PENINGKATAN KINERJA INDUSTRI TAHU MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DI TINGKAT PENGRAJIN (Studi Kasus di Sentra Industri Tahu Adiwerna Tegal) Didik Purwadi, T. Purwadi, B. Rahardjo, S. Ciptohadijoyo dan S. Goenadi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan di tingkat petani sehingga dapat sebagai pendorong utama dalam peningkatan produktivitas usaha pengrajin tahu. Penelitian ini berupa penelitian survei, dengan pendekatan sistem, yakni melibatkan berbagai pelaku yang terdiri dari pengrajin, pedagang, pemerintah dan konsumen. Sebagai alat penelitianya adalah kuesioner dan panduan wawancara. Teknik analisisnya menggunakan statistika diskripti dan strategi operasional Model Schroeder. Keinginan pengrajin untuk mengembangkan usaha cukup besar, namun belum meratanya pengrajin yang pernah mengikuti pelatihan untuk meningkatkan produktivitas usaha. Kemampuan pengembangan produk masih lemah, karena selama bertahun-tahun pengrajin memproduksi jenis tahu yang relatif sama, sehingga, tingkat persaingan diantara mereka sangat tinggi. Semangat untuk membentuk kelompok cukup tinggi, namun pemahamannya masih terbatas untuk pengelolaan limbah. Sedangkan fungsi yang lain belum banyak yang memahaminya. Pola pengembangan kelembagaan ini dilakukan dengan melibatkan pengrajin tahu dan pemerintah sebagai regulator industri. 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Desa Adiwerna setidaknya ada 3 industri yang sangat menonjol dan merupakan mata pencaharian utama dan mampu menggerakan perekonomian masyarakat setempat yaitu industri tahu, konveksi, dan logam. Industri tahu merupakan salah satu mata pencaraian khas bagi sebagian besar masyarakat desa Adiwerna. Dalam satu desa Adiwerna setidaknya terdapat sekitar 328 unit usaha tahu. Karena banyaknya usaha ini, maka desa Adiwerna tampil sebagai sentra industri tahu di kabupaten Tegal yang mampu menyuplai kebutuhan masyarakat akan produk tahu untuk wilayah kabupaten Tegal hingga kabupaten Brebes. Masalah terbesar yang dihadapi masyarakat setempat adalah limbah cair yang dihasilkan industri tahu, yang belum dapat ditangani oleh industri tahu itu sendiri. Kepadatan yang besar dan belum adanya kesadaran terhadap limbah cair tahu sejak dulu hingga sekarang telah memuat masalah tahu menjadi masalah sosial, ekonomi, dan politik bagi masyarakat didalamnya. 1.2. Pokok Masalah Unit Pengolahan Limbah (IPAL) telah dibangun sebanyak 2 buah, namun pada kenyataannya keduanya tidak dapat berfungsi makimal. Disamping kondisi telah rusak karena keterbatasan dana pemeliharaan, secara teknis juga sudah tidak mampu menampung jumlah limbah cair yang ada. Hampir semua pengrajin belum memiliki perlakuan awal (pre-treatment) atas limbah cair sebelum masuk IPAL, sehingga kerja IPAL sangat berat. Ketidakmampuan memiliki unit pre-treatment ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa sebagian besar industri
pengolahan tahu berskala rumah tangga dengan kinerja yang rendah. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan yang tepat diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri pengolahan tahu. 1.2. Tujuan a. Menganalisis sistem industri tahu di Adiwerna b. Menganalisis kondisi internal dan eksternal industri tahu Adiwerna c. Merumuskan strategi pengembangan kelembagaan industri tahu Adiwerna 2. Landasan Teori Pengembangan industri tahu dilakukan dengan pendekatan sistem, yakni melibatkan berbagai pihak pelaku sistem industri. Kajian diawali dengan melakukan identifikasi kebutuhan (need analysis), untuk selanjutnya dilakukan formulasi permasalahan (problem formulation). Pengembangan kelembagaan di tingkat pengrajin ini diharapkan dapat sebagai pendorong utama dalam peningkatan kinerja usaha pengrajin tahu Usaha