PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
KATARINA RAMBU BABANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN TENTANG TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir yang berjudul : Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional, Studi Kasus di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan atau dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah dinyatakan secara jelas, dalam teks maupun Daftar Pustaka di bagian akhir tulisan ini.
Bogor, Mei 2008
Katarina Rambu Babang Nrp.I.354060165
ABSTRAK KATARINA RAMBU BABANG, Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional (Studi Kasus di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur). Dibimbing oleh NURMALA K. PANJAITAN dan SAHARUDDIN. Kemiskinan merupakan masalah yang terus menerus diupayakan penanganannya, namun secara nyata perubahan tersebut membutuhkan strategi yang tepat, menyeluruh dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Salah satu upaya strategis dalam menjawab masalah ketidakberdayaan dan kemiskinan masyarakat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan memungkinkan terjadinya peningkatan kemampuan masyarakat dalam berperan untuk menjangkau sumber daya disekitarnya. Peran masyarakat adalah partisipasi yang dapat terwujud melalui pemberdayaan yang disesuaikan dengan potensi lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Di desa Hambapraing, terdapat dua program pemberdayaan yang sedang berproses dalam kehidupan masyarakat, yakni Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM). Kedua program tersebut melakukan bantuan modal bagi pengembangan usaha kerajinan tenun ikat melalui kelompok usaha. Pembentukan kelompok yang sudah dilakukan masing-masing program menimbulkan perbedaan dalam perkembangannya, sehingga terdapat kelompok yang aktif, kelompok kurang aktif, dan kelompok tidak aktif lagi. Hal ini ditinjau dari tiga yakni, aspek-aspek kekuatan kekuatan dalam kelompok, keragaan anggota, dan pengembalian modal. Secara umum kelompok pengrajin mengalami bebarapa masalah dalam proses kerja atau usahanya, yakni, 1) Rendahnya kerjasama antar anggota dalam kelompok dan Rendahnya perasaan berkelompok 2) Rendahnya kerjasama antar kelompok, 3) Keterbatasan pasar, 4) Rendahnya ketrampilan dasar dan penguasaan teknik yang baru, 5) Rendahnya motivasi berusaha 6) Kurang mampu mengelola modal, 7) Keterbatasan modal usaha. Berdasarkan masalah-masalah tersebut, maka dibutuhkan alternatif pemecahan secara partisipatif sesuai potensi yang dimiliki. Langkah awal dilakukan dengan mengidentifikasi stakeholder yang dapat berperan dalam merancang dan melaksanakan program. Program yang dirancang adalah penguatan kelompok yang dilakukan dalam kelompok yang sudah ada, maupun langkah pengorganisasian melalui pembentukan kelompok pengrajin tingkat desa. Program penguatan kelompok meliputi, pertemuan atau rapat rutin, pembentukan kelompok pengrajin tingkat desa, promosi dan pemasaran, produksi bersama, pelatihan ketrampilan dasar dan teknik yang baru, pelatihan pengelolan modal, pendampingan dan sosialisasi, serta kredit lunak. Kegiatan ini akan berlangsung melalui kerjasama semua stakehoder, sesuai tujuan yang diharapkan yaitu pemberdayaan pengrajin.
Kata Kunci : dinamika kelompok, penguatan kelompok, stakeholder, pemberdayaan pengrajin
RINGKASAN KATARINA RAMBU BABANG, Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional (Studi Kasus di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur). Dibimbing oleh NURMALA K. PANJAITAN dan SAHARUDDIN. Kemiskinan merupakan masalah yang terus menerus diupayakan penanganannya, namun secara nyata perubahan tersebut membutuhkan strategi yang tepat dan menyeluruh serta berkelanjutan yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Salah satu upaya strategis dalam menjawab masalah ketidakberdayaan dan kemiskinan masyarakat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat akan memungkinkan terjadinya peningkatan kemampuan masyarakat dalam berperan untuk menjangkau sumber daya disekitarnya. Peran masyarakat adalah partisipasi yang dapat terwujud melalui pemberdayaan yang disesuaikan dengan potensi lokal baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pengembangan komoditas lokal diharapkan dapat membantu terlibatnya masyarakat dalam gerakan membantu dirinya sendiri (self help) yakni seperti usaha ekonomi produktif yang berbasis kerakyatan. Demikian halnya dengan pengembangan usaha kerajinan tenun ikat di Desa Hambapraing. Tenun ikat adalah salah satu komoditas lokal yang menjadi sumber penghasilan sebagian besar warga (30 persen dari total penduduk), selain hasil perkebunan, peternakan, dan kelautan. Keterbatasan usaha kerajinan banyak menghadapi masalah seperti layaknya juga dialami oleh usaha kecil lainnya seperti modal usaha, kendala pasar, hingga kemampuan dan ketrampilan dalam melakukan usaha. Pengembangan usaha kerajinan dilakukan oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM) melalui bantuan modal usaha bergulir bagi kelompok-kelompok usaha yang dibentuk. Kedua program tersebut, melakukan usaha pemberdayaan pada tahap pengguliran modal saja, sedangkan belum berlanjut pada pengembangan usaha yang dapat mendukung keberdayaan pengrajin sekaligus pertumbuhan usaha kerajinan sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan yang dialami masyarakat. Kajian ini merupakan studi kasus pada kelompok pengrajin untuk mengetahui dinamika kelompok dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Teknik yang digunakan dalam kajian ini adalah wawancara, studi dokumen, observasi, dan diskusi. Langkah pemecahan masalah dilakukan secara partisipatif melalui diskusi terfokus (focuss group discussion) yang melibatkan semua stakeholder. Hasil pengamatan, kelompok bentukan kedua program dalam prosesnya menimbulkan adanya kelompok yang aktif, kurang aktif dan tidak aktif lagi. Perbedaan dinamika kelompok ditinjau dari tiga sisi yakni, keragaan anggota, pengembalian modal, dan aspek-aspek kekuatan dalam kelompok. Aspek kekuatan dalam kelompok meliputi tujuan kelompok, struktur kelompok, kekompakan kelompok, pembinaan kelompok, suasana kelompok, fungsi tugas, tekanan pada kelompok, dan efektifitas kelompok. Berdasarkan deskripsi setiap kelompok, diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kuat dan lemahnya suatu kelompok. Faktor yang menonjol dalam kelompok aktif
adalah kekompakan kelompok, suasana kelompok, pemenuhan tujuan kelompok, dan efekifitas kelompok. Lemahnya kelompok yang lain, ditunjukkan melalui rendahnya unsur-unsur yang dimiliki untuk mengembangkan usahanya, dibanding dengan kelompok aktif. Keempat hal ini berkaitan dengan masalah yang muncul dalam kelompok secara umum yang menyangkut rendahnya kerjasama dan kekompakan kelompok serta rendahnya motivasi berusaha. Oleh sebab itu pembenahan dilakukan melalui cara atau program yang dikaitkan dengan faktor-faktor tersebut, terutama unsur yang dapat mengikat kekompakan diantara pengrajin atau kerjasama dalam kelompok maupun luar kelompok. Permasalahan yang dihadapi oleh setiap kelompok didominasi oleh rendahnya kerjasama antar kelompok, maupun antar anggota dalam kelompok yang sama. Selain itu, masalah lainnya adalah keterbatasan pasar, atau lemahnya jejaring yang dimiliki untuk pemasaran produk, rendahnya ketrampilan dasar dan penguasaan teknik yang variatif, rendahnya motivasi berusaha, kurangnya kemampuan mengelola modal, dan keterbatasan modal usaha. Pada sisi lain terdapat potensi yang dapat mendukung berkembangnya usaha kerajinan. Potensi tersebut meliputi, 1) ada aktivitas modal sosial yang mengandung nilai kerjasama antar pengrajin yang disebut panjolurungu, yang bermakna arisan tenaga dan bahan baku, 2) jejaring pemasaran sudah ada pada kelompok aktif, dan segmen pasar tenun ikat pada masyarakat lokal, regional, hingga wisatawan asing, 3) ketrampilan tenun ikat dapat dilakukan sepanjang musim, aktivitas warisan keluarga, dan dapat dilakukan perempuan dan laki-laki, 4) kelompok pengrajin merupakan kelompok yang berhasil dalam pengguliran simpan pinjam modal usaha, dukungan dari elemen masyarakat dan tanggapan masyarakat untuk pengembangan usaha tenun ikat kearah yang lebih profesional. Berdasarkan masalah-masalah tersebut, maka dibutuhkan alternatif pemecahannya yang dilakukan secara partisipatif. Langkah awal dilakukan dengan mengidentifikasi stakeholder yang dapat berperan juga dalam merancang aktivitas yang dapat dilakukan untuk pemecahan masalah. Pihak-pihak yang dapat melibatkan diri dalam usaha kerajinan diantaranya adalah, Badan Pemberdayaan Masyarakat sebagai Unit teknis pelaku program PPK dan P3DM, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dekranasda (dalam hal ini Ketua Tim penggerak PKK), Dinas Pariwisata, Dinas Koperasi, Pembeli perantara, Pemilik toko, Pembeli perantara, Lembaga keuangan (Bank, dan sebagainya), serta masyarakat sekitarnya. Peran setiap stakeholder sebagai sumberdaya yang dapat membantu menyelesaikan kendala yang dihadapi pemgrajin. Keberfungsian setiap stakeholder dapat dijangkau melalui program-program yang berlangsung dan melibatkan kelompok-kelompok pengrajin dalam wadah yang lebih kuat atau ikatan yang lebih solid. Program yang dirancang adalah penguatan kelompok yang dilakukan dalam kelompok yang sudah ada, maupun langkah pengorganisasian melalui pembentukan kelompok pengrajin tingkat desa. Program penguatan kelompok meliputi, pertemuan atau rapat rutin, pembentukan kelompok pengrajin tingkat desa, promosi dan pemasaran, produksi bersama, pelatihan ketrampilan dasar dan teknik yang baru, pelatihan pengelolan modal, pendampingan dan sosialisasi, serta kredit lunak.
Dugaan terhadap rendahnya kerjasama dan kekompakan antar pengrajin dalam proses produksi hingga pemasaran, menyebabkan suatu kesimpulan untuk mengikat kerjasama dan kebersamaan anggota pengrajin dalam menyelesaikan masalahnya. Kelompok pengrajin tingkat desa yang dibentuk menjadi media informasi dan komunikasi yang dapat berperan dalam menjalin kerjasama antar pengrajin sekaligus sebagai wadah untuk penguatan dan pembinaan kelompok. Melalui kelompok ini, akan memudahkan proses-proses yang harus dilakukan secara bersama dalam melibatkan stakeholder, seperti kegiatan-kegiatan yang sudah dirancang bersama. Melalui kelompok ini diharapkan akan mewujudkan pemberdayaan pengrajin, sekaligus melanjutkan pertumbuhan usaha kerajinan. Kegiatan ini akan berlangsung melalui kerjasama semua stakeholder, sehingga dapat mencapai tujuan akhir yakni pemberdayaan pengrajin. Berkembangnya kelompok pengrajin akan menunjang pemberdayaan pengrajin yang terukur melalui adanya jaminan pendapatan, adanya pengembangan kemampuan pengrajin, serta adanya akses usaha dan kesempatan kerja yang lebih luas. Penanganan masalah harus dilakukan secara menyeluruh yakni oleh pengrajin, pemerintah melalui unit teknis, pembeli perantara, pembeli langsung maupun masyarakat sekitarnya, sehingga memberdayakan pengrajin dan menumbuhkan ekonomi lokal secara terencana dan sinergis yang pada akhirnya akan mengentaskan kemiskinan.
Kata kunci : dinamika kelompok, penguatan kelompok, stakeholder, pemberdayaan pengrajin
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008, Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
KATARINA RAMBU BABANG
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tugas Akhir
: Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional (Studi Kasus di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur)
Nama
: Katarina Rambu Babang
Nrp
: I.354060165
DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS.DEA Ketua
Dr. Ir. Saharuddin, MSi Anggota
DIKETAHUI
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Tanggal Ujian : 15 Mei 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
2008
PRAKATA Puji dan Syukur tak terhingga, kepada Sang Guru Agung, Allah Tritunggal, yang telah memberi limpahan Berkat pendidikan untuk penulis, dalam setiap tahapannya, teristimewa untuk menyelesaikan kajian dengan judul ‘Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional (Studi Kasus di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur). Kesempatan ini, saya ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran studi dan penyusunan kajian ini : 1. Komisi Pembimbing yakni Ibu Dr. Nurmala K.Panjaitan, MSDEA dan Bpk Dr. Saharuddin, MS serta Bpk Dr. Djuara P.Lubis, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan kajian ini 2. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang telah memberikan saya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan 3. Departemen Sosial Republik Indonesia sebagai donatur atau penyelenggara beasiswa studi ini 4. Pemerintah Desa Hambapraing bersama elemennya, sebagai wilayah dan subjek penelitian, bersama stakeholder pendukung 5. Para informan dan responden yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan selama penelitian dan penyusunan kajian ini 6. Kedua orang tua yang tercinta, saudaraku, K Martin dan K Ana, K Suster, Johan, Mery, K Bargam sekeluarga, serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan dan mendukung saya 7. Teman dekatku, Erik (buat cinta dan kasih sayangnya), sahabat-sahabatku dan kerabat, yang setia memberi suport untuk perjalanan studi ini 8. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang dengan caranya masing-masing membantu, mendoakan dan memotivasi saya selalu. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat umumnya dan secara khusus memberi alternatif pendekatan yang tepat dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang berbasis komunitas. Sekian dan terimakasih.
Bogor, Mei 2008
Katarina Rambu Babang
RIWAYAT HIDUP
Katarina Rambu Babang dilahirkan di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 11 Nopember 1979 sebagai salah satu putri kedua, anak ketiga dari Bapak Arnold Huki Lalatana dan Ibu Petronela Padji Jiara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1991 (SD Inpres Hiliwuku), pendidikan menengah pertama pada tahun 1994 (SMP Negeri 1 Waingapu), pendidikan menengah atas pada tahun 1997 (SMU Negeri 1 Waingapu). Pada tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan hingga kini mengabdi di Sekretariat Daerah Kabupaten Sumba Timur. Pada tahun 2001, penulis menjalani pendidikan S1 pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kristen Wira Wacana Sumba, dan diselesaikan pada tahun 2005. Sejak september 2006, penulis mendapatkan kesempatan studi untuk pendidikan S2 pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat (MPM), di Institut Pertanian Bogor, sebagai program beasiswa dari Departemen Sosial Republik Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xiii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. xiv PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Kajian Tujuan Kajian Manfaat Kajian
............................................................................................. ............................................................................................. ............................................................................................. .............................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan................................................................................................... Pemberdayaan............................................................................................... Sumberdaya Manusia, Modal Fisik, dan Modal Sosial................................ Dinamika Kelompok.................................................................................... Intervensi Program P3DM dan Program PPK Dalam Usaha Kerajinnan............................................................................... Kerangka Pikir...............................................................................................
1 5 5 6
7 10 13 15 20 23
METODE KAJIAN Tipe dan Aras Kajian ................................................................................... 27 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Kajian.............................................................................................. 27 Waktu Kajian.............................................................................................. 28 Penentuan Kasus Kajian.................................................................................. 29 Data Metode Pengumpulan Data Jenis Data dan Sumber Data...................................................................... 29 Teknik Pengumpulan Data........................................................................ 29 Pengolahan Data............................................................................................. 31 Penyusunan Program...................................................................................... 31 PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA HAMBAPRAING Gambaran Lokasi………………………………………………………........ Kependudukan…………………………………………………………........ Sistem Ekonomi ………………………………………………………......... Struktur Komunitas Pelapisan Sosial……………………………………………………........ Kepemimpinan……………………………………………………......... Tanggapan Masyarakat terhadap Kepemimpinan…………………........ Oganisasi dan Kelembagaan………………………………………........ Jejaring Sosial Komunitas……………………………………….…........
32 34 37 41 42 43 44 45
Proses Sosialisasi dalam Komunitas………………………………......... Masalah Sosial…………………………………………………………....... Aktivitas Pengrajin Tenun Ikat Tradisional dan Proses Kerjanya Tenun Ikat di Sumba Timur...................................................................... Proses Kerja Pengrajin.............................................................................. PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Program Pengembangan Kecamatan Deskripsi Program………………………………………………............ Pelaksanaan Program PPK………………………………………........... Pengembangan Ekonomi Masyarakat…………………………….......... Pemanfaatan modal sosial…………………………………………........ Program Penguatan dan Pengembangan desa Menuju Desa Mandiri Deskripsi Program………………………………………………............ Pelaksanaan Program P3DM…………………………………….. ........ Pengembangan Ekonomi Masyarakat…...……………………….......... Pengembangan Modal Sosial …………………………………............. Evaluasi Program ………………………………………………………..... Kesimpulan Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat…………….....
46 47 49 51
58 59 60 61 62 65 66 69 71 74
KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL Sejarah Pembentukan Kelompok..........…………………………………… Dinamika Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Kelompok Aktif...................................................................................... Kelompok Kurang Aktif......................................................................... Kelompok Tidak Aktif............................................................................ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kelompok ........................... Identifikasi Stakeholder.................................................................................
78 84 90 98 101
PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL Identifikasi Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah Program Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional.............. Latar Belakang dan Tujuan Program……………………………......... Monitoring dan Evaluasi ……………………...................................... Sistem Kelembagaan Pelaksanaan Program..........................................
105 121 130 136
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan ………………………………………………………............. Rekomendasi………………………………………………………............ DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….........
138 140 142
75
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jadwal Rencana Pelaksanaan Kajian................................................. 2 Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh …………………....................... 3 Penggunaan Lahan Desa Hambapraing,Tahun 2006…...................... 4 Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Hambapraing Keadaan Desember 2006…………………………………............... 5 Jumlah dan Persentasi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan………………………………………………… 6 Jumlah dan Persentasi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan………………………………………..……………. 7 Banyaknya Unit Usaha dan Tenaga Kerja Industri Tenun Ikat dirinci Per Kecamatan Tahun 2005…………................. 8 Karakteristik Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Program PPK : Simpan Pinjam Perempuan,2004…………………. 9 Karakteristik Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Program PPK: Simpan Pinjam Perempuan, Tahun 2006………… 10 Karakteristik Kelompok Pengrajin dalam P3DM…………………. 11 Deskripsi Dinamika Kelompok berdasarkan Aspek yang Mempengaruhinya ………………………………………............... 12 Deskripsi Dinamika Kelompok berdasarkan Keragaan Anggota dan Pengembalian Modal ................................................................ 13 Deskripsi Dinamika Kelompok berdasarkan Tingkat Aktivitas Berkelompok..................................................................................... 14 Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan................................... 15 Program Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional …………………………………………....................... 16 Aspek Monitoring dan Evaluasi ………………………….............. 17 Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dalam Program ……........... 18 Metode dan Pengumpulan Data.......................................................
28 32 34 35 38 39 50 75 76 77 96 97 110 119 129 132 133 145
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bagan Kerangka Pemikiran……………………………………….... Mengikal benang (kabokul).…………………………….………… Proses pemasangan benang (pamening)…………………………… Proses mengikat (paingu) . .........…………………………………… Proses pencelupan dan pewarnaan (kawu).........………………....... Proses penjemuran benang (dengi).………………………………… Proses perentangan (yalahu)……………………………………….. Gambar Struktur Kelompok Pengrajin Tingkat Desa........................ Gambar Struktur Kelembagaan Pelaksanaan Program.......................
26 52 52 52 53 53 54 122 137
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4
Pedoman Metode Pengumpulan Data ..................................................... 143 Dokumen Kajian...................................................................................... 144 Peta Lokasi Kajian................................................................................... 150 Daftar Hadir Diskusi Terfokus ................................................................152
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan di masa lalu telah menumbuhkan suatu kesenjangan yang besar, dimana laju pertumbuhan ekonomi tidak
seimbang
dengan
peningkatan
kesejahteraan
sosial
(Isbandi,
2002).
Ketidakberdayaan masyarakat adalah kenyataan yang merupakan dampak dari proses pembangunan yang melahirkan kesenjangan, meliputi kesenjangan antar daerah, kesenjangan kemajuan antar desa dengan kota, serta kesenjangan pendapatan ekonomi antara kalangan kaya yang minoritas dan kalangan miskin yang mayoritas. Ketidakberdayaan tersebut telah mendapat perhatian berupa bantuan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk modal usaha, pendampingan masyarakat, peningkatan manajemen usaha, pembangunan sarana dan prasarana sosial dasar, serta pendukung kegiatan ekonomi. Sesuai hasil evaluasi pembangunan, upaya-upaya tersebut, belum memberikan bukti yang efektif, untuk menanggulangi masalah krisis yang dialami masyarakat di berbagai bidang, yakni sosial, ekonomi, politik, dan budaya (Haeruman,2001). Upaya strategis dalam menjawab masalah kemiskinan masyarakat adalah gerakan pemberdayaan masyarakat, secara khusus untuk pembangunan di desa atau perdesaan. Pemberdayaan masyarakat akan memungkinkan terjadinya peningkatan kemampuan masyarakat dalam berperan untuk mengakses atau menjangkau sumber daya yang ada di sekitarnya. Partisipasi masyarakat hanya dapat dibangun melalui pemberdayaan, karena pemberdayaan adalah jalan menuju partisipasi (empowerment is road to participation dalam Tonny,2006). Oleh sebab itu, pembangunan perdesaan harus bersandar pada partisipasi masyarakat yang disesuaikan dengan potensi lokal yang ada dan dimiliki berupa komoditas yang berbasis masyarakat. Pengembangan komoditas lokal sebagai salah satu upaya meningkatkan potensi ekonomi lokal, diharapkan akan membantu terlibatnya semua masyarakat dalam gerakan membantu dirinya sendiri, yakni usaha ekonomi produktif yang berbasis kerakyatan (Sumarti et al,2006). Konsep pengembangan ekonomi lokal
merupakan kerjasama seluruh komponen masyarakat di suatu daerah (lokal), untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan yang akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kualitas hidup (Syaukat dan Hendrakusumaatmaja,2006). Sederhananya, pengembangan ekonomi lokal adalah salah satu upaya bersama-sama meningkatkan produktivitas perekonomian disuatu wilayah dengan memanfaatkan potensi ekonomi lokal demi peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Pengelolaan ekonomi lokal merupakan salah satu bagian dari sasaran pembangunan perdesaan (Haeruman,et al,2001). Selain hal tersebut di atas, sasaran pembangunan perdesaan adalah peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan bahan pangan dan bahan lainnya untuk kegiatan produksi dan konsumsi, serta peningkatan kapasitas lembaga atau organisasi ekonomi lokal. Pembangunan perdesaan diupayakan secara cermat untuk menghindari terjadinya kesenjangan kemajuan, dimana tujuannya adalah mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi dan industrialisasi perdesaan. Pendekatan pemberdayaan secara khusus dalam bidang ekonomi, sudah dilakukan oleh Pemerintah, seiring dengan pola desentralisasi (Undang-Undang No 22 1999) yang sedang berkumandang, baik program secara nasional maupun program di tingkat lokal atau daerah. Menurut Korten, 1980, terdapat dua model pendekatan pembangunan yakni pendekatan top down dan bottom up. Pendekatan bottom up adalah pembangunan yang memposisikan masyarakat sebagai pusat pembangunan atau pusat perubahan sehingga terlibat didalam proses perencanaan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi. Dengan kata lain lebih berorientasi pada partisipasi masyarakat atau pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development). Sebelumnya, pendekatan top down merupakan salah satu pendekatan yang dikritisi karena bersifat mematikan inisiatif dan kreativitas masyarakat. Pendekatan top down adalah pendekatan yang bersumber pada pemerintah, dengan demikian masyarakat hanyalah sebagai obyek atau sasaran pembangunan saja. Perpaduan (mix model) antara pendekatan dari atas (top down) dan dari bawah (bottom up), dianggap sebagai pendekatan yang lebih relevan untuk dilakukan dan hal ini sudah mulai mewarnai setiap aksi program pemberdayaan yang dilakukan, sejak adanya sistem otonomi daerah. Sejauh pengamatan di Desa Hambapraing, terdapat
dua program pemberdayaan yang sedang berproses dalam kehidupan masyarakat. Kedua program tersebut adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penguatan dan Pengembangan Desa Menuju Desa Mandiri (P3DM). Kedua program tersebut sama-sama memberikan bantuan modal bagi pengembangan usaha kerajinan tenun ikat melalui kelompok usaha. Tenun ikat merupakan salah satu komoditas lokal yang menjadi sumber penghasilan bagi rumah tangga atau masyarakat di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Selain kerajinan tenun ikat, juga terdapat sumber lain yakni peternakan dan perkebunan sebagai mata pencarian utama masyarakat Sumba Timur, bahkan masyarakat Nusa Tenggara Timur umumnya. Kerajinan tenun ikat di Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu jenis industri kerajinan yang paling besar jumlahnya yakni, 46,31persen dibanding jenis industri lainnya atau 906 unit dari 1956 unit industri (Sumba Timur Dalam Angka,2005). Meskipun kontribusinya bagi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2005, masih rendah yakni 0,921 persen (salah satu jenis industri dibanding seluruh industri lainnya dalam lapangan usaha industri pengolahan) tetapi, untuk tingkat kabupaten maupun provinsi, industri tenun adalah salah satu lahan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja paling besar dibanding jenis industri lainnya, dan secara khusus bagi perempuan dewasa (15 tahun hingga 70 tahun). Pemberdayan pengrajin juga akan menunjang penghasilan keluarga karena peluang pasar dari produk ini, cukup menjanjikan, meskipun belum ada catatan valid tentang besarnya permintaan terhadap hasil tenun. Kelemahan pencatatan karena banyak transaksi yang terjadi langsung dari pengrajin kepada pembeli, dirumah pengrajin. Namun yang menjadi fakta adalah bahwa tenunan ikat tradisional dari Sumba Timur khususnya, menjadi salah satu produk yang ditawarkan pada skala pasar yang lebih besar seperti di Bali dan Jakarta pada artshop maupun pada pameran karena memiliki peluang pasar bagi pasar internasional. Hal ini disebabkan oleh pasar tenun tradisional yang memiliki keunikan dan orisinil sehingga menarik bagi kolektor atau turis asing dibanding produk komersial. Selain itu, yang patut dilihat adalah segmen 1
Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Sumba Timur menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005
pasar atau permintaan yang potensial datang dari masyarakat lokal, aparat pemerintah, atau pegawai swasta, hingga wisatawan baik domestik maupun luar negeri. Dari gambaran ini, maka pekerjaan tenun khususnya tenun ikat akan menjadi salah satu mata pencarian yang dapat menopang pendapatan atau penghasilan keluarga di desa. Di desa Hambapraing terdapat 217 kepala keluarga miskin atau 84 persen dari total 260 kepala keluarga sebagai penerima beras miskin, dimana 30 persen adalah pengrajin (Laporan Desa,2006). Hal ini disebabkan oleh kondisi alam yang kurang mendukung penghasilan masyarakat dibidang pertanian, sementara itu masyarakat masih tetap berpikir bahwa bertani atau berladang adalah sumber penghasilan yang paling utama. Pada sisi lain terdapat cara lain untuk membantu kesejahteraan masyarakat melalui optimalisasi hasil atau produk kerajinan yang dapat menopang penghasilan pengrajin. Pemberian bantuan bagi pengrajin berupa modal usaha, dalam bentuk kelompok adalah hal yang tepat. Pemberian modal tersebut bukan hal yang keliru tetapi dalam prosesnya, masih ada kelemahan yang dihadapi kelompok dalam hal pemasaran produk dan proses produksi, dan sebagainya. Hal ini belum memenuhi kebutuhan mereka secara berkelanjutan dalam hal jaminan pendapatan. Bantuan modal saja belum cukup memberdayakan masyarakat dalam mengembangkan potensi sumberdaya lokal, tanpa di dukung keberlanjutannya pada sisi yang lain, seperti faktor yang mendukung proses produksi, distribusi, hingga pemasaran. Perhatian pada usaha kerajinan tenun ikat, melalui intervensi program pemberdayaan memberi pengaruh dalam dinamika kelompok pengrajin maupun anggotanya. Berdasarkan pengamatan awal dilapangan, dalam prosesnya ada kelompok yang terus berjalan, namun ada juga kelompok yang sudah bubar seiring berhentinya program. Eksistensi suatu kelompok ditunjang faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan dalam kelompok (dimensi dinamika kelompok dalam Nasdian, 2006 dan Haerurah 2006). Salah satu kekuatan kelompok adalah tujuan kelompok yang mengandung arti pemenuhan kebutuhan atau kepuasan anggota. Salah satu contoh kebutuhan utama anggota adalah terpenuhinya pendapatan melalui hasil jual produk yang seimbang dengan biaya produksi, dan jaminan pendapatan
untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Jika hal itu belum terpenuhi, maka kelompok tersebut tergolong lemah, demikian pula dengan unsur yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh dinamika suatu kelompok, maka patut diketahui bagaimana kondisi kelompok tersebut ditinjau dari unsur-unsur yang mempengaruhinya. Pembentukan kelompok tanpa dibenahi keberlanjutannya tidak akan bermanfaat, sementara kelompok pengrajin tenun ikat di Desa Hambapraing berpotensi mengentaskan kemiskinan. Dengan demikian, dibutuhkan suatu program untuk membenahi dan menguatkan kelompok yang sudah ada. Dengan mempelajari faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional dan masalah yang mereka hadapi, dapat dirancang cara atau program untuk memecahkan masalah yang ada dalam kelompok pengrajin.
Masalah Kajian Kerajinan tenun ikat merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan. Dalam rangka penyusunan program penguatan kelompok, maka perlu mempelajari hal-hal sebagai berikut : 1. Bagaimana dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional ? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional ? 3. Program apa yang dapat dilakukan untuk menguatkan kelompok pengrajin tenun ikat tradisional ?
Tujuan Kajian Tujuan yang hendak dicapai dalam kajian ini adalah menemukan suatu program yang dapat membantu memberdayakan masyarakat khususnya pengrajin tenun ikat tradisional di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur. Tujuan secara rinci adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional 3. Merancang program untuk menguatkan kelompok pengrajin tenun ikat tradisional Manfaat Kajian 1. Kajian ini akan membantu menemukan solusi permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin tenun ikat tradisional. 2. Memberi masukan tentang program penguatan kelompok pengrajin tenun ikat tradisional untuk meningkatkan pemberdayaan warga komunitas (Desa Hambapraing). 3. Membantu
Pemerintah
dalam
pelaksanaan
program-program
yang
berkelanjutan dan bermanfaat secara praktis bagi masyarakat, sehingga menunjang perencanaan program secara menyeluruh demi pencapaian tujuan yang efektif. 4. Memberi masukan tentang variasi program dalam strategi pengembangan masyarakat. 5. Sebagai referensi yang dikaji secara sederhana, bersifat lokalitas, sehingga dapat diekpslorasi lebih dalam, untuk pengembangan masyarakat di komunitas lain (yang berkarakter sama) di wilayah Sumba Timur dan Nusa Tenggara Timur.
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan Kemiskinan memiliki akar masalah yang berbeda-beda atau kekhasan masingmasing pada setiap tempat. Menurut Tjokrowinoto seperti dikutip Sulistiyani, kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata, tetapi kemiskinan menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan (powerless), tertutupnya akses kepada pelbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam analisa ekonomi, kemiskinan bermakna adanya kesenjangan atau ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat akibat ketidakmerataan pembagian pendapatan nasional atau kurang idealnya distribusi pendapatan dalam suatu masyarakat (indeks gini dalam Sulistiyani). Hal ini berkaitan dengan pemerataan akses sumberdaya bagi semua segmentasi sosial masyarakat. Lebih spesifik lagi diungkapkan bahwa, kemiskinan bukan hanya suatu ketidakmampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi suatu kehidupan yang layak, tetapi juga berkaitan erat dengan keadaan sistem kelembagaan yang tidak mampu memberikan kesempatan yang adil bagi anggota masyarakat untuk memanfaatkan, memperoleh manfaat dari sumber yang tersedia (Jamasy 2004). Kemiskinan dapat digolongkan dalam beberapa jenis untuk mengenal substansinya masing-masing, yakni ada yang disebut kemiskinan absolut, kemiskinan struktural, kemiskinan natural, serta kemiskinan kultural. Selo Soemarjan dalam Ruwiyanto W,1994 mengungkapkan tentang kemiskinan struktural dimana lebih menjelaskan kondisi realistik dari kemiskinan tersebut. Kemiskinan struktural diartikannya sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka, seperti petani yang tidak memiliki tanah sendiri, kaum buruh yang tidak terpelajar
dan terlatih, pengusaha tanpa modal, termasuk golongan sangat lemah. Kemiskinan struktural menunjukkan bahwa terdapat ketidakberdayaan kaum miskin dalam peran, dan peluang memperoleh kesempatan untuk mendapatkan sumber daya, yang mengakibatkan pola ketergantungan, pola kelemahan, dan eksploitasi golongan miskin. Kemiskinan absolut menyangkut masalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar minimal yakni, kebutuhan ; pangan, sandang, papan, dan pendidikan serta kesehatan (Sulistiyani,2004). Kemiskinan juga dapat dikatakan absolut dimana warga mengalami kemiskinan jauh dibawah garis kemiskinan, karena keluarga yang miskin akan melahirkan kemiskinan yang baru, melalui ketiadaan sumber daya, lapangan kerja yang tersedia tidak dapat diakses, pendapatan semakin rendah, maka generasi yang lahir dari generasi miskin pun akan mengalami sumber daya yang lemah, seperti kekurangan gizi, sakit-sakitan, dan sebagainya. Aliran kemiskinan ini disebut lingkaran setan kemiskinan (vicious of circle seperti yang dikatakan oleh Todaro, atau David Smith yakni (self perpetuating poverty). Lingkaran kemiskinan atau kemiskinan turun temurun sama artinya dengan kemiskinan natural, yang diakibatkan oleh keterbatasan secara alamiah seperti kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang buruk, sehingga tidak dapat menyediakan fasilitas bagi komunitas disekitarnya untuk mengusahakan aktivitas produksi untuk memperoleh pendapatan ekonomi yang layak. Kemiskinan kultural adalah suatu kondisi miskin yang dihadapi oleh suatu komunitas, yang disebabkan oleh faktor budaya. Budaya yang hidup, diyakini dan dikembangkan dalam suatu masyarakat menyebabkan proses pelestarian kemiskinan dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Friedman seperti dikutip Suharto
et al.2005, kemiskinan
didefinisikan sebagai keterkaitan kemiskinan dengan ketidaksamaan kesempatan dalam mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang meliputi : 1. Modal produktif atau aset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan) 2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit)
3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial) 4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa 5. Pengetahuan dan ketrampilan 6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup Tiga penyebab kemiskinan seperti telah didefinisikan tersebut, yakni: 1. Insufficentdeman for labor, yakni rendahnya Human capital deficiencies, difisiensi modal manusia berarti rendahnya kualitas sumberdaya manusia, seperti rendahnya pengetahuan, ketrampilan sehingga menyebabkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli 2. Permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkan pengangguran, pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah, akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar 3. Discrimination, adanya perlakuan berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumberdaya-sumberdaya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumberdaya tersebut Penyebab kemiskinan menurut BKPK dan lembaga Penelitian SMERU 2001, adalah : 1. Keterbatasan pendapatan, modal, dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar termasuk : Modal sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, ketrampilan, dan kesehatan yang memadai, Modal produksi, misalnya lahan dan akses terhadap kredit, Modal sosial misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik, Sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dan dasar jalan, listrik dan air bersih, termasuk hidup di daerah terpencil 2. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena: Krisis ekonomi ; kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan, kehilangan pekerjaan (PHK), konflik sosial dan politik ; Korban kekerasan sosial dan rumah tangga ; bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan
iklim) ; dan Musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian, atau ternak terserang wabah penyakit) 3. Tidak adanya suara yang mewakili dalam institusi negara dan masyarakat karena; (Tidak ada kepastian hukum; tidak ada perlindungan dari kejahatan; kesewenang-wenangan aparat ; ancaman dan intimidasi ; Kebijakan publik yang peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan ; rendahnya posisi tawar masyarakat miskin). Kemiskinan sudah diuraikan secara jelas, maka perlu didukung dengan upaya penanggulangan kemiskinan sesuai pendekatan yang tepat. Gerakan pemberdayaan dan bantuan sosial adalah bentuk penanggulangan yang terus dilakukan. Bantuan sosial bertujuan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat residual atau sementara yang didasarkan pada penyebabnya misalnya kemiskinan absolut dan kemiskinan natural. Sedangkan pendekatan pemberdayaan bertujuan membekali masyarakat miskin dengan modal, ketrampilan dan kesempatan untuk mengupayakan cara yang tepat dalam melakukan kegiatan ekonominya. Hal ini bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural.
Pemberdayaan Pemberdayaan menurut banyak pemikir mengartikannya sebagai konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa (Pranaka dan Mulyarto, 1996). Konsep ini telah meluas diterima dan digunakan, dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Definisi pemberdayaan menurut Darmawan (2004), sebagai : a process of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater bargaining power to make their own decisions, and to more easily acces to a source of better living. Dari pengertian tersebut, makna pemberdayaan adalah : 1. Memperbesar peluang dalam melakukan pilihan-pilihan ekonomi dan politik
2. Meningkatkan derajat kebebasan seseorang atau suatu komunitas tertentu dalam mengembangkan kehidupannya 3. Meningkatkan kapasitas dalam penguasaan sumber daya ekonomi 4. Memiliki posisi dan kewenangan lebih besar dalam menentukan sesuatu Pemberdayaan menurut Mubyarto (1999), adalah upaya meningkatkan kemampuan dan memandirikan masyarakat. Artinya, pemberdayaan meliputi upaya untuk membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berusaha untuk mengembangkannya. Selanjutnya dikatakan juga, bahwa pemberdayaan masyarakat berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan menurut Kartasasmita dalam Sumarti dan Syaukat,2006 adalah melalui cara memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan masyarakat yang masih tertinggal dalam tiga aspek yakni : (1) Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi lapisan masyarakat itu berkembang, (2) Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat, (3) Mengembangkan perlindungan bagi si lemah, artinya mencegah persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, dan mencegah eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan adalah sebuah proses dimana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengkontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Person dikutip Suharto et al.2005). Pemberdayaan dengan demikian merupakan sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses bermakna, serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan bermakna, keadaan atau hasil yang
ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu : masyarakat berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencarian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan masyarakat di perdesaan sangat berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian, yang dilakukan oleh masyarakat desa atau proses pemberdayaan ekonomi rakyat, untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka menjadi lebih baik. Sejak lama pemerintah melakukan upaya peningkatan taraf kehidupan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi, hal ini seperti pendapat Mubyarto, yang menyatakan kegiatan seperti ini adalah kegiatan produksi bukan kegiatan konsumsi. Masyarakat digiring menjadi produsen dari bahan lokal dan kemampuannya sendiri untuk memenuhi permintaan (konsumen). Upaya pemberdayaan yang dilakukan di desa Hambapraing merupakan wujud pengentasan kemiskinan dimana 84% warga merupakan keluarga atau rumah tangga miskin (Laporan Tahunan Desa Hambapraing, 2006). Dalam program bantuan modal usaha bagi kelompok pengrajin tenun ikat diharapkan dapat menjadi produsen dari bahan lokal, serta kerampilan atau kemampuannya untuk memenuhi permintaan. Program pemberdayan yang sudah berjalan, diharapkan dapat berkelanjutan, jika melalui suatu perencanaan yang tepat sesuai dengan permasalahan yang menjadi kendalanya. Pentingnya peningkatan kemampuan dan kepandaian masyarakat, agar mampu mengembangkan komunikasi dan solidaritas antar mereka dalam kelompok, dan luar kelompok, sehingga pada akhirnya secara kritis mereka mampu berdiskusi untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi secara bersama pula. Pemberdayaan masyarakat juga terukur melalui jaminan pendapatan, pengembangan kemampuan pengrajin, serta akses usaha dan kesempatan kerja yang lebih luas (Sumarti dan Syaukat,2006).
