1
KAJIAN MUTU DAN PALATABILITAS SILASE DAN HAY RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH ORGANIK PRIMER PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH
YUSMADI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing Peranakan Etawah adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2008
Yusmadi D051040071
3
@ Hak cipta milik IB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau nrenyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, peneliti, Penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
4
KAJIAN MUTU DAN PALATABILITAS SILASE DAN HAY RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH ORGANIK PRIMER PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH
YUSMADI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
5
Judul Tesis
: Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing Peranakan Etawah
Nama
: Yusmadi
NRP
: D051040071
Program Studi
: Ilmu Ternak
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. M. Ridla, M.Agr Anggota
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc Tanggal Ujian : 7 Desember 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Lulus :
6
ABSTRACT YUSMADI. The Quality and Palatability of Silage and Hay Complete Ration Based on Organic Primer Garbage in Peranakan Etawah Goat. Under direction of NAHROWI and MUHAMMAD RIDLA This research was conducted to study the quality and palatability of silage and hay complete ration based on organic primer garbage in nine heads of Peranakan Etawah (PE) Goat. The quality of silage and hay was evaluated by measuring pH, total number of Lactic Acid Bacteria (LAB), palatability, dry matter (DM) and organic matter (OM) digestibility, aroma and color of silage. Nine heads of Peranakan Etawah were grouped based on their lactation periode and randomly assigned to one of three dietary treatments. The treatments were (1). Control rations; (2). Silage complete ration (SRK); and (3). Hay complete ration (HRK). The results indicated that the silage had, pH 4.15 and total number of LAB was 2.4 x 106 cfu/g of silage. Dry matter and organic matter digestibility of SRK were better (P<0.01) than those of HRK. The palatability of SRK was higher than HRK but less than control. Storage of SRK for eight weeks did not change dry matter and organic matter content. Organoleptic analysis indicated that texture and color of HRK were changed at weeks 6th and 8th after storage, while SRK was still constant. It is concluded that silage composed of organic primer garbage has high quality in terms of physical, chemical and microbial characteristies, prolong storage, and digestibility. Key words : silage, hay, ration complete, organic primer garbage, etawah goat
7
RINGKASAN YUSMADI. Kajian Mutu dan Palatabilitas Silase dan Hay Ransum Komplit Berbasis Sampah Organik Primer pada Kambing Peranakan Etawah. Dibimbing oleh NAHROWI dan MUHAMMAD RIDLA. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari kualitas dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis sampah organik primer pada kambing peranakan Etawah. Penentuan kualitas silase dan hay ransum komplit dilakukan dengan pengukuran pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), kecernaan bahan kering dan bahan organik, palatabilitas, bau dan warna serta daya simpan silase ransum komplit dan hay ransum komplit. Sembilan ekor kambing peranakan Etawah dibagi sesuai dengan priode laktasi dan diberikan secara acak ketiga ransum perlakuan berikut: 1). Ransum kontrol, 2). Silase ransum komplit (SRK), dan 3). Hay ransum komplit (HRK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase ransum komplit memiliki kualitas yang baik dengan pH 4.15 dan jumlah koloni bakteri asam laktat 2.4x106 cfu/g. Kecernaan SRK lebih baik dibandingkan HRK. Palatabilitas SRK lebih baik (P<0.01) dibandingkan HRK namun lebih rendah dibandingkan kontrol. Penyimpanan SRK selama delapan minggu tidak berpengaruh terhadap kerusakan bahan kering dan bahan organik. Analisis organoleptik menunjukkan bahwa warna dan tekstur HRK berubah pada minggu keenam dan kedelapan penyimpanan, sedangkan SRK tidak mengalami perubahan. Dapat disimpulkan bahwa silase berbahan baku sampah organik primer mempunyai kualitas fisik, kimia, dan mikrobiologi yang baik, awet, serta mempunyai kecernaan BK dan BO yang lebih baik dibandingkan dengan HRK. Kata kunci : silase, hay, ransum komplit, sampah organik primer, kambing etawah
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kurnia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2007 ini ialah dengan judul Kajian mutu dan palatabilitas silase dan hay ransum komplit berbasis sampah organik primer pada kambing Peranakan Etawah. Terimakasih Penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. M.Ridla, M.Agr selaku pembimbing, serta kepada Bapak Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc sebagai penguji luar komisi. Ungkapan terimakasih kepada Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI), Rektor Universitas Almuslim dan Staf, kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Tgk. H. M. Hasyim Sulaiman (Alm) dan Ibunda Tgk. Hj. Tihawa Abdullah (Alm) serta mertua Tgk A Karim (Alm) dan ibu Manawiyah AMd, Nasriah, Badriah AMd, Dra Zikriah, A. Royadi, Fatimah, Zahri, dan Suryati serta adik-adik dari istri, juga kepada keluarga Bapak Drs. Soekarno Adi Sucipto, Rahmat Sentosa Pinem, Muhammad Daud SP. M.Si, Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si, Yatno S.Pt. M.Si. dan teman-teman LAB ITP, keluarga besar IKAMAPA Aceh Bogor. Kepada istriku Mauliati S.Pd yang setia mendampingi penulis dalam cinta, kerja dan doa, anakku tercinta Muhammad Akhyar Yusmadi dan Muhammad Ikhsan Aulia Yusmadi, semoga Allah SWT memberikan balasan amal dan kebaikan mereka yang tak terhingga. Tesis ini penulis persembahkan kepada Almarhum kedua orang tua tercinta sebagai buah pengorbanan yang telah diberikan semasa hidupnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2008
Yusmadi
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Samalanga, Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal
6 April 1974 dari Bapak Tgk. H. M. Hasyim Sulaiman (Alm) dan Ibu Tgk.
Hj. Siti Hawa Abdullah (Alm). Penulis merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Pada 9 Mei 2002 penulis menikah dengan Mauliati SPd di Desa Matang Mesjid, Bireuen. Pendidikan pertama ditempuh di sekolah MIN Cure Baroh tahun 1980, pada tahun 1990 meneruskan pendidikan di sekolah SPP SNAKMA Pemda Bireuen, tahun 1995
melanjutkan pendidikan pada Fakultas Pertanian jurusan Produksi Ternak
Universitas Al Muslim Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam, dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa program Magister Sains di Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Konsentrasi pendidikan pada Ilmu Makanan Ternak. Dengan bantuan beasiswa Departemen Pendidikan Tinggi (DIKTI).
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .........................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...................................................................................
iii
DAFTARGAMBAR................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
v
PENDAHULUAN ................................................................................. Latar Belakang.................................................................................... Kerangka Pemikiran ........................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian ............................................................................ Hipotesis .............................................................................................
1 1 2 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ Potensi Sampah Organik .................................................................. Pemanfaatan Sampah sebagai Pakan Ternak ..................................... Silase ................................................................................................. Prinsip Pengawetan Silase .................................................................. Ensilase .............................................................................................. Bakteri yang Berperan pada Proses Ensilase...................................... Asam Laktat........................................................................................ Kadar Air ............................................................................................ Kualitas Silase..................................................................................... Hay (Ransum kering).......................................................................... Kambing ............................................................................................. Pakan dan Pemeliharaan .....................................................................
4 4 4 5 7 9 11 13 14 15 16 18 19
METODE PENELITIAN....................................................................... Waktu dan Tempat.............................................................................. Bahan dan Alat.................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................. Pembuatan Pakan ............................................................................... Tahap I. Uji Kualitas Silase Ransum Komplit.................................... Analisis Data....................................................................................... Tahap IIa. Uji Kecernaan in Vitro ...................................................... Analisis Data....................................................................................... Tahap IIb. Uji Palatabilitas ................................................................. Rancangan Percobaan ......................................................................... Tahap III. Uji Daya Simpan Ransum.................................................. Rancangan Percobaan .........................................................................
22 22 22 22 22 24 25 25 25 25 27 27 28
11
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... Tahap I. Kualitas Silase Ransum Komplit.......................................... Tahap IIa. Kecernaan in Vitro............................................................. Tahap IIb. Uji Palatabilitas ................................................................. Tahap III. Daya Simpan Pakan ...........................................................
29 29 31 32 37
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
42 42 42
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
43
LAMPIRAN ............................................................................................
50
12
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Beberapa bentuk aditif untuk silase ......................................................
7
2. Beberapa bakteri asam laktat yang berperan dalam proses ensilase.....
11
3. Kriteria penilaian silase ........................................................................
16
4. Komposisi pemakaian dan kandungan nutrisi sampah organik primer.
23
5. Formulasi pakan penelitian ransum komplit.........................................
23
6. Format uji penampakan fisik silase ......................................................
25
7. Komposisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ..................
26
8. Kandungan nutrisi ransum perlakuan ...................................................
26
9. Bagan percobaan ransum perlakuan pada ternak..................................
27
10. Kualitas fermentasi silase ransum komplit .........................................
29
11. Keadaan fisik silase ransum komplit ..................................................
30
12. Kecernaan in vitro silase dan hay ransum komplit .............................
32
13. Konsumsi bahan kering ransum percobaan (g)...................................
32
14. Sifat fisik silase dan hay ransum komplit selama penyimpanan ........
37
15. Keadaan nutrien pakan perlakuan selama penyimpanan (100% BK).
40
13
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1. Alur pengelolaan sampah organik primer.............................................
2
2. Alur fermentasi glukosa dan fruktosa oleh BAL homofermentataif ....
12
3. Pembuatan silase dan hay ransum komplit ...........................................
24
4. Proses daya simpan SRK dan HRK......................................................
28
5. Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok1. .
35
6. Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 2 .
35
7. Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 3 .
36
8. Warna silase ransum komplit selama penyimpanan .............................
38
9. Warna hay ransum komplit selama penyimpanan ................................
38
10. Laju perubahan pH selama penyimpanan...........................................
39
11. Perkembangan BAL selama penyimpanan .........................................
40
14
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Hasil Analisis uji t-student KCBK dan KCBO SRK dan HRK............
51
2. Hasil Anova uji palatabilitas.................................................................
52
3. Hasil Anova bahan kering silase dan hay ransum komplit...................
53
4. Hasil Anova abu silase dan hay ransum komplit..................................
54
5. Hasi Anova protein kasar silase dan hay ransum komplit. ...................
55
6. Hasil Anova serat kasar silase dan hay ransum komplit.......................
56
7. Hasil Anova lemak kasar silase dan hay ransum komplit ....................
57
8. Hasil Anova BETN silase dan hay ransum komplit .............................
58
15
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pakan merupakan salah satu faktor penentu utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan bahan pakan ternak akhir-akhir ini semakain terbatas. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya harga bahan baku pakan, karena semakin menyusutnya lahan bagi pengembangan produksi hijauan akibat penggunaan untuk keperluan pangan, dan tempat pemukiman serta pembangunan industri. Oleh karena itu, perlu dicari sumber daya baru yang mampu menggantikan sebagian atau seluruh hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada penggunaan bahan konsentrat yang sudah lazim digunakan. Bahan tersebut seyogyanya tersedia pada suatu tempat dalam jumlah banyak, sehingga untuk memperolehnya tidak membutuhkan biaya besar. Berbagai hasil ikutan pertanian dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku pakan, misalnya limbah pertanian dan limbah pasar (sampah organik primer). Namun demikian limbah pertanian maupun limbah pasar (sampah organik primer) mempunyai keterbatasan, antara lain bersifat amba dan kadar air tinggi. Oleh karana itu perlu dilakukan pengolahan ataupun perlakuan terhadap limbah tersebut, agar dapat dikonsumsi atau dijadikan pakan ternak yang potensial. Ada beberapa pengolahan yang dapat dilakukan yaitu pengolahan secara fisik, biologis dan kimiawi. Teknologi fermentasi an aerob dari campuran beberapa bahan baku pakan lokal menjadi silase ransum komplit merupakan alternatif teknologi pengolahan pakan serta menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia. Selain lebih menghemat waktu dan biaya pakan karena tidak perlu mengeringkan, silase juga dapat dijadikan sebagai sumber probiotik dan asam organik serta dapat dipakai sebagai alternatif antibiotik. Keuntungan lain yaitu dari segi penyimpanan lebih tahan lama karena bakteri-bakteri pembusuk tidak tahan terhadap pH rendah akan terhambat pertumbuhannya sehingga ketersediaan, kualitas dan harga pakan dapat terjamin. Silase sudah umum diterapkan pada ternak ruminansia, dengan cara mengawetkan hijauan segar, tetapi penggunaan sampah organik primer sebagai bahan
16
baku silase masih sangat terbatas dilaporkan. Sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ternak kambing dapat memanfaatkan nutrien ransum berbasis sampah organik yang dibuat silase. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang informasi dasar dalam memasyarakatkan penggunaan limbah pasar (sampah organik primer) untuk menunjang kebutuhan pakan ternak ruminansia. Kerangka Pemikiran Sampah organik cepat membusuk karena mengdanung kadar air tinggi. Bahan dengan kadar air tinggi tidak tahan simpan dan cepat terkontaminasi. Oleh karena itu perlu suatu pengelolaan yang intensif untuk menanganinya, sehingga sebagian dari permasalahan sampah bisa tertangani dan menciptanya lingkungan sehat, bersih, nyaman, yang dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan serta dapat menambah persediaan bahan pakan ternak. Penggunaan teknologi pengeringan untuk menangani sampah organik tidak ekonomis karena membutuhkan waktu lama, tempat yang luas dan biaya besar, sehingga diperlukan alternatif teknologi yang ramah lingkungan dan dapat menghasilkan produk yang tahan simpan. Teknologi fermentasi an aerob merupakan teknologi yang tepat untuk menangani sampah organik. Alur pengelolaan sampah organik primer disajiakan pada Gambar 1. - Cepat busuk - Pencemaran Pengololaan dan pemanfaatan
Sampah Pasar Jumlahnya besar Lingkungan sehat & bersih
Menjamin ketersediaan pakan dan kontinuitas
- Meningkatkan PAD - Mengurangi angka pengangguran
Masyarakat sehat
Protein hewani terpenuhi Solusi dan Rekomendasi Gambar 1 Alur pengelolaan sampah organik primer
17
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kualitas silase ransum komplit berbahan dasar sampah sayuran dilihat dari aspek fisik, kimia dan biologi. 2. Mengkaji kecernaan in vitro, palatabilitas silase ransum komplit dan hay ransum komplit. 3. Mengetahui pengaruh lama penyimpanan silase ransum komplit dan hay ransum komplit terhadap kualitas kedua ransum tersebut. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat tentang teknologi pengolahan sampah organik primer sebagai pakan ternak yang berkualitas, serta dapat menciptakan lingkungan yang sehat, bernilai ekonomi dan dapat menanggulangi sebagian dari permasalahan sampah. Hipotesis Penelitian 1. Perubahan sifat fisik, kimia dan biologis silase ransum komplit berbahan dasar sampah sayuran nyata lebih baik dibandingkan hay ransum komplit. 2. Kecernaan dan palatabilitas silase ransum komplit berbahan dasar sampah sayuran nyata lebih baik dibandingkan hay ransum komplit. 3. Lama penyimpanan silase ransum komplit lebih baik dibandingkan dengan lama penyimpanan hay ransum komplit.
