PENURUNAN KEMAMPUAN RELAKSASI OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM KELINCI AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO2 SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia” ini adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 3 Agustus 2009
Nur Rasyid NRP. B161020051
ABSTRACT NUR RASYID. Decreased Relaxation of Rabbit Corpus Cavernosus Smooth Muscle due to Chronic Hypoxemia by SO2 as Human Erectile Dysfunction Model. Under direction of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) was the chronic diseases that decrease quality of life progressively and also decrease sexual activity especially 75% of patients become erectile dysfunction. The purpose of this study is to evaluate the effect of chronic hypoxemia to total testosterone and free testosterore level; changing of smooth muscle and fibrous tissue in corpus cavernous; and deterioration of contractility and relaxation using organ bath This experimental study consisted 3 study and used 24 local rabbit (Lepus spp.). First study was the exposure SO2 gas chronically to become COPD by evaluate clinical symptoms, changing PaO2 level and pulmonary histopathology. Second study was to evaluate the changes in total testosterone and free testosterone level by radioimmunoassay technique and testicular histopathology. Third study is to evaluate contractility and relaxation of corpus cavernosus smooth muscle and improving of relaxation by (acetylcholine, sildenafil citrate and zaprinast) and corpus cavernosus histopathology with Mason-Trichrom staining technique. The result of first study showed exposure of SO2 can caused severe hypoxemia with decreased PaO2 level < 60 mmHg, but there were no significant differences in histopathology. In second study, chronic hypoxemia caused congestive, edema, peritubular fibrosis and degeneration of testicular tubule cells. There was decreasing total testosterone and free testosterone level but no significant difference. In third study, chronic hypoxemia showed decreasing contractility and relaxation corpus cavernosus smooth muscle due to decreasing number of smooth muscle and increasing fibrous tissue In this study concluded that exposure of SO2 can caused COPD. Chronic hypoxemia can caused decreasing number of smooth mucle and increasing fibrous tissue in corpus cavernosus which lead to decreasing relaxation ability that cause erectile dysfunction. Key word : hypoxemia, SO2, total testosterone, free testosterone, corpus cavernosus, sildenafil sitrat, zaprinast, erectile dysfunction
RINGKASAN NUR RASYID. Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosus Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, DEWI APRI ASTUTI, WASMEN MANALU dan AKMAL TAHER. Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah suatu penyakit kronis yang cenderung menurunkan kualitas hidup penderitanya secara progresif. Semakin meningkatnya polusi udara dan kebiasaan merokok meningkatkan jumlah penderitanya. PPOK menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian perokok setelah penyakit pembuluh darah jantung. Penderita PPOK mengalami gangguan seksual yang nyata, didapatkan 75% mengalami disfungsi ereksi. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi pada penderita PPOK. Pada penelitian ini dilakukan pada 24 kelinci jantan lokal (Lepus spp.) yang dibagi dua kelompok, yaitu perlakukan dan kontrol. Pemaparan dengan gas SO2 dilakukan didalam biochamber pada suhu 21ºC, selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-5 minggu dengan kadar gas SO2 dinaikkan secara bertahap 50-300 ppm hingga terjadi PPOK yang ditandai penurunan kadar PaO2 disertai adanya gejala klinis berupa rhinorhea (mengeluarkan cairan dari hidung), batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan (dahak) disertai penurunan bobot badan sebesar 300 gr. Pada akhir penelitian kelompok pelakuan mengalami PPOK berat (<60mmHg) dengan kadar rerata PaO2 49,01 ± 5,23mmHg, sedangkan kadar rerata PaO2 kelompok kontrol 83,41 ± 10,89mmHg, terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Pada skoring histopatologi paru antara kedua kelompok tidak berdeda secara statistik, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian pendahuluan yang didapatkan adanya perbedaan yang nyata. Penurunan kadar testosteron dapat menyebabkan disfungsi seksual, pada penderita PPOK berat (PaO2<60mmHg) terdapat korelasi positif antara penurunan kadar PaO2 dengan terjadinya disfungsi seksual. Pada penelitian ini kadar testosterone total diperiksa dengan teknik radioimmunoassay, kelompok perlakuan mengalami penurunan dari awal penelitian 0,817 ± 0,976 ng/dl menjadi 0,313 ± 0,464 ng/dl, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan pada awal penelitian 0,772 ± 0,779 ng/dl, menjadi 1,77 ± 1,899 ng/dl. Perubahan kadar testosteron tersebut tidak berbeda secara bermakna (P = 0,143). Kadar free testosterone yang lebih rendah pada pria usia lanjut berhubungan dengan gangguan fungsi ereksi. Pada penelitian ini kadar free testosterone pada kelompok perlakuan terjadi penurunan, pada awal penelitian 1,158 ± 1,304 menjadi 1,133 ± 1,755 ng/dl. Sedangkan pada kelinci kelompok kontrol terjadi peningkatan, pada awal
penelitian 0,883 ± 1,309 ng/dl menjadi 1,125 ± 1,772 ng/dl. tetapi perbandingan perubahan kadar free testosterone antara kedua kelompok tidak berbeda secara bermakna (P=0,775). Pada skoring histopatologi jaringan testis didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan perlakuan yang mengalami lesio lebih berat pada semua jenis lesio yang terjadi berupa degenerasi, kongesti, edema dan fibrosis peritubuler. Proses ereksi terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Ereksi normal memerlukan relaksasi otot polos korpus kavernosus yang baik. Pada penelitian ini preparasi otot polos korpus kavernosus dilakukan dengan teknik operasi mikroskopis. Dengan menggunakan organ bath otot polos korpus kavernosus diperiksa kemampuan kontraksi dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, didapatkan bahwa pada kelompok kontrol kemampuan kontraksinya lebih baik dan berbeda bermakna pada semua konsentrasi. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kemampuan kontraksinya disebabkan berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum yang terlihat jelas dengan pewarnaan MassonTrichrom. Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10-4 M digunakan beberapa zat, salah satunya asetilkolin yang merupakan neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung, didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin 10-8 M sampai 10-4 M. Inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat pilihan pertama pada disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP untuk meningkatkan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus, pada penelitian ini kelompok perlakuan kemampuan relaksasinya lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10-8 sampai 10-4, karena berkurangnya jumlah otot polos dan meningkatnya jaringan ikat. Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai efektivitas lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada dosis 10-8 M sampai 10-6 M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10-5 M sampai 10-4 M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan hipoksemia karena PPOK, tetapi dosis yang dibutuhkan terlalu tinggi untuk dilanjutkan pada penelitian klinis. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan SO2 menyebabkan PPOK sehingga terjadi hipoksemia kronis yang mengakibatkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat korpus kavernosus yang menyebabkan penurunan kemampuan relaksasinya sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi.
PENURUNAN KEMAMPUAN RELAKSASI OTOT POLOS KORPUS KAVERNOSUM KELINCI AKIBAT HIPOKSEMIA KRONIS OLEH SO2 SEBAGAI MODEL DISFUNGSI EREKSI PADA MANUSIA
NUR RASYID
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
i
Judul Disertasi
: Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia.
Nama
: Nur Rasyid
NRP
: B161020051
Program Studi
: Sains Veteriner
Disetujui Komisi Pembimbing
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD. Ketua
Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Anggota
Prof. Ir. Wasmen Manalu Ph.D Anggota
Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sains Veteriner
(drh.Bambang P. Priosoeryanto,MS, PhD.)
Tanggal Ujian: 3 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertania Bogor
(Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS)
Tanggal Lulus: Agustus 2009
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Illahi atas segala karuniaNya yang telah memberikan kelapangan berpikir dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi dengan judul “Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 Sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia”. Penelitian ini dilaksanakan mulai tahun 2005 sampai dengan 2008 di Laboraturium Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI); Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB); Departemen Patologi Anatomi FKUI dan Makmal Terpadu FKUI. Dengan selesainya disertasi ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Ketua Komisi Pembimbing drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto,MS, PhD. yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penelitian ini hingga selesai. Beliau pada saat ini juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis kepada Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS dan Prof. Ir. Wasmen Manalu, PhD. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, pencerahan, dan penyempurnaan disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU-K yang telah memberikan ide serta membuka wawasan penulis dalam pembuatan disertasi ini sekaligus sebagai anggota Komisi Pembimbing. Terimakasih saya sampaikan kepada para penguji luar ujian tertutup drh. M. Agus Setiadi PhD, dan Prof. dr. Djoko Rahardjo SpB. SpU-K, serta penguji luar ujian terbuka Prof. Dr. drh. Tuty L. Yusuf MS. Dan Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro SpP atas masukan sehingga melengkapi disertasi ini Terima kasih yang tulus kepada semua rekan di PS SVT – IPB dan para staf serta karyawan Departemen Urologi FKUI-RSCM, yang telah membantu baik secara langsung maupun atas kerja sama dan pengertiannya selama penulis menjalankan pendidikannya. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis tak akan berhasil tanpa doa dan dorongan orang tua kami Bapak Ir. Suyadi Cakrawijaya dan pengorbanan serta kesabaran dari istri tercinta dr. Agustina Suhanura, MARS, serta ananda tercinta Kindi Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangkalan, Madura pada tanggal 21 November 1964 sebagai anak ke 4 dari 4 bersaudara, pasangan almarhum H. Moh Amin dan almarhum Hj. St. Hamidah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, mulai tahun 1983 hingga 1987. Pendidikan dokter diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1994-1999 mengikuti Program Pendidikan Spesialis I Urologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan memperoleh gelar Spesialis I Urologi. Penulis bekerja sebagai Staf Medis di Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo – Subbagian Urologi Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mulai tahun 1999 sampai saat ini. Diangkat menjadi Kepala Departemen Urologi yang selama ini bertugas, sejak Februari 2009. Penulis menikah dengan dr. Agustina Suhanura, MARS pada tahun 1990 dan dikarunia 2 orang anak Kindy Aulia Rasyid dan Anisa Sher Shah Rasyid.
Publikasi yang telah di terbitkan : 1. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Testosterone and free testosterone level in COPD rabbit. Aging Male 10(2) 109. 2. N Rasyid, A Taher, BP Priosoeryanto, W Manalu, DA Astuti. 2007. Relaxation effect of PDE inhibitor on COPD penile smooth muscle in vitro. Aging Male 10 (2).
iv
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ………………………….………………..……………
vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………..……..……………
viii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………..…………….……
xii
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………
xiii
I.
II.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………………………………………………….
1
1.2 Tujuan ………………………………………………………….
5
1.3 Manfaat ………………………………………………………..
5
1.4 Hipotesis ………………………………………………………..
5
1.5 Kerangka Pemikiran ………………………………………….…
6
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci sebagai Hewan Model …………………………………
7
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) ………………………
8
2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2) ……………………………………..
9
2.4 Testosteron ……………………………………………………..
10
2.5 Mekanisme Ereksi ……………………………………………..
13
2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi …………………………….…
13
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis ……………...
15
2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel …………………..
17
2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK …………………………………… III.
23
BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu ……………………………………………...
26
3.2 Hewan Percobaan ………………………………………………
26
3.3 Bahan dan Alat …………………………………………………
26
3.4 Metode Penelitian ………………………………………………
26
3.4.1 Tahapan Persiapan ……………………………………..
29
3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO2 dan Monitor Hipoksemia
29
3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron ……………………….
30
3.4.4 Pemeriksaan Kadar Free Testosterone …………………..
30
v
IV.
V.
3.4.5 Preparasi Otot Korpus Kavernosum …………………..
31
3.4.6 Pengukuran Kontraksi dan Relaksasi dengan Organ Bath
32
3.4.7 Evaluasi Histopatologi ………………………………….
33
3.5 Analisis Statistik …………………………………………….…..
36
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hipoksemia Kronis ………………………………………….….
37
4.2 Kadar Testosteron dan Free Testosterone ……………………..
43
4.3 Perubahan Histopatologi pada Testis …………………………...
47
4.4 Kemampuan Kontraksi Otot Polos Korpus Kavernosum ………
53
4.5 Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum ………
55
4.6 Perubahan Histopatologi pada Otot Polos Korpus Kavernosum
66
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ……………………………………………………..
70
5.2 Saran ……………………………………………………………
70
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….
71
VII. LAMPIRAN …………………………………………………………
80
VI.
vi
DAFTAR TABEL Tabel.
Halaman
1.
Skor perubahan histologi organ paru-paru. …………………………….
35
2.
Skor perubahan histologi jaringan testis kelinci. …………………........
35
3.
Skor perubahan histologi jaringan korvus kavernosum. ……………….
35
4.
Perubahan bobot badan kelompok kelinci setelah dipapar dengan gas SO2 dengan dosis maksimal yang berbeda, selama 5 minggu. ……
5.
38
Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO2 dalam berbagai dosis. …………………………………………………..
52
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar.
Halaman
1.
Alur pemikiran penelitian. ……………………………………………….. 4
2.
Persarafan ereksi pada medula spinalis: terdiri atas sistem persarafan parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. ……………………………. 14
3.
Sistem mekanisme oklusi vena korpus kavernosum, dalam keadaan flasid aliran darah melalui arteri ke dalam korpus kavernosum sama dengan aliran yang keluar melalui vena. ………………………………… 16
4.
Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum, messenger kedua intra seluler cGMP dan cAMP. ………………………. 19
5.
Alur kegiatan penelitian. ………………………………………………… 28
6.
Pemaparan kelinci dengan gas SO2 di dalam biochamber. ……………... 30
7.
Preparasi otot korpus kavernosum dengan operasi mikroskopis(A), korpus kavernosum setelah dilakukan insisi tunika albugenia (B), otot polos korpus kavernosum yang sudah dipreparasi (C). …………… 31
8.
Organ bath untuk mengukur kekuatan kontraktilitas & relaksasi otot (A), Tabung 2 unit organ bath (B), Strip otot dalam tabung (C). ……… 33
9.
Paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami penebalan dinding alveol (panah) akibat akumulasi sel radang dan terjadinya kongesti dan perdarahan. (Pewarnaan HE, 200X). ....................................................... 39
10.
Dinding alveol paru-paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami perdarahan dan akumulasi sel-sel radang (panah), karena kerusakan alveolus beberapa alveolus menyatu sehingga terjadi emfisema (Pewarnaan HE, 400X). ............................................................................ 39
11.
Skor histopatologi paru-paru pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. …... 40
12.
Perubahan kadar PaO2 masing-masing kelinci perlakuan sejak awal penelitian, selama pemaparan dengan gas SO2 setiap akhir minggu sampai minggu ke-5 akhir penelitian. ……………………………………. 41
13.
Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi paru-paru pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak didapatkan perbedaan bermakna. .. 42
viii
14.
Rerata kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dari kelompok kontrol dan perlakuan. …………………………………………………………… 43
15.
Perubahan kadar testosteron (A) dan free testosterone (B) pada kelompok kelinci kontrol dan perlakuan. ……………………………….. 46
16.
Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……………………………… 48
17.
Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. ……………………………… 49
18.
Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat edema (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ……………………………………. 50
19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tampak inti-inti piknotik (panah merah) dan vakuolisasi (panah biru) dengan pewarnaan HE dengan perbesaran 200X. ............... 50 20.
Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi lumen buluh darah (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ........................
21.
50
Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan ikat peritubuler (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). ...................................... 51
22.
Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ………………………… 54
23.
Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan phenilephrine dengan dosis 10-8 sampai 10-4 pada pelompok perlakuan. ……………………… 54
24.
Persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum in vitro pada masing-masing dosis pemberian phenilephrine. ………………….. 55
ix
25.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok kontrol. ………………………… 56
26.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan dosis 10-8 sampai 10-4 pada kelompok perlakuan. ……………………… 57
27.
Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro dengan penambahan asetilkolin pada masing masing dosis. …………… 57
28.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. …………………………. 58
29.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok perlakuan. …………………………………………………… 59
30.
Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro dengan penambahan sildenafil sitrat pada masing-masing dosis. ………. 59
31.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok kontrol. ………………………… 60
32.
Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan dosis 10-8 sampai 10-4, pada kelompok perlakuan. ……………………… 61
33.
Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro dengan penambahan zaprinast dosis yang berbeda. ……………………. 61
34.
Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum in vitro dengan penambahan asetilkolin sildenafil dan zaprinast pada masing masing dosis pada hewan kontrol. ……………………………………… 62
35.
Persentasi perubahan relaksasi dengan penambahan asetilkolin, sildenafil sitrat, dan zaprinast pada masing-masing dosis pada hewan perlakuan. ……………………………………………………….. 63
36.
Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi korpus kavernosum pada kelompok kontrol dan perlakuan terdapat perbedaan bermakna. ………. 67
x
37.
Dengan pewarnaan Mason-Trichrom didapatkan : gambar kiri sediaan dari korpus kavernosum pada kelinci perlakuan (PPOK) sedangkan gambar kanan sediaan korpus kavernosum kelinci kontrol. ……………………. 67
xi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran. 1.
Halaman
Rerata dan simpang baku kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dan nilai P. …. 80
2.
Rerata ± simpang baku persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan phenilephrine dan nilai P. ………………………………………………………………. 80
3.
Rerata ± simpang baku % perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan asetilkolin dan nilai P. ……………………………………………………………..... 80
4.
Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum kontrol dengan penambahan sildenafil sitrat dan nilai P. ……………… 81
5.
Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpora kavernosum kontrol dengan penambahan zaprinast dan nilai P. …………………… 81
6.
Persetujuan etik dari Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, Departemen Kesehatan RI ……………………………………………… 82
xii
DAFTAR SINGKATAN
μM
: mikro molar
125
: 125 iodine
I
Ach
: Achetylcholine
ATP
: Adenosine triphosphate
BS
: Bulbospongiosus
CaCl2,
: Calcium Chloride
cAMP
: Cyclic adenosine monophosphate
cGMP
: Cyclic guanosine monophosphate
CN
: Cavernous Nerve
CO2
: Carbon dioxide
DALY
: Disability-adjusted life year
DE
: Disfungsi Ereksi
DGC
: Dorsal Gray Commissure
dkk
: Dan kawan kawan
DL
: Dorsolateral
DM
: Dorsomedial
eNOS
: Endothelial nitric oxide synthetase
et al
: and others/ et alii
FKUI
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
FSH
: Folicle Stimulating Hormone
HE
: Hematoksisilin eosin
HN
: Hypogastric Nerve
IC
: Ischiocavernosus
IIEF
: International Index for Erectile Dysfunction
IML
: Intermediolateral Column
iNOS
: Inducible nitric oxide synthetase
IPB
: Institut Pertanian Bogor xiii
KCl
: Kalium Clorida
KH2PO4
: Kalium dihidrogen phosphate
LH
: Luteinizing Hormone
M
: Molar
mg
: Miligram
MgSO4.7H2O : Magnesium Sulfat ml
: Mililiter
mm Hg
: Millimeter of mercury
MPOA
: Medial Preoptic Area
Na2EDTA
: Natrium ethylenediaminetetraacetic acid
NaCl
: Natrium Cloride
NADPH
: Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase
NaHCO3
: Natrium hidrogen carbon
ng
: Nanogram
ng/dL
: Nanograms per deciliter
NIH
: National Institute of Health
nM
: Nanomolar
nNOS
: Neuronal Nitric Oxide Synthetase
NO
: Nitric Oxide
NO2
: Nitrogen Dioksida
NOS
: Nitric oxide synthetase
Pa O2
: Partial arterial pressure of oxygen
PDE
: Phosphodiesterase
PdN
: Pudendal Nerve
PE
: Phenilepherine
PG
: Pelvic Ganglion
pg
: Pikogram
PMN
: Polimorfonukleus
PN
: Pelvic Nerve
ppm
: Part per million
PPOK
: Penyakit paru obstruksi kronis
PSC
: Paravertebral Sympathetic Chain
xiv
PVN
: Paraventricular Nucleus/ Nukleus paraventrikularis
REM
: Rapid Eye Movement
RSCM
: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
S
: Sacral
SHBG
: Sex Hormone Binding Globoulin
Sil
: Sildenafil sitrat
SO2
: Sulfur dioksida
SPN
: Sacral Parasympathetic Nuclei
SPSS
: Statistical Package for the Social Sciences
TL
: Thoracolumbar Level
UI
: Universitas Indonesia
USEPA
: United States Environmental Protection Agency
WHO
: World Health Organization
Zap
: Zaprinast
xv
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu penyakit kronis yang cenderung mengganggu kualitas hidup pasien secara progresif. Berdasarkan proyeksi yang dibuat oleh WHO pada Update Projections of Global Mortality and Burden Disease November 2006, pada tahun 2002, PPOK yang merupakan penyebab kematian ke-5 sebesar 3 juta (4,2%) akan menjadi 3,9 juta pada tahun 2015 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menempati urutan ke-4 dengan jumlah pasien sebesar 5,7 juta (7,8%) (Mathers dan Loncar 2006). Kebiasaan merokok merupakan faktor tunggal terpenting penyebab PPOK. Secara umum terdapat hubungan antara jumlah dan lamanya mengkonsumsi rokok dengan penurunan fungsi paru, 80% penderita PPOK mempunyai riwayat merokok (MacNee 1999). Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali lipat terjadi bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Perokok yang meninggal karena PPOK menempati urutan ke-2 setelah penyakit pembuluh darah jantung, sebesar 1,76 juta pasien (27%). Tinggal pada daerah yang berpolusi tinggi dan terpapar dengan gas polutan secara kronis seperti gas SO2 dan NO2 juga menjadi penyebab terjadinya bronkitis kronis (Kobzik 1999). Pada dekade terakhir, insiden terjadinya PPOK meningkat secara dramatis sebagai penyebab gangguan aktivitas dan mengharuskan penderitanya banyak berbaring di tempat tidur. Penurunan kualitas hidup akibat PPOK yang mengganggu aktivitas keseharian berdasarkan laporan WHO menggunakan disability-adjusted life year (DALY) meningkat dari 30 juta pasien pada tahun 2002 (urutan ke-11) akan menjadi 36,7 juta pada 2015 dan menjadi 48,4 juta pada 2030 (urutan ke-7). Penderita PPOK mengalami pula penurunan aktivitas seksual
2
yang bermakna dibandingkan dengan populasi normal pada kelompok umur yang sama (Kobzik 1999; Schonhofer et al. 2001). Dengan menggunakan kuesioner International Index for Erectile Dysfunction (IIEF) didapatkan 40 dari 53 pasien PPOK (75,5%) mengalami disfungsi ereksi (Koseoglu et al. 2005). Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Leleulya et al (2006) dengan menggunakan kuesioner yang sama mendapatkan 39 dari 40 pasien PPOK (97,5%) mengalami disfungsi ereksi, sedangkan dengan menggunakan Rigiscan untuk menilai terjadinya peningkatan rigiditas dan frekuensi timbulnya rigiditas pada penis sewaktu pasien tidur, didapatkan 30 dari 40 (75%) pasien dipastikan mengalami disfungsi ereksi tipe organik. Sampai saat ini, diketahui bahwa penyebab disfungsi seksual pada pasien PPOK adalah timbulnya sesak nafas sewaktu aktivitas, adanya penyakit penyerta dan konsumsi obat, serta
kadar testosteron yang lebih rendah dari
populasi normal (Ibanez et al. 2001; Kamischke et al. 1998). Hubungan seksual normal diawali dengan adanya libido dilanjutkan dengan terjadinya ereksi dan diakhiri dengan terjadinya ejakulasi bersamaan dengan orgasme. Testosteron diketahui mempunyai peranan yang penting pada libido.
