Penulis Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton
1
BANYUMAS: Fiksi & Fakta Sebuah Kota Penulis : Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton Editor Cover Tata letak:
: : Privat Lespanglo : bukutujju
Hak Cipta pada Penulis Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit
Diterbitkan oleh Beranda Budaya Desa Bojongsari Rt 02/ Rw 05 Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Purwokerto Email :
[email protected] Blog : berandaperadaban.blogspot.com bekerjasama dengan bukutujju divisi bukuKatta villa bukit cemara no. 1, mojosongo, solo blog. bukukatta.blogspot.com | bukutujju.blogspot.com ANGGOTA IKAPI Cetakan 1 Januari 2013 ISBN : 978-979-1032-??-? Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) BANYUMAS: Fiksi & Fakta Sebuah Kota Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton Cetakan 1 – Solo Penerbit Beranda Budaya dan bukutujju, 2013 164 halaman : 14 x 20,5 cm ISBN : 978-979-1032-??-? I. Non Fiksi II. Abdul Azis Rasjid, Arif Hidayat, dan Teguh Trianton
2
Kata Pengantar BILA dipikir-pikir ataupun diingat secara mendalam, bahwa mulanya kami tak pernah merencanakan untuk membukukan esai-esai di dalam buku ini secara bersamaan. Mulanya, kami menulis esai-esai ini secara lepas, yakni untuk koran-koran, majalah, kata pengantar buku, ataupun menulis saat diminta jadi pembicara dalam sebuah diskusi. Kami menulis secara individu dan subjektif. Benar memang, bahwa kami sering berdiskusi tentang budaya dan sastra, juga perihal masalah sosial di café, angkringan ataupun di kampus, tapi diskusi itu biasanya lebih untuk mecairkan pemahaman setelah suntuk membaca atau saat ada permasalahan yang tak kunjung menemu titik terang. Mulanya, kami lebih ingin menerbitkan majalah atau semacam buletin yang diterbitkan dalam beberapa bulan sekali. Betapa beberapakali kami berdiskusi, berkonsep dan sempat bertanya-tanya pada kawan-kawan di Solo dan Yogya tentang penerbitan buletin, dan hasilnya masih dalam angan-angan. Kehampaan dan kekosongan terus menghantui kami. Butuh waktu yang cukup lama hingga mengantarkan kami bersepakat untuk menerbitkan esai tentang Banyumas ini. Dari cara kami saling mengaggumi pandangan, kritik, sanggahan, juga karakteristik saat berdiskusi, kemudian terbersit rasa penghargaan yang lebih mendalam. Dari diskusi, selalu ada intelektualitas yang baru; sebuah batas 3
pandang yang menambah penemuan. Maka itu, kami berpikir dalam tindakan yang cukup santun, yakni dengan menerbitkan secara bersama esai-esai kami tentang Banyumas: sebuah kotan kecil yang cukup unik dan sebagai subkultur Jawa. Kami menulisnya dengan berbagai macam sudut pandang. Keberagaman itulah yang dapat dilihat dalam buku ini, terutama dalam cara kami berdendang, memosisikan, menafsirkan, dan menelusuri Banyumas sebagai subkultur budaya. Kami tahu dan paham betul bahwa Banyumas tidaklah sehebat kota-kota besar di Indonesia. Namun, kami sadar, bahwa Banyumas sebagai kota yang memiliki relasi sosial juga memiliki sistem kebudayaan. Menarik kiranya, jika mengidentifikasi sebuah pola interaksi dan beberapa dinamika yang ada di Banyumas dari mulai sejarah, teknologi, film, perkembangan trend dan mode, kearifan lokal, pembacaan “tanda sosial”, sampai pada kritik sastra. Beberapa fenomena itu menarik untuk dibicarakan karena tidak banyak orang yang menyadari posisi dan jaraknya dalam keberadaan mereka sendiri. Dan hal itu, ternyata ada di Banyumas. Tentunya, sebuah kota yang dipandang sebagai subkultur Jawa memiliki perbedaan dengan kota lainnya. Iktikad lain yang membuat kami pada akhirnya berkeras hati menerbitkan esai-esai karena minimnya tinjauan popular kritis yang membicarakan Banyumas. Kebanyakan orang membicarakan Banyumas lebih dari sejarah, babad, cerita, dan kenangan-kenangan. Bukan berarti semua itu tidak penting, melainkan patut untuk kita sadari bahwa keberpijakan kita di masa sekarang juga tidak kalah pentingnya. Semua itu dalam rangka kesadaran agar sejarah, babad, cerita, dan kenangan-kenangan tidak menjadi belenggu bagi kehidupan yang lebih cerah lagi. 4
Jika dicermati, tidak banyak buku yang membicarakan Banyumas. Kalaupun ada, jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari, yang kebanyakan bermula dari penelitian, baik penelitian individu dalam tugas belajar maupun penelitian dalam rangka pengabdian kepada masyarakat. Buku-buku tersebut biasanya ditulis dengan sangat ilmiah dan bahasanya cukup kaku sehingga terasa membosankan bila dibaca dari awal hingga akhir. Paling-paling, yang betah membaca adalah orang-orang yang sedang memiliki kepentingan untuk melakukan penelitian serupa. Padahal, yang diharapkan dari sebuah buku yang disebarkan luas pada masyarakat itu untuk dibaca tidak hanya bagi yang berkepentingan saja. Alangkah baiknya sebuah buku yang berisi kata-kata dapat menjadi bagian dari realitas. Mohon maaf bila pernyataan ini menyinggung, namun begitulah kenyataan di masyarakat yang menjunjung tinggi keberlisanan dan senantiasa merayakan visualisasi. Dan kami merasa penting kiranya untuk menyuguhkan bacaan ringan tentang sebuah kota yang menjunjung tinggi keberlisanan dan senantiasa merayakan visualisasi untuk mencintai aksara. Dalam artian, ada usaha dari kami untuk turut menggairahkan “budaya membaca” yang mulai luntur dalam simpang- siur gejolak mode. Kendati esai-esai di dalam buku ini bermula dari koran-koran, majalah, kata pengantar buku, ataupun saat diminta jadi pembicara dalam sebuah diskusi, itu bukan berarti kami berkhianat pada dunia tulis-menulis dengan melakukan auto-plagiasi. Pembukuan esai-esai ini lebih dimaksudkan sebagai dokumentasi, memperbanyak referensi tentang Banyumas, juga untuk menampilkan keutuhan agar mudah dipahami oleh orang, selain —tentunya— mudah dilacak jejaknya. Sulit rasanya untuk dilacak bila tulisan hanya
5
bertebaran di koran, yang berlalu dalam sekali terbit (sehari), lantas menjadi bungkus nasi rames. Perlu untuk diketahui bahwa esai-esai yang ada di dalam buku ini berbasiskan observasi dengan interpretasi yang cukup menarik melalui pembacaan terhadap “tanda sosial”. Adakalanya esai ditulis berdasarkan pengalaman, berdasarkan keturutsertaan dalam peristiwa tertentu, namun tak menutup kemungkinan juga bermula dari diskusi (wawancara mendalam) yang kemudian diolah untuk ditulis secara naratif, deskriptif dan argumentatif. Hanya saja, memang, dalam tulisan-tulisan kami, hanya menggunakan teknik cuplikan untuk memperkuat bukti bahwa pandangan yang ditulis bukan asal menduga. Kendati cara pandang kami di dalam esai (sebagai sebuah pemikiran) adalah subjektif, tetapi kami ingin menyapaikan sesuatu dengan dapat dipertanggungjawabkan dan logis. Begitulah sepantasnya sebuah esai dapat bergema sebagai pengetahuan dan bersuara atas lingkungan di sekitarnya. Di akhir pengantar ini, perkenankanlah kami untuk mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Kami juga ingin menyampaikan terima kasih kepada kawan-kawan di Banyumas yang dengan sengaja atau tidak sengaja berdiskusi dengan kami, dan ternyata menjadi ide dari salah satu tulisan yang termuat di buku ini. Kami sering menghabiskan malam berdiskusi di Angkringan Mas Manggar (di belakang Kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan kepadanya kami ucapkan terima kasih untuk kesediaan tempat dan kerelaan hati turut berdiskusi. Purwokerto, 20 Nopember 2012 Beranda Budaya 6
DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi SEJARAH Epik Banyumas sebagai Muatan Lokal Museum Sokaraja Riset Masjid Sayid Kuning TEKNOLOGI Identitas Kultural “KayaKiye” Nativisme dalam Film Indie Banyumas Videografi Budaya Banyumas Regenerasi Sinematografi Purbalingga Perempuan Banyumas dalam Film Video(tron) Pendidikan di Purbalingga IKON, TANDA, DAN RUANG Semiotika Pembangunan Purbalingga Ikonisitas Masyarakat Banyumas Kartun Banyumasan sebagai Dagelan Budaya 7
Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna Ancas Politik Bahasa Banyumas Rumah dalam Lintas Lokalitas KEARIFAN LOKAL DAN REVITALISASI Batik Warisan Budaya Nirgenerasi Kearifan Lokal Banyumas dalam Film Revitalisasi "Dagelan" Banyumas SASTRA Kontestasi Sastra di Banyumas Ihwal Ekranisasi Ronggeng Dukuh Paruk Identitas Wong Banyumas dalam Cerpen Antologi Sastra dan Lembaga yang Memproduksi HTKP: Sastra Indie dari Kota Mendoan Sastra Banyumas di Dunia Gadget Religiusitas Alam Penyair Mas’ut Aura Modern dan Tubuh di dalam Puisi Dharmadi Identitas Bahasa dari Cerpen Ryan Rachman Bahasa, Cermin, Kaca Pembesar dalam Puisi Badruddin Emce Badruddin, Diksi dan Identitas Diri BIODATA ESAIS
8
Sejarah
9
Epik Banyumas sebagai Muatan Lokal SEJARAH berdirinya Kabupaten Banyumas dan sekitarnya (Banyumas, Purbalingga, Cilacap, Banjarnegara) memiliki pertalian yang begitu erat, bahkan tak dapat dipisahkan satu dengan lainya. Nama-nama tokoh epik di Banyumas memiliki narasi paralel dengan asal-usul dan tokoh epik di wilayah sekitarnya. Sebut saja; Raden Joko Kahiman, Banyak Catra atau Kamandaka, Pule Bahas, Dewi Ciptarasa, Pasir Luhur, Kembang Wijaya Kusuma, Arsantaka, Tepus Rumput, Adipati Onje, atau Adipati Merden. Nama-nama yang Saya sebut di atas adalah nama tokoh yang terdapat dalam khasanah kearifan sejarah lokal Banyumas Raya. Dalam banyak kisah (babad di Banyumas), nama-nama tersebut saling berkaitan. Nama-nama tersebut sesungguhnya begitu lekat dengan narasi historis berdirinya kabupaten-kabupaten di wilayah Eks Karesidenan Banyumas. Dan tentu saja sangat familiar bagi masyarakat Banyumas. Tapi tunggu dulu, sebab nyatanya nama tokoh epik tersebut ternyata menjadi sangat asing di telinga generasi muda dan pelajar Banyumas.
10
Mereka justru lebih familiar dengan tokoh-tokoh epik ilusif dari negeri seberang. Mereka lebih paham siapa Batman, Peter Parker, Clark Kent, Rambo, atau Harry Potter, Cinderela, atau Romeo-Juliet. Yang tadi memang bukan tokoh epik nyata, melainkan tokoh dunia dongeng atau khayalan. Tapi popularitasnya melampaui tokoh-tokoh epik dalam negeri, apalagi tokoh epik lokal Banyumas. Kearifan Lokal Narasi sejarah berdirinya Banyumas, dan kabupaten di sekitarnya sangat panjang. Di Purbalingga terdapat tiga babad. Yaitu babad Onje, babad Purbalingga, dan babad Jambukarang. Kemudian di Banyumas sendiri terdapat di babad Pasir-Banyumas. Konsekuensinya sejarah ini meninggalkan banyak tokoh yang namanya berkelindan dengan lahirnya Kabupaten Banyumas dan sekitarnya. Belajar sejarah, sebenarnya bukan sekedar mengingat nama, tempat atau angka tahun belaka. Sebab sejarah tidak hanya menyisakan kisah dan latarnya. Pada setiap sejarah atau kisah epik selalu meninggalkan ajaran tentang nilai-nilai moral, kearifan, religiositas, bahkan falsafah hidup. Yang terpenting dari belajar sejarah adalah bagaimana kita menjadi tahu dan mengenal jati diri. Sehingga kita tidak mudah tercerabut dari akar sejarah, tidak mudah terpengaruh gerusan budaya asing yang tidak sejalur dengan peradaban bangsa kita. Sesungguhnya, pada sejarah berdirinya Banyumas terdapat banyak nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang layak dipelajari dan diteladani. Beberapa diantaranya adalah 11
narasi epik Raden Joko Kahiman, Pule Bahas, epik Kerajan Pasir Luhur, kembang Wijaya Kusuma dan Nusa Kambangan. Di Purbalingga terdapat epik Kyai Jambu Karang yang dimakam di petilasan Ardi Lawet Kecamatan Rembang, Raden Narasoma di petilasan Narasoma, Ki Arsantaka di petilasan Arsantaka Kecamatan Purbalingga. Adipati Onje di Onje Kecamatan Mrebet dan Adipati Dipakusuma dan Tumenggung Dupayuda di petilasan Giri Cendana Kecamatan Bojongsari. Kepahlawanan dan keluhuran budi sederet tokoh epik lokal tersebut, patut disejajarkan dengan tokoh-tokoh epik nasional. Namun selama ini, kearifan lokal yang merupakan warisan budaya tak benda (intangible asset) dari tokoh legenda ini tak pernah dikenalkan pada generasi muda. Setali tiga uang, keberadaan artefak peninggalan sejarah bendawi (tangible asset) yang tersebar di wilayah Banyumas Raya juga tak dikenal oleh generasi muda. Beberapa diantaanya berupa bangunan kuno seperti Masjid Kuning di Onje, tempat yang dianggap sakral seperti; Batu Tulis di Desa Cipaku Kecamatan Mrebet, Batu Lingga dan Gua Genteng di desa Candinata Kecamatan Kutasari, Sendang atau Petirtaan di desa Semingkir, Kecamatan Kutasari. Di Desa Kedungbenda Kecamatan Kemangkon terdapat Batu Lingga, Yoni dan Palus, di Kecamatan Karangjambu terdapat Menhir dan Punden berundak. Di Kecamatan Rembang terdapat monumen tempat lahir (MTL) Panglima besar (Pangsar) Jendral Sudirman.
12
Kurikulum Keberadaan artefak peninggalan peradaban masa lampau tersebut sesungguhnya dapat dijadikan media pembelajaran (pendidikan). Bahkan jika dikelola dengan manajemen yang profesional, eksistensi warisan budaya ini menjadi potensi wisata budaya yang menarik wisatawan. Artinya, upaya pelestarian warisan budaya ini tak hanya bernilai edukasi tapi juga ekonomis. Di wilayah Banyumas Raya sesungguhnya terdapat banyak potensi potensi wisata edukasi dan budaya. Seperti museum uang, taman reptile dan insekta, taman biota air tawar dan taman buah-botani di Purbalingga. Iini semua dapat dijadikan media edukasi bidang sains. Kemudian museum Prof Dr Soegarda Poerbakawatja, monumen tempat lahir (MTL) Pangsar Sudirman. Museum Soesilo Soedarman dan Benteng Pendem di Cilacap, belasan Candi dan situs bersejarah di Banjarnegara Nah, permasalahannya adalah keberadaan sumbersumber belajar sejarah dan kearifan lokal tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh dunia pendidikan. Guru, sekolah dan dinas pendidikan belum memiliki itikad baik untuk mengemas narasi-narasi epik lokal menjadi salah satu mata pelajaran yang penting dipelajari di dunia pendidikan formal. Saya melihat ada kegamangan pada stoke holder pendidikan untuk memasukan sejarah lokal menjadi bagian dari kurikulum pendidikan. Ini terjadi karena KTSP belum dipahami secara holistik. Tafsir linier atas KTSP sebagai turunan KBK membuat guru sejarah dan dinas pendidikan
13
sebagai kepanjangan tangan pemerintah lupa dengan potensi-potensi yang ada di depan mata. Multikulturalisme Yang selama ini terjadi adalah dunia pendidikan begitu gencar mengenalkan peradaban baru yang datang dari luar. Ini merupakan keniscayaan sebagai efek pencanggihan teknologi informasi dan akselarasi kemajuan ilmu pengetahuan. Namun jika tidak diimbangi dengan internalisasi nilai-nilai luhur budaya bangsa maka ini akan mengakibatkan generasi muda teralienasi dari jati dirinya. Mereka tidak lagi mengenal asal-usul karena perkembangan peradaban cenderung membentuk karakter manusia menjadi kongruen, sama dan sebangun. Tak ada lagi identitas, dan lokalitas, semua bergerak ke arah yang sama menuju satu titik yang sama. Lantas menjadi lupa dari mana berasal. Jika narasi sejarah epik Banyumas telah menjadi bagian dari mata pelajaran di sekolah, maka generasi muda terkini akan menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus kehilangan sejarah dan jati dirinya. Mereka akan jadi SDM yang canggih dan selalu terkini tetapi tetap merayakan seni tradisi. Belajar sejarah epik lokal merupakan bagian dari spirit menghargai mulikulturalisme budaya dalam semangat membangun peradaban bangsa.***
14
Museum Sokaraja SOKARAJA bukanlah wilayah kota yang dibangun dengan konsep tataruang paling mutakhir. Sokaraja hanya sebuah kota kecamatan di Kabupaten Banyumas, secara geografis berada di sebelah timur kota Purwokerto –ibukota Banyumas sekarang-. Namun sudut-sudut tempat ini menjadi sejenis memori yang menyimpan berbagai sejarah yang terekam sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam. Beberapa diantaranya merupakan potensi warisan budaya (cultur heritage) representasi kearifan lokal yang tak lagi mendapat perhatian. Setidaknya ada 4 (empat) jenis aset warisan budaya di Sokaraja yang layak dijadikan bahan studi. Yaitu (a) sejarah tanam paksa (cultuurstelsel), (b) industri batik Banyumas, (c) lukisan rakyat, dan (d) pendidikan (religiusitas). Ini dapat dijadikan modal dasar bagi pendidikan karakter anak bangsa. Namun sayangnya penetrasi dan gerusan akselarasi arus pencanggihan teknologi mengancam sebagian warisan budaya tersebut. Jika dibiarkan begitu saja, bukan mustahil generasi sepuluh tahun mendatang akan kehilangan referensi tentang identitas kulturalnya.
15
Sejarah Merunut sejarah, masa kolonial Belanda (tahun 18401870), Sokaraja merupakan distrik pertama tempat investasi dan eksperimentasi sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Saat itu adalah masa perlawanan Pangeran Diponegoro. Sistem tanam paksa berimplikasi positif bagi pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api, jalan raya, jembatan, pasar, saluran irigasi, dan lain-lain. Semua dalam rangka kelancaran tanam paksa. Bahkan pada tahun 1839, di wilayah selatan Sokaraja (sekarang Kecamatan Kalibagor) didirikan Pabrik Gula (PG) Kalibagor. Tanam paksa berjasa mengenalkan model pertanian homogen yang hingga sekarang masih dipraktekan. Model ini mewajibkan petani dalam satu wilayah hanya menanam satu jenis tanaman. Saat itu jenis tanaman wajib adalah tebu yang menjamin berlangsungnya produksi di PG. Sementara, di wilayah lain, petani hanya boleh menanam satu jenis tanaman yang berbeda seperti kopi, teh, tembakau, kakao dan lain-lain. Tiap wilayah memiliki keunggulan produk pertanian yang berbeda-beda. Nilai positif praktek tanam paksa merupakan salah satu keunikan warisan budaya yang dilupakan. Setali tiga uang, PG Kalibagor yang pernah menjadi salah satu sentra produksi gula pasir terbesar di tanah Jawa, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Pabrik ini terakhir beroperasi sekitar tahun 1996 dan resmi ditutup oleh pemerintah setempat pada tahun 1997, karena pasokan bahan baku utama terus menyusut.
16
Batik Diakuinya batik sebagai salah satu warisan budaya umat manusia yang berasal asli dari Indonesia oleh UNESCO beberapa waktu lalu membuka horizon harapan bagi perkembangan batik lokal Banyumas. Sejarah batik Banyumasan sebagian bermula dari Sokaraja. Di sini, yang menjadi sentra industri antara lain Desa Sokaraja Kidul, Sokaraja Lor, Sokaraja Tengah, Sokaraja Kulon, dan Karang Duren. Di luar Sokaraja, terdapat di Desa Pekunden, Pasinggangan, Sudagaran, dan Papringan Kecamatan Banyumas. Saat ini industri batik di Sokaraja terancam stagnasi. Ini terjadi akibat minimnya minat generasi muda untuk belajar membatik. Belum lagi persaingan dengan batik dari luar daerah. Lukisan Seni membatik sesungguhnya identik dengan melukis. Ini pula yang kemudian di Sokaraja pernah berkembang industri kreatif jenis lukisan. Sekitar tahun 1970 hingga 1980an konon Sokaraja dikenal sebagai kota galeri lukisan terpanjang di Asia. Lukisan Sokaraja dikenal dengan gaya Mooi Indie atau Hindia Molek (Tubagus P. Svarajati). Diungkapkan bahwa estetika Mooi Indie pada lukisan Sokaraja relevan dengan kebudayaan masyarakat Jawa saat itu. Lukisan Sokaraja saat ini menjadi barang antik yang sangat langka. Jika pada tahun 1990-an lukisan Sokaraja masih mudah dijumpai, maka saat ini nyaris tidak ada. 17
Semangat dan hasrat untuk melukis mulai luntur dari akar tradisi, ini terjadi akibat kurangnya apresiasi generasi muda dan gerusan arus budaya modern yang merusak sistem sosial. Religiusitas Pada masa kolonial, Belanda sempat mendirikan sekolah di Sokaraja khusus bagi pendidikan anak turunan orang Belanda yang menjadi pegawai di PG. Kemudian, Belanda mendirikan Sekolah Bumiputra (Inlandsche School) atau Sekolah Rakyat (Volksschool) bagi anak turunan pribumi yang orang tuanya bekerja sebagai pejabat pemerintah. Namun, pada bidang pendidikan Sokaraja justru lebih dikenal dalam bidang keagamaan sehingga kerap dijuluki Kota Santri. Julukan ini hingga sekarang masih lekat. Puluhan Pondok Pesantren yang diasuh oleh kiyai kharismatik bertebaran di sudut Sokaraja. Warisan religiusitas masyarakat juga tercermin pada berbagai jenis seni tradisional yang berkembang di Banyumas, seperti Hadroh, Wayang, Kethoprak Tobong, Tari dan lain-lain. Museum Saat ini kondisi sebagian besar warisan budaya tersebut sangat memprihatinkan. Salah satu cara untuk melestarikan sejarah dan nilai-nilai luhur yang terkandung adalah dengan mendirikan museum Sokaraja. Museum ini bisa diwujudkan dengan memanfaatkan gedung eks PG Kalibagor yang juga bagian penting sejarah berdirinya Kabupaten Banyumas. Langkah awal adalah menelusuri dan mengumpulkan kepingan artefak sejarah dan warisan budaya yang pernah 18
ada. Berikutnya didokumentasikan (disimpan) dalam museum. Sebagai pusat dokumentasi warisan budaya, museum dapat dimanfaatkan sebagai pusat studi sejarah dan kearifan lokal, melengkapi keberadaan museum Wayang Sendang Mas di Kota Lama Banyumas. Puncaknya, museum menjadi salah satu media edukasi dan pembentukan karakter bagi pelajar. ***
19
Riset Masjid Sayid Kuning MASJID Sayid Kuning di Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga, selama ini lebih dikenal sebagai pusat pelestarian ajaran Tarikat Islam Aboge daripada sebagai situs purbakala. Padahal, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, masjid itu termasuk benda cagar budaya yang wajib dilindungi keberadaannya. Nama Islam Aboge, biasanya ramai dibicarakan pada saat menjelang penetuan awal Ramadan dan hari raya Idul Fitri. Hal itu terjadi lantaran ketentuan hari-hari atau tanggal tersebut kerap berbeda dari ketetapan pemerintah dan umat Islam lainnya. Ajaran Islam Aboge sendiri kali pertama diperkenalkan oleh Ngabdullah Syarif Sayid Kuning. Dalam buku Sejarah Lahirnya Purbalingga, rekontruksi hasil penelitian LPM UGM Yogyakarta 2007, ia disebut dengan nama Sayid Abdullah. Rekontruksi sejarah itu dibangun berdasarkan cerita yang berasal dari beberapa babad yang ada di Purbalingga dan Banyumas.
20
Aboge Terminologi aboge sendiri merupakan akronim dari kata Alif, Rebo, dan Wage. Aboge adalah sistem penghitungan kalender yang didasarkan pada masa peredaran windu atau delapan tahun. Satu windu menurut kalender Aboge terdiri atas tahun Alif, Ha, Jim awal, Za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Menurut kalender Aboge, 1 Muharam —yang pertama— dipercaya jatuh pada tahun Alif, hari Jumat, dengan pasaran Pon. Tahun Alif adalah tahun pertama, sedangkan hari Jumat dan pasaran Pon adalah hari dan pasaran pertama.Kalender Aboge mengenal lima pasaran; yaitu Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing. Kemudian jumlah hari dalam sebulan rata-rata 29 hingga 30 hari. Dengan sistem kalender itu, penganut Aboge dapat menentukan kapan dan pada hari apa 1 Ramadan atau 1 Syawal tiba. Sistem perhitungan itu kerap menimbulkan perbedaan antara penganut Aboge dengan umat Islam lainnya, termasuk ketetapan pemerintah dalam penetapan awal puasa Ramadan. Sayid Kuning Sebenarnya, silsilah atau asal-usul Raden Sayid Kuning sendiri tidak begitu jelas. Dalam buku sejarah versi Babad Purbalingga, hanya ada tokoh bernama Sayid Abdullah atau Kyai Samsudin. Pada versi Babad Onje, nama Abdullah disebut dengan Ngabdullah (hlm 27).Versi Babad Purbalingga menyebutkan, Sayid Abdullah adalah menantu Adipati Onje II, Kiai Dipati Anyakrapati. Dia 21
mempersunting putri pertama Anyakrapati —hasil perkawinannya dengan istri kedua—, yaitu putri Adipati Pasir Luhur (hlm 23). Sementara itu versi Babad Onje justru menyebutkan tokoh bernama Abdullah (Ngabdullah) sebagai Kiai Dipati Anyakrapati. Dia adalah anak tiri Kiai Tepusrumput atau yang dikenal dengan nama Ki Ageng Ore-Ore (Adipati Onje I) (hlm 27). Namun dalam peta silsilah Babad Banyumas (hlm 37); sub-bagian Babad Purbalingga (Onje) disebutkan bahwa Sayid Abdullah adalah suami dari Putri Adipati Onje II, hasil perkawinan dengan Putri Pasir Luhur. Adipati Onje II punya dua istri, yaitu Putri Cipaku dan Putri Pasir Luhur. Karena perselisihan, keduanya lalu dibunuh. Sebagai gantinya, disuntinglah putri Kiai Pingen bernama Arenan. Adipati Onje I menyebarkan agama Islam pada kurun waktu antara Abad XVI sampai XVII. Setelahnya, dilanjutkan oleh Sayid Kuning. Oleh masyarakat, nama Raden Sayid Kuning dikenal sebagai ulama penerus perjuangan Adipati Onje dalam menyebarkan agama Islam. Sayid Kuning-lah yang menciptakan sistem kalender Aboge, yang hingga sekarang masih dilestarikan oleh pengikutnya. Masjid Tertua Meski belum ada penelitian arkeologi, namun Masjid Sayid Kuning (Masjid Onje) diyakini sebagai masjid tertua di Purbalingga. Bahkan usia masjid tersebut diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Demak. Masjid Onje dibangun sekitar Abad XIII oleh Syekh Syamsudin. Kali pertama dibangun, empat tiang penyangga 22
utama dibuat dari batang pohon pakis, dan atapnya dibuat dari ijuk. Sayangnya tidak ada tanda-tanda khusus, baik berupa goresan, tulisan, gambar, maupun simbol lain yang menunjukkan angka tahun pembuatannya. Pada masa Wali Songo, masjid itu dirombak. Tiang penyangga diganti dengan kayu jati yang hingga sekarang masih asli. Setelah merenovasi Masjid Onje, empat wali yaitu Sunan Kalijogo, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, pindah ke Demak dan mendirikan Masjid Agung Demak. Dengan demikian, masjid di Desa Onje itu diyakini lebih tua dari Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak kali pertama didirikan pada 1466 oleh Sunan Ampel. Masjid itu dulunya merupakan bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi. Pada 1477, masjid dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak, dan direnovasi lagi pada 1478. Situs Budaya Secara historis, Masjid Sayid Kuning disebut sebagai masjid tertua. Keberadaanya setara dengan situs yang harus dilindungi. Sebab dalam Pasal 1 UU 5/1992 antara lain disebutkan, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Namun sayangnya, hingga kini belum ada riset mendalam yang mendukung keberadaan masjid itu sebagai situs purbakala. Bahkan berkait dengan usia masjid itu pun —yang dianggap lebih tua dari Masjid Agung Demak— belum dapat dibuktikan kebenarannya.
