PENGGUNAAN MEMBRAN BIOREAKTOR (MBR) PADA ACTIVATED SLUDGE DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI Chandra Ayu Diah Anggraeni (2309105004) dan Safitri Kurniasari (2309105017) Pembimbing : Dr. Ir. Tontowi Ismail, MS Laboratorium Teknologi Biokimia Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS Kata kunci : MBR, SMBR, COD, activated sludge, flux Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti kinerja pada sistem Membran Bio Reaktor (MBR) yakni kemampuan menurunkan kandungan COD, meneliti pengaruh kondisi anoxic terhadap pengurangan kandungan N dalam air limbah industri. Meneliti kinerja MBR dan SMBR terhadap perubahan fluks. Penelitian ini mengenai pengolahan limbah cair sintesa dengan kandungan ammonia tinggi secara biologis menggunakan Membrane Bio Reactor (MBR). Pengolahan secara biologis ini menggunakan lumpur aktif yang berasal dari tangki aerasi pengolahan limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan tahap percobaan utama. konsentrasi COD yang digunakan adalah 900,1800, dan 2250 mg/L, konsentrasi biomassa (MLSS) 2000 – 6000 mg/L. Pengamatan terhadap oksigen terlarut (DO), SV, dan bioassay juga dilakukan. Dari hasil penelitian menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari dengan COD 2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 473 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu menurunkan sebesar 178 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 64 dengan F/M ratio 0,19 dengan DO berkisar 3,6 – 4,9. Dari hasil penelitian tanpa menggunakan membran menunjukkan bahwa proses pada rate 31,5 L/hari dengan COD 2250 mg/L mampu menurunkan sebesar 520 dengan F/M ratio 0,21; pada COD 1800mg/L mampu menurunkan sebesar 190 dengan F/M ratio 0,2; pada COD 900mg/L mampu menurunkan sebesar 67 dengan F/M ratio 0,19 dengan DO berkisar 3,6 – 4,9. COD menggunakan membran dan tanpa menggunakan membran didapatkan hasil yang tidak terlalu jauh . Fluks pada percobaan MBR dari kecepatan 30 L/m2 jam turun menjadi 20,7 L/m2 jam dalam waktu 15 menit, dibandingkan SMBR dari kecepatan 24 L/m2 jam turun menjadi 7,2 L/m2 jam dalam waktu 15 menit . Menurunkan konsentrasi NH3 dari 349,978 mg/L pada COD 2250 mg/lt menjadi 86,016 mg/lt dengan % removal sebesar 75,42%, dapat menurunkan konsentrasi NH3 dari 242,458 mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 22,5792 mg/lt dengan % removal sebesar 90,69%, dan dapat menurunkan konsentrasi NH 3 dari 152,141 mg/L pada COD 900 mg/L menjadi 7,7952 mg/L dengan % removal sebesar 94,88 %. Menurunkan konsentrasi NO 3 dari 0,08348 mg/L pada COD 2250 mg/lt menjadi 0,01871 mg/lt dengan % removal sebesar 77,59%, dapat menurunkan konsentrasi NO 3 dari 0,06045 mg/L pada COD 1800 mg/lt sebesar 0,0072 mg/lt dengan % removal sebesar 88,10%, dan dapat menurunkan konsentrasi NO3 dari 0,03023 mg/L pada COD 900 mg/L menjadi 0,00217 mg/L dengan % removal sebesar 92,81%. 1. Pendahuluan Proses biologis dalam pengolahan limbah organik, memerlukan nitrogen (N) dan fosfor (P). Namun kelebihan N dan P dalam effluent air limbah akan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan yang akan berdampak buruk terhadap keseimbangan ekologi dan kesehatan manusia. Untuk mengolah limbah dengan kandungan N dan P yang berlebih biasanya dilakukan proses activated sludge yang dilengkapi dengan proses anoxic. Untuk mengatasi kelemahan dari sistem lumpur aktif konvensional, maka dicoba suatu proses lumpur aktif yang dilengkapi dengan menggunakan Submerged Membrane Bioreactor (SMBR). Konsep SMBR secara teknis hampir sama dengan pengolahan limbah biologis konvensional, kecuali proses pemisahan activated sludge dengan effluent yang dilakukan menggunakan membran filtrasi sebagai pengganti sedimentasi. Penggunaan Submerged Membrane Bioreactor (SMBR) di antaranya mampu mengolah bahan organik dengan konsentrasi yang tinggi dan beban yang berfluktuasi. Kualitas air effluent akan meningkat, yang ditandai dengan minimnya kandungan padatan tersuspensi, virus, dan bakteri didalamnya (Chang et al,
