JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
PENGGABUNGAN PROVINSI USULAN ALA DAN ABAS MENJADI ALABAS (Studi Persepsi Mahasiswa Unsyiah yang berasal dari ALA dan ABAS) Muttawali, Maimun Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsyiah Email:mukta.waly@
[email protected] [email protected]
ABSTRAK Usulan pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) tidak terlepas dari reaksi pro-kontra di kalangan masyarakat. Kalangan pendukung, menerima usul tersebut sebagai bagian dari kebijakan pemekaran wilayah yang pengharapan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi terjadi selama ini. Sebaliknya, kalangan penentang justru menganggap usul ALABAS adalah upaya untuk “memperkecil” Aceh pasca perdamaian. Permasalahannya adalah bagaimana persepsi mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS terhadap penggabungan 2 Provinsi Usulan menjadi satu dan faktor apakah yang menghambat usulan pemekaran ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) menurut mahasiswa dari ALA dan ABAS. Data diperoleh melalui penelitian kualitatif dengan metode deskriptif didapatkan dari penelitian lapangan, wawancara dengan informan serta penelitian dokumentasi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan Mahasiswa yang berasal dari daerah ALA dan ABAS memiliki persepsi beragam mengenai isu pengabungan 2 Provinsi Usulan ini. Terdapat mahasiswa yang mendukung isu pemekaran ALABAS, dan ada pula yang menentang usulan pemekaran ini. Kebanyakan mahasiswa Unsyiah asal ALA dan ABAS memandang wacana pemekaran ALABAS sarat dengan kepentingan politik, karena kehadiranya jelang momentum Pilkada Aceh 2017 dan Pemilu 2019. Penyebab pemekaran adalah karena permasalahan kesejahteraan sosial dan pemerataaan pembangunan yang timpang di Aceh. Faktor yang menghambat usulan pemekaran menurut Mahasiswa dari ALA dan ABAS adalah pemekaran berbenturan dengan UUPA, kurangnya keseriusan pemerintah Aceh, pemerintah pusat, dan kurangnya sosialisasi yang dilakukan tim pengagas pemekaran kepada masyarakat. Disarankan kepada Pemerintah Aceh harus lebih banyak memperhatikan kondisi ALA dan ABAS. Kata Kunci: Persepsi Mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS, usul pembentukan DOB ALABAS, Kebijakan Publik, Pemekaran Wilayah.
1
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
ABSTRACT Proposed establishment ALABAS DOB (Aceh Leuser Antara and South West) can not be separated from the reaction of the pros and cons in the community. Among supporters, accept the proposal as part of a policy of regional expansion that hope can reduce the economic gap occurred during this time. Conversely, the opponents actually considers ALABAS proposal is an attempt to "minimize" Aceh after the peace. The problem is how students' perceptions of ALA and ABAS Unsyiah against merging two proposals into one province and the factor that inhibits the expansion proposal ALABAS (Aceh Leuser Antara and South West) by students of ALA and ABAS. Data obtained through qualitative research with descriptive methods obtained from field research, interviews with informants as well as documentation of research literature. The results showed that students from areas of ALA and ABAS have diverse perceptions on the issue of merging two province this proposal. There are students who support the issue of the division ALABAS, and some are opposed to proposals of this division. Most of the students Unsyiah origin of ALA and ABAS looked ALABAS division discourse laden with political interests, because its presence momentum ahead of the elections in Aceh in 2017 and 2019. The cause of the division Elections are due to problems of social welfare and pemerataaan maldevelopment in Aceh. Factors that inhibit the expansion proposed by Students of ALA and ABAS is a division clashed with the Law, the lack of seriousness of the Aceh government, central government, and the lack of socialization conducted pengagas expansion team to the community. Suggested to the Government of Aceh should be more attention to the condition of ALA andABAS. Keywords: Student Perceptions Unsyiah of ALA and ABAS, the proposed establishment of DOB ALABAS, Public Policy, Regional Expansion
2
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
