PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS
(Studi Kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Propinsi Jawa Barat)
RlSNA RESNAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
ABSTRAK RlSNA RESNAWATY, Penguatan Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias (Studi Kasus di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang). Dibimbing oleh NELSON ARITONANG sebagai Ketua, ARYA HAD1 DHARMAWAN sebagai anggota komisi pembimbing. Usaha kecil menengah merupakan unit usaha yang dipandang potensial untuk menompang perekonomian nasional terutama pasca krisis-ekonomi. Usaha kecil dianggap telah memberikan sumbangan yang nyata dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, antara lain dalam penyediaan kesempatan untuk mendapatkan upah minimum, penciptaan lapangan kerja, serta berperan dalam penerimaan devisa nasional. Permasalahan usaha kecil baik pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan usaha kecil. Permasalahan yang ada kian dipersulit oleh masalah struktural dalam dunia usaha yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara usaha besar yang menguasai sebagian aset produktii, sedangkan usaha kecil hanya menguasai sebagian aset produktii. Hal tersebut dapat tercermin dalam pola hubungan produksi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan mereka secara sosial maupun ekonomi. Salah satu instrumen untuk mengatasi perrnasalahan bagi usaha kecil adalah dengan kemitraan. Setiap pihak yang bermitra memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga untuk saling menguatkan di antara mereka keperluan kerjasama dan kemitraan. Setting kemitraan antara tiga pelaku usaha dalam kajian ini adalah tiga kelompok pengrajin yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin di desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Kajian ini dibuat dengan tujuan dapat membuat suatu strategi penguatan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias secara partisipatoris. Sebagai landasan penyusunan rencana program, tujuan khusus dari kajian ini adalah : (1) Mengidentifikasi hubungan kemitraan yang dimiliki pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing. (2) Mengetahui Faktor Internal dan ekstemal yang mempengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing. (3) Menyusun strategi penguatarl hubungan kemitraan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing secara partisipatif. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara mendalam dengan responden dan informan, pengamatan lapangan dan diskusi kelompok serta kajian dokumentasi dari daia sekunder. Hasil temuan di lapangan yang dikonfirmasikan dengan komunitas pengrajin, maka dirimuskan permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin kayu ukir dan hias dalam hubungan kemitraan mereka, antara lain: (1) Persaingan yang kurang sehat akibat belum adanya standar harga. (2) Keterlambatan dalam pembayaran upah kerja, (3) Kurangnya modal, (4) Belum adanya paguyuban atau kelompoklorganisasi. (5) Tidak adanya standar upah setiap pengerjaan komponen, (6) Belum ada Investor, (7) PenlasaranTerbatas. Upaya mengatasi permasalahan tersebut maka disusun program penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias melalui: (1) Penguatan Modal Sosial, dan (2) Pengembangan aktivitas usaha.
ABSTRACT Risna Resnawaty. Enhancement of Partnership Relation of Wood-carving and Handycraft Artisans (Case Study in Cipacing Village. Jatinangor Subdistrict. Regency of Sumedang). Supervised by NELSON ARITONANG as chairperson, ARYA HADl DHARMAWAN as member of guide commision. Small and medium enterprises are potential units to support national economy mainly after the economic crisis. SmaN enterprises was considered to give real contribution in both economic growth and development for instance in providing opportunity to gain minimum wage, to create jobs, and playing important role in gaining national income. The problem of small enterprises both in micm and macro level have been to constraints in their growths. To make matter worse, the stwctural problenrs afflicted in bussines life, shown by unequal@ between b g enterprises which have so much power to dominate half of productive assets, and those the small and medium enterprises which only get small part of productive assets. It was reflected in the production relation pattern which hindered the development of small and medium enterprises both socially and economically as well. One of the instrument to solve the problem is partnership. Each party involving in the partnership has not only advanteges but also advantages. It is therefore necessary to enhance cooperation and partnership. The setting of partneship among three business actors in this study is three groups of craftmen who has special camcteristic which is different to one another, to be mentioned; the bearer/collector, the craftmen and the labour in Cipacing Village, Jatinangor Subdistrict, Regency of Sumedang, West Java. The purpose of the study is to produce an enhancement strategy of partnership relab'ons between woodcarving and handycraft artisans in term of participatory. As a base of the prvgram planning, the particular purposes of this study are as follows: (1) to identify partnership relations of wood carvings and handycraft artisans, (2) To know internal and external factors influencing partnership relations of wood carving and handycraft artisans in Cipacing Village, (3) to set enforcement strategy of partnership relations to increase the prosperity of wood carving and handycraft artisans in Cipacing Village in term of participatory arpmach The collection of data were conducted through deep interviews with respondents and informen, d i m observation, group discussion and documentary studies of secondary data. The result found in such feld then were confirm to the artisan commr~nity,and it tt!erefom were set into a problem of research, to be mentioned; (1) the unf& competition due to the absence of price standad, (2) the delay of remuneratbn, (3) the lack of capital, (4) the absence of group/organization, (5) the absence of wage standard to each work of component, and (7) 1imitt)dmarketing. In order to set the efforts to overcome those problems, therefore the partnership relations enhancement among the wood carving and handycraft artisans were made through; ( I ) the enhancement of social capital, (2) development of bussines activity.
Judul Tugas Akhir
: Penguatan Hubungan kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias (Studi Kasus di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang)
Nama
: Risna Resnawaty
NRP.
:A. 154050265
Nelson Aritonana. Drs.. MSSW. Ketua
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Ma
Tanggal Ujian : 19 Desember 2006
Tanggal Lulus :
0 7 F E B 2007
PRAKATA Alhamdulillahi robbila'lamin, puji serta syukur Peulis panjatkan ke hadirat Allah S W , atas hidayah, perlindungan serta karunia-Nya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan kajian ini, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Prodfesional Pengembangan Masyarakat di Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor. Kajian ini berjudul: PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS Dl DESA ClPAClNG ( Studi Kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang), yang penulisannya dimulai pada bulan Desember 2005 dan berakhir pada bulan Februari 2007. Selama proses penulisan tugas akhir ini, penulis telah banyak mendapatkan pihak oleh karena itu penulis bimbingan dan arahan serta bantuan dari be-gai ingin mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada: Bapak Nelson Ariionang, Drs., MSSW., selaku ketua komisi pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini. Bapak Arya Hadi Dharmawan, DR.,lr., M.Sc. Agr., selaku anggota komisi pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini. Seluruh Dosen Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana lnstitut Pettanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan. Seluruh dosen dan Staf jurusan llmu Kesejahteraan Sosial Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Padjadjaran atas dorongan untuk segera menyelesaikanstudi Pascasarjana dan tugas akhir. Kepala Desa dan aparat Desa Cipacing, beserta komunitas pengrajin kayu ukir dan hias serta seluruh masyarakat Desa Cipacing yang tidak bosan memberikan pattisipasi selama proses pengumpulan data di lapangan. Suamiku Rivani, atas doa, kasih sayang serta kesabaran untuk memahami kesibukan selama mengikuti pendidikan pascasarjana dan penulisan tugas akhir ini. Ravinka anakku, semoga semangat 3an perjuangan ini menjadi semangat bagimu untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari mama. Keluarga Rancaekek 117 dan Keluarga Pangeran Antasari 10 Jakarta, atas dukungan moril beserta materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan studi. Akhir kata dengan segala kerendahan hati periulis berharap semoga kajian ini dapat memberikan manfaat kepada fihak-fihak yang berkepentingan dan dapat bermanfaat bagi kbasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat.
Bogor, Februari 2007
Risna Resnawaty
Penulis dilahirkan di kota Bandung, propinsi Jawa Barat pada tanggal 7 Desember 1981 dari pasangan H. Fathoni dan Hj. Purwita. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara. Penulis menyeiesaikan pendidikan Strata 1 pada jurusan llmu Kesejahteraan Sosiai, Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik, Universitas Padjadjaran pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis rnelanjutkan studi ke Magister Profesional Pengembangan Masyarakat di Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor. Sampai saat ini penulis merupakan tenaga edukatif di Jurusan llmu Pekerjaan Sosial FISIP-UNPAD sejak tahun 2004. Penulis menikah dengan Rivani, S.IP., MM., pada tanggal 18 Desember 2005 dan dikaruniai seorang putri pada tanggal 8 September 2006 bernama Ravinka Fathia Adinegara.
DAFTAR IS1 Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii... DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................XIII ... DAFTAR MATRI KS ............................................................................. XIII DAFTAR LAMPI RAN .......................................................................... xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1 1.2. Masalah Kajian .................................................................................. 4 1.3. Tujuan ................................................................................................... 6 1.4. Kegunaan ......................................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan ........................................................................................8 2.2. Usaha Kecil ......................................................................................... II 2.3. Pemberdayaan Masyarakat ................................................................ 14 2.4. Kemitraan ........................................................................................... 19 2.5. Modal Social ........................................................................................ 29 2.6. Kerangka Kajian .................................................................................. 31 Ill. METODE KAJIAN 3.1 . Strategi kajian ......................................................................................39 3.2. Tempat dan waktu kajian ................................................................... 40 3.3. Metode dan teknik pengumpulan data ............................................... 40 3.4. Analisis dan pelaporan ....................................................................... 44 3.5. Rancangan penyusunan Program ..................................................... 44 IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA 4.1. Kependudukan ................................................................................... 47 .4.2. Sistern Ekonomi .................................................................................. 49 4.3. Struktur Komunitas ............................................................................. 52 4.4. Kelembagaan ...................................................................................... 53 4.5. Sumber Daya lokal .............................................................................. 56 4.6. Masalah Sosial .................................................................................... 57 V . ANALISIS HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS DESA ClPAClNG 5.1. Pola Kernitraan ....................................................................................... 60 5.1 .1. Pola Kernitraan Kerjasama Operasional .......................................60 5.1.2. Pola Kemitraan Subkontrak ..........................................................62 63 5.1.3. Pola Kemitraan Dagang Umum ....................................................
5.2. Profil Hubungan Kemitraan ................................................................. 65 5.2.1. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Sosial 5.2.1.1 Jejaring Kerja ................................................................ 5.2.1.2. Komunikasi .................................................................. 5.2.1.3 Kepercayaan ................................................................. 5.2.1.4 Etika Kemitraan ............................................................
80
5.2.2. . Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Ekonomi 5.2.2.1. Modal ........................................................................... 5.2.2.2. Bahan Baku ................................................................. 5.2.2.3. Pemasaran ................................................................... 5.2.2.4. Pengetahuan dan Keterampilan ................................... 5.2.2.5. Pendapatan ..................................................................
86 90 92 95 96
65 72 77
5.2.3. Faktor lntemal dan Ekstemal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan 5.2.1 . Faktor Internal ................................................................. 101 5.2.2. Faktor Eksternal .............................................................. 104
VI.
PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGWIN KAYU UKlR DAN HlAS Dl DESA CIPACING 6.1 . ldentifikasi Potensi dan Permasalahan ............................................128 6.2. Perumusan Altematif Pemecahan Masalah .....................................135 6.3. Program Penguatan Hubungan Kemitraan ....................................... 137 6.3.1 . Latar Belakang Program .................................................139 6.3.2. Tujuan Program .............................................................. 139 6.3.3. Rincian Program ............................................................. 139
.
VII
KESIMPULAN DAM REKOMENDASI
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 146
DAFTAR TABEL Halaman 1
Teknik Pengumpulan Data ......................................................................
42
2
Topik-topik Pengumpulan Data ...............................................................
43
3
Jumlah Penduduk Desa Cipacing berdasarkan Umur ............................47
4
Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan ......................... 48
5
Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ...........................50
6
Topik Komunikasi dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin 73 Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing .....................................................
7
Mitra yang diajak Berkomunikasi ............................................................ 74
8
Alasan Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan .................................78
9
Bidang Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan .................................79
10 Mitra yang menentukan Besarmya Upah dan Harga ............................ 82 11 Mitra dalam Pengadaan Modal dalam Hubungan Kemitraan ................. 88 12 Rata-rata Pendapatan Per-bulan dalam Hubungan Kemitraan .............. 97 13 Tingkat Pendidikan Pengrajin ..................................................................103 14 Analisis Masalah. Potensi dan Alternatif Pemecahan Masalah ............. 121 15 Jadwal Rencana Kerja Kegiatan Program Jangka Pendek .................... 154 16 Jadwal Rencana Kerja Kegiatan Program Jangka Menengah ............... 155
DAFTAR GAMBAR
Halaman Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias Desa Cipacing ..... 5 Sifat dan Kepribadian dalam Kemitraan .................................................
20
Kerangka Pemikiran ................................................................................ 38 Salah Satu Showroom Kerajinan Milik Bandar .......................................49 Pola Kemitraan Kerjasama Operasional .................................................61 Pola Kemitraan Subkontrak ................................................................63 Pola Kemitraan Dagang Umum ............................................................64 Grafik Pendapatan Pengrajin di Desa Cipacing ..................................... 98 Analisis Masalah Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing ...................................................................... 119 Rancangan Program Penguatan Hubungan Kemitraan ......................... 122
DAFTAR MATRIKS
Halarnan Karakteristik Pola Inti Plasma ..................................................................
24
Karakteristik Pola Subkontrak ................................................................. 25 Karakteristik Pola Dagang Umum ...........................................................
26
Karakteristi~Pola Keagenan ...................................................................
26
Karakteristik Pola Kerjasama Operasional ............................................. 27 Hubungan Kemitraan Kegiatan Jejaring Kerja ........................................ 71 Komunikasi antar Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan ...................... 76 Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan ............................................. 79 Etika Kemitraan dalam Hubungan Kemitraan ......................................... 85 Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pengadaan Modal ........................ 89 Hubungan Kemitraan dalam Pengadaan Bahan Baku ........................... 91 Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pemasaran ................................... 94 Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pengetahuan dan Keterampilan ... 96 Pendapatan Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan .............................. 100 Faktor Internal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan ................... 104 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan ................ 107 Perbandingan Karakteristik Pola Kemitraan dalam Aspek-aspek Hubungan Kemitraan ............................................................................... 112 Kerangka Kerja Logis .............................................................................. 131
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Jadwal Pengumpulan Data .....................................................................
2
Panduan Penetapan Responden dan lnforman .....................................153
3
Pedoman Wawancara ...................................................................... 154
4
Foto-foto Komunitas Pengrajin Kayu Ukir dan Hias ............................... 160
150
I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Krisis multidimensi yang terjadi sejak awal tahun 1998 telah menyebabkan berbagai dampak buruk bagi aspek kehidupan masyarakat, di antaranya keterpurukan kondisi sosial dan ekonorni masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan dampak yang dirasakan secara menyeluruh terlebih pada masyarakat marjinal antara lain rnasyarakat lokal dan masyarakat yang berada di daerah penyangga atau sub-urban. Penanganan terhadap masalah kemiskinan merupakan ha1 yang tidak dapat diabaikan. Menyikapi kegagalan program penanganan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah, perlu dilakukan penanganan kemiskinan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh masyarakat. Penanganan tersebut menggunakan pendekatan yang pada dasarnya lebih memfokuskan pada pengidentifikasian "apa yang dimiliki oleh orang miskinn dari pada "apa yang tidak dimiliki oleh orang miskin" sehingga dapat dilakukan penanganan yang mampu memecahkan permasalahan sosiaCekonomi mereka. (Suharto, 2003). Pendekatan yang dilakukan adalah pemberdayaan, di mana pada pelaksanaannya dilakukan pengembangan terhadap potensi masyarakat dengan tujuan meningkatkan kondisi sosial-ekonomi mereka. Dengan demikian masyarakat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis dari peningkatan produktivitas mereka. Masyarakat miskin atau yang berada pada posisi belum terrnanfaatkan secara potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya din' dan harga dirinya (Kartasasmita, 1996). Usaha kecil menengah merupakan unit usaha yang dipandang potensial untuk menompang perekonomian nasional terutama pasca krisis-ekonomi. Usaha kecil dianggap telah memberikan sumbangan yang nyata dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonorni, antara lain dalam
penyediaan kesempatan untuk
mendapatkan upah minimum, penciptaan lapangan kerja, serta berperan dalarn penerimaan devisa nasional. Pada intinya usaha kecil telah menjadi salah satu alternatif utama dalarn penanggulangan masalah kemiskinan, sehingga peningkatan usaha kecil
merupakan langkah yang selaras dengan upaya-upaya pemerintah untuk mengurangi pengangguran, memerangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan peranan usaha kecil yang lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan padat modal. Karena usaha kecil menciptakan pekerjaan dengan modal yang relatif kecil. Selain itu usaha kecil juga menyediakan pengembangan industri di waktu mendatang karena menawarkan peluang yang berarti bagi mereka yang memiliki kemampuan berwirausaha. Oleh karena itu seringkali arah kebijakan pengembangan usaha kecil secara tidak langsung merupakan kebijakan penciptaan kesempatan kerja anti kemiskinan, atau kebijakan redistribusi pendapatan. Perrnasalahan usaha kecil baik pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan usaha kecil. Permasalahan yang ada kian dipersulit oleh masalah struktural dalam dunia usaha yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara usaha besar yang menguasai sebagian aset produktif, sedangkan usaha kecil hanya menguasai sebagian asd produktif. Hal tersebut dapat tercermin dalam pola hubungan produksi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan mereka secara sosial maupun ekonomi. Kesenjangan merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas, serta sistem distribusi dan pasarnya, di antara para pelakv ekonomi. Kelompok usaha kecil dengan pemilikan faktor produksi terbatas dan
produktivitas rendah
memiliki tingkat
kesejahteraan yang
rendah.
(Kartasasmita, 1997). Salah satu instrumen untuk mengatasi pertnasalahan bagi usaha kecil adalah dengan kemitraan. Kemitraan adalah hubungan antara pihak-pihak yang bermitra yang didasarkan pada ikatan yang saling menguntungkan dalam nubungan kerja sinergis, yang hasilnya bukanlah suatu zero sum game, tetapi positive-sum game atau win-win solution. Dalam ha1 ini setiap pihak yang bermitra memiliki potensi, kemampuan. dan keistimewaan sendiri, walaupun berbeda ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Setiap pelaku juga memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga untuk d i n g menguatkan di antara mereka timbul keperluan kerjasama dan kemitraan. Berdasarkan hasil pemetaan sosial di Desa Cipacing kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, diketahui bahwa di wilayah ini sebagian besar masyarakat
memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin. Masyarakat yang disebut memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin terbagi menjadi tiga golongan sesuai dengan istilah dan kapasitas rnereka, yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil, dan buruh pengrajin. Bandar kerajinan merupakan kolektor kerajinan yang telah siap jual, biasanya yang disebut sebagai bandar ini adalah pemilik modal besar dan mempekerjakan buruh pengrajin dan pengrajin kecil di sekitarnya yang memiliki keterampilan membuat kerajinan. Selain sebagai kolektor, bandar juga merakit komponen-komponen kerajinan menjadi kerajinan siap jual. Pengrajin kecil merupakan orang yang memiliki keterampilan membuat kerajinan, yang mereka jual pada kolektor atau bandar rnaupun langsung pada konsumen. Pengrajin ini umumnya memiliki modal yang kecil. Buruh pengrajin merupakan orang yang memiliki keterampilan membuat kerajinan, biasanya mereka mengerjakan kompanenkomponen kerajinan sebelum kerajinan tersebut dirakit dan siap untuk dijual dengan sistem orderlmakloon (sistem pembayaran sesuai dengan jumlah pekerjaan yang diselesaikan). Jenis kerajinan yang dihasilkan meliputi puluhan jenis hiasan yang terbuat dari kayu yang merupakan kerajinan aslillokal maupun kerajinan mancanegara antara lain; alat musik hias, senjata panahan, lukisan tempel, patung hias dan patung ukir, senjata tradisional maupun senjata yang berasal dari mancanegara (ridhu-ridhu, limstick, dll). Kerajinan tangan yang dihasilkan oleh pengrajin di wilayah ini sangat diminati oleh pasar lokal mzupun internasional. Dengan demikian secara sepintas, wilayah Desa Cipacing dapat dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi
yang tinggi. Namun pada kenyataannya kesuksesan tersebut masih dimiliki oleh sekelompok kecil usaha besar pada wilayah tersebut sedangkan sebagaian besar lainnya terrnasuk dalam kelompok miskin. Ketiga pelaku ekonomi di wilayah Cipacing tersebut merupakan satu komunitas yang hidup bersama. Dengan demikian di dalamnya terjalin pola hubungan sosiaCekonorni yang erat dan melembaga antar pengrajin, yaitu hubungan kemitraan. Akan tetapi dalam hubungan tersebut ditemukan kondisi yang tidak harmonis bahkan cenderung tidak adil, khususnya dalam kerjasarna produksi
dan pemasaran. Hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antar pengrajin.
1.2. Masalah kajian
Ketiga pelaku ekonomi yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin, merupakan motor penggerak utama laju perkembangan ekonomi lokal di Desa Cipacing. Mereka menjalankan usahanya secara bermitra. Menurut Sasono (2000)dalam Hafsah (2000):"upaya untuk mempercepat pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dicapai melalui kemitraan usaha yang tangguhn. Konsep kemitraan usaha merupakan suatu strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan usaha kecil, seperti yang tertuang dalam UU no. 9 Tahun 1995, di mana di dalam 'konsep pemberdayaan usaka kecil" melalui kemitraan perlu
difahami bersama bahwa: pemberdayaan menganduny arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan hams dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, namun harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Ini berarti bahwa mitra usaha yang lebih kuat harus memperlakukan mitranya yang kecil benar-benar sebagai mitra yang sederajat. Selanjutnya pemberdayaan UKM bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat. (Sanjaya, 1998). Gejolak ekonomi dan politik Indonesia yang pasang sunrt memberi dampak yang cukup besar bagi pengrajin Desa Cipacing. Sejalan dengan krisis ekonomi, perekonomian masing-masing warga Desa Cipacing mengalami dinamika yang beragam. Desa Cipacing merupakan sentra industri kerajinan yang pernasarannya sudah mencapai tingkat nasional bahkan intemasional. Pengrajinyang telah mampu memasarkan kerajinannya hingga ke luar negeri berhasil meraih kecntungan yang sangat besar. Bagi bandar kerajinan yang mengekspor kerajinan ke luar negeri, krisis ekonomi merupakan berkah bagi mereka karena keuntungan didapatkan berlipat seiring dengan naiknya harga tukar dollar. Dengan demikian di wilayah ini banyak didirikan rumah-rumah besar dan mewah milik bandar kerajinan. Akibat dari ha1 tersebut Desa Cipacing kemudian dinilai sebagai Desa yang maju dan tidak memiliki pertnasalahan kemiskinan. Namun pada kenyataannya ha1 tersebut tidak dialami oleh seluruh pengrajin, ha1 ini terlihat bahwa dibelakang rumah-rumah tersebut berdiri rumah-rumah sangat
sederhana yang terbuat dari bilik, yang merupakan rumah buruh-buruh pengrajin maupun pengrajin kecil. Maka secara sepintas dapat diketahui terdapat kesenjangan yang lebar di antara ketiga pelaku ekonomi di Desa Cipacing, yaitu antara bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Kondisi ekonomi buruh pengrajin memang bisa dianggap cukup memprihatinkan pendapatan yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi pengrajin kecil maupun buruh pengrajin dampak krisis ekonomi; antara lain naiknya harga BBM, harga bahan makanan pokok dan biaya hidup menyebabkan mereka semakin terpuruk karena kenaikan harga-harga tersebut tidak diiringi meningkatnya penda~atan.Meskipun harga barang yang dijual ke luar negeri tersebut sangat tinggi, namun para pengrajin tersebut tidak mendapatkan bagian yang besar. Buruh pengrajin biasanya bekeja seharian penuh bahkan kadang dari pagi hingga malam hari, namun penghasilan mereka cenderung kecil, dengan sistem upah per satuan barang yang selesai dikerjakan. Misalnya untuk pembuatan "paser" (mata panah) mereka diupah sebesar Rp. 100,- perbuah, apabila mereka berhasil membuat sebanyak 60 buah maka upah yang mereka dapatkan adalah sebesar Rp. 6000,- per hari. Pendapatan tersebut sangat jauh dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh Bandar. Setiap penjualan satu unit kerajinan panah Bandar kerajinan bisa meraih keuntungan hingga puluhan ribu rupiah. -
Buruh pengrajin
Pengrajin kecil
Baodar Kerajinan
I Intemasional I
Gambar
:. Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias Desa Cipacing
Dalam Hubungan kemitraan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat sentralisasi atau pola ekonomi yang berpusat pada bandar kerajinan. Tinggi atau rendahnya pendapatan yang didapatkan oleh buruh pengrajin ditentukan oleh banyai< atau sedikitnya pesanan dari pihak bandar, serta dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pihak bandar. Demikianjuga dengan pengrajin kecil yang telah mampu
memproduksi dan memasarkan barang secara mandiri, seringkali terhambat persaingan harga yang tidak sehat antar pengrajin. Berdasarkan kondisi tersebut maka didapatkan beberapa perrnasalahan di antara pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing, yaitu: 1) Terdapat potensi konflik antar pengrajin akibat adanya kesenjangan pendapatan yang tajam. 2) Terjadi ketidakadilan yang diderita oleh pengrajin kecil dan buruh pengrajin sebagai akibat peminggiran oleh pengusaha besar. 3) Terjadi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang lebar di antara pengrajin. Serta, 4) terdapat hubungan yang tidak seimbang antar pengrajin. Masalah kemiskinan yang dialami oleh pengrajin di Desa Cipacing disebabkan oleh berbagai kondisi baik internal maupun ekstemal. Namun dengan segensp potensi yang dimiliki, seharusnya masalah tersebut tidak terjadi pada mereka. Dengan demikian bertitik tolak dari beberapa asumsi di atas, bagaimana kemitraan seharusnya menjadi solusi dari permasalahan bagi para pengrajin di Desa Cipacing, menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Berdasarkan ha1 tersebut maka rumusan perrnasalahan kajian yang diajukan dalam proposal ini adalah: bagaimana strategi penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing? Rumusan kajian tersebut selanjutnya dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan : (1) Bagaimana profil hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa
Cipacing?
(2) Apakah faktor internal dan ekstemal yang mempengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing? (3) Bagaimana strategi peguatan hubungan kemitraan dalam meningkatkan
kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing? 1.3. Tujuan Kajian Tujuan yang ingin dicapai dari kajian pengembangan masyarakat ini adalah: 1. Mengidentifikasi hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dart hias di
Desa Cipacing.
2. Mengetahui Faktor Internal dan eksternal yang mernpengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. 3. Menyusun strategi penguatan hubilngan kemitraan yang tepat untuk
meningkatkan kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing secara partisipatif.
1.4. Kegunaan
Kegunaan dari kajian ini adalah : 1. Kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman teoriiis
mengenai hubungan kemitraan yang dimiliki oleh pengrajin. 2. Kajian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengrajin untuk
mengantisipasi permasalahan dan mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk penyelesaian masalahnya. 3. Kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam program
pengembangan masyarakat selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompokm tersebut (Soekanto, 1990). Definisi kemiskinan di atas menggambarkan bahwa orang dengan predikat miskin merupakan orang yang tidak memiliki mata pencaharian, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan dengan taraf hidup orang lain dalam kelompok tersebut. Berdasarkan perkembangan dalam pola hidup masyarakat, terjadi perbedaan antara kemiskinan pada satu kelompok dengan kelompok yang lain. Baharsyah (1999), mengemukakan penduduk miskin merupakan orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang iayak bagi kemanusiaan. Dalam ha1 ini, penduduk miskin memiliki mata pencaharian namun pendapatan yang mereka peroleh dari mata pencaharian tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pada definisi ini predikat miskin dapat diberikan pada seseorang meskipun seseorang tersebut memiliki mata pencaharian namun tidak layak bagi penghidupannya serta tidak sesuai dengan taraf hidup kelompok di mana dia tinggal. Dalam perspektif pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang terhambat dalam melaksanakan keberfungsian sosial mereka. Keberfungsian sosial berarti; (1) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup mereka, (2) kemampuan memecahkan pernasalahan mereka dan (3) kemampuan menjalankan peranan mereka (Sukoco, 1991). Berdasarkan kedua pengertian di atas kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan dari seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokok dalam menjalankan keberlangsungan hidup mereka. Penduduk miskin identik dengan kelas bawah atau warga kurang beruntung. Beberapa di antaranya masuk ke dalam kelompok residual dan marjinal, yang berasal dari berbagai kalangan seperti buruh tani, buruh bangunan dan dalam kasus ini adalah buruh pengrajin. Untuk lebih memahami masalah kerniskinan secara lebih mendalam dapat dilakukan dengan melihat intensitas serta karakteristik masatahnya serta sampai berapa jauh masalah tersebut membawa pengaruh pada berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga menciptakan suatu kondisi yang
disebut lingkaran yang tak berujung pangkal. Kondisi tersebut selanjutnya mempersulit kelompok miskin untuk bangkit dari kemiskinan (Soetomo, 1995). Masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang sebab dan akibatnya saling berkaitan dan beresiprositas. Kemiskinan dapat diakibatkan oleh faktor internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri yang tidak jelas ujung pangkalnya. Masalah kemiskinan melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar hidup yang rendah yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat. Kemiskinan di wilayah sub urban dinyatakan sebagai kehidupan warga masyarakat yang labil, antara lain dengan melambungnya harga-harga di perkotaan, masalah pemutusan hubungan kerja, tingkat konsumerisme yang tinggi seta ketergantungannya kepada hasil kerja saat itu, dengan kata lain kalau hari ini tidak bekerja berarti tidak mempunyai penghasilan dan tidak bisa makan (Pinbuk, 2004). Definisi diatas sesuai dengan keadaan di wilayah Desa Cipacing yang merupakan daerah sub-urban atau daerah penyangga daerah kota Bandung, dengan penduduknya yang heterogen, baik dilihat dari kehidupan sosial, ekonomi, poliik, budaya, adat istiadat maupun karakteristiknya yang bervariasi. Selain itu kehidupan buwh pengrajin yang kembung kempis dalam arti hanya mendapatkan penghasilan ketika mendapat orderan, memperburuk situasi sosial ekonomi mereka. Sumarjan (1974) menyatakan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita suatu golongan masyaraKat karena struktur sosialnya
membuat
masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenamya. Dalam ha1 ini yang menjadi masalahnya adalah sulitnya akses terhadap sumber-sumber kehidupan yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Studi tentang kemiskinan perlu mencakup suatu asumsi dengan jangkauan luas ketika ha1 tersebut digunakan untuk memahami kelompok-kelompok orang miskin tertentu yang tinggal di suatu daerah spesifik. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan adalah suatu fenomena spesifik secara lokal dan mungkin saja merupakan suatlr rnasalah yang kompleks yang dihadapi oleh suatu komunitas tertentu (Alcock, 1997; yang dikutip oleh Dharmawan 2000). Pemahaman tentang
kemiskinan dalam
arti
ukuran
pemerataan
(persamaan) dapat terus meningkat digunakan disamping indikator kemiskinan
dalam rangka menangkap suatu gambaran situasi yang lebih lengkap. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan dipercaya muncul sebagai respon langsung terhadap kelernbagaan sosial yang tidak efektif yang bisa mengakibatkan ketidaksamaan secara ekonomis dan kelompok orang yang tidak beruntung secara terstruktur.( Dharmawan, 2000) Paparan tersebut menggambarkan bahwa kondisi dan situasi kemiskinan tidak dapat terlepas dari aspek ekonomi, politik dan sosial budaya yang tidak adil yang mengakibatkan kemiskinan. Kemiskinan merupakan kondisi ketika pendapatan lebih rendah dari kebutuhan pokok, pemilikan asset ekonomi yang terlalu sedikit serta produksi barang dan jasa yang terlalu sediki. Friedmann, yang dikutip oleh Suharto, et al (2003) kemiskinan
sebagai
suatu
kondisi
ketidaksamaan
mendefinisikan
kesernpatan
untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada); modal yang produktif atau asset (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dll): sumber keuangan (income dan kredit yang memadai); organisasi-organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk rnencapai kepentingan bersama (parpol, sindikat, koperasi, dll), network atau jaringan sosial politik untuk rnemperokh pekerjaan, barang dan iain-lain. Pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang. lndikator kemiskinan yang dirniliki tiap daerah berbeda satu dengan yang lainnya. Departemen Sosial mengernukakan bahwa indikator kerniskinan adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per-orangan per-bulan berdasarkan standar BPS perwilayah provinsi dan Kabupaten kota. 2. Ketergantungan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat, raskin, santunan sosial) 3. Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluargz per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun) 4. Tidak mampu mernbiayai pengobatan jika salah satu anggota keluarga sakit. 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya. 6. Tidak memiliki harta benda yang dapat dijual untuk membiayai hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan 7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu rnengobati penyakit sejak awal. 8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf 9. Tinggal di tumah yang tidak layak huni.
Sedangkan indikator kemiskinan di Desa cipacing antara lain 1. Tidak memiliki pekerjaan yang tetap 2. Tingkat penghasilan yang rendah (seperti buruh pengrajin, buruh tani, buruh bangunan, dll.) 3. Tinggal di rumah yang tidak layak huni. (Hasil wawancara kelompok dengan penduduk desa Cipacing, 2005)
2.2. Usaha Kecil
Keberadaan usaha kecil dalam perekonomian Indonesia merupakan bagian dari sejarah panjang perkembangan pembangunan ekonomi nasional. Namun demikian belum ada catatan dan kriteria baku mengenai usaha kecil. Berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 256lMPPlKepl1997, usaha kecil dibedakan menjadi tiga yaitu : (1) semua jenis industri dalam kelompok kecil dengan nitai investasi perusahaan seluruhnya di bawah Rp. 5 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tidak diwajibkan memperoleh daftar usaha kecil, (2) semua jenis dalam kelompok industri kecil dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sebesar Rp. 50 juta sampai Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan wajib memperoleh ijin industri, (3) semua jenis industri dengan nilai. investasi di atas Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dan wajib memperdeh ijin usaha industri. Usaha kecil menurut beberapa ahli ditejemahka~sebagai usaha yang bersifat padat karya, melibatkan anggota keluarga dan dengan ukuran unit kecil. (Widyaningrum, 2003). Bila dilihat dari akumulasi modal, usaha kecil merupakan usaha subsisten dicirikan oleh sistem produksi yang hasilnya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga daripada mencari keuntungan yang dapat diinvestasikan untuk pengembangan usaha (Mulyoutami dan Susilowati, 2003). Selain pengertian usaha kecil diatas, pada awal tahun 2004 muncul temtinologi b r u mengenai usaha kecil. Beberapa laporan dan pengamatan mengenai perrnasalahan usaha kecil melahirkan suatu terminologi untuk usaha dengan skala kecil yaitu "usaha dengan ukuran yang sangat kecil" yang disebut Useha Mikro (Pinbuk, 2004). Beberapa karakteristik dianta:anya antara lain (1) waktu market entry dan exit yang relatif singkat, (2) manajemen bersifat manual, (3) produktivitas usaha dan tenaga kerja (umumnya anggota keluarga) sangat rendah,
(4) orientasi pasar sangat terbatas dan (5) pendidikan rata-rata manajer hanya
sekolah dasar, dan (6) usaha dibuat sebagai usaha sampingan. Pada prakteknya kelompok usaha kecil sering kali dikaitkan dengan pihak yang lemah secara ekonomi, sosial, politik dan kemampuan teknologi. Dengan demikian pula status usahanya yang bersifat pribadi dan kekeluargaan, tenaga berasal dari lingkungan setempat, kemarnpuan mengadopsi teknologi, manajemen dan administrasi sangat sederhana, dan struktur permodalannya sangat tergantung pada modal tetap.(Bobo, 2003) Pengembangan
Usaha
Kecil dan
Menengah terrnasuk
kerajinan
menghadapi beberapa kendala atau permasalahan seperti permodalan, sarana dan prasarana serta masalah sumber day^ manusia. Beberapa masalah umum usaha kecil dan kerajinan menurut Lengkong yang dikutip oleh Maulani (1999) antara lain: * Jumlah unit usaha yang tersebar di Indonesia berada di pedesaan yang belum terjangkau sarana dan prasarana yang memadai, sehingga menyulitkan jangkauan pembinaan. Taraf pendidikan pengusaha dan karyawannya rendah, mengakibatkan lemahnya pengetahuan mereka di bidang manajemen dan bisnis, sulit menerima gagasan hyang diperlukan untuk modemisasi industri kecil, serta sikap mental cepat puas dengan hasil yang dicapai; Baru sebagaian kecil pengusaha kecil yang memanfaatkan modal untuk menjalankan usahanya, kredit perbankan maupun lembaga non bank karena persyaratan teknis administratif usaha belum tertib dan perlu ada agunan. Menggunakan teknologi proses tradisional sehingga mutu dan produktivitas rendah. Penguasaan teknologi proses diwariskan dari generasi sebelumnya, sehigga kesulitan dalam rnengembangkan keterampilan selanjutnya. Belum mampu mengikuti pameran dengan skala besar baik nasional maupun intemasional, rnisi dagang dan sebagainya karena mernerlukan biaya rnahal. Promosi melalui media cetak dan elektronik masih kurang. Krisis ekonomi yang terjadi pada bangsa Itidonesia memiliki dampak yang sangat besar bagi usaha kecil di Indonesia, dengan melonjaknya suku bunga serta melambungnya harga bahan pokok menyebabkan menurunya daya beli masyarakat dan menurunnya produksi. Narnun dalam situasi yang demikian sulit tersebut,
usaha kecil dinilai sebagai usaha yang paling mampu bertahan dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. UKM menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmadja (2005) masih mampu bertahan pada masa krisis karena memiliki beberapa kelenturan, antara lain: 1) UKMK mampu mempertahankan daya tahannya selama krisis, dari 225.000 unit UKMK, sebanyak 64,lpersen masih mampu bertahan, 0,9 persen mampu berkembang serta 3lpersen mengurangi volume usahanya dan 4 persen tidak mampu bertahan hidup. 2) Usaha-usaha yang dapat berkembang selama krisis yaitu agribisnis, usaha furniture kayu/bambu, industri elektronika. Usaha-usaha tersebut mampu bertahan karena tidak bergantung pada bahan impor serta menjual produknya untuk tujuan ekspor. Kondisi tersebut menimbulkan kebutuhan akan pemberdayaan usaha kecil untuk dapat berorientasi lebih percaya diri serta dapat berkembang sesuai dengan kapasitas mereka. Pemberdayaan usaha kecil merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat (komunitas) karena sektor usaha ini memberikan sumbangan terhadap
PORB sebesar 88 persen. (Syaukat dan Hendrakusumaatmadja, 2005). Selain itu seMor usaha sangat cocok untuk dikembangkan di lndonesia dengan berbagai macam hambatan usaha dan potensi sumberdaya manusia Indonesia. Sumberdaya rnanusia Indonesia yang masih rendah bisa terserap deh sektor usaha kecil karena pada sektor ini tingkat pendidikan bukan merupakan syarat penting berjalannya usaha. Pengembangan usaha kecil menjadi sangat penting dalam perekonomian nasional, sebab kemampuan usaha ini untuk bertahan hidup sangat tinggi serta karena kegiatan usaha ini tersebar dalam seluruh sektor ekonomi maka usaha kecil memiliki potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja. Selain itu usaha ini dapat bertahan karena dapat menghasitkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyaralrat luas dengan harga yang terjangkau. (Syaifudin, 1995) Permasatahan yang dihadapi oleh usaha kecil, biasanya merupakan serangkaian masalah-masalah klasik, seperti terbatasnya keahlian, jaringan pasar dan modal kerja yang lemah. Dengan demikian solusi permasalahan yang harus dilakukan merupakan upaya untuk menjawab sisi lemah dari perekonomian rakyat tersebut. Seperti peningkatan kualitas SDM, penguatan modal kerja, penataan jsringan niaga, peningkatan manajemen produksi dan sebagainya. Beraamaan dengan itu perlu inter~ensipemerintah untuk melindungi dan memperkuzt berbagai keterbatasan mereka, misalnya dengan berbagai kebijakan yang memihak dan melindungi kelompok ini (Bobo, 2003)
Berkaitan dengan masalah sosial yang dialami oleh pelaku usaha kecil adalah pendapatan yang terbatas sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minim keluarga. Selain itu tenaga kerja yang dilibatkan yaitu secara kekeluargaan biasanya menyebabkan rendahnya produktivitas, serta menyebabkan munculnya permasalahan lain seperti rendahnya posisi tawar pekerja terhadap pemilik usaha dalam usaha ini. Dengan demikian selain pemberdayaan di bidang ekonomi diperlukan pemberdayaan sosial bagi sektor usaha kecil.
2.3. Pemberdayaan Masyarakat Salah satu upaya mengurangi kemiskinan adalah upaya pengembangan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan atau rnanumbuhkan kemandirian, mengembangkan partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasamya pemberdayaan dapat dilakukan pada tingkatan individu maupun komunitas pada tataran makro maupun mikro. Upaya
pembangunan
sosial
pada
dasarnya
meruapakan
suatu
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas ( Adi, 2003). Strategi pembangunan dengan konsep pengembangan masyarakat merupakan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan potensi dan sumber-sumber yang terdapat di dalam diri masyarakat itu sendiri dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat untuk berperan aktif sehingga tumbuh kemandirian dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan yang mereka miliki. Strategi pengembangan masyarakat merupakan pergeseran pola pembangunan yang tadinya bersifat asal atas atau top down menjadi bottom up atau hasil dari inisiatif masyarakat akar rumput atau grassroot. Program pengembangan masyarakat disusun secara partisipatif bersama masyarakat
yang
bertujuan
memberdayakan
masyarakat
lokal.
Prinsip
pengembangan masyarakat dalam pelaksanaarlnya saling terkait, antara lain meliputi kemandirian, berkelanjutan, pembangunan terpadu, pemberdayaan, menghargai nilai-nilai local, serta partisipasi. (lfe, 2000). Dengan demikian pemberdayaan masyarakat merupakan prinsip dari pengembangan masyarakat yang mutlak harus dilakukan.
