PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTEK GIZI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA MAKANAN JAJANAN
ANITA OCTAVIANA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN ANITA OCTAVIANA. Pengetahuan, Sikap, Praktek Gizi Siswa Sekolah Menengah Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan. Dibimbing oleh BUDI SETIAWAN dan DADANG SUKANDAR Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah pertama tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan. Sedangkan tujuan khususnya adalah menganalisis karakteristik siswa, guru, dan pedagang (jenis kelamin, usia, pendapatan/uang saku, tingkat pendidikan), menganalisis kebiasaan jajan di sekolah, menganalisis jenis BTP yang digunakan, menganalisis pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP, menganalisis sikap gizi terhadap penggunaan BTP, menganalisis praktek gizi terhadap penggunaan BTP, dan menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP. Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan di lingkungan SMPN 5 Bogor yang berlokasi di Jalan Dadali no 10A Kota Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2010. Populasi dalam penelitian ini ada tiga yaitu siswa kelas VIII, guru, dan pedagang makanan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara cluster sampling yaitu 62 siswa, pengambilan contoh guru diambil secara purposive untuk guru yaitu sebanyak 10 orang. Sedangkan pedagang makanan sebanyak 10 orang yang diamati semua. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh contoh setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain karakteristik (usia, jenis kelamin, pendapatan/uang saku), karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan) pengetahuan gizi, sikap, praktek tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan, kebiasaan jajan responden (food frequency questionare). Adapun data sekunder diperoleh dari pihak sekolah meliputi profil sekolah, jumlah siswa dan peraturan yang berlaku di sekolah. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer yang digunakan adalah program Microsoft excel dan SPSS 16.0 for windows. Analisis data yang dilakukan secara deskriptif, Independent sample T-Test, kolerasi pearson sesuai dengan jenis skala dari masing-masing variabel. Persentase terbesar siswa yaitu yang berusia 13 tahun sebanyak 88.2% siswa laki-laki dan 75.0% siswa perempuan. Persentase guru terbesar yaitu berusia 40-45 tahun sebanyak 60%. Persentase pedagang terbesar yaitu berusia 32-36 tahun sebesar 40%. Besar uang saku siswa antara Rp 5.000-Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar (53.2%) siswa menerima uang saku antara Rp 10.000Rp 15.000. Besar uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Persentase terbesar yaitu 50% pendapatan guru per bulannya yaitu >RP. 2.800.000. Persentase terbesar yaitu 60% pendapatan pedangang per bulannya yaitu Rp. 1.000.000-Rp. 1.500.000. Tingkat pendidikan guru menunjukkan bahwa sebesar 80% guru dengan tingkat pendidikan Strata S1. Persentase terbesar pedagang yaitu 50% dengan tingkat pendidikan SLTP. Pengetahuan gizi siswa dalam kategori baik yakni sebesar 82.1%. Pengetahuan guru dalam kategori baik yakni sebesar 86.8%. Pengetahuan pedagang dalam kategori sedang yakni sebesar 66.1%. Hal ini menujukan bahwa perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama apabila didasari oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran yang baik. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pengetahuan gizi dengan jenis kelamin. Hal ini diduga karena siswa mendapat informasi yang sama dari
materi yang diajarkan guru dan berbagai media informasi mengenai penggunaan BTP. Sikap gizi siswa dalam kategori baik yakni sebesar 86.5%. Sikap guru dalam kategori baik yakni sebesar 94%. Sikap pedagang kategori sedang yakni sebesar 67.0%. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan dapat membentuk sikap seseorang mengenai penggunaan BTP dimana apabila pengetahuan baik maka sikap akan baik pula. Tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara sikap gizi dengan jenis kelamin. Hal ini diduga bahwa siswa memiliki sikap yang homogen tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, selain itu jenis jajanan yang ada pada umumnya tidak beraneka ragam. Praktek gizi siswa dalam kategori kurang yakni sebesar 57.1%. Praktek gizi guru dalam kategori sedang yakni sebesar 68%. Praktek gizi pedagang dalam kategori kurang yakni sebesar 59.2%. Hal ini dapat dikatakan bahwa praktek yang kurang ini dipicu juga oleh banyaknya aktifitas contoh disekolah sehingga memungkinkan bahwa responden sesering mengkonsumsi makanan jajanan. Pedagang diduga bahwa berupaya untuk memberikan penampilan yang menarik dan rasa yang disenangi dengan menambahkan BTP tanpa memperdulikan efek samping apabila penggunaan diberikan secara berlebih. Ada perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara praktek gizi dengan jenis kelamin. Hal ini diduga bahwa banyaknya aktifitas siswa di sekolah sehingga memungkinkan bahwa siswa sering mengkonsumsi makanan jajanan. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa memiliki frekuensi jajan makanan ringan 6–10 kali per minggu. Sebesar 48.3% siswa memiliki frekuensi jajan jenis minuman 6–10 kali per minggu. Sumber jananan makanan yang paling diminati oleh siswa yaitu mie ayam, sedangkan pada guru yaitu nasi uduk. Baik mie ayam maupun nasi uduk, keduanya dapat memberikan kalori yang cukup untuk mendukung aktivitas fisik dan memenuhi kecukupan energi dalam sehari. Ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan sikap gizi. Hal ini diduga bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang, maka semakin tinggi sikap gizi yang dimilikinya. Tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pengetahuan dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa pengetahuan siswa tidak berpengaruh yang signifikan antara pengetahuan yang dimiliki dengan praktek kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan, selain itu jenis jananan hanya tersedia di lingkungan sekolah saja untuk memenuhi kebutuhan makan. Ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara sikap dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa praktek yang kurang didukung oleh banyaknya jenis jajanan yang dijual di sekolah yang rata-rata mengandung bahan tambahan.
ABSTRACT ANITA OCTAVIANA. Nutritional knowledge, attitude, and practice of junior high school students in using food additive of street food. Under direction of BUDI SETIAWAN and DADANG SUKANDAR. The purpose of this research is to analyze about nutritional knowledge, attitude, and practice of junior high school students in using food additive of street food. The data was collected using questionnaire through interview to the students, teachers, and food sellers in school canteen. The students were chosen by cluster sampling technique. Meanwhile the teachers and food sellers were chosen by purposive sampling. The data was analyzed by independent sample T-test and pearson correlation. The result shows that the students average score on nutritional knowledge are in good category (82.1%), and the teachers are in good category (86.8%), however the food sellers are in middle category (66.1%). The students average score on nutritional attitude are in good category (86.5%), those data are the same with the data of teachers nutrition attitude too (94.0%) but it is different with data of food sellers nutritional attitude. They are in middle category (50%). The students average score on nutritional practice are in low category (57.1%). While, the teachers are in middle category (68%) and the food sellers are in low category (59.2%). According to t-test, there was no significant difference (p>0.05) in average nutrition knowledge and also the average nutritional attitude between boys and girls. However the average nutritional practice was significantly difference. The result of pearson correlation shows that there was a significant relationship (p<0.05) between knowledge and nutritional attitude, but there was no significant relationship (p>0.05) between attitude and nutritional practice. Key words : nutritional knowledge, attitude, practice, food additive, street food.
PENGETAHUAN, SIKAP DAN PRAKTEK GIZI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TERHADAP PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP) PADA MAKANAN JAJANAN
ANITA OCTAVIANA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Siswa Sekolah Menengah Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan
Nama
: Anita Octaviana
NIM
: I 14086006
Menyetujui
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc NIP. 19590725 198609 1 001
Mengetahui Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001 Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengetahuan, Sikap Dan Praktek Gizi Siswa Sekolah Menengah Pertama Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Jajanan” ini berhasil diselesaikan. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dari berbagai pihak. Maka penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing, memberikan saran dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. 2. drh. M. Rizal Martua Damanik, MRepSc, Ph.D selaku dosen penguji skripsi 3. Ayah, mamah dan adik tercinta atas segala doa, nasehat dan dorongan semangat yang selalu diberikan kepada penulis baik materil maupun moril, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Teman-teman Program Penyelenggaraan Khusus S1 Mayor Ilmu Gizi Angkatan 2 yang selalu memberikan saran, doa dan semangatnya kepada penulis. 5. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya. Amin.