18
TINJAUAN PUSTAKA Sampah Organik Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Ecolink 1996). Jumlah sampah di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti pertambahan jumlah penduduk, pertambahan kualitas hidup dan perilaku masyarakat (Maryama et al. 2005). Komposisi sampah terbanyak adalah sampah organik sebesar 60-70%, dan sampah anorganik sebesar 30% (Dephut 2005). Sampah organik adalah sampah yang belum diolah dengan kadar air tinggi dan cepat busuk seperti sampah pasar (sayur-sayuran). Limbah pasar merupakan salah satu sampah yang cukup besar jumlahnya. Sampah pasar menjadi permasalahan yang belum bisa ditangani secara maksimal di kota-kota besar. Sebagai contoh di wilayah Bogor volume sampah yang dihasilkan setiap hari mencapai 10 ton/hari yaitu : Pasar Anyar 4.23 ton/hari, Pasar Pedati 2.17 ton/hari, Pasar Pagi Merdeka 1.89 ton/hari, dan Pasar Induk Taman Yasmin 2.51 ton/hari (Dinas Kebersihan Kota Bogor 2002). Berdasarkan data diatas sampah pasar (sampah organik primer) sangat potensial untuk dijadikan sebagai pakan ternak melalui proses fermentasi dan tersedia setiap saat. Pakan ternak yang diperoleh melalui fermentasi, tidak saja aman, namun juga awet dan mempunyai nilai gizi yang baik (Nahrowi 2005). . Pemanfaatan Sampah Organik sebagai Pakan Ternak Sampah memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi produk bernilai ekonomis (Londra 2006). Pemanfaatan sampah organik primer menjadi bahan baku pakan ternak ruminansia sangat efektif dan ekonomis (Ginting et al. 2004), sampah organik primer yang dapat dimanfaatkan berupa sayur-sayuran hasil limbah pasar yang terbuang dan tidak memiliki nilai ekonomis (Londra 2006). Sampah organik primer tersebut dapat langsung diberikan kepada ternak maupun diproses terlebih dahulu seperti dengan teknik fermentasi, maupun dengan perlakuan pengeringan atau campuran dengan berbagai macam bahan baku pakan lain (ransum komplit). Guntoro (2004) melaporkan penggunaan pakan komplit berbahan baku sampah organik sebanyak 1.5% dari bobot
19
badan pada sapi bali selama 5 bulan dapat meningkatkan bobot badan rata-rata 650 gram/hari. Pemanfaatan sampah organik dengan teknologi tepat guna akan terbuka peluang bagi masyarakat untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat itu sendiri (Mujahidawati et al. 2006). Pemanfaatan sampah dapat dilakukan dengan cara pengurangan sumber (source reduction), penggunaan kembali, pemanfaatan (recycling), pengolahan (treatment) dan pembuangan (Retnaningtyas 2004). Penggunaan sampah organik primer sebagai bahan baku pakan ternak akan sangat bermanfaat dalam menunjang kebutuhan pakan ternak ruminansia, sebab selain mengurangi jumlah sampah juga mengurangi biaya pakan bagi peternak itu sendiri. Sampah yang telah diolah dengan campuran bahan tertentu, dapat juga dibuat sebagai pakan ternak dalam bentuk butiran dan kering. Silase Silase adalah pakan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi dengan kandungan air yang tinggi dan terkontrol (Bolsen dan Sapienza 1993). Hampir semua hijauan atau sumber serat lainnya dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan silase. Silase juga dapat memaksimalkan feed intake dan dapat mengurangi pencemaran udara (Pieper 1996). Silase dapat dibuat dari berbagai macam tanaman, seperti rumput, serelia, kacang-kacangan dan tanaman lain. Ciri-ciri tanaman yang ideal untuk diawetkan sebagai silase adalah : (1) harus mengandung cukup substrat untuk proses fermentasi dalam bentuk karbohidrat terlarut dalam air (water soluble carbohydrates), (2) mampu untuk mempertahankan perubahan pH (buffering capasity) yang rendah, (3) minimal mengandung 20% bahan kering didalam bahan segar, (4) mempunyai struktur fisik yang baik sehingga memudahkan pemadatan dalam silo (McDonald 1982) dan cukup mengandung zat-zat makanan yang lain (Cullison 1978). Banyak tanaman tidak memenuhi ketentuan ini sehingga diperlukan perlakuan lain seperti pencacahan, pelayuan dan penambahan additive (McDonald et al. 1991). Penambahan additive mempercepat terjadinya asam pada silase (Pedroso et al. 2006).
20
Proses kimiawi atau fermentasi yang terjadi selama penyimpanan silase disebut ensilase sedangkan tempatnya disebut silo (McDonald et al. 1991; Woolford 1984). Tujuan pembuatan silase adalah alternatif untuk mengawetkan pakan segar sehingga nutrien yang ada dalam pakan tersebut dapat dipertahankan. Pembuatan silase tidak tergantung pada musim (Susetyo et al. 1977; Bolsen dan Sapienza 1993; Schroeder 2004). Pembuatan silase menurut Susetyo et al. (1977) adalah alternatif untuk mengawetkan hijauan agar tetap dalam keadaan segar dan nutrien yang terkandung dalam hijauan tetap dapat dipertahankan. Untuk meningkatkan kualitas silase sering ditambahkan bahan aditif, yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu : (1) sebagai pendorong fermentasi, dan (2) sebagai penghambat fermentasi (Bolsen et al. 2000a). Adapun jenis-jenis aditif baik yang termasuk pendorong maupun penghambat disajikan pada Tabel 1. Zat aditif pendorong fermentasi bekerja membantu pertumbuhan bakteri asam laktat untuk lebih cepat tumbuh. Dengan demikian dapat memproduksi asam laktat lebih cepat sehingga kondisi asam segera tercapai. Sedangkan penghambat fermentasi digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia sehingga pakan bisa lebih awet (McDonald et al. 1991). Grings et al. (2005) menyatakan bahwa fermentasi dapat mengurangi produksi gas pada silase rumput. Penambahan zat aditif jamur yang umum digunakan adalah jenis jamur penghancur ligno-selulase seperti Tricoderma viridae, Pleorotus sp. Sedangkan bakteri yang umum digunakan adalah bakteri asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Pediococcus pentosaceus. Penambahan bakteri asam laktat pada silase dapat meningkatkan daya cerna pada ternak (Pedroso et al. 2006). Sedangkan enzim yang umum digunakan adalah jenis penghancur serat seperti hemiselulase dan selulose. Penambahan zat aditif mikrobiologis baik berupa jamur, bakteri atau enzim dapat dikatagorikan sebagai bahan stimulan fermentasi. Jamur dan enzim penghancur hemiselulosa berperan dalam menyediakan bahan karbohidrat mudah larut. Hasil dari penghancur sumber serat sehingga menjadi mudah dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat yang berfungsi untuk meningkatkan populasi bakteri dalam bahan pakan yang difermentasikan. Jika bakteri asam laktat sedikit populasinya akan kurang mendukung
21
terjadinya proses fermentasi yang baik, yaitu minimal harus terdapat sebanyak 105 CFU/g pada bahan pakan (Tjdanraatmadja et al. 1991). Kisaran suhu hidup dari bakteri asam laktat sangat beragam yaitu dari 5 sampai 50 oC. Bakteri asam laktat bersifat facultative yaitu bisa bertahan baik pada kondisi aerob maupun an aerob. Pada kondisi an aerob bakteri asam laktat bisa memfermentasikan beragam substrat sedangkan pada kondisi aerob dapat disaingi oleh bakteri lain. Tabel 1 Beberapa bentuk aditif untuk silase Pendorong Inoculant Bakteri Bakteri Asam Laktat
Enzim
Sumber Substrat Amylases Molasses Cellulases Glucoce Henicellulase Sucrose s Pectinases Dextrose Proteases Whey Xylanases Cereal Grain Beet pulp Citrus Pulp Sumber : Bolsen et al. (2000a)
Penghambat
Sumber
Asam
Lainnya
Nutrien
Formic Propionic Acetic
Ammonia Urea Sodium chloride
Urea Limestone
Lactic Caproic Sorbic Benzoic Acrylic Hydrochloric
Carbon dioxide Sodium sulfate Sodium sulfite Sodium hydroxide Paraformaldehyde
Other Mineral
Prinsip Pengawetan Silase Secara garis besar pembuatan silase terdiri dari empat fase : (1) fase aerob, (2) fase fermenatsi, (3) fase stabil dan (4) fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak (Bolsen dan Sapienza 1993). Setiap fase mempunyai ciri-ciri khas yang sebaiknya diketahui agar kualitas hijauan sejak dipanen., pengisian kedalam silo, penyimpanan, dan periode pemberian pada ternak dapat terpelihara dengan baik agar tidak terjadi penurunan kualitas hijauan tersebut.
22
Fase aerob berlangsung dalam dua proses yaitu proses respirasi dan proses proteolitis, akibat adanya aktivitas enzim yang berada dalam tanaman tersebut sehingga menghasilkan pH sekitar 6-6.5. Dampak negatif dari fase ini dapat dihindarkan dengan cara menutup silo yang dilakukan dalam waktu yang singkat dan cepat. Fase aerob atau fase respirasi yang terjadi di awal ensilase melibatkan 3 proses penting : glikolisis, siklus kreb dan rantai respirasi. Glikolisis menghasilkan 2 ATP, siklus kreb menghasilkan 2 ATP sedangkan rantai respirasi menghasilkan 34 ATP. Suatu sel yang melakukan respirasi akan menghasilkan energi dua puluh kali lebih banyak dari pada sel yang mengalami fermentasi. Proses respirasi ini membakar karbohidrat dan memproduksi panas sehingga waktu yang digunakan untuk fase aerob harus diminimalkan (Bolsen dan Sapienza 1993). Proses respirasi secara lengkap menguraikan gula-gula tanaman menjadi karbondioksida dan air dengan oksigen dan menghasilkan panas seperti reaksi berikut : C6H12O6 + O2
6 CO2 + 6 H2O + panas
Fase fermentasi adalah tercapainya kondisi an aerob (McDonald et al. 1991). Pada fase fermentasi (respirasi an aerobik) menghasilkan 2 ATP per molekul glukosa (Winarno dan Fardiaz 1979). Fase fermentasi dicapai ketika terjadi kondisi an aerob yang mengakibatkan tumbuhnya mikroba an aerob. Fase awal fermentasi silase yaitu saat pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat terjadi. Bakteri ini memfermentasi karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat sebagai hasil akhirnya. Produksi asam asetat akan menurunkan pH menjadi 5. Pertumbuhannya akan terhambat pada saat pH dibawah 5 dan ini merupakan pertanda fase awal fermentasi berakhir dan akan dilanjutkan dengan fermentasi berikutnya. Penurunan pH terus berlangsung sehingga meningkatkan pertumbuhan kelompok bakteri an aerob lain yang menghasilkan asam laktat (McDonald et al. 1991). Bakteri asam laktat (BAL) memfermentasikan karbohidrat terlarut. Jaurena et al. (2005) menyataan bahwa dengan banyaknya bakteri asam laktat yang terkandung dalam silase akan lebih efektif untuk memudahkan terjadi proses ensilase. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai pH yang cukup rendah. Ketika pH ini dicapai maka
23
bahan pakan akan tahan disimpan (Schroeder 2004). Masa fermentasi aktif berlangsung selama satu minggu hingga sampai satu bulan. Hijauan yang dibuat silase dengan kandungan air 65% masuk dalam katagori ini, sedangkan bila kandungan air lebih rendah dari 40-50% proses fermentasi berlangsung sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% masa fermentasi aktif akan berakhir antara 1-5 minggu. Fermentasi akan terhenti bila substrat gula untuk fermentasi telah habis. Pada saat ini silase telah terfermentasi dan dapat terus bertahan selama beberapa tahun sepanjang silase tidak kontak dengan udara (Bolsen dan Sapienza 1993). Fase stabil adalah fase yang menyebabkan aktivitas fase fermentasi menjadi berkurang sehingga tidak terjadi peningkatan atau penurunan nyata terhadap pH, bakteri asam laktat dan total asam (Elferink et al. 2005). Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana an aerob (Bolsen et al. 2000a). Pada fase stabil proses pertumbuhan dan kematian BAL seimbang, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan asam laktat yang diproduksinya.