Makna pemberdayaan dikemukakan sebagai : A process of having enough energy enabling people to expand fheir capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily access to a source of better li,/ing".( Dharrnawan, 2000) Pemahaman di atas memiliki pengertian bahwa pemberdayaan memiliki kaitan dengan upaya untuk memperoleh posisi yang lebih baik dalam mendapatkan akses terhadap sumber kehidupan. "empowerment aims to increase the power of the disadvantaged" (Ife, 2000)
pernyataan tersebut memiliki pengeitian bahwa pemberdayaan merupakan pemberian power (kekuatan) bagi mereka yang tidak memilikinya atau biasa disebut sebagai kaum lemah. Selanjutnya Ife, mengungkapkan " giving power to individuals or groups, allowing them to make into their own hands, redistributing power from the "havesJJto the "have nots". Maka pemberdayaan berarti mengembangkan kondisi
dan situasi (melalui pendistribusian kekuatan) sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya berdasarkan hasil kekuatan yang mereka miliki secara mandiri. Memberdayakan masyzrakat memiliki arti menempatkan
masyarakat
sebagai
subyek
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan mereka maupun dalam upaya mengatasi dan memecahkan permasalahan mereka. Sumardjo dan Saharudin (2003)mengemukakan ciri-ciri dari masyarakat yang berdaya adalah : -1.
mampu memahami diri dan potensinya
2. marnpu merencanakanlmengantisipasi kondisi perubahan ke depan dan mengarahkannyadirinya sendiri 3. memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai 4. bertmggungjawab atas tindakannya sendiri. Menurut Payne dalam Adi (2003)menyatakan bahwa proses pemberdayaan bertujuan membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka. Termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Pemberdayaan pada intinya membahas Sagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan membentuk masa depan membentuk masa depan sesuai keinginan mereka. Sehubungan dengan masalah kemiskinan, pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari pengembangan masyarakat, dengan cara memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya (Ife, 2002). Batasan pemberdayaan masyarakat menurut Departemen sosial RI adalah: Upaya untuk meningkatkan kemampuandan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok dan memecahkan masalah mereka sendiri seara mandiri dengan mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Adapun prinsipprinsip dasar yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat menurut perpektif pekerjaan sosial adalah : 1. Setiap masalah dipandang sebagai tantangan bersama yang hams dihadapi.
2. Orientasi terhadap masalah simultan dengan orientasi terhadap sumber kekuatan,
3. Semua proses ditujukan untuk menghasilkan yang terbaik di masa depan, 4. Bentuk rdasi antar aktor bersifat kolaboratif 5. Posisi antar aktor berupa kemitraan Pemberdayaan dapat meningkatkan kemandirian individu atau keiompok masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan, serta mengambil iceputusan dalam kehidupan mereka. Dalam ha1 ini pemberdayaan menjembatani kesenjangan antara pemilik kekuatan dengan orang yang kurang beruntung (disadvantaged) melalui aksi dan kerjasama untuk pemecahan masalah mereka. "Empowerment bridges the gap between the personal and the political and reduces the humiliation that keeps powerless" (Rubin-Rubin, 1992)
Kartasasmita (1955) salah satu strategi pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan sektor ekonomi bagi rakyat yang masih tertinggal. Hal ini dilakukan dengan cara; (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang, pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, ( 2 ) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dengan menerapkan langkah-langkah nyata, penyediaan
berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dan memanfaatkan peluang, (3) melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah, pemberdayaan di sini tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia itu sendiri. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh berbagai indikator, salah satunya adalah adanya pendayagunaan modal sosial sebagai salah satu kekuatan sosial masyarakat. Modal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti: pandangan umum, kepercayaan, pertukaran timbal balik, pertukaran ekonomi dan informasi, kelompok-kelompok formal dan informal, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi dan budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (colleta & Cullen, 2000 dalam Tonny 2005) Dalam
konteks
pengembangan
masyarakat,
modal
sosial
serta
kelembagaan dapat dikelola menjadi suatu aktivitas gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama dan kepercayaan. Menurut Daryanto (2004)
pembentukan modal sosial dapat
menyumbang pada
pembangunan ekonomi karena adanya jaringan (networks), norma (norms) dan kepercayaan (trust) di dalamnya yang menjadi kolaborasi (kwrdinasi dan kooperasi) sosial untuk kepentingan bersama. Pemberdayaan masyarakat terbagi dalam enam dimensi yang sangat penting, yaitu : a. Dimensi pembangunan sosial, dalam dimensi ini pengembangan masyarakat dapat dikategorisasikan ke dalam empat bidang yaitu: service development, the neighboufioodhouse/community centre, sosial planning, dan sosial animation. Tujuan dari dimensi sosial ini tidak hanya menbangun sistem sosial kemasyarakatan yang baru namun juga membantu dan menguatkan sistem yang ada agar dioperasikan lebih efektif melalui kwrdinasi dan pereqsanaan yang baik. b. Dimensi ekonomi, dimensi ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa pemberdayaan ekonomi yang menggunakan pendekatan makro dan bersifat bottom up ternyata tidak memberikan keuntungan atau manfaat kepada masyarakat lokal. Hal ini tidak saja disebabkan karena pembangunan dengan pendekatan makro sangat production oriented sehingga kurang memperhatikan aspek pemberdayaan, tetapi juga
karena pendekatan tersebut berorientasi pada sektor formal, urban setting industrial oriented, serta kurang memperhatikan sustainabilitas
lingkungan hidup (Korten dan Camer,
1993 dalam
pelatihan
Pengembangan masyarakat dan akuntabilitas publik, 2004) c. Dimensi Politik, kegiatan pengembangan masyarakat dalam dimensi politik terbagi atas internal dan external political development. Internal political development umumnya berkaitan dengan proses-proses
partisipasi dan pengambilan kepututsan dalam masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan pengorganisasian. Sedangkan external political development bertujuan melakukan pmberdayaan masyarakat
dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan politik yang lebih has. d. Dimensi lingkungan hidup, merupakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan meningkatakan kualitas lingkungan hidup rnasyarakat, rneningkatkan kesadaran akan pentingnya isu-isu lingkungan hidlip dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi lingkungan sekiiar. e. Dimensi personal/spiritual, merupakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan Cualiias hidup anggota masyarakat melalui pengernbangan diri tenrtama pembangunan spiritual. f.
Dimensi
kebudayaan,
mengarah
mempertahankanlmengangkat
pada
kebudayaan
lokal
kegiatan
untuk
dalam
rangka
menciptakan identitas masycrakat dan kesadaran lintas budaya. (Ife, 2004)
Pada prinsipnya pemberdayaan masyarakat hams dilaksanakan secara utuh meliputi keenam dimensi tersebut. Namun pada prakteknya, seringkali dimensi sosial d m ekonomi dianggap mewakili dari keenam dimensi tersebut. Sehingga pada kajiari ini dimensi sosial ekonomi merupakan kata kunci dari pemberdayaan bagi para pengrajin dengan tidak berrnaksud rnengabaikan keempat dimensi lainnya.
2.4. Kemitraan Kemitraan mengandung makna adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. (Sumardjo, 2001) Berdasarkan pengertian di atas, kemitraan merupakan jalinan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah dengan maksud agar tiga jenis usaha tersebut
bisa mencapai kemajuan dengan adanya ikatan yang
saling
menguntungkan. Dalam ha1 ini buruh pengrajin dan pengrajin kecil merupakan usaha kecil yang mengalami keterpurukan ekonami sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan mereka diperlukan adanya jalinan kemitraan dengan usaha yang lebih besar. Tujuan
dari
kemitraan adalah
untuk
meningkatkan pendapatan,
kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mandiri. Kemitraan merupakan solusi pemecahan yang dianggap ideal dalam mengatasi masalah kemiskinan yang dialami oleh pengrajin di Desa Cipacing. Sedapat mungkin kerjasama ini akan mencapai posisi saling menguntungkan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Kata kunci dalam kemitraan ini adalah adanya jalinan kerjasama dan trust (kepercayaan). Kemitraan dibangun dan dikembangkan atas dasar kepentingan bersama, kesetaraan, dan saling menguntungkan. Jadi, tidak ada pihak yang tinggi atau rendah, tetapi setara (egaliter), dan hasilnya memberikan keuntungan bagi pihakpihak yang bermitra. Untuk dapat melaksanakan kemitraan dengan baik diperlukan ketaatan dan kepatuhan di antara yang bermitra terttadap kesepakatan bersama, sehirtgga tumbuh etika kemitraan baik dalam hubungan sosial dan ekonomi yang dijalin. (Sukoco, 2006). Dengan demikian prinsip utama kemitraan adalah tewujudnya keuntungan dari masing-masing pihak yang berrnitra. Dalam konteks kajian ini keuntungan dan manfaat bersama tidak selalu harus berlandaskan kepada kepemilikan jenis dan kualitas sumber daya yang sama, namun yang lebih penting adalah posisi tawar yang setara. Posisi pihak yang bermitra tidak vertikal (atas-bawah), namun horizontal (sejajar).
Hubungan kemitraan memiliki beberapa syarat penting antara lain; diantara mereka yang bermitra perlu menyadari kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk saling melengkapi, saling memperkuat, serta tidak saling mengeksploitasi. Usaha dengan skala menengah atau besar memiliki kemungkinan untuk takut tersaingi, akan tetapi dengan dengan adanya trust maka akan bisa mendukung bagi keberhasilan ekonomi baik pada usaha skala kecil, menengah maupun besar. Dengan demikian kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi antara sektor usaha yang memiliki skala yang berbeda dengan serta rnenghilangkan kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi melalui kamitmen yang kuat untuk saling melengkapi, memperkuat dan tidak saling mengeksploitasi. Mariotti (1996) yang dikutip oleh Sukoco (2006) menyatakan ada beberapa sifat kepribadian yang dibutuhkan dalam kemitraan. Sifat-sifat tersebut dinilai dapat mengokohkan t i a k hanya hubungan ekonomi namun juga hubungan sosial dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2. Sifat dan Kepribadian dalam Kemitraan Gambar di atas menunjukkan sifat kepribadian yang d~butuhkandalam kemitraan yaitu : 1) Karakter; diartikan sebagai jiwa atau budi pekerti yang rnembedakan
seseorang dengan individu lainnya. Dalam kcnteks kemitraan, pihak yang bermitra dituntut memiliki karakter tertentu, antara lain kebutuhan untuk berrnitra, daya juang yang kuat, tidak mudah putus asa, menghormati mitra, dan sebagainya.
2) Integritas; merupakan sikap orang untuk mewujudkan nilai dan etika yang dimiliki, sehingga integritas menunjukkan adanya kesesuaian antara yang dikatakan dengan yang dilakukan.
3) Kejujuran; dalam kemitraan dibutuhkan kejujuran untuk menyusun program kemitran yang jelas dan transparan. 4) Kepercayaan; berkaitan dengan kepercayaan pada pihak mitra untuk
mempertahankan komitmen bersama atas kesepakatan-kesepakatan yang disetujui bersama. 5) Komunikasi; berkaitan dengan proses penyampaian informasi antara pihakpihak yang berrnitra mengenai ide, gagasan, informasi yang terus berkembang. 6) Adil; tidak berat sebelah, tidak memihak, memperlakukan sesuai dengan hak
dan kewajibannya. 7) Keinginan; baik ekonomi maupun non ekonomi. Berkaitan dengan harapan,
tujuan yang ingin diperoleh sebagai nilai tambah. Seperti peningkatan modal, keuntungan, daya pemasaran, penguasaan teknoiogi, sumber daya manusia, dan lain-lain. 8) Perbandingan; menganalisis bersama antara resiko yang dilakukan dengan
hasil yang dicapai. Beberapa peluang usaha yang dapat diperoleh melalui kegiatan kemitraan yaitu : 1. Kerjasama pemasaran atau penampungan produk usaha secara lebih jelas.
2. Kerjasama dalam bentuk bantuan dsna, teknologi, atau sarana lain yang diberikan usaha besar.
3. Kerjasama untuk dapat manghindar dari proses persaingan terhadap produk yang sama antara pengusaha kecil, pengusaha menengah atau pengusaha bssar. 4. Kerjasama dengan berbagi tugas masing-masing pengusaha sesuai dengan
spesialisasi
dan
tugas
masing-masing
dalam
system
bisnis
yang
berkesinambungan. (Sumardjo dkk., 2004) Poole (2000) yang dikutip oleh Sukoco (2006) menyatakan ada beberapa prinsip yang dibutuhkan dalam kemitraan terutama kaitannya dengan kemitraan dalam masyarakat (six action principles in the community partnerships model), antara lain :
1. Mernbangun agenda rnasyarakat (community agenda building)
untuk dapat rnelakukan kemitraan, rnaka terlebih dahulu perlu disusun dan diidentifikasi kebutuhan apa saja yang perlu dirnitrakan. Dengan jelasnya kebutuhan kernitraan, hal-ha1yang dimitrakan, dan pihak-pihak yang akan diajak bennitra, maka program kemitraan akan rnudah dirancang bangun. 2. Menetapkan struktur kernitraan rnasyarakat (community partnership structure)
Dengan teridentifikasinya agenda dan tersusunnya program kernitraan, rnaka perlu segera dibentuk dan ditetapkan struktur kemitraan yang akan rnengimplementasikan agenda dan program tersebut. Struktur tersebut hams melibatkan semua pihak yang bermitra. Penetapan struktur harus adil dan setara, sehingga tidak ada pihak yang rnerasa diperalat dan dirugikan atau sebaliknya
merasa dimenangkan dan
diuntungkan.
Kernitraan
narus
rnemberikan keuntungan kepada semua pihak dan posisi rnereka adalah sejajar. 3. Menganalisis (analysis)
Program dan struktur kemitraan yang sudah dirancang perlu dianalisis dengan baik untuk mengetahui efektif atau tidak, menguntungkan atau rnerugikan. Metode analisis yang digunakan dapat dengan cost benefit analysis rnaupun cost effective analysis. Jadi, dirnanfaatkan berbagai penelitian tindakan (action research) untuk menganalisis isu-isu yang terjadi dan pencarian alternative
pernecahannya. 4. Pernilikan rnasyarakat (community ownership)
Jika hasil anaiisis rnenunjukkan bahwa program dan struktur kemitraan efektif dan menguntungkan dilaksanakan, jika isu-isu dan atternative pemecahannya dapat dideteksi dan dipahami, maka hat itu harus diinformasikan dan disosialisasikan kepada pihak yang bermitra, sehingga menjadi milik mereka. Dengan merasa memiliki program kemitraan tersebut, maka diharapkan rnuncul tanggung jawab untuk melaksanakan kemitraan dengan sungguh-sungguh. 5. Teknologi (technology)
dengan rnunculnya kesadaran bahwa program kernitraan adalahmilk rnasyarakat, maka langkah selanjutnya dalah melaksanakan program tersebut. Pelaksanaan program kernitraaflmembutuhkan tenaga-tenaga yang menguasai teknologi untuk melaksanakan hal-hat yang dimitrskan. Dalam hat ini yang dirnitrakan berkaitan dengan keragaan usaha kerajinan, rnaka tenaga yang
melaksankan kemitraan tersebut harus menguasai teknologi yang mendukung keragaan usaha kerajinan. 6. Pengayoman (stewardship)
pelaksanaan kemitraan membutuhkan komitmen yang tinggi, akuntabilitas, dukungan, dan keseriusan dan semua pihak yang terlibat, guna mewujudkan kelancaran dan kesuksesan kemitraan. Pelaksanaan kemitraan perlu dipantau dan dievaluasi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi untuk dicarikan solusi dan mengetahui hasil yang telah dicapai untuk menetapkan dilanjutkannya kemitraan. Dalam memahami kemitraan, perlu diketahui beberapa jenis kemitraan usaha yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan penguatan kemitraan pengrajin di
Desa
Cipacing.
Secara
lebih
lengkap,
Sumardjo
(2001)
mengungkapkan beberapajenis pola kemitraan sekali~uslesson learnt dari masingmasing pola kemitraan tersebut antara lain : a Pola inti plasma Pola inti plasma merupakan pola hubungan kemitraan antara keiompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang berrnitra. Perusahaan inti menyediakan sarana produksi, bimbingan teknls dan manajemen, serta menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi, selain memproduksi sendiri kebutuhan perusahaan. Kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.
Matriks 1. Karakteristik Pola Inti Plasma Keunggulan Terciptanya saling ketergantungan meinperoleh dan saling keuntungan, bagi usaha kecil sebagai plasma tersedia permodalan, pembinaan teknologi dan manajemen, sarana produksi secara tepat dan bermutu, pengolahan hasil serta pemasaran, dan bagi perusahaan sebagai inti dapat diperoleh standar mutu bahan baku industri yang lebih terjamin. = Bagi usaha kecil terciptanya skala usaha secara lebih ekonomis dan efisien, sedangkan bagi pengusaha besarlmenengah mempunyai kemampuan dan kawasan pasar yang lebih luas, seita dapat mengembangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan lebih mampu bersaing pada pasar yang lebih luas (nasional, regional maupun intemasional). Keberhasilan kemitraan inti plasma dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha besadmenengah yang lain sebagai investor swasta nasional maupun swast3 asing. Berkembangnya kemitraan intiplasma mendorang tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang, sehingga dapat menjadi media pemerataan pembangunan dan mencegah kesenjangan sosiat Sumber : Sumardjo, dkk. 2001
Kelemahan Pihak plasma masih kurang mampu memahami hak dan kewaiibannva dengan baik, sehingga kesepakatan kemitraan yang telah ditetapkan menjadi kurang berjalan sehingga kesepakatan kemitraan yang telah ditetapkan menjadi kurang berjalan secara saling menguntungkan. Misalnya pemasaran tidak kepada inti, tetapi kepada pihak lain sehingga kredit modal usaha kecil melalui perusahaan inti menjadi tidak terbayar dan inti menjadi kurang berkembang selayaknya. Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan. Belum ada kontrak kemitraan yang benar-benar menjamin hak dan kewajiban dari komoditi yang dimitrakan, serta belum ada pihak ketiga yang secara efektif berfungsi atas sebagai arbitrator penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja.
b Pola sub-kontrak Pola hubungan kemitraan yang dibangun oleh perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan seb~gaibagian dari komponen produksinya. Ciri khas dari bentuk kemitraan ini adalah membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga dan waktu.
Matriks 2. Karakteristik Pola Subkontrak Kelemahan
Keunggulan Mendorong terciptanya alih teknologi, modal, dan keterampilan Pemasaran produk kelompok mitra usaha jelas dan tejamin.
,
I
Hubungan subkontrak cenderung mengisolasi produsen kecil sebagai subkontrak pada suatu bentuk yang mengarah ke monopoli atau terutarna dalam monopsoni, penyediaan bahan baku dan pemasaran. tersebut bisa Kecenderungan menyebabkan berkurangnya nilainilai kemitraan seperti saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi, misalnya berupa penekanan terhadap harga input yang tinggi dan harge produk yang rendah. Kecenderungan kontrol kualitas produk secara ketat, namun tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat, melainkan sering terlambat atau bahkan pola konsinyasi, di lain pihak juga timbul gejala eksploitasi tenaga untuk mengejar target produksi. Belum ada pihak yang berperan secara efektif sebagai arbitrator dapat mengatasi persoalan dalam hubungan kemitraan semacam itu.
Sumber : Sumardjo, dkk. 2081 c
Pola Dagang Umum
Pola ini merupakan hubungan kemitraan usaha yang memasarkan hasil dengan kelompok usaha yang mensuplai kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan. Beberapa kelompok mitra (pemasok) bergabung dalam bentuk koperasi maupun badan usaha lainnya. Kebmpok ini memenuhi atau memasok kebutuhan perusahaan mitra untuk dipasarkan dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Pola kemitraan ini memerlukan dukungan pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra, baik usaha besar maupun usaha kecil. Sifat kemitraan ini pada dasamya adalah hubungan membeli dan menjual produk yang menjadi dasar jaminan harga atau produk yang dihasilkan dan kualitas sesuai dengan yang telah ditentukan.
Matriks 3. karakteristik Pola dagang Umum Kelemahan
Keunggulan Margin harga serta kualitas produk yang diperjualbelikan sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Pemasaran produk tejamin bagi mitra usaha kecil penghasil produk.
I
I
Sumber : Sumardjo, dkk. 2001 d
1
Sering ditemukan pengusaha besar secara sepihak menentukan harga dan volume, hanya menguntungkan satu pihak saja. Sering ditemukan pembayaran dalam bentuk konsinyasi, sehingga pembayaran barang-barang pengusaha kecil tertunda dan bahkan menjadi penganggung beban modal pemasaran produk. Kondisi seperti ini sangat merugikan perputaran uang pada pengusaha kecil yang memiliki keterbatasan permodalan.
Pda Keagenan
Pola keagenan merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan di mana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya. Usaha menengah atau besar sebagai mitra usahanya bertanggung jawab terhadap produk (barang atau jasa) yang dihasilkan, sedangkan usaha kecil sebagai kelompok mitra diberi kewajiban untuk memasarkan barang atau jasa tersebut, bahkan disertai dengan target-target yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Matriks 4. Karakteristik Pola Keagenan Keunggulan
Kelemahan
Usaha kecil mitra tidak kesulitan * Usaha kecil mitra menetapkan mencari permodalan dalam usaha. secara sepihak harga produk pada Usaha kecil mendapatkan tingkat konsumen sehingga terlalu tinggi dibanding dengan jangkauan keuntungan sesuai fee yang dijanjikan oleh pengusaha atau daya beli konsumen. Usahc kecil sering memasarkan agen. tidak hanya produk dari satu mitra usaha saja dan kemudian kurang mampu membaca segmen pasar sehingga tidak memenuhi target. Sumber : Sumardjo, dkk. 2001
e Pola Kerjasama Operasional Merupakan pola hubungan bisnis, di mana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga. Sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau memproduksi suatu komoditi. Disamping itu perusahaan mitra sering berperan sebagai penjamin pasar produk, diantaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan. Pola kemitraan ini ditandai dengan kesepakatan tentang pembagian hasil dan resiko usaha. Matriks 5. Karakteristik Pola Kerjasama Operasional Kelemahan
Keunggulan Pemasaran produk tejamin ivlitra usaha kecil tidak kesulitan dalam mempersiapkan modal dan biaya operasional produksi.
I
Sumber : Sumardjo, dkk. 2001
Pengusaha mitra yang sering juga menangani aspek pemasaran dan pengolahan produk megambil keuntungan berlebihan, sehingga dirasakan kurang adil oleh kelompok usaha kecil mitranya. Perusahaan mitra kemudian cenderung berperilaku monopsoni, sehingga menekan keuntungan yang diperoleh oleh usaha ~ e c imitranya. l Belum ada pihak ketiga yang secara efektii dalam memecahkan permasalahandi atas.
J
Berbagai pola kemitraan dibangun untuk menciptakan hubungan kerja atau jaringan kerja (networks) kemitraan antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar sebagai satu kesatuan ekonomi. Networks ini menjadi dasar pembangunan struktur usaha yang kokoh dan memiliki keterkaitan struktural dan fungsional yang kuat antara pelaku. Sinergi antar skala usaha ini akzn rnernacu pertumbuhan dengan pemerataan. Pada gilirannya dapat dibangun perekonomian yang senat yang rnarnpu rurnoun aan oersalng.
i3entuk kemitraan yang pernah dicanangkan pemenntah adalah bentuk 6emitraan Bapak-Angkat yang dilaksanakan pada tahun 1992. Program ini adalah suatu program *@gn mewajibkan usaha besar (termasuk usaha swasta mauput; RLI?.?Nluntuk rnen?baz!g usaha kecil dalam berbaaai bidanal seperti pendanaar.
petnasaran, dari pelatihan manajemen. (Widyaningrurn dkk, 2003). Namun pada kenyataannya program Bapak-Angkat ini dinilai tidak berhasil. Program Bapak-
Angkat seperti halnya program pengembangan usaha kecil lainnya tidak memperlihatkan adanya kepentingan usaha besar. Sehingga pada kemitraan yang pemah dijalankan ditemukan pengalaman-pengalaman buruk seperti halnya adanya eksploitasi dari pihak usaha besar terhadap usaha kecil. Kemitraan sebagai ide dasar untuk memperkuat perekonomian nasional justru dapat menjadi pola kerjasama yang merugikan bagi pengusaha kecil atau sebaliknya. Sejauh ini pola kernitraan yang pemah dilakukan lebih senng mengalami kegagalan karena rnelupakan unsur-unsur dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat yang ada. Dengan demikian pengembangan kemitraan bukan hanya pada dimensi ekonomi semata namun juga dimensi sosial masyarakat. Menyinggung konsep kemitraan yang cenderung digunakan sebagai konsep dasar pemberdayaan ekonomi, pada dasamya kemitraan rnerupakan suatu cara kerjasama dengan menggunakan tidak hanya prinsip-prinsip ekonomi, namun juga meliputi aspek sosial antara pihak-pihak yang bermitra, yang dlbuat untuk menguntungkan semua pihak yang bermitra dengan tujuan tertentu. (Materi Bintek Kemitraan Otonomi daerah, Kerjasama Antar Daerah dengan Badan Uszha Miiiu lvegara arau uaerah, Swasta dan Masyarakat, 2005). vaiam ~ajianini ~emiiraanaipanaang wuitan hanya seiteciar kerjasama kolaboratif antara sektor usaha besar denaan menenaah dan sektor lebih kecil vanc terbatas oada hubunaan dalam bidana ekonomi saia. Namun iuaa hubunasn d'
antara pihak-pihak yang bermitra tersebut meliputi terjalinnya kerjasama sosial dar~ ekonomi yang harmonrs. Hubungan tersebut diharapkan tidak hanya akan berjalan ..
.
paua senior enorlorr~isajia, rlartlurl juga pads ~ e i ~ i u u uerrnasyara~a: ~r~ GI :uar
kehidupan ekonomi. Hal ini didasari kenyataan bahwa ketiga sektor usaha yang aaa -s . u r uyu.su.. vuuru m\uuu.uut I 1-0
--
--
.-
.- --
Is u e w r u u uulu*I I I\VI ~ a u u p u m a
--
-.. uvm I n a u u x u n u..u..
6erdasarirar1pengaiarr~an~eberi~asiiar~ dart Kegagaian Kerr~iiraar~ yarig ieiai~
- -
-
.
.,
benarkah kemitraan mamou menaanakat keseiahteraan sosial-ekonomi usaha kecil dan menenaah untuk menahadaui dominasi usaha skala besar (2) bentuk kemitraar, seprti apa yarlg reievan untuk dite~apkandi setiap daerail?
2.5. Modal Sosial
Modal sosial didefinisikan sebagai : "suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal baik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif." (Colletta &Cullen, 2000. yang dikutip oleh Tonny 2005) Berdasarkan pengertian tersebut maka modal sosial dipahami sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial. Modal sosial menurut Fukuyama (2000) seperti yang dikutip Hermawati (2002) diartikan sebagai seperangkat rangkaian nilai-nilai internal atau normanorma yang disebarkan di antara anggota-anggota suatu kelompok yang mengijiakan mereka untuk bekerjasama antara satu dengan yang lain. Prasyarat penting untuk munculnya modal sosial adalah adanya kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (nefworks). Secara umum, modal sosial dipandang sebagai stok capital yang penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat dunia ketiga (Dharmawan, 2002). Meskipun hingga saat ini wujud modal sosial belum sejelas modal fisik maupun modal manusia, namun pemahamannya lebih ditekankan pada hubungan timbal balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal sosial menurut Dasgupta (2000),seperti dikutip Tonny dan Kolopaking (2005) adalah: 1) adanya saling menguntungkan paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektivitas, atau manusia pada umumnya, 2) diperoleh melalui proses sosial, 3) menunjuk pada hubungan sosial, institusi, struktur sosial, 4) semua sifat berhubungan dengan rasa percaya (trust), hubungan timbal balik, hak dan kewajiban, dan jejaring sosial. Berdasarkan batasan tersebut claka dapat difahami bahwa modal sosial merupakan kemampuan yang dimifiki oleh seseorang atau kelompok melalui hubungan atas dasar kepercayaan antara satu sama lain melalui terbentuknya jaringan sosial. Jaringan sosial ini merupakan hasif dari proses sosial yang terbentuk atas dasar saling membutuhkan dan saling mempercayai. Komponen
jaringan sosial dengan kata lain disebut sebagai stakeholder atau pihak-pihak yang diperlukan dalam penyelesaian suatu masalah. Dengan demikian, kuatnya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tergantung dari kepercayaan yang dimiliki oleh mereka. Mollering dikutip oleh Dharmawan (2002) menjelaskan enam fungsi kepercayaan dalam hubunganhubungan sosial-kemasyarakatan, antara lain: 1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis-
individual. Sikap ini mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif. 2. Kerjasama, yang berarti sebagai proses sosial asosiati di mana trust menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antara individu tanpa dilatarbelakangi rasa curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi. 3. Penyederhanaan pekerjaan, di mana trust membantu meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat rnengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya pota hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan. 4. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang
ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab. 5. Pemeliharaan kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai berai. 6. Modal sosial. Tmst merupakan asset penting dalan? hidup kemasyarakatan
yang menjamin stuktur-stuktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien. Enam fungsi kepercayaan di atas memiliki peranan penting dalam pengembangan suatu komunitas baik itu pengembangan sosial maupun ekonomi mereka. Adanya kejasama dan kepercayaan yang kuat dalam masyarakat merupakan modal yang penting dafam berkembangnya perekonom~anmasyarakat. Modal sosial tersebut tidak bisa diabaikan dalam penguatan kemitraan bagi sektor
ekonomi lemah maupun kuat. Sifat-sifat dalam modal sosial yaitu kolektivitas yang saling menguntungkan, trust, norms dan networks, memiliki peranan yang penting dalam dibangunnya suatu kemitraan. Modal sosial memiliki empat dimensi relasional yang sangat erat kaitannya dengan penguatan kemitraan dalam ha1 perluasan jejaring (networks) terutama bagi pengembangan usaha kecil, yaitu : a. integritas b. lingkage (pertalian) c. integritas organisasional d. sinergi Dewasa ini konsep modal sosial kemudian ditawarkan untuk memperkuat pengembangan usaha ekonomi rakyat termasuk dalam pengembangan usaha kecil. Modal sosial sebagai suatu sistem dalam masyarakat memegang peranan penting dalam maju atau mundurnya perekonomian masyarakat. Dengan demikian pada kajian pengembangan poia hubungan sosial ekonomi pengrajin ini modal sosiat dianggap sebagai modal yang sangat penting dan mendukung penguatan kemitraan bag1sektor usaha baik, kecil, rnenengah atau besar. Modal sosial ini memiliki peranan penting dalam penguatan kemitraan yaitu sebagai faktor pendukung utama yang menunjang keberhasilan pola hubungan kerjasama termasuk kemitraan itu sendiri. Beberapa syarat kemitraan mengacu pada kuatnya modal sosial yaitu adanya trust, norms dan networks yang mampu menompang struktur-struktur sosial maupun ekonomi masyarakat agat mampu berfungsidan mencapai hasil yang optimal bagi seluruh masyarakat. 2.6. Kerangka Kajian
Masalah kemiskinan yang dialami oleh pengrajin di wilayah Desa Cipacing sangat ironis mengingat potensi yang dimiliki oleh warga maupun wilayah ini ,cangat banyak. Selain itu usaha kerajinan kayu hias dan kayu ukir yang di!akukan oleh pengrajin Desa Cipacing termasuk ke dalam sektor usaha kecil menengah yang dinilai tahan terhadap goncangan dan krisis. "Dalam menghadapi krisis, usaha kecil dan menengah dinilai lebih mampu bertahan dibandingkm dengan usaha besar." (Tambunan 2002) Usaha kecil memiliki peranan penting dalarn meningkatkan perekonomian Indonesia khususnya dalam bidang investasi dan penyediaan kesempatan kerja.
Akan tetapi sektor usaha kecil khususnya seringkali mengalami berbagai hambatan dan persoalan-persoalan yang menghambat dalam pejalanan usaha meraka. Sehingga seringkali pelaku pada sektor usaha kecil berada dalam kondisi kemiskinan. Posisi usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menjadi semakin penting terutama pasca krisis melanda. Krisis telah membuktikan bahwa daya tahan usaha kecil tangguh dibandingkan dengan kebanyakan usaha besar. Hal ini disebabkan sebagian besar usaha kecil menggunakan bahan baku produksi yang tidak tsrgantung pada bahan baku impor yang harganya mengalami kenaikan tajam pada saat krisis ekonomi. Disamping itu menurut Tambunan (2002) salah satu dampak negative dari krisis ekonomi di lndonesia yang sangat nyata adalah merosotnya tingkat pendapatan masyarakat, namun membawa dampak positif terhadap permintaan produk-produk usaha kecil. Desa Cipacing merupakan salah satu sentra lndustri kerajinan yang ada di Indonesia. Sebagian besar penduduk Desa Cipacing memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin kayu ukir dan kayu hias seperti patung ukir atau alat musik hias khas dalam dan luar negeri. Pemasaran dari produk kerajinan Cipacing ini telah menembus pasar nasional hingga Internasional. Bahkan pengrajin Desa Cipacing berani meng-klaim bahwa 80% dari kerajinan kayu yang dijual di Pulau Bali adalah buatan mereka. Selain pasar Nasional kerajinan Desa Cipacing telah di ekspor secara rutin ke Negara-negara Asia, Eropa dan Australia. Dengan demikian usaha kecil kerajinan yang digeluti oleh warga Desa Cipacing ini sangat berpotensi untuk menghasilkan pendapatan yang layak bagi pelaku usahanya. Akan tetapi pada kenyataannya keberhasilan dan keuntun~an yang melimpah hanya didapatkan oleh segelintir orang saja. Pelaku usaha kerajinan di Desa Cipacing terbagi atas tiga pihak yang memiliki pola pekerjaan yang berbeda satu sama lain yaitu; Bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Sejauh ini keberhasilan dalam bidang kerajinan kayu ukir dan kayu hias ini hanya dimiliki oleh Bandar kerajinan yang rneniliki keterampilan pemasaran, modal besar serta jaringan usaha yang luas. Sedangkan buruh pengrajin serta pengrajin kecil selama ini hanya menjadi produsen kecil-kecilan dan belum mampu memasarkan hasil pekerjaannya secara optimal. Sehingga kebanyakan dari mereka berada pada kondisi kemiskinan. Oengan demikian diketahui bahwa di Desa Cipacing ini terdapat kesenjangan sosial ekonomi yang dialami oleh tiga pelaku ekonomi usaha kerajinan tersebut.
Permasalahan yang dialami oleh para pengrajin disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; kurangnya modal bagi pengrajin kecil dan buruh pengrajin, menyebabkan mereka sangat tergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh Bandar kerajinan sehingga mereka sulit untuk berkembang, di samping itu posisi tawar yang rendah yang dimiliki oleh buruh pengrajin ataupun pengrajin kecil terhadap Bandar menyebabkan adanya sentralisasi pada pihak Bandar kerajinan. Rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang menyebabkan mereka tidak memiliki akses pada sumber permodalan maupun pemasaran produk. Belum terdapatnya forum atau kelembagaan yang mendukung peningkatan produktivitas dan kesejahteraan pengrajin menyebabkan masing-masing pengrajin menjslankan usahanya secara individual dan membuka peluang adanya persaingan yang tidak sehat. Selanjutnya kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya akses pengrajin terhadap program pemberdayaan yang mendukung usaha mereka. Dengan permasalahan tersebut maka perlu dilakukan pemberdayaan terhadap pengrajin supaya mereka bangki dari kondisi keterpurukan mereka. Pemberdayaan masyarakat merupakan metode pengembangan yang berusaha rnembantu penyelesaian masalah yang dialami oleh pengrajin dengan mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Bumh pengrajin dan pengrajin kecil memiliki keterampilan rnembuat kerajinan, serta bandar kerajinan yang memiliki akses pemasaran yang merupakan faktor penting bagi berkembangnya industri kerajinan di wilayah Cipacing. Berdasarkan hat tersebut maka seyogyanya antara buruh pengrajin, pengrajin kecil dan Bandar kerajinan terjalin kemitraan yang bersifat saling menguntungkan sehingga tidak terjadi kesenjangan di antara mereka. Kesenjangan yang selama ini terjadi di antara pengrajin dan Bandar kerajinan harus diupayakan penyelesaiannya sehingga terjalin pola hubungan secara sosial maupun ekonomi yang harmonis di antara mereka. Ide dasar pemecahan masalah yang dialami deh pengrajin adalah dengan adanya penguatan hubungan kemitraan di antara para pengrajin kayu ukir dan hias, juga dikembangkannyajejaring dengan pihak Iqsr yang berada di wilayah lain.
"konsep kemitraan mempunyai landasan yang kuat baik dilihat dari aspek ekonomi, sosial-politik dan moral. Dari sudut padang ekonomi, kemitraan merupakan tuntutan efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas. menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi supply, menekan biaya penelitian dan pengembangan serta dalam rangka peningkatan daya saing. Dari kacamata moral menunjukkan upaya kebersamaan, kesetaraan, melestarikan falsafah 'bersatu kita teguh, bercerai kita jatuh, menuju masa depan yang jaya', dari sudut pandang sosial-politik, kemitraan dapat mencegah terjadinya kesenjangan sosial, kecemburuan sosial dan gejolak sosial politik (sosial unrest)." (Soeharto, 1998) Setting kemitraan antara tiga pelaku usaha dalam kajian ini adalah tiga kelompok pengrajin yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Seringkali kemitraan yang dilakukan untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah selama ini tidak mengalami keberhasilan. Dalam ha1 ini kemitraan yang dijalin biasanya tidak menggambarkan adanya kebutuhan dari setiap pelaku usaha yaitu usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil. Selama ini kebijakan pemerintah Indonesia dalam pengembangan usaha kecil pun belum terasa benarbenar efektif. Hal ini disebabkan oleh dua ha1 yaitu 1) kebanyakan bentuk pengembangan usaha kecil terutama adalah melalui kredit, padahal kredit bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan usaha kecil, 2) meluasnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) termasuk juga dalam rantai ekonomi usaha kecil, menengah dan besar sehingga menyebabkan banyak program pengembangan usaha kecil yang tidak efektif. Pengembangan usaha kecil di Indonesia tidak bisa terkpas dari nilai-nilai, norrna dan etika yang terdapat dalam sistern sosial dalam masyarakat Indonesia. Selama ini kegiatan pengembangan kemitraan masih berfokus pada aspek-aspek ekonomi dan mengabaikan aspek sosial. Padahal aspek ekonomi dan sosial dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dewasa ini berkembang pengetahuan tentang konsep modal sosial selain modal fisik dan modal manusia. Modal sosial menurut Nuryana (2002) dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lembaga atau komunitas. Secara kritis modal sosial dipandang sebagai suatu landasan bagi pembangunan sosial pada level komunitas. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan pengrajin Oesa Cipacing, modal sosial disamping dimensi ekonomi sangat bermanfaat terutama sebagai salah satu strategi untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi. Modal sosisl yang terdiri dari komponen trust, nefwork, dan norms serta berbagai dimensinya dapat dijadikan landasan dalam pengembangan kemitraan
yang akan dibentuk. Kepercayaan, timbal balik dan norrna yang ada akan rnernperkuat pola hubungan yang saling memperkuat, menguntungkan dan menghindarkan adanya eksploitasi di antara pihak yang bermitra. Demikian halnya dengan jejaring yang dijalin secara internal dan eksternal akan memperkuat kelembagsan yang mendukung kemajuan bersama di antara pihak-pihak yang bermitra. Belajar pola kemitraan di masa iaiu yang belum efektif, terdapat beberapa catatan yang harus dijadikan pertimbangan dalam pola kemitraan yang cocok bagi pengrajin antara lain: 1) Adanya kecenderungan @a eksploitasi dalam kemitraan yang dilakukan antara usaha kecil, menengah dan besar (Widyaningrum dkk, 2003), 2) pemihakan yang setengah hati dari pemerintah terhadap pengembangan usaha kecil ( Haryadi dkk, 1998), 3) Belum ada pihak yang berperan secara efektif sebagai arbitrator dapat mengatasi persoalan dalam hubungan kemitraan (Sumardjo, 2001). Berdasarkan ha1 di atas sesuai dengan kondisi pengrajin di Desa Cipazing, ha1 ini mencerminkan belum adanya kerjasama sosial-ekonomi dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan. Sehubungan dengan arbitrator yang dibutuhkan dalam kemitraan, ha1 ini menjelaskan bahwa rancangan kemitraan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan semua pihak (usaha kecil, menengah dan besar), dapat menemukan hambatan yaitu kendala struktur dan rantai operasional usaha usaha kecil untuk mengembangkan usahanya. Kemitraan yang dirancang dapat berubah tujuannya menjadi hubungan yang eksploitatif yang berdampak kontraproduktif bagi usaha kecil yaitu hanya menguntungkan kelompok usaha yang lebih kuat dan tidak menguntungkan usaha kecil. Batubara (1992) mengungkapkan bahwa diperlukan suatu penanggulangan bagi konfiik yang mungkin terjadi antara perusahaan dan pekerja dalam kemitraan agar konflik tersebut dapat dikelola sedemikian rupa sehingga tidak berkembang. Seperti: (1) pengembangan budaya organissrsional yang menumbuhkan rasa arnan di kalangan pihak yang bemitra, (2) pembinaan kehidupan dan hubungan sosiokukural yang tulus, !uwes, dsn ramah, dan, (3) penerapan sistem hubungan industrial yang mampu menjaga agar konflik tidak beralih dan berkembang rnenjadi konflik sosial politik yang lebih besar serta mampu menanggulangi konflik tersebut dengan semangat kekeluargaan. Selanjutnya dalam hubungan kemitraan ini perlu juga dikembangkan kejasama dengan stakteholder lain yang akan rnemperkuat usaha kecil selain dalam bidang produksi juga dalam hubungan relasional diantara ketiganya, seperti Disperindag KADIN, Lembaga Swadaya Masyarakat, pihak
perbankan, pemerintah setempat, Lembaga Pendidikan dan Penelitian, dan lain sebagainya. Dengan demikian diperlukan kemitraan yang adil bagi seluruh skala usaha, khususnya melindungi usaha kecil dari kerjasama ekonorni yang bersifat eksploitatif. Hubungan kemitraan dalam aspek ekonomi yang biasanya terjadi dalam industri kerajinan antara lain (1) modal, (2) bahan baku, (3) pemasaran, (4) pengetahuan dan keterampiian, dan (5) Pendapatan. Pola kemitraan yang ada tidak hanya merupakan kerjasama ekonomi namun juga rnerupakan bentuk kelembagaan sosial yang saling menguntungkan. Untuk itu dalam kajian ini dibahas mengenai pentingnya modal sosial dalam hubungan kemitraan antar pengrajin mel~luipenekanan pada prasyarat penting untuk terjadinya modal sosial sebagai pendukung keberhasilan hubungan kemitraan antara lain: (1) jejaring kerja, (2) Komunikasi, (3) Kepercayaan, dan (4) etika kemitraan. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perlu dimmuskan suatu penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias Desa Cipacing antara lain melalui: 1. Penguatan Modal Sosial W a l sosial menurut Nuryana (2002) dapat digunakan utnuk meningkatkan keselajahteraan sosial lembaga dan komunitas. Modal sosial dipandang sebagai suatu landasan bagi pembangunan sosial pada level komunitas. Pada permasalahan dalam hubungan kemitraan ini penguatan modal sosial diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan, kerjasama, serta pertukaran yang adil antar pengrajin melalui nilai-nilai yang disepakati bersama. Gagasan mengenai kemitraan usaha merupakan cara yang dianggap ideal untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah. Kemitraan antar sektor usaha merupakan salah satu pilihan yang prospektif untuk menjembatani kesenjangan antar pelaku usaha dengan skala yang berbeda yaitu usaha, besar, kecil &n menengah. Akan tetapi seringkali kemitraan yang ada menjadi alat untuk memperkuat pola-pola eksploitasi bagi usaha kecil dan menengah dan menyebabkan kesenjangan yang lebih luas antara ketiga skala usaha tersebut. Dengan demikian dalam penguatan modal sosial ini diperlukan pengembangan sumber daya rnanusia dalam hal pengetahuan, pengendalian dan pengelolaan kemitrasn yang telah dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan kemitraan itu sendiri. Pelaksanaan peningkatan pengetahuan, pengendalian dan pengelolaan kemitraan ini dapat dilaksanakan
dengan pendidikan dan pelatihan serta program pendampingan dari instansi terkait baik swasta maupun pemerintahan. 2. PengembanganAktivitas Usaha
Permasalahan hubungan kemitraanjuga tergambar dalam kegiatan operasional usaha yaitu permodalan, pengadaan bahan baku dan pemasaran serta pengetahuan
dan
perrnasalahan yang
keterampilan
pengrajin.
harus dicari jalan
Hal
tersebut
keluarnya.
merupakan
Dengan demikian
pengembangan usaha dipandang sebagai salah satu jalan keluar dalam permasalahan yang dihadapi deh pengrajin kayu ukir dan hias di Oesa Cipacing. Dengan penguatan hubungan kemitraan tersebut diharapkan dapat memberikan peningkatan yang signifikan kesejahteraan ekonomi mereka, serta dapat terhindar dari pola-pola hubungan yang bersifat eksploitatif. Untuk tercapainya tujuan tersebut maka perlu dilakukan penguatan pada hubungan kemitraan sosial ekonomi secara partisipatif di antara pengrajin serta dengan jaringan yang lebih luas. Sdanjutnya setdah terbentuknya pda hubungan yang adil, serta jalinan kemitraan yang ada akan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh pengrajin di Desa Cipacing. Begitupun halnya dengan Bandar kerajinan dengan jalinan kemitraan
ini
diharapkan mereka
dapat
memberikan
pembinaan
bagi
pengembangan usaha pengrajirl kecil dan buruh pengrajin yang akan berakibat baik bagi mereka. Antara lain dalam ha1 kualitas maupun kuantitas produksi. Selanjutnya dengan kemitraan tiga pelaku usaha keiajinan di Desa Cipacing dapat sama-sama mengalami perkembangan dan kemajuan daiam usaha mereka.
