PENINDAKAN TERHADAP PEROMPAKAN DI SELAT MALAKA OLEH TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT Eko Budi Prabowo Pusat Kerjasama Internasional TNI Jakarta
Abstract: Narrow Malacca Strait that lies between Indonesia, Singapore and Malaysia is an important shipping lanes in the world on which are famous of piracy. Malacca Strait is tankers favorite route from the Persian Gulf to the Asia Pacific region. As a matter of fact, it is obligatory for Indonesian Navy to protect it from the piracy. Therefore, all personnel of Indonesian Navy should understand the legal reason of of prosecuting the piracies in the Malacca Strait according to national and international law, in order to reduce wrong handling and hesitations in the prosecution. This normatively legal research uses statute approach, which the collected legal data is deductively compiled and analyzed. The results of study show that Indonesian Navy prosecutes the piracy legally in the Malacca Strait based on international law, e. i. Article 29, Article 73, Article 107, Article 110, Article 111 and Article 224 of UNCLOS in 1982, and on national law, e.i. TZMKO Stbl of 1939 Number 442 Article 13, 14 in conjunction with Act Number 1 of 1946 on the Criminal Code and Act Number 8 of 1981 on the Criminal Prosedure Code Article 284 Paragraph (2) in conjunction with Government Regulation Number 27 of 1983 on the Implementation of Article 17 of the Criminal Procedure Code. Keywords: legal basis, prosecution, piracy, Malacca Strait, Indonesian Navy Abstrak: Selat Malaka yang sempit yang terletak di antara Indonesia, Singapura dan Malaysia merupakan jalur pelayaran penting di dunia yang terkenal dengan perompakan. Selat Malaka merupakan rute favorit tanker dari Teluk Persia ke wilayah Asia Pasifik. Sebagai soal fakta, itu adalah wajib bagi Angkatan Laut Indonesia untuk melindunginya dari perompakan. Oleh karena itu, semua personil dari Angkatan Laut Indonesia harus memahami alasan hukum menindak pembajakan di Selat Malaka berdasarkan hukum nasional dan internasional, untuk mengurangi penanganan yang salah dan keragu-raguan dalam penindakan. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan undangundang, dimana data dikumpulkan dan dianalisis secara deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Angkatan Laut Indonesia menindak perompakan di Selat Malaka secara legal berdasarkan hukum internasional, yaitu Pasal 29, Pasal 73, Pasal 107, Pasal 110, Pasal 111 dan Pasal 224 UNCLOS Tahun 1982, dan sesuai hukum nasional, yaitu TZMKO Stbl 1939 Nomor 442 Pasal 13, 14 dalam hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 284 ayat (2) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Pasal 17 KUHAP. Kata kunci: hukum dasar, penindakan, perompakan, Selat Malaka, Angkatan Laut Indonesia
18
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
Pendahuluan Selat Malaka yang sempit yang terletak di antara Indonesia, Singapura dan Malaysia merupakan jalur pelayaran dunia yang penting dan terkenal dengan aksi perompakan para bajak laut. Selat Malaka merupakan rute favorit kapalkapal tanker dari Teluk Persia menuju kawasan Asia Pasifik. Berdasarkan informasi dari Badan Informasi Energi Amerika Serikat diperkirakan setiap hari selat ini dilewati sekitar 15 (lima belas) juta barel minyak mentah yang dibawa kapalkapal tanker tersebut. 1 Persoalan Selat Malaka pada mulanya timbul oleh karena adanya perkembangan yang terjadi di bidang perkapalan dan perubahan-perubahan dalam strategi militer secara global dari negaranegara besar. Seperti diketahui bersama sejak 1967 terutama sejak pecahnya perang Arab-Israel, kapal-kapal tanker raksasa mulai lahir. Banyak di antara kapal-kapal tersebut yang membawa minyak dari Timur Tengah menuju Jepang dan Timur Jauh. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka Selat Malaka menjadi salah satu urat nadi perekonomian dunia terutama negara Jepang. Selat Malaka telah menjadi hot spot dari aktivitas bajak laut (piracy) dan perompakan laut (sea/armed robbery). The International Chamber of Commerce (ICC) membentuk The ICC International Maritime Bureau (IMB) pada tahun 1981 yang berperan sebagai focal point dalam menanggulangi segala bentuk kejahatan dan pelanggaran di laut yang dapat mengancam dan mengganggu kelancaran arus perdagangan dunia, mengingat se-
bagian besar perdagangan dunia masih mempergunakan transportasi laut. Dengan alasan meningkatnya kejahatan pembajakan di laut, terutama dimulai kembali setelah masa keemasannya di abad pertengahan (sekitar tahun 1980an), maka pada tahun 1992 telah dibentuk The IMB Piracy Reporting Centre yang berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia. Pusat Pelaporan Bajak Laut ini bertugas untuk melaporkan secermat mungkin mengenai aktifitas bajak laut yang terjadi di dunia daerah mana saja yang dianggap sebagai rawan bajak laut (hot spot) dan bekerja sama dengan negara pantai tempat terjadinya bajak laut tersebut untuk mengatasi dan mengurangi serta menghentikan insiden-insiden tersebut. Setelah angka peristiwa bajak laut yang dari tahun ke tahun semakin tinggi, Selat Malaka sempat terbebas dari bajak laut (piracy) dan perompakan laut (sea/armed robbery) yaitu pada waktu beberapa saat setelah terjadi peristiwa tragedi internasional Tsunami di Aceh dan sekitarnya (Desember 2004). Peristiwa telah tercatat bahwa bukan hanya kapal-kapal dagang besar saja yang diserang oleh bajak laut akan tetapi termasuk juga kapal layar pribadi dan kapal ikan. Kemudian para pengamat membedakan 2 (dua) macam bentuk bajak laut2: a. Pencurian (stealing) yaitu bajak laut dengan motif semata-mata keuntungan ekonomi. b. Terencana (well planned) yaitu ada motif selain finansial, yaitu misalnya political motive (terjadi di Somalia dan 2
