PENGGUSURAN PEMUKIMAN WARGA SIMPRUG, JAKARTA SELATAN Pemukiman Simprug terletak di RW 03, RW 04 Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Matapencahariannya mayoritas warga berprofesi sebagai pekerja sektor informal; sebagai pedagang. Daerah asal terdiri dari Bogor, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, dll. Pada tahun 1985 pemukiman Simprug pernah digusur yang dilakukan oleh aparat Pemda DKI cq Walikota yang dibantu oleh Polres dan Kodim 0504, Jakarta Selatan. Pada awalnya sejak tahun 1957, warga mulai menempati Blok G Kampung Sawah, Kelurahan Grogol Udik, yang dikuasai oleh bapak Haji Sapa dan Bapak Haji Suur. Mereka sebenarnya adalah juga warga korban penggusuran dari Jl Lauser, Kebayoran Baru. Kelurahan Grogol Udik, sekarang dikenal menjadi Kelurahan Grogol Selatan. Pada saat proses perpindahan, warga diminta untuk membayar kepada Bapak Haji Suur, akan tetapi ketika warga minta surat tanda bukti pembayaran, Haji Suur tidak bersedia mengeluarkan tanda bukti pembayaran secara tertulis. Akhirnya para warga sepakat untuk membayar Ipeda ke Pemda DKI Jakarta tahun 1959 dengan harga 50 Sen (setengah rupiah) per meter persegi. Mulai saat itu, secara swadaya warga membangun daerah perkampungannya dengan mendirikan rumah tinggal dan fasilitas umum seperti Mushola, Masjid, perbaikan jalan, dan sarana lainnya. Pada tahun 1982, beredar kabar bahwa tanah yang mereka garap dan tempati dari tahun 1957 itu, kini sudah menjadi milik bapak Susetyo Mundisugih atas nama PT TANGKAS BARU dengan nomor sertifikat: No. M 93 / Tahun 1969. Setelah warga mendengar berita tersebut, kemudian warga segera membentuk Tim Sembilan, yang bertujuan untuk pembelaan kepada warganya. Namun dalam prakteknya di lapangan tim tersebut gagal dalam melaksanakan amanat warga, Tim Sembilan telah menerima suap dari pihak lawan. Akibatnya Tim Sembilan tidak dipercaya oleh warga, maka kemudian warga membentuk lagi tim pembela yang dapat mewakili dan melindungi warganya, tim tersebut bernama tim sebelas. Setelah masa kerusuhan tahun 1998 dan reformasi serta terjadinya krisis ekonomi, warga mulai masuk kembali ke lokasi. Kemudian mendirikan rumah tinggal, sampai saat ini bulan Oktober 2006 terdapat 49 bangunan rumah tinggal yang masih bertahan. Penggusuran Paksa: Indok/1
I.
Penggusuran pertama terjadi pada tahun 1985, jumlah warga di lingkungan RW 03 dan RW 04 berjumlah kurang lebih 415 KK. Akibat adanya penggusuran tersebut, warga terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah warga yang telah menerima ganti rugi, mereka tepaksa menerima karena diteror dan intimidasi oleh Pemda dan PT. Tangkas Baru. Kepada warga yang telah mengambil ganti rugi tersebut, kemudian diberikan kapling tanah di Pondok Cabe. Penilaian harga bangunan ditentukan oleh PT Tangkas Baru dan Pemda Jakarta Selalatan diklasifikasikan sebagai berikut: . Luas tanah kurang dari 30 meter persegi, mendapat kapling 60 meter persegi. . Luas tanah lebih dari 30 meter persegi, mendapat kapling 70 meter persegi. . Bangunan tidak permanen dihargai Rp 21.000/meter persegi. . Bangunan semi permanen dihargai Rp 35.000/meter persegi. . Bangunan permanen dihargai Rp 37.500/meter persegi.
Kelompok kedua adalah warga yang belum sedikitpun menerima ganti rugi dengan alasan harga yang ditawarkan oleh PT Tangkas Baru dan Pemda terlalu minim selain itu tanah yang dijanjikan statusnya tidak jelas atau meragukan. Warga yang belum menerima ganti rugi sampai sekarang tetap mempertahankan lokasi. II.