Sumberdaya Manusia, Modal Fisik dan Modal Sosial Dalam mengembangkan suatu komunitas atau konsep pengembangan komunitas, mengandung unsur pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (Cristenson dan Robinson,1984 dalam Soetomo,2006). Dengan kata lain, menurut Sanders dalam Soetomo,2006 bahwa pemanfaatan dan pendayagunaan energi dalam komunitas, harus meliputi energi sosial dan energi ekonomi. Potensi yang mendukung kedua unsur tersebut adalah sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam komunitas. Ketrampilan tenun ikat, merupakan warisan sumberdaya pengetahuan yang mendukung kegiatan ekonomi keluarga pengrajin, baik secara subsisten maupun komersial. Pengrajin tenun ikat, memiliki potensi yakni dalam hal ketrampilan atau pengetahuan, dan modal produksi yang meliputi kesediaan bahan baku maupun tenaga kerja. Bahan baku dapat berupa hasil bumi maupun bahan olahan yang dapat diperoleh dari dalam komunitas maupun dari luar komunitas. Sumberdaya manusia meliputi kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh individu dalam melakukan aktivitas produksi baik barang dan jasa. Modal ini mengacu pada suatu sumberdaya yang tidak dihabiskan dalam proses produksi barang (Haviland,1993 dalam Sumarti). Tenaga kerja merupakan faktor produksi insani yang secara langsung maupun tidak langsung menjalankan kegiatan produksi. Faktor produksi tenaga kerja juga dikategorikan sebagai faktor produksi asli. Dalam faktor produksi tenaga kerja, terkandung unsur fisik, pikiran, serta kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Oleh karena itu, tenaga kerja dapat dikelompokan berdasarkan kualitas (kemampuan dan keahlian) dan berdasarkan sifat kerjanya. Berdasarkan kualitasnya, tenaga kerja dapat dibagi menjadi tenaga kerja terdidik, tenaga kerja terampil, dan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih. Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tertentu sehingga memiliki keahlian di bidangnya, misalnya dokter, insinyur, akuntan, dan ahli hukum. Tenaga kerja terampil adalah tenaga kerja yang memerlukan kursus atau latihan bidang-bidang keterampilan tertentu sehingga terampil di bidangnya. Misalnya tukang listrik, montir, tukang las, pengrajin dan sopir. Sementara itu, tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih adalah tenaga kerja yang tidak
membutuhkan pendidikan dan latihan dalam menjalankan pekerjaannya, misalnya tukang sapu, pemulung, dan lain-lain. Berdasarkan sifat kerjanya, tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja rohani dan tenaga kerja jasmani. Tenaga kerja rohani adalah tenaga kerja yang menggunakan pikiran, rasa, dan karsa, misalnya guru, editor, konsultan, pengacara, seniman, dan pengrajin. Sementara itu, tenaga kerja jasmani adalah tenaga kerja yang menggunakan kekuatan fisik dalam kegiatan produksi, misalnya tukang las, pengayuh becak, dan sopir.2 Ketrampilan pengrajin adalah sumber daya manusia yang dimiliki oleh hampir sebagian besar perempuan dalam komunitas, sehingga menjadi potensi yang terus dikembangkan. Tenaga kerja merujuk pada jumlah warga yang terampil maupun belum terampil sebagai potensi sumberdaya manusia dalam komunitas. Modal fisik atau dalam ilmu ekonomi disebut faktor produksi fisik adalah semua kekayaan yang terdapat di alam semesta dan barang mentah lainnya yang dapat digunakan dalam proses produksi (Griffin R: 2006). Faktor yang termasuk di dalamnya adalah tanah, air, dan bahan mentah (raw material). Hal ini merujuk pada ketersediaan bahan baku alam di komunitas yang dapat dikembangkan untuk produksi. Modal sosial merupakan salah satu konsep baru yang diposisikan setara dengan modal alam dan modal ekonomi. Modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial
(Woolcock, 1998:153 dalam Nasdian dan Utomo, 2005).
Modal sosial dipahami sebagai bentuk institusi-institusi, relasi-relasi, dan normanorma yang membentuk kualitas dan kuantitas dari interaksi sosial dalam masyarakat. Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota kelompok suatu masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka (Fukuyama, 2002a). Selanjutnya menurut Soetomo 2006, jika para anggota kelompok itu masing-masing mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan berprilaku jujur, dan terpercaya maka mereka akan saling mempercayai. Dengan demikian kepercayaan 2
"http://id.wikipedia.org/wiki/Faktor produksi
atau trust, adalah unsur utama dalam pengertian atau konsep modal sosial. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Kepercayaan juga dapat mendorong seseorang bersedia menggunakan hasil kerja orang atau kelompok lain, bahkan kepercayaan dapat juga mendorong munculnya aktivitas atau tindakan bersama yang produktif atau menguntungkan. Uphoff menyatakan ketiga unsur dalam modal sosial meliputi jaringan, kepercayaan dan reciprocal atau timbal balik dalam hal saling menerima, saling membantu yang dapat muncul dalam interaksi sosial (dikutip Soetomo dalam Dasgupta dan Serageldin,2000). Menurut Coleman dalam Dasgupta, seperti dikutip Sumarti,2007 bahwa pengertian modal sosial menekankan pada adanya relasi sosial antara anggota masyarakat yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada pada masyarakat yang dipengaruhi struktur sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Woolcock dalam Coletta (2000), menyatakan empat dimensi modal sosial, yaitu : (1) ikatan yang kuat (integrasi), terutama terdapat dalam hubungan keluarga dan tinggal berdekatan (tetangga); (2) ikatan yang lemah (ikatan), terjadi dalam interaksi antara anggota komunitas; (3) institusi formal (integritas organisasi), meliputi lembaga negara dan efektifitasnya dalam berperan sesuai dengan kondisi dan norma-norma yang ada; (4) interaksi antara negara dan masyarakat (sinergi), yang merefleksikan bagaimana pemimpin dan lembaga-lembaga pemerintah berinteraksi dengan komunitas. Dari konsep tersebut diatas, maka beberapa hal yang dapat digarisbawahi dalam ketiga komponen tersebut dioperasionalkan seperti berikut. Sumber daya manusia, misalnya pendidikan formal, ketrampilan, kemampuan dan kesehatan yang memadai. Modal fisik, misalnya lahan, bahan baku, dan akses terhadap kredit. Modal sosial misalnya jaringan sosial, kepercayaan, kerjasama dan akses terhadap kebijakan dan keputusan politik. Dinamika Kelompok Dinamika kelompok terdiri atas dua kata yakni dinamika dan kelompok. Dinamika memiliki makna, tingkah laku individu secara langsung mempengaruhi
individu lain secara timbal balik. Dinamika dapat diartikan dengan adanya interaksi dan interdependensi antara individu dengan individu lainnya secara timbal balik dan antar individu dengan kelompok secara keseluruhan (Santosa,2004). Kelompok merupakan sekumpulan individu, atau suatu kesatuan sosial yang memiliki hubungan saling tergantung. Menurut Santosa (2004), kelompok terbentuk karena individu sebagai makluk hidup mempunyai kebutuhan dimana kebutuhan tersebut tidak terbatas, sementara potensi manusia untuk memenuhinya masih terbatas, sehingga seorang individu membutuhkan individu lain dalam wadah yang disebut
kelompok.
Sejumlah
individu
dapat
dikatakan
suatu
kelompok
(Soekanto,1990), apabila memenuhi ciri-ciri diantaranya, a) para anggota kelompok sering mengadakan hubungan tatap muka secara berkala; b) mempunyai status dan peran; c) mempunyai tujuan atau perasaan dan sikap bersama; d) adanya norma; dan e) memiliki rasa ketergantungan satu sama lain. Memperhatikan kedua definisi tersebut maka, dinamika kelompok berarti, suatu kelompok yang terdiri dari dua individu atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis secara jelas antara anggota satu dengan anggota lain, baik dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan, tujuan, sikap, peran dan status, hingga kesepakatan bersama atau norma. Dinamika kelompok menurut Cartwright dan Zander (1956), merupakan cabang ilmu-ilmu sosial yang berkembang untuk mempelajari secara komprehensif dan sistematis tentang suatu kondisi-kondisi yang memungkinkan berfungsinya suatu kelompok. Menurut Eysenck seperti dikutip Nitimihardjo,et al, 1993, dinamika kelompok berkaitan dengan konteks sosial budaya suatu masyarakat yang berfungsi untuk membantu individu dan kelompok sehingga memungkinkan mereka secara bersama memiliki pola-pola merasakan, menilai, berpikir, dan bertindak. Pengertian lain dikemukakan oleh Jenkins seperti dikutip oleh Nasdian,1988 bahwa dinamika kelompok (group dinamics) adalah kekuatan-kekuatan dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan perilaku anggota kelompok untuk mencapai tujuan kelompok. Menilai dinamika kelompok berarti menilai kekuatan-kekuatan yang muncul sebagai potensi didalam kelompok. Kekuatan-
kekuatan dalam kelompok tersebut yakni, tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok (group cohesion), suasana kelompok, tekanan pada kelompok, dan efektivitas kelompok. Secara khusus aspek kekuatan kelompok tersebut bermakna sebagai berikut : 1. Tujuan Kelompok (Group Goals) Tujuan kelompok dipahami sebagai gambaran tentang suatu hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh kelompok. Hasil tersebut dapat dicapai melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok secara bersama. Anggota kelompok melakukan kegiatan atau berbuat sesuatu sesuai dengan tujuan kelompok karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok mengetahui arah kelompok. Tujuan sebagai salah satu unsur dinamika kelompok menjadi kuat melalui kegiatan anggota kelompok. Anggota kelompok yang berorientasi pada tujuan kelompoknya (group oriented motives) menggambarkan
kesetiaan atas kelompok sehingga dengan
tercapainya tujuan kelompok mengakibatkan masing-masing anggota kelompok merasakan puas. Tujuan kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok menjadi semakin lemah jika tujuan kelompok semakin tidak mendukung tujuan anggota kelompok. 2. Struktur Kelompok (Group Structure) Struktur kelompok yaitu hubungan antar individu-individu didalam kelompok yang disesuaikan dengan posisi dan peran masing-masing individu. Kelompok yang telah memiliki struktur yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan yang stabil antara anggota kelompok. Struktur kelompok berhubungan dengan struktur kekuasaan atau pengambilan keputusan, tugas, dan pembagian kerja, struktur komunikasi dan aliran komunikasi dalam kelompok serta sarana bagi kelompok untuk berinteraksi. Struktur kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok menjadi semakin lemah jika pengambilan keputusan kelompok semakin didominasi oleh orang-orang tertentu. Struktur tugas menjadi semakin baik jika masing-masing anggota kelompok semakin merasakan terlibat dalam tugas-tugas kelompok. Semakin baik struktur tugas, maka struktur kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat.
3. Fungsi Tugas (Task Function) Fungsi tugas adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok untuk mencapai tujuan. Kriteria yang digunakan untuk melihat fungsi tugas adalah, fungsi memberi informasi, kelancaran arus-arus informasi menunjukkan fungsi tugas berjalan dengan baik, sehingga fungsi tugas sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat : fungsi memuaskan anggota, semakin tinggi tingkat kepuasan anggota kelompok, semakin kuat fungsi menyelenggarakan koordinasi maka fungsi tugas semakin baik, yang berarti tugas sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat. Fungsi menghasilkan inisiatif, semakin tinggi tingkat inisiatif kelompok, maka fungsi tugas semakin baik yang berarti fungsi tugas sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat; fungsi mengajak untuk berperan serta dalam setiap kegiatan kelompok maka fungsi tugas semakin baik, dan fungsi tugas semakin kuat : fungsi menjelaskan, semakin sering kelompok menjelaskan anggota tentang segala sesuatu yang kurang jelas, maka fungsi tugas semakin baik. Dengan demikian fungsi tugas sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat. 4. Pembinaan Kelompok (Group Building and Maintenance) Pembinaan kelompok dimaksudkan sebagai usaha untuk mempertahankan kehidupan kelompok. Usaha untuk mempertahankan kehidupan kelompok ditandai dengan adanya peran serta semua anggota kelompok, adanya kegiatan kelompok, adanya kesempatan mendapatkan anggota baru, dan adanya sosialisasi sebagai proses pendidikan yang membuat anggota mengetahui norma, tujuan dan lainnya dalam kelompok. Semua ciri tersebut ada dalam kelompok maka pembinaan kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat. 5. Kekompakan Kelompok (Group Cohesion) Kekompakan kelompok adalah adanya keterikatan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Tingkat rasa keterikatan yang berbeda-beda menyebabkan adanya perbedaan kekompakan. Tingkat kekompakan kelompok yang lebih tinggi lebih terangsang untuk aktif dalam mencapai tujuan kelompok dibandingkan dengan kelompok yang kekompakan kelompoknya rendah. 6. Suasana Kelompok (Group Atmosphere)
Suasana kelompok yang dimaksud adalah setia kawan dan rasa hangat yang terjalin antar anggota, rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima, atau sebaliknya saling menolak, dan sebagainya. Kelompok yang menarik minat yakni kelompok yang memiliki suasana dimana anggotanya merasa saling menerima atau diterima, menghargai atau dihargai. Suasana kelompok dipengaruhi oleh faktor hubungan antar anggota kelompok, kebebasan berperan serta dan juga lingkungan fisik. Faktor-faktor tersebut juga memiliki andil dalam keberlangsungan kelompok kerajinan tenun ikat. Suasana yang dibangun berdasarkan kesamaan ketrampilan, kedekatan domisili, dan hubungan kekeluargaan menunjukkan bahwa kelompok yang memiliki suasana yang positif menghadirkan keberlanjutan dalam usaha bersama, dibandingkan dengan kelompok yang bekerja secara individual dan tidak berinteraksi antar anggota yang satu dengan yang lainnya. 7. Tekanan pada kelompok (Group Pressure) Tekanan pada kelompok ialah segala sesuatu yang menimbulkan ketegangan pada kelompok untuk menumbuhkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya tujuan kelompok. Ada dua bentuk yang dapat menimbulkan tekanan pada kelompok yakni sistem penghargaan dan hukuman bagi anggota kelompok. Memberi penghargaan kepada anggota kelompok yang berbuat baik, atau menghukum anggota kelompok yang berbuat salah terhadap kelompoknya menimbulkan ketegangan psikologis, sehingga mempengaruhi dorongan berbuat sesuatu demi tercapainya tujuan kelompok. 8. Efektifitas Kelompok (Group Efectivity) Efektifitas kelompok mempunyai pengaruh timbal balik. Kelompok yang efektif meningkatkan kedinamisan kelompok. Kelompok yang dinamis meningkatkan efektifitasnya. Efektifitas dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan anggota. Tercapainya tujuan kelompok dipakai mengukur produktivitas. Semangat dan sikap anggota dipakai mengukur moral, misalnya para anggota merasa bangga dan bahagia berasosiasi dengan kelompoknya. Keberhasilan anggota mencapai tujuan pribadi dipakai mengukur kepuasan anggota. Semakin berhasil kelompok mencapai tujuannya, semakin bangga anggota berasosiasi dengan anggota kelompoknya dan
semakin puas anggota karena tujuan pribadinya tercapai, maka kelompok semakin efektif. Dengan demikian efektifitas kelompok sebagai salah satu unsur dinamika kelompok semakin kuat. Kekuatan-kekuatan tersebut sebagai potensi yang dimiliki oleh kelompok secara internal sehingga menunjang keberlangsungan suatu kelompok, demikian halnya dengan kelompok pengrajin. Sebagai kelompok bentukan yang berkumpul, dapat dikenal dinamika yang terjadi didalamnya sehubungan dengan proses yang sudah berjalan selama ini. Dengan mengenal dinamika kelompok melalui aspekaspek kekuatan tersebut, maka dapat diketahui cara pengembangan kelompok tersebut ke arah yang lebih tepat dan bermanfaat. Unsur keragaan anggota bermakna unsur-unsur yang dimiliki oleh anggota pengrajin, meliputi ketrampilan, usia, kecakapan, latar belakang pendidikan, ketokohan dan status sosial. Keragaan anggota dapat disebut sebagai sumberdaya dan karakteristik yang dimiliki oleh anggota maupun kelompok. Pengembalian modal identik dengan kemampuan suatu kelompok dalam melaksanakan fungsi dan kewajiban dalam hal modal usaha. Kedua hal ini juga merupakan unsur atau ukuran yang menyebabkan dinamisnya suatu kelompok dalam keberfungsiannya.
Intervensi Program Pemberdayaan Masyarakat: PPK dan P3DM dalam Usaha Kerajinan Tenun ikat tradisional merupakan salah satu seni kerajinan tangan warisan secara turun temurun tentang teknik menghasilkan pakaian, dan hal ini diajarkan kepada anak cucu demi kelestariannya. Tenun ikat tradisional bermakna proses produksi menggunakan bahan yang masih asli, dan proses pengerjaan yang lama, serta bentuknya yang orisinil, dan harga yang lebih mahal. Hal ini yang membedakannya dengan tenun ikat komersial. Di Nusa Tenggara Timur, setiap daerah memiliki ciri khas tenun ikat, yang dibedakan melalui motif/corak pada kain tenunannya. Motif tersebut akan menandakan identitas si pemakainya, atau identitas suku. Motif binatang dan manusia sangat menonjol pada tenunan Sumba Timur, dibanding daerah lain yang menonjolkan motif tumbuhan. Secara khusus, kain
tenunan Sumba Timur memiliki ciri khas yang terdiri dari 3 (tiga) macam yakni : tenunan polos tanpa motif putih atau hitam, tenunan ikat bermotif kuda, ayam, manusia, burung kakatua, tugu perang, udang, rusa, buaya, singa (mahang), ular naga dan sebagainya, dan tenunan songket yang disebut lawu pahikungu yang biasa dipakai oleh kaum perempuan (dalam Beding dan Lestari,2002). Menurut Dorce3, kain tenun ikat tradisional di NTT secara umum, secara adat dan budaya memiliki fungsi yakni : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh. Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat. Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin) Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian Fungsi hukum adat sebagai denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu. Dari segi ekonomi sebagai alat tukar. Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat. Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak atau desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang
Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat karena dalam proses pembuatan dan penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat. Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode untuk memenuhi permintaan atau kebutuhan konsumen.
3
dorce dalam www.kompas.com
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan rumah tangga atau kepala keluarga masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya. Pekerjaan menghasilkan tenunan adalah pengrajin tenun ikat tradisional, karena dari komoditas ini dapat menghasilkan pendapatan rumah tangga. Oleh sebab itu, potensi ini menjadi salah satu hal yang penting untuk dikembangkan, apalagi penduduk tidak semata-mata hanya bertumpu pada pertanian. Sumber perubahan dan pembaruan dalam suatu komunitas dapat berasal dari dalam maupun luar komunitas tersebut. Menururt Soetomo, 2006 bahwa sumber perubahan dari dalam berupa asal mula tumbuhnya niat atau kehendak untuk berubah sampai asal usul tampilnya berbagai bentuk ide baru, sedangkan dari luar bermakna kontak langsung maupun tidak langsung yang terjadi secara alamiah antara komunitas dengan lingkungan luar komunitas. Bentuknya seperti pemberian motivasi, penyuluhan dan pengenalan ide-ide baru yang secara sengaja diprogramkan dari luar. Dalam proses pengembangan masyarakat, banyak komunitas apabila dilihat secara objektif, menunjukkan kondisi kehidupannya yang sangat membutuhkan peningkatan melalui perubahan dan pembaruan, tetapi prakarsa dari dalam masyarakat sendiri untuk melakukannya tidak kunjung datang. Dari kondisi ini, dipertimbangkan bahwa perlu intervensi dari luar untuk mendorong tumbuhnya perubahan dan pembaruan tersebut. Intervensi bermakna campurtangan atau ikut serta mempengaruhi proses yang berlangsung kearah yang dituju bersama. Intervensi yang dilakukan harus menghindari atau tidak menimbulkan ketergantungan,
tetapi
justru
mendorong
terjadinya
kesinambungan
atau
keberlanjutan. Intervensi dapat dikatakan menumbuhkan keberlanjutan apabila masyarakat yang tadinya statis menjadi tergerak untuk melakukan perubahan dan pembaruan terus berlangsung walaupun intervensi sudah berakhir. Sebaliknya jika masyarakat yang tadinya statis menjadi tergerak saat ada intervensi, dan seiring berhentinya intervensi, masyarakat juga kembali statis, dapat disimpulkan belum terjadi keberlanjutan.
Program Pengembangan Kecamatan atau PPK dan Program Penguatan dan Pengembangan Desa Menuju Desa Mandiri atau P3DM, adalah program pengembangan masyarakat yang hadir di Desa Hambapraing. Pendekatan yang dilakukan oleh kedua program ini bersifat partisipatif. Tujuan kedua program ini adalah pemberdayaan masyarakat, memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal, serta kelembagaan pemerintahan lokal. Pemberdayaan masyarakat dilakukan pada sisi usaha ekonomi masyarakat lokal, yakni salah satunya usaha kerajinan tenun ikat. Usaha kerajinan tenun ikat dipandang sebagai potensi lokal yang dapat dikembangkan sesuai kemampuan masyarakat. Bentuk pemberdayaan yang dilakukan melalui bantuan modal dan pembentukan kelompok. Kelompok usaha kerajinan dalam program PPK berjumlah lima kelompok dan dalam program P3DM adalah dua kelompok. Dari ketujuh kelompok tersebut, terjadi dinamika keaktifannya masingmasing, yang menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi kelompok merupakan akibat belum adanya pemberdayaan yang menyeluruh. Indikator yang dilihat secara faktual adalah keberlanjutan pengembalian modal yang sudah dikucurkan. Artinya, lancar dan tidaknya pengembalian modal, sebagai contoh kelompok tenun ikat dalam program PPK, menjadi salah satu kelompok usaha yang berhasil karena dapat mengembalikan modal, dibanding kelompok usaha lain. Intervensi kedua program akan menumbuhkan keberlanjutan apabila, tampak perubahan yang terus menerus dalam usaha pengrajin, dan perjalanan kelompok yang ada. Dari kondisi yang ada di komunitas, maka intervensi secara menyeluruh dan terencana sangat dibutuhkan untuk menunjang ke arah perubahan yang dituju, yakni pemberdayaan pengrajin. Yang dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang sesungguhnya dihadapi, lalu dilanjutkan dengan pemecahan masalah agar menunjang aktivitas mereka secara lebih terencana dan berkelanjutan.
Kerangka Pikir Usaha kerajinan tenun ikat merupakan salah satu potensi yang dimiliki oleh masyarakat, selain mata pencarian lain seperti petani, nelayan, dan sebagainya. Kerajinan ini adalah ketrampilan yang dimiliki oleh sebagian besar kaum perempuan,
tanpa ditampik juga oleh laki-laki. Selain ketrampilan, dukungan bahan baku alami (sumber daya alam) yang ada disekitar komunitas dapat membantu proses produksi. Dukungan modal sosial juga berpengaruh dalam usaha kerajinan tenun ikat karena berhubungan dengan nilai-nilai kerjasama, dan saling percaya dalam melaksanakan aktivitas atau proses kerja pengrajin. Ketiga hal ini adalah potensi yang tentu mempunyai pengaruh yang besar dalam proses kerja usaha kerajinan. Sebagai salah satu usaha skala kecil kerap menghadapi kendala atau masalah baik dari diri pengrajin maupun kondisi di luar diri pengrajin, sehingga belum memberi kontribusi yang menguntungkan bagi pengrajinnya. Masalah yang dihadapi oleh kelompok pengrajin meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal kelompok yakni rendahnya ketrampilan, terbatasnya modal usaha, rendahnya produksi, hingga motivasi dan kerjasama dalam kelompok. Faktor eksternal meliputi keterbatasan dalam hal akses pasar dan informasi permintaan produk, jaringan usaha, akses sumberdaya ketrampilan, dan teknik menenun yang baru. Kelemahan tersebut mengakibatkan keterbatasan akses sumberdaya dan terhambatnya pertumbuhan usaha kerajinan. Hal ini menyebabkan kesejahteraan pengrajin belum terjamin atau masih mengalami kemiskinan. Kemiskinan dapat diberantas melalui upaya pemberdayaan masyarakat khususnya pengrajin sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu aktivitas yang dapat memberi solusi bagi kemajuan dan perkembangan usaha kerajinan tenun ikat tradisional. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah pembentukan kelompok untuk jenis usaha ini, melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penguatan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM). Sebagai kelompok bentukan, terjadi perbedaan keaktifan dalam kelompok tersebut sehingga dari tujuh kelompok yang dibentuk, yang masih aktif adalah dua kelompok. Kelompok ini dibentuk dan diberi modal, untuk bahan baku produksi. Dalam perjalanannya, dinamika keaktifan kelompok berbeda satu sama lainnya. Ada kelompok yang masih aktif, kurang aktif dan ada yang sudah tidak aktif lagi. Hal ini dilihat dari sisi pengembalian modal
usaha (pinjaman), unsur-unsur kekuatan kelompok yang menunjang dinamisnya suatu kelompok, serta keragaan anggota. Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok adalah aspek-aspek kekuatan kelompok yakni, tujuan kelompok, suasana kelompok, struktur kelompok, kekompakan kelompok, fungsi tugas, pembinaan kelompok, tekanan pada kelompok, dan efektifitas kelompok. Selain itu, dipengaruhi juga oleh unsur keragaan anggota dan pengembalian modal atau pinjaman. Pengembalian modal adalah salah satu ukuran keberhasilan dalam pelaksanaan program PPK dan P3DM, yang berhubungan dengan jangka waktu dan jumlah pengembalian modal. Keragaan anggota merujuk pada karakter anggota, usia, ketrampilan, dan pengaruh status sosial juga, sehingga mempengaruhi kontribusi anggota terhadap kelompoknya. Berdasarkan aspek tersebut, dapat diketahui keadaan kelompok yang ada, masalah yang dihadapi, hingga program atau cara pembenahan dan penguatan kelompok yang tepat. Dari analisa masalah maupun kelemahan yang dihadapi, maka diharapkan kelompok pengrajin tenun ikat dapat diperkuat eksistensinya bagi perkembangan usaha anggota kelompok tersebut. Berkembangnya kelompok pengrajin akan menunjang pemberdayaan pengrajin yang terukur melalui tercapainya pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, adanya pengembangan kemampuan pengrajin, serta mempunyai akses usaha dan kesempatan kerja yang lebih luas. Tercapainya pemberdayaan pengrajin akan membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan. Usaha ini akan berhasil jika didukung oleh kerjasama dan kemauan semua stakeholder atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk menumbuhkan usaha kecil dalam komunitas, sebagai salah satu unsur penopang perekonomian rakyat. Selanjutnya kerangka pikir dapat dilihat dalam gambar 1
Gambar 1. Kerangka Pikir Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional
Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Sumber daya dan Potensi Pengrajin : 1.Ketrampilan 2.Modal Fisik 3.Modal Sosial
Dinamika Kelompok Pengrajin 1.Pengembalian Pinjaman/Modal 2.Aspek - Aspek Kekuatan dalam Kelompok 3. Keragaan Anggota
Intervensi Pihak Luar : 1. PPK 2. P3DM
Keterangan : : Mempengaruhi
Pemberdayaan Pengrajin 1.Mempunyai akses usaha dan kesempatan kerja 2.Bertambahnya kemampuan pengrajin 3.Adanya jaminan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok
METODE KAJIAN Tipe dan Aras Kajian Kajian ini adalah kajian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yang bermakna gambaran kejadian sosial yang menjelaskan hubungan variabel yang satu dengan variabel yang lain. Kajian deskripsi adalah kajian yang mendokumentasikan suatu kejadian atau gejala sosial secara lengkap, rinci, dan mendalam, sehingga dapat menjelaskan hubungan aspek sosial komunitas atau tentang gejala sosial yang dipertanyakan (Sitorus dan Agusta,2005). Kajian deskripsi ini menggambarkan dinamika
kelompok
usaha
kerajinan
tenun
ikat,
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya, serta keterkaitan masalah yang timbul hingga penemuan cara mengatasinya. Kajian dirancang pada aras mikro, yang mensyaratkan adanya interaksi langsung antara peneliti dengan tineliti (Sitorus dan Agusta, 2005). Pada kajian ini peneliti melakukan interaksi langsung dengan subyek kajian yaitu anggota kelompok pengrajin, pengurus LPM desa, kepala desa, dan stakeholder yang berperan, untuk mengetahui pandangan, keyakinan dan realitas masalah, sebagai bahan untuk menyusun rancangan program penguatan kelompok usaha kerajinan tenun ikat tradisional. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi Kajian Penelitian dilakukan di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Adapun faktor yang mendukung: a. Desa Hambapraing, merupakan salah satu komunitas yang dipotret saat melakukan praktek lapangan, dalam wujud pemetaan sosial dan evaluasi program pengembangan masyarakat. b. Desa Hambapraing mempunyai masalah seperti, angka kemiskinan yang tinggi yakni 217 kepala keluarga dari 260 kepala keluarga atau 84 persen, pendapatan yang rendah, pengangguran, sumber daya manusia (SDM) yang rendah, dan iklim panas yang berkepanjangan, tetapi mempunyai potensi lain seperti peternakan dan kerajinan tangan. Desa ini adalah salah satu desa yang paling
berpotensi dalam hal kerajinan tenun ikat untuk tingkat Kecamatan Haharu, apalagi didukung oleh letaknya yang strategis berada diantara dua lokasi tujuan wisata pantai (pantai Londalima dan pantai Purukambera) yang memungkinkan terjadinya perkembangan usaha kerajinan tenun ikat. c. Terdapat program pengembangan masyarakat yang mewadahi perkembangan usaha kerajinan tenun ikat, yakni melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM), namun masih sebatas bantuan modal usaha. d. Dari kondisi tersebut, diperlukan strategi dan program yang dapat membantu keberlanjutan perkembangan usaha kerajinan tenun ikat sehingga menjadi salah satu alternatif pemberdayaan ekonomi masyarakat. Waktu Kajian Pelaksanaan penelitian secara bertahap dilakukan sesuai kalender akademik, secara jelas dalam jadwal berikut. Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Kajian Jenis Kegiatan 1. Pemetaan Sosial 2. Evaluasi Program 3. Penyusunan Proposal Kajian 4. Seminar Kolokium 5. Pengambilan Data & Pengembangan Program 6. Analisis Data 7. Penulisan Laporan 8. Seminar 9. Ujian 10.Perbaikan Laporan 11.Penggandaan Laporan
Tahun 2007 1
2
3
4
5
6
7
8 9
2008
10
11
12
1
2
3
4 5
Penentuan Kasus Kajian Studi kasus terletak pada identifikasi masalah-masalah yang dihadapi kelompok, disesuaikan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok. Kelompok yang dikaji berdasarkan karakteristiknya atau kedinamisannya, yakni kelompok yang aktif, kelompok kurang aktif dan kelompok yang tidak aktif lagi, sebagai hasil pelaksanaan kedua program sebelumnya (P3DM dan PPK). Berdasarkan identifikasi masalah ditemukan langkah pemecahan atau alternatif penyelesaian masalah.
Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis Data dan Sumber Data Data primer berasal dari responden dan informan yang berkaitan dengan masalah penelitian, sedangkan data sekunder yakni data yang sudah diolah, dan yang diterbitkan oleh lembaga tertentu sesuai tujuan pengambilan data, yakni monografi desa, profil desa, data-data statistik, petunjuk operasional program pengembangan masyarakat, dan sebagainya. Responden dan Informan dipilih berdasarkan teknik sampling tak acak (non probability sampling) secara sengaja sesuai dengan data yang dibutuhkan. Responden adalah pengrajin yang termasuk dalam tujuh kelompok, dari masing-masing kelompok diwakili dua sampai tiga orang. Pihak pemerintah meliputi, Badan Pemberdayaan Masyarakat (pelaksana program di komunitas), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pariwisata, TP.PKK (Dekranasda), Kepala Desa Hambapraing, Ketua LPM, dan Ketua BPD. Pihak lainnya adalah, pembeli langsung, pembeli perantara, pemilik art shop, dan masyarakat. Teknik Pengumpulan Data Dalam proses pengumpulan data, teknik yang digunakan adalah : 1. Studi Dokumen Data sekunder yang ditelusuri berupa dokumen yang tertulis yang diakui secara publik, diantaranya data BPS, data monografi desa, petunjuk teknik tentang program PPK dan P3DM, serta profil kelompok pengrajin tenun ikat di komunitas.
2. Observasi Partisipasi Observasi partisipasi atau pengamatan secara berperan serta mensyaratkan untuk saling berinteraksi antara peneliti dengan subjek penelitian secara langsung dalam lingkungan subjek penelitian (komunitas amatan). Pengamatan berperanserta (menurut Sitorus dan Augusta, 2006) bertujuan dapat memberi kemungkinan untuk : a. melihat, merasakan, memaknai dunia, peristiwa, dan gejala sosial menurut subjek penelitian b. pembentukan pengetahuan bersama Observasi dilakukan sejak pemetaaan sosial, evaluasi program di komunitas, hingga penyusunan kajian. Pengamatan yang dilakukan yakni dalam kegiatan rutin para pengrajin, seperti saat proses produksi, serta proses pemasaran kepada pembeli langsung, dan pembeli perantara. Mengunjungi tempat pemasaran, hingga toko atau artshop yang dapat menggambarkan keterkaitan stakeholder dalam usaha kerajinan. 3. Wawancara Proses wawancara dalam bentuk tatap muka secara terus menerus antara peneliti dan tineliti (subjek penelitian), membangun rapor yang baik sehingga proses tersebut dapat berjalan dalam suasana akrab, tidak formal, dan setara. Hampir sebagian besar data primer dilakukan melalui wawancara karena mengandung prilaku dan kejadian yang dilalui atau dirasakan oleh responden. Wawancara dilakukan dengan semua responden teristimewa para pengrajin untuk mengenal keterkaitan masalahnya dengan kondisi yang dapat dilakukan untuk perbaikannya. Wawancara dilakukan dengan mengikuti alur informasi dari responden yang pertama untuk melanjutkan pengambilan informasi lanjutan pada responden lainnya. 4. Diskusi Kelompok Terfokus Diskusi dilakukan untuk mengetahui hal yang dirasakan dan dipersepsikan masyarakat terhadap masalah dan tema yang disajikan. Seperti dalam kajian ini, diskusi dilakukan untuk mengetahui pandangan anggota tentang usaha yang sudah dilakukan, kondisi kelompok, mekanisme pemasaran dan penjualan produk yang dilakukan, proses produksi, harapan yang ingin di capai melalui usaha tenun ikat, dan keberfungsian lembaga terkait yang dirasakan. Diskusi dihadiri oleh pemerintah desa,
anggota pengrajin, pelaksana program, Dinas pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dekranasda, dan Tokoh masyarakat, diawali dengan identifikasi masalah, potensi hingga langkah-langkah pemecahan masalah. Pengolahan Data Data lapangan direduksi, dirangkum, dan dipilih hal-hal pokok yang difokuskan dan dikaitkan sesuai tujuan penelitian. Dari hasil reduksi ini, tersusun data yang dapat menggambarkan atau mendeskripsikan hasil pengamatan. Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan kesimpulan.
Penyusunan Program a. Identifikasi potensi dan masalah secara partisipatif, yakni berupa deskripsi dan pandangan-pandangan masyarakat. Mengetahui dan mengenal pandangan masyarakat dilakukan sejak awal penelitian melalui wawancara dan observasi. Hasil pengamatan tersebut di identifikasi secara tertulis dan dijadikan tema yang akan dibicarakan pada saat diskusi kelompok terfokus. Identifikasi unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok pengrajin, dan keterkaitannya dengan kondisi atau kelemahan yang ada. Cara ini dapat menghasilkan kesimpulan yang tepat untuk merancang program atau pengambilan keputusan berdasarkan potensi, permasalahan, dan kebutuhan masyarakat. b. Diskusi terarah (focuss group discussion) untuk merancang bersama aksi yang dapat dilakukan sesuai hasil identifikasi masalah, potensi, selama diskusi berlangsung, maupun berdasarkan informasi atau data sebelumnya yang sudah disajikan peneliti. Diskusi tersebut dihadiri oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dan berhubungan dengan tema diskusi, sehingga semakin banyak data yang diperoleh dan semakin memperjelas tindakan nyata yang hendak dilakukan secara partisipatif.
PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA HAMBAPRAING
Gambaran Lokasi Secara geografis, Desa Hambapraing terletak di sepanjang pesisir pantai bagian utara, dengan suhu rata-rata 32 derajat celsius dan curah hujan 42 mili meter per tahun, sehingga daerah ini merupakan salah satu wilayah yang bercuaca panas. Luas desa 44,2 kilo meter, dimana berbatasan dengan daerah-daerah seperti sebelah utara : Laut Sawu, sebelah selatan: Desa Kuta, sebelah barat : Desa Ndapayami, sebelah timur: Laut Sawu. Keadaan geografis menunjukkan Desa Hambapraing berada pada topografi dataran rendah, dimana hamparan luas berupa padang sabana, serta di sertai bukit karang. Dengan curah hujan yang seperti itu, maka lahan pertanian tergantung pada curah hujan saja, yakni tanaman ladang seperti jagung, kacang tanah, dan tanaman perkebunan lainnya. Luas lahan pertanian seluas 234 hektar, sangat kecil dibanding lahan peternakan karena padang sabana merupakan lahan yang cocok untuk ternak, yakni seluas 4.186 hektar. Dari gambaran tersebut, komunitas tersebut adalah daerah pesisir yang memiliki iklim alam yang panas serta kurangnya tumbuhan hijau. Letak Desa Hambapraing berada diantara ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan, sehingga mobilitas ekonomi maupun ketersediaan infrastruktur cukup memadai. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut, Tabel 2 Orbitasi jarak dan waktu tempuh dari pusat pemerintahan No
Orbitasi
Jarak
Waktu
1
Pusat pemerintahan kecamatan
20 km
30 menit
2
Pusat pemerintahan kota/kabupaten
24 km
40 ment
Sumber : Monografi Desa Hambapraing, Desember 2006
Dari tabel 4, menunjukkan Desa Hambapraing berada pada posisi yang cenderung strategis, karena memiliki daya jangkau atau akses terhadap pelayanan dari pemerintahan baik tingkat kecamatan, dan kabupaten lebih cepat karena letak yang
dekat. Keadaan ini, sesungguhnya menguntungkan warga atau penduduk Desa Hambapraing, karena menjadi wilayah pelayanan yang terdekat, seperti penggunaan fasilitas-fasilitas publik yang disediakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Posisi wilayah ini, berada pada jalur antara pusat kecamatan dan pusat kabupaten, sehingga bisa disebut juga sebagai daerah pinggiran kota yang akan menjadi salah satu bagian dari perluasan jika terjadi pengembangan kota atau urbanisasi (Wahyuni Ekawati, et al 2006). Tersedianya infrastruktur yang cenderung lengkap dibanding desa di wilayah lain, belum sepenuhnya memberi kontribusi sejahteranya warga desa tersebut. Desa Hambapraing terdiri dari dua dusun, empat rukun warga (RW) dan delapan rukun tetangga (RT), dengan jumlah penduduk 946 jiwa yang terbagi ke dalam 260 kepala keluarga, (data monografi desember 2006). Berdasarkan komposisi tersebut, terdapat 217 kepala keluarga miskin (profil desa, 2006)), dimana jika setiap kepala keluarga beranggotakan rata-rata empat orang, maka terdapat 868 jiwa yang hidup dalam garis kemiskinan. Keluarga miskin adalah penerima beras miskin (raskin), yang di data sesuai standar nasional. Indikator kemiskinan tidak hanya dilihat dari penerima beras raskin, tetapi juga menurut ukuran masyarakat lokal yakni, minusnya aset atau kepemilikan harta benda seperti ternak besar atau kecil, simpanan makanan (lumbung yang kosong), kepemilikan kain dan mas, serta biaya sosial seperti keterlibatan dalam adat dan sebagainya. Gambaran ini, terdapat banyak penduduk yang hidup dalam kemiskinan sehingga dibutuhkan upaya strategis meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan. Lokasi Desa Hambapraing, terdiri atas beberapa lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan mata pencarian, untuk pemukiman, dan sarana infrastruktur lainnya. Yang paling luas adalah lahan pertanian dan padang penggembalaan ternak. Pemukiman hanya 47 ha karena jumlah penduduk masih tergolong jarang. Gambaran distribusi lahan yang digunakan sesuai peruntukannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut (tabel 3).