Majalah Forum Hukum, Volume 2 No. 1 - 2005: Opini Bajak Laut dan Kedaulatan Negara. 1
http://ilusikehidupan.blogspot.com tentang Selat Malaka 19
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
Sri Lanka) dan terrorism (terjadi di Filipina). Lalu apa sebenarnya perbedaan antara istilah “bajak laut (piracy)” dan “perompakan laut (sea/armed robbery)”? Hukum Internasional memang membedakan kedua istilah tersebut karena terdapat perbedaan konsekuensi hukum yang akan berlaku padanya. Secara umum definisi bajak laut/piracy yang terdapat dalam kamus adalah: a. Perampokan yang terjadi di laut (the American Heritage Dictionary of the English Language 2000). b. Suatu peristiwa perampokan yang pada khususnya terjadi di laut luas terutama: tindakan kekerasan secara ilegal, menahan atau merampok yang dilaksanakan oleh ABK atau penumpang kapal pribadi ataupun pesawat terbang terhadap kapal maupun pesawat terbang di laut luas atau di luar yurisdiksi suatu Negara. (Merriam-Webster Dictionary of Law, 1996). c. Perampokan yang terjadi di laut luas yaitu membawa kabur kapal dari yang berhak memilikinya. (Wornet 2.0. Princeton University, 2003). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (The United Na-tions Convention on The Law of The SeaUNCLOS-1982) memberikan definisi piracy pada pasal 101, bahwa piracy itu dapat berupa: a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan: 1) Di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian;
2) Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun. b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak. c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub-ayat (a) atau (b). Dari definisi tersebut diatas jelas memberikan batasan bahwa dikategorikan piracy apabila kejadian tersebut terjadi di laut bebas atau di luar yurisdiksi suatu negara, artinya tentu di luar pelabuhan dan laut territorial satu negara. Namun bagaimana jika terjadi di Zona Tambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), apakah dapat dianggap piracy sebagaimana didefinisikan oleh UNCLOS 1982 atau masih merupakan sea/armed robbery sebagai istilah lain yang digunakan apabila tindakan itu terjadi di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial satu negara. Global Security Organization mendefinisikan piracy sebagai an international crime consisting of illegal acts of violence, detention or depredation commited for private ends by the crew or passagers of private ship or aircraft in or over international waters against another ship or aircraft or person and property on board. International water dianggap termasuk laut bebas, zona ekonomi eksklusif dan zona tambahan. Sementara IMB mendefinisikan piracy sebagai an act boarding or attemting to board any ship with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance of act. Oleh karena itu, 20
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
dari beberapa definisi di atas jelas menggambarkan bahwa ada 2 (dua) pengertian besar yang berkembang, yaitu pengertian umum tentang bajak laut adalah setiap kegiatan penyerangan terhadap kapal di laut, dengan tidak memperdulikan apakah itu di laut lepas atau di jurisdiksi satu negara (sebagaimana dimuat dalam the American Heritage Dictionary of the English Language, 2000). Pengertian inilah yang umum diketahui oleh masyarakat awam. Adapun pengertian yang lain adalah pengertian secara hukum sebagaimana yang dianut oleh UNCLOS 1982. Sebenarnya hal yang membedakannya adalah terkait dengan kewenangan untuk menindak peristiwa tersebut, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang berhak untuk menghukum bajak laut tersebut, siapa yang mempunyai jurisdiksi terhadap piracy dan hukum mana yang berlaku padanya. Piracy sebagaimana definisi UNCLOS merupakan universal jurisdiction, artinya kapal perang/kapal dinas pemerintah negara manapun berhak untuk “menangkap dan menahan” kapal, awak dan muatan kapal bajak laut atau kapal yang dikuasai oleh bajak laut itu. Pengadilan negara tersebut juga berhak untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut, dengan menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan termasuk tindakan yang akan diambil terhadap kapal yang dibajak, akan tetapi dengan tetap mengindahkan hak pihak ketiga yang beritikad baik (Pasal 105 – 107 UNCLOS 1982). Oleh karena itu, peristiwa bajak laut yang terjadi di Selat Malaka harus dibedakan, apakah terjadi di perairan pedalaman/perairan kepulauan dan laut teritorial negara tepi selat (Indonesia/ Malaysia/Singapura) ataukah di luar wila-
yah tersebut. Namun dimanapun pembajakan laut itu terjadi, seharusnya hal itu ditindak tegas dan dihukum dengan sepadan. Legalitas penanganan masalah bajak laut di Selat Malaka sangatlah penting yang harus dipahami oleh setiap personel Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dengan didasarkan pada aturan hukum nasional maupun internasional dalam rangka mengurangi kesalahan penanganan dan keragu-raguan dalam bertindak. Bertitik tolak dari uraian tersebut, penting untuk diteliti dan dikaji apa landasan legalitas penindakan terhadap perompakan di Selat Malaka oleh TNI AL. Dengan ini diharapkan diperoleh apakah legalitas yang dilakukan selama ini sudah kuat atau belum dan dengan cara membenarkannya. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah yuridis normatif, yaitu menitikberatkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar pembahasan serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktik. Penerapan dimaksud adalah aspek hukum nasional maupun hukum internasional yang relevan dalam menentukan legalitas penanganan perompakan oleh TNI AL yang terjadi di Selat Malaka. Data bersumber dari bahan hukum primer sebagai bahan utama serta untuk melengkapinya penulis menggunakan bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi. Bahan hukum sesuai obyek yang diteliti yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis secara 21
