PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI
RAZALI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2007
Razali NIM B161030061
3
ABSTRAK RAZALI. Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai. Di bawah bimbingan DENNY WIDAYA LUKMAN, SRIHADI AGUNGPRIYONO, dan MIRNAWATI SUDARWANTO. Selama beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi penyalahgunaan ayam bangkai yang dijual sebagai daging ayam untuk konsumsi manusia. Untuk membuktikan penyalahgunaan daging ayam bangkai tersebut maka dibutuhkan suatu cara yang praktis yang mampu membedakan antara daging ayam bangkai atau bukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah daging yang berasal dari ayam bangkai dapat dideteksi melalui beberapa metode biologis yang terdiri dari aspek histologis (persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot, diameter serabut otot, jarak antar serabut otot, gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta persentase eksudasi), dan parameter kualitas daging yakni angka keempukan daging (Warner-Bratzler atau WB), warna daging CIE L* a* b* dan angka nitrogen nonprotein (NPN) daging. Disamping itu juga digunakan nilai impedansi. Penelitian ini menggunakan tiga puluh sampel daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam yang terbagi dalam tiga kategori yakni yang berasal dari ayam hidup disembelih secara halal (AHS), ayam mati disembelih (AMS) dan ayam lemah disembelih (ALS). Sampel daging yang diambil dari otot tersebut dianalisis pada 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada dan otot paha AMS signifikan (p<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan persentase degenerasi dan nekrosa pada otot dada dan otot paha AHS dan ALS. Jarak antar serabut otot pada AMS signifikan (p<0.05) lebih lebar dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AHS dan ALS. Lumen arteri dan vena pada AMS dan ALS terjadi kongesti yang berat akibat retensi darah dan eksudasi pada jaringan otot AMS mencapai 50%. Nilai WB otot dada dan otot paha AMS signifikan (p<0.05) lebih rendah setelah 9 jam postmortem. Nilai L* pada AMS signifikan (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan nilai L* pada AHS dan ALS, sedangkan nilai a* pada AMS signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai a* pada AHS, namun nilai b* tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persentase NPN tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ketiga sampel daging. Nilai impedansi signifikan lebih rendah pada AMS sehingga menjadi suatu indikator pembeda dalam identifikasi daging ayam bangkai. Nilai impedansi memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap persentase degenerasi serabut otot (p<0.01, r = -0.56), nekrosa serabut otot (p<0.01, r = -0.72), serta terhadap jarak antar serabut otot (p<0.01, r = -0.52). Hasil korelasi mencerminkan bahwa tingkat kerusakan jaringan memperlihatkan hubungan yang erat dengan nilai impedansi. Terhadap beberapa nilai WB daging dada dan paha, maka nilai impedansi memiliki korelasi positif (p<0.01, r = 0.62) yang signifikan, artinya semakin lunak jaringan otot maka semakin rendah nilai impedansi yang didapat. Kata kunci: ayam bangkai, nilai impedansi, Warner-Bratzler shear, L* a* b*, NPN
4
ABSTRACT RAZALI. The Use of Biological Methods and Impedance Value in the Detection of Meat of Slaughtered Dead Chicken. Under the direction of DENNY WIDAYA LUKMAN, SRIHADI AGUNGPRIYONO, and MIRNAWATI SUDARWANTO In recent years, there has been an increasing an abuse of slaughtered dead chicken for human consumption, so it is important to find a practice method in order to distinguish whether meat chicken from slaughtered dead chicken or not. Experiments were conducted to determine 1) whether breast and thigh meat from slaughtered dead chicken can be identified through quality attributes of meat (Warner-Bratzler (WB) shear value, CIE L* a* b* color, nonprotein nitrogen (NPN), histological changes and 2) probably using the impedance value. Thirty samples of breast and thigh meat were obtained from commercial slaughtering house classified into three groups namely halal slaughtered healthy chicken (AHS), slaughtered dead chicken (AMS), and slaughtered stressed chicken (ALS). Breast (M. pectoralis) and thigh (M. biceps femoris) muscles were used to histological procedures (degenerated and necrotic, muscle fiber diameter, muscle fibers interstitials space, arteriae and venae) and to assess WB, color, NPN and impedance value at 1, 5 and 9 h postmortem (PM). This study showed that percentage of degenerated and necrotic muscle fibres of breast and thigh meat of AMS and ALS were significantly higher (p<0.05) than of AHS. The muscle fiber interstitials spaces of AMS were significantly (p<0.05) wider than of AHS and ALS. The lumen of arteriae and venae of AMS and ALS were congested by blood retained within. All shear values of the breast meat were not different but the thigh meat were significantly lower (p<0.05) at 9 PM. Statistically the lightness (L*) value of breast and thigh meat of AMS and ALS were lower whereas the redness (a*) value of breast and thigh meat of AMS were significantly higher (p<0.05) than AHS and ALS. There were no significant differences the NPN value among the three groups. This study indicated that the impedance value of AMS were significantly lower (p<0.05) than AHS and ALS, and it can be used to distinguish the breast and thigh meat from slaughtered dead chicken and from the halal slaughtered meat. The impedance value of breast and thigh meat had significant negative correlation with degenerated muscle fiber (p<0.01, r = -0.56), necrotic muscle fiber (p<0.01, r = -0.72), and muscle fiber interstitial (p<0.01, r = -0.52). Whereas the impedance value of breast and thigh meat had significant positive correlation (p<0.01, r = 0.62) with WB value of thigh meat. These means the higher degradated of the tissue the lower value of impedance.
Key words: slaughtered dead chicken, impedance value, Warner-Bratzler shear, L* a* b*, NPN.
5
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
6
PENGGUNAAN METODE BIOLOGIS DAN NILAI IMPEDANSI UNTUK DETEKSI DAGING AYAM BANGKAI
RAZALI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
7 Judul Disertasi
: Penggunaan Metode Biologis dan Nilai Impedansi Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai Nama Mahasiswa : Razali Nomor Pokok : B161030061 Program Studi : Sains Veteriner
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Ketua
Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D. Anggota
Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dr. drh. Bambang P. Priyosoeryanto, MS Notodiputro, MSc
Tanggal Ujian : 29 Maret 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar
Tanggal Lulus :
8
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2005 ini adalah Penggunaan Beberapa Metode Biologis Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai dan Kemungkinan Penggunaaan Nilai Impedansi sebagai langkah awal untuk mendapatkan sebuah metode yang praktis dalam mendeteksi daging ayam yang berasal dari ayam bangkai. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. sebagai ketua komisi pembimbing, drh. Srihadi Agungpriyono, PhD., dan Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan yang telah diberikan. Kepada semua pegawai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Ir. Bregas Budianto, MSc. di Laboratorium Meteorologi dan Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan ide dan masukan terhadap modifikasi alat ukur nilai impedansi, Bapak Ir. Sofyan, MSi. di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, serta Dr. drh. Dewi Ratih di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak membantu dalam pengamatan mikroskopis. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan untuk isteriku Ir. Safrida, MSi. dan anakku Rajwa Syafiqa atas segala pengorbanan, dukungan, doa dan kasih sayangnya, juga kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, April 2007
Razali
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bireuen pada tanggal 3 Juli 1968 sebagai anak bungsu dari pasangan Mahyiddin Amin dan Ramlah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 1999. Penulis melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Sains Veteriner Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana (BPPs) Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh sejak tahun 1994. Bidang penelitian yang ditekuni adalah kesehatan dan keamanan produk pangan asal hewan. Sejak bertugas sebagai dosen di Unsyiah, penulis telah menjadi anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Karya ilmiah berjudul Penggunaan Beberapa Metode Biologis Untuk Deteksi Daging Ayam Bangkai dan Kemungkinan Penggunaan Nilai Impedansi telah disajikan pada Seminar Pascasarjana, IPB yaitu pada bulan Desember 2006. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Pengujian Kualitas Daging Ayam Bangkai Ditinjau Dari Beberapa Parameter Nilai Biologis pada jurnal Forum Pascasarjana. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Disertasi program S3 penulis.
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................... ........
viii
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................... ........
1
Identifikasi Masalah ......................................................................
4
Tujuan Penelitian ...........................................................................
4
Hipotesis ........................................................................................
4
Kegunaan Penelitian ......................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Struktur dan Karakter Otot Dada dan Otot Paha Ayam .................
5
Nilai Keempukan Daging Warner-Bratzler Shear (Nilai WB) .......
9
Warna Daging Dada dan Daging Paha Ayam .................................
10
Warna CIE L* a* b* .......................................................................
12
Nitrogen Nonprotein (NPN) ...........................................................
13
Nilai Impedansi ..............................................................................
15
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………
19
Bahan dan Alat Penelitian ………………………………………..
19
Rancangan Percobaan ………………………………………..……
20
Analisis Data ……………………………………………………...
21
Metode Penelitian ...........................................................................
22
Histologi Otot Dada dan Otot Paha ...............................................
22
Penilaian Angka Keempukan Daging (Warner-Bratzler Shear atau nilai WB) ..................................................................................
24
Pengukuran Warna Daging (CIE L* a* b*) ………………………
25
Pengukuran Nitrogen Nonprotein (NPN) ………………………..
25
Pengukuran Nilai Impedansi ..........................................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Patologi Anatomi Daging Dada dan Daging Paha Ayam................
28
11 Histologi Otot Dada dan Paha Ayam...............................................
28
Degenerasi dan Nekrosa Otot Dada dan Otot Paha Ayam.............
29
Diameter Serabut Otot (Muscle Fiber Diameter) ...........................
33
Pembuluh Darah Arteri dan Vena ...................................................
35
Jarak Antar Serabut Otot (Muscle Fiber Interstitials) .....................
37
Nilai Keempukan Daging (Warner-Bratzler shear atau nilai WB)...
41
Warna CIE L* a* b* ........................................................................
44
Nitrogen Nonprotein (NPN) ............................................................
49
Nilai Impedansi ...............................................................................
52
SIMPULAN ................................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
59
LAMPIRAN ................................................................................................
66
12
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada (M. pectoralis) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem......................................
30
Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem......................................
31
Rataan dan standar deviasi diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem ..................................................................................
34
Rataan dan standar deviasi jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem....................................................................................
38
Rataan dan standar deviasi nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem ..........
42
Rataan dan standar deviasi nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem...........
44
Rataan dan standar deviasi nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem...........
46
Rataan dan standar deviasi nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang dikur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem ...........
48
Rataan dan standar deviasi angka NPN daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.....................................
50
Rataan dan standar deviasi nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) serta daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem……..
53
13
11
Rangkuman standar angka degenerasi, nekrosa, jarak antar serabut otot, nilai keempukan, nilai CIE L* a* b*, angka NPN dan nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem..................................................................................
57
14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Potongan melintang serabut otot ayam memperlihatkan degenerasi hialin (A), serabut otot nekrosa (B), serabut otot mengecil (C) dan serabut otot yang memiliki rongga (D) ..........
7
2 Bidang pengujian nilai elektris pada daging ................................
15
3 Disain penelitian penggunaan beberapa metode biologis dan nilai impedansi untuk deteksi daging ayam bangkai. AHS: Ayam hidup disembelih, AMS: Ayam mati disembelih, dan ALS: Ayam lemah disembelih. ..................................................
21
4 Sampel daging yang berasal dari otot dada M. pectoralis (pe), dan yang berasal dari otot paha M. biceps femoris (bf) ayam broiler. Otot bagian kanan (1) pada daging dada dan bagian atas pada daging paha untuk analisis mikroskopis dan uji nilai WB, sedangkan otot bagian kiri (2) pada daging dada dan bagian bawah pada daging paha untuk analisis warna, NPN dan nilai impedansi......................................................................
22
5 Pengukuran jarak antar serabut otot ditandai dengan garis dengan ujung tanda panah (a) dan diameter serabut otot yang ditandai dengan garis dengan ujung bulat (b)..............................
23
6 Contoh hasil pengukuran nilai keempukan daging dengan menggunakan metode Warner-Bratzler shear yang ditandai dengan tampilan grafik hasil pemotongan sampel daging……...
24
7 Contoh alat ukur impedansi meter hasil modifikasi dari multimeter standar. Layar monitor (a) dan sensor elektroda (b).. ...................................................................
27
8 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur serabut otot. Sebagian besar serabut otot masih utuh pada AHS, sedangkan pada AMS dan ALS beberapa serabut otot mengalami degenerasi (tanda panah). Pewarnaan hematoksilin-eosin...........................
32
9 Potongan melintang otot paha (M. biceps femoris) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur histologi serabut otot. Serabut otot yang mengalami nekrosa (tanda panah) dapat dijumpai pada AMS dan ALS. Pada AHS bentuk serabut otot secara keseluruhan masih utuh dibandingkan dengan AMS dan ALS. Pewarnaan hematoksilin-eosin.............
33
15 10 Ukuran diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem...........................................................
35
11 Lumen pembuluh darah arteri pada otot dada (M. pectoralis) AHS 1 jam postmortem tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada AMS dan ALS, lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin.........
36
12 Lumen pembuluh darah vena pada otot paha (M. biceps femoris) AHS 1 jam postmortem, tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada otot paha AMS dan ALS, lumen pembuluh darah vena dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin....................................................
37
13 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. Jarak antar serabut otot (tanda panah) pada AMS dan ALS lebih besar daripada pada AHS. Pewarnaan hematoksilin-eosin....................................................
39
14 Histogram jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan jarak antar serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.....................................
39
15 Potongan melintang serabut otot dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem memperlihatkan eksudasi yang terjadi di antara serabut otot. Pada AMS terlihat eksudasi (tanda panah) sangat banyak, sedangkan pada ALS lebih sedikit dan pada AHS dalam persentase yang sangat kecil. Pewarnaan hematoksilin-eosin..................................................
40
16 Nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem ..................................
43
17 Nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem....................................
45
18 Nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.......................................
47
19 Nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.......................................
49
16 20 Nilai nitrogen nonprotein daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem..............................
51
21 Nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem...............
54
22 Nilai impedansi daging paha (M. biceps femoris) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem........................................................................
55
23 Contoh korelasi negatif antara persentase degenerasi serabut otot (DgSO) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem........................................................................
56
24 Contoh korelasi positif antara nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem.......................................
56
17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 1 jam postmortem ..........
66
2 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 5 jam postmortem .........
67
3 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 9 jam postmortem ........
68
4 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 1 jam postmortem ...................................................................................
69
5 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 5 jam postmortem ...................................................................................
70
6 Analisis korelasi antar parameter yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 9 jam postmortem ...................................................................................
71
18
PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam hal produk pangan masih tergolong besar (Apriyantono 2004).
Rumitnya permasalahan pangan
dewasa ini menuntut peran yang besar dari ilmuwan untuk mencari solusi demi kepentingan umat manusia. Salah satu permasalahan pangan hewani yang berasal dari ayam adalah maraknya penjualan daging ayam yang berasal dari ayam yang telah mati yang dikenal dengan ayam bangkai atau sebagian orang menyebutnya dengan sebutan ayam tiren atau ayam duren. Sampai saat ini metode yang mudah dan praktis untuk mengenali atau mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai belum ditemukan, sehingga permasalahan ini menuntut perhatian yang besar bagi beberapa peneliti untuk menemukan sebuah metode yang praktis dalam pendeteksiannya (Ibrahim 2004). Daging ayam merupakan salah satu santapan favorit yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Tetapi untuk mendapatkan daging ayam yang sehat dan halal di Indonesia ternyata bukanlah perkara yang mudah. Di Indonesia daging ayam sudah lazim dijual di berbagai tempat, mulai dari pedagang keliling, pasar tradisional sampai swalayan dan supermarket.
Sayangnya pemerintah
kurang ketat dalam mengawasi perdagangan daging ayam.
Penjualan daging
ayam bangkai telah lama terjadi di sejumlah kota di Indonesia (Anonim 1996; Purnama 2004). Tindakan ini sangat berbahaya baik dari segi kesehatan maupun dari pandangan syariat Islam. Berdasarkan perspektif hukum, memperjualbelikan daging asal bangkai termasuk kategori penipuan dan berdasarkan syariat Islam jelas hukumnya haram. Polisi dapat menjerat tersangka dengan pasal 501 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena menjual barang rusak atau bangkai, UndangUndang No.7 tahun 1996 tentang pangan, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. Disebutkan di dalam pasal
8
dari
Undang-undang
tersebut
bahwa
pelaku
usaha
dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau tercemar, tanpa memberikan informasi lengkap (Lukman 2002; Apriyantono 2004).
