2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pestisida Pestisida berasal dari bahasa latin yaitu pestis (hama) dan caedo (pembunuh), dapat diterjemahkan menjadi racun untuk mengendalikan jasad pengganggu atau yang biasa juga disebut organisma pengganggu tanaman (OPT). Pestisida adalah semua zat yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1973, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan-bahan lain serta jasad-jasad renik dari virus yang digunakan untuk: 1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian 2. Memberantas rerumputan 3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan 4. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan dan ternak 5. Memberantas atau mencegah hama-hama air 6. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman, tidak termasuk pupuk 7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah, bangunan dan alat-alat pengangkutan 8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia atau binatang yang perlu dilindungi
dengan
penggunaan pada tanaman, tanah dan air. Pestisida merupakan pilihan utama yang sering digunakan untuk melindungi tanaman dari hama serta memberantas organisma pengganggu pada budidaya suatu tanaman sebab pestisida mempunyai daya bunuh yang tinggi, penggunaannya mudah, dan hasilnya cepat diketahui. Namun bila aplikasinya kurang bijaksana dapat membawa dampak negatif pada pengguna, hama sasaran, maupun terhadap lingkungan, masalah yang utama bagi kesehatan manusia adalah adanya residu pestisida dalam makanan karena hal ini dapat melibatkan sejumlah besar orang selama jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu efektivitas
penggunaan
pestisida
hanya
berdasarkan
sifat-sifat
racunnya
dan
direkomendasikan dalam dosis yang tepat pada batas yang aman (safety margins). Pestisida tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian saja, tetapi dalam bidang
dan
kegiatan
lainpun
memerlukan
pestisida
untuk
mengatasi
permasalahannya. Misalnya penggunaan dalam bidang kesehatan masyarakat, pestisida digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit demi kesehatan manusia dan lingkungannya yakni terdapatnya jenis-jenis penyakit yang dapat disebarkan oleh hewan-hewan perantara yang merupakan potensi bahaya bagi manusia, sehingga perlu dilakukan pengendalian ataupun pemberantasan populasi agar dapat mengurangi menyebaran penyakit. Penggunaan lain yaitu dalam bidang perikanan dan peternakan, pestisida ini digunakan untuk melindungi dan mengawetkan ikan, ataupun untuk melindungi ternak dari beberapa penyakit hewan yang disebabkan oleh serangga dan hewan lain misalnya cacing. Penggunaan pestisida dalam jumlah yang sangat kecilpun dapat menimbulkan permasalahan apalagi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Permasalahan tersebut dapat terjadi karena potensi racun (toksisitas) kimia, sifat keawetan di alam maupun substrat, variasi pemakaian dan penyiapan yang tidak sesuai serta adanya kecenderungan untuk biomagnifikasi.
Akumulasi pestisida
karena adanya absorpsi oleh alam melalui tanah, air dan mahluk hidup lainnya (Tarumengkeng 1992). Berdasarkan jenis hama dan sasarannya, pestisida terdiri atas beberapa kelompok yakni insektisida untuk membasmi serangga, herbisida untuk membasmi gulma, rodentisida untuk membasmi tikus, fungisida untuk membasmi jamur, moluskisida untuk membasmi siput, bakterisida untuk membasmi bakteri dan nematisida untuk membasmi cacing. Sedang berdasar jenis bahan kimia penyusunnya, pestisida dibagi atas empat golongan yaitu organoklorin, organofosfat, karbamat serta pestisida lain yang mengandung substansi organik. sebagian besar jenis pestisida termasuk senyawa-senyawa hidrokarbon siklik berklor, aromatik berklor, ester, alkil halida pendek (fumigan) dan fosfat organik (Ekha 1991; Tarumengkeng 1992). Usaha yang telah dilakukan untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida adalah menerapkan pola pengendalian
hama
terpadu,
mengembangkan
teknologi
mikroorganisme
efektif,
dan
menggunakan pestisida yang berasal dari tanaman atau pestisida nabati. Kontribusi pemerintah dalam usaha ini adalah memberikan izin penggunaan pada jenis pestisida yang mempunyai spektrum sempit serta mencabut subsidi pestisida agar harga pestisida menjadi mahal. Namun kenyataannya para petanipun masih menggunakan pestisida dalam jumlah yang cukup banyak, karena dengan menggunakan pestisida produksi pertanian mereka akan meningkat. Dengan demikian peningkatan produksi pertanian masih tergantung pada penggunaan pestisida. Keawetan pestisida dengan pemakaian normal dalam tanah sangat bervariasi tergantung pada struktur dan sifat senyawanya. Misalnya keawetan insektisida golongan organofosfat yang sangat beracun
