Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Indonesia Gerakan, Pelembagaan, dan Keberlanjutan
Kharisma Nugroho dan Kwan Men Yon November 2011
ABSTRAK
Pelembagaan dianggap sebagai sebuah tahapan wajib yang harus dicapai oleh sebuah gerakan sosial. Tanpa pelembagaan (adanya payung hukum, lembaga formal, dan afirmasi anggaran), sebuah gerakan dianggap tidak berhasil. Oleh karenanya, perubahan/pembuatan payung hukum, pembentukan lembaga formal, dan alokasi anggaran pemerintah dianggap sebagai indikator keberhasilan suatu gerakan sosial, tidak terkecuali dalam bidang Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Kajian ini bertujuan mendokumentasikan perjalanan gerakan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) di Indonesia, sekaligus menganalisis proses pelembagaan dan keberlanjutannya dari perspektif gerakan sosial. Seperti diketahui, gerakan PRBBK (dan sebelumnya PRB/Pengurangan Risiko Bencana) telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, di mana tentu saja sudah cukup banyak pembelajaran yang dapat dipetik. PRBBK berawal dari gerakan masyarakat sipil yang menginginkan perubahan pendekatan dan strategi dalam penanganan bencana. Perubahan tersebut dipandang penting guna menekan potensi jumlah korban dan kerugian akibat bencana. Pendekatan lama yang bersifat top-down dan mengabaikan peran masyarakat di lokasi rawan bencana dianggap tak lagi efektif. Gerakan yang semula sangat lokal dan berbasis kesukarelaan, belakangan menjadi makin luas seiring kian banyaknya pihak yang mengadopsi atau ingin mengadopsi konsep ini. Dari diskusi informal dan sharing yang hanya sambil lalu, gerakan PRBBK terus berkembang hingga dewasa ini berujung dengan pelaksanaan berbagai simposium dan konferensi nasional. Pertumbuhan gerakan ini bahkan lebih signifikan lagi saat pemerintah ikut mendorongnya, kendati kerap tidak secara langsung. Gerakan PRBBK dan PRB pada umumnya kini telah memiliki payung hukum melalui penerbitan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang disusul peluncuran peraturan turunannya. Atas desakan masyarakat sipil dan amanat UU, pemerintah juga memainkan perannya dengan mengalokasikan anggaran kebencanaan dalam APBN dan APBD. Semua itu menunjukkan gerakan PRBBK merupakan sebuah gerakan sosial. Peran masyarakat sipil sangat sentral. Karena merupakan gerakan sosial, gerakan PRBBK pun mengikuti sejumlah tahapan yang lazim, yakni tahap kemunculan, koalisi, birokratisasi, dan surut. Dalam konteks PRBBK, akhir dari gerakan yang banyak diharapkan adalah pelembagaan atau institusionalisasi. Kajian ini menilai proses institusionalisasi PRBBK masih separuh jalan dan berisiko untuk mengalami involusi (kemandegan) karena terjebak dalam perangkap politik ekonomi dan praktek “doing business as usual” dalam birokrasi. Institusionalisasi politik dan administratif relatif berhasil dicapai. Namun, proses institusionalisasi kultural dan ekonomi--- yang tampak lebih dibutuhkan jika tujuan akhirnya adalah membentuk masyarakat dan pemerintah yang senantiasa berupaya mengurangi risiko bencana---, masih menyisakan banyak tantangan. PRBBK masih bergantung kepada iklim pendanaan donor dan kekurangan kapasitas untuk mobilisasi sumber daya (kultural dan ekonomi) dari masyarakat sipil.
2
Upaya institusionalisasi bahkan menghadapi beberapa perangkap yang dapat menjerumuskan gerakan PRBBK dalam kemandekan dan birokratisasi. Gerakan PRBBK harus mewaspadai kemungkinan kooptasi, di mana gerakan terperangkap ke dalam prosedural tata kelola lembaga publik yang berorientasi pada pertimbangan politik ekonomi anggaran publik. Jika ini yang terjadi, gerakan PRBBK akhirnya hanya akan menghasilkan PRB prosedural, ada kebijakan, ada lembaga, ada kegiatan, namun minus dampak. Kajian ini menyebut institusionalisasi yang demikian sebagai institusionalisasi dalam ”i” kecil, sedangkan Institusionalisasi yang dinamis karena ditopang oleh gerakan sosial kritis, kami menyebutnya sebagai institusionalisasi dengan ”I” besar. Institusionalisasi dengan ”I” besar akan terwujud jika proses PRBBK diperlakukan tidak hanya sebagai metode, namun sebagai perspektif dalam setiap kegiatan yang berbasis di komunitas, baik kegiatan tanggap darurat, pemulihan dan pembangunan. Prasayarat untuk ini ialah suatu gerakan sosial yang progressif dan kritis yang ditopang oleh fungsi knowledge management yang kuat. Kami memandang inilah saat yang tepat bagi pemangku kepentingan untuk kembali duduk bersama mengevaluasi perkembangan dan merencanakan masa depan gerakan PRBBK. Kajian ini mencoba berkontribusi dengan menunjukkan opsi peta jalan (roadmap) institusionalisasi PRBBK.
3
Daftar Isi
ABSTRAK
2
DAFTAR ISI
4
I. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PENULISAN
5
II. METODOLOGI
6
III. KERANGKA TEORETIS A. Bekerja di Tingkat Komunitas ………………………………………………………………………………. B. Gerakan Sosial dan Mobilisasi Sumber Daya……………..…………………………………………. C. Pelembagaan Gerakan Sosial ……………………………………………………………………………….
7 11 20
IV. PRBBK DI INDONESIA A. B. C. D. E. F.
PRBBK Sebagai Perspektif dan Metodologi …………..………………………………..…………… Periodisasi PRBBK di Indonesia…………..………………………………………..……………………… Legislasi PRBBK: UU Nomor 24 Tahun 2007 ………….…..………………………………………… PRBBK oleh Masyarakat Sipil…………..…………………………………………………………………… Signifikansi Simposium dan Konferensi PRBBK …………..………………..……………………… Pembelajaran dari Berbagai Pelaksanaan PRBBK…………..……………………………….......
22 25 26 29 31 37
V. INSTITUSIONALISASI PRBBK DI INDONESIA A. Pendekatan dan Strategi ………………………………………….…………………………………………. B. Tantangan PRBBK di Indonesia ………………………………..………………………………………….. C. Roadmap Institusionalisasi PRBBK ………………..………..………………………………………....
40 42 45
VI. KAJIAN LANJUTAN YANG DISARANKAN A. Kajian Ekonomi Politik dalam PRB …….................……..……………………………………....... B. Kajian Kelembagaan BNPB …………..………………………………………….………………………….. C. Perlunya “Think Tank” dalam PRBBK ……………………….…………………………………………..
54 54 55
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
4
I. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PENULISAN
Pelembagaan dianggap sebagai sebuah tahapan wajib yang harus dicapai oleh sebuah gerakan sosial. Tanpa pelembagaan (adanya payung hukum, lembaga formal, dan afirmasi anggaran), sebuah gerakan dianggap tidak berhasil. Oleh karenanya, perubahan/pembuatan payung hukum, pembentukan lembaga formal, dan alokasi anggaran pemerintah menjadi sasaran pokok suatu gerakan, tidak terkecuali dalam bidang Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Indonesia telah memiliki payung hukum penanggulangan bencana dan PRB pada khususnya, yaitu Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 dan segala turunannya. Badan penanggulangan bencana juga telah dibentuk di tingkat nasional dan daerah, serta alokasi anggaran telah ditentukan. Dengan demikian, apakah upaya pelembagaan PRB masih relevan? Jika ya, pelembagaan seperti apa yang tepat untuk terus diupayakan? Bagaimana operasionalisasi pelembagaan PRB dalam dekade terakhir? Pelajaran apa yang diperoleh? Bagaimana dengan PRB oleh komunitas (atau kemudian disebut berbasis komunitas--PRBBK), apakah masih bisa dilihat sebagai gerakan? Jika ya, ke mana arahnya? Untuk menjawab pertanyaan diatas, SC DRR UNDP mendukung MPBI untuk melakukan pendokumentasian dan kajian secara sistematis hal-hal sebagai berikut: 1. Latar belakang, perjalanan, dan karakteristik gerakan PRBBK; 2. Pendekatan, strategi, dan tahapan pelembagaan PRBBK Naskah ini disusun dengan tujuan mendokumentasikan perjalanan PRBBK di Indonesia, sebagai rujukan awal untuk membantu kita menilai situasi pelembagaan PRBBK dewasa ini dan merekomendasikan arah dan peta jalan (roadmap) yang kiranya efektif. Sebagai rujukan awal, naskah ini mengundang penggiat dan pemikir PRBBK untuk melengkapi, menyanggah, dan mengembangkan kajian yang sederhana ini. Tafsir dan operasionalisasi yang beragam akan memperkaya khasanah kajian mengenai konsep PRBBK dan akhirnya akan meningkatkan efektivitasnya sebagai layanan untuk publik (public service) yang berkualitas. Pada umumnya, evaluasi atas efektivitas suatu gerakan sosial selalu melihat dua elemen pokok pelembagaan, yaitu kemampuan pengorganisasian gerakan dan kapasitas untuk mobilisasi sumber daya. Karena itu, kajian dalam naskah ini difokuskan pada aspek pertumbuhan pelembagaan dan mobilisasi sumber daya. Hal ini juga kemudian menjadi keterbatasan dari kajian ini karena dimensi lain dari perjalanan PRBBK tidak dibahas secara mendalam. Bagian terakhir naskah ini menyajikan usulan kajian lanjutan untuk memperkaya pemahaman kita mengenai dimensi lain dari PRBBK di Indonesia.
5
II. METODOLOGI
Mengingat jenis informasi yang dibutuhkan untuk kajian ini adalah berbentuk dokumentasi dan analisis situasi, naskah ini menggunakan metode stocktaking studies. Empat pertanyaan pokok yang dicoba dijawab dari kajian ini adalah (i) apa yang membuat pelembagaan PRBBK menjadi penting; (ii) apa saja yang diperlukan untuk tercapainya pelembagaan PRBBK yang efektif; (iii) bagaimana kecenderungan situasi pelembagaan PRBBK saat ini; dan (iv) bagaimana meningkatkan kualitas proses pelembagaan PRBBK di Indonesia. Tahapan stocktaking studies yang ditempuh sebagai berikut: 1. Pemetaan literatur terkait konsep kunci, yaitu PRBBK, gerakan sosial, dan pelembagaan, dilanjutkan dengan pemilihan kerangka analisis berdasarkan pilihan teori. 2. Analisis dokumen kejadian-kejadian kunci atau inisiatif terkait konsep utama (simposium PRBBK, implementasi, dan pelaku PRBBK). Bahan mengenai simposium/konferensi PRBBK I-VI didapatkan dari MPBI. Penelusuran juga bisa dilakukan dengan melihat kegiatan di wilayah bencana, di mana PRBBK pernah atau sedang berlangsung, misalnya di Merapi pada 2010. Menarik melihat bagaimana PRBBK membuat perbedaan dalam respons pasca bencana. 3. Pendalaman dan klarifikasi (deepening and clarification of facts) melalui wawancara tatap muka, email, dan telepon dengan penggiat PRBBK. 4. Analisis data: Benang merah dan pembelajaran dari ketiga proses di atas kemudian dianalisis menurut kerangka teoritis yang relevan. Ini disajikan dalam model what-if, di mana konsekuensi dari setiap pilihan akan disampaikan. 5. Seminar hasil penulisan. Rancangan kajian akan dipresentasikan dalam Konferensi Nasional PRBBK di Yogyakarta, awal Desember 2011. Sebagai sebuah naskah dokumentasi, penyusunan fakta dan kejadian secara obyektif memang diharapkan. Namun, tafsir atas kejadian dan bagaimana peran pelaku dalam PRBBK tidak terhindarkan, karena yang didokumentasikan adalah makna dari sebuah tindakan yang tentu tidak bisa bebas nilai. Cara pandang dan stock of knowledge penulis sangat mewarnai pemaknaan tersebut. Konfirmasi dengan berbagai pihak dan teknik triangulasi, baik antara penulis, lembaga, dan wilayah dilakukan untuk mengurangi bias penulis.
6
III. KERANGKA TEORITIS
A. Bekerja di Tingkat Komunitas Semua teori, gagasan, strategi, dan rencana bermula dan berwujud di komunitas. Teori merupakan abstraksi atas apa yang terjadi di komunitas dan berubah lagi menjadi teori baru karena ada perubahan di komunitas. Di tingkat praktis, keberhasilan suatu strategi dan perencanaan program akan ditentukan oleh apa yang terjadi di tingkat komunitas, bukan oleh perdebatan konsep di atas meja. Muara dari setiap upaya pembangunan adalah perubahan di tingkat komunitas. Oleh karena peran sentral komunitas yang demikian, para ahli pengurangan risiko bencana merasa sangat perlu untuk memahami bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana bisa dikelola dan diarahkan untuk mencapai tujuan atau situasi tertentu. Peran seorang pekerja lapangan (di tingkat komunitas) menjadi sangat penting dalam setiap program (intervensi) untuk komunitas. Cara kita bekerja di tingkat komunitas dipengaruhi cara pandang atau paradigma kita tentang komunitas tersebut. Jika kita melihat komunitas adalah kumpulan orang yang kekurangan/bermasalah dan perlu dibantu, kita akan melihat diri kita sebagai donor dan berlaku seperti sinterklas yang baik hati. Sebaliknya, jika kita melihat komunitas sebagai pihak yang kuat dan mempunyai kapasitas, kita akan berperan sebagai fasilitator dan bertindak layaknya teman pendamping. Cara pandang demikian seringkali diwujudkan dalam bagaimana kita membuat istilah untuk kegiatan kita di tingkat komunitas. Berikut ini uraian mengenai istilah komunitas dan (pekerjaan) berbasis komunitas: Komunitas. Hawe (1994) 1 mendefinisikan komunitas sebagai kumpulan orang dengan tiga alasan pengelompokan: secara geografis, secara demografis, dan secara lembaga (entitas) sosial. Kita dapat menyebut kumpulan orang dalam satu wilayah rukun tetangga adalah komunitas (secara geografis), atau kumpulan ibu hamil sebagai komunitas ibu hamil (demografis), dan kelompok 234 Siliwangi Club sebagai komunitas organisasi sosial. Ada juga yang mendefinisikan komunitas sebagai kumpulan orang dengan minat atau imajinasi yang sama (misalnya, komunitas Eden Lia Aminuddin atau komunitas pecinta burung perkutut, dan lain-lain). Apapun alasan orang berkomunitas, ciri-ciri mereka ialah adanya identitas bersama dan kohesivitas. Berbasis komunitas. Dalam bidang pembangunan, setiap pekerjaan yang dilakukan di tingkat komunitas kemudian disebut berbasis komunitas (community based), dengan maksud membedakannya dengan pekerjaan di belakang meja dan advokasi kebijakan pemerintah. Dalam arti sempit, community-based sering dimaknai “service delivery” atau penyediaan layanan untuk komunitas. Soal apakah dilakukan oleh masyarakat (community-managed) atau pihak luar, selama kegiatan itu berlangsung di akar rumput, tetap banyak disebut berbasis komunitas. Secara umum, pekerjaan di tingkat komunitas bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pertama sebagai sebuah kegiatan oleh pihak luar untuk komunitas (intervensi ke komunitas); dan kedua, kegiatan dengan 1
Hawe, Penelope (1994), Capturing the Meaning of "Community" in Community Intervention Evaluation: Some Contributions from Community Psychology, Health Promotion International, 9(3):199-210 7
komunitas. Dalam bidang kesehatan, istilah intervensi komunitas sering dipakai. Sebagai contoh, istilah intervensi perubahan perilaku (behavioural change intervention-BCI) lazim dipakai untuk mengubah perilaku komunitas yang dianggap biang suatu penyakit. BCI adalah ikhtiar untuk “campur tangan” atas perilaku berisiko karena komunitas tersebut dianggap tidak bisa dengan kemampuan sendiri mengubah perilakunya, baik karena alasan budaya (termasuk keyakinan), ekonomi, maupun sebab lain. Jadi, istilah intervensi mengasumsikan “campur tangan” eksternal untuk mengubah suatu kondisi dalam komunitas. Dalam bidang pekerjaan sosial, istilah intervensi jarang digunakan, sekalipun campur tangan pihak luar untuk mengadakan perubahan dalam suatu komunitas tidak diharamkan. Perbedaannya adalah campur tangan dilakukan atas persetujuan komunitas yang bersangkutan. Dengan kata lain, perlu proses penyadaran bahwa mereka membutuhkan campur tangan pihak luar. Untuk itu, kalangan pekerja sosial lebih suka memakai istilah pendampingan komunitas, ketimbang intervensi komunitas. Dalam perkembangannya, bidang kesehatan dan psikososial tetap memakai istilah intervensi komunitas, tetapi dengan memasukkan penyadaran sebagai tahap penting dalam merancang sebuah intervensi. Kegiatan berbasis komunitas. Dengan mengingat dua pengertian mengenai komunitas dan berbasis komunitas di atas, kegiatan berbasis komunitas bisa dimaknai sebagai upaya untuk melakukan perubahan dalam komunitas dengan fasilitasi pihak eksternal dan dikelola oleh komunitas itu sendiri. Dengan definisi itu, program berbasis komunitas tidak selalu mengambil locus komunitas, namun lebih kepada tingkatan kontrol komunitas atas program tersebut. Sebuah program advokasi yang sehari-hari berbasis di Jakarta, tetapi untuk komunitas Merapi, tetap dapat dikatakan berbasis komunitas Merapi karena kontrol atas program dan fokus program berada di tangan komunitas tersebut. Sebaliknya, sekali pun program dilakukan di tingkat komunitas (misalnya program psikososial di kawasan Merapi), tetapi jika mereka diperlakukan sebagai pasien yang harus ditolong, program itu bukan berbasis komunitas. Program berbasis komunitas dikembangkan dari prinsip komunitas. Komunitas dapat dan seharusnya dimampukan mengkaji realitas mereka sendiri. Dalam konteks PRB, PRB Berbasis Komunitas (PRBBK) dimaknai sebagai program pengurangan risiko bencana, di mana komunitas yang melakukan kajian risiko, menyusun rencana, dan mengelola aksi. Peran pihak luar hanya selaku fasilitator. Bobot keterlibatan mereka bervariasi tergantung tahapan suatu program. Matriks di halaman berikut menggambarkan pembagian peran pihak luar (outsiders) dan komunitas (insiders) dalam siklus program PRB. Peran fasilitator/outsiders adalah dalam bagian diagonal atas dan perang komunitas ada di irisan bawah. Dalam matriks terlihat bahwa peran fasilitator masih besar pada tahap pengenalan situasi karena masih menyangkut peran kampanye penyadaran dan fasilitasi komunitas untuk menggali potensi mereka. Peran semakin berkurang dalam tahapan berikutnya hingga tahap aksi pengurangan risiko bencana. Titik balik peran komunitas adalah saat penentuan manajemen aksi; kendali atas tata kelola aksi menjadi hak komunitas. Tentu untuk sampai tahap ini, komunitas memerlukan penguatan organisasi terlebih dulu. Dengan kata lain, salah satu unsur wajib dalam PRBBK adalah pengorganisasian komunitas. Tanpa itu, komunitas hanya akan menjadi penerima atau locus program.
8
Pembagian Peran Fasilitator dan Komunitas dalam Program PRBBK2 Pengenalan situasi/kelompok
O U T S I D E R S
Kampanye penyadaran risiko
Klarifikasi peran Fasilitasi dan agenda kerja kampanye penyadaran
Identifikasi sektor prioritas Identifikasi sektor dan mekanisme kerja
Identifikasi pemimpin alamiah atau (progressive members) Fasilitasi pemilihan pemimpin dan pengorganisasian (handing over the stick)
Umpan balik/validasi hasil analisis situasi Fasilitasi konsensus tentang situasi (validating issues)
Analisis lanjutan tentang prioritas kebutuhan Prioritas kegiatan spesifik
Identifikasi kebutuhan dan minat bersama I n t r o
Membentuk kelompok minta (self awareness)
Membangun kepemimpinan, penerimaan kepemimpinan, dan organisasi
Aksi dan pembentukan jaringan layanan Training Material Layanan Jejaring sumber daya
Aksi pengurangan risiko bencana
Pendampingan dalam situasi darurat Penguatan kelompok, fasilitasi jaringan
E X I t
Pertumbuhan organisasi berbasis komunitas
O u t s i d e r s
Pengambilan keputusan (solution analysis)
Analisis masalah Penerimaan Membangun kepercayaan (trust building)
2
Analisis risiko dan kebutuhan komunitas
Identifikasi kelompok paling rentan
Penentuan pemimpin dan mekanisme kepemimpinan
Membangun konsensus Penyusunan prioritas
Tata kelola program
Diadaptasi dari materi paparan Rustico Binas, “CMDRR” di pertemuan mitra organisasi Caritas International di Jakarta, April 2007.
