Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK UNTUK MENGATASI KERACUNAN BESI DI LAHAN PASANG SURUT KALIMANTAN SELATAN Rina D.Ningsih dan Khairatun Nafisah BPTP Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat no 4 Banjarbaru 70711
ABSTRAK Keracunan besi merupakan stress fisiologi pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut sulfat masam, disebabkan tingginya kadar besi ferro (Fe2+) di dalam tanah, dan dapat mengakibatkan turunnya produktivitas padi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan penggunaan pupuk organik dan genotipe yang toleran, dapat mengurangi keracunan besi pada tanaman padi. Tujuan penelitian adalah mendapatkan pupuk organik yang efektif dalam mengatasi keracunan besi; dan mengetahui varietas yang toleran Fe. Metodologi. On farm research di lahan pasang surut sulfat masam di Kab. Batola dengan kandungan Fe (terekstrak amonium asetat pH 4,8) > 150 ppm, pada bulan Februari-Juni 2011. Rancangan petak terpisah (split plot), petak utama adalah perlakuan pemberian pupuk organik 2,5 t/ha (ka. 40%): 1) Kontrol tanpa pupuk organik; 2) pupuk kandang; 3) jerami padi. Perlakuan untuk anak petak adalah 3 macam varietas (Inpara 2; Inpara 4; Ciherang). Setiap perlakuan di ulang 4 kali, petani sebagai ulangan. Luas setiap ulangan 3000 m2. Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi, fisiologi, hasil dan komponen hasil padi. Pengamatan gejala keracunan Fe (standard IRRI) pada tanaman setiap 2 minggu sejak 1 MST sampai fase akhir vegetatif (vegetatif maksimum). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik kotoran sapi dan jerami padi berpengaruh mengurangi keracunan besi pada tanaman padi. Pupuk organik kotoran sapi lebih bagus dalam mengatasi keracunan besi. Penggunaan varietas toleran keracunan besi seperti inpara 4 lebih menguntungkan daripada menggunakan varietas Ciherang yang diberi pupuk organik kotoran sapi. Ratarata peningkatan hasil karena pemberian pupuk organik adalah 23,02%. Kata kunci : keracunan besi, pupuk organik, pasang surut PENDAHULUAN Lahan pasang surut mempunyai potensi sebagai sumber produksi padi, namun produktivitas padi di lahan ini masih rendah. Masalah kondisi biofisik lahan yang menyebabkan rendahnya produksi padi di lahan ini disebabkan terutama karena rendahnya kesuburan tanah, yang dicirikan oleh kahat hara, kemasaman yang tinggi, keracunan Al, Fe dan H2S (Sarwani et al, 1994). Keracunan besi merupakan stress fisiologi pada tanaman padi yang umum dijumpai di lahan pasang surut yang disebabkan tingginya kadar besi ferro (Fe2+) di dalam tanah. Keracunan besi mengakibatkan rendahnya produktivitas padi dan dapat menurunkan hasil. Keracunan besi merupakan kendala utama dalam produksi padi di daerah tropikal dan subtropikal, dimana diperkirakan sekitar 4 juta ha lahan dipengaruhi oleh keracunan besi yang dapat menurunkan hasil padi 30-60 % (Sahrawat, 2000; Majerus et al., 2007).
