KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA PADA MANUSIA
IRIS RENGGANIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juni 2009
Iris Rengganis NIM G361040081
ABSTRAK
IRIS RENGGANIS. Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia. Dibimbing oleh ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A. RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, dan SRI BUDIARTI. Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe cepat pada manusia terhadap alergen. Alergi terjadi ketika tubuh membuat antibodi IgE secara berlebihan sebagai tanggapan atas suatu alergen. Serbuk sari merupakan alergen lingkungan penting di negara subtropik yang dapat menyebabkan penyakit alergi pada musim berbunga. Meskipun tumbuhan berbunga terjadi sepanjang tahun di Indonesia, namun alergi serbuk sari belum banyak dipelajari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi serbuk sari dari tumbuhan di suatu wilayah di Indonesia yang dapat menyebabkan alergi pada manusia. Alat penangkap serbuk sari Burkard dipasang selama tujuh hari di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, sedangkan penangkap serbuk sari pasif dengan gelas objek berperekat dipasang di wilayah Darmaga Bogor, Pasar Minggu dan Jagakarsa di Jakarta Selatan. Serbuk sari yang tertangkap diidentifikasi dibawah mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), yaitu serbuk sari akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), jagung (Zea mays), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Bobot molekul profil protein ekstrak serbuk sari didominasi oleh pita-pita berukuran 10-70 kD pada analisis sodium dodecyl sulfatepolyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Ekstrak protein serbuk sari tersebut dan ekstrak serbuk sari campuran rumput komersial (Grasses mix) digunakan sebagai pembanding, diuji pada orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masingmasing 69 orang dengan menggunakan metode uji tusuk kulit. Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit dibandingkan dengan sensitivitas orang terhadap Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit
ABSTRACT
IRIS RENGGANIS. Allergenicity of Indonesian Pollen in Human. Supervised by ALEX HARTANA, EDI GUHARDJA, MIEN A.RIFAI, SAMSURIDJAL DJAUZI, and SRI BUDIARTI. Allergy is a human immediate hypersensitive reaction to allergens. It occurs when the body produces an excess of IgE antibody as response to allergen. Pollens are important environmental allergens in subtropical countries which contribute to significant morbidity especially during the pollination period. Despite the all year long of plants flowering in Indonesia, pollen allergy has not been well studied. The objectives of this study were to identify pollen from plants in a given area in Indonesia which may cause allergy in human. A Burkard spore trap was set for seven days sampling in Lebak Bulus, district in South Jakarta, while a passive collectors with adhesive object glass were placed in Darmaga Bogor, Pasar Minggu and Jagakarsa in South Jakarta. Using light and scanning electron microscopes (SEM), pollens that were trapped and identified were acacia (Acacia auriculiformis), cogon grass (Imperata cylindrica), coconut (Cocos nucifera), palm trees (Elaeis guineensis), maize (Zea mays), rice (Oryza sativa), and pine (Pinus merkusii). Molecular weight of protein profiles from those pollen extract using sodium dodecyl sulfatepolyacrylamide gel electrophoresis analysis (SDS-PAGE) were dominated by 10-70 kD bands. Allergenicity in human to those pollen commercial Grasses mix extract was also included in the test to people with and without history of allergy, 69 people each, using the skin prick test method. The seven pollen of plants trapped in Indonesia are allergenic. Human sensitivity to Cogon grass and acacia pollen are more severe than to the rest of other pollen, however, the sensitivity was most found to commercial allergens of Grasses mix. People with respiratory allergy was more sensitive than people without history of allergy. Meanwhile, human sensitivity to acacia was the same in those two groups of people. Pollen of Cogon grass and acacia are potential allergens to be used for skin prick test in Indonesia. Acacia trees are not recommended to be utilized as a shading tree since their pollen showed sensitivity reaction in human.
Keywords: pollen, allergen, sensitivity, skin prick test.
RINGKASAN Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Salah satu bentuk alergi adalah alergi pernapasan, misalnya rinitis alergi dan asma bronkial. Alergi merupakan penyakit yang diturunkan dan muncul akibat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu, alergi tidak dapat diobati secara tuntas, tetapi pemicu yang terdapat di lingkungan dapat dikontrol dan dihindari dengan cara memberi penyuluhan pada pasien. Salah satu alergen lingkungan yang penting namun terabaikan adalah serbuk sari tumbuhan. Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman saat dengan berbunganya tumbuhan di musim semi sampai musim panas. Penyebaran serbuk sari ini sangat bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi. Sebagian besar serbuk sari yang menyebabkan alergi di negara empat musim berasal dari rumput-rumputan. Di Indonesia, tumbuhan berbunga sepanjang tahun dan penyebaran serbuk sari terjadi setiap saat. Namun sampai kini belum terdapat studi yang menyeluruh tentang serbuk sari tumbuhan mana saja yang berpotensi menyebabkan alergi pernapasan pada manusia, yaitu rinitis alergi dan asma bronkial. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman flora yang tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya pajanan terhadap serbuk sari sangat besar. Diketahui serbuk sari kelapa sawit, kelapa genjah, jagung dan pinus alergenik pada hewan. Oleh karena itu diperlukan penelitian tentang sensitivitas terhadap serbuk sari tumbuhan yang ada di Indonesia pada manusia. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul (BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE), untuk mengetahui potensi kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit, baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi. Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap pasif dan alat penangkap Burkard, identifikasi serbuk sari menggunakan mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), penentuan BM protein serbuk sari alergenik menggunakan analisis SDS-PAGE. Alergen serbuk sari diuji secara klinis pada kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan cara uji tusuk kulit. Penangkapan serbuk sari dilakukan di wilayah Darmaga, Bogor dan Jakarta Selatan, yaitu Lebak Bulus, Pasar Minggu dan Jagakarsa. Alat penangkap Burkard yang dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai Desember 2006 di Lebak Bulus berhasil menangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, pinus, dan rumputrumputan. Rumput yang banyak tumbuh di daerah tersebut adalah alang-alang. Di Kecamatan Pasar Minggu dan Jagakarsa tertangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, jagung, rumput-rumputan (terbanyak alang-alang) dan pinus. Serbuk sari padi, jagung, dan alang-alang tertangkap di Darmaga Bogor. Serbuk sari diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium Biologi Tumbuhan
vi
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Ukuran serbuk sari yang didapat berkisar antara 20-100 µm. Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji tusuk kulit dilakukan di Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit (RS) Cipto Mangunkusumo, Klinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB. Bahan untuk ekstrak protein berupa serbuk sari yang dipilih adalah akasia (Acacia auriculiformis), alang-alang (Imperata cylindrica), jagung (Zea mays), kelapa genjah (Cocos nucifera), kelapa sawit (Elaeis guineensis), padi (Oryza sativa), dan pinus (Pinus merkusii). Selain itu digunakan alergen ekstrak serbuk sari Grasses mix 1. Bent grass (Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4. Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6. Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10. Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire fog (Holcus lanatus). Juga digunakan alergen tungau debu rumah jenis Dermatophagoides pteronisinnus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f), kontrol positif histamin, dan untuk kontrol negatif dipakai phosphate buffer saline (PBS) yang digunakan sebagai pelarut. Responden penelitian untuk uji tusuk kulit terdiri dari kelompok orang dengan riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi, masing-masing 69 orang dengan rentang usia antara 19-55 tahun. Derajat sensitivitas dikategorikan berdasarkan besarnya bentol pada uji tusuk kulit, yaitu positif (+) 1 bila bentol berukuran 3-5 mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm dan + 4: > 20 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serbuk sari alang-alang dan akasia paling banyak menghasilkan reaksi positif pada uji tusuk kulit yang menunjukkan telah terjadi sensitisasi. Selain itu, alergen komersial Grasses mix menghasilkan sensitivitas yang lebih tinggi pada kedua kelompok dibanding terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia. Di dalam ekstrak alergen Grasses mix terdapat serbuk sari Cynodon dactylon, yang ternyata merupakan salah satu jenis rumput yang banyak terdapat di Indonesia. Karena itu sebaiknya dilakukan uji sensitivitas juga terhadap Cynodon dactylon untuk mengetahui seberapa besar telah terjadi sensitisasi. Hasil analisis SDS-PAGE protein serbuk sari, mendapatkan rentang BM antara 10-70 kD, yang merupakan rentang BM protein alergenik. Sebagai simpulan, penelitian ini berhasil mendapatkan ekstrak alergen serbuk sari dari tujuh jenis tumbuhan di Indonesia, yaitu alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi, dan pinus. Uji tusuk kulit terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok dengan riwayat alergi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa riwayat alergi. Selain itu, sensitivitas terhadap serbuk sari akasia sama tingginya pada kedua kelompok. Dengan demikian, serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai bahan alergen untuk uji tusuk kulit di Indonesia. Akasia perlu dipertimbangkan kembali sebagai pohon peneduh, karena serbuk sarinya ternyata berpotensi menyebabkan reaksi sensitivitas pada manusia. Kata kunci: serbuk sari, alergen, sensitivitas, uji tusuk kulit
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh Disertasi ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Disertasi dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEALERGENIKAN SERBUK SARI INDONESIA PADA MANUSIA
IRIS RENGGANIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
Dr. Rita Megia, DEA Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Ujian Terbuka:
Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Prof. Dr. dr. Heru Sundaru, SpPD, K-AI Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Judul Disertasi : Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia Nama : Iris Rengganis NIM : G361040081
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir.Alex Hartana, MSc. MSc. Ketua
Prof.Dr.Ir.Edi Guhardja, Anggota
Prof.Dr.Mien A.Rifai, MSc. FACP Anggota
Prof.Dr.dr.Samsuridjal Djauzi, SpPD, KA-I, Anggota
Dr.dr.Sri Budiarti Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir.Dedy Duryadi Solihin, DEA
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 10 Juli 2009
Tanggal Lulus: 17 Juli 2009
Disertasi ini kudedikasikan kepada Kedua Orang tuaku tercinta
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, atas rahmat dan karunia Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dimulai sejak bulan Maret 2005 hingga Mei 2008, dengan judul Kealergenikan Serbuk Sari Indonesia pada Manusia. Pada kesempatan ini, pertama-tama penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana MSc, Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, MSc, Prof. Dr. Mien A. Rifai, MSc, Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD, K-AI, FACP, dan Dr. dr. Sri Budiarti atas bimbingan, kesabaran, pengkayaan wawasan, kritik, saran dan dukungan moril yang sangat besar dalam penyelesaian Disertasi ini. Begitu juga ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA, Ketua Program Studi Biologi Pasca Sarjana IPB yang banyak memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Kepada Dr. Ir. Kiagus Dahlan selaku Wakil Dekan dan Dr. Rita Megia, DEA selaku penguji luar komisi yang telah berkenan dan meluangkan waktu pada saat ujian tertutup. Selain itu ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan pula kepada: Prof. Pakit Vichyanond, MD dari Faculty of Medicine Mahidol University, Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan pada awal penelitian ini. Prof. Boonchua Dhorranintra, MD dan Kanda Kasetsinsombat dari Palinology Siriraj Hospital, Bangkok Thailand yang telah memberi pengarahan mengenai cara penangkapan serbuk sari dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pelatihan serbuk sari di Bangkok. Chew Fook Tim, PhD dan Ong Tan Ching dari Department of Biological Sciences, National University of Singapore yang telah memberi informasi dan pengarahan mengenai pembuatan alergen serbuk sari. Prof. Dr. dr. Putu Gede Konthen, SpPD, K-AI dari Divisi Alergi Imunologi, Departemen Penyakit Dalam RS Dr.Sutomo, Dra. Siti Farida, SpFRS, Apt dan Ibu Wiwid di Bagian Produksi Alergen Laboratorium Instalasi Farmasi, RS Dr.Sutomo Surabaya yang telah mengijinkan penulis untuk mengikuti prosedur berbagai jenis pembuatan alergen. Dr. Ir. Juliarni, MAgr. dari Departemen Biologi FMIPA IPB yang telah membimbing dengan sabar selama penulis mengikuti mata kuliah khusus Uji Penangkapan Serbuk Sari. dr. Murdiati Umbas dari Dinas Kesehatan Kota DKI yang telah membantu dalam melengkapi data penyakit di Puskesmas DKI. Ir. Catharina Suryowati, MSi, Dra. Marfuah, MSi, Nuning Hendria Sari, SP, Sdri.Wijiastuti SSi, Bapak Tono, dan Bapak Ivan Nurcahyo dari Dinas Pertamanan DKI yang telah membantu melengkapi data tanaman di wilayah Jakarta dan telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di Kebun Bibit Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dra. Titisari Puntorini (Kasubid. Tata Lingkungan), Drh. H. Bambang Triana (Kabid.Konservasi), dan Berliana, DSc. (Staf Bid.Konservasi) dari Taman Margasatwa Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan yang telah mengijinkan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di area tersebut.
xii Dr. Arief Budi Witarto, MEng. dari Laboratorium Kelompok Penelitian Rekayasa Protein Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Nina Maryana, SSi. dan Suwarti, MSi. dari Protein Indonesia Institute, Ibu Ika Malikhah dan Bapak Iwa Sutiwa dari Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB, Ibu Dewi dari Laboratorium Bioteknologi Hewan dan Biomedis PPSHB IPB, serta Bapak Sutiyo dari Laboratorium Tumbuhan PPSHB IPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ir. Endang Purwaningsih, Kartika Dewi, MSi, dan Yuni Apriyanti yang telah membantu pembuatan foto SEM dari Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Juga kepada Himmah Rustiami, MSc. dan Eka Fatmawati T, SSi. yang telah membantu pembuatan preparat serta foto serbuk sari dengan mikroskop cahaya di Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Kepada teman sejawat dr. H. Muh. A. Aristyawan yang mengijinkan uji tusuk kulit pada pasien alergi di Klinik Bulog Jakarta Selatan. Juga kepada Bapak Moh. Thamrin dan Ibu Asri Wahyuni dari Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja yang telah membantu pelaksanaan uji tusuk kulit, serta Bapak H. Firdaus Alamhudi yang banyak memberi motivasi dan pengembangan wawasan pada penelitian ini. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng yang telah memberi dorongan untuk dapat mempergunakan internet serta komputer secara mandiri sejak awal penulis mengikuti S3 di IPB. Dr. Ir. Y. Purwanto, APU dan Dr. Rugayah, MSc. dari Herbarium Bogoriense LIPI Bogor yang banyak memberi masukan pada saat mulainya penelitian ini, serta rekan-rekan di IPB, Nor Sholekhah Damayanti, SSi, MSi, Dr. Fitmawati SSi, MSi, Dr. Nunik Sri Ariyanti, MSi, Dr. Ir. Amin Retnoningsih, Msi, Dr.Ir.Donata S.Pandin, MSi. dan Ir. Dorly yang telah banyak membantu selama penulis menjalani penelitian ini. Juga kepada Ibu Henny Nurhayati dari Bagian Akademik IPB, Ibu Yenny Rosmalawaty, Ibu Eti Suhaeti dan Bapak Djoni Sudjadi di Departemen Biologi yang membantu dalam penyelesaian Disertasi ini. Dr. drh. Retno D.Soejoedono, MS, dan Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak memberi wawasan di bidang Imunologi. Prof. Dr. Azis Rani, SpPD, K-GEH yang telah memberi izin kepada penulis untuk masuk dalam program S3 di IPB dan Dr.dr.C.Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger, M.Epid selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang selalu memberi dorongan untuk menyelesaikan Disertasi ini. Prof.Dr.dr. Dina Mahdi, SpPD, KAI, SH dan Prof.Dr.dr.Heru Sundaru,SpPD, K-AI, guru saya, dr. Nanang Sukmana, SpPD, K-AI, selaku Ketua Divisi Alergi Imunologi Klinik, rekan-rekan sejawat dr. Teguh HK, SpPD, K-AI, dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, dr.Evy Yunihastuti, SpPD, dr. Okki Ramadian, SpPD, dr. Moch. Iqbal Hassarief Putra, dr. Budi Amarta Putra, juga kepada Enna Meilina, S.Si, Mutiaz Hayati, SST, Upi Fitria Diana, Skom, Parama Puspita, Tini Rohmani, Elva Afianti, Moh.Yunus serta semua perawat Zr.Wiwi Wahyuni, AMK, Zr.Maryati, Zr.Sumirah di Divisi Alergi Imunologi Klinik yang telah banyak membantu dan memberi semangat kepada penulis. Ungkapan terima kasih yang mendalam dan penghargaan sebesar-besarnya penulis haturkan kepada ayahanda Karnen Garna Baratawidjaja, ibunda Wachjuni Baratawidjaja, kepada suami R. Putra dan keempat anak saya Gladys, Andrew, Zaki, Yasser, juga kepada ketiga adik saya Ambara, Prasna Pramita, Farah Prashanti, serta seluruh keluarga, atas segala doa, kasih sayang, pengertian, kesabaran, pengorbanan serta semua bantuan moril maupun materiil hingga terselesaikannya studi doktor ini. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan dengan berlipat ganda. Sebagian dari penelitian ini telah ditulis dan diterbitkan dalam Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 9, September 2008 dengan judul Sensitivitas terhadap Serbuk Sari
pada Pasien Alergi Pernapasan. Mudah-mudahan Disertasi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Juni 2009 Iris Rengganis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Juni 1958 sebagai anak sulung dari empat bersaudara, dari pasangan Prof. Dr. dr. Karnen Garna Baratawidjaja, SpPD, K-AI, FAAAAI dan dr. Wachjuni Baratawidjaja, MHA. Pendidikan sarjana ditempuh di FKUI (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada tahun 1977 dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1984, penulis mengawali tugas dari Departemen Kesehatan sebagai dokter Puskesmas Kelurahan Cikoko, Kecamatan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, DKI. Pada tahun 1988 penulis mendapat penghargaan sebagai dokter teladan Jakarta Selatan. Setelah menyelesaikan ikatan dinas dari Departemen Kesehatan selama 5 tahun, pada tahun 1989 penulis diterima di Program Studi Spesialis 1 Pascasarjana FKUI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada tahun 1994. Kemudian penulis diterima sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan sekaligus meneruskan ke Program Studi Spesialis 2 (Konsultan) di bidang Alergi Imunologi. Pada tahun 1995, penulis menjalankan ikatan dinas yang kedua dari Departemen Kesehatan sebagai Internis di RS Haji Jakarta selama 2,5 tahun. Selama bertugas di RS Haji Jakarta, penulis mendirikan Klinik Alergi dan Edukasi Asma, serta Klub Senam Asma. Setelah selesai tugas pemerintah pada tahun 1998, penulis kembali ke FKUI sebagai staf pengajar dan menamatkan Konsultan Alergi Imunologi pada tahun 2000. Pada tahun yang sama, penulis bertugas sebagai Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) dari RSCM (RS dr.Cipto Mangunkusumo), dan ditugaskan sebagai Dokter Kloter selama 40 hari di Arab Saudi. Pada tahun 2002, penulis bertugas kembali sebagai TKHI Non Kloter dari RSCM, dan menduduki jabatan sebagai Kepala Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Madinah selama 70 hari. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Biologi, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004, dengan biaya sendiri. Penulis adalah anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia (PERALMUNI), Pengurus Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) serta Pengurus Dewan Asma Indonesia (DAI). Saat ini penulis bertugas sebagai staf pengajar di Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xvi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvii DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................xviii 1. PENDAHULUAN .............................................................................................1 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................5 Penyakit Alergi ...........................................................................................5 Rinitis Alergi ....................................................................................... 8 Asma Bronkial ................................................................................... 11 Dermatitis Atopi ..................................................................................12 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi.................................12 Serbuk Sari ................................................................................................14 Penangkapan Serbuk Sari ....................................................................15 Identifikasi Serbuk Sari .......................................................................16 Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara ...................................18 3. BAHAN DAN METODE ............................................................................... 22 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................22 Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari ......................23 Pembuatan Alergen .................................................................................. 26 Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari................................................. 27 Etika Penelitian ….................................................................................... 27 Uji Klinis.................................................................................................. 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 30 Identifikasi Serbuk Sari ............................................................................32 Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari .................................34 Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari.............................................36 Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi ................................................................. 45 5. SIMPULAN .....................................................................................................52 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................53 LAMPIRAN ......................................................................................................... 65
