PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN Aspergillus parasiticus DAN REDUKSI AFLATOKSIN OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE
DYAH SISTA RAHARJANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
tesis
yang
berjudul
:
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN Aspergillus parasiticus DAN REDUKSI AFLATOKSIN OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2006
Dyah Sista Raharjanti F. 225010171
ABSTRAK DYAH SISTA RAHARJANTI. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape. Dibimbing oleh RATIH DEWANTI-HARIYADI, C.C. NURWITRI dan ENI KUSUMANINGTYAS. Kontaminasi aflatoksin di Indonesia tergolong cukup tinggi dan sulit dihindari mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat menunjang pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin. Berbagai teknik pengendalian aflatoksin telah banyak dilakukan meliputi pengendalian secara fisik, kimiawi dan biologis, namun pengendalian secara fisik dan kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap komposisi zat gizi bahan pangan dan akan meninggalkan residu yang mungkin berbahaya bagi kesehatan. Oleh sebab itu, diupayakan teknik pengendalian secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme untuk mengendalikan pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan mencegah biosintesis aflatoksin. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendapatkan isolat kapang dan khamir dari ragi tape yang berpotensi untuk mereduksi aflatoksin dan (2) Mengevaluasi kemampuan isolat kapang dan khamir dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus, menghambat biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin. Metode penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang meliputi isolasi dan identifikasi kapang dan khamir serta uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi kandungan aflatoksin. Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunaka n dalam penelitian utama yang meliputi uji kemampuan isolat kapang/khamir terpilih dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus, biosintesis aflatoksin dan mendegradasi aflatoksin. Hasil penelitian menunjukkan seluruh sampel ragi tape memiliki keragaman mikroorganisme yang cukup tinggi, di mana Chlamydomucor oryzae dan Mucor rouxii merupakan kapang yang sering dijumpai sedangkan khamir yang sering ditemukan adalah Saccharomycopsis sp. Dari semua isolat kapang/khamir yang teridentifikasi memiliki kemampuan yang bervaria si dalam mereduksi aflatoksin. M. rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp. asal Ragi NKL yakni sebesar 98,1%. Isolat kapang dan khamir yang digunakan dalam penelitian utama adalah M. rouxii dan Saccharomyces sp. Kedua mikroorganisme mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus, namun aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. lebih tinggi dibandingkan M. rouxii. Baik filtrat M. rouxii maupun Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Namun filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi dengan MEB (1:1) ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Kapang M. rouxii mampu mendegradasi aflatoksin lebih baik dibandingkan khamir Saccharomyces sp. yakni sebesar 76,9 % AFB1; 83,3 % AFB2 ; 77,8 % AFG1; dan 81,8% AFG2, sedangkan Saccharomyces sp. sebesar 36,4 % AFB1; 55,6 % AFB2 ; 37,8% AFG1 ; dan 46,7% AFG2.
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN Aspergillus parasiticus DAN REDUKSI AFLATOKSIN OLEH KAPANG DAN KHAMIR RAGI TAPE
DYAH SISTA RAHARJANTI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NIM
: Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan Reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape : Dyah Sista Raharjanti : F. 225010171
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Ketua
Ir. C. C. Nurwitri, DAA Anggota
Eni Kusumaningtyas, S.Si, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie,MS
Tanggal Ujian : 29 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,M.Sc
Tanggal Lulus :
PRAKATA Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah, SWT karena berkat rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul : ”Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan Reduksi Aflatoksin oleh Kapang dan Khamir Ragi Tape” .sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Ir. C.C. Nurwitri, DAA dan Ibu Eni Kusumaningtyas, S.Si, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing serta Ibu Dra. Istiana, Ms. (Alm.) yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran selama penelitian hingga penyusunan tesis ini, serta Ibu Dr. Ir. Yulin Lesta ri selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih pula kepada Kepala Balai Penelitian Veteriner, Bogor dan Kelti Laboratorium Toksikologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di Lab. Mikologi dan Toksikologi, staf peneliti (mbak Dra. Romsyah Maryam, M.Sc, Bapak Drh. Djaenuddin Gholib dan Ibu Dr. R. Widiastuti, B.Sc) dan staf teknisi (Pak Wawan, Bu Ning, Bu Lilis, Pak Usman, Pak Agus, Bu Juariah dan Pak Rahmat) yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman seperjuangan di Lab, mbak Ekawati Purwijantiningsih, ibu Asriani, mbak Rifda, mbak Yusfi, Tri ; serta teman-teman IPN khususnya Pak Gino, Eve, Nanik dan mbak Ani atas bantuan dan kerja samanya; mbak Ariyanti FM atas bantuannya selama di lab. mikro SEAFAST khususnya pengambilan foto mikroskop. Doa dan ungkapan terima kasih yang tiada terhingga penulis sampaikan untuk kedua orang tua Bapak H. Tanto Rahardjo (Alm) ( Pah .... akhirnya mba Ita selesai juga ) dan Ibu Hj. Dyah Siswana Setiawati, Eyang Hj. Marwati Oemar Said serta adik-adikku Nina dan Dito. Kepada suamiku Wiedyanto Andri Kusumo, S.Pi, terima kasih atas segala doa, dukungan, dan pengertiaanya serta ananda Nadhira Widyaniswari atas segala keceriaannya yang selalu menghibur penulis, semoga menjadi anak yang sholehah. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bogor, Januari 2006 Dyah Sista Raharjanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1977 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari orang tua Bapak H. Tanto Rahardjo, SH (Alm) dan Ibu Hj. Dyah Siswana Setiawati. Penulis menikah dengan Wiedyanto Andri Kusumo, S.Pi pada tanggal 18 Februari 2003 dan telah dikaruniai seorang putri bernama Nadhira Widyaniswari. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN XI Padang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SMPN 29 Jakarta dan SMU 70 Jakarta. Penulis menempuh pendidikan S1 di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dan lulus tahun 2000.
Pada tahun 2000,
penulis pernah bekerja sebagai Staf Quality Control di
PT. PUREFOODS
Suba Indah dan tahun
2001
penulis
diterima
Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pangan, IPB.
sebagai
mahasiswa
di
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah .......................................................................... Tujuan Penelitian .............................................................................. Hipotesis ........................................................................................... Manfaat Penelitian ............................................................................
Halaman ix x xi 1 5 5 5 5
TINJAUAN PUSTAKA Aspergillus parasiticus dan Aflatoksin ............................................ Dampak Aflatoksin terhadap Kesehatan .......................................... Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Pertanian dan Pakan Ternak .................................................................................... Teknik Pengendalian Aflatoksin ...................................................... Ragi Tape .........................................................................................
10 13 16
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... Bahan dan Alat ................................................................................. Metode Penelitian .............................................................................
19 19 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Kapang dan Khamir Ragi Tape .................. Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin ................................................... Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus ............................................................. Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin ...................................................................... Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin ....................................... Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam Mendegradasi Aflatoksin .................................................................
6 9
31 36 38
43
47 52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ........................................................................................... Saran .................................................................................................
56 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... LAMPIRAN ..............................................................................................
58 67
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada bahan pangan di berbagai negara ........................................................ 2. Bahan-bahan tambahan pada ragi ....................................................... 3. Mikroba dalam ragi tape di Indonesia ................................................. 4. Hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir ragi tape ................. 5. Karakteristik isolat kapang ragi tape ................................................... 6. Karakteristik isolat khamir ragi tape ................................................... 7. Peranan mikroorganisme dalam ragi tape ........................................... 8. Reduksi aflatoksin oleh isolat kapang dan khamir ragi tape ...............
11 16 17 31 32 34 36 37
x
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Halaman Foto mikrograf A. parasiticus .......................................................... 7 Rumus kimia struktur aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 ...................... 8 Ragi Tape ......................................................................................... 20 Diagram alir tahap penelitian ........................................................... 22 Foto mikrograf isolat kapang ........................................................... 32 Foto mikrograf isolat khamir ............................................................ 33 Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii ............. 39 Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh Saccharomyces sp. .......................................................................... 40 Pengaruh M. rouxii dan Saccharomyces sp terhadap morfologi A. parasiticus setelah inkubasi bersama selama 9 hari .................... 41 Interaksi Langsung Saccharomyces sp. dengan A. paras iticus ........ 43 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia ................. 44 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia .......................................................................... 44 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus .............................. 45 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus ............... 46 Pengaruh filtrat M. rouxii yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus ................................................. 47 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus ................................................ 48 Pengaruh filtrat M. rouxii yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 ............. 49 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 ............. 50 Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii ........................................................................................... 52 Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh Saccharomyces sp. ........................................................................... 53
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Formulasi media pertumbuhan kapang ............................................ Komposisi medium fermentasi dan asimilasi khamir ...................... Kunci untuk penentuan Genus dari Ordo Mucorales ....................... Kunci untuk penentuan spesies dari Genus Mucor, golongan Racemus ........................................................................... Kunci untuk penentuan spesies dari Genus Rhizopus ...................... Kunci untuk penentuan spesies dari grup Aspergillus ..................... Hasil uji identifikasi khamir yang berasal dari ragi tempe ............... Hasil Kemampuan Isolat Kapang/Khamir dalam Mereduksi Aflatoksin ....................................................................... Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Mucor rouxii ..................................................................................... Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Saccharomyces sp. ........................................................................... Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap pertumbuhan A. parasiticus .................................................................................... Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap pertumbuhan A. parasiticus .................................................................................... Pengaruh filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus............................................................. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus.............................................................. Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ........ Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii ....................................................................... Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ........ Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) ......................................................... Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ........ Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. ........................................................ Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB ........ Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) ......................................... Nilai pH dari medium yang ditumbuhi A. parasiticus .................... Nilai pH dari medium hasil degradasi aflatoksin ............................. Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus .................................................................................... Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii ................................................. Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus .................................................................................... Degradasi aflatoksin oleh Saccharomyces sp. ..................................
Halaman 67 67 68 69 69 70 72 73 75 75 76 76 77 77 78 78 79 79 80 80 81 81 82 82 83 83 84 84
PENDAHULUAN Latar Belakang Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang sering mengkontaminasi produk pangan maupun pakan. Sampai saat ini masalah kontaminasi aflatoksin masih menjadi perhatian dunia karena dampaknya tidak hanya kepada kesehatan manusia atau hewan, akan tetapi dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Kontaminasi aflatoksin di Indonesia te rgolong cukup tinggi dan sulit dihindari mengingat iklim tropis di Indonesia dengan tingkat kelembaban, curah hujan
dan
suhu
yang
tinggi
sangat
menunjang
perkembangbiakan kapang penghasil aflatoksin.
pertumbuhan
dan
Beberapa komoditi pertanian
seperti beras, jagung, kacang tanah dan kacang kedelai dilaporkan telah terkontaminasi aflatoksin.
Hasil penelitian Dharmaputra et al. (1991)
menunjukkan bahwa sekitar 80% dari 35 sampel kacang tanah yang diperoleh dari 15 pedagang di tiga pasar di kota Bogor bulan September 1988 mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb dengan kisaran 0-1154 ppb. Roedjito et al. (1994) juga melaporkan bahwa hampir seluruh sampel komoditi beras, jagung, kedelai dan kacang tanah yang berasal dari toko, pasar, warung dan rumah tangga di kota Semarang dan Bogor memiliki kadar aflatoksin lebih dari 15 ppb. Kontaminasi aflatoksin pada komoditi pertanian sebenarnya telah terjadi pada masa prapanen mengingat ada beberapa komoditi yang sudah mengandung aflatoksin pada saat baru dipanen.
Has il survei Dharmaputra et al. (2005 a)
mengenai kontaminasi aflatoksin B1 pada kacang tanah
di tingkat petani,
pengumpul, dan pedagang pengecer dan pedagang besar (grosir) di daerah Cianjur sekitar bulan Februari 2004 menunjukkan bahwa kontaminasi aflatoksin B1 tertinggi terjadi di tingkat grosir yaitu sebesar 80% dari sampel, diikuti oleh di tingkat pedagang pengecer sebesar 75,6%, di tingkat petani sebesar 38,5% dan di tingkat pengumpul sebesar 30% (kacang tanah utuh) dan 14,3% (kacang tanah polong). Kandungan aflatoksin pada sampel kacang tanah berkisar antara < 3,6 – 6073 ppb di mana ada satu sampel kacang tanah di tingkat grosir dan pedagang
2
pengecer yang memiliki kandungan aflatoksin tertinggi yaitu masing-masing sebesar 6065,9 ppb dan 6073 ppb. Tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada produk pertanian di Indonesia akan membawa dampak yang besar bagi sistem keamanan pangan dan kesehatan manusia di Indonesia.
Pada tahun 1991, Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta melaporkan bahwa sebanyak 20% kasus kanker hati tidak berkorelasi dengan infeksi hepatitis B maupun hepatitis C, namun diduga disebabkan oleh aflatoksin B1 (Noer, 2002). Pitt dan Hocking (1996) menyebutkan bahwa kadar aflatoksin pada beberapa bahan pangan di negara tropis telah melampaui batas toleransi bahkan diperkirakan jumlah kematian karena kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin di Indonesia lebih dari 20000 orang per tahun.
Selanjutnya Pitt dan Hocking (1997) mengemukakan bahwa
dari data epidemiologi dari bebe rapa negara Afrika dan Thailand, ada hubungan antara logaritmik konsumsi aflatoksin dengan kejadian kanker hati. Kontaminasi aflatoksin juga ditemukan pada bahan pakan dan pakan ternak. Purwoko et al. (1991) melaporkan bahwa 91% sampel jagung yang berasa l dari industri pakan ternak di Jakarta dan Bogor mengandung aflatoksin B1 sebesar 22-4074 ppb. Hasil-hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 98% ransum itik terkontaminasi aflatoksin B1 rata-rata sebesar 46±49 ppb (Sutikno et al. 1993) dan 80% pakan unggas komersial terkontaminasi aflatoksin B1 (Bahri 1998). Tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada pakan ternak dan bahan pakan sangat merugikan di bidang peternakan. Hal ini dikarenakan aflatoksin dapat mempengaruhi kesehatan hewan ternak yaitu menimbulkan aflatoksikosis sehingga dapat menghambat produksi ternak. Di samping itu, hewan ternak yang mengkonsumsi pakan terkontaminasi aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin pada produk turunannya sehingga bila dikonsumsi oleh manusia , maka residu aflatoksin akan masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Mengingat kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh aflatoksin, maka perlu dilakukan suatu pengendalian yang efektif baik secara fisik, kimia ma upun biologis untuk mencegah kontaminasi A. parasiticus maupun mereduksi aflatoksin.
3
Upaya pengendalian kontaminasi kapang dan aflatoksin secara fisik di antaranya perlakuan pemanasan seperti pengukusan selama 125 menit, perebusan selama 50 menit dan pema nasan bertekanan selama 25 menit dapat menurunkan kandungan aflatoksin sekitar 30-70% (Novia 1994). Metode pengendalian secara kimia meliputi penggunaan bahan pengikat natrium kalsium aluminosilikat 0,5% (terhidrasi) (Kubena et al. 1993),
bahan-bahan kimia seperti kombinasi asam
propionat 0,1% dan nisin 1000 ppm (Paster et al. 1999) , dan ekstrak rempahrempah seperti ekstrak bawang merah khas Cina (Onion Welsh) 10mg/ml (Fan dan Chen 1999), minyak cengkeh, kayu manis, oregano dan minyak kembang pala (Jugla l et al. 2002). Penggunaan metode fisik dan kimiawi umumnya menggunakan bahan kimia dan teknologi yang membutuhkan biaya yang tidak murah.
Di samping itu,
metode fisik maupun kimiawi dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap komposisi gizi suatu bahan pangan atau meninggalkan residu senyawa kimia yang mungkin berbahaya bagi kesehatan manusia.
Oleh sebab itu dicari alternatif
teknik pengendalian lain yang diharapkan lebih baik dibandingkan kedua teknik pengendalian sebelumnya. Metode alternatif tersebut adalah pengendalian secara biologis di mana digunakan
mikroorganisme
untuk
berkompetisi
melawan
pertumbuhan
A. parasiticus sehingga diharapkan dapat mencegah biosintesis aflatoksin. Aplikasi mikroorganisme untuk pengendalian A. parasiticus dan aflatoksin diasumsikan tidak membutuhkan biaya yang cukup besar mengingat pertumbuhan mikroorganisme relatif cepat dengan waktu generasi yang singkat sehingga mampu diproduksi dalam skala besar dan komersial. Saccharomyces cerevisiae yang banyak digunakan untuk pembuatan makanan fermentasi, diketahui memiliki keunggulan dan aktivitas yang tinggi dalam pengikatan aflatoksin. Selain menambah nutrisi, penggunaan khamir ini dalam bahan pangan/pakan terbukti dapat menurunkan tingkat kontaminasi aflatoksin dan mencegah aflatoksikosis. Kultur ragi (YeaSacc 1026) dan Mannan Oligosakarida (berasal dari dinding sel khamir) dapat mengurangi aflatoksikosis pada ayam dan itik (Devegowda et al. 1995). Candida krusei WRL-038 dan
4
Pichia anomala WRL-076 dilaporkan memiliki daya hambat paling tinggi terhadap biosintesis aflatoksin (Hua et al. 1999). Negara Amerika Serikat telah memiliki produk-produk biokontrol komersial yang ditujukan untuk mengendalikan patogen pada tanaman khususnya A. flavus. Produk tersebut adalah ”AF36” yang merupakan biji gandum steril yang dikolonisasi dengan A. flavus AF36 untuk mengatasi serangan A. flavus penghasil aflatoksin pada tanaman kapas dan produk ”afla -guard” yakni berupa granula yang mengandung 0,01% A. flavus NRRL 21882 yang diaplikasikan pada tanaman kacang tanah (Gardener 2005). Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, perlu dilakukan suatu kajian tentang potensi produk tradisional Indonesia, dalam hal ini ragi tape yang mengandung berbagai macam mikroorganisme yang bersifat nontoksigen dan relatif lebih aman untuk diaplikasikan. Saono (1982) mengemukakan bahwa ragi tape
mengandung
Amylomyces,
berbagai
Mucor,
jenis
mikroorganisme
Rhizopus,
Endomycopsis
di
antaranya
Genus
(Saccharomycopsis),
Saccharomyces, Hansenula, Candida, Pediococcus dan Bacillus. Mikroorganisme pada ragi tape khususnya kapang dan khamir berpeluang untuk dijadikan biokompetitor bagi kapang A. parasiticus dan mengendalikan masalah kontaminasi aflatoksin. Penggunaan kapang untuk mengatasi masalah aflatoksin dapat dilakukan cara menginokulasi kapang pada tanah atau benih sedangkan khamir dapat diaplikasikan dengan menyemprotkan larutan khamir atau menyebarkan khamir dalam bentuk bubuk ke gudang penyimpanan komoditi pertanian. Selain itu, me tabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dan khamir juga dapat diaplikasikan untuk mengendalikan masalah aflatoksin.