23
Untuk itu, sebagai artefak, maka Masjid Sayid Kuning perlu dipelajari secara khusus dalam disiplin ilmu arkeologi. Disiplin itu berpotensi mengungkap kehidupan manusia di masa lalu melalui benda-benda yang ditinggalkannya. Selama ini, nilai historis masjid tersebut baru diketahui berdasarkan disiplin ilmu sejarah, yang berupaya mengungkapkan kehidupan manusia di masa lalu melalui bukti-bukti tertulis yang ditinggalkannya. Sementara itu bukti-bukti autentik tersebut jumlahnya sangat sedikit. Riset Arkeologi Secara historis, keberadaan situs Masjid Sayid Kuning tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya Kabupaten Purbalingga (versi Babad Onje). Maka sudah saatnya pemerintah daerah setempat memfasilitasi riset arkeologi tersebut. Riset itu penting, untuk membuktikan kandungan nilai sejarah, dan meluruskan simpang siur informasi mengenai usia masjid.Kemudian, terlepas dari hasil riset, mendukung atau tidak, sudah sepantasnya pemerintah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang mengatur (melindungi) dan melestarikan keberadaan masjid tersebut. Perda itu juga penting, untuk mendukung upaya pemerintah pusat yang tengah menggalakan inventarisasi dan memberikan perlindungan terhadap benda-benda cagar budaya. Perda sebaiknya juga mengakomodasi bentukbentuk dan varian cagar budaya serta artefak lain yang bernilai sejarah yang ada di Purbalingga. Dengan demikian, secara yuridis keberadaan situs purbakala itu semakin terlindungi. Dibuatnya perda itu juga menandakan apresiasi 24
yang tinggi terhadap sebagian masyarakat yang berada di sekitar wilayah cagar budaya, termasuk masyarakat yang masih menganut sistem budaya (peradaban) tertentu yang pernah ada. ***
25
Teknologi
26
Identitas Kultural “KayaKiye” TEKHNOLOGI informasi telah menciptakan dunia pengalaman yang didalamnya batas-batas geografi menjadi cair. Lewat sebuah situs jejaring sosial semacam Facebook semisal, seseorang di suatu tempat dapat berkomunikasi dengan seseorang yang tinggal di benua lain. Sedang penguasaan tekhnologi informasi pada akhirnya juga memungkinkan seseorang dapat menciptakan situs jejaring sosial yang diidealkannya: entah itu menyangkut sekadar persamaan minat, profesi atau upaya untuk mengenalkan dan menjaga identitas budaya. Perihal yang saya sebut terakhir itulah yang mungkin menjadi latar belakang penciptaan situs jejaring sosial bernama KayaKiye. Secara sepintas, tampilan perwajahan situs ini memang tak jauh beda dengan tampilan facebook yang didominasi warna biru dengan menampilkan gambar peta dunia. Hanya dalam Kaya Kiye gambar peta Indonesia berwarna lebih pekat, yang menandakan bahwa situs ini berasal dari Indonesia. Pembeda yang lain, adalah penggunaan bahasa jawa semisal jeneng pengguna, jeneng lengkap, asale sekang pada menu pendaftaran, atau sebutan ngarepan, goleti pada daftar halaman awal situs, sedang pada menu pilihan penggunakan bahasa 27
calon anggota memiliki tiga pilihan: bahasa Ngapak, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Karakteristik penggunaan bahasa yang melingkupi wilayah lokal, nasional dan internasioanal ini setidaknya mengidentifikasi bahwa situs jejaring sosial ini mungkin berasal/diciptakan oleh orang Banyumas yang dalam aktifitas komunikasi sehari-hari mengggunakan bahasa ngapak atau dikhususkan sebagai jejaring sosial dari orang Banyumas yang tidak menutup kemungkinan orang diluar Banyumas dapat terlibat untuk berinteraksi. Saat saya mendaftar pada tanggal 12 November 2012, pada menu “ngarepan” (beranda dalam Facebook) ditampilkan informasi-informasi yang menunjukkan eksistensi situs jejaring sosial ini. Dalam kolom keanggotan tercatat 72154 orang telah terdaftar, dengan aktivitas sejumlah 762141, dengan detail pertemanan sejumlah 36997 dan aktivitas komentar sejumlah 889224. Bahkan aktivitas lebih detail yang berkaitan dengan keaktifan seorang anggota ditampilkan dalam tiga kategori yaitu 1). “Juragan Jempol” yang berketerangan identitas nama anggota Kang Eng dengan aktivitas 80343, 2) “Paling akeh sing ngetutna” yang berketerangan nama Imut Wahyuningsih dengan jumlah 403, 3). “Paling akeh kancane” yang berketerangan nama Matlicin dengan jumlah pertemanan 5438. Data-data kuantitatif ini setidaknya menunjukkan bahwa para anggota dalam situs Kaya Kiye aktif untuk saling berinteraksi. Dalam “ngarepan” ini juga tertera menu “berita ngapak.com” yang berketerangan situs beritane wong ngapak. Mengamati menu ini, tersedia beberapa berita yang bersangkut dengan situasi politik, kesehatan atau ekonomi yang secara khusus terjadi di wilayah eks-karisidenan 28
Banyumas. Tapi sayangnya situs berita ini terkesan tak terurus karena info terbaru berketerangan tanggal 7 April 2011 yang memberitakan wabah chikungunya di daerah Bobotsari Purbalingga, relokasi pedagang kaki lima (PKL) pasar wage di Purwokerto, dan isu sabotase terbakarnya kilang minyak di Cilacap. Tidak terurusnya situs berita ini mengindikasikan bahwa upaya pengelola yang ingin memanfaatkan situs ini sebagai salah satu sumber rujukan situasi geopolitik di Banyumas tak tercapai. Entah karena keterbatasan pengelola untuk mencari dan giat memperbaharui berita atau sebab tak adanya minat anggota untuk beraktivitas. Sayangnya tak ada informasi yang dapat dijadikan rujukan untuk melacak sejauh apa aktivas pembaca terlibat dalam berita-berita ini, sebab tak tersedia umpan balik semacam komentar pembaca, atau sekadar keterangan jumlah pembaca yang mengunjungi suatu berita. Selain menu berita juga terdapat menu bertajuk “Kamus Ngapak”. Sayangnya, saat saya membuka menu ini terdapat keterangan dari pengelola yang menjelaskan bahwa kamus ngapak sedang dalam proses perbaikan. Mungkin, kamus ini difungsikan sebagai alat bantu untuk menemukan istilah bahasa Banyumas yang tak dimengerti oleh anggota. Tapi setidaknya dari adanya kamus ini terindikasikan usaha pengelola situs untuk mengupayakan dan mengenalkan bahasa Banyumas sebagai tawaran alat komunikasi bagi para anggotanya yang berasal dari dan luar Banyumas. Usaha-usaha mengenalkan Banyumas memang tampak massif dalam situs ini. Ketika saya memasuki menu profil, identitas visual pada profil foto yang disiapkan pengelola 29
adalah tokoh Bawor (Bagong versi Banyumas). Bawor sendiri adalah ikon Banyumas yang memiliki identifikasi umum cablaka dimana ketika ia berkomunikasi dengan orang lain selalu bertindak jujur dan apa adanya. Ditampilkannya ikon ini, mengindikasikan bahwa spirit komunikasi yang diharapkan oleh pengelola merujuk pada komunikasi khas Banyumas yang tidak menutup-nutupi sesuatu saat berinteraksi dengan orang lain. Sebagai sebuah wilayah komunikasi, kehadiran situs jejaring sosial KayaKiye memang cukup penting sebagai contoh strategi untuk mengikat suatu kelompok masyarakat yang berada pada suatu wilayah lokal (Banyumas) untuk membudayakan berinteraksi dan percaya diri dengan bahasa ngapak yang merupakan identitas sosio kulturnya. Sedang dalam wilayah teknologi informasi yang datang dan pergi, keberadaan situs Kaya Kiye memang tak dapat dipastikan apakah suatu hari mampu membawa lokalitas menjadi mengglobal atau sebaliknya lalu ikut tergerus oleh arus globalisasi yang seperti diutarakan dalam pengantar penerbit Kamus Dialek Banyumas-Indonesia (Penyusun Ahmad Tohari, 2007) telah membuat sedikitnya 169 bahasa daerah Indonesia terancam punah. Memprediksi dua kemungkinan itu memang tak mudah, tapi situs KayaKiye telah memulai diri untuk berniat menjaga dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu. Pada akhirnya, kekuatan penentu berada pada kelompok sosial yang menjadi sasaran situs KayaKiye, yaitu kemauan mereka untuk bertutur dan mengekspresikan segala pemikirannya, keluh kesahnya, ruang sosialnya bahkan persoalan negerinya dalam bahasa daerah. *** 30
Nativisme dalam Film Indie Banyumas SEJUMLAH karya film independen (indie) Banyumas dengan nuansa lokal budaya Banyumasan mendapat banyak penghargaan dan memenangi berbagai ajang festival. Film dokumenter Bioskop Kita Lagi Sedih garapan sutradara Bowo Leksono, misalnya, menjadi film terbaik Festival Film Dokumenter 2006 di Yogyakarta. Senyum Lasminah, juga besutan Bowo Leksono, menjadi film terbaik kedua dalam Festival Video Edukasi (FVE) 2007 kategori budi pekerti. Kemudian Pasukan Kucing Garong jadi film fiksi terbaik dalam Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Adu Jago juga menjadi film dokumenter terbaik pada ajang yang sama. Geliat perfilman indie Banyumas tidak hanya diakui di kancah nasional. Dua film indie Purbalingga, yaitu Peronika arahan sutradara Bowo Leksono dan Metu Getih karya Heru C Wibowo, bersama 16 film pendek Indonesia lainnya, mendapat kehormatan tampil di Europe on Screen 2007. Nativisme Film kini tidak lagi hanya diminati dan dimiliki masyarakat kota. Film, yang menurut kritikus Seno Gumira 31
Adjidarma disebut wacana kebudayaan, kini mulai mengakar, membudaya, hingga ke pelosok desa. Film diproduksi tak hanya sebagai hiburan. Demikian pula film indie. Selama ini, film indie hanya dianggap tontonan alternatif, saat perfilman nasional mengalami kejenuhan (setidaknya dalam tema yang hanya berkutat pada dunia hantu). Sebenarnya ada banyak hal yang menarik dari film indie. Antara lain kehadiran ideologi nativisme yang menjadi trade mark produk film indie Banyumas. Nativisme saya pahami sebagai gerakan pribumi: gerakan yang mengutamakan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan kaum (penduduk) asli di sebuah teritori atau wilayah geografis. Ideologi, secara positif menurut Jorge Larrain seperti dikutip Sunarto dalam Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-anak, dipersepsi sebagai pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai-nilai suatu kelompok masyarakat untuk membela dan memajukan kepentingan anggota kelompoknya. Kualitas ideologi dapat diukur dari dimensi yang membangunnya. Alfian dalam Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional memetakan tiga dimensi: (1) kemampuan ideologi sebagai cerminan realitas sosial, (2) idealisme yang terkandung, dan (3) fleksibilitas yang dimiliki. Ideologi nativisme dalam film indie Banyumas nyata tercermin dari tiga anasir, yaitu penggunaan bahasa daerah, lokalitas isu (tema), dan atribut atau tanda yang diproduksi dalam film. Bahasa Banyumas dalam film indie menjadi salah satu parameter sekaligus karakteristik film. 32
Namun, penggunaan bahasa lokal tidak hanya berfungsi untuk melengkapi ciri sebuah film agar disebut indie. Pada film indie, bahasa lokal juga merupakan sebuah ideologi yang menegaskan kecintaan budaya lokal. Sutradara Bowo Leksono, yang juga manajer Program CLC Purbalingga, memproklamirkan sudah saatnya membumikan bahasa daerah melalui karya sinematografi. Mengenai lokalitas tema, sejak awal film-film indie Banyumas berkutat pada kehidupan masyarakat bawah yang bermukim di pedesaan. Bukan berarti tema-tema yang disajikan tak pernah berkembang mengikuti arus ilmu pengetahuan. Tema tersebut makin mendekatkan masyarakat desa dengan perkembangan budaya itu sendiri. Meski telah mengideologi, tema-tema film indie Banyumas mampu mengikuti perkembangan budaya-teknologi. Hal ini terlihat dalam Peronika dan Senyum Lasminah: dua film yang meraih ba-nyak penghargaan. Sutradara mampu mengemas dua budaya yang berbeda dalam cerita sederhana. Peronika bercerita tentang kegagapan budaya-teknologi pada masyarakat desa. Idenya bermula dari layanan veronica, yaitu mesin penjawab otomatis sebuah operator seluler di Indonesia. Tokoh Ramane (ayah) tidak mampu melafalkannya, sehingga yang terucak ’’peronika’’. Nativisme film indie Banyumas ini juga tercermin dari berbagai atribut yang berperan sebagai tanda yang mewakili hubungan antara penanda dan petanda.
33
Idealisme Idealisme di sini saya pahami sebagai hubungan antara apa yang dipikirkan (diinginkan) dari gerakan kepribumian (nativisme) dan kenyataan yang terjadi dan terbangun pada film. Sedangkan fleksibilitas saya pahami sebagai kelenturan hubungan antara realitas yang tercermin dari ideologi dan pola hubungan sebab-akibat antara keinginan dan kenyataan tersebut. Fleksibilitas ideologi nativisme dalam film indie Banyumas terlihat dari bagaimana gerakan ini sanggup memengaruhi dan mewarnai geliat pertumbuhan film indie Banyumas. Sebaliknya, pertumbuhan film juga mampu melahirkan persepsi-persepsi baru tentang nativisme. Saya melihat nativisme telah membentuk idealisme, sekaligus mengandung fleksibilitas. Penggunaan bahasa daerah, lokalitas tema, dan atribut (tanda) yang diproduksi dalam film menegaskan bahwa dunia perfilman indie di Banyumas sejak awal kelahirannya memang menganut ideologi nativisme. Sebuah gerakan pribumi yang berusaha menunjukkan karakteristik, eksistensi budaya, dan nilai lokal yang oleh sementara orang masih dipandang sebelah mata. Nativisme telah mampu menghegemoni (dalam arti positif) perkembangan film indie Banyumas. Gerakan ini dengan sertamerta menggiring sineas lokal untuk mengeksplorasi khasanah budaya Banyumas, lantas disandingkan dengan budaya lain pada kancah ’’pertarungan’’ budaya nasional bahkan internasional. Nativisme juga tidak bersifat kaku. Lokalitas isu yang diangkat tidak menghambat perkembangan subtema yang ditampilkan. Meski bernuansa lokal, film indie Banyumas 34
tetapi tidak ketinggalan zaman. Tema-tema kegagapan budaya merupakan bukti bahwa yang nuansa lokal tidak selalu ketinggalan zaman. ***
35
Videografi Budaya Banyumas YANG menarik dari geliat perkembangan dunia sinematografi Banyumas adalah keajekan (konsistensi) dalam mengangkat tema, wacana, dan budaya lokal. Konsistensi itu pula yang menggiring film garapan sineas (film maker) Banyumas selalu mendapat apresiasi dan penghargaan dalam ajang festival. Sebut saja Senyum Lasminah (SL) besutan sutradara Bowo Leksono pegiat Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. SL terpilih jadi film terbaik II Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Lalu Pasukan Kucing Garong (PKG), fiksi terbaik pada Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007; Adu Jago (AJ) dokumenter terbaik pada ajang yang sama. Demikian juga dengan film Boncengan, dan Lengger Santi. Pada kancah internasional, film Peronika dan Metu Getih mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk “Europe on Screen 2007”. (EOS 2007). Pada 2008, sebuah dokumenter kehidupan orang cacat berjudul Cuthel meraih penghargaan dari Depdiknas sebagai film dokumenter terbaik FVE 2008.
36
Cikal Bakal Sesungguhnya cikal bakal seni sinematografi di Banyumas dimulai pada 1999. Bermula dari sebuah pergelaran film di kampus Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Pada 2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja nirlaba lintas seni memproduksi film perdana berjudul Kepada yang Terhormat Titik 2, disusul film Surat Pukul 00:00 (2002). Namun perkembangan yang mengesankan justru berangkat dari Purbalingga. Pada 2004, CLC memulai debut perdana. Laeli Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek berjudul Orang Buta dan Penuntunnya (OBDP) karya Ahmad Tohari itu. Film tersebut menjadi yang pertama di Purbalingga dan sempat diputar di sekolah-sekolah, kampus, dan kantong-kantong budaya. Sempat pula nongol di TVRI Jakarta, dan meramaikan ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2004. Dari Purbalingga, perkembangan seni sinematografi merambah ke Cilacap, dengan terbentuknya wadah komunitas film Sangkanparan. Hingga 2008, dari dua kabupaten itu telah lahir ratusan judul film. Bahkan film-film Banyumas yang mendapat penghargaan juga berasal dari dua wilayah tersebut. Dus, dua kabupaten itu menjadi kantong-kantong industri kreatif, penyokong terbesar perkembangan sinematografi Banyumas. Keajekan Lokalitas isu telah dipilih sebagai mainstream film-film 37
Banyumas. Itu terlihat dari keajekan tema yang diusung. Film OBDP diproduksi dengan setting masyarakat kelas bawah di Purbalingga. Film itu menjadi film pertama yang menggunakan dialek khas Banyumas. OBDP bercerita tentang seorang pengemis buta bersama pemuda yang setia menuntun dan mengantarkan mencari rejeki dengan meminta belas kasihan orang lain. Konsistensi mengusung budaya lokal itu juga terlihat pada film Peronika, SL, PKG, Boncengan, Metu Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain menggunakan dialek ngapak-ngapak, yang kental dengan fonem /a/, film-film tersebut juga mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat kecil (marginal) di Purbalingga (Banyumas). Film SL, misalnya, selain dialek ngapak-ngapak, juga mengangkat tradisi membatik, sebuah tradisi langka yang sudah mulai memudar dan membutuhkan regenerasi. Adapun film Cuthel mengajarkan falsafah hidup orang Jawa yang pantang menyerah. Nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan budi pekerti, digambarkan dalam film itu. Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar tema. Pertama, penggunaan bahasa berdialek ngapak-ngapak. Bahasa adalah salah satu unsur penting untuk membangun plot. Kedua, setting atau latar film. Ketiga, atribut (aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks, yang muncul dalam scene. Ketiganya dipadu dengan konflik-konflik sederhana namun mengena. Tema kehidupan masyarakat kelas bawah itulah, anasir keempat yang mempertegas keajekan film Banyumas.
38
Produk Budaya Pada dasarnya, film (dalam konteks media massa) lewat sajian yang selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada penonton (Melvin de Fleur, 2004). Artinya, media massa, termasuk film, berkuasa mendefisinikan norma-norma budaya masyarakat. Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respons manusia terhadap masyarakat atau lingkungannya, dan dunia secara umum. Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan memiliki tujuh unsur esensial, yaitu bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem religi, upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian. Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu kepada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian, mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks, termasuk film. Videografi Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik, mengingat khasanah budaya di wilayah saat ini 39
mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan pada unsur-unsur budaya lokal menjadi trademark film Banyumas. Semoga, prestasi yang diperoleh para cineas Banyumas menjadi inspirasi bagi kemajuan filmfilm di daerah lain. ***
40
Regenerasi Sinematografi Purbalingga MESKI baru berusia lima tahun, namun perjalanan dunia industri kreatif perfilman (pendek) di Purbalingga hingga 2009 ini telah memasuki empat babak. Pertama perintisan, kedua penyemaian masal, ketiga pasang-surut, dan keempat babak regenerasi. Pembabakan ini didasarkan pada periodisasi —jangka waktu— per tahun dan fenomena isu yang terjadi. Babak pertama adalah perintisan, ini dimulai pada 2004. Saat itu Laeli Leksono Film bereksperimen dengan mengadaptasi cerpen karya Ahmad Tohari berjudul Orang Buta dan Penuntunnya menjadi karya sinematografi. Ini film pertama di Purbalingga dan pernah dikampanyekan ke sekolah-sekolah, kampus, dan kantongkantong budaya. Pernah pula nongol di TVRI Jakarta, dan meramaikan ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2004. Kedua adalah babak penyemaian masal. Secara formal pembibitan industri siematografi di Purbalingga dimulai pada 2006. Penyemaian ini ditandai dengan pembentukan Cinema Lovers Community (CLC). CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi perkumpulan sineas Purbalingga.
41
Saat itu baru ada empat rumah produksi atau production house (PH) yang berafiliasi dalam wadah CLC, yakni Laeli Leksono Film, Glovision Production, Beda Studio, dan SBH Entertainment. Meski baru empat anggota, namun saat itu, mereka mampu unjuk gigi, yaitu dengan memproduksi puluhan judul film pendek. Dengan mengangkat isu-isu lokal sebagai mainstream film mereka terus berkembang dan mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Ini terbukti dengan peraihan berbagai penghargaan atas karya sineas Purbalingga. Sebut saja Senyum Lasminah (SL) besutan sutradara Bowo Leksono yang menjadi Film Terbaik II pada Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Kemudian, Pasukan Kucing Garong (PKG) menjadi Film Fiksi Terbaik di Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Sementara itu film Adu Jago (AJ) menjadi film dokumenter terbaik di ajang sama. Pasang-surut Raihan penghargaan ini sekaligus menadai babak ketiga perjalanan dunia sinematografi di Purbalingga, yaitu pasangsurut. Secara umum pada periode 2006-2007 ini dunia perfilman pendek Purbalingga berhasil mengokohkan eksistensi. Dua film pendek, yaitu Peronika sutradara Bowo Leksono dan Metu Getih karya Heru C Wibowo bersama 16 film pendek Indonesia lain mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk Europe on Screen 2007 (EOS 2007). Disusul film Boncengan, dan Lengger Santi yang lolos dalam kompetisi Festival Film Pendek Konfiden 2007. 42
Tak hanya itu, pada masa sama CLC berhasil membentuk jaringan kerja perfilman pelajar di Purbalingga. Hasilnya sekitar 20 PH berafiliasi di bawah bendera lembaga ini. Puluhan film juga berhasil diproduksi. Namun masa panen ini ternyata harus diawali dengan kenyataan pahit. Pada Juli 2006, sekitar satu peleton Pasukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) melarang penggunaan Gedung Graha Adiguna-operational room (Oproom) untuk pemutaran film. Tragedi ini diabadikan dalam seri dokumenter Bioskop Kita Lagi Sedih. Film ini merupakan catatan sejarah kelabu sekaligus tonggak geliat perfilman Purbalingga. Babak Baru Pada 2008 saya sebut sebagai babak baru perjalanan dunia sinematografi di Purbalingga. Pada Mei 2008, CLC menggelar perhelatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF). Ajang ini merupakan ajang regenerasi jilid I dunia perfilman Purbalingga. Karya sinematografi yang tampil di ajang PFF ini adalah karya kreatif para pelajar SMA di Purbalingga. Mereka sebelumnya mengikuti serangkaian kegiatan workshop pembuatan film pendek yang difasilitatori CLC. Selain menghasilkan filmmaker generasi putih-abu-abu (SMA), workshop dan PFF ini juga melahirkan varian film yang lebih beragam. Film berjudul Glue, Mimpi Basah (MB), Kebongkar, Gairah Salimin, dan Blue Horror adalah hasil penajaman talenta seni mereka. Film ini mengangkat kehidupan pelajar masa kini. Namun wacana kearifan lokal tetap melekat. 43
Secara kualitas film generasi abu-abu-putih ini masih di bawah generasi sebelumnya. Namun setidaknya PFF ini merupakan bukti ada regenerasi. Bahkan ajang ini menjadi momen rujuk antara CLC dengan pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga dan DPRD. Pemerintah memberikan sinyalemen positif atas pertumbuhan industri kreatif di Purbalingga. Eksekutif dan legislatif berjanji memberikan ruang gerak luas pada sineas Purbalingga. Meski belum terealisasi, namun saat itu pemerintah dan DPRD berjanji akan segera menata (mengatur) dunia perfilman Purbalingga. Regenerasi Memasuki tahun 2009 CLC terus melakukan penetrasi. Jika sebelumnya generasi putih-abu-abu, kini mereka mulai menggarap generasi biru-putih (pelajar SMP). Meski belum tampak membuahkan hasil atau cenderung gagal —karena ditolak sekolah— namun setidaknya mereka telah berusaha. Di ujung penolakan pihak SMP, mereka lalu melirik pelajar SMK. Pada Maret ini, mereka kembali menjadi fasilitator workshop film pendek yang diperuntukan bagi pelajar SMK. Inilah regenerasi jilid II. Pilihan ini tidak keliru, sebab di Purbalingga saat ini telah berdiri sekitar 28 SMK Negeri dan Swasta. Dari jumlah ini sebagian besar telah membuka program keahlian multimedia (MM). Jadi kegiatan ini jadi alternatif ajang pembelajaran sekaligus prakti kerja bagi siswa. Apalagi banyak nilai moral dan edukatif yang dapat digali dari kegiatan semacam ini. 44
Terbukti pada 2008, film Cuthel meraih penghargaan dari Depdiknas sebagai Film Dokumenter Terbaik FVE 2008. Di luar itu, kegiatan workshop ini merupakan jembatan utuk penyelenggaraan PFF II bulan Mei 2009. Di perhelatan ini seluruh keahlian dan talenta peserta workshop dipertunjukkan. Jika seluruh stakeholder pendidikan di Purbalingga menyadari betapa penting penanaman nilai moral melalui karya seni, maka tak aka nada lagi sekolah yang menolak kerja-kerja budaya. ***
45
Perempuan Banyumas dalam Film DI BANYUMAS, film awalnya hanya diperlakukan sebagai salah satu varian hiburan kelompok sosial tertentu (elite). Film hanya dapat ditonton oleh mereka yang memiliki kelebihan finansial. Perkembangan berikut, film mampu menembus demarkasi kelas sosial. Bahkan film kini menjadi ’’barang’’ hasil kerajinan industri kreatif rumahan yang mudah diperoleh. Ada puluhan rumah produksi film pendek bertebaran di Banyumas. Kegiatan menonton film telah jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Film menjadi media masa yang efektif menyampaikan pesan. Kehadiran film mampu memengaruhi pola pikir, dan cara tindak individu baik sebagai pribadi maupun kolektif. Kemudian film dianggap efektif untuk menanamkan suatu ideologi secara laten. Lalu bagaimana dengan film pendek Banyumas yang telah berterima di masyarakat? Tulisan ini akan mendeskripsikan bagaimana citra perempuan Banyumas digambarkan melalui sistem tanda sebagai unsur pembentuk film (Sobur, 2006).