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Jenis-jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs………..... 6 Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi…..45
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast 7 Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga ………........ 24 Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus.. 24 Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon.. ........................................................................................................... 25 Gambar 5 Alat penangkap dengan gelas objek berperekat silikon yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa.......................................................... 26 Gambar 6 Uji Tusuk Kulit................................................................................... 28 Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …. 32 Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ................................................................................ 32 Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM ....... 33 Gambar 10 Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi dilihat di bawah mikroskop cahaya dan SEM …………………………………………………... 33 Gambar11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB ....................... 34 Gambar12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perat nitrat...............34 Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia.37 Gambar 14 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alangalang................................................................................................... 38 Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung 39 Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap sewrbuk sari kelapa genjah ……………………………………………………………… 40 Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa sawit ..................................................................................... 41 Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi ...42 Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus..42 Gsmbar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix..........43 Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi......48 Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi ............................................................................................................ 48 Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix ................................................................................ 49
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Peta DKI Jakarta ............................................................................ 66 Lampiran 2 Peta Jakarta Selatan ........................................................................ 67 Lampiran 3 Lembar Informasi Penelitian........................................................... 68 Lampiran 4 Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian ............................ 69 Lampiran 5 Keterangan Lolos Kaji Etik (Ethical Clearence).............................70
DAFTAR SINGKATAN AAAAI
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
BM
bobot molekul
CBB
coomassie brilliant blue
CDC
Center for Disease Control
C. dactylon
Cynodon dactylon
Cyn d 1
Cynodon dactylon 1
Cyn d 7
Cynodon dactylon 7
Der.p
Dermatophagoides pteronyssinus
Der.f
Dermatophagoides farinae
D. glomerata
Dactylis glomerata
DKI
Daerah Khusus Ibu Kota
DKK
Dinas Kesehatan Kota
FKUI
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GINA
Global Initiative for Asthma
IDI
Ikatan Dokter Indonesia
IgE
Imunoglobulin E
IgG
Imunoglobulin G
IgM
Imunoglobulin M
IL-4
Interleukin-4
IL-13
Interleukin-13
IPB
Institut Pertanian Bogor
ISAAC
International Study of Asthma and Allergies in Childhood
kD
kilo Dalton
KNAA
Konsensus Nasional Asma pada Anak
LMW
low molecule weight
L. perenne
Lolium perenne
mA
mili Amper
mm
milimeter
μm
mikrometer
PAPDI
Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia
xix
PERALMUNI Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia Phl p 1
Phleum pratense 1
PPSHB
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi
RAST
radioallergosorbent test
RS
Rumah Sakit
RSCM
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
SEM
scanning electron microscope
SDS-PAGE
sodium dodecyl sulphate polyacrilamide gel electrophoresis
Th2
T helper 2
tris-HCl
tris(hydroxymethyl)aminomethane hydrochloride
WAO
World Allergy Organization
w/v
weight per volume
Zea m 1
Zea mays 1
1. PENDAHULUAN Alergi adalah suatu penyakit yang berupa perubahan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan di lingkungan yang disebut alergen. Reaksi alergi timbul segera dalam beberapa menit setelah ada rangsangan alergen pada seseorang yang hipersensitif. Efeknya terlihat dalam bentuk rinitis alergi, asma bronkial (asma) dan dermatitis atopi (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007). Dalam dua dekade akhir, penyakit alergi meningkat di hampir semua negara di dunia, terutama negera-negara maju (Singh & Kumar 2003; Folletti et al. 2008). Setelah tahun 1990, jumlah pasien asma yang berobat ke dokter dan dirawat di rumah sakit juga tak menurun (Akinbami & Schoendorf 2002). Berdasarkan penelitian International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), prevalensi penyakit alergi di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan di negara-negara berkembang. Penelitian ISAAC menemukan sekitar 20-30% kasus alergi berupa rinitis alergi, 5-15% asma dan 0,33-20,5% dermatitis atopi pada populasi di dunia (Beasley et al. 1998). Namun penelitian seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga pengetahuan alergi di sini sangat minim, informasi akurat tentang seberapa besar prevalensi penyakit alergi dan statistik insiden penyakit alergi juga jarang diperoleh di negeri ini. Beberapa penelitian yang sudah dilaporkan di antaranya penelitian di Utan Kayu, Jakarta Pusat, menunjukkan persentase prevalensi asma pada penduduk berusia lebih dari 14 tahun sebesar 6,9% (Sundaru & Sukmana 1990). Selain itu, penelitian ISAAC di Indonesia tahun 1996 dilakukan pada anak usia 13-14 tahun, melibatkan tujuh kota besar yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Denpasar, Manado, dan Ujung Pandang. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa prevalensi di berbagai daerah tersebut menunjukkan rentang yang cukup besar,
yaitu
rinitis
alergi
berkisar 22,57-61,94%, asma 2,09-9,01%, dan
dermatitis atopi 0,39-18,8% (Baratawidjaja et al. 2006). Kini penderita alergi ditemukan di semua lapisan masyarakat di dunia, dengan tingkat keparahan berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang sampai berat. Pada kasus kronis yang berat, alergi mengganggu aktivitas sehari-hari
pasien, dan akhirnya menurunkan kualitas hidupnya. Tak hanya itu, pengobatan alergi dengan menggunakan jasa dokter, obat, kunjungan gawat darurat, atau perawatan rumah sakit perlu biaya yang tidak sedikit (Wijk 2002). Masalah ini tentunya akan sangat memberatkan masyarakat menengah ke bawah yang menjadi mayoritas penduduk kita. Penyebab alergi ditimbulkan oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diwarisi penderita dari salah satu atau kedua orang tuanya. Orang tua penderita alergi cenderung memiliki anak yang berbakat alergi pula. Selain hal tersebut, ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya yaitu pola hidup penderita serta keadaan lingkungan yang banyak dipenuhi alergen. Alergen itu sendiri bisa berasal dari dalam rumah (indoor allergens) atau dari luar rumah (outdoor allergens). Alergen dalam rumah bermacam-macam, antara lain tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, atau serpihan kulit hewan piaraan seperti anjing dan kucing, sedangkan alergen luar rumah dapat berupa spora jamur dan serbuk sari (pollen) yang bersifat musiman, terutama di negara yang mempunyai 4 musim (Church & Holgate 1995; Lilly 2005; Schoefer et al. 2008). Penyakit alergi adalah penyakit inflamasi yang berjalan kronis dan sulit disembuhkan selama masih ada pemicunya. Terapi yang diberikan pada saat kambuh umumnya bersifat simptomatik, artinya ditujukan untuk mengurangi gejala saja. Rekomendasi penting penanganan penyakit alergi dimulai dengan menghindari alergen. Oleh karena itu penatalaksanaan penyakit alergi selain pengobatan, ditekankan pada kontrol lingkungan agar terhindar kontak dengan alergen (Luskin 2005; Bacharier et al. 2008; Bateman et al. 2008). Untuk itu, sebagai dasar antisipasi alergi, setiap pasien alergi perlu mengetahui bahan-bahan apa yang dapat memicu reaksi alergi pada dirinya. Hingga kini belum ada terapi yang dapat menghilangkan atau menyembuhkan penyakit alergi sampai tuntas. Pengobatan alergi hanya dapat mengendalikan penyakitnya agar tidak kambuh dengan cara menghindari pemicu. Penanganan memerlukan kontrol lingkungan yang ketat melalui penyuluhan pada pasien (Bateman et al. 2008). Di negara dengan empat musim, alergi pernapasan seperti rinitis alergi dan asma yang ditimbulkan serbuk sari biasanya kambuh secara musiman. Dalam arti,
penyakitnya muncul bergantung dari geografi, iklim, dan vegetasi (D’Amato et al. 2007; Mandal et al. 2008). Penelitian di lapangan menunjukkan, penyebaran serbuk sari di udara berfluktuasi sesuai musim, sehingga dapat dibuat kalender yang menunjukkan fluktuasi jumlah serbuk sari di udara dalam satu tahun. Kalender tersebut diperlukan oleh pasien alergi dalam upaya menghindari pajanan, sehingga kekambuhan penyakit alergi akan dapat diperkirakan berdasarkan jenis serbuk sari di musim tertentu (Platt-Mills et al. 1998; Gossage 2000; Kuhl 2001). Penelitian epidemiologi yang banyak dilakukan para peneliti telah meningkatkan pemahaman dan penanganan penyakit alergi. Berbagai penelitian itu membuktikan, serbuk sari rumput merupakan penyebab penyakit alergi penting di seluruh dunia, sehingga perlu diwaspadai serbuk sari sebagai salah satu alergen utama pemicu alergi pernapasan (Phanichyakam et al. 1989, Silvestri et al. 1996; Bufe et al. 1998; Sridhara et al. 2002). Di Amerika dan Eropa, berbagai alergen baik dalam maupun luar rumah sudah banyak diteliti dan diketahui (Gossage 2000; Kuhl 2001). Ekstrak serbuk sari rumput-rumputan sebagai alergen pada uji tusuk kulit telah digunakan sebagai gold standard dalam diagnosis penyakit alergi (Wodehouse 1965; Nelson 2000; Koshak 2006). Dewasa ini di Indonesia umumnya dipakai alergen komersial untuk uji tusuk kulit, yang berarti hanya terbatas pada bahan yang dibuat di Eropa atau Amerika. Walau alergen komersial cukup banyak dan bervariasi untuk mendeteksi pencetus alergi yang umum, namun alergen serbuk sari tumbuhan tropik tidak tersedia sehingga besar kemungkinan akan tetap tidak terdeteksi. Sebuah penelitian uji sensitivitas yang dilakukan pada pasien alergi pernapasan di sebuah Klinik Alergi Imunologi di Jakarta terhadap 8 jenis alergen dalam rumah asal Singapura, dengan hasil positif tinggi pada uji tusuk kulit terhadap jenis tungau debu rumah Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, dan Blomia tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998a). Penelitian selanjutnya uji tusuk kulit dilakukan di klinik yang sama di Jakarta terhadap alergen regional asal Singapura pada pasien alergi pernapasan dengan persentase reaksi positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus 77,57%, Blomia tropicalis 71,96%, Austroglycyphagus malaysiensis 33,64%, Elaeis guineensis
22,43%, Acacia auriculiformis 12,15%, Dicranopteris spp 11,21%, Curvularia fallax 8,41%, dan Exserohilum rostratum 13,08% (Baratawidjaja et al. 1999). Pada sisi lain, hasil penelitian tersebut belum banyak memberikan informasi tentang alergi secara menyeluruh di Indonesia. Untuk faktor alergen misalnya, selama ini yang lebih banyak diteliti adalah faktor alergen dalam rumah, sedangkan faktor alergen di luar rumah seperti terabaikan. Padahal di daerah tropis seperti Indonesia ini, rumput-rumputan tumbuh tersebar di manamana sepanjang tahun. Serbuk sari yang disebarkan angin dari berbagai pohon dan rumput mengandung sejumlah alergen terutama protein (Gossage 2000; Puc 2003). Berdasarkan latar belakang tersebut, tampaknya sampai saat ini belum terdapat studi tentang alergen serbuk sari tumbuhan di Indonesia dan kemungkinannya sebagai penyebab alergi pada manusia. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman flora yang memiliki sumber serbuk sari yang tersedia sepanjang tahun, kemungkinan terjadinya sensitisasi terhadap serbuk sari sangat besar. Oleh karena itu penelitian khusus tentang sensitivitas terhadap serbuk sari asal tumbuhan Indonesia
sangat
perlu
dilakukan
untuk
dapat
mengungkapkan
dan
mengidentifikasi serbuk sari yang tersebar di udara serta seberapa jauh manusia telah tersensitisasi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi serbuk sari tumbuhan yang berada di suatu daerah di Indonesia yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada manusia dan membuat ekstrak serbuk sari, serta melihat profil bobot molekul (BM) protein alergen serbuk sari dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide
gel
electrophoresis
(SDS-PAGE),
untuk
mengetahui
kealergenikannya dilakukan uji klinis pada manusia dengan cara uji tusuk kulit, baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang seberapa besar telah terjadi pajanan terhadap alergen serbuk sari pada manusia. Serbuk sari yang berpotensi tinggi sebagai alergen dapat digunakan dalam panel uji tusuk kulit sebagai upaya pencegahan penyakit alergi di Indonesia.
2. TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Alergi Dalam imunologi, banyak istilah yang kerap tumpang tindih untuk menggambarkan penyakit alergi. Selain istilah alergi, dikenal istilah atopi dan hipersensitivitas. Ketiga istilah sering dipakai bergantian tanpa mempengaruhi makna kalimat, meskipun sebenarnya masing-masing mempunyai batasan tersendiri. Istilah alergi diperkenalkan pertama kali pada tahun 1906 oleh Clemens Peter Freiherr von Pirquet, seorang dokter anak dari Austria yang mendalami bidang bakteriologi dan imunologi. Alergi berasal dari bahasa Yunani allos (artinya: perubahan atau penyimpangan) dan ergon (artinya: reaksi). Oleh karena itu, alergi didefinisikan sebagai reaksi penyimpangan sistem imun terhadap bahan-bahan alergen yang tidak berbahaya. Pengaktifan sistem imun yang tidak diinginkan serta berpotensi merusak jaringan tubuh disebut hipersensitivitas. Bakat atau kecenderungan seseorang untuk mengalami reaksi hipersensitivitas disebut atopi, yang berasal dari bahasa Yunani atopia yang berarti tanpa tempat, karena reaksi hipersensitivitas dapat bermanifestasi secara menyeluruh pada tubuh (sistemik). Kata atopi pertama diperkenalkan oleh Coca pada tahun 1928, yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada orang yang mempunyai kepekaan dalam keluarganya. Penyakit-penyakit alergi sering dihubungkan dengan organ tertentu, yaitu hidung (rinitis alergi), mata (konjungtivitis alergi), rongga hidung di belakang wajah (sinusitis), paru (asma bronkial/asma), kulit (dermatitis atopi/ekzema dan urtikaria/kaligata) (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007). Dahulu semua jenis hipersensitivitas disebut alergi, tetapi sekarang alergi hanya merupakan satu dari empat jenis reaksi hipersensitivitas (Tabel 1). Alergi adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang disebut juga tipe cepat atau anafilaksis, ditandai dengan produksi antibodi Imunoglobulin E (IgE) berlebihan sebagai respons atas rangsangan alergen yang memicu aktivasi sel-sel imun tertentu untuk melepaskan zat perantara (mediator) kimiawi seperti histamin, dan menimbulkan respons inflamasi berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi (Platt-Mills et al. 2006).
6
Tabel 1 Jenis reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs (Platt-Mills 2006) Tipe 1 2 3 4
Nama reaksi Alergi/cepat/anafilaksis Sitotoksik Kompleks imun Lambat
Perantara IgE IgG, IgM IgG, IgM Sel T
Contoh penyakit Asma, rinitis alergi, dermatitis atopi
Anemia hemolitik autoimun Lupus eritematosus sistemik Dermatitis kontak
Suatu alergen akan menimbulkan gejala klinik bila seseorang telah mengalami sensitisasi yang merupakan hasil interaksi antara kemampuan seseorang secara genetik untuk merespons pemajanan oleh alergen. Sensitisasi ditandai dengan produksi IgE, sebagai petanda respons imun terhadap alergen yang merangsang. Pemajanan oleh alergen kepada orang yang tidak sensitif, meskipun dalam jumlah besar tidak akan menimbulkan gejala, sementara bagi orang yang sensitif, hanya dibutuhkan sejumlah kecil alergen untuk menimbulkan gejala alergi. Sensitisasi terhadap alergen dapat terjadi sejak masa kandungan, kanak-kanak, dan bahkan dewasa (Rabson et al. 2005; Kuby et al. 2007). Penyakit alergi ditandai oleh respons imun terhadap alergen dalam lingkungan yang menimbulkan inflamasi imunologik di jaringan dan kelainan fungsi organ dengan dibentuknya antibodi IgE spesifik. Alergen masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara, yaitu alergen hirup melalui saluran napas (tungau debu rumah, serpihan kulit binatang, serbuk sari, dan spora jamur), alergen ingestan melalui mulut (makanan dan obat-obatan), alergen injektan (obat suntik) dan alergen kontaktan seperti logam, karet, dan wangi-wangian (Al-Frayh & Hasnain 2000). Manifestasi alergi dapat terjadi di organ pernapasan berupa asma dan rinitis alergi, di kulit berupa dermatitis atopi dan urtikaria (kaligata/biduran), serta reaksi alergi yang mengancam nyawa bersifat sistemik yang disebut anafilaksis (Rabson et al. 2005, Chapel et al. 2006; Kuby et al. 2007). Alergen yang masuk tubuh akan memacu sel limfosit B untuk memproduksi IgE yang kemudian diikat oleh reseptornya pada sel mast yang terdapat di jaringan tubuh dan basofil yang berada dalam sirkulasi. Selanjutnya alergen yang sama masuk tubuh pada pajanan ulang akan diikat oleh IgE tersebut. Ikatan IgE dan alergen spesifiknya akan mengaktifkan sel mast dan basofil untuk melepas histamin dan mediator lainnya yang berperan dalam timbulnya gejala alergi (Gambar 1).
7
Alergen
IgE
Sel Mast
Mediator
Reaksi hipersensitivitas tipe 1/alergi/cepat
Rinitis alergi Asma bronkial
IgE Histamin
Serbuk Sari
Dermatitis atopi dan urtikaria Alergi makanan
Sel Mast
Gambar 1 Pajanan alergen yang memacu produksi IgE dan degranulasi sel mast (dimodifikasi dari Rabson et al. 2005) Pasien alergi yang sudah tersensitisasi terhadap alergen spesifik akan menunjukkan reaksi kulit positif berupa bentol dan merah pada uji tusuk kulit. Sel limfosit B dan produknya yang berupa antibodi IgE merupakan elemen utama respons imun humoral. Produksi antibodi oleh sel limfosit B dikendalikan dan dirangsang oleh sel limfosit T dengan profil sitokin T helper2
(Th2),
meningkatkan sintesis Interleukin-4 (IL-4) dan Interleukin-13 (IL-13) yang memacu sintesis antibodi IgE. Sel mast ditemukan dalam berbagai jaringan seperti kulit, konjungtiva mata, saluran cerna serta saluran napas bagian atas dan bawah. Di tempat-tempat tersebut sel mast terpajan dengan berbagai bahan eksternal. Sel mast juga ditemukan sekitar saraf dan pembuluh darah. Sebaliknya basofil tetap dalam sirkulasi yang merupakan sekitar 0,5% dari leukosit (sel darah putih). Bila sel mast dan basofil diaktifkan, akan berdegranulasi dan melepas berbagai mediator baik yang sudah ada dalam sel (preformed) yang menimbulkan awal respons alergi dan yang dibentuk baru (newly generated/synthesize) (Rabson et al. 2005; Platt-Mills 2006). Respons alergi dibagi menjadi fase dini dan fase lambat. Sel mast merupakan sel utama yang berperan dalam fase dini, melepas mediator yang sudah terbentuk sebelumnya seperti histamin dan Platelet Activating Factor (PAF), dan mediator yang baru disintesis seperti leukotrin. Efek histamin adalah bronkokonstriktor, meningkatkan sekresi mukus dan kontraksi otot polos saluran napas, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas vaskular (Bachert 2002; MacGlashan
2003).