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
deduktif, di mana bahan hukum utama yang diperoleh dari peraturan perundangundangan dan literatur-literatur perpustakaan yang sudah ada kemudian diklasifikasikan untuk mengetahui mana yang dapat digunakan dalam menyusun kembali bahan hukum sesuai obyek yang diteliti dan diolah berdasarkan teori yang digunakan untuk mengambil kesimpulan. Pembahasan Landasan Hukum Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka Tindak pidana perompakan dan pembajakan di laut, baik yang dilakukan oleh kapal-kapal asing maupun oleh kapal-kapal domestik di wilayah perairan Indonesia akhir-akhir ini telah menimbulkan keresahan bagi pelayaran domestik maupun pelayaran internasional. Penindakan kejahatan perompakan dan pembajakan laut tersebut, didasarkan pada berlakunya delik-delik KUHP yang berkaitan dengan “kejahatan Pelayaran”, dengan menggunakan satu istilah yang sama yaitu sebagai delik “pembajakan”. Adapun kegiatan diatas merupakan salah satu faktor ancaman terhadap penegakan hukum dan kedaulatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga secara mendasar bahwa TNI AL sesuai yang diamanatkan dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan sebagai alat Negara di bidang Pertahanan Negara Matra Laut, sedangkan pada pasal 9 dalam UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditegaskan juga salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi, di samping kewenangan yang diberikan oleh Undang-
undang lainnya. Dengan demikian kondisi ini menguatkan keberadaan TNI AL dalam melaksanakan peran constabulary (fungsi polisionil) sudah sesuai dengan amanat undang-undang dan sesuai dengan habitat penugasannya atau medan juangnya adalah di laut. Di sisi lain keberadaan kapal-kapal perang TNI AL juga memiliki kekuatan hukum secara internasional dalam rangka melaksanakan pengamanan dan penegakan hukum di laut, hal ini dikuatkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 yang merupakan ratifikasi Unclos 1982. Dasar hukum acara (formil) pelaksanaan kewenangan TNI AL adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP tentang ketentuan peralihan yang mengenal ketentuan khusus acara pidana dan Pasal 17 PP 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang secara tegas mengatur tentang wewenang penyidikan tindak pidana tertentu dan secara eksplisit menegaskan penyidikan di Perairan Indonesia, Zona Tambahan, Landas Kontinen dan ZEEI dilakukan oleh TNI AL dan instansi lainnya. Kewenangan TNI AL tersebut ditegaskan lebih lanjut dalam SE Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1990 tentang Penyidik dalam Perairan Indonesia, Surat Jaksa Agung RI Nomor R-671/F/F Py.4/ 8/1989 tentang Penegasan Kewenangan Penyidik serta Ketentuan-ketentuan Kewenangan Pemaksaan Pentaatan dalam UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985, diatur dalam Pasal 29 (Kapal Perang), Pasal 73 (Penegakan Peraturan Negara Pantai), Pasal 107 (Penyitaan Kapal Perompak), Pasal 110 (Hak Melakukan Pemeriksaan), Pasal 111 (Pengejaran Seketika) dan Pasal 224 (Pemaksaan Penaatan) UNCLOS 1982 yang pada intinya menunjuk22
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
kan bahwa TNI AL (Kapal Perang) mempunyai kewenangan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mempertahankan keamanan dan kepentingan nasionalnya. Selama ini presepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu diidentikkan dengan istilah pembajakan laut (piracy), meskipun dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak kejahatan perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di laut tersebut. Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas. Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan dilaut tersebut dapat berbeda ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat dilakukan dalam bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak hukum yang sama pula. Tidak ada pengertian yang baku mengenai pembajakan di laut, seperti yang telah dikemukakan. Dalam hal ini Brierly memberikan definisi sebagai berikut:3
“There is no authoritative definetion of international piracy, but it is of the essence of a piratical act to be an act violence, committed at sea or at any rate closely connected with the sea, by person not acting under pro per authority. Thus an act cannot be piratical if it is done the authority of a state, or even of an insurgent commu-nity whose belligerency has been recognized.” (Bahwa tidak ada definisi yang pasti tentang pembajakan internasional, akan tetapi hal mendasar dari tindak pembajakan adalah tindak kekerasan, terjadi di laut atau berhubungan dengan laut, yang dilakukan oleh seseorang yang tidak dibawah kewenangan yang mutlak. Beberapa tindakan tidak dapat digolongkan sebagai tindak pembajakan apabila dilakukan oleh negara yang berwenang atau komunitas yang berwenang). Sedangkan pengertian perompa-kan di laut merupakan tindakan kekeras-an yang tidak sah di perairan yurisdiksi suatu negara terhadap orang atau barang di atas kapal atau perahu, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari.4 Dengan demikian kedua istilah tersebut memang berbeda dalam menyebutkan tindak kekerasan di laut di wilayah yurisdiksi yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda pula. Oleh karena itu kedua istilah tersebut memang perlu dibedakan untuk menghindari kerancuan, baik dalam pengaturan hukumnya maupun penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
4
3
Brierly,JL., 1960, The Law of Nations, an Introduction to International Law of Peace, Oxford, Clarendon Press, hal. 241.
