37
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAN MUTU FISIOLOGIS BENIH JAGUNG HIBRIDA DENGAN APLIKASI RIZOBAKTERI DAN PUPUK FOSFAT Abstract An effort to improve maize productivity is through the use of good quality maize seed. The objective of this research was to study the effect of rhizobacteria and P fertilizer on plant growth, productivity, and physiological quality of maize hybrid seed. The experiment was conducted at Lembar village West Lombok district, West Nusa Tenggara province, and at Seed Science and Technology laboratory IPB since October 2011 until December 2012. Field experiments were conducted during two planting seasons, the first planting season (rainy season) since October 2011 until February 2012, and the second planting season (dry season) since April 2012 until August 2012. This experiment was arranged in a split plot design with three replications. In the first planting seasons, the main plot was P fertilizer (untreated, 50, 100, 150, and 200 kg SP-36 ha-1), and the subplot was rhizobacteria treatment (untreated, rhizobacteria B28, B42, P14, P31, AB2 and ATS4). In the second planting season, the main plot was P fertilizer (untreated, 50, 100, 150, and 200 kg SP-36 ha-1), and the subplot was rhizobacteria treatment (untreated, rhizobacteria B42, and rhizobacteria ATS4). The result showed that in the first planting season, application of 100 kg SP-36 ha-1 increased productivity (1.10 t ha-1) compared untreated (0.91 t ha-1). B42, ATS4, and P31 isolates could increased number of leaf, leaf area index, and productivity of maize hybrid seeds. Result from the second planting season showed that application of 100 kg SP-36 ha-1 increased productivity compared untreated. ATS4 rhizobacteria could increase plant heigth and productivity of maize hybrid seed. Application of ATS4 rhizobacteria followed by 100 kg SP-36 ha-1 fertilizer increased the percentage of good quality seed. ATS4 rhizobacteria and P 100 kg SP-36 ha-1 fertilizer increased the physiological quality of harvested seeds after four month storage at 21 – 25oC and 53 – 62 % RH. Key words: Actinomycetes,Bacillus.spp, Fluorescent pseudomonads, phosphate efficiency, seed storage
Abstrak Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui penggunaan benih bermutu dari varietas hibrida dan penggunaan pupuk yang optimal. Tujuan percobaan ini adalah untuk mempelajari pengaruh aplikasi rizobakteri dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan, produktivitas dan mutu fisiologis benih jagung hibrida. Percobaan dilakukan di desa Lembar kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, dan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB sejak Oktober 2011 hingga Desember 2012. Percobaan lapang dilakukan selama dua musim tanam yaitu musim tanam I (musim hujan= MH) bulan Oktober 2011- Pebruari 2012, dan musim tanam II (musim kemarau=MK) bulan April 2012 – Agustus 2012. Percobaan menggunakan rancangan petak terbagi dengan tiga ulangan. Pada musim tanam I, petak utama berupa lima dosis pemupukan P, dan anak petak berupa enam isolat rizobakteri dan kontrol (air). Pada musim tanam II, petak utama berupa lima dosis pupuk P dan anak petak berupa dua isolat rizobakteri hasil seleksi terbaik dari musim I dan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim tanam I (MH), aplikasi pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan produktivitas benih jagung (1.10 t ha-1) dibanding tanpa P (0.91 t ha-1). Isolat rizobakteri B42, ATS4, dan P31 dapat meningkatkan jumlah daun, indeks luas daun, dan produktivitas benih jagung hibrida. Pada musim tanam II (MK), perlakuan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan produktivitas dibanding kontrol. Isolat rizobakteri ATS4 mampu meningkatkan tinggi tanaman dan produktivitas benih jagung hibrida. Aplikasi rizobakteri
38
yang diikuti dengan pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan rendemen benih. Penggunaan rizobakteri dapat mengurangi penggunaan SP-36 50 % dari dosis rekomendasi. Rizobakteri ATS4 dan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 terbaik dalam meningkatkan mutu fisiologis benih setelah empat bulan simpan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62%. Kata kunci : Aktinomiset, Bacillus spp., efisiensi pupuk P, Pseudomonas kelompok fluorescens, penyimpanan benih
Pendahuluan Peran jagung akan semakin strategis dalam pemenuhan karbohidrat dan protein baik sebagai bahan pangan, pakan maupun untuk industri. Produksi jagung dalam negeri belum mencukupi kebutuhan, sehingga setiap tahun masih dilakukan impor. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah dengan mengembangkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan adaptif pada kondisi lingkungan tertentu, seperti varietas hibrida. Di Indonesia, penggunaan benih jagung hibrida diupayakan meningkat setiap tahun. Pada tahun 2010 penggunaan benih jagung hibrida mencapai 54% dari luas tanam jagung, dan diproyeksikan menjadi 75% pada tahun 2014 (Ditjen Tanaman Pangan 2010). Untuk menunjang penggunaan varietas jagung hibrida, diperlukan penyediaan benih yang cukup dan berkualitas prima. Kendala utama dalam memproduksi benih hibrida adalah rendahnya produktivitas, sementara kebutuhan benih lebih besar dibanding yang diproduksi. Selama ini untuk memenuhi kekurangan kebutuhan benih jagung dalam negeri adalah dengan melakukan impor. BPS Indonesia (2012) melaporkan bahwa impor benih jagung pada tahun 2012 mencapai 1650 ton atau senilai US$ 5,28 juta. Berkaitan dengan mutu benih, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah teknik produksi benih berkualitas, teknik mempertahankan kualitas benih yang telah dihasilkan dan pendistribusiannya, dan teknik deteksi kualitas benih (Saenong et al. 2005). Mutu benih mencakup mutu genetis, mutu fisiologis, mutu fisik, dan mutu kesehatan benih (Ilyas 2012) mutlak dipenuhi dalam memproduksi benih. Mutu fisiologis benih berpengaruh besar terhadap produksi tanaman. Benih dengan mutu fisiologis yang tinggi akan menghasilkan tanaman yang sehat dengan sistem perakaran yang berkembang dengan baik, dapat lebih tahan terhadap kekeringan, pertumbuhan bibit yang cepat, dan terbukti berkorelasi dengan hasil yang tinggi (Harris et al. 2000). Upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu fisiologis benih dapat dilaklukan diantaranya dengan pemberian pupuk fosfor (P). Kandungan P dalam benih sangat diperlukan dalam proses metabolisme selama perkecambahan, dan berpengaruh terhadap kandungan ATP, vigor, dan viabilitas benih. Benih yang berasal dari induk yang cukup mendapatkan pupuk P, dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kekurangan unsur P. Pupuk P yang diberikan pada tanaman hanya 10 hingga 30 % yang diserap oleh tanaman, dan selebihnya tersimpan dalam tanah sebagai residu (Jones 1982). Pupuk P yang diberikan mengalami proses pengikatan atau fiksasi dalam tanah sehingga sukar larut dan tidak tersedia bagi tanaman. Salah satu cara untuk meningkatkan P tersedia adalah dengan menggunakan bakteri perlarut fosfat yang dapat melarutkan bentuk-bentuk fosfat sehingga dapat diserap oleh tanaman (Rao 2007; Prihartini 2009; Yafizham dan
39
Abubakar 2010). Glick et al. (2007) melaporkan bahwa fungsi rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman adalah: (i) membantu dalam memperoleh nutrisi seperti nitrogen, fosfor atau besi; (ii) mencegah perkembangbiakan organisme patogen; dan (iii) menyediakan hormon tanaman seperti auksin atau sitokinin, atau menurunkan produksi etilen melalui aktivitas enzim 1-aminocyclopropane1-karboksilat (ACC) deaminase. Mikroorganisme tanah seperti bakteri sangat penting dalam rangka meningkatkan penyerapan dan sirkulasi nutrisi tanaman dan mengurangi kebutuhan pupuk kimia (Egamberdiyeva 2007). Wu et al, (2005), melaporkan bahwa penggunaan Bacillus megaterium dan Bacillus mucilaginous tidak hanya meningkatkan pertumbuhan tanaman, tetapi juga meningkatkan asimilasi nutrisi tanaman (N total, P dan K). Secara umum, fungsi PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dibagi dalam tiga kategori yaitu: (1) sebagai pemacu/perangsang pertumbuhan (biostimulan) dengan mensintesis dan mengatur konsentrasi berbagai zat pengatur tumbuh (fitohormon) seperti IAA, giberelin, sitokinin dan etilen dalam lingkungan akar; (2) sebagai penyedia hara (biofertilizer) dengan menambat N2 dari udara secara asimbiosis dan melarutkan hara P yang terikat di dalam tanah; (3) sebagai pengendali pathogen berasal dari tanah (bioprotectans) dengan cara menghasilkan berbagai senyawa atau metabolit anti pathogen seperti siderophore, β-1,3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida (Husen et al. 2008; Egamberdiyeva 2007; Yolanda et al. 2011). Perlakuan bakteri dari spesies B. megatarium, B. subtilis, dan P. corrugata pada tanaman padi, dapat meningkatkan penampilan tanaman dan meningkatkan hasil gabah karena memperbaiki penyerapan pupuk fosfat (Trivedi et al. 2007), meningkatkan tinggi tanaman, panjang akar, bobot kering akar tanaman padi (Ashrafuzzman et al. 2009). Herman et al. (2008) melaporkan bahwa aplikasi bakteri B. subtilis dan B. amyloliquefaciens menyebabkan terjadinya peningkatkan hasil buah secara nyata pada tanaman paprika (bell pepper. Di Indonesia, penggunaan rizobakteri sebagai biostimulants dan biofertilizer untuk meningkatkan produksi pertanian terutama untuk produksi benih belum banyak dilakukan, meskipun berbagai artikel menunjukkan bahwa rizobakteri berpotensi dalam meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan dalam usaha untuk meningkatkan produksi pertanian yang efisien dan ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi rizobakteri dan pupuk fosfat terhadap pertumbuhan, produktivitas dan mutu fisiologis benih jagung hibrida. Bahan dan Metode Percobaan dilakukan di Desa Lembar Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat selama dua musim tanam yaitu musim tanam I (musim hujan=MH) dimulai Oktober 2011 hingga Pebruari 2012, dan musim tanam II (musim kemarau = MK) yang dimulai April 2012 hingga Agustus 2012. Lokasi percobaan secara geografis terletak pada 08oLS, 116oBT dengan ketinggian 44 m dari permukaan laut (dpl), merupakan lahan kering berpengairan sumur dangkal. Tanah di lokasi penelitian bertekstur lempung berdebu, memiliki kandungan nitrogen yang sangat rendah, P tersedia rendah hingga sedang, K tersedia tinggi, dan kandungan bahan organik yang rendah (Lampiran 6).