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Keracunan Fe selain disebabkan tingginya serapan Fe+2 dalam jaringan tanaman padi yang disebabkan tingginya kadar Fe di dalam tanah, juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti ketidakseimbangan hara mineral (stres hara) P, K, Ca, Mg dan Zn yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi. Keracunan besi juga disebabkan kondisi lingkungan yang selalu tergenang (reduktif) dengan drainase jelek mengakibatkan semakin tingginya kadar Fe+2 yang tereduksi dalam tanah. Keracunan Fe berhubungan juga dengan genotipe/genotipe tanaman, varietas padi yang peka seperti IR 64 menyebabkan semakin parahnya keracunan Fe dan mengakibatkan semakin rendahnya produktivitas padi (Makarim et al., 1989a; Makarim et al., 1989b). Strategi yang dapat dilakukan dalam mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang surut adalah : (1) perbaikan lingkungan tumbuh tanaman (2) menggunakan genotipe yang toleran terhadap keracunan besi, atau (3) integrasi antara keduanya (Alihamsyah, 2002). Pendekatan dengan perbaikan lingkungan tumbuh untuk menekan kadar Fe dan meningkatkan kadar hara biasanya dalam dosis yang tinggi sehingga memerlukan biaya besar. Menggunakan genotipe toleran merupakan cara yang lebih murah dan mudah diaplikasikan oleh petani, genotipe yang toleran memerlukan input yang lebih rendah dibandingkan genotipe yang peka untuk mendapatkan hasil yang sama. Namun demikian perakitan genotipe toleran kadang-kadang memerlukan waktu yang lama dan biasanya varietas yang dihasilkan tidak selalu mampu beradaptasi secara luas. Pendekatan lain adalah penggunaan bahan organik, selain dapat mengurangi kadar Fe di dalam tanah dengan reaksi pengkelatan asam-asam organik hasil dari dekomposisi bahan organik juga memberikan sumbangan hara makro seperti N, P, K dan unsur hara mikro. Hasil penelitian Jumberi et al. (1998) menunjukkan pemberian bahan organik berupa kompos jerami padi dengan dosis 4,0 t/ha di lahan pasang surut dapat mengurangi kandungan Fe dan sulfat, meningkatkan ketersediaan K, dan meningkatkan hasil padi. Di daerah pasang surut sulfat masam dengan kandungan pirit 2%, lahan mengandung Fe+2 tinggi yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman padi. Dan sebagian besar daerah pasang surut tidak mempunyai tata air yang baik/drainase jelek sehingga lahan selalu dalam keadaan tergenang (reduktif) yang mengakibatkan kadar Fe+2 dalam tanah semakin tinggi. Selain karena tingginya kadar Fe +2 dalam tanah, pertumbuhan tanaman yang tidak diiringi dengan pemberian hara yang seimbang akan dapat mengurangi kemampuan oksidasi akar tanaman padi sehingga tanaman padi akan semakin mudah mengalami keracunan besi. Pada proses dekomposisi bahan organik menghasilkan asam-asam organik yang dapat mengkhelat Fe. Pemberian pupuk organik hingga 2,5 ton/ha dapat mengurangi Fe+2 sehingga tanaman padi tidak keracunan Fe. Tujuan kegiatan adalah mengetahui efektivitas penggunaan pupuk organik dan varietas toleran Fe dalam mengendalikan keracunan besi dan meningkatkan produktivitas padi. Keluaran dari kegiatan adalah jenis pupuk organik dan varietas yang toleran Fe.
2
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