PENDAHULUAN Wacana pemekaran ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) dari Provinsi Aceh bukanlah hal yang baru. Namun wacana ini kemudian kembali bergulir jelang pilkada Aceh 2017, bahkan isu pemekaran daerah ini kini makin meluas. Hal ini dikarenakan munculnya pengabungan 2 provinsi usulan menjadi satu, yakni: ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan). Kehadiran usul pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) yang disebut Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan (ALABAS) ini kemudian tidak terlepas dari reaksi prokontra di kalangan masyarakat. Kalangan pendukung misalnya, menerima usul tersebut sebagai bagian dari kebijakan pemekaran wilayah yang nantinya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi yang terjadi selama ini di sekitar ALABAS. Sebaliknya, kalangan penentang justru menganggap usul ALABAS adalah upaya untuk “memperkecil” Aceh pasca perdamaian dan juga sebagai bentuk pelanggaran “kesepakatan batas wilayah” yang dimuat MoU Helsinki (antara pemerintah RI dan GAM). MoU antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 pada poin 1.1.4 MoU Helsinki menyebutkan bahwa “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956”. UUPA sebagai “turunan” MoU Helsinki secara politik dan filosofis, dengan jelas menyebutkan perbatasan Aceh pada Pasal 3, huruf (a) sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; (b) sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara; (c) sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan (d) sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sehingga usul pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) ini nantinya dengan jelas melanggar UUPA, dalam hal ini bermakna UUPA juga harus diubah untuk melaksanakan pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan). Lantas apa dan bagaimana tanggapan mahasiswa dari ALA dan ABAS selaku elemen kritis terkait usulan pemekaran Provinsi Aceh tersebut. Mahasiswa pada umumnya tidak begitu saja menerima “usul” ALABAS tersebut, tentunya mahasiswa dari ALA dan ABAS selaku elemen kritis memiliki alasan-alasan logis dan rasional terkait mengapa menolak atau menerima usul tersebut. Khususnya di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) selaku “Jantong Hatee Rakyat Aceh”, sangat menarik diteliti bagaimana tanggapan kalangan mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS terkait usulan pemekaran ALABAS itu. Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan kajian dengan judul “Penggabungan Provinsi Usulan ALA dan ABAS menjadi ALABAS (Studi Persepsi Mahasiswa Unsyiah yang berasal dari ALA dan ABAS)”.
3
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
TINJAUAN PUSTAKA Implementasi kebijakan pemekaran menjadi topik bahasan banyak pakar, salah satu pakar yng mengangkat sebagai bahan skripsi ini yang hangat adalah Rifdan (2010) staf pengajar Univesitas Negeri Makasar dalam jurnal yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah dalam Mendukung Integrasi Nasional di Kabupaten Luwu Timur”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan implementasi kebijakan pemekaran daerah, faktor-faktor yang mendukung implementasi kebijakan pemekaran daerah, menganalisis wujud implementasi kebijakan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya, serta menganalisis implementasi kebijakan pemekaran daerah. Enang Muhammad Firdaus (2013) yang berjudul “Pembentukan Daerah Otonom Baru Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat”. Tujuan penelitian ini telah melahirkan banyak sekali antusiasme baru bagi pemerintahan terutama di negaranegara berkembang umumnya memiliki sejarah pemerintahan yang sentralsitik sedangkan penulis menjelaskan desentralisasi secara umum dalam kehidupan bernegara. Teori persepsi digunakan untuk mengetahui tentang berbagai pandangan yang berbeda. Persepsi bersifat individual, maka individu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Dengan kata lain, persepsi merupakan bentuk pola pikir seseorang dalam memahami suatu objek tertentu yang bersifat subyektif. Selanjutnya masalah persepsi ini diuraikan secara terinci Kemudian dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan konsep pemekaran daerah, Istilah pemekaran wilayah/daerah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperhalus bahasa (eupheisme) yang menyatakan proses “perpisahan” atau ”pemecahan” satu wilayah untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru (Makaganza, 2008: 17). pemekaran daerah pertama kali diungkapkan oleh Charles Tibout (dalam Nurkholis, 2005) dengan pendekatan public choice school. Dalam artikelnya ”A Pure Theory of Local Expenditure”, ia mengemukakan bahwa pemekaran daerah dianalogkan sebagai model ekonomi persaingan sempurna dimana pemerintahan daerah memiliki kekuatan untuk mempertahankan tingkat pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan mengijinkan setiap individu masyarakatnya untuk mengekspresikan preferensinya pada setiap jenis pelayanan dari berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda dengan ”vote with their feet”. Sejak awal, para pendiri Republik Indonesia sangat sadar bahwa dengan luas daerah yang setara dengan 20 negara di Eropa Barat, mengelola pemerintahan tidak mungkin dengan cara sentralisasi. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuktikan komitmen Indonesia yang tinggi dalam hal reformasi tata pemerintahan. Peralihan tersebut lahir atas transisi demokrasi pasca reformasi dimana masa pemerintahan sebelumnya (Orde baru atau Orba) yang menerapkan sistem sentralistis menjadi paradigma desentralistis (sejak reformasi) (Murtir Jeddawi, 2009: 2-3).
