PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU KAMBING PERAH
NUR SANTY ASMINAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
i
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
Nur Santy Asminaya NRP D051040121
ii
ABSTRACT
NUR SANTY ASMINAYA. Utilization Vegetable Waste of Traditional Market as Complete Feed for milk Yield in Dairy Goat. Under Supervision of BAGUS P PURWANTO and MUHAMMAD RIDLA This experiment was conducted to observe effect of utilization vegetable waste of traditional market as complete feed on milk production and its composition of Dairy Goat. Nine lactating goats were used in a randomized block design (3X3) to observe feed consumption, milk production and milk composition (protein, fat, lactose, solid non fat). The complete ration feed used were normal, dried complete feed and silage with vegetable waste as main ingredients. The results showed that dried feed and silage as complete feed with vegetable waste as main ingredients decreased feed consumption, milk production, lactose but not for protein, fat, and solid non fat. It was concluded that dried complete feed and silage of traditional market waste can’t substitute normal ration in dairy goats. Key words : silage complete feed, dried complete feed, vegetable waste, production, milk composition
iii
©Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentu apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm dan sebagainya.
iv
PENGGUNAAN RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH SAYURAN PASAR UNTUK PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU KAMBING PERAH
NUR SANTY ASMINAYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana IPB
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
v
Judul Tesis Nama Nrp
: Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar untuk Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah : Nur Santy Asminaya : D051040121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr Ketua
Dr. Ir. M Ridla, M.Agr. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
Tanggal ujian : 7 Mei 2007
Dekan sekolah pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Bagus P Purwanto, M.Agr dan bapak Dr. Ir. M Ridla, M.Agr selaku Komisi Pembimbing serta bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Agr selaku ketua program studi dan penguji luar komisi yang telah banyak memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini.
Disamping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Yulianto beserta staff yang telah menyediakan tempat penelitian dan membantu pengumpulan data. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda tercinta Ir.Alimin Midi dan Ibunda Siti Aliyah serta saudara-saudaraku (Bobby Afyudi, Sri Aryati, Adi Jaya Sastra R, Agus Kurniawan P, Agustina Riski P dan Firman Alamsyah) atas segala do’a, kasih sayang dan bantuan materil yang tak hentihentinya serta semua pengorbanannya yang tak ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi Magister di Institut Pertanian Bogor. Tak lupa pula penulis ucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman Halimun (Elle, Widi, Richi, Ema, Fera, Ruli alm) dan rekan-rekan pascasarjana (terspesial echi) serta semua pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung membantu penyelesaian tesis ini. Terspesial seseorang (”,) terimakasih karena selalu ada saat susah maupun senang.
vii
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul Penggunaan Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar terhadap Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah. Semakin sempitnya lahan pertanian akibat peningkatan jumlah penduduk dan semakin luasnya areal pemukiman menyebabkan semakin sulitnya memperoleh hijauan makanan ternak, terutama pada saat musim kemarau. Harga pakan yang relatif mahal dengan kualitas yang rendah mengakibatkan tingginya biaya produksi. Disisi lain pemberian pakan masih belum efektif dan efisien menyebabkan tidak efisiennya pemakaian waktu dan tenaga kerja. Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan suatu teknologi yang dianggap tepat untuk dikembangkan sehingga dapat meminimalisir tenaga, biaya dan waktu serta dapat memperpanjang masa penyimpanan pakan. Teknologi pengawetan pakan yang mungkin dapat diterapkan adalah teknologi pengeringan dan fermentasi anaerob (silase). Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan demi perbaikan tesis ini. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis.
Bogor,
Mei 2007
Nur Santy Asminaya
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1981, di Kecamatan Mandonga, Kodya Kendari, Sulawesi Tenggara.
Penulis adalah anak pertama dari tujuh
bersaudara dari Ir Alimin Midi dan Siti Aliyah. Pada tahun 1987, penulis lulus dari TK Pembina. Tahun 1993 lulus dari SDN 1 Wua-Wua dan Tahun 1996 lulus dari SLTP Neg. Anduonohu. Tahun 1999, penulis lulus dari SMU Neg. 4 Kendari dan pada tahun itu juga penulis diterima menjadi mahasiswa Program studi Ilmu Produksi Ternak Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo (UNHALU) melalui jalur Bebas Test. Selama menempuh pendidikan di Unhalu, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK) periode 2000/2001 sampai dengan 2002/2003, FK-AGRIFAUNA Periode 2000/2001 dan International Association of Agricultural and Releated Science Indonesia Local Comitte Haluoleo University (IAAS IND LC-Unhalu) periode 2001/2002 sampai dengan 2003/2004. Penulis juga diangkat sebagai asisten pada matakuliah Fisika Dasar mulai 2002 sampai tahun 2004. Kemudian pada tahun 2003 penulis mengikuti lomba PKM penulisan Ilmiah (PKMI) Batch II. Penulis dinyatakan lulus sebagai sarjana Peternakan pada ujian yang dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2004.
Pada tahun yang sama penulis
diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ternak pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiv PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan ........................................................................................................... 2 Manfaat ......................................................................................................... 2 Hipotesis ........................................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Potensi Sampah ............................................................................................. 4 Silase ............................................................................................................. 5 Fase Ensilase ................................................................................................. 8 Kualitas Silase ............................................................................................. 10 Ransum Kering ........................................................................................... 11 Kambing Perah ............................................................................................ 13 Sintesis dan Kualitas Susu .......................................................................... 14 Protein Susu ................................................................................................ 17 Laktosa Susu ............................................................................................... 18 Lemak Susu ................................................................................................. 20 METODE PENELITIAN ..................................................................................... 22 Waktu dan Tempat ...................................................................................... 23 Materi Penelitian ......................................................................................... 23 Ransum dan Peralatan ................................................................................. 23 Pembuatan RKK dan RSK .......................................................................... 24 Metode Penelitian ....................................................................................... 25 Peubah Penelitian ........................................................................................ 26 Rancangan Percobaan ................................................................................. 27 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ 28 Konsumsi Bahan Kering Ransum ............................................................... 28 Produksi Susu .............................................................................................. 31 Efisiensi Penggunaan BK Ransum ............................................................. 31 Berat Jenis ................................................................................................... 37 Protein ......................................................................................................... 38 Laktosa ........................................................................................................ 38 Lemak .......................................................................................................... 42 Bahan Kering (BK) Susu ............................................................................ 43 Bahan Kering tanpa Lemak (BKTL) Susu .................................................. 44 Produksi Komponen Susu ........................................................................... 44 KESIMPULAN ................................................................................................... 46 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46 LAMPIRAN ......................................................................................................... 52
x
DAFTAR TABEL
Halaman Kriteria penilaian silase .................................................................................. 11 Komposisi susu kambing, sapi dan ASI ......................................................... 15 Komponen susu kambing ............................................................................... 17 Komposisi bahan makanan yang digunakan dalam penelitian ...................... 24 Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam penelitian .................... 24 Rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu kambing perah penelitian ........................................................ 28 7. Komposisi susu kambing perah penelitian (%) .............................................. 37 8. Produksi komponen susu kambing perah penelitian (g/ekor/hari).................. 45
1. 2. 3. 4. 5. 6.
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Asal usul pembentukan unsur utama susu ...................................................... 16 2. Jalur sintesis protein dari asam amino ............................................................ 18 3. Jalur sintesis laktosa ........................................................................................ 19 4. Jalur sintesis asam lemak pada jaringan mammary ruminansia ...................... 21 5. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar ............................. 25 6. Rataan konsumsi bahan kering ransum kambing perah penelitian (g/ekor/hari) ................................................................................................... 29 7. Konsumsi bahan kering ransum ..................................................................... 31 8. Rataan produksi susu kambing perah penelitian (ml/ekor/hari) ...................... 34 9. Produksi susu kambing perah .......................................................................... 35 10. Grafik regresi konsumsi BK ransum terhadap produksi susu ........................ 36 11. Rataan berat jenis susu kambing perah penelitian (%) .................................. 38 12. Rataan protein susu kambing perah penelitian (%) ........................................ 40 13. Rataan laktosa susu kambing perah penelitian (%) ........................................ 41 14. Rataan lemak susu kambing perah penelitian (%) ......................................... 43 15. Rataan bahan kering (BK) susu kambing perah penelitian (%) ..................... 44 16. Rataan BKTL susu kambing perah penelitian (%) ........................................ 40
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Anova hasil analisis konsumsi bahan kering ransum ..................................... 53 2. Anova hasil analisis produksi susu ................................................................. 53 3. Anova hasil analisis berat jenis susu................................................................ 53 4. Anova hasil analisis protein susu .................................................................... 53 5. Anova hasil analisis laktosa susu .................................................................... 53 6. Anova hasil analisis lemak susu ...................................................................... 53 7. Anova hasil analisis bahan kering susu ........................................................... 54 8. Anova asil analisis bahan kering tanpa lemak susu ........................................ 54 9. Anova hasil analisis produksi protein susu ..................................................... 54 10. Anova hasil analisis produksi lemak susu ...................................................... 54 11. Anova hasil analisis produksi bahan kering susu .......................................... 54 12. Anova hasil analisis produksi bahan kering tanpa lemak susu ..................... 54
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu permasalahan utama dalam usaha peternakan ruminansia saat ini adalah semakin langkanya hijauan pakan ternak. Beberapa penyebabnya antara lain adalah karena menyempitnya areal penanaman hijauan pakan ternak yang disebabkan terutama oleh peningkatan jumlah penduduk, perluasan areal pemukiman dan pengalihan penggunaan lahan menjadi industri. Kelangkaan ini semakin parah pada saat musim kemarau, sedangkan pada musim hujan hijauan yang tersedia belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena mudah mengalami kerusakan akibat tingginya kadar air yang terkandung dalam hijauan tersebut. Disisi lain pemberian pakan masih belum efektif dan efisien dimana peternak lebih banyak mencurahkan waktunya untuk mencari hijauan sehingga menyebabkan tidak efisiennya pemakaian waktu dan tenaga kerja. Permasalahan lain yang dihadapi oleh peternak ruminansia adalah harga pakan yang relatif lebih tinggi sehingga menyebabkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh peternak untuk mengatasi hal tersebut adalah menggembalakan ternaknya ke sembarang tempat seperti tempat pembuangan terakhir (TPA) dan beberapa pasar tradisional di kota besar. Hal ini bisa saja membahayakan ternak karena kemungkinan bahan tersebut telah bercampur dengan sampah lain yang berbahaya seperti obat-obatan yang kadaluarsa, baterai bekas atau senyawa berbahaya lainnya. Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan suatu alternatif sumber pakan pengganti hijauan makanan ternak dan teknologi penyimpanan pakan yang dianggap tepat untuk dikembangkan sehingga dapat mengatasi masalah kekurangan pakan tersebut. Salah satu alternatif sumber pakan yang kemungkinan bisa digunakan adalah sampah sayuran pasar. Sampah sayuran pasar dapat menggantikan penggunaan hijauan pakan ternak karena bila dilihat dari ketersediaan dan kualitas nutrisinya sampah sayuran pasar masih lebih baik dibandingkan dengan rumput alam. Namun kadar air yang tinggi pada sampah sayuran pasar menyebabkan bahan tersebut tidak tahan disimpan lebih dari sehari sehingga
teknologi
pengawetan
merupakan
strategi
yang
tepat
untuk
memperpanjang masa pakai sampah sayuran sebagai pakan.
1
Teknologi pengeringan dan fermentasi anaerob (silase) adalah suatu teknologi pengawetan pakan yang mungkin bisa diterapkan. Pengeringan merupakan teknologi pengawetan pakan dengan kadar air yang rendah (14-15%) menggunakan alat pengering sejenis oven atau sinar matahari sehingga enzim dan mikroorganisme menjadi tidak aktif (Church 1991; Orskov 2001). Silase merupakan hasil pengawetan bahan pakan dalam suasana asam pada kondisi anaerob (Ensminger 1980) dari bahan tanaman, hijauan, limbah pertanian yang mengandung kadar air lebih dari 50% (Bolsen et al. 2000). Kedua teknologi pengawetan tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sehingga dianggap perlu diujikan secara in vivo. Teknologi pengeringan pakan meminimalisasi aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan memudahkan proses pengangkutan karena kadar airnya yang rendah (Church 1991; Orskov 2001) namun dalam prosesnya bisa menyebabkan kehilangan nutrien (Livingstone 2000; Siregar 1995). Silase dapat mengurangi kehilangan nutrisi selama proses fermentasi dan proses pembuatannya cukup rumit karena kelembaban dan kadar air harus diatur serta dibutuhkan tenaga kerja ekstra pada saat memasukkan pakan ke dalam silo (Perry et al. 2004). Tujuan Mengkaji penggunaan ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar dalam bentuk kering dan fermentasi pada kambing perah dengan melihat aspek produksi dan komposisi susu. Manfaat 1. Optimalisasi penggunaan sampah sayuran pasar sebagai pakan ternak 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi bagi peternak sekaligus pemerintah kota dalam menangani masalah sampah terutama di pasar 3. Mengatasi pencemaran lingkungan akibat sampah sayuran tersebut 4. Diversifikasi pakan 5. Peternak tidak membutuhkan lahan yang luas untuk penanaman hijauan 6. Pakan dapat dibuat dalam skala besar sehingga mempermudah menejemen dan menjamin ketersediaan pakan saat musim kemarau
2
Hipotesis Penggunaan ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar dalam bentuk kering dan fermentasi dapat menggantikan penggunaan hijauan makanan ternak pada kambing perah.
