Penilaian Sistem Pelayanan Infrastruktur Air Minum Program Pamsimas (Studi Kasus Kabupaten Cilacap ) Service System Assessment of Drinking Water Infrastructure on Pamsimas Program( Case study Kabupaten Cilacap)
Nino Heri Setyoadi
Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Permukiman Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Balitbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jalan Laksda Adisucipto No.165 Jogjakarta 66281 Email:
[email protected] Tanggal diterima: 01 Mei 2014 ; Tanggal disetujui: 27 Juni 2014
ABSTRACT Provision of drinking water infrastructure in Pamsimas program must consider the type of service for which the condition of community. Not all service system can be accepted and adapted by the community. Reality showed existence of conflicts over water and changes in the structure and system of social relationships due to lack of appropriate services. This study is aimed to establish a system of performance indicators in water services and measure the performance of water service on Pamsimas program. This study used multi-criteria evaluation with maximum standardization and interval standardization assessment techniques to measured the performance of water service. The indicators used in assessing the performance include coverage of services, reach of the poor, smoothness of user fees, contribution fees, percentage of stop defecation and ratio of incidence of water borne disease. Assessment results showed that these indicators are able to describe and measure the performance of water services on Pamsimas program. In addition, the household connection service system is evaluated as the most appropriate system to the conditions of community in Cilacap regency. Keywords: assessment, service systems, drinking water, multi-criteria evaluation
ABSTRAK Penyediaan infrastruktur air minum program Pamsimas harus memperhatikan bentuk pelayanan yang sesuai kondisi masyarakat. Tidak semua sistem pelayanan dapat diterima dan diadaptasi dengan baik oleh masyarakat. Realitas dilapangan menunjukkan adanya konflik perebutan air dan perubahan struktur dan hubungan sosial akibat sistem pelayanan yang kurang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk membangun indikator kinerja sistem pelayanan air minum dan mengukur kinerja pelayanan air minum pada program Pamsimas. Metode yang digunakan berupa multi criteria evaluation dengan teknik penilaian standardisasi maksimum dan standardisasi interval. Indikator yang digunakan dalam menilai kinerja meliputi cakupan pelayanan, jangkauan masyarakat miskin, kelancaran iuran pengguna, kontribusi biaya, persentase stop buang air besar sembarangan dan rasio kejadian water borne disease. Hasil penilaian menunjukkan bahwa indikator tersebut mampu menggambarkan dan mengukur secara baik sistem pelayanan infrastruktur air minum pada program Pamsimas. Selain itu sistem pelayanan sambungan rumah paling sesuai diaplikasikan dan dikembangkan sesuai kondisi masyarakat di Kabupaten Cilacap. Kata Kunci: penilaian, sistem pelayanan, air minum, multi criteria evaluation
79
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
PENDAHULUAN Penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur air minum dan sanitasi yang baik akan memberi dampak positif terhadap kondisi kesehatan, lingkungan masyarakat dan berkontribusi terhadap peningkatan produktifitas masyarakat (Central Project Management Unit-CPMU Pamsimas 2009). Banyak pihak meyakini penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur air minum dan sanitasi yang baik menjadi pintu masuk (entry point) dalam pengentasan kemiskinan. Penyediaan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk masyarakat miskin baik di perkotaan dan pedesaan harus memperhatikan bentuk layanan yang sesuai. Paradigma baru penyediaan air minum dan sanitasi menegaskan pelayanan air minum dalam bentuk komunal bukan individual rumah tangga. Hal ini didasarkan pada penghematan atau efisiensi biaya baik dalam pembangunan maupun operasional infrastruktur air minum dan sanitasi (Mara dan Alabaster 2008). Dengan demikian bentuk pelayanan infrastruktur air minum harus diperhatikan karena sangat menentukan kualitas pemanfaatan dan keberlanjutan infrastruktur air minum dan sanitasi. Salah satu program pemerintah dalam penyediaan air minum yang ditujukan untuk masyarakat miskin berupa program nasional penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas). Dalam program Pamsimas, terdapat 3 bentuk sistem pelayanan yang berbedabeda. Sistem pelayanan tersebut terdiri dari sistem pelayanan komunal, individual dan kombinasi. Pada sistem pelayanan komunal, layanan infrastruktur air minum direpresentasikan dengan konstruksi hidran umum (HU) atau keran umum (KU). Sistem pelayanan individual berupa jaringan sambungan rumah (SR). Sementara sistem ketiga merupakan kombinasi antara HU/KU dan SR. Penentuan sistem pelayanan infrastruktur air minum dilakukan secara partisipatif dengan tahapan-tahapan kegiatan yang sistematis sesuai dengan pedoman pelaksanaan Pamsimas di masyarakat. Sistem pelayanan infrastruktur air minum yang diputuskan merupakan hasil musyawarah warga yang dituangkan dalam rencana kerja masyarakat (RKM). Dalam realitasnya, tidak semua sistem pelayanan dapat dikembangkan dan diadaptasi dengan baik oleh masyarakat. Salah satu contoh adalah terjadinya 1
