PENGUKURAN KESENJANGAN DIGITAL DALAM PENGUASAAN TIK DI LINGKUNGAN PEGAWAI PEMERINTAH Alivia Yulfitri Magister Sistem Informasi - Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung
[email protected] Abstraksi Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang pesat saat ini menuntut terbentuknya pemerintah agar mampu membuka transaksi pelayanan publik melalui media internet, sehingga mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dimana masyarakat menuntut pelayanan publik yang baik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah negara, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif. Pelayanan ini sangat bergantung pada kemampuan sumber daya manusia pemerintah itu sendiri. Dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu menguasai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi demi terselenggaranya pelayanan publik tersebut. Tetapi saat ini, di pemerintah terjadi kelangkaan sumber daya manusia yang handal dalam penguasaan teknologi informasi. Sehingga kekurangan SDM ini menjadi salah satu penghambat pelaksanaan pelayanan publik TIK. Selain itu, SDM yang ada saat ini di pemerintah pun dalam kondisi dan kemampuan yang sangat bervariasi berkenaan dengan kemampuan TIK. Salah satunya adalah di antara para SDM tersebut, ada yang sudah biasa menggunakan komputer, tetapi ada pula yang belum biasa, ada yang sudah pernah mengakses internet dan ada pula yang belum, serta hal lainnya yang mungkin akan menghambat pelayanan publik dan penguasaan TIK. Sehingga terjadi kesenjangan digital (digital divides) di pegawai pemerintah dalam penguasaan teknologi informasi. Laporan ini berisi hasil penelitian mengenai pengukuran kesenjangan digital di pegawai pemerintah dengan menggunakan model DIDIX dan indikator SIBIS, yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi pegawai pemerintah di Indonesia.
Kata Kunci : kesenjangan digital, model DIDIX, SIBIS 1
PENDAHULUAN
Saat ini, pemerintah sedang berusaha mewujudkan transaksi pelayanan publik melalui media internet. Oleh sebab itu, dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu menguasai TIK demi terselenggaranya pelayanan publik tersebut. Tetapi di pemerintah, terjadi kelangkaan sumber daya manusia yang handal dalam penguasaan TIK. Kemampuan TIK para SDM tersebut bervariasi, ada yang sudah biasa menggunakan komputer, tetapi ada pula yang belum biasa, ada yang sudah pernah mengakses internet dan ada pula yang belum, serta hal lainnya yang mungkin akan menghambat pelayanan publik dan penguasaan TIK. Sehingga terjadi kesenjangan digital (digital divides) di pegawai pemerintah dalam penguasaan TIK. Hal ini menjadi salah satu penghambat pelaksanaan pelayanan publik TIK. Makalah ini berisi hasil penelitian mengenai kesenjangan digital di pegawai pemerintah dengan menggunakan model DIDIX dan indikator SIBIS, yang penerapannya disesuaikan dengan kondisi pegawai pemerintah. Tujuan penelitian ini adalah mengukur kesenjangan digital pada pegawai pemerintah,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital, serta menganalisis efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik TIK sesuai dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangkan strategi dan kebijakan pelayanan publik TIK di pemerintah, dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja para pegawai pemerintah saat ini, serta dapat merencanakan kegiatan lebih lanjut untuk meningkatkan kemampuan penguasaan TIK pegawai pemerintah. 2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kesenjangan Digital
Menurut OECD tahun 2001 (1), kesenjangan penguasaan teknologi informasi (digital divides) didefinisikan sebagai berikut "....the gap between individuals, households, businesses and geographic areas at different socio-economic levels with regard both to their opportunities to access information and communication technologies (ITs) and to their use of the Internet for a wide variety of activities".