3
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Sampah Sampah adalah semua material yang dibuang dari kegiatan rumah tangga, perdagangan, industri dan kegiatan pertanian (Soewedo 1983 diacu dalam Dephut 2005). Sampah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, pertama sampah organik yakni sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan, peternakan, rumah tangga, industri dan sebagainya, yang secara alami mudah terurai (oleh aktivitas mikroorganisme). Kedua, sampah anorganik yakni sampah yang berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau hasil samping proses industri, tidak mudah hancur atau lapuk serta sebagian tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Ketiga, sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), merupakan sisa suatu usaha yang mengandung bahan berbahaya atau beracun, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya (Retnaningtyas 2004). Menurut Retnaningtyas (2004), pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan. Adanya teknologi fermentasi probiotik, sampah organik seperti pucuk tebu, jerami padi, jerami kedelai, dan jerami jagung; dan limbah industri seperti molases, ampas tebu, dedak padi, ampas tahu, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dan ampas kopi, dapat digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Upaya ini dapat menutupi berkurangnya pasokan hijauan sebagai bahan utama pakan ternak, akibat tingginya pengalihan lahan pertanian ke nonpertanian. Dibeberapa negara, sampah organik yang berasal dari restoran biasanya dikumpulkan oleh peternak dan digunakan sebagai pakan babi dan unggas. Di Indonesia, sampah organik yang berupa sayur-sayuran (kubis, selada air, sawi), daun pisang dan sisa makanan biasanya diambil untuk pakan kelinci, kambing dan unggas. Hal ini sangat bermanfaat sebab selain mengurangi jumlah sampah juga mengurangi biaya peternakan, namun sampah ini harus dibersihkan dan dipilah
4
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi ternak. Jika sampah organik tadi bercampur dengan sampah yang mengandung logam berat, akan menimbulkan masalah bagi ternak sebab logam tersebut dapat terakumulasi di dalam tubuhnya (Suprihatin et al. 1998). Menurut Arifin (2006) pada sample hati sapi yang digembalakan di TPA Jatibarang, Semarang ditemukan 2.48 ppm timbal (Pb) dan 0.02 ppm mercuri. Maximum Residu Limit (MRL) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan adalah 2.00 ppm untuk timbal dan 0.03 ppm untuk mercuri dan kandungan logam itu bisa menyebabkan perubahan genetik apabila terakumulasi terus menerus. Untuk bagian has sapi, kandungan timbal juga tinggi, mencapai 0.19 ppm. Dalam jumlah yang lebih kecil, kandungan logam berat juga terdeteksi pada daging bagian paha dan usus sapi. Sampah yang telah hancur, dengan campuran bahan tertentu dapat dibuat dalam bentuk butiran dan kering sebagai pakan domba sedangkan belatung yang dihasilkan dalam proses penghancuran tersebut dapat dijadikan pakan ayam (Noertjahyo 2002). Sampah organik primer dapat diolah menjadi silase ransum komplit atau campuran berbagai macam bahan bergizi. Bahan bergizi itu adalah pakan hijauan (sampah organik primer) dan pakan penguat (konsentrat) yang bahan mengandung protein tinggi seperti bungkil dan dedak, atau limbah tahu dan kecap. Bahanbahan ini kemudian difermentasikan ke dalam kondisi anaerob (tidak memerlukan oksigen) selama dua sampai tiga minggu. Melalui mekanisme ini, sampah akan mempunyai kadar air 40-60%. Mikroorganisme aerob hilang dan berubah menjadi anaerob penghasil asam laktat yang akan berguna untuk perkembangan hewan ternak. Pakan ternak yang diperoleh melalui fermentasi, tidak saja aman, namun juga memiliki kandungan gizi yang tinggi (Nahrowi 2005). Silase Silase merupakan pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi alami dengan kadar air yang sangat tinggi dalam keadaan anaerob (Cullison 1978; Mc Donald 1982; Ensminger 1980; Bolsen dan Sapienza 1993). Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase
5
sedangkan tempatnya disebut silo (Mc Donald et al. 1991; Woolford 1984). Tujuan pembuatan silase adalah alternatif untuk mengawetkan pakan segar sehingga nutrien yang ada dalam pakan tersebut dapat dipertahankan. Pembuatannya tidak tergantung pada musim (Susetyo et al. 1977; Bolsen and Sapienza 1993; Schroeder 2004) Silase dapat dibuat dari berbagai macam tanaman, seperti rumput, serelia, kacang-kacangan dan tanaman lain. Ciri-ciri tanaman yang ideal untuk diawetkan sebagai silase adalah (1) harus mengandung cukup substrat untuk proses fermentasi dalam bentuk karbohidrat terlarut dalam air (water soluble carbohydrates = WSC), (2) mempunyai kapasitas untuk mempertahankan perubahan pH (buffering capasity) yang rendah, (3) minimal mengandung 20% bahan kering didalam bahan segar, (4) mempunyai struktur fisik yag baik sehingga memudahkan pemadatan dalam silo (Mc Donald 1982) dan cukup mengandung zat-zat makanan yang lain (Cullinson 1978). Banyak tanaman tidak memenuhi ketentuan ini sehingga diperlukan perlakuan lain seperti pencacahan, pelayuan dan penambahan additive (Mc Donald 1982; Mc Donald et al. 1991). Umur potong bahan silase mempengaruhi kecernaan dan produksi susu sapi perah. Arieli dan Adin (1994) menyatakan bahwa produksi susu dan energi susu sapi yang diberi pakan silase tanaman gandum yang dipotong umur muda lebih tinggi daripada yang diberi silase dari tanaman gandum yang dipotong umur tua.
Silase jagung yang dipanen pada umur awal cenderung menyebabkan
penurunan kandungan BK dan meningkatkan konsentrasi WSC selama proses ensilase daripada yang dipanen pada umur tua (Johnson et al. 2003). Menurut Pettit et al. (1993) metode pemanenan rumput untuk pembuatan silase berpengaruh terhadap parameter produksi susu sapi perah. Teknik pemanenan yang terbaik adalah memanen hijauan dengan bentuk yang masih utuh karena menghasilkan produksi yang tinggi, intake bahan kering yang tinggi, pertambahan bobot badan yang rendah dan efisiensi produksi susu yang baik bila dibandingkan dengan teknik pemanenan yang menyebabkan hijauan rusak. Hijauan yang digunakan dalam pembuatan silase sering dilayukan terlebih dahulu. Alasan pelayuan adalah : (1) Silase dari hijauan yang basah (bahan kering kurang dari 20%) akan mendorong perkembangan bakteri clostridia silase, (2)
6
bahan kering silase basah menjadi rendah, (3) nutrien yang hilang bersama cairan yang keluar lebih besar dan (4) Biaya penanganan hijauan basah lebih tinggi daripada hijauan yang dilayukan. Hijauan yang dibuat silase selama 30 hari tanpa dilayukan terlebih dahulu menghasilkan bahan kering sebesar 17% dengan pH 4.0 sedangkan hijauan yang dilayukan terlebih dahulu menghasilkan bahan kering sebesar 39% dengan pH 4.4 (Ross 1984). Ada dua cara pembuatan silase yang pertama secara kimia dengan penambahan asam sebagai bahan pengawet seperti asam fosfat, asam klorida dan asam sitrat. Penambahan asam tersebut diperlukan agar pH silase turun dengan segera (sekitar 4.2) sehingga menghambat proses respirasi, proteolitis dan mencegah aktifnya bakteri clostridia (Cullinson 1978). Cara yang kedua adalah pengolahan secara biologis dengan cara memfermentasi bahan tersebut dalam suasana asam. Asam yang terbentuk adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida gas metan, karbon monoksida, nitrat dan panas (Cullinson 1978). Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan bahan pengawet sebanyak ±3% dari berat hijauan yang digunakan (Bolsen et al. 2000). Pembuatan silase dengan penambahan pengawet terutama yang banyak mengandung karbohidrat berfungsi sebagai perangsang berlangsungnya fermentasi sehingga bakteri asam laktat dapat berkembangbiak dengan baik (Ensminger 1980). Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan silase adalah kadar air atau bahan kering hijauan, kadar gula tanaman dan proses pembuatan silase (Hughes dan MetCalfe 1992). Bahan baku yang baik untuk pembuatan silase harus mempunyai kadar bahan kering 25-35%. Apabila bahan kering <25% maka silase yang dihasilkan akan terlalu asam dan berair karena air yang keluar dari silase sehingga unpalatabel (tidak disukai). Apabila kadar bahan kering >35% maka menyebabkan pengolahan kurang sempurna, bahan baku sulit dipadatkan sehingga sulit mendapatkan kondisi anaerob. Hal ini akan mengakibatkan timbulnya jamur karena adanya oksigen (Morrison 1957; Cullinson 1978). Disarankan kandungan bahan kering bahan baku berkisar antara 20-25% (Woolford 1984).
7
Fase Ensilase Pembuatan silase secara garis besar dibagi menjadi 4 fase yakni (1) fase aerob, (2) fase fermentasi, (3) Fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak. Fase aerob, ini berlangsung dalam 2 proses yaitu proses respirasi dan proses proteolitis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6-6.5. Dampak negatif dari fase ini dapat dihindarkan dengan cara menutup silo yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan cepat. Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting : glikolisis, siklus kreb dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus kreb menghasilkan 2 ATP sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas sehingga waktu yang digunakan untuk fase ini harus diminimalkan (Bolsen dan Sapienza, 1993). Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbon dioksida dan air dengan oksigen dan menghasilkan panas seperti reaksi berikut : C6H12O6 + O2
6 CO2 + 6 H2O + panas
Prinsip fermentasi adalah tercapainya kondisi anaerob (Mc Donald et al. 1991).
Pada Fase fermentasi (respirasi anaerobik) menghasilkan 2 ATP per
molekul glukosa (Winarno dan Fardiaz 1979). Fase fermentasi dicapai ketika terjadi kondisi anaerob yang mengakibatkan tumbuhnya mikroba anaerob yakni bakteri asam laktat, Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang. Bakteri asam laktat (BAL) adalah mikrpoflora yang terpenting tumbuh karena pakan
ternak
akan
diawetkan
oleh
asam
laktat
yang
diproduksinya.
Mikroorganisme yang lain seperti Enterobacteriaceae, spora clostridia, ragi dan kapang memiliki pengaruh yang negatif pada kualitas silase. Mikroorganisme ini berkompetisi dengan BAL untuk memfermentasi karbohidrat dan memproduksi senyawa yang mengganggu prose pengawetan pakan ternak (Bolsen et al. 2000). Fase awal fermentasi silase yaitu saat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat terjadi. Bakteri ini memfermentasi karbohidtrat terlarut dan menghasilkan asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan
8
menurunkan pH menjadi 5. Pertumbuhannya akan terhambat pada saat pH dibawah 5 dan ini merupakan pertanda fase awal fermentasi berakhir dan akan dilanjutkan dengan fermentasi berikutnya. Penurunan pH terus berlangsung sehingga meningkatkan pertumbuhan kelompok bakteri anaerob lain yang menghasilkan asam laktat. BAL memfermentasikan karbohidrat terlarut. Pengawetan silase yang efisien terdiri lebih dari 60% asam laktat sebagai asam organik yang diproduksi. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai pH yang cukup rendah untuk pertumbuhan semua bakteri. Ketika pH ini dicapai maka bahan pakan akan tahan disimpan (Schroeder 2004). Masa fermentasi aktif berlangsung selama 1 minggu sampai 1 bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% masuk dalam kategori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40-50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1-5 minggu. Fermentasi akan terhenti bila substrat gula untuk fermentasi telah habis. Pada saat ini silase telah terfermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen dan Sapienza 1993). Fase pengeluaran pakan ternak dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase. Kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien terlarut lainnya dalam silase (Bolsen dan Sapienza 1993). Bolsen et al. (2000) menuliskan bahwa silase akan mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5-3.0% per hari setiap peningkatan suhu 8-12oC pada fase pemberian pada ternak. Pada fase ini terjadi pula peningkatan PH dengan kisaran 4.0-7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan ragi dan kapang yang cukup tinggi. Tahapan yang terjadi saat ensilase erat kaitannya dengan fase pertumbuhan yang dialami oleh bakteri. Fase pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase. Fase tersebut adalah : (1) fase adaptasi (log phase), (2) fase pertumbuhan logaritmik
9
dan fase pertumbuhan cepat (log phase), (3) Fase stabil (stationary phase) dan fase kematian (dead phase) (Crueger dan Crueger 1984). Fase adaptasi adalah fase saat mikroba mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai kebagian fase pertumbuhan cepat (logarithmic phase or exponential phase), selanjutnya mencapai populasi yang maksimum dan memasuki fase stabil (stationary phase) dimana terjadi jumlah yang sama besar antara bakteri yang masih mampu membelah diri dan tidak mampu membelah diri lagi. Akhirnya fase pertumbuhan bakteri memasuki fase kamatian (dead phase) (Moat et al. 2002) Kualitas Silase Faktor yang mempengaruhi kualitas silase secara umum adalah kematangan bahan dan kadar air, besar partikel bahan, penyimpanan saat ensilase dan aditif. Kualitas silase dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang dominan diproduksi, menunjukkan fermentasi asam yang efisien ketika penurunan pH silase terjadi dengan cepat. Semakin cepat fermentasi terjadi, semakin banyak nutrisi yang dikandung silase dapat dipertahankan (Schroeder 2004) Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan pengepakan dan penyegelan silo), (3) keadaan iklim (suhu dan kelembaban) (Bolsen and Sapienza 1993). Menurut Bolsen et al. (2000) silase yang baik mengandung nilai nutrisi yang masih tinggi. Mc Donald et al. (1991) menuliskan bahwa kualitas silase tidak hanya dilihat dari pengawetan nilai nutrisi saja tetapi juga berapa banyak silase tersebut kehilangan bahan kering. Prinsip pembuatan silase adalah mengusahakan dan mempercepat keadaan anaerob di dalam silo sehingga terbentuk asam organik yang mempercepat penurunan pH sekitar 4 (Mc Collough 1978). Pada pH sekitar 4 diharapkan mikroorganisme pembusuk tidak aktif sehingga hijauan dapat tahan lama. Menurut Ensminger (1980) tercapainya pH 3.5-4.0 merupakan kunci terbentuknya silase yang baik karena hal itu akan mencegah pertumbuhan bakteri termasuk bakteri penyebab kebusukan.
