PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING
TISEN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2013 Tisen NRP G251110041
RINGKASAN TISEN. Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering. di bimbing oleh Yonny Koesmaryono dan Impron. Di Indonesia, kebanyakan budidaya tanaman jagung (Zea Mays L.) dilakukan di lahan kering dimana air merupakan faktor utama pembatas produksi. Sehingga, diperlukan adanya pengembangan teknik budidaya yang efisien dalam hal penggunaan air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di bawah tongkol terhadap kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari untuk pertumbuhan, efisiensi pemanfaatan radiasi dan air (EPR dan EPA) serta produktivitas tanaman jagung di lahan kering. Perlakuan irigasi untuk pemenuhan kebutuhan air tanaman dilakukan dalam 3 taraf, yakni pemenuhan kebutuhan 100% dari total kebutuhan air tanaman untuk satu musim pertumbuhan (DI 100%), pengurangan 20 dan 40% dari total kebutuhan air tanaman (DI 80% dan DI 60%). Sedangkan perlakuan pemangkasan dilakukan pada saat tanaman telah memasuki fase generatif dengan 3 taraf, yakni tanpa pemangkasan (P0) sebagai kontrol serta pemangkasan 3 dan 6 daun di bawah tongkol (P3 dan P6). Efisiensi pemanfaatan radiasi surya perlakuan DI 80% (3.2 g MJ-1) tidak berbeda nyata dengan EPR perlakuan DI 100% (3.1 g M-1), keduanya lebih besar dari EPR perlakuan DI 60% (2.6 g MJ-1). EPR perlakuan P0 (3.1 g MJ-1) tidak berbeda nyata dengan EPR perlakuan P1 (3.0 g MJ -1), keduanya lebih tinggi dari EPR perlakuan P6 (2.7 g MJ-1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengurangan 40% dari total kebutuhan air tanaman atau pemangkasan 6 daun di bawah tongkol dapat menurunkan efisiensi pemanfaatan radiasi. Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 100% (7.0 ton ha -1) adalah yang tertinggi. Produktivitas tanaman pada perlakuan DI 80% (6.6 ton ha -1) tidak berbeda nyata dengan DI 100% dan DI 60% (6.2 ton ha -1). EPA perlakuan DI 60% (0.74 kg m-3) secara nyata lebih tinggi daripada EPA perlakuan DI 80% (0.59 kg m-3) maupun EPA perlakuan DI 100% (0.50 kg m-3). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengurangan irigasi hingga 40% beresiko menurunkan produktivitas tanaman karena kebutuhan air tanaman tidak terpenuhi secara optimal. Meskipun demikian, berdasarkan kondisi lahan kering yang ketersediaan air sangat terbatas, pengurangan irigasi dapat diterapkan sebagai teknik budidaya yang efisien dalam hal penggunaan air agar produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air dapat terwujud. Kata kunci: Zea Mays L. intersepsi, produktivitas, kebutuhan air.
SUMMARY TISEN. Reduction of Irrigation and Pruning leaves for Solar Radiation Use Efficiency of Maize in Dryland. guided by Yonny Koesmaryono and Impron . In Indonesia, maize (Zea Mays L.) is cultivated mostly on the dry land, where water is the main limiting factor for production. Thus, it is necessary to develop the efficient cultivation techniques in terms of water use. The objective of this study was to evaluate the effect of the reduction of irrigation and pruning leaves below the cob on the ability of plants to intercept solar radiation for growth, and for radiation and water use efficiency (RUE and WUE) and maize productivity. Irrigation treatments for crop water requirement is conducted on 3 levels, namely 100% fulfilment of the total water requirement for one growing season (DI 100%), the reduction of 20 and 40% of the total crop water requirement (DI 80% and DI 60%). While pruning is conducted by the time plants have entered the generative phase with 3 level of treatments, i.e. without pruning (P0) as a control, and prunning of 3 and 6 leaves below cob (P3 and P6). Radiation use efficiency (RUE) treatments DI 80% (3.2 g MJ-1) was not significantly different from treatment DI 100% (3.1 g M-1), is greater than the RUE treatments DI 60% (2.6 g MJ-1). RUE P0 treatment (3.1 g MJ-1) was not significantly different from treatment RUE P1 (3.0 g MJ-1), both higher than the P6 RUE treatment (2.7 g MJ-1). These results indicate that the reduction of 40% of the total crop water requirement or trimming 6 below cob leaf can decrease the RUE. Plant productivity on DI 100% treatment (7.0 ton ha -1) was the highest. Plant productivity on DI 80% treatment (6.6 ton ha-1) was not significantly different from DI 60% and DI 100% (6.2 ton ha-1). WUE treatment DI 60% (0.74 kg m-3) significantly higher than WUE treatment DI 80% (0.59 kg m-3) and WUE treatment DI 100% (0.50 kg m-3). The results showed that the reduction of irrigation up to 40%, could reduce the crop productivity because of crop water requirements are not fulfilled optimally. Nonetheless, the reduction of irrigation can be applied as an efficient cultivation techniques in terms of water use so that the sustainable production and conservation of water resources can be achieved.
Key words : Zea Mays L., interception, productivity, water requirement.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGURANGAN IRIGASI DAN PEMANGKASAN DAUN UNTUK EFISIENSI PEMANFAATAN RADIASI SURYA TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING
TISEN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Rini Hidayati, MS
Judul
Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering
Nama
Tisen G25111 0041 NRP Program Studi : Klimatologi Terapan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Vonny Koesmaryono, MS Ketua
Dr Ir Impron, MAgrSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Klimatologi Terapan
Dr Ir Tania June, MSc
Tanggal Ujian : 26 Juli 2013
Tanggal Lulus :
2 3 OCT 2013
Judul
: Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering
Nama : Tisen NRP : G251110041 Program Studi : Klimatologi Terapan
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS Ketua
Dr Ir Impron, MAgrSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Tania June, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 26 Juli 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2012 ini ialah produktivitas jagung di lahan kering, dengan judul Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun untuk Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman Jagung di Lahan Kering. Penulis menyampaikan penghargaan dan terimah kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2, dan Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang telah membiayai penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku Ketua Komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Impron, M. Agr Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Haruna, S.Pi, M.Si, Kepala BPTP NTT dan Kepala Kebun Percobaan (KP) Naibonat yang telah menfasilitasi tempat penelitian dan sarana pendukung lainnya. Dan terima kasih pada teman-teman mahasiswa Program Studi Klimatologi Terapan (Yopi Ilhamsyah, Syahrizal Koem, Lisa Tanika, Rahmi Ariani, Heni Maryati, Subekti Sulistyawati dan Sisi Febriyani Muin), yang telah memberikan masukan dan dukungan. Rasa hormat yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua (Taswin Kaluku dan Suniwati D Pakaya) atas doa dan dukungannya. Penulis menyadari bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis berbesar hati untuk selalu menerima saran dan masukan yang sifatnya membangun untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Atas segala saran dan masukan, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013
Tisen
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Iklim dan Pertanian Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering Masalah Pertanian di Lahan Kering Kebutuhan Air Tanaman Jagung Pengembangan Teknologi Hemat Air Efisiensi Pemanfaatan Radiasi oleh Tanaman
4 5 6 7 8 10
3 METODE Bahan dan Alat Lokasi Rancangan Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengukuran Agronomi Skenario Pemberian Irigasi Pemangkasan Daun Panen Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi
11 12 12 13 14 16 17 19 19 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
20 32
SIMPULAN DAN SARAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Skenario pemberian irigasi Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung Pengaruh pengurangan irigasi terhadap luas daun Pengaruh pengurangan irigasi terhadap jumlah daun Pengaruh pengurangan irigasi terhadap tinggi tanaman Pengaruh pengurangan irigasi terhadap biomassa tanaman Respon hasil tanaman jagung terhadap pengurangan irigasi dan pemangkasan daun Respon hasil tanaman terhadap pemangkasan daun Produktivitas tanaman Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi Jumlah dan bobot daun hasil pemangkasan Analisis ekonomis manfaat pemangkasan daun untuk pakan ternak sapi Analisa pemanfaatan daun hasil pemangkasan untuk hijauan makanan ternak (HMT) sapi Analisa ekonomis pemangkasan daun tanaman jagung untuk hijauan makanan ternak (HMT)
17 23 25 27 29 29 29 30 30 31 32 37 37 38 38
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Saluran irigasi sederhana Curah hujan bulanan rata-rata di lokasi penelitian Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam Evapotranspirasi potensial selama penelitian Indeks Luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi Intersepsi radiasi surya oleh tanaman Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun 8 Laju asimilasi bersih dan laju tumbuh tanaman jagung pada masingmasing pengurangan irigasi. 9 Peubah-peubah pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing perlakuan irigasi. 10 Produktivitas tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun
18 20 21 22 23 24 25 26 28 31
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Karakteristik tanah di lokasi percobaan Data cuaca Hasil sidik ragam indeks luas daun Analisis pertumbuhan tanaman Sidik ragam komponen hasil tanaman Dokumentasi kegiatan di lokasi penelitian Deskripsi jagung varietas Lamuru
47 47 51 51 52 54 55
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan bagi masyarakat dunia adalah mencapai ketahanan pangan berkelanjutan di tengah pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, degradasi sumber daya alam dan perubahan iklim global. Perubahan iklim global akan mempengaruhi unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu, a) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer; b) berubahnya pola curah hujan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim seperti El Nino maupun La Nina (Las 2007). Untuk menghadapi perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pertanian, berbagai langkah antisipasi yang telah diupayakan berjalan bukan tanpa kendala. Dalam pelaksanaannya, sering muncul beberapa hal yang menjadi permasalahan sektor pertanian, misalnya pada langkah untuk meningkatkan produksi pertanian dengan cara memperluas areal pertanian. Konversi lahan pertanian yang subur untuk kepentingan nonpertanian terus berlangsung seperti perumahan, industri, bisnis dan infrastruktur. Menghadapi kenyataan bahwa semakin menurunnya ketersediaan lahan yang layak untuk areal pertanian, maka kita seyogyanya berpaling ke potensi yang masih cukup luas di Indonesia yakni lahan kering (Dahlan 2001). Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian rumput, perkebunan, dan lahan tidak diusahakan (Abawi et al. 2002). Karakteristik lahan kering kurang menguntungkan karena keragaman ekosistemnya cukup kompleks akibat adanya faktor lingkungan yang menjadi pembatas. Rendahnya produktivitas lahan kering, selain disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang rendah, juga disebabkan oleh rendahnya intensitas indeks pertanaman karena kebutuhan air tidak tersedia sepanjang tahun. Evapotranspirasi cukup tinggi pada musim kemarau sehingga tanaman mudah mengalami stress dan berdampak pada produktivitas yang tidak optimal (Abdurachman 2008). Faktor pembatas pengembangan pertanian di lahan kering adalah ketersediaan air tanah yang disebabkan oleh pola iklim dan pemilihan jenis tanaman budidaya yang terbatas. Faktor pembatas tersebut harus disikapi dengan arif melalui inovasi teknologi yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang (Supriyanto 2010). Upaya peningkatan hasil pertanian lahan kering beriklim kering perlu tindakan secara selektif dan memilih komoditas yang adaptif terhadap kondisi lahan kering. Di Indonesia, petani biasanya memanfaatkan lahan kering untuk budidaya jagung (Koesmaryono et al. 2005). Namun, jagung sensitif terhadap cekaman kekeringan (Pandey et al. 2000), sehingga lahan kering dianggap sebagai lahan yang tidak produktif untuk budidaya tanaman jagung. Sensitivitas tinggi jagung terhadap kekeringan berarti bahwa dalam kondisi defisit air, sulit untuk menerapkan strategi pengelolaan irigasi tanpa menimbulkan kerugian hasil yang signifikan (Lamm et al. 1994). Defisit air pada tanaman menyebabkan cekaman kekeringan yang berpengaruh terhadap evapotranspirasi
2 tanaman dan hasil (Doorenbos dan Kassam 1979). Stone et al. (2001) menyatakan bahwa efisiensi pemanfaatan radiasi surya (EPR) tanaman jagung dipengaruhi oleh faktor ketersediaan air tanah. Traore et al. (2000) menyatakan bahwa cekaman kekeringan dapat menurunkan ILD. Penurunan ILD berpengaruh pada efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman untuk menghasilkan asimilat, karena intersepsi radiasi sangat ditentukan oleh ILD (Bonhomme 2000). Kekurangan sumber daya air memaksa petani lahan kering untuk mempertimbangkan pilihan pengurangan irigasi untuk mengurangi penggunaan air pertanian (Jose et al. 2006). Pengurangan irigasi dalam beberapa kasus mampu menghemat air dengan mengurangi konsumsi air dan sedikit kehilangan dalam hasil tanaman (Fereres dan Soriano 2006). Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan pada setiap fase pertumbuhan. Di daerah kering dan semi-kering, ketersediaan air yang sangat terbatas memerlukan perubahan besar dalam pengelolaan irigasi dan penjadwalan dalam rangka meningkatkan efisiensi penggunaan air yang dialokasikan untuk pertanian (FAO 2002). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterbatasan air di lahan kering tidak diikuti oleh kebiasaan petani dalam penggunaan air untuk budidaya tanaman. Pemberian irigasi tanaman sering tidak mempertimbangkan keterbatasan pasokan air yang tersedia. Pengurangan irigasi atau yang lebih umum dikenal sebagai irigasi defisit diusulkan sejak lama sebagai suatu teknik yang mengairi zona akar yang mengarah pada langkah pengurangan evapotranspirasi untuk menminimalisir penggunaan air irigasi dengan mempertahankan laba bersih petani (Hoffman et al. 1990). Penurunan ketersediaan air untuk irigasi dan hasil positif yang diperoleh dalam beberapa tanaman pohon buah telah memperbaharui minat dalam mengembangkan informasi tentang irigasi defisit untuk berbagai tanaman (FAO 2002; Fereres dan Soriano 2006). Dorji et al. (2005) menyatakan bahwa irigasi defisit bisa menjadi strategi irigasi layak untuk produksi di mana manfaat dari penghematan air melebihi penurunan massa total segar buah. Selain pengurangan irigasi, untuk meningkatkan produktivitas tanaman jagung di lahan kering ditempuh dengan cara pemangkasan daun bawah pada fase generatif. Cara ini dapat mempersingkat siklus metabolisme tanaman pada fase generatif agar suplai makanan mengarah ke pengisisan biji sehingga memperkecil aktivitas transpirasi pada tanaman jagung agar penggunaan air lebih efisien dengan berkurangnya transpirasi dari daun sehingga efisiensi aliran energi dapat tercapai, dan dapat tersalurkan dalam pengisian biji, yang nantinya berpengaruh bobot biji sehingga dapat meningkatkan produktivitas (Crookston dan Hick 1977). Tujuan dari pemangkasan suatu tanaman adalah untuk mengendalikan ukuran dan bentuk tanaman, mempercepat dan memperkuat pertumbuhan dan meningkatkan produksi baik kualitas maupun kuantitas (Janick 1972). Daun merupakan organ utama untuk menyerap cahaya dan melakukan fotosintesis. Spesies tanaman budidaya yang efisien cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan dalam bentuk penambahan luas daun, yang berakibat adanya peningkatan pemanfaatan radiasi matahari (Gardner 1991). Adisarwanto dan Widiastuti (2004), menyatakan pemangkasan daun tidak mengurangi produksi apabila dilakukan pemangkasan daun pada umur 50 hari setelah tanam. Sementera
3 Mattobii (2004), menyebutkan bahwa pemangkasan daun dapat meningkatkan berat pipilan apabila dilakukan pemangkasan daun pada umur 75 hari setelah tanam. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian tentang pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung terhadap : 1) Efisiensi pemanfaatan radiasi; 2) Produktivitas tanaman; dan 3) Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi tanaman jagung yang ditanam di lahan kering beriklim kering.
Rumusan Masalah Sebagian wilayah Indonesia timur memiliki lahan kering yang dapat dimanfaatkan sebagai sentra produksi jagung. Budi daya tanaman jagung di lahan kering terkendala oleh ketersediaan air yang jumlahnya terbatas karena curah hujan yang rendah. Teknologi pemanenan air hujan dengan pembuatan embung yang kemudian disalurkan melalui saluran irigasi sederhana telah dilakukan. Namun, rancangan skema irigasi untuk mengairi lahan tidak membahas situasi di mana ketersediaan air merupakan kendala budidaya tanaman jagung di lahan kering, sehingga dirumuskan masalah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian yakni apakah langkah pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman yang akan ditempuh dapat meningkatkan produktivitas lahan kering beriklim kering dengan kondisi ketersediaan air yang terbatas serta radiasi surya dan tingkat penguapan (evapotranspirasi) yang cukup tinggi.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisa pertumbuhan tanaman untuk melihat pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan produktivitas tanaman jagung (Zea Mays L.) yang ditanam di lahan kering beriklim kering.
Manfaat Penelitian Penelitan ini diharapkan mencapai luaran berupa suatu rekomendasi aplikatif, yang bisa diterapkan oleh petani tentang pengurangan air irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung. peningkatkan produktivitas serta peningkatan efisiensi pemanfaatan air dalam pertanian irigasi dapat tercapai, untuk menjamin produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air terbatas.
Ruang Lingkup Penelitian Curah hujan yang rendah menjadi faktor pembatas kegiatan budidaya tanaman jagung di lahan kering beriklim kering. Cekaman kekeringan mempengaruhi fisiologi tanaman seperti menurunkan ekspansi luas daun yang dapat mempengaruhi efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan produksi tanaman jagung. Langkah menghemat penggunaan air dengan cara mengurangi pasokan air
4 irigasi ke lahan budidaya, serta mengurangi penguapan dengan cara mengeluarkan bagian-bagian tanaman yang tidak produktif perlu dipertimbangkan. Oleh karena itu, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengkaji langkah pengelolaan air irigasi yang lebih efisien dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung di lahan kering. Penelitian ini difokuskan pada pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun terhadap efisiensi pemanfaatan radiasi surya dan air serta produktivitas tanaman jagung yang dibudidayakan di lahan kering dengan mengabaikan pengaruh jarak tanam, aplikasi pupuk dan faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung.