Leukotrin
merupakan
kemoatraktan
leukosit
poten,
menginduksi kontraksi otot polos, bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi mukus, sedangkan mediator PAF berfungsi sebagai kemoatraktan eosinofil poten
8
(Edwards 2003). Eosinofil ditemukan pada tahun 1879 oleh Paul Ehrlich, sel ini dianggap berperan penting dalam inflamasi alergi. Eosinofil memproduksi dan melepas berbagai mediator, salah satunya Protein Dasar Utama (Major Basic Protein) yang merusak jaringan dan memacu inflamasi pada penyakit alergi (Romagnini 2004). . Rinitis alergi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi kronik lapisan lendir (mukosa) hidung yang terletak di saluran napas atas, diperantarai antibodi IgE setelah dipicu oleh pajanan alergen. Gejala-gejalanya dapat berupa bersin-bersin, hidung berair, hidung tersumbat dan gatal, seringkali disertai mata gatal, merah dan berair. Berdasarkan kemunculannya, rinitis alergi dibagi menjadi rinitis intermiten dan persisten. Berdasarkan keparahannya, rinitis alergi dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Rinitis alergi adalah penyakit multifaktorial dengan banyak faktor risiko yang dipicu oleh interaksi gen dan lingkungan. Rinitis alergi dan asma adalah penyakit alergi pernapasan, dengan konsep one airway one disease, yang berarti pada orang yang menderita rinitis alergi seringkali disertai asma, karena merupakan satu saluran pernapasan. Rinitis alergi adalah penyakit alergi pada saluran pernapasan atas, sedangkan asma pada saluran pernapasan bawah (Huang 2007). Pencetus rinitis alergi adalah alergen, baik alergen dalam rumah atau luar rumah di daerah beriklim sedang. Alergen dalam rumah terpenting adalah tungau debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan seperti kucing dan anjing. Alergen luar rumah terpenting adalah serbuk sari. Spora jamur merupakan alergen dalam dan luar rumah, Aspergillus dan Penicillium adalah spesies yang paling banyak ditemukan dalam rumah, sedang Alternaria dapat ditemukan di dalam maupun luar rumah (Matsui & Wood 2007). Penyakit rinitis yang dicetuskan serbuk sari disebut polinosis. Sejak lama masyarakat di negara 4 musim menyadari bahwa pada musim panas, orang-orang tertentu akan mengalami rinitis alergi yang dikenal dengan istilah hay fever. Semula mereka menganggap penyakit ini disebabkan oleh bunga mawar pada awal musim panas dan oleh tanaman goldenrod di akhir musim panas. Kenyataannya, hay fever dicetuskan oleh serbuk sari rumput-rumputan yang tumbuh di sekitar bunga mawar dan
9
serbuk sari gulma ragweed yang tumbuh di sekitar goldenrod. Hay fever pada awal musim panas berbarengan dengan berbunganya rumput-rumputan, sedangkan pada akhir musim panas sejalan dengan berbunganya ragweeds dan goldenrods. Selain rumput-rumputan dan ragweed, banyak tumbuhan lain penyebab hay fever (Wodehouse 1965). Di Amerika Utara, ragweed jenis Ambrosia artimisifolia (Asteraceae) merupakan serbuk sari gulma terpenting oleh karena dapat disebarkan dengan jarak ratusan kilometer. Reaksi alergi terhadap serbuk sari tersebut terjadi pada akhir musim panas dan berlangsung sampai bulan Oktober. Sekalipun demikian, di Florida Selatan orang yang tersensitisasi dapat menunjukkan gejala alergi di luar musim tersebut. Hal ini disebabkan di daerah pantai itu, serbuk sari di produksi sepanjang tahun. Dewasa ini ragweed juga ditemukan di Korea, Jepang, Australia dan Eropa (Gossage 2000). Cynodon dactylon disebut juga Bermuda grass, serbuk sarinya merupakan sumber polinosis yang sangat banyak di seluruh dunia, pencetus asma, rinitis alergi, dan konjungtivitis alergi yang kuat, dikenal sebagai salah satu spesies rumput yang sering menyebabkan reaksi alergi dan terdapat di berbagai wilayah seperti Eropa, Amerika, Afrika Selatan, Australia, India, dan Jepang (Sompolinsky et al.1984; Adler et al.1985; Weber 2002). Serbuk sari C. dactylon merupakan alergen tersering penyebab rinitis alergi pada anak-anak yang dibuktikan dengan uji IgE spesifik (Halonen et al. 1997) dan juga berhubungan bermakna dengan sinusitis (Lombardi et al. 1996). Selain di daerah beriklim sedang, reaksi alergi terhadap serbuk sari C. dactylon juga ditemukan di Asia Tropik. Pada penelitian di Thailand, 17% dari 100 orang pasien alergi rinitis menunjukkan uji IgE spesifik terhadap alergen C. dactylon (Pumhirun 1997). Di Semenanjung Malaysia, serbuk sari C. dactylon dilaporkan merupakan serbuk sari yang paling alergenik di antara serbuk sari rumput-rumputan (Sam 1998). Bahkan di Kuwait, negara yang terdapat di gurun pasir, mendapatkan serbuk sari C. dactylon sebagai salah satu alergen yang paling sering ditemukan pada 505 orang dewasa muda dengan prevalensi 53,6%, sedikit lebih banyak dari tungau debu rumah (52,7%) (Ezeamuzie 1997). Dari 810 pasien asma atau rinitis alergi di Kuwait, IgE spesifik terhadap C. dactylon terdeteksi pada 54,6% serum pasien (Ezeamuzie 2000). Pada 706 pasien rinitis alergi berusia
10
6-64 tahun, IgE spesifik terhadap C. dactylon didapatkan pada 55% orang (Dowaisan 2000). Di Uni Emirat Arab, 33% dari 263 pasien alergi pernapasan didapatkan sensitif terhadap C. dactylon (Lestringant et al. 1999). Di Arab Saudi, IgE spesifik terhadap C. dactylon merupakan salah satu alergen yang sering dijumpai pada pasien dewasa maupun anak-anak dengan asma dan rinitis alergi (Al-Anazy 1997; Sorensen 1986). C. dactylon juga merupakan alergen yang menonjol di Afrika Selatan pada anak-anak dengan asma dan rinitis alergi (Green 1997; Potter 1991). Alergen Serbuk Sari Poaceae pencetus rinitis alergi. Protein serbuk sari poaceae yang dapat mencetuskan alergi telah diteliti luas dan dibagi menjadi 13 grup. Alergen grup 1 meliputi glikoprotein yang mempunyai BM antara 27-35 kD. Alergen ini berada baik di sitoplasma maupun di eksin butir serbuk sari dan merupakan alergen utama dari ekstrak serbuk sari rumput. Sekitar 90% orang yang alergi serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas antibodi IgE terhadap alergen grup 1 (Matthiesen et al. 1991; Han et al. 1993; Schramm et al. 1996). Alergen ini merupakan glikoprotein yang sering menyebabkan reaktivitas silang dengan serbuk sari berbagai rumput lainnya (Grobe et al. 1999; Schenk et al. 1996; Hiller et al. 1997). Pada serbuk sari C. dactylon terpenting adalah alergen grup 1 (Cyn d 1) dengan BM 30 kD (Shen et al. 1988; Ford & Baldo 1987; Matthiesen et al. 1991) dan grup 7 (Cyn d 7) (Smith et al. 1997; Suphioglu et al. 1997). Alergen grup 2 dan 3 meliputi protein non-glikosilat dengan kisaran BM 10-12 kD. Alergen grup 4 merupakan glikoprotein pengikat IgE dengan BM 5067 kD dan awalnya diidentifikasi dari rumput Phleum pratense yang sering disebut Timothy grass, Lolium perenne dikenal dengan nama Perennial rye grass, dan Dactylis glomerata atau Orchard grass (Brodard et al. 1993). Sebanyak 80% orang yang alergi terhadap serbuk sari rumput memperlihatkan reaktivitas IgE terhadap alergen grup 4, sehingga kelompok ini dianggap sebagai alergen mayor (Leduc-Brodard et al. 1996). Alergen grup 5 mirip dengan grup 1, mempunyai BM antara 27-33 kD. Alergen grup 6 adalah sitokrom, sejauh ini hanya ditemukan pada P. pratense, yang merupakan protein non-glikosilat bersifat asam dengan BM sekitar 13 kD (Lowenstein et al. 1978). Alergen grup 7 merupakan
11
sekelompok protein kecil dengan BM 8,7-8,8 kD, ditemukan pada rumput C. dactylon dan P. pratense (Smith et al. 1997, Niederberger et al. 1996, Puc 2003). Alergen grup 11 pertama ditemukan dari serbuk sari L. perenne yang merupakan glikoprotein pengikat IgE berukuran 18 kD (Ree et al 1995). Alergen grup 12 merupakan keluarga protein yang disebut profilin berukuran 14 kD (Sohn et al 1994), dan grup 13 merupakan kelompok terakhir yang ditemukan pada serbuk sari rumput-rumputan dengan BM sekitar 55-60 kD (Sohn et al. 1994).
Asma bronkial Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik di paru yang terletak di saluran napas bawah, berupa episode penyempitan dan peradangan jalan napas yang disertai produksi lendir (mukus) berlebihan sebagai respons terhadap satu atau lebih pencetus. Batasan teknis dari Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan peran berbagai sel, terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi pada orang yang peka mengakibatkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk terutama malam dan dini hari (Bateman et al. 2008). Batasan praktis dari Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak adalah mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik timbul secara episodik, cenderung pada malam dan dini hari, musiman, setelah aktivitas fisik, dan dapat membaik dengan atau tanpa pengobatan serta adanya riwayat asma atau atopik lain pada pasien dan atau keluarganya [UKK Pulmonologi IDAI 2002]. Faktor pencetus serangan asma antara lain adalah alergen (tungau debu rumah, kecoa, serpihan kulit hewan piaraan, spora jamur, serbuk sari), asap rokok, polusi udara, dan infeksi virus. Alergen merupakan faktor terpenting tidak hanya dalam mencetuskan asma, tetapi juga menentukan keparahan dan menetapnya gejala-gejala asma (Nelson 2000). Secara patologis, asma ditandai oleh hiperreaktivitas bronkus. Orang atopi adalah orang yang rentan untuk mengalami hiperreaktivitas bronkus, tetapi hanya 10-30% yang akhirnya mengalami asma. Bukti bahwa asma memiliki komponen genetik berasal dari studi pada keluarga, yang memperkirakan bahwa kontribusi faktor genetik terhadap atopi dan asma secara relatif adalah sekitar 40-60%. Asma adalah penyakit genetik yang kompleks
12
dan melibatkan banyak gen, sehingga kerentanan terhadap asma melibatkan interaksi berbagai faktor genetik dan lingkungan (Kuby et al. 2007).
Dermatitis atopi Dermatitis atopi atau ekzema adalah peradangan kronik kulit dengan gejala gatal yang seringkali mengganggu tidur. Pada bayi, ekzema umumnya berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala, belakang telinga, badan, lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali ditemukan di lipatan kulit sekitar lutut dan siku. Menjelang remaja ekzema umumnya menghilang dan dapat bermanifestasi menjadi asma. Alergen pemicu biasanya berupa makanan (susu, makanan laut, kacang tanah, coklat, dan lain-lain). Reaksi alergi makanan selain berupa dermatitis atopi, dapat juga berupa reaksi bentol, kemerahan dan gatal yang dikenal dengan sebutan urtikaria, nama lainnya biduran atau kaligata (Rabson et al. 2005).
Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi, tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat diketahui dengan pemeriksaan IgE (Bousquet et al. 2008). Ditemukannya antibodi IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit (skin prict test) dan pemeriksaan darah cara radioallergosorbent test (RAST) (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004; Koshak 2006) Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara (anamnesis) tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan, intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta lingkungan (Church & Holgate 1995). Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat ditemukan rinore atau ingusan, penurunan atau hilangnya indera penciuman.
13
Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas (Rabson et al. 2005). Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya (Church & Holgate 1995). Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus tanpa berdarah. Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut (Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004). RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien. Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya lebih mahal dibanding uji tusuk kulit. Meski demikian, hasil RAST perlu
14
diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik (Chapel et al. 2006).
Serbuk Sari Serbuk sari adalah alat reproduksi tumbuhan guna mempertahankan jenisnya dari kepunahan. Serbuk sari berupa butiran halus yang mengandung mikrogametofit, yang menghasilkan gamet jantan tumbuhan berbiji. Dinding serbuk sari terdiri atas 2 lapisan yaitu lapisan luar yang disebut eksin dan lapisan dalam intin. Lapisan eksin terdiri dari bahan yang sangat kuat disebut sporopolenin, dibagi menjadi lapisan seksin eksternal dan neksin internal. Seksin merupakan lapisan yang memiliki ornamen berupa lubang-lubang sirkular atau galur-galur longitudinal atau keduanya, dan neksin tidak. Struktur eksin merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam mengidentifikasi, dan memiliki aviditas untuk zat pewarna dasar (fuchsin dan phenosaffranin). Pelepasan serbuk sari atau antesis biasanya terjadi pasif, karena anter pecah bila menjadi kering (Faegri et al. 1964). Studi terhadap serbuk sari disebut palinologi dan istilah palinologi diperkenalkan oleh Hyde dan Williams pada tahun 1945. Palinologi juga berkaitan dengan bidang ilmu lainnya seperti biologi polinasi dan biologi reproduktif. Untuk kepentingan taksonomi, penekanan diberikan pada ciri-ciri komparatif serbuk sari, khususnya pada apertura dan struktur dinding (Stuessy 1990). Aplikasi studi serbuk sari di bidang kedokteran antara lain dalam mengidentifikasi alergen sebagai pencetus penyakit alergi dan imunoterapi (Mildenhall et al. 2006). Penyerbukan pada tumbuhan dapat melalui beberapa cara yaitu anemofili (dibantu angin) seperti padi, jagung, rumput, akasia dan pinus, hidrofili (dibantu air) seperti tanaman air, entomofili (dibantu serangga) seperti pada anggrek, ornitofili (dibantu burung) seperti benalu, kiropterofili (dibantu kelelawar) seperti durian, malakofili (dibantu siput) dan antropofili (dibantu manusia) seperti pada vanili. Serbuk sari tumbuhan anemofili biasanya kecil, halus, amat ringan, dan diproduksi dalam jumlah yang sangat besar. Di antara tumbuhan entomofili, terdapat beberapa tumbuhan yang memproduksi serbuk sari sangat banyak,
15
memiliki anter terbuka, serbuk sari yang kurang lengket dapat melepaskan cukup banyak serbuk sari ke udara; tumbuhan seperti ini disebut amfifili karena secara parsial dapat menggunakan angin sebagai cara penyebaran serbuk sari (Wodehouse 1965; Sornsathapornkul & Owens 1998; Smith 2000). Aerobiologi adalah ilmu tentang partikel biologis yang terdapat di udara. Aerobiologi antara lain bertujuan untuk memahami penyebaran partikel biologis yang terdapat di udara yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai upaya pencegahan. Sebagai contoh, banyak orang mengalami reaksi alergi karena partikel biologis yang dihirup, adakalanya bersifat alergen terhadap manusia. Serbuk sari merupakan salah satu contoh dari partikel biologis yang terdapat di udara yang menjadi objek aerobiologi (Lacey & West 2006). Penangkapan Serbuk Sari Untuk mengetahui serbuk sari apa yang ada di udara, dapat dilakukan penangkapan dengan beberapa cara, yaitu dengan menggunakan kolektor pasif berupa kolektor aeroalergen dasar yang secara total tergantung pada angin dan gravitasi untuk membawa objek di udara ke permukaan pengumpul. Yang paling banyak dipakai adalah gelas objek berperekat yang ditempatkan tak terlindung dalam posisi terpajan terhadap udara bebas dalam waktu singkat (Smith 2000). Alat penangkap lain seperti slit-type volumetric spore trap merupakan cara terbaik pengumpulan serbuk sari dengan mesin slit-type yang menggunakan alat penghisap. Alat ini mengeluarkan udara melalui satu atau beberapa ventilasi agar udara terhisap ke dalam mesin melalui celah sempit berukuran 0,04x0,55 inci. Kipas dan pompa udara digunakan untuk mengeluarkan udara dan menciptakan kondisi bertekanan rendah yang memungkinkan udara masuk dan berganti melalui celah. Slit-type volumetric spore trap yang banyak dipakai adalah alat Burkard. Alat Burkard volumetric spore trap terdiri dari bagian luar dan bagian dalam dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari terus-menerus. Drum ini dilengkapi dengan pita plastik transparan “Melinex” yang dilekatkan di sekelilingnya. Alat Burkard juga dilengkapi dengan sebuah pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian akan membentur dan melekat pada “Melinex”. Alat ini dapat diandalkan, mudah
16
dibawa, dapat digunakan dalam segala cuaca, dan mudah dioperasikan. Burkard merupakan alat yang direkomendasikan oleh
World Allergy Organization
(WAO) dan mendapat sertifikasi dari The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology (AAAAI) (Lacey & West 2006, Hasnain et al. 2007). Identifikasi Serbuk Sari Untuk mengidentifikasi serbuk sari dapat dilakukan dengan mikroskop cahaya dan pengamatan ultrastruktur dengan SEM, identifikasi berdasarkan karakteristik berupa ukuran, bentuk, apertura, dan permukaan eksin (Faegri et al. 1964; Smith 2000). Ukuran. Ukuran dan volume serbuk sari bervariasi secara alamiah karena faktor genetik dan lingkungan yang berbeda. Ukuran dapat berubah dari bunga ke bunga atau dari anter ke anter pada bunga yang sama. Temperatur dan ketersediaan air juga dilaporkan mempengaruhi ukuran serbuk sari. (Smith 2000). Bentuk. Bentuk serbuk sari ditentukan secara genetik dan lingkungan. Bentuk butir serbuk sari dapat dilihat dari pandangan polar dan equatorial, ditentukan berdasarkan perbandingan antar panjang aksis polar (P) dan diameter ekuatorial (E), diekspresikan dalam bentuk indeks polar/ekuatorial (P/E Index), yaitu rasio panjang dari kutub ke kutub dibandingkan lebar ekuatorial. Ekuator adalah zona berjarak sama (equidistant) di antara kutub-kutub (Kapp 1969). Serbuk sari dari spesies tumbuhan yang sama atau berkerabat dekat cenderung memiliki morfologi yang serupa. Faktor lingkungan internal dan eksternal juga turut berperan membentuk serbuk sari. Jika lingkungan internal tidak sama, bentuk serbuk sari dari spesies yang berkerabat dekat atau bahkan sama mungkin menghasilkan perbedaan nyata. Serupa dengan itu, jika faktor lingkungan eksternal tidak sama, serbuk sari akan sangat berbeda tanpa memandang kedekatan kekerabatannya. Kecenderungan kemiripan serbuk sari antar spesies yang berkerabat dapat ditekan oleh perkembangan karakter yang dicetuskan oleh pengaruh luar sehingga sedikit kemiripan yang dapat dikenali (Wodehouse 1965; Smith 2000). Apertura. Apertura atau bukaan adalah suatu area tipis pada eksin yang berhubungan dengan perkecambahan serbuk sari, berfungsi sebagai titik keluar tabung serbuk sari yang mengakomodasi perubahan volume di dalam serbuk sari
17
ketika mengalami hidrasi atau pengeringan. Apertura melintas dari eksin ke intin, dan dibedakan menjadi dua tipe yang bermanfaat untuk mengidentifikasi, yaitu berupa celah memanjang disebut kolpi/kolpus (furrow) dan yang celah pendek atau berbentuk bulat disebut porus/pori (pore). Pada bagian tengah pori beberapa serbuk sari tampak suatu tudung sirkular (operkulum) yang merupakan sisa perkembangan dinding serbuk sari sebelumnya, dan seringkali gugur saat penyebaran serbuk sari yang telah matang. Pori pada serbuk sari dikelompokkan berdasarkan jumlahnya. Serbuk sari inapertura tidak mempunyai pori pada permukaannya. Serbuk sari yang mempunyai satu, dua, atau tiga pori-pori berturut-turut disebut monoporat, diporat, dan triporat. Serbuk sari lainnya mempunyai kolpus di permukaannya, dengan satu, dua, tiga, dan empat kolpi, berturut-turut disebut monokolpat, dikolpat, trikolpat, dan tetrakolpat (Faegri et al. 1964; Smith 2000). Permukaan eksin. Serbuk sari juga mempunyai karakteristik permukaan berdasarkan tipe ornamentasi eksin yang menjadi alat mengidentifikasi. Tipe ornamentasi dapat dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan ornamentasinya, yaitu: psilat, perforat, foveolat, skabrat, verukat, gernat, klavat, pilat, ekinat, rugulat, striat, dan retikulat. Permukaan psilat (Yunani: psilos-halus, rata) tidak menampakkan gambaran apa pun di permukaannya dan tampak halus rata, contohnya serbuk sari rumput. Di luar itu, ciri permukaan serbuk sari digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu yang tampak sebagai penekanan atau ridges pada eksin (retikulata, rugulata, dan striata), dan gambaran yang merupakan tonjolan dari eksin (bakulata, klavata, ekinata, gemata, skabrata, dan verukata). Permukaan retikulata (Latin: rete=jaring) adalah permukaan serbuk sari yang mirip jaring. Permukaan rugulata (Latin: ruga=keriput) mempunyai permukaan yang tidak teratur dengan garis-garis keriput yang tidak paralel. Permukaan striata (Latin: stria=garis) mempunyai permukaan bergaris halus yang tersusun hampir sejajar. Permukaan eksin bakulata (Latin: baculum=batang) adalah tonjolan berbentuk batang dengan diameter terbesar kurang dari tinggi tonjolan. Permukaan klavata (Latin: clava=gada) berbentuk tonjolan gada atau raket tenis yang apeks-nya lebih lebar dari dasarnya. Permukaan ekinata (Latin: echinatus-duri) adalah tonjolan berbentuk duri dan meruncing tajam dari dasar ke
18
ujungnya. Permukaan gemata (Latin: gemma=tunas) adalah tonjolan berbentuk tombol pintu atau tonjolan bulat dengan dasar menyempit. Permukaan skabrata (Latin: scaber-bercak kecil) cenderung tampak sebagai permukaan kasar yang tersusun dari tonjolan-tonjolan sangat kecil berdiameter kurang dari satu mikron. Permukaan verukata (Latin: verucca-kutil) tampak tidak rata dengan tonjolantonjolan bulat yang tidak menyempit di dasarnya (Faegri et al. 1964; Smith 2000).