19 Menurut Apriyantono (2004), sampai saat ini deteksi kesegaran daging ayam termasuk daging ayam bangkai masih dilakukan dengan pendekatan organoleptik dan masih mengandalkan analisis secara visual yang sering kali menghasilkan penilaian yang salah. Walaupun ditinjau dari perubahan patologi anatomi dan histologi dapat diamati, namun prosedur tersebut membutuhkan waktu yang lama. Menurut Purnama (2004) beberapa ciri fisik daging yang berasal dari ayam bangkai adalah banyak darah di bagian dalam, bagian leher yang dipotong tampak menguncup yang menandakan ayam tersebut mati sebelum dipotong. Namun demikian ciri-ciri tersebut akan lebih sulit dikenali bila daging yang berasal dari ayam bangkai telah dicampur dengan daging dari ayam yang dipotong secara benar atau secara halal. Analisis nitrogen nonprotein (NPN) merupakan salah satu cara yang telah lama dilakukan terutama untuk mencari lamanya waktu kematian. Pendekatan seperti ini juga dilakukan pada mayat di rumah sakit untuk tujuan otopsi. Namun metode seperti ini memerlukan biaya yang tinggi, waktu yang relatif lama dan laboratorium yang memadai (Sasaki et al. 1983; Lucas et al. 1992). Sejauh ini penilaian NPN pada otot ayam yang segar (fresh raw chicken meat) belum pernah dilakukan untuk membedakan antara daging ayam yang berasal dari ayam bangkai dan yang berasal dari hasil pemotongan yang sebenarnya. Efisiensi pendarahan pada daging dapat diamati berdasarkan pada reaksi hemoglobin (Hb) darah dengan malachite green dan hidrogen peroksida. Efisiensi pendarahan dapat dinilai normal dan tidak sempurna berdasarkan warna yang dihasilkan. Namun metode ini masih bersifat semikuantitatif karena warna yang dihasilkan bersifat tidak stabil (Warriss 1977; Warris dan Leach 1978). Ketidakstabilan tersebut disebabkan karena adanya pigmen mioglobin disamping pigmen hemoglobin. Hasil penelitian pada daging sapi yang menggunakan 1 tetes malachite green 2% dan 1 tetes H2O2 12%, menunjukkan hasil reaksi hijau keruh pada daging bangkai dan warna biru jernih pada daging segar (Satriyo 2001). Berbeda halnya dengan ternak besar, penilaian Hb pada daging ayam sangat sulit, disebabkan konsentrasi Hb pada daging ayam sangat rendah. Oleh karena itu beberapa peneliti harus menggunakan metode yang lebih kompleks dan waktu
20 yang lebih lama untuk menghitung kadar Hb pada ayam, sehingga membuat metode ini tidak cocok untuk membedakan antara daging ayam bangkai dengan daging ayam yang berasal dari penyembelihan yang benar atau bukan bangkai. Eksplorasi secara mikroskopis masih dianggap sebagai suatu cara yang tepat walaupun membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu satu sampai dua hari untuk mendapatkan hasilnya (Razali 2001). Sejauh ini penggunaan metode histologi dan parameter perubahan fisik lain dalam membedakan daging dari ayam bangkai dan bukan dari bangkai masih belum dilaporkan, sehingga belum ada suatu ketentuan atau nilai standar tertentu untuk menilai suatu daging ayam bangkai berdasarkan parameter histologi. Kesulitan yang dihadapi dalam mendeteksi daging ayam bangkai melahirkan gagasan baru untuk mengembangkan suatu metode deteksi dengan mengaplikasikan nilai impedansi. Impedansi dapat didefinisikan sebagai suatu hambatan terhadap aliran arus listrik yang mengalir ketika aliran listrik tersebut melewati suatu material penghantar (Sylvia 1999). Prosedur ini dianggap dapat digunakan dengan asumsi bahwa daging dari ayam bangkai diduga memiliki perbedaan nilai hambatan aliran listrik dibandingkan dengan daging dari ayam bukan bangkai akibat adanya perbedaan perubahan fisik dan kimiawi yang terjadi antara kedua jenis daging ini. Penggunaan teknik pengukuran nilai impedansi telah lama dipakai sebagai suatu cara untuk menduga ketebalan lemak (Marchello dan Slanger 1992; Swantek et al. 1992), menilai kondisi fisiologis pada hewan (Lepetit et al. 2002; Ivorra et al. 2004), menilai keutuhan struktur dan membran (Mullen et al. 2000) dan menilai efektivitas pemingsanan listrik melalui gambaran impedansi otak pada broiler (Savenije et al. 2000). Akan tetapi tidak semua metode tersebut mencapai keberhasilan yang memuaskan. Metode deteksi daging ayam bangkai dengan menggunakan nilai impedansi diharapkan memiliki beberapa keunggulan antara lain cepat, efektif dilakukan di lapangan dan biaya yang dibutuhkan relatif jauh lebih murah.
21 Identifikasi Masalah -
Terdapat kesulitan dalam mendeteksi daging ayam bangkai terutama bila sudah dalam bentuk potongan atau bagian tubuh.
-
Belum ada informasi tentang karakteristik histologis daging ayam bangkai terutama gambaran serabut otot dan pembuluh darah, dan juga dari aspek nilai kualitas daging.
-
Aplikasi nilai impedansi memberi harapan besar dalam membantu pendeteksian daging ayam bangkai karena bersifat mudah, cepat dan nondestruktif.
Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah membuktikan apakah parameter histologis, keempukan daging, warna daging, nilai nitrogen nonprotein dapat dijadikan sebagai indikator untuk mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana nilai impedansi juga dapat dijadikan sebagai suatu alternatif yang praktis untuk mendeteksi daging ayam yang berasal dari ayam bangkai atau bukan bangkai.
Hipotesis Kualitas daging ayam bangkai dapat dideteksi dengan beberapa parameter biologis, kualitas daging dan dengan penggunaan nilai impedansi.
Kegunaan Penelitian Memudahkan dalam upaya mendeteksi daging yang berasal dari ayam bangkai dan sebagai kajian pendahuluan penggunaan nilai impedansi sebagai metode alternatif untuk mendeteksi daging ayam bangkai.
22
TINJAUAN PUSTAKA Struktur dan Karakter Otot Dada dan Otot Paha Ayam Berdasarkan fungsinya otot dada (M. pectoralis) pada ayam tergolong kepada otot sayap, karena berfungsi mengepakkan sayap. Otot ini merupakan otot yang paling kuat dan paling besar diantara otot-otot yang lainnya. Sedangkan otot paha (M. biceps femoris) termasuk otot ekstremitas yang tersusun sedemikian rupa sehingga daerah femur terdapat kelompok otot flexor persendian lutut dan ekstensor persendian paha yang terletak di sisi caudal, sebaliknya kelompok otot flexor persendian paha dan ekstensor persendian lutut terletak di sisi cranial (Getty 1975). Otot dada dan otot paha ayam termasuk kedalam golongan otot skelet. Serabut otot skelet memiliki banyak inti dan dipisahkan satu sama lain oleh sebuah jaringan ikat endomisium, perimisium dan epimisium. Di dalam satu serabut otot terdapat banyak miofibril. Miofibril ini tersusun dari banyak miofilamen aktin dan miosin. Dilihat dari potongan melintang maka bentuk serabut otot skelet adalah poligonal, memiliki banyak inti yang terletak pada bagian perifer. Kumpulan serabut otot membentuk bundel otot atau fasikulus (fasciculi) dan masing-masing bundel otot dipisahkan oleh jaringan ikat yang lebih tebal yang dinamakan jaringan ikat epimisium (Judge et al. 1989; Lopez 2004). Otot dada (M. Pectoralis merupakan otot unggas yang terbesar dan terdapat pada bagian superfisialis atau permukaan dada. Berat otot Pectoralis berkisar 8% dari berat tubuh unggas.
Sedangkan otot paha terdiri dari beberapa otot seperti
otot Sartorius, Biceps femoris, Semitendinosus dan Semimembranosus. Otot Pectoralis dan Biceps femoris adalah beberapa otot yang sering digunakan untuk pengujian kualitas daging pada karkas ayam (Soeparno 1992; McKee 2000). Berdasarkan sifat histokimia, serabut otot pada ayam digolongkan ke dalam dua golongan yaitu serabut tipe merah dan serabut tipe putih atau di dalam ilmu daging lebih dikenal dengan istilah red meat dan white meat. Klasifikasi ini didasarkan atas banyaknya intensitas warna mioglobin yang dikandung serabut otot merah dan serabut otot putih. Berbeda halnya dengan unggas terbang, pada
23 ayam otot dada tergolong ke dalam serabut otot putih dan otot paha termasuk ke dalam serabut otot merah walaupun mengandung juga sedikit serabut otot putih. Menurut McKee (2000) otot skelet ayam bahkan dapat dibagi ke dalam lima jenis tipe serabut otot yaitu tipe I, tipe IIA dan IIB dan tipe IIIA dan IIIB. Otot dada digolongkan ke dalam tipe IIB sedangkan otot paha termasuk ke dalam tipe I. Otot tipe IIIA dan IIIB tidak ditemukan pada mamalia namun hanya terdapat pada unggas. Menurut Van Laack et al. (2000) daging merah kurang peka terhadap kejadian Pale Soft Exudatif (PSE) dibandingkan dengan daging putih sebab kandungan mioglobin dan hemoglobin yang dimilikinya lebih banyak dari daging putih. Disamping itu serabut otot merah memiliki potensial glikolitik yang rendah, metabolisme oksidatif yang tinggi dan kandungan glikogen yang rendah. Serabut
otot
putih
peka
terhadap
kondisi
PSE
sebab
memiliki
ketergantungan yang tinggi pada glikolisis untuk mengimbangi homeostasis pada serabut otot setelah ayam disembelih.
Serabut otot putih memiliki potensial
glikolitik yang tinggi, jumlah glikogen yang tinggi, tetapi rendah metabolisme oksidatif dan juga rendah pigmen heme- nya (Anadon 2002; Ringkob et al. 2004). Karakteristik daging tidak hanya ditentukan oleh sifat biokimia otot tetapi dipengaruhi juga oleh struktur dan integritas otot (Berri et al. 2001; Koohmaraie et al. 2002). Sebuah hasil penelitian menunjukkan bahwa unggas hasil seleksi (improved strain) memiliki ukuran serabut otot yang lebih besar dibandingkan dengan unggas tanpa seleksi (unimproved strain), namun pada unggas hasil seleksi, kejadian kerusakan otot lebih besar atau lebih sering terjadi (Gatcliffe et al. 2001). Menurut Gatcliffe et al. (2001) kerusakan otot (focal myopathy) dapat digolongkan ke dalam beberapa bentuk antara lain (1) serabut otot yang membulat besar (large rounded fibres). Ini disebabkan oleh degenerasi hialin sehingga mengakibatkan kehilangan bentuk dan serabut otot nampak membesar dan bulat, (2) serabut otot yang mengalami nekrosa (necrotic fibres). Kerusakan ini ditandai dengan rusaknya membran dan struktur otot, akhirnya akan digantikan oleh jaringan lemak, (3) serabut otot yang mengecil (small angular fibres), sering terjadi pada unggas yang tua dan kondisi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi
24 degenerasi sebelum nekrosa, dan (4) serabut otot yang membentuk rongga di tengah (central core fibres) (Gambar 1). Kelainan ini kemungkinan disebabkan oleh tidak cukup suplai oksigen pada permukaan otot dan juga kurang difusi oksigen ke dalam serabut otot.
A
B
C
D
Gambar 1 Potongan melintang serabut otot ayam memperlihatkan degenerasi hialin (A), serabut otot nekrosa (B), serabut otot mengecil (C) dan serabut otot yang memiliki rongga (D) (Gatcliffe et al. 2001). Menurut Koohmaraie et al. (2002) ukuran otot sangat ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah protein otot yang disintesis dengan jumlah protein otot yang mengalami degradasi. Dransfield dan Sosnicki (1999) menyatakan bahwa tipe serabut otot merah ayam memiliki diameter serabut otot yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter serabut otot pada otot dada, namun kaya mioglobin serta teradaptasi dengan baik pada kondisi aerobik, memiliki tipe oksidatif, tahan terhadap kelelahan.
Serabut otot putih sebaliknya, memiliki
diameter serabut otot yang lebih besar, metabolisme glikolitik, cepat mengalami kelelahan. Menurut Dransfield dan Sosnicki (1999), ada tiga sistem proteolitik pada otot yaitu katepsin (lysosomal), kalpain (calcium-dependent) dan proteasom (adenosine triphosphate ubiquitin dependent).
Proteasom bertanggung jawab
terhadap sebagian besar turnover protein, kalpain bertanggung jawab terhadap degradasi sitoskeleton, sedangkan katepsin meningkat setelah otot mengalami sakit dan rusak.
Enzim katepsin dan kalpain memiliki peranan terhadap
25 proteolisis postmortem dalam melunakkan serabut otot sehingga menjadi lebih empuk. Hemorhagi pada daging dianggap sebagai suatu kelainan yang utama (Kranen et al. 2000) dan dapat terjadi pada semua spesies hewan penghasil daging. Kejadian ini terdapat pada otot skelet maupun pada lemak intermuskular serta pada jaringan ikat. Semua kelainan warna merah yang disebabkan oleh adanya hemoglobin ekstravaskular dianggap sebagai hemorhagi. Kelainan yang termasuk ke dalam kelainan antemortem maupun postmortem biasanya berasal dari sistim vaskular (Kranen et al. 2000). Ayam broiler yang telah mencapai berat tertentu untuk pemotongan, secara teknis biasanya ditangkap dan dimasukkan ke dalam truk untuk ditransportasikan ke tempat pemotongan. Stres akibat penanganan yang kasar dan ditambah dengan kondisi lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan lesio dan fraktur yang menjadi predisposisi terjadinya kerusakan jaringan otot.
Stres pada saat
penangkapan, penempatan di dalam tempat yang padat serta transportasi yang tidak nyaman dapat menyebabkan kematian ayam sebelum sampai ke tempat pemotongan. Kondisi ini bertambah berat bila perjalanan ke tempat pemotongan memakan waktu yang cukup lama sekitar 3-4 jam atau lebih dalam kondisi cuaca yang terlalu panas atau terlalu dingin.
Pada sistem pemotongan yang sudah
modern sekalipun, kasus kematian ayam sebelum penyembelihan dapat mencapai angka rata-rata 0.59% atau kurang dari itu (Warriss et al. 1992; Kannan et al. 1997). Setelah ayam dipotong maka metabolisme anaerobik akan mengurangi nilai pH di dalam otot dari 7.2 menjadi 5.8 sampai terjadinya rigor mortis. Hasil penelitian Alvarado dan Sams (2000) memperlihatkan bahwa pH otot menurun secara signifikan sampai 2 jam postmortem baik pada ayam yang dipingsankan maupun pada ayam yang tidak dipingsankan. Selain itu panjang sarkomer juga meningkat sampai 2 jam postmortem pada kelompok kontrol dan sampai 12 jam postmortem pada kelompok ayam yang dipingsankan.
Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pemingsanan dapat memperlambat rigor mortis sampai 2 jam postmortem, namun tidak berpengaruh nyata terhadap parameter keempukan, kecerahan dan nilai pH daging.
26 Kecepatan rigor mortis dipengaruhi oleh keadaan sebelum dan setelah pemotongan.
Stres karena panas merupakan salah satu contoh dari faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan glikolisis postmortem awal yang lebih cepat (Lawrie 1983; Dransfield dan Sosnicki 1999). Serabut otot yang bersifat glikolitik seperti otot dada memiliki sifat rigor mortis yang lebih cepat, sehingga pada otot dada ayam, rigor mortis hanya memerlukan waktu 1 jam (Mayer dan Neufeld 1980). Kinerja pertumbuhan juga mempengaruhi kecepatan dan kekuatan terjadinya rigor mortis pada daging. Pada pH akhir yang tinggi maka daya ikat air dari molekul miosin juga tinggi. Dengan demikian kecepatan penurunan pH pada otot dada sekitar 0.04 unit/menit, sekitar 2 kali lebih cepat dari tipe otot yang pertumbuhannya lambat. Biasanya 15 menit setelah pemotongan nilai pH bervariasi antara 6.2 sampai 6.6. Akibat penurunan pH yang cepat akan menginaktifkan sistem kalpain dan dapat mengurangi keempukan daging postmortem. Penurunan pH yang cepat menyebabkan miosin lebih peka terhadap denaturasi. Denaturasi yang cepat pada miosin menyebabkan rendahnya kemampuan daya ikat air dan daging berwarna pucat seperti daging PSE (Urlings et al. 1993; Dransfield dan Sosnicki 1999).
Nilai Keempukan Daging Warner-Bratzler Shear (Nilai WB) Banyak instrumen yang telah dikembangkan dan dapat dipakai untuk menilai tingkat kealotan atau tingkat keempukan (shear value) daging ayam (Wheeler et al. 1997; Kerth et al. 2003; Cavit et al. 2005).
Dua metode
instrumental yang paling sering digunakan untuk menilai tingkat kekerasan daging ayam adalah Warner-Bratzler shear (WB) dan Allo-Kramer shear (AK). Kedua metode tersebut telah diuji dan hasilnya memiliki suatu korelasi yang sangat bagus (Cavit et al. 2005). Salah satu alat yang dianggap paling popular dan akurat adalah Warner-Bratzler shear (Wheeler et al. 1997). Akan tetapi kedua metode tersebut memiliki kelemahan antara lain biaya yang mahal, memerlukan waktu yang relatif lama dalam mempersiapkan sampel pengujian serta memerlukan ukuran sampel yang homogen. Menurut Fletcher (1999), untuk pengujian tingkat keempukan daging ayam, maka daging ayam dimasak di dalam wadah aluminium pada temperatur 95 oC
27 selama 20 menit. Kemudian sampel didinginkan pada temperatur kamar dan dengan menggunakan alat preparasi sampel khusus (sample coring tools), lalu diambil sampel yang homogen antara satu dengan yang lainnya. Nilai WarnerBratzler shear mencerminkan suatu daya potong yang akurat dari pisau yang berbentuk huruf V (vee-blade) terhadap sampel. Kekuatan yang dibutuhkan untuk melakukan pemotongan ini sebanding dengan tingkat keempukan atau tingkat kealotan daging ayam (Instron 2003). Dalam penentuan nilai keempukan daging dengan cara Warner-Bratzler shear ini maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keseragaman ukuran sampel, apakah didinginkan atau dibekukan sebelumnya ataupun tidak sama sekali, temperatur internal daging pada saat direbus dan arah serabut otot dimana sampel diambil, kecepatan pemotongan dan temperatur udara pada saat pemotongan (Instron 2003).
Warna Daging Dada dan Daging Paha Ayam Warna daging ayam maupun daging yang berasal dari spesies lain selalu menarik untuk diteliti, sebab mempengaruhi secara langsung terhadap penerimaan konsumen dan memiliki hubungan yang erat terhadap karakteristik daging (PerezVendrell et al. 2001; Petracci dan Fletcher 2002). Ayam merupakan spesies yang dikenal memiliki otot putih dan otot merah. Perbedaan ini didasarkan pada sifat biokimia dan histokimianya. Daging dada ayam segar (fresh raw breast meat) berwarna pink pucat sedangkan daging paha ayam segar (fresh raw thigh meat) berwarna merah gelap (Anadon 2002). Otot dada ayam lebih peka terhadap perubahan warna dibandingkan dengan otot paha, hal ini disebabkan otot tersebut memiliki proporsi yang besar pada karkas ayam. Pada tingkat penjual daging pengecerpun warna daging sangat penting sebab konsumen selalu menghubungkan warna dengan kesegaran dan juga sekaligus kualitas, sehingga memberi pengaruh utama bagi keputusan konsumen untuk membeli daging (Rathgeber 2000; Qiao et al. 2001). Menurut Anadon (2002) dan Rathgeber (2000) mioglobin dan hemoglobin memegang peranan penting terhadap warna daging segar. Warna akan bervariasi berdasarkan konsentrasi pigmen ini dan hasil refleksi cahaya pada daging.