2 TINJAUAN PUSTAKA Iklim dan Pertanian Pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang sangat tergantung pada cuaca dan iklim untuk menghasilkan makanan dan serat yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan manusia melalui pemanfaatan energi matahari melalui proses fotosintesis. Cahaya tampak yang digunakan untuk proses fotosintesis merupakan bagian spektrum energi radiasi. Tumbuhan menyerap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia. Bahan kimia yang pertama terbentuk adalah nukleotida tereduksi dengan ATP. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa antara yang berumur pendek, yang mengkarboksilasi CO 2 menjadi seyawa organik yang stabil (Gardner et al. 2008). Spesies tumbuhan berbeda-beda responnya terhadap tingkat cahaya. Seperti kebanyakan spesies C4, jagung mampu meningkatkan fotosintesis bahkan sampai pada tingkat cahaya yang sangat terik, Sedangkan kebanyakan spesies C 3 telah mencapai tingkat kejenuhan sebelum cahaya penuh/terik (Gardner et al. 2008). Dinyatakan bahwa intensitas cahaya yang tinggi akan menghambat biosintesis klorofil, khususnya pada biosintesis 5-aminolevulinat sebagai prekursor klorofil. Hesketh dan Moss (1962) mengemukakan bahwa daun jagung dapat mengalami jenuh atau kenyang cahaya pada konsentrasi CO2 yang rendah kirakira 40 ppm. Tingkat fotosintesis pada konsentrasi CO2 500 ppm dapat mencapai 1,4 kali lipat fotosintesisnya pada konsentrasi CO2 320 ppm bila intensitas cahaya 1,0 ly/menit. Jika faktor-faktor lain tidak merupakan faktor pembatas, maka intensitas cahaya merupakan faktor utama yang menentukan kecepatan tumbuh tanaman jagung (Duncan et al. 1973). Selain cahaya, suhu sebagai salah satu unsur cuaca dan iklim turut mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Para ilmuwan telah lama mengakui pentingnya suhu dalam mengatur tingkat proses fisiologis dan mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Setiap proses penting dibatasi untuk kisaran suhu yang sesuai dan memiliki suhu operasi yang optimal. Laude (1974) Menyatakan bahwa respon suhu dikondisikan oleh faktor lain dari lingkungan. Dua contoh adalah asosiasi suhu dengan kelembaban dan energi radiasi dengan suhu.
5 Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan tanaman terutama pada proses respirasi, dimana hasil fotosintesis akan diubah menjadi CO 2 dan H2O, sehingga semakin besar respirasi, laju pertumbuhan tanaman menjadi berkurang. Pengaruh suhu yang lain yaitu dalam pertumbuhan panjang akar tanaman, dimana kedalaman akar bertambah secara linier dengan heat unit sampai saat pembungaan. Peningkatan suhu akan mempengaruhi proses fisiologis yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan akhirnya yang paling mungkin menurunkan hasil panen. Kersebaum et al. (2009) menyatakan bahwa suhu yang lebih tinggi di musim panas kemungkinan besar akan berpengaruh negative terhadap fotosintesis dan dengan demikian mengurangi produksi biomassa. Suhu malam hari yang lebih tinggi menimbulkan peningkatan respirasi sehingga mengurangi produksi netto dalam bentuk hasil gabah (Rasul et al. 2012). Tanaman mutlak membutuhkan air sebagai salah satu bahan dasar untuk menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis. Curah hujan merupakan faktor peubah penentu yang sangat penting dan merupakan sumber air utama bagi tanaman, Jika air tersedia maka kebutuhan air tanaman lebih ditentukan oleh faktor iklim, terutama radiasi surya, tekanan uap atmosfer dan angin. Kebutuhan air bagi tanaman pada umumnya makin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman sampai mencapai pertumbuhan vegetatif maksimum untuk kemudian menurun kembali sampai panen. Kebutuhan air tanaman berkisar antara 60 mm pada awal pertumbuhan sampai 120 mm pada pertumbuhan paling aktif. Dalam hal ini distribusi curah hujan lebih penting daripada total curah hujan. Menurut penelitian diketahui bahwa penurunan hasil akibat kekeringan mencapai 15% (Muhadjir 1988).
Pertanian di Lahan Kering Beriklim Kering Definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari dua per tiga dari evapotranspirasi potensial (ETp), dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan air. Kategori lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak belukar, padang rumput, dan padang pasir. Istilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan upland, dryland atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan pengunaan lahan untuk pertanian tadah hujan (Notohadinegoro, 2000). Tinggi rendahnya produktivitas lahan kering berkorelasi dengan pola curah hujan karena sumber air irigasinya adalah berasal dari air hujan (Abawi et al. 2002). Berdasarkan jumlah dan distribusi hujan, Las et al. (1991) membagi lahan kering menjadi lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah adalah lahan dengan curah hujan lebih dari 2000 mm tahun-1 dengan masa tanam sistem tadah hujan lebih dari 6 bulan, sedangkan lahan kering beriklim beriklim kering adalah lahan dengan curah hujan kurang dari 2000 mm tahun-1 dan masa tanam kurang dari 6 bulan. Menurut Hidayat dan Mulyani (2002), lahan kering beriklim basah umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi tengah, Serta wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lahan kering beriklim kering umumnya tersebar di Indonesia bagian timur (Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian besar Sulawesi Tenggara,
6 Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan, serta sedikit wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Lahan kering menempati areal yang terluas dan memiliki kedudukan yang strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Pemanfaatan lahan kering merupakan sarana penting dalam usaha pemerataan pembangunan. Lahan kering merupakan penghasil berbagai komoditas pertanian seperti pangan, sandang, perkebunan, perumahan, obat-obatan, disamping sebagai penghasil devisa (Wikantika dan Agus 2006).
Masalah Pertanian di Lahan Kering Kendala produksi di lahan kering adalah kondisi fisik lahan (kedalaman tanah relatif dangkal, sebagian horizon A atau B hilang tererosi, lereng curam, kekeringan), teknologi (penerapan teknik konservasi yang lemah), dan sosial ekonomi (ketiadaan modal untuk menerapkan teknologi anjuran dan tiadanya subsidi dan kredit bagi petani pelaksana teknologi konservasi). Agregat dari kendala fisik, teknologi, dan sosial ekonomi tersebut adalah produktivitas lahan rendah. Biaya untuk meningkatkan produktivitas lahan meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, dan yang dikhawatirkan adalah ketidakstabilan ekonomi, sosial, dan politik (Fagi dan Las 2006). Aqil (2008) mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman di lahan kering secara langsung dipengaruhi oleh faktor iklim terutama curah hujan. Berbeda dengan padi sawah, yang lingkungan tumbuhnya selalu tergenang air, di lahan kering seringkali mendapat berbagai cekaman (stress) karena kekeringan, keracunan dan kekahatan berbagai unsur-unsur hara, selain gangguan berbagai penyakit dan gulma (curah hujan tahunan di lahan kering berkisar antara 1200 hingga 3000 mm). Jumlah dan sebaran hujan merupakan komponen iklim yang amat penting yang mencirikan kesesuaian suatu lingkungan untuk pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air untuk tanaman tergantung pula pada sifat fisik tanah, terutama daya memegang airnya. Oleh karena itu, pada lahan kering curah hujan dan kapasitas tanah memegang air merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi tanaman. Masalah ini dapat diatasi antara lain dengan penggunaan varietas unggul berumur genjah, saat tanam yang tepat dan membuat konservasi air permukaan berupa embung/waduk kecil (Idjudin dan Marwanto 2008). Kelangkaan air sangat menghambat proses produksi pertanian khususnya di lahan kering beriklim kering. Hujan merupakan sumber air utama tanaman di sebagian besar wilayah Indonesia. Di daerah kering beriklim kering, curah hujan tahunan yang lebih dari 1000 mm mampu mendukung pertanian dengan diterapkannya teknologi hemat air. Curah hujan sebesar 1000 mm tahun -1 bila dimanfaatkan secara efisien dapat menunjang proses produksi untuk dua musim tanam tanaman semusim dengan asumsi bahwa kebutuhan air secara umum untuk tanaman semusim lahan kering adalah 120 mm per bulan (Oldeman et al. 1980). Untuk pengembangan pertanian lahan kering, masalah teknis merupakan dasar penyusunan program terpadu dalam kaitannya dengan pengembangan sistem pertanian berkesinambungan (sustained agricultural system). Berdasarkan
7 pertimbangan faktor-faktor potensi lahan, kendala fisik lingkungan, dan keadaan sosial ekonomi penduduk. Ekstensifikasi dan intensifikasi pertanaman, tanaman semusim di lahan kering perlu dilakukan. Dalam pemanfaatan lahan-lahan kering harus dikembangkan teknologi yang ramah lingkungan, dengan memperhatikan aspek konservasi tanah dan air untuk menjaga kelestarian sistem produksi. Tanaman jagung (Zea mays L.) mempunyai kemampuan adaptasi yang luas dan relatif mudah dibudidayakan, sehingga komoditas ini ditanam oleh petani di Indonesia pada lingkungan fisik dan sosial-ekonomi yang sangat beragam. Tanaman spesies C4 ini merupakan komoditas yang adaptif pada lahan kering, hanya saja produktivitasnya rendah (Haruna 2011). Konsumsi jagung semakin meningkat namun belum diikuti oleh peningkatan produksi. Laju pertumbuhan produksi lebih rendah dari laju konsumsi, rata-rata hanya 4% tahun-1 sehingga Indonesia masih harus impor lebih kurang 3.2 juta ton dari negara produsen (Haruna 2012:4-5). Di sisi lain terjadi peningkatan khususnya pada sektor bahan pakan ternak. Kebutuhan jagung sebagai bahan pangan cenderung mengalami penurunan. Secara umum produksi tanaman jagung sering mengalami penurunan seperti yang terjadi pada tahun 2011, dengan persentase penurunan sebesar 3.73% tahun-1 (BPS 2012). Masih rendahnya produksi menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung belum optimal (Zubachtirodin et al. 2007). Kondisi iklim mikro yang menjamin output dari panen jagung yang besar dan stabil ditandai dengan cadangan kelembaban tanah yang baik (140 hingga 180 mm kelembaban produktif dalam lapisan tanah kedalaman 1 m) selama sebagian besar dari musim tanam, disertai kondisi suhu yang optimum. Cadangan kelembaban tanah sangat dipengaruhi oleh kadar air yang terdapat pada lapisan tanah dan jumlahnya dipengaruhi oleh evapotranspirasi. Besarnya evapotranspirasi di dipengaruhi oleh berbagai faktor (Mather 1974), yaitu (a) iklim (radiasi neto, kecepatan angin, dan kelembaban tanah), (b) tipe tanah, (c). (d) tipe vegetasi dan kedalaman perakaran, dan (e) praktek pengolahan tanah. Perkembangan dan pertumbuhan tanaman jagung juga ditentukan oleh proses fisiologi yang berlangsung didalamnya seperti proses transpirasi. Salisbury dan Ross (1992) menyatakan besarnya uap air yang ditranspirasikan dipengaruhi faktor dari dalam tumbuhan (jumlah, luas dan jumlah stomata daun) dan faktor luar (suhu, cahaya, kelembaban, dan angin). Ketidakberimbangan ketersedian air dengan tingginya transpirasi daun menyebabkan penyerapan air yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman jumlahnya lebih sedikit dibandingkan denngan jumlah air yang terbuang melalui transpirasi.
Kebutuhan Air Tanaman Jagung Salah satu faktor penting yang menunjang pertumbuhan tanaman jagung adalah air yang merupakan faktor pembatas dan sangat penting untuk mendapatkan hasil panen jagung yang tinggi. Aqil (2008) menyatakan bahwa lahan yang kekurangan air akan menyebabkan aerasi udara dalam tanah terganggu dan pasokan oksigen dalam tanah tidak lancar, sehingga perkembangan tanaman menjadi tertunda atau mengalami kekerdilan.
8 Kecenderungan untuk menanam jagung di daerah rawan distribusi curah hujan yang tidak normal juga diduga menjadi alasan untuk difusi lambat peningkatan teknologi. Sidhu et al. (2006) melaporkan bahwa estimasi global penurunan 15% dalam produksi jagung setiap tahunnya disebabkan kekeringan.
Pengembangan Teknologi Hemat Air Saeed et al. (1998) mempelajari respon genotipe terhadap kekeringan dalam tiga genotipe jagung. Kekeringan selama perkembangan reproduksi menyebabkan pengurangan maksimum (50%) dalam hasil gabah dari tiga kultivar diikuti oleh kekeringan selama perkembangan vegetatif. Kekeringan selama perkembangan reproduksi memiliki efek penekanan lebih besar pada faktor penentu fisiologis seperti tingkat pertumbuhan tanaman, laju asimilasi bersih rata-rata dan indeks panen dari tiga kultivar selama perkembangan vegetatif. Otegui et al. (1995) melaporkan bahwa defisit air mengurangi tinggi tanaman, indeks luas daun maksimum dan pembentukan biomassa. Chiaranda et al. (1977) melaporkan penurunan hasil saat tanaman mengalami cekaman kekeringan sebelum tasselling, stadium susu, pembentukan biji dan anthesis, masing-masing sebesar 29, 29, 28 dan 22% bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa cekaman. Jurgens et al. (1978) melaporkan bahwa cekaman menurunkan hasil gabah sebesar 42%. Rudat (1978) menunjukkan penurunan terbesar dalam jumlah butir per tongkol, butir per baris dan bobot 1000 butir, stres terlambat dibandingkan dengan stress awal yang mengakibatkan pengurangan hasil gabah. Javonovic (1979) melaporkan hasil yang sama. Bari et al. (1980) melaporkan penurunan bobot per 1000 biji ketika tanaman itu mengalami stres selama tahap pengisian biji. Air diperlukan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, antara lain untuk memenuhi transpirasi dalam proses asimilasi untuk pembentukan karbohidrat serta pengangkutan hasil-hasil fotosintesis ke seluruh jaringan tanaman. Penerapan teknologi hemat air dapat dikembangkan di lahan kering. Dampak konservasi air dapat bermanfaat antara lain terhadap tanaman tahunan, tambahan pendapatan, kontribusi lengas tanah dan dampak pengembangannya. Pengembangan teknologi hemat air ini dapat ditempuh dengan berbagai langkah diantaranya :
Managemen Irigasi yang Baik Salah satu teknologi hemat air dan berpeluang meningkatan produksi tanaman di lahan kering adalah dengan memanfaatkan sumber daya air seoptimal mungkin dengan melakukan analisis agroklimat dikaitkan dengan tanah dan tanaman, sehingga menjadi informasi yang lebih aplikatif untuk menunjang perencanaan masa tanam dan menekan resiko kekeringan melalui pemberian irigasi sesuai kebutuhan tanaman. Studi awal menunjukkan manfaat irigasi pada pertumbuhan jagung manis, misalnya hasil yang tinggi dapat diharapkan jika stres air dapat dihindari selama silking dan perkembangan awal bunga (Cordner 1942; MacGillivray 1949).
9 Skenario pengaturan pemberian irigasi pada musim-musim tertentu seperti pada musim kemarau, penting dilakukan karena dapat mempengaruhi tingkat produksi tanaman. Ada tiga aspek penting dalam pemanfaatan air secara efisien melalui irigasi, yaitu: jumlah air yang diberikan, waktu pemberian dan cara atau metode pemberian. Pemakaian air irigasi yang efisien adalah pemberian air yang cukup untuk membuat perakaran dalam keadaan kapasitas lapang dan pegaturan pemberian air yang sesuai dengan jumlah air yang dibutuhkan setiap fase pertumbuhan (Harjadi 1979). Jumlah air yang diberikan dapat didasarkan pada beberapa skenario. Hasil penelitian menunjukkan pemberian air irigasi kurang dari 20 mm setiap 5 hari pada musim kering belum mampu mengimbangi kehilangan dan penggunaan air oleh tanaman, sehingga akan terjadi cekaman air oleh tanaman. Sebaliknya, apabila air irigasi diberikan lebih dari 20 mm hari-1 akan terjadi pemborosan dan penjenuhan tanah serta peningkatan aliran permukaan. Ketersediaan air dalam tanah bagi tanaman umumnya pada kapasitas lapang dengan potensial air tanah 0,03 MPa dan layu permanen -1,5 MPa. Ketersediaan air tanah yang dapat diserap oleh tanaman adalah pada potensial air -0,03 sampai -0,5 MPa dan pada kondisi tersebut tanaman mengabsorbsi air sekitar 55 hingga 65% dari yang tersedia. Pada kondisi potensial air tanah sekitar -0,5 sampai -1,5 Mpa tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tanaman dapat mengabsorbsi air Selang waktu untuk pemberian irigasi berpotensi meningkatkan hasil produksi tanaman (Wang et al. 1981). Suhartono et al. (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa interval pemberian air irigasi berpengaruh pada rata-rata pertambahan tinggi tanaman sebagai pencerminan pertumbuhan tanaman. Haryadi (1986) menyatakan bahwa pemberian interval air pada kondisi optimal memungkinkan hormon tertentu bekerja secara aktif dalam didnding sel untuk meregang. Dunia menghadapi pemanasan global yang sangat serius, yang akan menghasilkan pemanasan umum dan secara signifikan meningkatkan evaporasi dan kebutuhan air irigasi untuk tanaman. Oleh karena itu, perlu untuk mengadopsi metode irigasi khusus dan efisien, seperti irigasi alur, dalam rangka mencapai produktivitas yang lebih tinggi dan penggunaan air secara optimal. Studi lapangan yang dilakukan oleh Gercek et al. 2008) pada tahun 2003 dan 2006 untuk mengevaluasi kinerja irigasi Water Pillow (WP) sebagai alternatif untuk irigasi Furrow (FI) untuk pertumbuhan kedelai di kondisi iklim semi-kering menemukan bahwa efisiensi pemanfaatan air Irigasi (Irrigation Water Use Efficiency) dan efisiensi pemanfaatan air (Water Use Efficiency) dipengaruhi secara signifikan oleh metode irigasi. Dalam perencanaan pengairan, agar air dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangan, yang perlu mendapat perhatian adalah kebutuhan air atau evapotranspirasi tanaman. Evapotranspirasi tanaman dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu evapotranspirasi potensial (ETp) dan evapotranspirasi aktual (Aqil et al. 2008). ETp merupakan jumlah air yang ditranspirasikan dalam satuan unit waktu oleh tanaman yang menutupi tanah secara keseluruhan dengan ketinggian seragam, tidak pernah kekurangan air, dan tidak terserang hama penyakit. Dengan kata lain, ETp dapat diinterpretasikan sebagai kehilangan air oleh tanaman yang diakibatkan oleh faktor klimatologis. Penentuan nilai kebutuhan air tanaman
10 (evapotranspirasi) sejauh ini masih berdasarkan pada persamaan empiris yang telah banyak dikembangkan (Doorenbos and Pruitt 1984). Pengelolaan air perlu disesuaikan dengan sumber daya fisik alam (tanah, iklim, sumber air) dan biologi dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk membawa air ke perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi (Nobe dan Sampath 1986). Sasaran dari pengelolaan air adalah tercapainya empat tujuan pokok, yaitu: efisiensi pemanfaatan air dan produksi tanaman yang tinggi; efisiensi biaya penggunaan air, pemerataan penggunaan air atas dasar sifat keberadaan air yang selalu ada tapi terbatas dan tidak menentu kejadian serta jumlahnya dan tercapainya keberlanjutan sistem penggunaan sumber daya air yang hemat lingkungan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan air untuk tanaman jagung yang banyak dibudidayakan di lahan kering dan tadah hujan, pengelolaan air penting untuk diperhatikan.