Serbuk Sari sebagai Alergen Penting di Udara Alergen adalah antigen yang memacu produksi antibodi IgE. Alergen dalam udara masuk tubuh melalui inhalasi, terdiri dari partikel organik (aeroalergen) dan inorganik. Serbuk sari tumbuhan merupakan sumber alergen yang sangat penting dan dapat menimbulkan penyakit alergi pada kisaran 10-20% populasi manusia, biasanya berupa rinitis alergi (Thompson & Stewart 1993). Kadar dan jenis serbuk sari dapat berbeda bergantung pada jenis tumbuhan, angin, dan faktor meteorologik lainnya. Kadar alergen di udara harus cukup tinggi, dengan ukuran yang kecil dan ringan. Serbuk sari yang bersifat alergenik umumnya berukuran 10-100 µm. Ukuran serbuk sari dapat dibagi menjadi kategori: sangat kecil bila < 10 um, kecil 10-25 um, sedang 25-50 um, besar 50100 um, sangat besar 100-200 um (Weber 1998; Taylor et al. 2002). Kebanyakan partikel aeroalergen mengandung campuran protein atau glikoprotein yang dapat menimbulkan sensitivitas pada orang yang alergi. Secara klinis aeroalergen mempunyai 3 ciri utama yaitu mengandung determinan antigen spesifik yang dapat memacu respons alergi melalui antibodi IgE pada orang yang sensitif. Pajanan dengan kadar ambien yang cukup untuk menimbulkan respons alergi pada orang yang sensitif, berukuran kecil sehingga dapat mencapai mukosa saluran napas (Gossage 2000). Bila serbuk sari menempel di mukosa orang yang alergi, protein alergen yang disimpan dalam seksin dan lapisan intin bergerak melalui lubang-lubang dan lajur-lajur lapisan eksin dan memacu respons alergi (Ring 2005). Serbuk sari di udara merupakan sumber alergen hirupan. Distribusi musiman aeroalergen bervariasi di berbagai lokasi di satu negara. Rumputrumputan merupakan tanaman alergenik terpenting di Eropa dan Amerika (Jelks
19
1987; Wodehouse 1965). Di Malaysia telah dilakukan penelitian penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap “Rotorod” yang menunjukkan serbuk sari rumput merupakan 40% dari seluruh jumlah serbuk sari yang tertangkap dalam 1 tahun. Serbuk sari di udara Malaysia menunjukkan variasi musim, puncaknya di bulan Maret dan paling sedikit di bulan Januari ketika musim hujan dan kelembaban udara relatif tinggi (Ho et al. 1995). Serbuk sari rumput di Thailand juga merupakan serbuk sari alergenik penting yang tertangkap di antara berbagai alergen serbuk sari lainnya (Tuchinda et al. 1983, Phanichyakarn et al. 1989). Serbuk sari alergenik berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu serbuk sari pohon (tree pollen), serbuk sari gulma (weed pollen), dan serbuk sari rumput (grass pollen). Serbuk sari pohon berasal dari 2 kelas tumbuhan
utama
yaitu
Angiosperma
(tumbuhan
berbiji
tertutup),
dan
Gymnosperma (tumbuhan berbiji terbuka, contoh pinus-pinusan). Kebanyakan reaksi alergi yang berarti ditimbulkan oleh serbuk sari Angiosperma, sedang serbuk sari kerabat-kerabat Pinus secara klinis tidak dianggap penting karena ukurannya besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik lemah (Gossage 2000). Serbuk sari Poaceae sering menimbulkan penyakit alergi karena serbuk sari ini disebarkan angin dan ditemukan di seluruh dunia. Poaceae dapat ditemukan di semua benua, mulai dari gurun sampai kutub, dalam air tawar maupun air laut, yang seluruhnya merupakan 25-35% dari vegetasi dunia (Esch 2004). Di daerah tropik dan subtropik, serbuk sari suku Poaceae dapat ditemukan sepanjang tahun. Orang yang sensitif terhadap satu jenis serbuk sari suku Poaceae, biasanya juga menunjukkan reaksi silang terhadap banyak jenis serbuk sari suku Poaceae lainnya. Serbuk sari Poaceae terbanyak mempunyai diameter antara 20-60 μm dan dapat menimbulkan gejala alergi pada banyak orang. Serbuk sari yang masuk ke dalam saluran napas dapat menimbulkan gejala mengi, fragmen serbuk sari dengan ukuran <10 um dapat terhirup dan masuk ke saluran napas bagian bawah (Gossage 2000). Tampaknya rinitis alergi dicetuskan serbuk sari pada saat kontak dengan saluran napas atas dan mata. Pasien mengalami iritasi atau gatal, bersin-bersin dan kemerahan pada mata atau rinorea segera setelah terkena serbuk sari. Ketika
20
masuk ke dalam saluran napas atas, gejala-gejala asma dapat terjadi akibat akumulasi cairan dan sekresi di bronkiol terminal (Al-Frayh & Hasnain 2000). Sebagian besar studi tentang gejala-gejala alergi umumnya dilakukan terhadap alergen tunggal. Protein alergenik yang spesifik serbuk sari telah diisolasi dan diidentifikasi (Verdino 2006). Alergen serbuk sari mengandung protein atau glikoprotein, tetapi tidak semua protein serbuk sari menyebabkan sensitisasi pada manusia. Molekul yang dapat menyebabkan sensitisasi pada manusia disebut atopen, memiliki BM antara 10-70 kD dan cenderung terdapat di dinding luar serbuk sari. Protein alergenik ini bersifat larut air, sehingga mudah tersedia secara biologis dan dapat mencetuskan reaksi alergi yang diperantarai IgE dalam hitungan detik (Suphioglu 1998; Behrendt et al. 2001, Puc 2003). Bila mengalami hidrasi, serbuk sari dapat melepaskan sejumlah enzim dengan konsentrasi tinggi, termasuk protease yang ketika terdeposisi di permukaan mukosa jalan napas atas, dapat merusak integritas epitel (Robinson et al. 1997, Sehqul et al. 2005). Sensitivitas terhadap alergen lingkungan tidak sama pada setiap individu. Sebagian orang dapat tersensitisasi dengan kadar yang tinggi atau waktu pajanan yang lama, tetapi sebagian lainnya dapat memperlihatkan sensitivitas luas terhadap berbagai alergen dengan kadar rendah (Taylor et al. 2002; TraidlHoffman et al. 2002; Grote et al. 2003; Bacsi et al. 2006). Kemampuan berespons terhadap alergen, yang disebut kecenderungan atopi ini, ditentukan secara genetis. Terjadinya alergi pada seseorang yang memiliki predisposisi, harus ada pajanan aeroalergen yang cukup untuk menimbulkan sensitisasi, dan pajanan aeroalergen yang berkesinambungan pada orang yang tersensitisasi untuk menimbulkan gejala klinis (Metzger et al. 1987; Leung 1996). Sensitisasi terhadap pajanan alergen sudah dimulai sejak tahun pertama kehidupan. Penelitian di Swedia memperlihatkan bahwa sensitisasi terhadap serbuk sari birch (Betula spp) adalah 25% lebih tinggi pada bayi yang lahir selama musim serbuk sari birch dibandingkan bayi yang lahir setelah musim tersebut dan tidak terpajan sampai usia 9 bulan (Suonemi et al. 1981). Pajanan dini ketika bayi terhadap alergen poten seperti serbuk sari dan tungau debu rumah pada individu
21
sensitif merupakan faktor risiko untuk terkena penyakit alergi di kemudian hari (Sporik et al. 1990). Penelitian tentang serbuk sari tumbuhan di Indonesia yang berpotensi menyebabkan penyakit alergi pernah dilakukan di Jakarta (Djalil et al. 1987). Penangkapan serbuk sari dilakukan dengan alat penangkap Burkard volumetric spore trap yang dipasang di daerah Jakarta Pusat selama satu minggu. Pada bulan November 1985 mendapatkan beberapa spesies spora jamur dan serbuk sari yang berpotensi alergenik, yaitu Alternaria, Cladosporium, Acacia auriculiformis dan Myrtaceae. Pada bulan Agustus 1987, penelitian serupa diulang kembali dan mendapatkan beberapa jenis serbuk sari yang banyak ditemukan di Jakarta, yaitu dari suku Poaceae (Gramineae), Moraceae, A. auriculiformis, dan Myrtaceae. Spora jamur terbanyak yang didapat adalah Cladosporium, Drechslera, Nigrospora, Alternaria, dan Cercospora. Penangkapan pada bulan November 1985 dianggap mewakili musim hujan, sedangkan pada bulan Agustus 1987 mewakili musim kemarau. Dari pengamatan tersebut, tampak dominasi spora Cladosporium di musim kemarau dan Alternaria di musim hujan. Namun tidak tampak ada perbedaan jumlah serbuk sari yang bermakna antara musim hujan dan kemarau. Untuk meneliti serbuk sari yang berpotensi alergenik, perlu diketahui serbuk sari mana yang memiliki konsentrasi tinggi di udara. Serbuk sari A. auriculiformis mencapai konsentrasi puncak pada pukul 11 pagi, sedangkan serbuk sari Poaceae mencapai konsentrasi puncak antara pukul 13-15 siang. Dari perhitungan, tampak bahwa konsentrasi berbagai serbuk sari yang ditangkap sangat rendah untuk menyebabkan gangguan alergi, kecuali konsentrasi serbuk sari Poaceae dan A. auriculiformis.
3. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini meliputi penangkapan serbuk sari dengan alat penangkap, identifikasi serbuk sari dengan mikroskop cahaya dan scanning electron microscope (SEM), penentuan jenis serbuk sari dan pengumpulan serbuk sari, membuat ekstrak alergen serbuk sari untuk mengetahui kealergenikannya baik pada orang dengan riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi dengan cara uji tusuk kulit, serta melihat profil bobot molekul (BM) alergen serbuk sari yang diuji dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE).
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2005 sampai dengan Mei 2008. Penangkapan serbuk sari dilakukan sesuai dengan kemungkinan serbuk sari sebagai alergen di daerah Darmaga Bogor, Lebak Bulus Cilandak, Ragunan Pasar Minggu dan Ciganjur Jagakarsa di Jakarta Selatan (Lampiran 1,2). Untuk mengetahui sebaran serbuk sari, penelitian pendahuluan dilakukan di daerah Darmaga Bogor dan Lebak Bulus Cilandak di Jakarta Selatan. Penelitian pendahuluan pada tahun 2005 dengan pemasangan alat penangkap serbuk sari pasif di Darmaga Bogor didasarkan atas serbuk sari suku Poaceae seperti alangalang, jagung dan padi. Alat dipasang selama 6 hari antara tanggal 30 Maret sampai 4 April 2005 serta antara 9 Juni sampai 12 Juni 2005. Sedangkan penelitian awal di daerah Lebak Bulus Cilandak, Jakarta Selatan dilakukan untuk mengetahui serbuk sari apa yang tertangkap di daerah tersebut dengan menggunakan Burkard volumetric spore trap selama 1 tahun, dari 1 Januari sampai 31 Desember 2006. Penangkapan serbuk sari dilanjutkan pada tahun 2007 dengan memilih Kecamatan Pasar Minggu berdasarkan kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi di area tersebut (DKK DKI Jakarta 2006), dan juga dari Peta Peruntukan Tanah yang dikeluarkan Dinas Tata Kota Jakarta tahun 2005, Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan memiliki area
23
penghijauan yang sangat luas. Di wilayah ini diketahui berbagai tanaman seperti tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung, pisang, kelapa sawit, kelapa genjah, rambutan, jambu, mangga, alang-alang, dan rumput gajah. Berdasarkan data tersebut diatas, maka ditentukan area penelitian adalah daerah Pasar Minggu dan sekitarnya. Penangkapan serbuk sari dilakukan pada bulan Januari 2007 sampai Mei 2007 dengan gelas objek yang dioles perekat silikon dan digantung pada batang bambu di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan Kebun Bibit Dinas Pertamanan Ciganjur Jagakarsa (Lampiran 1,2). Serbuk sari diidentifikasi menggunakan mikroskop cahaya di Laboratorim Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi IPB Baranangsiang, Laboratorium Biologi Tumbuhan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati Bioteknologi (PPSHB) IPB dan Laboratorium Morfologi Anatomi dan Sitologi Tumbuhan, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pengamatan ultrastruktur serbuk sari dengan SEM dilakukan di Laboratorium Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Pembuatan ekstrak alergen serbuk sari untuk uji tusuk kulit dilakukan di Laboratorium
Kelompok
Penelitian
Rekayasa
Protein
Pusat
Penelitian
Bioteknologi LIPI Cibinong. Uji klinis dengan cara uji tusuk kulit dilakukan di Poli Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM, Poli Alergi Imunologi RS Pondok Indah, Klinik Bulog dan Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Analisis SDS-PAGE untuk penentuan BM dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia PPSHB IPB.
Penangkapan, Identifikasi, dan Pengumpulan Serbuk Sari Penangkapan serbuk sari pada penelitian ini menggunakan tiga jenis alat. Jenis alat yang pertama berupa alat penangkap serbuk sari pasif yang dibuat dari papan tripleks yang diberi atap kecil agar terlindung dari hujan, digunakan untuk menangkap serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Papan untuk menangkap serbuk sari alang-alang dan jagung berukuran 60x40 cm, sedangkan papan untuk serbuk sari padi berukuran 80x20 cm. Pada setiap alat penangkap, ditempel pita transparan “Melinex” sepanjang 20 cm dengan double tape di kedua ujungnya, kemudian diatas pita “Melinex” diberi perekat silikon. Pita “Melinex” ditempel sebanyak tiga baris di bagian depan dan tiga baris di bagian belakang papan. Alat
24
penangkap ini dipasang di areal yang banyak alang-alang, ladang jagung dan persawahan di Darmaga (Gambar 2). Setelah beberapa hari, pita “Melinex” diangkat dari papan tripleks dan digunting sepanjang gelas objek berukuran 7,5x2,5 cm. Serbuk sari yang menempel di pita “Melinex” diletakkan di atas gelas objek dalam posisi terbalik, kemudian sediaan diperiksa di bawah mikroskop cahaya. a
b
Gambar 2 Alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Darmaga: a. di ladang jagung dan b. di sawah Jenis alat penangkap kedua berupa alat Burkard volumetric spore trap (Gambar 3) yang terdiri dari bagian luar dan bagian dalam dengan drum yang dapat berputar dengan mekanisme pengaturan waktu 7 hari terus-menerus.
Bagian luar
Bagian dalam (letak drum)
Gambar 3 Alat Burkard volumetric spore trap yang dipasang di Lebak Bulus
25
Drum ini dilengkapi dengan pita transparan “Melinex” yang diolesi perekat silikon (Gambar 4) dan yang diletakkan di sekelilingnya, dilengkapi juga dengan sebuah pompa vakum yang dapat menarik udara sebanyak 10 liter per menit, sehingga dapat menarik serbuk sari maupun spora dari udara melalui celah, yang kemudian akan membentur dan melekat pada pita “Melinex”. Alat ini dapat digunakan dalam segala cuaca, dan dipasang di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Drum
Pita transparan “Melinex”
Perekat silikon Gambar 4 Drum yang dilengkapi pita transparan “Melinex” dan perekat silikon
Jenis alat penangkap ketiga menggunakan gelas objek yang dioles perekat silikon, kemudian dijepit dengan penjepit kertas dan digantung pada tiang dari bambu (Gambar 5a dan 5b). Alat penangkap pasif ini tidak dapat digunakan bila hujan, hanya bisa bila cuaca tidak hujan dan ada angin. Diharapkan serbuk sari yang beterbangan akan menempel pada gelas objek yang tergantung (Gambar 5c). Alat ini dipasang pagi hari sekitar pukul 07.00 dan diangkat sore hari sekitar pukul 17.00. Alat ini dipasang di Taman Margasatwa Ragunan Pasar Minggu dan Kebun Bibit Ciganjur Jagakarsa, Jakarta Selatan. Serbuk sari yang berhasil tertangkap oleh alat penangkap di empat lokasi, kemudian diidentifikasi guna mengetahui spesies tumbuhannya. Identifikasi serbuk sari yang tertangkap diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya, tanpa pulasan atau diwarnai dengan zat warna safranin. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan serbuk sari yang tertangkap dengan serbuk sari kontrol yang diambil dari bunga yang diketahui.
26
a
b
c
Gambar 5 Alat penangkap (a dan b) dengan gelas objek berperekat silikon (c) yang dipasang di Pasar Minggu dan Jagakarsa, Jakarta Selatan Struktur permukaan serbuk sari diamati dengan menggunakan SEM tipe JEOL JSM-5310LV. Dari serbuk sari yang tertangkap tidak semuanya ditindak lanjuti untuk pengujian alergi. Serbuk sari yang dilanjutkan untuk uji klinis dengan cara uji tusuk kulit ada 7 jenis, yaitu akasia, alang-alang, kelapa genjah, kelapa sawit, pinus, jagung dan padi. Setelah ditentukan jenis serbuk sari yang akan dipakai untuk uji tusuk kulit, selanjutnya dilakukan pengumpulan serbuk sari mengikuti metode Ching & Ching (1964). Semua jenis serbuk sari diambil dan dikumpulkan langsung dari bunganya sekitar pukul 8 pagi. Bunga kelapa beserta serbuk sarinya berdasarkan modifikasi Santos (1995) dikeringkan di ruang bersuhu 19°C selama 2 hari. Semua serbuk sari diayak dengan saringan bertingkat, sehingga serbuk sari terpisah dari bagian bunga lainnya, kemudian disimpan pada suhu –20°C dan siap di ekstraksi untuk pembuatan alergen.
