Panisipasi Buruh DaIam Hubungan Kemitraan
179
PARTISIPASI BURUH DALAM HUBUNGAN KEMITRAAN A. Uwiyono
The globalisation in economy has positioned many developing countries such as Indonesia in a dilemmatic situation, as how to handle the ever-increasing problems regarding labour relations. The existing global powers have repeatedly intervened State sovereignty by "forcing" certain economic policies to the (Indonesian) Central Government, but on the other hand has increased union awareness amongst the labours as the consequence of the democratic process. This process has directly influenced the correlation between the labourer and its employer. In unearthing the shifting of this correlation, as to the role of the government, the writer has presented various examples of this correlation from different states, such as Japan, Germany, United Kingdom and the United States. Based on the assumption in labour relations that one cannot exist without the other, referring to the labourer and its employer, this correlation between the two is in essence a mutual symbiosis. The writer aims to give a basic idea on how the law should junction in preventing the arising problems between the labourer and its employer, in such areas of importance, e.g. wages, etc.
Pengantar Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan persaingan yang semakin ketat, transparansi, dan lebih demokratis, telah menempatkan Indonesia sebagai negara berkembang pada posisi yang serba dilematis dalam menangani masalah perburuhan. Di satu pihak negara-negara berkembang yang berada di posisi tergantung pada modal dan tehnologi negara maju, terpaksa menekan tingkat upah dan syarat-syarat kerja lainnya untuk menarik penanam modal asing (foreign investor). Di lain
Nomor 2 Tahun XXXII
,
180
Hukum dan Pembangunan
pihak mereka ditekan oleh negara-negara maju untuk memperhatikan upah buruh serta syarat-syarat kerja dan kondisi kerja lainnya melalui berbagai macam cara. Misalnya ancaman pencabutan quota ekspor ataupun meJaJui penerapan social clause yang seJaJu diusulkan untuk diagendakan dalam setiap sidang WTO. I Amerika Serikat beberapa kali mengancam akan mencabut kuota ekspor tekstil ke Amerika Serikat karena pemerintah Indonesia tidak menjamin hak buruh untuk berserikat ataupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang menekan buruh, serta rendahnya upah di Indonesia 2 Tekanan terhadap negara-negara berkembang ini juga muncul dari gerakan buruh di dalam negeri yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kesejahteraan buruh lainnya. 3 Pada era pasca pemerintahan Suharto, tekanan baik dari daJam negeri maupun dari Juar negeri ini bukannya surut melainkan justru semakin kuat. Menghadapi tekanan baik dari daJam negeri maupun dari Juar negeri tersebut, pemerintah Habibie inaupun pemerintah Abdurachman Wahid mendorong berkembangnya demokrasi di tempat kerja melaJui pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah keserikat-buruhan dan meratifikasi Konvensi ILO yang mengatur Hak Fundamental buruh. Oengan demikian, pemerintah Indonesia telah meratifikasi seJuruh Konvensi Inti ILO.' Proses demokratisasi di tempat kerja ini tampaknya masih berjaJan tersendat-sendat. Kenyataan menunjukkan bahwa dewasa ini sedang terjadi poJemik mengenai penetapan ketentuan upah minimum yang ditetapkan oJeh pemerintah. Pengusaha melalui APINOO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) dengan gigih menolak melaksanakan ketentuan Upah Minimum Provinsi OK! Jakarta. ' Bahkan menggugat Gubernur OK! ke Pengadilan I
Lance Campa, "Labor Right and Labor Standards in International Trade". Law and .
Policy in International Business, 25 (Fa ll 1993, No.1): 181.
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. upah buruh Indonesia adalah terendah. Upah buruh tekstil di Singapura: US $ 3,lIjam, Malaysia: US $2/jam, Thailand: US $ 1,7/Jam, Vietnam: US $ O,35/jam, Indonesia: O,285/jam. Lihat: Harian KOMPAS, 5 November 2001, 4. 3 lumlah pemogokan di Indonesia sejak tahun 1995 sampai dengan April 2000 berjumlah
2
1.326 kali. melibatkan 715.352 buruh. Data ini diolah dari Laporan Tahunan temang Perkembangan Kasus Pemogokan yang dikeluarkan o leh Direktur Jenderal Bi nawa s
Departemen Tenaga Kerja RI dari tahun 1995 sid Apr il 2000. Konvensi Inti ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia adalah: Konvensi ILO No: 87, 98, 111 , 29 , 105 , 138, dan 182. , KOMPAS, 23 November 2001, 13.