2002). persoalan fouling pada membran akibat hadirnya mikroorganisme yang terkait dengan produk mikrobial, konsentrasi, dan ukuran partikel merupakan kendala operasi SMBR. Teknologi Membrane Bioreactor (MBR) menjadi salah satu alternatif yang sedang ditawarkan. Sistem MBR merupakan unit pengolahan limbah cair industri yang terdiri dari proses biologis dan filtrasi membran. Pemakaian teknologi ini di dalam proses lumpur aktif sangat membantu untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam proses lumpur aktif konvensional. Penggunaan membran bioreaktor dapat mengatasi fluktuasi yang berlebih pada kualitas influent dan effluent dapat langsung digunakan serta dengan bioreaktor membran, konsentrasi biomassa (MLSS) dan konsentrasi COD umpan yang terlalu tinggi tidak lagi menjadi masalah. (Chang et al, 2002). 2. Metodologi Variabel Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variabel sebagai berikut : 1. COD : 900, 1800 dan 2250 mg/l 2. MLSS : 2000 - 6000 mg/l
Analisa Pendahuluan Analisa pendahuluan terhadap air limbah dilakukan untuk mengetahui konsentrasi MLSS, MLVSS, BOD/COD dari limbah cair industri. Data ini digunakan selanjutnya untuk menghitung jenis dan jumlah nutrisi yang perlu ditambahkan dan pengkondisian tahap aklimatisasi mikroba. Untuk keperluan analisa konsentrasi BOD/COD dan MLSS, MLVSS, dan DO ditentukan berdasarkan Standart Method for Examination of Waste and Wastewater (APHA, 1992). Tahap pembibitan dan aklimatisasi Pembibitan dilakukan dengan mengambil lumpur aktif yang diperoleh dari tangki aerasi pengolahan limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Melakukan tahap aklimatisasi dengan menambahkan limbah sintetis di tangki aerasi. Melakukan pengamatan dan menganalisa COD, MLSS, MLVSS, DO, dan bioassay setiap hari. Menghentikan tahap aklimatisasi apabila dari hasil pengamatan COD dan MLSS telah menunjukan kondisi yang stabil. Melanjutkan ke tahap percobaan. Tahap percobaan o Mengalirkan limbah dari tangki aerasi ke tangki anoxic dengan menjalankan recycle. o Menambahkan limbah sintesis dengan ke dalam tangki anoxic. o Melakukan pengamatan dan menganalisa DO pada tangki anoxic. o Melakukan pengamatan dan menganalisa COD, MLSS, MLVSS, DO, Bioassay, kadar amonia pada tangki aerasi. o Bila di tangki aerasi limbah mengalami overflow ke sisi bagian filtrasi yang terdapat membran ultrafiltrasi sampai terisi penuh, maka pompa membran ultrafiltrasi dijalankan. o Melakukan pengamatan dan menganalisa COD, kadar amonia serta mengukur turbidity pada hasil filtrasi membran. o Melakukan pencucian backwashing setelah membran beroperasi dalam waktu tertentu dan fluks permeat yang dihasilkan tidak efisien lagi. o Melakukan operasi seperti langkah-langkah diatas dengan mengganti variabel yang telah ditetapkan.
3. Hasil dan Pembahasan Karakteristik limbah ditunjukkan pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1 Komposisi Lumpur Aktif PT. SIER Surabaya No Parameter Lumpur Aktif Konsentrasi 1
COD, mg/L
224
2
BOD, mg/L
149,3
3
MLSS, mg/L
6050
4
MLVSS, mg/L
4830
5
DO
3,8
6
SV, ml/L
700
Tahap Pendahuluan
Gambar 2. Pengamatan MLSS dan COD (mg/L) terhadap waktu (hari) Pada Gambar 2. menunjukkan kurva pengamatan COD dan MLSS pada tahap pembibitan dan aklimatisasi membutuhkan waktu selama 10 hari. Dimana terjadi kenaikan MLSS secara signifikan, namun pada hari ke-3 konsentrasi MLSS mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena adanya penyesuaian mikroorganisme terhadap kondisi lingkungan. Selain itu bisa juga dikarenakan mikroorganisme yang terdapat di dalam lumpur aktif tersebut terikut bersama supernatan yang terganti dengan limbah sintetis. Pada hari ke-5 terjadi peningkatan MLSS, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme relative baik. Kenaikan ini terjadi secara bertahap dan dihentikan bila MLSS relatif konstan yaitu pada hari ke 10. Sedangkan untuk pengamatan COD pada grafik menunjukkan selama waktu 10 hari terjadi penurunan nilai COD. Tahap pembibitan dan aklimatisasi terus dilakukan seiring dengan meningkatnya konsentrasi MLSS dan menurunnya konsentrasi COD. Penurunan konsentrasi COD terjadi karena adanya mikroorganisme yang dapat beradaptasi dengan limbah sintetis tersebut dan mampu mendegradasi bahan organik secara baik.