Pada beberapa penelitian terdahulu diduga bahwa penurunan kadar
testosteron pada pasien PPOK disebabkan karena efek hipoksemia yang menekan aksis hipotalamus-hipofisis-testis (Semple et al. 1981; 1984). Pada tikus yang dikastrasi kadar testosteron menjadi sangat rendah akan terjadi penurunan jumlah n-NOS
(neuronal
Nitric
Oxide
Synthetase)
dan
penurunan
tekanan
intrakavernosum penis. Apabila dilakukan suplementasi testosteron, kadar n-NOS dan tekanan intrakavernosum akan meningkat kembali sehingga disimpulkan testosteron berperan dalam proses fisiologi ereksi (Baba et al. 2000). Pada tikus yang dilakukan kastrasi sehingga terjadi penurunan kadar testosteron mengalami penurunan jumlah otot polos, peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum sehingga akan menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan intrakorpus kavernosum yang menjadi penyebab gangguan ereksi. Disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadinya dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk hubungan seksual yang memuaskan (NIH Consensus, 1993). Sampai tahun 1970-an, 90% disfungsi ereksi diduga disebabkan oleh faktor psikologis semata (Masters dan Johnson, 1970),
3
namun, sejak tahun 1980-an sampai 1990-an, dengan semakin jelasnya proses fisiologi ereksi dan patofisiologi disfungsi ereksi, diketahui bahwa pada sekitar 70% kasus ditemukan adanya gangguan faktor organik. Pada dasarnya, ereksi akan terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah (vaskulogenik), persarafan (neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone dan Seftel 2004). Pada tingkat sel, ereksi diawali oleh pelepasan asetilkolin dari saraf parasimpatis dan nitrit oksida (NO) dari saraf nonadrenergis nonkolinergis yang akan mengaktifkan jalur cyclic 3,5, guanosine monophosphate (cGMP) sehingga terjadi relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Nitrit oksida inilah yang lebih berperanan penting pada proses fisiologi ereksi (Trussell et al. 2004). Oksigenasi pada penis juga memiliki peran penting untuk regulasi mekanisme lokal ereksi. Kondisi hipoksia kronis dapat mengganggu pembentukan NO dan mengganggu aktivitas saraf simpatis lokal, yang dapat menimbulkan disfungsi ereksi (Verratti et al. 2007). Bronkitis kronis merupakan salah satu penyebab PPOK. Pada kelinci, kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik sehingga menyerupai kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 dan dibuktikan adanya penurunan kadar PaO2 yang disertai perubahan gambaran histopatologi paru (Iwase et al. 1997). Kelinci adalah hewan yang cukup ideal digunakan sebagai model untuk menilai kontraktilitas dan relaksasi otot polos korpus kavernosum cukup ideal (Taher dan Birowo 2004). Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian efek hipoksia kronis terhadap kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum. Dalam penelitian ini akan dicari efek hipoksemia kronis (PPOK) yang disebabkan SO2 terhadap gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi dengan mengunakan kelinci sebagai modelnya, sebagaimana digambarkan dalam alur pemikiran penelitian (Gambar 1).
4
PPOK
Gejala klinis (+)
Hipoksemia PaO2 Patologi Paru (+) LH
Susunan Saraf Pusat Supresi: Hipotalamus Hipofisis
PA : atrofi sel Leydig Testosteron Free Testosterone
Disfungsi seksual
Jumlah otot polos KK penis Jumlah jaringan ikat KK penis
Relaksasi otot polos Korpora kavernosum
Libido
Disfungsi Ereksi
Zat meningkatkan kemampuan Relaksasi otot polos Korpora kavernosum
Terapi Disfungsi Ereksi Sildenafil sitrat Zaprinast
Gambar 1. Alur pemikiran penelitian
5
1.2 Tujuan a. Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui efek hipoksia kronis karena PPOK terhadap kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum yang merupakan penyebab terjadinya disfungsi ereksi, menggunakan pemaparan SO2 kronis pada kelinci. b. Tujuan khusus penelitian ini adalah menilai faktor-faktor yang kemungkinan menjadi penyebab gangguan seksual dan disfungsi ereksi pada penderita PPOK, antara lain: 1. Mengetahui dan mengkaji perubahan kadar hormon testosteron total dan free testosterone pada kelinci yang telah mengalami hipoksemia kronis karena PPOK. 2. Mengetahui dan mengkaji gangguan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus kavernosum pada kelinci PPOK. 3. Menilai adanya penurunan jumlah otot polos serta peningkatan jaringan ikat pada korpus kavernosum kelinci PPOK. 4. Mengetahui dan mengkaji beberapa zat yang dapat memperbaiki relaksasi otot polos korpus kavernosum pada kelinci PPOK. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan kelainan yang terjadi pada hipoksemia kronis dan
menerangkan patofisiologi terjadinya disfungsi ereksi
pada pasien PPOK sehingga dapat menentukan pengobatan yang tepat pada pasien PPOK yang mengalami disfungsi ereksi.
1.4 Hipotesis Hipoksemia kronis karena PPOK akan menyebabkan : 1. Penurunan kadar testosteron total dan free testosterone. 2. Penurunan jumlah otot polos. 3. Peningkatan jaringan ikat pada korpus kavernosum. 4. Penurunan kemampuan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus kavernosum yang menjadi penyebab terjadinya disfungsi ereksi.
6
1.5 Kerangka Pemikiran Kelinci jantan yang telah dipaparkan dengan SO2 secara kronis untuk mendapatkan kondisi hipoksemia kronis sebagai hewan model mempunyai kemiripan dengan pasien PPOK. Penyakit PPOK menyebabkan penderitanya mengalami penurunan kualitas hidup mulai dari kondisi ringan sampai berat yang mengharuskan berbaring di tempat tidur. Prevalensi disfungsi ereksi yang terjadi pada pasien PPOK sangat tinggi. Hal ini dianggap karena penurunan kualitas hidup secara umum. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien PPOK mengalami penurunan kadar testosteron total dan free testosterone yang menjadi penyebab gangguan seksual berupa penurunan libido. Hal ini terjadi karena hipoksemia kronis akan menurunkan kemampuan hipofisis dalam memproduksi LH sehingga akan menurunkan instruksi produksi testosteron oleh testis. Hipoksemia yang bersifat sistemik akan menyebabkan testis kekurangan oksigen sehingga akan menurunkan produksi testosteron. Pada tikus yang dikastrasi akan mengalami penurunan kadar testosteron sehingga mengalami penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum sehingga akan menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan intrakorpus kavernosum yang menjadi penyebab gangguan ereksi. Hipoksia jaringan penis karena menurunnya suplai oksigen yang disebabkan penurunan suplai darah dengan pengikatan arteri iliaka mengakibatkan hal yang sama, yaitu penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum. Hipoksemia kronis, baik secara langsung ataupun tidak langsung, melalui jalur hormonal akan menyebabkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum yang menjadi penyebab organik disfungsi ereksi.
7
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci Sebagai Hewan Model Pada mulanya kelinci merupakan hewan liar yang kemudian, sejak
2000 tahun silam, mulai dijinakkan dengan tujuan keindahan, bahan pangan, serta hewan percobaan (Anonim2005). Kelinci merupakan salah satu hewan yang daya adaptasi tubuhnya yang relatif tinggi sehingga mampu hidup hampir di seluruh dunia. Akibat adanya penyebaran kelinci maka sebutan hewan tersebut berbeda-beda seperti, di Eropa disebut rabbit, di Indonesia disebut kelinci, di Jawa disebut terwelu dan sebagainya (Bappenas 2002). Kelinci merupakan hewan model yang paling sering digunakan setelah mencit dan tikus. The Institute of Laboratorium Animal Resource and The Animal and Plant Health Inspection Service dalam Deptan (2005) melaporkan bahwa lebih dari 400.000 Lagomorpha telah digunakan tiap tahunnya dalam penelitian biomedis. Menurut Harknes dan Wagner (1983) sistem binomial kelinci diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Filum
: Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Lagomorpha
Famili
: Leporidae
Subfamili
: Leporine
Genus
: Lepus
Spesies
: Lepus spp.
Kelinci
banyak
digunakan
sebagai
hewan
model
dalam
penelitian biomedis karena memiliki banyak keuntungan, yaitu mudah dikendalikan
dan
reproduksinya
cepat.
Penelitian
yang
sering
menggunakan hewan kelinci sebagai hewan coba adalah bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, zoology komparatif, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang ilmu kedokteran, kelinci selain dipakai untuk penelitian juga
8
digunakan untuk kepentingan diagnostik (Malole & Pramono 1989). Selain keuntungan di atas, penggunaan kelinci sebagai hewan model karena adanya standar metodologi untuk mempersiapkan kelinci sebagai hewan percobaan serta saluran pernapasan pada kelinci (trakhea) memiliki karakteristik yang khas seperti adanya epitel-epitel yang mempermudah transport ion, serta glandula submukosa saluran pernapasan mensekresi ion Cl yang mempunyai respons sinergis terhadap asetilkholin, phelylephine, dan ATP yang ditambahkan atau disebut juga ekstraseluler ATP (Iwase et al. 1997). Pada penelitian disfungsi ereksi, kelinci dapat digunakan karena enzim PDE5 pada otot polos korpus kavernosumnya menyerupai enzim PDE5 pada otot polos korpus kavernosum manusia (Wang et al. 2001) . Demikian pula kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik pada kelinci sehingga menyerupai kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO2 (Iwase et al. 1997). Dengan demikian, kelinci ideal untuk digunakan sebagai hewan coba untuk menilai gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum akibat PPOK karena bronkitis kronis, sebagai model disfungsi ereksi pada manusia. Selain beberapa kelebihannya, penggunaan kelinci juga mendatangkan banyak kerugian karena kelinci mudah stress, rentan terhadap penyakit serta respons yang bervariasi terhadap anesthetikum.
2.2
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) PPOK merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak
napas (dyspnea) yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyebab PPOK adalah merokok, polusi lingkungan, dan pemaparan terhadap gas beracun. Insidensnya meningkat secara dramatis pada dekade terakhir dan menjadi penyebab utama pada gangguan aktivitas penderitanya sehingga harus berbaring di tempat tidur. Kelainan PPOK dapat berupa bronkitis khronis, bronkiektasis, asma, dan emfisema, yang masing-masing mempunyai gambaran patologi dan gejala yang berbeda. Penderita PPOK sering mempunyai kelainan lebih dari satu jenis, seperti pada perokok kronis dapat terjadi bronkitis kronis yang disertai emfisema. Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok atau orang
9
yang tinggal pada kota yang berpolusi. Secara klinis, bronkitis kronis digambarkan adanya batuk yang produktif selama 3 bulan dalam 2 tahun berturutturut (Reilly et al. 2005; Speizer 2005; Kobzik 1999). Dua faktor penyebab utama bronkitis kronis adalah inhalasi gas secara kronis atau karena infeksi. Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Gambaran awal yang sangat menonjol pada bronkitis kronis adalah hipersekresi lendir pada saluran napas utama (besar) disertai gambaran hipertrofi dari kelenjar mukosa di trakea dan bronkus. Setelah terjadi bronkitis kronis akan didapat peningkatan sel goblet pada saluran napas yang lebih kecil, seperti cabang-cabang bronkus dan bronkiolus yang berdiameter < 2–3 mm. Selain peningkatan produksi lendir, hipertrofi kelenjar submukosa dan peningkatan jumlah sel goblet menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok atau gas polutan seperti SO2 dan NO2. Gambaran histopatologi pada saluran pernafasan yang lebih kecil adalah : 1.
Metaplasi sel goblet, sumbatan lendir pada lumen.
2.
Pengelompokan makrofag dan hiperpigmentasi pada alveolus.
3.
Infiltrasi zat inflamasi.
4.
Fibrosis dinding bronkiolus pada pasien umur lanjut (Hogg 2004 ; Kobzik 1999).
2.3 Gas Sulfur Dioksida (SO2) Sulfur dioksida (SO2) merupakan bagian partikel yang mencemari udara. Sifat SO2 mudah larut dalam air, tidak berwarna, berbau tajam atau pedas pada konsentrasi sekitar 0,5 sampai 0,8 ppm, dan merupakan iritan yang kuat (Munthe et al. 2003). Sulfur dioksida dapat berasal dari pembakaran batu bara dan minyak mentah yang mengandung sulfur, pembangkit tenaga listrik bertenaga batu bara, pabrik yang menghasilkan bubur kertas, peleburan seng, timah, dan tembaga serta pemanas ruangan. Secara alamiah, sumber SO2 berasal dari dekomposisi zat-zat organik, vulkanik, dan garam laut. Nilai standar SO2 berdasarkan National Primary Air Quality Standards in United States adalah 0,03 ppm rata-rata per tahun dan 0,14 ppm rata-rata per hari. Metode pengukuran gas SO2 menurut
10
United States Environmental Protection Agency (USEPA) adalah dengan teknik pulsed fluoresecent (continuous). Gas SO2 memiliki sifat polutan yang menimbulkan banyak kerugian dan sifat korosifnya mengakibatkan harus berhati-hati dalam menggunakannya. Pada kadar 1-5 ppm dapat menyebabkan iritasi mata, konsentrasi antara 5-10 ppm menyebabkan iritasi mata dan mukosa hidung, sedangkan pemaparan dengan konsentrasi antara 10-50 ppm selama 5-15 menit dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, tenggorok, juga timbul rasa tercekik di leher, nyeri dada, dan bronkokontriksi. Konsentrasi SO2 lebih dari 50 ppm dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru dan vaskularisasi paru yang berat, dengan demikian, terjadi perubahan fungsi dan anatomi paru (Munthe et al. 2003). Iwase et al (1997) melakukan penelitian menggunakan kelinci New Zealand White dewasa. Pemaparan dengan SO2 dilakukan untuk menimbulkan bronkitis kronis. Gas SO2 bersifat sebagai gas iritan kronis yang diberikan dengan dosis tinggi. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai 50–300 ppm. Selama 5–7 minggu, pada minggu ke-4 sudah didapat tanda-tanda klinis bronkitis kronis berupa keluarnya lendir dari hidung, batuk, bersin, dan kadang sianosis. Pada pemeriksaaan laboratorium didapat penurunan kadar Pa O2 dari 91,3+4,9 mmHg menjadi 57,1+42 mmHg. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan penebalan epitel mukosa, hiperplasi sel goblet, infiltrasi sel PMN pada lapisan submukosa, dan mukosa, dan terjadi cedera dan hilangnya sebagian dari silia.
2.4 Testosteron Testosteron merupakan hormon androgen utama pada pria, yang lebih dari 95% -nya dihasilkan oleh testis. Setiap hari, tubuh menghasilkan testosterone 6-7 mg (Coffey 1998). Proses metabolik perubahan dari kolesterol menjadi androgen terjadi pada 500 juta sel Leydig yang hanya merupakan sebagian kecil dari volume testis. Sebagian kecil hormon androgen dihasilkan oleh korteks adrenal. Pembentukan steroid tidak hanya pada sel endokrin tetapi diproduksi pula oleh sel otak (Baulieu 1997). Walaupun produksi sel otak sedikit, tetapi produksi steroid oleh sel otak penting pada proses fisiologi lokal. Produksi testosteron diatur melalui aksis hipotalamus hipofisis. Gangguan pada aksis tersebut dapat
11
menyebabkan hipogonadisme. Luteinizing hormone (LH) dan folikel stimulating hormone (FSH) diperlukan untuk perkembangan dan mempertahankan fungsi testis. LH merupakan hormon paling penting dalam mengatur fungsi sel Leydig. Selain mengatur produksi hormon testosterone, dengan mengontrol aktivitas metabolisme pada sel Leydig, kadar LH juga mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel Leydig (Rommerts 1998). Telah lama diketahui bahwa testosteron memegang peranan utama pada perilaku seksual pria. Pada masa prepubertas, anak laki-laki tidak berminat terhadap hal seksual. Baru setelah puber, pada saat testis aktif memproduksi androgen, dorongan dan motivasi seksual akan muncul. Pada umumnya pertambahan umur berhubungan dengan peningkatan dan penurunan kadar androgen yang mempengaruhi aktivitas seksual. Kadar testosteron dan terutama yang tidak terikat dengan sex hormone binding globulin (SHBG), yang saat ini dikenal dengan free testosteron, akan menurun dengan meningkatnya umur. Pada keadaan ini, tampak adanya penurunan minat dan kemampuan seksual (Davidson et al. 1983) Kadar fisiologi testosteron total adalah antara 3–12 ng/ml. Kadar testosteron di bawah 3 ng/ml akan berpengaruh buruk pada fungsi seksual. Hormon androgen mempunyai peranan penting dalam pengaturan fungsi ereksi dan defisiensi androgen sudah diketahui pengaruhnya tetapi bukan penyebab tunggal terjadinya disfungsi ereksi (Carbone dan Seftel 2004). Mulligan dan Schmitt (1993) menyimpulkan bahwa testosteron meningkatkan minat seksual, frekuensi aktivitas seksual, dan frekuensi ereksi nokturna (frekkuensi ereksi yang terjadi pada saat tidur, diperiksa dengan menggunakan alat rigiscan). Penemuan ini penting karena ada teori yang mengatakan ereksi nokturna merupakan hal yang esensial untuk mempertahankan oksigenisasi dan fungsi korpus kavernosum. Granata et al (1997) melaporkan bahwa kadar testosteron yang diperlukan untuk ereksi nokturna yang normal sekitar 2 ng/ml. Pria dengan kadar testosteron rendah akan mengalami gangguan parameter ereksi nokturna, tetapi hal ini tidak terjadi pada pria dengan kadar testosteron normal, karenanya kadar testosteron yang normal penting untuk mempertahankan fungsi ereksi penis normal. Testosteron kemungkinan mempunyai peranan penting pada terjadinya disfungsi ereksi pada
12
pria umur lanjut. Penurunan secara gradual bioaktif hormon (free testosterone) didefinisikan sebagai andropause. Vermeullen (1991) melaporkan penurunan secara gradual testosteron dan free testosterone akan menyebabkan penurunan jumlah dan fungsi sel Leydig. Pada penelitian cross-sectional Morley et al (1997) didapatkan pada pria normal rata-rata kadar testosteron menurun sekitar 30% antara umur 25 dan 75 tahun, sedangkan kadar free testosterone menurun sekitar 50%. Dalam laporannya, Ferrini dan Conor (1998) menulis bahwa perbedaan penurunan kadar testosteron dan free testosterone disebabkan oleh terjadinya peningkatan kadar testosterone binding globulin dengan bertambahnya umur. Tetapi bukti rendahnya kadar testosteron pada penderita disfungsi ereksi tidak ditemukan. Mekanisme pasti androgen pada proses terjadinya ereksi belum cukup diketahui. Beyer dan Gonzales-Mariscal (1994) melaporkan bahwa kadar testosteron dan dehidrotestosteron bertanggung jawab pada dorongan bagian pelvis pria normal selama hubungan seksual. Mills et al (1994) dan Penson et al (1996) melaporkan bahwa adanya perubahan hemodinamik pada tikus yang dikastrasi berupa penurunan aliran arteri, meningkatnya aliran balik vena, dan menurunnya respons terhadap stimulasi nervus kavernosum. Perubahan ini dapat menjadi penyebab disfungsi ereksi dan diduga kuat aktivitas sintesis NO pada penis hewan tersebut menurun sehingga kuat dugaan adanya hubungan yang lebih jelas antara disfungsi endokrin dan mekanisme ereksi. Traish et al (1999) menemukan adanya penurunan jumlah otot polos trabekular korpus kavernosum pada kelinci yang dilakukan kastrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa menurunnya kadar testosteron dapat menyebabkan gangguan venooklusi. Fujimoto et al (1994) mendapatkan bahwa androgen merangsang proliferasi kultur sel otot polos yang diisolasi dari aorta tikus. Pada sel tersebut ditemukan adanya reseptor androgen dan adanya aktivitas 5 α reduktase. Cunningham dan Hirskowitz (1997) menduga bahwa testosteron dan metabolik dehidrotestosteron mempunyai efek yang bermakna pada endotel dan otot polos pembuluh darah pada pria.