dalam tanah sangat
rendah yaitu tidak akan tahan lebih dari tiga bulan seperti diazinon (3 bulan), disulfoton (4 minggu), forat (2 minggu), malation dan paration (sampai 2 minggu). Sebaliknya beberapa insektisida hidrokarbon terklorinasi dapat tetap bertahan sampai waktu yang lama (4-5) tahun, misalnya Klordan (5 tahun), DDT (4 tahun), BHC (3 tahun) heptaklor epoksida dan dieldrin (1-3 tahun) (Rao 1994). Pemakaian pestisida dalam jumlah yang sedikitpun namun secara terus menerus akan menyebabkan penimbunan residu dalam tanah dan menyebabkan meningkatnya penyerapan senyawa kimia tersebut oleh tanaman sehingga membahayakan bagi ternak dan manusia ataupun lingkungan. Apabila pestisida tersebut digunakan pada tanah yang baru diusahakan, akan lebih mudah hilang setelah adanya fase tenggang permulaan tetapi pemakaian senyawa kimia yang sama secara periodik akan menyebabkan terakumulasinya bahan yang digunakan tergantung keawetan pestisida tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan dan penyerapan pestisida dalam sistem biologis dikaitkan dengan antara lain (1) sifat fisik dan kimia inheren dan pestisida (misalnya, volatilisasi, kelarutan dalam air); (2) karakteristik fisiologis berbagai spesies (misalnya perilaku makan, jalur pengambilan, dan habitat); (3) sifat spesifik ekosistem (misalnya jenis sistem aliran, suhu, pH, bahan organik, struktur jaring makanan). Lenyapnya suatu pestisida tergantung pada konsentrasi awal senyawa kimianya di dalam tanah,
fotodekomposisi dan erosi tanah oleh air dan angin juga ikut menyumbang hilangnya pestisida dalam tanah. Toksisitas pestisida tergantung pada golongan pestisida itu sendiri misalnya insektisida organoklorin (OC) bersifat karsinogenik, cenderung mengalami bioakumulasi dan biomagnifikasi karena mampu bertahan tersimpan lama dalam lemak tubuh, serta dapat merangsang sistem saraf dan menyebabkan parestesia, peka terhadap perangsangan, iritabilitas, terganggunya keseimbangan, tremor dan kejang-kejang. Sedangkan golongan Organofosfat (OP) dan Karbamat tidak bersifat karsinogenik tetapi dapat menghambat asetilkolinesterase sehingga mengganggu sistem saraf yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Beberapa organofosfat, karbamat, organoklorin, fungisida ditiokarbamat, dan herbisida mengubah berbagai fungsi imun, misalnya malation, metilparation, karbaril, DDT, parakuat, dan dikuat telah terbukti dapat menekan pembentukan antibodi, mengganggu fagositosida leukosit, dan mengurangi pusat germinal pada limpa, dan kelenjar limpa (Koller 1979; Street 1981 dalam Lu 1995). Tanah dan sedimen juga sangat berperanan penting dalam pengangkutan dan penghilangan pencemaran di lingkungan dengan (1) menyediakan permukaan penyerapan; (2) bertindak sebagai sistem penyangga; dan (3) sebagai pencuci pencemar. Namun proses pengangkutan paling menonjol yang berhubungan dengan tanah dan sedimen adalah penyerapan (adsorpsi) dan pencucian (Connel 1995).
2.2. Diazinon Diazinon merupakan salah satu pestisida yang termasuk golongan organofosfat dari grup fosforotioat/fosforotionat (Chambers 1992). Diazinon merupakan insektisida yang sangat efektif digunakan untuk memberantas dan membasmi, ataupun mengendalikan hama-hama tanaman seperti kutu daun, lalat, wereng, kumbang penggerek padi, dan sebagainya. Diazinon umumnya digunakan pada tanaman buah, padi, tebu, jagung, dan tembakau serta tanaman hortikultura. Diazinon mempunyai nama kimia O,O-diethyl-O(2-isoprophyl-4-methyl-6pyrimidinyl)-phosphorithioate dengan rumus empiris C12H21N2O3PS. Kandungan
C 47.36%, H 6.95%, N 9.20%, O 15.77%, P 10.18% dan S 10.54%, dan rumus bangunnya seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Rumus bangun diazinon
Diazinon dikenal dengan beberapa nama formulasi (dagang) antara lain: Basudin, Dazzel, Gardentox, Kayazal, Knox Out, Nucidol, Spectracide, Diazinon 10 G, Diazinon 60 EC, Sidazinon 600 EC, Agrostar 600 EC, dan Prozinon 600 EC. Diazinon murni tidak berwarna dan berbentuk cairan, sedang diazinon teknis berwarna kecoklatan dan berbentuk cairan. Diazinon mempunyai bobot molekul 304.35 g/mol, titik didih antara 83 – 84oC pada 258 mPa, dan tekanan uap sebesar 1.4 x 10-4 mmHg pada suhu 20oC. Kelarutan dalam air 0.004% pada suhu 20oC, volatilitas 2.4 mg/m3 pada 20oC dan 17.6 mg/m3 pada 40oC (Marck Index, 1996). Diazinon mempunyai waktu paruh (waktu tinggal) 30 hari (Wauchope et al. 1992 dalam Leland 1998), larut dalam pelarut organik seperti alkohol, aseton, benzen, sikloheksana, diklorometana, dietil