METODE Kegiatan ini merupakan pengkajian yang dilaksanakan dilahan petani pada lahan pasang surut sulfat masam type B dengan kandungan Fe (terekstrak amonium asetat pH 4,8) > 150 ppm, di Kabupaten Barito Kuala, pada bulan Februari-Juni Fe elama 2011 (MH 2010/2011). Rancangan Percobaan yang digunakan adalah rancangan split plot dengan petak utama pemberian pupuk organik 2,5 t/ha : 1) Kontrol; 2) pupuk kandang; 3) jerami padi; anak petak adalah penggunaan varietas unggul 3 macam (2 varietas dan 1 varietas peka) : 1) Inpara 2; 2) Inpara 4; 3) IR64/Ciherang; Setiap perlakuan di ulang 4 kali, sebagai ulangan adalah petani. Total luas lahan yang digunakan 12.000 m2. Pupuk organik dipersiapkan dua bulan sebelum tanam (menggunakan mikroba perombak PROMI), dan digunakan pada C-N ratio <15. Dosis pupuk organik 2,5 t/ha, pada kadar air 30%. Pemberian pupuk organik dibenamkan bersamaan dengan pengolahan tanah. Padi umur semai 21 hari di tanam dengan jarak tanam 20 x 20 cm, 12 batang per lubang tanam. Dosis pemupukan diberikan berdasarkan hasil analisa laboratorium yaitu : Urea 200 kg/ha, SP-36 150 kg/ha dan KCl 100 kg/ha, bila menggunakan pupuk majemuk ponska (15:15:15) dosisnya 300 kg ponska/ha dan tambahan SP-36 33 kg/ha, tambahan urea selanjutnya (67 kg/ha) berdasarkan pengukuran warna daun menggunakan BWD. Pemeliharaan berupa penyiangan dua kali, pemupukan dan penyemprotan hama/penyakit bila ada serangan yang melebihi ambang batas. Pengamatan dimulai dari pertumbuhan tanaman sampai menghasilkan dan pengamatan terhadap gejala keracunan Fe (standard IRRI, Tabel 1) pada daun setiap 2 minggu sejak 1 MST sampai fase akhir vegetatif. Tabel 1. Skoring Keracunan Besi Pada Tanaman Padi Skoring Fe 0 1
3 5 7
9
Gejala pada tanaman Tidak ada gejala Pertumbuhan dan pembentukan anakan normal, pada ujung daun tua terdapat bercak (spot) berwarna coklat kemerahan atau orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, daun tua berwarna coklat kemerahan, ungu atau kuning orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat, beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning orange Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat/ terhenti, banyak daun (hampir semua daun) berwarna coklat kemerahan atau kuning orange Hampir semua tanaman (daun) mengering dan mati.
Daun yang terinfeksi*) (%) 0 1-29
30-49
Toleransi Toleran Toleran
50-69
Agak Toleran Agak toleran
70-89
Peka
90-100
Sangat Peka
Sumber : IRRI (1996), * Modifikasi Asch et al. (2005) Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Pengumpulan data meliputi data agronomi (tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakak produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot 1000 biji, hasil); skoring Fe; analisa tanah; data input output dari setiap perlakuan untuk analisa usahatani; dan data presepsi petani terhadap perlakuan. Data hasil pengamatan yang diperoleh akan dianalisa menggunakan sidik ragam dengan soft ware SAS. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Lokasi Pengkajian Keempat lokasi pengkajian di ambil sample tanah awal dan dianalisa di laboratorium untuk mengetahui kesuburan tanah dan dosis pemberian pupuk. Dari hasil analisa laboratorium (ditunjukkan pada Tabel 2), tanah lokasi pengkajian tergolong sangat masam, C-organik sangat rendah, N, P tersedia dan K tersedia sangat rendah sampai rendah. Berdasarkan perangkat uji tanah sawah untuk N, P dan K yang rendah diperlukan dosis pemupukan : 250 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Berdasarkan hasil penelitian pada tanah dengan kandungan C organik < 3% sangat diperlukan tambahan bahan organik/pupuk organik minimal 1 t/ha. Berdasarkan kandungan pasir-debu-liat dari masing-masing lokasi, tekstur tanah dari semua lokasi mempunyai klas yang sama yaitu berliat, dengan kapasitas tukar kation tergolong sedang sampai tinggi. Pemberian bahan organik pada lahan pasang surut dengan C org yang tergolong sedang-tinggi bukan diutamakan bukan untuk penambahan bahan organik tetapi pada terikatnya Fe oleh asam humik yang dihasilkan bahan organik tersebut. Tabel 2. Hasil Analisa Laboratorium Tanah Lokasi Pengkajian Dan Pupuk Organik Sifat Tanah
Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Lokasi 4
pH H2O N (%) C-Orgk (%) C/N P-tot (mg/100g P2O5) K-Tot (mg/100g K2O) Ca-dd (mg/100g K2O) Mg-dd (mg/100g K2O) K-dd (mg/100g K2O) Na-dd (mg/100g K2O) KTK (mg/100g K2O) Al-dd (mg/100g K2O) H-dd (mg/100g K2O) Fe (%) Klas tekstur tanah
4,46 (SM) 0,112 (R) 2,35 (S) 20,98 (T)
4,44 (SM) 0,084 (SR) 3,37 (T) 40,12 (ST)
4,34 (SM) 0,098 (SR) 3,61 (T) 36,84 (ST)
4,04 (SM) 0,14 (R) 2,54 (S) 18,14 (T)
semua hasil analisa dlm % jerami Kot.sapi 0,79 0,96 12,18 12,6 15,42 13,13
6,377 (SR)
6,834 (SR)
23,975 (S)
20,09 (R)
0,875
0,92
12,32 (R)
11,36 (R)
1,1 (SR)
2,95 (SR)
1.919
0,952
1,691 (SR)
1,004 (SR)
0,793 (SR)
1,692 (SR)
0,082
0,177
1,546 (S) 0,218 (R)
1,551 (S) 0,254 (R)
1,231 (S) 0,219 (R)
1,109 (S) 0,218 (R)
0,19 -
0,387 -
0,638 (S) 28 (T)
0,547 (S) 25 (T)
0,739 (S) 27,5 (T)
1,223 (T) 25 (T)
-
-
9,2 0,75 672,9 berliat
9,75 1,05 750,15 berliat
11,45 1,55 779,55 berliat
8,1 0,65 757,45 berliat
0,169 -
0,25 -
Keterangan : (SR)=sangat rendah ; (R)=rendah ; (S)=sedang ; (T)=tinggi.
4
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Hasil analisa bahan organik yang telah dikomposkan menunjukkan bahwa C/N berkisar 16%, bahan tersebut sudah dapat digunakan sebagai pupuk organik. Kandungan Fe pada pupuk organik tersebut juga rendah. Pupuk organik yang berasal dari jerami padi mempunyai kandungan Kalium yang lebih tinggi dibandingkan jerami padi, sedangkan yang berasal dari kotoran sapi mempunyai kandungan pospat yang lebih tinggi. Kedua pupuk organik mempunyai kandungan hara yang rendah. Akan tetapi dalam pemanfaatan pupuk organik bukan dilihat dari besarnya hara yang disumbangkan, melainkan pengaruh lain dari pemberian pupuk organik sehingga mampu menekan keracunan besi dari tanaman. Keracunan Besi pada Tanaman Keracunan besi diukur mulai tanaman berumur 2 MST sampai tanaman bunting (keluar malai). Bila skoring Fe dilakukan setiap minggu, ada sekitar 8 kali pengukuran. Setiap waktu pengukuran dilakukan analisa sidik ragam, hasil analisa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisa sidik ragam skoring Fe setiap pengamatan, 2011, Batola Sumber keragaman
Fe1
Fe2
Fe3
Fe4
Fe5
Fe6
Fe7
Fe8
Ulangan
**
**
tn
**
*
*
**
**
Jenis pupuk organik (P)
tn
tn
**
tn
tn
tn
tn
tn
Varietas (V)
**
**
**
**
**
**
**
**
P*V
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
CV (%)
32,51
29,47
22,32
33,90
28,64
28,66
31,31
28,14
Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis pupuk organik terlihat berpengaruh sangat nyata pada pengamatan ke tiga, sedangkan penggunaan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap skoring keracunan besi pada setiap pengamatan. Ini menunjukkan bahwa keracunan besi dapat diatasi dengan pemberian pupuk organik dan atau penggunaan varietas yang tahan. Dari rata-rata scoring Fe pada tanaman terlihat bahwa varietas ciherang mempunyai skor yang lebih tinggi dari pada varietas Inpara 2 dan inpara 4. Pada pengamatan ke 6 menunjukkan rata-rata skoring Fe mencapai 4, berarti kisaran pengamatan menunjukkan angka 5 (Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat, beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning orange; daun terinfeksi 50-69%; tergolong agak toleran), rata-rata scoring Fe dapat dilihat pada Tabel 4). Pemberian pupuk organik tidak secara nyata mengurangi skoring Fe tapi pemberian pupuk organik sangat nyata berpengaruh pada hasil panen yang lebih bagus. Tabel 4. Rata-rata skoring Fe setiap minggu pada padi, Maret-Juni 2011, Barito Kuala Perlakuan
