1
PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3)
FITRI LAMEO JOHAN JASIN NUR MOH. KASIM JURUSAN ILMU HUKUM
ABSTRAK Fitri Lameo. 2009. Penggunaan Hak Recall Anggota DPR Menurut Perspektif Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3). Jurnal, Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri gorontalo, 2013. Recall terhadap anggota DPR dilakukan oleh partai politik yang menaunginya sebagaimana diatur pada pasal 213 ayat (2) huruf e Undang-undang MD3. Hal ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu hal tersebut juga dipandang sebagai sebuah pengikisan nilai demokrasi sekaligus pencederaan terhadap hak-hak konstituen. Dari hasil penelitian mekanisme penerapan hak recall yang akan datang dapat dilakukan dengan 3 cara, yakni Recall melalui badan kehormatan, Recall melalui rapat paripurna DPR atau Petisi oleh rakyat melalui lembaga hukum. Kata Kunci : Hak Recall, Partai Politik
A.
PENDAHULUAN
2
Dalam praktek pemilihan anggota DPR, posisi partai politik adalah sebagai peserta pada pemilihan umum untuk memilih anggota DPR. Proposisi ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa Peserta pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 tersebut menunjukkan bahwa penempatan seorang anggota DPR adalah merupakan pemberian mandat dari partai politik. Dengan kata lain tanpa partai politik mustahil seseorang dapat menjadi anggota DPR. Sehingga terdapat konteks pertanggung jawaban antar keduanya. Disatu sisi anggota DPR bertanggung jawab atas penegakan AD/ART partai politik dan sisi lainnya partai politik memiliki tanggung jawab untuk melakukan kontrol terhadap kinerja para anggotanya di DPR, bentuk kontrol partai politik itu adalah dalam bentuk mekanisme hak recall partai politik.1 Hak Recall itu sendiri dimaknai sebagai hak partai politik untuk menarik kembali atau mengusulkan pemberhentian anggota DPR dari jabatannya sebelum masa jabatan anggota DPR yang bersangkutan berakhir.2 Fungsi recall yakni sebagai sarana kontrol bagi kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD. Landasan yuridis dari hak recall tersebut secara eksplisit tertuang pada UUD NRI 1945 Pasal 22B yaitu “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.”
1
M. Lutfi Chakim, 9 Desember 2011, Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Praktek Ketatanegaraan Di Indonesia (online), http://www.lutfichakim.blogspot.com/2011/12/hak-recall-partai-politik-terhadap…html, diakses pada 08 Juni 2012 2 Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hal. 166
3
Pada tahun 2009, pemerintah mengundangkan UU No. 27 Tahun 2009 yang menggantikan UU No. 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut MD3). Pada Pasal 213 ayat (2) huruf e UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MD3 menyebutkan bahwa Anggota DPR diberhentikan antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila “diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah anggota DPR adalah wakil partai politik atau sudah menjadi wakil rakyat yang notabenenya adalah konstituen yang telah memilihnya. Dalam konteks Negara yang menganut sistem demokrasi maka hal ini jelas bertentangan dengan salah satu prinnsip kedaulatan rakyat, kedaulatan rakyat yang disampaikan oleh Abraham Lincoln “demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Teori ini mengajarkan bahwa kekuasaan negara tertinggi terletak di tangan rakyat.3 Selain itu hal tersebut juga dipandang sebagai sebuah pengikisan nilai demokrasi sekaligus pencederaan terhadap hak-hak konstituen, dimana seperti yang kita ketahui bersama bahwa anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat, jadi semestinya rakyatlah yang lebih berhak menentukan anggota DPR tersebut harus diberhentikan atau tidak. Akan tetapi pada kenyataannya setelah terpilih, nasib anggota DPR sepenuhnya berada di tangan partai politik yang menaunginya. Seperti yang dikatakan oleh Moh. Hatta bahwa “Hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi pancasila. Pimpinan partai 3
Yenikurniawati, 4 April 2012, Teori Kedaulatan, http://teori-kedaulatan.blogspot.com/2012/04/teorikedaulatan.html, diakses pada 28 Januari 2013
4
tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu”. Dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya.4 Berdasarkan penjelasan di atas maka yang menjadi pokok permasalahan, adalah : 1.
Bagaimanakah pengaturan hak recall anggota DPR menurut peraturan perundang-undangan?
2.
Bagaimanakah penerapan hak recall yang tepat sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi?
B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif yakni penelitian yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan tertulis atau bahan hukum lainnya.5 Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.6 Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian Normatif, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis hanya menggunakan satu bahan hukum, yakni bahan hukum primer. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
4
Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hal. 159-160 5 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 13 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 93
5
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam pembuatan undangundang dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang peneliti gunakan dalam penelitian ini diantaranya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan dokumentasi agar data yang diperoleh lebih lengkap dan akurat, serta pencatatan dokumentasi yang diperoleh melalui berbagai media dan kepustakaan. Peneliti menggunakan teknik analisis penafsiran analogi. Penafsiran analogi, sesungguhnya sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas, yaitu okum ibarat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi aturan tersebut.7 C.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan hak recall di masa orde baru diatur dalam Pasal 15 UU No. 10
Tahun 1966 yang menyatakan bahwa anggota MPRS/DPR-GR dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut: a.
Anggota dari Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan;
b.
Anggota dari Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik dapat diganti oleh organisasi karya yang bersangkutan dengan persetujuan induk partainya;
7
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum. CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 158
6
c.