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesenjangan bukan hanya terjadi di tingkat bisnis dan geografi saja, tetapi juga mencakup kesenjangan di tingkat individu. Perbedaan target sasaran pengukuran tentunya memerlukan alat ukur yang sesuai dengan keperluannya. 2.2
Indikator Kesenjangan Digital
Faktor-faktor yang digunakan untuk mengukur kesenjangan antar negara dalam masyarakat Uni Eropa yang dilakukan oleh Tobias Hüsing, mengacu pada sekumpulan indikator yang disebut sebagai SIBIS (Statistical Indicators Benchmarking the Information Society) (4). SIBIS merupakan hasil kegiatan Komisi Eropa (European Commision) yang digunakan untuk menganalisa dan membandingkan berbagai macam indikator yang berbeda untuk mengukur kesenjangan digital. Mengingat bahwa indikator ini dikembangkan khusus untuk mengukur perbedaan yang terjadi di antara negara masyarakat Uni Eropa, tentunya indikator dan juga model pengukurannya perlu disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Indikator yang digunakan adalah penggunaan komputer, penggunaan HP, penggunaan internet, dan kesempatan untuk belajar. Indikator yang tidak digunakan adalah e-commerce, information security, e-work, eGovernment, dan eHealth, karena belum dilaksanakan oleh pemerintah di Indonesia 2.3
Pengukuran Kesenjangan Digital
Persentase pengguna internet di rumah
DIDIX adalah sebuah usaha untuk membuat index kesenjangan digital yang lebih terintegrasi (Husing et al., 2004; SIBIS, 2003). DIDIX (Digital Divide Index) didasarkan pada indikator yang dianggap paling relevan yang mencakup dasar kesenjangan digital pada masyarakat informasi seperti EU. Dasar pemikirannya adalah menekankan penggunaan teknologi. DIDIX fokus pada empat kelompok beresiko yaitu wanita, orang berusia 50 dan lebih, orang berpendidikan tingkat rendah, dan orang berpenghasilan rendah. DIDIX melihat kesenjangan digital hanya dari sisi akses dan pengguna. Bobot dalam kalkulasi integrasi index DIDIX diberikan pada masing-masing komponen TIK yang membentuk index (yaitu :pengguna komputer – 0,5; pengguna internet – 0,3; dan pengguna internet di rumah – 0,2), seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Bobot 50%
30%
20%
Nilai dasar DIDIX adalah perbandingan antara indikator gabungan TIK dalam kelompok yang beresiko dengan nilai total populasi. Jika rata-rata penguasaan TIK sebuah kelompok beresiko sama dengan rata-rata populasi, maka nilai dasar DIDIX menjadi 100 [10]. Dengan menggunakan pengukuran dan indikator kesenjangan digital di atas, akan dilakukan pengukuran kesenjangan digital di pengawai pemerintah untuk melihat kesenjangan digital yang terjadi di pegawai pemerintah dalam hal penguasaan teknologi informasi. 3
Tobias Hüsing (2) mengusulkan sebuah metoda pengukuran yang disebut dengan Digital Divide Index (DIDIX) dan dipergunakan untuk mengukur kesenjangan digital.
Tabel 1 Komposisi indeks DIDIX Indikator Definisi Persentase Data berdasarkan pada pengguna pertanyaan survei SIBIS GPS komputer “Pernahkah Anda menggunakan sebuah komputer
Persentase pengguna internet
personal, atau komputer lainnya, untuk bekerja atau kepentingan pribadi, dalam 4 minggu terakhir ini?” Data berdasarkan pada pertanyaan survei SIBIS GPS : ”Pernahkah Anda menggunakan internet, sedikitnya dalam 4 minggu terakhir ini, di rumah atau di tempat kerja atau ditempat lainnya?” Data berdasarkan pada pertanyaan survei SIBIS GPS : ”Apakah Anda memiliki akses internet di rumah Anda?”
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah survei dan pengumpulan data menggunakan kuesioner serta wawancara. Penelitian akan menspesifikasikan apa yang akan diukur sedikitnya dalam tiga tahap, yaitu: 1. Satuan penelitian perlu didefinisikan yaitu yang akan diteliti adalah individual. 2. Penelitian akan fokus pada segmen yang beresiko (variabel independen). Adapun segmen yang beresiko adalah: 1. Dimensi gender : wanita. 2. Dimensi usia : pegawai usia 50 tahun ke atas. 3. Dimensi pendidikan : pendidikan yang rendah (untuk lingkungan pegawai pemerintah, pendidikan terendah yang disurvei adalah SMA). 4. Dimensi pendapatan : quartile terendah adalah rentang pendapatan Rp. 0,00 - Rp. 700.000,00. 5. Dimensi lokasi : kabupaten Bandung. 3. Indikator, yaitu operasionalisasi dari kesenjangan digital. Indikator yang digunakan di antaranya adalah penggunaan komputer, penggunaan internet, dan pengaksesan internet di rumah. Secara sekilas kerangka metode digambarkan pada gambar 1.
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
seperti
yang
Gambar 1 Kerangka Metode Pegawai pemerintah menjadi sampel penelitian. Penelitian dilakukan di tiga lokasi, pada tiga dinas yang berbeda tingkat pemerintahannya, yaitu Dinas Perikanan Propinsi Bandung untuk tingkat propinsi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Bandung untuk tingkat kotamadya, serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Kabupaten Bandung (Soreang) untuk tingkat kabupaten. Total responden sebanyak 90 orang, dengan karakteristik sebagai berikut :
sudah memiliki kemampuan TIK. Sedangkan D3 lebih baik dari SMA, dan SMA paling rendah di dari keseluruhan. 4. Berdasarkan Gender : Pegawai laki-laki lebih baik kemampuan TIK daripada perempuan. 5.Berdasarkan Pendapatan a. Pegawai yang berpendapatan di atas 5 juta (1 orang) sudah menggunakan komputer dan internet, di kantor dan dirumah. b. Pegawai yang berpendapatan 3-5 juta (1 orang) : belum menggunakan internet. c. Pegawai yang berpendapatan 0-2 juta : 85% belum menggunakan internet. Padahal pada kelompok ini, banyak staf yang dominan melakukan pelayanan publik. Maka hal ini dapat dipertimbangkan. 4.1 Analisis Kesenjangan Digital menggunakan metode DIDIX Gambar 3 menunjukkan hasil dikelompokkan berdasarkan lokasi.