konflik perebutan air bersih di hidran umum ketika memasuki musim kemarau. Pada saat tersebut, debit air dari sumber mata air menurun sehingga kapasitas air di HU berkurang. Akibatnya beberapa penduduk berusaha untuk melubangi HU dan memasang pipa secara sepihak untuk disalurkan ke rumah mereka. Hal ini memicu konflik horizontal dengan pemanfaat HU yang lain.1
Penyediaan infrastruktur air minum di wilayah rawan air seperti di Kecamatan Palue provinsi NTT misalnya dapat merubah struktur sosial masyarakat. Penelitian Kusumartono (2012) menemukan bahwa kebutuhan air masyarakat yang semakin tinggi pada musim kemarau mendorong masyarakat untuk membangun bak penyimpan air hujan (BPAH) secara swadaya. Setelah adanya kepemilikan individual tersebut, masyarakat memenuhi kebutuhan mereka untuk minum, memasak, mandi maupun mencuci dari BPAH milik mereka. Sehingga pada saat musim kemarau, tidak sedikit dari mereka yang kehabisan cadangan air dari BPAH dan akhirnya membeli air dari BPAH maupun sumur air masyarakat di desa pesisir pantai. Hal ini menunjukkan perubahan pola penggunaan dan kepemilikan air yang justru melemahkan struktur sosial. Telah terjadi perubahan budaya yang diakibatkan perubahan struktural yang ada dari komunal menjadi individual. Semangat kebersamaan dan gotong royong menjadi terkikis (Kusumartono 2012). Berdasarkan realitas tersebut, sistem pelayanan yang tidak sesuai dengan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat dapat menimbulkan masalah yang besar di kemudian hari. Untuk itu diperlukan penilaian yang terukur dan komprehensif tentang sistem pelayanan infrastruktur air minum yang dikembangkan dalam program Pamsimas. Proses penilaian tersebut seyogyanya bisa mencakup seluruh aspek pembangunan berkelanjutan secara proporsional terkait dengan pelaksanaan program Pamsimas.
Tujuan penelitian ini untuk membangun indikator kinerja sistem pelayanan air minum dan mengukur kinerja pelayanan air minum pada program Pamsimas. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah “indikator apa saja yang dapat digunakan untuk menilai kinerja sistem pelayanan air minum dalam program Pamsimas? Sistem pelayanan mana yang terbaik dan paling sesuai diaplikasikan di masyarakat Kabupaten Cilacap berdasarkan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan?” Sebagai sebuah studi kasus, proses penilaian ini dilaksanakan pada program Pamsimas mulai
Wawancara dengan pengelola LKM di Kecamatan Cipari Kabupaten Cilacap, 4 April 2013
80
Penilaian Sistem Pelayanan Infrastruktur Air Minum Program Pamsimas Nino Heri Setyoadi tahun 2008 – 2011 di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Hasil penilaian diharapkan menjadi bahan pertimbangan dalam proses replikasi dan perluasan program Pamsimas khususnya untuk memutuskan sistem pelayanan terbaik yang paling sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi dan lingkungan wilayah Kabupaten Cilacap.
KAJIAN PUSTAKA
1. Profil Program Pamsimas Pemerintah menggulirkan berbagai program penyediaan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mencapai target MDGs. Salah satu program yang berkembang luas dimasyarakat adalah program Pamsimas. Program mulai dinegosiasi oleh pemerintah dan Bank Dunia pada tahun 2006. Sedangkan Pamsimas sendiri mulai dilaksanakan pada tahun 2008, dengan daerah sasaran meliputi 3.960 desa/kelurahan yang tersebar di 110 Kabupaten/kota di 15 provinsi di Indonesia. Dengan jumlah lokasi sasaran di setiap Kabupaten/kota rata-rata 36 desa/kelurahan selama periode proyek tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 (Pedoman Pelaksanaan Pamsimas di tingkat masyarakat, 2009). Program Pamsimas didanai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dengan proporsi yang berbeda-beda. Program ini dijalankan oleh Kementerian Pekerjaan Umum selaku executing agency bersama-sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan (CPMU Pamsimas, 2009). Tujuan umum program Pamsimas adalah meningkatkan akses pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin perdesaan dan daerah pinggiran kota (peri urban) serta menerapkan praktik hidup bersih dan sehat dengan membangun model penyediaan infrastruktur air minum dan sanitasi berbasis masyarakat yang berkelanjutan dan mampu diadaptasi oleh masyarakat. Dalam program Pamsimas terdapat 5 (lima) komponen program yang saling terkait. Komponen pertama berupa pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal. Komponen kedua berupa peningkatan kesehatan, perilaku hidup bersih dan sehat, dan layanan sanitasi. Komponen ketiga berupa penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum. Komponen keempat merupakan insentif terhadap inovasi dalam pengarusutamaan dan perluasan/replikasi program pamsimas oleh desa/kelurahan dan Kabupaten/ kota dengan orientasi pengembangan kegiatan ekonomi produktif berbasis air. Komponen kelima berupa dukungan pelaksanaan dan manajemen proyek (Tim Persiapan Program Pamsimas, 2009).