Pengorganisasian komunitas
Cakupan dan Penggolongan PRBBK Cakupan PRBBK yang telah berlangsung selama ini bisa dilihat dari berbagai dimensi, baik isi, sasaran intervensi, strategi, konteks kegiatan, dan kelompok sasaran. Cakupan isi: Dari isinya, PRBBK bisa bersifat fisik (a.l. bantuan pangan dan nonpangan), keahlian (bantuan tenaga ahli atau tenaga lapangan), jaringan (dikenalkan ke pihak luar), advokasi, dan pengorganisasian. Dewasa ini, hampir semua program PRBBK dalam setiap “paket” intervensi ke komunitas telah mengombinasikan berbagai isi di atas dengan bobot yang berbeda. Sasaran perubahan: Sasaran setiap program PRBBK berbeda, tergantung permasalahan yang dialami komunitas sasaran. Secara umum, sasaran PRBBK adalah peningkatan kapasitas komunitas (untuk mengurangi risiko bencana) dalam hal: • • • • • •
Infrastruktur fisik Peningkatan pengetahuan Perubahan sikap Perubahan perilaku (termasuk gaya hidup) Perubahan sosial dan transformasi sosial Perubahan relasi kuasa
Strategi: Dari sisi strategi masuknya program ke komunitas, PRBBK di Indonesia bisa digolongkan kedalam tiga strategi, pertama sebagai kelanjutan kegiatan tanggap darurat di suatu daerah pasca bencana. Pintu masuknya adalah bantuan tanggap darurat. PRBBK dalam konteks ini relatif mudah diterima masyarakat karena proses penyadaran dibantu oleh kejadian bencana sebelumnya. Strategi kedua adalah PRBBK di daerah yang dinilai berisiko tinggi dan dilakukan sebagai program PRB yang terpisah dari kegiatan pembangunan reguler. Strategi ketiga adalah pengarusutamaan PRB dalam siklus pembangunan yang reguler. Asumsi yang dipakai adalah bahwa sebagian besar risiko bencana dipicu oleh kegagalan pembangunan (development failure). Konteks kegiatan: Dari sisi konteks kegiatan, PRBBK bisa digolongkan menjadi (i) masa tanggap darurat (relief)—untuk mengurangi dampak buruk kerusakan/bencana dengan segera; (ii) pemulihan (recovery)—PRBBK yang membantu komunitas pulih dari goncangan (shocks) akibat bencana dan mengurangi risiko proses pemulihan; dan (iii) pembangunan—yaitu pengarusutamaan PRBBK dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya program kesiapsiagaan bencana. Kelompok sasaran: Sekalipun sasaran umumnya adalah ketahanan komunitas, secara operasional aksi unit sasaran PRBBK dapat berupa individu (misalnya, pengetahuan individu untuk menyelamatkan diri), keluarga (kesiapsiagaan keluarga), dan komunitas (kesiapsiagaan komunitas dan infrastuktur komunitas. Program PRBBK dikalangan komunitas bisa mengambil tempat (locus) dimana anggota komunitas berkumpul. Dalam konteks ini kita mengenal program PRB di sekolah dan di ditempat kerja (workplace program). Dengan demikian, gambaran mengenai PRBBK, tidaklah harus suatu program dalam daerah tertentu, namun bisa sebuah program yang terpencar dibeberapa titik konsentrasi dimana komunitas sasaran berada.
B. Gerakan Sosial dan Mobilisasi Sumber Daya Institusionalisasi PRBBK di Indonesia bisa dilihat dari kaca mata gerakan sosial (social movement) karena memenuhi beberapa unsur atau karakter yang melekat pada sebuah gerakan sosial. Bagian ini menyajikan pemetaan konseptual mengenai gerakan sosial secara singkat. Pengertian gerakan sosial Karena perkembangan studi yang sangat pesat, pengertian gerakan sosial juga meliputi spektrum yang amat luas. Di bawah ini ditampilkan sejumlah definisi gerakan sosial yang kontekstual guna menjelaskan institusionalisasi PRBBK dalam perspektif gerakan sosial: “Gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif di luar lingkup institusi-institusi negara, untuk memperjuangkan kepentingan bersama atau meraih tujuan bersama.” (Giddens, 1992) 3 “Gerakan sosial merupakan aksi kolektif untuk memodifikasi cara-cara sosial dalam memanfaatkan sumber daya yang penting dan orientasi kultural yang dapat diterima masyarakat.” (Touraine, 1998) 4 “Gerakan sosial dapat dirumuskan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar keberlanjutan tertentu guna mendorong atau menolak perubahan dalam masyarakat atau kelompok, di mana kolektivitas itu berada.” (Turner, 1972) 5 “Gerakan sosial adalah aksi kolektif sejumlah besar orang untuk menciptakan tatanan kehidupan baru atau menggapai tujuan atau gagasan bersama.” (Blumer, 1951) 6 “Gerakan sosial merupakan serangkaian tindakan kolektif untuk membawa perubahan dalam institusi sosial tertentu atau menciptakan institusi yang baru sama sekali. Gerakan sosial bertahan lebih lama dan menyatu dibanding sekadar kerumunan atau kelompok massa. Meski demikian, gerakan sosial juga tidak seteratur atau seterorganisir partai politik atau organisasi sejenis.” (Sills, 1972) 7 Berdasarkan berbagai definisi pakar, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial memiliki sejumlah ciri. Mengutip Sadikin dkk (Sadikin, 2005), ciri-ciri gerakan sosial meliputi pertama, gerakan sosial adalah salah satu bentuk perilaku atau tindakan kolektif oleh sekumpulan orang atau kelompok. Kedua, gerakan selalu bertujuan melakukan perubahan sosial atau mempertahankan sebuah kondisi. Ketiga, gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik untuk memperebutkan kekuasaan. Keempat, gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisir, baik formal maupun tidak. Kelima, gerakan
3
Giddens, Anthony, 1992; Sociology. Oxford: Polity Press, hal. 624-630 Touraine, Alain; 1998; What is Democracy, Colorado: Westview Press, hal. 56-58 5 Turner, Ralph H, dan Lewis M. Killan. 1972. Collective Behaviour, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Bab 3-12 6 Blumer, Herbert, 1951; ”Social Movement” dalam Stanford Lyman. 1995; Social Movement: Critique, Concept, Case Studies. Washington: New York University Press. 7 Sills, David L., Ed., 1972. International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Collier-MacMillan Publishers. 4
11
sosial adalah gejala yang lahir dalam kondisi masyarakat yang konfliktual. 8 Ciri-ciri yang disebutkan ini cenderung menjelaskan motof dan konteks kelahiran geraka sosial, namun belum menggambarkan bagaimana gerakan ini dilembagakan. Teori yang menjelaskan akar gerakan sosial pada dasarnya terdiri atas dua mazhab besar. Pertama, teori gerakan sosial klasik yang berkembang pada periode 1940 hingga 1960-an. Kedua, teori kontemporer yang mengemuka setelah tahun 1960. Teori gerakan sosial klasik Teori klasik berawal dari ketertarikan ilmuwan sosial terhadap fenomena kerusuhan massal, kelompokkelompok protes, maupun tindakan kolektif lain yang berdampak luas. Mereka risau menyaksikan kemunculan sejumlah gerakan yang mengganggu harmoni masyarakat. Gerakan itu antara lain Nazi yang menghabisi etnis Yahudi di Eropa dan gerakan antikomunis di Amerika Serikat. Ada tiga perspektif teoretis yang banyak digunakan saat itu, yakni fungsionalisme (Emile Durkheim), Marxisme (Karl Marx), dan Liberal-Individualisme (John Locke, John Stuart Mill, Adam Smith, dan Thomas Hobbes). 9 Meski terdapat banyak perbedaan mendasar, pertanyaan utama yang mengusik benak peneliti gerakan sosial di masa itu sejatinya hanya satu: “Mengapa terjadi gerakan sosial?” Perspektif fungsionalisme mengandaikan kehidupan sosial seperti tubuh makhluk hidup, dengan individu sebagai anggota sel. Setiap individu perlu berfungsi dengan baik agar kehidupan masyarakat berlangsung harmonis, teratur, dan seimbang. Konsekuensinya, segala bentuk tindakan atau gejala sosial yang mengganggu keteraturan dianggap ancaman atau penyakit sosial. Menurut perspektif ini, yang meresap dalam teori-teori konsensus, gerakan sosial mengganggu struktur masyarakat. Gerakan sosial adalah gejala atau pertanda tubuh masyarakat sedang mengalami krisis. Tidak heran bahwa penganut paham ini memandang gerakan sosial secara negatif. Pandangan ini seolah memperoleh pembenaran dari gerakan Nazi di Eropa dan antikomunisme di Amerika Serikat. Bagi pemikir fungsionalisme, gerakan sosial yang pada masa itu kerap mewujud dalam bentuk protes, kerusuhan massa, dan tindakan kolektif lain untuk menentang status quo, merupakan perilaku destruktif yang menggoyahkan kestabilan masyarakat. Sementara itu, perspektif Marxisme mengambil posisi berbeda. Paham ini berpendapat, gerakan sosial justru merupakan gejala positif. Sejarah masyarakat, menurut Marx, adalah sejarah perjuangan kelas, hasil dari pertentangan antara kaum proletar dan kalangan borjuis. Gerakan sosial menjadi pintu menuju penyelesaian konflik kelas dalam masyarakat tersebut. Marxisme meyakini struktur masyarakat bukan ditentukan berfungsinya individu secara harmonis, melainkan oleh sistem ekonominya. Sistem ini dikuasai kaum borjuis dengan mengeksploitasi kelas 8
Sadikin dkk., 2005; “Jurnal Analisis Sosial: Perdebatan Konseptual tentang Kaum Marginal,” Vol 10, No.1, Juni 2005, Bandung: Akatiga Press 9 DeFay, Jason Bradley, “The Sociology of Social Movement”, http://www.weber. ucsd.edu/~jdefay/ sm.html, hal.215 12
proletar. Untuk menciptakan struktur masyarakat yang tidak dominatif, sistem ekonomi harus dirombak. Caranya, sekali lagi, melalui gerakan sosial yang, bagi Marx, bentuknya adalah revolusi. Dengan demikian, gerakan sosial tidak dipahami sebagai akibat gangguan dalam struktur masyarakat, tetapi karena eksploitasi dan dominasi satu kelas terhadap kelas lain. Gerakan sosial ditimbulkan oleh munculnya kesadaran kelas. Perspektif teoretis terakhir yang cukup kuat mewarnai perkembangan teori gerakan sosial klasik adalah liberal-individualisme. Perspektif ini didasarkan pada asumsi manusia sebagai makhluk rasional yang hampir selalu bertindak demi kepentingan pribadi (self-interest), khususnya untuk keuntungan politik dan ekonomi. Para pemikir paham ini percaya bahwa kehidupan sosial merupakan arena pertarungan yang melibatkan kepentingan individu. Jika memakai perspektif tersebut maka gerakan sosial akan dipandang sebagai gejala sosial yang mengemuka karena adanya kepentingan pribadi. Individu-individu memicu gerakan dengan harapan memperoleh keuntungan ekonomi maupun politik bagi diri sendiri. Teori gerakan sosial kontemporer Teori gerakan sosial kontemporer pada dasarnya lahir sebagai kritik terhadap mazhab klasik yang dipandang kurang mampu menjelaskan gejala gerakan sosial secara memadai, khususnya setelah tahun 1960-an. Ada sekurangnya tiga karakter yang membedakan teori kontemporer dari paham pendahulunya. Pertama, berbeda dengan teori klasik yang cenderung terobsesi ingin mencari tahu penyebab kemunculan gerakan sosial, teori kontemporer lebih berupaya menjawab pertanyaan “bagaimana” gerakan tersebut timbul, apa strateginya untuk mencapai sasaran, dan apa faktor pendorong keberhasilannya. Kedua, teori kontemporer melihat gerakan sosial dengan kacamata positif. Gerakan sosial tidak lagi dianggap gangguan terhadap struktur masyarakat, bentuk penyimpangan atau penyakit sosial, atau bahkan hasil dari pikiran yang irasional. Karakter pertama dan kedua tersebut tampaknya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan gerakan sosial yang pada era 1970 hingga 1980-an banyak membuahkan hasil positif, seperti demokratisasi di negara otoriter, penegakan hak-hak sipil, gerakan antikolonial dan antikomunisme, serta gerakan penentang rasisme. Karena menyadari dampak positifnya, ilmuwan terdorong untuk menemukan semacam cara untuk mereproduksi gerakan sosial yang berhasil. Karakter ketiga, dalam teori kontemporer, gerakan sosial dinilai bukan lagi melulu timbul karena kesadaran kelas atau ideologi tertentu. Sebaliknya, gerakan sosial ditandai kaburnya batasan ideologi, asal usul, maupun kelas individu yang menggerakkannya. Menurut teori ini, gerakan sosial muncul sebagai respons terhadap persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Teori kontemporer yang paling banyak disebut, antara lain teori gerakan sosial baru dan teori mobilisasi sumber daya. Keduanya memberi pengaruh besar terhadap gerakan sosial, terutama di negara dunia 13
ketiga yang sekarang lebih dikenal sebagai negara berkembang. Teori lain yang cukup sering digunakan adalah teori deprivasi relatif, teori-teori pilihan rasional, dan teori pasca Marxisme. Kajian ini tentu saja tidak akan memakai seluruh teori yang jumlahnya telah sangat banyak saat ini. Kami hanya akan menggunakan teori mobilisasi sumber daya sebagai salah satu alat untuk membantu menganalisis perjalanan institusionalisasi PRBBK di Indonesia. Teori mobilisasi sumber daya kami nilai lebih tepat karena salah satu pilar pokok dalam keberlangsungan suatu gerakan sosial adalah kemampuan dalam memobilisasi sumber daya sosial, bukana pada dukungan afirmatif dari pemerintah. Teori mobilisasi sumber daya Teori ini berpendapat bahwa gerakan sosial dapat terjadi jika pelakunya memiliki akses ke sumber daya yang memungkinkan pengorganisasian gerakan. Faktor penyebab gerakan sosial akan selalu ada dalam masyarakat, entah dipicu ketidakpuasaan maupun keinginan memperbaiki kondisi masyarakat. Namun, sumber daya yang dibutuhkan untuk tindakan kolektif tidak selalu tersedia. (McCarthy dan Zald, 1973) 10 Oleh sebab itu, gerakan sosial akan naik turun, bertumbuh atau melemah, seiring dengan fluktuasi sumber daya (Jenkins dan Perrow, 1977) 11. Ada empat sumber daya yang perlu diakumulasi untuk mendorong tindakan kolektif, yaitu sumber daya manusia (kepemimpinan dan komitmen), keahlian atau pengalaman, keuangan dan informasi, dan legitimasi. (Cress dan Snow, 1996) 12 Sama halnya dengan pembentukan organisasi baru, gerakan sosial harus memiliki seperangkat sumber daya tersebut agar bisa sukses. Argumentasi tersebut telah dikuatkan oleh sejumlah hasil studi. Kendati dampak persis dari sumber daya manusia terhadap kesuksesan organisasi masih banyak diperdebatkan, tetapi Brüderl, Preisendörfer, and Ziegler (1992) 13 menegaskan kualitas pemrakarsa dan pemimpin kerap kali mempengaruhi prospek kelangsungan hidup sebuah organisasi baru. Faktor keahlian dan pengalaman juga berperan penting, meskipun pengaruhnya bagi kinerja organisasi atau gerakan masih belum konklusif. Demikian pula, seperti halnya organisasi baru, suatu gerakan sosial diyakini lebih mungkin berhasil jika dimulai dengan sumber daya finansial yang lebih besar. Gerakan sosial baru harus mengadopsi strategi yang menghubungkan mereka dengan para pendukung dan sumber daya lain jika mereka ingin
10
McCarthy, John D., dan Mayer N. Zald. 1973. “The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource Mobilization.” Morristown, NJ: General Learning Press. 11 Jenkins, J. C., dan C. Perrow. 1977. "Insurgency of the Powerless: Farm Workers' Movements, 1946-1972." American Sociological Review, 42: 249-268, sebagaimana dikutip dalam Swaminathan A. dan James B. Wade. 2000. “Social Movement Theory and the Evolution of New Organizational Forms.” Stanford University Press. 12 Cress, D. M., and D. A. Snow. 1996. "Mobilization at The Margins: Resources, Benefactors, and the Viability of Homeless Social Movement Organizations." American Sociological Review, 61: 1089-1109., juga dikutip oleh Swaminathan A. dan James B. Wade. 2000. 13 Brüderl, J., P. Preisendörfer, and R. Ziegler. 1992. "Survival Chances of Newly Founded Business Organizations." American Sociological Review, 57: 227-242. 14
mencapai tujuan (Swaminathan dan Wade, 2000) 14 . Dengan alasan inilah, penggunaan perspektif mobilisasi sumber daya menjadi relevan untuk membaca gerakan dan pelembagaan PRBBK di Indonesia. Lebih jauh, baik bentuk organisasi baru maupun gerakan sosial, harus mempunyai tingkat legitimasi tertentu untuk dapat memobilisasi sumber daya dan meraih sasarannya (Swaminathan dan Wade, 2000) 15. Sumber daya tersebut selanjutnya digunakan secara efektif untuk mendorong gerakan. Swaminathan dan Wade (2000) mengatakan ada dua kesamaan antara evolusi gerakan sosial dengan pembentukan organisasi baru. Pertama, kemunculannya difasilitasi oleh perubahan lingkungan sosiopolitik dan ekonomi di level yang lebih luas. Kedua, infrastruktur atau kondisi awal di mana gerakan sosial terjadi atau organisasi terbentuk akan mempengaruhi strategi dan kinerjanya. Jenis gerakan sosial Gerakan sosial dapat mewujud dalam berbagai bentuk aksi. Satrio Arismunandar (2007) mengemukakan paling kurang tujuh jenis gerakan sosial. Jenis gerakan ini bisa tumpang tindih, di mana sebuah gerakan mungkin saja mengandung elemen dari lebih dari satu jenis gerakan. 16 Kajian ini akan menggunakan pendapat Satrio. Jenis pertama, gerakan protes. Ini merupakan gerakan yang paling umum, terutama di negara maju atau negara industri. Gerakan protes misalnya, gerakan perjuangan hak sipil, feminis, masyarakat miskin kota, antikorupsi, perdamaian, lingkungan. Gerakan protes bisa dikategorikan menjadi dua, yakni gerakan reformasi dan revolusioner. Sebagian besar gerakan protes adalah gerakan reformasi, yang tujuannya hanya mengubah sebagian kondisi masyarakat yang dinilai menyimpang. Sebaliknya, gerakan revolusioner umumnya didasari kehendak untuk mengubah seluruh sistem atau merombak struktur masyarakat. Gerakan revolusioner bermaksud menggantikan institusi lama dengan yang baru. Kedua, gerakan regresif yang juga biasa disebut gerakan resistensi. Gerakan ini bertujuan membalikkan perubahan sosial atau menentang gerakan protes. Contohnya, gerakan moral yang mengutuk kebebasan seksual. Bentuk gerakan regresif yang paling ekstrim adalah Ku Klux Klan di Amerika Serikat yang mengampanyekan supremasi kulit putih dan segregasi rasial. Ketiga, gerakan religius. Gerakan ini berkaitan dengan isu sipiritual atau keagamaan yang mengusulkan atau menolak alternatif terhadap aspek keagamaan atau tatanan kultural yang dominan. Keempat, gerakan komunal atau utopia. Gerakan komunal berusaha mempromosikan perubahan melalui pemberian contoh, misalnya dengan membangun sebuah masyarakat model di kalangan tertentu. Mereka ingin menampilkan alternatif cara hidup, tetapi tanpa menantang cara-cara 14
Swaminathan A. dan James B. Wade. 2000. “Social Movement Theory and the Evolution of New Organizational Forms.” Stanford University Press. 15 Ibid, hal 15. 16 Arismunandar, Satrio. 2007. “Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Sosial.” Bab II. Lihat www.satrioarismunan dar.multiply.com 15
konvensional. Kelima, gerakan migrasi atau perpindahan. Gerakan ini terjadi ketika sejumlah orang pindah ke tempat lain pada saat bersamaan dengan alasan spesifik. Contohnya, kembalinya orang Yahudi ke Israel karena dalih pulang ke kampung halaman nenek moyang mereka. Keenam, gerakan ekspresif. Gerakan ini dipicu perubahan reaksi sekelompok orang terhadap kenyataan masyarakat. Mereka tidak berupaya mengubah realitas yang sulit, melainkan mengubah cara mereka menanggapinya. Gerakan ini biasanya muncul di kalangan orang-orang yang tertindas, mulai dari hal ringan, seperti musik dan busana, sampai perkara serius seperti soal agama dan kepercayaan. Ketujuh, gerakan kultus personal. Gerakan ini terjadi karena pengkultusan individu yang dianggap karismatik atau berkemampuan khusus. Kultus personal ini umum berlangsung dalam gerakan politik revolusioner atau religious. Empat tahap gerakan sosial Telah banyak gerakan sosial sepanjang sejarah yang secara dramatis mengubah kondisi masyarakat setempat. Meski demikian, tak sedikit pula gerakan yang akhirnya gagal memberi dampak berarti. Para peneliti telah berusaha memahami penyebab kesuksesan atau kegagalan itu, termasuk latar belakang gerakan sosial itu sendiri, yaitu bagaimana awalnya dan siapa saja yang terlibat. Gerakan sosial tidak datang dari ruang hampa. Kemunculannya membutuhkan banyak sumber daya serta melewati berbagai tahap. Masyarakat tidak begitu saja merasa kecewa terhadap sebuah kebijakan atau sistem, kemudian bersatu dalam gerakan sosial dengan ideologi dan tujuan yang sama. Dengan kata lain, gerakan sosial bertumbuh secara dinamis. Kajian ini akan mengadopsi tahapan gerakan sosial yang diperkenalkan oleh Herbert Blumer, salah seorang pionir penelitian gerakan sosial. Blumer mengidentifikasi empat tahap gerakan sosial, yaitu “ketidakpuasan sosial (social ferment),” “antusiasme orang banyak (popular excitement),” “formalisasi (formalization),” dan “pelembagaan (institutionalization).” 17 Para peneliti sesudah Blumer memanfaatkan dan mengembangkan tahap-tahap tersebut. Istilah yang mereka gunakan dapat berbeda, tetapi memiliki makna yang serupa. Saat ini, empat tahap tersebut lebih dikenal sebagai berikut (Lihat Tabel I): -
Tahap kemunculan (emergence) Tahap koalisi (coalescence) Tahap birokratisasi (bureaucratization) Tahap surut (decline)
17
De la Porta, D. & Diani, M. (2006). “Social Movements: An Introduction” (2nd Ed). Malden MA:Blackwell Publishing. Hal. 150., seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 16
Tabel I. TAHAPAN GERAKAN SOSIAL Represi
Kooptasi
Kemunculan
Koalisi
Birokratisasi
Sukses
Surut
Gagal Institusionalisasi
Tahap pertama: Kemunculan Tahap ini ditandai dengan timbulnya ketidakpuasan yang meluas. Calon inisiator dan peserta gerakan merasa kurang senang dengan kebijakan atau kondisi sosial tertentu. Namun, pada tahap ini, mereka belum mengambil tindakan apapun secara bersama-sama maupun strategis. Paling jauh, ketidaksenangan itu ditunjukkan lewat mengeluh secara individu. Cikal bakal gerakan sosial juga dapat disulut oleh keinginan memperbaiki situasi. Orang atau kelompok merasa tidak puas terhadap kondisi organisasi atau masyarakat. Mereka melihat praktik yang lebih baik di organisasi atau masyarakat lain. Mereka berpikir alangkah baiknya jika organisasi atau masyarakat tersebut juga mengikuti praktik di tempat lain yang terbukti berdampak positif. Ketidakpuasan dan keinginan memperbaiki keadaan akan makin membuncah jika persoalan serupa disoroti secara intensif oleh media massa. Peran organisasi atau kelompok pendorong gerakan sosial juga penting. Organisasi gerakan sosial misalnya komite mahasiswa, lembaga antikorupsi, lembaga pelestarian lingkungan, lembaga kemanusiaan, dan seterusnya. Organisasi gerakan sosial kerap kali memainkan peran penghasut (agitator). Mereka meningkatkan kesadaran mengenai persoalan, serta mengembangkan ketidakpuasan orang banyak. Di sisi lain, tanpa kehadiran media massa yang mensosialisasikan isu dan organisasi gerakan sosial yang meningkatkan kesadaran, sebuah gerakan sosial tampaknya relatif akan lebih sulit meningkat ke tahap selanjutnya. Tahap kedua: Koalisi Pada tahap kedua siklus gerakan sosial, sejumlah hambatan telah diatasi. Ada banyak ketidakpuasan sosial yang menguap begitu saja tanpa pernah termobilisasi menjadi sebuah gerakan sosial. Ketidakpuasan yang akhirnya menjadi gerakan sosial umumnya sudah melalui semua hambatan yang mungkin.