Leo Dumais, 2001, Pembajakan dan Perompakan di Laut, Laporan Pelaksanaan Temu Wicara Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Deparlu, Jakarta, hal. 49. 23
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
Pembajakan di laut lepas sejak dahulu telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena dianggap mengganggu kelancaran pelayaran dan perdagangan antar bangsa. Pengaturan oleh hukum kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus menerus dilakukan oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pembakuan norma kebiasaan tersebut telah dirintis secara sistematis dan teratur, melalui usaha kodifikasi yaitu dengan diadakannya Konperensi Kodifikasi Den Haag l930 oleh Liga Bangsa-Bangsa. Pengaturan mengenai pembajakan di laut lepas dimasukkan dalam pengaturan tentang hak pengejaran segera (the right of hot pursuit). Dalam kenyataannya usaha untuk mengkodifikasikan pengaturan tersebut gagal karena konperensi tidak menghasilkan suatu Konvensi. Meskipun demikian usaha ini sudah dapat dikatakan merupakan langkah awal terhadap praktek pengaturan pembajakan di laut lepas. Dalam perkembangannya kemudian pembajakan di laut lepas telah dikategorikan sebagai “delict jure gentium” atau tindak pidana yang bertentangan dengan hukum dunia atau tindak pidana yang dikutuk oleh seluruh umat manusia. Hal itu didasarkan dari kesimpulan Pasal l9 Konvensi Jenewa l958, yang dirumuskan kembali dalam Pasal 105 Konvensi Hukum Laut PBB l982, yang menyatakan bahwa setiap negara dapat menahan, merampas, menyita serta mengadili terhadap pelaku pembajakan di laut lepas dimanapun pelaku berada. Ketentuan tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa tindak pidana pembajakan di laut lepas dianggap tindak pidana yang menjadi musuh bersama umat manusia atau tindak pidana yang bertentangan dengan hukum dunia.
Berdasarkan Pasal l05 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 diatur bahwa: “Di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi negara manapun setiap negara da-pat menyita suatu kapal atau pesa-wat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang dan menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetapkan tinda-kan yang akan diambil berkenaan dengan kapalkapal, pesawat uda-ra atau barangbarang, dengan tunduk pada hakhak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik.”5 Sebagai hukum positif internasional, pengaturan pembajakan di laut lepas berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah memperlihatkan adanya perkembangan dalam hal modus operandi pembajakan, yaitu tindakan yang dikategorikan sebagai pembajakan, pelaku pembajakan dan sarana yang digunakan untuk melakukan pembajakan. Perkembangan tersebut memang mencerminkan kebutuhan masyarakat internasional yang sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini. Dengan demikian pembajakan di laut, khususnya di laut lepas merupakan kejahatan internasional berdasarkan kreterianya, diantaranya yaitu bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan atau kejahatan yang dilarang dalam: a. Hukum kebiasaan internasional. b. Perjanjian internasional yang mengatur secara khusus tentang kejahatan internasional. 5
Deparlu RI, op.cit., hal. 97. 24
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
c. Konvensi lain yang tidak secara khusus mengatur tentang kejahatan internasional (Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur pembajakan di laut lepas). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, tindak kekerasan di laut baik berupa pembajakan maupun perompakan sudah merupakan bagian dari dinamika kehidupan di laut yang perlu untuk mendapatkan penanganan yang serius. Data yang dikeluarkan oleh International Maritime Bureau Kuala Lumpur pada tahun 1999 menyebutkan adanya 113 kasus di yang terjadi di wilayah perairan Indonesia dan meningkat menjadi 117 kasus pada tahun 2000. Data tersebut berbeda dengan data yang dikumpulkan oleh TNI AL pada tahun 2000 yang menunjukkan terjadinya 81 kasus, dimana 79 kasus merupakan perompakan dan 2 kasus lainnya dikategorikan sebagai pembajakan.6 Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa tindak kekerasan di laut, khususnya tindak perompakan di laut dapat menjadi ancaman yang serius bagi keamanan dan kelancaran pelayaran antar daerah maupun antar negara. Demikian pula akan berpengaruh pada kredibilitas Pemerintah Indonesia di mata Internasional, serta mengandung potensi konflik bilateral bahkan internasional. Hal itu dapat disimpulkan dengan adanya keinginan dari negara lain seperti Jepang untuk terjun secara langsung dalam pengamanan di laut karena seringnya terjadi pembajakan dan perompakan di Selat Malaka.7 Dalam garis besarnya, dalam melakukan aksinya para perompak menggunakan sarana speed boat, perahu pan6 7
Leo Dumais, op.cit, hal. 50. International Herald Tribune, 28 April 2000.