4
April - Juni 2002
Panisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemirraan
181
Tata Usaha Negara . Maksud gugatan ini adalab agar Pengadilan Tata Usaba Negara membatalkan Keputusan Gubernur tentang Upah Minimum Propinsi' Sebaliknya buruh-buruh di sektor perkayuan di Pontianak menolak Surat Keputusan Gubernur No: 11 Tahun 2002 tentang Upah Minimum yang menetapkan Upab Minimum di Provinsi Kalimantan Barat sebesar Rp. 380.000,-/bulan. Surat Keputusan ini merubah Surat Keputusan Gubernur No: 40812001 yang telah menetapkan UMP sebesar Rp. 430.000,-/bulan. Protes serupa juga dilakukan buruh-buruh perkayuan di Samarinda yang menuntut agar upah minimum disesuaikan dengan kebutuhan hidup minimum yang telah ditetapkan oleh BPS Kalimantan Timur sebesar Rp. 633.625, -/bulan-' Polemik tentang ketentuan upah minimum tersebut memberikan indikasi bahwa hubungan perburuhan di Indonesia masih bersifat permusuhan (adversarial relation). Polemik ini terjadi setiap tahun bahkan pada tahun-tahun mendatang polemik tentang besarnya upah minimum ini akan muncul kembali ' Hal ini disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang terlalu besar mempersulit pemerintah sendiri dalam menetapkan ketentuan yang adil. Artikel ini bermaksud untuk memberikan ide tentang jalan keluar bagaimana hokum dapat berperan untuk mencegah terjadinya polemik antara buruh dan pengusaha tentang permasalahan yang krusial khususnya masalah upah. Untuk menganalisis permasalahan tersebut di atas , artikel ini mendasarkan pada asumsi bahwa "tidak ada buruh tanpa pengusaha, dan tidak ada pengusaha tanpa buruh ", karena antara buruh dan pengusaha terjalin hubungan ketergantungan (mutual symbiosis). Dengan demikian hubungan buruh dan pengusaha pada dasarnya adalah hubungan kerjasama, bukan hubungan konflik yang bersifat abadi. Melalui perundingan bersama, buruh dan pengusaha dapat saling memberikan konsesi yang pada gilirannya akan menjadi faktor pendorong hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha dapat tercipta dan berjalan KOMPAS, 14 Desember 2001, 14. KOMPAS, 29 lanuari 2002 , 20. g Pada tahun 1997, APINDO. APRESINDO. bahkan Menko PRODlS menolak keooikan upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah (Menaker) sebesar 10,57% untuk wilayah lABOTABEK. Liha! Harian Merdeka. 23 lanuari 1997, I. Penolakan APINDO terhadap 6 7
ketentuan upah minimum ini terjadi lagi pada tahun 2001, bahkan APINDO telah menggugat Gubernur DKl, Gubernur Jawa Barat ke Pengadilan Tala Usaha Negara agar membatalkan alau menunda pelaskanaan Sural Keputusan Gubernur ya ng menetapkan Upah Minimum. Lihat: Kompas, 23 November 2001, 13.
Nomar 2 Tahun XXXII
182
HukulII dan Pembangunnn
effektif9 Meskipun kedudukan sosial ekonomi buruh lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan kedudukan sos ial ekonomi pengusaha, dan dilihat dari segi hubungan hukumnya bersifat timpang, namun hubungan kerjasama buruh dan pengusaha merupakan dasar terjadinya hubungan kerja. It is not true, the parties to industry are in reality not enemies, but partners; they have a common interest, no one can get on without the others. /0 Oleh karena itu pemerintah tidak perlu banyak campur tangan dalam menentukan upah, kondisi kerja, serta syarat-syarat kerja lainnya. Peran pemerintah sebaiknya hanya terbatas mengembangkan hubungan kerjasama buruh dan pengusaha melalui ketentuan-ketentuan hokum yang dimaksuokan untuk itu.
Mengembangkan Partisipasi Buruh Melalui "Democracy at Work". Hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha ini secara factual dapat dilihat dalam bentuk partisipasi yang dilakukan oleh buruh (worker participation). Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk partisipasi buruh di tingkal perusahaan. Pertama, partisipasi buruh yang tercerl11in dalam keikutsertaan buruh dalam menentukan upah, sya rat-syarat kerja, dan kondisi kerja lainnya melalui perundingan kolektif secara dal11ai (peacefull collective bargaining). Kedua, partisipasi buruh yang tercermin dalam keikutsertaan buruh dalam menentukan kebijaksanaan perushaan yang bersifat menejerial melalui Dewan Kerja (Works Councif) atau Dewan Direktur (Board of Directors). Ketiga, partisipasi buruh yang tercermin dalam keikutsertaan buruh dalam kepemilikan sahal11 perusahaan melalui Program Kepemilikan Saham bagi buruh (Employee Srock Ownership Plan). Ketiga bentuk partisipasi buruh tersebut di atas merupakan fora atau media untuk l11eningkatkan hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha. Melalui kerjasama dalam menetapkan ketentuan-ketentuan tentang upah, syarat-syarat kerja serta kondisi kerja lainnya, yang dituangkan dalam perjanjian perburuhan, maka buruh dan pengusaha akan mendapatkan ketentuan yang paling obyektif. Sehigga dalam kondisi demikian ini kepastian hukum di tempat kerja dapat diciptakan, 9
Owen E. Hernstadt. " Why Some Union Hesitate to Participate in Labor-Management
Cooperation Programs", The Labor Lawyer 8 (W inter, 1992, No.1): 78-79. 10 John D. Rockefeller jr., "Cooperation in Industry", International Lahor Review 135 (1996, No. 3-4): 293.
