Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2 (2017): 267-273 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
PENGGUNAAN PRINSIP DE MINIMIS PADA CIPTAAN PROGRAM KOMPUTER BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA Kesuma Wardhana * Fakultas Hukum Universitas Indonesia Korespondensi:
[email protected] Naskah dikirim: 26 Agustus 2016 Naskah diterima untuk diterbitkan: 6 Juni 2017
Abstract Based on Indonesia’s current law, computer program is considered as a copyrightable works in accordance to Act No. 28/2014, which has accommodated computer program as a unique works that needs its own kind of protection. The act in question, unfortunately, is far from perfect, and has its own shortcomings, particularly because it doesn’t regulate nor state what elements it’s supposed to protect. This research therefor hopes to create boundaries and approaches that can be used both on a copyright infringement cases and to create a better legislation concerning the protection of computer program by the use of the de minimis principle Keywords: intellectual property, copyright, computer program, de minimis Abstrak Dalam peraturan hukum Indonesia, program komputer dianggap sebagai suatu Ciptaan yang dilindungi dengan Hukum Hak Cipta. Pengaturan tersebut terdapat pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang telah mengakomodasi program komputer sebagai Ciptaan unik yang membutuhkan bentuk perlindungan tersendiri. Undang-undang tersebut sayangnya tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang pada akhirnya menyebabkan perlindungan yang kurang sempurna karena tidak dinyatakan dengan jelas elemen-elemen apa yang sebenarnya dilindungi dari Ciptaan program komputer. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan prinsip de minimis sebagai tolak ukur pembatasan dan pendekatan yang bisa digunakan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hak cipta program komputer serta membangun peraturan yang lebih baik untuk perlindungan terhadap program komputer. Kata kunci: hak kekayaan intelektual, hak cipta, program komputer, de minimis
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/ jhp.vol47.no2.82
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
I.
268
Pendahuluan
Program komputer diakui sebagai Karya Cipta, yaitu karya dari perwujudan cipta, rasa, dan karsanya. Obyek perlindungan sebuah program komputer adalah serangkaian kode yang mengisi instruksi, atau biasa disebut kode sumber. Alasan program komputer diklasifikasikan sebagai program komputer adalah karena di dalam instruksi inilah terlihat “ekspresi” dari pencipta program komputer tersebut. Pemberian perlindungan hak kekayaan intelektual ini dimaksudkan untuk melindungi inovasi di dalam program komputer tersebut. Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap ekspresi dari sebuah ide dan bukan melindungi idenya itu sendiri. Dengan kata lain, Hak Cipta tidak memberikan perlindungan apabila ide tersebut masih dalam bentuk gagasan, jadi Hak Cipta hanya bisa diberikan terhadap sesuatu yang sudah mempunyai bentuk nyata. Dalam pembahasan yang jauh lebih teknis, apabila kita menggunakan pendekatan paradigma Object-Oriented Programming, maka penulisan suatu kode sumber program komputer akan didasarkan pada konsep “objek”, yaitu struktur data yang terdiri atas data, dalam bentuk fields yang biasa disebut attributes, dan kode, dalam bentuk procedures yang biasa disebut methods. Suatu methods dalam kode sumber program komputer bisa terdiri dari banyak atau sedikit baris, namun jumlah yang secara kuantitatif terbilang sedikit bisa saja dianggap substansial secara kualitatif, dan berlaku juga sebaliknya. Pertanyaannya, mungkinkah penggandaan beberapa baris kode dengan sengaja dianggap tidak melanggar Hak Cipta apabila bisa dibuktikan bahwa beberapa baris kode tersebut memang tidak substansial? Dari pertanyaan tersebut, penulis akan meneliti mengenai penggunaan prinsip de minimis dalam lingkup Hak Cipta, khususnya Hak Cipta Program Komputer. Prinsip de minimis adalah pandangan dimana suatu perkara seharusnya tidak menjadi kasus persidangan di pengadilan karena dianggap terlalu kecil atau remeh. Dalam konteks perlindungan Hak Cipta, prinsip ini digunakan apabila pihak yang dituduh melakukan pelanggaran dalam bentuk penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan, maka ia mengakui bahwa ia memang melakukannya, tapi ia hanya mengambil sebagian kecil dari isi atau konten karya tersebut dan tidak bersifat substansial sehingga seharusnya terlalu kecil untuk dianggap pelanggaran. Dalam prinsip de minimis, kita dapat melakukan pendekatan kuantitatif maupun kualitatif untuk menentukan apakah penggunaan karya yang dilindungi hak cipta tersebut masih diperbolehkan. Namun perlu diingat bahwa terdapat perbedaan yang krusial antara karya literatur biasa dengan kode sumber program komputer, dimana dalam suatu kode sumber, meskipun code-nya hanya beberapa karakter atau beberapa baris saja, bisa memiliki fungsi yang signifikan terhadap program itu sendiri. Hal ini berlaku pada program orisinil maupun program kedua yang menggunakan sebagian kecil kode sumber tersebut.