Bogor, Januari 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Oktober 1987. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, memiliki adik laki-laki bernama Harisma Dwi Satria dari keluarga Bapak Asep Setiawan, SP dan Ibu Rosmawati, SE. Pendidikan formal pertama ditempuh penulis pada tahun 1991-1993 di TK Al-Munawar Kota Bogor. Tahun 1993 sampai 1999 penulis melanjutkan sekolah di SDN Kebon Pedes 3 Kota Bogor. Tahun 1999 sampai 2002 melanjutkan sekolah di SLTPN 5 Kota Bogor. Pada tahun 2002 sampai 2005 melanjutkan sekolah di SMUN 6 Kota Bogor. Pada tahun 2005 sampai 2008 melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI program Diploma. Pada
tahun
2008
melanjutkan
pendidikan
Sarjana
(S1)
di
Program
Penyelenggaran Khusus Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah melakukan Praktek Kerja Lapang di RSUD Sekarwangi Cibadak selama 4 bulan dari tanggal 3 Desember 2007 sampai 31 Maret 2008. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Profesi pada bulan Juni – Agustus 2010 di Desa Cadas Ngampar Kelurahan Sukaraja Kabupaten Bogor. Penulis melaksanakan Internship Dietetik (ID) pada tanggal 5 April – 24 April 2010 yang bertempat di RS dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 3 Hipotesis .......................................................................................... 3 Kegunaan ........................................................................................ 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 Bahan Tambahan Pangan ............................................................... 5 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan dan Yang Dilarang .......... 6 Bahan Tambahan Pangan yang Sering Digunakan Pada Makanan . 7 Pengawet Makanan ................................................................ 7 Pewarna Makanan ................................................................... 8 Pemanis Makanan ................................................................... 9 Penyedap Rasa dan Aroma Makanan ..................................... 9 Pengetahuan Gizi ............................................................................. 10 Sikap Gizi ......................................................................................... 10 Praktek Gizi ...................................................................................... 12 Kebiasaan Makan ............................................................................. 12 Makanan Jajanan ............................................................................. 13 Makanan dan Kesehatan .................................................................. 14 Remaja Usia Sekolah ...................................................................... 15 Status Gizi Anak Sekolah.................................................................. 16 KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................... 18 METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 20 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ............................................. 20 Teknik Penarikan Contoh .................................................................. 20 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................. 20 Pengolahan dan Analisis Data ......................................................... 21 Definisi Operasional ......................................................................... 26 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 27 Karakteristik Contoh.......................................................................... 27 Umur dan Jenis Kelamin .......................................................... 27 Uang Saku ............................................................................... 28
Tingkat Pendidikan .................................................................. 28 Tingkat Pendapatan ................................................................. 29 Jenis Bahan Tambahan Pangan ....................................................... 30 Kebiasaan Jajan ............................................................................... 31 Jenis Jajanan yang Dikonsumsi ............................................... 32 Status Gizi Siswa .............................................................................. 33 Pengetahuan Gizi ............................................................................. 34 Sikap Gizi ......................................................................................... 37 Praktek Gizi ...................................................................................... 40 Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi .................. 44 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 47 Kesimpulan ....................................................................................... 47 Saran ................................................................................................ 48 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 50 LAMPIRAN .............................................................................................. 53