Kerangka Pemikiran
Faktor Internal: Motivasi Pendidikan
Hubungan Kemitraan PengmJinKayu Uklr dan Hlas Clpacing 1. Modal sosiai : Komunikasi 9 Kepetcayaan *:. Jejaring Kej a 9 Etika kernitraan
+
*f. Bahan Baku
9 Pemasaran *i. Pengetahuan 8 keterampilan *f. Pendapatan
FaMorEkstemal: Makro ekonomi
3.1. Strategi Kajian
Strategi kajian yang akan dilakukan menggunakan studi kasus. Dalam kajian ini studi kasus akan menghasilkan suatu inforrnasi rnengenai performa kemitraan, serta permasalahan dan potensi yang dimiliki oleh pengrajin Desa Cipacing yang dapat digunakan dalam rangka penyelesaian rnasalah kerniskinan yang mereka alami. lnfonnasi tersebut akan lebih rnudah difahami, bersifat mendalarn-rnenyeluruhdan rinci (trimatra). Stake (1994) dan Yin (1996) dikutip oleh Sitorus (2005) mengernukakan bahwa studi kasus merupakan penerapan serangkaian rnetode kerja (multimetxie) penelitian urltuk memperoleh pengetahuan dan pemaharnan atas satu atau lebih kejadianlgejala sosial. la adalah studi aras mikro yang rnenyoroti satu atau lebih kasus terpilih. Tipe kajian terapan eksplanatif yaitu berupaya mernahami ciri-ciri dan sumber-sumber serta menjelaskan faktor-faktor atau gejala sosial yang berkaitan dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian. Sedangkan aras kajian yang digunakan adalah subjektif mikro, dalam ha1 ini berusaha mernbahas mengenai pola perilaku, tindakan dan interaksi sosial. Pelaksanaan pendekatan ini adalah secara partisipatif yang memungkinkan interaksi langsung antara penulis dengan komunitas pengrajin. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, sedangkan data kuantiiatii ditampilkan sebagai upaya memperkuat data kualitatif yang diperoleh. Subyek kajian adalah inforrnan yang selanjutnya akan dijadikan unit analisis yang dipilih berdasarkan tujuan (purposive) artinya ditujukan kepada orang-orang yang berkenaan langsung dengan masalah kajian, yaitu : buruh pengrajin, pengrajin kecil dan bandar kerajinan, kornunitas Desa Cipacing, tokoh masyarakat, pemerintah seternpat, serta perwakilan kelernbagaan yang rnerniliki kaitan dengan masalah kajian. Jumlah inforrnan akan dilakukan secara snowball, artinya penentuan inforrnan akan disesuaikan dengan kepentingan dan kelengkapan data di lapangan.
Penetapan pengrajin sebagai inforrnan
disesuaikan dengan topik kajian yaitu sebanyak 23 orang sesuai dengan skala usaha masing-masing, yaitu terdiri dari 12 orang buruh pengrajin, delapan orang pengrajin kecil dan tiga orang bandar kerajinan.
3.2. Tempat dan waktu kajian
Kajian dilakukan di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Lokasi ini merupakan tempat di mana komunitas pengrajin tinggal dan melaksanakan kegiatan ekonomi mereka. Komunitas pengrajin di Desa Cipacing memiliki keterampilan membuat kerajinan yang penjualannya sudah menembus pasar lokal, nasional hingga internasional. Dengan demikian menjadi ha1 yang sangat ironis apabila mereka masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan atau dengan kata lain miskin. Kajian dilaksanakan pada minggu bulan Desember 2005 hingga bulan Desember 2006. 3.3. Metode dan teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan objektifsubjektif mikro dengan mendokumentasikan suatu fenomena sosial secara lengkap, rinci serta mendalam untuk mendapatkan informasi tentang situasi sosial masyarakat, Teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut : a. Wawancara mendalam (indepth Interview), yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawmcara
secara
mendalam
kepada
informan
dan
responden, dm jawabannya dieatat dalam catatan tertulis dan direkam dengan alat perekam yang merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Alasan pemilihan metode ini adalah agar penulis mendapatkan gambaran
secara
tepat
dalam
mengkaji
potensi
dan
permasalahan yang dimiliki oleh buruh pengrajin, serta strategi untuk memberdayakan mereka.
b. Observasi partisipatif (pengamatan berperan serta) rrerupakan gabungan dari proses melihat, merasakan, memaknai peristiwa dan fenomena sosial yang ada dalam masyarakat wilayah Desa Cipacing untuk membentuk pengetahuan bersama rnengenai situasi sosial, budaya, ekonomi, politik, ekologi dan demografi di wilayah mereka.
c. Studi Kepustakaan yaitu pengumpulan data yang berasal dari bahan tertulis yang berhubungan dengan situasi sosial, budaya, ekonomi, politik, ekologi dan demografi di wilayah mereka, ha1 ini berkaitan dengan fenomena di masa lalu dan masa sekarang. d. Diskusi kelompok Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi, permasatah, dan kebutuhan buruh pengrajin serta menganalisis prioritas masalah sebagai dasar dalam penyusunan program pengembangan masyarakat.
e. Catatan Harian Setiap hasil pengamatan maupun hasil wawancara dengan informan akan dicatat dalam bentuk catatan harian sebagai data yang menguatkan dari pelaksana kajian di lapangan.
Table 1. Teknik Pengumpulan Data Tujuan
Variabel
lndikator
Sumber data
Teknik pengumpulan data
1
2
3
4
5
Mengetahui hubungan Kemitraan antar pengrajin Desa Cipacing
1. Aspek sosial : Hubungan *:* Jejaring Keia Kemitraan 9 Kmunikasi pengrajin K~~~ 9Kepetcayaan Ukir dan Hias *:* Efika Kemitraan Desa Cipacing 2. Aspek ekonoml : 0:.
Modal
9 Bahan baku 4 Pemasaran 9 Pengetahuan 8
. .
Kepala Desa Perangkat Desa Tokoh agama pemuda Komunitas pengrajin
.
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok terfokus = Catatan harian
keterampilan 9 Pendapatan
Mengetahui FaMor Internal dan eksternal YanQ rnempengaruhi Hubungan Kernitfaan Pengrajin Merumuskan program pemberdayaan ~engr@in kaYu ukir dan hias secara partisipatif
Faktor Internal
Faktw Ekstemal
*I. Motivasi 9 Pendiiikan
O 9
Penguatan
+
Kernitraan
a
Hubuwan
pew~ =,.ai n
pdisiptif:
Makro Ekonomi Kebijakan
Penguatan modal sosial Pengembangan Usaha
Kepala Desa Perangkat Desa Tokoh agarna
.
pernuda Komunitas pengrajin Komunitas pengrajin iokoh masyarakat Dinas dan instansi terkait
.
.
Wawancara rnendalam Observasi Diskusi kelornpok terfbkus Catatan harian
= Diskusi kelompok terfokus Teknik PRA Sarasehan
Pengumpulan data akan dilaksanakan secara mendalam meliputi Topik beserta parameter kemitraan yang ada di Desa Cipacing sebagai berikut:
Tabel 2. Topik-topik Pengumpulan Data ParameterlSub Topik
Topik
No 1
Jejaring Kerja
2
Komunikasi
3
Kepercayaan
4
Etika Kemitraan
5
Modal
6
Pemasaran
7
Bahan Baku
8 9
Pengetahuan dan keterampilan Pendapatan
10
Motivasi
II
Pendidikan
12.
Makm Ekonomi
13
Kebijakan
..
= bentuk Mekanisme lntensitas = Pernasalahan Topic = Mekanisme Pernasalahan Aspek Alasan = Permasalahan Bentuk asp& Sanksi Permasalahan M i Mekanisme permasalahan Mitra mekanisme Pennasalahan Mitra mekanisme hambatan mekanisme Pennasalahan = Jumlah Mekanisme Pennasalahan Keinginan Kemampwn = Permasalahan Tingkat Pendidikan Krisis Ekonomi
Metode Kualitatif dan kuantitatif Kualitatif dan kuantitatif Kualitatif Kualitatif dan kuantiiatif Kwfiiatif Kwlitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif dan kuantitatif Kualitatif
Kuahtatif dan Kuantitatif Kualitatii
= Permintaan Penawaran Pemerintah Nan Pemerintah Manfaat
Sumber data
Kualitatif
-
Kepala Desa Perangkat Desa Tokoh agama = Tokoh pemuda Komunitas pengrajin
3.4. Analisis dan Pelaporan
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehinggga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. (Moleong, 2002) Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dengan wawancara dan pengamatan, serta dalam diskusi kelompok terfokus. Data yang telah dikumpulkan merupakan data mentah (soft data) karena data yang diperoleh berupa uraian yang penuh deskriptif mengenai sumber yang diteliti seperti pendapat, pengetahuan, pengalaman, dan hal-ha1lain yang berkaitan dengan masalah penelitian. Selanjutnya data tersebut akan dianalisis secara kualitatif
yang
menghasilkan pemahaman yang mendalam mengenai Profil hubungan kemitraan pengrajin, untuk selanjutnya dijadikan sebagai dasar dalam perancangan, penyusunan pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan bagi pengrajin Desa Cipacing.
3.5. Rancangan penyusunan Program Langkah-langkah penyusunan program yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut : 1. ldentiikasi potensi serta permasalahan yang dialami oleh buruh
pengrajin. ldentifikasi potensi serta permasalahan ini akan dilakukan secara partisipatii bersama-sama dengan komunitas melalui teknik Participatory
Rural Appraisal (PRA). Data yang diperoleh kemudian dianalisis bersama-sama untuk dicari alternatif pemecahan masalahnya. Pengkaji berperan sebagai fasilitator utnuk menghimpun data dan menganalisis bersarna peserta diskusi.
2. Penyusunan Program kerja
Penyusunan program dilakukan secara partisipatif dalam kegiatan diskusi atau sarasehan yang dihadiri oleh komunitas pengrajin serta stakeholders lainnya. Program yang akan dirancang meliputi jenis kegiatan, tujuan, indikator, sasaran dan pelaksana program melalui 5W1H (What, Why,
When, Where, Who, how). Program tersebut harus sesuai dengan potensi
yang ada serta disesuaikan dengan tujuan utama yaitu pengembangan
pola hubungan pengrajin kayu ukir dan hias.
IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA ClPAClNG
Desa Cipacing merupakan salah satu Desa yang berada di kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Desa Cipacing terdiri dari tiga Dusun yang terbagi dalam 17 Rukun Warga dan 65 Rukun Tetangga, dengan luas wilayah 174 Hektar. Pada awalnya Desa Cipacing memiliki luas hingga 320 Ha, akan tetapi pada awal tahun 1970-an Desa Cipacing mengalami pemekaran, hingga akhirnya wilayah Cipacing yang mekar tersebut secara administratif berkembang menjadi Desa baru yaitu Desa Cibeusi. Desa Cipacing terletak pada kilometer 24 Jalan Propinsi yang menghubungkan Kota Bandung dan Kabupaten Garut.
Ruas jalan yang
menghubungkan satu RW dengan RW lainnya adalah Jalan Lurah Abdul Harpid, yang memiliki konstruk jalan yang menanjak. Kantor kelurahan yang berada di sebelah kanan jalan Desa bersebelahan dengan Gedung Serba Guna yang berada di RW 07 Dusun 2, sementara Dusun 1 berada di sebelah kiri jalan Desa. Selanjutnya Dusun 3 berada pada wilayah yang paling tinggi. Desa Cipacing yang wilayahnya berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, memiliki akses yang baik dengan wilayah lain berdasarkan pada tersedianya trasportasi umum selama 24 jam di wilayah ini. Serta jarak tempuh maupun orbiasi sejauh 24 kilometer dengan
ibukota
propinsi. Kendaraan umum yang tersedia di kelurahan ini adalah Angkutan Umum jurusan Cileunyi-Cicalengka, minibus kobutri, mobil elf, serta Ojeg yang tersedia di lingkungan Desa 24 jam dengan biaya sebesar Rp. 1000,OO hingga Rp. 2000,OO Dilihat dari ekosistemnya wilayah Desa Cipacing dengan luas 174 Ha diketahui bahwa 61,49 persen dari luas wilayah digunakan sebagai area pemukiman penduduk yang meliputi 3 dusun yaitu Dusun 1 (Dusun Dollar), Dusun 2 ( Babakan Sukamulya, Cipacing, Madalangu, Pasir Luhur, Nangkod, Bojong, Babakan Nangkod), Dusun 3 ( Cibiru, Solokan jarak) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Desa Cipacing memilikijumlah penduduk yang sangat banyak. Penggunaan tanah di wilayah Cipacing tidak semata-mata digunakan untuk pemukiman namun juga digunakan untuk kegiatan ekonomi seperti membuat kerajinan, berdagang, industri pakaian, sawah dan ladang serta usahausaha lainnya.
4.1.
KEPENDUDUKAN Pada Juli 2005, jumlah penduduk Desa Cipacing adalah sebanyak 12.678
jiwa, yang terdiri atas 6.290 orang laki-laki dan 6.388 orang perempuan. Jumlah penduduk yang demikian besar tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kelahiran, kematian, mobilisasi penduduk baik migrasi maupun imigrasi. Table 3. Jumlah Penduduk Desa Cipacing berdasarkan umur
( No
1
Golongan Umur (tahun)
Jumlah
1
Sumber: Data Potensi Desa Cipacing 2005
Berdasarkan golongan umur diketahui bahwa struktur usia penduduk Desa Cipacing berada pada struktur usia menengah (intermediate ages), ha1 ini merupakan potensi yang besar berkenaan dengan usia produktif yang mereka milik; sangat besar. Jumlah penduduk yang ada pada usia angkatan kerja sesuai dengan pembatasan usia pada Data Perkembailgan Desa yaitu usia 15 sampai 55 tahun yang telah dikurang dengan ibu rumah tangga dan penduduk yang masih sekolah adalah sejumlah 6.068 orang. Akan tetapi ibu-ibu rumah tangga tersebut tidak sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga sebab pada umumnya ibu rumah tangga di Desa Cipacing turut membantu suaminya dalam melakukan kegiatan usaha yaitu membuat kerajinan, ataupun dirinya menjadi buruh pengrajin sebagai usaha aktivitas sampingan disamping menjadi ibu rumah tangga. Di wilayah ini t i a k terdapat mengenai data ataupun jumlah pengangguran secara pasti, menurut inforrnasi kepala Desa sebenarnya di wilayah ini terdapat
warga yang rnenganggur. Mereka adalah pernuda-pemuda yang rnenginginkan bekerja di pabrik akan tetapi tidak menerirna panggilan. Menurut pendapat beliau pemuda-pernuda tersebut rnerniliki sifat malas dan enggan untuk terjun rnenjadi buruh pengrajin karena pendapatannya kecil, sedangkan untuk mendirikan usaha kecil sendiri rnereka tidak merniliki modal. Apabila dicermati, sebenarnya sebagian besar buruh pengrajin termasuk dalarn kategori pengangguran "invisible underemployment" yaitu jam kej a yang cukup namun pendapatan rnereka rendah. Buruh pengrajin biasanya bekerja seharian penuh bahkan kadang dari pagi hingga malam hari, narnun penghasilan mereka cenderung kecil, dengan sistem upah per satuan baracg yang selesai dikerjakan. Misalnya untuk pembuatan paser (mata panah) mereka diupah sebesar R.;I
100,-
perbuah, apabila mereka berhasil rnernbuat sebanyak 60 buah maka upah yang rnereka dapatkan adalah sebesar Rp. 6000,- per hari. Tingkat pendidikan warga Desa Cipacing dapat dikategorikan rnasih rendah yaitu rnayoritas tarnat Sekolah Dasar. Meskipun sudah banyak warga telah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat rnenengah yaitu SLTP dan SLTA, namun ha1 ini dipengaruhi oieh jurnlah penduduk yang merupakan warga pendatang yang tinggal dan bekerja di pabrik yang ada di wilayah Desa Cipacing. Berikut merupakan komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan :
Tingkat pendidikan yang dirniliki warga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dan jenis mata pencaharian warga. Meskipun di wilayah ini tingkat pendidikannya rendah akan tetapi penduduk memiliki keterarnpilan
membuat ragam kerajinan sehingga terkadang tingkat pendidikan di wilayah ini dianggap tidak penting. Warga Desa Cipacing memiliki mobilitas yang tinggi baik dalam ha1 pendidikan maupun ekonomi. Banyak warga Cipacing yang melanjutkan pendidikan di luar daerah khususnya yang menimba ilmu keagamaan, begitupun dengan penduduk pendatang yang menuntut ilmu di wilayah ini karena di Desa Cipacing terdapat Sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mobilitas penduduk dengan alasan ekonomi memiliki angka yang tinggi, antara lain pengrajin yang memasarkan produknya hingga pulau Bali, biasanya melakukan migrasi sementara ke pulau tersebut. Demikian halnya dengan penduduk pendatang yang juga melakukan imigrasi sementara dengan menetap di wilayah Desa Cipacing dengan alasan bekerja di pabrik yang ada di wilayah ini. Meskipun di Desa Cipacing terjadi perubahan komposisi penduduk yang diakibatkan oleh kelahiran, kematian dan mobilitas yang cukup dinamis, akan tetapi di pemerintah Desa Cipacing tidak memiliki data yang lengkap mengenai jumlah kelahiran, kematian serta penduduk yang datang maupun pergi. Satusatunya registrasi penduduk yang paling sering dilakukan adalah pembuatan surat jalan untuk para pengrajin yang memasarkan produknya di pulau Bali mengingat kondisi Bali yang ketat dengan pengarnanan pasca Bom Bali I dan 11.
4.2.
Sistem Ekonomi Lokal
Gambar 4. Salah satu showroom kerajinan milik bandar
Desa Cipacing dapat disebut dengan Desa yang cukup maju. Hal ini terlihat dari banyaknya kesernpatan kerja pada wilayah ini yang memungkinkan warganya
mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang
layak
bagi
kelangsungan hidupnya. Sebagai Desa yang berciri-ciri kota, warga Desa Cipacing memiliki mata pencaharian yang heterogen. Table 5. Komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian
Sumber : Data Perkembangan Desa Cipacing 2005 Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa mata pencaharian mayoritas penduduk adalah pengrajin dan karyawan swasta. Hal ini merupakan ciri khas unik dari Desa Cipacing. Tiga industri besar yaitu PT Polyfin, PT. ABC, PT Yogie Saputra, yang berada di wilayah ini menyediakan kesempatan kerja yang cukup besar bagi warga, sehingga mata pencaharian warga sebagai karyawan swasta (buruh pabrik) cukup besar. Oemikian juga halnya dengan mata pencaharian sebagai pengrajin, setelah melakukan observasi lapangan pada kenyataannya hampir setiap keluarga memiliki keterampilan membuat ke~ajinanmeskipun hanya sebagai usaha sampingan. Bahkan menurut informasi kepala Desa, dinyatakan bahwa hampir 60 persen penduduk Desa Cipacing merupakan pengrajin, baik sebagai buruh pengrajin, pengrajin kecil maupun sebagai Bandar kerajinan. Hanya saja meskipun tercatat sebagai Desa yang memiliki ciri khas dan potensi yang besar, pihak Desa belum memiliki data yang l sebagai jelas mengenai setiap unit kegiatan perekonomian masyarakat I ~ k abaik pengrajin, pengusaha mebulair, maupun sebagai karyawan swasta. lnformasi yang diberikan oleh perangkat Desa sejauh ini masih berupa perkiraan. Alasan kesulitan untuk mengumpulkan data tersebut, karena biasanya pekerjsan sebagai pengrajin dapat dikatakan pekerjaan musiman, apabila tiba musim ramai atau banyak orderan maka penduduk beramai-ramai pula menjadi buruk
pengrajin, namun ketika sepi (tidak mendapat order dari bandar kerajinan) mereka mengaku dirinya sebagai penganggur. Hasii kerajinan warga Desa Cipacing meliputi banyak jenis, menurut penuturan warga mereka bisa membuat puluhan bahkan ratusan jenis kerajinan baik kerajinan aslillokal maupun kerajinan mancanegara yang biasanya dipesan oleh importir luar negeri sebagai wntoh ketika olimpiade berlangsung di Australia, pengrajin Cipacing mendapat pesanan untuk membuat alat tiup asli suku aborigin yang bernama "Ridhuu-Ridhuun sebanyak 3 kontainer. Dengan demikian pemasaran hasil kerajinan warga Desa Cipacing telah menembus pasar nasional (Bali, Lombok, Jakarta, dll) dan intemasional (Brunei, Australia, Polandia, Belanda, dll.). Selain membuat kerajinan warga Cipaciny juga terampil membuat peralatan rumah tangga seperti pisau, mebeulair,
alat pertanian,
layang-layang, pakaian, lukisan, dll. Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat Desa, diketahui setiap Dusun maupun RW memiliki spesialisasi di bidang industri dari mulai industri kerajinan hingga pakaian. Cusun I
: RW 1,2,3
Dusun II : RW 6 RW 7 & 8
: Kerajinan kayu ukir dan hias, lukisan, dl1 : Mebeulair : Pisau, panahan, Senapan angin
Dusun Ill : RW 14 & 15 : Pakaian Akan tetapi setelah dilakukan pengamatan lapangan, batasan wilayah itu tidak membatasijenis pekerjaan mereka. Karena di Dusun II atau Ill pun ditemui banyak buruh pengrajin, hanya saja sebagian besar bandar pengrajin berada di Dusun I. Gejolak
perekonomian
Indonesia
berpengaruh
besar
terhadap
perekonomian pengrajin di Desa Cipacing. Naiknya harga dollar justru dianggap menguntungkan terutama oleh bandar kerajinan yang melakukan ekspor ke luar negeri, harga dollar yang tinggi menyebabkan keuntungan mereka berlipat. Lain halnya dengan buruh pengrajin keuntungan mereka meningkat hanya bila bandar mendapat pesanan yang banyak, sedangkan upah pengerjaan kerajinan tidak ikut meningkat. Selain gejolak perekonomian, kasus Bom Bali I dan II turut mempengaruhi kondisi perekonomian pengrajin. 8eberapa pengrajin yang memasarkan hasil kerajinannya di pulau Bali, semejak peristiwa itu terjadi menjadi sepi oraer karena jumlah wisatawan ke pulau Bali berkurang.
Berkaitan dengan masalah kemiskinan yang dialami oleh warga Desa Cipacing, diantaranya memiliki mata pencaharian sebagai buruh pengrajin yang bergantung pada upah yang sangat kecil dari membuat kerajinan serta tidak memiliki akses untuk mengembangkan usahanya secara mandiri, dengan alasan utama yaitu tidak memiliki modal. Pengrajin Cipacing belum merniliki paguyuban maupun forum kerjasama pengrajin yang didirikan secara formal maupun informal, dengan demikian menurut penuturan pengrajin sering sekali mereka kesulitan untuk menentukan harga. Sehingga terkadang terjadi persaingan yang tidak sehat, dalam ha1 ini yang menang adalah yang memiliki modal yang besar, sedangkan untuk pengrajin dengan modal kecil suli sekali untuk dapat bertahan dalam persaingan.
4.3.
S~NMU Komunitas ~
Pelapisan sosial yang tejadi di wilayah Desa Cipacing dapat terlihat secara fisik maupun non fisik, ha1 ini terbentuk baik secara disengaja maupun secara tidak sengaja. Pelapisan sosial yang menonjol yang terjadi di Desa Cipacing pada intinya berdasarkan pada bidang ekonomi. Pelapisan sosial yang ada dalam masyarakat
Desa Cipacing pada
umumnya berdasarkan pada : a. Kekayaan yang dimiliki.
Warga Desa Cipacing mengkategorikan orang yang kaya adalah orang yang memiliki rumah yang besar, uang yang berlimpah serta kendaraan dengan tahun terbaru. Biasanya orang yang kaya tersebut adalah Bandar pengrajin. Di wilayah Cipacing orang yang disebut-sebut sebagai orang yang paling kaya adalah satah seorang warga RW 03 yang bermata pencaharian sebagai pengrajin serta memiliki rumah sekaligus galeri bemama "Cipacing Kreatif" dengan tinggi 4 lantai serta lengkap dengan fasilitas kolam renang. Orang tersebut sangat di hormati di wilayah Cipacing. Sedangkan orang yang dianggap miskin memiliki kategori tidak memiliki pekerjaan tetap, rumah yang reot serta tidak layak huni, biasanya orang miskin ini adalah buruh tani, buruh pengrajin, buruh bangunan, pertukangan, serta orang-orang jompo. (hasil diskusi, 23 November 2005).
b. pekerjaanlpangkat atau jabatan
pelapisan sosial berdasarkan pekerjaanlpangkat atau jabatan, lapisan utamanya diduduki oleh orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap seperti perangkat Desa, guru, dan pensiunan ABRI. c. Pendidikan
Pendidikan nampaknya bukan merupakan ha1yang penting di Desa Cipacing, menurut penuturan warga meskipun anak-anak mereka bisa melanjutkan pendidikan hingga SLTA bahkan perguruan tinggi, namun pada akhirnya mereka hanya akan menjadi buruh pabrik ataupun pengrajin. Bahkan rnereka memiliki pandangan untuk menjadi orang yang sukses tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, seperti halnya pengrajin yang sukses di RW 04, pendidikannya hanya Sekolah Dasar namun bisa menjadi orang kaya asalkan menjadi pengrajin yang ulet.
Dalam kehidupan sehari-hari pelapisan sosial ini memang tidak terlalu menonjol. Kecuali dalam pemilikan rumah, sangat terlihat perbedaan antara orang yang kaya dengan yang miskin. Pelapisan sosial ini juga kadang menentukan dalam musyawarah RW atau RT biasanya orang yang memiliki kekayaan lebih terbuka dalam mengemukakan pendapat dibandingkan orang yang miskin. Orang yang miskin cende~nglebih banyak diam dan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada orang yang kaya. Meskipun hubungan antara orang kaya dan miskin di wilayah ini dapat dikatakan harmonis, seperti halnya antara buruh pengrajin dengan Bandar pengrajin, akan tetapi pada sebenamya tejadi kecemburuan sosial dari warga yang miskin dengan seringnya mereka berkeluh kesah tentang penghasilan dan kondisi mereka. 4.4.
Kelembagaan
a. Lembaga Kemasyarakatan
Kelembagaan sosial masyarakat yang merupakan hasil bentukan yang terdapat di wilayah Desa Cipacing antara lain; Badan Perwakilan Desa (BPD), BPD tersebut berfungsi sebagai iembaya yang menghimpun dan menyalurkan aspirasi warga dalam bentuk rnusyawarah Desa, serta organisasi perempuan yaitu PKK Binangkit meskipun dalam pelaksanaannya belum optimal. Selain itu
di Desa Cipacing juga terdapat kelembagaan yang terbentuk secara swadaya yang merupakan merupakan sarana aktualisasi dan sosialisasi masyarakat dalam kelangsungan hidup mereka. Kelembagaan tersebut antara lain: Dewan Kesejahteraan Masjid, lkatan Majelis taklim, kelompok pengajian ibu-ibu, Karang taruna, ikatan pemuda bola volley, kelompok arisan, lkatan Remaja Mesjid, kelompok gotong-royong renovasi rumah dhuafa (RRD). Kelompok RRD ini lahir atas inisiatif warga yang ingin membantu kaum dhuafa dengan merenovasi rumah mereka. Sumber dana yang mereka miliki adalah iuran rutin per bulan yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing keluarga. Meskipun di wilayah ini merupakan sentra industri kerajinan, akan tetapi belum ada satu pun kelompok pengrajin yang mengikrarkan diri mereka sebagai suatu ikatan. Begitupun halnya dengan tenaga-tenaga kerja atau buruh pabrik yang banyak tinggal di wilayah Desa Cipacing belum juga ada yang menyatakan diri mereka sebagai ikatan buruh untuk menyalurkan aspirasi mereka. Kelembagaan ekonomi yang terdapat di wilayah ini antara lain koperasi pengrajin dan Badan Usaha Milik Desa (BUMD). Koperasi Pengrajin tersebut bergerak dalam bidang simpan-pinjam serta membangun jejaring untuk pemasaran baik luar maupun dalam negeri. Koperasi ini mulai didirikan pada awal tahun 2000 lengkap dengan kepengurusan dan keanggotaan, akan tetapi sejak koperasi ini hanya mampu bertahan hingga beberapa bulan saja, selanjutnya koperasi tersebut mati sun. Koperasi tersebut mengalami kegagalan disebabkan para pengrajin belum dapat bersatu sebagai suatu paguyuban dengan tujuan serta kepentingan yang sama. Mereka menganggap koperasi tidak akan mampu menjembatani kepentingan mereka,. Para pengrajin iebih suka untuk memproduksi dan memasarkan produknya senditi-sendiri terutama bandar-bandar kerajinan yang takut tersaingi dengan keberhasilan buruh-buruh pengrajin, hingga seringkali terjadi persaingan yang kurang sehat terutarna dalam ha1 penentuan harga. BUMD merupakan badat; usaha yang didirikan pada tahun 2002 atas inisiatif warga. BUMD memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahterazn warga melalui pengembangan di bidang eko~omi.BUMD berusaha memanfaatkan letak
Desa Cipacing yang dekat dengail wilayah perindustrian seperti rancaekek dan majalaya, yang memungkinkan BUMD tersebut menampung limbah pabrik tekstil, maupun flat besi atau plastik untuk diolah menjadi kerajinan maupun
~
peralatan rumah tangga, serta mewadahi pengrajin-pengrajin kecil untuk mengembangkan usaha mereka. Akan tetapi meskipun kepengurusan serta mekanisme kerja BUMD sudah disusun, namun hingga saat ini aktivitas BUMD belum terlaksana. Belum berjalannya kedua lembaga perekonomian di atas menyebabkan permasalahan yang dialami terutama oleh pengrajin dengan modal kecil. Antara lain mereka sulit untuk menentukan harga jual dan bersaing dengan Bandar pengrajin menyebabkan tingkat kesejahteraan yang rendah karena mereka seringkali menjual hasil produksi mereka dengan cara banting harga. Dalam bidang ekonomi, seperti yang diungkapkan oleh tokoh masyarakat yaitu dalam bidang sosiai warga Desa Cipacing terbilang rukun, namun dalam bidang ekonomi mereka sangat individualis.
b.
Proses Sosialisasi dalam Komunitas Proses sosialisasi dalam komunitas Desa Cipacing dilakukan oleh
kelernbagaan yang terdapat di wilayah tersebut, sosialisasi yang dilakukan antara lain sosialisasi norma, nilai, serta sosialisasi dalam bidang sosial budaya. Keluarga merupakan kelembagaan yang memiliki peranan yang paling besar dalam proses sosialisasi di wilayah ini. Keluarga sebagai kelompok terkecil dalam masyarakat Desa Cipacing tersebut memiliki fungsi memberikan pendidikan keagamaan, nona, nilai dan tata krarna, serta memperkenalkan kebudayaan. Sosialisasi nilai dan norma, terrnasuk di dalamnya sosialisasi dalam bidang keagamaan biasanya dilakukan oleh keluarga, lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan. Sosialisasi dalam bidang sosial dan kebudayaan secara formal biasanya dilakukan dalam suatu musyawarah Desa oleh lembaga pemerintahan (misalnya mengenai prcgram atau proyek-proyek pembangunan di sosialisasikan oleh perangkat Desa, dsb), lernbaga pendidikan serta lembaga keagarnaan dalam ceramah-ceramah. Berkaitan dengan banyaknya pendatang yang bermukim di wilayah ini, secara tidak langsung rnembawa perubahan pada warga Desa Cipacing yakni dalam ha1 sosial dan kebudayaan. Proses ini berjalan karena adanya interaksi antar warga pribumi dengan pendatang.
4.5.
Sumber Daya Lokal
Sebagai suatu wilayah yang sedang berkembang, Desa Cipacing memiliki berbagai sumber daya lokal yang mampu menompang keberlangsungan hidup mereka. Sumber daya lokal tersebut meliputi sumber daya di bidang ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Sumber daya yang dimiliki warga Desa Cipacing antara lain: a. sumber daya lahan, Desa Cipacing memiliki lahan seluas 174 Ha yang digunakan sebagai pemukiman, serta tempat kegiatan ekonomi bagi warganya, seperti sebagai sentra kerajinan dan home industri lainnya seperti pakaian, mebeulair dan alatalat pertanian serta rumah tangga. b. tenaga kej a Jumlah angkatan keja di wilayah ini antara lain sebanyak 6049 orang merupakan angkatan kej a yang cukup besar dengan kualitas pendidikan ratarata adalah tamatan SD. Warga Desa Cipacing juga memiliki keterampilan yang membuat kerajinan serta berbagai jenis usaha lainnya yang membuat wilayah ini dinilai sebagai wilayah yang memiliki potensi serta kesempatan kerja yang luas. b. modal Sumber daya berupa modal di Desa Cipacing terbagi atas dua yaitu modal ekonomi dan modal sosial. Modal ekonomi yang di miliki warga Desa Cipacing berupa asset produksi yang dimiliki oleh para pelaksana kegiatan ekonomi lokal serta merupakan investasi baik berupa dana maupun tanah. Sedangkan modal sosial yang dimiliki oleh warga Oesa Cipacing antara lain adanya keragaman dalam komunitas yang memungkinkan warga Desa bangkit dari permasatahan kemiskinan yang mereka alami, adanya kebersamaan dan jalinan ketetanggaan yang dapat dioptimalkan sehubungan dengan kegiatan pengembangan masyarakat baik dalam bidang ekonomi dan sosial, gotong royong, serta adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan yang menunjukan ada keinginan masyarakat untuk bangkit dari berbagai permasatahanyang ada. c. Pabrik dan lndustri yang berkembang di wilayah Desa Cipacing
lndustri besar sebanyak 3 buah di wilayah ini cukup banyak menyerap tenaga kerja setringga mampu mengurangi angka pengangguran di wiiayah ini. Begitupun halnya dengan industri kecil yang sudah mampu memasarkan produknya hingga ke luar negeri dapat menciptakan lapangan kerja bagi
penduduk setempat meskipun dengan penghasilan yang rendah serta tidak tetap. Sehubungan dengan sumber daya yang dimiliki oleh warga Desa Cipacing, setelah melalui wawancara dengan beberapa tokoh diketahui bahwa sumber daya tersebut belum berjalan dengan optimal, sehingga masalah kemiskinan masih terjadi pada warga. lndustri yang ada di wilayah ini belum mampu mengurangi angka kemiskinan karena industri besar atau pabrik biasanya lebih mengutamakan buruh yang berasal dari luar daerah. Sedangkan industri kecil baik mebeulair maupun kerajinan biasanya hanya mampu memberikan pekerjaan kepada buruh-buruhnya apabila ada pesanan dari eksporti: atau dari kmsumen. Sehingga di wilayah ini dikenal dengan dua musim yaitu musim "kembung" yaitu musim ketika banyak orderan biasanya menjelang bulan juli yaitu masa liburan sekolah dan masa libur musim panas di Bali, serta rnusim "kempes" yaitu ketika orderan sepi seperti setelah terjadi bom Bali atau situasi ekonomi politik yang tidak menentu.
4.6. Masalah Sosial
Menurut data yang tercatat potensi Desa, masalah yang cukup menonjol di wilayah ini adalah masalah kemiskinan, yaitu sebanyak 478 KK yang berada pada kondisi keluarga pra-sejahtera. orang-orang yang berada pada kondisi ini antara lain adalah buruh tani, buruh pengrajin dan orang jompo. Masalah ini disadari warga sebagai masalah sosial ymg penting dan harus segera ditanggulangi baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Selanjutnya data menunjukkan tedapat sejumlah 100 rumah yang tidak layak huni ditempati oleh kurang tebih 130 KK. Masa!ah yang cukup unik yang terjadi di wilayah ini adalah angka kriminalitas yang tinggi, seperti dituturkan oleh warga, di wilayah ini terdapat industri senapan angin yang sudah mulai menurun produktivitas serta peminatnya. Sehubungan dengan menurunnya pendapatan para pengrajin senapan angin kemudian warga yang "nakal" mulai membuat senjata api yang dijual ke Bandar Lampung, bahkan seperti yang pernah terungkap di koran-koran beberapa pembuat senapan angin pernah menerima pesanan senjata api untuk Gerakan Aceh Merdeka di Banda Aceh. lndustri senapan angin yang mulai padam serta tidak lagi memberikan penghasilan bagi pengrajin mendorong
pengrajin untuk mendapatkan pendapatan yang lebih besar melalui penjualan senjata api secara ilegal. Hingga pada akhirnya aktivitas ini tercium oleh aparat keamanan dan sebanyak 6 Kepala Keluarga pembuat senjata api ditahan oleh kepolisian dengan tuduhan melakukan tindakan kriminai. Biaya pembuatan senjata api terhitung murah dibandingkan pembuatan senapan angin. Yaitu dengan biaya sebesar Rp. 35.000,-biaya pembuatan sebuah senapan angin dengan proses yang amat rumit, dapat dihasilkan tiga buah senjata api dengan tingkat pembuatan yang lebih mudah dalam waktu yang singkat. Dari harga produksi tersebut senapan angin dijual seharga Rp. 100.000,- per h a h , sedangkan senjata api sebesar Rp. 2.000.000,perbuah. Meskipun berkali-kali dibantah oleh perangkat Desa, sebenarnya masalah kemiskinan di Desa Cipacing terjadi di wilayah ini. Hal ini juga disadari oleh warga serta tokoh masyarakat. Berdasarkan kriteria kemiskinan didapatkan informasi bahwa angka kemiskinan di Desa Cipacing lebih besar dibanding data yang tercatat di Data Perkembangan Desa. Dengan demikian berdasarkan hasil diskusi tersebut di dapatkan kriteria kemiskinan menurut warga Desa Cipacing antara lain : tidak memiliki pekerjaan tetap memiliki penghasilan yang rendah kondisi rumah yang tidak layak huni (hasil diskusi tanggal 23 November 2005)
Masalah kemiskinan ini disebabkan oleh berbagai faktor internal maupun eksternal yang sangat
kompleks. Sehingga selanjutnya menyebabkan
perrnasalahan sosial lain yang juga sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan warga Desa Cipacing seperti masalah kesenjangan sosial. Menurut penuturan kepala Desa yang disepakati oleh warga, sebenamya di Desa Cipacing banyak warga yang sudah mencapai kesejahteraan akan tetapi mereka tidak begitu peduli dengan lingkungan sekiar mereka yang masih ditiputi kemiskinan sehingga muncul kesenjangan sosial yang cukup dalam. Meskipun kesenjangan sosiai ini tidak disadari oleh seiuruh warga akan tetapi masalah ini bisa memicu masalah-masalah sosial lain seperti perkelahian, kriminalitas dan lain sebagainya.