Disamping itu sejumlah bakteri
Clostridia dimungkinkan tumbuh, hal ini akan kembali menaikkan pH (Schroeder 2004). Masa aktif pertumbuhan BAL berakhir karena berkurangnya water soluble carbohydrates (WSC), maka ensilase memasuki fase stabil. Fase pengeluaran untuk diberikan pada ternak, dilakukan setelah silase melewati masa simpan yang cukup. Menurut Schroeder (2004) hampir 50% bahan kering dirusak oleh mikroba aerob yang menyebabkan kebusukan, terjadi pada fase ini. Oksigen secara bebas akan mengkontaminasi permukaan silase. Kehilangan bahan kering terjadi karena mikroorganisme aerob akan mengkonsumsi gula, hasil akhir fermentasi dan nutrien terlarut lainnya dalam silase (Bolsen dan Sapienza 1993). Bolsen et al. (2000a) menyatakan bahwa silase akan mengalami kehilangan bahan kering sekitar 1.5-3.0% per hari setiap peningkatan suhu 8-12 oC pada fase pemberian pada ternak. Pada fase ini terjadi pula peningkatan pH dengan kisaran 4.0-7.0 dengan konsentrasi pertumbuhan ragi dan kapang yang cukup tinggi.
Ensilase Ensilase adalah nama yang diberikan untuk proses yang terjadi saat silase
24
disimpan di tempat penyimpanan (silo). Selama proses ensilase sejumlah asam diperoleh sebagai hasil fermentasi WSC. Walaupun kandungan protein, asam amino dan asam organik dapat memenuhi fungsi sebagai substrat fermentasi, struktur karbohidrat adalah sumber utama substrat yang dibutuhkan (McDonald et al. 1991). Secara tidak langsung proses ensilase berfungsi untuk mengawetkan komponen nutrien dalam silase. Semakin cepat pH turun semakin dapat ditekan enzim proteolisis yang bekerja pada protein, mikroba yang tidak diinginkan semakin cepat terhambat, dan kecepatan hidrolisis polisakarida semakin meningkat hingga menurunkan serat kasar silase (Sapienza & Bolsen 1993). Tujuan utama dari ensilase adalah mencegah kembali masuknya dan sirkulasi udara selama penyimpanan. Jika terjadi kontak kembali dengan oksigen, maka aktivitas mikroba aerob akan terjadi sehingga dapat menyebabkan kerusakan material bahan dan selanjutnya akan memproduksi racun. Tujuan kedua adalah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti Clostridia karena akan memproduksi asam butirat dan merusak asam amino hingga menurunkan nilai nutrisi silase (McDonald et al. 1991). Keberhasilan pembuatan silase tergantung pada besarnya pupulasi bakteri asam laktat, sifat fisik antara lain kadar air, temperatur, pH dan juga perbandingan antara sumber karbohidrat dan protein. Kadar air bahan untuk pembuatan silase sebaiknya berkisar dari 65-75% (Bolsen 1993). Bila kadar air lebih rendah dari 65% keadaan anaerob sukar diperoleh sehingga jamur akan tumbuh. namum bila kadar air lebih besar dari 75% Clostridia sp dapat berkembang biak sehingga banyak dihasilkan asam butirat dan senyawa-senyawa nitrogen yang terlarut yang akan menurunkan kandungan nutrisi silase yang dihasilkan. Untuk mencapai kadar air yang dianjurkan perlu dilakukan pelayuan terlebih dahulu sebelum bahan dibuat menjadi silase. Keberhasilan membuat silase berarti memaksimalkan nutrien yang dapat diawetkan. Silase yang baik diperoleh dengan menekan berbagai aktivitas enzim yang berada dalam tanaman dan yang tidak dikehendaki, mikroba epiphytic (seperti yang biasa terdapat dalam hijauan) serta mendorong berkembangnya bakteri penghasil asam laktat. Bahan baku yang baik untuk pembuatan silase adalah harus mempunyai kadar
25
bahan kering 25-35%. Bila bahan kering kurang dari 25% maka silase yang dihasilkan akan terlalu asam dan berair (Bolsen dan Sapienza 1993). Hal tersebut akan menyebabkan turunnya zat makanan dalam silase. Apabila kadar bahan kering lebih dari 35% akan menyebabkan pengolahan kurang sempurna, bahan baku sulit dipadatkan untuk memperoleh kondisi an aerob yang diperlukan untuk ensilase hal itu mengakibatkan tumbuhnya jamur karena adanya oksigen (Cullison 1978).
Bakteri yang Berperan pada Proses Ensilase Bakteri yang berperan pada proses ensilase adalah bakteri asam laktat (BAL) yaitu bakteri yang memproduksi asam laktat misalnya Lactis acidi, Streptococcus laktis, sedangkan pembentukan pada asam butirat misalnya Clostridium tyrobuticum, Clostridium saccharobutyrium. Menurut Susetyo (1977), bakteri asam laktat (BAL) bekerja menghasilkan asam laktat yang dapat mencegah bakteri yang menyebabkan pembusukan, sedangkan bakteri pembentuk asam butirat bekerja sakarolitik (merombak karbohidrat) dan proteolitik (merombak protein). Isabell et al. (2007) menyatakan, bahwa bakteri yang mula-mula aktif dalam proses ensilase adalah bakteri asam laktat berbentuk bola dan menyukai pH netral. Setelah pH turun maka bakteri yang bekerja adalah bakteri yang berbentuk batang dan tahan suasana asam. Bakteri asam laktat yang berperan dalam proses ensilase disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa bakteri asam laktat yang berperan dalam proses ensilase Genus Lactobacilus
Pediococcus
Fermentasi Glukosa Homofermentatif
Bentuk
Spesies
Batang
Heterofermentatif
Batang
Homofermentatif
Coccus
L. acidophilus L. casei L. curvatus L. plantarum L. brevis L. buchner L. fermentum L. viridescens P. acidilactici P.damnosus (cereviceae) P. pentosaceus
26
Homofermentatif
Coccus
Homofermentatif Lactococcus Homofermentatif Streptococcus Heterofermentatif Leuconostoc Sumber: McDonald et al. (1991)
Coccus Coccus Coccus
Enterococcus
E. feacalis E. feacium L. lactis S. bovis L. mesenteroides
Bakteri asam laktat termasuk bakteri fakultatif an aerobik yang dapat tumbuh pada kondisi tanpa oksigen. Bakteri ini tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya meskipun menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi (Crueger dan Crueger 1984). Menurut McDonald et al. (1991) bakteri asam laktat
adalah
merupakan kelompok bakteri gram positif, yaitu suatu mikroorganisme yang dapat menahan kompleks pewarna primer ungu kristal iodium (sel nampak ungu gelap atau ungu). Bakteri asam laktat pada umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Pada golongan homofermentatif, hasil fermentasi
terbesar
merupakan
asam
laktat
yaitu
sekitar
90%,
sedangkan
heterofermentatif, jumlah asam laktat yang dihasilkan kurang dari 90% atau seimbang dengan hasil lainnya seperti asam asetat, etanol, CO2 dan sebagainya (Moat et al. 2002). Bakteri asam laktat dapat memproduksi asam laktat dan juga dapat memetabolisme glukosa seperti dilihat pada Gambar 2 (McDonald et al. 1991). GLUKOSA
FRUKTOSA
AT AD
ATP
GLUKOSA-6-PHOSPAT
ADP
FUKTOSA-6-PHOSPHAT
AT AD 2-GLISERALDEHID -26-POSPHAT 2Pi 2 NAD+
4 ADP
27
ADP
2NAD + 2H+ 2-PIRUVAT 2NAD + 2H 2NAD 2-LAKTAT
Glukosa/Fruktosa+2ADP+2 Pi
2 Laktat+2 ATP+2 H2O
Gambar 2 Alur fermentasi glukosa dan fruktosa oleh BAL homofermentatif
Bakteri asam laktat sangat toleran terhadap asam tinggi, mampu hidup dengan kisaran pH 4.0-6.8 (Bolsen et al. 2000b). Bakteri asam laktat terdiri dari beberapa genus antara lain Streptococcus, Lactobacilus dan Leuconostoc (McDonald et al. 1991). Genus yang banyak digunakan dalam fermentasi adalah Streptococcus, Lactobacilus dan Leuconostoc, dengan L. plantarum adalah bakteri asam laktat yang paling sering diisolasi untuk digunakan pada pembuatan silase. Bakteri asam laktat paling mudah dan tercepat membentuk koloni pada fase awal ensilase, tahan bersaing dan menghasilkan asam laktat dengan cepat (McDonald et al. 1991). Pada berbagai jenis reaksi antagonis Lactobacilus terhadap mikroba pembusuk disebabkan oleh adanya produk asam selama pertumbuhan (Ross 1984). Tahapan yang terjadi saat ensilase erat kaitannya dengan fase pertumbuhan yang dialami oleh bakteri. Fase pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase. Fase tersebut adalah : (1) fase adaptasi (lag phase), (2) fase pertumbuhan logaritmik dan fase pertumbuhan cepat (log phase), (3) Fase stabil (stationary phase) dan fase kematian (dead phase) (Crueger dan Crueger 1984). Fase adaptasi adalah fase saat mikroba mulai beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mulai kebagian fase pertumbuhan cepat (logarithmic phase or exponential phase), selanjutnya mencapai populasi yang maksimum dan memasuki fase stabil (stationary phase) dimana terjadi jumlah yang sama besar antara bakteri yang masih mampu membelah diri dan tidak mampu membelah diri lagi. Akhirnya fase pertumbuhan bakteri memasuki fase kamatian (dead phase) (Moat et al. 2002).
28
Asam laktat Asam laktat yang diproduksi oleh bakteri asam laktat merupakan asam organik yang diperoleh langsung dari Siklus Kreb. Ada juga hasil pemecahan dari glukosa dan juga sebagai hasil akhir dari piruvat seperti asam laktat, etanol dan asam asetat. Secara teori 2 mol asam laktat diperoleh dari 1 mol glukosa (Crueger dan Crueger 1984). Mathews et al. (2000) menyatakan asam laktat adalah asam organik yang diperoleh melalui proses fermentasi piruvat yang dihasilkan dari jalur glikolosis (protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipit). Pada keadaan an aerob bakteri asam laktat menggunakan NADH mereduksi piruvat menjadi asam laktat yang dikatalisis oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Piruvat harus direduksi menjadi laktat ketika jaringan kekurangan oksigen untuk mengoksidasi semua NADH yang berbentuk dalam glikolosis. Selanjutnya laktat mengalami 2 proses metebolisme yaitu : (1) asam laktat diubah kembali menjadi glukosa melalui jalur glukoneogenesis, (2) laktat masuk kedalam jalur respirasi. Selanjutnya dinyatakan bakteri asam laktat dibedakan dari sifat fisiologisnya, yaitu bakteri homofermentatif dapat menguraikan satu molekul glukosa menjadi dua molekul asam laktat Mathews et al. (2000). Kadar Air Kadar air bahan ditentukan melalui kehilangan berat selama pengeringan (Winarno 1992). Penetapan kandungan kadar air tergantung dari sifat bahannya, pada umumnya kadar air di tentukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105110 oC selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan (AOAC 1990). Kandungan air dalam bahan pakan mempengaruhi daya tahan bahan pakan terhadap gangguan mikroba yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Winarno 1992). Cepat atau lambatnya proses fermentasi terhadap silase sangat tergantung kandungan air, semakin tinggi kadar air maka pH semakin rendah. Hijauan yang di buat silase dengan kadar air 65% dapat menyebabkan fase fermentasi aktif berlangsung
29
selama satu minggu hingga sampai satu bulan, sedangkan kadar air 40-50% proses fermentasi berjalan sangat lambat. Fermentasi normal dengan kandungan air 55-60% (Bolsen dan Sapienza 1993). Semakin basah hijauan yang di silase semakin banyak panas yang dibutuhkan dan semakin cepat kehilangan bahan kering (Ma et al. 2006). McDonald et al. (1991) melaporkan beberapa kerugian yang dihasilkan dalam pembuatan silase yang berkadar air tinggi yaitu: (1) dapat mengandung fermentasi yang dilakukan oleh Clostridia, (2) intake bahan kering menjadi rendah, (3) susah dalam pengepakan dan penanganannya. Pada pengawetan pangan dengan cara pengeringan pengendalian kadar air sangat ketat dilakukan untuk mencegah tumbuhnya bakteri berspora. Pada pembuatan silase rumput pengurangan kadar air dilakukan dengan cara pelayuan (McDonald et al. 1991). Lactobacilus species heterofermentatif yang terdapat dalam silase berkadar air tinggi sebanyak 75% dan silase berkadar air rendah sebanyak 98% (McDonald et al. 1991). Menurut Schroeder (2004) penambahan kadar air pada silase dibutuhkan untuk memudahkan proses pemadatan saat pengepakan silase. Penambahan kadar air juga akan mengurangi kehilangan bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan asam amino menjadi menurun karena aktifitas Clostridia dan enterobakteri akan berkuarang seiring dengan menurunnya kadar air (McDonald et al. 1991). Kualitas Silase Faktor yang mempengaruhi kualitas silase secara umum adalah kematangan bahan dan kadar air, besar partikel bahan, penyimpanan saat ensilase dan aditif (Bolsen et al. 1996). Kualitas silase dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang dominan diproduksi yang selanjutnya dapat menunjukkan pH silase dengan cepat. Semakin cepat fermentasi terjadi, maka semakin banyak nutrisi yang dikandung silase dapat dipertahankan (Schroeder 2004). Kadar air juga sangat mempengaruhi kualitas silase hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ridla dan Uchida (1994) bahwa campuran silase rumput dengan kandungan ampas bir yang basah berhasil memperbaiki kualitas silase. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas silase yaitu : (1) karakteristik bahan (kandungan bahan kering, kapasitas buffer, struktur fisik dan varietas), (2) tata laksana pembuatan silase (besar partikel, kecepatan pengisian ke silo, kepadatan
30