40
Percobaan disusun mengikuti rancangan petak terbagi, dimana petak utama adalah perlakuan pemupukan P, dan anak petak adalah perlakuan rizobakteri. Pada musim tanam I, petak utama terdiri atas lima taraf dosis pemupukan P yaitu: P1) kontrol (tanpa P), P2) 50 kg SP-36 ha-1, P3) 100 kg SP-36 ha-1, P4) 150 kg SP-36 ha-1, dan P5) 200 kg SP-36 ha-1, dan anak petak adalah perlakuan rizobakteri yang terdiri atas: R0) tanpa rizobakteri, R1) rizobakteri B28, R2) B42, R3) P14, R4) P31, R5) AB2, dan R6) ATS4. Pada musim tanam II, perlakuan P sebagai petak utama perlakuannya sama dengan musim I, sedangkan anak petak adalah perlakuan rizobakteri hasil seleksi dari percobaan musim I yaitu R0) tanpa rizobakteri, R1) rizobakteri B42, dan R2) ATS4. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Benih tetua betina (Nei 9008) dan tetua jantan (MR-14) berasal dari Balitsereal Maros Sulawesi Selatan yang digunakan dalam memproduksi benih jagung hibrida Bima-3. Isolat rizobakteri yang digunakan adalah jenis bakteri Bacillus spp., Pseudomonas kelompok fluorescens, dan Aktinomiset, koleksi Laboratorium Departemen Proteksi Tanaman IPB. Isolat rizobakteri tersebut merupakan hasil seleksi terbaik melalui serangkaian penelitian di rumah kaca dan penelitian lapang, dan tidak bersifat patogen terhadap tanaman. Tanah diolah sempurna dengan menggunakan bajak traktor, dibuatkan saluran drainase agar air tidak tergenang. Penanaman dilakukan dengan menggunakan tugal dengan jarak tanam 0.75 meter antar baris, 0.20 meter dalam baris, satu butir per lubang tanam. Tetua betina ditanam empat baris sepanjang 5 meter, sedangkan tetua jantan ditanam satu baris sepanjang 5 meter disamping tetua betina untuk satu plot percobaan. Perbandingan antara tetua jantan dan tetua betina 1 : 4 (Gambar 10 Penanaman tetua jantan dilakukan tiga hari lebih awal dari tetua betina pada musim tanam I, dan empat hari lebih awal pada musim tanam II. Pada musim tanam I, tidak terjadi sinkronisasi antara keluarnya polen pada tetua jantan dengan stigma pada tetua betina, sehingga penyerbukan dibantu secara manual dengan mengambil polen pada tanaman tetua jantan yang ditanam empat dan lima hari lebih awal. Aplikasi pupuk P dan rizobakteri dilakukan terhadap tetua betina sesuai dengan perlakuan. Pemupukan P diberikan saat tanam sesuai perlakuan. Selain pupuk P, tanaman diberi pupuk Urea dan KCl. Dosis pupuk Urea dan KCl yang digunakan masing-masing 300 kg ha-1 dan 100 kg ha-1 dengan waktu pemberian pupuk sebagai berikut:1) Pemupukan I: 100 kg ha-1 Urea, dan 75 kg ha-1 KCl diberikan saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (HST), 2) Pemupukan II: 200 kg ha-1 Urea dan 25 kg ha-1 KCl diberikan saat tanaman berumur 30 HST. Rizobakteri diaplikasikan dua kali yaitu perlakuan pada benih sebelum tanam dan saat tanaman berumur 35 HST. Aplikasi pertama dilakukan sebelum tanam, benih direndam dalam suspensi bakteri dengan kepadatan populasi 10 7-109 cfu ml-1 selama 12 jam, kemudian dikeringanginkan. Pada perlakuan tanpa rizobakteri, benih direndam dalam air, kemudian dikeringanginkan (Khalimi dan Wirya 2009). Aplikasi kedua, suspensi bakteri disiram pada pangkal tanaman, saat tanaman berumur 35 HST.
41
Gambar 10. Tata letak tetua jantan dan tetua betina di lapang Pemeliharaan tanaman berupa penyiangan, pembumbunan, pengairan, dan pengendalian hama penyakit dilakukan secara intensif. Untuk meningkatkan hasil polinasi, penyerbukan selain secara alami, juga dibantu secara manual. Panen dilakukan setelah kelobot jagung sudah kering dan berwarna coklat muda, rambut tongkol sudah mengering, terbentuk lapisan hitam (black layer) pada pangkal biji. Tongkol jagung yang telah dipanen kemudian dikeringkan dan dipipil. Benih yang dihasilkan dikemas dalam kantong plastik dan dimasukkan dalam doz. Benih yang telah dikemas kemudian disimpan dalam ruangan dengan suhu berkisar 21 – 25oC dan kisaran RH 53 – 62%. Pengamatan dilakukan terhadap : 1. Tinggi tanaman. Pengamatan tinggi tanaman pada fase vegetatif dilakukan dengan cara mengukur dari pangkal batang sejajar tanah hingga daun tanaman tertinggi. Tinggi tanaman saat fase generatif diukur dari pangkal batang sejajar dengan tanah hingga cabang malai yang pertama. Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman sampel yang dipilih secara acak. 2. Jumlah daun. Pengamatan terhadap jumlah daun dilakukan sejak fase vegetatif hingga fase generatif. Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman sampel yang dipilih secara acak. 3. Luas daun dan indeks luas daun. Pengamatan luas daun dilakukan pada fase generatif dengan mengukur panjang dan lebar daun maksimum. Perhitungan luas daun berdasarkan formula Pearce et al. 1975: LD = (P x L) x 0.75 x 9.39; dimana LD= luas daun P= panjang daun, L=lebar daun maksimum. Indeks luas daun (ILD) dihitung dengan membandingkan luas daun dengan luas tanah yang dinaungi tanaman (jarak tanam). Perhitungan ILD berdasarkan formula Sitompul dan Guritno (1995) sebagai berikut: ILD = 4.
; LD= luas daun, A= luas tanah (jarak tanam).
Kehijauan daun. Pengamatan kehijauan daun dipakai sebagai indikator kadar klorofil pada daun. Penentuan kehijauan daun dilakukan menggunakan alat klorofilmeter (SPAD-502) Minolta. Pengukuran dilakukan pada 5 tanaman
42
5.
6.
7. 8. 9.