10
Baik atau tidaknya kualitas silase dapat ditentukan dengan kriteria tertentu seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria penilaian silase Kriteria
Baik sekali
Baik
Sedang
Buruk
Warna
Hijau tua -
Hijau Kecoklatan Lebih banyak
Tidak hijau
Cendawan dan lendir Kebersihan Bau Rasa pH N-NH3 Asam butirat
Hijau Kecoklatan Sedikit
Bersih Asam Kemasaman 3.2-4.2 <10% total N -
Bersih Asam Asam 4.2-4.5 12-15% total N Sedikit
Kurang bersih Kurang asam Asam 4.5-4.8 >20% total N Banyak
Kotor Busuk Tidak asam >4.8 >20% total N Banyak
Banyak
Ransum Kering Pengeringan merupakan teknologi pengawetan pakan dengan kadar air yang rendah (14-15%) menggunakan alat pengering sejenis oven atau sinar matahari sehingga enzim dan mikroorganisme menjadi tidak aktif (Church 1991; Livingstone 2000; Orskov 2001).
Tujuan pembuatan ransum kering adalah
mengurangi kadar air sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nutrien secara serius. Kadar air maksimum untuk hijauan kering yang berbentuk bola atau gulungan adalah 18-22% tergantung dengan hijauan itu sendiri (Perry et al. 2004). Proses pengeringan yang berjalan cepat dan dapat menurunkan kandungan air hingga 15% akan lebih baik daripada proses pengeringan yang berjalan lamban dan memakan waktu lama. Makin lama proses pengeringan akan makin banyak pula zat gizi pakan yang hilang. Pengeringan menggunakan mesin lebih baik dibandingkan menggunakan matahari (Church 1991; Siregar 1995; Orskov 2001). Church (1991) menyatakan bahwa jika pengeringan berjalan lambat akan menyebabkan perubahan pada enzim tanaman (respirasi) dan mikroorganisme (sebagian jamur) atau perubahan oksidatif. Selama respirasi hijauan mengalami kehilangan karbohidrat terlarut yang cukup banyak, sebagian glukosa, fruktosa dan sukrosa dan mungkin juga kehilangan asam organik. Kehilangan N juga akan terjadi selama pengeringan sebagai aksi dari enzim proteolitis. Karoten
11
(provitamin A) akan hilang sebesar 80% ketika dijemur dengan menggunakan matahari dan vitamin E akan hilang seluruhnya pada saat proses pengeringan. Teknologi pengeringan pakan meminimalisasi aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan memudahkan proses pengangkutan karena kadar airnya yang rendah (Church 1991; Orskov 2001) namun dalam prosesnya bisa menyebabkan
kehilangan
nutrien
(Livingstone
2000)
dan
menurunnya
palatabilitas (Siregar 1995). Faktor penyimpanan sangat mempengaruhi kualitas ransum kering. Makin lama waktu penyimpanan akan makin berkurang pula nilai nutrisinya, apalagi bila penyimpanannya masih mengandung air lebih dari 15%, kerusakan akan lebih cepat terjadi akibat jamur atau cendawan. Ransum kering yang basah akan akan cepat rusak karena proses peragian. Gudang atau tempat penyimpanannya harus mempunyai sirkulasi udara yang baik (Siregar 1995). Perry et al. (2004) menyatakan bahwa penyimpanan ransum kering yang mengandung air berlebihan dapat mengakibatkan timbulnya jamur sehingga tidak sesuai lagi untuk penggunaan pakan. Menurut Church (1991), penyimpanan ransum kering lebih dari 9 bulan pada suhu 36oC dengan kadar air 18% menyebabkan hilangnya bahan kering sebanyak 8% (terutama gula dan karbohidrat). Ransum dengan kadar air 16% dikeringkan
dengan
temperatur
yang
rendah
menghasilkan
sedikit
mikroorganisme tetapi jika kadar airnya 25% dan dikeringkan secara spontan 45oC akan menyebabkan timbulnya jamur. Kadar air 40% pada suhu 60-65oC menyebabkan ransum mengandung sejumlah jamur thermofilik. Hijauan dapat disimpan dengan kadar air 18% tanpa mengalami perubahan kecernaan protein namun penyimpanan dengan suhu di atas 35oC dapat menyebabkan penurunan protein tercerna. Panas yang berlebihan saat penyimpanan menyebabkan ransum berwarna coklat dan hitam, biasanya terdapat banyak jamur yang mengurangi palatabilitas dan nilai nutrisi. Jika penyimpanan dilakukan dengan kadar air yang tepat, dengan menghindarkan dari pengaruh cuaca yang dapat merubah komposisi nutrisi maka ransum kering dapat disimpan selama bertahun-tahun (Church 1991).
12
Kambing Perah Jenis kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah kambing Peranakan Etawa (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan tatar (grading up) antara kambing kacang dengan kambing etawa yang mempuyai sifatsifat dintara tetuanya. Sebagian kambing PE mempunyai sifat mendekati kambing etawa dan sebagian sifat lainnya mendekati kambing kacang (Attabani 2001). Kambing PE termasuk penghasil susu dan daging atau dwiguna (Devendra dan Burns 1994). Produksi susu kambing PE di Indonesia masih sangat bervariasi berkisar antara 0.45-2.2 liter/ekor/hari (Obts and Napitupulu 1984; Sutama et al. 1995) 0.5-1.5 liter/ekor/hari (Tahahar et al. 1996) dan 0.47-1.09 kg/ekor/hari (Yulistianti et al. 1999). Menurut Sumoprastowo (1980) produksi susu kambing PE adalah 11.5 liter/ekor/hari. Attabani (2001) melaporkan bahwa produksi susu kambing PE pada peternakan Barokah, Caringin adalah 990 gram/ekor/hari dengan lama laktasi 170.07 hari. Budi (2002) menyatakan bahwa rataan produksi susu harian kambing PE adalah 489.93 gram/ekor/hari. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Andriani (2003) yaitu seebsar 567.1 gram/ekor/hari. Kambing jawarandu adalah jenis kambing persilangan Ettawa dengan kambing kacang yang telah berkembangbiak dan menyebar luas di Indonesia dan tidak diketahui lagi darah ettawanya (Sutiyono 1992; Sastroamidjojo dan Soeradji 1978). Kambing jawarandu mempunyai produksi susu 1-2 liter/ekor/hari dengan masa laktasi 4.5 bulan (Ditjennak 1986).
Sumoprastowo (1980) menyatakan
bahwa seekor kembing jawarandu yang sedang laktasi produksi susunya mencapai 1-1.5 liter/ekor/hari dan Djoharjani (1986) melaporkan bahwa kambing jawarandu mencapai berat dewasa laktasi ketiga yaitu 46.4 kg . Penampilan susu kambing hanya berbeda sedikit dengan susu sapi yaitu pada warna dari keduanya.
Kandungan vitamin A pada susu kambing tidak
tersusun sebagai pigmen caratenoid sebagaimana pada susu sapi. Dengan adanya karatenoid pada susu sapi menyebabkan lemak berwarna kuning sedangkan pada susu kambing berwarna putih (Haris dan Ritcher 1972). Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa perbedaan susu kambing dibandingkan susu sapi yaitu warnanya yang lebih putih, globul lemak susunya lebih kecil sehingga lebih
13
mudah dicerna, protein curd lebih lunak. Warna susu kambing adalah putih kekuningan. Warna putih diakibatkan oleh penyebaran butiran-butiran emulsi lemak, koloid, kalsium caseinat dan kasium fosfat sedangkan warna kuning dipengaruhi oleh adanya karoten dan riboflavin (Buckle et al. 1985). Dibandingkan susu sapi, susu kambing berupa lemak dan kadar proteinnya yang lebih mudah dicerna, karena terdapat dalam bentuk yang lebih halus dan proporsinya tinggi sehingga proses pencernaan berlangsung dengan mudah (Jennes 1980).
Susu kambing juga jarang mengandung basil TBC dan
mempunyai sifat anti alaregi (Devendra 1993). Namun pemanfaatan kambing sebagai penghasil susu di Indonesia umumnya masih terbatas pada kalangan tertentu saja (Tahahar et al 1996). Sintesis dan Kualitas Susu Air susu adalah air susu yang berasal dari ternak ruminansia yang tidak ditambahkan atau dikurangi suatu zat apapun ke dalamnya dan diperoleh dari pemerahan ternak yang sehat (Sudono 1985). Pada umumnya susu terdiri atas 3 komponen utama yaitu protein, lemak dan laktosa (Schmidt et al. 1988) ditambah mineral dan vitamin (Sudono 1985). Kandungan zat-zat makanan dalam susu ini berbeda antar bangsa ternak. Kandungan bahan kering teruatama abu, laktosa dan protein susu kambing lebih tingi dari susu sapi (Devendra 1993). Komposisi susu kambing dapat bervariasi, hal ini antara lain karena perbedaan antar bangsa maupun individu dalam 1 jenis (Haris dan Ritcher 1973). Kualitas susu ditentukan oleh (1) warna, bau, rasa, uji masak, uji penyaringan (kebersihan) dan (2) berat jenis, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan kadar protein (Sudono 1999). Secara keseluruhan nilai gizi susu kambing lebih tinggi dibanding susu sapi kecuali pada kandungan kolesterolnya sedangkan kandungan protein, vitamin C dan vitamin D mempunyai nilai yang sama.
Apabila
dibandingkan dengan air susu ibu (ASI), nilai gizi susu kambing lebih tinggi kecuali pada kandungan lemak, zat besi (Fe) dan kolesterol. Perbandingan susu kambing, susu sapi dan ASI menurut American Dairy Goat Association (2002) dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Komposisi susu kambing, sapi dan ASI Komposisi
Susu Kambing
Protein (%) 3.0 Lemak (%) 3.8 Kalori (/100ml) 70 Vitamin A (iu/gram) 39 Vitamin B (µg/100mg) 68 Riboflavin (µg/100mg) 210 Vitamin C (mg asam 2 askorbat/100ml) Vitamin D (iu/gram) 0.7 Kalsium (%) 0.19 Fe (%) 0.07 Fosfor (%) 0.27 Kolesterol (mg/100ml) 12 Sumber : American Dairy Goat Association (2002)
Susu Sapi
ASI
3.0 3.6 69 21 45 159 2
1.1 4 68 32 17 26 3
0.7 0.18 0.06 0.23 15
0,3 0.04 0.2 0.06 20
Kandungan komposisi susu relatif tidak berubah untuk satu jenis spesis kecuali kadar lemak. Asam lemak rantai pendek (C4-C14) disintesis dalam kelenjar ambing.
Asam lemak ini berasal dari asetat dan beta hidroksi butirat yang
diproduksi di rumen. Protein susu sebagian besar disintesis di kelenjar ambing dari asama amino dan sebagian lagi ditransfer langsung dari darah. Laktosa berasal dari glukosa yang ada di dalam darah sementara mineral dan vitamin ditransfer langsung dari darah (Schmidt 1971). Secara ringkas asal usul pembentukan unsur utama susu dapat dilihat pada Gambar 1. Secara spesifik susu dapat dibagi menjadi 3 fase, pertama fase emulsi merupakan butiran agak besar yang tersebar dan tidak larut dalam air, setiap partikel dilapisi oleh membran fosfolipid dan protein untuk menjamin dalam bentuk emulsi. Fase koloid yang terdapat di dalam bentuk stabil karena ukuran koloid yang sangta halus seperti casein, laktalbumin dan kalsium fosfat. Fase ketiga adalah fase larut yang umumnya terdiri atas air, sebagian protein (albumin dan globulin), karbohidrat (laktosa), sebagian besar vitamin dan mineral yang larut (Bath et al. 1985). Komposisi susu kambing adalah casein 4.06%, lemak 5.14%, laktosa 5.28%, total bahan kering 15.06% dan kadar air 84.99% (Pegler 1965).