cung, atau kapal ikan dengan perlengkapan senjata api, golok, masker, dan tali berkait untuk naik ke kapal. Dalam hal ini kapal sasarannya pada umumnya adalah kapal dagang, kapal tanker dan kapal ikan. Sedangkan akibat yang timbul dari perompakan tersebut adalah terbunuhnya awak kapal, penculikan atau luka-luka, serta kerugian atas barang-barang seperti uang, peralatan kapal, suku cadang, perlengkapan yang dimiliki awak kapal dan ikan hasil tangkapan.8 Aksi perompakan yang biasanya pada waktu malam hari, dilakukan dengan modus operandi yaitu menempelkan speed boat ke kapal yang menjadi sasarannya, kemudian menaiki kapal dengan menggunakan tali. Sebagaimana pencuri, para perompak akan menjarah barang-barang di kapal yang kemudian diangkut dengan speed boat. Sedangkan dalam peristiwa pembajakan modus operandi yang digunakan adalah dengan mengganti seluruh awak kapal baru yang dikontrak, merubah warna kapal dan mengganti nama kapal dengan dokumen palsu. Dari sisi pengaturan hukumnya, upaya penanggulangan pembajakan dan perompakan di laut masih jauh tertinggal dengan perkembangan pengaturan secara internasional maupun perkembangan modus operandi tindak kekerasan itu sendiri. Pengaturan mengenai perompakan di laut diatur di dalam Pasal-Pasal 439, 440 dan 441 KUHP, sedangkan pembajakan di laut diatur dalam Pasal 438 KUHP mengenai kejahatan pelayaran. Ketentuan dalam KUHP yang mengatur delik perompakan adalah Pasal 439 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
8
Leo Dumais, Op.Cit, hal. 52. 25
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
1) Diancam karena melakukan pembajakan di pantai dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan per-buatan kekerasan terhadap kapal lain atau terhadap orang atau ba-rang diatasnya, di dalam wilayah laut Indonesia. 2) Wilayah laut Indonesia yaitu wila-yah “territorial zee en maritime kringen Ordonantie” 1939. Pasal 440 KUHP berbunyi sebagai berikut: Diancam karena melakukan pembajakan dipantai dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barangsiapa yang didarat maupun diair sekitar pantai atau muara sungai, melakukan perbuatan kekerasan terhadap orang atau barang disitu, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan seluruhnya atau sebagiannya untuk tujuan tersebut. Pasal 441 KUHP berbunyi sebagai beri-kut: Diancam karena melakukan pembajakan disungai, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan di sungai terhadap ka-pal lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, setelah datang ke tempat dan untuk tujuan ter-sebut kapal dari tempat lain. Ketentuan dalam KUHP yang mengatur tentang delik pembajakan adalah Pasal 438 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 1) Diancam karena melakukan pembajakan di laut: Ke-1: dengan pidana penjara pa-ling lama lima belas tahun, barang siapa masuk bekerja menjadi nah-koda
atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, pada hal di-ketahui bahwa kapal itu diper-untukan untuk digunakan melaku-kan perbuatan kekerasan di laut bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang lain dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk ang-katan laut negara yang diakui. Ke-2: dengan pidana penjara pa-ling lama dua belas tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk kerja menjadi kelasi kapal ter-sebut, atau dengan sukarela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelah diketahui hal itu olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut. Dalam kenyataannya, ketentuan dalam KUHP tersebut menggunakan istilah “pembajakan”, untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di laut lepas, maupun tindak kekerasan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia. Sebagai produk perundang-undangan yang berasal dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih berlaku, pengaturan pembajakan dalam KUHP Indonesia tersebut dapat dikatakan telah tertinggal jauh dengan perkembangan pengaturan secara internasional dan perkembangan kebutuhan untuk kondisi dan situasi saat ini. Yurisdiksi Kriminal di Wilayah Laut Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan pembajakan dan perompakan di laut, khusunya yang dilakukan oleh kapal-kapal asing, maka masing-masing negara pantai tunduk pada yurisdiksi kriminal yang diatur dalam hukum laut internasional, sebagaimana tercantum dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982. Pada prinsipnya 26
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