Kajian terhadap program Pamsimas dilakukan oleh Heston (2011). Penelitian tersebut memfokuskan kajiannya pada efektivitas tahapan program Pamsimas. Pada tahapan proses pemberdayaan, perlu untuk diperhatikan, terutama pada tahap penetapan desa/kelurahan sampai sertifikasi perilaku buang air besar (BAB) yang melibatkan masyarakat dan perubahan pola perilakunya. Hasil penelitian yang dilakukan pada tahapan ini terdapat kekurangan waktu. Kapasitas masyarakat penerima program yang bervariasi, berpengaruh dalam efektivitas tahapan pelaksanaan program. Masyarakat yang memiliki kapasitas tinggi (pendidikan dan kemampuan ekonomi) akan lebih mudah dalam mengembangkan program (Heston 2011).
Penelitian lain oleh Astuti dan Rahdriawan (2013) mengevaluasi pengelolaan program Pamsimas di wilayah Kecamatan Mijen Semarang. Variabel yang digunakan meliputi peran badan pengelola, peran serta masyarakat dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang program Pamsimas. Faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengelolaan program PAMSIMAS di lingkungan permukiman Kecamatan Mijen adalah partisipasi masyarakat dan peran anggota BPSPAM (Astuti dan Rahdriawan 2013). Penelitian ini berbeda fokus dan metode dengan kedua penelitian sebelumnya. Jika kedua penelitian di atas fokus pada tahapan dan pengelolaan program, maka penelitian ini memfokuskan diri pada penilaian sistem pelayanan yang dikembangkan dalam program Pamsimas. Sementara dari sisi metode, teknik penilaiannya pun berbeda dengan menggunakan multi criteria evaluation (MCE).
2. Penilaian Sistem Pelayanan Air Minum
Penilaian tingkat pelayanan air minum dapat ditemukan di beberapa literatur. Pamekas (2013) melakukan penilaian tingkat pelayanan infrastruktur air minum sebagai bagian dari prasarana dan sarana lingkungan permukiman menggunakan model benchmarking. Dalam metode ini tingkat pelayanan dilihat dengan membandingkan data kinerja satu lokasi dengan lokasi lainnya. Variabel yang diperhitungkan meliputi jumlah kota yang ditangani, jumlah penduduk terlayani, kapasitas unit produksi air bersih, dan persentase kebocoran rata-rata. Metode ini cukup efektif dalam perumusan kebijakan investasi air minum pada skala makro khususnya dalam menentukan wilayah-wilayah dengan tingkat pengembangan sarana dan prasarana. Selain itu terdapat pendekatan berbeda dalam menilai kinerja sistem pelayanan air minum perkotaan khususnya yang dilakukan oleh badan
81
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
usaha pemerintah maupun swasta. Pendekatan tersebut dinamakan WEPA (Water Enterprise Performance Assessment). Dalam WEPA, aspekaspek yang diperhitungkan meliputi aspek finansial perusahaan dan sistem layanan seperti rasio keuangan, hasil audit, RKAP, cakupan pelayanan, kemudahan pelayanan, rasio pegawai per 1000 pelanggan, dan sebagainya (Pamekas 2013).
Dari kedua contoh pendekatan dan metode penilaian tersebut, nampak bahwa metode tersebut cocok digunakan pada skala makro (provinsi atau Kabupaten/kota) dan berbasis kelembagaan (misalnya PDAM). Sementara untuk programprogram berbasis masyarakat memerlukan variabel-variabel lain seperti partisipasi masyarakat yang justru penting artinya bagi kinerja program air minum.