4
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
Reformasi tata pemerintahan di Indonesia tidak saja berdampak pada perkembangan demokrasi di Indonesia, tetapi juga menimbulkan berbagai kondisi ketidakstabilan politik yang dapat mengancam integrasi nasional karena adanya fenomena dan praktik pemekaran provinsi, kabupaten dan kota yang diwarnai oleh reaksi pro dan kontra dikalangan masyarakat serta konflik struktural dan horizontal pasca pemekaran daerah (Rifdan, 2010). Kedua peraturan tersebut merupakan implementasi dari desentralisasi, dengan harapan pembentukan, pemisahan, penggabungan dan penghapusan daerah akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan warga, pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban dan relasi-relasi yang harmonis antar-daerah. METODE PENELITIAN Studi ini menggunakan pendekatan variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu metode dalam penelitian individu maupun kelompok masyarakat, sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa tertentu (Burhan Bungin, 2001: 48). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan, menuliskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik itu alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya (Sukmadinata dan Syaodih Nana, 2006: 72). Untuk mengecek validitas data, penulis menggunakan triangulasi sumber dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda. Kemudian, penulis juga menggunakan triangulasi teori, yakni menggunakan beberapa teori sebagai bahan penjelasan perbandingan (Sugiyono, 2006: 61). Adapun informan di dalam penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan informasi atau data yang terkait dengan masalah penelitian yang sedang dikaji/teliti agar dapat memberikan informasi selengkap-lengkapnya. Disamping itu, informasi yang dijadikan subjek harus dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan kriteria tersebut, adapun yang menjadi informan di dalam penelitian ini berjumlah 14 orang, dengan rincian sebagai berikut : 1. 7 orang mahasiswa aktif FISIP Unsyiah yang berasal dari Aceh Barat Selatan (ABAS), yaitu: Rahmad Wahyudinata, Aceh Jaya, Fakultas Kelautan Dan Perikanan. Burhan, Abdya, Fakultas Teknik. Balia Mulkan, Nagan Raya, FKIP Kimia. Muktasarul Ikhsan, Aceh Barat, FISIP. Hendri, Aceh Barat, FISIP. Fitriansyah, Aceh Barat, Fakultas MIPA. Samsul Bahri, Aceh Barat, Fakultas Hukum.
5
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
2. 7 orang mahasiswa aktif FISIP Unsyiah yang berasal dari Aceh Leuser Antara (ALA), yaitu: Muttaqin, Subulussalam, FISIP. Hendri Mirza, Subulussalam, Fakultas Hukum. Sahputra, Aceh Tenggara, FKIP. Azlansyah, Aceh Tengah, Fakultas Kedokteran. Balian Saputra, Bener Meriah, FISIP. Haridha Rahmad, Aceh Tengah, FKIP. Sahar, Bener Meriah, FISIP. 3. Pemerhati Sosial Politik Aceh: Drs. Munir Aziz, M.Pd. 4. Pengamat Hukum Unsyiah: Zainal Abidin, SH, M.Si Kemudian dalam penelitian ini peneliti mengambi 2 sumber data diantaranya: 1. Sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan responden dan informan. Wawancara berguna untuk mendapatkan data dari tangan pertama (primer), pelengkap teknik pengumpulan lainnya, menguji hasil pengumpulan lainnya (Sugiono (2008: 193). 2. Sumber data sekunder, yaitu data yang dapat mendukung keterangan sumber data primer. Sumbernya berupa dari dokumen tertulis, studi keperpustakaan, buku, majalah, koran, dan lain-lain. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa metode pengumpulan data antara lain. Pertama; wawancara yang digunakan dalam penelitian ini merupakan wawancara semiterstruktur, dimana pelaksanaan wawancara ini lebih bebas, peneliti tidak merasa kaku pada saat wawancara dan bias menggunakan pedoman disaat wawancara berlangsung. Dan pada saat wawancara berlangsung apabila penulis ingin menanyakan yang tidak berhubungan dengan pedoman maka penulis bias langsung menanyainya. Kedua; dokumentasi bertujuan agar penulis dapat lebih mudah dalam mengumpulkan data dengan baik dan adanya referensi yang mendukung penelitian penulis sesuai dengan tema yang diteliti. Metode dokumentasi ini tidak hanya memudahkan penulis dalam mencari data dilapangan, akan tetapi untuk menjadi arsip bagi penulis dan beberapa kelompok tertentu yang membutuhkan. Pada penelitian ini tahap-tahap teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut: 1. Pertama, penelitian memperoleh data-data dari hasil wawancara dengan informan, kemudian dikumpulkan secara menyeluruh. Analisis data dimulai dengan melakukan wawancara semiterstruktur dengan informan. 