15
KELENJAR SUSU
DARAH
Casein Asam amino
Asam amino Asam amino
β-laktoglobulin α-laktalbumin
Serum albumin
Serum albumin
Imunoglobulin
Imunoglobulin
Glukosa
Laktosa
Glukosa Galaktosa Gliserol3P
Lemak
Lemak
Triasilgliserol
Monoasilgliserol C 18 : 0 C 18 : 1 C 18 : 2 C 18 : 3
Mineral & Vitamin Asetat β-Hidroksibutirat Lemak
Mineral & Vitamin Asetat
C 4 : 0 Hingga C 16 : 0
β-Hidroksibutirat
Butiril KoA
Lemak
C 12 : 0 Hingga C 16 : 0
Triasilgliserol
C 18 : 0, C 18 : 1, C 18 : 2, C 18 : 3
Gambar 1. Asal usul pembentukan unsur utama susu (Mc Donald et al. 1995)
16
Komposisi susu bervariasi tergantung bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Larson 1985). Rangkuman komponen susu kambing yang terdiri dari : Berat Jenis (BJ), protein, laktosa, Bahan Kering (BK) dan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komponen susu kambing BJ
Protein Lemak Laktosa (%) (%) (%)
1.0306 1.0306 1.0292 1.02911.0295 1.0296
4.49 4.36 3.554.03 2.93 4.5
6.89 4.92 4.224.44 6.68 5.956.05 6.75
4.73 4.645.46 9.69 5.5
BK (%)
BKTL (%)
Peneliti
15.79 13.99 13.7014.30 16.38 14.7015.62 16.4
8.9 9.07 9.489.86 9.7 8.759.57 9.65
Triwulaningsih (1986) Ernawati (1990) Subhagiana (1998) Attabani (2001) Budi (2002) Adriani (2003)
Protein susu Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh (Annison et al. 1984; Collier 1985) dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu. Sintesis protein susu ini dikontrol oleh gen, yang mengandung material genetik asam deoxiribonukleat (DNA) (Schmidt 1971; Akers 2002). Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu (Annison et al. 1984; Collier 1985). Asam amino tersebut akan diubah menjadi casein, α-laktoglobulin dan βlaktalbumin di dalam kelenjar susu (McDonal et al. 1998). Pembentukan protein susu meliputi tiga tahap yaitu replikasi DNA, transkripsi RNA dari DNA dan translasi yaitu pembentukan protein dari informasi RNA (Gambar 2). Replikasi meliputi pembagian dua untaian DNA dan duplikasi kedua untaian tersebut dengan prosedur pasangan. Replikasi terjadi pada divisi sel dan tidak berpengaruh langsung dalam sintesis protein. Transkripsi meliputi produksi RNA pada untaian DNA. Molekul RNA bergerak ke sitoplasma dan berperan penting dalam sintesis protein. Pada transkripsi 3 tipe molekul RNA dibentuk yaitu mesenger RNA (mRNA), transfer atau soluble RNA (tRNA dan sRNA) dan ribosomal RNA (rRNA). Translasi meliputi proses dimana asam
17
amino dibawa dan digabung membentuk protein, terjadi di dalam ribosom (Schmidt 1971). Transkripsi DNA GTP+ATP+CTP+UTP
mRNA
Aktivasi asam amino AA+ATP+tRNA
AA ∼ tRNA+AMP+PP
Translasi mRNA (AA ∼ tRNA)n
AA1-AA2-AA3-----AAn kompleks Ribosomal rRNA
Gambar 2. Jalur sintesis protein dari asam amino (Schmidt 1971) Prekursor protein adalah asam amino esensial dan asam amino non esensial dari darah. Di dalam ambing terjadi perombakan dan sintesis kembali (resintesis) asam amino guna mengimbangi asam amino yang dibutuhkan oleh sintesis protein susu (Holmes dan Wilson 1984). Protein susu banyak terdapat dalam bentuk casein, beta casein, kapa casein (Bath et al. 1985; Schmidt 1971). Sementara casein, beta laktaglobulin dan alpa ketalbumin membentuk 90-95% protein susu. Ketiga protein ini disintesis di dalam kelenjar ambing (Schmidt 1971), dari bahan asam amino esensial dan asam amino non esensial yang berasal dari pool asam amino di dalam darah. Sementara 5-10% protein susu lainnya terdiri atas imunoglobulin, serum albumin dan gama casein (Bath et al 1985; Schmidt 1971). Ketiga protein tersebut tidak disintesis di dalam kelenjar ambing tetapi diabsorbsi langsung di darah (Schmidt 1971). Kandungan protein susu bervariasi tergantung dari bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas pakan (Larson 1985). Laktosa susu Laktosa merupakan sekresi mamari yang disintesis dari glukosa yang diabsorbsi dari darah (Gambar 3). Satu molekul glukosa diisomerisasi menjadi UDP galaktose melalui 4 jalur Leloir enzim. UDP galaktose kemudian diikat oleh
18
molekul glukosa lain pada reaksi yang dikatalisis oleh enzim, laktosa sintetase, dua komponen enzim.
Komponen A merupakan galaktosil transferase non
spesifik yang mentransfer galaktosa dari UDP galaktosa menjadi sejumlah aseptor. Komponen B merupakan whey protein, α-laktalbumin, transferase menjadi sangat
spesifik pada glukosa, berperan dalam sintesis laktosa.
α-
laktalbumin merupakan enzim pengubah laktosa dan konsentrasinya dalam susu secara langsung berhubungan dengan konsentrasi laktosa susu tersebut (Fox dan McSweeney 1995) Hexokinase Glukosa-6-phosphat
Glukosa ATP
ADP Phosphoglukomutas P-P UDP glukosa Glukosa-1-phosphat
UDP glukosa Phosphorilase UTP
ADP
UDP glucose-4-epimerase UDP
ATP
UDP galaktosa
+ Glukosa
Galaktosiltransferse Laktosa α-laktalbumin
Gambar 3. Jalur sintesis laktosa (Mc Donald et al. 1995) Laktosa susu merupakan karbohidrat susu yang disintesis di dalam kelenjar ambing. Bahan utama pembentukan laktosa susu adalah glukosa darah yaitu mencapai 80% (Holmes dan Wilson 1984). Proses pembentukan laktosa
19
dikelenjar ambing tidak sama dengan sel-sel lainnya yaitu tidak dipengaruhi oleh konsentrasi insulin darah. Kadar laktosa susu relatif tetap namun produksi laktosa meningkat sejalan peningkatan produksi susu. Fluktuasi kadar laktosa sesuai dengan dinamika produksi susu selama laktasi (Schalm et al. 1971). Komponen utama karbohidrat susu sebagian besar adalah laktosa, yang dibentuk dari molekul glukosa dan galaktosa. Prekursor utama laktosa adalah glukosa darah. Pada kelenjar susu, molekul glukosa mengalami posporilasi dari bentuk glukosa 6-phosphat menjadi glukosa 1-phosphat. Glukosa 1-phosphat bersama uridin tripohosphat (UTP) membentuk glukosa diphosphat (UDP). UDP glukosa kemudian dikonversi menjadi UDP galaktosa. UDP glukosa bersama glukosa bebas membentuk laktosa dengan pembebasan UDP, selanjutnya sintesis laktosa dikatalisasi oleh enzim laktose (Schmidt 1971). Pada ternak ruminansia, konsentarsi glukosa dalam sistem sirkulasi berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Annison et al. 1984; Collier 1985). Lemak susu Biosintesis asam lemak, gliserol terjadi di dalam sitosol dan biosintesis triasil gliserol terjadi di dekat retikulum endoplasmik. Ada tiga sumber utama adanya asam lemak dalam triasilgliserol susu (Gambar 4). Pertama : glukosa melalui glikolisis menjadi asam piruvat yang kemudian menuju siklus asam sitrat dengan membentuk asetil KoA dan oksaloasetat dari dari sitrat.
Kedua :
triasilgliserol yang dikonsumsi dari tanaman atau dibentuk oleh bakteri dalam rumen yang diabsorbsi oleh usus sebagai triasilgliserol dan ditemukan dalam darah dalam bentuk chlylomikra dan lipoprotein dengan tekanan rendah. Ketiga : asam lemak susu dan sintesis asam lemak dalam kelenjar mammary dari asetat dan BHBA yang dibawa ke dalam darah dari rumen yang diproduksi saat fermentasi bakteri. Sumber utama gliserol untuk triasilgliserol pada sebagian besar spesis adalah gliserol-3-phosphat yang dibentuk dari glukosa melalui jalur glikolitik Embden-Meyerhoff atau posporilasi gliserol dari lipolisis triasil gliserol selama berada di dalam kelenjar mammary. Sumber terkecil lainnya berasal dari gliserol bebas yang terdapat di dalam pembuluh darah (Larson 1985: Schmidt 1971).
20
Glukosa NADP +
ASAM LEMAK
NADPH
Glukosa 6 SIKLUS PENTOSA PHOSPHAT
Fruktosa 6 P α- pentosaphosphat
Triosa P
NADP +
NAD +
NADH NAD +
NADPH
NADH Piruvat Malonil KoA
ASETAT BHBA
Piruvat
Primer
Asetil KoA Asetil KoA oksaloasetat
sitrat
SIKLUS ASAM TRIKARBOKSILAT
isositrat
ASETAT
isositrat NADP
α-ketoglutatarat
MITOKONDRIA
BHBA
sitrat
+
NADPH α-ketoglutatarat
Gambar 4. Jalur sintesis asam lemak pada jaringan mamae ruminansia (Schmidt 1971).
SITOSOL
21
Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma kelenjar susu. Pada ternak rumiansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga dsigunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-phosphat dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu (Baldwin dan Smith 1983). Sekitar 97-98% lemak susu terdapat dalam bentuk trigliserida dan hanya sebagian kecil yang terdapat dalam bentuk fosfolipid (2-3%) (Larson 1985). Sebagian lemak susu disintesis di dalam kelenjar ambing yaitu sekitar 50% berasal dari asam lemak rantai pendek (C4-C14) berupa asetat, beta hidrosi butirat yang dihasilkan oleh fermentasi selulosa di rumen, sebagian lagi berasal dari asam lemak rantai panjang (C16-C18) dari makanan dan cadangan lemak tubuh (Holmes dan Wilson 1984). Kadar lemak susu berfluktuasi dan banyak dipengaruhi oleh jenis pakan (Wikantadi 1977), bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanan (Larson 1985), kebutuhan dan kesehatan (Spreer 1995). Menurut Fox dan McSweeney (1995), kandungan lemak susu menggambarkan kebutuhan energi setiap ternak. Komposisi lemak susu akan semakin menurun karena pemberian konsentrat.
Hal ini disebabkan kandungan protein yang cukup tinggi dalam
konsentrat merupakan pemacu produksi asam propionat di dalam rumen yang kemudian diserap darah.
Pakan berupa hijauan menghasilkan banyak asetat
sebagai bahan baku sintesis lemak susu (Sodiq dan Abidin 2002). Lemak susu kambing sekitar 4.2%, terdapat dalam keadaan emulsi (butiran-butiran) yang tersebar merata dalam susu (Sarwono 2002).
22
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di peternakan rakyat yang terletak di Bintaro selama 2 bulan dan analisis sampel susu penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Perah Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ekor kambing perah. Kambing tersebut terdiri atas : 3 ekor kambing Peranakan Etawa (PE) laktasi pertama, 3 ekor kambing Peranakan Etawa (PE) laktasi kedua dan 3 ekor kambing Jawarandu laktasi kedua dengan bobot badan berkisar antara 35-45 kg. Ransum dan Peralatan Ransum yang digunakan dalam penelitian ini ada 3 jenis, pertama : ransum konvensional (RK) yaitu ransum yang biasa digunakan pada peternakan tersebut (rumput lapangan, ampas tahu dan bungkil kacang tanah), kedua : ransum kering komplit (RKK) yang terbuat dari sampah sayuran pasar (kubis, sawi putih, kulit jagung dan kulit kembang kol), onggok, ampas tahu, dedak dan bungkil inti sawit dan ransum ketiga : yang dibuat ransum silase komplit (RSK) dengan bahan dasar yang sama dengan ransum kering komplit. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah copper, timbangan, gelas ukur, lactodensimeter, tabung 250 ml, plastik ukuran 1000 ml dan 250 ml, silo (tong ukuran 120 l), karung, tempat pakan, tempat minum dan alat tulis menulis. Komposisi dan Kandungan nutrisi ransum yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
23
Tabel 4. Komposisi bahan makanan yang digunakan dalam penelitian Bahan makanan (segar)
Perlakuan RK RKK RSK .................................. (%) ................................... Sampah sayuran 41.00 41.00 Bungkil inti sawit 5.20 5.20 Ampas tahu 50.00 27.00 27.00 Dedak padi 16.70 16.70 Onggok 9.00 9.00 Premix 0.10 0.10 Bk kacang tanah 25.00 Rumput alam 25.00 Jumlah 100.00 100.00 100.00 Keterangan : RK : Ransum konvensional RKK : Ransum kering komplit RSK : Ransum silase komplit Tabel 5. Kandungan zat-zat makanan yang digunakan dalam penelitian Kandungan zat makanan (%BK) Bk kacang Rumput Ampas RKK RSK tanah* alam* Kadar air (%) 77.19 9.80 75.60 12.89 70.76 Bahan kering (%) 22.81 90.20 24.40 87.11 29.24 Protein kasar 15.52 45.10 8.20 19.61 16.18 Serat kasar 28.01 8.95 31.70 23.95 26.85 Abu 3.55 6.33 14.50 11.56 10.05 Lemak kasar 14.32 10.70 1.44 7.14 4.07 BETN 38.60 28.90 44.20 37.75 42.85 Calsium 0.61 0.52 0.37 1.40 1.40 Phosphor 0.31 0.58 0.23 1.54 1.29 TDN** 64.79 80.9 56.2 60.45 58.41 Sumber : Hasil analisis laboratorium INMT Fakultas Peternakan IPB (2005) * Sutardi (1991) ** Dugaan Pembuatan RKK dan RSK RKK dan SRK dibuat dari bahan dasar sampah sayuran pasar (kol, kulit kembang kol, sawi putih, kulit jagung) yang diperoleh dari pasar induk Kemang Bogor. Jumlah sampah sayuran pasar digunakan sebanyak 41% dari total ransum dan sisanya dipenuhi dari ampas tahu, dedak padi, onggok dan bungkil inti sawit. Sebelum dicampur, sampah sayuran dipotong kira-kira 3-5 cm kemudian dihomogenkan dan dilayukan selama 24 jam. Sampah yang telah homogen dicampur dengan bahan lainnya sesuai dengan komposisi pakan pada Tabel 1 dan
24
dibagi menjadi 2 bagian untuk pembuatan RKK dan RSK. RKK dibuat dengan menjemur pakan hingga kadar airnya mencapai <15%. RSK dibuat dengan cara memasukkan pakan ke dalam silo (tong plastik ukuran 1200 liter) dalam keadaan anaerob, disimpan di ruangan (gudang) bersuhu kamar selama 4 bulan. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar dapat dilihat pada Gambar 5. Pengambilan sampah sayuran pasar (kubis, sawi putih, kulit jagung, kulit kembang kol)
potong (± 3-5 cm) dan dilayukan 24 jam
Campur ampas tahu, onggok, bungkil inti sawit, dedak
Jemur dibawah sinar matahari hingga kadar air 15%
Padatkan dalam tong (anaerob 4 bulan)
RKK
RSK
Gambar 5. Skema pembuatan RKK dan RSK sampah sayuran pasar Metode Penelitian Pemberian ransum konvensional (RK) dilakukan pada pagi dan sore hari (konsentrat dan ampas tahu diberikan pada pukul 09.00 dan 13.00 WIB sedangkan hijauan diberikan pada pukul 11.00 dan 17.00 WIB). RKK dan RSK diberikan pada pukul 09.00 WIB dan pemberiannya akan ditambahkan setelah ransumnya dianggap berkurang. Konsumsi ransum diukur dengan menghitung total ransum yang diberikan selama sehari dikurangi dengan sisa ransum yang digunakan pada hari itu. Pengambilan sampel susu sekitar 250 ml/ekor setiap seminggu sekali (hari Selasa) selama sebulan. Setiap minggu sampel susu di bawa ke laboratorium untuk pengujian komposisi susu.