Kesenjangan yang utama di wilayah ini yaitu antara bandar kerajinan yang kaya raya dengan buruh pengrajin yang kondisi perekonomiannya miskin. Kesenjangan sosial ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan atau keuntungan, tingkat pendidikan, kondisi rumah yang berbeda. Kesenjangan sosial ini juga terus terjadi akibat belum adanya kelembagaan yang marnpu mewadahi buruh pengrajin ataupun memberikan bantuan pinjaman modal sehingga buruh pengrajin bisa meningkatkan pendapatan mereka. Pendirian Koperasi Pengrajin maupun BUMD belum rnemberikan hasil, karena bandar pengrajin yang diharapkan bisa menjadi motor penggerak untuk kemajuan pengrajin di Desa Cipacing justru keberatan untuk menjalankan usaha tersebut karena takut tersaingi. Untuk mengentaskan masalah kemiskinan yang terjadi di Desa Cipacing khususnya bagi buruh pengrajin, terdapat berbagai potensi yang di wilayah ini antara lain dengan upaya pengembangan masyarakat yaitu adanya kemitraan antara pelaku ekanomi utama di wilayah ini yaitu buruh pengrajin, pengrajin kecil serta Bandar ~erajinan. Seiain itu perlu adanya jalinan kerjasama antara pemerintah Desa, pemerintah kecamatan dan Kabupaten, komunitas buruh pengrajin, masyarakat secara umum, serta kelembagaan yang ada di luar Oesa Cipacing seperti Lembaga Pernbinaan dan Pendidikan Koperasi (Lapenkop), untuk terbentuknya jalinan usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan buruh pengrajin.
V. HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS Dl DESA ClPAClNG
5.1. Pola Kemitraan
Pola kemitraan merupakan model yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Meskipun hubungan kemitraan yang dilaksanakan di Desa ini sifatnya informal atau tanpa kontrak tertulis, namun berdasarkan hasil penelitian ditemukan tiga pola hubungan kernitraan yang dijalankan oleh bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin di Desa Cipacing yaitu pola kemitraan Kerjasama Operasional, Pola Subkontrak dan Pola Dagang Umum. 5.1 .I. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional
Gagasan utama pola kemitraan kerjasama operasional ini sebenarnya diterapkan dalam bidang agribisnis yang secara umum disebut dengan pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Suemardjo, dkk (2004) menyatakan bahwa pada pola kemitraan agribisnis merupakan pola hubungan biinis yang dijalankan kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau rnembudidayakan suatu komoditas pertanian. Pada hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing ini, yang berperan sebagai perusahaan mitra adalah bandar kerajinan dan yang berperan sebagai kelornpok mitra adalah buruh pengrajin atau pengrajin kecil yang pada kenyataannya belum bersatu dalarn kelompok. Pola kemitraan kerjasama operasional diantara pengrajin terjadi antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin atau antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil. Dalam pembuatan kerajinan bandar kerajinan n~enyediakan bahan baku, sedangkan buruh pengrajin atau pengrajin kecil menyediakan tempat, waktu dan tenaga mereka untuk mengerjakan komponen-komponen kerajinan. Seperti dalam pembuatan limstick (kerajinan berupa tabung yang diisi dengan kerikil dan dihias dengan cat), bandar kerajinan menyediakan kayu, lem, kardus dan kerikil. Buruh pengrajin hanya tinggal mengerjakannya saja tanpa harus mengeluarkan bahan atau biaya produksi apapun. Pola kemitraan
kejasama operasional antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa cipacing dapat dilihat pada gambar 5 sebagai berikut:
3 ,
Ket: I8 2
3.
Konsumen
: Bandar menyediakan bahan baku dan prasarana buruh dan pengrajin kecil menyediakantenaga dan lahan kerja. : Bandar rnenjual kerajinan pada konswnen I
Gambar 5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional
Pola kemitraan kerjasama operasional yang sudah berjalan antara bandar kerajinan dar buruh pengrajin atau antara bandar kerajinan dan pengrajin kecil memiliki kelemahan terutama dalam penentuan harga upah dan pengambilan keuntungan. Pengrajin kecil atau buruh pengrajin mendapatkan upah yang sangat sedikit dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh bandar. Sebagai contoh untuk satu unit kerajinan misalnya, Buruh pengrajin atau pengrajin kecil hanya mendapat upah antara Rp. 5.000,- sampai Rp. 15.000,sedangkan bandar kerajinan bisa mendapat keuntungan hingga Rp. 20.000,hingga Rp. 50.000,-. Sejauh ini perbedaan perolehan keuntungan yang sangat jauh tersebut belum dianggap persoalan oleh pengrajin Desa Cipacing. Keuntungan yang sangat besar yang diperoleh oleh bandar serta ordinasi bandar sebagai penentu upah dianggap ha1 yang wajar mengingat modal dan bahan baku yang disediakan oleh bandar. Demikian juga rendahnya posisi tawar pengrajin kecil dan buruh pengrajin terhadap bandar, serta terbatasnya pilihan pekerjaan yang dapat dilakukan terutarna oleh buruh pengrajin.
5.1.2. Pola Kemitraan Subkontrak
Secara prinsip pola kemitraan subkontrak terjadi ditandai dengan adanya penyerahan atau pengalihan baik sebagian maupun seluruh proses produksi dari pihak prinsipal (pemesan) kepada pihak-pihak sub kontraktor (penerima pesanan). Menurut Baud (1989) dikutip oleh Rustiani (1996), terdapat dua jenis sub kontrak yaitu sub kontrak komersial; subkontrak dilakukan untuk menghasilkan barang jadi yang siap jual, dan subkontrak industrial; sub kontrak yang untuk menghasilkan barang setengah jadi, bagian-bagian, atau komponenkomponen untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk. Pola kemitraan baik yang komersial maupun industrial terjadi di Desa Cipacing. Pola kemitraan subkontrak komersial terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil terjadi ketika bandar kerajinan mendapat pesanan suatu jenis kerajinan dari luar negeri sebanyak kuantitas tertentu yang harus dikirim dalam jangka waktu tertentu pula. Kemudian untuk memenuhi pesanan tersebut bandar kerajinan memesan kerajinan sejenis dengan kualitas dan jangka waktu yang sudah ditentukan pada pengrajin kecil di sekitar tempat tinggalnya. Pola kernitraan subkontrak industrial terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil maupun antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin. Bandar kerajinan biasanya memesan komponen-komponen kerajinan pada buruh pengrajin atau pada pengrajin kecil, untuk kemudian dirakit kembali menjadi kerajinan siap jual. Namun meskipun tidak mendapat pesanan dari bandar, terkadang bumh pengrajin atau pengrajin kecil memproduksi kcrnponenkomponen tersebut sebagai cadangan atau persiapan apabila mendapat pesanan mendadak dari bandar. Pola kemitraan subkontrak tersebut dapai dilihat pada gambar 5 sebagai berikut:
1 I
2.
Pola Subkontrak h d w M
Gambar 6. Pola Kemitraan Subkontrak Untuk menyelesaikan satu jenis kerajinan, pola kemitraan subkontrak
biasanya tidak hanya terjalin antara bandar dengan satu pengrajin kecil atau satu bumh pengrajin saja, namun bisa terjalin dengan beberapa pengrajin kecil atau buruh pengrajin. Contohnya dalam pembuatan panah bandar kerajinan dapat memakbonkan pekerjaan tersebut pada beberapa mitra sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Misalnya dalam pembuatan busur dan anak panah hingga kerajinan tersebut menjadi siap jual. Pola kemitraan subkontrak yang sudah berjalan antar pengrajin Desa Cipacing membawa nilai positif bagi pengrajin, sebab dengan adanya pola subkontrak tersebut banyak penganggur yang beralih profesi menjadi pengrajin kecil atau menjadi buruh pengrajin. Namun dalam subkontrak ini terdapat beberapa kelemahan antara lain subordinasi bandar yang berkuasa atas penentuan harga kerajinan maupun komponen-komponen kerajinan yang dibuat, sementara pengrajin kecil maupun buruh pengrajin tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan nilai upah atau harga jual. 5.1.3. Pola Kemltraan Dagang Umum
Pola kemitraan dagang umum erat kaitannya dengan kerjasama pemasaran antara pihak yang bermitra. Pola kemitraan dagang umum rrlempakan bentuk hubungan usaha pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasok dan pihak penjual yang memasarkan produk hingga ke tangan konsumen. Pada dawrnya, pola
kemitraan ini merupakan hubungan jual beli. Keuntungan yang diperoleh dari pola kemitraan ini berasal dari margin harga dan jaminan harga produk sereta kualitas produk yang diperjualbelikan sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Pola kemitraan dagang umum yang terjadi antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing khususnya terjalin antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil. Pengrajin kecil adalah orang yang merniliki keterampilan membuat kerajinan secara mandiri dari mulai bahan mentah hingga kerajinan siap jual. Akan tetapi meraka biasanya memiliki keterbatasan modal dan pemasaran. Dalam ha1 pemasaran pangrajin kecil menjual hasil kerajinannya pada konsumen secara langsung maupun pada bandar yang merniliki showroom, pengusaha di tempat-tempat wisata atau menjual kepada bandar untuk memenuhi pesanan kerajinan dari dalam maupun luar negeri. Pola kemitraan dagang umum pada pengrajin kayu ukir dan hias tersebut dapat terlihat pada gambar 6 sebagai berikut:
1
2
PengusahaPemilik
2
1 Ket : 1. 2.
Pengrajin kecil menjual produk pada Bandar atau pengusaha Bandar atau pengusaha memasarkan produk pada konsumen A
Gambar 7. Pola Kemitraan Dagang Umum
Meskipun pola hubungan kernitraan dagang urnum ini sangat membantu bagi pengrajin kecil untuk memasarkan produknya namun dalam dalam kemitraan ini bandar berperan besar dalam menentukan harga. Selain itu pengrajin kecil yang cenderung melaksanakan usahanya secara individual menyebabkan terjadinya persaingan yang kurang sehat terutama dalam
penentuan harga sehingga seringkali pengrajin kecil mengalami kerugian aibat kalah dalam persaingan harga.
5.2. Profil Hubungan Kemitraan Hubungan kemitraan merupakan kerjasama atau pola relasional yang yang terjalin antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dalam memproduksi kerajinan dan menjalankan kehidupan sosial ekonomi mereka. Hubungan kemitraan yang telah terbentuk sejak sektor industri kerajinan di wilayah
ini
berdiri tersebut
merupakan cerminan utama karakteristik
kelembagaan sosial ekonomi warga Desa. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pengrajin yang kesehariannya bergelut dalam industri kerajinan. Hubungan kemitraan yang terjadi antar pengrajin di Desa Cipacing meliputi beberapa aspek kehidupan antara lain aspek sosial dan ekonomi yang satu sama lain saling berkaitan. Aspek sosial yang dianalisis dalam kajian ini meliputi jejaring kerja, komunikasi antar pengrajin, kepercayaan, serta etika kemitraan. Sedangkan aspek ekonomi meliputi modal, bahan baku, pemasaran, keterampilan dan pengetahuan, serta pendapatan.
5.2.1. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-Aspek Soslal 5.2.1 .l. Jejaring Kerja Jejaring kerja dalam kajian ini diartikan sebagai bentuk kerjasama yang dilakukan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing baik dengan sesama pengrajin di wilayah tersebut dalam produksi kerajinan dari mulai bahan mentah hingga menjadi kerajinan yang siap jual. Dalam hubungan kemitraan ini jejaring kerja merupakan faktor penting yang memberikan informasi sejauh mana kerjasama dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam kemitraan tersebut. Kerjasama internal antar pengrajin Desa Cipacing dilakukan dalam kegiatan usaha yang saling terkait antara satu pengrajin dengan pengrajin lain. Eksistensi Desa Cipacing sebagai sentra industri kerajinan yang pemasarannya
telah mencapai dunia internasional tidak terlepas dari hubungan kemitraan yang terjalin antara tiga pelaku usaha kerajinan di Desa Cipacing yaitu peran pengrajin kecif, buruh pengrajin, dan bandar kerajinan. Kerjasama yang paling sering terjadi antar pengrajin Desa Cipacing antara lain pembagian kerja dalam penyelesaian suatu kerajinan tertentu.
Pengerjaan suatu kerajinan meliputi pembuatan komponen-komponen yang kemudian dirakit menjadi kerajinan jadi yang siap jual. Biasanya dalam pembuatan komponen-komponen tersebut melibatkan lebih dari tiga keluarga pengrajin yang meliputi pengrajin kecil serta buruh pengrajin. Peranan bandar dalam ha1 ini adalah sebagai pernberi pekerjaan kepada kedua kelompok tersebut setelah menerima pesanan atau order dari pihak konsumen dalam atau luar negeri. Jejaring Kerja dalam Pola Kemitraan Kejasama Operasional Dalam rnemproduksi kerajinan, bandar kerajinan biasanya melibatkan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin d&am kegiatan pembuatan komponen maupun dalam proses mengecat atau menghias kerajinan. Bandar kerajinan biasanya rnemiliki beberapa showroom kerajinan baik di Desa Cipacing maupun di pulau Bali atau tempat wisata lainnya, selain itu bandar biasanya memiliki akses pemasaran hingga ke luar negeri yang menyebabkan mereka mendapatkan order kerajinan berbagai negara di dunia untuk diekspor dalam jumlah yang besar. Berdasarkan ha1 tersebut untuk memenuhi stok barang di toko mereka maupun untuk mernenuhi permintaan barang dari luar negeri, dilakukan kerjasama dengan pengrajin-pengrajin lain di Desa Cipacing. Bentuk kerjasama dalam pola kemitraan operasional yang dilakukan bandar antara lain dengan membagi-bagikan pekerjaan pada tetangga sekitar rumah mereka yang biasanya terdiri dari pengrajin kecil ataupun buruh pengrajin dengan sistem makloon. Misalnya; untuk pembuatan hiasan kayu berbentuk kornodo, bandar menyediakari bahan baku b e ~ p akayu dan cat, kemudian pengrajin kecil mengerjakan kerajinan tersebut hingga selesai sebelum diserahkan kepads bandar. Kemudian pengrajin kecil mendapatkan upah sebanyak kerajinan yang dikerjakannya. Dalam pembuatan komponen-komponen satu jenis kerajinan, bandar pengrajin dapat melibatkan kurang lebih tiga atau empat kepala keluarga. Misalnya untuk menghasilkan Ridhuu-ridhuu, pembuatan komponen kerajinan diserahkan pada beberapa keluarga pengrajin, antara lain sebagai tukang bobok (pembentuk rangka), tukang ngebor, ngahampelas (amplas), serta sebagai
tukang nitikan (orang yang mewarnai), yang masing-masing dikerjakan oleh orang yang berbeda-beda dengan tingkat upah yang berbeda. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh salah seorang bandar kerajinan:
"industri kerajinan di Cipacing ini bisa dibilang memberdayakan warga masyarakat neng, apalagi kalau bapak dapat pesanan dari australia misalnya untuk Ridhu-ridhu begini, tetangga-tetangga juga kan ikut kecipratan rezeki... walaupun sedikit-sedikit. Yang kebagian ngebor na hungkul aya, anu nitikan aya, anu ngecet wae aya...sejauh ini bapak berusaha melibatkan para pengrajin yang lain untuk memberikan pekerjaan pada mereka. Kalo sedang musim liburan, kami seringkali kewalahan menerima pesanan kerajinan dari toko-toko di Bali, tapi kalo lagi sepi mah nya manyun wae ..." (bpk AGS, Juli 2006) Pada level yang lain, jejaring kerja dalam pola kemitraan kerjasama operasional ini pengrajin kecil dan buruh pengrajin biasanya mereka membagikan pekerjaan yang mereka dapat dari bandar kepada keluarganya yaitu istri dan anak atau anggcta keluarganya yang lain. Misalnya tukang nitikan yang pekerjaannya mulai dari memberikan wama dasar, memberikan motif hingga memberikan vemis, membagi pekerjaannya dengan anggota keluarganya masing-masing dari pekerjaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya pekerjaan cepat selesai. Akan tetapi ha1 tersebut menyebabkan pendapatan yang mereka dapat menjadi sangat minim karena dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh banyak orang menyebabkan upah dari bandar harus dibagi rata pada setiap anggota keluarganya. Dalam jejaring kerja, antara buruh pengrajin dengan buruh pengrajin lainnya memiliki solidaritas yang cukup tinggi, ha1 ini dapat terlihat jika salah satu buruh pengrajin mendapatkan orderan dari bandar, kemudian tetangganya yang juga buruh sedang tidak punya pekerjaan, maka buruh pengrajin biasanya dengan sukarela membagi peketjaan mereka dengan tetangganya tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan salah seorang responden yaitu ibu ADR yang bekerja sebagai buruh sumpit.
"..nya ibu oge sok karunya ka tatanggi anu kaleresan nuju teu aya padamelan. Pami aya orderan ti Wa Nana (bandar sump#) ku ibu sok diajakan digawe babamngan we saciwit ewang. Misalna ibu anu ngelem, nya ceu Epi anu ngagerihan, asal ayaan wae neng, supados emam sadayana*. ( ibu suka kasihan pada tetangga yang kebetulan sedang sepi order. Kalo ibu dapat order dari bandar, ibu suka mengajaknya untuk bekerja sama sedikii-sedikit. Misalnya ibu memberikan lem, Ceu Epi yang membuat garis. Asal ada pemasukan saja, supaya semuanya kebagian makann). Namun, menurut keterangan salah seorang bandar, sebenarnya mereka (bandar kerajinan) tidak sembarangan memberikan pekerjaan kepada siapa saja.
Hal ini disebabkan hasil peker;aan tiap-tiap orang pasti akan berbeda sehingga jika pekerjaan diberikan bukan pada buruh atau pengrajin langganannya mereka
khawatir hasil kerajinan tersebut bermutu jelek atau tidak sesuai dengan kualitas yang diminta pemesan. Jika buruh pengrajin tersebut membagi-bagikan pekerjaan dengan tetangganya, sebenamya tidak menjadi masalah selama bunrh tersebut mau bertanggungjawab atas hasil pekerjaannya memiliki kualitas yang baik. Jejaring kerja dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing ini terjaiin dengan erat dan melembaga. Jejaring kerja ini tumbuh atas dasar adanya persamaan kebutuhan antar pengrajin di Desa Cipacing, misalnya bandar kerajinan mencapai kesuksesan hingga berhasil menjual kerajinan ke mancanegara berkat kerjasama dengan pengrajin kecil dan t belum sepenuhnya buruh pengrajin. Namun kerjasama yang k u ~ tersebut memuaskan kebutuhan semua pihak. Karena dalam ha1 ini bandar kerajinan mendapatkan untung yang sangat besar dan tidak seimbang dibandingkan dengan upah yang dibayarkan kepada pengrajin kecil dan bandar kerajinan. Kerjasama tersebut dapst dikatakan masih bertahan karena buruh pengrajin tidak memiliki pilihan lain selain mengerjakan pekerjaan tersebut meskipun upah yang diterimanya sangat kecil. Sedangkan bagi pengrajin kecil mereka masih mampu melakukan penolakan bila dibayar dengan upah yang kecil apabila mereka memiliki modal sendiri untuk membuat kerajinan yang siap dipasarkan secara langsung kepada konsumen. Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jejaring kerja pada pola kerjasama operasional ini terbagi atas dua basis yaitu 1) basis solidaritas sosial, serta 2) basis pertukaran - kepentingan. Basis pertama terjadi ketika pengrajin kecil atau bumh pengrajin melakukan pembagian kerja. Pada kasus tersebut solidaritas sosial diantara pengrajin kayu ukir dan hias khususnya pengrajin kecil dan bumh pengrajin sangat kuat. Hal ini terlihat dari adanya pembagian kerja berdasarkan wujud kepedulian antara satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha lainnya. Lain halnya dengan basis yang kedua, pertukaran berdasarkan alasan kepentingan sangat dominan terjadi. Basis kedua ici terjadi antara seluruh pelaku usaha kerajinan di desa Cipacing, baik itu pengrajin kecil, bandar kerajinan maupun buruh pengrajin. Basis pertukaran tersebut terjadi karena adanya kepentingan di antara mereka. Namun dalam ha1 ini kepentingan bandar merupakan dasar terjadinya pertukzran. Sedangkan kepentingan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin hanya terjadi ketika bandar berupaya memenuhi kepentingannya.
Jejaring Kerja dalam Pola Kemitraan Subkontrak
Hubungan kemitraan dalam pola subkontrak ini terjadi manakala bandar kerajinan mendapat pesanan dari luar negeri atau dirinya memesan jenis kerajinan untuk dipasarkan di showroom yang ia miliki. Dalam pola subkontrak ini seluruh modal dan bahan baku untuk pembuatan komponen kerajinan maupun kerajinanjadi disediakan oleh pihak subkontraktor (buruh pengrajin dan pengrajin kecil), sedangkan bandar berperan sebagai pemilik uang yang membeli komponen-komponen kerajinan atau kerajinan yang telah jadi. Pada pola subkontrak industrial, bandar memesan komponen-komponen kerajinan pada bumh pengrajin atau pengrajin kecil untuk kemudian dirakit oleh pegawai mereka menjadi kerajinan jadi. Namun meskipun tidak melakukan pemesanan komponen kerajinan, ada beberapa buruh pengrajin yang membuat suatu komponen kerajinan tertentu sehingga bandar dapat langsung membeli dari buruh tersebut. Pada pola ini terjadi jual beli komponen kerajinan antara bandar dengan buruh pengrajin atau pengrajin kecil. Pola subkontrak komersial hanya terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil, sedangkan buruh pengrajin tidak terlibat. Hal ini disebabkan dalam pola subkontrak bandar tidak memberikan modal dan bahan baku sama sekali, sedangkan buruh pengrajin biasanya tidak memiliki modal untuk membuat satu unti kerajinan secara utuh. Pengrajin kecil sebagai pihak subkontraktor membuat suatu jenis kerajinan tertentu dengan kualias dan kuantitas yang dipesan oleh bandar. Dalam pembuatan kerajinan ini seringkali mereka melakukan kejasama dengan buruh pengrajin dengan cara membagi-bagikan lagi pekerjaan dalam pembuatan komponen agar pekerjaan tersebut cepat selesai karena biasanya batas waktu yang diberikan oleh bandar untuk penyelesaian kerajinan tersebut cukup singkat. Dalam jejaring kerja ini buruh pengrajin berperan sebagai subkontraktor tingkat dua. Pada pola kemitraan subkontrak ini basis jejaring kerja yang berlaku di antara mereka adalah basis ikatan perjanjian di masa lalu. Artinya bahwa hubungan kemitraan yang terjadi memiliki nilai-nilai mutlak yang harus dipatuhi bersama berdasarkan perjanjian antara pihak prinsipal dan pihak subkontraktor.
Jejaring Kerja dalam Pola Kemitraan Dagang Umum
Dalam pola kemitraan dagang umum ini jejaring kerja hanya merupakan bentuk kerjasama pertukaran atau proses jual-beli antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil tanpa ketentuan kualitas dan kuantitas maupun proses pemesanan terlebih dahulu. Namun dalam jejaring kerja ini bandar biasanya memiliki langganan tetap yaitu beberapa pengrajin kecil yang kualitas kerajinannya sesuai dengan permintaan pasar. Sedangkan kebanyakan pengrajin kecil lainnya yang tidak terlibat dalam jejaring kerja ini menjual kerajinannya secara langsung pada konsumen. Permasalahar: dalam pelaksanaan hubungan kemitraan pada aspek jejaring kerja ini adalah terjadi ketergantungan dalam ha1 jumlah pekerjaan dan jumlah upah yang diterima oleh buruh pengrajin pada bandar kerajinan. Hal ini disebabkan intensitas pekerjaan yang diberikan bandar kepada buruh pengrajin maupun pada pengrajin kecil tidak dapat dipastikan berapakali dalam suatu kurun waktu tertentu. Bandar biasanya memberikan pekerjaan sesuai dengan banyaknya pesanan dari dalam maupun luar negeri. Biasanya pada musim liburan sekolah, di mana tempat wisata seperti pulau Bali ramai dengan kunjungan orang, ha1 tersebut menyebabkan jumlah permintaan terhadap kerajinan buatan Cipacing meningkat yang juga menyebabkan jumlah pekerjaan bagi buruh pengrajin maupun pengrajin kecil turut meningkat. Namun ketika bandar kerajinan mengalami sepi order, ha1 tersebut berdampak pula pada pekerjaan yang diterima oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil.
Matriks 6. Hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias dalam kegiatan jejaring kerja.
Jejaring kerja Kemitraan Bandar: Pembagian kerja pada pengrajin kecil dan buruh pengrajin Pengrajin Kecil: Pembagian pekerjaan kepada anggota keluarga dan buruh pengrajin Buruh: Pembagian kerja sesama buruh pengrajin dan anggota keluarga
Bentuk
Basis Jejaring Pola KOA : (1). basis solidariias social, (2) basis pertukaran kepentingan Pola Subkontrak : Basis ikatan perjanjian kerjasama di masa lalu. Pola Dagang Umum : Tidak ada ( proses pertukaran jualbeli biasa) Pola KOA Mekanisme - Bandar kerajinan me-maklun-kan pekerjaan pada pengrajin kecil untuk membuat kerajinan jadi dan pada buruh pengrajin untuk membuat komponen-komponen kerajinan dengan sistem upah kerja. - Bahan baku dan modal ditanggung oleh Bandar. Pola Subkontrak - Bandar melakukan kerjasama pembuatan komponen kerajinan (industrial) pada buruh dan pengrajin kecil, sedangkan pembuatan kerajinan jadi (komersial) pada pengrajin kecil. - Pengrajin kecil memaklunkan pembuatan komponenkomponen kerajinan kerja pada anggota keluarga atau pada buruh pengrajin - Buruh pengrajin membagi pekerjaan mereka dengan sesama buruh pengrajin atau dengan anggota keluarga. Pola Dagang Umum - Bisnis pertukaran kerajinan jadi antara Bandar dengan pengrajin kecil, sedangkan buruh tidak terlibat secara langsung.
I
-
Intensitas
-
Permasalahan
-
Tidak dapat ditentukan secara pasti intensitas pekerjaanlorderan sehingga terkadang buruh pengrajin dan pengrajin kecil Ydak mendapatkan pendapatan karena sepi order. Terjadi ketergantungan atas pgkejaan dan upah khususnya oleh buruh pengrajin pada bandar kerajinan pada pola KOA.
Berdasarkan fakta yang di dapatkan dilapangan maka dapat diketahui bahwa dalam jejaring kerja kemitraan pola kemitraan yang ada merupakan
upaya pemenuhan kebutuhan bagi seluruh pengrajin. Akan tetapi pada jejaring kerja ini pemenuhan kebutuhan pengrajin kecil dan buruh pengrajin cenderung akan terpenuhi ketika bandar berupaya memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian terjadi ketergantungan pada pihak bandar. Pola kemitraan yang dianggap cukup adil dalarn hubungan kemitraan ini adalah pola subkontrak dan pola dagang umum, karena pada pola tersebut posisi tawar pengrajin kecil dan buruh pengrajin lebih besar di banding kan pada pola KOA. Hal ini mernungkinkan adanya pengembangan jejaring kej a dalam hubungan kemitraan pada ke dua pola tersebut.
5.2.1 -2. Komunikasi Salah satu faktor yang menggambarkan kondisi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah komunikasi yang dilakukan antar pengrajin di Desa tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengrajin di Desa Cipacing terbagi menjadi t i g ~golongan, antara lain pengrajin kecil, buruh pengrajin serta bandar kerajinan. Ketiga golongan tersebut memiliki hubungan kemitraan dalam kegiatan produksi maupun pemasaran kerajinan kayu ukir dan hias, dengan demikian salah satu indikator yang memberikan inforrnasi mengenai sejauh mana keeratan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias tersebut adalah melalui komunikasi yang mereka lakukan. Antara lain menurut intensitas, topik serta harnbatan pada komunikasi di antara ketiganya. Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi pengmjin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing terjalin dengan baik. Hal ini disebabkan tempat tinggal mereka berdekatan satu-sama lain. Sebagai warga mereka biasa berkomunikasi tentang berbagai perrnasalahan dari mulai masalah pekerjaan, pribadi, dan masalah umum lainnya sebagai tetangga. Namun komunikasi tersebut terbatas pada kalangan pengrajin kecil dan buruh pengrajin saja. Sedangkan bandar kerajinan jarang terlibat dalam komunikasi tersebut sebab mereka biasanya jarang keluar rumah akibat kesibukan pekerjaannya. Apabila terdapat komunikasi antara pengrajin kecil, buruh pengrajin dengan bandar pun maka topik yang dibicarakan adalah masalah pekerjaan atau masalah kerajinan. Topik komunikasi yang biasa dibicarakan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing antara lain:
Tabel 6. T o ~ i kkomunikasi dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di D& Cipacing. Topik Komunikasi antar pengrajin F I
1 I
I
[ % I 1 26 1
1
I Masalah Pribadi yang dialami
16
2
1 Hanya masalah pekerjaan I
115 I
1 65
3
(I Masalah lain-lain
(I 2
19 I
1
(I Jumlah
1
I
I
I
I
1 23
Sumber : Hasil Penelitian 2006
I
I
I I00
Berdasarkan hasil wawancara dengan buruh pengrajin maupun dengan pengrajin kecil, bandar biasanya mewakilkan urusan pekerjaan kepada asisten atau pegawai kepercayaan mereka termasuk pada saat pembagian pekerjaan. Dalam hubungan kemitraan ini sebagian besar pengrajin mengungkapakan komunikasi yang selama ini dilakukan lebih banyak bsrkisar seputar masalah pekerjaan saja. Topik komunikasi pada Pola Kemitraan Kejasama Operasional yang dilakukan hanya sebatas pada pekerjaan yang diberikan, antara lain kuantitas dan kualitas barang, batas waktu penyelesaian pekerjaan, besar upah yang akan didapatkan oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil dalam penyelesaian komponen kerajinan, serta kapan upah pekerjaan tersebut akan dibayar. Topik komunikasi pada pola kemitraan subkontrak antara lain mengenai kuantitas dan kualitas barang, batas waktu penyelesaian pekerjaan serta harga setiap satuan komponen atau satuan ke~jinanyang telah diselesaikan, serta kapan seluruh kerajinan atau komponen yang telah diselesaikan akan dibayar. Sedangkan topik komunikasi pada Pola Kemitraan Dagang Umum hanya berkisar harga jual beli kerajinan yang disepakati bersama. Sedangkan untuk topik di luar pekerjaan seperti masalah kurangnya modal, masalah ekonomi keluarga pengrajin dan buruh, kornunikasi dirasakan terhambat, seperti diungkapkan oleh Ibu ENH seorang buruh pengrajin di Dusun 2 Desa Cipacing. "ah.. bveng-bujeng tiasa komunikasi masalah ekonomi neng, ibu wae anu kasebatna besan sareng ujang Dingdong, papendak oge sesah, komo deui batur, wargi sanes, baraya sanes, bujeng-bujeng tiasa ngawangkong nu kitd' (ah. .bore-boro bisa komunikasi masalah ekonomi neng, ibu saja yang berbesan dengan Ujang Dingdong, ketemu saja susah, apalagi orang lain. Saudara buka, kerabat pun bukan, boro-boro bisa berbicara banyak hat.)
Dengan demikian diketahui bahwa komunikasi yang dilakukan antar pengrajin di Desa Cipacing terutama antara buruh pengrajin maupun pengrajin kecil dengan bandar hanya berkisar seputar masalah pekerjaan saja. Hal ini disebabkan kesempatan untuk melakukan komunikasi antara pengrajin kecil dengan bandar atau antara buruh pengrajin dengan bandar amat sangat sedikit. Hal tersebut menyebabkan adanya kesenjangan dalam interaksi antara bandar dengan pengrajin yang lebih kecil atau dengan buruh. Sedangkan komunikasi yang dilakukan antar pengrajin kecil maupun antar buruh pengrajin cenderung memiliki topik yang jauh lebih luas dibandingkan dengan komunikasi dengan bandar. Pengrajin kecil dan buruh pengrajin biasa membahas berbagai macam topik di luar pekerjaan mereka. Mereka biasanya bekerja di depan rumah mereka bersama-sama dengan pengrajin yang lain, sehingga sambil bekerja mereka dapat membahas berbagai macam topik, khususnya saling menceritakan kesulitan hidup. Komunikasi yang dilakukan antara buruh pengrajin maupun pengrajin kecil menghasilkan informasi mengenai permasalahan yang cfialami antara satu sama lain. Hal ini kemudian menyebabkan adanya ikatan yang kuat serta rasa solidaritas yang tinggi untuk saling tolong-menolong. Hal ini dapat terlihat pada tabel 5.2, mengenai orang yang sering diajak berkomunikasi yang kemudian menentukan siapa yang biasanya dimintai pertolongan apabila mereka mengalami kesulitan. Tabel 7. Mitra yang Diajak Berkomunikasi dalam Hubungan Kemitraan antar
Sumber : Hasil Penelitian 2006
Berdasarkan informasi pada tabel di atas, buruh pengrajin dan pengrajin kecil menyatakan bahwa mereka lebih suka mengkomunikasikan kesulitan mereka kepada saudara atau kerabat mereka. Menurut mereka bandar jarang sekali terlihat berbaur dengan buruh pengrajin maupun dengan pengrajin kecil. Selama ini interaksi mefeka hanya sebatas seputar urrlsan memhuat kerajinan
saja, itupun biasanya diwakilkan kepada asisten atau orang suruhan bandar tersebut. Berdasarkan ha1 tersebut dapat diketahui bahwa terjadi kesenjangan dalarn ha1 komunikasi antara pengrajin, khususnya antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin maupun pengrajin kecil. Kurangnya komunikari antara bandar dengan pengrajin lainnya rnenyebabkan kecilnya kemungkinan bahwa bandar kerajinan rnengetahui perrnasalahan pengrajin-pengrajin di sekitarnya. Kecilnya kesempatan pengrajin kecil maupun buruh untuk berkomunikasi dengan bandar rnenyebabkan rnereka tidak rnampu rnelakukan negosiasi dalarn
ha1
penentuan harga, sehingga selama ini besar atau kecilnya upah kerja buruh ditentukan secara sepihak oleh bandar. Sehingga beberapa pengrajin mengungkapkan bahwa bandar kurang peduli dengan lingkungannya, akibat sibuk dengan urusan pekerjaan. Kepedulian sosial dari bandar kerajinan bagi warga sekitar diwujudkan melalui pemberian zakat kepada fakir rniskin yang tinggal di dekat rumahnya, selain itu juga mereka biasanya mernberikan surnbangan pada pernbangunan rnesjid. Hal ini diketahui berdasarkan keterangan Bpk ASR salah seorang pengrajin kecil: " pendak oge sesah atuh neng, pami bapak milarian pidameuleun ka bumi na ngan ukur papendak sareng asisten. Eta oge saukur urusan kerajinan. Aya an sumbangan na mah kanggo tatanggi nu feu gaduh siga bapak, sapertos zakat unggal sasis shaum, s m n g ngabantosan pembangunan masjid...perkawis ngabantos biaya sakola budak mah teu acan pemah, kitu oge perkawis biaya uubar ka dokter. Eta oge kantos pak Endg nawisan bilih aya anu teu damang kenging nambut mobilna kanggo lalandong pami nuju teu dianggo." (bertemu juga susah, kalau bapak rnenjemput pekerjaan ke ~mahnyaphanya bertemu dengan asisten. Itu juga hanya sebatas urusan pekerjaan saja. Beliau menlang suka menyumbang pada warga yang tidak marnpu, contohnya zakat setiap bulan puasa dna membantu pernbangunan mesjid, tapi belurn pernah mernbantuh rnasalah kekurangan biaya sekolah atau biaya berobat. Memang pemah ada bandar yang rnenawarkan mobilnya untuk dipakai berobat jika ada yang sakit.) Menurut pendapat salah seorang tokoh di Desa Cipacing, salah satu penyebab terjadinya hambatan kornunikasi antar pengrajin tersebut adalah karena tidak adanya paguyuban atau forum pengrajin. Sehingga tidak ada sarana komunikasi yang mampu menjembatani kesenjangan sosial dan ekonomi antara bandar dengan buruh pengrajin.
Matriks 7. Komunikasi antar Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing
Komunikasi 3 Topik komunikasi antara bandar kerajinan dengan buruh
Topik
pengrajin dan pengrajin kecil hanya terbatas pada masalah pekerjaanlkerajinan, antara lain: Pola KOA - kuantitas dan kualitas, batas waktu, besar upah, waktu pembayaran upah Pola Subkontrak - kuantitas dan kualitas, batas waktu, harga satuan komponen atau kerajinan, waktu pembayaran kerajinan. Pola Dagang Umum - harga jual beli kerajinan yang disepakati be~sama.
> Topik mengenai masalah pribadi dan masalah lainnya hanya Mekanisme
Permasa'ahan
I
terjadi dalam komunikasi sesama pengrajin kecil atau sesama buruh pengrajin. - Komunikasi antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin dan pengrajin kecil hanya terjadi ketika terdapat order pekerjaan. - Tidak terdap~tmekanisme khusus dalam komunikasi antar pengrajin Desa Cipacing. Akibat tidak adanya forum komunikasi pengrajin kayu ukir dan hias. - Timbulnya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antar pengrajin di Desa Cipacing terutama antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil dan buruh pengrajin akibat komunikasi kurang baik. - Tidak terdapat forum komunikasi dan paguyuban antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing.
Komunikasi yang terjadi antara pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing hanya terbatas pada masalah pekerjaan. Hal ini menyebabkan kepedulian satu dengan lainnya menjadi bsrkurang, karena mereka jarang mengkomunikasikan mengenai perrnasalahan yang sedang dialami. Dalam ha1 pekerjaan, komunikasi yang paling kondusif antar pengrajin tejadi pada pola kemitraan dagang umum. Dalam ha1 ini posisi antara pelaku kemitraan hampir setara, rneskipun bandar kerajinan masih dominan dalam penentuan harga jual kerajinan dibandingkan pengrajin kecil. Namun komunikasi pada pola ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pola kemitraan KOA dan Subkontrak, karena pada ke dua pola ini seakan-akan pengrajin kecil dan buruh merupakan pegawai rendahan yang bekerja pada bandar.
5.2.1.3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan faktor yang paling menentukan dalam jalinan hubungan kemitraan. Kepercayaan merupakan dasar untuk membangun kemitraan yang kokoh dan berhasil. Kegagalan dalam membangun kepercayaan antar sesama pelaku kemitraan biasanya dimulsi dari sikap saling mencurigai dan akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan yang menghambat kemitraan yang akan dibangun. Dengan demikian perlu difahami bagaimana bentuk kepercayaan yang dimiliki antar pengrajin di Desa Cipacing. Semua pelaku usaha kerajinan di Desa Cipacing umumnya sepakat bahwa usaha tersebut selama ini bertahan akibat adanya kepercayaan antar pengrajin di Desa Cipacing maupun kepercayaan yang terjalin dengan pihak pelanggan atau eksportir. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bpk DD seorang Bandar Kerajinan : "Antar pengrajin Desa Cipacing satu sama lain bekerja sama untuk menghasilkan kerajinan. Kalau tidak bekerja sama dengan tetangga usaha bapak oge tidak akan semaju sekarang atuh neng, da moal kacabak an kusorangan mah. Bapak oge satujd yen kepercayaan jadi faktor utama. Mun bapak teu memberi kapercayaan ka tatangga keur ngadameulan sumpit..anu rugi nya bapak, kitu deui tatangga moal kakecretan cicis." Hal senada diungkapkan oleh tokoh pengrajin di Desa Cipacing yaitu Bapak NNS: " nya kitu wae..saling percaya, saling bantu, saling asah jeung mikanyaah. Sehingga kerajinan Cipacing teh terkenal dugi ka mancanegara berkat ketjasama dan kepercayaan...mun teu kitu sesah bade maju na neng, an hirup mah gening ulah pahiri-hiri...." (ya. Begitu lah, saling percaya, saling bantu, saling melatih dan menyayangi. Sehingga kerajinan Cipacing terkenal hingga mancanegara berkat kerjasama dan kepercayaan..kalau tidak begitu sulit untuk maju, kalau hidup jangan saling iri dengki) Demikian halnya dengan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di
Desa Cipacing, produksi kerajinan yang melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan beberapa pengrajin antara lain bandar, buruh dan pengrajin kecil, menggambarkan adanya kepercayaan antar pengrajin sehingga proses kerjasama maupun sistem produksi kerajinan tersebut berjalan lancar. Dalam semua pola kemitraan yang ada baik Pola kemitraan KOA, Subkontrak maupun Dagang Umum, kepercayaan yang sangat menonjol antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing berdasarkan pada kualitas stau hasil pekerjaan masing-masing pengrajin.