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini membangun indikator penilaian sistem pelayanan menggunakan studi literatur tentang kinerja sistem pelayanan infrastruktur air minum dan pedoman evaluasi keberlanjutan program Pamsimas. Indikator yang dibangun harus mampu menunjukkan seberapa baik sistem pelayanan dapat menjawab tujuan program yang telah ditetapkan (Sharifi et.al. 2004). Adapun indikator yang ditawarkan dan batasannya dalam proses ini dapat dilihat pada Tabel 1. Pada dimensi sosial, indikator cakupan pelayanan infrastruktur air minum merupakan indikator penting dari berbagai program penyediaan air
minum. Dalam kacamata kesehatan masyarakat, proporsi penduduk yang dapat mengakses air minum yang layak merupakan indikator kunci dalam menilai kesuksesan program penyediaan air minum (WHO, 2011). Bahkan dalam MDGs dinyatakan secara tegas untuk mengurangi separuh penduduk tanpa akses ke sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta sanitasi dasar pada tahun 2015 (target 7 C).
Berbagai studi menegaskan suatu keharusan adanya keadilan dan keberpihakan penyediaan air minum terhadap masyarakat miskin. Pembangunan dan perbaikan bidang sanitasi secara tidak langsung akan mengurangi kemiskinan. Sebaliknya dengan dapat mengurangi kemiskinan, berarti masyarakat memiliki alokasi pendapatan untuk membangun dan memperbaiki akses sanitasi dan air minum (Rizki dan Saleh 2007). Peningkatan suplai air minum mendorong masyarakat miskin di kawasan kumuh Manila untuk meningkatkan penghasilan dengan merelokasi waktu yang dihemat dalam mengakses air minum untuk kegiatan ekonomi produktif (Aiga dan Umenai 2002). Pada dimensi ekonomi pembiayaan operasional dan pemeliharaan infrastruktur air minum merupakan jantung dari pengelolaan air minum berbasis masyarakat. Hal tersebut menjadi kunci bagi “sense of ownership” yang dibutuhkan agar sistem pelayanan air minum berjalan optimal. Pengelolaan air minum oleh masyarakat memang tidak mensyaratkan pengembalian biaya investasi (full cost recovery), namun untuk menjamin sistem pelayanan berjalan secara berkelanjutan
Tabel 1. Indikator Penilaian Sistem Pelayanan Dim en s i
So si al
Ek ono m i
Ling ku ng an
In dikato r
B o bo t
Ca k upa n P ela ya na n
0.29
Ja n gk au a n m is kin
m as ya rak a t
0.24
Kela n ca ra n pen gg un a
iura n
Persen tas e w a rga y a ng dila y an i s es ua i sta nd a r k ap a sita s s istem la ya na n Persen tas e m a sy ara ka t m isk in y an g terla ya ni a ir m i num terh a da p ju m la h pen du du k m isk in setia p d ilo ka si
0.19
Persen tas e desa den ga n s ta tus i ura n lan ca r berd as a rka n m o nitori ng kin erja BP SPA M
Ko ntribu si b ia ya vs OP
0.14
Persen tas e d esa den ga n sta tus iura n terkum pul sesu a i d en g an tota l bi ay a O P
Pro senta se s to p BAB S / OD F ( ope n de fe catio n free )
0.10
Persen tas e pen du du k y an g s to p B AB S / OD F
R as io k eja dia n w a te r borne di se ase s (W B D )
0.05
Ju m la h k eja di an pen ya kit W B D dib ag i den ga n ju m la h pen dud uk da la m ren ta n g w a ktu 1 ta h un
Sumber : hasil analisis 2013 (diolah dari berbagai sumber)
82
B atasan
Penilaian Sistem Pelayanan Infrastruktur Air Minum Program Pamsimas (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) Nino Heri Setyoadi maka dibutuhkan kontribusi masyarakat dalam operasional dan pemeliharaan infrastruktur air minum (Evans dan Appleton 1993). Sebagai kebutuhan primer untuk manusia, setiap keluarga akan berupaya semaksimal mungkin untuk mencukupi air walaupun dengan pendapatan sekecil apapun. Meskipun harus menjual barang-barang berharga (Heston dan Wati 2013). Kelancaran kontribusi (iuran) masyarakat pengguna dan perbandingannya dengan kebutuhan operasi dan pemeliharaan infrastruktur air minum merupakan indikator penilaian yang sangat penting. Pada dimensi lingkungan, penyediaan sistem pelayanan air minum diharapkan menjadi pemicu perubahan perilaku hidup sehat masyarakat miskin. Palamuleni (2002) menyatakan suplai air minum dan sanitasi memiliki keterkaitan langsung dengan perilaku higiene di masyarakat. Praktik higiene memegang peranan penting dalam mengharmoniskan penyediaan air minum dengan infrastruktur sanitasi. Praktik BAB yang sembarangan akan mengancam kesehatan masyarakat meskipun infrastruktur air minum dan sanitasi tersedia dengan baik.