pengepakan dan penyegelan silo), pengepakan yang tidak padat dapat menurunkan ketidak efektifan dalam pemakaian silase (Adesogan 2006), (3) keadaan iklim (suhu dan kelembaban) (Bolsen dan Sapienza 1993). Menurut Bolsen et al. (2000a) silase yang baik mengandung nilai nutrisi yang masih tinggi. Kualitas silase tidak hanya dilihat dari pengawetan nilai nutrisi saja tetapi juga berapa banyak silase tersebut kehilangan bahan kering (McDonald et al. 1991). Prinsip pembuatan silase adalah mengusahakan dan mempercepat keadaan an aerob di dalam silo sehingga terbentuk asam organik yang mempercepat penurunan pH sekitar 4 (McCollough 1978). Manajemen penanganan suasana aerobik sangat penting untuk mendapatkan silase yang berkualitas (Tjdanraatmadja et al. 1991). Pada pH sekitar 4 diharapkan mikroorganisme pembusuk tidak aktif sehingga hijauan dapat tahan lama. Menurut Ensminger (1980) tercapainya pH 3.5-4.0 merupakan kunci terbentuknya silase yang baik karena hal itu akan mencegah pertumbuhan bakteri termasuk bakteri penyebab kebusukan. Adesogan (2006) menyatakan bahwa silo merupakan juga salah satu faktor penentu dalam pencapaian kualitas silase yang baik. Kualitas yang baik adalah rasa keasaman bau asam, warna masih seperti awalnya, tekstur masih seperti semula, tidak berjamur, tidak berlendir, dan tidak menggumpal serta banyak mengandung asam laktat (Bolsen et al. 2000a). Kadar nitrogen (amonia) kurang dari 10%. Serta tidak mengandung asam butirat dan mempunyai pH 3.5-4.0. Baik atau tidaknya kualitas silase dapat ditentukan dengan kriteria tertentu. Kriteria penilaian silase tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Kriteria penilaian silase Kriteria Warna
Baik sekali Hijau tua
Sedang Hijau Kecoklatan Lebih banyak
Buruk Tidak hijau
-
Baik Hijau Kecoklatan Sedikit
Cendawan dan lendir Kebersihan Bau Rasa pH N-NH3
Bersih Asam Keasaman 3.2-4.2 <10% total N
Bersih Asam Asam 4.2-4.5 12-15% total N
Kurang bersih Kurang asam Asam 4.5-4.8 >20% total N
Kotor Busuk Tidak asam >4.8 >20% total N
Banyak
31
Asam butirat Sedikit Sumber: Bolsen dan Sapienza (1993)
Banyak
Banyak
Hay (Ransum Kering) Pengeringan merupakan teknologi pengawetan pakan berkadar air rendah (1415%) dengan menggunakan alat pengering sejenis oven atau sinar matahari sehingga enzim dan mikroorganisme menjadi tidak aktif (Church 1991). Tujuan pembuatan ransum kering adalah mengurangi kadar air sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nutrien secara serius (Joseph et al. 2005). Kadar air maksimum untuk hijauan kering yang berbentuk bola atau gulungan adalah 18-22 % tergantung dengan hijauan itu sendiri (Perry et al. 2004). Proses pengeringan yang berjalan cepat dan dapat menurunkan kandungan air hingga 15% akan lebih baik dari pada proses pengeringan yang berjalan lamban dan memakan waktu lama. Makin lama proses pengeringan akan makin banyak pula zat gizi pakan yang hilang (Bollinger et al. 1990). Pengeringan menggunakan mesin lebih baik dibandingkan menggunakan matahari (Arroquy et al. 2005). Temperatur yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah 60 oC yang dapat dilakukan dengan uap panas dari gas-gas yang dihembuskan dari sebuah oven (Church 1991). Church (1991) menyatakan bahwa jika pengeringan berjalan lambat akan menyebabkan perubahan pada enzim tanaman (respirasi) dan mikroorganisme (sebagian jamur) atau perubahan oksidatif. Selama respirasi hijauan mengalami kehilangan karbohidrat terlarut yang cukup lumayan, sebagian glukosa, fruktosa dan sukrosa dan mungkin juga kehilangan asam organik (McGechan dan Cooper 1995). Kehilangan N juga akan terjadi selama pengeringan sebagai aksi dari enzim proteolitis. Karoten (provitamin A) akan hilang sebesar 80% ketika dijemur dengan panas matahari dan vitamin E akan hilang seluruhnya pada saat proses pengeringan (Dale et al. 1997). Teknologi pengeringan pakan akan meminimalisasi aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan memudahkan proses pengangkutan karena kadar airnya yang rendah (Church 1991) namun dalam prosesnya bisa menyebabkan kehilangan nutrien (Livingstone 2000) dan menurunnya palatabilitas (Siregar 1996).
32
Faktor penyimpanan sangat mempengaruhi kualitas ransum kering (Kallenbach et al. 2002). Gudang atau tempat penyimpanannya harus mempunyai sirkulasi udara yang baik (Siregar 1996). Menurut Perry et al. (2004). Penyimpanan ransum kering yang mengandung air berlebihan dapat mengakibatkan timbulnya jamur sehingga tidak sesuai lagi untuk penggunaan pakan. Jika penyimpanan dilakukan dengan kadar air yang tepat, dengan menghindarkan dari pengaruh cuaca yang dapat merubah komposisi nutrisi maka ransum kering dapat disimpan selama bertahun-tahun (Church 1991). Michael et al. (2000) menyatakan bahwa hay jerami dapat bertahan lebih lama tanpa kehilangan kandungan nutrisi dan kualitas dengan memperhatikan manajemen pengeringan dan penyimpanan. Teknik manajemen selama masa panen dan tempat penyimpanan harus mempunyai efek sasaran pada kualitas dan tempat penyimpanan. Kung dan Neylon (2001) menyatakan menutup tempat penyimpanan dan menyegel silo adalah sebuah mekanisme yang efisien untuk menyimpan banyak zat makanan selama dalam tempat penyimpanan. Penyimpanan makanan yang baik dalam manajemen silo dapat membantu untuk pemeliharaan pakan dengan menghasilkan zat makanan yang tinggi (Kung dan Neylon 2001).
Kambing Domestika ternak kambing diperkirakan telah terjadi di daerah penggunungan Asia-Barat pada 9.000 sampai 11.000 tahun yang lalu. Davendra dan Burns (1994), kambing temasuk binatang yang dijinakkan paling awal atau paling tidak nomor dua setelah anjing. Secara umum disepakati bahwa kambing pada saat ini asal usulnya berasal dari hewan bezoar (Manika et al. 1993). Asal usul kambing di dunia dianggap berasal dari tiga jenis kambing liar, yaitu : 1) Capra hircus, didaerah Pakistan dan Turki, 2) Capra falconeri, di daerah sekitar Kashmir, dan 3) capra prisca, didaerah sekitar Balkan (Sastroamidjojo 1978), di Indonesia ada empat bangsa kambing utama, yaitu : kambing kacang, kambing merica, kambing Etawah (Jamnapari) dan kambing Bali atau kambing Gembrong (Robinson 1977). Kambing kacang adalah kambing kecil, berat dewasa adalah kira-kira 30 kg, warna hitam, coklat dan putih. Kambing kacang tahan terhadap cuaca buruk, sangat
33
fertil, cepat dewasa (mencapai dewasa pada umur 6 bulan) dan dapat beranak pertama pada umur 12 bulan. Kambing kacang semata-mata dipergunakan untuk menghasilkan daging dan kulit (Robinson 1977). Kambing Peranakan Etawah termasuk ternak ruminansia kecil tipe dwiguna yaitu penghasil utama susu dan daging (Martawidjaja dan Budiarsana 2004). Seperti layaknya ternak perah, kambing dwiguna membutuhkan pakan yang relatif lebih baik dibandingkan kambing potong. Kambing sebagai hewan memamahbiak mempunyai lambung majemuk yang terbagi menjadi empat bagian yang fungsinya sangat berbeda. Pada waktu lahir abomasum atau lambung sejati merupakan bagian utama, tetapi begitu susu diganti dengan rumput, rumen tumbuh sampai 80% kapasitas lambung. Retikulum dan omasum berkembang pada waktu yang sama. Rumen benar-benar merupakan wadah fermentasi besar, makanan berserat yang mengambil banyak tempat dihancurkan oleh bakteri dan protozoa, terjadi sintesis khusus vitamin B Komplek. Ruminansia meliputi regurgitasi makanan dari rumen kedalam mulut kemudian dikunyah menjadi halus dan bercampur dengan banyak air liur. Pada waktu ditelan makanan yang lebih berair masuk ke dalam retikulum dan kemudian ke omasum. Kambing memerlukan waktu kira-kira delapan jam sehari untuk memamahbiak dan regurgitasi makanan terjadi kira-kira sekali setiap menit (Davendra dan Burns 1994).
Pakan dan Pemeliharaan Kambing merupakan jenis ruminansia yang lebih efisien daripada domba dan sapi. Kambing dapat mengkonsumsi bahan kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya yaitu 5-7% (Atabany 2001). Kambing juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibandingkan dengan sapi dan domba. Juga dilaporkan bahwa kambing mampu mengkonsumsi pakan yang tidak biasa dikonsumsi oleh hewan lain. Pakan utama kambing adalah tunas-tunas semak, ranting dan gulma dan kambing sangat efisien dalam mengubah pakan berkualitas rendah menjadi produk yang bernilai tinggi. Kambing merupakan pemakan yang lahap dengan pakan yang beragam dari tanaman lunak dan semak sampai kulit pohon. Kambing yang mendapat tambahan
34
konsentrat sebaiknya diberikan dalam bentuk kasar atau digiling kasar karena kambing tidak suka pakan yang digiling halus dan berdebu (Devendra 1990). Kebutuhan gizi kambing, domba, sapi sangat mirip. Hewan-hewan ini memerlukan selulosa dalam bentuk rumput, jerami, silase, atau hijauan kering dan campuran biji-bijian yang mengandung tambahan mineral dan vitamin. Hewan yang sedang pertumbuhan, bunting atau laktasi sangat memerlukan gizi yang cukup. Makanan kambing sangat beraneka ragam, secara alami kambing merupakan hewan pemakan tunas pohon. Kambing mempunyai kebiasaan makan meramban (Browser) yang tidak dilakukan ternak ruminansia lainnya dan tanpa kontrol yang baik sering menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan. Bibir atasnya mudah digerakkan waktu merumput dan merengut daun-daunan yang biasanya tidak dimakan oleh ternak lainnya (Davendra 1990). Pemberian pakan tambahan sangat diperlukan, terutama bila ternak dikandangkan untuk memperoleh potensi genetik yang dimiliki (Davendra 1993). Reksohadiprodjo (1985) menyebutkan bahwa kambing membutuhkan bahan kering 3-5% dari bobot badan per hari. Tipe dan jumlah pakan harus disesuaikan dengan fungsi dan tujuan pemeliharaan. Kambing jantan yang tidak aktif dan induk kering dibedakan pakannya dengan induk laktasi dan kambing jantan aktif. Pemberian konsentrat diperlukan, akan tetapi jangan terlalu banyak karena akan menyebabkan kegemukan. Seekor kambing dengan berat badan 40 kg dan berproduksi 2 liter susu per hari diberikan 5 kg hijauan dan 0.5-1.0 kg konsentrat (Heald 1985). Kadang - kadang kambing sedang laktasi diberikan hijauan secara ad libitum dan konsentrat yang mengandung protein kasar 16% sebanyak 0.5 kg per ekor per hari. Persentase pakan hijauan dan konsentrat agar diperoleh ransum yang murah dan koefisien cerna yang tinggi digunakan perbandingan pakan hijauan 60% dan konsentrat 40% (Subhagiana 1998). Jumlah pakan yang dikonsumsi akan menentukan jumlah zat-zat makanan yang tersedia bagi ternak. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produktivitas ternak tersebut. Namun yang menentukan konsumsi ransum pada ternak ruminansia sangat komplek, karena banyak faktor yang terkait seperti sifat ransum, faktor ternak dan faktor lingkungan (Manika et al. 1993). Banyaknya jumlah makanan yang dikonsumsi oleh
35
seekor ternak merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan secara langsung mempengaruhi produktivitas ternak (Doyle 1986). Konsumsi makanan terutama dipengaruhi faktor kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak yang bersangkutan. Makin baik kualitas makanannya, maka makin tinggi konsumsi ransum dari seekor ternak. Akan tetapi konsumsi makanan ternak berkualitas ditentukan oleh status fisiologis seekor ternak. Konsumsi bahan kering oleh ternak ruminansia berkisar antara 1.5-3.5%, tetapi pada umumnya 2-3% dari berat badannya (Manika et al. 1993). Peningkatan konsumsi sejalan dengan besarnya ternak, bentuk ransum yang komplit dan tidak berdebu sangat disukai ternak. Sedangkan kandungan serat kasar yang tinggi akan menurunkan tingkat konsumsi. Demikian pula makanan yang hambar dan kecernaannya akan menurunkan konsumsi (Parakkasi 1983). Konsumsi bahan kering kambing merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena kapasitas mengkonsumsi pakan secara aktif merupakan faktor pembatas yang mendasar dalam pemanfaatan pakan. Konsumsi bahan kering juga tergantung dari hijauan saja yang diberikan atau bersamaan dengan konsentrat. Konsumsi bahan kering pakan ditentukan oleh ukuran tubuh, bahan penyusun ransum, umur dan kondisi ternak. Konsumsi bahan kering pakan kasar berkualitas tinggi pada ternak ruminansia dewasa adalah sebesar 1.4% dari bobot hidupnya. Sedangkan pada kambing dengan bobot badan 10-20 kg sebesar 3-3.8% (NRC 1981). Konsumsi bahan kering ransum biasanya makin menurun dengan meningkatnya kandungan zat-zat pakan yang dicerna (NRC 1994). Kambing lokal (bangsa kambing pedaging dan kambing perah) di daerah tropis yang diberi makan sekenyangnya, mempunyai konsumsi bahan kering harian dalam kisaran 1.8-4.7% dari berat badan. Bila dibandingkan dengan sapi yang dapat mengkonsumsi bahan kering 2-3% dari berat badan, kambing mampu mengkonsumsi bahan kering relatih lebih banyak untuk ukuran tubuhnya.