Pada tahun 1995, warga Simprug kembali mendapat informasi bahwa sertifikat M93 tahun 1969, telah dialihkan kepemilikannya atas nama Rachmad Baharudin, sesuai sertifikaat No. 1040 tahun 1994, yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Jakarta Selatan. Selanjutnya warga RW 03 dan RW 04 berusaha melakukan pengecekan dan berhasil mendapatkan copy sertifikat tersebut, setelah diteliti keabsahannya ternyata ”aspal”. Sebab peta situasi tidak jelas batasbatasnya. Warga kemudian menggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN JKT) yang dipimpin oleh Bpk. Benyamin Mangkoedilaga SH. Berdasarkan putusan PTUN no. 31/6/1995/PN/PTLNT-JKT Tanggal 29 Maret 1996 menyatakan bahwa Sertifikat No. 1040 tahun 1994 adalah cacat hukum. Hal ini yang mendorong warga masyarakat untuk membangun kembali sebagai tempat tinggal. Akan tetapi tidak lama kemudian pada tahun 1995 malah terjadi penggusuran yang kedua kalinya. Penggusuran ini terjadi karena Jamita Manurung bersama teman-temannya menerima uang dari Bonar Manurung sebagai perwakilan dari pihak Rahmat Baharudin sebesar Rp 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah).
Indok/2
Selanjutnya Jamita Manurung dan teman-temannya, meminta kepada warga agar mau menerima uang sebesar Rp 500.000 (Lima ratus ribu rupiah) per KK untuk ongkos pengosongan lokasi. Tetapi sebagian warga menolak. Dana tersebut kemudian oleh Jamita Manurung dan teman-temannya dipergunakan untuk menyewa kantor sekretariat warga di Jl Sinabung II. Tahun 1996, Warga didampingi oleh seorang pengacara Victor Sulaiman Siregar SH, untuk melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), gugatan warga oleh PTUN dimenangkan. Selanjutnya pihak lawan naik banding. Kemudiaan pada tingkat MA dan Kasasi warga kalah oleh pihak lawan. Kekalahan warga karena pihak lawan menyuap ke sebagian warga dan mempengaruhi warga untuk membuat pernyataan bahwa warga Simprug menyewa tanah kepada H. Marzuki dan bukan kepada penggarap lahan di Simprug. Pada waktu itu yang mempengaruhi warga adalah saudara Muthalib. Pemukiman Simpruk tahun 2004 berjumlah 25 KK yang masih bertahan di pemukiman. Warga muali memasuki pemukiman pada tahun 1985, dengan cara membeli dari orang yang menguasai lahan. Pada tahun 1995 digusur oleh Walikota Jakarta Selatan. Bulan Juni 2004, Pemukiman Simpruk Bawah, Kecamatan Kebayoran Lama diancam akan segera digusur. Pada tahun 1990, warga telah membuat surat kuasa kepada Cecep sebagai kuasa hukum. Setiap warga dipungut sebesar Rp 10.000. Wilayah Simpruk Bawah pada tahun 1985 telah dilakukan penggusuran pertama, dan penggusuran ke dua pada tahun 1992 mendapat ganti rugi sebesar Rp 250 juta. Pemukiman Simpruk Bawah ditempati mayoritas adalah pengontrak berjumlah 102 KK, sedang pemiliknya tinggal di luar Simpruk. Kondisi terakhir adalah warga sudah tidak percaya lagi kepada kuasa hukum yang bernama Cecep. Langkah advokasi: - Membuat pendataan - Sejarah Lokasi - Pencabutan kuasa hukum. - Menyatukan warga untuk membuat pengurus baru. Pemukiman Simpruk perlu dibuat pendataan yang jelas, baik mengenai sejarah tanah, jumlah KK dan luas tanah. Posisi dan sikap warga sendiri belum jelas, apalagi mengingat yang tinggal di lokasi mayoritas adalah pengontrak, sedang pemilikinya tidak jelas keberadaannya. Untuk penanganan selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada warga yang akan dikoordinasi oleh Lukman, FAKTA hanya sebatas konsultasi.
Indok/3
Warga Simpruk tidak akan memakai kuasa hukum bernama Cecep, karena ia hanya mencari untung, seperti pada tahun sebelumnya Cecep berhasi menarik uang sebesar Rp 17 juta. Untuk keluarga Lukman sudah mencabut surat kuasa. Posisi pemukiman Simpruk, kalau dilihat dari kacamata hukum posisinya sangat lemah, surat-surat kepemilikan tanah tidak jelas, ditambah lagi belum terbentuk RT.