Tabel 8. Alasan Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu ~ k idan r Hias di ~ e s Cipacinc. a F % No Alasan kepercayaan antar pengrajin 4 18 Kekerabatan 1 73 17 Kualitas Pekerjaan 2. 9 2 3. Kesetiakawanan 23 100 Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2006 Kepercayaan yang terjalin diantara pengrajin di Desa Cipacing khususnya dalam pembagian kerja dalam pengerjaan komponen-komponen kerajinan disebabkan berbagai alasan. Alasan yang mel~onjoldalam terjalinnya kepercayaan antara satu pengrajin dengan pengrajin lain adalah karena kualitas pekerjaan, sedangkan faktor kekerabatan maupun kesetiakawanan dianggap tidak terlalu penting. Hal ini mengindikasikan bahwa bandar sebagai pemberi pekerjaan utama pada buruh pengrajin maupun pengrajin kecil sangat menjaga kualitas dari kerajinan mereka buat, sehingga tidak sembarangan memberikan pekerjaan pada orang yang bukan ahlinya. Dalam membagi pekerjaan pada sesama pengrajin, pengrajin Desa Cipacing sangat mementingkan kualitas pekerjaan dibandingkan dengan alasan lainnya, ha1 ini terjadi terutama pada bandar kerajinan yang paling sering memberikan pekerjaan pada pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Namun dibalik kepercayaan yang diberikan bandar kepada pengrajiti kecil maupun buruh pengrajin, harus melewati usaha keras dari mereka untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Yaitu dengan sistem pembagian kerja yang seringkali melalui sistem "jemput bola",serta sistem dan besarnya jumlah pembayaran yang tidak dapat dinegosiasikan. Dalam hal ini buruh pengrajin dan pengrajin kecil tidak memiliki posisi tawar terhadap bandar kerajinan. Kepercayaan yang tumbuh di antara pengrajin di Desa Cipacing disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan bersama, yakni bandar yang membuiuhkan pekerjaan untuk selesai dengan cepat serta pengrajin kecil dan buruh yang memerlukan uang untuk rnemenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun bidang kepercayaan yang terjalin antar pengrajin di Desa Cipacing tersebut masih terbatas pada kepercayaan dalam kerjasama pembuatan kerajinan dan pemasaran, sedangkan dalam bidang lainnya tidak terjalin kepercayaan antar pengrajin.
I Kayu Tabel 9. Bidana dalam Hubungan Kemitraan antar Pengraji~ ..Kemrcavaan . ~ k idan r Hias di ~ e & Cipacing. 1 No 1 Bidang Kepercayaan antar Mitra 1 I Kepercayaan dalam pembuatan kerajinan I 2 [ Kepercayaan dalam modal ( 3. ( Kepercayaan dalam Pemasaran
I
( Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2006
I
Kepercayaan juga merupakan ha1 penting dalam menjalin kemitraan dengan pihak eksternal di luar Desa Cipacing. Hal ini dialami secara langsung oleh bandar-bandar kerajinan yang telah mampu memasarkan kerajinannya hingga keluar daerah dan ke luar negeri. Hambatan yang terjadi pada aspek kepercayaan dalam hubungan kemitraan antar pengrajin di Desa Cipacing ini adalah aspek kepercayaan yang dimiliki masih sebatas kepercayaan pada kerjasama pembuatan komponen kerajinan saja. Sedangkan kepercayaan untuk bekejasama pada bidang lain belum tumbuh. Sebagai contoh kepercayaan dalam kerjasama di bidang perrnodalan tidak ditemui di Desa ini karena kerjasama pada bidang tersebut pernah dilakukan dan mengalami kegagalan. Matriks 8. Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing Kepercayaan --
--
Alasan
-
Aspek
-
Alasan utama kepercayaan dalam semua pola kemitraan antar pengrajin Desa Cipacing untuk bermitra adalah kualitas pekejaan yang dimiliki oleh pihak mitra. Aspek kepercayaan antar pengrajin di Desa Cipacing sebatas pada kepercayaan di bidang pembuatan kerajinan dan sebagian kecil pemasaran. Tidak terdapat kepercayaan pada bidang-bidang lain seperti bermitra dalam permodalan atau meningkatkan kemitraan dalam bidang pemasaran, sehingga kemitraan tidak berkembang.
Kepercayaan yang dimiliki oleh pengrajin Desa Cipacing untuk bermitra lebih dari sekedar pembuatan kerajinan, belum berjalan dengan baik. Kepercayaan untuk bermitra dalam pengadaan modal belum teraapat pada kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Berdasarkan data di lapangan, kepercayaan tertinggi dalam hubungan kemitraan yang ada adalah pada pola KOA. Sebab dalam ha1 ini bandar memberikan kepercayaan penuh pada pengrajin kecil maupun buruh untuk mengerjakan kerajinan dengan
rnenyediakan modal sekaligus bahan baku. Kepercayaan terendah terjadi pada hubungan kemitraan dengan pola dagang umurn, sebab dalarn pola ini hubungan antara bandar dengan pengrajin kecil hanya sebatas penjual dan pernbeli.
5.2.1.4. Etika Kemitraan Kemitraan yang dijalin selarna ini oleh pengrajin di Desa Cipacing merupakan wujud dari kelembagaan sosial ekonorni di wilayah tersebut. Dalarn hubungan kernitraan tersebut terdapat nilai-nilai atau norma yang terbentuk yang menjadi landasan bagaimana kerjasama tersebut dijalankan. Meskipun selarna ini tidak terdapat peraturan yang tertulis, akan tetapi pzngrajin Desa Cipacing rnemiliki aturan yang lahir dari kebiasaan yang telah berlangsung seiring dengan berkernbangnya industri kerajinan kayu ukir dan hias di wilayah ini. Etika dalarn hubungan kemitraan antar pengrsjin di wilayah ini tidak berbentuk peraturan yang tertulis, namun cenderung rnerupakan kebiasaankebiasaan yang kemudian menjadi pedornan bagi pelaku usaha di bidang kerajinan di wilayah ini. Seperti halnya berapa upah yang berlaku bagi pengerjaan suatu kerajinan tertentu, biasanya disandarkan pada perjanjian atau kesepakatan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Etika kemitraan dalam Pola Kejasama Operasional Etika kemitraan yang terjadi dalarn pola KOA ini adalah etika hegernoni. 3
Kernitraan yang terjalin antara bandar kerjaninan, buruh pengrajin dan pengrajin kecil, berpusat pada hegemoni bandar atau rnenjadikan bandar sebagai satusatunya penentu aturan dalam hubungan kemitraan. Pada pola KOA ini, bandar melakukan pemesanan kerajinan jadi rnaupun kornponen kerajinan pada pengrajin kecil atau buruh pe~grajindengan menyediakan bahan baku serta modal, sedangkan buruh pengrajin dan pengrajin kecil rnernenuhi pesanan tersebut dengan menyediakan tenaga dan lahan kerja. Sistem pernbayaran adalati sistem upah kerja per satuan komponen atau kerajinan jadi. Bandar menjadi penentu dalarn besa~nyaupah dan kapan upah tersebut akan di bayar. Dalam rnengerjakan kerajinan biasanya masing-masing jenis kerajinan merniliki tingkat kesulitan tertentu, sehingga masing-masing buruh dan pengrajin kecil merniliki tugas yang berbeda dan besamya upah untuk tiap pengerjaan kornponen kerajinan pun berbeda.
Etika kemitraan dalam Pola Subkontrak
Etika kemitraan pada pola subkontrak merupakan etika komersialisme, di rnana terjadi hubungan kerjasama antara bandar kerajinan, pengrajin kecil dengan buruh pengrajin yang saling menaati perjanjian yang telah disepakati dnegna tidak mengurangi nilai-nilai komersialisrne atau nilai bisnis (profit
oriented). Pada pola subkontrak industrial, bandar melakukan pemesanan komponen kerajinan pada buruh atau pengrajin kecil, namun dalam pemesanan ini bandar tidak memiliki kewajiban untuk menyediakan bahan baku dan modal. Pihak subkontraktor menyediakan modal dan bahan baku secara mandiri, serta dibayar sesuai dengan harga per-satuan komponen kerajinan. Pada pola subkontrak komersial bandar melakukan pemesanan kerajinan siap jual pada pengrajin kecil, dengan ketentuan kualitas dan kuantitas tertentu. Pembayaran adalah sejumlah harga per satuan kerajinan jadi yang telah dipesan. Etika kemitraan dalam Pola Dagang Umum
Etika kemitraan dagang umum adalah etika resiprositas atau pertukaran. Pada dasarnya pola dagang umum yang dilakukan adalah jual beli tanpa prinsip pemesanan. Bandar berperan sebagai pembeli atau kolektor sedangkan pengrajin kecil berperan sebagai penjual kerajinanjadi. Fakta yang terjadi dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah peranan bandar yang sangat dominan dalam penentuan harga, kualitas dan besamya upah. Pertama, pengrajin kecil maupun buruh pengrajin hams mencari-cari pekerjaan dengan sistem "jemput bola" kepada rumah-rumah bandar. Kedua, sistern pembayaran upah ditentukan
secara sepihak oleh bandar kerajinan. Pengrajin kecil atau buruh pengrajin yang merasa tidak cocok dengan besar upah atau waktu pembayaran tersebut, tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi karena bandar akan langsung memberikan pekerjaan pada pihak lain dengan dalih masih banyak yang menginginkan dan membutuhkan pekerjaan tersebut. Ketiaa bandar kerajinan menjadi satu-satunya pihak yang menentukan harga jual kerajinan khususnya kerajinan hasil karya pengrajin kecil yang dijual di showroom mereka. Sebagai wntoh, Bandar dianggap orang yang paling berhak menentukan upah karena jika buruh tidak menyetujui besarnya upah tersebut maka bandar akan mekmparkan pekerjaan tersebut pada orang lain. Dengan demikian dalam ha1 ini buruh sama sekali tidak mgmiliki pilihan selain menerima pekerjaan
dengan upah yang kecil. Lain halnya dengan pengrajin kecil yang masih bisa berusaha membuat kerajinan kecil-kecilan meskipun tidak dapat pekerjaan makloon dari bandar. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang buruh Bpk MM yang membuat komponen sumpit: " an aya pagawean teh, hayang mah atuh datang ka bumi.. da sanes batur, nanging namina oge jalmi alit kudo urang anu ngadatangan ka ditu. Kitu deui dina nangtukeun bumh, siga sumpit ... mun daek wae opat rebu sakodi mangga, henteu wae kajeun...dugi ka danget ayeuna mah teu acan aya an' bentuk kaperdulan ka jalmi alit siga bapak. Nanging sakiue oge lumayan panginten dibanding teu kenging padamelan mah". (kalau ada pekerjaan, saya berharap dia menawarkan ke rumah, karena saya bukan orang lain untuk dia, namun saya orang kecil yang harus mendatangi rumahnya. Begitu juga dalam menentukan upah, kalau bersedia empat ribu perkodi kalau tidak tidak dapat pekerjaan. Sampai sekarang bapak belum merasakan bentuk kepedulian apapun dari banda:, namun segini jgga lumayan dibandingkan tidak dapat pekerjaan sama sekali.) Beberapa pengrajin kecil yang diwawancarai menyatakan dirinya hanya mau mengejakan pekerjaan jika kerajinannya sendiri sudah selesai dikerjakan atau jika sedang tidak memiliki modal, artinya mereka masih memiliki pilihan selain dari pekerjaan yang ditawarkan bandar. Sedangkan buruh pengrajin mengaku tidak rnemiliki pilihan lain untuk mengerjakan komponen tersebut. Tabel 10. Mitra yang menentukan besamya Upah dan harga dalam Hubungan kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan hias di Desa Cipacing.
No Mitra yang menentukan Besarnya Upah dan harga 1 BandarIKolektor 2 PekerjaIBuruh 3 Kedua belah pihak Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2006
F 21
-
2 23
% 91 0 9 . 100
Dalam mengejakan komponen-komponen kerajinan biasanya masingmasing jenis kerajinan memiliki tingkat kesulitan tertentu, sehingga masingrnasing buruh dan pengrajin kecil memiliki tugas yang berbeda dan besarnya upah untuk tiap pengerjaan komponen kerajinan pun berbeda. Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara bandar kerajiaan dengan tjuruh maupun dengan pengrajin kecil pada awal pembagian pekerjaan. Namun pada dasarnya biasanya buruh pengrajin tidak memiliki kewenangan dalam menentukan dan melakukan negosiasi harga. Tawaran harga dari bandar
kerajinan biasanya merupakan harga mati yang tidak dapat diubah. Jika buruh tidak sepakat maka bandar akan melemparkan pekerjaan tersebut pada buruh atau pengrajin kecil lainnya. Menurut keterangan buruh pengrajin maupun pengrajin kecil, bandar biasanya rnenurunkan upah kerja ketika pasaran sedang sepi atau harga sedang turun, sedangkan apabila harga sedang naik atau pasaran sedang ramai bandar tidak pernah menaikan upahnya. Dalam kondisi tersebut biasanya pendapatan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin meningkat karena jumlah komponen kerajinan yang harus dikerjakan meningkat. Hambatan yang terjadi dalam etika kemitraan ini adalah penentuan waktu pembayaran upah ~ e r j ayang ditentukan oleh kondisi bandat. Seringkali pernbayaran upah dari bandar kepada bunrh tertunda dengan jangka waktu yang cukup lama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistern target waktu yang diberikan bandar kepada buruh pengrajin maupun pengrajin kecil untuk penyelesaian komponen kerajinan tertentu. Sedangkan rnenurut pendapat Bandar
keterlambatan pembayaran ini
disebabkan
bandar
seringkali
rnendapatkan pembayaran yang terlambat atau dicicil dari pihak pemesan luar dan dalam negeri. Seperti pengakuan seorang bandar :
" pembayaran dari ekportir diawal ngan saparapat, eta oge ngan cukup kanggo nutupan bahan baku. Sedengkeun mayar pagawe oge kudu nalangan heula. Tah drum single ieu oge, tos sering diteleponan ku eksportir kanggo dikirim ka spanyol. Tapi ku abdi teu acan waka di pasihkeun. Kahiji teu acan beres, masih keneh seueur anu di pengrajin sejen, kadua na anje1;na ngajangjikeun salasa enjing bade transfer saparapat deui, mun sesana biasana lamun tos dikirm ka spanyol teras urang ditu na tos mayar lunas ka eksportir, tah eta pikakeuheuleun na teh sok mda lami " (Eksportir baru mernbayar 114 yang hanya cukup untuk n~embelibahan baku. Sedangkan untuk rnembayar pegawai (buruh dan pengrajin kecil) rnemakai dana pribadi. Sebenarnya, drum single iri sudah sering diigih oleh pihak eksportir. Tapi tidak buru-buru diberikan karena rnasih belurn beres dan menunggu pembayaran 114 lagi. Sisanya yang 112 biasanya dibayar setelah eksportir dapat pembayaran periuh dari importir spanyol, ha1 tersebut mengesalkan karena waktunya agak lama) Permasalahan yang dialami oleh bandar kerajinan tersebut kemudian menyebabkan pembayaran upah kepada buruh pengrajin dan pengrajin kecil menjadi macet. Apalagi dengan kondisi buruh yang hanya rnengandalkari natkahnya dari membuat komponen kerajinan. Seringkali opah yang terlambat tersebut rnenyebabkan mereka berhutang pada warung-warung di sekitar rumah
mereka. Salah satu buruh pengrajin, ibu
ENH mengungkapkan perrnasalahan
tersebut, sebagai berikut: "buburuh kieu mah neng, karaos ku ibu nyalira, upami bayaran telat kapaksa kedah nganjuk ka warung. Mun teu kitu kl!maha atuh mereun moal tiasa emam. Bapa na nya kitu deui sami buburuh ngandelkeun padamelan ti bandar, nya kitu oge bayaran teh sok telat dugi saminggu, dua minggu dugi ka sabulan langkung. Ibu oge padamelan minggu kamari teu aca di bayar, jangj7na saptu kamari eh my saptu, ray saptu teh duka saptu iraha.. ah duka atuh anjeuna mah (bandar) moal ngaraoskeun kakirangan siga ibu." ( bekerja sebagai buruh begini neng, terasa oleh ibu sendiri, kalau upah dibayar telat terpaksa harus berhutang ke warung. Kalau tidak begitu tidak akan bisa makan. Bapak juga begitu sama-sama jadi bumh yang mengandalkan pekerjaan dari bandar, yah begitu juga upahnya suka telat sampai seminggu, dua minggu sampai lebih sebulan. Pekerjaan ibu yang kemarin juga belum dibayar, janjinya sabtu kemarin, eh ketemu sabtu, ketemu sabtu lagi entah sabtu kapan...ibu tidak tahu mungkin bandar tidak pernah merasakan kekurangan seperti keluarga ibu)
Dalam etika kemitraan yang telah biasa terjalin antar pengrajin di Desa ini, pada kenyataannya bandar memiliki kekuasaan yang penuh untuk menentukan harga, upah serta menentukan kapan waktu pembayaran upah. Sedangkan pengrajin kecil ataupun buruh pengrajin biasanya hanya menunggu janji bandar tanpa bisa melakukan negosiasi dan menagih pembayaran. Alasannya karena pihak bandar pun harus menunggu pelunasan pembayaran dari pihak mitra di luar Desa Cipacing seperti pemesan yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hal ini berarti pengrajin kecil dan buruh pengrajin tidak memiliki posisi tawar terhadap bandar dengan berbagai alasan yang dimiliki oleh bandar. Demikian halnya dalam penentuan harga jual keraji~anyang telah jadi kepada konsumen, terjadi persaingan antara bandar kerajinan dan antar pengrajin kecil. Untuk satu lusin harga kerajinan yang dijual ke Bali, pengrajin
Desa Cipacing belum memiliki patcrkan harga yang beku. Terkadang terjadi persaingan harga yang tidak sehat ketika pengrajin saling membanting harga untuk mendapatkan langganan. Hal tersebut berimbas pada seluruh pengrajin di Desa Cipacing, baik itu bandar, buruh dan pengrajin kecil. Ketika harga pasaran turun akibat banting harga, maka bandar kerajinan maupun pengrajin kecil mendapatkan untung yang kecil, ha1 ini secara tidak langsung menyebabkan upah kerja persatuan komponen yang dikerjakan oleh buruh pengrajin diturunkan
oleh bandar akibat harga yang turun tersebut.
Matriks 9. Etika Kemitraan dalam Hubungan Kemitraan Antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing. Etika kemitraan
Sanksi
Pola Kerjasama operasional : etika hegemonik Pola Subkontrak: etika komersialism Pola Kerjasama Dagang UmumIPemasaran: etika resiprositas - Pembagian Kerja - Penentuan Upah - Penentuan Harga - Mekanisme pembagian kerja ditentukan oleh masingmasing golongan pengrajin terhadap orang yang dipercayainya berdasarkan kualitas pekerjaan yang dimiliki. - Sistem pembagian pekerjaan seringkali melalui sistem "jemput bolan. - eesarnya upah kerja yang didapat oleh pengrajin kecil atau buruh pengrajin dalam pengerjaan komponen kerajinan ditentukan oleh bandar secara sepihak - Waktu pembayaran upah ditentukan oleh bandar sesuai dengan pembayaran dari pihak pemesanlpelanggan. - Penentuan harga pasaran dalam kerjasama pemasaran antara pengrajin kecil dengan bandar ditentukan oleh bandar. - Tidak ada sanksi yang jelas
Perrnasalahan
-
Etika
As pek Mekanisme
-
Pembayaran upah yang sering terlambat akibat tidak adanya kesepakatan atau sanksi dalam kemitraan yang dijalin. Kurangnya komunikasi menyebabkan kedua belah pihak yang berrnitra saling menyalahkan.
Etika kemitraan yang ada pada pola KOA adalah etika hegemoni bandar, yaitu bandar sebagai pemegang peranan utama dalam kemitraan sehingga secara jelas kemitraan bersifat patron-Mien (atasan bawahan). Pada pola Subkontrak, etika yang berlaku adalah komersialisme yang masih memberikan kesempatan pada pihak subkontaktor untuk memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan etika KOA. Begitupula dalam pola Dagang Umum, dengan etika resiprositas atau pertukaran seharusnya pihak pengrajin kecil selaku penjual terhadap bandar memiliki keleluasaan dalam menentukan harga jual. Akan tetapi pada kenyataannya dalam semua pola kemitraan yang ada, posisi bandar tetap menjadi pihak yang berkuasa.
5.2.2. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Ekonomi
5.2.2.1. Modal Modal merupakan semua bentuk kekayaan yang dapat memproduksi lebih lanjut, yang digunakan langsung atau tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah output (Siagian, 1989) Menurut hasil wawancara bentuk hubungan kemitraan pada aspek modal, hampir tidak terjadi antar pengrajin di Desa Cipacing, kecuali dalam hubungan kemitraan dengan pola KOA. Namun hubungan kemitraan permodalan yang terjadi hanya merupakan pemenuhan kewajiban dari pihak bandar yang menyediakan modal dan bahan baku pembuatan kerajinan untuk memenuhi kepentingannya. Hubungan kemitraan dalam bidang permodalan yang dirasakan kurang terkait dengan rendahnya kepercayaan antar pengrajin, kurangnya komunikasi, koperasi pengrajin yang tidak aktif, serta belum terdapatnya paguyuban antar pengrajin. Sesuai dengan pola kemitraan yang ada, kemitraan dalam permodalan hanya terjadi dalam pola kerjasama operasional di mana bandar kerajinan memiliki kewajiban sebagai pihak yang menyediakan m3dal dan bahan baku dalam pembuatan kerajinan atau komponen kerajinan. Sedangkan dalam pola kemitraan subkontrak dan dagang umum, kemitraan dalam permodalan tidak terjalin. Dengan demikian diketahui bahwa secara internal kemitraan dalam bidang permodalan kurang terjalin antar pengrajin Desa Cipadng. Rendahnya intensitas serta kualitas dari komunikasi antar pengrajin menyebabkan bandar tidak pernah mengetahui secara pasti permasalahan permodalan pengrajin kecil. Sedangkan meskipun komunikasi antar pengrajin kecil dan buruh memiliki intensitas serta topik yang cukup mendalam yaitu menyangkut permasalahan pribadi mereka, namun karena masing-masing pengrajin kecil dan buruh pengrajin memiliki masalah yang sama yaitu berada dalam kondisi kemiskinan menyebabkan mereka tidak bisa sling menolong dalam ha1 permodalan. Kesulitan akan permodalan sebenarnya dirasakan oleh seluruh pengrajin di Desa Cipacing termasuk Bandar. Namun dalam ha1 permodalan ini bandar mengatasi ha1 tersebut dengan bekerjasama dengan berbagai sumber permodalan di luar Desa Cipacing seperti Bank BRI atau Bank Mandiri. Menurut penuturan salah seorang Bandar, mereka lebih suka untuk bekerjasama dengan pihak luar di Desz Cipacing dalam ha1 permodalan dibandingkan dengan pengrajin di Desa Cipacing, misalnya dengan investor dari luar wilayah Hal ini
disebabkan mereka kurang percaya untuk bekerjasama dengan sesama pengrajin dalam urusan yang menyangkut modal atau uang. Dalam ha1 permodalan umumnya pengrajin kecil Desa Cipacing hanya mengandalkan modal yang sangat kecil, sehingga skala usaha yang dimilikinya tidak pernah berkembang pesat. Selama ini mereka lebih sering menempatkan diri mereka sebagai buruh yang mengerjakan komponen kerajinan pada bandar, sedangkan untuk memproduksi kerajinan yang siap dipasarkan, ha1 tersebut hanya dilakukan jika mereka memiliki modal hasil upah menjadi buruh atau mendapatkan pinjaman dari kerabat mereka saja. Pengrajin kecil Desa Cipacing memiliki kerjasama dalam bidang permodalan dengan berbagai pihak terutama dengan keratat atau saudara mereka. Biasanya pengrajin memiliki rasa enggan untuk bekerjasama dengan sesama pengrajin atau dengan bandar dalam upaya penambahan modal ini. Selain itu mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses kerjasama permodalan dengan pihak perbankan. Hal ini didukung oleh ungkapan salah seorang pengrajin kecil bpk ODG yang menerima investasi modal dari bandar kerajinan di wilayah Desa lain. "ah... asa kagok an bade nambut modal ka bandar di dieu mah. /sin enya, teras bisi kahutangan budi. Tapi saterang bapa mah sadayana oge langkung fans keqasama modal sareng pihak luar, conto na bandar di Cibeusi tibatan sareng bandar nu di dieu. Mangga wae ku eneng uningaan...siga na mah kacontoan ku masalah kredit macet waktos KMUC tea". (Rasanya segan meminjam modal pada bandar di sini. Malu dan takut berhutang budi. Namun setahu saya semua pengrajin lebih suka bekerjassma dalam bidang modal dengan pihak luar, contohnya dengan bandar di Cibeusi dibandingkan dengan bandar di sini. Mungkin takut kredit macet seperti KMUC.) Pada awal tahun 2000 pengrajin Desa Cipacing secara mandiri mendirikan Koperasi pengrajin yang bernama Koperasi Mitra Usaha Cipacing yang kemudian mengalami rnati suri setelah enam bulan berjalan yang dieebabkan oleh pengembalian dana pinjaman yang macet. Hal tersebut memiliki
menyebabkan trauma untuk bagi pengrajin desa Cipacing untuk berrnitra dalam ha1 permodalan. Pengrajin Desa Cipacign merasa lebih nyaman untuk melakukan kerjasama permodalan dengan pihak lain di luar Desa Cipacing. Hal tersebut sesuai dengan informasi pada tabel 1I.di bawah ini :
Tabel 11. Mitra dalam pengadaan Modal dalam hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing.
( No I Mitra yang diajak kerjasama dalam I 1
2 3 4 5
penambahan modal Sesama Pengrajin Kerabat BandarIKolektor Pihak Perbankan Lain-lain Jumlah
F
/ % 1
3
14
7
30 0 26 30 100
-
6 7 23
Sumber : Hasil Penelitian 2006
Pada saat masih berdiri koperasi mitra usaha Cipacing, pengrajin memiliki kemudahan dalam ha1 meminjam modal, namun ha1 tersebut tidak berlangsung lama karena koperasi tersebut tidak mengalami kemajuan akibat banyaknya pinjarnan yang macet. Macetnya pengembalian dana yang dipinjam oleh para pengrajin dari koperasi tersebut menjadi trauma bagi setiap pengrajin jika meminjamkan uang kepada pengrajin lain. Sedangkan buruh pengrajin, mereka tidak memiliki modal sendiri dan hanya memiliki keterampilan rnembuat kerajinan yang terbatas. Sehingga untuk membuat kerajinan mereka hanya mengandalkan modal manusia yang berupa tenaga untuk melakukan pekejaan yang tidak menuntut keterampilan khusus, contohnya banyak buruh yang hanya bekerja sebagai kuli amplas. Dalam pola kemitraan subkontrak, buruh yang mendapat pesanan komponen kerajinan biasanya mendapatkan modal untuk membeli bahan baku maupun peralatan dari hasil upah kerja atau berutang pada kerabat yang kemudian mereka lunasi ketika mendapat bayaran upah dari bandar.
Matriks 10. Hubungan kemitraan dalam bidang Pengadaan Modal antar pengrajin Kayu Ukir dan hias di Desa Cipacing.
Mod31 Pola KOA : Bandar sebagai mitra yang bertanggung jawab menyediakan modal Pola Subkontrak dan Dagang Umum : Modal pribadi.
Mitra
-
Bandar kerajinan tidak bermitra secara internal dalam pengadaan modal untuk usahanya. Secara Eksternal bandar berrnitra dengan pihak Perbankan, investor dari luar Desa
-
Pengrajin Kecil dalam pola KOA bermitra dengan bandar, sedangkan pola subkontrak atau Dagany Umum dengan kerabat dan sesama pengrajin Secara ekstemal : Pihak Perbankan, sesama pengrajin di Desa lain
Mekanisme
Pennasalahan
-
+
+
Buruh Pengrajin internal :bermitra dengan bandar dala pola KOA, sedangkan dalam pola subkontrak kerabat atau tetangga Eksternal : tidak ada Kerjasama dalam bidang permodalan antar pengrajin Desa Cipacing hanya terjadi dalam pola kemitraan KOA. Dalam pola subkontrak atau dagang umum, pengrajin Desa Cipacing lebih memilih bermitra dalam bidang permodalan dengan pihaklmitra di luar Desa Cipacing. Tidak ada kepercayaan dalam kerjasama permodalan antar pengrajin Desa Cipacing. Terdapat keengganan dari pengrajin untuk bekerjasama dalam bidang permodalan. Investor hanya memberikan bantuan modal pada bandar. Buruh pengrajin tidak dapat mengakses permodalan dengan pihak perbankan.
Rendahnya kepercayaan di antara pengrajin kayu ukir dan hias menyebabkan hubungan kemitraan dalam perrnodalan tidak berjalan dnegna baik. Pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipbcing lebih memilih untuk bekerjasama dalam bidang perrnodalan dengan pihak di luar Desa Cipacing. Hal ini terkait dengan rendahnya kornunikasi antar pengrajin juga kegagalan jalinan kerjasama di bidang permodalan di masa lalu ketika koperasi pengrajin masih berjalan. Antara bandar, pengrajin kecil serta buruh pengrajin, masing-masing tidak saling berkerjasama dalam pengadaan modal padahal mereka berada dalam hubungan kemitraan yang saling membutuhkan.
,
5.2.2.2. Bahan Baku
Sesuai dengan pola kemitraan KOA, pengadaan bahan baku dilakukan oleh bandar dalam proses produksi suatu kerajinan. Namun hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku secara umum antar pengrajin di Desa Cipacing kurang terjalin dengan baik. Hubungan kemitraan yang dilakukan oleh pengrajin kayu ukir dan hias dalam pengadaan bahan baku adalah hubungan kemitraan secara internal dan ekstemal. Hubungan internal dilakukan berdasarkan hubungan saling tolongmenonlong antar pengrajin Desa Cipacing khususnya antar pengrajin kecil, sedangkan hubungan ekstemal dengar: pihak di luar Desa Cipacing dilakukan oleh bandar kerajinan serta pengrajin kecil. Dalam ha1 pengadaan bahan baku, hubungan kemitraan yang nampak adalah solidaritas antar sesama pengrajin kecil, sedangkan antar bandar dengan pengrajin yang lain tidak terlihat adanya kemitraan dalam ha1 bahan baku. Dalam pengadaan bahan baku, bandar kerajinan lebih cenderung berrnitra secara ekstemal yaitu dengan instansi atau pengusaha bahan baku yang berada di luar daerah Cipacing misalnya dengan Perhutani. Bandar biasanya membeli bahan baku bukan untuk dijual melainkan untuk diolah dalam pola kemitraan KOA supaya menjadi kerajinan yang nantinya akan dijual ke konsumen atau di ekspor. Hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku secara internal hanya terjalin diantara pengrajin kecil saja sedangkan bandar tidak tidak terlibat dalam hubungan kemitraan internal dalam bidsng ini. Demikian halnya dengan buruh pengrajin yang tidak pernah terlibat dalam hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku karena biasanya mereka mengerjakan komponen kerajinan yang bahan bakunya telah dipersiapkan oleh bandar. Untuk mengerjakan komponen kerajinan dalam po!a subkontrak, biasanya buruh hanya menyediakan vemis, atau cat untuk mewarnai itupun tidak pernah ada kerjasama baik dengan sessma buruh, pengrajin kecil maupun dengan bandar. Namun seringkali dalan pengadaan peralatan tersebut buruh pengrajin tidak memiliki uang untuk membelinya karena berbenturan dengan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut disebabkan pembayaran upah yang seringkali terlambat. Dalam kondisi tersebut untuk membeli cat atau vernis biasanya buruh pengrajin meminjam uang kepada tetangganya atau berutang pada warung.
Matriks 11. Hubungan Kemitraan dalam Pengadaan Bahan Baku antar Pengrajin Kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Bahan Baku
-
Mitra
-
Dalam pola KOA, bandar sebagai mitra dalam penyediaan bahan baku. Dalam pola subkontrak dan Dagang umum, mitra dalam proses pengadaan bahan baku: Bandar kerajinan internal : Tidak ada Eksternal : Pihak perhutani, pengrajin di wilayah lain
+
+
Pengrajin Kecil internal : sesama pengrajin kecil Ekstemal : Pihak Perhutani, pengrajin di wilayah lain. Buruh Pengrajin Mekanisme
-
-
Pennasalahan
-
+ internal dan eksternal: tidak ada
Dalam pola kemitraan KOA, bandar rnenyediakan bahan baku, sedangkan pihak mitra hanya menyediakan tenaga. Dalam pola kemitraan subkontrak dan dagang umum: Bandar kerajinan tidak pemah bermitra dalam pengadaan bahan baku dengan sesama pengrajin di Desa Cipacing. Pihak bandar cenderung memilih bermitra dalam pengadaan bahan baku dengan pihak luar Desa Cipacing. Pengrajin kecil bermitra dengan sesama pengrajin kecil I dalam pengadaan bahan baku, misalnya pengrajin kecil yang melakukan pemesanan bahan baku dengan pihak luar dapat menjual kembali bahan baku tersebut pada sesama pengrajin kecil yang membutuhkannya. Buruh pengrajin tidak pemah bermitra dalam pengadaanbahanbaku Para pengrajin lebih cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam pengadaan bahan baku.
Hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku secara umum hanya terjadi dalam pola KOA, namun dalam ha1 ini bahan baku yang disediakan oleh bandar merupakan manifestasi dari kepentingan bandar. Pada pola yang lain hubungan kemitraan bahan baku ini terjadi antara pengrajin kecil dengan alasan solidaritas sosial supaya sesamanya memiliki kesempatan untuk mencari nafkah.
5.2.2.3. Pemasaran
Salah satu hubungan kemitraan yang ada antar pengrajin Desa Cipacing adalah kemitraan di bidang pemasaran. Pemasaran seringkali merupakan salah satu kendala kritis bagi perkembangan usaha kecil. Pemasaran dalam pola kemitraan Kerjasama operasional antara bandar dengan buruh atau pengrajin kecil memiliki aturan yang baku, yaitu pengrajin kecil dan buruh sebagai pihak mitra menyetorkan hasil pekerjaannya kepada bandar sebagai pihak pemesan yang juga menyediakan modal dan bahan baku. Demikian halnya dalam pola subkontrak, buruh pengrajin menjual komponen kerajinan terhadap bandar selaku pemesan dan pengrajin kecil menjual komponen maupun kerajinan yang siap jual terhadap bandar selaku pihak prinsipal (pernesan). Dalam pola kemitraan dagang umum, pengrajin kecil yang mampu membuat kerajinan sendiri dari mulai bahan mentah hingga kerajinan jadi terhadap bandar meskipun tidak terjadi pemesanan sebelumnya. Kerajinan tersebut kemudian dapat dijual di showroom yang dimiliki bandar maupun digunakan untuk melengkapi pesanan kerajinan dari pihak pelangga dari luar maupun dari dalam negeri. Namun selain kepada bandar, pengrajin kecil menjual kerajinannya kepada konsumen secara langsung atau kepada pengusaha di tempat-tempat wisata. Secara umurn hubungan kemitraan dalam bidang pemasaran khususnya antar pengrajin kecil di Desa Cipacing belum terjalin dengan baik. Antara satu pengrajin dengan pengrajic yang lain seringkali saling berebut pelanggan dengan cara saling membanting harga. Kenyataan tersebut diungkapkan oleh hampir semua pengrajin. Mereka menyatakan bahwa untuk dapat bertahan di bidang kerajinan hams memiliki modal yang besar sehingga ketika kalah dalam pernasaran dirinya masih dapat mempertahankan diri agar tidak rugi. Secara eksternal dalam bidang pemasaran, bandar kerajinan telah bermitra dengan berbagai pihak di luar maupun di dalam negeri, contohnya dengan eksportir maupun dengan importir asing. Bahkan dalam ha1 pemasaran kerajinan yang mereka produksi, salah seorang bandar kerajinan di Desa Cipacing telah menggunakan media internet sehingga kerajinannya mampu menembus pasar internasional. Beberapa pengrajin Kecil Desa Cipacing telah mampu menjalin kemitraan dalam bidang pemasaran secara eksternal dengan pemilik showroom atau tokot~ko kerajinan di Pulau Bali atau tempat wisata lainnya, meskipun kerajinan yang
dijualnya pada pemilik showroom tersebut masih dalam jumlah yang sedikit karena keterbatasan modal. Sedangkan pemasaran secara rnandiri atau menjual langsung kerajinan ke tangan konsurnen dilakukan oleh pengrajin kecil dengan cara rnenjajakan kerajinan mereka pada penumpang bis di rumah rnakan-rurnah makan di pinggir jalan yang sering disinggahi oleh bis-bis antar kota. Hambatan yang terjadi dalam hubungan kemitraan pada bidang pemasaran antar pengrajin di Besa Cipacing ini adalah belum adanya aturan yang disepakati bersama yang mengatur pemasaran kerajinan oleh para pengrajin. Hal ini menyebabkan persaingan harga yang kurang sehat antar para pengrajin serta menyebabkan kerajinan yang dij~raloleh pengrajin kecil kepada bandar dibeli dengan harga yang rendah. Persaingan harga yang kurang sehat terjadi ketika salah satu pengrajin mendapat pesanan dari pelanggan kemudian mendorong pengrajin lain untuk menjual kerajinan dengan jenis yang sams dengan harga yang lebih murah yang menyebabkan salah satu pengrajin tersebut kehilangan orderan atau terpaksa menjual murah hasil kerajinannya.
Matriks 12. Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pemasaran Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing. Pemasaran Pola KOA dan Subkontrak 3 pemasaran pada pihak Bandar Pola Dagang Umum -3 pemasaran pada bandar dan pada konsumen secara langsung. - Bandar kerajinan secara ekstemal bermitra dengan pelangganlmitra dari dalam maupun luar negeri - Pengrajin Kecil+ internal : Bandar Kerajinan Eksternal : pemilik showroom tempat Wisata (Bali) - Buruh Pengrajin internal dengan bandar dalam pola KOA dan subkontrak, sedangkan secara eksternal tidak ada.
Mitra
+
Mekanisme
-
I
Permasalahan
-
Dalam pola KOA dan subkontrak, pengrajin kecil dan buruh pengrajin menyetorkan komponen kerajinan dan kerajinanjadi terhadap bandar. Dalam pola kemitraan Dagang umum, Pengrajin kecil menjual kerajinannya pada bandar untuk melengkapi pesanan atau di jual di showroom. Selain itu pengrajin kecil menjual kerajinan secara mandiri atau langsung pada konsumen. Bandar kerajinan memasarkan kerajinannya ke luar dan dalam negeri, atau menjual kerajinan mereka di showroom yang mereka miliki. Buruh pengrajin tidak terlibat dalam pemasaran kerajinan secara eksternal. Belum ada kesepakatan harga antar pengrajin. Persaingan harga yang kurang sehat. Bandar lebih sering menentukan harga kerajinan dalam pola dagang umum dengan harga rendah.
Hubungan kemitraan dalam bidang pemasaran ini telah sesuai dengan pola kemitraan yang ada. Antara lain pad apola KOA dan subkontrak, pemasaran kerajinan menuju pada kolektor atau bandar. Permasalahan yang muncul dalam pemasaran ini adalah penentuan harga atau upah yang semena-mena oleh bandar serta persaingan harga yang kurang sehat antar pengrajin sehingga hubungan kemitraan dalam bidang pemasaran dapat dikatakan belum berjalan dengan baik.
5.2.2.4. Pengetahuan dan Keterampilan
Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya usaha kecil adalah dengan adanya kemitraan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan. Dengan adanya hubungan kemitraan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan diharapkan antara pengrajin memiliki semangat untuk saling asah, saling asih dan saling asuh, sesuai dengan prinsip kemitraan di mana usaha besar berupaya turut membina dan membesarkan usaha kecil. Hubungan kemitraan dalam ha1 pengetahuan dan keterampilan meliputi upaya pembinaan dan pelatihan antar pengrajin baik secara formal maupun informal. Hubungan kemitraan antar pengrajin Desa Cipacing dalam bidang pengetahuan dan keterampilan ini sdalah adanya transfer pengetahuan dan ketrampilan dalam memproduksi suatu jenis kerajinan. Dalam semua pola kemitraan yang ada, pelaksanaan kemitraan dalam pengetahunan dan keterampilan yang terjadi di Desa Cipacing adalah: setiap ada jenis kerajinan baru biasanya pihak bandar membawa contoh barang tersebut kepada pengrajin kecil atau buruh pengrajin untuk membuat tiruannya. Kemudian pengrajin kecil maupun buruh pengrajin membuat jenis kerajinan yang sama dengan yang ditawarkan yang kemudian diserahkan kepada bandar untuk dilakukan penilaian mengenai kekurangannya. Kemudian pengrajin keul maupun buruh pengrajin memperbaiki hasil pekerjaannya hingga benar-benar sempurna menurut penilaian bandar. Selanjutnya jenis kerajinan yang baru tersebut diajarkan oleh pengrajin kecil kepada pengrajin lain secara informal. Demikian juga dengan buruh pengrajin. keterampilan ri7ernbuat jenis kerajinan tersebut kemudian menyebar dengan cepat kepada pengrajin-pengrajin yang lain. Dalam ha1 ini hubungan kemitraan dalam ha1 pengetahuan dan keterampilan berjalan dengan baik. Bahkan pengrajin Desa Cipacing tidak pernah takut tersaingi dan kehilangan pelanggan jika mentransfer pengetahuan dan keterampilannya kepada pengrajin yang lain. Menurut penuturan mereka, setiap pengrajin memiliki keterampilan yang berbeda-beda baik dari segi kelebihan dan kelemahannya. Sehingga satu jenis kerajinan yang dikerjakan oleh satu pengrajin hasilnya akan berbeda dengan hasil dari pengrajin lain baik dari segi motif, ukuran, dan kehalusan has4 pekerjaan.
Matriks 13. Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias dalam Bidang Pengetahuan dan Ketrampilan Pengetahuan dan Keterampilan Mekanisme
-
Transfer Pengetahuan dan Keterampilan secara informal dalam semua pola kemitraan yang ada: Pihak bandar memberikan contoh kerajinan baru untuk dipelajari oleh pengrajin kecil maupun buruh pengrajin. Pengrajin kecil maupun buruh pengrajin yang telah menguasai jenis kerajinan baru mengajarkan keterampilannya terhadap pengrajin yang lain sehingga menjadi keterampilan umum bagi pengrajin Desa Cipacing.