28 Mioglobin merupakan pigmen heme utama pada ayam yang berperan besar terhadap warna daging, namun konsentrasi mioglobin pada otot ayam sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi mioglobin pada otot dari spesies lain. Konsentrasi hemoglobin dipengaruhi juga oleh efisiensi pengeluaran darah pada saat pemotongan ayam dilakukan. Menurut McNeal et al. (2003) bahwa ayam yang disembelih dengan sempurna maka 20 sampai 30% hemoglobin masih tetap berada pada karkas, tentu saja hal ini berpengaruh terhadap warna daging. Ayam pedaging atau broiler memiliki konsentrasi pigmen heme yang sangat rendah sekali bila dibandingkan dengan konsentrasi pigmen heme pada kalkun. Warna daging juga ditentukan oleh refleksi cahaya pada daging. Jumlah cahaya yang mengalami refleksi berkaitan erat dengan denaturasi protein dan perubahan pada intermiofibril (Sandusky dan Heath 1998). Perubahan dalam penyebaran cahaya akan mempengaruhi kecerahan daging (L*), kemerahan daging (a*) dan kekuningan daging (b*) (Bilgili et al. 1998). Pengukuran intensitas warna pada daging memiliki arti penting karena dapat dilakukan secara objektif (Allen et al. 1997). Warna daging sangat tergantung pada difusi dan absorpsi cahaya pada permukaannya. Bila difusi cahaya lebih besar maka akan kelihatan lebih terang dan jika absorpsi cahaya lebih kuat maka warna lebih gelap (Tomasz et al. 2002). Pada awalnya evaluasi warna daging secara visual masih tergolong subjektif sehingga penilaian di dalam proses produksi masih sangat terbatas. Namun dengan kemajuan kamera dan teknik komputer, pemakaian sistem optik yang lebih maju sangat membantu dalam menggantikan fungsi mata dalam pengamatan (Tomasz et al. 2002). Salah satu metode objektif untuk mengukur warna daging ayam adalah dengan
memakai metode reflektan dengan cara mengukur secara objektif
spektrum reflektansi pada permukaan daging ayam. Hasil penelitian Tomasz et al. (2002) menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*), dan kekuningan (b*) yang didapat melalui metode reflektan dengan evaluasi warna secara visual.
Pengukuran kecerahan memungkinkan
untuk membedakan antara daging normal dengan daging PSE atau dengan daging Dark Firm Dry (DFD). Menurut Rammouz (2004), dalam dekade terakhir ini
29 banyak peneliti cenderung menggunakan metode ini untuk mengevaluasi kualitas daging ayam. Beberapa hasil penelitian tersebut memperlihatkan hubungan yang erat antara sifat fisikokimia dengan kecerahan daging. Adanya variasi pada penampilan visual dan warna dari terang sampai gelap dapat terjadi pada daging dada ayam (Fletcher et al. 2000) dan menurut Mallia et al. (2000) pengeluaran darah yang tidak sempurna, atau ayam dalam kondisi lemah atau sakit sebelum pemotongan besar kemungkinan dapat menyebabkan daging menjadi lebih gelap atau mengalami perubahan nilai yang diukur. Kondisi seperti tadi dapat saja terjadi di industri pengolahan daging maupun di tingkat penjual pengecer (Santos et al. 2004).
Warna CIE L* a* b* Pengukuran warna sistem Commission International d’Eclairage (CIE) didasarkan pada penginderaan warna oleh mata manusia. Diyakini bahwa mata mengandung tiga reseptor yang peka terhadap cahaya yaitu reseptor merah, hijau, dan biru. Sistem L* a* b* merupakan sistem warna yang dipakai secara luas untuk kolorimetri makanan (deMan 1989). Dalam teori pengukuran warna ini, dianggap bahwa ada tahap pengalihan sinyal-sinyal antara reseptor cahaya dalam retina dan saraf optik yang mengantar sinyal warna ke otak.
Dalam mekanisme pengalihan ini tanggapan merah
dibandingkan dengan hijau dan menghasilkan dimensi warna merah ke hijau. Kemudian tanggapan kuning dibandingkan dengan biru menghasilkan dimensi warna kuning ke biru. Ke dua dimensi warna ini dinyatakan dengan lambang a* dan b*.
Dimensi warna ke tiga ialah keterangan atau kecerahan yang
dilambangkan dengan L*.
Dimensi warna ini tidak linear dan biasanya
dinyatakan sebagai akar pangkat dua dari Y atau akar pangkat tiga dari Y (deMan 1989; Anonim 1991). Di dalam sistem L* a* b* ini, kromatisitas didefinisikan oleh koordinat a dan b persegi panjang. Nilai a positif adalah merah sedangkan nilai a negatif adalah hijau. Nilai b positif adalah kuning dan nilai b negatif adalah biru. Nilai a dan b diperoleh ketika terjadi perbedaan sinyal Y-Z dan X-Y. Sehingga CIE X, Y, dan Z dapat dikonversi menjadi nilai L* a* b* dengan rumus sebagai berikut:
30 L = 10 (Y) a =
b=
1/2
17.5 (1.02 X − Y) Y1/ 2
7.0 (Y − 0.847. Z) Y1/ 2
Akan tetapi dengan penggunaan perangkat Minolta Chroma Meter nilai L* a* dan b* dapat langsung diketahui hasilnya.
Nitrogen Nonprotein (NPN)
Selain mengandung air dalam jumlah yang banyak yaitu 75%, protein 16 – 22% dari massa otot, otot skelet juga mengandung protein sarkoplasma dan protein miofibril atau stromal. Disamping protein ada senyawa nitrogen lain yang terdapat di dalam otot yang dikategorikan sebagai nitrogen nonprotein (NPN). Senyawa ini termasuk asam amino, peptida, kreatin, kreatinin, kreatin fosfat, beberapa vitamin, nukleosida dan nukleotida termasuk adenosin trifosfat atau ATP.
Komponen NPN diperkirakan sekitar 1.5% dari massa otot rangka,
sedangkan subtansi karbohidrat nonprotein dan anorganik lain masing-masing sebesar 1% dari massa otot skelet (Aberle et al. 2001). Otot mengandung sejumlah bahan anorganik yang disebut kation dan anion yang memegang peranan fisiologis penting bagi tubuh. Yang termasuk kedalam bahan tersebut adalah kalsium, magnesium, potasium, sodium, besi, fosfor, klorin, kobal, tembaga, seng, nikel dan mangan (Aberle et al. 2001). Nilai NPN menjadi suatu indikator tingkat proteolisis bila dihubungkan dengan nilai keempukan daging. Biasanya NPN dan kelompok amino bebas akan meningkat selama aging daging postmortem. Peningkatan inilah yang mengindikasikan adanya degradasi protein atau peptida (Parrish et al. 1969). Hasil penelitian Khan (2000) menunjukkan bahwa fraksi NPN pada otot dada ayam meningkat selama penyimpanan 45 minggu pada temperatur -5 dan -40 o
C. Sekitar 80% dari peningkatan tersebut diakibatkan oleh meningkatnya kadar
asam amino yang mengandung sulfur dan aromatik, sedangkan asam nukleat menurun. Enzim katepsin kemungkinan terlepas akibat dari kerusakan sel selama
31 pembekuan dan penyimpanan.
Enzim ini menyebabkan proteolisis sehingga
mengganggu ikatan protein. Sejauh ini belum pernah dilaporkan adanya kenaikan NPN yang signifikan selama dua minggu pertama penyimpanan. Nitrogen nonprotein dan asam amino biasanya
meningkat
mengikuti
pola
yang
sama
selama
penyimpanan.
o
Penyimpanan daging sapi selama 2 hari pada 2 C akan terjadi peningkatan 8 sampai 20% NPN dan 22 sampai 33% asam amino bebas.
Sedangkan
peningkatan NPN dan asam amino bebas selama 7 hari penyimpanan adalah sebesar 36% dan 117% (Khan 2000). Penilaian beberapa komponen kimia postmortem telah lama dikenal di dunia kedokteran forensik untuk membantu dalam menduga secara lebih tepat waktu kematian dan juga dapat memperlihatkan beberapa abnormalitas biokimia yang bertanggung jawab terhadap kematian.
Sejumlah penelitian telah dilakukan
terhadap NPN jaringan, cairan serebrospinalis dan cairan mata.
Tidak semua
nitrogen dalam jaringan berada dalam bentuk protein, ada yang berasal dari nonprotein seperti senyawa nukleotida, asam amino bebas, kreatin dan kholin. Hanya sebagian kecil dari NPN itu untuk sintesis asam amino non-esensial (Sasaki et al. 1983). Walaupun banyak peneliti Jepang yang melaporkan tentang jumlah NPN dari ekstrak jaringan postmortem, namun dianggap bahwa NPN jaringan belum menjadi suatu indikator yang benar-benar konkrit terhadap waktu kematian karena adanya beberapa keragaman yang ditemukan pada kondisi postmortem (Sasaki et al. 1983; Lucas et al. 1992).
Autolisis yang dianggap sebagai suatu proses kerusakan sel secara alami postmortem, dimana sel secara perlahan-lahan akan hancur oleh bantuan enzim.
Kemampuan enzim untuk menghancurkan organ parenkhimateus lebih kuat dibandingkan dengan kemampuan enzim yang berada pada daerah otot skelet. Sehingga organ parenkhim lebih cepat mengalami proses autolisis dibandingkan dengan otot skelet (Urlings et al. 1993).
32 Nilai Impedansi
Sejumlah metode fisik telah dan sedang dikembangkan untuk menilai berbagai aspek kualitas daging.
Diantara beberapa aspek kualitas daging,
keempukan merupakan variabel yang paling penting untuk konsumen karena menyangkut langsung sifat-sifat mekanis dan struktur daging. Banyak metode fisik yang telah tersedia untuk menilai aspek mekanis. Sebagian besar metode mekanis yang telah berhasil diciptakan hanya dapat dipakai pada lingkup laboratorium dan sangat sedikit yang telah dikembangkan untuk pengukuran pada skala industri yang telah memberikan hasil memuaskan (Lepetit et al. 2002; Guan et al. 2004).
Sifat elektris otot dan daging telah lama diteliti untuk memastikan apakah dapat memberikan informasi yang penting sebagai indikator kualitas daging. Daging secara elektris memiliki sifat anisotropik yang bermakna bahwa sifat elektrisnya berubah-ubah tergantung pada bidang elektris dari sampel daging. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh panjang dan arah miofibril yang berisi elektrolit dan dilindungi oleh membran yang berfungsi sebagai dielektrik. Swatland (1997), telah mengidentifikasi ada 2 arah penempatan elektroda untuk pengukuran sifat elektrik daging yaitu 1) menyilang miofibril dan memotong terhadap sumbu panjang miofibril, dan 2) memanjang terhadap sumbu panjang miofibril (Gambar 2).
Arah bidang elektrik
Gambar 2 Bidang pengujian nilai elektris pada daging (Lepetit et al. 2002).
33 Berdasarkan penelitian Lepetit et al. (2002) bahwa peralatan yang pernah dikembangkan untuk pengukuran nilai impedansi merupakan sistem portabel yang terdiri dari sebuah voltmeter (Model 87: Fluke, Washington, USA), sebuah generator sinyal (Wavetek Corporation, San Diego, USA) yang memberikan tegangan 5 volt pada 1 kHz, dan sirkuit elekrik seperti terlihat pada gambar berikut ini:
transformer Sampel daging
Generator
Dengan demikian untuk mengukur nilai impedansi pada sampel daging, pertama-tama sistem harus disesuaikan sebagai suatu cara untuk menyediakan arus 5 v dan dijaga tetap konstan, sehingga nilai impedansi (Z) dihitung sebagai berikut :
Z=
r v 5−v
dimana v adalah voltase
Akan tetapi peralatan untuk pengukuran nilai impedansi yang dipakai di dalam penelitian ini adalah berbeda dan tidak terpisah seperti pada contoh di atas. Sehingga nilai impedansi (Z) dapat dibaca langsung setelah dilakukan penetrasi elektroda ke dalam jaringan otot atau daging. Menurut Swatland (1997) dan Davalos et al. (2004), impedansi elektris otot menurun dengan cepat selama periode prerigor.
Keragaman nilai impedansi
prerigor sangat ditentukan oleh perubahan-perubahan pada membran dan ruang
ekstraselular.
Selama periode prerigor terjadi peningkatan permeabilitas
membran yang mempermudah pergerakan ion-ion sehingga dapat mengurangi nilai impedansi dan sebaliknya meningkatkan konduktivitas pada daging. Penelitian pada daging sapi menunjukkan bahwa segera setelah pemotongan
34 terjadi peningkatan sementara nilai impedansi disebabkan oleh serabut otot mengambil cairan ekstraselular sebagai akibat tekanan osmotik internalnya meningkat dan juga untuk persiapan glikolisis postmortem dan kemudian akan menurun. Perubahan pada membran dan ruang ekstraselular berhubungan erat dengan kecepatan penurunan pH untuk mencapai pH akhir. Impedansi postrigor juga menurun dengan lambat selama penyimpanan atau tanpa penyimpanan, namun belum dapat dipahami lebih jauh tentang keragaman impedansi postrigor yang terjadi.
Lepetit et al. (2002), menyarankan untuk
menggunakan nilai impedansi pada frekuensi 1kHz dan 100kHz sebagai indikator aging daging bila nilainya menurun selama aging daging. Hasil penelitian Byrne et al. (2000) menemukan ada korelasi yang signifikan antara nilai Warner-Bratzler
shear dan nilai impedansi pada sapi jika korelasi ini dihitung selama periode aging dari 2 sampai 14 hari postmortem. Secara sederhana impedansi dapat didefinisikan sebagai suatu hambatan dari aliran arus listrik ketika arus mengalir melalui suatu material penghantar (Sylvia 1999; Lepetit et al. 2002). Hambatan aliran listrik dapat dipengaruhi oleh fase yaitu suatu penghalang aliran ion atau molekul. Fase di dalam sel makhluk hidup dinamakan membran. Ditambahkan oleh Sylvia (1999) bahwa jika dua elektroda logam dicelupkan ke dalam suatu medium penghantar maka pengujian tersebut bersifat sebagai resistor dan kapasitor. Pengujian tersebut akan menghasilkan suatu arus resultansi yang tergantung pada impedansinya. Dengan menggunakan elektron mikroskop, Mullen et al. (2000) telah mendapatkan gambaran yang jelas ada terjadi disintegrasi ultrastruktur pada sampel
daging
dengan
impedansi
rendah.
Hasil
penelitian
tersebut
memperlihatkan juga bahwa nilai impedansi elektris menurun dan konduktivitas meningkat dengan meningkatnya kerusakan membran.
Kecepatan kerusakan
tersebut lebih cepat pada daging yang di aging pada temperatur yang lebih tinggi, misalnya pada temperatur 30 oC lebih cepat rusak dibandingkan dengan daging yang di aging pada temperatur 20 oC. Hasil penelitian Purslow et al. (2000) dan Oliver et al. (2001) pada otot longissimus babi memperlihatkan bahwa ada keragaman nilai impedansi elektris yang timbul sesuai dengan waktu postmortem. Ini menggambarkan bahwa ada
35 terjadi
perubahan-perubahan
permeabilitas
pada
dinding
serabut
otot.
Peningkatan permeabilitas sarkolema juga akan memudahkan mengalirnya cairan intraselular menuju ruang ekstraselular dan akibatnya kejadian kehilangan air (drip loss) juga akan tinggi.
36
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2005 sampai Agustus 2006. Analisis histologis dan pengukuran nilai keempukan (Warner-Bratzler shear) daging masing-masing dilakukan di Laboratorium Patologi dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Analisis nitrogen nonprotein (NPN) dan warna daging (CIE L* a* b*) masingmasing dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak Fakultas Peternakan dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian
Penelitian ini menggunakan 30 sampel daging dada (M. pectoralis) dan 30 sampel daging paha (M. biceps femoris) ayam pedaging strain Hubbard Broiler yang sudah mencapai masa potong komersial, berumur 45 hari dengan berat karkas 1.5 sampai 1.8 kg. Kendatipun sampel diambil langsung dari tempat pemotongan ayam Pondok Rumput, Bogor, namun dua hari sebelum ayam tiba di tempat pemotongan dilakukan juga pengamatan langsung ke tempat pemeliharaan ayam potong yaitu di wilayah Kecamatan Ciampea, Bogor. Pada saat itu semua ayam memperlihatkan kondisi klinis yang sehat untuk disembelih. Sampel daging ayam terdiri atas tiga kategori yang berbeda yaitu daging ayam normal yakni berasal dari ayam hidup sehat disembelih (AHS) secara halal, daging ayam bangkai yaitu berasal dari ayam mati disembelih (AMS) dan daging yang berasal dari ayam lemah disembelih (ALS). Ciri-ciri ayam AHS adalah kondisi umum terlihat sehat, mampu berdiri dan berjalan sempurna dengan gambaran mata dan selaput lendir normal. Sampel yang berasal dari AMS adalah bangkai ayam yang telah mati selama satu sampai dua jam. Waktu 1 sampai 2 jam setelah menjadi bangkai dianggap awal kematian atau satu jam postmortem. Sampel untuk waktu 5 dan 9 jam postmortem adalah berasal dari sampel tadi yang telah dibiarkan selama 5 dan 9 jam postmortem pada temperatur kamar. Sampel yang berasal dari ALS diambil dari ayam-ayam yang memperlihatkan kondisi
37 umum yang lemah yakni tidak mampu berdiri dan berjalan serta sayap terkulai lemah. Beberapa bahan kimia yang digunakan seperti asam trikhloroasetat atau TCA (CCl3COOH, 807 Merck), asam sulphat (H2SO4, 731 Merck), larutan formalin 10% dalam bufer normal yang terdiri dari Na2HPO4, NaH2PO4, formalin absolut dan aquadest. Natrium Hidroksida (NaOH, 9957 Merck), methyl red 6076 Merck) dan Hematoksilin-Eosin. Alat yang dipakai pada penelitian ini adalah peralatan mikroteknik jaringan yang dilengkapi dengan video mikrometer, peralatan penilaian keempukan daging Warner-Bratzler Shear (InstronTM 5542), Chroma meter CR-300 (Ramsey, NJ), peralatan Kjeldahl untuk analisis NPN, termometer saku (Taylor® N:VD03-6) dan alat ukur nilai impedansi dari digital multimeter modifikasi (DT-830B).