April - Juni 2002
Parlisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemilraan
183
kegairahan kerja dapat ditingkatkan, dan hubungan kerjasama dapat meningkat pula. Selanjutnya melalui kerjasana buruh dan pengusaha dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan yang bersifat menejerial, buruh tidak dianggap sebagai factor ekstern perusahaan, melainkan sebagai faktor intern perusahaan. Hal Illl pada gilirannya akan dapat menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap perusahaan dimana mereka bekerja. Kebijaksanaan perusahaan yang bersifat menejerial disini antara lain mencakup rencana produksi , metode berproduksi, pembaharuan tehnologi, peningkatan efisiensi, dan lain-lain. II Akhirnya melalui program kepemilikan saham, buruh benar-benar merupakan faktor intern perusahaan, sehingga segala daya upaya akan dilakukan oleh buruh untuk meningkatkan kemajuan perusahaan agar pada gilirannya perusahaan dapat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Dengan kata lain rasa memiliki dan rasa tanggung jawab terhadap perusahaan dari kaum buruh akan semakin besar, karena mereka merupakan salah seorang pemilik perusahaan dimana mereka bekerja. Kerjasama buruh dan pengusaha dalam menetapkan upah, syaratsyarat kerja , dan kondisi kerja lainnya ini pada tataran internasional dijamin oleh berbagai instrumen hokum. Hal ini tercermin dalam beberapa Konvensi maupun Rekomendasi ILO yang mendorong hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha dalam menetapkan ketentuanketentuan hukum yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Perrama, Konvensi lLO No: 98 tentang Kebebasan Berserikat dan Berunding Bersma menjamin hak buruh untuk ikut serta menentukan upah dan syarat-syarat kerja atau kondisi kerja di perusahaan dimana mereka bekerja. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 Konvensi ILO No: 98. Kedua, Rekomendasi ILO No: 91 tentang Perjanjian Kolektif yang mengamanatkan kepada negara untuk menjamin hak buruh untuk berunding dan membantu para pihak dalam berunding, merevisi, atau memperbaharui perjanjian kolektif. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (1). Keriga, Rekomendasi ILO No : 94 tentang Konsultasi dan Kerjasama antara Pengusaha dan Buruh pada tingkat Perusahaan mengamanatkan kepada negara anggota ILO untuk mendorong terbentuknya hubungan kerjasama antara pengusaha dan buruh dalam membahas kepentingan II Leroy Merrifield, "Worker Participation in Comparative Labor Law 5 (Willler, 1982, No.1): 20.
Nomor 2 Tahun XXXII
Decisions
Within
Undertakings".
Hukum dan Pembangunan
184
bersama di luar materi perjanjian perburuhan. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 Rekomendasi ILO No : 94. Keempat, Rekomendasi [LO No: 129 tentang Komunikasi antara Menejemen dan Buruh dalam suatu Perusahaan mengamanatkan kepada negara anggota [LO untuk menjamin berjalannya komunikasi antara buruh dan menejemen di tingkat perusahaan. Hal ini tercermin dalam Pasal 3 Rekomendasi [LO No : 129. Kelima, Konvensi [LO No : 113 tentang Konsultasi dan Kerjasama antara Pengusaha, Organisasi Buruh, dan Organisasi Pengusaha pada Tingkat [ndustri dan Tingkat Nasional, mengamanatkan kepada negara anggota ILO agar meng,embangkan dialog sosial (social dialogue) antar para pelaku produksi yaitu buruh, pengusaha, dan penguasa. Hal ini tercermin dalam Pasal I ayat (I) Konvensi ILO No : 113. Dari kelima Konvensi dan Rekomendasi [LO tersebut di atas, mitranisasi hubungan kerjasama antara para pelaku dalam proses produksi dapat bersifat bipartite jika hubungan kerjasama tersebut hanya melibatkan buruh dan pengusha sendiri, atau bersifat tripartite j ika hubungan kerjasama buruh dan pengusaha tersebut melibatkan pemerintah. Secara historis embrio dari mitranisasi melalui dialog sosial yang bersifat tripartite ini telah berkembang di Perancis sejak tahun 1848, yaitu pada saat terbentuknya Luxembourg Commission yang melibatkan wakil buruh dan pengusha dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan masalah perburuhan.12 Selanjutnya sesudah Perang Dunia-[ maupun akibat Depresi Dunia Tahun 1930, di negara-negara Eropa timbul kesadaran baru tentang pentingnya kerjasama antar para pelaku proses produksi dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi dan sosial. Demikian pula pad a saat krisis perburuhan melanda Eropa tahun 1980-an, para pelaku dalam proses produksi kembali menyadari pentingnya kerjasama antar mereka. 13 Para pelaku dalam proses produksi di negara-negara Eropa berupaya untuk mengadakan konsensus di antara mereka. Konsensus tersebut selanjutnya dijadikan landasan hubungan kerja-sama dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang perburuhan. Pada tahun 1982 di Belanda tercapai konsensus untuk melakukan kerjasama antar para pelaku dalam proses produksi yang dituangkan dalam
12
Anne Trebilock, et. AI., Towards Social Dialogue: Tripartite Cooperation in. National
Economic and Social 13
P(}liLY~M(1kinK(Geneve:
International Labour Organization, 1994). 10.
