 40 54,1 Tidak 34 45,9 Obesitas Ya 27 36,5 Tidak 47 63,5 Hiperkolesterolemia Ya 22 29,7 Tidak 52 70,3 Depresi Ya 39 52,7 Tidak 35 47,3 DE Ya 38 51,4 Tidak 36 48,6 Derajat DE Berat 9 12,2 Sedang 11 14,9 Ringan-sedang 8 10,8 Ringan 10 13,5 Normal 36 48,6
!
!
48
Berdasarkan lokasi lesi, lebih banyak sampel yang mengalami lesi di hemisfer kanan, yaitu sebanyak 39 orang (52,7%), dibanding lesi di hemisfer kiri (47,3%). Sebagian besar sampel mengalami hipertensi, yaitu sebanyak 45 orang (60,8%). Hanya 19 orang (25,7%) yang memiliki DM. Terdapat 40 orang (54,1%) yang merokok. Sebagian besar sampel tidak mengalami obesitas (63,5%) dan 52 orang (70,3%) tidak hiperkolesterolemia. Terdapat pula 39 orang (52,7%) yang mengalami depresi. Dari sampel tersebut, didapatkan 38 orang (51,4%) yang mengalami disfungsi ereksi, dimana yang terbanyak adalah derajat sedang (14,9%), kemudian diikuti oleh derajat ringan (13,5%), berat (12,2%), dan ringansedang (10,8%). 5.2 Korelasi Antara Lesi Hemisfer Kiri dengan DE pada Pasien Pascastroke Pada pasien pascastroke dengan lesi di hemisfer kiri, didapatkan 25 orang (33,8%) yang mengalami DE dan 10 orang (13,5%) tidak mengalami DE. Sedangkan pada pasien pascastroke dengan lesi di hemisfer kanan, didapatkan 13 orang (17,6%) yang mengalami DE dan 26 orang (35,1%) yang tidak mengalami DE. Korelasi antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Lambda. Hasil analisis kemaknaan disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang bermakna (p<0,05) antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0,361 yang berarti berkorelasi lemah dan nilai p=0,032.
!
!
49
Tabel 5.2 Korelasi antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke DE
Lokasi lesi
Hemisfer kiri Hemisfer kanan Total
*) bermakna (p<0,05)
!
Ya n (%) 25 (33,8) 13 (17,6) 38 (51,4)
Tidak n (%) 10 (13,5) 26 (35,1) 36 (48,6)
Total n (%)
r
p
35 (47,3) 39 (52,7)
0,361
0,032*
74 (100)
!
BAB VI PEMBAHASAN
Stroke merupakan penyebab kematian nomer tiga di dunia, dan salah satu penyebab utama kecacatan (Bener dkk., 2008). Hubungan antara stroke dan DE telah banyak diteliti, namun mekanisme dan faktor-faktor yang memprediksi DE pada stroke belum banyak diketahui. Penelitian ini untuk melihat korelasi antara lesi hemisfer kiri dan variabel-variabel lain dengan DE pada pasien pascastroke.
6.1 Karakteristik Subjek Pada penelitian ini didapatkan 74 orang pasien pascastroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi untuk dijadikan sampel. Rerata usia pasien pascastroke yang dijadikan sampel adalah 52,19+4,37 tahun dengan usia termuda 42 tahun dan tertua 59 tahun. Penelitian ini mengelompokkan usia menjadi dua kelompok, yaitu kelompok usia 40-49 tahun dan 50-59 tahun. Pengelompokan usia ini dilakukan untuk mengurangi bias akibat status hormonal yang dipengaruhi oleh faktor usia. Derouet dkk. (2002) dalam penelitiannya menyatakan terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar testosteron bebas pada pria usia 40 tahun ke atas dan 40 tahun ke bawah. Kejadian DE meningkat setelah usia 50 tahun (Hood dan Kirby, 2004). Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 23 orang (31,1%) masuk pada kelompok usia 40-49 tahun dan 51 orang (68,9%) masuk pada kelompok usia 50-59 tahun. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya usia, kemungkinan untuk terjadinya stroke semakin besar. Hasil tersebut sesuai
50 !
!
51
dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa insiden stroke meningkat seiring bertambahnya usia (Goldstein dkk., 2011; Soertidewi dan Misbach, 2011; Romero dan Wolf, 2013). Feigin dkk. (2003) menyatakan bahwa kejadian stroke meningkat secara progresif dalam setiap dekade kehidupan. Risiko DE juga meningkat seiring bertambahnya usia, dilaporkan risikonya meningkat sampai 6 kali pada kelompok usia 60-69 tahun dibanding kelompok usia 40-49 tahun (Moreira dkk., 2003) Berdasarkan jenis stroke, didapatkan 54 orang (73%) yang menderita stroke iskemik dan 20 orang (27%) yang menderita stroke hemoragik. Pernyataan ini sesuai dengan temuan Feigin dkk. (2003) yang mengumpulkan data dari 15 penelitian stroke berbasis populasi antara rentang tahun 1989-2000. Feigin dkk. (2003) mendapatkan proporsi stroke iskemik 67,3-80,5%, sedangkan stroke hemoragik sekitar 6,5-19,6%. Pada penelitian ini proporsi stroke hemoragik lebih tinggi dari laporan Feigin dkk. (2003). Dilaporkan oleh Shiber dkk. (2010), data stroke registry tahun 2006-2007, dari 757 pasien stroke didapatkan 58,1% mengalami stroke iskemik dan 41,9% stroke hemoragik. Dikatakan lebih lanjut, meningkatnya proporsi stroke hemoragik ini disebabkan oleh semakin meluasnya penggunaan alat penunjang diagnostik seperti CT-sken. Thompson dan Walker (2011) mengutip penelitian Monga dkk. (1986), memberikan kuesioner pada 192 pasien stroke dan 94 pasangan. Pada penelitian itu didapatkan perubahan fungsi seksual setelah stroke tidak berhubungan dengan jenis kelamin, status perkawinan, dan jenis stroke.
!
!
52
Dilihat dari lokasi lesi, pada penelitian ini didapatkan 35 orang (47,3%) yang terdapat lesi di hemisfer kiri dan 39 orang (52,7%) yang terdapat lesi di hemisfer kanan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Toglia dkk. (2011). Dilaporkan dari 67 pasien stroke didapatkan 40,3% dengan lesi hemisfer kiri dan 59,7% dengan lesi di hemisfer kanan. Temuan ini sedikit berbeda dari yang dilaporkan oleh Supit (2004) dimana dari 40 pasien stroke didapatkan 57,5% dengan lesi hemisfer kiri dan 42,5% dengan lesi di hemisfer kanan. Begitu juga dengan yang dilaporkan oleh Sikiru dkk. (2009) dimana dari 105 pasien stroke didapatkan 55 orang (52,4%) mengalami lesi di hemisfer kiri dan 50 orang (47,6%) mengalami lesi di hemisfer kanan. Dilaporkan bahwa perbedaan distribusi lesi hemisfer tidaklah bermakna (Naess dkk., 2006). Di samping itu, ketepatan menentukan lokasi lesi juga ditentukan oleh ketersediaan alat penunjang diagnostik seperti CT-sken dan atau MRI. Pada penelitian ini didapatkan 45 orang (60,8%) pasien mengalami hipertensi. Pernyataan ini juga sesuai dengan penelitian prospektif dari 28 rumah sakit di Indonesia, dimana didapatkan pasien stroke yang mengalami hipertensi sebesar 73,9% (Misbach dan Ali, 2000). Hal ini juga didukung dari penelitian Mukherjee dan Patil (2011) yang melaporkan 54% pasien stroke mengalami hipertensi. Berbagai penelitian menunjukkan hipertensi merupakan faktor risiko yang konsisten dan independen yang dapat menyebabkan stroke (Goldsteiner dkk., 2011). Hal ini juga konsisten bila dilihat dari usia rata-rata pada pasien penelitian ini. Sebuah penelitian kohort terhadap 7.457 pria dilakukan untuk mengetahui faktor risiko pada usia pertengahan dan diikuti selama 28 tahun. Hasilnya,
!
!
53
hipertensi menjadi faktor risiko yang penting dari usia pertengahan sampai usia tua (Harmsen dkk., 2006). Sebuah penelitian kohort di Brazil melaporkan hipertensi meningkatan risiko terjadinya DE, termasuk setelah dilakukan uji multivariat analisis (Moreira dkk., 2003). Prevalensi DE secara bermakna lebih tinggi pada pria dengan hipertensi daripada populasi umum (Giuliano dkk., 2004). Pada pria dengan hipertensi, fungsi ereksi yang terganggu bukan karena peningkatan tekanan darah itu sendiri, namun karena lesi stenosis arteri. Kegagalan pembuluh darah untuk menutup selama ereksi (disfungsi veno oklusi) dapat menyebabkan DE (Lue, 2000). Beberapa penelitian menunjukkan sistem saraf simpatis dan interaksinya dengan hormon vasoaktif dan substansi intraselular berkontribusi pada patogenesis hipertensi. Mekanisme neurogenik dapat meningkatkan resistensi perifer dan tekanan arteri, ditambah dengan interaksi sistem saraf simpatis dan hormon seperti angiotensin dan NO, akan bekerja secara sinergi meningkatkan tekanan darah (Carlson dan Wyss, 2011). Peranan NO dalam mekanisme yang mendasari fisiologi dan patofisiologi ereksi telah banyak diteliti. NO dilepaskan pada ujung saraf parasimpatis berperan dalam mempertahankan tekanan intrakavernosus, vasodilatasi penis, dan ereksi penis (Toda dkk., 2005). Pasien pascastroke yang menderita DM pada penelitian ini sebanyak 19 orang (25,7%). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Misbach dan Ali (2000), dimana didapatkan 17,3% pasien stroke dengan faktor risiko DM. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan Icks dkk. (2011), yang mendapatkan 25,6% pasien stroke pria usia 45-64 tahun mengalami DM. Data penelitian tersebut
!