Tabel 3 Luas Lahan dann Peruntukan Lahan Desa Hambapraing, pada tahun 2006 No
Peruntukan Lahan
Luas
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Pemukiman Tanah Kebun/Pertanian Perkantoran Desa Pekuburan Padang Peternakan Lokasi SD Gereja Pusat Kesehatan (Polindes)
15 km 47 ha 234 ha 1 ha 2 ha 154 ha 2 ha 2 ha 0,5 ha
Sumber : Profil Desa Hambapraing Tahun 2006
Kependudukan Dalam tabel 6, menunjukkan jumlah usia produktif atau usia kerja (usia 15 tahun-64 tahun) sebesar 585 orang dari total penduduk 946 orang. Untuk mengetahui ketergantungan penduduk, maka usia nonproduktif yang meliputi anak-anak (0-14 tahun) dan lanjut usia (diatas 64 tahun) dibandingkan dengan jumlah penduduk yang berusia produktif (370 : 585). Dari angka tersebut di atas, rasio beban tanggungan menunjukkan perbandingan yang cukup besar yakni, setiap 100 orang usia produktif harus menanggung 63 orang usia non produktif. Usia produktif masih termasuk kelompok bukan angkatan kerja, jadi mereka pun secara langsung tergantung pada kelompok yang sudah bekerja, sehingga angka ketergantungan secara nyata, pasti lebih besar dari 63. Kelompok bukan angkatan kerja adalah pelajar dan pencari kerja atau pengangguran. Keterbatasan lapangan pekerjaan disebabkan oleh besarnya jumlah pencari kerja, dan karena sumber daya yang dimiliki oleh pencari kerja tidak sesuai dengan lapangan kerja yang ada. Lapangan pekerjaan yang tersedia hanya terpusat di kota, sedangkan di desa jenis pekerjaan sangat terbatas. Jumlah pencari kerja tidak dapat di tampung oleh lapangan pekerjaan yang ada, mengakibatkan besarnya angka pengangguran. Di Desa Hambapraing, jenis pekerjaan warganya adalah petani lahan kering (jagung, kacang tanah, sorgum, dan lainnya), peternak
(kuda, babi, sapi, ayam, kambing, kerbau), nelayan, pengrajin (tenun ikat), usaha warungan, dan pegawai. Ada juga yang bekerja sebagai buruh (tenaga yang diupah dalam bentuk uang maupun barang) untuk peternakan, pertanian, dan kerajinan dimana jam kerjanya di bawah 30 jam perminggu dengan pendapatan yang kurang, bersifat temporal atau sewaktu-waktu. Kelompok semacam ini, mungkin dapat dikategorikan sebagai setengah pengangguran tidak kentara, apalagi kesempatan kerja mereka yang singkat, tergantung pada musim di pertanian. Pengangguran menjadi salah satu masalah sosial yang perlu di perhatikan karena tidak hanya terjadi di kotakota besar tetapi juga di perdesaan, akibat belum adanya produktivitas yang menyeluruh dan merata dalam pengembangan dan pemanfaatan ekonomi lokal. Tabel 4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Desa Hambapraing Keadaan Desember 2006 Umur
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
%
0-4 tahun
50
59
109
11.52
5 s/d 9 th
46
51
97
10.25
10 s/d 14 th
58
47
105
11.09
15 s/d 19 th
53
47
100
10.57
20 s/d 24 th
42
41
83
8,77
25 s/d 29 th
70
71
141
14.90
30 s/d 34 th
27
26
53
5.60
35 s/d 39 th
20
29
49
5.17
40 s/d 44 th
25
17
42
4.43
45 s/d 49 th
22
14
36
3.80
50 s/d 54 th
17
12
29
3.06
55 s/d 59 th
16
19
35
3.69
60 s/d 64 th
10
8
18
1.90
65 >
31
28
59
6.23
Total
477
469
946
100
Sumber : Profil Desa Hambapraing tahun 2006
Untuk pertumbuhan penduduk, reit perkembangan penduduk cukup baik yakni 2,5 persen4 (setiap tahun terjadi penambahan penduduk sekitar 20 sampai 24 jiwa) selain karena pertumbuhan alamiah, sedikit dipengaruhi juga oleh gerak penduduk keluar desa karena alasan pekerjaan, perkawinan, dan pendidikan, sedangkan gerak penduduk masuk ke desa karena perkawinan dan pekerjaan. Alasan perkawinan berarti mobilitas penduduk yang harus membentuk rumah tangganya sesuai kepemilikan lahan untuk tinggal, dan karena budaya yang mewajibkan perempuan mengikuti suami atau laki-laki yang tinggal dirumah istrinya. Laki-laki yang tinggal dirumah istrinya umumnya karena urusan adat belum tuntas. Alasan pekerjaan berarti, keinginan penduduk untuk mencari pekerjaan diluar desa seperti ke kota, daerah lain bahkan luar negeri sebagai tenaga kerja indonesia (TKI). Alasan pendidikan berarti, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ke luar desa, mulai sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi. Sumber daya manusia yang dimiliki oleh warga ditinjau dari tingkat pendidikan mereka. Keterbatasan sumber daya manusia, menjadi penyebab rendahnya keterlibatan penduduk dalam aktivitas ekonomi yang berjalan di kota, maupun peluang yang ada di desa. Selain itu, sumber daya manusia yang rendah, menimbulkan kreatifitas yang kurang pula. Hal ini dapat dilihat pada apa yang dilakukan oleh petani maupun pengrajin. Petani merasa menyerah dengan keadaan alam, sedangkan kemungkinan peluang perkebunan dapat dikembangkan jika kemampuan mengadaptasi informasi dari luar lebih baik. Hal ini, terbukti melalui budidaya kacang mete, yang sudah berlangsung hampir 20 tahun, dari hasil tanaman tersebut belum tampak adanya keberlanjutan dari keberadaan atau kehadiran tanaman itu, padahal ditanam hampir pada sebagian besar lahan pertanian masyarakat. Untuk kerajinan, keterbatasan sumber daya pengrajin, mengakibatkan kurangnya kreasi dalam menghasilkan produk secara teratur dan berkesinambungan, serta kesesuaian
4
(perkembangan penduduk : tahun 2004: 900 jiwa ; tahun 2005 : 922 jiwa ; tahun 2006:946 jiwa,
sesuai profil Desa Hambapraing)
dengan selera pasar, kebutuhan dan kemampuan pembeli. Hasil yang monoton dan mahal mengakibatkan lesunya permintaan kain tenun tersebut, sementara didaerah lain, kreasi yang variatif justru mempunyai potensi pasar yang besar. Kaitan tingkat pendidikan penduduk yang rendah mempengaruhi keterbatasan kreatifitas untuk bertindak produktif. Selanjutnya tingkat pendidikan diuraikan dalam tabel sebagai berikut. Tabel 5 Jumlah dan Persentasi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1
Belum tamat SD
311 orang
32,90
2
Tidak Tamat SD
315 orang
33,31
3
Tamat SD
203 orang
21
4
SLTP
23 orang
2.5
5
SLTA
36 orang
3.9
6
PT/Akademi
4 orang
0,48
7
Buta aksara dan angka (usia 8-60 tahun)
56 orang
5,91
8
Jumlah penduduk
946 orang
100
Sumber : Monografi Desa Hambapraing tahun 2003 dan tahun 2006
Tabel 7 menunjukkan dari total penduduk, terdapat 33,31 persen dari penduduk tidak tamat sekolah dasar, 21 persen berpendidikan SD, 5,91 persen buta aksara, dan yang sedang menjalani pendidikan dasar atau belum tamat SD yakni 32,90 persen. Selebihnya penduduk terbagi dalam jenjang pendidikan SMP hingga Perguruan tinggi hanya 6,9 persen. Oleh sebab itu, 60 persen adalah penduduk yang berpendidikan rendah atau setingkat sekolah dasar. Jadi, yang sudah mengenyam pendidikan lanjutan hanya 40 persen, sehingga dapat dikategorikan masyarakat desa ini memiliki sumber daya manusia yang masih rendah. Sistem Ekonomi Kemampuan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya alam atau fisik dan non fisik. Demikian halnya dengan komunitas ini, terdapat berbagai sumber daya lokal yang sebenarnya dapat
menunjang kehidupan penduduknya. Sumber daya alam tersebut belum dapat dikelola karena faktor sumber daya manusia yang masih lemah. Potensi lokal yang cukup memberi hasil bagi masyarakat yakni hasil pertanian (khusus jagung dan kacang tanah), peternakan, serta hasil kerajinan yakni tenun ikat. Penduduk Desa Hambapraing secara umum, bekerja di sektor pertanian yakni, kebun atau ladang, peternakan, perikanan atau nelayan, serta kerajinan. Pekerjaan tersebut sesuai dengan keadaan alam, pada saat musim penghujan masyarakat menjadi petani, sedangkan pada musim kering menjadi nelayan, tetapi kerajinan tenun ikat dan peternakan dilakukan sepanjang tahun. Dilakukan sepanjang tahun, artinya karena memproduksi kain dilakukan kapan saja, tergantung kesiapan bahan baku, dan tenaga, demikian halnya dengan peternakan, dapat dilakukan penggembalaan dan pemeliharaan ternak sepanjang tahun. Mata pencarian ganda tersebut dilakukan sebagai strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seiring perjalanan waktu, usaha warungan dan kios juga menjadi salah satu pekerjaan yang dilakukan, dan dominan oleh ibu-ibu untuk menambah penghasilan. Dalam keterangan dibawah, tampak bahwa setiap rumah tangga memiliki pekerjaan ganda. Komposisi mata pencarian penduduk seperti lampiran berikut, Tabel 6 Jumlah dan Persentasi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan No Mata Pencarian
Jumlah
%
1
Petani (kebun,ternak,nelayan)
242 kepala keluarga5
95,27
2
Pengrajin
80 kepala keluarga
31,49
3
Guru PNS
3 kepala keluarga
1,18
4
Guru Swasta
6 kepala keluarga
2,36
5
Wiraswasta / Warungan
12 kepala keluarga
4,72
Sumber : Profil Desa Hambapraing, 2006
Jumlah kepala keluarga di Desa Hambapraing adalah 260 kepala keluarga, yang mengaku sebagai petani adalah 242 kepala keluarga, yang terdiri atas petani kebun 5
petani yang juga termasuk pengrajin dan wiraswasta, sebagai wujud sumber panghasilan ganda, sehingga total lebih dari 100 persen
atau ladang, peternak, dan nelayan. Dari jumlah tersebut juga ada kepala keluarga yang melakukan nafkah ganda seperti sebagai pengrajin sekaligus juga peternak, bahkan usaha warungan. Yang memiliki pekerjaan ganda hingga meliputi 3 atau 4 jenis pekerjaan adalah keluarga yang termasuk berada (kaya) di desa tersebut. Keluarga tersebut biasanya didukung oleh banyaknya jumlah anggota keluarga yang sudah melakukan pembagian kerja. Keterangan 80 kepala keluarga dan wiraswasta adalah bagian dari penduduk yang juga mengaku sebagai petani, sehingga angka yang disajikan lebih dari seratus persen. Usaha pertanian yang pernah potensial adalah kacang tanah, dan jagung. Untuk kacang tanah, desa tersebut pernah menjadi penyuplai terbesar untuk kebutuhan ke kota kabupaten (hasil wawancara dengan kepala desa dan tokoh masyarakat). Kini hal itu sudah perlahan menghilang akibat musim hujan yang semakin singkat, sehingga petani sering mengalami gagal panen, akhirnya bibit kacang menjadi langka di setiap rumah warga. Kondisi dan hasil pertanian yang terbatas, karena lahan kering dan musim kering yang berkepanjangan, memungkinkan daerah ini lebih cocok untuk tanaman perkebunan atau tanaman umur panjang bukan musiman Hal ini ditandai oleh tanaman kacang mete dan tanaman kelapa yang cukup subur didesa tersebut, namun belum dikembangkan secara baik. Sejak tahun 2007, dikembangkan tanaman jarak pagar atau jatropah, dan sedang melalui proses sosialisasi awal bagi masyarakat. Pemerintah cukup gencar dalam membuka peluang ekonomi khusus di bidang pertanian, khususnya perkebunan, tetapi masih mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan adalah program yang tidak berkelanjutan, dan lemahnya kemampuan masyarakat dalam mengadaptasi perubahan yang ada, sebagai konsekuensi dari rendahnya tingkat pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, kurangnya kemampuan sumber daya manusia juga ditandai oleh faktor yang sering divonis secara terbuka seperti unsur malas, dan motivasi untuk maju yang masih rendah. Hal ini tentu bukan sesuatu yang tumbuh secara alami tetapi kondisi yang timbul karena banyak hal, sehingga perlu di bangun motivasi yang lebih baik melalui aktivitas yang mendukung keberadaan masyarakat ke arah perubahan. Mereka tahu melakukan hal
yang produktif tetapi masih tradisional dan terikat dengan nilai-nilai adat yang bertolakbelakang dengan sisi ekonomis. Rendahnya sumber daya manusia seperti tampak dalam data pendidikan tersebut di atas, mengakibatkan besarnya jumlah kemiskinan, selain itu didukung oleh faktor lain yang sangat besar pengaruhnya yakni orientasi budaya. Budaya yang dimaksud yakni relasi dan hubungan kekerabatan melalui adat istiadat yang menimbulkan konsekuensi harta atau materi. Pelaksanaan pesta adat atau acara adat untuk kematian, perkawinan, kelahiran maupun tema yang lain, mewajibkan setiap anggota keluarga yang terlibat didalamnya untuk menyumbangkan materi berupa hewan (kuda, babi, sapi, kerbau), emas, kain, atau lainnya sesuai posisi dari anggota tersebut. Posisi dimaksud adalah hubungan atau status dengan pihak penyelenggara acara adat tersebut. Harta tersebut diakumulasi melalui acara adat, tetapi pada saat yang akan datang harus mengembalikan materi tersebut sesuai peruntukannya dengan seimbang (dalam jumlah yang sama atau lebih besar). Yang berlebihan adalah, ketika seseorang mempertanggungjawabkan kewajibannya karena alasan prestise, dengan cara hutang atau memaksakan pengeluaran di atas pendapatannya. Orientasi budaya sangat mempengaruhi sistem ekonomi masyarakat di komunitas tersebut. Hal ini tampak dalam keputusan mengalokasikan pendapatan (konsumsi), dimana lebih besar untuk kepentingan adat dibanding untuk pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan, bahkan kebutuhan pangan sekalipun (Babang,2005). Hal ini mengingatkan kita pada substansi kemiskinan kultural, dimana masyarakat sangat terikat dengan unsur budaya sehingga menghambat aktivitas yang ekonomis dan produktif. Pola
nafkah
ganda
masyarakat
akan
mendukung
besarnya
peluang
pengembangan sumber daya alternatif (selain pertanian) yang cukup potensial, seperti peternakan dan usaha kerajinan tenun ikat. Kerajinan tenun ikat, dikenal kekhasannya, dan proses pembuatan yang cukup lama dengan bahan dasar alami, sehingga mengakibatkan harga dari produk tersebut menjadi mahal pula. Ketrampilan kerajinan tenun ikat, dimiliki oleh hampir sebagian besar perempuan dan laki-laki di
desa tersebut. Untuk peternakan, hampir semua laki-laki di desa tersebut mempunyai kewajiban dalam memelihara ternak seperti ke padang penggembalaan, dan proses lainnya. Kaum perempuan juga terlibat untuk memelihara ternak kecil dirumah seperti babi, ayam, dan kambing. Hasil produksi kain, dan ternak adalah materi dalam pesta adat, sehingga komoditas tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Kedua komoditi tersebut potensial dikembangkan untuk membantu perekonomian rumah tangga masyarakat, meskipun selama ini masih mengalami kendala, seperti pemasaran yang terbatas dan produksi yang belum berorientasi pasar (subsisten). Kedua bidang ini (peternakan dan kerajinan) cukup menonjol karena menjadi salah satu keunggulan atau potensi yang dapat memberi kemungkinan kontribusi pendapatan lebih baik bagi masyarakat. Kekhasan hasil produksi dapat menunjang produktivitas ke arah yang lebih komersial, jika diupayakan secara intensif. Selain itu, masuknya program pemerintah yang memberi bantuan modal memberi dampak bagi usaha peternakan dan usaha kerajinan melalui simpan pinjam kelompok. Upaya mengoptimalkan usaha-usaha tersebut akan mempengaruhi perekonomian di desa tersebut. Berdasarkan gambaran tersebut diatas, menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Desa Hambapraing merupakan kemiskinan struktural. Hal ini ditandai oleh kondisi masyarakat yang masih mempunyai potensi seperti kerajinan, peternakan dan sebagainya. Secara struktural artinya masih dipengaruhi oleh nilai-nilai, adat, kebiasaan dan modal sosial yang masih kental diyakini oleh masyarakat sehingga mempengaruhi keputusannya dalam melakukan aktivitas produktif. Selain itu, rendahnya akses pengrajin terhadap peluang pasar, lemahnya jaringan permodalan dan peningkatan ketrampilan masih terbatas. Dengan demikian dibutuhkan gerakan pemberdayaan sehingga secara perlahan dapat merubah cara pikir dan cara bertindak masyarakat di komunitas. Struktur Komunitas Pelapisan Sosial
Pelapisan sosial di desa Hambapraing, terpilah-pilah berdasarkan kesamaan klan atau kelompok, status dalam klan (bangsawan atau bukan), tingkat perekonomian atau kekayaan yang dimiliki, kesamaan dalam pekerjaan, hingga tingkat pendidikan. Pelapisan atau pengelompokan lainnya juga berdasarkan, kesamaan keterlibatan dalam suatu organisasi atau kelompok, contohnya : kelompok pengrajin, kelompok seiman, karang taruna, hansip, dan sebagainya. Unsur utama pelapisan sosial, berdasarkan pada penilaian dan penghargaan terhadap beberapa aspek yang dimiliki atau di sandang oleh seseorang, seperti : a. status dalam klan, hubungan dengan stratifikasi (kalangan maramba, kabihu, atau ata) b. kekayaan atau jumlah aset yang dimiliki c. pendidikan tertinggi yang ditempuh d. ketokohan e. keaktifan dalam kegiatan, baik formal maupun non formal, f. pekerjaan atau jabatan Faktor yang paling mendasar dalam menentukan pelapisan sosial adalah ketokohan, unsur kebangsawanan walau secara perlahan sudah berkurang, serta kekayaan. Hal ini tampak dalam upacara adat dan forum formal, dimana lapisan atas yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Di desa ini, kalangan terpelajar masih terbatas jumlahnya sehingga tokoh yang berstatus lebih dominan berperan. Kepemimpinan Demikian yang terjadi dalam hal kepemimpinan, hampir tidak berbeda dengan wilayah lainnya, hal yang menentukan adalah, status dan kekayaan seseorang, dukungan dan kepercayaaan dari masyarakat, serta pekerjaan dan jabatan yang diemban baik formal atau informal. Informal bisa berupa pengaruh dalam adat, status dalam klan, ketokohan, maupun dalam hal kepemilikan materi. Oleh sebab itu di
komunitas tersebut terdapat tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh formal atau pemerintahan, juga tokoh pemuda. Kepemimpinan yang berjalan secara formal di Desa Hambapraing, didukung oleh figur dari seorang kepala desa, tidak hanya semata karena faktor tingkat pendidikan, tetapi karena posisinya dalam klen. Seseorang yang datang dari klen yang lebih kecil, apalagi didukung oleh unsur keturunan yang non bangsawan, akan menghadapi kesulitan jika tidak mampu mendekati tokoh besar atau yang berpengaruh dalam desa. Kemampuan mengakomodasi para tokoh dalam pengambilan keputusan menjadi potensi yang besar, dalam menunjang berjalannya kepemimpinan yang lebih baik. Perjalanan kepemimpinan kepala desa di Hambapraing sejak awal berada dibawah kendali salah satu tokoh dari klen yang besar di desa tersebut. Seiring perjalanan waktu, sudah terjadi tiga pergantian figur, yang terakhir adalah figur dari kalangan yang relatif lebih kecil klennya, tetapi memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Kemampuan figur ini dalam mengakomodasi dukungan semua pihak dan pelaksanaan kepemimpinan yang demokratis, maka kini mendapat kesempatan kedua untuk melanjutkan pemerintahan desa. Pengaruh yang besar, tidak hanya pada pendidikan tetapi pada unsur ketokohan dan status seseorang untuk layak tidaknya menjadi calon pemimpin. Dalam perjalanan kepemimpinan dapat dilihat dari berhasil tidaknya beberapa program yang masuk bagi masyarakat, contohnya program bagi kepala keluarga miskin melalui raskin (beras miskin) dan askeskin (asuransi kesehatan keluarga miskin). Dalam perjalanannya, hampir merata bagi kalangan miskin, walau tidak sepenuhnya dapat memuaskan semua warga karena alasan teknis atau kesepakatan kesepakatan yang mengakibatkan tidak semua kalangan dapat terlayani. Untuk program P3DM sebagai salah satu program pemberdayaaan yang akan berkelanjutan, sudah berjalan sesuai kemampuan aparat dan kemampuan di wilayah tersebut dalam melibatkan partisipasi warga, walau dari hasilnya, ternyata masih butuh pendampingan dan pembinaan secara intensif.
Tanggapan masyarakat terhadap kepemimpinan Warga meyakini bahwa kepemimpinan di tingkat desa adalah sosok yang harus peduli dan bertanggungjawab terhadap kepentingan warga, menjadi tempat penyelesaian masalah yang muncul, dengan prinsip demokrasi, kerjasama, dan swadaya serta partisipatif. Salah satu contohnya, pembangunan sekretariat atau kantor desa, merupakan aspirasi seluruh warga yang menghendaki adanya pusat pelayanan warga dalam sebuah kantor atau sekretariat, lalu di dukung secara swadaya. Secara fisik, pembangunan telah dilakukan pada tahun 2005, dengan biaya program P3DM maupun PPK dan swadaya masyarakat berupa tenaga dan material lokal. Proses ini menunjukkan bahwa pemimpin memberi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam menentukan program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kepemimpinan di desa tersebut, tidak luput dari kelemahan seperti adanya dampak dari keputusan yang diambil secara mendadak sehingga ada warga yang kurang puas. Oleh sebab itu kepemimpinan dianggap baik, jika keputusan yang diambil lebih mengutamakan kepentingan semua pihak terutama yang sangat membutuhkan. Praktisnya, pemimpin formal terdekat ditingkat paling bawah adalah RT dan Dusun, sehingga warga mengharapkan adanya kepedulian pemimpin tersebut. Selain itu, tokoh lainnya adalah tokoh yang aktif dalam kegiatan keagamaan, dan kegiatan adat atau ritual asli yang masih diyakini oleh sebagian besar penduduk desa. Tua adat memiliki pengaruh yang besar dalam setiap bagian atau sisi perjalanan kehidupan masyarakat, dimana pelaksanaan even-even tersebut didominasi oleh tua-tua adat dan tokoh masyarakat, sehingga hal ini berpengaruh pada pengambilan keputusan. Tokoh muda juga adalah mereka yang sering melakukan kegiatan-kegiatan desa secara internal maupun eksternal (karang taruna dan pemuda gereja). Tokoh-tokoh ini berperan dalam pembinaan mental, dan memelihara nilai, dalam hubungan bermasyarakat, beribadah, dan berprilaku. Organisasi dan Kelembagaan Organisasi dan kelembagaan yang terdapat di komunitas, tidak terlepas dari kepemimpinan yang di sandang oleh tokoh-tokoh, yakni secara formal maupun
informal. Organisasi-organisasi yang ada dalam masyarakat di bentuk atau diadakan untuk mencapai tujuan tertentu. Organisasi formal dibentuk sebagai perangkat organisasi dari pemerintahan pada berbagai levelnya, sedangkan organisasi atau kelompok adalah bentukan program seperti kelompok pengelola air bersih, kelompok simpan pinjam, kelompok pengrajin, kelompok peternak, dan sebagainya. Kelembagaan maupun norma yang berlaku, mengandung budaya yang masih sejenis atau homogen, artinya etika budaya sumba masih kuat dalam kehidupan masyarakat, apalagi komposisi penduduk 90 persen masih asli atau belum berbaur. Ikatan emosional masih kental karena secara keseluruhan masih memiliki hubungan keluarga. Hal lain yang menentukan adalah peran-peran media informasi yang dapat di akses sehingga proses melembaganya suatu nilai, bisa cepat atau lambat. Norma yang berlaku, lebih dominan pada aturan hukum formal yang berlaku, serta aturan non formal yakni budaya dan sistem keyakinan (belief system). Sistem keyakinan artinya, di komunitas tersebut adalah mayoritas beragama Kristen, dan keyakinan asli (marapu) sehingga pola tindak dan norma yang dianut selalu berkiblat dari ajaran yang diyakini. Dengan demikian peran tokoh agama dan tokoh adat sangat penting. Dalam hubungannya dengan kelompok pengrajin tenun ikat, diketahui bahwa hubungan
kekeluargaan
mendukung
kompaknya
suatu
kelompok
dalam
memproduksi kain secara lebih kontinyu. Hal ini terbukti melalui dua kelompok yang berhasil melakukan proses produksi, karena akivitas yang dilakukan dapat disesuaikan antara anggota yang satu dengan yang lainnya. Aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan domestik maupun sosial lainnya yang melibatkan anggota pengrajin. Selain itu, ada modal sosial yang mengandung nilai-nilai kerjasama untuk melakukan proses produksi, dan sebagainya. Jejaring Sosial Komunitas Jejaring sosial yang ada di komunitas meliputi internal dan eksternal. Jejaring internal, melalui kegiatan-kegiatan menyeluruh sebagai program dalam Rukun tetangga (RT) maupun Dusun dan Desa. Sebaliknya jejaring eksternal, adalah kegiatan-kegiatan dalam hubungannya dengan pihak-pihak di luar komunitas.
Bentuk-bentuk jaringan sosial terwujud dalam aktivitas, seperti kegiatan-kegiatan di gereja maupun organisasi lainnya, dilakukan sesuai tujuan yang akan dicapai. Selain itu, kader posyandu dan ibu-ibu PKK, melakukan kerjasama saat sosialisasi Keluarga Berencana (KB) atau hidup sehat, dan sebagainya. Kerjasama juga dilakukan masyarakat dalam melakukan proses produksi, seperti untuk pertanian, membangun rumah, produksi kerajinan, dan sebagainya. Hal ini merupakan nilai yang dapat dikatakan sebagai modal sosial dalam kehidupan masyarakat lokal. Kerjasama dan jejaring eksternal, dapat dilihat pada hubungan pejabat desa ke tingkat kecamatan hingga kabupaten, antar desa, dan dengan lembaga non pemerintah baik didalam desa maupun luar desa. Hubungan dengan pemerintahan ke tingkat yang lebih tinggi melalui hubungan tugas pemerintahan. Selain itu terjadi
relasi dan
kerjasama yang dibangun secara informal antar pengusaha kecil atau pedagang kecil dengan warga desa dalam mencari pemasaran produk atau hasil bumi yang akan dijual ke kota. Model kerjasama tersebut sudah terjalin lama, untuk memasarkan produk dari komunitas, seperti kerajinan tenun ikat, hasil kebun, hasil laut, ternak, dan sebagainya. Proses Sosialisasi dalam Komunitas Sosialisasi dalam komunitas, terjalin dalam berbagai cara, yakni melalui pola hidup keluarga dan budaya yang dianut, yang diwariskan kepada setiap generasi penerus keluarga tersebut. Dalam hal pewarisan pola mata pencaharian, lelaki diajarkan untuk menjadi peladang dan peternak sejak dini, sebelum masuk sekolah dasar. Perempuan diajarkan untuk melakukan pekerjaan domestik dan belajar menenun, serta melakukan pekerjaan ibunya. Pengenalan nilai-nilai adat, bisa dikatakan sejak kecil atau balita, dimana seorang yang hadir dalam pesta adat sudah wajib membawa anaknya. Hal ini mengakibatkan pola adat begitu merasuk mempengaruhi pola pikir generasi baru. Keterlibatan dalam adat secara mandiri sejak seseorang diberikan kepercayaan dalam forum adat misalnya, anak menjadi perwakilan keluarga saat keluarga lain menjalankan pesta adat. Nilai-nilai adat banyak di sosialisasikan dalam kehidupan rumah tangga lewat interaksi secara nyata,
dan cerita dari orang tua sehingga seorang anak akan merasa wajib untuk mengetahui seluk beluk dari konsekuensi dan agungnya adat yang dianut. Proses sosialisasi lain tentu melalui pendidikan formal maupun tidak formal, seperti melalui penerapan nilai-nilai budaya dan keagamaan, sebagai wujud sosialisasi yang nyata. Selain itu, informasi dan budaya yang tersosialisasi melalui beragam media menjadi sarana yang cepat memberi pengaruh bagi pendengarnya, demikian halnya di komunitas tersebut.
Masalah Sosial Komunitas mempunyai masalah sosial yang paling mendasar yakni kemiskinan. Kemiskinan ditandai oleh, jumlah kepala keluarga miskin sebanyak 217 kepala keluarga dari total 260 kepala keluarga (83 persen) sebagai penerima beras raskin dan askeskin, pendapatan tergantung pada hasil pertanian yang kurang potensial, kepemilikan ternak kecil saja, sedangkan ternak besar hanya kalangan terbatas, hunian atau tempat tinggal yang 60 persen sudah kurang layak, selain itu ketersediaan air bersih yang minim juga mempengaruhi pola hidup sehat. Berdasarkan data sekunder dan amatan secara langsung, terdapat masalah kemiskinan yang dialami oleh 217 kepala keluarga, pengangguran, remaja putus sekolah, rumah tidak layak huni, sanitasi yang masih terbatas, jangkauan pemasaran hasil bumi yang masih sempit, kecendrungan gizi buruk (lima kasus), penyakit epidemis malaria, penyakit kulit, serta sejumlah penyandang cacat. Beberapa masalah tersebut jika di pisahkan terbagi menjadi beberapa unsur yakni, sisi ekonomi, sisi budaya, pendidikan, dan kesehatan. Sisi ekonomi dihubungkan dengan pendapatan masyarakat dan mata pencarian yang dominan pada sisi pertanian, kepemilikan aset yang terbatas dan kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan. Sisi budaya yakni prilaku konsumtif untuk hal-hal yang kurang produktif secara ekonomis atau alokasi pendapatan untuk biaya pesta adat yang berkesinambungan, dimana prioritas tersebut cenderung lebih dominan. Selain itu, kelemahan dilihat dari sisi motivasi dan kapasitas dalam
menjalankan peran untuk meningkatkan pendapatan. Motivasi dilihat dalam partisipasi dan usaha menjalankan usaha-usaha produktif, sedangkan semangat yang cepat menyerah atau apatis adalah kendala yang mempengaruhinya. Kapasitas dilihat pada sisi kemampuan melakukan hal-hal yang produktif yang merujuk pada kemampuan sumber daya manusia dalam berupaya kreatif. Selain itu, jangkauan pemasaran hasil atau produk lokal masih terbatas, dan belum memasuki pasar yang lebih luas. Sisi pendidikan, dimana tingkat pendidikan yang dimiliki oleh sebagian besar warga adalah tamatan sekolah dasar, sehingga berkaitan dengan pengangguran, karena tingkat pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan yang ada atau jika ada, dalam jumlah yang sangat terbatas. Pendidikan rendah mengakibatkan rendahnya kreatifitas masyarakat untuk berpikir lebih maju dan ekonomis. Sisi kesehatan berkaitan dengan ketersediaan air yang kurang mengakibatkan pola hidup sehat tidak terbudaya. Kakus yang ada di desa tersebut hanya 10 persen, dan terdapat dirumah keluarga yang sudah mengerti pentingnya penggunaan fasilitas tersebut. Salah satu akibatnya terdapat penyakit kulit, dan gangguan pencernaan. Penyakit epidemis yang umum terjadi di Sumba Timur adalah malaria, juga dialami oleh masyarakat desa tersebut. Dari masalah yang ada, maka dibutuhkan alternatif pemecahan masalah, sesuai dengan dominasi masalah utama yang dapat diatasi sehingga secara perlahan akan mempengaruhi sisi yang lain. Masalah kemiskinan menjadi fokus utama untuk mengembangkan upaya yang tepat dalam penanggulangannya, disesuaikan dengan potensi yang lokal. Salah satu proses yang berlangsung dikomunitas adalah melalui masuknya program pemberdayaan masyarakat sebagai cara menanggulangi kemiskinan masyarakat. Fokus telaahan terletak pada pelaksanaan Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri, sebagai program daerah dengan biaya APBD dan Program Pengembangan Kecamatan sebagai program nasional. Perjalanan kedua program selama 3 tahun, khususnya pada kegiatan pemberdayaan ekonomi, berupa bantuan dana atau modal untuk produktivitas masyarakat, harus ditindaklanjuti untuk pemberdayaan yang berkelanjutan. Melalui program terdahulu, maka dibutuhkan optimalisasi potensi sumber daya lokal seperti
kerajinan tenun ikat dalam penataan program dan kegiatan yang lebih partisipatif dan aspiratif. Pelaksanaan kegiatan yang menyeluruh dengan menggunakan sumber daya yang ada, didukung oleh masyarakat, pemerintah, swasta, dan seluruh stakeholder yang terkait akan membantu keberfungsian kelompok pengrajin.
Aktivitas Pengrajin Tenun Ikat Tradisional dan Proses Kerjanya Tenun Ikat di Sumba Timur Secara umum, tenunan Sumba Timur terdiri atas beberapa jenis, tergantung proses pembuatannya, yaitu: tenun ikat (papaingu), tenun sungkit (pahudu), dan tenun yang tidak diikat (pahita). Kain tenun Sumba Timur dibagi dalam dua bentuk dasar yakni selimut (hinggi) dan sarung (lau), dua bentuk lainnya yakni destar (tamelingu) dan selendang (tera). Fungsi tenunan ini adalah, busana adat, hadiah dalam berbagai peristiwa, pembayar denda hukum adat, wili/belis dalam adat perkawinan, bekal kubur, pembungkus jenasah, perhiasan, dan barang dagangan. Kain tenunan Sumba Timur dalam gaya dan corak ragam hiasnya mempunyai kelebihan dalam ornamen dekoratif dengan motif margasatwa yang realistik, motif roh leluhur, disamping motif flora. Hasil Penelitian PKK Propinsi NTT tahun 2004 menunjukkan bahwa tenunan Sumba Timur menggunakan motif dan ragam hias berukuran besar dan kecil dalam bentuk motif manusia, binatang maupun tumbuhan dari yang berukuran besar, sedang, maupun kecil. Motif-motif tersebut berupa : motif manusia, pohon tengkorak, motif gurita, ikan, kuda laut, kadal, gurita, rusa, kerbau, kuda, buaya, kucing, monyet,ular, ayam, merpati, itik, motif kecil kalajengking, burung laut, laba-laba, dan sebagainya. Motif-motif tersebut dipakai oleh wilayahwilayah yang berbeda, sehingga tampak dari hasil kreasinya, yang akan membedakan asal tenunan tersebut. Salah satu jenis tenunan adalah tenunan ikat yang sudah terkenal sebagai salah satu jenis kain termahal, dan motifnya sudah dikutip atau dicetak untuk aneka ragam kebutuhan seperti taplak, bed cover, kain pintu dan jendela, serta lainnya (Tallo Erny, 2004 ). Menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, terdapat enam kecamatan yang dominan melakukan produksi tenun ikat (Tabel 9). Tenunan ikat tradisional yang ada di Kabupaten Sumba Timur, memiliki keunikan pada setiap wilayahnya. Beberapa tempat yang dikenal dengan tenun ikat adalah kain kaliuda, yang berasal dari kecamatan Pahunga Lodu, kain kambera yang berasal dari Kecamatan Kota Waingapu, Kecamatan Kambera, dan Kecamatan Pandawai, serta kain kanatang yang berasal dari Kecamatan Haharu. Kain kanatang mempunyai
motif khas yang membedakannya dari tenunan ikat dari daerah lainnya. Motif yang paling banyak digunakan adalah motif hewan, seperti udang, burung, buaya, rusa, kura-kura, dan singa. Tabel 7 Banyaknya Unit Usaha dan Tenaga Kerja Industri Tenun Ikat dirinci Per Kecamatan Tahun 2005 Kecamatan Unit Lewa Nggaha Ori Angu 7 Tabundung Pinu Pahar Karera 1 Paberiwai Matawai La Pawu Kahaungu Eti 20 Wulla Waijelu Pahunga Lodu 100 Rindi 160 Umalulu 260 Pandawai 200 Kota Waingapu 78 Haharu 80 Sumber : Dinas.Perindag dalam Badan Pusat Statistik, 2005
Tenaga Kerja 7 4 43 200 280 525 400 457 160
Salah satu wilayah yang menjadi amatan adalah wilayah kecamatan Haharu khususnya Desa Hambapraing. Desa tersebut adalah salah satu penghasil tenun ikat yang terbesar6 dibanding desa lainnya untuk skala kecamatan Haharu. Yang menarik dalam proses tenun ikat, tidak hanya melibatkan perempuan tetapi keahlian mengikat juga dilakukan oleh laki-laki, terutama untuk motif tertentu, dimana hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berasal dari keluarga bangsawan. Seiring perjalanan waktu, ketrampilan tersebut juga di wariskan kepada laki-laki dan perempuan secara lebih terbuka. Teristimewa sejak tahun 1985 keatas, ketika harga kain sangat menguntungkan bagi pengrajin, semangat untuk belajar ketrampilan tersebut diminati oleh semua kalangan, termasuk laki-laki di desa tersebut. Tenaga laki-laki secara khusus untuk mengikat dan membuka ikatan sedangkan proses pewarnaan dilakukan oleh perempuan. Alhasil hingga sekarang, sebagian besar rumah tangga memiliki 6
80 kepala kepala keluarga dan 15 unit usaha, data dinas perindustrian dan perdagangan,2005 dan profil desa,2006
anggota yang bisa melakukan ketrampilan menenun. Selain itu, hampir setiap rumah memiliki bahan tenunan untuk produksi, walaupun dengan menyewa tenaga orang lain. Tenunan ikat mempunyai bahan dasar yang terdiri atas, benang dan pewarna alami. Benang dapat diperoleh dari toko, tetapi untuk zaman dulu benang masih diproses secara tradisional dari bahan kapas (pemintalan). Benang yang ada, akan diproses lebih lanjut karena benang yang digunakan untuk bahan tenunan sisi vertikal berbeda dengan benang yang digunakan untuk sisi horisontal (pamawang). Benang untuk sisi vertikal lebih halus dibanding benang untuk sisi horisontal. Keduanya diproses dengan tahapan yang sama pada awalnya yang bertujuan untuk menguatkan dan meluweskan benang. Selanjutnya untuk tahapan berikutnya yang diwarnai adalah tenunan yang vertikal saja, sebagai bahan untuk dilakukan proses ikat dan pewarnaan, sedangkan benang pamawang hanya akan digunakan saat menenun. Bahan pewarna dasar, terdiri atas, mangkudu untuk warna merah dan nila untuk warna biru. Bahan tambahan lainnya sebagai pelengkap adalah, kapur, dan rempah lainnya yang juga dijual di pasar tradisional. Tumbuhan nila adalah tumbuhan musiman yang banyak tumbuh di daerah yang kering maupun daerah yang subur. Tumbuhan mangkudu terdapat di hutan-hutan dan di lahan pertanian, sebagai tanaman umur panjang. Yang difungsikan dari mangkudu adalah akarnya, sedangkan nila adalah daunnya. Proses Kerja Pengrajin Seperti lazimnya tenun adalah sebuah proses untuk menghasilkan kain yang dapat digunakan untuk kepentingan pakaian, asesoris, dan lainnya. Untuk wilayah Sumba, kain tenun ikat adalah salah satu ciri yang paling unik dibanding dengan daerah lain, karena motif yang lebih bervariasi dibanding dengan daerah lainnya. Tenun ikat khas Sumba mempunyai proses yang cukup rumit, dengan menggunakan bahan baku alam, seperti pewarna yang diambil dari hasil kebun atau hasil hutan di sekitar tempat tinggal pengrajin. Dalam menghasilkan kain tenunan ikat, melalui beberapa tahapan yang dapat dideskripsikan secara singkat sebagai berikut :
1. Di ikal (Kabokul) yakni, benang yang masih berada dalam pori atau ukuran dari toko, di bentuk seperti bola agar dapat diuraikan secara lebih teratur saat penggunaan. gambar 2.kabokul
2. Proses pemasangan benang pada alatnya, (pamening) adalah benang yang sudah dibentuk dalam kabokul, dipecah atau diatur ke dalam ukuran kain untuk diikat. Satu ukuran kain disebut wanggi, sebagai wadah untuk membentuk ukuran selembar kain. Wanggi adalah ATBM atau salah satu alat tenun bukan mesin (gambar 4)
gambar 3: alat pemasangan benang yang disebut wanggi
3. Ikat (hondung) yakni aktivitas untuk membentuk motif yang dikehendaki melalui ikatan-ikatan yang berupa gambar atau corak yang dikehendaki. Ikatan inilah yang akan mempertahankan warna dasar kain sebelum dicelup, sehingga saat ikatannya dibuka, akan tampak motif yang diharapkan. (lihat gambar 5)
gambar 4: proses mengikat atau paingu
4. Pewarnaan (nggiling), yakni proses melakukan pewarnaan. Warna yang dipakai yakni warna merah dan warna biru. Warna merah (kambu atau kombu) berasal dari bahan dasar pewarna alami dari tumbuhan mangkudu dan campuran bahan lainnya. Sedangkan warna biru (kawura), berasal dari warna
tumbuhan nila yang dicampur dengan bahan lainnya. Jika berniat menghasilkan kombinasi dari kedua warna tersebut dengan sebutan kaworu. Proses nggiling dari kedua jenis warna tersebut pada dasarnya sama, hanya berbeda pada saat mewarnai kain dengan kombinasi. Kombinasi tentu membutuhkan waktu yang lebih panjang. Proses pewarnaan, harus dilakukan secara dua kali, karena setelah dicelup dengan pewarna biru dilanjutkan dengan warna merah sehingga membutuhkan ketelitian dalam menentukan motif yang dikombinasi, karena jika salah dalam pencelupan maka hasilnya akan cacat, atau kain yang dihasilkan tidak rapi dan indah (lihat gambar 6 )
gambar 5 (proses pencelupan untuk pewarnaan secara alami)
5. Jemur (dengi), adalah proses penjemuran benang yang sudah diwarnai. Menjemur benang tersebut hingga kering dengan waktu minimal tiga hari jika mendapat pencahayaan yang cukup.
gambar 6 : salah seorang anggota pengrajin melakukan proses penjemuran benang. Jenis ini menggunakan pewarna kombu (merah) yang dikombinasi dengan warna biru. Hasil akhirnya akan disebut kain kaworu.