13
2.5 Mekanisme Ereksi 2.5.1 Sistem Persarafan Ereksi Pada dasarnya, mekanisme ereksi terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis, dengan demikian, penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah (vaskulogenik), persarafan (neurogenik), dan hormon (endokrinologik) (Carbone dan Seftel 2004). Rangsangan seksual akan diolah pada susunan saraf pusat di beberapa tempat terutama di jaras supra spinal, yaitu area preoptik medial (MPOA) dan nukleus paraventrikularis (PVN) di hipotalamus dan hipokampus yang merupakan pusat integrasi fungsi seksual dan ereksi. Penelitian pada hewan dengan melakukan elektrostimulasi pada area tersebut akan menimbulkan terjadinya ereksi. Sebaliknya, lesi pada daerah itu seperti stroke, ensefalitis, epilepsi lobus temporal, dan penyakit Parkinson akan menurunkan frekuensi kopulasi dan disfungsi ereksi (Sachs dan Meisel 1988; Marson et al. 1993). Berbagai macam neurotransmiter, seperti dopamin dan norepinefrin ditemukan pada hipotalamus. Diduga, aktivasi reseptor kedua neurotransmiter ini akan menyebabkan terjadinya ereksi, sedangkan aktivasi reseptor serotonin ( 5-hydroxytryptamine) akan menghambat terjadinya ereksi (Foreman dan Wernicke 1990). Penyuntikan apomorfin dengan dosis 5 ng pada PVN tikus jantan akan menyebabkan ereksi tanpa adanya tikus betina (Melis et al. 1987). Efek pemberian apomorfin akan meningkatkan produksi oksida nitrat (NO) sebagai neurotransmiter penting terjadinya ereksi terutama pada PVN (Melis et al. 1996). Sebaliknya, lesi pada PVN sangat menurunkan kemampuan ereksi pada pemberian
apomorfin (Argiolas et al.
1987). Dari penelitian tersebut diduga kuat bahwa aktivasi reseptor dopaminergik di PVN berperanan pada terjadinya ereksi yang diinduksi dengan apomorfin (Allard dan Giuliano 2004). Rangsangan dari susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada tingkat medula spinalis yang mempunyai dua pusat persarafan ereksi, yaitu sistem persarafan parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. Sistem persarafan parasimpatis yang merupakan pusat rangsangan terjadinya ereksi (erektogenik) terletak pada segmen sakrum (S2 - S4). Pada manusia, nukleus parasimpatis terutama terdapat di saraf
14
preganglion parasimpatis pada kolumna intermedio lateral medula spinalis sakrum S3. Akson parasimpatis akan melalui nervus pelvikus menuju pleksus pelvis dan bersinaps dengan persarafan post ganglion yang aksonnya menuju ke nervus kavernosum (Nadelhaft et al. 1983; Allard dan Giuliano 2004). Sistem persarafan simpatis yang terutama menghambat ereksi (erektolitik) pusatnya terletak pada kolumna intermedio lateral dan komisura dorsal abu abu pada segmen torakolumbal (T11 – L2) medula spinalis (Nadelhaft dan McKenna 1987; Allard dan Giuliano 2004). (Gambar 2) Penis
dipersarafi oleh
sistem
persarafan
otonom
(simpatis
dan
parasimpatis) pada daerah pelvis. Kedua saraf itu bersatu membentuk nervus kavernosum yang masuk ke dalam korpus kavernosum, korpus spongiosum, dan glans penis untuk pengaturan aliran darah selama ereksi dan detumesen. Sistem persarafan somatis, yaitu nervus pudendus berperan sebagai sensorik penis, kontraksi dan relaksasi otot lurik bulbokavernosum, dan iskiokavernosum (Lue 2000).
Gambar 2. Persarafan ereksi pada medula spinalis : terdiri dari sistem persarafan parasimpatis dan sistem persarafan simpatis. SPN = Sacral Parasympathetic Nuclei, S = Sacral, PN = Pelvic Nerve, PG = Pelvic Ganglion, CN = Cavernous Nerve, DGC = Dorsal Gray Commissure, IML = Intermediolateral Column, TL = Thoracolumbar Level, HN = Hypogastric Nerve, PSC = Paravertebral Sympathetic Chain, PdN = Pudendal Nerve, DL = Dorsolateral, DM = Dorsomedial, BS = Bulbospongiosus, IC = Ischiocavernosus. (Seftel 2004)
15
Sistem persarafan tersebut bertanggung jawab terhadap terjadinya tiga macam tipe ereksi, yaitu psikogenik, refleksogenik, dan nokturna. Ereksi psikogenik yang terjadi karena rangsangan pendengaran, penciuman, dan fantasi yang diolah pada susunan saraf pusat akan dilanjutkan pada pusat ereksi di medula spinalis (T11-L2 dan S2-S4) sehingga terjadi ereksi. Ereksi refleksogenik yang terjadi karena rangsangan perabaan pada organ genital dan sekitarnya, akan menuju pusat ereksi di medula spinalis yang akan menimbulkan persepsi sensoris yang akan mengaktifkan sistem saraf otonom untuk menyampaikan rangsangan pada nervus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Tipe ereksi ini akan tetap terjadi pada pasien dengan cedera medula spinalis di atas segmen S2. Ereksi nokturna umumnya terjadi selama tidur rapid eye movement (REM). Selama tidur REM, sistem saraf kolinergik yang terletak pada tegmentum pontin lateral akan diaktifkan sehingga terjadi peningkatan ketegangan penis (Lue 2007).
2.5.2 Anatomi dan Fisiologi Ereksi pada Penis Fisiologi dan anatomi ereksi telah disimpulkan dari berbagai penelitan dengan baik oleh Krane (Taher 1993). Penis mempunyai sepasang korpora kavernosa dan sebuah korpus spongiosum. Korpus spongiosum merupakan jaringan yang mengelilingi urethra dan pada bagian distal membentuk bagian kepala (glans) penis. Korpora kavernosa berbentuk sepasang tabung yang mengecil di bagian ujung proksimalnya. Tunika albugenia, pembungkus tabung ini melekat pada jaringan kavernosum yang berongga-rongga (sponge like) sehingga terbentuklah ruang-ruang (lakuna) yang saling berhubungan dan dibatasi oleh sel-sel endotel pembuluh darah. Dinding trabekulum ini terdiri atas seberkas otot polos yang tebal dalam bingkai serat fibroelastik yang mengandung sel-sel fibroblas, jaringan kolagen, dan elastin (Taher 1993). Sumber pendarahan adalah arteri dorsalis penis dan arteri kavernosum kanan dan kiri, yang lebih berperanan pada proses ereksi, dan merupakan cabang akhir dari jalinan arteri hipogastrik kavernosum. Arteri kavernosum bercabang membentuk arteri helisin, cabang dari setiap arteri helisin langsung berakhir di ruangan lakuna tersebut. Aliran pembuluh balik dari korpus kavernosum keluar
16
melalui venula subtunika yang terletak di antara bagian perifer jaringan penegang (erectile) dengan tunika albugenia. Aliran vena dari ujung penis mengalir terutama melalui vena dorsalis profunda, sedangkan aliran bagian pangkal krura biasanya melalui vena kavernosum dan vena kruralis (Lue 2004). Ereksi diawali oleh relaksasi otot polos korpus kavernosa penis (Taher 1993). Dilatasi dinding kavernosa dan arteri helisine menyebabkan darah mengalir memasuki ruangan-ruangan lakuna. Selanjutnya, relaksasi otot polos trabekulum akan memperluas ruangan lakuna sehingga penis menjadi membesar. Tekanan darah sistemik yang disalurkan melewati arteri helisine akan lebih mendorong dinding trabekulum ke arah tunika albugenia. Sebaliknya tekanan pada pleksus venula subtunika menyebabkan terhambatnya pengembalian darah dari ruangan lakuna dan meningkatkan tekanan dalam lakuna sehingga penis menjadi tegang (Taher 1993). Adanya tekanan dalam lakuna selama periode ereksi dihasilkan oleh keseimbangan antara tekanan perfusi arteri kavernosum dengan tahanan terhadap pengeluaran aliran darah oleh kompresi venula subtunika. Pengurangan aliran darah balik subtunika oleh penekanan mekanik ini, dikenal sebagai mekanisme oklusi vena (Gambar 3).
Gambar 3. Sistem Mekanisme oklusi vena korpus kavernosum, dalam keadaan flasid aliran darah/detumesen (kiri) melalui arteri ke dalam korpus kavernosum sama dengan aliran yang keluar melalui vena. Ereksi/tumesen (kanan) terjadi didahului relaksasi otot polos korpus kavernosum, disertai peningkatan aliran darah arteri dan terhambatnya aliran balik karena sistem oklusi vena. (Lue 2004)
17
2.5.3 Mekanisme Ereksi pada Tingkat Sel Pada tingkat seluler, proses terjadinya ereksi pada penis dimulai dengan dikeluarkannya neurotransmiter nonadrenergik-nonkolinergik, yaitu NO (nitric oxide) dari ujung saraf di korpus kavernosum dan sel endotel. NO disintesis dari L-arginin endogen oleh eNOS (enzim nitric oxide synthase) (Trigo-Rocha et al. 1993a,1993b). Terdapat 3 jenis NOS, yaitu neuronal (nNOS), makropage / immun / inducible (iNOS), dan endothelial (eNOS). Adanya nNOS pada serabut saraf pada korpus kavernosum mendukung bahwa NO berfungsi sebagai mediator ereksi (Burnet 1992). NO masuk ke dalam sel otot polos korpus kavernosum untuk meningkatkan kerja enzim guanilat siklase untuk membentuk cGMP (Lue 2007). Pada penelitian terakhir diketahui terdapat beberapa mediator penting pada proses ereksi, tetapi sampai saat ini NO adalah satu mediator yang terpenting (Rosenberg 2007). Mekanisme cGMP memulai terjadinya relaksasi otot tampaknya melalui aktivasi cGMP protein kinase spesifik sehingga terjadi fosforilasi dan inaktivasi miosin kinase rantai pendek yang akan menyebabkan disosiasi aktin dan miosin sehingga terjadi relaksasi otot (Draznin et al. 1986). Diameter sel otot polos berkisar antara 250-440μm. Di dalam membran nukleus yang berbentuk elips, terdapat nukleolus yang berwarna kehitaman dan materi genetika sel. Di samping itu, di dalam sarkoplasma, tersebar serabut aktin dan miosin, yaitu protein yang dapat melakukan kontraksi ataupun relaksasi bergantung pada kadar ion kalsium (Ca2+) lokal. Setiap keadaan yang dapat meningkatkan kadar ion Ca2+ akan menimbulkan kontraksi, sebaliknya penurunan kadar Ca2+ akan diikuti oleh relaksasi protein tersebut (Weiss 1986; Adelstein dan Sellers 1987). Pada otot polos korpus kavernosum, regulasi terjadinya kontraksi dan relaksasi diatur oleh kadar kalsium bebas dari sitosol (sarkoplasmik). Kontraksi otot dipicu oleh peningkatan kadar kalsium bebas sitosol dari 120–270 menjadi 500–700nM. Pada kadar tinggi, kalsium akan berikatan dengan kalmodulin dan akan berinteraksi dengan miosin kinase rantai pendek sehingga terjadi fosforilasi miosin rantai pendek dan terjadilah penyilangan miosin sepanjang filamen aktin
18
dan menghasilkan tegangan, fosforilasi mengaktifkan pula miosin ATPase, di mana hidrolisis ATP akan menghasilkan energi untuk kontraksi (Lue 2007). Relaksasi otot polos yang akan menyebabkan terjadinya ereksi dimulai dengan penurunan kadar kalsium bebas di sarkoplasma. Kalmodulin dilepaskan dari miosin kinase rantai pendek dan menginaktivasi enzim ini. Miosin akan didefosforilasi oleh miosin fosforilase rantai pendek sehingga melepaskan miosin dari filamen aktin sehingga terjadilah relaksasi (Walsh 1991). Cyclic AMP dan cGMP merupakan mesengger kedua pada proses relaksasi otot polos. Keduanya mengaktivasi cAMP- dan cGMP- protein kinase dependent sehingga terjadi fosforilasi protein dan mengubah ion channel sehingga terjadi : (1) Pembukaan kanal kalium dan hiperpolarisasi. (2) Pengambilan (sekuestrasi) kalsium intraseluler oleh retikulum endoplasma. (3) Penghambatan tegangan kanal kalsium dependen, yang akhirnya mencegah masuknya kalsium. Dengan demikian, terjadi penurunan kadar kalsium bebas sitosol yang mengakibatkan relaksasi (Lue TF 2007) (Gambar 4). Cyclic GMP yang merupakan zat aktif yang dihidrolisis oleh PDE-5 menjadi GMP yang tidak aktif. PDE-5 didapatkan dalam jumlah yang cukup banyak di korpus kavernosum. PDE-2,-3 dan –4 juga ditemukan di korpus kavernosum tetapi mempunyai peran yang kecil pada proses fisiologi ereksi bila dibandingkan PDE-5 (Ballard et al. 1998). Penelitian terdahulu di bidang terapi disfungsi ereksi telah membuktikan bahwa kadar cGMP dalam sel otot polos korpus kavernosum berperan penting dalam proses relaksasi otot polos korpus kavernosum yang pada akhirnya dapat menimbulkan ereksi (Carter et al., 1998). Pemberian inhibitor fosfodiesterase tipe 5 yang spesifik cGMP untuk mencegah metabolisme cGMP menjadi GMP dapat meningkatkan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Carter et al., 1998 ; Ballard et al., 1998).
19
Gambar 4. Mekanisme molekuler relaksasi otot polos korpus kavernosum, messenger kedua intraseluler cGMP dan cAMP. (Lue 2007).
Beberapa zat yang digunakan pada penelitian untuk menilai proses fisiologi dan patofisologi pada proses relaksasi sesuai dengan beberapa teori terjadinya proses relaksasi otot polos korpus kavernosum pada penelitian kami adalah: asetilkolin, sildenafil sitrat, dan zaprinast. Data yang diperoleh dapat
20
menjadi dasar untuk penelitian klinis untuk kemungkinan penggunaan zat tersebut sebagai terapi disfungsi ereksi pada pasien PPOK.
Asetilkolin Struktur asetilkolin adalah ester dari asam asetat dan kolin dengan rumus kimia : CH3COOCH2CH2N+(CH3)3. Stuktur kimia ini dinamakan 2-acetoxyN,N,N-trimethylethanaminium (Katzung 2003). Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang pertama diidentifikasi, dan bekerja pada sistem saraf pusat maupun perifer. Asetilkolin merupakan salah satu neurotransmitter pada sistem saraf otonom dan satu-satunya neurotransmitter pada sistem saraf somatik. Asetilkolin disintesis dari kolin dan asetil koA dengan katalisasi enzim kolin acetyltransferase. Pembentukan asetilkolin tergantung pada konsentrasi kolin, yang ditentukan oleh mekanisme uptake kolin pada ujung saraf. Efek asetilkolin berbeda-beda bergantung pada tipe reseptor pada organ target. Terdapat dua kelompok jenis reseptor untuk asetilkolin yaitu reseptor nikotinik dan muskarinik. Reseptor nikotinik didapatkan pada ganglion perifer dan otot lurik. Reseptor muskarinik bertanggung jawab pada transmisi saraf parasimpatik postganglion (Andersson 2002). Pada penis, terdapat banyak inervasi kolinergik yang didapatkan pada pemeriksaan histokimia. Pada korpus kavernosum, didapatkan 4 tipe reseptor muskarinik.
Asetilkolin memiliki efek relaksasi pada otot polos korpus
kavernosum melalui mekanisme tidak langsung. Asetilkolin yang dikeluarkan dari saraf efferent akan berikatan dengan reseptor muskarinik (tipe M3). Ikatan dengan reseptor M3 pada endotel menstimulasi pembentukan oksida nitrat di endotelium. Nitric oxide ini selanjutnya memicu pembentukan cGMP melalui aktivasi guanilat siklase pada sel otot polos sekitarnya, menurunkan Ca2+ intraselular dan terjadi vasodilatasi. Asetilkolin mempunyai efek relaksan nonspesifik, menyebabkan relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum tidak sebaik pada penambahan sildenafil sitrat (Morelli et al. 2004). Asetilkolin juga berperan pada daerah presinaptik saraf yang menghambat neuron adrenergik dan pelepasan norepinefrin. Norepinefrin ini memiliki sifat simpatis dan vasokonstriksi (Anderson 2002).
21
Sildenafil Sitrat Phosphodiesterase (PDE) adalah enzim yang menghidrolisis cyclic adenosine 3,5-monophosphate (cAMP) dan cyclic guanosine 3,5-monophospahate (cGMP), yang merupakan second messengers intraselular, menjadi AMP dan GMP. Cyclic AMP dan cGMP sebagai second messengers mengontrol berbagai proses fisiologi. Terdapat sebelas tipe fosfodiesterase yang ditemukan pada tubuh manusia. PDE-5 predominan ditemukan pada korpus kavernosum.PDE-5 merupakan PDE yang spesifik terhadap cGMP. Struktur kimia sildenafil hampir mirip dengan cGMP (McCullough 2002; Katzung 2003). Pada penelitian tahun 1991–1992 ditemukan bahwa Sildenafil sebagai obat antiangina tidak memberikan hasil yang baik, akan tetapi efek samping yang ditemukan adalah efek erektogenik selama pengobatan. Sildenafil sitrat merupakan inhibitor kompetitif potent selektif cGMP-specific PDE-5 dan berikatan dengan bagian aktif dari PDE-5 (Lue
2007).
Penemuan
PDE-5
inhibitor dalam pengobatan disfungsi ereksi merupakan revolusi pengobatan pada kelainan ini. PDE-5 inhibitor yang pertama kali digunakan pada pengobatan disfungsi ereksi adalah sildenafil yang dikenal dengan merk dagang Viagra. Saat ini sudah ada golongan PDE-5 inhibitor lain yang sudah digunakan pada pengobatan disfungsi ereksi, yaitu vardenafil (Levitra) dan tadalafil (Cialis). Saat terjadi stimulasi saraf nonadrenergik dan nonkolinergik pleksus parasimpatis pelvis melalui stimulasi seksual, neurotransmiter NO dilepaskan. NO selanjutnya meningkatkan kadar cGMP. Peningkatan cGMP akan menimbulkan vasodilatasi dan dilatasi sinus korpus kavernosum sehingga terjadi peningkatan aliran darah untuk terjadinya ereksi. PDE-5 akan memecah cGMP, yang selanjutnya menimbulkan kontraksi arteri penis dan otot polos korpus kavernosum dan menyebabkan detumesen. Sildenafil berikatan pada enzim PDE5, mencegah pemecahan cGMP oleh PDE-5 melalui mekanisme inhibibisi kompetitif. Sildenafil hanya efektif dalam peningkatan kadar cGMP dengan mencegah hidrolisisnya, tetapi tidak membantu dalam pembentukan NO. Kelemahan sildenafil adalah efek sildenafil bergantung pada kadar NO endogen yang diproduksi apabila terdapat stimulasi seksual, NO mengaktivasi guanilat
22
siklase dalam pembentukan cGMP. Semakin rendah kadar NO semakin tidak efektif sildenafil (McCullough 2002; Lue 2007). Pengobatan pengobatan
yang
disfungsi aman
dan
ereksi
dengan
merupakan
PDE5 terapi
inhibitor
pilihan
merupakan
pertama
pada
penatalaksanaan DE sesuai panduan AUA (American Urological Asociation), EAU (Eropean Asociation of Urology) dan IAUI (Persatuan Ahli Urologi Indonesia). Pemberian sildenafil sitrat pada individu yang sehat dapat menyebabkan hipotensi ringan dan memperbaiki kekakuan pada arteri (Jackson et al. 1999). Pada penelitian lain penghambat PDE-5 mempunyai manfaat pada fungsi endotel pembuluh darah koroner (jantung) pada penderita jantung iskemik. Penggunaan teratur setiap hari PDE-5 inhibitor memberikan efek manfaat yang lebih baik dengan memperbaiki endotel pembuluh darah (Sommer dan Engelman, 2004). Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala, hangat pada muka, mual, rhinitis, gangguan pandangan sesaat (blue vision), pening dan penurunan tekanan darah ringan (Corbin dan Fracis 2003; Rosenberg 2007).