Dengan ketersediaan sarana air minum dan sanitasi serta perubahan perilaku hidup sehat diharapkan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan konsumsi air minum sangat penting dalam mencegah terjadinya penyakit diare (Aiga dan Umenai 2002). Prost dan Negrel (1989), dan Gorter et al., (1991) menyatakan waktu penyaluran air ≤ 30 menit dengan jarak ≤ 500 meter sangat berperan dalam mengurangi resiko penyakit diare dan trachoma (penyakit mata).
pendekatan multi criteria evaluation (MCE). Pendekatan MCE merupakan bagian dari analisis pengambilan keputusan (decision analysis) yang bertujuan untuk memutuskan alternatif terbaik dari berbagai pilihan yang saling berkompetisi. Dalam metode ini, pengambilan keputusan melibatkan berbagai preferensi seperti; tujuan/sasaran, skema pembobotan, kuantitas, utilitas, dan atribut lainnya (Sharifi et.al. 2004). Untuk menilai sistem pelayanan infrastruktur air minum terbaik yang paling sesuai diaplikasikan, diperluas dan dikembangkan dalam metode MCE terpadat prosedur yang harus dilakukan. Adapun tata cara penilaian sistem pelayanan terdiri dari HU/KU (1), SR (2) dan kombinasi HU/KU dengan SR (3) mengikuti gambar 1. Setiap indikator yang ditawarkan memiliki efek tertentu dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Efek tersebut berupa biaya dan manfaat. Sebuah indikator bernilai manfaat manakala semakin tinggi nilai indikator semakin besar potensinya dalam mencapai tujuan. Sebaliknya berefek biaya manakala semakin tinggi nilainya maka semakin kecil potensinya mencapai tujuan. Dalam tulisan
Berdasarkan indikator tersebut, data-data dikumpulkan dari beberapa sumber. Data utama yang digunakan bersumber dari berbagai dokumen resmi pemerintah. Dokumen-dokumen yang digunakan antara lain; laporan keberlanjutan program Pamsimas (2008 – 2011), sistem informasi manajemen Puskesmas Kabupaten Cilacap, dan data profil pamsimas 2008 – 2011 yang dapat diunduh di situs www.pamsimas.org. Untuk mengukur sistem pelayanan infrastruktur air minum program Pamsimas maka digunakan
Analisis Sensitivitas
Identifikasi Kriteria Evaluasi
Pengumpulan & Pengolahan Data
Pembobotan Kriteria Evaluasi
DECISION SUPPORT SYSTEM
Pengukuran Sistem Pelayanan
Pemilihan Sistem Pelayanan terbaik
Sistem Pelayanan Terbaik
Gambar 1. Skema MCE Sumber : diadopsi dari Kheskamat 2007
83
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
ini, hampir semua indikator memiliki efek manfaat. Satu-satunya indikator yang memiliki efek biaya adalah rasio insiden WBD. Semakin tinggi rasio WBD pada suatu lokasi Pamsimas, maka semakin tinggi biaya yang harus ditanggung untuk meningkatkan sistem pelayanan.
yang berbeda. Untuk metode pembobotan, pada analisis sensitivitas ini seluruh kriteria dianggap memiliki bobot yang sama. Sementara untuk metode penilaian menggunakan metode standardisasi interval.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode pembobotan setiap indikator menggunakan sum rank methods (Sharifi et.al. 2004). Dalam metode ini, indikator pertama memiliki nilai urgensi dan kepentingan lebih tinggi dari kriteria kedua, ketiga, dan seterusnya. Penempatan setiap kriteria dalam urutan berjenjang mengacu kepada referensi dan kepentingan program Pamsimas dalam mencapai target MDGs. Adapun bobot dan urutan setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 1.
Sepanjang pelaksanaan program Pamsimas di Kabupaten Cilacap sejak tahun 2008 – 2011 seluruh data kinerja terekam dengan baik. Tabel 2 menunjukkan data kinerja sistem pelayanan air minum program Pamsimas (2008 -2011) di Kabupaten Cilacap.
Data pada tabel 2 menunjukkan cakupan pelayanan sistem pelayanan SR mampu menjangkau penduduk dalam jumlah terbesar. Berdasarkan standar pelayanan maksimal, SR yang terbangun mampu melayani penduduk 3 (tiga) kali lipat dari standar maksimal. Sistem pelayanan SR mampu menjangkau masyarakat miskin lebih banyak daripada HU/KU dan kombinasi HU/KU dan SR.
Penilaian sistem pelayanan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan menggunakan metode standardisasi maksimum. Dalam metode ini, kriteria dengan efek berupa manfaat memiliki rumus berbeda dengan kriteria dengan efek biaya. Untuk kriteria berefek manfaat menggunakan rumus (3.1) sedangkan kriteria berefek biaya menggunakan rumus (3.2).