peningkatan kinerja industri tahu dilakukan dengan mempertimbangkan analisis internal dan eksternal. Analisis internal terdiri dari identifikasi kekuatan (Strength) dan kelemahan (weakness). Analisis eksternal meliputi identifikasi peluang (Opportunity) dan ancaman (Theath). Hasil identifikasi ini selanjutnya digunakan sebagai dasar penentuan kompetensi Adiwerna dan khususnya industri tahu (distinctive competence) dan pengembangan sasaran pengembangannya (goals). Secara skematis, perumusan strategi dis-agregasi ini dapat dijelaskan sebagaimana Gambar 1. Mission
Distinctive Competence Analisis Internal -Kekuatan -Kelemahn
Objectives: cost, quality, flexibility, delivery
Analisis Eksternal
Functional strategies in marketing, finance, engineering, and information
Strategi Operasional
systems
-Peluang -Ancaman
Consistent Pattern of Decisions
Gambar 1. Tahapan perumusan strategi operasional kelembagaan
3. Metodologi 3.1. Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sentra industri pengolahan tahu Desa Adiwerna Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Penelitian dilakukan pada Bulan Juli – Desember 2007. 3.2. Pengumpulan Data Teknik pemilihan sampel menggunakan purposive random sampling, yakni sebuah pendekatan pemilihan unit penelitian dengan memasukkan pertimbangan peneliti untuk menjamin keterwakilan dari populas. Sampel pengrajin tahu dibedakan atas 3 kategori, yaitu kategori kecil (produksi < 50 kg kedele), kategori sedang (produksi 51-100 kg kedele) dan karegori besar (produksi > 101 kg kedele). Sebagai unit sampel dalam penelitian ini adalah 34 orang pengrajin tahu, 16 orang masyarakat sekitar, dan 10 orang pedagang tahu. Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah gambaran umum industri pengolahan tahu di Adiwerna yang meliputi sejarah usaha, skala produksi, akses bahan baku, kemampuan proses produksi dan kemampuan pemasaran. 3.3. Analisis Data a. Mengidentifikasi sistem industri tahu di Adiwerna, dengan pendekatan statistik diskriptif. b. Menganalisis kondisi internal dan eksternal industri tahu, dengan teknik analisis SWOT c. Merumuskan strategi pengembangan kelembagaan industri tahu dengan strategi disagregasi Schroeder 4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Sistem Industri Tahu Adiwerna Hasil survei menunjukkan bahwa 76% dari pengrajin telah menekuni usaha tahu lebih dari 15 tahun dan sebanyak 24% telah berpengalaman sebagai pengrajin tahu selama 10-15 tahun. Perkembangan sentra industri tahu di Adiwerna telah berjalan secara turun temurun. Hasil survei menunjukkan bahwa 72% pengrajin belajar membuat tahu dari orang tuanya, sedangkan 14% pengrajin belajar membuat tahu dari tetangganya. Pertumbuhan jumlah pengrajin tahu berjalan secara alami dari orang tua kepada anak, ataupun kepada para tetangganya. Latar belakang sebagai pengrajin tahu, sebanyak 48% pengrajin tahu adalah meneruskan usaha orang tuanya. Sedangkan 41% menjadi pengrajin tahu karena inisiatif sendiri. Sebanyak 69% menjadi pengrajin tahu karena tidak ada pekerjaan lain, dan hanya 17% yang beralasan menjadi pengrajin tahu adalah menguntungkan, dan 14% beranggapan modalnya tidak terlalu besar. Sebagian besar pengusaha (83%) telah memiliki status kepemilikan tanah hak milik, sedangkan sebanyak 17% berstatus hak guna bangunan (HGB). Luas lahan yang dimiliki paling banyak (69%) sempit, yakni kurang dari 50m2. Sedangkan 24% berukuran sedang antara 50100m2. Pengrajin yang memiliki luas lahan 100-200m2 hanya 7%. Bangunan industri tahu sebagian besar (83%) telah dirancang khusus dan terpisah dengan bangunan rumah tinggal. Sedangan sebanyak 17% pengrajin masih melakukan proses produksi tahu bercampur dengan rumah tinggal. Luas bangunan pabrik yang dimiliki oleh pengrajin paling banyak kurang dari 50m2, yakni sebanyak 72%. Sedangkan 24% berukuran sedang antara 50100m2. Pengrajin yang memiliki luas bangunan pabrik 100-200m2 hanya 3%. Kelembagaan yang telah ada masih terbatas kelompok pengolah limbah, sedangkan untuk tujuan produksi hampir semua pengrajin belum memiliki kelompok usaha bersama (KUB). Pengrajin yang berkeinginan membentuk kelompok usaha bersama hanya 62%, sedangkan
