Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2011 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
PENGUJIAN PRODUK FORMULASI BIO PESTISIDA TERHADAP HAMA PENGGULUNG DAUN NILAM (Pachyzancla stultalis) Adria, Jamalius, Herman dan Hasnawati ABSTRAK Pemakaian insektisida sintetik untuk pengendalian OPT nilam dinilai dapat merusak dan menurunkan mutu minyak, sehingga perlu dicari solusi yang lebih aman, melalui pemakaian bio pestisida. Sehubungan dengan itu telah dilakukan pengujian 5 jenis bio pestisida yang mengandung bahan aktif Cynamaldehid, Citronelal, Oleandrin, Thevetin dan Alamandin terhadap hama penggulung pucuk nilam Pacyzancla stultalis. Pengujian skala rumah kaca dilakukan dalam rancangan acak lengkap (7 perlakuan dan 3 ulangan), sedangkan pengujian skala lapang dilakukan dalam rancangan acak kelompok (10 perlakuan dan 3 ulangan). Parameter pengamatan meliputi mortalitas, intensitas serangan dan indikasi lain pada larva penggulung pucuk nilam. Hasil pengujian diketahui bahwa semua formula bio pestisida yang di uji dalam skala rumah kaca, dapat meningkatkan kematian larva penggulung daun P. stultalis sebesar 19,81%-59,09% dibanding kematian alami pada kontrol. Pemakaian dosis 20%, menunjukkan efektifitas yg lebih baik dibandingkan dosis lain yg lebih rendah dengan kematian larva antara 51,25%-63,24%. Pada skala lapang, toksisitas dosis terbaik skala rumah kaca yang digunakan di lapang mengalami penurunan 11,20%-12,96% dengan tingkat kematian larva antara 46,80%49,50% dan intensitas serangan antara 41,30%-46,40%. PENDAHULUAN Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth.) merupakan salah satu penghasil minyak atsiri yang penting di Indonesia dengan kontribusi ekspor pada tahun 2002 mencapai 1.295 ton dengan nilai US $ 22,5 juta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Produk minyak nilam banyak dipakai dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik, insektisida dan bahan fixatif (pengikat) yang belum ada produk subsitusinya (Dummond, 1960 ; Robin, 1982; Ibnusantoso, 2000). Selain itu minyak nilam juga dipakai untuk bahan aromaterapi yang bermanfaat dalam penyembuhan fisik, mental dan emosional. Namun demikian dalam budidaya tanaman nilam tidak terlepas dari gangguan beberapa serangga hama, satu diantaranya adalah Pachyzancla stultalis (Lepidoptera: Pyralidae), yang biasa dikenal dengan ulat penggulung daun (Mathew, 2006; Agra, 2002). Hama ini diprediksi dapat menurunkan produktifitas tanaman nilam lebih dari 25%, bahkan bisa mengakibatkan kematian tanaman karena terganggunya proses fisiologis pada daun, sehingga keberadaan hama ini perlu ditangani secara cermat. Pachyzancla stultalis termasuk serangga fitopagus (Elzinga, 1978; Chapman, 1969) dengan metamorfosis sempurna. Stadium imago berupa kupu-kupu dgn warna putih kecoklatan, pada sayap terdapat garis berwarna hitam kecoklatan (Adria et al, 1990). Stadium telur berbentuk bulat, warna putih kekuningan, diletakkan secara berkelompok 10-30 butir. Stadium larva (Elzinga, 1978) termasuk tipe erusiform atau polypod yang berlangsung selama beberapa hari. Sedangkan pupa termasuk tipe obstek (Borror et al, 1993). Sejauh ini tindakan dalam mengatasi serangan Pachyzancla stultalis pada beberapa tanaman dilakukan dengan insektisida sintetik (Kalshoven, 1981). Namun cara tersebut dinilai kurang bijaksana karena selain merusak lingkungan, residu insektisida juga dapat menurunkan atau mengurangi mutu minyak yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlu dicari solusi lain seperti menggunakan insektisida botanis yang dinilai relatif aman karena (Ahmad, 1992; Ginting et al, 1995) tidak meninggalkan residu pada tanaman, tidak menimbulkan gangguan pada kesehatan dan lingkungan, cenderung selektif dan memiliki efektifitas yang disejajarkan dengan insektisida sintetik. Peluang pengembangan insektisida botanis terutama di Indonesia (Soehardjan, 1994; Ginting et al, 1995 ; Natawigena, 1988) dinilai sangat strategis mengingat 1). Tanaman sumber bahan insektisida banyak tersedia dengan berbagai macam kandungan kimia yang bersifat racun (toksik), anti hormonal ataupun anti feedan, 2). Sasaran
291
Adria, dkk
pemakaian relatif beragam mulai dari tanaman hortikultura, pangan dan tanaman perkebunan, 3). Menghindari diskriminasi pasar akibat pencemaran residu pestisida sintetik Tanaman Kayumanis (Cinnamomum burmanii), Seraiwangi (Cymbopogon nardus), Nerium oleander, Thevetia peruviana, dan Alamanda chatartica adalah tanaman yang berpeluang dikembangkan menjadi sumber bahan pestisida botanis, karena mengandung berbagai bahan toksik, anti feeding dan hormonal terhadap serangga. Minyak kayumanis mengandung senyawa cinamaldehyde dan eugenol (cynamyl alkohol), minyak seraiwangi yang mengandung Citronelal dan Eugenol. Nerium oleander mengandung glycosida berupa senyawa Oleandrin, uzangenine, Oleandrigenin, Oleandroside, Glucosyloleandrine, Gentiobioside, Diginoside, Digitoxigenine, Oleagenine, Nerioside, Kanerocin, Adynerin, Neviin, Adynerin, Adyregenin, Rosagenin dan Asid hidrosianik. Thevetia peruviana mengandung Glycosida dengan bahan aktif berupa senyawa Thevetine A dan B, peruvoside, Cerberine, Phytosterolin, Ahouain, Kohelphin, Ruvoside dan Nerifolin. Alamanda chatartica mengandung alkaloid berupa Glycosida dengan bahan aktif Allamandin sekitar 8-10% bobot kering (Huong,1990; Wee dan Ho, 2003; Saravanapavananthan, 1985; Shaw dan Pearn, 1979; Yoshishara et al, 1980; Fujiwara et al, 1989). Pemakaian Sinamaldehyd sebagai bahan insektisida botanis oleh Wee dan Ho (2003) terhadap Blattella germanica menunjukkan hasil yang memuaskan dengan LD50 0.290- 0.400 µg/g dalam 1-3 hari. Pada sisi lain penggunaan minyak kayumanis sebagai fungisida untuk pengendalian penyakit kanker batang (P. cinnamomi) juga memberikan hasil memuaskan, pada konsentrasi 0,1 ml/l dan 0,5 ml/l (formulasi 20%) dapat menekan perkembangan P. cynnamomi dilapangan sebesar 24,8 dan 53,5%, sedangkan secara invitro memiliki efektifitas 45,3 dan 92,3% (Idris et al, 2002; Idris et al, 2003). Mengetahui toksisitas dan efektifitas bio pestisida yang berasal dari kayumanis, seraiwangi, Nerium olender, Thevetia peruviana, Alamanda chatartica terhadap hama penggulung daun nilam Pachyzancla stultalis. Menghasilkan produk bio insektisida yang efektif menekan intensitas serangan hama penggulung daun nilam Pachyzancla stultalis (50-60%). Kandungan kimia dari tanaman kayumanis (Cinamaldehyde dan Eugenol), Seraiwangi (Citronelal dan eugenol), Nerium oleander (Oleandrine), Thevetia peruviana (Thevetine A dan B, peruvoside) dan alamanda chatartica (Allamandine) bersifat bio insektisidal terhadap hama penggulung daun nilam Pachyzancla stultalis. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap antara lain 1). Pembuatan formula, 2). Koleksi dan pemeliharaan serangga uji, 3). Pengujian skala rumah kaca, dan 4). Pengujian skala lapangan. Setiap tahapan pelaksanaan dilakukan sebagai berikut: Pembuatan formulasi. Masing-masing bahan sumber insektisida botanis berupa minyak kayumanis, minyak seraiwangi, ekstrak Nerium oleander, Thevetia peruviana dan Allamanda cathartica sebagai bahan aktif, ditambah terpentin sebagai bahan pelarut, kemudian diaduk dengan stirer sampai homogen, kemudian ditambah Tween 80 (bahan emulsi) dan Tepol (bahan pembasah), lalu diaduk lagi sampai homogen. Formulasi yang telah jadi disimpan dalam botol gelap dan siap diuji efektifitasnya. Koleksi dan pemeliharaan serangga uji. Larva dari P. stultalis dikoleksi langsung dari tanaman nilam di daerah Sawahlunto dan kabupaten Solok dengan cara mengumpulkan semua larva dalam kantong plastik transparan dan berlobang untuk ventilasi, diberi makanan daun nilam. Seterusnya semua larva dipindahkan pada tanaman nilam di rumah kaca, adaptasikan 1 hari untuk menghilangkan stress serangga sebelum dilakukan pengujian.
292
Pengujian produk formulasi bio pestisida terhadap hama penggulung daun nilam (pachyzancla stultalis).
Pengujian skala rumah kaca. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca KP Laing Solok (dengan konteiner plastik), dalam rancangan acak lengkap, terdiri dari 7 perlakuan, yaitu 1). insektisida kayumanis, 2). seraiwangi, 3). Nerium oleander, 4).Thevetia peruviana, 5). Allamanda cathartica , 6). insektisida sintetik dan 7). Non insektisida sebagai kontrol. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali dan tiap ulangan dengan 2 kotak, tiap kotak dengan 5 larva penggulung daun. Aplikasi perlakuan dilakukan melalui penyemprotan insektisida nabati pada daun nilam sebagai bahan makanan, biarkan kering (± 10 menit) dan investasikan larva penggulung daun memakai kwas kecil. Pengamatan dilakukan setiap hari yang meliputi persentase kematian, konsumsi makan dan indikasi lainnya yang terjadi pada larva serangga uji. Untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan yang diuji dilakukan analisis dengan DMRT pada taraf 5%. Masing-masing perlakuan yang diuji menggunakan 3 rentang dosis mulai dari 5%-20% Pengujian Skala Lapang. Perlakuan yang diuji dilapangan adalah dosis terbaik dari hasil rumah kaca dengan standar kematian larva >50% (LD50). Rentang dosis perlakuan lapangan diatur berdasarkan plus minus satu, akan tetapi kalau sekiranya kematian larva >50%<55%, tidak dilakukan penurunan dosis (minus 1), melainkan akan dipakai 2 plus). Penelitian dilaksanakan pada kebun petani di kabupaten Pasaman (direvisi menjadi kababupaten Solok) dalam rancangan acak kelompok, jumlah perlakuan dan ulangan berdasarkan hasil uji rumah kaca. Aplikasi perlakuan dilakukan melalui penyemprotan insektisida nabati pada daun nilam. Pengamatan dilakukan setiap minggu yang meliputi intensitas serangan, padat populasi larva per tanaman. Untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan yang diuji dilaksanakan analisis dengan DMRT pada taraf 5%. Bahan dan Alat. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa minyak kayumanis, minyak seraiwangi, bahan ekstrak Nerium oleander, Thevetia peruviana, Allamanda cathartica, insektisida sintetik, bahan formulasi, tanaman nilam, serangga uji (larva Pachylancla stultalis), konteiner plastik, bahan etiket, ember plastik, akuades, kapas, kwas kecil, gunting/pisau cutter, bahan komputer, bahan/alat dokumentasi, dan berbagai bahan pembantu lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Skala rumah kaca Hasil uji skala rumah kaca diketahui bahwa semua formula bio insektisida yang diuji secara umum dapat meningkatkan kematian larva penggulung daun P. stultalis sebesar 19,81%-52,09% dengan persentase kematian antara 23,96-56,24%, dibanding kematian alami pada kontrol (4,15%), namun demikian efektifitas tersebut masih rendah antara 17,24-49,62% dibanding pemakain insektisida sintetis decis dengan kematian larva mencapai 73,58% (Tabel 1). Kalau ditinjau lebih jauh dari sudut pemakaian dosis, terlhat bahwa dosis 20%, menunjukkan efektifitas yg lebih baik dibandingkan dosis lain yg lebih rendah dengan kematian larva antara 48,26-56,24%. Sebaliknya kalau dilihat dari jenis bahan, diketahui bahwa formula bio insektisida bahan kayu manis (Cinnamaldehide) memiliki efektifitas paling baik dibandingkan dengan formula bahan lainnya dengan kematian larva mencapai 56,24% dalam dosis 20%, sedangkan efektifitas paling rendah pada formula Nerium oleander (Oleandrine) yang hanya mencapai 48,25% pada dosis 20%. Adanya variasi tingkat efektifitas dari bio pestisida yang diuji disebabkan oleh (Everitt dan Ferron. 1999) pengaruh kandungan bahan aktif, komposisi formulasi dan tanggap dari jenis serangga bersangkutan.
293
Adria, dkk
Tabel 1. Mortalitas larva penggulung daun pada berbagai perlakuan Dosis 5 jenis bio insektisida skala rumah kaca Perlakuan Kisaran
Kematian (%) Rata-rata
waktu Fbio-KM 1. 5% 25-34 28,14 48-84 2. 10% 39-47 44,67 36-84 3. 20% 53-68 56,24 36-72 Fbio-SW 1. 5% 23-30 25,20 48-84 2. 10% 37-44 39,15 36-84 3. 20% 49-65 54,36 36-72 Fbio-NO 1. 5% 21-28 23,96 48-84 2. 10% 34-41 36,46 36-84 3. 20% 46-61 48,25 36-72 Fbio-TP 1. 5% 23-30 25,55 48-84 2. 10% 36-45 40,93 36-84 3. 20% 50-62 53,77 36-72 Fbio-AC 1. 5% 22-29 24,18 48-84 2. 10% 34-43 37,70 36-84 3. 20% 48-60 54,95 36-72 Sintetik 69-75 73,58 12-36 Non/kontrol 3-7 4,15 Keterangan Fbio-KM= kayumanis, Fbio-SW= Seraiwangi, Fbio-NO= Nerium, Fbio-TP= Thevetia, Fbio-AC= Alamanda
Kalau diperhatikan lebih jauh (Tabel 1), awal kematian larva pada masing-masing perlakuan insektisida nabati terjadi 36 jam setelah aplikasi, dan akhir kematian terjadi antara 72-84 jam. Sedangkan pada insektisida sintetis, awal kematian terjadi 12 jam setelah aplikasi, dan terakhir pada 48 jam setelah aplikasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa efek toksik pada semua bio insektisida yang digunakan bersifat anti hormonal yang mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh larva. Gangguan hormonal ini terlihat dari beberapa indikasi virtual antara lain a). Aktifitas pergerakan menjadi lambat bahkan cenderung lumpuh, b). Kemampuan untuk menggulung daun mengalami penurunan menjadi sangat lambat, c). Kulit tubuh mengalami retak-retak, bahkan ada beberapa larva yang menunjukkan kegagalan molting. Menurut Borror et al (1993); Chapman (1969) dan Yoshishara et al (1980), pertumbuhan larva serangga dikontrol oleh hormon Protorasikotropik (PPTH) yang dihasilkan oleh sel neurosekretorik dengan fungsi merangsang kelenjer protorak dan corpora alata untuk menghasilkan hormon Ekdison dan Juvenil. Gangguan yang terjadi pada hormon PPTH ataupun hormon Ekdison dan juvenil, mengakibatkan kematian, kegagalan molting, perpanjangan siklus, perubahan konsumsi makan dan gangguan lainnya. Adanya gangguan hormonal pada larva P. stultalis secara nyata bisa terlihat dari aktifitas larva dalam melakukan penggulungan daun tanaman. Pada formula Fbio-KM, proses penggulungan daun terjadi selama 9,80 jam, hal ini berarti 4,70 lebih lambat dari keadaan alami (kontrol) yang hanya berlangsung selama 5,10 jam, serta 3,80 jam lebih cepat dibanding proses penggulungan daun pada perlakuan insektisida sintetik decis yang berlangsung selama 13,60 jam (Gambar 1). Hal di atas jelas menunjukkan bahwa
294
Pengujian produk formulasi bio pestisida terhadap hama penggulung daun nilam (pachyzancla stultalis).
Penggulungan daun(jam)
semangkin tinggi daya toksisitas akan menurunkan aktifitas larva. Serangga yang luput dari kematian akibat penggunaan pestisida akan mengalami : 1). Aktifitas menjadi lebih lambat yang mungkin berakhir dengan kematian, 2). Terjadi perobahan mendasar pada sistim hormonal yang memungkinkan terjadinya kekebalan.
14 12 10 8 6 4 2 0
Perlakuan
Fbio-KM
Fbio-SW
Fbio-AC
Fbio-NO
Decis
Kontrol
Fbio-TP
Gambar 1. Variasi lamanya proses aktifitas penggulungan daun oleh larva P. stultalis pada berbagai perlakuan bio insektisida Hasil uji lapangan diketahui bahwa rata-rata kematian (mortalitas) hama penggulung daun pada dosis terbaik skala rumah kaca berkisar antara 46,80-49,50%, paling tinggi pada perlakuan bio insektisida kayumanis dan paling rendah pada perlakuan bio insektisida Thevetia peruviana. Pada sisi lain peningkatan dosis menjadi 22% dari dosis terbaik skala rumah kaca (+ 2%) dapat meningkatkan kematian larva penggulung daun antara 0,35%-2,2%, paling rendah pada perlakuan bio insektisida Thevetia peruviana dan paling tinggi pada perlakuan bio insektisida kayumanis (Tabel 2). Kalau dicermati lebih jauh pada Tabel 1 dan 2, terlihat bahwa formula terbaik hasil rumah kaca, mengalami penurunan toksisitas antara 11,20-12,96%. Adanya penurunan toksisitas di atas diduga karena belum stabilnya komposisi formula, sehingga sangat mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan, termasuk mengalami liching (pencucian) pada saat hujan, ataupun terjadinya perobahan struktur bahan aktif karena penyinaran yang terlalu tinggi. Efektifitas suatu pestisida terletak dari komposisi formulasinya, ketepatan komposisi antara bahan aktif, pelarut dan pembasah akan memberikan efek sangat bagus terhadap efektifitas dan lama waktu penyimpanan. Diketahui juga bahwa intensitas serangan larva penggulung daun pada berbagai perlakuan formula bio insektisida terlihat bervariasi, paling tinggi pada perlakuan kontrol (non insektisida) dengan intensitas serangan 60,25%, sedangkan intensitas serangan paling rendah pada perlakuan insektisida sintetik dengan intensitas serangan 30,70%. Pada sisi lain intensitas serangan pada 4 formula bio insektisida berkisar 41,30-46,40% pada dosis terbaik rumah kaca, dan 39,80- 44,60% pada dosis yg ditingkatkan (Tabel 2). Terjadinya variasi terhadap intensitas serangan larva di atas, sangat dipengaruhi oleh aktifitas larva, dimana pada perlakuan kontrol (non insektisida) aktifitas larva berjalan secara alamiah, sedangkan pada perlakuan lainnya aktifitas larva dipengaruhi oleh bahan aktif dari insektisida yg cenderung menurunkan aktifitas.
295
Adria, dkk
Tabel 2. Mortalitas larva penggulung daun pada berbagai perlakuan dosis 4 jenis bio insektisida skala lapang
Perlakuan
Kisaran
Kematian (%) Penurunan Rata-rata toksisitas dari standar RK 49,50 c 11,98 51,70 d 47,60 b 12,44 49,36 c 46,80 b 12,96 47,15 b 48,80 bc 11,20 50,70 cd 67,70 d 7,99 5,40 a 12,58
Intensitas serangan (%) kisaran
Rata-rata
Fbio-KM 20 45-55 36-45 41,30 Fbio-KM 20+2 45-55 32-41 39,80 Fbio-SW 20 42-52 36-49 44,20 Fbio-SW 20+2 43-54 34-47 42,50 Fbio-TP 20 42-52 36-49 46,40 Fbio-TP 20+2 45-54 35-47 44,60 Fbio-AC 20 45-54 36-47 43,60 Fbio-AC 20+2 45-54 33-45 40,30 Sintetis 64-71 28-36 30,70 Non/kontrol 4-9 49-65 60,25 KK(%) Keterangan a. Angka diikuti huruf yang sama tiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% DMNRT b. Dalam analisa data di tranformasi ke arc sin √% c. Fbio-KM= kayumanis, Fbio-SW= Seraiwangi, Fbio-TP= Thevetia, Fbio-AC= Alamanda KESIMPULAN 1. Semua formula bio pestisida yang di uji dalam skala rumah kaca, dapat meningkatkan kematian larva penggulung daun P. stultalis sebesar 19,81-59,09% dibanding kematian alami pada kontrol. Pemakaian dosis 20%, menunjukkan efektifitas yg lebih baik dibandingkan dosis lain yg lebih rendah dengan kematian larva antara 51,25-63,24%. 2. Pada skala lapang, toksisitas dosis terbaik skala rumah kaca mengalami penurunan 11,20-12,96% dengan tingkat kematian larva antara 46,80-49,50% dan intensitas serangan antara 41,30-46,40%. Peningkatan dosis terbaik rumah kaca menjadi 22%, menunjukkan hasil yg lebih baik pada semua parameter . DAFTAR PUSTAKA Adria, Jamalius, Zulkifli.H dan Idris.H. 1990. Beberapa jenis hama perusak daun tanaman nilam (Pogostemon cablin, Benth). Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. Vol XVI. No. 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. Hal 59-64 Agra.B. 2002. Plantation of Patchaouli. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en& u=http://www.botanagra.com/pct/plant/plant02.htm&sa=X&oi=transla te&resnum=1&ct=result&prev=/search%3Fq%3Dpachyzancla%2Bstultalis%26 hl%3Did. Accses 25-01-2009, jam 23.15 Ahmad, I. 1992. Potensi nimba sebagai insektisida nabati. Prosiding seminar sehari bahan produk alami untuk pestisida aman lingkungan. Jakarta. Hal 19-27 Borror, D.J, C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1993. Pengenalan pelajaran serangga (terjemahan). Edisi ke VI. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. 1083 hal.