2. Kedua, peneliti melakukan proses penggabungan data dalam bentuk teks yang akan dianalisis. Hasil wawancara dan hasil studi dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian ini diubah menjadi bentuk tulisan sesuai dengan formatnya masing-masing. 3. Ketiga, peneliti melakukan analisis data dan kemudian dikaitkan dengan teoriteori yang berkaitan dengan masalah penelitian. 4. Terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.
6
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan membahas tentang hasil penelitian yang akan memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan membahas mengenai data-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan mengenai bagaimana persepsi mahasiswa Unsyiah terhadap penggabungan provinsi usulan ALABAS dan apa saja kendala yang dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut. Sebagai informasi bahwa Provinsi Aceh ini dibentuk melalui UU No.24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Undang-Undang ini lahir pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Bila kita berpatokan dari Undang-Undang tersebut, berarti Provinsi Aceh hingga kini telah berusia 59 tahun atau lebih setengah abad. Menurut Zainal Putra, SE, MM, dalam “Matematika Pemekaran Aceh” Serambi, 18 Februari 2016, walaupun telah berusia 59 tahun, provinsi Aceh masih menorehkan rangking tujuh termiskin di Indonesia dan peringkat kedua termiskin di Sumatera. Untuk diketahui bahwa dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, pada September 2015 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 859.000 orang atau 17,11% dari jumlah penduduk Aceh. Jika ditelisik secara mendalam, maka akan kelihatan bahwa penduduk miskin itu paling dominan dikontribusikan oleh kabupaten-kabupaten ALABAS, yakni Kabupaten Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Barat, Simeulue, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam. Ini mengindikasikan bahwa “kue pembangunan” belum terdistribusi secara proporsional kepada kabupaten-kabupaten ALABAS. Dalam konotasi Aceh dikatakan bahwa so yang mat aweuk maka dia akan mendapat porsi yang lebih banyak. Hal ini lumrah saja, karena orang-orang yang berasal dari wilayah ALABAS belum pernah mendapat giliran “mat aweuk” alias pemegang kekuasaan tertinggi di Aceh (gubernur). Aweuk selalu dipegang oleh orang-orang di luar ALABAS (http://aceh.tribunnews.com/2016/02/18/matematika-pemekaran-aceh?page=2). Yang patut dipertanyakan adalah mengapa wacana pemekaran ALA (Aceh Leuser Antara) dan ABAS (Aceh Barat Selatan) dari Provinsi Aceh ini muncul kembali menjelang pilkada Aceh 2017, bahkan kali ini pemekaran tersebut menyatukan dua Daerah Otonom Baru (DOB) dengan nama ALABAS. Kehadiran usul pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan). Hal ini kemudian tidak terlepas dari reaksi pro-kontra di kalangan masyarakat. Kalangan pendukung misalnya, menerima usul tersebut sebagai bagian dari kebijakan pemekaran wilayah yang nantinya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi yang terjadi selama ini di sekitar ALABAS. Sebaliknya, kalangan penentang justru menganggap usul ALABAS adalah upaya untuk “memperkecil” Aceh pasca perdamaian dan juga sebagai bentuk pelanggaran “kesepakatan batas wilayah” yang dimuat MoU Helsinki (antara pemerintah RI dan GAM). MoU antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani kedua belah pihak di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 pada poin 1.1.4 MoU Helsinki menyebutkan bahwa “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956”. UUPA sebagai “turunan” MoU Helsinki secara
7
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
