i
PENINGKATAN VIABILITAS SERBUK SARI JAGUNG DENGAN PEMUPUKAN NPK DAN BORON, DAN PEMANFAATANNYA DALAM PRODUKSI BENIH HIBRIDA
DWI PANGESTI HANDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Dwi Pangesti Handayani NIM A251090011
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ii
RINGKASAN DWI PANGESTI HANDAYANI. Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan SUTARDJO. Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi target swasembada. Pencapaian target swasembada dilakukan dengan peningkatan produksi dan penggunaan benih hibrida. Upaya ini terkendala oleh rendahnya produksi benih F1 akibat produksi serbuk sari yang rendah, masa viabilitas serbuk sari yang singkat dan sinkronisasi penyerbukan yang tidak tepat. Oleh karena itu, usaha peningkatan produktivitas F1 dapat dilakukan melalui peningkatan produksi dan masa viabilitas serbuk sari dengan pemupukan NPK dan boron serta pengelolaan serbuk sari untuk penyerbukan terkontrol. Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan Puspiptek, dan Laboratorium Teknologi Benih BPPT, Serpong mulai bulan April hingga November 2013. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yaitu (1) pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap produksi dan viabilitas serbuk sari dan (2) studi pengaruh suhu dan lama penyimpanan serbuk sari terhadap produksi benih jagung hibrida. Benih yang digunakan pada percobaan pertama adalah tetua jantan jagung hibrida Bima 3 (galur M14). Percobaan disusun menggunakan rancangan petak terbagi (split plot) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah dosis NPK terdiri atas 0, 300 dan 600 kg ha-1. Faktor kedua adalah dosis boron terdiri atas 0, 1, 2, 3 kg ha-1. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa NPK meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%), jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari. Aplikasi boron meningkatkan jumlah daun, jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari. Pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari. Percobaan kedua diawali dengan penanaman tetua jantan Bima 3 (galur Mr14) menggunakan pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 untuk produksi dan penyimpanan serbuk sari. Tetua betina Bima 3 (Nei9008) digunakan untuk mengevaluasi potensi serbuk sari yang telah disimpan dalam produksi benih hibrida. Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok faktorial dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah suhu penyimpanan yaitu -20 oC dan -40 oC, sedangkan faktor kedua adalah lama penyimpanan yaitu 0, 1, 2 dan 3 minggu setelah penyimpanan (MSP). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa suhu penyimpanan -20 oC dan -40 oC dapat mempertahankan viabilitas serbuk sari di atas 85% berdasarkan pewarnaan menggunakan I2KI. Meskipun demikian, serbuk sari yang telah disimpan tidak efektif untuk produksi benih hibrida karena pembentukan benih yang sangat rendah. Benih yang berasal dari serbuk sari yang telah disimpan memiliki daya berkecambah yang rendah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh yang lebih lambat dibandingkan benih dari serbuk sari segar. Keywords: Bima 3, penyerbukan terkontrol, penyimpanan serbuk sari, tetua betina, tetua jantan
iii
SUMMARY DWI PANGESTI HANDAYANI. Increasing Maize Pollen Viability with NPK and Boron, and Its Utilization in Hybrid Seed Production. Supervised by ENDAH RETNO PALUPI and SUTARDJO. Maizeis one of food crops targeted to be self-sufficient in 2014, thus production should be increased to meet the demand. One way of increasing the production is use of hybrid seeds which is not always available for farmers due to low seed production of F1 hybrid. The low production of the F1 hybrid is hindered by the low pollen production, short pollen viability, and unsynchronized flowering of male and female parents. Therefore, increasing pollen viability as well as prolong storability of the pollen using NPK and boron would ensure the availability of pollen for hybrid seed production. The research was conducted in the experimental station of Puspiptek and Seed Technology and Agro-Industrial and Biomedical Development (Laptiab) laboratory, BPPT, Serpong. The research was carried out during April to November 2013, consisted of two experiments to study the effect of NPK and boron on pollen production and viability; and to investigate the effect of temperature and prolonged storage of pollen on maize hybrid seed production. The male parent of hybrid maize Bima 3 (strain M14 ) was used in the first experiment that was arranged in split plot design with three replicates. The main plot was dosage of NPK i.e. 0, 300 and 600 kg ha-1. The sub plot was dosage of boron i.e. 0, 1, 2, 3 kg ha-1. The result showed that NPK increased plant height and number of leaves, shorten the time of emergence of tassel (J50%), increased the number of spike per tassel, spike length and pollen viability. Application of boron increased the number of spike per tassel, lengthened the spike and increased pollen viability. NPK 600 kg ha-1 and boron 3 kg ha-1 increased the number of spike per tassel, spike length, and pollen viability. In the second experiment NPK 600 kg ha-1 and boron 3 kg ha-1 was applied to produce pollen of M14 and then stored and used for hybrid seed production. The female parent of Bima 3 (Nei9008) was used to evaluate if stored pollen was potentially beneficial for hybrid seed production. The experiment was arranged in completely randomized design with two factors and three replicates. The first factor was storage temperature i.e. -20 °C and-40 °C, and the second factor was storage period i.e. 0, 1, 2 and 3 weeks after storage (WAS). The results showed that both the storage temperature -20 °C and -40 °C were able to maintain the pollen viability above 85% for 3 WAS based on I2KI stain. However, the stored pollen was not effective for hybrid seed production due to very low seed set. Seeds obtained from stored pollen had lower germination percentage, vigor index and germinated slower than those obtained from fresh pollen. Keywords: male parent, female parent, Bima 3, pollen storage, controlled pollination
iv
v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2014 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
vi
vii
PENINGKATAN VIABILITAS SERBUK SARI JAGUNG DENGAN PEMUPUKAN NPK DAN BORON, DAN PEMANFAATANNYA DALAM PRODUKSI BENIH HIBRIDA
DWI PANGESTI HANDAYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
Penguji luar komisi : Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MSc Agr
ix
Judul Tesis
Nama NIM Program Studi
: Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida : Dwi Pangesti Handayani : A251090011 : Ilmu dan Teknologi Benih
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc Ketua
Ir. Sutardjo, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian : 21 Februari 2014
Tanggal Lulus :
Judul Tesis
Nama
NIM Program Studi
: Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida : Dwi Pangesti Handayani : A251090011 : Ilmu dan Teknologi Benih
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
H
~~~:V
Dr. 117. Endah Retno Palupi, MSc / Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
D r # a l U P i , MSc
Tanggal Ujian : 21 Februru12014
Tanggal Lulus:
2 8 FEB 2014
x
xi
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridhoNya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul ”Peningkatan Viabilitas Serbuk Sari Jagung dengan Pemupukan NPK dan Boron, dan Pemanfaatannya dalam Produksi Benih Hibrida” dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc dan Bapak Ir. Sutardjo, MS selaku komisi pembimbing atas dukungan, arahan dan masukan selama penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Memen Surahman, MscAgr selaku penguji luar komisi atas saran dan masukan dalam ujian tesis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS yang telah memberikan arahan dan semangat selama penulis menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pasca Sarjana IPB. Penghargaan disampaikan kepada Direktur Pusat Tekonologi Produksi Pertanian (PTPP), BPPT yang telah memberikan izin dan dukungan dalam tugas belajar dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPPT atas beasiswa Program Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan (PPKP) yang diberikan pada penulis. Kepada staf dan teknisi PTPP di Laboratorium Pengembangan Industri Agro dan Biomedika (Laptiab), BPPT atas bantuan dan saran selama penelitian berlangsung. Terima kasih kepada seluruh keluarga benih Angkatan 2009-2011. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada keluarga Basir dan Darto Mulyono, suami dan kedua putri tercinta atas segala pengorbanan, semangat, doa dan kasih sayangnya yang tak terhingga. Semoga karya ini bermanfaat dan bernilai kebaikan bagi penulis.
Bogor, 27 Februari 2014 Dwi Pangesti Handayani
xii
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan
1 3
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K) Boron (B) Pengelolaan Serbuk Sari Pengujian Viabilitas Serbuk Sari dan Penyerbukan Terkontrol
3 4 6 6 8
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Penelitian Metode Penelitian Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk Sari terhadap Produksi Benih Jagung Hibrida HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Pembahasan Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk Sari terhadap Produksi Benih Jagung Hibrida
9 9 9 9 11
14 16 22
KESIMPULAN DAN SARAN
28
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
38
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Data klimatologi di lokasi penelitian pada bulan AprilOktober 2013
14
Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif, generatif, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14)
16
Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap tinggi tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14)
17
Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3 (Mr14)
18
Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50% bunga jantan (J50%) tetua jantan Bima 3 (Mr14)
19
Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah generatif tetua jantan Bima 3 (Mr14)
21
Pengaruh interaksi pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14)
22
Rekapitulasi analisis ragam pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, dan produksi benih jagung hibrida Bima 3
23
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, jumlah benih per tongkol, dan bobot 100 butir benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol
24
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol
25
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah kecambah normal, abnormal, benih mati/busuk dan daya berkecambah benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol
26
xv
12.
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol
26
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keragaan antera dalam satu spikelet, pengamatan jumlah serbuk sari per spikelet, serbuk sari viabel dan tidak viabel pada pengujian pewarnaan menggunakan I2KI
11
Keragaan tanaman tetua jantan Bima 3 dan morfologi bunga jantan tanaman tetua jantan Bima 3
15
Keragaan tanaman tetua betina Bima 3 dan morfologi bunga betina tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008)
15
Morfologi tongkol jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC dan -40 oC
25
Morfologi benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol dengan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC dan -40 oC
26
Morfologi kecambah penyerbukan terkontrol
27
jagung
hibrida
Bima
3
hasil
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Deskripsi Varietas Bima 3
33
2.
Deskripsi Galur Tetua Jantan Bima 3 (Mr14)
34
3.
Deskripsi Galur Tetua Betina Bima 3 (Nei9008)
35
4.
Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Percobaan
36
5.
Data Klimatologi di Lokasi Penelitian pada Bulan April – Oktober 2013
37
`
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang menjadi target swasembada dalam program Pembangunan Pertanian Jangka Menengah 20102014. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pakan ternak (>55%), pangan (30%), kebutuhan industri lainnya (Kasryno et al. 2007) yang belum dapat dicukupi akibat kurangnya produksi jagung nasional. Produksi jagung pada tahun 2011 dan 2012 ditargetkan sebesar 21.9 dan 24.1 juta ton (Ditjen Tanaman Pangan 2010) namun hanya tercapai sebesar 17.6 dan 19.4 juta ton (BPS Indonesia 2012). Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada tahun 2011 pemerintah melakukan impor jagung sebesar 3.2 juta ton. Rendahnya penggunaan benih jagung hibrida adalah salah satu sebab belum tercapainya target yang ditetapkan sehingga pemerintah melakukan program revitalisasi perbenihan. Salah satu kebijakan dalam revitalisasi perbenihan adalah meningkatkan penggunaan benih jagung hibrida dan mendorong kemitraan dengan swasta, penangkar benih dan petani. Pada tahun 2014, diharapkan penggunaan benih jagung hibrida mencapai 75% dari kebutuhan, yaitu meningkat 21% dari tahun 2009 yang hanya sebesar 54% (Ditjen Tanaman Pangan 2010). Kebijakan ini perlu didukung dengan kemampuan produksi benih jagung hibrida dan pengendalian harga benih hibrida yang terjangkau. Harga tetua benih hibrida yang mahal dan rendahnya produktivitas F1 (berkisar 1.0 ton/ha) menyebabkan minat petani untuk menjadi penangkar benih rendah (Fadly et al. 2010), sehingga penggunaan benih lokal kembali meningkat akibat permintaan benih hibrida yang tidak terpenuhi. Kebutuhan benih jagung di Indonesia saat ini mencapai 92.000 ton dan baru setengahnya yang dapat dipenuhi oleh produsen benih di Indonesia (Lazarde & Ramadhani 2011). Data terakhir menunjukkan impor benih jagung Indonesia tahun 2012 mencapai 1.650 ton atau senilai US$ 5.28 juta (BPS 2012). Peningkatan produksi benih jagung hibrida terkendala oleh adanya tetua jantan yang mempunyai kemampuan produksi serbuk sari yang rendah, masa viabilitas serbuk sari yang singkat dan waktu antesis-silking yang tidak sinkron dengan tetua betina (Fadly et al. 2010). Jagung hibrida dibentuk dari persilangan dua galur (tetua) yang memiliki potensi berbeda. Mejaya et al. (2007) menyatakan bahwa hibrida akan memberikan hasil yang tinggi apabila populasi sumber galur mempunyai potensi hasil yang tinggi. Pemupukan yang optimal diduga mampu meningkatkan produksi dan viabilitas serbuk sari. Peningkatan produktivitas tanaman tidak lepas dari ketersediaan unsur makro Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K). Nitrogen berperan dalam penyusunan protein dan asam nukleat dengan rekomendasi untuk pertumbuhan optimum tanaman jagung sebesar 152 kg ha-1 (Syafuddin & Zubachtirodin 2010). Fosfor dibutuhkan untuk perkembangan dan pemasakan buah serta sintesis karbohidrat. Kebutuhan fosfor untuk pertumbuhan optimal jagung yang ditanam pada tanah dengan kadar P tersedia rendah adalah 90 kg ha-1 P2O5 (Novriani 2010; Shapiro et al. 2008). Kalium berfungsi sebagai stimulator pada pertumbuhan awal tanaman, meningkatkan produksi protein, memperbaiki efisiensi penggunaan air, memperbaiki keragaan tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Kumar et al.