Kelancaran iuran oleh pengguna pada sistem pelayanan SR tidak lebih baik daripada sistem pelayanan HU/KU dan kombinasi HU/KU dan SR. Jumlah desa dengan status iuran lancar hanya 1 desa dari 3 desa pengguna sistem SR. Meskipun kelancaran iuran dalam sistem SR kurang baik, namun hal tersebut dapat dikompensasi dengan kriteria perbandingan kontribusi biaya dan OP. Pada kriteria ini, seluruh desa dengan sistem SR mampu membiayai kegiatan OP dari sumber iuran pengguna saja.
Dalam sebuah pengambilan keputusan termasuk pemilihan sistem pelayanan terbaik terdapat unsur-unsur ketidapastian (uncertainty). kriteria manfaat (3.1) kriteria manfaat (3.2)
Salah satu tujuan program Pamsimas adalah meningkatnya praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat. Sistem pelayanan SR hanya mampu meningkatkan persentase penduduk yang stop BABS menjadi 52,73 %. Angka ini sama dengan capaian sistem pelayanan HU/KU dan relatif lebih rendah daripada sistem kombinasi.
Kurangnya informasi dan pengetahuan terkait aspek dan kriteria yang dibangun bisa melahirkan ketidakpastian (Sharifi et.al. 2004). Untuk itu dibutuhkan analisis sensitivitas guna mengurangi ketidakpastian tersebut. Dalam tulisan ini, analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah metode pembobotan yang berbeda dan metode penilaian
Setelah melalui penyeragaman satuan dengan
Tabel 2. Data Kinerja Sistem Pelayanan
K riter ia
H U/K U
SR
H U/KU +SR
Caku pan Pelayan an
284,17
306,34
28 5,85
Jangkauan M asyarakat M iskin
39,8 6
48 .09
39,48
K elancaran Iu ran P enggun a
66,6 7
33 ,34
71,87
Ko ntribu si Biaya vs OP
80
100
56,25
P rosen tase Stop BA BS/O DF
52,7 3
52 ,73
54,69
Rasio K ejadian W BO
0,14
0,14
0 ,15
Sumber : Hasil Analisis, 2013
84
Penilaian Sistem Pelayanan Infrastruktur Air Minum Program Pamsimas (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) Nino Heri Setyoadi Tabel 3. Penilaian Sistem Pelayanan dengan Standardisasi Maksimum Kriteria
b ob ot
HU/KU
SR
HU/KU+SR
C aku p an Pe layan an
0,29
0,93
0,27
1.00
0,29
0,93
0,2 7
Jangkauan M asyarakat M iskin
0,24
0,83
0,20
1.00
0,24
0,82
0,2 0
Kelan caran iuran Pen ggu na
0,19
0,93
0,18
0,46
0,09
1.00
0,1 9
Kelan caran Biaya vs OP
0,14
0,80
0,11
1.00
0,14
0,56
0,0 8
P resentase Sto p BABS/ODF
0,10
0,96
0,10
0,96
0,10
1.00
0,1 0
Rasio Ke jad ian W BD
0,05
1.00
0,05
1.00
0,05
0,94
0,0 5
Ju mlah
0 ,903
0,905
0,883
Sumber : Hasil Analisis, 2013
Tabel 4. Penilaian Sistem Pelayanan dengan Standardisasi Interval Kriteria C akup an Pe layan an Jangkauan M asyarakat M iskin Kelan caran iuran Pen ggu na
b ob ot
SR
0,17
0,17 0,17
0,00
0,00
1,00
0,01
1,00
0,17
0,17
0,04 0,87
0 ,015
0,00
0,54
0,09
0,00 1,00
Kelan caran Biaya vs OP
0,17
P resentase Sto p BABS/ODF
0,17
Rasio Ke jad ian W BD
HU/KU
0,17
Ju mlah
HU/KU+SR 0,08
0,0 1
0,00
0,0 0
0,00
1,00
0,1 7
1,00
0,17
0,00
0,0 0
0,00
0,00
0,00
1,00
0,1 7
0,17
1,00
0,17
0,00
0,0 0
0 ,417
0,680
0,353
Sumber : Hasil Analisis, 2013
metode standardisasi maksimum dan bobot pada tiap kriteria, hasil penilaian menunjukkan sistem pelayanan SR memiliki nilai tertinggi (lihat Tabel 3). Untuk memastikan hasil penilaian tersebut, maka dilakukan analisis sensitivitas dengan pembobotan dan teknik penilaian yang berbeda. Analisis sensitivitas menghasilkan keluaran yang konsisten. Dalam analisis sensitivitas sistem pelayanan SR masih menduduki nilai tertinggi (lihat Tabel 4). Pada tabel 3 dan 4, semakin besar cakupan pelayanan maka semakin besar jangkauan masyarakat miskin. Dengan semakin banyak masyarakat miskin yang terlayani infrastruktur air minum, maka semakin besar peluang untuk mengentaskan kemiskinan sebagaimana telah ditegaskan oleh Aiga dan Umenai (2002). Kelancaran iuran pada SR lebih rendah dari HU/KU dan kombinasi. Besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh pencatatan iuran (administrasi keuangan) yang tidak lengkap. Kemungkinan lain adalah belum adanya sistem meteran air yang baik dan akurat sehingga kurang mendorong kesadaran pengguna untuk tepat dan taat membayar iuran air minum.