politik dan filosofis, dengan jelas menyebutkan perbatasan Aceh pada Pasal 3, huruf (a) sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; (b) sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara; (c) sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan (d) sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sehingga usul pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) ini nantinya dengan jelas melanggar UUPA, dalam hal ini bermakna UUPA juga harus diubah untuk melaksanakan pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan). Pada bagian pembahasan ini akan menguraikan tentang teori-teori yang menjadi dasar pembahasan yang ada dalam penelitian ini. Dengan teori tersebut akan menguatkan kesimpulan yang akan ditarik peneliti dalam persoalan yang dimuat dalam rumusan masalah. Bagian ini akan membicarakan lebih lanjut mengenai persepsi mahasiswa Unsyiah terhadap penggabungan provinsi usulan ALABAS dan kendala yang dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut. Persepsi Mahasiswa Unsyiah Terhadap Penggabungan Provinsi Usulan ALABAS. Wacana pemekaran ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) mencuat pasca Tagore Abubakar, anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P menyatakan bahwa provinsi baru akan lahir pada tahun 2016 di Aceh. Pernyataan Tagore tersebut, bukan tanpa alasan. Langkah maju pembentukan Provinsi ALABAS, menurut anggota Komisi II DPR-RI ini, terlihat pada persetujuan DPR-RI atas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang diajukan Mendagri pada 25 Januari 2016 lalu. Dalam RPP disebutkan ada 159 daerah yang disetujui untuk dimekarkan. Satu di antaranya adalah Aceh. Istilah pemekaran wilayah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperhalus bahasa (eupheisme) yang menyatakan proses “perpisahan” atau ”pemecahan” satu wilayah untuk membentuk satu unit administrasi lokal baru (Makaganza, 2008: 17). Di Indonesia, pemekaran wilayah atau pembentukan DOB (daerah otonom baru) adalah bagian dari kebijakan strategis dalam rangka perwujudan desentralisasi dan otonomi daerah pasca reformasi. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembentukan DOB merupakan bagian dari penataan daerah sebagai bentuk pelaksanaan desentralisasi (Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Sedangkan wacana pemekaran ALABAS dari provinsi (induk) Aceh, adalah hal yang baru, jika dibandingkan dengan wacana pemekaran ALA dan ABAS yang mendahuluinya. Mahasiswa yang berasal dari daerah ALA dan ABAS memiliki persepsi beragam mengenai isu pengabungan 2 Provinsi Usulan menjadi Satu. Pembentukan DOB ALABAS (Aceh Leuser Antara dan Barat Selatan) secara tidak langsung merupakan isu yang baru bergulir bagi mereka, meskipun sebagian mahasiswa mengikuti perkembangan usul pemekaran provinsi ALA dan ABAS yang sudah bergulir jauh sebelumnya. Pro dan kontra pun tidak terelakkan di kalangan mahasiswa. Terdapat mahasiswa yang mendukung isu pemekaran ALABAS, dan ada pula yang menentang usulan pemekaran ini. Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 (tujuh) orang mahasiswa Unsyiah asal ALA, ditemui bahwa 4 (empat) orang mahasiswa menyatakan mendukung kebijakan pemekaran yang saat ini sedang diwacanakan, 3 (dua) orang mahasiswa lainnya
8
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
menolak pemekaran dengan alasan akan terciptanya sentimen antara ALA dan ABAS pasca pemekaran. Sehingga dapat disimpulkan 4 dari 7 orang mahasiswa asal ALA mendukung pemekaran, dan 3 diantaranya menolak kebijakan pemekaran. Sementara berdasarkan hasil wawancara dengan 7 (tujuh) orang mahasiswa Unsyiah asal ABAS, ditemui bahwa 4 (empat) orang mahasiswa menyatakan menolak kebijakan pemekaran yang saat ini sedang diwacanakan, 2 (dua) orang mahasiswa lainnya mendukung kebijakan pemekaran, dan 1 (satu) orang diantaranya bersikap lebih netral terhadap wacana pemekaran yang bergulir. Kemudian yang lebih menarik diantara 2 (dua) orang mahasiswa asal ABAS yang menyetujui wacana tersebut, menyatakan tidak menyetujui pengabungan ALA dan ABAS dengan alasan apabila disatukan menjadi ALABAS akan merugikan daerahnya. Kebanyakan mahasiswa Unsyiah asal ALA