2
2006). Pemupukan NPK (15-15-15) dosis 600 kg ha-1 pada jagung Sukmaraga menghasilkan produktivitas tertinggi (Herniwati & Tandisau 2009). Boron merupakan salah satu unsur hara mikro esensial pada tanaman yang berperan dalam perkecambahan serbuk sari, proses pembungaan dan pembuahan, penyerapan air, metabolisme karbohidrat dan nitrogen, sirkulasi hormon serta penyerapan kation Ca (Meena 2010). Kekurangan boron memicu stres pada tanaman dan pada jagung kekurangan boron dapat menyebabkan serbuk sari tidak viabel sehingga pembuahan terganggu (Syukur 2005; Lordkaew 2010). Boron meningkatkan perkecambahan serbuk sari pistachio (Acar et al. 2010); meningkatkan produktivitas brokoli dan tomat (Firoz et al. 2008; Meena 2010). Jagung termasuk tanaman yang membutuhkan boron dalam jumlah kecil (1 kg ha1 ) (Barker & Pilbeam 2007). Kebijakan peningkatan produksi benih jagung hibrida juga diarahkan pada pengembangan teknologi budidaya spesifik lokasi dan pengembangan kemitraan dengan penangkar benih (Ditjen Tanaman Pangan 2010). Sistem kemitraan menjamin ketersediaan lahan, frekuensi produksi per tahun dan ketersediaan tenaga kerja (Sobir et al. 2010). Namun demikian sistem ini mengharuskan pemulia menyerahkan benih tetua jantan dan betina kepada petani mitra. Di sisi lain, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) para pemulia juga harus dilindungi agar tidak terjadi pencurian plasma nutfah yang sedang dikembangkan. Oleh karena itu penelitian mengenai penyimpanan serbuk sari jagung menjadi penting sehingga petani mitra hanya menanam tetua betina, sedangkan tetua jantan disediakan dalam bentuk sediaan serbuk sari oleh pemulia. Sediaan serbuk sari merupakan plasma nutfah yang telah banyak digunakan dalam penyerbukan terkontrol. Di Indonesia, penelitian tentang penggunaan sediaan serbuk sari untuk produksi benih telah dilakukan pada kelapa sawit (Widiastuti & Palupi 2008), cucurbitaceae (Fariroh et al. 2011), dan melon (Agustin 2013). Penggunaan sediaan serbuk sari jagung untuk penyerbukan terkontrol memiliki peluang yang cukup baik namun terkendala oleh viabilitas. Masa viabilitas serbuk sari jagung sangat singkat dan dipengaruhi suhu dan kelembaban selama pembungaan. Penurunan viabilitas serbuk sari pada lingkungan dengan suhu rendah dan kelembaban tinggi mencapai 58%, namun pada lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah penurunan mencapai 96% setelah satu jam dan 100% tidak viabel setelah dua jam (Luna et al. 2001). Keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh jumlah dan viabilitas serbuk sari yang tinggi (Davarynejad et al. 2008). Suhu merupakan faktor penting untuk mempertahankan viabilitas serbuk sari. Penyimpanan serbuk sari Annona cherimoya Mill pada suhu -20 oC, -40 oC, dan -196 oC mampu mempertahankan viabilitas serbuk sari selama tiga bulan masing-masing sebesar 10.4%, 14.2% and 13.6% dari viabilitas serbuk sari segar 57.1% dan tetap menghasilkan produksi yang sama dengan serbuk sari segar pada penyerbukan terkontrol (Lora et al. 2006). Penyimpanan serbuk sari mentimun dalam ultra freezer (-79 +1 oC) dapat mempertahankan viabilitas di atas 1% hingga 12 minggu (Fariroh et al. 2011). Produksi serbuk sari yang rendah dan masa viabilitas serbuk sari jagung yang singkat menyebabkan perlunya peningkatan produksi dan viabilitas serbuk untuk menjamin ketersediaannya dalam produksi benih hibrida. Berdasarkan permasalahan di atas penggunaan NPK dan boron perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi dan viabilitas serbuk sari. Selain itu perlu dilakukan
3
penelitian mengenai penyimpanan serbuk sari dan potensinya dalam produksi benih hibrida. Tujuan 1. Mendapatkan dosis NPK dan boron optimum untuk meningkatkan produksi dan viabilitas serbuk sari tetua jantan jagung hibrida Bima 3 2. Mendapatkan suhu penyimpanan optimal untuk mempertahankan viabilitas serbuk sari 3. Mendapatkan gambaran potensi serbuk sari yang sudah disimpan dalam produksi benih jagung hibrida
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung Jagung merupakan serealia utama yang diproduksi paling besar di dunia sebelum gandum dan padi dan merupakan famili Poaceae. Jagung memiliki perakaran serabut yang terdiri atas tiga macam akar yaitu akar seminal, akar adventif dan akar kait/penyangga (Subekti et al. 2007). Sistem perakaran mencapai kedalaman optimum pada pertengahan fase reproduksi, sekitar 80-90 hari setelah tanam dengan kedalaman umumnya 1-2 meter (Farnham et al. 2003). Batang tanaman jagung berbentuk silindris, tegak, tidak bercabang dan terdiri atas beberapa ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol produktif (Subekti et al. 2007). Daun jagung terdiri atas helaian daun, ligula dan pelepah daun yang melekat erat pada setiap buku ruas batang dengan posisi bertingkat dan saling berlawanan (Subekti et al. 2007; Farnham et al. 2003). Daun jagung tumbuh setiap 3-4 hari sekali sampai bunga jantan keluar yang menandakan bahwa pertumbuhan vegetatif telah optimum dengan tinggi tanaman mencapai 1.5-3.5 meter. Tanaman jagung dapat menghasilkan 20-21 helai daun namun hanya 14-15 daun yang terhitung selama fase vegetatif karena daun pada bagian bawah rusak oleh pertumbuhan ruas atau pemanjangan buku ruas (Farnham et al. 2003). Jagung merupakan tanaman semusim dengan bunga jantan dan bunga betina berada dalam satu tanaman (monoecius/berumah satu) namun letak bunganya terpisah antara satu dengan yang lain (diklin). Bunga jantan (tassel) terletak di ujung tanaman sedangkan bunga betina (tongkol) berada di antara buku ruas pada batang tanaman. Bunga jantan (tassel) pada tanaman jagung yang vigor dapat menghasilkan 2-5 juta serbuk sari, sedangkan pada bunga betina (tongkol) dapat menghasilkan 700-1000 rambut tongkol. Meskipun kedua bunga ini fertil, jagung mengalami penyerbukan silang dengan bantuan angin. Bunga jantan umumnya matang lebih dahulu dibandingkan bunga betina dan secara alami akan segera diterbangkan angin untuk fertilisasi. Matangnya serbuk sari dapat berlangsung dalam 1-2 hari hingga satu pekan tergantung pada suhu, kelembaban, pergerakan angin dan genotipe. Bunga betina akan matang setelah muncul rambut dari tongkol. Data di lapang menunjukkan bahwa bunga betina akan masak dalam
4
5-6 hari setelah munculnya rambut dari tongkol jagung. Perbedaan waktu keluarnya serbuk sari dan masa reseptif bunga betina ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang pada tanaman jagung (Farnham et al. 2003). Jagung hibrida Bima 3 merupakan hibrida silang tunggal hasil perkawinan antara betina Nei9008 dengan jantan Mr 14. Galur betina Nei9008 merupakan galur yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Serealia Maros. Tetua jantan Bima 3 (Mr14) merupakan galur murni yang berasal dari populasi Suwan 3. Tanaman tetua Bima 3 (galur Mr14) memiliki tinggi tanaman mencapai tinggi 170 cm, termasuk galur dengan umur dalam dengan waktu munculnya 50% bunga jantan + 56 hari dan masak fisiologis + 105 hari, memiliki rata-rata hasil 1.5 ton/ha dengan potensi hasil sebesar 2.5 ton/ha, serta agak tahan terhadap serangan bulai (Peronosclerospora maydis) (Lampiran 2). Tetua betina Bima 3 (Nei9008) yang merupakan galur murni Introduksi dari Departemen Pertanian Thailand dengan tinggi tanaman + 140 cm, termasuk jagung berumur dalam dengan waktu munculnya 50% bunga betina + 54 hari dengan masak fisiologis tercapai pada 100 HST. Galur ini memiliki rata-rata hasil sebesar 1.6 ton/ha dengan potensi hasil mencapai 2.8 ton/ha dan toleran terhadap penyakit bulai (P. maydis) (Lampiran 3).
Nitrogen (N), Fosfor (P) dan Kalium (K) Tanaman merupakan organisme autotropik yang mampu menggunakan energi matahari untuk membentuk komponen tubuhnya dari karbondioksida, air dan mineral/unsur hara esensial (Taiz & Zeiger 2002). Ketersediaan unsur hara dalam jumlah cukup dan seimbang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan reproduksi tanaman. Kegiatan pemupukan merupakan upaya penambahan unsur hara pada tanah guna mencukupi kebutuhan tersebut. Suatu unsur dapat dikategorikan sebagai unsur hara esensial apabila unsur tersebut dibutuhkan oleh tanaman dalam daur hidupnya, tidak dapat digantikan oleh unsur yang lain serta dibutuhkan oleh semua tanaman. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah besar dan terakumulasi 0,1% atau lebih dari berat kering jaringan yang terdiri dari nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan belerang (S). Unsur hara mikro dibutuhkan dalam jumlah kecil dan terakumulasi kurang dari 0,01% dari berat jaringan tanaman yang terdiri atas besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), boron (B), seng (Zn), molybdenum (Mo), klor (Cl) dan nikel (Ni) (Barker & Pilbeam 2007). Nitrogen merupakan unsur hara terpenting yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman dan dibutuhkan dalam jumlah paling banyak (Taiz & Zeiger 2002). Nitrogen merupakan komponen utama penyusun asam nukleat, kofaktor enzim dan membran, termasuk dalam proses metabolisme seperti pembelahan sel, fotosintesis, sintesa protein, perkembangan pucuk dan pertumbuhan akar, serta memiliki peran aktif dalam pertumbuhan vegetatif tanaman (Kiran 2006). Nitrogen menyediakan bahan utama penyusun sel tanaman yaitu asam amino dan asam nukleat dan memiliki sifat immobil. Hal ini menyebabkan defisiensi nitrogen akan dengan cepat menghambat pertumbuhan tanaman. Defisiensi nitrogen dicirikan dengan daun yang menguning atau kuning kehijauan
5
dan daun cepat gugur, sehingga mengurangi kemampuan fotosintesis, tanaman mejadi kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Taiz & Zeiger 2002). Fosfor merupakan penyusun nukleoprotein, termasuk penyusun ADP, ATP serta memiliki peran penting pada transfer energi dalam proses metabolisme (Kiran 2006; Taiz & Zeiger 2002). Fosfor merupakan komponen yang berperan penting dalam menyusun sel tanaman, sebagai pensuplai gula-fosfor pada proses respirasi dan fotosintesis (Taiz & Zeiger 2002). Defisiensi fosfor dicirikan oleh tanaman muda yang menjadi kerdil, warna hijau gelap pada daun, malformasi daun yang menyebabkan bintik nekrosis (merupakan jaringan yang mati). Beberapa spesies tanaman yang mengalami defisiensi fosfor dapat memproduksi antosianin, yang menyebabkan perubahan warna daun menjadi hijau gelap keunguan (Taiz & Zeiger 2002). Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun tubuh tanah. Unsur P berada dalam bentuk organik dan inorganik, dimana bentuk inorganik lebih banyak tersedia. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH, area kontak antara daerah presipitasi dengan larutan tanah, tingkat kelarutan dan difusi P, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe dari liat (Mosali et al. 2005). Ketersediaan P sangat dibutuhkan oleh tanaman terutama pada awal pertumbuhan saat primordial akar muncul (Barker & Pilbeam 2007) Kalium merupakan unsur hara makro yang paling banyak dibutuhkan tanaman setelah nitrogen. Kalium berperan dalam mengatur keseimbangan potensial osmotik dalam sel termasuk aktivitas enzim dalam respirasi dan fotosintesis, berpartisipasi dalam metabolisme karbohidrat, sintesis protein, mengatur fungsi stomata, mengatur akivitas unsur esensial, dan memelihara status air tanaman (Taiz & Zeiger 2002; Kumar et al. 2006; Kiran 2006). Tanaman yang mengalami defisiensi kalium akan mengalami klorosis pada tepi daun yang kemudian berkembang menjadi nekrosis (kematian jaringan), malformasi daun, dan batang tanaman menjadi rapuh dengan jarak buku yang abnormal (Prawiranata et al. 1991; Taiz & Zeiger 2002). Pada tanaman jagung, kekurangan kalium dapat menyebabkan akar menjadi tempat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan patogen akar sehingga tanaman mudah rebah (Taiz & Zeiger 2002). Balaraj (1999) melaporkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap tinggi tanaman dan jumlah buah per tanaman dengan aplikasi (N:P:K) 150:75:75 kg ha-1 pada dua varietas cabai (Byadagi kaddi dan Dyavanoor local). Satpal & Saimbhi (2003) mengamati bahwa 125 kg N ha-1 dan 60 kg P ha-1, memberikan hasil yang signifikan dalam mempercepat masa panen brinjal (terong). Pemupukan NPK (15-15-15) dosis 600 kg ha-1 pada jagung Sukmaraga menghasilkan produktivitas tertinggi (Herniwati & Tandisau 2009).
Boron (B) Dinding sel merupakan faktor penentu ukuran dan bentuk sel tanaman selama pertumbuhannya yang dipengaruhi oleh komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan polisakarida. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dinding sel mengandung hampir 90% dari total boron dalam sel tanaman (Loomis
6
& Durst 1992; Blevins & Lukaszewski 1998). Meskipun fungsi detail boron pada metabolisme tanaman belum jelas, beberapa kejadian menunjukkan bahwa boron berperan penting dalam menstabilkan dinding sel tanaman, perkembangan dan pertumbuhan sel-sel baru pada jaringan merismatik, pembungaan dan perkembangan buah, translokasi karbohidrat sintesis asam amino, respon hormon dan fungsi membran (Tisdale et al. 1985; Taiz & Zeiger 2002). Pada sistem metabolisme tanaman, boron diserap tanaman melalui xylem kemudian bergerak menuju tajuk oleh pengaruh transpirasi dan pertumbuhan tanaman. Setelah boron digunakan dalam proses metabolisme pada tajuk, selanjutnya boron ditranslokasikan menuju jaringan apoplast pada pertumbuhan reproduktif dan vegetatif tanaman. Hal ini menyebabkan boron menjadi unsur hara yang immobil pada floem dengan gejala defisiensi pertama-tama terlihat pada pucuk-pucuk muda yang selanjutnya diikuti oleh kematian daun-daun muda (Shelp et al 1995; Blevins & Lukaszewski 1998; Taiz & Zeiger 2002). Boron berpengaruh pada perkecambahan serbuk sari, pembungaan dan fruit set pada tanaman. Pertumbuhan serbuk sari yang cepat tergantung pada perpaduan yang konstan dari vesikel dalam membentuk plasmalema dan sekresi secara berkesinambungan dari material diding sel (Blevins & Lukaszewski 1998). Suplai boron yang terus menerus dan cukup diperlukan untuk pertumbuhan tabung serbuk sari dan diduga boron adalah pengkompleks bahan-bahan seluler selama proses pemanjangan tabung serbuk sari (Visser 1995), serta merangsang ATPase plasmalemma pada pollen (Obermeyer et al. 1996). Gejala kekurangan boron tampak sebagai gejala fisiologis yang dipengaruhi oleh sistem transport dan distribusi boron yang dikontrol oleh akar. Gejala defisiensi boron tampak berupa bercak hitam pada bagian dasar daun muda dan tunas pucuk, batang yang kaku dan rapuh, nekrosis pada cabang (Barker & Pilbeam 2007), sterilitas dan malformasi bunga pada berbagai jenis tanaman dikotil dan monokotil, ketidakteraturan dinding sel serta terhambatnya pertumbuhan tanaman (Taiz & Zeiger 2002). Kebutuhan boron pada saat pertumbuhan reproduktif lebih tinggi daripada pertumbuhan vegetatif dimana boron memiliki pengaruh yang nyata terhadap kualitas hasil dan produksi buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, dan gabah (Blevins & Lukaszewski 1998). Aplikasi 20 kg boraks/ha pada tanaman tomat memberikan nilai peubah berat 1000 butir benih dan persentase perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan aplikasi 10 kg boraks/ha (Sharma 1995). Perlakuan 20 kg boron/ha pada cabai menghasilkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol (Sharma 1999). Perbedaan yang signifikan juga ditunjukkan pada jumlah buah per tanaman (29.2), berat buah (61.29 g), dan produktivitas buah (194.0 ku ha-1) yang diperoleh dengan aplikasi boraks pada tanah (15 kg ha-1) bersama dengan NPK yang direkomendasikan dibandingkan dengan NPK secara tunggal pada tanaman tomat (Reddy et al. 1985).
Pengelolaan Serbuk Sari Salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam konservasi genetik dan produksi benih bermutu tinggi adalah penggunaan serbuk sari. Menurut Wang et
7
al. (1993) keuntungan penggunaan serbuk sari sebagai sumber genetik adalah dapat disimpan dalam waktu lama, memudahkan dalam penyerbukan silang terkontrol, mudah dibekukan, dikirim dan direhidrasi, lebih ekonomis dalam penyimpanan sehingga memungkinkan penyimpanan serbuk sari dari berbagai populasi tanaman. Penyimpanan serbuk sari merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan serbuk sari serta melestarikan plasma nutfah dalam penyerbukan terkontrol. Di Indonesia penelitian terhadap penggunaan sediaan serbuk sari untuk produksi benih telah dilakukan pada kelapa sawit (Widiastuti & Palupi 2008), mentimun (Fariroh et al. 2011), dan melon (Agustin 2013). Saat ini teknologi pengelolaan serbuk sari telah banyak dimanfaatkan produsen benih di negara maju. Pengelolaan serbuk sari yang baik mampu menjamin kesinambungan produksi benih, memelihara keamanan genetik dari pencurian plasma nutfah dan merupakan upaya bagi konservasi tanaman langka. Pada produksi benih jagung hibrida umumnya perusahaan produsen benih bekerjasama dengan petani mitra dengan menanam tetua jantan dan betina di lahan petani serta melakukan pendampingan. Namun demikian seiring meningkatnya pengetahuan petani akan memperbesar resiko pencurian plasma nutfah dan pemalsuan benih. Penggunaan serbuk sari sebagai sumber genetik telah diketahui memiliki keberhasilan tinggi. Saat ini pemeliharaan plasma nutfah jagung di Indonesia umumnya dilakukan dalam bentuk benih dari induksi variasi genetik maupun keragaman somaklonal, namun menurut Zhang et al. (1994) konservasi plasma nutfah jagung di negara maju telah dilakukan baik melalui benih, kalus, protoplas dan serbuk sari pada nitrogen cair. Viabilitas serbuk sari dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kadar air sebelum penyimpanan. Beberapa penelitian menunjukkan kerusakan fisiologis yang terjadi selama penyimpanan disebabkan oleh kadar air sebelum simpan yang tidak optimal. Pada kasus serbuk sari rekalsitran umumnya terdapat ambang batas minimum kadar air untuk menjaga viabilitas serbuk sari agar tidak turun secara tiba-tiba dimana pada jagung diketahui pada kadar air 28% (Fonseca & Westgate 2005). Penurunan kadar air serbuk sari untuk tujuan penyimpanan dapat dilakukan pada kisaran 10-25% (Barnabas & Rajki 1976) namun demikian penurunan kadar air ini akan sangat menurunkan viabilitas serbuk sari. Penurunan kadar air merusak keseimbangan sel sebab keberadaan air pada serbuk sari berfungsi menjaga mekanisme struktural, fisiologis dan molekuler selama dehidrasi dan rehidrasi pada exine dan vakuola serta melindungi komponen protein dan membrane sel dibawah tekanan stress lingkungan (Firon et al. 2012). Suhu merupakan faktor penting untuk mempertahankan viabilitas serbuk sari. Penyimpanan serbuk sari Annona cherimoya Mill pada suhu -20 oC, -40 oC, dan -196 oC mampu mempertahankan viabilitas serbuk sari selama tiga bulan masing-masing sebesar 10.4%, 14.2% and 13.6% dari viabilitas serbuk sari segar 57.1% dan tetap menghasilkan produksi yang sama dengan serbuk sari segar pada penyerbukan terkontrol (Lora et al. 2006). Penyimpanan serbuk sari cucurbitaceae selama 48 minggu pada suhu -30 oC mampu mempertahankan viabilitas serbuk sari dan menghasilkan persentase perkecambahan yang sama dengan serbuk sari segar (Perveen & Ali 2011).
8
Pengujian Viabilitas Serbuk Sari dan Penyerbukan Terkontrol Pada family Poaceae, jagung merupakan spesies dengan ukuran serbuk sari terbesar yaitu diameter equatorial 90-125 x diameter polar 85 mikron. Serbuk sari jagung berbentuk monoporate dan menyerupai bola dengan sedikit menonjol. Volume serbuk sari jagung sekitar 700 x 10-9 cm3 dengan berat 250 x 10-9 g. Karena ukurannya yang besar, meskipun dibantu angin dan gravitasi serbuk sari jagung umumnya hanya dapat melakukan perjalanan jarak pendek. Kecepatan terbang serbuk sari jagung berkisar 30.95 cm detik-1 (Erdtman 1952). Serbuk sari merupakan plasma nutfah yang berharga untuk pemuliaan dan hanya berasosiasi dengan sedikit penyakit dibandingkan material genetik yang lain. Tidak terdapat invertebrata, bakteri, phytoplasma atau spiroplasma yang tertular melalui serbuk sari. Hanya sejumlah kecil cendawan patogen yang berasosiasi dengan serbuk sari pada beberapa inang tertentu (Card et al. 2007). Informasi tentang kemampuan serbuk sari untuk berkecambah ketika mencapai stigma sangat diperlukan untuk menilai produktivitas tanaman. Metode untuk menilai kemampuan berkecambah serbuk sari adalah dengan pengujian viabilitas serbuk sari. Pengujian serbuk sari dibutuhkan untuk menilai kelayakan serbuk sari yang akan digunakan dalam percobaan polinasi (Firmage & Dafni 2001). Penentuan viabilitas serbuk sari dapat dilakukan melalui metode perkecambahan in vitro, pewarnaan, pengamatan serbuk sari pada jaringan stilus secara in vivo dan pengamatan seed set melalui benih yang terbentuk dari hasil penyerbukan (Galletta 1983). Pengujian viabilitas serbuk sari in vitro dengan metode pewarnaan merupakan cara yang paling banyak dilakukan. Namun kendala yang dihadapi dalam metode ini adalah kisaran nilai viabilitas yang tidak dapat dicerminkan oleh ketebalan warna serbuk sari. Menurut Firmage & Dafni (2001), hand-polination merupakan metode yang paling akurat untuk menilai viabilitas serbuk sari dengan memperkirakan jumlah serbuk sari yang digunakan.
9
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan April-November 2013, di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Serpong, Tangerang Selatan dengan ketinggian tempat 41 m di atas permukaan laut (dpl). Penyimpanan dan pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih, Laboratoria Pengembangan Industri Agro dan Biomedika (Laptiab), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Bahan dan Peralatan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah tetua jagung hibrida Bima 3 (Nei9008 sebagai tetua betina dan Mr14 sebagai tetua jantan) asal Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros (Lampiran 2-3). Boron dalam bentuk Boraks (Na2B2O7.10H2O), pupuk kandang, NPK majemuk (15-15-15), dan urea diberikan pada tanaman pada saat percobaan di lapang. Kantong serbuk sari, boks pendingin, dan saringan digunakan dalam proses ektraksi serbuk sari. Penurunan kadar air dilakukan menggunakan silica gel di dalam desikator selama 24 jam sehingga mencapai kadar air 7.2-19.2%. Mikrotube digunakan untuk menyimpan serbuk sari di dalam deep freezer (-20 oC), deep freezer (-40 oC). Pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan iodine kalium iodida (I2KI) dengan bantuan mikroskop. Penyerbukan dilakukan pada tetua bentina dengan menggunakan kuas.
Metode Penelitian Percobaan I: Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari Percobaan disusun menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dengan petak utama adalah dosis NPK dan anak petak adalah dosis boron. Dosis NPK terdiri atas tiga taraf yaitu: 0, 300, dan 600 kg ha-1, sedangkan dosis boron terdiri atas empat taraf yaitu: 0, 1, 2, dan 3 kg ha-1. Percobaan diulang tiga kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 10 tanaman sehingga terdapat 360 satuan pengamatan. Model linier yang digunakan untuk pengujian tersebut adalah : Yijk = µ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan dosis boron ke-i, dosis NPK ke-j, dan ulangan ke-k µ = Nilai rataan umum αi = Pengaruh perlakuan dosis boron ke-i δik = Pengaruh pengacakan pada petak utama βj = Pengaruh perlakuan dosis NPK ke-j
10
(αβ)ij εijk i j
= = = =
Pengaruh interaksi perlakuan dosis boron ke-i dan dosis NPK ke-j Pengaruh pengacakan pada anak petak 1, 2, 3 1, 2, 3, 4
Prosedur Pelaksanaan Percobaan diawali dengan melakukan analisa kandungan unsur hara makro dan mikro tanah terhadap dua sampel komposit dari empat titik pengambilan sampel primer. Hasil analisis tanah digunakan untuk menentukan kadar optimum NPK dan boron yang akan digunakan dalam perlakuan. Penanaman tetua jantan dilakukan dalam bedengan sebanyak 20 lubang tanam per bedeng dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Pada saat tanam digunakan 2 benih per lubang dan pada 2 MST dilakukan penjarangan menjadi 1 benih per lubang. Tanaman sampel dipilih secara acak sebanyak 10 tanaman dari populasi tanaman per petak percobaan. Pada percobaan ini digunakan pupuk dasar berupa urea sebanyak 150 kg ha-1 dan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1. Pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman. Pupuk NPK (15-15-15) dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 minggu setelah tanam (MST) dengan cara dialur di samping barisan tanaman masing-masing setengah dosis. Boron diberikan pada 3, 5, dan 7 MST dengan cara dilarutkan dalam air dan disiramkan pada bagian akar tanaman masing-masing sepertiga dosis aplikasi. Pengamatan vegetatif dilakukan hingga munculnya bunga jantan dilanjutkan dengan pengamatan generatif pada produksi bunga dan viabilitas serbuk sari.
Peubah Pengamatan : Peubah yang diamati pada setiap sampel meliputi : 1. Tinggi tanaman dan jumlah daun. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga pangkal bunga. Jumlah daun dihitung berdasarkan banyaknya daun yang masih utuh dan melekat pada batang. Tinggi tanaman dan jumlah daun dihitung setiap 2 minggu sekali hingga munculnya bunga jantan. 2. Umur munculnya 50% bunga jantan (J50%). Pengamatan J50% dihitung apabila bunga jantan dari 50% jumlah tanaman dalam satu petak percobaan telah mekar sempurna (muncul dari seludang bunga). 3. Jumlah dan panjang spika per tassel. Pengamatan jumlah dan panjang spika dilakukan pada setiap bunga jantan yang menjadi sampel dari setiap perlakuan pada akhir percobaan. 4. Jumlah spikelet per spika. Pengamatan jumlah spikelet per spika dilakukan dengan menghitung banyaknya spikelet dalam setiap spika bunga jantan pada akhir percobaan. 5. Jumlah serbuk sari per spikelet. Pengamatan jumlah serbuk sari per spikelet dilakukan terhadap 3 spikelet pada setiap tassel tanaman sampel. Serbuk sari yang telah dikeluarkan dari spikelet kemudian ditambahkan air hingga volume tertentu. Jumlah serbuk sari per spikelet dihitung dengan mengambil campuran serbuk sari-air dengan volume tertentu untuk selanjutnya dihitung di
11
bawah mikroskop. Berdasarkan jumlah serbuk sari yang telah dihitung selanjutnya dilakukan konversi jumlah total serbuk sari dalan satu spikelet (Gambar 1a-b). 6. Viabilitas serbuk sari. Penghitungan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI pada hari kedua setelah antesis. Serbuk sari yang menyerap larutan pewarna hingga menjadi biru kehitaman dianggap viabel (Gambar 1c). Antera besar
Antera kecil
Serbuk sari viabel
Serbuk sari
tidak viabel b c a Gambar 1. Keragaan antera besar dan antera kecil dalam satu spikelet (a), pengamatan jumlah serbuk sari per spikelet (b), serbuk sari viabel dan tidak viabel pada pengujian pewarnaan menggunakan I2KI (d)
Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Serbuk Sari terhadap Pembentukan Benih Jagung Hibrida Percobaan disusun menggunakan rancangan acak kelompok faktorial yaitu suhu penyimpanan yang terdiri atas: -20 oC dan -40 oC dan lama penyimpanan yaitu: 0, 1, 2, dan 3 Minggu Setelah Penyimpanan (MSP). Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan masing-masing terdapat 10 sampel sehingga total terdapat 240 satuan pengamatan. Bahan yang digunakan dalam percobaan penyimpanan adalah serbuk sari yang memiliki nilai viabilitas terbaik dari percobaan I sedangkan penyerbukan di lapang digunakan tetua betina jagung hibrida Bima 3 (Nei9008). Pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan melalui metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI. Larutan I2KI dibuat dengan mencampurkan 0.5 g I2 (iodine) dan 1 g KI (kalium iodida) dalam 100 mL aquades. Peubah yang diamati meliputi viabilitas serbuk sari pada empat waktu penyerbukan, berat tongkol berklobot, berat tongkol tanpa klobot, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih. Model linier yang digunakan untuk pengujian tersebut adalah : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan pengaruh suhu penyimpanan ke-i, lama penyimpanan ke-j, dan ulangan ke-k µ = Nilai rataan umum αi = Pengaruh suhu penyimpanan ke-i βj = Pengaruh lama penyerbukan ke-j (αβ)ij = Pengaruh interaksi suhu penyimpanan ke-i dan lama penyimpanan ke-j
12
εijk
= Pengaruh pengacakan perlakuan suhu penyimpanan ke-i, lama penyimpanan ke-j dan ulangan ke-k i = 1, 2 j = 0, 1, 2, 3 Percobaan diawali dengan penanaman tetua jantan untuk produksi serbuk sari dengan pemupukan NPK (15-15-15) 600 kg ha-1 dan boron (dalam bentuk boraks) 3 kg ha-1 dan pupuk dasar berupa urea 150 kg ha-1 dan pupuk kandang 8 ton ha-1. NPK dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 minggu setelah tanam (MST) dengan cara dialurkan di samping barisan tanaman masing-masing setengah dosis. Boron diberikan pada 3, 5, dan 7 MST dengan cara dilarutkan dalam air dan disiramkan pada bagian akar tanaman masing-masing sepertiga dosis aplikasi. Pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman. Penanaman tetua betina untuk penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari segar (0 MSP) dilakukan tiga hari setelah penanaman tetua jantan. Penanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) untuk tujuan penyerbukan terkontrol berikutnya dilakukan masing-masing berjarak 1, 2, dan 3 minggu setelah penanaman tetua betina pertama. Pemupukan pada tetua betina menggunakan dosis NPK (15-15-15) 400 kg ha-1 dengan urea 200 kg ha-1 dan pupuk kandang 8 ton ha-1. NPK dan urea diaplikasikan pada 1 dan 3 MST dengan cara dialurkan disamping barisan tanaman masing-masing setengah dosis sedangkan pupuk kandang dicampurkan pada lahan percobaan sebelum penanaman. Pada tetua jantan dan betina jarak tanam yang digunakan adalah 75 cm x 25 cm dengan penanaman awal 2 benih per lubang dan penjarangan menjadi 1 tanaman per lubang pada 2 MST. Pemanenan serbuk sari dilakukan pada tassel yang telah antesis menggunakan kertas polinasi dan dimasukkan ke dalam boks pendingin untuk menjaga kesegarannya hingga sampai di Laboratorium. Serbuk sari kemudian dipisahkan dari kotak sari menggunakan saringan kemudian dilakukan penurunan kadar air dengan meletakkan serbuk sari di dalam desikator selama 24 jam (sehingga mencapai kadar air 7.2 – 19.2%) sebelum serbuk sari disimpan dalam deep freezer. Serbuk sari yang akan digunakan untuk penyerbukan dibawa ke lapang menggunakan boks pendingin dan diserbukkan pada tetua betina dengan menggunakan kuas sebanyak tiga kali usapan kemudian ditutup menggunakan kertas polinasi. Pengamatan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI yang dibuat dengan mencampurkan 0.5 g I2 (iodine) dan 1 g KI (kalium iodida) dalam 100 mL aquades (Lordkaew et al. 2010). Serbuk sari yang akan diamati viabilitasnya diletakkan selama 30 menit pada gelas obyek yang dialasi dengan tissue lembab sebelum ditetesi dengan larutan I2KI. Serbuk sari yang berwarna biru-kehitaman dikategorikan viabel sedangkan yang berwarna coklat transparan tidak viabel. Pengamatan dilakukan terhadap viabilitas serbuk sari dan beberapa peubah pada saat panen benih jagung hibrida. Peubah Pengamatan : 1. Viabilitas serbuk sari. Penghitungan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan larutan I2KI pada setiap masa pengamatan yaitu 0, 1, 2 dan 3 MPS atau saat akan diserbukkan pada tetua betina. Serbuk
13
2. 3. 4. 5. 6.
sari yang menyerap larutan pewarna hingga menjadi biru-kehitaman dianggap viabel. Bobot tongkol berklobot. Tongkol yang telah dipanen kemudian ditimbang bersama dengan klobotnya. Bobot tongkol tanpa kelobot. Tongkol yang telah dipanen dibuang klobotnya dan kemudian ditimbang bobotnya. Jumlah benih per tongkol. Jumlah benih per tongkol dilakukan dengan menghitung jumlah benih yang dihasilkan oleh setiap tongkol yang dipanen. Bobot 100 butir benih. Bobot 100 butir benih diperoleh dari tanaman sampel dan ditimbang pada KA 15%. Daya berkecambah (DB). Daya berkecambah dihitung berdasarkan persentase kecambah normal pada pengamatan pertama dan kedua. Pengamatan pertama pada hari ke-3 (KN hitungan I) dan pengamatan kedua pada hari ke-5 (KN hitungan kedua). Nilai daya berkecambah dihitung dengan rumus:
7. Indeks vigor (IV). Penghitungan indeks vigor dilakukan berdasarkan persentase kecambah normal pada pengamatan pertama (KN hitungan pertama), yaitu hari ke-3, dengan rumus:
8. Kecepatan Tumbuh benih (KcT). Kecepatan tumbuh (KcT) dihitung berdasarkan pertambahan perkecambahan (persentase kecambah normal) setiap hari pada kurun waktu perkecambahan dalam kondisi optimum.
dimana:
i = kurun waktu perkecambahan d = tambahan persentase kecambah normal per etmal (24 jam)
Analisis Data Data yang diperoleh pada setiap percobaan dilakukan analisis sidik ragam dan apabila hasilnya berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi penelitian merupakan lahan datar dengan kandungan unsur hara yang tergolong rendah. Hasil analisis tanah sebelum perlakuan menunjukkan bahwa tanah pada lahan percobaan tergolong agak masam dengan pH 4.6, Corganik sangat rendah (0.92%), N total rendah (0.13%), P2O5 tersedia sangat rendah (2.7 ppm), K tinggi (0.76 cmol/kg), nilai kapasitas tukar kation rendah (KTK 12.53 cmol/kg), dan kandungan boron tersedia rendah (0.34 ppm) (Lampiran 4). Percobaan lapang berlangsung pada bulan April – Oktober 2013. Suhu udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 28.7 oC dengan kelembaban relatif 68.2%, sedangkan suhu udara udara rata-rata terendah terjadi pada bulan Juli yaitu 26.8 oC dengan kelembaban relatif 79.3%. Meskipun suhu udara rata-rata dan kelembaban tidak mengalami fluktuasi yang berarti namun jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan sangat fluktuatif. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April (587.5 mm/bulan) dan terendah pada bulan September (52.2 mm/bulan) (Tabel 1). Iklim kemarau basah yang terjadi pada saat percobaan berlangsung menyebabkan air tersedia dalam jumlah yang cukup pada saat pertumbuhan vegetatif namun menurun pada saat pembungaan dan pengisian biji sehingga dilakukan irigasi secara mekanis. Tabel 1. Data klimatologi di lokasi penelitian pada bulan April-Oktober 2013 Unsur Klimatologi
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Suhu udara rata-rata (oC)
27.9
27.5
27.9
26.8
28.0
28.5
28.7
Kelembaban rata-rata (%) Jumlah curah hujan (mm/bulan) Jumlah hari hujan (hari)
78.1
77.7
74.7
79.3
69.0
69.0
68.2
587.5
367.3
138.2
294.5
155.6
52.2 183.5
19
23
16
21
8
13
19
Sumber: Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat 2013
Secara umum pertumbuhan tanaman tetua jantan Bima 3 dari awal hingga akhir percobaan cukup baik (Gambar 2). Pengamatan di lapang menunjukkan pada tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14) anthesis terjadi pada 58 hari setelah tanam (HST) yang ditandai oleh pecahnya serbuk sari pada bunga jantan. Anthesis berlangsung selama tujuh hari dengan puncak sebaran serbuk sari pada pukul 09.00-11.00. Selama percobaan tidak didapati adanya serangan hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman dan menimbulkan kerusakan berarti sehingga tidak dilakukan penyemprotan pestisida. Gulma yang umumnya tumbuh di sekitar pertanaman adalah babandotan (Ageratum conyzoides) dan putri malu (Mimosa pudica Linn.) yang dibersihkan secara manual dan rutin.
15
a b Gambar 2. Keragaan tanaman tetua jantan Bima 3 (a) dan morfologi bunga jantan tanaman tetua jantan Bima 3 (b). Perlakuan penyimpanan dan pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan pada bulan November di Laboratorium Teknologi Benih, Laptiab, BPPT. Serbuk sari diperoleh dari penaman tetua jantan dengan aplikasi pemupukan yang menghasilkan viabilitas serbuk sari tertinggi. Ekstraksi serbuk sari dilakukan di lapang dengan menampung serbuk sari menggunakan kantong polinasi dan menyimpannya dalam boks pendingin. Pengelolaan serbuk sari selanjutnya dilakukan di dalam laboratorium berupa pemisahan serbuk sari dengan antera menggunakan saringan, penurunan kadar air serbuk sari dilakukan menggunakan desikator selama 24 jam (Barnanas & Rajki 1976), dan penyimpanan serbuk sari pada deep freezer -20 oC dan -40 oC. Pada percobaan kedua, tanaman betina ditanam sesuai dengan waktu aplikasi serbuk sari dalam penyerbukan terkontrol (Gambar 3a). Munculnya bunga betina (silking) pada tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) terjadi pada 61 HST yang ditandai dengan keluarnya rambut tongkol (silk). Penyerbukan terkontrol dilakukan pada saat rambut tongkol keluar dengan sempurna dan memiliki panjang minimal 2 cm (Gambar 3b).
a
b
Gambar 3. Keragaan tanaman tetua betina Bima 3 (a) dan morfologi bunga betina tanaman tetua betina Bima 3 (Nei9008) (b).
16
Percobaan I. Pengaruh Pemupukan NPK dan Boron terhadap Produksi dan Viabilitas Serbuk Sari Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, serta viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14). Pemupukan NPK meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun, mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%), meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari. Pemupukan boron meningkatkan jumlah daun, meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari (Tabel 2). Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap pertumbuhan vegetatif, generatif, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14) Peubah pertumbuhan vegetatif NPK Boron NPK x Boron KK (%) tanaman tetua jantan Tinggi tanaman (cm) * tn tn 6.48 2 MST * tn tn 11.88 4 MST tn tn tn 7.99 6 MST ** tn tn 5.14 8 MST Jumlah daun (helai) tn tn tn 5.89 2 MST tn tn tn 5.77 4 MST ** tn tn 5.21 6 MST ** ** tn 3.49 8 MST Waktu munculnya 50% bunga jantan ** tn tn 1.91 (hari) ** * tn 11.43 Jumlah spika per tassel (buah) * ** tn 4.05 Panjang spika (cm) tn tn tn 8.31 Jumlah spikelet per spika (buah) tn tn tn 12.44 Jumlah serbuk sari per spikelet (buah) * ** tn 3.64 Viabilitas serbuk sari (%) Keterangan: KK: koefisien keragaman; tn: tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; *: berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; **: berbeda sangat nyata pada uji DMRT taraf 5%
Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara pemupukan NPK dangan boron terhadap tinggi tanaman. Pemupukan NPK berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 4 dan 8 MST, sedangkan pemberian boron tidak mempengaruhi tinggi tanaman hingga akhir pengamatan (8 MST) (Tabel 3). Pemupukan NPK 300 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman mencapai 31.0 cm (5.8%) dan 54.9 cm (12.5%) lebih tinggi dibandingkan kontrol pada 2 dan 4 MST, sedangkan pemupukan NPK 600 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman mencapai 137.2 cm (12%) lebih tinggi dibandingkan kontrol pada 8 MST (Tabel 3). Peningkatan dosis NPK meningkatkan tinggi tanaman yang diduga disebabkan
17
oleh kondisi tanah dengan kandungan unsur hara yang rendah. Hasil ini sejalan dengan penelitian Onasanya et al. (2009) yang menunjukkan aplikasi pupuk N pada jagung hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan tinggi tanaman hingga 15.2% dibandingkan kontrol. Hasil percobaan ini mengindikasikan adanya peningkatan kebutuhan NPK pada 8 MST. Diduga tanaman mengadsorbsi unsur hara dalam jumlah besar seiring dengan peningkatan ukuran dan pertumbuhan tanaman. Semakin tinggi hara tersedia semakin besar pertumbuhan tanaman. Subekti et al. (2007) menyatakan pada saat jagung berumur 33-50 hari setelah berkecambah (fase V11 – Vn) tanaman tumbuh dengan cepat dan akumulasi bahan kering meningkat dengan cepat pula sehingga kebutuhan hara dan air relatif sangat tinggi untuk mendukung laju pertumbuhan tanaman. Pemupukan boron pada konsentrasi rendah (1 kg ha-1) meningkatkan tinggi tanaman mencapai 136.4 cm meningkat 6.2% meskipun tidak berbeda nyata dengan kontrol (128.4 cm) (Tabel 3). Hal ini diduga kadar boron yang rendah dalam tanah sehingga penambahan boron masih dapat meningkatkan tinggi tanaman. Suyamto (2010) menyatakan tingkat ketersediaan hara dalam tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah dan berkorelasi positif dengan hasil tanaman, sedangkan tingkat kesuburan tanah berkorelasi negatif dengan pemberian pupuk. Tabel 3. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap tinggi tanaman tetua jantan Bima 3 (Mr14) Tinggi tanaman minggu kePerlakuan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST …………….cm.……………. -1 Dosis NPK (kg ha ) 0 29.3 b 48.8 b 103.3 122.5 b 300 31.0 a 54.9 a 107.5 134.8 a 600 28.7 b 54.8 a 112.0 137.2 a -1 Dosis boron (kg ha ) 0 28.9 50.3 103.1 128.4 1 30.5 53.5 109.4 136.4 2 29.2 54.6 109.4 132.0 3 30.1 52.9 108.5 129.1 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Tanaman merupakan organisme autotropik yang menggunakan karbondioksida, air dan hara mineral serta energi matahari untuk pertumbuhannya (Taiz & Zeiger 2002). Tinggi tanaman berhubungan erat dengan persaingan dalam mendapatkan cahaya matahari bagi tanaman yang dibudidayakan secara monokultur. Semakin tinggi tanaman, semakin banyak energi matahari yang diperoleh dan semakin besar asimilat yang dapat ditranslokasikan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada percobaan ini tinggi tanaman tetua jantan Bima 3 masih di bawah nilai tinggi tanaman dalam deskripsi varietas yang diduga karena kondisi tanah yang memiliki pH masam sehingga penyerapan unsur hara belum optimal.
18
Menurut Marschner (1995) pH tanah yang rendah mengganggu perakaran dan berakibat pada pertumbuhan tanaman yang tidak optimal.
Jumlah Daun Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3. Pemupukan NPK mempengaruhi jumlah daun pada 6 dan 8 MST, sedangkan boron hanya mempengaruhi jumlah daun pada 8 MST (Tabel 4). Perlakuan NPK 600 kg ha-1 (setara 90 kg ha-1 N) tidak mempengaruhi jumlah daun pada 2 dan 4 MST, akan tetapi meningkatkan jumlah daun yang mencapai 9.9 helai per tanaman pada 8 MST (Tabel 4). Peningkatan dosis NPK meningkatkan jumlah daun. Hasil ini sejalan dengan penelitian Gungula et al. (2005) bahwa pemupukan N hingga dosis 120 kg ha-1 meningkatkan jumlah daun jagung. Peningkatan dosis NPK mampu mensuplai nitrogen yang dibutuhkan tanaman dan menunda terjadinya senesen. Kekurangan nitrogen sangat mempengaruhi jumlah daun per tanaman yang ditandai oleh hilangnya warna hijau daun. Defisiensi nitrogen pada fase vegetatif tanaman menyebabkan mobilisasi nitrogen dari daun pada bagian bawah menuju daun yang lebih muda sehingga menyebabkan daun pucat, menjadi coklat kemudian mengering (Barker & Pilbeam 2007). Tabel 4. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah daun tetua jantan Bima 3 (Mr14) Jumlah daun minggu kePerlakuan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST ……………….helai…..…………. Dosis NPK (kg ha-1) 0 4.2 5.9 7.7 b 8.8 c 300 4.5 6.1 8.2 a 9.5 b 600 4.4 6.2 8.1 a 9.9 a Dosis boron (kg ha-1) 0 4.2 5.9 8.0 9.4 b 1 4.3 6.2 8.1 9.8 a 2 4.4 6.1 7.9 9.1 b 3 4.5 6.0 8.0 9.3 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Pemupukan boron pada konsentrasi rendah (1 kg ha-1) cenderung meningkatkan jumlah daun. Pada 8 MST perlakuan boron 1 kg ha-1 menghasilkan jumlah daun (9.8 helai) lebih banyak dibandingkan kontrol (9.4 helai). Boron merupakan unsur hara mikro yang bersifat immobile dan banyak terdapat dalam jaringan daun (Blevins & Lukaszewski 1998). Keberadaan boron diduga berperan dalam integritas sel sehingga memperlambat terjadinya senesen pada daun sebagaimana hasil penelitian Liakopoulos & Karabourniotis (2005) bahwa
19
kerusakan intergitas membran sel pada daun bunga matahari tidak disebabkan oleh aktivitas enzim polipenol oksidase namun diakibatkan oleh defisiensi boron. Peningkatan tinggi tanaman dan jumlah daun dipengaruhi oleh boron dalam jumlah kecil (1 kg ha-1) (Tabel 3 dan 4). Hal ini sesuai dengan pernyataan Blevins & Lukaszewski (1998) bahwa kebutuhan tanaman terhadap boron pada fase vegetatif lebih kecil dibandingkan fase generatif. Pembungaan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara NPK dengan boron terhadap waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%). Peningkatan dosis NPK mempercepat munculnya 50% bunga jantan (J50%) namun pemberian boron tidak mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan (J50%) (Tabel 5). Perlakuan NPK 600 kg ha-1 mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan yaitu 62.8 hari. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lomer et al. (2012) bahwa aplikasi pupuk nitrogen dapat mempercepat waktu masak serbuk sari terhadap beberapa varietas jagung. Diduga NPK berperan dalam menunjang proses pembelahan dan diferensiasi sel dari fase vegetatif menjadi fase generatif sehingga mempercepat pembungaan. Tabel 5. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap umur munculnya 50% bunga jantan (J50%) tetua jantan Bima 3 (Mr14) J50% Perlakuan (hari) -1 Dosis NPK (kg ha ) 0 64.3 a 300 62.9 b 600 62.8 b -1 Dosis boron (kg ha ) 0 63.9 1 62.7 2 63.2 3 63.7 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Cara untuk mengamati perubahan meristem dari vegetatif ke generatif (evokasi) adalah melihat adanya pembentukan bunga. Proses ini melibatkan sel meristem bunga yang memiliki ukuran lebih besar dari sel meristem vegetatif dan ditandai dengan peningkatan frekuensi pembelahan sel meristem apikal (Taiz & Zeiger 2002). Pembelahan sel membutuhkan asam amino yang dihasilkan dari perombakan N melalui proses fotosintesis. Ketersediaan N dalam jumlah cukup mempengaruhi kecepatan pembelahan sel (Gardner et al. 2008), sehingga mempercepat waktu munculnya bunga jantan. Pada percobaan ini diketahui percepatan munculnya 50% bunga jantan sejalan dengan peningkatan tinggi tanaman pada 8 MST (Tabel 3) dan jumlah daun pada 8 MST (Tabel 4). Daun yang berperan sebagai source (sumber) bagi tanaman diduga berkorelasi positif dengan waktu munculnya 50% bunga jantan.
