Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009
STUDI PROSES HYBRID: ADSORPSI PADA KARBON AKTIF/MEMBRAN BIOREAKTOR UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI Tri Widjaja, Ali Altway, Soeprijanto Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, ITS Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Voni Yuanita, Yulia Rahmawati, Hasasty Pratiwi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, ITS Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Senyawa phenol merupakan polutan yang sangat berbahaya. Pada pengolahan limbah lumpur aktif konvensional, mikroorganisme tidak mampu mendegradasi senyawa organik dari phenol. Untuk itu, pengombinasian PAC pada sistem lumpur aktif dan teknologi membrane, diharapkan mampu meningkatkan kemampuan degradasi bahan organik mikroorganisme bersifat toksik. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi kinerja proses bioreaktor membran hybrid dengan menginvestigasi kombinasi proses adsorpsi, biodegradasi dan filtrasi. Penelitian dilakukan dengan limbah sintetik dikombinasikan phenol, yang dipilih mewakili bahan toksik yang terdapat pada effluent limbah industri minyak. Bioreaktor beroperasi pada volume 50 l, konsentrasi MLSS 8000 dan 15000 mg/l, konsentrasi COD 1500 dan 2500 mg/l, SRT 20, 30 hari. Ke dalam bioreaktor membran ditambahkan phenol 50 mg/l dan powdered activated carbon (PAC) 10% dari konsentrasi MLSS. Hasil penelitian menunjukkan proses biologis mempengaruhi filtrasi dimana proses biologis erat kaitannya dengan F/M ratio. Fouling berpotensi terjadi pada MLSS tinggi yang ditunjukkan penurunan fluks permeat sebesar 16,0%, tetapi setelah penambahan 10% PAC, penurunan fluks semakin kecil menjadi 11,6%. Tetapi fouling dipengaruhi variable konsentrasi COD umpan. Sistem pengolahan limbah tidak mampu mendegradasi dengan baik bahan organik, ditunjukkan dari rendahnya removal COD setelah ditambah phenol. Namun dengan penambahan PAC, phenol dapat diadsorp sehingga kinerja bioreaktor membaik, yang disebabkan meningkatnya proses biodegradasi oleh mikroorganisme. Kata Kunci : phenol, Powdered Activated Carbon, Bioreaktor Membran
Abstract Phenol compound was very dangerous pollutant. In conventional activated sludge, microorganism cannot degrade organic compound of phenol. For that, with combining PAC injection in activated sludge system and membrane technology, was expected can increase degradation capability of toxic organic compound. The aim ofthis research to evaluate performance of hybrid membrane bioreactor process with investigated combination of adsorption, biodegradation, and filtration. This research was conducted with synthetic wastewater and was combined with phenol, that contain toxic compound which representative wastewater oil industry. Bioreactor was operated in 50L of volume, MLSS8000 and 15000mg/l,COD 1500 and 2500mg/l, SRT 20, 30days. In membrane bioreactor was injected phenol of 50 mg/l and PAC (10% of MLSS). The result show that biological process was influence filtration which biological process close to F/M ratio. Fouling potential happened at high MLSS which was showed with decreasing of permeate flux 16,0% but after addition of 10%PAC, decreasing of flux to 11,6%. But fouling was not influenced COD variable. Wastewater treatment system cannot degraded organic compound well, it was showed from low of COD removal after added phenol. But, with PAC addition, toxic compound can be adsorbed then bioreactor performance get better, which caused increasing of biodegradation process by microorganism. Keyword : phenol, Powdered Activated Carbon, Membrane Bioreactor
TPL05-1