5
Perumusan Masalah a. Kandungan aflatoksin beberapa produk pertanian dan pakan ternak relatif tinggi b. Teknik pengendalia n aflatoksin secara fisik maupun kimiawi belum optimal mereduksi aflatoksin dan dikhawatirkan meninggalkan residu yang berbahaya dan berpengaruh terhadap komponen gizi bahan pangan c. Ragi tape Indonesia diketahui mengandung berbagai macam mikroorganisme nontoksigen
yang diharapkan berpotensi sebagai biokompetitor bagi
A. parasiticus dan pereduksi aflatoksin , namun sejauh ini penelitian mengenai hal tersebut belum pernah dilaporkan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : a. Mendapatkan isolat kapang dan khamir dari ragi tape yang berpotensi untuk mereduksi kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus b. Mengevaluasi kemampuan isolat kapang dan khamir dalam menghambat pertumbuhan A. parasiticus ,
menghambat
biosintesis
aflatoksin
dan
mendegradasi aflatoksin Hipotesis a. Isolat kapang
atau khamir dari ragi tape dapat mereduksi kandungan
aflatoksin b.
Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus
c. Isolat kapang
atau khamir dari ragi tape dapat menghambat biosintesis
aflatoksin d. Isolat kapang atau khamir dari ragi tape dapat mendegradasi aflatoksin Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah diperolehnya isolat kapang atau khamir dari ragi tape yang mampu mengendalikan masalah aflatoksin di bidang pertanian, peternakan maupun pangan.
TINJAUAN PUSTAKA Aspergillus parasiticus dan Aflatoksin
Aspergillus tersebar luas di alam dan kebanyakan spesies ini sering menyebabkan kerusakan makanan, tetapi beberapa spesies bahkan digunakan dalam fermentasi makanan (Fardiaz 1992). A. flavus dan A. parasiticus dikenal sebagai kapang Aspergillus yang sangat berbahaya karena tidak hanya merusak makanan tetapi juga menghasilkan toksin yang sangat berbahaya bagi manusia dan hewan. Spesies Aspergillus lain yang juga merupakan kapang perusak adalah A. nomius , namun kapang ini jarang sekali dibicarakan karena umumnya menyerang pada saat pra-panen pada tanaman jagung dan kapas. Karakteristik ketiga spesies Aspergillus ini hampir sama, namun yang membedakan adalah jenis toksin yang diproduksi. A. flavus dapat memproduksi aflatoksin B1 dan B2 serta asam siklopiazonat dan hanya sebagian isolat alami yang bersifat toksigenik. Kapang A. parasiticus selain menghasilkan aflatoksin B1 dan B2, juga memproduksi aflatoksin G1 dan G2 namun tidak menghasilkan asam siklopiazonat dan hampir seluruh isolat bersifat toksigenik. Sedangkan A. nomius , dari segi morfologi mirip dengan A. flavus, tetapi toksin yang dihasilkan hampir sama dengan toksin yang dihasilkan A. parasiticus (Bhatnagar et al. 2000). Di samping itu, A. parasiticus dapat dibedakan dengan A. flavus berdasarkan karakteristik morfologinya. A. flavus memproduksi konidia dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, dinding sel bervariasi dari halus hingga kasar.
konidia tipis dan teksturnya
Sedangkan konidia yang diproduksi oleh
A. parasiticus berbentuk bulat, dinding sel konidia tebal dan bertekstur kasar. Selain itu vesikel pada A. flavus lebih besar dengan diameter > 50µm, sedangkan A. parasiticus jarang ditemukan lebih dari 30 µm (Pitt dan Hocking 1997). A. parasiticus
memiliki konidiafora yang muncul dari permukaan hifa
dengan ukuran panjang 250-500 µm, tidak berwarna atau coklat muda dan berdinding halus ; vesikel berbentuk bulat dengan diameter 20-35 µm dan hanya ¾ bagian permukaan vesikel yang subur (fertile) ; vesikel membentuk phialide dengan panjang 7-11 µm yang memproduksi konidia berbentuk bulat, biasanya
7
berdiameter 4-6 µm, dinding selnya bertekstur kasar dan biasanya akan membentuk kepala konidia yang bulat (Pitt dan Hocking 1997). Foto mikrograf A. parasiticus dapat dilihat pada Gambar 1. A. parasiticus dapat tumbuh pada suhu antara 12-42 oC dengan suhu optimum pertumbuhan 32 oC ; nilai aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0,82 pada suhu 25oC, 0,81 pada suhu 30oC dan 0,80 pada suhu 37o C serta pH antara 2,4-10,5 pada ketiga suhu tersebut (Pitt dan Hocking 1997).
Gambar 1. Foto mikrograf A. parasiticus (perbesaran 400x) Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. parasiticus pada suhu antara 12-40oC, aw 0,86 dan pH 3-8 (Pitt dan Hocking 1997). Menurut Jay (2000), pembentukan aflatoksin pada kacang tanah terjadi pada aw optimum 0,93-0,98 dengan RH 83% atau lebih tinggi pada suhu 30 oC. Kemampuan kapang untuk membentuk dan menyimpan aflatoksin tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang, persyaratan-persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak antara kapang dengan substrat. Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan kapang A. flavus dan A. parasiticus. Ada empat macam aflatoksin yang dikenal yaitu aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Istilah B dan G berasal dari warna biru (blue) dan hijau (green) sinar fluoresens di bawah lampu UV pada plat Kromatografi Lapis Tipis.
Angka 1 dan 2 menunjukkan perbedaan antara
senyawa utama dan minor (Pitt dan Hocking 1997). Aflatoksin B2 merupakan derivat dari dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan derivat dari dihidroaflatoksin G1. Rumus struktur kimia aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dapat dilihat pada Gambar 2. Jika dilihat secara sepintas antara aflatoksin B1 dan B2,
8
tidak nampak adanya perbedaan sama sekali, demikian halnya dengan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2. Namun bila diperhatikan secara baik -baik terdapat perbedaan pada ikatan rangkapnya (Syarief et al. 2003). O
O
O
O
O
O
O
OCH3
O
O
Aflatoksin B1 O
O Aflatoksin B2
OCH3
O Aflatoksin G1
O
O
O O
O
O
O
O
OCH3
O
O
OCH3
Aflatoksin G2
Gambar 2. Rumus kimia struktur aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 Keempat jenis aflatoksin memiliki toksisitas yang berbeda -beda, namun yang paling berbahaya adalah aflatoksin B1. Karakteristik fisikokimia dan biokimia molekul aflatoksin B1 dipengaruhi oleh dua sisi penting dalam struktur aflatoksin B1 yaitu ikatan rangkap pada posisi 8,9 cincin furofuran dan cincin lakton kumarin. Oleh sebab itu, perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1 diharapkan mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau membuka cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi berkurang (Mishra dan Das 2003) Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80o C jumlah aflatoksin yang rusak tidak berarti dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100o C. Laju perusakan aflatoksin dengan cara pemanasan dapat dipercepat dengan menaikkan
9
kadar air bahan , waktu dan suhu pemanasan (Syarief et al. 2003). Aflatoksin dapat didegradasi oleh larutan asam kuat dan basa kuat (Marth dan Doyle 1979). Hasil penelitian Tabata et al. (1994), larutan asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1, sedangkan larutan basa Na2 CO3 , NaOH dan NaOCl masing-masing konsentrasi 1% dapat mendegradasi keempat jenis aflatoksin (B1, B2, G1, dan G2).
Dampak Aflatoksin terhadap Kesehatan Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling toksik dan mendapat perhatian dalam dunia kesehatan karena aflatoksin bersifat hepatotoksik, mutagenik, teratogenik karsinogenik dan imunosupresif. Toksisitas aflatoksin umumnya bersifat kronis, tetapi dapat juga bersifat akut apabila toksin yang terkonsumsi dalam jumlah besar. Pada tahun 1974, dari 400 orang India yang menderita hepatitis, 100 orang di antaranya meninggal, hal ini disebabkan karena keracunan aflatoksin yang terdapat pada jagung yang terkontaminasi berat oleh aflatoksin mencapai 15 mg/kg (15 ppm) (Krisnamachari et al. 1975 di dalam Bahri dan Maryam 2004). Kasus aflatoksikosis pada manusia banyak dilaporkan di beberapa negara tropis, yang kebanyakan terjadi pada masyarakat pedesaan dengan kondisi gizi yang rendah dan makanan pokoknya terdiri dari jagung. Kejadian pada anak-anak yang kekurangan gizi lebih se ring dijumpai dari pada yang bergizi baik. Hal ini dapat dibuktikan bahwa eliminasi aflatoksin pada anak-anak yang kekurangan gizi (kwashiokor) berlangsung secara perlahan-lahan (De Vries et al. 1990). Organ target utama dari aflatoksin adalah hati sehingga sering menimbulkan hepatokarsinogenik.
Aflatoksin terutama aflatoksin B1 dapat
menyebabkan hepatokarsinoma, hal ini dibuktikan berdasarkan analisis gen p53 (indikator gen termutasi pada penderita kanker)
di mana telah terjadi mutasi
sebesar 55% pada penderita hepatokarsinoma yang mengkonsumsi pangan tercemar AFB1 (Pitt et al. 2000). Di Indonesia juga pernah dilaporkan tentang hubungan kejadian karsinoma hati pada pasien (manusia) dengan banyaknya mengkonsumsi aflatoksin. Peluang kejadian kanker ha ti akan lebih tinggi apabila selain adanya aflatoksin juga disertai dengan infeksi virus hepatitis B. Hal ini
10
terjadi karena efek sinergisme dari kedua agen penyebab tersebut (Bahri dan Maryam 2004). Jackson (1999) melaporkan hasil studi epidemiologi di Asia dan Afrika sekitar tahun 1960-an dan 1970-an bahwa peningkatan konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin sebesar 3-222 ng/kg BB per hari akan menyebabkan peningkatan kejadian kanker hati minimum 2 kasus sampai maksiumum 35 kasus per 100000 populasi per tahun. Selain itu aflatoksin juga menyebabkan aflatoksikosis pada produk peternakan. Huff et al. (1986) melaporkan hasil penelitiannya mengenai progresi aflatoksikosis pada ayam broiler, di mana aflatoksin dapat menyebabkan penurunan berat badan, peningkatan berat proventrikulus, limfa dan ginjal, terjadi liver atropi sampai hepatomegaly akibat akumulasi lemak pada hati. Selain itu Sutikno et al. (1993) juga melaporkan bahwa kerugian di bidang peternakan akibat aflatoksin yaitu menurunnya kualitas dan kuantitas produksi telur, terganggunya fungsi metabolisme dan absorpsi lemak, tembaga, besi, kalsium fosfor dan beta karoten serta memperlemah sistem kekebalan. Hal serupa juga disampaikan oleh Bahri dan Maryam (2004) bahwa aflatoksin dapat memberikan dampak negatif bagi performan unggas di antaranya terjadi penurunan kekebalan tubuh dan kegagalan program vaksinasi (efek imunosupresif), menurunnya produktivitas yang ditandai dengan pertambahan berat badan rendah dan gangguan reproduksi unggas berupa penurunan bobot telur dan daya tetas telur. Kontaminasi Aflatoksin pada Produk Pertanian dan Pakan Ternak Kontaminasi aflatoksin pada pangan maupun pakan sampai saat ini masih menjadi masalah besar karena tidak hanya berkaitan erat dengan kesehatan manusia tetapi juga memberi dampak di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional.
Dari beberapa hasil penelitian tentang survei kontaminasi
aflatoksin pada beberapa komoditi pertanian dan pakan ternak di Indonesia tahun 1990 sampai sekarang menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin pada jagung dan kacang tanah, pakan ayam (dibeli di pasar) dan pakan itik relatif tinggi dan di atas standar internasional (Dharmaputra 2002). FDA di Amerika Serikat menetapkan batas maksimum aflatoksin yang diperbolehkan di da lam makanan dan pakan ternak sebesar 20 ppb (Bhatnagar
11
et al. 2000), European Economic Community (EEC) menetapkan batas kandungan aflatoksin sebesar 2 ppb untuk aflatoksin B1 dan 4 ppb untuk aflatoksin total (Mishra
dan
Das
merekomendasikan
2003),
sedangkan
kandungan
Codex
aflatoksin
Alimentarius
maksimum
Commission
sebesar
15
ppb
(B1+B2+G1+G2) pada kacang tanah dan 0,05 ppb aflatoksin M1 pada susu (Dharmaputra
2002).
Sementara
Badan
POM
Indonesia
sejak
tanggal
9 September 2004 telah menetapkan kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada kacang tanah olahan sebesar 20 dan 35 ppb (Dharmaputra et al. 2005). Batas kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada bahan pangan berbeda -beda di berbagai negara (Tabel 1). Tabel 1. Kandungan aflatoksin maksimum yang diizinkan pada bahan pangan di berbagai negara *) Negara
Batas aflatoksin (µg/kg)
Jenis aflatoksin
Afrika Selatan
5 10 5 5 0,1 10 10 30 5 10 50 10 2 35 35 20
B1 B1+B2+G1+G2 B1 B1 M1 B1+B2+G1+G2 B1+B2+G1+G2 B1 B1 B1+B2+G1+G2 B1+B2+G1+G2 B1 B1 B1+B2+G1+G2 B1+B2+G1+G2 B1
Bahan pangan
Semua bahan pangan Semua bahan pangan Belanda Semua bahan pangan Belgia Semua bahan pangan Susu Britain Semua bahan pangan Denmark Kacang tanah India Semua bahan pangan Inggris Semua bahan pangan Semua bahan pangan Italia Kacang tanah Jepang Semua bahan pangan Jerman Kacang-kacangan, serealia Malawi Semua bahan pangan Malaysia Semua bahan pangan Nigeria Semua bahan pangan kecuali makanan bayi Perancis 10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan 0,2 M1 Susu bubuk bayi Spanyol 5 B1 Semua bahan pangan 10 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan Singapura 0 B1, B2, G1, G2 Semua bahan pangan USA 20 B1+B2+G1+G2 Semua bahan pangan, pakan ternak *) Gilbert (1991) ; Van Egmond (1991) ; Dharmaputra (2002)
12
Survei yang dilakukan Roedjito et al. (1994) pada kacang tanah yang berasal dari toko, pasar, warung, rumah tangga di kota Bogor dan Semarang menunjukkan bahwa kacang tanah asal Bogor memiliki kandungan aflatoksin antara 112-826 ppb, sedangkan kacang tanah asal Semarang antara 37-357 ppb. Hasil survei Dharmaputra et al (2005b) terhadap sampel kacang tanah di tingkat pertani, penebas, pengumpul dan pedagang eceran sekitar musim hujan dan kemarau tahun 2003 di kota Wonogiri dan Surakarta menunjukkan bahwa kontaminasi aflatoksin B1 tertinggi ditemukan pada sampel kacang tanah utuh di tingkat pedagang pengecer di pasar tradisional dengan kandungan aflatoksin berkisar antara <3,6-1859,3 di musim hujan dan <3,6-55115, di musim kemarau. Persentase sampel kacang tanah utuh yang mengandung aflatoksin lebih dari 15 ppb adalah 33% di musim hujan dan 76% di musim kemarau. Selanjutnya Dharmaputra et al. (2002) mengemukakan bahwa dari beberapa komoditi pertanian, kacang tanah merupakan produk yang paling mudah terkontaminasi aflatoksin. Jagung merupakan komoditi pertanian dengan kandungan aflatoksin relatif tinggi. Purwoko et al (1991) melaporkan bahwa 91% dari 34 sampel jagung yang berasal dari industri pakan ternak di daerah Jakarta dan Bogor mengandung aflatoksin terutama aflatoksin B1. Total konsentrasi aflatoksin berkisar antara 22-6171 ppb. Kandungan aflatoksin jagung asal Bogor sangat tinggi yaitu antara 185-558 ppb dari toko, warung, pasar atau rumah tangga, sedangkan jagung asal Semarang bervariasi antara 75-1576 ppb (Roedjito et al. 1994). Dharmaputra et al.
(1996) melaporkan bahwa dari 11 sampel produk olahan jagung yang
diambil dari beberapa supermarket di Bogor, beberapa di antaranya mengandung aflatoksin B1 yaitu satu sampel popcorn (15 ppb), satu sampel tepung maizena (20 ppb) dan satu sampel keripik jagung (10 ppb). Tingkat kontaminasi aflatoksin pada kacang kedelai lebih rendah dibandingkan pada jagung dan kacang tanah.
Rata-rata kandungan aflatoksin
kacang kedelai di toko, warung, pasar, dan rumah tangga di Bogor bervariasi antara 13-161 ppb, sedangkan lokasi di Semarang antara 21-127 ppb. Namun kandungan aflatoksin pada tempe di Bogor lebih tinggi dibandingkan bahan bakunya yaitu sebesarnya 237 ppb (Roedjito et al. 1994).
13
Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak juga sulit dihindari mengingat bahan baku pakan seperti jagung tercemar aflatoksin dengan level yang relatif tinggi . Bahri dan Maryam (2004) melaporkan bahwa pakan ternak/pakan unggas yang ada di Indonesia hampir selalu ditemukan terkontaminasi aflatoksin karena sekitar 50% dari komposisi pakan tersebut adalah jagung. Hasil penelitian Sutikno et al (1993) menunjukkan bahwa dari 919 ransum itik yang diperiksa kandungan aflatoksinnya, 98% sampel positif mengandung aflatoksin B1 dengan kisaran 0-398 ppb.
Sebanyak 68% di antaranya
mengandung aflatoksin di bawah 50 ppb, 20% tercemar di antara 51-100 ppb, sedangkan sisanya (10%) berada pada tingkat yang berbahaya untuk itik muda (> 100 ppb). Dharmaputra dan Putri (1996) melaporkan bahwa kandungan total aflatoksin B1 dari 39 sampel pakan ayam dari 3 pasar di Bogor selama musim kemarau dan hujan antara 0-201 ppb. Sebanyak 67% dari sampel mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb.
Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan
oleh Balitvet pada tahun 1984-1995 mengenai cemaran aflatoksin menunjukkan bahwa lebih dari 80% pakan unggas komersial terkontaminasi aflatoksin B1. Kadar aflatoksin B1 lebih dari 200 ppb sebanyak 13,5% ; 23,2% dengan kadar aflatoksin B1 100-200 ppb, sedangkan kadar < 100 ppb sebesar 63,2 % (Bahri 1998). Teknik Pengendalian Aflatoksin Teknik pengendalian aflatoksin dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan biologis. Perlakuan dengan air mengalir dapat menurunkan aflatoksin total jagung sebesar 11%, pencucian dengan air suhu 50oC dapat mengurangi 47% dan perendaman selama 24 jam dapat mengurangi aflatoksin 75%. Sementara itu perlakuan pemanasan dengan pengukusan dapat menurunkan aflatoksin total sebesar 35%, sedangkan perebusan dapat menurunkan aflatoksin total sebesar 63% (Roedjito et al. 1994). Menurut Novia (1994) pengukusan 125 menit dapat menurunkan kadar aflatoksin rata-rata 37,38%, perebusan selama 50 menit sebesar 68,25% dan pemanasan bertekanan selama 25 menit sebesar 42,74%. Metode
pengendalian
secara
kimiawi
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan bahan kimia asam propionat 0,1%, natrium propionat 0,2%, dan
14
asam benzoat 0,2% pada pakan ternak mampu menghambat biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus sebesar 100%, sedangkan urea konsentrasi 0,2-0,5% hanya sebesar 96-97% dan asam sitrat 0,5-1,0% sebesar 91-95% (Gowda et al. 2004). Kombinasi 0,1% asam propionat dengan nisin 1000 ppm dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus dan produksi aflatoksin (Paster et al. 1999). Penggunaan senyawa kimia lain misalnya insektisida Chlobenthiazone [4-kloro-3-metil-2-(3H) -benzothiazon] dengan konsentrasi 1-15 µg/ml yang mampu menghambat pertumbuhan miselium A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin (Wheeler et al. 1991). Pemberian 0,5% natrium kalsium aluminosilikat (terhidrasi) ke dalam pakan ayam broiler akan melindungi ayam dari pengaruh negatif aflatoksin (Kubena et al. 1993) Lebih lanjut Gowda et al. (2004) melaporkan penggunaan rempah-rempah untuk menghambat biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus. Hasil penelitian menunjukkan minyak cengkeh merupakan senyawa anti-kapang terbaik bagi A. parasiticus dengan penghambatan produksi aflatoksin sebesar 100%, diikuti oleh kunyit, bawang putih, bawang merah dengan konsentrasi masing-masing 0,5-1,0% berturut-turut sebesar 77-85%, 80-84% dan 73-77%. Juglal et al. (2002) di dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa minyak cengkeh memberikan aktivitas penghambatan tertinggi terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan F. moniliforme , selanjutnya berturut -turut kayu manis, oregano, dan minyak kembang pala. Rempah-rempah lain yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan
A. parasiticus yaitu ekstrak etanol bawang merah khas Cina
(Onion Welsh) konsentrasi 10 mg/ml (Fan dan Chen 1999), minyak esensial thyme spesies Thyme eriocalyx dan T. X-porlock dengan nilai MIC (Minimum inhibitory concentration ) pada
tingkat kelarutan 1/8 dan MFC (Minimum
fungicidal concentration) pada tingkat kelarutan 1/4 (Rasooli dan Abyaneh 2004). Metode alternatif lain adalah pengendalian secara biologis yang menggunakan mikroorganisme untuk berkompetisi dengan A. parasiticus sehingga diharapkan dapat mencegah pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin A. parasit icus. Nannocytis exedens Reichenbach yang merupakan bakteri tanah diketahui berpotensi sebagai biokompetitif bagi A. flavus dan A. parasiticus (Taylor dan
15
Draughon 2001).
Munimbazi dan Bullerman (1998) melaporkan hasil
penelitiannya mengenai penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh Bacillus pumillus. Hasil penelitian menunjukkan keenam isolat B. pumillus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan A. parasiticus dalam medium YES (Yeast Extract Sucrose) mampu menghambat pertumbuhan miselium sebesar 34,4-56,4% dan produksi aflatoksin sebesar 98,4-99,9%. Penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin diduga berasal dari metabolit B. pumillus
karena medium
YES yang mengandung supernatan bebas sel juga mampu menghambat pertumbuhan miselium sebesar 35,3-55,7% dan produksi aflatoksin sebesar 98,2-99,9%. Aktivitas khamir sebagai anti kapang dan anti aflatoksin telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Candida krusei WRL-038 dan Pichia anomala memiliki daya hambat paling tinggi terhadap biosintesis aflatoksin (Hua et al. 1999). Saccharomyces cerevisiae efektif mengurangi pengaruh negatif aflatoksin pada ayam (Stanley et al. 1993). Pada uji in vitro yang dilakukan pada pakan ternak yang disuplementasi S. cerevisiae menunjukkan terjadinya degradas i aflatoksin sebesar 88% (Devegowda et al. 1994).
Lebih lanjut Galvano et al. (2001)
melaporkan modifikasi mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12%. S. cerevisiae galur N 826 dan N 831 serta Zygosaccharomyces galur N F30 memiliki spektrum antagonistik yang luas terhadap kapang-kapang patogen pada buah-buahan dan tanah (Suzzi et al. 1995).
Kemampuan S. cerevisiae
sebagai antimikroba disebabkan khamir ini mengeluarkan protein yang disebut juga dengan killer toxin atau zymocins (Ray 2001).
Selitrennikoff (2001)
menyebutkan S. cerevisiae, Ustilago maydis, Hanseniaspora uvarum, Z. Bailii, Phaffia rhodozyma, Kluveromyces lactis dan spesies Pichia mengeluarkan protein killer.
Telah berhasil diidentifikasi 20 killer toxin memiliki berat molekul
10,7-156,5 kDa. Selanjutnya Ray (2001) menyebutkan bahwa sel khamir dapat menempel dengan kuat pada miselia kapang dan memproduksi enzim β-glukanase yang dapat mendegradasi dinding sel kapang.
16
Ragi Tape Ragi tape adalah inokulum padat yang mengandung mikroba seperti kapang, khamir, bakteri yang berfungsi sebagai starter fermentasi.
Variasi
mikroba di dalam ragi sangat tinggi, sehingga ada bermacam-macam ragi misalnya ragi untuk tempe, oncom, kecap, tape, roti, dll. Menurut Saono (1982), ragi tape adalah starter tradisional yang terdapat di Indonesia, digunakan untuk fermentasi substrat yang kaya akan pati, seperti singkong dan beras ketan menjadi tape, brem cair dan brem padat. Di desa-desa ragi ini digunakan sebagai campuran jamu dan ramuan seperti obat cacing, obat pencegah kehamilan dan obat tradisional lainnya. Tabel 2. Bahan-bahan tambahan pada ragi *) Nama Bahan Beras Bawang putih (Allium sativum Linn.) Lengkuas (Alpinia galanga SW.) Lada putih (Piper nigrum Linn.) Cabe merah (Capsicum frustescens Linn.) Kayu manis (Cinnamomum burmanii Bl.) Lada hitam (Piper retrofractum Vahl) Adas (Foeniculum vulgare Mill.) Tebu (Saccharum officinarum Linn.) Air jeruk (Citrus auranticum aurantifolia var. fusca Linn.) Air kelapa (Cocos nucifera Linn.) *) Saono (1982)
Jumlah (% terhadap beras) 100 0,50-18,70 2,50-50,00 0,05-6,20 0,25-6,20 0,05-3,50 0,30-2,50 2,50-3,00 1,00-12,50 2,5 50,00
Bahan utama pembuatan ragi adalah tepung beras. Pembuatan ragi tape secara tradidional adalah dengan mencampur tepung beras yang bersih dengan bahan-bahan lain seperti bawang putih, lengkuas, lada putih, dan cabe merah. Penggunaan rempah-rempah bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan beberapa jenis rempah-rempah dapat merangsang pertumbuhan kapang dan khamir yang dikehendaki dalam proses fermentasi (Saono 1982). Selanjutnya dilaporkan bahwa cabe merah dengan konsentrasi 6% dalam adonan ragi dapat
17
menstimulir petumbuhan semua mikrofolora ragi.
Selain itu dilaporkan pula
bahwa bawang putih dengan konsentrasi 9% dan laos dengan konsentrasi 16,5% dapat menghambat pertumbuhan mikroflora-mikroflora ragi ini. Jenis kapang dan khamir yang terdapat dalam ragi tape bermacam-macam, tergantung asal dan cara ragi dibuat. Saono (1982) menyatakan bahwa ragi yang digunakan bervariasi mutunya pada setiap pembuatan, sehingga sulit untuk mendapatkan mutu produk yang seragam walaupun dari ragi yang sama. Aktivitas ragi akan menurun selama penyimpanan dan batas waktu penyimpanan maksimum adalah selama 2-3 bulan. Mikroba yang diduga paling berperan dalam fermentasi tape biasanya didominasi oleh kapang dari genus Amylomyces, Mucor dan Rhizopus , serta khamir
dari
genus
Saccharomycopsis
(Endomycopsis),
Saccharomyces,
Hansenula dan Candida (Suliantari dan Rahayu 1990),. Beberapa jenis mikroba yang terdapat di dalam ragi tape dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Mikroba dalam ragi tape di Indonesia Genus Amylomyces Chlamydomucor Aspergillus
Rhizopus Penicillium Absidia Saccharomycopsis (Endomycopsis) Candida
Spesies A. rouxii C. oryzae A. oryzae A. nidulans A. japonicus A. flavus R. oryzae P. glabrum A. corymbifera S. burtonii S. fibulgera C. melinii C. parapsilosis C. lactosa nov sp. C. krusei C. lipolytica var deformis C. guiliermondii C. scottii C. humicola C. valida C. intermedia
Referensi a b, c, d b c c c d d d a e b, e b b e e e e e e e
18
Genus Saccharomyces
Spesies Referensi S. wilianus e S. cerevisiae d Hansenula H. anomala b, d H. subpelliculosa b H. malanga nov. sp b a, Fardiaz (1991) ; b, Dwijoseputro (1976) ; c, Hongsprabas dan Buckle (1998) ; d, Beuchat (1978) ; Dewipadma (1980)
BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Toksikologi Balai Penelitian Veteriner Bogor, Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan – SEAFAST IPB, Laboratorium Kimia Pangan – Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan pada bulan Mei 2003 sampai Agustus 2005.
B. Bahan dan Alat Ragi tape diperoleh dari pasar tradisional di beberapa daerah di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Semarang, Rembang (Jawa Tengah), Yogyakarta, dan Madiun (Jawa Timur) (Gambar 3).
Kapang
toksigen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aspergillus parasiticus F. 010 yang diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC), Balai Penelitian Veteriner Bogor. Sedangkan media yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (OXOID), Potato Dextrose Broth (DIFCO), Malt Extract Broth (DIFCO), Pepton (DIFCO), dan Yeast Nitrogen Base (DIFCO), Corn Meal Agar (DIFCO), Czapek Yeast Extract Agar, Malt Extract Agar dan 25 Glycerol Nitrate Agar. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pe nelitian ini adalah aquades, larutan Tween 80, asam tartarat 10%, alcohol, bromocresol purple, lactophenol cotton blue, larutan iod, beberapa jenis gula untuk uji fermentasi dan asimilasi khamir seperti dektrosa, galaktosa, laktosa, maltosa, sukrosa, rafinosa dan trehalosa. Bahan-bahan kimia seperti kloroform, aseton, natrium sulfat anhidrat, dietil eter dan strandar aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 digunakan untuk ekstraksi dan analisis aflatoksin. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas seperti cawan Petri, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet Mohr, corong gelas ; kertas saring Whatman 41, 42, membran filter Millipore 0,45µm dan 0,22µm, mikropipet beserta tipnya, jarum ose, gelas
20
obyek dan cover glass, hemasitometer Neubaeur improved, mikroskop, vortex, autoklaf, oven, waterbath, peralatan sentrifugasi, neraca analitik, pHmeter, peralatan rotavapor, shaker, pelat TLC, bejana kaca untuk elusi TLC, UV chamber CAMAG.
(1)
(2)
(3) Gambar 3. Ragi Tape (1) Daerah DKI Jakarta dan Jawa Barat ; (2) Daerah Yogyakarta dan Jawa Timur (3) Daerah Jawa Tengah
C. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang meliputi isolasi serta identifikasi kapang dan khamir, kemudian uji kemampuan isolat kapang/khamir dalam mereduksi aflatoksin. Selanjutnya dipilih satu isolat kapang/khamir yang berpotensi tinggi dalam mereduksi aflatoksin tertinggi untuk digunakan dalam penelitian utama. Penelitian utama meliputi uji kemampuan penghambatan isolat kapang dan khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus, uji pengaruh filtrat isolat kapang dan khamir terhadap pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin serta uji kemampuan isolat kapang dan khamir dalam mendegradasi aflatoksin. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
21
1. Isolasi Kapang dan Khamir (Daulay 1989) Sebanyak 5 g ragi tape berbentuk bubuk ditambah dengan 45 ml akuades steril, setelah itu dilakukan pengenceran 10-2, 10-3, 10-4 dan seterusnya.
Selanjutnya dilakukan pemupukan cawan sebanyak 1 ml
suspensi ragi tape, kemudian 15 ml medium APDA (PDA+asam tartarat 10%) dituang ke dalam cawan dan diratakan, setelah itu diinkubasi selama 2-3 hari pada suhu 28-30oC. Setiap koloni kapang dan khamir yang berbeda
warna
dan
penampilannya
dipisahkan
dan
dimurnikan,
selanjutnya digores kembali pada PDA miring dan disimpan di kulkas sebagai kultur stok.
2. Identifikasi Kapang dari Ragi Tape a. Pembuatan Kultur Slide (Harrigan 1998) Untuk membuat kultur slide dibutuhkan cawan petri yang di dalamnya terdapat gelas obyek yang diletakkan di atas batang U atau V, perangkat tersebut berada dalam keadaan steril. Potongan medium PDA steril berukuran 1x1 cm diletakkan di atas gelas obyek yang berada di dalam cawan petri, selanjutnya dilakukan inokulasi kapang pada potongan agar tepat di tengah-tengah keempat sisinya menggunakan jarum ose. Potongan agar yang telah diinokulasi kemudian ditutup dengan cover glass. Akuades steril diteteskan ke dalam cawan petri tanpa membasahi gelas obyek yang ada di dalamnya, selanjutnya kultur slide diinkubasi pada suhu 28-30oC sekitar 2-4 hari.
Bila spora telah
muncul, cover glass diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lain yang telah diberi cairan pewarna lactophenol cotton blue, kemudian struktur kapang diamati di bawah mikroskop.
22
Koleksi sampel ragi tape Jakarta, Bandung, Semarang, Rembang, Yogyakarta, Madiun Isolasi Kapang dan Khamir Persiapan Spora A. parasiticus
Identifikasi Kapang dan Khamir
Pembuatan Kultur Stok
Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir untuk Mereduksi Kandungan Aflatoksin
Seleksi Isolat Kapang dan Khamir dengan Aktivitas Reduksi Aflatoksin terbaik
Uji Kemampuan Penghambatan Kapang /Khamir thd Pertumbuhan A. parasiticus 1. Perhitungan koloni (CFU/ml) 2. Karakteristik morfologi 3. Interaksi Langsung antara Khamir dgn A. parasiticus
Uji Pengaruh Filtrat Kapang/Khamir terhadap Biosintesis Aflatoksin 1. Pengukuran Berat Kering Miselium 2. Analisis Aflatoksin 3. Pengukuran pH
Uji Kemampuan Kapang/Khamir dalam Mendegradasi Aflatoksin 1. Analisis Aflatoksin 2. Pengukuran pH Gambar 4 Diagram alir tahap penelitian
23
b. Identifikasi Isolat Kapang Identifikasi isolat kapang dilakukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
Identifikasi secara makroskopis dilakukan
dengan cara melihat langsung koloni yang tumbuh pada media CYA, MEA dan G25N setelah 2 hari inkubasi pada suhu 28-30oC. Koloni yang tumbuh akan memiliki spora dengan bentuk dan warna yang berbeda-beda tergantung spesies kapang, sedangkan identifikasi secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati struktur kapang di bawah mikroskop setelah sebelumnya ditumbuhkan terlebih dahulu pada kultur slide selama 3 hari. Identifikasi spesies kapang ditentukan dengan membandingkan ciri-ciri makroskopis dan mikroskopis kapang tersebut dengan ciri-ciri kapang yang terdapat pada pustaka.
Berdasarkan kunci identifikasi
Pitt dan Hocking (1997), penggolongan Ordo Mucorales ke dalam genus berdasarkan pada morfologi sporangiofor dan sporangium (Lampiran 3). Penggolongan Rhizopus dan Mucor ke dalam spesies berdasarkan kunci identifikasi Gilman (1957) di mana penggolongan Mucor ke dalam spesies berdasarkan ukuran sporangium dan sporangiospora, warna hifa serta suhu optimum pertumbuhan (Lampiran 4), sedangkan penggolongan Rhizopus ke dalam spesies berdasarkan perkembangan rhizoid, ukuran spora dan sporangiofor (Lampiran 5). Deskripsi Chlamydomucor oryzae berdasarkan Heyne (1987) dan penggolongan Aspergillus ke dalam spesies berdasarkan warna/pigmentasi konidia Raper dan Fennell (1973) (Lampiran 6). Konfirmasi beberapa spesies kapang dilakukan di Laboratorium Fitopatologi, SEAMEO BIOTROP Bogor.
3. Identifikasi Khamir Identifikasi khamir yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi pengamatan terhadap morfologi serta uji-uji sifat fisiologis khamir yang meliputi uji fermentasi dan asimilasi gula-gula, kemampuan
24
tumbuh pada suhu 37 oC serta kemampuan untuk membentuk pati ekstraseluler (Lampiran 7). Hasil pengamatan morfologi dan uji fisiologis selanjutnya dicocokkan dengan ciri-ciri khamir pada pustaka Lodder (1974) dan Barnett et al. (2000).
a. Karakteristik Morfologi Khamir (Lodder 1974) Isolat khamir digoreskan pada permukaan media CMA kemudian ditutup dengan cover glass dan diinkubasi pada suhu 28-30o C selama 3 hari. Bagian sisi atau tepi koloni yang tumbuh diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat ada tidaknya miselium (semu atau sejati), blastospora dan arthrospora. b. Uji Fermentasi Gula (Lodder 1974) Mula-mula dilakukan penyegaran isolat khamir pada tabung agar miring PDA dan diinkubasi selama 2 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya
secara
aseptis
dibuat
suspensi
khamir
dengan
menambahkan 5 ml akuades steril ke dalam tabung yang berisi isolat khamir.
Media fermentasi gula di dalam tabung reaksi diinokulasi
dengan menambahkan 0,1 ml suspensi khamir (Lampiran 2). Setelah dikocok, media diinkubasi pada suhu 28-30oC
dan dilakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas (pada tabung Durham) dan pembentukan asam setiap hari ke -3, 7 dan 14. c. Uji Asimilasi Karbon (Lodder 1974) Sebanyak 1 ml suspensi khamir diinokulasikan ke dalam cawan Petri, kemudian dita mbahkan media YNB + agar noble sebanyak 1520ml. Setelah membeku, sebanyak 5 mg gula-gula yang akan diuji ditaburkan secara terpisah. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30oC dan diamati pada hari ke-3 dan 7 untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan yang menunjukkan sumber karbon tersebut dapat diasimilasi atau tidak oleh khamir yang diuji.
25
d. Uji Pertumbuhan pada Suhu 37o C (Lodder 1974) Isolat khamir digoreskan pada tabung agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 37oC untuk menentukan kemampuan tumbuh khamir pada suhu tersebut. e. Uji Kemampuan Membentuk Pati Ekstraseluler (Lodder 1974) Isolat khamir digoreskan pada cawan Petri yang berisi media PDA dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 3 hari, selanjutnya pada koloni khamir yang terbentuk ditete si larutan iod untuk mengetahui kemampuan membentuk pati. Apabila terbentuk warna biru, berarti khamir tersebut membentuk pati.