eter, petrolium eter, dan toluena. Sensitif terhadap oksidasi dan suhu tinggi, mudah terurai di atas suhu 100oC, stabil pada lingkungan alkali tetapi secara perlahan-lahan dapat terhidrolisis dalam air dan asam lemah tetapi dapat terhidrolisis dengan cepat dalam lingkungan yang asam (Hayes dan Laws 1991). Diazinon mempunyai spektrum daya bunuh yang luas terhadap serangga dan berbagai cacing tanah. Toksisitas akut secara oral adalah Lethal Dosis (LD50) pada tikus berkisar antara 66-600mg/kg, (McEwen dan Stephenson 1979). Diazinon lebih toksik pada burung dan ikan yaitu LD50 pada beberapa spesies burung 3-40 mg/kg dan pada beberapa spesies ikan LD50 0.4-8 μg/ml (Sumner et al. 1985 dalam Leland 1998). Walaupun masih sulit untuk menentukan dosis yang masih dapat diterima oleh manusia, namun FAO/WHO telah menetapkan batas
ambang aman (no observed effect level/NOEL) kadar diazinon dalam makanan adalah 0.02 mg/kg, sedang asupan harian yang dapat diterima (Acceptable Daily Intake/ADI) adalah 0.002 mg/kg/hari (Gallo & Lawryk 1991; Lu 1995). Beberapa penemuan toksikologi dan evaluasi pada beberapa jenis insektisida seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Penemuan toksikologi dan evaluasi pada insektisida tertentu Pestisida Azinfosmetil Klorfenvinfos Diazinon Diklorvos Dimetoat Disulfoton Malation Mevinfos Paration Paration-metil Triklorfon Aldikarb Karbaril Propoksur
LD50 NOEL (mg/kg) mg/kg Tikus Anjing Manusia 13 0.125 0.125 15 0.05 0.05 108 0.1 0.02 0.02 80 0.033 215 0.4 0.2 6.8 0.05 0.025 0.75 1375 5 0.2 6.1 0.02 0.025 0.014 13 0.05 14 0.1 0.375 0.1 630 2.5 1.25 -
ADI (mg/kg) 0.0025 0.002 0.002 0.004 0.02 0.002 0.02 0.0015 0.005 0.001 0.005
0.8 0.125 850 10 83 12.5
0.25 50
0.06
0.005 0.01 0.02
DDT 113 0.05 Aldrin/dieldrin 40 0.025 Klordan 335 0.25 Endrin 18 0.05 Heptaklor 100 0.25 Lindan 88 1.25 Metoksiklor 6000 10 Sumber: Lu (1995).
0.025 0.075 0.025 0 0.0625 1.6 -
-
0.01 0.001 0.001 0.0002 0.0005 0.01 0.1
Di bawah kondisi tertentu diazinon dapat membentuk senyawa yang berbahaya khususnya jika pelarut hidrokarbon terkontaminasi oleh sejumlah kecil air (0.1-2.0%) dan terkena udara, suhu, dan intensitas cahaya yang tinggi. Pada kondisi ini akan membentuk formasi monothiotepp (O,S-TEPP) dan Sulfotepp (S,S-TEPP). Senyawa-senyawa ini memiliki toksisitas yang tinggi dan mempunyai pengaruh yang kuat sebagai inhibitor pada sistem enzim kolinesterase (Allender dan Britt 1994). Diazinon mempunyai gugus organofosfat yang terikat dengan gugus nitrogen heterosiklik melalui ikatan ester, yang bersifat aromatik dan efektif mempengaruhi sistem saraf dimana diazinon akan menghambat asetilkolinesterase (AChE) sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dan tidak dapat berfungsi lagi sebagai neurotransmitter, kemudian akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleksi (kelumpuhan) dan paralisis jaringan (Lu 1995; EPA 1999). Selanjutnya saraf tidak dapat berfungsi sebagai pengatur atau pusat koordinasi pergerakan tubuh, dimana koordinasi pergerakan tubuh yang tidak teratur dapat mengakibatkan kematian . 2.3. Bioremediasi dan Biodegradasi Bioremediasi
didefinisikan
sebagai
proses
penguraian
limbah
organik/anorganik secara biologis dalam kondisi terkendali, umumnya melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (1) Menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (2) Memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (3) Penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi), (www.ipard.com). Menurut Yani et al. (2003) bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan proses alami biodegradasi dengan menggunakan aktivitas mikroba yang dapat memulihkan lahan tanah, air dan sedimen dari kontaminasi terutama senyawa organik. Citroreksoko (1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses degradasi bahan organik berbahaya secara biologi menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam
anorganik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula. Sedang menurut Gumbira-Said dan Fauzi (1996) bioremediasi merupakan proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen tanah dan air yang telah tercemar oleh kegiatan manusia. Bahan pencemar tersebut biasanya merupakan senyawa xenobiotik (asing di alam) misalnya residu pestisida, deterjen, limbah eksplorasi dari pengolahan minyak bumi dan residu amunisi. Senyawa-senyawa tersebut bersifat rekalsitran (sulit terdegradasi) sehingga senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Lebih lanjut Subroto (1996) menerangkan bahwa bioremediasi merupakan proses dekontaminasi yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan lebih murah dibanding dengan metode penanganan limbah lain yang telah ada. Beberapa dekade terakhir, teknik bioremediasi adalah merupakan salah satu cara penanganan secara cepat dalam pengolahan limbah dalam suatu industri, karena teknik bioremediasi merupakan suatu metode yang efektif dan ekonomis sebagai suatu alternatif untuk membersihkan tanah, permukaan air dan kontaminasi air tanah yang mengandung sejumlah bahan beracun seperti rekasitran dan kimia. Bioremediasi tidak hanya mendegradasi polutan tetapi juga digunakan untuk menyerap bahan-bahan logam dan mineral dan memisahkan zatzat yang tidak diinginkan dalam udara, air, tanah dan bahan baku proses produksi (industri). Proses bioremediasi didasarkan pada siklus karbon untuk mendaur ulang senyawa organik dan anorganik melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Bioremediasi dapat dilakukan secara in situ ataupun secara ex situ. Secara
in situ yaitu
bioremediasi dilakukan langsung di lingkungan yang tercemar sedang secara ex situ yaitu bioremediasi dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi cemaran kontaminan organik (Citroreksoko 1996). Proses bioremediasi didasari oleh dekomposisi bahan organik di biosfer yang dilakukan oleh mikroorganisme (bakteri, kapang, khamir, dan jamur heterotropik) yang memiliki kemampuan memanfaatkan senyawa organik alami
sebagai sumber karbon dan nitrogen. Teknologi bioremediasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu teknik dalam penanganan limbah senyawa kimia sintetis seperti pestisida senyawa kloroaromatik, senyawa kloroalipatik, dan sebagainya. Biodegradasi merupakan penguraian suatu senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana oleh mikroba (Ohshiro et al. 1996). Sedang Gumbira-Said dan Fauzi (1996) menerangkan bahwa biodegradasi merupakan transformasi struktur dalam senyawa oleh pengaruh biologis sehingga terjadi perubahan integritas molekuler. Dalam proses degradasi kondisi lingkungan harus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Berbagai reaksi enzimatik yang terjadi dalam proses bioremediasi dapat berupa reaksi oksidasi, hidrolisis, dehalogenasi dan reaksi gugus nitro. Reaksi ini dikenal
dengan
proses
kometabolisme
dimana
mikroorganisme
tidak
memanfaatkan kontaminan sebagai sumber substrat tetapi kontaminan tersebut dapat terdegradasi. Keberhasilan proses degradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim. Aktivitasnya dioptimasikan dengan pengaturan kondisi dan pemberian suplemen yang sesuai. Faktor-faktor lain yang berpengaruh dan mendukung proses biodegradasi adalah: 1. Oksigen Keberadaan
oksigen
merupakan
faktor
pembatas
laju
degradasi
hidrokarbon dan juga dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri aerob. Oksigen digunakan
untuk
mengkatabolisme
senyawa
hidrokarbon
dengan
cara
mengoksidasi substrat dengan katalisis enzim oksidase. Ketersediaan oksigen dalam tanah tergantung pada kecepatan konsumsi oleh mikroorganisme tanah, tipe tanah dan kehadiran substrat lain juga bereaksi dengan oksigen. 2. Kelembaban Kelembaban tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik mikroorganisme. Namun kandungan air dalam tanah yang terlalu tinggi selama proses bioremediasi berlangsung akan mengakibatkan sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah.
3. pH Tingkat keasaman (pH) juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroorganisme. Kebanyakan bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH netral (pH 6.5–7.5). Misalnya P. aeruginosa mampu tumbuh pada kisaran pH 6.6–7.0 dan mampu bertahan pada kisaran 5.6– 8.0, sedangkan bakteri tanah Rhizobium mampu bertahan pada kisaran pH 3.4– 8.1. 4. Suhu Suhu akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia, kecepatan degradasi oleh mikroorganisme serta komposisi komunitas mikroorganisme selama proses degradasi. 5. Nutrisi Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber karbon, energi dan keseimbangan metabolisme sel.
Boopathy (2000) menerangkan bahwa hasil dari setiap proses degradasi tergantung pada mikroorganisme (konsentrasi biomassa, keragaman populasi dan aktivitas enzim), substrat (karakteristik fisikokimia, struktur molekul dan konsentrasi), dan faktor lingkungan (pH, suhu, kelembaban, tersedianya akseptor elektron sebagai sumber karbon dan energi). Struktur molekul dan konsentrasi kontaminan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam proses bioremediasi serta tipe transformasi bakteri yang terjadi, meskipun senyawa tersebut dipakai sebagai substrat primer, sekunder atau kometabolit.