Ibid., 11.
April - funi 2002
Parlisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemitraan
185
Wassenaar Agreement. Demikian pula di Denmark pad a tahun 1987 tercapai konsensus untuk kerjasama di antara para pelaku dalam proses produksi yang dituangkan dalam Program for National Recovery. 14 Usaha untuk bekerjasama antara para pelaku dalam proses produksi tersebut di atas juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 1974, Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) mewakili buruh, Permusyawaratan U rusan SosiaI Pengusaha Indonesia/Kamar Dagang dan Industri (PUSPIIKADIN) yang mewakili pengusaha, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mewakili pemerintah, telah mengadakan konsensus nasional yang tertuang dalam Hubungan Perburuhan Pancasila. Hubungan Perburuhan tersebut mendasarkan pada prinsip kemitraan yaitu mitra daIam produksi, mitra dalam tanggung jawab, dan mitra dalam keuntungan. Dalam prakteknya, pola hubungan perburuhan mi hanya menekankan pada kewajiban kaum buruh untuk bersikap sebagai rriitra pengusaha dalam produksi dan tanggung jawab, sedangkan pengusaha tidak diwajibkan untuk memperlakukan buruh sebagai mitra dalam keuntungan. Selanjutnya untuk menciptakan kepastian berusaha dan menarik modal asing, pemerintah tetap mempertahankan berbagai peraturan perundang-undangan yang tujuannya untuk mencegah atau melarang penggunaan hak mogok. Misalnya Undang-Undang No: 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang mempersulit atau secara eksplisit melarang penggunaan mogok , tetap dipertahankan. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang mempunyai fungsi pendorong terciptanya hubungan kemitraan justru tidak diberlakukan. meskipun belum dicabut. Sebagai contoh adalah UndangUndang No: 45 PRP Tahun 1960 tentang Dewan Perusahaan beserta peraturan pe1aksanaannya. Selanjutnya hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi maupun Rekomendasi ILO tersebut. telah dilaksanakan di berbagai negara sebagaimana akan diuraikan di bawah ini. Di Jepang, hubungan kerjasama antara buruh dan pengusaha telah dirintis sejak tahun 1920. Misalnya melalui joint cosultation atau melalui peacejull collective bargaining. Meskipun pembentukan joint consultation ini dilaksanakan oleh pengusaha dan serikat buruh, namun ide ini awal 14
Peter Auer, "Europe's Employment Revival: four small European countries compared".
lLO Symposium: SociaL DialoKue and Employment Success (Geneve, 2-3 March , 1999): 39.
Nomor 2 Tahun XXXII
186
Hukum dan Pembangunall
mulanya berasal dari pemerintah. Oleh pemerintah ide ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pemogokan.15 Setelah Perang Dunia ke-II, lembaga in! oleh pengurus serikat buruh di tingkat perusahaan dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan hubungan kerjasama yang demokratis. 'h Selanjutnya pada dewasa ini joint consultation mempunyai fungsi utama untuk menjamin kelangsungan pekerjaan (job security) dan meningkatkan stabilitas usaha. Fungsi lain dari lembaga ini adalah pertukaran infonnasi, serta meningkatkan komunikasi selama perundingan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah syarat-syarat kerja maupun hal-hal yang bersifat menejerial lainnya. 17 Sebagian besar perjanjian perburuhan lingkat perusahaan di Jepang mencanlull1kan landasan yuridis joint consultation. /8 Dengan demikian lembaga ini juga berfungsi mendoroHg lerciplanya hubungan saling pengerlian amar para pihak, sehingga hubungan perburuhan harmonis yang dinall1is dapal diciplakan. Melalui perundingan perjanjian perburuhan, serikat buruh yang mewakili kaum buruh anggola diikutsertakan dalam menentukan ketentuan-ketenruan baik yang berkaitan dengan syaral-syarat kerja. maupun ketenluan-ketentuan di luar syarat-syarat kerja. Benluk partisipasi buruh di Jepang melalui lembaga ini. dapat berkembang tanpa ada hambatan yang berarti. Hal ini disebabkan joillt consultation di Jepang berjalan berdampingan dengan hak berunding kolektif yang menjadi hak serikat buruh. Bahkan lembaga ini menjadi sarana memperlancar proses perundingan pembuatan atau pembaharuan perjanjian perburuhan. Hal-hal yang tidak dapat disepakati dalam joilll consultation, dilanjutkan melalui perundingan kolektif termasuk dimungkinkannya penggunaan industrial action (mogokllock-out). '" Di samping itu pengaruh tradisi dan budaya bangsa Jepang yang menekankan pada konsensus dan hubungan harmon is di temp at kerja , telah ll1endukung perkembangan lembaga ini di Jepang 20 Hal ini didasarkan pada filosofi
:5 Mashiro Ken Kuwahara. "Worker Participation in Decisions within Undertakings in
Japan". Comparative Lahor Law 5 (W inter , 1982, No.1): 55. " Ibid, 57. 17 Ibid" 64. lR Josl!ph Krislov, "How tlO\!S Ihe Japanese Industria l Relations System Differ?". Lahor Law journal 40 (June 1989. No.6): 344. 19
20
Kuwahara, "Umlertakings in Japan'!". 52. Ihid. , 20.
