Membangun Budaya Organisasi di lingkungan pegawai pemerintah I. Pendahuluan Pada tahun 2004 Asian Development Bank dan Kemitraan untuk Reformasi Tata Pemerintahan di Indonesia menyimpulkan, bahwa terdapat tiga tujuan reformasi yakni, reformasi keuangan negara ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara. Desentralisasi pemerintahan UU.Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Penataan struktur pemerintahan negara (Pusat dan Daerah). Untuk di daerah ditandai dengan terbitnya PP 41 Tahun 2007 tentang tata organisasi pemerintahan di daerah dan kesemuanya telah berjalan cukup lancar tetapi belum berhasil sebagaimana yang diharapkan. Pendapat Sofian Effendi (2005) bahwa skala reformasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dinilai cukup luas cakupannya, bahkan dipandang terlalu luas dan terlalu cepat dari yang pernah dijalankan oleh banyak negara-negara di dunia. Indonesia juga dipandang telah melakukan perubahan radikal dalam tata hubungan antara
pusat
dan
daerah
melalui
program
desentralisasi
pemerintahan yang belum pernah ditempuh oleh negara mana pun di dunia. Tetapi
mengapa
jangkauannya menciptakan
reformasi
dan
good
pemerintahan
begitu
governance
radikal yang
negara
yang
perubahannya mampu
membawa
demikian belum
luas
berhasil
Indonesia
keluar
dari multi krisis yang sudah melanda bangsa ini sejak 1998 ? Mengapa kita belum seberhasil negara tetangga seperti Muangthai dan Korea Selatan yang telah mampu keluar dari krisis ekonomi yang sebenarnya lebih parah? Lebih lanjut ditegaskan oleh Sofian Efendi , ada beberapa faktor penyebab, yang paling utama adalah : (1.) Karena Pemerintah
Indonesia
sejak
Pemerintahan
Orde
Baru
melaksanakan reformasi birokrasi hanya setengah hati. Reformasi gaji, pegawai pemerintah misalnya, hanya secara parsial dengan hanya menaikkan 5 - 10 persen dari gaji pokok, tanpa kerangka konseptual yang solid, dengan mengaitkan gaji dengan kinerja serta dengan memperbadingkan dengan skala gaji sektor swasta.
1
(2.) Perubahan budaya organisasi juga kurang mendapat perhatian serius, padahal tanpa perubahan
budaya
organisasi, tidak
mungkin
tata
pemerintahan negara yang amanah dapat dikembangkan.
Dari kedua argumentasi yang dikemukakan diatas bukti emperis dilapangan masih sering kita dengar :1) walaupun di beberapa kementerian/lembaga remunerasi dinaikkan namun kinerja pegawai pemerintah tersebut masih belum optimal.Terbukti ada keengganan para pejabat pemerintah untuk ditunjuk sebagai pejabat pengelola keuangan dan panitia pengadaan barang/jasa karena takut dengan KPK/aparat pemeriksa lainnya bahkan dengan masyarakat penyedia barang/jasa. 2) Adanya perilaku pegawai yang tidak terlepas dengan budaya organisasi disekitar pegawai tersebut bekerja (faktor lingkungan) dalam artian belum siap menerima perubahan, khususnya di tingkat menengah kebawah tidak ada inovasi, senang statusquo,tidak profesional dan lain sebagainya. Sementara di tingkat manajer (eselon menengah) masing-masing tidak berani mengambil resiko dan saling melempar tanggung-jawab . Para cerdik pandai/pakar di bidang perilaku organisasi yang mengatakan terdapat perbedaan antara budaya organisasi publik dan budaya organisasi perusahaan atau privat/Corporat. Bagaimana dengan istilah budaya Corporat? Apakah ada perbedaan antara budaya Corporat dengan budaya organisasi publik .Perlu dilakukan penelitan lebih mendalam. Faktor lainnya adanya kegagalan perubahan budaya organisasi karena para pegawai pemrintah tidak melihat urgensi perubahan, tidak punya visi, kurang implementatif dan tidak melihat tantangan dan tuntutan baru. Sementara itu untuk menuju pada keadaan yang diinginkan bahwa pengetahuan/kepekaan tentang budaya dari suatu organisasi akan dapat : (1.) Membantu manajemen dalam mengembangkan elemen-elemen produktif dan kohesif dari suatu organisasi dan memperluas kemampuan anggota (2.) Membantu manajemen dalam memperkenalkan suatu perubahan dengan cara-cara yang tidak menimbulkan suatu penolakan yang keras (3.) Membantu gaya manajemen akan menjadi lebih effektif apabila seirama dengan budaya organisasi. Dengan dilandasi fakta-fakta (keadaan sebenarnya) dan suatu keadaan yang dinginkan seperti tersebut diatas maka akan sangat menarik apabila para akdemisi melakukan penelitian dan melakukan analisis dari argumentasi yang ke-dua yaitu membangun budaya organisasi dalam upaya menuju perubahan di lingkungan pegawai pemerintah.