46
Dari puluhan judul film karya sineas Banyumas, setidak-tidaknya ada empat film yang secara tegas merepresentasikan posisi perempuan Banyumas. Pertama film Senyum Lasminah, kedua Peronika, ketiga Gajian dan keempat Tasmini. Keempat merupakan karya sineas lokal Banyumas yang tergabung dalam Cinema Lover Community (CLC). Citra Positif Citra adalah gambaran yang disajikan dan kemungkinan terekam oleh penonton. Pencitraan dapat membentuk mitos dan ideologi. Secara positif, ideologi menurut Jorge Larrain (Sobur, 2006) dipersepsi sebagai pandangan dunia (wordview) yang menyatakan nilai-nilai (budaya) entitas sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Dalam Senyum Lasminah —film terbaik kategori budi pekerti Festival Video Edukasi 2007— perempuan dicitrakan sebagai entitas masyarakat kelas rendah yang sadar budaya. Film ini bercerita tentang kehidupan perempuan di Banyumas yang masih mewarisi kearifan lokal berupa tradisi membatik. Lasminah adalah gambaraan perempuan muda yang sadar budaya. Ini satire, sebab dalam kondisi kontemporer, hanya mereka (perempuan) yang telah berusia lanjutlah yang mau mewarisi tradisi membatik. Lasminah membatik adalah gambaran positif perempuan muda di Banyumas. Pada scene lain, resistensi Lasminah terhadap ajakan Surti (teman kecil yang baru pulang dari rantau) untuk ke Jakarta hanya sebuah sindiran. Sebab situasi seperti ini sangat langka terjadi di Banyumas. Tapi bukan berarti tidak mungkin terjadi. 47
Sementara pada film Peronika, dan Gajian, sosok perempuan Banyumas yang diperankan Jamilah, dicitrakan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Sebagai perempuan desa yang berstatus istri, Jamilah sukses menjalani tertib rumah tangga. Ia memasak di dapur, dan meladeni suami. Citra yang sama hadir melalui sosok Lasmi dalam film Tasmini. Lasmi sukses menjalankan tertib ibu rumah tangga di desa. Kehidupan sehari-hari Lasmi diisi dengan kegiatan mencuci pakaian di sumur, menjemur, dan memasak untuk suami. Sementar itu, kehadira tokoh Surti dalam Senyum Lasminah justru membentuk citra negatif perempuan Banyumas. Sosok Surti menggambarkan tradisi merantau yang begitu mengakar di Banyumas. Kondisi yang jamak ditemui di wilayah pedesaan di Banyumas. Perempuan yang baru lulus SMP, bahkan SD yang tak mampu melanjutkan studi memilih merantau dan jadi TKW pada sektor domestik di Jakarta, bahkan luar negeri. Dalam Gajian, citra negatif diwakili sosok bakul jamu gendong. Meski tidak semua, namun sebagai bakul jamu, perempuan tak mampu menolak stereotipe negatif. Ia dimitoskan pandai merayu calon konsumen, dengan kalimatkalimat berbau erotik memaksa konsumen pria mau mengkonsumsi jamunya. Sementara itu, salah satu karakter wong Banyumas yang kental dengan tradisi keberlisanan adalah kebiasaan dopokan (ngobrol atau bergunjing). Dalam konotasi negatif gunjuingan lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan di desa.
48
Bergunjing terekam dalam film Tasmini. Lasmi yang tengah memotong sayur di teras rumah Gedheg terlibat pergunjingan dengan tetangga yang baru pulang dari pasar. Gunjingan yang lebih mendekati provokasi ini meluncur dari mulut tetangga Lasmi. Ia dengan nada dan ekspresi sinis, berkata pada Lasmi bahwa sang suami terlihat berselingkuh dengan perempuan bernama Tasmini di sebuah toko tas. Faktanya, Parno — suami Lasmi— berada di toko hendak membeli tas ukuran mini (kecil) sebagai hadiah untuk Lasmi. Kasur, Sumur, Dapur Secara umum, citra perempuan Banyumas tak pernah jauh-jauh dari tiga kebutuhan dasar rumah tangga di desa. Peran perempuan selalu berputar di wilayah dapur, sumur, dan kasur. Dalam keempat film tersebut, secara umum perempuan dicitrakan marginal. Baik Jamilah, Lasminah, Surti, Lasmi, dan bakul jamu sama-sama memerankan sosok perempuan dalam tiga wilayah dasariah tersebut. Film Senyum Lasminah dimulai dengan scene Lasminah yang menimba air dari sumur untuk mandi dan memasak. Jamilah dalam Peronika dan Gajian sangat tegas menggambarkan ibu rumah tangga yang sukses mengelola urusan dapur (dan kasur). Penggambaran posisi marginal ini tentu saja dapat dipahami sebagai bentuk resistensi (perlawanan) atas ketimpangan perilaku gender pada masyarakat desa di Banyumas. Tatkala film banyak mengangkat isu ketimpangan gender, ia dituduh telah mengonstruksi bias gender. 49
Membentuk mitos. Sebaliknya film yang secara banal mengangkat realitas, dapat berfungsi sebagai penolakan atas mitos tersebut. Di sini terjadi opisisi biner antara dua wilayah yang selalu berhadap-hadapan di belakang kenyataan yang terjadi. ***
50
Video(tron) Pendidikan di Purbalingga DI PENGHUJUNG masa kepemimpinannya, Bupati Purbalingga Triyono Budi Sasongko (TBS) tampaknya hendak mengukuhkan diri sebagai ‘bupati pembangunan’ Purbalingga. Bupati yang masa jabatannya akan berakhir pada bulan Juni 2010 ini terus menancapkan panji-panji pembangunan kota. Yang terbaru adalah dengan membangun videotron (layar televise ukuran jumbo) di sudut kawasan segi tiga emas (Segamas). Sebelumnya, TBS juga telah merelokasi pasar kota Purbalingga ke kawasan sentra perekonomian Segamas yang meliputi terminal, pasar kota, dan pasar hewan. Pasar kota, di lokasi ini menempati lahan yang sebelumnya merupakan stadion olah raga Wasesa. Sementara stadion ini telah dipindah ke lokasi yang baru berada di kawasan dalam kota dengan nama Stadion Goentoer Darjono. Setali tiga uang, di lokasi eks pasar kota kini tengah dibangun sebuah kawasan taman kota (city park). Rencananya city park ini akan dilengkapi hotel, pusat jajanan selera rakyat (Pujasera) dan mini panggung teater. Pendek kata, taman kota ini juga menjadi salah satu panji pembangunan kawasan kota Purbalingga. 51
Nah, yang menarik adalah pembangunan videotron yang konon menelan biaya hingga ratusanjuta rupiah. Keberadaan televisi raksasa yang bertengger megah di tepi salah satu ruas jalan Mayjen Sungkono – Kecamatan Kalimanah ini diharapkan mampu membawa perubahan dan dampak positif bagi pembangunan sumber daya manusia di Purbalingga. Pembangunan layar monitor raksasa yang bersisi iklan rokok ini disponsori oleh produsen rokok yang bersangkutan. Semula peresmian operasi videotron ini dijadwalkan pada 9 Agustus 2009, namun pelaksanaan pekerjaan justru melewati deadline. Akhirnya videotron ini baru diresmikan operasionalnya oleh bupati pada 5 September 2009 lalu. Implikasi Sejak resmi dioperasikan hingga kini, Saya sebagai warga Purbalingga belum melihat manfaat lansung dan implikasi keberadaan videotron tersebut bagi pembangunan masyarakat. Penilaian ini didasarkan pada dua aspek; pertama, content atau isi –materi- yang ditayangkan, dan yang kedua adalah lokasi yang kurang strategis. Pertama, materi yang ditayangkan dalam videotron tersebut dimonopoli oleh tayangan pariwara produk rokok. Materi yang sama yang ditayangkan pada videotron di daerah lain. Dilihat dari sisi edukatif, materi ini tentu saja kurang mendidik lantaran mengajak masyarakat untuk melakukan pola hidup yang tidak sehat. Dus, materi yang disajikan bertentangan dengan tagline (visi dan misi) pembangunan Purbalingga yang selama ini 52
digembar-gemborkan. Termasuk cita-cita membangun Purbalingga sehat. Tentang tayangan ini Saya dapat memakluminya, lantaran keberadaan videotron ini memang disuport sepenuhnya oleh produsen rokok tersebut. Namun demikian pemerintah sebagai pemegang kebijakan hendaknya mulai mencari celah dengan memanfaatkan vidoetron tersebut untuk sebesar-besarnya mendukung pembangunan SDM Purbalingga. Kedua, ihwal lokasi. Keberadaan videotron di perempatan Segamas ternyata tidak efektif mempengaruhi masa. Lantaran tayangan yang disajikan luput dari perhatian pengguna jalan. Mereka hanya sekilas melihat tayangan yang disajikan, sambil menunggu lampu lalu-lintas menyala hijau. Sehingga jika ada pesan moral yang hendak disampaikan, sulit diterima. Untuk aspek kedua ini, sepertinya pemerintah – berdasar kabar yang beredar- memang sudah merencanakan relokasi videotron ke kawasan Purbalingga City Park yang saat ini tengah digarap. Artinya sebentar lagi videotron bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk ‘memengaruhi’ masa yang berkumpul dan bersantai di kawasan taman kota sebagai ruang publik. Pendidikan Lantas yang perlu dibenahi (baca: tambah) lagi adalah ihwal materi tayangan. Sebagai media pariwara, videotron sesungguhnya juga berpotensi menjadi media propaganda pendidikan. Saya melihat, setidaknya ada empat implikasi 53
positif bagi pembangunan SDM yang dapat ditimbulkan dari keberadaan videtron. Pertama, videotron sebagai media pencintraan atau pembentukan image tentang Purbalingga sebagai kabupaten yang pro investasi. Caranya adalah dengan memasukan tayangan-tayangan tentang potensi pertanian, perindustrian, perdagangan dan sebagainya yang dimiliki Purbalingga. Tayangan ini akan mendekatkan dan meyakinkan investor yang hendak berinvestasi di Purbalingga. Kedua, videotron sebagai media komunikasi politik. Di sini keberadaan videotron dimanfaatkan untuk mensosialisasikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan. Apalagi selama ini, informasi tentang Perda, Perbub dan kebijakan stategis lainya kurang publikasi, sehingga masyarakat tidak paham mengenai aturan tersebut. Ketiga, layar raksasa berbasis multi media ini dapat mendukung upaya kampanye obyek wisata potensial yang ada. Ini dapat dilakukan dengan memasukan video potensi pariwisata dan fasilitas pendukung yang ada, serta kemungkinan pengembangaanya. Dengan demikian, diharapkan mampu mengundang wisatawan untuk berkunjung dan menikmatinya. Ada nilai ekonomis bagi penambahan PAD di sini, sehingga harus ada aturan main yang jelas antara pihak-pihak yang hendak memanfaatkan videotron. Ini penting, lantaran videotron tidak dibangun atas inisiatif pemerintah sebagai media pembangunan sumber daya manusia, melainkan inisiatif pihak sponsor tunggal yang memanfaatkan peluang pasar dan investasi di Purbalingga.
54
Keempat, videotron berimplikasi pada pembentukan identitas Purbalingga. Menurut Saya, tayangkan videografi sejarah, keragaman potensi seni dan budaya yang ada di Purbalingga dapat mendekatkan dan mengenalkan kembali generasi muda tentang identitas dan asal-usul Purbalingga. Lantaran selama ini generasi muda mulai lupa dan tercerabut dari akar budayanya. Pada ranah pendidikan, sesungguhnya videotron ini akan sangat efektif. Apalagi jika materi yang disajikan beragam, mencakup perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan lokal, khasanah budaya nusantara, dunia, dan sebagainya. Jika perlu, videotron juga dapat diisi tayangan tentang upaya pemberantasan korupsi, terorisme, tertib berlalu lintas dan penegakan hukum lainnya. ***
55
Ikon, Tanda dan Ruang
56
Semiotika Pembangunan Purbalingga DALAM dua periode kepemimpinan Bupati Triyono Budi Sasongko (TBS), secara fisik kondisi wilayah perkotaan Kabupaten Purbalingga berkembang pesat. TBS mampu membangun citra sebagai “Bupati Pembangunan”. Setidaktidaknya inilah penilaian masyarakat awam yang melihat bertebaran ikon-ikon pembangunan yang berfungsi sebagai monumen di Purbalingga. Bupati TBS dan Soetarto Rakmat, pasangannya (Wabup periode I) telah mengubah bentuk alun-alun kota menjadi bundaran bersimpang lima. Mengubah arsitektur masjid besar menyerupai Masjid Nabawi. Periode kedua masa kepemimpinan TBS, bersama Heru Sudjatmoko (Wabup), ditandai dengan pembangunan bidang pariwisata, ekonomi dan perikanan. Duet kepemimpinan ini berhasil menyulap kolam renang kecil di Kecamatan Bojongsari menjadi arena waterboom dan beberapa wahana pendukung lainnya. Owabong menjadi ikon pembangunan parisiwata. Kemudian pada sektor ekonomi, TBS mengembangkan wilayah ekonomi segitiga emas (Segamas). Ia berhasil meyakinkan rakyat bahwa relokasi pasar kota ke dalam satu 57
kawasan dengan terminal merupakan terobosan jitu untuk membangun perekonomian Purbalingga. Apalagi di kawasan yang sama juga didirikan bursa unggas dan ternak lain. Monumen Setiap wujud yang telah dan tengah dibangun di Purbalingga sesungguhnya merupakan sebuah monumen yang menandai sebuah momen yang berjalan. Bentuk fisik menjadi tanda bahwa pembangunan terjadi di Purbalingga. Tanda dalam perspektif semiotika disebut semion, yaitu sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya. Sesuatu itu dapat berupa gagasan, pengalaman, ide, pikiran atau perasaan. Dalam konteks komunikasi pembangunan, sesungguhnya Bupati Purbalingga berhasil mewujudkan citra yang melampaui realitas yang ada. Bentuk semion yang saya maksud berupa patung yang bertebaran di berbagai sudut kota. Patung Pangsar Jenderal Sudirman di perempatan komplek Segamas, Tugu pengrajin knalpot di simpang tiga Sayangan, patung ikan gurami, replika knalpot raksasa, sanggul raksasa, sajadah kayu raksasa dan sebagainya. Wujudnya memang dapat dilihat dan diraba. Tapi nanti dulu! Palsu Secara formal ikon-ikon ini tercatat dan mendapat penghargaan Muri. Replika ini seolah jadi sangat ikonis atau mewakili realitas yang sebenarnya. Sanggul raksasa misalnya, dipresentasikan untuk menyatakan bahwa Purbalingga adalah kota terbesar kedua di dunia yang memproduksi aneka 58
barang olahan hasil kerajinan dari rambut. Setali tiga uang dengan replika knalpot raksasa dan patung ikan gurami. Sesungguhnya bentuk replika dan tugu tersebut dimaksudkan untuk mengatakan sebuah gagasan bahwa penduduk Purbalingga sudah cukup sejahtera dengan hasil industri atau perikanan tersebut. Apalagi industri rambut yang berorientasi pada pasar ekspor. Secara formal usaha pencitraan ini berhasil. Rakyat terlanjur sepakat bahwa Purbalingga adalah produsen kerajinan barang olahan dari rambut. Namun sesungguhnya rakyat tidak sadar bahwa ikon tersebut semu. Produk kerajinan rambut belum mampu meningkatkan kondisi perekonomian. Kondisi sektor perikanan, Gurameh Center (GC), ternyata mengalami stagnasi dalam pengembangannya. Bahkan usai diresmikan olwh Gubernur, GC tak pernah terdengar gaungnya sebagai sentra pembudidayaan ikan gurami yang bermutu. Pendek kata, fakta ini membenarkan bahwa semion apapun bentuknya dapat digunakan sebagai salah satu materi untuk berdusta. Ini terjadi tatkala realitas yang hendak direpresentasikan melalui ikon yang ditebarkan ternyata tidak sesuai, sengaja direduksi. Tanpa bermaksud mengingkari kesakralan sebuah patung sebagai ikon yang lebih mirip berhala ini, sebenarnya praktik pencitraan juga terjadi di banyak sektor pembangunan di Purbalingga. Pencitraan Pembangunan Pertanyaannya kemudian, apakah membentuk citra itu salah? Tidak! Tak ada yang keliru. Pembentukan citra ’’membangun’’ dengan mereproduksi serangkaian tanda 59
sesungguhnya bagian dari ketaklangsungan ekspresi. Tanda atau ikon tersebut dapat menduduki posisi sebagai identitas ’’pembangunan’’ Purbalingga. Yang perlu diteguhkan ke depan sesungguhnya adalah misi dan orientasi pembangunan. Setidaknya ada tiga sektor utama yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pendidikan. Jika bentuk patung Jenderal Sudirman telah merepresentasikan sosok Sudirman secara primordial sebagai asli Purbalingga, maka pemerintah perlu menegaskan misi pendidikan lebih dari itu. Bahwa terdapat nilai-nilai patriotisme yang harus ditiru dan dianut oleh rakyat, pejabat dan birokrat. Internalisasi, itulah yang perlu dilakukan. Bisa melalui pendidikan formal dan nonformal. Ini perlu didukung kebijakan sektor pendidikan lain. Lantas, kedua di pembangunan sektor ekonomi. Jargon ekonomi kerakyatan harus ditegakan. Selama ini pembangunan ekonomi masih berkutat di pusat kota. Di sini reformisi dilakukan dengan memberikan perhatian sepenuhnya pada pembangunan pedesaan. Caranya bisa dengan memberikan tambahan nominal ADD dalam APBD. Tentu dengan pengawasan yang ketat dalam tahap pelaksanaannya. Ketiga adalah pada sektor tenaga kerja atau perburuan. Kebijakan pemerintah pada sektor ini terlalu menguntungkan pengusaha asing. Sementara para buruh bumi putra belum merasakan dampak kebijakan pembangunan sektor ini. Penegakan UMK menjadi syarat mutlak reformasi sektor ini. ***
60
Ikonisitas Masyarakat Banyumas SIAPA yang tak kenal Bawor? Tokoh rekaan dalam dunia pewayangan gagrag Banyumas ini terlanjur dipilih sebagai ikon atau maskot masyarakat Banyumas. Konon, sosok Bawor diciptakan sebagai representasi karakter asli wong Banyumas. Wataknya dianggap mewakili kondisi komunitas masyarakat pedesaan Banyumas yang terkenal cablaka (transparan), jujur, dan nrima ing pandum atau apa adanya. Meski secara fisik perawakan Bawor sangat jelek (berperut buncit, berbokong besar, dan berwajah buruk), Pemerintah Kabupaten Banyumas memilih sosok ini sebagai ikon. Tentu pemilihan ikon ini dilandasi semangat filosofi dan karakter Bawor yang sering digambarkan dalam pakeliran gragag Banyumas. Paradoks Dalam pentas pakeliran Banyumasan, selain bertampang jelek, tokoh ini juga dicitrakan gemar ndagel (melucu), ndablong (selengekan), lugu, dan tampak bodoh. Anehnya, dengan stigma yang demikian rendah, masyarakat Banyumas justru sangat bangga dengan ketokohan Bawor.
61
Sosok Bawor tidak membuat orang Banyumas merasa underestimate (rendah diri). Kebanggaan ini tentu saja bukan dasar. Stigma negatif yang dicitrakan tersebut ternyata merupakan bentuk sublimasi dari aura positif yang tertanam dalam lubuk hati orang pedesaan Banyumas. Kejujuran, keluguan, dan sifat cablaka menjadikan Bawor sebagai orang yang kerap diberi kepercayaan, bahkan dimintai nasihatnya, oleh para pemimpin kerajaan Jawa di dunia pewayangan, zaman dulu. Bawor adalah abdi dalem, sekaligus masyarakat jelata, yang hidup dalam persinggungan arus budaya tradisionalmarhaen di luar birokrasi kekuasaan pemerintahan. Dalam gragag Banyumas, ia digambarkan sebagai anak tertua dari Ki Lurah Semar. Bawor memiliki dua adik bernama Nala Gareng dan Petruk. Keempat tokoh ini dikenal sebagai Punakawan atau orang (kawan) yang mengetahui dengan jelas segala tabiat (kelebihan dan kelemahan) sang Ndara (Bendara) atau orang yang diikutinya. Sebagai abdi, Bawor terlanjur dicitra-kan dengan sosok yang kurang memiliki ilmu pengetahuan. Ia acapkali diperlakukan semena-mena oleh dalang yang memainkannya. Namun demikian, kurangnya wawasan ini tidak berarti Bawor memiliki IQ, EQ dan SQ yang rendah. Elan Bawor yang nrima ing pandum, jujur, lugu, dan cablaka susungguhnya kontras dengan bentuk fisiknya yang jelek. Keterbatasan ini membuat ia suka dagelan, hidup dalam kebodohan dan kesederhanaan. Sistem logika yang dibangunnya cenderung bertolak belakang dengan kehidupan kontemporer. Bawor juga 62
memiliki tabiat glogok soar, atau suka mengumbar tutur tentang apa yang ia ketahui, tanpa menimbang akibatnya. Ikonisitas Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sekali lagi, sosok Bawor dipilih sebagai ikon masyarakat Banyumas. Bahkan secara simultan, karakter ini mengejawantah dan membentuk persamaan sifat bagi masyarakat Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap: tiga wilayah yang secara kultur memliki akar budaya yang sama. Namun, dalam pandangan saya, ikonitas Bawor sebagai representasi (simbol) karakter wong Banyumas ini perlu dipertanyakan. Mengingat watak tokoh Bawor sudah luntur dari karakter wong Banyumas. Kondisi masyarakat Banyumas kontemporer cenderung mengingkari karakter Bawor. Alhasil, ikonisitas Bawor mulai meredup, melemah, bahkan banyak wong Banyumas yang malu dengan simbolisasi tokoh Bawor. Pengingkaran karakter Bawor terjadi karena dua faktor: internal dan eksternal. Penyebab dari dalam termanifestasi dalam bentuk sikap malu atas budaya sendiri, dan terlalu mengagungkan budaya asing. Akibatnya nilai-nilai moral yang diajarkan dari sosok Bawor menjadi terasa asing, nyeleh, dan ketinggalan zaman. Selain itu, nafsu untuk berkuasa, bertahtah, dan berharta yang meletup dalam diri juga turut memengaruhi lunturnya ’’ajaran’’ Bawor. Fenomena ini dapat dilihat dari polarisasi polemik kebudayaan di Banyumas. Kontestasi penataan Alun-alun antara sejumlah seniman dan birokat adalah contohnya. 63
Faktor eksternal berupa pengaruh gerusan arus budaya asing yang masuk melalui acara di televisi, persinggungan sosial (akulturasi), internet, maupun produk budaya yang terang-terangan diinternalisasi. Bentuknya bisa berupa ideologi serba instan dan budaya permisif. Bahkan dalam praktik penyaluran aspirasi juga acapkali mengingkari karakter Bawor. Migrasi, urbanisasi, dan hadirnya warga ’’asing’’ ke Banyumas ikut adil dalam pengingkaran karakter Bawor. Di lingkungan kampus, misalnya, akulturasi sosial antara mahasiswa pendatang dan masyarakat setempat juga memengaruhi pola berkebudayaan. Yang perlu dilakukan sekarang adalah merevitalisasi karakter Bawor dan membumikannya kembali pada masyarakat Banyumas. Ini harus dimulai dari atas (penguasa), mulai dari tokoh seniman, budayawan, politikus, hingga kaum intelktual. Mereka harus memberi contoh kepada masyarakat tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku yang menjiwai elan karakter Bawor. ***
64
Kartun Banyumasan sebagai Dagelan Budaya SALAH satu karakteristik wong Banyumas yang sering dimetaforakan dengan tokoh Bawor dalam kancah pakeliran Gragag Banyumasan adalah kebiasaan ndagel atau melucu. Produknya disebut dagelan (lelucon). Dagelan sudah menjadi akar tradisi watak wong Banyumas. Kebiasaan ini melengkapi karakter lain yaitu cablaka (transparan), apa adanya, dan glogok soar atau suka mengumbar ukara. Dalam pentas pakeliran gragag Banyumasan dagelan menjadi salah satu fragmen yang ditunggu-tunggu penonton. Kondisi Kontemporer Namun dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, tradisi ndagel ini sudah mulai luntur. Dagelan mulai kehilangan greget dan rohnya tatkala humor-humor popular menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Padahal dalam konteks budaya Banyumas sesungguhnya dagelan ini hadir bukan tanpa sebab. Dagelan diciptakan bukan sekedar sebagai hiburan. Meski jenaka, ia hadir syarat pesan moral. Nah kejenakaan inilah yang 65
membuat dagalan dalam seni pementasan wayang Banyumas selalu menarik untuk disimak. Sekarang, nasib dagelan setali tiga uang dengan kondisi bahasa Banyumas atau dialek ngapak yang menjadi medianya. Dagelan yang khas dengan dialek ngapak kini telah tergeser dengan lelucon atau humor ala Tawasutra XL, Abdel-Temon dan lain-lain, yang hadir melalui program televisi. Meski sejatinya sama-sama menghibur, namun jika dagelan diganti dengan humor-humor populer macam itu, secara keseluruhan dagelan tetap tak tergantikan. Penggunaan bahasa Banyumas, dan seting sosial masyarakat yang melatarbelakangi dagelan tak akan muncul pada seting humor populer. Elan dagelan adalah mengajar sambil melucu. Mengingatkan sambil bercanda, mengkritik dengan jenaka. Sehingga pihak yang diajar, yang tengah diingatkan,dan dikritik tak merasa tersinggung. Ini jelas berbeda dengan humor populer yang lebih menonjolkan sisi kelucuan dan nyaris tanpa pesan bijak. Bentuk Baru Nah, yang menarik, di tengah kelesuan dan kian terpinggirkannya tradisi dagelan kemudian muncul genre baru yang merupakan varian dari dagelan. Bentuk baru dagelan ini berupa kartun Banyumasan. Saya sebut bentuk baru, mengingat selama ini dagelan merupakan bagian dari tradisi keberlisanan atau seni bertutur. Pada bentuk barunya, dagelan tidak lagi muncul sebagai tuturan yang dilisankan, melainkan percakapan yang 66
diletarisakan. Untuk membentuk dialog ini, dagelan diperankan oleh tokoh-tokoh kartun menjadi komik. Lahirnya komik atau manga –dalam bahasa JepangBanyumasan ini setidaknya membawa tiga manfaat. Pertama, bisa menjadi bacaan alternatif di luar komik buatan Jepang yang lebih dulu hadir dan menjajah pasar komik lokal. Kedua, komik Banyumasan dapat menjadi obat untuk menyembuhkan kerinduan pada suasana batin orang Banyumas akan tradisi dagelan yang mulai langka. Ketiga, komik-kartun Banyumasan ini menjadi genre baru dunia lelucon Jawa –termasuk dagelan- yang patut dikembangkan. Kartun Budaya Salah satu karakter yang paling menonjol pada kartun Banyumasan adalah penggunaan bahasanya. Sehingga kartun Banyumasan ini memenuhi kriteria sebagai humor etnis atau dagelan budaya. Pada segi tema, kartun Banyumasan banyak mengusung tema politik, sosial, ekonomi dan budaya. Tema ini mengantarkan kartun Banyumas menjadi humor satire yang bernas tapi jenaka. Seperti karakter dagelan. Seperti humor verbal pada umumnya, kejenakaan pada kartun Banyumasan dibentuk dengan pola tindak tutur yang melanggar 4 maksim pada prinsip kerjasama Grice, dan melanggar 6 maksim pada prinsip kesopanan Leech (1983). Empat maksim prinsip kerjasama yang dilanggar dalam humor verbal model kartun Banyumasan ini adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi dan pelaksanaan. Sedang 6 maksim prinsip kesopanan yang dilanggar yaitu maksim 67
kebijaksanaan, kedermawanan, penghargaan, kerendahan hati, permufakatan dan kesimpatian. Kendala Komik, merupakan perpaduan antara seni gambar dan seni sastra. Komik terbentuk dari rangkaian gambar yang secara simultan membentuk satu cerita. Pada tiap gambar terdapat balon tuturan sebagai narasi cerita yang diperankan tokoh atau karakter yang mudah dikenal dan lucu. Kartun Banyumasan pernah muncul dalam bentuk serial komik yang dimuat di media cetak lokal. Di sini kartunis menciptakan dua jenis kartun, yaitu kartun dengan tokoh manusia berjudul ‘Carub Bawor’ dan kartun berjudul Kang Tikus dengan mengangkat karakter tikus. Meski menggunakan dua tokoh berbeda, namun isi kedua kartun tersebut sama. Keduanya mengusung cerita lucu ala dagelan. Sehingga keduanya dapat disebut sebagai dagelan tertulis. Kemudian, serial kartun ini muncul dalam bentuk buku komik seri Banyumasan berjudul Wis Gunane Rekasa (2006). Pada bentuk komik tokoh yang diangkat adalah tokoh tikus. Selain lucu, karakter tikus juga mudah diterima. Bahkan tikus telah menjadi karakter sekaligus ikon kartun produksi waltdisney dan lain-lain. Sehingga kita mengenal ada tokoh Mickey Mouse dan Jerry. Yang menjadi kendala perkembangan kartun Banyumasan adalah; pertama, pada bentuk serial kartun Banyumasan sudah tidak pernah muncul lagi di media cetak. Kedua, pada bentuk buku hanya terbit sekali, dan hanya satu judul buku komik. 68
Dalam pandangan saya, ada dua faktor pemicu kendala tersebut. Pertama, kartunis kehabisan ide atau tema dagelan untuk dikartunkan. Kedua, kurang apresiasi dan modal sehingga media cetak dan penerbit enggan menerbitkan kartun dagelan Banyumasan. Untuk faktor pertama, menurut saya dapat disiasati dengan menyublimasikan isu-isu aktual yang menjadi headline berita ke dalam bentuk kartun. Tentu saja dengan tetap menonjolkan karakter dagelan dan perspektif wong Banyumas. Untuk faktor kedua, kartunis bisa membuat kesepakatan aturan main dalam pemuatan atau penerbitan buku. Inipun harus disertai dengan sharing investasi yang jelas. Pada kurangnya modal, sebenarnya kartunis dapat meminta ‘pertanggungjawaban’ lembaga kebudayaan di daerah (Dewan Kesenian) sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam rangka menghidupkan seni dan budaya termasuk manga lokal. Jika saja dagelan versi kartun Banyumasan ini bisa tetap eksis, maka generasi mendatang –wong Banyumasadapat dengan mudah mengenal keluhuran budi budaya dan seni tradisi yang pernah berkembang. Ini juga menjadi alternatif bagaiaman mengawetkan seni tradisi dari benturan dan gerusan arus modernisasi. ***
69
Gedheg dalam Migrasi Tanda dan Makna
GEDHEG, pada mulanya memang lebih dikenal sebagai
dinding rumah yang terbuat dari bahan dasar bambu. Rumah dengan dinding Gedheg hanya dapat dijumpai di desa-desa terpencil di Pulau Jawa. Mereka yang mendirikan rumah dengan dinding Gedheg biasanya adalah penduduk yang masuk kategori miskin, terbelakang dan kurang berpendidikan. Al-hasil, wajar jika Gedheg kemudian menjadi tanda sebuah kondisi masyarakat yang marginal, terbelakang, miskin, dan bodoh. Gedheg menjadi mitos keterbelakangan peradaban. Ini juga wajar, mengingat sebagai produk hand made (buatan tangan), anyaman dinding ini cenderung tidak rata. Jalinan lapisan bambu yang tidak erat akan meninggalkan lobang-lobang kecil pada tiap titik pertemuan anyaman. Pada saat yang sama, ketidak-sempurnaan ini melahirkan sebuah ungkapan metaforis yang berkonotasi negatif yaitu ‘Rai Gedheg’. Rai Gedheg dalam pandangan Saifur Rohman (Kompas, 20/06/2009) merupakan representasi praktek wacana berpolitik terkini.
