PENGULANGAN VERBA DINAMIS BAHASA SUNDA Nur Wulan Wikahsari
ABSTRAK Skripsi ini berjudul “Pengulangan Verba Dinamis Bahasa Sunda”. skripsi ini membahas verba dinamis, afiksasi, reduplikasi bergabung dengan verba dinamis dan makna
yang
dihasilkan dari proses tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode kajian yang digunakan adalah metode kajian distribusional. Data diambil dari majalah mangle dan carpon-carpon bahasa Sunda. Teori yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari Djajasudarma dan idat (1987), djajasudarma dkk. (1992), Djajasudarma (1994) dan Sobarna (1988). Dari penelitian ini disimpulkan reduplikasi yang bergabung dengan verba dinamis bahasa sunda adalah dwimurni, dwireka, dwipurwa dan trilingga. Afiks yang dapat bergabung dengan dengan pengulangan verba dinamis bahasa sunda adalah Prefiks di-, Sufiks – an, prefiks N-, prefiks di- + Sufiks –keun, Prefiks –N + Sufiks –keun, prefiks pa-, prefiks N- + sufiks –an. Makna yang dihasilkan dari pengulangan verba dinamis bahasa sunda adalah makna frekuentatif dan kontinuatif.
ABSTRACT This thesis is titled “Repetition of Dinamic Verbs Sundanese Language”. This thesis discusses about the affixations, reduplications that can be joined with dynamic verbs and the meaning resulting from the process. the method which used in this research is descriptive method. the theories used in this study came from Djajasudarma and Idat (1987), Djajasudarma dkk. (1992), Djajasudarma (1994), dan Sobarna (1988). As the result of the study, it can be concluded that the reduplications that can be joined with dynamic verbs in Sundanese Language are dwimurni, dwireka, dwipurwa and trilingga. Affixes that can be joined with a repetition of dynamic verbs in Sundanese Language are prefiks di-, sufiks –an, prefiks N-, prefiks di- + sufiks –keun, prefiks-N + sufiks –keun, prefiks pa-, prefiks N- + sufiks –an. Meaning resulting from the repetition of dynamic verbs in Sundanese language are frequentative meaning and continuative meaning.
Pendahuluan Bahasa memiliki sifat yang universal, dinamis, dan arbitrer. Bahasa pada hakikatnya bersifat sistematis dan teratur. Para pemakai bahasa yang tidak statis dan berkecenderungan selalu berubah menyebabkan bahasa itu bersifat dinamis. Pada tataran morfologi, khususnya mengenai kelas kata, kosakata yang ada di dalam bahasa Sunda terbagi ke dalam beberapa kategori. Kosakata tersebut bisa termasuk ke dalam kelas kata nomina, verba, adjektiva, adverbia, atau numeralia. Hampir semua ahli bahasa Sunda
menempatkan verba sebagai
kosakata yang menduduki peranan paling penting di dalam sebuah kalimat. Verba bahasa Sunda berdasarkan bentuknya dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu verba dasar dan verba turunan. Verba dasar yaitu verba yang berupa morfem dasar yang terlepas dari afiksasi dan mempunyai makna yang mandiri, sedangkan verba turunan dapat dilihat dari proses morfemis yang meliputi: afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (Djajasudarma, 1993:93--4). Pembagian bahasa Sunda secara semantik dapat pula dilakukan dengan mengikuti pembagian verba ke dalam verba dinamis dan verba statif. Verba dinamis di dalam bahasa Sunda adalah verba yang dapat bergabung dengan partikel eukeur ‘sedang’, sedangkan verba statif adalah verba yang tidak dapat bergabung dengan partikel eukeur ‘sedang’ (Djajasudarma, 1994 : 95). Tetapi ketentuan itu tidak selamanya berlaku sebab adakalanya di dalam bahasa sunda verba dinamis tidak dapat bergabung dengan partikel eukeur ‘sedang’. Lebih lanjut Djajasudarma menjelaskan bahwa pengertian statif pada bahasa Sunda menunjukan suatu keadaan yang tetap, bersikap abstrak, dan hanya ada di dalam pikiran, sedangkan pengertian dinamis diartikannya sebagai alat untuk menunjukan sesuatu, misalnya: kata dan aspek yang mengatakan suatu tindakan, aktivitas, kesemertaraan, atau perubahan keadaan. Verba dinamis dibagi menjadi lima jenis, yaitu : 1. Verba aktivitas (activity verbs), yaitu verba yang menggambarkan adanya aktivitas atau perbuatan yang dilakukan subjek atau sesuatu yang dianggap subjek. 2. Verba proses (process verbs), yaitu verba yang menggambarkan perubahan keadaan atau
kondisi yang dialami subjek.