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap satu arah. Jenis sampel daging merupakan satu-satunya faktor tunggal sedangkan pengukuran setiap peubah dilakukan dalam interval waktu 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM) yang berasal dari sampel pada karkas yang sama. Model matematis dari rancangan yang dipakai adalah :
Y =μ+τ +ε ij i ij Dimana : Yij = perubahan nilai biologis dan impendansi ke j karena perbedaan daging ayam ke i (i = 1, 2, 3 sedangkan j = 1, 2, 3,……..,10). μ = ratarata sebenarnya, ti = pengaruh perbedaan daging (AHS, AMS dan ALS). eij = pengaruh terhadap nilai biologis dan impedansi ke j akibat perbedaan jenis daging ayam ke i. Pemeriksaan atau analisis mikroskopis dilakukan hanya terhadap beberapa sampel pada daging dada dan daging paha sesuai dengan waktu postmortem yaitu 1, 5 dan 9 jam pascamati. Dari sejumlah tiga puluh sampel daging dada dan daging paha ayam, maka untuk analisis mikroskopis masing-masing diambil sebanyak empat sampel dari daging dada dan paha AHS, AMS dan dari ALS. Akan tetapi analisis terhadap peubah keempukan (nilai Warner-Bratzler shear, warna (L* a* b*) dan nilai nitrogen nonprotein (NPN) dilakukan replikasi
38 sebanyak dua kali (duplo) dalam setiap pengujian.
Hal ini ditujukan untuk
mendapatkan validitas data yang lebih baik. Disain penelitian adalah seperti yang terdapat pada diagram Gambar 3 berikut ini.
Sampel daging dada (M. pectoralis dan daging paha (M. biceps femoris) pada 1, 5 dan 9 jam postmortem (n = 30)
AHS
Histologis
AMS
Keempukan
Warna
ALS
NPN
Impedansi
Gambar 3 Disain penelitian penggunaan beberapa metode biologis dan nilai impedansi untuk deteksi daging ayam bangkai. AHS: Ayam hidup disembelih, AMS: Ayam mati disembelih, dan ALS: Ayam lemah disembelih.
Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah pada tingkat α=0.05 dan dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda Duncan dengan menggunakan perangkat lunak SAS® (SAS Institute 1988; Mattjik dan Sumertajaya 2002). Analisis korelasi juga dilakukan untuk menentukan keeratan hubungan antar peubah yang diukur (SAS Institute 1988). Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah yang pertama peubah histologis yang terdiri atas persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot, diameter serabut otot (μm), jarak antar serabut otot (μm), gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta eksudasi. Peubah kedua adalah angka keempukan daging Warner-Bratzler shear (kgf/cm2), peubah ketiga adalah warna daging (CIE L* a* b*), peubah keempat adalah angka NPN (%) dan peubah kelima yaitu nilai
impedansi (ohm). Metode Penelitian
39 Ayam sehat dan yang kondisi lemah disembelih tanpa pemingsanan dengan cara pemotongan pada leher sehingga Arteri carotis communis, Vena jugularis, trachea dan esophagus ikut terpotong sekaligus (Deptan 1996).
Sedangkan
penyembelihan pada ayam yang telah mati hanya bertujuan untuk keseragaman perlakuan dengan dua kelompok tadi. Sampel daging dada dan daging paha yang berasal dari ayam mati (AMS) di peroleh sesuai dengan jam kematian yakni 1, 5 dan 9 jam postmortem.
Pencabutan bulu dilakukan setelah melewati proses
perendaman dalam air panas (scalding) pada temperatur 52 0C (Sams dan Dzuik 1999; Sams 2001).
Setelah selesai eviserasi maka bagian dada dan paha
dipisahkan sebagai sampel penelitian.
Sampel dalam kondisi segar (tanpa
pembekuan dan pendinginan) segera dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Histologi Otot Dada dan Otot Paha
Sampel daging diambil dari otot dada (M. pectoralis) dan otot paha (M. biceps femoris). Untuk pengamatan histologi maka masing-masing daging dada
dan daging paha diambil pada bagian kanan atas dari otot dada dengan ukuran sayatan 1 x 1 x 2 cm (López 2004). Jumlah sampel disesuaikan dengan keperluan analisis dan disesuaikan juga dengan jam postmortem pengamatan.
Secara
anatomis posisi pengambilan sampel adalah seperti tertera pada Gambar 4.
1
1 pe
bf 2
2
A
B
Gambar 4 Sampel daging yang berasal dari otot dada M. pectoralis (pe) (A), dan yang berasal dari otot paha M. biceps femoris (bf) (B) ayam broiler. Otot bagian kanan (1) pada daging dada dan bagian atas pada daging paha untuk analisis mikroskopis dan uji nilai WB, sedangkan otot bagian kiri (2) pada daging dada dan bagian bawah pada daging paha untuk analisis warna, NPN dan nilai impedansi.
40 Sampel daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) sesuai dengan jam postmortem disayat dan langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksasi yaitu larutan formalin 10% dalam bufer normal.
Sampel daging
selanjutnya diproses sesuai dengan prosedur mikroteknik dan diwarnai dengan memakai pewarnaan standar Hematoksilin-Eosin (Kiernan 1990; Witkiewicz et al. 2004).
Dengan menggunakan perangkat video mikrometer, dilakukan
pengamatan dan pengukuran pada potongan melintang otot dengan luas pandang 222 x 300 µm pada pembesaran 20x dan jumlah setiap pengamatan adalah 10 lapang pandang.
Pengamatan dan pengukuran dibagi tiga bagian yaitu pada
serabut otot (lesio degenerasi dan nekrosa, diameter serabut otot), jaringan penunjang (jarak antar serabut otot dan persentase eksudasi). Degenerasi otot hanya dibatasi pada serabut otot yang membengkak (swelling), membulat, dan hipereosinofil dan kehilangan striasi otot.
Sedangkan nekrosis dibatasi pada
serabut otot yang telah kehilangan sebagian atau seluruh sitoplasmanya dan terbentuk vakuola (Lopez 2004).
Semua pengukuran dilaksanakan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut : 1. % ∑ lesio degenerasi/nekrosa =
Σ degenerasi/nekrosa serabut otot × 100% Σ serabut otot
2. Diameter serabut otot = X diameter serabut otot pada AHS, AMS dan ALS .
3. Jarak antar serabut otot =
X jarak antar serabutotot pada AHS, AMS dan ALS
Sedangkan terhadap jaringan penunjang dihitung persentase eksudasi dan jarak antar serabut otot (muscle fiber intertitials). Setiap satu lapang pandang terdapat 10 sisi yang diukur (Gambar 5).
b a
Gambar 5 Pengukuran jarak antar serabut otot ditandai oleh garis dengan ujung tanda panah (a) dan diameter serabut otot yang ditandai oleh garis dengan ujung bulat (b).
41 Pengamatan secara deskriptif juga dilakukan terhadap besar kecilnya kongesti di dalam pembuluh darah arteri dan vena.
Penilaian Angka Keempukan Daging (Warner-Bratzler Shear atau nilai WB)
Uji nilai keempukan daging dada dan daging paha dilakukan sesuai dengan metode Warner-Bratzler shear dari InstronTM. Persiapan uji keempukan daging adalah sebagai berikut: sampel daging dada dan daging paha dimasak di dalam panci aluminium pada temperatur internal daging 80 oC selama 20 menit. Pemasakan dilakukan dengan cara daging ditempatkan di dalam plastik tahan panas sehingga daging tidak bercampur dengan air. Setelah dibiarkan dingin pada temperatur kamar, dengan menggunakan selongsong khusus dari InstronTM (sample coring tool) ukuran 12.5 mm (Instron 2003), maka pengambilan sampel dilakukan searah dengan panjang serabut otot baik pada otot dada maupun pada otot paha, sehingga berbentuk bulat homogen.
Pemotongan dilakukan pada
temperatur kamar 25 oC dan pada kecepatan 250 mm/menit dengan ulangan dua kali. Hasil pengukuran adalah nilai Warner-Bratzler shear (WB) yaitu kgf/cm2 seperti tertera pada Gambar 6 (Fletcher 1999; Kerth et al. 2003). Angka yang digunakan sebagai nilai keempukan
daging adalah kekuatan terbesar yang
dibutuhkan untuk memotong sampel daging ayam (Instron 2003). Nilai tertinggi terlihat pada tampilan hasil berupa grafik atau kurva seperti terlihat pada layar monitor komputer.
Gambar 6 Contoh hasil pengukuran nilai keempukan daging dengan menggunakan metode Warner-Bratzler shear yang ditandai oleh tampilan grafik hasil pemotongan sampel daging.
42 Pengukuran Warna Daging (CIE L* a* b*)
Daging dada (M. pectoralis) yang terdapat pada sisi kiri anterior dan daging paha (M. biceps femoris) disayat dengan ukuran 3x3x0.5 cm. Pemilihan ketebalan 0.5 cm adalah untuk menghindari refleksi yang tinggi dari latar belakang standar yang digunakan, sehingga akan merefleksikan nilai sebenarnya dari sampel (Sandusky dan Heath 1996). Pengukuran warna dilakukan pada kondisi segar (fresh raw meat) tanpa pemanasan, penyimpanan dingin ataupun pembekuan sebelumnya. Area atau bidang yang dipilih untuk penilaian warna adalah area yang bebas dari berbagai kelainan seperti hemorhagi dan pembuluh darah. Penilaian dilakukan dengan ulangan dua kali dari sisi medial. Dipilih dari sisi medial untuk menghindari adanya perubahan warna yang mungkin dapat disebabkan oleh proses skalding.
Kalibrasi peralatan sebelumnya dilakukan
dengan menggunakan ubin keramik standar putih (Y = 93.7, x = 0.3139, dan y = 0.3197). Warna daging diukur secara objektif dengan menggunakan Minolta Reflectance Chroma Meter (CR-300) sebanyak dua kali ulangan dan kemudian dilaporkan sebagai sistem CIE L* (kecerahan atau lightness), a* (kemerahan atau redness) dan b* (kekuningan atau yellowness) (Fletcher 1999; Petracci dan
Fletcher 2002).
Pengukuran Nitrogen Nonprotein (NPN)
Penentuan nilai nitrogen nonprotein (NPN) sampel daging dilakukan sesuai dengan metode Kjeldahl (Sasaki et al. 1983). Sampel daging dapat disimpan pada -20 oC menunggu waktu analisis, atau dapat langsung dianalisis seperti pada penelitian ini.
Prosedurnya adalah sejumlah 5 g jaringan otot yang telah
dihancurkan ditambah 25 ml aquades, disaring dan suspensi dikocok dan didiamkan selama 20 menit.
Ditambahkan 10 ml asam trikhloroasetat
(trikhloroacetic acid) (TCA) 10% sebagai deproteinizing agent, dikocok selama 10 menit dan dibiarkan selama 3 jam pada temperatur kamar. Supernatan disaring dengan kertas Whatman 41 dan dipisahkan. Proses selanjutnya adalah destruksi yaitu pemecahan supernatan tadi oleh H2SO4 pekat panas dengan bantuan katalis campuran selen. Senyawa N yang
43 terdapat dalam sampel akan terikat sebagai senyawa amonium sulfat (NH4)2SO4 yang berwarna kuning kehijauan jernih. Tahap selanjutnya adalah destilasi dengan cara hasil destruksi dimasukkan ke dalam labu destilasi yang telah diisi dengan batu didih, diencerkan dengan aquades, tambahkan lagi NaOH 33% untuk kemudian dihubungkan lagi dengan cepat ke pipa destilasi. Hasil destilasi berupa NH3 dan air ditangkap dengan Erlenmeyer yang telah diisi dengan H2SO4 0.3 N dan indikator Metil Red dan Metil Blue 1:1. Proses destilasi dilakukan hingga semua N yang ada di dalam labu destilasi telah tertangkap oleh H2SO4 yang ada dalam Erlenmeyer. Proses ini berakhir setelah terjadi letupan-letupan pada labu destilasi. Tahap terakhir adalah titrasi yaitu kelebihan asam yang tertangkap dititer dengan larutan NaOH standar dengan cara labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4 0.1 N dititer kembali dengan larutan NaOH 0.1 N.
Proses titrasi berhenti setelah perubahan warna dari biru ke warna
kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Dengan titrasi maka persentase dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :
% NPN =
(Y − Z) x N NaOH x 14 x 100% (X) gram
Keterangan : Y = volume blanko, dan Z = volume NaOH yang dibutuhkan untuk mentitrasi contoh.
Pengukuran Nilai Impedansi
Pengukuran nilai impedansi sampel daging dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan impedansi meter. Alat impedansi meter ini merupakan hasil modifikasi Budianto (2004) dari Bagian Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (Gambar 7). Alat ini merupakan modifikasi dari sebuah Multimeter standar berbasis arus bolak balik. Setelah mengalami modifikasi pada akhirnya dapat mengalirkan arus listrik searah (alternating current) dan dengan menggunakan tenaga dari 2 batere kering berbentuk kotak tipe S-006P(SG)6F22, masing-masing memiliki daya 9 Volt yang bertujuan supaya energi dari salah satu batere dapat membangkitkan medan magnit pada jaringan otot atau daging yang diukur, sedangkan batere yang
44 ke dua berguna untuk menghidupkan layar pada alat multimeter, sehingga angka impedansi yang terukur dapat dibaca pada layar monitor alat tersebut. Untuk kalibrasi peralatan dapat dilakukan pengukuran pada resistor dengan hambatan 1 atau 2 ohm.
a
b
Gambar 7 Contoh alat ukur impedansi meter hasil modifikasi dari multimeter standar. Layar monitor (a) dan sensor elektroda (b). Nilai impedansi dihasilkan setelah alat impedansi meter diaplikasikan dengan cara ditusuk ke dalam otot atau ke dalam daging ayam dengan jarak antara ke dua ujung elektroda dijaga tetap konstan yaitu 2.5 cm dengan kedalaman elektroda yang masuk adalah 2 cm. Nilai impedansi (Z) yang terukur dinyatakan dalam satuan ohm (Ω). .
45
HASIL DAN PEMBAHASAN Patologi Anatomi Daging Dada dan Daging Paha Ayam
Daging ayam dikenal memiliki perbedaan warna tertentu khususnya antara daging dada dan daging paha.
Berdasarkan pengamatan makroskopis, setiap
daging dada (fresh raw breast meat) ayam pedaging yang sehat biasanya akan berwarna merah muda-putih keabuan yang merata di semua bagian, sedangkan daging paha (fresh raw thigh and leg meat) berwarna merah muda yang yang lebih gelap yang lebih dominan warna merahnya. Bila dibandingkan dengan ayam hidup disembelih (AHS), maka pada ayam mati disembelih (AMS) terdapat sejumlah perubahan patologi anatomi yang sangat berbeda yaitu warna permukaan daging lebih merah yang terdapat banyak bintik-bintik merah. Semakin lama jam kematian maka warna merah semakin menyebar ke seluruh daging dada dan daging paha. Pembuluh darah pada leher dan sayap dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh. Eksudasi cairan jaringan dari AMS sangat banyak yang dapat dibuktikan dengan dilakukan sayatan pada daging dada dan daging paha.
Apabila ayam mati dilakukan
penyembelihan kembali maka bekas pemotongan di daerah leher tidak akan mengalami perenggangan sebagaimana lazimnya pada pemotongan ayam hidup.
Histologi Otot Dada dan Paha Ayam
Otot daging dada dan daging paha ayam tergolong ke dalam otot skelet. Unit terkecil dari otot skelet ini dinamakan miofibril dan kumpulan miofibril membentuk satu serabut otot (muscle fibers). Walaupun dinamakan serabut otot namun ada yang menganggap ini sebagai sel otot.
Pada pewarnaan standar
hematoksilin-eosin gambaran histologi serabut otot akan berwarna merah sedangkan intinya menyerap warna biru hematoksilin.
Dilihat dari potongan
melintang otot, serabut otot skelet berbentuk poligonal, memiliki banyak inti yang terdapat pada daerah perifer.
Kumpulan sejumlah serabut otot tersebut
membentuk satu bundel otot atau disebut dengan fasikulus (fasciculi). Antara satu fasikulus dengan fasikulus yang lain dipisahkan oleh jaringan ikat perimisium. Jaringan ikat ini memiliki penampilan yang lebih tebal dari endomisium. Pada daerah ini terdapat banyak pembuluh darah besar seperti arteri dan vena.
46 Sedangkan pembuluh kapiler disamping terdapat di daerah antar serabut otot juga banyak terdapat di jaringan perimisium. Secara garis besar otot daging dada dan paha digolongkan ke dalam jenis otot putih dan otot merah berdasarkan proporsi kandungan serabut merah dan serabut putih. Kriteria seperti ini dapat diamati berdasarkan hasil pewarnaan histokimia serabut otot dengan menggunakan ATPase miosin. Karena memiliki perbedaan secara fisiologis dan biokimia maka serabut otot skelet ayam peka terhadap perubahan baik pada tingkat degenerasi maupun nekrosa (Le BihanDuval et al. 1999).
Degenerasi dan Nekrosa Otot Dada dan Otot Paha Ayam
Penurunan fungsi atau derajat serabut otot sehingga mengalami pengecilan atau pembesaran dinamakan dengan degenerasi (Kranen et al. 2000). Degenerasi pada serabut otot ditandai dengan adanya pembesaran serabut otot. Serabut otot membesar dan tampak lebih bulat atau kehilangan bentuk poligonalnya. Kadangkala serabut otot tersebut bersifat hipereosinofil yaitu menyerap zat warna eosin lebih kuat (Gatcliffe et al. 2001). Serabut otot terlihat kehilangan guratanguratan atau striasi otot yang diikuti oleh pembekakan satu atau lebih serabut otot di dalam satu bundel otot. Selain itu ruang antar serabut otot (muscle fiber interstitials atau extracellular space) tampak melebar dibanding dengan serabut
otot normal (Lopez 2004).
Akan tetapi sampel yang berasal dari otot dada
maupun dari otot paha yang sama dapat saja memperlihatkan gambaran degenerasi dan nekrosa yang sedikit bervariasi. Perbedaan variasi seperti ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kepekaan masing-masing serabut otot terhadap kondisi ante dan postmortem, proses perubahan fisik dan kimiawi dari otot menjadi daging dan kondisi metabolik spesifik setiap individu yang berbeda. Beberapa faktor premortem yang dapat menyebabkan terjadinya degenerasi dan bahkan sampai nekrosa serabut otot antara lain stres traumatik karena penangkapan, transportasi, dan pemingsanan yang kasar. Pada tingkat perubahan selular, gangguan permeabilitas sarkolemma terhadap ion Ca2+ yang meningkat, maka sel-sel otot akan mengalami kelebihan pemasukan Ca2+ sehingga mengakibatkan ketidakmampuan sel dalam mengendalikan ion tersebut. Kondisi
47 tersebut menyebabkan aktifnya kalpain, aktifnya fosfolipase A2 (PLA2) sehingga terjadi lisis benda-benda selular. Disamping merusak integritas membran juga memacu peroksidasi lemak. Jika mitokondria juga mengalami kelebihan Ca2+ maka kondisi ini dapat memacu terjadi ischemia yang berat, distrophy otot dan cacexia (Gissel 2005).