sampel secara acak pada setiap petak percobaan. Daun yang diukur adalah daun ketiga dari atas yang telah membuka penuh. Pengukuran ini dilakukan pada saat tanaman mulai berbunga dan saat pengisian biji. Bobot tongkol kupasan. Dari setiap unit percobaan dipanen 20 tanaman sampel. Tongkol-tongkol yang telah dipanen setiap petak, dikupas kelobotnya, dan dikeringkan selama tiga hari, kemudian ditimbang. Hasil benih 20 tanaman sampel. Tongkol-tongkol jagung yang telah dikeringkan, dipipil dan ditimbang tongkolnya. Pengamatan hasil benih bersamaan dengan pengukuran kadar air. Hasil benih (kg) = (bobot tongkol + benih) – bobot tongkol tanpa benih. Data ini digunakan untuk menghitung produktivitas benih yang dikonversi ke satuan luas pada kadar air 12%. Bobot 1000 butir benih (g), pada kadar air 12 %. Penimbangan dilakukan bersamaan dengan pengukuran kadar air. Rendemen benih (%). Dihitung berdasarkan perbandingan antara bobot benih dengan bobot total tongkol dan benih. Mutu fisiologis benih. Pengujian mutu fisiologis benih dilakukan dengan metode uji dalam kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp), dan kemudian dikecambahkan dalam ecogerminator APB IPB 72-1 (suhu 27 – 30.3oC, RH 87 – 99%). Pengujian dilakukan 4 ulangan setiap perlakuan, masing-masing ulangan sebanyak 25 butir benih. Pengamatan mutu fisiologis benih berupa: daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), dan berat kering kecambah normal (BKKN). Cara perhitungan variabel mutu fisiologis sebagai berikut: a. Daya berkecambah (DB) Pengukuran daya berkecambah (%) dihitung berdasarkan perbandingan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama dan kedua dengan jumlah total benih yang ditanam. Hitungan pertama adalah 4 hari setelah pengecambahan dan hitungan kedua adalah 7 hari setelah pengecambahan (ISTA 2007), dengan rumus sebagai berikut :
b. Indeks Vigor (IV) Indeks vigor diukur berdasarkan jumlah kecambah normal pada pengamatan hitungan ke-1 (Copeland dan McDonald 1995) dengan rumus:
43
c. Kecepatan Tumbuh (KCT) Kecepatan tumbuh benih dihitung berdasarkan jumlah pertambahan persentase kecambah normal/etmal (1 etmal = 24jam) (Sadjad et al. 1999) dengan rumus:
KCT dimana:
KCT = kecepatan tumbuh benih (% etmal-1) d = tambahan persentase kecambah normal t = waktu perkecambahan d. Berat Kering Kecambah Normal (g) Penghitungan berat kering kecambah normal (BKKN) dilakukan di akhir pengamatan, dengan membuang bagian endosperm dari kecambah normal dan dioven selama 3 x 24 jam pada suhu 60 ºC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan setelah dingin ditimbang berat keringnya. 10. Kandungan hara tanah Untuk mengetahui kandungan hara tanah (N,P,K,S, dan C-organik), dilakukan pengambilan sampel tanah lapisan top soil, kemudian dianalisis di laboratorium. Data dianalisis menggunakan analisis ragam (Anova) dengan bantuan software SAS versi 9.0. Jika terdapat perbedaan antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf α= 5%. Hasil dan Pembahasan Musim tanam I (MH) Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Aplikasi pupuk P berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman 3 minggu setelah tanam (MST) dan saat berbunga, namun tidak berpengaruh pada saat tanaman berumur 6 MST (Tabel 12). Pada umur 3 MST, pemberian pupuk P 150 kg SP-36 ha-1 dan 200 kg SP-36 ha-1 tidak dapat meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk P 50 kg SP-36 ha-1 dan 100 kg SP-36 ha-1 masih cukup untuk pertumbuhan tanaman hingga berumur 3 MST. Pada saat berbunga (9 MST), tanaman yang diberi pupuk 50 kg SP-36 ha-1 lebih tinggi dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P 100 kg SP-36 ha-1 dan 200 kg SP-36 ha-1. Peningkatan tinggi tanaman berkisar 1.38 cm hingga 8.25 cm dibanding kontrol. Pada variabel jumlah daun, aplikasi pupuk P berpengaruh pada 6 MST dan saat berbunga (Tabel 12). Pada umur 6 MST, semua perlakuan pupuk P berbeda nyata dengan kontrol, namun pada saat berbunga (9 MST) terdapat kecenderungan bahwa perlakuan pupuk P 50 kg SP-36 ha-1 menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibanding kontrol.
44
Tabel 12. Pengaruh aplikasi pupuk P terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun Pupuk P (kg SP-36 ha-1) 0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
Umur tanaman (MST) 3 6 9 --------------- Tinggi tanaman (cm) ---------------53.0 a 113.6 158.0 c 53.5 a 120.4 166.2 a 52.3 a 118.4 162.8 abc 47.3 b 119.4 159.4 bc 48.6 b 120.0 163.8 ab -------------- Jumlah daun (helai) -----------------5.0 7.9 b 9.8 b 5.1 8.4 a 10.3 a 4.9 8.2 a 10.0 ab 5.1 8.4 a 10.0 ab 5.0 8.4 a 9.9 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Perlakuan rizobakteri berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada saat berbunga (9 MST), namun tidak berpengaruh nyata pada saat tanaman berumur 3 dan 6 MST (Tabel 13). Isolat B42, ATS4, dan P31 memberikan penampilan tanaman yang lebih tinggi dibanding kontrol pada umur tanaman 9 MST, masing-masing 166.4 cm, 165.5 cm, dan 163.7 cm. Tabel 13. Pengaruh aplikasi rizobakteri terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun Isolat rizobakteri
3
Umur tanaman (MST) 6
9
---------------- Tinggi tanaman (cm) -------------
Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4 Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4
50.2 113.2 156.7 b 49.1 120.6 160.3 ab 52.0 119.9 166.4 a 49.7 114.9 161.0 ab 51.8 119.5 163.7 a 51.7 118.7 160.8 ab 52.0 121.6 165.5 a -------------- Jumlah daun (helai) -------------4.9 8.2 9.8 bc 4.8 8.2 10.2 ab 5.0 8.4 10.3 a 5.2 8.1 9.9 abc 5.0 8.3 10.1 abc 5.1 8.3 9.8 c 5.1 8.4 10.0 abc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
45
Demikian pula untuk variabel jumlah daun, aplikasi rizobakteri berpengaruh nyata pada saat tanaman berumur 9 MST (fase berbunga). Isolat B42 menghasilkan jumlah daun tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan isolat B28, P14, P31, dan ATS4. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa inokulasi bakteri dapat meningkatkan pertumbuhan pada tanaman jagung (Biari et al. 2008; Gholami et al. 2009; Yazdani et al. 2009), dan pada tanaman padi (Agustiansyah et al. 2010; Ashrafuzzaman et al. 2009). Aktivitas rizobakteri cenderung agak lambat dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, diduga karena rizobakteri melakukan adaptasi dengan lingkungan rizosfer, dan melakukan fungsi lain seperti membantu pertahanan tanaman terhadap patogen. Menurut Soetanto (2008), kemampuan agens hayati sebagai pemacu pertumbuhan dipengaruhi beberapa hal diantaranya kemampuan agens hayati menyesuaikan diri dengan lingkungan perakaran, ketersediaan nutrisi bagi agens hayati, dan populasi atau kepadatan agens hayati saat mengkolonisasi inang. Indeks Luas Daun Tidak terdapat interaksi antara aplikasi rizobakteri dengan pupuk P terhadap indeks luas daun (ILD). Aplikasi pupuk P 150 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan ILD dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 14). Hal ini berarti bahwa pemupukan P 150 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan luas daun jagung. Luas daun berimplikasi terhadap jumlah klorofil yang terdapat dalam daun yang digunakan dalam proses fotosintesis. Perlakuan rizobakteri menghasilkan ILD berkisar antara 1.85 hingga 2.16, atau dalam 1 m2 permukaan tanah terdapat paling tinggi 2.16 m2 daun. Perlakuan rizobakteri B42 menghasilkan ILD tertinggi yaitu 2.16 dan berbeda nyata dengan kontrol. Aplikasi rizobakteri B42, ATS4, B28, dan P31 cenderung meningkatkan ILD. Hal ini berarti bahwa perlakuan rizobakteri tersebut dapat meningkatkan panjang dan lebar daun, sehingga menuingkatkan luas daun. Sitompul dan Guritno (1995), menyatakan bahwa indeks luas daun > 1 menggambarkan bahwa terdapat saling menaungi diantara daun, yang mengakibatkan daun yang terdapat dibawah tajuk tanaman kurang mendapatkan cahaya, sehingga laju fotositesisnya lebih rendah dibanding daun yang tidak ternaungi. Tabel 14. Pengaruh pemupukan P dan aplikasi rizobakteri terhadap indeks luas daun (ILD) Pupuk P (kg SP-36 ha-1) 0 50 100 150 200
ILD 1.84 c 1.94 c 2.09 b 2.25 a 1.87 c
Isolat rizobakteri Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4
ILD 1.94 bcd 1.99 abcd 2.16 a 1.85 d 2.06 abc 1.89 cd 2.10 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
46
Fischer dan Palmer (1996) menyatakan bahwa indeks luas daun optimum untuk hasil biji, lebih rendah dibanding untuk pertumbuhan tanaman maksimum yaitu bernilai antara 2.5 hingga 5.0. Jika indeks luas daun lebih dari nilai tersebut, bahan kering yang dihasilkan tertimbun dalam batang. Kehijauan Daun Warna hijau daun merupakan indikator kualitatif terhadap kandungan klorofil pada daun. Yang (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan linier yang nyata antara total klorofil dan kandungan N daun. Selajutnya dikatakan bahwa pada berbagai tanaman terdapat hubungan linier yang nyata antara total klorofil daun dan pembacaan pada chlorophyll meter. Oleh karena itu, kandungan N dan klorofil daun tanaman jagung dapat diduga dari pembacaan klorofil meter. Peningkatan intensitas warna hijau daun, dapat meningkatkan kandungan klorofil dalam daun, yang akhirnya berpengaruh terhadap fotosintesis (Gani, 2009). Pemupukan P 50 kg SP-36 ha-1 meningkatkan kehijauan daun dibanding tanpa P, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P 100 kg SP-36 ha-1 dan 200 kg SP-36 ha-1 pada fase berbunga. Kehijauan daun tertinggi pada fase pengisian tongkol dicapai pada pemupukan P 200 kg SP-36 ha-1 dan 100 kg SP-36 ha-1 dibanding tanpa P, namum tidak berbeda nyata dengan pemberian P 50 kg SP-36 ha-1 dan 150 kg SP-36 ha-1 (Tabel 15). Tanaman yang tingkat kehijauannya tinggi mengindikasikan tanaman tersebut memiliki klorofil daun yang banyak sehingga dapat memacu laju fotosintesis yang berdampak pada peningkatan hasil tanaman. Pada tanaman padi, variasi warna daun yang diukur dengan klorofil meter (SPAD-520, Minolta) berkorelasi positif dengan hasil gabah (Lo et al. (2004). Tabel 15. Pengaruh aplikasi pupuk P terhadap kehijauan daun Pupuk P (kg SP-36 ha-1) 0 50 100 150 200
Saat berbunga (unit) 45.73 b 46.95 a 46.54 ab 45.84 b 46.46 ab
Saat pengisian tongkol (unit) 48.33 b 49.02 ab 49.53 a 48.98 ab 49.70 a
Keterangan: Kehijauan daun diukur dengan klorofil meter (SPAD-502 Minolta) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Perlakuan rizobakteri berpengaruh nyata terhadap kehijauan daun pada saat berbunga dan pada saat pengisian tongkol (Tabel 16). Pada fase berbunga aplikasi isolat ATS4 dan B42 menghasilkan kehijauan daun tertinggi dan berbeda nyata dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan empat isolat lainnya. Pada fase pengisian tongkol, isolat P31 dan ATS4 menghasilkan kehijauan daun tertinggi dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan empat isolat lainnya. Kehijauan daun mengindikasikan jumlah klorofil dalam daun yang berfungsi dalam proses fotosintesis. Raka (2012) melaporkan bahwa aplikasi PGPR dapat meningkatkan kandungan klorofil daun jagung dibanding tanpa aplikasi PGPR.