17
Dalam tahap koalisi, ketidakpuasan sosial telah terdefinisikan secara lebih jelas. Dia bukan lagi sekadar perasaan umum tentang kebijakan atau kondisi sosial yang buruk, tetapi telah menjadi keyakinan mengenai apa penyebabnya dan siapa atau apa yang bertanggung jawab. Ketidakpuasan telah menjelma dari tidak terkoordinasi dan individual, menjadi mengerucut dan kolektif. 18 Orang-orang mulai saling mengenal dan menyadari keberadaan satu sama lain pada tahap ini. Pemimpin muncul dan kepemimpinan berjalan. Strategi untuk mencapai tujuan mulai disusun. Dengan kata lain, gerakan makin terorganisir dan strategik dalam memandang persoalan bersama. Kegelisahan individu meluas menjadi keresahan publik. Tahap ketiga: Birokratisasi Tahap yang oleh Blumer disebut formalisasi ini menunjukkan tingkat pengorganisasian dan strategi koalisi gerakan yang semakin mapan. Gerakan sosial telah berhasil membangkitkan kesadaran hingga tingkat, di mana semua individu, kelompok, dan organisasi yang terlibat secara sukarela telah mengadopsi strategi yang sama. Pada tahap ini, gerakan sosial tidak bisa lagi bergantung kepada demonstrasi massa atau pemimpin karismatik untuk mengejar sasaran dan menambah konstituen. Mereka juga bersandar kepada staf-staf yang terlatif untuk menjalankan fungsi organisasi. Di tahap ketiga ini, kekuatan atau akses gerakan ke kekuasaan politik membesar. Banyak gerakan sosial mengalami kegagalan untuk menjadi terbirokratisasi dan akhirnya bubar, sebab memang kian sulit bagi anggotanya untuk mempertahankan semangat yang dibutuhkan dan mobilisasi pun menjadi makin mahal. Formalisasi kadang berarti staf yang dibayar diperlukan untuk mengisi posisi yang tidak lagi diminati oleh sukarelawan. (Macionis, 2001) 19 Tahap keempat: Surut Tahap akhir dalam gerakan sosial adalah surut atau, dalam kata-kata Blumer, “institusionalisasi.” Meski istilah surut sering memberi kesan negatif, maknanya tidak selalu berarti kegagalan. Tahap surut menunjukkan situasi di mana gerakan tersebut telah merosot dan mencapai babak akhir dari siklus hidupnya. Menurut Miller (1999), terdapat empat kemungkinan penyebab kemerosotan gerakan sosial, yaitu represi, kooptasi, sukses, dan gagal. 20 Peneliti lain, Macionis (2001), menambahkan penyatuan dengan arus utama (establishment with mainstream) dan institusionalisasi sebagai alasan lain yang 18
Hopper, R. D. (1950). “The Revolutionary Process: A Frame of Reference for the Study of Revolutionary Movements.” Social Forces 28 (3), 270-280, diakses pada 12 Mei 2008 dari EBSCO Online Database SocINDEX, seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 19 Macionis, J. J. (2001) Sociology (8th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. 20 Miller, F. D. (1999). The end of SDS and the emergence of weatherman: Demise through success. In J. Freeman & V. Johnson, (Eds.), Waves of protest: Social movements since the Sixties (pp. 303-324). Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 18
menyebabkan penurunan dari sebuah gerakan sosial. 21 Represi Jalan pertama yang memicu surutnya gerakan sosial adalah melalui represi. Represi terjadi ketika pemerintah atau pihak berkuasa menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan atau menghabisi sebuah gerakan sosial. Kekuasaan dimaksud sering kali juga dalam bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Mereka melakukannya karena menganggap gerakan sosial mengancam status quo. Represi tidak hanya dapat terjadi di negara otoriter atau antidemokrasi terhadap gerakan politik. Represi juga bisa terjadi kepada gerakan berlatar belakang ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya di negara yang relatif telah melaksanakan demokrasi dan memiliki undang-undang yang melindungi kebebasan berpendapat serta hak asasi manusia. Kooptasi Sebuah gerakan sosial juga bisa surut jika terkooptasi. Ini terjadi manakala organisasi atau kelompok gerakan terlalu bergantung kepada otoritas terpusat atau pemimpin karismatik. Para pemimpin gerakan lebih mendekat kepada kekuasaan atau organisasi yang dijadikan sasaran gerakan, dibanding dengan konstituen gerakan tersebut. Kooptasi bisa terjadi jika pemimpin gerakan ditawari posisi atau konsesi tertentu yang melemahkan komitmennya terhadap tujuan gerakan. Kadangkala, pemimpin atau anggota gerakan memutuskan untuk bergabung dengan organisasi yang mereka kritik dengan dalih ingin melakukan perbaikan dari dalam. Namun, setelah bergabung dan menikmati keuntungannya, mereka melupakan tujuan gerakan. Sukses Gerakan sosial juga bisa memasuki fase surut bila telah sukses mencapai tujuannya. Gerakan sosial yang lebih lokal, kecil, dan memiliki sasaran yang sangat spesifik biasanya mempunyai peluang yang lebih baik untuk sukses. 22 Sebaliknya, gerakan yang bersifat nasional/internasional, besar, dan sasarannya terlalu luas akan lebih sulit merengkuh keberhasilan. Gagal Ada banyak penyebab kegagalan gerakan sosial. Salah satu sebabnya, menurut Miller (1999), adalah gerakan tersebut terpecah menjadi faksi-faksi. Gerakan gagal mengantisipasi pesatnya ekspansi yang ditunjukkan dengan kian banyaknya anggota, sehingga muncul kelompok-kelompok dengan kepentingannya masing-masing. 23
21
Macionis, J. J. (2001) Sociology (8th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 23 Miller, F. D. (1999). The end of SDS and the emergence of weatherman: Demise through success. In J. Freeman & V. Johnson, (Eds.), Waves of protest: Social movements since the Sixties (pp. 303-324). Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. 22
19
Penyebab lain adalah pergeseran orientasi gerakan. Anggota gerakan telah melupakan tujuan mulamula yang membawa mereka ke tahap yang sejauh itu. Akibatnya, semangat sebagian anggota meredup dan organisasi kehilangan fokus. Pada tahap ini, dengan sasaran yang makin tidak jelas dan organisasi yang membesar, amat kecil kemungkinan gerakan akan berhasil.
C. Pelembagaan Gerakan Sosial Alasan kelima yang mungkin menyebabkan kemerosotan gerakan sosial adalah telah menyatunya tujuan atau organisasi gerakan itu dengan pihak status quo. Dengan kata lain, tujuan atau organisasi gerakan sosial telah terinstitusionalisasi atau diadopsi oleh pihak mayoritas atau penguasa, sehingga gerakan tersebut tidak lagi diperlukan. Institusionalisasi PRBBK dan Gerakan Sosial Pada bagian ini, kita akan melihat mengapa institusionalisasi pengurangan risiko bencana berbasis komunitas pada dasarnya dapat dilihat dari perspektif bentuk gerakan sosial. Telah banyak literatur penelitian menunjukkan gerakan sosial kontemporer tidak lagi dibatasi oleh ideologi, perjuangan kelas, atau bahkan tujuan revolusi politik dan ekonomi. Penyebab dan sasaran gerakan sosial di masa kini telah berkembang ke ranah yang lebih luas, dengan kaburnya sekat ideologi, latar belakang, maupun kelas dalam masyarakat di antara para penggeraknya. Gerakan sosial saat ini lebih sering muncul sebagai respons konkrit terhadap persoalan di masyarakat pada periode tertentu. Aktor-aktor yang menginisiasi sebuah gerakan sosial biasanya berharap bahwa apa yang dilakukan itu akan menjadi jawaban langsung atas masalah yang telah berkembang sebagai keprihatinan bersama. Di level global, masyarakat dunia dewasa ini menyaksikan gerakan sosial yang mengusung beragam isu mutakhir, sebut saja gerakan lingkungan, feminisme, budaya, antikorupsi dan HAM, serta demokratisasi. Gerakan demokratisasi memperoleh sorotan besar belakangan ini menyusul penggulingan pemerintah di negara-negara Timur Tengah oleh kekuatan rakyat. Sementara itu, di Indonesia, kita pun tidak kekurangan contoh gerakan sosial, mulai dari yang cakupannya masif, seperti gerakan mahasiswa dan rakyat yang menjatuhkan diktator Soeharto pada 1998, hingga gerakan dengan lingkup isu terbatas, seperti gerakan menanam pohon di kota-kota besar. Dalam kaitan itu, kendati tanpa jalinan ideologi maupun tujuan politik, gerakan institusionalisasi PRBBK memenuhi syarat untuk disebut gerakan sosial. Institusionalisasi PRBBK dapat dikategorikan sebagai gerakan sosial kontemporer. Gerakan ini semula merupakan upaya kolektif yang dilakukan di luar lingkup institusi negara, guna memperjuangkan gagasan besar, yaitu penggunaan konsep dan praktik PRB dalam perencanaan
20
pembangunan serta kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana dan menjadikan masyarakat sebagai acuan dari pembuatan strategi dan kebijakan PRB. Perjalanan upaya institusionalisasi PRBBK berangkat dari kegelisahan sejumlah praktisi dan pemerhati kebencanaan di Tanah Air mengenai bagaimana seharusnya negeri yang akrab dengan peristiwa bencana berskala besar ini dapat lebih siap menghadapi malapetaka, sekaligus mengurangi, atau bahkan mencegah jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda atau aset sosial. Institusionalisasi dianggap sebagai cara yang logis untuk memastikan keberlangsungan PRBBK, baik secara finansial maupun administratif. Dalam hal ini, institusionalisasi bisa dilihat sebagai sebuah strategi, bukan keniscayaan dari proses gerakan sosial. Para inisiator dan penggerak gerakan institusionalisasi PRBBK berasal dari beragam latar belakang. Sebagian merupakan pekerja atau praktisi kebencanaan di organisasi kemanusiaan internasional maupun nasional, sebagian lagi akademisi, serta ada pula dari sektor swasta dan anggota masyarakat biasa. Lewat diskusi yang awalnya kerap berlangsung informal dan serangkaian simposium resmi, terjadilah kristalisasi pemikiran. Para inisiator tersebut juga semakin kukuh dengan keyakinan mengenai pentingnya Indonesia mengadopsi PRBBK, setelah bersentuhan dengan praktisi dan ahli kebencanaan di negara-negara maju, termasuk melalui forum pelatihan dan konferensi internasional. Dalam perkembangannya, terjadi apa yang dalam konsep gerakan sosial dapat kita kenali sebagai koalisi antara praktisi dan pemerhati PRBBK. Koalisi ini menghasilkan pembentukan organisasi Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI). Di samping itu, koalisi juga menjadi penggerak pelaksanaan sejumlah simposium dan konferensi tentang kebencanaan pada kurun waktu 2004 hingga saat ini. Sejauh ini, upaya institusionalisasi PRBBK telah membuahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. MPBI turut berperan aktif mendorong penerbitan UU ini. Dalam UU itu, upaya institusionalisasi PRBBK memperoleh landasan formal yang dapat menjadi modal untuk kemajuan gerakan ini di masa mendatang. Cita-cita institusionalisasi PRBBK seharusnya juga semakin terjangkau jika kita memperhitungkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai kendaraan resmi yang didukung UU dan peraturan pemerintah bagi perjalanan gerakan tersebut. Melalui BNPB, pemerintah pun menaruh asa bahwa metode penanganan bencana di negeri ini akan semakin mujarab. Dengan mengikuti alur konsep gerakan sosial tersebut, menjadi sangat menarik untuk melihat di mana posisi gerakan institusionalisasi PRBKK saat ini. Kita akan membahasnya pada bab berikut kajian ini.
21
IV. PRBBK DI INDONESIA
A. PRBBK Sebagai Perspektif dan Metodologi Perkembangan PRBBK di Indonesia dapat dilihat sekaligus dalam kacamata perspektif dan metodologi. PRBBK pertama-tama muncul dalam bentuk kesadaran mengenai pentingnya perspektif pelibatan komunitas untuk penanggulangan bencana. Pada tahap selanjutnya, perspektif saja dipandang kurang memadai. Gerakan PRBBK harus pula disertai penerapan metodologi yang tepat. Pelibatan komunitas sebagai perspektif dan metodologi umumnya telah diterima secara luas oleh pelaku PRBBK, khususnya organisasi non pemerintah di tingkat nasional dan internasional yang beroperasi di Indonesia, serta badan pemerintah terkait, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda. Sebagai perspektif, pendekatan berbasis komunitas menjadi filosofi yang mendasari program penanggulangan bencana. Semua inisiatif, upaya, maupun pendanaan program dimulai dan diakhiri dengan komunitas selaku pelaku utama (people-centered). Komunitas adalah subjek yang olehnya dan untuknya program penanggulangan bencana diadakan. Sementara itu, sebagai metodologi, pendekatan berbasis komunitas banyak mengubah cara penanggulangan bencana. Pelaku PRBBK tidak lagi melaksanakan program menurut resep yang berlaku umum dengan strategi yang diadopsi dari pengalaman di masa lalu atau praktik di tempat lain, tetapi membiarkan komunitas sasaran mencari dan menentukan metode mereka sendiri. Hal itu didukung oleh kenyataan bahwa risiko bencana bukanlah hal yang seragam, ada komponen persepsi di dalamnya. Sebagai contoh, secara geografis suatu komunitas memang tinggal dalam zona berisiko, namun persepsi dan tingkat penerimaan terhadap risiko tidak hanya dipengaruhi oleh fakta ini. Konsekuensinya, karena berbasis komunitas yang memiliki variasi kebutuhan maupun metode yang bisa sangat luas, praktik PRBBK hampir mustahil diseragamkan. Apa yang berlaku dan sukses di satu daerah atau komunitas, belum tentu berhasil dalam konteks lain. Itu sebabnya, secara metodologis, analisis terhadap konteks dan lingkungan pendukung (enabling environment) menjadi penting. Metode pendampingan masyarakat klasik yang digunakan oleh penggiat isu pembangunan (kesehatan, lingkungan, ekonomi, dan lain sebagainya) juga relevan dalam konteks PRBBK. Yang bisa ”diseragamkan” adalah prinsip dasar pendampingan, yaitu partisipatif, pemberdayaan, do no harm, dan sebagainya. Adapun level teknis (a.l. teknik pengkajian, penilaian), perlu dikembangkan sendiri menurut situasi di lapangan. Di titik ini, gerakan PRBBK di Indonesia tampak masih menemui hambatan besar. Benar bahwa pendekatan berbasis komunitas telah diterima sebagai salah satu perspektif penting dalam penanggulangan bencana. Demikian pula, benar bahwa pendekatan tersebut telah menjadi (salah satu) metodologi dalam penanggulangan bencana.