2.4. Degradasi Residu Pestisida Diazinon Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta adanya keinginan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan bebas polutan, telah banyak ditemukan upaya untuk meningkatkan kinerja mikroba indigenous, yang dilakukan dengan rekayasa kondisi lingkungan sehingga menjadi optimum. Hal ini dapat dilakukan secara in situ yaitu dengan pengkayaan terhadap kondisi lingkungan tercemar ataupun secara ex situ yaitu dengan mengisolasi mikroba indigenous untuk kemudian dipekerjakan pada suatu bioreaktor yang telah diatur kondisi optimum
lingkungannya untuk melakukan degradasi residu pestisida dari areal yang tercemar. Pestisida yang banyak tertinggal di alam harus didegradasi agar menjadi berkurang atau hilang secara keseluruhan. Penggunaan pestisida secara luas telah mengundang problem-problem yang disebabkan oleh interaksi antara zat-zat tersebut dengan sistim biologis alam. Residu pestisida secara alamiah dapat hilang atau terurai baik dalam lingkungan abiotik maupun dalam lingkungan biotik. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penguraian pestisida adalah penguapan, pencucian, pelapukan, pertumbuhan, cahaya dan dengan degradasi baik secara kimia, biologi, maupun secara fotokimia. Kecepatan degradasi pestisida di alam ataupun di dalam tumbuhan mengikuti kinetika ordo pertama yaitu kecepatan degradasi dipengaruhi oleh banyaknya pestisida dan faktor waktu. Residu pestisida dalam tanaman atau hewan menurun atau hilang akibat metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman atau hewan tersebut. Rani dan Lalithakumari (1994) dalam penelitiannya diperoleh Pseudomonas putida yang mampu mendegradasi pestisida organofosfat metil parathion. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Shelton et al. (1996) dilaporkan bahwa hampir seluruh herbisida dapat ditransformasikan oleh Streptomyces sp lebih dari 50% dari konsentrasi awalnya. Arthrobacter sp merupakan mikroba indigenous yang diisolasi dari tanah mampu mendegradasi pestisida organofosfat isoxathion, diazinon, parathion, EPN, fenithrothion, isophenfos, clorpyrifos, dan ethoprophos (Oshiro et al. 1996). Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Chaudhry et al. (1988) mengisolasi bakteri dari tanah dan diidentifikasi sebagai genus Pseudomonas sp yang dapat mendegradasi parathion dan metil parathion. Menurut Rao (1994) bahwa beberapa genus mikroorganisme yang mampu menguraikan pestisida golongan organoklorin jenis DDT menjadi DDD dalam tanah antara lain:
Achromobacter, Aerobacter, Agrobacterium, Bacillus,
Clostridium, Streptonebacterium, Escherichia, Erwinia, Kurthia, Pseudomonas, dan
Streptococcus.
Aldrin diubah menjadi dieldrin (namun sifat-sifat
insektisidanya tidak hilang) oleh mikroorganisme genus Trichoderma, Fusarium, Penicillium, dan Pseudomonas. Heptaklor diubah menjadi heptaklor epoksida
oleh Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Trichoderma, Nocardia, Streptomyces, Bacillus, dan Micromonospora.. Sedangkan pestisida golongan organofosfat diketahui dapat diuraikan oleh mikroorganisme genus Torulopsis, Chlorella, Pseudomonas, Thiobacillus, dan Trichoderma. Penelitian yang dilakukan oleh Britton (1984) dalam Cookson (1995) melaporkan bahwa Bacillus sp dan Pseudomonas sp dominan untuk mendegradasi hidrokarbon demikian pula Chromobacterium sp dan Azetobacteri sp juga mempunyai
kemampuan
seperti
Pseudomonas
sp
dalam
mendegradasi
hidrokarbon. Aktivitas bersama Pseudomonas stutzeri dan Pseudomonas aeruginosa dapat mendegradasi paration. Sedangkan Bacillus cereus dapat mendegradasi pestisida jenis piretroid (Cookson 1995). Mikroba yang ada dalam SMC diharapkan mampu melakukan degradasi terhadap diazinon. Faktor yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi dan degradasi diazinon yaitu faktor fisik, kimiawi dan faktor mikrobial. Namun kenyataannya sulit untuk membedakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh karena struktur tanah yang kompleks, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya proses absorpsi molekul pestisida ke dalam zat-zat yang ada dalam tanah ataupun yang ada dalam jaringan tumbuhan (Bollag 1974). Dalam penelitian ini diharapkan agar biodegradasi yang terjadi adalah degradasi yang melibatkan metabolisme mikroba dimana mikroba tersebut mampu menggunakan senyawa diazinon sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber karbon dan energi juga dapat terjadi gangguan mikrobial yakni terjadinya transformasi kometabolisme reaksi konjugasi dan akumulasi pestisida dalam sel mikroba itu sendiri dan dapat menyebabkan terbentuknya senyawa-senyawa yang lebih toksik dari pada senyawa asalnya (Bollag 1974). Reaksi perubahan zat racun yang mungkin terjadi ialah oksidasi, reduksi, hidrolisis dan sintesis. Setiap reaksi tersebut merupakan bagian dari berbagai kegiatan metabolisme yang berlangsung dalam tubuh organisme. Proses detoksifikasi zat racun berlangsung dalam dua tahap yaitu tahap primer dan sekunder. Tahap primer (proses non sintesis) melalui reaksi oksidasi, hidrolisis dan kegiatan enzimatik yang menghasilkan produk-produk yang bersifat polar.