4. Persiapan Spora Kapang dan Sel Khamir (Kim et al. 2000)
Kultur
murni
kapang
dan
khamir
disegarkan
dengan
cara
menggoreskan kembali kultur murni tersebut pada agar miring PDA yang baru, kemudian kapang diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 7 hari, sedangkan khamir 2 hari. Suspensi spora dibuat dengan menambahkan akuades steril yang mengandung Tween 80 0,1% ke dalam tabung agar miring, sedangkan suspensi khamir tanpa penambahan Tween 80. Suspensi spora kapang dan sel khamir dihitung menggunakan hemasitometer kemudian diatur konsentrasinya menjadi 106 spora kapang/ml atau 106 sel khamir/ml dan digunakan untuk uji selanjutnya. 5. Uji Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus dengn konsentrasi 106 spora/ml dicampur dengan 0,5 ml (10 6 spora/ml atau 106 sel/ml) suspens i spora isolat kapang atau sel khamir yang diuji, diinokulasikan ke
26
dalam 100 ml medium PDB dan diinkubasi selama 10 hari pada suhu 28-30oC. Sebagai kontrol, sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml diinokulasi pada medium PDB, kemudian diinkubasi pada waktu dan kondisi yang sama.
Setelah itu dilakukan analisis aflatoksin dan
dihitung reduksi aflatoksin dari isolat kapang atau khamir uji dibandingkan dengan kandungan aflatoksin pada kontrol. Persentase reduksi aflatoks in ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (A – B) % reduksi aflatoksin =
x 100% A
Keterangan : A :
Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus (kontrol)
B :
Kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan isolat kapang/khamir
6. Uji Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus (Modifikasi Gourama dan Bullerman 1995) Sebanyak 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dicampur dengan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel khamir uji, diinokulasikan ke dalam 100 ml medium MEB dan diinkubasi pada suhu 28-30oC. Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dan 0,5 ml suspensi spora isolat kapang 106 spora/ml atau sel khamir uji masing-masing diinokulasi pada medium MEB, kemudian diinkubasi pada waktu dan kondisi yang sama. Inkubasi campuran di atas dilakukan selama 9 hari karena waktu pertumbuhan optimum kapang umumnya sekitar 5-7 hari dan selanjutnya kapang memasuki fase pertumbuhan stasioner. Selama inkubasi, pada hari ke-0, 3, 6 dan 9 dilakukan sampling dan pemupukan cawan pada medium PDA kemudian diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 2 hari. Selanjutnya
27
dilakukan pengamatan dan perhitungan koloni per ml (CFU/ml) dari A. parasiticus dan isolat kapang/khamir uji. Pada hari ke-9, terhadap semua campuran di atas dibuat kultur slide lalu diamati karakteristik morfologinya. 7. Pengamatan Interaksi Langsung Khamir dengan A. parasiticus secara in vitro (Modifikasi Chan dan Tian 2005) Sebanyak 8 ml medium PDA dituang ke dalam cawan Petri. Setelah membeku, diletakkan agar (berdiameter 5 mm) yang mengandung miselium A. parasiticus (berumur 3-4 hari) di atas permukaan agar PDA. Setelah diinkubasi selama 72 jam pada suhu 28-30o C, 50 µl suspensi khamir (10 8 sel khamir/ml) diteteskan pada bagian tepi miselium kapang yang tumbuh dan diinkubasi kembali selama 48 jam. Selanjutnya terhadap koloni yang tumbuh di cawan Petri dicuci dengan air mengalir selama 30 detik dan kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya. 8. Uji Pengaruh Filtrat Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992) Mula-mula disiapkan filtrat kapang atau khamir dengan menumbuhkan isolat kapang (umur 7 hari) dan isolat khamir (umur 2 hari) pada medium PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28-30o C.
Selanjutnya
dilakukan pemisahan miselium kapang dengan filtratnya, kemudian filtrat disaring kembali dengan membran filter Whatman 0,2 µm. Sedangkan untuk mendapatkan filtrat khamir, sel khamir dipisahkan menggunakan sentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm 15 menit, selanjutnya filtrat disaring kembali menggunakan membran filter Whatman 0,2 µm. Filtrat kapang atau khamir kemudian diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 28-30oC
selama 12 hari.
Selain itu juga dilakukan percobaan
suplementasi medium MEB (Malt Extract Broth) terhadap filtrat kapang/khamir dengan komposisi 1:1 yang bertujuan untuk mengetahui
28
aktivitas filtrat kapang/khamir setelah penambahan nutrisi terhadap pertumbuhan
A.
parasiticus
dan
biosintesis
aflatoksin.
Filtrat
kapang/khamir yang disuplementasi dengan medium MEB selanjutnya diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml. Sebagai kontrol, 0,5 ml suspensi spora A. parasiticus 106 spora/ml diinokulasi ke dalam medium MEB tanpa filtrat kapang/khamir. Selanjutnya diukur berat kering miselium, kadar aflatoksin dan nilai pH pada hari ke-3, 6, 9 dan 12. 9. Uji Kemampuan Kapang dan Khamir Aflatoksin (Modifikasi Sardjono et al. 1992)
dalam
Mendegradasi
Mula-mula disiapkan filtrat aflatoksin yang diproduksi langsung dari A. parasiticus dengan cara menumbuhkan kapang A. parasiticus (umur 7 hari) pada medium PDB dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 28-30oC. Selanjutnya dilakukan pemisahan miselium kapang dengan filtratnya, kemudian filtrat disaring kembali dengan membran filter Whatman 0,2 µm. Selanjutnya aflatoksin dicampur dengan medium MEB (1:1) lalu diinokulasi dengan 0,5 ml suspensi spora kapang uji atau 0,5 ml suspensi khamir uji, diinkubasi selama 12 hari pada suhu 28-30oC. Se bagai kontrol, campuran aflatoksin dengan medium MEB diinkubasi dengan suhu dan waktu yang sama namun tanpa inokulasi spora kapang atau sel khamir. Selanjutnya diukur kadar aflatoksin dan nilai pH pada hari ke-0, 3, 6, 9 dan 12. 10. Ekstraksi Aflatoksin (Heathcot 1984) Sebanyak 10 ml filtrat sampel yang mengandung aflatoksin ditambahkan dengan 10 ml kloroform, lalu dihomogenisasi dengan blender selama 2 menit selanjutnya dikocok selama 30 menit, dan kemudian dimasukkan ke dalam labu pemisah sehingga terbent uk dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah (kloroform).
29
Lapisan bawah yang mengandung aflatoksin disaring melalui natrium sulfat
anhidrat,
menggunakan
kemudian
rotavapor.
larutan
ekstrak
Residu
yang
ini ada
diuapkan dilarutkan
dengan kembali
menggunakan kloroform. Hasil ekstraksi tersebut selanjutnya dianalisis untuk mengetahui kadar aflatoksinnya. 11. Analisis Aflatoksin (AOAC 1995) Analisis aflatoksin dilakukan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) satu dimensi dengan fase gerak kloroform : aseton = 9:1. Plat TLC yang digunakan adalah plat dengan fase diam Silica Gel 60 (MERCK). Tahap identifikasi dilakukan dengan cara menyuntikkan cairan sampel dan larutan standar (secara kuantitatif) pada lempeng kromatografi. Setelah itu lempeng kroma tografi dielusi di dalam bejana berisi fase gerak kloroform : aseton 9:1, kemudian dikeringanginkan.
Hasil elusi yang telah
dikeringkan diamati di bawah lampu UV dengan panjang gelombang 365 nm. Nilai Rf (Rate of Flow) dari fluoresensi bercak sampel dan standar dibandingkan.
Aflatoksin dikatakan positif apabila Rf sampel sama
dengan standar (deteksi aflatoksin secara kualitatif). Kadar aflatoksin pada sampel (deteksi aflatoksin secara semi kuantitatif) diperoleh dengan membandingkan intensitas fluoresensinya dengan deret standar aflatoksin.
Kadar aflatoksin ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : S x Y x V x Fp Kadar aflatoksin (ppb) = WxZ Keterangan : S :
Volume aflatoksin standar (µl) yang memberikan perpendaran setara dengan Z µl sampel
Y :
Konsentrasi aflatoksin atandar dalam µg/ml
Z :
Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran setara dengan S µl standar aflatoksin
30
V :
Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (µl)
W :
Volume sampel (ml)
Fp :
Faktor pengenceran
12. Pengukuran pH (Apriyantono et al. 1989) Nilai pH diukur menggunakan alat pHmeter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Elektroda yang sudah kering dicelupkan ke dalam sampel, sehingga beberapa saat kemudian diperoleh pembacaan yang stabil.
13. Pengukuran Berat Kering Miselium (Gourama dan Bullerman 1995) Miselium kapang disaring menggunakan kertas saring berdiameter 11 cm (sudah dikeringkan terlebih dahulu) menggunakan alat penyaring vakum lalu dicuci dua kali dengan akuades dan dikeringkan pada oven suhu 105oC sampai berat konstan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Kapang dan Khamir Ragi Tape Berdasarkan hasil pengumpulan sampel ragi tape, terlihat bahwa masingmasing daerah memiliki produk ragi tape tersendiri, kecuali ragi tape NKL yang dapat ditemukan di tiga wilayah di pulau Jawa yaitu Semarang, Yogyakarta dan Madiun.
Sebanyak 13 sampel ragi tape telah berhasil diisolasi kandungan
mikroorganismenya dan diperoleh sebanyak 24 isolat kapang dan 13 isolat khamir yang dapat dikelompokkan menjadi 5 Genus yaitu Mucor/Chlamydomucor, Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan Saccharomyces. Selanjutnya dilakukan identifikasi kapang lebih lanjut sampai ke tingkat spesies kecuali Genus Aspergillus, sedangkan identifikasi khamir hanya sampai tingkatan Genus mengingat keterbatasan uji-uji fisiologis yang dilakukan.
Hasil isolasi dan
identifikasi kapang dan khamir dari ragi tape secara lengkap terangkum dalam Tabel 4. Sedangkan karakteristik dan hasil pengamatan secara makroskopis dari isolat kapang dan khamir dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6 serta Gambar 5 dan 6. Tabel 4. Hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir ragi tape Asal Daerah DKI Jakarta
Bandung
Nama Ragi
Isolat Kapang dan Khamir
Kereta Kencana
Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 2. Chlamydomucor oryzae., Rhizopus nigricans. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Rhizopus arrhizus. Rhizopus oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Rhizopus oryzae, Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 2. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp. 1, Saccharomyces sp. Chlamydomucor oryzae, grup Aspergillus niger, Aspergillus sp, Saccharomycopsis sp 1. Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii Chlamydomucor oryzae., Mucor rouxii, Saccharomycopsis sp 1., Saccharomyces sp. Chlamydomucor oryzae., Saccharomycopsis sp 2., Saccharomyces sp. Mucor rouxii, Rhizopus nigricans, Saccharomycopsis sp 1.
Gunung Tanpa Merek Cakra Matahari Berlian
Semarang
Sae Super Gedang
Rembang
Na Kok Liong (NKL) Sidojoyo
Yogyakarta
MK Kalasan NKL
Madiun
NKL Tanpa Merek
32
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Gambar 5. Foto mikrograf isolat kapang dengan perbesaran 400x (1) Mucor rouxii (2) Chlamydomucor oryzae (3) Rhizopus nigricans (4) R. oryzae (5) R. arrhizus (6) grup Aspergillus niger Tabel 5. Karakteristik isolat kapang ragi tape Karakteristik isolat kapang
Hasil identifikasi kapang
Diameter sporangium < 100µm, berwarna putih Mucor rouxii sampai coklat keemasan, tumbuh pada suhu 37o C, spora berukuran 4-5µm Miselium berwarna putih, tidak membentuk spora Chlamydomucor oryzae atau konidia, klamidospora terdapat dalam jumlah banyak yang dibentuk di dalam hifa miselium terisolasi atau terletak dalam larikannya dengan ukuran yang berbeda-beda Rhizoid berkembang dengan baik, spora Rhizopus nigricans berukuran 9-12 x 7,5-8µm
33
Karakteristik isolat kapang Hasil identifikasi kapang Rhizoid berkembang dengan baik, spora Rhizopus oryzae berukuran 7-9 x 4,5-6µm Rhizopus jarang ditemukan dan pendek, Rhizopus arrhizus sporangiofora tidak membengkak dan panjangnya lebih dari 150µm Kepala konidia berwarna hitam atau coklat tua, Grup Aspergillus niger berbetuk bulat, tumbuh baik dan bersporulasi pada medium Czapeks agar
(1)
(2)
(3)
Gambar 6. Foto mikrograf isolat khamir perbesaran 400x (1) Saccharomycopsis sp. 1 (2) Saccharomycopsis sp. 2 (3) Saccharomyces sp.
34
Tabel 6. Karakteristik isolat khamir ragi tape Karakteristik isolat khamir
Hasil identifikasi khamir
Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh Saccharomycopsis sp1. membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilas i dekstrosa, sukrosa, maltosa, dan rafinosa Koloni berwarna putih krem, sel tumbuh Saccharomycopsis sp.2 membentuk miselium sejati, berseptat dan bercabang, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi (lemah) dekstrosa, sukrosa dan maltosa, dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa Koloni berwarna putih krem, licin, sel berbentuk Saccharomyces sp. oval atau bulat berukuran (6,75-13,5µm) x (6,7527µm), sel tunggal atau bergerombol, tidak membentuk pseudomiselium, dapat tumbuh pada suhu 37o C, tidak dapat membentuk pati ekstraseluler, dapat melakukan fermentasi) dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa dan rafinosa, dapat melakukan asimilasi dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, rafinosa dan trehalosa
Pada Tabel 4 terlihat bahwa kapang yang sering ditemukan pada sampel ragi tape adalah Chlamydomucor oryzae dan Mucor rouxii, selain itu juga ditemukan Rhizopus nigricans, R. oryzae, R. arrhizus dan grup Aspergillus niger. Sedangkan khamir yang sering dijumpai adalah Saccharomycopsis sp1., selain itu juga ditemukan Saccharomyces sp. pada semua sampel ragi tape NKL. Khamir Saccharomycopsis sp merupakan nama baru dari Endomycopsis. Saono (1982) telah melakukan penelitian isolasi mikroorganisme dari 25 sampel ragi tape yang berasal dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan kandungan mikroorganisme ragi tape
sangat bervariasi karena terdapat keragaman bahan-bahan pembuatan ragi tape khususnya bumbu rempah-rempah yang digunakan. Jenis mikroorganisme yang berhasil
diisolasi
adalah Amylomyces,
Mucor,
Rhizopus,
Endomycopsis
(Saccharomycopsis), Saccharomyces, Hansenula, Candida, Pediococcus dan Bacillus
35
Dwijoseputro (1976) menemukan kapang Aspergillus oryzae, khamir Candida parapsilosis, C. melinii, Hansenula subpelliculosa, H. anomala dan H. malanga nov. sp pada ragi tape asal Malang.
Sedangkan ragi tape asal
Surakarta dapat dijumpa i adanya kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii) dan khamir C. laktosa. Isolasi dan identifikasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masingmasing ragi tape mengandung lebih dari satu jenis mikroorganisme dan di antara sampel ragi tape tidak terdapat kesamaan kandungan mikroorganisme. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Saono (1982) bahwa jenis kapang dan khamir yang terdapat dalam ragi tape bermacam-macam tergantung asal dan cara ragi dibuat. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Saono (1982) dan Dwijoseputro (1976), jenis isolat yang diperoleh secara umum hampir sama yaitu Genus Mucor, Chlamydomucor/Amylomyces, Rhizopus, Aspergillus, Saccharomycopsis dan Saccharomyces, namun ada beberapa isolat khamir yang tidak ditemukan dalam penelitian ini yaitu Candida dan Hansenula.
Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan mikroorganisme yang terdapat di dalam ragi secara umum tidak berubah banyak walaupun sudah diproduksi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, walaupun demikian variasi kandungan mikroorganisme di antara ragi tape masih cukup tinggi. Kapang Chlamydomucor oryzae (Amylomyces rouxii) dan khamir Saccharomycopsis
sering dijumpai karena mikroorganisme tersebut bersifat
amilolitik yang sangat berperan dalam proses pembuatan tape. mikroorganisme dalam ragi tape terangkum dalam Tabel 7.
Peranan
Rahayu dan
Suliantari (1990) menyebutkan proses fermentasi tape dibagi menjadi dua tahap yaitu pembuatan pati menjadi gula sederhana oleh kerja kapang dan perubahan gula menjadi alkohol oleh kerja khamir. Mikroba yang diduga paling berperan dalam
fermentasi
tape
adalah
Amylomyces
rouxii,
(Saccharomycopsis) burtonii dan Saccharomyces cereviseae.
Endomycosis
36
Tabel 7. Peranan mikroorganisme dalam ragi tape *) Grup mikroorganisme Kapang amilolitik
Genus Amylomyces Mucor Rhizopus
Khamir amilolitik
Endomycopsis / Saccharomycopsis Saccharomyces Hansenula Endomycopsis / Saccharomycopsis Candida Pediococcus Bacillus
Khamir non amilolitik
Bakteri asam laktat Bakteri amilolitik *) Saono (1982)
Peranan Sakarifikasi dan likuifier Sakarifikasi dan likuifier Likuifier (lemah) dan penghasil alkohol Sakarifikasi dan penghasil aroma (lemah) Penghasil alkohol Penghasil aroma yang sedap Penghasil aroma spesifik Penghasil aroma spesifik Penghasil asam laktat Sakarifikasi
Kemampuan Isolat Kapang dan Khamir dalam Mereduksi Kandungan Aflatoksin Isolat kapang dan khamir yang diisolasi dari ragi tape memiliki kemampuan yang bervariasi dalam mereduksi aflatoksin (Tabel 8, Lampiran 8). Kapang Chlamydomucor oryzae asal Ragi Gedang memiliki kemampuan terendah dalam mereduksi aflatoksin total yaitu sebesar 39,5%, sedangkan kapang M. rouxii asal Ragi Gedang memberikan persentase reduksi aflatoksin tertinggi pada semua jenis aflatoksin yang diproduksi A. parasiticus yakni 99,4% untuk AFB1 dan AFB2 ; 99,9% untuk AFG1 dan AFG2, dan aflatoksin total sebesar 99,7%. Persentase reduksi total aflatoksin oleh khamir ragi tape berkisar antara 72,4-98,1% dengan isolat Saccharomyces sp. asal Ragi NKL memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin dibandingkan jenis khamir lainnya yakni sebesar 95,9% AFB1 ; 97,1% AFB2; 89,4% AFG1; 99,1% AFG2 dan 98,1% aflatoksin total. Kapang M. rouxii, Chlamydomucor oryzae dan Saccharomycopsis sp. yang berasal dari ragi tape yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam mereduksi aflatoksin. Menurut Suzzi et al (1995), aktivitas biokontrol tidak sepenuhnya tergantung pada spesies atau genus karena setiap galur memiliki karakteristik yang spesifik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang
37
menunjukkan dari 12 galur S. cereviseae yang diuji aktivitas penghambatannya, ternyata masing-masing galur memiliki aktivitas penghambatan yang bervariasi, di mana S. cerevisiae galur N 826 dan N 831 mampu menghambat 9 jenis kapang patogen yang diuji sementara galur lainnya hanya sekitar 6-8 jenis kapang patogen. Tabel 8 Reduksi aflatoksin oleh isolat kapang dan khamir ragi tape Isolat kapang/khamir 1 Mucor rouxii 2 Mucor rouxii 3 Chlamydomucor oryzae. 4 Chlamydomucor oryzae. 5 Grup Aspergillus niger 6 Rhizopus nigricans 7 Rhizopus oryzae. 8 Saccharomycopsis sp. 9 Saccharomycopsis sp. 10 Saccharomyces sp.