Zaprinast Struktur kimia zaprinast merupakan golongan xanthine dengan rumus kimia
C13H13N5O2.
Stuktur kimia ini dinamakan
2-(2-Propoxyphenyl)-8-
azahypoxanthine. Pada penelitian awal, zaprinast ditujukan untuk pengobatan penyakit alergi melalui mekanisme stabilisasi sel mast. Zaprinast pertama kali diberikan pada penderita asma yang dicetuskan oleh aktivitas dan memberikan efek bronkodilator. Zaprinast memiliki efek inhibitor selektif untuk cGMP – PDE-5 yang pada awalnya didapatkan relaksasi otot polos pembuluh darah. Zaprinast juga memiliki efek pada PDE tipe 1, 6 dan 9. Mekanisme yang ditimbulkan sama seperti mekanisme sildenafil sitrat. Akan tetapi, beberapa literatur mengatakan efek zaprinast lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat.
Pada penelitian untuk
menilai karakteristik PDE 5 pada otot polos korpus kavernosum manusia, anjing dan kelinci, didapatkan bahwa zaprinast menghambat PDE5 lebih tinggi pada kelinci dibandingkan pada manusia dan anjing (Wang et al. 2001). Zaprinast
23
banyak digunakan untuk mengetahui peran cGMP sebagai second messenger yang timbul dari NO pada otot polos (Wibberley 2002).
2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK Proses hubungan seksual normal memerlukan adanya libido, ereksi, ejakulasi, dan orgasme yang normal. Disfungsi seksual dapat berupa gangguan pada libido, disfungsi ereksi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retardasi, dan gangguan orgasme (Lue 2007). Disfungsi seksual yang terjadi pada pasien PPOK dapat berupa gangguan pada libido dan disfungsi ereksi. Pada penelitian ini hanya akan diteliti disfungsi ereksi yang terjadi pada kelinci PPOK. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schonhofer et al. (2001) terhadap 383 pasien gagal nafas kronis yang menggunakan ventilasi mekanis kronis, 173 di antaranya disebabkan oleh PPOK. Didapatkan adanya penurunan aktivitas seksual yang bermakna,
aktivitas seksual hanya dilakukan pada 34,1%,
sedangkan pada populasi dengan umur rata-rata yang sama masih didapatkan aktivitas seksual pada 84%, perbedaan semakin jelas pada kelompok umur yang lebih tua. Kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK diduga karena hipoksemia kronis yang menyebabkan supresi pada aksis hipotalamus-hipofisistestis. Hipoksemia kronis menyebabkan menurunnya produksi LH dari hipofisis yang akan mengakibatkan produksi testosteron menurun pada pasien PPOK bersamaan dengan proses penuaan (Semple et al. 1981; 1984). Bukti lain berupa mengecilnya volume testis dan atropi sel Leydig yang bermakna pada pasien PPOK (Gosney 1984; 1987) Terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya tekanan kadar PaO2 dan rendahnya kadar testosteron (Semple et al. 1981; 1984). testosteron telah diketahui merupakan faktor utama
Kadar
yang berpengaruh pada
libido. Tetapi efek rendahnya kadar testosteron pada patofisiologi disfungsi ereksi belum diketahui dengan jelas. Pada populasi umur lanjut dengan bertambahnya umur tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar testosteron total dengan libido (P=0,274),
24
fungsi ereksi (P=0,460), orgasme (P=0,274), dan kepuasan dalam hubungan seksual (P=0,177). Sebaliknya, didapatkan hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar free testosterone dengan fungsi ereksi (P=0,055) dan orgasme (P=0,020), tetapi kadar free testosterone tidak berhubungan dengan libido dan kepuasan hubungan seksual.. Kadar free testosterone menurun dengan bertambahnya umur (Ahn et al, 2002). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Aversa et al. (2000) pada 52 pasien disfungsi ereksi kadar free testosterone tidak berhubungan dengan umur tetapi kadar free testosterone yang rendah mengurangi kemampuan aliran hemodinamik penis dan relaksasi korpus kavernosum. Svartberg et al. (2004) melakukan penelitian pada kelompok PPOK dengan pemberian testosteron dosis rendah selama 6 bulan didapatkan pada kelompok perlakuan mengalami perbaikan indek masa tubuh, fungsi ereksi dengan peningkatan nilai IIEF dan kualitas seksualnya. Penelitian pada hewan akibat penekanan atau supresi pada hormon androgen didapat beberapa bukti antara lain terjadinya perubahan spesifik yang terjadi pada penis antara lain (Aversa et al, 2004): 1.
Degenerasi dan fibrosis pada sel otot polos korpus kavernosum disertai apoptosis.
2.
Menurunnya ekspresi neuronal nNOS.
3.
Menurunnya aliran darah melalui arteri dan meningkatnya aliran darah vena keluar korpus kavernosum.
4.
Meningkatnya respons mediator vasokonstriksi seperti ά-adrenergik.
5.
Menurunnya kemampuan NO untuk menyebabkan relaksasi otot polos korpus kavernosum sewaktu dilakukan stimulus seksual hal ini diduga karena efek langsung terhadap aktivitas PDE 5. Saat ini, terapi lini pertama untuk disfungsi ereksi adalah terapi oral
dengan inhibitor spesifik fosfodiesterase tipe 5, yaitu sildenafil sitrat, vardenafil atau tadalafil yang secara klinis sudah banyak dipakai, tetapi sekitar 20-30% pasien tidak mengalami perbaikan fungsi ereksinya setelah pemberian sildenafil (Aversa et al. 2004). Didapatkan korelasi antara kadar free testosterone dengan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum (Aversa et al., 2000). Pada 20 pasien disfungsi ereksi arteriogenik yang tidak ada perbaikan ereksinya pada
25
pengobatan
sildenafil, kemudian diberikan suplemen testosteron didapat
perbaikan skor IIEF dan peningkatan aliran darah pada arteri dorsalis penis dengan pemeriksaan dopler ultrasound (PSV) (Aversa et al. 2003) . Cyclic GMP, messengger kedua dari oksida nitrat (NO), disintesis dari Guanosin trifosfat (GTP) dengan bantuan enzim guanilat siklase yang dirangsang oleh NO. Sumber oksida nitrat dapat berasal dari sel endotel (eNOS) dan nNOS yang berasal dari ujung ujung saraf pada korpus kavernosum (Seftel 2004). Dengan meningkatnya pengetahuan tentang proses ereksi pada tingkat molekuler banyak dilakukan penelitian pada molekul spesifik yang berubah dengan bertambahnya umur, dan didapatkan adanya penurunan jumlah NOS pada penis tikus umur lanjut dan menurunnya aktivitas NOS per gram jaringan penis sampai dengan 63% pada tikus berumur 30 bulan ke atas (Andrew dan Mayer 1999). Diketahui bahwa ada 3 macam NOS, antara lain endothelial NOS (eNOS), inducible NOS (iNOS), dan neuronal NOS (nNOS) (Garban et al. 1995). Endothelial NOS dan nNOS dibentuk dan diaktifkan dengan meningkatnya konsentrasi Ca intraseluler dan ikatan kalmodulin dengan enzim. Inducible NOS berhubungan dengan makrofag dan diaktifkan oleh sitokin spesifik yang terjadi dalam proses inflamasi dan imunitas. Endogen NOS dan iNOS didapatkan pada korpus kavernosum manusia dan nNOS didapatkan pada ujung ujung-saraf korpus kavernosum (Seftel 2004; Burnet et al. 1992; Mahadevan et al. 1998) . Baba et al. (2000) melakukan penelitian pada tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1 dikastrasi, kelompok 2 dikastrasi + testosterone replacement dan kelompok 3 kontrol. Didapatkan kadar testosteron, respon ereksi yang terjadi setelah pemberian apomorfin dan tekanan intrakavernosa setelah diberikan papaverin dengan stimulasi elektrik pada kelompok 2 kembali membaik. Hasil yang terpenting adalah dengan pewarnaan NADPH diaforase jumlah nNOS pada korpus kavernosum kembali normal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa testosteron dapat berperan selain pada proses sentral dengan meningkatnya frekuensi terjadinya ereksi juga berperan pada tingkat perifer.
26
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) , Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), Departemen Patologi Anatomi FKUI dan Makmal Terpadu FKUI, serta kandang hewan percobaan Bagian Farmakologi FKUI, dari bulan Juli tahun 2006 sampai Februari tahun 2008.
3.2 Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini 24 ekor kelinci jantan lokal (Lepus spp.) dewasa berumur antara 6–8 bulan dengan berat antara 1,8–2,4 kg. Kelinci dipelihara di kandang individu dan menjalani adaptasi selama 7 hari sebelum percobaan. Pakan diberikan sebanyak 200 g/hari berupa pelet produksi PT. Indofeed dengan kadar protein 16% dan energi bruto 2500 kal dan air minum diberikan ad libitum. Seluruh prosedur penelitian telah mendapatkan persetujuan etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI nomor : KS.02.01.2.1.2989 tanggal 7 Juli 2006.
3.3 Bahan dan Alat Alat yang digunakan adalah Biochamber dari laboratorium Faal Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Gas SO2, alat monitor kadar SO2 digital 0–1000 ppm Bacharach, Dioxor II, ppm sulfur dioxide, Electronic Gas Anayzer, Made in USA, Organ bath (IOA-5306, Tissue Bath System), Mikroskop Carl Zeiss OPMI pico seri 360392, dan Gamma Counter DPC C-12.
3.4
Metode Penelitian Dua puluh empat ekor kelinci diadaptasikan terhadap lingkungan dan
pakan selama 1 minggu. Selanjutnya, kelinci percobaan dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok 12 ekor menerima perlakuan.
sebagai kontrol dan 12 ekor
27
Penentuan besar sampel pada penelitian ini ditentukan atas dasar bentuk penelitian ini analitik, data bersifat numerik dan sampelnya tidak berpasangan. Analitik karena karena ingin mengetahui hubungan hipoksemia kronis dengan disfungsi ereksi, data yang diperoleh adalah numerik dan tidak berpasangan karena data yang diperoleh dari individu yang berbeda. Maka yang dipakai rumus (Higgins & Klingaum 1985).
N=
1 1 f
2 2
2 1
2
N
: besar sampel
f
: proporsi kegagalan (F = 0)
Za
: nilainya ditentuan dari tabel berdasarkan tingkat kepercayaan terhadap simpang baku atau kesalahan yang ditoleransi, tergantung pada besarnya α dan hipotesis penelitian, pada penelitian ini α = 0.05Æ Za = 1.96%, β = 0.10 Æ Zb = 1.28
x1– x2 : selisih minimal yang dianggap bermakna berdasarkan penelitian pendahuluan. S
: simpang baku berdasarkan hitungan penelitian pendahulu
Memperoleh n = 11.37 ~ 12 sampel Secara garis besar penelitian ini terdiri atas 3 percobaan (Gambar 5). Pertama, melakukan pemaparan gas SO2 secara kronis terhadap hewan coba untuk menyebabkan PPOK dengan menilai gejala klinis, perubahan kadar PaO2 dan perubahan gambaran Patologi Anatomi paru. Kedua,
membandingkan
perubahan kadar testosteron dan free testosterone sebelum dan sesudah perlakuan serta perbedaan gambaran patologi anatomi jaringan testis antara kelompok kontrol dan perlakuan. Ketiga, menilai kemampuan kontraksi dan relaksasi dari masing-masing kelompok serta menilai perubahan kemampuan relaksasi korpus kavernosum dengan memberikan beberapa zat antara lain: asetilkolin, sildenafil sitrat dan zaprinast serta gambaran patologi anatomi pada korpus kavernosum.
28
Kelinci Jantan 24 Ekor Tahap persiapan Adaptasi : - Pakan - Kandang
Perlakuan pada Biochamber Kontrol 12 Ekor
Expose SO2 bertahap 12 Ekor
Akhir Perlakuan Preparasi Korpus Kavernosum Operasi Mikroskopis
Pemeriksaan
1. Kadar PaO2 2. Testosterom 3. Free Testosteron
1. Gejala Klinis 2. Kadar PaO2 periodik 3. Bobot Badan
1. 2. 3. 4.
Kadar PaO2 Testosteron Free Testosteron PA Testis
Uji Organ Bath 1. Kontraktilitas PE dosis 10-8 – 10-4
% Perubahan Kontraksi
2. ‐ ‐ ‐
% Perubahan Relaksasi
Relaksasi Asetilkolin Sildenafil sitrat Zaprinast
Patologi Anatomi Korpus Kavernosum
Gambar 5. Alur kegiatan penelitian
‐ ‐
Otot polos Jaringan ikat
29
3.4.1 Tahapan Persiapan Pada tahapan persiapan 24 ekor kelinci jantan dengan umur 6-8 bulan dengan bobot badan 1800-2500 gr, dipelihara pada suhu ruangan 21-23°C dalam kandang individuil selama 7 hari.
Makanan kelinci berupa pakan komersial
berbentuk pelet dengan kadar protein 16% dan kadar energi 2500 Kal. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari total 200 g dan pemberian minum secara ad libitum.
3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO2 dan Monitor Hipoksemia Dua puluh empat ekor kelinci yang telah menjalani adaptasi lingkungan dibagi menjadi 2 kelompok. Selama perlakuan, kelinci diletakkan dalam biochamber pada suhu 21ºC, kadar gas SO2 dimonitor dengan detektor digital secara terus menerus agar dapat dipertahankan sesuai kadar yang ditentukan. (Gambar 6) Kelompok 1: 12 ekor kelinci sebagai kontrol mendapat perlakuan tetapi tanpa pemaparan dengan gas SO2 dan kelompok 2 sejumlah 12 ekor kelinci dipaparkan dengan gas SO2 dengan dosis 50-300 ppm selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-6 minggu sampai timbul gejala klinis PPOK. Kadar SO2 dinaikkan secara bertahap pada minggu pertama dimulai dengan kadar SO2
50-100 ppm, minggu kedua 100-200 ppm dan minggu ketiga 200-300
ppm, kadar SO2 tersebut dipertahankan sampai 4-5 minggu dan dinilai secara individual sampai timbulnya gejala klinis PPOK. Gejala klinis PPOK yang ditemukan pada kelinci berupa rhinorhea (mengeluarkan cairan dari hidung), batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan (dahak) disertai penurunan bobot badan sebesar 300 gr karena menurunnya konsumsi pakan yang umumnya mulai terjadi pada minggu ke 4. Selama pemaparan, perilaku dan kondisi klinis hewan dapat dimontor melalui jendela kaca di pintu depan biochamber. Pemeriksaan indikator fisiologi frekuensi nadi dan pernafasan dinilai setiap awal minggu dan akhir minggu pemaparan serta jumlah asupan yang dikonsumsi ratarata per hari pada setiap minggu pemaparan. Kadar kimia darah dinilai sebelum dan setelah perlakuan. Sampel darah diambil dari arteri aurikula menggunakan jarum ukuran 27G, pada akhir pemaparan setiap minggu.
Apabila terjadi hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg)
30
pemaparan dihentikan dan kadar PaO2 dimonitor 2 hari sekali dan setelah PaO2 > 60 mmHg pemaparan dilanjutkan kembali, sampai terjadi PaO2 < 60 setelah pemaparan pada minggu ke 4-5.
A B C Gambar 6. Pemaparan kelinci dengan gas SO2 di dalam Biochamber A. Biochamber, tabung gas SO2 dan monitor kadar SO2 (panah) B. Biochamber suhu dapat diatur sesuai kebutuhan. C. Jendela kaca untuk memonitor kondisi hewan coba. 3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron Pemeriksaan dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan cara yang sama : Coat-A-count testosterone total merupakan radioimmunoassay fase padat. Antibodi
khusus
testosteron
total
(total
testosterone-specific
antibody)
diimobilisasi pada dinding tabung polipropilen. Testosteron total yang dilabel 125I (125I -total testosterone) berkompetisi dengan testosteron total dalam serum sampel terhadap antibodi khusus testosteron total. Setelah tabung didekantasi maka berakhirlah fase terjadinya ikatan antara antibodi dengan testosteron total. Pengukuran konsentrasi testosteron total dengan gamma counter. Kadar testosteron total serum sampel ditentukan dengan kurva kalibrasi.
3.4.4 Pemeriksaan Kadar Free Testosteron Pemeriksaan dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan cara yang sama : Coat-A-count free testosterone merupakan radioimmunoassay fase padat. Antibodi
khusus
free
testosterone
(free
testosterone-specific
antibody)
diimobilisasi pada dinding tabung polipropilen. Free testosterone yang dilabel
31
125
I (125I - free testosterone) berkompetisi dengan free testosterone dalam serum
sampel terhadap antibodi khusus free testosterone. Setelah tabung didekantasi maka berakhirlah fase terjadinya ikatan antara antibodi dengan free testosterone. Pengukuran konsentrasi free testosterone dengan gamma counter. Kadar free testosterone serum sampel ditentukan dengan kurva kalibrasi.
3.4.5 Preparasi Otot Korpus Kavernosum Kelinci didekapitasi dan segera diikuti oleh isolasi penis. Preparasi korpus kavernosum dilakukan dengan menggunakan teknik operasi menggunakan mikoroskop, dengan pembesaran 10x dengan F300 (Gambar 7A). Selama preparasi jaringan penis direndam dalam cairan Krebs Heinselait menggunakan komposisi sebagai berikut (dalam 5 L air yang sudah dideionisasi): NaCl 33,7 gr, glukosa 7,7 gr, NaHCO3 9,3 gr , KCl 41,7 ml, MgSO4.7H2O 37,7 ml, CaCl2 2H2O 40,7 ml, KH2PO4 50 ml, Na2EDTA 5 ml. Penis yang telah dieksisi sampai pangkal yang melekat pada tulang simpisis pubis diletakkan pada papan dan difiksasi dengan jarum 18G. Dilakukan insisi pada kulit penis sehingga tampak tunika albugenia, dengan menggunakan gunting mikro dilakukan pemotongan memanjang pada tunika albugenia sampai tampak otot korpus kavernosum (Gambar 7B). Masing masing otot korpus kavernosum dipisahkan dari tunika albugenia dari arah proksimal ke distal dan dipotong dengan ukuran panjang 10 mm bagian proksimalnya, untuk digunakan pada pemeriksaan organ bath, sehingga didapatkan 2 preparat dari satu ekor kelinci(Gambar 7C).
A B C Gambar 7. Preparasi otot korpus kavernosum dengan operasi mikroskopis(A), Korpus kavernosum setelah dilakukan insisi tunika albugenia (B), Otot polos Korpus kavernosum yang sudah dipreparasi (C).
32
3.4.6 Pengukuran Kontraksi dan Relaksasi dengan Organ Bath Percobaan dilakukan dalam 1-2 jam setelah eksisi jaringan. Korpus kavernosum langsung diletakkan dalam larutan Krebs-Henseleit dengan suhu dipertahankan pada 4oC. Setelah dipisahkan dari jaringan sekitarnya, otot polos korpus kavernosum dipotong menjadi strip (lembaran-lembaran) dengan panjang 10 mm diletakkan dalam 5 ml organ bath yang secara terus menerus dilarutkan gas karbogen (95% O2 dan 5% CO2) di dalamnya pada suhu 37oC dengan pH 7,4. Kontraksi isometrik diukur dengan menggunakan isometric trandsducer Radnoti® dan dihubungkan dengan MacLab Instrument 8/e. Pengukuran kontraksi dilakukan pada preparat korpus kavernosum dibiarkan dalam organ bath untuk ekuilibrasi selama 60-90 menit, dan selama itu diberikan
tegangan
pasif
sebesar
0,5
gram
dengan
beberapa
kali
penyesuaian(Gambar 8). Setelah tercapai plateau, dengan menggunakan program MacLab for Windows maka nilai tegangan pada titik plateau digunakan sebagai nilai A setelah ditambahkan zat phenilepherine dengan dosis tertentu. Kontraksi yang terjadi diamati, setelah terjadi plateau, maka titik tersebut ditentukan sebagai nilai B. Dengan demikian, dapat dihitung persentasi peningkatan kontraksi dengan menggunakan rumus : (B-A)/A x 100%. Pengukuran Relaksasi pada preparat korpus kavernosum dibiarkan dalam organ bath untuk ekuilibrasi selama 60-90 menit, dan selama itu diberikan tegangan pasif sebesar 0,5 gram dengan beberapa kali penyesuaian. Setelah itu 1 μM phenilepherine dengan dosis 105 diberikan untuk mengkontraksikan preparat; dan setelah tegangan stabil dicapai (plateau), dengan menggunakan program MacLab for Windows maka nilai tegangan pada titik plateau digunakan sebagai nilai A. Zat yang akan dinilai efek relaksasinya dimasukkan ke dalam organ bath Dosis terendah yang digunakan adalah 10-8 M dan dosis tertinggi adalah 10-4 M. Setelah dimasukkan dosis sesuai urutan pemberian dan terjadi relaksasi sampai tercapai plateau, maka titik tersebut ditentukan sebagai nilai B. Dengan demikian, dapat dihitung persentasi peningkatan relaksasi dengan menggunakan rumus : (A-B)/A x 100%.
33
Zat yang digunakan dalam penelitian ini untuk menilai relaksasi korpus kavernosum adalah asetilkolin yang merupakan neurotransmiter, sildenafil sitrat dan zaprinast sebagai inhibitor PDE 5.