269
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Dalam penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan suatu sudut pandang baru terhadap pengaturan dan penegakan Hukum Hak Cipta Indonesia dalam perlindungan terhadap program komputer yang mampu melindungi programmer dengan mengakomodasi kebiasaan yang telah menjadi praktik lazim dengan tujuan menumbuhkembangkan kreativitas dan kualitas program komputer Ciptaan programmer Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, serta harapan adanya peningkatan kebutuhan terhadap perlindungan program komputer di era digital ini, maka penulis memilih untuk mengangkat penelitian dengan judul “Peninjauan Terhadap Penggunaan Prinsip De Minimis Pada Ciptaan Program Komputer Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta”. Skema atau alur penulisan pada artikel ini dimulai dengan pembahasan Teoretis mengenai perlindungan Hak Cipta di Indonesia, serta pengertian singkat dan pemanfaatan prinsip de minimis dalam perlindungan Hak Cipta, kemudian akan dijelaskan secara terperinci mengenai lingkup perlindungan Hak Cipta terhadap Ciptaan program komputer beserta bentuk-bentuk pelanggarannya. Analisis akan dilakukan pada pembahasan mengenai penggunaan prinsip de minimis dalam Hak Cipta program komputer dengan berpedoman pada bentuk-bentuk pelanggaran yang diatur dalam UndangUndang Hak Cipta Indonesia, setelah itu akan ada kesimpulan yang merangkum sekaligus menutup artikel penelitian ini. II.
Tinjauan Teoretis
Mengenai ruang lingkup perlindungan atau kesamaan substansial. Permasalahan pada kasus-kasus awal seperti ini adalah apakah segala bentuk program komputer bisa dilindungi Hak Cipta, karena ada anggapan bahwa beberapa object code atau operating system tidak bisa dilindungi karena tidak termasuk Ciptaan yang “komunikatif”1 Apabila ada suatu program komputer yang dianggap hampir identik dengan suatu program yang dilindungi hak cipta, pengadilan bisa dengan mudah melaksanakan perlindungan hak cipta karya literatur terhadap seperangkat instruksi komputer. Namun apabila tergugat menentang adanya kesamaan substansial dalam instruksi tersebut, penggugat dapat menemui kesulitan meyakinkan pengadilan bahwa memang ada pelanggaran hak cipta. 2 1. Perlindungan Terhadap Elemen Nonliteral Gagasan atau ide berupa algoritma yang mana menjadi dasar suatu program, atau mungkin metode atau proses yang diimplementasikan oleh program tersebut, dikarenakan sifat dari interaksi antara software dengan hardware, bisa dianggap simbolik (representasi dari instruksi untuk diberikan kepada komputer) dan fungsional (cara bagaimana komputer diinstruksikan 1 Robert P. Merges, et. al., Intellectual Property in the New Technological Age, (New York: Aspen Publishers, 2003) hlm.871 2 Susan A. Dunn, “Defining the Scope of Copyright Protection for Computer Software”, Stanford Law Review 38, No. 2 (1986): 511-512.
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
270
untuk menjalankan operasi). Barisan kode yang mendeskripsikan satu operasi atau prosedur bisa juga digunakan untuk mengimplementasikannya. Karakteristik khusus dari program komputer ini memiliki konsekuensi yang signifikan pada perlindungan hak cipta. Pertama, penggunaan suatu program komputer tidak mungkin dilakukan tanpa terjadinya penggandaan atau adaptasi. Selain itu, tidak mungkin bisa tercapai kompatibilitas/kesesuaian fungsional antara satu atau dua perangkat hardware atau software tanpa mereproduksi sejumlah kode yang substansial untuk menghasilkan interface atau komunikasi yang diinginkan.3 Permasalahan yang menjadi kepentingan fundamental dalam konteks perlindungan hak cipta program komputer adalah, tidak cukup bagi satu pihak untuk mengklaim bahwa kode suatu program sudah disalin hanya dengan dasar program kedua memiliki kemiripan dengan program pertama dalam aspek fungsional atau tampilan terhadap pengguna. Penggandaan secara sesungguhnya pada bagian yang substansial adalah kunci dari pelanggaran hak cipta. Arsitektur umum suatu program komputer bisa dilindungi apabila bagian substansial keahlian dan usaha programmer memang digunakan. Dengan kata lain, dimungkinkan apabila module yang spesifik dari suatu program komputer dilanggar hak ciptanya, meskipun hanya sebagian kecil kode yang disalin. 4 2. Perlindungan Terhadap Elemen Fungsional dan Protokol Elemen fungsional pada program komputer adalah suatu instruksi yang sudah dirancang sebelumnya untuk melakukan pekerjaan spesifik pada saat yang diinginkan oleh user. Contoh paling mudah yang bisa diberikan mungkin adalah toolbaryang biasanya ada pada application software, yang mana user bisa memerintahkan program komputer untuk melakukan “Save”, “Print”, “Copy”, “Quit”, dan sebagainya, termasuk susunannya. Perlu ditekankan bahwa perlindungan yang kita bahas kali ini adalah fungsi tombol-tombol tersebut, bukan tampilan grafis berupa bentuk, warna, dan posisinya. Tujuan dari diciptakannya elemen fungsional ini tentu adalah untuk membantu user dalam melakukan pekerjaannya. Elemen fungsional juga bisa dianggap sebagai metode operasi, yaitu cara seseorang menggunakan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Elemen fungsional sudah dibuat dan ditentukan pada saat penyusunan kode sumber, dimana seperangkat command atau instruksi yang bisa dipahami oleh komputer, dikemas sedemikian rupa oleh programmer sehingga pengguna awam sekalipun bisa memberikan instruksi kepada komputer melalui program komputer, baik dengan sarana GUI (Graphical User Interface) ataupun CLI (Command Line Interface). Elemen fungsional sebagai elemen yang dilindungi oleh Hak Cipta masih seringkali diperdebatkan di persidangan maupun di kalangan akademik dikarenakan pengkategorian elemen fungsional sebagai metode operasi. Dalam Hukum Hak Cipta di Amerika Serikat misalnya, pada kasus Lotus Development Corp. v. Borland International, Borland mengaku telah meniru rancangan Menu 3 Chris Reed dan John Angel, Computer Law, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hlm. 212. 4 Reed, Computer Law, hlm. 216.