2
2. Pembahasan Di kurang
muka
sudah
di
berhasilnya
singgung reformasi
sedikit
bahwa
salah
administrasi untuk
penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik,
satu
penyebab
mendukung
karena Pemerintah tidak
menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Dalam hal ini ada dua pertanyaan yang perlu dijawab yaitu : Pertama, apa yang dimaksudkan budaya organisasi ? Kedua, bagaimana proses dan mengubah budaya organisasi dilingkungan pegawai pemerintah. a. Budaya Organisasi Kajian tentang budaya organisasi sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi. Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu : (1.) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction. (2.) Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion. Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (2) groups norms: standards and values; (3) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of group in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols. Di pihak lain, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah,
atau
ritual tertentu; (2) norms; yakni
berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus
dilakukan; (3) dominant values; yaitu
adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi
3
yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan organisasi (6) organization climate;
merupakan
kemajuan
perasaan keseluruhan (an
overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain . Pada bagian lain tipe budaya organisasi menurut Luthan, 1998 ada 2 tipe yaitu : (1) Open and participative culture yaitu kepercayaan terhadap bawahan, terciptanya komunikasi terbuka dan pemimpin sebagai supporting.; (2) Closed and authocratic culture dumaksudkan bahwa untuk pencapaian tujuan yang tinggi diperlukan pimpinan yang otokratis dengan berbasis individual. Dari ketiga pendapat di atas,
kita melihat adanya perbedaan
pandangan
tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi
jumlah
karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil. John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan pula tentang tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. ad.1.Organisasi yang memiliki budaya yang kuat ditandai dengan adanya kecenderungan hampir semua manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilainilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi oleh bawahannya, selain juga oleh bossnya, jika dia melanggar norma-norma organisasi. Gaya dan nilai dari suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah dan akar-akarnya sudah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut bersama membuat orang merasa nyaman dalam bekerja, rasa komitmen dan loyalitas membuat orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang kuat memberikan struktur dan kontrol yang dibutuhkan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yang mencekik yang dapat menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. ad.2. Budaya yang strategis cocok : secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun
4
yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya. Ad,3, Budaya yang adaptif berangkat dari logika bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata
olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang
akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth Kanter mengemukakan
bahwa jenis budaya ini
menghargai dan mendorong
kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi
peluang-peluang
baru.
Contoh
perusahaan
yang
mengembangkan budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yang mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yang jujur, kewiraswastaan, dan kepemimpinan pada banyak tingkat dalam hierarki. Pendapat Sofian Effendi (2005) mengemukakan bahwa budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup Karena besar
itulah untuk
perusahaan mengubah
sebuah
organisasi.
bersedia mengeluarkan dana yang amat
budaya perusahaan (corporate
culture)
agar
selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat. Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah. Pada organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah melakukannya. Tetapi dalam organisasi kementerian dan
5
lembaga non-departemen di pusat dan dinas serta lembaga non-dinas di daerah, nilai dan perilaku sudah berkembang menjadi tradisi yang
sukar
berubah. b. Proses Pembentukan Budaya Organisasi Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) Sumber
daya
manusia
pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3)
asing;
(4)
luar
organisasi;
(4)
orang
yang
berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat diragakan dalam bagan 1 berikut ini Bagan 1 . Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
Manajemen Puncak Seorang atau para manajer puncak dalam organisasi yang masih baru atau muda mengembangkan dan berusaha untuk mengimplementasikan suatu visi, filosofi dan atau strategi
Perilaku Organisasi Karya-karya implementasi. Orang berperilaku melalui cara yang dipandu oleh visi, filosofi dan strategi
Hasil Dipandang dari berbagai segi, organisasi itu berhasil dan keberhasilan itu terus berkesinambungan selama bertahun-tahun
Budaya Suatu budaya muncul, mencerminkan visi dan strategi serta pengalaman yang dimiliki orang dalam mengimplementasikannya.
(sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo, h.9)
6
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya. Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi
jabatan dalam organisasi tertentu
sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya. Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika
dalam
suatu
organisasi
memiliki
budaya
yang
cocok,
maka
manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan. Karena budaya ini telah ber evolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang
telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk
diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono (dalam Akhmad Sudrajat, 2007) dengan mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri
7
Cahyono (1996) dalam Akhmad Sudrajat, 2007 dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besarbesaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi
berukuran sedang-
sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi peringkat yang sangat besar; dan
mulai memasuki
(5) Jika organisasi
kecil
tetapi
berkembang pesat. Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan
setengah perbaikan dari yang diinginkan.
Dia mengingatkan
bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi dalam bentuk waktu, usaha dan uang. C. Bagaimana mengubah budaya organisasi Peter Bijur (2001) dalam Sofian Effendi menganggap syarat yang paling utama untuk menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan memimpin mau pun dalam ketajaman visinya. Dalam hal mengubah budaya maka pimpinan harus mampu mengubah dirinya terlebih dahulu. Pimpinan organisasi harus mau menerima tanggung jawab dalam rangka perubahan budaya. Perubahan budaya tidak mungkin dilakukan dalam sekejap waktu tetapi terjadi secara bertahap dan memerlukan waktu.Pemimpin jangan membuat suatu kesalahan dalam tahapan pelaksanaan program budaya kerja, karena bila hal tersebut terjadi maka dapat melemahkan semangat dan menurunkan kepercayaan bawahan terhadap pimpinan. Dalam budaya organisasi dan kinerja, menurut Susanto, dalam bukunya Budaya Perusahaan, untuk menjadikan budaya suatu perusahaan kuat, ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : 1). Penyebaran nilai-nilai budaya ; Tujuan dilakukannya penyebaran nilai-nilai budaya tersebut yaitu dengan maksud agar seluruh sumber daya yang terdapat dalam perusahaan itu
8
mengetahui secara jelas tentang nilai-nilai yang terdapat didalam budaya perusahaan tersebut. Cara penyebaran nilai-nilai budaya tersebut dapat dilakuan dengan melalui orientasi tugas dan penghargaan terhadap prestasi kerja karyawan. 2) Tingkat komitmen anggota organisasi terhadap inti dari nilai-nilai yang ada (core values) ; Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai inti dari budaya perusahaan dapat berkembang bersamaan dengan penghargaan yang diberikan kepada karyawan. Penghargaan oleh perusahaan tersebut dapat berupa peningkatan gaji, promosi atau jenis-jenis penghargaan lainnya.Ada kesepakatan umum bahwa tidak mudah untuk menetapkan dalam hal yang bagaimana suatu budaya dapat dikatakan baik serta dapat berfungsi baik didalam keseluruhan organisasi dimanapun. Suatu budaya dapat dikatakan baik jika cocok dengan konteksnya baik berupa kondisi obyektif dari industrinya, segmen industri perusahaan, atau strategi bisnis itu sendiri. Dengan demikian semakin besar kecocokan budaya organisasi dengan konteksnya, akan semakin baik kinerjanya, dan semakin kurang kecocokannya maka akan semakin buruk kinerjanya. Hal ini berbeda dengan budaya organisasi dikalangan pegawai pemerintah yang mempunyai karakteristik pada umumnya budaya yang tidak adaptif bersifat birokratis. Para pegawai kurang kreatif, tidak berani mengambil risiko dan bersifat reaktif, tidak proaktif. Karena hambatan birokrasi maka informasi yang masuk tidak lancar dan mengalir dengan mudah dalam sendi-sendi organisasi. Motivasi dan inovasi tidak dapat dimaksimalkan karena adanya kontrol yang ketat dan luas. Sebaliknya, budaya yang adaptif di lingkungan pegawai perusahan dengan cara pendekatan yang dilakukan adalah proaktif, mau menanggung risiko, penuh kepercayaan dan saling mendukung diantara anggota organisasi dalam memecahkan masalah, dan mau menerima terhadap perubahan dan inovasi dalam organisasi. Selain itu tipe budaya adaptif ini juga menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang membantu suatu perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah serta berusaha mencari peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru. Selanjutnya menurut Sofian Effendi (2005) , ada 5 faktor yang penting untuk mensukseskan perubahan budaya organisasi yaitu: (1) (2) (3)
Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang telah ditetapkan; Motivasi yang mampu memobiliasi dukungan untuk perubahan; Ide dan Strategi yang tepat untuk menciptakan lingkungan yang mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan strategi untuk mendorong perubahan;
9
(4) (5)
Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan kepada para anggota organisasi; Etik kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem remunerasi dan penghargaan yang tepat. Perubahan budaya organisasi adalah ibarat perjalanan panjang
yang melelahkan dan merupakan upaya yang bersifat incremental, tidak bisa dicapat melalui gebrakan revolusioner. Budaya organisiasi paternalisitik dan sentralistik, misalnya, tidak serta merta berhasil berubah dengan menjungkir balikkan pemerintah yang berkuasa, seperti yang sedang kita alami selama beberapa tahun ini. Organisasi
yang
ingin
merubah
budayanya
harus
berani
menempuh jalan yang tidak selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk mencapai penyesuaian dengan nilainilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru. Organiisasi harus disipkan untuk selalu adaptif terehadap perubahan-perubahan, harus berani
bereksperimen,
harus
berani
gagal
dan
harus
dapat
menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya baru, yang diputuskan oleh pimpinan organisasi.
Walaupun sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program yang benar, selalu ada resiko perubahan budaya organisasi tidak berjalan seperti diharapkan, atau dalam kasus ekstrim bertentangan dengan arah yang diinginkan. Perubahan budaya organisasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan akan sukses. Minimal diperlukan waktu 5 sampai 10 tahun untuk merubah budaya organisasi dengan sekala seperti Republik Indonesia atau pemerintah provinsi, kabuaten dan kota. Karena itu strategi yang diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual. Kebijakan yang diambil pimpinan organisasi kadangkala kurang populer, kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman.
3. Kesimpulan Sebagai penutup dari tulisan yang sederhana ini, penulis menyimpulkan sebegai berikut. (1.) Sejak
dilakukan
reformasi
birokrasi
di
bidang
keuangan
negara,
desentralisasi pemerintahan dan penataan organisasi pemerintahan
di
Indonesia masih belum memperoleh hasil yang diharapkan, khususnya pada
10
level aparat/pegawai pemerintahan. Faktor yang sangat dominan adalah reformasi yang dilakukan pemerintah masih setengah hati dan kegagalan perubahan budaya organisasi karena para pegawai tidak melihat urgensi perubahan, tidak punya visi, kurang implementatif dan tidak melihat tantangan dan tuntutan baru. (2.) Adanya perbedaan
pandangan tentang karakteristik budaya organisasi,
terutama dilihat dari segi
jumlah karakteristik budaya organisasi. Kendati
demikian, pendapat para ahli sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil. Pendapat John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) ada tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (2) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. (3.) Proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3)
penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat
dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi (4.) Organisasi yang ingin merubah budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak selalu lurus, dari kondisi stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk mencapai penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru. Organisasi harus disiapkan untuk
selalu
bereksperimen,
adaptif
terhadap
harus
perubahan-perubahan,
berani
gagal
dan
harus harus
berani dapat
menyesuaikan diri dengan unsur-unsur budaya baru, yang diputuskan oleh pimpinan organisasi. Perubahan budaya organisasi adalah proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan akan sukses, karena itu strategi yang diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara bertahap dan gradual. Kebijakkan yang tidak populer memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih aman.
11
Sumber Referensi
Edgar H Schein,. “Organizational Culture & Leadership”. (http://www.tnellen.com/ted/tc/schein.html) MIT Sloan Management Review. Fred Luthan. 1995. Organizational Behavior. Singapore: McGraw-Hill,Inc. John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. (terj Benyamin Molan). Jakarta: PT Prehalindo. Riyanto (2008), bahan materi kuliah perubahan dan budaya organisasi Sudrajat Akhmad,.files.wordpress.com/2007/06/budaya-organisasi-disekolah.doc Sofian Effendi .2005 “Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Menteri Negara PAN (http://sofian.staff.ugm.ac.id/#publications) Sofa, 2008 “ Perilaku dan Budaya Organisasi ” http://massofa.wordpress.com/2008/12/02) Taliziduhu Ndraha. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta,
12
13