sebanyak 31% pengrajin lebih memilih kerja sendiri-sendiri. Manfaat KUB sejauh ini belum banyak yang memahaminya. Hal ini dapat dilihat dari pendapat mereka tentang manfaat membentuk kelompok masih terbatas pada pengolahan limbah (48%). Jenis kegiatan kelompok yang dibutuhkan masih berkutat pada pertemuan rutin dan pengelolaan limbah (41%). Sedangkan pengrajin yang berkeinginan untuk melakukan pemasaran bersama hanya 17%, peningkatan teknologi proses sebanyak 7% dan penyediaan bahan baku sebanyak 3%. 4.2. Analisis faktor internal dan eksternal Kekuatan: a. Pengalaman usaha tahu cukup lama, yakni 76% berpengalaman lebih dari 15 tahun dan 24% berpengalaman antara 10-15 tahun. b. Jumlah pengrajin cukup banyak, yaitu sebanyak 328 unit usaha tahu; c. Sebagian besar (83%) memiliki tanah bersertifikasi Hak Milik dan 17% HGB d. Menjadi pengrajin tahu sebagai pekerjaan pokok; e. Kualitas tahu baik, yakni lebih bersih dan putih, dan rasanya lebih enak; f. Telah memiliki IPAL, meskipun belum berfungsi secara benar Kelemahan: a. Motivasi rendah, yakni 69% menjadi pengrajin tahu karena tidak ada pekerjaan lain; b. Tingkat keuntungan rendah, hanya 17% menjadi pengrajin karena menguntungkan. c. Luas lahan sebagian besar (69%) kurang dari 50m2 . d. Luas bangunan pabrik mayoritas (72%) kurang dari 50m2. e. Kapasitas produksi per hari mayoritas kecil dan sedang, yaitu sebanyak 24% berkategori kecil (di bawah 50Kg), 48% tergolong sedang (50-100Kg) dan sebanyak 27% lebih dari 100Kg f. Kemampuan pengadaan bahan baku lemah, melibatkan rantai distribusi yang panjang. g. Kemampuan pemasaran terbatas di desa (48%) dan di kecamatan (24%). h. Kemampuan pengembangan kelembagaan terbatas. Peluang: a. Pasar masih terbuka, yakni adanya kebiasaan masyarakat mengkonsumsi tahu. b. Program pemerintah dalam peningkatan gizi, tahu sebagai sumber gizi yang murah. c. Kebutuhan pengembangan peningkatan jangkauan pemasaran (45%), mutu produk (21%) dan hanya 7% yang akan melakukan peningatan mutu alat Ancaman: a. Persaingan usaha tahu dari daerah lain b. Harga bahan baku yang tidak menentu c. Pencemaran lingkungan akibat limbah industri tahu 4.3. Perumusan sasaran Wilayah Adiwerna mengarah pada prioritas pengembangan industri tahu dibandingkan dengan industri yang lain. Hal ini jelas dapat dihubungkan dengan peran industri tahu Adiwerna, tentu sangat berpengaruh dalam perekonomian daerah Kabupaten Tegal. Berdasarkan rumusan kompetensi tersebut, serta analisis SWOT di atas, maka ditetapkan sasaran (goals) dalam pengembangan kelembagaan industrinya: – Sasaran utama (order winner) adalah cost dan quality. Pengembangan kelembagaan pengolahan tahu diarahkan pada sasaran harga tahu yang murah, untuk bersaing di pasar. Oleh karena itu, langkah konkritnya adalah upaya mendapatkan bahan baku, proses produksi
–
dan kegiatan pemasaran yang efisien. Upaya ini diikuti dengan usaha peningkatan mutu produk. Sasaran pendukung (order qualifier) adalah flexibility dan delivery. Sasaran ini sebagai pendukung daya saing, misalnya dengan menciptakan produk tahu sesuai dengan permintaan pasar. Sasaran ini sejalan dengan konsep product customization, yakni produsen tahu menyesuaikan permintaan pasar, baik jenis maupun ukuran. Sasaran delivery mengarah pada upaya kecepatan pelayanan pelanggan, misalnya dengan penyebaran titik-titik pemasaran.