Pemangkasan Dalam upaya meminimalisir kehilangan air pada tanaman dilakukan pemangkasan untuk mengurangi laju transpirasi. Daun yang mengalami penuaan akan berubah fungsi dari produsen asimilat menjadi pengguna asimilat. Pada tanaman yang bertranspirasi bebas, air dievaporasi dari dinding sel epidermis yang lembab di bagian dalam daun dan hilang ke atmosfer melalui stomata (Fitter dan Hay 1994). Pengurangan daun dengan mengambil pada bagian bawah tongkol akan mengurangi naungan serta meningkatkan intersepsi cahaya dan laju asimilasi sehingga hasil turut meningkat. Perompesan untuk memacu pembungaan dilakukan dengan membuang bagian vegetatif yang tidak produktif terutama daun-daun di bawah tongkol, sehingga energi atau bahan makanan yang dihasilkan akan dimanfaatkan untuk proses pengisian biji pada jagung. Pemangkasan daun dilakukan untuk mengurangi persaingan antara organ-organ reproduktif dalam memanfaatkan asimilat yang ada (Wiliam dan Joseph 1997). Daun yang diambil dapat dimanfatkan untuk pakan. Nilai gizi dari daun tersebut lebih tinggi daripada daun jagung yang telah dipanen buahnya (Fadhly 2009). Bobot daun bagian bawah tongkol dapat mencapai lebih dari 5 ton ha -1, dan beragam tergantung dari kultivar yang ditanam. Waktu pengambilan daun antara 20 hingga 30 hari setelah keluarnya bunga jantan memberikan hasil biji yang tinggi.
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya oleh Tanaman Proses fotosintesis tanaman mutlak membutuhkan energi yang berasal dari Matahari. Namun, tidak semua energi yang berasal dari matahari bisa diserap untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Penyerapan atau absorbpsi radiasi surya oleh tanaman, besarnya 80 hingga 90% dalam pita spektrum Photosinteticaly Active Radiation (PAR), 10 sampai 20% dalam pita spektrum 0.7 sampai 0.8 μm serta sangat kecil pada pita spektrum 0.7 sampai 0.3 μm (Gates et al. 1965). Absorbsi sangat efisien pada PAR, Jumlah PAR yang diabsorbsi
11 menentukan pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif, dan menentukan jumlah karbohidrat yang akan diakumulasikan selama fase generatif. Efisiensi pemanfaatan radiasi surya oleh tanaman (EPR), menurut Monteith (1970) adalah perbandingan antara energi ―output‖ (penumpukan senyawa organik) terhadap energi yang terpakai atau diistilahkan ―input‖ (radiasi surya yang diterima tanaman). EPR adalah komponen utama dari model pertumbuhan tanaman berbasis radiasi, yang mengintegrasikan proses perkembangan, morfologi, fisiologi, biokimia dan beberapa pada tingkat yang lebih tinggi dari fungsi tanaman (Turner et al. 2001). Untuk menghitung energi yang terpakai dalam penumpukan senyawa organik, Monteth (1970) memperkirakan setiap 5,4 mg bahan kering sama dengan 1 kilo joule energi surya yang terpakai. Efisiensi tanaman menyimpan energi surya selain dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri, seperti; posisi dan susunan daun, indeks luas daun, struktur/jenis pigmen daun, ketersedian air dan hara. EPR juga dipengaruhi oleh faktor klimatis, seperti lintang dan musim, keawanan dan kandungan aerosol atmosfer, komposisi spektral radiasi surya, konsentrasi CO2 dilingkungan tanaman dan kuantum cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotokimia (Monteith 1970). Defisit air langsung menurunkan EPR akibat penurunan aktifitas fotosintesis (Demetriades, Shah et al. 1992), karena defisit air yang terjadi pada kondisi lapang. Penurunan EPR karena pengaruh defisit air dapat dikuantifikasi dengan membandingkan EPR observasi dengan EPR pada kondisi air yang cukup. Pengukuran EPR sangat membantu untuk memahami konsekuensi kekeringan bagi tanaman, dan variasinya menurut umur dan nitrogen daun spesifik (Muchow dan Davis 1988).
3 METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih jagung varietas Lamuru yang termasuk varietas tahan kekeringan dan memiliki produktivitas tinggi bila ditanam di lahan kering, pupuk Urea, SP-36 dan KCL untuk menambah kandungan hara di lahan. Disamping itu digunakan pula pupuk kandang, pestisida (Dithane M-45, Ridomil 35 – SD, Decis 2,5 EC). Pengairan lahan dengan air yang berasal dari embung menggunakan mesin pompa, kemudian air dialirkan melalui pipa-pipa sebagai bentuk penyederhanaan saluran irigasi yang biasa digunakan petani di sekitar lokasi penelitian. Pipa-pipa yang terpasang sejajar dengan enam alur (furrow) pada masing-masing blok perlakuan yang telah terbentuk di lahan percobaan akan digunakan sebagai saluran irigasi sederhana dengan debit yang keluar di masing-masing mulut pipa sebesar 3 liter detik-1. Data cuaca berupa suhu, radiasi, kelembaban, kecepatan angin dan curah hujan sebagai faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang akan digunakan dalam analisis hasil penelitian diperoleh dari data stasiun klimatologi yang terletak sekitar 500 m dari lahan percobaan.
12 Lokasi Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan (KP) milik Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Timur dengan ketinggian tempat 20 m diatas permukaan laut (dpl) dengan posisi 105° 14' 12" BT dan 123° 50' 533" LS. Penelitian dilakukan dari bulan Juni hingga Okober 2012. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan salah satu daerah di Indonesia yang termasuk kategori lahan kering beriklim kering.
Rancangan Penelitian Berdasarkan variabel perlakuan yang digunakan dalam pengaturan pemberian dosis irigasi dan pemangkasan daun bawah tanaman jagung maka rancangan yang digunakan adalah rancangan faktorial acak kelompok terpisah (Split plot design). Petak utama (PU) : Pengurangan Air irigasi terdiri 3 taraf yaitu : dosis irigasi (DI) 100% yakni pemenuhan 100% total kebutuhan air tanaman, DI 80 dan 60% yang masing-masing merupakan bentuk pengurangan 20 dan 40% dari total kebutuhan air tanaman selama pertumbuhan. Sedangkan perlakuan pada anak petak (AP) terdiri 3 taraf yakni pemangkasan 6 daun di bawah tongkol (P6), pemangkasan 3 daun di bawah tongkol (P3) dan tanpa pemangkasan daun (P0). Percobaan akan dilakukan dengan 3 ulangan untuk masing-masing perlakuan. Pelaksanaan percobaan total menggunakan 9 PU dengan perlakuan pengurangan irigasi, yang kemudian dibagi menjadi 27 AP pada saat tanaman memasuki fase pembungaan dengan perlakuan pemangkasan daun. Tiap PU terdiri dari 6 lajur tanam sepanjang 32 m, jarak antar masing-masing PU 1.2 m, lebar PU 6.0 m, sehingga dibutuhkan lahan untuk percobaan dengan luas total 2.304 m2. Jarak tanam yang diterapkan adalah 0.8 x 0.2 m, sehingga populasi AP adalah 300 tanaman. Pengambilan contoh akan dilakukan tiap 7 hari. Perkiraan umur tanaman 120 hari. Per AP sampling diambil 2 atau 3 tanaman secara acak per minggu setelah perlakuan pemangkasan dilaksanakan, dan disediakan tanaman tambahan sebagai pengganti tanaman yang digunakan sebagai contoh (bila perlu). Pemberian irigasi akan dilakukan dengan interval waktu 14 hari dan pemangkasan daun dilakukan dengan ditandai bunga jantan (tasseling) 80% sudah muncul atau 21 hari setelah bunga betina (silking) keluar. Model linear yang dipakai dalam rancangan ini adalah sebagai berikut : Yijk =μ +βi + Dj + Eij + Pk + (DP)jk + Eijk i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3 dimana : Yijk merupakan nilai pengamatan pada kelompok ke -i dengan dosis irigasi ke –j dan pemangkasan daun ke -k; Μ adalah rata-rata umum; βi adalah pengaruh kelompok ke -i; Dj adalah pengaruh dosis irigasi ke - j; Eij adalah pengaruh galat petak utama; Pk adalah pengaruh perlakuan pemangkasan daun ke –k; JPjk adalah Pengaruh interaksi dosis irigasi ke – j dengan perlakuan pemangkasan daun ke-k; dan Eijk adalah pengaruh galat anak petak.
13 Perbedaan pengaruh masing-masing perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di uji menggunakan uji Beda nyata terkecil (BNT).
Pelaksanaan Penelitian Tahap Persiapan Kegiatan pada tahap pesiapan ini dibedakan atas beberapa bagian antara lain: Penentuan Lokasi Pemilihan dan penentuan lokasi penelitian sudah dilakukan dari bulan April yang diawali koordinasi dengan instansi terkait (BPTP NTT). Penentuan Lokasi didasari beberapa hal penting antara lain dekat dengan sumber air, berada pada hamparan terbuka dan kondisi iklim yang sesuai dengan topik penelitian. Pengolahan Lahan Lahan penelitian diawali dengan mengolah tanah dengan menggunakan mesin pembajak berupa traktor dengan kedalam 15 sampai 20 cm. Pengolahan lahan dimulai sejak bulan Mei 2012, kondisi tanah saat itu sudah mulai kering, sehingga memudahkan traktor untuk mengolahnya. Pengolahan lahan dilakukan beberapa kali tahapan antara lain: (i) Membalikkan tanah; (ii) Menghancurkan tanah; (iii) Menggusur tanah untuk mendapatkan kemiringan lahan yang baik; (iv) Merotari atau mencincang ulang tanah yang sudah digusur.
Penanaman Kegiatan penanam dilakukan sehari setelah penjenuhan/pengairan. Jarak tanam yang digunakan adalah 80 x 20 cm dengan populasi per lubang masingmasing 2 biji dan panjang alur yang ditanami 32 meter. Pemupukan Pupuk yang diberikan adalah N dosis 90 hingga 120 kg ha-1. P2O5 30 sampai 45 kg ha-1. Dan K2O 0 sampai 25 kg ha-1. Kebutuhan dan dosis pupuk tersebut dapat dikonversikan dengan pupuk Urea 30 kg ha-1. SP-36 100 kg ha-1, dan KCL 100 kg ha-1. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 tahap yaitu: SP-36, KCL dan Urea diberikan sebanyak 100 kg sebagai pupuk dasar. Pemupukan susulan pertama yaitu pemberian pupuk urea, dilakukan pada minggu ke 4 sambil melakukan pembumbunan. Pemupukan susulan kedua yaitu pupuk urea diberikan pada minggu ke enam. Pemupukan dilakukan dengan cara menabur pada lubang yang dibuat sedalam 10 cm dengan jarak 10 cm dari lubang tanaman lalu ditutup dengan tanah. Pemeliharaan Tanaman Untuk memperoleh pertumbuhan tanaman jagung dapat dilakukan dengan memelihara tanaman dengan cara penjarangan dilakukan setelah tanaman berumur 2 minggu dengan memotong salah satu tanaman yang pertumbuhannya
14 yang jelek dengan gunting atau pisau dan diitinggalkan 1 tanaman. Pada waktu yang sama dilakukan transplanting sebagai pengganti tanaman yang tidak tumbuh.
Pengukuran Kegiatan pengukuran dibedakan atas beberapa bagian antara lain: Pengukuran Irigasi Pengukuran data irigasi dilakukan pada tahap awal penjenuhan sebagai dasar atau pembanding dengan pengukuran berikutnya. Sistim pengukuran yang dilakukan yakni dengan mengukur debit air pada masing-masing mulut pipa atau langsung mengukurnya di pipa induk yang langsung berhubungan dengan pompa air. Pengurukuran Unsur Cuaca Pengukuran unsur cuaca dilakukan dengan menggunakan instrumentasi yang ada di stasiun klimatologi milik BPTP NTT, yang berada dalam lokasi kantor dengan ketinggian 20 mdpl (meter di atas permukaan laut). yang ada di sekitar lokasi penelitian. Kondisi iklim mikro yang terjadi masih menggambar secara global atau bersifat umum. Nilai keseragaman tersebut dapat terukur secara otomatis oleh stasiun klimatologi di sekitar lokasi. Data cuaca yang terukur dari stasiun klimatologi milik BPTP NTT digunakan untuk mengetahui keadaan unsur cuaca di lapangan terbuka, meliputi curah hujan, intensitas radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin Pengamatan pada unsur iklim mikro dalam pertanaman, setiap petak percobaan diamati parameter berikut: Pengukuran intersepsi radiasi surya pada minggu ke 10 dan 11 setelah tanam dengan menggunakan Tube solarimeter yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman. Jumlah energi radiasi surya yang diintersepsi (Int) dihitung dengan (Handoko 1994): Qint = (1- τ) Qs dengan, τ :Proporsi radiasi surya yang ditransmisi oleh tajuk tanaman yang dihitung dengan rumus: τ = e-k ILD Qint : Radiasi intersepsi (MJ m-2) Qs : Radiasi surya diatas tajuk tanaman atau terukur di stasiun klimatologi (MJ m-2) k : Koefisien pemadaman tajuk ILD : Indeks luas daun EPR yaitu perbandingan total radiasi surya yang menghasilkan bahan kering (senyawa organik) dengan total radiasi yang diintersepsi tanaman, yang dirumuskan sebagai berikut:
15
dimana : EPR : efisiensi pemanfaatan radiasi surya (g MJ-1) Biomassa : bahan kering (kg) Qint : total radiasi yang diintersepsi oleh tanaman (MJ) Beberapa data yang tidak tersedia diduga dengan menggunakan persamaan regresi polynomial. Unit Panas (Heat Unit) Unit panas adalah faktor lingkungan yang paling penting, yang memiliki kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Kontribusi tersebut termasuk perkembangan dari akar, batang dan daun. Tanaman tidak bisa berkembang dari satu tahap ke tahap lanjut berikutnya tanpa menerima unit panas yang diperlukan. Unit panas dapat dihitung dengan persamaan
dengan T adalah suhu udara selama fase pertumbuhan, T 0 adalah suhu dasar, untuk jagung suhu dasarnya 10 OC.
Agronomi Tinggi Tanaman Tinggi tanaman diukur mulai dari leher akar hingga ujung daun tertinggi dengan menggunakan meteran. Pada tanaman sampel dipasang patok standar sebagai pedoman pengukuran.
Jumlah Daun Jumlah daun merupakan daun yang telah terbuka sempurna. Perhitungan pertama dilakukan 4 MST dengan interval seminggu sekali sampai populasi tanaman jagung telah berbunga sebanyak 75% (8 MST).
Luas Daun Luas daun dalam penelitian ini diukur dengan rumus A=Px dimana : A : Luas daun (cm2) : Lebar helai daun rata-rata (cm) P : Panjang daun (cm)
16 Pengukuran dilakukan pada daun tanaman jagung per minggu dari awal hingga akhir masa tanam (8 MST). Daun yang diukur luasnya adalah 3 daun paling tengah (daun ke 7, ke 8, dank ke 9) lalu dihitung rata-ratanya. Lebar helai daun rata-rata dapat diperoleh dengan cara menghitung rata-rata dari replika daun yang dibuat di kertas milimeter blok dengan resolusi 1 x 1 mm.
Indeks luas daun (ILD) Indeks luas daun (ILD), yaitu nisbah antara luas daun (A) dengan luas lahan yang dinaungi. ILD dapat menggambarkan kemampuan tanaman menyerap radiasi matahari untuk proses fotosintesis, dihitung dengan rumus :
Analisis Pertumbuhan Tanaman Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT), Laju Pertumbuhan Relatif (LPR), Laju Asimilasi Bersih (LAB) dapat dihitung menggunakan rumus (Agung, 2004) Berikut. Laju Asimilasi Bersih rata-rata (LAB) mingguan, yang dihitung menurut rumus
yaitu laju pertambahan bahan kering total tanaman per satuan luas daun per satuan waktu rata-rata periode mingguan yang menggambarkan laju fotosintesis bersih (kapasitas tanaman mengakumulasi bahan kering) per satuan luas daun per satuan waktu rata-rata periode mingguan, Laju Tumbuh Tanaman rata-rata (Crop Growth Rate) mingguan, yang dihitung menurut rumus:
LTT menggambarkan laju pertambahan bahan kering total tanaman per satuan luas lahan per satuan waktu rata-rata periode mingguan yang menggambarkan peningkatan bobot kering total tanaman per satuan luas lahan per satuan waktu ratarata periode mingguan. Keterangan : W1 : bobot kering tanaman pada t 1 W2 : bobot kering tanaman pada t 2 A1 : luas daun tanaman pada t1 A2 : luas daun tanaman pada t2 t1 : pengamatan awal dari periode pengamatan mingguan t2 : pengamatan berikutnya dari periode pengamatan mingguan
17 Skenario Pemberian Air Irigasi Pemberian air irigasi pada tanaman jagung diatur dalam beberapa tahap berdasarkan fase perkembangan tanaman (Tabel 1) yaitu : (i) vegetatif pertama (umur tanaman 1 sampai 3 MST) maka pemberian air irigasi berdasarkan evapotranspirasi tanaman (crop evapotranspiration, ETc) kumulatif tanaman perharinya yang didukung oleh nilai Net irigasi depth (NID); (ii) vegetatif kedua, tanaman berumur antara 4 sampai 7 MST, dengan mengikuti nilai Etc dan NID; (iii) pembungaan, tanaman berumur antara 8 sampai 10 MST. Dengan mengikuti nilai ETc dan NID; dan (iv) pembentukan biji, tanaman berumur antara 11 sampai 15 MST dengan mengikuti nilai ETc dan NID. Perhitungan waktu irigasi melewati beberapa tahap antara lain: a) Menghitung waktu irigasi dalam jam dengan cara mengalikan masing-masing perlakuan dosis irigasi (100, 80 dan 60%) dengan volume irigasi satuan m3 (meter kubik) dan disingkat dalam istilah NID kemudian dibagi besarnya debit irigasi. Hasil perhitungan tersebut di konversi ke dalam satuan mm; b) Hasil perhitungan tersebut di atas kemudian dibagi dalam satuan jam, namun terlebih dahulu dikonversi ke dalam menit; c) Hasil dari tahap kedua (b) ditambahkan dengan waktu inisiasi awal yang dikonversi ke dalam detik, maka didapatlah hasil lama waktu pengairan dalam satuan jam; d) untuk mendapatkan hitungan dalam menit maka hasil dari tahap (c) dikonversi ke dalam menit.