!
54
diambil dari data asuransi di Jerman antara tahun 2005-2007. Prevalensi DM pada pasien stroke dilaporkan oleh Béjot dan Giroud (2010) berkisar 10-20% dan semakin meningkat dalam 20 tahun terakhir. DM meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis dan prevalensi faktor risiko proaterogenik, yang ditandai oleh hipertensi dan kadar lipid dalam darah. Baik penelitian kasus kontrol dan epidemiologi prospektif pada pasien stroke mengkonfirmasi bahwa DM secara independen meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif antara 1,8 sampai 6 kali (Goldstein dkk., 2011). DM telah dikenal dengan baik sebagai faktor risiko DE. Pria dengan DM tipe 1 maupun 2 memiliki prevalensi DE yang lebih tinggi dibanding populasi umum, dan prevalensi ini akan meningkat seiring usia, durasi, dan keparahan penyakit. Phé dan Rouprêt (2012) menyatakan peningkatan kadar HbA1c dan hiperglikemia yang berhubungan pada pria dengan DM tipe 2 dipostulatkan dapat menurunkan aktivitas NO dan menurunkan faktor relaksasi endotelium, mengakibatkan peningkatan faktor risiko DE. Kadar HbA1c di atas 8,1% meningkatkan insiden DE tiga kali lipat. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara merokok dengan stroke iskemik (Goldstein dkk., 2011). Pada penelitian ini didapatkan 40 orang (54,1%) dengan riwayat merokok. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Misbach dan Ali (2000), dimana didapatkan 20,4% pasien stroke adalah perokok. Kim dkk. (2012) dalam penelitiannya yang mencari hubungan antara merokok dengan aterosklerosis pada pasien stroke iskemik melaporkan proporsi merokok pada penderita stroke sebesar 30%. Hasil yang lebih tinggi dilaporkan oleh Tse dkk. (2012), dimana dari penelitian prospektif multisenter di
!
!
55
China selama 10 tahun didapatkan proporsi merokok pada penderita stroke sebesar 62,3%. Hal ini sesuai, mengingat Indonesia adalah target pasar rokok terbesar ketiga di luar China (Barber dkk., 2008). Merokok juga erat dihubungan dengan kejadian DE. Austoni dkk. (2005) melaporkan ada hubungan antara DE dan merokok, dimana yang bermakna adalah merokok 10 batang atau lebih per hari dan riwayat merokok. Sedangkan untuk yang tidak merokok dan merokok kurang dari 10 batang per hari didapatkan hasil yang tidak signifikan. Merokok dapat menginduksi vasokontriksi dan kebocoran vena penis karena efek kontraktil pada otot polos kavernosus. Dalam sebuah analisis berbasis bukti oleh McVary dkk. (2001) menyatakan bahwa bukti yang menghubungkan merokok dengan DE tidak sepenuhnya lengkap karena adanya hubungan dengan faktor-faktor lain. Namun terdapat bukti adanya hubungan yang konsisten antara merokok dan penyakit endotel. Hubungan obesitas, hiperkolesterolemia, dan stroke telah banyak diteliti dalam hubungannya untuk pencegahan primer (Katsiki dkk., 2011; Goldstein dkk., 2011). Pada penelitian ini didapatkan 27 orang (36,5%) mengalami obesitas dan 22 orang (29,7%) mengalami hiperkolesterolemia. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Andersen dan Olsen (2013), dimana didapatkan 30,6% pasien stroke mengalami obesitas. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian Bener dkk. (2008), yang melaporkan proporsi obesitas pada 605 orang pria pasien stroke mencapai 35,9%. Tunjung (2011) melaporkan terdapat 42% pasien stroke iskemik akut yang mengalami hiperkolesterolemia. Bener dkk. (2008) mendapatkan prevalensi obesitas pada pasien stroke dengan DE sebesar 42,1%
!
!
56
dibanding yang tidak DE sebesar 28,4% (p=0,0005). Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 605 orang. Roumeguère dkk. (2003) mendapatkan prevalensi hiperkolesterolemia 70,6% pada pasien DE dibanding 52% pada pasien yang tidak DE (p=0,06). Setelah dilakukan regresi logistik didapatkan kolesterol high-density lipoprotein (HDL) dan rasio kolesterol total/HDL sebagai prediktor yang bermakna pada DE (p=0,011). Depresi pascastroke sering dijumpai. Pada penelitian ini didapatkan 39 orang (52,7%) yang mengalami depresi. Pernyataan ini sesuai dengan Bhogal dkk. (2004) yang melaporkan prevalensi depresi pascastroke sebesar 20-50%. Penelitian lain menunjukkan prevalensi depresi pada pasien stroke dapat bervariasi antara 11-61% (Carota dan Paolucci, 2007). Gaete dan Bogousslavsky (2008) juga melaporkan prevalensi depresi dalam empat minggu pertama setelah serangan stroke sebesar 17-52%. Widyaputra (2009) melaporkan prevalensi depresi pascastroke di Bali sebesar 26,2%. Variasi ini dapat terjadi karena terdapat perbedaan metode penelitian antara berbagai studi klinis, seperti waktu dan konteks penelitian, kriteria inklusi dan ekslusi, serta struktur wawancara yang dipakai (Widyaputra, 2009). Hubungan antara DE dan depresi telah banyak diteliti dan menunjukkan hasil yang bermakna (Lue, 2000; Kimura dkk., 2001; ChoiKwon dan Kim, 2002; Jung dkk., 2008; Bener dkk., 2008; Paraskevas dkk., 2008; Thompson dan Walker, 2011). Depresi pascastroke merupakan gangguan emosi yang paling disering dijumpai pada pasien pascastroke (Pistoia dkk., 2006; Gaete dan Bogousslavsky, 2008).
!
!
57
Pada penelitian ini didapatkan 38 orang (51,4%) yang menderita DE. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Bener dkk. (2008) dimana dari 605 orang pasien stroke didapatkan 48,3% yang menderita DE. Kimura dkk. (2001) melaporkan dari 75 orang pasien stroke pria didapatkan 58,7% yang mengalami gangguan fungsi seksual. Penelitian lain di RS Cipto Mangunkusumo dilaporkan oleh Mulyadi (2005) mendapatkan 76,1% pasien pascastroke mengalami DE. Supit (2004) mendapatkan nilai proporsi DE yang lebih tinggi pada pasien pascastroke, yaitu sebesar 82,5%. Lebih lanjut dalam penelitian ini didapatkan proporsi derajat DE yang paling banyak adalah DE sedang (14,9%), kemudian ringan (13,5%), berat (12,2%), dan ringan-sedang (10,8%). Bener dkk. (2008) mendapatkan derajat DE yang paling banyak adalah derajat berat (17,4%), kemudian sedang (15,9%) dan ringan (15,0%). Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam pengelompokan derajat DE berdasarkan skoring IIEF-5, dimana Bener dkk. (2008) mengelompokkan skoring 5-11 menjadi derajat berat, 12-16 menjadi derajat sedang, dan 17-21 menjadi derajat ringan. Sedangkan dalam penelitian ini pengelompokan dilakukan berdasarkan penelitian Rosen dkk. (2002) (lampiran 4). Ketika dilakukan penyesuaian pengelompokan seperti penelitian Bener dkk. (2008), pada penelitian ini juga mendapatkan proporsi yang paling besar adalah DE derajat berat (27,0%), kemudian diikuti derajat ringan (13,5%), dan derajat sedang (10,8%).
!
!