3. Verba sensasi tubuh (verbs of bodily sensation), yaitu verba yang menggambarkan suatu
situasi yang diterima atau yang dirasakan. 4. Verba
peristiwa
transisional
(transitional
events
verbs),
yaitu
verba
yang
menggambarkan perpindahan antara dua keadaan atau posisi (lokasi) subjek. 5. Verba momentan (momentanry verbs), yaitu verba yang menggambarkan suatu kegiatan
(aktivitas) yang berlangsung dalam durasi yang pendek atau singkat. Pengulangan verba dinamis di dalam bahasa Sunda amat beragam dan memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan verba dinamis di dalam bahasa yang lain. Pembahasan Proses morfologis oleh Djajasudarma (1994;31) disebut proses morfemis, proses morfemis adalah proses pembentukan kata melalui penggabungan satu morfem dengan morfem lainnya, sehingga membentuk suatu morfem baru. Proses morfemin dalam bahasa sunda terbagi ke dalam tiga bagian yaitu (1) proses afiksasi (pengimbuhan), (2) proses reduplikasi (pengulangan), dan (3) proses komposisi (pemajemukan). Afiksasi adalah penambahan dengan afiks (Venharr, 1985:60). Menurut Kridalaksana (1989:25), afiksasi adalah proses penggabungan yang mengubah leksem menjadi kata kompleks. Djajasudarma dkk (1994:33) berpendapat bahwa afiksasi adalah proses penggabungan afiksasi pada bentuk dasar. Pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata disebut afiksasi (Ramlan, 1997:54). Dapat disimpulkan bahwa afiksasi adalah poses pembentukan suatu kata melalui proses penggabungan suatu afiks dengan bentuk dasar. Djajasudarma, dkk (1994:33) membagi afiks yang didasarkan pada posisinya berupa prefiksasi, infiksasi, sufiksasi. Afiksasi juga dapat muncul dalam bentuk kombinasi atau simulfiks. Djajasudarma (1994:90) mengemukakan bahwa reduplikasi atau pengulangan merupakan suatu proses gramatikal yang berupa pengulangan bentuk sebagian atau seluruhnya baik disertai perubahan fonem atau tidak.
Chaer (2003:183) menyatakan redupliksasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dsar, baik secara keseluruhan, secara sebagian, maupun dengan perubahan bunyi. Sementara itu, ahli lain berpendapat bahwa reduplikasi merupakan proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagian bentuk dasar tersebut, Venhaar (2006:152). Penulis dapat menyimpulkan bahwa redulpikasi adalah pengulangan baik itu sebagian, maupun seluruh bentuk dasar, yang menghasilkan makna baru setelah diulang. Pengulangan dalam bahasa sunda terdiri atas : 1. Dwilingga Dwilingga dibagi menjadi : a. Dwimurni adalah bentuk ulang penuh. Dwimurni dibagi menjadi (1) dwimurni berafiks/bernasal, misalnya : dijieun-jieun, dilelep-lelep, diayun-ayun, dan (2) dwimurni dengan mu- ( pengulangan regrresif yaitu unsur terulangan mengikuti yang diulang). b. Dwireka Dwireka adalah pengulangan dengan perubahan bunyi (vokal) Misalnya : diubrak-abrik, dibulak-balik, dibuntang-banting . 2. Dwipuwa Dwipurwa adalah pengulangan sebagian (silabe inisial) pada bentuk dasar. Dwipurwa dibedakan menjadi : a. Dwipurwa, misalnya : nyanyabaan, tutumpakan b. Dwipurwa berafiks dan bernasal. c. Dwipurwa dengan proses morfemis. 3. Trilingga
Trilingga adalah pengulangan dengan perubahan bunyi vokal, sebanyak tiga kali. Misalnya : plak-plek-plok, brang-bring-brung. 4. Pengulangan semu Pengulangan semu adalah pengulangan yang tidak memiliki makna bila tidak diulang. Pengulangan semu dalam bahasa sunda berupa : 1. Dwimurni semu 2. Dwipurwa semu 3. Dwiwasana ( pengulangan silabe akhir) semu Dwimurni adalah pengulangan dengan mengulang seluruh bentuk dasar. Pengulangan merupakan proses morfemis yang banyak sekali terdapat pada bahasa-bahasa di dunia. Demikian pula di dalam bahasa Sunda, pengulangan merupakan salah satu upaya untuk menurunkan salah satu upaya untuk menurunkan bentuk baru (turunan). Pengulangan dalam bahasa Sunda disebut rajékan, sedangkan kata ulang atau kata berulang disebutnya kecap rajékan. Verba
adalah
kelas
kata
yang
biasanya
berfungsi
sebagai
perdikat
(Kridalaksana,1968:226). Djajasudarma (1991:92-93) mengemukakan bahwa verba terjadi dari bentuk dasar verba itu sendiri, sedangkan verbal dibentuk dari bentuk dasar yang berkelas nonverba. veba bahasa Sunda memiliki ciri morfologis, yaitu verba tidak mengalami sufiksasi -an yang bermakna ‘lebih’, seperti halnya pada kelas adjektiva, misalnya gedé ‘besar’, gedéan ‘lebih besar. Ciri morfologis lainnya yaitu verba bahasa Sunda biasanya mengalami proses morfemis yang berupa prefiksasi N- (nasal), misalnya nénjo ‘melihat’, nyieun ‘membuat’ dan memiliki ciri sintaksis yaitu verba bahasa Sunda dapat bergabung dengan partikel ( hen ) teu ‘tidak’ atau tara ‘tidak pernah’ dalam membentuk negasi, misalnya heunteu datang ‘tidak datang’, tara datang ‘tidak pernah datang’. Ardiwidjaja memberi batasan verba berdasarkan hubungan dengan objek, misalnya muka ‘ membuka’, numpakan ‘ menaiki’, nyaksian ‘menyaksikan’, imaraban ‘ memeberi makan (hewan)’, sedangkan kata - kata hees ‘tidur’, ngawarung ‘membuka warung’, leumpang ‘jalan’ diklasifikasikan ke dalam kelas kata keterangan.