Nilai kelancaran iuran pada SR paling rendah, namun total iuran yang terkumpul mampu membiayai operasional dan pemeliharaan sarana air minum. Kondisi ini menjadikan pelayanan air minum khususnya dari segi kuantitas dan kontinuitas dapat terpenuhi dengan baik dan berkelanjutan. Hal ini
menegaskan bahwa status iuran terhadap biaya OP merupakan jantung dari program penyediaan air minum berbasis masyarakat (Evans dan Appleton 1993). Penyediaan sarana air minum dengan ketiga sistem pelayanan tersebut belum sepenuhnya memicu perubahan perilaku hidup sehat. Separuh lebih penduduk yang sudah meninggalkan kebiasaan BABS melalui program Pamsimas. Namun demikian masih ada sekitar 40 % penduduk yang masih melakukan kebiasaan tersebut. Upaya untuk mengubah kebiasaan BABS tidak cukup dengan penyediaan air minum dan sanitasi, namun harus disertai dengan upaya sosialiasi dan edukasi yang berkelanjutan (Palamuleni 2002).
Rasio kejadian WBD pada sistem pelayanan SR sama besarnya dengan sistem HU/KU yakni sebesar 0,14. Sementara pada sistem pelayanan kombinasi, resiko terjadinya WBD justru lebih besar dengan rasio sebesar 0,15. Semakin besar rasio kejadian WBD maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk meningkatkan sistem pelayanan dalam mencegah kejadian WBD. Berdasarkan kedua metode penilaian, sistem pelayanan SR merupakan sistem pelayanan yang paling luas cakupan pelayanan dan jangkauannya terhadap masyarakat miskin. Selain itu sistem ini secara finansial mampu dipenuhi biaya operasional
85
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.6 No.2, Juli 2014, hal 78-139
dan pemeliharaannya. Ketiga kriteria inilah penyumbang keunggulan sistem SR dibandingkan dengan kedua sistem yang lain. Sistem kombinasi yang diharapkan mampu mengurangi kelemahan sistem HU/KU ternyata kondisinya paling rendah. Terdapat kemungkinan penerapan dua sistem secara bersamaan memunculkan konflik khususnya antara pengguna rumah tangga (individual) dan pengguna komunal yang memanfaatkan HU/KU. Uraian tersebut di atas menunjukkan indikator penilaian sistem pelayanan yang dikembangkan cukup baik untuk menggambarkan kinerja pelayanan air minum pada program Pamsimas. Dengan mengetahui nilai sistem pelayanan, maka dapat bermanfaat untuk menentukan langkahlangkah perbaikan yang harus dilaksanakan.
Jika sistem pelayanan yang rendah pada indikator cakupan pelayanan, maka aspek kondisi fisik infrastruktur air minum seperti kapasitas SPAM terbangun dan kapasitas produksinya harus menjadi perhatian utama. Untuk jangkauan masyarakat miskin yang harus diperbaiki terkait kualitas perencanaan khususnya dalam identifikasi penerima manfaat dalam tahapan Pamsimas. Pada indikator kelancaran iuran dan kontribusi biaya OP, maka perbaikan yang dilakukan pada sistem administrasi keuangan untuk seluruh sistem pelayanan khususnya pada sistem SR. Upaya perbaikan tersebut harus didukung dengan penyediaan meteran air yang akurat dan pencatatan berkala. Selain itu proses rembug warga untuk menentukan besaran iuran harus mempertimbangkan keadilan dan keterjangkauan masyarakat miskin.
Jika nilai indikator persentase stop BABS, maka perlu perhatian pada proses pemicuan, kampanye dan edukasi masyarakat dalam perubahan perilaku hidup sehat. Sementara itu untuk rasio kejadian WBD tinggi diperlukan perhatian untuk keseluruhan indikator lainnya. Penurunan rasio kejadian WBD merupakan kerja bersama antara faktor fisik infrastruktur, pembiayaan, dan perubahan perilaku penerima manfaat program Pamsimas.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal antara lain : 1.