DAFTAR TABEL Halaman 1. Variable, Jenis Data, dan Cara Pengumpulan Data .................................. 21 2. Kategori Variabel Penelitian ...................................................................... 22 3. Sebaran Siswa, Guru dan Pedagang Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ........................................................................................... 27 4. Sebaran Siswa Berdasarkan Uang Saku .................................................. 28 5. Sebaran Guru dan Pedagang Bedasarkan Tingkat Pendidikan................. 28 6. Sebaran Guru dan Pedagang Berdasarkan Pendapatan .......................... 30 7. Sebaran Pedagang Menurut Cara Pengadaan Makanan (Dibuat Atau Dibeli) Yang Menggunakan BTP .......................................................................... 30 8. Sebaran Siswa Berdasarkan Frekuensi Jajan ........................................... 31 9. Persentase Siswa dan Guru Menurut Jenis Jajanan ................................. 33 10. Sebaran Siswa Menurut Status Gizi. ......................................................... 33 11. Sebaran Siswa, Guru dan Pedagang Berdasarkan Pengetahuan Gizi BTP........................................................................................................... 34 12. Hasil Uji Ragam dan Mean Pengetahuan Gizi Siswa ................................ 35 13. Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP............................................................................................ 36 14. Persentase siswa, guru, dan pedagang yang menjawab pertanyaan pengetahuan mengenai BTP dengan tepat ............................................... 36 15. Sebaran Siswa, Guru, dan Pedagang Berdasarkan Sikap Gizi terhadap BTP........................................................................................................... 38 16. Hasil Uji Ragam dan Mean Sikap Gizi Siswa ............................................ 38 17. Persentase Sikap Siswa yang Menjawab Pertanyaan Mengenai Bahan Tambahan Pangan (BTP) dengan Jawaban Benar ................................... 39 18. Persentase Sikap Guru dan Pedagang yang Menjawab Pertanyaan Mengenai BTP dengan Jawaban Benar .................................................... 40 19. Sebaran Siswa, Guru, dan Pedagang Berdasarkan Praktek Gizi Terhadap BTP ......................................................................................................... 41 20. Hasil Uji Ragam dan Mean Praktek Gizi Siswa ......................................... 41 21. Persentase Siswa dan Guru Menurut Jawaban Pertanyaan Mengenai Praktek Gizi Terkait BTP ........................................................................... 43 22. Persentase Pedagang Menurut Jawaban Pertanyaan Mengenai Praktek Gizi Terkait BTP ........................................................................................ 43
23. Sebaran Siswa Berdasarkan Pengetahuan Gizi dan Sikap Gizi ................ 44 24. Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan praktek gizi ................ 44 25. Sebaran siswa berdasarkan sikap gizi dan praktek gizi............................. 45 26. Matrik Korelasi antara Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi.................... 45
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambaran umum sekolah ....................................................................... 54 2. Struktur organisasi SMP Negeri 5 Bogor ................................................. 55 3. Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa ............................. 56 4. Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa .......................................... 56 5. Hasil uji ragam dan rata-rata praktek gizi siswa ...................................... 57 6. Matrik korelasi antara pengetahuan, sikap dan praktek gizi siswa .......... 57 7. Jenis jajanan yang dijual di kantin SMP Negeri 5 Bogor.......................... 58
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa adalah suatu usaha yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Kesehatan adalah salah satu komponen kualitas manusia, agar dapat hidup dengan baik dan sehat, manusia memerlukan makanan yang harus dikonsumsi setiap hari. Mutu makanan besar sekali peranannya dalam menjamin kesehatan manusia. Ketidaktahuan tentang bahan makanan dapat menyebabkan pemilihan makanan yang salah dan rendahnya pengetahuan gizi akan menyebabkan sikap tidak peduli terhadap makanan tertentu. Menurut Khomsan (2000) untuk mengatasi masalah gizi, masyarakat perlu memperoleh bekal pengetahuan gizi. Memiliki pengetahuan gizi tidak berarti seseorang mau mengubah kebiasaan mengkonsumsi makan. Mereka mungkin mengerti tentang protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan zat gizi lainnya yang diperlukan untuk kebutuhan, tetapi tidak pernah mengaplikasikan pengetahuan gizi didalam kehidupan sehari-hari. Menurut Khomsan (2003) dalam memilih makanan, seseorang memasuki tahap independensi, yaitu kebebasan dalam memilih makanan apa saja yang disukainya. Aktivitas fisik yang banyak dilakukan di luar rumah, membuat seseorang sering dipengaruhi rekan sebayanya. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi makanan tersebut melainkan sekadar bersosialisasi untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan status. Masalah gizi muncul dikarenakan perilaku gizi yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara
konsumsi gizi dengan kecukupan gizi
yang