271
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Command Hierarchy milik Lotus, namun ia lakukan secara sah, karena dalam Hukum Hak Cipta Amerika Serikat, metode operasi tidaklah dilindungi oleh Hak Cipta sehingga mereka tidak bisa dikenakan sanksi hukum atas perbuatan tersebut. Perdebatan mengenai perlindungan terhadap elemen fungsional ini terus berlanjut hingga sekarang karena perbedaan sifat utilitarian dari program komputer dengan bentuk perlindungan Hak Cipta, sehingga sulit untuk ditentukan satu kebenaran yang mutlak, dan hingga kini permasalahan benarsalah dari dugaan peniruan elemen fungsional hanya berlaku dengan basis kasus-per-kasus.5 3. Perlindungan Terhadap Output Program: User Interface dan Audiovisual b Sebelum membahas lebih lanjut mengenai bentuk atau kategori perlindungannya, harus terlebih dulu dipahami bahwa user interface suatu program komputer bisa berasal dari code, atau merupakan asset yang sengaja disimpan di struktur data program komputer oleh programmer. Sebagai contoh, pada object-oriented programming seperti Java, programmer bisa menampilkan bentuk dan warna pada program komputer ciptaannya dengan menuliskan code yang menginstruksikan agar program komputer “menggambar” suatu bentuk yang tersusun atas pixel. Harus diketahui bahwa pendekatan yang demikian sangatlah sulit dan terbatas. Cara kedua untuk menampilkan komponen audiovisual dan gambar adalah dengan terlebih dulu membuat file asset yang bisa berbentuk file gambar, suara, vector, 3D, dan sebagainya kedalam struktur data program komputer, kemudian memerintahkan program komputer untuk mengambil dan menampilkan data audiovisual tersebut. Keinginan untuk melindungi tampilan pada layar dan suara yang dihasilkan oleh program komputer patut dipertanyakan. Sampai batas tertentu, hal tersebut tergantung pada sifat dari tampilan dan suaranya. Dalam kasus sebuah video game, tampilan dan suara dianggap sebagai elemen paling penting dan merupakan hasil dari pekerjaan yang cukup banyak. Di sisi lain, tampilan data entry yang sederhana bisa dianggap hal yang biasa dan prinsip de minimis bisa diterapkan. Meski demikian, sejumlah keahlian dan upaya yang dilakukan tetap akan ada, dan pertanyaan mengenai perlindungan hak cipta akan menjadi kabur apabila seluruh rangkaian tampilan layar yang demikian digandakan. Jika tampilan memiliki perlindungannya sendiri, maka pengadilan akan dihadapkan dengan kesulitan untuk menentukan elemen apakah yang patut dilindungi, dan elemen apa yang dianggap biasa atau terbentuk karena kebutuhan dari aplikasi tersebut, sehingga dianggap lebih kepada gagasan daripada ekspresi. Beberapa perkembangan Hukum Hak Cipta mungkin diperlukan untuk membedakan secara lebih jelas antara gagasan dan ekspresi, dan untuk memberikan pengujian yang bisa digunakan pada konteks tampilan. Perlindungan terhadap tampilan melalui sarana permulaan penggambaran dan tata ruang berpotensi efektif dan dapat mengalihkan perhatian dari pertimbangan prinsip-prinsip 5
Merges, Intellectual Property in the New Technological Age, hlm. 890.
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
272
dasar, argumen, dan implikasi yang diharuskan dalam perlindungan elemen tampilan.6
III.