Pembuatan Alergen Setiap serbuk sari yang akan diekstrak dimasukkan dalam cryotube Corning, lalu direndam semalam dalam tabung cryofab yang berisi nitrogen cair. Hari berikutnya, berat serbuk sari ditimbang dengan timbangan analitik dan ditumbuk halus dengan mortar, lalu disuspensi dalam 10% (w/v) etanol 96%, dikocok menggunakan stirrer selama 30 menit pada suhu ruang. Suspensi serbuk sari dipindahkan ke dalam eppendorf 1,5 ml, disentrifugasi menggunakan refrigerated microcentrifuge dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan berisi etanol 96% dengan kandungan lemak terlarut,
27
dibuang, endapan dikeringkan di atas tisu. Selanjutnya disuspensi dalam 5% (w/v) NaCl 0,5 M, dengan menggunakan vortex pada suhu ruang selama 30 menit untuk melarutkan protein. Setelah itu ekstrak protein didialisis dalam phosphat buffer saline (PBS) menggunakan membran dialisis semalam pada suhu 4ºC untuk menghilangkan mikromolekul non-protein. Konsentrasi protein diukur dengan metode Lowry (1951) dan untuk uji tusuk kulit konsentrasi disamakan pada 0,2 mg/ml (Ong 2005). Kemudian disaring dengan filter membran syringe steril 0,22 µm dan siap dipakai untuk uji tusuk kulit. Ekstraktan dari setiap jenis serbuk sari yang digunakan sebagai alergen untuk uji tusuk kulit disimpan pada suhu 4ºC.
Analisis SDS-PAGE Protein Serbuk Sari Ekstrak serbuk sari yang dipakai untuk uji tusuk kulit, diukur BM proteinnya dengan analisis sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan komponen-komponen protein dengan pengaruh arus listrik dalam medan listrik, sehingga terjadi laju perpindahan. Gel yang digunakan terbuat dari tris-HCl, SDS, bis-akrilamida, amonium persulfat, dan temed mengikuti metode Laemmli (1970) yang dimodifikasi. Resolving (running) gel yang digunakan dengan konsentrasi 12% akrilamid, dan stacking gel 4% akrilamid. Pulasan pita protein dilakukan dengan pewarnaan coomassie brilliant blue (CBB) dan perak nitrat (silver staining). Marker BM yang digunakan adalah standar protein dengan BM rendah atau low molecular weight (LMW). Sampel didenaturasi dengan pemanasan dan penambahan b-mercapto-ethanol. Pada saat running, besar voltase yang dipakai 75 volt dengan kuat arus 40 mili Amper (mA), lama running 3 jam. Setelah proses running selesai, dilakukan pewarnaan dengan melarutkan gel dalam larutan pewarna. Kemudian didiamkan semalam dan keesokan harinya dilakukan proses destaining.
Etika Penelitian Berdasarkan Deklarasi Helsinki tentang etik penelitian yang menggunakan uji klinis pada manusia, semua peserta penelitian harus mendapat penjelasan yang cukup (Lampiran 3) dan menyatakan persetujuannya secara tertulis (informed consent) untuk diikutsertakan dalam penelitian (Lampiran 4). Data peserta
28
penelitian dilaporkan secara anonim. Pada penelitian ini, potensi masalah etik terletak pada penggunaan bahan alergen yang belum dibakukan untuk uji tusuk kulit. Kajian etik telah dilakukan dan disetujui oleh Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2007 dengan Surat Keputusan No: 359a/PT02.FK/ETIK/20 (Lampiran 5).
Uji Klinis Uji klinis dilakukan dengan cara uji tusuk kulit untuk mengetahui sensitivitas seseorang terhadap alergen tertentu. Uji tusuk kulit mengikuti metode Rusznak dan Davies (1998) dilakukan di lengan bawah bagian dalam, batas-batas tempat penetesan alergen yang akan diuji ditandai dengan tinta. Alergen maupun kontrol diteteskan sebanyak 1 tetes di setiap batas tersebut, lalu ditusuk dengan jarum khusus (Gambar 6a, 6b). Puncak respons uji tusuk kulit terjadi antara 10-15 menit setelah penusukan alergen (Gambar 6c). Dalam praktik, uji tusuk kulit ditunggu 15 menit, kemudian dikeringkan dengan tisu dan diamati.
a
b
c
Gambar 6 Uji Tusuk Kulit: a. Jarum uji tusuk kulit, b. Cara uji tusuk kulit, c. Hasil uji tusuk kulit Reaksi uji tusuk kulit terhadap alergen dianggap positif bila terbentuk bentol berukuran 3 milimeter (mm) atau lebih dengan catatan tidak terjadi reaksi pada kontrol negatif. Hasil positif berarti ada alergen yang bereaksi dengan IgE spesifik pada permukaan sel mast kulit. Reaksi positif dapat terjadi pada seseorang tanpa gejala klinis. Interpretasi tes kulit positif tergantung dari riwayat pasien dan gejala klinis yang dipacu pajanan dengan alergen. Evaluasi sulit dilakukan pada mereka yang tidak menyadari terhadap pajanan rendah. Derajat sensitivitas dapat dikategorikan berdasarkan diameter bentol: positif 1 (+1): 3-5 mm, +2: 6-10 mm, +3: 11-20 mm, dan + 4: > 20 mm (Gambar 6c).
29
Pemilihan dan jumlah sampel pasien untuk uji tusuk kulit diambil berdasarkan pada urutan kedatangan pasien yang sudah terdiagnosis asma dan rinitis alergi (kelompok riwayat alergi), mereka yang kontrol antara bulan Oktober-November 2007 ke Rumah Sakit (RS) atau Klinik yang sudah ditentukan untuk penelitian, yaitu 1.Poliklinik Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam (IPD) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) - RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), 2.Poliklinik Alergi Imunologi RS Pondok Indah, 3.Klinik Bulog, dan 4.Klinik Alergi Imunologi Sisingamangaraja, Jakarta. Kriteria kelompok riwayat alergi yang ikut penelitian adalah pasien yang sudah terdiagnosis asma, rinitis alergi atau keduanya, berusia 19-55 tahun, jenis kelamin tidak dibedakan, perempuan tidak hamil, bebas obat (antihistamin dan steroid) yang dapat mengganggu penilaian uji tusuk kulit dalam 7 hari sebelum dilakukan uji tusuk kulit, dan bersedia ikut serta dalam penelitian. Selain itu diikutsertakan juga kelompok tanpa riwayat alergi dengan kriteria umur, jenis kelamin, tidak hamil, tidak makan obat seperti kelompok pasien alergi. Banyaknya sampel dari masing-masing kelompok 69 orang. Pada kelompok riwayat alergi umurnya berkisar antara 20-52 tahun, dan sebagian besar (74%) adalah perempuan, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi antara 19-54 tahun dengan banyaknya laki-laki 37 dan perempuan 32 orang. Alergen serbuk sari yang dipakai berasal dari alang-alang, akasia, kelapa sawit, kelapa genjah, jagung, padi dan pinus. Sebagai alergen pembanding digunakan alergen komersial ekstrak serbuk sari campuran 12 jenis rumput yang terdiri dari serbuk sari; 1. Bent grass (Agrostos sp), 2. Bermuda grass (Cynodon dactylon), 3. Bromus (Bromus sp), 4. Cocksfoot grass (Dactylis glomerata), 5. Meadow fescue (Festuca elatior), 6. Meadow grass (Poa pratensis), 7. Oat grass (Arrhenatherum elatius), 8. Rye grass (Lolium perenne), 9. Sweet vernal grass (Anthoxanthum odoratum), 10. Timothy grass (Phleum pratense), 11. Wild oat (Avena fatua), dan 12. Yorkshire fog (Holcus lanatus). Selain itu dipakai 2 jenis alergen tungau debu rumah, yaitu Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan Dermatophagoides farinae (Der.f) yang merupakan pencetus alergi terbesar di seluruh dunia. Sebagai kontrol positif digunakan histamin (zat penyebab alergi pada semua orang), sedangkan untuk kontrol negatif dipakai phosphat buffer saline (PBS) yang berfungsi sebagai pelarut
dan
tidak
menimbulkan
reaksi
positif
pada
uji
tusuk
kulit.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Serbuk sari adalah gametofit jantan tumbuhan berbunga yang berperan dalam proses pembuahan, dan merupakan salah satu sumber alergen yang dapat mencetuskan penyakit alergi pada manusia (Faegri et al. 1964, Gossage 2000). Untuk mengetahui serbuk sari yang dapat menimbulkan alergi pada manusia, perlu dilakukan penangkapan dan identifikasi serbuk sari yang tumbuh di suatu daerah di Indonesia. Serbuk sari yang akan diuji diekstraksi proteinnya dan untuk melihat kealergenikannya pada manusia, maka dilakukan uji klinis dengan cara uji tusuk kulit (Church & Holgate 1995). Sebagian besar serbuk sari adalah protein yang bobot molekulnya dapat diukur dengan analisis SDS-PAGE. Bobot molekul (BM) protein serbuk sari juga dapat membantu mengkonfirmasi serbuk sari yang berpotensi alergenik (Puc 2003; Jiang et al. 2005). Dari berbagai laporan, diketahui bahwa serbuk sari rumput-rumputan paling banyak menyebabkan alergi pada manusia, seperti Rye grass, Timothy grass, Bermuda grass, dan alang-alang (Jelks 1987, Singh & Kumar 2003). Rye grass dan Timothy grass tidak ada di Indonesia, sehingga penelitian untuk mengetahui serbuk sari rumput-rumputan apa saja di Indonesia yang menyebabkan alergi pada manusia perlu dilakukan. Pada penelitian awal tahun 2005, hasil tangkapan serbuk sari di daerah Darmaga Bogor, didapatkan serbuk sari padi (Oryza sativa), jagung (Zea mays), alang-alang (Imperata cylindrica), dan rumput gajah (Pennisetum purpureum). Serbuk sari rumput gajah tidak diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini, karena laporan tentang alergi akibat serbuk sari rumput gajah tidak banyak. Mengingat uji klinis akan dilakukan terhadap pasien yang berdomisili di wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, maka penangkapan serbuk sari juga dilakukan di wilayah Jakarta. Sebagai daerah penelitian penangkapan serbuk sari dengan alat Burkard, dipilih lokasi di Lebak Bulus berbatasan dengan Bogor yang masih banyak ditanami pohon-pohonan, rumput-rumputan, dan tumbuhan lainnya. Alat Burkard dipasang selama satu tahun dari bulan Januari sampai Desember 2006, serbuk sari yang tertangkap adalah serbuk sari akasia, kelapa
31
genjah, pinus, dan rumput-rumputan (yang terbanyak tumbuh adalah alang-alang), serta didapatkan pula jenis jamur Curvularia dan Alternaria. Berdasarkan Laporan Tahunan Data Angka Kesakitan dari berbagai Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta kejadian kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) termasuk rinitis paling tinggi (18,06%) adalah di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan (DKK DKI Jakarta 2006). Data dari Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2005) menunjukkan bahwa Kecamatan Pasar Minggu memiliki area penghijauan yang sangat luas dengan berbagai tanaman seperti tanjung, pinus, akasia, cempaka, dadap merah, jagung, pisang, kelapa sawit, kelapa genjah, rumput-rumputan terbanyak alang-alang, rambutan, jambu, dan mangga. Dengan demikian kemungkinan tingginya kasus ISPA tersebut diduga berkaitan dengan banyaknya serbuk sari yang beterbangan di udara Pasar Minggu. Dari alat penangkap serbuk sari yang dipasang di Kecamatan Pasar Minggu dan sekitarnya (Kecamatan Jagakarsa), tertangkap serbuk sari akasia, kelapa genjah, kelapa sawit, pinus, jagung, dan rumputrumputan terbanyak alang-alang. Di negara-negara Asia, diketahui bahwa serbuk sari tanaman akasia dan kelapa sawit alergenik bagi penduduk Singapura (Lee et al. 1995; Chew et al. 2000), kelapa sawit bagi penduduk Malaysia (Kimura et al. 2002), alang-alang bagi penduduk India (Singh & Kumar 2003). Serbuk sari tanaman jagung, padi, Bermuda grass, alang-alang, dan akasia dilaporkan merupakan serbuk sari alergenik bagi penduduk Filipina (Cua-Lim et al. 2006). Di Thailand dilaporkan hasil uji tusuk kulit serbuk sari penyebab alergi pada manusia meliputi akasia 19%, kelapa genjah 12%, dan Bermuda grass 17% (Visitsunthorn & Vichyanond 2006). Pada penelitian lain oleh Damayanti (2008) yang menggunakan hewan percobaan tikus Wistar, penyuntikan subkutan ekstrak serbuk sari kelapa genjah, kelapa sawit, jagung, dan pinus berhasil mencetuskan reaksi alergi pada tikus tersebut, sehingga diduga ekstrak serbuk sari tanaman-tanaman tersebut dapat juga menimbulkan reaksi alergi pada manusia. Oleh karena itu, pada penelitian ini keempat serbuk sari tersebut serta serbuk sari akasia (A. auriculiformis), alang-
32
alang (I. cylindrica), dan padi (O. sativa) dipilih untuk pengujian pada manusia. Hasil tangkapan serbuk sari diidentifikasi di bawah mikroskop cahaya dan SEM. Identifikasi Serbuk Sari Identifikasi serbuk sari dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dan SEM. Serbuk sari akasia. Termasuk suku Leguminoceae, ukurannya berkisar 20-70 µm, dapat terdiri dari 8, 16, atau 32 sel yang disebut polyad, dindingnya tektat dengan ornamentasi skabrat (Gambar 7 a,b,c).
Gambar 7 Serbuk sari akasia dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b,c) Serbuk sari kelapa genjah dan kelapa sawit. Serbuk sari kelapa genjah (Palmae/Arecaceae), berukuran sekitar 60 µm, bersifat monad, monokolpat dengan ornamentasi psilat (Gambar 8 a,b,c). Serbuk sari kelapa sawit (Arecaceae), berukuran sekitar 30 µm, bersifat monad, trikolpat dengan ornamentasi psilat (Gambar 8 d,e,f).
Gambar 8 Serbuk sari kelapa genjah (atas) dan kelapa sawit (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d) dan SEM (b,c,e,f)
33
Serbuk sari pinus. Termasuk suku Pinaceae, ukurannya berkisar antara 20-35 µm, mempunyai dua kantong udara sehingga bentuknya menyerupai Mickey Mouse. Berbentuk sferoidal, berstruktur dinding tektat dengan ornamentasi psilat atau vesikulat dan inaperturat. Gambar 9a serbuk sari pinus dilihat dengan mikroskop cahaya. Gambar 9b dan 9c yang diamati dengan SEM.
Gambar 9 Serbuk sari pinus dilihat di bawah mikroskop cahaya (a) dan SEM (b, c) Serbuk sari alang-alang, jagung dan padi. Termasuk suku Poaceae, mempunyai sifat yang sama; monoporat, monad, bentuk steroidal (Gambar 10)
Gambar 10 Serbuk sari alang-alang (atas), jagung (tengah), dan padi (bawah) dilihat di bawah mikroskop cahaya (a,d,g) dan SEM (b,c,e,f,h,i)
34
Pada penampakan SEM tampak struktur dindingnya tektat dengan ornamentasi psilat dan porus yang jelas pada ketiga jenis serbuk sari suku Poaceae (Gambar 10). Khusus untuk serbuk sari jagung, ukurannya berkisar antara 90-110 µm (Gambar 10 d,e,f), sedangkan serbuk sari suku Poaceae lainnya memiliki rentang ukuran antara 20-60 µm (Weber 1998; Taylor et al. 2002).
Analisis Bobot Molekul (BM) Protein Serbuk Sari Pengukuran BM polipeptida protein serbuk sari dapat dipakai untuk mengetahui apakah protein tersebut termasuk protein alergenik. Analisis SDSPAGE dapat menduga BM polipeptida suatu protein. Ekstrak protein serbuk sari dari tujuh tanaman dianalisis dengan SDS-PAGE pewarnaan CBB (Gambar 11) dan perak nitrat (Gambar 12).
Gambar 11 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan CBB. Lajur 1 dan 9: Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus 6: Akasia, 7: Alang-alang, 8: Padi
Gambar 12 SDS-PAGE protein serbuk sari dengan pulasan perak nitrat. Lajur 1 dan 6: Marker LMW, 2: Kelapa sawit, 3: Jagung, 4: Kelapa genjah, 5: Pinus, 7: Akasia, 8: Alang-alang, 9: Padi
35
Pita polipeptida menunjukkan protein dalam keadaan terdenaturasi. Pada kedua gambar tersebut tampak tanda panah yang menunjukkan pita protein yang selalu muncul disetiap lajur protein serbuk sari yang dianalisis dengan BM 31 kD. BM kelapa sawit. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa sawit menghasilkan beberapa pita antara 15-67 kD. Intensitas terkuat tampak pada pita dengan BM sekitar 26 dan 31 kD yang terlihat pada lajur 2 (Gambar 11, 12). Purifikasi ekstrak kelapa sawit mendapatkan glikoprotein dengan BM 31 kD yang bereaksi terhadap IgE dari pasien polinosis kelapa sawit (Kimura 2002). BM kelapa genjah. Elektroforesis ekstrak serbuk sari kelapa genjah menghasilkan beberapa pita dengan intensitas pulasan terkuat pada BM 15 dan 25 kD yang tampak pada lajur 4 (Gambar 11, 12). BM jagung. Pada SDS-PAGE serbuk sari jagung, terdapat delapan pita, intensitas terkuat tampak pada pita berukuran sekitar 24 kD dan 35 kD terlihat pada lajur 3 (Gambar 11, 12). Penelitian Western blot serbuk sari jagung menghasilkan pita reaktif IgE yang kuat pada BM 35 kD dan 55 kD (Petersen 2006). Kedua pita tersebut sesuai dengan alergen protein Zea m 1 dan Zea m 13. Perbandingan imunologis dan biokimiawi memperlihatkan bahwa alergen dari serbuk sari jagung mengandung empat grup alergen serbuk sari rumputrumputan, yaitu grup 1, 3, 12, dan 13. Namun, hanya dua grup alergen yang paling kuat mencetuskan reaksi IgE, yaitu grup 1 dan 13. Zea m 1 adalah glikoprotein yang merupakan alergen grup 1 dan merupakan 4% dari seluruh protein yang diekstrak dari serbuk sari. Glikoprotein ini cepat disekresi ketika serbuk sari terhidrasi dan memiliki aktivitas wall-loosening yang spesifik untuk dinding sel rumput (Cosgrove 1997; Li 2003). Zea m 1 mewakili kelompok protein yang disebut expansin, yaitu protein yang terlibat dalam peregangan dinding sel dalam pertumbuhan tabung serbuk sari ketika fertilisasi (Cosgrove 1997). Alergen Zea m 13 diketahui berfungsi sebagai poligalaturonase (Niogret 1991; Suck 2000). BM alang-alang. Elektroforesis protein serbuk sari alang-alang pada lajur 7 (Gambar 11) hanya menampakkan pita-pita di bawah 33 kD dengan pewarnaan CBB, sedangkan dengan pewarnaan perat nitrat pada lajur 8 (Gambar 12) memperlihatkan tiga pita utama berukuran sekitar 16 kD, 33 kD, dan 67 kD.
36
Pemeriksaan imunoblot ekstrak serbuk sari alang-alang menghasilkan 7 protein alergenik utama dengan BM 16, 28, 40, 43, 57, 62 dan 85 kD (Kumar et al. 1998). BM padi. Hasil elektroforesis protein serbuk sari padi (Gambar 11, 12) menunjukkan pita protein yang dominan pada BM 16 dan 32 kD. Penelitian Tsai (1990) dengan pemeriksaan darah immunoblot pada pasien alergi menghasilkan 3 pita polipeptida utama serbuk sari padi dengan BM 16, 26, dan 32 kD. BM akasia. Elektroforesis protein serbuk sari akasia memperlihatkan dua pita protein dominan berukuran 16 kD dan 30 kD pada Gambar 12 lajur 7. BM pinus. Elektroforesis serbuk sari pinus menghasilkan beberapa pita dan terkuat pada BM 26 dan 31 kD seperti tampak pada lajur 5 (Gambar 11, 12) Secara keseluruhan, BM protein dari 7 tanaman serbuk sari yang diteliti, didapatkan BM berkisar antara 10-70 kD yang menunjukkan bahwa protein dalam kisaran tersebut merupakan protein alergenik (Puc 2003; Jiang 2005).