58
6.2 Korelasi Antara Lesi Hemisfer Kiri dengan DE pada Pasien Pascastroke Pada penelitian ini ditemukan adanya korelasi yang lemah antara lesi hemisfer kiri dengan DE pada pasien pascastroke dengan angka kemaknaan yang signifikan (Tabel 5.2). Korelasi tersebut bernilai positif yang berarti pasien pascastroke yang mengalami lesi hemisfer kiri kemungkinan untuk mengalami DE semakin tinggi. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Kimura dkk. (2001), Mulyadi (2005), dan Sikiru dkk. (2009). Kimura dkk. (2001) melaporkan dari 67 pria yang menjadi sampel dalam penelitiannya, didapatkan proporsi gangguan fungsi seksual yang lebih tinggi terjadi pada pasien pascastroke dengan lesi hemisfer kiri dibanding kanan (40,3% vs. 19,4%; p=0,013). Mulyadi (2005) melaporkan dari 76,1% pasien pascastroke yang menderita DE, lesi hemisfer kiri lebih banyak dibanding kanan. Sikiru dkk. (2009) mencoba melihat pengaruh hemiplegi terhadap DE pada pasien stroke. Terdapat 105 pasien stroke dengan hemiplegi kiri dan 55 pasien stroke dengan hemiplegi kanan, kemudian dinilai dengan kuesioner IIEF-5. Fungsi ereksi didapatkan menurun secara bermakna baik pada pasien dengan hemiplegi kiri maupun kanan. Lebih lanjut kemudian dilihat hubungan sisi kelemahan terhadap DE. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pasien stroke dengan hemiplegi kanan mempengaruhi terjadinya DE (p<0,01). Seperti kita ketahui, hemiplegi merupakan tanda klinis berupa kelumpuhan separuh tubuh. Kerja volunter dari otot, berkaitan dengan serat otot panjang yang berasal dari neuron kortikal dan berjalan ke bawah ke sel kornu anterior medula spinal. Serat-serat ini membentuk traktus kortikospinalis atau piramidalis. Sebagian besar serat traktus piramidalis ini menyeberang ke sisi
!
!
59
yang berlawanan dalam medula oblongata yang lebih rendah (Baehr dan Frotscher, 2005; Noback dkk., 2005). Teori ini bila dihubungkan dengan penelitian Sikiru dkk. (2009), secara tidak langsung mendukung peranan hemisfer kiri dalam hubungannya dengan DE. Jung dkk. (2009) mencoba meneliti lokasi lesi di otak yang mengatur fungsi seksual pada pasien stroke. Dengan rancangan penelitian kasus kontrol dengan masing-masing 109 orang sampel, didapatkan lokasi spesifik seperti di basal ganglia kiri dan serebellum kanan mungkin berhubungan dengan hasrat seksual dan gangguan ejakulasi. Mekanisme hubungan lesi hemisfer kiri terhadap DE belum diketahui dengan pasti. Namun beberapa penelitian yang mencoba menghubungkan antara hemisfer dengan sistem saraf otonom secara tidak langsung dapat mendukung pernyataan ini. Sudah disebutkan dalam kajian pustaka, dalam hubungannya dengan sistem saraf, pengaturan fungsi ereksi lebih banyak dipengaruhi oleh susunan saraf parasimpatis dibanding simpatis (Suffren dkk., 2011). Avnon dkk. (2004) menyatakan bahwa fungsi otak dalam hubungannya dengan sistem saraf otonom bersifat asimetris, dimana hemisfer kiri dominan mengatur modulasi parasimpatis, sedangkan otak hemisfer kanan dominan untuk simpatis. Pernyataan ini juga sesuai dengan penelitian lain (Wittling dkk., 1998; Tokgözoglu dkk., 1999). Penelitian topografi otak pada pria sehat menunjukkan terdapat asimetri pada hemisfer otak yang mengatur eksitasi seksual (Braun dkk., 2003). Kelompok penelitian pada pasien epilepsi dengan fokus epilepsi yang unilateral juga menunjukkan hasil yang sama. Lebih lanjut Braun dkk. (2003) mengungkapkan pasien dengan lesi hemisfer kiri (utamanya pada lobus temporal) cenderung
!
!
60
mengalami hiposeksual, sedangkan pasien dengan lesi hemisfer kanan cenderung mengalami hiperseksual (p<0.05). Libido diatur oleh hemisfer otak dengan cara yang berbeda. Hemisfer kanan yang normal menghambat libido, sedangkan hemisfer kiri yang normal meningkatkan libido. Diduga perbedaan ini merupakan bagian dari psikis tone yang serupa dengan kontrol hemisfer, termasuk suasana hati, dasar psikomotor, kemampuan berbahasa, dan bahkan imunitas. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh peneliti lain, dimana DE lebih sering ditemukan pada pasien pascastroke dengan lesi hemisfer kanan (Coslett dan Heilman, 1986; Agarwal dan Jain, 1989). Perbedaan ini dapat terjadi karena kedua penelitian ini mengeksklusi depresi dari sampel penelitian. Sedangkan depresi pada pasien stroke jumlahnya hampir sepertiga dan Bhogal dkk. (2004) melaporkan sekitar 70% pasien stroke dengan depresi terdapat lesi pada hemisfer kiri. Jadi, ketika kedua penelitian tersebut mengeksklusi depresi maka secara tidak langsung proporsi pasien stroke dengan lesi hemisfer kiri akan berkurang dan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Pada penelitian ini, proporsi pasien DE yang menderita depresi sebesar 35,1% dibanding 16,2%. Bila dihubungkan antara pasien depresi dan lokasi lesi, penelitian ini mendapatkan proporsi pasien pascastroke yang mengalami lesi pada hemisfer kiri dan DE sebesar 33,8% dibanding 18,9% yang mengalami lesi pada hemisfer kanan. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan pasien-pasien pascastroke dengan lesi pada hemisfer kiri untuk mengalami depresi. Bhogal dkk. (2004) melaporkan adanya hubungan antara lesi hemisfer kiri dengan terjadinya depresi pada pasien pascastroke. Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih banyak diperlukan untuk melihat
!
!
61
hubungan ini lebih lanjut. Salah satu kriteria inklusi pada penelitian ini adalah menggunakan sampel pasien pascastroke yang kinan, namun tidak dibedakan lebih lanjut apakah kinan mutlak ataupun tidak mutlak. Kinan mutlak diketahui dari anamnesis dimana pasien selalu mempergunakan tangan dan kaki kanannya serta tidak terdapat orang kidal di dalam keluarganya. Hemisfer yang dominan pada orang dengan kidal mutlak adalah hemisfer kiri. Kinan tidak mutlak diketahui dari adanya orang-orang kidal dalam keluarga pasien. Golongan kinan tidak mutlak memiliki ambivalensi serebral. Begitu juga pada golongan kidal tidak mutlak, pasien dapat mempergunakan tangan dan kaki kirinya mampun tangan dan kaki kanannya, meskipun lebih baik dengan tangan dan kaki kirinya. Penelitian lain juga ada yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara lokasi lesi dengan terjadinya DE pada pasien pascastroke (Supit, 2004). Penelitian tersebut menggunakan 40 orang sampel dimana DE didapatkan pada 33 orang (82,5%). Dari sampel tersebut didapatkan 20 orang (60,6%) yang menderita DE dengan lesi hemisfer kiri dan 13 orang (39,4%) yang menderita DE dengan lesi hemisfer kanan. Meski proporsi DE dengan lesi hemisfer kiri lebih besar dari proporsi DE dengan lesi hemisfer kanan, namun statistik menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p=0,1941). Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh jumlah sampel ataupun alat ukur diagnosis. Didapatkan hasil yang berbeda ini juga dapat disebabkan karena pengaturan fungsi ereksi begitu kompleks, melibatkan berbagai struktur di otak yang memiliki dominansi pada satu sisi hemisfer maupun tidak. Dalam hubungannya dengan fungsi ereksi, peranan susunan saraf otonom tidak semata-mata ditentukan oleh aktivitas simpatis dan parasimpatis hemisfer otak,
!
!
62
namun melibatkan jalur somatomotor, endokrin, dan sistem otonom itu sendiri. Sistem-sistem ini diwakili oleh area otak yang saling tumpang tindih. Tiga komponen penting dari jalur kontrol otonom di sentral meliputi nukleus solitary yang menerima informasi sensorik viseral, hipotalamus yang merupakan pusat neural paling penting untuk mengontrol fungsi endokrin dan viseral, serta nukleus retikulatis bagian rostral ventrolateral (nRVL) yang merupakan nukleus motorik utama yang mengatur sistem saraf otonom. Hipotalamus merupakan bagian dari sistem limbik yang memiliki hubungan area kortikal dan subkortikal yang kompleks yang dihubungkan melalui jalur dua arah (Noback dkk., 2005). Menilai depresi menjadi nilai lebih pada penelitian ini dibanding dengan penelitian yang pernah dikerjakan oleh Supit (2004) dan Jung dkk. (2008). Meski penelitian ini juga memiliki kelemahan karena tidak memeriksa kadar hormonal pada pasien pascastroke.
!
!
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan hasil dari penelitian di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: lesi hemisfer kiri berkorelasi positif dengan DE pada pasien pascastroke (r=0,361; p=0,032).
7.2 Saran Berdasarkan hasil dari penelitian di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Untuk melihat apakah lesi hemisfer kiri pada pasien pascastroke merupakan faktor risiko terjadinya DE, perlu dilakukan penelitian longitudinal lebih lanjut. 2. Perlu diperhatikan masalah DE pada pasien pascastroke, terutama pada pasien pascastroke dengan lesi hemisfer kiri.
63 !
!
DAFTAR PUSTAKA !