Pengaturan pemberian dosis irigasi 100, 80 dan 60% Penelitian lapangan yang dilakukan adalah menyederhanakan saluran irigasi induk yang semula berupa bahan dinding saluran induk dipakai papan kemudian digantikan dengan pipa paralon sebanyak satu lembar yang sekaligus sebagai saluran induk (Gambar 1). Pipa paralon yang 1 lembar dibuat lubang bercabang enam sesuai jumlah saluran furrow. Pipa paralon pada bagian tengah dibuat cabang yang langsung tersambung ke mesin pompa air, dengan perantara selang plastik, dengan demikian volume air yang keluar dari mesin sampai ke pipa paralon tidak mengalami kehilangan air karena tidak ada kebocoran, sehingga air yang terdistribusi ke 6 lubang cabang, dan cenderung stabil dan merata debit airnya. Dalam menentukan dosis irigasi sebelum terdistribusi ke masing-masing furrow, terlebih dahulu dikuantifikasi sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dan mengacu pada metode FAO (Doorenbos dan Pruit 1975). Tabel 1 Skenario pemberian irigasi tanaman dengan interval pemberian 14 hari Fase pertumbuhan Kebutuhan irigasi neto Lama irigasi (menit) 3 (m /luas lahan) (menit) 100% 80% 60% 100% 80% 60% Periode vegetatif pertama Periode vegetatif kedua Periode pembungaan Pembentukan biji
2.9 5.9 8.8 9.8
2.3 4.7 7 7.8
1.8 3.5 5.3 5.9
14 18 22 23
13 16 19 20
Luas lahan 144 m2 untuk masing-masing blok percobaan dan debit irigasi 18 liter detik-1
12 15 17 18
18
Gambar 1 Saluran irigasi sederhana, menggunakan papan (kiri) dan menggunakan pipa paralon (kanan) Metode ini mempertimbangkan berbagai komponen fisik lapangan seperti karakteristik tanah (Lampiran 1) termasuk kepadatan tanah, kapasitas lapang ketersedian air tanah, permeabilitas dan komponen tanaman, seperti kedalaman perakaran pada setiap fase tanaman. Data fisik tanah diukur dari hasil analisis tanah sebelum dilakukan penananam.
Penentuan interval pemberian air irigasi Penentuan interval irigasi didasari pada kondisi klimatologi, dimana komponen yang harus diukur adalah unsur curah hujan, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan radiasi matahari. Unsur-unsur tersebut dianalisis untuk mendapatkan nilai evapotranspirasi perharinya dan dikalikan nilai koefisien tanaman setiap fase perkembangan tanaman, sehingga dapat diduga besar kehilangan air pada tanaman dalam satu siklus baik fase vegetatif maupun pada fase generatif. Akumulasi besarnya nilai evapotranspirasi yang terjadi perharinya, tidak boleh melebihi dari nilai NID karena dapat menyebabkan tanaman mengalami titik layu permanen atau stress air. Besarnya nilai evapotrasnpirasi yang terjadi dapat dihitung dengan dibuat skenario, kira-kira seberapa besar evaportanspirasi yang terjadi selama 7, 10, 12 dan 14 hari. Interval irgasi 14 hari diterapkan dalam penelitian ini karena diduga masih mampu memenuhi kebutuhan air tanaman.
Pemangkasan daun Perlakuan pemangkasan daun pada tanaman jagung dibuat 3 taraf perlakuan yakni tanpa pemangkasan (P0), pemangkasan 3 daun (P3) dan Pemangkasan 6 daun (P6) di bawah tongkol. Perlakuan ini dilakukan pada saat tanaman memasuki fase generatif dimana proses pertumbuhan sudah stagnan atau sudah terhenti, sehingga tidak menggangu pertumbuhan tanaman. Daun yang dipangkas dimulai dari bagian bawah tepatnya diatas daun jagung sudah kering, dan dihitung sampai tiga atau enam daun ke bagian atas.
19 Umur berbunga Umur berbunga ditentukan setelah 75% atau lebih dari populasi tanaman telah berbunga. Berbunganya tanaman ditandai dengan tanaman berubah fase vegetatif ke fase generatif disusul dengan mekarnya bunga jantan sebanyak 75%.
Panen Pemanenan tanaman dilakukan dengan menggunakan kriteria masak fisiologis, dimana panen tanaman dilakukan jika daun luar sudah berwarna kuning kering yang ditandai biji dalam tanam jagung mengeras. Kemudian diukur secara bertahap sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.
Produksi per tanaman Produksi pipilan kering (kadar air 13 hingga 14%) pertanaman dihitung dengan membagikan produksi per plot dengan jumlah tanaman per plot tanpa mengikutsertakan tanaman dan hasil tanaman jagung pada barisan terluar.
Produksi per hektar Produksi pipilan kering per hektar merupakan proyeksi dari produksi pipilan kering pertanaman yaitu dengan mengalikan produksi pertanaman dengan populasi tanaman jagung per hektar. Dalam penelitian ini, produktivitas tanaman hasil perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun dibandingkan juga degan produktivitas tanaman hasil budidaya petani yang menerapkan irigasi dengan cara menggelontorkan air untuk menggenangi lahan budidaya tanaman jagung di lahan kering.
Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi Efisiensi pemanfaatan air (EPA) didefinisikan sebagai hasil produksi tanaman per unit penggunaan air tanaman. Sedangkan Efisiensi pemanfaatan air irigasi (EPAI) adalah hasil produksi tanaman per unit air irigasi yang dipasok selama musim pertumbuhan,yang dapat dihitung dengan persamaan berikut.
yang dinyatakan sebagai g m-3 air, evapotranspirasi merupakan jumlah total air yang diuapkan selama musim pertumbuhan dari awal tanam hingga tanaman dipanen yang dihitung dengan persamaan: ETc = ETp X kc dimana ETc adalah Crop Evapotranspiration (evapotranspirasi tanaman), ETp adalah Potential Evapotranspiration (evapotranspirasi potensial) dan kc adalah crop coefficient
20 (koefisien tanaman). Untuk EPAI, irigasi merupakan total air yang dipasok melalui irigasi selama pertumbuhan tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Iklim Lokasi dan Perkembangan Tanaman Lokasi penelitian secara administratif masuk dalam wilayah provinsi NTT, yang merupakan salah satu wilayah yang dikategorikan sebagai lahan kering beriklim kering. Dari data curah hujan periode 2001 hingga 2009 (Gambar 2), diketahui bahwa rata-rata curah hujan hanya mencapai 1348 mm tahun-1, dengan musim penghujan hanya berlangsung 3 hingga 5 bulan (November hingga Maret), dan selebihnya didominasi oleh musim kemarau yang dapat berlangsung selama 4 hingga 8 bulan (April hingga Oktober), dengan curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm bulan-1 pada bulan-bulan kering. Berdasarkan kriteria dalam klasifikasi iklim Oldeman yang mengacu pada kebutuhan air tanaman pangan, wilayah ini tergolong dalam kategori wilayah dengan iklim tipe D4. Hasil pengukuran unsur cuaca (Lampiran 2) dapat diketahui radiasi surya bervariasi mulai 12.26 hingga 22.87 MJ m-2 hari-1 dengan kecenderungan meningkat. Suhu udara harian rata-rata sekitar 32.5 °C dengan kecenderungan meningkat, kelembapan udara rata-rata sekitar 65% yang cenderung menurun dan curah hujan yang terjadi hanya 1 mm selama penelitian berlangsung (Gambar 3).
350
250 200 150 100 50
Gambar 2 Curah hujan bulanan rata-rata di lokasi penelitian
Desember
November
Oktober
September
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
0 Jan
Curah Hujan (mm)
300
21
Radiasi Matahari (MJ/m2)
Tanaman membutuhkan radiasi matahari untuk fotosintesis. Tingkat pertumbuhan tanaman sebanding dengan jumlah radiasi yang diterima, dengan asumsi bahwa parameter lingkungan lainnya tidak membatasi. Jumlah radiasi selama percobaan berlangsung sebesar 2300.92 MJ m-2 atau 19.17 MJ m-2 hari-1. Jumlah radiasi ini mencukupi keperluan rata-rata radiasi tanaman kelompok tanaman C4. Tanaman jagung membutuhkan suhu rata-rata 24 OC selama periode pertumbuhan untuk pertumbuhan optimal. Suhu minimum untuk pertumbuhan jagung sekitar 8 sampai 10 OC sedangkan suhu maksimum yang dapat ditoleransi 25 20 15
10 5
Suhu udara (OC)
0
40 36 32 28 24 20 16 12 8
Suhu Minimum
Suhu Maksimum
Suhu rata-rata
Kelembaban Relatif (%)
80 60 40
Curah hujan (mm)
20 10 8 6 4 2 0 Hari Setelah Tanam
Gambar 3 Unsur-unsur cuaca di lokasi penelitian selama musim tanam
22 mencapai 40 OC. Suhu udara yang cukup tinggi pada saat penelitian berlangsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Curah hujan dari awal tanam hingga tanaman dipanen (120 hari) sebesar 1 mm dan evapotranspirasi potensial sebesar 518.12 mm dengan rata-rata per harinya mencapai 4 mm hari-1 (Gambar 4), secara klimatologis terjadi defisit air yang sangat parah. Nisbah curah hujan (CH)/evapotranspirasi (ETp) pada setiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung di lahan percobaan sangat kecil yaitu 0.00193 atau kurang dari 0.5 ETp yang berarti pada periode ini pemenuhan kebutuhan air tanaman kurang dari 50%. Kondisi nisbah CH/ETp ini berpengaruh pada fluktuasi air tanah yang berdampak pada penurunan tingkat pertumbuhan dan akan menurunkan hasil panen. Dengan alasan ini maka irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman jagung di lahan kering. Ketika suhu melebihi suhu optimum untuk proses biologi, tanaman sering merespon negatif dengan penurunan pertumbuhan bersih. Hal ini diamati oleh Karim et al. 2000; Medany et al. 2007 pada jagung di mana peningkatan suhu dari optimum (25 sampai 30 oC) ke 35 oC mengakibatkan penurunan pertumbuhan bibit. Dalam kasus lain peningkatan suhu dilaporkan dapat mempercepat perkecambahan benih dan pertumbuhan (Pearson 1975; Milford dan Riley 1980). Tidak tersedianya air dalam jumlah dan waktu yang tepat menjadi kendala pada budidaya tanaman jagung di lahan kering beriklim kering, sehingga dalam memenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman mutlak dibutuhkan irigasi. Irigasi adalah strategi adaptasi utama untuk memerangi kekeringan meteorologi, karena dapat meningkatkan hasil panen dan mengurangi resiko gagal panen (Hoff et al. 2009).
Evapotranspirasi Potensial (mm per hari)
Unit Panas Dari awal tanam hingga panen tanaman membutuhkan waktu 120 hari. Pada masa tersebut, tanaman jagung menggunakan panas untuk tumbuh dan berkembang sejumlah 1856 derajat hari tumbuh atau yang dikenal dengan Growing Degree Day (GDD). Suhu udara mempengaruhi durasi pertumbuhan tanaman (Allison dan Daynard 1979), telah terbukti bahwa durasi pengisian gabah menurun dengan meningkatnya suhu dan periode pengisian biji yang pendek sering dikaitkan dengan hasil gabah yang lebih rendah (Badu-Apraku et al. 1983). 8 6 4 2 0 Hari Setelah Tanam
Gambar 4 Evapotranspirasi potensial selama penelitian
23
Indeks Luas Daun
Indeks Luas Daun Peubah ini menggambarkan distribusi cahaya yang tidak hanya ditentukan oleh sifat daun, tetapi juga oleh kerapatan daun. ILD tertinggi dihasilkan melalui pengurangan 20% irgasi (DI 80%) pada waktu tanaman memasuki umur 10 minggu yang diduga merupakan periode awal pengisian biji. Sedangkan tanaman yang diberi perlakuan pengurangan 40% kebutuhan air irigasi menghasilkan ILD yang rendah (Gambar 5). ILD maksimum dicapai pada tanaman memasuki umur 70 HST. Perlakuan DI 80 dan 100% menghasilkan ILD masing-masing 4.7, lebih besar jika dibandingkan dengan perlakuan DI 60%. Hasil sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa pengurangan irigasi (100, 80 dan 60%) pada tanam memberikan pergaruh nyata pada ILD (Tabel 2). Pengurangan 20% kebutuhan air tanaman, menghasilkan ILD yang tidak berbeda nyata dengan ILD tanaman yang kebutuhan airnya terpenuhi secara keseluruhan, sedangkan pengurangan 40% dari total kebutuhan air tanaman menghasilkan ILD yang berbeda nyata dengan ILD tanaman pada perlakuan DI 80 dan 100%. ILD dari yang terbesar sampai yang terkecil adalah pada perlakuan DI 80, 100 kemudian 60%. Hasil sidik ragam terhadap nilai ILD rata-rata pada tanaman yang berumur 10 MST menunjukkan bahwa DI nyata berpengaruh pada ILD jagung. Dari hasil uji lanjut ditemukan bahwa DI 100 dan 80% memberikan pengaruh yang tidak tidak berbeda nyata, sedangkan DI 60% memberikan pengaruh yang berbeda dengan DI 100 dan 80% terhadap luas dan ILD. Perlakuan DI 80 dan 100% menghasilkan ILD signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan DI 60%, dan memperpanjang periode fisiologis fungsional di mana ILD dipertahankan pada tingkat tinggi hingga tahap perkembangan tanaman, yang secara teoritis bermanfaat untuk asimilasi, 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0
7
14
21
28
35 42 49 56 Hari Setelah Tanam
63
70
77
84
Gambar 5 Indeks luas daun tanaman padajagung masing-masing dosis irigasi, Figure 1Gambar 5 Indeks luas daunjagung tanaman pada masing-masing ( ) DI 100%, ( ) DIdosis 80%,irigasi ( ) DI 60%.
Tabel 2 Indeks luas daun tanaman jagung pada masing-masing dosis irigasi Pengurangan irigasi DI 100% DI 80% DI 60% a
Indeks luas daun 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 HST HST HST HST HST HST HST HST HST HST HST 0.2a 0.4a 0.7a 1.0a 1.5a 2.1a 3.0a 3.8a 4.7a 4.5a 4.0a 0.2a 0.4a 0.7a 1.0a 1.5a 2.2a 3.0a 3.8a 4.7a 4.6a 4.2a 0.2a 0.4a 0.6a 0.9a 1.4a 2.2a 3.2a 4.0a 4.0b 3.7b 3.4b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. DI : dosis irigasi, HST : hari setelah tanam
24 transportasi dan produksi tanaman jagung ILD ditentukan oleh dua mekanisme yaitu perkembangan luas daun (penampilan daun dan ekspansi daun) dan penuaan daun, yang keduanya didorong dan dipengaruhi oleh ketersediaan air (Rasheed et al. 2003). Intersepsi Radiasi Surya Intersepsi radiasi surya dari awal tanam hingga pengisian biji meningkat sesuai dengan periode pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing perlakuan (Gambar 6). Dengan nilai koefisien pemadaman tajuk tanaman sebesar 0.65, tanaman dengan nilai ILD rendah (ILD DI 60%) mengintersepsi radiasi surya sebesar 894.38 MJ untuk pertumbuhan, lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang memiliki ILD tinggi (ILD DI 80 dan 100%) yang masingmasing mencapai 904.51 dan 900.21 MJ.
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Tanaman yang diberi perlakuan DI 80% memiliki nilai EPR (3.2 g MJ-1) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan DI 100 dan 60% (3.1 dan 2.6 g MJ-1). Sedangkan untuk perlakuan pemangkasan daun, tanaman yang tidak dipangkas memiliki EPR yang lebih tinggi (3.1 g MJ-1) bila dibandingkan perlakuan pemangkasan 3 dan 6 daun di bawah tongkol yang masing-masing sebesar 3.0 dan 2.7 g MJ-1 (Gambar 7). Nilai EPR tanaman jagung pada perlakuan DI 80 dan 100% menjadi lebih tinggi dari nilai EPR tanaman pada DI 60% disebabkan oleh nilai ILD yang lebih besar. Besarnya nilai ILD tersebut merepresentasikan daun yang lebih besar dan mengintersepsi radiasi dalam jumlah yang lebih banyak untuk proses fotosintesis. Sedangkan pada perlakuan pemangkasan daun, penurunan nilai EPR terjadi akibat berkurangnya organ tanaman akibat adanya pemangkasan yang berdampak pada penurunan biomassa tanaman. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh interaksi antar perlakuan irigasi dan pemangkasan terhadap EPR. Pengaruh irigasi nyata mempengaruhi nilai EPR. Hasil uji statistik (Tabel 3) menunjukkan bahwa DI
Intersepsi Radiasi Surya (MJ m-2 hari-1)
25 20 15 10 5 0 0
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
77
84
Hari Setelah Tanam
Gambar 6 Intersepsi radiasi surya oleh tanaman, ( 80%, dan ( ) DI 60%.
)DI 100%, (
) DI
25 80% memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemenuhan 100% kebutuhan air tanaman. Sedangkan DI 60% tampak berbeda nyata dengan DI 80 maupun DI 100%. Nilai EPR tanaman jagung pada perlakuan DI 80 dan 100% menjadi lebih tinggi dari nilai EPR tanaman pada DI 60% disebabkan oleh nilai ILD yang lebih besar sehingga mampu mengintersepsi radiasi dalam jumlah yang lebih besar. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemangkasan berpengaruh nyata pada EPR, Pengaruh P6 berbeda nyata dengan P3 dan P0, serta P3 tidak berbeda nyata dengan P0. Nilai efisiensi pemanfaatan radiasi surya mengalami penurunan akibat adanya pemangkasan, hal ini disebabkan oleh berkurangnya organ daun yang berdampak pada penurunan biomassa tanaman.