dan ABAS memandang wacana pemekaran ALABAS sarat dengan kepentingan politik, karena kehadiranya jelang momentum Pilkada Aceh 2017 dan Pemilu 2019. Penyebab pemekaran sendiri, bagi mahasiswa Unsyiah asal ABAS adalah karena permasalahan kesejahteraan sosial dan pemerataaan pembangunan yang timpang di Aceh. Sesuai dengan teori penyebab pemekaran menurut Dwiyanto, dkk (2003) lebih banyak bernuansa etnisitas, politis (elitis) dan perasaan dianaktirikan (stepchild). Kendala yang Dihadapi setelah Bergabungnya Dua Provinsi tersebut menurut Mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS. Pada bahasan kendala apa yang mungkin akan dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut diperoleh berbagai macam jawaban menurut mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS. Dalam pembuatan kebijakan pemekaran daerah ALABAS dari provinsi Aceh maka pihak yang terlibat/stakeholders secara langsung adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPD-Aceh), Pemerintah Aceh (dalam hal ini Gubernur Aceh), DPR-RI (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri) dan Ditjen Otda (Direktorat Jendral Otonomi Daerah) sebagai perwakilan pemerintah pusat. Sedangkan pihak yang tidak terlibat secara langsung adalah partai politik lokal Aceh, pentolan GAM, dan masyarakat Aceh keseluruhannya. Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, termasuk dalam pihak intelektual yang tidak terlibat secara langsung tapi turut mempengaruhi. Menurut Mahasiswa Unsyiah dari ALA, kendala apa yang mungkin akan dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut diantaranya adalah pemekaran berbenturan dengan UUPA, kurangnya keseriusan pemerintah Aceh, kurangnya keseriusan pemerintah pusat, hingga kurangnya sosialisasi mengenai pemekaran kepada masyarakat. Sedangkan menurut Mahasiswa Unsyiah dari ABAS, kendala apa yang mungkin akan dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut, tidak hanya bersumber dari eksternal kebijakan, namun juga bersumber dari internal kebijakan pemekaran itu sendiri. Internal kebijakan bermakna berasal dari tim pengagas pemekaran itu sendiri. Tim pengagas dianggap kurang representatif, karena didominasi oleh tokoh-tokoh ALA. Selain itu baik menurut mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS, menyarankan agar tim pengagas lebih serius melaksanakan lobi-lobi politik ke stakeholders terkait,
9
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
dan meningkatkan sosialisasi kebijakan pemekaran ke masyarakat, sehingga akan meningkatnya simpatisan yang mendukung pemekaran dan hilangnya stigma “elitis” dalam kebijakan pemekaran yang didengungkan KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan dan analisis data dalam penelitian tentang persepsi mahasiswa Unsyiah terhadap penggabungan 2 provinsi usulan menjadi satu (studi terhadap mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS), maka pada bab ini akan diuraikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Mahasiswa yang berasal dari daerah ALA dan ABAS memiliki persepsi beragam mengenai isu penggabungan provinsi usulan ALABAS. Terdapat mahasiswa yang mendukung isu pemekaran ALABAS, dan ada pula yang menentang usulan pemekaran ini. Kebanyakan mahasiswa Unsyiah asal ALA dan ABAS memandang wacana pemekaran ALABAS sarat dengan kepentingan politik, karena kehadiranya jelang momentum Pilkada Aceh 2017 dan Pemilu 2019. Penyebab pemekaran sendiri, bagi mahasiswa Unsyiah asal ALA dan ABAS adalah karena permasalahan kesejahteraan sosial dan pemerataaan pembangunan yang timpang di Aceh. 2. Kendala yang dihadapi setelah bergabungnya dua provinsi tersebut menurut Mahasiswa Unsyiah dari ALA dan ABAS adalah pemekaran berbenturan dengan UUPA, kurangnya keseriusan pemerintah Aceh, kurangnya keseriusan pemerintah pusat, hingga kurangnya sosialisasi yang dilakukan tim pengagas pemekaran kepada masyarakat. Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, maka yang dapat dikemukakan sebagai saran adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Aceh harus lebih banyak mendengarkan keluhan permasalahan kesejahteraan yang terjadi di daerah-daerah serta harus lebih memperhatikan kondisi ALA dan ABAS kedepannya. 