April - Juni 2002
Partisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemitraan
187
Jepang yang diterapkan di perusahaan yaitu: "Kaizen ", "lidoka ", dan IIWa".2J
Di Inggris, joint consultation yang berkaitan dengan masalah upah, syarat-syarat kerja, kondisi kerja, kesehatan kerja dan keselamatan kerja, masih tetap berkembang. Pasang surutnya perkembangan lembaga ini di Inggris dipengaruhi oleh partai yang berkuasa. Dukungan politik terhadap lembaga ini semakin besar pada saat Partai Buruh berkuasa, dan akan menurun pada saat Partai Konservatif berkuasa. Hal ini terjadi karena menurut tradisi, intervensi pemerintah melalui peraturan perundang-undangan sangat kecil, sehingga keberadaan lembaga ini didasarkan pada hasil perundingan antara serikat buruh dengan pihak pengusaha, bukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa. 22 Di Amerika Serikat, partisipasi buruh dalam menentukan upah , jam kerja, kondisi kerja, dan syarat-syarat kerja lainnya dilaksanakan melalui proses perundingan kolektif antara serikat buruh dengan pihak pengusaha. Upaya untuk membentuk labor management committee yang disponsori oleh FMCS, AFL-CIO, dan US Chambers of Commerce pada tahun 1981 hanya berhasil sementara saja. Ketidak berhasilan mereka dalam membentuk lembaga ini disebabkan oleh sikap skeptis baik dari pihak serikat buruh maupun dari pihak pengusaha. Oleh karena itu, di Amerika Serikat, Collective Bargaining merupakan bentuk partisipasi buruh yang utama. Hal ini didukung oleh keberadaan serikat buruh yang memiliki pengaruh yang besar dalam penentuan upah, jam kerja, syaratsyarat kerja dan kondisi kerja melalui proses perundingan antara serikat buruh dan pengusaha 21 Dengan demikian , pelaksarfaan partisipasi buruh di Amerika Serikat tergantung pada apakah kebijaksanaan perusahaan yang akan diputuskan dengan melibatkan buruh atau serikat buruh tersebut masuk dalam kategori permasalahan yang harus dirundingkan atau bukan , didasarkan pada kesepakatan atau atas tekanan dari serikat buruh. " Dalam perkembangannya di Amerika Serikat terdapat perusahaan yang mulai merubah karakteristik hubungan buruh dan pengusaha yang 21 R. Lee Creasman. Jr. . tea l. , "Will the Ame ricans With Disabilities Act Disable Employers'! ". Labor Law jourIlol42 (January 1991. No.1): 58-59. 22 Ronald M. Sharp, "Codelermination: A Postmortem". Labor LaIV JournaL 40 (June 1989, No.6): 324. 23 Kuwahara , "Undertakings in Japan?", 4. 24 Roy 1. Adams. IndustriaL Relation Under LiberaL Democracy: North American in Comoparative Perwective (South Caroline: University of South Caroline Press, 1995), 140.