yurisdiksi kriminal di wilayah laut dapat dibedakan: a. Yurisdiksi kriminal di laut pedalaman atau pelabuhan Terhadap semua kejahatan yang dilakukan di dalam perairan pedalaman atau pelabuhan, maka negara pantai mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan negara bendera kapal. Dengan demikian setiap negara berhak sepenuhnya untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam pelabuhan atau perairan pedalaman. b. Yurisdiksi kriminal di laut teritorial Kewenangan negara untuk menerapkan yurisdiksi di laut teritorial dibatasi dengan adanya hak lintas damai (the right of innocent passage), sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan negara pantai dengan negara bendera kapal adalah sejajar. Dengan demikian negara pantai hanya dapat menerapkan yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah teritorialnya apabila: 1) Akibat tindak pidananya menyerang kepentingan negara pantai; 2) Jenis tindak pidananya meluas ke negara pantai; 3) Tindak pidana narkotika; 4) Ada permintaan dari nahkoda kapal atau konsul dari negara asal kapal tersebut. c. Yurisdiksi negara di laut lepas Laut lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun, sehingga setiap kejahatan yang berada di laut lepas berada sepenuhnya di bawah yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal yang sedang berlayar di atas laut
lepas, maka negara benderalah yang dianggap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya. Dalam hal ini negara bendera memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa: “ In general, the flag state, that is, the state which has granted to a ship the right to sail under its flag, has the exclusive right to exercise legeslative and enforcement jurisdiction over its ships on the high seas.” (Secara umum, negara bendera, yaitu negara yang telah menjamin bahwa kapal tersebut berlayar dengan bendera negara tersebut, mempunyai hak istimewa untuk berlatih dan berlayar di laut bebas).9 Dalam kenyataannya, yurisdiksi eksklusif dari negara bendera tersebut tidak bersifat mutlak, karena diakui beberapa perkecualiaan yang memberikan kesempatan kepada negara ketiga untuk melaksanakan pula yurisdiksi di atas kapal yang sedang berlayar di laut lepas. Pengecualiaan yang pertama yang telah lama diakui sebagai hak, bahkan saat ini telah menjadi suatu kewajiban yaitu bahwa semua negara harus bekerja sama dalam menanggulangi masalah pembajakan di laut lepas atau ditempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara.10 Sedangkan pengecualiaan yang lainnya menyangkut masalah hak pengejaran segera, perdagangan budak, penyiaran gelap, pencemaran yang serius
9
Churchill. RR and Lowe. A.V, 1983, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, 1983, hal. 148. 10 Pasal l00 Konvensi Hukum Laut PBB l982. 27
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
dan perdagangan gelap narkotika dan bahan-bahan psikotropis lainnya.11 Dengan demikian yurisdiksi suatu negara pantai, terutama dalam pemberantasan kejahatan dapat dimungkinkan untuk diperluas sampai ke laut lepas. Pertimbangan adanya perluasan yurisdiksi tersebut adalah sebagai berikut: a. Sifat tindak pidana itu sendiri merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia, seperti telah ditetapkan oleh hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional. Meskipun tindak pidananya terjadi di laut lepas, tetapi semua negara berhak untuk melakukan penindakan tanpa memandang kewarganegaraan si pelaku tindak pidana. Tindak pidana yang dikenakan sebagaimana di atas tercantum dalam Konvensi Hukum Laut PBB l982 yang meliputi: 1) Pembajakan di laut lepas (Pasal 100,101,102 dan Pasal 103); 2) Perdagangan dan pengangkutan budak belian (Pasal 99); 3) Perdagangan gelap narkotika atau bahan-bahan psikotropis (Pasal 108); 4) Penyiaran gelap dari laut lepas (Pasal 109). b. Diperbolehkannya pengejaran seketika atau hot pursuit. Pengejaran segera merupakan hak suatu negara pantai untuk melakukan tindakan yang berupa pengejaran segera dan tidak terputus terhadap kapal asing, yang diduga keras atau telah melakukan pelanggaran hukum di wilayah yurisdiksi negara pantai, yang kemudian melarikan diri ke laut lepas. Dalam perkembangannya kemudian, hak ter-
sebut dapat dimulai dari ZEE berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, si pembajak akan kehilangan status kewarganegaraannya, sebagaimana dinyatakan bahwa: “It has long been recognized and well settled that person and vessels engaged in piratical operation on the high seas are entitled to the protection of no nation and may be punished by any nation that may apprehend or capture them. This stern rule of international law refers to piracy in its international law sense and not to a variety of lesser maritime offenses so designated by municipal law“12 (Ini sudah lama dikenali dan diatur bahwa awak dan kapal yang terlibat dalam operasi pembajakan di laut bebas telah kehilangan perlindungan dari negaranya dan dapat dihukum oleh salah satu negara yang mengatasinya atau menangkapnya. Aturan keras hukum internasional ini mengacu pada pembajakan di faham hukum internasional dan tidak pada macam pelanggaran kemaritiman yang disusun oleh negara-negara tertentu). Hilangnya kewarganegaraan si pembajak akan lebih memudahkan bagi setiap negara untuk melaksanakan hukum pidananya terhadap pelaku pembajakan di laut lepas. Berkaitan dengan adanya perbedaan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan tersebut, maka penegakan yurisdiksi negara pantai harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, serta ketentuan-
11
Churchill R. R and Lowe, A.V, Op.Cit, hal. l49-152.