Surat Undangan:
Jakarta, 30 Juni 2004
Kepada Yth. Bpk/Ibu/Sdr Di tempat Dengan hormat, Bersama ini kami mengundang Bpk/Ibu/Sdr, untuk hadir pada pertemuan warga yang akan kami selenggarakan pada : Hari/tanggal : Minggu/4 Juli 2004 Tempat : Mushola Jamiatul Muslimin Simpruk Bawah Pukul : 11.00s/d selesai Acara : Menindaklanjuti masalah pemukiman Simprug. Mengingat pentingnya acara tersebut, maka kami berharap atas kehadiran Bpk/Ibu/Sdr. Atas perhatiannya tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih. Hormat kami, Pengurus warga
(Barnawi)
Indok/4
Pengaduan Warga Pemukiman Simpruk (31 Januari 2005). Perwakilan warga, mewakili 138 KK pemukiman Simpruk, Jakarta Selatan, yaitu: Yati, Sujiat, Sukiman didampingi oleh Lukman Nanda, mengaku resah karena ada ancaman penggusuran. Tanggal 27 Januari 2005, pada hari Kamis, pukul 11.00, wilayah pemukiman warga dilakukan pengukuran oleh pihak konsultan Panin Bank, bernama Ricard dan mengaku memiliki surat resmi kepemilikan tanah. Zulkifli, adalah seorang tangan-kanannya Ricard, mencoba melakukan pendekatan dengan keluarga Lukman, khusus untuk mertua Lukman dijanjikan akan diberikan ganti rugi sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan warga lain. Selain itu Zulkifli, secara diam-diam telah melakukan pendataan kerumahrumah warga. Masalah pengurus lama: Cecep, (Yosep Parlin), Manurung, Barnawi, Widodo, Yatno, Fatimah, Temu, Yanto, warga sudah tidak percaya lagi, karena pengurus lama (Cecep, dkk) telah menggelapkan uang warga. Persiapan Warga: Pembentukan tim Pendataan pemukiman warga (foto bangunan, lokasi) Sejarah tanah Kronologi penggusuran Perhitungan ganti rugi. Pertemuan warga selanjutnya akan diadakan pada hari Sabtu atau Minggu (5-6 Februari 2005). Pendampingan pemukiman Simpruk, Jakarta Selatan, yang dikoordinasi oleh Lukman , ia mengaku gagal untuk melakukan negoisasi bersama warga, tuntutan ganti rugi sebesar Rp 4 milyar (kurang percaya diri). Posisi FAKTA hanyalah sebagai konsultasi, tidak terlalu masuk kedalam penanganan kasus pemukiman Simpruk, jadi seluruhnya tergantung kepada warganya sendiri. Masalah pendataan belum diberikan oleh Lukman, padahal sudah jauh-jauh hari dibuatkan format pendataan. Ancaman Penggusuran ke II: .
Tanggal 20 September 2006 pukul 09.40, Bapak Ricard mengaku dan berhak atas tanah Simprug di Lokasi RW 03 dan RW 04, dengan mewakilkan Zulkifli – Cs mengatasnamakan dari PT. ALVITA SUTHA. Mereka datang ke lokasi didampingi oleh tiga mobil patroli Trantib Jakarta Selatan, alasan untuk mendata warga yang masih tinggal di lokasi Simprug.
Indok/5
.
Tanggal 12 Oktober 2006, dari perwakilan warga yang dipimpin oleh bapak Barnawi dan teman-temanya sebanyak 12 orang, mendapat dari Walikota Jakarta Selatan untuk membahas masalah penyelesaian kasus Simprug. Pembahasan penting tersebut sangat disayangkan karena bapak Barnawi dan rekan-rekannya tidak memberitahu kepada anak-anak muda yang selama ini mewakili orang tuanya untuk hadiri undangan dari Walikota. Hasil pertemuan; pihak Walikota dan Ricard dari pihak PT. ALVITA SUTHA, memberi 2 (dua) pilihan ke warga yaitu digusur secara paksa atau mengambil uang kerohiman yang jumlahnya antara Rp 500.000,- s/d Rp 1.000.000,- (Lima ratus ribu s/d satu juta rupiah) Kelompok anak-anak muda yang mewakili orang tuanya dengan tegas menolak kedua opsi tersebut. Kelompok anak muda meminta supaya dapat bertemu langsung dengan bapak Ricard yang mengaku pemilik tanah Simprug sertifikat N0. 1040 jelmaan dari M93 tahun 1969.
.
Di dalam pertemuan tersebut hadir pula bapak Fadli Mas adalah juru bayar penggusuran tanah Simprug tahun 1985 dan tahun 1995. Bapak Fadli Mas menyatakan bahwa Jamita Manurung dan Barnawi telah menerima uang sebesar Rp 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah) atas nama warga. Dalam kenyataannya warga tidak pernah menerima dan tidak tahu menahu tentang dana tersebut. Setelah warga tahu, warga dengan tegas menolak ada uang yang diserahkan kepada Jamita Manurung dan Barnawi, apalagi tanpa ada musyawarah dengan warga terlebih dahulu.
.
Dalam rapat di Kantor Walikota Jakarta Selatan, Barnawi dan rekanrekannya mengatakan bahwa mereka mewakili warga Simprug. Tetapi anak-anak muda yang mewakili orang tuanya menolak dikarenakan sudah tidak percaya lagi atas segala tindak tanduk Barnawi dan teman-temannya yang selalu mengatasnamakan mewakili warga, tetapi di dalam prakteknya tidak sama sekali.