86
Indikator yang ditetapkan dalam penilaian sistem pelayanan infrastruktur air minum relatif telah mampu menggambarkan dan mengukur secara baik sistem pelayanan infrastruktur air minum pada program Pamsimas.
2.
3.
Pendekatan dan metode MCE sudah tepat digunakan sebagai pendekatan dan metode dalam mengevaluasi kinerja sistem pelayanan infrastruktur air minum dalam program Pamsimas.
Sistem pelayanan SR paling sesuai diaplikasikan dan dikembangkan sesuai dengan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan dalam program Pamsimas di Kabupaten Cilacap.
Untuk pengembangan program Pamsimas dan studi terkait kedepan maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Perlunya melakukan penilaian kinerja air minum dengan indikator dan metode yang ditawarkan sebelum melakukan replikasi dan pengembangan program Pamsimas di lokasi yang berbeda.
2. Perlunya pengembangan metode dan pendekatan MCE antara lain : a. Untuk mendapatkan pembobotan yang sesuai dengan perspektif pengambil kebijakan dan pelaku program perlu dikembangkan metode pembobotan yang lebih sesuai dan efisien. b. Perlunya pengembangan variabel dan indikator partisipasi dalam pengambilan keputusan khususnya antara laki-laki dan perempuan. Aspek gender perlu diperhatikan karena pemanfaatan air bersih sangat terkait dengan keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam konsumsi domestik air bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Aiga, H. and Umenai T. 2002. Impact of Improvement of Water Supply On Household Economy In A Squatter Area of Manila. Social Science and Medicine 55(4): 627-641. Astuti dan Rahdriawan. 2013. Evaluasi Pengelolaan Program Pamsimas Di Lingkungan Permukiman Kecamatan Mijen, Semarang. Jurnal Teknik PWK 2 (4): 938-947. Bappenas. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2010. Jakarta: Bappenas CPMU. 2009. Pedoman Pelaksanaan Pamsimas di Tingkat Masyarakat. Jakarta: CPMU Pamsimas. PU. 2009. Katalog Informasi Pilihan Sarana Air Minum. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum RI Evans, Phil. and Appleton, Brian. 1993. Community Management Today The Role of Communities in the Management of Improved Water Supply Systems. Delft: IRC International Water and Sanitation Centre
Penilaian Sistem Pelayanan Infrastruktur Air Minum Program Pamsimas (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) Nino Heri Setyoadi Gorter, AC, et al. 1991. Water Supply, Sanitation and Dirrhoeal Disease in Nicaragua (Results from a Case-Control Study), International Journal of Epidemiology. 20 (2): 527-533 Heston, Yudha. 2011. Efektivitas Kinerja Tahapan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat/PAMSIMAS. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 3 (2): 67-83 Heston, Yudha P. dan Wati, Nur Alvira. 2013. Faktor Determinan Kesiapan Masyarakat terkait Kapasitas Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Air Minum. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 5 (3): 197-215 Keshkamat, Sukad. 2007. Formulation and Evaluation of Transport Planning Alternatives Using Spatial Multi Criteria Assessment and Network Analysis. Thesis on Enschede: ITCNetherlands Kusumartono, Hermawan. 2012. Adaptasi Masyarakat Menghadapi Krisis Air Studi Kasus Pulau Palue. Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum 4 (2): 79 - 91 Mara D, dan Alabaster, G. 2008. A New Paradigm for Low Cost Urban Water Supplies and Sanitation in Developing Countries. Water Policy 10: 119-129 Palamuleni, Lobina G. 2002. Effect of Sanitation Facilities, Domestic Solid Waste Disposal And Hygiene Practices On Water Quality In Malawi’s Urban Poor Areas: A Case Study of South Lunzu Township In The City of Blantyre. Physics and Chemistry of The Earth. 27 : 845–850 Pamekas, R. 2013. Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Permukiman. Bandung: Pustaka Jaya Prost, A and Negrel AD. 1989. Water, Trachoma, and Conjunctivitis. Bulletin of WHO. 67 (1): 9-18
Rizki, Bhimo dan Saleh, Samsubar. 2007. Keterkaitan Akses Sanitasi dan Tingkat Kemiskinan: Studi Kasus di Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (3): 223 – 233` Sharifi, A., Herwijnen, M., and Toorn, W. 2004. Spatial Decision Support Systems, ITC Enschede: Lecture Notes© WHO. 2011. Guideline for Drinking Water Quality - 4 th Edition. Geneva: WHO Press http://new.pamsimas.org/index.php?option=com_ content&view=featured&Itemid=101
87