6. Pengembalian ikatan (pabelingu kalita) Proses setelah benang dijemur, dilakukan proses pengembalian atau pembukaan ikatan yang berfungsi sebagai motif atau warna dasar yakni putih. Untuk kombinasi, pengembalian ikatan dilakukan dua kali dan diikat kembali
untuk menghasilkan warna yang lain dan mempertahankan warna yang sudah ada. Pabelingu kalita dilakukan kurang lebih dua sampai tiga hari juga. 7. Direntangkan (Yalahu) Proses merentangkan kain ke dalam alat tenun (wanggi) yang tadi dilepas agar bisa dicelup atau selama proses pewarnaan. Kegiatan ini membutuhkan tenaga lebih dari satu orang juga.(gambar 8)
gambar 7 : proses yalahu dan karandi
8. Pengaturan motif dengan mengikat (karandi) Setelah diatur dalam wadah seukuran alat tenun (wanggi), dilakukan pengaturan secara permanen melalui ikatan pada pertengahan ukuran kain, untuk menyeimbangkan posisi gambar atau merapikan motif yang dibuat sehingga tidak terjadi kerusakan pada gambar akibat ketidakeratan dalam pengikatan setelah diwarnai. Untuk karandi membutuhkan satu orang tenaga kerja saja (gambar 8) 9. Memberi lilin atau kanji (kawu) Setelah karandi, dilakukan pembasuhan benang dengan kanji atau cairan tepung tapioka yang bertujuan menguatkan benang dan membuat benang tidak mudah putus akibat warna dan pengeringan. Setelah dibasuh cairan tapioka, dianginkan lagi hingga kering, dan biasanya benang menjadi lebih solid atau saling menggumpal. Tahap ini dilakukan selama tiga hari dan tiga malam. 10. Pengembalian bentuk (hira) Setelah kondisi kain yang saling mengikat karena cairan tapioka, maka dibutuhkan proses membuka kembali kumpulan-kumpulan benang tersebut
untuk merapikan dan mengatur posisi benang secara lebih rapi sesuai dengan ikatan pada garis tengah kain (karandi) 11. Pemasangan benang pembagi (pawunang) Salah satu tahap akhir sekaligus persiapan untuk menenun adalah memasang benang pada setiap helainya sehingga terbagi menjadi dua bagian besar, yang selanjutnya dapat ditenun. Fungsi wunang untuk membagi ke dalam dua helai atau dua bagian yang selanjutnya dapat ditenun dengan menggunakan benang penyambung yang horisontal yang disebut benang hawolur. 12. Tenun (Tinung) Merupakan tahapan memproses sekumpulan benang menjadi kain yang utuh. Kain yang utuh akan ditenun dengan cara yang lebih cepat karena langsung menenun tanpa membuat motif lagi seperti kain songket. Untuk selembar kain biasanya menghabiskan waktu empat sampai lima hari. Dari sekumpulan benang yang diproses selama pewarnaan untuk sekali pencelupan biasanya terdiri atas tiga lembar kain atau enam helai. Biasanya juga empat helai kain atau dua lembar kain. Kain sumba untuk selimut biasanya menggunakan dua lembar kain atau sepasang yang dijahit sambung. Jika terdapat enam helai yang
harus
ditenun
maka
membutuhkan
waktu
sebulan
untuk
menyelesaikannya. Berdasarkan proses tersebut diatas, maka waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan kain adalah sembilan minggu. Tetapi yang terjadi biasanya, sembilan minggu bisa menjadi 20 minggu bahkan setahun, karena aktivitas yang belum terfokus dan kurang lengkapnya bahan yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi. Ketergantungan terhadap bahan pewarna alam seperti nila, menurut pengrajin bukanlah masalah karena nila yang disimpan (wora yang dikeringkan) dari tahun sebelumnya dapat digunakan untuk proses pewarnaan. Hal lain yang mengakibatkan tercurahnya waktu yang panjang karena aktivitas lainnya seperti, bertani, berkebun, dan beternak. Pada umumnya aktivitas pembuatan kain diperoleh curahan waktu yang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Pengaruh lingkungan dan aktivitas sosial budaya juga sangat
mempengaruhi waktu dan pekerjaan warga dalam menghasilkan kain. Hal ini adalah kelemahan dari warga dalam melakukan aktivitas yang lebih produktif. Secara umum seperti itu, tetapi terdapat beberapa pengrajin yang lebih terkonsentrasi pada pembuatan kain, karena jumlah anggota keluarga yang banyak, atau selalu mendapat pesanan kain dari pedagang perantara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh dua kelompok yang relatif aktif. Pewarna alami yang digunakan menunjukkan keaslian kain yang diproduksi, dan kualitas yang lebih baik sehingga harganya lebih besar pula. Pengrajin juga meyakini bahwa kain kanatang sampai sekarang belum memakai pewarna buatan, seperti kain dari wilayah lain, yang harga jualnya lebih murah. Dalam perbincangan lebih lanjut, para pengrajin menyadari bahwa harga yang tinggi dan proses yang lama, juga dapat disederhanakan jika ada metode atau teknik yang lebih baik, tanpa mengurangi kualitas kain kanatang. Oleh sebab itu, upaya untuk mentransfer teknik yang lebih mudah di masa mendatang, dapat dilakukan tanpa mengurangi keaslian dari kain kanatang. Dari seluruh proses pembuatan kain tenun ikat tersebut, menunjukkan bahwa tenaga kerja yang dibutuhkan adalah satu sampai tiga orang, dan bahan baku yang digunakan dapat diperoleh disekitar komunitas, kecuali benang. Kebutuhan tenaga lebih dari satu orang karena ada kegiatan yang tidak dapat dilakukan secara sendirian dimana prosesnya terbagi berdasarkan keahlian masing-masing seperti, ada yang mendesain atau membuat motif, ada yang menenun, ada yang melakukan pewarnaan. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerjasama antara pengrajin dalam proses produksi karena tidak dapat dilakukan sendirian saja. Harga kain bervariasi dari Rp.250.000 hingga Rp.800.000, tergantung kualitasnya masing-masing. Dengan harga demikian, jika produk yag dihasilkan setahun untuk sekali produksi adalah tiga sampai empat lembar kain maka, hasilnya berkisar dari sejuta hingga tiga juta rupiah. Aktivitas tenun yang rutin, dengan melakukan tiga hingga empat kali produksi dalam setahun, dapat menghasilkan 10 16 lembar kain, akan memberi dampak pendapatan yang lebih besar. Asumsinya tentu, jika jaringan pemasaran lebih kondusif bagi penjualan produk tersebut. Dari
kondisi ini, maka kerajinan tenun ikat potensial dikembangkan untuk menunjang kesejahteran masyarakat jika diupayakan pengembangannya dari produksi hingga pemasaran.
PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Deskripsi Program Program Pengembangan Kecamatan adalah Program Nasional yang bertujuan memberantas kemiskinan dan memperbaiki tata pemerintahan di tingkat lokal, yang diawali sejak tahun 1998 melalui Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). Sumber dana adalah hibah dari donor, APBN, dan pinjaman Bank Dunia, dengan sasaran pada kecamatan miskin di 30 propinsi dari 33 propinsi di seluruh Indonesia. Alokasi anggaran berkisar antara Rp.350 juta sampai dengan Rp.1000 juta (1 milayar) untuk setiap kecamatan. Program Pengembangan Kecamatan adalah, adalah salah satu program yang berbeda dibanding dengan Program Pemerintah sebelumnya, karena sangat memperhatikan forum musyawarah di tingkat basis atau tingkat dusun dan RT. Keterkaitan antara kebutuhan dan kemampuan masyarakat dengan arah kebijakan program pembangunan dan pengembangan masyarakat di komunitas, menjadi proses yang penting dalam program PPK. PPK mengalokasikan dana untuk pembangunan sarana fisik (hardware), dan pemberdayaan masyarakat (software), dengan komposisi fisik lebih besar dibanding dengan alokasi dana pemberdayaan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga persentase alokasi dana di setiap wilayah pun berbeda-beda. Pengelolaan kegiatan ini, untuk tingkat desa disebut Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) yang umumnya ditangani oleh lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM atau LKMD), lalu untuk kecamatan disebut Unit Pelaksana Kegiatan (UPK). Mekanisme pengajuan kebutuhan adalah melalui proposal yang disepakati dalam setiap kelompok masyarakat di setiap RT, lalu dibicarakan di tingkat dusun, tingkat Desa, akhirnya menjadi usulan desa ke tingkat UPK (kecamatan). Setiap proposal yang menjadi usulan desa akan dibicarakan dalam forum musyawarah antar desa, sehingga pada akhirnya disetujui jumlah dan proporsinya. Pencairan dana dilakukan UPK melalui TPK desa untuk disalurkan pada setiap kelompok masyarakat. Mekanisme ini,
diharapkan akan menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat, serta selalu melalui proses kesepakatan pengambilan keputusan yang demokratis. Kecamatan Haharu adalah salah satu kecamatan dari sembilan kecamatan di wilayah propisni NTT yang mendapat program PPK. Salah satu desa yang mendapat pelayanan PPK adalah Desa Hambapraing sejak tahun 2004. Program yang dilaksanakan meliputi pembangunan sarana dan prasarana, dana pemberdayaan dalam bentuk usaha ekonomi produktif (UEP) dan simpan pinjam perempuan (SPP). Pelaksanaan Program PPK Sejak tahun 2004, program PPK masuk Desa Hambapraing yang diawali dengan sosialisasi program. Dana yang dikucurkan untuk tahun 2004 sebesar : Rp.129.119.000, dengan rincian : dana pemberdayaan sebesar Rp.45.000.000 dan pembangunan infrastruktur sebesar Rp.84.199.000 berupa pembangunan pos klinik desa (polindes). Dana pemberdayaan untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEP), sebesar Rp.35.000.000 bagi 59 kepala keluarga dan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) sebesar Rp.10.000.000 melalui pembentukan lima kelompok pengrajin tenun ikat sebanyak 50 kepala keluarga. Untuk tahun 2005, pencairan dana untuk kegiatan fisik berupa pembangunan sekolah dasar (SDK Wolihi) yakni Rp.84.000.000. Dana pemberdayaan tidak ada, apalagi pengembalian cicilan dari UEP adalah nihil hingga tahun 2006. UEP hanya dicicil pada tahun 2004, atau pada awal pelaksanaan program yakni sebesar Rp. 4.158.710. Cicilan yang dilakukan oleh kelompok simpan pinjam perempuan (SPP) yakni 100 persen. Oleh sebab itu, dilanjutkan lagi pada tahun 2006, melalui dua kelompok pengrajin tenun yakni Rp.10.000.000. Kedua kelompok itu masih aktif hingga sekarang. Dari hasil laporan TPK, pelaksanaan program ini, mengalami kesuksesan dan kegagalan, artinya pembangunan fisik sudah berjalan, dan menghasilkan sekolah serta pusat layanan kesehatan, sedangkan dana pemberdayaan mengalami kredit macet. Dana pemberdayaan dibagi dua macam yakni usaha ekonomi produktif (UEP) dan simpan pinjam perempuan (SPP). Usaha ekonomi produktif sudah digulirkan kepada kelompok-kelompok bentukan yang berusaha sesuai kemampuan anggotanya (59
kepala keluarga), seperti usaha warungan, usaha bisnis ikan, jual beli ternak kecil atau jual beli hasil bumi antar desa, dan sebagainya. Dana SPP adalah khusus beranggotakan perempuan yang bekerja dengan usaha yang sama yakni tenun ikat. Proses pemberian pinjaman dilakukan melalui kelompok usaha yang terbentuk berdasarkan kehendak anggota, sehingga jumlah anggota yang ada sangat bervariasi. Selain itu, anggota harus mempunyai simpanan pokok, minimal Rp.300.000 sebagai investasi kelompok. Pinjaman dicicil setiap bulan selama setahun, dengan bunga 3,3 persen tahun 2004 dan pada tahun 2006, turun menjadi 2 persen. Sanksi keterlambatan atau kemacetan akan dilakukan melalui sita barang, yang sudah disetujui oleh anggota kelompok sebagai norma kelompok. Untuk administrasi, TPK diberikan upah 3 persen dari pengembalian pinjaman bergulir. Dari pelaksanaan PPK, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dana untuk pemberdayaan lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan dana untuk fisik. Oleh sebab itu, kemampuan masyarakat menentukan keberhasilan pengelolaan dana tersebut. Pada umumnya pengembalian dana untuk SPP secara nasional menunjukkan keberhasilan dibandingkan dengan dana untuk UEP (Laporan PPK Nasional,2006). Kegiatan PPK berakhir pada tahun 2006, dan kini dilanjutkan dengan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Pengembangan Ekonomi Masyarakat Dana pemberdayan ekonomi masyarakat yang sudah dialokasikan bagi Desa Hambapraing untuk dua tahun (2004 dan 2006) sebesar, Rp. 55.000.000, yang digulirkan melalui kelompok usaha masyarakat. Pemanfaat dana bergulir, untuk usaha ekonomi produktif adalah : 59 kepala keluarga dan untuk simpan pinjam perempuan adalah 60 kepala keluarga. Hal ini telah membantu masyarakat dalam hal permodalan, sehingga diharapkan melalui pinjaman bergulir ini dapat mendukung perkembangan usaha tiap anggota masyarakat. Selain itu, melalui cara ini masyarakat dapat belajar dan mengenal cara pengelolaan dana bergulir serta pemanfaatan pinjaman yang tepat. Oleh sebab itu PPK, menjadi salah satu cara yang dapat memberi pengaruh bagi perkembangan usaha ekonomis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini di akui oleh pemanfaat dana SPP,
‘sejak awal menerima bantuan walaupun jumlahnya kecil, tetapi kami dapat mengetahui bagaimana mencicil dengan bunga yang rendah, serta berharap dapat bantuan yang lebih besar’ Ada salah satu penerima bantuan UEP juga yang membuka usaha warungan dan masih berlanjut hingga sekarang, salah seorang menyatakan, ‘tadinya saya kira usaha warungan itu tidak bisa memberi keuntungan ternyata cukup memberi penghasilan dan pengalaman untuk mengelola keuangan’. Dari cicilan yang sangat minim pengembaliannya, ketika ditanyakan, diantaranya mengatakan, ‘kami rasa ada banyak yang belum mencicil sama sekali sehingga untuk apa kami susah payah mencicil juga. Jika adil, harus semuanya ditagih juga biar sama-sama menerima dan mengembalikan’ Hal-hal semacam itu, adalah pandangan warga yang masih menganggap dana program adalah hibah sehingga dibutuhkan ketegasan norma dan aturan yang disepakati. Hal ini masih sulit diterapkan, apalagi jika saatnya penagihan tidak jarang juga ada warga yang menunjukkan ketidakberdayaannya. Kendala ini menjadi halangan untuk bertindak tegas, tetapi disisi lain tetap ada keyakinan bahwa yang penting modal yang diterima masyarakat, sudah diusahakan dan pasti akan mempengaruhi cara pikir masyarakat walaupun belum optimal. Pemanfaatan Modal Sosial Program pengembangan kecamatan (PPK) telah berproses di desa Hambapraing dan menyentuh unsur partisipasi dan pengorganisasian dalam masyarakat. Kegiatan fisik yang dilakukan sudah menumbuhkan aspirasi warga yakni kesepakatan bersama untuk membangun sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan masyarakat yakni pos klinik kesehatan dan sekolah dasar. Hal ini diputuskan secara partisipatif di tingkat RT, Dusun, hingga Desa. Proses ini menumbuhkan kepercayaan warga sekaligus memberi tempat bagi mereka untuk berpendapat tentang pelaksanaan pembangunan. Selain itu, dalam pelaksanaan proyek ditangani oleh warga secara swadaya pula, seperti tenaga, dan bahan baku dari komunitas. Untuk dana pemberdayaan, masih terjadi kegagalan dalam hal
pengembalian modal bergulir, yang diakibatkan oleh banyak hal diantaranya, adanya anggapan hibah dari masyarakat, adanya usaha baru yang tidak sesuai dengan kecakapan warga, serta penggunaan dana yang tidak efisien. Di sisi lain, terdapat sebagian kecil warga yang berhasil dalam pengguliran, jadi setidaknya sudah terjadi proses yang diharapkan dapat melibatkan masyarakat sesuai mekanisme dan tujuan program. Kegagalan menunjukkan bahwa, fungsi kelompok yang dibangun baru terbatas sebagai penerima bantuan, dimana usahanya masih berjalan secara individual. Kendala ini banyak mengakibatkan gagalnya kelompok yang dibentuk, walau sudah disesuaikan dengan keinginan anggotanya tetapi kesadaran dan perasaan berkelompok dalam berusaha masih rendah di tingkat individu. Pada sisi yang lain, wilayah ini mempunyai modal sosial yang masih kental seperti solidaritas dan kebersamaan dalam hal hubungan dan relasi sosial, sehingga pola baru yang diperkenalkan membutuhkan pendekatan dan penyesuaian dengan kebiasaan masyarakat. Hal lain yang berpengaruh, juga berkaitan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Program Penguatan dan Pengembangan Desa Menuju Desa Mandiri (P3DM) Deskripsi Program a. Latar Belakang Lahirnya Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM) dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dianggap sangat besar peranannya dalam mengakibatkan perkembangan desa dan proses pemberdayaan masyarakat menjadi tidak atau belum optimal. Tidak optimalnya perkembangan dan pemberdayaan diakibatkan oleh beberapa faktor yakni, banyaknya bantuan yang masuk ke desa belum mampu memberi dampak yang signifikan dalam menumbuhkembangkan prakarsa swadaya dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan. Faktor lainnya, koordinasi program sektor yang masuk desa dalam berbagai model pendampingan belum menunjukkan keterkaitan satu
dengan lainnya secara langsung atau yang biasa disebut sebagai masalah ego sektoral. Selain itu, diyakini beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi adalah : pola pikir masyarakat desa yang bergantung pada bantuan, pola hidup masyarakat yang konsumtif, biaya sosial budaya yang tinggi, cara bertani dan beternak yang belum berorientasi pasar (subsisten), faktor keamanan, masalah kekeringan, serta faktor lain yang bersifat lokal. Dari masalah yang dikemukakan di atas, diduga juga akibat dari belum memadainya kemampuan aparat desa dan kelembagaan lokal di desa untuk memikul tanggung jawab yang ada sesuai tuntutan perkembangan masyarakat itu sendiri dalam proses pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari proses : penyadaran, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengelolaan dan pemanfaatan serta pelestarian. Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka pola pendekatan P3DM diarahkan untuk peningkatan kapasitas pemerintah desa, kelembagaan di desa, peningkatan kapasitas kelompok masyarakat (pokmas) dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat serta peranan sektor untuk menjadikan P3DM sebagai pintu masuk utama program masuk desa secara terpadu, kontinyu, dan konsisten. b. T u j u a n Program P3DM memiliki tujuan umum yakni meningkatkan kemandirian berdasarkan perkembangan masyarakat melalui Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa, Lembaga Desa dan Kapasitas Masyarakat. Kapasitas yang dimaksud tidak hanya kemampuan secara kualitas tetapi secara kuantitas (daya dukung dalam memikul tanggung jawab dalam jumlah). Tujuan khusus yang ingin dicapai yakni; a) meningkatkan kualitas pemerintahan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. b) meningkatkan kualitas kelembagaan di desa, sebagai wadah partisipasi masyarakat guna menopang otonomi desa dan pola pembangunan partisipatif. c) meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan kelompok perempuan dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan, melalui forum musyawarah kelompok. d) melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan pola pendekatan P3DM dalam
mendayagunakan potensi dan sumber daya lokal. e) Menyediakan prasarana dan sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan masyarakat, serta f) melembagakan pengelolaan keuangan mikro dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dari tujuan tersebut diatas maka diharapkan sasaran yang dicapai adalah, meningkatnya kemampuan aparat desa dalam pelaksanaan pelayanan prima kepada masyarakat, meningkatnya kualitas penyelenggaraan administrasi desa, meningkatnya kualitas kelembagaan desa, meningkatnya partisipasi masyarakat, meningkatnya kualitas kelompok masyarakat dalam pengelolaan aset dan dana bergulir. Prinsip yang dianut oleh program ini tentu menjadi landasan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, melalui delapan prinsip yakni, keberpihakan pada orang miskin, transparansi, partisipasi, kompetisi sehat, desentralisasi, akuntabilitas, keberlanjutan dan keterpaduan program. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan secara intensif selama tiga tahun berturut untuk setiap desa dan akan dilakukan evaluasi pada setiap akhir tahun guna menilai tingkat perkembangan desa berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang pada akhirnya dapat dikategorikan pada tiga status yaitu: desa berkembang, desa maju, desa mandiri. Desa Hambapraing atau desa amatan tergolong dalam desa target desa tahap pertama yakni 2005 sampai 2007, sehingga sudah berjalan dua tahun dan dapat dijadikan bahan evaluasi. c. Pendanaan Sumber dana P3DM terdiri atas empat jenis yaitu: Swadaya murni, APBD Kabupaten Sumba Timur, Dana sektor dan Bantuan lain yang tidak mengikat. Alokasi dana berasal dari APBD sebesar Rp. 60.000.000 untuk setiap desa, dengan proporsi : a. Dana untuk penguatan kapasitas kelembagaan desa sebesar Rp. 27.000.000,- atau 45 persen, digunakan untuk penguatan kapasitas kelembagaan desa seperti : Bantuan Operasional pemerintah desa, berupa : operasional RT/RW, biaya administrasi,
pelaporan,
rapat,
perjalanan
dinas.
Bantuan
operasional
kelembagaan desa, seperi biaya administrasi, pelaporan, musyawarah, dan perjalanan bagi BPD, LPM, dan TP. PKK. b. Dana bantuan langsung masyarakat untuk Pemberdayaan Masyarakat sebesar Rp. 33.000.000,- atau 55 persen digunakan sesuai ketentuan pokok yakni : membiayai kegiatan-kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP), usaha simpan pinjam (USP) khusus kelompok perempuan, kegiatan pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, pendidikan, kesehatan, serta peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat atau anggota pokmas. Mekanisme yang dilalui yakni, dalam bentuk usulan kegiatan dari masyarakat, yakni untuk kegiatan penguatan kelembagaan dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Usulan kegiatan untuk penguatan kelembagaan disusun dalam rencana kegiatan (RK) yang disahkan kepala desa lalu diusulkan kepada BPM melalui Camat. Usulan kegiatan untuk pemberdayaan, teknisnya adalah masing-masing pokmas menyampaikan usulan yang dibahas dan diverifikasi di tingkat dusun. Usulan pokmas yang ditetapkan dijadikan rencana kegiatan dusun (RK Dusun), selanjutnya RK Dusun dibahas dan diverifikasi dalam musyawarah tingkat desa dengan kompetisi sehat, selanjutnya yang ditetapkan mengalami proses yang sama di tingkat kecamatan dan pada akhirnya disampaikan ke Bupati melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat. Untuk
mekanisme
pengguliran,
dana
berupa
uang
atau
barang/bahan/bibit/ternak dan hasil usaha, diatur dalam keputusan musyawarah kelompok dan ditetapkan dalam berita acara yang disahkan oleh kepala dusun atas dasar sepengetahuan kepala desa. Sedangkan khusus tanaman umur panjang, tidak dapat digulirkan tetapi memiliki sanksi agar penerima harus memeliharanya dan apabila hilang atau mati harus diganti. Pelaksanaan P3DM Program P3DM adalah awal pelaksanaan salah satu bagian dari program strategis daerah yang bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan. Sejak dicanangkan pada tahun 2005, untuk tahap pertama, ditetapkan 30 desa model menuju desa mandiri, dimana salah satunya adalah Desa Hambapraing. Dana P3DM
terdiri atas dua jenis yakni dana penguatan dan pengembangan kelembagaan (45 persen) dan dana pemberdayaan masyarakat (55 persen). Selama dua tahun berturutturut difungsikan sesuai standar yang ditetapkan yaitu, dana pemberdayaan dikelola oleh LPM (lembaga pemberdayaan masyarakat) dan di gulirkan melalui usaha simpan pinjam perempuan, dan usaha ekonomi produktif, serta bantuan langsung (tidak bergulir). Dana penguatan dan pengembangan kelembagaan, untuk pembangunan fisik seperti infrastruktur kantor desa, dan operasionalisasi kegiatan kelembagaan baik pemerintah dan lembaga desa. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan dalam program P3DM, maka perlu dievaluasi berdasarkan unsur ekonomi dan modal sosial yang sudah berproses, serta manfaat dan keberhasilan yang diperoleh masyarakat. Disamping itu, dapat dianalisa hambatan dan kendala yang dihadapi sehingga diperoleh masukan untuk perkembangan program selanjutnya. Secara khusus yang menjadi fokus penelaahan adalah dana pemberdayaan dalam pengalokasiannya. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Program P3DM pada dasarnya sudah memberi ruang pemberdayaan lebih besar dibanding dengan penguatan kelembagaan dilihat dari proporsi dana yang di alokasikan. Secara singkat diuraikan, dana pemberdayaan dalam program P3DM dalam bentuk kegiatan sebagai berikut : Pada Tahun 2005 : Bantuan ternak kambing bagi semua kepala keluarga miskin, berjumlah sepasang jantan dan betina untuk setiap kepala keluarga, Bantuan bibit kacang dan jagung bagi semua kepala keluarga, dan Bantuan langsung modal simpan pinjam bagi pengrajin tenun ikat. Tahun 2006 : Bantuan ternak sapi bagi 13 kepala keluarga yang sebagian besar kepala keluarga miskin, dan ada juga yang bukan kepala keluarga miskin. Tahun 2007 : Bantuan ternak kuda bagi 13 kepala keluarga yang berpotensi dapat menggulirkan kembali ternak kuda. Konsep ini telah diterapkan melalui pelaksanaan aktivitas usaha yang berbasis kelompok berupa bantuan ternak, bantuan uang untuk usaha kerajinan, serta bantuan bibit (seperti bibit kacang dan bibit jagung). Dalam pelaksanaannya, terdapat masalah
atau kendala yang terjadi pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Bantuan ternak kambing, selama setahun berjalan sejak pengguliran pertama, mengalami kegagalan dimana kambing mati karena penyakit dan musim panas yang berkepanjangan. Kasus pencurian ternak kambing juga berpengaruh pada rendahnya motivasi penduduk untuk pemeliharaan selanjutnya. Selain itu, terdapat sejumlah kasus, dimana guliran pertama langsung digunakan oleh beberapa keluarga miskin untuk pemenuhan kebutuhan pangan, sehingga tidak berkelanjutan penggulirannya. Usaha ternak sapi digulirkan sejak tahun 2006 dan kuda pada tahun 2007. Jenis ternak ini, membutuhkan waktu maksimal dua tahun untuk berkembang dan siap untuk di pasarkan. Menurut peternak, biaya pemeliharaan meliputi obat-obatan dan pakan, serta biaya untuk proses penggembalaan dan keamanan. Usaha ini diduga potensial karena selain biaya pemeliharaan tidak terlalu memberatkan, juga karena budaya beternak adalah warisan nenek moyang yang terus dikembangkan, untuk menopang kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan sosial. Yang patut menjadi perhatian adalah cara memilih bibit kuda dan sapi yang berkualitas, agar tidak terjadi kegagalan seperti pada kasus ternak kambing. Bantuan bibit kacang dan jagung adalah bantuan langsung yang dibagikan kepada semua kepala keluarga ketika terjadi kegagalan tanam, akibat musim yang tidak menentu, padahal kacang dan jagung adalah tanaman musiman yang pernah cocok di wilayah tersebut. Pembagian bibit dilakukan untuk menanam tahap kedua setelah gagal tanam, bahkan terjadi sampai tiga kali, akhirnya para petani tidak menanam selama setahun. Kondisi ini merupakan konsekuensi alam, dan ada kemungkinan bahwa daerah tersebut adalah wilayah yang kurang potensial lagi untuk tanaman musiman. Untuk bantuan guliran simpan pinjam bagi usaha tenun ikat sudah berjalan sejak program sebelumnya yakni PPK pada tahun 2004, lalu dilanjutkan dalam program P3DM. Usaha tenun ikat, dalam penggulirannya juga mengalami kemacetan, tetapi dibalik itu, terdapat dua kelompok yang terus aktif. Kelompok ini terus melakukan usahanya secara berkelanjutan, dan sudah mempunyai pelanggan di kota untuk menjual kainnya, walaupun dalam jumlah yang masih kecil. Kendala umum
dalam usaha ini adalah, pasaran kain tenun ikat yang menurun, kurangnya informasi pasar, kurangnya pembeli dan sebagainya sehingga kain yang diproduksi tidak laku terjual, akhirnya menjadi aset atau disimpan saja. Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya ekonomi terbukti lewat bantuan modal usaha dan simpan pinjam serta benda atau barang yang dapat digulirkan lagi. Akses masyarakat secara fisik tentu harus dibarengi dengan akses masyarakat secara non fisik seperti peningkatan kemampuan masyarakat. Konkritnya dalam usaha tenun ikat, para pengrajin membutuhkan informasi dan ketrampilan yang lebih kompetitif untuk menghadapi selera pasar. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu intervensi secara komplit dalam kelompok, untuk menciptakan pasar bagi produksi yang dihasilkan oleh masyarakat. Selain itu, daya saing dalam menarik selera konsumen membutuhkan sistem pemasaran yang lebih modern, di barengi dengan kualitas produksi yang mampu bersaing pula. Salah satu caranya adalah, pendampingan lebih intensif pada kelompok pengrajin, baik dalam produksi maupun dalam pemasaran dengan melibatkan sektor yang lain misalnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dekranasda, atau Dinas Pariwisata bahkan pihak privat atau pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Pola yang sudah pernah ada, seperti kegiatan bantuan modal, misalnya dapat dilanjutkan dengan aksi promosi, pemasaran, yang dapat melibatkan peran stakeholder secara sinergis. Dari beberapa situasi yang dihadapi oleh kelompok dan masyarakat selama program tersebut berlangsung, maka terdapat beberapa hal penting yang harus dipersiapkan dan dibenahi demi perbaikan kegiatan pemberdayaan yang sedang berjalan di masyarakat, yaitu : a. Bantuan ternak yang gagal, dibutuhkan kualitas bibit yang tepat, biaya pemeliharaan, dan sosialisasi tentang aturan main bagi pelanggaran penggunaan bantuan ternak secara adil dan mendidik. b. Bantuan bibit tanaman musiman menunjukkan bahwa bidang pertanian sudah kurang potensial atau bukan bukan satu-satunya sumber pendapatan masyarakat, tetapi beralih di bidang peternakan dan ketrampilan kerajinan.
c. Usaha simpan pinjam dan bantuan usaha ekonomi produktif, masih berjalan secara apa adanya tanpa intervensi lanjutan. Pengguliran dana tersebut juga menjadi macet karena dianggap hibah dan belum ada perputaran modal yang menguntungkan. Kemampuan sumberdaya yang dimiliki masih rendah, oleh sebab itu, dibutuhkan upaya penggalian ide kreatif untuk mengembangkan usaha produktif. d. Untuk kelompok yang sudah dibentuk, perlu di lakukan pendampingan yang intensif agar mengetahui mekanisme penanggulangan kendala yang dihadapi, baik ditingkat individu dan kelompok. e. Memfasilitasi kerjasama kelompok secara internal dan eksternal untuk bermitra atau bekerjasama membuka peluang pasar bagi produk yang dihasilkan baik dengan sektor pemerintah, sektor swasta, maupun sektor partisipatori (LSM). Peran-peran dari setiap stakeholder akan membantu mencapai hubungan yang saling mendukung tercapainya tujuan. Pengembangan Modal Sosial Didalam masyarakat Hambapraing terdapat struktur dan kultur yang mendarah daging dalam masyarakat. Secara struktur terdapat pemimpin formal dan informal, klen atau marga, organisasi masyarakat, dan lembaga lokal sedangkan secara kultural, terdapat kesamaan nilai budaya yang masih bertalian antara satu kelompok (klen) dengan klen yang lainnya. Ciri homogenitas dalam masyarakat masih cukup besar (95 persen penduduk asli dan lima persen penduduk pendatang) sehingga kultur yang ada masih serupa. Modal sosial yang dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat melalui program P3DM terdiri atas empat dimensi, a. Integrasi, melalui kelompok yang terbentuk atas keinginan dan musyawarah, secara horisontal pada dasarnya sudah terjalin hubungan dan ikatan kekeluargaan atau pertalian darah. Faktor keluarga ini sangat mendasar, lalu diikuti oleh faktor lain seperti kedekatan tempat tinggal, keyakinan (belief system) dan agama. Secara umum, masyarakat menganut agama kristen protestan dan katolik, sebagian besar lainnya adalah kepercayaan lokal (Marapu).
b. Pertalian, yakni pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) berusaha untuk tidak menghilangkan kebersamaan yang sudah terjalin sebelumnya. Kebersamaan dalam kelompok melalui identifikasi kebutuhan masing-masing dan berusaha bersama untuk meningkatkan pendapatan keluarga melalui usaha yang sama. Usaha yang pernah lancar yakni usaha ibu-ibu dalam kerajinan tenun ikat. Pertalian ini dapat menyatukan bakat dan ketrampilan yang dimiliki oleh para anggotanya, serta dapat saling bertukar pengetahuan. c. Integritas Organisasional, hadirnya program P3DM dengan ciri dan model pendekatan dari pihak pemerintah secara birokrasi mempengaruhi jajaran pemerintah di bawah. Unsur kelembagaan lokal yang ada mendapat tugas dan fungsi memberi kontribusi bagi pengembangan masyarakat, sehingga program ini menuntun keberfungsian semua lembaga dalam desa untuk berperan secara baik. Dari sini diketahui bahwa, hubungan antar organisasi dan lembaga didalam desa adalah hubungan yang harus diatur sedemikian rupa agar mampu menjadi wadah untuk meningkatkan keberfungsian peran dan kewajiban dari setiap lembaga lokal tingkat desa. Hal ini penting dikaji secara mendalam dalam suatu rancangan relasi yang dapat diatur baik antar lembaga pemerintah desa, lembaga desa, maupun pokmas dan elemen masyarakat secara umum. d. Sinergi, sesuai dengan tujuan dasar dari program P3DM yaitu menjadikan program ini sebagai pintu masuk program yang masuk ke desa, melalui kerjasama sektor baik pemerintah maupun swasta. Hal ini adalah bentuk ideal dari sinergi yang diharapkan. Mensinergikan kegiatan yang datang dari luar, sehingga masyarakat dapat menjalankannya secara bertahap dan secara sadar dapat diikuti secara partisipatif. Salah satu contohnya, dibentuk kelompok tani yang pada dasarnya adalah kelompok masyarakat (pokmas), disini telah muncul kesadaran dari pihak pengembang untuk tidak membuat program secara parsial tetapi melakukan relasi dengan unit teknis lainnya minimal pada tahap koordinasi, sehingga masyarakat tidak terpilah-pilah dalam melakukan kegiatan. Selama dua tahun pelaksanaan program, secara perlahan ego sektoral di hilangkan walau terkadang dalam pelaksanaannya masih sulit. Akhirnya masyarakat menjadi
sasaran program yang bervariasi, tetapi tidak signifikan pada pencapaian tujuan, atau dengan kata lain kurang berhasil. Evaluasi Program Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM), pada dasarnya adalah bentuk lain yang diadaptasi dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dimana prinsip-prinsip dan pendekatan yang digunakan tidak terlalu berbeda. Yang membedakan adalah unsur pengelolaannya yang lebih birokratif, sedangkan Program Pengembangan Kecamatan di kelola oleh pihak independen. Dari kacamata Pemerintah Daerah (Hasil wawancara dengan BPM), program pemberdayaaan tidak bisa diserahkan secara penuh kepada pihak independen, karena model pengembangan masyarakat, tanpa campur tangan pemerintah akan berjalan secara parsial sehingga butuh keterlibatan dari berbagai pihak dalam komunitas termasuk pemerintah lokal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa, kekuatan pengaruh kepala desa dalam pelaksanaan program di desa, menjadi unsur yang penting diperhatikan (Evaluasi PPK, 2005). Selain itu, yang membedakan terletak pada pendanaan, teknis atau syarat pembentukan kelompok, dan tingkat bunga pinjaman. Kedua program ini sangat berkaitan dan mempunyai semangat yang sama dalam mewujudkan pemberdayaan masyarakat, pembangunan infrastruktur dasar, dan perubahan pelayanan pemerintahan, yang pada akhirnya melahirkan kemandirian. Kedua program ini sama-sama berusaha mengkolaborasi pendekatan yang sentralistik dan desentralistik yang berlandaskan prinsip partisipasi. Konsep yang telah berjalan selama dua hingga tiga tahun ini, mulai menampakkan keberhasilan tanpa ditampik ada kelemahan yang masih meliputinya. Keberhasilan yang dicapai yakni, dalam bentuk sarana prasarana yakni pembangunan sekolah dasar, pos klinik desa, rehabilitasi kantor desa. Dalam hal kelembagaan, yakni operasionalisasi aparatur desa, lembaga desa, sehingga aktivitas terpusat di kantor, dimana sebelumnya sering dilakukan dirumah Kepala Desa. Aktivitas LPM, PKK dan Posyandu lebih rutin ditopang dana penguatan
kelembagaan yang ada. Dalam hal pemberdayaan masyarakat, telah terbentuk kelompok-kelompok usaha yang mewadahi dana pemberdayaan dan sudah berproses, meskipun untuk usaha ekonomi produktif mengalami kegagalan, tetapi salah satu bentuk simpan pinjam yang cukup berhasil yakni pemberdayaan perempuan melalui SPP (simpan pinjam perempuan). Hal ini perlu ditopang keberlanjutannya, sehingga langkah awal yang sudah dibangun dapat pertahankan melalui pengembangan lanjutan sesuai dengan potensi dan karakteristik komunitas. Berdasarkan proses yang sudah berlangsung selama dua tahun, maka diperoleh beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya : a. Sisi ekonomi, pelaksanaan bantuan melalui kelompok maupun perorangan menunjukkan hasil yang belum berhasil karena banyak terjadi kelemahan sehingga dibutuhkan pembenahan dan pengembangan yang berkelanjutan. Yang sudah dilakukan baru terbatas pada bantuan modal, tetapi perubahan pola pikir dan penyelesaian masalah belum dilakukan. Lemahnya, potensi pertanian maka diharapkan ada pendekatan untuk membangun orientasi masyarakat dalam mengeksplorasi sumber daya selain pertanian seperti peternakan dan kerajinan tenun ikat, atau ketrampilan lainnya. Langkah yang sudah dilakukan seperti bantuan lanjutan berupa ternak dan usaha simpan pinjam menjadi cikal bakal untuk meningkatkan produktivitas usaha-usaha non pertanian di desa tersebut. Untuk melanjutkannya, maka dibutuhkan pendampingan pada kelompok binaan yang sudah ada, sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan untuk mengembangkan potensi kelompoknya sesuai sumber daya yang dimilikinya. Kelompok usaha yang potensial seperti ternak dan tenun ikat, membutuhkan pengembangan program yang lebih menyeluruh sehingga dapat menumbuhkan perekonomian masyarakat lokal. Hal itu dapat dilakukan secara menyeluruh dan sinergis melalui kerjasama semua pihak yang terkait untuk pengembangan potensi ekonomi lokal. b. Sisi kelembagaan. Hal ini berhubungan dengan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan dalam komunitas secara formal, dan dituangkan dalam aturan main
yang saling mengikat untuk mencapai tujuan bersama, contohnya peraturan desa untuk mendukung pencapaian tujuan kelompok usaha yang ada. Salah satu contoh, untuk menciptakan kamtibmas, dibutuhkan kesepakatan dalam membuat dan menegakkan peraturan desa yang dapat mengkondisikan keamanan di komunitas, untuk menunjang usaha warga. Hal lain misalnya, cara meningkatkan kualitas kelompok masyarakat dalam pengelolaan dana bergulir, sehingga anggapan ‘hibah’ bisa dihilangkan secara perlahan. c. Sisi modal sosial, beberapa hal yang utama adalah, proses pengambilan keputusan, pengetahuan dan ketrampilan komunitas, serta kepercayaan sosial. Pengetahuan dan ketrampilan komunitas dalam hal, kerajinan tenun ikat, penggembalaan ternak merupakan usaha ekonomi produktif yang perlu pendampingan lanjutan. Proses pengambilan keputusan, berarti anggota komunitas berhak menyampaikan aspirasi, sesuai kebutuhan dan kemampuannya, contohnya dalam penentuan jenis usaha dan penentuan pengurus kelompok. Kepercayaan masyarakat terhadap program yang dilaksanakan sudah ada, tetapi membutuhkan sosialisasi secara terus menerus sehingga masyarakat mendapat pemahaman karena kemampuan sumber daya yang masih rendah. Ketika kelompok elit atau bukan elit melakukan penyelewengan seperti kredit atau guliran macet, dapat mempengaruhi warga lain, sehingga perlu penerapan sanksi atau aturan yang jelas sesuai kesepakatan. Penentuan penerima bantuan diatur oleh
pengurus
LPM
(Lembaga
Pemberdayaan
Masyarakat).