Sedang tahap sekunder (proses sintesis) adalah reaksi yang menghasilkan konjugat-konjugat sebagai produk sintesis (Tarumengkeng 1995). Formulasi diazinon terdegradasi menjadi sejumlah tetraetilpirofosfat, menghasilkan sulfotepp (S,S-TEPP) dan monothiotepp (O,S-TEPP) seperti pada Gambar 2 (a dan b), kedua senyawa tersebut mempunyai sifat toksik yang lebih tinggi dan merupakan inhibitor enzim kolinesterase terutama O,S-TEPP yaitu 14000 kali lebih toksik dari pada diazinon (Allender dan Britt 1994). Komponen heterosiklik diazinon dapat diaktivasi oleh enzim monooksidase yang membentuk derivatif P = O menghasilkan diazoxon (Gambar 2c) yang juga bersifat lebih toksik dari diazinon karena adanya aktivitas anti asetilkholinesterase (Zhang dan Pehkonen, 1999). Secara umum diazinon mempunyai rute degradasi mencakup pemutusan ikatan P – O – Pirimidin oleh aktivitas NADPH-dependent oksidase. Pelepasan diazinon ke dalam tanah diharapkan tidak terikat pada tanah akan tetapi bergerak mengalir dalam tanah. Fotolisis diazinon terjadi pada permukaan tanah yang membentuk produk berupa senyawa 2-(1-hidroksi-1-metil)etil-4-metil6-hidroksipirimidin (Gambar 2d).
+ da fotolisis
fotolisis/ hidrolisis
oksidasi
ca
dekomposisi
fa
ea
asetilasi
Diazinon dekomposisi
aa
Gambar 2 Produk-produk degradasi diazinon
ga
ba
Proses pembentukan metabolit diazinon (reaksi transformasi enzimatik) terjadi melalui reaksi primernya yaitu hidrolisis yang diikuti oleh reaksi pemecahan rantai cincin diazinon, sehingga diazinon terdegradasi pada reaksi primer menjadi 2-isopropil-4-metil-6-pirimidinol (IMP) dan tiofosfonat. Menurut Ku et al. (1997) bahwa dekomposisi diazinon secara hidrolisis dan fotolisis berkaitan erat dengan pH dan intensitas cahaya ultraviolet yang membentuk senyawa IMP dan tiofosfonat (Gambar 2e dan 2f). Produk hidrolisis dan fotolisis tersebut diidentifikasi sebagai senyawa yang sifat toksiknya menurun dibanding dengan senyawa diazinon (Bollag 1974). Menurut Machin et al. (1971) dalam Gallo dan Lawryk (1991) bahwa irradiasi sinar ultraviolat pada diazinon selama 2 jam maka dapat mensubstitusi gugus isopropil pada cincin menjadi gugus asetil (Gambar 2g) . Senyawa tersebut merupakan inhibitor kolinesterase tidak langsung dan lebih kuat dari pada diazinon. Secara alamiah di lingkungan yang tercemar
diazinon mengandung
beraneka ragam mikroorganisme sehingga polutan yang ada di lingkungan tersebut dapat didegradasi. Degradasi diazinon tidak hanya dilakukan oleh mikroba yang ada di lingkungan tersebut (mikroba indigenous), tetapi dengan adanya
cahaya
diazinon
juga
dapat
terdegradasi.
Mikroba
indigenous
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk beradaptasi dengan bahan/senyawa pencemar (residu pestisida), yang disebabkan karena mikroba tersebut tidak pernah berhubungan langsung dengan residu pestisida tersebut. Oleh karena itu perlu suatu adaptasi dimana dalam proses adaptasi mikroba tersebut berusaha mengeluarkan enzim dan plasmid yang dapat mendetoksifikasi senyawa yang akan didegradasi. Tapi sebaliknya sering pula terjadi aktivasi yaitu zat racun lebih dimodifikasi dan dikonversi menjadi zat yang lebih beracun. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suherman (2000) telah dapat diisolasi mikroba indigenous galur B3 yang dapat mendegradasi diazinon. Isolat tersebut menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi dengan diazinon sampai konsentrasi 1000 ppm dalam media agar. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Ningsih (2001) menunjukkan bahwa isolat B3 mampu hidup dalam lingkungan yang mengandung diazinon pada konsentrasi 200 ppm.