22
Persoalannya, variasi dalam perspektif dan terutama metodologi PRBBK harus diakui telah memunculkan pertanyaan mengenai efektivitasnya. Mengapa ada praktik PRBBK yang berhasil, tetapi di tempat lain, gagal? Bagaimana sebenarnya praktik PRBBK yang efektif? Pelaku PRBBK khususnya di level kelompok masyarakat dan organisasi non pemerintah telah mencoba memberi solusi atas persoalan tersebut dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, baik di forum formal maupun informal. Salah satu bentuk sharing ilmu yang pengaruhnya cukup besar adalah penerbitan living guide book PRBBK pada 2008 yang akan kita bahas dalam bagian lain dari kajian ini. Perbedaan praktik PRBBK disebabkan banyak faktor, a.l. mandat masing-masing organisasi, penguasaan kapasitas teknis staf, konteks sosial budaya masyarakat, kondisi ekonomi, struktur politik, hingga besar kecilnya aliran dana dari organisasi donor. Semua faktor itu harus dipertimbangkan dalam metodologi PRBBK. Upaya memperluas penerapan perspektif dan metodologi yang tepat juga mengilhami pelakunya untuk mendorong keterlibatan pemerintah melalui perumusan kebijakan, perencanaan program, dan penyusunan anggaran yang berpihak pada PRBBK. Kendati kadarnya bisa diperdebatkan, keterlibatan pemerintah akan semakin penting mengingat daya jangkau birokrasi yang mencapai daerah pelosok. Dalam konteks PRBBK sebagai perspektif, upaya mendorong peran pemerintah terlihat lumayan sukses. Kita kini memiliki UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang secara tersirat mendukung praktik PRBBK. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selaku wakil utama pemerintah dalam isu ini juga sedikit banyak telah menggunakan perspektif komunitas. Pekerjaan rumah saat ini memang lebih kepada memperluas penggunaan metodologi yang tepat. Bagaimana pun, masyarakat hanya bisa ditolong dengan tindakan riil, bukan oleh kata-kata atau teori yang hanya bagus di atas kertas. A.1 Perspektif PRBBK Meskipun memiliki banyak versi, definisi PRBBK pada dasarnya adalah upaya pemberdayaan komunitas atau masyarakat di daerah rawan bencana untuk merencanakan, memanfaatkan sumber daya lokal, dan menerapkan prinsip pengurangan risiko bencana. Adapun pemerintah dan lembaga non pemerintah hanya berperan membantu agar komunitas dapat menghadapi risiko bencana dengan sebaik-baiknya. Di tingkat global, konsep PRBBK sendiri mulai muncul sebagai alternatif penanganan bencana pada sekitar tahun 1980-an dan 1990-an. Ini setelah makin jelas bahwa pendekatan top-down dan karitatif yang semula mendominasi praktik penanganan bencana gagal memenuhi kebutuhan komunitas yang rentan terhadap bencana, dengan kerap mengabaikan kapasitas dan sumber daya lokal. Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), sebuah lembaga nirlaba internasional yang mendalami isuisu penanggulangan bencana, bahkan menyebut pendekatan top-down dapat meningkatkan kerentanan
23
dan menghambat kemajuan proyek di daerah bencana dalam hal kesejahteraan, keamanan, dan ketahanan warga. 24 PRBBK mendorong keterlibatan aktif komunitas di seluruh tahap pengurangan risiko bencana. Tujuannya mengurangi kerentanan serta meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mencegah atau menekan potensi kerugian dan kerusakan akibat bencana terhadap kehidupan, tempat tinggal, mata pencaharian, dan lingkungan. PRBBK diharapkan mengurangi korban manusia dan nilai kerugian, sembari mempercepat pemulihan. Pendekatan berbasis komunitas juga didasarkan pada keyakinan bahwa cara terbaik untuk mengurangi potensi korban adalah dengan meningkatkan antisipasi dan kesiapan. Dengan mengurangi kerentanan, membangun kapasitas, serta meningkatkan daya tahan warga, risiko bencana diharapkan berkurang. A.2. Metodologi PRBBK Karena dilaksanakan sesuai dengan kondisi unik di masing-masing komunitas, metodologi PRBBK pada dasarnya amat beragam. Meski demikian, kita dapat mencatat sejumlah karakteristik yang biasanya melekat dalam pelaksanaannya. Sejumlah karakteristik tersebut a.l.: 25 1. Kewenangan tertinggi pengelolaan risiko dan kesiapsiagaan menghadapi bencana berada di tangan kelembagaan berbasis masyarakat yang diberi mandat 2. Diagnosis potensi masalah bencana serta strategi mitigasi dan pemulihan dilakukan dengan partisipasi penuh masyarakat 3. Intervensi bersifat multisektor, lintas sektor, lintas ancaman 4. Sumber daya utama adalah masyarakat sendiri didukung pengetahuan dan keahlian lokal 5. Peran pihak eksternal relatif kecil, hasil pengelolaan bencana maksimal 6. Masyarakat berdaulat terhadap pengelolaan risiko bencana dengan indikator ketergantungan kepada pihak luar dikurangi hingga titik nol secara teoritis Karakteristik di atas adalah bersifat ideal, sedangkan dalam praktiknya, tingkatan kedaulatan masyarakat, partisipasi, dan keberlanjutan PRBBK masih bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Isu terkait metodologi yang perlu mendapatkan perhatian adalah skala operasi (scale of operation) dan cakupan intervensi (scope of intervention). Perhatian terhadap cakupan operasional penting karena pengalaman PRBBK di wilayah yang terkena bencana yang masif membuktikan bahwa dampak PRBBK terlalu kecil (kalau boleh dibilang tidak signifikan) terhadap ketahanan masyarakat secara umum. Perangkat metodologis yang digunakan dalam PRBBK pada dasarnya merupakan pengembangan dan adaptasi dari perangkat yang dipakai dalam program pemberdayaan yang menekankan prinsip bahwa
24 25
Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), 2004; Building Disaster Risk Reduction in Asia. Bangkok: ADPC Lassa, Jonathan, Puji Pujiono, dkk, 2009; Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana, PRBBK. Jakarta: Grasindo. 24
komunitaslah yang bisa dan seharusnya menentukan aksi pengurangan risiko bencana. 26 PRBBK juga sering menggunakan pendekatan right-based approach, yaitu pendekatan yang mengasumsikan risiko bencana bagi komunitas akan semakin berkurang jika hak dasar mereka (sebagai warga negara) terpenuhi. Dalam pendekatan ini, metode yang ditempuh adalah advokasi pemenuhan kewajiban negara terhadap warga yang tinggal di daerah berisiko bencana. Pendekatan berbasis hak ini kemudian dalam manifestasinya sering memberikan tekanan kepada pentingnya pemerintah bertanggung jawab atas keselamatan warga. Pemerintah dianggap tanggap atas tuntutan ini kalau membentuk lembaga tersendiri dan mengalokasikan secara khusus dan cukup, anggaran untuk penanggulangan bencana. Sayangnya, program dari sektor lain (kesehatan, pendidikan, dan sebagainya) juga menggunakan asumsi yang sama. Yang terjadi kemudian ialah masing-masing sektor berlomba untuk mendapatkan prioritas dari pemerintah, sedangkan sebagian besar anggaran sudah habis untuk membayar gaji pegawai negeri. 27 B. Periodisasi PRBBK di Indonesia Sejauh ini, belum ada dokumen resmi yang dapat memastikan kapan istilah PRBBK pertama kali muncul di Indonesia. Ada yang menyebut penanganan bencana letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 1994 merupakan momen pertama adopsi praktik PRBBK yang diketahui. 28 Meski demikian, istilah PRBBK relatif baru mulai populer pada tahun 1996-1998. Kemunculan ini agaknya mengikuti tren di level global, di mana pemangku kepentingan penanganan bencana juga tengah mencari cara yang lebih efektif dibanding pendekatan top-down. Sebelumnya, bencana masih dilihat sebagai peristiwa sekali-sekali (one-off event) yang tidak memerlukan penanganan berkelanjutan.
26
Dalam hal perkembangan konsep, metodologi dan perangkat kerja dalam kegiatan yang berbasis masyarakat, sektor penanggulangan bencana boleh dikatakan belajar banyak dari sektor pembangunan (terutama ekonomi dan pertanian) yang telah mempunyai beragam teori, methodologi dan perangkat dalam pengembangan masyarakat. Misalnya teknik PRA merupakan budidaya dari sektor pembangunan yang berakar metode pendidikan orang dewasa yang dikembangkan oleh Paulo Freire (1921-1997) yang menerbitkan buku yang terkenal diawal 1970 “Pedagogy of the Oppressed”. Prinsip yang dikembangkan adalah bahwa kaum miskin dan tertindas dapat dan seharusnya dimampukan untuk mengkaji realitas mereka sendiri (Chambers, 1997. p.106). Di awal 1980an, muncul ketidakpuasan atas terbatasnya (reductionism) kemampuan teknik survey dan bias dari “kunjungan lapangan” yang sering dilakukan dalam program-program pembangunan masyarakat. Dalam tahun 1983, Robert Chambers, seorang peneliti dari the Institute of Development Studies Inggris mengenalkan istilah Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk menggambarkan teknik bagaimana belajar dari masyarakat ('reversal of learning). Dua tahun kemudian, konferensi internasional yang pertama soal soal RRA digelar di Thailand, kemudian diikuti dengan tumbuhnya berbagai teknik dalam mendampingi masyarakat desa/kelompok marjinal untuk menilai masalah mereka sendiri, menetapkan tujuan, monitoring dan cara mencapainya secara partisipatif. Di pertengahan 1990-an, istilah RRA telah digantikan dengan berbagai istilah termasuk ‘Participatory Rural Appraisal (PRA)’ dan ‘Participatory Learning and Action’ (PLA). 27 , FITRA-The Asia Foundation, Local Budget Study 2011 28 Lassa, Jonathan, Puji Pujiono, dkk, 2009; Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana, PRBBK. Jakarta: Grasindo. 25
Berdasarkan penelusuran terhadap dokumen dan kajian PRBBK yang telah dipublikasikan, kami membagi periodisasi PRBBK secara sederhana dalam tiga tahap untuk membantu analisis dalam kajian ini. Pembagian periode ini mengikuti tahapan yang lazim dikenal dalam teori gerakan sosial, yaitu: Tahap pertama: Kemunculan (sekitar tahun 1996-1998) Tahap kedua: Koalisi (1996-2005) Tahap ketiga: Birokratisasi (2006-2008)
B.1 Periode Kemunculan Sebagaimana disinggung sebelumnya, tahap kemunculan PRBBK ditandai dengan tren global yang juga mulai terpikat oleh konsep tersebut. Pada 1994, konferensi pertama mengenai penanganan bencana alam diselenggarakan di Yokohama, Jepang. Forum itu menghasilkan dokumen Strategi dan Rencana Tindakan untuk Dunia yang Lebih Aman 1994-2004. Kemudian, pada tahun 2005, konferensi kedua tentang penanganan bencana berlangsung di Kobe, Hyogo, Jepang. Konferensi tersebut sangat berpengaruh sebab membuahkan Hyogo Framework for Action 2005-2015 yang menjadi rujukan pelaku PRBBK di seluruh dunia. Sejumlah lembaga internasional yang membantu penanganan bencana di negeri ini, perlahan-lahan juga mencoba menerapkan PRBBK seperti di negara lain. Istilah PRBBK makin banyak terdengar pada tahuntahun tersebut. Di sisi lain, kita harus menyebut peran sejumlah orang dan kelompok masyarakat asli Indonesia yang berupaya menyebarkan serta mengembangkan PRBBK. Mereka umumnya belajar mengenai PRBBK di lembaga internasional tadi, atau dengan mengikuti konferensi maupun pelatihan di luar negeri. Pembelajaran pun diperoleh dari pengamatan di lapangan di tengah masyarakat korban bencana. Secara parsial, lembaga-lembaga nirlaba lokal menginisiasi program penanggulangan bencana dengan pendekatan berbasis komunitas. Ini tercatat tidak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga daerah lain. Dokumen pembelajaran pendekatan berbasis komunitas mulai banyak dicetak. Salah satu yang cukup berpengaruh adalah buku Participatory Rural Appraisal (PRA) Bencana yang ditulis Eko Teguh Paripurno dan para peneliti Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Anggota lembaga swadaya masyarakat dan organisasi nirlaba lainnya cukup banyak yang dikirim mengikuti pelatihan penanganan bencana berbasis komunitas, a.l. di ADPC Bangkok, Thailand. B.2. Periode Koalisi Periode berikut yang penting dalam perkembangan PRBBK di Indonesia adalah masa di mana konsep tersebut mulai menjadi gagasan yang dirujuk oleh semakin banyak orang dan organisasi terkait. Kami
26
menyebut ini periode koalisi. Mulai timbul keinginan dari sejumlah pihak untuk menyamakan perspektif, memperluas penggunaan konsep itu, bahkan mengupayakan institusionalisasi. Sejak tahun 1999, bermunculan pelatihan penanganan bencana berbasis komunitas, dengan pembicara orang-orang yang telah mengikuti pelatihan yang sama di luar negeri atau mempelajarinya di lembaga internasional tempat mereka bekerja. Salah satu pelatihan yang bisa disebut di sini, yakni pelatihan PBBK di NTT oleh Oxfam Great Britain dengan peserta dari kawasan timur. Pada periode ini pula, terselenggara sejumlah simposium dan konferensi penanganan bencana yang mengampanyekan manfaat pendekatan berbasis komunitas. Simposium yang patut dicatat adalah simposium CBDM (community based disaster management) yang digelar oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI). Simposium CBDM yang digelar pada 11-13 Agustus 2004 dan diikuti sekitar 40 orang dari perwakilan NGO internasional dan lokal, pemerintah, Perserikatan Bangsa-bangsa, dan akademisi itu terus berlanjut hingga penyelenggaraannya yang ke-6 pada 2010. Perkembangan pemikiran PRBBK sedikit banyak terwakili dalam simposium dan konferensi tersebut. Membesarnya minat terhadap pendekatan berbasis komunitas juga didukung pihak donor yang banyak mengucurkan dana untuk kepentingan tersebut. Sebagian besar proyek percontohan (pilot project) PRBBK di Indonesia sejak dekade 1990-an bersumber dari pendanaan internasional. Dalam perspektif gerakan sosial dengan teori mobilisasi sumber daya, kecenderungan meningkatnya minat karena besarnya dukungan dana donor itu menjadi logis. Dengan demikian, sebagian besar perkembangan pada masa ini mengikuti ke mana arah minat donor (follow where the money goes) 29. B.3. Periode Birokratisasi Bersamaan dengan kian intensifnya diskursus tentang PRBBK, periode tahun 2006-2008 dapat dikatakan sebagai masa birokratisasi dengan beberapa tonggak yang menentukan. Salah satu yang paling signifikan tentu saja adalah penerbitan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang yang selanjutnya menjadi payung hukum formal bagi praktik penanggulangan bencana di Tanah Air tersebut secara tersurat memberikan dukungan bagi pendekatan berbasis komunitas. Hal ini akan kita lihat lebih jauh pada bagian berikutnya. Periode setelah 2006 juga diwarnai penerimaan konsep PRBBK yang semakin meluas. Hampir tidak ada lagi organisasi masyarakat sipil di bidang kebencanaan hari ini yang tidak mengikuti perkembangan PRBBK. Meskipun derajat adopsi konsep masih bervariasi, organisasi kebencanaan tampak telah sepakat mengenai pentingnya pendekatan berbasis komunitas.
29
Masifnya aliran uang untuk isu PRB di Indonesia sejak 2005 tidak terlepas dari kejadian tsunami di Aceh dan gempa di Nias, Sumatra Utara. 27
Kita bisa dengan mudah kini memperoleh dokumen dan buku mengenai praktik PRBBK. Pengetahuan maupun metodologi PRBBK pun terus berevolusi dan kelihatan bertambah matang, kendati perkembangannya tetap belum dapat disebut telah final atau selesai. Intinya, dalam periode birokratisasi, perspektif PRBBK telah menjadi bagian dalam penyusunan sejumlah rencana dan penggunaan anggaran pemerintah pusat dan daerah. Di sisi lain, pelembagaan PRBBK juga dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil di bidang kebencanaan yang secara sadar menyuntikkan semangat pendekatan berbasis komunitas dalam program kerja mereka. C. Legislasi PRBBK: UU Nomor 24 Tahun 2007 Tak diragukan lagi, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan modal dasar yang sangat berarti dalam upaya perbaikan penanganan bencana di Indonesia. Sejak disahkan pada 29 Maret 2007, beleid tersebut seakan memberi energi baru bagi praktik penanganan bencana secara lebih baik. UU yang lahir dari inisiatif masyarakat sipil itu terdiri atas 13 bab dengan total 85 pasal. Dengan segala kekurangan dan kritik yang diarahkan kepadanya, UU ini oleh banyak pihak tetap dinilai telah memenuhi beberapa esensi terpenting yang dibutuhkan dalam praktik penanggulangan bencana, a.l. nilai-nilai universal hak asasi manusia serta keterlibatan aktif dari pihak pemerintah. Selain itu, dalam kaitannya dengan kampanye PRBBK, UU Nomor 24 juga tidak mengecewakan. Sejumlah pasalnya telah menegaskan perlu dan pentingnya pelibatan masyarakat dan pencegahan risiko. Pasal 26 Ayat 1 Butir B menyebutkan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam ayat yang sama Butir E ditegaskan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya. Butir tersebut dengan sendirinya mempromosikan pendekatan bottom-up dalam penanggulangan bencana. UU Nomor 24 mengubah paradigma penanggulangan bencana. 30 Perubahan dimaksud meliputi pergeseran dari paradigma respons darurat ke manajemen risiko, dari perlindungan rakyat sebagai wujud kekuasaan pemerintah ke perlindungan sebagai hak asasi manusia. Di samping itu, perubahan paradigma dari tanggung jawab pemerintah ke urusan bersama masyarakat. Ketentuan yang diikuti dengan pembuatan peraturan pemerintah dan peraturan presiden itu juga memberi dasar hukum bagi lahirnya lembaga-lembaga penanganan bencana, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) (Pasal 83). Selanjutnya, setiap program pemerintah yang terkait diharuskan mempertimbangkan aspek risiko bencana (Pasal 9 dan 39). Pemerintah berkomitmen menyiapkan dana yang memadai dalam APBN dan 30
Parlan, Hening. 2007. Peran CBDRM dalam UU No. 24 Tahun 2007 dan Rencana Aksi Nasional. Jakarta: Makalah Simposium Nasional III CBDRM. 28
APBD untuk program penanggulangan bencana (Pasal 8). Pada tahap ini, jelas bahwa proses birokratisasi gerakan penanggulangan bencana telah memperoleh salah satu momentumnya yang paling kuat. D. PRBBK oleh Masyarakat Sipil Kalangan masyarakat sipil sejak semula merupakan pihak yang berada di garda terdepan dalam mendorong perkembangan PRBBK. Mereka mencakup lembaga donor internasional, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, peneliti, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Masyarakat sipil berperan sangat penting dalam menyodorkan gagasan pembuatan UU tentang penanggulangan bencana hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat membahasnya. Dalam perjalanannya, masyarakat sipil aktif menyumbangkan pendapat dan wawasan bagi UU yang berhasil terbit pada 2007 itu. Namun, peran masyarakat sipil tidak hanya terbatas pada aspek birokratisasi PRBBK. Lebih dari itu, masyarakat sipil menjadi pihak yang proaktif menerapkan PRBBK di lapangan. Terdapat cukup banyak kisah pelaksanaan PRBBK di seluruh Indonesia yang telah dibagikan dalam forum-forum atau dipublikasikan melalui media cetak maupun elektronik. Kajian ini akan membeberkan sejumlah contoh saja yang diperoleh dari dokumen simposium CBDRM I-V milik MPBI 31. Jenis praktik PRBBK secara umum dapat dibedakan menjadi praktik pencegahan, respons, serta rehabilitasi dan rekonstruksi. Bina Swadaya Lembaga Bina Swadaya mengklaim melakukan PRBBK di Bantul, Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah, lewat proyek pemberdayaan masyarakat untuk pemulihan industri skala kecil pasca gempa bumi. Proyek yang berlangsung selama Juli 2006 hingga Maret 2007 itu dilaksanakan di empat desa. 32 Proyek ini untuk membantu menghidupkan kembali usaha kecil yang mati suri akibat gempa bumi. Bina Swadaya mencatat sekitar 70% pelaku usaha kecil berhenti beroperasi setelah peristiwa bencana alam tersebut. Padahal, usaha kecil yang meliputi kerajinan anyaman bambu, pembuatan mebel, kerajinan gerabah, tenun batik, pangan olahan, dan lainnya merupakan sumber nafkah utama keluarga di desa itu. Bina Swadaya mengatakan program dibuat berdasarkan temuan kondisi, potensi, serta masalah di lapangan. Masyarakat menjadi mitra sekaligus pelaku dalam setiap pengambilan keputusan. Program diputuskan melalui musyawarah anggota kelompok swadaya masyarakat. Japan International Cooperation Agency (JICA) setuju mendanai proyek selama 8,5 bulan.