analisis
DIDIX
Pengukuran DIDIX di propinsi, kota, dan kabupaten
Pendapatan (0-700rb)
0.6% 1.1% 5.3%
Pendidikan (sma)
1.1% 2.2% 5.0%
Usia (>50th)
Gender (p)
Gambar 2 Karakteristik Responden
kab
0.6% 0.6% 2.4%
DIDIX
kota prop
3.1% 4.7% 7.9%
4.0% 6.4% 15.5%
Metoda pengukuran yang digunakan adalah Digital Divide Index/DIDIX (oleh Tobias Hüsing). Faktorfaktor (indikator) yang digunakan mengacu pada SIBIS (Statistical Indicators Benchmarking the Information Society). Analisis data akan menggunakan statistik sederhana seperti tabel-tabel dan grafik sehingga mudah untuk dibaca dan mengambil keputusan. 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil survei, akan dianalisis yang memiliki kemampuan TIK dilihat dalam 4 kelompok, yaitu kelompok : pengguna komputer, pengguna internet, pengguna internet di rumah, dan pengguna internet di kantor. Setiap kelompok tersebut dikelompokkan lagi berdasarkan : lokasi, pendidikan, gender, jabatan, pendapatan, dan usia. Hasil analisis kemampuan TIK pegawai pemerintah adalah sebagai berikut : Tabel 2 Hasil analisis kemampuan TIK Hasil Analisis 1. Berdasarkan Lokasi : Diurutkan dari yang tinggi ke rendah maka kemampuan TIK pegawai pemerintah sebagai berikut: propinsi > kotamadya > kabupaten (paling rendah) 2.Berdasarkan Pendidikan : Kemampuan TIK pegawai pemerintah S2 dan S1 sebagian besar
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
80.0%
90.0%
100.0%
Gambar 3 Grafik Pengukuran dasar dan keseluruhan DIDIX untuk tingkat propinsi, kotamadya, dan kabupaten Bandung
Dari gambar 3, dapat dilihat bahwa yang memiliki nilai DIDIX paling rendah adalah kelompok usia, di kabupaten dan kotamadya (sebesar 0,6% saja). Hal ini berarti kelompok resiko usia di kabupaten dan kotamadya memiliki kesenjangan digital yang paling tinggi (parah) dibandingkan dengan populasi yang ada. Nilai index paling tinggi terdapat di kelompok gender tingkat propinsi, tetapi itu pun masih rendah, hanya sebesar 7,9. Hal ini berarti tingkat propinsi yang memiliki kesenjangan digital paling baik (7,9% di gender) masih memiliki kesenjangan digital yang tinggi(parah) yaitu 92%. Apalagi di tingkat kotamadya (4,7%) dan kabupaten (3,1%) yang memiliki nilai index kesenjangan digital lebih rendah dari propinsi. Nilai DIDIX secara keseluruhan, paling rendah di tingkat kabupaten hanya sebesar 4%, ini berarti dari sekumpulan kelompok beresiko hanya 4% yang sudah memiliki kemampuan TIK dasar, dan memiliki kesenjangan digital dengan populasi yang ada sebesar 96%. Sedangkan di tingkat kotamadya sebesar 6,4 % dan memiliki kesenjangan digital dengan populasi yang ada masih di atas 90% (yaitu 93,6%). Di tingkat
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
propinsi sebesar 15,5% dan memiliki kesenjangan digital dengan populasi tingkat propinsi sebesar 84,5%. Pada seluruh keempat kelompok beresiko tersebut yang memiliki kesenjangan digital paling tinggi adalah di tingkat kabupaten, kemudian tingkat kotamadya, dan kesenjangan digital yang paling rendah (paling baik) adalah tingkat propinsi. Dari analisis di atas, maka faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan digital dapat diurutkan sebagai berikut (dari yang menyebabkan kesenjangan digital paling parah) : lokasi, usia, pendapatan, pendidikan, dan gender. Untuk mendukung efektivitas terselenggaranya pelayanan publik TIK melalui internet, dilakukan analisis tambahan seperti yang tertera dalam tabel 3 di bawah ini. Hasil Analisis 1. Yang bekerja administrasi dan layanan publik a. Dari hasil survei, nilai DIDIX antara pegawai pemerintah yang pekerjaannya administrasi dan layanan publik dengan populasi yang ada sebesar 15% saja. Ini berarti terjadi kesenjangan digital antara kemampuan TIK pegawai pemerintah administrasi dan layanan publik dengan populasi yang ada sebesar 85%. b. Pegawai pemerintah administrasi dan layanan publik yang sudah menggunakan internet dan email baru sebanyak 11% nya. Hal ini berarti bahwa hampir 90%nya belum menggunakan internet dan email. Dan yang belum menggunakan komputer sebesar setengahnya dari populasi (50%). 