Bentuk Pelanggaran Hak Cipta Program Komputer
Untuk dapat lebih memahami bentuk-bentuk pelanggaran terhadap perlindungan Hak Cipta program komputer, kita harus terlebih dulu mengetahui dengan cara apa suatu pihak dapat melanggar lingkup perlindungan hak cipta menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berikut adalah narasi singkat terhadap perbuatan pelanggaran tersebut: 1. Dalam kasus seseorang menggunakan sebagian atau keseluruhan kode sumber program komputer yang dilindungi hak cipta pada program komputer baru yang sedang dibuatnya, maka bisa terdapat beberapa kemungkinan, tergantung apakah ia bermaksud menggunakannya untuk kepentingan pribadi, penggunaan secara komersial, atau untuk mendapat keuntungan ekonomi dengan mendistribusikannya. Pertama, apabila ia menggunakannya untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada ketentuan pidana yang bisa dikenakan kepada tergugat karena ia tidak memenuhi unsur ‘penggunaan secara komersil’, yaitu mendapat keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. Kedua, apabila program tersebut ia gunakan untuk penggunaan secara komersil dalam bentuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari penggunaan program ciptaannya, meskipun hanya digunakan untuk kalangan sendiri, maka ia bisa dikenakan ketentuan penggandaan yang tidak sah. Ketiga, jika ia kemudian mendistribusikan secara luas program ciptaannya dan mendapatkan keuntungan ekonomi darinya dalam bentuk penjualan ataupun lisensi, maka ia dapat dikenakan ketentuan hukum mengenai pembajakan. 2. Jika seseorang dengan sengaja melakukan eksploitasi dalam bentuk modifikasi untuk membuat suatu program komputer dapat berfungsi meskipun program tersebut tidak didapatkan dengan cara yang sah, maka perbuatan tersebut termasuk dalam perbuatan pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan yang diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Seperti halnya penggandaan yang tidak sah, harus dibuktikan unsur ‘penggunaan secara komersil’ agar perbuatan ini bisa dianggap telah melanggar hak cipta. Dengan kata lain, apabila seseorang tidak mendapat keuntungan ekonomi dalam bentuk apapun dalam melakukan perbuatan tersebut, maka ia tidak bisa dianggap telah melanggar hak cipta. 3. Penciptaan suatu program komputer yang terinspirasi oleh program komputer lainnya yang sudah terlebih dulu dilindungi hak cipta tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa si tergugat memang menyalin 6 David I. Bainbridge, “The Scope of Copyright Protection for Computer Programs”, The Modern Law Review 54, No. 5 (1991): 662.
273
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
ekspresi yang terdapat pada suatu program yang dilindungi hak cipta, baik secara literal maupun non-literal. Pembuktian terhadap perbuatan yang demikian harus terlebih dulu melalui beberapa pengujian terhadap kesamaan kedua Ciptaan tersebut, diantaranya adalah independent creation, substantial similarity test, dan structural test. Efektivitas dan tingkat perlindungan yang diberikan oleh pengujian ini adalah perdebatan yang berbeda lagi. Untuk sementara dapat kita simpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan penekanan yang berat terhadap unsur ‘penggunaan secara komersil’ dalam pembuktian pelanggaran hak cipta. Namun berkat adanya unsur inilah kita dapat memberikan suatu pembatasan kapan suatu perbuatan bisa dianggap melanggar hukum hak cipta, dan kapan ia masih dalam batas yang diperbolehkan oleh hukum. Program komputer, seperti layaknya komposisi musik termutakhir atau karya sastra kontemporer, adalah subjek dimana kebanyakan orang hanya memiliki sedikit pengalaman praktis. Tanpa bimbingan, seseorang mungkin tidak dapat mendeteksi program-program yang tersamarkan atau dimodifikasi dengan sangat lihai. Apabila hanya digunakan pengujian yang bersifat pengamatan semata, pencari fakta dapat dengan mudah disesatkan oleh faktor yang tidak penting ketika dihadapkan dengan dua program yang berbeda dalam sekilas pandangan. Kesaksian ahli dalam kasus pelanggaran hak cipta perangkat lunak masih sangat diperlukan, dan aplikasi mekanik dari setiap pengujian pelanggaran yang melarang kesaksian tersebut dapat menghalangi disposisi yang benar.7 IV.
De Minimis dalam Hak Cipta Program Komputer
Dalam kasus pelanggaran hak cipta, penggugat harus membuktikan kepemilikan hak ciptanya dan pelanggaran terhadap hak eksklusif tersebut, seperti penggandaan tanpa hak yang dilakukan oleh tergugat. Karena pada umumnya penggugat tidak bisa membuktikan perbuatan penggandaan secara aktual itu sendiri, penggandaan bisa dibuktikan secara inferensial dengan menunjukan bahwa tergugat memiliki akses terhadap Ciptaan yang dilindungi dan Ciptaan milik tergugat memiliki kesamaan substansial dengan Ciptaan yang dilindungi.8 Dalam penggunaan Altai test, bagian comparison tidak hanya membandingkan apakah terdapat kesamaan pada kedua program komputer, namun juga tetap dilakukan penilaian terhadap kepentingan relatif dari bagian yang diduga diambil terhadap keseluruhan Ciptaan program komputer milik penggugat, dengan kata lain Altai test sudah menggunakan pendekatan relatif dalam pengujiannya. Pada bagian inilah bisa digunakan prinsip de minimis, karena menurut prinsip de minimis, besaran bagian yang diambil tidak bisa 7 Perelman, Proving Copyright Infringement of Computer Software: An Analytical Framework , hlm. 940-941. 8 Grammas, The Test for Proving Copyright Infringement of Computer Software: "Structure, Sequence, and Organization" and "Look and Feel" Cases, hlm. 14.