Uji Klinis Sensitivitas terhadap Serbuk Sari Pengujian ini mempergunakan ekstrak serbuk sari sebagai alergen dalam uji tusuk kulit. Hasil reaksi positif terhadap alergen yang diuji, ditentukan dengan munculnya bentol histamin pada kulit yang berukuran≥ 3 mm
dibandingkan
dengan kontrol negatif. Sensitivitas terhadap serbuk sari akasia. Hasil penelitian pada kelompok riwayat alergi, derajat sensitivitas terhadap akasia didapatkan 7 orang positif 1, 3 orang positif 2 dan hanya 1 orang positif 3, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi, didapatkan 8 orang positif 1, 3 orang positif
2, dan tidak
didapatkan positif 3 (Gambar 13). Walaupun persentase reaksi positif terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok, tetapi derajat sensitivitasnya berbeda. Pada kelompok riwayat alergi, terdapat variasi derajat positif 1 sampai 3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama didapatkan positif 1 dan tidak didapatkan positif 3. Ada kemungkinan alergen ini telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari oleh orang tanpa riwayat alergi, karena gejala klinisnya yang ringan, seperti bersin-bersin, yang dapat dianggap sebagai penyakit flu biasa (common cold) oleh orang tersebut. Berdasarkan temuan diatas, identifikasi reaksi hipersensitivitas terhadap serbuk
37
sari pohon peneduh jalan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis pohon selanjutnya, jika pohon akasia akan diganti dengan pohon lain. Hal ini penting dilakukan guna memilih pohon peneduh yang tepat dan aman dari pajanan alergen, mengingat pohon-pohon tersebut biasanya berada di pinggir-pinggir jalan dan disekitar pemukiman penduduk.
8 7 6 5 Frekuensi kasus 4 3 2 1 0
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat Sensitivitas
Gambar 13 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari akasia Hasil temuan lain yang memperkuat yaitu uji tusuk kulit di Singapura mendapatkan sensitivitas sebesar 27,7% untuk serbuk sari akasia (Chew 2000). Penelitian di Bengal India, pada tahun 2000 mendapatkan uji tusuk kulit positif terhadap serbuk sari akasia (Boral & Bhattacharya 2000), dan pada tahun 2004 sebesar 20,4% dari 147 orang pasien alergi pernapasan yang diperiksa dengan derajat sensitivitas pada umumnya adalah positif 1 (17,8%) (Boral et al. 2004). Spesies akasia lainnya telah dilaporkan menyebabkan asma, yaitu Acacia melanoxylon di Tasmania (Wood-Baker 1997) dan Acacia floribunda di Mediteranea (Ariano 1991). Akasia merupakan genus yang besar dan meliputi lebih dari 1000 spesies. Pohon A.auriculiformis adalah tumbuhan asli Australia, Indonesia dan Papua New Guinea (Sornsathapornkul & Owens 1998). Selama ini belum ada alergen serbuk sari akasia yang diketahui karakteristiknya. Namun, dapat terjadi reaktivitas silang antara serbuk sari akasia dan serbuk sari rumput rye (Howlett 1982). Penelitian lain, serbuk sari akasia juga menunjukkan reaksi
38
positif juga pada uji tusuk kulit di negara Thailand (Pumhirun et al. 1997) dan Arab Saudi (Suliaman et al. 1997). Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang. Reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok alergi menunjukkan persentase tertinggi dibandingkan terhadap serbuk sari yang diteliti lainnya. Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang pada kelompok riwayat alergi terutama adalah positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi kebanyakan positif 1 (Gambar 14). Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek. Hal ini merupakan salah satu dasar pemilihan serbuk sari alang-alang untuk pemeriksaan kealergenikannya.
Frekuensi kasus
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 14 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang
Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh dimana-mana, serbuk sarinya ringan, mudah disebarkan angin sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada waktu musim berbunga (Bijli 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di wilayah bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan dan Australia. Penelitian di India mendapatkan bahwa alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi alergi pada pasien atopik dibandingkan suku Poaceae lainnya (Sridhara et al. 1995). Penelitian klinis selanjutnya mendapatkan sensitivitas (uji tusuk kulit positif) pada 8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar 1998).
39
Tampak bahwa serbuk sari alang-alang merupakan alergen dengan tingkat sensitivitas tertinggi pada kelompok riwayat alergi, sehingga berpotensi dimasukkan dalam panel pemeriksaan uji tusuk kulit. Sensitivitas terhadap serbuk sari jagung. Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari jagung pada kelompok riwayat alergi terutama adalah positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi terutama didapatkan positif 1 (Gambar 15)
4
3
Frekuensi kasus
2
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
1
0
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas Gambar 15 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari jagung Alergi terhadap serbuk sari jagung telah dilaporkan di Filipina (Cua Lim et al. 2006), tetapi belum pernah dilaporkan di Indonesia. Pada penelitian ini tingkat sensitivitas terhadap serbuk sari jagung tergolong sedang, baik pada kelompok riwayat alergi maupun kelompok tanpa riwayat alergi (7,2%), kemungkinan disebabkan karena perbedaan wilayah penangkapan serbuk sari dan tempat tinggal responden penelitian. Penangkapan serbuk sari dilakukan di Darmaga Bogor, sedangkan responden penelitian tinggal di Jakarta. Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa tingkat sensitivitas yang lebih tinggi akan ditemukan pada penduduk di wilayah perkebunan jagung atau pada komunitas petani jagung. Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi alergenik serbuk sari tanaman jagung khusus di wilayah perkebunan jagung. Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah. Pada kelompok riwayat alergi, derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah, didapatkan 4 orang positif 1 dan 3 orang positif 2. Pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan
40
positif 1 sebanyak 6 orang (Gambar 16). Persentase tingkat sensitivitas serbuk sari kelapa genjah 10,1% pada kelompok riwayat alergi dan 8,7% pada kelompok tanpa riwayat alergi, menunjukkan bahwa alergen tersebut berada di udara bebas wilayah Jakarta yang terbawa oleh angin. Serbuk sari tanaman kelapa genjah merupakan serbuk sari alergenik bagi penduduk negara India (Sridhara et al. 1995; Mandal et al. 2008). 6 5 4 Frekuensi 3 kasus
riwayat alergi
2
tanpa riwayat alergi
1 0
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 16 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa genjah Sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa sawit. Uji sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa sawit mendapatkan 4 orang riwayat alergi positif 1 dan 1 orang positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang yang masing-masing terdiri dari positif 1 dan 2 (Gambar 17). Tingkat sensitivitas yang didapat dari penelitian ini tidak terlalu tinggi pada kelompok riwayat alergi dan bahkan tergolong rendah pada kelompok tanpa riwayat alergi. Tanaman kelapa sawit banyak ditanam di Jakarta sebagai pohon peneduh dan elemen pertamanan kota serta real estate besar, sehingga ada kemungkinan pajanan serbuk sari kelapa sawit sudah terjadi pada penduduk Jakarta. Adapun areal perkebunan kelapa sawit yang sangat luas di Indonesia, terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sebagai perbandingan, sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa sawit dilaporkan sebesar 39,8% dan merupakan alergen luar rumah yang tertinggi di Singapura (Chew 2000). Diduga serbuk sari
41
tersebut terbawa angin dari Malaysia di mana terdapat perkebunan kelapa sawit yang luas sekali.
4 3 Frekuensi 2 kasus
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
1 0
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 17 Perbedaan derajat sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari kelapa sawit Penelitian sebelumnya mendapatkan komponen alergenik multipel dari serbuk sari kelapa sawit (Lee et al. 1995). Perlu penelitian lebih lanjut apakah tingkat sensitivitas protein serbuk sari kelapa sawit lebih tinggi pada penduduk di areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sensitivitas terhadap serbuk sari padi. Derajat sensitivitas positif 1 terhadap serbuk sari padi, didapatkan pada 3 orang riwayat alergi dan 1 orang tanpa riwayat alergi, sedangkan positif 2 hanya didapatkan pada 1 orang dalam masing-masing kelompok (Gambar 18) Hasil penelitian menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas terhadap serbuk sari padi, hanya sedikit orang yang terpapar alergen serbuk sari padi. Kemungkinan disebabkan karena areal persawahan di Jakarta saat ini hampir tidak ada dan penangkapan serbuk sari padi dilakukan di Bogor. Penelitian terhadap alergi serbuk sari padi sangat jarang dilaporkan. Pada suatu penelitian di Taiwan, sebanyak 312 pasien asma anak menjalani uji tusuk kulit, dan 29 (9,3%) orang di antaranya menghasilkan reaksi positif dengan ukuran bentol > 6 mm (Tsai 1990).
42
3
2 Frekuensi kasus
riwayat alergi 1
0
tanpa riwayat alergi
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 18 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari padi Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus. Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari pinus pada kelompok riwayat alergi hanya ditemukan positif 2 sebanyak 3 orang, sedangkan kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan positif 1 sebanyak 1 orang (Gambar 19). Meskipun serbuk sari pinus tertangkap di wilayah Jakarta, pohon pinus bukan merupakan tanaman khas di Jakarta. Pohon pinus banyak ditanam di daerah perumahan dalam jumlah terbatas, sehingga pajanannya tidak terlalu banyak seperti tanaman lain.
3
2 Frekuensi kasus
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
1
0
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 19 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari pinus
43
Pohon pinus dari spesies Pinus merkusii disebut pula dengan pinus Sumatra (Sumatran pine). Alergi terhadap serbuk sari pinus jarang dilaporkan dan tampaknya tidak bermakna secara klinis. Sebuah penelitian di Spanyol Selatan melaporkan adanya reaksi uji kulit positif terhadap serbuk sari cemara Australia (Casuarina equisetifolia) pada 6 orang dari 210 pasien non-atopi dengan riwayat rinitis, asma, atau rinitis asma hanya pada musim gugur. Lima orang di antaranya menunjukkan reaksi IgE positif dari darah dengan cara RAST (Garcia 1997). Penelitian lain di Arizona, Amerika Serikat mendapatkan 12 dari 826 pasien atopik (1,5%) yang menghasilkan uji kulit positif terhadap serbuk sari pohon Pinus ponderosa (Freeman 1993). Belum ada laporan tentang alergi serbuk sari pohon Pinus merkusii. Sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix. Uji sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix pada kelompok riwayat alergi mendapatkan 18 orang positif 1 dan 7 orang positif 2, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi ditemukan 12 orang positif 1 dan 4 orang positif 2 (Gambar 20). Dalam sediaan alergen 12 Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda grass (C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga reaksi positif dapat terjadi karena pajanan dengan jenis rumput tersebut.
18 16 14 12 Frekuensi 10 8 kasus 6 4 2 0
riwayat alergi tanpa riwayat alergi
Positif 1 Positif 2 Positif 3 Derajat sensitivitas
Gambar 20 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap Grasses mix
44
Selain itu, diduga adanya kandungan protein yang epitopnya (bagian alergen yang merangsang pembentukan antibodi IgE) sama dalam Grasses mix dengan serbuk sari Poaceae lainnya, yang umum terdapat di lingkungan tempat tinggal responden. Reaksi silang sering ditemukan di antara suku Poaceae karena adanya kandungan epitop protein yang serupa (Sridhara et al. 2000; Jutel 2005).
Sensitivitas terhadap tungau debu rumah. Alergen tungau debu rumah merupakan alergen terbanyak yang menimbulkan reaksi uji tusuk kulit positif pada hampir semua orang di seluruh dunia, karena pada umumnya orang lebih lama berada di dalam rumah atau ruangan, sehingga lebih sering dan lama terpajan dengan tungau debu rumah (Pumhirun et al. 1997, Baratawidjaja et al. 1998b). Oleh karena itu, alergen tungau debu rumah termasuk salah satu yang harus ada dalam panel uji tusuk kulit dan sebagai petunjuk ada tidaknya atopi pada seseorang. Berdasarkan uji tusuk kulit dengan alergen tungau debu rumah, diketahui bahwa atopi ditemukan pada sekitar ≥25 % populasi manusia tanpa memandang riwayat alerginya (Bousquet et al. 2008). Namun dalam penelitian ini, proporsi orang tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik (positif salah satu tungau) jauh lebih besar, yaitu 47,8%. Timbulnya reaksi positif terhadap serbuk sari yang diteliti, pada kelompok tanpa riwayat alergi diduga kelompok tersebut pernah terpajan dengan serbuk sari tersebut, tetapi tidak cukup memberikan gejala penyakit alergi. Dari hasil uji tusuk kulit pada penelitian ini, didapatkan hasil positif tertinggi terhadap tungau debu rumah untuk kedua kelompok dibanding dengan alergen yang lainnya, hanya saja berbeda dalam derajat sensitivitasnya. Perbedaan sensitivitas seseorang kemungkinan dapat disebabkan oleh tingginya proporsi kelompok tanpa riwayat alergi yang terbukti atopik. Secara klinis, pada umumnya diagnosis atopik antara lain dibuktikan dengan reaksi uji tusuk kulit positif terhadap Dermatophagoides pteronyssinus (Der.p) dan atau Dermatophagoides farinae (Der.f) yang merupakan alergen dalam rumah.
45
Perbedaan hasil uji tusuk kulit antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi Hasil uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi menunjukkan bahwa persentase reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih tinggi dibanding terhadap serbuk sari lainnya (Tabel 2). Persentase kelompok riwayat alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk sari alang-alang 20,3%, akasia 15,9%, dan kelapa genjah 10,1%, sedangkan terhadap ekstrak serbuk sari yang diteliti lainnya memberikan reaksi positif kurang dari 10%. Dari 7 jenis alergen serbuk sari yang diuji, perbedaan persentase sensitivitas uji tusuk kulit yang bermakna antara kelompok riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi hanya tampak pada serbuk sari alang-alang, akan tetapi dibandingkan terhadap alergen Grasses mix, persentase kelompok riwayat alergi bereaksi positif terhadap ekstrak serbuk sari tanaman yang diteliti masih lebih rendah (Tabel 2). Tabel 2 Perbedaan persentase uji tusuk kulit positif terhadap alergen berbeda antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi Riwayat Tanpa riwayat alergi alergi Jenis alergen n % N % Akasia 11 15,9 11 15,9 Alang-alang 14 20,3 6 8,7 Jagung 5 7,2 5 7,2 Kelapa genjah 7 10,1 6 8,7 Kelapa sawit 5 7,2 2 2,9 Padi 4 5,8 2 2,9 Pinus 3 4,3 1 1,4 Campuran rumput (Grasses mix) 25 36,2 16 23,2 Dermatophagoides pteronisinnus (Der. p) 54 78,3 19 27,5 Dermatophagoides farinae (Der. F) 54 78,3 30 43,5 Demikian pula jika dibandingkan terhadap alergen tungau debu rumah (Der. p dan Der. f) kelompok riwayat alergi yang memberikan reaksi positif sangat tinggi. Kecenderungan sensitivitas terhadap alergen serbuk sari Grassess mix dan tungau debu rumah (Der. p dan Der. f) lebih banyak pada kelompok riwayat alergi dibandingkan tanpa riwayat alergi. Kelompok riwayat alergi ditentukan berdasarkan pada kedatangan pasien ke rumah sakit atau klinik, umur pasien yang datang berkisar 20-52 tahun, kebanyakan di bawah atau berumur 30 tahun (42%). Kelompok riwayat alergi
46
sebagian besar menderita rinitis alergi 51 orang (74%), 14 orang (20%) asma, dan 4 orang (6%) menderita keduanya. Kelompok ini sebagian besar perempuan (51 orang). Umur kelompok riwayat alergi dalam penelitian ini serupa dengan umur pasien rinitis alergi yang dilaporkan beberapa negara di Eropa, yaitu 36 tahun dengan kisaran antara 31-42 tahun (Bauchau & Durham 2005). Penelitian di Thailand mendapatkan prevalensi hiperreaktivitas bronkus dan asma tertinggi pada kelompok usia 30-39 tahun (Dejsomritrutai et al. 2006). Di Amerika Serikat (AS) prevalensi asma pada perempuan hampir dua kali lipat dari penderita laki-laki (CDC 2001), gejala perbedaan penyakit alergi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki di AS telah tampak dalam 20 tahun terakhir (Anderson et al. 1992). Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan hormon seks (Barr et al. 2004; Zimmerman et al 2000), perbedaan ukuran jalan napas dan responsivitasnya (Pagtakhan et al. 1984), atau obesitas (Chen et al. 2002; Thomson et al. 2003). Fluktuasi hormon perempuan (estrogen dan progesteron) berhubungan dengan gejala-gejala rinitis alergi musiman (Stübner et al. 1999). Perubahan-perubahan di hidung diketahui terjadi selama siklus menstruasi, pubertas, dan kehamilan (Kalogeromitros et al. 1995; Ellegard 2004). Reaksi positif uji tusuk kulit terhadap alergen dapat dibedakan derajat sensitivitasnya berdasarkan diameter bentol, positif 1 (3-5 mm), positif 2 (6-10 mm), positf 3 (11-20 mm), dan positif 4 bila > 20 mm. Dalam pengujian ini, pasien yang diuji tidak ada yang memperlihatkan derajat positif 4. Derajat sensitivitas masing-masing alergen pada kelompok riwayat alergi dan tanpa riwayat alergi disajikan pada Gambar 21 dan 22. Derajat sensitivitas terhadap akasia, baik pada kelompok riwayat alergi maupun tanpa riwayat alergi umumnya bereaksi positif 1 yang berarti telah terjadi pajanan serbuk sari pada kedua kelompok. Tampaknya pajanan yang terjadi pada kedua kelompok masih rendah. Derajat sensitivitas terhadap serbuk sari kelapa genjah pada kelompok riwayat alergi didapatkan positif 1 (4 orang) dan positif 2 (3 orang). Pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya didapatkan positif 1 sebanyak 6 orang. Terhadap serbuk sari kelapa sawit, pada kelompok riwayat alergi didapatkan 4 orang bereaksi positif 1 dan 1 orang positif 2, sedangkan pada
47
kelompok tanpa riwayat alergi hanya ditemukan 2 orang yang masing-masing positif 1 dan 2 (Gambar 21 dan 22). Seperti diketahui tanaman kelapa sawit banyak ditanam di Jakarta sebagai tanaman penghijauan dan elemen pertamanan, sehingga ada kemungkinan telah terjadi pajanan serbuk sari kelapa sawit pada penduduk Jakarta. Sensitivitas terhadap serbuk sari alang-alang bereaksi positif 2, didapatkan pada 9 orang dengan riwayat alergi dan hanya 1 orang tanpa riwayat alergi. Di India alang-alang secara klinis lebih kuat mencetuskan reaksi alergi pada pasien atopik dibandingkan spesies lain dalam suku Poaceae (Sridhara et al. 1995). Penelitian klinis lebih lanjut memperlihatkan uji tusuk kulit bereaksi positif pada 8,9% dari 303 pasien alergi pernapasan (Kumar et al. 1998). Serbuk sari alangalang tampaknya merupakan alergen penyebab sensitivitas tinggi pada kelompok riwayat alergi, sehingga berpotensi sebagai bahan alergen dalam panel pemeriksaan uji tusuk kulit. Reaksi sensitivitas terhadap serbuk sari jagung bereaksi positif 2 pada kelompok riwayat alergi ada 4 orang, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi hanya 1 orang. Ekstrak serbuk sari padi menghasilkan reaksi positif 2 pada 3 orang riwayat alergi dan 1 orang tanpa riwayat alergi. Penelitian sensitivitas terhadap serbuk sari jagung dan padi menunjukkan rendahnya tingkat sensitivitas pada kedua kelompok (Gambar 21 dan 22), ini dapat disebabkan orang yang terpapar hanya sedikit mengingat area ladang jagung tidak banyak dan persawahan di Jakarta hampir tidak ada. Sensitivitas terhadap serbuk sari pinus sangat sedikit, hanya ditemukan positif 2 pada tiga orang riwayat alergi dan 1 orang tanpa riwayat alergi dengan positif 1. Umumnya serbuk sari kerabat-kerabat pinus secara klinis tidak dianggap penting karena ukurannya sangat besar, antara 50-90 µm dan bersifat antigenik lemah. Uji sensitivitas terhadap serbuk sari Grasses mix pada kedua kelompok kebanyakan menghasilkan sensitivitas positif 1, ini menyatakan banyak orang yang sudah terpapar walaupun tidak menunjukkan gejala, sedangkan terhadap tungau debu rumah sebagian besar memperlihatkan sensitivitas positif 2 pada kelompok riwayat alergi.