Nomor 2 Tahun XXXII
188
Hukum dan Pembangunan
awal mulanya bersifat permusuhan menjadi hubungan kerjasama (kemitraan). Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Perburuhan mendorong tercapainya Labor Management Cooperation, dengan dasar pertimbangan bahwa lembaga kerjasama ini akan meningkatkan daya saing perusahaan Amerika Serikat, menimbulkan pengaruh yang menguntungkan terutama bagi kepuasan kerja buruh dan meningkatkan produktivitas kerja kaum buruh.25 Sebagai contoh disini misalnya pada tanggal 23 luti 1985 telah tercapai kesepakatan yang revolusioner antara Wakil General Motors dengan Serikat Buruh Automotif Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah Saturn Agreement. Tercapainya kesepakatan kerjasama IIll didasarkan pada persam'lan kepentingan antara pengusaha dan buruh yaitu untuk meningkatkan daya saing hasil produksinya dengan mobil~mobil impor. Atas dasar perjanjian ini, General Motors dan UA W setuju untuk menggantikan atau mengubah hubungan permusuhan dengan hubungan kerjasama (kemitraan). '6 Melalui Saturn Agreement ini , serikat buruh diikutsertakan dalam perencanaan pengembangan perrusahaan. Misalnya setiap penerimaan pegawai baru harus dikonsultasikan dan diketahui oleh serikat buruh. Setiap buruh diberi kesempatan untuk memberikan kontribusi dalam memperbaiki kinerja suatu unit atau bagian agar lebih efisien. Tidak ada putusan yang dibuat tanpa persetujuan dari para buruh. Bahkan buruh diberi akses sepenuhnya untuk mengetahui data keuangan dan informasi melalui komputer. 27 Demikian pula di Irlandia, meskipun pemerintah sangat mendorong partisipasi buruh pada tingkat perusahaan , namun bentuk partisipasi buruh yang berkembang adalah partisipasi melalui proses perundingan. Sejalan dengan perkembangan bentuk partisipasi buruh di Canada juga masih terbatas pada bentuk perundingan kolektif, karena kemungkinannya sangat kecil bagi pengusaha maupun serikat buruh di Canada menerima lembaga co~determination yang berasal dari 1erman tersebut. 28 Joy K Reynolds, "A Perspective on the Electromation Case From the US Department of Labor", Lahor Law journal 37 (June 1992 , No.2): 397. 26 Scot Kafker, "Exploring Saturn: An Examination of Philosophy of Total Labor Management Cooperation and Limitation Presented by the NLRA ", The Lahor Lawyer 5 (Fall 1989, No.4): 703-704. 27 Ibid., 712. 28 Kuwahara. "'Undertakings in Japan'!". 7. 25
April - fun; 2002
Parlisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemilraan
189
Di Jerman, partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan ini sudah ada sejak tahun 1848 yang diatur dalam Industrial Code. Kelahiran undang-undang yang mengatur partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan ini diusulkan oleh kelompok Konservatif di Parlemen. Selanjutnya Industrial Code ini disempurnakan melalui Amandement Industrial Code Tahun 1891. Perkembangan nyata dalam mencapai bentuknya sebagai Dewan Perrusabaan sebagaimana dikenal pada saat ini terjadi sejak diundangkannya Works Council Act Tahun 1920.29 Selanjutnya di Swedia selama tahun 1970-an, partisipasi buruh dalam menentukan kenijaksanaan perusahaan yang sudah diperkenalkan sejak tahun 1946, menjadi bahan perdebatan publik. Di Swedia terdapat 3 bentuk partisipasi buruh dalam penetapan kebijaksanaan atau keputusan perusahaan, yaitu partisipasi buruh tingkat tempat kerja, partisipasi buruh tingkat perusahaan, dan partisipasi buruh di bidang keuangan 30 Melalui partisipasi tingkat perusahaan dan partisipasi buruh di bidang keuangan, para buruh melalui wakilnya mempunyai hak suara yang sarna dengan pemilik saham lainnya JJ Selanjutnya melalui lembaga ini para buruh Swedia diikutsertakan dalam membicarakan masalah perburuhan yang krusial terutama masalah upah, kondisi kerja, dan syarat-syarat kerja yang erat kaitannya dengan peningkatan kualitas hidup dan produktivitas kerja. Hal ini diatur dalam Act on Co-determination at Work 1977.32 Di Belanda, berdasarkan Undang-Undang Dewan Perrusahan Tahun 1950, buruh mempunyai hak untuk duduk sebagai perwakilan buruh dalam Dewan Perusahaan -" Di Spanyol, Pilftisipasi buruh dijamin sejak tahun 1980 melalui Company Committees in Workplace'" Di Italia, hak partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan tercantum dalam Konstitusi Tahun 1948. 35 Demikian pula di Argentina, 29 Rheinhard Richardi, "Worker Participationln Decision Within Ullderrtakillgs in The Federal Republic of Germany ", Comparative Labor Law 5 (Winter 1982. No.1 ): 28. 30 The Swedish Institute , "LhoUl" Relatioll in Sweden" , Fact Sheet 0/1 Sweden (January , 2(01 ): 3. David H. Broody , et.al., "Alternative to the United States System of Labor Relations: A Comparative Ana lysis of the Labor Relations System in the Federal RepUblic of Germany. Japan, and Sweden". Vanderbilt Law Review 41 (Winter 1988, No.3): 264. 32 The Swedish Institute, "in Sweden", 3. 33 HL. Bakels, ArbeidsrechtelUke geschriften 1962-1977 (Kluwer-Deventer, 1977) , 419. 34 HL. Bakels, Nederlandsarheidsrecht (Kluwer-Deventer 1987), 244-245 . .l'i Sharp, " A Postmortem". 325. 31
Nomor 2 Tahun XXXII
190
Hukum dall Pembangunan
hak partisipasi buruh ini juga tercantum dalam Konstitusi. Di Israel, pelaksanaan partisipasi buruh tercennin dalam Joint Management yang terdiri dari 7 menejer dimana 3 orang menejer dipilih oleh pengusaha, 2 orang menejer dipilih dari buruh krah putih, 2 orang menejer lainnya dipilih dari buruh krah biru. Di tingkat Dewan Direktur, 113 anggora Dewan Direktur berasal dari buruh yang dipilih oleh Serikat Buruh Tingkar Nasional. Di India, partlslpasi buruh dalam penetapan kebijaksanaan perusahaan tercermin dalam Joint Management CounciI 3 ', o Indonesia, landasan yuridis partisipasi buruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan sudah ada sejak tahun 1960. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No 45 PRP Tahun 1960 tentang Dewan Perusahaan beserta peraturan pelaksanaannya. Meskipun demikian peraturan perundangan yang mengatur Dewan Perusahaan ini tidak pernah effektif. Karena itu. bentuk partisipasi buruh di Ind'onesia masih belum berjalan sebagaimana mestinya termasuk partisipasi melalui perundingan kolektif. Hal ini disebabkan isi perjanjian perburuhan di Indonesia pada umumnya berisikan ketentuanketentuan yang sarna dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah. Keadaan demikian ini terjadi karena campur tangan pemerintah melalui berbagai ketentuan perburuhan sangat besar. yang pada gilirannya melemahkan perjuanganigerakan serikat buruh di Indonesia. Di lain pihak banyaknya peraturan perundang-undangan perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah, tidak menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan partisipasi buruh dalam l11enentukan kebijaksanaan perusahaan baik yang l11enyangkut syarar-syarar kerja l11aupun hal-hal yang bersifat menejerial. Partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan di Indonesia perlu digalakkan, jika kita berniat unluk mempercepat proses pemulihan ekonomi. Hal ini juga dilakukan oleh berbagai negara pad a saar mereka berusaha l11el11ulihkan ekonominya dari resesi ekonol11i yang pernah mereka alami sebagail11ana telah diuraikan di atas.