Pada penelitian ini, perubahan patologis terhadap serabut otot dada berupa degenerasi dan nekrosa dijumpai pada semua daging ayam, baik yang berasal dari ayam bangkai (AMS), ayam lemah (ALS) maupun dari ayam hidup yang disembelih (AHS). Akan tetapi perbedaannya adalah persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS dan ALS signifikan lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AHS (Tabel 1). Persentase tertinggi degenerasi dan nekrosa serabut otot dada pada AMS adalah sebesar 4.5 dan 3.5%, pada ALS adalah sebesar 3.1 dan 2.2%, sedangkan pada AHS adalah sebesar 1.2 dan 1.0%.
Terjadi variasi angka
persentase degenerasi dan nekrosa yang didapat pada otot dada 1, 5 dan 9 jam postmortem (PM) lebih disebabkan oleh kondisi biologis tertentu yang secara
alami memang memiliki perbedaan atau variasi tertentu disamping ditentukan juga oleh perbedaan angka penghitungan mikroskopik. Tabel 1 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot dada (M. pectoralis) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Degenerasi (%) Perlakuan
Postmortem (jam ke-) 1
a-b
Nekrosa (%)
5
9
1
AHS
0.6 ± 0.8b 1.0 ± 0.5b 1.2 ± 0.6b 0.6 ± 0.9b
AMS
4.5 ± 1.6
ALS
3.1 ± 0.7a
a
2.7 ± 1.3
a
2.4 ± 0.7a
a
a
5
9
1.0 ± 1.0b
0.9 ± 1.1b
a
2.8 ± 1.1
a
3.6 ± 1.2
3.5 ± 2.6
2.6 ± 1.9
2.3 ± 0.7b
2.0 ± 2.2a
2.2 ±1.1ab 1.7 ±1.3ab
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
48 Persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha pada AMS juga tinggi seperti yang terdapat pada otot dada. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha tertinggi terdapat pada otot AMS yaitu sebesar 7.6 dan 4.6%.
Kemudian diikuti oleh degenerasi dan nekrosa
serabut otot pada ALS dimana persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot tersebut sebesar 4.7 dan 2.9%. Jumlah terendah tingkat degenerasi dan nekrosa serabut otot paha adalah pada otot AHS yakni sebesar 2.5 dan 1.8%. Hasil pengamatan terhadap degenerasi dan nekrosa pada serabut otot paha di dalam penelitian ini menunjukkan bahwa persentase degenerasi dan nekrosa yang sangat rendah yaitu 1.5 sampai 2.5% didapat pada serabut otot AHS dan persentase nekrosa 1.1 sampai 1.8% berada pada otot AHS juga. Akan tetapi jika dibandingkan dengan persentase degenerasi dan nekrosa yang terdapat pada otot paha AMS dan ALS, maka angka degenerasi dan nekrosa pada serabut otot dada AMS dan ALS ini signifikan (p<0.05) jauh lebih tinggi yaitu mencapai 6.9 sampai 7.6% dan 3.5 sampai 4.6% (Tabel 2). Tabel 2 Rataan dan standar deviasi persentase degenerasi dan nekrosa serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Degenerasi (%) Perlakuan
a-c
Nekrosa (%)
Postmortem (jam ke-) 1
5
9
AHS
2.5 ± 0.7b
1.5 ± 0.8c
2.3 ± 0.6c
AMS
6.9 ± 1.1
ALS
3.4 ± 0.7b 4.7 ± 0.7b 4.3 ± 0.6b 2.0 ± 1.6b 1.6 ± 1.1b
a
a
7.6 ± 1.1
7.5 ± 0.9
1
a
5
9
1.1 ± 1.2b 1.8 ± 1.4b 1.2 ± 1.3b 3.8 ± 1.9
a
4.6 ± 1.6
a
3.5 ± 1.7
a
2.9 ± 1.2a
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Walaupun secara keseluruhan hasil statistik memperlihatkan jumlah nekrosa serabut otot paha pada AHS lebih rendah dari ALS, namun pada jam ke 5 postmortem terdapat angka nekrosa pada AHS sebanding atau malah lebih tinggi,
hal ini kemungkinan disebabkan oleh variasi dalam penghitungan secara mikroskopis.
Walaupun angka yang tinggi seperti itut terjadi, namun pada
49 akhirnya dapat dikatakan bahwa angka degenerasi dan nekrosa pada AMS dan ALS nyata lebih tinggi dibandingkan dengan angka degenerasi dan nekrosa pada AHS. Ciri lain dari serabut otot yang mengalami degenerasi adalah serabut otot mendesak ruang endomisium sehingga tampak ruang tersebut lebih lebar dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Kondisi demikian menyebabkan serabut otot membengkak dan lebih besar dibandingkan dengan serabut otot sekelilingnya yang dinamakan hiperkontraksi. Gambaran seperti itu sangat jelas terlihat pada otot AMS, sedangkan pada otot AHS bentuk serabut otot yang masih poligonal serta keberadaannya yang masih rapi sangat jelas terlihat (Gambar 8).
AHS
AMS
ALS
Gambar 8 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur serabut otot. Sebagian besar serabut otot masih utuh pada AHS, sedangkan pada AMS dan ALS beberapa serabut otot mengalami degenerasi (tanda panah). Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Bila diamati secara mikroskopis maka secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada otot AHS adalah sangat kecil dimana jumlah serabut otot yang mengalami degenerasi sangat sedikit.
Jumlah serabut otot yang mengalami
nekrosa sangat sedikit dibanding dengan nekrosa yang terjadi pada otot AMS dan ALS. Gambaran mikroskopis otot pada AMS dan ALS ditemukan lebih banyak serabut otot yang telah mengalami degenerasi dan nekrosa. Ciri lain degenerasi serabut otot adalah hipereosinofil yaitu serabut otot terlihat menyerap warna eosin lebih kuat dibanding dengan serabut otot yang masih normal, sedangkan serabut otot yang mengalami nekrosa terlihat adanya pembentukan rongga di sitoplasma sel otot (Gambar 9). Kondisi jaringan pada otot AMS terlihat sangat terbuka
50 dengan jaringan ikat perimisium yang lebih lebar dan disinilah diperkirakan terjadi pengeluaran cairan sel yang lebih tinggi.
AHS
Gambar 9
AMS
ALS
Potongan melintang otot paha (M. biceps femoris) pada 5 jam postmortem memperlihatkan struktur histologi serabut otot. Serabut otot yang mengalami nekrosa (tanda panah) dapat dijumpai pada AMS dan ALS. Pada AHS bentuk serabut otot secara keseluruhan masih utuh dibandingkan dengan AMS dan ALS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm.
Diameter Serabut Otot (Muscle Fiber Diameter)
Pengamatan terhadap diameter serabut otot dapat mencerminkan juga ukuran dari diameter miofibril.
Pengamatan tersebut berguna untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya atropi otot (muscular atrophy) yaitu berkurangnya ukuran otot disebabkan oleh mengecilnya diameter miofibril. Kejadian seperti ini bisa diakibatkan oleh kehilangan miofilamen pada sarkomer. Atropi otot dapat bersifat reversibel jika penyebabnya dapat hilang dan otot kembali ke bentuk semula, dan
dapat juga bersifat irreversibel sehingga
mengarah ke kematian sel. Ada tiga jenis atropi otot yaitu a) denervasi atropi, dimana stimulus otot berkurang akibat kehilangan fungsi syaraf, sehingga akhirnya sel otot menjadi atropi, b) disuse atropi, pada kondisi ini inervasi syaraf ada namun pergerakan otot berkurang akibat sakit, trauma fisik ataupun fraktur, dan c) malnutrisi atropi yaitu kondisi yang disebabkan oleh kekurangan nutrisi terhadap jaringan tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter serabut otot pada AHS, AMS dan ALS baik pada 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak memperlihatkan perubahan ukuran diameter yang sifnifikan (p>0.05). Walaupun hasil analisis statistik tidak memperlihatkan ada perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan pada
51 otot dada dan otot paha dari AHS, AMS dan ALS, namun secara biologis ukuran serabut otot dada tampak lebih besar dibandingkan dengan ukuran serabut otot paha (Tabel 3). Tidak terdapat perbedaan ukuran diameter serabut otot yang signifikan mengindikasikan bahwa tidak terjadi kelainan metabolik yang berarti yang dapat berpengaruh pada ukuran serabut otot. Akan tetapi trauma fisik antemortem yang lazim terjadi pada broiler kemungkinan tidak sampai mengakibatkan perubahan pada diameter serabut otot dada dan paha. Tabel 3 Rataan dan standar deviasi diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Diameter serabut otot dada (μm) Perlakuan
Diameter serabut otot paha (μm)
Postmortem (jam ke-) 1
5 a
9 a
1 a
5 b
9 b
b
AHS
54.3 ± 1.7
AMS
55.9 ± 0.5a 55.9 ± 1.5a 56.0 ± 0.8a 44.1 ± 7.3b 43.7 ± 6.3b 44.3 ± 8.3b
ALS
52.2 ± 9.7
a
53.4 ± 1.3 54.1 ±11.1 43.3 ±10.1 43.8 ± 7.2 45.8 ± 8.6
a
53.0 ± 8.3 54.1 ± 7.8
a
b
b
b
43.7 ± 7.3 45.5 ± 7.2 45.0 ± 8.5
a-b
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Dransfield dan Sosnicki (1999) menegaskan bahwa secara alami otot dada broiler memiliki diameter serabut otot yang lebih besar dan hal ini dapat dipengaruhi juga oleh perbedaan umur dan aktivitas fisik.
Luas penampang
melintang serabut otot pada daging ayam akan meningkat dengan bertambahnya umur.
Peningkatan ukuran ini juga berhubungan erat dengan meningkatnya
jumlah serabut raksasa (giant fibre), yang luas penampang melintangnya mencapai 3 sampai 5 kali dibandingkan dengan serabut otot yang normal. Karena semua sampel daging baik dari daging dada maupun daging paha berasal dari strain yang sama, berat badan dan keseragaman umur yang sama, maka pada pengamatan diameter serabut otot tidak terjadi perbedaan yang signifikan.
52 Berdasarkan hasil pengamatan maka ukuran serabut otot dada yang terkecil adalah 52.2 μm dan yang terbesar adalah 56 μm (Gambar 10). Diameter serabut otot sangat tergantung dari umur ayam (Dransfield dan Sosnicki 1999, Gatcliffe et al. 2001). Pada penelitian ini, ukuran diameter serabut otot paha, baik pada AHS,
AMS dan ALS setelah 1, 5 dan 9 jam postmortem tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05). Ukuran serabut otot paha terkecil adalah 43.3 μm dan yang terbesar adalah 45.8 μm.
mikrometer (μm)
62 52 42
AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha
32 22 12 2 1
5 Waktu postmortem (jam)
9
Gambar 10 Ukuran diameter serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Menurut Mckee dan Sams (1998), serabut otot yang berasal dari jenis unggas yang pertumbuhannya cepat cenderung memiliki ukuran diameter serabut otot lebih besar bila dibandingkan dengan jenis unggas yang pertumbuhannya lambat. Ayam yang secara alami didominasi oleh serabut otot tipe II, maka cenderung lebih peka terhadap stres dan kualitas daging.
Pembuluh Darah Arteri dan Vena
Berdasarkan pengamatan terhadap pembuluh darah baik yang terdapat pada otot dada maupun pada otot paha dapat dikatakan bahwa lumen pembuluh darah arteri maupun vena pada AHS tampak kosong dari darah. Ini membuktikan bahwa sebagian besar darah telah keluar dari tubuh saat proses pemotongan,
53 sehingga tidak terjadi koagulasi dan retensi di dalam lumen arteri dan vena. Sebaliknya pada AMS dan ALS sebagian besar lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah yang tidak keluar dari tubuh dan menyebabkan kongesti yang jelas (Gambar 11). Gambaran seperti ini memperlihatkan bahwa pembuluh darah arteri maupun vena pada AMS dan ALS dipenuhi oleh darah yang tertahan karena tidak terjadi pengeluaran darah (bled out) yang sempurna pada saat pemotongan.
AHS
ALS
AMS
Gambar 11 Lumen pembuluh darah arteri pada otot dada (M. pectoralis) AHS 1 jam postmortem tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada AMS dan ALS, lumen pembuluh darah arteri dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Bila dibandingkan dengan gambaran pembuluh darah arteri pada AHS maka efisiensi pengeluaran darah (blood loss) pada ALS pun masih kurang baik, sebab berdasarkan penampilan histologis masih banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah arteri maupun vena.
Pada ayam yang lemah dan stres,
kemungkinan besar kerja sistem sirkulasi tidak cukup kuat untuk mengeluarkan darah yang sempurna pada saat pemotongan. Griffiths et al. (1985) menyatakan bahwa perbedaan metode pemingsanan ternyata tidak akan mempengaruhi jumlah darah pada karkas, sehingga faktor terpenting dalam hal ini adalah tindakan memotong dengan sempurna atau tidak, karena pemingsanan atau tidak pemingsanan hanya menunjukkan perbedaan jumlah darah yang tidak signifikan.
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa pemotongan yang benar terhadap ayam yang sehat merupakan faktor yang sangat penting dalam penyiapan karkas dan daging yang berkualitas baik dan sehat. Pemotongan yang sempurna akan menyebabkan sebagian besar darah keluar dari sistem sirkulasi, walaupun dalam jumlah sangat kecil masih
54 tetap ada yang tertahan di dalam organ-organ vital seperti otak, limpa, paru-paru dan hati. Kondisi pembuluh darah yang mengalami kongesti tidak saja ditemukan pada otot dada namun ditemukan juga pada otot paha baik pada otot paha AMS dan juga pada otot paha ALS.
Pada pembuluh darah vena memperlihatkan
gambaran bahwa pembuluh darah tersebut pada otot paha AMS dan ALS juga dipenuhi oleh darah, sedangkan pada otot paha AHS pembuluh darah vena tampak kosong dan tidak membengkak (Gambar 12).
AHS
AMS
ALS
Gambar 12 Lumen pembuluh darah vena pada otot paha (M. biceps femoris) AHS 1 jam postmortem, tidak berisi darah (tanda panah), sedangkan pada otot paha AMS dan ALS, lumen pembuluh darah vena dipenuhi oleh darah. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 µm. Pada kondisi pembuluh darah vena yang penuh oleh darah, maka jika dinding pembuluh darah vena mengalami ruptur, maka eritrosit akan menyebar ke jaringan antar serabut otot yang ditandai dengan banyaknya eksudasi di jaringan ikat dan antar serabut otot. Hal ini akan mempercepat proses pembusukan pada daging terutama jika di dalam darah mengandung sejumlah mikroorganisme pembusuk.
Jarak Antar Serabut Otot (Muscle Fiber Interstitials)
Hasil pengamatan terhadap jarak antar serabut otot (muscle fiber interstitials) menunjukkan bahwa jarak antar serabut otot pada AMS mengalami
perubahan yang nyata lebih besar (p<0.05) dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AHS dan ALS. Pelebaran jarak yang signifikan yang terjadi pada otot dada dan otot paha AMS setelah 1, 5 dan 9 jam pasca mati berturut-turut sebesar 10.7, 10.8, 11; 10, 10 dan 10.6 μm (Tabel 4).
Pada pengamatan
55 mikroskopis dapat dilihat bahwa sebagian besar serabut otot dada pada AMS dan ALS telah mengalami dissosiasi dan juga ditambah lagi dengan adanya eksudasi, sehingga banyak serabut otot yang mengalami perenggangan antara satu dengan yang lain. Tabel 4 Rataan dan standar deviasi jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan serabut otot paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Jarak antar serabut otot dada (μm) Perlakuan
a-c
Jarak antar serabut otot paha (μm)
Postmortem (jam ke-) 1
5
9
1
5
9
AHS
7.4 ± 2.1b
9.3 ± 1.4b
7.4 ± 0.8c
7.2 ± 1.6b
8.3 ± 1.5b
7.5 ± 1.0b
AMS
10.7 ± 1.2
10.8 ± 1.0
11 ± 1.2
ALS
9.3 ± 0.9a
9.3 ± 0.8b
9.9 ± 1.3b
a
a
a
a
a
10 ± 0.9
10 ± 1.3
9.1 ± 1.2a
9.4 ± 1.5ab
10.6 ±0.9
a
9.8 ± 0.7a
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Daging AHS yang berasal dari hasil penyembelihan ayam sehat memiliki struktur dan integritas serabut otot yang masih utuh. Sedangkan daging pada AMS dan ALS struktur serabut otot telah mengalami dissosiasi dan ditambah lagi dengan adanya eksudasi. Pada daging AMS dan ALS jarak antar serabut otot terlihat lebih lebar dengan kondisi dissosiasi yang lebih berat. Pelebaran ruang interstitials ini juga dipicu oleh meningkatnya cairan intraselular yang menuju ke
ruang tersebut dan dipengaruhi juga oleh banyak darah yang tertahan di dalam pembuluh darah. Menurut Gissel (2005) daging yang mengalami kehilangan cairan yang lebih banyak disamping memperlihatkan karakter yang basah, secara mikroskopis terlihat struktur jaringan yang lebih longgar dibandingkan dengan struktur jaringan yang berasal dari kondisi yang normal. Peningkatan ruang antar serabut otot (extracellular space atau muscle fibers interstitials) biasanya disertai dengan peningkatan permeabilitas sarkolemma. Kondisi inilah yang diduga menyebabkan
56 banyak air intraselular dengan mudah menuju ke ruang ekstraselular melalui (drip channels)(Gambar 13).