Tahap Percobaan Berikut ini hasil pengolahan limbah cair sintesa dengan kandungan ammonia tinggi secara biologis dalam mendegradasi beban organik :
Gambar 1. Skematik MBR
Chemical Oxygen Demand (COD) COD (mg/L) menggunakan membran
Gambar 3. COD (mg/L) terhadap waktu (hari) pada tangki aerobik % Removal COD menggunakan membran
Gambar 4. % Removal COD terhadap waktu (hari) pada tangki aerobik Untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi COD menggunakan membran dapat dilihat pada gambar 3. dan 4. yang menunjukan hubungan antara konsentrasi COD terhadap waktu untuk mendegradasi limbah organik pada pengaruh variasi COD umpan 900 mg/L, 1800 mg/L, dan 2250 mg/L. Pada grafik diatas COD mengunakan membran yang diperoleh dari hari ke-1 sampai hari ke-15 mengalami penurunan. Pada COD umpan 900 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 440 - 64 mg/L dengan % removal COD 51,1192,89 %. COD umpan 1800 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 678 - 178 mg/L dengan % removal COD 62,33 - 90,11 %. Dan COD umpan 2250 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 1050 - 473 mg/L dengan % removal COD 53,33 - 78,89 %. COD (mg/L) tanpa menggunakan membran
Gambar 5.COD (mg/L) terhadap waktu (hari) pada tangki aerobic % Removal COD tanpa menggunakan membran
Gambar 6. % Removal COD terhadap waktu (hari) pada tangki aerobik Sedangkan untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi COD tanpa menggunakan membran dapat dilihat pada gambar 5. dan 6. yang menunjukan hubungan antara konsentrasi COD terhadap waktu, untuk mendegradasi limbah organik pada pengaruh variasi COD umpan yang berbeda yaitu 900 mg/L, 1800 mg/L, dan 2250 mg/L. Pada grafik diatas COD tanpa mengunakan membran yang diperoleh dari hari ke-1 sampai hari ke-15 mengalami penurunan. Pada COD umpan 900 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 463 – 67 mg/L dengan % removal COD 48,55 – 92,55 %. Sedangkan pada COD umpan 1800 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 698 – 190 mg/L dengan % removal COD 61,22 – 89,44 %. Dan pada COD umpan 2250 mg/L didapatkan nilai COD pada aerobik sebesar 1084 – 520 mg/L dengan % removal COD 51,82 – 76,89 %. Dari data perbandingan di atas antara effluent menggunakan membran dan tanpa menggunakan membran menunjukan bahwa tidak terjadi perbedaan hasil yang terlalu jauh. Hal yang sama ditunjukkan juga pada % removal COD. Hal ini menunjukkan bahwa penggunan membrane tidak menurunkan nilai COD, tetapi hanya untuk mengurangi padatan tersuspensi. Pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif di proses aerobik dipengaruhi oleh rasio F/M yang dapat mempengaruhi removal COD. Jika rasio F/M terlalu besar maka akan terjadi bulking sludge, karena tidak terjadi keseimbangan antara konsentrasi biomass lumpur aktif dengan pemberian nutrisi/substrat sehingga memungkinkan kebutuhan dissolved oxygen (DO) semakin meningkat. Namun jika rasio F/M terlalu kecil, maka proses di tangki aerobik kurang baik karena adanya ketidakseimbangan F/M ratio maka proses filtrasi berfungsi untuk menyempurnakan proses aerobik dalam menghilangkan COD. Membrane yang digunakan adalah membrane ultrafiltrasi yang mempunyai keterbatasan dalam pemisahan COD. Membran ultrafiltrasi berkemampuan untuk memisahkan koloid dan partikel padat misalnya protein, pati, antibiotic, virus, koloidal silica, gelatin, bahan organic, bakteri, lemak, dan padatan. AMMONIA Pada penelitian ini amonia ditambahkan secara sintetis ke dalam MBR dengan konsentrasi 184,74 mg/L untuk COD 900 mg/L, konsentrasi 294,41 mg/L untuk COD 1800 mg/L, dan konsentrasi 424,97 mg/L untuk COD 2250 mg/L. Untuk mengukur kadar amonia terlebih