Kepemilikan Saham melalui Employee Stock Ownerships Plan Selain l11elalui institusi Co-determination yang l11emberikan kesempatan kepada buruh untuk berpartisipasi dalal11 penentuan
36
Merrifield, "Within Underrtakings", 19.
April - luni 2002
Partisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemitraan
191
kebijaksanaan perusahaan sebagaimana telah diuraikan di atas, mitranisasi hubungan buruh dan pengusaha juga dapat dilaksanakan melalui program kepemilikan sebagian saham oleh kaum buruh. Kepemilikan saham perusahaan oleh kaum buruh ini akan menumbuhkan rasa memiliki kaum buruh terhadap perusahaan dan rasa tanggung jawab terhadap jalannya perusahaan. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas kerja yang serta meningkatkan kemajuan perusahaan. Dengan kata lain tujuan akhir dari program kepemilikan saham ini bukan semata-mata memiliki saham perusahaan, melainkan untuk melibatkan buruh dalam proses pengawasan terhadap jalannya perusahaan. 37 Di Amerika Serikat, realisasi prinsip kemitraan dalam keuntungan ini tercermin dalam ESOPs. Melalui program kepemilikan saham ini , buruh-buruh di Amerika Serikat dapat memiliki saham biasa atau saham istimewa perusahaan dimana mereka bekerja. Dalam perkembangannya sejak tahuo 1975 dari 200 perusahaan telah bertambah menjadi 10.000 perusahaan. ESOPs tersebut telah mengikutsertakan 10 juta buruh dengan kepemilikan saham rata-rata berkisar antara 15 % sampai dengan 35 % saham perusahaan pada tahun 1994. Sebagai contoh disini dapat dikemukakan buruh-buruh Chrysler memiliki 15 % saham perusahaan, kemudian 32 % saham Western berada di tangan buruh. Demikian pula 50% saham Rath berada di tangan buruhnya , bahkan buruh-buruh Weirton Steel saat ini adalah pemilik seluruh saham perusahaan. 38 Program kepemilikan saham di Amerika Serikat ini telah meningkatkan efisiensi perusahaan. Misalnya dalam jan,gka waktu satu tahun pelaksanaan program kepemilikan saham ini telah meningkatkan produktivitas buruh rata-rata 5 %. Di lain pihak, program ini juga telah menyelamatkan perusahaan Rath dari kesulitan keuangan perusahaan. 39 Di Indonesia, meskipun landasan yuridis bagi buruh untuk memiliki saham sudah ada , yaitu Undang-Undang No. I Talmn 1995 tentang Peseroan Terbatas, namun buruh tidak akan pernah memiliki saham perusahaan, sepanjang Anggaran Dasar perusahaan tersebut tidak membuka kesempatan bagi buruh untuk membeli saham perusahaan. Hal ini tercermin dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No.1 Talmn 1995.
37 Julie Lynn Kaufman, "Democratic ESOPs: Can Workers Control Their Future'!", The Labor Lawyer 5 (Fall 1989. No.4): I. )8 Arthur A. Sloane & Fred Witney, Labor Relations (New Jerrsey: Prentice Hall,
1994),447. Ibid .. 448.
39
Nomor 2 Tahun XXXII
192
Hukum dan Pembangunan
Selanjutnya buruh tetap tidak akan pernah dapat memiliki saham perusahaan, meskipun Anggaran Dasar Perusahaan tersebut memberikan hak kepada buruh untuk memiliki saham, sepanjang peraturan pelaksanaan Pasal 36 dan Pasal 51 ini belum ditetapkan oleh pemerintah. Karena itu penetapan peraturan pelaksanaan kedua pasal tersebut merupakan langkah konkrit pemerintah untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi hubungan kemitraan buruh dan pengusaha melalui kepemilikan saham perusahaan.