25
Peubah Penelitian Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Konsumsi pakan (g/ekor/hari) : konsumsi pakan diukur dengan menggunakan timbangan dacin yang dilakukan dengan menimbang jumlah pakan yang diberi dengan sisa pakan yang tidak dimakan. 2. Produksi susu (ml/ekor/hari): Produksi susu diperoleh dari hasil penjumlahan pemerahan pagi dan sore.
Produksi susu diukur selama
sebulan. Alat yang dipakai untuk menimbang produksi susu adalah gelas ukur dengan skala terkecil 0.1 ml dan skala maksimal 1 liter. 3. Efisiensi penggunaan ransum : Efisiensi penggunaan ransum meliputi efisiensi penggunaan bahan kering dan protein kasar Produksi susu (ml/ekor/hari) x BK susu (%) Efisiensi penggunaan BK = BK ransum (g/ekor/hari) 4. Komposisi susu : -
Berat jenis : dihitung dengan menggunakan lactodensimeter.
-
Kadar protein (%) dihitung dengan metode Titrasi Formol
-
Kadar lemak (%) dihitung dengan menggunakan metode Gerber
-
Kadar laktosa (%) ditentukan dengan menggunakan metode Teles
-
Kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL) (%)
dihitung dengan
persamaan Fleiscemann 100 (BJ-1) BK = [(1.311) X L] + [ 2.738
] BJ
Dimana : L BJ
: Kadar Lemak Susu (%) : Berat jenis susu pada 27.5 oC
Sehingga : BKTL = BK - L 5. Produksi komponen susu : Produksi komponen susu meliputi produksi protein, lemak, laktosa, Bahan Kering (BK) dan Bahan Kering Tanpa Lemak (BK), dihitung dengan cara : Produksi protein susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar protein susu
26
Produksi lemak susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar lemak susu Produksi laktosa susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar laktosa susu Produksi BK susu (g/ekor/hari)
= produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar BK susu
Produksi BKTL susu (g/ekor/hari) = produksi susu (ml/ekor/hari) x BJ x kadar BKTL susu Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 3 kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 1 ekor kambing perah. Data yang diperoleh di analisis menggunakan program Minitab 14.2, dan apabila perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata diuji Duncan (Mattjik 2002) Yij : µ + Ai + Bj + εij Dimana : Yij
: Nilai pengamatan (respon) yang diamati
µ
: Nilai tengah umum
Ai
: Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1,2,3)
Bj
: Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2,3)
εij
: Pengaruh galat percobaan
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian ketiga jenis ransum mempengaruhi (P<0.01) konsumsi bahan kering (BK) ransum dan produksi susu kambing perah penelitian. Nilai rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum dan produksi susu kambing perah penelitian Peubah RK
Konsumsi BK (g/ekor/hari) Produksi susu (ml/ekor/hari) Efisiensi penggunaan BK
1346.27a±63.12 1283.81a±140.44 13.93a±0.63
Perlakuan RKK
638.81b±89.63 542.86b±185.57 13.36a±2.18
RSK
254.90c±113.70 414.88b±90.17 27.90b±6.97
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) Konsumsi Bahan Kering Ransum Banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat menggambarkan palatabilitas ransum tersebut (Lawrence 1990). Kambing yang diberi RK memperlihatkan jumlah konsumsi bahan kering yang sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi (1346.27 g/ekor/hari) dibandingkan dengan konsumsi bahan kering RKK (638.81 g/ekor/hari) dan RSK (254.90 g/ekor/hari). Konsumsi bahan kering kambing yang digunakan dalam penelitian ini memperlihatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi bahan kering kambing pada umumnya. Menurut Devendra (1993) dan Setiawan dan Tanisus (2005) konsumsi bahan kering ransum kambing perah sekitar 4% dari bobot badan. Kambing perah yang diberi RK mempunyai rataan bobot badan 43.1 kg/ekor hanya mengkonsumsi 1346.27 g/ekor/hari yang seharusnya 1700 g/ekor/hari.
Pada
RKK
rataan
bobot
badannya
40.48
kg/ekor
hanya
mengkonsumsi 638.81 g/ekor/hari dan seharusnya 1620 g/ekor/hari. Sementara pada RSK kambing perah mempunyai rataan bobot badan 36.39 kg/ekor dan hanya mengkonsumsi 254.90 g/ekor/hari yang seharusnya 1400 g/ekor/hari. Meskipun demikian pada perlakuan RK masih memperlihatkan nilai yang mendekati konsumsi bahan kering pada umumnya.
28
Rendahnya konsumsi bahan kering ransum RKK dan RSK kemungkinan disebabkan karena ternak kurang menyukai ransum tersebut (Gambar 6). Kambing merupakan jenis ternak yang mempunyai kebiasaan memilih pakan yang akan dikonsumsinya (Anonim 1965; Devendra and McLeroy 1982). Kambing umumnya menolak pakan yang telah disentuh oleh ternak lain dan tidak dapat mengkonsumsi satu jenis pakan saja dalam waktu yang lama (Anonim 1965). Kambing dapat membedakan rasa pahit, manis, asin dan masam dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap rasa pahit (Bell 1959; Goacher and Chruch 1970). Pada ruminansia rangsangan penciuman (bau/aroma) sangat penting bagi ternak untuk mencari dan memilih makanan (Dukes 1955; Preston dan Leng 1987). Demikian pula rangsangan selera (rasa) akan menetukan apakah pakan tersebut akan dikonsumsi oleh ternak atau tidak (Hafez 1962).
1600.00 1400.00 1200.00 1000.00 Konsum si 800.00 (g/ekor/hari) 600.00 400.00 200.00 0.00
RK RKK RSK
1
2
3
Kelom pok
Gambar 6. Rataan konsumsi bahan kering ransum kambing perah penelitian (g/ekor/hari) Jumlah bahan kering yang dikonsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu palatabilitas, kecernaan serat, laju aliran pakan, status protein (Wallace dan Newbold 1992), sifat fisik dan kimia pakan, produksi, bobot hidup dan perkembangan saluran pencernaan (Parakkasi 1999). Palatabilitas merupakan sifat performasi
bahan
pakan
(fisik
dan
kimiawi)
yang
dicerminkan
oleh
organoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Ristek 2000).
29
Bila ditinjau dari kualitas pakan, RK yang diberikan mengandung protein sebesar 21.09% dan TDN sebesar 66.67%. Pada RKK mengandung protein 19.61% dan TDN 60.45% sedangkan RSK mengandung 16.18% protein dan 58.41% TDN. Hal ini memperlihatkan bahwa secara kualitas nutrisi pakan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan minimal kambing perah laktasi yaitu 16% protein dan 60% TDN. Menurut Wallace dan Newbold (1992) bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas protein. Kandungan protein pada RK lebih tinggi daripada RKK dan RSK sehingga diduga menyebabkan konsumsi bahan kering RK lebih tinggi daripada RKK dan RSK. Karakteristik RKK menunjukkan bahwa ransum ini memiliki kualitas yang baik dimana kadar airnya 12.89%, yang berarti bahwa ransum tersebut bisa disimpan lama dan tidak memungkinkan tumbuhnya jamur sebagai salah satu faktor yang menurunkan konsumsi. Sementara RSK memiliki pH sebesar 4.0. Pada pH ini mikroorganisme pembusuk tidak aktif lagi sehingga hijauan dapat tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas silase yang dihasilkan baik dan dapat disimpan lebih dari setahun. Menurut Ensminger (1980) tercapainya pH 3.54.0 merupakan kunci terbentuknya silase yang baik karena hal itu akan mencegah pertumbuhan bakteri termasuk bakteri penyebab kebusukan. Silase yang telah terfermentasi dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen and Sapienza 1993). Data yang diperoleh selama penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan ransum RKK dan RSK setiap harinya cenderung memperlihatkan konsumsi yang semakin menurun, seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Konsumsi BK ransum kambing yang mengkonsumsi RK cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan RKK dan RSK. Kambing pada setiap kelompok yang diberikan RKK awalnya memperlihatkan konsumsi BK yang tinggi dan selanjutnya menurun drastis hingga akhir penelitian, demikian pula pada kambing yang diberi RSK. Secara keseluruhan konsumsi bahan kering RKK lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi bahan kering RSK.
30
konsumsi BK (g/ekor/hari)
1800 1600 1400 1200
RK
1000
RSK
800
RKK
600 400 200 27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
a
0 hari
(a) Konsumsi BK (g/ekor/hari)
1800 1600 1400 1200
RK
1000
RSK
800
RKK
600 400 200 27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
a
0 Hari
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
RK RSK
27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
RKK
a
Konsum si BK (g/ekor/hari)
(b)
Hari
(c) Gambar 7. Konsumsi bahan kering ransum penelitian (g/ekor/hari); (a) kelompok 1 ; (b) kelompok 2 ; (c) kelompok 3 ; (a-g) : sumber data sebelum prelim (seluruhnya menggunakan ransum konvensional); (-6-0) : data prelim ; (1-28) : data penelitian (menggunakan ransum perlakuan)
31
Kecendrungan penurunan tersebut pada RKK dan RSK kemungkinan disebabkan oleh tingginya komponen sampah sayuran sebagai penyusun utama ransum dibanding komponen lain, yakni sebesar 41%. Komponen lainnya seperti dedak adalah sebesar 16.7%, bungkil inti sawit 5.2%, ampas tahu 27%, onggok 9% dan premiks 0.1%. Sampah sayuran yang digunakan diantaranya adalah kubis, sawi putih, kulit jagung dan kulit kembang kol. Kemungkinan salah satu dari jenis sampah sayuran tersebut dalam bentuk segarnya kurang disukai oleh ternak sehingga mempengaruhi palatabilitas secara keseluruhan setelah berbentuk ransum, baik RKK maupun RSK. Hal ini diduga sebagai salah satu penyebab konsumsi bahan kering pada RKK dan RSK lebih rendah dibandingkan dengan RK. Disamping itu sampah sayuran diduga mengandung pestisida sehingga kemungkinan menurunkan palatabilitas ransum. Hal ini tercermin dari tingkah laku kambing cukup selektif dalam memilih pakan yang akan dikonsumsinya. Hal tersebut terlihat dari penelitian Abdullah et al. (2007) pada sapi perah bahwa pemberian silase dan hay dengan bahan dasar sampah sayuran pasar menunjukkan adanya residu pestisida yang cukup tinggi. Ransum kontrol dan silase berturut-turut mengandung residu fenitrotion sebesar 0.0019 ppm dan 0.0015 ppm, sedangkan hay ransum komplit mengandung residu pestisida berupa diazinon sebesar 0.0003 ppm dan fenitrotion sebesar 0.0010 ppm.
Hal ini
mengindikasikan bahwa pengolahan pakan baik berupa fermentasi dan pengeringan belum mampu menghilangkan kandungan residu pestisida pada pakan, terutama dari golongan organofosfat yaitu diazinon dan fenitrotion. Diazinon adalah salah satu insektisida golongan organofosfat yang banyak dipakai dalam usaha pertanian, untuk mengendalikan hama pada tanaman padi dan sayuran (Raflizar 2001). Meskipun demikian, menurut Abdullah et al. (2007) teknologi pengolahan fermentasi (silase) relatif mampu menurunkan kandungan residu fenitrotion dibandingkan dengan pengolahan pengeringan. Tingkat residu pakan tergantung dari komposisi sayur-sayuran dan jagung yang digunakan. Penurunan konsumsi tersebut di atas ternyata tidak diiringi dengan perubahan bobot badan. Hal ini dapat dilihat dari data bobot badan kambing perah penelitian yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Rataan bobot badan awal kambing perah yang diberi RSK sebesar 35.63 kg/ekor sementara pada akhir penelitian sebesar 37.15 kg/ekor. Rataan bobot badan awal kambing perah yang diberi RKK sebesar 40.7 kg/ekor sementara pada akhir penelitian sebesar 40.26 kg/ekor (Pinem 2007).