Kambing perah
mengkonsumsi bahan kering hendaknya 5-7% dari berat badan akan tetapi kambing perah daerah sejuk yang hidup di daerah tropis mempunyai kisaran konsumsi bahan kering 2.8-4.9% dari berat badan (Atabany 2001). Kambing laktasi membutuhkan protein lebih banyak daripada kambing jantan dewasa dan induk kering. Kambing jantan aktif dan induk laktasi membutuhkan protein 15-18% (Sutardi 1981).
36
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan yaitu mulai 8 Maret sampai 21 Agustus 2007 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan di Peternakan Rakyat Kelurahan Bintaro Sektor IX. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan dan analisis populasi bakteri asam laktat di lakukan di Laboratorium Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, Bogor. Bahan dan Alat Bahan dalam pembuatan pakan terdiri atas: sampah organik primer yang diperoleh dari pasar Induk Kemang, Kabupaten Bogor, dedak padi, bungkil inti sawit, onggok dan premix diperoleh dari CV. Indofeed Bogor, serta ampas tahu diperoleh dari pabrik tahu Luewiliang (Tabel 4). Cairan rumen uji in vitro diperoleh dari rumah potong hewan. Sebanyak 9 ekor kambing perah Peranakan Etawah laktasi kesatu dan laktasi kedua dengan berat badan 38-43 kg digunakan untuk percobaan in vivo. Sementara untuk uji daya simpan pakan digunakan silase ransum komplit dan hay ransum komplit berbahan baku sayuran (Tabel 4 dan 5). Peralatan yang digunakan untuk membuat pakan adalah: chopper, timbangan, silo (drum ukuran 120 liter). Alat yang digunakan untuk uji kecernaan in vitro adalah: tabung fermentor, shakerbath, sentrifuge serta kertas Whatmen 41. Sementara alat yang digunakan untuk uji in vivo adalah: kandang panggung, tempat pakan, tempat minum dan timbangan. Sedangkan untuk uji daya simpan beberapa peralatan diperlukan seperti silo, plastik ukuran 1000 ml dan 250 ml, karung, gelas ukur, pH meter, biuret, cawan petri, isolatif, dan tabung 250 ml.
37
Metode Penelitian Pembuatan pakan Silase ransum komplit dibuat dari bahan dasar sampah organik primer yang terdiri atas komposisi seperti pada Tabel 4. Sebelum dicampur, sampah organik primer di potong ± 3-5 cm kemudian dihomogenkan. Sampah organik primer yang telah homogen dicampur dengan bahan lain sesuai dengan komposisi pakan yang telah disusun (Tabel 5). Selanjutnya dimasukkan dalam silo berukuran 120 liter, dipadatkan untuk membuat kondisi an aerob kemudian difermentasikan selama enam minggu pada suhu ruang (Gambar 3). Setelah difermentasi selama enam minggu silase dibuka kemudian dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian dijemur hingga kadar air 14% (sebagai hay ransum komplit (Gambar 3). Sedangkan satu bagian lagi tetap dalam kondisi an aerob (sebagai silase ransum komplit). Kemudian diuji kualitas terhadap komposisi kimia, biologi, sifat fisik, in vitro, in vivo dan daya simpan. Tabel 4 Komposisi pemakaian dan kandungan nutrisi sampah organik primer Komposisi (%) Kulit jagung 37.5 Sawi putih 25.0 Kulit kembang kol 25.0 Kubis 12.5 Jumlah 100 Kandungan Nutrisi Sampah Abu (%BK) 9.96 Protein kasar (%BK) 19.42 Serat kasar (%BK) 36.32 Lemak kasar (%BK) 1.13 BETN (%BK) 33.17 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2007 Tabel 5 Formulasi pakan penelitian ransum komplit Formulasi Pakan Ransum Komplit Sampah sayuran
(%) 41.00
38
Bungkil inti sawit 6.20 Ampas tahu 27.00 Dedak padi 16.70 Onggok 9.00 Premix 0.10 Jumlah 100.00 Kandungan Nutrisi Ransum Komplit Abu (%BK) 8.57 Protein kasar (%BK) 16.14 Serat kasar (%BK) 22.14 Lemak kasar (%BK) 2.05 BETN (%BK) 53.23 Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2007 Pengambilan sampah sayuran pasar (kubis, sawi putih, kulit jagung, kulit kembang kol) dipotong (± 3-5 cm) Campur ampas tahu, onggok, bungkil inti sawit, dedak Masukkan dalam silo dan difermentasikan selama 6 minggu Silase umur 6 minggu
Evaluasi kualitas terhadap sifat fisik, kimia, biologi
Dijemur hingga Kadar air 14%
Silase Ransum Komplit
Hay Ransum Komplit Uji Palatabilitas Gambar 3 Pembuatan silase dan hay ransum komplit
39
Tahap I. Uji Kualitas Silase Ransum Komplit Kualitas pakan ditentukan dengan analisis kimia, biologi dan sifat fisik masingmasing dilakukan sebagai berikut: 1. Komposisi kimia pakan. a). Nilai pH diukur menggunakan pH meter merek Hanna H1 98103 Checker. b). Sebanyak 1 kg masing-masing sampel (silase ransum komplit) diambil untuk dianalisis kandungan bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar ditentukan dengan analisis proksimat. 2. Analisis biologi pakan Jumlah koloni bakteri asam laktat dihitung dengan metode Total Plat Count (TPC). 3. Sifat fisik pakan Sifat fisik pakan (warna, bau dan rasa) ditentukan dengan uji penampakan fisik (organoleptik) menggunakan 12 panelis, pada setiap sifat fisik masing-masing mempunyai enam kriteria (Tabel 6). Tabel 6 Format uji penampakan fisik silase Silase
Warna 2 3 4 5
Peubah yang diamati Rasa 1 2 3 4 5 6 1 2
Bau 4 5
1 6 3 6 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Keterangan : Warna 1. sangat hijau; 2. hijau coklat; 3. coklat; 4. coklat kehitaman; 5. hitam; 6. sangat hitam. Bau 1. keasaman; 2. agak asam; 3. agak apek; 4. apek; 5. agak tengik, 6. tengik. Rasa 1. sangat asam; 2. asam; 3. agak asam; 4. agak asin; 5. asin; 6. pahit Analisis Data Data kualitas silase dan hay ransum komplit yang terdiri atas : nilai pH, bahan kering, bahan orgaik (abu, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar), jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) dan organoleptik (warna, bau dan rasa) dianalisis statistik secara deskriptif.
40
Tahap II a. Uji Kecernaan in Vitro Kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) silase dan hay ransum komplit diukur dengan metode Tilley dan Terry (1969). Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil kecernaan in vitro ini dianalisis dengan menggunakan statistik uji t-student (Mattjik 2002). Parameter yang diukur adalah : kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO). Tahap II b. Uji Palatabilitas Percobaan palatabilitas dilakukan pada ternak kambing perah Peranakan Etawah laktasi satu dan laktasi dua. Kambing mengalami masa adaptasi pakan selama tiga hari dan enam hari untuk pengamatan perlakuan. Jumlah pakan diberikan sesuai kebutuhan nutrisi dalam bahan kering (NRC 1994). Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore secara kafetaria. Ransum perlakuan yang digunakan yaitu : ransum kontrol, silase ransum komplit dan hay ransum komplit. Nilai palatabilitas ransum dihitung dengan cara mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa (dalam bahan kering). Komposisi bahan pakan perlakuan tertera pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Bahan makanan (segar)
Kontrol
Komposisi (%) SRK/HRK (as feed)
Sampah sayuran
-
41.00
Bungkil inti sawit
-
6.20
Ampas tahu
50
27.00
Dedak padi
25
16.70
Onggok
-
9.00
Premix
-
0.10
Rumput alam
25
-
Jumlah
100
100
41
Keterangan : SRK = silase ransum komplit; HRK = hay ransum komplit Tabel 8 Kandungan nutrisi ransum perlakuan Kandungan Nutrien
Kontrol SRK HRK ---------------------- --------(%BK)------------------------Abu 6.97 9.07 9.08 Protein kasar 19.06 17.38 16.77 Serat kasar 24.13 23.00 30.16 Lemak kasar 10.19 0.71 2.44 BETN 37.57 50.02 41.64 Kalsium 0.52 3.47 3.35 Phosphor 0.34 3.15 3.03 TDN 66.66 60.45 58.41 Sumber : Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB, 2007 Keterangan : SRK = silase ransum komplit; HRK = hay ransum komplit Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), terdiri atas 3 perlakuan dan 3 kelompok. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Apabila menunjukkan perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji Tukey (MINITAB 13.0), model matematik sebagai berikut: Yij = μ + τі + βj + εij Dimana : Yij
: Nilai pengamatan pada perlakuan ransum ke-i dan kelompok periode laktasi ke-j
μ
: Rataan umum
τі
: Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1,2,3)
βj
: Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2,3)
εij
: Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Parameter yang diamati adalah palatabilitas ransum.
42
Tabel 9 Bagan percobaan ransum perlakuan pada ternak Ulangan/kelompok
Perlakuan Kontrol
1
1A
2 3
1C
SRK
HRK
2C 2B
3B 3A
1B 2A 3C Keterangan : SRK = silase ransum komplit; HRK = hay ransum komplit; Kelompok 1 = kambing Peranakan Etawah laktasi I Kelompok 2 = kambing Peranakan Etawah laktasi II Kelompok 3 = kambing Jawa Randu laktasi II A,B dan C = ulangan
Tahap III. Uji Daya Simpan Ransum Silase yang telah berumur 6 minggu dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian dimasukkan kedalam 15 kantong plastik ukuran 5 kg dalam kondisi an aerob. Ransum ini disebut silase ransum komplit (SRK). Satu bagian lagi dijemur hingga kadar air <14%, dikemas dalam 15 karung ukuran 5 kg dan disimpan dalam kondisi aerob. Ransum ini disebut hay ransum komplit (HRK). Kemudian kedua jenis ransum tersebut (SRK dan HRK) dievaluasi setiap dua minggu sekali. Silase umur 6 minggu
Dimasukkan kedalam kantong plastik ukuran 5 kg
-
Jemur hingga kadar air 14% Masukkan dalam karung ukuran 5 kg
Disimpan an-aerob
Disimpan aerob
Evaluasi perubahan kualitas Sifat fisik, kimia dan biologi
43
Gambar 4 Proses daya simpan SRK dan HRK
Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) yang terdiri atas 4 perlakuan, dan 2 kelompok. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), Apabila menunjukkan perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji Tukey (MINITAB 13.0), model matematik sebagai berikut: Yij = μ + τі + βj + εij Dimana : Yij
: Nilai pengamatan pada perlakuan ransum ke-i dan kelompok waktu ke-j
μ
: Rataan umum
τі
: Pengaruh perlakuan ransum ke-i (i = 1,2,3,4)
Βj
: Pengaruh kelompok ke-j (j = 1,2,)
εij
: Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Peubah yang diamati meliputi : nilai pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) (dianalisis statistik secara deskriptif), bahan kering, bahan organik (abu, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar), dan uji organoleptik (warna, bau dan rasa).
44
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I: Kualitas Silase Ransum Komplit Penelitian terhadap kualitas silase ransum komplit dilakukan dengan cara mengukur pH, jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL), bahan kering, bahan organik, kandungan nutrsi (abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar), dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase ransum komplit dengan waktu fermentasi selama enam minggu dan kandungan air 60% memiliki kualitas yang baik (Tabel 10). Tabel 10 Kualitas fermentasi silase ransum komplit Kualitas Fermentasi
Nilai
Nilai pH 1 Ulangan I Ulangan II Ulangan III
4.51 4.48 4.51
Jumlah Koloni BAL (CFU/g)2 Ulangan I
1.74x106
Ulangan II
1.73x106
Ulangan III
1.76x106
Total Asam (mg/ml)
9.15
1
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, 2007 2 Hasil analisis Laboratorium LIPI, Cibinong, 2007 Kualitas silase yang baik dicapai ketika asam laktat sebagai asam yang dominan diproduksi. Hasil fermentasi sangat efisien ketika penurunan pH silase terjadi dengan cepat. Menurut McCullough (1978) pH silase dapat digolongkan menjadi 4 kriteria yaitu : baik sekali (pH 3.2-4.2), baik (4.2-4.5), sedang (pH 4.5-4.8) dan buruk (pH> 4.8). Nilai pH merupakan salah satu faktor penentu dalam tingkat keberhasilan dari produk fermentasi (Kung dan Neylon 2001). Kualitas silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kualitas yang baik dan layak untuk menjadi pakan ternak, yaitu memiliki pH yang sedang (4.51-4.48).
