34
PEMBAHASAN Produksi Serbuk Sari Ketersediaan serbuk sari yang berkualitas merupakan salah satu faktor penting dalam proses produksi benih. Ketersediaan serbuk sari menentukan keberlangsungan produksi benih. Serbuk sari yang disimpan dan digunakan untuk produksi benih hanya serbuk sari dengan viabilitas diatas 50%. Berdasarkan data pada Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan produksi serbuk sari berdasarkan progeni. Rata-rata produksi serbuk sari tertinggi yaitu progeni Nigeria sebesar 1,494.33 g (26.64%), sedangkan yang terkecil progeni Dami dengan produksi sebesar 502.33 g (8.95%). Jumlah produksi serbuk sari secara umum cenderung menurun dari tahun 2009-2011. Penurunan ini disebabkan jumlah produksi tandan bunga jantan induk pisifera mengalami penurunan. Jumlah dan persentase produksi serbuk sari dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Produksi Serbuk Sari Progeni Ekona Avros Dami ………..gram………. 2009 2,127 818 2,079 25 700 2010 1,382 795 1,101 953 91 2011 974 591 1,268 1,512 716 Rata-rata 1,494.33 734.66 1,482.67 830 502.33 Persentase 26.63% 13.09% 26.42% 14.79% 8.95% Sumber Data: Divisi Persiapan Serbuk Sari Tahun
Nigeria
Ghana
Yangambi 810 503 390 567.67 10.11%
Total 6,559 4,825 5,451 5,611.67 100%
Produksi tandan bunga jantan berkaitan dengan sex ratio tanaman kelapa sawit. Sex ratio merupakan perbandingan antara jumlah bunga betina dengan seluruh bunga yang diproduksi pada suatu waktu tertentu. Semakin tinggi sex ratio maka semakin banyak tandan bunga betina yang diproduksi. Sex ratio dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Menurut Harahap (2008) pada kondisi tidak terdapat cekaman lingkungan, nilai rata-rata sex ratio bunga kelapa sawit adalah 0.63 dengan jumlah tandan bunga yang aborsi sebesar 10%. Dari hasil penelitian sebelumnya menyebutkan antara lain defoliasi pada tanaman kelapa sawit dapat menurunkan sex rationya (Corley et al., 1995), cadangan fotosintat juga ikut mempengaruhi sex ratio (Williams dan Thomas,
35 1970).
Djufry
(2000)
menyatakan
bahwa
aplikasi
pupuk
1.38
kg
nitrogen/pohon/tahun kecenderungan memberikan jumlah tandan bunga betina dan sex ratio lebih besar dibandingkan dengan tanpa aplikasi pupuk nitrogen. Berbagai perlakuan telah dilakukan oleh BSM untuk menginduksi pembungaan tandan bunga jantan seperti pengurangan jumlah pelepah, cekeman kekeringan, pengurangan penggunaan pupuk, tetapi hasil yang diperoleh menunjukkan tidak adanya peningkatkan produksi tandan bunga jantan. Pemberian zat pengatur tumbuh seperti giberelin dapat menginduksi pembungaan bunga jantan. Menurut Corley (1976) penggunaan giberelin menunjukkan peningkatan produksi bunga jantan dan mengurangi produksi bunga betina. Penggunaan giberelin dapat menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman sehingga organ reproduktif seperti bunga untuk berkembang lebih baik. Pengaruh Viabilitas Serbuk Sari terhadap Jumlah Benih per Tandan Viabilitas serbuk sari menunjukkan jumlah serbuk sari yang hidup sehingga semakin tinggi viabilitas serbuk sari yang digunakan maka peluang keberhasilan penyerbukan akan semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji-t pada jumlah rata-rata benih yang dihasilkan, penggunaan serbuk sari viabilitas 60-70% tidak berbeda nyata terhadap penggunaan serbuk sari viabilitas 70-80% dan begitu juga pada penggunaan serbuk sari viabilitas 70-80% tidak berbeda nyata dengan serbuk sari viabilitas 80-90%. Jumlah rata-rata benih normal terlihat berbeda nyata pada penggunaan serbuk sari viabilitas 80-90%. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah rata-rata benih normal seiring dengan peningkatan viabilitas serbuk sari. Hal ini sejalan dengan pernyataan Widiastuti (2008) bahwa penurunan buah normal dan peningkatan buah abnormal terjadi dengan semakin rendah viabilitas serbuk sari. Dari hasil analisis regresi menunjukkan bahwa pengaruh viabilitas serbuk sari terhadap jumlah rata-rata benih normal membentuk garis linier dengan persamaan: Y=181x + 884, dengan R2=0.982. Jumlah rata-rata benih normal pada berbagai viabilitas serbuk sari dapat dilihat pada Tabel 6.