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
274
hanya dilihat secara absolut, tapi juga nilai relatifnya terhadap Ciptaan penggugat, tanpa mempertimbangkan nilai relatifnya terhadap Ciptaan tergugat.9 Melalui metode pengujian Altai test, pengadilan bisa membuat suatu tolak ukur untuk mengetahui secara persis seberapa banyak bagian yang digandakan oleh tergugat dan seberapa besar dampaknya terhadap program komputer milik penggugat. Apabila setelah dilakukan Altai test diketahui bahwa bagian yang digandakan oleh tergugat hanya sebagian kecil dari keseluruhan Ciptaan program komputer milik penggugat, maka dapat dikatakan bahwa secara kuantitatif bagian yang digandakan oleh tergugat memang secara relatif terhadap Ciptaan penggugat kecil. Mengenai jumlah bagian yang absolut secara kuantitatif, hingga kini belum ada kesepakatan seberapa banyak pagu yang digunakan sebagai pembatasan. Setelah pengadilan bisa menentukan apakah secara kuantitatif jumlah bagian yang digandakan oleh tergugat termasuk kecil atau remeh, maka pencari fakta harus menentukan apakah sebagian yang kecil tersebut secara kualitatif bersifat substansial terhadap Ciptaan program komputer milik penggugat. Apabila dapat dibuktikan bahwa bagian yang digandakan bukanlah bagian yang dianggap substansial pada Ciptaan program komputer penggugat, maka prinsip de minimisdapat digunakan sepenuhnya, namun apabila terbukti bahwa bagian yang diambil bersifat substansial pada Ciptaan program komputer milik penggugat, maka pembelaan menggunakan prinsip de minimis juga akan gugur sepenuhnya meskipun terbukti secara kuantitatif jumlahnya memang kecil. Lalu bagaimanakah cara membuktikan adanya kesamaan substansial pada Ciptaan program komputer milik penggugat? Dalam beberapa pengadilan perkara dugaan pelanggaran hak cipta di Amerika Serikat yang menggunakan pembelaan de minimis, pencari fakta harus mengetahui apakah bagian yang diambil adalah tujuan atau fungsi utama program komputer Ciptaan penggugat yang menjadi ciri khas dari program tersebut, lalu apakah program milik penggugat tetap dapat beroperasi dan menjalankan fungsi atau tugas utamanya tanpa masalah. Dalam pembahasan mengenai potensi pelanggaran hak cipta program komputer, telah kita bedakan antara pelanggaran yang bisa terjadi pada saat proses penciptaan suatu program komputer baru yang menggandakan sebagian elemen dari program komputer yang sudah terdaftar dan dilindungi hak cipta untuk digunakan didalam Ciptaan baru tersebut, dengan pelanggaran yang bisa terjadi pada program komputer sebagai produk akhir yang kemudian digandakan atau didistribusikan secara tidak sah. Terhadap perbuatan yang demikian, aturan hukum yang mengatur unsur perbuatannya tetap sama, oleh karena itu konstruksi penggunaan prinsip de minimis dalam perkara yang menggugat perbuatan ini pun tetap sama. Dalam perkara dugaan pelanggaran hak cipta dalam bentuk penggandaan tidak sah terhadap produk akhir program komputer, bagian yang 9
962.
Inesi, A Theory of De Minimis and A Proposal for Its Application in Copyright, hlm.