Persentase reduksi aflatoksin
Ragi Tanpa Merek Gedang MK Kalasan Gedang Sidojoyo Tanpa Merek Cakra Matahari Berlian Gedang NKL
AFB1 45,8 99,4 98,3
AFB2 20 99,4 99,1
AFG1 82,6 99,9 99,7
AFG2 25 99,9 99,6
Total 61,4 99,7 99,3
55
54
15,8
76,6
39,5
99,2 48,7 66,7 71,6 77,1 95,9
99,2 62,5 53,3 85,9 77,5 97,1
99,5 80,2 55,6 89,4 68,7 89,4
99,5 81,3 33,3 89,7 64,3 99,1
99,4 73,1 54,7 86,2 72,4 98,1
Menurut Horn dan Wicklow (1983) A. niger dapat menghambat produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus pada biji jagung sebesar 70-96%. Fusarium moniliforme,
Trichoderma
viride
dan
R. nigricans
dapat
menghambat
pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin sebesar 73,2 % ; 80,9 %; dan 45,4% (Choundary 1992). Hasil penelitian Faraj et al (1993) menunjukkan A. niger, R. oryzae dan M. racemosus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan A. flavus mampu mereduksi aflatoksin yang dihasilkan sebesar 47,3 % ; 44,4 % dan 39,5 %. Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan di atas, terlihat bahwa beberapa isolat kapang ragi tape memiliki kemampuan mereduksi aflatoksin cenderung lebih baik, misalnya R. nigricans mampu mereduksi aflatoksin 73,1% sementara hasil penelitian Horn dan Wicklow (1983) menunjukkan penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin sebesar 45,4%. Perbedaan hasil reduksi aflatoksin di atas dapat disebabkan oleh perbedaan galur kapang antagonis yang digunakan serta metode pengujian yang digunakan di dalam penelitian.
38
Kemampuan Penghambatan Kapang dan Khamir terhadap Pertumbuhan A. parasiticus
Pada penelitian selanjutnya dipilih satu jenis isolat kapang dan satu jenis isolat khamir yang memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin yaitu M. rouxii dan Saccharomyces sp. Dasar pertimbangan pemilihan kedua isolat ini adalah selain memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tinggi, kedua isolat sering digunakan dalam proses pengolahan pangan sehingga relatif lebih aman untuk diaplikasi.
Kapang M. rouxii sering digunakan pada proses
sakarifikasi pati (Rahman 1990), di samping itu Genus Mucor dikenal juga sebagai kapang the first saprophytic colonizer (Botha dan du Preez
2000).
Sedangkan khamir Saccharomyces sp. diketahui banyak berperan dalam proses fermentasi produk pangan dan juga di bidang peternakan sebagai sumber nutrisi. Pada
uji
reduksi
aflatoksin
sebelumnya
terlihat
bahwa
kapang
Chlamydomucor oryzae asal Ragi MK Kalasan dan Grup Aspergillus niger asal Ragi Sidojoyo juga memiliki persentase reduksi aflatoksin yang tidak jauh berbeda dengan M. rouxii asal ragi Gedang yaitu sekitar 99%.
Namun ada beberapa pertimbangan
sehingga kedua isolat tersebut tidak terpilih yaitu kapang C. oryzae diketahui tidak membentuk spora atau konidia tetapi hanya klamidospora, sehingga dikhawatirkan secara teknis akan berpengaruh pada saat proses perbanyakan kapang. Sedangkan kapang grup A. niger
tidak
(Aspergillosis)
terpilih pada
karena
hewan
A. niger berindikasi menyebabkan mikosis setelah
A.
fumigatus
dan
A.
flavus
http://www.myology.adelaide.edu.au/Fungal_Des riptions/Hyphomyetes_(hyaline)/Asper gillus /niger.html).
Penghambatan
pertumbuhan
kapang
oleh
mikroorganisme
dapat
disebabkan oleh adanya kompetisi nutrisi dan ruang, senyawa filtrat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau perbedaan waktu generasi kedua mikroorganisme. Berdasarkan uji penghambatan pertumbuhan A. parasiticus terlihat bahwa kedua isolat M. rouxii dan Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus. Kapang M. rouxii dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus sampai hari ke -6 waktu inkubasi, kemudian terjadi pertumbuhan walaupun jumlahnya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 7, Lampiran 9).
39
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii diduga terjadi akibat adanya kompetisi nutrisi di antara kedua kapang.
Sepe rti yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa Genus Mucor bersifat the first saprophytic colonizer (Botha dan du Preez 2000) sehingga diduga kapang M. rouxii memiliki kemampuan untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan A. parasiticus. Menurut Dharmaputra et al. (2003), kapang yang mampu memperbanyak diri lebih cepat dibandingkan A. flavus berpotensi untuk mengendalikan pertumbuhan A. flavus sehingga dapat mencegah serangan A. flavus pada biji kacang tanah. Pada Gambar 9 terlihat bahwa pertumbuhan kapang M. rouxii yang diinokulasi bersama A. parasiticus maupun kontrol M. rouxii menunjukkan pola pertumbuhan yang yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi nutrisi antara kedua kapang tidak berpengaruh terhadap M. rouxii. 7 Log CFU/ml)
6 5
A
4
B C
3
D
2 1 0 0
3 6 Waktu (hari ke-)
9
Gambar 7. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh M. rouxii, A, A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; C, Jumlah M. rouxii di dalam campuran A. parasiticus dan M. rouxii ; D, M. rouxii yang ditumbuhkan secara tunggal Selain akibat kompetisi nutrisi, penghambatan pertumbuhan A. parasiticus diduga disebabkan juga oleh senyawa filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii. Menurut Faraj et al. (1993) kapang Rhizopus sp menghasilkan filtrat yang dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dan atau produksi aflatoksin. Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus sebesar 3 satuan log dalam waktu 3 hari inkubasi (Gambar 8, Lampiran 10). Aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. dapat disebabkan oleh pertumbuhan
40
Saccharomyces sp lebih cepat dibandingkan A. parasiticus sehingga terjadi kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba tersebut. Hasil penelitian Suzzi et al. (1995) menunjukkan S. cerevisiae N 826 dan N 831 dari buah beri anggur dapat menghambat pertumbuhan kapang patogen pada buah dan tanah seperti Cladosporium variable, Rhizoctonia fragariae, Phomopsis longicolla, Aspergillus niger, Sclerotinia sclerotiorum, Penicillium digitatum, Macrophomina phseolina, Trichoderma viride dan Botrytis squamosa. Pertumbuhan Saccharomyces sp. dengan atau tanpa A. parasiticus menunjukkan pola yang serupa (Gambar 8, Lampiran 10).
Seperti halnya
M. rouxii, kompetisi nutrisi antara A. parasiticus dan Saccharomyces sp. tidak
Log CFU/ml
berpengaruh terhadap pertumbuhan Saccharomyces sp. 9 8 7 6
A
5 4
B C
3 2 1
D
0 0
2
4 6 Waktu (hari ke-)
8
10
Gambar 8. Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh Saccharomyces sp., A, A. parasiticus yang ditumbuhkan secara tunggal ; B, Jumlah A. parasiticus di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; C, Jumlah Saccharomyces sp. di dalam campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. ; D, Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal Pada hari terakhir inkubasi, terhadap campuran antara A. parasiticus dan M. rouxii serta campuran A. parasiticus dan Saccharomyces sp. dilakukan pengamatan secara morfologi menggunakan kultur slide.
Berdasarkan
pengamatan secara visual, A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan M. rouxii ataupun Saccharomyces sp. mengalami perubahan morfologi di
41
antaranya ukuran vesikel menjadi lebih kecil dan jumlah phialid yang terbentuk menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol (Gambar 9).
(1)
(2)
(3) Gambar 9.
Pengaruh M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap morfologi A. parasiticus setelah inkubasi bersama selama 9 hari (1) Kontrol A. parasiticus (2) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersama -sama dengan M. rouxii (3) A. parasiticus yang ditumbuhkan bersamasama dengan Saccharomyces sp (perbesaran 1000x)
Vesikel merupakan bagian dari struktur Aspergillus yang terbentuk dari konidiofora yang mengalami pembengkakan.
Vesikel lalu akan membentuk
phialid, dan selanjutnya phialid merupakan bagian untuk memproduksi konidia (Bhatnagar et al. 2000). Apabila bentuk dan ukuran vesikel berubah serta jumlah phialid yang terbentuk menjadi lebih sedikit, hal ini diduga akan berpengaruh
42
terhadap proses perbanyakan
A. parasiticus karena berkaitan dengan jumlah
konidia yang terbentuk. Hasil penelitian Razzaghi-Abyaneh et al. (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan visual pada miselium A. parasiticus yang diiris melintang setelah diberi perlakuan ekstrak daun neem sebesar 1,56% akan terjadi pembentukan vakuola pada sitoplasma miselium, sementara bila konsentrasi ekstrak dinaikkan menjadi 50% akan terjadi gangguan pembentukan dinding sel miselium. Zohri et al. (1997) melaporkan bahwa A. parasiticus var. globosus IMI 120920 yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung natrium selenit 0,5 % menyebabkan perubahan bentuk pada sterigmata dan ujung konidia telah bergerminasi walaupun masih di dalam rantai konidia, sedangkan bila ditumbuhkan pada medium yang mengandung kalium telurit 0,5% akan menyebabkan sterigmata dan konidia membesar serta konidiofor menjadi lebih ramping dan membentuk cabang seperti bentuk Penicillium. Selain itu hasil pengamatan morfologi pada kultur slide juga menunjukkan bahwa ukuran sel Saccharomyces sp. mengalami perubahan menjadi lebih kecil. Sel Saccharomyces sp. yang ditumbuhkan secara tunggal memiliki ukuran (6,75-13,5µm) x (6,75-27µm), sedangkan yang ditumbuhkan bersamaan dengan A. parasiticus, ukuran sel menjadi (4-12µm) x (4-21µm) (Gambar 9). Hasil penelitian Xu et al. (2003) menunjukkan bahwa spora A. flavus subsp parasiticus yang ditumbuhkan bersama-sama dengan L. plantarum ATCC 8014 akan mengalami pembengkakan, sementara L. plantarum ATCC 8014 sendiri juga mengalami perubahan ukuran sel menjadi lebih besar dengan adanya A. flavus subsp. parasiticus. Kemampuan Saccharomyces sp. menghambat pertumbuhan A. parasiticus selain disebabkan oleh kompetisi nutrisi di antara kedua mikroba, diduga juga disebabkan oleh
Saccharomyces sp. menghasilkan enzim β-glukonase yang
dapat melisis dinding sel kapang A. parasiticus. Menurut Ray (2001) sel khamir dapat menempel dengan kuat pada miselia kapang dan memproduksi β-glukonase
yang
dapat
melisis
dinding
sel
kapang.
enzim
Kemampuan
Saccharomyces sp. dalam melisis miselia kapang A. parasiticus dapat diketahui melalui uji interaksi langsung khamir dengan kapang secara in vitro menurut
43
modifikasi metode Chan dan Tian (2005). Pada Gambar 10 terlihat bahwa sel Saccharomyces sp. dapat menempel pada hifa A. parasiticus dan hal ini diduga karena aktivitas enzim β-glukonase yang diproduksi Saccharomyces sp.
Gambar 10. Interaksi Langsung Saccharomyces sp. dengan A. parasiticus (perbesaran 400x) Hasil penelitian Chan dan Tian (2005) menunjukkan aktivitas enzim β-1,3-glukonase dan ekso-kitinase khamir Pichia membranefaciens lebih tinggi dibandingkan Cryptococcus albidus.
Kondisi ini menyebabkan kemampuan
khamir P. membranefaciens menempel pada kapang patogen Monilinia fructicola, Penicillium expansum dan Rhizopus stolonifer menjadi lebih tinggi dibanding khamir C. albidus. Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik filtrat M. rouxii
maupun
Saccharomyces sp dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus (Gambar 11 dan 12 .
Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium
mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke -3,6, 9, dan 12 berturut-turut 1,04 ; 1,42 ; 1,91 ; 1,57 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 11).
berat kering miselia (mg/ml)
44
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
3
6 9 waktu (hari) A
12
B
Gambar 11 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap berat kering miselia A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Fenomena serupa juga terlihat pada pertumbuhan A. parasiticus pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. A. parasiticus dapat tumbuh pada medium yang hanya mengandung filtrat Saccharomyces sp. walaupun pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kontrol (Gambar 12). 2.5
2
1.5
1
0.5
0 0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 12 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap berat kering miselia A. parasiticus A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 0,89 ; 0,79 ; 1,34 ; 0,92 mg/ml.
Sedangkan
kontrol A. parasiticus yang
ditumbuhkan pada medium MEB menghasilkan berat kering miselium sebagai
45
berikut 1,88 ; 2,24 ; 1,83 ; dan 1,62 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 12). Menurut Rahman (1990), kapang genus Mucor dapat memproduksi asam fumarat, suksinat, sitrat ataupun laktat. Sedangkan Saccharomyces sp. dapat menghasilkan filtrat seperti etanol, gliserol, asam asetat, asam piruvat, asam suksinat, asam á-ketoglutarat, dan asam fumarat pada medium yang mengandung amonium (Albers et al. 1996).
Filtrat-filtrat tersebut di atas diduga dapat
menghambat pertumbuhan A. parasiticus.
Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menyebutkan bahwa asam suksinat 6% dan asam sitrat 8% dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus sedangkan etil alkohol 3%, asam α-ketoglutarat 4% dan asam piruvat 5%
dapat menjadi sumber karbon bagi
pertumbuhan A. parasiticus namun berat kering miselium yang terukur masih lebih rendah dibandingkan bila menggunakan glukosa sebagai sumber karbon. 20
3
(1)
18 16
(2)
2.5
14
2
12 10
1.5
8 6
1
4
0.5
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari)
B
A
B
3.5
kadar AFG2 (ppb)
18
(3)
16 14 12 10 8 6 4 2
(4)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0 0
3
6
9
12
0
waktu (hari) A
B
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 13 Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap kadar aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4) G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii
Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus oleh filtrat M. rouxii berpengaruh juga terhadap biosintesis aflatoksin.
Filtrat M. rouxii mampu
46
menghambat biosintesis keempat jenis aflatoksin yang dihasilkan A. parasiticus yaitu Aflatokain B1, B2, G1 dan G2 (Gambar 13, Lampiran 15 dan 16). Penurunan kemampuan biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh filtrat M. rouxii yang dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Menurut Choundary (1992), metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang dapat menyebabkan perubahan
lingkungan
biokimia
dari
substrat,
yang
selanjutnya
akan
mempengaruhi biosintesis aflatoksin. Biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 oleh A. parasiticus juga dapat dihambat pada saat kapang tersebut ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. sehingga kadar aflatoksin yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 14, Lampiran 19 dan 20). Terhambatnya pertumbuhan A. parasiticus oleh adanya filtrat Saccharomyces sp. diduga menjadi penyebab biosintesis aflatoksin juga menurun. 20
3
(1)
(2)
2.5
15
2 10
1.5 1
5
0.5 0 0
3
6
9
0
12
0
3
waktu (hari)
6 waktu (hari) A
A
12
9
12
B
B
18
3.5
(3)
16
9
(4)
3
14
2.5
12 10
2
8
1.5
6
1
4 2
0.5
0 0
3
6
9
12
0 0
waktu (hari) A
B
3
6 waktu (hari) A
B
Gambar 14 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 dari A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp.
47
Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005) menunjukkan bahwa medium yang mengandung filtrat Candida sp. dapat menghambat pertumbuhan A. flavus sekaligus biosintesis aflatoksin. Hua et al. (1999) menyatakan bahwa khamir Pichia anomala WRL-076 dapat menghambat biosintesis aflatoksin. Pada Gambar 13 dan 14 terlihat bahwa biosintesis aflatoksin mencapai titik tertinggi pada hari ke-9 inkubasi dan pada hari ke-12 mengalami penurunan. Menurut Marth dan Doyle (1979), produksi aflatoksin maksimal terjadi setelah inkubasi 5-9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin menurun. Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas enzim P450 monooksigenase yang berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987). Pengaruh Filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang Disuplementasi MEB (1:1) terhadap Pertumbuhan A. parasiticus dan Biosintesis Aflatoksin Pertumbuhan A. parasiticus di dalam medium yang mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB (Gambar 15). Berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya yang mengandung filtrat M. rouxii pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,66 ; 5,04 ; 4,38 ; 3,43 mg/ml. Sedangkan kontrol A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium normal menghasilkan berat kering miselium sebagai berikut 2,54 ; 3,67 ; 3,00 ; dan 2,34mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 13). 6 5 4 3 2 1 0 0
3
6 9 waktu (hari) A
12
B
Gambar 15. Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
48
Demikian halnya dengan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) juga mengalami peningkatan pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berat kering miselium (Gambar 16). Nilai berat kering miselium A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium yang diperkaya pada hari ke-3,6, 9, dan 12 berturut-turut 3,28 ; 2,84 ; 2,56 ; 2,30 mg/ml. Sedangkan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium MEB memiliki berat kering miselium sebagai berikut 2,52 ; 2,55 ; 2,35 dan 2,02 mg/ml pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (Lampiran 14). 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 16. Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
Peningkatan pertumbuhan A. parasiticus yang ditumbuhkan pada kedua medium di atas diduga disebabkan oleh pengkayaan nutrisi yang berasal dari penambahan MEB sebanyak 50%.
MEB (Malt Extract Broth) merupakan
medium pertumbuhan kapang yang mengandung malt extract, maltosa, dekstrosa dan yeast extract.
Selain itu konsentrasi filtrat kedua mikroba yang menjadi
separuhnya dibandingkan penggunaan filtrat 100% seperti pada penelitian sebelumnya diduga sebagai promotor pertumbuhan kapang.