2. Tim pengagas pemekaran harus lebih serius melaksanakan lobi-lobi politik ke stakeholders terkait, dan meningkatkan sosialisasi kebijakan pemekaran ke masyarakat, sehingga akan meningkatnya simpatisan yang mendukung pemekaran dan hilangnya stigma “elitis” dalam kebijakan pemekaran yang didengungkan. DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Teks Agus Dwiyanto, dkk. 2003. Konflik di Era Otonomi Daerah dalam “Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah”. Yogyakarta: PSKK-UGM.. Alamsyah. 2008. Semangat Menata Teritori: Semangat Menata Kekuasaan. Studi Tentang Pembentukan Luwu Raya. Sulawesi: LiSHAN. Bogdan dan Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenalogis Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
10
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
Budi Agustono. 2005. Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES Burhan Bungin. 2001. Metode Penelitian Sosial, Formula-Formula Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hanif Nurcholis. 2005. Teori Dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo. Jalaluddin Rakhmat. 2004. Psikologi Komunikasi. Jakarta: PT. Remaja Rosdaskarya. Kemendagri. 2011. Naskah Akademik RUU tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Kemendagri. Makagansa. 2008. Tantangan Pemekaran Daerah. Yogyakarta: FusPad. Manulang. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Miftah Thoha. 2007. Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: CV Rajawali. Murtir Jeddawi. 2009. Pro Kontra Pemekaran Daerah (Analisis Empiris). Yogyakarta: Total Media. Mustopadidjaya. 2002. Manajemen Proses Kebijakan Publik, Formulasi,. Implementasi dan Evaluasi Kinerja. Jakarta:Lembaga Administrasi Negara. Nogi Hessel Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana. Patton, Michael Quinn. 2003. Qualitative Evaluation And Research Methods. Second Edition. New Delhi: Sage Publication. Rizky Argama. 2005. Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena-Fenomena Pemekaran Wilayah dan Penelitian. Jakarta: UI. Robbins, Stephen. 2001. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT. Indeks Gramedia. Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Sukmadinata dan Syaodih Nana. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tri Ratnawati. 2009. Pemekaran daerah Politik Lokal dan Beberapa isu terseleksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. B. Skripsi, Jurnal, dan Tesis Afrijal. 2013. Persepsi Masyarakat Aceh Jaya Terhadap Rencana 2014 Pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas). Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Enang Muhammad Firdaus. 2013. Pembentukan Daerah Otonam Baru Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Syari’at Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kutut Suwondo. 2007. Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya. Seminar Internasional Rangkuman Hasil Seminar Internasional ke Delapan, editor Ning Retnaningsih, dkk. Dilaksanakan atas
11
JURNAL ILMIAH MAHASISWA FISIP UNSYIAH VOLUME 1, Nomor 1: 1-12 Februari 2017
kerjasama Lembaga Foundation, dan Democratic tanggal 17-19 Juli 2007 di Salatiga.
Percik, Reform Support
The Program
(DRSP)
Ford pada
Muzakir. 2013. Pemekaran Wilayah Gampong Mata Ie, Kecamatan Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Unsyiah Banda Aceh. Nurkholis. 2006. Ukuran Optimal Pemerintah Daerah di Indonesia, Studi Kasus Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota dalam Era Desentralisasi. Skripsi. Jakarta: FE UI. Rifdan. 2010. Implementasi Kebijakan Pemekaran Daerah dalam Mendukung Integrasi Nasional di Kabupaten Luwu Timur. Jurnal. Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No. 1 Universitas Negeri Makassar. C. Peraturan Perundang-Undangan/Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 pasal 44 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. D. Internet Kemendagri. Daerah Otonom di Indonesia Per Desember 2014. http://www.otda.kemendagri.go.id/images/file/data2014/file_konten/jumlah_daerah_ot onom_ri.pdf.Diakses9januari2014.
12