Pennasalahan
-
Tidak ada. Kemitraan berjalan dengan baik.
Proses transfer pengetahuan dan keterampilan dalam pembuatan kerajinan merupakan satu-satunya hubungan kemitraan yang tidak bermasalah. Semua pengrajin di Desa Cipacing melakukan hubungan kemitraan pada pengetahuan dan keterampilan ini dengan baik. Penguasaan terhadap jenis kerajinan yang sama antar pengrajin tidak menjadi sumber konflik sebab pengrajin Desa Cipacing beranggapan setiap pengrajin memiliki ciri khas tersendiri sehingga meraka tidak takut kehilangan pelanggan apabila keterampilannya dibagikan kepada yang lain. Mereka percaya bahwa konsumen memiliki selera dan penilaian yang berbeda-beda pada tiap kerajinan desa Cipacing. 5.2.2.5. Pendapatao
Hubungan kemitraan yang terjadi antar pengrajin di Desa Cipacing
secara umum teiah memberikan nilai positif bagi hampir seluruh pengrajin. keuntungan dapat diraih oleh setiap pengrajin baik bagi bandar kerajinan, pengrajin kecil maupun buruh pengrajin. Dengan adanya hubungan kemitraan yang terjadi buruh pengrajin yang asalnya merupakan pengangguran menjadi memiliki pendapatan. Demikian halnya dengan pengrajin kecil, ketika masa kempis terjadi mereka masih tetap dapat bertahan karena dapat mengandalkan penghasilan dari upah kerja dari bandar. Dalam pola kemitraan kerjasama operasional, pendapatan yang didapatkan oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil adalah pendapatan dengan
sistem upah persatuan komponen atau kerajinan yang dikerjakan. Sedangkan dalam pola kemitraan subkontrak, pendapatan buruh pengrajin dan pengrajin kecil didapatkan dengan cara sistem jual beli komponen (industrial) atau jual beli kerajinan (komersial) yang telah dipesan oleh bandar sebelumnya. Demikian juga dalam pola kemitraan dagang Umum, pendapatan yang didapatkan oleh pengrajin kecil berasal dari jual-beli atau bisnis pertukaran murni kerajinan yang dihasilkan mereka terhadap bandar atau konsumen. Tabel 12. Rata-rata Pendapatan Per-bulan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin di Desa Cipacing. Kategori
Pengrajin Kayu Ukir dan Hias 1
1
Sumber : Hasil Penelitian 2006 Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan, seluruh buruh pengrajin rata-rata memiliki pendapatan dibawah Rp. 500.000, adapun pendapatan lebih dari Rp. 500.000 mereka dapatkan dari pekerjaan lain seperti menjadi tukang ojeg pada saat musim kempes. Sedangkan jumlah pendapatan pada pengrajin kecil lebih variatif yaitu antara Rp. 1.000.000 hingga Rp. 2.000.000. Pengrajin kecil mampu mendapatkan pendapatan yang cukup tinggi disebabkan mereka telah mampu memproduksi kerajinan secara umum dan mampu menjual kerajinan jadi baik pada bandar maupun pada konsumen secara langsung. Jumlah pendapatan tertinggi diperoleh Bandar kerajinan yang juga berperan sebagai kolektor, dari t&a orang yang berhasil diwawancarai, mereka dapat meraih keuntungan antara Rp. 5.000.000 hingga Rp. 10.000.000. jumlah tersebut akan bertambah pada saat mendapatkan pesanan dari luar negeri atau pada even-even tertentu.
GRAFlK JUMLAH PENDAPATAN PENGRAJIN
-
, ---
-
1
2
3
4
--
Buruh P Kec~l Bandar -
5
Kategori Pendapatan
Gambar 8. Grafik Pendapatan Pengrajin di Desa Cipacing Hubungan kemitraan yang tejalin di Desa Cipacing pada kenyataannya belum sebaik yang diharapkan sesuai dengan prinsip kemitraan yaitu adanya keadilan antara setiap pelaku kemitraan. Hal ini dapat dilihat adanya kesenjangan yang sangat mencolok antara masing-masing pelaku kemitraan khususnya antara bandar kerajinan dan buruh pengrajin. Berdasarkan hasil pengumpulan data didapatkan informasi bahwa buruh pengrajin dan pengrajin kecil masih berada dalam kondisi kemiskinan. Pendapatan mereka dari hasil mengerjakan komponen kerajinan dari bandar sebagian besar kurang dari RP. 500.000,- perbulan. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa bandar seringkali menunda pembayaran upah yang memperburuk kondisi kesejahteraan buruh pengrajin. Pendapatan buruh pengrajin maupun pengrajin kecil dengan jumlah yang sangat kecil tersebut sangat ironis jika dibandingkan dengan pendapatan bandar kerajinan yang sangat besar jumlahnya. Menurut keterangan seorang bandar ketika mendapatkan pesanan dari luar negeri dirinya bisa meraup keuntungan bersih hingga Rp. 15,000,000.. Hal tersebut juga didukung oleh keterangan pengrajin kecil yang biasa menjual kerajinan pada bandar untuk dijual di showroomnya. Harga kerajinan yang berasal dari dirinya biasa dijual oleh bandar dengan harga dua hingga tiga kali lipat. Dengan demikian bandar meraup keuntungan yang sangat besar. Namun keberhasilan bandar kerajinan dalam mendapatkan keuntunganyang berlipat ganda tersebut tidak turut dirasakan oleh buruh pengrajin maupun pengrajin kecil. Terlebih pendapatan buruh pengrajin dan pengrajin kecil dalam pola kemitraan KOA dihitung dari jumlah pekerjaan yang berhasil diselesaikan dengan upah yang tidak pemah naik. Dalam pola
kemitraan KOA dan subkontrak, pendapatan mereka naik tergantung dari banyaknya orderanlpesanan dari bandar, yang biasa terjadi pada rnusim kembung. Pada musim kernbung biasanya buruh pengrajin maupun pengrajin kecil mengalami kebanjiran order dari bandar kerajinan. Hal ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan upah yang jauh lebih besar. Namun karena singkatnya waktu pengerjaan komponen ataupun kerajinan yang ditargetkan oleh bandar kerajinan menyebabkan mereka harus membagi pekerjaan mereka dengan anggota keluarga yang lain seperti adik, kakak, paman, atau isteri mereka. Hal ini rnenyebabkan upah yang besar tersebut tidak dinikmati oleh mereka secara individu namun harus dibagi dengan anggota keluarga yang lain yang turut terlibat dalam pengerjaan tersebut. Dengan demikian pada musim kembung tersebut yang dianggap paling menguntungkan adalah pola kemitraan dagang urnum, ketika bandar berusaha untuk memenuhi pesanan dari luar atau dalam negeri mereka biasanya mau rnembeli kerajinan dengan harga yang cukup tinggi dari pengrajin kecil yang memiliki simpanan kerajinan. Disisi lain, tingginya intensitas kerja buruh pengrajin dan pengrajin kecil pada musim kembung akibat adanya target waktu dari pihak bandar, seringkali membuat mereka tidak memiliki waktu istirahat. Hal ini menyebabkan biasanya setelah musim kembung berlalu tak jarang buruh pengrajin atau pengerjain kecil terkena berbagai macam penyaki. Hal ini akibat kurangnya waktu istirahat dan juga akibat debu dari amplas komponen kerajinan yang berbahan baku kayu membuat udara menjadi kurang sehat untuk dihirup. Beberapa pengrajin mengungkapkan setelah beberapa tahun bergelut di industri kerajinan mereka terserang penyaki pernafasan. Hal ini akibat seringnya rnereka menghirup serbuk kayu, bau cat atau vernis, kurangnya waktu istirahat dan seringnya terkena angin di malam hari. Dengan demikian pendapatan yang didapatkan pada musim kembung tersebut, tak jarang habis untuk dipakai berobat ke dokter. Dalam ha1 ini vandar kerajinan nampaknya tidak ambil pusing, ha1 ini dibuktikan dengan kepedulian bandar baru sebatas membantu mengurangi pengangguran saja sedangkan dalam ha1 kepedulian sosial !ainnya belum tersentuh sama sekali.
Matriks 14. Pendapatan Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan dalam antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing. Pendapatan Jumlah
-
Parnasalahan
-
Jumlah pendapatan rata-rata yang didapatkan oleh buruh pengrajin di Desa Cipacing adalah kurang dari Rp. 500.000,- per bulan. Besarnya pendapatan buruh pengrajin dan pengrajin kecil tergantung pada banyaknya pekerjaan yang diberikan oleh bandar. Pendapatan bandar dari satu harga kerajinan adalah dua atau tiga kali-lipat dari harga jual pengrajin kecil terhadap bandar. Jumlah upah hasil pengerjaan komponen kerajinan tidak pernah naik meskipun pendapatan bandar naik. Pola kemitraan yang menguntungkan bagi pengrajin kecil adalah pola kemitraan dagang umum. Jumlah upah ditentukan oleh bandar. Terjadi ketidakadilan dalam hubungan kemitraan khususnya pada jumlah pendapatan.
Senjangnya jumlah pendapatan antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin, merupakan konflik yang tersembunyi di antara pengrajin. Meskipun permasalahar! ini tidak pernah muncul ke permukaan secara jelas, namun dari setiip wawancara yang dilakukan pengrajin kecil maupun buruh mengungkapkan kecemburuan terhadap kesuksesan bandar serta ketidakpedulian bandar terhadap nasib mereka. Hingga penelitian ini dilakukan, pengrajin kecil maupun buruh menganggap bahwa bandar adalah pusat dari segala perkembangan industri kerajinan di Desa Cipacing yang kedudukan maupun ketentuannya sulit untuk diganggu gugat. 5.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan Hubungan kemitraan yang terjalin antar pengrajin kayu ukir dan hias di
Desa Cipacing meliputi aspek sosial dan ekonomi. Hubungan kemitraan tersebut terjalin dengan dipengaruhi berbagai faktor internal maupun eksternal yang terdapat di lingkungan terseSut. Secara lebih jelas faktor internal dan ekstemal tersebut mempengaruhi hubungan kemitraan dari kedua aspek di atas. Sebagai bahan pertimbangan dalam program pengembangan masyarakat secara pertisipatif yang akan dilakukan maka bagaimana faktor internal dan ekstemal tersebut mempengaruhi ke dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dijelaskan pada sub-sub bab selanjutnya.
5.2.3.1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri pengrajin kayu ukir dan hias itu sendiri secara individu maupun sebagai komunitas dengan karakteristik yang mereka miliki. Motivasi Motivasi merupakan suatu kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya. Motivasi dikenal dengan dorongan yang dimiiki oleh seseorang untuk berbuat sesuatu dan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam kaitannya dengan hubungan kemitraan yang terjadi antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dilandasi oleh motivasi dari pengrajin sebagai individu maupun sebagai suatu komunitas. Motivasi yang dimiliki oleh pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah atas dasar dorongan untuk memenuhi kebutuhan baik secara jasmani, rohani maupun sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Wayne F.Cascio (Hasibuan, 2001:95) menyatakan bahwa "Motivation is a force that results from an individuals desire to satisfy there needs (e.g. hunger, thirst, and social approval)". Motivasi pengrajin kayu ukir dan hias untuk melakukan hubungan kekerabatan yang didasari oleh pemenuhan kebutuhan jasrnani adalah tuntutan kehidupan secara ekonomi misalnya untuk membeli bahan makanan pokok. Baik pengrajin kecil, buruh pengrajin maupun bandar kerajinan, ketiga pelaku ekonomi di Desa Cipacing tersebut pada dasarnya melakukan hubungan kemitraan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Motivasi yang dimiliki oleh bandar kerajinan untuk melakukan hubungan kemitraan dengan pengrajin lain di Desa Cipacing khususnya dalam pengerjaan komponen-komponen kerajinan adalah untuk memenuhi pesanan dari para pelanggannya.
Dengan demikian motivasinya adalah untuk
mencapai
kemakmuran secara ekonomi. Dengan hubungan kemitraan yang dijalin dengan pengrajin lain menyebabkan keuntungan yang diraih lebih tinggi dibandingkan dirinya hams bekerja sendiri. Sebab bandar kerajinan tidak akan mampu memenuhi target maupun pesanan apabila mengerjakan satu jenis kerajinan dari mulai penyediaan bahan baku hingga pengecatan secara mandiri. Sedangkan secara sosial adalah memberikan kesempatan pada pengrajin lain untuk mendapatkan tambahan nafkah serta mengurangi pengangguran. Sedangkan secara rohani, bandar kerajinan memiliki kepedulian pada tetangganya yang
kurang beruntung untuk memberikan kesempatan pada mereka mendapatkan penghasilan sebagai salah satu wujud pelaksanaan perintah agama serta kepercayaan yang dianut yakni saling-tolofig menolong dengan sesama. Seperti diungkapkan oleh salah seorang bandar kerajinan bapak AGS: "tidak bisa dipungkiri atuh, dengan adanya industri kerajinan Cipacing yang sudah terkenal hingga mancanegara membawa berkah bagi Cipacing. Kalau ada pesanan dari luar negeri yah bapak bagi-bagi ka tatangga sekitar, itung-itung bagi-bagi rezeki neng, pamarentah kan sudah tidak peduli pada yang miskin, atuh bapak terpanggil untuk membantu warga yang nganggur supaya bisa menafkahi keluarganya, sudah menjadi bagian dari kewajiban tolong-menolong itu mah" Motivasi yang dimiliki oleh pengrajin kecil Desa Cipacing untuk melakukan hubungan kemitraan dengan pengrajin lain secara dominan disebabkan oleh motif ekonomi terutama kemitraan yang dijalin dengan bandar kerajinan. Dengan adanya orderan pekerjaan dari pihak bandar pengrajin kecil mendapatkan tambahan penghasilan dibandingkan hanya mengandalkan membuat kerajinan sendiri dari mulai pengadaan bahan baku hingga memasarkan kerajinan tersebut. Kemitraan yang dijalin dengan bandar dapat juga membantu mereka disaat tidak memiliki modal untuk memproduksi kerajinan sendiri. Demikian juga dalam ha1 pemasaran dengan hubungan kemitraan ysng dijalin dengan bandar, tak jarang kerajinan hasil produksinya dapat dijual kepada bandar. Sedangkan hubungan kemitraan dengan buruh pengrajin didasari oleh adanya motiiasi secara ekonomi maupun sosial.
Pendidikan Hubungan kemitraan yang tejalin di antara pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing tidak terlepas dari adanya keadaan yang saling membutuhkan satu sama lain. ha1 ini disebabkan tiaptiap individu dalam kelompok tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan yang mamiliki nilai positif untuk terjalinnya suatu kerjasama yang baik dengan :ujuan saling melengkapi agar dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan secara bersama-sama. Salah satu
ha!
yang
menentukan
terjadinya
hubungan
kemitraan
yang
berkesinambungan antara satu pengrajin dengan pengrajin lain adalah tingka! pendicfikan yang dimiliki. Tingkat pendidikan terakhir ini memberikan informasi mengenai bagaimana suatu hubungan kemitraan berjalan secara seiaras dan saling melengkapi. Namun juga tingkat pendidikan terakhir ini dapat juga
memberikan informasi mengenai adanya pemanfaatan yang kurang adil dari pihak yang memiliki pengetahuan dan keterampilan lebih tinggi terhadap pihak yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang lebih rendah. Selain itu tingkat pendidikan dapat memperlihatkan sejauh mana pengetahuan pengrajin dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dan menyelesaikan permasalahan yang dialami. Di bawah ini merupakan tabel tingkat pendidikan responden yang merupakan pengrajin kecil dan buruh pengrajin.
Sumber : rlasil Penelitian 2006
Berdasarkan hasil pengumpulan data diketahui bahwa tingkat pendidikan pengrajin Desa Cipacing berada pada tingkat yang rendah. Hal terlihat dari jumlah rata-rata tingkat pendidikan terakhir yang berhasil diselesaikan oleh pengrajin adalah sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP), ha1 ini disebabkan status responden adalah pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Namun dalam industri kerajinan kayu ukir dan hias di Desa Cipacing sebenarnya tingkat pendidikan yang rendah dianggap bukan merupakan faktor yang menentukan dalam kesukssan sebagai pengrajin. Hal ini disebabkan salah seorang figur bandar kerajina di Desa ini hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah dasar saja. Menurut mereka faktor yang paling besar mempen~aruhikesuksesan menjadi pengrajin adalah modal yang besar serta faktor peruntungan saja. Rendahnya tingkat pendidikan pengrajin kecil dan buruh pengrajin menyebabkan mereka tidak memiliki pilihan lain selain menjadi bawahan dari bandar kerajinan. Pekerjaan yang mereka anggap sebagai matapencaharian adalah sebagai buruh yang mengerjakan komponen kerajinan, meskipun pengrajin kecil rnampu untuk memproduksi kerajinan sendiri namun mereka menganggap diri mereka tidak akan marnpu untuk bersaing dengan bandar kerajinan sehingga hubungan kemitraan pun tidak dapat dihindari sebagai suatu sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Rendahnya tingkat pendidikan mereka menyebabkan akses mereka terhadap modal menjadi rendah. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan dan kurangnya kerjasama antar pengrajin di Desa Cipacing.
Matriks 15. Faktor Internal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing. Faktor Internal Motivasi
-
Pendidikan
-
Pemenuhan kebutuhan hidup, khususnya motif ekonomi. Saling tolong menolong, sesuai dengan perintah agama. Rata-rata pendidikan terakhir yang diselesaikan pengrajin di Desa Cipacing adalah SMP. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pengrajin kecil dan buruh pengrajin tidak memiliki pilihan lain untuk melakukan pekerjaan. Tingkat pendidikan yang rendah rnenyebabkan pengrajin kecil dan buruh pengrajin tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan besamya upah.
Motiiasi untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi alasan utama dalam terjalinnya hubungan kemitraan antar pengrajin. Meskipun pada kenyataanya pendapatan yang diperoleh oleh pengrajin kecil dan buruh amat rendah, namun (terutama buruh) mereka tidak memiliki pilihan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini dipengruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah yang menyebabkan akses mereka terhadap dunia kerja maupun sumber permodalan untuk meningkatkan usaha mereka menjadi rendah.
5.2.3.2. Faktor Ekstemal Makro Ekonomi Salah satu faktor ekstemal yang dianggap memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah situasi ekonomi secara makro. Kondisi makro ekonomi ini diartikan sebagai situasi ekonomi bangsa lndonesia secara global yang berpengaruh terhadap permintaan dan penawaran industri kerajinan termasuk situasi sosial ekonomi secara lokal di Cipacing. Kerajinan kayu ukir dan hias di Desa Cipacing yang telah mencapai pemasaran hingga skala nasional maupun internasiohal tidak terlepas dari kondisi ekonomi lndonesia yang tengah dilanda krisis, seperti halnya permintaan dan penawaran terhadap kerajinan kayu ukir dan hias ini dipengaruhi oleh permintaan pasar secara Internasional, sehingga merniliki keterkaitan yang kuat dengan fluktuasi harga tukar Dollar. Bahkan di pasar Internasional, kerajinan
k 8 ~ ukir 1 dan Hias Desa Cipaang dituntut untuk mampu bersaing dengan kerajinan asal negara Australia, Zimbabwe, India dan kerajinan suku Indian. Kondisi makro ekonomi tersebut secara tidak langsung mempengaruhi hubungan kemitraan yang terjalin antar pengrajin di Desa Cipacing terutama dalam ha1jejaring kerja yang meliputi intensitas hubungan kerja antara pengrajin kecil, buruh pengrajin dan bandar kerajinan, yang kemudian memiliki imbas pada pendapatan ataupun keuntungan yang diraih ketiganya. Krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1998 lalu, membawa dampak positif dan negatif bagi pengrajin Desa Cipacing. Bandar Kerajinan yang telah mampu memasarkan kerajinannya secara eksport meraih keuntungan yang besar diiringi dengan naiknya harga tukar dollar terhadap rupiah. Keuntungan yang diraih oleh pergajin Desa Cipacing tersebut meningkatkan modal yang mereka miliki untuk kemudian dijadikan sebagai tambahan modal dalam produksi kerajinan. Meningkatnya produksi kerajinan di Desa Cipacing menyebabkan hubungan kemitraan antar pengrajin semakin meningkat. Pengrajin kecil maupun bandar kerajinan kemudian 'kebanjiran order" dari bandar yang rnendapatkan pesanan dari luar negeri. Hal ini menyebabkan intensitas jejaring kerja antar mereka semakin meninggi serta berdampak pada meningkatnya upah yang diterima oleh mereka. Musim banjir order seperti pada saat tersebut kemudian disebut sebagai rnusim kembung oleh para pengrajin karena permintaan pada kerajinan vang meningkat menyebabkan pendapatan mereka ikut meningkat. Situasi makro ekonomi lainnya yang turut mempengaruhi huounyan kernitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adarah menurunnya biwtawan lokal dan asing ke tempat wisata seperti Bati, rnenyusul terjadinya born di pulau dewata tersebut. Turunnya jurnlah wisatawan msnyebabkan turunnya permintaan atas kerajinan yang berasal dari Desa Cipacing. Hal ini berimbas pada sepinya permintaan atas kerajinan yang menyebabkan intensitas jejaring kerja buruh pengrajin dan pengrajin kecil berkurang. Hal tersebut berdampak buruk bagi pendapatan ataupun keuntungan yang diterima oleh pengrajin di Desa Cipacing. Biasanya pada musim 'sepi order" seperti itu para pengrajin menyebutnya dengan musim kempes. Kondisi ektemal lain yang mempengaruhi hubungan kemitrsan di Desa Cipacing terutarna bemubungan dengan meningkatnya intensitas jejaring kerja adalah pagelaran even-even nasional maupun internasional seperti PON, Olimpiade, maupun Indonesian Idol, dll. Even-even tersebut biasanya memiliki
ikon-ikon tertentu yang kemudian dibuat sebagai souvenir yang dipesan pada bandar kerajinan di Desa Cipacing. Hal ini menyebabkan intensitas jejaring kerja semakin meningkat disertai meningkatnya pendapatan para pengrajin. Dibalik semua kesuksesan yang dialami oleh pengrajin Desa Cipacing, terdapat situasi makro yang juga menyebabkan turunnya jejaring kerja seperti yang disebabkan oleh harga bahan bakar minyak yang naik yang menyebabkan bahan baku menjadi naik sehingga berimbas pada kondisi kesejahteraan pengrajin di Desa tersebut. Kebijakan Kemitraan yang terjalin antara tiga pelaku industri kerajinan kayu ukir dan hias di Desa Cipacing selain didasari oleh adanya kondisi makro ekonomi yang menuntut mereka untuk bekerja sama dalam ikatan kemitraanjuga didasari oleh Undang-Undang NO. 9 tahun 1995 yang menyatakan bahwa hubungan antara usaha besarlmenengah dengan usaha kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha, diatur sebagai hubungan kemitraan. Dengan demikian meskipun tidak semua pengrajin di Desa ini mengetahui undang-undang tersebut serta tidak paharn mengenai hubungan kemitraan yang telah rnereka jalin selama ini namun menurut undang-undang tersebut mereka dikatakan bermitra dalam hubungan kemitraan meskipun tidak terdapat kontrak secara formal. Menurut hasil wavancara dengan tokoh masyarakat pada pada era orde baru, pernah disinggung konsep kemitraan ofeh dinas perdagangan dan
perindustrian mcngenai kemitrabn arltar pengrajin tersebut. Narnun sayangnya
acara tersebut hanya dihadiri oleh aparat Desa serta beberapa pengrajin temtama bandar. Jal~hsebelum pertemuan tersebut sebenarnya tanpa disadari kemitraan telah digalakkan oleh para pengrajin didukung oleh aparat Desa untuk mengurangi angka pengangguran di Desa ini. Sehingga terdapat peribahasa bagi warga Dssa yang menyebutkan: "jka ada keinginan, tidak ada pngangguran di Desa Cipacing". Hal tersebut memiliki makna bahwa jika saja
warga Desa Cipacing mau terjun sebagai pengrajin (terutama sebagai buruh), maka warga Desa dijamin tidak ada yang menganggur. Dengan d9mikian kebijakan yang berasal dari pemerintah tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap kemitraan yang terjalin. Dalam ha1 ini kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Desa secara lokal lebih berpengaruh dalam peningkatan kuantitas
hubungan kemitraan dengan tujuan mengurangi pengangguran di Desa Cipacing. Manfaat yang dirasakan oleh para pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing atas adanya kebijakan tersebut adalah meningkatnya pendapatan mereka, serta orang yang semula sama sekali tidak memiliki pekerjaan dapat memiliki mata pencaharian. Pengrajin Desa Cipacing menyepakati bahwa hubungan kemitraan yang terjalin dapat memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berdasarkan kebijakan yang ada, serta undang-undang yang mengatur hubungan kemitraan, pengrajin Desa Cipacing memiliki harapan agar pemerintah lebih memperhatikan nasib pengrajin kecil dan buruh peagrajin. Serta pengrajin berharap, khususnya pengrajin kecil dan buruh pengrajin, pendapatan mereka akan meningkat. Matriks 16. Faktor Ekstemalyang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing. Faktor Eksternal
-
Makro Ekonomi
Kebijakan
-
Kondisi makro ekonomi mempengaruhi besar atau kecilnya pesanan yang didapatkan bandar, sehingga memberi dampak banyak atau sedikitnya pekerjaan yang diberikan bandar terhadap buruh dan pengrajin kecil. Situasi ekonomi yang buruk menyebabkan pengrajin Desa Cipacing mengalami rnusim kempes sehingga pkerjaan yang didapatkan oleh para pengrajin tersebut
sedikit. Pelaksanaan even-even olah raga nasional maupun intemasional memberikan dampak yang baik bagi para pengrajin, ha1 ini turut menyebabkan maningkatnya intensitas hubungan kemitraan diantara mereka. Secara signifikan kebijakan pemerintah tidak memberikaq pengaruh yang besar terhadap hubungan kemitraan di Desa Cipacing. Sebelum undang-undang kemitraan dikenal oleh pengrajin, hubungan kemitraan antar pengrajin di Desa Cipacing telah terjalin. Aparat Desa turut mendorong terjadinya hubungan kemitraan yang memberi dampak bagi berkurangnya pengangguran di Desa Cipacing.
Secara umum naik atau turunnya pendapatan seluruh pengrajin di Desa Cipacing dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi secara nasional maupun
intemasional. Selain itu stabilitas nasional juga turut mempengaruhi permintaan terhadap kerajinan Desa Cipacing. Hal ini dapat terlihat ketika terjadi kasus teror bom di tempat-tempat wisata, perrnintaan terhadap kerajinan Desa Cipacing cenderung menurun. Lainnya halnya dengan kebijakan nasional yang kurang mempengaruhi tinggi atau rendahnya permintaan terhadap kerajinan Desa Cipacing. Selain pengrajin Desa Cipacing jarang tersentuh program pemerintah, mereka menganggap bahwa industri kerajinan Desa Cipacing tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa intervensi dari pemerintah. 5.3. lkhtisar Hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing telah melembaga menjadi suatu pola hidup dalam keseharian mereka. Meskipun hubungan kemitraan tersebut telah berjalan sejak awal Desa Cipacing menjadi sentra industri kerajinan, namun para pengrajin di Desa Cipacing sama sekali tidak menyadari hubungan kerja yang mereka jalankan adalah bentuk kemitraan yang memiliki pola-pola tertentu. Dalam bahasa mereka, hubungan kerjasama dalam membuat kerajinan antar pengrajin tersebut hanya merupakan suatu aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hubungan kemitraan yang berlangsung merupakan hubungan yang didasari aspek sosial dan aspek ekonomi. Pengrajin Desa Cipacing yang terdiri dari bandar kerajinan, pengrajin kecil serta buruh pengrajin saling bekerja sama
untuk menghasilkan suatu produk kerajinan. Ketiga kelompok pengrajin masingmasing memiliki karakteristik yang berbeda sehingga untuk menghasrlKan suatu produh kersjinan yang siap jual dan mampu menembus pasar nasional dan internasional diperlukan hubungan kemitraan di antara ketiganya. Meskipun kemitraan yang berjalan merupakan aktivitas untuk memenuhi hubungan ekonomi, namun hubungan kemitraan tersebut tidak terlepas dari aspek-aspek sosial yang mendasarinya. Aspek sosial yang dikaji dalam hubungan kemitraan ini antara lain jejaring kerja, hubungan komunikasi, kepercayaan, dan etika kemitraan. Sedangkan aspek ekonomi yang dikaji antara lain modal, k h a n baku, pemasaran, pengetahuan dan ketrampilan, serta pendapatan. Dalam jejaring kerja untuk memproduksi kerajinan terjadi pembagian kerja antara bandar dengan pengrajin kecil atau antara bandar dangan buruh, yaitu dalam pola kemitraan kerjasama operasional dan subkontrak. Namun dalam jejaring kerja tersebut, biasanya pengrajin kecil membagi pekerjaan
mereka dengan buruh pengrajin begitu juga buruh pengrajin yang seringkali membagi pekerjaan mereka dengan keluarga mereka atau sesama buruh pengrajin. Pernasalahan jejaring kerja terjadi pada pola KOA dan subkontrak, yaitu terjadi ketergantungan terhadap bandar atas pendapatan yang diterima oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil. Beberapa kasus menyatakan bahwa apabila bandar tidak memberikan "order" pekerjaan maka buruh dan pengrajin kecil tidak mendapatkan pendapatan. Komunikasi yang dilakukan antar pengrajin bisanya hanya seputar masalah pekerjaan. Sedangkan permasalahan diluar topik pekejaan misalnya masalah pribadi yang dihadapi jarang menjadi topik komunikasi. Topik komunikasi di luar nasalah pekerjaan hanya terjadi antar pengrajin kecil atau antar buruh pengrajin saja, sedangkan bandar kerajinan biasanya tidak terlibat karena kesibukan mereka. Rendahnya intensitas komunikasi antar pengrajin menyebabkan berbagai permasatahan dalam penentuan harga dan kesepakatan pembayaran upah atau harga jual komponen dan kerajinan. Terlebih pada pola
KOA, komunikasi yang dilakukan sangat terbatas sebab pada pola ini hampir tidak ada tawar menawar harga karena sistem yang berlaku adalah sistem upah di mana bandar sebagai penentu berapa besar upahyang menjadibagian
pengrajin kecil maupun buruh. Hubungan kemitraan yang terjadi antara pengrajin didasari oleh kepercayaan akan kualitas pekerjaan masing-masing pengrajin. Namun bidang kepercayaan yang terjalin hanya terbatas pada urusan pembagian kerja saja sedangkan pada bidang lain, misalnya dalam kerjasama modal dan lain-lain befurn terjalin kepercayaan antar pengrajin satu sama lain. Kepercayaan yatly paling tinggi terjadi adalah kepercayaan dalam pembuatan kerajinan, ha1 ini ditandai adanya kepercayaan yang diberikan bandar kepada buruh pengrajin dan pengrajin kecil untuk membuat kerajinan dengan pengadaan bahan baku dna modal pada pihak bandar. Namun kepercayaan tersebut ternyata hanya
meruapakan manifestasi pihak bandar untuk memenuhi kepentingan mereka. Etika kemitraan dalam hubungan kemitraan ini merupakan deskripsi bagaimana hubungan kemitraan dilakukan antara pengrajin di Desa Cipacing. Pada pola KOA etika kemitraan yang berlaku adalah etika hegemonik, di mana bandar menjadi penentu berjaknnya hubungan kerjasama. Pada pola subkontrak etika kemitraan yang bertaku adalah etika komersialisme, antara lain masih terdapatnya kepentingan antara bandar dan pengrajin kecil maupun buruh
pngrajin yang kemudian direalisasikan dalam bentuk kerjasama pembuatan kerajinan. Dalam ha1 ini terdapat sifat komersial karena pihak subkontraktor masih memiliki posisi tawar atas harga jual. Etika yang berlaku dalam pola dagang umum adalah etika resiprositas yaitu adanya pertukaran barang dan uang, seperti halnya jual-beli secara umum. Etika tersebut terbentuk sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan dalam melakukan kemitraan dalam memproduksi kerajinan. Dalam aspek ekonomi dibahas mengenai modal dalam hubungan kemitraan yang ada. Secara umum sebenamya hubungan kemitraan dalam pengadaan modal kurang terjalin secara baik antar pengrajin. Hal ini disebabkan terdapat keengganan antara satu pengrajin dengan pengrajin lain untuk bekerjasama dalam bidang permodalan. Satu-satunya kerjasama permodalan yang ada adalah ketika bandar memesan kerajinan atau komponen kerajinan pada buruh atau pengrajin kecil dalam pola KOA. Pada pola ini modal menjadi tanggung jawab bandar kerajinan selaku pihak pemesan. Rendahnya kerjasama dalam bidang permodalan berkaitan dengan rendahnya kepercayaan antar pengrajin sebagai imbas dari kegagalan kerjasama modal di masa lalu. Selain dalam pola kemitraan KOA, pengrajin Desa Cipacing cenderung berjalan secara sendiri-sendin' dalam pengadaan bahan baku. Dalam model KOA, pengadaan bahan baku menjadi tanggung jawab bandar, sedangkan
pengerajin kecil atau buruh hanya menyediakan tenaga dan lahan saja. Di luar nal tersebut dalam memproduksi kerajinan bandar dan pengrajin kecil tidak pernah bekerjasama dalam pengadaan bahan baku. Akan tetapi pada pengadaan bahan baku masih terjadi kerjasama antar pengrajin kecil dengan dasaar sofiaritas sosial antar mereka. Lain halnya dengan buruh pengrajin mereka hampir tidak memiliki partner dalam pengadaan bahan baku. Pemasaran yang dilakukan oleh pengrajin kecil yang telah mampu membuat kerajinan dari mulai bahan mentah hingga bahan jadi adalah dengan cam menjual kerajinan mereka pada bandar dalam pola dagang umum, serta pada konsumen secara langsung. pada pola subkontrak maupun KOA, komponen kerajinan maupun kerajinan jadi yang telah diproduksi diserahkan atau dijual kepada bandar selaku pemesan. Pertnasalahan dalam bidang pemasaran ini justnr terjadi antar pengrajin kecil, di mana terjadi petsaingan harga yang kurang sehat akibat belum adanya kesepakatan harga.
Dalam bidang pengetahuan dan keterampilan mengenai pembuatan kerajinan, terjalin hubungan kemitraan yang sangat baik. Hal ini dapat terlihat bahwa satu pengrajin dengan pengrajin lainnya tidak segan untuk saling mengajari dan memberiiahu mengenai pembuatan kerajinan. Pendapatan yang didapatkan pengrajin merupakan salah satu aspek ekonomi
yang
memperlihatkan apakah
hubungan
kemitraan
bersifat
menguntungkan atau tidak bagi pengrajin. Pendapatan buruh pengrajin sebagian besar berjumlah kurang dari Rp. 500.000,- ha1 ini berhubungan dengan jenis pekerjaan mereka yaitu membuat komponen kerajinan. Buruh pengrajin belum dapat membuat kerajinan secara utuh, sehingga buruh pengrajin hanya mengandalkan upah kerja dalam pola kerjasama operasional maupun menjual komponen kerajinan pada bandar dalam sistem subkontrak. Pendapatan pengrajin kecil lebih tinggi dibandingkan buruh pengrajin, pengrajin kecil yang telah mampu membuat kerajinan sendiri mendapatkan pendapatan hingga jumlah Rp. 1.000.000 hingqa Rp. Rp. 2.000.000. Bandar yang berperan sebagai sentral indusri kerajincn di Desa Cipacing memperoleh pendapatan antara Rp. 5.000.000 hingga Rp. 10.000.000 perbulan. Dalam ha1 pendapatan yang diperoleh oleh masing-masing kelompok berbeda sesuai dengan jenis pekerjaan, keterampilan dan modal yang rnereka miliki. Namun ironisnya, pendapatan yang diperoleh buruh pengrajirl lebih rendah dari upah minimum yang berlaku di Kabupaten surnedang yaitu sebesar Rp. 625.000, perbulan. Perbedaan jumlah pendapatan yang amat jauh antara pendapatan buruh pengr~jindan pengrajin kecil dengan bandar menyebabkan hubungan kemitraan antara ketiganya dianggap kurang adil. Sebab seringkali bandar menurunkan jurnlah upah atau harga komponen kerajinan ketika harga pasaran kerajinan secara global turun, namun bandar tidak pernah menaikkan jumlah upah atau bsrga kerajinan ketika harga pasaran secara global naik. Dengan demikian diketahui bahwa pendapatan terkecil didapatkar! pengrajin dari pola kemitraan KOA dan pendapatan yang lebih b
r ada!ah pola kemitraan subkontrak sedangkan
pendapatan paling besar adalah pola kemitraan dagang umum.
Matrik 17. Perbandingan Karakteristik Pola Kemitraan dalam Aspek-aspek Hubungan Kemitraan antar Pengrajin kayu ukir dan Hias No.
2. 3. 4.
Subkontrak
Kerjasama Operasional
( Kepercayaan
Pembagian kerja antara bandar Kornersial : pembagian kerja arttara dengan pengrajin kecil dan antara bandar dengan pengrajin kecil. Industrial : pembagian kerja antara bandar dengan buruh. bandar dengan pengrajin kecil dan . antara bandar dan buruh. / Topik seputar pekerjaan : kualitas, I Topik seputar pekerjaan : kualitas, I kuantitas dan harga barang yang kuantitas Gan upah kerja I 1 dikerjakan. Sebatas kualitas hasil pekerjaan Sebatas kualitas hash pekerjaan
I
I
/
I
Komunikasi
I I
Etika Kemitraan Modal
6.
Bahan Baku
7.
Pemasaran
8.
Pengetahuan Keterampilan
I
I
I I
I
I Berlaku etika hegemoni bandar
1 Etika komersiaiisme
I
I
Pendapatan
Bisnis pertukaran atau jual beli kerajinan secara urnum antara bandar dan pengrajin kecil.
I I Topik seputar harga kerajinan yang I diperjual-belikan. I / Seputar kualitas kerajinan. I Etika resiprositas I
Modal Jisediakan oleh bandar, Modal disediakan oleh pihak pengrajin kedl dan buruh hanya subkontraktor. menyediakan tenaga dan lahan kerja. Bahan baku disediakan secara Bahan baku disediakan oleh bandar rnandiri Komponen atau kerajinan yang telah Komponen atau kerajinan dijual bandar sebagai selesai dikerjakan disetorkan pada pada pihak pernesan bandar dan Proses transfer keterampilan dan Proses transfer keterampilan dan pengetahuan secara informal pengetahuan secara informal I
9.
Dagang Umum
Jumlah upah ditentukan oleh bandar : sebagian besar pengrajin khususnya pengrajin kecil dan buwh < Rp. 500.000 per bulan.
I
Jumlah pendapatan tergantung dari jenis kerajinan dan komponen yang dikerjakan. Jurnlah pendapatan buruh dan pengrajin kecil an?araRp. 500.000 sampai Rp. 1.000.000 per bulan.
Modal disediakan oleh pengrajin kecil tanpa melibatkan bandar. Bahan baku disediakan secara pribadi Kerajinan dijual pada bandar stau langsung pada konsumen. Tidak terjadi transfer pengetahuan.
I
Jumlah pendapatan pengrajin kecil Rp. 1.000-000 sampai Rp. 2.000.000 per bulan. Jumlah pendapatan bandar Rp. 5.000.000 sampai Rp. 10.000.000 per
I
VII. PERENCANAAN PARTISIPATIF PENGUATAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKIR DAN HlAS Dl DESA ClPAClNG
Kegiatan perencanaan partisipatif bertujuan untuk mencari strategi penguatan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dengan harapan kemitraan yang telah terjalin antara pengrajin kayu ukir dan hias selama ini dapat meningkatkan kesejahteraan secara sosial dan ekonomi bagi seluruh pengrajin di Desa Cipacing. Kegiatan perencanaan partisipatii dirumuskan sesuai hasil pengumpulan data serta penilaian kebutuhan yang dilakukan oleh penyusun bersama-sama dengan masyarakat Desa Cipacing khususnya pengrajin kayu ukir dan hks serta tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan dengan berjalannya industri kerajinan di wilayah tersebut. Perencanaan partisipatif dalam upaya penguatan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dilakukan melalui diskusi dengan terlebih dahulu dengan melakukan identifikasi terhadap potensi serta permasalahan yang mereka miliki. Upaya menggali dan mengidentifikasi potensi serta permasalahan dalam hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dilakukan dengan menggunakan salah satu metode Participatory
Rural Appraisal (PRA) yaitu Diskusi Kelompok Terfokus (Fokus Group DiscussiowFGD). Pada diskusi tersebut dihadiri oleh stakeholder antara lain aparat Desa, tokoh pengrajin, komunitas pengrajin, pengurus Koperasi Mitra Usaha Cipacing. Sefanjutnya diharapkan proses perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat tersebut menghasilkan suatu program yang bersifat aspiratif dan diharapkan dapat berkelanjutan. 6.1. ldentifikasi Potensi dan Parmasalahan Hubungan Kernitraan antar
Pengrajin Desa Cipacing Berdasarkan hasil diskusi kelompok terfokus yang dilakukan bersamasama stakeholder diketahui berbagai inforrnasi mengenai potensi serta permasalahan yang dialami oleh pengrajin kayu ukir dan hias Desa Cipacing yang berkaitan dengan keberhasilan maupun kemunduran usaha mereka. Berdasarkan diskusi tersebut berhasi! dicapai kesefahaman mengenai beberapa permasalahan dan potensi dalam hubungan kemitraan yang mempengaruhi
hubungan kernitraan yang dijalin dalarn aspek sosial dan ekonorni dalarn kehidupan mereka sehari-hari. Berdasarkan hasil FGD disirnpulkan beberapa potensi yang dirniliki pengrajin Desa Cipacing khususnya yang berkaitan dengan hubungan kemitraan yang dapat dirnanfaatkan untuk lebih rnengembangkan hubungan kemitraan yang telah terjalin yang secara langsung mernberikan kesejahteraan secara sosial dan ekonomi bagi mereka. Beberapa potensi yang ada antara lain: 1. Memiliki hubungan kernitraan secara intemal yang
rnendukung
pengembangan usaha kerajinan di Desa Cipacing. Secara intemal hubungan kemitraan yang dimiliki adalah hubungan sosial ekonomi seperti pembagian pekerjaan yang didasari oleh rasa saling menolong, mengembangkan semangat silih asah, silih asih dan silih asuh, menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan sebagainya.