Laju Asimilasi Bersih dan Laju Pertumbuhan Tanaman Hasil penelitian menunjukkan ILD yang tinggi merepresentasikan daun yang mengintersepsi radiasi matahari lebih banyak dan mampu menghasilkan fotosintat yang tinggi, serta lebih efisien dalam menggunakan energi untuk menghasilkan asimilat. Tanaman yang diberi perlakuan DI 80% lebih banyak
Efisiensi Pemanfaatan Radiasi (g MJ-1)
3.2 3.1 3.0 2.9
2.8 2.7 2.6 2.5 DI 60%
DI 80 % DI 100%
Irigasi
TP
P3
P6
Pemangkasan Daun
Gambar 7 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun
Tabel 3 Efisiensi pemanfaatan radiasi surya tanaman jagung Perlakuan Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya (g MJ-1) Pengurangan Irigasi DI 100% 3.1b DI 80% 3.2b DI 60% 2.6a Pemangkasan Daun P0 3.1b P3 3.0b P6 2.7a a
Angka-angka pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji BNT). DI :dosis irigasi, P0 :tanpa pangkas, P3 :pangkas 3 daun, P6 :pangkas 6 daun
26
Laju asimilasi bersih (mg cm-2 hari-1)
12.0 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
Laju tumbuh tanaman (mg cm-2 hari-1)
12.0 10.0 8.0
6.0 4.0 2.0 0.0 3
4
5
6 7 8 Minggu Setelah Tanam
9
10
Gambar 2 Laju asimilasi bersih dan laju tumbuh tanaman jagung pada masing-masing pengurangan irigasi, DI 100%, DI 80% dan DI 60%. mengintersepsi cahaya matahari dan lebih efisien dalam menggunakan energi untuk menghasilkan LAB dan LTT yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya (Gambar 8). Perubahan pola laju asimilasi bersih di semua perlakuan dosis irigasi mengalami peningkatan. Dari 3 hingga 5 MST laju asimilasi bersih tampak tidak berbeda nyata disebabkan oleh pertumbuhan tanaman masih seragam. Tren peningkatan dalam nilai LAB dimulai ketika umur tanaman memasuki 6 minggu. Peningkatan secara signifikan terus berlangsung hingga tanaman memasuki umur 10 minggu. LAB menjadi tinggi pada masa pengisian biji. Dari hasil sidik ragam komponen tanaman jagung pada umur 10 MST tidak berbeda nyata antara nilai LAB dan LTT untuk masing-masing perlakuan DI. LAB dan LTT tergantung pada kemampuan kanopi tanaman dalam mengintersepsi radiasi fotosintetik aktif (PAR) (Bisco & Gallagher 1978) yang merupakan fungsi dari ILD dan arsitektur kanopi tanaman, serta konversi IPAR ke akumulasi total bahan kering, yang dikenal sebagai efisiensi pemanfaatan radiasi (EPR) (Sinclair dan Muchow 1999). Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman menggambarkan tanggapan tanaman terhadap perilaku lingkungan seperti kondisi cuaca, air dan unsur hara selama periode
27 pertumbuhannya. Pengurangan irigasi dalam budidaya tanaman jagung di bawah kondisi lahan iklim lahan kering mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung (Gambar 9).Tanaman jagung yang kekurangan pasokan air sejak fase vegetatif sampai fase pengisian biji telah membuat pertumbuhan tidak normal, kecuali pada minggu awal masa pertumbuhan masih relatif sama. Pengurangan irigasi tidak mempengaruhi luas daun pada awal pertumbuhan (Tabel 4), namun, nampak bahwa tanaman pada perlakuan DI 100 dan 80% masih memiliki luas daun yang lebih besar bila dibandingkan dengan DI 60%. Pengaruh pengurangan irigasi mulai nyata pada tanaman memasuki unur 10 minggu, Hasil pengamatan di lapangan pada minggu ke 10, tanaman telah melewati masa pembungaan dan memasuki masa pengisian biji. Pasokan 60% dari total kebutuhan air tanaman untuk setiap fase pertumbuhan diduga tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga menghambat ekspansi luas daun akibat kandungan air tanah dan daun yang rendah. Pada 10 MST pengurangan irigasi berpengaruh nyata pada luas daun. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan irigasi tidak nyata berpengaruh pada jumlah daun; tanaman yang diberi perlakuan pengurangan irigasi tidak mengalami penurunan jumlah daun (Tabel 5). Pengurangan irigasi tampak tidak mempengaruhi tinggi tanaman pada awal pertumbuhan hingga tanaman berumur 8 minggu. Namun, tanaman pada perlakuan DI 100 dan 80% masih menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman lebih tinggi bila dibandingkan dengan DI 60% (Tabel 6). Pengaruh pengurangan irigasi mulai nyata pada tanaman memasuki umur 8 MST. Pengaruh DI 80% tidak berbeda nyata dengan DI 100%, sedangkan DI 60% berbeda nyata dengan DI 80 maupun DI 100% terhadap tinggi tanaman. Bobot biomassa tanaman sebagai akumulasi asimilat hasil fotosintesis, lebih tinggi pada perlakuan DI 80 dan 100%. Penurunan bobot bahan kering terjadi pada perlakuan DI 60% pada saat tanaman mulai memasuki fase pengisian biji (Tabel 7). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa DI 80 dan 100% tidak berbeda nyata, sedangkan DI 60% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan DI 80 dan 100% terhadap pembentukan biomassa tanaman jagung. Hal ini diduga disebabkan oleh kadar air tanah yang dipasok melalui saluran irigasi cukup untuk merangsang pertumbuhan vegetatif sehingga bobot bahan kering tanaman yang diberi perlakuan DI 80 dan 100% jauh lebih tinggi. Sedangkan tanaman jagung yang diberi perlakuan DI 60% mengalami cekaman kekeringan karena pasokan air untuk pertumbuhan tidak mencukupi. Tabel 4 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap luas daun tanaman Dosis irigasi 100 % 80 % 60%
4 MST 107.7 105.9 102.3 tn
5 MST 158.7 163.7 151.5 tn
6 MST 234.6 232.0 231.9 tn
Luas daun (cm2) 7 MST 343.1 354.3 353.1 tn
8 MST 479.1 483.8 504.4 tn
9 MST 615.5 612.1 595.5 tn
10 MST 745.3a 756.5a 636.2b *
tn (tidak nyata), * (nyata pada taraf 5%). aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji BNT).
28
Tinggi Tanaman (cm)
200 160 120 80 40 0
Jumlah Daun
20 15
DI 60 % DI 80 % DI 100 %
10 5 0
Luas Daun (cm2)
800 600 400 200 0
Bahan Kering (g m-2)
2000 1500 1000 500 0 2
3
4
5 6 7 Minggu Setelah Tanam
8
9
10
Gambar 9 Peubah-peubah pertumbuhan tanaman jagung pada masing-masing perlakuan pengurangan irigasi. ( ) dosis irigasi 100%, ( ) dosis irigasi 80%, ( ) dosis irigasi 60%, dosis irigasi 100%, dosis irigasi 80%, dosis irigasi 60%.
29 Tabel 5 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap jumlah daun tanaman Jumlah daun Dosis irigasi 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 100 % 4 5 6 8 10 12 80 % 4 6 7 8 9 12 60% 4 6 7 8 9 12 Uji F tn tn tn tn tn tn
10 MST 15 16 16 tn
tn (tidak nyata), * (nyata pada taraf 5%). aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji BNT).
Tabel 6 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap tinggi tanaman Tinggi tanaman Dosis (cm) irigasi 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 100% 42.5 54.1 74.3 102.3 121.8 146.7a 80% 34.7 53.2 70.6 108.6 126.6 159.6a 60% 41.3 50.0 69.5 87.7 112.4 127.9b Uji F tn tn tn tn tn *
10 MST 178.1a 182.5a 163.6b *
tn (tidak nyata), * (nyata pada taraf 5%). aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji BNT).
Tabel 7 Pengaruh pengurangan irigasi terhadap biomassa tanaman Bobot bahan kering Dosis (g m-2) irigasi 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 100% 1.9 3.0 17.1 32.4 56.6 116.9 80% 2.3 3.7 13.5 33.3 63.5 128.5 60% 2.0 3.3 16.1 32.0 53.5 107.5 Uji F tn tn tn tn tn tn
10 MST 232.3a 245.2a 205.1b *
tn (tidak nyata), * (nyata pada taraf 5%). aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji BNT).
Respon Hasil terhadap Pengurangan Irigasi dan Pemangkasan Daun Pengaruh signifikan ditunjukkan oleh pemangkasan daun terhadap komponen produksi tanaman (Tabel 8). Analisis menunjukkan tidak adanya interaksi pengaruh pengurangan irigasi dan pemangkasan daun terhadap komponen hasil tanaman. Respon hasil tanaman pada P0 dan P3 sama. Sedangkan perlakuan P6 memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan P0 dan P3 pada komponen-komponen hasil. Perlakuan P6 cenderung menurunkan produksi tanaman. Pemangkasan daun sebanyak 6 helai di bawah tongkol diduga menyebabkan penurunan produksi asimilat karena berkurangnya organ fotosintesis. Jumlah asimilat yang dihasilkan dari aktifitas fotosintesis berkurang sehingga kebutuhan asimilat untuk pengisian biji tidak terpenuhi secara maksimal. Pemangkasan daun yang mulai dilakukan setelah tanaman sudah melewati masa tasseling dan 7 hari melewati masa silking dapat menurunkan hasil (Tabel 9). Hal ini diperkuat hasil penelitian Ginting (1988) yang menunjukkan bahwa pemangkasan daun sebelum terbentuk rambut jagung mengakibatkan penurunan
30 Tabel 8 Respon hasil tanaman jagung terhadap pengurangan irigasi dan pemangkasan daun Perlakuan Pengurangan irigasi
Komponen Hasil
Pemangkasan Daun
Panjang tongkol (cm)
Jumlah baris per tongkol
Jumlah Biji per baris
Berat biji per 15 tongkol (kg)
Prduksi sebelum pipil (kg)
Berat per 1000 biji (gram)
Produksi pipilan kering (ton ha-1)
DI 100%
P0 P3 P6
17,0a 18,3a 16,3a
14 a 14a 14a
34a 35b 30b
2,8a 2,8b 2,4b
3,71a 3,62b 3,21b
382,3a 372,0a 329,6a
7,02a 6,95b 6,54b
DI 80%
P0 P3 P6
17,6a 18,3a 17,6a
15a 14a 13a
35a 36 33b
2,7a 2,6b 2,2b
3,60a 3,55b 3,00b
369,3a 383,6a 380,0a
6,80a 6,90b 5,78b
DI 60%
P0 P3 P6
18,4a 17,3a 17,1a
14a 14a 14a
33a 33b 32b
2,6a 2,4b 2,5b
3,45a 3,12b 3,24b
370,3a 354,0a 345,6a
5,97a 6,25b 5,74b
Menurut petani
P0 P3 P6
BNT (5%) KK (a) (%)
17,6a 17,8a 17,2a 4,23 6,25
14a 14a 14a 0,49 5,23
34a 35b 31b 1,43 4,71
2,5a 2,4b 2,2b 0,18 3,23
3,40a 3,13b 3,08b 0,27 6,76
347,7a 350,0a 332,3a 23,390 24,94
6,55a 6,04b 5,65b 0,27 6,25
KK (b) (%)
33,74
4,45
8,26
3,86
4,92
41,13
3,67
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% . DI : dosis irigasi, P0 : tanpa pemangkasan, P3 : Pangkas 3 daun, P6 : pangkas 6 daun.
Tabel 9 Respon hasil tanaman terhadap pemangkasan daun Pemangkasan Jumlah Panjang Bobot per Produksi daun biji per tongkol 1000 biji sebelum baris (cm (gr) pipil (kg) P0 34 a 17.7a 372.9 a 3.54a P3 34 a 17.9a 373.6 a 3.35ab P6 32 b 17.0a 355.0 a 3.13b
Bobot per 15 tongkol (kg) 2.66a 2.54a 2.33b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% . P0 : tanpa pemangkasan, P3 : pangkas 3 daun, P6 : pangkas 6 daun
hasil yang sangat drastis, sebaliknya pemangkasan daun setelah terbentuknya rambut (stadia lebih lambat) penurunan hasil hanya sedikit.
Produktivitas Produktivitas merupakan kemampuan suatu lahan untuk menghasilkan hasil tanaman yang dibudidayakan dengan sistem pengelolaan tertentu. Produktivitas tanaman jagung dipengaruhi oleh irigasi dan pemangkasan daun (Gambar 9). Perlakuan DI 60% dan P6 menurunkan produktivitas tanaman bila dibandingkan dengan produktivitas tanaman pada perlakuan DI 100 dan 80% serta perlakuan P3 dan P0 (Gambar 10). Pengurangan irigasi dan pemangkasan daun berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman, namun tidak ada pengaruh interaksi antar kedua perlakuan.
31 Berdasarkan hasil uji statistik (Tabel 10), diketahui bahwa pengaruh perlakuan DI 80% tidak berbeda nyata dengan perlakuan DI 100 dan 60% terhadap produktivitas. Sedangkan DI 60% berbeda nyata dengan DI 100% terhadap produktivitas tanaman. Pengurangan hingga 40% dari total kebutuhan air tanaman diduga tidak mencukupi kebutuhan air tanaman selama masa pengisian biji, sehingga produksi biji tidak maksimal. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemangkasan daun berpengaruh nyata pada produktivitas. Produktivitas tertinggi berasal dari tanaman yang diberi perlakuan tanpa pemangkasan. Perlakuan P6 memiliki produktivitas yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan P3 dan P0. Perlakuan P3 dan P0 memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap produktivitas tanaman. Pemangkasan 6 helai daun menyebabkan produksi fotosintat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pengisian biji karena berkurangnya daun sebagai organ fotosintesis.
Efisiensi Pemanfaatan Air dan Irigasi EPA yang mengacu pada rasio hasil gabah (Grain Yield) untuk air yang digunakan selama pertumbuhan tanaman (Galavi dan Moghaddam, 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian irigasi yang diatur berdasarkan kebutuhan air tanaman, bahkan dengan pengurangan volume air irigasi, terbukti
Produktivitas (ton ha-1)
8.00 6.00
DI 100% DI 80% DI 60% Menurut Petani
4.00 2.00 0.00 P0
P3
P6
PerlakuanPemangkasan Daun
Gambar 10 Produktivitas tanaman jagung pada perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun Tabel 10 Produktivitas tanaman Perlakuan Pengurangan Irigasi DI 100% DI 80% DI 60% Menurut Petani Pemangkasan Daun P0 P3 P6 a
Produktivitas (ton ha-1) 7.0a 6.6ab 6.2b 6.0b 6.8a 6.7a 6.0b
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% .DI :dosis irigasi, P0 : tanpa pemangkasan, P3 : Pangkas 3 daun, P6 : pangkas 6 daun
32 Tabel 11 Efisiensi pemanfaatan air dan irigasi Pengurangan Evapotranspirasi Irigasi Efisiensi Irigasi tanaman (mm) pemanfaatan irigasi (mm) (kg m-3) DI 100% 525 1 389 1.33b DI 80% 420 1 116 1.57c DI 60% 315 842 1.97d Menurut Petani 525 2 778 1.14a
Efisiensi pemanfaatan air (kg m-3) 0.50b 0.59c 0.74d 0.22a
DI :dosis irigasi. aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
menghasilkan tanaman yang lebih efisien dalam menggunakan air untuk menghasilkan biji bila dibandinkan dengan pemberian irigasi menurut kebiasaan petani (Tabel 11). Pengurangan irigasi nyata meningkatkan EPA. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan pemberian irigasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu dengan perlakuan lainnya. Pemberian irigasi menurut kebiasaan petani dapat dikatakan sebagai langkah pemborosan air yang ketersediaanya sangat terbatas. Efisiensi pemanfaatan air dengan cara hanya mencapai 0.22 g m-3 air yang dievapotranspirasikan, lebih rendah bila dibandingkan dengan pengurangan 20 hingga 40% kebutuhan air tanaman yang masing-masing mencapai 0.59 dan 0.74 g m-3. Jin et al. (1999) melaporkan bahwa nilai EPA untuk jagung bervariasi dari 0.49 hingga 0.76 kg m-3. Nampak bahwa langkah pengurangan irigasi dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan air. Hal serupa dilaporkan juga oleh Karra et al. (2007) yang menyatakan bahwa irigasi defisit dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan air tanaman.
Pembahasan Pengurangan Irigasi Kondisi lahan kering yang minim kandungan air tanah pada zona perakaran akibat intensitas curah hujan yang rendah dan tidak terdistribusi normal, merupakan kendala dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman (Abdurachman, 2004). Radiasi surya yang cukup tinggi di lahan kering beriklim kering dapat memberikan keuntungan sekaligus kerugian. Intensitas radiasi yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis untuk tanaman C4 seperti jagung. Di sisi lain intensitas radiasi tinggi dapat menyebabkan tingginya kehilangan air akibat evapotranspirasi. Nisbah curah hujan/evapotranspirasi menjadi sangat kecil sehingga irigasi mutlak dibutuhkan oleh tanaman di lahan kering agar dapat tumbuh dan berkembang untuk menghasilkan biomassa.
Indeks Luas Daun daun Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya Dosis irigasi sebagai bentuk perlakuan pengurangan irigasi, yang diterapkan dalam penelitian ini terbukti mempengaruhi pertumbuhan tanaman jagung di lahan kering beriklim kering. Perlakuan DI 80 dan 100% menghasilkan maksimum ILD signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan DI 60%,
33 dan memperpanjang periode fisiologis fungsional dimana ILD dipertahankan pada tingkat tinggi hingga tahap perkembangan tanaman, yang secara teoritis bermanfaat untuk asimilasi, transportasi dan produksi tanaman jagung. ILD rendah menghasilkan radiasi yang diintersepsi rendah, sehingga mengurangi laju fotosintesis maksimum per satuan luas lahan (O'Connell et al. 2004). Muchow et al. (1994) menyatakan bahwa jumlah radiasi yang diintersepsi berkorelasi positif dengan biomassa tanaman. Intersepsi radiasi sangat penting untuk pertumbuhan dan hasil yang stabil untuk semua tanaman (Purcell et al. 2002). Total bahan kering tanaman sebanding dengan jumlah total radiasi yang diintersepsi (Biscoe dan Gallagher 1978; Kiniry et al. 1999). Fraksi radiasi yang diintersepsi oleh tanaman dipengaruhi oleh struktur kanopi, yang pada gilirannya tergantung pada ILD dan geometri tanaman. Perubahan fraksi intersepsi radiasi terus menerus terjadi dari awal pertumbuhan hingga tanaman dipanen (Flenet et al. 1996). ILD pada DI 80 dan 100% yang lebih besar dalam penelitian ini mengindikasikan jumlah radiasi intersepsi yang relatif lebih besar dan berpotensi meningkatkan jumlah asimilat melalui proses fotosintesis. Pengurangan irigasi berpengaruh terhadap intersepsi radiasi untuk pertumbuhan serta berpengaruh pula pada EPR. Penerapan DI 60% menghasilkan nilai EPR tanaman jagung berbasis radiasi global sebesar 2.6 g MJ-1 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan DI 80 dan 100% (3.2 dan 3.1 g MJ-1). Jagung adalah tanaman dengan karakteristik memiliki EPR tinggi berbasis radiasi global, dalam studi Yi et al. (2010), RUE bahan kering tanaman bervariasi 2.7 sampai 3.4 g MJ-1 (tergantung pada perlakuan pengelolaan air), EPR dalam rentang 2 sampai 4.3 g MJ-1 dilaporkan juga dalam studi sebelumnya (Yang et al. 2004).
Laju Asimilasi Bersih dan Laju Tumbuh Tanaman Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi yang disebabkan oleh ILD yang kecil turut mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menghasilkan asimilat. LAB tanaman yang mengalami cekaman kekeringan menjadi lebih rendah dan menghasilkan LTT yang rendah pula. (Biscoe dan Gallagher, 1978; Ahmad et al. 2009) melaporkan bahwa LTT biasanya tergantung dan lebih tinggi pada ekspansi ILD yang cepat untuk mengintersepsi radiasi yang tersedia terutama di awal musim tanam. Penurunan LAB dan LTT pada perlakuan DI 60% disebabkan oleh penurunan kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi yang diaktualisasikan dengan rendahnya nilai EPR diduga akibat penurunan kadar air tanah. Akumulasi bahan kering hasil fotosintesis yang dapat diamati melalui besaran LAB secara signifikan dipengaruhi oleh stres air untuk tanaman jagung (Yilmaz et al. 2010).