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 1. Pendahuluan Pengolahan limbah cair industri maupun domestik saat ini umumnya menggunakan proses lumpur aktif, prosesnya relatif sederhana dan tidak membutuhkan teknologi yang tinggi. Tetapi proses ini memiliki banyak kelemahan, diantaranya memerlukan waktu yang lama dan lahan yang luas untuk memisahkan lumpur dan cairan didalam bak sedimentasi sekundernya serta yang lebih penting lagi pengoperasiannya memerlukan kondisi sangat khusus terutama terhadap beban organik dan konsentrasi mikroorganisme atau sering disebut F/M ratio dan juga masalah kebutuhan oksigen terlarut. Teknologi membran menjadi salah satu alternatif yang sedang ditawarkan. Sistem MBR merupakan unit pengolahan limbah cair industri yang terdiri dari proses biologis dan filtrasi membran. Pemakaian teknologi ini di dalam proses lumpur aktif sangat membantu untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam proses lumpur aktif konvensional. Penggunaan bioreaktor membran dapat mengatasi fluktuasi yang berlebih pada kualitas influent dan effluent dapat langsung digunakan (Chang et al, 2002). Dan dengan bioreaktor membran, konsentrasi biomassa (MLSS) dan konsentrasi COD umpan yang terlalu tinggi tidak lagi menjadi masalah. Namun pada proses biologis secara aerobik sangat rentan terhadap shock loading dan beban limbah yang fluktuatif bahkan kandungan bahan organik bersifat berbahaya, sehingga pemulihan mikroorganisme sebagai pengurai bahan organik terlarut memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga menyebabkan kondisi proses pengolahan terganggu. Kondisi pada MBR ini memicu terjadinya perubahan kemampuan pengolah proses biodegradasi, yang berakibat secara signifikan pada proses filtrasi. Hal ini dikarenakan terbentuk extracellular berupa soluble microbial product (SMP) yang menyebabkan terjadinya fouling pada membran, yang dapat menurunkan kinerja membran. Fouling merupakan proses terdeposisinya Soluble Microbial Product (SMP), yaitu produk metabolisme mikroorganisme dalam bioreaktor, bahan organik dan biomassa yang menyumbat pori membran dan menyebabkan menurunnya flux permeat terhadap waktu operasi tertentu (Lewandowski and Bayenal, 2005). SMP dapat berupa humic substance, karbohidrat, protein, lemak dan garam mineral lainnya (Liang et al., 2006). Alternatif penyelesaian masalah tersebut dilakukan dengan penambahan powedered activated carbon (PAC) ke dalam MBR, dimana keberadaan PAC dapat mengikat microbial substance berukuran kecil (lebih kecil dari diameter pori membran) pada solid surfaces
didalam suatu liquid phase sehingga terbentuk gel layer pada permukaan PAC. Selanjutnya akan terjadi penggabungan solid sehingga menyebabkan peningkatan ukuran mikroba, dengan demikian ukuran mikroba bertambah menjadikan tidak dapat melewati/penetrasi melalui pori membran sehingga diperoleh efluen yang lebih jernih dan tidak mengandung mikroba (Lebeau dkk, 1998 dan Ujang dkk, 2000). Di samping itu, sewaktu limbah mengandung bahan berbahaya (toksik) seperti phenol, adanya PAC diharapkan dapat mengadsorpsi bahan tersebut sehingga kemampuan biodegradasi oleh mikroba di MBR dapat pulih kembali dan biodegradasi mikroba dapat berjalan terus secara kontinyu sesuai dengan yang diharapkan. Menurut penelitian Nelson dan DiGiano (1996) menyatakan bahwa penambahan PAC mempengaruhi penyisihan organik dalam membran karena sifat karbon aktif yang mampu mengikat molekul organik sehingga bisa memperkecil kemungkinan terjadinya fouling. Penelitian ini direncanakan untuk mempelajari kinerja sistem MBR terhadap sensivitas bahan membran dan fouling yang penyebab penurunan kinerja membran. Penelitian dilakukan secara eksperimental, untuk mendapatkan korelasi data terhadap; pengaruh kondisi proses biologis yang dikaitkan dengan perubahan MLSS dan beban COD influen terhadap fluks permeat MBR yang sekaligus mengamati aspek mikroorganisme. Disamping itu, kondisi dengan pengaruh keberadaan phenol pada influent dan penambahan PAC di MBR juga ditinjau untuk dibandingkan hasil tanpa penambahan bahan tersebut terhadap konsentrasi permeate MBR dan laju alir fluks-nya. 2. Teori Dasar Membran ultrafiltrasi Membran secara umum dapat didefinisikan sebagai penghalang selektif antara dua fasa. Kata selektif disini menggambarkan sesuatu yang khas pada membran dan proses dengan menggunakan membran, tetapi tidak menjelaskan hal yang berkaitan dengan struktur dan fungsi membran itu sendiri. Membran ultrafiltrasi memiliki penerapan yang cukup luas dalam teknologi membran. Proses ultrafiltrasi berada diantara proses nanofiltrasi dan mikrofiltrasi. Ukuran pori membran berkisar antara 1–100 nm. Ultrafiltrasi digunakan untuk memisahkan makromolekul dan koloid dari larutannya. Membran ultrafiltrasi merupakan membran porous dimana rejeksi zat terlarut sangat dipengaruhi oleh ukuran dan berat zat terlarut relative terhadap ukuran pori