20
Salisbury & Ross (1995) menjelaskan bahwa proses evokasi ditentukan oleh kemampuan daun dalam menghasilkan asimilat pada proses fotosintesis, kemampuan meristem apikal untuk melakukan organogenesis, serta jumlah daun minimum untuk mendukung pembungaan. Pada percobaan ini pemberian boron pada dosis rendah (1 kg ha-1) cenderung mempercepat waktu munculnya 50% bunga jantan. Diduga boron berperan dalam tranportasi asimilat yang dihasilkan dari daun. Boron merupakan salah satu hara mikro esensial yang diketahui terlibat dalam transportasi karbohidrat dalam tanaman (Marschner 1995). Peubah Generatif Hasil analisis ragam menunjukkan pemupukan NPK dan boron secara tunggal meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika dan viabilitas serbuk sari namun tidak berpengaruh terhadap jumlah spikelet per spika dan jumlah serbuk sari per spikelet (Tabel 6). Perlakuan NPK 600 kg ha-1 meningkatkan viabilitas serbuk sari hingga mencapai 95%, meningkatkan jumlah spika sebanyak 8.8 buah per tassel dan panjang spika yang mencapai 17.8 cm (Tabel 6). Hasil ini sejalan dengan penelitian Aribawa et al. (2005) bahwa peningkatan dosis pupuk urea hingga 90 kg N ha-1 (setara dengan 600 kg ha-1 NPK 15-15-15) menyebabkan peningkatan panjang malai padi. Kecukupan fosfor diduga memberikan peningkatan pada peubah generatif yang diamati. Fosfor diketahui merupakan penyusun penting sel hidup, terlibat dalam berbagai reaksi metabolik, terlibat dalam pembentukan proses reproduksi tanaman, dan transfer energi (Tisdale et al. 1985). Kekurangan fosfor pada jagung mengakibatkan penurunan hasil sekitar 20% dan kekurangan kalium menurunkan hasil sekitar 10% (Tandisau & Thamrin 2009). Tabel 6. Pengaruh pemupukan NPK dan boron terhadap peubah generatif tetua jantan Bima 3 (Mr14) Jumlah Jumlah Jumlah Viabilitas Panjang spika per spikelet serbuk sari serbuk sari spika Perlakuan tassel per spika per spikelet (%) (buah) (cm) (buah) (buah) Dosis NPK (kg ha-1) 0 91.2 b 7.1 b 17.1 b 93.5 12,974 300 95.3 a 8.4 a 17.5 ab 95.3 12,986 600 95.0 a 8.8 a 17.8 a 91.4 13,962 -1 Dosis boron (kg ha ) 0 90.2 b 7.4 b 16.8 b 92.6 13,133 1 94.2 a 8.0 ab 17.3 b 93.0 13,464 2 94.0 a 8.5 a 17.5 b 93.3 13,674 3 97.7 a 8.5 a 18.4 a 94.8 12,957 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan dosis NPK mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari. Davarynejad et al. (2008) menyatakan bahwa
21
keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh kuantitas dan viabilitas serbuk sari sehingga mempengaruhi peningkatan produksi. Hasil penelitian Herniwati & Tandisau (2009) menunjukkan bahwa peningkatan dosis NPK hingga 600 kg ha-1 meningkatkan berat pipilan kering jagung, sedangkan Singh et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian pupuk N hingga 180 kg ha-1 masih dapat meningkatkan produksi jagung. Perlakuan boron dosis 1 kg ha-1 telah mampu meningkatkan viabilitas serbuk sari (94.2%) namun demikian untuk peningkatan produksi serbuk sari boron 3 kg ha-1 digunakan karena menghasilkan panjang spika (18.4 cm) yang lebih baik dari perlakuan lainnya (Tabel 7). Spika yang panjang diharapkan dapat meningkatkan jumlah spikelet per spika sehingga meningkatkan jumlah serbuk sari viabel yang dihasilkan. Boron adalah pengkompleks bahan-bahan seluler selama proses pemanjangan tabung serbuk sari (Visser 1995), sehingga meningkatkan kemampuan serbuk sari dalam pembuahan dan meningkatkan produksi. Pemupukan NPK dan boron secara tunggal tidak mempengaruhi jumlah spikelet per spika maupun jumlah serbuk sari per spikelet. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cheng & Rerkasem (1993) yang menunjukkan bahwa penambahan boron pada tanaman gandum tidak meningkatkan jumlah serbuk sari. Perlakuan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 secara bersama-sama meningkatkan jumlah spika per tassel (9.5 spika), panjang spika (18.4 cm) dan viabilitas serbuk sari (99.3%). Perlakuan ini memberikan nilai tertinggi pada viabilitas serbuk sari sebagai salah satu faktor penting dalam penyerbukan. Diduga boron bersinergi dengan kalium dalam memberikan pengaruh positif terhadap penyerapan dan metabolisme nitrogen melalui mekanisme sintesis protein enzim dan mendukung masuknya substrat melalui membran plasma ke dalam sel (Malvi 2011). Tabel 7. Pengaruh interaksi pemupukan NPK dan boron terhadap jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari tetua jantan Bima 3 (Mr14) Jumlah spika per Panjang spika Viabilitas serbuk Perlakuan tassel (buah) (cm) sari (%) N0B0 6.5 c 15.6 c 89.6 c N0B1 6.9 c 17.1 ab 91.2 bc N0B2 7.8 ab 17.3 ab 90.2 c N0B3 7.1 c 18.3 a 95.2 abc N1B0 7.7 bc 17.5 a 89.7 c N1B1 8.1 ab 17.4 ab 96.5 abc N1B2 8.9 ab 16.9 b 96.3 abc N1B3 8.9 ab 18.4 a 98.3 ab N2B0 7.9 ab 17.3 ab 91.3 bc N2B1 8.9 ab 17.3 ab 95.4 abc N2B2 8.9 ab 18.3 a 95.8 abc N2B3 9.5 a 18.4 a 99.3 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
22
Keberhasilan penyerbukan ditentukan oleh jumlah dan viabilitas serbuk sari (Davarynejad et al. 2008). Aplikasi boron meningkatkan viabilitas serbuk sari dan berpengaruh terhadap peningkatan produksi bawang merah (Rosliani et al. 2012) dan melon (Agustin, 2013). Oleh sebab itu berdasarkan percobaan pertama pemupukan NPK 600 kg ha-1 dan boron 3 kg ha-1 digunakan sebagai dasar pada percobaan kedua. Percobaan II: Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Viabilitas Serbuk Sari dan Produksi Benih Jagung Hibrida Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat interaksi antara suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, berat tongkol berklobot, berat tongkol tanpa klobot, daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap daya berkecambah, dan kecepatan tumbuh benih, sedangkan lama penyimpanan berpengaruh terhadap semua peubah kecuali bobot 100 butir benih (Tabel 8). Tabel 8. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, dan produksi benih jagung hibrida Bima 3 Suhu Lama Suhu x lama KK Peubah Pengamatan simpan simpan simpan (%) Viabilitas serbuk sari (%) tn * tn 3.76 Jumlah benih per tongkol (butir) tn ** tn 15.06 Bobot 100 butir benih (gram) tn tn tn 3.95 Berat tongkol berklobot (gram) tn ** tn 8.74 Berat tongkol tanpa klobot (gram) tn ** tn 11.29 Daya berkecambah benih (%) ** ** tn 7.04 Indeks vigor benih (%) tn ** tn 21.70 -1 Kecepatan tumbuh benih (% etmal ) * ** tn 8.41 Keterangan: KK: koefisien keragaman; tn: tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; *: berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; **: berbeda sangat nyata pada uji DMRT taraf 5%
Viabilitas dan Produksi Benih Jagung Hibrida Bima 3 Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan suhu penyimpanan tidak berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari yang disimpan, jumlah benih per tongkol, bobot 100 butir benih, berat tongkol berklobot, dan berat tongkol tanpa klobot. Perlakuan lama penyimpanan berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari yang disimpan jumlah benih per tongkol, berat tongkol berklobot, dan berat tongkol tanpa klobot (Tabel 9). Perlakuan penyimpanan serbuk sari pada suhu -20 oC dan -40 oC tidak berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari (93.6% dan 91.7%) (Tabel 9), sehingga tidak mempengaruhi produksi benih yang tercermin pada nilai jumlah benih per tongkol. Davarynejad et al. (2008) menyatakan salah satu faktor
23
penentu keberhasilan penyerbukan adalah jumlah dan viabilitas serbuk sari yang tinggi yang juga akan berpengaruh pada produksi. Jumlah benih per tongkol yang dihasilkan dari suhu penyimpanan -20 oC dan -40 oC berturut-turut adalah 53.2 buah dan 55.2 buah, sangat rendah dibandingkan nilai viabilitas yang diamati yaitu 93.6% dan 91.7% (Tabel 9). Diduga serbuk sari mengalami kerusakan akibat penyimpanan sehingga tidak mampu berkecambah sehingga menurunkan persentase pembuahan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Wang et al. (2004) menunjukkan bahwa penyimpanan serbuk sari lili (Lilium longiflorum cv. Avita) pada suhu -20 oC selama 2 bulan menyebabkan pertumbuhan perkecambahan secara in vitro melambat satu jam lebih lama dibandingkan serbuk sari segar yang diduga akibat protein dan mRNA mengalami kerusakan selama penyimpanan. Jumlah benih yang dihasilkan oleh serbuk sari yang telah disimpan lebih sedikit dan memiliki bentuk yang tidak seragam. Rendahnya jumlah benih per tongkol yang dihasilkan dari penyerbukan terkontrol disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kurangnya kejadian penyerbukan akibat kematian benang sari atau serbuk sari oleh faktor lingkungan, kurangnya pembuahan karena viabilitas serbuk sari rendah atau tidak kompatibel serta tingginya kejadian gugur bunga, dan buah (Gardner et al. 2008). Tabel 9. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap viabilitas serbuk sari, jumlah benih per tongkol, dan bobot 100 butir benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol Viabilitas serbuk Jumlah benih Bobot 100 butir sari per tongkol benih Perlakuan (%) (buah) (g) o Suhu simpan ( C) -20 93.6 53.2 21.8 -40 91.7 55.2 21.8 Lama simpan (MSP) 0 98.3 a 197.2 a 21.2 1 88.6 b 13.5 b 22.4 2 91.8 b 4.2 bc 21.6 3 92.1 b 1.8 c 22 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Benih yang dihasilkan dari serbuk sari yang telah disimpan mempunyai ukuran yang cenderung lebih besar dan warna yang lebih kusam daripada benih dari serbuk sari segar. Meskipun demikian bobot 100 benih dari serbuk sari segar maupun yang telah disimpan tidak berbeda nyata. Penelitian Hipi (2013) menunjukkan peningkatan rendemen jagung hibrida Bima 3 tidak berkorelasi terhadap berat 1000 butir benih yang berarti jumlah benih per tongkol tidak menentukan bobot 1000 butir benih. Lama penyimpanan serbuk sari berpengaruh terhadap viabilitas serbuk sari dan jumlah benih per tongkol. Semakin lama serbuk sari disimpan semakin besar penurunan jumlah benih per tongkol yang dihasilkan. Pada serbuk sari segar dihasilkan jumlah benih per tongkol sebanyak 197.2 buah dan menurun drastis
24
pada penyimpanan 1 MSP yang hanya mencapai 13.5 buah. Sebuk sari jagung tidak toleran dengan pengeringan (desiccation intolerant) sehingga penurunan kadar air dan penyimpanan dalam suhu dingin merusak membran sel dan menurunkan viabilitasnya (Luna et al. 2001), oleh karena itu dibutuhkan transport cepat dari serbuk sari terhadap stigma yang kompatibel untuk dapat membuahi ovul (Nepi et al. 2010). Lama penyimpanan berpengaruh terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot. Semakin lama serbuk sari disimpan semakin sedikit benih yang dihasilkan dan semakin kecil ukuran tongkol (Tabel 10 dan Gambar 4). Persentase penurunan berat tongkol berklobot dan tongkol tanpa klobot menunjukkan bahwa tongkol yang kecil mempunyai proporsi klobot yang lebih tinggi dibandingkan tongkol yang besar karena klobot pada tongkol kecil lebih banyak dan lebih tebal. Diduga pada tongkol berukuran kecil benih yang terbentuk sedikit sehingga asimilat yang tersedia banyak yang digunakan untuk perkembangan klobot (vegetatif) dan sebaliknya. Mualim et al. (2009) mengamati pada tanaman kolesom bahwa tajuk kolesom yang pertumbuhannya lebih baik akan menekan terbentuknya umbi (generatif), karena alokasi asimilat lebih ditujukan untuk pembentukan batang, cabang, dan daun kolesom (vegetatif). Tabel 10. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap berat tongkol berklobot dan berat tongkol tanpa klobot jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol Berat tongkol berklobot Berat tongkol tanpa klobot Perlakuan (g) (g) Suhu simpan (oC) 65.1 30.3 -20 64.2 29 -40 Lama simpan (MSP) 90.2 a 68.8 a 0 50.7 c 21.5 b 1 54.7 bc 15.3 c 2 63.2 b 13.0 c 3 Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Jumlah benih per tongkol tidak dapat menggambarkan hubungan yang sesuai dengan viabilitas serbuk sari dari pengamatan pewarnaan yang telah dilakukan terhadap serbuk sari segar, 1, 2 dan 3 MSP yaitu 98.3%, 88.6%, 91.8% dan 92.1% (Gambar 5). Hasil ini memberikan indikasi bahwa viabilitas in vitro tidak menggambarkan viabilitas in vivo. Pengujian viabilitas serbuk sari dilakukan dengan pewarnaan mengggunakan I2KI yang diindikasikan dengan perubahan warna serbuk sari yang viabel menjadi biru kehitaman. Hasil pengujian viabilitas serbuk sari menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari masih tetap tinggi hingga 3 MSP, hal ini disebabkan karena I2KI mewarnai kandungan pati pada serbuk sari dan diduga pati serbuk sari jagung belum terdegradasi hingga 3 MSP. Penurunan kadar air serbuk sari hingga mencapai 7.2-19.2% pada penelitian ini diduga menurunkan kemampuan germinasi serbuk sari saat penyerbukan dan menyebabkan nilai jumlah benih per tongkol sangat rendah.