47
Tabel 16. Pengaruh aplikasi rizobakteri terhadap kehijauan daun Isolat rizobakteri Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4
Saat berbunga (unit) 44.39 b 46.66 a 46.97 a 46.29 a 46.57 a 46.14 a 47.12 a
Saat pengisian tongkol (unit) 45.96 b 49.40 a 49.29 a 49.29 a 50.08 a 49.84 a 49.92 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Bobot Tongkol, Rendemen Benih, dan Produktivitas Tidak terdapat interkasi antara perlakuan rizobakteri dengan pupuk P terhadap bobot tongkol (Tabel 17). Pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 menghasilkan bobot tongkol tertinggi, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk P 50 kg SP-36 ha-1dan 200 kg SP-36 ha-1. Aplikasi isolat B42 mampu mencapai bobot tongkol tertinggi 43.17 g/tongkol, tidak berbeda nyata dengan perlakuan isolat ATS4 sebesar 39.9 g/tongkol. Tabel 17. Pengaruh aplikasi pupuk P dan rizobakteri terhadap bobot tongkol Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Isolat Rata-rata rizobakteri 0 50 100 150 200 ------------------------------- (g tongkol-1) -------------------------------Kontrol 25.56 28.26 31.32 30.72 32.36 29.65 e B28 28.55 32.23 28.06 34.27 30.10 30.64 de B42 41.19 47.04 49.29 36.35 41.98 43.17 a P14 29.44 32.60 36.46 38.18 36.71 34.68 cd P31 38.66 32.39 37.91 32.55 39.11 36.12 bc AB2 32.77 38.01 38.94 27.52 40.03 35.46 bcd ATS4 36.50 37.86 46.93 38.44 39.78 39.90 ab Rata-rata 33.24 B 35.48 AB 38.415 A 34.005 B 37.15 AB Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Tidak terdapat interaksi antara aplikasi rizobakteri dengan pemupukan P terhadap rendemen benih. Rata-rata rendemen benih yang dihasilkan berkisar 58% hingga 66 % (Tabel 18). Rendemen benih tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B42, namun tidak berbeda nyata dengan isolat ATS4, P31, AB2, dan P14.
48
Tabel 18. Pengaruh aplikasi pupuk P dan rizobakteri terhadap rendemen benih Isolat rizobakteri Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4 Rata-rata
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Rata-rata 0 50 100 150 200 ---------------------------- (%) -----------------------------55.97 58.73 62.67 61.21 63.06 60.33 bc 59.62 57.88 58.64 57.01 59.30 58.49 c 71.80 65.62 69.99 60.51 64.09 66.40 a 63.51 56.87 60.09 67.94 62.76 62.23 abc 62.85 61.97 63.86 66.13 65.94 64.15 ab 63.91 59.35 69.66 59.12 65.71 63.55 ab 67.30 65.61 68.25 61.82 64.04 65.40 a 63.57 60.86 64.74 61.96 63.56
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pupuk P dengan rizobakteri terhadap produktivitas. Perlakuan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 mampu memberikan produktivitas yang tinggi (1.10 t ha-1) dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 200 kg SP-36 ha-1 (1.02 t ha-1) (Tabel 19). Perlakuan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dapat dijadikan acuan untuk pemupukan P dalam memproduksi benih jagung hibrida pada tanah dengan status P tersedia rendah-sedang, dan dapat menghemat pupuk SP-36 50 % dari dosis rekomendasi. Semakin besar unsur P tersedia bagi tanaman, semakin besar pula unsur P yang dapat diserap oleh tanaman, maka fotosintesis akan meningkat dan laju tumbuh tanaman juga meningkat (Zulaikha dan Gunawan 2006). Bila tanaman kahat fosfor maka sebagian besar fosfat terkonsentrasi dalam akar dan pertumbuhan bagian tanaman di atas tanah menjadi terhambat. Hal ini karena fosfat merupakan unsur yang penting dalam serangkaian proses fotosintesis. Pada tanaman yang mengalami kahat fosfor maka hasil fotosintesis yang berupa glukose tidak dapat disintesis menjadi sukrose dan diedarkan ke suluruh bagian tanaman melalui floem sehingga pertumbuhan terhambat (Salisbury dan Ross 1995). Tabel 19. Pengaruh aplikasi pupuk P dan rizobakteri terhadap produktivitas Isolat rizobakteri Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4 Rata-rata
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Rata-rata 0 50 100 150 200 -------------------------- (t ha-1) -----------------------------0.63 0.72 0.84 0.79 0.88 0.77 c 0.77 0.81 0.71 0.84 0.76 0.78 c 1.26 1.32 1.45 0.94 1.14 1.22 a 0.88 0.72 0.94 1.05 0.99 0.91 bc 0.98 0.93 1.28 0.91 1.18 1.05 ab 0.89 0.98 1.17 0.69 1.13 0.97 b 0.97 1.17 1.33 0.93 1.09 1.10 ab 0.91 B 0.95 B 1.10 A 0.88 B 1.02 AB
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
49
Isolat rizobakteri yang diuji dapat meningkatkan produktivitas benih jagung dibanding kontrol, kecuali isolat B28 (Tabel 19). Isolat B42 mampu meningkatkan produktivitas benih jagung hingga mencapai 1.22 t ha-1 dibanding kontrol (0.77 t ha-1), disusul isolat ATS4 (1.10 t ha-1) dan isolat P31 (1.05 t ha-1). Isolat ini berpotensi digunakan dalam budidaya tanaman jagung terutama untuk benih. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hameeda et al. (2008), dimana perlakuan benih dengan bakteri S. marcescens EB 67 dan Pseudomonas sp. CDB 35 dapat meningkatkan hasil pipilan kering pada pertanaman jagung dilapang masing-masing 85% dan 64% dibanding kontrol tanpa inokulasi. Mutu Fisiologis Benih yang Dihasilkan Secara umum terjadi penurunan vigor dan viabilitas benih selama benih dalam penyimpanan. Aplikasi pupuk P yang berbeda berpengaruh nyata terhadap DB, IV, dan BKKN pada benih yang disimpan selama empat bulan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap KCT (Tabel 20). Perlakuan pupuk P 100, 150, dan 200 kg SP-36 ha-1, menghasilkan DB dan IV lebih tinggi dibanding kontrol. Tabel 20. Pengaruh aplikasi pupuk P terhadap mutu fisiologis benih jagung hibrida Bima-3 setelah disimpan selama 4 dan 8 bulan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62% Pupuk P Periode simpan (bulan) (kg SP-36 ha-1) 4 8 ------------------ DB (%) -----------------0 81.7 b 81.7 50 81.4 b 83.0 100 86.1 a 81.4 150 85.1 a 82.6 200 84.9 a 82.9 -------------------- IV(%)--------------------0 75.7 b 52.1 50 77.0 b 53.1 100 82.3 a 54.4 150 81.1 a 54.7 200 78.6 ab 54.9 -1 ---------------- KCT (% etmal ) ------------0 21.7 20.6 b 50 21.2 21.5 ab 100 21.6 21.7 a 150 22.1 21.6 ab 200 21.3 22.0 a ------------------ BKKN (g) ----------------0 0.072 a 0.063 50 0.067 b 0.062 100 0.074 a 0.065 150 0.075 a 0.064 200 0.075 a 0.064 Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
50
Pada periode simpan delapan bulan, pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap DB, IV, dan BKKN, namun berpengaruh nyata terhadap KCT dibanding kontrol. Penambahan dosis P cenderung meningkatkan KCT. Aplikasi rizobakteri berpangaruh nyata terhadap KCT, IV, DB dan BKKN pada periode simpan empat bulan (Tabel 21). Aplikasi isolat B42 dapat mencapai KCT tertinggi yaitu 22.1 % etmal-1. Isolat ATS4, AB2, P31, P14, dan B42 menunjukkan indeks vigor yang lebih tinggi dibanding B28 dan kontrol pada periode simpan empat bulan. Tabel 21. Pengaruh aplikasi rizobakteri terhadap mutu fisiologis benih jagung hibrida Bima-3 setelah disimpan selama 4 dan 8 bulan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62% Isolat rizobakteri Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4 Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4 Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4
Periode simpan (bulan) 4 8 --------------- DB (%) --------------80.2 c 83.8 80.8 bc 82.8 86.2 a 81.8 83.4 abc 82.6 85.4 a 79.2 84.2 ab 82.0 86.8 a 84.0 ------------------ IV(%) --------------75.4 b 55.0 74.6 b 49.8 80.0 a 53.0 80.4 a 53.8 80.4 a 53.6 80.6 a 54.6 81.2 a 57.2 -1 ---------- KCT (% etmal ) -----------21.4 ab 21.7 b 21.5 ab 20.6 b 22.1 a 20.9 b 21.9 ab 21.2 b 20.6 b 21.5 b 21.2 ab 21.5 b 21.8 ab 22.9 a -------------- BKKN (g) ---------------
Kontrol B28 B42 P14 P31 AB2 ATS4
0.066 c 0.073 b 0.074 ab 0.077 a 0.072 b 0.072 b 0.074 ab
0.062 bc 0.062 bc 0.060 c 0.063 bc 0.063 bc 0.066 ab 0.068 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
51