Adam, J.M.F. 2006. Dislipidemia. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K., Setiadi, S., editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal. 1948-1954. Agarwal, A., Jain, D.C. 1989. Male sexual dysfunction after stroke. Journal of The Association Physicians of India, 37(8):505-507. Andersen, K.K., Olsen, T.S. 2013. Body Mass Index and Stroke: Overweight and Obesity Less Often Associated with Stroke Recurrence. Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, 18(7):1-6. Austoni, E., Mirone, V., Parazzini, F., Fasolo, C.B., Turchi, P., Pescatori, E.S., Ricci, E., Gentile, V. 2005. Smoking as a Risk Factor for Erectile Dysfunction: Data from the Andrology Prevention Weeks 2001-2002, A Study of the Italian Society of Andrology (S.I.A.). European Urology, 48:810-818. Avnon, Y., Nitzan, M., Sprecher, E., Rogowski, Z., Yarnitsky, D. 2004. Autonomic asymmetry in migraine: augmented parasympathetic activation in left unilateral migraineurs. Brain, 127:2099-2108. Baehr, M., Frotscher, M. 2005. Duus' Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed. New York: Thieme Stuttgart. hal. 56-492. Baldo, O., Eardley, I. 2005. Diagnosis and Investigation of Men with Erectile Dysfunction. Journal of men's health and gender, 2(1):79-86. Bamford, J., Sandercock, P., Dennis, M., Burn, J., Warlow, C. 1991. Classification and natural history of clinically identifiable subtypes of cerebral infarction. Lancet, 337:1521-1526. Banks, J.L., Marotta, C.A. 2007. Outcomes Validity and Reliability of the Modified Rankin Scale: Implications for Stroke Clinical Trials : A Literature Review and Synthesis. Stroke, 38:1091-1096. Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., Seyonaluri, D. 2008. Tobacco Economics in Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. hal. 35-45. Béjot, Y., Giroud, M. 2010. Stroke in diabetic patients. Diabetes & Metabolism, 36:S84–S87. Bener, A., Al-Hamaq, A.O.A.A., Kamran, S., Al-Ansari, A. 2008. Prevalence of erectile dysfunction in male stroke patients, and associated co-morbidities and risk factors. International Urology and Nephrology, 40:701-708. 64 !
!
65
Bhogal, S.K., Teasell, R., Foley, N., Speechley, M. 2004. Lesion Location and Poststroke Depression Systematic Review of the Methodological Limitations in the Literature. Stroke, 35:794-802. Blümel, J.E., Chedraui, P., Gili, S.A., Navarro, A., Valenzuela, K., Vallejo, S. Is the Androgen Deficiency of Aging Men (ADAM) questionnaire useful for the screening of partial androgenic deficiency of aging men?. 2009. Maturitas. 63:365-368. Boldrini, P., Basaglia, N., Calanca, M.C. 1991. Sexual changes in hemiparetic patients. Arch Phys Med Rehabil, 72:202-207. Braun, C.M.J., Dumont, M., Duval, J., Hamel, I., Godbout, L. 2003. Opposed left and right brain hemisphere contributions to sexual drive: A multiple lesion case analysis. Behavioural Neurology, 14:55-61. Carlson, S.H., Wyss, J.M. 2011. Mechanisms Underlying Essential Hypertension: Neurogenic and Nonneurogenic Contributors. In: Aiyagari, V., Gorelick, P.B., editors. Hypertension and Stroke. New York: Humana Press. hal. 63-76. Carota, A., Paolucci, S. 2007. Depression After Stroke. In: Godefroy, O., Bogousslavsky, J., editors. The Behavioral and Cognitive Neurology of Stroke. Cambridge: Cambridge University Press. hal. 548-570. Carson, A.J., MacHale, S., Allen, K., Lawrie, S.M., Dennis, M., House, A., Sharpe, M. 2000. Depression after stroke and lesion location: A systematic review. Lancet, 356(9224):122-126. Chobanian, A.V., Bakris, G.L., Black, H.R., Cushman, W.C., Green, L.A., Izzo, J.L., Jones, D.W., Materson, B.J., Oparil, S., Wright, J.T., Roccella, E.J. 2003. Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension, 42:1206-1252. Choi-Kwon, S., Kim, J.S. 2002. Poststroke Emotional Incontinence and Decreased Sexual Activity. Cerebrovascular Diseases,13:31-37. Cleeman, J.I. 2001. Executive Summary of the Third Reportof the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation,and Treatment of High Blood Cholesterolin Adults (Adult Treatment Panel III). JAMA, 285:2486-2497. Cochran, W.G. 1977. The Estimation of Sample Size. Sampling Techniques. 3rd. Ed. New York: John Wiley & Sons. hal. 72-88. Cooke, B.M. 2006. Steroid-Dependent Plasticity in The Medial Amygdala. Neuroscience, 138:997-1005.
!
!
66
Coslett, H.B., Heilman, K.M. 1986. Male Sexual Function. Impairment After Right Hemisphere Stroke. Archives of Neurology, 43(10):1036-1039. Cuzin, B., Cour, F., Bousquet, P.J., Bondil, P., Bonierbale, M., Chevret-Measson, M., Collier, F., Colson, M.H., Corman, A., de Crecy, M., Desbarats, M., Desvaux, P., Droupy, S., Faix, A., Lemaire, A., Paganelli, F., Paris, G., Porto, R., Segalas, M., Tournerie, I., Costa, P. 2011. Guidelines for general practitioners for first-line management of erectile dysfunction (updated 2010). Sexologies, 20:23-35. Daniel, K., Wolfe, C.D.A., Busch, M.A., McKevitt, C. 2009. What Are the Social Consequences of Stroke for Working-Aged Adults? A Systematic Review. Stroke, 40:e431-440. Derouet, H., Lehmann, J., Stamm, B., Lühl, C., Römer, D., Georg, T., Isenberg, E., Gebhardt, T., Stoeckle, M. 2002. Age Dependent Secretion of LH and ACTH in Healthy Men and Patients with Erectile Dysfunction. European Urology, 41:144-154. Duits, A., van Oirschot, N., van Oostenbrugge, R.J., van Lankveld, J. 2009. The Relevance of Sexual Responsiveness to Sexual Function in Male Stroke Patients. The Journal of Sexual Medicine, 6(12):3320-3326. Ebrahim, S. 2001. Conference Report, World Stroke Congress. International Journal of Epidemiology, 30:189. Feigin, V.L., Lawes, C.M.M., Bennett, D.A., Anderson, C.S. 2003. Stroke epidemiology: a review of population-based studies of incidence, prevalence, and case-fatality in the late 20th century. Lancet Neurology, 2:43-53. Furie, K.L., Kasner, S.E., Adams, R.J., Albers, G.W., Bush, R.L., Fagan, S.C., Halperin, J.L., Johnston, S.C., Katzan, I., Kernan, W.N., Mitchell, P.H., Ovbiagele, B., Palesch, Y.Y., Sacco, R.L., Schwamm, L.H., WassertheilSmoller, S., Turan, T.N., Wentworth, D. 2011. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke or Transient Ischemic Attack: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke, 42:227-276. Gaete, J.M., Bogousslavsky, J. 2008. Post-Stroke Depression. Expert Review of Neurotherapeutics, 8(1):75-92. Giuliano, F., Leriche, A., Jaudinot, E.O., de-Gendre, A.S. 2004. Prevalence of Erectile Dysfunction Among 7689 Patients with Diabetes or Hypertension, or Both. Urology, 64:1196-1201. Giuliano, F., Rampin, O. 2000. Central neural regulation of penile erection. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 24:517-533.
!
!
67
Giuliano, F., Rampin, O. 2004. Neural control of erection. Physiology & Behavior, 83:189-201. Goldstein, L.B., Bushnell, C.D., Adams, R.J., Appel, L.J., Braun, L.T., Chaturvedi, S., Creager, M.A., Culebras, A., Eckel, R.H., Hart, R.G., Hinchey, J.A., Howard, V.J., Jauch, E.C., Levine, S.R., Meschia, J.F., Moore, W.S., Nixon, J.V., Pearson, T.A. 2011. Guidelines for the Primary Prevention of Stroke: A Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke, 42:517-584. Harmsen, P., Lappas, G., Rosengren, A. Long-term risk factors for stroke: Twenty-eight years of follow-up of 7457 middle-aged men in Goteborg, Sweden. Stroke, 37:1663-1667. Hatzimouratidis, K., Amar, E., Eardley, I., Giuliano, F., Hatzichristou, D., Montorsi, F., Vardi, Y., Wespes, E. 2010. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile Dysfunction and Premature Ejaculation. European Urology, 57:804-814. Hood, S., Kirby, M. 2004. Review: Risk Factor Assessment of Erectile Dysfunction. British Journal of Diabetes & Vascular Disease, 4:157-161. Icks, A., Scheer, M., Genz, J., Giani, G., Glaeske, G., Hoffmann, F. 2011. Stroke in the diabetic and non-diabetic population in Germany: relative and attributable risks, 2005–2007. Journal of Diabetes and Its Complications, 25:90-96. Jackson, G. 2013. Erectile dysfunction and cardiovascular disease. Arab Journal of Urology, 11:1-4. Jannis, J., Misbach, J. 2011. Disfungsi Seksual pada Stroke. In: Soertidewi, L., Jannis, J., editors. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. hal. 217-241. Jung, J.H., Kam, S.C., Choi, S.M., Jae, S.U., Lee, S.H., Hyun, J.S. 2008. Sexual Dysfunction in Male Stroke Patients: Correlation Between Brain Lesions and Sexual Function. Urology, 71(1):99-103. Karmaya, I.N.M., Pangkahila, W.I., Pangkahila, A.J. 2010. Sexual Abstinence and Immobilisation Stress Decreased Nitrate + Nitrite Concentration and Increased Necrotic of Penile Corpus Cavernosum Smooth Muscle and Endothelial Cells of Adult Male Mice. Indonesia Journal of Biomedical Science, 4(1):1-11. Katsiki, N., Ntaios, G., Vemmos, K. 2011. Stroke, obesity and gender: A review of the literature. Maturitas, 69:239-243.