48
35 (+) 1 31 (+) 2
29
30
Jumlah Orang yang Sensitif
(+) 3
25 21 20
18
18
15
9
10
7
7 5 5
5 4
3 1
0
4
5
4 3
3
3 1
1
1
(+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Akasia
Alangalang
Jagung
K_genjah
K_sawit
Padi
Pinus
Grass_mix
Der_p
Der_f
Gambar 21 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok riwayat alergi
35 (+) 1 (+) 2 30
Jumlah Orang yang Senstif
25
20 18
15 12
10
12
12
8 7 6 5
5
4
4 3 1
1
1
1
1
1
1
0 (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Akasia
Alangalang
Jagung
K_genjah
K_sawit
Padi
Pinus
Grass_mix
Der_p
Der_f
Gambar 22 Derajat sensitivitas uji tusuk kulit pada kelompok tanpa riwayat alergi
49
Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap serbuk sari alang-alang, akasia dan Grasses mix Reaksi positif terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia baik pada kelompok alergi menunjukkan persentase lebih tinggi dibandingkan terhadap serbuk sari yang diteliti lainnya. Akan tetapi bila dibandingkan terhadap Grasses mix yang bereaksi positif masih lebih rendah (Gambar 23). Serbuk sari alangalang merupakan satu-satunya alergen yang memberikan perbedaan hasil bermakna pada uji klinis antara kelompok riwayat alergi dan kelompok tanpa riwayat alergi. Alang-alang merupakan tumbuhan liar yang tidak ditanam dan tersebar luas hampir di seluruh wilayah Jabotabek, ini merupakan salah satu dasar pemilihan serbuk sari alang-alang untuk diperiksa potensi kealergenikannya. Alang-alang pada umumnya mudah tumbuh di mana-mana, serbuk sarinya ringan dan mudah disebarkan angin, sehingga orang lebih berisiko untuk terpajan pada waktu musim berbunga (Bijli et al. 2003). Alang-alang juga banyak terdapat di wilayah bersuhu panas di Asia, Afrika Selatan, dan Australia.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Grasses mix
Alang-alang
Positif Positif Positif 1 2 3
Akasia
Positif Positif Positif 1 2 3
Riwayat alergi
Positif Positif Positif 1 2 3
Tanpa riwayat alergi
Gambar 23 Perbedaan sensitivitas kedua kelompok terhadap alang-alang, akasia dan Grasses mix Walaupun persentase reaksi positif terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok responden, tetapi derajat sensitivitasnya berbeda. Pada kelompok riwayat alergi, bervariasi derajat sensitivitasnya positif 1 sampai
50
3, sedangkan pada kelompok tanpa riwayat alergi tidak ada yang positif 3. Kemungkinan alergen ini telah menimbulkan hipersensitivitas yang tidak disadari oleh orang tanpa riwayat alergi karena gejala klinis yang ringan seperti bersinbersin, yang dapat dianggap sebagai penyakit flu biasa dan bukan alergi oleh kebanyakan orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serbuk sari akasia merupakan alergen pencetus alergi pada manusia, sebaiknya dipikirkan untuk mengganti dengan pohon peneduh lain, yang telah diidentifikasi serbuk sarinya bukan penyebab alergi pada manusia. Hasil uji tusuk kulit terhadap campuran rumput (Grasses mix) menunjukkan persentase dari masing-masing kelompok responden lebih tinggi dari persentase serbuk sari yang diuji (Gambar 21, 22, 23). Dalam sediaan alergen Grasses mix, salah satunya adalah Bermuda grass (C.dactylon) yang umum dijumpai di Indonesia, sehingga dapat menghasilkan reaksi positif akibat adanya pajanan. Dari hasil penelitian ini tampak bahwa serbuk sari Poaceae, Grasses mix dan alang-alang, memberikan sensitivitas yang cukup bermakna secara klinis. Artinya dalam populasi studi, pasien alergi juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami sensitivitas terhadap serbuk sari Poaceae dibandingkan orang tanpa riwayat alergi. Dua serbuk sari Poaceae lainnya, yaitu jagung dan padi, tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal orang yang diteliti dan area penangkapan serbuk sari. Alergen serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari ekstrak kasar protein serbuk sari. Alergen komersial untuk uji tusuk kulit telah diketahui susunan polipeptidanya yang menghasilkan reaksi alergenik, yaitu reaksi yang memproduksi IgE. Produksi antibodi IgE pada pasien alergi akan mengakibatkan munculnya gejala-gejala alergi dari rinitis sampai asma. Untuk pembuatan vaksin imunoterapi, perlu dilakukan analisa polipeptida yang ada dalam ekstrak kasar serbuk sari. Alang-alang, jagung, padi dan Grasses mix termasuk suku Poaceae. Antar suku Poaceae sering terjadi reaksi silang karena adanya protein yang sejenis, sehingga dapat memberikan reaksi yang serupa (Weber 2003). Dari hasil penelitian ini tampak bahwa serbuk sari Grasses mix dan alang-alang,
51
memberikan perbedaan sensitivitas yang cukup bermakna secara klinis. Artinya dalam populasi studi, pasien alergi juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami sensitivitas terhadap serbuk sari Poaceae dibandingkan orang tanpa riwayat alergi. Serbuk sari jagung dan padi tidak banyak menghasilkan sensitivitas pada kelompok studi, yang kemungkinan disebabkan perbedaan antara tempat tinggal responden penelitian dan area penangkapan serbuk sari. Penelitian klinis oleh Petersen et al. (2006) pada pasien polinosis rumput memperlihatkan adanya reaksi silang (cross-reactivity) antara alergen dari serbuk sari Timothy grass (Phl p1) dan serbuk sari jagung (Zea m1). Namun reaktivitas alergen Zea m1 jauh lebih rendah dibandingkan Phl p1. Hampir semua serbuk sari Poaceae memiliki reaktivitas silang derajat tinggi, karena banyak epitop yang sama di sebagian besar spesies (Lieferman & Gleich 1976). Komponen alergenik utama pada sebagian besar, yaitu alergen Gp1, merupakan glikoprotein yang memicu gejala-gejala alergi pada individu yang sensitif serbuk sari Poaceae. Respons uji tusuk kulit positif dapat terjadi sampai 43% pada orang tanpa gejala penyakit alergi (Kerkhof et al. 1996). Studi longitudinal memperlihatkan bahwa adanya uji tusuk kulit positif pada orang tanpa gejala dapat memprediksi munculnya gejala-gejala alergi di kemudian hari, termasuk asma (Horak 1985, Bodtger et al. 2003), terutama jika kadar alergen tinggi. Uji tusuk kulit positif pada orang yang tersensitisasi tanpa gejala dapat terjadi pada 1-5% alergen tunggal dan 8-30% panel aeroalergen. Ciri penting yang ditemui pada orang tersensitisasi tanpa gejala adalah kemampuan menghasilkan reaksi alergi fase dini (Bodtger et al. 2003), tetapi tidak fase lambat yang ditandai dengan inflamasi eosinofilik (Durham et al. 1996). Studi lain pada sampel mukosa saluran napas (hidung dan bronkhus) mendapatkan bahwa pada orang tanpa gejala dengan uji tusuk kulit positif terhadap tungau debu rumah, tidak terjadi proses inflamasi di saluran napas. Pada orang-orang ini, tidak tampak timbunan sel-sel eosinofil dan basofil serta tidak tampak penebalan membran basal di mukosa saluran napas. Selain itu, hitung eosinofil darah secara bermakna lebih rendah dibandingkan pasien rinitis alergi dan asma (Braunsthal et al. 2003). Gejala-gejala alergi dapat muncul pada 20-60% orang setelah 2-24 tahun (Bodtger 2004).
5. SIMPULAN Serbuk sari alang-alang, akasia, jagung, kelapa genjah, kelapa sawit, padi dan pinus yang tertangkap di Indonesia bersifat alergenik pada manusia, berukuran antara 20-100 um dengan BM protein yang terekstrak berkisar 10-70 kD. Serbuk sari alang-alang dan akasia berpotensi sebagai sumber alergen untuk bahan uji tusuk kulit. Protein dari serbuk sari alang-alang memperlihatkan pita protein berukuran BM 16, 33 dan 67 kD pada SDS-PAGE, sedangkan serbuk sari akasia memperlihatkan dua pita protein dominan berukuran 16 dan 30 kD. Ketujuh serbuk sari dari tanaman yang tertangkap tersebut di Indonesia bersifat alergenik. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alang-alang dan akasia lebih banyak dibandingkan dengan serbuk sari lainnya, tetapi masih lebih sedikit dibandingkan dengan
sensitivitas orang terhadap
Grasses mix,
diduga
kemungkinan telah terjadi sensitisasi terhadap serbuk sari C.dactylon yang terdapat dalam alergen Grasses mix. Sensitivitas orang terhadap serbuk sari alangalang pada kelompok dengan riwayat alergi lebih banyak dibandingkan dengan pada kelompok tanpa riwayat alergi, sedangkan terhadap serbuk sari akasia tidak berbeda pada kedua kelompok orang tersebut. Alergen dari serbuk sari alangalang dan akasia dapat direkomendasikan sebagai bahan panel uji tusuk kulit di Indonesia. Sifat alergenik pada serbuk sari akasia perlu menjadi bahan pertimbangan agar tanaman akasia tidak lagi digunakan sebagai pohon penghijauan dan pohon peneduh jalan. Musim berbunga pada pohon buah-buahan yang bersifat serempak di suatu daerah seperti rambutan, jambu dan mangga perlu juga ditelaah kemungkinan sebagai pencetus alergi pada manusia, demikian juga serbuk sari dari berbagai spesies rumput seperti C.dactylon yang banyak digunakan sebagai tanaman penutup tanah dan yang tumbuh liar di sekitar kita.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adler TR, Beall GN, Heiner DC, Sabharwal UK, Swanson K. 1985. Immunologic and clinical correlates of bronchial challenge response to Bermuda grass pollen extracts. J Allergy Clin Immunol 75:31-36. Akinbami LJ, Schoendorf HC. 2002. Trends in childhood asthma: prevalence, health care utilization and mortality. Pediatrics 110:315-322. Al-Anazy FH, Zakzouk SM. 1997. The impact of social and environmental changes on allergic rhinitis among Saudi children. A clinical and allergological study. Int J Pediatr Otohinolaryngol 42:1-9. Al-Frayh AR, Hasnain SM. 2000. Pollen allergy in Saudi Arabia. Curr Pediatr Res 4(1):1-5. Anderson HR, Pottier AC, Strachan DP. 1992. Asthma from birth to age 23: incidence and relation to prior and concurrent atopic disease. Thorax 47:537-542. Ariano R, Panzani RC, Amedeo J. 1991. Pollen allergy to mimosa (Acacia floribunda) in a Mediterranean area: an occupational disease. Ann Allergy 66:253-256. Bacharier LB et al. 2008. Diagnosis and treatment of asthma in childhood: a PRACTALL consensus report. Allergy 63:5-34. Bachert S. 2002. The role of histamine in allergic disease: re-appraisal of its inflammatory potential. Allergy 57:287-296. Bacsi A, Choudhury BK, Dharajiya N, Sur S, Boldogh I. 2006. Subpollen particles: carriers of allergenic proteins and oxidases. J Allergy Clin Immunol 118:844-850. Baratawidjaja IR, Baratawidjaja PP, Darwis A, Baratawidjaja KG. 1998a. Allergy profile study in patients attending a private allergy clinic. Med J Indonesia 7:204-211. Baratawidjaja IR et al. 1998b. Mites in Jakarta Homes. Allergy Net. Allergy 53: 1226-1235. Baratawidjaja IR et al. 1999. Prevalence of Allergic Sensitization to Regional Inhalants among Allergic Patients in Jakarta, Indonesia. Asian Pacific J Allergy Immunol 17:9-12.
54
Baratawidjaja KG et al. 2006. Allergy and Asthma Scenario in Indonesia. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 707-736. Barr RG, Wentowski CC, Grodstein F. 2004. Prospective study of post menopausal hormone use and newly diagnosed asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med 164:379-386. Bateman et al. 2008. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and prevention. NHLBI/WHO Workshop Report. National Institute of Health Publication. Bauchau V, Durham SR. 2005. Epidemiological characterization of the intermittent and persistent types of allergic rhinitis. Allergy 60:350-353. Beasley R et al. 1998. The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) Steering Committee. Worldwide variation in prevalence of symptoms of asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet 351:1225-1232. Behrendt H et al. 2001. Secretion of proinflammatory eicosanoid-like substances precedes allergen release from pollen grains in the initiation of allergic sensitization. Int Arch Allergy Immunol 124:121-125. Bijli KM, Singh BP, Sridhara S, Gaur SN, Arora N. 2003. Effects of various stabilizing agents on Imperata cylindrical grass pollen allergen extract. Clin Exp Allergy 33:65-71. Bodtger U, Poulsen LK, Malling HJ. 2003. Asymptomatic skin sensitization to birch predicts later development of birch pollen allergy in adults: a 3-year follow-up study. J Allergy Clin Immunol 111:149-154. Bodtger U. 2004. Prognostic value of asymptomatic skin sensitization to aeroallergen. Curr Opin Allergy Clin Immunol 4:5-10. Boral D, Bhattacharya K. 2000. Aerobiology, allergenicity and biochemistry of three pollen types in Berhampore town of West Bengal, India. Aerobiologia 16(3):417-422. Boral D, Chatterjee S, Bhattacharya K. 2004. The occurrence and allergising potential of airborne pollen in West Bengal, India. Ann Agric Environ Med 11:45-52. Bousquet J, Chatzi L, Jarvis D, Burney P. 2008. Assessing skin prick tests reliability in ECRHS-I. Allergy 63:341-346.
55
Braunstahl GJ, Fokkens WJ, Overbeek SE. 2003. Mucosal and systemic inflammatory changes in allergic rhinitis and asthma: a comparison between upper and lower airways. Clin Exp Allergy 33:579-587. Brodard V, David B, Gorg A, Peltre G. 1993. Two-dimensional gel electrophoresis analysis with immobilized pH gradients of Dactylis glomerata pollen allergens. Int Arch Allergy Immunol 102;72-80. Bufe A, Gehlhar K, Schramm G, Schlaak M, Becker WM. 1998. Allergenic activity of a major grass pollen allergen is elevated in the presence of nasal secretion. Am J Respir Crit Med 157:1269-1276. [CDC] Center for Disease Control. 2001. Self-reported asthma prevalence among adults – United States, 2000. MMWR 50:682-686. Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N. 2006. Essentials of Clinical Immunology. Oxford: Blackwell Publishing Inc. hlm.78-94. Chen Y, Dales R, Tang M, Krewski D. 2002. Obesity may increase the incidence of asthma in women but not in men: longitudinal observations from the Canadian national population health surveys. Am J Epidemiol 155:191197. Chew FT et al. 2000. Evaluation of the allergenicity of tropical pollen and airborne spores in Singapore. Allergy 55:340-347. Ching TM, Ching KK. 1964. Freeze-drying pine pollen. Plant Physiol 39:705709. Church MK, Holgate ST. 1995. Allergy. London: Mosby-Wolfe. Cosgrove DJ, Bedinger P, Durachko DM. 1997. Group I allergens of grass pollen as cell wall-loosening agents. Proc Natl Acad Sci USA 94:6559-6564. Cua-Lim F et al. 2006. Allergy and Asthma - The Scenario in The Philippines. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 763-817. Damayanti NS. 2008. Alergenisitas Polen di Udara Bebas Pasar Minggu Jakarta Selatan pada Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. D’Amato G et al. 2007. Allergenic pollen and pollen allergy in Europe. Allergy 62:976-990. Dejsomritrutai W et al. 2006. Prevalence of bronchial hyperresponsiveness and asthma in the adult population in Thailand. Chest 129:602-609.
56
[DKK DKI Jakarta] Dinas Kesehatan Kota Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2006. Data Angka Kesakitan dari Berbagai Puskesmas Kecamatan di DKI Jakarta. Dinas Tata Kota Jakarta. 2005. Tata Ruang Wilayah Kecamatan Ibukota Jakarta Tahun 2005. Jakarta: Dinas Tata Kota DKI Jakarta. Djalil A, Keith-Lucas DM, Baratawidjaja KG. 1987. Pollen and spore trapping from the air of Jakarta. Interim Report. Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Indonesia and Allergy Unit, Faculty of Medicine, University of Indonesia. Dowaisan A et al. 2000. Sensitization to aeroallergens among patients with allergic rhinitis in a desert environment. Ann Allergy Asthma Immnol 84:433-438. Durham SR, Ying S, Varney VA. 1996. Grass pollen immunotherapy inhibits allergen-induced infiltration of CD4+ T lymphocytes and eosinophils in the nasal mucosa and increases the number of cells expressing messenger RNA for interferon-gamma. J Allergy Clin Immunol 97:1356-1365. Edwards A. 2003. Mechanism of allergic diseases. Di dalam: Holgate ST, Arshad SH, editor. The Year in Allergy. Oxford: Clinical Publishing Services, hlm. 81-94. Ellegard EK. 2004. Clinical and pathogenetic characteristics of pregnancy rhinitis. Clin Rev Allergy Immunol 26:149-159. Esch RE. 2004. Grass pollen allergen. Di dalam: Lockey RF, Bukantz SC, Bousquet J, editor. Allergens and Allergen Immunotherapy. New York: Marcel Dekker, hlm. 185-205. Ezeamuzie CI et al. 2000. IgE-mediated sensitization to mould allergens among patients with allergic respiratory disease in a desert environment. Int Arch Allergy Immunol 121:300-307. Ezeamuzie CI et al. 1997. Prevalence of allergic sensitization to inhalant allergens among blood donors in Kuwait - a desert country. Allergy 52:1194-1200. Faegri K, Iversen J, Waterbolk HT. 1964. Textbook of Pollen Analysis. New York: Hafner Publishing Company. Folletti I, Forcina A, Marabini A, Bussetti A, Siracusa A. 2008. Have the prevalence and incidence of occupational asthma and rhinitis because of laboratory animals declined in the last 25 years? Allergy 63:834-841. Ford SA, Baldo BA. 1987. Identification of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen allergens by electroblotting. J Allergy Clin Immunol 79:711-720.