275
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
digandakan oleh tergugat adalah keseluruhan dari program komputer tersebut tanpa merubah keutuhannya. Alasan dibuatnya pembatasan seperti ini adalah karena apabila seseorang hanya menggandakan sebagian saja dari suatu produk akhir program komputer, maka bagian yang ia gandakan tidak akan memiliki fungsi apapun kecuali digunakan oleh suatu program komputer yang bisa menjalankan tugas atau fungsinya, dan hal yang demikian akan jatuh pada ketentuan yang sama dengan perbuatan penggandaan yang digunakan untuk menciptakan suatu program komputer baru. Pada bab sebelumnya kita sudah memberikan istilah terhadap perbuatan penggandaan tidak sah terhadap program komputer yang dimiliki secara sah sebagai ‘penyelundupan’. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dapat diketahui unsur-unsur perbuatan yang dianggap sebagai penggandaan yang tidak sah adalah: dilakukan bukan oleh pemegang hak, menggandakan satu salinan atau lebih, dengan cara apapun, secara permanen atau sementara, dan memanfaatkan Ciptaan atau produk hak terkait untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari pemanfaatannya. Dengan kata lain, tidak cukup untuk dibuktikan bahwa perbuatan penggandaan telah dilakukan, namun tergugat juga harus mendapat keuntungan dari perbuatan tersebut. Dikarenakan pada penggandaan terhadap produk akhir program komputer dilakukan secara keseluruhan tanpa mengubah keutuhannya, maka penggunaan prinsip de minimis sebagai bentuk pembelaan bahwa bagian yang digandakan sangat kecil atau remeh tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, harus dibuktikan bahwa dampak yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut yang remeh, dengan kata lain, membuktikan bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan sangatlah kecil. Sebagai contoh, apabila seorang pengguna program komputer yang sah kemudian melakukan penggandaan terhadap suatu program komputer, sehingga ia bisa menggunakannya di Desktop PC dan laptop miliknya, maka ia bisa berargumen bahwa ia tidak mendapat keuntungan ekonomi darinya, atau keuntungan yang didapat darinya adalah sangat kecil, begitu pula kerugian yang ditimbulkan kepada pemegang hak ekonomi Ciptaan tersebut karena ia tidak membeli lagi produk yang sama untuk digunakan di dua komputer yang berbeda. Namun tentu akan sangat berbeda dengan kondisi penggunaan yang bersifat komersial. Sebagai contoh, apabila seorang pemilik usaha membeli satu program komputer secara sah, kemudian ia melakukan penggandaan program tersebut kepada 50 komputer perusahaannya dan digunakan dalam pekerjaan sehari-hari yang dari pemanfaatan program komputer tersebut berarti timbul suatu keuntungan, tentu pembelaan yang sama tidak bisa digunakan. Kedua contoh diatas memberikan gambaran bahwa pendekatan kuantitatif dan kualitatif prinsip de minimis masih memiliki peran yang sama. Perbedaannya adalah, dalam perkara penggandaan pada sebagian elemen yang dilindungi pada Ciptaan program komputer yang terdaftar untuk digunkan dalam suatu program komputer baru, fokus utamanya adalah ada atau tidaknya perbuatan penggandaan dan seberapa banyak yang digandakan, sedangkan terhadap produk akhir Ciptaan program komputer, pencari fakta harus melihat
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
276
dampak ekonomi yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Alasan inilah yang menyebabkan gugatan terhadap penggunaan program komputer yang digandakan tanpa hak lebih banyak dilayangkan kepada perusahaanperusahaan, dikarenakan potensi keuntungan yang didapat perusahaan/kerugian yang diderita pemegang hak cipta lebih masuk akal untuk dibuktikan daripada pengguna perseorangan. Apabila perbuatan penggandaan tidak sah tersebut kemudian diiringi dengan perbuatan pendistribusian, yaitu penjualan, pengedaran, dan/atau penyebaran Ciptaan dan/atau produk hak terkait untuk mendapat keuntungan ekonomi darinya, maka perbuatan tersebut sudah masuk kedalam ranah pembajakan. Perbedaan antara penggandaan tidak sah dengan pembajakan memang hanya pada perbuatan distribusinya, maka bentuk keuntungan ekonomi yang didapat dari pembajak bukanlah karena pemanfaatan Ciptaan program komputer tersebut, melainkan dari hasil penjualan, pengedaran, dan penyebaran Ciptaan tersebut. Apabila tergugat perkara pembajakan ingin menggunakan prinsip de minimis untuk pembelannya, maka ia harus berargumen bahwa perbuatannya tidak menghasilkan keuntungan ekonomi atau memang menghasilkan tapi dalam jumlah yang sangat kecil, dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan kepada pemegang hak cipta juga tidak ada atau sangat kecil. Penggunaan prinsip de minimis pada bentuk pelanggaran penggandaan tanpa hak dan pembajakan sebenarnya merupakan bentuk de minimis klasik karena ia tidak pernah mempermasalahkan kesamaan subtansial diantara kedua Ciptaan. Dalam bentuk pelanggaran hak cipta berupa penggandaan tanpa hak dan pembajakan, dianggap bahwa produk akhir yang digandakan adalah sama secara keseluruhan, sehingga tidak mungkin untuk dikatakan bahwa tidak ada kesamaan substansial dari kedua Ciptaan tersebut. Hal tersebutlah yang menyebabkan apabila bentuk pelanggaran dilakukan terhadap produk akhir tanpa merubah keutuhan dari Ciptaan program komputer yang dilindungi hak cipta, prinsip de minimishanya bisa dilakukan terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan dari perbuatan pelanggaran oleh tergugat. V.