!
!
68
Kim, D., Lee, K., Jang, I., Roh, H., Ahn, M., Lee, J. 2012. Associations of cigarette smoking with intracranial atherosclerosis in the patients with acute ischemic stroke. Clinical Neurology and Neurosurgery, 114:1243-1247. Kimura, M., Murata, Y., Shimoda, K., Robinson, R.G. 2001. Sexual Dysfunction Following Stroke. Comprehensive Psychiatry, 42(3):217-222. Korpelainen, J.T., Kauhanen, M.L., Kemola, H., Malinen, U., Myllyla, V.V. 1998. Sexual Dysfunction in Stroke Patients. Acta Neurologica Scandinavica, 98(6):400-405. Korpelainen, J.T., Nieminen, P., Myllylä, V.V. 1999. Sexual Functioning Among Stroke Patients and Their Spouses. Stroke, 30:715-719. Kulshreshtha, A., Anderson, L.M., Goyal, A., Keenan, N.L. 2012. Stroke in South Asia: A Systematic Review of Epidemiologic Literature from 1980 to 2010. Neuroepidemiology, 38:123-129. Kusuma, Y., Venketasubramanian, N., Kiemas, L.S., Misbach, J. 2009. Burden of stroke in Indonesia. International Journal of Stroke, 4:379-380. Lue, T.F. 2000. Erectile Dysfunction. In: Wood, A.J.J., editors. The New England Journal of Medicine, 342(24):1802-1813. Maas, R., Schwedhelm, E., Albsmeier, J., Böger, R.H. 2002. The pathophysiology of erectile dysfunction related to endothelial dysfunction and mediators of vascular function. Vascular Medicine, 7:213-225. Manolis, A., Doumas, M. 2012. Antihypertensive Treatment and Sexual Dysfunction. Current Hypertension Reports, 14:285-292. Maslim, R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Jaya. McVary, K.T., Carrier, S., Wessells, H. 2001. Smoking and Erectile Dysfunction: Evidence Based Analysis. The Journal of Urology, 166:1624-1632. Misbach, J., Ali, W. 2000. Clinical Study. Stroke in Indonesia: A First Large Prospective Hospital-based Study of Acute Stroke in 28 Hospitals in Indonesia. Journal of Clinical Neuroscience, 8(3):245-249. Misbach, J., Jannis, J. 2011. Diagnosis Stroke. In: Soertidewi, L., Jannis, J., editors. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. hal. 57-84. Moreira, E.D., Lôbo, C.F.L., Diament, A., Nicolusi, A., Glasser, D.B. 2003. Incidence of Erectile Dysfunction in Men 40 to 69 Years Old: Results from a Population-Based Cohort Study in Brazil. Urology, 61:431-436.
!
!
69
Mukherjee, D., Patil, C.G. 2011. Epidemiology and the Global Burden of Stroke. World Neurosurgery, 76 [6S]:S85-S90. Mulyadi, O. 2005. "Gangguan Fungsi Seksual pada Pasien Paska Stroke Iskemik" (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia. Naess, H., Waje-Andreassen, U., Thomassen, L., Myhr, K. High Incidence of Infarction in the Left Cerebral Hemisphere Among Young Adults. Journal of Stroke and Cerebrovascular Diseases, 15(6):241-244. Noback, C.R., Strominger, N.L., Demarest, R.J., Ruggiero, D.A. 2005. The Human Nervous System, Structure and Function. 6th ed. New Jersey: Humana Press. 193-369. Pangkahila, W.I. 2000. Evaluation of transurethral application of alprostadil for erectile dysfunction in Indonesians. Asian Journal of Andrology, 2:233-236. Pangkahila, W.I. 2006. “Stroke” dan Disfungsi Seksual. Kompas. 4 Januari. Available from: URL: http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0601/04/ 111322.htm Paraskevas, K.I., Bessias, N., Pavlidis, P., Maras, D., Papas, T.T., Gekas, C.D., Andrikupoulos, V. 2008. Erectile Dysfunction in Stroke Patients: a Multifactorial Problem with Important Psychosocial Consequences. International Urology and Nephrology, 40:1113-1114. Phé, V., Rouprêt, M. 2012. Erectile dysfunction and diabetes: A review of the current evidence-based medicine and a synthesis of the main available therapies. Diabetes & Metabolism, 38:1-13. Pistoia, F., Govoni, S., Boselli, C. 2006. Sex after stroke: A CNS Only Dysfunction?. Pharmacological Research, 54:11-18. Rachmadi, A. 2008. "Kadar Gula Darah dan Kadar Hormon Testosteron pada Pria Penderita Diabetes Melitus Hubungannya dengan Disfungsi Seksual dan Perbedaannya dengan yang Tidak Mengalami Disfungsi Seksual" (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. Rhoden, E.L., Telöken, G., Sogari, P.R., Souto, C.A.V. 2002. The use of the simplified International Index of Erectile Function (IIEF-5) as a diagnostic tool to study the prevalence of erectile dysfunction. International Journal of Impotence Research, 14:245-250. Romero, J.R., Wolf, P.A. 2013. Epidemiology of Stroke: Legacy of the Framingham Heart Study. Global Heart, 8:(1):67-75. Rosen, R.C., Cappelleri, J.C., Gendrano III, N. 2002. The International Index of Erectile Function (IIEF): a state-of-the-science review. International Journal of Impotence Research, 14:226-244.
!
!
70
Rosen, R.C., Cappelleri, J.C., Smith. M.D., Lipsky, J., Peña, B.M. 1999. Development and Evaluation of an Abridged, 5-item Version of the International Index of Erectile Function (IIEF-5) as a Diagnostic Tool for Erectile Dysfunction. International Journal of Impotence Research, 11:319326. Rosen, R.C., Riley, A., Wagner, G., Osterloh, I.H., Kirkpatrick, J., Mishra, A. 1997. The International Index of Erectile Function (IIEF): A Multidimensional Scale for Assessment of Erectile Dysfunction. Urology, 49:822-830. Roumeguère, Th., Wespes, E., Carpentier, Y., Hoffmann, P., Schulman, C.C. 2003. Erectile Dysfunction is Associated with a High Prevalence of Hyperlipidemia and Coronary Heart Disease Risk. European Urology, 44:355–359. Rudianto, A., Lindarto, D., Decroli, E., Shahab, A., Tarigan, T.J.E., Adhiarta, I.G.N., Pemayun, T.G.D., Pramono, B., Supriyanto, Wibisono, S., Gotera, W., Aman, A.M., Pandelaki, K. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Penegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PB Perkeni. Santoso, T.K. 2010. Disfungsi Ereksi pada Penderita Stroke. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 11(2):144-155. Saraswati, M.R., Sanjaya, D., Suastika, K. 2008. Prediktor Disfungsi Ereksi pada Penderita Diabetes Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RS Sanglah Denpasar. Jurnal Penyakit Dalam, 9(2):129-133. Shiber, J.R., Fontane, E., Adewale, A. 2010. Stroke registry: hemorrhagic vs ischemic strokes. American Journal of Emergency Medicine, 28:331-333. Sihaloho, H.P. 2006. "Prevalensi Disfungsi Ereksi pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik" (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia. Sikiru, L., Shmaila, H., Yusuf, G.S. 2009. Erectile Dysfunction in Older Male Stroke Patients: Correlation between Side of Hemiplegia and Erectile Function. African Journal of Reproductive Health, 13[2]:49-54. Soendoro, T. 2008. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Soertidewi, L. 2011. Pemantauan dengan Skala Stroke. In: Soertidewi, L., Jannis, J., editors. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. hal. 301-316. Soertidewi, L., Misbach, J. 2011. Epidemiologi Stroke. In: Soertidewi, L., Jannis, J., editors. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. hal. 1-12.
!
!