4.4. Perumusan strategi pengembangan kelembagaan Usaha pengolahan tahu skala rumah tangga dengan skala kecil-menengah menjadikan usaha pengolahan tahu tidak efisien. Tingkat keuntungan kecil karena komponen biaya cenderung besar/ tidak efisien. Kemampuan akses bahan baku lemah, karena masing-masing membeli sendiri dalam jumlah yang kecil. Usaha pengolahan tahu skala rumah tangga terbukti tidak efektif karena tidak dapat membuat sinergi di antara pengrajin tetapi justru memunculkan persaingan. Kelompok Usaha Bersama (KUB) sebagai solusi kelembagaan yang dapat meningkatkan produktifitas usaha pengolahan tahu. Dengan KUB ini maka skala produksi dapat ditingkatkan, sehingga efisiensi dan efektivitas dapat ditingkatkan. KUB ini akan berfungsi pada keseluruhan sistem industri tahu, yakni pengadaan bahan baku kedele, teknologi pemrosesan tahu, memasarkan secara bersama, bahkan mengolah limbah secara bersama pula. Namun, pembentukan KUB masih sulit dilakukan, karena masih adanya hambatan dari pengrajin. Usaha pengolahan tahu yang telah berjalan lama menyebabkan tidak mudahnya upaya pembentukan kelompok. Kebiasaan kerja sendiri-sendiri dan akumulasi aset usaha secara individu, turut mempengaruhi usaha ini. Oleh karena itu, pengembangan kelembagaan dirancang berbasis individu, untuk diarahkan pada pengembangan kelompok secara bertahap. Kelembagaan pengrajin tahu Adiwerna dirumuskan atas 3 tingkat, yaitu Usaha perorangan (rumah tangga), Usaha KUB skala menengah, dan Usaha KUB skala besar. (1) Usaha perseorangan Kelembagaan usaha pengolahan tahu secara perseorangan telah berjalan lebih dari 10 tahun, namun terbukti belum mampu memenuhi harapan para pengrajin tahu, yakni suatu usaha pengolahan tahu yang kompetitif dan menguntungkan. Kinerja usaha pengolahan tahu secara perorangan tergantung semangat dan tindakan pengrajin tahu tersebut. Faktor individu pengrajin menjadi faktor suksesnya usaha pengolahan tahu ini. Kelembagaan perseorangan ini mudah memulai usaha, memiliki kebebasan dan fleksibilitas, memiliki seluruh laba, kerahasian usaha relatif lebih terjamin, mudah dibubarkan. Namun, ada kelemahannya, yakni tanggung jawab pemilik tak terbatas, kemampuan manajerial terbatas, sumber keuangan terbatas, usaha kurang stabil, menyita banyak waktu, sulit mempertahankan pekerja yang baik. Pengembangan kelembagaan perseorangan dilakukan dengan memperhatikan manajemen pemasaran, seperti menganalisis keinginan pelanggan dan bagaimana kemampuan pengrajin memenuhinya, mengelola manajemen produksi, seperti menetapkan jenis produk yang dibuat, proses produksi dapat efektif dan efisien, serta mengelola manajemen keuangan. (2) Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Pengembangan kelembagaan dalam bentuk KUB sebagai suatu unit bisnis, maka pengrajin berpeluang lebih profesional, dengan memaksimalkan kemampuan yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan yang ada. KUB menetapkan sasaran primer, yaitu mampu mempertahankan hidup, dapat berkembang dan menghasilkan laba. Perolehan laba akan tercapai bila usaha telah mampu mempertahankan hidup dan berkembang. KUB menetapkan sasaran sekunder, yakni pemasaran, inovasi (pembaharuan) dan