Hasil penelitian
Graham dan Graham (1987) menunjukkan penggunaan konsentrasi bawang putih 0,3% pada medium YES dapat menghambat pertumbuhan A. parasiticus, namun pada konsentrasi bawang putih 0,1-0,2% ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus.
49
Selain dapat menstimulir pertumbuhan A. parasiticus, filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi MEB (1:1) juga menyebabkan biosintesis aflatoksin menjadi lebih tinggi dibandingkan kontrol . Pada Gambar 17 terlihat bahwa kadar aflatoksin B1, B2, G1, G2 yang dihasilkan oleh A. parasiticus lebih tinggi pada saat A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) 45
7
40
(1)
35
(2)
6
30
5
25
4
20
3
15 2
10 5
1
0 0
3
6
9
12
0
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari) A
B
14
B
2
(3)
12
(4)
1.6
10 1.2
8 6
0.8
4 0.4
2 0
0
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 17 Pengaruh filtrat M. rouxii yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat M. rouxii dan MEB (1:1)
Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang diperkaya dan mengandung filtrat M. rouxii mencapai produksi maksimal pada hari ke -9, hal ini sesuai dengan pernyataan Marth dan Doyle (1979) bahwa produksi aflatoksin maksimum terjadi setelah inkubasi 5-9 hari. A. parasiticus yang ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) mampu melakukan biosintesis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 lebih tinggi dibandingkan bila hanya ditumbuhkan pada medium
50
MEB.
Biosintesis keempat jenis aflatoksin maksimum terjadi pada hari ke-3,
bahkan produksi aflatoksin B1 bisa mencapai 10 kali lipat jika dibandingkan kontrol (Gambar 18). Hal ini diduga disebabkan oleh adanya senyawa gula-gula seperti maltosa, dekstrosa ya ng terkandung di dalam medium setelah suplementasi dengan MEB (1:1) menyebabkan terjadinya peningkatan biosintesis aflatoksin. Hasil penelitian Buchanan dan Lewis (1984) menunjukkan bahwa miselium kapang A. parasiticus yang semula ditumbuhkan pada medium pepton-mineral salts tidak memproduksi aflatoksin, kemudian setelah dipindahkan ke dalam medium glucose -mineral salts, terjadi kenaikan berat miselium sebesar 50% antara 22-53 jam waktu inkubasi. Produksi aflatoksin juga terjadi setelah 23 jam waktu inkubasi dengan produksi maksimum terjadi antara 47-70 jam kemudian menurun. 10000
350
(1)
8000
(2)
300 250
6000
200 150
4000
100
2000
50
0
0
0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari)
A
6
9
12
waktu (hari) A
B
B
160
1600
(3)
1400
(4)
140
1200
120
1000
100
800
80
600
60
400
40
200
20 0
0 0
3
6
9
waktu (hari) A
B
12
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 18 Pengaruh filtrat Saccharomyces sp yang disuplementasi MEB (1:1) terhadap biosintesis aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2, A, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium MEB, B, A. parasiticus ditumbuhkan pada medium mengandung filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1)
51
Secara umum, terjadinya peningkatan aktivitas biosintesis aflatoksin diduga disebabkan oleh adanya suplementasi MEB sebesar 50% dari total campuran medium.
Penambahan medium MEB tersebut ditujukan sebagai
sumber nutrisi bagi kapang A. parasiticus dalam biosintesis aflatoksin selain pengaruh dari filtrat kapang dan khamir kompetitor. MEB (Malt Extract Broth) merupakan medium pertumbuhan kapang yang berisi
malt extract,
maltosa,
dekstrosa dan yeast extract yang dapat digunakan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan dan biosintesis aflatoksin. Dutton (1988) melaporkan jenis gula sukrosa yang disuplementasi dengan yeast extract akan menstimulir produksi aflatoksin. Lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981a) menyebutkan bahwa glukosa atau produk hasil metabolitnya merupakan inducer bagi satu atau lebih enzim yang dibutuhkan dalam biosintesis aflatoksin. Selain pengaruh dari sumber nutrisi pada medium MEB, filtrat yang dihasilkan oleh M. rouxii dan Saccharomyces sp. diduga menyebabkan peningkatan aktivitas biosintesis. Hasil penelitian Shantha dan Murthy (1981) menunjukkan bahwa asam asetat secara tunggal atau dikombinasi dengan asam fumarat dapat mendukung sintesis aflatoksin oleh A. flavus, namun pada saat dikombinasi dengan asam piruvat terjadi penghambatan sintesis toksin. Hal ini diduga disebabkan oleh terbentuknya asam oksaloasetat akibat reaksi antara asam asetat dengan asam piruvat menjadi aktif.
dan kondisi tersebut menyebabkan siklus TCA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asam asetat
merupakan senyawa yang terkandung di dalam filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp., sedangkan asam fumarat terkandung di dalam filtrat M. rouxii. Gliserol yang terkandung di dalam filtrat Saccharomyces sp. diduga juga dapat menstimulir biosintesis aflatoksin.
Hasil penelitian Davis dan Diener
(1968) menunjukkan bahwa gliserol 15% merupakan sumber kar bon yang baik untuk pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin, lebih lanjut Abdollahi dan Buchanan (1981b) mengemukakan bahwa gliserol merupakan senyawa yang dapat menginduksi biosintesis aflatoksin. Gareis et al. (1984)
melaporkan bahwa asam sorbat 0,025% dapat
menstimulir produksi aflatoksin B1 oleh A. flavus. Stimulasi produksi aflatoksin
52
diduga disebabkan kerja senyawa antimikroba dari asam sorbat yang mengganggu kerja siklus TCA (tricarboxylic acid) dan menghambat kerja enzim pada sel seperti suksinat dehidrogenase dan malat dehidrogenase. Siklus TCA diketahui sangat berperan dalam proses katabolisme dan anabolisme kapang.
Apabila
siklus TCA terganggu maka akan terjadi akumulasi asetil-KoA yang merupakan senyawa intermediat dalam biosintesis aflatoksin melalui jalur poliketida.
Kemampuan M. rouxii dan Saccharomyces sp dalam Mendegradasi Aflatoksin Degradasi aflatoksin secara biologi melibatkan transformasi dari molekul aflatoksin menjadi derivat yang kurang toksisitasnya ataupun menjadi tidak toksik. Menurut Mishra dan Das (2003), perlakuan detoksifikasi aflatoksin B1 diharapkan mampu memindahkan ikatan rangkap pada ujung cincin furan atau membuka cincin lakton sehingga toksisitas senyawa aflatoksin B1 menjadi berkurang. 16
5
(1)
14 12
(2)
4
10
3
8 2
6 4
1
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari)
A
B
9
A
14
kadar AFG1 (ppb)
6
12
waktu (hari) B
3.0
(3)
12 10
(4)
2.5 2.0
8
1.5
6
1.0
4
0.5
2
0.0
0 0
3
6
9
waktu (hari) A
B
12
0
3
6
9
12
waktu (hari) A
B
Gambar 19. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh M. rouxii
53
M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat mendegradasi aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus. Degradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 oleh M. rouxii berturut -turut sebesar 76,9 % ; 83,3 %; 77,8 % ; dan 81,8 %, sedangkan Saccharomyces sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 sebesar 36,4 % ; 55,6 %; 37,8 %; dan 46,7% (Gambar 19 dan 20). Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii diduga disebabkan ole h enzim yang dihasilkan oleh kapang tersebut.
Hasil penelitian Cole dan Kirksey (1971)
menunjukkan bahwa R. oryzae dapat memetabolisme aflatoksin G1 menghasilkan AF-1. AF-1 tersebut mulai terdeteksi di dalam kultur R. oryzae pada minggu pertama inokulas i dan proses biodegradasi lengkap terjadi pada minggu ke -4 setelah inokulasi. Proses biodegradasi tersebut dapat disebabkan oleh enzim yang diproduksi selama pertumbuhan kapang R. oryzae. Kapang Rhizopus sp. dan A. flavus non-aflatoksigenik diketahui dapat mengubah aflatoksin B1 menjadi aflatoksikol. Proses degradasi tersebut diduga disebabkan oleh enzim intraseluler yang dihasilkan oleh kedua mikroorganisme (Nakazato et al. 1991)
kadar AFB1 (ppb)
12
4
(2)
(1)
10
3
8 6
2
4 1
2 0
0 0
3
6
9
12
0
3
waktu (hari) A
6
9
12
waktu (hari)
B
A
14
B
3.0
(3)
12 10
(4)
2.5 2.0
8
1.5
6 4
1.0
2
0.5
0 0
3
6 waktu (hari) A
9
B
12
0.0 0
3
6 waktu (hari) A
9
B
Gambar 20. Degradasi aflatoksin (1)B1, (2)B2, (3)G1, (4)G2 oleh Saccharomyces sp.
12
54
Hasil penelitian Cole et al. (1972) menunjukkan bahwa R. arrhizus dapat mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 50-60%, sedangkan Marth dan Doyle (1979) menyatakan bahwa Mucor alternans NRRL 3358 dapat mengubah AFB1 menjadi aflatoksikol dalam waktu 3-4 hari.
Hasil penelitian Purwijantiningsih (2005)
menunjukkan bahwa Rhizomucor pusillus dan Candida sp. mampu mendegradasi aflatoksin B1 sebesar 27,3% dan 50%, sedangkan degradasi aflatoksin B2 oleh kedua mikroba tersebut sebesar 22,7% dan 27,3%. Selain itu degradasi aflatoksin dapat juga disebabkan karena pengikatan aflatoksin oleh mikroorganisme ataupun komponen dari mikroorganisme tersebut. Mannan dan glukan yang terdapat dalam dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin B1 95%, zearalenon 77%, fumonisin 59% dan deoksinivalenol 12% (Galvano et al 2001). Pada Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa kadar aflatoksin total yang tidak diinokulasi dengan M. rouxii dan Saccharomyces sp. mengalami penurunan sebesar 60,77%. Hal ini menunjukkan selama waktu inkubasi 12 hari pada suhu 30o C terjadi perubahan sebagian struktur aflatoksin di dalam campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1). Medium MEB merupakan medium pertumbuhan kapang memiliki nilai pH 4,7 ± 0,2. Kondisi medium MEB yang cenderung asam diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi aflatoksin pada campuran medium MEB dengan aflatoksin (1:1) yang tidak diinokulasi dengan kapang/khamir. Marth dan Doyle (1979) menyebutkan bahwa aflatoksin dapat terdegradasi oleh larutan asam dan basa kuat. Tabata et al. (1994) melaporkan bahwa larutan asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1.
Hasil penelitian Mendez-Albores et al. (2005)
menunjukkan bahwa larutan asam sitrat 1N dapat mendegradasi aflatoksin B1 (93 ng/g)
sebesar 96,7% pada jagung membentuk senyawa yang kurang
mutagenik dibandingkan aflatoksin B1 yakni aflatoksin D1.
Pembentukan
senyawa ini disebabkan oleh medium asam dapat mengkatalisis pembentukan struktur β-keto acid
yang dilanjutkan dengan proses hidrolisis cincin lakton
menghasilkan aflatoksin D1 (senyawa turunan dari dekarboksilasi cincin lakton yang terbuka dari aflatoksin B1).
55
Lebih lanjut Hafez dan Megalla (1982) melaporkan bahwa larutan asam laktat 2% dari silage dapat mendetoksifikasi aflatoksin B1 menjadi senyawa yang kurang toksik yaitu aflatoksin B2a (hidroksidihidro-aflatoksin B1). Selain faktor kondisi asam, degradasi aflatoksin dapat disebabkan oleh adanya kontaminan karena senyawa-senyawa lain yang mungkin terekstrak yang dapat mengganggu kestabilan larutan aflatoksin. Maggon et al. (1977) melaporkan bahwa selain keempat jenis aflatoksin, A. parasiticus dapat menghasilkan senyawa
lain
seperti
sterigmatosistin
dan
senyawa
turunannya
seperti
O-metilsterigmatosistin, aspertoxin serta versikolor C dan A. Senyawa-senyawa tersebut di atas merupakan prekursor-prekursor di dalam biosintesis aflatoksin.
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil isolasi dan identifikasi kapang dan khamir dari ragi tape dapat disimpulkan bahwa ragi tape memiliki tingkat keragaman mikroorganisme yang cukup tinggi,
di mana kapang yang sering dijumpai adalah Chlamydomucor
oryzae dan Mucor rouxii sedangkan Saccharomycopsis sp adalah isolat khamir yang ditemukan hampir di seluruh ragi tape. Semua isolat kapang dan khamir yang teridentifikasi memiliki kemampuan untuk mereduksi kadar aflatoksin. Mucor rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi dalam mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan Saccharomyces sp. asal Ragi NKL adalah isolat khamir dengan reduksi aflatoksin tertinggi yakni sebesar 98,1%. M. rouxii dan Saccharomyces sp. dapat menghambat pertumbuhan dan mempengaruhi morfologi A. parasiticus, namun aktivitas penghambatan Saccharomyces sp. lebih tinggi dibandingkan M. rouxii. Hal ini diduga berkaitan dengan kemampuan khamir Saccharomyces sp. menghasilkan enzim β-glukonase yang dapat melisis miselium A. parasiticus. Baik filtrat M. rouxii maupun Saccharomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan A. parasiticus dan biosintesis aflatoksin. Namun filtrat M. rouxii dan Saccharomyces sp. yang disuplementasi dengan MEB (1:1) ternyata menstimulir pertumbuhan A. parasiticus dan bios intesis aflatoksin. Kemampuan kapang M. rouxii mendegradasi aflatoksin lebih baik dibandingkan khamir Saccharomyces sp. yakni sebesar 76,9 % AFB1; 83,3 % AFB2 ; 77,8 % AFG1; dan 81,8% AFG2, sedangkan Saccharomyces sp. sebesar 36,4 % AFB1; 55,6 % AFB2 ; 37, 8 % AFG1; dan 46,7% AFG2.
57
SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan perlunya peninjauan kembali penggunaan medium APDA untuk mengisolasi khamir dan batasan waktu umur sampel yang akan diidolasi. Mengingat M. rouxii diketahui sebagai kapang the first saprophyte colonizer, oleh sebab itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai suksesi antara M. rouxii dengan A. parasiticus. Isolasi dan pengujian aktivitas enzim β-glukanase yang dihasilkan oleh Saccharomyces sp. dapat diteliti lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemampuan menempel pada hifa kapang. Selain itu, perlunya dilakukan identifikasi metabolit yang terdapat di dalam filtrat Mucor rouxii dan Saccharomyces sp. serta analisis terhadap senyawa turunan aflatoksin yang terbentuk akibat adanya degradasi aflatoksin. Dari hasil penelitian ini perlunya penelitian lanjutan mengenai aplikasi secara teknis penggunaan isolat kapang dan khamir sebagai biokompetitor A. parasiticus dan pereduksi aflatoksin
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Natural Poison. Di dalam : Hoewitz W (ed.). Official Methods Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. 11th ed. Washington DC : Association of Analytical Chemist Abdollahi A, Buchanan RL. 1981a. Regulation of aflatoxin biosynthesis : characterization of glucose as an apparent inducer of aflatoxin production. J. Food. Sci. 46 : 143-416 ________________________. 1981b. Regulation of aflatoxin biosynthesis : induction of aflatoxin pr oduction by various carbohydrates. J. Food. Sci. 46 : 633-635 Albers E, Larsson C, Liden G, Niklasson C, Gustafsson L. 1996. Influence of the nitrogen source on Saccharomyces cerevisiae anaerobic growth and product formation. Appl. Environ. Microbiol. 62(9) : 3187-3195 Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Yasni S, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Bahri S. 1998. Aflatoxin problems in poultry feed and its raw materials in Indonesia. Media Veteriner. 5(2) : 7-13 Bahri S, Maryam R. 2004. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. J. Mikologi Kedokteran Indonesia. 5(1-2) : 31-43 Barnett JA, Payne RW, Yarrow D. 2000. Yeast Characteristic and Identification. 3 rd ed. Cambridge : Cambridge University Press Beuchat LR. 1978. Food and Beverage Mycology. Westport : AVI Publ. Co. Inc.. Bhatnagar D, Cleveland TE, Payne GA. 2000. Aspergillus flavus. Encyclopedia of Microbiology. Vol 1. Robinson RK, Batt CA. Patel PD (eds.). Academic Press. New York. Hlm. 72-79 Botha A, du Preez JC. 2000. Mucor. Encyclopedia of Microbiology. Vol 2. Robinson RK, Batt CA. Patel PD (eds.). Academic Press. New York. Hlm. 1493-1498 Buchanan RL, Lewis DF. 1984. Regulation of aflatoxin biosynthesis : effect of glucose on activities of various glycolytic enzymes. Appl. Environ. Microbiology. 48(2) : 306-310
59
Chan Z, Tian S. 2005. Interaction of antagonistic yeasts postharvest pathogens of apple fruit and possible mode of action. Postharvest Biology and Technology. 36 : 215-223 Choundary AK. 1991. Influence of microbial co-inhibitant on aflatoxin synthesis of Aspergillus flavus on maize kernels. Letter in Appl. Microbiol 14 : 143147. Cole JR, Kirksey JW. 1971. Aflatoxin G1 metabolism by Rhizopus spesies. J. Agr ic. Food Chem. 19(2) : 1100-1102 Cole JR, Kirksey JW, Blankenship BB. 1972. Conversion of aflatoxin B1 to isomeric hydroxy compound by Rhizopus spp. J. Agric. Food Chem. 20(6) :222-223 Daulay D. 1989. Identifikasi Mikroba yang Berperan dalam Fermentasi Tauco. Laporan Penelitian. Laboratorium Mikrobiologi Pangan PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor Davis ND, Diener UL. 1968. Growth and aflatoxin production by Aspergillus parasiticus from various carbon sources. Applied Microbiology. 16(1) : 158-159 De Vries HR, Maxwell SM, Hendrickse RG. 1990. Aflatoxin excretion in children with kwashiorkor or marasmic kwashiorkor – a clinical investigation. Mycopathologia. 110 : 1-9 Devegowda G, Aravind BIR, Rajendra K , Morton MG. 1994. S. cerevisiae to counteract aflatoxicosis in broilers and ducklings. Di dalam : Proceeding of Feed Ingredients Asia’95. Singapore International Convention and Exhibition Centre ; Singapore, 19-21 September 1995. hlm 161-171 Devegowda G, Aravind BIR, Morton MG, Rajendra K. 1995. A biotechnological approach to counteract aflatoxicosis in broiler chickens and ducklings by the use of Saccharomyces cerevisiae. Sustainable Animal Production and the Environment. Proceeding of the 7 t h AAAP Animal Congress ; Bali, 1116 Juli 1994. hlm. 447-449 Dewipadma JK. 1980. Khamir Industri Diisolasikan dari Berbagai Ragi Tape. FATEMETA. IPB. Bogor. Dharmaputra OS, Tjitrosomo HSS, Susilo H, Sulaswati 1991. Aspergillus flavus and aflatoxin of peanuts collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Proceedings of the 12th ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology ; Surabaya, Indonesia, 29-31 Agustus 1989 : 110-123 Dharmaputra OS, Retnowati I, Purwadaria HK, Sidik M. 1996. Surveys on Postharvest Handling, A. flavus infection and aflatoxin contamination of
60
maize collected from farmers and traders. Paper presented at the 17th ASEAN Technical Seminar on Grain Postharvest Technology ; Lumut Perak, Malaysia, 25-27 Juli 1995. ACIAR Technical Reports 37 : 38-53 Dharmaputra OS, Putri ASR. 1996. Aspergillus flavus population and aflatoxin content in maize, maize product and chicken feed. Paper Presented at The National Microbiology Seminar and Annual Meeting ; Malang, Indonesia, 12-13 November 1996 Dharmaputra OS. 2002. Review on aflatoxin in Indonesian food and feedstuffs and their products. Biotropia. 19 : 26-46 Dharmaputra OS, Putri ASR, Retnowati I, Saraswati S. 2003. Penggunaan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan Aspergillus flavus penghasil aflatoksin pada kacang tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia 7(1) : 28-37 Dharmaputra OS, Retnowati I, Ambarwati S, Maysra E. 2005a. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of delivery chain in Cianjur regency, West Java, Indonesia. Biotropia. 24 : 1-19 Dharmaputra OS, Retnowati I, Putri ASR, Ambarwati S. 2005b. Aspergillus flavus infection and aflatoxin contamination in peanuts at various stages of delivery chain in Wonogiri regency, Central Java, Indonesia. Paper presented at International Peanut Conference ; Bangkok, 9-12 Januari 2005 Dutton MF. 1988. Enzymes and aflatoxin biosynthesis. Microbiological Reviews. 52(2) : 274-295 Dwijoseputro D. 1976. Microbiological studies of Indonesian Ragi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Diten DIKTI, Depdikbud. Jakarta. Fan JJ, Chen JH. 1999. Inhibition of aflatoxin -producing fungi by Welsh Onion extract. J. Food Protection. 62(4) : 414-417 Faraj K, Smith JE, Harran G. 1993. Aflatoxin biodegradation : effect of temperature and microbes. Mycological Research. 98 : 1388-1392 Fardiaz S. 1991. Khamir dan Produk Khamir. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. IPB. ________. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta : PT. Grame dia Pustaka Utama Galvano F, Piva A, Ritieni A,Galvano G. 2001. Dietary strategies to counteract the effect of mycotoxin : A Review. J. Food Prot. 64: 120-131
61
Gardener BMS. 2005. Commercial Biocontrol Products Available in The USA for Use against Plant Pathogens. http://www.oardc.ohiostate.edu/apsbcc/productlist2005USA.htm [15 Juni 2005] Gareis M, Bauer J, von Montgelas A, Gedek B. 1984. Stimulation of aflatoxin B1 and T-2 toxin production by sorbic acid. Appl. Environ. Microbiology. 47(2) : 416-418 Gilbert J. 1991. Regulatory aspects of mycotoxins in the European Community and USA. Di dalam : Champ BR, Highley E, Hocking AD, Pitt JI (eds.) Fungi and Mycotoxins in Stored Products. Proceeding of an International Conference ; Bangkok, Thailand. 23-26 April 1991. ACIAR Technical Reports 36. hlm 194-197 Gilman JC. 1957. A Manual of Soil Fungi 2nd ed. Iowa : The Iowa State College Press. Gowda NKS, Malathi V, Suga nthi RU. 2004. Effect of some chemical and herbal compounds on growth of Aspergillus parasiticus and aflatoxin production. Animal Feed Science and Technology. 116 : 281-291 Gourama H, Bullerman LB. 1995. Inhibition of growth and aflatoxin production of Aspergillus flavus by Lactobacillus species. J. Food. Prot. 58 : 12491256 Graham HD, Graham EJF. 1987. Inhibition of Aspergillus parasiticus growth and toxin production by garlic. J. Food Safety. 8 : 101-108 Hafez AH, Megalla SE. 1982. The potential value of silage in detoxifying aflatoxin B1. Mycopathologia. 79(1) : 31-34 (Abstrak) Hamid, Abidin, Smith JE. 1987. Degradation of aflatoxin by Aspergillus flavus. Journal of General Microbiology. 133 : 2023-2029 Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Fo od Microbiology 3rd ed. San Diego : Academic Press Heathcot JG. 1984. Aflatoxin and related toxin. Di dalam : Betina V, (ed.) Mycotoxins : Production, Isolation, Separation & Purification. Amsterdam : Elsevier Sci. Publ. hlm 89-126 Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. 1st ed. Jakarta : Badan Litbang Kehutanan. Hongsprabhas P, Buckle KA. 1998. Cooked and raw cassava fermentation by fungi isolated from traditional fermented food. . Asean Food Journal. 7 : 64-68
62
Horn BW, Wicklow DT. 1983. Factor influencing the inhibition of aflatoxin production in corn by Aspergillus niger. Canadian J. Microbiology. 29 : 1087-1091 http://www.myology.adelaide.edu.au/Fungal_Desriptions/Hyphomyetes_(hyaline)/Asper gillus /niger.html. Myology Online. The University of Adelaide.