Hal
ini
membutuhkan kejelian dalam menentukan penerima karena jumlah bantuan yang terbatas. Kemampuan pengurus LPM, terletak pada informasi yang dipahami oleh pengurus dalam menjalankan tanggungjawabnya. Intinya semua proses dilakukan secara mufakat di dalam forum, sehingga warga yang sudah mendapat bantuan maupun belum, akan mendapat pengertian yang sejalan. Ketika terjadi kemacetan pengguliran, maka yang menjadi sanksi adalah ‘pandangan negatif’ dari warga yang belum mendapat giliran (secara etis), hal ini juga merupakan kontrol sosial. Perlu melihat faktor pendukung nilai kerjasama (kearifan lokal), yang dimiliki
masyarakat, khususnya pengrajin, sebagai unsur yang dapat menyatukan semangat berusaha dan semangat berkelompok. Kesimpulan Program Pengembangan Masyarakat Kedua program tersebut sama-sama menekankan pentingnya kerjasama dan berkelompok dalam menjalankan kegiatan. Kerjasama, merupakan salah satu modal sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga menjadi energi yang dapat mendukung partisipasi. Oleh sebab itu, pendekatan kelompok dapat ditindaklanjuti sebagai salah satu cara mengembangkan usaha ekonomi produktif melalui penyesuaian dengan kebiasaan dan kearifan lokal. Berdasarkan kedua program yang dievaluasi, salah satu yang ditindaklanjuti dalam kajian ini adalah, cara memanfaatkan potensi kerajinan tenun ikat yang didanai oleh program yang sudah berlangsung. Alasannya adalah, ketrampilan tenun ikat merupakan salah satu jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Selain itu, pekerjaan ini tidak hanya musiman tetapi dapat dilakukan sepanjang tahun, atau tidak tergantung musim, serta ketersediaan bahan baku di sekitar komunitas. Oleh sebab itu, kerajinan tenun ikat sebagai salah satu usaha ekonomi produktif yang perlu dikembangkan di desa Hambapraing. Perlu mengkaji masalah yang dihadapi, dan faktor yang mempengaruhi kelompok yang sudah ada dapat menujang keberhasilan program yang dirancang secara partisipatif sesuai potensi yang ada. Perkembangan usaha kerajinan tenun ikat akan berfungsi untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan menopang perekonomian masyarakat.
KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL
Sejarah Pembentukan Kelompok Kelompok pengrajin adalah bentukan program yang masuk ke komunitas, pada tahun 2004. Pada awalnya, dibentuk oleh Program Pengembangan Kecamatan (PPK) lalu ditambah dengan pembentukan kelompok oleh Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM). Program ini bertujuan untuk membangkitkan usaha ekonomi produktif melalui bantuan modal usaha dalam bentuk pinjaman. Untuk program PPK, jenis pinjaman ini ditujukan untuk pemberdayaan perempuan, sehingga disebut Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Pada dasarnya, para pengrajin di desa Hambapraing tidak hanya perempuan, tetapi khusus yang bergabung dalam kelompok simpan pijam ini adalah perempuan, yang terbentuk dalam lima kelompok yaitu : Kelompok
Hamu Eti, Kaludang Mahamu,Lupang
Mahamu, Paaing Mamila dan Himbu Anda. Secara jelas karakteristik kelompok tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 8 Karakteristik Kelompok Pengrajin Tenun Ikat di Desa Hambapraing Program PPK : Simpan Pinjam Perempuan Tahun 2004 No
Nama Kelompok
1 2
Hamu Eti 1 Kaludang Mahamu Paaing Mamila Lupang Mahamu Himbu Anda 1
3 4 5
Jumlah Anggota 10 10
Jenis Kelamin P P
10 10 10
P P P
Usia
Pengem balian 100% 100%
Tahun
RT
30-52 42-56
Jumlah Pinjaman Rp.199.000 Rp.199.000
2005 2005
04 02
28-48 40-57 24-40
Rp.199.000 Rp.199.000 Rp.199.000
100% 100% 100%
2005 2005 2005
05 05 03
Sumber : Data TPK Desa Hambapraing,2007
Kelima kelompok ini mendapatkan bantuan sebesar Rp.199.000 per anggota, yang tersebar di empat RT. Setiap kelompok dibentuk berdasarkan kedekatan tempat tinggal, kesamaan jenis usaha, serta memiliki simpanan pokok sebesar Rp.300.000. Cara pengembalian pinjaman adalah : 12 kali pembayaran dengan bunga 3,38 persen, dikumpulkan lewat kelompok, lalu ke Tim Pelaksana Desa, yang dilanjutkan kepada Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) pada tingkat kecamatan setiap triwulan. Kelompokkelompok ini berhasil mengembalikan modal pinjaman sesuai waktu yang ditentukan,
tetapi aktivitas produksi yang masih berlanjut hanya ditemui pada tiga kelompok yakni kelompok Himbu Anda, Hamu Eti, dan Paaing Mamila. Berdasarkan pengamatan tersebut, maka pada tahun 2005 dilanjutkan dengan pengembangan kelompok pengrajin yang mengakomodir keinginan dari gabungan ketiga kelompok diatas. Usulan kelompok tersebut, menjadi dua kelompok, dimana anggotanya semakin berkurang menjadi lima orang untuk tiap kelompok. Hal ini disesuaikan dengan keinginan anggota untuk mengajukan pinjaman lagi dan kesediaan untuk berkumpul, sehingga di awal tahun 2006, terjadi pengguliran pinjaman bagi dua kelompok, yang berjumlah Rp.950.000 per anggota. Selengkapnya data kelompok pengrajin yang terus dikembangkan di tahun 2006 adalah sebagai berikut : Tabel 9 Karakteristik Kelompok Pengrajin Penerima Pinjaman SPP Program Pengembangan Kecamatan di Desa Hambapraing, Tahun 2006 No 1 2
Nama Kelompok Hamu Eti Paaing Mamila
Jumlah Anggota 5 5
Jenis Kelamin P P
RT
Usia
Jumlah Pinjaman
04 05
30-52 25-45
@Rp.950.000 @Rp.950.000
Pengem balian Rp.800.000 Rp.1.250.000
Sumber : Data TPK Desa Hambapraing, 2007
Mekanisme pengembalian pinjaman serupa dengan tahun sebelumnya, tetapi yang membedakan adalah tingkat bunga turun menjadi dua persen, serta simpanan pokok bagi kelompok sebesar Rp.230.000. Proses pengembalian yang sudah dilakukan, hampir lunas, walaupun sudah melewati batas waktu, yang seharusnya dilunasi dalam setahun atau dua belas kali pembayaran. Menurut ketua TPK Desa Hambapraing, alasan pengembalian yang macet karena produk yang dihasilkan belum dibeli konsumen, tetapi ada alasan lain juga karena adanya gambaran dari kelompok lain yang juga lebih lamban pengembaliannya tetapi tidak mendapat sanksi. Hal ini menjadi kendala bagi TPK dan UPK di tingkat masyarakat. Eksistensi Program Pengembangan Kecamatan untuk desa ini, berakhir sejak tahun 2006, dengan alasan, banyaknya kemacetan pengguliran dana di unit usaha lain, yakni usaha ekonomi produktif. Salah satu usaha pemberdayaan, yang cukup berhasil mengembalikan dana adalah kelompok pengrajin, sedangkan usaha lainnya, tidak berhasil bahkan macet total. Dari kenyataan ini, sebenarnya, menunjukkan bahwa, kelompok pengrajin tenun
ikat berpotensi untuk dikembangkan melalui pendekatan kelompok, melalui bantuan dana atau pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan anggota. Kelompok pengrajin tidak hanya dibentuk oleh program PPK, namun juga dibentuk melalui Program Penguatan dan Pengembangan Desa Menuju Desa Mandiri (P3DM) yang didanai oleh Dana Daerah (APBD) pada tahun 2005. Program ini mempunyai pendekatan yang sama dengan program PPK, tetapi perbedaan yang mendasar adalah, Program PPK dikendalikan oleh tim independen dalam strukturnya, sedangkan Program P3DM dikelola lembaga yang merupakan bagian dalam unsur pemerintah. Sejak tahun 2005, P3DM melakukan pengguliran dana bagi kelompok pengrajin tenun ikat dalam dua kelompok yakni, kelompok Himbu Anda 2 dan Hamu Eti 2. Yang membedakan kelompok SPP dalam PPK dengan Kelompok Pengrajin dalam P3DM, hanya pada mekanisme dan tingkat pengembalian pinjaman, yakni : bunga pinjaman hanya satu persen, pengurus di tingkat desa melalui LPM, pengembalian pinjaman sekali sebulan selama setahun, simpanan pokok kelompok Rp.200.000, pinjaman yang dikembalikan langsung kepada LPM (dalam bentuk rekening bank) dengan persetujuan Kepala Desa. Untuk sanksi, kedua program mempunyai ciri yang sama yaitu melalui sita barang dalam bentuk barang yang dimiliki oleh anggota. Pembentukan kelompok harus melalui kesepakatan dalam kelompok, hingga proses kerja, dan pertemuan rutin diatur oleh masing-masing kelompok. Secara terinci dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut. Tabel 10 Karakteristik Kelompok Pengrajin Tenun Ikat dalam P3DM No
Nama Jumlah Jenis Kelompok Anggota Kelamin 1 Himbu 10 P Anda 2 2 Hamu Eti 7 P 2 Sumber : LPM Desa Hambapraing,2007
RT
Usia 28-54
Jumlah Pinjaman @Rp.100.000
Pengem balian Rp.522.500
07 05
42-49
@Rp.350.000
Rp.1.222.000
Dinamika Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Kelompok yang sudah dibentuk mengalami perbedaan dalam keaktifannya, atau perbedaan dalam beberapa unsur yang mendukung berkembang atau tidaknya suatu kelompok. Tipologi dikelompokkan berdasarkan keaktifannya, yang terdiri atas dua kelompok aktif, dua kelompok kurang aktif dan tiga kelompok tidak aktif lagi. Untuk mengetahui masing-masing karakteristik, maka setiap kategori kelompok akan diuraikan berdasarkan tiga unsur. Unsur yang dinilai yaitu pengembalian modal atau pinjaman, keragaan anggota, serta indikator-indikator kekuatan kelompok (tujuan kelompok, struktur kelompok, kekompakkan kelompok, fungsi tugas, suasana kelompok, pembinaan kelompok, tekanan pada kelompok, dan efektifitas kelompok). Kelompok Aktif Terdapat dua kelompok yang aktif yakni, Kelompok Hamu Eti dan Kelompok Paaing Mamila. Kedua kelompok ini adalah pengembangan dari lima kelompok awal, yang terbentuk berdasarkan kesepakatan anggotanya. Pada bentukan yang baru, kelompok ini mendapat bantuan lebih besar. Aspek Kekuatan Kelompok a. Tujuan Kelompok Kelompok Hamu Eti dan kelompok Paaing Mamila, memiliki kecendrungan yang sama dalam hal pemenuhan tujuan kelompok. Tujuan kelompok meliputi pemenuhan tujuan anggota dan kepuasan anggota. Tujuan kelompok relatif sudah tercapai, dilihat dari aktivitas produksi, penjualan, kerjasama, dan kepuasan anggota. Aktivitas produksi pada kelompok ini, terus berjalan dalam jumlah 3 kali produksi dalam setahun, dan melakukan penjualan kain secara periodik dengan pihak pembeli. Kerjasama yang rutin diantara anggota dalam melakukan aktivitas produksi hingga pemasaran. Hal ini berlangsung secara alami karena hubungan antar anggota sangat erat yakni hubungan keluarga sehingga bentuk kerjasama yang dilakukan lebih kontinyu atau berkelanjutan. Kepuasan anggota cenderung lemah, karena belum sepenuhnya memenuhi kebutuhannya dalam hal pendapatan. Tingkat pendapatan dari hasil produk ini relatif rendah, sehingga anggota mengharapkan tingkat harga jual
yang lebih tinggi. Jadi, pemenuhan tujuan kelompok merupakan faktor yang penting dicapai untuk menunjang keberhasilan kelompok dan kepuasan anggota. Oleh sebab itu, diharapkan unsur-unsur dalam tujuan kelompok harus dipenuhi pada waktu yang akan datang. Dari kondisi ini, kelompok aktif sudah melakukan pemenuhan tujuan kelompok walaupun belum maksimal. b. Struktur Kelompok Unsur yang dilihat dalam struktur kelompok adalah, peran dan posisi, pengambilan keputusan, pembagian tugas, dan hubungan komunikasi. Struktur kelompok yang dibentuk adalah hasil kesepakatan anggota, sehingga penentuan peran dan posisi dalam struktur juga berdasarkan pada kesepakatan bersama. Unsur yang dipertimbangkan dalam menentukan ketua kelompok adalah kemampuan dan ketrampilan menenun, serta kemampuan mengatur dan mempengaruhi anggota lainnya. Kedua kelompok tersebut memiliki struktur pengurus yang dianggap cukup cakap dalam melakukan aktivitas tenun, berkelompok, dan berkomunikasi. Pembagian tugas dilakukan sesuai peran, misalnya bendahara harus mengumpulkan pengembalian modal, menyampaikan laporan, pertemuan kelompok, dan sebagainya. Pengambilan keputusan dilakukan secara komunikatif, karena anggota tinggal berdekatan. Tidak jarang juga keputusan dipengaruhi oleh pihak terdekat dari anggota misalnya suami atau keluarganya. Struktur kelompok yang sudah ada, telah melalui proses yang dianggap tepat dan dapat mendukung keberlangsungan kelompok. Gambaran peran, posisi, dan pengambilan keputusan, serta hubungan komunikasi dalam kelompok ini, relatif lebih baik dibanding kelompok yang lainnya. Oleh sebab itu, yang perlu dibenahi adalah, cara meningkatkan kemampuan ketua, dan anggota dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. c. Fungsi Tugas Fungsi tugas dalam suatu kelompok meliputi, fungsi memberi informasi, memuaskan anggota, menghasilkan inisiatif, mengajak berperan serta, dan menjelaskan. Ketua kelompok maupun anggota kelompok selalu terbuka dalam membagi informasi yang dimiliki baik tentang harga bahan baku, maupun jumlah
permintaan atau pasar yang ada. Selain itu, fungsi menjelaskan pemanfaatan modal yang harus direalisasikan dalam proses produksi sudah berjalan dalam kelompok ini. Hasilnya dalam proses pengguliran yang pertama, kelompok ini melakukan pengembalian tepat waktu, dan dilanjutkan pada bantuan tahap kedua, yang kini sedang berlangsung. Fungsi mengajak berperanserta adalah ajakan kerjasama misalnya, tahapan proses kerja yang membutuhkan tenaga kerja lebih dari satu orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa kedua kelompok ini, baru melakukan fungsi memberi informasi, menjelaskan dan mengajak berperan serta, sedangkan kedua fungsi lainnya belum dilaksanakan. Oleh sebab itu, perlu didampingi secara intensif sehingga, proses memfungsikan kelompok dalam dua hal lain tersebut dapat dilakukan oleh pengurus dan anggota kelompok. d. Pembinaan Kelompok Unsur yang dilihat dalam pembinaan kelompok adalah sosialisasi dan pendidikan atau latihan, serta kesempatan mendapatkan anggota baru. Hal ini belum dilakukan, dan hanya terbatas, pada ajakan pemanfaatan modal dan sosialisasi berkelompok. Sosialisasi dilakukan juga saat pencairan dana saja, selanjutnya tidak dilakukan lagi. Menurut ketua LPM, hal ini terjadi karena kelompok ini baru terbatas dalam mengelola modal sehingga unsur pembinaan yang lain seperti peningkatan ketrampilan belum dilakukan. Pembinaan kelompok sangat penting bagi anggota kelompok, karena keterbatasan pendidikan dan pengetahuan pengrajin akan mengakibatkan rendahnya kemampuan pengelolaan usaha. Keanggotaan yang ada, masih tetap karena kemampuan anggota belum terbina secara berkelanjutan untuk mengembangkan usaha yang lebih besar. Pembinaan kelompok adalah unsur yang penting untuk menunjang kuatnya suatu kelompok, tetapi belum dilakukan pada semua kelompok pengrajin yang ada. Unsur pembinaan masih kurang, sehingga dapat melemahkan kelompok. e. Kekompakan Kelompok Kelompok Hamu Eti memiliki kekompakan yang sangat kuat, dilihat dari proses produksi dalam tiap tahapnya. Kelompok ini memiliki kerampilan untuk melakukan keseluruhan tahapan, sehingga setiap anggota saling mendukung.
Kelompok Paaing Mamila, juga memiliki kekompakan, namun masih cenderung kurang akibat perbedaan aktivitas anggota pada saat tertentu. Kekompakan yang terbina didukung oleh hubungan pertalian darah maupun kesamaan klen, hingga kedekatan tempat tinggal dari anggota. Kekompakan kelompok juga dilihat dalam hal pengembalian modal, dimana ada rasa saling ketergantungan satu sama lain untuk memenuhi kewajiban pengembalian modal tepat waktu. Unsur yang penting dalam menilai kekompakan kelompok adalah rasa keterikatan. Hal ini sudah ada dalam kelompok yang aktif ini, sehingga unsur ini menjadi faktor yang kuat mempengaruhi keaktifan anggota dalam melakukan usaha. Hal ini yang membedakannya dengan tipe kelompok lainnya. f. Suasana Kelompok Suasana kelompok tergambar melalui perasaan saling percaya dan saling menerima antar sesama anggota. Dalam hal pengembalian modal, ada saling percaya dimana satu anggota mau membantu anggota lainnya untuk memenuhi kewajiban. Selain itu, saling menghargai antar anggota terwujud dalam hal kerjasama dan pemenuhan kebutuhan salah satu anggota saat proses produksi, misalnya bantuan tenaga kerja dan ketrampilan lainnya seperti pembuatan motif dan pewarnaan. Faktor yang dinilai mempengaruhi suasana kelompok adalah rasa saling percaya, rasa saling menerima, rasa saling menghargai, dan kebebasan berperanserta. Suasana kelompok dalam kelompok tersebut diatas, sudah berproses cukup baik, sehingga dapat mendukung kuatnya eksistensi kelompok tersebut. g. Tekanan Pada Kelompok Tekanan pada kelompok meliputi penghargaan dan hukuman bagi anggota. Penghargaan nampak pada kelompok yang aktif, karena pengembalian modal yang tepat waktu, akhirnya melanjutkan pinjaman pada jumlah yang lebih besar. Sedangkan untuk kelompok yang lambat dan tidak mengembalikan modal diberi sanksi seperti tidak mendapat guliran lagi. Hal ini masih terbatas pada pengguliran modal, namun belum berkembang pada hal yang lain, misalnya peningkatan ketrampilan tambahan bagi kelompok yang benar-benar ingin maju, dan sebagainya. Menurut pendamping kelompok, bpk HM
’Kelompok Hamu Eti, paling potensial dalam menghasilkan kain tenun yang berkualitas, namun sayang belum bisa memasarkannya secara lebih luas, selain itu, mungkin baik juga jika mereka terus didampingi’. Dari keterangan ini, sebenarnya ada harapan untuk memberi perhatian bagi kelompok yang sudah berkembang atau aktif. Gambaran ini menunjukkan bahwa ada penghargaan bagi kelompok yang berkembang sudah ada, serta sanksi bagi kelompok yang macet. Seimbangnya penghargaan dan sanksi yang dilakukan akan menunjang kuatnya kelompok aktif ini. h. Efektifitas Kelompok Kelompok yang dianggap efektif dilihat dari sisi produktivitas, atau pencapaian tujuan kelompok, kepuasan anggota, hingga moral atau semangat dan sikap anggota. Kelompok Hamu Eti dan Paaing Mamila, cukup efektif dalam memenuhi tujuan kelompoknya, dimana proses produksi dapat berkelanjutan walaupun belum rutin atau total sebagai mata pencarian utama. Tujuan lain seperti kelancaran pengembalian modal juga dipenuhi oleh kedua kelompok ini, namun semangat dan sikap anggota belum sepenuhnya puas. Hal ini berhubungan dengan harapan mereka yang belum tercapai dalam hal pemasaran produk yang masih terbatas, sehingga belum memberi hasil atau pendapatan yang optimal. Selain itu, kurang puasnya anggota karena minimnya informasi pasar bagi mereka mengakibatkan produk dipasarkan dengan harga yang tidak seimbang dengan biaya produksi. Berdasarkan kondisi tersebut, pencapaian efektifitas kelompok, relatif cukup, karena unsur moral dan pencapaian tujuan kelompok sudah berlangsung sedangkan kepuasan anggota belum tercapai. Oleh sebab itu, kelompok ini akan kuat jika unsur kepuasan anggota dapat tercapai.
Keragaan Anggota Anggota kelompok Hamu Eti dan Paaing Mamila, terdiri atas warga komunitas yang memiliki karakter yang hampir sama, namun lebih jelas jika diuraikan secara terpisah. Kelompok Hamu Eti, terdiri atas anggota yang memiliki latar belakang hubungan darah atau keluarga, berada dalam satu klen, tempat tinggal
yang berdekatan, masing-masing anggota berada dirumah yang berbeda, jadi bukan satu rumah tangga. Gambaran dalam satu klen, tetapi mempunyai hubungan darah yang cukup dekat mengakibatkan ketrampilan yang dimiliki juga hampir sama atau merata. Hal ini disebabkan karena setiap rumah tangga mewariskan ketrampilan menenun dan mendesain bagi anggota keluarganya sehingga hal ini menjadi kebanggaan tersendiri jika ketrampilan yang dimiliki lebih komplit dibanding dengan kelompok lainnya. Kelompok Paaing Mamila, terdiri dari anggota yang dominan bertalian darah, tidak dalam satu klen, dan tempat tinggal yang berdekatan, tetapi masih dalam satu RT. Kecakapan atau ketrampilan yang dimiliki hampir pada semua tahap proses kerja, bahkan salah satu anggotanya sudah mempunyai jaringan pemasaran dengan pihak pembeli perantara. Hal ini juga yang membedakannya dengan kelompok yang lain, sehingga menopang keberlangsungan produksi. Unsur keragaan anggota dapat dilihat dari, kecakapan, tingkat pendidikan, usia, status atau ketokohan, dan ketrampilan. Dilihat dari usia anggota, terdapat 70 persen anggota berusia dibawah 50 tahun, dengan tingkat pendidikan sekolah dasar, tetapi mempunyai ketrampilan yang komplit pada setiap tahapan proses kerja. Selain itu, ketua dan pengurus mempunyai kecakapan yang cukup, dan terdapat 20 persen anggota yang masih berstatus tokoh atau pihak yang dihormati dalam klan. Gambaran ini menunjukkan bahwa keragaan anggota ini mempunyai pengaruh bagi aktif atau tidaknya suatu kelompok dalam menjalani proses dan usahanya. Ikatan yang paling kuat adalah pengaruh ketrampilan, kecakapan, dan hubungan pertalian darah hingga adanya tokoh yang dihormati.
Pengembalian Modal Pengembalian modal berkaitan dengan batasan waktu dan kewajiban pengembalian, serta jumlah pinjaman. Pengembalian modal pertama sudah dilakukan tepat waktu, sedangkan guliran yang kedua, sudah dilakukan sebesar 60 persen selama setahun, dan hal itu masih terus berproses, dengan harapan program pemberdayaan tetap meneruskannya.
Kelompok ini menggunakan modal bantuan dari pemerintah, dari jumlah yang kecil hingga yang besar yakni, sejak jumlahnya 199.000 tahun 2004 hingga berjumlah 950.000 pada tahun 2006. Bantuan modal ini digunakan untuk pengadaan bahan baku seperti benang, dan biaya bahan tambahan lainnya. Untuk harga benang, dengan modal Rp.200.000 dapat menghasilkan kain sejumlah empat lembar, karena satu bantal benang dengan harga Rp.35.000 dapat menghasilkan selembar kain. Modal lainnya, seperti tenaga kerja membutuhkan biaya yang berbeda, dan hal ini tergantung pada kekompakan dari anggota kelompok. Selain hanya biaya benang, dibutuhkan tenaga untuk membantu proses kerja, dimana terdapat tahapan yang membutuhkan tenaga kerja lebih dari satu orang (1-3 orang). Oleh sebab itu, untuk kelompok pengrajin, proses produksi tidak hanya tergantung dengan modal, dan bahan baku tetapi juga tergantung pada keterlibatan anggota lainnya yang bisa saling melengkapi, demi kelancaran proses tersebut. Ketrampilan yang dimiliki secara komplit atau penguasaan teknik secara menyeluruh juga mendukung proses kerja atau produksi yang lebih tepat waktu. Gambaran ini, menunjukkan bahwa kedua kelompok tersebut dikatakan aktif karena ketiga unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok, berproses relatif cukup baik walaupun terdapat banyak unsur yang masih lemah. Unsur- unsur yang lemah tersebut patut dijadikan bahan evaluasi untuk menunjang keaktifan suatu kelompok sehingga pada akhirnya berkembang lebih baik lagi.
Kelompok Kurang Aktif Terdapat dua kelompok yang kurang aktif di komunitas ini, yakni kelompok Himbu Anda2 dan Hamu Eti2, dimana keduanya adalah kelompok bentukan program P3DM. Jumlah modal yang diperoleh relatif lebih kecil dibanding dengan kelompok yang aktif tersebut diatas, yakni Rp.350.000 dan Rp.100.000. Hal ini juga disesuaikan dengan dana pemberdayaan yang tersedia serta kesepakatan kelompok untuk melakukan pinjaman kelompok. Sejak tahun 2005, hingga tahun 2007, pengembalian dana baru mencapai 50 persen, dengan alasan pendapatan dan kesadaran untuk pengembalian modal yang masih rendah.
Aspek Kekuatan dalam Kelompok a. Tujuan Kelompok Tujuan kelompok dilihat dari empat unsur, yakni tujuan anggota, kerjasama, aktivitas produksi, dan kepuasan anggota. Tujuan pembentukan kelompok, selain untuk pemberdayaan juga sebagai salah satu media untuk mendapatkan bantuan modal dan bantuan dari luar. Tujuan anggota adalah mendapatkan bantuan, sehingga dalam proses ini anggota merasa puas dapat memperoleh tambahan modal untuk berusaha. Aktivitas produksi masih terbatas pada hasil yang minim, artinya dalam setahun hanya melakukan produksi sekali hingga dua kali. Anggota masih bekerja secara individual dirumah masing-masing, dengan kerjasama masih kurang. Anggota merasa tidak puas dengan harga kain yang menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok ini belum mencapai tujuannya, karena empat unsur tersebut belum tercapai. Oleh sebab itu, kelompok ini berjalan apa adanya, dengan produksi yang minim dalam setahun, dan hasil yang diperoleh pun sangat terbatas. Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini mengalami kelemahan pada unsur pemenuhan tujuan. b. Struktur Kelompok Unsur yang dilihat dalam struktur kelompok adalah, peran dan posisi, pengambilan keputusan, pembagian tugas, dan hubungan komunikasi. Kelompok yang dibentuk memiliki struktur yang lazim atau umum yakni terdiri atas ketua, sekeretaris dan bendahara. Peran ketua dalam kelompok maupun pengurus lainnya, cenderung apatis setelah bantuan sudah diperoleh. Pengambilan keputusan lebih dominan dilakukan oleh ketua, karena kegiatan hanya berkisar pengembalian dana, sedangkan keadaan anggota melakukan produksi dan kendalanya, menjadi urusan pribadi. Hubungan komunikasi dan pembagian tugas, seputar pelaksanaan tugas masing-masing anggota, seperti contohnya yang dilakukan oleh bendahara. Catatan pengembalian modal oleh bendahara kelompok menjadi informasi bagi pengurus LPM. Pengambilan keputusan dilakukan secara individual dalam hal pengembalian modal, karena tergantung kemampuan masing-masing anggota. Berbeda dengan kelompok aktif yang saling mengingatkan, dan saling tergantung. Dari gambaran ini,
ternyata kedua kelompok ini mengalami kelemahan dalam unsur struktur dimana ketua kelompok kurang berkomunikasi dengan anggota, sehingga keputusan yang lakukan lebih individual. Hal-hal tersebut menjadi kelemahan kelompok ini sehingga tergolong kurang aktif. c. Fungsi Tugas Fungsi tugas dalam suatu kelompok meliputi, fungsi memberi informasi, memuaskan anggota, menghasilkan inisiatif, mengajak berperan serta, dan menjelaskan. Dalam memberikan informasi, antar anggota juga masih berjalan secara alami sama seperti waktu belum berkelompok, artinya kendala pasar atau proses produksi jarang dibicarakan. Jarang karena produksi dilakukan hanya sekali atau dua kali dalam setahun. Unsur memuaskan anggota, menghasilkan inisiatif serta mengajak berperanserta masih jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh peran ketua belum total atau fokus dalam melakukan berbagai tugasnya. Penjelasan dilakukan hanya sebatas bagaimana mekanisme pinjaman saja. Unsur yang lemah dalam kelompok ini, meliputi semua unsur dalam pelaksanaan semua fungsi tugas yang ada, hanya pemberian informasi saja, yang dilakukan diawal, setelah itu, semuanya berjalan secara individual seperti tidak berkelompok. d. Pembinaan Kelompok Pembinaan belum dilakukan selain sosialisasi pencairan modal dan penggunaannya, hingga pengembaliannya. Hal ini sebatas memberitahu saja, bukan pembinaan yang intensif, apalagi sampai menemukan anggota yang baru. Hampir sama dengan kelompok yang aktif, bahwa pembinaan kelompok belum dilakukan secara intensif bagi semua kelompok yang ada, hanya terbatas pada pemberian modal saja. e. Kekompakan Kelompok Kekompakan kelompok sangat mendukung keberadaan suatu kelompok, karena mengandung rasa keterikatan. Dalam kelompok ini, hal itu masih kurang dimana masing-masing anggota tetap melakukan aktivitasnya secara individual. Hal ini banyak disebabkan oleh kesesuaian waktu yang dipakai, dan motivasi dari anggota
pun berbeda-beda. Salah seorang melakukan produksi yang berkelanjutan, tetapi anggota lainnya belum memulai produksi, maka terjadi perbedaan waktu diantara anggota. Berdasarkan hal ini, maka kekompakan diantara anggota juga masih kurang, sehingga ada yang terus bekerja sedangkan anggota yang lain tidak produksi. Jadi kelemahan ini mengakibatkan terbatasnya kemampuan anggota dalam menjalankan produksi secara berkelanjutan. Disisi lain, aktivitas untuk saling membantu sudah jarang berlangsung, tetapi masih dilakukan kelompok aktif, misalnya salah satu anggota melakukan produksi, tetap dibantu oleh anggota lainnya, yang disebut istilah panjolurungu. Hal ini merupakan suatu kearifan lokal dalam bekerjasama, mirip arisan bantuan atau tenaga kerja dalam menyelesaikan proses produksi suatu tenunan. f. Suasana Kelompok Suasana kelompok dilihat dari sisi adanya, rasa saling percaya, rasa saling menerima, rasa saling menghargai, serta kebebasan berperanserta. Dalam kelompok Himbu anda2 dan Hamu eti2, terdapat rasa saling menerima dan menghargai tetapi saling percaya masih kurang. Hal ini terjadi karena selalu ada perbedaan aktivitas yang berbeda saat memproduksi, sehingga menurut mereka setiap pinjaman harus dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri tanpa harus saling mempengaruhi satu sama lainnya. Kebebasan berperan serta cukup luas, artinya, dalam melakukan aktivitas pertemuan, bebas bagi anggota, dengan tujuan agar kesadaran dan prakarsa datang dari pribadi masing-masing. Unsur suasana kelompok sudah dibangun dengan baik, tetapi belum sejalan dalam memutuskan apa yang terbaik bagi kepentingan bersama. Kelemahan ini mempengaruhi perkembangan kelompok, karena ada anggota yang ingin maju tetapi ada yang apatis. g. Tekanan pada Kelompok Unsur penghargaan yang dimaksud lebih tertuju pada penyelenggara pelaksana program, dimana kelompok mendapat penghargaan bila melakukan prestasi dan sebaliknya jika melakukan pelanggaran akan mendapat sanksi. Untuk kelompok ini, belum mendapat penghargaan, tetapi sedang berproses terus, dan sanksi yang diketahui anggota adalah, jika terjadi keterlambatan penyetoran, tetap melanjutkan pinjaman. Sebaliknya jika terjadi kredit macet akan kehilangan kesempatan untuk
terus mendapatkan modal pinjaman berikutnya. Lemahnya tekanan pada kelompok juga mempengaruhi keaktifan anggota, misalnya anggapan hibah masih tertanam dalam diri anggota. Sementara di sisi lain, sanksi tidak dapat dilakukan secara kaku, karena gerakan pemberdayaan kaum miskin, harus mengutamakan kesadaran anggota melalui pendekatan yang tepat. Berdasarkan gambaran ini, maka dibutuhkan penyadaran yang terus menerus kepada anggota sehingga dapat membangun kesadaran kritis dalam pola pikir mereka. h. Efektifitas Kelompok Kelompok yang dianggap efektif dilihat dari sisi produktivitas, atau pencapaian tujuan kelompok, kepuasan anggota, hingga moral atau semangat dan sikap anggota. Produktivitas merujuk pada pencapaian tujuan kelompok, dalam hal ini, untuk kedua kelompok ini masih mengalami kelemahan dalam mencapai tujuan kelompok, yakni keterlambatan dalam memenuhi kewajiban permodalan. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pengrajin melalui penghasilan dari produk juga masih minim. Produksi kain masih terbatas, yaitu sekali hingga dua kali produksi dalam setahun. Hal ini mempengaruhi semangat dan sikap anggota, dan juga kepuasan aggota, sehingga dibutuhkan intervensi dalam mengatasi kelemahan yang dialami pengrajin atau anggota kelompok. Gambaran ini menunjukkan efektifitas kelompok masih kurang, dan perlu pembenahan secara menyeluruh pada beberapa unsur tersebut di atas. Keragaan Anggota Keragaan anggota meliputi usia, jenis kelamin, ketrampilan yang dimiliki, kecakapan dan status. Keanggotaan kelompok ini, terdiri atas usia yang masih produktif yakni, berkisar antara 28-54 tahun atau 60 persen dibawah 50 tahun, sehingga masih potensial dalam melakukan produksi. Keanggotaan juga terdiri atas perempuan
yang
berkeluarga,
sehingga
aktivitas
domestik
lainnya
juga
mempengaruhi kegiatan menenun atau proses tenun. Ketrampilan yang dimiliki, belum komplit seperti pada kelompok aktif, sehingga masih tergantung juga dengan pihak lain, misalnya dalam hal mendesain motif (ikat). Selain itu, kecakapan ketua dan pengurus dalam mempengaruhi anggotanya masih kurang, sehingga berjalan apa
adanya. Tingkat pendidikan terdiri atas, sekolah dasar hampir 90 persen dan 10 persen sekolah menengah pertama (SMP). Perbedaan status juga terkadang mempengaruhi, misalnya anggota yang kurang aktif berusia lebih tua atau lebih dewasa dan tergolong tokoh, maka anggota alainnya juga terpengaruh dalam melakukan tugas atau kewajiban yang lebih teratur. Hal ini harus dilakukan pengaruh dan pendekatan terhadap tokoh atau pihak yang lebih dewasa untuk disiplin, sehingga dapat mempengaruhi anggota yang lain. Pengembalian Modal Pengembalian modal berkaitan dengan batasan waktu dan kewajiban pengembalian, serta jumlah pinjaman. Modal yang digunakan kedua kelompok ini relatif kecil yakni, antara 100.000 sampai 350.000 per orang. Jumlah pinjaman yang kecil tetapi sulit dikembalikan, dipengaruhi oleh hasil kerajinan yang dijual tidak mendapat keuntungan, juga lebih besar dipengaruhi oleh kesadaran anggota untuk tidak mengembalikan modal, karena dianggap sebagai hibah. Modal yang diperoleh digunakan untuk membeli bahan baku, namun tidak jarang juga ada yang digunakan untuk kebutuhan konsumtif lainnya, seperti kebutuhan pangan atau papan. Kemampuan dalam mengelola modal yang ada masih rendah sehingga terjadi ketidakberlanjutan proses produksi. Sebab lain karena ada kelompok usaha lainnya yang juga macet mengembalikan, tetapi belum memperoleh sanksi. Dalam penggunaan modal atau dana masih dipengaruhi cara yang konsumtif. Pola konsumtif artinya jika ada pemasukan dari hasil tenun, langsung digunakan untuk konsumsi rumah tangga, tanpa menyisihkan modal yang cukup untuk melanjutkan produksi lagi. Kesimpulannya kelompok ini, masih lamban dalam pengembalian modal, karena pengembalian baru sebesar 50 persen, dan sudah lebih dari
batas waktu yang
ditentukan. Sampai sekarang masih terus melakukan pembayaran, karena masih ada keinginan untuk memperoleh bantuan lagi. Deskripsi ketiga unsur yang mempengaruhi kelompok ditinjau dari sisi keragaan anggota, indikator kekuatan kelompok dan pengembalian modal, menunjukkan bahwa kelompok ini kurang aktif. Banyak unsur yang masih lemah, jika dibandingkan dengan kelompok yang aktif, tetapi lebih baik dibanding dengan
kelompok tidak aktif. Yang masih menonjol untuk ditindaklanjuti adalah, ada keinginan anggota untuk melanjutkan kelompok dan menerima bantuan untuk usaha. Oleh sebab itu, perlu perhatian pada unsur-unsur yang masih lemah seperti unsur yang dapat menguatkan kelompok sehingga dapat menunjang kemajuan usaha anggota, dan membangun semangat berkelompok.
Kelompok Tidak Aktif Kelompok bentukan yang sudah tidak aktif lagi meliputi kelompok yang sudah pernah mendapat bantuan tetapi tidak lagi berkelompok untuk melanjutkan perputaran modal, yakni terdiri atas tiga kelompok dalam PPK. Kelompok awal yang terdiri atas lima dikembangkan menjadi dua, sehingga yang tidak aktif lagi adalah tiga kelompok yakni Himbu Anda1, Lupang Mahamu, dan Kaludang Mahamu.