70
Apa yang dijelaskan Saifur Rohman itu sesungguhnya hanya bagian kecil –yang bersifat negatif- dari kearifan lokal gedheg. Tentu saja itu syah dan tidak keliru. Namun saat ini memilih gedheg dengan segala kekurangannya sebagai metafora membawa kita pada kondisi pemakaian dan pemaknaan tanda yang sudah lapuk. Saya tidak mempersoalkan analogi dan metafora rai gedheg dengan tingkah para politikus menjelang pemilihan presiden dan wakil secara langsung tahun 2009. Yang saya persoalkan adalah pemaknaan atas gedheg yang cenderung stagnan dan tidak kontekstual. Berkelas Gedheg adalah dinding dari anyaman bambu yang berkonotasi murahan, gampangan, dan rendah. Dalam proses pemaknaan secara kultural, gedheg menjadi simbol kelas sosial yang marginal, terbelakang, dan bodoh. Sebuah kelas sosial yang lazim tinggal di desa. Itu dulu! Kondisi kontemporer justru memaksa kita untuk mereproduksi pemaknaan atas gedheg secara kontekstual. Alasannya sangat sederhana. Saat ini, gedheg sebagai material bangunan telah menduduki posisi yang berbalik dari posisi awal. Jika dulu gedheg dianggap sebagai bahan dinding rumah (ruang) yang murahan, saat ini justru sebaliknya. Gedheg telah mengalami migrasi. gedheg tidak lagi menjadi monopoli orang udik yang marginal dan terbelakang. Gedheg saat ini menjadi material dinding yang sangat familiar dan mudah dijumpai di kota-kota. Gedheg menjadi salah satu materi dinding ruang yang favorit, bahkan berkelas. 71
Di kota -sebagai kiblat peradaban masyarakat- saat ini begitu mudah dijumpai dinding-dinding ruang atau bangunan yang terbuat dari gedheg dan varian-variannya. Tengoklah dinding-dinding rumah makan khas masakan Jawa, atau Sunda, di pusat-pusat kota. Juga rumah-rumah berasitektur jawa klasik bernuansa natural. Di sana, gedheg begitu familiar bahkan favorite. Kefavoritan gedheg menyamai kayu sebagai materi dasar bangunan rumah berarsitektur jawa klasik. Gedheg dipilih bukan hanya karena keunggulannya yang kuat dan lentur, tapi karena keunikan ornament dan motif anyaman yang beragam. Bahan dasar gedheg adalah bambu. Di Cina dan Jepang, bambu menduduki posisi penting dalam khasanah filsafah hidup masyarakatnya. Di kedua negeri ini bambu juga dibuat anyaman yang sejajar dengan gedheg. Bambu adalah tanaman jenis rumput yang secara ekologi berfungsi menyimpan air dalam tanah, mencegah longsor dan mudah hidup. Kelenturan bambu menjadikan ia awet dan tahan terhadap benturan serta goncangan. Inilah yang menjadikan falsafah bambu menjadi elan dan vitalitas dalam menjalankan bisnis dan roda kehidupan lainya. Makna Baru Migrasi gedheg dari desa ke kota -secara materialmembawa pergeseran makna. Gedheg tidak lagi menjadi tanda atau simbol keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan murahan. Fenomena penggunaan gedheg dengan segala variasi motif anyaman kian menunjukan pergeseran kelas dan maknanya. Jika dulu gedheg menjadi mitos kondisi marginal sebuah entitas masyarakat, kini sebaliknya. Hadirnya gedheg di ruang72
ruang publik seperti café, atau tempat wisata di kota, memaksa kita merubah cara pandang terhadap nilai sebuah gedheg. Ia tidak lagi marginal, bodoh, miskin dan terbelakang. Gedheg kini menjadi penanda kondisi tertinggi emosional dan intelektualitas seseorang. Mereka yang menghargai gedheg adalah kaum terpelajar, kaya secara ekonomi, intelektual dan emosional. Ia mendapatkan signifikansi yang baru, yang lebih mahal dan mewah. Gedheg mengalami pergeseran pemaknaan. Kondisi kontemporer membawa gedheg menjadi simbol aristokrat, menghargai budaya dan kearifan lokal. Orang-orang kaya dan terpelajar memilih gedheg karena ingin dicitrakan sebagai kelompok yang menghargai kesederhanaan, dan citra rasa yang unik dan klasik. Di tengah gempuran modernisasi dan pencanggihan teknologi, mempertahankan gedheg sebagai kearifan lokal membutuhkan kondisi emosional yang paripurna. Nah di sini, gedheg tak lagi menjadi simbol kebodohan dan murahan, melainkan kecerdasan emosi dan intelektualitas dalam memandang sebuah kesederhanaan. Pada saat yang sama, bambu sebagai bahan dasar gedheg juga mengalami pergeseran nilai, baik secara ekonomis maupun secara intelektual. Harga dinding bambu di kota justru melebihi harga dinding dengan bahan batu bata dan semen. Untuk menghadirkan bambu di kota membutuhkan ongkos yang jauh lebih mahal dari bahan lain. Secara inteltual, naiknya permintaan penggunaan bambu mendorong lahirnya manajemen ekosistem agar tidak merusak keseimbangan alam. ***
73
Ancas Politik Bahasa Banyumas BAHASA merupakan identitas sebuah entitas masyarakat yang tidak dapat digantikan dengan apapun. Mempertahankan eksistensi sebuah bahasa berarti pula mempertahankan budaya dan identitas masyarakatnya. Banyumas adalah sebuah entitas sosial politik sekaligus etnis budaya yang memiliki bahasa daerah yang sering disebut dialek ngapak sebagai identitasnya. Penutur bahasa Banyumas setidaknya tersebar di lima wilayah kabupaten. Yaitu; Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen (Barlingmascakeb). Sehingga bahasa Banyumas menjadi indentitas budaya masyarakat di wilayah tersebut. Kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas hanya dapat dijelaskan ketika bahasa Banyumas masih ada. Jika bahasa Banyumas telah musnah, maka musnah pula kearifan lokal warisan luhur yang terkandung dalam masyarakat tersebut. Sugeng Priyadi (2000) mengungkapkan bahwa jatidir masyarakat Banyumas berada diantara dua kutub, yakni Bima dan Bawor dengan cablaka sebagai karakter inti. Karakter masyarakat Banyumas pada satu sisi menujukan sifat-sifat kebimaan, yaitu tegas, lugas, dan kesatria. Pada sisi lain lebih mencerminkan Bawor dengan polah tukang guyon. 74
Tuturan cablaka atau blakasuta atau thokmelong merupakan karakter asli orang Banyumas, yang menedepankan keterusterangan. Orang Banyumas asli jika bertutur kata selalu thokmelong (tanpa basa-basi), sehingga dari luar akan tampak tidak memiliki unggah-ungguh (etika), lugas, dan terkesan kurang ajar. Cablaka, blakasuta, atau thokmelong adalah kearifan lokal yang hanya dapat dijiwai jika diungkapkan dengan bahasa asli Banyumas. Sehingga, tanpa dialek ngapak maka karakteristik kebanyumasan tersebut menjadi luntur. Keberadaan bahasa daerah (Banyumas) ini secara normatif dilindungi oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Undang-undang ini mengatur tentang kebahasaan dalam satu paket dengan aturan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Pada pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Dengan demikian pada kasus bahasa Banyumas, tentu saja pemerintah daerah di lima wilayah sebaran penutur dialek ngapak itulah yang secara normatif bertanggungjawab untuk mempertahankan keberadaannya. Apalagi, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah juga memberikan amanat kepada pemerintah daerah untuk melestarikan nilai-nilai sosial budayanya sebagai identitas masyarakatnya.
75
Ancas Politik Terhitung sejak 6 April 2010 Yayasan Sendang Mas berinisiatif menerbitkan majalah berbahasa Banyumas. Majalah bertajuk Ancas Kalawerta Penginyongan ini terbit dua mingguan dengan tampilan eksklusif bahasa dialek ngapak atau basane wong penginyongan. Ancas digawangi oleh budayawan Ahmad Tohari. Ia adalah wong Banyumas yang selama ini sering mengungkapkan kegelisahannya perihal resiko musnahnya basa banyumasan. Pada tahun 2001, melalui sebuah kolom di media cetak (SM, 11/02/2005) Kang Tohari menuliskan bahwa jika dibiarkan begitu saja maka bahasa banyumas yang notabene merupakan bahasa ibu yang sekaligus menandai eksistensi etnis dan budaya Banyumas akan kehilangan penuturnya. Hilangnya basa banyumasan merupakan ancaman akan terhapusnya etnik penginyongan. Kesimpulan ini sejalan dengan ungkapan Ferdinan de Saussure yang menyatakan bahwa keberadaan sebuah etnis terkait erat dengan langue yang dipakai. Jika Sedyawati (2007) menyebut bahwa teks, buku sastra berbasa daerah menjadi materi yang dapat dikodifikasikan dalam rangka perencanaan bahasa. Maka Ancas menjadi ruang publik dan ruang politik bahasa Banyumas yang strategis. Sambutan antusias dari pembaca dan dukungan dari pemerintah setempat atas terbitnya Ancas menjadi penanda akan terbukanya ruang perencanaan politik bahasa Banyumas yang mapan. Apalagi pelaksanaan perencanaan 76
bahasa telah dijamin sepenuhnya dengan payung hukum UUD 1945 Pasal 32 ayat 2. Balai Bahasa Banyumas Sementara itu pasal 42 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2009, menjelaskan; pengembangan, pembinaan, dan pelindungan –bahasa daerah- dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan. Jika kita tengok bunyi pasal di atas, maka saya melihat penerbitan Ancas dapat ditindak lanjuti oleh pemerintah dengan membentuk sebuah lembaga kebahasaan di Banyumas. Dengan berdirinya lembaga sejenis balai bahasa ini, maka secara institusional peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam rangka melindungi, membina dan mengembangkan bahasa Banyumas lebih sistematis dan terencana. Secara politik, lembaga ini juga dapat bersinergi dengan dinas pendidikan di daerah kabupaten atau sekolah-sekolah untuk membuat formulasi kurikulum pembelajaran bahasa Banyumas. Sebab, selama ini lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD, SMP dan SMA/SMK di wilayah eks karesidenan Banyumas hanya memasukan pelajaran Bahasa Jawa – standar- sebagai muatan lokal. Secara politis, masuknya basa banyumasan dalam materi pelajaran di sekolah akan meningkatkan harkat bahasa ibu orang Banyumas asli. Di sini juga akan terlihat kesejajaran peran dan fungsi bahasa Banyumas dengan bahasa daerah lainnya yang sudah menjadi bagian dalam dunia pendidikan. 77
Dengan demikian, kecemasan akan musnahnya penggunaan bahasa Banyumas dapat diminimalisir. Setidaknya, generasi muda penerus dan pewaris kekayaan budaya dan kearifan lokal Banyumas tidak malu menggunakan bahasa ibunya sendiri baik dalam ragam lisan maupun tulisan. ***
78
Rumah dalam Lintas Lokalitas ADA sesuatu yang menakjubkan dan menarik dalam bambu sebagai bahan dasar rumah tradisional masyarakat Jawa. Saat ini bambu dapat kita temukan di rumah makan gaul tren anak muda zaman sekarang. Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, Rumah Makan Bambu adalah contoh rumah makan gaul di Purwokerto yang menggunakan bambu sebagai konstruksi bangunannya. Fenomena bambu sebagai konstuksi bangunan dalam rumah makan gaul sengaja diciptakan dan direncanakan sebagai budaya tanding terhadap pergeseran global. Hal ini mengacu kepada realitas perkotaan yang membutuhkan penandaan lain, yaitu pedesaan. Konstruksi rumah makan yang rapi membuat keharmonisan suasana makan terbangun. Suasana sunyi dengan iringan musik mellow sengaja dipadukan dengan nuansa alam pedesaan untuk menarik perhatian pengunjung. Dalam suasana yang natural, orang menjadi bebas bercerita, bercanda, dan saling terbuka. Orang dapat saling menghormati dan saling mendengarkan keluh kesah antarsesama. Di sini, orang bisa melupakan "penat" dari rutinitas. Tidak heran apabila anak muda yang sedang jatuh cinta (bersama pasangan kekasihnya) menjadi betah 79
nongkrong dan menghabiskan banyak waktu dengan ngobrol santai ataupun bersenda gurau. Dalam rumah makan itu, mereka bisa beromantisme. Di sisi lain, hadirnya bambu dalam konstruksi rumah makan merupakan ilustrasi dari pascakelangkaan dengan telah hilangnya desa. Rumah makan seperti Warung ABG (Ayam Bakar Goreng), Warung Pring, dan Rumah Makan Bambu merupakan lingkungan yang diciptakan menjadi alam. Orang menginginkan desa, tetapi desa sudah sangat jauh sekali dari impian yang mereka jangkau. Apabila mencermati keadaan demikian, desa dalam sekarang ini sudah menjadi bagian dari perkotaan yang "mahal". Secara eksistensinya, desa di Jawa selalu identik dengan bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau. Namun, akhir-akhir ini dengan adanya penjarahan hutan secara masal dan minimnya reboisasi, maka bambu, kayu, dan dedaunan yang menghijau menjadi barang yang "langka". Sejauh ini, dulu bambu termasuk ikon rumah adat Jawa yang merupakan pelengkap dari kayu. Rumah adat Jawa dengan pagar bambu memang sekarang sudah susah kita temukan. Orang Jawa kini lebih senang membuat rumah gedongan dengan alasan lebih kokoh dan tidak mudah rusak. Mereka lebih memilih berpikir praktis tinimbang bersusah payah membuat rumah dengan bambu. Kalaupun kita temukan rumah adat Jawa dengan atap limas dengan berpagar bambu dan kayu itu sudah kumuh karena penghuninya rata-rata sudah lanjut usia: mereka sudah tidak mampu lagi merawat rumahnya. Jadi, rumah adat Jawa yang tersisa bukan merupakan pemertahanan warisan 80
leluhur dengan kandungan nilai luhurnya, melainkan ketidakmampuan penghuni merenovasi rumah. Sekarang bambu merupakan sendi budaya yang masih tersisa di era global ini. Konstruksi bambu dengan nuansa tradisionalitas yang dipadukan dengan menu makanan seperti juice, udang goreng, ayam bakar di rumah makan gaul merupakan realisme utopis dari persilangan wacana institusional untuk hadir dalam citra yang imanen. Rasa kedamaian Alasan tersebut muncul dari banyaknya orang yang mengklaim bahwa dengan kembali ke dalam masa lalunya, mereka akan menemukan rasa kedamaian. Adapun negara yang telah mampu kembali ke dalam sisi tradisional, namun tetap menjadi bagian dari modernitas, adalah Jepang. Beberapa rumah di Jepang tetap menggunakan kayu, meskipun di negara ini sering diguncang gempa. Konstruksi rumah dengan kayu itulah yang juga kini dipertahankan di Wisma Seni di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo. Wisma seni ini sengaja menggunakan kayu untuk menampilkan estetika seni dan budaya. Pada hakikatnya, nilai-nilai luhur suatu budaya tertanam bersamaan dengan rasa kesadaran dalam diri apabila kita mencermati dampak buruk dari industri dan mesin. Tidak heran bila pelestarian bentuk seni-budaya dengan istilah "revitalisasi budaya" dalam akhir-akhir ini pun digemborgemborkan. Hanya saja tidak sepenuhnya masa lalu itu dapat kita temukan lagi di masa depan. Kita hanya bisa 81
mempertahankan etika dan nilai-nilai yang masih tersisa di peradaban ini. Oleh karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah pencarian rasa kedamaian untuk menemukan sesuatu yang tertinggal dari peradaban. Desa sebagai metafora perkembangan budaya global hadir dalam estetika seni dan citra impian. Nuansa pedesaan seperti pantai ataupun perbukitan akan dikunjungi oleh orang-orang di waktu libur untuk menghilangkan penat. Suasana klasik pada bambu, yang dipadukan dengan taman dan menu terkini, merupakan dialektika dari lintas lokalitas. Karena masyarakat sekarang sudah sangat heterogen, maka yang terjadi adalah percampuran antara tren-mode dengan "kenangan" agar seperangkat nilai kebajikan dapat memengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan sosial. ***
82
Kearifan Lokal dan Revitalisasi
83
Batik Warisan Budaya Nirgenerasi SELAMA ini Purbalingga lebih dikenal sebagai produsen knalpot dan rambut palsu, dibandingkan dengan sentra kerajinan batik tulis sebagai produk lokal yang mampu menembus pasar ekspor. Bahkan, knalpot dan rambut palsu menjadi andalan dan tiang penyangga perekonomian masyarakat. Berdirinya perusahaan bermodal asing (PMA) pada sektor rambut palsu, mampu menyerap sekitar 60.000 tenaga kerja wanita; sedangkan pada industri knalpot —meski belum mampu menyerap tenaga kerja sebanyak itu— mampu membangkitkan sisi pendapatan pengrajinnya. Sementara itu, industri kerajinan batik tulis yang merupakan salah satu intangibel heritage cultur (warisan budaya bukan benda) dari leluhur justru kian terpuruk. Padahal batik mengandung nilai historis yang tinggi; juga menyimpan eksotisme yang laku dipasarkan. Kondisi itu makin mengkhawatirkan, tatkala datang ancaman produk batik yang diimpor dari China. Beruntung, Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO untuk melindungi warisan budaya bukan benda melalui Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007.
84
Dengan demikian, kita tidak perlu risau jika ada bangsa lain yang hendak mengklaim dan mematenkan batik sebagai seni tradisi asli mereka, seperti yang pernah terjadi pada seni tradisional reog dari Ponorogo, Jawa Timur. Namun demikian, untuk Purbalingga konvensi tersebut tidak serta merta menjadi jaminan kelanggengan industri batik tulis. Terancam Punah Dinas Perindustiran, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Purbalingga, hingga saat ini telah mencatat ada 242 pengrajin batik. Mereka tersebar di lima kecamatan, yaitu Bobotsari, Karanganyar, Bojongsari, Purbalingga, dan Karangmoncol. Sayangya mereka menekuni kegiatan membatik hanya sebagai sampingan. Industri batik belum digarap secara profesional. Hal itu terjadi karena mereka menilai pamor batik sebagai produk industri yang laku dipasarkan kian meredup. Pamor batik tradisional tergerus oleh industri tekstil dan fashion modern yang didukung oleh peralatan canggih serta tren mode busana kontemporer. Dengan demikian, batik tulis Purbalingga terancam punah. Di sisi lain, kerajinan itu mengalami krisis regenerasi. Pengrajin batik didominasi oleh kaum ibu rumah tangga dan orang lanjut usia, sedangkan kaum muda sebagai pewaris budaya enggan menekuni warisan adhiluhung tersebut.
85
Tantangan Selain masalah profesionalitas, ancaman nirgenerasi (langkanya penerus) dan hadirnya batik impor, batik tulis dari Purbalingga masih menghadapi dua masalah lagi. Yaitu minimnya inovasi (kreasi) dan kurangnya promosi. Selama ini, motif batik Purbalingga sangat monoton. Ada dua motif batik yang menonjol, yaitu lumbon (daun keladi) dan jahe serimpang, dengan dominasi warna hitam dan putih. Akibatnya, yang mau mengenakan busana batik itu hanya mereka yang memang sudah berusia lanjut. Karena itu, dibutuhkan formula jitu seperti inovasi motif, corak, dan kombinasi warna yang harmonis. Dengan demikian, batik Purbalingga mampu menembus pasar luas, dan banyak kaum muda yang tertarik mengenakannya sebagai bagian dari mode busana. Sesungguhnya untuk menembus pasar nasional, batik tulis Purbalingga telah memiliki keunggulan dibandingkan dengan batik daerah lain. Itu terbukti dari perolehan gelar Juara Umum Citra Batik Nasional 2008 pada event Pemilihan Elite Model dan Citra Batik Indonesia Tingkat Nasional. Pada momen bergengsi yang digelar di Yogyakarta Maret 2008 itu, motif batik Purbalingga yang khas dengan nuansa natural berhasil memukau dewan juri sehingga memenangi kontes. Selain ajang kontes, momen itu merupakan media promosi.
86
Komitmen Pemerintah Keberhasilan Purbalingga menyabet juara umum pada event nasional dan sukses menggelar lomba batik tingkat daerah, ternyata menginspirasi pemerintah daerah (pemda) untuk menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penggunaan Pakaian Batik. Perda itu menandakan komitmen pemda dalam upaya melestarikan khasanah budaya lokal dengan semangat nativisme. Perda itu mengatur penggunaan busana batik asli Purbalingga untuk pegawai negeri sipil (PNS) setiap Kamis dan Sabtu, termasuk batik untuk pelajar. Selain peraturan tertulis tersebut, pemda memalui Disperindagkop juga memfasilitasi kegiatan studi banding bagi pengrajin batik ke daerah penghasil batik di luar Purbalingga. Langkah itu dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta keterampilan pengrajin, seperti dalam hal pemilihan bahan baku, penanganan obat batik, pembuatan motif, dan cara pemasaran produk. Hanya saja, komitmen pemda tersebut tidak akan menjamin keberlangsungan industri batik tulis Purbalingga mengingat permasalahan yang paling krusial, yaitu tidak adanya regenerasi penfrajin, belum tersentuh. Jika pemerintah kabupaten (pemkab) serius hendak melestarikan warisan budaya adhiluhung itu, maka sepatutnya mulai mengadakan upaya regenerasi. Sudah saatnya pemkab melalui dinas pendidikan menerbitkan peraturan tentang penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler atau muatan lokal (mulok) membatik 87
terintegrasi dalam KTSP, baik pada jenjang pendidikan SD, SMP, maupun SMA/SMK. Jika memungkinkan, dengan melihat potensi yang ada, pemerintah bisa merintis berdirinya sekolah (SMK) batik. Barangkali langkah itu terlalu berat. Sebagai alternatif, kompetensi membatik bisa dimasukkan sebagai mata pelajaran pada SMK Tata Busana yang telah ada di Purbalingga. Dengan penggalian potensi dan bakat membatik sejak dini, maka keberlangsungan industri batik tulis khas Purbalingga dapat terwujud. Tentu saja pemerintah masih harus memperhatikan aspek modal usaha. ***
88
Kearifan Lokal Banyumas dalam Film JIKA kita merunut ulang perkembangan dunia seni sinematografi di Banyumas Raya dalam lima tahun terakhir, maka kita akan menemukan dua tesis menarik. Pertama, fenomena menjamurnya komunitas film pendek di Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Banjarnegara. Kedua, berkembangnya ideologi multikultuarilisme berbasis kearifan lokal (local wisdom) dalam karya para sineas lokal. Yang menarik dari tesis pertama adalah bahwa geliat industri kreatif ini tak lepas dari pasang-surut. Ini terjadi karena beberapa faktor; konflik kepentingan, tekanan dari penguasa (pemerintah), hingga persaingan kurang sehat antar beberapa komunitas. Persemaian dunia industri kreatif (seni sinematografi) di Banyumas dimulai pada tahun 1999. Saat itu sejumlah mahasiswa di Purwokerto mencoba menghelat pagelaran film pendek. Tahun 2001 Youth Power (Purwokerto), kelompok kerja nirlaba lintas seni memproduksi film perdana berjudul Kepada Yang Terhormat Titik 2, disusul film Surat Pukul 00:00 (2002). Namun eksperimentasi ini terhenti.
89
Perkembangan yang mengesankan justru berangkat dari Purbalingga. Tahun 2004 Cinema Lovers Community (CLC) memulai debut perdana. Laeli Leksono Film memvisualisasi naskah cerita pendek berjudul Orang Buta dan Penuntunnya (OBdP), karya Ahmad Tohari. CLC adalah sebuah lembaga nirlaba yang mewadahi sineas Purbalingga. CLC adalah tonggak perfilman Banyumas. Hingga kini CLC mewadahi sekitar 22 rumah produksi film lokal Purbalingga. Sementara di komunitas film pendek di Purwokerto dan Cilacap ditampung oleh dua lembaga film yaitu Arisan Film Forum (AFF) Purwokerto, Komunitas Sangkanparan Cilacap. Bersama CLC, ketiga komunitas ini membentuk Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB). Namun pergerakan pasang surut sinematografi di Banyumas ini tampak nyata di Purbalingga. Beberapa kali perhelatan film yang digelar CLC mendapat tekanan dan pelarangan dari pemerintah setempat. Tetapi CLC kokoh dengan pendiriannya, bahkan hingga tahun 2009 ini CLC berhasil menyelenggarakan tiga kali festifal film pelajar. Meski tanpa campur tangan (perhatian) pemerintah, kegiatan bertajuk Purbalingga Festival Film (PFF) ini menjadi barometer perkembangan film pendek di Banyumas Raya. Puluhan film pendek produksi sineas pelajar se Banyumas selalu ambil bagian. Kearifan Lokal Film, dalam konteks media masa lewat sajian yang selektif dan penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada penonton (Melvin 90
DeFleur). Artinya film berkuasa mendefisinikan normanorma budaya masyarakat. Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam hidup manusia. Di dalamnya terdapat respon manusia terhadap masyarakat, atau lingkungannya, dan dunia secara umum. Kebudayaan oleh Koentjaraningrat disyaratkan memiliki tujuh unsur esensial, yaitu: Bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian. Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu pada estetika yang berasal dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks termasuk film. Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik. Mengingat khasanah budaya Banyumas saat ini mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan. Keajekan pada unsur–unsur budaya lokal menjadi trademark atau bahkan ikon film Banyumas. Sebagai produk budaya, keberadaan film Banyumas menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau 91
videografi budaya (cultural videography). Videografi merupakan media komunikasi yang cukup efektif dalam rangka pelestarian dan perayaan keragaman budaya lokal. Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, menyebutkan bahwa film diarahkan antara lain untuk pelestarian dan pengembangan budaya bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa, pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman, dan penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Konsistensi –mengusung- budaya lokal juga terlihat pada film Peronika, Senyum Laminah (SL), Pasukan Kucing Garong (PKG), Boncengan, Metu Getih, Lengger Santi, Cuthel, dan lain-lain. Selain menggunakan dialek ‘ngapak’, film ini juga mengangkat tema kehidupan keseharian masyarakat kecil (marginal) di Banyumas. Pada SL terdapat scene –tradisi- membatik. Sebuah tradisi ‘langka’ yang sudah mulai memudar dan membutuhkan regenerasi. Film Cuthel mengajarkan falsafah hidup orang Banyumas, yang pantang menyerah. Nilai-nilai kejujuran (cablaka), toleransi, dan budi pekerti digambarkan dalam film ini. Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar. Yaitu penggunaan bahasa Banyumas dialek ‘ngapak’sebagai salah satu unsur penting membangun plot. Kedua, seting masyarakat asli Banyumas. Ketiga, atribut (aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks visual yang muncul dalam scene. Dan keempat tema kehidupan masyarakat kelas bawah.