31
Penyajian contoh PRBBK oleh lembaga yang ditulis dalam naskah ini tidak dimaksudkan untuk merepresentasikan jenis-jenis PRBBK dan juga tidak untuk menilai apakah program mereka efektif atau tidak. 32 Bina Swadaya, 2007. Mencari Kerangka Kerja dan Memposisikan CBDRM sebagai Strategi Kunci dari Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Jejaring Antar Pemegang Peran. Jakarta: Makalah Simposium Nasional III CBDRM. 29
Proses pelaksanaan program berturut-turut adalah sosialisasi, penilaian kebutuhan masyarakat, lokakarya perencanaan desa, penguatan dan pelatihan pengurus dan anggota kelompok swadaya masyarakat. Selanjutnya, pengadaan insentif sebagian alat dan bahan baku produksi usaha, koordinasi dan konsultasi, temu usaha, serta supervisi, pemantauan, dan evaluasi. Lembaga ini menyebut program tersebut berhasil menumbuhkan kembali empat sentra usaha kecil di wilayah itu dan memfasilitasi pengembangan 16 kelompok swadaya. Dalam konteks jenisnya, PRBBK Bina Swadaya termasuk PRBBK rekonstruksi dan rehabilitasi. Yayasan IDEP Yayasan IDEP melakukan PRBBK pencegahan di beberapa wilayah di Bali. LSM ini yang menekuni isu-isu lingkungan ini menyelenggarakan pelatihan penanggulangan bencana bagi warga, pelatihan fasilitator PRBBK, serta mengunjungi sekolah untuk langsung membina anak-anak. Pelatihan PRBBK meliputi kesiapsiagaan menghadapi bencana, pembuatan sistem peringatan dini, penilaian risiko, penyusunan peta ancaman, strategi evakuasi dan permukiman, serta pembentukan kelompok penanggulangan bencana. Setelah mengetahui PRBBK dan belajar mempraktikkannya, masyarakat diharapkan benar-benar siap dan tahu apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana. Sementara itu, IDEP melatih fasilitator PRBBK yang tugas utamanya meneruskan pengetahuan dan ketrampilan PRBBK kepada anak-anak dan orang dewasa di masyarakat setempat. Mereka akan menjadi ujung tombak penanggulangan bencana. Adapun pelatihan di sekolah meliputi simulasi evakuasi dan pengetahuan mengenai kebencanaan. CARE CARE melakukan PRBBK kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah. CARE bekerja di enam kabupaten, dengan 126 desa dan 9.400 kepala keluarga sasaran. Program ini untuk menjawab tantangan makin seringnya terjadi kebakaran hutan dan lahan secara besar-besaran di Kalimantan. Kebakaran dahsyat juga memicu peristiwa merugikan lainnya, seperti banjir dan wabah penyakit. CARE merancang metode PRBBK yang akan memampukan masyarakat mengelola kebakaran dengan menekan risiko korban dan kerugian sekecil mungkin. Pengelolaan kebakaran tersebut meliputi faktor rehabilitasi, pencegahan, kesiapsiagaan, penanggulangan, dan analisis risiko. Masing-masing faktor tersebut dibagi lagi dalam beberapa tahap tindakan. Faktor kesiapsiagaan, misalnya, terdiri atas pembuatan sistem peringatan dini, penyiapan sarana penanggulangan, dan penyediaan sistem komunikasi. Adapun faktor pencegahan diupayakan dengan pengaturan penggunaan api, aksi penyuluhan, kampanye perlindungan hutan, pelatihan, dan pengurangan bahan berpotensi kebakaran di alam.
30
Dilema PRBBK Makin lazimnya penggunaan perspektif dan metodologi PRBBK dalam penanganan bencana tentu saja merupakan kabar baik. Situasi itu membuat kita dapat berharap penanganan bencana pun menjadi semakin efektif. Alhasil, potensi korban dan kerugian bisa ditekan hingga titik nol. Masalahnya, karena ada keragaman kondisi dan kesenjangan pengetahuan, tidak semua praktik PRBBK dapat dikatakan telah memenuhi syarat atau berhasil. Hingga kini, pertanyaan mengenai bagaimana praktik PRBBK yang baik, apa saja standarnya, atau komponen apa yang harus ada masih terus mengemuka. Di sinilah salah satu dilema terbesar PRBBK yang tetap menjadi pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan. Tidak jarang kita menemukan sebuah lembaga mengklaim melakukan PRBBK, tetapi sesungguhnya dia hanya mempunyai kegiatan di tingkat komunitas, namun tidak bersama komunitas. Sejumlah pihak sudah berusaha menjembatani persoalan itu dengan membuat panduan PRBBK. Simposium PRBBK III yang digelar oleh MPBI pada 2007 menghasilkan living guide book PRBBK yang rencananya terus disempurnakan agar selalu mengikuti perkembangan keilmuan dan empiris. Panduan itu terbukti sangat berguna. Sebagian besar pelaku PRBBK kini merujuk ke buku itu. Meski demikian, tetap saja masih ditemukan persoalan dalam praktiknya. Bahkan, sebagaimana sinyalemen beberapa pihak, praktik PRBBK kerap hanya menjadi semacam lips service untuk meningkatkan pamor program kebencanaan, padahal kenyataannya jauh panggang dari api. Ada kesan orang terlalu mudah mengklaim melakukan PRBBK dan tidak menyadari kekeliruannya. E. Signifikansi Simposium dan Konferensi PRBBK Konsep PRBBK di Indonesia berkembang melalui dua saluran kegiatan, yaitu transfer pengetahuan dan saling bagi pengalaman (sharing). Transfer pengetahuan umumnya berlangsung lewat pelatihan dan seminar, di mana aktivis dan akademisi kebencanaan mempelajari konsep tersebut dari pakar terkait. Selain itu, transfer juga terjadi dalam konteks dunia kerja, terutama di lembaga bantuan internasional. Sementara itu, sharing PRBBK cenderung lebih cair dan informal. Pemerhati PRBBK membicarakannya di komunitas masing-masing, saling mengadu argumentasi dengan kolega di berbagai kesempatan, hingga akhirnya setiap pihak memperoleh gambaran baru mengenai perspektif maupun praktik yang kira-kira bisa dipakai untuk kondisi yang tengah dihadapi. Salah satu wadah transfer pengetahuan dan sharing yang memiliki gaung publikasi cukup luas adalah simposium dan konferensi PRBBK yang diadakan MPBI dengan dukungan berbagai pihak. Sejauh ini, forum tersebut telah digelar enam kali, hampir rutin setiap tahun, sejak 2004. Simposium dan konferensi itu terbukti mampu menarik minat pemerhati PRBBK. Jumlah peserta dan organisasi yang ikut cenderung meningkat dari simposium pertama hingga penyelenggaraan terakhir di Jakarta pada 2010. Pesertanya meliputi wakil dari lembaga bantuan internasional, LSM lokal dan nasional, akademisi, organisasi PBB, pemerintah, dan masyarakat sipil. 31
Namun, seberapa berartikah peran simposium dan konferensi ini sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan yang bernada evaluatif ini memang masih agak problematik. Meski demikian, ada beberapa alasan mengapa forum-forum tersebut dapat dianggap mempunyai peran yang cukup signifikan dalam perkembangan PRBBK. Pertama, karena forum ini berhasil mempertemukan pemerhati PRBBK yang memiliki kompetensi keilmuan dan pengalaman, dia menjadi ajang yang sahih untuk terjadinya transfer pengetahuan dan sekaligus sharing. Sulit dibantah bahwa di sinilah pemerhati PRBBK saling mengasah perspektif dan metodologi. Seiring dengan itu, konsep PRBBK pun berkembang. Perkembangan konsep ini seolah tergambarkan melalui perjalanan tema tahunan konferensi PRBBK, khususnya simposium I hingga IV. Simposium I diberi tema “Berbagi Pengalaman tentang Pelaksanaan CBDRM.” Simposium II bertemakan “Pencarian Jati Diri Manajemen Risiko Bencana Berbasis Komunitas.” Adapun Simposium III berjudul “Mencari Kerangka Kerja dan Memposisikan CBDRM Sebagai Strategi Kunci dari Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Jejaring Antar Pemegang Peran,” dan Simposium IV Pelembagaan CBDRM dan Pengintegrasian dalam Kebijakan.” Tampak bahwa empat simposium tersebut mencoba mengembangkan konsep PRBBK dari masa ke masa untuk menjawab tantangan yang muncul. Kedua, forum ini menghasilkan sejumlah rekomendasi yang memiliki arti penting dalam perkembangan PRBBK. Dalam konteks perkembangan perspektif, meski tidak secara langsung, simposium dan konferensi itu turut menyumbangkan gagasan yang menjadi bahan dasar untuk penyusunan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Seperti diketahui, UU Nomor 24 merupakan beleid yang diusulkan dan dikawal secara cukup ketat penerbitannya oleh kalangan masyarakat sipil, termasuk mereka yang giat dalam simposium dan konferensi PRBBK. Naskah pertama RUU Penanggulangan Bencana yang disampaikan kepada pemerintah disiapkan oleh salah satu pendiri MPBI. Setelah UU itu terbit, simposium dan konferensi menjadi salah satu tempat untuk mendiskusikan penerapannya serta mengkritisi kesenjangan antara peraturan dan kenyataan di lapangan. Simposium IV di Denpasar berusaha mendorong agar PRBBK diintegrasikan dalam kebijakan nyata pemerintah dan tidak hanya berakhir di atas kertas. Hasil lain dari simposium dan konferensi PRBBK yang penting dicatat adalah peluncuran buku pedoman atau panduan PRBBK (CBDRM Living Guide Book), juga pada simposium IV tahun 2008. Meski isinya masih akan terus disempurnakan untuk menyesuaikan dengan kondisi mutakhir, buku panduan ini cukup banyak dirujuk sebagai pegangan praktik PRBBK yang baik hingga kini. Ketiga, simposium menjadi semacam pengikat solidaritas di antara pemerhati PRBBK. Forum ini dianggap lumayan layak menyuarakan keprihatinan pemerhati PRBBK di Indonesia karena hampir semua organisasi penting di bidang kebencanaan mengirimkan wakilnya. Signifikansi pelaksanaannya sangat terasa, terutama pada tahun-tahun pertama. 32
Kondisi itu juga disebabkan relatif minimnya forum resmi PRBBK berskala nasional dengan kualitas setara yang digelar dalam periode tersebut. Alhasil, simposium PRBBK ala MPBI menjadi salah satu, kalau bukan satu-satunya, forum yang cukup berbobot. Berikut ini rangkuman perjalanan simposium PRBBK sejak 2004 hingga 2010: Simposium PRBBK I, “Berbagi Pengalaman tentang Pelaksanaan CBDRM” Simposium PRBBK I berlangsung di Yogyakarta pada Agustus 2004. Pelaksananya MPBI dan Universitas Pembangunan Veteran (UPN). MPBI terus menjadi pelaksana sampai sekarang. Peserta simposium I tercatat sebanyak 41 orang, terdiri atas 43% perwakilan LSM lokal dan organisasi masyarakat sipil, 20% pemerintah, 15% lembaga internasional dan Palang Merah, 14% akademisi, serta 8% pekerja PBB. Gagasan simposium berasal dari sejumlah pemerhati bidang kebencanaan yang menilai alangkah baiknya jika ada forum resmi yang dapat menjadi tempat bertukar ilmu dan pengalaman. Forum tersebut harus berbobot agar dapat menarik minat semua praktisi kebencanaan, tetapi juga bersifat cair supaya orang merasa nyaman berdiskusi tanpa membawa embel-embel organisasi. Ketika itu, telah muncul keinginan untuk memperluas penerapan praktik terbaik (best practices) penanggulangan bencana yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Sebelumnya, penanggulangan bencana dilakukan tanpa sinergi maupun koordinasi di antara pemerintah dan masyarakat sipil, maupun di antara kalangan masyarakat sipil sendiri. Ketiadaan sinergi tersebut membuat penanggulangan bencana terkesan amburadul. Masing-masing pihak bergerak menurut cara yang dianggap lebih baik. Alokasi sumber daya pun menjadi tidak efisien. Pemerintah memandang penanggulangan bencana hanya sebagai tindakan respons pasif. Belum ada upaya serius mencegah dan menanggulangi bencana secara terencana. Simposium I masih merupakan forum sangat awal yang relatif lebih menitikberatkan pada aspek sharing. Peserta menceritakan pemahaman dan pengalaman mereka melakukan penanggulangan bencana. Simposium I tidak menghasilkan rekomendasi atau dokumen penting, tetapi membantu meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya perencanaan dan ilmu pengetahuan dalam penanggulangan bencana. Simposium PRBBK II, “Mencari Jati Diri Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas” Forum kedua yang dilaksanakan di Jakarta pada 12-13 April 2006 merupakan permulaan dari rangkaian simposium berikutnya (setidaknya hingga simposium IV) yang mencoba mengembangkan konsep PRBBK secara sistematis. Peserta forum meningkat dibanding tahun sebelumnya menjadi 95 orang, dengan wakil dari kalangan masyarakat sipil, LSM internasional, dan Palang Merah mendominasi. Dalam simposium ini, timbul kesadaran mengenai perlunya pelaksanaan penanggulangan bencana yang memiliki standar kualitas. Praktik penanggulangan bencana tidak boleh lagi dilakukan serampangan, tanpa koordinasi, dengan hasil yang tidak pasti. Seluruh pemangku kepentingan hendaknya menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.
33
Simposium II berlangsung kurang dari dua tahun setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias yang menelan korban seratusan ribu jiwa. Dapat dimaklumi, forum ini terasa memiliki urgensi besar yang membuat peserta sangat termotivasi untuk menghasilkan hal konkrit demi perbaikan praktik penanggulangan bencana di negeri ini. Seiring dengan besarnya kebutuhan akan bantuan penanggulangan bencana terutama di Aceh dan Nias, dana dari LSM internasional dan organisasi pemerintah negara sahabat juga mengalir makin deras ke Indonesia. Situasi ini berdampak positif terhadap upaya peningkatan praktik penanggulangan bencana. Dana untuk pelatihan dan konferensi tentang bencana relatif terus bertambah. Pada tahun 2006, minat terhadap konsep PRBBK meningkat. Istilah PRBBK (atau CBDRM/communitybased disaster risk reduction) perlahan-lahan makin sering terdengar, sekaligus menggeser istilah PBBM (penanggulangan bencana berbasis komunitas) atau CBDM (community-based disaster management) yang lebih dulu populer. Lembaga donor internasional berperan cukup penting di sini. Program kebencanaan dengan konsep PRBBK kian banyak diluncurkan. LSM dan organisasi masyarakat sipil dalam negeri akhirnya ikut lebih serius menggeluti isu tersebut. Jumlah lembaga yang mengklaim mempraktikkan PRBBK terus meningkat. Dalam kondisi itulah, simposium PRBKK II dilaksanakan, yaitu ketika pelaku PRBBK semakin banyak dan tantangan penanggulangan bencana tampak kian menggunung. Simposium ini diharapkan membantu peserta mengidentifikasi prinsip, strategi, dan proses dasar PRBBK yang seharusnya ada dalam praktik yang baik. Konsep, model, dan tahapan PRBBK yang diadopsi setiap lembaga atau komunitas bisa berbeda. Ini tampak jelas dari presentasi delapan organisasi pelaku PRBBBK dalam simposium II. Meski demikian, ada beberapa kesamaan kerangka kerja makro sebab sejumlah lembaga mengacu pada setidaknya dua sumber yang sama, yakni Kerangka Aksi Hyogo (ISDR) dan Asian Disaster Preparedness Center (ADPC). Simposium II akhirnya menghasilkan dokumen yang diberi nama Deklarasi Cikini, yaitu kesepakatan mengenai perlunya metode, praktik, dan kerangka kerja PRBBK. Ketika itu, dua prinsip dasar yang disepakati adalah pertama, upaya penanggulangan risiko bencana dilakukan bersama komunitas di kawasan rawan bencana agar mereka selanjutnya dapat mengelola sendiri risiko secara mandiri. Prinsip kedua, penanggulangan risiko bencana hendaknya menyatu dengan proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan kata lain, prinsip penanggulangan risiko harus menjadi pertimbangan dalam setiap proses pembangunan dan pengelolaan SDA. Pembangunan diharapkan dilakukan dengan prinsip berkelanjutan (sustainable development). Simposium PRBBK III, “Mencari Kerangka Kerja dan Memposisikan CBDRM sebagai Strategi Kunci dari Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Jejaring Antar Pemegang Peran” Pasca Deklarasi Cikini, kebutuhan akan kerangka kerja PRBBK dirasakan semakin besar. Di satu sisi, keyakinan terhadap efektivitas PRBBK untuk menekan jumlah korban dan risiko bencana lainnya kian 34
menebal. Namun, di sisi lain, ada keraguan bahwa semua pelaku PRBBK telah mempraktikkan kerangka kerja yang benar. Yang dimaksud kerangka kerja di sini adalah lebih kepada panduan berisi garis besar praktik PRBBK yang dapat menjadi pegangan dasar bagi pelakunya. Kerangka kerja tersebut tidak untuk menyeragamkan kegiatan. Kebutuhan akan kerangka kerja ini didasarkan pada optimisme bahwa keberadaannya akan meningkatkan efektivitas PRBBK. Dalam konteks itulah, simposium PRBBK III digelar pada 12-13 Juni 2007 di Jakarta. Peserta resmi simposium III tercatat paling banyak dibanding dua forum sebelumnya, yakni mencapai 219 orang. Mereka mewakili unsur PBB, LSM, Palang Merah, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil. Peserta dari sektor swasta dan media massa juga hadir. Simposium III menghasilkan draf penting yang menjadi bahan dasar penulisan Dokumen Living Guide Book PRBBK. Di samping kerangka kerja dan proses, berbagai pemikiran berharga juga muncul mengenai filosofi maupun epistemologi PRBBK. Sumbangan gagasan tersebut berperan penting dalam pengembangan pemikiran selanjutnya. Pada titik ini, PRBBK bukan lagi hanya sebuah perspektif yang di awang-awang dan kabur. Upaya mengembangkan perspektif secara sistematis telah mengarahkan pada penemuan berbagai ragam metodologi di lapangan yang kemudian mengalami proses sintesa. Setelah ini, orang dapat bicara PRBBK dengan seperangkat metodologi di kepala. Dia menjadi konsep yang dapat dipraktikkan dan direplikasi. Perlu segera ditambahkan di sini bahwa peserta simposium III membuat semacam kesepakatan lisan bahwa buku panduan PRBBK kelak akan menjadi buku panduan hidup (living guide book) yang diperbarui secara berkala guna mengikuti tuntutan perubahan situasi. Komitmen ini patut dihargai sebab akan menjadikan PRBBK sebuah gagasan yang terus berkembang. Hal lain yang perlu dicatat adalah simposium III merupakan forum di mana harapan agar PRBBK menjadi strategi kunci dari pengurangan risiko bencana semakin meluas. Peserta menyadari penerapannya perlu didorong dengan sengaja. PRBBK mungkin bisa berkembang dengan sendirinya perlahan-lahan tanpa upaya terukur untuk menggenjotnya, tetapi akan butuh waktu lama. Harapan perluasan penggunaan PRBBK ini kemudian akan menjadi gagasan yang terus muncul dalam beberapa simposium selanjutnya. Pada simposium III, peserta mencoba membentuk jejaring komunitas praktisi. Muncul prakarsa untuk membuat situs web PRBBK yang diproyeksikan sebagai salah satu sarana penyebaran informasi mengenai isu terkait. Simposium PRBBK IV, “Pelembagaan CBDRM dan Pengintegrasian dalam Kebijakan” Upaya menjadikan PRBBK strategi kunci dalam penanggulangan bencana berlanjut pada simposium IV. Bahkan, dalam kesempatan inilah, upaya itu menemukan bentuk yang lebih konkrit. Pengarusutamaan (mainstreaming) gagasan PRBBK akan dilakukan dengan melembagakan dan mengintegrasikannya dalam kebijakan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
35
Simposium IV berlangsung pada 19-21 Agustus 2008 di Denpasar, Bali. Pertanyaan besar yang mewarnai mayoritas diskusi adalah bagaimana melembagakan kerangka kerja PRBBK yang disepakati pada simposium sebelumnya. Di tataran lebih luas, bagaimana mengintegrasikan PRBBK dalam kegiatan pembangunan. Isu pelembagaan atau institusionalisasi ini tidak dapat dilepaskan dari penerbitan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang sekaligus menandai pergeseran paradigma dari tanggap darurat menjadi pengurangan risiko. Penerbitan UU itu diikuti sejumlah peraturan pemerintah dan pembentukan BNPB. Sontak gagasan pengurangan risiko menjadi gagasan nasional yang didukung pemerintah. Ini momentum baik yang ditangkap oleh peserta simposium IV. Bagi mereka, tiada saat yang lebih tepat untuk mempercepat penyebaran konsep PRBBK dan mengintegrasikannya dalam kebijakan pembangunan di masa mendatang. Pada simposium ini, Living Guide Book yang digarap sejak simposium III diluncurkan. Dengan demikian, sampai tahap tertentu, telah tercapai konsensus di antara para praktisi tentang PRBBK yang baik. Simposium IV juga menarik karena perhatian peserta mulai terbagi ke isu pengurangan risiko bencana yang lebih spesifik, khususnya masalah perubahan iklim. Timbul keinginan untuk menerapkan PRBBK dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Gagasan itu kemudian menjadi isu utama yang dibahas dalam simposium berikutnya. Konferensi PRBBK V, “Ketahanan Masyarakat terhadap Risiko Bencana dalam Perubahan Iklim” Setelah empat forum yang menitikberatkan murni pada gagasan dasar PRBBK, konferensi V pada 5-8 Oktober 2009 di Makassar merupakan yang pertama yang mencoba menerapkan konsep PRBBK pada persoalan aktual yang tengah hangat dibicarakan bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional. Peserta melihat PRBBK bisa menjadi alternatif untuk menjawab tantangan pengurangan risiko bencana akibat perubahan iklim. Forum ini sekaligus menguji kerangka kerja PRBBK, efektifkah sebagai perangkat untuk isu perubahan iklim. Sejak awal, konferensi didesain untuk mengumpulkan pengalaman praktik PRBBK dalam konteks tersebut serta menyepakati kerangka kerja untuk perubahan iklim. Kesulitannya, praktik PRBBK untuk perubahan iklim adalah isu yang relatif baru pada saat itu. Selama ini, PRBBK lebih akrab dengan konteks bencana yang lebih 'konvensional,‘ seperti gempa bumi, tsunami, banjir, dan seterusnya. Namun, di sini lain, perubahan iklim sebagai sebuah isu lingkungan dan sosial ekonomi telah menjadi sangat dominan di dunia internasional. Jumlah peserta simposium V relatif menurun dibanding sebelumnya, yaitu hanya 192 orang. Latar belakang peserta masih sama dengan forum-forum terdahulu, a.l. perwakilan organisasi PBB, LSM dan Palang Merah, akademisi, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Penamaan konferensi mulai menggantikan simposium dengan alasan cakupan tema dan peserta yang lebih luas.