32
Hasil
penelitian
serupa
juga
telah
dilakukan
pada
sapi
perah
(Abdullah et al. 2007). Pada sapi perah yang diberi hay dan silase dengan bahan dasar sampah sayuran pasar (kol, kulit jagung, sawi putih) menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering kontrol sangat nyata lebih tinggi dari hay dan silase. Konsumsi bahan kering ransum sapi yang diberi perlakuan pakan kontrol 1.9 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pakan silase dan 2.4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan hay.
Menurut Abdullah et al. (2007), lebih tingginya
konsumsi ransum kontrol adalah wajar karena ransum kontrol tersebut sudah sejak lama diberikan pada sapi percobaan. Selain itu bahan sumber serat yang digunakan masih segar dan belum ada pengolahan. Penampilan fisik ternak yang dilihat sebelum dan sesudah penelitian menunjukkan tidak terjadi penurunan bobot badan pada masing-masing ternak.
Hal ini mengindikasikan bahwa
penurunan konsumsi bahan kering pada ternak tidak mempengaruhi bobot badan karena kandungan nutrien masing-masing ransum telah memenuhi kebutuhan hidup pokok. Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Fitzgerald et al. (1998) yang menyatakan bahwa silase hijauan berkualitas tinggi yang disuplementasi dengan pati jagung nyata meningkatkan konsumsi bahan kering. Hasil penelitian Stella et al. (2007) memperlihatkan bahwa kambing Saanen laktasi 3 minggu yang diberi ransum basal (campuran silase (27.5%), hay (22.5%), kulit bit kering (10%) dan konsentrat komersil (40%)) disuplementasi dengan Levucell SC20 (mengandung S. cerevisiae CNCM I-1077 sebesar 4.109 cfu/hari) menunjukkan konsumsi BK ransum sangat nyata lebih tinggi dandingkan dengan kambing saanen yang hanya diberikan ransum basal. Tingginya konsumsi ransum yang mengandung hay dan silase pada penelitian Stella et al. (2007) dimungkinkan karena bahan pembuat hay dan silase yang berbeda dengan bahan yang digunakan pada penelitian ini, disamping itu ransum yang digunakannya disuplementasi dengan Levucell SC20 yang dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum. Produksi Susu Nilai rataan produksi susu kambing yang mengkonsumsi RK sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi (1283.81 ml/ekor/hari) dibandingkan produksi susu kambing yang mengkonsumsi RKK (542.86 ml/ekor/hari) dan RSK (414.88 ml/ekor/hari).
33
Perbedaan jumlah produksi susu yang dihasilkan tersebut (Gambar 8) kemungkinan disebabkan oleh jumlah konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Perbedaan jumlah konsumsi bahan kering ransum tersebut menyebabkan laju penyediaan zat-zat makanan ke kelenjar susu menjadi berkurang. Zat-zat makanan yang melalui proses metabolisme tersebut hanya akan diedarkan oleh darah ke berbagai organ dan jaringan sebagai sumber energi untuk kebutuhan hidup pokok saja. Hal ini menyebabkan prekursor yang dibutuhkan untuk sintesis komponen
susu
hanya
tersedia
dalam
jumlah
yang
sedikit
sehingga
mempengaruhi volume aliran air yang masuk ke lumen susu dan selanjutnya menetukan volume produksi susu yang dihasilkan. Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing PE yang mengkonsumsi RKK dan RSK jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi susu kambing PE yang dihasilkan pada umumnya. Menurut Djanah (1984) dan Sumoprastowo (1989) produksi susu kambing PE umumnya berkisar antara 1 – 1.5 liter per hari. Produksi susu yang dihasilkan oleh kambing yang mengkonsumsi RKK dan RSK hanya sekitar 542.86 ml/ekor/hari dan 414.88 ml/ekor/hari.
Produksi susu
dipengaruhi oleh jenis pakan, tingkat konsumsi bahan kering (Toharmat 2002), dan kondisi psikologis ternak (Setiawan dan Tanisus 2005). 1500 1300 RK
Produksi 1100 susu 900 (m l/ekor/hari) 700
RKK RSK
500 300 1
2
3
Kelom pok
Gambar 8. Rataan produksi susu kambing perah penelitian (ml/ekor/hari) Produksi susu yang dihasilkan selama penelitian cenderung mengalami penurunan pada setiap kelompok ternak yang diberi RKK dan RSK. Pada Gambar 9 terlihat bahwa produksi susu kambing yang diberi RS lebih tinggi dibandingkan dengan kambing yang mengkonsumsi RKK dan RSK. Produksi susu kambing yang diberi RKK dan RSK pada setiap kelompok tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok selama penelitian.
34
produksi susu (ml/ekor/hari)
1600 1400 1200 1000
RK
800
RSK
600
RKK
400 200 27
25
23
21
19
17
15
13
9
11
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
a
0 hari
(a) Produksi susu (ml/ekor/hari)
1600 1400 1200 1000
RK
800
RSK
600
RKK
400 200 27
25
23
21
19
17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
a
0 hari
(b) produksi susu (ml/ekor/hari)
2500 2000 RK
1500
RSK 1000
RKK
500
27
25
23
21
19
17
15
13
9
11
7
5
3
1
-1
-3
-5
g
e
c
a
0 hari
Gambar 9. Produksi susu kambing perah penelitian (ml/ekor/hari); (a) kelompok 1 ; (b) kelompok 2 ; (c) kelompok 3 ; (a-g) : sumber data sebelum prelim (seluruhnya menggunakan ransum konvensional); (-6-0) : data prelim ; (1-28) : data penelitian (menggunakan ransum perlakuan)
35
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah et al. (2007) dimana produksi susu sapi perah harian yang diberi ransum kontrol sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan hay dan silase. Namun pemberian hay dan silase tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Sapi perah yang diberi ransum kontrol menunjukan adanya tendensi peningkatan sedangkan hay dan silase menunjukkan penurunan produksi susu.
Sapi yang mendapatkan perlakuan
kontrol mengalami peningkatan sebesar 3.5% sementara sapi yang diberi hay dan silase mengalami penurunan sebesar 23.9% dan 36.3%. Produksi mingguan sapi menunjukkan bahwa hanya sapi yang mendapatkan perlakuan ransum hay yang mengalami penurunan terus menerus perminggunya sedangkan ransum kontrol dan silase mengalami penurunan hanya sampai pada minggu ketiga kemudian cenderung mengalami peningkatan. Fitted Line Plot Produksi susu kambing = 118.4 + 0.8422 Konsumsi BK ransum
Produksi susu kambing (ml/ekor/hari)
1600 1400
S 122.679 R-Sq 92.7% R-Sq (Adj) 91.7%
1200 1000 800 600 400 200 0
200
400 600 800 1000 Konsumsi BK ransum (g/ekor/hari)
1200
1400
Gambar 10. Grafik regresi konsumsi ransum terhadap produksi susu Hasil analisis regresi antara konsumsi bahan kering ransum dengan produksi susu kambing memenuhi persamaan Y = 118.4 + 0.8422x (P<0.01) dimana Y merupakan produksi susu kambing dan x merupakan konsumsi bahan kering ransum dengan nilai R2 sebesar 92.7%. Nilai R2 sebesar ini menunjukkan bahwa sebanyak
92.7% konsumsi bahan kering ransum mampu memberi
pengaruh pada produksi susu (Gambar 10).
36
Efisiensi penggunaan BK ransum Pemberian ketiga jenis ransum mempengaruhi (P<0.05) efisiensi penggunaan bahan kering ransum (Tabel 6). Pemberian RK dan RKK memperlihatkan nilai yang lebih efisien dibandingkan dengan RSK. menunjukkan bahwa pemberian
Hal ini
RK sebesar 1346.27 gram BK dapat
menghasilkan susu kambing sebesar 1283.81 ml/ekor/hari dan pemberian RKK sebesar 638.81 gram BK dapat menghasilkan
susu kambing sebesar 542.86
ml/ekor/hari.
sebesar
Sementara
pemberian
RSK
254.90
gram
BK
memperlihatkan nilai produksi susu kambing sebesar 414.88 ml/ekor/hari. Meskipun RKK memperlihatkan nilai yang lebih efisien tetapi penggunaannya belum dapat menggantikan RK. Hal ini diakibatkan oleh rendah palatabilitas RKK yang tercermin dari nilai konsumsi BK ransum dan produksi susu yang diperoleh setiap harinya mengalami penurunan (Gambar 7 dan 9). Komposisi susu Berat jenis, protein, lemak, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu tidak dipengaruhi oleh pemberian ketiga jenis ransum tersebut namun hal ini tidak terjadi pada laktosa susu (P<0.01). Nilai rataan komposisi susu kambing perah penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi susu kambing perah penelitian (%) Perlakuan Peubah RK RKK RSK Berat jenis 1.0276±0.0004 1.0272±0.0005 1.0273±0.0003 Protein (%) 3.43±0.21 3.70±0.57 3.78±0.18 a c Laktosa (%) 6.42 ±0.21 5.50 ±0.57 5.89b±1.78 Lemak (%) 5.56±0.17 6.72±0.46 6.65±0.76 BK (%) 14.64±0.27 16.06±0.74 16.00±0.93 BKTL(%) 9.08±0.12 9.34±0.28 9.35±0.17 Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) Berat Jenis Berat jenis susu kambing perah penelitian tidak menunjukkan pengaruh yang nyata antar perlakuan. Berat jenis susu kambing perah penelitian yang diberi RKK dan RSK cenderung memperlihatkan nilai yang sama dengan
37
kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 11). Berat jenis susu menunjukkan imbangan komponen zat-zat pembentuk di dalamnya dan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak yang tidak lepas dari pengaruh makanan dan kadar air di dalam susu (Eckles et al. 1984). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan berat jenis susu adalah faktor komposisi susu itu sendiri, yang terdiri dari protein, lemak, laktosa, gas dan mineral dalam susu (Eckles et al. 1957). Berat jenis susu yang dihasilkan dari ketiga jenis ransum yang digunakan sesuai dengan pendapat Edelsten (1988) yaitu bahwa berat jenis susu kambing bervariasi antara 1.0260 sampai 1.0420.
1.0280 1.0275 BJ susu (%)
1.0270
RK RKK
1.0265
RSK 1.0260 1.0255 1
2
3
kelompok
Gambar 11. Rataan berat jenis susu kambing perah penelitian Protein Kandungan protein susu kambing perah penelitian tidak memperlihatkan pengaruh nyata akibat pemberian ketiga jenis ransum. Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa kandungan protein susu kambing perah penelitian yang diberi RKK dan RSK cenderung sama dengan kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya mobilisasi protein tubuh pada ternak yang mengkonsumsi RKK dan RSK sehingga mendukung tersedianya asam amino baik esensial maupun non esensial untuk sintesis protein susu. Hal ini sejalan dengan pendapat Wikantadi (1977) dan Sutardi (1981) bahwa asam amino esensial maupun non esensial dibutuhkan untuk sintesis protein susu sehingga apabila asam amino dari pakan tidak mencukupi maka akan
38
terjadi mobilisasai protein tubuh. Laju sintesis protein akan semakin berkurang jika kertersediaan substrat di dalam kelenjar susu semakin sedikit (Bines dan Hart 1982) Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh (Annison et al. 1984; Collier 1985) dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu. Sintesis protein susu ini dikontrol oleh gen, yang mengandung material genetik asam deoxiribonukleat (DNA) (Schmidt 1971; Akers 2002). Glukosa dan beberapa sumber nitrogen diperlukan untuk sintesis asam amino di kelenjar susu (Annison et al. 1984; Collier 1985). Asam amino tersebut akan diubah menjadi casein, α-laktoglobulin dan β-laktalbumin di dalam kelenjar susu (McDonal et al. 1998). Prekursor pembentukan protein susu yang disintesis di dalam kelenjar mamae adalah asam amino esensial dan asam amino non esensial yang berasal dari plasma darah. Pengambilan asam amino non esensial oleh kelenjar mamae ini lebih berfluktuasi tergantung waktu dan individu ternak. Kelenjar mammae dapat beradaptasi sendiri terhadap ketersediaan asam amino non esensial yang berfluktuasi tetapi tergantung pada ketersediaan asam amino esensial yang terdapat di dalam darah. Kelenjar mammae dapat mensintesa asam amino non esensial dari berbagai prekursor antara lain yaitu asam lemak terbang seperti asetat dan propionat, glukosa dan asam amino yang lain (Fehr and Sauvant 1982). Kandungan protein susu bervariasi tergantung dari bangsa, produksi susu, tingkat laktasi, kualitas dan kuantitas makanannya (Larson 1981), kadar protein dalam ransum (Toharmat 2002). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kadar protein susu kambing bervariasi dari 2.64-5.06 % (Jenes 1980).
Kandungan
protein susu dari ketiga jenis perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Attabani (2001) yaitu sebesar 2.93% dan berada pada kisaran penelitian Fehr dan Sauvan (1980) yaitu sekitar 2-6%.