TPL05-1
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 membran. Membran ini memiliki struktur yang asimetris dengan lapisan atas lebih dense (ukuran pori lebih kecil dan porositas permukaan lebih rendah) sehingga tahanan hidrodinamiknya lebih besar. Ketebalan lapisan atas membran ultrafiltrasi umumnya kurang dari 1 m. Modul membran yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat berongga (hollow fiber) yang digabung dengan cara mengikat ujungnya menjadi satu menggunakan agensia seperti resin epoksi, poliuretan atau karet silikon, kemudian dimasukkan ke dalam suatu tempat (housing). Densitas packing modul serat berongga umumnya >30.000 m2/m3. Proses pencucian untuk modul hollow fiber umumnya menggunakan metode pencucian hidraulik dengan cara backflushing (pembilasan balik) permeat melalui membran. Pencucian dengan cara ini digunakan pada proses-proses bergaya pendorong tekanan, dimana arah aliran melalui membran dibalikkan dari sisi permeat ke sisi umpan. Prosedur ini biasanya digunakan untuk menghilangkan fouling. Karbon aktif Karbon aktif adalah suatu bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon. Karbon aktif merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui aktifasi dengan menggunakan gas CO2, uap air atau bahan-bahan kimia sehingga poriporinya terbuka dan dengan demikian daya absorpsinya menjadi lebih tinggi terhadap zat warna dan bau. Karbon aktif mengandung 5 sampai 15 persen air, 2 sampai 3 persen abu dan sisanya terdiri dari karbon. Karbon yang sekarang banyak digunakan berbentuk butiran (granular) dan berbentuk bubuk (tepung). Karbon yang berbentuk bubuk memerlukan waktu kontak lebih sebentar dibandingkan karbon berbentuk butiran, tetapi karbon berbentuk bubuk lebih sukar ditangani. Karbon berbentuk butiran dapat diaktifkan kembali untuk digunakan selanjutnya, yaitu dengan cara memanaskan di dalam pembakar (furnace) ganda. Karbon aktif dapat mengeluarkan bahan organik terlarut pada konsentrasi yang rendah pada air. Keduanya, baik itu karbon aktif granular (Granular Activated Carbon/GAC) maupun Powdered Activated Carbon (PAC) diterapkan sebagai perkembangan dalam pengolahan limbah cair. Luas permukaan karbon aktif yang besar akan mengasimilasi bahan organik sedangkan mikroba mendegradasi untuk membuka kembali pori pada granular. Karenanya,bahan beracun pada limbah cair dapat dikurangi kapasitasnya. Beberapa bahan yang dengan cepat dibiodegradasi sulit mengadsorp
karbon, membuatnya sulit untuk memprediksi effluent dari limbah . Bioreaktor membran terendam dengan penambahan PAC Sistem pengolahan air limbah yang banyak diterapkan saat ini adalah gabungan dari proses biologi dan fisik. Proses biologi umumnya menggunakan proses lumpur aktif atau biofilter yang merupakan pengolahan lanjutan dengan tujuan untuk menurunkan kandungan organik lainnya. Alternatif pengganti untuk proses koagulasi-flokulasi adalah proses adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif. Proses adsorpsi dengan karbon aktif terbukti memberikan hasil yang baik dalam menyisihkan kandungan warna maupun kandungan organik. Untuk mengurangi biaya yang dibutuhkan dilakukan modifikasi proses dengan menggunakan sistim kombinasi fisik dan biologi, yaitu dengan memasukkan karbon aktif ke tangki aerasi lumpur aktif. Pemakaian karbon aktif dalam tangki aerasi lumpur aktif menghasilkan efisiensi pengolahan yang lebih baik dan biaya yang lebih ekonomis dibandingkan proses koagulasi-flokulasi dan proses adsorpsi dengan karbon aktif. Pendekatan secara eksperimen dapat dilakukan melalui penerapan teknologi PAC dalam mengolah limbah cair industri dengan memperhatikan aspek mekanisme kombinasi proses adsorpsi dan biologis yang melibatkan sifat-sifat adsorpsi-desorpsi target substances terhadap karbon aktif, dan juga memperhatikan aspek kondisi proses operasi yang meliputi; konsentrasi sludge sebagai mixed liquor suspended solid (MLSS) dengan komposisinya (sludge dan karbon aktif), dan sludge retention time (SRT). Dengan adanya PAC maka diharapkan mikroba yang masih bisa lolos oleh membran ultrafiltrasi dapat diikat atau diserap pada permukaan karbon aktif. Akibatnya kualitas effluent semakin baik. Beberapa penelitian tentang penambahan PAC ke dalam Immersed Membrane Filtration (IMF) telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya Lebeau dkk, 1998 dan Ujang dkk, 2000. Penambahan karbon aktif telah memperbaiki efisiensi pengolahan terhadap kemampuan microbial removal (Eschericia Coli) suatu unit water treatment. Lebih lanjut, penambahan PAC dapat mengikat microbial substance berukuran kecil (lebih kecil dari diameter pori membran) pada solid surfaces didalam suatu liquid phase sehingga terbentuk gel layer pada permukaan PAC. Selanjutnya akan terjadi penggabungan solid sehingga menyebabkan peningkatan ukuran mikroba, dengan demikian ukuran mikroba bertambah
TPL05-2
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 menjadikan tidak dapat melewati/penetrasi melalui pori membran sehingga diperoleh efluen yang lebih jernih dan tidak mengandung mikroba. 3. Metodologi Sebagai umpan digunakan air limbah sintetis yang dialirkan secara kontinyu ke dalam reaktor. Penelitian ini menggunakan satu unit reaktor biologis lumpur aktif sebagai tempat proses separasi membran. Komposisi air limbah sintetis dirancang agar memiliki COD 1500 dan 2500 mg/l dengan perbandingan COD, N, dan P adalah 100,10, dan 1. Tabel 1. Komposisi Limbah Sintetis COD 1500 COD 2500 Komponen (mg/L) (mg/L) Glukosa Asam glutamate CH3COONH4 NaHCO3 NH4Cl KH2PO4 K2HPO4 MgSO4.7H2O MnSO4.H2O FeCl3.6H2O CaCl2.2H2O NaCl
882,9 396,8 320,7 343,8 130,9 52,26 37,59 20,35 13,57 6,78 37,59 48,05
1472 661,1 534,6 343,8 218,2 52,26 37,59 20,35 13,57 6,78 37,59 48,05
selama 1 hari. Lumpur aktif yang digunakan sebagai penelitian adalah limbah cair dari tangki aerasi pengolahan limbah pada Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Limbah cair lumpur aktif diteliti secara skala laboratorium, kemudian dilakukan aklimatisasi dengan limbah sintetis. SRT yang digunakan adalah 20 dan 30 hari dengan variabel penambahan 0% dan 10% PAC. Secara garis besar, tahap percobaan utama adalah sebagai berikut. Memasukkan umpan yang berupa limbah cair sintetis ke dalam bak aerasi secara kontinyu. Di dalam bak aerasi, limbah cair akan didegradasi oleh mikroba dalam kondisi aerob. Hasil olahan akan masuk ke dalam modul membran, dan effluen akan keluar dalam bentuk permeat, sementara retentate, , terdiri atas massa mikroba dan senyawa limbah yang belum terdegradasi akan kembali ke larutan di dalam bak aerasi dan seterusnya. 1
onoff contr ol
2
c
P G
b
2
1
a ke at as
3
5
4
Ket: (1) Tangki umpan limbah sintetis, (2) Baffle,(3) SMBR, (4)Aerator, (5)Tangki Permeat,(a) Arah aliran, (b)Effluent, (c) Arah aliran Backflushing
Penelitian ini menggunakan bioreaktor membran terendam. Diagram skematik bioreaktor membran terendam, ditunjukkan pada gambar 1. Membran yang digunakan merupakan polisulfone hollow fiber dengan diameter rata-rata pori 0,01 µm dan luas area filtrasi membran 1 m2 yang terendam dalam reactor secara vertical dengan outlet berada di bagian atas. Pada bagian bawah reaktor dipasang diffuser untuk memberikan gelembung udara yang disemprotkan dari bagian bawah membran. Membran bioreaktor dioperasikan pada suhu (30±2oC) dan pH antara 6,5-7,0. Dalam penelitian ini dilakukan dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap percobaan utama. Pada tahap pendahuluan terdiri dari analisa COD limbah cair industri sintetis, pembibitan dan aklimatisasi. Sedangkan tahap percobaan utama merupakan tahap operasi pengolahan limbah dengan variable-variabel yang ditentukan. Penambahan bahan toksik phenol dilakukan ke dalam tangki aerasi dengan konsentrasi 50 mg/l dengan laju alir sama dengan limbah sintetik