AHS
AMS
ALS ALS
AMS
ALS
Gambar 13 Potongan melintang otot dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. Jarak antar serabut otot (tanda panah) pada AMS dan ALS lebih besar daripada pada AHS. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 μm. Berdasarkan hasil analisis statistik, jarak antar serabut otot dada dan serabut otot paha pada AHS signifikan lebih pendek (p<0.05) atau dengan kata lain lebih rapat jika dibandingkan dengan jarak antar serabut otot pada AMS dan ALS (Gambar 14).
mikrometer (μm)
12 10
AHS dada
8
AMS dada ALS dada
6
AHS paha
4
AMS paha
2
ALS paha
1
5 Waktu postmortem (jam)
9
Gambar 14 Histogram jarak antar serabut otot dada (M. pectoralis) dan jarak antar serabut otot paha (M. biceps femoris) yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Pada ayam bangkai ruang interstitials antar serabut otot mengalami suatu kondisi yang menyebabkan ruang tersebut menjadi lebih renggang. Eksudasi
57 yang terdapat di antara serabut otot dan pada jaringan penunjang mengindikasikan bahwa telah terjadi pengeluaran cairan intraselular ke jaringan ekstraselular. Menurut Kranen et al. (2000) gambaran eksudasi yang lebih banyak disebabkan juga oleh kerusakan dinding endotel.
Jika dinding pembuluh darah rusak
(rupture) maka sedikit atau banyak darah akan terdapat di jaringan interselular. Intensitas hemoglobin postmortem di dalam jaringan tergantung pada jumlah dan distribusi dari darah sisa pada karkas, kekuatan hemolisis dan derajat koagulasi intravaskular. Berdasarkan pengamatan mikroskopis dapat dikatakan bahwa lebih dari 50% jaringan pada otot AMS telah mengalami eksudasi. Eksudasi terlihat seperti fibrin atau benang halus yang berada di sekitar serabut otot dan di jaringan ikat penunjang (Gambar 15).
AHS
AMS
ALS
Gambar 15 Potongan melintang serabut otot dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem memperlihatkan eksudasi yang terjadi di antara serabut otot. Pada AMS terlihat eksudasi (tanda panah) sangat banyak, sedangkan pada ALS lebih sedikit dan pada AHS dalam persentase yang sangat kecil. Pewarnaan hematoksilin-eosin. Garis skala : 50 μm. Eksudasi terutama disebabkan oleh keluarnya cairan darah lewat pembuluh darah akibat terjadi perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah beberapa saat setelah kematian. Pada otot dada dan otot paha AHS tidak terdapat banyak eksudasi baik di daerah antar serabut otot maupun di jaringan penunjang. Ini memberikan gambaran bahwa dengan dilakukan pemotongan ayam secara benar dan berasal dari ayam yang sehat, maka darah tidak akan tertahan di dalam system
58 sirkulasi yang mengakibatkan kongesti sehingga tidak ada eksudasi yang berasal dari pembuluh darah. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap seluruh jaringan otot, maka secara deskriptif dapat dikatakan bahwa eksudasi yang terjadi pada otot dada dan otot paha ALS dapat mencapai 30%, sedangkan pada otot dada dan otot paha AHS eksudasi hanya terlihat kurang dari 5%. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan molekul-molekul besar seperti protein dapat keluar dari pembuluh darah.
Cairan eksudasi mengandung protein yang tinggi yaitu
mencapai 50g/l disamping itu terdapat juga immunoglobulin yang penting untuk destruksi mikroorganisme yang menginvasi jaringan dan sejumlah fibrinogen. Sehingga pada eksudasi jelas terlihat adanya fibrin. Kadangkala terjadi juga hemorhagi di antara serabut otot dan di jaringan penunjang (Kranen et al. 2000). Hemorhagi tergantung dari jaringan dimana hemorhagi itu terjadi. Pada otot dada ayam pedaging hemorhagi yang terjadi sering menyesuaikan dengan arah serabut otot. Secara mikroskopis sangat jelas terlihat bahwa ada pembendungan darah di dalam pembuluh arteri, vena maupun pembuluh kapiler yang ditandai dengan adanya eritrosit yang memenuhi pada saluran tersebut. Setelah endotel lisis maka akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan hilangnya permeabilitas dinding pembuluh darah (Kranen et al. 2000). Akibatnya banyak eritrosit akan keluar dari sistem vaskular menuju ke daerah intermuskular dan juga ke jaringan penunjang. Hemoglobin juga akan lepas dari eritrosit atau dari plasma darah.
Nilai Keempukan Daging (Warner-Bratzler shear atau nilai WB)
Hasil uji keempukan daging menunjukkan bahwa nilai Warner-Bratzler (WB) daging dada yang berasal dari AHS, AMS dan ALS setelah 1, 5 dan 9 jam postmortem memiliki nilai WB yang sama (p>0.05).
Ini berarti bahwa baik
daging yang berasal dari ayam bangkai, maupun yang berasal dari ayam lemah dan ayam sehat memberikan gambaran tingkat keempukan daging dada yang relatif sama. Bila diamati berdasarkan waktu pengukuran pada 1, 5 dan 9 jam postmortem, maka secara keseluruhan menunjukkan adanya kecenderungan
penurunan nilai WB. Dengan kata lain semakin lama jam postmortem maka
59 tingkat keempukan daging semakin tinggi atau nilai WB yang didapat semakin rendah. Walaupun pada 9 jam postmortem nilai WB daging dada AMS lebih rendah, namun angka tersebut belum menunjukkan beda nyata dengan AHS dan dengan ALS. Hasil yang sama pada nilai WB diamati juga pada daging paha. Akan tetapi pada daging paha, terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara nilai WB otot paha AMS dengan nilai WB otot paha AHS dan ALS biak pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Nilai WB pada otot ini menurun drastis dari 6.3 kgf/cm2 pada 1 jam postmortem menjadi 2.2 dan 1.9 kgf/cm2 pada 5 dan 9 jam postmortem (Tabel 5).
Tabel 5 Rataan dan standar deviasi nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai keempukan daging paha (kgf/cm2)
Nilai keempukan daging dada (kgf/cm2) Perlakuan
Postmortem (jam ke-) 1
a-c
5
9
1
5
9
AHS
4.3 ± 1.0a 3.0 ± 0.6a 2.9 ± 0.6a 4.2 ± 0.3b
3.4 ± 0.4a
2.7 ± 0.3a
AMS
4.5 ± 0.9a 2.7 ± 0.5a 2.0 ± 0.4a
6.3 ± 1.4a
2.2 ± 0.5b
1.9 ± 0.3c
ALS
4.4 ± 0.9a 3.2 ± 0.6a 2.8 ± 0.5a 4.1 ± 0.4b
3.4 ± 0.4a
2.3 ± 0.6b
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Hasil pengujian nilai WB pada daging paha AMS menurun drastis setelah 9 jam postmortem. Ini mengindikasikan bahwa setelah 9 jam postmortem, tekstur daging paha ayam bangkai menjadi semakin lunak, sedangkan tekstur daging paha AHS bersifat lebih kompak. Hal ini diduga berkaitan erat dengan proses autolisis yang lebih cepat terjadi pada otot paha AMS, karena banyaknya darah yang tertahan di dalam jaringan vaskular dan di luar vaskular mempercepat terjadinya proses pembusukan. Santos et al. (2004) menyatakan bahwa nilai WB akan menurun sejalan dengan meningkatnya waktu aging daging dan semakin cepat oleh pembusukan.
60 Dalam hal keempukan daging, akumulasi asam laktat postmortem berperan besar dalam merusak membran lisosom sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim proteolitik yang mampu melunakkan miofibril. Enzim katepsin yang berada di dalam lisosom mampu bekerja pada pH daging untuk mendegradasi proteinprotein miofibril khususnya aktin dan miosin, sehingga akhirnya daging menjadi lunak (Santos et al. 2004). Berdasarkan nilai keempukan daging dada dan daging paha yang diperoleh pada penelitian ini terlihat ada kecendrungan penurunan nilai WB pada jam pertama terhadap nilai WB setelah 5 dan 9 jam, walaupun penurunan tersebut tidak signifikan.
Dibandingkan dengan nilai WB pada satu jam pertama
postmortem maka setelah 5 dan 9 jam postmortem terlihat menurun dan nilainya
berkisar 2 atau 3.5 kgf/cm2 (Gambar 16). 7 WB (kgf/cm2)
6 5
AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha
4 3 2 1 0 1
5 Waktu Postmortem (jam)
9
Gambar 16 Nilai keempukan daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Menurut Veeramuthu dan Sams (1999) ukuran keempukan daging dapat dinilai dari jarak diantara garis-Z, aktivitas enzim kalpain dan fragmentasi protein miofibril. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa semakin jauh jarak antar dua garis-Z maka nilai keempukan daging yang di ukur juga semakin bagus. Ditambahkan oleh Allen et al. (1998), bahwa nilai keempukan tidak dipengaruhi oleh warna daging. Menurut Wattanachant et al. (2005) ketebalan jaringan ikat
61 perimisium memiliki hubungan yang erat dengan nilai keempukan dan kualitas daging. Ketebalan jaringan ini pada ayam bervariasi tergantung tipe otot.
Warna CIE L* a* b*
Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecerahan (L*) daging dada yang berasal dari AHS lebih tinggi dari angka kecerahan (L*) daging dada AMS dan juga ALS. Secara statistik angka kecerahan (L*) daging dada dari AHS berbeda signifikan (p<0.05) dengan angka kecerahan (L*) daging dada dari AMS, namun tidak berbeda nyata dengan nilai kecerahan (L*) daging dada dari ALS. Nilai kecerahan (L*) daging dada dari AMS mulai 1, 5 dan 9 jam postmortem berturut-turut adalah 53.1, 52.3, dan 51.7. Walaupun nilai kecerahan (L*) daging dada pada AHS dan ALS dari 1 sampai 5 jam postmortem relatif tidak menunjukkan perbedaan yang berarti, namun pada 9 jam postmortem nilai kecerahan (L*) daging dada pada ALS mengalami penurunan yakni menjadi 53.5 (Tabel 6). Tabel 6
Rataan dan standar deviasi nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai L* Daging paha
Nilai L* Daging dada Perlakuan
Postmortem (jam ke-)
1
5
AHS
56.2 ± 3.0a
AMS
53.1 ± 3.1
ALS
53.1 ± 2.2
9
1
5
9
55.7 ± 2.9a 55.9 ± 2.7a 54.5 ± 3.3a 52.7 ± 3.1a 50.3 ± 3.2a
b
52.3 ±3.2
b
51.8 ± 3.1
ab
53.5 ±0.9
b
51.4 ± 2.1
ab
53.5 ± 1.7
b
b
51.8 ± 3.5 50.5 ± 4.0
b
48.3 ± 1.1
a
ab
50.8 ± 3.7
a
49.0 ± 1.4
b
a-b
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Hasil yang demikian memberikan suatu pertanda kepada konsumen bahwa gambaran kecerahan masih menjadi suatu indikator yang kadangkala sulit untuk dijadikan sebagai pegangan untuk membedakan mana daging dada maupun daging paha yang berasal dari ayam bangkai atau bukan.
Gambaran nilai
62 kecerahan (L*) pada daging dada dan daging paha yang berasal dari AHS, AMS dan ALS dapat dilihat pada Gambar 17. Menurut Tomasz et al. (2002) nilai kecerahan daging dada lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kecerahan daging pada otot paha (drumstick muscle). Nilai warna daging mentah sangat dipengaruhi oleh jumlah mioglobin otot serta difusi dan absorpsi cahaya pada permukaan. Menurut Fletcher et al. (2000), ada hubungan yang positif antara warna daging mentah dengan nilai warna daging masak baik untuk nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) maupun kekuningan (b*).
Kecerahan (L*)
65
55
1 jam PM 5 jam PM
45
9 jam PM
AHS dada
AMS dada
AHS paha
ALS dada
AMS paha
ALS paha
Gambar 17 Nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Akan tetapi analisis yang hanya berdasarkan warna saja tanpa adanya pemeriksaan pH tidak dapat dijadikan suatu ketentuan atau pegangan bahwa daging yang nilai kecerahannya (L*) nya lebih rendah dari yang lain tergolong daging DFD.
63 Menurut Petracci et al. (2004) bahwa nilai kecerahan (L*) dapat digunakan sebagai suatu indikator kualitas daging dada ayam untuk menilai terhadap kejadian PSE dan untuk tujuan pengolahan lebih lanjut. Walaupun demikian kecerahan otot dada sangat tergantung dari sifat fungsional otot, stres antemortem disamping usia dan spesies hewan. Terhadap nilai kemerahan (a*) daging dada maka secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa daging dada AMS signifikan lebih merah dibandingkan dengan daging dada pada AHS dan ALS. Nilai kemerahan (a*) daging dada dari AMS pada 1, 5 dan 9 jam postmortem berturut-turut adalah 2.7, 2.9 dan 3.1. Sedangkan pada daging paha didapat hasil sebagai berikut 3.4, 6.5 dan 6.4. Nilai kemerahan ini nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai kemerahan dari AHS. Berdasarkan Tabel 7 dapat dikatakan bahwa indikator nilai kemerahan (a*) dapat dipakai untuk membedakan daging dada maupun daging paha antara ayam AMS dengan AHS, atau antara AMS dengan ALS. Tabel 7 Rataan dan standar deviasi nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai a* Daging dada Perlakuan
Nilai a* Daging paha Postmortem (jam ke-)
1
5 b
9 b
1 b
5 a
9 b
AHS
1.9 ± 0.5
1.8 ± 0.5
1.7 ± 0.4
3.0 ± 1.0
AMS
2.7 ± 1.0a
2.9 ± 0.9a
3.1 ± 1.0a
3.4 ± 1.5a 6.5 ± 1.9a
ALS
2.2 ± 0.4
ab
b
2.1 ± 0.4
b
2.1 ± 0.5
a
3.0 ± 1.0
2.7 ± 1.0
b
3.1 ± 0.7
b
2.7 ± 1.0
6.4 ± 1.9a b
3.2 ± 0.7
a-b
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Akan tetapi terasa masih mendapat kesulitan untuk membedakan antara daging dada dan daging paha antara AHS dengan ALS disebabkan oleh tipisnya perbedaan warna kemerahan kedua jenis daging tersebut.
Nilai kemerahan (a*)
daging dada ini dipengaruhi oleh adanya darah yang tersisa di dalam jaringan
64 tubuh, sehingga ketika dilakukan pengukuran dapat meningkatkan nilai kemerahan (a*). Begitu juga halnya dengan angka kemerahan (a*) yang diperoleh pada daging paha AMS, dimana angka yang didapat pada 5 dan 9 jam postmortem secara statistik signifikan lebih tinggi (p<0.05) baik dibandingkan dengan AHS maupun dengan ALS. Angka kemerahan (a*) yang lebih tinggi pada 5 dan 9 jam postmortem tersebut yaitu 6.5 dan 6.4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
warna merah pada daging paha ayam bangkai dapat menjadi suatu indikator untuk membedakan dengan daging ayam normal maupun dengan daging dari ayam lemah (Gambar 18). 10
Kemerahan (a*)
8
6
4
1 jam PM
2
5 jam PM 9 jam PM
0 AHS dada
AMS dada AHS paha
ALS dada AMS paha
ALS paha
Gambar 18 Nilai kemerahan (a*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Secara normal daging paha menghasilkan warna merah yang lebih kuat dibandingkan dengan warna merah yang dihasilkan dari daging dada. Hal ini disebabkan otot paha mengandung serabut otot merah yang lebih banyak disamping serabut otot putih.
Karena tergolong otot merah maka otot paha
65 memiliki kandungan mioglobin yang tinggi dengan suplai darah yang lebih banyak. Pada kondisi tertentu dimana proses pengeluaran darah tidak sempurna, maka daging yang dihasilkan dapat mengarah kepada ciri-ciri daging DFD. Disamping itu terdapat beberapa penyebab lain seperti asites dan emasiasio sehingga kombinasi dari beberapa penyebab ini dapat mengakibatkan daging dada memperlihatkan tanda-tanda seperti DFD (Fletcher et al. 2000). Menurut Kannan et al. (1997) umumnya DFD disebabkan oleh stres yang kronis.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa daging dada dan daging paha memiliki nilai kekuningan (b*) yang relatif sama. Akan tetapi angka kekuningan (b*) pada AMS relatif lebih tinggi dari nilai kekuningan (b*) pada AHS dan ALS (Tabel 8). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kekuningan (b*) secara keseluruhan tidak berbeda nyata (p>0.05) baik pada AHS, AMS dan ALS (Gambar 19). Tabel 8
Rataan dan standar deviasi nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang dikur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai b* Daging paha
Nilai b* Daging dada Perlakuan
Postmortem (jam ke-)
1
5
9
1
5
9
AHS
2.6 ± 0.7b 3.3 ± 0.3a 3.3 ± 0.3b 3.1 ± 0.4b 3.2 ± 0.4a 3.2 ± 0.4a
AMS
3.3 ± 0.5
ALS
3.2 ± 0.2a
a-b
a
a
a
a
a
3.6 ± 0.4a
3.6 ± 0.4
3.3 ± 0.2a
3.3 ± 0.3b
3.1 ± 0.4b 3.2 ± 0.4a 3.2 ± 0.4a
3.5 ± 0.4
3.5 ± 0.6
3.6 ± 0.7
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
66
Kekuningan (b*)
5
4
3 1 jam PM 5 jam PM
2
9 jam PM AHS dada
AMS dada AHS paha
ALS dada AMS paha
ALS paha
Gambar 19 Nilai kekuningan (b*) daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem.
Nitrogen Nonprotein (NPN)
Berdasarkan nilai NPN yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan baik pada otot dada maupun pada otot paha ketiga perlakuan (p>0.05). Dengan kata lain daging dada dan daging paha ayam broiler pada kondisi segar tanpa pendinginan dan pembekuan dari 1 sampai 9 jam postmortem belum menunjukkan adanya peningkatan nilai NPN (Tabel 9).
Berbeda dengan hasil penelitian Khan (2000) yang mencatat ada peningkatan NPN daging ayam selama 2 minggu pertama penyimpanan dingin. Sekitar 80% dari peningkatan NPN tersebut diakibatkan karena meningkatnya asam amino terutama asam amino yang mengandung sulfur dan aromatik. Senyawa-senyawa guanidin yaitu keratin dan kreatinin juga meningkat sedikit sementara turunan dari asam nukleat menurun.