71
Suffren, S., Braun, C.M.J., Guimond, A., Devinsky, O. 2011. Opposed hemispheric specializations for human hypersexuality and orgasm? Epilepsy & Behavior, 21:12-19. Suhono. 2003. "Disfungsi Ereksi Pasca Prostatektomi: Studi Insiden dan Pengaruh Tindakan Prostatektomi di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang" (tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. Supit, W. 2004. "Stroke Menyebabkan Disfungsi Ereksi Tanpa Perbedaan Area Lesi Hemisferik Kiri dan Kanan pada Otak" (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Thompson, S.B., Walker, L. 2011. Sexual Dysfunction after Stroke: Underestimating the Importance of Psychological and Physical Issues. Webmed Central Physical Medicine, 2(12):1-12. Thorve, S.V., Kshirsagar, A.D., Vyawahare, N.S., Joshi, V.S., Ingale, K.G., Mohite, R.J. 2011. Diabetes-induced erectile dysfunction: epidemiology, pathophysiology and management. Journal of Diabetes and Its Complications, 25:129-136. Toda, N., Ayajiki, K., Okamura, T. 2005. Nitric oxide and penile erectile function. Pharmacology & Therapeutics, 106:233-266. Toglia, J., Fitzgerald, K.A., O'Dell, M.W., Mastrogiovanni, A.R., Lin, C.D. 2011. The Mini-Mental State Examination and Montreal Cognitive Assessment in Persons With Mild Subacute Stroke: Relationship to Functional Outcome. Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, 92:792-798. Tokgözoglu, S.L., Batur, M.K., Topçuoglu, M.A., Saribas, O., Kes, S., Oto, A. 1999. Effects of Stroke Localization on Cardiac Autonomic Balance and Sudden Death. Stroke, 30:1307-1311. Traish, A.M., Goldstein, I., Kim, N.N. 2007. Testosterone and Erectile Function: From Basic Research to a New Clinical Paradigm for Managing Men with Androgen Insufficiency and Erectile Dysfunction. European urology. 52:5470. Truelsen, T., Mähönen, M., Tolonen, H., Asplund, K., Bonita, R., Vanuzzo, D. 2003. Trends in Stroke and Coronary Heart Disease in the WHO MONICA Project. Stroke, 34:1346-1352. Tse, L.A., Fang, X.H., Wang, W.Z., Qiu, H., Yu, I.T.S. 2012. Incidence of ischaemic and haemorrhagic stroke and the association with smoking and smoking cessation: A 10-year multicentre prospective study in China. Public Health, 126:960-966. Tunjung, I.W. 2011. "Kadar Asam Urat Serum Tinggi sebagai Faktor Risiko Stroke Iskemik Akut" (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
!
!
72
Warlow, C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey, G., Sandercock, P., Rinkel, G., Langhorne, P., Sudlow, C., Rothwell, P. 2007. Stroke Practical Management. 3rd ed. Oxford: Blackwell Publishing. hal. 35130. Wespes, E., Amar, E., Eardley, I., Giuliano, F., Hatzichristou, D., Hatzimouratidis, K., Montorsi, F., Vardi, Y. 2012. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile dysfunction and premature ejaculation. European Association of Urology, 41:1-48. Wespes, E., Amar, E., Eardley, I., Hatzichristou, D., Hatzimouratidis, K., Montorsi, F., Pryor, J., Vardi, Y. 2006. EAU Guidelines on Erectile Dysfunction: An Update. European Urology, 49:806-815. Wespes, E., Amar, E., Hatzichristou, D., Montorsi, F., Pryyor, J., Vardi, Y. 2002. Guidelines on Erectile Dysfunction. European Urology, 41:1-5. Widyaputra, A.A.N.B. 2009. "Prevalensi dan Faktor-faktor yang Terkait dengan Depresi Pascastroke" (tesis). Denpasar: Universitas Udayana. Wittling, W., Block, A., Genzel, S., Schweiger, E. 1998. Hemisphere Asymmetry in Parasympathetic Control of the Heart. Neuropsychologia, 36(5):461-468.
!
!
73
Lampiran 1
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Penulis mengharapkan partisipasi Bapak/Saudara dalam penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh dr. Deddy Andaka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan disfungsi ereksi dengan pascastroke. Secara keseluruhan 74 pasien pascastroke yang kontrol ke poliklinik saraf RSUP Sanglah Denpasar dan RSUD Wangaya, termasuk Bapak/Saudara yang ikut berperan serta pada penelitian ini. Dengarkan dengan seksama informasi yang penulis berikan sebelum Bapak/Saudara memutuskan akan ikut serta berpartisipasi ataupun tidak. Jika ada hal yang belum dimengerti, mohon bertanya kepada penulis. Bila Bapak/Saudara telah menyetujui sebagai partisipan, penulis mengharapkan kesediaannya untuk dilakukan wawancara dan pemeriksaan klinis sesuai bidang neurologi. Penelitian ini dikerjakan dengan oleh peneliti atau petugas yang telah dilatih oleh peneliti. Tidak ada biaya tambahan yang harus Bapak/Saudara keluarkan untuk penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan akan disimpan dalam data komputer tanpa mencantumkan nama Bapak/Saudara dan hanya diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian ini dapat dipublikasikan di forum ilmiah terbatas tanpa menyertakan identitas Bapak/Saudara. Mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian ini, dapat ditanyakan langsung kepada peneliti : dr. Deddy Andaka, No. Telp: 08174750822.
!
!
74
Lampiran 2 FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
:
Umur
:
Pekerjaan
:
Telah membaca dengan seksama keterangan/informasi yang berkenaan dengan penelitian ini dan setelah mendapat penjelasan saya mengerti serta bersedia ikut serta dalam penelitian ini. Nama
Tanda tangan
Pasien
:...................................................
........................................
Saksi
:...................................................
.........................................
Peneliti
!
:...................................................
.........................................
!
75
Lampiran 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA KORELASI DISFUNGSI EREKSI DENGAN PASCASTROKE
Lengkapi tiap isian pertanyaan dan centang pada kotak hal yang mungkin di temukan. 1
No. Urut / CM
2
Nama
3
Tgl lahir
4
Umur
5
Kelompok umur
6
Alamat
tahun (1) 40-49 tahun (2) 50-59 tahun
No telp. 7
Status perkawinan
8
Anamnesis singkat:
9
Jenis stroke
(1) Stroke hemoragik
(2) Stroke iskemik
10
Lama terdiagnosis stroke
(1) < 6 bulan
(2) > 6 bulan
11
Hipertensi
(1) Ya
(2) Tidak
12
DM
(1) Ya
(2) Tidak
13
Riwayat merokok
(1) Ya
(2) Tidak
14
Riwayat alkohol
(1) Ya
(2) Tidak
15
Hiperkolesterolemia (1) Ya
(2) Tidak
!
(1) Kawin
(2) Tidak kawin
!
76
16
Riwayat penyakit lain
(1) Infeksi medulla spinalis (2) Tumor medulla spinalis (3) Trauma medulla spinalis (4) Sindroma konus kauda (5) Trauma pelvis (6) Alzheimer (7) Neuropati diabetes (8) Disfungsi ereksi (9) Gangguan ginjal kronis (10) Penyakit jantung koroner
17
Pengobatan
a. Antihipertensi
(1) Ya
(2) Tidak
b. Antidepresan
(1) Ya
(2) Tidak
Pemeriksaan Fisik 18
Tekanan darah
mmHg
19
Nadi
x/menit
20
Respirasi
x/menit
21
Suhu
°C
22
VAS
Klinis Neurologis 23
GCS
24
Rasang meningeal
25
Saraf kranial
26
Motorik
27
Refleks
28
Sensorik
29
Vegetatif
30
Diagnosis topis
!
E ...
V ...
M ...
!
77
Pencitraan 31
CT-sken
32
MRI
33
Lokasi lesi
(1) Kiri
(2) Kanan
Pemeriksaan laboratorium darah 34
GDS
35
Total kolesterol
36
Ureum
37
Kreatinin
Hasil pemeriksaan 38
mRS
(1) Grade 0: Tidak ada gangguan neurologi (2) Grade 1: Keterbatasan tak bermakna (3) Grade 2: Keterbatasan ringan (4) Grade 3: Keterbatasan sedang (5) Grade 4: Keterbatasan sedang-berat (6) Grade 5: Keterbatasan berat
39
Skala depresi Hamilton
(1) Depresi (2) Tidak depresi
40
Skor IIEF-5
41
Disfungsi ereksi
(1) Ya
42
Derajat berat ringgan DE
(1) Tidak disfungsi ereksi (2) Disfungsi ereksi ringan (3) Disfungsi ereksi ringan-sedang (4) Disfungsi ereksi sedang (5) Disfungsi ereksi berat
!
(2) Tidak
!
78
Lampiran 4 International Index of Erectile Function-5 (IIEF-5) Selama 3 bulan terakhir: 1. Bagaimana derajat keyakinan anda bahwa anda dapat ereksi serta terus bertahan untuk melakukan sanggama? 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Cukup 4. Tinggi 5. Sangat tinggi 2. Pada saat anda ereksi setelah mengalami perangsangan seksual, seberapa sering penis anda cukup keras untuk dapat masuk ke dalam vagina pasangan anda? 1. Tidak pernah atau hampir tidak pernah 2. Sesekali (kurang dari 50%) 3. Kadang-kadang (sekitar 50%) 4. Sering (lebih dari 50%) 5. Selalu atau hampir selalu. 3. Setelah penis masuk ke dalam vagina pasangan anda, seberapa sering anda mampu mempertahankan penis tetap keras ? 1. Tidak pernah atau hampir tidak pernah 2. Sesekali (kurang dari 50%) 3. Kadang-kadang (sekitar 50%) 4. Sering (lebih dari 50%) 5. Selalu atau hampir selalu. 4. Ketika melakukan sanggama, seberapa sulitkah mempertahankan ereksi sampai ejakulasi? 1. Sangat sulit sekali 2. Sangat sulit 3. Sulit 4. Sedikit sulit 5. Tidak sulit
!