12
Henkin, Luois, Op.Cit., hal. 386. 28
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
ketentuan internasional lainnya yang relevan. Di tingkat regional ASEAN telah disepakati ASEAN Plan Action of Combat Transnational Crime tahun 1999 untuk penanggulangan kejahatan transnasional di lingkungan ASEAN. Pembajakan laut (piracy) merupakan salah satu jenis kejahatan yang menjadi prioritas untuk diupayakan penanggulangannya, di samping jenis-jenis kejahatan lainnya yaitu peredaran obat-obatan terlarang, perdagangan illegal manusia, khususnya wanita dan anak-anak, penyelundupan senjata, pencucian uang dan terorisme. Melalui ASEAN Regional Forum (ARF) dilakukan beberapa kali konperensi, diantaranya adalah Konperensi ke 3 di Jepang bulan April tahun 2000. Dalam konperensi tersebut telah dihasilkan kesepakatan untuk saling memberikan informasi yang menyangkut masalah-masalah maritim yang perlu diantisipasi, khususnya tentang adanya pembajakan dan perompakan laut. Demikian pula telah disepakati “Tokyo Appeal” yang bertujuan untuk mencegah dan menekan terjadinya pembajakan dan perompakan laut. Salah satu hal yang cukup penting adalah kecepatan laporan tentang terjadi atau telah terjadinya pembajakan atau perompakan kepada negara pantai atau pelabuhan negara yang bersangkutan agar dapat ditanggulangi secepatnya.13 Indonesia memang telah berusaha untuk membenahi pengaturan hukum nasionalnya mengenai masalah penanganan pembajakan dan perompakan laut. Hal itu terlihat dengan adanya Konsep KUHP Indonesia dimana pengertian pembajakan dirumuaskan kembali dalam Pasal 542 yaitu bahwa setiap orang yang:
a. Bekerja sebagai pemimpin atau melakukan profesi sebagai pemimpin pada kendaraan air, padahal mengetahui bahwa kendaraan air tersebut diguna kan untuk melakukan perbuatan kekerasan di laut terhadap kendaraan air lain atau terhadap orang atau barang diatasnya, dipidana karena perompa kan di laut, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b. Bekerja sebagai anak buah kendaraan air, padahal mengetahui bahwa kendaraan air tersebut digunakan untuk melakukan perbuatan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam butir a, dipidana karena perompakan di laut, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.14 Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 9 dan l0 Konsep KUHP Indonesia tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 542 ayat (l) Konsep KUHP Indonesia, yaitu tentang Perbuatan Kekerasan yang terjadi di luar laut lepas serta di dalam keadaan damai (tidak terjadi peperangan). Kewenangan Penindakan Perompakan di Selat Malaka Dari keseluruhan 250 selat yang ada di dunia, Selat Malaka dikenal sebagai satu di antara 13 selat paling strategis dan bernilai komersial yang sangat tinggi di dunia. Dua belas selat lainnya adalah Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Denmark, Osumi-kaikyo, Selat Dover, Selat Gibraltar, Bab el Mandeb, Selat Hormuz, Selat Balabac, Selat Surigao, Selat Bering, dan Selat Magellan. Selat Malaka yang panjangnya 500 mil merupakan salah satu jalur pelayaran ter14
13
Leo Dumais, Op.Cit., hal. 55.
Naskah Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, BPHN, Jakarta, 1980, Pasal 542. 29
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
penting di dunia, sama pentingnya seperti Terusan Suez atau Terusan Panama. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran terusan antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta menghubungkan tiga dari negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia: India, Indonesia dan China. Sebanyak 50.000 kapal melintasi Selat Malaka setiap tahunnya, mengangkut antara seperlima dan seperempat perdagangan laut dunia. Sebanyak setengah dari minyak yang diangkut oleh kapal tanker melintasi selat ini; pada 2003, jumlah itu diperkirakan mencapai 11 juta barel minyak per hari, suatu jumlah yang dipastikan akan meningkat mengingat besarnya permintaan dari China. Semua faktor tersebut menyebabkan kawasan itu menjadi sebuah target perompakan dan kemungkinan target terorisme. Perompakan di Selat Malaka menjadi masalah yang mendalam akhirakhir ini, meningkat dari 25 serangan pada 1994 hingga mencapai rekor 220 pada 2000. Lebih dari 150 serangan terjadi pada 2003. Jumlah ini mencakup sekitar sepertiga dari seluruh perompakan pada 2003. Frekuensi serangan meningkat kembali pada paroh awal 2004, contohnya saja, 93 kasus perompakan terjadi di perairan Indonesia, 9 kasus di Malaysia dan Singapura 8 kasus dan angka total dipastikan akan melebihi rekor tahun 2000. Sebagai tanggapan dari krisis ini, angkatan laut Indonesia, Malaysia dan Singapura meningkatkan frekuensi patroli di kawasan tersebut pada Juli 2004. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Slamet Soebi-janto mengemukakan, sistem pengaman-an maritim terpadu atau Integrated Maritime Security System (IMSS) di Selat Malaka akan segera dilakukan se-hingga