67 Tabel 9 Rataan dan standar deviasi angka NPN daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai NPN daging dada (%) Perlakuan
Nilai NPN daging paha (%)
Postmortem (jam ke-)
1
5
9
1
5
9
AHS
4.7 ± 0.7a
4.5 ± 0.8a
4.6 ± 1.1a
4.5 ± 1.1a
4.4 ± 1.0a
4.5 ± 1.0a
AMS
5.2 ± 0.7
a
5.4 ± 0.3
ALS
4.9 ± 0.6
a
5.0 ± 0.2
ab
5.4 ± 0.5
a
5.4 ± 0.8
b
4.9 ± 0.8
ab
5.4 ± 0.7
a
4.7 ± 0.7
a
5.4 ± 0.5
b
4.5 ± 1.1
b
a
4.4 ± 1.0
b
a-b
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Peningkatan jumlah NPN memiliki hubungan yang erat dengan proses proteolisis pada jaringan otot ayam. Autolisis yang terjadi pada jaringan otot merupakan aksi dari beberapa enzim proteolitik seperti katepsin dan jumlahnya di dalam jaringan otot relatif rendah. Selama penyimpanan, peningkatan temperatur maupun pembekuan maka enzim katepsin kemungkinan terlepas akibat dari kerusakan sel sehingga menyebabkan terjadinya proteolisis (Obanor et al. 2005). Belum banyak informasi yang didapat tentang kekuatan proteolisis pada otot dada dan otot paha ayam terhadap peningkatan nilai NPN. Ada beberapa kemungkinan tidak meningkatnya nilai NPN secara signifikan (Gambar 20) antara daging dari ayam bangkai dan bukan bangkai yaitu faktor temperatur ruang, dimana temperatur sekitar 28-29 oC menyebabkan cepatnya terjadi agregasi protein miofibril dan juga ikatan NPN, sedangkan kemungkinan kedua adalah NPN telah hilang melalui proses eksudasi yang terjadi karena otot telah mengalami pemotongan kecil-kecil saat analisis pada temperatur ruang (Parrish et al. 1969; Van Laack et al. 2000; Obanor et al. 2005).
68
NPN (%)
6 5.5 5 4.5
AHS dada AMS dada ALS dada AHS paha AMS paha ALS paha
4 3.5 3 2.5 2 1
5 Waktu postmortem (jam)
9
Gambar 20 Nilai nitrogen nonprotein daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Berdasarkan hasil penelitian Miller et al. (1965) menunjukkan bahwa penyimpanan otot dapat meningkatkan asam amino bebas. Pada otot putih terlihat bahwa asam amino lebih rendah dibandingkan dengan asam amino pada otot merah dan Miller et al. (1965) akhirnya menyimpulkan bahwa otot broiler memiliki kandungan asam amino lebih banyak dibandingkan dengan kandungan asam amino pada ayam petelur.
Beberapa peneliti bahkan belum pernah
menemukan ada peningkatan NPN pada daging ayam selama dua minggu pertama penyimpanan. Jika NPN dan asam amino meningkat, maka peningkatan tersebut biasa mengikuti pola yang sama. Urlings et al. (1993) yang meneliti jumlah NPN pada daging dada, organ visera dan pada kepala ayam mendapatkan bahwa pada 1 jam pertama nilai NPN tertinggi di dapat pada daerah organ visera yaitu 11.5 sampai 38%, sedangkan nilai NPN yang terendah di dapat pada bagian kepala yaitu 3.0 sampai 4.5%. Nilai NPN daging dada berkisar dari 8.8 sampai 9.6%.
Berdasarkan hasil
penelitian Urling et al. (1993) di ketahui juga bahwa penyimpanan daging dada pada -20 0C terjadi peningkatan nilai NPN setelah 80 jam waktu penyimpanan. Peningkatan yang signifikan pada waktu yang sama juga terjadi terhadap nilai NPN dari organ visera dan kepala.
69
Nilai Impedansi Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai impedansi yang berasal dari daging ayam AMS lebih rendah dibandingkan dengan nilai impedansi yang dihasilkan dari daging ayam AHS maupun ALS.
Rataan nilai impedansi
untuk otot dada AHS, AMS dan ALS pada 1, 5 dan 9 jam postmortem masingmasing adalah sebesar 1.9, 1.8, 1.6; 1.2, 1.2, 1.2; 1.6, 1.7 dan 1.6 ohm sedangkan rataan nilai impedansi untuk otot paha AHS, AMS dan ALS pada 1, 5 dan 9 jam postmortem masing-masing adalah sebesar 1.8, 1.8, 1.8; 1.2, 1.2, 1.1; 1.6, 1.7 dan 1.6 ohm.
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai
impedansi otot dada dan otot paha pada AMS signifikan lebih rendah (p<0.05) bila dibandingkan dengan nilai impedansi pada otot dada dan otot paha dari AHS dan ALS (Tabel 10). Berdasarkan hasil pengukuran nilai impedansi pada daging dada dan daging paha dapat dikatakan bahwa perbedaan karakter daging ternyata menghasilkan nilai impedansi yang berbeda. Karakter fisik daging dada dan daging paha dari AMS tentu saja sangat berbeda dengan karakter fisik daging dada dan daging paha dari AHS dan ALS. Nilai impedansi terukur yang rendah pada AMS terkait erat dengan tingkat degradasi protein otot. Disamping diperkuat oleh kenyataan secara mikroskopis dengan tingkat degenerasi dan nekrosa yang tinggi, pada aspek lain juga dipengaruhi oleh kuatnya aktivitas enzim-enzim proteolitik yang merusak filamen protein. Tingginya kandungan air ekstraselular merupakan bukti bahwa telah terjadi pengeluaran sejumlah air intraselullar dan sejumlah ion yang berperan pada membran serabut otot. Akibat kondisi tadi disamping membuat jaringan otot tambah lunak juga menghasilkan nilai korelasi positif yang signifikan terhadap nilai Warner-Bratzler shear. Kondisi ini telah dibuktikan oleh Byrne et al. (2000) yang mencari hubungan antara nilai impedansi elektris terhadap nilai keempukan daging Warner-Bratzler shear. Hasil ini didukung oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Lepetit (2002) bahwa perubahan sifat elektrolit di dalam miofibril yang merupakan komponen utama serabut otot akan berakibat pada perubahan sifat-sifat ionik jaringan yang akhirnya mengubah nilai impedansi daging atau otot.
70 Pada daging AMS nilai impedansi lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai impedansi pada daging AHS dan ALS. Analisis statistik terhadap nilai impedansi yang dihasilkan menunjukkan angka yang signifikan (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan nilai impedansi daging AHS dan ALS. Akan tetapi nilai impedansi yang terukur dari jam pertama sampai sembilan jam postmortem pada sampel ayam yang sama tidak menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan. Tabel 10 Rataan dan standar deviasi nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) serta daging paha (M. biceps femoris) dari AHS, AMS, dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem Nilai Impedansi Daging dada (ohm) Perlakuan
Nilai Impedansi Daging paha (ohm)
Postmortem (jam ke-)
1
5
9
1
5
9
AHS
1.9 ± 0.1a
1.8 ± 0.1a
1.6 ± 0.3a
1.8 ± 0.2a
1.8 ± 0.1a
1.8 ± 0.1a
AMS
1.2 ± 0.1
ALS
1.6 ± 0.3b 1.7 ± 0.1b
c
c
1.2 ± 0.1
b
c
c
1.2 ± 0.1
1.2 ± 0.1
1.2 ± 0.1
1.6 ± 0.1a
1.6 ± 0.1b 1.7 ± 0.3b
b
1.1 ± 0.1
1.6 ± 0.1a
a-c
superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05)
Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat dikatakan juga bahwa nilai impedansi daging dada pada AHS berkisar antara 1.6 sampai 1.9 ohm, pada AMS adalah 1.2 ohm dan pada ALS antara 1.6 sampai 1.7 ohm. Sedangkan pada daging paha nilai impedansi pada AHS adalah 1.8 ohm, pada AMS berkisar 1.1 sampai 1.2 ohm dan pada ALS antara 1.6 sampai 1.7 ohm. Berdasarkan Gambar 21 dan 22 terlihat bahwa nilai impedansi yang terukur pada daging ayam bangkai selalu lebih rendah baik pada daging dada maupun pada daging paha.
Gambaran grafik ini mencerminkan juga masih terjadi
fluktuasi nilai impedansi yang besar yang berasal dari jaringan otot ayam bangkai maupun dari otot ayam sehat dan otot ayam yang lemah. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketepatan dalam penempatan jarum elektroda ke dalam otot,
sedikit atau banyaknya proporsi air ekstraselular, dan kepekaan
jaringan otot terhadap pemakaian jarum elekroda.
71
AHS1 AMS1 ALS1 AHS5 AMS5 ALS5 AHS9 AMS9 ALS9
Nilai Impedansi (ohm)
2.3 2.1 1.9 1.7 1.5 1.3 1.1 0.9 0.7 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu postmortem (jam)
Gambar 21 Nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Menurut Byrne et al. (2000), interaksi air dengan protein juga dapat mempengaruhi terhadap nilai impedansi jaringan.
Ketika otot mengalami
konversi menjadi daging maka 0.8 sampai 2.0% air masih terikat secara ikatan kovalen terhadap molekul protein di dalam otot. Sedangkan sekitar 12% air terikat melalui ikatan elektrostatik terhadap protein struktural dan protein kontraktil daging, sehingga kondisi ini sangat tergantung pada muatan protein daging serta pH intramuskular.
Sedangkan 70% air dalam bentuk air bebas
keberadaannya sangat tergantung pada kekuatan kapiler di dalam miofilamen otot, sehingga jumlahnya sesuai dengan besar kecilnya ruang antar miofilamen yang terjadi. Sebagian besar gambaran hasil yang diperoleh ini belum sepenuhnya dimengerti namun berdasarkan beberapa publikasi dikatakan bahwa perubahan sifat elektris otot sangat berhubungan erat dengan perubahan volume intraselular dan
perubahan
komposisi
ionik,
sehingga
akhirnya
berpengaruh
berkurangnya impedansi elektris pada jaringan (Pavselj dan Hart 2006).
pada
Nilai Impedansi (ohm)
72
2.5 2.3 2.1 1.9 1.7 1.5 1.3 1.1 0.9 0.7
AHS1 AMS1 ALS1 AHS5 AMS5 ALS5 AHS9 AMS9 ALS9
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Waktu postmortem (jam)
Gambar 22 Nilai impedansi daging paha (M. biceps femoris) pada AHS, AMS dan ALS yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa nilai impedansi memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan angka degenerasi serabut otot dada (p<0.01, r = -0.60), nekrosa serabut otot dada (p<0.01, r = -0.72), dan terhadap jarak antar serabut otot dada (p<0.01, r = -0.54). Nilai korelasi negatif yang signifikan juga terjadi antara nilai impedansi dengan degenerasi serabut otot paha (p<0.01, r = -0.80), nekrosa serabut otot paha (p<0.01, r = -0.60), dan terhadap jarak antar serabut otot paha (p<0.01, r = -0.73). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa semakin tinggi persentase degenerasi, nekrosa serta jarak antar serabut otot, baik pada otot dada maupun pada otot paha maka nilai impedansi cenderung menurun (Gambar 23 dan 24).
Hasil korelasi membuktikan bahwa tingkat
kerusakan jaringan menunjukkan hubungan yang erat dengan nilai impedansi. Dari hasil penelitian ini rangkuman selengkapnya tentang hasil pengukuran seluruh parameter dan sekaligus sebagai standar biologis dapat dilihat pada Tabel 11.
73
2 1.9
r = - 0.60
Impedansi (ohm)
1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
DgSO (%)
L*
Gambar 23 Contoh korelasi negatif antara persentase degenerasi serabut otot (DgSO) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 5 jam postmortem. 60.0 58.0 56.0 54.0 52.0 50.0 48.0 46.0 44.0 42.0 40.0 0.50
r = 0.44
1.00
1.50
2.00
Impedansi (ohm)
Gambar 24 Contoh korelasi positif antara nilai kecerahan (L*) daging dada (M. pectoralis) terhadap nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) pada 9 jam postmortem. Terdapat korelasi positif yang signifikan antara nilai impedansi dengan nilai WB daging paha (p<0.01, r = 0.62). Ini bermakna bahwa semakin rendah nilai WB maka semakin rendah pula nilai impedansi. Dengan kata lain jaringan otot yang semakin lunak mengakibatkan nilai impedansinya juga semakin rendah. Data selengkapnya mengenai hasil korelasi antar berbagai peubah yang diukur dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan 6.
74 Tabel 11 Rangkuman standar angka degenerasi, nekrosa, jarak antar serabut otot, nilai keempukan, nilai CIE L* a* b*, angka NPN dan nilai impedansi daging dada (M. pectoralis) dan daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler yang diukur pada 1, 5 dan 9 jam postmortem D Perlakuan
a
g
i
n
g
d
a
d
a
PM (jam)
DgSO (%)
NkSO (%)
DSO (μm)
JASO (μm)
WB (kgf/cm2)
L*
a*
b*
NPN (%)
I (ohm)
1
0.6
0.6
54.3
7.4
4.3
56.2
1.9
2.6
4.7
1.9
5
1.0
1.0
53.4
9.3
3.3
55.7
1.8
3.3
4.5
1.8
9
1.2
0.9
54.1
7.4
2.9
55.9
1.7
3.3
4.6
1.6
1
4.5
3.5
55.9
10.7
4.5
53.1
2.7
3.3
5.2
1.2
5
2.7
2.6
55.9
10.8
2.7
52.3
2.9
3.5
5.4
1.2
9
3.6
2.8
56.0
11.0
2.0
51.8
3.1
3.6
5.4
1.2
1
3.1
2.0
52.2
9.3
4.4
53.1
2.2
3.2
4.9
1.6
5
2.4
2.2
53.0
9.3
3.3
53.5
2.1
3.3
5.0
1.7
9
2.3
1.7
54.1
9.9
2.8
53.5
2.1
3.3
4.9
1.6
AHS
AMS
ALS
D AHS
AMS
ALS
a
g
i
n
g
p
a
h
a
1
2.5
1.2
43.3
7.2
4.2
54.5
3.0
3.1
4.5
1.8
5
1.5
1.8
43.8
8.3
3.4
52.7
2.7
3.2
4.4
2.8
9
2.3
1.2
45.8
7.5
2.7
50.3
2.7
3.2
4.5
1.8
1
6.9
3.8
44.1
10.0
6.3
51.4
3.4
3.6
5.4
1.2
5
7.6
4.6
43.7
10.2
2.2
49.0
6.5
3.5
5.4
1.2
9
7.5
3.5
44.3
10.6
1.9
48.3
6.4
3.6
5.4
1.1
1
3.4
2.0
43.7
9.1
4.1
51.8
3.0
3.1
4.7
1.6
5
4.7
1.6
45.5
9.4
3.4
50.5
3.1
3.2
4.5
1.7
9
4.3
2.9
45.0
9.8
2.3
50.8
3.2
3.2
4.4
1.6
Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, WB = Warner-Bratzler, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, NPN = Nitrogen nonprotein I = Impedansi, PM = postmortem
SIMPULAN
75 1. Hasil pengujian semua metode biologis menunjukkan bahwa tidak semua peubah dapat dijadikan indikator pembeda antara daging ayam bangkai dan bukan bangkai. Yang dapat dijadikan indikator pembeda adalah persentase degenerasi dan nekrosa, jarak antar serabut otot, gambaran pembuluh darah arteri dan vena serta tingkat eksudasi jaringan, kemudian nilai keempukan, nilai kecerahan (L*) dan kemerahan (a*) daging. 2. Nilai impedansi dapat digunakan sebagai indikator pembeda antara daging dari ayam bangkai dan bukan bangkai. 3. Nilai nitrogen nonprotein (NPN) dan diameter serabut otot tidak dapat dijadikan indikator pembeda antara daging ayam bangkai dan bukan bangkai.
SARAN 1. Standar biologis dan nilai impedansi yang dimiliki oleh daging dada dan daging paha ayam broiler disarankan untuk dijadikan suatu standar mutu oleh pemerintah dalam upaya membedakan antara daging ayam bangkai dan bukan bangkai. 2. Perlu dikembangkan lebih lanjut prosedur pengukuran nilai impedansi daging ayam yang meliputi disain peralatan, pembakuan tatacara pengukuran dan aplikasi di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
76 Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Structure and Composition of Animal Tissue Ed ke-4, dalam : Meat Science. hal. 9 – 43. Hunt Publishing Co. USA. Allen CD, Fletcher DL, Northcutt JK, Russell SM. 1998. The relationship of broiler breast color to meat quality and shelf-life. Poultry Sci. 77:361-366. Allen CD, Russell SM, Fletcher DL. 1997. The relationship of broiler breast meat color and pH to shelf-life and odor development. Poultry Sci. 76:1042-1046. Alvarado CZ, Sams AR. 2000. Rigor mortis development in turkey breast meat and the effect of electrical stunning. Poultry Sci. 79:1694-1698. Anadon HLS. 2002. Biological, nutritional, and processing factors affecting breast meat quality of broilers. [dissertation]. Faculty of Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, Virginia. Anonim 1991. Guidelines for Meat Color Evaluation. Proceedings of the Reciprocal Meat Conference (Vol. 44). American Meat Science Association, 1111 N, Dunlap Ave., Savoy, II. 61874 USA. Anonim 1996. Mendeteksi Ayam Bangkai. Dalam Jurnal LP POM MUI. No.11/II/Agustus-September 1996.18-20. Apriyantono A. 2004. Tinjauan teknologi terhadap potensi ketidakhalalan produk pangan dan pangan hasil rekayasa genetika. Makalah disampaikan pada Seminar Pangan Halal Tingkat Nasional 25 September 2004, Balai Kota, Bogor Berri C, Wacrenier N, Millet N, Le Bihan-Duval E. 2001. Effect of selection for improved body composition on muscle and meat characteristics of broilers from experimental and commercial lines. Poultry Sci. 80:833-838. Bilgili SF, Conner DE, Pinion JL, Tamblyn KC. 1998. Broiler skin color as affected by organic acids: Influence of concentration and method of application. Poultry Sci. 77:751–757. Budianto B. Komunikasi pribadi. 12 September 2004. Byrne CE, Troy DJ, Bukley DJ. 2000. Postmortem changes in muscle electrical properties of bovine M. longissimus dorsi and their relationship to meat quality attributes and pH fall. Meat Sci. 54:23-34. Cavitt LC, Meullenet JFC, Xiong R, Owens CM. 2005. The relationship of razor blade shear, Allo-Kramer shear, Warner-Bratzler shear and sensory tests to changes in tenderness of broiler breast fillets. J Muscle Foods. 16:223-242.