!
79
5. Ketika anda melakukan sanggama seberapa sering anda merasa puas? 1. Tidak pernah atau hampir tidak pernah 2. Sesekali (kurang dari 50%) 3. Kadang-kadang (sekitar 50%) 4. Sering (lebih dari 50%) 5. Selalu atau hampir selalu.
Total Skor:…………………
Penilaian skor: Tidak DE bila skor IIEF-5
: 22-25
DE derajat ringan bila skor IIEF-5
: 17-21
DE derajat ringan-sedang bila skor IIEF-5
: 12-16
DE derajat sedang bila skor IIEF-5
: 8-11
DE derajat berat bila skor IIEF-5
: 5-7
!
!
80
Lampiran 5 Skala Deperesi Hamilton Nama
: ……………………
Tanggal
: ……………………..
Umur
: ……………………
Skor
: ………………..........
Pemeriksa
: ………………..........
Jenis kelamin : ……………………
1. Keadaan perasaan depresi (sedih, putus asa, tak berdaya, tak berguna) 0. Tidak ada 1. Perasaan ini hanya dinyatakan bila ditanya 2. Perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya ekspresi mukanya, bentuk suara, kecenderungan menangis 3. Pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam komunikasi baik verbal maupun non verbal secara spontan 2. Perasaan bersalah 0. Tidak ada 1. Menyalahkan diri sendiri, merasa sebagai penyebab penderitaan seseorang lain 2. Ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-kesalahan masa lalu 3. Sakit ini sebagai hukuman, delusi bersalah 4. Suara-suara kejaran atau tuduhan-tuduhan dengan/dan halusinasi penglihatan tentang hal-hal yang mengancamnya 3. Bunuh diri 0. Tidak ada 1. Merasa hidup tak ada gunanya 2. Mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah hal itu 3. Ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu 4. Percobaan bunuh diri 4. Insomnia (initial) 0. Tidak ada kesukaran mempertahankan tidur 1. Keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur misalnya lebih dari setengah jam baru dapat tertidur 2. Keluhan tiap malam sukar masuk tidur 5. Insomnia (middle) 0. Tidak ada kesukaran untuk mempertahankan tidur 1. Pasien mengeluh, gelisah, terganggu sepanjang malam 2. Terjaga sepanjang malam (bangun dari tempat tidur, kecuali buang air) 6. Insomnia (late) 0. Tidak ada kesukaran, atau keluhan bangun pagi 1. Bangun di waktu fajar, tetapi tidur lagi 2. Bila telah bangun, tak bisa tidur lagidi waktu fajar
!
!
81
7. Kerja dan kegiatan-kegiatannya. 0. Tidak ada kesukaran 1. Pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan ketidak mampuan, keletihan atau kelemahan-kelemahan yang berhubungan dengan kegiatan kerja atau hobi. 2. Hilangnya minat akan kegiatan-kegiatan, hobi atau pekerjaan, baik secara langsung maupun tidak pasien menyatakan kelesuan, keragu-raguan dan rasa bimbang (merasa bahwa ia harus memaksa diri untukbekerja atau dalam kagiatan lainnya). 3. Berkurang waktu untuk aktivitas sehari-hari atau kurang produktivitas sekurangkurangnya tiga jam sehari dalam kegiatan seharihari kecuali tugas dibangsal. 4. Tidak bekerja karena sakinya sekarang. Dirumah sakit, bila pasien tidak bekerja sama sekali kecuali tugas-tugas dibangsal atau jika pasien gagal melaksanakan kegiatan-kegiatan di bangsal tanpa bantuan. 8. Kelambanan (lambat berfikir dan berbicara, gagal berkonsentrasi, aktifitas motorik menurun). 0. Normal dalam bicara dan berfikir 1. Sedikit lamban dalam wawancara 2. Jelas lamban dalam wawancara 3. Sukar diwawancarai 4. Stupor (diam sama sekali) 9. Kegelisahan 0. Tidak ada 1. Kegelisahan ringan 2. Memainkan tangan, rambut dan lain-lain 3. Bergerak terus, tidak bisa duduk dan tenang 4. Meremas-meremas tangan, menggigit kuku, menarik-narik rambut, menggigitgigit bibir 10. Anxietas psikis 0. Tidak ada kesukaran 1. Ketegangan subjekstif dan mudah tersinggung 2. Mengkhawatirkan hal-hal kecil 3. Sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah atau pembicaraannya. 4. Ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya. 11. Anxietas somatik 0. Tidak ada. Ansietas berhubungan fisiologis seperti: 1. Ringan – gastro intestinal: mulut kering, diarhoe 2. Sedang – Cardiovaskuler: palpitasi, sakit kepala 3. Berat – pernafasan: frekuensi buang air kecil, berkeringat dan lain-lain 12. Gejala somatik gastrointestinal 0. Tidak ada 1. Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan tanpa dorongan teman. Merasa perutnya penuh 2. Sukar makan tanpa dorongan teman, membutuhkan pencahar untuk buang air besar atau obat-oabatan untuk saluran pencernaan.
!
!
82
13. Gejala somatik umum. 0. Tidak ada 1. Anggota geraknya, punggung atau kepala terasa berat. Sakit punggung, kepala dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan 2. Gejala-gejala diatas yang jelas 14. Genital (gejala pada genital dan libido) 0. Tidak ada. misalnya: hilangnya libido dan gangguan menstruasi 1. Ringan 2. Berat 15. Hypochondriasis 0. Tidak ada 1. Dihayati sendiri. 2. Pre okupasi mengenai kesehatan sendiri 3. Sering mengeluh, membutuhkan pertolongan dan lain-lain 4. Delusi hypochondris 16. Kehilangan berat badan (pilih antara A atau B) A. Bila hanya riwayatnya. 0. Tidak ada kehilangan berat badan 1. Kemungkinan berat badan berkurang berhubungan dengan sakit sekarang. 2. Jelas (menurut pasien) berkurang berat badannya. 3. Tidak terjelaskan lagi penurunan berat badan. B. Dibawah pengawasan dokter bangsal secara mingguan bila jelas berat badan berkurang menurut ukuran. 0 = Kurang dari 0,5 kg seminggu 1 = Lebih dari 0,5 kg seminggu. 2 = Lebih dari 1 kg seminggu. 3 = Tidak ternyatakan lagi kehilangan berat badan 17. Insight/wawasan. 0. Mengetahui sedang depresi dan sakit 1. Mengetahui sakit tetapi berhubungan dengan penyebab iklim, makanan, bekerja berlebihan, virus, perlu istirahat dan lain-lain. 2. Menyangkal depresi Total Skor:………………… Penilaian skor: Tidak dijumpai depresi skor HDRS 0 – 6 Depresi ringan skor HDRS 7 – 17 Depresi sedang skor HDRS 18 – 24 Depresi berat skor HDRS > 24
!
!
83
Lampiran 6 Skor Skala Rankin yang Dimodifikasi
Grade 0 1
2
3
4
5
!
Deskripsi Tidak ada gangguan neurologik sama sekali Keterbatasan tak bermakna, pasien dapat membawa semua kebutuhannya untuk aktivitas hariannya tanpa bantuan orang lain Catatan: Masih terdapat kemungkian pasien ada gangguan kelumpuhan, rasa atau gangguan berbahasa, tetapi sangat ringan dan tidak mengganggu kegiatan keseharian dan pasien dapat kembali bekerja di tempat kerjanya semula seperti sebelum sakit. Keterbatasan ringan, tidak dapat membawa beberapa benda untuk kebutuhan aktivitas hariannya, tetapi mampu menolong diri sendiri tanpa banyak dibantu. Catatan: Tidak mampu untuk kembali bekerja di tempat kerja semula, tidak mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi masih mampu melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri tanpa bantuan atau pengawasan orang lain. Keterbatasan sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua aktivitasnya tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping. Catatan: Butuh teman waktu melakukan aktivitas harian, butuh bantuan untuk hal yang detail saat berpakaian atau membersihkan diri, tidak mampu untuk membaca atau berkomunikasi dengan jelas. Keterbatasan sedang-berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu melakukan aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya tanpa bantuan orang lain. Catatan: Butuh teman 24 jam dan butuh bantuan orang lain (tingkat sedang sampai maksimal) untuk menunjang aktivitas dasar kehidupan hariannya, tetapi masih mampi melakukan aktivitas untuk dirinya sendiri secara terbatas atau dengan dibantu oleh orang lain tetapi minimal. Keterbatasan berat, tidak ada aktivitas, hanya di tempat tidur, mengompol dan membutuhkan perhatian dan perawatan teratur.
