MENGENAL TEKNOLOGI PANEN KEDUA TANAMAN PADI Oleh : Abdul Azis Pendahuluan Usahatani padi di Indonesia masih menjadi tulang punggung perekonomian pedesaan. Pengadaan produksi beras dalam negeri sangat penting dalam rangka keberlanjutan ketahanan pangan nasional dengan sasaran tercapainya swasembada pangan (beras). Peningkatan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan pangan (beras) semakin tinggi. Tidak kalah penting adalah terjadi perubahan iklim gobal menjadi ancaman terhadap peningkatan produksi dan ketahanan pangan. Pertanian merupakan sektor paling rentan terhadap perubahan iklim. Tanaman padi dan palawija merupakan komoditas penting di Provinsi Aceh sehingga menjadi prioritas dalam menunjang program pertanian dan ekonomi masyarakat. Produksi padi 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 3,44 %/tahun, dari 60,32 juta ton GKG pada tahun 2008 menjadi 68,96 juta ton GKG pada tahun 2012 (ARAM II BPS) sedangkan laju peningkatan produktivitas mencapai 1,14%/tahun dan luas panen meningkat rata-rata 2,26 %/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2013). Sedangkan target produksi padi Nasional yang dicanangkan Pemerintah pada 2013 adalah 72,06 juta ton GKG (Puslitbangtan, 2012). Adapun produksi padi di Provinsi Aceh tahun 2013 adalah 1,79 juta ton
GKG dengan produktivitas 46,19 Kw/ha (BPS Aceh, 2012). Hal ini dinilai masih rendah dibandingkan produksi nasional. Upaya peningkatan produksi beras nasional dihadapkan pada masalah cekaman biotik dan abiotik yang dapat mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Tanaman padi dapat beradaptasi pada beragam agroekosistem, antara lain lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan kering (gogo), dan lahan rawa. Pola tanam yang dilakukan petani masih dua kali tanam setahun pada lahan beririgasi teknis dan satu kali tanam di lahan tadah hujan. Pada lahan sawah tadah hujan pola tanam yang biasa dilakukan petani adalah padi-bera-padi. Setelah menanam padi memberakan lahannya, kondisi ini diakibatkan ketidaktersediaan air ketika masuk musim tanam (MT) gadu. Faktor lain adalah kesibukan oleh kegiatan panen, maupun kegiatan lainnya diluar kegiatan pertanian. Akibatnya, nilai produktivitas lahan dan pendapatan
menjadi
menurun,
padahal
mereka
dapat
memanfaatkan panen kedua (ratoon) tersebut. Salah satu upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan adalah dengan memanfaatkan tanaman kedua (ratoon) pada padi sawah. Ratoon adalah tunas yang tumbuh pada batang tanaman padi yang telah dipanen. Pemanfaatan tanaman ratoon dapat produksi per unit luas dan per unit waktu. Waktu untuk berproduksi tanaman ratoon lebih pendek jika dibandingkan
dengan penanaman kembali serta tidak memerlukan areal baru (Chauhan, Vergara, dan Lopez et al Rahman Nuris, 2004). Sejalan
dengan
pembangunan
pertanian
yang
lebih
memfokuskan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani,
maka
peningkatan
perlu
adanya
produktivitas
inovasi
padi
dan
baru
untuk
sekaligus
memacu
peningkatan