Fe1
Fe2
Fe3
Fe4
Fe5
Fe6
Fe7
Fe8
Pupuk organik: Tanpa
2,02 A
2,39 A
3,02 A
2,35 A
2,48 A
2,69 A
2,48 A
2,35 A
Kotoran sapi
1,81 A
2,02 A
2,51 B
1,83 A
1,98 AB
2,39 A
2,20 A
2,06 A
Jerami padi
1,58 A
1,96 A
2,15 B
1,89 A
1,87 B
2,15 A
1,98 A
1,87 A
2,34 a
3,34 a
3,85 a
3,01 a
3,34 a
4,02 a
3,20 a
3,18 a
Varietas : Ciherang
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Inpara 2
1,63 b
1,81 b
2,21 b
1,90 b
2,07 b
2,14 b
2,59 b
2,00 b
Inpara 4
1,28 b
1,01 c
1,29 c
1,11 c
0,83 c
0,92 c
1,09 c
0,98 c
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom/baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tarap 0,05
Pertumbuhan, Komponen Hasil dan Hasil Tanaman Hasil analisa sidik ragam yang dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah malai, jumlah gabah isi/rumpun, panjang malai, bobot 1000 biji dan hasil pada perlakuan pemberian pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan panjang malai, akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap komponen lainnya. Ssedangkan interaksi antara pemberian pupuk organik dan penggunaan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap bobot 1000 biji (Tabel 5). Perlakuan pemberian pupuk organik dan varietas berpengaruh nyata terhadap hasil tanaman, akan tetapi interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh terhadap hasil, ini disebabkan karena ada pengaruh antagonis antara pemberian pupuk dengan penggunaan varietas yang tahan terhadap keracunan besi. Akan lebih baik lagi bila dianalisa statistik dengan kontras ortogonal untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh dari masing-masing perlakuan. Tabel 5. Hasil analisa sidik ragam terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi MT I 2011, Barito Kuala Sumber keragaman
tinggi
anakan
malai
GI
PM
Biji
Hasil
Ulangan
**
**
**
**
**
**
**
Jenis pupuk organik (P)
tn
**
**
**
tn
**
**
Varietas (V)
**
**
**
**
*
**
**
P*V
tn
tn
tn
tn
tn
**
tn
CV (%)
8,26
11,45
10,65
10,46
4,71
4,55
15,93
Rata-rata tinggi varietas Inpara 2 paling tinggi (105,44 cm) dari pada varietas lainnya (Tabel 6). Jumlah anakan tertinggi dipengaruhi sangat nyata oleh pemberian pupuk organik dan jenis varietas. Pemberian pupuk organik kotoran sapi dan jerami padi memberikan jumlah anakan tertinggi dari pada tanpa pupuk organik (Tabel 6). Varietas yang mempunyaiu jumlah anakan tertinggi adalah varietas inpara 4. Varietas inpara 4 dan inpara 2 adalah varietas yang tahan terhadap asam dan keracunan besi, dengan skoring Fe berkisar antara 1-3. Pemberian pupuk organik dan varietas berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah malai (jumlah anakan produktif) per rumpun (Tabel 6). Jumlah malai tertinggi disebabkan pemberian pupuk organik kotoran sapi dan jerami padi, dan pada varietas inpara 4. Dari hasil analisa laboratorium kotoran sapi mempunyai C, N dan K total yang lebih tinggi dari pada bahan organik lainnya. Dengan tekstur yang lebih halus akan lebih mudah hancur, sehingga unsur hara menjadi lebih tersedia sehingga proses mikrobiologi dalam tanah lebih cepat terjadi.