Verba memiliki ciri-ciri tertentu, diantaranya : 1. Verba memiliki fungsi sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain. 2. Verba menggambarkan tingkah laku atau opekerjaan suatu nomina. Inti suatu pekerjaan
adalah gerak, diam, dan menjadi. Istilah gerak, diam, dan menjadi ini yang kita kenal sekarang dengan istilah event ‘peristiwa’ (gerak), state ‘keadaan’ (diam), dan process ‘proses’ (menjadi). 3. Verba bahasa sunda dapat digabungkan dengan paartikel (hen) teu ‘tidak’ atau tara ‘tidak
pernah’.
Verba Dinamis Verba dinamis adalah verba yang mengalami bentuk progresif. Verba dinamis dibagi menjadi lima jenis, diantaranya : (1) verba aktivitas (activity verbs), (2) verba proses (process verbs), (3) verba sensasi tubuh (verbs of bodily sensation), (4) verba peristiwa transisional (transitional events verbs), dan (5) verba momentan (momentanry verbs). a. Verba aktivitas
Verba aktivitas (activity verbs) adalah verba yang menggambarkan adanya aktivitas atau perbuatan yang dilakukan oleh subjek atau sesuatu yang dianggap subjek. Bentuk dasar verba aktivitas dapat dijadikan imperatif (dengan harapan terjadinya aktivitas yang dinyatakan bentuk dasar). Verba aktivitas dapat pula dibentuk dari nomina. Bentuk dasar nomina tersebut, mengalami proses morfemis berupa prefiksasi N- atau pengulangan. Di bawah ini salah satu data pengulangan verba aktivitas : 1. (26) Mangkaning harita can diuk-diuk acan.
padahal waktu itu belum duduk-duduk belum ‘padahal waktu itu belum sempat duduk’
Berdasarkan pada data (26) reduplikasi verba diuk-diuk di dalam bahasa Sunda termasuk ke dalam verba aktivitas yang telah mengalami pengulangan kata dari kata dasar diuk yang sepadan dengan kata duduk di dalam bahasa Indonesia. Kata diuk mengalami pengulangan jenis Dwimurni menjadi diuk-diuk. Kata diuk memiliki arti duduk yang termasuk ke dalam kelas kata verba jenis verba aktivitas karena kata diuk menunjukan adanya kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Kata diuk-diuk ini menunjukan sebuah aktivitas yang dilakukan terus-menerus. b. Verba Proses Verba proses (process verbs) adalah verba yang menggambarkan perubahan keadaan atau kondisi yang dialami subjek atau sesuatau yang dianggap subjek. Bentuk dasar verba proses ini tidak dijadikan imperatif, sebab proses yang dinyatakan terjadi sendirinya tanpa kehendak subjek. Di bawah ini salah satu data pengulangan verba proses : 1. (52) Pamajikan runghap-rénghap ngeureunkeun ceurikna, asa karunya
istriku menarik nafas memberhentikan menagisnya, rasa kasihan nénjona. melihatnya. ‘ istriku terengah-engah menyudahi tangisnya, kasihan melihatnya’ berdasarkan pada data (52) reduplikasi verba runghap-renghap merupakan sebuah verba yang menjelaskan sebuah proses. runghap-renghap termasuk ke dalam pengulangan dwireka karena adanya perubahan bunyi vokal. Pengulangan verba runghap-renghap memiliki makna sebuah proses yang dilakukan secara berulang-ulang. c.Verba sensasi tubuh Verba sensasi tubuh (verbs of bodily sensation) adalah verba yang menggambarkan suatu situasi yang diterima atau dirasakan oleh tubuh. Dibawah ini salah satu data pengulangan verba sensasi tubuh : 1. (64) Panonna kucap-kiceup, tanggah kana lalangit.
matanya kedip-kedip, mendongak ke atas langit.