dahulu harus membuat kurva standart ammonia. Pertama membuat deretan standart dengan kadar 0; 0,5; 1; 2,5; 5 ppm dan memasukkan ke dalam erlenmeyer. Masing-masing ditambahkan reagen Nessler sebanyak 1 mL dan warna akan berubah menjadi kuning emas. Setelah terjadi perubahan warna segera diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Kemudian mengeplot kurva kalibrasi antara konsentrasi amonia dengan absorbansi sehingga didapat kurva standard amonia sebagai berikut :
Pengukuran kadar amonia pada sampel limbah dilakukan dengan cara mengambil 5 mL permeat, lalu memasukkan ke dalam erlenmeyer dan mengencerkannya, dan menambahkan 1 mL reagen Nessler ke dalam erlenmeyer. Setelah terjadi perubahan warna segera diamati dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm dan mencatat besarnya nilai absorbansi yang terbaca. Kandungan ammonia dalam limbah dianalisa secara rutin setiap hari untuk mengetahui seberapa besar penurunan konsentrasi ammonia di dalam MBR. Dari analisa tersebut diperoleh hasil yang digambarkan dalam grafik berikut :
Dari gambar 7 dan 8 dapat dilihat bahwa pada COD umpan 900 mg/L memberikan persen removal ammonia yang lebih baik dibandingkan pada COD 2250 mg/L dan 1800 mg/L. Hal ini berkaitan dengan F/M ratio yang merupakan jumlah substrat sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam bioreaktor. Dari perhitungan diketahui bahwa F/M ratio untuk COD 900 mg/L sebesar 0,21 lebih rendah daripada COD 1800 dan 2250 mg/L, sehingga metabolisme mikroorganisme pada COD 900 mg/L lebih baik dalam mendegradasi bahan-bahan organik dan amonia dan juga pengaruh dari kondisi anoxic sebelum masuk ke tangki aerobik yang berfungsi sebagai pereduksi nitrat (NO3) secara bertahap menjadi nitrit (NO2), Nitrouse Dioxide (N2O), Nitrouse oxide (NO), sampai menjadi N2 dalam kondisi anaerobik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya removal amoniak yang dihasilkan dan produk permeat yang dihasilkan oleh pengolahan limbah mengandung kadar amoniak yang rendah. NITRAT Pada penelitian ini, selain pengukuran kadar ammonia juga dilakukan pengukuran terhadap kadar nitrat untuk mengetahui apakah proses denitrifikasi berjalan dengan baik yaitu berapa kadar nitrat yang masih tersisa di dalam hasil permeat. Ammonia ditambahkan secara sintetis ke dalam MBR dengan konsentrasi 900 mg/L dimana konsentrasi nitratnya sebesar 0,133854 mg/L, untuk COD 1800 mg/L konsentrasi nitratnya sebesar 0,267708 mg/L, dan untuk COD 2250 mg/L konsentrasi nitratnya sebesar 0,369692 mg/L. Untuk mengukur kadar nitrat dalam influent dan permeat maka harus membuat kurva standart nitrat. Pertama membuat deretan standart nitrat dengan kadar 0; 1; 1,5; 2; 2,5; 3 ppm dan memasukkan ke dalam erlenmeyer. Masing-masing ditambahkan HCL 0,1 N sebanyak 1 mL. Berbeda dengan ammonia, untuk nitrat penambahan larutan tidak menimbulkan perubahan warna. Kemudian segera diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Kemudian mengeplot kurva kalibrasi antara konsentrasi nitrat dengan absorbansi sehingga didapat kurva standart nitrat seperti berikut :
Gambar 7. Konsentrasi NH3 pada COD 900, 1800, 2250 mg/L
Gambar 8. Kurva Kalibrasi Nitrat
Gambar 8. % Removal NH3 pada COD 900, 1800, 2250 mg/L
Pengukuran kadar nitrat pada sampel limbah dilakukan dengan mengambil 50 mL permeat, lalu memasukkan ke dalam erlenmeyer dan menambahkan 1 mL HCL 0,1 N ke dalam erlenmeyer. Kemudian segera mengamati
dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm dan mencatat besarnya nilai absorbansi yang terbaca. Kandungan nitrat dalam limbah dianalisa secara rutin setiap hari untuk mengetahui seberapa besar konsentrasi nitrat yang tersisa di dalam permeat. Dari analisa tersebut diperoleh hasil yang digambarkan dalam grafik berikut ini :
Gambar 11.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L) terhadap waktu (hari) pada COD 900 mg/L Konsentrasi COD 1800 mg/L
Gambar 9. Konsentrasi NO3 pada COD 900, 1800, 2250 mg/L
Gambar 12.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L) terhadap waktu (hari) pada COD 1800 mg/L Konsentrasi COD 2250 mg/L Gambar 10. % Removal NO3 pada COD 900, 1800, 2250 mg/L Dari grafik 9 dan 10 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi COD 900 mg/L selama 15 hari memberikan persen removal nitrat yang lebih baik dibandingkan pada COD 1800 mg/L dan 2250 mg/L. Dari data konsentrasi nitrat yang masuk dan konsentrasi nitrat keluar dapat diketahu jumlah N yang masuk dan keluar dihitung sebagai N untuk nitrat. Apabila jumlah N yang keluar ˂ 0,5 jumlah N yang masuk, maka proses denitrifikasi dikatakan berhasil. Tetapi apabila jumlah N yang keluar lebih besar daripada jumlah N yang masuk maka proses denitrifikasi tidak berjalan dengan baik di tangki anoxic. Konsentrasi nitrat yang tersisa sedikit juga menandakan bahwa suplay oksigen lebih terkonsumsi untuk mendegradasi senyawa organik daripada digunakan mengoksidasi ammonia menjadi nitrit selanjutnya nitrit menjadi nitrat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya removal nitrat yang dihasilkan dan produk permeat yang dihasilkan oleh pengolahan limbah mengandung kadar nitrat yang rendah. Pengaruh MLSS & COD terhadap kinerja MBR Konsentrasi COD 900 mg/L
Gambar 13.Pengamatan COD dan MLSS (mg/L) terhadap waktu (hari) pada COD 2250 mg/L Pada gambar 4.6.1 sampai 4.6.3 menunjukan konsentrasi MLSS yang berbeda pada konsentrasi umpan COD 900 mg/L, COD 1800 mg/L, dan COD 2250 mg/L. Pada COD 900 mg/L menunjukkan hari ke-1 nilai MLSS sebesar 2192 mg/L dan pada hari ke15 nilai MLSS sebesar 3595 mg/L, dan nilai F/M ratio sebesar 0,23. Pada COD 1800 mg/L menunjukkan hari ke-1 nilai MLSS sebesar 4530 mg/L dan pada hari ke-15 nilai MLSS sebesar 5415 mg/L, dan nilai F/M ratio sebesar 0,20. Pada COD 2250 mg/L menunjukkan hari ke-1 nilai MLSS sebesar 4190 mg/L dan pada hari ke-15 nilai MLSS sebesar 5940 mg/L, dan nilai F/M ratio sebesar 0,19. Konsentrasi MLSS yang berbeda dapat mempengaruhi metabolisme mikroorganisme yang berkembangbiak pada tangki aerobik. Metabolisme mikroorganisme dipengaruhi oleh F/M ratio, dimana F/M ratio merupakan perbandingan antara substrat sebagai sumber energi juga karbon yang dibutuhkan oleh pertumbuhan mikroorganisme dengan jumlah mikroorganisme. Bila
rasio F/M lebih dari batas yang diijinkan, yaitu 0,2-0,6 kg BOD/kg MLSS.hari berarti beban substrat yang diberikan terlalu besar daripada jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam tangki aerobik yang berarti bahwa jumlah nutrisi tidak seimbang dengan pertumbuhan mikroorganisme sehingga terjadi akumulasi substrat akibat pengolahan secara biologis tidak berjalan dengan baik. Dan bila rasio F/M lebih kecil dari batas yang diijinkan, berarti pertumbuhan mikroorganisme terjadi cepat namun tidak diimbangi dengan beban umpan nutrisi yang diberikan dan bila proses ini terjadi terus-menerus maka mikroorganisme pun mati dan mengalami lysis sehingga mengurai. Unjuk Kerja Membran Peristiwa