77 Davalos RV, Otten DM, Mir LM, Rubinsky B. 2004. Electrical impedance tomography for imaging tissue electroporation. IEEE Trans Biomed Eng. 761-767. deMan JM. 1989. Kimia Makanan. Padmawinata K, penerjemah. Ed ke-2, Terjemahan dari: Principles of Food Chemistry. ITB, Bandung. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 1996. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Kesmavet. Departemen Pertanian. Jakarta. Dransfield E, Sosnicki AA. 1999. Relationship between muscle growth and poultry meat quality. Poultry Sci. 78:743-746. Fletcher DL. 1999. Broiler breast meat color variation, pH, and texture. Poultry Sci. 78:1323-1327. Fletcher DL, Qiao M, Smith DP. 2000. The relationship of raw broiler breast meat color and pH to cooked meat color and pH. Poultry Sci. 79:784-788. Gatcliffe J, Klosowska D, Faruga A, Puchajda H, Luther R, Elminowska-Wenda G, Hejnowska M. 2001. Muscle damage and meat quality: Fat content and some physico-chemical properties of breast and thigh muscle in turkeys of different genotypes. Proceedings of the XIV European symposium on quality of poultry meat 19-23 September, 1999, Bologna. Volume 1 p.65-69. Getty R. 1975. Sisson and Grossman’s, The Anatomy of the Domestic Animals. Vol.2 5th Ed. W.B. Saunders Company, Philadelphia. Gissel H. 2005. The role of Ca2+ in muscle cell damage. Ann. NY. Acad.Sci. 1066:166-180. Griffiths GL, McGrath M, Softly A, Kones C. 1985. Blood content of broiler chicken carcases prepared by different slaughter methods. (Abstract). Vet Rec. 117(15):382-385. Guan JG, Miao YQ, Zhang QJ. 2004. Impedimetric biosensors. Review. J Biosci and Bioeng. (97)4:219-226. Ibrahim MA. 2004. Makanan dan minuman halal. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pangan Halal, 25 September 2004, Balai Kota, Bogor Instron. 2003. InstronTM, Food Texture Fixtures, Warner-Bratzler Shear, Catalog Number 2830-013, 100 Royal Street, Canton, Massachusetts 02021-1089, USA.
78 Ivorra A, Gomez R, Noguera N, Villa R, Sola A, Palacios L, Hotter G, Aguilo J. 2004. Minimally invasive silicon probe for electrical impedance measurements in small animals. Biosensors & Bioelectronics. [terhubung berkala] http://www.harcoutt-international.com/e-books/pdf/99.pdf. Judge MD, Aberle ED, Forrest JC, Hedrick HB, Merkel RA. 1989. Principles of Meat Science. Ed ke-2. Kendall/ Hunt Publishing Company, USA. Kannan G, Heath JL, Wabeck CJ, Souza MCP, Howe JC, Mench JA. 1997. Efects of crating and transport on stress and meat quality characteristics in broilers. Poultry Sci. 76:523-529. Kerth CR, Blair-Kerth LK, Jones WR. 2003. Warner-Bratzler shear force repeatability in beef longissimus steaks cooked with a convection oven, broiler, or clam-shell grill. J Food Sci. 68:668-670. Khan AW. 2000. Changes in nonprotein nitrogenous constituents of chicken breast muscle stored at below-freezing temperatures. J Agric F Chem. 46:378-382. Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods, Theory and Practice, Ed ke-2. Pergamon Press, Oxford. Koohmaraie M, Kent MP, Shackelford SD, Veiseth E, Wheeler TL. 2002. Meat tenderness and muscle growth:is there any relationship. Meat Sci. 62:345352. Kranen RW, Lambooy E, Veerkamp CH, Van Kuppevelt TH, Veerkamp JH. 2000. Histological characterization of hemorrhages in muscles of broiler chickens. Poultry Sci. 79:110-116. Lawrie RA. 1983. Aspects of the biochemistry of meat. A review. In J Biochem. 15:233-242. Le Bihan-Duval E, Millet N, Remignon H. 1999. Broiler meat quality: effect of selection for increased carcass quality and estimates of genetic parameters. Poultry Sci. 78:822–826. Lepetit J, Sale P, Favier R, Dalle R. 2002. Electrical impedance and tenderisation in bovine meat. Meat Sci. 60:51-62. Lopez A 2004. General structure, congenital defects and degeneratives diseases of muscle. Atlantic Veterinary College, University of Prince Edward Island, Canada. [terhubung berkala] http://www.scielo.br/scielo.php?script=sciarttext&pid=&lng=pt&nrm=iso>.ISSN1516-635X
79 Lucas JJG, Romero JL, Ramos HM, Arufe MI, Vizcaya MA. 1992. Precision of estimating time of death by vitreous potassium-comparison of various equations. Forensic Sci Int. 56:137-145. Lukman DW. 2002. Penyusunan Rencana HACCP pada Industri Pangan Asal Hewan. Makalah yang disampaikan pada Pelatihan HACCP untuk Dosen Perguruan Tinggi, Bogor. Mallia JG, Hunter B, Vaillancourt JP, Irwin R, Muckle CA, Martin SW, McEwen SA. 2000. Bacteriological and histological profile of turkeys condemned for cyanosis. Poultry Sci. 79:1194–1199. Marchello MJ, Slanger WD. 1992. Use of bioelectrical impedance to predict leanness of boston butts. J Anim Sci. 70:3443-3450. Mattjik AA. Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Ed ke-2, Jilid 1. IPB Press, Bogor. Mayer M, Neufeld B. 1980. Post-mortem changes in skeletal muscle protease and creatine phosphokinase activity-a possible marker for determination of time of death. Forensic Sci Int. 15:197-203. McKee SR, Sams AR. 1998. Rigor mortis development at elevated temperatures induces pale exudative turkey meat characteristics. Poultry Sci. 77:169-174. McKee S. 2000. Muscle fiber types in broiler and their relationship to meat quality. Department of Poultry Science, Auburn University. Poultry Digest Online Volume 3, Number 10 McNeal WD, Fletcher DL, Buhr RJ. 2003. Effects of stunning and decapitation on Broiler Activity during bleeding, blood loss, carcass, and breast meat quality. Poultry Sci. 82:163-168. Miller JH, Dawson LE, Bauer DH. 1965. Free amino acid content of chicken muscle from broilers and hens. J Food Sci. 30 (3), 406–411. Mullen AM, Brendan M, Declan T. editor. 2000. Predicting the eating quality of meat. Final report project armis No. 4391, Research report No.28. The National Food Centre, Teagasc, Dublin. Obanor F, Morton JD, Geesink GH, Bickerstaffe R. 2005. Effect of processing on turkey meat quality and proteolysis. Poultry Sci. 84:1123-1128. Oliver MA, Gobantes I, Arnau J, Elvira J, Riu P, Grebol N, Monfort JM. 2001. Evaluation of the electrical impedance spectroscopy (EIS) equipment for ham meat quality selection. Meat Sci. 58:305-312.
80 Parrish FC, Goll DE, Newcomb WJ, de Lumen BO, Chaudhry HM, Kline EA. 1969. Molecular properties of post-mortem muscle: changes in nonprotein nitrogen and amino acids of bovine muscle. J Food Sci. 34:196-202. Pavselj DMN, Hart FX. 2006. Electric Properties of Tissues. Wiley Encyclopedia of Medical Engineering, John Wiley & Sons, Inc. Slovenia. Petracci M, Betti M, Bianchi M, Cavani C. 2004. Color variation and characterization of broiler breast meat during processing in Italy. Poultry Sci. 83:2086-2092. Petracci M, Flecther DL. 2002. Broiler skin and meat color changes during storage. Poultry Sci. 81:1589-1597. Perez-Vendrell AM, Hernandez JM, Llaurado L, Schierle J, Brufau J. 2001. Influence of source and ratio of xanthophyl pigments on broiler chicken pigmentation and performance. Poultry Sci. 80:320-326. Purnama D. 2004. Jangan memotong ayam bangkai. Tempo 27 Okt 2004:11 (kolom 6-8). Purslow PP, Ertbjerg P, Lawson MA, Morrison EH and Fischer AL. 2000. Drip contains significant levels of proteolytic enzymes. Proc. 46th ICoMST (Buenos Aires, 2000). 466-467. Qiao M, Fletcher DL, Smith DP, Northcutt JK. 2001. The effect of broiler breast meat color on pH, moisture, water-holding capacity and emulsification capacity. Poultry Sci. 80:676-680. Rammouz REI. 2004. Effect of ultimate pH on the physicochemical and biochemical characteristics of turkey breast muscle showing normal rate of postmortem pH fall. Poultry. Sci. [terhubung berkala] http://www.findarticle.com/p/article/mi-qa. Rathgeber BM. 2000. Postmortem changes in meat quality and myofibrillar protein degradation in turkey breast muscle [thesis] in the Department of Applied Microbiology and Food Science University of Saskatchewan, Saskatoon, Canada. Razali. 2001. Perubahan berat dan gambaran histologis hati sapi setelah pembekuan dan thawing secara berulang. J Med Vet. 2:25-30. Ringkob TP, Swartz DR, Greaser ML. 2004. Light microscopy and image analysis of thin filament lengths utilizing dual probes on beef, chicken, and rabbit myofibrils. J Anim Sci. 82: 1445-1453.
81 Sams AR, Dzuik CS. 1999. Meat quality and rigor mortis development in broiler chickens with gas induced anoxia and postmortem electrical stimulation. Poultry Sci. 78:1472-1476. Sams AR, editor. 2001. Poultry Meat Processing. Department of Poultry Science, Texas A&M University, USA. Sandusky CL, Heath JL. 1996. Effect of background color, sample thickness, and illuminant on the measurement of broiler meat color. Poultry Sci. 11:14371442. Sandusky CL, Heath JL. 1998. Sensory and instrument-measured ground chicken meat color. Poultry Sci. 77: 481-486. Santos HC, Adriano B, Marco AZY. 2004. Influence of post-mortem aging in tenderness of chicken breast fillets. Paper food technology, 34 (3). SAS Institute. 1988. SAS® User’s Guide: Statistics, Version 5 Edition. SAS Institute Inc., Cary, NC. Sasaki S, Shigeyuki T, Mizuho K. 1983. The estimation of the time of death by non-protein nitrogen (NPN) in cadaveric materials. Report 3: Multiple regression analysis of NPN values in human cadaveric materials. Forensic Sci Int. 22:11-22. Satriyo U. 2001. Cara baru menguji daging. Infovet ed. Okt. 087. Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta. Savenije B, Lambooij E, Pieterse C, Korf J. 2000. Electrical stunning and exanguination decrease the extracellular volume in the broiler brain as studied with Brain Impedance Recordings. Poultry Sci. 79:1062-1066. Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan pertama, Gadjah Mada University Press. Swantek PM, Crenshaw JD, Marchello MJ, Lukaski HC. 1992. Bioelectrical impedance: A non destructive methods to determine fat-free mass of live market swine and pork carcasses. J Anim Sci. 70:169-177. Swatland HJ. 1997. Observations on rheological, electrical, and optical changes during rigor development in pork and beef. J Anim Sci. 75:975-985. Sylvia I. 1999. Evaluation on suitability of impedance technique assessing the total account of aerobe germs in minced meat, fresh fish and smoked fish. [terhubung berkala]. http://library/vetmed.fu-berlin/de/dissabstracts/108734. html [20 Des 2004].
82 Tomasz F, Mirosaw S, Krzysztof D. 2002. Color measurements as a method for the estimation of certain chicken meat quality indicators. Electronic J Polish Agric Univ Food Sci and Tech 5(2). Urlings HAP, Fransen NG, Bijker PGH, van Logtestijn JG. 1993. Proteolysis and amino acid breakdown of heated and irradiated poultry byproducts and muscle tissue. J Anim Sci. 71:2432-2438. Van Laack RLJM, Liu CH, Smith MO, Loveday HD. 2000. Characteristics of pale, soft, exudative broiler breast meat. Poultry Sci. 79:1057-1061. Veeramuthu GI, Sams AR. 1999. Postmortem pH, myofibrillar fragmentation, and calpain activity in Pectoralis from electrically stimulated and muscle tensioned broiler carcasses. Poulty Sci. 78:272-276. Warriss PD. 1977. The residual blood content of meat; A review. J Sci Fd Agric. 28:457-462. Warriss PD, Bevis EA, Brown SN, Edwards JE. 1992. Longer journeys to processing plants are associated with higher mortality in broiler chickens. Br Poult Sci. 33:201-206 Warriss PD, Leach TM. 1978. The influence of slaughter method on the residual blood content of meat. J Sci Fd Agric. 29:608-610. Wattanachant S, Benjakul S, Ledward DA. 2005. Microstructure and thermal characteristics of Thai indigenous and broiler chicken muscles. Poultry Sci. 84:328-336. Wheeler TL, Shackelford SD, Johnson LP, Miller MF, Miller RK, Koohmaraie M. 1997. A comparison of Warner-Bratzler shear force assessment within and among institutions. J Anim Sci. 75:2423-2432. Witkiewicz K, Kontecka H, Ksiazkiewicz J, Szwaczkowski T, Perz W. 2004. Carcass composition and breast muscle microstructure in selected vs nonselected ducks. Anim Sci Paper and Reports, 22(1):65-73.
83 Lampiran 1 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 1 jam postmortem Peubah NkSO DSO JASO DgSO
0.35
NkSO DSO JASO WB L* a*
WB
I
a*
b*
-0.24
0.52ab -0.15 -0.12
0.13
0.26
-0.21
-0.56ab
0.07
0.57ab 0.32
0.25
-0.03
-0.72ab
0.11
0.002
-0.08
-0.07a 0.39a
-0.05 -0.18
-0.11
0.22
-0.02 -0.18
0.16
0.41a -0.35a
0.24
0.15
0.02
-0.43a -0.16 0.16
b* NPN Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
NPN
L*
-0.52ab
0.44ab -0.07 0.14
0.38a
0.06
-0.41a
0.11
-0.43a 0.09
84 Lampiran 2 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 5 jam postmortem
Peubah NkSO DSO JASO
WB
DgSO
0.05
NkSO DSO JASO WB
L*
a*
b*
NPN
I
0.17
0.31
-0.27 -0.29
0.44
0.19
-0.17
-0.60ab
0.05
0.08
-0.02 -0.38a
0.28
0.22
0.24
-0.31
0.07
0.03
-0.17
0.08
0.28
0.08
-0.22
-0.22 -0.41
0.58
0.05
-0.12
-0.54ab
0.17
-0.17
0.08
-0.06
0.39a
0.36a
0.37a
0.36
-0.63ab
0.18
-0.36a
L*
-0.42 -0.26
a*
0.11
b* NPN Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
0.08
85 Lampiran 3 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging dada (M. pectoralis) ayam broiler pada 9 jam postmortem
Peubah NkSO DSO JASO
WB
L*
a*
b*
NPN
I
DgSO 0.53ab
0.21
0.52ab
-0.52ab
-0.57ab
0.54ab
0.41a
-0.19
-0.39a
NkSO
0.11
0.39a
-0.37a
-0.37a
0.21
0.35
0.07
-0.25
-0.19
0.06
-0.39a
0.01
0.07
0.14
-0.17
- 0.51ab
-0.33
0.43a
0.16
-0.19
-0.39a
0.26
-0.44a
-0.41a
0.07
0.28
-0.50ab
-0.18
-0.01
0.44ab
0.29
0.02
-0.43a
0.10
0.02
DSO JASO WB L* * b* NPN
Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
0.06
86 Lampiran 4 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 1 jam postmortem
Peubah NkSO
DSO
JASO
DgSO 0.53ab
0.16
0.32
-0.014
NkSO DSO JASO WB L* a*
WB
b*
NPN
I
-0.59ab -0.15 0.51ab
0.23
-0.13
-0.60ab
0.28
0.46ab
-0.23
0.04
0.003
-0.29
-0.57ab
0.13
0.06
0.11
0.10
-0.24
-0.09
0.012
0.07
-0.1-
0.32
0.07
-0.25
-0.59ab
0.27
-0.17a -0.72ab
-0.02
0.37a
0.46ab
0.28
-0.22
-0.13
0.09
-0.42a
L*
a*
-0.34 0.51ab -0.30
b* NPN Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
0.36a
87 Lampiran 5 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 5 jam postmortem
Peubah NkSO DSO JASO
WB
L*
a*
b*
NPN
I
0.49
0.16
-0.28
-0.57ab
DgSO 0.60ab
0.15
0.18
-0.52ab -0.39a
NkSO
0.33
0.19
-0.39a
-0.25
0.42ab
0.20
-0.16
-0.60ab
-0.17
0.09
0.14
0.18
-0.04
-0.27
0.14
-0.45ab
-0.12
0.28
0.38a
-0.15
-0.45ab
0.19
-0.28
-0.29
0.19
0.62ab
-.027
-0.11
0.20
0.43a
0.01
-0.31
-0.48ab
0.09
-0.26
DSO JASO WB L* a* b* NPN
Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
0.18
88 Lampiran 6 Analisis korelasi antar peubah yang diukur pada daging paha (M. biceps femoris) ayam broiler pada 9 jam postmortem
Peubah NkSO
b*
NPN
I
DgSO 0.69ab -0.01 0.68ab -0.36a -0.09
0.68ab 0.06
-0.32
-0.80ab
NkSO
0.17
0.41a
-0.13 -0.37a -0.54ab
-0.41a 0.20
-0.14
-0.17 -0.14
-0.41a -0.14
0.67ab 0.23
DSO JASO
DSO
0.14
JASO
WB
0.56ab -0.22 -0.11
L*
a*
-0.26
0.10 -0.73ab
WB
0.43a -0.35
-0.11 0.25
0.57ab
L*
-0.30
-0.11 0.06
0.29
0.20
-0.06
-0.77ab
0.11
-0.31
a* b* NPN
Keterangan: DgSO = Degenerasi serabut otot, DSO = Diameter serabut otot, NkSO = Nekrosa serabut otot, JASO = Jarak antar serabut otot, WB = Warner- Bratzler, NPN = Nitrogen nonprotein, I = Impedansi
a = p < 0.05 ab = p < 0.01
0.25