Gambar 1. Diagram Skematik Bioreaktor Membran 4. Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian ini, konsentrasi MLSS yang digunakan adalah 8000 dan 15000 mg/L. Pemilihan konsentrasi tersebut untuk mengetahui pengaruh dari penggunaan konsentrasi biomassa yang sedang dan tinggi terhadap kinerja membran bioreaktor. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh dari konsentrasi COD umpan, maka digunakan konsentrasi yang berbeda yaitu 1500 mg/L, 2000 mg/l dan 2500 mg/L. Untuk variabel SRT sebesar 20 dan 30 hari. Dengan adanya pengaruh konsentrasi biomassa, konsentrasi COD umpan, SRT dan penambahan PAC maka diharapkan dari segi biologis dan secara keseluruhan dapat diketahui kinerja dari membran bioreaktor. Kinerja membran secara keseluruhan
TPL05-3
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 Di dalam bioreaktor, beban organik diremove dalam dua tahap, yaitu dengan degradasi biologis oleh mikroorganisme dan filtrasi oleh membran, dimana kedua proses ini saling berpengaruh. Metabolisme mikroorganisme proses biologis sangat dipengaruhi oleh F/M ratio yang merupakan jumlah substrat sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam bioreaktor. F/M ratio juga dipengaruhi oleh COD umpan dan konsentrasi biomassa. Untuk kondisi lumpur yang baik atau normal, F/M ratio beroperasi antara 0,2-0,6 kg COD/kg MLSS (Sundstroms dan Klei, 1979). Berikut ini kinerja Bioreaktor Membran dengan penambahan PAC berkaitan dengan beban organik pada SRT, konsentrasi MLSS dan COD yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Removal COD (%)
Non PAC filtrasi biologis SRT 20
PAC filtrasi biologis SRT 30
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1500
2500 1500 COD (mg/l)
Dari Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan bahwa removal COD proses biologis lebih dominan daripada proses filtrasi untuk semua variabel SRT, konsentrasi MLSS dan COD umpan. Dan dapat pula dilihat bahwa removal COD proses biologis pada MLSS 8000 mg/L lebih besar daripada MLSS 15000 mg/L untuk semua variabel SRT. Hal ini disebabkan karena pada MLSS 8000 mg/L, F/M ratio lebih seimbang daripada MLSS 15000 mg/L. F/M ratio yang seimbang akan menyebabkan metabolisme mikroorganisme berjalan baik sehingga removal COD akan semakin besar. Jika proses lumpur aktif biasa, proses pengendapan berjalan lambat sehingga dengan adanya membran maka kinerja MBR masih tetap baik dan stabil dalam mendegradasi beban organik secara keseluruhan. Gambar 2 dan Gambar 3 juga menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara removal COD proses biologis dan filtrasi dimana proses biologis dipengaruhi F/M ratio, sehingga mempengaruhi besarnya removal COD proses filtrasi. Jika proses biologis kurang baik karena tidak seimbangnya F/M ratio, maka proses filtrasi yang akan berperan untuk me-remove senyawa organik. Namun jika proses filtrasi membran semakin besar maka akan mempengaruhi terjadinya fouling. Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PAC Toksik PAC PAC + PAC 0% 10% 10 % Removal 78,09 85,75 80,08 COD 58,44 69,62 70,32 Biologis
2500
Gambar 2. Removal COD (%) pada MLSS 8000 mg/L
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
PAC filtrasi biologis SRT 30
19,65
16,13
9,76
Protein
2,08
1,32
0,52
Karbohidrat
1,38
0,78
0,24
Non PAC protein karbohidrat MLSS 8000 mg/l
PAC protein karbohidrat MLSS 15000 mg/l
5
1500
2500
150
SMP (mg/l)
Removal COD (%)
Non PAC filtrasi biologis SRT 20
Filtrasi
2500
COD (mg/l)
4 3 2 1 0
Gambar 3. Removal COD (%) pada MLSS 15000 mg/L
20
30 20 SRT (hari)
30
Gambar 4. Perbandingan SMP pada limbah MBR
TPL05-4
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 COD semakin menurun tetapi pada penambahan 10 % PAC, removal COD cenderung lebih besar. 3.36
Fluks (L/m2.jam)
Dari Gambar 4 dan Tabel 2 di atas, pada penambahan PAC proses biologis meningkat dibandingkan pada non PAC. Hal itu disebabkan karena di dalam MBR terdapat proses adsorpsi oleh PAC terhadap bahan-bahan organik, sehingga di dalam limbah proses biologis tidak hanya dilakukan oleh mikroorganisme tetapi juga dilakukan oleh PAC. Akibatnya proses filtrasi sebagai mekanisme kerja membran menjadi lebih berkurang dibandingkan pada non PAC. Secara keseluruhan removal COD total untuk variabel penambahan 10% PAC lebih baik dibandingkan pada variabel non PAC. Penambahan 10% PAC dapat meningkatkan kinerja proses MBR dalam hal removal COD sebesar 8-9%.
COD 1500
COD 2500
COD 2500
3.20
COD 1500
COD 1500
3.12
COD 2500
COD 2500
3.04
SRT 30 hari
3.28
2.96 2.88
1 2 131415 3 4 5 6 00 11 2 23 43 54 6 57 86 9 101112 Waktu (jam)
Gambar 5. Pengamatan fluks permeat pada MLSS 8000 mg/l
3.36
4,5 x 10
1,8 x 106
PAC
non PAC COD 1500
COD 2500
COD 2500
3.20
COD 1500
COD 1500
3.12
COD 2500
COD 2500
Fluks (L/m2.jam)
PAC 10 % PAC 10% + toksik
SRT 20 hari
COD 1500
3.28 6
non PAC
2.80
Jumlah Bakteri 4 x 106
PAC COD 1500
Tabel 3. Identifikasi Mikroorganisme Non PAC
SRT 20 hari
3.04
SRT 30 hari
2.96
Tabel 3 menunjukkan jumlah mikroorganisme, terlihat bahwa sebelum penambahan PAC jumlah mikroorganisme lebih sedikit, yaitu sebesar 4 x 106 sel/ml sampel. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan PAC menyebabkan mikroorganisme terakumulasi dalam reaktor sehingga mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik. Pada penambahan PAC terlihat bahwa sebelum shock loading jumlah mikroorganisme sangat banyak, yaitu sebesar 4,5 x 106 sel/ml sampel. Hal ini menunjukkan tidak adanya bahan yang bersifat toksik sehingga mikroorganisme dapat tumbuh dengan baik. Setelah penambahan phenol, terjadi penurunan jumlah mikroorganisme pada reaktor akibat adanya proses shock loading yaitu sebesar 1,8 x 106. Sedangkan untuk reaktor dengan penambahan PAC, mikroorganisme lebih mampu beradaptasi karena bahan toksik phenol diserap oleh karbon aktif sehingga perlakuan shock loading pengaruhnya lebih kecil pada reaktor dengan penambahan PAC. Kunci dari evaluasi senyawa toksik organik terhadap lingkungannya adalah dengan mengevaluasi kemampuan biodegradasinya. Biodegradasi merupakan mekanisme terpenting dalam pengontrolan konsentrasi senyawa toksik pada aquatic system karena dengan hal ini dapat diketahui bahwa polutan berbahaya dapat dikurangi (Sanjay, et al., 1990). Dilihat dari tabel 2 pada saat penambahan bahan toksik, removal
2.88 2.80 00 11 22 33 44 55 66 7 8 91 10 2 11 3 12 4 13 5 14 6 15 Waktu (jam)
Gambar 6. Pengamatan fluks permeat pada MLSS 15000 mg/l Secara keseluruhan, dari hasil pengamatan fluks pada Gambar 5 dan Gambar 6 di atas, maka pada MLSS yang sama untuk SRT 20 hari, penurunan fluks lebih tajam dibandingkan SRT 30 hari. Artinya fouling yang diindikasikan dengan penurunan laju fluks permeat berpotensi terjadi pada SRT yang lebih pendek, yaitu 20 hari. Penurunan laju fluks ini erat kaitannya dengan jumlah SMP dalam bioreaktor. Pada SRT yang pendek jumlah SMP yang terbentuk semakin banyak sehingga berpengaruh pada laju fluks permeat yang keluar dari membran. Penambahan PAC dapat memperkecil penurunan laju fluks permeat sebesar 18-44% dibandingkan sebelum penambahan PAC. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah SMP juga semakin sedikit setelah penambahan PAC. Dengan demikian penambahan PAC dapat mengurangi potensi terjadinya fouling karena dapat mengadsorp SMP pada limbah sehingga jumlahnya berkurang. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah SMP dapat mempengaruhi laju
TPL05-5
Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia – SNTKI 2009
ISBN 978-979-98300-1-2