45
Jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) juga merupakan kriteria yang penting diperhatikan untuk mengetahui kualitas terhadap hasil proses fermentasi. Silase ransum komplit yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung jumlah bakteri asam laktat sebesar 1.74x106 CFU/g (Tabel 10). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bolsen et al. (2000b), yang menyatakan bahwa silase tanpa diinokulasi bakteri asam laktat dapat mencapai populasi sekitar 106 CFU/g. Semakin banyak jumlah koloni bakteri asam laktat yang dihasilkan maka produk fermentasi tersebut akan semakin baik, karena bakteri asam laktat juga menghasilkan antimikroba yang dapat mengalahkan bakteri yang tidak diinginkan (Komang et al. 2005). Jumlah koloni bakteri asam laktat menggambarkan baik buruknya hasil dari produk fermentasi. Mekanisme kerja bakteri asam laktat disini adalah menekan kemampuan hidup mikroorganisme patogen karena mampu memproduksi komponen anti bakteria seperti hidroksi peroksida dan asam-asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang dihasilkan sangat berperan dalam menurunkan pH (Lopez 2000). Hal ini sesuai dengan laporan Jaurena et al. (2005), yaitu jika fase ensilase dapat didominasi oleh bakteri asam laktat dengan pH 3.5-4.5 dapat dinyatakan bahwa poduk fermentasi tersebut memiliki kualitas yang baik. Habitat dari bakteri asam laktat ini sangat beragam dan toleran terhadap pH 4.0-6.8, bahkan Pediococcus (cerevisae) dapat bertahan pada pH 3.5 (Bolsen dan Sapienza 1993). Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri gram positif yang memproduksi asam, sehingga semakin tinggi jumlah BAL dalam proses fermentasi maka aktivitas bakteri pembusuk akan semakin terhambat dan mati. Hal ini sangat baik untuk silase yang mengalami proses penyimpanan dalam waktu lama. Namun jika terdapat udara yang masuk dalam silo maka jamur dapat tumbuh dengan baik, sehingga akan merusak kualitas silase (Kunkle et al. 2000). Tabel 11 Keadaan fisik silase ransum komplit Penampakan fisik silase ransum komplit Warna Bau
Hijau kecoklatan Asam
Rasa
Keasaman
46
Sumber : Hasil organoleptik, 2007 Uji penampakan fisik dilakukan untuk menilai kualitas fisik produk hasil fermentasi dengan bantuan organ indrawi. Sifat fisik yang diuji meliputi warna, bau dan rasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa silase ransum komplit memiliki warna, bau dan rasa yang baik (Tabel 11). Uji penampakan fisik silase ransum komplit menunjukkan bahwa silase bersifat asam baik rasa dan bau, dan berwarna hijau kecoklatan. Sifat asam terkait dengan banyaknya populasi bakteri asam laktat. Hasil uji Comparison of Mean Rank Test menunjukkan bahwa tekstur silase ransum komplit berkisar antara agak halus dan agak kasar. Hal ini sejalan dengan penelitian Ridla et al. (2007), bahwa kualitas silase yang baik berwarna hijau kecoklatan, teksturnya lembut, tidak berlendir, tidak berjamur, memiliki pH yang rendah dan berbau wangi (asam). Abdelhadi et al. (2005) menyatakan silase yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan warna bahan dasar itu sendiri, memiliki pH rendah dan baunya asam. Tekstur hijauan masih seperti semula, tidak berjamur, tidak berlendir, tidak menggumpal, dan banyak mengandung asam laktat (Adesogan 2006). Hasil akhir utama yang mempengaruhi kualitas fermentasi yaitu tingkat kehilangan bahan kering dan kadar nutrisi dari bahan tersebut. Silase ransum komplit pada percobaan ini memiliki bahan kering 40%, sehingga proses fermentasi berjalan sedikit lambat. Fermentasi normal yaitu kadar bahan kering 30-35% dan jika kehilangan bahan kering sebesar 20% maka kadar nutrisinya akan hilang sebesar 15% (Bolsen dan Sapienza 1993). Tahap IIa: Kecernaan In Vitro Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) merupakan salah satu petunjuk besarnya sumbangan serat pakan bagi ternak yang mengkonsumsinya. Hasil percobaan kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro silase dan hay ransum komplit disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan ransum (silase ransum komplit dan hay ransum komplit) berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kecernaan
47
bahan kering. Silase ransum komplit menghasilkan kecernaan bahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan hay ransum komplit, namun tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik. Tabel 12 Kercernaan in vitro silase dan hay ransum komplit Peubah
Perlakuan
KCBK KCBO Silase Ransum Komplit 54.22A± 0.03 52.58±3.15 Hay Ransum Komplit 48.43B± 0.13 48.28±0.18 Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). KCBK = Kecernaan Bahan Kering, KCBO = Kecernaan Bahan Organik Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan silase ransum komplit dapat memperbaiki kecernaan bahan kering, tetapi tidak untuk bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada percobaan ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yatno dan Parakkasi (2005), yaitu kecernaan bahan kering 54.15% dan kecernaan bahan organik 53.76% (in vitro) terhadap kecernaan sabut sawit yang diproses menggunakan effective microorganism (EM4) dan hasil penelitian Aryogi dan Umiyasih (2001), dimana rataan kecernaan bahan kering dan bahan organik (in vitro) adalah sebesar 65.3% dan 93,7% pada penggunaan cassapro dengan lama fermentasi yang berbeda. Tahap IIb: Uji Palatabilitas Percobaan ini menggunakan tiga jenis ransum yang terdiri dari ransum kontrol, silase ransum komplit, dan hay ransum komplit dengan kandungan nutrisi masingmasing ransum seperti yang disajikan pada Tabel 8. Pemberian ketiga jenis ransum sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi palatabilitas ternak yang terlihat dari konsumsi bahan kering ransum yang berbeda. Nilai rataan konsumsi bahan kering (BK) ketiga jenis ransum disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Konsumsi bahan kering ransum percobaan (g) Perlakuan Kelompok
Kontrol
SRK
HRK
Rataan
48
1 2
650.08A±8.34
557.61B±13.13
486.99C±1.21
564.89A±81.79
602.84A±
468.62B±8.48
371.88C±
481.11A±115.99
12.18
35.29
645.87A± 541.93A±96.33 524.24B±28.47 455.67C±17.13 34.87 Rataan 632.93A±21.35 516.82B±36.71 438.18C±18.08 Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Kelompok 1 = kambing Peranakan Etawah laktasi I Kelompok 2 = kambing Peranakan Etawah laktasi II Kelompok 3 = kambing Jawa Randu laktasi II 3
Tabel 13 menunjukkan bahwa kambing yang diberi ransum kontrol memperlihatkan jumlah konsumsi bahan kering (BK) ransum sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi (632.93 g/hari) dibandingkan dengan konsumsi BK silase ransum komplit (516.82 g/hari) dan hay ransum komplit (438.18 g/hari). Namun tidak berpengaruh nyata pada masing-masing kelompok kambing. Hal ini memperlihatkan bahwa ransum jenis silase ransum komplit dan hay ransum komplit kurang disukai kambing. Konsumsi silase ransum komplit sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi dibandingkan hay ransum komplit. Kondisi ini membuktikan bahwa silase ransum komplit memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hay ransum komplit. Banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi oleh seekor ternak dapat menggambarkan nilai palatabilitas dari ransum tersebut (Lawrence 1990). Jumlah bahan kering yang dikonsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu palatabilitas, kecernaan serat, laju aliran pakan, status protein (Wallace dan Newbold 1992), sifat fisik dan kimia pakan, produksi, bobot hidup dan perkembangan saluran pencernaan (Parakkasi 1983). Palatabilitas merupakan gambaran sifat bahan pakan (fisik dan kimiawi) yang dicerminkan oleh organoleptiknya seperti penampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit), tekstur dan temperaturnya sehingga menimbulkan rangsangan dan daya tarik ternak untuk mengkonsumsinya (Davendra dan Burns 1994). Silase ransum komplit memiliki bau asam yang menyengat akibat proses fermentasi. Bau asam yang menyengat untuk rasa silase ini diduga penyebab
49
ketidaksukaan kambing dalam mengkonsumsi ransum tersebut. Kambing merupakan jenis ternak yang mempunyai kebiasaan memilih pakan yang akan dikonsumsinya (Davendra dan Burns 1994). Pada ternak ruminansia rangsangan penciuman (bau/aroma) sangat penting bagi ternak untuk mencari dan memilih makanan (Dukes 1955). Demikian pula rangsangan selera (rasa) akan menentukan apakah pakan tersebut akan dikonsumsi oleh ternak atau tidak. Kambing umumnya menolak pakan yang telah disentuh oleh ternak lain dan tidak dapat mengkonsumsi satu jenis pakan saja dalam waktu yang lama. Kambing dapat membedakan rasa pahit, manis, asin dan asam dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap rasa pahit (Davendra dan Burns 1994). Hay ransum komplit merupakan ransum jenis kering dengan kadar air <14%. Proses pengeringan ini menyebabkan beberapa komponen penyusun ransum sampah sayuran pasar seperti kulit jagung, kol, kulit kembang kol dan ampas tahu menggumpal dan keras sehingga sulit untuk dikonsumsi oleh kambing. Kebanyakan kambing hanya mengkonsumsi ransum berbentuk serbuk saja yang mengakibatkan rendahnya tingkat konsumsi. Adapun tujuan pembuatan ransum kering adalah mengurangi kadar air sehingga aman untuk disimpan tanpa mengalami kerusakan atau hilangnya nilai nutrisi secara serius. Namun demikian fakta di lapangan menunjukkan bahwa untuk komponenkomponen tertentu seperti kulit jagung, kulit kembang kol dan ampas tahu mengalami penggumpalan, sehingga menjadi sulit untuk dikonsumsi oleh kambing. Apabila ditinjau dari kualitas ransum yang diberikan dalam penelitian ini, ransum kontrol yang mengandung protein kasar sebesar 19.09% dan TDN sebesar 65.66%. Hay ransum komplit mengandung protein kasar sebesar 16.77% dan TDN sebesar 58.41%, sedangkan silase ransum komplit mengandung protein kasar sebesar 17.54% dengan nilai TDN sebesar 60.45%. Data tersebut menggambarkan bahwa kualitas nutrisi masing-masing pakan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan minimal kambing perah laktasi yaitu : protein sebesar 16% dan TDN 60%. Menurut Wallace dan Newbold (1992) bahwa konsumsi pakan dipengaruhi oleh kualitas protein. Ransum kontrol memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan silase ransum komplit dan hay ransum komplit, sehingga perbedaan kandungan nilai protein ini juga diduga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi ransum. Menurut Davendra dan Burns
50
(1994), kambing perah yang hidup di daerah tropis mempunyai konsumsi bahan kering 2.8-4.9% dari bobot badan. Penggunaan silase dan hay ransum komplit setiap harinya cenderung memperlihatkan angka yang semakin menurun (Gambar 5. 6. 7). Kecenderungan penurunan pada silase dan hay ransum komplit tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya komponen sampah sayuran sebagai penyusun utama ransum dibandingkan dengan komponen lain, yaitu 41%. Sementara komponen lainnya seperti ampas tahu memiliki sebesar 27%, dedak padi sebesar 16.7%, onggok sebesar 9%, bungkil inti sawit sebesar 6.2% dan premix sebesar 0.1%. Kelompok 11 Kelompok
Konsumsi g/
750 650 Kontrol SRK HRK
550 450 350 250 150 50
1
2
3 4 5 Hari Penelitia Hari Penelitian
6
7
Gambar 5 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 1
51
Kelompok 2 2 Kelompok
Konsumsi g/
750 650 550
Kontrol
450
SRK HRK
350 250 150 50
1
2
3
4
5
6
7
HariPenelitian Penelitian Hari
Ga
mbar 6 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 2 Adanya kandungan pestisida pada ransum sampah sayuran pasar baik pada silase ransum komplit dan hay ransum komplit diduga juga menjadi penyebab rendahnya palatabilitas ransum. Hal ini tercermin dari tingkah laku kambing yang cukup selektif dalam memilih pakan yang akan dikonsumsinya. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ridla et al. (2007) pada ternak sapi perah. Pemberian silase dan hay dengan bahan dasar sampah sayuran pasar menunjukkan masih adanya residu pestisida. Ransum silase mengandung pestisida berupa fenitrotion sebesar 0.0019 ppm, sedangkan hay mengandung pestisida berupa diazinon sebesar 0.0003 ppm dan fenitrotion sebesar 0.0010 ppm. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolahan pakan baik berupa fermentasi dan pengeringan belum mampu menghilangkan kandungan residu pestisida pada pakan, terutama dari golongan organofosfat yaitu diazinon dan fenitrotion. Diazinon adalah salah satu insektisida golongan organofosfat yang banyak dipakai dalam usaha pertanian, untuk mengendalikan hama pada tanaman padi dan sayuran. Walaupun
52
demikian, Ridla et al. (2007) menyatakan bahwa tingkat residu pakan tergantung dari komposisi sayur-sayuran dan kulit jagung yang digunakan. Kelompok 33 Kelompok
750
Konsumsi g/
650 550
Kontrol SRK
450
HRK
350 250 150 50
1
2
3
4
5
6
7
Hari Penelitian Hari Penelitian
Ga mbar 7 Grafik konsumsi bahan kering ransum (g/hari) kambing kelompok 3 Tahap III. Daya Simpan Pakan Organoleptik Silase dan Hay Ransum Komplit setelah Penyimpanan Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa silase ransum komplit tidak terjadi perubahan secara fisik, dimana tidak ada perubahan baik dari segi warna, rasa, bau dan juga tekstur selama delapan minggu masa penyimpanan. Silase ransum komplit dalam penelitian ini berwarna hijau kecoklatan (Gambar 8), teksturnya lembut tidak berlendir, tidak berjamur, bau asam, rasa keasaman dan memiliki pH yang rendah. Sedangkan pada hay ransum komplit terjadi perubahan terhadap warna (Gambar 9) dan bau pada minggu ke delapan (Tabel 14). Warna hay ransum komplit berubah dari hijau kecoklatan menjadi coklat kehitaman dan baunya mulai apek. Hal ini sejalan dengan penelitian Dung et al. (2005), yang menyatakan bahwa hay yang disimpan dalam waktu 3 bulan
53
terjadi perubahan terhadap warna dan bau. Sementara silase yang disimpan dalam jangka waktu yang lama bentuknya masih segar (Kunkle et al. 2000). Tabel 14 Sifat fisik silase dan hay ransum komplit selama penyimpanan Peubah Warna
Ransum Baik Kurang baik SRK Hijau kecoklatan HRK Coklat kehitam Bau SRK Asam HRK Apek/ketengikan Cendawan/lendir SRK Bersih/tidak berlindir HRK Sedikit berjamur Sumber : Hasil analisis organoleptik, 2007 Keterangan : SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Hasil analisis statistik secara deskriptif menunjukkan bahwa penyimpanan silase ransum komplit dan hay ransum komplit tidak berpengaruh terhadap tingkat keasaman (pH) maupun populasi bakteri asam laktat (Gambar 10. 11). Hal ini menunjukkan bahwa proses ensilase sudah memasuki fase stabil. Jika proses ensilase terjadi secara sempurna maka komposisi kimia silase ransum komplit baik pH, populasi BAL maupun kandungan nutrisi lainnya relatif tidak mengalami perubahan walaupun disimpan dalam waktu lama.