Isolat B3 yang diisolasi dari areal persawahan mampu menurunkan konsentrasi residu diazinon sebesar 55.52% pada konsentrasi 50 ppm (54.98 ppm) dan sebesar 68.34% untuk konsentrasi 100 ppm (118.82 ppm) selama kurun waktu 27 jam (Suherman 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2001) yakni untuk melihat kemampuan isolat B3 dalam mendegradasi diazinon, ternyata isolat B3 dapat menurunkan konsentrasi diazinon 54.82% pada konsentrasi diazinon 50 ppm, sebesar 79.66% pada konsentrasi diazinon 100 ppm, dan sebesar 36.75% pada konsentrasi diazinon 200 ppm. Menurut Bollag (1974) diazinon mempunyai masa persistensi selama 9 hari di dalam tanah, sehingga dapat disimpulkan bahwa penurunan konsenstrasi diazinon diakibatkan karena terdegradasinya diazinon secara mikrobial (Suherman 2000; Ningsih 2001).
2.5. Kompos Menurut Indriani (1999) kompos adalah bahan organik yang telah mengalami degradasi/penguraian/pengomposan sehingga berubah bentuk dan sudah tidak dikenali bentuk aslinya, warna kehitam-hitaman, dan tidak berbau. Bahan organik berasal dari tanaman maupun hewan, termasuk kotoran hewan. Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan dalam tanah, serta mengandung zat-zat organik yang dibutuhkan tanaman. Penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat kimia tanah yang diperbaiki di antaranya adalah meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, dan sulfur. Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kandungan utama kompos selain bahan organik, kompos juga mengandung unsur-unsur hara makro dan mikro seperti nitrogen, fosfat, kalium, magnesium, besi, dan mangan. Susunan unsur hara yang dikandung oleh kompos bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, tingkat kematangan, dan cara penyimpanan (US-EPA 1994). Kandungan unsur hara
dalam kompos relatif kecil bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Oleh karena itu pupuk kimia lebih banyak digunakan oleh petani, selain karena kandungan unsur-unsur yang tinggi juga karena kemudahan dalam pengaplikasiannya. Tetapi penggunaan pupuk kimia tersebut akan memberikan efek yang merugikan karena dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahaya residu bahan kimia terhadap kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi penggunaan pupuk organik) kompos dengan pupuk anorganik masih merupakan salah satu solusinya, tetapi porsi pupuk organik perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas produksi. Kualitas kompos sangat dipengaruhi oleh kematangan kompos. Kompos yang telah matang memiliki kandungan bahan organik yang dapat terdekomposisi dengan mudah, nisbah C/N yang rendah, tidak menyebabkan bau, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur-unsur yang merugikan bagi tanaman (phytotoxic, benih rumput dan patogen). Beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa penggunaan kompos dalam proses bioremediasi telah terbukti efektif dalam mendegradasi banyak jenis kontaminan seperti hidrokarbon terklorinasi dan tak terklorionasi, bahan-bahan kimia pengawet kayu, pelarut, logam berat, pestisida, produk-produk minyak, bahan peledak dan senyawa-senyawa senobiotik lainnya (EPA 1997; EPA 1999; Gray et al. 1999; Baker & Bryson 2002).
2.6. Bioremediasi Menggunakan Kompos Beberapa tahun terakhir di negara-negara barat telah dikembangkan teknik bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation), namun di Indonesia belum berkembang sama sekali. Perkembangan yang telah ada masih terfokus pada proses bioremediasi in situ yaitu dengan melakukan pengkayaan terhadap kondisi optimum lingkungan tercemar, maupun secara ex situ yaitu dilakukan dalam suatu reaktor dengan mengisolasi mikroba kemudian dikondisikan dengan lingkungan untuk melakukan degradasi dari areal tercemar. Bioremediasi menggunakan kompos (compost bioremediation) merupakan upaya penanganan masalah limbah dan pencemaran lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme yang ada dalam kompos tersebut untuk
mendegradasi
kontaminan
air
atau
tanah.
Dalam
proses
bioremediasi
menggunakan kompos, mikroorganisme dalam kompos akan mengkonsumsi kontaminan dalam tanah, air tanah, permukaan tanah maupun udara. Kontaminan tersebut dicerna, dimetabolisme dan diubah menjadi humus dan produk-produk akhir seperti CO2, air dan garam-garam. Aplikasi teknik bioremediasi menggunakan kompos mempunyai beberapa keunggulan dan lebih ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya sehingga teknologi bioremediasi menggunakan kompos lebih disenangi dan diminati (US-EPA 1997, 1998). Beberapa keunggulan teknik bioremediasi menggunakan kompos antara lain: 1. Kompos mempunyai keragaman populasi mikroba yang terlibat dalam proses degradasi yakni sekitar 5-10 kali lebih banyak dibandingkan dengan kandungan mikroba dalam tanah yang subur 2. Tingginya aktivitas mikroba dalam proses yakni sekitar 20-40 kali lebih aktif dalam hal aktivitas dehidrogenasi dibanding dengan aktivitas dalam tanah yang subur 3. Kompos tidak mengandung hama dan penyakit serta tidak membahayakan pertumbuhan atau produk tanaman 4. Kompos dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit 5. Kompos tidak mengakibatkan pencemaran dalam tanah, air ataupun udara 6. Kompos merupakan absorben yang sangat baik untuk senyawa-senyawa organik maupun anorganik.