92
PFF Purbalingga Film Festival (PFF) merupakan ajang kompetisi kreatifitas dan potensi pelajar SMA/SMK/MA seBanyumas Raya di bidang sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar. Saat ini PFF menjadi satu-satunya barometer perkembangan sinematografi di Banyumas. Tahun 2009 ini PFF masuk usia ketiga. PFF pertama digelar pada tahun 2007. Pada tahun pertama PFF sempat mendapat ‘sparing patner’ yaitu perhelatan yang sama bertajuk Festival Film Banyumas (FFB) yang digagas Komunitas Jurnalis Televisi Purwokerto (KJTP). Namun ajang ini hanya sekali digelar. Dari tiga kali PFF (Tahun 2007, 2008, dan 2009), telah muncul sekitar 50 judul film pendek Banyumas. Begitu banyak tema yang diangkat dalam film-film karya pelajar tersebut. Kearifan lokal telah menjadi mindset dan ideologi film-film ini. Sehingga penyelenggaraan PFF turut merayakan semangat multikulturalisme dan pluralitas budaya berbasis kearifan lokal Banyumas. ***
93
Revitalisasi "Dagelan" Banyumas DAGELAN merupakan salah satu akar tradisi yang menjadi bagian dari karakter atau watak wong Banyumas. Tradisi ini melengkapi karakter lain, seperti cablaka (transparan), apa adanya, egaliter, dan glogok sor atau suka mengumbar ukara (ucapan). Dagelan sesungguhnya merupakan salah satu bentuk sastra lisan tertua di Banyumas, di samping Dalang Jemblung. Keberadaan seni Dagelan setali tiga uang dengan seni Dalang Jemblung. Keduanya nyaris punah tergerus modernisasi. Dagelan berasal dari kata ndagel yang artinya melucu, sehingga Dagelan diartikan sebagai lelucon atau tingkah yang mengundang dan mengandung tawa. Dagelan biasanya menjadi salah satu fragmen yang ditunggu penonton dalam pentas Pakeliran Gragag Banyumasan. Dagelan juga bisa dipentaskan secara terpisah dari pertunjukan wayang dalam bentuk tunggal seperti seni Ludruk di Jawa Timur atau Lenong di Betawi. Seni Dagelan pernah mengalami masa keemasan pada sekitar tahun 1990. Saat itu di Banyumas terdapat satu grup Dagelan yang cukup melegenda. Grup lawak ini bernama Peang-Penjol dan Suliyah. Dalam banyolan atau lawakannya tokoh Peang-Penjol dan Suliyah ini sebenarnya tengah memainkan karakter wong 94
Banyumas asli. Karakter yang juga melekat pada tokoh Bawor sebagai ikon masyarakat Banyumas yang biasa muncul dalam seni Pakeliran Banyumasan. Baik Peang-Penjol dan Suliyah maupun Bawor sebenarnya merupakan metafora, sublimasi dari kondisi masyarakat Banyumas. Humor-humor segar mengalir tanpa beban dari tokoh-tokoh tersebut. Dengan bahasa- dialekBanyumas -ngapak- yang kental, isu-isu kontemporer kala itu menjadi bahan lawakan. Berbagai isu sosial yang terjadi saat itu diramu dan ditanggapi secara cablaka dalam perspektif wong Banyumas. Yang timbul kemudian adalah bukan sekadar kelucuan, tetapi di dalamnya terkandung wacana kritis, pendidikan moral, dan nilai-nilai kearifan lokal. Religiusitas Dus, apa yang dipertontonkan sebenarnya tak sekadar guyon yang hanya mengundang tawa, melainkan pendidikan budi pekerti yang disampaikan secara segar. Dagelan sebenarnya adalah seni mengkritik, mengingatkan, mendidik, menerjemahkan, atau mengejawantahkan perilaku pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Nah, di sinilah letak religiositas yang menjiwai dagelan. Meski terkesan vulgar, tanpa tedeng aling-aling dan cenderung kasar, tetapi lakon-lakon yang diperankan dalam seni Dagelan sesungguhnya bermuatan nilai-nilai religious. Religiusitas ini diadaptasi dari kata religiosity dalam The World Book Dictionary, yang berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan meliputi segala perasaan batin yang berhubungan dengan Tuhan, 95
seperti perasaan takut berbuat dosa, perasaan kejujuran, dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk-bentuk kritik yang disublimasikan dalam dagelan sebenarnya merupakan religiusitas. Sindiran-sindiran atau humor satir yang dituturkan dalam dagelan merupakan elan religiusitas. Lantaran pada hakikatnya dagelan mengajarkan moral sambil menghibur, mengkritik tanpa menyakiti, mendidik dengan senyuman. Namun, pada puncaknya, dagelan sesungguhnya merupakan bentuk katarsis. Dagelan tanpa disadari tengah mengajak penonton menertawakan dirinya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari wong Banyumas kontemporer, seni tradisi ndagel ini sudah luntur. Dagelan telah kehilangan gereget dan rohnya. Seni Dagelan telah kehabisan momen untuk tampil. Faktor penyebabnya ada dua. Pertama hadirnya humor-humor populer yang menyerbu ke ruang-ruang pribadi keluarga melalui pesawat televisi. Kedua, semakin mengecilnya frekuensi dan ruang publik untuk pementasan seni hiburan rakyat. Untuk faktor pertama ini sangat jelas hubungannya dengan industri hiburan (entertainment) dan kepemilikan modal. Yang memiliki kekuatan untuk meminimalkan adalah penguasa (pemerintah) melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Atau kekuatan (pemilik modal) lain yang seimbang yang beriktikad baik memberikan pendidikan melalui tayangan edutainment. Atau dengan membuat tayangan yang sepadan, tetapi lebih menonjolkan moralitas ketimbang sekadar kelucuan yang slapstik. 96
Nah, minimnya tayangan hiburan yang mengandung unsur pedidikan ini menjadi alasan betapa pentingnya revitalisasi seni tradisional seperti dagelan di Banyumas. Revitalisasi Untuk mengatasi faktor kedua, dapat dimulai oleh lembaga pemerintahan dan swasta. Misalnya dengan mengundang grup dagelan sebagai pengisi acara hiburan dalam momen perayaan ulang tahun lembaga, pisah-sambut pejabat, silaturahmi, atau momen lain yang memungkinkan digelarnya hiburan. Artinya, lembaga-lembaga tersebut harus rela dicap sedikit jadul dengan menyuguhkan seni tradisi ini. Lembaga juga harus rela menahan sedikit hasrat untuk menampilkan hiburan lain yang lebih modern, seperti panggung karaoke, organ tunggal, dan band. Atau mengolaborasikan dua jenis hiburan tersebut dalam satu panggung. Jika lembaga-lembaga resmi itu telah memberikan contoh bagaimana menghidupkan kembali seni tradisi yang nyaris punah, maka pada gilirannya masyarakat juga akan termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Masyarakat akan berpikir untuk menggelar pertunjukan dagelan pada acara hajatan daripada mengundang pemain organ tunggal. Dengan pola semacam ini revitalisasi seni tradisional dagelan dapat berjalan dan dengan sendirinya nilai-nilai atau pesan moral (religiositas) yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan. Sehingga, masyarakat tidak hanya mendapat hiburan segar, melainkan juga mendapat pendidikan moral. ***
97
Sastra
98
Kontestasi Sastra di Banyumas “... KALAU di Banyumas (Purwokerto), sudah berdiri Perguruan Tinggi Seni, greget berkesenian di Banyumas akan lebih semarak lagi seperti halnya pada dekade 70-an, ...” Ini adalah ungkapan penuh harap yang menarik dari esai ‘Banyumas Butuh Perguruan Tinggi Seni’ tulisan S Sugito Eswe, (KR, 28 Agustus 1994). Tulisan S Sugito Eswe, pemerhati seni-budaya Banyumasan ini memang sudah lama dan barang kali sudah tidak ada lagi yang ingat. Namun demikian akan menjadi menarik tat kala kita kontekstualkan dengan kondisi saat ini. Situasi di mana telah 16 tahun berselang dari kondisi pada saat esai tersebut dibuat. Apa yang disampaikan Sugito bisa jadi sangat realistis pada saat itu, mengingat Banyumas sebagai salah satu kantong sastra tidak bisa dilepaskan dari pergulatan dan perkembangan sastra Indonesia atau ‘menjadi bagian dari’, yang pada saat itu tengah mengalami kelesuan. Dan akan menjadi sangat ironi jika apa yang dikemukakan Sugito tersebut diungkapkan lagi saat sekarang. Apalagi di Banyumas sekarang telah bertebaran Perguruan Tinggi dengan program studi sastra, atau ilmu budaya. Bahkan hampir di setiap kampus terdapat kantung-kantung senibudaya, mulai dari kelompok teater, seni, diskusi budaya dan sebagainya. Tak kurang, ada dewan kesenian yang konon 99
mendapatkan alokasi dana yang lumayan dari pemerintah daerah. Lalu apa yang menjadikan ungkapan Sugito tersebut menjadi menarik untuk kita renungkan pada saat ini? Tentu saja yang menjadikan ungkapan tersebut tetap menarik untuk direnungkan adalah bukan lantaran tidak adanya aktifitas bersastra baik yang dilakukan oleh mereka yang menurut Heru Kurniawan dalam esainya ‘Regenerasi Ke-sastrawan-an Muda Banyumas’ (KR, 6 Februari 2005) dikatakan sebagai ‘sastrawan besar’ atau pun tidak adanya aktifitas berkritik (baca: mengkriti[k]si) oleh para kritikus yang oleh Abdul Wachid BS dikatakan sebagai salah satu penyebab ‘me-Ranggasnya Intelektualitas ber-Kesusastraan di Banyumas’ (KR 20 Februari 2005). Padahal menurut Wachid sendiri di Banyumas (Purwokerto) saat ini di UMP telah membuka Fakultas Sastra, jurusan Prodi Pendidikan Bahasa dan Seni-nya, pun Unsoed, belum lagi keberadaan Dewan Kesenian Banyumas (DKB), Dewan Kesenian Purbalingga, dan lain-lain, yang tentu saja dengan itu semua mestinya apa yang diimpikan Sugito Eswe pada tahun 1994 untuk mengenang masa romantisme tahun 70-an dengan menyadarkan harapan kembalinya greget berkesusastraan di Banyumas pada berdirinya Perguruan Tinggi seni di Banyumas telah terwujud. Memang, apa yang angankan Sugito tersebut sempat terwujud, pada era 90-an di Banyumas bertebaran kelompokkelompok diskusi seni dan budaya yang tak pernah sepi dari aktifitas bersastra. Bahkan sejumlah nama mapan pun kemudian lahir pada era 90-an, yang dengan lugas dikatakan oleh Heru Kurniawan, mereka sebagai identitas kesastrawan-an Banyumas. Sekedar menyebut nama, mereka yang dikatakan oleh Heru sebagai ikon berkesusastraan di 100
Banyumas antara lain Edhi Romadlon, Nanang Anna Noor, Bambang Set, Herman Affandi, Dharmadi, Mas’ut, Badrudin Emce, Basuki Balasikh, Sutarno Djayadiatmo, Haryono Soekiran, dan lain-lain. Tentu saja kehadiran ikon-ikon berkesenian di Banyumas ini lengkap dengan atribut dan bendera masing-masing. Namun paska era 90-an, geliat berkesusatraan di Banyumas kembali kehilangan gregetnya, padahal jumlah Perguruan Tinggi atau jumlah Program Studi Seni di Banyumas semakin bertambah, pun dengan jumlah kantongkantong berkesenian di Banyumas. Lantas apa gerangan yang terjadi sebenarnya dengan iklim berkesusastraan di Banyumas yang mendung ini. Jangan-jangan apa yang diungkapkan Wachid itu benar-benar terjadi, bahwa di Banyumas saat ini tengah mengalami ‘Ranggasnya Intelektualitas Ber-Kesusastraan’. Meskipun demikian secara cool (baca: anti klimaks), Mas’ut (Sastrawan Banyumas) yang barang kali mencoba mewakili generasinya, kemudian berusaha merenungi ungkapan Wachid tersebut. Dengan santun Mas’ut menampik telah terjadi keranggasan intelektualitas kesusastraan di Banyumas. Dicontohkan Mas’ut (dalam esainya di KR), bahwa tradisi To’et adalah salah satu representasi dari bentuk intelektualitas berkesusatraan di Banyumas. Boleh jadi, yang diungkapkan Mas’ut merupakan sebuah apologi dari generasi mapan, yang merasa gerah dengan lontaran Wachid. Ia sendiri sebenarnya tengah melakukan otokritik. Lalu di mana sebenarnya letak kekeliruan itu?
101
Heru Kurniawan yang mewakili generasi sastrawan muda (yang belum mapan) merasa perlu melakukan regenerasi, meski yang terjadi adalah regenerasi yang nihil. Kenihilan ini terjadi karena yang muda selalu dibayangbayangi oleh yang mapan, sementara yang mapan sendiri kemudian hanya akan menjadi ‘menara ganding yang retak’ dengan mengagung-agungkan romantisme masa lalu, seperti apa yang diungkapkan Mas’ut. Demikian pun dengan meraka yang berada di bawah bendera ‘kaum intelektual’ atau akademisi. Meraka pun hanya akan menjadi intelektual menara gading yang retak- jika selamanya hanya melakukan pengkajian karya satsra hanya sebatas sebagai bahan pengajaran bagi mahasiswa sastra, sehingga mahasiswanya pun kemudian ber-enggan-enggan untuk menumbuhkan tradisi berkritik melalui tulisan selain ketika mendapatkan tugas membuat makalah analisis atau penelitian sastra. Di sini agaknya, simpul permasalahan itu bermula, pendidikan. Ya lagi-lagi pendidikan menjadi keranjang sampah tempat semua orang melemparkan kekeliruan. Dalam sebuah kesempatan seminar pendidikan tahun 2001 di UMP, Faruk pernah melontarkan bahwa reformasi pendidikan berkebudayaan yang mestinya dilakukan di Indonesia adalah reformasi tradisi pendidikan dari keberlisanan menjadi keberaksaraan. Sehingga semua nilainilai yang terucap melalui lisan tidak akan menguap begitu saja seiring dengan keringnya bibir yang berucap tadi. Keberaksaraan agaknya menjadi sangat perlu, mengingat pada saat ini kita tidak lagi hidup di era keberlisanan. Masyarakat kontemporer adalah masyarakat yang hidup dalam tradisi tulis, sehingga akan sangat ironis 102
jika di tengah tradisi keberaksaraan masih ada yang mengagungkan tradisi keberlisanan, sekalipun ini bukan merupakan sebuah kesalahan fatal, sebab tradisi kita memang mengenal dongengan. Hanya saja ada kontekskonteks tertentu yang mestinya menjadi sebuah patokan, kapan saat menagungkan tradisi berkelisanan dan kapan saatnya mengedepankan tradisi keberaksaraan. Kekeliruan juga terjadi pada paradigma kita tentang konsep budaya, dan kebudayaan. Saat ini tengah terjadi proses penyempitan makna budaya dan kebudayaan. Setidaknya itulah yang diungkapkan Suminto A Sayuti, dalam kesempatan sarasesahan seni dan budaya di Purbalingga. Hilanngya tradisi kritik yang kemudian menenggelamkan greget berkesenian sat ini adalah disebabkan oleh pergeseran konsep tentang nilai-nilai berkebudayaan. Budaya dan kebudayaan hanya cukup dimaknai dengan berdirinya museum, peninggalan-peninggalan sejarah dan lain sebagainya. Sedangkan roh yang sebenarnya dari budaya dan kebudayaan tersebut hilang sama sekali. Atau dalam bahasa Wachid, ber-kesusastraan saat ini hanya cukup dimaknai dengan berambut gondrong, berbaju hitam dengan segenap aksesoris. Sekalipun semua itu bukan jaminan bahwa mereka telah melakukan perilaku berkebudayaan dan berkesusastraan. Karena toh penampilan yang nyentrik saja juga tidak cukup untuk mengukuhkan bahwa mereka adalah seorang sastrawan atau seorang yang berperilaku budaya. Namun anehnya, masyarakat atau setidaknya mereka yang muda yang tengah berpayah melakukan regenerasi kesastrawan-an merasa selalu berada di bawah bayang-bayang romantisme sastrawan mapan di masa lalu. Seolah yang 103
muda tidak akan pernah ‘menjadi’, jika meraka tidak pernah atau lupa mentasbihkan nama yang mapan. Dan yang mapan pun sepertinya masih enggan untuk sekedar melepas jubah kebesarannya menyapa yang muda. Bahkan seolah yang mapan justru bangga dengan kemapanannya dengan terus menurus menghantui yang muda dengan keperkasaan masa lalu mereka. Pun, para akademisi atau kau intelektual, mereka yang paling memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan kritik, mereka sepertinya masih enggan untuk saling bertegur sapa dengan sesama yang mapan apalagi dengan yang muda, yang barang kali tidak akan pernah dianggap, karena mereka merasa paling mapan dalam hal teori, sehingga merasa bukan makomnya kalau mereka menegur atau menyapa yang muda. Syahdan, jika saja yang mapanbermurah hati mau menyapa yang muda atau paling tidak mereka yang mapanmau memberikan contoh bagaimana cara bertegur sapa yang santun antar sesama, maka tidak akan terjadi regenarasi yang piatu ke-sastrawan-an muda di Banyumas. Dan yang terlanjur meranggas akan segera bersemi dengan tunas-tunas yang tentu saja lebih muda, masih lebih banyak memiliki energi. Ya, tentu saja yang muda ini tidak akan pernah lahir dari rahim bunda kebudayaan, jika sang ibu (yang mapan) tidak pernah mau mengandungnya apa lagi turut melahirkan mereka. Sekalipun kepenyairan atau predikat sastrawan itu tidak diraih melalui proses pengakuan dari yang mapan, melainkan dengan sendiri akan melekat setelah yang ’muda’ mengalami dan melalui ritual dalam kawah candradimuka dengan melakukan proses kreatif. *** 104
Ihwal Ekranisasi
Ronggeng Dukuh Paruk TULISAN Yosi Muhaemin Giri (YMG) berjudul ‘Idealisme Tohari di Ambang Cinta dan Benci’ pada Forum (Kompas, 14/04/2009) sangat menarik. Pada paparannya YMG dengan begitu banal melancarkan kritik pada pribadi Ahmad Tohari (AT) yang dianggap sudah tidak idealis lagi. Dalam penilaian YMG; ekranisasi novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) telah menciderai idealisme. Selama ini AT dikenal sebagai sosok sastrawan dan budayawan yang menentang habis-habisan tayangan-tayangan sinetron di televisi, sehingga ekranisasi dianggap sebagai titik balik lunturnya idealisme itu. Lebih jauh, YMG menilai bahwa yang dilakukan AT merupakan langkah mundur. Ironis, inilah ungkapan yang dipakai YMG untuk menyimpulkan sekaligus menstigma watak pribadi AT. Namun sayangnya, dasar pemikiran dan argumentasi yang dibangun YMG dalam tulisannya ternyata sangat lemah. Setidaknya ada tiga kelemahan argemntasi dalam tulisan teresbut. Pertama, argumentasi yang mengatakan bahwa AT tergiur nominal uang sehingga mau ‘menjual’ lagi RDP. Ini sulit diterima. Lantaran kita tidak pernah tahu berapa nilai 105
nominal dari transaksi tersebut. Kedua, ekranisasi dipandang sebagai bentuk kegagalan publikasi RDP versi cetak. Ini jelas keliru. Bukankah novel RDP telah mengalami berkali-kali cetak ulang. RDP juga telah diterjemahkan dalam lima bahasa asing dan mendapat resepsi yang luar biasa. Saya sepakat jika disebut bahwa RDP dan AT tak populer di kalangan pelajar SMA di Banyumas. Mereka lebih mengenal sosok Chairil Anwar, Rendra, atau Amir Hamzah dan karyanya. Tetapi perlu diingat, ‘perkenalan’ pelajar dengan sastrawan tadi adalah perkenalan kebetulan melalui modul atau buku ajar di sekolah. Inilah fakta yang dimunculkan YMG. Pelajar kurang mengenal RDP karena jarang disebut dalam modul Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebuah landasan berpikir yang sangat lemah. Sebab permasalahan yang sebenarnya adalah rendanya budaya literasi (baca-tulis) di kalangan siswa di Banyumas atau bahkan Indonesia. Ketiga, hujatan YMG bahwa idealisme –menentang tayangan TV- yang telah lenyap dari AT. Menurut saya, hujatan ini juga lemah. YMG tidak sadar bahwa banyak hal yang berbeda antara tayangan sinetron di televisi dengan film layar lebar. Perbendaan paling kentara bisa dilihat dari segi materi atau isi. Kemudian proses pembuatan, termasuk ideologi yang mengalir dalam dua jenis tanyangan itu. Selain minim intelektualitas, sinetron juga hanya menawarkan hedonisme, diproduksi atas pesanan dengan pola kejar tayang. Tengoklah, apakah ada sinetron yang mengangkat kearifan lokal atau berisi nilai moral.