36 Tabel 6. Rekapitulasi Uji Beda Nyata Terkecil Pengaruh Viabilitas Serbuk Sari terhadap Rata-rata Jumlah Benih Normal Viabilitas Serbuk Sari
Jumlah Tandan Diserbuki
60-70 70-80 60-70 80-90 70-80 80-90
10 10 10
Rata-rata Jumlah Benih Normal (butir/tandan) 1,079.40 1,218.60 1,079.40 1,441.70 1,218.60 1,441.70
t-value
Pr >|t|
-0.95tn
0.3563
-2.40*
0.0276
-1.32tn
0.2023
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5% *= berbeda nyata pada taraf 5%
Hasil analisis korelasi diperoleh nilai korelasi sebesar 0.991 dan p-value 0.085. Hal ini menujukkan bahwa peningkatan jumlah rata-rata benih normal tidak nyata terhadap peningkatan viabilitas serbuk sari. Produksi benih normal tidak hanya ditentukan oleh faktor viabilitas serbuk sari tetapi juga dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman dan faktor lingkungan. Milkos (1989) menyatakan bahwa kemampuan menghasilkan benih normal dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman selain faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan penyerbukan antara lain suhu, curah hujan dan ada tidaknya hama dan penyakit. Turner dan Gilbanks (1982) menyatakan bahwa pembentukan buah normal tergantung pada jumlah bunga mekar yang diserbuki di dalam satu tandan. Jumlah bunga normal yang terbentuk sangat ditentukan oleh jumlah spikelet dalam satu tandan dan jumlah bunga setiap spikelet. Pengaruh Curah Hujan terhadap Persentase Produksi Tandan Buah Segar Calon Benih Penyerbukan yang dilakukan oleh pollinator tidak semuanya akan berhasil menyerbuki bunga betina dan menjadi tandan buah. Tandan buah hasil penyerbukan dipanen pada umur ± 150 hari setelah penyerbukan. Bunga betina yang diserbuki pada Agustus 2010 dipanen pada Januari 2011. Persentase tandan dipanen menggunakan perhitungan sebagai berikut: Persentase Ta
umlah Tandan BuahDipanen 100% umlah Penyerbukan
37 Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa persentase tandan dipanen dari Agustus 2010 – Juli 2011 cukup tinggi diatas 69%. Data rata-rata curah hujan diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata curah hujan per bulan dari waktu polinasi hingga tandan buah dipanen. Persentase tandan dipanen tertinggi terjadi pada bulan polinasi Oktober 2010, yaitu 97.92% dengan rata-rata curah hujan 211.33 mm/bln, sedangkan yang terendah terjadi pada bulan polinasi Agustus 2010, yaitu 69.95% dengan rata-rata curah hujan 195.33 mm/bln. Secara umum terlihat bahwa rata-rata curah hujan yang tinggi menyebabkan persentase tandan dipanen juga tinggi, tetapi pada bulan polinasi Mei 2011 dengan curah hujan yang cukup rendah, yaitu 87.58 mm/bln diperoleh persentase tandan dipanen cukup tinggi, yaitu 87.16%. Hasil analisis korelasi diperoleh nilai korelasi 0.402 dan pvalue 0.195. Analisis korelasi menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan per bulan tidak berpengaruh nyata terhadap tandan dipanen. Kramer (1983) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat menyebabkan pembungaan tidak normal, aborsi embrio, dan perkembangan biji dan buah tidak normal. Persentase tandan dipanen dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh Curah Hujan Bulanan terhadap Persentase Tandan Dipanen dan Produksi Tandan Waktu Polinasi
Penyerbukan (tandan)
Waktu Panen
Panen (tandan)
Agus-2010 742 Jan-2011 519 Sep-2010 650 Feb-2011 617 Okt-2010 768 Mar-2011 752 Nop-2010 821 Apr-2011 795 Des-2010 848 Mei-2011 814 Jan-2011 1,564 Jun-2011 1,485 Feb-2011 1,582 Jul-2011 1,452 Mar-2011 1,682 Agus-2011 1,539 Apr-2011 1,697 Sep-2011 1,546 Mei-2011 1,854 Okt-2011 1,616 Jun-2011 1,551 Nop-2011 1,319 Jul-2011 1,801 Des-2011 1,375 Sumber: Kantor Besar PT. Bina Sawit Makmur (dianalisis)
