RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD “Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi”
I.
PEMOHON Habel Rumbiak, S.H., Sp.N, selanjutnya disebut Pemohon.
II.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI : Pemohon dalam permohonan sebagaimana dimaksud menjelaskan, bahwa
ketentuan yang
mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah : ⌧ Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
⌧ Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ”menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
III. KEDUDUKAN PEMOHON (LEGAL STANDING) Bahwa menurut ketentuan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, maka orang atau pihak dimaksud haruslah; a. menjelaskan kualifikasinya dalam permohonannya, yaitu apakah yang sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf (a), sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian
1
Atas dasar ketentuan tersebut maka dengan ini Pemohon perlu terlebih dahulu menjelaskan kualifikasinya, hak konstitusi yang ada pada Pemohon, beserta kerugian spesifik yang akan dideritanya secara sebagai berikut : Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
IV.
NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI. A. NORMA MATERIIL - Sebanyak 10 (sepuluh) norma, yaitu : 1. Pasal 205 Ayat (1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan Pasal 202 di daerah pemilihan yang bersangkutan. 2. Pasal 205 ayat (2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR. 3. Pasal 205 ayat (3) Setelah ditetapkan angka BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR. 4. Pasal 205 ayat (4) Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada Partai Politik Peserta Pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% (lima puluh perseratus) dari BPP DPR . 5. Pasal 205 ayat (5) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dilakukan penghitungan tahap kedua, maka dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap ketiga dengan cara seluruh sisa suara Partai Politik Peserta Pemilu dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan. 6. Pasal 205 ayat (6) BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan membagi jumlah sisa suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dengan jumlah sisa kursi. 7. Pasal 205 ayat (7) Penetapan perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan cara memberikan kursi kepada partai politik yang mencapai BPP DPR yang baru di provinsi yang bersangkutan.
2
8. Pasal 211 ayat (1) Perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi dengan angka BPP DPRD di daerah pemilihan masing-masing. 9. Pasal 211 ayat (2) BPP DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan cara membagi jumlah perolehan suara sah Partai Politik Peserta Pemilu untuk anggota DPRD provinsi dengan jumlah kursi anggota DPRD provinsi di daerah pemilihan masingmasing. 10. Pasal 211 ayat (3) Dalam hal masih terdapat sisa kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP DPRD, maka perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak satu persatu sampai habis. B. NORMA UUD 1945 SEBAGAI ALAT UJI -
Sebanyak 2 (dua) norma, yaitu : 1.
Pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
2.
Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
3.
Pasal 28D ayat (3) “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
4.
Pasal 28E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
5.
Pasal 28I ayat (5) “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
3
6.
Pasal 28I ayat (2) “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
V.
Alasan-Alasan Pemohon Dengan Diterapkan UU a quo Bertentangan Dengan UUD 1945, karena : 1. bahwa cara penetapan kursi DPRD Provinsi yang hanya melalui 2 (dua) tahap seperti diatur dalam Pasal 211 UU No. 10 Tahun 2008 bersifat dualisme, diskriminatif dan tidak adil, dibanding dengan cara pembagian kursi DPR yang dilakukan melalui 3 (tiga) tahap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 205.
2. bahwa tidak ada landasan konstitusional dalam UUD 1945 yang mendasari pembedaan dan perbedaan perlakuan cars penetapan kursi DPRD provinsi yang hanya melalui 2 (dua) tahap dan DPR yang melalui 3 (tiga) tahap.
3. bahwa antara Pasal 211 dan Pasal 205 ternyata bersifat dualistis, tidak memberikan kepastian hukum, diskriminatif (membeda-bedakan warga negara Indonesia), dan tidak adil, karena pasal-pasal tersebut memperlakukan aturan (cara penetapan kursi) yang berbeda bagi warga negaranya.
4. bahwa sekiranya cara penetapan kursi tidak diskriminatif karena Pemohon merupakan peraih suara terbanyak ketiga di dapil 6 (enam) provinsi Papua, maka Pemohon termasuk talon yang bakal terpilih, karena partai pemohon mencapai lebih dari 50% suara BPP.