Pertumbuhan Tanaman Banyak penelitian menunjukkan bahwa kekurangan air selama pertumbuhan vegetatif mengurangi luas daun (Boyer 1970; Acevedo et al. 1971;. Nesmith dan Ritchie 1992; McCullough et al. 1994), perpanjangan ruas (Novoa dan Loomis, 1981), serta mengurangi bobot daun dan batang (Denmead dan
34 Shaw 1960; Eck 1984). Penurunan luas daun akan menurunkan nilai ILD. Dalam penelitian ini, kondisi kekurangan air pada perlakuan DI 60% telah menyebabkan penurunan luas daun, tinggi dan bobot biomassa bahan kering. Bobot kering merupakan hasil akumulasi fotosintesis tumbuhan selama pertumbuhannya (Levitt 1980). Penurunan bobot kering terkait erat dengan penurunan laju fotosintesis selama cekaman kekeringan baik pada tingkat satuan perluasan daun maupun fotosintesis total tanaman (Violita 2007). Tanaman yang mendapat cekaman kekeringan akan menampakkan penurunan luas daun, laju fotosintesis dan akumulasi biomassa sehingga akan menurunkan produksi fotosintat (Sinclair et al. 1987). Rendahnya tingkat asimilasi bersih (LAB) tanaman pada perlakuan DI 60% dalam penelitian ini menurunkan bobot kering tanaman. Penurunan ini mengindikasikan bahwa tanaman jagung mengalami cekaman kekeringan pada fase pertumbuhan vegetatif, sehingga menghambat ekspansi ILD yang secara langsung mempengaruhi kemampuan tanaman dalam mengintersepsi radiasi. Penurunan jumlah organ fotosintesis akibat perlakuan pemangkasan yang berlebihan pada saat tanaman memasuki fase pengisian biji menyebabkan penurunan produksi asimilat sehingga biomassa tanaman menjadi lebih rendah dan berdampak pada penurunan nilai EPR tanaman. Zhang et al. (2007) menyatakan bahwa ekspresi rata-rata untuk bahan kering pada setiap fase pertumbuhan dan hasil pipilan jagung lebih tinggi pada kondisi normal dibanding di bawah cekaman kekeringan.
Hasil dan Produktivitas Tanaman Pengurangan irigasi dalam beberapa kasus dapat menghemat pemanfaatan air dengan konsekuensi sedikit kehilangan hasil tanaman (Fereres dan Soriano 2006). Meskipun terjadi sedikit penurunan produktivitas, namun DI 80% dirasa pantas untuk tujuan mengefisienkan penggunaan air di lahan kering, sehingga dapat berproduksi meskipun dalam kondisi air yang sangat terbatas. Pengurangan irigasi lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan praktek irigasi menurut kebiasaan petani di lapangan. Hasil tanaman lebih tinggi daripada yang diperoleh dengan cara menggelontorkan air untuk menggenangi lahan budidaya tanaman jagung. Cekaman air diduga menjadi penyebab rendahnya produksi tanaman dengan praktek penggunaan air irigasi yang berlebihan. Kelebihan air menyebabkan pencucian hara yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tongkol. jumlah biji dalam satu tongkol berkurang karena mengecilnya tongkol, yang dapat menurunkan hasil (Lee 2007). Kelebihan air di dalam tanah akan menggantikan udara dari ruang pori non kapiler, sehingga menghasilkan kekurangan oksigen sehingga pertumbuhan akar terhenti. Produktivitas tanaman turut dipengaruhi oleh pengurangan irigasi, pemberian DI 80% menghasilkan produktivitas tanaman jagung yang relatif sama dengan tanaman yang diberi perlakuan DI 100%. Hasil serupa juga ditemukan dalam penelitian Kartiwa (2009); dan Haruna, (2012). Produktivitas tanaman yang diberi perlakuan DI 60% justru menunjukkan produktivitas yang tidak berbeda nyata dengan produktivitas tanaman hasil budidaya petani yang
35 menggunakan air lebih banyak untuk kegiatan budidaya. Tanaman pada perlakuan DI 60% mengalami cekaman kekeringan. Hasil penelitian Yi et al. (2010) menunjukkan bahwa irigasi secara substansial meningkatkan konversi sumber daya iradiasi ke komponen hasil panen dan menghasilkan EPRyang tinggi. EPR sering dianggap konstan untuk spesies tanaman yang diberikan dalam studi pemodelan produktivitas (Yang et al. 2004), tetapi dapat bervariasi selama musim pertumbuhan tanaman (Lecoeur dan Ney 2003) dan sangat tergantung pada kondisi iklim, yaitu cekaman abiotik secara signifikan dapat mengurangi baik intersepsi radiasi dan EPR. Ketepatan pemberian air sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman jagung sangat berpengaruh terhadap produksi. Tanaman jagung lebih toleran terhadap kekurangan air pada fase vegetatif. Penurunan hasil terbesar terjadi apabila tanaman mengalami kekurangan air pada fase pembungaan, bunga jantan dan bunga betina muncul, dan pada saat terjadi proses penyerbukan. Penurunan hasil tersebut disebabkan oleh kekurangan air yang mengakibatkan terhambatnya proses pengisian biji. Penelitian yang dilakukan oleh Tavakoli (1999), Cakir (2004), Payero et al. (2008) dan Chen et al. (2009) mengungkapkan bahwa hasil panen jagung menurun dengan penurunan jumlah air irigasi, sedangkan nilai maksimum hasil panen yang diperoleh di bawah perlakuan irigasi penuh. Kondisi stress sewaktu pengisian biji akan menyebabkan fotosintesis tidak efektif serta berakibat terhadap penurunan berat atau jumlah biji (Bustamam 2004). Namun, kondisi kelebihan air juga dapat mengakibatkan penurunan produktivitas karena perkembangan akar yang tidak optimal. Kekeringan pada setiap stadia pertumbuhan tanaman jagung sangat mempengaruhi produktivitas tanaman (Baneti dan Wesgate 1992). Pengurangan jumlah irigasi dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan air tanaman jagung. Pada kondisi kekurangan air, tanaman justru lebih efisien dalam menggunakan air. EPA tidak sama dengan ketahanan terhadap kekeringan. EPA sering dikaitkan dengan hasil panen dalam hubungannya dengan jumlah air yang digunakan untuk memproduksi hasil panen. Kebanyakan penelitian mengenai EPA telah diorientasikan terhadap bagaimana memperoleh nilai EPA yang tinggi dengan tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi. Dalam penelitian terhadap ketahanan, EPA seringkali ditekankan pada kemampuan untuk tetap hidup selama periode tuntunan atmosfer yang tinggi dan ketersediaan air yang rendah. (Gardner 1978). Kemampuan untuk menahan kekurangan kelembaban tanah berkorelasi negatif dengan produktivitas (Reitz 1974). Banyak spesies yang dapat menahan kekurangan air yang hebat tidak memanfaatkan air secara efisien apabila tidak ada kekurangan air (Levit 1980). Dalam pertanian irigasi di lahan kering, pengurangan irigasi dapat ditempuh untuk menjamin produksi berkelanjutan meski terjadi penurunan produktivitas. Terwujudnya konservasi sumber daya air yang terbatas jumlahnya di lahan kering beriklim kering menjadi suatu harapan yang ingin dicapai. Dengan kata lain budidaya tanaman jagung di lahan kering dapat terus berlangsung pada musim kemarau meskipun terjadi penurunan dalam hasil tanaman.
36 Pemangkasan Daun Bawah Tanaman yang diberi perlakuan P6 cenderung menurunkan produksi biomassa dan hasil tanaman. Penurunan bobot biomassa tanaman akibat adanya pemangkasan berlebihan memicu penurunan EPR. Penurunan nilai EPR merepresentasikan penurunan produksi yang diduga disebabkan penurunan pasokan asimilat yang akan dikirim untuk pengisian biji. Hal ini terjadi karena berkurangnya daun sebagai organ fotosintesis. Pemangkasan 6 helai daun di bawah tongkol sangat berlebihan sehingga tanaman tidak mampu memenuhi kebutuhan asimilat baik untuk perkembangan akar, batang, pelapah, daun maupun untuk pengisian biji. Mustafavi dan Ross (1990) menyatakan bahwa pemangkasan nyata membatasi ketersediaan fotosintat untuk perkembangan biji. Pemangkasan 6 daun di bawah tongkol menyisakan daun teratas yang pendek serta sempit, sehingga tidak tersedia media yang cukup untuk aktifitas fotosintesis, akibatnya pengisian biji tidak sempurna. Berbeda nyatanya perlakuan P0 dan P3 dengan P6 disebabkan daun yang tidak dipangkas di atas dan di bawah tongkol adalah daun-daun yang ukurannya panjang serta lebar sehingga masih mempunyai luas permukaan daun yang cukup untuk media terjadinya aktifitas fotosintesis. Artinya hasil fotosintat dari daundaun ini masih cukup untuk menyokong pengisian biji dengan baik. Pada perlakuan P3, 3 helai daun yang dipangkas adalah daun-daun tua yang diduga tidak efektif melakukan fotosintesis. Sebaliknya pada perlakuan pemangkasan 6 daun di bawah tongkol menyisakan daun teratas yang pendek serta sempit, sehingga tidak tersedia media yang cukup untuk aktifitas fotosintesis, akibatnya pengisian biji tidak sempurna. Menurut Arbi (1987) bahwa luas permukaan daun dan banyaknya cahaya matahari yang dimanfaatkan berpengaruh terhadap jumlah fotosintat yang dihasilkan. Banyaknya asimilat yang dihasilkan sangat tergantung pada kapasitas fotosintesis daun sebagai sumber penghasil asimilat, sedangkan asimilat yang tersedia kemudian didistribusikan ke berbagai organ pengguna yang terdapat pada tanaman. Pembagian asimilat di antara organ-organ yang memakai dalam tanaman disebut partisi, dan dalam hal ini terdapat kompetisi di antara organ-organ pemakai dalam memperoleh asimilat yang ditranslokasikan (Mattobii 2004). Dalam upaya untuk meningkatkan akumulasi bahan kering ke biji, pemangkasan organ-organ pengguna yang tidak lagi bermanfaat bagi tanaman diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan hasil jagung. Pemangkasan tersebut akan mengurangi pesaing biji dalam mendapatkan asimilat yang dihasilkan daun.
Manfaat Ekonomis Pemangkasan Daun Selain untuk meminimalisir kehilangan air akibat evapotranspirasi, Sehubungan dengan integrasi ternak dan tanaman, pemangkasan juga memberikan manfaat berupa daun tanaman yang dapat dijadikan pakan ternak (Tabel 12). Terutama pada musim kemarau, peternak sapi di lahan kering selalu menghadapi masalah kekurangan pakan, karena mereka tidak terbiasa menanam hijauan makanan ternak (HMT). Dari segi jumlah dan kualitas hijauan tanaman jagung akan lebih unggul jika dibandingkan dengan padi/jerami (Zubachtirodin et al. 2009).
37 Kehilangan hasil masing-masing 0.4 dan 0.7 ton ha-1 pada perlakuan P3 dan P6 memberikan manfaat berupa daun yang dapat dimanfaatkan sebagai hijauan makanan ternak (HMT) dengan bobot masing-masing 2.45 dan 4.91 ton ha-1. Daun hasil pemangkasan dapat memberikan keuntungan ekonomis (Tabel 13). 2.45 ton daun jika dijual sebagai HMT dalam kondisi segar, mampu memberikan keuntungan tambahan kurang lebih Rp 290 000. Namun, pemangkasan hingga 6 daun di bawah tongkol justru merugikan, harga daun yang dijual sebagai HMT tidak mengimbangi besar kehilangan hasil yang terjadi. Besaran HMT hasil pemangkasan ini mampu memenuhi kebutuhan 5 ekor sapi masing-masing untuk jangka waktu 25 dan 50 hari. Daun hasil pemangkasan dapat dimanfaatkan sebagai HMT pada usaha penggemukan sapi, sehingga biaya produksi dapat ditekan. Total penghematan biaya produksi mencapai Rp 2 450 000 untuk hasil yang diperoleh melalui perlakuan P3 dan Rp 4 910 000 untuk hasil yang diperoleh melalui perlakuan P6 (Tabel 13), dengan asumsi bobot sapi 200 kg dan kebutuhan pakannya adalah 10% dari berat badan sapi ekor-1 (Tabel 14). Dalam sistem usaha ternak sapi potong rakyat, pemanfaatan daun jagung hasil pemangkasan sebagai HMT diduga dapat mendukung terwujudnya pertanian terpadu di lahan kering, dimana suplai pakan sangat bergantung pada ketersediaan hijauan yang tumbuh di luar lahan usaha tani serta limbah tanaman pangan. Ketersediaan bahan pakan tersebut berfluktuasi, bergantung pada musim. Musim kemarau (pertengahan sampai akhir musim) merupakan periode kritis ketersediaan bahan pakan. Penerapan perlakuan pemangkasan 3 atau 6 daun di bawah tongkol dapat menghasilkan masing-masing 2.45 dan 4.91 ton daun per hektar lahan budidaya jagung. Penggunaan daun sebagai HMT dapat menigkatkan bobot sapi rata-rata 0.45 kg hari-1(Sariubang et al. 2010). Dari 5 ekor sapi, petani dapat menigkatkan bobot total ternak sapi masing-masing 56.25 dan 112.5 kg dengan memanfaatkan daun Tabel 12 Jumlah dan bobot daun hasil pemangkasan Perlakuan Jumlah Daun (helai ha-1) Tanpa Pangkas 0 Pangkas 3 daun 187 500 Pangkas 6 daun 375 000
Bobot Daun (ton ha-1) 0 2.45 4.91
+angka didapat dari populasi tanaman per ha (62500) dikalikan dengan jumlah daun per tanaman yang dipangkas. ++angka didapat dari total jumlah daun hasil pemangkasan dikalikan dengan bobot rata-rata helai daun (13.1 gr).
Tabel 13 Analisis ekonomis manfaat pemangkasan daun untuk pakan ternak sapi Perlakuan Kehilangan Kerugian Bobot Harga Pendapatan hasil pipilan (Rp) HMT HMT total (kg) (kg) (Rp) (Rp) Tanpa pangkas Pangkas 3 daun Pangkas 6 daun
0 400 1000
0 1 080 000 2 700 000
0 2 450 4 910
0 2 450 000 4 910 000
18 900 000 19 190 000 18 410 000
HMT: hijauan makanan ternak; Harga jagung Rp 2 700 kg1. (sumber http://www.pasarjagung.com ). Asumsi harga HMT Rp 1 000 kg-1.
38 Tabel 14 Analisa pemanfaatan daun hasil pemangkasan untuk pakan ternak sapi Variabel
Jumlah Sapi Bobot per ekor kebutuhan pakan HMT yang tersedia -P3 -P6 Kebutuhan Total HMT per hari Kemampuan Memenuhi HMT P3 P6 Pertambahan Bobot Pertambahan Bobot akhir sapi 25 hari 50 hari Pertambahan Bobot Total 25 hari 50 hari HMT : hijauan makanan ternak.
Besaran
Satuan
5 200 10
ekor kg %/bobot ekor-1 hari-1
2 450 4 910 100
Kg ha-1 Kg ha-1 kg
25 50 0.45
hari hari kg ekor-1 hari-1
11.25 22.5
kg ekor-1 kg ekor-1
56.25 112.5
kg kg
Tabel 15 Analisa ekonomis pemangkasan daun tanaman jagung untuk hijauan makanan ternak (HMT) Perlakuan Bobot daun Kemampuan Pertambahan Harga untuk HMT memenuhi bobot ternak (Rp) (kg ha-1) HMT (kg) (hari) Tanpa Pangkas 0 Pangkas 3 daun 2 450 25 56 1 960 000 Pangkas 6 daun 4 910 50 112 3 920 000 HMT: hijauan makanan ternak; Analisis pertambahan bobot dilakukan terhadap 5 ekor sapi lokal.Harga ternak sapi Rp 35 000 kg-1BH-1. ( http://disnak.jabarprov.go.id, 2 Agustus 2013) hasil pemangkasan 3 dan 6 daun di bawah tongkol dan keuntungan tambahan melalui penjualan sapi masing-masing mencapai Rp 1 960 000 untuk jangka waktu 25 hari dan Rp 3 920 000 untuk jangka waktu 50 hari (Tabel 15).
Kesimpulan Kondisi iklim mikro lahan kering dengan karakteristik radiasi dan suhu yang tinggi, curah hujan dan kelembaban yang rendah menyebabkan evapotranspirasi tinggi yang merugikan tanaman jagung dan mempengaruhi kebutuhan air tanaman. Kekurangan pasokan air disertai intensitas radiasi tinggi pada fase pertumbuhan dan perkembangan berpotensi menurunkan hasil dan produktivitas tanaman.
39 Pengurangan 20% dari total kebutuhan irigasi tanaman dapat meningkatkan EPR tanaman jagung sehingga menghasilkan laju asimilasi bersih, tingkat pertumbuhan daun, tinggi serta pertambahan bobot biomassa yang relatif sama dengan pemenuhan total kebutuhan air tanaman. Namun, pengurangan hingga 40% dari total kebutuhan air tanaman dapat menurunkan EPR tanaman jagung yang ditanam di lahan kering beriklim kering. Pengurangan irigasi berpengaruh nyata pada pertumbuhan, perkembangan dan hasil serta produktivitas tanaman jagung di lahan kering beriklim kering. Pemenuhan 80% kebutuhan air tanaman melalui penerapan irigasi defisit dengan interval 14 hari, menghasilkan tanaman dengan pertumbuhan optimal dengan nilai ILD lebih besar, sehingga mampu mengintersepsi radiasi dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghasilkan biomassa yang lebih besar melalui proses fotosintesis. Pada kondisi defisit air, tanaman jagung dapat lebih efisien dalam penggunaan air untuk menghasilkan biji. Pengurangan irigasi dapat meningkatkan EPA dan EPAI. Pengurangan irigasi sebesar 20% dari total kebutuhan air tanaman, menghasilkan produktivitas tanaman yang relatif sama dengan produktivitas tanaman yang dipenuhi keseluruhan kebutuhan air tanaman, sedangkan pengurangan hingga 40% kebutuhan air tanaman dapat menurunkan produktivitas. Di sisi lain, praktek irigasi yang diterapkan petani untuk budidaya tanaman jagung di lahan kering justru menurunkan produktivitas. Perlakuan pemangkasan daun bawah hingga 6 helai dapat menurunkan produktivitas tanaman jagung. Pemangkasan daun dapat menurunkan EPR disebabkan berkurangnya organ tanaman yang dikeluarkan pada saat pemangkasan. Pemangkasan 6 helai daun jagung di bawah tongkol tidak mampu untuk menyokong perkembangan dan pengisian biji dengan baik, sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman jagung di lahan kering. Sebagian daun jagung pada bagian ini mempunyai peranan yang besar dalam pengisian biji. Di sisi lain, perlakuan pemangkasan 3 helai daun paling bawah masih mampu menyokong kebutuhan asimilat untuk pengisian biji. daun jagung yang dipangkas merupakan daun-daun tua dan tidak efektif dalam melakukan proses fotosintesis yang tidak cukup mampu untuk menyokong pengisian biji tanaman jagung.
Saran Dengan pertimbangan kondisi lahan kering beriklim kering, langkah pengurangan irigasi dapat diterapkan pada pertanian irigasi khususnya tanaman jagung untuk menjamin produksi berkelanjutan dan konservasi sumber daya air yang terbatas jumlahnya di lahan kering beriklim kering.