Aspek Kekuatan dalam Kelompok a. Tujuan Kelompok Untuk ketiga kelompok ini, sejak tahun 2007 sudah tidak aktif lagi dan tidak mendapat bantuan lagi. Tujuan mereka dalam hal pengembalian modal juga sudah berakhir, dan tidak berniat melanjutkan pinjaman karena masing-masing anggota sudah tidak mempunyai keinginan yang sama. Kesepakatan untuk berkelompok sudah tidak terjadi, dengan alasan yang bervariasi, yakni, sulit untuk bekerjasama, perbedaan waktu beraktivitas, perbedaan motivasi berkelompok. Perbedaan motivasi berkelompok maksudnya, ada yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan, sementara ada yang lain bertujuan untuk kerjasama dan peningkatan pendapatan dari hasil produksi. Tujuan kelompok dilihat dari empat unsur, yakni tujuan anggota, kerjasama, aktivitas produksi, dan kepuasan anggota. Keempat hal ini tidak ada dalam kelompok tersebut, sehingga kondisi kelompok sangat lemah dalam pemenuhan tujuan kelompok. Oleh sebab itu perlu cara yang lain untuk memberdayakan mereka, dengan melihat kesamaan motivasi dan tujuan individu. Kemungkinan lain adalah, tidak
selalu harus berkelompok, karena bisa dilakukan secara individu, sesuai dengan pendapat masing-masing anggota. b. Struktur Kelompok Unsur yang dilihat dalam struktur kelompok adalah, peran dan posisi, pengambilan keputusan, pembagian tugas, dan hubungan komunikasi. Kepengurusan yang ada sesuai struktur yang sudah dibentuk, dan menurut para anggota, walau cuma sebentar tetapi pernah merasakan aktivitas berkelompok. Hal ini diakui anggota dengan menyatakan pengalaman membuat urusan keuangan, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Hubungan komunikasi yang terbangun waktu pertemuan menurut kaum perempuan cukup memberi kesempatan untuk bisa menyampaikan pendapat. Peran ketua yang kurang mampu mengajak anggota untuk berusaha lagi, juga mempengaruhi ketidakberlanjutan kelompok ini. Secara struktur kelompok ini, mengalami kelemahan dalam berbagai unsur yang mendukungnya, sehingga perlu mengetahui penyebab utama. Pengalaman berkelompok yang pernah dirasakan anggota, meskipun singkat waktunya, merupakan keinginan dan kesadaran mereka sehingga penting menjadi alasan untuk melakukan pendekatan lagi. c. Fungsi Tugas Fungsi tugas dalam suatu kelompok meliputi, fungsi memberi informasi, memuaskan anggota, menghasilkan inisiatif, mengajak berperan serta, dan menjelaskan. Dalam kelompok ini, yang terjadi hanya memberi informasi, yakni seputar cara melakukan produksi dan cara mengembalikan modal setiap bulan. Menghasilkan inisiatif dan mengajak berperan serta sudah tidak berjalan lagi, hal ini terjadi diawal pelaksanaan program, seperti kesepakatan untuk bertemu dan sebagainya. Kelompok ini menyelesaikan pinjaman dalam waktu yang lama, secara individu. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi tugas dari kelompok sudah tidak berjalan, dan menyebabkan lemahnya kelompok ini, dan menjadi tidak aktif lagi.
d. Pembinaan Kelompok Pembinaan kelompok belum dilakukan, sama dengan kelompok yang lainnya, selain untuk memberi modal. Pembinaan harusnya dilakukan dari proses produksi hingga pemasaran produk. Selain itu, penguatan kapasitas individu dan kelompok juga belum intensif di lakukan. Untuk ketiga kelompok, sama-sama mengalami rendahnya dampingan secara menyeluruh, baik untuk peningkatan kemampuan dan pengetahuan, akses informasi hingga jangkauan pasar. e. Kekompakan Kelompok Kekompakan yang ada meliputi rasa keterikatan satu sama lain antar anggota. Hal ini masih kurang dalam kelompok, disebabkan karena kegiatan produksi selalu menjadi aktivitas di masing-masing anggota. Perbedaan pendapat untuk melanjutkan kelompok, dimana lebih banyak yang apatis, karena bantuan sebelumnya lambat dikembalikan. Hal ini menunjukkan kurang kompaknya anggota dalam kelompok. Pada dasarnya hubungan dengan anggota lain sudah ada sebelum pembentukan kelompok, tetapi bersifat alami saja, yakni rasa saling membantu antara sesama, dengan syarat saling memuaskan atau menguntungkan. Ada peluang dan hambatan yang dapat ditindaklanjuti untuk mengembalikan rasa kompak di antara anggota. f. Suasana Kelompok Suasana kelompok ini, dipengaruhi oleh rasa saling percaya, rasa saling menerima, dan saling menghargai. Sesudah berkelompok anggota merasa kurang percaya jika berkelompok dapat membantu penghasilan menjadi lebih baik. Rasa kurang percaya muncul dalam diri anggota kelompok ini, karena kerjasama untuk proses produksi yang dilakukan tidak berkelanjutan. Dalam pelaksanaan atau kerjasama yang waktunya tidak sama antara satu sama lainnya, menjadi kendala yang mengakibatkan tidak seiramanya proses yang dilakukan. Kebebasan berperan serta yang negatif artinya ditandai oleh sikap apatis terhadap sesama anggota untuk menentukan keputusan untuk aktif atau tidak dalam kelompok. Melihat gejala ini, maka kebiasaan arisan yang dilakukan patut dikembangkan dalam kelompok sehingga membantu terjalinnya kerjasama. Arisan ini disebut panjolurungu dimana setiap anggota akan saling membantu menyelesaikan produk dan imbalan tenaga
secara seimbang. Ada sebagian anggota kelompok ini yang tetap mengharapkan pendampingan untuk mereka. g. Tekanan Pada Kelompok Kelompok ini sudah mengembalikan pinjaman sampai tuntas meskipun lambat atau lewat dari waktu yang ditetapkan. Menurut LPM, mereka masih bisa melanjutkan pinjaman jika ada kesepakatan lagi diantara mereka, tetapi keinginan kelompok belum ada. Tekanan yang dilakukan hanya sebatas, tanggungjawab anggota agar mengembalikan modal tepat waktu, dan tetap melakukan produksi setiap tahun. Melihat kondisi ini, sebenarnya masih ada peluang bagi kelompok ini untuk melanjutkan, tetapi dengan syarat ada kesepakatan dalam kelompok. h. Efektifitas Kelompok Produktifitas, moral dan kepuasan anggota adalah unsur yang dinilai dalam melihat efektif tidaknya suatu kelompok. Kelompok ini, dinilai kurang efektif, karena bantuan kurang berpengaruh bagi produktivitas anggota kelompok. Produksi dilakukan hanya sekali dalam setahun, dan hal ini sama ketika belum mendapat bantuan. Semangat dan sikap anggota berbeda-beda, karena alasan dan tujuan juga berbeda. Beberapa anggota kelompok menyatakan bahwa mereka senang dengan bantuan ini, sekaligus mengetahui cara berkelompok, dan menyampaikan pendapat di dalam kelompok. Kepuasan anggota belum tercapai karena ketidakkompakan diantara mereka, mengakibatkan produksi dilakukan secara individual. Yang dibutuhkan adalah cara menarik perhatian anggota untuk berusaha bersama, sesuai dengan suasana anggota. Kondisi ini menunjukkan bawa lemahnya efektifitas kelompok mengakibatkan ketidakberlanjutan kelompok. Yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi masalah yang ada, dibicarakan dengan semua anggota, dan menawarkan beberapa cara yang sesuai dengan kehendak bersama secara partisipatif. Bagi anggota yang sejalan dan tertarik membentuk kelompok dapat melanjutkan atau membentuk kelompok baru. Sedangkan bagi yang tidak tertarik berkelompok dapat dilakukan pendekatan pemberdayaan yang lain.
Keragaan Anggota Ketiga kelompok ini merupakan kelompok yang sudah tidak aktif lagi, karena tidak melanjutkan pinjaman lagi. Alasan yang utama adalah ketidakkompakan anggota dan lemahnya pemenuhan kebutuhan anggota, serta kurangnya pembinaan. Usia anggota dominan berusia di atas 50 tahun, dan ada 20 persen usia dibawah itu, sehingga kemungkinan ada pengaruh antara usia yang produktif untuk melanjutkan kelompok. Tingkat pendidikan anggota adalah sekolah dasar, dengan ketrampilan dasar, artinya proses dasar seperti pewarnaan, ikat sampai tenun. Semua proses yang ada tidak dikuasai, jadi berbeda dengan kelompok aktif, Kecakapan ketua tergolong rendah, karena kurang mampu mempengaruhi anggota dalam menjalankan peran dan fungsi. Kecakapan anggota, ada kekurangan tenaga misalnya bagi yang sudah tua, tidak bisa menenun lagi jadi menggunakan tenaga orang lain. Biasanya yang sudah tua lebih fokus pada kegiatan atau proses lainnya selain tahapan tenun. Menenun harus dilakukan oleh tenaga produktif artinya dibawah usia 50 tahun karena membutuhkan tenaga yang lebih ekstra. Kelompok yang tidak aktif ini terdiri atas perempuan yang dominan sudah berumur tua, serta biasanya melakukan aktivitas produksi dengan ikut bersama dengan orang muda. Hal ini biasa dikenal dengan istilah pajaungu, yang bermakna menyumbang benang dan bahan baku lainnya untuk diproses secara bersama, tetapi tenaga dari kalangan usia muda. Fungsi kelompok justru akan menunjang proses ini, jika dilanjutkan dan dibina secara lebih baik. Status dan ketokohan, terdapat sedikit yang berstatus tokoh dalam klan, dan hal ini sedikit berpengaruh juga. Ketika tokoh yang ada melakukan keterlambatan penyetoran akan mempengaruhi anggota yang lain, demikian sebaliknya untuk hal yang positif. Dari gambaran ini, menunjukkan keragaan anggota dalam kelompok ini mempunyai pengaruh dalam menunjang aktif tidaknya suatu kelompok. Yang dominan adalah, kecakapan ketua dan anggota, tingkat pendidikan, dan usia anggota. Pengembalian Modal Pengembalian modal berkaitan dengan batasan waktu dan kewajiban pengembalian, serta jumlah pinjaman. Pengembalian modal dilakukan sampai tuntas,
tetapi dengan waktu yang lebih lama dibanding dua kelompok lain. Cara pengelolaan modal masih sangat terbatas, karena cicilan yang diberikan bukan lagi hasil tenun ikat, tapi dari hasil lainnya. Hal ini menujukkan bahwa modal yang digunakan belum optimal digunakan untuk pengembangan usaha tenun ikat. Menurut pengrajin, hasil tenun ikat tidak menjanjikan lagi, seperti waktu yang lalu. Hal ini juga mengakibatkan pelaksanaan produksi semakin menurun. Dari keadaan ini, kelompok tersebut mengalami keterlambatan dalam pengembalian modal akibat beberapa hal yang disebutkan diatas. Oleh sebab itu, perlu menindaklanjuti faktor yang mempengaruhi pengelolaan modal dan pengembalian modal. Berdasarkan deskripsi tiga faktor yang mempengaruhi kelompok-kelompok ini, menjelaskan bahwa kelompok ini tergolong tidak aktif lagi. Keadaan kelompok berada pada posisi yang lemah dibandingkan kelompok lainnya yang digolongkan aktif dan kurang aktif. Kelemahan kelompok terbukti lewat perbandingan unsur-unsur yang mendukung kuat tidaknya suatu kelompok (tabel 11). Dengan melihat kelemahan yang ada, maka dapat ditindaklanjuti cara yang tepat untuk mengembangkan upaya pemberdayaan yang lebih intensif sesuai masalah dan kendala yang dihadapi. Selanjutnya gambaran tentang dinamika kelompok berdasarkan ketiga unsur yang mempengaruhinya, dapat dilihat pada tabel 11 dan tabel 12
Tabel 11 Deskripsi Dinamika Kelompok berdasarkan aspek kekuatan kelompok Tabel 12 Deskripsi Dinamika Kelompok berdasarkan pengembalian modal dan keragaan anggota
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dinamika Kelompok Pengrajin Berdasarkan gambaran dinamika kelompok pengrajin di komunitas, maka faktor yang berpengaruh dalam kelompok pengrajin khususnya kelompok aktif adalah unsur : tujuan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, efektifitas kelompok, dan keragaan anggota serta tingkat pengembalian modal. Faktor lain yang belum ada di setiap kelompok dan diharapkan oleh anggota pengrajin untuk menguatkan suatu kelompok adalah unsur pembinaan kelompok, secara lebih intensif. Unsur-unsur kekuatan kelompok yang ada, mengalami perbedaan pada setiap kelompok. Demikian halnya dengan proses pengembalian modal dan keragaan anggota. Kelompok yang aktif dapat dikatakan sebagai kelompok yang memiliki dominasi kekuatan kelompok yang lebih baik dibanding kelompok yang lain. Ukuran keaktifan dinilai berdasarkan delapan unsur kekuatan kelompok dan pengembalian modal, serta keragaan anggota yang berkontribusi menyebabkan kelompok dikategorikan aktif, kurang aktif dan tidak aktif lagi. Untuk aspek kekuatan kelompok, ternyata unsur yang dominan dimiliki oleh kelompok aktif, terletak pada : a. Tujuan kelompok yakni aktivitas produksi, bentuk kerjasama antar anggota, dan pemenuhan kebutuhan anggota (kepuasan anggota) melalui keberlanjutan produksi dan proses pemasaran. b. Efektifitas kelompok yakni meliputi produktivitas, moral dan kepuasan anggota. Produktivitas berhubungan dengan kegiatan produksi dan kegiatan pemasaran produk yang sudah dilakukan. Dalam proses produksi setiap anggota memiliki kontribusi untuk saling bekerjasama seperti panjolurungu, baik dalam hal bahan baku dan tenaga kerja. Hal ini juga menyebabkan produksi dilakukan lebih dari dua kali dalam setahun. Untuk proses pemasaran, anggota kelompok sudah memiliki jaringan pemasaran atau sudah mempunyai pembeli atau langganan sehingga hasil produksi selalu mendapat tempat untuk dipasarkan walau jumlahnya masih terbatas. Jangkauan pemasaran yang terbatas disebabkan karena informasi pasar seperti gambaran permintaan pasar yang harus dipenuhi oleh kelompok ini, contohnya dalam hal pembuatan selendang dalam jumlah tertentu,
sesuai variasi yang diminta. Efektifitas juga dilihat dari moral yakni semangat dan sikap anggota yang cukup senang, karena modal yang ada membantu untuk melaksanakan produksi secara terus menerus. Tingkat kepuasan anggota masih kurang, karena tingkat pendapatan dari hasil penjualan produk masih rendah, dengan kata lain, harga jual produk masih rendah. c. Kekompakan kelompok, sangat mempengaruhi berjalannya kelompok ini, karena proses yang dilakukan membutuhkan kerjasama dan kekompakan, artinya adanya rasa keterikatan antar anggota. Hal ini tampak saat penjualan produk yang digabung menjadi satu untuk ditawarkan kepada pembeli perantara maupun pemilik artshop. Demikian halnya dalam melakukan proses produksi, dilakukan melalui kerjasama dan arisan tenaga (panjolurungu). d. Suasana kelompok, sangat berperan dalam kelompok ini, karena sudah didukung oleh hubungan kekeluargaan diantara para anggota. Suasana kelompok ini didukung oleh rasa saling percaya yang tinggi, rasa saling menerima, saling menghargai dan kebebasan berperan serta. Kesamaan orientasi juga terus dibangun untuk tetap mengutamakan pekerjaan ini sebagai salah satu pekerjaan utama untuk menopang penghasilan, walau kendala modal dan pasar dirasakan oleh anggota. Untuk aspek pengembalian modal, cukup berhasil karena dipengaruhi oleh keinginan kelompok untuk mendapatkan modal dalam jumlah yang lebih besar, serta kemampuan mengelola modal dengan baik. Selain itu, alasan keterlambatan pengembalian modal karena hasil penjualan tenun digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, sehingga untuk akumulasi modal menjadi terbatas. Jadi unsur pengelolaan modal, penggunaan modal, dan prioritas pemenuhan kebutuhan mempengaruhi pengembalian modal. Untuk aspek keragaan anggota, ternyata kelompok yang terdiri atas anggota yang lebih besar didominasi usia muda lebih aktif atau lebih baik dibanding kelompok yang usia anggotanya dominan terdiri atas usia tua. Hal ini berhubungan dengan penggunaan tenaga untuk produksi. Unsur hubungan kekeluargaan yang erat membuat kelompok lebih aktif karena motivasi yang serupa dan kegiatan produksi
saling mendukung sesuai waktu yang dimiliki oleh anggota. Ketrampilan juga mempengaruhi keaktifan, karena pada kelompok aktif diketahui bahwa penguasaan ketrampilan yang lebih baik justru menunjang keberlangsungan proses produksi. Kelompok yang masih tergantung dengan tenaga dari luar menghambat aktifnya suatu kelompok dan keterlambatan dalam proses produksinya. Selain ketrampilan, ada pengaruh unsur kecakapan ketua dalam mengatur anggotanya, walau kelompok yang aktif juga terdiri atas anggota yang rendah tingkat pendidikannnya, namun kecakapan untuk saling menggerakkan anggota relatif lebih baik dibandingkan dengan kelompok lainnya. Status yang ada, biasanya anggota yang berusia tua dan memiliki posisi lebih senior dalam klen tersebut secara ketokohan menjadi pihak yang dihormati dalam kelompok. Yang menarik dalam kelompok aktif seperti Hamu Eti, justru yang senior adalah anggota, tetapi mempunyai pengaruh yang besar dalam melakukan aktivitas, yakni mempunyai kemampuan membuat desain yang lebih bagus, dan dihormati. Unsur ini, diduga besar pengaruhnya dalam dinamika kelompok sehingga dapat mendukung keberhasilan kelompok. Pembinaan kelompok dalam bentuk pemberian modal saja, dianggap kurang oleh pengrajin, karena sesungguhnya yang dibutuhkan adalah intervensi lain seperti penguatan
kemampuan
dan
ketrampilan
pengrajin,
peningkatan
jangkauan
pemasaran, jangkauan informasi pasar, dan akses permodalan yang lebih besar. Unsur-unsur yang dianggap dominan berpengaruh menguatkan suatu kelompok menjadi berkembang, menjadi bahan kajian yang penting ditindaklanjuti untuk mendukung keberlanjutan eksistensi kelompok yang ada. Jika semua unsur dipenuhi atau mengalami kecendrungan yang cukup atau baik maka akan tercapai suatu kelompok yang ideal dan kuat. Dari deskripsi dinamika kelompok yang sudah ada, yang perlu dilakukan adalah melihat potensi yang sudah ada lalu dikaitkan dengan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Langkah intervensi pada setiap kelompok, akan berbeda sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya masing-masing.
Identifikasi Stakeholder Usaha kerajinan tenun ikat di Kabupaten Sumba Timur, memiliki keterkaitan dengan pihak-pihak yang memiliki fungsi dan peran untuk mengembangkan usaha kecil seperti ini. Tujuan dari beberapa pihak dapat dikoordinasikan untuk pengembangan usaha kerajinan sebagai aset budaya sekaligus sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat, melalui kegiatan produksi yang menjamin keberlangsungan pendapatan masyarakat. Ketrampilan tenun ikat dapat ditemui di seluruh penjuru kabupaten tetapi tidak merata, karena tingkat kemampuan produksi dominan pada beberapa kecamatan diantaranya, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Rindi, Kecamatan Pandawai, Kecamatan Kota Waingapu, Kecamatan Lewa, serta Kecamatan Haharu. Fokus pengamatan terletak pada Kecamatan Haharu, dimana kain tenun ikat yang dihasilkan biasa dikenal dengan bahasa daerah yakni ‘Kain Kanatang’. Kain kanatang berarti kain yang berasal dari daerah yang disebut Kanatang, karena motif dari berbagai daerah-daerah asalnya seperti tertera diatas, berbeda satu sama lain sebagai ciri khas atau identitas dari pemakai dan penenun kain tersebut. Potensi ini, dipandang dari berbagai institusi sebagai aset yang terus dikembangkan dan dilestarikan. Hal ini dilakukan dalam wujud program-program yang bisa mendorong aktivitas pengrajin diantaranya, pembinaan dan pelatihan kelompok pengrajin, kegiatan promosi, dan kegiatan lainnya. Fungsi pendampingan kelompok dilakukan oleh instansi pemerintah seperti Dinas Perindustrian dan Perdagangan, sedangkan fungsi promosi dilakoni secara terkoordinasi oleh Bagian Ekonomi Setda Sumba Timur, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda). Peran yang sudah dilakukan seputar promosi secara berkelanjutan di tingkat lokal dan nasional, dimana menghadirkan pengrajin untuk mengikuti pameran-pameran tersebut, sehingga dapat terbuka jalinan pasar. Kelemahannnya adalah, keberadaan pengrajin yang belum profesional dan rendahnya kemampuan mengatur jalur distribusi sehingga peluang-peluang yang ada sulit dimanfaatkan. Salah satu contoh, disampaikan oleh pengrajin sebagai peserta pameran atau expo kerajinan,
kami di tantang oleh pengunjung untuk bisa memproduksi dalam jumlah yang banyak, tetapi karena kami masih bekerja sendiri-sendiri dan belum mampu mengelola usaha yang lebih besar, maka kami pun tidak mau berjanji kepada pengunjung. Saat itu, kami memberi kartu alamat saja, tapi kami bingung waktu ditanya siapa yang akan dipercayai untuk mengkoordinir order yang datang. Hal tersebut adalah peluang yang bisa dimanfaatkan jika ada jejaring dan kerjasama yang kuat diantara pengrajin untuk menghadapi permintaan pasar. Hal lain juga yang masih lemah yakni, unit-unit teknis yang sudah melakukan promosi dan pameran jarang melakukan evaluasi bersama, sehingga informasi yang didapat dari luar tidak diketahui oleh pengrajin yang lain (hasil wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait). Dengan kata lain, biaya untuk melakukan promosi sangat besar, tetapi evaluasi tahunan untuk menyampaikan selera pasar kepada pengrajin, tidak terkoordinasi secara baik, sehingga belum menyentuh pengrajin. Dari sebab itu, para pengrajin cenderung memproduksi kain atau selimut sebagai produk yang primer, tanpa mengetahui selera pasar seperti apa, karena mereka menciptakan apa yang mereka ketahui, bukan apa yang dibutuhkan pembeli. Seperti diungkapkan oleh peserta pameran, bahwa produk yang laris di pasaran dan pameran adalah kain motif dalam ukuran kecil seperti selendang atau jenis souvenir yang dapat dijangkau dengan harga yang lebih rendah. Selimut yang diproduksi, hanya dibeli oleh kolektor atau kelas menengah ke atas, sehingga butuh variasi produk untuk bisa memenuhi keinginan pembeli atau pengunjung pameran dari segala kalangan. Informasi seperti ini, sangat penting disampaikan kepada pengrajin. Terlepas dari kelemahan tersebut, optimalisasi peran dan fungsi Pemerintah akan membantu para pengrajin dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Pihak pemerintah mempunyai kekuasaan yang besar untuk membangun motivasi dalam diri pengrajin melalui materi yang disampaikan baik bersifat fisik dan nonfisik. Selain itu, kebijakan untuk membuka peluang pasar bagi keberlanjutan produk kerajinan adalah peran yang membutuhkan jejaring yang luas antar pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat difasilitasi oleh pihak pemerintah, karena tidak bisa diserahkan kepada pengrajin saja.
Program-program yang sudah dirancang secara terkait adalah upaya menciptakan peluang pasar dan promosi secara terbuka dan luas yang dilakukan di tingkat lokal dan nasional. Untuk tingkat lokal, pada tahun 2007 di Kabupaten Sumba Timur telah dilakukan kegiatan menenun kain sepanjang 50 meter yang akan dimasukkan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Hal ini bertujuan untuk promosi, dan untuk memperkenalkan motif Sumba Timur yang khas, sehingga bisa dipatenkan. Hal ini bertujuan agar tidak diakui atau dipakai oleh daerah lain. Selain tindakan preventif tersebut, proses pembuatan kain menjadi ajang untuk memasyarakatkan (publikasi) potensi dan aset budaya, sehingga lestari bagi generasi selanjutnya. Peran pihak yang terkait atau stakeholder, baik Pemerintah dalam unit-unit teknis, Pembeli perantara, Konsumen atau Pemakai langsung dan Masyarakat sekitar, adalah : 1. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab Sumba Timur, berperan dalam : a. Promosi setiap tahun, seperti Ina Craft, dan Gebyar Nusantara (kerjasama dengan Dinas Perindag dan Bagian Ekonomi, Dekranasda) b. Pembuatan Leaflet c. Mengikuti pameran seperti even atau expo baik tingkat lokal maupun nasional 2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab.Sumba Timur, berperan dalam : a. Pembinaan kelompok dan pendampingan usaha kerajinan b. Pelatihan teknologi baru seperti pewarnaan kimia c. Perhatian kepada pusat kerajinan d. Pembuatan hak cipta motif tenun ikat khas Sumba Timur e. Pembangunan pusat kerajinan di kota kabupaten f. Pembangunan galeri kerajinan Sumba Timur di kota Denpasar dan Jakarta g. Pembuatan kain tenun ikat tradisional terpanjang tingkat nasional sebagai ajang promosi 3. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kab.Sumba Timur, berperan dalam :
a. Program pemberdayaan masyarakat dalam Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri (P3DM) berupa bantuan modal usaha bagi kelompok pengrajin tenun ikat. Program PPK juga sebagai Program nasional yang berkoordinasi dengan Badan ini. b. Alokasi program berkelanjutan (Jangka Panjang) bagi pemberdayaan pengrajin melalui kelompok atau dikenal dengan kelompok masyarakat (Pokmas) 4. Bagian Ekonomi Setda Kabupaten Sumba Timur, berperan dalam : a. Promosi dan mengikuti pameran kerajinan tingkat daerah maupun nasional b. Salah satu tim koordinasi yang berwenang untuk mengakomodasi produkproduk daerah salah satunya kerajinan tenun ikat 5. Dekranasda Kabupaten Sumba Timur, berperan dalam : a. Promosi dan mengikuti pameran kerajinan tingkat daerah maupun nasional b. Program penguatan hak paten melalui karya cipta tenun ikat terpanjang (Nominasi Museum Rekor Indonesia-MURI) 6. Dinas Koperasi Kabuapaten Sumba Timur, berperan dalam : a. Pembinaan usaha kecil dan menengah b. Bantuan permodalan dan pengelolaan kredit usaha kecil 7. Pemerintah Desa Hambapraing, berperan dalam : a. Program pemberdayaan masyarakat yang berasal dari pihak luar desa, baik program Pemerintah maupun Program Lembaga Swadaya Masyarakat, dan sebagainya. Pemerintah Desa memfasilitasi berbagai program tersebut. b. Peran pemberdayaan melalui LPM Desa, yang menjadi penggerak masyarakat di tingkat basis atau RT c. Tindak Lanjut Hasil Musyawarah Pembangunan Desa (Musrenbangdes), sebagai sumber atau media penentuan program bagi pengembangan masyarakat.
8. Penjual Perantara berperan dalam : a. Menjadi pembeli produk seperti kain atau selendang yang dihasilkan oleh pengrajin. b. Menampung produk tersebut dan seterusnya dijual ke pasar berikutnya seperti pembeli atau konsumen. Penjual perantara mempunyai pasar di tingkat lokal yakni di kota maupun diluar kota atau luar pulau yakni Bali dan Jawa. Dari alur tersebut maka harga yang bisa ditawarkan untuk setiap produk sangat tergantung pada jangkauan pasar dari si pedagang tersebut. c. Salah satu sumber informasi pasar. 9. Pemilik Toko (Art Shop), berperan untuk : a. Menjadi salah satu tempat menjual produk, secara langsung dari pengrajin atau penjual perantara. b. Menyediakan bahan baku untuk produksi kain tenunan. Umumnya pengrajin yang mendatangi toko tersebut, tidak hanya untuk menjual tetapi juga untuk membeli bahan baku seperti benang. Jumlah toko yang masih terbatas, menyebabkan jumlah kain yang dibeli atau dibutuhkan juga sedikit, dan hal ini tidak menguntungkan bagi pengrajin. Biasanya di toko, terdapat kain yang berkelas, atau yang lebih mahal dibandingkan dengan jenis kain yang dijual di kaki lima atau di pasar tradisional. Uniknya di Waingapu, para pemilik toko, juga mempunyai usaha tenun ikat rumah tangga di tempatnya dengan cara mengupah tenaga kerja, sehingga kain yang dijual tidak hanya berasal dari pengrajin tetapi juga hasil usahanya sendiri. Seperti yang dilakukan oleh RK, sejak kecil ia sudah mengenal teknik menenun dan pewarnaan, tetapi selama ini, tetap memakai tenaga pengerja dari desa atau wilayah lain. c. Tempat menjual kain hasil produksi sendiri maupun dari hasil dari pengrajin, selain itu juga memiliki koneksi dengan pembeli diluar pulau yakni Denpasar dan Jakarta, sehingga kebutuhan atau permintaan yang diterima langsung dipenuhi melalui usaha pribadinya. Keberadaan RK,
menjadi potensi yang bisa diajak kerjasama untuk membantu distribusi kain tenun. Kemampuan manajemen usahanya dapat ditransfer kepada pengrajin yang masih subsisten atau belum memiliki kemampuan pengelolaan. Dalam wawancara mendalam dengan RK, terbersit keinginan dan harapannya, ‘Sebenarnya saya senang jika para pengrajin memiliki kemampuan lebih, dalam hal pengelolaan waktu, modal dan produksinya, karena selama ini saya melihat, adanya kekurangan dalam hal semangat untuk menghasilkan kain dalam waktu yang lebih efektif. Bayangkan, hanya berapa lembar saja dalam setahun, begitupun yang dijual tidak semuanya. Selain itu, cara berpikir selalu menganggap menenun sebagai cara alternatif saja dalam mencari uang, karena yang utama mereka anggap adalah berkebun. Saya juga kecewa, melihat para penenun hanya mendapat hasil yang minim dari penjualannya sehingga kurang semangat lagi untuk menghasilkan kain tenun ikat. Lebih banyak biaya yang dikeluarkan, karena menundanunda waktunya, sehingga tenaganya jadi tidak dihitung padahal waktu yang dipakai cukup lama .’ Hal ini disampaikan oleh RK, karena sejak kecil ia dan orangtuanya memiliki usaha penjualan kain tenun ikat dan songket yang dijual dari berbagai kecamatan, namun kini hampir sebagian jualannya adalah hasil produksi sendiri. d. Berbagi kemampuan dan pengalaman dengan pengrajin lain dalam menghasilkan produk yang diwarnai secara buatan tetapi dengan hasil yang lebih awet, dibandingkan dengan cara pewarnaan buatan yang dilakukan umumnya.
Pendapat RK tersebut menandakan bahwa ada
kepeduliannya bagi perkembangan usaha kerajinan. Potensi yang ditunjukkan ini, belum diketahui oleh pihak pemerintah karena sepanjang usaha yang dilakukan RK, menurutnya, ia belum pernah terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan program apapun dari pihak pemerintah atau lainnya. Hal ini, menunjukkan adanya kehendak atau niat baik yang ingin dilakukan tetapi belum terkolaborasi secara baik. Dalam bayangan umumnya, yang namanya pembeli atau pengusaha selalu mengutamakan profit, tetapi jika hal ini didiskusikan dan dikaitkan satu
sumber dengan sumber potensi yang lainnya, maka akan terjalin suatu hubungan yang saling menguntungkan (reprositas atau simbiosis mutualisme). 10. Pemakai Langsung, Pemakai langsung adalah pembeli akhir atau konsumen, yang berasal dari berbagai kalangan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Konsumen terdiri atas, turis atau wisatawan, masyarakat lokal, atau lembaga atau institusi. a. Wisatawan, biasanya membeli kain untuk cenderamata, dimana harga untuk wisatawan biasanya cenderung agak tinggi. b. Lembaga atau institusi artinya, kain dijadikan souvenir bagi tamu yang datang dari luar baik instansi pemerintah maupun non pemerintah. Selain souvenir juga digunakan sebagai salah satu seragam bagi pegawai negeri sehingga kebutuhan kain tenun ikat adalah salah satu kewajiban dalam institusi. c. Masyarakat lokal, dimana kain biasanya digunakan untuk busana adat, dan keperluan dalam pesta adat seperti acara kematian, perkawinan dan kelahiran. Kebutuhan untuk keperluan adat sangat potensial bagi usaha tenun ikat, karena kebutuhan dari pembeli atau pemakai langsung cukup besar dan berlangsung setiap waktu. Keberlangsungan usaha tenun ikat, dapat dipengaruhi secara formal melalui regualasi atau aturan. Misalnya kewajiban pegawai untuk memakai tenunan khas, pada salah satu hari kerja. Apabila regulasi ini diikuti oleh instansi lain seperti sekolah, atau lembaga lainnya tentu akan meningkatkan permintaan kain tenun ikat seperti para semakin banyaknya pemakai langsung.
11. Masyarakat Sekitar, berperan dalam hal : a. Dukungan dan rasa percaya dari masyarakat sekitar harus kuat sehingga pengembangan usaha dapat berjalan sesuai rencana. Dampak yang akan
dirasakan harus diketahui secara lebih jelas melalui sosialisasi awal. Mengembangkan usaha kerajinan tenun ikat kearah yang lebih maju, akan mempengaruhi masyarakat sekitar. b. Keterlibatan masyarakat dalam usaha kerajinan sebagai salah satu usaha yang dapat membantu pendapatan. Pengembangan usaha dalam konteks dampak yang positif akan menambah dukungan masyarakat, misalnya berhasilnya produktivitas tenun ikat akan menambah pendapatan pengrajin. Pendapatan yang tinggi akan mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga usaha masyarakat dibidang warung atau bahan pokok akan ikut membaik. Lancarnya proses tenun ikat, akan memacu pemasok bahan baku seperti tumbuhan nila, mangkudu dan benang, sehingga juga akan menambah pendapatan bagi masyarakat sekitar yang berusaha dibidang pemasokan bahan baku. Dampak lainnya juga menyangkut aktivitas ekonomi yang saling menunjang jika terjadi pengembangan usaha di satu tempat, misalnya usaha transportasi, usaha makanan, dan sebagainya. Selain dampak positif tentu dibarengi oleh dampak negatif, hal ini sudah harus diketahui oleh masyarakat sehingga siap mengalami perubahan yang akan mempengaruhi budaya dan kebiasaan masyarakat serta lingkungan sekitar. Berdasarkan uraian tentang pihak-pihak yang berkaitan dengan usaha kerajinan tenun ikat tradisional, menunjukkan besarnya potensi yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah pengrajin. Kenyatannya, keterkaitan antar satu dengan yang lainnya belum terjalin. Oleh sebab itu, dibutuhkan cara atau strategi untuk menghubungkan potensi-potensi tersebut sesuai masalah yang ada untuk memperoleh alternatif solusi atau langkah pemecahannya (problem solving). Hal itu akan tertuang melalui kegiatan yang dirancang bersama semua pihak yang berkaitan, secara partisipatif.
PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL Dalam menanggapi hasil temuan dilapangan, maka dilakukan perencanaan partisipatif yang melibatkan berbagai pihak (stakeholder), yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kerajinan tenun ikat di Desa Hambapraing. Kegiatan merancang bersama program yang tepat sesuai kebutuhan dan potensi yang ada, dilakukan melalui diskusi terfokus atau FGD (Focus Group Discussion). Diskusi ini melibatkan Anggota kelompok pengrajin, Pengurus Desa, Dinas Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kepala Desa, Ketua LPM, Badan Perwakilan Desa, sedangkan unit teknis lainnya tidak dapat menghadiri FGD karena waktu yang bertepatan dengan kesibukan rutin, tetapi hasil sudah dilakukan wawancara dan pendekatan sebelumnya maupun sesudah FGD. Proses pelaksanaan FGD diawali dengan pengenalan masalah yang ada, yakni hasil amatan dan yang diutarakan saat itu, lalu dilanjutkan dengan pembahasan potensi dan pemecahan masalah. Pemecahan masalah ditandai dengan perancangan program yang dilakukan secara partisipatif.
Identifikasi Masalah, Potensi, dan Alternatif Pemecahan Masalah Berdasarkan diskusi dengan kelompok, terdapat masalah-masalah yang dihadapi oleh masing-masing kelompok. Secara terinci dapat dilihat pada tabel 14. Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa masalah yang dihadapi, berbeda-beda satu sama lainnya sesuai kondisi yang dimiliki masing-masing kelompok. Masalah yang ada dapat diselesaikan dengan menyentuh unsur-unsur yang sudah diuraikan sebelumnya misalnya pada faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok. Unsurunsur tersebut dapat diperkuat atau dibangun melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai, baik pada sisi kemampuan pengrajin, maupun pada sisi intervensi stakeholder. Ada masalah yang dapat diselesaikan oleh kelompok itu sendiri dalam komunitas, misalnya melalui kerjasama diantara pengrajin sendiri, dan sebagainya. Selain itu ada masalah yang dapat diselesaikan melalui intervensi dari pihak luar atau stakeholder.
Tabel 13 Deskripsi Masalah Kelompok Berdasarkan Tingkat Aktivitas Berkelompok Masalah Kelompok Aktif
Tipe Kelompok Kelompok Kurang Aktif Kelompok Tidak Aktif Masih bekerja sendiri – Usaha sendiri individual
Rendahnya perasaan Berkelompok
Sudah terjalin ikatan atau rasa bersama
Rendahnya kerjasama dalam kelompok
Kerjasama dalam hal produksi dan pemasaran secara rutin
Kerjasama kurang rutin
Kerjasama tidak rutin
Rendahnya kerjasama antar kelompok
Kerjasama kuat
Kerjasama masih lemah
Kerjasama masih lemah
Keterbatasan pasar
Sudah ada langganan, pembeli perantara dan pembeli langsung
Ada pemesan yakni hanya pembeli langsung
Tidak punya langganan
Rendahnya Motivasi Berusaha
Motivasi berusaha cukup besar
Apatis karena harga jual yang rendah
Apatis karena harga jual yang rendah
Keterbatasan ketrampilan (menenun dan mendesain motif)
Ketrampilan yang dimiliki cenderung komplit, sehingga tenaga kerja jarang diambil dari luar kelompok
Ketrampilan pada tahap tertentu saja, khusus desain motif masih terbatas
Ketrampilan ada pada tahap tertentu sehingga masih tergantung pada pengrajin lainnya
Kurang pengetahuan tentang pengelolaan modal
Modal yang dapat dikelola masih terbatas yang jumlahnya kecil
Pengelolaan modal masih terbatas, bahkan ada penyalahgunaan (konsumtif)
Pengelolaan modal usaha masih terbatas
Keterbatasan modal
Modal masih kecil
Modal masih kurang
Modal masih kurang
Berdasarkan karakteristik kelompok bentukan program yang ada di komunitas, maka ditemukan masalah-masalah dalam setiap kelompok, yang dapat diuraikan secara umum dalam beberapa masalah pokok yakni : rendahnya kerjasama antar anggota dalam kelompok dan kerjasama antar kelompok, keterbatasan pasar, keterbatasan ketrampilan dan teknik yang baru, rendahnya motivasi berusaha, dan rendahnya pengetahuan pengelolaan modal, keterbatasan modal.
Rendahnya Perasaan Berkelompok dan Kerjasama dalam Kelompok Masalah utama dalam dinamika kelompok, berdasarkan hasil identifikasi aspak-aspek kekuatan dalam kelompok yakni rendahnya perasaan berkelompok dan kerjasama antar anggota dalam satu kelompok. Hal ini nampak dari suasana kelompok dan kekompakan kelompok yang masih rendah pada kelompok kurang aktif dan kelompok tidak aktif lagi. Di sisi lain, terdapat potensi yang dimiliki anggota kelompok sesuai dengan kemampuannya, sehingga ada kelompok yang terus melanjutkan aktivitasnya. Oleh sebab itu perlu intervensi untuk membangun prakarsa untuk bekerjasama dan perasaan berkelompok dengan cara, mengaktifkan pertemuan rutin dalam kelompok, pembinaan dan pendampingan yang lebih rutin untuk mengetahui aspirasi anggota. Intervensi dari luar sebaiknya memperhatikan pendekatan yang tepat dalam menarik perhatian anggota untuk berkelompok. Pembinaan maupun penguatan harus memperhatikan kearifan lokal atau unsur dalam modal sosial, seperti jaringan kerjasama yang berlangsung alami dalam komunitas tersebut, yakni panjolurungu. Potensi ini diduga menjadi basis untuk mengumpulkan dan membangkitkan kerjasama antar anggota dalam kelompok maupun dengan kelompok lain.