6
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Tabel 6. Rata-rata komponen hasil dan hasil padi, Maret-Juni 2011, Barito Kuala tinggi
Jlh anakan/rpn
Jlh malai/rpn
Jlh GI/malai
Pjg Malai
!000 bj (gr)
Hasil (t/ha)
Tanpa
11,60 B
11,60 B
11,07 C
93,72 B
20,74
21,09 B
3,73 B
Kotoran sapi
13,01 A
13,01 A
12,94 A
106,86 A
21,04
22,43 A
4,94 A
Jerami padi
12,94 A
12,94 A
12,57 AB
100,97 AB
20,55
22,29 AB
4,45 A
Ciherang
92,38 b
11,01 b
10,77 b
87,59 c
20,07 a
23,93 a
3,38 c
Inpara 2
105,44 a
11,89 b
11,56 b
96,12 b
20,06 a
23,61 a
4,12 b
Inpara 4
94,61 b
14,20 a
13,86 a
117,03 a
20,74 a
19,01 b
5,62 a
Perlakuan Pupuk organik:
Varietas :
Tabel 7. Rata-rata bobot 1000 biji (gram) MT I 2011, Barito Kuala Perlakuan Ciherang Inpara 2 Inpara 4
Pemberian pupuk organik Tanpa pupuk organik 21,72 A b 22,59 B b 18,96 C a
Kotoran sapi 24,70 B a 23,16 A b 19,44 C a
Jerami padi 24,39 AB a 23,76 A a 18,74 B a
rerata 23,93 23,61 19,01
rerata 21,09 22,43 22,29 Keterangan : - angka yang diikuti oleh huruf besar yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tarap 0,05 - angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada tarap 0,05
Pemberian pupuk organik dan varietas, masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah gabah isi per malai (Tabel 6). Jumlah gabah isi tertinggi adalah akibat pemberian pupuk organik kotoran sapi, tapi tidak berbeda dengan pemberian jerami padi. Jumlah gabah isi varietas inpara 4 lebih tinggi dibandingkan inpara 2 dan ciherang. Panjang malai tidak dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik maupun varietas (Tabel 6). Sedangkan bobot 1000 biji sangat dipengaruhi oleh pupuk organik dan varietas serta interaksi ke duanya (Tabel 7). Bobot 1000 biji tertinggi adalah karena pengaruh pemberian pupuk kandang. Varietas dengan bobot 1000 biji tertinggi adalah varietas ciherang dan inpara 2. Bobot 1000 biji menunjukkan besar kecilnya ukuran gabah/beras. Secara umum masyarakat Banjar menyukai beras yang berukuran kecil dan ramping seperti margasari dan beras lokal unus dengan bobot 1000 biji berkisar 21 g. Berdasarkan deskripsi varietas Inpara 4 mempunyai bobot 1000 biji 19 g, inpara 2 berkisar 25 g dan ciherang berkisar 28 g. Pada lahan pasang surut sangat sulit varietas ciherang mencapai bobot 1000 biji optimumnya karena varietas ciherang tidak tahan terhadap cekaman lingkungan di pasang surut seperti tanah yang masam dan kelarutan besi yang tinggi. Hasil tanaman (produktivitas) yang diambil dari ubinan 2x3 m sebanyak 2 kali per varietas pada setiap perlakuan menunjukkan Inpara 4 memberikan hasil tertinggi Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
diikuti dengan inpara 2 dan ciherang. Perlakuan pemberian pupuk organik memberikan hasil yang lebih tinggi daripada tanpa pupuk organik (Tabel 6). Dilihat dari angka, hasil yang tertinggi adalah pemberian kotoran sapi. Ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik kotoran sapi/jerami padi dapat mengurangi keracunan besi pada tanaman padi dan meningkatkan hasil sekitar 23,02%. Lebih spesifik lagi peningkatan hasil karena pemberian pupuk organik yang berasal dari : kotoran sapi 32,59%, dan jerami padi 19,28%. Pemberian pupuk organik pada ciherang meningkatkan hasil hingga 72,73% (kotoran sapi 85,99%, jerami padi 63,68%). Pada varietas inpara 2 peningkatan hasil karena pemberian pupuk organik adalah 13,95% (24,93%; 10,73%; 6,18%). Pada inpara 4 peningkatan hasil karena pemberian pupuk organik adalah 8,81% (15,83%; 6,90%; 3,70%). Pada varietas yang tidak tahan keracunan besi seperti ciherang, pemberian pupuk organik dapat meningkatkan hasil hingga 85,99%, sedangkan pada varietas yang tahan seperti inpara 4 kenaikan hasil berkisar 8,81%. KESIMPULAN DAN SARAN Pada lahan pasang surut dengan kandungan Fe >300% dan padi sering mengalami keracunan besi dapat diatasi dengan menggunakan pupuk organik dari kotoran sapi atau dari jerami padi dengan dosis 2 t/ha pada kadar air 30%. Rata-rata peningkatan hasil karena pemberian pupuk organik adalah 23,02%. Selain itu disarankan untuk menggunakan varietas toleran Fe seperti Inpara 2 dan Inpara 4. DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A., K. Sudarman, dan D.A. Suriadikarta. 