pengamanan di wilayah perairan itu dapat diwujudkan secara lebih ter-padu. la mengatakan, pemberlakuan IMSS bertujuan meyakinkan dunia Internasional bahwa Indonesia bersama tiga negara lainya yakni Malaysia, Singapura dan Thailand mampu mengamankan Selat Malaka. Integrated Maritime Security System (IMSS) merupakan pendekatan terpadu dalam sistem pengamanan di Selat Malaka dengan melibatkan beberapa komponen seperti Mallaca Straits Identification System (MSIS), Mallaca Strait Coordinated Patrol (MSCP), Coordinated Maritime Air Patrol Operation (CMAP), Integrated Maritime Security System (IMSS), Hot Pursuit/Cross Pursuit Border, Intellegence and information exchange and public information campaign. Lebih lanjut Kasal mengungkapkan, TNI AL juga tengah melakukan pemantauan sembilan titik di sepanjang Selat Malaka yang akan dijadikan lokasi pemasangan radar navigasi. Pemasangan radar itu juga merupakan dukungan bagi pengamanan udara di Selat Malaka. Ketiga negara yang berdaulat terhadap perairan Selat Malaka, Indonesia, Singapura, dan Malaysia telah sepakat melibatkan Thailand untuk ikut mengamankan Selat Malaka dari aksi perompakan. Kesepakatan ini telah disetujui ketiga negara itu pada 1-2 Agustus 2005 oleh masing-masing Panglima Angkatan Bersenjata di Kuala Lumpur. Pelibatan Thailand merupakan inisiatif pemerintah Indonesia. Menurut Panglima Tentara Laut Diraja Malaysia, Laksamana Datuk Ilyas Bin Haji, pada saat berkunjung ke Indonesia, Thailand dilibatkan karena posisi perairan Thailand dekat dengan Selat Malaka. Thailand disertakan dilatarbelakangi oleh makin maraknya aksi 30
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 18-32
perompakan, penyelundupan senjata dan kejahatan laut lainnya di wilayah perairan negeri Gajah Putih itu di Selat Malaka. Datuk Ilyas juga mengungkapkan, selain karena perairan Thailand berada dipintu masuk Selat Malaka, juga karena ketiga negara sepakat untuk terus menciptakan usaha-usaha untuk mengamankan Selat Malaka. Kepala Staf TNI Angkatan Laut, mengungkapkan, ketiga negara beserta Thailand telah sepakat untuk membuat kelompok kerja, guna menjabarkan langkah-langkah yang harus dilakukan ke depan oleh keempat negara. Sehingga perairan Selat Malaka betulbetul aman bagi kapal-kapal yang melintasi perairan itu. Para menteri pertahanan dari empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand, pada 13 September 2005 di Kuala Lumpur, meluncurkan kerja sama pengamanan melalui udara yang disebut Eyes in the Sky (EiS) guna mendukung patroli terkoordinasi di sepanjang Selat Malaka. Untuk memudahkan upaya menekan tindak kejahatan laut di Selat Malaka, maka masing-masing negara mendirikan incident hotline station yakni Sabang, Dumai (Indonesia), Lumut (Malaysia), Pukhet (Thailand), dan Changi (Singapura). Eyes in the Sky itu hanya bisa dilakukan jika dalam operasi para awak yang bertugas mewakili Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand, dan mereka juga hanya boleh mendekat tiga mil dari daratan salah satu negara. Awak harus dari empat negara. Kalau misalnya pada suatu waktu Indonesia karena suatu keadaan tidak mengirimkan awaknya, maka mereka (operasi EiS) tidak diizinkan untuk memasuki wilayah negara lain. Sesuai Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982) Selat Malaka dan Selat Singapura berada di wilayah laut ketiga
negara pantai serta ZEE Indonesia dan Malaysia dan digunakan untuk pelayaran Internasional, Singapura mengusulkan agar pengamanan Selat Malaka dikembangkan menjadi jasa bisnis pengamanan. Indonesia dan Malaysia menolak usul Singapura itu. Indonesia dan Malaysia sepakat menolak keberadaan pasukan asing termasuk Amerika Serikat (AS) untuk mengatur keamanan di Selat Malaka. Negara asing tak mempunyai kewenangan atas keamanan dan keselamatan di Selat Malaka. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Landasan hukum dalam penindakan terhadap perompakan di Selat Malaka oleh TNI AL adalah: 1. Berdasarkan hukum internasional yaitu Pasal 29, Pasal 73, Pasal 107, Pasal 110, Pasal 111 dan Pasal 224 UNCLOS 1982. 2. Berdasarkan hukum nasional yaitu TZMKO Stbl Tahun 1939 No. 442 Pasal 13, 14 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 284 ayat (2) jo PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP Pasal 17. Saran Masalah tindak kejahatan perompakan dilaut merupakan maalah krusial bagai Negara-negara pantai, sehingga masing-masing Negara hendaknya memiliki aturan yang tegas guna penanganan tindak kejahatan tersebut. Di samping itu juga negara-negara pantai hendaknya saling berkoordinasi dalam penanganan tindak kejahatan perompakan di laut. Pemerintah Indonesia seharusnya memprioritaskan pengamanan selat Mala31
Eko Budi Prabowo, Penindakan Terhadap Perompakan di Selat Malaka ……….
ka dari tindak kejahatan perompakan guna mendapatkan simpatik dan kepercayaan dari negara-negara lain yang menggunakan selat malaka sebagai jalur transportasinya. Hal ini tentunya akan mendorong perkembangan pembangunan di Indonesia. Daftar Bacaan Konvensi Hukum Laut PBB l982. Naskah Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, BPHN, Jakarta, 1980. Brierly, JL., 1960, The Law of Nations, an Introduction to International Law of Peace, Oxford, Clarendon Press. Churchill, RR and Lowe. A.V, 1983, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK. Dumais, Leo, 2001, Pembajakan dan Perompakan di Laut, Laporan Pelaksanaan Temu Wicara Kerjasama ASEAN Dalam Menanggulangi Kejahatan Lintas Negara, Deparlu, Jakarta. Henkin, Louis, 1980, International Law, Cases and Materials, American Casebook Series, ST, PaulMinn, West Publishing Co, USA. International Herald Tribune, 28 April 2000.
32