Pada periode simpan empat bulan, isolat ATS4, B42 dan P31 mampu menghasilkan DB yang tinggi dibanding kontrol (80.2%) masing-masing 86.8%, 86.2% dan 85.4%. Pada periode simpan delapan bulan, aplikasi rizobakteri tidak berpengaruh nyata terhadap DB. Isolat P14 mampu mencapai BKKN tertinggi pada periode simpan empat bulan namun tidak berbeda nyata dengan aplikasi B42 dan ATS4, sedang pada periode simpan delapan bulan, isolat ATS4 mencapai BKKN tertinggi tetapi tidak berbeda nyata dengan AB2. Pada periode simpan 8 bulan, tidak terdapat interaksi antara perlakuan rizobakteri dengan pupuk P terhadap mutu fisiologis benih jagung. Perlakuan pupuk P berpengaruh terhadap KCT, namun tidak berpengaruh terhadap IV, DB, dan BKKN (Tabel 20). Pemberian pupuk P 200 kg SP-36 ha-1 menghasilkan KCT yang lebih tinggi dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50, 100, dan 150 kg SP-36 ha-1. Penambahan dosis pupuk P cenderung meningkatkan IV, namun pemberian pupuk P 50 kg SP-36 ha-1 sudah cukup untuk meningkatkan DB hingga mencapai 83%. Aplikasi rizobakteri berpengaruh nyata terhadap KCT dan BKKN, namun tidak berpengaruh terhadap DB dan IV pada benih jagung hibrida yang disimpan selama delapan bulan (Tabel 21). Isolat ATS4 mampu meningkatkan KCT dan BKKN dibanding perlakuan lainnya masing masing mencapai 22.9 % etmal-1 dan 0.068 g. Musim Tanam II (MK) Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun Tidak terdapat interaksi antara pemupukan P dengan rizobakteri terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. Aplikasi pupuk P berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada 4 dan 6 minggu setelah tanam (MST), namun belum berpengaruh pada saat tanaman berumur 2 MST dan 8 MST (Tabel 22). Aplikasi pupuk P 200 kg SP-36 ha-1 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, namun tidak berbeda nyata dibanding 50 kg SP-36 ha-1 pada umur 4 dan 6 MST. Tabel 22. Pengaruh aplikasi pupuk P terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun Pupuk P (kg SP-36 ha-1)
2
Umur tanaman (MST) 4 6
8
------------------- Tinggi tanaman (cm) -----------------
0 50 100 150 200 0 50 100 150 200
22.9 64.6 b 124.3 b 170.3 23.5 70.7 a 134.1 a 173.8 22.1 64.4 b 126.1 b 169.5 22.4 64.2 b 125.7 b 172.2 23.4 68.2 ab 132.2 a 173.5 ----------------------- Jumlah daun -----------------------3.4 5.7 ab 7.7 a 11.9 3.4 5.8 ab 7.9 a 12.1 3.2 5.5 b 7.2 b 11.8 3.2 5.6 b 7.8 a 12.0 3.4 5.9 a 7.9 a 12.1
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
52
Perlakuan benih dengan rizobakteri berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada saat umur tanaman 8 MST, sedangkan terhadap jumlah daun tidak berpengaruh nyata (Tabel 23). Perlakuan benih dengan isolat ATS4 menghasilkan tinggi tanaman 173.8 cm lebih tinggi dibanding control (170.05), namun tidak berbeda nyata dibanding perlakuan isolat B42 pada umur 8 MST. Pada pengamatan jumlah daun, perlakuan rizobakteri memberikan pengaruh dan berbeda nyata dibanding kontrol saat umur 2 MST hingga 8 MST. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa inokulasi bakteri dapat meningkatkan pertumbuhan pada tanaman jagung (Biari et al. 2008; Gholami et al. 2009; Yazdani et al. 2009). Agens hayati sebagai pemacu pertumbuhan dan peningkatan produksi tanaman dapat melalui beberapa mekanisme yaitu mampu memfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, dan memproduksi hormon pertumbuhan tanaman seperti IAA, giberalin, dan sitokinin (Egamberdiyeva 2005; Bae et al. 2007). Pengaruh rizobakteri terhadap pertumbuhan tanaman cenderung lambat, diduga rizobakteri masih melakukan adaptasi dengan lingkungan rizosfer, dan melakukan fungsinya melindungi tanaman terhadap patogen seperti lignifikasi dinding sel, dan juga bersaing dengan sejumlah bakteri indegenous. Rizobakteri dapat menghasilkan senyawa organik (siderofor) yang mampu mengkhelat unsur Fe (besi) yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan pathogen, sehingga menghambat pertumbuhan patogen (Siddiqui 2005). Selain itu rizobakteri dapat menghasilkan senyawa antimikroba seperti senyawa 2.4 diacetylphloroglucinol yang dihasilkan Pseudomonas spp. dan bacitracin oleh Bacillus spp. (Awais et al. 2007). Hasil penelitian Agustiansyah et al. (2013) menunjukkan agens hayati dapat menghasilkan senyawa siderofer, dapat melarutkan fosfat dan menunjukkan aktivitas fosfatase, memproduksi IAA, dan memiliki aktivitas peroksidase. Isolat Pseudomononas diminuta juga mampu memproduksi HCN. Tabel 23. Pengaruh aplikasi rizobakteri terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun Isolat rizobakteri
Umur tanaman (MST) 2
4
6
8
Kontrol B42 ATS4
------------------ Tinggi tanaman (cm) ----------------22.6 66.5 128.0 170.1 b 23.0 66.8 127.4 171.8 ab 23.0 66.0 130.1 173.9 a
Kontrol B42 ATS4
---------------------- Jumlah daun -----------------------3.3 5.7 7.8 11.9 3.3 5.7 7.6 12.0 3.5 5.7 7.7 12.1
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT taraf pada α= 5%
53
Produktivitas, Bobot tongkol, Kandungan P Benih, dan Rendemen benih Tidak terdapat interaksi antara pemupukan P dengan aplikasi rizobakteri terhadap produktivitas benih jagung hibrida. Pemupukan P maupun rizobakteri berpengaruh nyata terhadap produktivitas (Tabel 24). Perlakuan pupuk P 200 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan produktivitas hingga mencapai 3.14 t ha-1 dibanding kontrol (2.43 t ha-1), namun tidak berbeda nyata dibanding perlakuan pupuk P 150 kg SP-36 ha-1 dan P 100 kg SP-36 ha-1 yang masing-masing dapat mencapai 3.03 t ha-1 dan 3.0 t ha-1. Perlakuan rizobakteri ATS4 dapat meningkatkan produktivitas 3.18 t ha-1 dibanding kontrol (2.58 t ha-1) dan B42 (2.82 t ha-1). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa inokulasi bakteri dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil pada tanaman jagung (Biari et al. 2008; Gholami et al. 2009; Yazdani et al. 2009;Sharifi et al. 2011; Ashrafi dan Seiedi 2011), dan pada tanaman padi (Agustiansyah et al. 2010; Ashrafuzzaman et al. 2009). Pada tanaman kedelai, inokulasi bakteri pelarut fosfat yang diikuti dengan pemberian pupuk fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan meningkatkan produksi serta meningkatkan efisiensi pupuk P yang digunakan (Wulandari 2001). Tabel 24. Pengaruh rizobakteri dan pupuk P terhadap produktivitas benih Isolat rizobakteri Kontrol B42 ATS4 Rata-rata
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Rata-rata 0 50 100 150 200 ----------------------------- t ha-1 ----------------------------2.05 2.35 2.75 2.78 3.00 2.58 c 2.58 2.98 2.72 2.81 3.02 2.82 b 2.67 2.79 3.54 3.50 3.41 3.18 a 2.43 B 2.70 B 3.00 A 3.03 A 3.14 A
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Perlakuan pupuk P 200 kg SP-36 ha-1 mampu meningkatkan bobot tongkol kering tertinggi yaitu 103 g, namun tidak berbeda nyata dibanding perlakuan P 150 kg SP-36 ha-1 dan P 100 kg SP-36 ha-1 (Tabel 25). Rizobakteri ATS4 menghasilkan bobot tongkol tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu sebesar 102.9 g. Nezarat dan Gholami (2009) melaporkan bahwa pengunaan PGPR dapat meningkatkan bobot tongkol kering dibanding kontrol. Tabel 25. Pengaruh rizobakteri dan pupuk P terhadap bobot tongkol Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Isolat Rata-rata rizobakteri 0 50 100 150 200 ----------------------------------- g -----------------------------------Kontrol 83.28 88.32 90.58 95.02 98.78 91.20 b B42
90.08
98.93
99.43
99.52
103.88
98.37 b
ATS4 Rata-rata
95.10 100.25 109.92 102.73 106.37 102.87 a 89.49 C 95.83 B 99.98 AB 99.09 AB 103.01 A
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
54
Pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir benih. Pemupukan P yang menghasilkan bobot 1000 butir benih yang tinggi berturut-turut dicapai pada pemupukan P 50 kg SP-36 ha-1(273,7 g), 200 kg SP-36 ha-1 (264 g), dan 150 kg SP-36 ha-1 (261,9 g) (Tabel 26). Unsur P dapat meningkatkan kandungan protein dan bobot biji yang selanjutnya meningkatkan vigor dan ketahanan simpan benih (Mugnisyah dan Nakamura 1986). Aplikasi rizobakteri berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir benih (Tabel 26). Isolat rizobakteri B42 dapat meningkatkan bobot 1000 butir benih (268.5 g) dibanding kontrol (255.9 g), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan isolat ATS4. Tabel 26. Pengaruh rizobakteri dan pupuk P terhadap bobot 1000 butir benih Isolat rizobakteri
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Rata-rata 0 50 100 150 200 ----------------------------------- (g) ---------------------------------
Kontrol B42 ATS4 Rata-rata
264.34 261.38 257.87 261.20
265.62 271.34 284.19 273.72
234.30 271.26 257.27 254.28
261.08 263.93 260.81 261.94
254.28 274.57 263.23 264.03
255.93 b 268.50 a 264.67 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Aplikasi pupuk P dan rizobakteri tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan P dalam benih (Tabel 27). Kandungan P dalam benih berkisar antara 0.47 – 0.68 g 100g-1. Kandungan P dalam benih berpengaruh terhadap kandungan ATP dan vigor benih. Kandungan P dalam benih selain dipengaruhi oleh jenis tanah, juga ditentukan oleh varietas (Fathan et al. 1988). Presterl et al. (2003), menyatakan bahwa kemampuan untuk menggunakan hara yang efisien dikontrol secara genetik. Tabel 27. Pengaruh rizobakteri dan pupuk P terhadap kandungan P benih Isolat rizobakteri Kontrol B42 ATS4 Rata-rata
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) Rata-rata 0 50 100 150 200 -------------------------- (g 100 g-1) ------------------------0.59 0.66 0.51 0.69 0.60 0.61 0.59 0.58 0.47 0.62 0.63 0.59 0.56 0.72 0.67 0.68 0.62 0.65 0.58 0.65 0.55 0.66 0.62
Keterangan:Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Interaksi antara perlakuan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dengan rizobakteri ATS4 menghasilkan rendemen benih tertinggi 83.8% (Tabel 28). Pada pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1, rizobakteri ATS4 dapat meningkatkan rendemen benih
55
dibanding kontrol dan B42, sedangkan pada perlakuan pemupukan P lainnya, aplikasi rizobakteri tidak berpengaruh nyata. Aplikasi rizobakteri ATS4 yang diikuti oleh pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 mampu meningkatkan rendemen benih dibanding pemupukan P 0 dan 50 kg SP-36 ha-1, namun tidak berbeda nyata dibanding perlakuan pupuk P 150 dan 200 kg SP-36 ha-1. Aplikasi rizobakteri B42 tidak memerlukan pupuk P, tetapi rendemen benihnya nyata lebih rendah dibanding aplikasi ATS4 dengan pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1. Tabel 28. Pengaruh rizobakteri dan pupuk P terhadap rendemen benih Isolat rizobakteri
Dosis pupuk P (kg SP-36 ha-1) 0 50 100 150 200 --------------------------- % -------------------------------
Kontrol B42 ATS4
64.4 Aa 71.8 Aa 69.8 Ba
68.4 Aa 74.6 Aa 70.4 Ba
75.7 Ab 67.0 Ab 83.8 Aa
72.9 Aa 70.9 Aa 79.1 ABa
74.9 Aa 72.9 Aa 75.1 ABa
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Mutu Fisiologis Benih yang Dihasilkan Pengaruh pemupukan P terhadap mutu fisiologis benih jagung hibrida disajikan pada Tabel 29. Pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap kecepatan tumbuh (KCT) dan indeks vigor (IV) setelah benih hasil panen disimpan selama dua dan tiga bulan, namun berpengaruh nyata setelah empat bulan penyimpanan (Tabel 29). Pada periode simpan empat bulan, semua perlakuan pupuk P mampu meningkatkan KCT dibanding kontrol. Pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 dan 200 kg SP-36 ha-1 menghasilkan IV tertinggi dibanding perlakuan lainnya pada periode simpan empat bulan yaitu masing-masing 77.7 % dan 78.3 %. Selama penyimpanan, benih mengalami penurunan daya berkecambah. Pada periode simpan dua bulan, pemberian pupuk P 200 kg SP-36 ha-1 menghasilkan DB tertinggi yaitu 95.3%, namun tidak berbeda nyata dengan pemberian 100 kg SP-36 ha-1 dan 150 kg SP-36 ha-1 (Tabel 29). Semua perlakuan pupuk P mampu mempertahankan DB lebih dari 85% hingga periode simpan empat bulan. Pemupukan P tidak berpengaruh nyata terhadap berat kering kecambah normal (BKKN) pada periode simpan dua bulan dan tiga bulan. Pada periode empat bulan simpan, pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 menghasilkan BKKN tertinggi dibanding kontrol, namun tidak berbeda nyata dibanding pemberian pupuk P lainnya.
56
Tabel 29. Pengaruh pemupukan P terhadap mutu fisiologis benih jagung hibrida Bima-3 setelah disimpan selama 2, 3, dan 4 bulan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62% Pupuk P (kg SP-36 ha-1)
2
Periode simpan (bulan) 3
4
------------------------ DB (%) -------------------
0 50 100 150 200
90.3 c 91.3 c 94.3 a 93.7 ab 95.3 a
90.0 b 91.0 b 93.0 ab 96.3 a 94.0 ab
87.3 ab 85.7 b 90.0 a 89.3 a 87.7 ab
---------------------- IV (%) ---------------------
0 50 100 150 200
57.3 59.0 60.7 61.3 58.3
80.3 80.7 80.3 82.3 82.3
60.7 c 70.3 b 77.7 a 71.0 b 78.3 a
----------------- KCT (% etmal-1) -----------------
0 50 100 150 200
25.6 25.6 26.5 26.2 26.6
22.6 22.7 22.5 23.3 22.8
22.6 b 24.6 a 25.6 a 25.2 a 25.8 a
------------------ BKKN (g) -------------------
0 50 100 150 200
0.084 0.087 0.083 0.085 0.083
0.086 0.082 0.082 0.081 0.081
0.081 b 0.088 ab 0.089 a 0.086 ab 0.084 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Aplikasi rizobakteri berpengaruh nyata terhadap DB pada periode simpan dua, tiga, dan empat bulan (Tabel 30). Pada periode simpan dua dan tiga bulan, isolat ATS4 dan B42 mengahasilkan DB lebih tinggi dibanding kontrol. Isolat rizobakteri ATS4 konsisten dapat meningkatkan DB hingga periode simpan empat bulan sebesar 89.8% dibanding kontrol (87%). Perlakuan rizobakteri dapat meningkatkan IV pada periode dua dan empat bulan simpan (Tabel 30). Penggunaan isolat rizobakteri ATS4 mampu meningkatkan IV sebesar 75% dibanding kontrol (69%) pada periode simpan empat bulan. Aplikasi rizobakteri berpengaruh nyata terhadap KCT pada periode simpan tiga bulan dan empat bulan (Tabel 30). Isolat ATS4 dapat meningkatkan KCT hingga empat bulan simpan sebesar 25.8 % etmal-1 dibanding kontrol (23.8 % etmal-1). Hal yang sama dilaporkan Aryatha (2004) bahwa penggunaan Aktinomiset dapat meningkatkan pertumbuhan kecambah kacang hijau.
57
Hameda et al. (2008) melaporkan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih jagung. Perlakuan rizobakteri tidak memberikan pengaruh nyata terhadap BKKN pada periode simpan hingga empat bulan (Tabel 30). Hal ini menunjukkan bahwa selama periode perkecambahan (tujuh hari), energi yang diproduksi digunakan untuk memacu perkecambahan. Coopeland dan McDonald (1995) menyatakan bahwa selama beberapa hari pertama, kecambah benih mengalami penurunan berat kering akibat respirasi yang tinggi dan beberapa eksudasi serta kebocoran pada kulit benih. Cadangan karbohidrat, lemak, dan protein dalam kotiledon dan endosperm mengalami penurunan yang cepat selama perkecambahan. Tabel 30. Pengaruh aplikasi rizobakteri terhadap mutu fisiologis benih jagung hibrida Bima-3 setelah disimpan selama 2, 3, dan 4 bulan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62% Isolat rizobakteri Kontrol B42 ATS4 Kontrol B42 ATS4 Kontrol B42 ATS4 Kontrol B42 ATS4
Periode simpan (bulan) 2 3 4 --------------------- DB (%) ---------------91.4 b 90.2 b 87.0 b 93.6 a 93.2 ab 87.2 b 94.0 a 95.2 a 89.8 a -------------------- IV (%) ------------------81.8 b 78.8 69.2 b 85.2 a 82.4 70.6 b 84.4 a 82.4 75.0 a -1 --------------- KCT (% etmal ) ------------25.9 22.2 b 23.8 c 26.3 23.1 a 24.8 b 26.1 23.1 a 25.8 a ---------------- BKKN (g) ----------------0.084 0.082 0.087 0.085 0.082 0.087 0.084 0.083 0.083
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α= 5%
Perlakuan benih dengan rizobakteri dan pemberian pupuk P masih dapat mempertahankan DB benih lebih dari 85% selama periode simpan empat bulan. Hasil ini masih memenuhi persyaratan standarisasi nasional benih jagung hibrida (BSN 2003).