Hua ST, Baker JL, Flores-Esperitu M. 1999. Interaction of saprophytic yeast with a nor mutant of Aspergillus flavus. Appl. Environ. Microbiol. 65(6) : 27382740. Huff WE, Kubena LF, Harvey RB, Corrier DE, Mollenhauer HH. 1986. Progression of aflatoxicosis in broiler chickens. Poultry Sci. 65 : 18911899 Jackson PE. 1999. Aflatoxin and liver cancer. Gastroenterology. 13(4) : 545-555
Bailliere’s Clinical
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6t h ed. New York : Chapman Hall Juglal S, Govinden R, Odhav B. 2002. Spice oils for the control of cooccuring mycotoxin -producing fungi. J. Food Protection. 65(4) : 683-687 Kim JG, Lee YW, Kim PG, Roh WS, Shintani H. 2000. Reduction of aflatoxin by Korean soynean paste and its effect on cytotoxicity and reproductive toxicity part 1. Inhibition of growth and aflatoxin production of Aspergillus parasiticus by Korean soybean pa ste (doen-jang) and identification of active component. J. Food Prot. 63 : 1295-1298 Krisnamachari KAVR, Bhat RV, Nagarajan V, Tilak TBG. 1975. Investigation into an outbreak of hepatitis in parts of western India. Indian J. Med. Res. 63: 1036-1048. Di dalam : Bahri S, Maryam R. 2004. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. J. Mikologi Kedokteran Indonesia. 5(1-2) : 31-43 Kubena LF, Harvey RB, Phillips TD, Clement BA. 1993. Effect of hydrate sodium calcium aluminosilicate on aflatoxicosis in broiler chicks. Poultry Sci. 72 (4) 651-657 Lodder J. 1974. The Yeast : A Taxonomic Study 2nd ed. Amsterdam : NorthHolland Publ. Comp Maggon KK, Gupta SK, Venkitasubramanian. 1977. Biosynthesis of aflatoxins. Bacteriological. Reviews. 41(4) : 822-855 Marth EH, Doyle MP. 1979. Update on Molds : Degradation of aflatoxin. Food Technology. 81-87
63
Mendez-Albores A, Arambula-Villa, Loarca-Pina MGF, Castano-Tostado E, Moreno-Martinez E. 2005. Safety and evaluation of aqueous citric acid to degrade B-aflatoxin in maize. Food and Chemical Toxicology. 43 : 233238 Mishra HN, Das C. 2003. A review on biological control and metabolism of aflatoxin. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 43(3) : 245264 Munimbazi C, Bullerman LB. 1998. Inhibition of aflatoxin production of Aspergillus parasiticus NRRL 2999 by Bacillus pumillus. Mycopathologia. 140 : 163-169 Nakazato M, Morozumi S, Saito K, Fujinuma K, Nishima T, Kasai N. 1990. Interconversion of aflatoxin B1 and aflatoxicol by several fungi. Appl. Environ. Microbiology. 56(5) : 1465-1470 Noer S. 2002. Ancaman kanker hati dari makanan tercemar jamur. Kompas 11 September 2002 : 11 Novia N. 1994. Pengaruh Kondisi Pemanasan Basah terhadap Penurunan Kadar Aflatoksin. Skripsi. FATETA. IPB. Bogor Paster N, Lecong Z, Menashrov M, Saphira R. 1999. Possible synergistic effect of nisin and propionic acid on the growth of the mycotoxigenic fungi Aspergillus parasiticus, A. ochraceus and Fusarium moniliforme . J. Food Protection. 62(10) : 1223-1227 Pitt JI, Hocking AD. 1996. Current knowledge of fungi and mycotoxin associated with food commodities in Southeast Asia. Di dalam : Highley E dan Johnson GI (eds.). Mycotoxin and Contamination in Grains. ACIAR.. hlm. 5-10 Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. London : Blackie Academic dan Professional. London Pitt JI, Basilico JC, Abarca ML, Lopez C. 2000. Mycotoxin and toxigenic fungi. Medical Mycology. 38 (Suppl 1) : 41-46 Purwijantiningsih E. 2005. Penghambatan Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin dari Aspergillus flavus oleh Kapang dan Khamir Ragi Tempe. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB Purwoko HM, Hald B, Wolstrup J. 1991. Aflatoxin content and number of fungi in poultry feedstuffs from Indonesia. Letter in Applied Microbiology. 12 : 212-215
64
Rahman A. 1990. Kapang dan Produk Kapang dalam Industri . Bogor : Laboratorium Mikrobiologi Pangan PAU, IPB Rasooli I, Abyaneh MR. 2004. Inhibitory effects of Thyme oils on growth and aflatoxin production by Aspergillus parasiticus. Food Control . 15 : 479483 Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. 2nd ed. New York: CRC Press Razzaghi-Abyaneh M, Allameh A, Tiraihi T, Shams-Ghahfarokhi M, Ghorbanian M. 2005. Morphological alterations in toxigenic Aspergillus parasiticus exposed to neem (Azadirachta indica) leaf and seed aqueous extracts. Mycopathologia. 159 : 565-570 Roedjito D, Anwar F, Damayanthi E. 1994. Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Komoditi Serealia, Kacang-kacangan dan Hasil Olahan di Pasar dan Rumah Tangga. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Ditjen DIKTI, Depdikbud. Jakarta Saono JKD. 1982. Microflora of Ragi : Its composition and as source of industrial yeasts. Proceedings of Technical Seminar Traditional Food Fermentation as Industrial Resources in ASCA Countries , 9-11 Feb 1981. Saono S, Winarno FG, Karjadi D (ed.). LIPI. Jakarta Sardjono, Rahayu K, Sudarmadji S. 1992. Growth and aflatoxin production by Aspergillus oryzae. Asean Food Journal. 7:30-33 Sellitrennikoff CP. 2001. 67(7) : 2883-2894
Antifungal proteins.
Appl. Environ. Microbiology.
Shantha T, Murthy VS. 1981. Influence of tricarboxylic acid cycle intermediates and related metabolites on the biosynthesis of aflatoxin by resting cells of Aspergillus flavus. Appl. Environ. Microbiology. 42(5) : 758-761 Stanley VG, Ojo R, Woldesenbet S, Hutchinson DH. 1993. The use of S. cerevisiae to suppress the effects of aflatoxicosis in broiler chicks. Poultry Sci. 72 : 1867-1872 Suliantari dan Rahayu WP. 1990. Teknologi Fermentasi Umbi-umbian dan Bijibijian. Bogor : PAU Pangan dan Gizi. IPB. Sutikno AI, Haryati T, Suherman D. 1993. Kontaminasi aflatoksin pada ransum itik. Ilmu dan Peternakan. 6(1) : 37-41 Suzzi G, Romano P, Ponti I, Montuschi C. 1995. Natural wine yeast as biocontrol agent. J. Appl. Bacteriol. 78:304-308
65
Syarief R, Nurwitri CC, Ega L. 2003. Mikotoksin pada Bahan Pangan. Bogor : IPB Press. Tabata S, Kamimura H, Ibe A, Hashimoto H, Tamura Y. 1994. Degradation of aflatoxin by food additives. J. Food Protection. 57(1) : 42-47 Taylor WJ, Draughon FA. 2001. Nannocystis exedens : A potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Protection. 64(7) : 1030-1034 Van Egmond HP. 1991. Regulatory aspects of mycotoxins in Asia and Africa. Di dalam : Champ BR, Hingley E, Hocking AD, Pitt JI, eds. Fungi and Mycotoxins in Stored Products. Proceeding of an International Conference ; Bangkok, Thailand. 23-26 April 1991. ACIAR Technical Reports no. 6. hlm 198-204 Wheeler MH, Bhatnagar D, Klich MA. 1991. Effects of chlobenthiazone on aflatoxin biosynthesis in Aspergillus parasiticus and A. flavus. Pesticide Biochemistry and Physiology. 41 : 190-197 Xu J, Wang H, Ji R, Luo X. 2003. Study on the effect of the growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus parasiticus NRRL 2999 in the present of Lactobacillus plantarum ATCC 8014. Wei Sheng Yan Jiu . 32(4) : 334-338 (Abstrak) Zohri AA, Saber SM, Mostafa ME. 1997. Effect of selenite and tellurite on the morphological growth and toxin production of Aspergillus parasiticus var. globosus IMI 120920. Mycopathologia. 139 : 51-57
LAMPIRAN
67
Lampiran 1. Formulasi media pertumbuhan kapang (Pitt dan Hocking 1997)
Czapek Yeast Extract Agar (CYA) K2HPO4 1 g, Czapek pekat 10 ml, larutan kelumit logam (trace metal solution) 1 ml, ekstrak khamir berupa bubuk 5 g, sukrosa 30 g, agar-agar 15 g, akuades 1 liter. Disterilkan di dalam autokklaf pada suhu 121o C selama 15 menit. Nilai pH akhir 6,7. 25% Glycerol Nitrate Agar (G25N) K2HPO4 0,75 g, Czapek pekat 7,5 ml, ekstrak khamir 3,7 g, gliserol AR 250 g, agar-agar 12 g, akuades 750 ml. Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Nilai pH akhir 7,0.
Malt Extract Agar (MEA) Ekstrak malt bentuk bubuk 20 g, pepton 1 g, glukosa 20g, agar-agar 20 g, akuades 1 liter. Disterilkan di dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Lampiran 2.
Komposisi me dium fermentasi dan asimilasi khamir (Lodder 1974)
Medium fermentasi : Yeast etract Pepton Larutan bromcresol purple dalam alkohol 1,5% Gula *) Akuades
5g 10 g 1 ml 20 g 1 ltr
Medium asimilasi : (1) Yeast Nitrogen Base Akuades
6,7 g 100 ml
(2) Agar Noble Akuades
1g 1 ltr
*) gula yang digunakan adalah : dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, laktosa, rafinosa dan trehalosa
68
Lampiran 3.
Kunci untuk penentuan Genus dari Ordo Mucorales (Pitt dan Hocking 1997)
1.
Semua sel reproduksi terdapat pada spikula di sekitar vesikel Beberapa atau semua sel reproduksi berada di dalam sporangium
2(1).
Sel reproduksi, sporangiospora terdapat di dalam kantung berbentuk silindris Syncephalastrum Sel reproduksi terdapat pada sporangiolum Cunninghamella
3(1).
Selain sporangium, terdapat sekelompok kantung spora yang lebih kecil (sporangiolum)
Thamnidium
Hanya ada sporangium, atau ada kolumela yang berasal dari sporangium
4
4(3).
Setelah sporangiospora keluar dari sporangium, kolumela akan membentuk bola, dinding spora halus atau berduri Kolumela berbentuk corong atau payung, dinding spora halus dan beralur
5(4).
Diameter sporangiospora jarang melebihi 5µm Diameter sporangiospora sering me lebihi 5µm
6(4).
Kolumela berbentuk corong Kolumela berbentuk payung
2 3
5 6
Rhizomucor Mucor Absidia Rhizopus
69
Lampiran 4.
Kunci untuk penentuan spesies dari Genus Mucor, golongan Racemus (Gilman 1957)
a. Diameter sporangium kurang dari 100 µm b. Berwarna putih sampai coklat keemasan c. Tidak tumbuh pada suhu 37o C atau lebih d. Sporangium sangat bervariasi, kolumela bulat dd. Sporangium berukuran sama, kolumela memanjang cc. Tumbuh pada suhu 37o C d. Pertumbuhan pada suhu 37oC terbatas dd. Pertumbuhan baik pada suhu 37oC e. Panjang spora 5-7 µm ee. Panjang spora 4-5 µm bb. Berwarna abu-abu sampai coklat c. Sporangium coklat cc. Sporangium hitam aa. Diameter sporangium lebih dari 100 µm
M. racemosus M. christi
M. praini M. javanicus M. rouxii
M. circinelloides M. griseo-cyanus M. geophilus
Lampiran 5. Kunci untuk penentuan spesies dari genus Rhizopus (Gilman 1957)
a. Rhizoid berkembang dengan baik b. Spora berukuran 9-12 x 7,5-8 µm bb. Spora berukuran 7-9 x 4,5-6 µm
R. nigricans R. oryzae
aa. Rizhoid sedikit atau kurang berkembang b. Rhizoid jarang, pendek, sporangiofora tidak menggembung c. Panjang sporangiofora lebih dari 150 µm cc. Panja ng sporangiofora kurang dari 150 µm
R. arrhizus R. cohnii
ä. Rhizoid jarang, sporangiofora dan stolon bercabang serta menggembung
R. nodusus
70
Lampiran 6.
Kunci untuk penentuan spesies dari grup Aspergillus (Raper dan Fennell 1973)
a. Kepala konidia menunjukka n warna hijau selama pertumbuhan aa. Kepala konidia menunjukkan warna lain
b l
b. Vesikel berbentuk clavate atau subclavate ; sterigmata uniseriat bb. Vesikel tidak clavate ; sterigmata uniseriat atau biseriat
c d
c. Vesikel berbentuk clavate ; kepala konidia hijau kebiruan, menjadi abu-abu bila sudah tua grup A. clavatus cc. Vesikel subclavate ; sterigmata uniseriat ; kepala konidia hijau kekuningan, hijau keabu-abuan atau hijau kebiruan ketika masih muda, berubah menjadi gelap pada kebanyakan spesies grup A. ornatus d. Kepala konidia hijau muda kekuningan pada saat muda, terkadang menjadi coklat bila sudah tua, bentuk konidia kurang radiat ; sterigmata biseriat pada kebanyakan spesies dd. Kepala konidia berwarna selain hijau ; strigmata uniseriat atau biseriat
grup A. flavus e
e. Kebanyakan koloni menunjukkan cleistothecia berwarna kuning serta hifa berwarna kuning dan merah grup A. glaucus ee. Koloni tidak memiliki cleistothecia berwarna kuning serta hifa berwarna kuning dan merah f f. Kepala konidia berbentuk columnar ff. Kepala konidia globose , radiat atau kurang columnar
g i
g. Sterigmata uniseriat h gg. Sterigmata biseriat ; sel umumnya berbentuk globose atau subglobose terdapat cleistothecia pada beberapa spesies ; askospora berwarna merah oranye sampai violet grup A. nidulans h. Kepala konidia berbentuk columnar, panjang dan terkadang tidak beraturan ; konidia biasanya membentuk struktur seperti tabung dari sterigmata ; tidak ada cleistothecia ; termasuk jenis osmofilik grup A. restrictus hh. Kepala konidia columnar, kompak dan seragam diameternya ; konidia tidak membentuk struktur seperti tabung ; cleistotechia terdapat pada beberapa spesies ; tidak osmofilik grup A. fumigatus i. Vesikel kecil dan bentuknya bervariasi ii. Vesikel besar, berbentuk globose ; konidiofora di bawah vesikel
j k
71
j.