106
Hedonisme. Ini memang sempat terjadi pada beberapa film layar lebar terkini yang menawarkan postur tubuh, cerita dan adegan yang menyerempet seks. Atau bahkan cenderung vulgar. Namun ini tidak akan terjadi pada ekranisasi RDP. Terlalu dini jika mengatakan bahwa ekranisasi RDP tak ubahnya dengan sinetron. Ini kesimpulan saya atas tesis YMG. Apalagi kita belum tahu bagaimana hasil ekranisasi jilid dua itu. Filmisasai RDP jilid I berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng garapan sutradara Yazman Yazid memang dianggap gagal. Tetapi ini tidak dapat dijadikan dasar untuk menilai sebuah hasil dari proses yang belum selesai. Sampai di sini saya melihat AT masih berdiri pada orbitnya sebagai sastrawan yang menentang tayang-tayangan televisi yang tidak berkualitas. Strategi Di luar intervensi kepentingan modal, saya melihat ekranisasi RDP ini merupakan sebuah strategi. Strategi menghadapi perubahan tradisi dan peradaban yang mempengaruhi pola komunikasi dalam masyarakat. Secara umum perkembangan peradaban ditandai dengan tiga perubahan penggunaan alat dan pola komunikasi. Yaitu dari tradisi lisan (oraliti), tulisan (literasi), lalu audio-visual. Yang paling mutakhir adalah berkembangnya model komuniaksi virtual melalui dunia cyber. Nah, ekranisasi RDP sesungguhnya merupakan strategi, bagaimana menjembati kegagapan budaya masyarakat bertradisi lisan yang tiba-tiba harus meloncat 107
menjadi masyarakat bertradisi visual bahkan virtual. Pada kasus RPD, saya melihat bahwa AT tengah mencoba menarik masyarakat untuk kembali pada tradisi literasi yang sempat terlewati. Alasannya sederhana, dalam beberapa kasus ekranisasi banyak menimbulkan kekecewaan pada penonton dan kritisi sastra. Ini terjadi akibat penciutan plot dan degresi cerita di luar novel. Tengoklah kasus ekranisasi Ayat-Ayat Cinta (AAC), Laskar Pelangi (LP) dan lain-lain. Lalu apa hubungannya dengan tradisi literasi? Saya melihat, tatkala banyak kritisi yang gusar akibat ketidakpuasan atas ekranisasi, ini akan menimbulkan rasa ingin tahu para penonton awam. Dengan sendirinya mereka akan mencoba mencari pembandingnya yaitu naskah asli pra-adaptasi. Ini terjadi pada AAC dan LP. Fenomena cetak ulang kedua novel ini terjadi setelah ekranisasi. Novel AAC telah ada sejak tahun 2004, kemudian baru ramai dibicarakan dan populer pada tahun 2008, setelah ekranisasi. Pada awal terbit, AAC tak banyak mendapat respon dari kritikus sastra. Respon banyak muncul pasca ekranisasi. Sesungguhnya ini berbeda dengan RDP yang sejak awal kemunculannya telah mendapat resepsi dari pembaca dan kritikus. Artinya, dalam kasus RDP, sesungguhnya bukan perkara nominal nilai kontrak, atau hanya sekedar bagaimana mempopulerkan AT sehingga berterima di negeri sendiri (Banyumas). Ekranisasi RDP adalah strategi menarik masyarakat (pelajar) yang terlanjur mencintai tayangan –hantu- visual di TV agar kembali dulu pada fase literasi. Ini ditempuh dengan 108
memanfaatkan kekurangan ekranisasi. Dengan ketidakpuasan penonton atas filmisasi RDP, akan memotivasi mereka membaca naskah asli. Nah, proses membaca inilah yang pada giliranya akan membentuk masyarakat literasi. Terlihat naïf memang. Namun ini jauh lebih baik dari pada tidak sama sekali. Lantaran tidak ada alat perjuangan modern yang given atau terberi dengan cuma-cuma. Ekranisasi RPD tetap mengandung idealisme. ***
109
Identitas Wong Banyumas dalam Cerpen DISKURSUS ihwal identitas tidak pernah tuntas dari pertarungan perebutan batas makna waktu dan ruang studi budaya. Identitias dalam konteks budaya menjadi demikian penting. Ia menjadi penanda seberapa besar seseorang merasa sebagai bagian dari sebuah entitas budaya atau etnis tertentu dan bagaimana identitas ini memengaruhi perasaan, persepsi dan perilakunya. Identitas budaya tidak pernah lepas dari faktor psikologis pribadi terhadap kelompoknya. Kontestasi tentang batas pemaknaan identitas ini selalu menarik, lantaran identitas bukan sesuatu yang tetap, ia selalu berubah. Konstruksi identitas dibangun melalui proses yang panjang. Batas identitas selalu memunculkan titik perbedaan, ia terus bergerak selaras dengan perkembangan peradaban. Identitas dalam konstruksi budaya selalu mengalami pergeseran, perubahan, lentur, bahkan luntur. Jika kebudayaan yang dianut sekelompok orang mulai luntur, maka luntur pula identitas anggota kelompok tersebut. Di sinilah pentingnya konservasi nilai-nilai budaya guna meneguhkan konstruksi identitas dan jati diri bangsa. Anasir budaya sebagai konstruksi jadi diri dapat digali dari khasanah teks sastra, sebab sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya. Karya sastra acap kali 110
lahir sebagai respon sastrawan terhadap situasi sosial budaya yang melingkupinya. Sastra dapat lahir sebagai resistensi terhadap dominasi, pada saat yang sama ia hadir sebagai wujud penerimaan kondisi budaya. Karya sastra secara simultan merefleksikan jati diri penulisnya sekaligus merepresentasikan identitas kultural masyarakat di sekitarnya. Dengan daya imajinasi, sastrawan menciptakan tokoh yang dilabeli karakter tertentu. Pemilihan dan penyematan karakter ini dipengaruhi wawasan kearifan lokal (local wisdom) yang mendominasi proses kreatif sastrawan. Dengan begitu, sastra selalu terlibat dalam segala aspek kehidupan, termasuk pada ranah kebudayaan. Pada saat yang sama, arena kultural sastra menjadi subordinat wilayah kekuasaan yang dilegitimasi oleh kepemilikan modal ekonomi dan politik. Inilah yang terjadi pada masyarakat Banyumas tempo dulu, yang secara geopolitik berada di wilayah tepian. Sejarah wong Banyumas menunjukan bahwa mereka secara politik, natural, kultural dan sosial berada pada posisi marginal. Wong Banyumas hidup jauh dari hegemoni keraton, mereka tumbuh di wilayah tepian yang dekat dengan sumber daya alam berupa sungai, lembah dan gunung, adoh ratu cedak watu. Adagium sederhana ini secara kultural melegitimasi wong Banyumas untuk bersikap egaliter, berkarakter cablaka, selalu sabar lan nrima, berjiwa ksatria, dan cancudan. Cablaka secara kontekstual maknanya serupa dengan blakasuta yaitu berbicara blak-blakkan atau tanpa tedeng alingaling. Dalam khasanah bahasa Banyumas, secara etimologi kata cablaka berasal dari kata cah yang berarti bocah dan blaka. Teks kearifan lokal Banyumas juga menyebutnya 111
thokmelong yaitu berterus terang atau apa adanya. Cablaka bagi wong Banyumas sesungguhnya merupakan bentuk kejujuran paling hakiki berkenaan dengan data dan fakta atau kasunyatan urip. Namun pada konteks pergaulan sehari-hari cablaka tidak hanya merepresentasikan kejujuran fakta secara banal. Cablaka merupakan sendi dan sandi kehidupan. Cablaka adalah kode kultural dalam komunikasi yang intim dan nirwatas. Itulah sebabnya, untuk menandai kecablakaan tidak cukup dengan mengidentifikasi data dan fakta yang dituturkan wong Banyumas dengan dialek ngapak-nya. Cablaka jamak mengejawantah dalam bentuk tindak wicara cowag (bersuara keras), mbloak (bergaya serius tapi lucu), dablongan (seenaknya sendiri), mbanyol atau ndagel (dagelan) yaitu bertingkah konyol. Laku mbanyol sendiri lazimnya ditandai dengan tindak; pejorangan (jahil), semblothongan (saru untuk melucu), glewehan (bercanda) dan ngomong brecuh (saru, vulgar). Jejak Tekstual Pada kondisi kontemporer kita sulit mencari referensi aktual anatomi karakter wong Banyumas tersebut. Perkembangan peradaban meniscayakan berubahnya budaya dan watak wong Banyumas. Tetapi secara tekstual, jejak kecablakaan wong Banyumas yang genuine masih dapat kita lacak pada kumpulan cerpen Senyum Karyamin karya Ahmad Tohari Senyum Karyamin menarasikan kisah hidup bangsa penginyongan dengan karakter asli. Narasi-narasi pendek yang ada di dalamnya secara subtil dan sublim merepresentasikan 112
identitas kebanyumasan. Tohari mendayagunakan tindak tutur, sikap, tingkah laku, pandangan hidup, nama tokoh, dan latar cerita untuk mengikat keseluruhan ciri wong Banyumas dalam cerpen. Nama-nama tokoh seperti; Karyamin, Saidah, Sarji, Sanwirya, Sampir, Samin, Sulam, Ranti, Kimin, Suing, Bakir, Dilam, Musgepuk, Sutabawor, Dawet, dan Cowet adalah nama-nama khas orang Banyumas asli tempo dulu. Kemudian, deskripsi latar alam pedesaan menjadi jejak bagaimana karakter wong Banyumas direkonstruksi. Geografi Banyumas tempo dulu adalah sebuah wilayah agraris dengan sungai Serayu sebagai urat nadinya. Serayu menjadi penanda kearifan lokal. Potensi sumber daya alam yang terkandung di sepanjang DAS ini memberikan inspirasi takterhitung bagi keberlangsungan hidup wong Banyumas. Kekayaan alam ini menempa mereka menjadi cancudan, giat bekerja, cekatan dan trengginas dengan memanfaatkan piranti seadanya. Identitas wong Banyumas juga ditandai dengan penyematan profesi pada tokoh cerpen. Karyamin si pengumpul batu, Sanwirya si penderes, Musgepuk si pawang kerbau yang begitu dekat petani, Kimin dan Suing si pencari kayu bakar, dan lain-lain. Profesi-profesi ini menandai sikap sabar lan nrima nasib yang dialami, sekaligus menumbuhkan jiwa ksatria. Kemudian bertebarannya diktum dan diksi khas ngapak pada cerpen menjadi ornamen kedaerahan. Diktum seperti; ngimpi nunggang macan yang dialami Kenthus, bajul buntung, mitoni, ngayar-anyari, mbuh, sumringah, dan lain-lain merupakan bentuk reproduksi kode budaya menjadi kode sastra melalui 113
kode bahasa. Diksi ngapak benda-benda seperti; pongkor, lincak, sapaan; sampean, wong cilik, kawula, dan sebagainya, meneguhkan jejak identitas kebanyumasan dalam teks sastra. ***
114
Antologi Sastra dan Lembaga yang Memproduksi ANTOLOGI sastra, sebagaimana dijelaskan oleh Hary Aveling dalam buku bertajuk Secrets Need Words, Indonesian Poetry, 1966-1998 (2001) adalah bentuk khusus dari genre sastra. Antologi biasanya disusun menurut prinsip yang dipilih atau ditemukan oleh sang antologis dimana dasar seleksi teks bisa sangat beragam. Dasar penyeleksian teks itu, bisa diniatkan untuk menandai penelitian sejarah perkembangan satu atau beberapa karya sastra, atau diseleksi berdasar karya dari dalam wilayah tertentu yang dibatasi oleh kriteria sastra yang lebih spesifik semisal era atau genrenya; kriteria di luar sastra semisal sastra oleh perempuan atau minoritas etnik; dan kriteria berupa tema tertentu semacam agama, humor bahkan protes sosial. Empat tahun terakhir ini, OBSESI sebagai lembaga pers mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto konsisten memproduksi antologi sastra. Antologi yang diproduksi oleh OBSESI seringkali disusun dari latar belakang lomba penulisan beberapa genre sastra khususnya cerpen dan puisi. Dasar penyeleksian teks lalu dipilih berdasar tema yang telah ditentukan, dan dibatasi 115
hanya untuk mahasiswa se-Indonesia yang karyanya dipilih oleh beberapa dewan juri dari kalangan sastrawan yang sekaligus redaktur sastra sebuah media, semisal Ahmadun Yosi Herfanda dan Joni Ariadinata. Dari kriteria penyusunan antologi sastra berdasar lomba itu, OBSESI telah menerbitkan tiga antologi cerpen bertajuk Rendevous di Tepi Serayu (2009), Bukan Perempuan (2010) dan Lelaki yang Dibeli (2011); dan satu antologi puisi bertajuk Puisi Menolak Lupa (2010). Empat buku antologi di atas, secara komunal menceritakan perbedaan lingkungan kebudayaan suatu daerah, kepercayaan suatu masyarakat serta konflik tersendiri di berbagai lingkungan di Indonesia yang secara kuantitatif selalu memuat lebih dari tiga puluh karya mahasiswa dari berbagai daerah-daerah di Indonesia. Sebagai contoh misalnya, dalam antologi cerpen Lelaki yang Dibeli (2011) kita akan mendapati kisah tentang lapisan masyarakat adat yang hendak dipecundangi lewat imingiming pinjaman uang dan pelayanan perkreditan lewat cerpen ”Desa Tomatoae” karya Imran Makmur (Mahasiswa Universitas Hasanuddin/Unhas Makassar), kisah keluarga di Lembah Baliem yang mengejar imaji kemakmuran dengan upaya mistik menjadi babi jadi-jadian lewat cerpen ”Noken Baliem” karya Anggo Aryo Wiwaha (Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto), kisah eksploitasi industri di kampung Sendang lewat cerpen “Cerita-cerita dari Kampung Seberang” karya Musyafak Timur Banua ( mahasiswa IAIN Walisongo Semarang). kisah biografis tokoh peranakan cina yang diceritakan secara berbingkai lewat peristiwa pengguratan tungkai kembang yang membusuk lewat cerpen “Bunga Delapan Dewa” karya Sunlie Thomas Alexander (Mahasiswa Senirupa di Institut 116
Seni Indonesia (ISI) dan Teologi-Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta). Dari kesan beragamnya isi karya sastra yang dimuat dalam antologi sastra produksi OBSESI itu, dalam tataran teks sastra dan struktur lembaga yang memproduksinya sebenarnya nampak pula bahwa pembuatan antologi memang tidak bisa lepas dari bingkai kriteria general ideology. Kriteria general ideology ini nampak pada kecenderungan tak bisa lepasnya produksi antologi dari bingkai STAIN Purwokerto sebagai lembaga pendidikan agama yang mendasarkan eksistensinya pada wacana agama dimana prinsip intelektualitas mahasiswanya mesti ditandakan di bidang keilmuan utamanya pemikiran-pemikiran wacana agama di tengah kehidupan sosial budaya masyarakat. Kecenderungan ini lalu berdampak pada praktik pengantologian OBSESI yang berjalan sangat mekanis dengan kriteria tekstualnya dimana secara khusus selalu mengikutsertakan lebih dari lima karya mahasasiwa dari lingkungan STAIN purwokerto dan secara umum berdampak pula pada struktur formal karya sastra yang terkesan seragam dalam gaya penceritaan dan tema. Dampak umum itu setidaknya terlihat pada kecenderungan banyaknya gaya penceritaan realis dengan tema yang mempersoalkan problematika sosial semacam adat juga problema kedirian dimana wacana agama menjadi bagian dari alur yang lantas menjadi solusi pemecah masalah atau sebaliknya agama bersitegang dengan keangkuhan sebuah adat sehingga menjadi konflik utama. Wacana agama dan problematika kedirian misalnya, dapat ditemui dalam cerpen “Istikharah” karya Anggo Arya 117
Wiwaha (mahasiswa STAIN Purwokerto) yang terkumpul dalam Rendevous di Tepi Serayu (2009) dimana pusat cerita bermula dari kebingungan sang tokoh untuk memutuskan menjalani pernikahan di tengah trauma masa kecil rumah tangga orangtuanya sampai akhirnya sang tokoh meyakinkan diri bahwa dia harus menjalani Istikharah, tindakan bertanya pada Tuhan sebab rasa percaya bahwa segala bentuk perkara harus kembali pada pencipta. Sedang wacana agama dan problematika sosial, dapat ditemui dalam cerpen “Lelaki yang Dibeli” karya Gusrianto (mahasiswa Universitas Terbuka /UPBJJ Padang) yang terkumpul dalam Lelaki yang Dibeli (2011) dimana fenemona daerah Padang yang mempertahankan tradisi uang jemputan untuk membeli lelaki (calon suami) yang mesti dilakukan oleh pihak perempuan (calon istri) menjadi konflik utama sebab dinilai telah mengingkari filosofi Minangkabau bahwa seharusnya aturan adat bersendikan syariat, syariat bersendikan kitabullah/Alquran. Tapi, di bulan Maret tahun 2011, OBSESI menerbitkan pula antologi puisi bertajuk Pilar Penyair yang sepenuhnya berbeda dengan empat antologi yang telah saya sebut di atas. Antologi puisi Pilar Penyair tidak lahir dari sayembara melainkan disusun berdasar pengamatan menurut prinsip yang hendak menandai bahwa ada bakat-bakat kepenyairan dalam kreativitas mahasiswa-mahasiwa STAIN Purwokerto yang perlu ditandai kekhasan perambahan ucap dan perambahan wawasannya. Sebab prinsip itu, dasar penyeleksian teks dikhususkan menghimpun puisi-puisi mahasiswa STAIN Purwokerto dengan berpihak pada aesthetic ideology sehingga keberagaman 118
gaya dan tema lebih dirayakan. Puisi-puisi mereka pun langsung diberi tanggapan berupa catatan pembacaan yang dibedah oleh Arif Hidayat (penyair asal Purbalingga) yang sekaligus dapat ditanggapi tidak diabaikannya praktik kritik sastra dalam antologi puisi ini. Pada catatan pembacaan itu Arif Hidayat berkesimpulan bahwa model puisi di antologi Pilar Penyair telah berhasil berhasil melakukan eksplorasi dan pengungkapan peristiwa dramatik yang disusun dengan bahasa terindah sehingga menandai sisi-sisi spiritualitas. Tentu saja kesimpulan Arif Hidayat di atas sangat terbuka untuk diperdebatkan. Tapi yang tak dapat dipungkiri, lembaga pers mahasiswa semacam OBSESI STAIN Purwokerto dengan segala kelebihan dan kekurangannya telah konsisten untuk terus memproduksi antologi sastra di tengah penerbitan, publikasi, atau pendokumentasian sastra di Purwokerto yang seringkali dianggap kian lesu. Setidaknya, buku-buku antologi sastra yang diproduksi OBSESI lahir dari perjuangan untuk mendekatkan karya sastra pada pembaca (masyarakat), dan tentu suatu hari berpotensi menjadi berguna bagi masa depan perkembangan sastra Indonesia. Semoga. ***
119
HTKP: Sastra Indie dari Kota Mendoan TANGGAL 3 April 2005, lima anak muda yang tinggal di Purwokerto mendirikan komunitas sastra bernama Hujan Tak Kunjung Padam (HTKP). Asal usul penamaan komunitas ini dilatar belakangi oleh situasi hujan deras yang mereka alami bersama ketika selama tiga hari tiga malam terlibat pada proses pementasan drama di salah satu sekretariat kelompok teater di Purwokerto. Situasi itu lalu diartikan sebagai pemantik semangat untuk deras menghasilkan karya dalam situasi apapun. Bukan sekadar hangat-hangat tahi ayam memang, meski jumlah keanggotaan komunitas HTKP tak bertambah ―karena mungkin mereka tak berniat untuk merekrut anggota baru atau menerima anggota baru― tahun demi tahun mereka rutin menyusun kegiatan-kegiatan sastra. Mulai dari mementaskan drama seperti Prita Istri Kita (2005), Waiting for Godot (2007) dan Faust (2008), lalu mendramatisasi puisi sampai menfragmentasikan novel-novel Indonesia semacam Layar Terkembang, Olenka, Keberangkatan dan Ziarah di tahun 2008. Selain itu, mereka juga menerbitkan beberapa himpunan antologi bersama berupa kumpulan monolog, puisi ataupun cerpen. 120
Aktivitas-aktivitas yang sedang dilakukan dan yang sedang direncanakan oleh HTKP seringkali dirangkum dalam selebaran bertajuk “Berita Cuaca” yang dibagikan pada para peserta ketika mereka menggelar suatu acara. Sebagai misal, dalam tiga selebaran “Berita Cuaca” ―kesemuanya volume II, issue 9,10 dan 13, terinformasikan bahwa sepanjang bulan November tahun 2008 masingmasing pendiri HTKP serentak melakukan aktivitas peluncuran antologi puisi tunggal yang terdiri dari Seperti Matamalam karya Agustav Triono, Panggung karya Aliv Esesi, Penyair Bengal karya Ayatullah Muhammad, Kata Asap Katakata karya Ari Purnomo, dan Memoritual karya Yudistira jati. Kelima antologi itu telah dibedah di beberapa kampus, bekerjasama dengan komunitas sastra atau dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater dengan memilih ruang yang lebih bersifat publik seperti di parkiran, di halaman auditorium dan di halaman perpustakaan. Melepas bayang-bayang Buku-buku antologi sastra yang HTKP produksi sering disebut oleh pegiat-pegiat sastra di kota mendoan sebagai sastra indie. Jika istilah indie diartikan sebagai lawan dari buku standar produksi penerbitan mapan, sebutan itu memang tak salah, sebab buku-buku HTKP dicetak amat sederhana dalam bentuk fotokopi dan diproduksi dengan biaya mandiri dalam jumlah eksemplar terbatas. Melihat kuantitas buku yang telah HTKP produksi semisal Jejak tapak langkah calon sastrawan Purwokerto (cerpen dan puisi, 2005), Calon Penyair Negeri Sastra (puisi, 2006), Kumpulan Naskah Monolog Orang-orang Tak Terkenal (2008) kita 121
setidaknya mendapati tiga hal: 1). Cara HTKP menyiasati peyampaian karyanya dengan mengoptimalkan penerbitan buku indie secara khusus mendeskripsikan sikap bahwa mereka berbeda dengan kebanyakan penulis di Purwokerto yang lebih mengoptimalkan publikasi karyanya di media massa, 2). Lewat penerbitan mandiri HTKP lebih bebas untuk menuliskan idealisasinya tanpa harus dibayang-bayangi oleh standarisasi industri penerbitan mapan yang umumnya bersifat market oriented, 3). Semangat berkesenian dari segolongan anak muda yang mengekspresikan diri dengan memanfaatkan berbagai genre sastra. Yang patut dicatat, ada ciri umum dari judul-judul antologi bersama produk HTKP itu, yakni mereka seakan ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa telah muncul calon-calon penulis sastra baru di Purwokerto yang belum dikenal lalu mencoba mengenalkan diri lewat sehimpun karya. Pencantuman status sebagai “calon sastrawan” dan “orang-orang tak terkenal” juga menyiratkan bahwa pengukuhan sebagai sastrawan dipercaya masih membutuhkan elemen pembangun di luar diri mereka yaitu pihak-pihak ―bisa media massa, kritikus, komunitas, maupun tradisi kepengaran― yang akan memberi nilai pada pencapaian karya-karya mereka. Sedang di wilayah menampilkan, mendekatkan juga mengakrabkan diri dan karya sastra pada masyarakat, HTKP tak tergantung pada panggung sastra konvensional semacam fasilitas gedung kesenian milik Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB) yang konon akan diambrukkan oleh pemerintah daerah Banyumas atau auditorium kampus yang luas tapi butuh biaya besar untuk menyewa. Seperti yang telah saya singgung di bagian atas, HTKP terbiasa 122
memanfaatkan ruang publik semacam parkiran atau halaman perpustakaan yang sempit namun lapang untuk memaksimalkan ekspresi berkesenian. Sebagai individu kreatif, karya-karya para pegiat HTKP juga membicarakan banyak hal, ada yang menyoal pertarungan rasa iman dan hasrat, ada yang menyoal fenomena dunia kepenulisan, tapi punya rujukan seragam yaitu kritik moral yang disampaikan dengan nada sindiran. Simak potongan puisi bertajuk “Memoritual” (terkumpul dalam Memoritual, 2008) karya Yudistira Jati yang berkata begini: suara adzan hampir kalah kondang/ dengan kenaikan pangan & sekejap/ menjadikan lupa ingatan akan tuhan, dan potongan puisi bertajuk “Penjual” (terkumpul dalam Penyair Bengal, 2008) ini: Kau keluhkan karyamu tak laku/ Tak masuk media/ Tak ada yang mau beli bukumu/ Mau jadi penjual jangan menyesal tak laku. Di mata saya, terlepas sejauh mana pencapaian estetik dalam karya-karya yang diproduksi oleh HTKP, sebagai suatu komunitas sastra saya kira kerja kolektif mereka boleh dibilang sebagai “pembeda“ atas komunitas sastra di Purwokerto. HTKP lewat penerbitan indie berani menghadirkan sekaligus memerdekakan karya-karya mereka dengan segala alternatif yang bisa diperjuangkan bersama tanpa harus dibebani bayang-bayang standarisasi “industri kata” dalam kapitalisme media maupun industri penerbitan mapan. Hanya sayangnya, bertambah tahun geliat berkesenian HTKP makin redup, padahal hujan yang mengingatkan optimisme untuk deras berkarya sudah berkali-kali turun membasahi Purwokerto. ***
123
Sastra Banyumas di Dunia Gadget TIDAK selamanya teknologi dan perkembangan sains merampas kemanusiaan. Internet sebagai fitur paling pupuler di dunia gadget yang tergenggam dalam smart-phone, Ipad atau yang ditatap di depan layar netbook telah memberi kemampuan dan kemudahan pada banyak orang yang memiliki minat bersama untuk saling menemukan dan berkomunikasi. Bagai jamur di musim penghujan, kini bermunculan grup-grup berbasis kesusastraan di jejaring sosial semisal facebook ataupun blog. Dalam grup ini agendaagenda sastra diumumkan, karya-karya sastra dipublikasikan, wacana sastra saling didiskusikan tanpa harus saling bertatap muka cukup memainkan jari di tombol-tombol gadget. Di Banyumas, beberapa orang yang memiliki minat pada sastra membentuk grup-grup semacam itu di dunia maya. Sekadar menyebut beberapa contoh: ada Komunitas Pilar Penyair yang berisi anak-anak muda dari STAIN Purwokerto yang tekun menulis karya sastra, ada Pendhapa Sastra Jawa & Banyumasan yang memiliki minat membicarakan cerita cekak, geguritan dan esai sastra Jawa, ada juga Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang memaksimalkan grup sebagai media untuk mengundang beberapa penulis agar mempublikasikan karyanya dalam bulletin yang mereka kelola. Kehadiran grup-grup ini setidaknya menandakan 124
bahwa sastra kini tak hanya hadir di ruang sunyi tapi juga berbaur di dunia gadget yang penuh hiruk pikuk pergantian informasi tiap detiknya. Keberagaman grup sastra Banyumas di dunia gadget juga semakin menarik dengan kehadiran Penamas yang merupakan akronim dari Para Penulis Muda Banyumas. Berbeda dengan beberapa grup yang saya sebut di atas, Penamas sebagai suatu perkumpulan memiliki struktur yang jelas, program-program kerja terencana yang disatukan oleh motto bersama yang berbunyi begini: “Menampakkan sikap optimis dan solidaritas yaitu mencoba bersama, membangun jiwa kepenulisan, mengasah talenta, mencipta karya dan menyerukan kebangkitan penulis muda Banyumas”. Membaca dokumen-dokumen Penamas yang dipublikasikan di grup facebook, kita dapat mengetahui adanya pembagian peran dan posisi secara terinci yaitu penasihat yang terdiri dari Setijanto Salim dan Ronggo Sujali; Pengurus yang diketuai Agus Pribadi, dan beberapa nama anggota yang tercatat berjumlah lebih dari 20 orang. Sedang dokumen yang lain berisi acara mingguan untuk bedah cerpen juga agenda untuk mengantologikan cerpen dan cerita cekak yang mengangkat tema sosial budaya Banyumas. Tak cukup puas berkarya di dunia maya, Penamas telah memproduksi buku antologi cerita pendek bertajuk Balada Seorang Lengger (LeutikaPrio, 2011). Buku yang telah diedarkan sejak awal tahun 2012 ini, memuat 19 cerpen dari 19 penulis yang berbeda usia, profesi, tempat tinggal namun jika kita mengamati kata penutup yang ditulis oleh Setijanto Salim selaku penasihat terinformasikan bahwa kebanyakan dari para penulis ini adalah alumnus Fakultas Biologi 125
Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki ketertarikan pada sastra dan dunia tulis menulis. Ahmad Tohari penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang didapuk menulis kata pengantar untuk buku Balada Seorang Lengger mengatakan bahwa kekuatan buku ini memang berada pada ciri khasnya yang mengangkat kelokalan Banyumas. Dalam pembacaan terhadap karyakarya yang termuat dalam buku ini. Ahmad Tohari juga menggaris bawahi bahwa ada ciri umum pada 19 cerpen yang memperlihatkan kelemahan tekstual yaitu narasi yang belum tergorganisasi secara optimal, kurang padat, juga ending yang terkesan tergesa dan gagap. Tapi Ahmad Tohari percaya, segala kekurangan tersebut akan terselesaikan jika para penulis tekun dan sabar berproses sampai menuju kematangan. Kekurangan ini memang dapat dimengerti dan dimaklumi karena para penulis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini dengan rendah hati mengakui bahwa mereka masih muda pengalaman dalam aktivitas tulis menulis. Kita pun tahu, internet sebagai fitur dunia gadget telah menjadi alternatif ruang apresiasi karya sastra di luar industri media cetak dan industri penerbitan mapan. Tapi, internet yang bersifat bebas itu memang berpotensi untuk dimasuki siapapun dari kalangan apapun, dan tak menutup kemungkinan sesiapun dapat beridentitas anonim juga palsu dapat memberi apresiasi, sanjungan maupun kritikan entah dalam sifat santun atau sebaliknya. Dunia gadget yang hiruk pikuk itu memang membutuhkan sikap kerendah hatian sebagai modal agar tak mudah jumawa ketika suatu karya mendapat sanjungan atau sebaliknya mudah berkobar amarah jika dipojokkan oleh kritikan. *** 126
Religiusitas Alam Penyair Mas’ut SAYA tak ingat tanggalnya persis, kira-kira dipertengahan tahun 2005, saya menemani seorang teman yang bergiat di Teater Perisai Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) berkunjung ke tempat tinggal seorang pawang hujan. Nama pawang itu Mas’ut. Dia tinggal di area pertokoan getuk goreng H. Tohirin daerah Sokaraja, Banyumas. Sampai kini, saya masih mengenang perjumpaan pertama saya dengan Mas’ut. Malam itu hujan turun rintikrintik, Mas’ut menemui kami dengan mengenakan sarung dan kaos oblong. Sopan santun seorang tuan rumah tampak dari caranya tersenyum serta sikapnya yang ramah. Dan seperti kebanyakan orang yang telah memasuki usia baya, perutnya buncit, uban tumbuh di rambutnya dan kerut-kerut kulit membentuk garis-garis di sekitar dahi dan pipi. Kurang lebih setengah jam, saya lebih banyak diam di antara percakapan Mas’ut dan kawan saya. Teh hangat yang dihidangkan berkali-kali telah saya teguk dan mulai dingin. Membuang perasaan bosan, saya meraih lalu membaca buku bersampul coklat yang digeletakkan di bawah meja ruang tamu tempat kami bercakap. Lembaran buku itu dipenuhi kliping-kliping kolom-kolom puisi dan artikel budaya dari beberapa surat kabar yang disusun rapi berdasarkan tanggal pemuatan, semuanya tertera nama Mas’ut sebagai penulis. 127
Saat itulah saya tahu, selain dikenal sebagai seorang pawang hujan, Mas’ut adalah salah satu penyair dari Banyumas yang puisi-puisinya cukup produktif dipublikasikan di berbagai surat kabar. Setelah beberapa kliping puisi saya baca bergantian dengan teman saya, lalu tema perbincangan kami lebih banyak berkaitan dengan sastra, terutama proses kreatif Mas’ut saat menulis puisi. Malam itu, dengan semangat Mas’ut bercerita bahwa suatu hari ketika ia berziarah ke sebuah makam, ia melihat seeekor lebah yang hinggap di ranting kering. Ia bertanya dalam lubuk hati, mengapa ranting yang kering itu tak patah menanggung beban tubuh seekor lebah? Pertanyaan inilah, yang lantas menginspirasinya menulis puisi berjudul “Nyanyian Lebah” (Kedaulatan Rakyat [selanjutnya disebut KR], 16 Januari 2005) yang dua bait terakhirnya berisi begini: …Beribu lebah adalah berkah/ bagi tangkai-tangkai zaitun rapuh/ yang takkan pernah pupuh// Seharusnya aku malu kepadamu/ yang tak pernah memberi berkah/ kepada lembah seribu bunga/ kepada bunga yang luka/ kepada tangkai zaitun yang rapuh/ aku malah menjadikannya pupuh. Dari latar belakang situasi penciptaan dan isi puisi “Nyanyian Lebah” itu, mula-mula saya mengira mungkin kepekaannya terpantik karena waktu itu ia sedang berada pada situasi religius (ziarah), dimana indra dan batinnya yang berkontemplasi di tengah alam merangsang kesadaran pekanya untuk memahami diri yang lantas diekspresikannya dalam bait-bait puisi atau dengan kata lain puisi adalah persaksian pengalaman penyair.