Simpulan
Penelitian penggunaan prinsip de minimis terhadap Ciptaan program komputer bukan hanya akan membahas potensi keberlakuan prinsip ini dalam hukum hak cipta Indonesia, melainkan juga memaksa hukum yang sudah ada untuk menyadari kekurangannya dan memperbaikinya guna memberikan perlindungan yang lebih efektif dan akomodatif. Hal-hal tersebut bisa dihindari dengan adanya landasan teori yang menjelaskan secara terperinci aspek-aspek perlindungan hak cipta program komputer, dimulai dari penggambaran proses penciptaan program komputer secara terstruktur, ruang lingkup perlindungannya, hingga bentuk-bentuk pelanggaran hak yang terjadi. Selama ini, para ahli hukum dan ruang persidangan selalu membahas kasus dugaan pelanggaran hak cipta program komputer dari bagian source code atau object code yang digunakan kedua Ciptaan, padahal perlindungan hak cipta program komputer seharusnya lebih luas dari itu. Dengan memahami proses penciptaan
277
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
program komputer, dapat ditemukan batasan-batasan antara gagasan dan ekspresi. Seperti yang telah kita ketahui, hak cipta tidak dapat melindungi gagasan atau ide seseorang, melainkan ekspresi dari gagasan tersebutlah yang sudah dituangkan kedalam ciptaannya yang bisa dilindungi dengan hukum hak cipta. Setelah kita menemukan apa yang dianggap sebagai suatu ‘ekspresi’ dalam penciptaan program komputer, akan dibuat suatu ruang lingkup, yang berfungsi sebagai pembeda berbagai elemen ekspresi yang terdapat pada program komputer. Dengan menentukan ruang lingkup yang terstruktur, perlindungan dapat dilakukan pada elemen-elemen yang memang esensial bagi perlindungan dan menghindari terjadinya monopoli teknologi atau pengetahuan yang justru akan mencederai perkembangan inovasi program komputer. Selain itu, pembagian ruang lingkup menjadi beberapa elemen, seperti elemen literal, elemen nonliteral, elemen protokol, dan elemen output, juga akan mempermudah pembuktian kasus dugaan pelanggaran hak cipta karena penggugat dan tergugat bisa fokus pada elemen yang dilanggar saja, dan bukan keseluruhan Ciptaan. Pembuktian terhadap unsur-unsur perbuatan masingmasing bentuk pelanggaran hak cipta program komputer, yaitu penggandaan tanpa hak, modifikasi tanpa hak, dan pembajakan juga akan lebih mudah apabila semua pihak mengetahui persis apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur perbuatan pelanggaran hak cipta dan dilakukan dalam besaran yang diluar batas de minimis. Dengan memperhatikan unsur-unsur pasal pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait dengan hak-hak eksklusif milik pemegang hak cipta program komputer dan bentuk pelanggarannya, secara teori prinsip de minimis seharusnya bisa digunakan pada perkara dugaan pelanggaran hak cipta di Indonesia. Namun pada praktiknya, hal ini tidak semudah yang dibayangkan. Indonesia menganut sistem peradilan yang bersifat inquisitorial, dimana putusan akan didasarkan oleh keyakinan hakim, sehingga pengetahuan hakim yang bersidang lah yang akan menjadi acuan. Selain itu, konstruksi pembuktian dalam hukum acara yang melihat pengakuan dari seseorang sebagai suatu alat bukti memberatkan penggunaan prinsip de minimis. Mengingat tergugat akan mengakui bahwa memang betul ia melakukan perbuatan yang merupakan hak eksklusif milik pemegang hak cipta suatu Ciptaan program komputer, maka berdasarkan hukum positif, tindakan tersebut adalah suatu pelanggaran dan hakim akan menganggapnya sebagai itikad buruk dari pelaku. Melihat keadaan yang demikian, kita seharusnya tidak melihatnya sebagai hambatan, melainkan peluang. Saat ini, perlindungan hak cipta program komputer di Indonesia masih belum maksimal, bahkan cenderung tidak jelas. Hal ini dapat dilihat dalam proses pencatatan Ciptaan program komputer di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, yang mana syarat-syarat administratifnya tidak mencerminkan ruang lingkup perlindungan Ciptaan program komputer yang sesungguhnya. Prinsip de minimis seharusnya tidak dilihat sebagai upaya menemukan celah hukum atau loophole yang ada pada undang-undang hak cipta saat ini, melainkan sebagai sarana atau upaya perbaikan terhadap hukum yang sedang berlaku. Dengan mengakomodasi bentuk-bentuk pembatasan absolut-relatif dan pendekatan kualitatif-kuantitatif
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
278
yang diperlukan oleh prinsip de minimis, dengan sendirinya perlindungan hak cipta terhadap Ciptaan program komputer juga akan semakin membaik karena adanya tolak ukur perlindungan yang jelas bagi tiap-tiap elemen dalam program komputer. Namun di sisi lain, kita dapat melihat bahwa bentuk perlindungan yang ditawarkan oleh hak cipta lama-kelamaan menjadi kurang cocok untuk program komputer, dikarenakan bentuk program komputer yang unik dibandingkan dengan Ciptaan-Ciptaan lain yang dilindungi oleh hak cipta, yaitu sebagai utilitarian works yang nilainya terdapat pada fungsi, tujuan, atau pemanfaatan dari Ciptaan tersebut, dan bukan nilai yang terdapat pada Ciptaan itu sendiri, seperti nilai estetika atau keindahan, yang ekspresinya bisa dirasakan melalui cita rasa manusia saja. Oleh karena itu, penulis berharap melalui penelitian ini, studi hukum mampu untuk mengarahkan dirinya kepada suatu bentuk perlindungan yang lebih sesuai di kemudian hari. Untuk saat ini, bentuk perlindungan yang tersedia bagi program komputer masih hanya terbagi menjadi dua, yaitu hak cipta dan paten. Namun, diharapkan dengan penelitian ini yang bersifat preliminary research, para akademisi hukum mampu melihatnya sebagai jalan menuju perlindungan sui generis bagi program komputer.