Anggota Golongan Karya yang anggotanya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan.8 Setelah masa Orde Baru digantikan Orde Reformasi, mekanisme recall oleh
partai politik yang selama Orde Baru efektif digunakan oleh partai politik untuk menyingkirkan „lawan politik‟ di tubuh partainya, tidak lagi diatur dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pasal 5 ayat (1). Akan tetapi pengaturan recall kembali muncul dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD pasal 85. Kemudian pada tahun 2009, pemerintah mengundangkan UU No. 27 Tahun 2009 yang menggantikan UU No. 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.9 Pada UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 pasal 213 ayat (2) huruf e disebutkan bahwa Anggota DPR diberhentikan antar waktu atas usulan partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertentangan dengan UUD NRI 1945 Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.” dan Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, dan ayat (2): Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Pasal 213 ayat (2) huruf e tersebut berpotensi bagi setiap anggota DPR untuk secara subjektif dan sewenang-wenang diberhentikan dari 8 9
Ni‟matul Huda, Ibid, Hal. 161 Ni‟matul Huda, Op. cit, hal. 163
7
jabatannya oleh partainya, sehingga anggota DPR tersebut tidak dapat melaksanakan kewajibannya menyalurkan aspirasi dan amanat konstituen dengan baik dan menyebabkan tidak lancarnya tugas-tugas dan fungsinya selaku anggota DPR. Hak recall pernah menghilang pengaturannya pada awal reformasi yakni pada UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, hal ini secara eksplisit dimuat pada Pasal 5 ayat (1). Hilangnya wacana recall seiring dengan nafas dan tuntutan refomasi saat itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu pengaturan hak recall muncul kembali dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD pada Pasal 85 ayat (1) yang sekarang telah bertransformasi menjadi UU No. 27 tahun 2009 tentang MD3. Berdasarkan berbagai macam pertimbangan dan hasil-hasil kajian recall serta telah membahas dan melihat beberapa penerapan recalling partai politik, peneliti mengerucutkan dan merumuskan mekanisme penerapan hak recall yang akan datang dalam 3 (tiga) rumusan : a.
Recall melalui badan kehormatan
b.
Recall melalui rapat paripurna DPR
c.
Petisi oleh rakyat melalui lembaga hukum Ketiga rumusan di atas peneliti yakini bisa memberikan kebebasan kepada
anggota DPR tanpa merasa takut akan direcall oleh partainya akan tetapi harus berada dalam koridor demokrasi. D.
KESIMPULAN DAN SARAN
8
1.
Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pengaturan hak recall partai politik menurut peraturan perundang-undangan bukan hal yang baru di Indonesia, recall diatur dalam UU No. 10 Tahun 1966 dan UU No. 2 Tahun 1985. Kemudian pada era reformasi lahirlah UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susduk, pengaturan recall menghilang dalam rumusan UU tersebut. Kemudian diatur lagi dalam UU 22 Tahun 2003 Tentang Susduk MD3. Memang dalam UU partai politik recall diusulkan oleh partai politik kepada pimpinan DPR dan Presiden yang mengesahkan, akan tetapi hal ini hanya dianggap sebagai formalitas saja Pimpinan DPR adalah pelaksana tugas koordinatif dan protokoler yang bukan merupakan atasan dari anggota DPR lainnya, begitu juga dengan Presiden. Presiden juga tidak bisa ikut campur masalah internal DPR. Sehingga kekuatan atau otoritas penuh berada di tangan partai politik.
Anggota DPR saat ini seharusnya tidak dapat direcall oleh partai politik yang mengusungnya, mengingat para calon anggota DPR dipilih dengan sistem proporsional. Berdasarkan mekanisme sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka, Partai Politik Peserta Pemilu dari calon tersebut tidak dapat membatalkan atau mengubah hasil suara yang diperoleh sang calon. Merecall anggota dewan yang bersangkutan berarti mengingkari atau menegasi hasil pemilihan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan. Anggota DPR mewakili rakyat banyak, sesuai namanya: Anggota Dewan
9
Perwakilan Rakyat, pada hakikatnya adalah negarawan. Ia tidak boleh sekedar perpanjangan tangan partainya. 2.
Saran
Pengaturan hak recall yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang sebaiknya diperbaiki dengan tidak menyerahkan recalling anggota DPR kepada partai politik yang menaunginya. Akan lebih baik jika recalling dilakukan oleh lembaga yang memang mengurus tentang kode etik anggota DPR. Karena jika proses recalling tetap dipegang oleh partai politik, yang akan lebih banyak dijalankan hanya kepentingan-kepentingan partai, bukan lagi kepentingan untuk rakyat.
Berdasarkan berbagai macam pertimbangan dan hasil-hasil kajian recall serta telah membahas dan melihat beberapa penerapan recalling partai politik, peneliti mengerucutkan mekanisme penerapan hak recall yang akan datang dalam 3 (tiga) rumusan : a.
Recall melalui badan kehormatan
b.
Recall melalui rapat paripurna DPR
c.
Petisi oleh rakyat melalui lembaga hukum
DAFTAR PUSTAKA Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Ni‟matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hal. 166
10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010 Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum. CV. Pustaka Setia, Bandung, 1999 M. Lutfi Chakim, 9 Desember 2011, Hak Recall Partai Politik Terhadap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Praktek Ketatanegaraan Di Indonesia (online), http://www.lutfichakim.blogspot.com/2011/12/hak-recall-partaipolitik-terhadap…html, diakses pada 08 Juni 2012 Yenikurniawati, 4 April 2012, Teori Kedaulatan, http://teorikedaulatan.blogspot.com/2012/04/teori-kedaulatan.html, diakses pada 28 Januari 2013
11