B
C
A
Gambar 8. Organ bath untuk mengukur kekuatan kontraktilitas & relaksasi otot (A), Tabung 2 unit organ bath (B), Strip otot dalam tabung (C). 3.4.7 Evaluasi Histopatologi Untuk menilai perubahan histologi organ korpus kavernosum, digunakan pewarnaan Masson Galdner. Pewarnaan Masson Goldner adalah suatu pewarnaan ganda apabila pewarnaan lain umumnya hanya menggunakan 2 warna, pewarnaan ini menggunakan 3 warna. Masson menamakan kombinasi 3 warna ini sebagai “Trichrom”. Perbedaan dalam pewarnaan jaringan terletak dalam dispersi masingmasing zat warna, kasar, atau halus. Perbedaan kecepatan penyusupan masingmasing zat warna dipakai sebagai prinsip dalam pewarnaan, dengan demikian, bila zat warna dengan dispersi halus memasuki jaringan, porsi dengan dispersi kasar akan tertahan. Zat dengan dispersi kasar terutama akan mewarnai struktur yang besar atau kasar, sungguh pun sebagian juga mewarnai struktur yang halus. Sebelum dilakukan pulasan ada proses yang sangat penting dilakukan, yaitu proses dehidrasi, clearing, infiltrasi dengan parafin cair hingga embedding (pembuatan blok parafin). Guna mendapatkan suatu sayatan tipis nantinya, maka pada awalnya jaringan segar difiksasi dengan menggunakan cairan buffer formalin
34
10%. Jaringan yang sudah terfiksir dengan baik dilanjutkan melalui tahap dehidrasi menggunakan cairan Ethanol dengan konsentrasi menaik (70%-100%) secara perlahan. Setelah tahap dehidrasi sempurna maka tahap selanjutnya adalah clearing dengan cairan xylol. Tahap clearing ini merupakan tahap transisi. Selanjutnya jaringan diinfiltrasi dengan menggunakan media parafin cair. Media parafin dipilih karena mudah dalam mendapatkan sayatan tipis. Penyayatan tipis jaringan dilakukan dengan menggunakan bantuan alat berupa Microtom dengan ketebalan ± 5 µm dan kemudian diletakkan di permukaan slide (glass object). Jaringan yang telah didapat dengan sayatan ± 5 µm selanjutnya dilakukan teknik pewarnaan Masson trichrom. Dimulai dengan tahap deparafinisasi menggunakkan cairan xylol diteruskan dengan rehidrasi dengan ethanol konsentrasi menurun (100% - 70%) sampai aquadest. Masing-masing tahapan 5 menit. Inti sel diwarnai dengan Eisenhematoxylin weigert 5 menit dan setelahnya dicuci dengan air mengalir, kelebihan warna dikurangi dengan HCl 1% dan dicuci kembali dengan air mengalir. Selanjutnya diwarnai jaringan dengan Acid fuchin 5 menit dibilas dengan acetic acid 1% selama 1 menit. Sediaan direndam dalam phosphomolybdic acid / phosphotungstic acid selama 5 menit dan dibilas kembali dengan acetic acid 1% selama 1 menit. Kemudian jaringan diwarnai dengan light green / methyl blue selama 2-5 menit dan kembali dibilas bersih dengan acetic acid 1% selama 1 menit. Setelah itu jaringan dikeringkan dalam suhu ruangan hingga selanjutnya diclearing dengan xylol dan kemudian ditutup dengan mounting media untuk selanjutnya dievaluasi. dengan pewarnaan ini inti sel berwarna biru kehitaman (blue-black), Sitoplasma , otot dan eritrosit berwarna merah, dan kolagen berwarna biru. Pewarnaan
jaringan
paru
dan
testis
menggunakan
pewarnaan
hematoksilin-eosin (HE). Evaluasi histopatologi dilakukan dengan cara skoring (0–4) berdasarkan derajat perubahan yang terjadi pada masing masing organ. Skoring dilakukan pada 5 lapang pandang yang diambil secara acak dengan perbesaran 10x dan 40x. Acuan skor yang digunakan pada organ paru ditampilkan pada Tabel 1.
35
Tabel 1. Skor perubahan histologi organ paru Skor
Keterangan
0
Tidak terjadi perubahan
1
Kongesti dan perdarahan pada intersititium dan infiltrasi sel radang pada <25 % lapang pandang
2
Kongesti dan perdarahan semakin banyak pada interstitium dan infiltrasi sel radang 25-50% lapang pandang
3
Kongesti dan perdarahan pada interstitium dan infiltrasi sel radang pada 50-75 % lapang pandang
4
Kongesti dan perdarahan pada interstitium dan infiltrasi sel radang pada >75 % lapang pandang
Evaluasi histopatologi pada testis dilakukan dengan cara skoring (1-4) berdasarkan adanya perubahan berupa kongesti, edema, degenerasi, fibrosis peritubuler. Lesio diamati pada 5 lapang pandang untuk masing-masing kelinci dengan perbesara 100X. Penilaian skoring lesio ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Skor perubahan histologi jaringan testis kelinci < 25 %
1
25-50 %
2
50-75 %
3
>75 %
4
Evaluasi histopatologi organ korpus Kavernosum dilakukan dengan cara skoring (1–3) berdasarkan derajat perubahan jumlah otot polos dan perubahan jumlah jaringan ikat. Skoring dilakukan pada 5 lapang pandang yang diambil secara acak dengan perbesaran 10x dan 40x. Acuan skor yang digunakan pada organ paru ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Skor perubahan histologi jaringan korvus kavernosum Skor
Keterangan
1
Tidak terjadi perubahan atau berubah minimal < 20 % lapang pandang
2
Terjadi penurunan
jumlah
jaringan otot polos < 50 % lapangan
pandang atau peningkatan jaringan ikat pada korvus kavernosum 3
Terjadi penurunan
jumlah
jaringan otot polos > 50 % lapangan
pandang atau peningkatan jaringan ikat pada korvus kavernosum
36
3.5 Analisis Statistik Analisis dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS versi 15 untuk Windows. Sebelum analisis seluruh data dievaluasi distribusi dan homogenitas variannya dalam kelompok. Metode analisis statistik untuk hipotesis membandingkan kontrol dengan perlakuan yang bersifat kategorik terdiri dari 2 kelompok data tidak berpasangan maka dilakukan dengan uji Mann-Whitney. Sedangkan untuk membandingkan data yng lebih dari 2 kelompok dan tidak berpasangan maka digunakan uji Kruskal-Wallis. Tingkat kepercayaan yang dipakai adalah 0,05. Seluruh nilai yang dilaporkan adalah rerata ± simpang baku.
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seluruh hewan dalam penelitian ini berhasil mencapai akhir perlakuan selama 4–5 minggu setelah secara acak dikelompokkan menjadi kontrol dan perlakuan. Secara rutin seluruh hewan diobservasi kesehatannya, asupan pakan, gejala klinis yang timbul selama proses pemaparan dengan gas SO2 dan dilakukan pengambilan darah arteri setiap akhir minggu. Pada akhir minggu ke 4–5 setelah terjadi hipoksemia kronis pada hewan perlakuan didekapitasi dan segera diikuti oleh isolasi penis dan preparasi korpus kavernosum untuk pemeriksaan selanjutnya.
4.1 Hipoksemia Kronis Pengamatan terhadap gejala hipoksemia
kronis yang ditandai dengan
gejala klinis berupa keluarnya lendir dari hidung, batuk, bersin dan kadang sianosis. Pengukuran kadar PaO2 penting untuk menentukan apakah pemaparan pada hewan dapat dilanjutkan atau harus dihentikan sementara, karena apabila PaO2 < 60 mmHg harus dihentikan sementara untuk menghindari kematian, hal ini kami dapatkan berdasarkan pengalaman pada percobaan pendahuluan. Pemaparan umumnya dapat dimulai kembali setelah dihentikan selama 2 sampai 4 hari, setelah kadar PaO2 kembali > 60mmHg. Perubahan bobot badan sampai 300 g
sebagai salah satu indikasi
terjadinya hipoksemia kronis dimonitor dengan mengukur bobot badan awal dan setiap akhir minggu (Iwase et al. 1997). Pada akhir penelitian didapatkan penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata (p < 0,001). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan seperti di tampilkan pada Table 4.
38
Tabel 4. Perubahan bobot badan kelompok kelinci setelah dipapar dengan gas SO2 dengan dosis maksimal yang berbeda, selama 5 minggu. Kelompok kelinci
Perubahan bobot badan (g)
Perlakuan dosis SO2 100ppm
- 375 ± 25a
Perlakuan dosis SO2 200ppm
- 268 ± 92a
Perlakuan dosis SO2 300ppm
- 257 ± 13a
Kontrol
100 ± 87b
*huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan disebabkan pada kelinci yang mengalami hipoksemia kronis dan konsumsi pakan menjadi berkurang pada kelompok perlakuan. Sisa pakan yang tidak dikonsumsi mencapai 60%, hal ini diduga karena hewan coba dalam keadaan tercekam dan kesakitan yang menyebabkan penurunan nafsu makan. Hipoksemia selain melihat gejala klinis dipastikan dengan penurunan kadar PaO2 darah arteri. Pemaparan gas SO2 pada penelitian pendahuluan dengan kadar rerata PaO2 > 80 mmHg, kelinci baru mengalami hipoksemia minggu ke-2. Pada penelitian ini gejala hipoksemia disertai penurunan kadar PaO2 < 60 mmHg mulai terjadi sejak minggu ke-1 pada sebagian hewan perlakuan. Hal ini terjadi karena telah adanya gangguan faal paru pada hewan percobaan sejak awal penelitian di mana nilai rerata kadar PaO2 pada kelompok kontrol maupun perlakuan sudah < 80 mmHg, hal ini menunjukkan telah adanya penurunan fungsi paru. Pada awal penelitian kadar PaO2 arteri kelompok perlakuan 78,76 ± 6,45 mmHg dan kelompok kontrol 75,34 ± 8,52 mmHg, tidak berbeda secara statistik (p = 0,219) (Lampiran 1) . Data ini sesuai dengan hasil skor histopatologi paru pada akhir penelitian yaitu tidak menemukan adanya perbedaan antara kedua kelompok. Dengan demikian, kedua kelompok telah mengalami penurunan faal paru sejak awal penelitian. Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru yang dipapar SO2 perinhalasi menunjukkan terjadi kerusakan jaringan yang terjadi pada parenkim dan interstitium. Pada jaringan interstitium ditemukan perdarahan dan kongesti yang
39
diikuti oleh penebalan pada dinding alveoli dengan adanya sel-sel radang yang tersebar hampir pada seluruh jaringan (Gambar 9 dan 10).
Gambar 9.
Paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami penebalan dinding alveol (panah hitam) akibat akumulasi sel radang dan terjadinya kongesti dan perdarahan (panah merah). (Pewarnaan HE, 200X)
Gambar 10. Dinding alveol paru kelinci karena pemaparan SO2, mengalami perdarahan (panah merah), dan akumulasi sel-sel radang (panah biru), karena kerusakan alveolus beberapa alveolus menyatu sehingga terjadi emfisema (panah hitam), (Pewarnaan HE, 400X)
40
Pada penelitian pendahuluan kadar awal rerata PaO2 pada seluruh kelompok >80 mmHg, pada kelompok perlakuan dipapar menggunakan kadar SO2 yaitu, 100, 200, 300 mmHg. Pada hasil uji statistik skoring histopatologi paru antara kelompok perlakuan dosis yang berdeda tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, tetapi antara kontrol dengan semua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Dari pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan gas SO2 selama empat minggu dapat menimbulkan kerusakan pada paru dengan dosis pemaparan yang mulai dari 100 ppm hingga 300 ppm (Gambar 11). skoring lesio paru-paru
2,5
b
b
b
2 1,5 1
kontrol 100 ppm a
200 ppm
0,5
300 ppm
0 kontrol
100 ppm
200 ppm
300 ppm
Kadar pemaparan SO2
Gambar 11. Skor histopatologi paru pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol dengan nilai p masing-masing dosis terhadap kontrol. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna p < 0,05. Pada Gambar 12 terlihat penurunan kadar PaO2 kelompok perlakuan sudah terjadi mulai minggu ke-1, bahkan pada hewan no. 2, 3, 5, 6, 7 PaO2 pemaparan dihentikan karena kadar PaO2 sudah berada di bawah 60 mmHg dengan rerata PaO2 59,91 ± 8,18 mmHg. Perbaikan faal paru sudah terjadi pada minggu berikutnya. Penurunan kadar PaO2
pada hewan yang dilanjutkan pemaparan
menjadi lebih jelas, pada minggu ke 2 rerata PaO2 56,36 ± 13,42 mmHg dengan p = 0,017. Keadaan ini disebabkan hemoglobin lebih mudah berikatan dengan SO2 dibandingkan dengan O2. Penyebab lain adalah karena SO2 yang merupakan zat iritan menyebabkan penyempitan bronkus dan peningkatan viskositas mukus. Kerusakan dan terlepasnya sel epitel bersilia karena paparan SO2 (yang berfungsi mengantarkan mukus keluar) menyebabkan mukus tertahan di saluran nafas selain
41
mempersempit saluran nafas. Hal ini sangat mengganggu pengambilan O2 dan pelepasan CO2 dari darah ke udara (Munthe et al. 2003). Pada minggu ke-3 terjadi peningkatan rerata PaO2 karena sebagian dari hewan yang telah mengalami hipoksemia kadar PaO2 < 60 mHg pada minggu ke2 dihentikan pemaparannya untuk mencegah kematian no. 1, 2, 6 dan 12. Hal ini menyebabkan terjadinya perbaikan kembali faal paru sehingga terjadi kenaikan PaO2 > 60 mmHg. Kembalinya fungsi paru
terjadi setelah 1–2 minggu
pemaparan dihentikan (Iwase, et al. 1997). Kelinci yang tidak pernah dihentikan pemaparannya selama 4 minggu pada akhir penelitian semuanya mengalami hipoksemia, sedangkan yang pernah terhenti pemaparan dilanjutkan sampai minggu ke-5. Pada akhir pemaparan jelas sekali terjadi penurunan kadar PaO2 49,01 ± 5,23 mmHg (p < 0,001). 100
Kadar PaO2 (mmHg)
90 80 70 60 50 40 30 Awal
1
2
3
4
5
Lama Pemaparan gas SO2 (Minggu) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
nomor kelinci perlakuan Gambar 12. Perubahan kadar PaO2 masing-masing kelinci perlakuan sejak awal penelitian, selama pemaparan dengan gas SO2 setiap akhir minggu sampai minggu ke-5 akhir penelitian. Keadaan ini disebabkan telah terjadinya kerusakan paru yang lebih lanjut karena paparan SO2 berupa perdarahan pada jaringan interstitium paru dan kongesti, disertai penebalan dinding alveoli karena adanya sel-sel radang sehingga lumen alveoli menyempit dan kerusakan pada dinding alveoli yang robek dan meluas sehingga terjadi emfisema. Pada penelitian pendahuluan pemaparan SO2
42
dengan dosis 100–300 ppm dimana kadar awal sebelum perlakuan PaO2 pada kontrol dan perlakuan lebih dari 80 mmHg yang berarti bahwa faal paru masih baik, didapatkan bahwa pada akhir penelitian terdapat perbedaan bermakna pada perubahan skor gambaran histopatologi dan sesuai gambaran bronkitis kronis dibandingkan dengan gambaran histopatologi kontrol yang normal. Pada penelitian ini telah terjadi gangguan faal paru pada hewan percobaan sejak awal penelitian dimana nilai rerata kadar PaO2 sudah < 80 mmHg. Pada awal penelitian kadar PaO2 arteri kelompok perlakuan 78,76 ± 6,45 mmHg lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol 75,34 ± 8,52 mmHg tetapi tidak berbeda secara statistik (p = 0,219), data ini menunjukkan bahwa kedua kelompok telah mengalami penurunan faal paru (Lampiran 1).
jumlah (ekor)
8 6 4 2 0 1
2 Skor histopatologi paru‐paru
3 kontrol
4 perlakuan
Gambar 13. Skor histopatologi paru pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak didapatkan perbedaan bermakna p = 0,443. Pada akhir penelitian ini skor histopatologi paru (Gambar 13), pada kelompok perlakuan sebagian besar mengalami kerusakan paru dengan skor 2 (6 hewan) diikuti dengan skor 3 (4 hewan) sedangkan pada kontrol kerusakan dengan skor 2 (3 hewan) dan skor 3 (6 hewan) dengan rerata skor kelompok perlakuan 2,25 ± 0,87, sedangkan pada kelompok kontrol skornya 2,50 ± 0,90 yang berarti kondisi paru kelompok kontrol juga mengalami kerusakan paru kemungkinan hal ini telah terjadi dari awal penelitian sesuai dengan rerata kadar PaO2 < 80mmHg, pada perhitungan statistik menggunakan Mann-Whitney skor
43
histopatologi antara kedua kelompok pada akhir penelitian tidak berbeda bermakna secara statistik (p = 0,443). Dengan demikian, pemaparan gas SO2 pada penelitian ini walaupun tidak didapatkan perbedaan pada gambaran histopatologi antara kedua kelompok, disebabkan pada kelompok kontrol telah adanya kerusakan paru sebelum penelitian yang dibuktikan dengan lebih tingginya skor histopatologi dan lebih rendahnya kadar PaO2 pada awal penelitian. Tetapi pemaparan SO2 pada hewan perlakuan menyebabkan hipoksemia berat yang ditandai dengan penurunan rerata kadar PaO2 <60 mmHg. Sebaliknya, pada hewan kontrol terjadi peningkatan rerata kadar PaO2 > 80 mmHg menjadi tidak hipoksemia (Gambar 14). Penurunan kadar PaO2 pada kelompok perlakuan dapat terjadi karena kemampuan ikatan SO2-Hb yang tinggi, pemaparan SO2 menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar yang akan menghambat pertukaran O2 udara di rongga alveolus dengan pembuluh alveoli. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai model hubungan hipoksemia kronis dengan penyakit lain sebagai komplikasinya sebagaimana tujuan pada penelitian ini dihubungkan dengan disfungsi ereksi. PPOK
Kadar pO2 (mmHg)
90 80
Kontrol 83,41
78,76
76,51
75,34
69,96
69,56
70
64,49 58,91
60
64,01
56,36 49,01
50 40 Awal
1
2
3
4
5
Lama pemaparan (minggu)
Gambar 14. Rerata kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dari kelompok kontrol dan perlakuan. 4.2 Kadar Testosteron dan Free Testosteron Kadar testosteron dalam keadaaan normal terutama dipengaruhi oleh kadar LH yang diproduksi oleh hipofisis sehingga apabila terjadi penurunan pada produksi LH akan terjadi pula penurunan testosteron. Sampai saat ini belum dapat dilakukan pemeriksaan kadar LH pada
kelinci karena kadarnya yang sangat
44
rendah. Dengan demikian tidak dapat dinilai apakah hipoksemia yang terjadi pada hewan akan menyebabkan penurunan kadar LH pada hipoksemia hipofisis. Penurunan kadar testosteron total dapat menyebabkan disfungsi seksual. Diketahui apabila kadar testosteron total rendah akan menyebabkan terjadinya penurunan libido. Penurunan kadar testosteron total akibat hipoksemia kronis pada pasien PPOK berkorelasi positif dengan terjadinya disfungsi seksual. Disfungsi seksual pada pasien PPOK yang mengalami hipoksemia dengan kadar PaO2 < 60 mHg berbeda bermakna apabila dibandingkan pasien normal (Semple et al.1981, 1984). Pada awal penelitian ini, kadar rerata testosteron total pada kelompok kontrol adalah 0,772 ± 0,779 ng/dl dan kadar rerata PaO2 adalah 75,34 ± 8,52 mmHg. Pada kelompok kontrol diketahui dari hasil pemeriksaan histopatologi terjadi kelainan paru. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan selama penelitian pada kelompok kontrol kadar PaO2 selalu berada di ± 70 mmHg, baru pada akhir penelitian kadar rerata PaO2 menjadi 83,41 ± 10,89 dan terjadi peningkatan kadar testosteron menjadi 1,77 ± 1,899 ng/dl. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kadar testosteron yang pada awal penelitian 0,817 ± 0,976 ng/dl menjadi 0,313 ± 0,464 ng/dl, pada akhir penelitian dengan kadar rerata PaO2 awal 78,76 ± 6,45 mmHg terjadi penurunan kadar PaO2 menjadi 49,01 ± 5,23 mmHg. Tetapi perubahan kadar testosteron tersebut tidak berbeda secara bermakna (p = 0,143) karena sebaran nilai yang cukup lebar(Gambar 15A). Penurunan kadar testosteron masing masing hewan pada kelompok pelakuan tidak mempunyai pola yang tetap dan tidak didapatkan adanya hubungan antara besarnya penurunan rerata kadar PaO2 dengan penurunan kadar testosteron pada kelompok tersebut. Demikian pula pada kelompok kontrol peningkatan kadar testosteron masing masing hewan, tidak mempunyai pola yang tetap dan tidak didapatkan adanya hubungan antara besarnya peningkatan rerata kadar PaO2 dengan peningkatan kadar testosteron pada kelompok tersebut Pada penelitian klinis penurunan kadar testosteron mempengaruhi penurunan libido, tetapi tidak berhubungan dengan gangguan fungsi ereksi. Fletcher (2003) yang menggunakan batasan kadar PaO2 < 80mmHg PPOK mendapatkan bahwa hanya 7/21 (33,33%) pasen PPOK
sebagai
yang kadar
45
testosteronnya < 280 ng/dl dan pada pasien normal 2/19 (10,53%) juga terjadi penurunan kadar testosteron sehingga tidak berbeda bermakna secara statistik. Pada penelitian menggunakan rigiscan pada pasien PPOK untuk menilai adanya DE organik didapatkan 7/9 (77,78%) kadar testosteron <280 ng/dl, sedangkan pada pasien dengan kadar testosteron > 280 ng/dl didapatkan 17/30 (56,67%) mengalami DE organik walaupun tidak berbeda secara statistik (p = 0,216). Penurunan kadar free testosterone masing masing hewan pada kelompok pelakuan tidak mempunyai pola yang tetap dan tidak didapatkan adanya hubungan antara besarnya penurunan rerata kadar PaO2 dengan penurunan kadar free testosterone pada kelompok tersebut. Demikian pula pada kelompok kontrol peningkatan kadar free testosteron masing masing hewan, tidak mempunyai pola yang tetap dan tidak didapatkan adanya hubungan antara besarnya peningkatan rerata kadar PaO2 dengan peningkatan kadar free testosterone pada kelompok tersebut Penelitian pada tikus yang dilakukan kastrasi yang mengakibatkan penurunan
kadar
testosteron
secara
drastis
akan
menurunkan
tekanan
intrakavernosa karena berkurangnya otot polos dan bertambahnya jartingan ikat korpus kavernosum yang menyebabkan gangguan ereksi (Traish et al. 1999). Kadar free testosterone yang lebih rendah pada pria usia lanjut berhubungan dengan gangguan fungsi ereksi. Pada penelitian ini kadar free testosterone pada kelinci kelompok kontrol terjadi peningkatan, pada awal penelitian 0,883 ± 1,309 ng/dl menjadi 1,125 ± 1,772 ng/dl. Sedangkan pada kelompok perlakuan terjadi penurunan, pada awal penelitian 1,158 ± 1,304 menjadi 1,133 ± 1,755 tetapi perbandingan perubahan kadar free testosterone antara kedua kelompok tidak berbeda secara bermakna (p=0,775) (Gambar 15B). Perubahan kadar free testosterone pada pasien usia lanjut terjadi karena perubahan perbandingan komposisi dengan testosteron yang berikatan dengan globulin, hal ini juga terjadi dalam waktu lama, sehingga pada penelitian ini belum tampak perubahan yang nyata.