2. Memiliki hubungan kemitraan secara ekstemal yaitu mitra yang berasal dari dalam dan dari luar negeri. Hcbungan kemitraan eksternal yang dimiliki oleh pengrajin Desa Cipacing ini khususnya dalam bidang permodalan, penyediaan bahan baku, serta pernasaran. Dalam bidang perrnodalan pengrajin Desa Cipzcing rnendapat kepercayaan untuk bekerjasama dari kerabat atau sesama pengrajin yang berasal dari Desa lain, dalam bidang pengadaan bahan baku pengrajin Desa Cipacing merniliki hubungan yang saling rnengunrungkan dengan pihak perhutani atau dengan pengusaha bahan baku, sedangkan dalam bidang pemasaran pengrajin Desa Cipacing telah marnpu berrnitra dengan pembeli dari luar dan dalam negeri. 3. Terkenal sebagai sentra industri kerajinan hingga rnampu rnenembus
pasar lokal maupun internasional. lndustri kerajinan Desa Cipacing telah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda hingga saat ini
Desa tersebut telah diidentikkan dengan
kerajinan-kerajinan yang diproduksi serta dipasarkan oleh warganya. Kerajinan Desa Cipacing telah memiliki nama besar aalam pemasaran secar nasional rnaupun intemasional. Beberapa pengrajin Desa Cipacing seringkali mendapatkan pesanan kerajinan oleh importir asing. Sedangkan secara nasional kerajinan Cipacing dipasarkan dibeberapa tempat wisata di Indonesia seperti pulau Bali.
4. Adanya motiiasi yang kuat dari pengrajin Desa Cipacing untuk
meningkatkan dan mengembangkan usahanya. Motivasi yang kuat ini terlihat dari semangat yang tinggi yang mereka tunjukkan dalan menjalankan usaha yang mengalami musim kembung dan kempis. Serta motivasi yang tinggi tersebut nampak dalam antusiasme mereka untuk ikut berpatiiipasi dalam pelaksanaan diskusi kelompok untuk mencari altematif penyelesaian masalah mereka. 5. Ketekunan dan keterampilan yang tinggi dalam membuat kerajinan kayu
ukir dan hias Setiap pengrajin memiliki kemampuan dan keterampilan yang tinggi daiam membuat kerajinan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan mereka dalam membuat kerajinan kayu ukir dan hias yang berasal dari berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri sehingga kerajinan dari Desa Cipacing tidak diragukan lagi kualiinya. Contohnya Ridhuuridhuu. Selain keterampilan tersebut para pengrajin memiliki motiiasi yang tinggi dalam menjalankan usahanya, ha1 ini dapat terlihat dari ketekunan dari para pengrajin sehingga kerajinan Desa Cipacing mampu bertahan hingga sekarang. Potensi yang telah disebutkan di atas merupakan hasil diskusi dengan penuh kesadaran serta msa tanggung jawab dari para stakeholder yang hadir dengan tujuan mewujudkan kepentingan bersama yaitu mencapai hubungan kemitraan
yang berdampak positii bagi kehidupan sosial ekonomi mereka. Disamping berbagai potensi yang ada, dalam FGD tersebut berhasil diidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin kayu ukir dsn hias yang kemudian memberikan pengetahuan dan membangkitkan kesadaran bersama rnengenai permasalahan yang timbul dalam hubungan kemitraan yang selama ini telah terjalin. Beberapa permasalahanyang berhasil digali antara lain: 1. Persainganyang kurang sehat akibat belum adanya standar harga.
Hal ini terjadi antara pengrajin kecil dengan adanya pengrajin yang saling membanting harga kerajinan. Seringkali terjadi persaingan harga pemasaran bahan rakitan maupun harga kerajinan yang sudah jadi. Hal ini disebabkan belum adanya kesepakatan serta komunikasiyang baik antar per~grajinuntuk
menetapkan standar harga. Dengan demikian tidak ada aturan yang mengatur berapa harga suatu kerajinan tertentu.
uAri kahoyong ibu mah wntona sumpit teh pangaosna sakodi 25rebu nya atos wae sakitu sesuei pangaos pasaran na. Namung ku sabab persaingan tea aya wae anu ngaical duapuluhrebu sakodi, atuh Iangganan ibu teh lalumpatan.. nya ibu ngegel curuk weeh. Tapi tiasa diuningaan ku eneng hasil padamelanana, tina awi boh lemesna pagawean benten Bung nu mirah pangaosna. Janbn teu jarang anu tos terang mah kajeun mahal oge ngagaleuh na ti ibu. Tah nu licik kitu teh ongkoh nganrksak batur oge ngawksak din' sorangann.lUntuk harga sumpit keinginan ibu harganya 25ribu saja sesuai harga pasaran. Akan tetapi ada saja yang menjual 20ribu perkodi, dengan begitu langganan ibu banyak yang beralih pada yang lain. Namun dapat dilihat bahwa hasil pekerjaan yang 25ribu lebih bagus dibanding yang 20ribu. Jadi tidak jarang bagi yang sudah tahu mereka memilih yang mahal di banding yang murah. Yang berlaku licik selain merusak orang lain juga merusak dirinya sendiri. ( ibu Amh, Pengrajin Kecil) 2. Keterlambatan dalam pembayaran upah kerja menyebabkan pengrajin kecil dan buruh pengrajin mengalami kesuliian ekonomi. Pembayaran upah bagi pengrajin kecil maupun buruh pengrajin sangat ditentukan oleh kebijaksanaan bandar. Demikian pula bandar sangat tergantung pada sistem pembayaran dari pemesan kerajinan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Hal tersebut menyebabkan pembayaran upah pada pengrajin kecil maupun buruh pengrajin menjadi terlambat. Pada permasalahan ini baik buruh pengrajin, pengrajin kecil cenderung menyalahkan pada bandar kerajinan yang kurang memperhatikan kesejahteraan mereka. Namun di sisi lain bandar kerajinan membantah dengan al2san mereka seringkaii menghadapi pemesan yang tedambat rnembayar, atau membayar dengan menggunakan cek yang tanggal pencairannya agak lama dari waktu penyerahan barang.
" saleresna pembayaran anu sok telat-telat kitu teh lantaran sim kuring oge telat dibayar ku anu pesen. Mangga diemufan kumaha abdi bade mayar ongkos keja upami abdi oge feu acan dibayar ku eksportit?"
Sebenarnya yang keterlambatan pembayaran disebabkan oleh pemesan yang juga membayar terlambat pada saya. Silahkan semua berfi.kir bagaimana says bisa membayar upah kerja apabila saya juga belurn dibayar eksportir? ( Bpk JJ. Asisten Bandar) 3. Kurangnya modal Salah satu permasalahar; yang dibahas dalam FGD ini adalah masalah klasik dalam dunia usaha kecil menengah yaitu kurangnya modal. Menurut pengrajin kayu ukir dan hias Desa Cipacing, khususnya pengrajin kecil ha1 ini
menyebabkan mereka lebih sering menjadi buruh (pekerja bandar) dibanding memproduksi kerajinan jadi dan menjual hasil pekerjaannya langsung pada konsumen. Selain itu tidak adanya modal ini menyebabkan jumlah buruh pengrajin jauh lebih banyak dari pada pengrajin kecil dan bandar kerajinan. Hal ini mengindikasikan bahwa jika tidak ada order dari bandar maka buruh pengrajin tersebut akan menjadi pengangguran.
" leres pisan, mufakat sareng anu haladir yen masalah utami na mah modal. Mangga di serat sing ageung....tah ngawakilan pengrajinpengrajin di dieu boh anu buburuh, ageung pangharepan tiasa ngaakses kana sumber permodalan. Kitu deui ka &pa-bapa anu di Desa mudahmudahan tiasa ngajalanan ka pih~kbank, atanapi pamamntah pusat. Da upami tos aya modal mah pengangguran tiasa berkmng, produksi janten naek, salajengna tiasa mawa kaharuman bagi Desa Cipacing." (Bapak SL, tokoh pengrajin) Kurangnya modal ini juga disebabkan tidak adanys kepercayaan antar pengrajin dalam bidang kerjasama modal, selain itu kurangnya akses terhadap lembaga keuangan turut menyebabkan usaha kerajinan yang dijalankan khususnya oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil menjadi tidak berkembang. Selain itu koperasi yang dulu pemah dirintis tidak berjalan, sehingga belurn terasa manfaatnya oleh pengrajin Desa Cipacing baik segi permodalan maupun dari segi pemasaran. 4. Belum adanya paguyuban atall kelompoWorganisasi
Belum terdapatnya paguyuban pengrajin menyebabkan inforrnasi mengenai pernbagian pekerjaan, standar harga mzupun jenis kerajinan bani sering tidak tersosialisasi. Belum terdapatnya paguyuban ini juga memiliki dampak lemahnya posisi tawar buruh pengrajin atau pengrajin kecil terhadap bandar, sehingga kondisi kehidupan sebagian besar pengrajin kecil dan buruh pengrajin berada pada kondisi yang memprihatinkan. Hubungan kemitraan yang selama ini bejalan dinilai kurang memuaskan semua pihak, mereka berkeyakinan bahwa jika terdapat paguyuban atau kelompok pengrajin maka sekurang-kurangnya terdapat sarana untuk mengembalikan kemitraan sesuai dengan sifatnya yang berkeadilan. Selain itu dengan adanya paguyuban dalam penyediaan bahan baku dapat dikoordinasikan oleh paguyuban dan dapat memberikan kesempatan pada pengrajin untuk mengakses k h a n baku tersebut.
5. Tidak adanya standar upah setiip pengejaan komponen
Tidak adanya standar harga bagi jenis kerajinan tertentu menyebabkan adanya persaingan harga yang tidak sehat antar pengrajin. begitu juga t i a k adanya standar upah untuk pengerjaan komponen kerajinan tertentu menyebabkan pendapatan yang dimiliki buruh pengrajin semakin kecil, ha1 ini disebabkan upah pengerjaan komponen cende~ngturun karena disesuaikan dengan harga kerajinan yang naik atau turun. Namun upah pengerjaan komponen tersebut tidak pemah naik meskipun harga kerajinannya sedang naik. Tidak adanya standar upah pengerjaan komponen kerajinan menyebabkan buruh pengrajin dan pengrajin kecil tidak memiliki posisi tawar atas harga yang diberikan bandar. Dalam ha1 ini bandar seakan-akan bertindak semena-mena terhadap buruh dan pengrajin kecil dan menjadi satu-satunya pihak yang berkuasa da!am sektor industri kerajinan kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. 6. Belum ada Investor
Sejauh ini hubungan kemitraan yang dijalin belum memanfaat kan peranan mitra eksternal. Seperti yang terungkap dalarn FGD bahwa belum ada pihak pengusaha atau investor yang berperan sebagai bapak angkat yang peduli terhadap usaha kerajinan terebut. Sedangkan bandar kerajinan sebagai pelaku usaha kerajinan yang paling berhasil, seakan-akan menempatkan diri dalam posisi sebagai majikan terhadap buruh dalam hubungan kemitraan tersebut. 7. Pernasaran Terbatas
Meskipun kerajinan Desa Cipacing telah marnpu menembus pasar lokal dan internasionai, namun beberapa pengrajin khususnya pengrajin kecil merniliki hambatan daiam mengakses pasar yang lebih luas. Sejauh ini mereka hanya mampu memasarkan kerajinannya pada konsumen secara kecil-kecilan atau menjualnya pada bandar. Hambatan dalam pemasaran juga dirasakan oleh pengrajin akibat krisis ekonomi yang menyebabkan daya beli konsumen terhadap kerajinan menurun. Konsumen cenderung memilih untuk membeli bahan makanan pokok dibanding membeli kerajinan.
Perrnasalahan utama dalam hubungan kernitraan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat dalam analisis pohon masalah berikut ini. : Gambar 9. Analisis Masalah Hubungan Kernitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing
Kerniskinan, Ketidaksejahteraan
Masalah :Hubungan Kernitraan yang kurang rnenguntungkan bagi Pengmjin Kecil dan Buruh Pengrajin
Kapasitas SDM
Modal b i a l
- Kepercayaan -
-
Rendah Belum ada Kelompok Pertokaran Kurang adil. Etika Kemitraan sebagai manifestasi dari dominasi bandar
Pengembangan Usaha
- Posisi tawar
-
-
-
pengrajin dan buruh pengrajin lemah Pendidikan Rendah Tidak ada pilihan pekerjaan
-
-
Tidak ada akses terhadap sumber daya Belum ada investor Kurang Modal Pemasaran terbatas Peran pemerintah belum optimal
Berdasarkan analisis masalah di atas berhasil disepakati prioritas masalah dari keseluruhan perrnasalahan yang diungkapkan yakni hubungan kernitraan yang kurang rnenguntungkan khususnya bagi pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Isu sentral dalam hubungan kemitraan tersebut antara lain adalah : *:*
Belurn adanya etika kemitraan yang adil.
*3 Belum adanya paguyuban termasuk di dalamnya wahana komunikasi antar pengrajin.
*3 Belum adanya kerjasama yang optimal baik secara internal maupun eksternal dalam bidang modal, pengadaan bahan baku, pemasaran, pengetahuan dan keterampilan dan pendapatan. 6.2. Perumusan Altematif Pemecahan Masalah Berdasarkan gambaran permasalahan serta potensi yang dimiliki oleh pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing, dirumuskan beberapa alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh para pengrajin kayu ukir dan hias tersebut. Antara lain : 1. Pembentukan kebmpoWpaguyuban
Pembentukan kdompok atau paguyuban pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk dipenuhi. Dengan adanya paguyuban atau kelompok tersebut, maka secara tidak langsung pengrajin Desa Cipacing memiliki wahana dan sarana untuk memecahkan berbagai permasalahan mereka baik yang terjadi saat ini ataupun untuk mangantisipasi masalah pada masa yang akan datang. Pembentukan kelompok atau paguyuban ini akan memberi imbas bagi terjalinnya kerjasama baik secara internal maupun eksternal. Misalnya dalam pengadaan bahan baku maupun dalam akses terhadap modal. Pembentukan kelompok atau paguyuban ini akan membuka wawasan pengrajin satu sama lain, menjalin relasi, dan meningkatkan akses terhadap sumber daya yang bermanfaat bagi tercaparnya kesejahteraan pengrajin Desa Cipacing. 2. Penentuan standar harga
Penentuan standah harga bagi kerajinan yang dijual merupakan salah satu alternatif bagi pemecahan masalah pengrajin Desa Cipacing. Hal ini dilakukan untuk menghindari persaingan yang tidak sehat antar pengrajin. Akan tetapi penentuan standar harga ini harus melalui kesepakatan antara pengrajin kecil maupun dengan bandar kerajinan dan menentukan harga yang terbaik sesuai dengan harga pasaran serta kualitas dari barang tersebut. 3. Penentuan standar upah
Penentuan standar upah dinilai penting untuk meningkatkan kesejahteraan pengarajin Desa cipacing terutama buruh pengrajin dan pengrajin kecil yang menerima pekerjaan dari bandar. Dengan adanya standar upah untuk setiap komponen kerajinan yang dikerjakan maka bandar tidak akan semena-mena
untuk menurunkan upah buruh pengrajin. standar upah ini juga harus diikuti dengan kesepakatan waktu pembayaran antara bandar dengan buruh pengrajin dan pengrajin kecil. Dengan demikian standar upah dan waktu pembayaran yang tepat waktu akan meningkatkan kesejahteraan pengrajin serta meningkatkan kualitas kerajinar: yang dihasilkan. 4. Mengakses Sumber
Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan akses terhadap sumber permodalan dan sumber daya lainnya. Misalnya terhadap pemerintah atau terhadap lembaga permodalan seperti pihak perbankan. Pelaksanaan akses terhadap sumber ini dapat dilakukan seandainya pengrajin sudah tergabung dalam kelompok. 5. Pelatihan pengembangan usaha
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar pengrajin terhadap tantangan dunia usaha. Bentuk kegiatan dapat dilakukan dengan pelatihan pemasaran, dan peningkatan keterampilan agar pengrajin dapat mengakses pasar maupun suber permodalan. Selain itc pelatihan ini dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi pengrajin dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kerajinannya. Tabel 14. Analisis Masalah, Potensi dan Altematif Pemecahan Masalah Jenis Masalah 1. Tidak
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Pemecahan Masalah 1. Persaingan O Hubungan 1. Penentuan tidak sehat kemitraan standar harga (saling banting 2. Penentuan internal antar pengrajin. harga) waktu 9 Hubungan 2. Buruh dan pzmbayaran pengrajin kecil Potensi
Dampak
adanya standar harga Keterlambatan dalam pembayaran kemitraan upah kerja kesulitan dalarn ekstemal antar Kurangnya memenuhi pengrajin modal kebutuhan Belum adanya 9 Terkenal ~ m a tangga. h paguyuban atau sebagai sentra industri 3. Produktivitas kelompoklorgan kerajinan rendah isasi Tidak adanya 9 Motivasi yang 4. Posisi tawar untuk Pengrajin kedl kuat standar upah berkembang dan buruh kerja Ketekunan dan lemah Belum ada 5. Upah kerja keterampilan Investor ditentukan Pemasaran yang tinggi. secara sepihak terbatas oleh Bandar. 6. Modal terbatas 7. Usaha sulit berkembang. 0:.
lJpah
3. Mengajukan
bantuan dan promosi 4. Pembentukan kelompok 5. Penentuan standar upah 6. Melakukan promosi 7. Pelatihan llsaha
6.3.
Program Penguatan Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Clpacing.
Pada tahap ini dengan mengacu pada altematif pemecahan masalah yang telah disusun terlebih dahulu, selanjutnya para pengrajin kayu ukir dah hias di Desa Cipacing berhasil menyusun suatu program dan kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka penguatan kemitraan antar pengrajin sehingga mencapai perkembangan dalam usahanya yang diharapkan akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan seluruh pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Program
penguatan hubungan kemitraan
ini dirancang
untuk
memperbaiki dan meningkatkan kualitas kemitraan yang sudah berjalan dengan tujuan mengatasi kelemahan-kelemahan pada hubungan kemitraan yang ada sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan atau mendapat perlakuan tidak adil. Selain itu penguatan hubungan kemitraan ini menyangkut peningkatan hubungan kemitraan dengan pihak internal Desa Cipacing maupun eksternal. Hal ini diharapkan industri kerajinan yang telah dirintis sejak jaman dahulu dapat terus bertahan dan terus berkembang. Gambar 10. Rancangan Program Penguatan Hubungan Kemitraan
1
I
Pendiiikan8 Pelatihan
lnformasi Bahan Bakr
lntomasi Pasar
I PengembanganPotensi
Mendukung temadap hubungan kemitraan
Tokoh masyarakat, institusi lokal, kelomp pengajiin, taruna karya, warga masyarakat
6.3.1. Latar Belakang Dalam rangka mencapai salah satu tujuan penulisan kajian yaitu menyusun program partisipatif dalam pengembangan masyarakat khususnya bagi penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa C i ~ c i n g , rnaka telah dilaksanakan berbagai kegiatan yang dimulai dari pemetaan sosial, evaluasi kegiatan pengembangan masyarakat, hingga analisis terhadap aspek sosial dan ekonomi hubungan kemitraan antar pengrajin yang melibatkan pengrajin kayu ukir dan hias termasuk di dalamnya bandar kerajinan, buruh pengrajin, dan pengrajin kecil, didukung oleh tokoh formal maupun informal masyarakat Desa Cipacing. Berdasarkan ha1 tersebut didapatkan informasi bahwa terdapat Serbagai permasalahan yang dialami oleh pengrajin khususnya dalam hubungan kemitraan antar pengrajin yang terjalin dalam menjalankan usaha kerajinan. Hubungan kemitraan yang ada belum merupakan hubungan kemitraan yang adil, serta mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh pengrajin di Desa Cipacing. Hubungan kemitraan yang ada masih menjadi keuntungan bagi beberapa pihak clan kurang menguntungkan bagi pihak yang lain. Secara umum hubungan kemitraan tersebut dapat dikatakan memiliki dampak positif bagi pengrajin, namun berdasarkan hasil observasi dan diskusi kelompok yang dilakukan hubungan kemitraan tersebut belum memberikan keuntungan yang adil bagi seluruh rnitra yang tergabung di dalamnya. Hubungan kemitraan yang berjalan saat ini belum sepenuhnya memenuhi beberapa prinsip dari kemitraan itu sendiri antara lain 1) Saling Membina, 2)
%ling rnemperkuat, dan 3) saling menguntungkan, dan s~bagainya.Selain itu hubungan kemitraan tersebut belum sesuai dengan azas pengembangan masyarakat yaitu 1) Kemandirian yaitu bagaimana agar pengrajin mampu rnenggunakan segenap potensinya untuk bangki dari permasalahan dan mengembangkan usaha mereka serta tidak tergantung pada bantuan pemerintah, 2) Partiiipasi yaitu bagaimana s e l u ~ hpengrajin ikut serta dalam rnemperkuat dan mempertahankanusaha mereka dengan kegiatan yang disusun dan dan disepakati bersama, 3) Kesetaraan yaitu setiap pihak diharapkan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kemitraan yang ada tanpa ada diskriminasi ataupun posisi 'atasan-bawahanw atau hubungan kemitraan yang bersifat vertikal.
Berdasarkan altematii pemecahan masalah yang telah dikemukakan terdahulu, maka pengrajin Desa Cipacing bersama-sama pengkaji dan komponen masyarakat lainnya memandang perlu adanya suatu program khusus bagi pemecahan masalah mereka. Program tersebut diharapkan mampu mengatasi perrnasalahan hubungan kemitraan yang ada serta meningkatkan usaha mereka. Landasan utama yang disepakati bersama dalam program ini adalah adanya saling percaya, saling mendukung serta dikembangkannya semangat silih asah, silih asih dan silih asuh akan mampu mengurangi berbagai kelemahan dan mengatasi masalah hubungan kemitraan yang ada. Sehingga ha1 tersebut diharapkan akan mendorong perkembangan usaha kerajinan yang berimbas pada kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. 6.3.2. Tujuan Program
Tujuan umum program 1. Membentuk hubungan sosial ekonomi yang harmonis untuk mendukung
pengembangan usaha pengrajin Desa Cipacing. Tujuan Khusus Program 1. Membentuk etika kemitraan yang adil dan setara serta menghilangkan
persaingan tidak sehat antar pengrajin. 2. Membangkitkan kesadaran dan kemampuan untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki secara berkelompok. 3. Meningkatkan akses terhadap pasar, modal, bahan baku dan teknologi.
6.3.3. Rincian Program Program penguatan hubungan kemitraan baik secara eksternal maupun internal pengrajin kayu ukir dan hias Desa Cipacing disusun untuk mengatasi perrnasalahan yang dihadapi oleh para pengrajin melalui potensi yang mereka miliki. Program ini mencakup kegiatan-kegiatan yang disusun sebagai rencana jangka pendek dan jangka panjang. Program penguatan hubungan kemitraan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan skala prioritas tindakan dan berupaya memecahkan permasalahan strategis yang mampu mencapai beberapa tujuan. Rencana Kegiatan yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:
1. Penguatan Modal Sosial
a.
Pembentukan Paguyuban (kelompok pengrajin) Pembentukan paguyuban pengrajin ini adalah langkah penting dan
merupakan salah satu kunci keberhasilan program penguatan hubungan kemitraan pengrajin di Desa Cipacing. Pembentukan paguyuban ini dimulai dengan pertemuan melalui undangan bagi pengrajin untuk membentuk kepengurusan. Setelah pembentukan kepengurusan dilakukan sosialisasi paguyuban terhadap seluruh pengrajin serta pada seluruh warga Desa Cipacing. Selanjutnya sebagai kegiatan rutin paguyuban dilakukan pertemuan setiap selang waktu yang ditentukan. Gagasan untuk membentuk paguyuban ini muncul atas kesadaran para pengrajin bahwa selama mereka menjalankan usaha secara sendiri-sendiri mereka menemukan banyak kesulitan yang tidak dapat diselesaikan secara individu. Seperti untuk mengakses permodalan dan menjadi mitra binaan dari PT. Bank Mandiri, mereka hams bersatu dalam suatu kelompok. Hal ini menyulitkan pengrajin karena sebelumnya rnereka tidak pemah tergabung dalam suatu kelompok atau paguyuban. Muncul gagasan untuk menamakan paguyuban pengrajin kayu ukir dan hias Desa Cipacing dengan nama Mitra Usaha sesuai dengan nama Koperasi pengrajin yang pemah berdiri pada awal tahun 2000. Pada tahap awal dari pertemuan paguyuban, dirumuskan kegiatan-kegiatan pertemuan yang bersifat rutin untuk menumbuhkan semangat kebersamaan, dan kerjasama antar pengrajin. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memperkuat modal sosial diantara pengrajin. Pernbentukan paguyuban ini dapat diarahkan untuk memperkuat pola subkontrak dan ciagang urnum di antara pengrajin, serta memperbaiki berbagai kekurangan yang diras8kan oleh buruh serta pengrajin kecil dalam pola KOA. b. Forum Kornunikasi
Pertemuan rutin yang dilakukan juga dapat merupakan suatu forum komunikasi antar pengrajin untuk menyampaikan informasi darr pembahasan seputar permasalahan, kebutuhan serta pengembangan usaha yang mereka jalankan serta evaluasi terhadap perkembangan paguyuban itu sendiri. Selain itu forum komunikasi secara informal ini dapat merupakanwahana untuk pertukaran informasi bagi seputar masalah pekerjaan maupun masalah kehidupan yang dialami pngrajin untuk mernpererat tali persaudaraan dan tepa selira di antara
pengrajin. Dengan adanya forum komunikasi ini diharapkan pengrajin dapat saling membantu satu sama lain sehingga semangat silih asih, silih asah dan silih asuh dapat terlaksana. Dalam ha1 pengembangan usaha forum komunikasi juga merupakan sarana penyampaian informasi mengenai informasi bahan baku, akses modal maupun akses terhadap pasar. Forum komunikasi ini diarahkan untuk memperkuat semua pola kemitraan yang ada, khususnya menghilangkan persaingan tidak sehat dalam pola dagang umum, serb rnengurangi ketidakadilan yang dirasakan oleh buruh dan pengrajin kecil dalam pola KOA. Dengan demikian pengrajin dapat tumbuh dan berkernbang bersama-sama
c. Penguatan kepercayaan Selama ini pengrajin Desa Cipacing cenderung bersifat individualis dalam rnenjalankan usaha mereka dengan kuatnya modal sosial dibntara para pengrajin diharapkan kerjasama ekonomi mereka akan meningkat. Kegiatan kebersamaan ini diharapkan akan memperkuat kepercayaan diantara mereka dan mengurangi kemungkinan terjadinya iklim usaha yang kurang sehat. Bentuk penguatan kepercayaan dapat berupa kegiatan pengajian sekaligus arisan yang diadakan dalam waktu satu bulan sekali. d.
etika kemitraan; reformasi etika hegemonic bandar Permasalahan dalam etika kemitraan yang paling menonjol adalah
dominasi bandar yang sewenagn-wenang dalam menentukan upah kerja bagi buruh dan pengrajin kecil dalam po;a KOA. Reforrnasi etika ini diarahkan untuk menghilangkan bentuk-bentuk ketidakadilan seperti keterlambatan pembayaran upah dan upah ymg cenderung kecil dan statis. Sebagai contoh bandar seharusnyci terbuka pada buruh maupun pengrajin kecil dalam kenaikan atau penurunan harga sehingga apabila harga kerajinan naik seharusnya upah juga ikut naik secara proposional.
Dengan adanya paguyuban serta pertemuan rutin yang memuat wahana komunikasi di dalamnya, lambat laun diharapkan akan terbentuk suatu etika kemitraan yang adil. Antara lain 1) terdapat standar upah yang jelas bagi pengerjaan suatu komponen kerajinan, 2) terdapat standar waktu pembayaran upah yang jehs, 3) adanya kenaikan upah apahila terjadi kenaikan harga jual kerajinan.
Dalam ha1 ini diharapkan pengrajin kecil dan buruh pengrajin
khususnya memiliki wahana untuk menyampaikan aspirasi mereka sehingga
mereka lebih memiliki posisi tawar untuk mendapatkan upah yang sesuai dan tepat pada waktu yang ditentukan. e.
Pelatihan dzn Sosialisasi Kemitraan Pelatihan dan sosialisasi kemitraan meliputi pemberian informasi dan
pengetahun mengenai kemitraan agar pengerajin secara mandiri mengetahui hak dan memenuhi kewajiban mereka, melakukan pengendalian dan pengelolaan terhadap kemitraan yang mereka lakukan sehingga mampu memecahkan permasalahan dalam kemitraan itu sendiri dengan potensi yang mereka miliki. Kegiatan ini diawali dengan pertemuan pewakilan paguyuban dengan para pengcrus kelembagaan lokal seperti taruna karya, Badan Perwakilan Desa, PKK, Badan Usaha Milik Desa, pemerintahan dibidang kesejahteraan sosial di tingkat kecamatan dan lain sebagainya untuk bersama-sama berpartisipasi dalam penguatan hubungan kemitraan pengrajin Desa Cipacing dengan pemberian dukungan secara langsung maupun memberikan kemudahan akses terhadap sistern sumber lainnya. f.
Pendampingan Pendampingan dalam program ini memiliki tujuan untuk menghindarkan
berbagai kemungkinan dan bentuk eksploitasi sebagai akibat penyimpangan nilai-nilai kemitraan. Dengan demikian pendampingan dianggap sebagai salah satu cara untuk melembagakan etika kemitraan yang dibentuk sehingga pada akhirnya mencapai prinsip kemandirian. Untuk mengakses pendamping atau fasilitator yang kompeten datlm mendampingi kemitraan yang akan dijalankan, pengrajin dapat mengajukan proposal terhadap lembaga swadaya rnasyarakat atau terhadap dinas terkait. 2.
Pengembangan usaha
a. Kemitraan dalam permodalan Kerjasama pemodalan dipilih sebagai saiah satu kegiatan dalam penguatan kemitraan antar pengrajin, disebabkan pengrajin seringkali mendapat kesulin dalam mengakses modal. Hal ini me~pakansalah satu factor penghambat dalam perkembangan usaha mereka. Dalam ha1 ini kerjasama pemodalan diarahkan pada semua pola kemitraan. i. Pada kemitraan subkontrak pengrajin kecil maupun buruh yang
kekurangan modal dapat mengakses permodalan. Selain itu buruh
pengrajin yang memiliki keterampilan membuat kerajinan diharapkan mampu mengakses modal dan mempergunakannya untuk membuat kerajinan hingga kerajinan jadi. ii. Dengan mudahnya akses terhadap sumber permodalan, khususnya pada
pola KOA, hasil yang diharapkan yaitu ketergantungan buruh terhadap bandar atas upah dan pekejaan menjadi berkurang. iii. Pada pola dagang umum diharapkan pengrajin kecil dapat meningkatkan
produktivitas usahanya. Kemitraan dalam ha1 permodalan ini dapat diwujudkan melalui: *:*
lnformasi Fasilitas Kredit
Kerjasama permodalan dapat diwujudkan dengan pemberian inforrnasi mengenai fasilitas
kredit yang bertujuan memberikan penjelasan
tentang keberadaan dan cara mengakses fasilitas permodalan bagi pengrajin. Dalam kerjasama permodalan ini dapat berkoordinasi dengan lembaga terkait seperti dengan lembaga perbankan yang memiliki program mitra binaan, Dinas Koperasi dan usaha kecil menengah, dinas sosial maupun dinas perindustrian dan perdagangan. b. Hubungan Kemitraan dalam Pengadaan bahan baku Pengrajin Desa Cipacing seringkali mengalami kesulitan dalam pengadaan bahan baku. Pengadaan bahan baku biasanya
dilakukan oleh masing-masing
pengrajin sehingga kuantitas yang dibeli dalam jumlah yang kecil. Hal ini menyebabkan harga bahan baku lebih mahal dibandingkan dengan pembelian dalam jumlah yang besar. Hubungan kemitraan pada pengadaan bahan baku ini diarahkan pada pola kemitraan subkontrak dan dagang umum. Dengan demikian penguatan kemitraan dalam pengadaan bahan baku dapat dilakukan melalui: *:*
Membangun kerjasama antara paguyuban dengan perhutani atau pengusaha kayu diberbagai ternpat.
*:*
Secara internal kerjasama bahan baku ini dapat dilakukan dalam pengadaan kayu secara kolektii. Hal ini dapat mengurangi kesuliian beberapa pengrajin dalam pengadaan bahan baku.
O Menggalang kemitraan dengan BUM0 setempat dalam pengadaan bahan
baku, karena meskipun BUMD belum aktii secara penuh namun tokoh-tokoh dan anggota BUM0 tersebut memiliki hubungan yang baik dengan pemasok bahan baku di berbagai daerah.
c. Hubungan Kemitraan dalam Kegiatan pemasaran Dalam pemasaran kerajinan seringkali ditemukan permasatahan yaitu penetapan harga yang kurang adil antara pengrajin kecil dan Bandar. Begitu juga di antara pengrajin seringkali terjadi banting-membanting harga untuk saling mengalahkan. Hubungan kemitraan dalam kegiatsn pemasaran diarahkan untuk pola kemitraan subkontrak dan dagang umum. Tujuannya adalah untuk menghindari persaingan tidak sehat dalam pemasaran, dengan demikian penguatan hubungan kemitraan ini dapat dilakukan melalui: Q Menentukan standardisasi harga jual produk kerajinan
Upaya menetapkan harga jual produk terhadap eksportir maupun kepada konsumen secara perseorangan sangat penting menurut beberapa pengrajin. ha! ini terkait dengan persaingan yang kurang sehat yang selama ini terjadi. Untuk itu upaya penetapan harga jual perlu ditentukan dengan syarat kualitas dan kuantitas yang sama. Penentuan harga kerajinan ini dapat berlaku pada
pola subkontrak maupun pada pola dagang umum. Dalam penentuan harga jual barang ini dapat melibatkan tokoh-tokoh pen~rajinatau senior serta difasilitasi oleh instansi terkait.
*3 Distribusi lnformasi pemasaran lnformasi mengenai tempat-tempat wisata sangat penting bagi pengrajin
Desa Cipacing. Dengan demikian distribusi informasi mengenai wilayah atau tempat patiwisata yang dapat dijadikan tempat pemasaran bagi setiap pengrajin. Selain itu informasi mengenai kapan saatnya musim kembung dan kapan saatnya musim kempes sangat berpengaruh terhadap pemasaran. Sehingga informasi mengenai ha1 tersebut dari. pengrajin yang telah berpengalaman sangatlah penting. Kegiatan ini diarahkan untuk penguatan kemitraan pada pola dagang umum. O Kegiatan Promosi dan Bazar
Secara internal ketjasama pemasaran ini dapat dilakukan dengan membangun showroom bersama, melaksanakan bazar krsama dalam eveneven nasional sebagai upaya promosi terhadap dunia luar. Dalam pemasaran dibutuhkan kegiatan promosi dan dagang. Kegiatan pemasaran ini bertujuarr untuk mengakses pasar dan mampu bersaing dengan produk
sejenis. Dalam kerjasama pemasaran ini paguyuban dapat bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan, pengelola tempat wisata, pengusaha ekspor impor, dan lain-lain.
d. Hubungan Kemitraan dalam Peningkatan pengetahuan dan keterampilan Penguatan kemitraan dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan diarahkan bagi pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Hal ini dapat dilakukan melalui: *:*
Pelatihan kewirausahaan Untok meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengrajin perlu dilaksanakan pelatihan kewirausahaan agar pengrajin mampu bertahan dalam persaingan dalam dunia usaha. Selain itu peningkatan pengetahuan dalam bentuk pelatihan ini perlu dilakukan dengan ditujukan agar para pengrajin mampu mengakses berbagai sistem sumber yang membantu mereka dalam rangka menyelesaikan permasalahan dan pzngembangan usaha mereka. Pelatihan Kewirausahaan ini melibatkan institusi terkait misalnya Disperindag, Dinas Koperasi dan UKM, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan, Lembaga-lembaga Konsultan kewirausahaan, dll.
9 Pelatihan Manajemen sederhana untuk pengelolaan usaha
Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan pada para pengrajin agar mereka dapat mengelola usaha dan mengembangkanusahanya
secara
terencana.
Pelatihan
ini
dapat
terselenggara didukung dengan potensi yang ada yaitu temu usaha dengan Pengrajin yang senior dan sukses, serta melibatkan lembaga perkoperasian seperti IKOPIN, dll.
Matriks 18. Kerangka Kerja Logis PROGRAM PEN iUATAN PENGUATAN MODAL SOSIAL Kegiatan
Rincian
Alasan
(What)
Kegiatan
WY) *: Seringkali akses terhadap sumber sulit dijangkau karena tidak adanya kelompok *9 Pengrajin bejalan sendiri-sendiri sehingga terjadi persaingan harga tidak sehat. .'* Tidak tersedia wadah untuk ~nenyalurkanide, gagasan dan aspirasi pengrajin. *:* Pengrajin kecil dan buruh pengrajin sulit untuk berkembang.
a. Pembentukan Kelompok
*:*
Pembentukan kepengurusan
*:*
Perumusan Tujuan
+:*
Perumusan Agenda Kerja
*t.Tidak ada wadah a. Forum Komunikasi
*:* *:*
(pola KOA, Subkontrak dan Dagang Umum)
Agenda Pertemuan rutin Penyampaian infomasi, ide, gagasan dan as~irasi
untuk menyalurkan ide, gagasan dan aspirasi. .5. Sering terjadi miscommunication antar pengrajin terutama dalam
lndikator
I I
*:* Pengrajin
berada dalam suatu kelompok 9 Terbentuk kepengurusan kelompok *:* Terbentuk tujuan dan nilai kelompok
Pelaksana
1
-
1
tokoh masyarakat pemerintahan Desa
Dilakuan pertemuan pengrajin di rumah salah satu tokoh pengrajin. Penjelasan maksud dan tuiuan pdmbentukan kelompok Penyusunan pengurusan kelompok Penyusunan rencana keja kelompok. Dientukanjadwal pertemuan rutin kelompok setiap bulan
Bantuan dari disperindag dan dinkop
UKM. Sumbangan pihak swasta
-
paguyuban
(How)
luran s.d Anggotal Februari Peserta 2007 Sumbangan sukarela pengrajin
kerajinan pengrajin kecil buruh pengrajin tokoh masyarakat pemerintahan Desa pemerintah kecamatan
lnstansi Pendukung: Disperindag Dinas Koperasi&UK
9 Menguatnya modal sosial; kepercayaan, kerjasama, I;omunikasi, nilai-nilai sosial.
Mekanisme
Biaya
- Januari
- Bandar -
Waktu
1
Menggalang dana anggota Mulai maret 2007
Bantuan pemerintah Sumbangan
I
Dilaksanakan pada pertemuan rutin kelompok setiap bulan Apabila terdapat penyampaian ide atau gagasan
b. Penguatan Kepercayaan (pola KOA, Subkontrak dan Dagang Umum)
c. Etika Kemitraan; Reformasi etika Hegemoni bandar (Pola KOA)
6 Pengajian 6 arisan
*:*
Membentuk ketentuan upah pengerjaan setiap kerajinan atau komponen
penentuan waktu pembayaran upah kerja. 9 ketertinggalan informasi mengenai pewbahan dan perkembangan di dunia industri kerajinan 9 Tidak ada wadah untuk menyalurkan aspirasi pengrajin akibatnya posisitawar buruh dan pengrajin kecil terhadap Bandar rendah. 9 Pengajian bermanfaat bagi peningkatan kejujuran dan sernangat kebersamaan. $ pengrajin belum memiliki kegiatan bersama yang dapat menumbuhkan kepercayaan. 9 Kegiatan arisan akan berguna untuk penambahan modal. 9 Ketidakadilan dalam penentuan harga upah kerja. 9 Keterlambatan pembayaran upah. Tidak adanya sanksi
+
pihak swasta
*:* Pengrajin
memiliki wadah dan sarana untuk menyalurkan ide, gagasan serta mencari solusi permasalahan
*:* modal sosial;
kepercayaan, kejasama, komunikasl, nilai-nilai sosial terjalin dengan kuat di antara pengrajin.
*:*Terbentuknya nilai-nilaidan etika kemitraan yang adil dan disepakati
lnstansi Pendukung : Fasilitator, LSM pendukung
Pengurus paguyuban Komunitas pengrajin
-
-
bandar kerajinan pengrajin kecil buruh pengrajin
Berkelanju luran Anggotal tan Peserta Mulai Sumbangan maret sukarela 2007 pengrajin
MaretApril 2007
luran Anggotal Peserta Sumbangan sukarela
sebelum waktu pertemuan rutin, paguyuban dapat mengagendakan pertemuan tambahan.
pengajian dilaksanakan setiap hari Jum'at pada minggu ketiga setiap bulan. Pelaksanaan arisan dilaksanakan seusai pertemuan rutin. Dibahas pada pertemuan rutin kelompok setiap bulan Dibahas dengan melibatkan
- :0
I!
. :0
e. Pelatihan dan sosialisasi
O Pelatihan dan
sosialisasi kemitraan pada pengrajin
kemitraan (a l'
Dagang
dan
Subkontrak)
Menentukan batas pembayaran setiap pengerjaan komponen atau kerajinan. Menentukan sanksi yang tepat bagi pelanggar ketentuan.
%.