25
Pada kadar air 30% kemampuan germinasi serbuk sari jagung menjadi 50%, dan menurun tajam dibawah ambang batas tersebut hingga mencapai nol pada kadar air 5% (Aylor 2003).
a1
a2
a3
a4
b1-
b2
b3
b4
40
Gambar 4. Morfologi tongkol jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol o C menggunakan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC dan -40 oC (a1-a4: segar, -20 oC 1 MSP, 2 MSP dan 3 MSP) (b1-b4: segar, -40 oC 1 MSP, 2 MSP dan 3 MSP) Mutu Fisiologis Benih Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara suhu dengan lama penyimpanan terhadap mutu benih. Suhu penyimpanan mempengaruhi daya berkecambah benih dan indeks vigor benih. Nilai daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan menurun dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari. Jumlah kecambah abnormal dan benih mati meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari yang digunakan dalam penyerbukan. Persentase daya berkecambah benih hasil penyerbukan terkontrol pada suhu -20 oC dan -40 oC masing-masing sebesar 86.3% dan 95.4%. Persentase daya berkecambah benih yang tinggi ini diduga karena nilai viabilitas serbuk sari setelah disimpan masih tinggi 92.6% dan 91.7% (Tabel 11), sehingga proses penyerbukan masih dapat berlangsung dan menghasilkan benih normal. Nilai kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan terkontrol pada suhu -20 o C dan -40 oC adalah sebesar serta 25.1% etmal-1 dan 27.2% etmal-1 (Tabel 12). Kecepatan tumbuh benih yang diperoleh dari serbuk sari yang disimpan pada suhu -40 oC lebih tinggi dibandingkan benih yang dihasilkan dari serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC. Indeks vigor benih pada serbuk sari segar sebesar 74.2%, sedangkan perlakuan penyimpanan berkisar 22.5% - 38.3%. Kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan dengan sebuk sari segar sebesar 30.6% etmal-1 dan pada serbuk sari yang disimpan berkisar 23.7% etmal-1 - 25.7% etmal-1 (Tabel 12). Nilai indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih yang rendah disebabkan oleh meningkatnya jumlah kecambah abnormal yang ditandai oleh pembentukan plumula yang tidak sempurna dan tidak terbentuknya akar lateral. Diduga pada saat penyerbukan
26
terjadi malformasi sel yang disebabkan oleh menurunnya kemampuan serbuk sari untuk membuahi akibat pengaruh lama penyimpanan. Tabel 11. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap jumlah kecambah normal, abnormal, benih mati/busuk dan daya berkecambah benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol Kecambah Kecambah Benih Daya berkecambah normal abnormal mati/busuk benih (DB) Perlakuan (%) o Suhu simpan ( C) 17.3 b 1.2 b 1.6 -20 86.3 b 19.1 a 0.3 a 0.6 -40 95.4 a Lama simpan (MSP) 19.5 a 0.2 0.3 0 97.5 a 17.2 b 1.3 1.5 1 85.8 b 17.5 b 0.8 1.7 2 87.5 b 18.5 ab 0.6 1.5 3 92.5 ab Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Nilai indeks vigor, daya berkecambah, dan kecepatan tumbuh benih hasil penyerbukan menurun dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari. Pengamatan mutu fisiologis benih menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai mutu benih dari penyimpanan serbuk sari selama 1, 2 dan 3 MSP namun sangat berbeda nyata dengan benih dari serbuk sari segar/kontrol. Tabel 12. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan serbuk sari terhadap indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol Indeks vigor benih (IV) Kecepatan tumbuh benih (KcT) Perlakuan (%) (% etmal-1) Suhu simpan (oC) -20 42.5 25.1 b -40 40.4 27.2 a Lama simpan (MSP) 0 74.2 a 30.6 a 1 38.3 b 24.6 b 2 22.5 b 23.7 b 3 30.6 b 25.7 b Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Jumlah kecambah abnormal dan benih mati meningkat dengan semakin lamanya penyimpanan serbuk sari yang digunakan. Benih yang dihasilkan dari penyerbukan terkontrol menggunakan serbuk sari yang disimpan memiliki ukuran yang tidak seragam, dan permukaan benih yang lebih kusam dibandingkan benih yang dihasilkan dari serbuk sari segar (Gambar 5). Namun demikian nilai daya
27
berkecambah benih dari penyerbukan terkontrol yang menggunakan serbuk sari yang disimpan masih di atas SNI (> 85%). Hal ini menunjukkan bahwa perkecambahan benih tidak dipengaruhi oleh ukuran benih. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Matana (2012) pada aren bahwa ukuran benih tidak mempengaruhi daya berkecambah benih. Gharoobi (2011) menyatakan bahwa ukuran benih tidak mempengaruhi daya berkecambah dan kecepatan tumbuh benih.
a1
a2
a3
a4
b4 b3 b1 b2 Gambar 5. Morfologi benih jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol b1 dengan serbuk sari yang disimpan pada suhu -20 oC dan -40 oC Pangamatan uji daya berkecambah menunjukkan benih dari serbuk sari segar memiliki tingkat keseragaman tumbuh yang lebih baik, sehingga meningkatkan nilai indeks vigor dan kecepatan tumbuh benih. Sedangkan benih yang dihasilkan dari serbuk sari yang telah disimpan memiliki kecambah abnormal dan benih mati yang lebih banyak dibandingkan perlakuan kontrol. Benih abnormal dicirikan oleh tidak adanya akar seminal dan panjang plumula yang belum sempurna (Gambar 6b). Hal ini diduga benih yang dihasilkan dari serbuk sari yang disimpan mengalami perkembangan yang tidak sempurna sehingga mudah terserang cendawan yang dicirikan dengan adanya spora cendawan berwarna hijau kehitaman (Gambar 6c). Ilyas (2012) mengemukakan, penggunaan benih bermutu rendah dengan viabilitas dan vigor rendah akan menghasilkan persentase pemunculan bibit yang rendah, bibit kurang toleran cekaman abiotik dan lebih sensitif terhadap serangan penyakit serta pada akhirnya akan menurunkan hasil.
a
b
c
Gambar 6. Morfologi kecambah jagung hibrida Bima 3 hasil penyerbukan terkontrol: kecambah normal (a), abnormal (b), mati (c)
28
Di samping itu hasil penelitian ini menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari yang telah disimpan berpengaruh terhadap mutu fisiologis benih yang dihasilkan dari penyerbukan terkontrol. Meskipun produksi benih belum dapat ditingkatkan namun serbuk sari yang disimpan masih dapat menghasilkan benih dengan daya berkecambah yang cukup baik. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan terutama untuk optimasi penyimpanan serbuk sari tetua jantan jagung hibrida.
KESIMPULAN 1. Perlakuan NPK 600 kg ha-1 dengan boron 3 kg ha-1 secara bersama-sama meningkatkan jumlah spika per tassel, panjang spika, dan viabilitas serbuk sari dengan pupuk dasar yang diberikan adalah 8 ton pupuk kandang dan 150 kg ha-1 urea. 2. Suhu -20 oC dan -40 oC dapat mempertahankan viabilitas serbuk sari jagung di atas 85% selama 3 minggu setelah penyimpanan berdasarkan pengujian menggunakan pewarnaan I2KI. 3. Semakin lama serbuk sari disimpan, semakin rendah viabilitas serbuk sari, vigor benih, dan kecepatan tumbuh benih, namun masih dapat mempertahankan daya berkecambah benih yang dihasilkan di atas 85%.
SARAN 1. Rekomendasi pemupukan boron pada tanaman jagung yang ditanam pada tanah dengan kadar boron tersedia rendah adalah sebesar 1 kg ha-1. 2. Metode penurunan kadar air pada penelitian ini tidak direkomendasikan dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metode yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Acar I, Ak BE, Sarpkaya K. 2010. Effects of boron and gibberellic acid on in vitro pollen germination of pistachio (Pistacia veraL.). African Journal of Biotechnology. 9(32): 5126-5130. Agustin H. 2013. Pengelolaan Polen untuk Produksi Benih Melon Hibrida Sunrise Meta dan Orange Meta [Thesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): IPB. Aribawa IB, Sunantara M, Kariada IK. 2003. Pengaruh beberapa dosis pupuk urea dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo di lahan kering. Bali (ID). Balai Pengkajian Teknologi Petanian. Aylor DE. 2003. Rate of dehydration of corn (Zea mays L.) pollen in the air. Journal of Experimental Botany. 54(391): 2307-2312, Balaraj R. 1999. Investigations on seed technological aspects in chilli Capsicum annuum L.). [Thesis]. University of Agricultural Sciences. Dharwad. Barnabas B, Rajki E. 1976. Storage of maize (Zea mays L.) pollen at -196 oC in liquid nitrogen. Euphytica. 25: 747-752.
29
Barker AV, Pilbeam DJ. 2007. Handbook of Plant Nutrition. Barker AV, Pilbeam DJ (eds). Taylor dan Francis Group. London. Blevins DG, Lukaszewski KM. 1998. Boron in plant struktur and function. Annu. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 49: 481-500. [BPS]. Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta (ID). (www.bps.go.id) [20 Januari 2013]. Card SD, Pearson MN, Clover GRG. 2007. Plant pathogents transmitted by pollen. Australasian Plant Pathology. 36(5): 455-461. Cheng C, Rerkasem B. 1993. Effect of boron on pollen viability in wheat. Plant and Soil. 155(156): 313-315. Davarynejad GH, Szabo Z, Nyeki J, Szabo T. 2008. Phenological stages, pollen production level, pollen viability and in vitro germination capability of some sour cherry cultivars. Asian Jurnal of Plant Sciences. 7: 672-676. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2010. Roadmap swasembada jagung 20102014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian. Erdtman G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms. Almquist and Wiksells. Sweden. Fadhly AF, Saenong S, Arief R, Tabri F, Saenong S, Koes F. 2010. Laporan Akhir Program Insentif Riset Terapan. Perakitan Teknologi Produksi Benih Jagung Hibrida Berumur Sedang (90-100 Hari, Hasil Benih F1>2 T/Ha). Maros (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Fariroh I, Palupi ER, Wahyudin DS. 2011. Media Perkecambahan dan Kondisi Ruang Simpan Serbuk Sari Mentimun (Cucumis sativus L.). Prosiding Simposium PERHORTI. Bogor (ID). Farnham DE, Benson GO, Pearce RB. 2003. Corn Perspective and Culture in Corn: Chemistry and Technology. White PJ and Johnson LA (eds). American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul, Minnesota (USA). Firmage DH, Dafni A. 2001. Field Tests for Pollen Viability; a Comparative Approach. Proc. 8th Pollination Symp. (eds). Benedek P and Richards KW. Acta Hort. 561: 87-94. Firon N, Nepi M, Pacini E. 2012. Water status and associated processes mark critical stages in pollen development and functioning. Annals of Botany 109: 1201–1213. Firoz ZA, Jaman MM, Alam MS, Alam MK. 2008. Effect of boron application on the yield of different varieties of broccoli in hill valley. Bangladesh. J. Agril. Res. 33(3): 655-657. Fonseca AE, Westgate ME. 2005. Relationship between desiccation and viability of maize pollen. Field Crops Research 94: 114-125. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta (ID) Galletta GJ. 1983. Pollen and seed management p. 23-35. In Moore JN, Janick J (eds.). Methods and Fruit Breeding. West Lafayette: Purdue Univ Press. Gharoobi B. 2011. Effect of seed size on seedlings characteristics of five barley cultivars. Iranian Journal of Plant Physiology. 1(4): 265-270.
30
Gungula DT, Togun AO, Kling JG. 2005. The influence of N rates on maize leaf number and senescence in Nigeria. World J. Agric. Sci. 1(1): 01-05. Hipi A. 2013. Evaluasi Kemurnian Genetik dengan Marka Mikrosatelit dan Aplikasi Rizobakteri untuk Meningkatkan Produksi dan Mutu Fisiologis Benih Jagung Hibrida. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): IPB. Herniwati, Tandisau P. 2009. Kajian Pemupukan N, P dan K pada Jagung Komposit Varietas Sukmaraga di Kabupaten Luwu Utara. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai PenelitianTanaman Serealia. Maros. (ID). Ilyas S. 2012. Ilmu dan teknologi benih: Teori dan hasil-hasil penelitian. Bogor (ID). IPB Press. Kasryno F, Pasandaran E, Suyamto, dan Adnyana MO. 2007. Gambaran umum ekonomi jagung Indonesia. Di dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H. editor. Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 474-479. Kiran J. 2006. Effect of Fertilizer, Biofertilizer and Micronutrients on Seed Yield and Quality of Brinjal (Solanum molongena L.). [Thesis]. Department of Seed Science and Technology. College of Agriculture. Dharwad University of Agricultural Sciences. Dharwad. Kumar AR, Kumar N, Kavino M. 2006. Role of potassium in fruit crops-a review. Agric. Rev. 27(4): 284-291. Lazarde I, Ramadhani M. 2011. Swasembada Pangan Kekurangan Benih. Republika.online.html. [21 Januari 2012]. Liakopoulos G, Karabourniotis G. 2005. Boron deficiency and concentrations and composition of phenolic compounds in Olea europaea leaves: a combined growth chamber and field study. Tree Physiology. 25: 307-315. Lomer AM, Zade VA, Chogan R, Amiri E. 2012. Effect of nitrogen on the growth levels and development of maize hybrids in the condition of amino acids application. Intl J Agri Crop Sci. 4(14): 984-992. Loomis WD, Durst RW. 1992. Chemistry and biology of boron. BioFaktors. 3: 229-239. Lora J, de-Oteyza MAP, Fuentetaja P, Hormaza JI. 2006. Low temperature storage and in vitro germination of cherimoya (Annona cherimola Mill.) pollen. Scientia Horticulturae. 108: 91-94. Lordkaew S, Dell B, Jamjod S, Rerkasem B. 2010. Boron deficiency in maize. Plant Soil. Springer Science. Luna, S, Figueroa VJ, Baltazar MB, Gomez MR, Townsend LR, Schoper JB. 2001. Maize pollen longevity and distance isolation requirements for effective pollen kontrol. Crop Sci. 41: 1551-1557. Malvi UR. 2011. Interaction of micronutrients with major nutrients with special reference to potassium. Karnataka J. Agric. Sci. 24(1): 106-109. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. London (UK): Academic Press Limited. Matana YR. Pengaruh Penyadapan dan Posisi Tandan terhadap Mutu Benih serta Teknik Konservasi Kecambah terhadap Pertumbuhan Bibit Aren (Arenga pinnata (Wurb) Merr) [Thesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): IPB. Meena RS. 2010. Effect of boron on growth, yield and quality of tomato (Lycopersicon esculentum Mill.) cv. Pusa Ruby Grown under semi-arid
31
conditions. International Journal of Chemical Engineering Research. 2(2): 167–172. Mejaya MJ, Azrai M, Iriany RN. 2007. Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros (ID). 19 hal. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron. Indonesia. 37(1): 55-61. Muui CW, Muasya RM, Rao N, Anjichi VE. 2007. Pollen longevity in ecologically different zones of Western Kenya. African Crop Science Journal. 15(1): 43-49. Mosali J, Girma K, Teal RK, Freeman KW, Martin KL, Raun WR. 2005. Effect of foliar application on winter grain yield, phosphorus uptake and use efficiency. J Plant Nutr. 29: 2147-2163. Nepi M, Cresti L, Guarnieri M, Pacini E. 2010. Effect of relatif humidity on water content, viability and carbohydrate profile of Petunia hybrid and Cucurbita pepo pollen. Plant Sistematics and Evolution. 284: 57-64. Novriani 2010. Alternatif pengelolaan unsur hara P (fosfor) pada budidaya jagung. Agronobis: (2): 42-49. Obermeyer G, Kriechbaumer R, Strasser D, Maschessnig A, Bentrup FW. 1996. Boric acid stimulates the plasma membrane HC-ATPase of ungerminated lily pollen grains. Physiol. Plant. 98: 281-90. Onasanya RO, Aiyelari OP, Onasanya A, Oikeh S, Nwilene FE, Oyelakin OO. 2009. Growth and yield response of maize (Zea mays L.) to different rates of nitrogen and phosphorus fertilizers in Southern Nigeria. World Journal of Agricultural Sciences. 5(4): 400-407. Perveen A, Ali S. 2011. Pollen germination capacity and maintenance of pollen in Praecitrullus fistulosus (stocks) pangola (Cucurbitaceae). Pak. J Bot. 3(1): 47-50. Prawiranata W, Haran S, Tjondronegoro P. 1991. Fisiologi Tumbuhan. Volume 2. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Bogor (ID). IPB. Reddy PS, Reddy RMG, Veeraghavaiah R, Subramayam K, Reddy SD. 1985. Response of tomato to micronutrients. South Indian Horticulture. 33:2325. Rosliani R, Palupi ER, Hilman Y. 2012. Penggunaan Benzil Amino Purin dan boron untuk meningkatkan produksi dan mutu benih true shallots seed bawang merah (Allium cepa varietas ascalonicum) di dataran tinggi. J.Hort. 22(3): 242-250. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tanaman. Jilid 3. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah; Niksolohin S, editor. Terjemahan dari: Plant Physiologi. Bandung (ID). ITB. Satpal, Saimbhi. 2003. Effect of varying levels of nitrogen and phosphorus on earliness and yield of brinjal hybrids (Solanum melongena L.). Research on Crops. 4(2): 217-222. Shapiro CS, Ferguso RB, Hergert GW, Wortmann, Walters DT. 2008. Fertilizer suggestion for corn. http://ianrpubs.unl.edu/live/ec117/build/ec117.pdf. [21 Januari 2012]. Sharma SK. 1995. Response of boron and calcium nutrition on pant growth, fruitand seed yield of tomato. Vegetabel Science. 22: 27-29.