1998. Pengembangan Lahan Pasang Surut : Keberhasilan dan kegagalan ditinjau dari fisiko kimia lahan pasang surut. Dalam. M. Sabran. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra, Banjarbaru. Alihamsayah, T. 2002. Optimalisasi Pendayagunaan Lahan Rawa Pasang Surut. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pendayagunaan Sumberdaya Lahan did Cisarua tanggal 6-7 Agustus 2002. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Becker, M. and F. Asch. 2005. Iron toxicity in rice-condition and management concept. J. Plant Nutr. Soil Sci, 168 (4) : 558-573. IRRI.. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute. Manila, Phillippines. 52 p. Jumberi, A., A. Supryo dan S. Raihan. 1998. Penggunaan bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan di lahan pasang surut. Dalam. M. Sabran dkk. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Menunjang Akselerasi Pengembangan Lahan Pasang Surut. Balittra. Banjarbaru. Karama A.S. 1990. Penggunaan pupuk dalam produksi pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Puslitbang Tanaman Pangan, 4 Agustus 1999 di Bogor.
8
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Kumazawa K, 1984. Beneficial effect of organic matter on growth and yield in Japan. In. IRRI. Organic Matter and Rice. p: 431-444. Intern. Rice Res. Inst., Los Banos, Philippines. Majerus, V., P. Bertin, S. Lutts . 2007. Effects of iron toxicity on osmotic potential, osmolytes and polyamines concentrations in the African rice (Oryza glaberrima Steud.). Plant Science. 173: 96–105 Makarim , A.K., M. Ismunadji, and von Uexkull. 1989a. An overview of major nutritional constrain to rice production on acid soils of Indonesia. In. P. Deturck and F.N. Ponnamperuma (eds). Rice production on acid soils of the tropics. Kandy, Sri Lanka. p. 199-203. Makarim, K., O. Sudarman, dan H. Supriadi. 1989b. Status hara tanaman padi berkeracunan Fe di daerah Batumarta, Sumatera Selatan. Penelitian Pertanian 9(4):166-170. Noor, A. dan A. Jumberi. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275-279. Sahrawat, KL. 2000. Elemental composition of the rice plant as affected by iron toxicity under field conditions. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 31, 2819-2827. Sarwani, M., M. Noor, dan Masganti. 1994. Potensi, Kendala dan Peluang Pasang Surut dalam Perspektif Pengembangan Tanaman Pangan. Dalam. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru. Schneider, I.A.H., Rubio, J., 1999. Sorption of Heavy Metal ions by the nonliving biomass of freshwater macrophytes. Environmental Science and Technology 33, 2213-2217. Sela, M., J. Garty, and E. Tel-Or. 1989. The accumulation and the effect of heavy metals on the water fern Azolla filiculoides. New Phytol. (112) : 7–12. Widajaya Adhi, IPG. l986. Pengelolaan lahan pasang surut dan lebak. Jurnal Litbang Pertanian V (1), Januari 1996. Badan Litbang Pertanian Yamauchi, M and S Yoshida. 1981. Physiological mechanisms of rice’s tolerance for iron toxicity. Paper presented at the IRRI Saturday Seminar, June 6, 1981. Manila, Philippines: International Rice Research Institute.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012