dianjurkan. Ketidakseimbangan antara makanan yang dikonsumsi dengan kebutuhan akan menimbulkan masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih. Kekurangan gizi menurut Soekirman (2002) akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit, meningkatkan angka penyakit (morbidiitas), mengalami pertumbuhan tidak normal (pendek), tingkat kecerdasan rendah, produktivitas rendah dan terhambatnya organ reproduksi. Susanto (2003) menegaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan gizi adalah kebiasaan makan. Makanan jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan gizi akan mengancam kesehatan. Nafsu makan akan berkurang akibat
mengkonsumsi
makanan
jajanan,
jika
berlangsung
lama
akan
berpengaruh pada status gizi. Pengetahuan gizi sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan jajanan, pengetahuan dapat diperoleh baik secara internal maupun eksternal. Untuk pengetahuan secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya
2
sendiri berdasarkan pengalaman hidup sedangkan secara eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain sehingga pengetahuan tentang gizi bertambah. Sikap pemilihan makanan jajanan merupakan hasil perubahan pada seseorang dan mengalami perubahan terus-menerus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dan tingkat budaya tersebut salah satu faktor yang mempengaruhi sikap pemilihan makanan jajanan adalah sikap dalam pemilihan makanan (Solihin 2005). Salah satu sikap penting dan mendasar sebagai sebab timbulnya masalah gizi kurang adalah adanya sikap pemilihan makanan jajanan individu yang tidak sesuai dengan kaidah gizi (Susanto 2003). Makanan jajanan anak sekolah yang diproduksi secara tradisional dalam bentuk industri rumah tangga terkadang diragukan keamanannya, namun jajanan yang diproduksi industri makanan tersebut berteknologi tinggi juga, belum tentu terjamin keamanannya. Oleh karena itu, keamanan makanan jajan merupakan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian serius, konsisten dan disikapi bersama. Penggunaan BTP dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama baik oleh produsen maupun oleh konsumen. Dampak penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatif bagi masyarakat. Penyimpangan dalam penggunaannya akan membahayakan kita bersama, khususnya generasi muda sebagai penerus pembangunan bangsa (Cahyadi 2008). Berdasarkan hasil penelitian Iswarawanti et al. (2007) yang dilakukan di Bogor, terbukti bahwa makanan jajanan yang terkena cemaran mikrobiologis dan cemaran kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima, yang disebabkan oleh penggunaan BTP ilegal seperti boraks (pengempal yang mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet untuk mayat), rhodamin B (pewarna merah untuk tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning untuk tekstil). Hasil penelitian selama ini menemukan bahwa zat pewarna Rhodamin B dan Metanil Yellow banyak digunakan pada produk makanan industri rumah tangga. Rhodamin B adalah bahan kimia yang digunakan untuk pewarna merah pada industri tekstil dan plastik. Pada makanan, Rhodamin B dan Metanil Yellow sering dipakai mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis, makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, dan ikan asap. Makanan yang diberi zat pewarna tersebut biasanya berwarna lebih terang dan memiliki rasa yang agak pahit (Mudjajanto 2005). SMP Negeri 5 Bogor terletak di pusat kota sehingga akses terhadap makanan jajanan sangat mudah. Dari survei awal yang dilakukan di lingkungan
3
sekolah beberapa pedagang yang menjual beraneka ragam makanan dan minuman jajanan antara lain nasi uduk, mie ayam, mie bakso, permen, makanan kemasan (snack), makanan gorengan, minuman kemasan, dan es sirop. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan praktek gizi siswa sekolah menengah pertama tentang penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) pada makanan jajanan. Tujuan Khusus 1. Menganalisis karakteristik siswa, guru, dan pedagang (jenis kelamin, usia, pendapatan/uang saku, tingkat pendidikan) 2. Menganalisis kebiasaan jajan di sekolah 3. Menganalisis jenis BTP yang digunakan dalam makanan jajanan 4. Menganalisis pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan 5. Menganalisis sikap gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan 6. Menganalisis praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan 7. Menganalisis hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Terdapat perbedaan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan terhadap penggunaan BTP 2. Terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, praktek gizi terhadap penggunaan BTP dalam makanan jajanan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan terhadap penggunaan BTP Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi siswa dapat memberikan pengetahuan akan pentingnya kesadaran dan mengkonsumsi makanan jajanan yang sehat dan bergizi, agar dapat mengantisipasi dirinya sendiri untuk memilih makanan jajanan yang aman dan sehat, sehingga kebutuhan zat gizinya dapat
4