7 6 5 4 3 2 1 0 Kontrol
PPOK
Kontrol
PPOK
Sebelum Sesudah Perlakuan P = 0,143
A
Kadar Free Testosterone (ng/dl)
Kadar Testosterone ng/dl
46
6 5 4 3 2 1 0
Kontrol
PPOK
Kontrol
Sebelum
PPOK
Sesudah Perlakuan P = 0,775
B
Gambar 15. Perubahan kadar Testosterone (A) dan Free Testosterone (B) pada kelompok kelinci kontrol dan perlakuan. Semple et al. (1981) dan Karadag (2007b) menemukan bahwa penderita PPOK memiliki kadar testosteron dan DHEA yang lebih rendah dibandingkan penderita lainnya. Semakin berat kondisi klinis PPOK yang dialami penderita menunjukkan kadar Testosteron dan DHEA yang lebih rendah serta peningkatan FSH dan LH. Hal ini memperlihatkan bahwa terjadi abnormalitas pada jaras hipotalamus-hipofisis-testis selama eksaserbasi terutama pada testis dan terjadi kompensasi setelah kondisi stabil pada penderita PPOK. Aasebo et al. (1993) menunjukkan adanya perbaikan kadar testosterone pada penderita yang mendapat terapi oksigen. Selain itu Macey (2005) menemukan adanya penurunan motivasi psikis seksual (libido) yang diduga disebabkan oleh adanya hipoksia pada daerah limbik otak. Creutzberg dan Casaburi (2003) juga menemukan kadar hormon anabolik lain yang lebih rendah pada penderita PPOK, dengan mekanisme yang belum diketahui. Pada penelitian ini terdapat nilai simpang baku yang lebih tinggi dari nilai rerata pada kelompok kelinci kontrol dan kelompok kelinci perlakuan. Data seperti ini terjadi pada awal dan akhir penelitian. Hal ini kemungkinan disebabkan telah adanya kerusakan paru pada kedua kelompok, yang ditandai dengan kadar PaO2 dibawah 80mmHg. Selama penelitian yang berlangsung selama 5 mingu pada kelompok kontrol terjadi peningkatan kadar testosteron dan peningkatan rerata kadar PaO2. Pada kelompok perlakuan terjadi penurunan kadar testosteron
47
tetapi tidak berbeda bermakna apabila dibandingkan dengan kontrol, hal ini disebabkan besarnya nilai simpang baku pada kedua kelompok. Penurunan kadar testosteron kemungkinan akan terus berlangsung apabila waktu pemaparan diperpanjang, tetapi tidak dapat dilakukan karena perlakuan ini sangat meningkatkan resiko kematian pada kelinci karena kadar PaO2 telah berada di bawah 60mmHg. 4.3 Perubahan Histopatologi Pada Testis Pada penelitian pendahuluan pemaparan SO2 dengan dosis bervariasi 100, 200, dan 300 mmHg dengan mengamati perubahan histopatologi berupa kongesti, degenerasi, fibrosis peritubuler dan edema didapatkan skor yang lebih tinggi pada kelompok kelinci yang mendapatkan pemaparan gas SO2 pada semua dosis dibandingkan kontrol. Pada lesio degenerasi dan kongesti, skoring meningkat seiring dengan pertambahan dosis paparan (Gambar 16). Salah satu lesio yang terlihat adalah degenerasi dimana sel kehilangan struktur normalnya dan bila berlanjut akan terjadi kematian sel. Degenerasi testis terlihat mikroskopik sebagai gangguan mitosis, pengempisan tubuli yang kosong, indurasi membran basalis yang kisut dan fibrosis peritubuler (Farias et al. 2005). Kedua skoring lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
48
3,5
Kongesti
3
Degenerasi x x
x
a
Skor Histopatologi
2,5 2
a
a
y
1,5
b
1 0,5 0 100
200
300
KONTROL
Kelompok Kelinci Berdasarkan Kadar SO2 (ppm)
Gambar 16. Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p<0,05. Grafik edema dan fibrosis saling terkait karena kerusakan berada pada daerah yang sama, yakni pada jaringan interstisial di antara tubuli seminiferi. Pada kelompok pemaparan 100 mmHg pada jaringan interstitial testis yang lebih menonjol adalah edema yang merupakan proses awal dan merupakan kerusakan yang lebih ringan sedangkan skoring fibrosis tidak terlalu tinggi. Pada kelompok pemaparan 200 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis paling berat dan edema yang menjadi lebih rendah disebabkan berkurangnya elastisitas jaringan. Pada kelompok pemaparan 300 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis dan edema yang terjadi secara kumulatif mengalami perubahan paling berat (Gambar 17). Kedua skoring lesio edema dan fibrosis peritubuler pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
49
3
x
Skor Histopatologi
2,5
Fibrosis peritubuler
Edema x
a a
2 a
x
b
1,5
y 1 0,5 0 100
200
300
KONTROL
Kelompok Kelinci Berdasarkan Kadar SO2 (ppm)
Gambar 17. Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p<0,05 Degenerasi ini kemungkinan disebabkan iskhemia sehingga mengurangi pembebasan oksigen ke jaringan. Sel dapat sembuh dari kekurangan oksigen sementara, meskipun menderita gangguan metabolisme (Spector 1993). Dalam hal ini terjadi penurunan proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria yang menyebabkan penurunan ATP. Gangguan proses penyediaan energi yang dibutuhkan oleh sel dan kerusakan sel terjadi secara tidak langsung. Kerusakan membran akan mempengaruhi pompa sodium-potasium (Na-K) yang dibutuhkan dalam pengaturan konsentrasi ion Natrium dan Kalium di dalam dan di luar sel. Lesio yang jelas terlihat dalam pengamatan histopatologi organ testis adalah edema (Gambar 18). Edema tersebut ditandai dengan peningkatan cairan intratubuli seminiferi (Himawan 1973). Menurut Porter (2006) testikular edema kemungkinan menghambat spermatogenesis melalui berbagai mekanisme meliputi hipoksia, produksi radikal bebas, dan penghambatan sitokinesis. Menurut Jubb et al. (1992), testikular edema secara histologi memperlihatkan pemisahan tubulitubuli, pelebaran tubuli, vakuolisasi germinal epitel, pelebaran limfatik, dan degenerasi awal (Gambar 19).
50
Gambar 18. Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat edema. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X).
Gambar 19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tampak inti-inti piknotik (panah merah) dan vakuolisasi (panah hitam) dengan pewarnaan HE dengan perbesaran 200X. Pada preparat histopatologi terlihat adanya kongesti atau pembendungan (Gambar 20). Keadaan ini ditandai dengan peningkatan volume darah dan sel darah merah terlihat memenuhi buluh darah sehingga buluh darah terlihat
51
berdilatasi. Keadaan ini dapat terjadi akibat iskhemia pembuluh darah. Bila kongesti terjadi lebih lama umumnya akan diikuti oleh edema, atropi, dan degenerasi sel parenkim akibat anoksia sampai terjadi nekrosis (Himawan 1973). Edema dan kongesti ini kemungkinan akan mendorong terjadinya fibrosis jaringan akibat aliran statis darah (Gambar 21).
Gambar 20. Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi lumen buluh darah. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X).
Gambar 21. Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO2, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan ikat peritubuler. (Pewarnaan HE, Perbesaran 100X). Testosteron disintesis di sel Leydig, dikontrol oleh sekresi LH yang dihasilkan dari hipofisis, FSH berperan pada stimulasi sekresi testosteron melalui pematangan sel Leydig (Karadag 2007a). Testosteron sendiri merupakan hormon
52
androgen utama yang ditemukan pada kelinci meskipun beberapa androgen lain seperti dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron. Pada penelitian pendahuluan dengan menggunakan dosis pemaparan yang berbeda, kelompok perlakuan mendapatkan pemaparan SO2 terdiri dari : A1 pemaparan SO2 dengan dosis <100 ppm, kelompok A2 pemaparan SO2 dengan dosis 100-200 ppm, A3 pemaparan SO2 dengan dosis 200-300 ppm dan kelompok kontrol yang tidak dipapar. Didapatkan semua kelompok yang mendapat pemaparan SO2 perinhalasi secara nyata menurunkan jumlah sel Leydig dibandingkan kelompok kontrol, dan perbedaan kelompok kontrol dengan perlakuan berbeda bermakna secara statistik (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO2 dalam berbagai dosis Jumlah sel intersisial kelamin jantan Perlakuan Sel Leydig
Ket :
A1
101.00±21.21a
A2
103.50±14.06a
A3
79.67±4.16a
K
184±25.13b
Huruf pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata (P>0.05). A1 = Pemaparan SO2 dengan dosis <100 ppm A2 = Pemaparan SO2 dengan dosis 100-200 ppm A3 = Pemaparan SO2 dengan dosis 200-300 ppm K = Kelompok kontrol
Pada penderita PPOK akibat SO2 diperkirakan terjadi penurunan sekresi LH oleh hipofise akibat hipoksia yang terjadi pada hipotalamus. Gangguan hormonal ini akan mempengaruhi sel Leydig sebagai reseptor LH untuk mensintesis testosteron. Sedikitnya jumlah sel Leydig sebagai penghasil testosteron menandakan rendahnya sirkulasi hormon androgen ini (Castro et al. 2002). Selain penurunan jumlah sel Leydig, inhibisi hipofise/pituitari dapat menyebabkan atrofi sel Leydig sebagai konsekuensi hipoksia (Gosney 1981). Kelanjutan dari efek hipoksia ini secara lebih spesifik terhadap organ testis adalah pengaruhnya secara langsung dan tidak langsung (gangguan vaskularisasi). Secara tidak langsung, penurunan kadar LH menyebabkan penurunan sintesis testosteron oleh sel Leydig dan penurunan ini akan mempengaruhi sintesis protein
53
di dalam sel target di dalam testis. Hal ini akan menyebabkan hambatan fungsi dan pertumbuhan testikular yang bisa menyebabkan pengecilan ukuran tubuli, diikuti degenerasi elemen intrasel dan fibrosis peritubuler (Kupperman 1971). Sementara hipoksia dan iskhemia menyebabkan vaskularisasi terganggu sehingga mengakibatkan gangguan suplai oksigen ke sel–sel testis. Soukhova-O’Hare (2008) menemukan Chronic Intermitent hypoxia (CIH)tidak menyebabkan penurunan kadar testosteron dan kerusakan histopatologi testis baik jumlah ataupun bentuk sel Leydig dan sel sertoli. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan yang dialami bersifat sementara, dan tubuh masih dapat kembali ke proses normal
4.4 Kemampuan Kontraksi Otot Polos Korpus Kavernosum Proses fisiologi ereksi memerlukan kondisi normal dari psikologis, neurovaskular, dan relaksasi otot polos korpus kavernosum. Penyebab disfungsi ereksi (DE) secara garis besar dibagi menjadi DE psikogenik dan DE organik. Dengan diketahuinya proses fisiologi ereksi diketahui bahwa DE organik merupakan penyebab dari + 70% DE . Pada penelitian ini digunakan organ bath
untuk menilai kemampuan
relaksasi otot polos korpus kavernosum yang merupakan proses fisiologis vital dalam mekanisme terjadinya ereksi. Kemampuan kontraksi dari otot tersebut terlebih dahulu dinilai dengan memberikan norepinefrin (phenylephrine) dengan dosis 10-8M sampai 10-4M. Didapatkan bahwa pada kelompok kontrol kemampuan kontraksinya lebih baik dan berbeda pada semua konsentrasi zat (Lampiran 2).
Kontraksi
54
10-8
10-7
10-6
10-5
10-4
Dosis phenylephrine
Kontraksi
Gambar 22. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M pada kelompok kontrol.
10-8
10-7
10-6
10-5
10-4
Dosis phenylephrine
Gambar 23. Grafik peningkatan kontraksi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan phenylephrine dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M pada pelompok perlakuan.
55
2000 1800 Perubahan Kontraksi (%)
1600 1400 1200
1094,55
1000 800 588,67
600 400 200
14,04 2,27
34,01 11,04
518,5
220,2
132,97 35,04
0 PE 10‐8
PE 10‐7
Dosis phenylephrine (M)
PE 10‐6
PE 10‐5 Kontrol
PE 10‐4
Perlakuan
Gambar 24. Persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum invitro pada masing-masing dosis pemberian phenilephrine Menurunnya kemampuan kontraksi pada kelinci PPOK terjadi karena otot polos korpus kavernosum kelinci mengalami degenerasi dan fibrosis, disertai apoptosis (Averesa et al. 2004). Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Masson Trichrom untuk membedakan jumlah otot polos dengan jaringan ikat. Didapatkan pada kelompok kelinci kontrol jumlah otot polos dan jaringan ikat normal. Pada hewan perlakuan terjadi penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum (penjelasan lebih lengkap pada bagian berikutnya). Hal inilah yang menyebabkan kemampuan kontraksi korpus kavernosum kelinci perlakuan menurun. Perbedaan kontraktilitas antara hewan kontrol dan perlakuan semakin jelas dengan penambahan dosis obat.
4.5 Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Cyclic AMP dan cGMP merupakan messenger kedua pada proses relaksasi otot polos. Keduanya mengaktivasi cAMP- dan cGMP- protein kinase dependent sehingga terjadi fosforilasi protein dan mengubah ion channel sehingga terjadi
1. Pembukaan channel kalium dan hiperpolarisasi. 2. Pengambilan
(sekuestrasi) kalsium intraseluler oleh retikulum endoplasma. 3. Penghambatan
56
tegangan channel kalsium dependen, mencegah masuknya Kalsium. Dengan demikian terjadi penurunan kadar kalsium bebas sitosol yang mengakibatkan relaksasi (Lue 2007). Penurunan kadar PaO2 yang diukur pada penis dalam kondisi flaksid menunjukkan kegagalan respons
relaksasi. Kondisi normoksik merupakan
kondisi yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi relaksasi endotel dan neurogenik. Pada korpus cavernosum kelinci, kadar PaO2 yang rendah menurunkan kadar basal cGMP dan mencegah akumulasi cGMP yang diinduksi oleh nervus dilator. Lebih lanjut, PaO2 yang rendah menghambat aktivitas nitric oxide synthase pada korpus kavernosum sitosol (Priya 2007). Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10-4 M pada penelitian ini digunakan
beberapa
zat,
salah
satunya
asetilkolin
yang
merupakan
neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung. Pada penelitian ini didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin dari 10-8 M sampai 10-4 M . Penambahan asetilkolin pada dosis maksimal yang dapat digunakan sebagai dosis terapi 10-5 M pada kontrol terjadi relaksasi sebesar 31,18 ± 13,98% sedangkan pada perlakuan hanya menimbulkan relaksasi sebesar
Kontraksi (%)
9,19 + 11,14% (Lampiran 3).
PE
10-8
10-7
10-6 10-5 10-4 Dosis asetilkolin
Gambar 25. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M pada kelompok kontrol.
Kontraksi (%)
57
10-8
PE
10-7
10-6
10-5
10-4
Dosis asetilkolin
Gambar 26. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M pada kelompok perlakuan.
100
Perubahan Relaksasi (%)
90 Kontrol
80
Perlakuan
70 60
38,9
50
20,88
40 30 20 10
31,18 22,96 18,28
19,39 0,06
0,2
3,26
9,19
0 Ach 10‐8
Ach 10‐7
Ach 10‐6
Ach 10‐5
Ach 10‐4
Dosis Asetilkolin (M)
Gambar 27. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan asetilkolin pada masing masing dosis. Telah diketahui bahwa isoenzim PDE pada korpus kavernosum manusia terdiri atas PDE 3, 4, dan 5, tetapi jumlah yang terbanyak adalah PDE 5. Berdasarkan guideline American Urological Association (AUA), European Assotiation of Urology (EAU), dan Perkumpulan spesialis Urologi Indonesia
58
(IAUI) maka pilihan pertama pengobatan DE saat ini adalah obat oral dengan komposisi PDE 5 inhibitor yang bekerja dengan menghambat kerja enzim PDE 5 yang bekerja mendegradasi cGMP (zat aktif untuk relaksasi) menjadi 5 GMP (zat non aktif). Dengan tetap dipertahankan tingginya kadar cGMP yang merupakan zat aktif dalam proses relaksasi, maka akan terjadi proses relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi yang memadai (Seftel 2004). Untuk menilai kemampuan relaksasi setelah otot polos yang telah dikontraksikan
pada penelitian ini digunakan pula sildenafil sitrat yang
merupakan inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kemampuan relaksasi kelompok kelinci PPOK lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10-8 M sampai 10-4 M (lampiran 4). Penambahan sildenafil sitrat yang merupakan PDE-5 inhibitor sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi sebagai zat untuk terapi disfungsi ereksi adalah 10-5M dan ternyata menimbulkan
relaksasi yang lebih baik dibandingkan
Kontraksi (%)
asetilkolin.
PE
10-8
10-7
10-6 10-5 Dosis sildenafil sitrat
10-4
Gambar 28. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, pada kelompok kontrol.
Kontraksi (%)
59
10-8
PE
10-7
10-6 10-5 10-4 Dosis asetilkolin
Gambar 29. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, pada kelompok perlakuan.
80,59
100 Kontrol
Perubahan Relaksasi (%)
90
Perlakuan
64,72
80 60
51,31
44,97
70
35,91
33,36
30,4
50 14,34
40 30 20
0,23 0,03
10 0 SIL 10‐8
SIL 10‐7
SIL 10‐6
SIL 10‐5
SIL 10‐4
Dosis Sildenafil sitrat (M)
Gambar 30. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan sildenafil sitrat pada masing masing dosis. Dengan mengamati hasil pemeriksaan organ bath pada Gambar 30 & 33 terlihat bahwa relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum hewan kontrol dengan penambahan asetilkolin persentasenya berkisar 19,39 ± 9,55% sampai 38,90 ± 12,78% sedangkan dengan penambahan sildenafil sitrat yang merupakan
60
inhibitor spesifik PDE 5 persentase relaksasinya mencapai 30,40 ± 20,35% sampai 80,59 ± 17,27%. Hasil relaksasi yang disebabkan pemberian sildenafil sitrat sesuai dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa aktivitas relaksasi otot polos kavernosum terutama melaui jalur cGMP. Demikian pula pada Lampiran 3 & 4 korpus kavernosum
hewan
perlakuan (PPOK) relaksasi yang terjadi lebih baik pada pemberian sildenafil sitrat dibandingkan dengan pemberian asetil kolin. Pada dosis maksimal yang dapat ditoleransi sebagai terapi sildenafil sitrat 10-5, relaksasi yang terjadi berbeda bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan pemberian asetilkolin. Asetilkolin mempunyai efek relaksan nonspesifik, menyebabkan relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum tidak sebaik pada penambahan sildenafil sitrat (Morelli 2004). Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai efektivitas lebih rendah dibandingkan Sildenafil pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok kelinci PPOK lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada dosis 10-8 M sampai 10-7M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10-6 M sampai 10-4 M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan
Kontraksi (%)
hipoksemia PPOK pada dosis tinggi (Lampiran 5).