39
5.00 4.50 protein 4.00 (%)
RK RKK
3.50
RSK
3.00 1
2
3
kelompok
Gambar 12. Rataan protein susu kambing perah penelitian (%) Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Abdullah et al. (2007) yang menyatakan bahwa kandungan protein susu sapi perah yang diberi perlakuan ransum kontrol, hay dan silase berbahan dasar sampah sayuran pasar tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Kandungan protein susu silase relatif lebih rendah dari ransum kontrol dan hay. Laktosa Kandungan laktosa susu kambing perah penelitian menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0.05) antar perlakuan jenis ransum yang diberikan (Gambar 13). Kambing perah penelitian yang diberi RK nyata (P<0.05) memperlihatkan kandungan laktosa yang lebih tinggi (6.42%) dibandingkan dengan kandungan laktosa susu kambing yang diberi RKK (5.50%) dan RSK (5.89%). Kandungan laktosa susu kambing yang diberi ketiga jenis ransum penelitian mendekati hasil penelitian Adriani (2003) yaitu 5.5%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah produksi susu yang dihasilkan oleh kambing perah yang mengkonsumsi RS lebih tinggi dibandingkan dengan RKK dan RSK demikian pula dengan konsumsi bahan keringnya. Konsumsi bahan kering yang tinggi menyebabkan tersedianya substrat yang dibutuhkan untuk sintesis laktosa. Laktosa merupakan disakarida yang disusun dari glukosa dan galaktosa (Larson et al. 1985) Sebagian besar komponen utama susu adalah laktosa dan prekursor utamanya dalah glukosa darah. Hampir 85% laktosa dibentuk dari glukosa darah (Fehr dan Sauvant 1982). Pada kelenjar susu, molekul glukosa mengalami
40
posporilasi dari bentuk glukosa 6-phosphat menjadi glukosa 1-phosphat. Glukosa 1-phosphat bersama uridin tripohosphat (UTP) membentuk glukosa diphosphat (UDP). UDP glukosa kemudian dikonversi menjadi UDP galaktosa. UDP glukosa bersama glukosa bebas membentuk laktosa dengan pembebasan UDP, selanjutnya sintesis laktosa dikatalisasi oleh enzim laktose (Schmidt 1971). Pada ternak ruminansia, konsentarsi glukosa dalam sistem sirkulasi darah berasal dari ekstraksi propionat dalam hati (Annison et al. 1984; Collier 1985) Laktosa adalah karbohidrat utama dalam susu dan kadarnya dipertahankan pada kisaran yang tetap di dalam susu. Laktosa merupakan nutrien yang bertanggung jawab mempertahankan keseimbangan osmotik antara darah dan lumen susu (Hadiwinyoto 1994).
7.00 6.50 laktosa (%)
6.00
RK RKK
5.50
RSK 5.00 4.50 1
2
3
kelompok
Gambar 13. Rataan laktosa susu kambing perah penelitian (%) Pembentukkan laktosa banyak dipengaruhi oleh asam propionat yang berasal dari konsentrat atau pakan yang berenergi tinggi seperti yang terjadi pada ransum kontrol. Pati yang berasal dari konsentrat akan difermentasi menjadi propionat yang nantinya akan digunakan untuk pembentukkan glukosa. Glukosa dalam darah digunakan untuk mensintesis laktosa yang merupakan prekursor utama sinetsis susu (Thomas dan Martin 1988) Hasil penelitian serupa yang dilakukan oleh Abdulah et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan laktosa ransum kontrol dan hay nyata lebih tinggi dibandingkan dengan silase.
41
Lemak Kandungan lemak susu kambing perah penelitian tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata akibat pemberian ketiga jenis ransum. Kambing yang diberi ketiga jenis ransum memperlihatkan nilai kandungan lemak susu yang berada pada kisaran hasil penelitian Jenes (1980) yaitu berkisar antara 3.40% dan 7.76% dan mendekati hasil penelitian Budi (2002) dan Adriani (2003) yaitu 5.95% dan 6.75%. Kadar lemak susu berfluktuasi dan banyak dipengaruhi oleh jenis pakan (Wikantadi 1977), produksi susu, dan kuantitas makanan (Larson et al. 1985). Berdasarkan data yang diperoleh terlihat bahwa kandungan lemak susu kambing perah penelitian yang diberi RKK dan RSK cenderung sama dengan kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 14). Tingginya kadar lemak di dalam susu tergantung ketersediaan prekursor pembentuk asam lemak susu, yang dipengaruhi oleh makanan yang diberikan antara lain glukosa, trigliserida dan prekursor utama yaitu asam asetat dan βhidroksibutirat (Larson 1985; Fehr dan Sauvant 1982). Asam asetat yang merupakan produk dari fermentasi makanan kasar di dalam rumen merupakan prekursor utama pembentukan lemak susu (Sutardi 1978). Sintesis lemak susu terjadi dalam sitoplasma kelenjar susu. Pada ternak rumiansia, asetat dan β-OH butirat (hasil metabolisme asam butirat), selain untuk sumber energi juga dsigunakan untuk sintesis lemak di dalam kelenjar susu oleh enzim asetil KoA karboksilase (Annison et al. 1984; Collier 1985). Oksidasi glukosa melalui siklus pentosa oleh enzim glukosa 6-phosphat dehidrogenase menghasilkan NADPH yang diperlukan untuk sintesis asam lemak di kelenjar susu (Baldwin dan Smith 1983). Kadar lemak susu berfluktuasi dan banyak dipengaruhi oleh jenis pakan (Wikantadi 1977), produksi susu, kualitas dan kuantitas makanan (Larson et al. 1981), kebutuhan dan kesehatan (Spreer 1995). Menurut Fox and McSweeney (1997), kandungan lemak susu menggambarkan kebutuhan energi setiap ternak.
42
8.00 7.50 7.00 lemak susu 6.50 (%) 6.00
RK RKK RSK
5.50 5.00 1
2
3
kelompok
Gambar 14. Rataan lemak susu kambing perah penelitian Kandungan lemak susu sapi perah yang diberikan perlakuan kontrol, hay dan silase tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Komposisi lemak susu silase relatif lebih tinggi dari pada perlakuan hay dan kontrol (Abdullah et al. 2007). Tingginya konsentrasi lemak susu pada silase disebabkan oleh bahan aktif yang ada pada silase yang dapat merangsang prekursor lemak susu yaitu asam setat. Ransum kontrol menghasilkan lemak susu yang lebih rendah dari hay dan silase. Hal ini dibuktikan dengan kandungan BETN konsentrat ransum kontrol yang lebih baik dari konsentrat hay dan silase. Bahan Kering (BK) Susu Kandungan
bahan
kering
susu
kambing
perah
penelitian
tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata akibat pemberian ketiga jenis ransum. Kambing perah penelitian yang diberi RKK dan RSK cenderung memperlihatkan nilai kandungan bahan kering susu yang sama dengan kambing yang mengkonsumsi RK (Gambar 15). Kandungan BK susu akibat pemberian ketiga jenis ransum penelitian mendekati hasil penelitian Budi (2002) yaitu sekitar 14.70-15.72% dan hasil penelitian Attabani (2001) dan Adriani (2003) yaitu 16.38% dan 16.4%
43
17.00 16.50 16.00 BK susu 15.50 (%)
RK RKK
15.00
RSK
14.50 14.00 1
2
3
Kelompok
Gambar 15. Rataan bahan kering (BK) susu kambing perah penelitian (%) Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Susu Kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu kambing perah
penelitian tidak menunjukkan pengaruh yang nyata akibat pemberian ketiga jenis ransum (Gambar 16). Nilai kualitas susu yang sebenarnya terletak pada kandungan BKTL susu yaitu bahan kering yang tertinggal setelah lemak susu dihilangkan (Tilman dkk. 1986). Kandungan BKTL susu sangat tergantung pada kandungan protein dan laktosa(Eckles et al. 1980; French 1980; Resang dan Nasution 1982; Larson et al.1985) Kandungan BKTL susu kambing yang diberi ketiga jenis ransum penelitian mendekati hasil penelitian Budi (2002) yaitu sekitar 8.75-9.57% dan hasil penelitian Attabani (2001) dan Adriani (2003) yaitu 9.7% dan 9.65%
44
9.70 9.60 9.50 9.40 RK
BKTL Susu 9.30 (%) 9.20
RKK RSK
9.10 9.00 8.90 8.80 1
2
3
Kelompok
Gambar 16. Rataan BKTL susu kambing perah penelitian (%) Produksi Komponen susu Produksi susu dinyatakan sebagai produksi komponennya.
Pemberian
ketiga jenis ransum mempengaruhi (P<0.05) produksi komponen susu kambing perah penelitian (protein, lemak, BK dan BKTL).
Nilai rataan produksi
komponen susu kambing perah penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Produksi komponen susu kambing perah penelitian (g/ekor/hari) Perlakuan Peubah RK RKK RSK a b Protein 45.41 ±7.13 21.32 ±10.60 16.03b±2.67 Lemak 73.23a±6.17 36.90b±9.59 27.87b±2.83 a b BK 190.87 ±17.16 88.67 ±25.18 67.64b±10.36 119.66a±11.11 51.76b±15.59 39.76b±7.66 BKTL Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) Pemberian RK memperlihatkan nilai produksi protein, lemak, BK dan BKTL susu kambing perah yang lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan pemberian RKK dan RSK. Namun pemberian RKK dan RSK tidak memperlihatkan nilai produksi protein, lemak, BK dan BKTL yang berbeda. Produksi bahan kering susu dipengaruhi oleh produksi susu (ml/ekor/hari) dan lemak susu. Pemberian ketiga jenis ransum tidak mempengaruhi kadar BK susu. Hal ini disebabkan oleh produksi BK susu mengikuti pola produksi susu (ml/ekor/hari).
45
KESIMPULAN Dilihat dari konsumsi bahan kering dan produksi susu yang menurun, ransum komplit berbasis sampah sayuran pasar baik bentuk kering (RKK) maupun bentuk silase (RSK) belum dapat menggantikan penggunaan ransum konvensional (RK), meskipun komposisi yang dihasilkan pada semua kambing penelitian (RK, RKK dan RSK) adalah sama.
46
DAFTAR PUSTAKA Abdullah L, Nahrowi, Ridla M, Toharmat. 2007. Pengaruh Pakan Asal Limbah Pasar (Organik Primer) terhadap Produksi, Kualitas dan Keamanan Susu serta Produksi Biogas Sapi Perah. Bogor : Pusat Studi Hewan Tropika Lembaga Penelitian Dan Pemberdayaan Masyarakat Adriani.
2003. Optimalisasi Produksi Anak dan Susu Kambing Peranakan Ettawah dengan Superovulasi dan Suplementasi Zn [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.
Akers RM. 2002. Lactation and the Mamary Gland. Ames, Lowa : Lowa State Press. [American Dairy Goat Association]. 2002. Milk Comparison. The American Dairy Goat Association. New York City : Spindale. Annison EF, Gooden JM, Houge GM, Mc Dowel GH. 1984. Physicology Cost of Pregnancy and Lactation in the Ewe. Di dalam : D.R Lindsay. Reproduction Sheep. Cambrige : D.T Pearce Ed Cambridge University Press. Arieli A and Adin G. 1994. Effect of Wheat Silage Maturity on Digestion and Milk Yield in Dairy Cows. J Dairy Sci 77 : 237-243. Artifin.
24 April 2006. Penaggulangan Kompas:11(kolom6)
sampah
di
kota-kota
besar.
Attabani A. 2001. Studi Kasus Produktivitas Kambing Peranakan Etawa Dnkambing Saanen Pada Peternakan Kambing Perah Barokah Dan PT Taurus Dairy Farm [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Baldwin RL, Smith NE. 1983. Adaptation of Metabolism to Various Condition ; Milk Production. Di dalam : Dynamic Biochemistry of Animal Production. New York : P.M. Riis Ed. Elsevier. Bath DL, Dickinson DL, Tucker HA, Appleman RD. 1985. Dairy Cattle Prinsiples, Praktice And Problem. Philadelphia : Profit Lea And Febinger. Bines JA, Hart IC. 1982. Metabolict Limits to Milk Production, Especially Role of Growth Hormone and Insulin. J Dairy Sci 65:1375-1389. Blakely J, Bade DH. 1991. Ilmu Peternakan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : B Srigandono dan Soedarsono. Bolsen KK, Sapienza. 1993. Teknologi Silase; Penanaman, Pembuatan Dan Pemberiannya Pada Ternak. Kansas : Pioner Seed. Bolsen KK, Ashbell G, Wilkinson JM. 2000. Biotechnology in Animal Feeds and Animal Feeding : Silage Addtive. Weinheim. New York. Basel. Cambridge. Tokyo : VCH. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wotton M. 1985. Ilmu Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : H Purnomo dan Adono.
47
Budi U.
2002. Pengaruh Interval Pemerahan terhadap Produksi Susu dan Aktivitas Sexual Setelah Beranak pada Kambing PE [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.