2. Pendapat pegawai pemerintah mengenai internet Mencapai 70% berpendapat bahwa internet memerlukan kemampuan komputer tingkat tinggi, sulit mendapatkan aksesnya, terlalu banyak memerlukan waktu, internet kurang berguna atau informasi kurang menarik. 3. Pegawai pemerintah yang menggunakan email Yang sudah menggunakan email adalah sebanyak 12 orang, berarti baru 13%, dan sebanyak 87% nya masih belum menggunakan email. 4. Pegawai pemerintah yang menggunakan HP a. 93% sudah memiliki HP. b. 97,6% sudah menggunakan HP untuk sms. c. Hampir 90% belum terbiasa untuk transaksi lewat HP. d. 90% lebih belum berinternet pakai HP. 5. Kemampuan internet pegawai pemerintah 85% tidak percaya diri untuk berinternet. 6. Bekerja secara mobilisasi (mobile) a. 80% belum biasa melakukan pekerjaan di perjalanan atau di luar kantor. b. 99% belum melakukan koneksi online selama perjalanan / di luar kantor.
5
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data pada bagian sebelumnya dapat dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kesenjangan digital di propinsi adalah paling baik (nilai DIDIXnya paling tinggi sebesar 15,5%), kemudian kotamadya 6,3%, dan kabupaten 4%. Tetapi walau propinsi paling baik, tapi kesenjangan digital yang terjadi antara kelompok beresiko dengan populasi yang ada, masih tinggi yaitu sebesar 84,5%. Apalagi kesenjangan digital di kabupaten (nilai DIDIX paling rendah), memiliki kesenjangan digital sebesar 96%. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan digital adalah (diurutkan dari yang menyebabkan kesenjangan digital paling parah ke yang makin baik), adalah usia (di atas 50 tahun), pendapatan (0 700 ribu), pendidikan SMA, dan gender (wanita). 3. Belum terjadi efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik TIK melalui internet, karena pegawai pemerintah yang bertugas administrasi dan pelayanan publik sebagai salah satu kunci keberhasilan dari terwujudnya pelayanan publik pada masyarakat berupa transaksi melalui internet, ternyata masih setengahnya belum menggunakan komputer dan 89%nya belum internet serta email. 4. Sosialisasi internet dan program pelayanan publik belum berhasil, karena di atas 70% responden berpendapat setuju bahwa internet harus memiliki kemampuan komputer yang tinggi, tidak ada sesuatu yang berguna/informasi kurang menarik. 6
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Barzilai, Karine-Nahon. Gaps and Bits : Conceptualizing Measurements For Digital Divide. The Information Society, October 2006. [2]. Detikcom diakses pada tanggal 24 Juli 2007, dengan alamat site : http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahu n/2007/bulan/07/tgl/24/time/180312/idnews/80892 2/idkanal/328 [3]. Kementerian Komunikasi dan Informasi. September 2002. Kebijakan dan strategi pengembangan e-government. Indonesia. [4]. Organisation for Economic Co-Operation and Development, OECD 2001. Understanding the digital divide. OECD Publication, Paris. [5]. SIBIS. November 2003. SIBIS : New eEurope Indicator Handbook. European Commission, Information Society Technologies. [6]. SIBIS. 2003. SIBIS: Pocket Book 2002/03, Measuring the Information Society in the EU, the EU Accession Countries, Switzerland and the US. [7]. SIBIS project and European Communities, Germany Tobias Hüsing & Hannes Selhofer. ECIS 2002. The digital divide index – a measure
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
of social inequalities in the adoption of ICT. Gdańsk, Poland. [8]. Survey & Questionnaire Design, http://www.statpac.com/surveys/sampling.htm diakses tanggal 20 Oktober 2007 [9]. Tobias Hüsing & Hannes Selhofer. Didix: A Digital Divide Index For Measuring Inequality In It Diffusion. IT &Society, Volume 1, Issue 7, Spring/Summer 2004, Pp. 21-38. [10]. Vehovar, Vasja; Sicherl, Pavle; Hüsing, Tobias; Dolnicar, Vesna. Methodological Challenges of Digital Divide Measurements. The Information Society, 22:279-290, 2006.
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta