Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 90 - 103 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial Oleh: Hayat Universitas Islam Malang Email:
[email protected]. HP. 081333841083
Abstract Indonesia is a pluralistic and multicultural nation. Mutliculturalism in Indonesia is characterized by the recognition of religious diversity. Therefore, differences are owned by Indonesia is a realistic conception that should continue in the wake and be empowered, as a reinforcement to the life and wellbeing for the people of Indonesia are harmonious and dynamic. The purpose of this study was to describe the strengthening of the values of pluralism and describe and understand the relationship pattern social conducted by the government, religious and community leaders in the prevention of the onset of horizontal conflict. This research was conducted with qualitative research using describtive approach, which describes the results of research appropriate to the purpose of research and followed by data analysis to obtain relevant and accurate data. Techniques of data collection are done by using literature review that support in answering this research problem. Horizontal conflict handling quite restrained and well. Aspects of tolerance have an important role of cooperation between the government and the religious leaders to support the acceleration of meaning and substance tolerance transformed into social life, so that conflicts can be avoided with a pattern horizontally comprehensively realization. Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan multikultural. Mutlikulturalisme bangsa Indonesia ditandai oleh diakuinya keberagaman agama di Indonesia. Oleh karena itu, berbagai perbedaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan konsepsi realistis yang harus terus dibangun dan diberdayakan, sebagai penguatan terhadap kehidupan dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia yang harmonis dan dinamis. Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan penguatan nilai-nilai pluralisme dan mendeskripsikan serta memahami pola relasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah, tokoh agama dan
90
Hayat
masyarakat dalam melakukan pencegahan terhadap timbulnya konflik horizontal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yaitu mendeskripsikan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian dan diikuti oleh analisis data untuk mendapat data yang relevan dan akurat. Teknik pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kajian pustaka.Penanganan konflik horizontal cukup terkendali dan baik. Aspek toleransi mempunyai peran penting dari kerjasama pemerintah dan para tokoh agama untuk mendukung akselerasi dari makna dan substansi toleransi yang ditransformasikan ke kehidupan sosial kemasyarakatan, sehingga konflik secara horizontal dapat dihindarkan dengan pola relasi secara komprehensif.
Keywords: Pluralism; social relations; horizontal conflicts; tolerance
Pendahuluan Multikulturalisme menjadi sesuatu yang khas bagi Indonesia. Dengan keragaman suku, budaya, bahasa, dan agama Indonesia menjadi bangsa yang sejak awal mula lahir dengan sifat multikultural. Kesadaran pada realitas inilah yang kemudian membuat para pendiri bangsa (the founding fathers) merumuskan sebuah semboyan yang coba mengayomi semua tumpah darah Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan yang sejak awal pendirian republik menjadi nafas pembangunan bangsa. Dengan pegangan inilah arah pembangunan bangsa perlu memperhatikan kekhasan dan perbedaan yang ada. Pun demikian, dalam pola relasi sosial telah tercipta kesadaran untuk saling menghormati, menghargai, dan tolong menolong di antara elemen bangsa yang berbeda. Semangat inilah yang kemudian mampu menjaga Indonesia tetap berdiri tegak dari Sabang sampai Merauke. Meski demikian, perjalanan mempertahankan Indonesia yang multikultural tidak pernah sepi dan riak dan gelombang. Berbagai kasus intoleransi sering mewarnai perjalanan bangsa. Namun dengan kedewasaan bersikap dan kesadaran untuk terus
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
91
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
hidup bersama dalam harmoni membuat riak-riak itu relatif bisa diselesaikan dengan baik. Tulisan ini mencoba mengungkapkan realitas keberagaman sosial di Indonesia dengan segala problematika dan upaya perawatannya. Dengan pendekatan kualitatif-deskriptif tulisan ini mengkaji pola-pola relasi yang tercipta di masyarakat dalam menjaga kehidupan sosial multikultural yang harmonis. Konflik SARA di Indonesia Meski Bangsa Indonesia memiliki karakter tolong menolong, saling menghormati, dan menjunjung prinsip Bhinneka Tunggal Ika, namun Toha dkk mencatat, pada tahun 1996 terjadi beberapa kali peristiwa konflik yang bernuansa sosial maupun agama, seperti kerusuhan di Situbondo tanggal 10 Oktober 1996, di Tasikmalaya 26 Desember 1996, di Karawang tahun 1997 dan Tragedi Mei pada tanggal 13-15 Mei 1998, yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Palembang, Medan, beserta peristiwa-peristiwa kerusuhan lainnya.1 Sementara itu, data dari Kemenag menambahkan peristiwa Jalan Ketapang Jakarta, kerusuhan di Kupang yang menyebar ke Ambon (Januari 1999), Ujung Pandang (1 April 1999), disusul konflik antar-etnis di Sambas Kalimantan Barat 1999, konflik Poso, dan Maluku Utara. 2 Kasus pembakaran gereja di Halmahera pada 14-15 Agustus 2002, konflik Poso pada Desember 2003, penyerangan terhadap Huriah Kristen Batak Protestan (H.K.B.P) dan penyerangan terhadap rumah-rumah pengikut Ahmadiyah di Lombok pada September 2002, adalah bagian dari kasuskasus konflik yang melibatkan unsur agama di dalamnya.3 Zuhairi Misrawi, menyatakan bahwa lembaganya (Moderate Muslim Society/MMS) pada Desember 2010 telah mencatat terjadi 81 kasus Suhermanto Toha, dkk. “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar Dan Intern Agama.” Laporan Akhir Penelitian Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011. h. 1-2 2 Kementerian Agama RI. Potret Kerukunan Umat Beragama DI Provinsi Jawa Timur. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011), h. 2 3 Toha, “Eksistensi….” h. 2 1
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
92
Hayat
intoleransi, meningkat 30 persen dari laporan tahun 2009 yang mencatat 59 kasus. Lebih lanjut dikatakan, dari 81 kasus tersebut, jenis kasus yang paling sering terjadi adalah 24 kasus penyerangan dan perusakan, 24 kasus penutupan dan penolakan rumah ibadah, 15 kasus ancaman, tuntutan dan intimidasi. Kemudian 6 kasus penghalangan kegiatan ibadah, 4 kasus diskriminasi karena keyakinan, 3 kasus pembubaran kegiatan atas nama agama, 3 kasus kriminalisasi paham keagamaan, dan 2 kasus pengusiran. Dari segi wilayah atau tempat, sepanjang tahun 2010 tindakan intoleransi paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat dengan 49 kasus, Jawa Timur dengan 6 kasus, DKI dengan 4 kasus, dan Sulawesi Selatan dengan 4 kasus.4 Sedangkan menurut Tedi, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang (eLSA), pada semester pertama tahun 2014 ada 6 kasus kekerasan bernuansa agama atau intoleransi yang terjadi di Jawa Tengah. Keenam kasus tersebut adalah perusakan tempat sembahyang umat Hindu di Sragen, bentrok warga dengan FPI di Wonosobo, pembubaran Pengajian Majelis Tafsir Alquran (MTA) di Demak, penolakan kedatangan Habib Rizieq di Demak, permasalahan pengajian Jantiko Mantab oleh Camat Grobogan, dan penangkapan terduga teroris di Klaten. Menurut eLSA, enam kasus itu patut dicermati. Sebab secara substansi, kasus intoleransi jenis itu bukan hal baru, seperti konflik yang melibatkan FPI yang mirip dengan yang terjadi di Kendal. Hanya motivasinya yang berbeda.5 Dari berbagai data diatas, ada beberapa faktor yang menjadi pemicu konflik atau menghambat kerukunan umat beragama, menurut Agus Saputera6 antara lain: (1) pendirian rumah ibadah yang tidak memperhatikan situasi dan kondisi secara sosial dan budaya lokal; (2) penyiaran agama yang bersifat agitasi dan memaksakan kehendak bahwa “Tindakan intoleransi naik 30%,” dalam http://www.menkokesra.go.id/content/tindakan-intoleransi-naik-30-persen%20. (Diakses tanggal 9 Juni 2014). 5 Anggi Kusumadewi dan Ryan Dwi, “2014, Ada Enam Kasus Intoleransi di Jawa Tengah,” dalam http://nasional.news.viva.co.id/news/read/509782-2014--adaenam-kasus-intoleransi-di-jawa-tengah (Diakses tanggal 9 Juni 2014) 6 Agus Saputera,“Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama,” dalam http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=262 (Diakses tanggal 9 Juni 2014) 4
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
93
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
agamanya sendirilah yang paling benar dan tidak mau memahami kebenaran agama lain; (3) bantuan luar negeri. Bantuan tersebut dapat juga memicu konflik baik intern maupun antar agama, karena biasanya menitipkan misi tertentu yang harus dilaksanakan; (4) perkawinan beda agama akan mengakibatkan hubungan yang tidak harmonis, terutama menyangkut hukum perkawinan, warisan, harta benda, dan akidah; (5) perayaan hari besar keagamaan yang dilaksanakan tanpa mempertimbangkan situasi, kondisi, dan lokasi masyarakat sekitar; (6) penodaan agama yang bersifat melecehkan atau menodai doktrin suatu agama tertentu, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok; (7) kegiatan aliran yang menyimpang dari doktrin agama yang sudah diyakini kebenarannya ataupun kegiatan tersebut merupakan suatu aliran baru. Faktor yang mempengaruhi konflik agama tersebut dinilai karena pola relasi yang dilakukan oleh tokoh agama kurang maksimal dijalankan, sehingga konflik semakin tidak terkendali, bahkan semakin meningkat, seperti yang ditunjukkan oleh data-data di atas. Oleh karena itu, untuk mengatasinya, diperlukan pola relasi sosial pemimpin agama atau tokoh agama sebagai panutan bagi kelompok yang berkonflik. Peran relasi sosial yang sinergi dan seimbang berdampak terhadap minimalisir adanya konflik yang berkepanjangan. Tokoh agama sebagai pengayom bagi pengikutnya, menjadi alternatif penting untuk mengatasi disharmoni antar umat beragama. Pola Relasi Sosial dalam Konflik Horizontal Penelitian ini berangkat dari teori konflik yang berkembang melalui teori struktural fungsional yang berkaitan dengan pencegahan, penanganan dan penyelesaian berbagai problematika kehidupan masyarakat. Goerge Ritzer dan Douglas J Goodman7, mengutip dari pemikiran Marxian tentang pemikiran konflik sosial yang tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural fungsionalnya. Lebih lanjut, teori fungsional, menurut Robert Nisbet yang dikutip dari Turner dan Maryanski menyatakan bahwa
7 George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 153
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
94
Hayat
fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang.8 Pada saat ini, teori fungsional struktural menjadi bagian terpenting dalam meningkatkan stabilitas masyarakat dalam menjaga dan mencegah konflik yang berkembang. Keberadaan struktural fungsional harus dikembangkan ke dalam kehidupan masyarakat yang multikultural untuk menciptakan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Konflik yang berkembang di masyarakat, terjadi karena perbedaan yang tidak dinetralisir oleh fungsional struktur yang ada di dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Kingsley Davis dan Wilbert Moore berpandangan bahwa masalah fungsional utama dalam kehidupan bermasyarakat adalah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan individu pada posisi mereka yang tepat.9 Individu yang dimaksud adalah menempatkan tokoh masyarakat di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk menjadi panutan dalam berbagai aspek karakter sosial. Penempatan individu menjadi bagian dalam pencegahan, penanganan dan pengelolaan konflik yang ada, sehingga dapat dicapai sebuah kerangka sosial yang aman, adil, baik dan toleran. Terutama dalam kehidupan umat beragama yang sering terjadi gesekan karena perbedaan ideologi dan keyakinan. Hal ini menjadi tujuan utama dari konsep struktrural fungsionalisme bagi tokoh agama untuk menciptakan kondisi yang lebih baik, yaitu melalui pola relasi sosial yang dilakukan. Sementara itu, menurut pandangan Hayat,10 merupakan sebuah dogma masyarakat terhadap struktural fungsional yang semakin luas dengan pelbagai perbedaan secara substantif yang mengikutinya, serta adanya perubahan dan perkembangan di dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sebuah konflik ditimbulkan oleh adanya sebuah perbedaan dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan itu tidak dipersepsikan sebagai
8
Ibid,. h. 117 Ibid. h. 118 10 Hayat, “Teori Konflik dalam Perspektif Hukum Islam: Interkoneksi Islam dan Sosial.” Jurnal Hunafa, vol 10, no 2, h. 271. 9
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
95
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
sebuah kemanfaatan di dalam kehidupannya, namun dipersepsikan sebagai bentuk penolakan terhadap perbedaan itu sendiri. Seyogyanya, perbedaan mempunyai aktualisasi yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan sosial masyarakat, misalnya tolong menolong antar sesama, bekerjasama dalam berbagai kebutuhan, menciptakan stabilitas saling menghargai satu sama lain, dan menciptakan kondisi lingkungan kehidupan sosial yang lebih baik dan berkualitas, untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Menurut penelitian Ramadhanita Mustika Sari, seperti yang dikutip Hayat,11 mengungkapkan bahwa dalam menyikapi konflik dalam kaitan perbedaan identitas menurut sudut pandang kelompok adalah sebagai berikut: a.
Kelompok Primordialis, yang menilai bahwa perbedaan genetika seperti suku, ras, dan agama menjadi sumber utama dari sebuah gesekan antar kelompok yang mempunyai tujuan dan kepentingan di dalamnya. Sehingga benturan-benturan menjadikan konflik tidak dapat dihindari, dengan keinginan untuk mempertahankan eksistensi dari suatu kelompok itu sendiri. Perspektifnya adalah ketika kelompok merasa dirugikan, maka hal itu menjadi penentu timbulnya konflik.
b.
Kelompok Instrumentalis. Bagi kelompok ini suku, agama, dan ras merupakan media untuk mencapai tujuan dari kelompok itu sendiri, secara material maupun non material. Tujuan dan harapan dari kelompok tersebut menjadi keharusan untuk dicapai, baik secara individu ataupun kelompok di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Persinggungannya adalah jika beberapa kelompok dengan tujuan yang berbeda sesuai dengan capaiannya, maka konflik tidak dapat terhindarkan jika capaian itu tidak sesuai dengan harapan, dan menyalahkan kelompok lain sebagai penghambat dari tujuan kelompoknya.
c.
Kelompok Kontruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak kaku dan dapat diolah menjadi bentuk jaringan relasi sosial yang bagus. Setiap kelompok dalam kehidupan masyarakat sebagai 11
Ibid., h. 271-273
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
96
Hayat
konektivitas untuk mencapai tujuan secara bersama-sama. Jaringan yang dibangun adalah dengan pola relasi yang seimbang dengan saling menguntungkan satu sama lain, sehingga capaian tujuan kelompok akan membantu kelompok lain. Peran Tokoh Agama dalam Pencegahan Konflik Setiap agama mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial. Agama sebagai ideologi dan keyakinan umat beragama mempunyai tata aturan dan norma dalam bermasyarakat. Bangsa Indonesia dengan multikulturalitasnya memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memeluk agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing, memberikan implikasi terhadap toleransi yang sangat tinggi dalam kebersamaan dan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, semakin meningkatnya pola hidup masyarakat saat ini, toleransi semakin terancam dan terkikis, banyaknya kepentingan pribadi dan golongan, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan etnis yang mengatasnamakan agama menjadi konflik berbau SARA (suku, ras, dan agama) semakin meningkat. Konflik meluas dengan berbagai paradigma dan perspektif yang ditimbulkan. Kelompok mayoritas seolah-olah menjadi penguasa di dalam dominasi keyakinannya, semantara minoritas bersikukuh mempertahankan keberadaan konflik sebagai jalan menuju tujuan dan kepentingan sesaat. Anis Malik Toha dalam bukunya yang berjudul “Tren Pluralisme Agama”, seperti yang dikutip Agusni Yahya,12 menuturkan bahwa pluralisme agama adalah keadaan kondisi hidup yang bersamaan (koeksistensi) dalam satu lingkungan antar umat beragama yang berbeda-beda dengan mempertahankan sifat, prinsip, ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
12 Agus Yahya, “Fiqh Al-Hadits Ibn Taimiyah Tentang Pluralisme Agama”. Jurnal Substantia, vol. 12 no. 1 tahun 2011, h. 10.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
97
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
Menurut Abu Hapsin, Komarudin, M. Arja Imroni13 bahwa Konflik antar umat beragama akan terus berlangsung, hal itu dikarenakan antara lain: (1) menguatnya radikalisme, fundamentalisme dan terorisme; (2) belum optimalnya kedewasaan masyarakat dalam beragama. Ditambah peran serta masyarakat yang rendah dalam menjaga toleransi agama; (3) belum adanya pelaksanaan dari UUD Negara Republik Indonesia pasal 29; (4) penegakan hukum yang mengalami kegamangan jika terjadi konflik keagamaan. Sementara itu, peran tokoh agama menjadi terabaikan ketika konflik melanda. Para tokoh agama membela pada kelompoknya masing-masing, sehingga menghilangkan peran ketokohannya sebagai pengayom dan pelindung bagi seluruh masyarakat. Perlu dilakukan sebuah relasi sosial antar tokoh agama di dalam kehidupan berwarganegara dan bermasyarakat. Pola relasi sosial antar tokoh agama dapat dilakukan pada agenda-agenda penting kemasyarakatan untuk memperkokoh toleransi dalam kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat, dan meminimalisir saling kecurigaan antar kelompok agama. Pun demikian, pola relasi antar tokoh agama menjadi media pencegah timbulnya konflik antar umat beragama, sehingga relasi harmoni dalam berbangsa dan bernegara dapat dicapai untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan Toleransi Agama dalam Kajian Agama dan Sains Penelitian dan kajian tentang pola relasi sosial keagamaan untuk penguatan terhadap toleransi agama telah banyak dilakukan oleh para akedemisi dan peneliti. Penelitian yang dilakukan oleh Center fo Religious and Cross-culture Studies (CRCS) UGM tentang Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, mengungkapkan bahwa penting bagi kelompok mayoritas untuk meningkatkan etika toleransi bagi setiap umat beragama dalam peningkatan terhadap kehidupan masyarakat yang lebih baik.
13 Abu Hapsin, Komarudin, M. Arja Imroni. “Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat Beragama: Perspektif Tokoh Lintas Agama”. Jurnal Walisongo, vol. 22. no. 2 Tahun 2014, h. 352.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
98
Hayat
Sementara bagi minoritas penting untuk memperhatikan kearifan dalam berkomunikasi dengan kelompok lain. Bagi kelompok keagamaan yang ingin mendirikan rumah ibadah, diharapkan untuk menyelesaikan surat izinnya, kerap ada keluhan dalam perizinan, tapi adanya izin menghilangkan alasan untuk tidak terpenuhinya hak beribadah. Tanpa semangat toleransi dan kearifan, konflik antar agama semakin sulit dihindari.14 Sedangkan untuk masalah konflik penodaan dan penistaan agama, harus mementingkan hak-hak sipil, politik, dan ekonomi warga pengungsi Ahmadiyah di Mataram oleh negara. Satu hal yang penting untuk dilakukan adalah menciptakan situasi yang kondusif tanpa intimidasi, kekerasan, dan situasi aman. Sedangkan yang menjadi catatan dari berbagai kasus di atas adalah peran pemerintah daerah yang kerap tunduk pada desakan massa, bahkan melanggar hukum dan putusan peradilan sekalipun. Kajian lain terkait dengan relasi sosial antar umat bergama juga dilakukan oleh Ahmad Munjin Nasih dan Dewa Agung Gede Agung, yang menitikberatkan pada pola relasi umat Islam dan umat Hindu dalam kerangka penguatan terhadap toleransi agama di Malang Raya. Umat Hindu di Malang Raya merupakan komunitas minoritas, di mana secara umum mereka tinggal di kawasan pedesaan yang terletak di pinggiran kota. Selama ini relasi umat Hindu dengan umat Muslim sebagai umat mayoritas terjalin dengan baik dan harmonis. Salah satu indikatornya adalah dalam kurun waktu yang sangat lama hampir tidak pernah terdengar ada benturan horizontal antarumat sehingga mengganggu hubungan keduanya. Hal mendasar yang menjadi penyebab keharmonisan hubungan keduanya adalah adanya saling pengertian dan toleransi, serta dibentuknya sistem sosial yang disepakati bersama tanpa mengorbankan akidah masingmasing. Setidaknya terdapat empat kegiatan yang dilakukan oleh umat Muslim dan Hindu secara turun temurun yang menyebabkan mereka bisa
14 Lihat Bagir, Zainal Abidin, dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, 2010).
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
99
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
hidup rukun dan harmonis yaitu: 1) kegiatan desa, 2) kegiatan kenegaraan; 3) kegiatan keagamaan; dan 4) kegiatan pelestarian budaya lokal.15 Berdasarkan hasil penelitian Ebin E. Danius,16 yang membahas tentang hubungan Kristen-Islam pasca konflik di Tobelo Halmahera Utara, menunjukkan bahwa relasi Kristen-Islam telah mengalami proses kemunduran sebagai akibat dari beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan hubungan antar agama. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini hanya merupakan faktor pemicu yang memberikan legitimasi bagi pembatasan hubungan antar agama. Faktor yang paling menentukan sebenarnya adalah berkembangnya ajaran-ajaran agama yang berdampak pada kecurigaan tertentu dari masing-masing pihak. Dengan kecurigaan yang demikian maka semua hal yang dilakukan oleh pihak lain dianggap sebagai sebuah upaya untuk mempengaruhi keyakinan agama yang dipegang oleh mereka. Upaya untuk menjalin relasi kembali sesudah konflik dilakukan dengan pendekatan kekerabatan dan ikatan kesukuan. Dalam beberapa hal pendekatan seperti ini cukup berhasil dalam menjembatani hubungan dua komunitas yang pernah berhadapan dalam konflik. Namun juga tidak bisa disangkal bahwa pengalaman konflik mendatangkan trauma tertentu yang berdampak pada kecurigaan-kecurigaan dari masing-masing pihak. Agama masing-masing komunitas dalam hal ini tetap menjadi sandaran utama dalam berhadapan dengan pihak lain yang berbeda agama. Kurang berhasilnya proses rekonsiliasi dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam menjalin kembali relasi yang telah rusak berdampak pada ketegangan tertentu yang ada dalam masyarakat menyangkut isu-isu tertentu yang muncul. Perhatian besar diberikan pada birokrasi pemerintahan dan pada bidang politik praktis membuat masyarakat seringkali terkotak-kotak dalam sekat-sekat agama ketika proses tertentu terjadi dalam dua hal tersebut. Tingkat kecurigaan masyarakat masih begitu tinggi. Kecurigaan ini melahirkan sikap mendua dalam upaya untuk membangun kembali hubungan antar masyarakat yang rusak akibat Ahmad Munjin Nasih dan Dewa Agung Gede Agung, “Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dengan Hindu di Malang Raya”. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, vol 24 no 2 tahun 2011. 16 Ebin E Danius, “Hubungan Kristen-Islam Pasca Konflik di Tobelo Halmahera Utara.” Jurnal Uniera, vol 1 no 1, Tahun 2012. 15
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
100
Hayat
konflik. Pendekatan keluarga dan suku tidak menjamin secara baik bahwa relasi tersebut pulih. Dalam banyak hal sikap dan tindakan komunitas Kristen pada Islam merupakan sebuah sikap penolakan pada hegemoni umat Islam dalam konstelasi politik Maluku Utara. Identitas Kristen dalam hal ini muncul sebagai pembeda yang mempersatukan umat Kristen di Halut dalam berhadapan dengan pengaruh kepentingan penguasa Provinsi dan umat Islam. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa toleransi agama di Indonesia masih dapat terjaga secara baik dan komprehensif, karena korelasi dan konektifitas antara tokoh-tokoh agama di Indonesia mendukung pola pencegahan dini terhadap timbulnya konflik. Hal ini juga diperkuat oleh sistem dan tatanan serta dukungan pemerintah dalam membangun kerjasama dengan para tokoh agama serta memperkuat aspek kehidupan sosial di masyarakat. Penguatan nilai-nilai pluralisme melalui pola relasi sosial antar tokoh agama dan pemerintah serta masyarakat mempunyai implikasi sangat besar bagi kehidupan keagamaan masyarakat. Di samping saling menjaga keharmonisan antar umat beragama, hal itu dapat menjaga dan mengkonter hal-hal yang dapat ditimbulkan dari gejala-gejala yang muncul dengan menerapkan komunikasi, koordinasi dan koreksi dapat membantu pemerintah mencegah keberadaan konflik horizontal antar umat beragama. Di samping kedewasaan pemikiran masyarakat atas upaya toleransi dapat dikatakan berhasil. Semua stakeholder bekerjasama membangun kepercayaan melalui pemahaman secara toleran terhadap dinamika kehidupan masyarakat, sebagai simbol utamanya adalah regulasi tempat ibadah sebagai ekspektasi kekuatan toleransi sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat Kota malang. Semoga menjadi pembelajar bagi kita semua, bahwa toleransi agama itu penting untuk penguatan kehidupan masyarakat yang lebih baik, serta membangun harmonisasi yang seimbang dan setara antar umat beragama dalam membangun peradaban bangsa.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
101
Penguatan Nilai-Nilai Pluralisme dalam Pola Relasi Sosial
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Bagir, Zainal., dkk. Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia. Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, 2010. Danius, Ebin E. “Hubungan Kristen-Islam Pasca Konflik di Tobelo Halmahera Utara.” Jurnal Uniera, vol 1 no 1, Tahun 2012. Hapsin, Abu., Komarudin, dan Imroni, M. Arja. “Urgensi Regulasi Penyelesaian Konflik Umat Beragama: Perspektif Tokoh Lintas Agama”. Jurnal Walisongo, vol. 22. no. 2 Tahun 2014. Hayat. “Teori Konflik dalam Perspektif Hukum Islam: Interkoneksi Islam dan Sosial.” Jurnal Hunafa, vol 10, no 2, h. 271. Kantor Departemen Agama. Kota Malang dalam Malang Angka 2011. Malang: Kandepag, 2011. Kementerian Agama RI. Potret Kerukunan Umat Beragama DI Provinsi Jawa Timur. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011. Kusumadewi, Anggi dan Dwi, Ryan. “2014, Ada Enam Kasus Intoleransi di Jawa Tengah,” dalam http://nasional.news.viva.co.id/news/read/509782-2014--adaenam-kasus-intoleransi-di-jawa-tengah (Diakses tanggal 9 Juni 2014) Nasih, Ahmad Munjin dan Agung, Dewa Agung Gede. “Harmoni Relasi Sosial Umat Muslim dengan Hindu di Malang Raya”. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, vol 24 no 2 tahun 2011. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media, 2004. Saputera, Agus.“Aktualisasi Kerukunan Umat Beragama,” dalam http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=262 . (Diakses tanggal 9 Juni 2014) Toha, Suhermanto., dkk. “Eksistensi Surat Keputusan Bersama Dalam Penyelesaian Konflik Antar Dan Intern Agama.” Laporan Akhir Penelitian Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011. Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
102
Hayat
Yahya, Agus. “Fiqh Al-Hadits Ibn Taimiyah Tentang Pluralisme Agama”. Jurnal Substantia, vol. 12 no. 1 Tahun 2011. “Tindakan intoleransi naik 30%,” dalam http://www.menkokesra.go.id/content/tindakan-intoleransi-naik-30persen%20. (Diakses tanggal 9 Juni 2014).
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
103
Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 104 - 121 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam Oleh: Arfan Nusi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo Email:
[email protected] Abstract Existentialism philosophy of looking at things based on the existence or how humans are in the world . Etymologically derived from the word existentialism copies, meaning outside, andand a meaningful existence stand or place , so widespread existence can be interpreted as a stand alone as himself as well as out of him .In general meaning , humans in existence it was aware that he was there and everything is determined by the existence he admits. Islam is not a religion of one-dimensional. Nor is religion based solely on human institutions and limited to the relationship between man and God. Up to understand it is not enough just to a single method .Rather it requires human freedom in view of other methods. Departing from these freedoms least epistemology format Islamic studies as a form of independence awoke thinking.Because, for freedom of thought is a study which occupies an important position . Islam in this case have a clear concept , universal and tested . Islam's relationship with the independence of thinking. Filsafat eksistensialisme memandang segala sesuatu berdasarkan eksistensinya atau bagaimana manusia berada dalam dunia. Secara etimologi eksistensialisme berasal dari kata eks yang artinya luar, dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaanya di tentukan oleh akunya. Islam bukan merupakan agama satu dimensi. Bukan pula agama yang semata-mata berdasarkan institusi manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dan Tuhan saja. Hingga untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan sebuah metode saja. Melainkan membutuhkan kebebasan manusia dalam melihat metode yang lain. Berangkat dari kebebasan tersebut setidaknya format epistemologi kajian Islam terbangun sebagai wujud kemerdekaan berfikir. Sebab, selama ini kemerdekaan berfikir merupakan kajian yang menempati posisi penting. Islam dalam hal ini memiliki konsep yang jelas, universal dan teruji. Hubungan Islam dengan
104
Arfan Nusi
kemerdekaan berfikir berlangsung dalam bentuk yang khas. Islam memberi tempat dan al-Qur'an sebagai sumber ajaran menegakkan kemerdekaan berfikir. Keywords: Existensialism; Islamic Studies; Freedom of Thought
Pendahuluan Kajian ilmu pengetahuan1 yang berkembang sekarang ini banyak berhutang budi terhadap logika filsafat yang pernah memuncaki perjalanan kehidupan manusia. Dalam catatan sejarah kemunculan filsafat di masa Yunani kuno dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk membebaskan akal manusia dari kungkungan mistis yang membelenggu potensi-potensi rasional manusia. Ketika akal rasional manusia menemukan momentum dalam konteks kultural kemanusiaan maka otomatis manusia tersebut telah merdeka. Merdeka dalam arti ia dapat menggunakan akal rasional untuk menciptakan kreasi dalam rangka mendukung kelangsungan kehidupannya. Thales mencoba keluar dari penjara mistis, ia bisa dikatakan orang pertama yang menggunakan pikiran gelisahnya terhadap alam semesta yang membentang di depan mata kepalanya. Kegelisahan Thales itu berawal dari sebuah pertanyaan, what is the nature of the word stuff (apa sebenarnya bahan alam semesta ini)? Jika pertanyaan itu diajukan Thales di zaman sekarang, maka dipastikan akan mendapatkan cibiran bahwa pertanyaan tersebut sudah kuno. Karena seluruh ilmu pengetahuan telah mapan dan dapat menjawab sesuai perspektifnya. Tetapi pertanyaan Thales tersebut diajukan pada tahun 624 SM. Tahun dimana manusia belum mampu berfikir secara rasional. Tetapi pertanyaan itu di zaman Thales telah menggegerkan seperangkat masyarakat kala itu. Pertanyaan itu dianggap sudah modern di zamannya bahkan telah melampaui historisitas kehidupan manusia waktu itu. Di sisi lain pertanyaan itu menjadi batu loncatan kemunculan ilmu logika atau filsafat di kemudian hari.
1
Ilmu pengetahuan yang dimaksud itu adalah, ilmu Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, Kedokteran dan lain-lain. Sebenarnya ilmu pengetahuan yang disebut di atas itu adalah bagian dari filsafat, tapi seiring perkembangan zaman, ilmu pengetahuan tersebut berdiri secara mandiri dan tidak lagi bergabung dengan filsafat. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
105
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
Seiring perkembangan waktu filsafat menjadi ramai dikaji oleh masyarakat dunia dan Yunani sebagai pusat Ilmu Filsafat, pesona filsafat pun menembus batas-batas teritorial geografis. Filsafat pun menggelinding dibawa arus perjalanan waktu, hingga puncaknya berada di tangan Socrates, Plato dan Aristoteles. Di tangan tiga orang filosof itu filsafat tampak menjadi seksi. Daya tarik Ilmu Filsafat dari ketiga filosof itu diakui telah membangun proyek ilmu pengtahuan, sehingga mendapatkan identitas.2 Hal ini menandai bahwa kemerdekaan manusia atas kungkungan penyempitan akal rasional dari alam benar-benar dibuktikan oleh Ilmu Filsafat. Perkembangan filsafat selajutnya melahirkan aliran keilmuan tersendiri, salah satunya adalah filsafat eksistensialisme. Penggagas filsafat eksistensialisme adalah Kierkegaard, Martin Heidegger, Camus, Paul Sartre dan Karl Jaspers. Eksistensialisme muncul karena dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan beberapa filsuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif. Selain itu, aliran ini lahir karena adanya kesadaran beberapa filsuf bahwa manusia mulai terbelenggu dalam aktifitas teknologi yang membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau makhluk yang berinteraksi dengan alam dan lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant.3 Adapun pendapat lain mengatakan bahwa lahirnya aliran eksistensialisme karena adanya krisis yang terjadi atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia.4 Secara sederhana makna eksistensialisme yaitu membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Dari sisi filsafat eksistensialis ini, epistemologi kajian Islam menemukan ruang berbenah diri. Manusia menurut Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip Ishrat Hasan Enver, sebagai makhluk eksistensial dituntut untuk memenuhi
2
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan (Bandung: Teraju, 2002), h. 2. 3 Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009), h. 98. 4 Vincent Martin, Filsafat Eksistensialisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 23.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
106
Arfan Nusi
eksistensi dirinya, bersifat aktif, dinamis, dan kuat.5 Manusia tidak seharusnya pasif, statis, bahkan menarik diri dari kepentingan duniawi dan tunduk secara buta pada ajaran tertentu. Materialisme Barat Modern telah menghilangkan metafisika dan mengakibatkan timbulnya krisis eksistensial manusia, alienasi, dan dehumanisasi.6 Eksistensialisme menuntun manusia berfikir progresif, inklusif dan universal agar manusia benar-benar merdeka dalam berfikir. Bahkan, agama Islam diturunkan ke muka bumi sebagai faktor pembebas bukan mengungkung kebebasan eksistensi kemanusiaan. Dengan telaah yang cukup mendalam, artikel ini mencoba mendeskripsikan filsafat eksistensialisme dan relevansinya dengan Islamic Studies saat ini. Pengertian Eksistensialisme Eksistensialisme adalah aliran yang memandang segala sesuatu berdasarkan eksistensinya atau bagaimana manusia berada dalam dunia. Secara etimologi eksistensialisme berasal dari kata “eks” yang artinya “luar”, dan “sistensi” yang berarti “berdiri atau menempatkan”, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai “berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.” Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaanya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya.7 Menurut pengertian terminologi adalah “suatu aliran dalam Ilmu Filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya dan dipandang bahwa manusia adalah makhluk yang harus selalu aktif dengan sesuatu yang ada di sekelilingnya serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di dunia dengan kesadaran.”8 Pendapat lain mengatakan eksistensialisme merupakan aliran yang menekankan pada manusia yang bertanggungjawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam yang benar dan yang 5
Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Terj. Fauzi Arifin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. viii. 6 Ibid., h. ix. 7 Muzairi, Filsafat Umum (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 143. 8 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 217. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
107
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
tidak. Sebenarnya bukan tidak mengetahui tentang yang benar dan tidak, namun seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran filsafati itu relatif, dan masing-masing bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Sehingga dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.9 Eksistensialisme sangat berhubungan dengan pendidikan karena pusat pembicaraan eksistensialisme adalah keberadaan manusia sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Eksistensialisme merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu. Apapun yang bereksistesi tentu nyata ada. Sesuatu dikatakan bereksistensi jika sesuatu itu bersifat publik yang artinya objek itu sendiri harus dialami oleh banyak orang yang melakukan pengamatan.10 Seperti juga halnya, perasaan yang tertekan tidak bereksistensi, meskipun perasaan itu nyata ada dan terjadi dalam diri. Apa yang bersifat publik kiranya selalu menempati ruang dan terjadi dalam waktu. Oleh karena itu eksistensi sering dikatakan berkenaan dengan objek-objek yang merupakan kenyataan dalam ruang dan waktu.11 Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, mengenai bagaimana aku hidup. Dengan demikian eksistensialisme adalah filsafat subjektif mengenai diri sendiri. Manusia disini di pandang sebagai makhluk yang harus aktif. Eksistensialisme di definisikan sebagai usaha untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya. Dan memberi perhatian terhadap masalah manusia modern.12 Ciri-ciri aliran eksistensialisme yaitu: 1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya idealisme Hegel. 2. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualisme terhadap konsep – konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
9
Ibid., h. 218. Louis O.Katsof, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 20. 11 Ibid., h. 21. 12 Tafsir, Filsafat Umum..., h. 218. 10
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
108
Arfan Nusi
3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi serta gerakan masa. 4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan totaliter baik gerakan fasis, komunis yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa. 5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek manusia di dunia. 6. Eksistensialisme menentukan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.13 Sejarah Eksistensialisme Eksistensialisme pertama kali dirumuskan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger (1889-1976). Akar metodelogi eksistensialisme ini berasal dari fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).14 Eksistensialisme muncul dari 2 orang ahli filsafat, yaitu Soren Kierkegaard dan Neitzsche. Kierkegaard seorang filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertannyaan mengenai pertannyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang individu?” Ia juga menerima prinsip Socrates yang mengatakan bahwa pengetahuan akan diri adalah pengetahuan akan Tuhan. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensialisme (manusia melupakan individualitasnya), sehingga manusia bisa menjadi manusia yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan dan komitmen pribadi dalam kehidupan.15 Neitzsche, juga filsuf Jerman (1844-1900), yang tujuan filsafatnya menjawab pertanyaan “Bagaimana menjadi manusia unggul?”. Menurut Neitzsche jawabannya adalah manusia bisa menjadi manusia unggul jika mempunyai keberaniaan untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani.16
13 14
Zuhaifini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 31. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat II (Yogyakarta: Kanisius, 1980), h.
65 15 Basuki As'adi dan Miftakul Ulum, Pengantar Filsafat Pendidikan (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010), h. 29-30. 16 St. Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 34.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
109
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
Kedua tokoh di atas muncul karena adanya perang dunia pertama dan situasi Eropa pada saat itu, sehingga mereka tampil untuk menjawab pandangan tentang manusia seperti yang sudah dijelaskan di atas. Di samping itu penyebab munculnya filsafat eksistensialisme ini yaitu adanya reaksi terhadap filsafat materialisme Karl Marx yang berpedoman bahwa eksistensi manusia bukan sesuatu yang primer dan idealisme Hegel yang bertolak bahwa eksistensi manusia sebagai yang konkret dan subjektif karena mereka hanya memandang manusia menurut materi atau ide dalam rumusan dan sistem-sistem umum (kolektivitas sosial). Pengaruh lahirnya filsafat eksistensialisme berasal dari filsafat hidup Henri Bergson dan metafisika modern. Filsafat ini muncul pada paruh pertengahan abad ke-20. Tokoh-tokoh Eksistensialisme yaitun Soren Aabye Kiekegaard, Karl Jaspers, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Frederidch Nietzshe. Berikut sekelumit biografi dan pemikiran tokoh-tokoh Eksistensialisme: Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi. Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi gurunya di sana. Karya-karya Kierkegaard dapat dikelompokkan dalam dua periode. Periode pertama ditulis antara 1841 dan 1845. Sebagian besar bernuansa filosofis dan estetis, beberapa ditulis dalam nama samaran, Johannes Climacus. Karya-karya dalam periode ini ialah The Conceptof Irony with Constant Reference to Socrates (1841), Either/Or (1843), Fear and Trembling (1842), The Conceptof Dread (1844), Stageson Life's Way (1844), Philosophical Fragments (1844), Concluding Unscientific Postscript to the Philosophical Fragments (1846).17
17
Tafsir, Filsafat Umum..., h. 219.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
110
Arfan Nusi
Pemikiran Kierkegaard yang cukup terkenal adalah ketika ia keberatan kepada Hegel yang meremehkan eksistensi yang konkrit, karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum” tetapi sebagai “aku individu” yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah eksistensi dalam suatu arti yang mempunyai peran besar pada abad ke-20. Bereksistensi berarti bertindak. Tidak ada orang lain yang menggantikan tempat seseorang untuk bereksistensi.18 Karl Jaspers lahir di kota Oldenburg, Jerman Utara, pada tahun 1883. Sejak sekolah menengah, ia sudah tertarik pada filsafat, tetapi baru pada usia 38 tahun ia dapat sepenuhnya memenuhi panggilan filosofisnya.19Selama tiga semester ia belajar hukum di Universitas Heidelberg dan Munchen, tetapi ubah haluan dengan memilih studi kedokteran yang dijalankan di Berlin, Gottingen dan Heidelberg. Di Universitas Heidelberg ia mengambil spesialiasi psikiatri. Tetapi ia tetap tertarik dengan filsafat, antara lain melalui Max Weber, ahli ekonomi, sejarawan dan sosiolog terkenal yang dikaguminya. Jaspers menulis buku Allgemeine Psychopathologie (Psikologi umum) pada tahun 1910. Di buku ini, ia tidak melukiskan penyakit-penyakit, tetapi menyoroti manusia yang sakit. Ia menggunakan metode deskripsi fenomenologis Edmund Husserl. Pada 1916 ia menjadi Profesor Psikologi di Heidelberg. Lalu pada 1919 ia menulis buku Psychologie der Weltanschauungen (Psikologi Tentang Pandangan-pandangan Dunia). Di buku ini, ia melukiskan berbagai sikap yang diambil manusia terhadap kehidupan. Dua buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai psikiater dan menunjukkan betapa kentalnya ketertarikan Karl Jaspers pada filsafat.20 Jaspers mencurahkan seluruh perhatiannya pada filsafat mulai tahun 1921, setelah ia menerima gelar profesorat filsafat di Heidelberg. Ada yang tak setuju dengan pemberian gelar ini, sebab ia dianggap bukan filsuf profesional. Namun, setelah menerima gelar penghargaan itu, ia menulis banyak sekali karya, antara lain karya besar yang terdiri dari tiga jilid, Philosophie (1932). Jilid I berjudul Weltori enti 18
Ibid., h. 20. Adian, Menyoal..., h. 177. 20 Ibid., h. 178. 19
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
111
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
er ung (Orientasi Dalam Dunia), jilid II berjudul E xi st enz er hell ung (Penerangan Eksistensi), dan jilid III Met aphy sik (Metafisika).21 Martin Hiedegger. Lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 ± meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun. Merupakan pemikir yang ekstrim, hanya beberapa filsuf saja yang mengerti pemikiran Heidegger. Pemikiran Heidegger selalu tersusun secara sistematis. Tujuan dari pemikiran Heidegger pada dasarnya berusaha untuk menjawab pengertian dari being. Heidegger berpendapat bahwa ‘Das Wesen des Daseins liegtinseiner Existenz´, “adanya keberadaan itu terletak pada eksistensinya.” Di dalam realitasnya being (sein) tidak sama sebagai being ada pada umumnya, sesuatu yang mempunyai ada dan di dalam ada, dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan ada sebagai pengada. Heidegger menyebut being sebagai eksistensi manusia, dan sejauh ini analisis tentang being biasa disebut sebagai eksistensi manusia (Dasein). Dasein tersusun dari Dans ei n. Da: di sana (there), sein berarti berada (to be/being). Artinya manusia sadar dengan tempatnya.22 Jean-Paul Sartre lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 dan meninggal pada 15 April 1980 pada umur 74 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan penulis Perancis yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme. Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmenkomitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satusatunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre).23 Eksistensi mendahului esensi, begitulah selalu filosof-filosof eksistensialis berkata, dan cara manusia bereksistensi berbeda dengan cara beradanya benda-benda. Karenanya masalah ada merupakan salah satu tema terpenting dalam tradisi eksistensialisme. Bagi Sartre, manusia menyadari ada-nya dengan meniadakan (mengobjekkan) yang lainnya. Dari Edmund Husserl ia belajar tentang intensionalitas, yakni kesadaran manusia yang tidak pernah timbul dengan sendirinya, namun selalu merupakan 21
Ibid., h. 179. Tafsir, Filsafat Umum..., h. 220. 23 Ibid., h. 221. 22
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
112
Arfan Nusi
kesadaran akan sesuatu. Begitulah kira-kira titik tolak filsafat Sartre.24 Untuk memperjelas masalah ini, ia menciptakan dua buah istilah; être-ensoi, danêtre-pour-soi. Dengan ini pula ia membedakan cara ber-adanya manusia dengan cara beradanya benda-benda.25 Eksistensi yang mendahului esensi selalu punya kapasitas untuk melampaui dirinya saat ini, dan menyadari ada-nya. Misalnya seorang yang esensinya kita identifikasi sebagai pelajar, ketika ia lulus, maka esensinya sebagai pelajar menjadi tidak relevan lagi. Atau bisa jadi, esok hari ia kedapatan mencuri, maka ia kembali didefinisikan sebagai pencuri. Begitu seterusnya, sampai ia mati. Salah satu keinginan manusia adalah meng-ada sebagaimana keberadaan benda- benda. Mempunyai identitas dan esensi yang pasti. Celakanya, manusia memiliki kesadaran yang tak dimiliki benda-benda, karenanya mustahil bagi manusia untuk mempertahankan esensinya terus menerus. Cara beradanya benda tak punya kaitan dengan cara ber-ada manusia. Sementara manusia sebaliknya, karena sifatnya meniadakan terhadap hal lain, maka ia senantiasa berusaha untuk meniadakan orang dan benda lain.26 Friedrich Nietzsche lahir di Rohen Jerman pada tanggal 15 Oktober tahun 1844, di lingkungan keluarga Kristen yang taat. Ayahnya seorang pendeta Lutheran terkemuka dengan garis kependetaan yang terwaris dari turun temurun dari keluarga ayahnya. Kakeknya adalah pedeta Gereja Lutheran yang menduduki jabatan cukup tinggi, sementara ibunya juga seorang penganut Kristen yang taat.27 Nietzcshe berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi atau ciptaan manusia sendiri, yang berjiwa bagi mereka untuk melestarikan diri sebagai spesies. Pengetahuan dan kebenaran sebagai perangkat yang efektif untuk mencapai tujuan bukan entitas yang trasenden dari manusia. Kebenaran ilmiah tidak
24
Ibid., h. 222. Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 89. 26 Ibid., h. 90. 27 Sunardi, Nietzsche..., h. 2. 25
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
113
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
mungkin efektif karena hasil konstruksi manusia dan upaya melayani kepentingan dan tujuan tertentu manusia.28 Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam Dalam konsep Filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia sendiri.29 Kajian terhadap kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya, akan tetapi kajiannya pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan Ilmu Humaniora, sedangkan kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan Ilmu Filsafat.30 Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid. Tauhid dalam konsep Islam tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan
28
Ibid., h. 71. Para filosof Muslim sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu alRawandi, dll, meski begitu simpatik terhadap filsafat Hellenistik, semuanya menyatakan bahwa yang mereka lakukan dengan filsafat itu adalah untuk mempelajari konsep-konsep al-Qur’an baik menyangkut penciptaan dunia, validitas nubuwat, kebangkitan, dan lainlain. Di pihak lain, para filosof itu juga mempelajari ayat-ayat Tuhan yang terkait dengan eksplorasi ilmiah eksperimental. Lihat Majid Fakhri,”Philoshopy and History,” dalam John S. Badeau & Majid Fakhri, The Genius of Arab Civilization (Canada: MIT. Pres, 1983), h. 58. 30 Sebagai perbandingan, al-Farabi mengklasifikasikan ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu Bahasa, 2. Logika (’Ilm al-Manthiq), 3. Ilmu Matematika (‘Ulum al-Ta’lim) terdiri: a) Aritmatika, b) Geometri, c) Optika, d) Ilmu Perbintangan, e) Musik, f) ilmu tentang Berat, g) Ilmu Pembuatan Alat, 4. Fisika atau Ilmu Kealaman, 5. Metafisika; 6. Ilmu Politik terdiri: a) Ilmu Politik, b) Yurisprudensi, c) Teologi Dialektis. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung : Mizan, 1998), h. 145-148. 29
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
114
Arfan Nusi
non-syariah,31 yang secara institusional dipisahkan penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan pendidikan di bawah Kementrian Agama, dan yang umum penyelenggaraan pendidikannya di bawah Kementerian Pendidikan. Kajian Islam bukan merupakan agama satu dimensi. Bukan pula agama yang semata-mata berdasarkan intuisi manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dan Tuhan saja. Hingga untuk memahaminya tidak cukup hanya dengan sebuah metode saja. Ali Syariati mengatakan, jika hanya melihat Islam dari satu sudut pandang, maka yang akan terlihat hanya satu dimensi dari gejalanya yang bersegi banyak. Mungkin berhasil melihatnya secara tepat, namun tidak cukup bila ingin memahaminya secara keseluruhan. Buktinya adalah al-Qur’an sendiri. al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang memiliki banyak dimensi, sebagiannya telah dipelajari oleh sarjana-sarjana ternama sepanjang sejarah. Contohnya, satu dimensi mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Qur’an. Dimensi lain terdiri atas tema-tema filosofis dan keimanan al-Qur’an yang menjadi bahan pemikiran bagi para filosof serta teolog hari ini. Dimensi al-Qur’an yang belum dikenal adalah dimensi manusiawinya, yang mengandung persoalan historis, sosiologi dan psikologis. Dimensi ini belum banyak dikenal, karena sosiologi, psikologi dan ilmu-ilmu manusia memang jauh lebih muda dibandingkan ilmu-ilmu yang ada.32 M. Amin Abdullah yang menaruh perhatian terhadap Islamic Studies mempertegas kembali bahwa mengkaji Islam tidak hanya sekadar berangkat dari satu perspektif tetapi harus dimulai dari multi perspektif.33 Khazanah kajian Islam menyentuh spektrum yang luas, termasuk di dalamnya eksistensialisme. Di dunia Islam tidak mengenal filsafat eksistensialisme, karena filsafat eksistensialisme ini lahir dari gagasan
31
Dikotomi keilmuan dalam sistem pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dapat juga dilihat secara politis dari kebijaksanaan pendidikan bisa masa kolonial. Penggabungan sistem pendidikan umum dengan sistem pendidikan Islam tidak terlaksana sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau ikut campur tangan dalam persoalan Islam. 32 Nur A. Fadhil Lubis, Introductory Reading Islamic Studies (Medan: IAIN Press, 2000), h. 75. 33 M. Amin Abdullah, dkk, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. vi. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
115
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
orang Barat. Bahkan Doktrin keagamaan ekslusif menolak perangkat eksistensialisme. Memang sebelumnya telah disinggung di atas bahwa eksistensialisme adalah aliran filsafat yang fahamnya berpusat pada manusia atau individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, karena masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.34 Konsep di atas jika ditarik dalam kajian keislaman, maka setiap individu memiliki kebebasan menafsirkan Islam sesuai ukuran kebenaran dan landasan keilmuan individu masing-masing, sama halnya para ulama, fuqaha, mutakallimun, filosof, dan sufi terdahulu, di mana karya-karya mereka menghiasi khazanah keilmuan Islam. Tetapi tidak jarang di antara keilmuan dan karya tokoh terdahulu tersebut saling menyerang bahkan sampai saling sesat-menyesatkan. Itu artinya, masing-masing individu punya standar kebenaran. Lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya Human is condemned to be free, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah sejauh mana kebebasan para pengkaji Islam tersebut bebas? atau dalam istilah Orde Baru, apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang bertanggung jawab? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Begitu juga interpretasi Islam yang menurut individu benar belum tentu dibenarkan oleh individu yang lain. Di sinilah letak kebenaran yang diperjuangkan setiap orang itu bersifat relatif.35 Namun, menjadi eksistensialis bukan berarti harus menjadi seorang yang lain-dari pada yang lain. Intinya adalah sadar bahwa keberadaan dunia 34 Kutipan artikel tentang “Pemikiran Filsafat Eksistensialisme” dalam http://id.wikipedia.org/ wiki/Eksistensialisme. Di akses pada tanggal 16/6/2016. 35 Muzairi, Eksistensialisme..., h. 33.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
116
Arfan Nusi
merupakan sesuatu yang berada di luar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau dalam kajian Islam perlu tampil orang-orang yang ahli dibidang Tafsir, Fiqih, Filsafat, Tasawuf dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah apakah individu yang menjadi ahli di bidangnya atas keinginan orangtua, atau keinginan individu sendiri.36 Basis Kemerdekaan Berfikir dalam Kajian Islam Islam sangat memperhatikan kedudukan akal sebagai instrumen berfikir setiap manusia. Dalam sejarah pemikiran Islam, tema kemerdekaan berfikir merupakan kajian yang menempati posisi penting. Fenomena ini nampaknya didukung oleh sejumlah alasan. Sebagian bahwa Islam adalah agama wahyu, maka perlu bagaimana posisi akal sebagai pusat kerja berfikir, dalam wahyu tersebut. Alasan lain karena berfikir merupakan dimensi intern manusia yang memiliki pengaruh besar. Formula bahwa pemikiran mempengaruhi kehidupan adalah hal yang sangat terkenal dan merupakan dalil yang kebenarannya diterima umum.37 Secara etimologis, kalimat kemerdekaan berfikir terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki kandungan makna yang berbeda. Secara sederhana “kemerdekaan” mengandalkan sebuah situasi tanpa terbelenggu, sepadan dengan kata “ kebebasan”. Sementara “berfikir” adalah proses kerja otak secara biologis yang kemudian menghasilkan output berupa “pemikiran”. Keduanya merupakan hak pasti manusia tetapi dengan pasti pula keduanya menghendaki batasan-batasan dalam proses interaksi.38 Islam dalam hal ini memiliki konsep yang jelas, universal dan teruji. Hubungan Islam dengan kemerdekaan berfikir berlangsung dalam bentuk 36 37
Ibid., 34. Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1995),
h. 41. 38 http://wijayadia.blogspot.co.id/2011/01/islam-dan-kemerdekaanberfikir.html. Di akses pada tanggal 16/6/2016
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
117
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
yang khas. Islam memberi tempat dan al-Qur'an sebagai sumber ajaran menegakkan kemerdekaan berfikir, dan juga Islam pada saat yang sama memberi batasan-batasan terhadap penggunaan setiap hasil pemikiran, wilayah kemerdekaannya dan seterusnya. Kemerdekaan berpikir, telah membebaskan kaum Muslim dari kekakuan berpikir yang membekukan otak dan telah melenyapkan kemalasan berpikir dari masyarakat Muslim. Sebagai contoh kemerdekaan berpikir telah melahirkan seorang yang bernama Washil bin Atho’ yang telah berani menentang arus dan berani berijtihad memisahkan diri dari mazhab gurunya Imam Hasan al-Basri. Kemerdekaan berpikir telah memunculkan Abu Huzhail Al’Allaf dan para pemikir-pemikir lainnya yang pada akhirnya mereka melahirkan sebuah aliran atau mazhab baru dalam Islam, yaitu mazhab Mu’tazilah, sebuah mazhab yang berkaitan dengan teologi. Di sini para ahli memandang Islam dengan pikiran rasionalis sehingga mereka berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan makhluk ciptaan Allah.39 Kebebasan berfikir dalam ruang sejarah perjalanan manusia menemukan momentum pada pertengahan abad ke-20 sampai awal abad ke-21. Kehidupan keagamaan menemukan kebangkitannya kembali yang ditandai dengan kemunculan semangat baru berupa paham-paham dan kelompok-kelompok keagamaan baru, di samping paham-paham dan kelompok-kelompok lama yang terus melakukan revitalisasi. Kenyataan ini tentu semakin memperkokoh eksistensialisme religius dalam ruang keberagamaan setiap manusia. Sayangnya, di balik kebangkitan religius muncul berbagai perilaku keagamaan yang mengarah pada kekerasan keagamaan dengan menggunakan kekuatan massa. Kebebasan beragama secara individual dalam kaitan ini bisa terdeterminasi oleh keagamaan kolektif. Oleh karena itu, hubungan antara keberagamaan individual dan keberagamaan kelompok menjadi masalah kontemporer yang krusial. Dalam buku karya Ishrat Hasan Enver menjelaskan bahwa Muhammad Iqbal melihat keberagamaan otentik yang bisa dipahami di balik eksistensialisme religius, hubungan antara keberagamaan individual dan kolektif yang bisa 39 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2011), h. 40
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
118
Arfan Nusi
dikonstruksi dari keberagamaan otentik, dan implikasi-implikasinya bagi keberagamaan kontemporer. Kajian ini dipandang penting karena memiliki nilai kontribusi pada pemecahan persoalan keberagamaan dewasa ini yang terkesan masih belum secara maksimal menyadari bahwa ruang keberagamaan pribadi adalah hal mendasar, pertama dan utama sehingga dari sini keberagamaan setiap orang dimulai. Keberadaannya mendahului determinasi-determinasi keberagamaan dari luar termasuk kelompok-kelompok keagamaan kolektif.40 Memahami eksistensi manusia tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan yang dimengerti sebagai suatu individualitas murni, menurut Muhammad Iqbal, keberadaan Tuhan justru menjamin suatu kebebasan yang sesungguhnya, karena Dia mengajarkan bahwa untuk menjadi diri, manusia dengan selalu mengaktualisasikan individualitasnya. Manusia dipandang bebas manakala individualitasnya diasah dan diteguhkan terus menerus, hingga menjadi kekuatan diri yang tumbuh dari dalam, bukan dari luar atau dari orang lain atau sekelompok orang. Penemuan diri, keduanya sepakat, dihasilkan dari proses perkembangan eksistensial manusia.41 Eksistensi manusia otentik menjadi penting dan ditekankan dalam eksistensialisme religius, dan menjadi dasar ontologisme bagi pembangunan keberagamaan otentik. Penekanan keberagamaan otentik yang dicirikan keberagamaan dari dalam dengan prinsip kebebasan yang terus memberikan ruang keberagamaan pribadi bagi orang lain membawa keduanya pada penolakan esensialisme keberagamaan yang dinilai memasung keberagamaan individu dan menghentikan dinamika keberagamaan. Bagi keduanya, keberagamaan selalu dalam proses pengembangan dan aktualisasi diri, bukan penegasian diri dan penyeragaman keberagamaan. Penutup Filsafat eksistensialisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Neo-Eksistensialisme dna Neo-Realisme dan Neo-Positivisme, tidak terkecuali di dalamnya adalah kajian Islam. Di 40
Enver, Metafisika Iqbal..., h. 7. Ibid., h. 8.
41
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
119
Filsafat Eksistensialisme dan Format Epistemologi Kajian Islam
era sekarang tidak dapat dinafikan bahwa eksistensialisme telah membentuk epistemologi Islam, sehingga eksistensialisme menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam melahirkan kebebasan berfikir dalam kajian Islam. Atas dasar kebebasan berfikir, maka ruang kebebasan dalam menafsirkan agama juga terseret pada ruang bebas, sehingga dalam kajian keislaman tidak sedikit yang melahirkan aliran, mazhab, pola pikir, serta kecenderungan. Inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan berfikir, setiap individu bebas menghiasi khazanah keilmuan Islam sesuai dengan perspektifnya tanpa dibayang-bayang oleh tendensi dari pihak luar. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, dkk. Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: LEMLIT UIN Sunan Kalijaga, 2006 Adian, Donny Gahral. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: Teraju, 2001. Anshari, Endang Saefuddin. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2009 As'adi, Basuki dan Ulum, Miftakul. Pengantar Filsafat Pendidikan. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010 Bakar, Osman. Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto. Bandung: Mizan, 1998 Enver, Ishrat Hasan. Metafisika Iqbal, terj. Fauzi Arifin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat II Yogyakarta: Kanisius, 1980 Katsof, Louis O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004 Lubis, Nur A. Fadhil. Introductory Reading Islamic Studies. Medan: IAIN Press, 2000
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
120
Arfan Nusi
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1995 Martin, Vincent. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Muzairi. Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 _______. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras, 2009 Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2011 Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LkiS, 2011 Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009 Zuhaifini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008 “Pemikiran Filsafat Eksistensialisme” dalam http://id.wikipedia.org/ wiki/Eksistensialisme. http://wijayadia.blogspot.co.id/2011/01/islam-dan-kemerdekaanberfikir.html.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
121
Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 122- 135 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama Oleh: Nella Lucky Universitas Abdurrab Pekanbaru Riau Email:
[email protected] Abstract The dissent among the internal and external of religious communities essentially not because the divergence of religious concept. It appears because different methodology and logical thinking among the intellectuals that influence the people in vast dimensions. The differences of logical thingking will impact the different product of thought and religious activities. Among others is the different of normativity and historicity methods and logical thinking. Throughout the course of history, both logic collide each other. So the effort to integrate this both logic absolutely necessary for the advancement of development of religious studies in the future Perbedaan antara intra dan umat beraama secara esensi tidak disebabkan oleh perbedaan konsep keagamaan. Hal itu terjadi karena perbedaan metodologi dan logika berfikir di antara intelektualnya yang memperngaruhi masyarakat luas. Perbedaan cara berfikir akan berdampak pada perbedaan produk pemikiran dan aktivitas keagamaan, di antaranya adalah perbedaan antara metode normativitas dan historiritas dan logika pemikiran. Melalui kajian historis, keduanya saling bertabrakan. Karenanya upaya untuk mengintegrasikan kedua pemikiran itu mutlak dibutuhkan untuk pengembangan lebih lanjut kajian keagamaan di masa depan. Keywords: Religious Studies; Normativity; Historicity; Integralistic Logic
122
Nella Lucky
Pendahuluan Kajian studi agama di era digital ditandai dengan semakin menjamurnya berbagai macam perspektif dalam memahami agama. Hal ini dimulai sejak adanya diferensiasi yang tegas antara agama dan studi agama. Agama sebagai din menyangkut ajaran-ajaran yang berisikan formalitas syariat yang terdiri dari lima rambu-rambu dasar yang tidak akan pernah berubah: haram, makruh, sunnah, mubah, wajib. Sementara menurut beberapa perspektif, persoalan studi agama menyangkut berbagai aspek terlepas dari batasan dan ketentuan formalitas syariat. Tidak mengherankan jika muncul puluhan perspektif dalam memahami agama dalam studi agama. Hal ini ditandai dengan banyaknya upaya me-reform dan meredefenisi term keagamaan. Banyak kalangan yang melepaskan sayap kebebasan perspektifnya dengan memahami agama dalam frame studi agama. Ditambah lagi dengan neo paradigm bahwa agama kini tidak hanya sebagai ritual serta hubungan antara hamba dan Sang Khalik saja, melainkan agama diletakkan pada satu nalar baru, yaitu agama sebagai sebuah diskursus. Implikasi dari neo paradgim1 ini adalah peletakan agama pada posisi setara dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, tanpa memarginalkan agama sebagai ritualitas yang senantiasa berlangsung. Walaupun dalam beberapa dekade terakhir ini upaya penyetaraan ini mengakibatkan hilangnya esensi agama sebagai sebuah ajaran dan ritual. Upaya mengartikulasikan agama menjadi sebuah diskursus yang debatable dan argueble sering kali menimbulkan phobia psikologis di berbagai kalangan, baik kalangan intelektual, maupun masyarakat secara umum. Upaya mendobrak formalitas agama melalui ekstremisme nalar lama yang rigid, kaku dan cenderung skripturalis tentu perlu dilakukan dengan syarat tidak mengeliminir ke-saklar-an sebuah agama. Implikasinya, tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan cara pandang dalam memahami agama sebagai sebuah diskursus. Di antara nalar studi agama itu adalah nalar normativitas dan historisitas.
1
Kuhn berpendapat bahwa paradgima adalah sesuatu yang tidak dapat diukur, dinilai dan diperbadingkan secara rasional. Dalam bahasa lakatos, bahwa kita dapat secara objektif mempelajari kemajuaan-kemajuan dari tradisi dan memformulasikannnya. Lihat, Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 46. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
123
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
Disadari atau tidak, perkembangan teknologi, pesatnya ilmu pengetahuan serta majunya arus perkembangan ilmu-ilmu sosial memaksa kita untuk tidak hanya mendekati agama melalui pendekaran teologis-normatif belaka. Adanya logika berfikir normativitas dan historisitas dalam studi agama belakangan ini bisa memunculkan banyak manfaat demi perkembangan konstruksi agama ke depan. Namun pada sisi lain perbedaan tools dalam bentuk logika berfikir ini bisa berimplikasi kepada terjadinya jurang pemisah antara mazhab normatif dan mazhab historis. Jika tidak disikapi dengan benar akan menimbulkan ekstremisme pada masing-masing mazhab. Tulisan ini berupaya untuk mengadakan hubungan dialogis antara dua mazhab normativitas dan historisitas sehingga terjalinnya proses integrasi dan upaya saling melengkapi di antara dua sudut pandang ini. Dengan harapan, proses integrasi antara dua nalar ini bisa mengakomodir adanya jurang pemisah antara kaum teolog-normatif dan empiris-historis yang hingga saat ini tidak kunjung selesai. Tulisan ini juga merupakan rangkaian analisis bahwa perbedaan yang ada bukanlah karena konsep dan konten keberagamaan yang berbeda, namun perbedaannya ada pada alat atau metodologi dalam meramu studi keagamaan. Problem Psikologis Kajian Agama Masyarakat majemuk (plural society) adalah dinamika alamiah yang tidak bisa dipungkiri. Pluralitas ini tidak hanya terjadi dalam berbagai macam perbedaan antar budaya, agama, suku dan bahasa, namun juga perbedaan internal agama, budaya, suku dan bahasa. Di dalam agama yang satu saja -sebut saja agama Islam- juga terjadi pluralitas pemikiran dan pemahaman. Banyaknya jumlah masyarakat Islam dengan kitab suci yang sama ternyata tidak mampu mengakomodir persatuan metodologi berfikir umat Islam. Sehingga yang terjadi adalah terjadinya polarisasi dan diferensiasi umat dalam memahami persoalan keagamaan. Perbedaan cara fikir menghasilkan produk fikir yang berbeda dan penyikapan nilai-nilai keagamaan yang berbeda pula. Di sinilah terdapat problem psikologis umat Islam. Yang dimaksud penulis dengan problem psikologis umat Islam dalam memahami agama disini adalah terjadinya benturan pemikiran dengan tools yang berbeda. Bahkan tidak jarang metodologi dalam memahami ajaran agama terjadi pemisahan yang tegas dan ekstrim. Hal ini tampak jelas dalam kurun peradaban Islam. Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
124
Nella Lucky
Relasi antara ahli kalam dan filosuf muslim tidak pernah bersahabat, termasuk terjadinya polarisasi antara teolog dan ahli fikih, golongan yang menjalankan ajaran agama dengan syariat saja dan hakikat saja, antara Islam formatif dan Islam substantif, antara kaum esensalis dan kaum eksistensialis. Hal ini senantiasa terjadi dalam pergumulan keilmuan Islam. Patut dipahami bahwa pergumulan ini akan senantiasa terjadi jika nalar yang digunakan tidak bisa berdamai sepanjang lintasan sejarah. Masing-masing nalar yang saling menuduh bahwa lawannya terlalu kaku ternyata tidak menyadari bahwa logika yang ia gunakan pun adalah logika yang kaku. Tidak ada dialog dan upaya mix and match antara dua nalar tersebut, yang berimplikasi pada penyakit taqdis al afkar addiniy, mengakibatkan kemunduran dan kebingungan di dalam internal umat Islam. Bila tidak diselesaikan umat akan semakin kebingungan dan para intelektual akan senantiasa sibuk dengan persoalan yang belum tentu layak untuk dipersoalkan. Hal ini terbukti dengan terjadinya perbedaan pembacaan dua kubu ini terhadap tema-tema keagamaan yang ada. Sebut saja mengenai kasus perkawinan lintas agama. Kaum normatif mempertahankan pengharaman perkawinan lintas agama dengan perspektif tekstualisnormatif teologisnya. Namun kaum historis juga mengeluarkan argumentasi dengan perspektif historisnya. Di antara nalar historis yang digunakan sejalan dengan apa yang dikatakan seorang profesor studi Islam, Musdah Mulia berkata: "Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakinah) berlandaskan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) dan untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman dan bertanggungjawab". Berdasarkan kajiannya terhadap QS. al-Rum 21; al-Zariyat 49 dan Yasin 36, dia menyimpulkan: "Di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian.” Ketika beliau ditanya: "Apakah dengan menjadi seorang lesbian seseorang kehilangan agamanya?" Ia mengatakan: "Setiap manusia, apapun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius". Musdah juga menyayangkan adanya pandangan dari kalangan masyarakat beragama bahwa pelaku
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
125
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang. Dampak negatif dari pembacaan dengan tools yang berseberangan ini mengganggu realitas dan kenyamanan masyarakat. Akhirnya, logika yang dibuat dengan niat mendamaikan dan menghindari andanya truth claim pun akan terus berlajut. Truth claim antara dua logika ini tidak akan pernah berdamai jika tidak ada formula untuk menyatukan dua logika ini. Tentunya dampak psikologis ini muncul pada penghujung abad ke 19, terlebih lagi pada pertengahan abad ke 20. Terjadinya pergulatan pemikiran keagamaan dari “esensi’ ke “eksistensi”, dari “doktrin” ke “sosiologis”. Hal ini wajar saja terjadi dalam pergaulan dunia yang semakin terbuka. Nalar Normativitas Dialektika dalam memahami studi agama yang bernada normativitas tentunya didukung oleh agamawan, teolog, ahli fikih dan ahli tafsir klasik. Dengan nada penafsiran tekstual logika ini masih diterima di berbagai kalangan. Namun dalam beberapa dekade belakangan ini, nalar normatif mulai menampakkan kemandulannya dan mendapat pertentangan oleh beberapa ilmuan muslim yang menjuluki pembacaan normatif sebagai pembacaan yang absurd, kaku dan rigid maupun absolute. Pembacaan normatif mengacu pada teks-teks keagamaan dan mengambil istinbat dari teks keagamaan dengan metodologi penafsiran yang telah ada. Metode ini ditandai dengan berbagai macam aturan dalam kaidah penafsiran al-Qur’an ala klasik misalnya metoda tafsir ijmali, tahlili, maudhu’i dan sebagainya. Metoda tafsir Qur’an ini juga diiringi dengan syarat dan ketentuan penafsir seperti shaleh, dhabit dan semisalnya. Dalam bahasa lain dalam studi penafsiran Abid al-Jabiri mengartikulasikannya dengan metoda bayani, yaitu mengartikulasikan makna teks dengan melihat teks dan istinbat. Baru kemudian melihat fakta yang harus dihukumi sesuai teks. Logika normativitas ini dinamakan juga logika formalisasi Islam yang fokus pada teks. Problematika sosial kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan dari point of view masyarakat dan intelektual Islam dalam studi agama. Point of view Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
126
Nella Lucky
ini mempengaruhi cara pandang masyarakat Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan titik tekan logika berfikir normativitas adalah meletakkan standarisasi Islam dalam bentuk syariat yang telah rigid. Implikasinya, pola ekstremisme logika normativitas hanya berputar pada term halalharam, boleh-tidak boleh, pahala-dosa, surga-neraka. Perputaran dalam wilayah ini secara ekstrim akan mengakibatkan iklim justifikasi-justifikasi kebenaran antar dan inter masyarakat Islam. Akibatnya upaya logika berfikir ekstremisme normatif menghantarkan masyarakat kepada ketegangan-ketegangan berfikir. Logika normativitas ekstrim mengartikulasikan teks dan berusaha menghukumi realitas dengan standarisasi teks. Namun dalam perjalanannya tafsiran tekstual memiliki dimensi yang beragam. Diantara sekian banyak kendala logika normativitas ini ialah sulitnya mengatur realitas yang complicated´ dengan teks yang diam (quite) dan realitas yang senatiasa mengalami perkembangan. Pembacaan terhadap teks bisa saja dilakukan. Namun upaya meng-compare dengan realitas akan sulit dilakukan. Nalar ekstremisme normatif ini akan menghantarkan Islam sebagai sebuah kajian saja dan tidak mampu mengantarkan Islam sebagai problem solving di tengah problematika kehidupan yang dimensional-progresif-fluktuatif. Adapun ciri logika berfikir ekstremis normatif adalah: 1. Menjadikan teks sebagai sumber hukum (mashdarul hukm) yang tidak bisa diganggu gugat. 2. Menjadikan ulama masa lampau sebagai standar yang tidak bisa diganggu gugat sekalipun dalam ranah sosial kemasyarakatan. 3. Teks tidak bisa diubah, hanya realitas yang bisa diubah mengikuti teks. 4. Bergerak pada ranah halal-haram, baik-buruk, surga-neraka. Adapun kelemahan dari logika berfikir ekstremis normatif adalah: 1. Anti realitas. Berfikir linier hanya kepada satu perspektif, yaitu cocok atau tidak cocok dengan nash. Padahal kehidupan manusia terdiri dari berbagai macam variable yang harus diselesaikan dengan berbagai sudut pandang. 2. Nalar normatif sangat berhati-hati terhadap tergelincirnya mereka kepada logika-logika historis hingga pada tataran ekstrim mereka tidak akan menerima logika kontekstualis.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
127
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
3. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah kita tidak bisa menolak adanya pluralitas bahasa (lughah, language). Namun pluralitas bahasa tidak dapat kita jadikan sebagai standar baik-buruknya sebuah bahasa. Pada sisi lain, logika normativ akan berdampak kepada munculnya keanekaragaman tafsir karena sifat bahasa yang multi interpretasi. Nalar Historisitas Logika historisitas muncul karena kegelisahan beberapa ilmuan mengenai realitas umat yang tidak kunjung selesai karena hanya mengandalkan teks sebagai hardcore. Saat ini kitab dianggap tidak bisa menjawab problematika umat. Pembacaan dengan logika normatif tidak mampu mengakomodir problem dalam dimensi yang luas. Implikasinya, agama menjadi unaplicable. Agama yang dahulu verb kini hanya sekedar noun saja. Berdasarkan fenomena ini maka pembacaan ulang mengenai realitas keagamaan dengan formasi logika berfikir baru dinilai mutlak dilakukan. Menurut logika ini, agama tidak hanya diartikulasikan dalam hubungan antara sang hamba dengan Tuhannya saja, namun agama meliputi dimensi kesadaran manusia akan lingkungan sosialnya (sosiologi), kesadaran pencarian asal usul agama (antropologis) dan pemenuhan ketenangan jiwa (psikologis) serta bagaimana untuk hidup dalam ranah etika sosial dan pemenuhan kebutuhan jasmani (ekonomi). Dengan multidimensional approaches ini diharapkan agama bisa memainkan perannya di ranah realitas. Menurut Amin Abdullah, pembacaan historisitas dalam sebuah kajian keilmuan keagamaan adalah pembacaan yang baik. Historisitas memandang Islam lebih aplicable dan mampu mentransfromasi antara data dan realita, antara pure science dan aplied science dan dari esensi menuju eksistensi. Arkoun menyatakan bahwa pendekatan historisitas sangat penting untuk menantang segala bentuk pensakralan dan penafsiran transenden normatif. “Historicity is not just an intellectual game invented by westerners, but concern the human condition since the emergence of man on this earth. There is no other way of interpreting any type, any level of what
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
128
Nella Lucky
we call revelation outside the hisoricity of its emergence, its development through history and its changing functions under the preasure of history as we have already shown.”2 Arkoun mengambil metode ijtihad sebagai metoda baru untuk mengadakan kajian studi keagamaan yang berbeda. Metoda ini bisa merobohkan cara berfikir normatif yang rigid dan skripturalistik.3 Hal ini diperkuat dalam buku The concept of Authority in Islamic Thought yang mengartikulasikan bahwa historisitas adalah sebuah dimensi kebenaran yang dibentuk dengan alat, postulat, konsep dan definisi yang selalu berubah.4 Kritik tajam terhadap logika normativitas juga banyak dilontarkan oleh beberapa ilmuan muslim kontemporer antara lain Muhammad ‘Abid alJabiri5, Nashr Hamid Abu Zayd6, Muhammad Syahrur7 dan Abdullah Ahmad Na’im8. Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity yang mencoba mengkritisi pendekatan normatif yang cenderung mengulangngulang dan literatur bernada klasik serta tidak ditemukannya bangunan keilmuan dengan gagasan baru9. Rahman adalah salah satu ilmuan yang melakukan analitik akademik dengan memaparkan secara jelas antara nalar “normatif” dan nalar “historis”. Ia ingin menawarkan Islam baru yang lebih kritis dan tidak terkurung dalam pemikiran dan tawaran2
Mohammed Arkoun, The Unthought In contemporary Islamic Thought (London: Saqi Book, 2002), h. 42 3 Mohammed Arkoun, “Rethinking Islam Today” dalam Azim Nanji (ed), Maping Islamic Studies: Geneologi, Continuity and Change (Berlin: Mouton De Gruyter, 1997), h. 237 4 Mohammed Arkoun, The Concept of Authority in Islamic Thought: La hukma illa lillah in Islam, State and Society (London: Curzon Press, 1988), h. 64-65. 5 Muhammad ‘Abid al- Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi al-Islami: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah fi Thaqafah al-‘Arabiyyah (Beirut, Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1986) 6 Nashr Hamid abu Zayd, Mafhum al-Nass: dirasah al ‘Ulum al-Qur’an (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1990) dan Naqd al-Kitab al-Dini (Cairo: Sina li al-Nashr, 1993). 7 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah (Damascus: al-Ahali, 1990) 8 Abdullah Ahmed Na’im, Toward and Islamic Reformation : Civil Liberties, Human Rights and International law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990) 9 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), h. 37,38,150 dan 151. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
129
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
tawaran konsep normatif lama yang akan menjadi jeruji bagi pengembangan keilmuan ke depan. 10 Dalam terminologi Thomas Kuhn juga dapat diambil rasionalisasi bahwa umat telah terjebak kedalam nalar normal science dan bukan bergerak ke revolutionary science11. Hal ini juga didukung oleh Imre Lakatos yang mengatakan bahwa mengapa ilmu-ilmu keislaman terjebak dalam kekakuan internal, karena tidak senantiasa difalsifikasi, dikritisi dan direformulasi,12 Dengan memperhatikan dan merangkum pendapat beberapa ilmuan muslim kontemporer tersebut, menurut Arkoun terlihat bahwa kerinduan dan keinginan dari kalangan ilmuan untuk merekonstruksi studi keislaman dengan mentransplantasi metodologi-metodologi yang ada.13 Upaya rekonstruksi ini kelihatannya menjadi big dream para ilmuan tersebut dengan analisis dan model riset baru. Logika historisitas dalam memahami wacana keilmuan Islam lepas dari formalista dan ketentuan rigid. Yang terpenting adalah bagaimana manusia mampu mengadakan pembacaan ulang dengan melihat problematika yang ada secara kontekstual, kemudian mengkaji dalil yang ada di dalam nash serta berusaha mengkontekstualisasikan antara fakta dan nash. Logika historisitas adalah logika yang berdamai dengan fakta dan berusaha toleran kepada fakta dengan tanpa meninggalkan teks. Upaya ini ada dengan harapan agama bisa kembali hidup dan compatible dalam menjawab realitas. Realitas logika berfikir historisitas memandang bahwa realitas adalah unit dan zona yang perlu diperhitungkan. Realitas dengan berbagai pendekatan mesti didekati dengan pendekatan multidimensi. Nalar historisitas menjadikan fakta dan problem sebagai hardcore. Dengan metoda problem best learning maka dibutuhkan active learning in multi perspective dalam memahami fakta. Pada intinya, upaya perluasan studi agama dalam research program mendorong kemajuan ilmu-ilmu keislaman di dalam 10
Ibid, 147 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago: University of Chicago Press, 1970), h. 23-24, 92-110. 12 Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes” dalam Imre Lakatos dan Alan Musgrave (ed), Criticism and the Growth of Knowledge (Cambmridge:Cambridge University Press, 1970), h. 132-138 13 Mohamamad Arkoun, al Fikr al-Islami: Naqd wa Ijthiad, terje komentar Hasil Salih, (London,Dar al Saqi 1990), h. 24-29. 11
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
130
Nella Lucky
kawasan historis merupakan cara tepat untuk mengadakan rekonstruksi dan reformulasi ilmu-ilmu keislaman di era modern ini. Hal itu hanya bisa dilakukan bila adanya transplantasi nalar lama menjadi nalar baru. Adapun ciri logika hitorisitas adalah: 1. Melihat fakta sebagai hardcore dengan problem best thinking. Bermuara dari fakta menuju hipotesa dan merasionalisasikan teks sebagai media pendukung. 2. Mengakui bahwa kitab suci memiliki nuansa multi interpretasi, debatable, bisa re-form dan arguable serta applicable. 3. Meyakini bahwa proses menjawab problematika realitas ini berlangsung terus menerus dengan berbagai macam perspektif seperti filosofis, antropologis, sosiologis dan lain sebagainya. Kekurangan historisitas ekstrim: 1. Menjadikan fakta sebagai standar dan objek diskursus. Dalam tahap ekstrim, nalar historisitas bisa mengantarkan kepada apatisme, dan unaware kepada nash-nash keagamaan sehingga menimbulkan sikap antipati kepada tafsiran-tafsiran klasik dan ulama masa lampau. 2. Ekstremisme nalar empirik-historis dengan pemikiran yang memaksa untuk mengkaji fakta dengan sudut pandang yang berbeda. 3. Ada hal yang perlu diperhatikan oleh kaum historisitas ekstrim yaitu pendekatan keilmuan agama melalui pendekatan empiris melewati batas kewenangannya. Misalnya pendekatan keagamaan dengan pendekatan sosiologis dan psikologis melihat agama dengan cara pandang sosial belaka. Sehingga agama menjadi hilang kesakralannya. Cara pandang yang ekstrim pada akhirnya mengantarkan agama menjadi hanya sekedar fenomena sosial belaka. Kesucian nomativitasnya menjadi kehilangan kendali. Analisis ini didukung oleh Sayyed Hossein Nashr yang mengatakan bahwa pendekatan keagamaan dengan metode empirik-historis akan mengantarkan manusia kepada kegersangan agama.14
14 Sayyed Hossein Nashr, Knowledge and the Secred (Lahore: Suhall Academy, 1988), h. 79-95
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
131
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
4. Pendekatan yang multidisiplin pada akhirnya mengantarkan kepada satu keragu-raguan menuju karagu-raguan lain. Karena berbagai macam perspektif yang ada maka tidak jarang terjadinya perbedaan kesimpulan dengan berbagai perspektif. Pada akhirnya perbedaan pendekatan ini akan menghantarkan umat menuju titik keragu-raguan kepada keragu-raguan lain. Mendamaikan Nalar Normativitas dan Historisitas Logika Integralistik
Normativitas
Historisitas
Agama dalam studi agama memiliki dimensi yang luas. Karena keluasannya perbedaan perspektif adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun yang menjadi sangat problematik adalah ketika perbedaan perspektif dijadikan sebagai sandungan untuk saling menguasai ektremitas paradigma masing-masing. Tanpa sadar kaum historisitis yang selalu menyuarakan toleransi selalu menyalahkan kaum normatif dan sebaliknya. Kaum historisitis senantiasa menyinggung bahwa nalar normatif sama artinya dengan taqdis al afkar. Padahal secara tidak langsung upaya taqdis al afkar juga dialami oleh kaum historisitis ketika ia melepaskan kritik kepada kaum normatif. Di era sekarang tidak bisa berdiri normativitas tanpa historisitas. Upaya penyatuan normativitas dan historisitas perlu dilakukan karena beberapa alasan, di antaranya: 1. Mengartikulasikan teks tanpa melihat realitas hanya menjadikan teks sebagai gagasan dan bukan sebagai wawasan apalagi sebagai problem solving kehidupan manusia.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
132
Nella Lucky
2. Upaya dialogis antara normativitas dan historisitas menghasilkan satu kekuatan yang valid untuk mendialogkan antara teks dan realitas. Logika semacam ini bisa dijadikan sebagai ide segar untuk menghindari kekakuan logika berfikir yang ada. 3. Antara normativitas dan historisitas merupakan upaya integralistik tanpa penomoran. Artinya logika ini berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada satupun yang didahulukan. 4. Selain upaya tersebut diatas mesti ada batasan-batasan yang jelas dimana logika berfikir normativitas ditempatkan dan dimana logika berfikir historisitas ditempatkan. 5. Upaya integrasi dua nalar ini mutlak diperlukan demi menjaga kestabilan agama-agama dalam studi agama yang multidisiplin, interdisiplin namun tetap mengacu dan bersahabat dengan teks. Dua model pendekatan agama di atas, menurut hemat penulis sangat relevan bahkan sangat dibutuhkan di era masyarakat majemuk seperti sekarang ini. Saat setiap pendapat dan keinginan tidak dapat dibendung, maka saat itu pula, ruang-ruang perspektif terbuka lebar, khususnya dalam studi keagamaan. Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa pendekatan agama jenis apapun jika tidak akan pernah dapat secara tuntas menjawab problematika keberagamaan. Hal ini dikarenakan realitas berkembang cepat sedangkan teori tertinggal jauh di belakang. Namun, dua pendekatan di atas, baik pendekatan teologis-normatif maupun pendekatan empiris-historis berperan cukup penting demi perkembangan keilmuan keagamaan ke depan sebagai sebuah diskursus. Setiap jenis pendekatan agama adalah debatable, arguable dan bersifat aspektual sekaligus dimensional sehingga sangat jauh dari muatan holistik. Ditambah lagi dengan kesadaran bahwa doktrin teologis yang menjadi hard core teolog sulit dapat dipisahkan dengan tradisi implementatif pada dimensi human contruction yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial-ekonomi yang sangat panjang. Pada akhirnya, idealnya di dalam diri para ilmu telah terjadi internalisasi antara logika normativitas dan historisitas ini. Penutup Dengan memperhatikan beberapa poin di atas jelaslah bahwa secara ideal adanya usaha open ended antara nalar normativitas dan historisitas dengan http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
133
Mendamaikan Logika Normativitas dan Historisitas dalam Studi Agama
nalar baru yang dinamakan nalar integral sehingga masing-masing nalar tidak lagi memiliki protective belt dan upaya saling sadar bahwa semuanya adalah bagian dari the body of knowledge yang tidak bisa dipisahkan. Selagi ilmu-ilmu agama dalam studi keislaman dapat disebut sebagai science maka penulis berpendapat bahwa usaha untuk mempertemukan teori-teori dan metodologi ilmiah dengan berbagai macam bangunan ilmu keislaman adalah suatu langkah yang perlu untuk dilakukan, sehingga terciptanya kreatifitas dialogis diantara ilmu-ilmu keislaman yang merupakan satu kesatuan the body of knowledge.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdullah, Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Abu Zayd, Nashr Hamid. Mafhum al-nass: dirasah al ‘Ulum al-Qur’an. Cairo: alHay’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1990. Abu Zayd, Nashr Hamid. Naqd al-Kitab al-Dini. Cairo: Sina li al-Nashr, 1993. Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. Bunyah al-‘aql al-‘arabi al-Islami: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzum al-Ma’rifah fi Thaqafah al‘Arabiyyah. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1986. Arkoun, Mohamamed. Al Fikr al-Islami: Naqd wa Ijthiad, terj. Hasil Salih, London: Dar al Saqi 1990. Arkoun, Mohamamed “Rethinking Islam Today.” Dalam Nanji, Azim (ed). Maping Islamic Studies: Geneologi, Continuity and Change. Berlin: Mouton De Gruyter, 1997. Arkoun, Mohamamed The Concept of Authority in Islamic Thought: La hukma illa lillah in Islam, State and Society. London: Curzon Press, 1988. Arkoun, Mohamamed The Unthought In contemporary Islamic Thought. London: Saqi Book, 2002.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
134
Nella Lucky
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago Press, 1970. Lakatos, Imre. “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programmes.” Dalam Lakatos, Imre & Musgrave, Alan (ed). Criticism and the Growth of Knowledge. Cambridge: Cambridge University Press, 1970. Na’im, Abdullah Ahmad. Toward and Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law. Syracuse: Syracuse University Press, 1990. Nashr, Sayyed Hossein. Knowledge and the Secred. Lahore: Suhall Academy, 1988. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of Intelektual of an Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982. Syahrur, Muhammad. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah. Damascus: al-Ahali, 1990.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
135
Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 136 - 155 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri Oleh: Said Ali Setiyawan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract This article talks on interpretation methodologhy of tarti>b nuzu>li used by alJabiri for understanding al-Qur’an. Al-Jabiri offers new interpretation methodology, tarti>b nuzu>li , for criticizing, completing, and developing previous interpretations which are considered having political, ideoligical motivation, and many importances; and unable to answer many developing modern problems. There are two steps done; He reconstructs definition of alQur’an by self referencial and constructs sistematicly methodologycal of alQur’an interpretation. They are fas}l al-maqru>’ ‘an al-Qa>ri’ and was}l al-qa>ri’ bi al-maqru>’ whose purposes make al-Qur’an modern for its self (mu’a>s}ra>n li nafsihi> ) and modern for us (mu’a>s}ira>n lana> ). So, the jargon of “s}a>lih} li kulli zama>n wa al-maka>n” can be really applicated without forgetting the authentication of al-Qur’an. Artikel ini berbicara tentang metodologi penafsiran tarti>b nuzu>li yang digunakan oleh al-Jabiri untuk memahami al-Qur’an. Al-Jabiri menawarkan metodologi interpretasi baru, tarti>b nuzu>li, untuk mengkritisi, melengkapi, dan membangun penafsiran sebelumnya yang dianggap memiliki motivasi politik dan ideologi, serta hal-hal penting lain; dan bisa untuk menjawab perkembangan masalah-masalah modern. Ada dua tahapan yang dilakukan; Dia merekonstruksi definisi al-Qur’an dengan merujuk ke al-Qur’an itu sendiri dan membangun metodologi yang sistematik untuk tafsir al-Qur’an, yaitu: fas}l almaqru>’ ‘an al-Qa>ri’ dan was}l al-qa>ri’ bi al-maqru>’ yang memiliki tujuan memodernkan al-Qur’an itu sendiri (mu’a>s}ra>n li nafsihi> ) dan modern juga bagi kita (mu’a>s}ira>n lana> ). Dengan itu jargon “s}a>lih} li kulli zama>n wa al-maka>n” dapat benar-benar diaplikasikan tanpa melupakan otentisitas al-Qur’an itu sendiri. Keywords:
136
Said Ali Setiyawan
Al-Jabiri; Tafsser Qur’an; redefinition of al-Qur’an; interpretation methodology of tarti>b nuzu>li. Pendahuluan Para ulama sepakat bahwa al-Qur’an diturukan ke bumi sebagai wahyu Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia, dan diturunkan secara berangsur-angsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Proses graduasi ini bertujuan agar umat manusia bisa mempelajarinya dengan mudah dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya sebuah ayat tertentu, di antaranya sebagai jawaban atas problematika yang sedang terjadi.1 Pada realitanya, sistematika al-Qur’an yang ada di tangan umat muslim dunia sekarang ini mengikuti susunan resmi Mushaf Usmani atau disebut dengan tarti>b mush}afi, lawan dari tarti>b nuzu>li. Meskipun secara teoritis, tarti>b mush}afi, sampai saat ini masih dalam perdebatan, apakah bersifat tauqi>fi, ijtiha>di>, atau sebagaian tauqi>fi dan bagian lainnya ijtiha>di>.2
Model sistematika al-Qur’an sebagaimana di atas, tarti>b mush}afi, meniscayakan munculnya metode tafsir tahlili dengan berbagai jenisnya.3 Sebagaimana perkembangan realitas yang melahirkan metode tahlili, Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i>, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A
t wa al-Suwar jilid I (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), h. 6. 1
Tawqifi adalah segala sesuatu, dalam hal ini adalah sistematika al-Qur’an, bersumber atau berdasarkan instruksi langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad. Ijtihadi, bahwa sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi merupakan upaya Nabi dan para sahabatnya dalam menyusun ulang sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi, dan yang terakhir; tawqifi dan ijtihadi, bahwa sistematika al-Qur’an berdasarkan tartib mushafi, sebagian berdasarkan pada ijtihad Nabi dan para sahabatnya dan sebagian yang lain berdasar pada tawqifi. 2
3
Seorang penafsir dalam menafsir al-Qur’an mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Ia memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penejelasan mengenai arti global ayat. Juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari rasul, sahabat atau para tabi’in yang terkadang bercampur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an. lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’i, terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT Raja Grafindo Jakarta, 1994), h. 12.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
137
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
metode tafsir ini mulai dinilai tidak lagi memadai untuk menjawab pelbagai persoalan kehidupan umat Islam belakangan yang senatiasa berkembang. Keadaan ini membuat para pemikir muslim gelisah dan mulai mencari model tafsir baru yang secara praksis dinilai mampu menjawab pelbagai permasalahan yang berkembang.4 Oleh karena itu, muncullah model tafsir baru, yang disebut tafsir maudhu’i, sebagaimana yang digagas oleh al-Farmawi. Tafsir maudhu’i pada dasarnya masih mengikuti tarti>b mush}afi al-Qur’an, hanya saja secara praksis ketika menafsirkan, ayat-ayat al-Qur’an disusun secara tematik, sesuai tema yang menjadi persoalan kehidupan umat Islam dan akan dicarikan jawabannya dalam al-Qur’an. Kemunculan model tafsir maudhu’i dinilai mampu menjawab permasalah umat Islam terkini dan menjadi model tafsir yang tren pada waktu itu, bahkan sampai saat ini. Keadaan ini tidak lantas menjadikan pemikir Islam puas dan tinggal diam untuk selalu menggali tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan tujuan utama al-Qur’an diturunkan yakni sebagai petunjuk dan rahmat bagi umat manusia. Muhammad Abid al-jabiri adalah salah satu tokoh muslim yang menawarkan model baru dalam menafsirkan alQur’an yakni dengan model penafsiran al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang disebut tarti>b nuzu>li.5 Hal tersebut merupakan upaya “Rekonstruksi Tafsir Jabiri” yang merupakan kegelisahannya atas penafsiran-penafsiran sebelumnya yang cenderung bias ideologis dan kepentingan.
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 171. 4
Tokoh lain yang juga menggunakan model tafsir berdasarkan tartib nuzuli adalah Theodor Noldeke dengan karyanya Geschichte yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab Tarikh al-Qur’an. dalam karyanya ia membagi al-Qur’an menajdi dua kategori: Pertama, Kategori Makkiyyah, yang dibagi lagi menajdi tiga fase. Fase pertama meliputi 48 surat yang dibagi lagi menjadi 4 kelompok. Kelompok 1: surat ke-1 s/d 8. Kelompok 2: surat ke-9 s/d 31. Kelompok 3: surat ke-32 s/d 43. Kelompok 4: surat ke44 s/d 48. 2. Kategori Madinah, yang hanya dibagi menjadi satu fase saja. Fase Makkah kedua memuat 22 surat, dari surat ke 49 s/d 70. Fase Makkah ketiga memuat 22 surat, dari surat ke 71 s/d 92. Kedua, Kategori Madinah yang terdiri dari 24 surat, dari surat ke-39 s/d 116. Lih.Theodor Noldeke, Tarikh al-Qur’an, ta’dil. Fari>d Yari>sy syafa>li. alih bahasa arab. ( تامد جورجNew York: أملز جورج, 2000). 5
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
138
Said Ali Setiyawan
Dari Nalar Arab ke Tafsir al-Qur’an Al-Jabiri adalah salah seorang tokoh spesialis epistemologi Bangsa Arab asal Maroko Tenggara kelahiran 27 Desember 1935. Pada masa kehidupannya ia sempat intens terlibat dalam dunia politik di negaranya sampai dijebloskan ke dalam penjara pada bulan Juli 1964 karena dituduh berkonspirasi melawan negara melalui Partai Istiqlal. Pada tahun yang sama al-Jabiri dikeluarkan dari penjara dan mulai aktif dalam dunia akademik secara lebih serius. Pada tahun sebelum dipenjara, tahun 1959 ia memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syiria. Saat sedang bergulat dengan dinamika pemikiran intelektual, dunia Arab sedang mengalami goncangan-goncangan identitas atas pelbagai persoalan-persoaln yang dimunculkan oleh kaum modernis. Dengan latar belakang inilah al-Jabiri hadir dengan membawa pemikirannya untuk memberikan solusi atas kesenjangan antara tradisi dan modernitas. Karya-karya awal al-Jabiri belum menyentuh pada pembahasan al-Qur’an melainkan lebih difokuskan pada kritik nalar Arab sebagai upayanya untuk mencari titik terang kesenjangan antara tradisi Bangsa Arab dan modernitas. Istilah “nalar” merupakan terjemahan dari kata al-‘aql yang dapat diartikan secara sederhana sebagai suatu kumpulan aturan-aturan dan hukum-hukum berfikir yang terbentuk dalam suatu kultur tertentu dalam sebuah masyarakat sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan.6 Menurut al-Jabiri, akal dibagi menjadi dua. Pertama nalar pembentuk (al-‘aql al-mukawwin). Yakni, nalar alami yang dimiliki semua manusia dan yang membedakan antara manusia dan hewan. Kedua, nalar yang terbentuk (al-‘aql al-mukawwan) atau yang disebut nalar budaya, yaitu suatu nalar yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu dimana orang tersebut hidup.7
Muhammad Abid al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arab (Beirut: Markaz Dirasah alWahdah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 15. 6
Ibid. lihat juga Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 185. 7
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
139
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Kritik formasi nalar Arab al-Jabiri dapat disimpulkan pada tiga klasifikasi epistemologi: bayani, burhani, dan ‘irfani.8 Adapun kritik struktur nalar Arab diarahkan pada tiga unsur: kritik nalar epistemologi, kritik nalar politik, dan kritik nalar akhlak.9 Proyek kritik nalar Arabnya tertuang dalam beberap karyanya. Karya pertama berjudul Takwi>n al-‘Aql al-Arabi> (Formasi Nalar Arab) mulai terbit tahun 1984 M. Kedua, berjudul Bunyah al-‘Aql al-Arabî: Dirâsah
Tah}lîliyah Naqdiyah li Nuz}um al-Ma’rifah fi Al-S|aqa>fah Al-Arabiyah (Struktur Nalar Arab: Studi Analisis Kritis Terhadap Sistem Pengetahuan dalam Budaya Arab) mulai terbit tahun 1986 M. Ketiga, berjudul Al-‘Aql al-Siya>sî al-Arabî: Muh}addada>tuhu wa Tajliyyya>tuhu (Nalar Politik Arab: Batasan dan Manifestasinya) terbit tahun 1990 M. Keempat, berjudul Al-‘Aql al-Akhla>qî al-‘Arabî: Dirâsah tah}li>liyyah Naqdiyyah li Nuz}u>m Al-Qiya>m fi Al-S|aqa>fah al-‘Arabiyah (Nalar Aksiologi Arab: Studi Analisis Kritis terhadap Strukur Nilai dalam Budaya Arab) terbit tahun 2001 M.10 Perhatian kajian al-Jabiri tidak berhenti pada krtitik nalar Arab dengan menjadikan Tradisi Arab sebagai objek utamanya11. Selanjutnya, Ia mulai merambah pada kajian tentang al-Qur’an dan menjadikanya sebagai objek kajian utama. Hal ini sangat menarik, melihat al-Jabiri menggunakan metode yang sama ke dalam kajian alQur’an yang notabene berbeda dengan objek kajian sebelumnya, yakni turats atau tradisi. Untuk melihat bagaimana metode ini bekerja terhadap al-Qur’an dalam bagian ini akan dibahas dua unsur utama: Pertama, Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arab (Beirut: Markaz Dira>sah alWah}dah al-‘Arabiyyah, 2009), h. 9. 8
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 186. 9
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 13-14. 10
11 Sebelumnya kata tradisi yang diambil dari terjemahan bahasa Arab turas tidak dikenal dalam pengertiannya di masa Arab klasik. Begitu juga dalam al-Qur’an kata turas tidak dikenal kecuali dalam artian harta warisan peninggalan orang yang sudah meninggal. Dalam hal ini, turas dimaknai “tradisi” muncul belakangan setelah bangsa Arab berhadapan secara problematis dengan modernitas.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
140
Said Ali Setiyawan
bagaimana al-Jabiri memandang al-Qur’an, atau yang disebut Dwi Haryono dengan istilah redefinisi al-Qur’an.12 Kedua, metode yang digunakan al-Jabiri dalam menafsirkan al-Qur’an, dan Ketiga, tema-tema penafsiran al-Jabiri terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Semua unsur ini tertuang dalam dua karya master piece-nya dalam bidang al-Qur’an:
Madkhal ila> al-Qur’a>n al-kari>m al-Juz al-Awwal fi al-Ta’ri>f bi al-Qur’a>n dan Fahm al-Qur’a>n al-kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l. Redefinisi al-Qur’an: al-Zahiriyyah al-Qur’aniyyah Secara garis besar pembahasan seputar asal kata al-Qur’an dibagi dua. Pertama adalah kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qarana, tanpa hamzah. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa kata al-Qur’an berasal dari kata qur’un yang memiliki arti al-jam’u (mengumpulkan) atau qara’a yang memiliki arti membaca (tala>). Kata alQur’an merupakan masdar dari kata qara’a, mengikuti wazan fu’la>n. Masdar Qur’a>n boleh juga dikatakan Qira’a>t yang juga berarti bacaan.13 Al-Jabiri menilai penting untuk dilakukan kembali penyegaran terhadap definisi al-Qur’an, meskipun sudah banyak dirumuskan oleh ulama-ulama klasik. Dalam mendefinisikan ulang al-Qur’an, al-Jabiri mengungkapkan poin-poin definisi al-Qur’an yang telah ada sebelumnya, seperti: alQur’an adalah hal yang dibaca kaum muslim dan ditulis dalam mushaf, Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf, diawali dengan surat alfatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, dan al-Qur’an adalah firman dan wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi penutup para nabi, Nabi Muhammad, tertulis dalam mushaf, yang dinukil secara mutawatir, yang melemahkan bagi yang menentangnya karena ke-mu’jizatan-nya. Bagi al-
12
Dwi Haryono, “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabir” Sahiron Syamsuddin (ed), dalam Hermeneutika al-Qur’an dan al-Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), h. 92. Subhi al-Shalih, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-‘Ilmi al-Malayin, 1988), h. 18. Lihat juga Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010), h. 14. 13
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
141
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Jabiri berbagai definisi tersebut memuat tujuan-tujuan yang bersifat ideologis atau dogmatis. Al-Jabiri mencoba mendefinisikan ulang al-Qur’an dengan merujuk pada al-Qur’an sendiri, karena al-Qur’an menurutnya saling menafsiri satu sama lain.14 Ada tiga surat yang dinukil Jabiri dalam pembahasan ini: a)
QS. al-Syu’ara’ [26]: 192-196,
َْ ََ َ َْ َ َ َ َ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َل ُّ ُاْل ِمين ب ل َتن ِزيلُ َوِإ َّن ُه ُ ِ ين ر ُ الروحُ ِب ُِه نز ُ الع ِامل ن ِلتكو ُن قل ِبكُ على ُ ين ِم ُ ِب ِل َسانُ املن ِذ ِر َْ َ ُين زب ُِر ل ِفي َوِإ َّن ُه م ِبينُ َع َرِبي ُ َ اْل َّوِل Artinya:
“Dan Sesungguhnya al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. Dan Sesungguhnya al-Quran itu benarbenar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu.” b) QS. al-Isra’ [17]: 106, َ ً َْ ْ َ َ َّ يل َو َن َّ ْزل َناهُ م ْكثُ َع َلى اس َعلى ِل َت ْق َرأهُ ف َرق َناهُ َوق ْر ًآنا ُ ِ الن ُ تن ِز Artinya:
“Dan al-Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” c)
QS. Ali Imran [3]: 3-4
Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006), h. 19. 14
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
142
Said Ali Setiyawan
َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ ً َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َّ ْ َر َ َ َ ْ َ َل ُك ن َّز َل ُ اب علي ُ ق ال ِكت ُ اة وأنز ُ يدي ُِه بي ُن ملا مص ِدقا بالح ُ يل التو ُ اْلن ِج ُ قبلُ ِم ِ نو َ َ ِ َ َ ْ ِ ْ َّ َ ِ َّ َ َ َّ ْ َ َ َ َ َّ ْ َ ً َّ َ َ اس هدى ُ ِ ان وأنز ُل ِللن ُ ين ِإ ُن الفرق ُ ات كفروا ال ِذ ُ ِ اّلل ِبآي ُِ َواّللُ ش ِديدُ عذابُ له ُم َ ْ ُان ِتقامُ ذو َع ِزيز Artinya:
“Dia menurunkan al-kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (alQuran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al-Furqaan [al-Furqaan ialah kitab yang membedakan antara yang benar dan yang salah.]. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa).” Ayat-ayat di atas memberikan penjelasan al-Qur’an secara holistik tentang dirinya sendiri. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, al-Jabiri mendefinisikan al-Qur’an melalui metode self referensial sebagai z}a>hiriyyah qur’a>ni, Aksin wijaya mengartikannya sebagai fenomena Qur’ani, yang di dalamnya termuat dua elemen: elemen historis/ keberlanjutan dan aspek a-historis, keazalian. Elemen yang pertama, yakni elemen historis ditunjukkan oleh ayat ke-195 dari surat al-Syu’ara’ “bi lisa>nin ‘arabiyyin mubi>n”. Elemen yang kedua yang disebut elemen azaliyyah atau a-historis, ditunjukkan oleh ayat ke-196 dari surat alSyu’ara’ ‘wa innahu lafi> zubur al-awwali>n’. Dengan demikian, dua ayat tersebut menunjukkan adanya persentuhan atau hubungan bagian eksternal al-Qur’an dengan waktu (historis dan a-historis). Tiga ayat sebelumnya dari surat al-Syu’ara memberikan penjelasan tambahan. Ayat ke-192 “Tanzi>lun min rabb al-‘a>lami>n” menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah teks ilahiyyah. Ayat ke-193 “nazzala bihi al-ru>h} al-ami>n” menjelaskan keberadaan Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah sang penerima wahyu sekaligus sebagai pembawa peringatan. Dua elemen al-Qur’an yang disimpulkan al-Jabiri dari ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah wahyu dari Allah yang dibawa malaikat Jibril http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
143
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab dan termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub dalam kitab-kitab para rasul terdahulu.15 Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa al-Qur’an terdiri dari tiga unsur: 1). tidak terkait waktu (bu’dun la> zama>niyyun), ini tergambar dalam hubungan eksternal al-Qur’an dengan risalah-risalah samawiyyah, 2). Unsur ruhani (bu’dun ruh}iyyun) yang tercermin dalam pengalaman Nabi Muhammad ketika menerima wahyu, dan 3). Unsur sosial (bu’dun ijtima>’iyyun) yang tercermin dalam perjalanan dakwah Nabi berikut pelbagai respon terhadap dakwahya.16 Konsekuensi logis dari pandangan ini adalah bahwa kita harus mampu melihat dan memahami al-Qur’an tidak hanya semata-mata sebagai nash yang tersusun dari beberapa halaman dalam sebuah mushaf yang telah menjadi “korpus resmi”, melainkan juga harus dilihat sebagai nash yang mengalami beberapa fase yang terbentuk pada masa dakwah Nabi selama kurang lebih dua puluh tiga tahun, sejak pertama kali Nabi menerima wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia hingga Nabi meninggal.17 Kesadaran dengan adanya hubungan logis antara masa dakwah Nabi dengan al-Qur’an mendorong al-Jabiri untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan logis tersebut. Bagi al-Jabiri, hal ini bisa dicapai dengan menggunakan susunan al-Qur’an berdasarkan tartib nuzuli. Hal ini kemudian direalisasikan dalam karyanya yang berjudul Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>li. Tujuannya adalah, pertama supaya al-Qur’an kontemporer pada masanya ()معاصرالنفسه. Kedua, sekaligus agar al-Qur’an kontemporer untuk kekinian kita ( )معاصرالنا.18
15 16
Ibid., h. 24. Ibid.
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Ponorogo: KKP (Komunitas Kajian Proliman), 2012), h. 189. 17
18
Dua hal ini merupakan metodologi yang digunakan al-Jabiri dalam memahami
turas (tradisi), yang kemudian diaplikasikan ke dalam kajian al-Qur’an. Jabiri Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
144
Said Ali Setiyawan
Metodologi al-Jabiri dalam menafsirkan al-Qur’an Untuk mewujudkan tujuan al-Qur’an agar kontemporer untuk dirinya sendiri dan untuk kekinian kita sekarang, perlu dirumuskan langahlangkah metodologis yang serius. Dalam bukunya Nah}nu wa al-Tura>s\, alJabiri menjelaskan step by step yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut yang juga telah diaplikasikan pada kajiannya terhadap tura>as. Ada tiga langkah yang harus dilalui: a. membersihkan al-Qur’an dari selubung ideologi ( ) اْليبستيمولوجية القطيعةkeagamaan yang masuk melalui tafsir dan ta’wil.19 b. pembacaan yang objektif ()املوضوعية مشكلة20, dan c. pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية مشكلة.21 a.
Membersihkan atau memutuskan al-Qur’an dari selubung epistemologi ( ) اْليبستيمولوجية القطيعةkeagamaan yang masuk melalui tafsir dan ta’wil.
Memutuskan di sini jangan dipahami secara bahasa yakni menjadikan keberadaan al-Qur’an sama persis sebagaimana ketika pertama kali diturunkan kepada Nabi. Melainkan dipahami sebagai kemandirian alQur’an dari segala bentuk pemahaman atasnya22 yang terkodifikasi dalam membahasakannya dengan “ja’l al-maqruu’ mu’aashiran linafsihi” (menjadikan teks kontemporer untuk dirinya sendiri) dan “ja’l al-maqruu’ mu’aashiran la naa” (menjadikan teks kontemporer untuk kekinian kita). Lih. Muhammad Abid al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>shirah fi> Tura>s\ina> al-Falsafi (Beirut: al-Markaz alS|aqafi al-Arabi, 1993), h. 12.
Ibid., 20. Lihat juga Muhammad Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: alTafsi>r al-Wa>d}ih} Hasba Tartiib al-Nuzuuli (Beirut: Markaz Dirassaat al-Wahdah al19
‘Arabiyyah, 2008), h. 86 20
Muhammad Abid al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>shirah fii
Turaatsina al-Falsafi, h. 21. 21 22
Ibid., hlm. 25. Jabiri menjelaskannya sebagai berikut:
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
145
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
berbagai kitab tafsir yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu dengan beragam metode, pendekatan dan corak. Pemahaman al-Qur’an yang yang lahir dari tafsir-tafsir atau hal-hal lainnya tentu saja dipengaruhi oleh ruang dan waktu mufassir yang sarat dengan selubung ideologis, sosiologis bahkan psikologis mufassir. Di sinilah arti penting melepaskan al-Qur’an dari muatan-muatan epistemologis agar nash al-Qur’an yang akan dipahami lebih lanjut adalah nash yang otentik. Hasil langkah ini membantu kita yang hidup pada masa jauh setelah alQur’an sempurna diwahyukan bisa berinteraksi langsung dengan teks alQur’an yang masih murni dan tidak tercemari oleh muatan-muatan epistemologi yang dipenuhi dengan selubung ideologis dan dogmatis. Setelah langkah ini berhasil, selanjutnya dilakukan pembacaan secara objektif terhadap nash al-Qur’an yang murni ()النص اصالة.23 b.
Pembacaan yang objektif ()املوضوعية مشكلة
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara kita untuk memperoleh pembacaan yang objektif? Pembacaan yang objektif dapat dicapai dengan cara yang disebut oleh al-Jabiri sebagai ()القارئُ عن املقرؤُ فصل, yang artinya seorang pembaca harus melepaskan diri dari pengaruh objek-terbaca. Proses pembacaan yang objektif ini meniscayakan tiga langkah yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya: 1) pendekatan struktural ()البنيوية املعالجة Pendekatan ini menegaskan bahwa dalam mengkaji sebuah teks (tradisi atau al-Qur’an), harus didasarkan pada teks-teks sebagaimana adanya. Pendekatan ini bertujuan membatasi yang mempunyai teks ( )النص صاحبpada persoalan tertentu saja terkait Secara bebas dapat diterjemahkan, bahwa yang dimaksud dengan memutus dari selubung epistemologi bukan dalam pengertiannya secara bahasa. Yang dimaksud adalah, sebuah kemandirian turas I (dalam hal ini al-Qur’an) selubung pemahaman yang bersifat tradisiuntuk tradisi. Yakni terbebas dari pemahaman-pemahaman seperti fiqih, nahwu, dan kalam. Lih. Ibid,. h. 20-21. 23
Aksin Wijaya menerjemahkan dengan al-Qur’an yang otentik. Lih. Wijaya,
Nalar Kritis..., h. 190. Lih. juga Haryono, “Hermeneutika al-Qur’an...” h. 102.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
146
Said Ali Setiyawan
masalah teks dan relasinya secara linguistik. Salah satu doktrin pendekatan struktural adalah keharusan menghindari pembacaan makna sebelum membaca ungkapan lafdziahnya. Hal ini sangat ditekankan agar pembaca mampu membaca teks dengan menanggalkan terlebih dahulu berbagai jenis pemahaman tentang teks yang dimiliki. 2) analisis historis ()التاريخي التحليل Analisis ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan antara pemikiran pemilik teks dengan lingkup historisnya dengan berbagai aspeknya, baik budaya, ideologi, politik, maupun sosial. Selain untuk mendapatkan pemahaman historis teks yang sedang dikaji, analisis ini juga untuk menguji validitas kesimpulan yang diperoleh dari langkah sebelumnya, pedekatan struktural. Maksud dari validitas ( )الصحةdalam hal ini tentu bukan “argumen logisnya”, melainkan “kemungkinan historis” yang memberikan kepada kita jaminan atas berbagai makna yang termuat dalam teks dan yang tidak termuat dalam teks. Melalui analisis ini, upaya memahami makna yang dimaksudkan teks akan sangat terbantu, meskipun makna tersebut tidak terkatakan secara eksplisit. 3) Kritik ideologi ()اْليدييولوجية الطرح Analisis historis tidak akan sempurna selama belum diungkap fungsi ideologinya. Kritik ideologi ini berupaya untuk mengungkap fungsi ideologi (sosial-politik) yang dilahirkan oleh sebuah pemikiran. Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa setiap pemikiran adalah anak zamannya, sehingga kritik ini harus dilakukan agar menghasilkan pembacaan yang obyektif terhadap sebuah teks. Dalam langkah yang ketiga ini kita sudah diperbolehkan untuk menggabungkan pemahaman-pemahman kita tentang teks yang pada langkah awal, pendekatan struktural, harus dikesampingkan terlebih dahulu. Terungkapnya fungsi ideologis yang terkandung dalam sebuah pemikiran merupakan salah satu cara menjadikan sebuah teks yang melahirkan
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
147
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
pemahaman tersebut hidup kembali sesuai masa kehadirannya ()لنفسه معاصرا.24 c.
Pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية مشكلة
Pembacaan ini bertujuan untuk merealisasikan tujuan sebelumnya, yakni agar al-Qur’an kontomporer untuk kekinian kita. Cara yang ditawarkan al-Jabiri adalah dengan “”باملقرؤُ القارئُ وصل, bahwa seorang pembaca harus mampu mengaitkan teks dengan kondisi kekinian kita, setelah sebelumnya melalui langkah-langkah validitasi otentisitas teks al-Qur’an dan objektivisasi pembacaan. Melaui langkah ini diharapkan teks menjadi kontemporer untuk pembaca. Disinilah diperlukan pembacaan yang berkelanjutan ()اْلستمرارية, di mana seorang pembaca harus berhubungan secara berkelanjutan dengan makna obyektif dengan menjadikan kekinian kita sebagai pijakan.25 Melalui langkah-langkah metodologis di atas, ketika membaca dan membahami al-Qur’an, al-Jabiri mengharapkan agar al-Qur’an menjadi otentik dan kontemporer pada masanya. Pada saat yang bersamaan, sebagai pembaca harus mampu mempertemukan teks al-Qur’an yang otentik dan obyektif dengan kekinian kita, sehingga terjadi dialektika dan pamaknaan yang berkelanjutan. Ketiga langkah di atas harus disinergikan secara seimbang agar pembacaan terhadap teks al-Qur’an mendapatkan pemahaman dan manfaat yang berarti untuk kehidupan sekarang, tanpa harus melemparkan teks tersebut jauh dari dirinya ( )لنفسه معاصراdan tidak “terpengaruh” oleh ideologi para mufassir masa lalu. Aplikasi Metode Tafsir al-Jabiri Al-Jabiri memiliki dua karya yang khusus membahas tentang al-Qur’an. Pertama berjudul Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m al-Juz al-Awwal fi> Ta’ri>f al-Qur’a>n yang terbit pertama kali tahun 2006. Karya ini membahas
24
al-Jabiri, Nah}n wa al-Tura>s... h. 24.
Ibid., h. 25. Aksin Wijaya menerjemahkan dengan al-Qur’an yang otentik. Lih. Wijaya, Nalar Kritis... h. 192. 25
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
148
Said Ali Setiyawan
pengertian atau pengenalan (al-ta’ri>f) al-Qur’an.26 Kedua berjudul Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l. Karya ini berisi metode memahami al-Qur’an atau yang disebut tafsir al-Qur’an dengan menggunakan tarti>b al-nuzu>li yang merupakan aplikasi dari tawaran metodologis dalam bidang tafsir al-Qur’an yang al-Jabiri tawarkan. Karya tafsirnya terdiri dari 3 jilid yang membahas tema berbeda yang disusun sesuai klasifikasinya terhadap kategorisasi Makkiyyah dan Madaniyyah. Jilid pertama dan kedua berisi surat-surat ketogori Makiyah, kategori Makkiyyah ini dibagi menjadi enam tema pokok yang mengacu pada tema akidah dan akhlak, dan jilid ketiga berisi kategori surat Madaniyyah yang mengacu pada tema hukum dan penerapannya dalam konteks bernegara.27 Dalam kitab tafsirnya yang disusun berdasarkan tartib nuzuli, mula-mula al-Jabiri memberikan pendahuluan yang berisi pengantar singkat, taqdim. Selanjutnya, ditampilkan ayat secara keseluruhan dengan cara mengelompokkannya menjadi beberapa bagian tergantung pada cakupan pembahasan. Pada bagian ini dibubuhi sedikit penjelasan-penejelasan secara singkat. Langkah ketiga, al-Jabiri memberikan hawa>misy atau yang biasa disebut catatan kaki terhadap ayat al-Qur’an yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Terakhir al-Jabiri memberikan catatan (ta’li>q) yang berisi kesimpulan dan beberapa penafsirannya sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan sebuah contoh beberapa ayat yang sekiranya dapat memberikan gambaran secara lebih jelas model penafsiran al-Jabiri.
26 Karya ini memuat tiga tema utama: kesatuan rujukan dalam ketiga agama samawi, fase keberadaan dan formasi al-Qur’an (masaar al-kaun wa al-takwi>n), dan kisah-kisah dalam al-Qur’an. sebenarnya karya ini terdidri dari dua juz, namun juz ke duanya tidak sempat al-Jabiri tulis. Lih. Ibid., 187. Dan Muhammad Abid al-Jabiri, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2006). h. daftar isi.
Al-Jabiri, Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m...: al-Tafsi>r al-Wa>d}ih} H}asba Tarti>b alNuzu>li Jilid I (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah, 2008), h.. 10. 27
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
149
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Dalam karya al-Jabiri, Surat al-Hijr [15]: 94-95 berada pada urutan ke-53 dan termasuk dalam kategori surat Makkiyyah yang juga termasuk pada salah satu surat-surat28 yang membahas pada tema keempat atau yang disebut al-marhalah al-raabi’ah ‘tahap keempat’ dari dakwah Nabi, yakni yang berisi perintah untuk berdakwah secara terang-terangan dan menjalin hubungan dengan kabilah-kabilah ()بالقبائل واْلتصال باْلمر الصدع. َ َ َ ْ ْ ْ ض ت ْؤ َمرُ ب َما َف Al-Jabiri memiliki pandangan lain terkait اص َد ُْع ُ ْ ن َوأ ْع ِر ُ ِ ين ع ُ املش ِر ِك ِ yang secara masif difahami oleh mayoritas ulama sebagai perintah kepada Nabi untuk beralih pada cara dakwah Nabi yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi kepada berdakwah secara terang-terangan. Bagi alJabiri ayat ini tidak menunjukkan arti demikian. Ayat ini memerintahkan kepada Nabi untuk berpindah pada model dakwah yang baru dalam perjalanan dakwah Nabi, bukan diartikan hanya berdakwah secara terangterangan. Untuk menguatkan pendapatnya ini, ia memberikan penjelasan secara struktural (siya>q al-kha>s}, yakni siya>q al-nas}) dan historis (siya>q al‘a>m, yakni al-ta>rik>hiy). Secara struktural dapat dilihat dari rangkain kata yang ada dalam ayat itu ْ َف sendiri dan ayat setelahnya. Dalam dua ayat ini ada tiga ungkapan: اص َد ُْع َ َ َ ْ ْ َ َ َْ ْ ْ ت ْؤ َمرُ ِب َما, ض ُ ْ ن َوأ ْع ِر ُ ِ ين ع ُ املش ِر ِك, dan اك ِإ َّنا ُ َ ين ك َف ْي َن ُ املسته ِزِئ. Sebagai satu kesatuan firman Allah, secara struktural tiga ungkapan ini tidak akan terjadi kontradiksi makna. Namun, hal ini akan terjadi jika yang dipahami dari ungkapan ْ ت ْؤ َمر ب َما َفadalah berdakwah secara terang-terangan. Karena dua اص َد ُْع ِ ungkapan yang lain secara jelas menunjukkan bahwa Nabi diperintahkan untuk berpaling dari perkara-perkara orang musyrik dan Allah telah menjamin keselamatn Nabi dari orang-orang yang menertawakannya. Dua ungkapan ini mengindikasikan bahwa Nabi sebelumnya sudah melakukan dakwah secara terang-terangan kepada orang-orang Makkah sampai dakwah Nabi diolok-olok mereka. Kemudian setelah itu Allah menjamin keselamatannya dari hinaan orang-orang yang menertawakan dakwahnya. Alhasil, bagi al-Jabiri pemahaman yang tepat untuk
28
Surat-surat yang lainnya adalah QS. al-An’am [6], al-Shaffat [37], Luqman [31], dan Saba’ [34]
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
150
Said Ali Setiyawan
ْ ت ْؤ َمرُ ب َما َفadalah perintah untuk dakwah dengan cara ungkapan ayat اص َد ُْع ِ yang baru. Secara historis dakwah secara terang-terangan (al-jahr) mulai dilakukan oleh Nabi dengan cara membacakan al-Qur’an ketika sedang sholat di dalam masjid dan di luar waktu shalat. Sejarah juga merekam apa yang dilakukan sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud ketika membaca surat alRahman secara terang-terang hingga terdengar oleh kelompok Quraisy dan ia mendapat cemoohan dari mereka. Inilah beberapa bukti dakwah Nabi dan para pengikutnya secara terang-terangan. Penolakan orangorang Quraisy semakin keras ketika ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan mulai fokus pada tema tentang hari kebangkitan, perhitungan amal, dan pembalasan di hari kelak. Tahap selanjutnya, kandungan ayat-ayat al-Qur’an berisi tentang penolakan terhadap perbuatan syirik dan menilai salah jika menyembah berhala. Puncak penolakan orang-orang Quraisy semakin keras dalam menyakiti orang-orang muslim yang lemah dengan penyiksaan yang pedih terhadap mereka. Sampai pada akhirnya Allah memerintahkan kepada Nabi dan umatnya untuk melakukan hijrah yang pertama kali ke negeri Habasyah yang dipimpin seorang raja yang adil dan tidak dzalim. Inilah analisis sejarah yang menjelaskan bagaimana mungkin ayat di atas dipahami sebagai ajakan kepada Nabi untuk berdakwah secara terangterang, sementara hal itu sudah dilakukannya jauh sebelumnya oleh Nabi.29 Pemaparan ini menunjukkan bahwa maksud dari ungkapan di atas adalah perintah kepada Nabi untuk melakukan dakwah secara lebih menyeluruh ke semua individu Bangsa Arab pada waktu itu. Selain itu, melalui dialektika teks ungkapan yang otentik-obyektif dengan pembacaan berkelanjutan mengharuskan untuk membuka diri kepada alam atau ke kedunia ini secara menyeluruh.30
29
Ibid juz 2., h. 13.
30
Ibid,. h. 41.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
151
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Ringkasan rekonstruksi tafsir al-Jabiri 1
2
Metodologi menafsirkan alQur’an
Redeifinisi alQur’an
Langkah-langkah 1. اإليبستيمولوجية القطيعة
Bentuk:
z\a>hiriyyah qur’ani
)(أصالة النص
2. املوضوعية مشكلة 3. اْلستمرارية مشكلة
Elemen-elemen dalam bentuk: historis dan ahistoris (azaliyyah)
Cara
1. )املوضوعية مشكلة( القارئُ املقرؤعن فصل Aspek-aspek dalam elemen: bu’dun laa zamaniyyun, bu’dun ruhiyyun, dan bu’dun ijtima’iyyun
a. b. c.
Pendekatan struktural
Analisis historis Kritik ideologis
2. (اْلستمرارية مشكلة )باملقرؤُ القارئُ وصل Pemahaman yang muncul: Kesadaran adanya sebuah hubungan yang logis antara masa dakwah nabi dan al-Qur’an
3 Tujuan
معاصرا معاصرالنا
و لنفسه القرأن
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
152
Said Ali Setiyawan
Upaya yang dilakukan al-Jabiri dalam menyegarkan kembali cara memahami al-Qur’an bukanlah hal baru sama sekali. Meskipun demikian, upaya ini memberikan tawaran variasi metode penafsiran al-Qur’an dalam rangka merealisasikan tujuan diturunkannya al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dan pedoman kehidupan umat manusia. Kelebihan dari penafsiran al-Jabiri adalah upaya penggabungan secara proposional metode-metode memahami al-Qur’an yang telah ada sebelumnya. Pendekatan kritik ideologis sangat membantu dalam memahami alQur’an agar tidak terjebak dan terpengaruh pada bias-bias ideologis yang ada. Ide Jabiri tentang kesadaran adanya dialektika antara teks al-Qur’an dengan proses dakwah Nabi yang dilakukan selama kurang lebih dua puluh tiga tahun sehingga melahirkan ide penafsiran al-Qur’an berdasarkan tartib nuzuli pada dasarnya telah disadari dan dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Hanya saja, porsi yang ditawarkan ulama-ulama klasik masih terlalu sedikit dan terkadang terlupakan. Dampaknya menjadikan pemahaman terhadap al-Qur’an berdasarkan pada pertimbangan yang kurang komprehensip karena kurang dalam pertimbangan aspek historisnya. Penulis melihat ada beberapa hal yang harus ditindaklanjuti dalam proyek tafsir al-Qur’an al-Jabiri, yakni terkait upayanya menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk kekinian kita. Karena dalam tafsirnya, penulis belum begitu melihat perhatian al-Jabiri yang memadai terhadap hal tersebut. Penting juga ditegaskan di sini, bahwa tafsir yang digagas al-Jabiri adalah salah satu cara untuk memahami al-Qur’an berdasrkan tarti>b nuzu>li. Sebagaimana cara yang lainnya, yakni tahlili, maudhu’i dan ijmali, ini adalah usaha yang memberikan kontribusi besar dalam kajian Ulumul Qur’an yang akan memudahkan umat yang ingin memahami al-Qur’an secara benar. Hal ini juga tidak berarti bahwa metodologi tafsir al-Jabiri adalah yang paling sempurna. Karena kesempurnaan sebuah disiplin ilmu pengetahuan justru ketika senantiasa dikritisi dan dikembangkan.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
153
Metodologi Penafsiran Tarti>b Nuzu>li al-Jabiri
Penutup Bagi al-Jabiri, seorang mufassir harus mampu mengembalikan al-Qur’an pada keotentikan teksnya. Kemudian dilakukan pembacaan objektif terhadap teks al-Qur’an yang otentik. Dua hal ini dalam rangka menjadikan al-Qur’an kontemporer untuk dirinya sendiri. Langkah berikutnya dilakukan pembacaan yang berkelanjutan dengan selalu mengadakan korespondensi pada dua langkah sebelumnya. Dengan langkah ketiga ini, pembacaan yang berkelanjutan, jargon al-Qur’an sebagai “Shalih li Kulli zaman wa makan” yang senatiasa diyakini umat muslim benar-benar bisa terealisasi. Al-Jabiri menawarkan metode tafsir berdasarkan tarti>b nuzu>li sebagai alternatif untuk mewujudkan pemikirannya terkait pemahamannya terhadap al-Qur’an. Rumusan-rumusan metodologis yang dirumuskan alJabiri terbuka lebar untuk dikembangkan dan dikritisi oleh siapa saja yang berminat dalam kajian ini. DAFTAR PUSTAKA Afandi, Abdullah. “Pemikiran Tafsir Muhammad Abid al-Jabiri”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. 2009. Al-Dzahabi, Muhammad Husain. al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. t.kt: Maktabah Mush’ab Ibn ‘Umair al-Islamiyyah. 2004. Al-Farmawi, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’i, terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Jakarta. 1994. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwi>n al-‘Aql al-‘Arab. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2006. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Bunyah al-‘Aql al-‘Arab. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2009. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m. Beirut: Markaz Dira>sah al-Wah}dah al-‘Arabiyyah. 2006. Al-Jabiri, Muhammad Abid. Fahm al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Tafsi>r alWa>d}ih} H}asba Tarti>b al-Nuzu>l Jilid I. Beirut: Markaz Dira>sah alWah}dah al-‘Arabiyyah. 2008.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
154
Said Ali Setiyawan
Al-Shalih, Subhi. Maba>his\ fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-‘Ilmi alMalayin, 1988. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim. Mana>hil al-‘Irfa>n. Beirut: Da>r alKutub al-‘Ilmiyyah. 2010. Al-Zarqani, Muhammad ‘Abdul ‘Azim Nah}n wa al-Tura>s\: Qira>’ah Mu’a>s}irah fi> Tura>s\ina> al-Falsafi. Beirut: al-Markaz al-S|aqafi alArabi. 1993. Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i>. Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-At wa al-Suwar jilid I. Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 2006. Haryono, Dwi. “Hermeneutika al-Qur’an Muhammad Abid al-Jabiri.” Dalam Syamsuddin, Sahiron (ed). Hermeneutika al-Qur’an dan alHadis Yogyakarta: eLSAQ Press. 2010. Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologo Penafsiran alQur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta. 2003. Noldeke, Theodor. Tarikh al-Qur’an, ta’dil. Fari>d Yari>sy syafa>li. alih bahasa arab. تامد جورج. New York: أملز جورج. 2000.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
155
Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 156- 169 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya Oleh: Fikri Hamdani Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: [email protected] Abstract This paper describes the thought of Prof Dr Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy of Ulum al-Qur'an and Tafseer. This explanation is descriptive-analitive, with a focus on his work, especially the work of his tafseer “Tafsir An-Nur”. This study want to see the historical development of tafseer in Indonesia. And can be concluded that the tafseer of Hasbi is making progress on the works of previous interpretations, specially in the terms of methodology of writing and methodology of discussion. And his tafseer is fiqhi patterned because besides known as an exegete,he is also known as the faqih whose very strong of Indonesia insightful. Tulisan ini mendeskripsikan pemikiran Hasbi Ash Shiddieqy tentang Ilmu alQur’an dan Tafsir. Pembahasan ini bersifat deskriptif-analitif, dengan fokus pada karya-karyanya, terutama karya tafsirnya yang berjudul Tafsir An-Nur. Dalam kajian ini, karena kajian ini adalah melihat sisi perkembangan tafsir di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir karya Hasbi ini sudah mengalami kemajuan dari karya-karya tafsir sebelumnya, yaitu dari sisi metodologi penulisan dan metodologi pembahasan. Dan tafsir karya Hasbi ini bercorak fiqhi karena memang Hasbi selain dikenal sebagai seorang mufassir juga dikenal sebagai faqih yang sangat kental dengan pemikiran-pemikirannya yang berwawasan keindonesiaan. Keywords: Hasbi Ash Shiddieqy; Indonesian Tafsir; Tafsir An-Nur
156
Fikri Hamdani
Pendahuluan Perkembangan tafsir di Indonesia terbilang cukup maju untuk di kawasan Asia Tenggara. Dalam percaturan peradaban Islam klasik dan pertengahan, Indonesia menjadi sebagai salah satu pusat keilmuan Islam di Asia Tenggara, dengan membanjirnya karya-karya kesarjanaan keislaman yang dihasilkan di wilayah ini. Tentu, upaya pencapaian tersebut memerlukan produktivitas yang tidak kenal henti, sembari menghadirkan perspektif keindonesiaan dalam produk-produk atau karya yang dihasilkannya.1 Diskursus keislaman yang dikembangkan pun menuntut adanya ciri khas yang membedakan dengan karya-karya yang sudah ada, di antaranya adalah pengkayaan perspektif serta muatan budaya nusantara dalam warna keislamannya.2 Salah satu tokoh yang yang sukses menghasilkan sebuah pemikiran yang berwawasan keislaman dan keindonesiaan adalah tokoh pembaharu di pertengahan abad ke-20, dia adalah Prof Dr Teungku Hasbi Ash Shiddieqy, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di Indonesia, terutama dari kalangan ulama pembaharu dan dunia perguruan tinggi Islam. Di kalangan modernis (pembaharu), Teungku Hasbi dikenal sebagai seorang ulama mujaddid pemikiran Islam dan seorang mujtahid di bidang hukum Islam ataupun ilmu fiqih. Secara umum dia dikenal sebagai seorang ulama dan guru besar ahli fikih, pakar tafsir dan hadis serta ilmu-ilmu keislaman lainnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Sekarang UIN Sunan Kalijaga).3 Tulisan ini akan mendeskripsikan profil dan karya Teungku Hasbi dalam bidang tafsir dengan melihatnya dari sudut pandang perkembangan karyakarya tafsir dalam sejarah Indonesia, khususnya di bidang metodologinya. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui posisi Teungku Hasbi dalam peta perkembangan tafsir di Indonesia.
1
Howard M. Federspiel misalnya mencatat kurang lebih 60 judul buku tentang kajian al-Qur’an, yakni Ulumul Qur’an, terjemah al-Qur’an, kutipan al-Qur’an, peranan al-Qur’an, cara membacanya dan indeks serta periodesasi kajian al-Qur’an di Indonesia. Lihat, Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012), h. 14 2 Ibid., h. 13 3 Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan Ulama Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009), h. 368 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
157
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
Biografi dan Karir Intelektualnya Nama asli Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy adalah Muhammad Hasbi, dilahirkan pada tahun 1904 di Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, sebagai putra dari kalangan ulama yang sekaligus pejabat keagamaan di daerahnya. Ayahnya Teungku Haji Muhammad Husein bin Muhammad Su’ud, adalah hakim kepala Lhokseumawe. Sedangkan ibunya adalah Teuku Amrah binti Teungku Qodli Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz. Ayahnya disebut sebagai keturunan ke-36 dari sahabat Nabi Muhammad Saw Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jika benar, berarti leluhurnya berasal dari Makkah dan menetap di Malabar (India) dan akhirnya merantau ke kawasan Nusantara dan menetap di Samudra Pasai (pada abad ke-13). Hal inilah yang kemudian yang menjadikan nama Muhammad Hasbi berubah menjadi Hasbi Ash-Shiddieqy yang merupakan keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash-Shiddiq.4 Sebagai anak yang lahir di lingkungan yang taat beragama dan cenderung fanatik, Hasbi mendapatkan pendidikan Islam sejak kanak-kanak, terutama dari ayahnya. Sejak kecil Hasbi sudah melakukan perantauan untuk nyantri di berbagai dayah5/pesantren di kawasan Aceh. Pertama kali dia mengaji di pesantren Teungku Abdullah Chik di Peyeung. Di tempat ini dia banyak mempelajari Ilmu Nahwu dan Sharaf. Setelah itu pindah ke Pesantren Teungku Chik di Bluk Bayu, dan masih banyak pesantrenpesanteran atau dayah yang menjadi tempat persinggahan Hasbi dalam rangka pengembaraan intelektualnya. Pengembaraannya berlanjut sampai ke pulau Jawa di Surabaya (Jawa Timur). Dia diterima di kelas khusus Madrasah al-Irsyad Surabaya yang dididik langsung oleh Syaikh Ahmad as-Soorkati selama satu setengah tahun. Sepulang dari Surabaya Teungku Hasbi benar-benar memulai berkiprah di dunia pendidikan, khususnya bidang pendidikan Islam dan penyebaran ide-ide pembaharuan.
4
Ibid., h. 369 Dayah, seperti halnya surau atau pesantren, berpusat di daerah-daerah terpencil. Dayah menjadi faktor yang berkontribusi besar dalam perkembangan Islam di Aceh seperti halnya surau dan pesantrem di Minangkabau dan Jawa. dan juga melalu dayah, proses islamisasi masyarakat pedesaan di pedalaman Aceh dapat berlangsung. Ulama dayah mengajarkan Islam yang telah disesuaikan dengan bentuk kehidupan pedesaan penduduk Aceh, dan secara perlahan membimbing mereka mempraktikkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), h. 91 5
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
158
Fikri Hamdani
Penyebaran tersebut dilakukan dengan mendirikan beberapa madrasah/sekolah dan mengajar di madrasah-madrasah yang lainnya.6 Pasca perang kemerdekaan, Kementerian Agama Republik Indonesia mendirikan PTAIN di Yogyakarta tahun 1951. Teungku Hasbi ditarik oleh Menteri Agama KH. Wahid Hasyim untuk menjadi tenaga dosen. Tercatat juga bahwa Hasbi Ash-Shiddieqy juga salah satu tokoh pendiri PTAIN Yogyakarta, yang kemudian menjadi IAIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 1960 dia diangkat sebagai Guru Besar (Profesor) di IAIN Sunan Kalijaga, dari gelar yang disandangnya itu dia banyak diamanahi jabatan dalam waktu yang bersamaan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dia diangkat sebagai Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (19601972), Dekan sementara Fakultas Syari’ah IAIN Darussalam Ar-Raniri Banda Aceh (1960-1962), merangkap Pembantu Rektor III IAIN Sunan Kalijaga (1963-1966), Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang (1967-1975) dan juga pernah menjadi Rektor Universitas Cokroaminoto Surakarta dan menjadi Guru Besar di beberapa perguruan tinggi lainnya di Yogyakarta, Semarang, Jakarta dan Makassar. Sedangkan gelar Doktor Honoris Causa (DR.HC) diterimanya dari UNISBA Bandung dan IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta pada tahun 1975.7 Selain aktif dalam dunia pendidikan, Hasbi juga sempat berkiprah dalam bidang sosial-politik melalui beberapa organisasi kemasyarakatan dan parta politik (parpol), ia pernah menjadi anggota atau pimpinan organisasi Islam Mendjadi Satoe, Jong Islamiten Bond (JIB), Nadil Islahil Islami dan Muhammadiyah, semuanya di Aceh. Di Muhammadiyah Hasbi pernah menjadi ketua Pimpinan Wilayah Aceh. Pada awal kemerdekaan, tanpa alasan yang jelas Hasbi ditahan selama dua tahun lebih oleh sebuah gerakan Revolusi Sosial yang dimotori oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Namun, karena desakan Muhammadiyah, Hasbi dibebaskan, dalam hal ini atas perintah Wakil Presiden Muhammad Hatta. Dalam partai politik, Hasbi aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) dan dalam Pemilu tahun 1955 Hasbi terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Masyumi. Pada akhir tahun 1957, Hasbi sempat menghadiri The International Islamic Colloquium yang diselenggarakan oleh University of the Punjab yang berlangsung di Lahore pada tanggal 29 6 7
Suprapto, Ensiklopedi ... h. 371 Ibid., h. 369-372 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
159
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
Desember 1957 sampai dengan 8 Januari 1958. Inilah kunjungan Hasbi ke luar negeri yang pertama dan terakhir.8 Dalam dunia keilmuan dan keulamaan, Hasbi Ash-Shiddieqy sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Semua pihak telah mengakui keulamaannya. Dia adalah ulama pembaharu yang berfikir kritis dan bebas dari pengaruh yang lain, yang tampak pada karya-karya ilmiahnya. Aktivitas Hasbi menulis telah dimulai sejak awal tahun 1930-an. Karya tulisnya yang pertama adalah sebuah booklet yang berjudul Penoetoep Moeloet. Pada tahun 1933 di samping menduduki jabatan wakil redaktur. Hasbi juga menulis artikel dalam Soeara Atjeh.9 Sebagai ulama dan penulis, Hasbi Ash-Shiddieqy tercatat sebagai penulis yang produktif dan berkualitas tinggi. Puluhan buku dan lebih dari seratus artikel serta karya semacamnya telah dia tulis. Karya tulis yang telah dihasilkannya berjumlah 73 judul buku, terdiri dari 142 jilid, dan 50 artikel. Sebagian besar karyanya adalah buku-buku fiqh yang berjumlah 36 judul. Sementara bidang-bidang lainnya, seperti hadis berjumlah 8 judul, tafsir 6 judul, dan tauhid 5 judul, selebihnya adalah tema-tema yang bersifat umum.10 Karya terakhirnya adalah Pedoman Haji. Karya-karya Hasbi AshShiddieqy yang terbanyak adalah dalam bidang Ilmu Fikih, tercatat sebanyak kurang lebih 40 karya-karya dalam bidang fiqih yang dihasilkannya, di antaranya adalah: Pengantar Hukum Islam; Hukum-hukum Fiqhi Islam, Pengantar Ilmu Fiqhi; Sumber-sumber dan Penggunaan Keuangan Negara Menurut Syari’at Islam; Asas-asas Hukum Tata Negara menurut Syari’at Islam; Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman; Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam; Hukum Antar Golongan Dalam Fiqhi Islam; Ushul Fiqhi; Sebab-sebab Perbedaan Faham para Ulama dalam Menetapkan Hukum Islam; Falsafah Hukum Islam, dan lain-lain sebagainya.11 Sedangkan karya ilmiahnya dalam bidang tafsir dan Ulumul Qur’an antara lain: Tafsir al-Qur’anul Majid atau Tafsir An-Nur 30 juz; Sejarah dan Alif maziyah, “Pemikira Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis dan Sunnah”, Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006, h. 29 9 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 53 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasbi (diakses tanggal 13 April 2016). 11 Suprapto, Ensiklopedi... h. 373 8
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
160
Fikri Hamdani
Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir; Tafsir al-Bayan; Mu’jizat al-Qur’an; Ilmu-Ilmu al-Qur’an; Media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur’an; dan Tarjamah al-Qur’an yang merupakan karya bersama Lajnah Penerjemah al-Qur’an Departemen Agama. Dalam bidang Hadis dan Mustholah Hadis karya dari Hasbi adalah, di antaranya: Beberapa Rangkuman Hadis; 2002 Mutiara Hadis; Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis; Koleksi Hadis-Hadis Hukum Ahkamun Nabawiyah; Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam; Rijalul hadis; dan Perjuangan Perkembangan Hadis.12 Dari karya-karya di atas sangat jelas mengambarkan sosok Hasbi yang sangat peduli dengan Ilmu Pengetahuan, dan begitu produktif dalam mengasilkan karya dalam rangka memajukan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Teungku Hasbi menghembusklan nafas terakhir dalam usia 71 tahun, tepatnya pada hari Selasa 9 Desember 1975 pukul 17.45 WIB, sewaktu berada di karantina persiapan pemberangkatan untuk ibadah haji bersama isterinya. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat.13 Walaupun ulama besar ini telah wafat, tetapi ilmu dan pemikirannya tetap hidup dan berkembang melalui buku-buku dan karya ilmiahnya dan putera-puteri serta mahasiswa dan murid-muridnya yang telah menjadi ulama, Guru Besar, tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia sampai ke mancanegara. Salah satu puteranya adalah Prof. Dr. Nourouzzaman Ash-Shiddieqy dalam disertasi doktornya di IAIN Sunan Kalijaga (1976) mengambil judul “Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia”. Tafsir An-Nur; Kemunculan dan Metode Penafsirannya Tafsir Al-Qur’anul Madjied (An-Nur) adalah sebuah karya monumental dari Hasbi Ash-Shiddieqy. Hasbi Ash-Shiddieqy menulis kitab Tafsir anNur dilatarbelakangi oleh pandangan dia tentang kebudayaan Islam yang tidak hanya milik orang Arab akan tetapi milik semua umat manusia termasuk rakyat Indonesia. Seiring dengan perkembangan perguruan12 13
Ibid., h. 374 Ibid., h.. 375 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
161
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
perguruan tinggi Islam di Indonesia, muncullah ide dan perhatian dia kepada ajaran-ajaran keislaman (al-Qur’an) yaitu meluaskan perkembangan kebudayaan Islam. Oleh karena itu, untuk menyebarluaskan ajaran-ajaran al-Qur’an, Sunnah Rasul dan kitab-kitab Islam dia membuat sebuah karya yang berbahasa Indonesia yaitu Tafsir Al-Qur’anul Madjied atau tafsir an-Nur dan juga Tafsir al-Bayan. Terkait dengan awal terbit atau awal muncul dari tafsir ini, ada sedikit perbedaan pendapat dari kalangan peneliti. Berdasarkan tulisan dari Ishlah Gusmian dalam bukunya Khazanah Tafsir Indonesia, bahwa Tafsir AlQur’anul Majid dicetak pertama kali pada tahun 1971.14 Akan tetapi, dengan merujuk ke sumber asli (Tafsir Al-Qur’anul Majid), agaknya terdapat sedikit kekeliruan dari tulisan dari Ishlah Gusmian. Penulis agaknya sepakat dengan buku yang ditulis oleh Nor Huda yang menyatakan bahwa Karya Tafsir An-Nur, terbit pertama kali pada 1956. Sementara itu, edisi kedua terbit pada pertengahan 1960-an. Sejak 1996, buku tersebut diterbitkan oleh pihak Pustaka Rizki Putra dengan empat jilid.15 Dan sempat dipromosikan secara khusus di Majalah Gema Islam, sebuah majalah Islam terkemuka waktu itu. Karya tersebut kemudian menjadi Tafsir an-Nur, dan disusul Tafsir Al-Bayan.16 Howard M. Federspiel juga melakukan periodesasi kemunculan perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia, yang didasarkan pada tahun, dalam tiga generasi. Generasi pertama, kira-kira dari permulaan abad ke20 sampai awal tahun 1960-an. Generasi kedua, merupakan penyempurnaan atas generasi pertama, yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Tafsir generasi ketiga, muncul pada tahun 1970-an merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang disertai juga dengan terjemahnya.17 Hasbi Ash-Shiddieqy bersama dengan Hamka, Mahmud Yunus, dan A. Hassan adalah generasi terkemuka yang masing-masing menulis tafsir genap 30 juz dengan model penyajian runtut (tahlili) sesuai dengan urutan surat dalam Mushaf Utsmani. Di samping itu, banyak nama-nama lain yang menulis tafsir bukan dengan model runtut, tetapi dengan model 14
Ishlah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta:Teraju, 2003), h. 60 15 Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indnesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2013), h. 361 16 Gusmian, Khazanah... h. 50 17 Ibid.,h. 65
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
162
Fikri Hamdani
tematik.18 Penafsirannya menggunakan metode campuran antara bi alriwayah dan bi al-dirayah. Selain itu di dalam kitab tafsir ini dimuat masalah asbab al-nuzul. Kontribusi Hasbi terhadap tafsir al-Qur’an di Indonesia lebih banyak menyajikan fakta-fakta dari pada Hamka. Karya tafsir Hasbi yang berjilid-jilid, terdapat satu jilid dikhususkan untuk untuk satu juz al-Qur’an yang difokuskan dan disusun secara cermat sesuai dengan format.19 Karya tafsir Hasbi lain, yang berjudul al-Bayan, mewakili tafsir generasi kedua. Sebagi upaya untuk meningkatkan tafsir generasi sebelumnya. Tafsir generasi ini bertujuan untuk memahami kandungan al-Qur’an secara komprehensif. Karenanya tafsir tersebut berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisis tafsir. Dalam beberapa hal tafsir ini menekankan ajaran-ajaran al-Qur’an dan konteksnya dalam bidang keislaman. Karakteristik lain dari tafsir ini adalah lebih bersifat terjemahan dari pada penafsiran. Sebagaimana model tafsir yang dikeluarkan Depag, Tafsir al-Bayan hanya berisi sedikit penjelasan sebagai anotasi. Perlu dicatat bahwa tinjauan hukum Islam sangat mewarnai karya-karya tafsir yang ditulis Hasbi. Selain itu, penafsiran ayat-ayat ahkam lebih panjang lebar diungkapkan. Tampaknya, hal ini sangat berkaitan dengan kapasitas Hasbi sebagai seoarang ahli fiqhi.20 Sebagai contoh penafsiran/penerjemahan Hasbi terhadap kalimat: الرجيم الشيطان من باهلل اعود Kata الرجيمdalam kalimat tersebut oleh Hasbi diartikan sebagai orang yang dirajam, yakni orang yang dijauhkan dari segenap kebaikan atau dilontarkan, baik lemparan itu dengan benda, batu dan sebagainya, maupun dengan perkataan-perkataan yang keji, buruk dan hina. Dan sebabnya setan dinamai radjim adalah karena mengingat setan itu berusaha dengan segala upaya untuk memberikan kegelisahan-kegelisahan dan keraguan dalam hati manusia.21 Dari penafsirannya itu, sangat kelihatan keterpengaruhannya terhadap bidang yang digelutinya yaitu sebagai seorang pakar fiqih atau hukum 18
Ibid., h.. 55 Huda, Islam Nusantara...h. 361 20 Ibid., h. 362 21 Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjied: An-Nur (jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 16 19
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
163
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
Islam. Karena hal itu juga, dapat dikatakan bahwa corak penafsiran dalam Tafsir An-Nur ini menggunakan corak fiqhi. Namun, Yunahar Ilyas dalam disertasinya mengatakan bahwa agak sulit menentukan corak tafsirnya karena uraiannya yang singkat-singkat. Akan tetapi, yang jelas dari penelusuran dan pembacaan terhadap Tafsir An-Nur ini, Yunahar Ilyas tidak menemukan corak fiqhi, teologi, filsafat ataupun tasawuf. Kalaupun harus ditentukan coraknya, maka tafsir Hasbi ini lebih dekat kepada corakcorak tersebut.22 Beberapa metode yang digunakan oleh Hasbi dalam tafsirnya sebagai berikut: 1. Menyebut satu, dua atau tiga ayat yang difirmankan Allah, untuk membawa sesuatu maksud menurut tertib Mushaf 2. Menerjemahkan makna ayat ke dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Dan dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki masing-masing lafadz. 3. Menafsirkan ayat-ayat itu dan menunjuk kepada makna asli (Original Meaning). 4. Menerangkan ayat-ayat yang terdapat di surat yang lain, atau dalam kata lain, melakukan penafsiran ayat dengan ayat agar memudahkan pembaca mengumpulkan ayat-ayat yang setema. 5. Menerangkan sebab-sebab turun ayat, jika terdapat hadis yang shahih yang diakui oleh ahli-ahli hadis.23 Metode-metode di atas dia gunakan ketika menulis kitab tafsir cetakan pertama. Namun, dari pertimbangan-pertimbangan yang ada ditambah dengan kritik dan saran dari pembaca, maka dia merevisi kitab tafsirnya dengan menggunakan metode-metode yang baru. Metode-metode yang digunakan dalam cetakan yang kedua adalah sebagai berikut: 1. Dengan menerangkan ayat-ayat yang setema atau yang memiliki topik-topik yang sama, atau yang berpautan rapat dengan ayat yang ditafsirkan. Hal ini dilakukan dengan jalan membubuhi catatan kaki pada tiap-tiap ayat. Di dalam catatan kaki tersebut diterangkan ayat-ayat yang berpautan dengannya.
Yunahar Ilyas, “Konstruksi Gender Dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern: Hamka dan M. Hasbi Ash Shiddieqy”, Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004, h. 137 23 Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul..., h. 5-6 22
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
164
Fikri Hamdani
2. Dengan menyebut nomor ayat dan suratnya, dan melakukan pengelompokkan ayat. Selanjutnya menyebut nomor-nomor hadis dan kitab-kitabnya. Kedua hal ini diterangkan dalam bentuk catatan kaki pula yang terdapat dalam bagian akhir dari tafsir ini.24 Dari perjalanan/proses penulisan sampai ke penerbitan, Hasbi banyak menerima tanggapan-tanggapan miring terkait dengan karya tafsirnya. Berdasarkan kabar-kabar yang sampai di telinga dia, bahwa ada di antara orang-orang yang membaca atau melihat secara sepintas tafsir An-Nur, mengatakan bahwa Tafsir An-Nur adalah merupakan terjemahan murni dari suatu tafsir yang berbahasa Arab yang ditulis oleh ulama mutaqaddimin yaitu Tafsir al-Maraghy. Karena metode penafsiran yang digunakan Hasbi dalam buku ini adalah paragraf per paragraf seperti yang terdapat dalam Tafsir al-Maraghi.25 Mungkin kata dia hal demikian dimaksudkan untuk mengurangi minat pembaca kepada karya tafsirnya. Maka dengan segala ke-tawaddu’-an, dia menyatakan bahwa: 1. Di dalam menyusun Tafsir An-Nur, Hasbi berpedoman kepada sejumlah tafsir induk yaitu: kitab-kitab tafsir yang menjadi pegangan bagi penulis-penulis tafsir, baik kitab tafsir bil ma’tsur, kitab-kitab tafsir bil ma’qul, seperti Tafsir al-Manar, Tafsir alQasimy, Tafsir al-Maraghy. 2. Di dalam menafsirkan ayat, terlebih dahulu Hasbi mengemukakan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, terkadang satusatu ayat, dua, tiga bahkan lebih dari tiga ayat. Dalam hal ini kadang mengikuti pola yang dipakai dalam Tafsir al-Maraghy, kadang mengikuti pola tafsir al-Manar dan kadang pula mengikuti at-Tafsirul Wadhi 3.
Dalam menerjemahkan ayat ke dalam Bahasa Indonesia, Hasbi berpedoman kepada tafsir Abu Su’ud, Tafsir Shiddieq Hasan Chan dan Tafsir al-Qasimiy. Maka menerjemahkan lafadz-lafadz berdasar kepada ketiga tafsir tersebut.
24 25
Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul...h. 7 Huda, Islam Nusantara ... h 361 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
165
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
Pemikiran Hasbi Ash Shiddieqy mengenai Tafsir dan keislaman Menurut Hasby Ash-Shiddieqy bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an setidaknya para mufassir harus menguasai tujuh belas cabang pengetahuan khusus terkait penafsiran al-Qur’an. Yaitu seorang penafsir harus mengetahui tempat diturunkannya ayat tersebut (dalam Ulumul Qur’an lebih dikenal dengan Ilmu Makki Madani), dan dalam kondisi apa ayat tersebut diturunkan; susunan ayat-ayat al-Qur’an pada waktu diturunkan; asbab al-nuzul ayat yang bersangkutan; cara diturunkannya ayat yang bersangkutan; ciri ayat dan kondisi yang berhubungan dengan ayat tersebut; arti kata-kata tertentu yang memiliki makna lebih dari satu; pengetahuan tentang ayat-ayat yang jelas; pengetahuan tentang ayat-ayat yang mansukh; apresiasi atau penilaian bahasa al-Qur’an; pemahaman tentang kehebatan al-Qur’an sehingga ia diakui sebagai suatu mukjizat; memhamai suatu ayat dalam konteksnya; mengetahui tujuan firman Tuhan dalam al-Qur’an; penggunaan contoh-contoh dalam al-Qur’an; pengetahuan tentang bentuk-bentuk perdebatan yang digunakan untuk menentang musuh-musuh Muhammad; dan pengetahuan tentang susunan ilmu-ilmu yang digunakan dalam menganalisis al-Qur’an.26 Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa para mufassir dewasa ini harus menyadari perbedaan latar belakang sejarah tokoh yang menyampaikan penafsiran yang dibuat pada masa awal Islam dengan akurat. Di antara para mufassir itu ada yang sudah diakui dengan ijma’ ulama sebagai penafsir al-Qur’an yang telah memenuhi syarat, dan ada pula yang diputuskan sebagai para pembuat kepalsuan.27 Syarat utama seseorang menafsirkan al-Qur’an adalah menguasai Ilmu Bahasa Arab. Baginya orang yang tidak menguasai Bahasa Arab dan kaidah-kaidah Bahasa Arab, maka tertutup pintu baginya untuk menafsirkan al-Qur’an.28 Menurut pandangan Hasbi bahwa buku-buku tafsir yang ditulis dalam bahasa “Barat”, tidak dapat dijamin kebersihan dan kesesuaian jiwanya dalam membuat sebuah karya yang bernuansa keislaman. Para penulis tafsir dalam bahasa-bahasa “Barat” itu, menulisnya sebagai suatu pengetahuan, bukan sebagai suatu aqidah yang mereka pertahankan. Maka besarlah perbedaan buku-buku tafsir yang yang ditulis para sarjana-sarjana 26
Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), h. 125-126 27 Ibid., h. 126 28 Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul...h. 4
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
166
Fikri Hamdani
Barat yang tidak beragama Islam dengan tafsir yang ditulis para ulama Islam sendiri.29 Berdasarkan pandangan Hasbi tersebut, dapat dinilai bahwa Hasbi adalah seseorang yang Anti terhadap pemikiran-pemikiran Barat yang bermuara pada tafsir al-Qur’an. Meski demikian Hasbi dipandang sebagai salah satu pemikir Islam yang bercorak reformis. Bahkan, Mukti Ali memandang Hasbi sebagai salah seorang pembaharu pemikiran Islam di Indonesia dalam bidang fiqhi, dan bidang ini adalah yang dianggap paling mennjol yang ditekuni Hasbi. Hasbi ingin memperbarui Islam di Indonesia dengan jalan menciptakan “fiqhi Indonesia”, yaitu fiqhi yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Dan Nourouzzaman mengambil kesimpulan bahwa Hasbi merupakan seorang mujtahid yang menganut sistem berfikir elektik dan cenderung kepada persatuan.30 Salah satu contoh pemikiran dari Hasbi adalah mengenai zakat. Hasbi melihat zakat dari sudut hikmah dan fungsinya, yaitu memberantas kefakiran dan kemiskinan serta sebagai satu unsur pembina masyarakat adil dan makmur sejahtera, material dan spiritual. Karena itu, dana yang terkumpul dari zakat sebagian besarnya harus digunakan untuk meningkatkan taraf hidup fakir miskin. Untuk mencapai tujuan itu, dana zakat dapat digunakan untuk membuka lapangan kerja baru dengan tujuan menampung fakir miskin dan penganggur untuk memperoleh kerja. Maka zakat dapat juga digunakan untuk membuka kursus-kursus latihan kerja dan keterampilan bagi fakir miskin, agar kesejahteraan mereka dapat meningkat. Kepada fakir miskin itu sebaiknya tidak diberikan ikan, tetapi pancing. Maksudnya, bagian zakat yang mereka peroleh tidak diberikan dalam wujud uang jika tidak terpaksa sekali, tetapi dalam wujud modal kerja, atau saham dalam perusahaan-perusahaan yang di situ pula mereka ditampung untuk bekerja. Dengan demikian, di samping mendapat penghasilan tetap, mereka akan memperloeh juga laba tahunan dari perusahaan atau pabrik yang didirikan dengan modal dari dana zakat. Dengan cara begini, secara berangsur-angsur jumlah fakir miskin dapat dikurangi. Maka masyarkat sejahtera yang diidam-idamkan akan terwujud berkat limpahan rahmat dan karunia Allah swt.31
29
Ibid., h. 5 Huda, Islam Nusantara... h. 338-340 31 Shiddiqi, Fiqh Indonesia... h. 211 30
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
167
Hasbi Ash-Shiddieqy dan Metode Penafsirannya
Penutup Hasbi adalah merupakan salah satu tokoh modernis/pembaharu Islam di Nusantara dan juga adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan khazanah keilmuan Islam terkhusus dalam bidang alQur’an dan tafsir. Itu dibuktikan dengan begitu banyak karya-karya yang dihasilkan olehnya termasuk dua karya monumentalnya dalam bidang alQur’an dan tafsir yakni Tafsir Al-Qur’anul Majid (Tafsir An-Nur) dan Tafsir al-Bayan. Salah satu keistimewaan tafsirnya adalah penulisannya yang lengakp 30 juz. Meski dengan penjelasan yang relatif pendek, tafsir karya Hasbi menandai perkembangan kajian tafsir al-Qur’an dalam sejarah kajian Islam di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ash-Shiddieqy, Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Madjied: An-Nur. Jakarta: Bulan Bintang, 1965 Burhanuddin, Jajat Burhanuddin. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012 Gusmian, Ishlah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003 https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Hasbi (diakses tanggal 13 April 2016) Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indnesia. Yogyakarta: Arruz Media, 2013 Ilyas, Yunahar. “Konstruksi Gender Dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern: Hamka dan M. Hasbi Ash Shiddieqy.” Disertasi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004 M. Federspiel, Howard, Kajian Al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab. terj. Tajul Arifin. Bandung: Mizan, 1996 Maziyah, Alif. “Pemikiran Hasbi Ash-Shiddieqy tentang Hadis dan Sunnah.” Tesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
168
Fikri Hamdani
Setiawan, Nur Kholis. Pribumisasi Al-Qur’an: Tafsir Berwawasan Keindonesiaan. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2012 Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia “Penggagas dan Gagasannya.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Suprapto, Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
169
Farabi ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 Halaman 170 - 186 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis Oleh: Ahmad Muttaqin PP. Al-Junaidiyah, Bone Abstract Understanding the hadith is the most important step after examing its authenticity. The aim of this paper is to explain the development history of ma’ani> al-h}adi>s\ and to analyze the comtemporary methods from five thinkers namely: Fazlur Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali, Syuhudi Ismail and Khaled M. Abou El Fadl. This concludes that the prosess of understanding hadis (ma’ani> al-h}adi>s\) has been developed by many Islamic scholars from classical era to contemporary era. Analyzing the ways of ma’a>ni al-h}adi>s\of five thinkers above, are able to be classified into three steps; analyzing the text, historical context (micro and macro-asba>b al-wuru>d), and applying in reader’s context. Memahami hadis menjadi tahapan yang sangat penting setelah menguji otentisitasnya. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan sejarah perkembangan ma’ani> al-h}adi>s\ dan untuk menganalisis metode-metode kontemporer dari lima pemikir; yaitu Fazlur Rahman, Yusuf Qardhawi, Muhammad al-Ghazali; Syuhudi Ismail; dan Khaled M Abou El Fadl. Dapat disimpulkan bahwa proses pemahaman hadis (ma’ani> al-h}adi>s\) telah dikembangkan oleh banyak pemikir muslim sejak era klasik hingga era kontemporer. Analisis terhadap cara-cara pemahaman terhadap hadis oleh kelima pemikir ternama di atas, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tahap; analisis teks, konteks historis (asbab al-nuzul mikro dan makro), dan aplikasinya dalam konteks sang pembaca. Keywords:
Ma’a>ni> al-h}adi>s\; contextualist; objectivist-subjectivist; Hadith Study
170
Ahmad Muttaqin
Pendahuluan
Ma’a>ni al-h}adi>s\ merupakan proses lanjutan setelah langkah penelitian otentisitas hadis. Ke-s}ah}i>h-} an hadis baik dari segi sanad dan matan, belum berarti hadis tersebut dapat langsung diaplikasikan sebagai “doktrin” beramal. Perlu penelitian lebih lanjut tentang bagaimana mengungkap maksud sebenarnya dari yang diinginkan oleh Nabi sebagai pemilik kalam. Tulisan ini akan berangkat dari beberapa permasalahan akademik. Pertama, bagaimana ma’a>nial-h}adi>s\ dalam tinjauan ontologis. Kedua, bagaimana tawaran metodologi terbaru hasil perasan dari beberapa teori kontekstualis dalam memahami hadis. Untuk mempermudah memahami keberagaman pemikiran para tokoh kontemporer, kerangka teoritik yang digunakan adalah pembagian dalam aliran subjektivis dan objektivis.1 Pembagian ini diambil dari aliran pemikiran hermeneutik. Dengan begitu karakteristik dari setiap pemikir dalam memahami teks hadis dapat dipetakan dengan tepat. Tinjauan OntologisMa’a>n al-H}adi>s\ Mengkaji sebuah hadis selalu bersinggungan dengan istilah naqd.2Istilahini digunakan tidak hanya mengkaji bagian sanad tetapi juga matan. Kajian sanad disebut dengan naqd al-sanad (kritik eksternal) dan kajian terhadap matan disebut naqd al-matan (kritik internal). Pada awalnya istilah naqd lebih difungsikan untuk menverifikasi otentisitas hadis pada rentetan perawinya kemudian pada teks (matan) hadisnya. 1
Sebenarnya ada banyak aliran dalam hermeneutika. Sahiron sendiri membatasi dalam tiga aliran; subjektifis, objektifis dan objektivis-cum-sujektivis. Namun, pada tulisan ini hanya memetakan pemikiran para tokoh kontekstualis dalam dua aliran; subjektivis dan objektivis. Sebenarnya, pemikiran tokoh-tokoh ini tidak dapat ditempat dalam salah satu aliran begitu saja, tetapi karena memiliki kecenderungan yang lebih pada salah satu aliran maka setiap tokoh yang dikaji akan ditempat dalam aliran objektivis atau subjektivis. Untuk pembagian aliran ini bisa di lihat dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), h. 26. 2 Istilah al-naqd atau al-tanqa>d pada awalnya digunakan dalam tradisi Arab untuk kegiatan tamyi>z al-dara>him wa ikhra>j al-zaif (memilih-milih uang dirham dan mengeluarkan yang palsu). Sehingga istilah ini kemudian digunakan dengan makna “meneliti dengan seksama”. Lihat Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi ( Kairo: Da>r alMa’a>rif,t.t), h. 4517. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
171
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
Namun pada perkembangannya naqd al-matan tidak berhenti pada permasalahan otentisitas isi matan, apakah benar orisinil dari Nabi atau tidak, tetapi juga mengkaji pemaknaan terhadap isi matan. Di dalam beberapa literatur istilah yang dipakai untuk merujuk kepada ma’a>ni al-h}adi>s\ adalah fiqh al-h}adi>s\.3Kata fiqh berarti al-‘ilm bil-syai’i wal-fahmu lahu>(mengetahui dan memahami sesuatu).4 Adapun kata alma’a>ni>sebagai bentuk plural dari al-ma’na>, menurut Ibn Manz\u>r, sama artinya dengan kata al-tafsi>r dan al-ta’wi>l.5Artinyafiqh dan ma’a>ni>memiliki arti yang sama yaitu memahami, mengerti dan mengetahui.Dominasi penggunaan frase fiqh al-h}adi>s\ dalam beberapa literatur ketimbang frase ma’a>ni al-h}adi>s\ bisa jadi karena pengaruh dan peran para ahli fiqih (al-fuqaha>’u). Sebab, sebagaimana ungkapan Muh}ammad Khalfa Sala>mah, seorang fuqaha hanya akan menjadi ahli fiqih jika dia jugaseorang ahli hadis (muh}addis\).6 Istilah fiqh al-h}adi>s\ ini juga sesuai dengan istilah dalam fiqih fiqh al-ra’y, fiqh al-maz\hab ataupun al-fiqh al-muqa>ran.7 Ulama fiqih yang juga mengetahui seluk beluk keilmuan hadis tentu akan cenderung menggunakan istilah fiqh al-h}adi>s\. Sebenarnya ada kecenderungan membedakan istilah yang digunakan antara mengkaji orisinalitas-otentisitas hadis dan mengkaji pemahaman terhadap hadis. Untuk pertama menggunakan istilah naqd, sedang yang kedua menggunakan istilah fiqh. Terma naqd difungsikan hanya meneliti kesahihan baik sanad maupun matan, bukan mengkaji pemahaman hadis. Sebab pemahaman atas hadis menggunakan istilah fiqh al-h}adi>s\. Pandangan seperti ini bisa dilihat dalam tulisan Said Agil H. Al Munawwar yang menyatakan bahwa ulama membedakan antara naqd alh}adi>s\ dan fiqh al-h}adi>s\. Naqd al-h}adi>s\ adalah kegiatan yang akan menghasilkan kesimpulan pada otentik tidaknya hadis yang diteliti.
Istilah ini dipakai dalam kitab qawa>’id al-tah}di>s\ min funu>n mus}tah}i al-h}adi>s\ dalam bab ke sepuluh fi> fiqh al-h}adi>s\. Lihat Jama>luddi>n al-Qa>sim al-Damasyqi>, Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}talah}i al-H{adi>s\. DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah, atau dalam bab ma’rifatu fiqh al-h}adi>s\ lihat Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin ‘Abdillah alH{a>kim al-Naisabu>ri>, Ma’rifatuh ‘Ulu>m al-H{adi>s\. DVD Rom al-Maktabah al-Sya>milah. 4 Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi, h. 3450. 5 Ibid., h. 3147. 6 Muh}ammad Khalfa Sala>m, Lisa>n al-Muh}addis\i>n dalam DVD ROM alMaktabah al-Syamilah, juz 4, h. 125. 3
7
Ibid.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
172
Ahmad Muttaqin
Adapun fiqh al-h}adi>s\ merupakan upaya mengungkapkan makna matan hadis, tanpa mengubah kualitas hadis yang diteliti.8 Agaknya pemisahan secara paralel antara naqd dan fiqh akan menimbulkan kerancuan selanjutnya. Jika fiqh al-h}adi>s\ dikeluarkan dari cakupan naqd (kritik matan) maka akan muncul sub ordinat baru dari kajian hadis menjadi tiga bagian, yaitu kritik sanad (naqd al-sanad), kritik matan (naqd al-matan) dan pemahaman (fiqh). Padahal untuk kajian hadis cukup representatif jika hanya dibagi dalam kritik sanad dan matan. Nah, kritik matan inilah yang bisa dipecah menjadi dua; otentisitas dan pemaknaan/ pemahaman. Di samping itu, menggabungkan tahapan pemahaman hadis ke dalam naqd al-matan akan menjauhkan dari anggapan jika hadis cukup otentisitas sanad dan matan, tetapi perlu juga tahap pemahaman matan. Maka jika demikian, fiqh al-h}adi>s\ atau ma’a>n al-h}adi>s\ harus terintegrasi dalam kajian kritik matan. Selain istilah fiqh, ada juga istilah “syarh}”. Secara etimologi ”syarh}” berarti al-h}ifz} (menjaga), al-fath} (membuka), al-baya>n (menjelaskan), alfahm (memahami).9 Istilah ini juga populer digunakan dalam dunia hadisuntuk kegiatan memberikan komentar terhadap hadis-hadis. Sehingga dalam perjalanan sejarahnya muncul banyak kitab syuru>h} alhadi>s\ yaitu kitab-kitab yang menguraikan dan menjelaskan hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis sebelumnya. Istilah syarah kemudian menjadi ilmu tersendiri yang disebut ‘ilm syarh} al-h{adi>s\ yaitu pengetahuan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penjelasan makna-makna dan pemahaman atas segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. Jadi maksud ilmu ini jelas untuk menjelaskan hadis-hadis yang datang dari Nabi. Muhammad bin Umar menambahkan bahwa ilmu ini memiliki beberapa sinonimitas yang disebut juga ‘ilm fiqh al-h}adi>s\, ‘ilm syarh} al-h}adi>s\, ‘ilm ma’a>ni> al-h}adi>s\, dan ‘ilm us}u>l tafsi>r al-h}adi>s\.10 Walaupun istilah syarh} dan fiqh memiliki persamaan, bukan berarti sama secara mutlak. Argumen ini bisa diperkuat dengan ungkapan Muhammad Said Agil Husin Al Munawwar, Studi Hadis dengan Berbagai Perspektif. Paper di presentasikan dalam Konfrensi Internasional di UIN Sunan Kalijaga, tanggal 6 April 2015, h. 4. 9 Ibn al-Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arabi, h. 2228. 10 Muh}ammad ibn ‘Umar ibn Sa>lim Bazmu>l, ‘Ilm Syarh al-H{adi>s\ wa Rawa>fid al-Bah}s\u fi>h (t.k: t.p, t.t), h.7. 8
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
173
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
bin ‘Umar bahwa syarh} al-h}adi>s\ memiliki tiga lahan kajian. Pertama, terkait dengansanad meliputi penjelasan kualitas hadis, takhri>j, rawi dan sebagainya. Kedua, berkaitan dengan penjelasan makna kata-kata matan (kebahasaan dan ghari>b). Ketiga, menjelaskan maksud hadis yaitu fiqh alh}adi>s\ dan disinilah para ulama memiliki kriteria dan pemahaman yang berbeda.11 Jika demikian maka, syarh} al-h}adi>s\ cakupannya lebih luas yaitu meliputi komentar terhadap sanad dan matan, sedang fiqh al-h}adi>s\ hanya pada pemahaman matan.
Ma’a>n al-H\|adi>s\ dalam Lintasan Sejarah Secara teoritis, ma’a>ni al-h}adi>s belum muncul pada masa Nabi. Namun embrio proses pemaknaan telah ada pada masa tersebut sebab Nabi merupakan sandaran para sahabat dalam persoalan Islam dan dimensi sosial kemasyarakatan.12 Pada masa Nabi para Sahabat melakukan naqd (penelitian) pada aspek otentisitas. Mereka tidak mengalami kesulitan pemahaman ketika menerima hadis sebab ungkapan Nabi sangat tepat, kontekstual dan sahabat mengetahui persis maksud yang diutarakan Nabi. Pada masa ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana para sahabat mengonfirmasi (baca: meneliti) sebuah hadis yang diterima dari sahabat lain apakah benar-benar dari Nabi, bukan pada kandungan makna teks. Proses ini masih berlanjut sampai pada masa tabi’in. Pada perkembangannya muncul dua aliran dalam memahami hadis, yaitu ahl al-h}adi>s\ (tekstualis) dan ahl al-ra’y (kontekstualis). Kelompok ahl alh}adi>s memahami hadis Nabi secara makna literal. Sedangkan ahl al-ra’y menggunakan penalaran untuk melihat faktor-faktor di balik teks. Golongan ahl al-h}adi>s\ disebut juga dengan ahl al-hasyw karena keenganan mereka menggunakan akal. Kelompok ini telah ada pada masa Sahabat. Perseteruan kedua kelompok ini menjadi sebuah fenomena pertentangan antara naql dan ‘aql. Bahkan tak jarang keduanya saling menjatuhkan.13 Agaknya ulama hadis pada masa awal telah menyadari bahwa tidak cukup mengetahui otentik tidaknya sebuah hadis, tetapi juga perlu langkah11
Ibid h. 8.
12 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta: SukaPress, 2012), h. 5. 13 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 73-74.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
174
Ahmad Muttaqin
langkah metodologis memahami kandungan matan. Terbukti munculnya disiplin keilmuan ‘ilm asba>b al-wuru>d (sebab mikro munculnya hadis) adalah bagian dari perjalanan sejarah pemahaman hadis. Ulama yang mula-mula menyusun kitab tentang ‘ilm asba>b al-wuru>d adalah Abu> Hafs}ah Umar bin Muhammad bin Raja’ al-Ukbary dan Ibra>hi>m bin Muh}ammad (Ibn Hamzah al-H{usaini>) 1120 H, yang menyusun al-Baya>n wa al-Ta’ri>f yang telah dicetak pada tahun 1329 H.14 Selain asba>b al-wuru>d ada juga disiplin ilmu gari>b al-h}adi>s\ yang menerangkan makna kata-kata yang sukar dipahami.Sehingga para ahli mengumpulkan kata-kata dalam matan hadis yang sulit dipahami dan kurang dipakai dalam sehari-hari. Secara historis, yang mula-mula melakukan usaha ini adalah Abu> ‘Ubaidah Ma’mar ibn al-Mus\anna> (210 H.) kemudian dikembangkan oleh Abu> al-H{asan al-Mazini> (204 H.) sekitar penghujung abad ke-2 hijriah. Di awal abad ke-3 hijriah, Abu> ‘Ubaidah al-Qa>sim ibn Salla>m (224 H.) menyusun kitab terkenal dalam ‘ilm gari>b al-h}adi>s\ dalam waktu 40 tahun.15 Selanjutnya ada juga ‘ilm talfi>q al-h}adi>s\ tentang cara-cara mengumpulkan hadis yang berlawanan z\ahirnya. Ilmu ini disebut juga ‘ilm mukhtalif al-h}adi>s\. Di antara ulama yang telah menyusun kitab ini adalah Imam Syafi’i (204 H.), Ibn Qutaibah (276 H.), al-Thahawy (321 H.) dan Ibnu al-Jauzy (597 H.).16 Secara metodologis para ulama menggunakan beberapa metode dalam menghadapi hadis-hadis yang mukhtalif. Namun mereka memiliki perbedaan mana metode yang harus didahulukan. Beberapa metode tersebut di antaranya; al-jam’u (mengkompromikan) dengan mencari interpretasi sehingga kedua hadis tidak bertentangan, metode tarji>h} (pengunggulan) yakni memilih hadis yang berkualitas lebih tinggi, metode naskh-mansu>kh (pembatalan) yaitu memilih hadis yang datang belakangan sebab membatalkan hadis sebelumnya, metode tawaqquf (mendiamkan) yaitu menangguhkan sampai ditemukan keterangan terkait hadis yang lebih patut diamalkan.17
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis ( Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 121. 15 Ibid., h. 120. 16 Ibid., h. 122. 17 Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi ( Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), h. 4. 14
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
175
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
Selain disiplin ilmu di atas, munculnya beberapa kitab syarah hadis juga bagian dari proses memahami hadis. Ini merupakan perkembangan dari ulama-ulama sebelumnya untuk menjaga kelestarian dari segi pemahaman hadis. Usaha ini tidak terlepas dari usaha ulama sebelumnya yang telah mengkondifikasi hadis dalam beberapa kitab. Beberapa kitab yang mensyarah kitab hadis sebelumnya seperti kita>b Fath} al-Ba>ri karya Ibn Hajar al-Asqala>ni>, al-Minhaj fi Syarh} S{ah}i>h} Musli>m bin al-Hajjaj karya al-H{a>fiz} Abu> Zakariya> Muh}yiddi>n bin Syara>f al-Nawa>wi> al-Sya>fi’i> atau yang dikenal dengan nama al-Nawa>wi> (w. 676 H/ 1244 M), Ma’a>lim al-Suna>n karya al-Khattabi> (w. 388 H) syarah terhadap Suna>n Abi> Da>ud, al-Mu’allim karya al-Munz}iri> (w. 536 H) syarah terhadap kita>b S{ah}i>h} Musli>m, kita>bTanwi>r al-Hawa>lik karya al-Suyu>t}i> (w. 911 H) syarah dari al-Muwat}t}a’ dan beberapa kitab lainnya.18 Meskipun kitab-kitab syarah telah banyak yang disusun oleh para ulama terdahulu, tetapi mereka tidak menyebutkan langkah-langkah dengan jelas.19 Untuk itu perlu kajian yang lebih serius dalam merumuskan metodologi pemahaman hadis yang telah diterapkan dalam menyusun karya kitab syarah. Sebagai contoh metode pemahaman hadis dari salah satu tokoh syarah di atas adalah al-Suyu>t}i> dengan kitab syarahnya “Tanwi>r al-Hawa>lik”. Walaupun tidak dijelaskan secara sistematis dan eksplisit, Al-Suyu>t}i> telah menggunakan beberapa langkah dalam memberi syarah (memahami) matan hadis yaitu; (1) merujuk pada ayat-ayat alQur'an sebab hadis secara fungsional adalah penjelas al-Qur'an, (2) menjelaskan dengan hadis-hadis yang setema, (3) menggunakan pendekatan bahasa seperti menjelaskan kata yang sulit dipahami dan penjelasan gramatika bahasa (nah}w), (4) menempuh jalan takwil, (5) melakukan kontekstualisasi sosio-kultural pada saat hadis disabdakan, (6) mempertimbangkan pandangan beberapa ulama dalam kasus hukum, (7) mengungkapkan fungsi hadis yang dikaji.20 Selain disiplin ilmu-ilmu dan kitab syarah, jika ditelisik lebih dalam proses periwayatan bil-ma’na> bisa jadi bagian dari upaya ma’a>ni> al-h}adi>s.\ 18
Muh}ammad Yu>suf, “Kitab Syarah Hadis Tanwir Al-Hawa>lik Karya Jalal alDi>n al-Suyu>t}i>: Kajian terhadap Metode dan Karakteristik” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No. 2, Juni, 2004, h. 86. 19 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CESad YPI Al-Rahmah, 2001), h. 27. 20 Yu>suf, “Kitab Syarah Hadis...”, h. 95-96.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
176
Ahmad Muttaqin
Para sahabat atau perawi selanjutnya bukan tidak mungkin ada yang meriwayatkan matan hadis secara maknawi agar maksud sebenarnya dari matan tersebut bisa dipahami oleh murid-muridnya. Pada era kontemporer perangkat pemahaman hadis mengalami pergeseran. Jika semula hanya menggunakan disiplin ilmu-ilmu hadis, maka dengan perkembangan pengetahuan, ilmu-ilmu sosial-humaniora juga digunakan dalam membantu menjelaskan maksud kandungan matan hadis. Seperti pendekatan historis,21 sosiologis,22 sosio-historis,23 antropologis24 dan psikologis.25 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa usaha para ulama untuk memahami hadis berkembang dari masa ke masa. Dampaknya, disiplin ilmu-ilmu dalam rangka memahami hadis juga berkembang secara dinamis ke arah yang lebih komplit. Semakin kompleksnya permasalahan 21 Pendekatan historis yaitu memahami hadis dengan mengkaji situasi dan peristiwa yang terkait dengan kemunculan hadis. Contoh hadis tentang pezina muhzan yang dirajam walaupun hukuman ini pernah diberlakukan oleh Nabi tetapi tidak berlaku lagi setelah turunnya Q.S. al-Nu>r (24): 2” al-Za>niyatu wal-za fajlidu> kulla wa>h}idun munhuma> mi’ata jaldah”. Lihat Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi…, h. 70-85. 22 Pendekatan sosiologi yaitu memahami hadis dengan memperhatikan kondisi sosial dan masyarakat pada waktu munculnya hadis. Contoh hadis tentang persyaratan orang Quraish yang menjadi pemimpin. Hadis ini bukan perintah sebagai ajaran agama tetapi posisi Nabi sebagai kepala Negara dengan tujuan untuk menghilangkan perpecahan dengan bantuan solidaritas dan superioritas. Lihat Ibid.,h. 85-92. 23 Pendekatan sosio-historis yaitu pemahaman hadis dengan mempertimbangkan sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis disabdakan. Contoh hadis tentang kepemimpinan perempuan. Hadis ini diucapkan Nabi karena putri Kisra pada waktu itu tidak memiliki kepercayaan masyarakat dan wibawa untuk dijadikan pemimpin. Sehingga tidak mungkin menjalankan roda pemerintahan dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Lihat Ibid.,h. 92-103. 24 Pendekatan antropologis yaitu memahami hadis dengan melihat praktik keagamaan, tradisi dan budaya yang berkembang pada saat munculnya hadis. Contoh hadis tentang para pelukis yang disiksa. Hadis ini dikeluarkan terkait dengan paham dan praktik musyrik yang masih melekat pada waktu itu. Maka untuk membersihkan penyakit masyarakat, Nabi melarang untuk memajang dan memproduksi lukisan. Lihat Ibid., h. 103-107. 25 Pendekatan psikologis yaitu memehami hadis dengan mempertimbangkan kondisi psikis Nabi dan masyarakat yang dihadapi pada waktu itu. Contoh hadis ketika Nabi ditanya tentang manakah Islam yang baik, kemudian Nabi menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda sesuai kondisi kejiwaan sahabat yang bertanya. Lihat Ibid., h. 108-112.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
177
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
yang dihadapi dalam pemaknaan hadis -contoh karena faktor hadis semakin menjauh dari konteks yang melahirkannya, bertambah kompleksnya problem keagamaan dan sosial yang dihadapi-menuntut adanya usaha metodologis yang lebih aktual untuk memahami hadis pada masa faktual sekarang. Untuk itu bermunculanlah beberapa pemikir kontemporer yang merumuskan langkah-langkah dalam memahami hadis Nabi sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Metode Para Kontekstualis dalam Memahami Hadis Nabi Beberapa tokoh kontemporer telah menawarkan metode memahami hadis. Mereka tidak lagi berbicara pada tataran konsep atau tolak ukur memahami hadis tetapi telah merumuskan langkah-langkah praktis dalam memahami hadis. Beberapa tokoh kontekstualis yang ikut memberikan kontribusi menteorisasikan langkah-langkah pemaknaan hadis yaitu Yu>suf al-Qarad}a>wi> (lahir 1926 M.),26 FazlurRahman (1919-1988 M.),27 Yu>suf al-Qarad}a>wi lahir pada tanggal 6 September 1926 di desa Safat Tura>b bagian barat MEsir. Yu>suf yatim pada umur dua tahun dan diasuh oleh pamannya sebagai keluarga yang taat menjalankan ajaran Islam. Hafal al-Qur'an pada umur 10 tahun. Pendidikan Ibtidaiyah (4 tahun) dan Tsanawiyah (5 tahun) ditempuh Yu>suf di Ma’had T}ant}a Mesir. Pada usia lima belas tahun, ia melahap buku-buku bacaan para mahasiswa. Yu>suf melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Universitas al-Azhar, Kairo dengan mengambil bidang studi agama pada Fakultas Ushuluddin dan mendapat syaha>dah ‘a>liyah (1952-1953). Kemudian dia melanjutkan pendidikan ke jurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Di jurusan ini pun dia lulus dengan mendapat prestasi terbaik dari 500 mahasiswa serta memperoleh ijazah internasional dan sertifikat pengajar. Pada tahun 1957 masuk Ma’had al-Buh}u>s\ wa al-Dira>sa>t al-‘Arabiyah al-‘A>liyah dan berhasil meraih diploma bidang bahasa dan sastra Arab. Tahun 1960 melanjutkan studi di Pascasarjana Universitas al-Azhar Kairo dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis. Akhirnya pada tahun 1960, berhasil menyelesaikan program Magisternya dengan predikat amat baik. Melanjutkan pada program Doktoral dengan menulis disertasi berjudul al-Zaka>h wa As\aruha> fi H{alli al-Masya>kil alIjtima>’iyyah. Disertasi yang semula diperkirakan selesai dua tahun menjadi tertunda, karena antara tahun 1968 sampai tahun 1970 ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan pro dengan gerakan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n. Setelah krisis mereda, karena pada saat itu Mesir ditimpa krisis politik, Yu>suf mengajukan disertasinya untuk diuji dan dipertahankan di depan guru besar Universitas al-Azhar dan berhasil lulus meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude. Lihat Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 40-44. 26
27
Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, Pakistan. Situasi sosial masyarakat ketika Rahman dilahirkan diwarnai dengan terjadinya perdebatan publik di antara tiga kelompok yang bersiteru; modernis, tradisionalis, dan fundamentalis yang mengklaim kebenaran terhadap pendapat masing-masing. Ayahnya, Maulana Syihab al-Di>n adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab H{ana>fi>, sebuah mazhab sunni yang lebih tradisionalis dibanding dengan mazhab lain. Meskipun Syahab seorang tradisionalis, namun ia tidak seperti kebanyakan ulama di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni keimanan dan moral.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
178
Ahmad Muttaqin
Syuhudi Ismail (1943-1995 M.),28 Muhammad al-Ghazali (1917-1996),29 Khalid M. Abou El Fadl (lahir 1963 M.).30 Karir pendidikan Rahman berawal dari keluarganya, yaitu bidang wacana pendidikan tradisional yang dibimbing langsung oleh Ayahnya. Wacana pendidikan berawal dari menghafal al-Qur'an, di samping mempelajari bahasa Arab, bahasa Persia, ilmu retorika, sastra, logika, filsafat, kalam, fikih, hadis dan tafsir. Pendidikan tinggi ditempuh di Punjab University jurusan sastra Arab dan selesai dengan gelar BA pada tahun 1940. Gelar master untuk jurusan ketimuran juga diperoleh di Universitas yang sama. Untuk doktornya diperoleh di Oxford University. Mengajar di Eropa dan menjadi dosen bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Inggris pada tahun 1950-1958. Beralih ke McGill University Kanada untuk menjadi associate professor pada bidang islamic studies. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago dan langsung dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago. Menjadi muslim pertama yang menerima Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan puncak prestasi dalam bidang studi peradaban Islam dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies UCLA. Lihat Mawardi, “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman”, dalam Sahiron Syamsuddin (ed), Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 59-64. 28 Muhammad Syuhudi Ismail merupakan salah seorang intelektual Indonesia yang menekuni bidang ilmu hadis. Lahir di Lumajang Jawa Timur 23 April 1943. Syuhudi meneruskan pendidikannya di PGAN 4 tahun di Malang dan pada Pendidikan Hakim Islam Negeri di Yogyakarta pada tahun 1961, kemudian hijrah ke Makassar. Menyelesaikan studinya pada Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta cabang Makassar dengan ijazah Sarjana Muda pada tahun 1965. Kemudian lanjut sebagai sarjana pada Fakultas Sya’riah IAIN Alauddin Makassar pada tahun 1973. Kemudian kembali ke Yogyakarta dan belajar pada Studi Purna Sarjana dan kemudian melanjutkan master di UIN Syarif Hidayatullah hingga tamat tahun 1985. Syuhudi memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hadis di UIN Syarif tahun 1987 dan memperoleh gelar Professor dalam bidang Hadis di IAIN Alauddin Makassar pada thaun 1993. Syahudi wafat dua tahun setelah mendapat gelar akademik paling tinggi di dunia perguruan tinggi. Ia juga pernah menjadi pegawai Pengadilan Agama Tinggi (Mahkamah Syar’iyyah Propinsi) di Makassar pada tahun 1962 sampai dengan tahun 1970. Mengajar di beberapa perguruan tinggi seperti Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar, Universitas Muhammadiyah Makassar dan Enrekang, Universitas Muslim Indonesia Makassar. Lihat Zulfahmi Alwi, “Pemikiran Hadis Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1995)” dalam al-Fikr, Vol. 16, No. 2, 2012, hlm. 2-5. 29 Muh}ammad al-Ghaza>li> lahir pada tanggal 22 September 1917 M. di Nakla> al-‘Inab, al-Buh}airah Mesir. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah di desanya dimana dia menghafal alQur'an 30 juz. Masuk sekolah Agama Ibtida>’iyyah di Iskandariyah selama tiga tahun. Kemudian meneruskan di Tsanawiyah selama dua tahun dan lulus tahun 1937 M. Melanjutkan kuliah di alAzhar dan memperoleh gelar Magister dari Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama. Aktivitas selama di Mesir antara lain; tahun 1943 ia ditunjuk sebagai Imam dan Khatib pada pada Masjid al-Utba’ al-Khadra di Kairo, menjabat sebagai wakil Kementrian Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir. Di Universitas al-Azhar mengajar di Fakultas Syari’ah, Ushuluddin, Dira>sah al‘Arabiyyah wa al-Isla>miyyah dan Fakultas Tarbiyah. Pernah ikut al-Ikhwa>n al-Muslimu>n dan menjadi salah satu tokohnya. Lihat Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 23-26. 30 Khaled M. Abou El Fadl lahir di Kuwait tahun 1963. Sejak kecil telah dididik dengan ilmu keislaman. Umur enam tahun telah belajar di Madrasah al-Azhar Mesir. Pada masa remaja
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
179
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
Menurut Yu>suf al-Qarad}a>wi>, beberapa pentunjuk dalam memahami hadis sebagai berikut: (1) memahami sunnah sesuai petunjuk al-Qur’an, (2) menggabungkan hadis-hadis yang terjalin dalam tema yang sama, (3) penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang bertentangan, (4) memahami hadis-hadis sesuai dengan latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya, (5) membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis, (6) membedakan antara fakta dan metafora dalam memahami hadis, (7) membedakan antara yang ghaib dan yang nyata, (8) memastikan makna kata-kata dalam hadis.31 Fazlur Rahman menawarkan beberapa langkah seperti; (1) memahami makna teks hadis, (2) memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi secara umum, termasuk dalam hal ini asba>b alwuru>d, di samping itu juga memahami petunjuk al-Qur'an. (3) Merumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut untuk diaplikasikan pada masa sekarang.32 Adapun Syuhudi Ismail lebih mengarahkan pemahaman hadis Nabi kepada perbedaan makna tekstual dan kontekstual. Perbedaan ini dapat dilakukan dengan (1) memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis seperti jawa>mi’ al-kali>m, tams\i>l, ungkapan simbolik, bahasa percakapan dan analogi. (2) Melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasional yang turut melahirkan hadis.33 Sedang menurut al-Ghaza>li>, sebagaimana hasil perumusan Suriadi, metode dalam memahami matan hadis harus melalui empat langkah. (1) Menguji matan hadis dengan kandungan al-Qur'an, (2) menguji matan hadis dengan matan hadis yang lain agar tidak terjadi pertentangan. Setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis yang lain sehingga tidak dia termasuk orang yang getol menyebarkan dan membela paham Wahabi. Kemudian berbalik mengkritik paham Wahabi. Meraih gelar B.A. dari Universitas Yale tahun 1985. Meraih gelar J.D. di Universitas Pensilvania dan Doktornya diraih di Universitas Princeton dalam bidang studi Islam. Dia juga mengambil studi hukum di Universitas California Los Angeles (UCLA). Sekarang ditunjuk sebagai guru besar hukum Islam di UCLA. Ia juga mengajar hukum Islam di Universitas Texas dan Universitas Yale. Dalam waktu 2003-2005 diangkat oleh GW. Bush, presiden Amerika pada saat itu, sebagai salah satu anggota Komisi Internasional Kebebasan Beragama (International Religious Freedom). Lihat Yusriandi, “Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl”, dalam Sahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika Al-Qur’an...h. 413-415. 31 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj. Muhammad al-Baqir (Bandung: Karisma, 1997), h 92-197. 32 Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 19. 33
Ibid.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
180
Ahmad Muttaqin
memisahkan kandungan hadis dengan hadis yang lain. (3) Menguji dengan fakta historis karena hadis dan sejarah yang melingkupi kelahiran hadis sangat berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dalam memahaminya. (4) Pengujian dengan kebenaran ilmiah. Sebab tidak masuk akal hadis bertentangan dengan kebenaran ilmiah.34 Khaled M. Abou El Fadl, sebagaimana yang diungkapkan Yusriandi, melihat teks-termasuk hadis-adalah sebuah teks yang terdiri dari beberapa simbol berupa huruf-huruf yang melahirkan makna ketika dibaca oleh reader. Sehingga hermeneutika Khaled M. Abou El Fadl disebut “hermeneutika negosiasi’, terjadi dialog antara teks, pembaca dan realitas dalam menafsirkan sebuah teks. Titik tekan Khaled lebih kepada reader karena pembaca yang mengalami dinamika dalam hidupnya dan yang berkepentingan adalah pembaca. Sedang teks sejatinya hanya diam.35 Khaled menerapkan beberapa poin dalam meneliti hadis; (1) penyelidikan terhadap matan, (2) penyelidikan terhadap rantai periwayatan, (3) pertimbangan kondisi sosio-historis, (4) pertimbangan konsekuensi moral dan sosialnya.36 Selanjutnya pemikiran hadis beberapa tokoh di atas akan dipetakan dalam pembagian objektivis dan subjektivis. Aliran objektivis lebih menekankan pada pencarian makna asal dari objek penafsiran.37 Pemahaman yang baik adalah yang dapat memahami makna asli dari teks.38 Sedang aliran subjektivis menekankan pada peran pembaca dalam pemaknaan teks.39 Aliran ini melihat inti pemahaman adalah kebergunaannya untuk masa sekarang.40 Sebagaimana yang penulis ungkap di awal makalah bahwa tidak ada satu tokoh yang hanya menggunakan satu pemetaan di atas, apakah objektivis murni atau subjektivis murni. Hampir semua tidak bisa lepas dari keduanya. Maka yang dimaksudkan disini adalah 34
Ibid.,h. 82-86.
35
Yusriandi, “Hermeneutika Hadis Khalid M. Abou El Fadl”dalam Sahiron Syamsuddin ed., Hermeneutika Al-Qur’an...,h. 430. 36 Niila Khoiru Amaliya,“Kritik Hadis ‘Misoginis’ Perspektif Khaled M. Abou El Fadl.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga, 2006, h. 101. 37 Syamsuddin, Hermeneutika dan..., h. 26. 38 Mu’ammar Zayn Qadafy, “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l Makro: Studi atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer.” Tesis. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014, h. 74. 39 Syamsuddin, Hermeneutika dan..., h. 26. 40 Qadafy, “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l...”h. 74 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
181
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
kecenderungan dominan baik sebagai objektivis ataukah sebagai subjektivis dari setiap pemikiran tokoh. Untuk tokoh yang masuk kategori objektivis ialah Yu>suf al-Qarad}a>wi>, Fazlur Rahman, dan Syuhudi Ismail. Adapun maz\hab subjektivis diwakilkan oleh Muh. al-Ghaza>li> dan Khaled M. Abou El Fadl. Al-Qarad}a>wi> dimasukkan dalam golongan objektivis karena masih menganggap sangat penting mengetahui makna asli teks. Di antara kriteria al-Qarad}a>wi> yaitu harus mengetahui ungkapan hakiki dan majazi serta memastikan konotasi dengan tepat setiap kata. Menurut Mir’atun Nisa’, jika diteropong dengan triadik hermeneutik, pemahaman alQarad}a>wi> masih berada di antara “teks” dan “author” belum menyentuh wilayah reader sehingga produk pemahamannya belum mendunia dan masih ‘arabic centris’.41 Inilah alasan penulis memasukkan al-Qarad}a>wi> sebagai golongan objektivis. Fazlur Rahman dikategorikan objektivis meskipun sering disangka sebagai pengikut subjektivitas Gadamer. Sangkaan ini cukup beralasan karena adanya kemiripan double movement-nya Rahman dengan teori fusion of horizon Gadamer. Namun Rahman sendiri menolak anggapan yang mengatakan tidak akan pernah ada pemahaman objektif dengan ungkapan-sebagaimana yang dikutip oleh Qadafy: “It is , of course, clear that this doctrine (Gadamer) is radically opposed to what I have contended above by way of hermeneutics of the Qur’an”.42 Langkah pertama yang dilakukan Rahman, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, adalah memahami makna teks matan. Artinya, Rahman masih berpegang kepada makna asli teks sebagai pijakan dikontekstualisasikan pada era kontemporer. Inilah mengapa Rahman dimasukkan dalam golongan objektivis. Syuhudi Ismail sangat menekankan kajian matan dengan melihat aspek kebahasaan seperti bentuk jawa>mi’ al-kali>m, tams\il, simbolik, percakapan dan analogi. Syuhudi juga mengakui suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami tekstual, sedang yang lain lebih tepat dipahami secara
41 Mir’atun Nisa, “Hermeneutika Hadis Syamsuddin (ed), Hermeneutika Al-Qur’an..., h. 449 42 Qadafy, Epistemologi Sabab..., h. 77
Yusuf
al-Qara>d}a>wi”>dalam
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
182
Ahmad Muttaqin
kontekstual43 tergantung hadis tersebut. Ini berarti Syuhudi lebih condong ke objektivis walaupun ada nuansa subjektivisnya. Muh. al-Ghazali, penulis masukkan dalam maz\hab subjektivis karena salah satu kriteria pengujian hadis olehnya tidak bertentangan dengan kebenaran ilmiah dan rasa keadilan. Menurut al-Ghazali, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suryadi, bagaimanapun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak pakai.44Inilah alasan penulis menggolongkan al-Ghazali dalam kubu subjektivis. Khaled M. Abou El Fadl bisa dikategorikan dalam aliran subjektivis karena kecenderungannya kepada konteks masa sekarang. Artinya, dia lebih mementingkan pada aspek pembaca teks dengan konteks sekarang. Dia menolak hadis tentang ketaataan istri dalam hubungan seks dan hadis perintah sujud karena bertentang dengan moral dan kondisi sosial.45 Deskripsi dari masing-masing pemikiran tokoh di atas bisa digambarkan dengan tabel berikut ini guna memberikan perbandingan antara satu dengan yang lainnya. Tokoh Kriteria memahami hadis Nabi Kecenderun -gan
Tokoh Kontekstualis Yusuf al-Qardhawi
Al-Ghazali
Fazlur Rahman
Syuhudi Ismail
Khaled M. Abou
Objektivis
Subjektivis
Objektivis
Objektivis
Subjektivis
-
-
Mikro dan Makro
Kandungan al-Qur'an
Petunjuk alQur'an
Harus sesuai
Mikro tidak penting, makro yang penting Memahami petunjuk alQur'an
Jawami’ kalam, simbolik, analogi, dialog, tamsil Mikro dan Makro
-
Sabab al-Wurud
Hakiki, majazi, konotasi kata Mikro dan Makro
Kandungan Hadis lain Pengetahua n/ Ilmiah
Hadis-hadis setema -
Menguji dengan matan lain Yang bertentangan
Kebahasaa n
-
No comment Melihat hadis yang bertentangan -
Makro penting, mikro tidak Mempertimban gkan kandungan Ayat Hadis tidak boleh
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Jakarta: Bulan 43
Bintang, 1994), h. 6. 44 Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 86. 45 Amaliya, Kritik Hadis...h. 88 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
183
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
Posisi Nabi Konteks kekinian
Kurang memperhatik an
hadisnya ditolak Sarana dan tujuan Penting
-
-
Penting
Penting
bertentangan dengan ilmiah Melihat Fungsi Nabi sebagai apa Sangat penting
Tawaran Metodologi Memahami Hadis Nabi Pada pemaparan di atas telah dideskripsikan corak dan karakter dari masing-masing pemikir. Selanjutnya pada di bagian ini disaring beberapa model di atas dengan memilih langkah-langkah baik dari kubu objektivis dan juga subjektivis. Sehingga nantinya akan menawarkan model metodologi yang “bukan baru” tetapi hanya sekedar menyaring dan menyimpulkan dari beragam tawaran di atas. Penelitian memahami hadis secara garis besar dapat dilalui dengan tiga tahap; 1. Aspek kebahasaan sebagai kecenderungan dari kubu objektivis. Meliputi kajian kata jawa>mi’ al-kalam, simbol, analogi, hakiki, konotasi kata, perkembangan kata, petunjuk al-Qur'an dan tematik hadis lain. Untuk memahami bisa menggunakan ‘ilmu garib, mukhtalif al-h}adi>s\, semantik dan ilmu lain yang terkait. 2. Aspek asba>b al-wuru>d mikro dan makro. Kondisi Nabi, peran dan fungsi Nabi, kondisi masyarakat Arab, sosio-kultural, antropologi, psikologi, kultul pra-Islam. 3. Aspek konteks kekinian sebagai kecenderungan dari subjektivis. Yaitu dengan menerapkan ideal moral dalam format konteks kekinian. Tawaran di atas bukan berarti hal baru sebab Fazlur Rahman telah memperkenalkan double movement-nya. Hanya saja, langkah-langkah praktis dari setiap gerakan menjadi lebih jelas dan komplit setelah digabungkan dengan tawaran tokoh-tokoh yang lain. Sehingga masingmasing tawaran metodologi bisa saling menyapa dan melengkapi. Tentu, tidak mungkin harus menggunakan semua ilmu dan pendekatan di setiap ketiga aspek di atas. Pendekatan, teori, dan sebagainya sangat tergantung kepada hadis yang sedang diteliti.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
184
Ahmad Muttaqin
Penutup Dari pemaparan di atas, ada beberapa poin yang dapat digarisbawahi. Pertama, istilah fiqh al-h}adi>s\ dalam literatur lebih banyak digunakan dalam proses memahami kandungan hadis. Kedua, munculnya kitab-kitab syarah, beberapa disiplin keilmuan hadis dan pendekatan ilmu-ilmu sosial-humaniora menunjukkan ilmu untuk memahami hadis berkembang secara dinamis. Ketiga, para tokoh kontekstualis telah menawarkan beberapa metode pemahaman hadis, namun dapat di simpulkan ada tiga langkah dalam memahami makna hadis; (1) analisis teks, (2) historisitas dan konteks teks dan (3) penerapan pada konteks kekinian. DAFTAR PUSTAKA Al-Damasyqi>, Jama>luddi>n al-Qa>sim. Qawa>’id al-Tah}di>s\ min Funu>n Mus}talah}i al-H{adi>s\. DVD ROM al-Maktabah al-Sya>milah. Ali, Nizar. Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: CESad YPI Al-Rahmah. 2001. Al-Manz}u>r, Ibn. Lisa>n al-‘Arabi. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. t.t. Al-Munawwar, Said Agil Husin. Studi Hadis dengan Berbagai Perspektif. Paper di presentasikan dalam Konfrensi Internasional di UIN Sunan Kalijaga, tanggal 6 April 2015. Al-Naisabu>ri>, Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin ‘Abdillah al-H{a>kim. Ma’rifatuh ‘Ulu>m al-H{adi>s\. DVD Rom al-Maktabah alSya>milah. Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2009. Alwi, Zulfahmi. “Pemikiran Hadis Muhammad Syuhudi Ismail (19431995)” dalam al-Fikr, Vol. 16. No. 2. 2012. Amaliya, Niila Khoiru. “Kritik Hadis “ Misoginis” Perspektif Khaled M. Abou El Fadl.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. 2006. Bazmu>l, Muh}ammad ibn ‘Umar ibn Sa>lim. ‘Ilm Syarh al-H{adi>s\ wa Rawa>fid al-Bah}s\u fi>h. t.k: t.p. t.t. http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa
185
Konstruksi Ilmu Ma’a>ni> al-H{adi>s\ Kaum Kontekstualis
Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang. 1994. Mawardi. “Hermeneutika al-Qur’an Fazlur Rahman”, dalam Syamsuddin, Sahiron (ed).Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press. 2010. Mustaqim, Abdul. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2008. Qadafy, Mu’ammar Zayn. “Epistemologi Sabab al-Nuzu>l Makro: Studi atas Metodologi Tafsir Kontekstualis Kontemporer.” Tesis. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2014. Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Karisma. 1997. Sala>m, Muh}ammad Khalfa. Lisa>n al-Muh}addis\i>n dalam DVD ROM alMaktabah al-Syamilah, juz 4. Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi. Yogyakarta: Teras. 2008. Suryadilaga, M. Alfatih. Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: SukaPress. 2012. Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press. 2009. Yusriandi. “Hermeneutika Hadis Khaled M. Abou El Fadl”, dalam Syamsuddin, Sahiron (ed).Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press. 2010. Yusuf, Muh}ammad. “Kitab Syarah Hadis Tanwir Al-Hawa>lik Karya Jalal al-Di>n al-Suyu>t}i>: Kajian terhadap Metode dan Karakteristik” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 5, No. 2. Juni. 2004.
Jurnal Farabi Volume 13 Nomor 1 Juni 2016 ISSN 1907-0993 E ISSN 2442-8264
186
Aturan umum Penulisan Farabi 1. Tulisan naskah/artikel berupa hasil karya orisinil, baik hasil penelitian, kajian ilmiah yang terkait dengan keislaman. 2. Tema tulisan ditentukan oleh dewan redaksi. Tema setiap volume terbitan dan dapat dilihat di http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa 3. Naskah ditulis dalam salah satu bahasa (Indonesia, Arab, atau Inggris), Jumlah 5000 Kata. 4. Huruf latin menggunakan Times New Roman 12 dan jenis huruf Arab menggunakan jenis fond al-Mohanad 15 5. Kata atau istilah asing yang belum masuk dalam kaidah bahasa Indonesia diketik/ditulis dengan huruf miring. 6. Referensi dari internet diperbolehkan hanya berupa e-book, e-journal yang memiliki ISSN. 7. Sistem pengutipan menggunakan model footnote dengan contoh sebagai berikut : Buku: Sofyan AP Kau, Masailul Fiqhiyyah al-Mu’ashirah. (Cet 2; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2012, h. 164 Buku Terjemahan: Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 447. Artikel dalam Buku: M. Quraish Shihab, Membongkar Hadis-Hadis Bias Jender, dalam Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim (Jakarta: JPPR, 1998), h. 26-28. Artikel dalam Jurnal: M. Inam Esha, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Shahrur, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol. 2 No. 4. 2001, 126. Skripsi, Tesis, Disertasi, Working Paper Faisar Ananda, Dasar dan Metode Pemikiran Modern Islam Indonesia Tentang Wanita, Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), 114. Kitab Suci : Q.S. Al-Baqarah :2. Kontruksi naskah 1. Judul ; (judul tidak menyerupai laporan penelitian) 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar. 3. Asal Institusi penulis 4. Email penulis
187
5. Abstrak (ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris/Arab, panjang abstrak antara 80-130 kata). 6. Kata kunci (menggunakan 3-5 kata) 7. Pendahuluan ( Pendahuluan untuk tulisan yang berasal dari penelitian berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, metode penelitian ditulis dalam bentuk narasi) Pendahuluan untuk tulisan yang berasal dari artikel/kajian ilmiah berisi latar belakang masalah dan rumusan masalah. 8. Bahasan utama ( yang dibagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan kebutuhan tulisan) 9. Kesimpulan 10. Daftar Pustaka ditulis sebagai berikut : Buku: Kau, Sofyan AP, 2012, Masailul Fiqhiyyah al-Mu’ashirah. Cet 2 Gorontalo: Sultan Amai Press. Buku Terjemahan: Shahrur, Muhammad, 2004, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press. Artikel dalam Buku: Shihab, M. Quraish, 1998, Membongkar Hadis-Hadis Bias Jender, dalam Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim Jakarta: JPPR Artikel dalam Jurnal: Esha, M. Inam, 2001, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Shahrur’, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol. 2 No. 4. Skripsi, Tesis, Disertasi, Working Paper Faisar Ananda, 2001, Dasar dan Metode Pemikiran Modern Islam Indonesia Tentang Wanita, “Disertasi”, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
188