pendapatan bagi petani melalui pemanfaatan dan optimalisasi lahan pasca panen/panen kedua (ratoon). Pengambilan Sampel Tanah Pengambilan sampel tanah perlu dilakukan secara acak sebanyak 10 contoh tunggal kemudian dikompositkan. Sampel tanah tanah diambil dengan menggunakan bor tanah sedalam 20 cm (lapisan olah). Kondisi tanah pada saat pengambilan sampel dalam keadaan lembab (kapasitas lapang). Sampel tanah tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kimia (Lab.) dan tekstur (fisika) tanah. Hasil analisis di laboratorium untuk mendapatkan informasi karakter kimia dan fisika tanah sebagai data pendukung untuk menentukan rekomendasi pemupukan berimbang. Pemupukan Padi Salibu merupakan tanaman padi yang tumbuh lagi setelah batang sisa panen ditebas/dipangkas, tunas akan muncul dari buku yang ada didalam tanah tunas ini akan mengeluarkan
akar baru sehingga suplay hara tidak lagi tergantung pada batang lama, tunas ini bisa membelah atau bertunas lagi seperti padi tanaman pindah biasa, inilah yang membuat pertumbuhan dan produksinya sama atau lebih tinggi dibanding tanaman pertama (ibunya). Padi salibu berbeda dengan padi ratun, ratun adalah padi yang
tumbuh
dari
batang
sisa
panen
tanpa
dilakukan
pemangkasan batang, tunas akan muncul pada buku paling atas, suplay hara tetap dari batang lama. Pertumbuhan tunas setelah dipotong sangat dipengaruhi oleh ketesrsedian air tanah, dan pada saat panen sebaiknya kondisi air tanah dalam keadaan kapasitas lapang. Untuk mengimbangi kebutuhan unsur hara pada masa pertumbuhan anakan padi salibu perlu pemupukan yang cukup, terutama hara nitrogen. Unsur nitrogen merupakan komponen utama dalam sintesis protein, sehingga sangat dibutuhkan pada fase vegetatif tanaman, khususnya dalam proses pembelahan sel. Tanaman yang cukup mendapatkan nitrogen memperlihatkan daun yang hijau tua dan lebar, fotosintesis berjalan dengan baik, unsur nitrogen adalah faktor penting untuk produktivitas tanaman. Pemupukan susulan tanaman padi
pemanfaatan teknologi
panen kedua (Ratoon) padi di lahan sawah, dilakukan saat tanaman padi berumur 15 hari setelah padi dipotong, secara sebar di sekitar tanaman padi sesuai kebutuhan.
Dampak Pemanfaatan Teknologi Panen Kedua Kegiatan
pemotongan
jerami
padi
dilanjutkan
dengan
pemberian pupuk organik dan pupuk hayati cair di lahan sawah. Pemanfaatan ratoon bertujuan untuk memanfaatkan potensi lahan yang kosong sebagai upaya mendongkrak produksi melalui pemanfaatan lahan yang diberakan. Kegiatan ratoon merupakan kegiatan ramah lingkungan (zero waste) dengan memanfaatkan sisa jerami. Bahkan jerami padi yang dipotongpun dimanfaatkan kembali menjadi kompos dan pakan ternak. Hal ini
berdampak positif dalam membantu petani melalui
pemanfaatan jerami untuk panen kedua sehingga meningkatan pengetahuan dan pendapatan petani. Upaya mendukung kegiatan yang ramah lingkungan tersebut diberikan perlu dibekali pelatihan khusus bagi petani mengenai teknologi fermentasi jerami, garam blok, pupuk organik dan pembuatan mol. Peningkatan nilai gizi jerami padi dapat dilakukan melalui teknologi fermentasi menggunakan starter berbasis mikroba baik yang bersifat aerob maupun an aerob. Lahan sawah irigasi dapat menghasilkan jerami setiap panennya rata-rata 17,85 ton/ha. Jerami tersebut dapat difermentasi menjadi 3-5 ton/ha. Ditinjau dari aspek nutrisi, jerami padi mengandung protein kasar 3-4%, lemak 1,12%, abu 19,75%, serat kasar 27,30% BETN 40,19% dan Lignin 7%. Rendahnya kandungan protein kasar serta tingginya kandungan lignin mengharuskan adanya teknologi pengolahan jerami padi sebelum diberikan kepada ternak.