296
Pengujian produk formulasi bio pestisida terhadap hama penggulung daun nilam (pachyzancla stultalis).
Chapman, R.F. 1969. The insect, structure and function. The English Universities Press Ltd. London. 819 p. Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004. Nilam. Statistik Perkebunan Indonesia. 20012003. 23 hal. Dummond, H.M., 1960. Patchouli oil. Journal of Perfumery and Essential Oil Record. 484492 p. Elzinga, R.J. 1978. Fundamentals of entomology. Prentice hall of India. Private ltd. New Delhi. Everitt. J.I. and P. Ferron. 1999. Biological control of insect pests with natural insecticides. Academic Press, New York. 384 pp. Fujiwara. N, D. Kawamura dan J. Thomson. 1989. The botanical insecticide of Allamandin (Alamanda cathartica). Tokyo University Press. Japan. 44p. Ginting, C.U, A. Djamin dan Hartanta. 1995. Efikasi berbagai konsentrasi emulsi ekstrak daun nimba (Azadirachta indica) dan daun Mindi ( Melia azedarach) terhadap Sentothosea asigna. Jurnal penelitian kelapa sawit. Vol.3. No.2. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan. Hal 119-125. Huong, 1990. The Plant toxic for botanical inscticide. Journal of the Entomological Society of Southern Africa 38: 125-155. Ibnusantosa, G., 2000. Kemandegan pengembangan minyak atsiri Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar “Pengusahaan Minyak Atsiri Hutan Indonesia”. Fak. Kehutanan IPB Darmaga Bogor, 23 Mei 2000.21 Idris, H, Nurmansyah, Ariful dan Hilma Syamsu. 2002. Pemanfaatan pestisida limbah kayumanis untuk pengendalian penyakit kanker. Laporan akhir tahun 2002. 11 hal. Idris, H, Nurmansyah, Ariful dan Hilma Syamsu. 2003. Pemanfaatan pestisida limbah kayumanis untuk pengendalian penyakit kanker. Laporan akhir tahun 2003. 10 hal. Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. Indonesia. 701p. Mathew. G. 2006. An inventory of Indian Pyralids (Lepidoptera:Pyralidae). Zoos Journal (print edition). Vol. 21 nomor (5). Zoo outreach organisation. Hal 2242-2258. http://www.zoosprint.org/ZooPrintJournal/2006/May/2245-2258.pdf. Accses 25-01-2009 jam 22.45 Natawigena, H. 1988. Dasar-dasar perlindungan tanaman. Fakultas Pertanian Univ. Padjadjaran. Bandung. 118 hal. Robin, S.R.J., 1982. Selected market for the essential oils of patchouli and vetiver. Tropical Product Institute Ministry of Overseas Development. Great Britain G. 167: 7-20. Saravanapavananthan, T. 1985. Plant poisoning in Sri Lanka. Jaffna toxiol Journal, 20(1): 17-21.
297
Adria, dkk
Shaw, D & Pearn. J. 1979. Oleander Poisoning. Toxiol Journal of Australia, 2: 267-269. Soehardjan, M. 1994. Konsepsi dan strategi penelitian dan pengembangan pestisida nabati. Prosiding seminar hasil penelitian dalan rangka pemanfaatan pestisida nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Hal 11-18. Wee H.T and Ho S.H. 2003. Contact Toxicity and Repellency of trans-Anethole and Cinnamaldehyde to Blattella germanica (L.) Department of Biological Sciences, National University of Singapore. 4p Yoshisara, T, K. Sogawa, M.D. Pathak, B.O. Juliano and S. Sakamura. 1980. Oxalic acid, oleandrine and thevetine as sucking inhibitor of the brown planthopper. Ent. Journal. Exp.appl 27:149-155p.
298