Bandung, 19-20 Oktober 2009 fluks permeat yang mengindikasikan adanya fouling. 5. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan hasil analisa, kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Efisiensi removal COD tinggi pada penambahan PAC 10% yaitu sebesar 85,75% 2. Akumulasi SMP yang tinggi dan fouling berpotensi terjadi MLSS yang tinggi. 3. Penambahan PAC dapat mengadsorp bahan toksik phenol sehingga kinerja bioreaktor membran kembali baik karena proses biodegradasi oleh mikroorganisme meningkat. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Dana SPI ITS tahun 2009 sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor : 10474/I2.7/PM/2009 dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) ITS Tahun 2009 Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: 10473/I2.7/PM/2009. Daftar Pustaka [1] A. Masse, M. Sperandio, C. Cabassud, Comparison of Sludge Characteristics and Performance of a Submerged Membrane Bioreactor and an Activated Sludge Process at High Solids Retention Time, Water Res. 40 (2006), 2405-2415 [2] Brindle, K., Stephenson, T., 1996. The Application of Membrane Biological Reacrors for the Treatment of Wastewaters. Biotechnol. Bioeng. 49 (6), 601-610. [3] Cho, B.D., Fane, A.G., 2002. Fouling Transients in nominally subcritical flux operation of a membrane bioreactor. J. membr. SCI.209, 391-403. [4] H. S. Kim, H. katayama, S. Takizawa & S. Ohgaki, 2001. Removal of coliphage kibeta & organic matter from synthetic secondary effluent by PAC- NF Process, Proc. IWA specialized conference on membrane Technology, Israel, 211-219. [5] I. –S. Chang, C. –H. Lee, Membrane Filtration Characteristics in Membrane – Coupled Activated Sludge System – The Effect of Physiological States of Activated Sludge on Membrane Fouling, Desalination 120 (1998), 221233. [6] J. Cho, K.-G. Song, K.-H. Ahn, The Activated Sludge and Microbial substances Influents on Membrane
TPL05-6
Fouling in Submerge Membrane Bioreactor: Unstired Batch Cell Test, Desalination 183 183 (2005), 425-429. [7] Judd, S., 2004. A Review of Fouling of membrane bioreactors in sewage treatment. Water SCI. Technol. 49 (2, 229-235) [8] K. Yamamoto, M. Hiasa, T. Mahmood &. Matsuo, 1989. Direct solid liquid separation using hollow fiber membrane in an activated sludge aeration tank, Water SCI. Technol., 21 (4-5).43-54. [9] Le Clech, P., Jefferson, B. Chang, I.S., Judd, S.J., 2003. Critical flux determination by the flux step method in submerged membrane bioreactor. J. membr. SCI.227,81-93. [10] Lewandowski. Z., Bayenal, H., 2005. Biofilms : Their Structure, activity and effect on membrane filtration. Water SCI. Technol. 51(6-7), 181-192. [11] Liang, Shuang dkk. 2006. “Soluble Microbal Products in Membrane Bioreactor Operation : Behaviors, Characteristics, and Fouling Potential”. Science Direct Water Research, 41 : 95101. [12] Marot, B., Barrios-Martinez, A., Mouline, P., Roche, N., 2004. Industrial Wastewater treatment in a membrane bioreactor : a Review. Nviron. Prog.23, 59-68 [13] Nagaoka, H., Ueda, S. Miya, A., 1996. Influence of bacterial extracellular polymers on the membrane separation activated sludge process. Water SCI. Technol. 34 (9, 162-172) [14] S. –S. Han, T. –H. Bae, G. –G. Jang, T. –M. Tak, Influence of Sludge Retention Time on Membrane Fouling and Bioactivities in Membrane Bioreactor System, Process Biochem. 40 (2005), 2393-2400. [15] S. Rosenberger, C. Laabs, B. Lesjean, R. Gnirss, G. Amy, M. Jekel, J. C. Schrotter, Impact of Coloidal and Soluble Organic Material on Membrane Performance in Membrane Bioreactors for Municiple Wastewater Treatment, Water Res. 40 (2006), 710-720.