Minggu 2
Minggu 4
54
Minggu 6
Minggu 8
Gambar 8 Warna silase ransum komplit selama penyimpanan
Minggu 2
Minggu 4
Minggu 6
Minggu 8
Gambar 9 Warna hay ransum komplit selama penyimpanan
55
4.45 4.4
4.4 4.36 4.32 4.33
4.35
Nilai pH
4.41
4.39
4.28
4.3 4.25 4.2
4.15
SRK HRK
4.15 4.1 4.05 4 Minggu 2
Minggu 4
Minggu 6
Minggu 8
Waktu penyimpanan
Gambar 10 Laju perubahan pH selama penyimpanan Mekanisme laju penurunan pH adalah bahwa selama proses penyimpanan berlangsung dalam kondisi an aerob, maka BAL masih berkembang dengan baik sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia. Semakin banyak asam laktat yang diproduksi maka semakin cepat laju penurunan pH. Bolsen et al. (2000b) melaporkan bahwa silase dengan pH rendah dapat disimpan dalam waktu beberapa tahun. Hasil analisis statistik secara deskriptif menunjukkan bahwa perkembangan bakteri asam laktat pada minggu kedua dan minggu kedelapan tidak menunjukkan adanya perubahan. Hal ini diduga karena SRK sudah memasuki fase stabil. Jumlah koloni BAL sebesar 1.74x106 CFU/g merupakan kriteria silase yang baik. Jumlah ini sesuai dengan penelitian Bolsen et al. (2000b), bahwa silase tanpa diinokulasi BAL dapat mengandung sekitar 1.74x106
CFU/g. Asam laktat yang di hasilkan sangat
berperan untuk menurunkan pH (Lopez 2000). Bakteri asam laktat bisa menghambat mikroorganisme lain terutama yang merugikan sehingga dapat dikatakan bakteri ini mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan produk pangan. Jaurena et al. (2005) menyatakan bahwa adanya bakteri asam laktat akan mengakibatkan silase lebih efektif untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama.
56
Sedangkan jumlah koloni bakteri asam laktat yang terkandung pada hay ransum komplit mengalami penurunan sebesar 3.4x105 CFU/g selama delapan minggu penyimpanan (Gambar 11). Hal ini disebabkan karena hay ransum komplit disimpan dalam kondisi stabil setelah melalui proses pengeringan sehingga tidak terjadi peningkatan terhadap bakteri asam laktat. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kekuatan silo dalam mempertahankan suasana an aerob (Bolsen et al. 2000a).
Pada fase stabil proses
pertumbuhan dan kematian BAL seimbang, sehingga tidak terjadi lagi peningkatan asam laktat yang diproduksinya. Disamping itu sejumlah bakteri Clostridia dimungkinkan tumbuh, hal ini akan kembali menaikkan pH (Schroeder 2004). 3000000 2.4x106
cfu/gram
2500000 2000000
1.74x106
1.74x106
silase
1500000
hay 1000000 3.4x105
500000 0
1
Minggu 2
Minggu 8
2
Waktu penyimpanan Gambar 11 Perkembangan BAL selama penyimpanan
Keadaan Nutrien Pakan selama Penyimpanan Keadaan kadar nutrisi silase ransum komplit dan hay ransum komplit selama delapan minggu penyimpanan disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak adanya perubahan kandungan nutrisi selama delapan minggu penyimpanan, baik pada silase ransum komplit, maupun hay ransum komplit (Tabel 15). Meskipun demikian, silase ransum komplit memiliki kualitas protein yang lebih baik
57
(P<0.05) dibandingkan dengan hay ransum komplit selama delapan minggu penyimpanan. Hal ini diduga karena silase disimpan dalam kondisi an aerob sehingga dapat memproduksi asam laktat dalam jumlah yang banyak. Asam laktat ini berfungsi untuk mengurangi dan menghambat pertumbuhan serangga, mikroorganisme maupun faktor biokimia lainnya yang dapat menurunkan kualitas nutrisi pakan. Ridla et al. (2007) melaporkan bahwa fermentasi merupakan teknologi pengawetan yang sangat cocok. Tabel 15 Keadaan nutrien pakan perlakuan selama penyimpanan (100% BK) Parame ter
Jenis Ransum
2
Lama Penyimpanan (Minggu) 4 6
Abu
SRK HRK
8.39± 0.10 7.49±1.06
7.67. ±0.67 6.69±0.06
8.09±0.46 6.99±0.10
8.79. ±055 6.66±0.10
8.22A ± 0.10 6.92B ± 1.06
PK
SRK HRK
15. 80±0.11 13.83±1.57
16.31±1.39 13.36±0.42
16.96±0.81 13.60±0.36 13.00±0.50 12.32±0.34
15.66A ± 0.11 13.13B ± 1.57
SK
SRK HRK
21.68±0.50 25.01±0.87
29.76±2.85 18.54±0.21
26.03±1.80 21.10±1.62
27.75±2.37 17.75±0.39
26.30± 0.50 20.60±0.87
LK
SRK HRK
2.00±0.08 2.59±0.09
2.74±0.46 2.30±0.24
3.57±0.68 2.75±0.19
2.73±0.38 3.01±0.88
2.76± 0.08 2.66±0.09
8
Rataan
SRK 52.12±1.29 42.98±3.02 45.36±2.21 47.20±2.30 46.90± 1.29 HRK 33.50±1.28 42.68±2.01 36.59±1.94 41.38±0.55 38.50±1.28 Sumber : Hasil analisis laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, IPB 2007 Keterangan : SRK = silase ransum komplit, HRK = hay ransum komplit Beta-N
Sedangkan kandungan serat kasar, lemak kasar dan Beta-N selama penyimpanan delapan minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara silase ransum komplit dan hay ransum komplit. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa silase ransum komplit memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hay ransum komplit, mengingat kualitas fisik, kimia, dan daya simpan silase ransum komplit yang cenderung lebih baik selama proses penyimpanan.
58
SIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1.
Kualitas silase ransum komplit berbasis sampah organik primer sangat baik yang ditunjukkan oleh sifat fisik, kimia dan biologi
2.
Silase ransum komplit memiliki kecernaan bahan kering, bahan organik yang lebih baik dibandingkan hay ransum komplit, serta silase ransum komplit mempunyai palatabilitas lebih baik dibandingkan hay ransum komplit namun lebih rendah dibandingkan kontrol.
3.
Silase ransum komplit lebih tahan simpan yang ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan organoleptik selama penyimpanan dibandingkan hay ransum komplit.
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan palatabilitas silase ransum komplit berbasis sampah organik primer agar setara dengan ransum standar. Selain itu juga perlu sosialisasi secara rutin kepada masyarakat tentang teknik pengolahan sampah organik primer dan penggunaannya pada ternak ruminansia.
59
DAFTAR PUSTAKA Abdelhadi LO, F.J. Santini, G.A. Gagliostro. 2005. Corn silage of high moisture corn suplements for beef heifers grazing temperate pastures; effects on performance, ruminal fermentation and in situ pasture digestion. Animal Feed Science and Technology 118 : 63-78. Adesogan AT. 2006. How to optimize corn silage quality in Florida. Proceedings 43rb Florida Dairy Production Conference. Gainesville, 2 May 2006. Gainesville: Departmen of Animal Science. hlm 67-79. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1990. Official Methods of Analysis. 15th ed. Washington DC. Arroquy JI, R.C. Cochran, T.G. Nagaraja, E.C. Titgemeyer, D.E. Johnson. 2005. Animal Feed Science and Technology 120 : 93-106. Aryogi, U Umiyasih. 2001. Kandungan dan nilai kecernaan in vitro bahan kering, bahan organik dan protein kasar cassapro dengan lama fermentasi yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 1718 september 2001. Bogor: BPPP. Hlm 279-286. Atabany, A. 2001. Studi kasus produktivitas kambing Peranakan Etawah dan kambing Saanen pada peternakan kambing perah Barokah dan PT. Taurus Dairy Farm [tesis]. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Bollinger EK, Bollinger PB, Gavin TA. 1990. Effects of hay cropping on eastern populations of the bobolink. Wildl Soc Bull 18 : 142-450. Bolsen K, Sapienza. 1993. Teknologi Silase. Penanaman Pembuatan dan Pemberiannya Pada Ternak. Penerjemah: Riri BS. Martoyoedo. Kansas: Pioneer Seeds. Bolsen K, Ashbell G, ZG Weinberg. 1996. Silage fermentation and silage additive (Review). Asian-Australian Journal of Animal Science 9 (5) : 483-493. Bolsen K, Ashbell G, Wilkinson JM. 2000a. Biotechnology in Animal Feeds and Animal Feeding : Silage Additive. New York: Basel Cambridge. Bolsen K, Ashbell G, Wilkinson JM. 2000b. 3 Silage additives. Di dalam Wallace RJ, Chesson A, editor. Biotechnology in Animal Feeds and Animal Feeding. Weinheim. New York. Basel. Cambridge. Tokyo: VCH. P 33-54. Church DC. 1991. Livestock Feeds and Feeding. Ed ke-3. London: Prentice-Hall International. Inc. Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology: A Text Book of Industrial Microbiology. Germany: Thomas D Book editor. Science Tech. Inc. Cullison. 1978. Feed and Feeding Animal Nutrition. Precentise Hall of India. New York: Private Limited.
60
Dale BC, Martin PA, Taylor PS. 1997. Effects of hay management on grassland songbirds in Saskatchewan. Wildl Soc Bull 25 : 616-626. Davendra C. 1990. Goat Ed. W J.A. Payne in an Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. New York: Fourth edition. John Willeyand Sons. Inc. Davendra C. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis: Kambing. Alih Bahasa Darmadja SDND. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Davendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Bandung: Penerbit ITB Bandung. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2005. Sampah: Ancaman bagi Kawasan Wisata Alam.www.dephut.go.id/INFORMASI/ETJEN/PUSSTAN/info510604/isi 4.htm - 20k [25 September 2007]. Dinas Kebersihan Bogor. 2002. Pengelolaan Sampah di Bogor. Dinas Kebersihan Bogor. Makalah Lokakarya Sampah Tahun 2005. Bogor Doyle PT, Devendra C, Pearce GR. 1986. Rice Straw as a Feed for Ruminants. Canberra: International Development Program. Australian Universities and Colleges Ltd. Dukes, H.H. 1955. The Phisiology of Domestic Animal. Ed. Ke-7. New York. Comstock Publishing Associates. Dung NT, Nguyen TM, Inger L. 2005. Effect of Replacing a Commercial Concentrate with Cassava Hay (Manihot Esculenta Crantz) on The Performance of Growing Goats. Animal Feed Science and Technology 119 : 271-281. Ecolink. 1996. Methodological Chart. Malang: Ruang Lingkup Materi. VEDC. Elferink SJWHO, Driehuis F, Gottschal JC, Spoelstra SF. 2005. Silage fermentation Processess and their manipulation. Netherlands: www.fao.org [17 Mei 2007]. Ginting PS, Batubara LP, Tarigan A, Junjungan. 2004. Pemanfaatan limbah industri pengolahan sayur lobak sebagai pakan kambing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor: BPPP. hlm 416-420. Grings EE, M. Blummel, K. H Sudekum. 2005. Methodological considerations in using gas production techniques for estimating ruminal microbial Effeciences for Silage-based Diets. Animal Feed Science and Technology 123-124 : 527-545. Guntoro
S. 2004. BPTP olah sampah untuk gemukkan sapi. Bali Post. http//www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2004/6/29/e4.htm [04 Pebruari 2008].
Heald, C.W. 1985. Milk Collection. In: larson, B.L. Lactation. First Edition, The Iowa State University Press. USA.
61
Isabell S, Meyer K, Hormansdorfer S, Johann. 2007. Mycophenolic acid in silage. Appl Environ Microbiol 66 (8): 3639-3641. Jaurena G, J.M. Moorby, D.R. Davies. 2005. Effecincy of microbial protein synthesis on red clover and ryegrass silages supplemented with barley by rumen simulation technique (RUSITEC). Animal Feed Science and Technology 118 : 79-91. Joseph J. Nocera, Glen J. Parsons, G. Randy Milton, Alan H. Fredeen. 2005. Compatibility of delayed cutting regime with bird breeding and hay nutritionsl quality. Animal Feed Science and Technology 107 : 245-253. Kallenbach RL, Nelson CJ, Coutts JH. 2002. Yield quality and persistence of grazing and hay type alfalfa under thee harvest freequencies. Agron Journal 94 : 1094-1103. Komang GW, Anita ST, Rarah RAM, Eliyana D J. 2005. Isolasi bakteri asam laktat penghasil mikroba. Jurnal Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana 4 (3) : 1-10. Kung L, Neylon J. 2001. Management Guidelines During Harvest and Storage of Silges. Proceedings of Tri State Dairy Conf; Fort Wayne, 17-18 April 2001. Fort Wayne: hlm 1-10. Kunkle WE, GG Chambliss, AT Adesogan, MB Adjiei. 2000. Silage Harvesting, Storing and feeding. http://edis.ifas.ufl.edu/TOPIC Silage. [22 November 2006]. Lawrence, T.L.J. 1990. Influence of Palatability on Diet Assimilation in Non Ruminants in J Wiseman and D.J.A Cole Ed. Feedstuff Evaluation. London Butterworths. Livingstone AL. 2000. Handbook of Nutritive Value of Processed Food. Vol II. Animal Feedstuff. Florida: CRC Press, Inc. Londra IM. 2006. Sampah untuk pakan ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 28. 3. Lopez J. 2000. Probiotic in animal nutrition. Asian-Australian Journal of Animal Science 13:12-26. Ma BL, Subedi KD, Stewart DW, Dwyer LM. 2006. Dry matter accumulation and silage moisture changes after silking in leafy and dual-purpose corn hybrids Agron Journal 98 : 922-928. Manika WT, I Made M, Andi D, Susan G, Tantan RW. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press. Martawidjaja M, Budiarsana. 2004. Pengaruh pemberiaan jerami padi fermentasi dalam ransum terhadap performan kambing peranakan etawah betina. Bogor.