DAFTAR PUSTAKA Abawi, Yasin YI, Dutta S, Harris T, Ma’shum M, McClymont D, Amien I, Sayuti R. 2002. Capturing the benefit of seasonal climate forecast in agricultural
40 management: Subproject 2- Water and Crop Management in Indonesia. Final Report to ACIAR. QCCA-DNRM. Toowoomba Australia. Abdurachman A, Dariah A, Mulyani A. 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional. Jurnal Litbang Pertanian. 27: 43-49. Ahmad A, Iqbal S, Ahmad S, Khaliq T, Nasim W, Husnain Z, hussain A, Zia-ulhaq M, Hoogenboom G. 2009. Seasonal growth, radiation interception, its conversion efficiency and biomass production of Oryza sativa L. Under diverse agro-environments in Pakistan. Pak. J. Bot., 41(3): 1241-1257, 2009.[Internet][ www.pakbs.org/pjbot/PDFs/41(3)/PJB41] diunduh Rabu, 17 April 2013. Adisarwanto T, Widiastuti YE. 2004. Meningkatkan produksi jagung di lahan kering, sawah dan pasang surut. Jakarta: Penebar Swadaya. Aqil M, IU Firmansyah, M Akil. 2008. Pengelolaan air tanaman jagung. Balai Penelitian Serealia Kementerian Pertanian RI. Maros. Arbi N. 1987. Tanaman C4 : Mekanisme fotosintesa C4, assimilasi CO2. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Andrade FH, Uhart SA, Cirilo A. 1993. Temperature affects radiation use efficiency in maize. Field Crops Res. 32, 17–25. Badu-Apparaku B, Hunter RB, Tollennaar M, 1983 Effect of temperature during grain filling on whole plant and grain yield in maize. Can. Y. Plant Sci. 63: 357-363. Baharsjah JS. 1991. Hubungan cuaca-tanaman. dalam A, Bey (ed). Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Dir. Jend. Pendidikan Tinggi-Dep. Dik. Bud. Bogor. Balak DGR. 1993. A growth analysis comparison of corn growth in conventional and equídístant plant spacing. Crop Sci., 24: 1184-1191. Baneti P, Wesgate ME. 1992. Water deficit affects respectivity of maize silks. Crop Sci. 33(2):215-223 Bari VD, Rizzo IV, Colucci R. 1980, Levels of irrigation and rates of irrigation on main crop grain maize. Agronomico, 11: 97- 119. Bey A, Las I. Strategis pendekatan iklim dalam usaha tani. dalam A, Dir. Jend. Pendidikan Tinggi-Dep. Dik. Bud. Bogor. Biscoe PV and Gallagher JN. 1978. Physical analysis of cereal yield. I. Production of dry matter. Agric. Progress, 34-50. Bonhomme R. 2000. Beware of comparing RUE values calculated from PAR vs solar radiation or absorbed vs intercepted radiation. Field Crops Res. 68:247–252. BPS [Badan Pusat Statistik]. 2012. Produksi padi, jagung dan kedelai. [Internet][ www.bps.go.id] diakses pada 5 Agustus 2013. Bustamam T. 2004. Effects of corn leaf position on the stem on seed filling and seed quality. Stigma. 12:406-408 Cakir R. 2004. Effect of water stress at different development stages on vegetative and reproductive growth of corn. Field. Crops Res. 89:1–6. Chen C, Wang E, Yu Q. 2009. Modeling the effects of climate variability and water management on crop water productivity and water balance in the North China Plain. Agricultural Water Management 97:1175–1184.
41 Chiaranda FQ, Tedeschi P, Zurbi G. 1977. The effect of water deficit at different growth stages of grain maize on yield and on its components. Rivista di Agronomia, 11: 237-243. Cordner HB. 1942. The influence of irrigation water on the yield and quality of sweet corn and tomatoes with special reference to the time and number of applications. Proc. Am. Soc. Hortic. Sci. 40: 475–481. Crookston, RK, Hicks DR. 1977. Early defolation effects corn grain yield, Journal. Agric. Res. 33 (11):485 – 487. Dahlan. M. 2001. Pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap kekeringan. dalam prosiding International Conference on Agricultural Development NTT. Timor Timur and Maluku Tenggara. 11-15 Desember 2001. Kupang. Demetriades-Shah TH, Fuchs M, Kanemasu ET, Flitecroft I. 1992. A note caution concerning the relationship between comulated intercepted solar radiation and growth. Agric For Meteorologi. 58: 193 – 207. Doorenbos J, Pruitt, WO. 1975. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. Irrigation and Drainage Paper (FAO), no. 24. FAO, Rome (Italy). Land and Water Development Div. Doorenboss J, Kassam. 1979. Yield response to water irrigation and drainage. Paper No. 33. FAO. Rome. Dorji K, Behboudian MH, Zegbe-Dominguez JA. 2005. Water relations, growth, yield, and fruit quality of hot pepper under deficit irrigation and partial root zone drying, Sci. Hortic., 104: 137-149. Duncan WG, Shaver DL, Williams WA. 1973. Insolation and temperature effects on maize growth and yield. Crop Sci 13:187–191. Fadhly AF. 2009. Teknologi Peningkatan Indeks Pertanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Fagi AM, Las I. 2006. Konsepsi pengendalian pencemaran lingkungan secara terpadu berbasis DAS. Makalah disampaikan dalam seminar nasional pengendalian pencemaran lingkungan pertanian melalui pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu. Kerjasama Lolingtan-UNS-HITI, Surakarta 28 Maret 2006. [FAO] Food And Agriculture Organization. 2002. Deficit irrigation practices report. Rome. Fereres E, Soriano MA. 2006. Deficit irrigation for reducing agricultural water use. J. Exp. Bot. 58:147–159. Fitter AH, Hay RK. 1991. Environmental Physiology of Plants. Terjemahan Sri Andani dan E.D. Purbayanti Editor B. Srigandono. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Flenet F, Kiniry JR, Board JE, Westgate ME, Reicosky DC. 1996. Row spacing effects on light extinction coefficients of corn, sorghum, soybean, and sunflower. Agron J 88, 185-190. Galavi M, Moghaddam HA, 2012. Influence of deficit irrigation during growth stages on water use efficiency (WUE) and production of wheat cultivars under field conditions. International Research Journal of Applied and Basic Sciences Vol, 3: 2071-2078. [Internet] diunduh di www.irjabs.com. Jumat 24 Mei 2013. Gallagher JN, Biscoe PV. 1978. Radiation absorption, growth and yield of cereals. J. Agric. Sci. Camb., 19: 47-60.
42 Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of plants. Terjemahan Herawati Susilo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta Gates DM , Keegan HJ, Schleter JC, Weidner VR. 1965. Spectral Properties of plants, Applied Optics. 4 (1): 11-17. Gercek S, Boydak E, Okant M , dan Dikilitas M. 2008. Water pillow irrigation compared to furrow irrigation for soybean production in a semi-arid area. Journal Homepage. [Internet]. [diunduh 13 Februari 2013]. Tersedia pada ht tp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378377408001546. Ginting O. 1988. Pengaruh pemangkasan dini terhadap pertumbuhan, hasil dan komponen hasil beberapa varietas tanaman jagung (Zea mays L). [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana , IPB. Bogor. 58 hal. Haruna. 2011. Efisiensi pemanfaatan air dan radiasi surya untuk peningkatan produktivitas jagung melalui kombinasi pengaturan air irigasi dan pemangkasan daun bawah pada lahan kering beriklim kering.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harjadi SS. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta. Hesketh JD, Moss DN. 1963. Variation in the response of photosynthesis to light. Crop Sci. 3:107-10 [Internet][diunduh pada 26 Januari 2013] tersedia di http://www.garfield.library.upenn.edu/.../A1981LE366. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. Buku Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 24 Hoff H, Falkenmark M, Gerten D, Gordon L, Karlberg L, Rockstrom J. 2009. Greening the global water system. Journal of Hydrology, In Press (doi:10:1016/j.hydrol.2009.06.026). Hoffman GJ, Towell TA, Solomon KH. 1990. Management of farm irrigation systems, ASAE, St. Joseph, MI, USA. Idjudin, Abas A, Marwanto S. 2008. Reformation of dryland management for supporting food-self sufficiency. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Indriani R. 1889. Hubungan intersepsi dan absorbsi radiasi surya dengan biomassa dan produksi tanaman tumpangsari pada arah baris berbeda. Skripsi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB. Bogor. Jama AO, Ottman MJ. 1993. Timing of the first irrigation in corn and water stres conditioning. Agron. J. 85:1159-1164. Janick J. 1972. Hortikultural Science. San Francisco: W.H. Freeman Company Javonovic Z. 1979. Investigation of osmoregulation as a factor of drought resistance in maize. Review of Research Work at the Faculty of Agriculture, Belgrade. 41: 49-57. Jose OP, Steven RM, Suat I, David T. 2006. Yield response of corm to deficit irrigation in a semiarid climate. Agric. Water Manage. 84:101-112. Jin MG, Zhang, RQ, Sun LF, Gao UF. 1999. Temporal and spatial soil water management: a case study in the Heilonggang region, P.R. China. Agricultural Water Management. 42 (2): 173-187 Jurgens SK, Johnson RR, Boyer JS. 1978. Dry matter production and translocation in maize subjected to drought during grain fill. Agronomy Journal. 70: 678-688.
43 Karaa K, Karam F dan Tarabey N. 2007. Effects of deficit irrigation on yield and water us e efficiency of s ome crops under semi-arid conditions of the Bekaa valley of Lebanon.[internet] [diunduh tanggal 29 mei 2013]. Tersedia di http://om.ciheam.org/article.ph p?ID PD F=8007 83. Karim MA, Fracheboud, Y and Stamp P. 2000. Effect of high temperature on seedling growth and photosynthesis of tropical maize genotypes. J. Agron. Crop Sci. 184:217-223. Kartiwa B, Sosiawan H, Sumarno, Subagyono K, 2009. Optimalisasi dosis dan interval irigasi tanaman jagung di lahan kering beriklim kering di sumba timur. studi kasus di desa kambatatana kecamatan pandawai kabupaten Sumba Timur. Balai Penelitian Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Kersebaum KC, Mirschela W, Wenkel KO, Manderscheid R, Weigel HJ, Nendel C. 2009. Modelling Climate Change Impacts on Crop Growth and Management in Germany. Nova Science Publishers, Inc.[Internet]. [diunduh 12 Februari 2013]. Germany. Kiniry JR, Jones CA, Toole JCO, Blanchet R, Cabelguenne M, Spanel DA. 1999. Radiation use efficiency in biomass accumulation prior to grain filling for five grain crop species. Field Crops Res. 20: 51-64. Koesmaryono Y, Sabaruddin L, Stigter K. 2005. Derivated agrometeorological information serving government and farmers’ decisions in some intercropping systems in Southeast Sulawesi, Indonesia. J. Agric. Meteorol. 60:343-347. Las I, Karim K, Makarim A. Hidayat A. Karama S, dan Manwa I. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. hal 24. Las I. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim (bagian 1). [Internet][diakses 13 Desember 2012].tersedia di www.litbang.deptan.go.id. Lamm FR, Rogers DH, Manges HL 1994. Irrigation scheduling with planned soil water depletion. T. ASAE. 37:1491–1497. Laude HM. 1974. Effect of temperature on morphogenesis. [Internet][diunduh pada 23 Januari 2013] tersedia pada http://scien.net/general/effect-oftemperature-on-morphogenesis. Lecoeur J, Ney B. 2003. Change with time in potential radiation use efficiency in field pea. Eur. J. Agr. 19:91-105. Lee C. 2007. Corn growth and development. www.uky.edu/ag/grain crops. Levitt J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses. Volume II, 2nd ed. Academic Press, New York. [internet][diakses tanggal 23 Juni 2013] di http://5e.plantphys.net/article.php?ch=r&id=261 Liu C, Jun X. 2004. Water problems and hydrological research in the Yellow River and the Hai River Basin of China. Hydrol. Process. 18:2197–2210. MacGillivray JH. 1949. Effect of irrigation on the growth and yield of sweet corn. Proc. Am. Soc. Hortic. Sci. 54, 330–338. Medany MA, Hegazy AK, Kabiel HF, Maez MM. 2007. Prediction of seed germinational and seedling growth of four crop plants as affected by root zone temperature. World. J. Agric. Sci. 3:714- 720. Mather JR. 19740 Climatology. fundamentals and applications. Hc Graw-Hill Book Company, Inc. Hew York. 412p.
44 Mattobii. 2004. Pengaruh pemangkasan tassel dan daun terhadap akumulasi bahan kering biji dan hasil tanman jagung (Zea mays L.). [Tesis] Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang. Milford GFJ, Riley J. 1980. The effect of temperature and crop growth of sugar beet varieties. Ann. Biol. 94:431-43. Monteith JL. 1970. Solar radiation and productivity in tropical ecosystems. opening paper at IBP and UNESCO meet. Maharere University. Uganda. Muchow RC, Carberry PS. 1989. Environmental control of phenology and leaf growth in a tropically adapted maize. Field Crop Res. 20:221-236. Muchow RA, Spillrnan, BA.. Wood W, Thomas D. 1994. Radiation interception and biomass accumulation in a sugarcane crop grown under irrigated tropical conditions. Aust. J. Agricultur. 45. 37-49. www.lpv.esalq.usp.br. Muchow RC and Davis R. 1988. Effect of nitrogen supply on the comparative productivity of maize and sorghum in a semi-arid tropical environment. II. Radiation interception and biomass accumulation. Field Crops Research. 18: 17 – 30. Muhadjir F, Sibma L, Van Keulen H. 1977. The influence of weather conditions on grow and development of maize crop in the Netherlands Verlag Nr. 13. Centrum Voor Agrobilogish Onderzoek, Wageningen. The Netherland. Mustafavi MR, Ross HZ. 1990. Defoliation effects on grain filling of R-nj color selected maize strains. Crop. Sci. 30:358-362. Nesmith, DS and Ritchie, JT. 1992. Short and long term responses of corn to a pre anthesis soil water deficit. Agron J. 84:107-113. Nobe KC, Sampath RK. 1986. Irrigation management in developing countries. Water Policy and Management No. 8 Westview Press, Boulder and London. Notohadinegoro T. 2000. Diagnostik fisik kimia dan hayati kerusakan lahan. Makalah pada seminar pengusutan kriteria kerusakan tanah/lahan, Asmendep I LH/Bapedal. 1-3 Juli 1999. Yogyakarta. Hlm. 54-61. O’Connell M, O’Leary GJ, Whitfield DM, Connor DJ, 2004. Interception of photosynthetically active radiation and radiation-use efficiency of wheat, field pea and mustard in a semi-arid environment. Field Crops Research 85:111–124. Oldeman LR, Las I, dan Muladi. 1980. The Agroclimatic Maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali. Bogor: West and East Nusa Tenggara. Rest. Ins. Agric. Otegui ME, Andrade FH, and Suero EE. 1995. Growth, water use and kernel abortion of maize subjected to drought at silking. Field Crops Research, 40: 87- 94. Pandey RK, Maranville JW, Admou A. 2000. Deficit irrigation and nitrogen effects on maize in a Sahelian environment. I.Grain yield and yield components. Agric. Water Manage. 46:1–13. Payero O, Tarkalson D, Irmak S, Davison D, Petersen L. 2008. Effect of irrigation amounts applied with subsurface drip irrigation on corn evapotranspiration, yield, water use efficiency, and dry matter production in a semiarid climate. Agricultural Water Management. 95: 895-908. Pearson CJ. 1975. Thermal adaptation of pennisetum seedling development. Australian. J. Plant Phys. 2:413- 424.
45 Pereira LS, Oweis T, Zairi A. 2002. Irrigation Management Under Water Scarcity. Agric. Manage. 57:175-206. Purcell LC. Rosalind A, Ball JD, Reaper, III, Earl DV. 2002. Radiation use efficiency and biomass production in soybean at different plant population densities. Crop Sci. 42:172-177. [https://www.soils.org/publications/cs/pdfs/ 42/1/172] Rasheed M, Hussain A dan Mahmood T. 2003. Growth analysis of hybrid maize as influenced by planting techniques and nutrient management. International Journal Of Agriculture & Biology. 1560–8530/2003/05–2–169– 171[Internet] diunduh tanggal 16 April 2012 http://www.ijab.org. Rasul G, Chaudhry QZ, Mahmood A, Hyder KW. 2012. Effect of temperature rise on crop growth and productivity. Pakistan Journal of Meteorology. [Internet]. [diunduh 12 Februari 2013]; volume 8. Pakistan Rudat H, 1978. The effect of drought stress on development of dry matter production and yield structure of tropical maize. 22nd Annual Conference on 12-14 October 1978 in Bolin Summaries of Papers, p.56. Rukmana, Rahmat.1995. Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis. Kanisius. Jakarta Saeed M, Saifi MY, Akhtar M, and Mohsan S. 1998. Differential genotypic response to drought stress in maize. Sarhad Journal of Agriculture, 14: 4955. Salisbury FB, Ross CW. 1992.Fisiologi tumbuhan Jilid III. ITB:Bandung. Sariubang M, Qomariyah N, Nurhayu A. 2010. Sistem usahatani terpadu jagung dan sapi di kabupaten Takalar provinsi Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi pertanian Sulawesi Selatan. Makassar. Scheierling SM, Cardon GE, Young RA. 1997. Impact of irrigation timing on simulated water-crop production functions. Irrigation Sci. 18:23–31. Sinclair TR, Muchow RC, Ludiow MM, Leach GJ, Lawn RC, Foale MA. 1987. Field and model analisis of the effect of water deficits on carbon and nitrogen acumulation by soybean, cowpea and black gram. Field Crops Res 17: 121-140. Stone PJ, Wilson DR, Gillespie RN 2001. Water deficit effects on sweet corn. I. Water use, radiation use efficiency, and yield. Australian Journal of Agricultural Research 52, 103-113. Suhartono RA, Sidqi ZZM, Khoiruddin A. 2008. Pengaruh interval pemberian air terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Glicine Max (L) Merril) pada berbagai jenis tanah. Embriyo. 5: 98 – 112. Supriyanto. 2010. Pengembangan sorgum di lahan kering untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, energi dan industri. [Internet][tersedia diwww. dppm.uii.ac.id/.../DPPM-UII_06._45-51_PENGEMBANGAN_SORGUM ], diunduh pada tanggal 20 September 2012. Turner NC, Wright GC, Siddique KHM. 2001. Adaptation of grain legumes (pulses) to water limited environments. [Internet]. [diunduh 13 Februari 201 3]. Tersedia pada http://www.sciencedirect.com Adv. Agron. 71: 194–233. Tavakoli AR. 1999. Optimization of deficit irrigation based on yield functions and costs and with optimum use of water resources in agriculture objective. Agric. Water Manage. 65: 225–236.