efisiensi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam KUB yaitu pengurus sebagai motor kelompok, begitu besar peran pengurus dalam menggerakkan kelompok; kelompok sebagai wahana pemberdayaan sumber daya manusia, melalui aktivitas bersama sehingga mampu maju secara bersama; kelompok dapat meningkatkan pendapatan keluarga, karena keberadaan kelompok sangat menunjang kesuksesan bisnis, yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan. KUB difungsikan sebagai unit melakukan fungsi bisnis, seperti pengembangan produk, pengadaan atau pembelian bahan baku, mengelola tenaga kerja, produksi, pemasaran, keuangan dan administrasi internal. Demikian pula sebagai pelaku administrasi kelompok, seperti catatan tentang kelompok dan jalannya kelompok. Fungsi pengelompokan pekerjaan dan Struktur organisasi. Tolok ukur kemampuan kelompok yaitu kemampuan KUB dalam merencanakan kegiatan, melaksanakan dan mentaati perjanjian dengan pihak lain, memupuk modal dan memanfaatkan pendapatan secara rasional, meningkatkan hubungan kelembagaan dengan badan hukum seperti koperasi, kemampuan mencari dan memanfaatkan informasi serta menggalang kerjasama kelompok. 5. Kesimpulan Pengembangan kelembagaan disusun berdasarkan analisis internal dan eksternal. Kekuatan pengrajin tahu adalah pengalaman usaha tahu cukup lama, jumlah pengrajin cukup banyak, memiliki tanah bersertifikasi Hak Milik dan HGB, usaha turun temurun, menjadi pengrajin tahu sebagai pekerjaan pokok, kualitas tahu baik, dan telah memiliki IPAL. Sedangkan beberapa kelemahannya adalah motivasi rendah, tingkat keuntungan rendah, luas lahan dan bangunan sebagian besar sempit, kapasitas produksi per hari mayoritas kecil dan sedang, kemampuan dalam pengadaan bahan baku lemah, kemampuan pemasaran terbatas, manajemen operasional belum mapan, kemampuan pengembangan kelembagaan terbatas. Peluang usaha tahu yakni pasar masih terbuka, serta program pemerintah dalam peningkatan gizi masyarakat. Beberapa ancaman usaha tahu yaitu persaingan usaha tahu dari daerah lain, harga bahan baku yang tidak menentu, serta pencemaran lingkungan akibat limbah industri tahu. Sasaran utama dalam pengembanga kelembagaan adalah cost dan quality. Sasaran pendukungnya adalah flexibility dan delivery. Pengembangan kelembagaan dimulai dengan penguatan usaha peorangan. KUB sebagai solusi kelembagaan yang dapat meningkatkan produktifitas usaha pengolahan tahu. Pengembangan kelembagaan dirancang berbasis individu, untuk diarahkan pada pengembangan kelompok secara bertahap, yakni Usaha perorangan (rumah tangga), Usaha KUB skala menengah, dan Usaha KUB skala besar. Referensi Purwadi, Tri., Budi Rahardjo, Sunarto Ciptohadijoyo, Sunarto Goenadi dan Didik Purwadi, 2007, Studi Peningkatan Produktivitas Usaha dan Penanganan Limbah Industri Tahu di
Kabupaten Tegal. Kerjasama Penelitian antara Jurusan Teknik Pertanian FTP UGM dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Tegal. Riggs, James L., Lawrence L Bethel, Franklin S Atwater, George h E Smith dan Harvey A Stackman, 1980, Industrial Organization and Management, McGraw-Hill Schroeder, Roger, G., 1993, Operation Management: Decision-Making in the Operation Function, Mc. Graw Hill.