36
Konferensi PRBBK VI, ”Peningkatan Ketahanan Masyarakat Perkotaan terhadap Risiko Bencana“ Sama seperti konferensi setahun sebelumnya, konferensi VI menjadi ajang kontekstualisasi praktik PRBBK dalam menghadapi problem sosial yang aktual. Bila konferensi V menyoroti perubahan iklim maka konferensi VI mencoba melihat efektivitas PRBBK untuk masyarakat perkotaan dengan segudang potensi risiko bencana, seperti banjir, kebakaran, kelaparan, dan sebagainya. Konferensi VI kembali dilangsungkan di Jakarta, tepatnya pada 8-9 Desember 2010. Spektrum latar belakang pembicara dalam konferensi ini sangat luas, mulai dari pakar PRBBK hingga perencana perkotaan. Sebagaimana diketahui, seiring dengan kian masifnya dampak globalisasi yang lebih jauh mendorong urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota, hampir semua kota besar di dunia, termasuk di Indonesia menghadapi tantangan yang praktis belum pernah ada sebelumnya. Jumlah penduduk yang membengkak di perkotaan menimbulkan banyak masalah sosial karena sumber daya kehidupan justru terbatas. Masalah sosial tersebut meliputi karut marut tata ruang tata wilayah (RT/RW), sanitasi buruk, kemacetan, kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan lain-lain. Dalam kondisi di mana penduduk hidup berhimpitan di sejengkal tanah yang kian kecil, setiap bencana pun berpotensi mengakibatkan risiko korban yang berlipat ganda. Konferensi ini menjadi forum bagi praktisi untuk melihat lebih jauh apa yang dapat dilakukan dengan kerangka kerja PRBBK untuk mengurangi risiko itu. F. Pembelajaran dari Berbagai Pelaksanaan PRBBK PRBBK sebagai sebuah gagasan alternatif untuk pengurangan risiko bencana telah mengalami perkembangan yang cukup berarti selama satu dasawarsa terakhir. Sudah banyak forum, diskusi, maupun konferensi yang didedikasikan untuk mengembangkan gagasan tersebut, tidak terkecuali enam simposium oleh MPBI dalam kurun tujuh tahun berselang. Tentu saja, perkembangan itu telah memungkinkan kita menarik sejumlah pelajaran yang kiranya penting untuk perbaikan di masa depan, yakni sejauh konsep PRBBK masih dianggap sebagai salah satu perspektif serta metodologi pengurangan risiko bencana yang terbaik. Berikut ini beberapa pembelajaran dari berbagai pelaksanaan PRBBK. Pertama, sangat jelas bahwa tidak semua praktik pengurangan risiko bencana adalah PRBBK. Pengalaman menunjukkan cukup sering sebuah lembaga atau komunitas mengklaim melakukan PRBBK, tetapi kenyataannya kegiatan mereka bukan PRBBK sebab tidak memenuhi sejumlah syarat yang lazim diterima di kalangan pelakunya. Suatu kegiatan pengurangan risiko bencana dapat saja dilaksanakan dengan melibatkan komunitas, namun dia tidak bisa langsung dikatakan sebagai PRBBK. Dalam praktik PRBBK yang benar, antara lain
37
komunitas haruslah menjadi pelaku atau subjek utama. Adapun pihak luar, entah itu donor, LSM, dan lembaga sejenis hanya berfungsi selaku pendamping atau paling jauh, pengarah. Terkait dengan hal itu, pembelajaran Kedua yang menarik diungkapkan di sini adalah betapa pentingnya keberadaan dokumen panduan PRBBK yang baik. Dokumen semacam ini akan menolong praktisi pemula belajar melakukan PRBBK secara benar, sekaligus membantu praktisi senior mengingat prinsip dan kerangka kerja dasar agar tidak melenceng. Panduan PRBBK tidak dimaksudkan menyeragamkan kegiatan. Panduan itu juga bukan seperti buku doktrin yang berperan seperti kitab suci. Sebaliknya, dia hanya sebagai pegangan dasar yang pengembangannya akan sangat bergantung kepada konteks masyarakat dan situasi di lapangan. Karena itu pula, panduan PRBBK memang seharusnya berupa living guide book yang terbuka terhadap koreksi. Di sini letak tantangannya: pemangku kepentingan PRBBK dituntut untuk memastikan dokumen panduan selalu mampu menjawab persoalan paling mutakhir. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan sebab penyempurnaan dan pembaruan semacam ini membutuhkan komitmen bersama yang kuat. Apalagi, sumber daya termasuk dana dan SDM tidak selalu berlimpah. Ketiga, kendati telah banyak organisasi mengadopsi PRBBK dalam kegiatan kebencanaan dan ada dukungan moril dari pemerintah, upaya pelembagaan atau institusionalisasi PRBBK belum menunjukkan hasil yang berarti. Keinginan melembagakan PRBBK dalam pembangunan yang menguat dalam simposium IV di Denpasar pada 2008 memang bukan pekerjaan ringan. Kita masih berhadapan dengan banyak organisasi yang menerapkan PRBBK secara keliru. Kita masih berurusan dengan proses pembuatan kebijakan pemerintah yang minim koordinasi, sehingga upaya penerapan perspektif pengurangan risiko bencana sulit menjadi maksimal. Di sisi lain, tampaknya ada saja komunitas atau masyarakat di daerah rawan bencana yang tidak siap mengambil semua inisiatif secara mandiri, sehingga agak sukar untuk menerapkan PRBBK. Ibarat demokrasi, perkembangan PRBBK di Indonesia saat ini kelihatan baru matang di tataran prosedural. Kita memiliki UU Penanggulangan Bencana beserta peraturan turunannya. Kita memiliki lembaga seperti BNPB dan lain-lain. Kita mempunyai banyak organisasi masyarakat sipil yang siap melakukan PRBBK. Namun, pelembagaan PRBBK tampak masih jauh dari kenyataan. Pengurangan risiko bencana belum membudaya baik di level pemerintah dalam proses perencanaan pembangunan, maupun di kalangan masyarakat umum dalam kehidupan sehari-hari. Konon, jumlah orang Indonesia yang membuang sampah pada tempatnya hanya sebesar 4%, padahal sampah bisa menyebabkan banyak risiko bencana. Ini menunjukkan belum banyak orang yang sadar akan bahaya bencana. Keempat, perkembangan PRBBK selama ini sangat bergantung kepada sejumlah tokoh dan lembaga yang rajin menggerakkannya, serta ketersediaan sumber daya finansial. Peran MPBI dan tokoh-tokohnya dalam hal ini cukup besar. Begitu pula pemimpin dan praktisi kebencanaan di lembaga bantuan internasional. 38
Pertanyaan kemudian muncul, apakah perkembangan ini dapat bertahan jika tokoh-tokoh atau lembaga tersebut tidak lagi tekun mengawal PRBBK? Kita tahu, isu-isu di dunia NGO dan masyarakat sipil akan mudah bergeser jika muncul isu lain yang menjanjikan lebih banyak sumber daya, yang dalam hal ini tidak hanya sumber daya finansial. Saat ini pun, kemajuan gerakan PRBBK terasa mulai melambat begitu NGO internasional yang memberikan kucuran dana ke sana makin berkurang. Bisa dikatakan, momentum PRBBK adalah setelah gempa bumi dan tsunami Aceh. Ketika itu, sumber daya cenderung gampang dikerahkan. Dana pun mengalir cukup lancar. Bila kita masih ingin melihat institusionalisasi PRBBK benar-benar terwujud secara tuntas, kuncinya adalah memastikan hal itu terjadi secepatnya, selagi perhatian dan sumber daya belum seluruhnya teralihkan. Kelima, gerakan PRBBK yang melambat adalah kesan yang tertangkap jika kita mencermati perjalanan simposium atau konferensi PRBBK MPBI dua atau tiga tahun terakhir. Pada simposium I-IV, semangat mengembangkan PRBBK sungguh terasa membuncah. Jumlah peserta dan lembaga donor relatif banyak. Dokumen proposal dan hasil simposium begitu tajam dan konkrit. Sebaliknya, dalam simposium atau konferensi V dan VI yang diadakan berturut-turut pada 2010 dan 2011, kendati tidak menurun signifikan secara nominal, jumlah peserta tercatat stagnan, tidak tumbuh. Lembaga donor yang mendukung kegiatan berkurang. Kesan ini diikuti dengan pembahasan dalam konferensi yang kurang tajam. Tidak banyak hal konkrit yang dapat dipetik.
39
V. INSTITUSIONALISASI PRBBK DI INDONESIA
Pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) telah diterima sebagai salah satu konsep terbaik dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB). Atas dasar itu, bisa dikatakan hampir semua pelaku PRBBK, terutama mereka yang terlibat aktif dalam gerakan penyebaran dan pengembangannya di Indonesia, meyakini gerakan itu masih perlu diteruskan hingga sasarannya tercapai. Gerakan PRBBK maupun PRB secara umum memiliki tiga sasaran. Pertama, pemberlakuan peraturan, kebijakan, dan kerangka kerja terkait PRB, di mana PRB menjadi bagian dari program pembangunan. Kedua, peningkatan kapasitas lembaga-lembaga PRBBK dan kemitraan di antara mereka. Ketiga, masyarakat dan pemerintah menyadari risiko bencana dan bertindak untuk menguranginya setiap saat. Dalam kaitan itu, institusionalisasi dianggap cara yang logis untuk memastikan keberlanjutan PRBBK, baik secara finansial maupun administratif, sekaligus mendukung pencapaian tiga sasaran tersebut. Dalam hal ini, institusionalisasi bisa dilihat sebagai sebuah pendekatan atau strategi. Pandangan itu selaras dengan konsep tahapan gerakan sosial, di mana institusionalisasi menjadi salah satu kemungkinan hasil akhir gerakan. A. Pendekatan, Strategi Ada empat proses institusionalisasi gerakan sosial yang kendati berbeda, tetapi saling terkait. Satu sama lain saling melengkapi. 33 Empat institusionalisasi itu adalah institusionalisasi kultural, politik, administratif, dan ekonomi. Institusionalisasi kultural mengacu pada pelembagaan kegiatan yang akhirnya menjadi kebiasaan normal bagi anggota gerakan dan masyarakat secara keseluruhan. Apa yang dulu dianggap asing, tidak diketahui, abnormal, dan bukan bagian dari aktivitas sehari-hari, kini menjadi akrab, dipahami, normal, dan bagian dari keseharian. Dalam konteks PRBBK, konsep institusionalisasi kultural sesungguhnya merupakan salah satu proses terpenting yang sangat diharapkan terjadi. Para pendukung gerakan menginginkan masyarakat dan pemerintah menjadikan PRBBK bagian yang normal dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari maupun perencanaan pembangunan. Institusionalisasi kultural tak diragukan lagi adalah proses yang amat menantang. Dia menantang bukan saja karena besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapainya, tetapi juga karena diperlukan waktu yang tidak sebentar dan komitmen yang kuat. Ironisnya, situasi ini justru bertentangan dengan natur program di industri PRB yang cenderung berbasis proyek dan jangka waktunya terbatas.
33
Walker, Edward, 2005; Learning from the Insurgents: The Institutionalization of Social Movements and the Growth of Grassroots Lobbying, disertation, Pennsylvania State University. 40
Sementara itu, institusionalisasi politik merujuk pada integrasi gerakan sosial ke dalam lingkungan birokrasi (dalam hal ini pemerintah), yang biasanya berupa kelompok kepentingan (interest group) atau partai politik. 34 Pelaku gerakan sosial mendesakkan tujuan dan kepentingan gerakan itu agar diadopsi oleh birokrasi. Institusionalisasi politik tampaknya telah terjadi dalam gerakan PRBBK di Indonesia. Bentuknya memang bukan dalam keberadaan kelompok kepentingan atau partai politik, tetapi penerbitan undang-undang dan pembentukan BNPB. Undang-undang wujud institusionalisasi politik dari gerakan PRBBK tersebut a.l. UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan perencanaan tata ruang berbasis bencana dengan pendekatan partisipatif. Dua UU itu telah disusul dengan penerbitan peraturan pemerintah dan keputusan menteri terkait. Adapun institusionalisasi administratif menunjuk pada adopsi praktik birokrasi dalam organisasi yang lahir dari gerakan sosial. Organisasi gerakan sosial itu, secara sengaja maupun tidak, menggunakan struktur birokrasi dan kelembagaan yang mirip dengan praktik di pihak pemerintah. 35 Perilaku status quo menyusup dalam gerakan sosial. Kecenderungan tersebut agak sulit dihindari sebab pengorganisasian gerakan yang makin lama makin besar memang tidak mudah. Akan selalu muncul godaan untuk menerapkan struktur birokrasi yang kaku. Jika hal ini dibiarkan, dampaknya bisa saja buruk bagi hasil akhir gerakan. Untuk mementahkan “hukum besi oligarki” ini, organisasi yang lahir dari gerakan sosial dapat mencoba memakai taktik yang lebih radikal. 36 Dengan kata lain, menghindari status quo dan kemandegan. Terakhir, institusionalisasi ekonomi mengacu pada proses membesarnya ketergantungan gerakan sosial kepada institusi ekonomi sebagai sumber modal untuk mobilisasi. 37 Gerakan sosial yang berskala kecil dan masih pada tahap awal barangkali dapat bertahan tanpa sokongan modal besar. Namun, seiring dengan membengkaknya postur gerakan, kebutuhan akan modal pun semakin meningkat. Proses institusionalisasi ekonomi juga dapat kita lihat dalam gerakan PRBBK. Harus diakui, mobilisasi modal selama ini telah menjadi salah satu sumber daya utama kemajuan gerakan. Penyebaran dan perkembangan PRBBK dilakukan dengan dukungan dana lembaga-lembaga bantuan yang menggeluti isu kebencanaan di Indonesia.
34
Klandermans, Bert, Marlene Roefs, dan Johan Olivier. 1998. “A Movement Takes Office.” pp. 173-194 dalam David Meyer dan Sidney Tarrow (eds.), The Social Movement Society: Contentious Politics for a New Century. Lanham, MD: Rowman and Littlefield. 35 Weber, Max. 1991 [1946]. Dari Max Weber: Essays in Sociology, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills. New York: Routledge. 36 Voss, Kim dan Rachel Sherman. 2000. “Breaking the Iron Law of Oligarchy: Union Revitalization in the American Labor Movement.” American Journal of Sociology 106: 303-349. 37 Jenkins, J. Craig dan Craig M. Eckert. 1986. “Channeling Black Insurgency: Elite Patronage and Professional Social Movement Organizations in the Development of the Black Movement.” American Sociological Review 51: 812-829. 41
Di samping pendekatan dan strategi berdasarkan proses institusionalisasi yang dipaparkan di atas, upaya pelembagaan PRBBK secara praktis juga dilakukan dengan berbagai cara. Ada banyak strategi yang telah dimunculkan untuk menciptakan kondisi atau lingkungan yang memungkinkan PRBBK menjadi konsep penting dalam agenda pemerintah, masyarakat sipil, maupun sektor swasta. Salah satu strategi yang lumayan menyita perhatian adalah penguatan komunitas di perdesaan melalui konsep desa tangguh, desa siaga, desa model PRBBK, permukiman daulat bencana, dan seterusnya. Strategi ini memang belum teruji tingkat keberhasilannya, tetapi menarik untuk dikaji, bahkan dikembangkan. Strategi lain yang dampaknya sejauh ini tampak lebih masif, yakni desakan untuk mengintegrasikan konsep PRB dan PRBBK dalam proses perencanaan pembangunan, baik yang dilakukan di tingkat nasional melalui Bappenas maupun di level lokal lewat Bappeda. Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengurangan Risiko Bencana telah disusun sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Nasional. Lebih jauh, Pemerintah Indonesia mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan dan pengurangan risiko bencana sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Kita juga dapat menyebut pelaksanaan simposium dan konferensi PRBBK versi MPBI sebagai bentuk upaya institusionalisasi. Simposium tersebut menjadi ajang penyebaran gagasan PRBBK serta tempat bagi pelakunya untuk berkonsolidasi. Tak kalah penting adalah institusionalisasi yang dilakukan oleh masing-masing organisasi bantuan internasional dan LSM. Meski pun pengaruh kegiatan mereka terbatas hanya pada komunitas tertentu, perluasan basis PRBBK di seluruh Indonesia lama-kelamaan tidak tertutup kemungkinan dapat menjadi jalan menuju institusionalisasi yang lebih menyeluruh. B. Tantangan Institusionalisasi PRBBK di Indonesia Meski pun telah mencapai sejumlah hasil yang menggembirakan, gerakan PRBBK masih menghadapi beberapa tantangan besar yang harus diatasi sebelum gerakan ini dapat dikatakan berhasil. Pendekatan institusionalisasi yang memang tidak mudah bagi setiap gerakan sosial juga menyisakan cukup banyak pekerjaan rumah. Dari empat proses institusionalisasi yang lazim terjadi dalam sebuah gerakan sosial, mencapai institusionalisasi kultural dan ekonomi merupakan tantangan tersulit. Adapun institusionalisasi politik kelihatannya telah berlangsung dengan mulus seiring dengan adanya payung hukum bagi gerakan PRB dan pembentukan BNPB. Institusionalisasi kultural menuntut komitmen waktu dan sumber daya yang tidak hanya melimpah, tetapi juga berkelanjutan. Pasalnya, proses institusionalisasi kultural baru bisa disebut tercapai manakala tujuan atau kegiatan yang dipromosikan melalui gerakan sosial menjadi bagian yang normal dari komunitas sasaran.