Rata-rata Curah Hujan (mm/bln) 195.33 154.83 211.33 241.16 238.33 214.33 204.83 188.83 113.16 87.58 91.75 127
Tandan dipanen (%) 69.95 94.92 97.92 96.83 95.99 94.95 91.78 91.50 91.10 87.16 85.04 76.35
38 Proses Produksi Benih Divisi persiapan benih (seed preparation unit) berperan dalam mempersiapkan
benih
berkualitas
baik
untuk
dilanjutkan
ke
proses
pengecambahan. Proses di divisi persiapan benih dimulai dari tandan buah kemudian diproses sehingga diperoleh benih yang baik. Setiap tahapan proses di divisi persiapan benih menentukan mutu benih yang dihasilkan. Mutu benih merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya tumbuh benih di lapangan. Mutu benih mencakup mutu fisiologis, genetik, fisik. Tahapan-tahapan kegiatan divisi persiapan benih sangat berkaitan dengan perlakuan fisik. Perlakuan fisik dapat menyebabkan kerusakan pada benih. Persentase benih rusak tertera pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Kerusakan Benih pada Proses Persiapan Benih Ref. No C03.590.12 C03.601.12 C03.612.12 C03.625.12 C03.640.12 Rata-rata Persentase
Normal 2,934 1,262 1,085 857 1,498 1,527.2 95.23%
Kecil 76 12 49 17 56 42 2.61%
Putih 123 5 11 4 1 28.8 1.79%
Rusak 14 7 3 2 2 5.6 0.34%
Total 3,147 1,286 1,148 880 1,557 1,603.6 100%
Sumber: Hasil Pengamatan (2012)
Tabel 8 terlihat bahwa persentase benih rusak selama proses di divisi persiapan benih sebesar 0.34%. Benih banyak yang rusak pada saat proses pencacahan dan depericarping. Kegiatan proses pencacahan dan perontokkan (fruit removal) masih dikerjakan secara manual yang membutuhkan tenaga yang cukup besar, waktu dan keahlian dari pekerja tersebut. Oleh sebab itu, kondisi pekerja dapat mempengaruhi hasil pekerjaan, terutama pada proses pencacahan sangat menentukan jumlah benih rusak. Sebagian besar tahapan proses produksi di divisi persiapan benih masih dikerjakan secara manual sehingga pekerja memegang peranan penting dalam melakukan setiap proses produksi. Jumlah tandan buah yang diterima oleh divisi persiapan benih selalu berfluktuasi mengikuti keadaan iklim dan permintaan dari konsumen. Perubahan jumlah tandan buah yang diterima akan mempengaruhi jumlah pekerja yang dibutuhkan. Peningkatan jumlah tandan yang diterima menyebabkan penambahan
39 jumlah tanaga kerja atau penambahan jumlah jam kerja. Penambahan ini akan menyebabkan peningkatan biaya dan waktu proses. Oleh karena itu, perlu pengadaan mesin pencacah dan pemipil untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses persiapan benih. Pengadaan mesin ini diharapkan dapat meningkatkan mutu fisik benih yang dihasilkan. Waktu panen yang tepat juga ikut mempengaruhi mutu benih yang dihasilkan. Tandan buah dipanen pada umur ± 150 hari setelah penyerbukan atau telah menunjukkan masak fisiologis. Pada kegiatan pemanenan, karyawan pemanen hanya berdasarkan pengamatan visual di lapangan. Tandan buah dipanen berdasarkan kriteria kulit buah berwarna merah atau dengan melihat warna mesokarp yang sudah berwarna kekuningan. Penggunaan metode ini masih diperoleh tandan buah yang busuk. Hal ini disebabkan oleh pemanen kurang teliti sehingga ada beberapa tandan buah yang siap panen terlewati. Oleh sebab itu, karyawan pemanen sebaiknya diperlengkapi dengan data penyerbukan sehingga pemanen mengatahui dengan tepat tandan buah yang siap panen.