fouling menyebabkan peningkatan tahanan membran sehingga menghambat transfer massa melewati membran. Tahanan yang terjadi selama filtrasi dapat disebabkan oleh adanya polarisasi konsentrasi, pembentukan gel, penyumbatan pori, dan peristiwa adsorpsi. Pengoperasian bioreaktor secara kontinyu, serta beban limbah dan konsentrasi biomassa lumpur yang tinggi juga dapat menyebabkan dihasilkannya sejumlah substansi yang menyebabkan penurunan fluks. Penurunan kinerja membran dapat diketahui dengan melakukan pengamatan fluks setiap hari selama operasi dan setiap lima hari dilakukan backwashing selama 30 menit. Sehingga penurunan fluks dapat teramati secara kontinyu. Tingkat fouling bioreaktor membran ditentukan terutama oleh COD terlarut, konsentrasi biomassa (MLSS), dan viskositas lumpur aktif. Konsentrasi lumpur diperkirakan sangat berpengaruh terhadap kinerja bioreaktor membran karena mempengaruhi terhadap ketebalan lapisan dinamis maupun viskositas campuran [Stephenson, 2000]. Pada Submerged Membran Bio Reaktor (SMBR), membran terletak di dalam bioreaktor sehingga proses filtrasi langsung dilakukan di dalam reaktor. Namun penggunaan SMBR ini menunjukkan adanya beberapa kelemahan, antara lain yaitu terjadinya fouling sehingga pemisahan biomassa dari effluent semakin sulit dilakukan. Adanya fouling ini dapat mempengaruhi kinerja membran baik dari segi cost, usia pemakaian membran yang tidak dapat bertahan lama, dan dari segi perawatan membran. Sedangkan pada penelitian ini, membran dipisahkan dari tangki aerobik dan diletakkan setelah tangki sedimentasi. Usaha ini dilakukan untuk memperingan kerja membran dan memperpanjang waktu backwashing, karena kualitas air limbah setelah sedimentasi sudah baik. Pada penelitian ini backwashing dilakukan sebanyak tiga kali selama 15 hari operasi dengan lama backwashing yaitu 30 menit. Unjuk kerja membran dapat diketahui dari pengamatan fluks terhadap waktu. Untuk kinerja membran pada sistem SMBR, terjadi penurunan fluks dan memerlukan waktu backwasing dengan jarak yang relatif singkat. Sedangkan untuk kinerja membran pada sistem MBR, penurunan fluks dan memerlukan waktu backwashing dengan jarak yang agak lama seperti hasil uji berikut ini :
Gambar 14.Flux (L/m2.jam) terhadap waktu (hari) pada MBR dengan COD 900, 1800, dan 2250 mg/L
Gambar 15. Flux (L/m2.jam) terhadap waktu (hari) pada SMBR dengan COD 900, 1800, dan 2250 mg/L Dari gambar diketahui bahwa fluks sistem SMBR untuk COD 900 mg/L adalah 27-5,4 L/m2.jam lebih kecil dari sistem MBR yang mempunyai fluks 30-15 L/m2.jam, artinya dalam waktu 1 jam membrane pada sistem MBR dapat menghasilkan permeat sebanyak 30 L. Hal yang sama juga ditunjukkan pada konsentrasi COD 1800 mg/L dan 2250 mg/L. Pada sistem SMBR untuk konsentrasi COD 900 mg/L, terjadi penurunan yang signifikan yaitu dari 27 L/m2.jam menjadi 5,4 L/m2.jam sedangkan pada sistem MBR penurunan terjadi bertahap dan dengan jarak yang relative kecil yaitu dari fluks 30 L/m2.jam menjadi 12,9 L/m2.jam. Fluks kembali semula setelah dilakukan backwashing setiap 30 menit sekali untuk mencapai fluks 27 L/m2.jam pada sistem SMBR dan mencapai 30 L/m2.jam pada sistem MBR. Flux semakin turun disebabkan adanya penyumbatan akibat partikelpartikel yang terakumulasi pada lapisan permukaan membran. Dapat dilihat bahwa dengan adanya backwashing dapat menaikkan flux membran meskipun tidak sampai pada kondisi awal. Kenaikan flux tidak dapat kembali seperti kondisi awal dikarenakan masih ada penyumbatan yang tidak bisa hilang dengan cara backwashing.