Kepala konidia berwarna hijau kebiruan, hijau kekuningan atau hijau biru keabu-abuan, radiat sampai kurang columnar ; sel berbentuk globose sampai subglobose grup A. versicolor jj. Kepala konidia olive, olive keabu-abuan, drab sampai coklat muda ; radiat sampai columnar: sel melengkung grup A. ustus k. Kepala konidia hijau kebiruan atau olive pada saat muda dan berubah menjadi abu-abu bila sudah tua grup A. sparsus kk. Kepala konidia berwarna hijau kekuningan pucat, hijau kebiruan, atau coklat grup A. cremeus l. Jarang tumbuh bersporulasi pada medium Czapeks agar ll. Tumbuh baik dan bersporulasi pada medium Czapeks agar m. Kepala konidia sedikit sampai benar-benar radiat mm.Kepala konidia globose sampai radiat n. Kepala konidia sedikit columnar, putih, atau krem nn. Kepala konidia benar-benar columnar o. Kepala konidia putih ; membesar berbentuk globose sampai radiat grup A. candidus oo. Kepala konidia tidak putih
grup A. cervinus m n o grup A. flavipes grup A. terreus
p
p. Kepala konidia berwarna kuning, atau coklat muda pp. Kepala konidia hitam atau coklat tua
q grup A. niger
q. Kepala konidia berwarna kuning sampai bayangan ochraceus qq. Kepala konidia berwarna coklat kekuningan
grup A. ochraceus grup A. wentii
72
Lampiran 7. Hasil uji identifikasi khamir yang berasal dari ragi tempe
Mikroorganisme Saccharomycopsis sp.1 Saccharomycpsis sp. 2 Saccharomyces sp.
D + + +
G +
S + + +
Fermentasi L M + + +
R + + +
T -
D + + +
G +
S + + +
Asimilasi L -
M + + +
R + + +
T + +
Pertumbuhan 37oC + + +
Keterangan D = Dekstrosa, G = Galaktosa, S = Sukorsa, L = Laktosa, M = Maltosa. R = Rafinosa, T = Trehalosa
Pembentukan pati ekastraseluler -
73
Lampiran 8. Hasil Kemampuan Isolat Kapang/Khamir dalam Mereduksi Aflatoksin
Isolat A. parasiticus
Mucor rouxii Asal Ragi Tanpa Merek DKI Jakarta A. parasiticus
M. rouxii Asal Ragi Gedang Semarang Grup Aspergillus niger Asal Ragi Sidojoyo Rembang A. parasiticus
Chlamydomucor oryzae Asal Ragi Kalasan Yogyakarta A. parasiticus
Ulangan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
B1 7500 4500 6000 2000 4500 3250 15000 10000 12500 144 8 76 56 140 98 175 275 225 5 2,5 3,75 1000 1000 1000
Kadar Aflatoksin (ppb) B2 G1 G2 17500 9500 1000 2000 13500 3000 1875 11500 2000 1000 2000 2000 2000 2000 1000 1500 2000 1500 5000 45000 10000 5000 20000 5000 5000 32500 7500 60 72 8 4 16 12 32 44 10 16 64 16 60 240 60 38 152 38 200 400 100 150 750 175 175 575 137,5 1,25 3 0,5 2 1 0,5 1,625 2 0,5 750 2375 750 750 2375 875 750 2375 812,5
Total
B1
Persentase Reduksi Aflatoksin B2 G1 G2
Total
21375
8250
45,8
20
82,6
25
61,4
162
99,4
99,4
99,9
99,9
99,7
326
99,2
99,5
99,5
99,4
98,3
99,1
99,7
99,6
57500
112,5
7,875
99,3
74
Isolat C. oryzae Asal Ragi Gedang Semarang A. parasiticus
Rhizopus oryzae Asal Ragi Cakra Matahari Bandung A. parasiticus
R. nigircan s Asal Ragi Tanpa Merek Madiun Saccharomycopsis sp.1 Asal Ragi Berlian Bandung Saccharomycopsis sp.2 Asal Ragi Gedang Semarang A. parasiticus
Saccharomyces sp. Asal Ragi NKL Semarang
Ulangan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan 1 2 Rataan
Kadar Aflatoksin (ppb) B1 B2 G1 G2 Total B1 500 400 2000 300 400 240 2000 80 450 345 2000 190 2985 55 9000 3375 13500 2250 9000 3375 13500 2250 9000 3375 13500 2250 28125 3000 2250 6000 1500 3000 2250 6000 1500 3000 2250 6000 1500 12750 66,7 9000 8000 36000 8000 10000 9000 36000 8000 9500 8500 36000 8000 3000 3375 7500 1500 6750 3000 6750 1500 4875 3187,5 7125 1500 16687,5 48,7 2400 1050 3600 1050 3000 1350 4050 600 2700 1200 3825 825 8550 71,6 900 600 1800 300 1333,33 833,33 2666,67 770,84 1116,67 716,66 2233,34 535,42 4602,09 77,1 1 4500 3000 10250 2625 2 4500 2250 12000 2250 4500 2625 11120 2437,5 20687,5 200 87,5 155 20 170 60 80 20 185 73,75 117,5 20 396,25 95,9
Persentase Reduksi Aflatoksin B2 G1 G2
Total
54
15,8
76,6
39,5
33,3
55,6
33,3
54,7
62,5
80,2
81,3
73,1
85,9
89,4
89,7
86,2
77,5
68,7
64,3
72,4
97,1
89,4
99,1
98,1
75
Lampiran 9 Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Mucor rouxii Perlakuan A. parasiticus (tunggal)
A. parasiticus (campuran A. parasiticus & M. rouxii) M. rouxii (campuran A. parasiticus & M. rouxii) M. rouxii (tunggal)
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
Hari ke0 5,15 4,98 5,06 4,18 4,43 5,04 4,62 4,69 4,66 4,82 4,83 4,83
3 6,15 5,93 6,04 3,48 3,30 1,74 4,79 4,81 4,80 4,84 4,85 4,84
6 6,45 6,18 6,31 4,00 3,00 1,18 5,42 5,54 5,48 4,89 4,90 4,89
9 6,92 6,08 6,50 3,00 3,65 1,00 5,95 5,72 5,83 5,80 5,65 5,73
Lampiran 10 Penghambatan pertumbuhan A. parasiticus (log CFU/ml) oleh Saccharomyces sp. Perlakuan A. parasiticus (tunggal)
A. parasiticus (campuran A. parasiticus & Saccharomyces sp) Saccharomyces sp (campuran A. parasiticus & Saccharomyces sp) Saccharomyces sp (tunggal)
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
0 5,00 4,90 4,95 5,15 4,92 5,04 5,72 5,51 5,61 5,60 5,57 5,59
Hari 3 6,08 6,15 6,11 1,54 1,93 1,74 7,91 7,74 7,83 8,04 7,91 7,97
ke6 6,60 6,45 6,52 0,70 1,65 1,18 7,85 8,08 7,97 8,18 7,99 8,08
9 6,53 6,92 6,73 0,00 2,00 1,00 7,91 8,08 8,00 7,78 8,08 7,93
76
Lampiran 11. Pengaruh filtrat M. rouxii terhadap pertumbuhan A. parasiticus
Perlakuan
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan
Tanpa filtrat Dengan filtrat
Lampiran 12.
Perlakuan Tanpa filtrat Dengan filtrat
hari ke-0 0 0 0 0 0 0
Berat kering miselium (mg/ml) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 2,05 2,13 1,03 1,70 2,35 2,62 1,88 2,24 1,83 1,19 1,69 2,34 0,89 1,15 1,47 1,04 1,42 1,91
hari ke-12 1,73 1,51 1,62 1,90 1,24 1,57
Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. terhadap pertumbuhan A. parasiticus
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0
Berat kering miselium (mg/ml) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 2,05 2,13 1,03 1,70 2,35 2,62 1,88 2,24 1,83 0,71 0,19 0,46 1,06 1,39 2,22 0,89 0,79 1,34
hari ke-12 1,73 1,51 1,62 0,40 1,44 0,92
77
Lampiran 13. Pengaruh filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus
Perlakuan Tanpa filtrat Dengan filtrat & MEB
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan
Lampiran 14.
Perlakuan Tanpa filtrat Dengan filtrat & MEB
hari ke-0 0 0 0 0 0 0
Berat kering miselium (mg/ml) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 2,35 4,23 2,94 2,73 3,10 3,06 2,54 3,67 3,00 3,67 6,10 4,23 3,65 3,98 4,53 3,66 5,04 4,38
hari ke-12 2,29 2,39 2,34 3,62 3,24 3,43
Pengaruh filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) terhadap pertumbuhan A. parasiticus
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0
Berat kering miselium (mg/ml) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 2,22 2,60 2,34 2,81 2,49 2,36 2,52 2,55 2,35 3,53 2,99 2,74 3,02 2,68 2,38 3,28 2,84 2,56
hari ke-12 2,42 1,61 2,02 2,29 2,31 2,30
78
Lampiran 15 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB (kontrol) Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 20,0 16,0 20,0 10,0 8,0 18,0 18,0 12,0 14,0 17,0 19,0 11,0 1,2 0,6 1,5 1,2 2,4 3,0 3,6 3,0 1,8 1,8 2,6 2,1 6,0 8,0 15,0 7,0 8,0 14,0 16,0 12,0 7,0 11,0 15,5 9,5 0,6 1,2 2,25 0,45 2,4 3,0 3,6 2,4 1,5 2,1 2,93 1,43 27,8 25,8 38,75 18,65 20,8 38,0 41,2 29,4 24,3 31,9 40,03 26,03
Lampiran 16 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 2,5 5,0 5,0 1,0 3,0 7,0 9,0 4,0 2,75 6,0 7,0 2,5 0,75 1,5 0,6 0,15 0,6 1,2 1,8 0,6 0,68 1,35 1,2 0,38 1,0 2,0 3,0 0,5 3,0 5,0 6,0 2,0 2,0 3,5 4,5 1,25 0,3 0,45 0,6 0,15 0,3 0,9 1,5 0,3 0,3 0,68 1,05 0,23 4,55 13,95 9,2 1,8 6,9 14,1 18,3 6,9 5,73 10,53 13,75 4,36
79
Lampiran 17
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB (kontrol)
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 2 3,5 10 8 5 6 15 10 3,5 4,75 12,5 9,0 0,6 0,6 1,8 2,4 0,9 1,2 2,4 1,8 0,75 0,9 2,1 2,1 1 1 2 6 3 5 6 6 2 3 4 6 0,15 0,3 0,45 1,5 0,3 1,05 1,5 1,2 0,23 0,68 0,98 1,35 3,75 5,4 14,25 17,95 9,2 13,25 24,9 19,0 6,48 9,33 19,58 18,45
Lampiran 18 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat M. rouxii dan MEB (1:1) Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 10 8 50 7 7 8 35 10 8,5 8 42,5 8,5 1,8 1,8 3,0 2,4 1,2 2,1 9,0 2,4 1,5 1,95 6,0 2,4 2 3 8 5 5 3 15 7 3,5 3 11,5 6 0,3 0,3 0,6 1,2 0,6 0,9 3,0 1,5 0,45 0,6 1,8 1,35 14,1 13,1 61,6 15,6 13,8 14,0 62,0 20,9 13,95 13,55 61,8 18,25
80
Lampiran 19 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB (kontrol) Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 20,0 16,0 20,0 10,0 8,0 18,0 18,0 12,0 14,0 17,0 19,0 11,0 1,2 0,6 1,5 1,2 2,4 3,0 3,6 3,0 1,8 1,8 2,6 2,1 6,0 8,0 15,0 7,0 8,0 14,0 16,0 12,0 7,0 11,0 15,5 9,5 0,6 1,2 2,25 0,45 2,4 3,0 3,6 2,4 1,5 2,1 2,93 1,43 27,8 25,8 38,75 18,65 20,8 38,0 41,2 29,4 24,3 31,9 40,03 26,03
Lampiran 20 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 1 7,5 7,5 5 3 6 8 2,5 2 6,75 7,75 3,75 0,3 2,25 3 1,5 1,2 1,2 1,4 0,6 0,75 1,73 2,2 1,05 1,5 5,0 5,0 2,0 2,0 5,0 7,0 1,5 1,75 5,0 6,0 1,75 0,2 0,4 0,4 0,3 0,3 0,6 1,2 0,9 0,25 0,5 0,8 0,6 3,0 15,9 15,9 8,8 6,5 14,0 17,6 5,5 4,75 12,98 16,75 7,15
81
Lampiran 21
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium MEB (kontrol)
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 750 1500 1000 875 510 720 630 450 630 1110 815 662,5 150 300 262,5 225 108 135 81 81 129 217,5 171,75 153 500 1000 750 750 450 630 510 360 475 815 630 555,5 75 150 112,5 112,5 81 135 108 81 78 142,5 110,25 96,75 1475 2950 2125 1962,5 1149 1620 1329 972 1312 2285 1777 1467,75
Lampiran 22 Biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada medium yang berisi filtrat Saccharomyces sp. dan MEB (1:1) Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 12500 2000 2500 2500 4500 1200 1200 800 8500 1600 1850 1650 525 300 300 262,5 120 150 180 120 322,5 225 240 191,25 2000 1000 1000 1250 800 320 360 320 1400 660 680 785 150 75 75 112,5 90 90 120 90 120 82,5 97,5 101,25 15175 3375 3875 4125 5510 1760 1860 1330 10342,5 2567,5 2867,5 2727,5
82
Lampiran 23 Nilai pH dari medium yang ditumbuhi A. parasiticus
Perlakuan Tanpa filtrat (MEB) Filtrat M. rouxii Filtrat M. rouxii & MEB (1:1) Filtrat Saccharomyces sp. Filtrat Saccharomyces sp. & MEB (1:1)
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
0 4,49 4,49 4,49 4,09 4,10 4,10 4,29 4,30 4,30 4,20 4,19 4,20 4,34 4,32 4,33
Nilai pH pada hari ke3 6 9 3,65 3,75 4,47 3,70 3,82 4,46 3,68 3,78 4,47 4,08 4,30 4,14 3,64 3,17 2,97 3,86 3,74 3,56 4,41 4,66 5,61 4,52 5,06 5,80 4,47 4,86 5,71 4,36 4,86 4,50 4,66 5,14 4,61 4,51 5,00 4,56 4,20 4,49 5,03 4,26 4,75 5,26 4,23 4,62 5,15
12 5,94 6,17 6,06 3,57 3,19 3,38 6,78 7,70 6,79 4,95 5,09 5,02 6,63 7,10 6,87
Lampiran 24 Nilai pH dari medium hasil degradasi aflatoksin
Perlakuan Aflatoksin
Aflatoksin + M. rouxii Aflatoksin + Saccharomyces sp.
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
0 4,55 4,54 4,55 4,55 4,55 4,55 4,54 4,54 4,54
Nilai pH pada hari ke3 6 9 4,55 4,52 4,54 4,54 4,56 4,38 4,55 4,54 4,46 3,71 3,98 4,26 3,71 3,92 4,32 3,71 3,95 4,29 4,08 4,08 3,94 4,10 4,09 3,98 4,09 4,09 3,96
12 4,53 4,41 4,47 4,66 4,83 4,75 3,99 4,01 4,00
83
Lampiran 25 Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 12 16 14 4,8 4,2 4,5 14 12 13 2,4 2,4 2,4 33,2 34,6 33,9
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 12 10 7 5 14 9 10 8 13 9,5 8,5 6,5 4,8 2,4 2,4 1,2 3,0 3,0 1,8 1,2 3,9 2,7 2,1 1,2 14 7 8 4 12 8 8 5 13 7,5 7,5 4,5 2,4 1,8 1,8 0,9 2,1 2,4 2,4 1,2 2,3 2,1 2,1 1,1 33,2 21,2 19,2 11,1 31,1 22,4 21,2 15,4 32,15 21,75 20,2 12,25
Lampiran 26 Degradasi aflatoksin oleh M. rouxii
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 12 16 14 4,8 4,2 4,5 14 12 13 2,4 2,4 2,4 33,2 34,6 33,9
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 6 3 1 1 8 6 2 2 7 4,5 1,5 1,5 1,5 0,6 0,3 0,15 1,5 0,9 0,9 0,3 1,5 0,8 0,6 0,2 4 3 1 0,5 8 5 3 1,5 6 4 2 1 0,9 0,6 0,2 0,15 1,2 0,6 0,6 0,3 1,1 0,6 0,4 0,2 12,4 7,2 2,5 1,8 18,7 12,5 6,5 4,1 15,6 9,9 4,5 2,9
84
Lampiran 27 Stabilitas kandungan aflatoksin yang diproduksi oleh A. parasiticus
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 10 10 10 4,5 3,0 3,8 10 15 12,5 1,8 3,0 2,4 26,3 31,0 28,7
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 10 8 7 5 10 8 8 6 10 8 7,5 5,5 4,5 2,4 2,4 1,8 3,0 3,0 2,4 1,8 3,8 2,7 2,4 1,8 10 8 6 5 10 7 7 4 10 7,5 6,5 4,5 2,4 1,8 1,8 1,2 1,5 2,1 1,8 1,8 2,0 2,0 1,8 1,5 26,9 20,2 17,2 13,0 24,5 20,1 19,2 13,6 25,7 20,2 18,2 13,3
Lampiran 28 Degradasi aflatoksin oleh Saccharomyces sp.
Jenis AF B1
B2
G1
G2
Total
Ulangan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan 1 2 rataan
hari ke-0 10 10 10 4,5 3,0 3,8 10 15 12,5 1,8 3,0 2,4 26,3 31,0 28,7
Kadar aflatoksin (ppb) hari ke-3 hari ke-6 hari ke-9 hari ke-12 7 6 6 3 6 7 6 4 6,5 6,5 6,0 3,5 2,4 2,4 2,4 0,9 2,4 2,1 2,1 0,6 2,4 2,3 2,3 0,8 8 6 3 2,5 6 4 4 3 7 5 3,5 2,8 1,2 1,2 0,6 0,6 2,4 1,2 1,2 0,9 1,8 1,2 0,9 0,8 18,6 15,6 12,0 7,0 16,8 14,3 13,3 8,5 17,7 15,0 12,7 7,9