58
KESIMPULAN A. Pada musim tanam I (musim hujan): 1. Penggunaan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan produktivitas benih jagung hibrida. 2. Isolat rizobakteri B42, ATS4, dan P31, dapat meningkatkan produktivitas benih jagung. 3. Perlakuan rizobakteri dapat meningkatkan mutu fisiologis benih jagung pada periode simpan empat bulan pada suhu 21 – 25oC dan RH 53 – 62%, tetapi hanya rizobakteri ATS4 yang dapat meningkatkan mutu benih setelah disimpan selama delapan bulan. B. Pada musim tanam II (musim kemarau): 1. Perlakuan pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan produktivitas benih jagung hibrida. 2. Isolat rizobakteri ATS4 mampu meningkatkan tinggi tanaman dan produktivitas benih jagung hibrida. 3. Aplikasi rizobakteri ATS4 yang diikuti dengan pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 dapat meningkatkan rendemen benih hingga 83.8%. Jadi dengan penggunaan rizobakteri dapat menghemat penggunaan pupuk P 50% dari dosis rekomendasi. 4. Rizobakteri ATS4 dan pemupukan P 100 kg SP-36 ha-1 terbaik dalam meningkatkan mutu fisiologis benih setelah empat bulan simpan pada suhu 21-25oC dan RH 53 – 62%.
PEMBAHASAN UMUM Intensifikasi dalam budidaya jagung menjadi salah satu alternatif dalam rangka peningkatan produksi jagung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk mengurangi impor. Penggunaan varietas unggul jagung hibrida yang adaptif dan produktivitasnya tinggi serta pemanfaatan unsur hara yang efisien menjadi alternatif dalam pengembangan jagung. Untuk menunjang hal tersebut, diperlukan penyediaan benih bermutu tinggi. Mutu benih menyangkut mutu genetik, mutu fisiologis, mutu fisik, dan mutu kesehatan benih (Ilyas 2012) mutlak dipenuhi dalam memproduksi benih. Untuk benih jagung hibrida kemurnian genetik harus tetap terjaga karena akan berdampak pada penampilan tanaman di lapang dan terjadi penurunan hasil. Benih jagung hibrida dituntut kemurnian genetik yang tinggi (> 98%) (BSN 2003). Pengujian kemurnian genetik varietas (verifikasi varietas) saat ini banyak menggunakan metode berdasarkan karakter morfologi. Metode ini membutuhkan waktu yang lama karena harus melalui satu siklus hidup tanaman jagung. Sementara itu industri perbenihan memerlukan metode pengujian kemurnian genetik benih yang cepat dan akurat, serta memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi. Selain itu metode penilaian berdasarkan karakter morfologi, tergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman dari petugas pemeriksa tanaman. Kekeliruan dalam menentukan kemurnian genetik mengakibatkan kerugian pada produsen benih. Dengan dirilisnya varietas jagung hibrida yang secara visual penampilan tanaman di lapang yang mirip, akan menyulitkan dalam penilaian karakter
59
morfologi. Demikian pula tanaman yang bersegregasi sangat sulit dibedakan dengan tanaman hibrida aslinya. Untuk mendeteksi kemurnian genetik tersebut, diperlukan alat bantu salah satunya adalah dengan marka simple sequence repeats (SSR). Marka SSR dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menverifikasi suatu varietas tanaman (Nunome et al. 2003) dan merupakan alat ampuh dalam menilai keanekaragaman genetik antara galur inbrida (Drinic 2012). Selain itu marka SSR digunakan dalam mencari metode cepat untuk mengetahui kualitas dan kemurnian varietas yang bersegregasi. Pada penelitian ini, teridentifikasi tiga primer yang dapat mendeteksi kemurnian hybrida Bima-3 dan Bima-4 yaitu phi 109275 yang spesifik untuk tetua hibrida Bima-4 (G180/MR-14), primer phi072 spesifik untuk tetua Bima-3 (Nei9008 dan MR-14), dan phi 328175 spesifik untuk tetua hibrida Bima-3 dan Bima-4. Kemurnian genetik varietas jagung hibrida varietas Bima-3 dan Bima-4, didapatkan untuk masing-masing 97.5% dan 80%. Pada individu tanaman yang teridentifikasi memiliki pita yang sama dengan tetua jantan, diduga terjadi percampuran selama dalam prosesing benih, sedangkan individu tanaman yang teridentifikasi memiliki pita yang sama dengan tetua betina disebabkan oleh perlakuan detaselling yang kurang akurat sehingga terjadi penyerbukan sendiri (selfing) dan juga terjadi percampuran selama dalam prosesing benih di gudang. Upaya peningkatan produktivitas dan mutu fisiologis benih jagung hibrida dapat dilakukan dengan cara aplikasi rizobakteri dan pemupukan P. Salah satu pertimbangan dalam penggunaan rizobakteri adalah kemampuannya dalam melarutkan P dalam tanah maupun yang diberikan dalam bentuk pupuk. Dari hasil uji kemampuan melarutkan fosfat, teridentifikasi enam isolat Pseudomonas kelompok fluorescens, enam isolat Bacillus, dan sembilan isolat Aktinomiset dapat melarutkan fosfat. Qureshi et al. (2012) menyatakan bahwa mikroorganisme pelarut P adalah mikroorganisme yang dapat melarutkan P yang sukar larut menjadi larut baik P yang berasal dari dalam tanah maupun dari pupuk, sehingga dapat diserap oleh tanaman. Inokulasi Bacillus spp. dapat meningkatkan tinggi tanaman, hasil, kadungan NP dalam daun, dan meningkatkan status P tersedia dalam tanah (Qureshi et al. 2012). Rizobakteri dapat menghasilkan asam organik (asam glukonat, asam 2-ketogluconic, asam glioksilat, asam sitrat, asam malat, asam laktat, dan lainnya) yang berfungsi untuk melarutkan fosfat dan menurunkan pH di sekitar sel (Maliha et al. 2004; Khan et al. 2006). Dalam menggunakan bakteri sebagai biofertilizer maupun sebagai biopestisida, sebaiknya dilakukan pengujian patogenitas bakteri terhadap tanaman, hewan, dan manusia. Pengujian pada tanaman dilakukan dengan melihat reaksi hipersensitif, jika tidak menimbulkan nekrosis pada daun tembakau, maka bakteri tersebut layak untuk digunakan pada tanaman. Pada penelitian ini, dari genus Bacillus spp., terdapat empat isolat yang menunjukkan gejala nekrosis yaitu B11, B27, B31, dan B36; dari jenis Pseudomonas kelompok fluorescens terdapat empat isolat yang menunjukkan gejala nekrosis yaitu P16, P17, dan P32; sedangkan dari genus Aktinomiset terdapat empat isolat yang menunjukkan gejala nekrosis yaitu AB4, AB10, APS12, dan ATS8. Respon hipersensitif merupakan reaksi pertahanan cepat dari tanaman terhadap patogen yang tidak kompatibel disertai dengan kematian sel yang cepat pada jaringan yang diinjeksi bakteri (Klement 1990). Gejala nekrosis terjadi disebabkan oleh hilangnya elektrolit pada daun secara cepat, selanjutnya gejala
60
nekrosis berkembang ke bagian daun lainnya dan menimbulkan gejala layu (Asrul 2005). Respon tanaman terhadap infeksi yaitu dengan mengeluarkan senyawa kimia untuk pertahanan dan menutup daerah infeksi. Sel-sel tersebut merusak dirinya sendiri sehingga terbentuk lesio atau luka pada daerah terinfeksi yang berfungsi melindungi bagian daun lainnya (Campbell et al. 2002). Karakterisasi terhadap kemampuan memproduksi IAA menunjukkan bahwa semua rizobakteri yang diuji dapat menghasilkan asam indol asetat (IAA) dengan kadar yang bervariasi. Rizobakteri dari jenis Bacillus spp. menghasilkan IAA yang tinggi hingga mencapai 14.4 μg/ml (B42) dibanding Aktinomiset dan Pseudomonas kelompok fluorescens. Perbedaan dalam memproduksi IAA tersebut tergantung pada kemampuan masing-masing isolat rizobakteri dalam mengkolonisasi perakaran tanaman (Thakuria et al. 2004). Produksi IAA oleh rizobakteri hanya akan terjadi jika konsentrasi asam amino triptofan di daerah perakaran tanaman cukup tinggi (Karnval 2009). Pada percobaan di rumah kaca, diperoleh hasil dimana isolat B28 dan B46 dapat meningkatkan indeks dan memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi dibanding kontrol. Isolat B46, B42, B13, P14, P31, AB2, AB3, AB11, ATS4, dan ATS5 dapat meningkatkan daya berkecambah dibanding kontrol. Hasil penelitian Hameda et al. (2008) mendapatkan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih jagung. Peningkatan viabilitas dan vigor benih ini diduga disebabkan terjadinya peningkatan sintesis hormon seperti IAA atau giberelin (GA3) sebagai pemicu aktivitas enzim amilase yang berperan dalam perkecambahan (Gholami et al. 2009). Isolat P34 dan P12 cenderung meningkatkan panjang akar hingga mencapai masing-masing 49.9 dan 49.1 cm dibanding kontrol (39.8 cm), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan rizobakteri B28, B46, B42, B37, B13, P14, P24, ATS4, AB3, dan AB11. Inokulasi bakteri dapat meningkatkan pertumbuhan dan panjang akar pada tanaman jagung (Hameeda et al. 2008), pada padi (Ashrafuzzaman et al. 2009; Agustiansyah et al. 2010), dan