‘matanya berkedip-kedip, meihat ke atas langit’ Berdasarkan pada data (68) reduplikasi verba kucap-kiceup berasal dari kata kiceup menjadi kucap-kiceup. Pengulangan verba kucap-kiceup berasal dari kata dasar kiceup yang telah mengalami perubahan bunyi vokal. Di dalam bahasa sunda kucap-kiceup termasuk kedalam pengulangan dwireka. Verba kucap-kiceup ini melibatkan organ mata dalam melakukan sebuah aktivitas yang dilakukan lebih dari satu kali. d. Verba peristiwa transisional
Verba peristiwa transisional (transitional event verbs) adalah verba yang menggambarkan perpindahan antara dua keadaan atau posisi (lokasi) subjek. Pada umumnya verba jenis ini tidak dapat dijadikan imperatif karena situasi terjadi dengan sendirinya. Jika ada verba peristiwa transisional yang dijadikan imperatif, maka maknanya berubah menjadi aktivitas ( tidak lagi menggambarkan perubahan yang terjadi dengan sendirinya). Dibawah ini salah satu data pengulangan verba peristiwa transisional :
1. (83) Didieu lambak ukur oyag-oyagan.
disini gelombang hanya bergoyang-goyang. ‘disini gelombang hanya bergoyang-goyang’ Berdasarkan pada data (83) reduplikasi oyag-oyagan “bergoyang-goyang” berasal dari bentuk dasar oyag ‘goyang’ yang mengalami proses morfemis yaitu panambahan sufiks –an dengan pengulangan dwimurni. Verba oyag-oyagan termasuk ke dalam verba peristiwa transisional karena adanya perubahan keadaan. Bentuk turunan yang dihasilkan dari proses morfemis tersebut tidak mengubah kategori dan disebut infleksi.
e. Verba Momentan
Verba momentan (momentary verbs) adalah verba yang menggambarkan suatu kegiatan (aktivitas) yamng berlangsung dalam durasi yang pendek atau singkat. Verba jenis ini dapat dijadikan imperatif. Dibawah ini salah satu data pengulangan verba momentan : 1. (84) teu tata pasini deui, kalah ka habek-habek baé pada ngababukan.
tidak menata janji lagi, malah kepukul-pukul saja pada memukul. ‘tidak bersatu lagi,malah terkena pukul terus memukuli’ Reduplikasi verba habek-habek di dalam bahasa Sunda termasuk ke dalam verba momentan yang telah mengalami pengulangan kata dari kata dasar habek yang sepadan dengan kata pukul di dalam bahasa Indonesia. Kata habek mengalami pengulangan jenis Dwimurni menjadi habek-habek. Kata habek memiliki arti pukul yang termasuk ke dalam kelas kata verba jenis verba momeentan karena kata pukul menunjukan adanya kegiatan yang dilakukan oleh subjek. Kata habek-habek ini menunjukan sebuah aktivitas yang dilakukan lebih dari satu kali dilakukan dalam waktu yang tidak begitu lama.
Simpulan Hasil analisis menunjukan bahwa proses morfemis yang terjadi pada verba dinamis dapat disistematiskan sebagai berikut : 1. Afiks yang dapat bergabung dengan dengan pengulangan verba dinamis adalah prefiks di-, pa-, N- (nasal), Sufiks –an. Kombinasi afiks prefiks di- + Sufiks –keun, Prefiks –N + Sufiks –keun, prefiks N- + sufiks –an. Reduplikasi yang dapat bergabung dengan verba dinamis adalah dwimurni, dwireka, dwipurwa dan trilingga. 2. Makna yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah makna frekuentatif dan Kontinuatif.
Daftar Sumber : Chaer, Abdul. 2003 Linguistik Umum, jakarta : Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah 1987 Gramatika Sunda, Bandung: Paramartha. Djajasudarma, T. Fatimah 1993 Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, Bandung: Eresco. 1999 Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Refika Aditama. 1999 Semantik II Pemahaman Ilmu Makna, Bandung: Refika Aditama. Djajasudarma dkk 1994 Tata Bahasa Acuan Bahasa Sunda, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sobarna, Cece 1988 Upaya Keaspekan Melalui Makna Inheren Verba dan Proses Morfemis di Dalam Bahasa Sunda. Skripsi Sarjana. Bandung : Fakultas Sastra.