42
Kesulitan tampak kian berlipat karena komunitas sasaran yang diharapkan melakukan PRBBK tersebut mencakup wilayah rawan bencana yang sangat luas. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, jika kita berbicara mengenai gerakan PRBBK maka target maksimalnya adalah 234 juta rakyat Indonesia. Mereka diharapkan menjadikan PRBBK sebagai gaya hidup atau budaya normal. Institusionalisasi ekonomi juga tak kalah pelik. Ada angin segar bahwa pemerintah Indonesia setiap tahun sejak diterbitkannya UU Nomor 24 Tahun 2007 telah menganggarkan dana untuk kegiatan penanggulangan bencana dan pengurangan risiko. Anggaran BNPB pun relatif telah memadai untuk mencapai sejumlah sasaran pokoknya. Meski demikian, masih terdapat beberapa persoalan. Di sisi pemerintah, problem modal terletak pada ketepatan alokasi dan efektivitas hasilnya. Bila dana besar itu belum sungguh-sungguh tepat mengenai sasaran maka hasilnya tidak akan optimal. Ke depan, peningkatan efektivitas anggaran untuk PRB merupakan tantangan yang tidak mudah. Di sisi lain, persoalan kekurangan modal tampaknya justru mulai menggerogoti sektor LSM dan masyarakat sipil yang ironisnya adalah tulang punggung gerakan. Memang belum ada penelitian serius mengenai pergerakan besaran dana untuk PRBBK dalam satu dasawarsa terakhir, apakah menaik atau menurun, tetapi kesaksian dan bukti-bukti empiris menunjukkan tengah terjadi penurunan. Kondisi tersebut sebenarnya logis, mengingat dana yang luar biasa besar pernah mengalir pasca gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada 2004. Ketika proses pemberian bantuan dan rekonstruksi memasuki babak akhir, bahkan sebagian lembaga donor telah menarik diri begitu program mereka selesai, kucuran dana untuk kegiatan kebencanaan pun merosot. Dengan demikian, jika kita mengacu pada teori proses institusionalisasi, tantangan besar bagi gerakan PRBBK saat ini adalah mencapai institusionalisasi kultural dan ekonomi. Di bawah ini kami mendaftarkan sejumlah tantangan untuk institusionalisasi yang membutuhkan perhatian lebih dari para pemangku kepentingan PRBBK. Tantangan sumber daya Sumber daya institusionalisasi meliputi modal, SDM, dan teknologi. Ke depan, guna mengantisipasi defisit sumber modal untuk PRBBK—terutama modal internasional—yang diperkirakan cenderung membesar, tantangannya adalah mencapai institusionalisasi dengan dana relatif minim. Kondisi ini tidak mustahil diatasi sepanjang gerakan PRBBK mampu memobilisasi dana lokal dan pemerintah. Faktor SDM menghadirkan tantangan lain. Seperti diketahui, saat ini masih sering ditemukan praktisi maupun lembaga kebencanaan yang mengklaim melakukan PRBBK, tetapi sebenarnya tidak. Jumlah praktisi kebencanaan yang memahami kerangka kerja PRBBK relatif terbatas. Situasi itu membuat penyebaran PRBBK akan terhambat. Teknologi menjadi tantangan berikut yang harus dipecahkan. Penyebaran gagasan seharusnya bakal lebih cepat jika kita dapat memanfaatkan kemajuan teknologi. Kenyataannya, hingga kini penggunaan teknologi masih terbata-bata. 43
Tantangan kapasitas komunitas Dalam konsep PRBBK, komunitas atau masyarakat merupakan subjek atau pelaku utama. Lembaga donor dan pekerja kemanusiaan hanya berfungsi layaknya fasilitator atau pendamping. Masalahnya, tidak semua komunitas dan masyarakat memiliki kapasitas yang dibutuhkan untuk menjalankan PRBBK secara mandiri. Kesulitan tersebut akan menyebabkan kebutuhan sumber daya meningkat. Lebih banyak waktu, tenaga, dan modal yang perlu dikucurkan sebelum komunitas atau masyarakat terkait mampu berdiri sendiri. Keberadaan pemimpin dan pengawal PRBBK di sebuah komunitas juga mutlak dibutuhkan. Jangan sampai setelah beberapa waktu, PRBBK dilupakan karena tidak ada lagi sosok yang mendorongnya. Tantangan penyalahgunaan Sejumlah kasus yang sempat mengemuka dalam beberapa kesempatan simposium yang diadakan MPBI menunjukkan terjadinya penyalahgunaan konsep itu. Ada saja pihak yang secara sengaja berlindung di balik pelaksanaan PRBBK demi kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri. Mereka mengklaim menerapkan PRBBK agar memperoleh dana donor, dsb. Tentu saja, kondisi itu sangat merugikan perkembangan PRBBK sendiri. Pada akhirnya, jika hal ini terus terjadi dan berlarut-larut, dikhawatirkan masyarakat maupun donor tidak lagi percaya kepada pelaku PRBBK, hanya karena ulah oknum individu dan kelompok. Tantangan mortalitas PRBBK yang berhasil haruslah mampu bertahan, kendati komunitas atau masyarakat terkait telah ditinggalkan oleh pihak donor dan organisasi bantuan. Sejauh ini, cukup banyak ujicoba PRBBK yang diketahui telah surut sebelum waktunya, alias mati muda. Umumnya kejadian ini dipicu terhentinya program dan dana donor. Pelaku PRBBK harus mampu menjawab tantangan bagaimana memastikan PRBBK tetap berlanjut meski pun tanpa dukungan pihak eksternal dalam jangka panjang. Poin ini sangat penting sebab PRBBK yang mati muda sungguh tepat jika dikatakan hanya menghabiskan sumber daya. Sia-sia. Tantangan kehilangan pemimpin Tantangan lain dari institusionalisasi PRBBK yang perlu dipertimbangkan adalah tantangan kehilangan pemimpin. Gerakan PRBBK pada mulanya dipimpin oleh beberapa praktisi yang belakangan tergabung dalam MPBI. Kini, setelah 10 tahun, tidak tertutup kemungkinan bahwa sebagian pemimpin di masa awal tersebut tidak lagi memiliki cukup waktu maupun komitmen untuk melanjutkan misinya. Sama seperti gerakan sosial lain, institusionalisasi PRBBK akan terancam kehilangan gairah dan determinasi jika ditinggalkan pemimpinnya. Tantangannya di sini memastikan tongkat estafet kepemimpinan kolegial yang selama ini terbentuk diteruskan dengan mulus ke calon pemimpin lainnya. 44
Pemimpin-pemimpin gerakan berfungsi meneruskan visi PRBBK, menjaga kecepatan atau laju ke depan agar tidak kendor ketika ada tantangan seperti defisit sumber daya, serta mencari pemimpin baru yang dapat melanjutkan gerakan tatkala para pemimpin lama tidak lagi seaktif dulu. Mencari bentuk Pada akhirnya, di tengah banyak tantangan itu, perlu disadari bahwa gerakan PRBBK masih dalam proses mencari bentuk terbaik sesuai dengan konteks di setiap komunitas atau masyarakat. Hampir semua pelaku PRBBK, termasuk lembaga donor yang selama ini mendukung gerakan tersebut, masih merabaraba cara terbaik untuk menyebarkan konsep tersebut. Maka, sangat bisa dimaklumi jika kita akan menemukan kekurangan di sana-sini. Banyak yang telah dicapai, tetapi puncak gunung yang harus didaki masih tinggi. Kesadaran ini yang rasa-rasanya juga mendorong pelaku PRBBK tidak berhenti berdiskusi, berbagi pengalaman, dan berkontribusi untuk mengembangkan konsep itu, bahkan setelah satu dasawarsa lebih. Konsekuensinya, pengembangan PRBBK memang tidak boleh sampai terhenti di tengah jalan. Upaya penyebarannya seharusnya tidak dibiarkan mandek. Pelaku PRBBK juga wajib menghindari rasa puas berlebihan atas pencapaian apa pun di masa lalu. Itu sebabnya, menemukan dan mengawal peta jalan (roadmap) PRBBK, termasuk proses institusionalisasinya, menjadi penting. Peta jalan itu dapat menjadi panduan bagi para pemangku kepentingan untuk senantiasa mengevaluasi posisi gerakan dan mengambil langkah strategis berikutnya demi kemajuannya. Kita akan melihat lebih jauh peta jalan tersebut pada bagian akhir dari bab ini. C. Roadmap Institusionalisasi PRBBK Bagian terakhir dari bab ini didedikasikan untuk membahas tahapan gerakan PRBBK serta memberikan opsi peta jalan (roadmap) yang dapat ditempuh untuk mencapai institusionalisasi. Pembahasan tahapan gerakan PRBBK akan mengacu pada asumsi bahwa gerakan ini merupakan sebuah gerakan sosial (lihat Tabel II). Tabel II. TAHAPAN GERAKAN PRBBK Koalisi: PRB dan PRBBK Kemunculan: jadi concern Gagasan PRB publik. Tujumuncul. an dan straTimbul ketegi gerakinginan unan disusun. tuk memAda kepebenahi mimpinan. praktik Gerakan penanganan mulai terorbencana ganisir. (1996-1998) (1998-2005) Tahap Pertama: Kemunculan
Represi Birokratisasi: Penerbitan UU No.24 Tahun 2007, penetapan PP, pembentukan BNPB. Formalisasi organisasi PRBBK. (2006-2008)
Kooptasi
Sukses
Surut
Gagal Institusionalisasi 45
Tahap pertama dari gerakan PRBBK telah dilalui pada sekitar tahun 1996-1998. Inilah periode ketika gagasan PRB (pengurangan risiko bencana) muncul di Indonesia, dibawa oleh sejumlah akademisi dan praktisi, serta lembaga donor internasional. Tahap ini merupakan masa di mana mulai timbul keinginan untuk memperbaiki cara-cara lama penanganan bencana yang dinilai tidak lagi memadai. Sebagaimana diketahui, sebelum gagasan PRB mengemuka, praktik penanganan bencana dapat dikatakan benar-benar berbasis proyek temporer dan sifatnya sangat reaktif. Donor dan praktisi kebencanaan baru bergerak ketika terjadi peristiwa bencana. Gerakan pun terbatas pada pemberian bantuan fisik dan perbaikan sarana prasarana. Pada dua dasawarsa sebelumnya, praktik penanganan bencana juga kental dengan nuansa pendekatan top-down. Kegiatan penanganan bencana sepenuhnya menjadi domain keputusan donor dan pihak eksternal, sedangkan masyarakat korban hampir tidak memiliki hak suara. Donor dan NGO menentukan sendiri apa yang akan dilakukan di lokasi. Dalam pendekatan top-down, kearifan dan cara-cara lokal di komunitas atau masyarakat korban diabaikan. Akibatnya, kegiatan penanganan bencana di satu tempat kerap hanya merupakan replikasi tanpa penyesuaian sedikit pun dari lokasi lain yang sesungguhnya amat berbeda dalam banyak aspek. Alhasil, penanganan bencana dapat kehilangan efektivitas dalam menekan jumlah korban. Lambat laun, kondisi itu menimbulkan keprihatinan di kalangan lembaga dan praktisi kebencanaan. Orang mulai berpikir bahwa cara-cara lama tidak atau kurang berhasil. Di sisi lain, kebutuhan akan praktik penanganan bencana yang efektif terasa semakin tinggi menyusul terjadinya banyak peristiwa bencana yang menelan korban besar. Catatan yang ada menyebutkan tahap pertama gerakan PRBBK ditandai dengan interaksi yang cukup intens antara praktisi kebencanaan nasional dengan mitra kerja di luar negeri. Ketika itu, gerakan PRBBK lebih dulu mulai marak di sejumlah negara dengan hasil yang dilaporkan sangat baik. Pada saat yang sama, lembaga donor yang bekerja di Indonesia juga membawa praktik serupa ke dalam negeri. Tahap kedua: Koalisi Dalam perspektif gerakan sosial, tahap koalisi biasanya merupakan periode ketika keprihatinan sosial yang semula hanya dialami oleh orang per orang atau beberapa lembaga, mulai menjadi concern publik yang lebih luas. Hal yang sama tampaknya berlaku pada gerakan PRBBK. Gagasan pengurangan risiko bencana semakin menarik di mata banyak pihak dan dinilai perlu disebarkan. Secara periodisasi, kita dapat mengatakan tahap koalisi berlangsung intensif antara 1998 sampai 2005. Setelah itu, prosesnya mungkin masih berlanjut, tetapi intensitasnya terlihat menurun. Ini dikarenakan hampir semua proses dalam tahap koalisi relatif sudah dilewati. Proses tersebut a.l. meliputi penyusunan tujuan dan strategi bersama, organisasi gerakan, dan lahirnya pemimpin-pemimpin.
46
Tahap ketiga: Birokratisasi Gerakan PRBBK mengalami tahap birokratisasi yang signifikan pada 2006-2008 dengan diterbitkannya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sejumlah peraturan pemerintah turunannya, serta pembentukan BNPB. Belakangan, kehadiran BNPB disusul dengan pendirian BNPB di level daerah. Tahap birokratisasi juga dimeriahkan oleh formalisasi gerakan PRBBK melalui pembentukan unit-unit PRBBK di sejumlah lembaga pemerintah, donor, masyarakat sipil, hingga sektor swasta. Gagasan PRBBK diadopsi dengan seperangkat strategi yang membuatnya tidak lagi berjalan tanpa rencana. Jumlah staf yang dibayar untuk program PRBBK meningkat, sedangkan sukarelawan menurun. Gerakan PRBBK menjadi istilah yang umum dan normal di kalangan praktisi kebencanaan. Dia mulai menjelma sebagai business as usual. Diskusi dan perdebatan tentang prinsip dasar dan efektivitasnya makin sayup-sayup, sebab hampir semua pihak telah menerima kebenarannya. Sampai batas-batas tertentu, pada tahap ini, gerakan PRBBK dapat dikatakan telah menjadi bagian dari status quo. Yang dimaksud status quo di sini bukan saja berupa masuknya dalam lembaran-lembaran resmi negara, tetapi juga dalam praktik sehari-hari di NGO dan lembaga masyarakat sipil lainnya. Semua pihak mengklaim dan ingin melakukan PRBBK. Seolah-olah tanpa kata PRB dan PRBBK dalam dokumen program atau proyek, kegiatan penanganan bencana kurang sahih. Tahap keempat: Hasil Sejumlah studi empiris mengenai gerakan sosial menunjukkan hasil akhir yang mungkin dari sebuah gerakan relatif sangat bervariasi. Meski demikian, secara umum terdapat lima kemungkinan hasil akhir gerakan, yaitu represi, kooptasi, sukses, gagal, dan institusionalisasi. Pembahasan lebih lengkap mengenai teori lima hasil itu dapat dilihat pada bab sebelumnya. Dalam konteks gerakan PRBBK, hasil akhir berupa represi dan kegagalan tentu tidak diharapkan terjadi. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda ke sana. Tidak ada pihak yang tampak ingin melakukan represi terhadap gerakan ini untuk mematikannya. Demikian pula, opsi kegagalan masih jauh dari kenyataan karena gerakan tersebut tetap hidup sampai saat ini. Kemungkinan hasil lain yang pasti ingin dihindari adalah kooptasi. Kooptasi terjadi manakala gerakan terlalu bergantung kepada otoritas terpusat (termasuk pemerintah dan badan berwenang lainnya). Para pemimpin gerakan lebih mendekat kepada kekuasaan atau organisasi yang sebenarnya dijadikan sasaran gerakan, dibanding dengan konstituen gerakan tersebut. Ancaman kooptasi yang tak kalah mengkhawatirkan adalah jika organisasi yang lahir dari gerakan tersebut justru menjadi bagian dari praktik cara kerja (business process) lama yang ingin dirombak. Gerakan atau organisasi itu malah tak ada bedanya dengan organisasi di masa lalu yang dikritik. Proses ini ditandai dengan pembajakan gerakan oleh praktik birokrasi yang belum direformasi yang memiliki wewenang atas anggaran negara dan akses ke kebijakan sebagai dampak dari pelembagaan karena amanat undang-undang. Tata kelola PRB kemudian diurus seperti praktik birokrasi yang lazim 47
(doing business as usual). Kami membayangkan potensi kooptasi sesungguhnya telah mengintip tatkala business process pengurangan risiko bencana menjadi sekedar urusan administrasi atau nomenklatur APBN/APBD dan dilakukan seadanya. Kooptasi juga siap mengancam bila kita terbuai dengan besarnya anggaran kebencanaan pemerintah kini, telah adanya UU dan peraturan, hingga sudah terbentuknya BNPB. Kita terbuai dan lupa dengan semangat gerakan mula-mula. Dalam perspektif institusionalisasi, kita puas dengan pelembagaan PRBBK secara politik dan administratif, mengabaikan fakta bahwa institusionalisasi kultural yang seharusnya menjadi sasaran utama masih jauh dari jangkauan. Akhirnya, gerakan PRBBK dan institusionalisasi hanya berhenti sebagai ”mainan“ kalangan intelektual, tidak mencapai tujuannya yang mulia, yakni mendorong masyarakat tanggap bencana. Untuk mencegah kooptasi, tak ada cara lain, gerakan PRBBK harus terus-menerus diarahkan kembali kepada sasaran dari gerakan awal. Perangkap birokrasi yang memperlambat dan memperburuk PRBBK mesti dipangkas. Di sini memang dibutuhkan kerelaan untuk senantiasa mengevaluasi posisi gerakan dan mengambil langkah koreksi yang perlu. Sementara itu, dua hasil akhir gerakan yang pasti diharapkan adalah kesuksesan dan institusionalisasi. Kesuksesan berarti semua sasaran PRBBK tercapai, sehingga relatif tidak lagi diperlukan gerakan. Teori gerakan sosial menunjukkan bahwa probabilitas kesuksesan meningkat jika gerakan tersebut sifatnya lebih lokal, relatif kecil, dan memiliki sasaran yang sangat spesifik. Sebaliknya, gerakan yang bersifat nasional/internasional, besar, dan sasarannya terlalu luas cenderung lebih sulit untuk sukses. Gerakan tersebut menghadapi situasi yang lebih kompleks dengan sumber daya yang kadang-kadang lebih sulit pula untuk disatukan. Gerakan PRBBK jelas belum bisa disebut telah menuai kesuksesan. Banyak tujuan gerakan ini yang sama sekali belum terwujud. Bila kita mengacu pada tiga sasaran umum gerakan PRB dan PRBBK yang diutarakan pada bagian awal bab ini, tampak bahwa sasaran besar ketiga, yaitu masyarakat dan pemerintah menyadari risiko bencana dan bertindak untuk menguranginya setiap saat belum tercapai. Adapun sasaran pertama, yaitu pemberlakuan peraturan, kebijakan, dan kerangka kerja terkait PRB, di mana PRB menjadi bagian dari program pembangunan, sebagian telah tercapai. Seperti diketahui, kita kini mempunyai seperangkat aturan hukum yang mewajibkan penerapan PRB. Sebagian lembaga pemerintah juga telah memiliki agenda PRB. Kesuksesan parsial juga berhasil diraih dalam sasaran kedua. Beberapa tahun terakhir, kita telah melihat ada upaya peningkatan kapasitas lembaga-lembaga PRBBK, serta kemitraan di antara mereka. Pelaku PRBBK khususnya di kelompok masyarakat sipil telah secara sadar mencoba membangun jejaring guna memungkinkan transfer pengetahuan dan saling komunikasi yang lebih mulus. Meski demikian, tetap saja, gerakan PRBBK sangat sulit dikatakan telah sukses. Jalan panjang masih membentang, dengan sejumlah persoalan yang mesti diselesaikan. Bagaimana pun, sasaran terpenting
48
gerakan PRBBK sesungguhnya adalah peningkatan kesadaran dan kegiatan pengurangan risiko oleh pemerintah dan terutama masyarakat yang bersangkutan. Menuju institusionalisasi kultural dan ekonomi Sebagian besar pelaku PRBBK memandang institusionalisasi sebagai salah satu pendekatan atau strategi yang tepat untuk meningkatkan output PRB di Indonesia. Pandangan itu menjadi logis jika gerakan PRBBK dilihat dalam alur gerakan sosial. Pasalnya, institusionalisasi juga adalah kemungkinan hasil akhir dari sebuah gerakan sosial. Seperti diketahui, istilah institusionalisasi memiliki beberapa pengertian yang dapat sangat berbeda. Institusionalisasi dalam dunia politik, misalnya, merujuk pada pembentukan lembaga pemerintahan atau badan tertentu yang bertanggung jawab mengawasi atau menerapkan kebijakan. Gerakan institusionalisasi PRBBK mengincar pengertian yang lebih dalam. Institusionalisasi PRBBK lebih mengacu pada pelembagaan nilai, yaitu proses membuat sesuatu (konsep, peran sosial, nilai dan norma, atau perilaku) menjadi melekat atau berakar dalam sebuah organisasi, sistem sosial, atau masyarakat. Pelembagaan nilai menjadikannya mapan, menggantikan nilai lama. Teori institusionalisasi yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya dari kajian ini menunjukkan terdapat empat proses institusionalisasi yang berbeda, tetapi saling terkait. Gerakan PRBBK di Indonesia relatif telah mengalami institusionalisasi politik dan administratif. Pekerjaan rumah yang menanti saat ini adalah mencapai institusionalisasi ekonomi dan terutama kultural (Lihat tabel III). Tabel III. Empat Proses Institusionalisasi Institusionalisasi kultural Pelembagaan nilai Butuh waktu lebih panjang, komitmen lebih besar, sumber daya lebih banyak Institusionalisasi politik
Institusionalisasi ekonomi Ketergantungan kepada institusi sumber modal meningkat Mobilisasi dana makin dibutuhkan Institusionalisasi administratif
Integrasi dengan birokrasi
Perilaku status quo
Dukungan pemerintah dan lembaga politik bertambah