Rendahnya Kerjasama antar Kelompok Hal ini adalah salah satu kendala yang penting di tangani, karena mengakibatkan kurang kompaknya pengrajin dalam menentukan harga, lemahnya informasi pasar, hingga keterbatasan jangkauan pasar. Kurangnya kerjasama mengakibatkan usaha yang dilakukan berjalan secara individual dan masalah yang
dihadapi tidak dapat diatasi secara berkelanjutan. Masalah-masalah yang dihadapi akan mudah diatasi melalui keterpaduan anggota dalam usahanya. Kelemahan dan kekuatan yang dimiliki tersebut, perlu dikaitkan agar dapat menopang dan mendukung satu sama lain, misalnya transfer ketrampilan dan saling berbagi informasi pasar secara berkala. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu media untuk mengikat kerjasama diantara kelompok ini, yakni kelompok pengrajin tingkat desa sebagai gabungan dari kelompok-kelompok yang sudah ada. Kelompok ini akan berperan sebagai wadah untuk mendukung pertumbuhan usaha kerajinan dan pemberdayaan masyarakat khususnya pengrajin.
Keterbatasan Pemasaran Masalah ini dihadapi secara umum oleh kelompok yang ada, bahkan oleh pengrajin lain yang tidak atau belum tergabung dalam kelompok. Yang membedakan adalah jejaring yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Bagi kelompok yang aktif, pemasaran terbatas, artinya membutuhkan pemasaran yang lebih luas dibanding keadaan semula dimana tidak hanya sekedar pembeli perantara saja atau pembeli langsung yang jumlahnya sedikit. Kelompok aktif sudah memiliki jejaring pamasaran yang berlangsung sejak lama. Bagi kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif, jejaring pemasarannya masih sangat terbatas, dibanding dengan kelompok aktif. Mereka hanya bisa menjual kepada pembeli langsung, dan belum mempunyai langganan. Tidak jarang juga kendala yang dihadapi, adalah harga yang semakin kurang, ‘Menurut Dg, kami pernah menjual kain jauh dibawah standar karena sudah terdesak oleh keperluan anak yang sekolah, dan keperluan konsumsi dalam rumah tangga, akhirnya daripada kainnya disimpan lebih baik dijual untuk membantu kebutuhan yang mendesak’ Untuk masalah ini, maka yang dapat dilakukan adalah, memperkuat jejaring yang sudah ada pada kelompok aktif, melalui pemasaran yang lebih besar misalnya melalui promosi dan pameran. Ketika ada pesanan produk dalam jumlah yang lebih besar, kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif dapat diajakn bekerjasama menyelesaikan order. Bagi kelompok kurang aktif dan tidak aktif akan mampu memperoleh peluang
pasar atau produksi jika ada kesempatan untuk melakukan produksi bersama dengan kelompok aktif. Peluang lain yang dapat dilakukan adalah menambah permintaan atau menambah jumlah pembeli. Hal ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah berupa regulasi atau aturan untuk meningkatkan permintaan kain tenun ikat, seperti kewajiban pemakaian seragam bermotif tenun tradisional bagi semua instansi. Selain itu, teknik pemasaran melalui pemanfaatan sarana informasi dan teknik promosi yang lebih baik, melalui sarana publikasi, seperti media massa dan media elektronik.
Rendahnya Motivasi Berusaha Kondisi ini sangat menonjol pada kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif. Kedekatan tempat tinggal serta hubungan kekerabatan, belum cukup mempengaruhi motivasi berusaha diantara mereka. Jarangnya pertemuan dalam kelompok, dan tidak beinteraksi dalam hal kerajinan mengakibatkan kekurangan informasi dan melupakan apa yang menjadi tujuan dari pembentukan kelompoknya sendiri. Kurangnya motivasi ditandai prilaku apatis dalam pelaksanaan, selain karena jarangnya kegiatan yang melibatkan anggota kelompok atau kurangnya kebersamaan, juga karena kondisi pasar yang dianggap belum kondusif dan kurang menguntungkan bagi mereka. Masing-masing anggota memiliki aktivitas domestik yang berbeda satu sama lainnya, tetapi interaksi yang sama adalah saat urusan publik atau urusan kemasyarakatan seperti urusan adat seperti kematian dan adat perkawinan. Menurut beberapa pengrajin (Da, ML,Lp, dkk),
‘kadang-kadang kami saling menanyakan bagaimana perkembangan urusan tenunan, tetapi tidak saling mencampuri karena masing-masing punya urusan dan pertimbangan sendiri-sendiri dalam bekerja dan prosesnya.’ Hubungan antar keluarga inti, selain kedekatan tempat tinggal tetapi yang bertalian darah biasanya dalam suasana yang lebih kuat karena intensif bertemu, seperti pada kelompok yang aktif. Oleh sebab itu, menumbuhkan motivasi berusaha perlu diupayakan secara terus menerus, melalui pertemuan rutin berupa arisan dan percontohan.
Arisan
bertujuan
untuk
mengembangkan
cara
lokal
seperti
panjolurungu menjadi ektifitas rutin yang menguntungkan. Arisan ini berbentuk kerjasama tenaga dan bahan baku diantara anggota untuk menghasilkan produk tenun. Percontohan yang dimaksud yakni melalui kelompok yang aktif, dimana ketika terjadi perubahan yang positif dalam kelompok tersebut akan mempengaruhi pola pikir kelompok yang lain agar bisa berusaha yang sama. Berkelanjutannya usaha kelompok yang aktif akan memberi imbas bagi kelompok lainnya dan mempengaruhi keputusan mereka dalam berkelompok dan bekerjasama untuk usaha produktif. Pendekatan dari pihak yang dapat dipercayai oleh pengrajin seperti tokoh dan keluarga mereka, dapat membangun motivasi. Selain itu, perlu sosialisasi secara kontinyu dari pihak luar (stakeholder) untuk membantu cara pikir mereka, karena keterbatasan pengetahuan. Gambaran usaha yang berhasil di tempat lain dapat dijadikan bahan studi banding untuk membangkitkan motivasi berusaha.
Keterbatasan Ketrampilan dan Teknik Menenun Yang Baru Ketrampilan dalam kerajinan ini meliputi menenun, mewarnai, dan mendesain. Keterbatasan ketrampilan berarti salah satu tahapan saja yang dikuasai oleh pengrajin. Masalah ini juga mempengaruhi ketepatan waktu selama proses kerja berlangsung. Bagi kelompok aktif, ketrampilan yang dimiliki cenderung lebih komplit artinya dalam setiap tahapan produksi dapat dilakukan oleh setiap anggota, sehingga ketergantungan dengan tenaga dari luar kelompok sangat minim. Disamping itu, kelompok ini adalah keluarga pengrajin sehingga dalam setiap keluarga ada tenaga yang dapat membantu kelancaran proses produksi. Untuk kelompok yang kurang aktif, dan tidak aktif, terdiri atas anggota yang mempunyai ketrampilan dasar menenun saja, sedangkan mendesain masih diberikan pada jasa orang lain, sehingga sangat mempengaruhi waktu dan biaya yang digunakan. Menurut MHL, ‘masih banyak anggota kelompok yang menggunakan tenaga orang lain, khususnya untuk mengikat atau membuat motif, karena tidak semua bisa menghasilkan motif yang bagus, jadi tergantung dengan pengrajin lain juga’ Keterbatasan ini juga diduga karena aktivitas anggota kelompok selalu berbeda satu sama lainnya sehingga proses produksi menjadi tertunda-tunda. Pengetahuan tersebut
dapat disosialisasikan terus menerus diantar anggota, terutama pada tahapan mendesain dimana jumlah pengrajinnya semakin sedikit. Hal ini bisa dilaksanakan dengan cara pelatihan bagi anggota kelompok, dengan melibatkan kelompok aktif untuk saling bertukar ketrampilan. Bagi kelompok kurang aktif dan tidak aktif, membutuhkan tambahan ketrampilan untuk mengurangi ketergantungan tenaga orang lain, misalnya dalam hal mendesain motif yang bervariasi, dan sebagainya. Berbeda dengan kelompok aktif, lebih fokus pada pengenalan teknik yang baru sehingga dapat mengefisienkan waktu, tenaga dan biaya. Teknik yang baru berhubungan dengan cara menghasilkan kain atau produk dengan teknik pewarnaan buatan tanpa mengurangi kualitasnya, teknik menghasilkan kain yang sesuai dengan selera pasar, dan sebagainya. Perubahan ini secara perlahan dapat mempengaruhi pengrajin, jika sudah mendapatkan pelatihan dan pendampingan secara lebih intensif. Hal ini senada dengan apa yang dikehendaki oleh salah satu stakeholder yang memiliki keinginan untuk berbagi pengalaman dan teknik yang baru bagi pengrajin tradisional. Oleh sebab itu, perlu melibatkan pihak tersebut dalam pelatihan yang akan diadakan.
Kurang Pengetahuan Tentang Pengelolaan Modal Tingkat pendidikan pengrajin yang rendah, dan kurangnya kemampuan pemenuhan kebutuhan pokok, mengakibatkan modal habis. Menurut salah satu pengrajin dari kelompok yang kurang aktif, ‘Kami membuat kain, lalu menjualnya, dari hasil jualan tersebut langsung dibelanjakan untuk kebutuhan pokok karena memang untuk itulah kami menenun. Kadang kalau harganya lebih, langsung dipakai membeli bahan baku, tetapi kadang jika ada urusan yang lebih mendesak terpaksa untuk bahan baku ditunda dulu’ Hal ini sering dilakukan karena orientasi konsumsi lebih diutamakan, dibandingkan untuk keberlanjutan usaha. Pengetahuan tentang hal-hal yang penting seperti cara menyiapkan biaya produksi secara berkelanjutan masih terbatas, sehingga usaha tidak berjalan lancar. Bagi kelompok yang aktif, juga menghadapi kendala yang sama yakni keterbatasan dalam pengelolaan modal yang besar. Mereka juga menyadari
terkadang biaya kebutuhan pokok sangat mempengaruhi biaya usaha, sehingga mempengaruhi tingkat produksi. Demikian juga dalam hal pengembalian dana bergulir yang lamban, disebabkan oleh keuntungan yang diperoleh masih minim karena hasil produksi belum terjual. Selain itu, anggapan bahwa bantuan adalah hibah (tidak usah dikembalikan) sangat besar pengaruhnya, bukan hanya pada kelompok pengrajin, tapi pada jenis usaha lainnya, dan ini dikatakan oleh salah satu pengurus program, yakni bpk Hm, ‘Banyak kelompok yang macet, tetapi cuek atau santai saja karena tidak merasa itu adalah kewajiban tetapi dianggap bantuan saja, karena sanksinya berupa tidak dapat guliran lagi atau dana lagi di waktu yang mendatang. Namanya pemerintah terlalu baik sama masyarakat, sehingga masyarakat merasa tetap dibantu terus, lewat program yang lain. Tapi, karena begini terus, maka tidak maju-maju juga. Apalagi kalau yang macet adalah kelompok orang-orang yang dianggap mampu dan terpandang, menyebabkan anggota lain saling menunggu bahkan mempengaruhi kelompok yang hendak melakukan pengguliran atau pengembalian.’ Dengan demikian pelatihan tentang pengelolaan bantuan atau modal sangat penting bagi anggota kelompok, agar proses produksi berkelanjutan. Selain pelatihan pengelolaan modal, juga dapat diikuti dengan pertemuan rutin kelompok tingkat desa untuk berbagi pengalaman dalam mengelola modal.
Keterbatasan Modal Modal adalah salah satu penunjang yang sangat penting dalam suatu usaha, demikian halnya bagi pengrajin. Keterbatasan modal sangat dirasakan, oleh pengrajin, sehingga membutuhkan bantuan untuk menghasilkan produksi yang berkelanjutan. Meski pada sisi yang lain, terkadang modal juga disalahgunakan oleh mereka, oleh sebab itu perlu menyesuaikan jumlah modal yang diberikan dengan kemampuan pengrajin. Potensi Selain masalah
yang dihadapi oleh pengrajin, terdapat potensi yang dapat
mendukung pelaksanaan program.
1. Ada aktivitas modal sosial yang mengandung nilai kerjasama antara pengrajin yang disebut panjolurungu yakni arisan tenaga maupun bahan baku untuk melakukan proses produksi, teristimewa tenaga. Hal ini dapat disebut suatu hubungan jejaring atau ikatan diantara para pengrajin, sehingga dapat dikembangkan terus melalui kelompok yang akan dibentuk. 2. Jejaring pemasaran sudah ada teristimewa pada kelompok yang aktif. Kondisi geografis desa, berada di antara dua daerah tujuan wisata, yaitu pantai Londalima dan pantai Purukambera. Selain itu, pangsa pasar atau segmen pasar tenun ikat, meliputi masyarakat lokal untuk kebutuhan adat, pegawai pemerintah atau instansi, wisatawan, hingga kolektor. 3. Pengrajin mempunyai harapan untuk terus berproduksi dan mengembangkan usahanya. Ketrampilan yang dimiliki adalah warisan turun temurun, sehingga sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat. Adanya sumber daya alam (fisik) untuk modal produksi seperti pengembangan bahan baku (tumbuhan pewarna alami). Ketrampilan tenun ikat juga dapat dilakukan sepanjang waktu, tanpa tergantung musim, dan bisa dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. 4. Kelompok yang aktif juga pernah berhasil dalam pengguliran dana atau bantuan sehingga patut untuk terus dikembangkan kearah usaha yang lebih profesional. 5. Ada peluang dari program-program pemberdayaan untuk terus membantu usaha ekonomi produktif. 6. Dukungan dari kepala desa dan tokoh masyarakat untuk mengembangkan program yang terus berkelanjutan bagi masyarakat. 7. Tanggapan pengrajin dan masyarakat terhadap program lanjutan untuk pengembangan usaha kerajinan sangat positif. Untuk mengetahui secara terinci masalah, dan potensi serta pemecahannya, dapat dilihat dalam tabel 14
Lampiran tabel 14
Berdasarkan masalah yang diuraikan, maka langkah pemecahannya harus disesuaikan dengan potensi dan kemampuan anggota pengrajin. Dalam diskusi tersebut, terjadi banyak pendapat yang merujuk pada usaha menguatkan dan mengembangkan kelompok usaha yang sudah ada, sehingga dirancang program yang dapat dilaksanakan untuk pengrajin secara partisipatif.
Program Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Setelah melalui pembahasan bersama stakeholder dalam diskusi terfokus, akhirnya diperoleh hasil dan upaya pemecahan masalah. Dari hasil pembahasan tersebut, peserta diskusi merencanakan program dan kegiatan atau aksi konkrit yang akan dilaksanakan untuk pengembangan usaha kelompok pengrajin di komunitas tersebut. Program yang disusun bersama bersifat evaluatif terhadap pelaksanaan program sebelumnya, dan bertujuan melanjutkan proses pemberdayaan secara lebih baik lagi. Kondisi dinamika kelompok yang ada dalam setiap kelompok menjadi salah satu benang merah yang menghubungkan rencana pemecahan masalah, sehingga program yang dihasilkan adalah cara menguatkan kelompok pengrajin dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah faktor-faktor yang dominan mempengaruhi dinamika kelompok, dan masalahmasalah yang dihadapi anggota kelompok masing-masing.
Latar Belakang dan Tujuan Program Program penguatan kelompok pengrajin merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam kelompok bentukan dari pelaksanaan program PPK dan P3DM. Deskripsi dinamika kelompok menunjukkan kelemahan dan kekuatan yang ada pada masing-masing kelompok (kelompok aktif, kurang aktif dan tidak aktif), sehingga perlu melakukan pembenahan secara komprehensif. Dalam melakukan penguatan kelompok, harus menyesuaikan program dengan indikator-indikator kekuatan yang dapat menunjang keberfungsian suatu kelompok.
Seperti diungkapkan dalam evaluasi program P3DM dan PPK, bahwa terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dari program yang sudah berjalan, yakni modal sosial, kelembagaan, dan ekonomi. Dihubungkan dengan rencana penguatan kelompok, maka ada keterkaitan aspek-aspek tersebut dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan secara partisipatif. Program yang dirancang berhubungan dengan aspek kelembagaan dalam program maupun
dalam kelembagaan desa, karena
kelompok pengrajin adalah kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari program pemberdayaan tingkat desa. Pembentukan kelompok ini akan disesuaikan dengan aspek modal sosial dalam komunitas, seperti kebiasaan, nilai yang dianut, pengetahuan, ketrampilan dan harapan pengrajin untuk mengembangkan usaha kerajinan, sehingga dapat menunjang aspek perekonomian masyarakat. Program penguatan kelompok diharapkan dapat meningkatkan potensi kelompok untuk memberdayakan anggota pengrajin maupun masyarakat sekitarnya. Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari timbulnya partisipasi aktif pengrajin, bertambahnya ketrampilan, kuatnya kekompakan kelompok atau perasaan berkelompok, produksi yang berkelanjutan, akses usaha yang lebih besar, jaminan pendapatan, jangkauan pasar meluas. Hal ini bisa dijelaskan bahwa, jika produksi kerajinan meningkat, ketrampilan pengrajin bertambah, pendapatan pengrajin membaik, maka akan memancing atau merangsang aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang terus berkembang, pada akhirnya dapat mengentaskan kemiskinan. Proses penyusunan program tersebut dimulai dengan deskripsi kondisi kelompok yang sudah dibentuk, sesuai unsur-unsur dalam dinamika kelompok, tingkat pengembalian modal, dan keragaan anggota. Dalam dinamikanya, yang membedakan tujuh kelompok tersebut terbagi dalam tipe yang aktif, kurang aktif dan tidak aktif lagi. Dalam ketiga jenis kelompok tersebut dijumpai permasalahan umum yang dianggap dapat diatasi melalui kerjasama antara kelompok dengan stakeholder yang sudah teridentifikasi, dan hadir saat diskusi. Ada masalah khusus pada masingmasing kelompok diselesaikan dengan cara spesifik sesuai dengan potensi yang ada, dan masalah yang umum, harus diatasi melalui intervensi pihak luar, sesuai kondisi
kelompok dan pola yang sudah ada dalam komunitas. Program-program yang sudah dirancang telah disesuaikan dengan masalah, yakni sebagai berikut : 1. Rapat dan Pertemuan Rutin Mengaktifkan
kembali
pertemuan
rutin
didalam
kelompok
maupun
membentuk pertemuan rutin antara kelompok untuk membangun kebersamaan dan kerjasama antar anggota dalam kelompok. Dalam pertemuan rutin perlu dikembangkan suatu norma yang mengikat satu sama lain untuk terus bertemu setiap bulan, misalnya melalui arisan atau kumpul keluarga yang membicarakan tema usaha bersama. Hal ini bertujuan untuk membangun semangat dan perasaan berkelompok atau keteriakatan satu sama lain, dalam melakukan aktivitas usaha. Selain itu, dapat disiasati dengan cara melakukan aktivitas produksi di rumah yang berbeda setiap bulannya, yang memerlukan kerjasama dalam tahapan proses produksi ( proses yang membutuhkan tenaga lebih dari satu orang), atau istilah lokalnya disebut panjolurungu. Konsep panjolurungu bermakna arisan tenaga secara khusus untuk pekerjaan dalam tenun ikat. Sosialisasi pentingnya berkelompok melalui pendekatan keluarga seperti suami, orang tua dan tokoh-tokoh panutan lainnya. Hal ini adalah bagian dari upaya membangun perasaan bersama dalam kelompok, sehingga aktivitas bersama juga melibatkan orang tua dan suami. Selain itu, dapat menjaga stabilitas relasi dalam kelompok, dan menumbuhkan motivasi untuk pemenuhan tujuan bersama. Sedangkan rencana pembentukan kelompok baru, harus memperhatikan unsur-unsur seperti, keragaan anggota yang meliputi unsur kedekatan hubungan kekeluargaan, kedekatan tempat tinggal, kecakapan pengurus, serta faktor ketokohan dari anggota. 2. Pembentukan Kelompok Pengrajin Tingkat Desa Kelompok ini terdiri dari semua kelompok pengrajin yang sudah ada. Hal ini akan memperkuat kerjasama diantara pengrajin dalam melaksanakan aktivitasnya sekaligus mengatasi masalah yang dihadapinya. Pembentukan kelompok ditandai dengan kelengkapan perangkat atau struktur yang terdiri atas, ketua, sekretaris dan
bendahara. Disamping itu, untuk melakukan fungsi-fungsi teknis, dibentuk bagian atau seksi yang meliputi seksi promosi dan pemasaran, seksi pelatihan dan pendampingan, seksi hubungan masyarakat, dan seksi keuangan atau modal. Pemilihan pengurus dilakukan secara mufakat dan akan dipilih oleh semua anggota pengrajin yang ada dalam desa. Penanggungjawab kegiatan ini adalah Kepala Desa bersama BPD, karena kelompok ini menjadi bagian dari kelompok dibawah lembaga desa. Kelompok ini didukung oleh program P3DM sesuai dengan tujuannya untuk memberdayakan pokmas (kelompok masyarakat), sedangkan pelaksana kegiatan di desa adalah lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM). Setiap seksi atau bagian akan berfungsi dalam mengatasi masalah yang ada. Berikut ini bentuk struktur kelompok pengrajin tingkat desa. Gambar 8 Struktur Kelompok Pengrajin Tingkat Desa Ketua Kelompok Pengrajin Tingkat Desa
Sekretaris Bendahara
Seksi Promosi & Pemasaran
Seksi Pembinaan dan Pelatihan
Seksi Hubungan Masyarakat
Seksi Keuangan dan Modal
Kelompok-Kelompok Pengrajin
Terbentuknya kerjasama antar kelompok melalui kelompok pengrajin tingkat desa, diharapkan dapat menyatukan semangat pengrajin dalam berusaha secara serius dan kompak menghadapi persaingan pasar. Kelompok ini adalah langkah konkrit, yang akan berperan melakukan berbagai program dan kegiatan sesuai dengan
masalah yang dihadapi kelompok dan anggotanya dengan melibatkan stakeholder dari luar komunitas yang berkepentingan dalam usaha kerajinan, seperti unit teknis pemerintah, dekranasda, pembeli perantara, dan pembeli langsung. 3. Promosi dan Pemasaran Permasalahan pemasaran yang dihadapi oleh kelompok aktif , berbeda dengan kelompok yang tidak aktif dan kurang aktif. Kelompok mengalami keterbatasan pasar namun sudah mempunyai langganan, sementara berbeda dengan dua jenis kelompok lainnya yang belum mempunyai langganan atau pembeli tetap. Penyelesaiannya membutuhkan cara yang berbeda, karena potensi kelompok aktif sudah ada atau lebih besar dibanding dua jenis kelompok lainnya. Dalam hal jejaring atau ketrampilan hingga motivasi, kelompok aktif menjadi model yang dapat dikembangkan lebih lanjut melalui bantuan intervensi pihak luar. Langkah yang dapat dibangun bagi kelompok aktif adalah penguatan jejaring yang dimilikinya, dan membentuk kerjasama yang lebih luas agar menunjang pertumbuhan usaha tersebut. Strategi yang dilakukan dengan pihak luar komunitas bersifat horisontal dan vertikal. Secara horisontal yakni dengan pembeli langsung atau pembeli perantara sebagai langganan tetap. Secara vertikal yakni dengan pihak lembaga formal seperti dinas teknis, Dekranasda (yang terdiri atas, TP.PKK, Dinas Perindustiran dan Perdagangan, Dinas Pariwisata, Bagian Ekonomi), Badan Pemberdayan Masyarakat, dan Pihak Swasta atau Investor. Beberapa hal yang akan dilakukan dan disepakati sesuai peran dan fungsi stakeholder adalah sebagai berikut : a. Mengikuti promosi dan pameran di tingkat lokal dan nasional. Hal ini akan membantu kelompok yang sudah aktif dalam memamerkan hasil kerajinannya di tingkat lokal dan terutama di tingkat nasional, seperti yang sudah pernah dilakukan pada tahun 2005. Aktivitas ini akan membuka hadirnya investasi, sehingga membantu perkembangan jaringan pemasaran kelompok. b. Pameran Pameran hasil kerajinan komunitas di dalam desa, dan dapat dijadikan salah satu tujuan wisata. Kondisi geografis komunitas yang berada diantara dua lokasi
tujuan wisata akan strategis jika dijadikan salah satu pusat kerajinan, atau menjadi bagian dari rangkaian kunjungan wisatawaan di daerah tersebut. Hal ini membutuhkan keterlibatan Dinas Pariwisata sebagai pusat promosi dan informasi bagi wisatawan dalam mewujudkan rencana ini. Peran kelompok dan pengurus desa adalah menyiapkan tempat, pemandu sekaligus aneka kerajinan yang dapat menunjang ketertarikan pengunjung. Pemandu sangat dibutuhkan dalam proses ini, karena pengrajin lokal tidak memiliki kemampuan dalam teknik memasarkan yang lebih modern, serta kemampuan berbahasa. c. Mengontak kembali pengunjung pameran di tingkat nasional Hal ini bertujuan untuk memperoleh order produk dalam jumlah yang besar. Peluang yang pernah diperoleh salah satu pengrajin yang mengikuti expo atau pameran di Jakarta, dapat ditindaklanjuti melalui wadah atau kelompok yang aktif. Permintaan pengunjung tersebut dalam jumlah produk yang banyak dapat koordinasikan melalui kerjasama pihak pemerintah seperti Dekranasda, dan sebagainya. d. Menjaga hubungan dengan pembeli perantara dan pelanggan tetap Kegiatan ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas produk. Hal ini bertujuan untuk menguatkan pola yang sudah ada sebelumnya, sehingga pasaran produk tetap menjadi jaringan yang terpelihara. 4. Produksi Bersama Hal ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan pasar secara khusus bagi kelompok kurang aktif dan tidak aktif. Bagi kedua kelompok tersebut, jejaring pasar yang dimiliki masih terbatas jika dibandingkan dengan kelompok yang aktif, sehingga dibutuhkan program dan kegiatan yang dapat mendukung keterlibatan kedua jenis kelompok ini. Produksi bersama berarti, adanya peluang pasar yang dimiliki oleh kelompok aktif, seperti order produksi dalam jumlah yang besar, maka diberikan juga kesempatan bagi anggota kelompok lainnya. Kerjasama dalam hal ini dapat menyelesaikan order lebih tepat waktu, sehingga membuka peluang pasar bagi
pengrajin. Selain itu, akan tumbuh kepercayaan dari pembeli untuk memesan produk dalam jumlah yang banyak. 5..Pelatihan Ketrampilan Dan Teknik Yang Baru Pelatihan ketrampilan akan melibatkan kelompok aktif, yang bertujuan untuk mengatasi masalah keterbatasan ketrampilan pada kelompok kurang aktif dan tidak aktif. Hal ini menyangkut ketrampilan yang dimiliki oleh anggota hanya pada tahap tertentu saja, sedangkan tahap lainnya tergantung pengrajin lain. Biasanya, mendesain motif adalah hal yang agak sulit, sehingga dapat disosialisasikan melalui kegiatan seperti ini. Pelatihan ketrampilan dasar atau transfer ketrampilan dari kelompok aktif atau pihak yang mahir dalam komunitas akan membantu masalah tersebut. Bagi kelompok yang masih tergantung pada tenaga yang lain, dapat dilakukan transfer oleh kelompok yang aktif, atau pihak yang mahir, sehingga sosialisasi ketrampilan menjadi lebih menyeluruh dan membantu kemandirian kelompok. Pelatihan teknik yang baru bagi kelompok aktif, agar dalam menghasilkan produk disesuaikan dengan permintaan pasar misalnya, variasi motif, jenis benang, jenis pewarna, model dan sebagainya dengan tidak mengurangi kualitas produk tersebut. Hal ini dapat melibatkan pemilik artshop yang juga adalah pengrajin dimana berniat
membagi
ketrampilannya
dengan
pengrajin
tradisional.
Yang
bertanggungjawab dalam kegiatan ini adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan, apalagi kegiatan seperti ini pernah dilakukan di komunitas lain dan akan melanjutkan program yang sama bagi kelompok baru. 6. Pelatihan Pengelolaan Modal Rendahnya kemampuan pengelolaan modal tidak hanya terjadi pada kelompok kurang aktif dan tidak aktif. Kelompok aktif juga mengalami hal yang sama, terutama untuk modal yang lebih besar, karena tingkat kebutuhan pokok yang besar, mempengaruhi penggunaan modal. Hal ini sangat besar pengaruhnya, jika tidak dilakukan dampingan teknis sebelumnya. Pola konsumsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh keinginan memenuhi kebutuhan pokoknya, atau yang dianggap
sebagai kebutuhan pokok, sehingga berpengaruh pada penggunaan pendapatan dan modal. Pengelolaan modal menjadi masalah yang dihadapi oleh kelompok, karena pola konsumsi yang keliru. Pola konsumsi masyarakat dalam hal budaya terkadang menjadi alasan yang paling sulit dihindari. Tuntutan adat menjadi kebutuhan pokok yang akan mempengaruhi pengelolaan modal usaha kelompok. Dibutuhkan pencerahan dan bimbingan tentang pandangan dan pola pikir ekonomis, dalam pelatihan ini. Selain cara pengelolaan modal, harus membangun kesadaran untuk menggunakan anggaran secara tepat sesuai kebutuhan, sehingga tidak mengancam kemacetan perguliran modal. Oleh sebab itu, dibutuhkan pelatihan pengelolaan modal, untuk meningkatkan kemampuan pengrajin dalam mengelola pendapatannya. Pengetahuan pengelolaan modal sangat penting bagi keberlanjutan aktivitas, sehingga mendukung kemampuan kelompok dalam mencicil modal, hingga proses produksi. Selain pelatihan, perlu dilakukan sharing atau berbagi pengalaman dari anggota kelompok yang aktif tentang pengelolaan modal atau dampingan teknis dari lembaga desa dalam hal pengelolaan modal seperti LPM bagi anggota kelompok lainnya. 7. Pendampingan dan Sosialisasi Rendahnya motivasi berusaha dalam diri pengrajin akan mempengaruhi produktifitas dan mengancam keberlanjutan usaha kelompok maupun usaha individu. Motivasi berusaha seringkali dinamis, dan lebih banyak menurun, artinya ketika menghadapi kendala pasar atau modal produksi, pengrajin langsung putus asa dan menjadi apatis. Semangat berusaha sangat dibutuhkan, bagi keberlanjutan aktivitas usaha. Karakteristik pengrajin yang rata-rata hanya berpendidikan sekolah dasar, membutuhkan pendekatan yang berbeda dan tepat. Oleh sebab itu, pendampingan dan sosialisasi sangat penting dilakukan bagi mereka, sekaligus percontohan atau permodelan tokoh yang berhasil. Pendampingan dapat dilakukan secara terus menerus atau berkala, dari motivator yang ditentukan. Untuk jangka waktu panjang, kelemahan motivasi dalam diri pengrajin juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan usaha yang ada di luar komunitas, misalnya studi banding pada
usaha yang berhasil atau sudah berkembang pesat. Upaya-upaya seperti ini, dapat memberi inspirasi bagi pengrajin untuk terus melakukan aktivitas produksi. 8. Kredit Lunak Langkah untuk mengatasi keterbatasan modal usaha dalam kelompok melalui pinjaman dari pihak luar dengan bunga yang rendah atau biasa disebut kredit lunak. Setiap kelompok membutuhkan modal usaha, sehingga dibutuhkan keterlibatan pihak pemodal untuk membantu. Untuk menarik minat dari pemodal, harus melalui jalinan kerjasama atau jejaring dengan stakeholder. Hal ini dapat terjadi melalui kerjasama dalam kelompok yang sudah dibentuk dan dapat dipercayai oleh pihak pemodal. Besar kecilnya modal yang dibutuhkan disesuaikan dengan kemampuan kelompok dalam produksinya. Selain itu, perlu melakukan pelatihan pengajuan proposal sehingga para pengrajin dapat melakukan kegiatan secara mandiri. Hal ini berhubungan dengan peluang bagi mereka dari pihak pemerintah maupun swasta yang dapat menyediakan modal bagi kelompok usaha kecil dan menengah. Untuk lebih jelasnya rencana program yang sudah disusun dapat dilihat dalam tabel 15
Tabel 15 (2 halaman)
Monitoring dan Evaluasi Untuk mengetahui keberhasilan setiap program dan kegiatan, akan dilihat dari indikator-indikator, yang disesuaikan dengan pencapaian tujuan. Hal itu menjadi bahan monitoring dan evaluasi yang dilakukan setiap akhir tahun atau setiap semester maupun setiap triwulan. Untuk setiap program, monitoring dilakukan oleh masing masing pelaksana, dan hal itu akan dibawa dalam rapat desa atau evaluasi program pemberdayaan masyarakat oleh LPM, selanjutnya menjadi agenda Musrenbangdes setiap akhir tahun. Rencana program dilakukan selama tiga tahun yakni tahun 2008 2010. Pengawasan atau monitoring bagi kelompok yang sudah dibentuk, akan dilakukan oleh motivator dan pengurus kelompok pengrajin tingkat desa, yang dibentuk dalam mendampingi kelompok-kelompok tersebut. Pentingnya monitoring dan evaluasi untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terjadi, sehingga dapat diatasi secara bersama sesuai waktu yang ditetapkan. Keberlanjutan program ditentukan oleh fungsi monitoring dan evaluasi. Monitoring bermakna : mengamati, memantau dan menilai, apakah proses dan hasil pelaksanaan program sudah sesuai dengan tujuan dan keluaran yang diharapkan. Evaluasi berarti, mengukur atau menilai kondisi kegiatan atau program
yang sudah terjadi. Evaluasi juga bisa berarti
membandingkan target awal dengan capaian dalam suatu program atau kegiatan. Monitoring biasa dilakukan saat program atau kegiatan dilakukan sedangkan evaluasi dilakukan setelah program atau kegiatan selesai dilaksanakan.