32
Sharma SK. 1999. Effect of boron and calcium on seed production of Bell pepper (Capsicum annuum L.). Vegetabel Science. 26: 87-88. Shelp BJ, Marentes E, Kitheka AM, Vivekanandan P. 1995. Boron mobility in plants. Plant. Physiol. 94: 356-361. Singh DP, Rana NS, Singh RP. 2000. growth and yield of winter maize (Zea mays L.) as influenced by intercrops and nitrogen application. Indian J. Agronomi 45: 515-519. Sobir, M.R. Suhartanto, E. Gunawan. 2010. Komersialisasi Varietas Melon Unggul IPB. http://lppm.ipb.ac.id. [2 Desember 2013]. Subekti NA, Syafruddin, Effendi R, Sunarti S. 2007. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Di dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasim H. (eds). Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 16-28. Suyamto. 2010. Strategi dan implementasi pemupukan rasional spesifik lokasi. Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4): 306-318. Syafruddin, Zubachtirodin. 2010. Penggunaan Pupuk NPK Majemuk 20:10:10 pada Tanaman Jagung. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros (ID). Syukur A. 2005. Penyerapan boron oleh tanaman jagung di tanah pasir pantai bugel dalam kaitannya dengan tingkat frekuensi penyiraman dan pemberian bahan organik. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 5(2): 2026. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd Ed. Sunderland (GB): Sinauer Associates. 690 p. Tisdale, SL, Nelson WL, Beaton JD. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Four Edition. New York (USA): Mac Millan Publ. Co. Inc. Tandisau P, Thamrin M. 2009. Kajian pemupukan N, P, dan K terhadap jagung (Zea mays Linn) pada lahan kering tanah typic ustropepts. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 12(2): 126-134. Visser T. 1995. Germination and storage of pollen. Meded Landb Hoogesch.55: 1–68. Wang BSP, Charest PJ, Downie B. 1993. Ex Situ Storage of Seed, Pollen, and In Vitro Cultures of Perennial Woody plant Species. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nation. Rome. Wang ML, Hsu CM, Chang LC, Wang CS, Su TH, Huang YJJ, Jiang L, Jauh GY. 2004. Gene expression profiles of cold-stored and fresh pollen to investigate pollen germination and growth. Plant Cell Physiol. 45(10): 1519–1528. Widiastuti A, Palupi ER. 2008. Viabilitas serbuk sari dan pengaruhnya terhadap keberhasilan pembentukan buah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Biodiversitas. 9(1): 35-38. Zhang SB, Jian LC, Qian YQ, Bajaj YPS. 1994. Cryopreservation of Germplasm of Maize. Biotecnology in Agriculture and Forestry. 25(3): 619-628.
33
LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Varietas Bima 3 Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 76/Kpts/SR.120/2/2007 Tanggal : 7 Pebruari 2007
DESKRIPSI VARIETAS BIMA 3 Asal Golongan Umur
Tinggi tanaman Keragaman tanaman Batang Warna batang Jumlah daun Bentuk spika Warna glume Warna spikelet Warna rambut Perakaran Kedudukan tongkol Bentuk tongkol Kelobot Tipe biji Baris biji Warna biji Jumlah baris/tongkol Bobot 1000 biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan Keterangan
Pemulia Pengusul
: Nei9008/Mr14, Nei9008 dikembangkan dari galur introduksi Departemen Pertanian Thailand : Hibrida silang tunggal (silang cross) : Dalam 50% keluar serbuk sari + 55 hari 50% keluar rambut + 56 hari Masak fisiologis + 100 hari : + 200 cm : Seragam : Sedang dan tegak : Hijau sedikit ungu : 12 – 14 helai : Kompak : Krem : Krem : Krem : Sangat baik : + 98 cm : Silindris : Menutup dengan baik : Setengah mutiara (semi flint) : Lurus : Jingga : 12 – 14 baris : + 359 g : 8.27 ton/ha pipilan kering : 10 ton/ha pipilan kering : Toleran terhadap penyakit bulai (P. maydis) : Beradaptasi baik pada lahan subur dan lahan sub-optimal populasi dapat mencapai 70.000 tanaman/ha : Made Jana Mejaya, R. Neni Iriany, Andy Takdir M., M. Isnani, Achmad Muliadi, Amrizal Nazar : Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros
34
Lampiran 2. Deskripsi Galur Tetua Jantan Bima 3 (Mr14) Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 76/Kpts/SR.120/2/2007 Tanggal : 7 Pebruari 2007
DESKRIPSI TETUA JANTAN Mr14 Asal Golongan Umur
Tinggi tanaman Keragaman tanaman Batang Warna daun Jumlah daun Bentuk kanopi daun Warna glume Warna spikelet Produk tepung sari Warna rambut Perakaran Kedudukan tongkol Ukuran tongkol Penutupan kelobot Warna biji Tipe biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap hama maydis) dan penyakit
: Populasi Suwan 3 : Galur murni : Dalam 50% keluar serbuk sari + 56 hari 50% keluar rambut + 74 hari Masak fisiologis + 105 hari : + 170 cm : Sangat seragam : Besar dan kokoh : Hijau tua : 12 – 14 helai : Tegak dan lebar : Hijau : Krem : Sangat banyak : Krem : Sangat baik : + 85 cm : Besar dan panjang + 19 cm : Menutup tongkol dengan sempurna (+ 99%) : Kuning : Mutiara (Flint) : 1.50 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15% : 2.50 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15% : Agak toleran terhadap penyakit bulai (P.
35
Lampiran 3. Deskripsi Galur Tetua Betina Bima 3 (Nei9008) Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 76/Kpts/SR.120/2/2007 Tanggal : 7 Pebruari 2007
DESKRIPSI TETUA BETINA Nei9008 Asal Golongan Umur
Tinggi tanaman Keragaman tanaman Batang Warna batang Warna daun Jumlah daun Bentuk kanopi daun Warna glume Warna spikelet Produk tepung sari Warna rambut Perakaran Kedudukan tongkol Ukuran tongkol Penutupan kelobot Baris biji Jumlah baris biji per tongkol Warna biji Tipe biji Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap hama dan penyakit
: Introduksi dari Departemen Pertanian Thailand : Galur murni : Dalam 50% keluar serbuk sari + 53 hari 50% keluar rambut + 54 hari Masak fisiologis + 100 hari : + 140 cm : Sangat seragam : Kokoh dan tegak : Hijau sedikit keunguan : Hijau : 12 – 14 helai : Tegak dan agak lebar : Hijau : Krem : Sangat banyak : Merah : Baik : + 45 cm : Agak besar dan panjang + 18 cm : Menutup tongkol dengan sempurna (+ 99%) : Lurus : + 12 baris : Kuning : Mutiara (Flint) : 1.60 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15% : 2.8 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15% : Toleran terhadap penyakit bulai (P. maydis)
36
Lampiran 4. Hasil Analisis Tanah pada Lokasi Percobaan
Peubah Pengujian
Satuan
Keterangan*)
Metode Ekstraksi
Nilai
H2O
4.6
Walkley and Black Kjeldahl Bray I/II
0.92 0.13 7.1 2.7
ppm
Sangat rendah Rendah Rendah Sangat rendah
NH4OAc 1.0 N pH 7.0 NH4OAc 1.0 N pH 7.0 NH4OAc 1.0 N pH 7.0 NH4OAc 1.0 N pH 7.0
7.36 1.98 0.76 0.33
cmol/kg cmol/kg cmol/kg cmol/kg
Sedang Sedang Tinggi Rendah
NH4OAc 1.0 N pH 7.0 NH4OAc 1.0 N pH 7.0
12.53 83.24
cmol/kg %
Sedang Sangat Tinggi
KCl 1 N KCl 1 N
0.35 0.03
me/100g me/100g
Sangat rendah Sangat rendah
Hidrometer Hidrometer Hidrometer
2.6 41.4 56
% % %
AAS
0.34
ppm
pH H2O (1:1) Bahan organik C Organik N Total Rasio C/N P2O5 Tersedia Kation-kation dapat ditukar Ca Mg K Na Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kation Bebas (KB) Al-Hdd Al3+ H+ Sebaran butir (Tekstur 3 Fraksi) Pasir Debu Liat Logam Total Boron (B) Tersedia
Sumber: Laboratorium Tanah dan Tanaman, Seameo Biotrop *) berdasarkan Hardjowigeno
Masam % %
Rendah
37
Lampiran 5. Data Klimatologi di Lokasi Penelitian pada Bulan April – Oktober 2013
Lokasi Koordinat Elevasi
: Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan : 06”18’15.2” LS – 106”45’38.2” BT : 41 meter dpl
Unsur Klimatologi Suhu Udara Rata-rata (oC) Jumlah Curah Hujan (mm bulan-1) Jumlah Hari Hujan (hari) Kelembaban Rata-rata (%)
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
27.9
27.5
27.9
26.8
28.0
28.5
28.7
587.5
367.3
138.2
294.5
155.6
52.2 183.5
19
23
16
21
8
13
19
78.1
77.7
74.7
79.3
69.0
69.0
68.2
Sumber: Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah II Ciputat 2013
38
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 21 Januari 1981 dari bapak Basir dan ibu Siti Romlah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis menikah dengan Achemad Rofi’i dan dikaruniai dua orang putri bernama Hanania Hafuza Zafaraz dan Khaira Asfa Zaafarani. Penulis lulus dari SMU Negeri 2 Madiun pada tahun 1999 dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) di Institut Pertanian Bogor. Penulis menjadi mahasiswa program Studi Hortikultura, Jurusan Budidaya Pertanian, IPB dan lulus pada tahun 2004. Penulis menjadi salah satu penerima beasiswa Super Semar dan aktif sebagai pengurus pusat Himpunan Mahasiswa Agronomi se-Indonesia (HIMAGRI) selama menjalani studi S1. Penulis bekerja sebagai staf Bidang Tanaman Kehutanan dan Perkebunan, Pusat Teknologi Produksi Pertanian (PTPP), TAB, BPPT pada tahun 2005. Penulis mendapatkan kesempatan studi pasca sarjana melalui beasiswa Program Peningkatan Keterampilan dan Pendidikan (PPKP) oleh Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan,BPPT tahun 2009.