terpenuhi dan kesehatannya selalu terjaga. Bagi para guru dalam menghimbau dan menetapkan peraturan mengenai makanan jajanan yang sehat bagi para anak didiknya dalam rangka mengantisipasi munculnya masalah gizi khususnya kejadian infeksi atau angka kesakitan pada anak sekolah. Penindaklanjutan masalah keamanan makanan jajanan anak sekolah tidak lepas dari partisipasi pihak sekolah. Bagi para pedagang makanan jajanan dapat memberikan informasi dan himbauan kepada para pedagang makanan jajanan agar lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan keamanan makanan jajanan yang diproduksi atau dijual, sehingga makanan jajanan yang dijual tersebut aman bagi kesehatan para konsumennya. Bagi Pemerintah dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk lebih memperketat peraturan kepada para penjual makanan jajanan, baik di tingkat produksi rumah tangga maupun tingkat produksi skala besar, mengenai higiene sanitasi (baik dari tenaga pengolah, peralatan, tempat pengolahan, proses pengolahan, pengemasan maupun distribusinya) makanan jajanan, serta penggunaan BTP pada produk yang dihasilkan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Bahan Tambahan Pangan Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan-bahan yang ditambahkan ke dalam makanan selama proses produksi, pengolahan, pengemasan, atau penyimpanan untuk tujuan tertentu. Menurut PP No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, BTP didefinisikan sebagai bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat dan bentuk pangan. Menurut Codex alimelarius committee (2005), BTP didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan, dapat bernilai gizi atau tidak bernilai gizi, ditambahkan ke dalam makanan dengan sengaja untuk membantu teknik pengolahan makanan baik dalam proses pembuatan, pengolahan, penyiapan perlakuan, pengepakan, pengangkutan, dan penyimpanan produk olahan, agar menghasilkan suatu makanan yang lebih baik atau secara nyata mempengaruhi khas makanan tersebut. Penggunaan BTP diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1168/Menkes/Per/x/1999 pemerintah mengizinkan penggunaan BTP yang tidak mempunyai resiko terhadap kesehatan manusia dan melarang penggunaan BTP yang berbahaya, seperti boraks dan senyawanya, atau melampaui ambang batas yang diperbolehkan. Produk pangan yang mengandung BTP yang dinyatakan terlarang tidak diizinkan beredar di masyarakat dan pelanggaran terhadap aturan ini dikenakan sanksi yang tegas. Khomsan (2003) menyatakan bahwa keberadaan BTP adalah untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna. Zat-zat itu ditambahkan dalam jumlah sedikit, namun hasilnya sungguh menakjubkan. BTP ternyata sudah lama digunakan dalam pengawetan makanan. Orang romawi kuno menggunakan garam untuk mengawetkan daging, dan sulfur untuk mencegah terjadinya oksidasi pada minuman anggur. Sejak pertengahan abad ke-20 peranan BTP khususnya bahan pengawet menjadi semakin penting sejalan dengan kemajuan teknologi produksi BTP sintetis. Banyaknya BTP dalam bentuk lebih murni dan tersedia secara komersil dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian BTP yang berarti meningkatkan konsumsi bahan tersebut bagi setiap individu. Saat ini hampir semua jenis makanan dan minuman yang diproses baik dari
6
pabrik, restoran-restoran, maupun industri rumah tangga menggunakan BTP untuk meningkatkan kepuasan konsumen (Cahyadi 2008). Menurut Saparinto et al. (2006), menegaskan bahwa fungsi BTP dapat dikelompokkan menjadi: (1) Meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan, (3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. BTP bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori BTP. Pertama, BTP yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, bahan BTP yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. Ketiga, Bahan tambahan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapat izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman (Yulianti 2007). Menurut Cahyadi (2008) pada umumnya BTP dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut (1) Bahan tambahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras, dan (2) Bahan tambahan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan dan yang Dilarang Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
1168/Menkes/Per/x/1999 BTP yang diizinkan diantaranya sebagai berikut (1) Antioksidan (antioxidant), (2) Antikempal (Anticaking Agent), (3) Pengatur keasaman (acidity Regulator), (4) Pemanis buatan (artificial sweetener), (5) Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent), (6) Pengemulsi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener), (7) Pengawet (preservative), (8) Pengeras (firming agent), (9) Pewarna (colour), (10) Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer), dan (11) Sekuestran (sequestrant). Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada beberapa BTP lain yang bisa digunakan dalam pangan, misalnya (1) Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain, (2) Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat
7
meningkatkan nilai gizi pangan, dan (3) Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan. Sementara BTP yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Permenkes RI No. 1186/Menkes/Per/x/1999, sebagai berikut (1) Natrium tetraborat (boraks), (2) Formalin (formaldehyd), (3) Minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils), (4) Kloramfenikol (chlorampenicol), (5) Kalium klorat (pottasium chlorate), (6) Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC),
(7)
Nitrofurazon
(nitrofurazone),
(8)
P-Phenetilkarbamida
(p-
Phenethycarbamide, Dulcin, 4-ethoxyphenyl uera), dan (9) Asam salisilat dan garamnya (salicylyc acid and its salt) Sedangkan
menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
No.