Pengaduan Warga ke Komnas HAM: Tanggal 19 Oktober 2006, pukul 10.00 WIB; sebanyak 17 orang warga Simprug mengadu ke Komnas HAM. Warga meminta perlindungan ke Komnas HAM karena mendapat ancaman akan digusur sebelum hari Lebaran. Sebelum berangkat ke Komnas, warga yang di koordinir oleh Lukman Nanda dan Nano, sudah menyiapkan warga sebanyak 70 orang akan mengadu ke Komnas HAM. Tetapi pada malam harinya Barnawi melakukan teror kepada warga agar tidak ikut aksi. Pada hari ”H” akhirnya hanya ada 17 orang yang tetap berani mengadukan nasibnya ke Komnas HAM dengan cara menyewa Metromini. Sampai di Komnas HAM perwakilan warga yang didampingi oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) mencoba bernegosiasi dengan pihak keamanan Indok/6
agar bisa berdialog dengan Komnas HAM. Awalnya ditolak, alasan karena sebelumnya tidak mengirim surat terlebih dahulu ke Komnas HAM. Tetapi kemudian diperbolehkan perwakilan 5 orang dan ditawar 10 orang. Kesepakatan yang diambil adalah 8 orang perwakilan bisa masuk untuk bertemu daan berdialog dengan pihak Komnas HAM. Dalam Ruang Rapat; akhirnya perwakilan dari warga Simpruk diterima oleh Bpk Hari Kiswanto (Kepala bagian Pengaduan), Bpk Nur Anwar dan Bpk Gunardo (adalah staf ahli pengaduan). Di dalam proses dialog beberapa warga mengungkapkan pengalamannya selama bermukim di Simprug semenjak tahun 1956 serta pengalaman penggusuran selama dua kali dan mereka belum mendapatkan ganti rugi sepèsèr pun. Kehadiran warga Simprug di Komnas HAM meminta perlindungan serta bilamana digusur mereka mendapat ganti rugi yang layak. Akhirnya di dalam dialog diambil suatu kesepakatan bahwa Komnas HAM bersedia sebagai mediator dengan pihak penggusur. Maka perwakilan warga diharapkan untuk melengkapi administrasi yaitu surat pengaduan yang ditujukan kepada Ketua Komnas HAM serta tuntutan warga yaitu mediasi dan ganti rugi yang layak. Di dalam surat pengaduan ditandatangani perwakilan warga serta foto copy KTP. Setelah keluar dari ruangan pertemuan warga tetap berkumpul di ruang lobby Komnas HAM dan ada beberapa media (Radio 68H, MetroTV, SCTV) yang meliput aksi warga Simprug. Sementara itu Lukman Nanda membuat surat pengaduan. Sekitar pukul 14.00 WIB Lukman Nanda menyerahkan surat pengaduan serta dilampirkan kronologi kasus Simprug yang dilengkapi foto copy KTP. Surat diterima oleh pihak Komnas HAM. Mediasi akan dilaksanakan setelah hari Lebaran. Yel-yel ketika melakukan aksi ke Kantor Komnas HAM (19 Oktober 2006): . Warga Menuntut Keadilan! Jangan Samakan Kami Dengan Mafia Tanah, Yang Rakus Sama Tanah, Doyan Sama Tanah. . Penyelesaian Simprug Harus Tuntas-Tas-Tas Pasti!!! Bersama Anak Muda Jiwa Muda Semangat Muda. . Kami Warga Simprug Korban Gusuran Yang Belum Pernah Terima Ganti Rugi Satu Sen pun Sampai Detik Ini. Gitu Lho. . Seret Oknum Warga Yang Pernah Terima Uang 250 Juta Th.1995 Garagara Dia Kami Jadi Korban!!! . Kami Diteror: Teror : Fadlimas Teror : Barnawi. CS Teror : Manurung. CS Pembayaran:
Indok/7
.
.
.
.
Tanggal 18 Desember 2006, pertemuan Tim 7 (Lukman CS) dengan Walikota Jakarta Selatan untuk membahas dan menentukan pembayaran ganti rugi. Tanggal 22 Desember 2006, realisasi pembayaran ganti rugi, pembayaran harus diambil di Kantor Walikota Jakarta Selatan, lantai 5, lewat bapak Iskandar Kepala Trantib. Rumusan hitungan: o Untuk pemilik rumah dibayar Rp 8 juta per rumah, sedang bagi pengontrak dibayar Rp 2 juta, akan tetapi sampai sekarang baru dibayar 50 persen atau sebesar Rp 1 juta. Kekurangan tetap dipertanyakan terus oleh Tim 7. Tim 7 mendapat biaya operasional sebesar Rp. 10 juta
Jakarta, 20 Oktober 2006 INDOK-FAKTA
Indok/8