Church DC. 1991. Livestock Feeds and Feeding. Ed ke-3. London : PrenticeHall International, Inc. Collier RJ. 1985. Nutritional Control of Milk Synthesis. Ames : Lowa State University Press. Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology : A text Book of Industrial Microbiology. Germany : Science Tech. Inc. Cullinson. 1978. Feed and Feeding Animal Nutrition. Precentise Hall of India. New York : Private Limited. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Sampah : Ancaman bagi Kawasan Wisata Alam.http://www.dephut.go.id/INFORMASI/ETJEN/PUSSTAN/ info_5_1_0604 /isi_4.htm - 20k [20 Oktober 2005]. Devendra C. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis : Kambing. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari : Darmadja. Devendra C, Burn M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung : Institut Teknologi Bandung. [Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan. 1986. Pola Operasional Pembinaan Sumber Bibit Kambing. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Direktur Jendral Peternakan. Jakarta : Departemen pertanian. Djanah D. 1984. Beternak Kambing. Jakarta : Penerbit C.V Yasaguna. Djoharjani. 1986. Performans Produksi Kambing PE dan Lokal di Desa Jambuwer, Jawa Timur. Malang : Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Unibraw. Dukes HH. 1955. The Physiology of Domestic Animal Ed ke-7. New York : Comstock Publishing Assosiates Eckles CH, Coms WR, Macy H. 1984. Milk and Milk Product Ed ke-4. Denvile Illinois : The Mac Graw Hill Publisher Inc. Edelsten D. 1988. Composition of Milk. Di dalam : Cross HR dan Overby AJ (Editor), Meat Science, Milk Science and Technology. Illinois : Interstate Publishing Inc. Ensminger ME. 1980. Publishing Inc.
Animal Science. Denville.
Illinois : Interstate
Ernawati. 1990. Pengaruh Tata Laksana Pemerahan Terhadap Kualitas Susu Kambing dan Hasil Olahannya [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Fehr MP, Sauvan D. 1982. Composition and Yield of Goat Milk as Affected by Nutritional Manipulation. J Dairy Sci 63 : 1671-1680.
48
Fitzgerald JJ, Murphy JJ, Culleton N. 1998. Maize Silage for Milk Production. http://www.teagasc.ie/research/reports/dairyproduction/4184-2/eopr4184-2.htm.[ 3 Januari 2006]. Fox PF and McSweeney. 1997. Dairy Chemistry and Biochemistry. London. Weinheim. New York. Tokyo. Melbourne. Madras : Blacy academic and Professional. French MH. 1980. Observation on The Goat. Rome : FAO Agricultural Studies No.80 Hadiwinyoto S. 1994. Teori dan Prosedur Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta : Liberty. Hafez. ESE. 1962. The Behafior of Domestic Animals. The Williams and Wilking Company. Haris, Hitcher RL. 1972. Dairy Goat Production. Information Sheet.
Baltimore :
London : Guide Dairy
Holmes CW, Wilson GF. 1984. Milk Production From Pasture. New Zealand: Baterworth. Hughes HD, Met calfe DS. 1992. Crop Production. Ed ke-3. New York : The MacMillan Press. Ltd. Jennes R. 1980. Composition And Characteristic of Goat Milk: Review 19681979. J. Dairy Sci 63: 1605-1630. Johnson LM. Harrison JH. Davidson D, Mahanna WC, Shinners K. 2003. Corn Silage Management : Effect of Hibryd, Maturity, Inoculation and Mechanical Processing on Fermentation Caracteristic. J Dairy Sci 86 : 287-308 Larson. BL. 1981. Biosynthesis and Cellular Secretion of Milk. Ames : Iowa State University Press. Lawrence TLJ. 1990. Influence of Palatability on Diet Assimilation in Non Ruminants. Di dalam : J Wiseman and D.J.A. Feedstuff Evaluation. Cole Ed. London : Butterworths. Livingstone AL. 2000. Handbook of Nutritive Value of Processed Food. Vol II. Animal Feedstuff. Florida : CRC Press, Inc. Mattjik AA. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor : IPB Press. McCollough ME. 1978. Ruminant Nutrient. Rome : Food and Agricultural Organisation of Limited nation. Mc Donald P. 1982. Effect of Processing on Nutrient Content of Feed : Ensiling. Di dalam : M Recheigl, Editor. Handbook of Nutritive Value of Processed Food Vol II Animal Feedstuff Nutrition and Food. Florida : CRC Press Inc Boca Raton. Pp 41-64. McDonald P, Henderson A.R, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Britain : Chalcombe Publication.
49
McDonald, Edward RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. 1995. Animal Nutrition Ed ke-5. New York : John Willey and Sons Inc (Copublished). Moat AG Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Ed ke-4. Canada : Wiley-Liss Publication. Morison. 1957. Feed and Feeding. New York : The Morison Pub Co. Nahrowi. 23 Oktober 2005. Sampah Organik untuk Pakan Ternak. Poultry Indonesia. Noertjahyo. 2002. Ririen, Doktor Sampah dari Malang. http://www.terranet. or.id /goto_berita.php?id=3263 [20 Oktober 2005]. Obts JW, Napitupulu D. 1984. Milk Yield of Indonesia Goat Production. Australia : Soc. Animal Production. Ǿrskov ER. 2001. The Feeding of Ruminants : Principle and Practice. Ed Ke-2. Chalcombe Publication. United Kingdom. Parakkasi A. 1999. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Bandung : Angkasa. Pegler HSN. 1965. The Book of Goat. Ed ke-9. London : The Bazar Exchange and Mart ltd. Perry TW, Cullison AE dan Lowrey RS . 2004. Feed and Feeding. Ed Ke-6. New Jersey : Upper Saddle River. Pettit HV et al. 1993. Milk Yield intake and Blood Trait of Lactating Cows Fed Grass Silage Conserved Under Different Harvesting Method. J Dairy Sci 76:1365-1374. Pinem R. 2007. Tingkat Produksi Susu Kambing Pernakan Etawa (PE) yang diberi Ransum Komplit Berbasis Sampah Sayuran Pasar pada Pemerahan Pagi dan Sore [skripsi]. Bogor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB. Preston TR, Leng RA. 1957. Matching Ruminant production System with Available Resources in The Tropics and Subtropics. Penambul Books. Australia : Armidale New South Wales. Raflizar. 2001. Gejala klinis dan Patologi Anatomi Mencit akibat Diazinon. Cermin Dunia Kedokteran : 30. Resang AA, Nasution AM. 1982. Pedoman mata Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu. Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner. FKH. IPB Retnaningtyas. 2004. Mengelola Lingkungan lewat UKM Berbasis Limbah. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2004/0508/ukm2.html [20 Oktober 2005]. Ross GD. 1984. The Mycrobilogy of Silage. Di dalam : I.J Kempton, A.G Keiser, T.E Trigg. Silage in The 80s Proceedings of a National Workshop. Armidale New South Wales : P.G. Print of Armidale [Ristek]
Riset dan Teknologi. 2000. Pakan http://www.ristek.go.id [17 Maret 2006].
Ternak.
Jakarta.:
50
Sarwono. 2002. Beternak Kambing Perah. Jakarta : Penebar Swadaya Sastroamidjojo M, Soeradji. 1978. Penerbit C.V Yasaguna.
Peternakan Umum.
Ed ke-1.
Jakarta :
Schalm DW, Carrot EJ, Jain NJ. 1971. Bovine Mastitis. Philadelphia : Lea and Febinegr. Schmidt GH. 1971. Company.
Biology of Lactation.
San Francisco : Freeman dan
Schmidt GH., Van Vleeck LD, Hutjens MF. 1988. Principles Of Dairy Science. New Jersey : Zed Practise Hall. Englewood Cliff. Schroeder JW. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extention Dairy Specialist.AS-54.http://www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy/as1254 w.htm [20 Februari 2007]. Setiawan T, Tanisus A. 2005. Beternak Kambing Perah Peranakan Ettawa. Jakarta : Penebar Swadaya. Siregar SB. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Jakarta : Penebar Swadaya. Sodiq A, Abidin Z. 2002. Kambing Peranakan Ettawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Jakarta : Agromedia Pustaka. Spreer E. 1995. Milk and Dairy Product Technology. Translate by Mixa, New York : Marcel Dekker, Inc. Stella AV et al. 2007. Effect of Administration of Live Sacharomyces cereviceae on Milk Production, Milk Composition, Blood Metabilit and Faecal Flora in Early lactating Dairy Goat. Small Ruminant Research 67 : 7-13. Subhagiana. 1998. Keadaan Konsentrasi Progesteron dan Estradiol selama Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jumlah Anak pada Kambing PE pada Tingkat Produksi Susu yang Berbeda [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Sudono A. 1985. Produksi Sapi Perah. Bogor : Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Pertanian IPB. Sudono A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Bogor : Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Sudono A, R.F Rosdiana, B.S Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta : Agromedia Pustaka. Sumoprastowo CDA. 1980. Beternak Kambing yang Berhasil. Jakarta : Penerbit Bhratara Karya Aksara. Suprihatin A, Prihanto D, Gilbert M. Malang : Indah Offset.
1998. Sampah dan Pengelolaannya.
Susetyo S, Soedarmadi, Kismono S, Hartini. 1977. Padang Penggembalaan. Bogor : Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas peternakan IPB.
51
Sutardi T. 1988. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor : Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas peternakan IPB. Sutiyono B. 1992. Pengaruh Pregnant Mare Serum Gonadotropin terhadap Kebuntingan dan Jumlah Anak Kambing Jawarandu yang Berahinya disentakkan dengan Progeteron [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Tahahar A, Juarin E, Prianti A, Prianto D, Wibowo B. 1996. Usaha Kambing Erh Rakyat Sebagai Salah Satu Pendapatan Rumah Tangga Di Jawa Timur. Prosiding Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan. BPPT Ciawi Pp 195-203 Thomas, P. C. dan P. A. Martin. 1988. The Influence of Nutrient Balance on Milk Yield and Composition. Di dalam : P. C. Garnsworthy, Editor. Nutrition and Lactation on The Dairy Cow. Butterworths, London. Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprojo S, Prawirikusumo S, Lebdosoekojo S. 1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Toharmat T. 2002. Peranan Komponen Serat Pakan dalam Nutrisi Sapi Laktasi. Bahan Kuliah Ilmu Nutrisi Ternak Perah. Bogor : Fakultas Peternakan IPB. Triwulaningsih E. 1986. Beberapa Paremeter Genetik Sifat Kuantitaif Kambing PE [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. Wallace RJ, Newbold CJ. 1992. Probiotik for Ruminant. Di dalam : Probiotik the Scientifik Basis. London. New York. Tokyo. Melboure. Madras. : Champman and Hall. Wikantadi B. 1977. Biologi Laktasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Woolford. 1984. The Silage Fermentation. New York : Marcel Dekker Inc Winarno FG, Fardiaz S. 1979. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Bandung : Angkasa. Yulistiani D. 1999. Production Response Of Etawa Cross Breed (PE) Does Do Improvement Of Feeding Menejemen During Late Pregnency And Lactation Period. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner 4 (2) : 88-94.
52
LAMPIRAN Tabel 9.
Anova Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Kambing Perah Penelitian (gram/ekor/hari) P<0.01 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 12507 6254 0.67 0.561 Perlakuan 2 1838974 919487 98.39 0.000 Error 4 37387 9345 Total 8 1888863
Tabel 10. Anova Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum Kambing Perah Penelitian (gram/ekor/hari) P<0.01 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 67501 33750 2.37 0.210 Perlakuan 2 1320418 660209 46.27 0.002 Error 4 570077 14269 Total 8 1444996 Tabel 11. Anova Rataan Efisiensi Pengguanaan Bahan Kering Ransum Kambing Perah Penelitian (gram/ekor/hari) P<0.05 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 38.7 19.4 1.13 0.409 Perlakuan 2 407.2 203.6 11.85 0.021 Error 4 68.7 17.2 Total 8 514.6 Tabel 12. Anova Rataan BJ Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.0000008 0.0000004 11.74 Perlakuan 2 0.0000002 0.0000001 3.61 Error 4 0.0000001 0.0000000 Total 8 0.0000012 Tabel 13. Anova Rataan Protein Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.40001 0.200004 1.60 Perlakuan 2 0.20086 0.100429 0.80 Error 4 0.50113 0.125283 Total 8 1.10200 Tabel 14. Anova Rataan Laktosa Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.54390 0.271948 4.43 Perlakuan 2 1.28514 0.642568 10.48
P 0.021 0.127
P 0.309 0.510
P 0.097 0.026
53
Error Total
4 8
0.24531 2.07434
0.061328
Tabel 15. Anova Rataan Lemak Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.35128 0.17564 0.54 Perlakuan 2 2.52941 1.26470 3.92 Error 4 1.29163 0.32291 Total 8 4.17233 Tabel 16. Anova Rataan BK Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.60635 0.30317 0.51 Perlakuan 2 3.87607 1.93804 3.26 Error 4 2.37921 0.59480 Total 8 6.86163 Tabel 17. Anova Rataan BKTL Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F Kelompok 2 0.077804 0.0389022 0.92 Perlakuan 2 0.144096 0.0720481 1.70 Error 4 0.169123 0.0422808 Total 8 0.391024
P 0.618 0.114
P 0.635 0.145
P 0.469 0.292
Tabel 18. Anova Rataan Produksi Protein Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 204.8 102.4 3.01 0.159 Perlakuan 2 1392.6 696.3 20.45 0.008 Error 4 136.2 34.0 Total 8 1733.7 Tabel 19. Anova Rataan Produksi Lemak Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 169.7 84.8 3.19 0.148 Perlakuan 2 3276.5 1638.2 61.63 0.001 Error 4 106.3 26.6 Total 8 3552.5 Tabel 20. Anova Rataan Produksi BK Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 1189 594 2.69 0.182 Perlakuan 2 25563 12781 57.93 0.001 Error 4 882 221 Total 8 27634 Tabel 21. Anova Rataan Produksi BKTL Susu Kambing Perah (%) P<0.05 Sumber DB JK KT F P Kelompok 2 465.5 232.8 2.42 0.205
54
Perlakuan Error Total
2 4 8
10545.6 384.6 1395.8
5272.8 96.2
54.83
0.001
55