84
Descriptives
Usia Valid N (listwise)
Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation 74 42 59 52.19 4.369 74
Frequency Table Klasifikasi Usia Frequency Percent
Valid
40-49 tahun 50-59 tahun Total
23 51 74
31.1 68.9 100.0
Jenis Stroke Frequency Percent
Valid
Stroke Hemoragik Stroke Iskemik Total
Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
20
27.0
27.0
27.0
54
73.0
73.0
100.0
74
100.0
100.0
Lokasi Lesi Frequency Percent Hemisfer Kiri Hemisfer Kanan Total
Valid Cumulative Percent Percent 31.1 31.1 68.9 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 47.3 47.3
35
47.3
39
52.7
52.7
74
100.0
100.0
100.0
85
Hipertensi Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
45 29 74
60.8 39.2 100.0
Diabetes Mellitus Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
19 55 74
25.7 74.3 100.0
Merokok Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
40 34 74
54.1 45.9 100.0
Obesitas Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
27 47 74
36.5 63.5 100.0
Hiperkolesterolemia Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
22 52 74
29.7 70.3 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 60.8 60.8 39.2 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 25.7 25.7 74.3 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 54.1 54.1 45.9 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 36.5 36.5 63.5 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 29.7 29.7 70.3 100.0 100.0
86
Depresi Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
39 35 74
52.7 47.3 100.0
Disfungsi Ereksi Frequency Percent
Valid
Ya Tidak Total
38 36 74
51.4 48.6 100.0
Derajat DE Frequency Percent
Valid
Normal Ringan Ringan Sedang Sedang Berat Total
Valid Cumulative Percent Percent 52.7 52.7 47.3 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 51.4 51.4 48.6 100.0 100.0
Valid Cumulative Percent Percent 48.6 48.6 13.5 62.2
36 10
48.6 13.5
8
10.8
10.8
73.0
11 9 74
14.9 12.2 100.0
14.9 12.2 100.0
87.8 100.0
87
Lokasi Lesi * Disfungsi Ereksi Crosstab Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 25 10 71.4% 28.6% Hemisfer % within Lokasi Lesi Kiri % within Disfungsi Ereksi 65.8% 27.8% % of Total 33.8% 13.5% Lokasi Lesi Count 13 26 33.3% 66.7% Hemisfer % within Lokasi Lesi Kanan % within Disfungsi Ereksi 34.2% 72.2% % of Total 17.6% 35.1% Count 38 36 % within Lokasi Lesi 51.4% 48.6% Total % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total 35 100.0% 47.3% 47.3% 39 100.0% 52.7% 52.7% 74 100.0% 100.0% 100.0%
Directional Measures Value Asymp. Approx. Approx. Std. Tb Sig. a Error Symmetric .352 .125 2.571 .010 Lokasi Lesi Dependent .343 .143 1.999 .046 Lambda Disfungsi Ereksi Nominal .361 .139 2.145 .032 Dependent by Goodman Lokasi Lesi Dependent .145 .082 .001c Nominal and Disfungsi Ereksi Kruskal .145 .082 .001c Dependent tau a. Not assuming the null hypothesis. b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on chi-square approximation
88
Klasifikasi Usia * Disfungsi Ereksi Crosstab Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 8 15 34.8% 65.2% 40-49 % within Klasifikasi Usia tahun % within Disfungsi Ereksi 21.1% 41.7% % of Total 10.8% 20.3% Klasifika si Usia Count 30 21 58.8% 41.2% 50-59 % within Klasifikasi Usia tahun % within Disfungsi Ereksi 78.9% 58.3% % of Total 40.5% 28.4% Count 38 36 % within Klasifikasi Usia 51.4% 48.6% Total % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total 23 100.0% 31.1% 31.1% 51 100.0% 68.9% 68.9% 74 100.0% 100.0% 100.0%
Jenis Stroke * Disfungsi Ereksi Crosstab
Stroke Hemoragik Jenis Stroke Stroke Iskemik
Total
Count % within Jenis Stroke % within Disfungsi Ereksi % of Total Count % within Jenis Stroke % within Disfungsi Ereksi % of Total Count % within Jenis Stroke % within Disfungsi Ereksi % of Total
Disfungsi Ereksi Total Ya Tidak 12 8 20 60.0% 40.0% 100.0% 31.6%
22.2%
27.0%
16.2% 26 48.1%
10.8% 27.0% 28 54 51.9% 100.0%
68.4%
77.8%
35.1% 38 51.4%
37.8% 73.0% 36 74 48.6% 100.0%
73.0%
100.0% 100.0% 100.0% 51.4%
48.6% 100.0%
89
Hipertensi * Disfungsi Ereksi Crosstab Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 29 16 % within Hipertensi 64.4% 35.6% Ya % within Disfungsi Ereksi 76.3% 44.4% % of Total 39.2% 21.6% Hipertensi Count 9 20 % within Hipertensi 31.0% 69.0% Tidak % within Disfungsi Ereksi 23.7% 55.6% % of Total 12.2% 27.0% Count 38 36 % within Hipertensi 51.4% 48.6% Total % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total 45 100.0% 60.8% 60.8% 29 100.0% 39.2% 39.2% 74 100.0% 100.0% 100.0%
Diabetes Mellitus * Disfungsi Ereksi Crosstab Disfungsi Ereksi Ya Tidak 8 11
Ya Diabetes Mellitus Tidak
Total
Total
Count 19 % within Diabetes 42.1% 57.9% 100.0% Mellitus % within Disfungsi Ereksi 21.1% 30.6% 25.7% % of Total 10.8% 14.9% 25.7% Count 30 25 55 % within Diabetes 54.5% 45.5% 100.0% Mellitus % within Disfungsi Ereksi 78.9% 69.4% 74.3% % of Total 40.5% 33.8% 74.3% Count 38 36 74 % within Diabetes 51.4% 48.6% 100.0% Mellitus % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6% 100.0%
90
Merokok * Disfungsi Ereksi Crosstab
Ya Merokok Tidak
Total
Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 27 13 % within Merokok 67.5% 32.5% % within Disfungsi Ereksi 71.1% 36.1% % of Total 36.5% 17.6% Count 11 23 % within Merokok 32.4% 67.6% % within Disfungsi Ereksi 28.9% 63.9% % of Total 14.9% 31.1% Count 38 36 % within Merokok 51.4% 48.6% % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total 40 100.0% 54.1% 54.1% 34 100.0% 45.9% 45.9% 74 100.0% 100.0% 100.0%
Obesitas * Disfungsi Ereksi Crosstab
Ya Obesitas Tidak
Total
Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 18 9 % within Obesitas 66.7% 33.3% % within Disfungsi Ereksi 47.4% 25.0% % of Total 24.3% 12.2% Count 20 27 % within Obesitas 42.6% 57.4% % within Disfungsi Ereksi 52.6% 75.0% % of Total 27.0% 36.5% Count 38 36 % within Obesitas 51.4% 48.6% % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total 27 100.0% 36.5% 36.5% 47 100.0% 63.5% 63.5% 74 100.0% 100.0% 100.0%
91
Hiperkolesterolemia * Disfungsi Ereksi Crosstab Disfungsi Ereksi Ya Tidak 14 8
Total
Disfungsi Ereksi Ya Tidak Count 26 13 % within Depresi 66.7% 33.3% % within Disfungsi Ereksi 68.4% 36.1% % of Total 35.1% 17.6% Count 12 23 % within Depresi 34.3% 65.7% % within Disfungsi Ereksi 31.6% 63.9% % of Total 16.2% 31.1% Count 38 36 % within Depresi 51.4% 48.6% % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6%
Total
Count 22 % within 63.6% 36.4% 100.0% Hiperkolesterolemia Ya % within Disfungsi Ereksi 36.8% 22.2% 29.7% Hiper % of Total 18.9% 10.8% 29.7% kolesterol Count 24 28 52 emia % within 46.2% 53.8% 100.0% Tidak Hiperkolesterolemia % within Disfungsi Ereksi 63.2% 77.8% 70.3% % of Total 32.4% 37.8% 70.3% Count 38 36 74 % within 51.4% 48.6% 100.0% Hiperkolesterolemia Total % within Disfungsi Ereksi 100.0% 100.0% 100.0% % of Total 51.4% 48.6% 100.0%
Depresi * Disfungsi Ereksi Crosstab
Ya Depresi Tidak
Total
39 100.0% 52.7% 52.7% 35 100.0% 47.3% 47.3% 74 100.0% 100.0% 100.0%
92
Depresi * Lokasi Lesi Crosstab
Ya Depresi Tidak
Total
Count % within Depresi % within Lokasi Lesi % of Total Count % within Depresi % within Lokasi Lesi % of Total Count % within Depresi % within Lokasi Lesi % of Total
Lokasi Lesi Hemisfer Hemisfer Kiri Kanan 25 14 64.1% 35.9% 71.4% 35.9% 33.8% 18.9% 10 25 28.6% 71.4% 28.6% 64.1% 13.5% 33.8% 35 39 47.3% 52.7% 100.0% 100.0% 47.3% 52.7%
Total
39 100.0% 52.7% 52.7% 35 100.0% 47.3% 47.3% 74 100.0% 100.0% 100.0%