PE
10-8
10-7
10-6
10-5 Dosis zaprinast (M)
10-4
Gambar 31. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, pada kelompok kontrol.
Kontraksi (%)
61
10-8
PE
10-7
10-6 10-5 Dosis zaprinast (M)
10-4
Gambar 32. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan dosis 10-8 M sampai 10-4 M, pada kelompok perlakuan. 74,74
100 Perubahan Relaksasi (%)
90
Kontrol
Perlakuan
54,96
72,91
80 70
47,25
60
25,73
50 40
17,28
17,43 15,01
30 20 10
0,11
0,26
0 Zap 10‐8
Zap 10‐7
Zap 10‐6 Zap 10‐5 Dosis Zaprinast (M)
Zap 10‐4
Gambar 33. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan zaprinast dosis yang berbeda.
Pada Gambar 34 apabila dibandingkan persentase relaksasi dengan penambahan zaprinast dengan sidenafil sitrat pada korpus kavernosum hewan kontrol (normal) sesuai data farmakologi bahwa sildenafil sitrat mempunyai
62
efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan zaprinast, maka pemberian sampai dosis maksimal yang dapat dipakai sebagai dosis terapi, yaitu 10-5M, didapatkan bahwa sildenafil sitrat masih lebih tinggi efek relaksasinya tetapi tidak berbeda secara statistik. 100 90
80,6
Persentasi relaksasi (%)
80
74,7 64,7
70
56
60 45
50 40
30,4
30 20
19,4
38,9
33,4 17,3
20,9
17,4
25,7
23
31,2
10 0 10‐8. Dosis zat
10‐7. Achetylcholine
10‐6. Sildenafil sitrat
10‐5.
10‐4.
Zaprinast
Gambar 34. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan asetilkolin sildenafil sitrat dan zaprinast pada masing masing dosis pada hewan kontrol. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini pada hewan perlakuan (PPOK) didapatkan zaprinast mampu merelaksasi otot korpus kavernosum lebih baik dibandingkan dengan pemberian sildenafil sitrat dan berbeda bermakna pada semua dosis (Gambar 35). Secara fisiologis zaprinast mempunyai kemampuan menghambat PDE5 lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat. Zaprinast mempunyai kemampuan menghambat paling tinggi pada kelinci dibandingkan dengan pada manusia dan anjing (Wang et al,2001), tetapi karena dosis yang dibutuhkan untuk memperbaiki relaksasi sangat tinggi ≥ 10-6 M, sehingga tidak dapat digunakan pada penelitian klinis.
63
100
Persentasi relaksasi (%)
90 80
72,91
70 60
51,31 47,25
50
35,91
40 30 20 10 0
0,11 0,06 0,03 10‐8. Dosis zat
0,26 0,23 0,2 10‐7. Achetylcholine
14,34 15,01 3,26
18,28 9,19
10‐6.
10‐5.
Sildenafil sitrat
10‐4.
Zaprinast
Gambar 35. Persentasi perubahan relaksasi dengan penambahan asetilkolin, sildenafil sitrat, dan zaprinast pada masing-masing dosis pada hewan perlakuan Sildenafil sitrat dan zaprinast yang bersifat sebagai penghambat PDE-5 memiliki kelemahan yaitu bergantung pada produksi NO endogen dan tidak dapat membentuk NO sebagai transmitter pada fisiologi ereksi. Arterialisasi aliran darah saat ereksi nocturnal membentuk NO, sintesis cGMP dan tumesens. Pasien dengan DE menunjukkan PaO2 yang rendah pada corpus dalam keadaan flaksid dibandingkan yang tidak mengalami DE (Priya 2007; Verraty 2007). Bukti lain menunjukkan hipoksia menghambat pembentukan NO. Sintase NO merupakan proses oksigenasi yang membutuhkan molekul oksigen yang akan dikatalisasi melalui reaksi dari L-arginine ke NO. Oleh karena itu bila kadar oksigen yang rendah akan mengurangi pembentukan NO. Pengaruh efek kadar oksigen terhadap pembentukan NO pada korpus kavernosum kelinci dibuktikan apabila terjadi peningkatan kadar O2 meningkatkan aktivitas NOS, dan sebaliknya. Observasi ini berhubungan dengan penjelasan fisiologi ereksi, di mana peningkatan tekanan oksigen pada penis yang terjadi akibat dilatasi arteri memicu pembentukan NO pada korpus kavernosum yang selanjutnya menimbulkan relaksasi trabekulasi dan ereksi (Angulo et al. 2003, Soukhova-O'Hare 2008).
Perimenis (2007)
menemukan pemberian terapi Continous Positive Airway Pressurev (CPAP) pada
64
penderita PPOK menunjukkan perbaikan fungsi ereksinya. Hal ini disebabkan adanya perbaikan kadar NO, yang biasanya terjadi penurunan pada penderita PPOK akibat disfungsi endotel (Teramoto et al. 2003). Testosteron menginduksi 2 tahap proses ereksi melalui peningkatan regulasi aktivitas NO dan pembentukan cGMP pada korpus kavernosum. Hal ini diduga bersamaan dengan proses sinkronisasi proses ereksi dengan peningkatan libido pada aktivitas seksual yang telah diketahui berhubungan dengan kadar testosteron (Traish et al. 1999 ; Morelli et al. 2004). Traish dan Kim (2005) juga menduga peranan androgen pada korpus kavernosum antara lain pada: 1. Jumlah otot Korpus Kavernosum dan reaksi otot Korpus Kavernosum terhadap zat vasodilatator 2. Metabolisme jaringan ikat. 3. Diferensiasi progenitor sel stroma pada proses miogenik dan lipogenik. Pada pemeriksaan organ bath Traish et al (1999) dan Morelli et al (2004) menemukan bahwa penurunan kadar androgen menurunkan kemampuan relaksasi korpus kavernosum dengan perangsangan saraf dan kemampuan tersebut kembali degan pemberian testosteron. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan ekspresi gen PDE-5 dan ekspresi protein dan aktivitas sintesis enzymatik endogen NO (eNOS dan iNOS). Terapi sulih hormon androgen meningkatkan regulasi aktivitas ekspresi PDE-5 dan ekspresi NO. Hal ini menunjukkan bahwa testosterone berperanan pada proses ereksi di tigkat perifer (Traish et al. 1999; Morelli et al. 2004; Hwang dan Lin 2008). Kondisi ini juga ditemukan pada klinis, di mana penderita DE mengalami perbaikan klinis lebih banyak pada terapi kombinasi dengan testosteron (Hwang et al. 2006; Shabsigh 2004). Hipoksia juga dapat meningkatkan aktivitas simpatis aferen. Peningkatan aktivitas ini selanjutnya meningkatkan vasokonstriksi dan menyebabkan penurunan aktivitas sintesis NO pada korpus kavernosum penis (Verratti et al. 2007). Fletcher (2003) dan Musicki (2006) mendapatkan pada Chronic intermittent hypoxia (CIH) terjadi overaktifitas sistem saraf simpatis yang selain menyebabkan hipertensi, menyebabkan peningkatan resistensi terhadap otot polos korpus kavernosum, dan mencegah terjadinya ereksi.
65
Pada keadaan fisiologis pembentukan ATP sebagai sumber energi sel diawali dengan proses gikolisis, diawali dengan perubahan glukosa menjadi asam piruvat yang menghasilkan 2ATP, selanjutnya asam piruvat dirubah menjadi asetil Ko-A yang secara langsung tidak menghasilkan ATP tetapi, 4 atom hidrogen yang terbentuk akan menghasilkan 6 ATP pada proses oksidasi berikutnya. Pada proses selanjutnya, siklus asam sitrat akan dihasilkan 2 ATP. Sehingga 90% kebutuhan ATP sel dihasilkan oleh proses fosforilasi oksidasi atom hydrogen di dalam mitokondria yang membutuhkan tersedianya oksigen (Guyton et al. 1997, DiazEnrich et al 2002). Oksida nitrat (NO) adalah satu mediator yang terpenting pada proses terjadinya ereksi terutama dibentuk pada sel endotel melalui sintesis Larginin endogen oleh eNOS dan sebagian kecil dari ujung saraf post sinap melalui sintesis L-arginin endogen oleh nNOS membutuhkan tersedianya oksigen (Roman et al 2006, Rosenberg 2007) Beberapa penelitian untuk menilai kondisi hipoksia terhadap kadar ATP, cGMP dan cAMP dilakukan antara lain, Diaz-Enrich et al 2002 menggunakan Mytilus galloprovincialis hewan moluska yang mempunyai habitat kadar O2 rendah, setelah dilakukan ekspos dengan oksigen yang cukup selama 24 jam, diinkubasi dalam keadaan hipoksia, didapatkan terjadi peningkatan kadar ATP dalam waktu 3 jam pertama desertai penurunan secara cepat sampai 24 jam pertama dan tetap rendah sampai hewan mati pada hari ke-9. Demikian pula pada penelitian lanjutan kadar cGMP meningkat sampai 6 jam dan menurun drastis sampai 24 jam pertama dan tetap rendah sampai hewan mati pada hari ke-6. Kadar ATP normal dibutuhkan sebagai sumber energi proses pengambilan Ca+ ke dalam retikulum endoplasma agar kadar Ca+ intraseluler rendah untuk terjadinya relaksasi (Guyton and Hall 1997).
Pada kadar ATP yang rendah pada hipoksia
akan menyebabkan kadar Ca+ intra sel tetap tinggi sehingga relaksasi otot polos terganggu. Peningkatan kadar ATP pada awal hipoksia dapat terjadi sebagai reaksi sel dengan terjadinya aktivasi glikolisis anaerob sehingga terbentuk asam laktat yang akan terdifusi pada cairan intra dan ekstraseluler. Keadaan hipoksia yang berlanjut disertai pembentukan asam laktat yang bersifat toksik yang akan menyebabkan suasana asidosis pada sel (Guyton and Hall 1997). Pada hipoksia dan asidosis
66
dengan dosis nonlethal (tidak sampai menyebabkan kematian) akan menyebabkan penurunan secara drastis jumlah cGMP pada penelitian menggunakan kultur sel endotel jantung tikus Sprague-Dawley (Agullo et al 2002) Berdasarkan beberapa penelitian diatas didapatkan bahwa keadaan hipoksia akan menyebabkan terjadinya penurunan kadar NO dari endotel dan kadar ATP secara langsung karena pembentukannya 90% berlangsung di mitokondria yang membutuhkan tersedianya oksigen, demikian pula keadaan hipoksia akan menurunkan kadar cGMP intra seluler. Sel pada kondisi hipoksia nonlethal, pada fase awal hipoksia,
ATP akan dihasilkan melalui glikolisis
anaerob yang mengasilkan pula asam laktat yang bersifat toksik. Keadaan hipoksia yang berlanjut disertai kondisi asidosis karena terbentuknya asam laktat akan semakin menurunkan kadar cGMP. Sel otot polos korpus kavernosus akan terjadi relaksasi apabila tersedia cGMP dalam jumlah yang cukup, dapat melalui pembentukannya yang memadai atau degradasinya yang dihambat dan memerkukan kadar Ca+ intra sel yang rendah melalui pengambilan Ca+ kedalam retikulum endoplasma. Dalam kondisi hipoksia ditemukan kadar cGMP yang rendah karena proses pembentukannya yang berkurang, maka hal ini dapat menerangkan penyebab terjadinya penurunan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus kelinci yang mengalami hipoksia sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi.
4.6 Perubahan Histopatologi pada Otot Polos Korpus Kavernosum Pemeriksaan histopatologi pada korpus kavernosum dengan pewarnaan Mason-trichrom untuk menilai perubahan histopatologi yang terjadi karena hipoksemia kronis karena SO2 dinilai dengan sistem skoring terhadap penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat. Pada kelompok kontrol tidak didapatkan perubahan yang jelas, dimana jumlah otot polos dan jaringan ikat masih normal pada 9 hewan (75%), 1(8%) mengalami penurunan otot polos <50% dengan skor 2, dan 2 (17%)
mengalami penurunan jumlah otot polos dan
peningkatan jaringan ikat yang berat (> 50%). Hal ini terjada pada hewan yang kadar PaO2 mendekati 60 mmHg dengan gambaran paru yang sudah mengalami bronkitis kronis. Pada kelompok perlakuan sebaliknya terjadi perubahan
67
gambaran histopatologi yang jelas pada semua hewan, pada 10 (83,3%) hewan mengalami penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat derajat berat (skor 3), sedangkan sisanya 2 ekor (16,7%) mengalami penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat derajat sedang (skor 2). Dengan analisis statistik didapatkan adanya perbedaan yang bermakna p < 0,0001 (Gambar 36). 12
jumlah (ekor)
10 8 6 4 2 0 Ringan
Sedang
Skor histopatologi korpus kavernosum
Gambar 36.
Berat kontrol
perlakuan
Jumlah kelinci berdasarkan skor histopatologi korpus kavernosum pada kelompok kontrol dan perlakuan terdapat perbedaan bermakna.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa hipoksemia kronis karena pemaparan menggunakan SO2 dapat menyebabkan penurunan jumlah sel otot polos dan peningkatan jaringan ikat yang mengakibatkan penurunan kemampuan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus kavernosum yang merupakan penyebab proses patofisiologi pada gangguan disfungsi ereksi pada PPOK.
Gambar 37. Dengan pewarnaan Mason-Trichrom didapatkan : gambar kiri sediaan dari korpus kavernosum pada kelinci perlakuan (PPOK) sedangkan gambar kanan sediaan korpus kavernosum kelinci kontrol.
68
Traish dan Kim (2005) juga menemukan penurunan jumlah sel otot polos pada hewan yang dikastrasi. Dengan pewarnaan Masson Trichron pada Korpus Kavernosum kelinci yang dikastrasi mengalami penurunan jumlah sel otot polos (merah) dan peningkatan jumlah jaringan ikat (biru). Pada penelitian lanjutan didapatkan adanya penimbunan sel lemak (adipose) pada subtunika albugenia. Hal ini diduga penyebab gangguan veno oclusive pada proses ereksi sehingga terjadi disfungsi ereksi. Moon et al. (2004) dengan pemberian bisphenol A dan tetrachloro dibenzodioxin
(TCDD)
untuk
merusak
endokrin
didapatkan
terjadinya
penimbunan lemak abnormal pada subtunika albugenia korpus kavernosum, disertai peningkatan jumlah sel otot dan penebalan tunika albugenia. Pada pemeriksaan organ bath
terjadi penurunan kemampuan, relaksasi korpus
kavernosum. In vivo, penurunan kadar oksigen akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologi dan patologi sel yang berhubungan dengan peningkatan sitokin dan growth factor yang memiliki peran penting regulasi sintesis dan pembentukan protein jaringan ikat. Pada otot polos korpus kavernosum tikus pada kultur jaringan dalam keadaan hipoksia meningkatkan ekspresi transforming growth factor 1 (TGF-1), a pleotrophic cytokine yang dikenal dapat menginduksi ekspresi matriks ekstraselular dan menghambat pertumbuhan dan proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Sedangkan pada otot polos korpus kavernosum manusia TGF-1 bersifat mitogen dan dapat menginduksi 2 – 4 kali lebih banyak peningkatkan sintesis kolagen. Kondisi ini juga dianggap terjadi pada keadaan hipoksia kronik pada manusia dan dapat menyebabkan perubahan struktur pada penis. Selain itu kadar Platelet Derived Growth Factor (PDGF) meningkat yang dapat menginduksi pembentukan jaringan ikat (Aversa, 2001). Corradi et al. (2004) mendapatkan penghambatan terhadap aktivitas 5α reduktase menginduksi remodeling stroma (jaringan ikat) dan dediferensiasi otot polos prostat. 5 α reduktase bekerja merubah testosteron menjadi 5 α DHT. Dari data ini diduga kekurangan 5 α DHT menjadi penyebab dediferensiasi pada otot polos korpus kavernosum.
69
Penyebab cedera pada sel dapat disebabkan karena : (1) defisiensi, berupa kurangnya zat yang dibutuhkan sel, (2) intoksikasi karena adanya zat yang menganggu fungsi sel dan (3) trauma berupa cedera fisik yang menyebabkan hilangnya integritas struktur sel. Hipoksia termasuk dalam golongan penyebab cedera berupa defisiensi. Keadaan hipoksia menyebabkan metabolisme anaerob sehingga pembentukan ATP sangat rendah, hal ini dapat mengakibatkan terganggunya
pompa
Natrium (Na)
membran
plasma
sehingga
terjadi
penumpukan Na intra sel dan difusi K keluar sel sehingga air akan masuk kedalam sel dan terjadi edema pada sel serta retikulum endoplasma. Metabolisme anaerob menghasilkan zat asam laktat yang banyak, akan menyebabkan asidosis dan pH yang rendah, hal ini merupakan pencetus pelepasan enzim lisosom sehingga dapat mendegradasi struktur sitoplasma dan inti sel yang merupakan salah satu penyebab mekanisme cedera sel yang irreversible. Pada pemeriksaan akan didapatkan jumlah lisosom yang rendah karena rusak. Indikator paling jelas pada kerusakan sel yang bersifat irraversibel adalah perubahan inti sel karena degradasi dari DNA sehingga sedikit yang dapat diwarnai karena inti sel mencair dan keluar ke sitoplasma hal ini disebut karyolisis, dapat pula inti sel mengkerut dan memadat disebut pyknosis, dan pecah sehingga tersebar di sitoplasma disebut karyorrhesis (Nowak et al. 2004, Cotran et al.1999). Analisa statistik untuk menilai faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan skoring patologi anatomi pada penelitian ini antara rerata perubahan kadar PaO2, perubahan kadar testosteron dan free testosterone menggunakan analisa statistik Kruskal-Wallis didapatkan, hanya perubahan kadar PaO2 yang bermakna dengan p < 0,004, sedangkan perubahan kadar testosteron tidak bermakna p= 0,634 dan perubahan free testosterone tidak bermakna p= 0,803. Pada penelitian ini didapatkan bahwa penurunan kadar PaO2 karena hipoksemia berat PaO2 <60 mmHg secara langsung menyebabkan perubahan skoring histopatologi berupa penurunan jumlah sel otot polos dan peningkatan jaringan ikat korpus kavernosus, yang dibuktikan dengan terjadinya penurunan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosus.
70
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Pada hewan model kelinci yang telah dilakukan paparan dengan SO2 : 1.
Pemaparan SO2 menimbulkan PPOK.
2.
PPOK menyebabkan penurunan kadar testosteron, free testosteron, kemampuan kontraksi dan relaksasi otot polos korpus kavernosum.
3.
Hipoksemia kronis karena pemaparan SO2 menyebabkan penurunan jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat korpus kavernosum.
4.
Pemberian zaprinast pada dosis tinggi (> 10-6) memperbaiki kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum kelinci PPOK tetapi tidak pada pemberian asetilkolin dan sildenafil sitrat.
5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab mekanisme terjadinya disfungsi ereksi pada PPOK dengan pemeriksaan : 1.
Kadar cGMP otot polos korpus kavernosus.
2.
Histopatologi untuk menilai kelainan otot, kadar dan aktivitas eNOS dan nNOS.
71
DAFTAR PUSTAKA Aasebo U, Gyltnes A, Bremnes RM, Aakvaag A, Slordal L. 1993. Reversal of sexual impotence in male patients with chronic obstructive pulmonary disease and hypoxemia with long-term oxygen therapy. J Steroid Biochem Mol Biol 46:799-803. Adelstein RS, Sellers JR. 1987. Effect of Calcium on vascular smoth muscle contraction. Am J Cardiol 59:4B-10B. Agullo L et al. 2002. Hypoxia and acidosis impair cGMP synthesis in microvascular coronary endothelial cells. Am J Physiol Heart Circ Physiol 283: H917–H925. Ahn HS, Park CM, Lee SW. 2002. The clinical relevance of sex hormone levels and sexuality in the ageing male. BJU International.89:526-530. Allard J, Giuliano F. 2004. Central Neurophysiology of Penile Erection. In: Seftel AD et al. editor. Male and Female Sexual Dysfunction. Philadelphia: Mosby;3-18 Andersson KE. 2002. Pharmacology of penile erection. Pharmacological Review 53:417-450. Andrew PJ, Mayer B. 1999. Enzymatic function of Nitric Oxide synthases. Cardiovasc Res 43:521-531 Angulo J et al. 2003. Activation and potentiation of the NO/cGMP pathway by NG-hydroxyl-L-arginine in rabbit corpus cavernosum under normoxic and hypoxic conditions and ageing. British Journal of Pharmacology 138:6370. Anonim. 2005. Persebaran ternak kelinci di Indonesia. www.deptan.go.id. [25 Maret 2005] Argiolas A et al. 1987. Paraventricular nucleus lesion prevents yawning and penile erection induced by apomorphine and oxytocin but not by ACTH in rats. Brain Res 421:349-352. Aversa A, Isidori AM, Spera G, Lezi, Fabbri A. 2003. Androgens improve cavernous vasodilation and response to sildenafil in patients with erectile dysfunction. Clin Endocrin 58:632-3. Aversa A et al. 2000. Androgens and penile erectile: Evidence for a direct relationship between free testosterone and cavernous vasodilation in men with erectile dysfunction. Clin Endocrin 53:517-22. Aversa A et al. 2004. Hormonal supplemen and erectile dysfunction. European Urology 45:535-538.