Kesimpulan Berangkat dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : Pertama, hubungan kemitraan antara buruh dan pengusaha yang didasarkan .pada hubungan perburuhan yang mengedepankan partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan baik yang terkait dengan masalah syarat-syarat kerja/kondisi kerja maupun masalah-masalah yang bersifat menejerial , hanya akan terjadi jika buruh ditel11patkan pada posisi sentral. Hubungan kerjasama ini pad a gilirannya akan l11endorong terciptanya situasi yang kondusif bagi penyelesaian secara damai terhadap l11asalah perburuhan yang krusial khususnya masalah upah. Untuk itu perlu adanya kel11auan para pihak untuk l11erubah pola hubungan perburuhan konflik ke pola hubungan perburuhan kolaboratif. Kedua, l11enel11patkan buruh pada posisl marginal berarti memperuncing benih konflik yang melekat pada hubungan buruh dan pengusaha yang l11emiliki kecenderungan terjadinya kontlik. Hal ini membawa konsekwensi terhadap penyelesaian persoalan-persoalan yang krusial khususnya l11asalah upah dan kesejahteraan lainnya sulit didekati melalui cara-cara damai. Dalal11 kondisi demikian ini , peran pemerintah menempati posisi penting dalal11 upaya l11enciptakan situasi yang kondusif bagi hubungan kerjasama buruh dan pengusaha. Ketiga, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan atas kemajuan ekonol11i nasional serta peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya kaum buruh, seyogyanya bersikap pro-aktif dalal11 mencegah til11bulnya perselisihan perburuhan khusunya yang berkaitan dengan masalah upah yang diikuti suatu tindakan pemogokan. Tindakan pro-aktif ini dapat dilakukan melalui tim task force.
April - Jun; 2002
Panisipasi Buruh Dalam Hubungan Kemitraan
193
Keempat, Untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi .hubungan kemitraan buruh dan pengusaha, pemerintah seharusnya menetapkan peraturan perundang-undangan yang mendorong terbentuknya fora kerjasama buruh dan pengusaha. Sehingga dengan demikian mereka secara bersama-sama dapat menentukan upah , syarat-syarat kerja, dan kondisi kerja lainnya, termasuk hal-hal yang bersifat menejerial melalui forum kerjasama tersebut. Hal ini penting untuk mendorong terciptanya demokratisasi di tempat kerja, agar partisipasi buruh dalam menentukan kebijaksanaan perusahaan dapat berkembang. Dengan demikian pemerintah tidak perlu terlalu banyak campur tangan dalam menentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum perburuhan material.
Daftar Pustaka Adams , Roy. 1995. Industrial Relations Under Liberal Democracy: North America in Comparative Perspective, Columbia, South Carolina: University of South Carolina Press. Auer, Peter. 1999. Europe's Employment Revival: four small European Countries compared. Geneve: ILO Symposium: Social Dialogue and Employment Success. Bakels, H.L. 1987. Schets van Nederlands Arbeidsrecht. KluwerDeventer. Brody , David H, eLal. 1988 Alternative to the United States System in the Federal Republic of Germany, Japan, and Sweden. Vanderbilt Law Review 41 (Winter) , No.3: 362-376. Compa, Lance. 1993. Labor Standard in Internatioanl Trade. Law and Policy in International Business 25 (Fall) , No.1: 165-191. Kafker , Scott. 1989. Exploring Saturn: An Examination of the Phi Ii sophy of "Total" Labor Management Cooperation and Limitations Presented by NLRA. The Labor Lawyer 5 (Fall), No.4: 1-48. Krislov, Joseph. 1989. How does the Japanese Industrial Relations System Differ? Labor Law Journal 40 (June), No.6: 324-367. Kuwahara Mashiro Ken. 1982. Worker Participation in Decisions Within Undertakings in Japan. Comparative Labor Law 5 (Winter) , NO.1: 43-78.
Nomor 2 Tahun XXXII
194
Hukum dan Pelllbangunan
Merrifield, Leroy. 1982. Worker Participation in Decisions Within Undertakings in Japan. Comparative Labor Law 5 (Winter), No.1: 107-116. Reynolds, Joy K. 1992. A Perspective on the Electromation Case From the US Department of Labor. Labor Law Journal 37 (June), No.2: 397-402. Richardi, Rheinhard. 1982. Worker Participation in Decision Within Undertakings in The Federal Republic of Germany. Comparative Labor Law 5 (Winter) NO.1: 23-50. Rockefeller, John D, jr. 1996. Cooperation in Industry. The International Labor Review 135, No. 3-4: 291-314. Sharp, Ronald M. 1989. Codetermination: A Postmortem. Labor Law Journal 42 ( August), NO.6: 323-337. Trebilock, Anne, et.al. 1994. Towards Social Dialogue: Triparrile Cooperation in National Economic and Social Policy-Making. Geneve: International Labour Organization.
April - Juni 2002