Tabel 16 Aspek-Aspek Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Pengrajin Variabel Adanya Kemampuan dan Ketrampilan Pengrajin
Indikator
Aspek Monitoring dan Evaluasi
Partisipasi Pengrajin
1. Kehadiran dalam rapat atau pertemuan kelompok, baik di tingkat basis maupun tingkat desa, jumlah peserta diatas 50% 2. Peran serta anggota dalam kegiatan yang dilakukan berjumlah 50%
Ketrampilan Bertambah
1. Setiap kelompok kurang aktif, sudah bisa menguasai tahap produksi lebih dari satu macam, misalnya tidak hanya bisa menenun, tetapi juga bisa mewarnai atau mendesain motif. 2. Bagi anggota kelompok aktif, dapat menggunakan teknik yang baru dalam memproduksi kain, misalnya dalam pewarnaan maupun dalam proses desain dan tenun
Kekompakan Kelompok dan Suasana kelompok
1. Terjadinya kerjasama yang berlangsung dalam setiap kegiatan bersama ( 50% dari jumlah kegiatan selalu dilakukan secara bersama) 2. Dalam produksi bersama, ada kerjasama antara kelompok aktif dan tidak aktif
Kemampuan Pengembalian Modal
1. Anggota kelompok mampu mengembalikan modal tepat waktu 2. Anggota mampu meminjam modal sesuai skala produksi setiap tahun
Terjadi Akses usaha dan kesempatan kerja
Aktivitas Produksi berkelanjutan
1. Ada hasil produksi setiap 3 bulan atau produksi dilakukan minimal 4 kali dalam setahun 2. Waktu yang digunakan lebih dari 6 jam dalam sehari untuk kegiatan produksi tenunan 3. Permintaan pasar terus berkelanjutan (setiap bulan atau semester) 4. Pekerjaan selalu ada setiap hari
Adanya Jaminan pendapatan
Pendapatan Pengrajin Meningkat
1. Pengrajin melakukan penjualan setiap 3 bulan dan memperoleh hasil diatas Rp. 1,5 juta 2. Dapat memenuhi kebutuhan pokok, sandang,pangan, kesehatan, pendidikan 3. Konsumsi pokok dalam keluarga pengrajin memenuhi standar gizi atau dapat makan 3 kali dalam sehari 4. Mempunyai simpanan dalam bentuk ternak atau materi 5. Semakin berpengaruh dalam pertemuan keluarga 1. Jumlah pembeli perantara, pelanggan dan konsumen bertambah 2. Dapat menjual hingga ke Bali dan Jawa dalam jumlah yang lebih besar 3. Ada relasi dengan investor
Jangkauan Pasar Meluas
Tabel 17 Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dalam Program dan Kegiatan Program 1 - Rapat atau Pertemuan Rutin - Pembentukan Kelompok Baru
2. Pembentukan Kelompok Tenun tingkat Desa
Kegiatan
Waktu
Monitoring
Evaluasi
Target /Hasil yang dicapai - Pertemuan bulanan melalui arisan - Panjolurungu dalam kelompok tetap rutin
Melakukan pertemuan yang dapat menarik perhatian dan mengikat antar anggota, misalnya seperti arisan, dan panjolurungu
Setiap bulan
Setiap bulan
Setiap awal bulan
Sosialisasi melalui tokohtokoh panutan seperti suami, atau orangtua, dan tokoh masyarakat
Triwulan I dan II 2008
Setiap bulan
Triwulan
Membentuk kelompok berdasarkan hubungan keeratan keluarga (klan atau marga), dan unsur keragaan angota lainnya yang dominan berpengaruh
Triwulan I 2009
Triwulan
Satu Semester
- Menjaring pengrajin lain yang belum tergabung dalam kelompok
Membentuk kelompok pengrajin tingkat desa, dan strukturnya
Triwulan I 2008
Setelah 3 bulan
Awal bulan keempat
Terbentuknya kelompok pengrajin tingkat desa
Memilih ketua kelompok dan perangkatnya secara demokratis sesuai kebutuhan
Triwulan I 2008
Setelah 3 bulan
Awal bulan keempat
Struktur organisasi dan pengurusnya
Memilih motivator yang disesuaikan dengan kegiatan program P3DM
Triwulan I 2008
Setelah 3 bulan
Awal bulan keempat
Satu orang motivator
Mengaktifkan pertemuan rutin diantara kelompok
Setiap bulan
Sepanjang tahun 2008
Setiap akhir triwulan
Pertemuan setiap bulan dengan kehadiran peserta minimal 50%
- Peran serta anggota dalam rapat - Kerjasama dalam proses kerja - Kekompakan anggota kelompok
Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dalam Program dan Kegiatan Program 3. Promosi dan Pemasaran
4. Produksi Bersama
Kegiatan
Waktu
Monitoring
Evaluasi
Promosi di tingkat lokal sampai tingkat nasional
Triwulan III 2008
Setiap Triwulan
Triwulan
Ikut serta dalam pameran kerajinan daerah
Triwulan II 2008
Setiap Triwulan
Triwulan
Pameran hasil kerajinan di komunitas, sebagai salah satu bagian atau titik daerah tujuan wisata
Triwulan III dan IV 2008
Setiap Triwulan
Triwulan
Menarik minat pembeli melalui cara mengontak kembali pengunjung pameran (yang pernah menjadi peminat) membeli produk dalam jumlah yang besar
Triwulan II 2008
Setiap Triwulan
Triwulan
Meningkatkan kualitas produk untuk menjaga jejaring dengan pembeli perantara dan pelanggan tetap/pembeli langsung
Sepanjang tahun
Sepanjang tahun
Triwulan
Kelompok aktif dapat berbagi tugas dalam melaksanakan proses produksi, sehingga dapat menerima pesanan dalam jumlah banyak
Triwulan II 2008
Setiap Tiga bulan
Triwulan
Target /Hasil yang dicapai - Ikut pameran minimal sekali dalam setahun - Ikut pameran dalam daerah, minimal sekali - Mempunyai tempat pameran atau ruang pemasaran produk - Menjadi titik kunjungan wisata handicraft - Menjadi pusat kerajinan tenun ikat - Jumlah permintaan menjadi dua kali lipat dari tahun sebelumnya - Ada relasi dengan investor - Permintaan dari pihak yang sudah ada tetap atau bertambah - Produk yang dihasilkan tetap diminati pembeli - Kelompok kurang aktif dan tidak aktif mendapat order -Pekerjaan tahapan produksi dapat dibagi ke setiap rumah tangga atau anggota kelompok
Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dalam Program dan Kegiatan Program 5. - Pelatihan Ketrampilan Dasar - Pelatihan Teknik yang baru 6. Pelatihan Pengelolaan Modal
7. Pendampingan dan Sosialisasi
8. Kredit Lunak Pelatihan pembuatan proposal pengajuan kredit/bantuan modal
Kegiatan
Waktu
- Mengadakan pelatihan ketrampilan dasar yang melibatkan kelompok aktif -Pelatihan teknik yang baru dari kalangan profesional dari luar komunitas - Sosialisasi atau sharing pengalaman dari anggota kelompok yang aktif, - Pelatihan manajemen usaha dari pihakpihak yang berkompeten - Sharing pengalaman dari wiraswasta dan pihak yang profesional - Pertemuan rutin tingkat kelompok desa - Sosialisasi secara berkala, dari pihak berkompeten - Pendampingan dari motivator secara berkala - Studi banding ke wilayah lain atau kelompok usaha yang berhasil
Triwulan II 2008
- Pengajuan proposal - Membuka relasi dengan badan/lembaga penyedia kredit maupun koperasi - Melatih anggota kelompok untuk memahami langkahlangkah memperoleh modal
Triwulan II 2008
Monito ring Setiap Tiga bulan
Evaluasi Triwulan
Triwulan IV
Triwulan II 2008
Setiap triwulan
Triwulan
- Kemampuan mengelola modal dasar - Meningkatnya kemampuan manajemen dalam kelompok aktif
Triwulan dan bulanan
Triwulan
- Anggota memahami manfaat usaha dan prosesnya - Anggota mempunyai pengalaman dan harapan untuk tetap meneruskan usahanya - Semua anggota percaya dengan usaha yang dilakukan
Triwulan
Triwulan
- Setiap kelompok dapat memperoleh peluang bantuan kredit - Anggota mempunyai kemampuan dalam merancang modal usaha dan kredit yang dibutuhkan - Anggota mengetahui mekanisme perolehan bantuan kredit - Keterlibatan atau perhatian dari lembaga keuangan - Kerjasama antar stakeholder dalam mencairkan modal usaha bagi UKM
Triwulan II
Triwulan III 2008 Setiap bulan Setiap bulan Setiap bulan Triwulan IV
Triwulan III 2008
Target /Hasil yang dicapai - Ketrampilan dasar dapat dikuasai oleh anggota kelompok (minimal 80%) - Penguasaan teknik yang baru oleh dua kelompok aktif
Sistem Kelembagaan Pelaksanaan Program Program penguatan kelompok adalah cara strategis untuk memberi solusi pemecahan masalah dalam usaha kerajinan tenun ikat berdasarkan pada hasil identifikasi masalah dan potensi secara bersama-sama dengan stakeholder. Hal ini tentu membutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat dalam komunitas. Kegiatan-kegiatan yang akan masuk kedalam masyarakat membutuhkan perhatian dan kepedulian bersama, sesuai dengan aturan dan norma yang ada dalam komunitas tersebut. Oleh sebab itu, sistem yang ideal dalam mendukung keberlanjutan program yang sudah dirancang bersama, membutuhkan suatu mekanisme kelembagaan yang dapat melibatkan tanggungjawab semua elemen dalam masyarakat. Elemen tersebut meliputi tokoh dalam lembaga desa, tokoh masyarakat, tokoh agama atau tokoh gereja, tokoh adat, tokoh pemuda, pihak LSM, guru, dan kelompok pengrajin, serta unsur kelompok dampingan yang lainnya. Gambaran ideal suatu mekanisme pelaksanaan program penguatan kelompok pengrajin jika memiliki struktur yang sudah diatur sesuai peran dan fungsi dari elemen tersebut. Struktur ini menggambarkan hubungan dan keterlibatan pihak-pihak diluar kelompok pengrajin, dalam setiap tahap penting yang dilalui oleh kelompok pengrajin. Hal ini misalnya, pada proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi, dapat dilihat pada gambaran strukturnya (gambar 9). Struktur ini menunjukkan relasi kerjasama dan partisipasi setiap unsur kelembagaan dengan kelompok pengrajin. Kelompok pengrajin adalah bagian dari unsur kelembagaan dalam komunitas, yang juga berinteraksi secara langsung dengan elemen masyarakat lainnya. Oleh sebab itu, dukungan kerjasama dan upaya partisipatif dapat mendukung program pemberdayaan yang dilakukan. Struktur ini akan memaksimalkan peran semua unsur kelembagaan yang ada di desa untuk mendukung program yang sudah disusun. Beberapa unsur lembaga yang ada dapat berperan secara praktis sesuai fungsinya masing-masing yakni sebagai berikut :
1. Tokoh masyarakat : membangun semangat dan keterlibatan warga, dan menjadi tokoh yang dicontohi. Hal ini termasuk kelompok yang memiliki strata atau status lebih tinggi. 2. Tokoh gereja : memberi pencerahan secara perlahan tentang perubahan pola pikir yang lebih produktif dan kelayakan hidup. Budaya hidup layak memenuhi kebutuhan pokok, secara perlahan dapat mengubah orientasi konsumsi adat yang berlebihan. 3. Lembaga desa : mendukung dan mengawasi pelaksanaan program secara periodik, serta membuka peluang dari pihak luar desa 4. LSM : mengkoordinasi tujuan dan proses pelaksanaan misi secara sinergis 5. Guru : sosialisasi dan membangun kesadaran kritis warga maupun anak sekolah 6. Tokoh pemuda : menjadi tenaga produktif yang dapat terlibat dalam setiap tahapan kegiatan sesuai dengan kemampuan 7. Tokoh adat : membangun partisipasi dan keterlibatan warga dalam program pemberdayaan, melalui pengaruh yang dimiliki. Selain itu, dapat berperan dalam mengubah cara pikir kultural yang mendukung pemberdayaan. Setiap elemen adalah kekayaan komunitas yang harus dilibatkan dalam aksi pemberdayaan untuk mendukung keberlanjutan program dan perubahan menuju keberdayaan dan kemandirian masyarakat. Gambar 9 Struktur Kelembagaan Pelaksanaan Program Kelompok pengrajin Perencanaan Pelaksanaan Pengawasan Evaluasi
Unsur Kelembagaan dalam komunitas
Kerjasama dan Partisipasi dalam
Keterangan :
: mempengaruhi : bagian dari
: hubungan saling mempengaruhi
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Kekuatan yang dimiliki oleh kelompok pengrajin tenun ikat tradisional di desa Hambapraing, sehingga dapat bertahan sampai sekarang adalah, kekompakan kelompok, suasana kelompok, pemenuhan tujuan kelompok, efektifitas kelompok, kemampuan mengelola modal usaha, usia, ketrampilan, dan ketokohan atau status dalam klan. Secara rinci dapat disimpulkan tiga hal pokok berkaitan dengan hasil kajian, yakni sebagai berikut : 1. Dinamika kelompok pengrajin tenun ikat tradisional di Desa Hambapraing, berbeda berdasarkan aspek yang mempengaruhinya. Tujuh kelompok yang ada berbeda karakteristiknya sesuai keaktifannya masing-masing yakni, dua kelompok aktif, dua kelompok kurang aktif dan tiga kelompok tidak aktif. Hal yang dinilai adalah aspek kekuatan kelompok atau dimensi dinamika kelompok, aspek pengembalian modal, dan aspek keragaan anggota. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok pengrajin tenun ikat, adalah kekompakan kelompok, suasana kelompok, pemenuhan tujuan kelompok, dan efektifitas kelompok. Keempat unsur ini sangat besar pengaruhnya bagi kekuatan kelompok yang aktif. Kelompok yang kompak didukung atau didasari oleh rasa keterikatan yang besar diantara anggota, sehingga selalu sejalan dalam melakukan aktivitas kelompok. Terpenuhinya tujuan kelompok ditandai oleh a) pemenuhan kebutuhan anggota, dalam hal pendapatan dan bantuan modal, b) aktivitas produksi yang berkelanjutan, dalam hal produksi dan pemasaran c) kerjasama antar anggota, dalam hal proses kerja, ketrampilan, bahan baku, hingga pemasaran. Suasana kelompok didasari oleh perasaan saling percaya dan saling menerima antar anggota, sehingga terjalin kerjasama dalam proses kerja. Efektifitas kelompok didukung oleh tercapainya aspek-aspek seperti, pemenuhan tujuan kelompok, kepuasan anggota, semangat dan sikap anggota, serta produktivitas dalam hal proses produksi dan pemasaran, sehingga kelompok aktif dianggap cukup efektif untuk dikembangkan secara profesional. Suasana
kelompok dan kekompakan kelompok berpengaruh pada perasaan berkelompok, motivasi berusaha, dan kerjasama. Keragaan anggota dilihat dari usia anggota, ketrampilan anggota, status dan kecakapan pengurus, dimana kelompok yang dominan terdiri atas usia muda, ketrampilan yang lebih baik dan komplit cenderung lebih aktif. Unsur pengembalian modal adalah salah satu unsur yang menentukan mampu atau tidaknya suatu kelompok dalam mengelola modal, misalnya karena prilaku konsumtif dan pengelolaan modal yang lemah berpengaruh pada rendahnya tingkat pengembalian modal. Unsur-unsur tersebut akan besar pengaruhnya, jika dikaitkan dengan masalah atau kelemahan yang dialami oleh kelompok pengrajin dan cara menguatkan kelompok pengrajin. Rendahnya pembinaan yang dialami oleh setiap kelompok, menunjukkan bahwa kelompok baru terbatas pada pemberian modal. Kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif, memiliki kekurangan pada setiap unsur yang dinilai. Oleh sebab itu, faktor-faktor yang memperkuat kelompok aktif dapat menjadi hal penting dikembangkan untuk pemberdayaan kelompok yang ada. 3. Program penguatan kelompok pengrajin tenun ikat tradisional, terbagi berdasarkan kebutuhan masing-masing kelompok. Program secara umum meliputi keseragaman masalah yang dihadapi semua kelompok, sedangkan program spesifik diperuntukkan bagi perbedaan masalah yang dihadapi tiap-tiap kelompok. Masalah yang dihadapi oleh kelompok pengrajin adalah, rendahnya kerjasama antar kelompok dan antar anggota dalam kelompok, rendahnya perasaan berkelompok, keterbatasan pasar, rendahnya motivasi berusaha, keterbatasan ketrampilan dan teknik yang baru, kurang mampu mengelola modal, dan keterbatasan modal usaha. Berdasarkan masalah tersebut dilakukan penguatan kelompok, untuk menunjang aktifitas usaha kelompok. Program penguatan kelompok meliputi : pertemuan atau rapat rutin, pembentukan kelompok tingkat desa, promosi dan pemasaran, produksi bersama, pelatihan ketrampilan dasar dan teknik yang baru, pelatihan pengelolaan modal, pendampingan kelompok dan sosialisasi, kredit lunak, dan pelatihan pembuatan proposal. Kegiatan ini dapat berlangsung melalui kerjasama semua stakeholder dalam mendukung keberadaan
kelompok pengrajin, sehingga mampu mencapai tujuan pembentukannya, yakni pemberdayaan pengrajin khususnya dan masyarakat secara umum. Tercapainya pemberdayaan pengrajin akan nampak melalui tiga hal yakni, tercapainya pendapatan
yang
cukup
untuk
memenuhi
kebutuhan
pokok,
adanya
pengembangan kemampuan pengrajin atau bertambahnya kemampuan pengrajin, serta mempunyai akses usaha dan kesempatan kerja yang lebih luas.
Rekomendasi Program yang sudah disepakati bersama, tentu tidak hanya membutuhkan partisipasi stakeholder dalam merancang dan pelaksanaan, tetapi memerlukan monitoring dan evaluasi untuk mendukung keberlanjutannya. Fungsi setiap stakeholder yang konsisten akan menunjang keberhasilan program-program yang diusulkan dan disusun berdasarkan kebutuhan dan masalah yang ada. Oleh sebab itu, untuk mendukung program-program tersebut, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Salah satu langkah yang dapat mengentaskan kemiskinan di Desa Hambapraing, adalah penguatan kelompok pengrajin tenun ikat berupa pembinaan kelompok, pendampingan, promosi dan pemasaran, pelatihan, dan bantuan modal usaha. Hal ini agar mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat, dan perkembangan usaha kerajinan. Keterkaitan semua pihak yang berkepentingan atau stakeholder adalah hal yang paling mendasar untuk pencapaian tujuan. 2. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah, dalam memberikan program ke desa atau daerah, tidak dilakukan secara searah, tetapi membutuhkan kesiapan dari masyarakat, sehingga tidak hanya tercatat secara administratif saja tetapi dapat beroperasi dengan terencana. Hal ini dapat dilakukan jika kesiapan masyarakat dilakukan melalui sosialisasi yang lebih intensif, dan keterlibatan pihak-pihak dengan pendekatan yang unik dan berbeda sesuai dengan keadaan masyarakat. 3. Bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa, program-program pemberdayaan yang masuk sebaiknya dikoordinasikan sehingga tidak terjadi tumpang tindih program yang melibatkan masyarakat yang sama. Hal ini akan menimbulkan persepsi bantuan sebagai hibah, sehingga ketergantungan masyarakat semakin besar. 4. Bagi Tim Koordinasi Dekranasda untuk Usaha Kerajinan Tenun (Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pariwisata, Bagian Ekonomi Setda Kabupaten Sumba Timur, dan Dekranasda Kabupaten Sumba Timur). Kegiatan yang sudah dilakukan tidak hanya bertumpu pada kegiatan promosi saja, dengan pembiayaan yang cukup besar. Hasil yang diperoleh harus ditindaklanjuti melalui
evaluasi bersama secara berkelanjutan, sehingga fungsi promosi pun dapat memberi pengaruh bagi pengrajin. Fungsi kerjasama dan jejaring yang sudah menjadi tugas masing-masing unit, dapat berjalan jika dilakukan melalui kegiatan bersama. Selain itu, pentingnya mengenal fungsi dari pihak-pihak lain seperti pembeli perantara, pemilik toko, dan pembeli langsung. Dari hasil tersebut, maka salah satu tanggungjawab yang dapat diperankan oleh Dekranasda, adalah penguatan kelompok melalui kerjasama antara investor dengan pengrajin, lalu diikuti pembinaan kelompok dari dinas teknis (Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas Pariwisata), sehingga mendukung keberlanjutan pengembangan usaha kerajinan.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Isbandi R. 2002. Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia. Jakarta. Agusyanto Ruddy. 2007. Jaringan Sosial dalam Organisasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Babang R Katarina 2005. Pelaksanaan Adat Kematian Di Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur di Tinjau dari Sisi Teori Konsumsi. (Skripsi). Sumba: Program Studi Ekonomi Pembangunan, STIE Kriswina Sumba. Badan Pusat Statistik dan Pemerintah Kabupaten Sumba Timur. 2006. Sumba Timur dalam Angka. Beding, Lestari. 2002. Ringkiknya Sandel, Harumnya Cendana. Bappeda Sumba Timur dan Pemerintah Propinsi NTT. Cartwright D, Zander A. 1956. Group Dinamics, Research and Theory. Row Peterson and Company. United States of America. Hardiman Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Haeruman Herman. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal (Bunga Rampai), Yayasan Mitra Pembangunan Desa-kota. Yayasan Mitra Pembangunan Desa dan Bussiness Innovation Center of Indonesia. Jakarta. Haerurah, Purwanto. 2006. Dinamika Kelompok, Konsep dan Aplikasi. PT Refika Aditama. Bandung. Hermawati I. 2004. Pengkajian Keswadayaan Masyarakat Desa dalam Pendayagunan Sumber Kesejahteraan Sosial. BBPPPKS Jogjakarta. Jamasy Owin 2004 Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Belantika. Jakarta. Korten David C.1980. Community Organization and Rural Development A Learning Process Approach, in Public Administration Review 40 (5) Sept-Oct. Musa Safuri. 2005. Evaluasi Program Pembelajaran dan Pemberdayaan Masyarakat. Y-PIN Indonesia. Bandung. Morris M.J. 1991. Usaha Kecil Yang Berhasil, Bagaimana Mempersiapkannya. Penerbit Arcan. Jakarta. Nasdian, Darmawan. 2006. Sosiologi Untuk Pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. FEMA Institut Pertanian Bogor. Nasdian, Bambang S. 2005. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Nasdian. 1988. Dinamika Kelompok Tani dan Partisipasi Petani dalam Program Konservasi Tanah dan Air di Daerah Aliran Sungai Citanduy [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pranaka, Vidyandika Muljarto. 1996. Pemberdayaan (Empowerment) dalam Onny S.Priyono dan Pranaka, editor. Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasi. Jakarta : CSIS. Pambudi Himawan et al. 2003. Politik Pemberdayaan, Jalan Mewujudkan Otonomi Desa. Lappera Pustaka Utama. Yogyakarta. Saharuddin. 2007. Operasionalisasi Metode Tri-angulasi dalam Pendekatan Partisipatif. Departemen KPM Institut Pertanian Bogor. Santosa Slamet. 2004. Dinamika Kelompok Edisi Revisi Cetakan ke I. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Soekanto Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Syaukat, Hendrakusumaatmaja. 2006. Pengembangan Ekonomi Berbasis Lokal. MPM Institut Pertanian Bogor. Sumarti, Syaukat. 2006. Analisis Ekonomi Lokal. MPM Institut Pertanian Bogor. Sitorus, Augusta. 2006. Metodologi Kajian Komunitas. MPM Institut Pertanian Bogor. Suharto Edy. 2005. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Aditama. Bandung. Sulistiyani AT. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Gava Media Yogjakarta. [Anonim]. 2006. Petunjuk Umum Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri, (P3DM). Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sumba Timur. [Anonim]. 2006. Petunjuk Teknis Operasional Program Penguatan dan Pengembangan Desa menuju Desa Mandiri, (P3DM). Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Sumba Timur. [Anonim]. 2006. Profil Desa Hambapraing. [Anonim]. 1999. Petunjuk Teknis Operasional, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Departemen Dalam Negeri. Jakarta. [Anonim]. 2006. Laporan Kepala Desa Hambapraing pada Kunjungan Kerja Camat. Haharu Kecamatan Haharu. [Anonim]. 2007. Laporan Tim Pelaksana Kegiatan PPK Desa Hambapraing. [Anonim]. 2007. Laporan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Hambapraing.
Lampiran Gambar dari Komunitas
Bersama pengrajin kelompok aktif ‘ Hamu Eti dan Paaing Mamila’, 1-3 Nopember 2008
Bersama pengrajin secara gabungan, pra diskusi terfokus, tanggal 6 Nopember 2008 (pengenalan masalah dan penjaringan pendapat secara partisipatif)
Suasana FGD, tanggal 10 nopember 2008 146
Suasana FGD, tanggal 10 Nopember 2008 (Kepala Desa,BPD,Dinas Perindag dan Pariwisata, LPM, dan Tokoh masyarakat)
Suasana FGD, dihadiri perwakilan pengrajin dan stakeholder
147
Hasil produk kelompok aktif dan situasi rumah pengrajin yang selalu melakukan produksi
148
Kain tenun ikat digunakan untuk adat, untuk tema kehidupan dan tema kematian
Komunitas berada di antara dua lokasi tujuan wisata
149
Gambar Lokasi Desa atau Sketsa Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, dalam Peta Pulau Sumba
Legenda :
: Desa
Hambapraing
: Pantai Londalima : Pantai Purukambera
150
Peta Administrasi Kabupaten Sumba Timur
140000
160000
180000
200000
220000
240000
PETAADMINISTRASI DANTEMPAT PENTING KABUPATENSUMBATIMUR TAHUN2004
260000
Tg. Sasar
Skala 1: 200.000 8 8960000
#
î #
Kerjasama Pemerintah DaerahKabupatenSumbaTimur dengan BadanKoordinasi Survei danPemetaanNasional
8960000
î
î
ü
î
ü
U
#
î
j bangaru Ram
Tg. Laundi
S #
#
5
8 #
#
"î
î
î
ü
HAHARU
KABUPATEN SUMBABARAT
LAUT SABU
#
5
#
Ke lum u
8940000
î #
î "
B
î
î
î
î
#
î
î
#
8920000
î
î
î
#
î
î
î
î
î î ü î
KAHAUNGUETI
î
î
#
#
î îî î î î
î
î
Kamanggihî
#
î
#
î
î #
î
î
î
î
î
î
î
B
î
î
î î
î
PINUüPAH î AR
î î
8Ð
î
î
î
#
î
S #
î î
#
#
123
124.30
126
î Tg. Watukurung
î
#
5
0
5 0
ü KîARERAî î , î Nggongi S #
î , î
î î
10
#
î j î , ü î
î î
î #
î î
î
î
î
î
#
î
Ð
Ð
S #
î
#
#
Ð
, j
ü î% j
î î
RINDI
î
î
#
#
î
î
#
î
î
î
î UNGALOîDU PAH
î
#
î î
î
î î
î
î
#
ü Ngalu
î î
î
î î
#
#
î j
î Ð
î
î
î #
î
î î
î
î î
# #
î Baing
#
WULAWAIJELU î
î j
î
IbukotaKecamatan
[%
IbukotaKabupaten
, á î » j ü
Masjid
m ) í á O
Kantor Pos
B
Air Terjun
N
Bendungan
8
KampungAdat
Ð
KuburanRaja
Gereja Kristen Protestan Gereja Kristen Katolik Pura KUD Pasar Bank Kantor Polisi PLN Telkom
5
Pantai
"
Sanggar Tari
%
TenunIkat
î î , î
î8 î
%
î
î
î
5
î
î
ü
S #
î
î
î
î î
î
5 Tg. Warumanggit
î î
î
8860000
P. Kotak
,
Desa
#
î
ü
î î
î
î
î
#
#
S #
S #
#
î î ü î
Tg. Undu
#
î
î
î
î
î
î
ü î î
#
î
î
î
î
î
î
î î j
, ü
#
#
î
î
î
, Tanaraing
î
î ü
#
î
0
8860000
,
%
#
î î î î î PABERIW îAI î î î
î î
î î
#
#
î
ü
#
î î 0
î î
î
î
î
î
0
î
#
î
î î
#
î
î
Tg. Malanggu 0
ü
%
î
î ü
î
î
#
î
î
î
î
ü
#
S #
0
îÐ
#
8880000
Tawui
î
#
î
j
î
î î
î î
»
S #
8
î
#
%
Ð
î
î
Kananggar
î
î
î
î
î
#
î
î
î î
î
î
î
î
î
ü
#
#
IN DO NE SI A
î î
îî î
Bî
î î B
#
î
#
%
UMALULU
î î
#
î
S #
î
Ð
#
î %
î
Tanarara
î î
5 Tg. Watuparunu
Ðî
8
î Melolo
#
#
î
î
î
î
î îTAîBUNDUNG
î î
Ð
î
î
#
î
#
# #
#
#
#
î j ü
%
î ü î
î
#
S #
#
î
MATAWAI LAPAWU
Malahar
î
#
î
î
î
î
Ȕ
8900000
8900000
î
#
î
#
î
î
î
î î
î
#
#
î
11
î
î î
î
î
09
î
S #
î
8880000
#
ü
PANDAWAI
LEWA
121.30
î î
#
î
#
î
120
î
î
î
î
î ü î
î
î
î
0
î
î #
î
î
#
î
î
î
#
î
#
î
î
N î GGAHAORI ANGU î #
î
î
î î
î î N
#
î
" Ð
#
#
î
î
î
î
î
#
î
î
î
î #
#
î
î #
î
8
#
#
î akamenggit îMü S #
JalanAspal Batas Kabupaten Batas Kecamatan Batas Desa Garis Pantai Sungai
î
8920000
î
î
î #
î
#
#
%î Kawîangu î S # î î Ð á KOTAWAINGAjPU %
î ü
î
,Lewa î8ü #S j î î î î î î î
#
#
î
#
8
î
î
08
30Km
Keterangan:
5
, A,IN W GAPU )á,% î ,î O [ í ,Ð á
î
î î #
0
20
Tg. Watuata
Tl.
î #
î
Ma nan ga
î
î
8940000
î
î
SA M UD ER A
10
î
î
Tg. Nanguwawi
0
î
î
P. Salura
Tg. Ngunju
Sumber :
P. Mangkudu
1. PetaRupabumi Indonesiaskala1:25.000 2. BAPPEDAKabupatenSumba Timur 3. Dinas PariwisataKabupatenSumba Timur 140000
160000
180000
Keterangan :
200000
220000
240000
260000
: Kecamatan Haharu
151
Tabel 11. Deskripsi dinamika kelompok berdasarkan unsur – unsur kekuatan dalam kelompok Aspek kekuatan dalam kelompok
Parameter
Kelompok Aktif Ada
Tujuan kelompok
Struktur kelompok
Fungsi tugas
Pembinaan kelompok Kekompakan kelompok Suasana kelompok
Tekanan pada kelompok Efektifitas kelompok
Tujuan anggota Kerjasama Aktivitas Produksi Kepuasan anggota Peran dan Posisi Pengambilan Keputusan Pembagian tugas Hubungan komunikasi Memberi informasi Memuaskan anggota Menghasilkan insisatif Mengajak berperan serta Menjelaskan Sosialisasi dan pendidikan/pelatihan Kesempatan mendapatkan anggota baru Rasa Keterikatan Rasa saling percaya Rasa saling menerima Rasa saling menghargai Kebebasan berperan serta Penghargaan thd anggota Hukuman kpd anggota - Produktifitas (pencapaian tujuan kelompok) - Moral (yakni semangat dan sikap anggota) - Kepuasan anggota (tujuan pribadi tercapai)
Kurang/ Tidak ada
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kelompok kurang aktif Ada Kurang/ Tidak ada √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kelompok tidak aktif Ada Kurang/ Tidak ada √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tabel 12. Deskripsi dinamika kelompok berdasarkan keragaan anggota dan pengembalian modal Aspek Keragaan Anggota
Pengembalian Modal
Parameter
Kelompok Aktif
Usia anggota
70 persen dibawah 50 tahun
Kelompok kurang aktif 60% dibawah 50 tahun
Kelompok tidak aktif 80 % diatas 50 tahun
Tingkat pendidikan
SD
SD dan SMP
SD
Kecakapan ketua dan pengurus
Cukup
cukup
Rendah
Status/ketokohan
20 % tokoh 80% status yang sama
10% tokoh 80%Status yang sama
10 % tokoh 80%Status yang sama
Ketrampilan
kemampuan pada semua proses
ketrampilan dasar
katrampilan dasar
Waktu dan kewajiban pengembalian
Tepat
Cenderung lambat
Lambat dan macet
Jumlah
Rp.900.000 & Rp.100.000
Rp.300.000
R.100.000
Tabel 14. Masalah, Potensi dan Alternatif Pemecahan No 1
2
3
Masalah -Rendahnya Kerjasama dalam kelompok -Rendahnya kerjasama dalam kelompok Keterbatasan Pasar
Keterbatasan pasar pada kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif Rendahnya motivasi berusaha
Potensi Ada nilai lokal tentang solidaritas dan jejaring kerjasama antara individu dalam hal proses produksi (tenaga dan bahan baku) -Jejaring pasar sudah ada pada kelompok aktif dan kurang aktif -Kondisi geografis sebagai kawasan wisata -Ada segmen pasar meliputi kebutuhan masyarakat lokal, regional, hingga wisatawan asing Kelompok aktif sudah mempunyai jaringan pasar -Ada motivasi usaha dalam kelompok aktif
Alternatif Pemecahan Masalah - Aktifkan pertemuan rutin dan pendekatan melalui aktifitas lokal seperti panjolurungu - Pembentukan kelompok pengrajin tingkat desa yang dapat menjalin kerjasama antar kelompok, sehingga menjadi pusat informasi dan wadah untuk meningkatkan fungsi kelompok dalam pemberdayaan masyarakat dan perkembangan usaha kerajinan - Promosi di tingkat lokal sampai tingkat nasional - Ikut serta dalam pameran kerajinan daerah - Pameran hasil kerajinan komunitas, sebagai salah satu bagian dari tujuan wisata - Menarik minat pembeli melalui cara mengontak kembali pengunjung pameran (peminat) yang hendak membeli produk dalam jumlah yang besar - Mengadakan bazaar yang rutin di tingkat komunitas, yang disesuaikan dengan hari kunjungan wisatawan, yang menuju daerah wisata pantai -Regulasi pemakaian seragam berbahan motif tenun ikat
Produksi Bersama melalui koordinasi diantara pengrajin lintas kelompok untuk saling bertukar informasi pasar dan peluang produksi yang diperoleh dari kelompok aktif -Membangun semangat berusaha melalui pertemuan rutin, seperti membuat arisan kelompok ibu-ibu, dan kumpul keluarga, dan aktifkan cara lokal yakni panjolurungu (arian tenaga dan bahan baku) -Pendekatan melalui tokoh adat dan pemimpin dalam keluarga pengrajin yakni suami, atau orangtuanya -Membangun motivasi berusaha dengan menghadirkan pembicara atau tokoh yang berhasil dalam usaha serupa -Studi banding untuk menunjukkan gambaran usaha serupa yang berhasil
No 4
5
6
Tabel 14. Masalah, Potensi dan Alternatif Pemecahan Masalah Potensi Alternatif Pemecahan Masalah - Ketrampilan dasar -Pelatihan tentang ketrampilan dasar, bagi anggota kelompok yang masih terbatas dimiliki oleh sebagian kemampuannya, khusus bagi kelompok yang kurang aktif dan tidak aktif. Pelatihan besar warga, menenun ini dapat melibatkan kelompok aktif atau pihak dari luar kelompok yang memiliki adalah ketrampilan ketrampilan yang lebih mahir yang sudah turun -Pelatihan teknik baru sesuai dengan selera pasar atau permintaan konsumen dari temurun atau warisan pihak luar atau stakeholder -Tahap-tahap prosesnya dapat disosialisasikan dalam keluarga terus menerus Kurang -Kelompok aktif sudah -Melakukan pertemuan rutin antara kelompok pengrajin di tiap kelompok maupun pengetahuan pernah berhasil dalam tingkat komunitas untuk berbagi pengalaman dalam hal pengelolaan modal tentang pengelolaan pengguliran pertama -Pelatihan manajemen usaha dan pengelolaan modal secara lebih profesional bagi modal kelompok yang aktif, yang seterusnya dapat ditransfer bagi kelompok lain Keterbatasan Modal -Ada peluang dari -Memberikan kredit lunak atau pinjaman bunga rendah melalui jaringan kerjasama program-program dengan stakeholder pemberdayaan -Melatih cara memperoleh modal, seperti pembuatan proposal dan sebagainya -Ada potensi ketersediaan bahan baku Masalah -Keterbatasan ketrampilan (menenun dan mendesain motif) -Keterbatasan ketrampilan atau teknik yang baru (variatif)
Tabel 15. Program Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Masalah Rendahnya Kerjasama antar anggota dalam kelompok dan rendahnya perasaan berkelompok
Program Rapat atau Pertemuan Rutin
Pembentukan kelompok baru1* Rendahnya kerjasama antar kelompok
Keterbatasan Pasar secara umum
Promosi dan Pameran
Kegiatan - Melakukan pertemuan yang dapat menarik perhatian dan mengikat antara anggota, misalnya seperti arisan, panjolurungu - Sosialisasi melalui tokoh-tokoh panutan seperti suami, atau orangtua, dan tokoh masyarakat - Membentuk kelompok berdasarkan hubungan keeratan keluarga (klan atau marga) - Membentuk kelompok pengrajin tingkat desa (TD), dan strukturnya - Memilih ketua kelompok dan perangkatnya secara demokratis, serta sesuai kebutuhan - Memilih motivator yang disesuaikan dengan kegiatan program P3DM - Mengaktifkan pertemuan rutin diantara kelompok -Promosi di tingkat lokal sampai
Pelaksana Pengurus Kelompok TD, Motivator
Pananggungjawab Ketua kelompok TD dan LPM, BPM
Biaya APBDes dan APBD
Waktu 2008 setiap bulan
Semua kelompok pengrajin yang sudah terbentuk
Kepala Desa, BPD, LPM, BPM, tokoh masyarakat dan anggota pengrajin
Kepala Desa dan BPM
APBDes dan APBD
2008 (2bulan)
20082009 Kelompok Aktif
tingkat nasional -Ikut serta dalam pameran kerajinan daerah -Pameran hasil kerajinan di komunitas, sebagai salah satu bagian atau titik dari daerah tujuan wisata -Menarik minat pembeli melalui cara mengontak kembali pengunjung pameran (yang pernah menjadi peminat) membeli produk dalam jumlah yang besar -Meningkatkan kualitas produk untuk menjaga jejaring dengan pembeli perantara dan pelanggan tetap atau pembeli langsung
Keterbatasan pasar
Kelompok Sasaran Kelompok kurang aktif dan tidak aktif
Produksi Bersama*
-Kelompok aktif dapat berbagi tugas dalam melaksanakan proses produksi,
Pengurus Kelompok TD, Dekranasda dan Dinas Pariwisata, Dinas Perindag
Ketua Kelompok TD, Dinas Pariwisata, Dekranasda, Dinas Perindag
APBD dan APBDes
2008 – 2010
Pengurus Kelompok TD, dan kelompok
Ketua Kelompok TD
APBDes
20082010
Semua kelompok
Kelompok kurang aktif dan tidak aktif
1
128
khusus dalam kelompok kurang aktif dan tidak aktif
sehingga dapat menerima pesanan dalam jumlah banyak
aktif
129
Tabel 15. Program Penguatan Kelompok Pengrajin Tenun Ikat Tradisional Masalah Keterbatasan ketrampilan (menenun mewarnai, dan mendesain motif)
Program Pelatihan Ketrampilan Dasar
Kegiatan - Mengadakan pelatihan ketrampilan dasar yang melibatkan kelompok aktif
Kelompok Sasaran Kelompok kurang aktif dan tidak aktif
Pelaksana Kelompok aktif dan Pengurus kelompok TD
Pananggungjawab Pengurus Kelompok TD dan Kelompok Aktif
Biaya APBD dan APBDes
Waktu 2008
Keterbatasan ketrampilan atau teknik yang baru (variatif) Kurang mampu mengelola modal
Pelatihan Teknik yang baru
-Pelatihan teknik yang baru dari kalangan profesional dari luar komunitas -Sosialisasi atau sharing pengalaman dari anggota kelompok yang aktif,
Kelompok aktif
Dinas Perindag
Dinas Perindag
2008
Kelompok kurang aktif dan tidak aktif
Pengurus Kelompok TD, BPM dan Dinas Perindag
-Pelatihan manajemen usaha dari pihak-pihak yang berkompeten - Sharing pengalaman dari wiraswasta dan pihak yang profesional - Pertemuan rutin tingkat kelompok desa - Sosialisasi secara berkala, dari pihak berkompeten - Pendampingan dari motivator secara berkala - Studi banding ke wilayah lain atau kelompok usaha yang berhasil - Pengajuan proposal - Membuka relasi dengan badan atau lembaga penyedia kredit atau koperasi - Melatih anggota kelompok untuk memahami langkah-langkah memperoleh modal
Kelompok aktif
- Pelaksana Program (motivator BPM), Pengurus Kelompok TD - Dinas Perindag
APBD dan APBDes APBD dan APBDes
Semua kelompok
Pengurus Kelompok TD, BPM, Dinas Perindag
Ketua Kelompok TD, BPM, Dinas Perindag
APBD dan APBDes
2008 2010
Semua kelompok
BPM, Dinas Koperasi, dan Pengurus Kelompok TD
Pengurus Kelompok TD, (sie Pelatihan, sie Modal, dan sie Humas), Dinas Koperasi
APBD dan APBDes
2008 2010
Pelatihan Pengelolaan modal
Rendahnya Motivasi Berusaha
Pendampingan dan Sosialisasi*
Keterbatasan Modal
Kredit Lunak Pelatihan pembuatan proposal pengajuan kredit/bantuan modal*
20082009
Keterangan program * : • Program pembentukan kelompok baru bertujuan untuk mengatasi masalah rendahnya kerjasama antar anggota dalam kelompok. Alasannya karena setiap anggota yang yang sudah kurang kompak akan mengakibatkan ketidakaktifan kelompok, sehingga kemungkinan solusi yang dapat dilakukan adalah membentuk kelompok baru atau dalam formasi anggota yang mempunyai keterikatan satu sama lain, misalnya keluarga, satu klan, dan sebagainya. Anggota dapat berasal dari anggota kelompok tidak aktif atau anggota baru. • Masalah rendahnya motivasi berusaha, berhubungan dengan harapan dan tujuan anggota dalam berusaha, sehingga perlu dibangkitkan semangat berusaha bagi mereka secara intensif melalui pendampingan. Sosialisasi yang terus menerus tentang semangat berusaha dan kesuksesan usaha kecil dan menengah, serta sharing pengalaman dari pihak profesional dapat menumbuhkan motivasi berusaha pengrajin. • Produksi bersama, berarti membagi proses produksi yang diperoleh kelompok aktif kepada kelompok lain sehingga ada kerjasama dalam menghasilkan produk, dan membuka peluang pasar bagi kelompok lainnya. Kelompok kurang aktif dan tidak aktif dapat menilai bahwa ada peluang pasar bagi mereka juga. • Pelatihan pembuatan proposal bertujuan untuk memandirikan dan meningkatkan kemampuan anggota pengrajin dalam menyampaikan gambaran usaha atau profil usaha untuk mendapatkan kredit atau modal usaha dari pihak luar atau investor. Hal ini berhubungan dengan peluang bagi mereka dari pihak pemerintah maupun swasta yang dapat menyediakan modal bagi kelompok usaha kecil dan menengah.
130
LAMPIRAN TABEL Tabel 18. Metode Pengumpulan Data No
Tujuan
Jenis Data atau Topik
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data obs wwcr sd dk
1
Mendeskripsikan dinamika kelompok melalui tiga unsur: Keragaan anggota, pengembalian modal dan aspek kekuatan kelompok
Anggota kelompok, LPM, BPM, dan Pengurus Desa
√
√
√
√
2
Mengidentifikasi faktor yang dominan mempengaruhi dinamika kelompok
Tujuan kelompok, struktur kelompok, kekompakan kelompok, fungsi tugas, suasana kelompok, pembinaan kelompok, tekanan pada kelompok, efektifitas kelompok, karakter dan keragaan anggota, tingkat pengembalian modal, dan pengelolan modal Aspek kekuatan kelompok, aspek keragaan anggota, pengelolaan modal
√
√
√
√
3
Mengetahui peranan pihak-pihak yang terkait dengan usaha kerajinan tenun ikat (usaha kecil) untuk peningkatan pendapatan pengrajin
1.Lembaga pemerintah 2.Pihak swasta 3.Kelompok pengrajin
Anggota kelompok, LPM, BPM, dan Pengurus Desa Pengurus desa, dinas terkait, pengusaha, masyarakat dan pengrajin
√
√
√
-
4
Mengetahui alasan dan kendala yang dihadapi para pengrajin dalam proses kerjanya
1.Faktor eksternal, Jejaring usaha, akses sumber daya, peluang pasar 2.Faktor internal produksi, ketrampilan, motivasi, dinamika kelompok
Anggota kelompok atau pengrajin, pengurus program atau pemerintah
√
√
√
√
5
Strategi dan program penguatan kelompok pengrajin untuk pengembangan usaha pengrajin
Identifikasi potensi Inventarissasi masalah Merancang strategi program penguatan kelompok
Pengrajin, masyarakat, Pengurus desa, pelaksana program, dinas terkait, pihak swasta/peng usaha
√
√
√
√
Tabel 19. Konsep, Variabel, dan Indikator Kajian N o 1
Konsep
Variabel
Indikator
yang
1.Peran dan kerjasama antar stakeholder; pemerintah,pengusaha,masyarakat
2
Masalah yang dihadapi Pengrajin
Internal: kerjasama, produksi, ketrampilan, motivasi, dan modal Eksternal : jejaring usaha, akses sumber daya (informasi, teknik, ketrampilan) peluang pasar
3
Penguatan Kelompok Pengrajin
1.
4
Aspek – aspek dinamika kelompok
1. Kerjasama semua pihak dalam pengembangan usaha kerajinan 2. Pertumbuhan usaha-usaha ekonomi produktif 3. Peningkatan daya beli
Bagaimana interaksinya Ada/tidak ada Terpenuhi atau tidak, bagaimana bentuknya, bagaimana mekanismenya -Bagaimana relevansinya -Bagaimana manfaatnya -apakah mendorong tercapainya tujuan Kerjasama stakeholder, Jejaring usaha, daya beli, pendapatan
Peranan terkait
pihak
Kegiatan yang akan dilakukan untuk memperkuat potensi dan menghindari kelemahan 2. Internal : Pembinaan Kelompok eksternal: Akses sumber daya dan peluang pasar