2.7. Kompos Limbah Media Jamur (Spent Mushroom Compost/SMC) Miselia jamur sebagian besar tersusun atas selulosa, hemiselulosa dan lignin, serta vitamin dan mineral, sehingga limbah substrat (media) tanam jamur masih mengandung sejumlah besar unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Formula substrat (media) yang digunakan adalah berupa serbuk gergaji, dedak, gypsum dan kapur (CaCO3). SMC adalah merupakan limbah media pembibitan jamur dimana selama dijadikan sebagai media taman maka bahan tersebut mengalami proses pengomposan. SMC ini masih merupakan kompos setengah matang yang dapat mendegradasi diazinon menjadi beberapa produk turunan.
SMC merupakan limbah hasil industri budidaya jamur yang berlimpah sehingga sangat memungkinkan untuk gunakan dalam proses bioremediasi. Kompos limbah media jamur (spent mushroom compost/SMC) ini banyak mengandung nutrisi (kandungan bahan organik tinggi) di antaranya sebagai sumber fosfor, kalium, nitrogen, kalsium, sulfur dan unsur-unsur lainnya seperti besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng sehingga dapat memperbaiki sifat fisik tanah, struktur, tekstur, porositas, dan meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan cacing tanah sehingga memudahkan dalam penghancuran tanah pada saat diolah
(Anonim 2003). Karakteristik kompos
limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik kompos limbah media jamur Sifat fisik
Keuntungan
Bahan organik 65 %
• Meningkatkan struktur dan tekstur tanah. • Meningkatkan aktivitas biologis tanah • Berasal dari rerumputan dan tanaman patogen • Sumber bahan organik N, P, K, Ca, dan S • Sumber bahan organik Fe, Na, Mn, Br, Cu, dan Zn.
Bebas dari polutan Kandungan nutrisi utama Unsur lain (dalam jumlah kecil) Sumber: Anonim (2003)
Spent Mushroom Compost (SMC) telah diaplikasikan pada kontaminasi organopolutan, ternyata kompos limbah media jamur dapat mendegradasi polyciclyc aromatic hydrocarbon (PAHs) dengan sempurna menjadi napthalene, phenanthrene,
benzo[a]pyrene, dan benzo[g,h,i]perylene. SMC juga dapat
menghilangkan polutan penthaclorophenol (PCP) dan dapat digunakan sebagai pengganti humus pada sistem biobed yang menggunakan bahan organik untuk mengadsorpsi dan mendegradasi pestisida. PCP dapat dimineralisasi apabila diinkubasi dengan kompos setelah masa pengkayaan yang sesuai. Bakteri yang diisolasi dari kompos jamur Pleurotus pulminarius mampu toleran hingga 100 ppm PCP namun bakteri ini belum diketahui identitasnya (Lau et al. 2003).
Penggunaan
kompos limbah media jamur dalam proses bioremediasi
pestisida merupakan salah satu upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan dan dapat meningkatkan nilai tambah limbah yang dihasilkan dari industri budidaya jamur. SMC mempunyai beberapa keuntungan bila digunakan dalam proses bioremediasi dibanding jika menggunakan karbon aktif dan bakteri karena SMC mudah didapatkan dan biaya yang murah serta cara memproduksinya relatif simpel. SMC ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki sifat dan struktur tanah karena kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanah seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur, besi, natrium, mangan, boron, tembaga, dan seng (Anonim 2003). Komposisi kompos limbah media jamur seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kompos limbah media jamur Ketersediaan nutrien pH EC (mS/m) Nitrogen nitrat Nitrogen amonia Phosphor (P) Kalium (K) Natrium (Na) Klorida (Cl) Kerapatan massa (g/l) % Bahan kering (DM) Kadar abu (%)
Sumber: Anonim (2003)
Total kandungan nutrien 6.6 750 (mg/l) 62 49 31 2130 253 118 319 31.5 35.0
Nitrogen (N) Phosphor (P) Kalium (K) Calsium (Ca) Magnesium (Mg) Sulphur (S) Natrium (Na) Besi (Fe) Mangan (Mn) Boron (B) Cu Seng (Zn)
(g/kg) 22.5 12.5 25.0 72.5 6.7 15.9 2.7 (mg/kg) 2153 376 37 46 273