72
Aversa A et al. 2001. Platelet-derived growth factor (PDGF) and PDGF receptors in rat corpus cavernosum: Changes in expression after transient in vivo hypoxia. Journal of Endocrinology 170,395-402. Baba K, Park CM, Lee SW. 2000. Delayed testosterone replacement restores Nitric Oxide synthase-containing nerve Æbres and the erectile response in rat penis. BJU Int 85:953-958. Bapenas. 2002. Budidaya peternakan kelinci. www.ristek.go.id [17 Februari 2005] Ballard SA et al . 1998. Effects of Sildenafil on the relaxation of human corpus cavernosum tissue in vitro and on the activities of cyclic Nucleotide Phosphodiesterase Isoenzymes. J Urol 159:2164-71 Baulieu EE. 1997. Neurosteroids of the nervous system, by the nervous system, for the nervouse system In Conn PM. Rec Prog Horm Res 52, 1- 32. Beyer C, Gonzalez-Mariscal G. 1994. Effects of sex steroids on sensory and motor spinal mechanisms. Psychoneuro endocrinology 19:517-527. Burnet AL, Lowenstein CJ, Bredt DS, Chang TSK, Snyder SH. 1992. Nitric Oxide; a Physiologic Mediator of Penile Erection. Science 257:401 Carbone DJ, Seftel AD. 2004. Pathophysiology of male erectile dysfunction. In: Seftel AD et al. editor. Male and female seksual dysfunction. Philadelphia: Mosby. 19-29 Carter AJ, Balard SA, Naylor AM. 1998. Effect of the selective Phosphodiesterase type 5 inhibitor Sildenafil on erectile function in the anesthetized dog. J Urol 160: 242-246 Castro ACS, Berndtson WE, Cardoso FM. 2002. Plasma and testicular testosterone levels, volume density and number of Leydig cells and spermatogenic efficiency of rabbits. Medical and Bio J 35:493-498. Coffey DS. 1998. The physiology of reproduction. In: Knobil E, Neil J, editor. Androgen action and the sex accessory tissue. New York: Raven Press. 1081-111 Corbin JD, Francis SH. 2003. Molecular biology and pharmacology of PDE-5inhibitor therapy for erectile dysfunction. J Androl. Nov-Dec;24(6 Suppl):S38-41 Corradi LS, Góes RM, Carvalho HF, Taboga SR. 2004. Inhibition of 5-alphareductase activity induces stromal remodeling and smooth muscle dedifferentiation in adult gerbil ventral prostate. Differentiation 72:198-208.
73
Cotran RS, kumar V, Collins T, 1999. Cellular pathology I : cell injury and cell death. In: Pathologic basis of disease. Ed.6. WB Saunders. 1-29. Creutzberg EC, Wouters EF, Mostert R, Pluymers RJ, Schols AM. 2003. A role for anabolic steroids in the rehabilitation of patients with COPD? A double-blind, placebo-controlled, randomized trial. Chest. 124:1733-1742. Creutzberg EC, Casaburi R. 2003. Endocrinological disturbances in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J Supl 46:76s-80s. Cunnigham GR, Hirshkowits M. 1997. Androgen deficiency. In: Hellstrom W, editor. Male infertility and sexual dyfunction. New York: Springer. 345 Davidson JM et al. 1983. Hormonal changes and sexual function in ageing man. J Clin Endocrinol Metab 57:71-77. Diaz-Enrich MJ, Ramos-Martinez JI, Ibarguren I, 2002. Implication of guanosine 3′,5′-cyclic monophosphate, adenosine 3′,5′-cyclic monophosphate, adenosine 5′-mono-, di- and triphosphate and fructose-2,6-bisphosphate in the regulation of the glycolytic pathway in hypoxic/anoxic mussel, Mytilus galloprovincialis. Molecular and Cellular Biochemistry 240: 111–118. Draznin MB, Rapoport RM, Murad F. 1986. Myosin ligth cain Phosphorylation in kontraction and relaxion of intact rat thoraric aorta. Int J Biochem 18:917928. Farias JG et al. 2005. Effect of chronic hypobaric hypoxia on testis histology and round spermatid oxidative metabolism. Andrologia 37:47-52. Ferrini RL, Barret-Connor E. 1998. Sex hormone and age: a cross-sectional study of testosteron and estradiol and their bioavailable fractions in community dwelling men. Am J Epidemiol 147:750-754. Fletcher EC. 2003. Sympathetic over activity in the etiology of hypertension of obstructive sleep apnea. Sleep 26:15-9. Foreman MM, Wernicke JF. 1990. Approaches for the development of oral drug therapies for erectile dysfunction. Semin Urol 8:107-112. Fujimoto R et al. 1994. Androgen receptors, 5 alpha-reductase activity and androgen-dependent proliferation of vascular smooth muscle cells. J Steroid Biochem Mol Bio 59:169:174. Garban H et al. 1995. Effect of aging on nitric oxide-mediated penile erection in rats. Am J Physiol 268:467.
74
Gosney JR. 1981. Atrophy of Leydig cells in the testes of men with longstanding chronic bronchitis and emphysema. J Thorax 36:605-609. Gosney JR. 1984. Effects of hypobaric hypoxia on the Leydig cell population of the testis of the rat. Endocrinol 103:59-62. Gosney JR. 1987. Atrophy of Leydig cells in the testis of men with longstanding chronic bronkitis and emphysema. Thorax 42:615-619. Granata AR et al. 1997. Relationship between sleep-related erections and testosterone levels in men. J Androl 18:522-527. H Guyton AC, Hall JE, 1997. Metabolism of carbohydrates, and formation of adenosine triphosphate. In: Human physiology and mechanisms of disease. Ed.6.Philadelphia: WB Sauders. 551-559. arknes JE, Wagner JE, 1983. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. Ed.3. Lea and Febiger. Philadelphia. Himawan. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Anatomi FKUI. Hogg JC. 2004. Pathophysiology of airflow in chronic obstructive pulmonary disease. Lancet 364:709-721. Hwang TI, Lin YC. 2008. The relationship between hypogonadism and erectile dysfunction. Int J Impot Res 20:231-235. Hwang TI et al. 2006. Hormone levels in middle-aged and elderly men with and without erectile dysfunction in Taiwan. Int J Impot Res 18:160-3. Ibanez M et al. 2001. Sexuality in chronic respiratory failure: Concidences and divergences between patient and primary caregiver. Respiratory Med 95: 975-979. Iwase N et al. 1997. Signature current of SO2 induced bronkitis in rabbit. J Clin Invest 99:1651-1661. Jackson G. 1999. Erectile dysfunction and cardiovascular disease. Int J Clin Pract. Jul-Aug;53(5):363-8. Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1992. Pathology of Domestic Animals Vol 3. Ed ke-4. San Diego : Academic Press. Kamischke A et al. 1998. Testosterone Levels in Men With Chronic Obstructive Pulmonary Disease With or Without Glucocorticoid Therapy. Eur Respir J 11:41-45.
75
Karadag F, Ozcan H, Karul AB, Ceylan E, Cildag O. 2007a. Correlates of erectile dysfunction in moderate-to-severe chronic obstructive pulmonary disease patients. Respirology 12:248-53 Karadag F, Ozcan H, Karul AB, Yilmaz M, Cildag O. 2007b. Sex hormone alterations and systemic inflammation in chronic obstructive pulmonary disease. Int J Clin Pract 63:275-281. Katzung BG. 2003. Basic and Clinical Pharmacology (9th ed.). McGraw-Hill Medical. Kobzik L. 1999. The Lung. Cotran RS, Kumar V, Collins T, editor. Robbins Pathologic Basis of Disease. Ed ke-6. Philadelphia: Saunders. 706-712 Köseoğlu N et al. 2005. Erectile dysfunction prevalence and sexual function status in patients with chronic obstructive pulmonary disease. J Urol 174:249252. Kupperman HS. 1971. Drill’s Pharmacology in Medicine. USA: McGraw-Hill. Leleulya MR, Wiyono WH,Yunus F, Taher A, Rasyid N. 2006. Pengaruh Penyakit Paru Obstruktif Kronik Terhadap Disfungsi Ereksi. (Tesis). Jakarta: Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Lue TF. 2000. Erectile dysfunction. N Engl J Med. 342:1802-1813. Lue TF. 2004. Male Sexual Dysfunction. In: Tanagho EA, McAninch JW.editor. Smith’ s General Urology, Ed-16. Mc Graw-Hill, New York. 592- 611. Lue TF. 2007. Physiology of penile erection and pathophysiology of erectile dysfunction. In: Wein AJ, Karoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. editor. Campbell’s Urology. Ed-9. Vol 1. 718-749. Luscher T, Barton M. 1997. Biology of the Endothelium. Clin Cardiol 20 supl 2:II3-II10. Macey PM et al. 2005. Hypoxia reveals posterior thalamic, cerebellar, midbrain, and limbic deficits in congenital central hypoventilation syndrome. J Appl Physiol. Mar;98(3):958-69. MacNee W, 1999. Chronic obstructive pulmonary disease : Epidemiology, pathophysiology and clinical evaluation. In: Albert RK, Spiro SG, Jett JR, editor. Clinical respiratory medicine. Ed.2.Phyladdelphia: Mosby. 415-456. Mahadevan R et al. 1998. Ex vivo expression of Nitric Oxide synthase isoforms (eNOS/iNOS) and Calmodulin in human penile cavernosal cells. J Urol 160:2210-2215.
76
Malole, M.B.M dan Pramono, C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. PAU. IPB. Marson L, Platt KB. McKenna KE. 1993. Central nervous system innervation of the penis as revealed by the transneuronal transport of pseudorabies virus. Neuroscience 55:280. Masters WH, Johnson VE. 1970: Human Seksual Respone, Boston, Little Brown. Mathers CD, Loncar D. 2006. Projections of global mortality and burden of disease from 2002 to 2030. PLoS Medicine. McCullough, 2002. Four-year review of Sildenafil Citrate. Reviews in Urology 4: S26 – 38. Melis MR, Succu S, Argiolas A. 1996. Dopamine agonists increase nitric oxide production in the paraventricular nucleus of the hypothalamus: correlation with penile erection and yawning. Eur J Neurosci 8:2056-2063. Melis MR, Argiolas A, Gessa GL. 1987. Apomorphine-induced penile erection and yawning: site of action in brain. Brain Res 415:98-104. Mills TM, Stopper VS, Wiedmeier VT. 1994. Effects of castration and androgen replacement on the hemodynamics of penile erection in the rat. Biol Repro 51:234-238. Moon DG, 2004. Effect of TCDD on corpus cavernosum histology and smooth muscle physiology. Int J Impot Res 16:224-30. Morelli A et al. 2004. Androgens regulate phosphodiesterase type 5 expression and functional activity in corpora cavernosa. Endocrinology 145:22532263. Morley JE et al. 1997. Potentially predictive and manipulabe blood serum correlates of aging in the healthy human male: progressive decreases in bioavailable testosterone, dehydroepiandrosterone sulfate, and the ratio of insulin-like growth factor 1 to growth hormone. Proc Natl Acad Sci USA; 94:7537-7524. Mulligan T, Schmitt B. 1993. Testosterone for erectile failure. J Intern Med 8:517 -521. Munthe E, Yunus F, Wiyono WH, Ikhsan M. 2003. Pengaruh inhalasi Sulfur Dioksida terhadap Kesehatan Paru. Bagian Pulmonologi dan Kesehatan Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rumah Sakit Persahabatan. Jakarta. Musicki B, Burnet AL, 2006. eNOS function and dysfunction in penis. Exp Biol Med (Maywood). 231:154-165
77
Nadelhaft I, McKenna KE. 1987. Sexual dimorphism in sympathetic preganlionic neurons of the rat hypogastric nerve. J Comp Neurol 256:308-315. Nadelhaft I, Roppolo J, Morgan C et al. 1983. Parasympathetic preganlionic neurons and visceral primary afferents in monkey sacral spinal cord revealed following application of horseradish peroxidase to pelvic nerve. J Comp Neurol 216:36-52. NIH Consensus Development Panel on Impotence. 1993. NIH Consensus Conference: Impotence. JAMA 270:83-90. Nowak TJ, Handford AG, 2004. Cell injury. In: Pathophysiology conceps and applications for health care professionals. Ed.3. New York: Mc Graw-Hill. 5-26. Penson DF et al. 1996. Androgen and pituitary control of penile NOS and erectile function in the rat. Biol Reprod 55:567-574. Perimenis P et al. 2007. The impact of long-term conventional treatment for overlap syndrome (obstructive sleep apnea and chronic obstructive pulmonary disease) on concurrent erectile dysfunction. Respir Med. 101(2):210-6. Porter
KL. 2006. Recovery of spermatogenesis after Toxic Insult. http://www.mdanderson.org/departments/reprobio/dindex. [23 Feb 2006].
Priya P, Mccullough AR. 2007. Penile oxygen saturation in the flaccid and erect penis in men with and without erectile dysfunction. Journal of Andrology. 28:223-228. Reilly JJ, Silverman EK, Shapiro SD. 2005. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Di dalam: Kasper et al, editor. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. Ed-16. USA. McGraw-Hill. 1547-1554. Roman LJ, Masters S, Sue B, 2006. The cytochromes p450 and nitric oxide synthases. In: Devlin TM, editor. Texbook of biochemistry with clinical correlations. Ed.6. Hoboken: Wiley-Liss. 432-439. Rommerts FFG. 1998. Testosterone: An overview of biosynthesis, transport, metabolism and nongenomic action. Di dalam: Nieschlag E, Behre HM, editor. Testosterone Action Deficiency Substitution. Germany: Springer. 131. Rosenberg MT. 2007. Diagnosis and management of erectile dysfunction in the primary care setting. Int J Clin Pract 61:1198-208. Sach BD, Meisel RL. 1988. The physiology of male sexual behavior. In: Knobil E et al. editor. The physiology of reproduction. New York: Raven pres. 1393-1423
78
Schonhofer B et al. 2001. Sexuality in patiens with noninvasive mechanical ventilation due to chronic respiratory failure. Am J Respir 164:1612-1617. Seftel AD. 2004. Erectile dysfunction in elderly : Epidemiology, etiology and approaches to treatment. In: Seftel AD et al. Male and female sexual dysfunction, Philladelphia. 241-254. Semple PD’A, Beastal GH, Watson WS, Hume R. 1981. Hypothalamic-Pituitary Dysfunction in Respiratory Hypoxia. Thorax 36:605-609. Semple PD’A et al. 1984. Sex hormone suppression and sexual impotence in hypoxic pulmonary fibrosis. Thorax 39:46-51. Shabsigh R. 2004. Testosterone therapy in erectile dysfunction. Aging Male 7:312-318. Sommer F, Engelmann U. 2004. Future options for combination therapy in the management of erectile dysfunction in older men. Drugs Aging 21:555564. Soukhova-O'Hare GK, et al. 2008. Erectile dysfunction in a murine model of sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 178:644-650. Spector SL. 1993. Update on exercise-induced asthma. Ann Allergy.71:571-7. Speizer FE. 2005. Environmental Lung Diseases. Di dalam: Kasper et al, editor. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. Ed-16. USA. McGraw-Hill. 1521-1528. Svartberg J, Aasebo U, Hjalmarsen A, Sundsfjord J, Jorde R, 2004. Testosterone treatment improves body composition and sexual function in men with COPD in a6-month randomized controlled trial. Respiratory Medicine. 98:906-913. Taher A, Birowo P. 2004. Efikasi L-arginin, donor NO, inhibitor Fosfodiesterase V dan Yohimbine terhadap relaksasi korpus kavernosum kelinci. J Urol Indo 11:16 -20. Taher A. 1993. Fosfodiesterase nukleotida siklik pada otot polos korpus kavernosum manusia: Karakteristik dan efek berbagai zat penghambat (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran. Teramoto S et al. 2003. Oxygen administration improves the serum level of nitric oxide metabolites in patients with obstructive sleep apnea syndrome. Sleep Med 4:403-7. Traish AM et al. 1999. Effects of catration and androgen replacement on erectile function in a rabbit model. Endocrinology 140:1861 – 1868
79
Traish A, Kim N. 2005. The physiological role of androgens in penile erection: regulation of corpus cavernosum structure and function. J Sex Med 2:759770. Trigo-Rocha F et al. 1993. Nitric Oxide and cGMP mediators of pelvic nervestimulated erection in dogs. Am J Physiol 264:419-422. Trigo-Rocha F, Hsu GL, donatucci CF, Lue TF. 1993b. The role of Cyclic Adenosine Monophosphate, Cyclic Guanosine Monophosphat, Endothelium and Nonadrenergic, Nonchholineric Neurotransmission in Canine Penile Erectile. J Urol 149:872-877. Trussell JC, Anastasiadis AG, Nathan HP, Shabsigh R. 2004. Oral type 5 Phosphodiesterase therapy for male and female sexual dysfunction. Male and Female Seksual Dysfunction. Philadelpia: Mosby. 107-119. Update Projections of Global Mortality and Burden Disease. 2006. A Respone to the need for comprehencive, consistent and comparable global information on diseases and injuries. World Health Organization . Verratti V et al. 2007. The role of hypoxia in erectile dysfunction mechanisms. Int J Impotence Research 19:496–500. Vermeulen A. 1991. Clinical review 24 : Androgens in the Aging Male. J Clin Metab 73:221-224. Wang P et al. 2001 . Characterization of human, dog and rabbtis corpus cavernosum type 5 phosphodiesterases. Live Sciences 68:1977-1987
Walsh MP. 1991. The Ayerst Award Lecture 1990. Calcium dependent mechanism of regulation of smooth muscle contraction. Biochem Cell Biol 69:771-800. Weiss GB.1986. Phospholipids, calcium binding and arterial smooth muscle membranes. Prog Clin Biol Res 219:123-32. Wibberley A, Nunn AP, Naylor AM, Ramage AG. 2002. An investigation of the effects of zaprinast, a PDE inhibitor, on the nitrergic control of the urethra in anaesthetized female rats. Br J Pharmacol 136: 399–414.
80
Lampiran 1. Rerata dan simpang baku kadar PaO2 (mmHg) pada awal, selama pemaparan dengan gas SO2, dan hingga akhir penelitian dan nilai P.
Awal
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Kontrol
75,34 ± 8,24
76,51 ± 10,11
69,96 ± 6,56
69,96 ± 6,56
83,41 ± 10,89
Perlakuan
78,76 ± 6,54
59,91 ± 8,18
56,36 ± 13,42
65,49 ± 12,31
64,01 ± 11,10
49,01 ± 5,23
P
0,219
0,000
0,017
0,590
0,000
0,000
Lampiran 2. Rerata ± simpang baku persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan phenilephrine dan nilai P Dosis
Rerata ± simpang baku
P
Kontrol
Perlakuan
PE 10-8
14,04 ± 26,20
2,27 ± 12,66
0,031
PE 10-7
34,01 ± 51,87
11,04 ± 34,21
0,017
PE 10-6
132,97 ± 159,36
35,04 ± 51,33
0,001
PE 10-5
588,67 ± 459,18
220,20 ± 135,07
0,001
PE 10-4
1.094,55 ± 797,40
518,50 ± 246,38
0,002
Lampiran 3. Rerata ± simpang baku % perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan asetilkolin dan nilai P Dosis
Rerata ± simpang baku
P=
Kontrol
Perlakuan
Ach 10-8
19,39 ± 9,55
0,06 ± 10,54
0,000
Ach 10-7
20,88 ± 21,79
0,20 ± 9,35
0,000
Ach 10-6
22,96 ± 11,66
3,26 ± 10,05
0,000
Ach 10-5
31,18 ± 13,98
9,19 ± 11,14
0,000
Ach 10-4
38,90 ± 12,78
18,28 ± 11,01
0,000
81
Lampiran 4. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan sildenafil sitrat dan nilai P Dosis
Rerata ± simpang baku
p=
Kontrol
Perlakuan
SIL 10-8
30,40 ± 20,35
0,03 ± 16,53
0,000
SIL 10-7
33,36 ± 19,94
0,23 ± 20,76
0,000
SIL 10-6
44,97 ± 23,72
14,34 ± 23,41
0,000
SIL 10-5
64,72 ± 19,82
35,91 ± 17,77
0,000
SIL 10-4
80,59 ± 17,27
51,31 ± 16,68
0,000
Lampiran 5. Rerata ± simpang baku kontraksi otot polos korpus kavernosum kontrol dengan penambahan zaprinast dan nilai P Dosis
Rerata ± simpang baku
P=
Kontrol
Perlakuan
Zap 10-8
17,28 ± 18,92
0,11 ± 6,06
0,000
Zap 10-7
17,43 ± 13,82
0,26 ± 4,62
0,000
Zap 10-6
25,73 ± 22,55
15,01 ± 10,63
0,190
Zap 10-5
54,96 ± 27,96
47,25 ± 13,26
0,245
Zap 10-4
74,74 ± 19,92
72,91 ± 8,05
0,130