Menjalin hubungan dengan institusi lokal
bagi yang melakukan ketidakadilan dalam kemitraan.
bersama (standard
masyarakat
waktu, dll)
9 Pengrajin kurang memahami hak dan kewajibannya dalam hubungan kemitraan 9 Sebagai sarana untuk memperkuat hubungan antara pengrajin dengan kelembagaan di sekiiamya. 9 Mendukung aktivitas pengembangan usaha maupun modal social 9 Etika kemitraan yang dibentuk akan lebih mudah melembaga.
9 Melakukan
penyuluhan kemitraan untuk meningkatkan pemahaman dan integritas pengrajin terhadap kemitraan yang dijalankannya Keberadaan paguyuban dapat tersosialisasi dengan baik. *:*Terjalin hubunganbak dengan institusi lokal,
lnstansi Pendukung: Disperindag Dinas Koperasi&UKM LSM Fasilitator Pendamping bandar kerajinan Berkelanju tan pengrajin kecil buruh pengrajin tokoh a. Mulai masyarakat Maret pemerintahan 2007 Desa masyarakat umum lnstansi Pendukung :
seluruh komponen masyarakt sehingga menjadi niali yang disepakati bersama dan melembaga.
Bantuan dari disperindag dan dinkop UKM.
Sumbangan sukarela Bantuan dari disperindag dan dinkop UKM.
0%
Disperindag Dinas Koperasi& UKM I
1 I
Dilakukan pendataan terhadap komunitas pengrajin melalui paguyuban Dilakukan pelatihan dan sosialisasi kemitraan Dilakukan pendataan terhadap institusi lokal maupun di luaar Desa Cipacing yang memiliki kaitan dengan pengembangan usaha kerajinan. Melibatkan
institusi tersebut dalam pertemuan rutin atau dalam kegiatan bersama pengrajin. Melakukan sosialisasi eksistensi paguyuban pada seluruh anggota komunitas. f. Pendampingan
KOA, (~ola subkontrak dan Dagang umum)
*:
Pelaksanaan pendampingan dengan fasilitator dari LSM
OTeQadipengingkaran nilai-nilai kemitraan. *%Usahabesar dalam kemitraan seringkali melakukan eksploitasi
*:*
pengajin mematuhi etika kemitraan yang telah di buat.
- bandar kerajinan - pengrajin kecil - buruh pengrajin - tokoh
Mulai Februari
luran AnggOtal Peserta
2007
Sumbangan sukarela
masyarakat
- pemerintahan
-
Desa pemerintah kecamatan
dari
disperindag dan dinkop UKM.
lnstansi Pendukung: Disperindag Dlnas Koperasi&UK M LSM pendukung
-
-
-
I
Mengadakan sosiabais kemitraan bekerjasama dengan LSM yang concern di bidang UKM dan kemitraan. Mengajukan bantuan tenaga ahli pada Disperindag atau LSM AKATIGA 6 Mengundang fasilitator maupun pemerintah setempat dan instansi terkait dalam setiap pertemuan dan agenda kegiatan -
.:.
paguyuban. 6. Melibatkan dinas atau instansi terkait dalam pembentukan paguyuban maupun etika kemitraan.
Kegiatan
-
(what) a. Kemitraan di bidang Permodalan
Program E itivitas PengembanganUsaha lndikator ( Peiaksana Alasan
Rlncian Kegiatan *:*
lnformasi Fasilitas Kredit
(pola Subkontrak dan Dagang Umum)
b. Kemitraan di Bidang Pengadaan Bahan Baku loola subkontrak
9 Membangun
keriasama deiigan perhutani atau pengusaha kayu
n kayu 9 koloktif
(Why) f Pengrajin sering
O Kemudahan
mengalami kesulitan dalam penambahan modal O Kurangnya informasi dalam ha1 kredit dan akses modal f Kurangnya kemitraan dalam ha1 pennodalan di antara pengrajin. 9 Ketergantungan atas upah dan pekerjaan pada bandar
dalam mengakses sumber permodalan 9 Kerjasama dalam bidang permodalan meningat
+
kurangnya kerjasama dalam pengadaanbahan k k u sehingga harga bahan baku lebih mahal. *t. Kesulitan membeli bahan baku dalam jumlah yang sedikit.
(Who) bandar kerajinan pengrajin kecil b u ~ pengrajin h tokoh masyarakat pemerintahan Desa masyarakat umum lnstansi Pendukung :
I
Waktu
1
Biaya
I
Mekanisme (How)
Sumbangan sukarela
I
1
Bantuan dari disperindag dan dinkop
Pelaksanaan Arisan tiap kali pertemuan rutin pemberian inforrnasi fasilitas kredit pada saat pertemuan rutin dengan bekerjasarna dengan pihak perbankan dan dinas terkait.
Disperindag Dinas Koperasi& UKM Pihak Perbankm Kemudahan dalam pengadaan bahan baku 9 Kejasama dalam pengadaan bahan baku meningkat.
*:*
bandar kerajinan pengrajin kecil buruh pengrajin tokoh masyarakat pemerintahan Desa BUMD lnstansi Pendukung:
a. mulai april2007
luran Anggotal Peserta Sumbangan sukarela Bantuan dari disperindag dan dinkop ll V L l
Pemberian informasi mengenai sumber bahan baku. Mengadakan pengadaanbahan baku secara kolektif
I
UKM. c.Kernitraan di Bidang Pemasaran (diarahkan pada pola kemitraan dagang Umum)
9 Bandar menjadi satu-
standardisasi harga jual produk kerajinan
. :0
satunya penentu harga kerajinan 9 Terjadi persaingan yang tidak sehat dalam penentuan harga antar pengrajin. O Pengrajin kecil belum bisa mencapai pemasaranyang lebih luas.
+ 0istribusi
lnformasi pemasaran
*i. Kegiatan Promosi Bazar
dan
I
I i
I
d. Kernitraan di Bidang Pengetahuan dan Keterarnpilan (pola subkontrak dan dagang urnurn)
.?. Pelatihan kewirausahaan *:*
Pelatihan Manajemen sederhana
i
*:*
*:*
*:*
Tercapainya pemasaran produk secara merata dan meluas Terciptanya iklim persaingan yang sehat Meningkatn Ya hubungan kemitraan dalam bidang pemasaran pmduk
+:* Meningkatnya 9 pengrajin bslum keterampilan memiliki keterampilan dalam berwirausaha pada manajemen usaha 9 pengrajin seringkali pengrajin mengalami putus asa *:* Kualitas dan dalam menjalankan kuantitas kerajiian yang usahanya dihasilkan meningkat 8 Pengrajin
Perhutani bandar kerajinan pengrajin kecil buruh pengrajin tokoh masyarakat pemerintahan Desa masyarakat umum
a. mulai april2007
luran Anggotal Peserta Sumbangan sukarela Bantuan dari diiperindag dan dinkop UKM.
lnstansi Pendukung : Disperindag Dinas Koperasia
UKM Dinas Pariwisata
Bandar kerajinan pengrajin kecil buruh pengrajin tokoh masyarakat pemerintahan Desa lnstansi
a. pelatihan kewirausa haan pada Juni 2007 b. pelatihan n sederhan
luran Anggotal Peserta
Menentukan standar harga jual produk kerajinan *:* Melakukan kegiatan Kegiatan Promosi dan Dagang dalam bazaar atau exPo 6 Distribusi lnformasi dalarn ha1 pemasarandala m pertemuan rutin atau jadwal yang diagendakan kembali
*:*
9 Dilaksanakan *:*
Sumbangan sukarela
Bantuan dari disperindag dan dinkop
,,,
pelatihan kewirausahaan Dilaksanakan pelatihan manajemen sederhana
memiliki *:* keterampilan manajemen
Pendukung: lembaga pelatihan dan pendidikan (IKOPIN, UNPAD)
a pada Jcli 2007
UKM.
1
Tabel 15. Jadwal Rencana Kej a Pelaksanaan Kegiatan Program Jangka Pendek
)
No. ( Jenis Kegiatan
I I
I I
1
I
Pertemuan Rutin. Fowm Komunikasi
1
P E L A K S A N A A N
Tahun 2007
I
I
I
I
I
I I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I
I I
Etika Kemitraan
2. I
I
I
Sosialisasi Kemitraan
1 1 8.
I
I
Pendampingan I
i l l 1 1 1 1 1 : I
I
I
I
Sumber : Hasil Diskusi Kelompok dengan Stakeholder
I
I
I
I
I
I
I
Tabel 16. Jadwal Rencana Kerja Pelaksanaan Kegiatan Program Jangka Menengah
1 NO 1
I smt I I ~
I' I 2
Penguatan hubungan Kemitraan pada aspek 1 sosial 1 Pengembangan Aktivitas
I
WAKTU PELAKSANMN
Jenis Kegiatan
I
I
1
I
m ( smt t ~l ( smt2 1 Smt I I Smt2
I
I
I
I
I
I
I
Permodalan, pemasaran, bahan baku, Pendidikan dan pelatihan) Pendampingan
I I Sumber : Hasil Diskusi Kelompok dengan Stakeholder I
I
#
I
I
I
Rancangan program penguatan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di atas arahkan pada semua pola kemitraan yang ada baik itu pola kerjasama operasional, pola subkontrak, pola Dagang umum. Selain itu program ini diirancang dengan berdasar pada permasalahan dan potensi yang dimiliki oleh pengrajin. Permasalahan utama dalam hubungan kemitraan ini justru merupakan pernasalahan yang selama ini dianggap sepele oleh para pengrajin, yakni masalah yang berkaitan dengan modal social. Dalam proses merancang program pengembangan rnasyarakat ini pun pada awafnya masalah ekonorni dianggap paling penting oleh para pengrajin, namun pada dasamya permasalahan hubungan kemitraan yang berhubungan dengan aspek ekonomi yang dialami oleh pengrajin diawali oleh rendahnya modal social diantara rnereka yaitu rendahnya kepercayaan, sifat individualisme, serta tidak adanya forum komunikasi pengrajin. Selanjutnya gagasan pembentukan paguyuban atau kelompok pengrajin dianggap sebagai langkah awal yang tepat dalam proses pemecahan masalah sebab dengan adanya paguyuban akan memungkinkan terjalin hubungan social yang baik yang berlanjut pada hubungan kemitraan aspek ekonomi yang adil serta saling menguntungkan bagi pengrajin kayu ukir
dan hias di Desa Cipacing.
(
I
J
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1 Kesimpulan Berdasarkan pelaksanaan kajian pengembangan rnasyarakat yang dimulai dari pemetaan sosial hingga penyusunan program penguatan hubungan kernitraan sebagai program pengembangan rnasyarakat bagi pengrajin kayu ukir dan hias diperoleh kesirnpulan sebagai berikut: 1. Pola kemitraan yang terjalin antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa
Cipacing meliputi tiga pola yaitu pola Kerjasama Operasional, pola Subkontrak dan pola Dagang Umum. Hubungan kemitraan yang tejalin antar pengrajin Ji Desa Cipacing khususnya dalarn aspek sosial dan ekonomi merniliki beberapa permasalahan yang menghambat perkembangan usaha pengrajin. Dalam hubungan kemitraan tersebut bandar kerajinan rnemegang peranan sentrai dalam usaha kerajinan serta memegang peranan tertinggi dalam penentuan etika kemitraan yang berlaku sehingga menirnbclkan ketidakadilan dalam penentuan jumlah upah dan w k t u pembayaran upah. Hal ini rnenggambarkan rendahnya posisi tawar pengrajin kecil dan bumh pengrajinterhadap bandar. a. Aspek sosial dalam hubungan kemitraan yang terjalin adalah: Jejaring kerja yang terjalin rnerupakan sistem pembagian kerja dari bandar kerajinanterhadap buruh pengrajin dan pengrajin kecil dengan pola kerjasama operasional, subkontrak dan dagang umum. Komunikasi yang terjalin antar pengrajin kurang lancar terutama antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Hal ini rnenyebabkan pengrajin Desa Cipacing cenderung individualis dan berjalan sendiri-sendiri dalam usaha dan kesehariannya. Kepercayaan yang tejalin antar pengrajin hanya terbatas pada pembagian pekerjaan dan tidak terdapat kepercayaan pada bidang permodalan. Kepercayaan dalarn bidang permodalan hanya terdapat dalam pola kemitraan kerjasama operasional namun dalam ha1 ini pengrajin kecil dan buruh berada dalam ketidakadilan. Etika kemitraan yang terbenhik adalah etika hegemonik pada pola Kerjasama Operasional, di mana kegiafan produksi terpusat pada bandar kerajinan dan cenderung kurang adil bagi pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Seperti dalam penentuan harga, penentuan waktu
pembayaran, pernbagian pekerjaan, dll. Pada pola Subkontrak etika yang ada adalah etika komersialism, sedangkan pada pola dagang umum terjadi etika pertukaran jual beli atau resiprositas. b. Hubungan kemitraan pada aspek ekonomi yang terjalin adalah: Pengrajin lebih memilih bermitra dalam bidang permodalan dengan orang atau kerabat yang berasat dari luar wilayah Desa Cipacing. Hubungan kemitraan dalam bidang permodalan secara internal terjalin hanya pada pola kemitraan kerjasama operasional. Hubungan kemitraan dalarn pengadaan bahan baku belum terjalin secara kolektif. Pengrajin masih berjalan sendiri-sendiri dalam pengadaan bahan baku. Kemitraan pada bidang pengadaan bahan baku hanya terjadi pada pola kemitraan kerjasama operasional. Hubungan kemitraan dalam pemasaran terjalin antara pengrajin kecil dengan bandar kerajinan, namun dalam semua pola kemitraan bandar memegang peranan dalam penentuan harga. Hubungan kemitraan secara eksternal lebih nyata terlihat karena beberapa pengrajin telah mampu memasarkan produknya secara luas. Dalam pentsasaran sering tejadi persaingan yang tidak sehat yaitu bantingmembanting harga. Hubungan kemitraan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan secara informal berjalan lancar. Setiap pengrajin tidak keberatan untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan dalam membuat kerajinan. Pendapatan pengrajin kecil dan buruh pengrajin cenderung kecil dan sangat berbeda jauh dengan bandar kerajinan. Hal ini menyebabkan terjadinya kesenjangan secara ekonomi dan sosial antar pengrajin. Kesenjangan terjadi terutama dalam pelaksanaan pola kemitraan kerjasama operasional. Faktor intemal yang mempengaruhi terjalinnya hubungan kernitraan antar pengrajin adalah motivasi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta pendidikan yang rendah terutama yang dimiliki pengrajin kecil dan buruh pengmjin sehingga mereka cenderung tidak memiliki pilihan selain menerima ord-yan dari bandar kerajinan meskipun dengan upah yang rendah dan telat dalam pembayaran. Faktor ekstemal yang mempengaruhi terjalinnya hubungan kemlraan antar pengrajin ada:ah kondisi makro ekonomi yaitu
ditandai dengan naik atau turunnya permintaan dari pihak eksportir, pemilik showroom di tempat pariwisata dan lain-lain. Serta kebijakan lokal yaitu upaya untuk mengurangi pengangguran maka dilakukan pembagian pekerjaan dari pengrajin yang memiliki order pada para penganggur. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis masalah yang dilakukan bersamasama stakeholder maka perrnasalahan yang dialami dalam hubungan kemitraan ini adalah belum adanya etika kemitraan yang adil, belum adanya paguyuban dan perkembangan usaha yang terhambat akibat kurangnya modal, serta kurangnya kerjasama akibat rendahnya kepercayaan dalam ha1 pengadaan modal, pengadaan bahan Saku, dan pemasaran. Program yang disusun sebagai program pengembangan masyarakat adalah Program Penguatan Hubungan Kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias. Program ini berupaya memperkuat hubungan yang telah ada serta berupaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh pengrajin. Program yang telah berhasildisusun bersama-sama masyarakat yaitu:
a. Penguatan Modal Sosial meliputi kegiatan: Pembentukan Paguyuban Forum Komunikasi, Peningkatan Kepercayaan (Pengajian, An'san)
Etika kemitraan; Reformasi Etika Hegemoni pola KOA Pelatihan dan sosialisasi kemitraan Pendampingan b. Pengembangan Usaha, meliputi kegiatan: Hubungan kemitraan di bidang Permodalan, meliputi lnformasi Fasitii~sKredit Hubungan kemitraan di bidang bahan baku Hubungan kemitraan di bidang pernasaran (Menentukan standar harga jual produk kerajinan, melakukan kegiatan promosi dan bazar, rnelakukan distribusi lnformasi Pemasaran) Hubifngan kemitraan
di
bidang
pendidikan dan
Pelatihan
(melaksanakan Pelatihan Kewirausahaan dan Pelatihan Manajemen Sederhana)
7.2. Rekomendasi
Dalam rangka penguatan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing, dalam kajian ini telah disusun rancangan Program secara partisipatif. Untuk mendukung terlaksananya program direkomendasikan hal-ha1 sebagai berikut: 1. Bagi Pengrajin Kayu Ukir dan Hias
o Menghubungi Dinas dan instansi terkait; Dinas Perindustfin dan
Perdagangan dan LSM, untuk melakukan kerjasama dalam bidang
pendampingan
kemitraan.
Pendampingan
akan
mengurangi kemungkinan terjadi penyimpangan dalam kemitraan yang dijalankan. o Memanfaatkan potensi yang dimiliki terrnasuk potensi lokal yang
ada di lingkungannya sebagai upaya mengoptimalkan aspekaspek: perluasan jaringan pemasaran, perluasan jaringan kerja, permodalan, bahan baku pengetahuan dan keterampilan. Bagi Pemerintah Kelurahan dan kecamatan o
Berpartisipasi aktif dalam meningkatkan pemberdayaan pengrajin
kayu ukir dan hias dalam upaya menumbuhkan motivasi pengrajin serta mengembangkan potensi dan usahanya melalui pengelolaan usaha yang baik, memiliki pola fikir ke depan sehingga mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Partisipasi aktif tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan peran tokoh-tokoh masyarakat dan kelembagaan lokal. o
Memberikan kemudahan akses terhadap program-program pengembangan masyarakat mengingat Desa Cipacing jarang tersentuh oleh program-program pemerintah.
o Memberikan perhatian kepada pengrajin dengan mengadakan kunjungan lapangan, pertemuan rutin dan berkala serta membantu
penyelesaian
masalah
mereka
melalui
mengoptimalkan sumberdaya lokal. 3. Bagi Pemerintah atau lnstansi terkait (Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan
o Meningkatkan bimbingan teknis dan pendampingan petugas
profesional dalam upaya pengembangan usaha dan kemitraan pengrajin. o Mendukung dan memfasilitasi realisasi program partisipatif melalui
program-program kerja instansi terkait yang relevan dengan program-program pengrajin.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto, 2003, Pemberdzyaan, Pengembangan Masyarakat, dan intervensi Komunitas, LP. FE-Universitas Indonesia Baharsyah, Justika, 1999, Memju Musyarakat Yang Berketahanan Sosial, Pelajaran dari Krisis, Edisi 1, Departemen Sosial R1. Bobo, Julius, 2003, Transformi Ekonomi R a w , Jakarta : Pustaka Cidesindo. Cary, Lee J., 1970, Communip Development As a process, Columbia: University of Missouri Press Chotim, Ema Ermawati, 1996, Disharmoni Inti Plasma dalam Pola PIR, Bandung: Akatiga. Dharmawan,Arya Hadi, 2000, Poverty Powelessness, and Poor People Empowerment: A ThinkingPiece Derivedpom an Indonesian Case, Paper dalam Workshop on Rural Institutional Empowerment held in Indonesian Consulate General of The Republic of Indonesia. Dhannawan, 2002, Kemiskinan Kepercayaan (The Poverty of Tmt), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial, Makalah dalam Seminar dan Kongres nasional IV Ikatan Sosiologi Indonesia Agustus 2002. Hasibuan, Malayu SP (2001), Organismi dan Motivari, Jakarta : PT. Bumi
Aksara Hermawati, Istiana, 2002, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dclam Diskursus Sosial Capital dalam Idormaxi kajian Pennasalahan sosial Vol. 7. Jakarta : pusat Penelitian Permasalahan Kesejahteraan Sosial. Hikrnat, Hany, 200 1. SfraregiPemberdayaan Masyarakat, Bandurrg :Humaniora Utama Press
Ife, Jim. 1995. Community Development : Creating Community alternatives Vision, analysis and Practice. Melbourne: Longman. Ife, Jim. 2000. Community Development :Cornmunit-based alternatives in age of globalization. Melbourne: Longman. Kartasasmita, Ginandjar., 1 996, Pemberdayaan Masyarakut Komep Pembelajai-an yang Berakar pada Masyarakat, Bapenas, jakarta. Materi Bintek Kemitraan Otonomi daerah, Kerjasama Antar Daerah dengan Badan Usaha MiIik Negara atau Daerah, Swasta dan Masyarakat, 2005
Maulani Liena, 1999, Industri Kecil dan permasalahannya, Yayasan produktivitas Indonesia Moleong, Lexy, J., 2002. Metode Penelitian Kualitatg Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Rubin, Herbert J.; Irene S. Rubin, 1992, Community Organizing and Development. 2nd.ed., NewYork : Macmillan Publishing Company. Rustiani, Frida dan Maspiyati, 1996, Usaha Rakyat dalam Pola Disentralisasi Produk Subkontrak, Bandung :Akatiga. Siagian, 1989, Pembangunan Ekonomi &am Cita-cita dan Realita, Bandung: Citra Adhitya Bakti. Sitorus, Felix M.T., Ivanovich A., 2005, Metodologi Kajim Komunitas, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB dan Pascasajana IPB. Suharto, 2005, Membangun Masyarakat Memberdbyakan Rakyat, Bandung : Refika Aditama Sukoco, Dwi Heru, 1991, Praktek Pekqiaan Sosial dan Proses Pertolongannya, Bandung :Koperasi mahasiswa STKS. Sukoco. 2006, Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial : Kemitraan ahlam Pelayanan sosial, Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, Departemen Sosial RI Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi, 1974, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Sumardjo dan Saharudin, 2005, Metode-metode Partisipatif Pengembangan Masyaakat, bogor :Program Pascasarjana IPB
dalam
Surnardjo,dkk 2001, Kemitraan ahlam Pengembangan Ekommi Lokal, Yayasan ~ i t r aPembangunan Desa-Kota dan Bussiness Innovation Center of Indonesia. Syaifudin, Hatifah, Dedi Haryadi dan Maspiyati,l995, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, Bandung :Akatiga Syaukat, Yusman, dan Sutara Hendra Kusumah, 2005, Pengembangan Ekonomi Lohl, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian IPB dan Pascasarjana IPB.
Tonny N., Fredian dan Barnbang S. Utomo. 2005. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial: Modul SEP - 51 C. Bogor : Departemen Ilmu-llmu Sosial Ekonomi - IPB Widyaningrum, Nurul, 2003, Ehploitasi terhadap Pengusaha Kecil melalui rantai Hulu-Hilir, Jumal analisis Sosial Vol 8. Bandung : Akatiga Widyaningrum, dkk, 2003, Pola-pola Ekqdoitasi terhadap Usaha kecil, Bandung :Akatiga
Data Perkembangan Desa Cipacing 2005
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. JADWAL PENGUMPULAN DATA NO
HarilTanggal Waktu
1.
Senin 3 Juli 2006
09.0011.OO
11.0014.00
2.
Selasa, 4 Juli 09.0011.OO 2006 13.0014.30 15.0016.00
3
09.0011.OO
Rabu, 5 Juli 2006
2 3.0014.30
1 4
Kamis, 6 Juli 2006
15.00-
1600
09.0011-00
Rencana Kegiatan
Rincian Kegiatan
-Menjelaskan maksud dan tujuan praktek lapangan - meminta ijin melakukan PL - wawancara tentang gambaran umum pengrajin, serta potensi dan perrnasalahannya -menjelaskan Menemui Tokoh Tujuan, meminta Pengrajin ijin wawancara tentang gambaran umum pengrajin wawancara tentang pola hubungan pengrajin, serta faktor internal dan eksternal Wawancara Dusun 1 Pengamatan Responden 1 langsung (buruh pengrajin) Wawancara Dusunl Pengamatan Responden 2 langsung (buruh pengrajin) Wawancara Dusunl (Bandar Kerajinan) Pengamatan langsung Wawancara Dusunl (Bandar Kerajinan) Pengamatan langsung Wawancara Dusunl Pengamatan Responden 5 tangsung (Pengrajln Kecil) menjelaskan Menemui Tokoh Tujuan, Agama wawancara tentang gambaran umum pengrajin wawancara tentang hubungan Kemitraan pengrajin Wawancara Dusun 2 Pengrajin Kecil Pengamatan Langsung
Menemui Kepala Desa Cipacing
Rekaman Catatan harian Tape recorder
Catatan harian Tape recorder
sda sda sda sda sda sda
sda
11.0012.00
Dusun 2 Pengrajin Kecil
5
Jum'at, 7 Juli 2006
15.0016.30
Dusun 1 Buruh Pengrajin
6
Selasa, 11 Juli 2006
09.0010.30
Dusun 2 Buruh Pengrajin
11.0012.30
Dusun2 Buruh Pengrajin
09.0011.OO
Dusun 2 Pengrajin Kecil
11.3012.30
Dusun 2 Buruh Pengrajin
14.3016.00
Dusun 2 B u ~ Pengrajin h
7
Kamis, 13 Juli 2006
8
Jum'at, 14 Juli 2006
09.0011.OO
Dusun 2 Buruh Pengrajin
9
Rabu, 19 Juli 09.0011.OO 2006
Dusun 1 Buruh Pengrajin
11.0012.15
Dusun 1 Pengrajin Kecil
Kamis,20 Juli 09.0011.OO 2006
Dusun 1 Pengrajin Kecil
11
12
13
16.0017.30
Dusun 1 Tokoh Masyarakat
09.0010.30
Dusun 1
11.0012.00
Dusun 1 Buruh Pengrajin
13.0014.00
Dusun 2 B u ~ Pengajin h
Senin, 24 Juli 09.0010.30 2006
Dusun 2 Pengrajin Kecil
11.0012.00
Dusun 2 Pengrajin KecCl
Jum'at, 21 Juli 2006
Wawancara Pengamatan Langsung Wawancara Pengamatan Langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung menjetaskan Tujuan, wawancara tentang Rencana FGD Wawancara Pengamatan lanasuna Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan langsung Wawancara Pengamatan
sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda sda
sda sda sda sda sda
langsung Wawancara Dusun 1 14.30Pengamatan Buruh Pengrajin 16.00 langsung Diskusi kelompok Sosialisasi kegiatan 09.00Selasa, 25 14 bersama tokoh, FGD pada Tokoh 11.OO Juli 2006 kadus dan Masyarakat dan beberapa aparat Desa pengrajin kecil Sosialisasi FGD 15.00pada Kadus II 16.00 Sosialisasi FGD 16.00Pada Kadus I 17.00 Sosialisasi melalui Persiapan FGD Rabu, 26 Juli 09.0015 undangan 11.OO 2006 *:* Membahas Pelaksanaan FGD 13.00Sabtu,29 16 potensi dan 17.30 Juli 2006 permasalahan *:* Perencanaan program *:* Idem - 1 7 - 0 - - 1 4 . 0 0 Rencana - ~ *:* Dilaksanakan Pelaksanaan FGD 17.30 Juli 2006 bila diperlukan II
sda sda
sda sda sda sda
sda
-
LAMPIRAN 2. PANDUAN PENETAPAN RESPONDEN DAN INFORMAN Responden : Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di desa Cipacing
=
Pengrajin Kecil
: 8 orang
Buruh Pengrajin : 12 orang Bandar Kerajinan : 3 Orang lnforrnan : 8
Kepala Desa
: 1 orang
=
: 1 orang Tokoh Pengrajin Tokoh Masyarakat Desa lainnya : 1 orang
=
Pernerintah Kecamatan
: 1 Orang
Pengurus KMUC
: 1 Orang
Kriteria Responden dan lnforman Responden dan lnforman : 1. Bandar Kerajinan, Buruh Pengrajin serta Pengrajin Kecil.
Responden dapat dibedakan berdasarkan karakteristik masing-masing antara lain: dari skala usaha, posisi dalam rantai produksi dan tingkat ekonomi yang dimiliki. Dalam hat ini dipilih 12 Orang Buruh pengrajin yang tinggal di desa Cipacing dengan kriteria orang yang rnengejakan komponen-komponen kerajinan sebelum diraki menjadi kerajinan siap jual. Jumlah buruh pengrajin sebanyak 12 orang/ paling banyak karena komposisi pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing jumlah paling banyak adalah buruh pengrajin. Dipilih 8 orang pengrajin kecil karena populasi terbanyak kedua setelah buruh pengrajin adalah pengrajin kecil. Pengrajin kecil memiliki perbedaan mampu membuat kerajinan sendiri dan mampu memesarkan hasil kerajinan sendiri namun dengan sksla kecil. Hanya terdapat 3 pengrajin yang secara mufakat disebut sebagai bandar oleh masyarakat sebab populasinya sangat kecil. Penentuan jumlah infonnan maupun respotiden secara purposive, sebanyak 23 orang responden dipilih karena karakteristiknya bersifat homogen. 2. Tinggal di wilayah desa Cipacing 3. Memproduksi kerajinan kayu ukir dan hias
lnforrnan : lnforman dipilih berdasarkan kriteria: Tokoh masyarakat, dsb,. Yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah dan perkembangan usaha kerajinan kayu ukir dan hias.
LAMPIRAN 3. PEDOMAN WAWANCARA BAG1 BURUH PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS DAN PENGRAJIN KEClL 1. Identitas Responden
a. Nama b. Umur c. Jenis Kelamin d. Pendidikan e. Status 2. Karakteristik Usaha
a. b. c. d. e. f.
Sejak kapan melakukan usaha di bidang kerajinan kayu ukir dan hias? Alasan menjadi pengrajin Produk spa sajakah yang dihasilkan? Apakah pekejaan ini melibatkan anggota keluarga? Apakah pendapatan dari kerajinan dapat mernenuhi kebutuhan sehariz? Bagaimana perkembangan usaha sampai saat ini, cenderung naik atau menurun?
3. Pola Hubungan Pengrajin Kayu Ukir Dan Hias Di Desa Cipacing Aspek sosial : *% Jejaring Kerja 1. Siapa sajakah yang pernah diajak kerjasama dalam usaha ini? Siapa sajakah yang dilibatkan dalam pengerjaan komponen kerajinan? a. Sendiri tidak melibatkan siapapun b. anggota keluarga c. tetsngga
Apakah keluarga di~ibatkandalam usaha ini? Apakah pernah melibatkan pihak luar selain anggota keluarga Pemahkah bekerja sama dengan pengrajin di desa lain? Jika pemah dalam bidang apa saja? Dan dengan siapa? Bagaimana kejasama dilakukan antar pengrajin di desa ini? Dalam ha1 apa saja? Bagaimana kejasama dilakukan dengan bandar? Dalam ha1apa saja? 10. Menurut anda kira-kira siapa saja atau lembaga apa saja yang bisa diajak untuk menjadi rnitra usaha? 11. Apakah anda sering bekerjasama dengan pihak lain, diluar atal-I di dalam kornunitas pengrajin cipacing?, 12. Jika iya bagaimana? 13. Hambatan apakah yang dihadapi untuk bekejasama dengan pihak lain? 14. Hambatan apa yang dihadapi untuk bekerjasama dengan sesama pengrajin di desa Cipacing?
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Masalah apakah yang dirasakan dalam jejaring kerjal kerjasama tersebut? a. tidak sesuainya upah b. keterlambatan pembayaran c. tidak adllnya pembagian kerja Komunikasi
*:*
1. Apakah anda sering melakukan komunikasi tentang masalah di luar
kerjasama ekonomi dengan sesama pengrajin? 2. Apakah an& sering melakukan komunikasi tentang masalah di luar kerjasama ekonomi dengan bandar? 3. apakah sesama pengrajin di desa ini memiliki kegiatan bersarna? 4. Apakah terdapat paguyuban pengrajin? 5. Jika tidak, mengapa? 6. Jika iya, apakah paguyuban tersebut berjalan akti dan memberikan manfaat bagi anda? 7. 6agaimanacaranya untuk menyampaikanaspirasi anda sebagai warga? 8. Bagaimana caranya anda menyampaikan aspirasi anda sebagai pengrajin? 9. Apakah anda sering berkomunikasi dengan sesama pengrajin? 10. Apakah pengrajin memiliki forum khusus untuk berkomunikasi? 11. Topik Apakah yang sering dikomunikasikan ? 12. Apakah pembicaraan tentang diluar bisnis brut dibicarakan? 13. Apakah bandar turut peduli apabila anda membicarakan persoalan di luar bisnis/rnisalnyajika anda mengalami kesulitan modal? 14. Apakah Anda mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan sesama pengrajin? 15. Apakah anda mengalami kesulian untuk berkomunikasi dengan bandar? 4. masalah apa sajakah yang sering dikomunikasikan dengan sesama pengrajin? a. masalah pribadi b. seputar pekerjaan c. masalah umuml kemasyarakatan (lain-lain) 2. jika anda mengalami kesulitan modal, dengan siapakah anda biasanya mengkomunikasikan ha1tersebut a. dengan bandar b. dengan sesama pengrajin c. dengan orang di luar desa Kepercayaan a. Bagaimana unluk memulai suatu kerjasama diantara pengrajin? b. Atas dasar apakah kerjasama dilakukan? c. Apakah faktor kedekatanlkerabat berpengaruhlmenentukankerjasama yang dijalin? d. Apakah anda percaya bahwa mitra anda tidak akan berbuat curang? e. Apakah anda mempercayai mereka sebatas hubungan kej a atau lebih dari hubungan kerjasama? f. Apakah pengmjin lain yang diajak kerjasama pernah mengecewakan anda?jika iya, dalam ha1apa? g. Apakah anda percaya bahwa bandar menentukan harga dengan adil?
9
I . atas dasar apakah anda mempercayai pengrajin lain sebagai mitra kerja? a. kekerabatan b. kualitas pekerjaan c. kesetiakawanan
2. kepercayaan Dalam ha1 apa sajakah yang dimiliki antar pengrajin sebagai mitra kerja? a. kepercayaandalam pembuatan kerajinan b. kepercayaan daiam modal c. kepercayaan dalam pernasaran d. lain-lain
...........
*:*
Etika Kemitraan a. apakah sesama pengrajin memiliki aturan khusus yang disepakati bersama dalam menjalankan produksi? b. Jika ya, seperti apa? c. Apakah aturan tersebut tertulis atau tidak? d. Bagaimana aturan tersebut dijalankan? e. Siapakah yang membuat aturan tersebut? f. Sanksi apakah yang akan diberikan apabila ada yang tidak menaati peraturantersebut? g. Siapakah yang menentukan harga jual untuk suatu produk tertentu? h. Apakah harga yang ditentukan tersebut memenuhi harapan anda? i. Jika harga tidak cocok apakah pengrajin kecillburuh memiiiki kesempatan untuk negosiasi harga? j. Apakah anda pernah merasa dirugikan dengan ketentuan harga tersebut? k. Apakah di daerah ini terdapat persaingan antar pengrajin? I. Jika iya, persaingan seperti apa? m. Apakah terdapat aturan untuk mengatasi persaingan tersebut? n. Apakah anda pemah mengalami pembayaranterlambat dari bandar? o. Jika iya, Apa yang anda lakukan? p. Apakah dmntara para pengrajin terdapat semangat silih asah, silih asih dart silih asuh? q. Apa hambatan pengrajin untuk saling bekerjasama? r. Apa hambatan pengrajin untuk bersatu sebagai paguyuban?
1. siapakah yang menentukan besarnya upah kerja masing-masing komponen? a. Bandar b. Peke* (buruh) c. kedua belah pihak
Aspek ekonoml : *>
a. b. c. d.
Modal Dari mana anda mendapatkan modal untuk melaksanakan usaha ini? Pemahkah ada bantuan modal dari pihak lain?jika iya dari mana? Pemahkah anda mendapat bantuan dari mitratbandar? Jika iya seberapa besar?
e. Apabila anda kekurangan modal, apakah bandar sebagai kolektor akan membantu? f. Jika anda mengalami kesulitan keuangan kemana anda biasanya meminjam uang? g. Apakah bandar akan membantu permodalan atau kesulitan ekonomi anda? h. Apakah sesama pengrajin biasanyasaling membantu apabila ada kesulitan modal? i. Bagaimana pengembalian dilakukan? j. Apa yang menjadi dasar bandar mau meminjamkan modalluang? 1. Apabila anda mengalami kekurangan modal siapakah yang sering anda mintai pertolongan? a. sesama pengrajin b. saudaral kerabat c. bandar
2. Dengan siapakah biasanya anda bekerjasama dalam pengadaan modal? a. kerabat b. sesama pengrajin c. bandar kerajinan d. pihak banwrentenir Bahan Baku Dari mana anda mendapatkan bahan baku? Apakah sesama pengrajin bekejasama dalam pengadaan bahan baku? Jika iya, dengan siapa anda berrnitra dalam pengadaan bahan baku? Jika tidak mengadakan kerjasama dalam pengadaan bahan baku, mengapa? e. Pihak mana saja yang biasa diajak bermitra dalam pengadaan bahan baku? f. Apakah tejadi kejasama dalam pengadaan bahan bakud engna sesama pengrajin? g. Apakah bandar tumt membantu dalam pengadaan bahan baku?
*$
a. b. c. d.
1. Dengan siapakah biasanya anda bekerjasama dalam pengadaan bahan baku a. sesama pengrajin b. bandar c. pihak luar -3
a. b. c. d. e. f.
Pemasaran Kemanakah anda biasanya memasarkan kerajinan yang anda produksi? Apakah pihak mitra membantu pemasaran? Apakah barang yang dibeli oleh pihak mitra dibayar kontan? Siapakah yang biasanya menentukan pesanan? Pernahkah ada pembayaran yang macet dari pihak mitralbandar? Jika iya, bagaimana anda mengatasi ha1tersebut?
Pengetahuan & keterampilan a. Jika ada model baru apakah anda dan pengrajinlain akan saling berbagi kemampuan membuat kerajinan tersebut? b. Apakah pihak bandarlmitra pemah mengajari membuat kerajinan pada pengrajin di desa ini? c. Adakah kerjasama untuk mengadakan pelatihan kerajinan atau kewirausahaan antar pengrajin? d. Apakah anda dan pengrajin lain pemah mendapatkan pelatihan dari pihak lain? e. Jika iya, dari siapa dan kapan?
*%
*:*
Pendapatan a. Bagaimana standar harga yang ditetapkan? b. Siapa yang biasanya menentukan harga jual? c. Jika bandar memperoleh keuntungan apakah upah pembuatan kerajinan akan naik? d. Apakah harga ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama dengan pengrajin lain? e. Apakah memungkinkanjika buruhlpengrajinkecil menentukan harga juaymenaikan harga? f. Apakah pendapatanyang selama ini dihasilkan memenuhi kebutuhan hidup anda? g. Apakah anda puas dengan upah yang selama ini berlaku?
Topik : Faktor internal dan Ekstemal yang mempengaruhi hubungan kemitraan di desa Cipacing. Faktor internal *:* Sejarah Usaha Kerajinan a. Tahun berapa usaha kerajinan di desa ini berjalan? b. Siapa yang mempelopoii usaha kerajinan ini? c. Bagaimana perkembangan pengrajin di desa sejak berdiri, ini meningkat atau menurun? d. Apakah upaya yang dilakukan oleh pengrajin Cipacing untuk mengembangkan usahanya? e. Bagairnana kerjasama yang dilakukan antar pengrajin desa Cipacing. f. Apakah persaingan yang terjadi bisa dikatakan sehat atau tidak sehat? Sumber Daya a. Bagaimana sumber daya manusia pengrajin desa cipacing? b. Berapa orang tenaga kerja yang biasanya dilibatkan dalam operasional produksi? c. Apakah sumber daya alam mendukung usaha mereka? d. Darimana pengrajin mendapatkan keterampilan membuat kerajinan? e. Ragaimana biasanya pengrajin menguasai cara membuat kerajinan yang
*:*
baru?
+
*:*
Struktur Sosial Pengrajin a. Siapakah tokoh pengrajin yang paling disegani? b. Atas dasar apa tokoh tersebut dihorrnati? c. Bagaimana klasifikasi pengrajin di desa ini? d. Siapakah yang menduduki sebagai pengrajin paling sukses? e. Siapakah yang berada di tengah? f. Siapakah yang berada pada lapisan paling bawah? g. Atas dasar apakah lapisan tersebut terbentuk? h. Apakah interaksi antara ketiganya bisa terjalin dengan baik? i. Apakah hambatan untuk berinteraksi diantara ketiganya? j. Apakah diantara pengrajin kecil, buruh pengrajin dan bandar kerajinan terdapat perbedaan tingkat kesejahteraan? k. Jika iya bagaimana menurut anda?
Faktor eksternal Makro Ekonomi a. Bagaimana dampak krisis ekonomi bagi pengrajin? b. Bagaimana pengaruh terhadap permintaan pemasaran? c. Fenomena apa yang biisanya mendorong permintaan terhadap kerajinan menjadi naik? d. Fenomena apa yang biasanya mendorong permintaan terhadap kerajinan menjadi turun? e. Apakah kerjasama meningkat atau menurun ketika krisis ekonomi terjadi? f. Jika meningkat dalam aspek apa? g. Jika menurun dalam aspek apa? *:*
Kebijakan a. Adakah program pemerintah yang mendorong perkembangan bagi industri kerajinan cipacing? b. Jika iya, apa? c. Menurut pendapat anda, jika tidak, mengapa? d. Apakah pemerintah desaipusat pernah berinisiatif untuk menghimpun seluruh pengrajin desa cipacing? e. Jika iya, apakah manfaatnya? f. Jika tidak apa penyebab pemerintah desalpusat tidak mengeluarkan kebijakan apapun? g. Menurut pendapat anda kebijakan atau program yang seperti apa yang cocok untuk pengrajin di wilayah ini?
160 LAMPIRAN 4. FOTO-FOTO KOMUNITAS PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS
kecil kayu ukir dan hias
pengrajin kecil kayu ukir dan hias
dengan pola Kemitraan Kerjasama Operasional
seorang bandar kerajinan
buruh pengrajin kecil kayu ukir dan hias