279
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Daftar Pustaka Buku Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.2005). Chris Reed dan John Angel, Computer Law, (Oxford: Oxford University Press, 2003). D.A. Higgins, Program Design and Construction, (New Jersey, 1979). D. H. Brandon dan S. Segelstein, Data Processing Contracts, (New York, 1976). D. Overkleeft, Basiskennis InformaticaI, (Brussel, 1975). Daniel Closa, et. al., Patent Law for Computer Scientists, (Heilderberg: Springer. 2010). David Bainbridge, Introduction to Computer Law, (Essex: Pearson Education Ltd., 2004). Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: PT Alumni, 2005). Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, cet 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) H. D. Covvey dan N. H. McAllister, Computer Consciousness: Surviving the Automated 80’s, (U.S.A.: Reading (Mass), 1980), hlm. 122. Haji OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013) Harsono Adisumarto, Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1990). Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul: West Publising Co. 2009). J. Maynard, Computer Programming Made Simple, (London, 1980). John J. Borking, Third Party Protection of Software and Firmware, (Amsterdam: Elsevier Science Publishers, 1985). Mahadi, Hak Milik Immateril, (Jakarta: BPHN-Bina Cipta, 1985). Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: BPHN-Alumni, 1983). Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah, Teori, dan Praktiknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003). P. Lafferty, Personal Computing, (London, 1981). Robert P. Merges, et. al., Intellectual Property in the New Technological Age, (New York: Aspen Publishers, 2003). Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005). Sri Soedewi Masjchoen Sofwa, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1981). Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, (Jakarta: Novindo, 2002). Tim Lindsey, et. al., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung: PT Alumni, 2003).
Penggunaan Prinsip de Minimis, Kesuma Wardhana
280
Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, (Lembar Negara No. 15 Tahun 1982, Tambahan Lembar Negara No. 3217). –––. Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta, (Lembar Negara No. 42 Tahun 1987, Tambahan Lembar Negara No. 3362). –––. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentangPerubahan Atas Undangundang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, (Lembar Negara No. 29 Tahun 1997, Tambahan Lembar Negara No. 3679). –––. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, (Lembar Negara No. 85 Tahun 2002, Tambahan Lembar Negara No. 4220). –––. Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, (Lembar Negara No. 266 Tahun 2014, Tambahan Lembar Negara No. 5599). International Bureau of WIPO, International Protection of Copyrights and Neighboring Rights, WIPO/CNR/ABU/93/2. Jurnal Andrew Inesi, "A Theory of De Minimis and A Proposal for Its Application in Copyright", Berkeley Technology Law Journal Vol. 21, No. 945 (2006). Bruce Perelman, "Proving Copyright Infringement of Computer Software: An Analytical Framework", Loyola of Los Angeles Law Review Vol. 18, No. 3 (1985). David I. Bainbridge, “The Scope of Copyright Protection for Computer Programs”, The Modern Law Review 54, No. 5 (1991). George N. Grammas, “The Test for Proving Copyright Infringement of Computer Software: "Structure, Sequence, and Organization" and "Look and Feel" Cases”, William Mitchell Law Review Vol. 14, No. 1 (1988). Jeffrey Brown, “How Much Is Too Much? The Application of the De Minimis Doctrine to the Fourth Amendment”, Mississippi Law Journal Vol. 82, No. 6 (2006). Jennifer R. R. Mueller, "All Mixed Up: Bridgeport Music v. Dimension Films and De Minimis Digital Sampling", Indiana Law JournalVol. 81, No. 435 (2006). L. Ray Patterson, “Understanding Fair Use”, Law and Contemporary ProblemsVol. 55, No. 2 (1992). Richard Raysman dan Peterbrown, “Copyright Infringement of Computer Software and the ‘Altai’ Test”, New York Law Journal Vol. 235, No. 89 (2006). Susan A. Dunn, “Defining the Scope of Copyright Protection for Computer Software”, Stanford Law ReviewVol. 38, No. 2 (1986). Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional, ”Seminar Hak Cipta”, (1976).
281
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.2 Maret-Juni 2017
Internet PCMag, “Definition of Application Program”, http://www.pcmag.com/encyclopedia/term/37919/application-program, diakses pada tanggal 22 April 2016