Gambar 16. Fouling pada SMBR Pada gambar 16. terlihat adanya fouling pada membrane sistem SMBR. Pada sistem SMBR
mempersulit transfer oksigen, sehingga untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada tangki aerob maka membutuhkan power yang besar yang akan menaikkan biaya operasional dan biaya fisik. Peristiwa fouling ini memperberat kinerja membran yang akan berpengaruh pada kenaikan cost akibat kebutuhan power yang besar untuk proses pemisahannya dan juga mempengaruhi perawatan membrane maupun umur membrane. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan terhadap sistem SMBR menjadi sistem MBR. Sistem MBR menyempurnakan sistem konvensional, namun pada sistem MBR membutuhkan ruang sedimentasi yang lebih kecil daripada ruang sedimentasi pada sistem konvensional. Ruang sedimentasi pada sistem MBR ini mengatasi masalah jika pada tangki aerob terjadi bulking sludge, dimana membrane masih berjalan baik untuk menyempurnakan kesalahan pada pengendalian yang tidak terkontrl pada proses aerobic. Jika menggunakan SMBR dan kesalahan tersebut terjadi, maka proses backwashing sering dilakukan atau menyediakan membrane dalam jumlah yang banyak. Turbidity Turbidity adalah tingkat kekeruhan dari cairan yang disebabkan karena adanya partikulat tersuspensi. Turbidity dengan satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit) menunjukkan kekeruhan dari suatu sampel air, dimana pada penelitian ini air limbah dalam tangki aerobik dan air permeat di analisa kekeruhannya dengan alat Turbidity meter. Masalah tersebut antara lain pertumbuhan terdispersi dan filamentous bulking. Hal ini mempengaruhi tingkat kejernihan effluent, tingkat kejernihan effluent menurun dengan naiknya MLSS sehingga menyebabkan bakteri sukar mengendap karena ukuran bakteri yang sangat kecil sehingga hanya mengambang saja didalam air. Hal ini mengakibatkan effluent atau air yang dihasilkan menjadi keruh.
Gambar 17.% removal turbidity terhadap waktu (hari) pada COD 900, 1800, dan 2250 mg/L Gambar 17. diatas ini menunjukkan bahwa dengan pengolahan limbah menggunakan lumpur aktif dan membran ultrafiltrasi dapat mengurangi kekeruhan air limbah yaitu pada COD 2250 mg/L dari 88,31% hingga 86,23 %, sedangkan pada COD 1800 mg/L dari 86,27 % hingga 87,77 %, dan pada COD 900 mg/L mengurangi kekeruhan dari 75,51 % hingga 84,61%. Dimana ditunjukkan dalam gambar 4.8.2. hasil sebelum penyaringan dan setelah penyaringan dengan membran.
(a)
(b)
(c)
Gambar 18 Limbah Cair (a) Sesudah Penyaringan Dengan Membran (b) Sebelum Penyaringan Di Ruang Membran (c) Sebelum Penyaringan Dengan Membran Di Tangki Aerobik Pada sistem MBR, di ruang membrane jumlah MLSSnya sangat kecil sekali dan diukur sebagai turbidity, sedangkan pada sistem SMBR dimana membrane tercelup pada tangki aerobic dan MLSSnya relative sangat besar sehingga mempengaruhi fluks permeat. MLSS dan fluks pereat pada sistem SMBR diukur sebagai massa fluks. Identifikasi Mikroorganisme Identifikasi mikroorganisme merupakan salah satu parameter yang penting dalam pengolahan limbah secara biologis untuk mengetahui kualitas dari lumpur aktif tersebut. Semakin banyak mikroorganisme mengindikasikan bahwa pengolahan limbah akan semakin bagus dan efisien karena kemampuan untuk mendegradasi bahan organik akan semakin tinggi juga. Pada umumnya kehidupan mikroorganisme dalam proses lumpur aktif sangat sensitif terhadap lingkungan mereka misalnya pH, suhu, dissolved oxygen (DO) dan bahan-bahan inhibitor atau beracun. Secara umum, kegiatan mikroorganisme dalam proses biologis akan menurun saat suhu turun, yang akibatnya akan mengakibatkan penurunan efisiensi penyisihan COD. Dengan menjaga kondisi lingkungan pertumbuhan mikroorganisme maka biomassa yang sehat dan effektif untuk kondisi yang steady state atau optimum dapat diperoleh. Sehingga mikroorganisme dapat bekerja dengan baik untuk mendegradasi limbah organik. (William, 1999). Salah satu alternatif pengolahan yang dapat diaplikasikan dalam mengolah limbah adalah pengolahan secara biologi. Pengolahan limbah yang umum dilakukan adalah menggunakan lumpur aktif, yang didefinisikan sebagai suatu proses pertumbuhan mikroba tersuspensi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan secara aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2, H2O, NH4, dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffuser) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara biologi. (Reynold, 1982). Mikroorganisme dalam lumpur aktif terdiri dari bakteri yang merupakan komponen utama dari flok lumpur
aktif. Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrosomonas dan nitrobacter yang dapat merubah ammonia menjadi nitrat. Lebih dari 300 jenis bakteri hidup dalam sistem lumpur aktif. Bakteri-bakteri tersebut mendegradasi bahan-bahan organik dan mentransformasi nutrient. Penambahan nutrien bertujuan sebagai penunjang pertumbuhan mikroba. Jenis umum yang sering ditemukan dalam lumpur aktif yaitu zooglea, fungi, protozoa, dan rotifera. (Metcalf dan Eddy, 1991).