pada tomat (Sharafzadeh 2012). Tanaman merespon IAA dengan mekanisme pemanjangan akar primer, pembentukan akar lateral dan akar adventif (Leveau 2005). Patten dan Glick (2002), menyatakan bahwa IAA yang di sekresikan oleh bakteri meningkatkan pertumbuhan akar tanaman secara langsung dengan menstimulasi pemanjangan sel atau pembelahan sel. Agens hayati dalam memacu pertumbuhan dan meningkatkan produksi tanaman dapat melalui beberapa mekanisme yaitu mampu memfiksasi nitrogen, melarutkan fosfat, dan memproduksi hormon pertumbuhan tanaman seperti IAA, giberelin, dan sitokinin (Egamberdiyeva 2005; Bae et al. 2007). Leveau (2005) menyatakan bahwa tanaman merespon IAA dengan mekanisme pemanjangan akar primer, pembentukan akar lateral dan akar adventif. IAA yang di sekresikan oleh bakteri meningkatkan pertumbuhan akar tanaman secara langsung dengan menstimulasi pemanjangan sel atau pembelahan sel (Patten & Glick 2002). Pada percobaan dalam polybag, pemupukan P belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot tongkol dan bobot biji/tongkol. Hal ini diduga bahwa pada kondisi tanah dengan kandungan P tersedia yang tergolong tinggi, menyebabkan penambahan pupuk P tidak berpengaruh nyata. Suyamto (2010) menyatakan bahwa tingkat ketersediaan hara dalam tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkorelasi positif dengan hasil tanaman. Pada tanah dengan tingkat kesuburan yang tinggi,
61
pemberian pupuk akan semakin rendah dan bahkan tidak perlu lagi penambahan pupuk. Penggunaan isolat rizobakteri B42 berpotensi meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun, sementara isolat B28 berpotensi meningkatkan bobot tongkol dan bobot biji/tongkol. Hal ini diduga karena pengaruh langsung dari rizobakteri yang mampu menghasilkan hormon pengatur pertumbuhan dan mampu membantu melarutkan fosfat. Pada musim tanam I (MH) produktivitas benih jagung yang diperoleh lebih rendah rata-rata berkisar antara 0.77 t ha-1 hingga 1.33 t ha-1, dibanding produktivitas benih yang dihasilkan pada musim tanam II (MK) yang rata-rata berkisar antara 2.43 t ha-1 hingga 3.2 t ha-1. Hal ini disebabkan karena keluarnya bunga jantan pada tanaman jantan tidak serempak dan lebih lambat dibanding bunga betina pada tanaman betina, sehingga tidak terjadi sinkronisasi penyerbukan yang menyebabkan gagalnya polinasi. Gagalnya polinasi mengakibatkan tidak terbentuknya biji sehingga banyak tongkol yang tidak terisi penuh. Interval waktu antara keluarnya bunga jantan dan bunga betina atau anthesis silking interval (ASI) adalah hal yang penting dalam keberhasilan penyerbukan. Dahlan (2001), semakin tinggi nilai ASI semakin rendah hasil karena tidak terjadi sinkronisasi berbunga. Nilai ASI -1.0 sampai +3.0 hari memberikan hasil maksimal pada jagung. Subekti et al, (2007) menyatakan bahwa nilai ASI yang kecil menunjukkan terdapat sinkronisasi pembungaan, yang berarti peluang terjadinya penyerbukan sempurna sangat besar. Semakin besar nilai ASI semakin kecil sinkronisasi pembungaan dan penyerbukan terhambat sehingga menurunkan hasil. Fonseca (2004) menyatakan bahwa salah satu cara agar produksi benih hibrida dapat berhasil adalah dengan meningkatkan sinkronisasi tersebarnya tepungsari dari tetua jantan dan keluarnya rambut tongkol yang siap diserbuki pada tetua betina. Untuk mengantisipasi hal tersebut dilakukan penyerbukan secara manual dengan mengambil polen dari bunga jantan yang telah mekar yang ditanam empat dan lima hari lebih awal dari tanaman betina dan diserbukkan ke bunga betina. Isolat ATS4 dan B42 mampu menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibanding isolat lainnya pada musim tanam I (MH), namun pada MK produktivitas benih dengan perlakuan isolat B42 lebih rendah dibanding isolat ATS4. Hal ini berkaitan dengan daya adaptasi dari masing-masing isolat terhadap lingkungan rizosfer. Aktinomiset mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder dengan beragam fungsi seperti antimikrob, inhibitor enzim, dan enzim pendegradasi bahan organik. Senyawa antimikrob yang dihasilkan, dapat menghambat pertumbuhan patogen tular tanah (Lestari 2006). Genus Streptomyces spp. merupakan bakteri gram positif yang berspora dan tahan terhadap kondisi kering dan panas (Emmert dan Handelsman 1999). Lingkungan rizosfir yang dinamis dan kaya akan sumber energi dari senyawa organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman (eksudat akar) merupakan habitat bagi berbagai jenis mikroba untuk berkembang dan sekaligus sebagai tempat pertemuan dan persaingan mikroba. Tiap tanaman mengeluarkan eksudat akar dengan komposisi yang berbeda-beda sehingga berperan juga sebagai penyeleksi mikroba, meningkatkan perkembangan mikroba tertentu, dan menghambat perkembangan mikroba lainnya (Husen et al. 2008). Semakin banyak eksudat akar, akan semakin besar jumlah dan keragaman mikroba. Ketersediaan fosfor dalam tanah adalah fenomena yang kompleks yang dipengaruhi oleh tanah dan tanaman (Barber 1995). Pada penelitian di polybag,
62
tanah yang digunakan mengandung P tersedia tergolong tinggi (Lampiran 5), yang diduga menyebabkan tanaman tidak respon terhadap pemupukan P. Namun berbeda dengan pernyataan Kolawole (2010), dimana tanah yang mengandung P tersedia tergolong tinggi juga membutuhkan pupuk P yang tinggi untuk mendapatkan hasil jagung optimal. Hal ini diduga adanya fiksasi oleh Ca dan atau Fe, sehingga P tidak tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk ion fosfat, terutama H2PO4- dan HPO42- yang terdapat dalam larutan tanah. Ion H2PO4- lebih banyak dijumpai pada tanah yang lebih masam, sedangkan pada pH yang lebih tinggi (>7) bentuk HPO42- lebih dominan. Di samping ion-ion tersebut, tanaman dapat menyerap P dalam bentuk asam nukleat, fitin, dan fosfohumat (Hanafiah 2007). Pada penelitian lapang yang dilakukan selama dua musim tanam, aplikasi pupuk P 100 kg SP-36 ha-1 mampu mencapai produktivitas tertinggi dan dapat menghemat penggunaan pupuk SP-36. Pada tanah dengan kandungan P tersedia rendah – sedang, penggunaan pupuk P cukup dengan 100 kg SP-36 ha-1. Tanaman menyerap fosfor sesuai dengan kebutuhannya. Tanaman yang terlalu banyak menyerap fosfor akan memperpendek umur tanaman. Semakin besar fosfor tersedia bagi tanaman, semakin besar pula fosfor yang dapat diserap oleh tanaman (Setyanti 2013). Unsur P merupakan salah satu faktor yang menunjang berjalannya proses fotosintesis. Menurut Zulaikha dan Gunawan (2006), apabila tanaman kekurangan fosfor maka hasil fotosintesis yang berupa glukose tidak dapat disintesis menjadi sukrosa dan diedarkan ke suluruh bagian tanaman melalui floem sehingga pertumbuhan terhambat. Secara umum pada percobaan di lapang, baik pada musim tanam pertama (musim hujan) maupun pada musim tanam kedua (musim kemarau) menunjukkan terjadinya peningkatan pertumbuhan tanaman dan produktivitas, serta penurunan penggunaan pupuk P di lapang. Hal tersebut diduga disebabkan adanya pengaruh aktivitas rizobakteri yang digunakan. Rizobakteri ATS4 dan B42 mampu menghasilkan hormon pengatur tumbuh seperti IAA (Thakuria et al. 2004; Karnwal 2009; Agustiansyah 2010; Yusepi 2011) dan mampu melarutkan fosfat sehingga tersedia bagi tanaman (Gray dan Smith 2005; Mehvraz dan Chaichi 2008; Rao 2007; Prihartini 2009). Proses pemacuan tumbuh tanaman dimulai dari keberhasilan rizobakteri dalam mengkolonisasi rizosfir (Bhatnagar dan Bhatnagar 2005; Thakuria 2004). Indole acetic acid (IAA) merupakan hormon pada tumbuhan yang mengendalikan berbagai proses fisiologi berupa pembelahan dan perkembangan sel, diferensiasi jaringan serta respons terhadap cahaya dan gravitasi (Salisbury & Ross 1992). IAA disintesis dalam berbagai bagian tubuh tanaman yang sedang aktif tumbuh dan berkembang seperti pada meristem ujung tunas, ujung akar, dan kambium. Selain itu juga disebabkan oleh aktivitas rizobakteri dalam meningkatkan ketahanan sistemik tanaman terhadap patogen. Rizobakteri ATS4 dan B42 menghasilkan kitinase yang tinggi (Budiman 2012), yang berfungsi untuk melawan patogen. Chompant et al. (2005) melaporkan bahwa kitinase yang diproduksi oleh Serratia marcescens digunakan untuk melawan Sclerotium rolsfii. Kitinase dan laminarinase yang disintesis oleh Pseudomonas stutzeri berfungsi menghancurkan dan melisis miselia Fusarium solani. Jha et al. (2009) melaporkan bahwa IAA yang dihasilkan oleh Pseudomonas spp. juga dapat menunjukkan aktivitas melawan penyakit pada tanaman.