128
*** Maka, ketika puisi diletakkan untuk membaca pribadi penyair yang terbayang, dalam puisi-puisi Mas’ut yang kemudian saya baca di beberapa surat kabar, fenomenafenomena alam intens hadir sebagai cara penghayatannya terhadap kehidupan yang bersifat konsentrik pada upaya mengingat kebesaran Tuhan yang sekaligus sebuah paradoks untuk mengingatkan keterbatasan manusia. Dalam puisi bertajuk “Mampukah Kau Mengeja Asmamu’ (Minggu Pagi [selanjutnya disebut MP], No 24 Th 59 Minggu II September 2006) penghayatan semacam itu terbayang pada respons penyair terhadap bencana alam yang melanda sedemikian cepat, dimana larik “hanya dalam hitungan detik” direpetisi untuk mempertegas kuasa Tuhan yang mampu berbuat apa saja, sedang di sisi lain mempetegas keterbatasan manusia untuk senantiasa mengingat Tuhan di tengah alam yang porak-poranda dan kecamuk hati yang diliputi kesedihan. Simak bait-bait berikut: Tatkala gelombang pasang lautmu mampu mengeja/ apa yang ada dan meluluh lantakkan/ hanya dalam hitungan detik// Mampukah kau mengeja asma-Mu/ pada yang tersisa dari porak-poranda/ hanya dalam hitungan detik?// Mampukah kau mengeja asma-Mu/ ketika kau mampu terisak/ tanpa air mata…? Penghayatan terhadap bencana yang direspons untuk mengingat kebesaran Tuhan juga nampak pada puisi-puisi Mas’ut yang lain misalnya pada puisi “Elegi Bagi Korban Tsunami” (KR, 16 Januari 2005). Bahkan bencana juga menampung penghayatan Mas’ut secara personal utamanya tentang idealnya bentuk solidaritas sosial dimana sikap 129
dermawan selayaknya terwujud sebagai laku ketulusan untuk memberi tanpa terselubungi niat dipuji seperti yang terungkap dalam potongan bait puisi “Siapa Orang Kaya di Negeri Gempa” (KR, 15 Oktober 2006) yang berkata begini: Ternyata jemari tanganku kananku hanya mau memberi/ bila jemari tangan kiriku tahu, apa yang ada dalam/ genggaman tangan kananku. Alam memang tanpak intens hadir dalam puisi-puisi Mas’ut, bahkan menjadi dialog pertanda kedaifan yang konsisten menyuarakan kebesaran Tuhan untuk melengkapi keterbatasan makhluk. Pada puisi bertajuk “Kesunyian Pantai Ketapang” (MP, no 27 Th 60 Minggu V September 2007) semisal, pasir sebagai latar material pantai menjadi pertanda keberluasan Tuhan atau pada puisi “Mawar yang Luruh” (KR, 22 Juli 2007) material alam merupa sebagai aku lirik yang merepresentasikan suara hamba yang selalu membutuhkan pertolongan Tuhan: Aku adalah mawar yang luruh/ sujud dalam bumi-Mu yang gaduh// wahai rob, tolong bisikkan kata-kata cinta/ kepada musim yang berlabuh// dan kepada awan yang gemuruh,/ agar mengucurkan air mata// membasahi bumimu yang gaduh// agar kelopak bungaku tidak kelu/ tatkala menyebut asma-Mu. *** Dalam puisi-puisi Mas’ut, material alam tak hanya dioptimalkan sebagai tanda. Mas’ut juga memposisikan material alam sebagai makhluk otonom dimana eksistensinya perlu terus tetap ada dan perlu dijaga. Maka, tak mengherankan memang jika pada puisi bertajuk “Hijau” 130
(KR, 15 Februari 2009), Mas’ut memadahkan doa bagi kebahagian bunga Gladiol: Selamat pagi Gladiol/ semoga hariharimu/ angin timur yang mengelus/ lembut kelopakmu, menyerbukkan/ serbuk sari benang-benangmu/ amin. Mungkin alam begitu intens dalam puisi Mas’ut karena ia percaya bahwa pada mulanya dan pada akhirnya bentuk asali manusia adalah debu seperti yang ia tulis dalam bait terakhir puisi “Debu” (KR, 24 April 2011): Seperti juga kau dan aku yang berasal dari debu tanah/ suatu saat nanti pada gilirannya akan jatuh ke bumi/ kembali menjadi debu/ teramat debu. Tampaknya, Mas’ut punya minat utama untuk mengotimalkan alam dan materialnya sebagai kekhasan religiusitasnya yang terbahasakan sebagai perambahan ucap kepenyairan. Tapi, ini bukanlah pandangan final sebab masih banyak puisi-puisi Mas’ut yang belum sempat terbaca, terlacak diakibatkan publikasi yang sampai hari ini tersebar di media-media massa. Saya hanya bisa berharap, peluang pembacaan secara utuh suatu saat terwujud jika ada upaya pendokumentasian puisi-puisi Mas’ut dalam sebuah buku. Kehadiran buku puisi Mas’ut di satu sisi akan memperkaya pembacaan perkembangan perpuisian di Banyumas, dan di sisi lain melengkapi referensi buku-buku puisi yang hadir di wilayah kreatif Banyumas setelah Bambang Set menerbitkan buku puisi Kata Di Padang Tanya (ed. Abdul Wachid B.S. 1997), Badruddin Emce menerbitkan Binatang Suci Teluk Penyu (2007) atau yang terbaru Dharmadi menerbitkan Aura (2011). Semoga harapan pribadi ini segera menjadi kenyataan. ***
131
Aura Modern dan Tubuh di dalam Puisi Dharmadi DHARMADI sudah lama menulis puisi: sejak tahun 1970an hingga sekarang. Dia menetap di Purwokerto sejak 1970, walau lahirnya di Semarang. Tak heran, bila ia banyak dikenal oleh kalangan sastrawan sebagai penyair dari Banyumas, meski sejak 2005 aktivitasnya lebih banyak di Jakarta. Kiprah kepenyairannya didunia kepenyairan mulai terbentuk berkat komunitas sastra di Banyumas dengan nama Kancah Budaya Merdeka Banyumas, yang kini telah menjadi sejarah. Dia termasuk orang yang produktif dalam membuat antologi tunggal seperti Kembali ke Asal (1999), Dalam Kemarau (2000), Aku Mengunyah Cahaya Bulan (2004), Jejak Sajak (2008), dan Aura (2011). Kumpulan puisi Dharmadi yang dicetak tahun 2011 diberi judul Aura yang diberi pengantar oleh Sides Sudyarto DS. Dalam mistik Jawa, aura berarti perwujudan jiwa, rasa, ruh dan kalb’ yang terpancar—biasanya tampak dari wajah, yang kemudian dapat teridentifikasi mengenai pola prilaku seseorang dan sifat. Aura sisi di batin dengan tercitra melalui lahir. Tubuh adalah wadah bagi ruh sehingga aksistensi manusia ber-wujud dengan terindra. Spiritualitas dari realitas seseorang akan tampak sebagai bayangan secara imajinal. 132
Maka, kehadiran “tubuh” (yang tanah, bau, sakit, dan mati) bagi manusia adalah menandai tentang kosmos dari ruh (yang mengalami transformasi di berbagai alam). Dharmadi dalam buku Aura memang tidak menceritakan tentang aura secara menyeluruh (meskipun ada juga yang berjudul “Aura”), melainkan banyak berbicara tubuh: “Tubuh Sajak”, “Tubuh”, “Tubuh-1”, “Tubuh-2”, dan “Sepetak Kamar Tubuh”, “Wajah”, dan “Telanjang.” Dalam kesusastraan Indonesia, tubuh memang tidak terlalu banyak diperbincangkan. Foucauldian banyak membicarakannya: terkait dengan kedisiplinan dan kepatuhan, juga tentang sejarah seks yang menyoroti kuasa melalui tubuh. Kaum feminis menyorotinya dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek oleh patriarkhal. Dharmadi bukanlah Foucauldian juga bukan feminis, namun ia tergetar ketika melihat fenomena sekarang, ternyata banyak tubuh yang tidak lagi sebagaimana mestinya: yakni sebagai warangka. Tubuh sudah menjadi alat komunikasi, tubuh moral, dan tubuh modern, yang semua itu dicermati oleh Dharmadi dalam perjalanan antara Jakarta-Purwokerto. Sejak lama tubuh memang sudah dikenal menjadi bahasa (body language) yang terbaca melalui isyarat dan petunjuk. Berarti tubuh dapat menjadi media untuk mentransmisikan pesan. Inul Daratista, Dewi Persik, dan Julia Perez misalnya, menggunakan tubuh untuk melakukan komunikasi massa dengan memunculkan “hasrat” sensualitas kepada penonton: untuk memperoleh rasa sukacita. Kehadiran dari tubuh juga menampilkan citra (kita akan berkomentar itu seksi, sensual, atau justru seronok, semua berdasarkan pengalaman dan konstruks sosial budaya dalam rasa, yang kemudian muncul dengan berbagai pembenaran). 133
Tubuh tidak sekadar “bentuk” secara biologis: ada representasi, kuasa, bahasa, wacana, penandaan, ideologi, atau dapat pula berposisi sebagai media. Ungkapan ‘diutuhkan tubuhnya/ agar tak dalam ketercerai/ beraian’ menampilkan bahwa tubuh itu kompleks, tetapi mesti diutuhkan dengan adanya susunan yang dapat lepas dari tubuh itu sendiri. Ada pusat ada luar atau sekeliling: ‘luarku telah di pusat/ dalam tubuhku// kubongkar segala yang lekat: obsesi, depresi, trauma, euphoria,/ narsis/ fanatis/ histeria/ phobia,//. Dari tubuh, memang, dapat teridentifikasi keadaan seseorang mengenai keadaan menyedihkan, bahagia, menjelang kematian, juga tentang praktik sosial yang menjadi sifat: tentunya pemahaman ini merupakan prediksi dari yang terpantul, kecuali seseorang memiliki penglihatan “tembus batas” pada realitas imajinal. Secara kontekstual, dapat terlihat pada adanya standardisasi tubuh terkait dengan pekerjaan. Polisi dan tentara memiliki ukuran fisik sebagai persyaratan utama, sebelum menuju pada kualifikasi lainnya. Pemilihan model untuk memperagakan busana juga berdasarkan tinggi ideal tubuh perempuan. Mitos tentang tubuh ideal telah mewarnai revolusi citra secara kultural, namun dalam beberapa sisi merupakan eksploitasi sehingga keadaan tentang tubuh menjadi obsesi, depresi, trauma, euforia, narsis, fanatik, histeria dan fobia. Orang yang berumur setengah baya ke atas menjadi rutin olah raga pagi karena perutnya yang buncit. Beberapa lakilaki muda untuk “tampak” memiliki tubuh kekar (ada banyak alas an pada tubuh kekar; agar ditakuti orang lain dan ada yang untuk memikat perempuan) menjadi rajin fitnes. Fitnes 134
menjadi kedisiplinan untuk menjaga tubuh yang ideal, dan yang diimpikan. Beberapa tokoh utama pada film atau sinetron juga ditentukan berdasarkan tubuhnya agar dapat menjual, bahkan beberapa artis dan aktor sampai operasi plastik untuk dirinya bisa nampang di layar dan dikatakan ideal. Singkatnya, karena tuntutan pekerjaan, eksistensi, dan kesehatan, kemudian tubuh menjadi plastis. Dharmadi menangkap realita tentang tubuh yang demikian. Ia jadikan sebagai teks. Di mana, puisi menjadi cara untuk membaca realita dan menyampaikan pesan. Keseluruhan kata-kata diramu secara sederhana dan biasa, bahkan datar. Itu yang membuatnya dikejar secara moral karena visibilitas untuk tubuh. Padahal, dia bisa bermain paradoks atau ironi, untuk menjadikan puisi sebagai etnografi dengan memperhatikan apa yang terjadi secara terbalik—mungkin tepatnya dekonstruktif. Tentu itu akan lebih menarik dan menjadikan teks berkesan bagi pembaca, bukan selingan nasihat semacam SMS untuk kawan yang jauh. Sebenarnya, Dharmadi sudah sadar pada realita yang telah memperlihatkan “tubuh yang sengaja diperlihatkan.” Baju, celana, krudung, ataupun penutup tubuh lainnya, telah didesain untuk menyimulasikan lekuk dari tubuh. Dilema dari orang yang ingin kelihatan menarik, tampil mengesankan, dan mempesona melalui tubuh. Semua itu dilakukan dengan proses imitasi dan identifikasi figur maupun kawan, yang kemudian berkembang secara luas sehingga menjadi populer. Baju ketat dan celana pinsil misalnya, memperlihatkan lekuk sehingga muncul bayangan tentang struktur tubuh yang menyebabkan daya fantasi dan hasrat berbaur melawan kode moral dan etik. Kondisi ini 135
yang sudah lama menjadi kecaman beberapa tokoh agama dengan sebutan “berpakaian, tapi telanjang”. Namun, cara menyusun teks, cara komunikasi, cara pembentukan makna, disampaikannya sebagaimana cermin yang buram. Ini membuat ide tak utuh dan makna tujuan hanya dapat dicerna oleh orang cerdas, yang mampu mengaitkan dengan fenomena. Saya sendiri tak terlalu cerdas untuk itu karena memosisikan teks sebagai media dan narasi. Untuk membiacarakan tubuh lebih dalam dan untuk menuju pada saling berimplikasi, maka Dharmadi perlu melihat aura dari tubuh di “zaman yang plastis” bukan berarti tak teridentifikasi sifat dan prilakunya begitu saja. Ia perlu mencermati pada orang yang dikuasai oleh kegelapan karena penghambaan pada tubuh semata. Orang kini buta pada ruh yang bersemayam di dalam tubuh sebagai diri, yang menurut William C. Chittick, sebagai “non-senyawa yang memiliki sinar.” Di tempat yang sama, ruh sebenarnya membutuhkan kesunyian, keheningan dan ketenangan dari tubuh yang natural. Posisi ruh di dunia ini sedang berteduh pada tubuh, tapi tubuh bergolak berdasarkan wacana sosial. Dalam sajak “Tubuh-2” untuk Sides Sudiarto DS, tampak Dharmadi mengatakan ‘kosong tubuhku:// kembali ke/ pusat// bahwa pada akhirnya tubuh yang diindahkan di zaman yang plastis akan ditinggalkan oleh ruh menuju Pencipta (pusat). Dharmadi menyadarkan pembaca secara lugas, dengan imaji yang kurang memandu pembaca. Ia tahu bahwa dalam hidup ini ada “irama perubahan, dendang ketidakpasian” pada takdir yang tak pernah terprediksikan oleh manusia, tapi penyampaian teks perlu seperangkat kode untuk orang lebih mendalami kata-kata yang ia susun. Imbasnya, adalah pesan langsung: tubuh yang dulu ideal 136
akan “bau bangkai” terpenjara dalam “sebidang tanah”: walaupun dibakar, juga abunya akan jatuh ke tanah. Maka, membaca buku puisi Aura karya Dharmadi ini, anggaplah membaca diri sendiri untuk masuk pada “ruang kesadaran” dalam tekanan. ***
137
Identitas Bahasa dari Cerpen Ryan Rachman PENYAIR menulis cerpen bukanlah hal yang unik dalam sastra Indonesia modern, sekalipun tidak semua penyair mau dan sanggup menulis cerpen (Ignas Kleden1).
Begitulah ungkap Ignas Kleden dalam mengomentari cerpen-cerpen yang ditulis oleh Sutardji Calzoum Bachri, yang kemudian dibukukan dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Dan, sekarang ini, saya dihadapkan pada cerpen-cerpen Ryan Rachman, yang tentu saja berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri, namun “saya sengaja meminjam ungkapan itu karena kesamaan fenomena saja.” Saya mengenal Ryan Rachman pada bulan Maret 2006, dalam acara Forum Pengadilan Sastrawan Banyumas (FPSB)2 untuk memperbincangkan puisi-puisi. Dari situ, saya Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004). 1
Acara ini hanya berjalan sekitar 6 bulan dari Januari-Juli 2006. Dulu, setiap dua minggu sekali di malam Sabtu, yang banyak diadakan di pelataran Auditorium Ukhwah Islamiah, UMP, tapi sempat juga dilangsungkan di Unsoed Jl. Kamandaka. 2
138
mengenal Ryan Rachman sebagai penyair (entah pada waktu itu sudah menulis cerpen atau belum, bahkan mungkin juga membuat naskah lakon), yang memang intens dalam menulis puisi, baik yang dibukukan maupun yang diterbitkan di media massa. Sekalipun Ignas Kleden menyebut Sutardji Calzoum Bachri sebagai ‘penyair-penulis cerpen’, namun saya tetap menyebut cerpenis untuk Ryan Rachman dengan cerpencerpen yang telah ia produksi, setidaknya untuk kumpulan Cerita Menjelang Subuh ini. Jikalau saya menyebut ‘penyairpenulis cerpen’ untuk Ryan Rachman, maka itu akan sangat mempersulit karena yang saya tahu, dia juga pernah bergiat di teater, menulis esai juga sekarang menjadi wartawan di Suara Merdeka, di Banyumas. Saya berusaha untuk tekstual terlebih dulu memasuki kumpulan Cerita Menjelang Subuh, yang ditulis oleh Ryan Rachman dengan cukup tekun dan teliti, yakni hanya ada 10 cerpen. Baikah. Saya mulai saja, ya. Cerpen-cerpen yang ada di dalam Cerita Menjelang Subuh banyak mengungkapkan relasi dan sistem sosial, serta kecendrungan melakukan lintas imajinasi dan fakta. Semisal saja, pada cerpen “Demi Istri Tercinta”, “Mbah Joyo”, “Wong Pinter”, dan “Lebaran Kali Ini”, yang dari judul sudah terdeskripsikan relasi dan sistem masyarakat kecil yang ditulis berdasarkan imajinasi pengarang. Tidak lengkap dan menjadi sangat kurang kalau menilai cerpen hanya dari judul, yang hanya menduga-duga saja. Sastra itu bukan tebak-tebakan seperti buah Manggis, maka untuk benar-benar merujuk horizon baca perlu terlebih dulu melihat bahasa karena cerpen juga memiliki otonomi. Jadi, baca juga secara keseluruhan ya. 139
Saya menangkap pola bahasa yang Ryan konstruks dalam pengaruh kultur Banyumas-an,3 meskipun tak sepenuhnya karena kompleksitas bahasa senantiasa bertransisi dalam perkembangan masyarakat. Menandai bahasa di dalam karya sastra tidak sebatas gaya (style), maupun memosisikannya sebagai medium, melainkan juga untuk melihat jejak-jejak yang tidak hadir sebagai keterikatan yang hadir pada teks, maka struktur sosial pengarang akhirnya menjadi penting untuk menemukan relasi dan titik batas kemungkinan. Bahasa yang ditulis oleh Ryan Rachman sederhana, tidak muluk-muluk, pula tidak membingungkan pembaca. Dia piawai dalam menyusun bahasa yang biasa dilisankan menjadi bahasa tulis. Tentu, dengan resiko, bahwa jejak pola penuturan Banyumas-an tertinggal dalam teks yang ia produksi. Alasan saya ini bukan lantaran ada kata semacam cimplung, babon, dan nyekamin pisan dalam cerpen “Demi Istri Tercinta” atau pemasukan beberapa istilah dari Banyumas yang membutuhkan catatan kaki, melainkan pada pola penuturan cerita yang disampaikan. Ryan Rachman banyak menggunakan klitika –nya di dalam bercerita, yang merupakan transformasi keberlisanan yang biasa digunakan oleh orang Jawa, khususnya Banyumas, yakni –e: ayame → ayamnya. (Jika Anda mau, silakan hitung saja banyak klitika – nya sebagai pengganti –e, -ne, -eh). Bukan itu saja, pemilihan dari beberapa struktur kalimat dalam bercerita terasa ideal dan abstrak sebagai ciri khas dari tuturan. Pola kebahasaan ini merujuk pada sosiokultur, yang kuat pada masyarakat penutur yang kompeten dan partisipatif. Banyumas-an bukan karena asli Banyumas, melainkan karena style dalam struktur sosial Banyumas yang menjadi corak. 3
140
Ryan Rachman4 lahir di dusun Kedung Tawon, Kuwarisan, Kutowinangun, Kebumen.5 Daerah ini adalah daerah transisi, antara Banyumas dan Yogyakarta. Adapun dia sendiri terbilang cukup lama kuliah di Purwokerto sehingga dialektika Banyumas mewujud di dalam teks dengan makna yang ditimbulkan oleh elemen sosiokultur. Cerpen “Mbah Joyo”, “Aku Akan Setia Menantimu atau Legenda Dewi Sekar”, dan “Nonton Lundar” adalah realitas di sekeliling pengarang, yang kemudian didekonstruksi berdasarkan imajinasi sehingga pertautan sebagai fiksi terjadi. Cara menandai cerpen-cerpen Ryan Rachman yang kental dengan lingkup-relitas dengan paparan dialog-dialog antartokoh, yang menjadi corak masyarakat ngapak. Permainan intrabahasa muncul dalam aktivitas penuturan. Bahasa bagi seorang pengarang adalah pengetahuan, baik pada gramatika dan kosa kata, kaidah kebahasaan, respon komunikasi, serta cara menceritakan menjadi teks. Sebagai individu, pengarang juga berada di tengah realitas, yang menggunakan bahasa untuk mentransformasikan Perlu juga untuk melacak secara genetis ide yang ditulis oleh pengerang. Ini bukan berarti pemaknaan didasarkan oleh pengarang. Maksud Roland Barthes dalam esai “Kematian Pengarang” bukan berarti pemaknaan tidak boleh melibatkan lingkup sekitar pengarang, tetapi untuk tidak menjadikan maksud dari pengarang sebagai satu-satunya kebenaran mutlak. Barthes lebih menekankan agar ruang multi-dimensi menyebar seperti jejaring yang berpusat pada teks. Lihat Roland Barthes, “Kematian Pengarang” dalam Imaji Musik Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film, Music, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra (diterj. oleh Agustinus Hartono) (Yogyakarta: Jalasutra, 2010). 4
Lihat pada biodata di dalam Wijang J. Riyanto, Tatapan Mata Boneka: Antologi Cerpen Joglo II (Surakarta: TBJT, 2011). Di dalam antologi itu, ada cerpen berjudul “Durna Gugat” karya Ryan Rachman. 5
141
pengetahuan ke dalam teks. Dengan kata lain, Ryan Rachman juga anggota masyarakat dengan terlibat, mengalami, dan masuk ke dalam batas-batas kesisteman pengetahuan untuk ditulis secara fiktif. Cerpen berjudul “Cerita Menjelang Subuh” adalah cerpen dengan pengungkapan karakteristik Banyumas yang cukup kompleks, baik dari segi bahasa, penggambaran tokoh, perumpamaan, maupun metafor fragmen cerita yang membentuk dialogis—boleh jadi karena pengalaman individual. Bahasa di dalam cerpen ini muncul dalam persentuhan intrabahasa yang menimbulkan wujud dan cara bernarasi yang berlainan, yang menjadi khas dari masyarakat tutur dalam menyampaikan praktik diskursus. Penggambaran tokoh diceritakan kecil hingga dijuluki bocah cilik (anak kecil) untuk tokoh perempuan, dan berbadan kecil berwarna coklat kusam hitam, godrong, kucel, jarang mandi, dengan kaos iklan dan celana jeans sobek di kedua lututnya yang jarang sekali ganti untuk tokoh laki-laki yang gemar merokok dan aktif di teater dan Mapala, yang juga mencintai sastra boleh jadi adalah pengalaman dari pengarang itu sendiri. Pengarang sebagai seorang pribadi bersifat imanen dalam narasi, nyata, dan diri yang menulis. Perumpamaan seperti ‘air matanya pun bertambah deras. Mengucur bagai curug Gede di Baturraden’ menjadi representasi pertautan situasi kejiwaan penokohan yang sedang sedih dengan pengalaman sosial dari pengarang. Adapun fragmen cerita ini memberi petunjuk pada formasi lintas ruang dari konsensus nilai pengetahuan pengarang mengenai percintaan yang apa adanya sebagai suatu ingatan. Cerpen “Cerita Menjelang Subuh” memang tidak dramatik, justru memunculkan kesan humor bagi
142
pembaca karena penyampaian bahasa yang blakasuta versi Ryan Rachman sebagai cara berkomunikasi. Kesan dramatik pada cerpen Ryan Rachman mencapai puncak sakralitas pada cerpen “Durna Gugat” dan “Lelaki yang Selalu Memandang Laut” dengan keterbukaan pada ending, juga pada rahasia yang penuh tanda-tanda. Cerpen “Durna Gugat” memunculkan banyak kemungkinan. Cerpen ini disusun dengan dialogis eksplisit antara masa lalu, cerita wayang, penceritaan pewayaan, dan menceritakan kembali menjadi cerpen. Konflik bayang melalui penyalinan menjadi konsekuensi natural dengan dialog dan deskripsi suasana. Sayang, cerita banyak dipenuhi dengan pesan-pesan subjektif dalam memainkan wacana untuk menuju pada sasaran, bukan dimaksudkan sebagai pengalaman, baik secara sinkronis maupun diakronis. Adapun cerpen “Lelaki yang Selalu Memandang Laut” yang juga agak romantis mengalami kebuntuan dengan hanya satu titik konflik yang menjadi acuan. Efek dari itu, sudah tertandai di tengah, bahkan di awal. Cerpen ini menjadi berkesan dengan disusun berdasarkan simulasi bahasa yang cukup puitik untuk menampilkan suasana. Gambaran romantis cerpen Ryan Rachman muncul pada cara melukiskan suasana. Jejak suasana di dalam teks adalah personifikasi sosial yang mestinya dimunculkan sebagai representasi. Lihat pada cerpen “Lelaki yang Selalu Memandang Laut”. Seorang lelaki duduk di balik jendela memandang ke arah laut dengan wajah yang suram. Rambutnya bergerak tak karuan tertiup angin. Matanya cekung dan sayu. Tubuhnya yang kurus terbungkus kaos singlet putih dan celana pendek 143
berwarna biru tua. Dia tampak tua, tetapi sebenarnya dia masih muda, umurnya baru empat puluh tiga tahun. Atau pada cerpen “Aku Akan Setia Menantimu atau Legenda Dewi Sekar” Di kaki bukit di desa kami terdapat sebuah patung wanita. Patung itu bernama patung Dewi Sekar. Jika bulan purnama tiba langit akan sangat bersih, tak ada mendung menggantung dan bintang-bintang seakan lenyap tak tercecer di sana sini. Hanya ada satu benda yang tergantung di langit, sebuah loyang besar berwarna terang. Dalam dua petikan tersebut, penggambaran suasana lebih diarahkan untuk juga menampilkan suasana batin: untuk pertautan alam mikro dan makro. Dalam permaianan suasana semacam itu, dapat saja menampilkan identitas yang khas dari suatu tempat, yang dipandang sebagai lokalitas yang memiliki kearifan. Dan, ia lebih tertuju pada suasana yang romantik. Kisah romantik secara utuh berada pada cerpen berjudul “Masih Kucium Aroma Teh yang Kau Seduh”. Hanya, dalam cerpen ini, pertimbangan tentang struktur sosial di Jepang terabaikan, lebih terfokus pada teh dan kisah percintaan dari imajinasi pengarang. Mislanya, pertimbangan biaya hidup yang sangat mahal di Tokyo akan lebih mempertimbangkan asrama, sekalipun ada uang tambahan dari puisi-puisi yang dimuat di media massa dalam dua minggu sekali, saya rasa masih belum cukup.6 Pengarang Menurut Naomi Kawazaki, kalau sudah berkeluarga (suami istri dan satu anak) di Tokyo sekitar 25 juta rupiah, kalau di desa 18-20 juta (bila disetarakan dengan rupiah). Kalau masih sendiri di Tokyo sekitar 18 juta. Angka ini sebelum bayar pajak dan termasuk biaya rumah (sewa atau 6
144
tampaknya lemah pada suasana sosial sehingga kurang teliti dalam berimajinasi. Di dalam cerpen ini, Ryan Rachman banyak bermain-main inspirasi personal dengan lemah pada penggambaran identitas sosial sehingga susunan cerita dapat dikonsumsi dari pusat: level-level yang lebih rendah menjadi susah dilacak jejaknya menuju makna keserbamungkinan. Sejauh apapun pengelanaan imajinasi Ryan Rachman hingga ke Tokyo (pada cerpen “Masih Kucium Aroma Teh yang Kau Seduh”) dan Manhattan Broadway (dalam cerpen ”Lelaki Tua dan Piano”), pola penuturan pada struktur bahasa masih bisa dilacak secara genetis, kecuali dia ingin memosisikan diri sebagai pengarang yang sadar untuk menghindari konstruks sosiokultur. Ryan Rachman adalah narator, yang “terlalu banyak tahu.” Dia dalam menyusun cerita adakalanya berbicara sendiri seperti bermonolog: “Dia mirip dengan orang yang gambarnya terpampang di koran. Ya benar. Dia adalah salah satu dari calon bupati yang akan dipilih pada pilkada bulan depan.” Ungkapan itu bisa dimunculkan dalam kejutan cerita manakala diatur dalam intonasi saat dilisankan. Hal ini menjadikan pembaca harus berdiskusi dengan dirinya sendiri secara cermat untuk memasuki alur pikir. Saya rasa itu menjadi keunggulan Ryan Rachman dengan banyak profesi bayar pinjam uang bangunan). Kalau mau hidup mewah lagi, tak ada atap. Dia juga menambahkan, di Tokyo ada tempat kos tradisional dengan biaya sekitar 3-3,5 juta, katakanlah biaya hidup sekitar 10 juta, tapi tempatnya di daerah. (Wawancara pada hari Jumat 25 Nopember 2011, lewat telepon. Dia menjadi teman saya semenjak bertemu di Pascasarjana Kajian Budaya UNS, Solo). Pendapat ini menjadi logis dengan statitika dunia yang mengatakan bahwa biaya hidup tertinggi itu di New York, London dan Tokyo. 145