62
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 45 Agust 2004. Bogor: BPPP. hlm 407-415. Mathews CK, Holde KE, Ahern KG. 2000. Biochemistry. Third Edition. San Francisco: Addition Wesley Longman, Inc. Mattjik AA. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilit 1. Edisi kedua. Bogor. IPB Pres. McCollough ME. 1978. Ruminant Nutrient. Rome: Food and Agricultural Organisation of Limited nation. McDonald P. 1982. Effect of Processing on Nutrient Content of Feed : Ensiling in handbook of Nutritive Value of Processed Food. Vol. II Animal Feedstuff. Pp 41-64. M Recheigl. Jr. Editor CRC Series in Nutrition and Food. Florida: CRC Press Inc Boca Raton. McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage. Britain: Chalcombe Publication. McGechan MB, G. Cooper. 1995. A Simulation Model Operating with Daily Weather Data to Explore Silage and Haymaking Opportunities in Climatically Different Areas of Scotland. Agricultural System 48: 315-343. Michael D. Novak, Wenjun Chen, Mohammad A. Hares. 2000. Simulating The radiation distribution within a barley-straw mulch. Agricultural and Forest Meteorology 102 : 173-186. Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Ed ke-4. Canada: Wiley-Liss Publication. P 417-423. Mujahidawati, Sutamiharja RTM, Maeljarno D, Marimin. 2006. Pengembangan model pengelolaan sampah rumah tangga dengan pengomposan di kota Bogor. Forum Pascasarjana IPB 29 (3) :191-204. Nahrowi.
2005. Sampah Organik untuk Pakan Ternak. Admin. poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article&sid=712 - 22k [23 Oktober 2007].
[NRC] National Research Council. 1981. Nutrient Requirement of Goat. Washington DC: National Academy Press. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Goat 9th Ed. Washington DC: National Academy Press. Parakkasi A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Bandung: Penerbit Angkasa. Pedroso AF, Campos F, Jorge H. 2006. Performance of holstein heifers fed sugarcane silages treated with urea, sodium benzoate or lactobacillus buchneri. Pesq Agropec Brasilia 41 (4): 649-654.
63
Perry TW, Cullison AE, Lowrey RS. 2004. Feed and Feeding. Ed Ke-6. New Jersey: Upper Saddle River. Pieper B. 1996. Producing silage for Eastern Germany,s large dairies: a complete system to ensure good quality silage. Di dalam biotechnology in the feed industry. Proceddings of Alltech Twelfth Annual Symposium. United Kingdom: Nottingham University Press. P 241-247. Reksohadiprodjo S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik Rangkuman. Yoyakarta: BPFE. Retnaningtyas. 2004. Mengelola Lingkungan lewat UKM Berbasis Limbah. www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/ukm2.html. [05 Agustus 2007]. Ridla M, Uchida S. 1994. The effect of cellulaceaddition on nutritional and fermentation quality of barley straw silage. Asian-Australian Journal of Animal Science 7 (3) : 517-522. Ridla M, N Ramli, L Abdullah, T Toharmat. 2007. Milk yield qualiti and satety of dairy cattle fed silage composed of organic components of garbage. Jurnal of fermentation and bioengineering 77 (5) : 572-574. Robinson DW. 1977. Livestock in Indonesia Research Report No. 1 Bogor: Centre for Animal Research and Development. Ross GD. 1984. The Mycrobilogy of Silage. Di dalam IJ Kempton, A.G Keiser, T.E Trigg Silage in The 80s Proceedings of a National Workshop Armidale. New South Wales: P.G. Print of Armidale. Schroeder JW. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extention Dairy Specialist.AS-1254. www.ext.nodak.edu/extpubs/ansci/dairy.htm.[25 September 2007] Siregar SB. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya. Subhagiana, I.W. 1998. Keadaan konsentrasi progesterone dan estradiol selama kebuntingan, bobot lahir dan jumlah anak pada kambing Peranakan Etawah pada tingkat produksi yang berbeda [tesis]. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Susetyo S, Soedarmadi, Kismono S, Hartini. 1977. Padang Penggembalaan. Bogor : Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Sutardi T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor : Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Tilley JMA, JH Terry. 1969. A two stege technique for in the in-vitro digestion of forage crops. J Grassland Soc 18:104 Tjdandraatmadja M, Norton BW, Macrae IC. 1991. Fermwntation pattern of forage sorghum ensiled under different environmentalcondition. Word Journal of Microbiolagy and Biotechnology (7): 206-218.
64
Wallace RJ, CJ. Newbold. 1992. Probiotik for Ruminant in probiotik the Scientifik Basis. Champman and Hall, London. New York. Tokyo. Melboure. Madras. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Winarto dan FG. Fardiaz S. 1979. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian IPB. Bandung: Angkasa. Woolford. 1984. The Silage Fermentation. New York: Marcel Dekker Inc. Yatno, Parakasi A. 2005. Nilai kecernaan subut sawit yang diproses menggunakan effective microorganism (EM4). Jurnal Ilmiah Impasca I (1): 33-41.
65
LAMPIRAN
66
Lampiran 1 Hasil Analisis Uji t-student KCBK dan KCBO SRK dan HRK Sample N Mean StDev SE Mean SRK 3 54.2200 0.0300 0.017 HRK 3 48.430 0.130 0.075 Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 5.79000 95% CI for difference: (5.57614, 6.00386) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 75.17 P-Value = 0.000 DF = 4 Both use Pooled StDev = 0.0943 Dengan asumsi ragam anatara kedua ransum sama Berdasarkaan hasil analisis uji t didapat nilaim p-value sebesar 0.000 ini artinya antara kedua ransom pada kadar KCBK memberikan pengaruh yang berbeda Sample N Mean StDev SE Mean SRK 3 52.58 0.15 0.8 HRK 3 48.280 0.180 0.10 Difference = mu (1) - mu (2) Estimate for difference: 4.30000 95% CI for difference: (-0.75763, 9.35763) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.36 P-Value = 0.078 DF = 4 Both use Pooled StDev = 2.2310 Dengan asumsi ragam antara kedua ransum sama Berdasarkaan hasil analisis uji t didapat nilai p-value sebesar 0.078 ini artinya antara kedua ransom pada kadar KCBO memberikan pengaruh yang tidak berbeda (pengaruh sama).
67
Lampiran 2 Hasil Anova uji palatabilitas Respon palatabilitas terhadap perlakuan Factor Type Levels Values kelompok fixed 3 I, II, III perlakuan fixed 3 HRK, Kontrol, SRK Analysis of Variance for palatsbilitas, using Adjusted SS for Tests Source DF Seq SS Adj SS Adj MS F P kekompok 2 11245 11245 5622 18.02 0.010 perlakuan 2 57593 57593 28797 92.28 0.000 Error 4 1248 1248 312 Total 8 70086 S = 17.6655 R-Sq = 98.22% R-Sq(adj) = 96.44% Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable respon All Pairwise Comparisons among Levels of perlakuan perlakuan = hrk subtracted from: perlakuan Lower Center Upper ----+---------+---------+---------+-kontrol 143.35 194.75 246.2 (---*----) srk 27.24 78.64 130.0 (----*---) ----+---------+---------+---------+--120 0 120 240 Berdasarkna hasil analisis dengan metode tukey dapat disimpulkan bahwa antara HRK dengan kontrol dan SRK memberikan pengaruh yang berbeda. perlakuan = kontrol subtracted from: perlakuan Lower Center Upper ----+---------+---------+---------+srk -167.5 -116.1 -64.70 (---*----) ----+---------+---------+---------+-120 0 120 240 Berdasarkan hasil analisis dengan metode tukey dapat disimpulkan bahwa antara kontrol dengan SRK memberikan pengaruh yang berbeda.
68
Lampiran 3 Hasil Anova BK silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for BK Silase dan Hay Source DF SS MS F P C1 3 5.87 1.96 0.28 0.838 C2 1 2646.28 2646.28 380.06 0.000 Error 3 20.89 6.96 Total 7 2673.04 Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable respon All Pairwise Comparisons among Levels of perlakuan perlakuan = hrk subtracted from: Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean --------+---------+---------+---------+--62.7 (----------------*----------------) 64.1 (----------------*----------------) 64.8 (----------------*----------------) 63.1 (----------------*----------------) --------+---------+---------+---------+--59.5 63.0 66.5 70.0
Individual 95% CI Kelompok Mean ------+---------+---------+---------+----Silase 45.5 (---*--) Hay 81.9 (--*---) ------+---------+---------+---------+----48.0 60.0 72.0 84.0
69
Lampiran 4 Hasil Anova Abu silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for Abu silase dan hay Source DF SS MS F P Perlakuan 3 0.673 0.224 1.52 0.370 Pelompok 1 3.367 3.367 22.74 0.018 Error 3 0.444 0.148 Total 7 4.484 Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable respon All Pairwise Comparisons among Levels of perlakuan perlakuan = hrk subtracted from: Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean -+---------+---------+---------+---------+ 7.94 (-----------*------------) 7.14 (-----------*-----------) 7.53 (------------*-----------) 7.68 (------------*-----------) -+---------+---------+---------+---------+ 6.30 7.00 7.70 8.40 9.10
Individual 95% CI Kelompok Mean ----------+---------+---------+---------+Silase 8.22 (-------*--------) Hay 6.92 (--------*--------) ----------+---------+---------+---------+7.00 7.70 8.40 9.10
70
Lampiran 5 Hasil Anova Protein kasar silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for Protein kasar silase dan hay Source DF SS MS F P Perlakuan 3 5.563 1.854 2.70 0.218 Kelompok 1 12.852 12.852 18.74 0.023 Error 3 2.057 0.686 Total 7 20.472 Tukey 95.0% Simultaneous Confidence Intervals Response Variable respon All Pairwise Comparisons among Levels of perlakuan perlakuan = hrk subtracted from: Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean -------+---------+---------+---------+---14.82 (------------*-----------) 14.83 (------------*-----------) 14.98 (------------*-----------) 12.96 (-----------*------------) -------+---------+---------+---------+---12.00 13.50 15.00 16.50
Individual 95% CI Kelompok Mean --+---------+---------+---------+--------Silase 15.66 (-------*--------) Hay 13.13 (--------*-------) --+---------+---------+---------+--------12.00 13.50 15.00 16.50
71
Lampiran 6 Hasil Anova Serat kasar silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for serat kasar silase dan hay Source DF SS MS F P Perlakuan 3 2.0 0.7 0.03 0.991 Kelompok 1 65.0 65.0 2.97 0.183 Error 3 65.7 21.9 Total 7 132.8 Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean ----------+---------+---------+---------+23.3 (-----------------*----------------) 24.2 (----------------*-----------------) 23.6 (----------------*-----------------) 22.8 (-----------------*----------------) ----------+---------+---------+---------+18.0 24.0 30.0 36.0
Individual 95% CI Kelompok Mean ----+---------+---------+---------+------Silase 26.3 (--------------*-------------) Hay 20.6 (--------------*--------------) ----+---------+---------+---------+------15.0 20.0 25.0 30.0
72
Lampiran 7 Hasil Anova Lemak kasar silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for Lemak kasar silase dan hay Source DF SS MS F P Perlakuan 3 0.876 0.292 1.36 0.404 Kelompok 1 0.020 0.020 0.09 0.780 Error 3 0.645 0.215 Total 7 1.541 Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean -----+---------+---------+---------+-----2.29 (------------*------------) 2.52 (------------*------------) 3.16 (------------*------------) 2.87 (------------*------------) -----+---------+---------+---------+-----1.60 2.40 3.20 4.00
Individual 95% CI Kelompok Mean ---+---------+---------+---------+-------Silase 2.76 (------------------*-----------------) Hay 2.66 (-----------------*------------------) ---+---------+---------+---------+-------2.00 2.40 2.80 3.20
73
Lampiran 8 Hasil Anova BETN silase dan hay ransum komplit Analysis of Variance for BETN silase dan hay Source DF SS MS F P Perlakuan 3 11.0 3.7 0.12 0.940 Kelompok 1 140.6 140.6 4.77 0.117 Error 3 88.4 29.5 Total 7 240.0 Perlakuan Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
Individual 95% CI Mean ---------+---------+---------+---------+-42.8 (----------------*-----------------) 42.8 (----------------*-----------------) 41.0 (-----------------*----------------) 44.3 (----------------*-----------------) ---------+---------+---------+---------+-35.0 42.0 49.0 56.0
Individual 95% CI Kelompok Mean --------+---------+---------+---------+--Silase 46.9 (-----------*-----------) Hay 38.5 (-----------*-----------) --------+---------+---------+---------+--35.0 42.0 49.0 56.0