46 Traore SB, Carlson RE, Pilcher CD, Rice ME. 2000. Bt and Non-Bt maize growth and development as affected by temperature and drought stress. Agron. J. 92:1027–1035. Violita. 2007. Komparasi respon fisiologi tanaman kedelai yang mendapat cekaman kekeringan dan perlakuan herbisida paraquat [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wang Q, Li FR, Zhao L, Zhang EH, Shi SL, Zhao WZ, Song WX, Vance MM 2010. Effects of irrigation and nitrogen application rates on nitrate nitrogen distribution and fertilizer nitrogen loss, wheat yield and nitrogen uptake on a recently reclaimed sandy farmland. Plant soil 337:325-339. Wikantika K, Agus, ASS. 2006. Analisis Perubahan Luas Pertanian Lahan Kering Menggunakan Transformasi Tasseled Cap Studi Kasus : Kawasan Puncak – Jawa Barat. Jurnal Infrastruktur dan Lingkungan Binaan. FTSL-ITB. Bandung. Yang HS, Dobermann A, Lindquist JL, Walters DT, Arkebauer TJ, Cassman KG. 2004. Hybrid-maize—a maize simulation model that combines two crop modeling approaches. Field Crops Res. 87: 131–154. Yi L, Yang S, Li, Chen. 2010. Growth and development of maize (Zea mays L.) in response to different field water management practices: Resource capture and use efficiency. Agricultural and Forest Meteorology 150 : 606–613. Yilmaz E, Akcay S, Gurbuz T, Dagdelen N, Sezgin F. 2010. Effect of different water stress on the yield and yield components of second crop corn in semiarid climate. Journal of Food, Agriculture and Environment 8: 415 421 . Zhang BC, Huang GB, & Li FM. 2007. Effect of limited single irrigation on yield of winter wheat and spring maize relay intercropping. Pedosphere, 17: 529537. [Internet][diunduh pada 27 April 2013] tersedia di http://dx.doi.org/10.1016/S1002-0160(07)60063-0 Zubachtirodin, Pabbage MS, Subandi. 2007. Wilayah produksi dan potensi pengembangan jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros
47 LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik Tanah di Lahan Percobaan Sifat Fisik Tanah di Lokasi Penelitian PD (g/cm3) PD (g/cm3) RPT (%vol)) Kadar Air (% vol) pF 1.00 pF 2.00 pF 2.54 pF 4.20 Pori Drainase (% vol) Cepat Lambat Air tersedia (% vol) Permeabilitas (cm/jam)
Kedalaman 0-30 cm Niai Kategori 2.55 1.08 57.1 36.9 46 40.9 34.2 23.8
Kedalaman 30-60 cm Niai Kategori 2.56 1.19 53.6 39.2 49 39 33.9 23.7
16.2 6.7 10.4 1.74
14.6 5.1 10.3 1.29
Sedang Rendah Rendah Sangat Rendah
Sedang Rendah Rendah Sangat Rendah
Lampiran 2 Data cuaca lokasi Stasiun Lokasi Bulan
: Naibonat : BPTP Naibonat : Agustus 2012
Tanggal 1/6/2012 2/6/2012 3/6/2012 4/6/2012 5/6/2012 6/6/2012 7/6/2012 8/6/2012 9/6/2012 10/6/2012 11/6/2012 12/6/2012 13/06/2012 14/06/2012 15/06/2012 16/06/2012 17/06/2012 18/06/2012 19/06/2012
Tmin (OC) 19.3 21.1 21.1 21.5 22.7 21.3 21.3 22.9 20.8 16.3 16.5 16.3 17.1 16.2 15.6 17.8 19.9 21.1 23
Kab. Desa Kec.
Tmax (OC) 31.5 31.5 32.3 32.2 30.8 30.5 30.5 30.9 30.5 30.5 31.6 30.7 29.8 31.7 30.7 31.4 32.3 31.3 30.5
: Kupang : Naibonat : Kupang Timur
Tavg (OC) 25.3 25.7 26.1 26.3 25.9 25.4 25.7 25.8 24.7 23.4 23.6 23.1 22.6 23 23.4 24.7 25.9 26.2 26
RH (%) 76.5 78 76 68.5 69.5 71.5 68.5 67.5 69 71 71 71.5 78.5 74 74.5 67 67 61.5 63.5
Lintang Bujur Ketinggian
Va (km jam-1) 1.15 1.08 0.89 0.69 0.76 0.89 1.26 1.37 1.4 1.4 1.38 1.19 0.98 1.54 0.96 0.8 0.83 0.96 0.89
: 10 o 05, 533' : 123 o 50, 533' : 20 meter
CH (mm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rs (MJ m-2) 17.33 17.18 17.37 14.4 16.46 17.15 16.18 17.1 16.41 17.62 17.62 14.51 12.7 16.97 16.93 16.76 17.05 16.13 15.71
48 Tanggal 21/06/2012 22/06/2012 23/06/2012 24/06/2012 25/06/2012 26/06/2012 27/06/2012 28/06/2012 29/06/2012 30/06/2012 1/7/2012 2/7/2012 3/7/2012 4/7/2012 5/7/2012 6/7/2012 7/7/2012 8/7/2012 9/7/2012 10/7/2012 11/7/2012 12/7/2012 13/07/2012 14/07/2012 15/07/2012 16/07/2012 17/07/2012 18/07/2012 19/07/2012 20/07/2012 21/07/2012 22/07/2012 23/07/2012 24/07/2012 25/07/2012 26/07/2012 27/07/2012 28/07/2012 29/07/2012 30/07/2012 31/07/2012
Tmin (OC) 18.2 15.8 13.9 17.8 19.5 17 18.6 17.6 16.1 17.9 16.1 20.7 18.4 22.5 22.5 23.5 21.1 18 19.9 20.2 19.3 19.7 23.2 22 18.6 21 23.6 23.3 18.7 17.1 17.8 15.7 17.9 15.1 16.3 16.2 17.7 20.5 23.1 17 14.8
Tmax (OC) 31.3 30.4 30 29.5 29.1 30 29.9 30.4 30.2 30.4 31.9 29.8 28.9 29.1 29.4 28.9 29.1 30.8 31.6 33.3 32.6 32.2 31.4 31.1 32.4 30.3 31.1 31.6 30.8 30 30.2 29.2 29.3 31.3 30.8 30.6 32 30 30.3 29.2 30.1
Tavg (OC) 24.1 22.6 22.2 24.2 23.7 23.7 23.9 23.4 23.2 23.6 24 25.7 24.1 25 25.1 25.1 24.4 24 25.3 26 25.7 26 26.2 25.4 25.3 25.5 26.4 26.6 24.6 23.5 23.6 22.7 23 23.1 24 23.8 24.7 25.2 25.4 23 23.1
RH (%) 74 67 68 63 62 66 70 74 73 71 69 61 64 63 64 62 64 70 70 70 73 73 74 76 70 75 73 61 63 68 65 66 63 64 66 70 67 70 63 61 65
Va (km jam-1) 1.42 1.91 1.5 1.18 1.53 1.09 0.71 0.76 1.19 1.12 1.26 1.24 1.18 1.24 1.28 1.24 1.61 2.36 2.27 1.45 1.33 1.18 1.34 1.22 1.32 1.4 1.4 1.02 0.97 0.8 0.73 1.3 2.03 1.22 1.09 1.09 0.82 0.98 0.86 1.02 1.23
CH (mm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rs (MJ m-2) 15.55 17.58 15.93 16.53 16.56 17.18 14.97 16.87 16.47 17.63 16.96 16.18 14.89 14.34 14.74 14.22 16.46 17.73 17.67 16.46 16.46 16.95 17.92 18.49 18.74 18.62 18.87 18.83 18.32 16.75 15.5 19.02 17.75 18.89 18.91 19.7 19.56 19.61 19.32 18.12 16.44
49 Tanggal 2/8/2012 3/8/2012 4/8/2012 5/8/2012 6/8/2012 7/8/2012 8/8/2012 9/8/2012 10/8/2012 11/8/2012 12/8/2012 13/08/2012 14/08/2012 15/08/2012 17/08/2012 18/08/2012 19/08/2012 20/08/2012 21/08/2012 22/08/2012 23/08/2012 24/08/2012 25/08/2012 26/08/2012 27/08/2012 28/08/2012 29/08/2012 30/08/2012 31/08/2012 1/9/2012 2/9/2012 3/9/2012 4/9/2012 5/9/2012 6/9/2012 7/9/2012 8/9/2012 9/9/2012 10/9/2012 11/9/2012
Tmin (OC) 16.2 17.7 18.7 18.4 15.5 18.7 16.3 17.5 17 16.9 18.4 14.6 13.4 14.1 18.3 16.4 17.1 18.5 16.2 16.6 17.1 21 20.1 23.1 21.8 16.9 14.7 16.6 14.5 13.1 16.2 16.6 15.5 20.7 16.8 19.5 17.2 18.5 18.6 15.3
Tmax (OC) 30.6 32.2 32.6 31.8 32.9 30.9 31 31.2 31.9 31.3 30 29.2 29.9 31.6 31.7 33 32.4 32.4 33.6 33.2 32.4 33.2 32.9 34.2 33 33.2 32.5 34.4 33.9 32.5 33.8 32 33.2 33.2 34.4 35.4 34.5 33 33 33.2
Tavg (OC) 23.8 24.6 24.7 24.6 24.1 24.2 23.7 24.3 24.5 25 23.5 22.6 22 23.5 25 24.5 24.5 25 25.2 24.6 25.2 26 26.2 27.3 26.8 25.8 24.4 24.4 22.9 22.8 24.8 25 24.2 26 25.1 26 25.7 25.9 25.2 24.4
RH (%) 64 64 67 66 64 61 61 63 63 60 58 61 60 65 61 60 65 65 56 63 66 67 70 68 65 65 66 58 71 70 66 66 70 62 64 65 67 67 66 69
Va (km jam-1) 1.31 1.62 1.57 1.45 1.56 2.2 1.9 1.6 1.54 1.38 1.6 1.49 1.33 1.53 2.09 2.34 1.56 1.41 1.54 1.81 2.29 1.88 1.62 1.82 1.48 1.23 1.44 1.83 2.01 1.55 1.96 1.93 1.84 1.72 1.52 1.55 1.27 1.3 1.9 1.39
CH (mm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rs (MJ m-2) 18.26 18.6 18.88 19.11 19.11 19.18 18.15 19.52 19.59 19.37 19.31 17.48 16.93 17.97 20.15 20.34 19.91 19.06 20.22 19.45 20.16 20.13 19.94 19.39 20.3 20.26 20.03 19.39 19.75 20.11 17.53 21.13 18.98 20.37 19.67 19.76 18.93 19.89 21.04 20.55
50 Tanggal 13/09/2012 14/09/2012 15/09/2012 16/09/2012 17/09/2012 18/09/2012 19/09/2012 20/09/2012 21/09/2012 22/09/2012 23/09/2012 24/09/2012 25/09/2012 27/09/2012 28/09/2012 29/09/2012 30/09/2012 1/10/2012 2/10/2012 3/10/2012 4/10/2012 5/10/2012 6/10/2012 7/10/2012 8/10/2012 9/10/2012 10/10/2012 11/10/2012 12/10/2012 13/10/2012 14/10/2012 15/10/2012 16/10/2012 17/10/2012 18/10/2012 19/10/2012 20/10/2012 21/10/2012 22/10/2012 23/10/2012
Tmin (OC) 19.4 17.7 19.1 17.5 17.5 20.1 20.5 17.3 16.6 17.1 15.7 16.7 18 23.8 20.9 22.9 20.6 20.8 20 19.5 20.6 20.3 21.2 20.8 18.6 21.4 21.4 22.7 21.2 24.7 21.5 22.5 23.7 23.2 21.5 21.1 20.3 20.8 20.6 21.4
Tmax (OC) 34.6 34 33 34.7 34.9 34.1 34.5 34.4 34.6 33.1 35.5 36.5 33.8 34.5 34.7 35.7 35.3 36.2 33.3 33.9 33.7 34.3 34.8 33.9 34.2 35.4 35.4 36.4 35.2 35.5 35.8 35.2 35.2 36 35.1 35.7 36 35.4 35.9 35.3
Tavg (OC) 27.1 26.1 26.5 26.4 26.6 26.5 26.4 26 25.9 25.1 25.3 25.2 26.1 27.6 27.2 27.9 27.4 27.8 27.3 26.6 27.2 27.8 28 27.5 26.4 27.6 27.8 28.5 28.5 29.3 28.7 28.5 28.7 28.7 28.4 28 27.8 27.7 28.2 28.4
RH (%) 64 68 65 58 58 66 64 65 59 63 60 68 67 62 69 64 65 62 64 63 61 62 63 65 69 67 65 64 64 57 59 63 62 65 64 66 64.5 66.5 60.5 58
Va (km jam-1) 0.75 0.98 0.78 1.47 1.27 1.19 0.74 0.75 0.72 1.16 1.18 0.87 1.01 1.46 1.46 1.01 0.79 1.39 1.44 1.47 1.83 1.56 1.72 1.5 1.27 1.6 1.55 1.7 1.93 2.79 2.51 2.16 2.64 1.6 2.13 1.82 1.68 1.59 1.66 2
CH (mm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rs (MJ m-2) 20.65 20.65 21 21 21 19.48 21.35 21.16 20.69 21.26 21.6 20.92 21.07 12.26 16.95 18.6 22.01 18.18 21.39 21.68 19.97 20.35 22.08 21.19 21.4 21.32 20.07 19.58 20.92 21.24 21.71 20.01 22.16 19.35 22.76 21.74 21.89 20.37 21.85 21.48
51 Tanggal 24/10/2012
Tmin (OC) 20.6
Tmax (OC) 35.7
Tavg (OC) 28.5
RH (%) 57.5
Va (km jam-1) 1.93
CH (mm) 0
Rs (MJ m-2) 22.78
Lampiran 3 Sidik Ragam ILD Sidik ragam ILD 9 MST Suber Keragaman Irigasi Galat
db 2 6
JK 1.41 0.25
Total
8
1.66
KT 0.71 0.04
Fhit 16.96
P-value 0.003*
F tabel 5.14
KT 0.7 0.1
Fhit 13.7
P-value 0.0058*
F tabel 5.1
Sidik ragam ILD 10 MST Suber Keragaman Irigasi Galat
db 2 6
JK 1.4 0.3
Total
8
1.7
ampiran 4 Analisis pertumbuhan tanaman Dosis Irigasi 100 % 80 % 60% Uji F Dosis irigasi 100 % 80 % 60% Uji F
3 MST 0.46 0.63 0.54 tn
3 MST 0.03 0.04 0.04 tn
4 MST 0.42 0.49 0.42 tn
LAB (mg cm-2 hari-1) 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 0.55 4.45 3.46 3.70 0.65 3.08 4.25 4.50 0.60 4.22 3.42 3.13 tn tn tn tn
9 MST 6.89 7.46 5.88 tn
10 MST 10.55 10.60 9.48 tn
4 MST 0.05 0.06 0.05 tn
LTT (mg cm-2 hari-1) 6 MST 7 MST 8 MST 1.26 1.37 2.16 0.87 1.77 2.69 1.15 1.42 1.92 tn tn tn
9 MST 5.38 5.80 4.82 tn
10 MST 10.31 10.42 8.71 tn
5 MST 0.10 0.13 0.11 tn
52 Lampiran 5 Sidik ragam komponen hasil tanaman Bobot sebelum pipil SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Irnteraksi Galat Total Jumlah biji SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Irnteraksi Galat Total
DF 2 3 6 2 6 16 35
DF 2 3 6 2 6 16 35
JK 0.04 0.18 0.32 0.57 0.16 1.05 2.32
JK 1.39 14.15 5.33 45.04 13.09 43.74 122.73
Panjang tongkol SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Irnteraksi Galat Total
DF 2 3 6 2 6 16 35
JK 1.39 1.56 4.93 5.13 5.60 18.84 37.47
Produksi per 1000 biji SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Interaksi Error Total terkoreksi
DF 2 3 6 2 6 16 35
JK 1896.00 2597.00 1343.33 2667.17 3932.83 18.84 37.47
Produksi per 15 tongkol
KT 0.02 0.06 0.05 0.28 0.03 0.07
KT 0.70 4.72 0.89 22.52 2.18 2.73
F Value 0.33 0.92 0.80 4.33 0.41
F Value 0.25 1.73 0.32 8.24 0.80
KT 0.70 0.52 0.82 2.57 0.93 1.18
F Value 0.59 0.44 0.70 2.18 0.79
KT 948.00 865.67 223.89 1333.58 655.47 1.18
F Value 1.44 1.31 0.34 2.02 0.99
Pr > F 0.73 0.45 0.58 0.03* 0.86
Pr > F 0.78 0.20 0.91 0.00* 0.59
Pr > F 0.57 0.73 0.66 0.15 0.59
Pr > F 0.27 0.30 0.91 0.16 0.46
53 SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Irnteraksi Error Total DI :dosis irigasi.
DF 2 3 6 2 6 16 35
JK 0.02 0.29 0.19 0.70 0.31 0.72 2.22
KT 0.01 0.10 0.03 0.35 0.05 0.04
F Value 0.18 2.18 0.70 7.80 1.16
Pr > F 0.83 0.13 0.65 0.00* 0.38
Produktivitas SK kelompok DI kelompok(irigasi) PD Interaksi Error Total DI :dosis irigasi.
DF 2 3 6 2 6 16 35
JK 0.09 3.31 1.25 7.07 1.06 3.31 16.08
KT 0.04 1.10 0.21 3.53 0.18 0.21
F Value 0.21 5.34 1.00 17.08 0.85
Pr > F 0.81tn 0.01* 0.46tn 0.00* 0.55tn
54 Lampiran 6 Dokumentasi Kegiatan di Lokasi Penelitian
Kondisi embung sebagai sumber air irigasi
Lahan yang telah ditanami jagung dan diberi irigasi
Pemberian Irigasi dan Pemangkasan Daun tanaman
55
Tanaman hasil perlakuan pengurangan irigasi dan pemangkasan daun di bawah tongkol
Lampiran 7 Deskripsi jagung varietas Lamuru Tanggal dilepas Dibentuk dari
: 25 Februari 2000 : 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3 Umur : 120 hari Batang : Tegak Warna batang : Hijau Tinggi tanaman : 160 hingga 210 cm Daun : Panjang Warna daun : Hijau Keragaman tanaman : Agak seragam Perakaran : Baik Malai : Semi kompak Warna anther : Coklat muda (80%) Warna rambut : Coklat keunguan (75%) Tongkol : Panjang dan silindris Tinggi letak tongkol : 85 hingga 110 cm Kelobot : Tertutup dengan baik (75%) Tipe biji : Mutiara (flint) Warna biji : Kuning Baris biji : Lurus Jumlah baris/tongkol : 12 hingga 16 baris Bobot 1000 biji : 275 g Rata-rata hasil : 5,6 t ha-1 Potensi hasil : 7,6 t ha-1 Ketahanan : Cukup tahan terhadap penyakit bulai (Penonosclerospora maydis) dan karat Daerah sebaran : Dataran rendah sampai 600 m dpl.
56
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Moutong (Sulawesi Tengah), pada tanggal 13 Maret 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Taswin Kaluku dan Suniwati D. Pakaya. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri Gorontalo, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Klimatologi Terapan pada Program Pascasarjana IPB.