dan banyak keterpengaruhan pada susunan bahasa, entah sadar ataupun tidak. Selanjutnya, dapatlah Anda telusuri subjektivitas mengacu pada kondisi sosial pengarang atas pengetahuan yang terlalu banyak tahu. Keunikan dan kesadaran diri yang muncul di dalam cerpen-cerpen Ryan Rachman mendeskripsikan—sekaligus menarasikan— permainan tanda-tanda dalam berbagai atribut yang ia pahami. Ryan Rachman yang mulanya saya pahami dari puisipuisi yang dia tulis, kini cukup mengesankan dalam menulis cerpen. Dia mampu bernarasi dengan baik, walaupun dalam mendeskripsikan tidak sekompleks yang saya harapkan. Tidak banyak orang pula yang mampu bernarasi dalam struktur yang kompleks dengan memainkan tanda-tanda tertentu: relasi antarfungsi yang dapat dirujuk pada elemen kecil di dalam teks. Semoga perkenalan dengan Ryan Rachman makin berlanjut dalam ruang dan waktu yang lebih luas oleh keyakinan proporsional pada cerpen-cerpen yang ia produksi. Saya ingat, pesan dari Anthony Giddens, untuk melihat kedalaman aktor sosial (baca: pengarang) tentang pengetahuan dari aktivitas sosial ditentukan oleh kemampuan mengoordinasikan aktivitas diri dengan orang lain, yang mampu memosisikan diri berdasarkan sudut pandang tertentu dan “bisa membuktikan” melalui penemuan secara mendalam. Anda bisa melihat sudut pandang lain dengan kesadaran dan keyakinan sebagai endapan untuk memahami artikulasi pengetahuan lain. Kemungkinan masih terbuka, jadi buktikan sendiri dengan menjalin hubungan yang lebih intim pada cerpen-cerpen yang ditulis oleh Ryan Rachman. Selamat membaca. Salam. *** 146
Bahasa, Cermin, Kaca Pembesar dalam Puisi Badruddin Emce KADANG-KADANG, dalam sendiri, sering terbersit juga pertanyaan seputar dunia ini seperti misalnya, jalan menuju gunung yang berliku, keindahan bulan, pohon-pohon yang mati di hutan, dan orang-orang yang pergi dari ingatan. Maka itu, kita—sebagai manusia yang dilengkapi panca indra— berusaha untuk mencari jawaban dengan cara melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan tak jarang pula harus mengunyah. Begini maksudnya, bahwa setelah itu, muncul keterkesanan dari keindahan, kesedihan, maupun berbagai perasaan-perasaan lain yang membuat seolah ada yang menyala sebagai makna dalam hidup ini. Pada akhirnya, jadi ingin bercerita: menyampaikan sesuatu, berbagi pada orang lain, dan mengeluarkan bahasa untuk dimengerti, dari pengalaman itu tadi. Dan kita, memang, hidup dalam dunia yang dipenuhi dengan komunikasi. Pada jalan itu, mau diingkari ataupun tidak, puisi itu ditulis dalam rangka berkomunikasi: kepada siapapun, dengan teknik tulis apapun, entah sederhana maupun rumit. Meskipun dalam begitu, penyair kadang kala harus berepotrepot menyusun simbol, tanda, maupun kode, yang unik dan berbeda dari kehidupan sehari-hari, yang kadangkala membuat pembaca kurang mengerti dan membuat sedikit 147
perbedaan arti. Dan setiap penyair bebas untuk memilih, menyusun, dan membentuk puisi sesuai dengan selera, impian, imajinasi, ide, dan gagasan sebagai satu kesatuan yang kompleks. Badruddin Emce dalam menulis puisi dalam rangka berkomunikasi kepada pembaca, juga kepada dirinya sendiri. Bahasa—dipercaya olehnya— mampu menjelaskan tata urut mengenai peristiwa dalam pengalaman, cerita, maupun penggambaran. Badruddin Emce lahir di Kroya, 5 Juli 1962 dan sampai sekarang memilih menetap di Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Dari sekitar tempat tinggalnya inilah, yang kelak di kemudian hari menjadi ide (baca:inspirasi) dalam menulis puisi seperti yang ada di puisi “Awal Oktober, Pukul 15.13 Cilacap”, Widarapayung, Pukul 11.32”, “Bunga Raya Kroya” dan banyak lagi. Dan ketika membaca puisi-puisi semacam itu, serasa pulalah berjalan-jalan dalam kata-kata, rentangan imajinasi yang panjang mengenai suatu tempat, karena ada gambaran-gambaran yang indah: “//Sekilas punggung Nusakambangan/ Tumbuh tiang;// Kawat listrik terbentang/ Ke laut Lepas;// adalah baris-baris yang membuat kita seolah menyaksikan, melihat, mengamati, dan berada di sana; tempat yang ditulis oleh penyair. Kebanyakan dari puisi Badruddin Emce, didominasi oleh “narasi kecil” tentang dunia di sekitar, batas antara diri dan perasaan, dan dunia yang dibangun oleh keterkesanan, misalnya pada puisi “Meditasi Potlot Berwarna”, “Udara dingin”, “Hari Lahir Setiap Orang”, “Ledakan pada Pohon Randu”. Makna dari puisi-puisi Badruddin Emce, memang, dapat saja muncul dari dunia yang ia bangun sendiri. Ia memang piawai, mencatat hal-hal kecil (peristiwa yang mungkin bagi kita sebagai remeh-temeh, namun baginya 148
memiliki keunikan dan sedikit falsafah) berdasarkan perjalanannya menjadi sebuah puisi. Puisi memang bukanlah foto ataupun lukisan. Sehebat apapun kata-kata tetap tidak akan menyamai realitas, bisa mengurangi atau melebihkan. Silakan membayangkan berjalan-jalan pada suatu tempat, berdasarkan gambaran (situasi) di pasar malam: “//Malam itu, lewati yang sudah banyak dilewati orang,/ Naik komedi putar/ Kami tetap gembira./ Tak berpikir apapun kendati malam sangat dingin/ Dan lolong dari istana hantu tiba-tiba pedih./ Hanya untuk membuat kami mengakhiri segala//” Jika pada akhirnya proyeksi tak dapat ditemukan, dan hanya menemukan gambaran peristiwa yang mengesankan, maka ada kalanya puisi memang hanya sampai pada tingkatan itu. Tak perlulah untuk meminta mencermati, kota atau desa misalnya, sebagai ruang yang penuh konstruksi, praktik, relasi, kelas, ataupun restrukturisasi. Beberapa puisi-puisi Badruddin Emce adalah realitas yang berada di sekitarnya,tentang laut, Teluk Penyu, Pantai, Serayu, Serandil, dan pengalaman pribadi yang mengesankan berada pada tempat tertentu, atau terkesan pada peristiwa tertentu. Kita bisa bercermin dari baris-baris kata yang dituliskan oleh Badruddin Emce: //Ini jalan, siap menetapkanmu segembira kampung/buah sukun/menjelma bola, ujungnya thukul angin tenggara//” Dalam baris-baris itu, narasi dan deskripsi dibangun dengan kuat. Keindahan-keindahan memantul dalam bahasa yang sederhana, jujur, dan substansial pada puisi “Jembatan Serayu”: “//Besi tua tersayang, hari-hari terakhirmu ini bersilangan/ keinginan pendukung para calon./Tak setitik pun sisa hawa santai./ Tempatterakhi para pengail ambrol ke dasar/ menjadi kenang perjumpaan paling pertama.// Kita tak bisa menemukan relasi metonimik atas 149
jembatan Serayu. Narasi berkutat pada peristiwa yang sesungguhnya. Puisi yang ia tulis adalah puisi dengan kehati-hatian, dengan makna yang cukup diperhitungkan dan kadang meloncat-loncat bersama rusa di padang hijau. Jika melihat itu dalam rasa sunyi dari tepi jendela sebuah kamar, saat hujan menjelang, maka kita akan dihadapkan pada baris-baris percakapan yang putih, tapi menyipan sisi gelap pada kejauhan tertentu. //kutuang tapi ter-/.tumpah sehingga pohon/ yang kering kutebang/ kuhadapkan lobang itu ke langit/ biar tak tumpah,/ tapi air tumpah dan/ yang tertumpah menetes/ bagai darah//. Betapa susunan antara [tumpah], [air], dan [darah] ditulis dalam kehati-hatian. Kesadaran makna terjaga. Dan air yang tumpah itu menyebabkan kematian. Air itu dianalogikan sebagai darah, yang mengingatkan kita pada tumpah darah di tanah air. Dalam sisi yang cukup sunyi, kita bisa merasakan pandangan, makna, dan pesan, sementara bagi yang tak paham simbol akan melihat sebagai lompatan di padang luas. Ada kalanya Badruddin Emce bermain-main dengan simbol. Simbolisasi dari peristiwa besar yang diolah oleh bahasa dapat menjadi perantara bagi kita untuk melihat determinasi sosial. Dalam puisi “Tiga Abad”: “//Bangun./ Ada sejengkal tanah buat paru./ Di atasnya berserak kata/ Berpuluh kali/ Diapakai orang.// Udara lembab kamar tropika!/Belum usai itu semua // Lewat jendela baru dibuka/ Meloncat kucing//Dengan Tikus pingsan/Tergantung di Mulut.// Puisi dengan simbol-simbol yang ketat untuk mengungkap peristiwa besar, oleh Badruddin Emce banyak ditulis di masa tahun 1980-an dan 1990-an. Masa itu memang secara kanonik sedang bergolak simbolisme dalam perpuisian 150
Indonesia, yang juga ada pengawasan yang ketat terhadap wacana. Adapun pandangan mengenai lokalitas yang dimunculkan oleh Badruddin Emce di dalam puisi-puisinya mulai mewarnai mulai tahun 1996, misalnya puisi “Akik Nusakambangan”, “Di Srandil”. Lokalitas dalam tataran wacana dibangun untuk memperbincangkan ikon lokal dalam bentuk homologi. Ia mungkin akan berbeda dengan realitas yang sesungguhnya, dan Badrudin Emce berhasil manakala memadukan kisah getir ironis dari Daryono Yunani dalam puisi “Gending Pulebahasan”. Realsi metonimik dimunculkan untuk mengaitkan peristiwa masa sekarang dengan masa lalu. Kisah-kisah yang termarginal memang pantas untuk disuarakan melalui puisi dengan narasi yang panjang. Hanya saja, dalam belakangan, puisi-puisi dengan sentral regional sebagai wacana kerap kali menjadi kaca pembesar. Kualitas estetik puisi muncul oleh bahasa yang memberi lebel, sedang ruang ditampilkan sebagai latar. Pada puisi “Bunyian Riang Laut”: “//Pantai jadi menakutkan, tapi laut/ terus mengulang bunyi-bunyian riangnya/ Mengingatkanku pada tarian lengger/ nun di sebuah lereng terjal bebukitan// Tenang sekali kerlip lampu kapal//” Dialektika yang dibangun antara bunyi-bunyian pantai dan tarian lengger membuat pembayangan tetap merujuk pada laut. Kota ataupun tempat tinggal acap kali menjadi inspirasi bagi beberapa penyair untuk menuli puisi. Sebutlah misalnya, D. Zawawi Imron yang terkenal dengan puisi-puisi tentang Madura, Acep Zamzam Noor dalam sajak “Cipasung” dan puisi-puisi dalam buku Di Umbria yang 151
merupakan perjalanannya di Italia-Perugia. Mereka kerap kali mengekspos daerah-daerah di sekitarnya karena ketakjuban, kekaguman, simpati, ataupun rasa keberkesanan lainnya. Hakikat tersebut karena penyair sebagai manusia turut serta dalam berinteraksi dengan ruang-ruang yang mengandung makna hidup. Keindahan ruang yang direpresentasikan memalui kata-kata di dalam karya sastra pada sisi tertentu membentuk imajinasi pembaca yang belum mengalami akan takjub oleh permainan gaya. Dan yang pantas untuk diungkap, bahwa ruang itu sendiri juga memiliki sisi epistemologi, ontologi, dan aksiologi sehingga pada akhirnya teks yang membicarakannya tak sebatas refleksi. Semua itu dapat ditampilkan melalui idiom estetik yang disampaikan secara sederhana secara bahasa, mendalam secara makna. Ruang itu sendiri dapat didekati dengan penghayatan kosmis untuk bisa menjangka setiap sisi sehingga teks sastra adalah imajinatif, juga terkandung fakta kemanusiaan. Dan begitulah seharusnya pandangan dunia itu mewujud di dalam teks. Satu hal yang pantas untuk diapresiasi dari kepenyairan Badruddin Emce adalah intensitas yang terjaga dalam proses kreatif sejak tahun 1980-an (mungkin malah sejak 1970-an)7 hingga sekarang. Dalam pandangan dan pengamatan saya, Badruddin Emce terkategori penyair yang cukup inten dalam menulis puisi. Proses kreatif yang panjang itu terkumpul dalam buku puisi Diksi Para Pendendam diterbitkan oleh Akar Indonesia (2012). Tidak banyak penyair mau dan mampu bertahan untuk tetap kreatif selama itu, juga mampu Data ini saya ambil dari puisi yang paling tua, yang berjudul “Tumpah” dan ditulis pada tahun 1982. 7
152
menempatkan diri dalam posisi struktur arena perpuisian Indonesia. ***
153
Badruddin, Diksi dan Identitas Diri MENULIS puisi boleh jadi merupakan persoalan bagaimana merepresentasikan identitas diri melalui diksi. Lantaran kontestasi ihwal identitas tidak pernah tuntas dari pertarungan perebutan batas makna waktu dan ruang budaya. Identitias dalam puisi menjadi kian penting. Ia menjadi penanda seberapa besar penyair menjadi bagian dari sebuah entitas atau etnis tertentu, dan bagaimana identitas ini merekonstruksi perasaan, persepsi dan perilakunya. Konstruksi identitas budaya dalam puisi takpernah lepas dari faktor psikologis pribadi penyair terhadap kelompoknya. Itulah sebabnya, karya sastra tidak pernah lahir dalam situasi yang kosong budaya (Teeuw). Demikian juga puisi, dengan bahasa sebagai mediumnya, ia acap kali lahir sebagai respon penyair terhadap situasi sosial budaya yang melingkupinya. Puisi lahir sebagai resistensi terhadap dominasi, pada saat yang sama ia hadir sebagai wujud penerimaan kondisi budaya. Puisi secara simultan merefleksikan diri penyair sekaligus merepresentasikan identitas kultural masyarakat di sekitarnya. Boleh jadi inilah yang dilakukan Badruddin Emce melalui buku kumpulan Puisi Diksi Para Pendendam (DPP) 154
Penerbit Akar, 2012. DPP mendjadi monumen yang berisi imaji tentang diri dalam rentang prosedur kultural rekonstruksi identitas penyair asal Kroya, Cilacap antara tahun 1980 sampai 2010. DPP terbagi dalam lima kumpulan fragmen. Tiap fragmen diberi penanda berupa tajuk; Diksi Kesatu (terdiri 19 puisi yang ditulis rentang tahun 19801990), Diksi Kedua (20 puisi, 1990-1996), Diksi Ketiga (17 puisi, 1996-2001), Diksi Keempat (25 puisi, 2002-2006), dan Diksi Kelima (20 puisi, 2007-2010). Diksi dan Imaji Melalui diksi yang mendendam, setidaknya aku lirik berhasil merepresentasikan diri dalam ritual perambahan tiga ranah kultural, yaitu; (1) ritual kultural sosial, (2) ritual kultural intelektual demi menggapai (3) ritual kultural spiritual. Pergulatan ritual yang inten menjadikan tiap moment tidak pernah independen. Kutimba seember air/ ya seember air, ku-/bawa seember air./ keliling air kutawarkan/ pada pohon tak berdaun/ kulobangi batangnya/ agar air tak tertumpah./ kutuangkan tapi ter-/ tumpah sehingga pohon/ yang kering kutebang,/ kuhadapkan lobang itu ke langit/ biar air tak tertumpah,/ tapi air tertumpah dan/ yang tertumpah menetes/ bagai darah (Sajak Tumpah, 1982). Dimensi ruang dan waktu yang menjalin peristiwa memadat dalam narasi yang sublim dan subtil. Agaknya pada permulaan puisi; ‘tumpah’ merupakan sebuah kisah, narasi yang takpernah berjalan sendiri. Tumpah bukan sekedar moment yang menandai keringkihan. Tumpah adalah perjalanan menjadi diri yang sebermula sibuk di wilayah primodial, lantas perlahan bergerak memasuki wilayah publik 155
yang justru dilakukan untuk menduduki ruang paling pribadi yang akan diisi diri dengan identitas spiritual. Pada moment peralihan ruang perambahan diri yang melibatkan ranah di luar diri –alam yang ditandai pohon-, aku lirik mengisyaratkan bahwa peristiwa tumpah yang repetitif itu merupakan laku sosial yang tidak sederhana. Yang berulang tumpah bukan sekedar air. Air adalah metafora perjuangan menjaga spirit kehidupan, air seperti darah yang mengalir pada nadi yang disebut kehidupan. Pada akhirnya menjadi terang; yang tumpah adalah air, yang tumpah juga darah. Puisi ini menjadi awal penandaan yang memudahkan pembaca mengontraskan posisi aku lirik. Dengan metafora alam seperti pohon, buah, kilat, batu, debu, burung, dan lainlain; peristiwa serupa direproduksi dalam beragam latar. Pada sajak Inti Pagi, fragmen tumpah berujung pada penyesalan; mestinya tetap keluar masuk sarang/, /mestinya kumacu lagi permainan akan/, /mestinya kumampu hindari meteorit yang nyelonong masuk,/ /mestinya kuberanikan ngicaukan dengan keras inti pagi,/ tetapi yang terjadi kemudian adalah /tentu saja aku kini hanya mampu bersaksi/. Pada fragmen Canang; Semula –aku lirik- mencanang/ bak dingin air pancuran/ setiap pagi, saat kumandi wajahmu lebih mengetuk dibanding kabut/. Canang merupakan tanda, ia mempertemukan sebuah instrumen unsur gamelan jawa (gong kecil) yang biasa digunakan untuk menguar-uarkan pengumuman dengan sebuah moment dalam puisi. Pada konteks budaya Banyumas canang lebih dari sekedar alat. Canang merupakan diksi kultural, di dalamnya mengendap intensitas tujuan hidup (ancas) yang menjadi pedoman bagi wong Banyumas dalam merespon peristiwa 156
sosial. Itulah sebabnya, penyair lantas berterima pada kondisi apapun yang dialami. Inilah watak dasar wong Banyumas yang cablaka, sabar lan nrima, berjiwa ksatria, dan cancudan. Meski kenyataan hidup sering kali lebih ketir dari ampas kopi. /Boleh jadi ini berarti aku ikhlas menerima kejahatan/ (Sajak Canang). Cablaka secara kontekstual maknanya serupa dengan blakasuta yaitu berbicara blak-blakkan atau tanpa tedeng alingaling. Dalam khasanah bahasa Banyumas, secara etimologi kata cablaka berasal dari kata cah yang berarti bocah dan blaka. Cablaka bagi wong Banyumas sesungguhnya merupakan bentuk kejujuran paling hakiki berkenaan dengan fakta atau kasunyatan urip. Karakter wong Banyumas ini sesungguhnya agak kontra produktif dengan hakekat puisi dalam pandangan Riffaterre (1978); puisi merupakan cara untuk menyampaiakn sesuatu dengan mengatakan yang lain. Ia mensyaratkan adanya ketaklangsungan ekspresi. Puisi dikonstruksi dengan sistem tanda (semiotika) yang bertingkat dan mengikat; sistem tanda tingkat pertama yang disebut bahasa, yang dipenuhi kode –nilai- budaya menjadi kode sastra sebagai semiotika tingkat kedua. Itulah sebabnya, identitas budaya Banyumas cukup rumit dibahasakan dalam puisi. Identitas kebanyumasan akan tampil vulgar, dan banal. Landskap budaya Banyumas dalam puisi, lebih mudah diidentifikasi dengan diksi khas Banyumas yang njeprah menjadi warna dan bunyi dalam banyak alegori. Tetapi Badruddin telah melakukaannya. Ia adalah penyair berkebangsaan wong penginyongan. Tanpa diksi 157
kebanyumasan, penyair mengalami kegagapan dalam melakukan perambahan diksi kultural sebagai jalan memasuki ceruk terdalam hakekat manusia Banyumas. Itulah sebabnya seraca linguistik, kita dengan mudah memunguti diksi yang tumpah dan ruah mengidentifikasi sosok aku lirik sebagai wong Banyumas tulen. Representasi identitas diri penyair dalam puisi secara heuristik dapat dipungut antara lain, dari diksi; ngitari, kumacu, nyelonong, ngicaukan, canang, nempel, ngatur, nunjuk, kringetan, ngusung, ngamuk, niup, nguap, netes, nuju, nulis, nutup, kempes, nggugah, slametan, karaten, mbidik, dan ngikut (Diksi Pertama). Identitas Diri Pada perambahan diksi kedua, penyair mulai menyadari identitasnya sebagai wong Banyumas yang memiliki banyak sedulur, dan suka bergaul melalui laku ngendong. Ini ditunjukan dengan hadirnya sejumlah nama yang bukan tidak mungkin muncul dalam puisi setelah melalui ritual kultural sosial yang panjang. Absenya nama-nama yang lahir dari punggung sejarah aku lirik, menjadi penegas tentang kesadaran penyair dalam mempuisikan berbagai fragmen hidup sebagai imaji diri dengan menghadirkan tokoh dan latar yang vulgar. Lihatlah; ada Asa & Mae yang bertemu di Cafetarian Sindrom, ada imaji buah dan hewan dalam lukisan Sokaraja, desa Kedu dan celah Sindoro-Sumbing, Cahaya Kuning Bulan bagi Wiwik Tursiniwati dan lain-lain. Nah, pada perintisan diksi kedua ini, penyair juga menisankan nama orang sebangsanya –penginyongan- dengan 158
guntingan kisah yang berserak di benak penyair. Ada Hermann Affandi dari Karangkemiri, sahabat yang juga kerabat penginyongan. Kenangan menjalani ritual berkebudayaan membuat nama tersebut memiliki tempat tersendiri dalam puisi. Di sini juga ada fragmen minum kopi hangat di Teluk Penyu, yang merupakan ikon geografis tempat tinggal penyair. Yang ajeg, selain diksi nama orang dan tempat, aku lirik melakukan repetisi diksi bercorak tutur kebanyumasan. Sampai di sini, terlihat upaya penyair menegaskan identitas kulturalnya melalui diksi yang membentuk imaji tentang diri, lokasi, dan peristiwa dalam satu narasi. Di rentang penjelajahan diksi ketiga, penyair semakin menyadari sosoknya sebagai wong Banyumas. Aku lirik terus memunguti diksi dalam peristiwa tutur lisan menjadi tulisan. Teks puisi menjadi syarat berbagai konteks kebanyumasan. Latar puisi tidak lagi sekedar alam. Konteks yang terbangun kini memiliki landskap primodial yang jelas, Kroya dan Cilacap yang juga bagian dari wilayah kultural Banyumas. Dengan diksi geografis kita diajak menengok tilas sejarah identitas yang mungkin tertinggal di Segara Anakan, Nusakambangan, Benteng Pendem, Srandil, Alun-alun Kroya, dan Kampung Laut. Ada hawa Dingin –bulan- Juli Desa Kedu yang menceritakan peristiwa di atas powotan bambu, di amben ada cerita yang nimbrung di tengah keakraban bersama mbakyu yang sibuk ngrajang tembakau sambil nembang hingga tak terasa beberapa sruput kopi meringkaskan jarak dengar pada taluan bedug subuh. Pada diksi ketiga, Ia mulai merasa perlu memosisikan dirinya sebagai tukang ndopok. Ada banyak peristiwa dan 159
topik yang ia ceritakan, seperti; Garuda Bheri, ritual sedakep semedhi, ndagel. Ada tempat-tempat wingit; Slarang, Kesugihan, segara kidul, Pule Bahas, benda-benda primordial; akik Nusakambangan, Pasar Gede dan Kethoprak Tobong Kampung Laut. Fragmen pertemuan dengan sedulur penginyongan, Ahmad Tohari, mengilhami penyair ndopok soal ronggeng. Bahkan di bagian akhir diksi ketiga, penyair menegaskan identitasnya sebagai wong Banyumas yang doyan dopokan, sehingga peristiwa kemarau di desa Kubangkangkung, Kawunganten dinarasikan ulang sebagai puisi yang cablaka. Pada konteks pergaulan sehari-hari cablaka tidak hanya merepresentasikan kejujuran fakta secara banal. Cablaka merupakan sendi dan sandi kehidupan. Cablaka adalah kode kultural dalam komunikasi yang intim dan nirwatas. Cablaka jamak mengejawantah dalam bentuk tindak wicara cowag (bersuara keras), mbloak (bergaya serius tapi lucu), dablongan (seenaknya sendiri), mbanyol atau ndagel (dagelan) yaitu bertingkah konyol. Laku mbanyol sendiri lazimnya ditandai dengan tindak; pejorangan (jahil), semblothongan (saru untuk melucu), glewehan (bercanda) dan ngomong brecuh (saru, vulgar). Sebagai wong Banyumas, Badruddin telah berhasil melakoni ritual panjang perjalanan mencanangkan identitasnya sebagai penyair berkebangsaan penginyongan. Ia berhasil merubah wajah puisi yang biasanya ambigu, menjadi puisi yang terang tercanang dengan konstruksi tuturan yang renyah seperti orang dopokan. Puisi boleh bersyair, boleh juga tidak bersajak, ia juga diijinkan sekedar bercerita, berisi guyonan, dagelan, dopokan, olok-olok, rayuan, bahkan puisi boleh subversif. 160
Puisi boleh menyimpan dendam paling kesumat sekalipun, seperti dendam penyair yang rindu pada warisan identitas budayanya. Lalu, /Hebatnya puisi ini apa? Saat dicipta dikau tidak berada (Puisi Ini). ***
161
Biodata Esais: Abdul Aziz Rasjid, aktif menulis esai dan kritik sastra. Beberapa tulisannya dimuat di majalah BASIS, Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), koran Jawa Pos, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Minggu Pagi, Radar Tasikmalaya, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Jurnal Yin-Yang, Buletin Sastra Pawon, dan lain-lain. Di samping itu, esai dan kritiknya juga terhimpun dalam antologi bersama semisal kumpulan esai Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, 2010), juga menulis kata pengantar maupun penutup buku sastra, semisal buku sajak Yang, Kumpulan Sajak 2003-2010 (Abdul Wachid B.S., Cinta Buku, 2011), buku sajak Ulang Tahun Hujan (Teguh Trianton, Beranda Budaya, 2012), buku sajak Pilarisme (2012), buku cerpen Lelaki yang Dibeli (Gusrianto, dkk, Buku Litera, 2011). Ia tercatat sebagai Pemenang III Sayembara Esai Sastra Bulan Bahasa 2010, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional dan pernah diundang dalam beberapa gelaran sastra, semisal: Sarasehan sastra “Perjuangan sastra melawan Krisis” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Tengah (2009) dan diundang oleh Kedubes Libanon dalam “Perhelatan 100 Tahun Kahlil Gibran” (2010). Latar belakang akademis di bidang psikologi diperolehnya dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kini menjadi pengajar di Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto (2010-2012), bergiat di Komunitas Sastra Beranda Budaya. 162
Arif Hidayat, lahir di Purbalingga pada Januari 1988. Tulisannya pernah dipublikasikan di Harian Koran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Wawasan Sore, Minggu Pagi, Kendari Pos, Merapi, Kompas, Suara Karya, Radar Banyumas, Suara Merdeka, Lampung Post, Republika, Joglosemar, Suara Pembaruan, Majalah Horison, Majalah Mayara, Majalah Basis. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, Puisi Menolak Lupa, Rendezvous, Catatan Perjalanan, dan Narasi Tembuni. Buku esainya, The Spirit of Love, Kekuasaan dan Agama, Manusia = Puisi, dan Dari Zaman Citra ke Metafiksi. Tulisannya juga sudah dimuat di beberapa jurnal, menjadi editor dan memberi ”kata penutup” pada buku puisi Pilar Penyair, Pilarisme, Creative Writing dan Ulangtahun Hujan. Buku tunggalnya Aplikasi Teori Hermeneutika dan Wacana Kritis. Setelah menjadi alumnus pascasarjana Kajian Budaya, UNS Solo, dia bekerja sebagai editor pelaksana Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto. Selain itu, ia juga bergiat di Komunitas Beranda Budaya. Tempat tinggalnya di Desa Banjarsari Rt 04/Rw 7 Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 53353, e-mail:
[email protected] dengan No. HP 081911308227. Teguh Trianton, lahir di Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978. Aktif di Beranda Budaya (Banyumas). Pernah bekerja sebagai guru bahasa Indonesia, menjadi wartawan dan redaktur budaya. Kini menjadi pengajar di Prodi PBSI FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto.Tulisannya berupa puisi dan prosa 163
terbit di Kompas, Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Batam Pos, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah (Yogyakarta), Jurnal Penelitian Agama (JPA), Jurnal Pendidikan Insania, Jurnal Ibda’, Jurnal Studi Gender dan Anak Yin Yang (STAIN Purwokerto), Buletin Sastra Literra, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll. Ulang Tahun Hujan (2012) adalah buku kumpulan puisi pertamanya. Dia menulis buku Identitas Wong Banyumas, penerbit Graha Ilmu (2012). Selain itu, tulisannya juga terhimpun dalam antologi –bersama-; puisi Jiwajiwa Mawar (Buku Laela, 2003), Untuk Sebuah Kasihsayang (Buku Laela, 2004), Puisi Penyair Jawa Tengah: Pendhapa-1 (TBJT, 2005). Kumpulan Cerpen Robingah Cintailah Aku (Grafindo, 2007), antologi Temu Penyair Antar Kota: Pendhapa-5 (TBJT, 2008), Temu Penyair Banyumas-Solo: Pendhapa-6 (TBJT, 2009), Pilar Penyair (Obsesi, 2011), Antologi cerpen Tatapan Mata Boneka: Joglo 11 (TBJT, 2011), dll. E-mail:
[email protected] [email protected].
164