57
Freeman GL. 1993. Pine pollen allergy in northern Arizona. Ann Allergy 70:491494. Garcia JJ et al. 1997. Pollinosis due to Australian pine (Casuarina): An aerobiologic and clinical study in southern Spain. Allergy 52:11-17. Gossage DL. 2000. Airborne allergens. Di dalam: Altman LC, Becker JW, Williams PV, editor. Allergy in Primary Care. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm. 65-76. Green R, Luyt D. 1997. Clinical characteristics of childhood asthmatics in Johannesburg. S Afr Med J 87:872-882. Grobe K, Becker WM, Schlaak M, Petersen A. 1999. Grass gorup I allergens (beta-expansins) are novel, papain-related proteinase. Eur J Biochem 263:33-40. Grote M, Valenta R, Reichelt R. 2003. Abortive pollen germination: a mechanism of allergen release in birch, alder, and hazel revealed by immuno-gold electron microscopy. J Allergy Clin Immunol 111:1017-1023. Han S-H, Chang Z-N, Chi C-W, Peng H-J, Liu C-C, Tsai J-J. 1993. Use of monoclonal antibodies to isolate and characterize Cyn d I, the major allergen of Bermuda grass pollen. J Allergy Clin Immunol 92;249-58. Hasnain SM, Katelaris C, Newbegin E, Singh AB. 2007. Aeroallergen monitoring standard for the Asia Pacific Region. A World Allergy Organization (WAO) manual for the use of the Burkard Volumetric Spore Trap and Burkard Personal Volumetric Air Sampler. Halonen M, Stern DA, Wright AL, Taussig LM, Martinez FD. 1997. Alternaria as a major allergen for asthma in children raised in a desert environment. Am J Respir Crit Care Med 155:1356-1361. Hiller KM, Esch RE, Klapper DG. 1997. Mapping of an allergenically important determinant of grass group I allergens. J Allergy Clin Immunol 100:335340. Ho TM, Tan BH, Ismail S, Bujang MK. 1995. Seasonal prevalence of air-borne pollen and spores in Kuala Lumpur, Malaysia. Asian Pacific J Allergy Immunol 13:17-22. Horak F. 1985. Manifestation of allergic rhinitis in latent-sensitized patients. A prospective study. Arch Otorhinolaryngol 242:239-245. Howlett BJ, Hill DJ, Knox RB. 1982. Cross-reactivity between Acacia (wattle) and rye grass pollen allergens. Detection of allergens in Acacia (watlle pollen). Clin Alergy 12:259-268.
58
Huang SW. 2007. Nasal allergy and sinus infection: The link and therapeutic implications. Medical Progress 34:326-329. Jarvis D, Burney R. 2004. Diagnosing allergy. Di dalam: Durham ES, editor. ABC of Allergies. London: BMJ Publishing, hlm. 4-7. Jelks M. 1987. Allergy plants that cause sneezing and wheezing. Tampa: WorldWide Publications. Jiang SY, Jasmin PXH, Ting YY, Ramachandran S. 2005. Genome-wide identification and molecular characterization of ole_e_I, allerg_1 and allerg_2 domain-containing pollen-allergen-like genes in Oryza sativa. DNA Research 12:169-179. Jutel M, Jaeger L, Roland S, Meyer H, Fiebig H, Cromwell O. 2005. Allergenspecific immunotherapy with recombinant grass pollen allergens. J Allergy Clin Immunol 116;608-613. Kalogeromitros D et al. 1995. Influence of the menstrual cycle on skin-prick test reactions to histamine, morphine and allergen. Clin Exp Allergy 25:461466. Kapp RO. 1969. How to Know Pollen and Spore. WMc. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. hlm.3-16. Kerkhof M, Droste JH, de Monchy JG, Schouten JP, Rijcken B. 1996. Distribution of total serum IgE and specific IgE to common aeroallergens by sex and age, and their relationship to each other in a random sample of the Dutch general population aged 20–70 years. Dutch ECRHS Group, European Community Respiratory Health Study. Allergy 51:770-776. Kimura Y et al. 2002. Purification and characterization of 31-kDa palm pollen glycoprotein (Ela g Bd 31 K), which is recognized by IgE from palm pollinosis patients. Biosci Biotechnol Biochem 66:820-827. Koshak E. 2006. Do in Vitro IgE tests have a role in identifying atopic asthma? Allergy & Clinical Immunology 19(1):3-7. Kuby J, Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA. 2007. Hypersensitivity Reaction. Di dalam: Kindt TJ, Goldsby RA, Osborne BA, editor. Immunology. New York: WH Freeman and Company, hlm. 371-400. Kuhl S. 2001. Aeroallergens and Other Environmental Allergens. Di dalam: Naguwa SM, Gershwin ME, editor. Allergy and Immunology Secrets. Philadelphia: Hanley and Belfus. hlm. 33-44.
59
Kumar L, Sridhara S, Singh BP, Gangal SV. 1998. Characterization of cogon grass (Imperata cylindrica) pollen extract and preliminary analysis of grass group 1, 4, and 5 homologues using monoclonal antibodies to Phleum pratense. Int Arch Allergy Immunol 117:174-9. Lacey ME, West JS. 2006. A Manual for Catching and Identifying Airborne Biological Particles. Dordrecht, The Netherlands: Springer. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685. Leduc-Brodard V, Inacio F, Jaquinod M, Forest E, David B, Peltre G. Characterization of Dac g 4, a major basic allergen from Dactylis glomerata pollen. 1996. J Allergy Clin Immunol 98:1065-1072. Lee BW et al. 1995. Characterization of oil palm pollen (Elaeis guineensis Jacq.) allergens. J Allergy Clin Immunol 95:261. Lestringant GG, Bener A, Frossard PM, Abdulkhalik S, Bouix G. 1999. A clinical study of airborne allergens in the United Arab Emirates. Allerg Immnol (Paris) 31(8):263-267. Leung R. 1996. The role of allergens in asthma and allergic rhinitis. Hong Kong Med J 2:307-314. Li LC, Bedinger PA, Volk C, Jones AD, Cosgrove DJ. 2003. Purification and characterization of four beta-expansins (Zea m 1 isoforms) from maize pollens. Plant Physiol 132:2073-2085. Lieferman KM, Gleich GJ. 1976. The cross-reactivity of IgE antibodies with pollen allergens: i. Analysis of various species of grass pollens. J Allergy Clin Immunol 58:123-139. Lilly CM. 2005. Diversity of asthma: Evolving concepts of pathophysiology and lessons from genetics. J Allergy Clin Immunol 115:S526-S531. Lowenstein H. 1978. Immunological partial identity and in vitro inhibitory effect of two major timothy pollen allergens to whole pollen extract of four grasses. Int Arch Allergy Appl Immunol 57;379-83. Lombardi E, Stein RT, Wright AL, Morgan WJ, Martinez FD. 1996. The relation between physician-diagnosed sinusitis, asthma, and skin test reactivity to allergens in 8-year-old children. Pediatr Pulmonol 22:141-146. Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J Biol Chem 193:265-275.
60
Luskin AT. 2005. What the asthma end points we know and love do and do not tell us. J Allergy Clin Immunol 115:S539-S545. MacGlashan D. 2003. Histamine mediator of inflammation. J Allergy Clin Immunol 112:S53-S59. Mandal J, Roy I, Chatterjee S, Bhattacharya SG. 2008. Aerobiological investigation and in vitro studies of pollen grains from 2 dominant avenue trees in Kolkata, India. J Investig Allergol Clin Immunol 18: 22-30. Matthiesen F, Schumacher M, Lowenstein H. 1991. Characterisation of the major allergen of Cynodon dactylon (Bermuda grass) pollen, Cyn d 1. J Allergy Clin Immunol 88:763-774. Matsui EC, Wood RA. 2007. Question physicians often ask about allergens that trigger asthma. Medical Progress 34:330-336. Metzger WJ et al. 1987. Local allergen challenge and bronchoalveolar lavage of allergic asthmatic lungs – description of the model and local airway inflammation. Am Rev Resp Dis 135:433-440. Mildenhall DC, Wiltshire PE, Bryant VM. 2006. Forensic palynology: why do it and how it works. Forensic Sci Int 163:163-172. Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K. 1994. Skin testing, the cornestone in allergy diagnosis. Di dalam: Mygind N, Dahl R, Pedersen S, Thestrup-Pedersen K, editor. Essential Allergy, edisi ke-2. Blackwell Science. hlm. 111-116. Nelson HS. 2000. The importance of allergens in the development of asthma and the persistence of symptoms. J Allergy Clin Immunol 105:S628-S632. Niederberger V et al. 1999. Calcium-dependent immunogloblin E recognition of the apo- and calcium-bound form of a cross-reactive two EF-hand timothy grass pollen allergens, Phl p 7. FASEB J 13:843-856. Niogret MF, Dubald M, Mandaron P, Mache R. 1991. Characterization of pollen polygalacturonase encoded by several cDNA clones in maize. Plant Mol Biol 17:1155-1164. Ong TC. 2005. Allergen for skin prick test. Department of Biological sciences, National University of Singapore. Pagtakhan RD et al. 1984. Sex differences in growth patterns of the airways and lung parenchyma in children. J Appl Physiol: Respirat Environ Exercise Physiol 56:1204-1210.
61
Petersen A, Dresselhaus T, Grobe K, Becker WM. 2006. Proteome analysis of maize pollen for allergy-relevant components. Proteomics 6:6317-6325. Phanichyakarn P, Kraisarin C, Sasisakulporn C. 1989. Atmospheric pollen and mold spores in Bangkok: A 15 year survey. Asian Pac J Allergy Immunol 7:113-118. Platt-Mills TAE, Woodfolk JA, Wheatley LN. 1998. Environmental Allergens. Di dalam: Denburg JA, editor. Allergy and Allergic Disease. Humana Press. Totowa. hlm. 41-60. Platt-Mills TAE. 2006. Immediate hypersensitivity. Di dalam: Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I, editor. Immunology. Philadelphia: Mosby-Elsevier. hlm. 423-446. Potter PC, Berman D, Toerien A, Malherbe D, Weinberg EG. 1991. Clinical significance of aero-allergen identification in the Western Cape. S Afr Med J 79:80-84. Puc M. 2003. Characterisation of pollen allergens. Ann Agric Environ Med 10:143-149. Pumhirun P, Towiwat P, Mahakit P. 1997. Aeroallergen sensitivity of Thai patients with allergic rhinitis. Asian Pac J Allergy Immunol 15:183-185. Rabson A, Roitt IM, Delves PJ. 2005. Really Essential Medical Immunology, Blackwell Publishing. hlm. 148-163. Ree van R et al. 1995. Lol p XI, a new major grass pollen allergen; is a member of a family of soybean trypsin inhibitor-related proteins. J Allergy Clin Immunol 95:970-978. Ring J. 2005. Allergy in Practice. New York: Springer. hlm. 42-49. Robinson C, et al. 1997. On the potential significance of the enzymatic activity of mite allergens to immunogenicity. Clues to structure and function revealed by molecular characterization. Clin Exp Allergy 27:10-21. Romagnini S. 2004. Allergy: Is it a Th2-predominant disease? Di dalam: Isolauri E, Walker WA, editor. Allergic Diseases and the Environment. Basel: Karger, hlm. 69-96. Rusznak C, Davies RJ. 1998. ABC of allergies: Diagnosing allergy. BMJ 316:686-689. Sam CK et al. 1998. A study of pollen prevalence in relation to pollen alergy in Malaysian asthmatics. Asian Pac J Allergy Immunol 16:1-4.
62
Santos GA, Batugal PA, Othman A, Baudouin L, Labouisse JP. 1995. Di dalam: Manual on Standardized Research Techniques in Coconut Breeding. Manado: Balitka. Schenk S et al. 1996. T cell epitopes of PHL p 1, major pollen allergen of timothy grass (Phleum pratense). Cross-reactivity with group I allergens of different grasses. Adv Exp Med Biol 409:141-146. Schoefer Y, Schafer T, Meisinger C, Wichmann HE, Heinrich J. 2008. Predictivity of allergic sensitization (RAST) for the onset of allergic diseases in adults. Allergy 63:81-86. Schramm G, Petersen A, Bufe A, Schlaak M, Becker WM. 1996. Identification and characterization of the major allergens of velvet grass (Holcus lanatus), Hol l 1 and Hol l 5. Int Arch Allergy Immunol 110:354-63. Sehqul N, Custovic A, Woodcock A. 2005. Potential roles in rhinitis for protease and other enzymatic activities of allergens. Curr Allergy Asthma Rep 5:221-226. Shen HD et al. 1998. Identification of allergens and antigens of Bermuda grass (Cynodon dactylon) pollen by immunoblot analysis. Clin Allergy 18:401409. Silvestri M, Oddera S, Rossi GA, Crimi P. 1996. Sensitisation to airborne allergens in children with respiratory symptoms. Ann Allergy Asthma Immunol 76:239-244. Singh AB, Kumar P. 2003. Aeroallergens in clinical practice of allergy in India. An overview. Ann Agric Environ Med 10:131-136. Smith EG. 2000. Sampling and Identifying Allergenic Pollens and Molds. San Antonio: Blewstone Press. Smith PM, Xu H, Swoboda I, Singh MB. 1997. Identification of a Ca2+ binding protein as a new Bermuda grass pollen allergen Cyn d 7: IgE crossreactivity with oilseed rape pollen allergen Bra r 1. Int Arch Allergy Immunol 114:265-271. Sohn RH, Goldschmidt-Clermont PJ. 1994. Profilin: At the crossroads of signal transduction and the actin cytoskeleton. Bioessays 16:465-472. Sompolinsky D, Samra Z, Zavaro A, Barishak Y. 1984. Allergen-spesific immunoglobulin E antibodies in tears and serum of vernal conjunctivitis patients. Int Arch Allergy Appl Immunol 75:317-321. Sorensen H, Ashoor AA, Maglad S. 1986. Perennial rhinitis in Saudi Arabia. A prospective study. Ann Allergy 56:76-80.
63
Sornsathapornkul P, Owens JN. 1998. Pollination biology in a tropical Acacia hybrid (A. mangium Willd.x A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth.). Annals of Botany 81: 631-645. Sporik R, Holgate ST, Platts-Mills TA, Cogswell JJ. 1990. Exposure to housedust mite allergen (Der p 1) and the development of asthma in childhood: a prospective study. N Engl J Med 323:502-507. Sridhara S et al. 2002. Immunobiochemnical characterization of Sorghum vulgare pollen allergens prevalent in tropical countries. Indian J Allergy Asthma Immunol 16(1):33-39. Sridhara S et al. 1995. A study of antigenic and allergenic relationship among grass pollen grains prevalent in India. Ann Allergy Asthma Immunol 74:7379. Stübner UP et al. 1999. The influence of female sex hormones on nasal reactivity in seasonal allergic rhinitis. Allergy 54:865-871. Stuessy TF. 1990. Plant Taxonomy. The Systematic Evaluation of Comparative Data. New York: Columbia University Press. hlm. 267-287. Suck R et al. 2000. The high molecular mass allergen fraction of timothy grass pollen (Phleum pratense) between 50-60 kD is comprised of two major allergens: Phl p 4 and Phl p 13. Clin Exp Allergy 30:324-332. Suliaman FA, Holmes WF, Kwick S, Khour F, Ratard R. 1997. Pattern of immediate type hypersensitivity reactions in the Eastern Province, Saudi Arabia. Ann Allergy Asthma Immunol 78:415-441. Sundaru H, Sukmana N. 1990. Epidemiologi asma di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 3:17-18. Suonemi I, Bjorksten F, Haahtela T. 1981. Dependence of immediate hypersensitivity in the adolescent period on factors encountered in infancy. Allergy 36:263-268. Suphioglu C, Ferreira F, Knox RB. 1997. Molecular cloning and immunological characterization of Bermuda grass pollen. FEBS Lett 402:167-172. Suphioglu C. 1998. Thunderstorm asthma due to grass pollen. Int Arch Allergy Immunol 116:253-260. Taylor PE, Flagan R, Valenta R, Globsky MM. 2002. Release of allergens in respirable aerosols: a link between grass pollen and asthma. J Allergy Clin Immunol 109:51-56.
64
Thompson PJ, Stewart GA. 1993. Allergens. Di dalam: Holgate ST, Church MK editor. Allergy. Boston: Mosby-Wolfe. hlm.1.1-1.14. Thomson CC, Clark S, Camargo CA. 2003. Body mass index and asthma severity among adults presenting to the emergency department. Chest 124:795-802. Traidl-Hoffman C et al. 2002. Lipid mediators from pollen act as chemoattractants and activators of polymorphonuclear granulocytes. J Allergy Clin Immunol 109:831-838. Tsai YT, Chen SH, Lin KL, Hsieh KH. 1990. Rice pollen allergy in Taiwan. Ann Allergy 65:459-462. Tuchinda M, Theptaranon Y, Limsathayourat N. 1983. A Ten-year surveillance of atmospheric pollens and moulds in the Bangkok area. Asian Pacific J Allergy Immune 1:7-9. [UKK Pulmonologi IDAI]. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanganan Asma Anak. Revisi. Jakarta. Visitsunthorn N, Vichyanond P. 2006. Allergy and asthma - The Thailand scenario. Di dalam: Shaikh WA, Shaikh SW, editor. Principles and Practice of Tropical Allergy and Asthma. Vikas Medical Publishers. Mumbai, India. hlm. 833-871. Verdino P. 2006. Structural characterization of pollen allergens. Clin Rev Allergy Immunol 30:73-95. Wijk van RG. 2002. Allergy: a global problem, quality of life. Allergy 57:10971110. Weber RW. 1998. Pollen identification. Ann Allergy Asthma Immunol 80:141145. Weber RW. 2003. Bermuda grass. Ann Allergy Asthma Immunol 88(3):A-6. Wodehouse RP. 1965. Pollen Grains. Their structure, identification and significance in science and medicine. New York: Hafner Publishing Company, Inc. hlm. 134-152. Wood-Baker R, Markos J. 1997. Occupational ashtma due to blackwood (Acacia melanoxylon). Aust Z J Med 27:452-453. Zimmerman JL, Woodruff PG, Clark S, Camargo CA. 2000. Relation between phase of menstrual cycle and emergency department visits for acute asthma. Am J Respir Crit Care Med 162:512-515.
LAMPIRAN
66 Lampiran 1 PETA DKI JAKARTA
http://www.geocities.com/gozaliarief/peta_jakarta_gede.jpg Penelitian dilakukan di Jakarta Selatan (warna dasar hijau), Kecamatan Cilandak (lingkaran merah), Kecamatan Pasar Minggu (lingkaran kuning), dan Kecamatan Jagakarsa (lingkaran hija
67 Lampiran 2 PETA JAKARTA SELATAN
http://selatan.jakarta.go.id/kesmas/media/map.jpg Penelitian dilakukan di Kecamatan Cilandak, Pasar Minggu dan Jagakarsa
68 Lampiran 3
Lembar Informasi Penelitian
Yth. Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,
Dengan ini kami jelaskan bahwa akan diadakan penelitian tentang alergi, untuk mengetahui sensitisasi atau kepekaan terhadap bahan-bahan yang dapat mencetuskan alergi pada pasien asma dan rinitis alergi yang tidak dalam serangan. Pada penelitian ini akan dilakukan uji tusuk kulit di lengan bawah yang berkisar 30 menit. Persiapan uji tusuk kulit adalah tidak minum obat anti alergi/ antihistamin, obat-obatan flu atau obat golongan steroid satu minggu sebelumnya. Hasil uji positif akan ditandai dengan adanya bentol. Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari di dalam penelitian ini bersifat sukarela, dan dapat menolak selama proses penelitian berlangsung. Semua data pada penelitian ini bersifat rahasia. Apabila Bapak/Ibu/Saudara/Saudari bersedia ikut serta pada penelitian ini, kami mohon kesediaan untuk dapat menandatangani lembar persetujuan menjadi peserta penelitian yang berjudul: “Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta”
Hal-hal yang belum jelas dalam penelitian ini dapat ditanyakan langsung/via telepon pada penanggung jawab penelitian ini: dr. Iris Rengganis, SpPD, KAI Divisi Alergi Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM HP : 0816-728045 K : 021-3141160
Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, kami ucapkan terima kasih.
69 Lampiran 4
Lembar Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian (Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: ..........................................................................
Usia
: ............... tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki / Perempuan
Telepon/HP
: ..........................................................................
Setelah mendapat keterangan secukupnya tentang penelitian yang berjudul : “Sensitivitas terhadap Serbuk Sari pada Pasien Alergi Pernapasan di Jakarta“ Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian di atas.
Mengetahui
Jakarta, ........................... 2007
Peneliti,
Yang menyetujui,
(dr.Iris Rengganis, SpPD, KAI)
(................................................)
70 Lampiran 5 KETERANGAN LOLOS KAJI ETIK (ETHICAL CLEARANCE)