5. bahwa selain perbedaan cara penetapan kursi Partai Politik yang merugikan Pemohon, hal lain yang sangat merugikan kepentingan konstitusional Pemohon adalah penetapan kursi terpilih berdasarkan suara terbanyak Partai dengan mengabaikan suara terbanyak yang diraih Pemohon.
6. bahwa dalam sistem proporsional terbuka, cara yang dipilih dalam penetapan perolehan kursi adalah cara yang menimbulkan deviasi paling kecil sebagaimana perhitungan yang telah diterapkan dalam pemilu tahun 2009 ini.
7. bahwa pemilu dengan sistim proporsional terbuka, juga mengharuskan penetapan calon terpilih haruslah juga dilakukan dengan cara yang menimbulkan deviasi paling kecil, itulah sebabnya maka Mahkamah Konstitusi RI melalui putusannya Nomor : 22-24/PUUVI/2008
4
tanggal 23 Desember 2008 membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
8. bahwa Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif yang dibatalkan tersebut, menganut prinsip nomor urut dan jumlah suara yang hanya sebesar 30% dari Bilangan Pembagi Pemilihan sebagai dasar penetapan calon terpilih, cara yang sangat tidak adil karena menimbulkan deviasi yang sangat besar antara kursi yang diperoleh dan suara yang diraih calon.
9. bahwa ternyata putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 tersebut belum sejalan dengan penetapan calon terpilih seperti yang dialami Pemohon. Ini tercermin dari fakta bahwa Pemohon sebagai peraih suara terbanyak tidak ditetapkan sebagai calon terpilih, sebaliknya calon dengan peraih suara minimal dapat ditetapkan sebagai calon terpilih.
10. bahwa cara penetapan calon dengan raihan suara minimal yang ditetapkan sebagai calon terpilih inilah yang menurut Pemohon tidak sejalan dengan prinsip proporsional terbuka yang dianut UU Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilu.
11. bahwa adanya penafsiran dari penyelenggara pemilu (KPU) yang menjadikan suara Partai (akumulasi suara Partai dan caleg) sebagai dasar penentuan kursi yang berkait dengan penetapan calon terpilih untuk pembagian kursi tahap kedua sesuai Pasal 211 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 inilah yang sangat merugikan kepentingan konstitusional Pemohon.
12. bahwa menurut Pemohon, pengaturan Pasal 211 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang mendasari penetapan calon terpilih berdasarkan suara partai ini (akumulasi suara partai dan suara caleg) tidak konstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
VI.
PETITUM 1. Menerima dan mengabulkan permohonan uji materil Pemohon; 2. Menyatakan bahwa pengaturan dalam Pasal 211 dan 205 UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 tentang cara penetapan kursi DPR Daerah Provinsi dan can penetapan kursi DPR bersifat diskriminatif dan tidak adil, serta bertentangan dengan UUD 1945 dan normanorma konstitusi khususnya yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3), dan pasal 28I ayat (2). 3. Menyatakan pula bahwa cara penetapan kursi DPRD Provinsi dan talon terpilih tahap dua
5
menurut Pasal 211 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu tidak konstitusional karena bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, seharusnya suara terbanyak dukungan kepada calon sebagai dasar penetapan calon terpilih. 4. Menyatakan bahwa Pasal 211 dan 205 UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 Utnum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 5. Menyatakan bahwa pemberlakuan penetapan kursi tahap kedua, yaitu 50% suara BPP seperti dimaksud dalam Pasal 205 ayat 4 UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu untuk DPR harus diberlakukan pula terhadap penetapan kursi DPR Daerah Provinsi agar tercipta perlakuan yang sama, kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hokum bagi setiap warga negara Indonesia sesuai amanat UUD 1945 yang mempunyai kepentingan terhadap ketentuan tersebut. 6. Menyatakan bahwa antara ayat 2 dan 3 Pasal 211 UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu ditambahkan satu sub ayat yang mengatur tentang penetapan kursi DPRD Provinsi tahap kedua, yakni can 50% suara BPP dan selanjutnya sisa suara sebagai can penetapan tahap ketiga. 7. Menyatakan bahwa bahwa penetapan calon terpilih tahap terakhir seperti yang dimaksud Pasal 211 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2008 haruslah berdasarkan suara terbanyak yang diraih calon, dan bukan akumulasi suara partai dan suara caleg. 8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
6