Gambar 19. Mikroorganisme Lumpur Aktif Gambar 19. menunjukan mikroorganisme yang terdapat dalam tangki aerobik merupakan bakteri dan protozoa. Protozoa adalah signifikan predator dalam lumpur aktif yang dapat mereduksi toksikan. Umumnya identifikasi dilakukan pada saat biomassa masih muda atau sedang berkembang biak. Bakteri sebagai mikroorganisme yang paling dominan dengan ukuran mikron. Protozoa dapat digunakan sebagai indikator biologi kondisi lumpur aktif dengan sistem aerobik. Protozoa dapat digunakan untuk indikator lingkungan beracun. Untuk memperoleh kondisi operasi yang baik dengan sistem lumpur aktif yang stabil diharapkan jumlah perkembangan dari mikroorganisme tinggi pada biomassa yang diukur dengan menganalisa konsentrasi biomassa. Pada proses pengolahan air limbah bahan organik semakin menurun sedangkan komposisi biomassa akan berubah. Keadaan ini digunakan sebagai patokan efisien tidaknya pengolahan air limbah organik secara biologis, dengan memeriksa lumpur aktif yang dihasilkan pada unit pengolahan.
Daftar Pustaka B.Marrot, A. Barrios-martinez, P. Moulin danN.Roche. 2004. Industrial Wastewater Treatment in a membrane Bioreactor. Environmental Progress, Vol.23, No.1. Chang, I., Clech, Le P., Jefferson, Bruce., dan Judd, S. 2002. Membrane Fouling in Membrane Bioreactors for Wastewater Treatment. Journal of Environmental Engineering, Vol.128, No. 11. Côté, P., Buisson H., Pound C., dan Arakaki G. 1997. Immersed Membrane Activated Sludge For The Reuse Of Municipal Waster. Elsevier Science. Desalination, 113 : 189-196. Fane, A dan Chang, S. 2002. Membrane Bioreactors: Design and Operational Options, www.filtsep.com Grady, C.P.L., dan Lim, H.C.. 1980. Biological Wastewater Treatment – Theory and Application. New York : Marcel Dekker, Inc.
Jenkins, D., dkk. 1993. Manual On The Causes And Control Of Activited Sludge Bulking And Foaming. 2nd Edition. Michigan : Lewis Publisher. Kusworo, T.D., Handayani, N.A., dan Widiasa, I.N., 2009. Aplikasi eksternal membran bioreactor untuk penyisihan ammonia dari limbah-limbah industri. SNTKI 2009. Liang, Shuang dkk. 2006. Soluble Microbal Products in Membrane Bioreactor Operation : Behaviors, Characteristics, and Fouling Potential. Science Direct Water Research, 41 : 95-101 Sundstrom, D.W. dan Klei, H.E. 1979. Wastewater Treatment. London : Prentice-Hall International, Inc. Widjaja, T. 2007. Kinerja Kombinasi Proses Activated Sludge Dengan Bioreaktor Membran Terendam (BRMt) Sebagai Pengolahan Limbah Cair. Thesis S2 Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS, Wisuda Juli 2007. Williams, J. 1999. Cost–Effective Effluent Treatment in Paper and Board Mills. Environmental Technology Basic Practice Programme. Wesley, J.R.W. 1989. Industrial Water Polluution Control. 2nd Edition. Michigan : Lewis Publisher. New York : Mc. Graw Hill