Lignin dalam jerami padi menyebabkan jerami sulit diuraikan oleh ternak sehingga daya cernanya hanya mencapai 35%. Saat ini terdapat berbagai macam starter untuk fermentasi jerami. Trichodarma merupakan salah satu starter yang dapat dibuat sendiri oleh petani dengan sentuhan teknologi sederhana. Untuk itu, pada musim tanam rendengan menanam kembali padi untuk kegiatan Ratoon dengan pemberian pupuk hayati cair dan decomposer pada tanah. Penggunaan pupuk hayati cair adalah sebagai contoh pada petani agar dapat menerapkan pertanian ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan pupuk kimia yang saat ini sulit dipperoleh di lapangan. Dengan adanya terobosan teknologi ramah lingkungan dapat menyadarkan
petani
bahwa
pentingnya
memelihara
dan
mempertahankan kesuburan lahan.Selama ini banyak lahan sawah yang sudah tidak respon terhadap dosis pemupukan tinggi, oleh karena itu pemberian pupuk hayati cair dapat memperbaiki lahan yang sudah sakit. Penutup Sejalan
dengan
pembangunan
pertanian
yang
lebih
memfokuskan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, maka perlu adanya upaya untuk memacu peningkatan produktivitas padi dan sekaligus peningkatan pendapatan bagi petani
melalui
pemanfaatan
panen/panen kedua (ratoon).
dan
optimalisasi
lahan
pasca
Model teknologi pemanfaatan ratoon (panen kedua) padi sawah, memanfaatkan potensi yang tersedia selama ini yang belum dimanfaatkan oleh petani sehingga mampu memberikan nilai tambah dan pendapatan petani. Salah satu upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan adalah dengan memanfaatkan tanaman kedua (ratoon) padi sawah. Ratoon adalah tunas yang tumbuh pada batang tanaman padi yang telah dipanen. Pemanfaatan tanaman ratoon dapat meningkatkan produksi per unit luas dan per unit waktu. Waktu untuk berproduksi tanaman ratoon lebih pendek jika dibandingkan dengan penanaman kembali serta tidak memerlukan areal baru. Daftar Pustaka Aceh Dalam Angka, Laporan tahunan produksi padi dan palawija, BPS Aceh, 2012. Alfandi, 2006. Pengaruh tinggi pemangkasan (ratoon) dan pupuk nitrogen terhadap produksi padi (oryza satival.Kultivar ciherang. Jurnal Agrijati 2. Bahar, F.A and S.K. De Datta. 1977. Prospects of Increasing Total Rice Production Through Ratooning. Agron. J. 69:536-540. Chauchan J.S, B.S. Vergara dan S.S. Lopez. 1985.Rice Ratooning. IRRI Research Paper Series. Number 102 . February 1985. IRRIPhilippines. Erdiman, 2012. Laporan Hasil Pengkajian Balai Teknologi Pertanian Sumatera Barat, 2012.
Pengkajian
Gardner, F.P., R. Brent Pearce, Poger R. Michael.1991. Fisiologi Tanaman Budidaya,Penterjemah Herawati Susilo. UI Press.Jakarta. Krishnamurthy, 1988. Rice ratooning as an alternative to double crooping in tropical Asia. In rice ratooning. IRRI, Los Banos, Philippines. Langer, 1972) dalam Gardner, dkk, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penejemah Herawati Susilo. Pendamping Subianto. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Laporan Tahunan Kegiatan Penelitian Balai Penelitian Klimatologi, Kementerian Pertanian, 2012. Las, I. 2011. Laporan Pemetaan Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pertanian, BBSDLP, Bogor, 2011. Petunjuk Pelaksanaan Program Peningkatan Nasional (P2BN) Puslitbangtan, 2012.
Produksi
Beras
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 2012. Prashar C.E.K. 1970. Paddy Ratoons. World Crops22(3):145-147. Quddus, Abdul, dan Pendleton, 1983. Effect on ratoon rice of cutting height and time of N aplication on the main croop. International Rice Research Newslatter. IRRI, Manilla, Philippines. 8 (3). Roy, S.K, and J. Mondel. 1988. Potential for Rice Ratooning in Easteren India, With Special Reperence to Photoperiod Sensitive Rices for Deepwater Areas. In : Rice Ratooning. IRRI.Los Banos Philipines. Pp. 135-142.
Sun, Zhang dan Liang, 1988. Ratooning With Rice Hybrids, In Ratooning. IRRI, Manilla, Philippines. Sutarwi Surowinoto.1983. Budidaya Tanaman Padi. Jurusan Agronomi Faperta IPB. Bogor.