Penggunaan struktur birokrasi dalam organisasi gerakan
Berikut ini sejumlah usulan langkah aksi untuk mengejar institusionalisasi kultural dan ekonomi: Terus mendorong institusionalisasi PRB dan PRBBK dalam perencanaan dan implementasi kebijakan pemerintah
49
Langkah ini telah dilakukan dalam beberapa tahun berselang, tetapi masih perlu terus didorong. Meski pun institusionalisasi PRBBK dalam kebijakan pemerintah juga bersifat politis-administratif, tetapi dia diperlukan untuk menopang institusionalisasi kultural di level mikro. Kebijakan pemerintah, baik di kementerian maupun badan, diharapkan makin memberi angin kepada gerakan PRBBK. Pemangku kepentingan PRBBK perlu duduk bersama lagi untuk mengkaji kelengkapan peraturan terkait yang mendukung gerakan ini. Sudahkah UU dan peraturan yang ada memadai? Bila belum, dalam aspek apa saja? Kita pernah sukses mendorong lahirnya UU No.24 Tahun 2007 yang sejauh ini merupakan salah satu pencapaian terbaik. Tugas berikut adalah memastikan institusionalisasi PRBBK dalam peraturan turunan UU tersebut dan kebijakan riil di lapangan. Menyusun kerangka kerja institusionalisasi kultural dan ekonomi Tak diragukan lagi, kerangka kerja institusionalisasi merupakan alat penting untuk menuntun proses institusionalisasi itu sendiri. Hingga kini, praktis para pelaku PRBBK belum memiliki kerangka kerja institusionalisasi yang dapat menjadi panduan bersama, padahal institusionalisasi telah menjadi harapan bersama. Kerangka kerja tersebut dapat berisi strategi maupun langkah aksi bersama yang ingin dicapai dalam periode tertentu, dengan sasaran akhir institusionalisasi kultural yang berskala nasional. Meski demikian, kerangka kerja ini semestinya hanya bersifat dasar-prinsipil, di mana pelaku PRBBK bebas mengadaptasikan dengan situasi masing-masing. Pada akhirnya, dengan kontribusi setiap pelaku, kita bisa berharap seluruh output akan cukup besar sebab merupakan akumulasi dari kerja kolektif. Bayangkan apa yang dapat terjadi ketika mayoritas pemangku kepentingan bergerak dan berdampak di konteks mereka yang unik, mendorong perubahan ke arah masyarakat dan pemerintah yang menerapkan PRBBK secara konsisten. Mengembangkan basis data (database) dan publikasi praktik PRBBK di berbagai daerah Langkah ini sebenarnya telah mengemuka dalam simposium PRBBK yang diadakan MPBI. Ada keinginan kuat untuk membuat basis data sebagai semacam perpustakaan pengetahuan yang dapat diakses siapa saja. Sama halnya dengan setiap upaya pengembangan ilmu pengetahuan, basis data PRBBK akan berguna untuk transfer wawasan serta pembaruan temuan. Sayangnya, gagasan pengembangan basis data hingga kini relatif belum berjalan secepat yang diharapkan. Ada banyak kendala. Di samping jumlah data dan publikasi yang relatif tidak bertumbuh secara signifikan dari waktu ke waktu, gagasan ini terbentur dengan ketersediaan dana maupun sumber daya lainnya. Menggali program inovatif untuk debottlenecking institusionalisasi Kendala minimnya sumber daya dan besarnya tantangan yang dihadapi dalam upaya institusionalisasi sebenarnya dapat disiasati juga dengan mencoba program-program inovatif untuk memecah kebuntuan
50
(debottlenecking). Konferensi nasional sebenarnya bisa berdampak mempercepat penyebaran PRBBK jika dirancang sedemikian rupa. Program lain yang bisa dielaborasi adalah pengembangan metode atau alat pelatihan baru yang mampu meningkatkan kapasitas praktisi secara signifikan. Kita juga mungkin bisa mencoba memperbesar peran BNPB Daerah dalam rangka penyebaran kerangka kerja PRBBK. Membangun jaringan dan koordinasi Jaringan dan koordinasi sesungguhnya merupakan dua dari beberapa kata kunci keberhasilan penanggulangan bencana di mana pun. Jaringan memungkinkan sebuah kegiatan menjangkau objek yang lebih luas dan mengena, sedangkan koordinasi mendorong efisiensi. Hal ini juga berlaku bagi upaya institusionalisasi PRBBK. Indonesia tidak kekurangan ahli dan praktisi handal mengenai PRBBK. Sumber daya yang luar biasa ini seharusnya bisa dimanfaatkan lebih optimal. Untuk itu, pembangunan jaringan antar ahli, praktisi, dan pemerhati PRBBK harus terus dilakukan. Jaringan memungkinkan pertukaran informasi, penemuan sumber daya, hingga pengembangan keilmuan. Demikian pula, koordinasi antar pihak terkait akan berguna bagi institusionalisasi. Koordinasi mencegah tumpang tindih kegiatan donor yang tidak efisien, melejitkan hasil karena akumulasi kontribusi yang saling melengkapi, serta mendorong pemerataan alokasi sumber daya. Memang, koordinasi tak mudah dilakukan mengingat besarnya lingkup PRBBK itu sendiri dalam konteks Indonesia. Namun, koordinasi juga bukan mustahil. Pada tataran paling minimal, sebuah lembaga donor atau praktisi harusnya bisa memprioritaskan kegiatan tertentu di daerah tertentu yang belum pernah disentuh oleh pihak lain. Sebaliknya, lembaga donor tidak perlu mengulangi atau melakukan kegiatan yang mirip di komunitas yang telah digarap pihak lain. Adapun di level yang ideal, kita berharap koordinasi tersebut mewujud dalam kerja sama antar lembaga atau praktisi. Ini sangat mungkin dilakukan karena ruang lingkup persoalan kebencanaan di Indonesia nyaris selalu amat besar, sehingga akan lebih baik jika dihadapi beramai-ramai. Kerja sama antar lembaga dan praktisi memang sudah lumayan lazim, hanya saja tetap perlu terus didorong. Perangkap institusionalisasi Seperti dimaklumi, institusionalisasi merupakan pendekatan dan strategi yang banyak dianggap manjur bagi gerakan PRBBK. Rasanya tak ada praktisi maupun lembaga donor saat ini yang menolak atau menentang konsep ini. Dukungan begitu besar. Meski demikian, institusionalisasi juga menyimpan perangkap yang, jika kurang berhati-hati, bisa merugikan gerakan. Di bawah ini kami menyebutkan beberapa perangkap institusionalisasi yang perlu diwaspadai:
51
1. Perangkap kebenaran mutlak Perangkap ini menjebak dengan memutlakkan institusionalisasi dan PRBBK itu sendiri, seakan-akan itulah kebenaran terakhir dan cara satu-satunya yang terbaik dalam konteks penanganan bencana. Pada titik ini, proses sintesa keilmuan berakhir. Kita berhenti mencari cara baru yang mungkin lebih baik. Perspektif dan metodologi pun menjadi mandek, mengurung kita dalam status quo. Institusionalisasi maupun PRBBK perlu senantiasa ditempatkan dalam posisi sebagai kebenaran terbaik ”saat ini.“ Dengan begitu, dia selalu terbuka untuk didiskusikan lagi, dikoreksi, disempurnakan. Bila suatu ketika para praktisi menemukan kebenaran yang secara empiris terbukti lebih tepat, kita tidak akan enggan untuk berpaling dari konsep lama. 2. Perangkap sumber daya Bukan rahasia lagi bahwa pekerja kemanusiaan dan organisasi masyarakat sipil, tidak terkecuali praktisi kebencanaan, bekerja mengikuti arah minat donor. Dalam bahasa populer, mereka mengikuti ke mana sumber daya dana mengalir (follow where the money goes). Situasi tersebut memunculkan potensi jebakan, manakala institusionalisasi dan PRBBK hanya menjadi lips service untuk memperoleh proyek. Dalam kondisi itu, institusionalisasi maupun gerakan PRBBK dipastikan sulit optimal. Pertama, karena tiada kesungguhan. Motivasinya hanya uang. Kedua, pelaksanaannya sangat mungkin serampangan sebab mengejar target. Institusionalisasi kemudian menjadi istilah generik yang mudah diucapkan, tetapi implementasinya buruk. 3. Perangkap birokrasi Jebakan lain yang patut dicermati adalah institusionalisasi menjadikan gerakan PRBBK sangat birokratis dan lamban. Ini terutama jika institusionalisasi yang terjadi hanya institusionalisasi politik dan administratif. Gerakan PRBBK bakal kehilangan kelincahannya bila pelakunya (masyarakat sipil, sektor swasta, pemerintah) lebih tunduk kepada struktur dan birokrasi, ketimbang nilai-nilai dan manusia. Institusionalisasi dapat menjerumuskan dalam hutan peraturan dan tata tertib yang akhirnya mengalahkan esensi pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pendampingan komunitas dapat berbalik arah menjadi sosialisasi rutin mengenai seperangkat aturan dan cara. Tak ada bedanya dengan indoktrinasi dan pendekatan top-down yang telah lama ingin kita tinggalkan. Sektor Pengetahuan untuk PRBBK Dalam lima tahun terakhir, kita melihat banyak kebijakan dan peraturan PRB dan PRBBK yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat dan daerah. Namun, masih banyak kebijakan yang disusun dengan basis data terbatas dan dengan kesempatan untuk uji publik yang minim pula. Dampaknya, pertama, terjadi tumpang tindih dengan kebijakan lain. Kedua, kebijakan itu segera menjadi tidak relevan dengan konteks implementasi. Ketiga, hanya menjadi kebijakan di atas kertas yang tidak berdampak kepada ketahanan masyarakat terhadap risiko bencana.
52
Keadaan seperti ini bersumber dari dua hal. Pertama, dari sisi penyedia pengetahuan (supplier); kualitas, konsistensi, dan kuantitas produk pengetahuan soal PRB dan PRBBK yang mereka hasilkan masih terbatas. Lembaga penggiat PRBBK hampir semuanya terjebak ke kegiatan "sudra“ di lapangan— bergelut dengan kegiatan operasional/manajemen proyek PRBBK dan melupakan peran mereka sebagai "brahmana“ dan penghasil pengetahuan. Demikian pula halnya pusat studi kebencanaan di perguruan tinggi, yang notabene diharapkan menjadi lokomotif produksi pengetahuan, ternyata produktivitas dalam menghasilkan pengetahuan masih relatif rendah, disibukkan dengan kegiatan sebagai pelaksana proyek ketimbang sebagai pusat studi. Penelitipeneliti terbaik kita akhirnya harus bekerja di luar negeri untuk mendapatkan iklim penelitian yang sesuai. Kedua, dari sisi pengguna pengetahuan (user) atau pengambil kebijakan; kapasitas untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka akan pengetahuan untuk input kebijakan juga rendah. Mereka cenderung hanya ahli dalam birokratisasi kebijakan dan analisis untung rugi untuk analisis kebijakan. Dalam peta jalan pelembagaan PRBBK di Indonesia, peran strategis yang perlu dihidupkan adalah pertama: perlunya panggung untuk kontestasi teori dan praktik yang efektif, dan kedua adanya mekanisme yang menjembatani supplier pengetahuan dan user pengetahuan. Karena itu, salah satu syarat untuk pelembagaan PRBBK yang efektif adalah merevitalisasi lembaga penghasil pengetahuan (think tank) untuk PRBBK dan meningkatkan kapasitas pengambil kebijakan untuk mengartikulasikan kebutuhan akan perubahan kebijakan (policy reform).
53
VI. KAJIAN LANJUTAN YANG DISARANKAN
A. Analisis Ekonomi Politik dalam Pelembagaan PRB Menurut Sarah Collinson dari Overseas Development Institute, kajian ekonomi politik berkenaan dengan interaksi antara proses politik dan ekonomi dalam sebuah masyarakat, distribusi kuasa dan kekayaan antar kelompok dan individu yang berbeda, serta proses yang menyusun, menjaga, dan mengubah relasi tersebut 38. Kajian aspek ekonomi politik (pelembagaan) PRBBK, menurut hemat kami, sangat relevan karena bisa memberikan pemahaman mengenai faktor struktural yang menghambat efektivitasnya dalam mengurangi risiko bencana, sekaligus memberikan gambaran mengenai insentif dan disinsentif pelembagaan PRBBK. Kajian ekonomi politik akan menjawab pertanyaan mengapa persoalan desentralisasi sumber daya dan wewenang menjadi rumit sekalipun kita ada dalam rezim otonomi daerah, mengapa risiko bencana yang tinggi berasosiasi dengan rendahnya status sosial ekonomi warga, mengapa perempuan tetap tersubordinasi dan mendapat beban ganda dalam PRBBK, dan seterusnya. Akhir-akhir ini, makin banyak pihak, termasuk pihak donor ingin memahami bukan hanya proses sosial, tetapi juga ekonomi politik dalam isu-isu pembangunan, tidak terkecuali pelembagaan PRB dan PRBBK. Kajian proses ekonomi politik akan memberi gambaran mengenai apa yang menghambat agenda perubahan, peran riil lembaga, dan iklim pemampu (enabling environment) untuk pelembagaan PRBBK. B. Kajian Kelembagaan BNPB Tujuan kajian ini adalah menyediakan data rujukan (baseline) mengenai situasi dan pencapaian BNPB dalam perspektif perkembangan organisasi. Data ini kemudian bisa dipakai untuk melihat pelembagaan PRB dan PRBBK secara umum di Indonesia, sekaligus sebagai dasar untuk membuat rencana pengembangan kapasitas BNPB. Kajian tersebut dapat menyoroti mandat BNPB dalam pelembagaan PRB/PRBBK yang meliputi: 1. Kapasitas untuk menyusun kebijakan, peraturan, strategi, dan program PRB 2. Kapasitas untuk melaksanakan kebijakan, peraturan, strategi, dan program PRB 3. Kapasitas untuk bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain 4. Kapasitas untuk memobilisasi informasi dan pengetahuan 5. Kapasitas untuk monitoring, evaluasi, dan melakukan pembelajaran 38
Collinson, Sarah, 2003, Power, Livelihoods, and Conflict: Case Studies in Political Economy Analysis for Humanitarian Action, HPG Report 13, Overseas Development Institute. 54
Kajian itu akan mendokumentasikan proses kerja (business process) BNPB dan diharapkan mampu merekomendasikan peningkatan efektivitas perannya dalam pelembagaan PRB dan PRBBK. C. Perlunya ”think tank” dalam PRBBK Mengapa kajian ini relevan? Salah satu perangkat pokok dalam pelembagaan adalah kebijakan. Kebijakan akan efektif jika penyusunannya ditopang data yang kokoh. Seperti disebutkan dalam bagian akhir Bab IV terkait masalah sektor pengetahuan, salah satu langkah awal untuk mengatasi persoalan di sisi supply, demand, dan intermediary, adalah menelusuri siapa dan bagaimana lembaga pengetahuan berperan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Ini perlu didokumentasikan dan dianalisis dengan baik, sebagai dasar revitalisasi sektor pengetahuan untuk kebijakan publik dalam PRBBK. Kajian sektor pengetahuan untuk PRBBK bisa berbentuk kombinansi antara studi diagnostik, konsultasi dengan pemangku kebijakan, dan analisis pengalaman lembaga pengetahuan dalam mempengaruhi kebijakan publik. Hasil kajian ini dapat membantu kita mengenali dari mana kita bisa memulai upaya revitalisasi sektor pengetahuan untuk PRBBK. Pertanyaan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengidentifikasi apa yang efektif (what works) dalam menjembatani penghasil pengetahuan dan pengambil kebijakan. Ini dilakukan dengan menganalisis pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pusat studi bencana dan lembaga penghasil pengetahuan lainnya mengembangkan agenda penelitian PRB/PRBBK?
2.
Seberapa jauh pengambil kebijakan menggunakan data dalam penyusunan kebijakan publik? Siapa penyedia datanya, bagaimana prosesnya?
3.
Apa yang bisa memperkuat kolaborasi antara penghasil pengetahuan dan pengambil kebijakan?
4.
Apa yang memperkuat data/pengetahuan?
permintaan
(demand)
pengguna
kebijakan
akan
55
DAFTAR PUSTAKA
Arismunandar, Satrio. 2007. “Gerakan Mahasiswa sebagai Gerakan Sosial.” Bab II. Lihat www.satrioarismunan dar.multiply.com Asian Disaster Preparedness Center (ADPC), 2004; Building Disaster Risk Reduction in Asia. Bangkok: ADPC Bina Swadaya, 2007. Mencari Kerangka Kerja dan Memposisikan CBDRM sebagai Strategi Kunci dari Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia: Jejaring Antar Pemegang Peran. Jakarta: Makalah Simposium Nasional III CBDRM. Brüderl, J., P. Preisendörfer, and R. Ziegler. 1992. "Survival Chances of Newly Founded Business Organizations." American Sociological Review, 57: 227-242. Blumer, Herbert, 1951; “Social Movement” dalam Stanford Lyman. 1995; Social Movement: Critique, Concept, Case Studies. Washington: New York University Press. Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. Cress, D. M., and D. A. Snow. 1996. "Mobilization at The Margins: Resources, Benefactors, and the Viability of Homeless Social Movement Organizations." American Sociological Review, 61: 1089-1109., juga dikutip oleh Swaminathan A. dan James B. Wade. 2000. DeFay, Jason Bradley, “The Sociology of Social Movement”, http://www.weber. ucsd.edu/~jdefay/ sm.html, hal.2-15 De la Porta, D. & Diani, M. (2006). “Social Movements: An Introduction” (2nd Ed). Malden MA:Blackwell Publishing. Hal. 150., seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. Freeman & V. Johnson, (Eds.), Waves of protest: Social movements since the Sixties (pp. 303-324). FITRA-The Asia Foundation, Local Budget Study, 2011 Giddens, Anthony, 1992; Sociology. Oxford: Polity Press, hal. 624-630 Hawe, Penelope (1994), Capturing the Meaning of "Community" in Community Intervention Evaluation: Some Contributions from Community Psychology, Health Promotion International, 9(3):199-210 Hopper, R. D. (1950). “The Revolutionary Process: A Frame of Reference for the Study of Revolutionary Movements.” Social Forces 28 (3), 270-280, diakses pada 12 Mei 2008 dari EBSCO Online Database SocINDEX, seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc.
56
Jenkins, J. Craig dan Craig M. Eckert. 1986. “Channeling Black Insurgency: Elite Patronage and Professional Social Movement Organizations in the Development of the Black Movement.” American Sociological Review 51: 812-829. Klandermans, Bert, Marlene Roefs, dan Johan Olivier. 1998. “A Movement Takes Office.” pp. 173-194 dalam David Meyer dan Sidney Tarrow (eds.), The Social Movement Society: Contentious Politics for a New Century. Lanham, MD: Rowman and Littlefield. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, seperti dikutip dalam Christiansen, Jonathan. 2009. “Four Stages of Social Movements.” EBSCO Publishing Inc. Lassa, Jonathan, Puji Pujiono, dkk, 2009; Kiat Tepat Mengurangi Risiko Bencana, PRBBK. Jakarta: Grasindo. McCarthy, John D., dan Mayer N. Zald. 1973. “The Trend of Social Movements in America: Professionalization and Resource Mobilization.” Morristown, NJ: General Learning Press. Macionis, J. J. (2001) Sociology (8th ed). Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Miller, F. D. (1999). The end of SDS and the emergence of weatherman: Demise through success. In J. Parlan, Hening. 2007. Peran CBDRM dalam UU No. 24 Tahun 2007 dan Rencana Aksi Nasional. Jakarta: Makalah Simposium Nasional III CBDRM. Sadikin dkk., 2005; “Jurnal Analisis Sosial: Perdebatan Konseptual tentang Kaum Marginal,” Vol 10, No.1, Juni 2005, Bandung: Akatiga Press Sarah Collinson, 2003, Power, livelihoods and conflict: case studies in political economy analysis for humanitarian action, HPG Report 13, Overseas Development Institute. Sills, David L., Ed., 1972. International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Collier-MacMillan Publishers. Swaminathan A. dan James B. Wade. 2000. “Social Movement Theory and the Evolution of New Organizational Forms.” Stanford University Press. Touraine, Alain; 1998; What is Democracy, Colorado: Westview Press, hal. 56-58 Turner, Ralph H, dan Lewis M. Killan. 1972. Collective Behaviour, Englewood Cliffs, New Jersey: PrenticeHall, Inc., Bab 3-12 Voss, Kim dan Rachel Sherman. 2000. “Breaking the Iron Law of Oligarchy: Union Revitalization in the American Labor Movement.” American Journal of Sociology 106: 303-349. Wade. 2000. “Social Movement Theory and the Evolution of New Organizational Forms.” Stanford University Press.
57
Walker, Edward, 2005; Learning from the Insurgents: The Institutionalization of Social Movements and the Growth of Grassroots Lobbying, disertation, Pennsylvania State University. Weber, Max. 1991 [1946]. Dari Max Weber: Essays in Sociology, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills. New York: Routledge.
58