1168/Menkes/PER/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia yang dilarang seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyi yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan kalsium bromat (pengeras). Bahan Tambahan Pangan yang Sering Digunakan pada Makanan Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan dan minuman jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Pengawet Makanan Bahan memperlambat disebabkan
pengawet
adalah
proses
fermentasi,
oleh
bahan
mikroorganisme.
yang
penguraian, Zat
dapat
menghambat
atau
atau
pengasaman
yang
pengawet
dipergunakan
untuk
mengawetkan makanan atau memberikan kesan segar pada makanan (Irianto 2007). Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang menyebabkan keracunan maupun non-patogen yang menyebabkan kerusakan bahan makanan seperti pembusukan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang apabila pemakaiannya berlebihan kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi orang yang mengkonsumsi baik langsung misalnya keracunan maupun tidak langsung atau kumulatif misalnya kanker (Cahyadi 2008). Menurut Yulianti (2007) Makanan yang menggunakan pengawet yang tepat (menggunakan pengawet yang dinyatakan aman) dengan dosis di bawah ambang batas yang ditentukan tidaklah berbahaya bagi konsumen. Kasus yang terjadi selama ini bahwa sejumlah produsen nakal menggunakan pengawet yang
8
ditujukan untuk tekstil, plastik, bahkan pengawet mayat. Bahan-bahan pengawet tersebut yang paling sering digunakan adalah formalin dan boraks. Formalin biasanya digunakan sebagai pengawet mayat, tetapi dalam beberapa makanan seperti mie basah, tahu, ikan asin, bakso, dan permen ditemukan adanya formalin. Sementara boraks yang biasanya digunakan sebagai fungisida, herbisida dan insektisida, meskipun bukan pengawet makanan sering pula digunakan sebagai pengawet dan pengenyal makanan antara lain bakso, lontong, mie, kerupuk dan berbagai makanan tradisional. Ciriciri bakso yang mengandung formalin dan boraks yakni sangat kenyal, warna lebih putih dan akan menjadi abu-abu tua jika ditambahkan obat bakso berlebihan (Yulianti 2007). Menurut Saparinto et al. (2006) menyatakan bahwa ada beberapa bahan pengawet alternatif yang aman untuk menggantikan formalin yaitu (1) Asam Laktat Kubis, sebagai pengawet ikan segar dapat disimpan selama 12 jam dalam suhu kamar, (2) Khitosan, merupakan limbah atau produk samping dari pengolahan udang dan rajungan yang sangat efektif untuk mengawetkan ikan asin, teri, cumi asin mampu bertahan selama 3 bulan, (3) Kepayang (kluwek/pucung/hapesang), dapat mengawetkan ikan segar selama 6 hari, (4) Asap Cair, merupakan dispersi uap dalam cairan sebagai hasil kondensasi asap dari pirolis kayu atau tempuruk kelapa (pengawet ikan, mie basah, tahu, bakso). Pewarna Makanan Zat pewarna ditambahkan ke dalam makanan bertujuan untuk menarik selera dan keinginan konsumen. Zat-zat pewarna alam yang sering digunakan misalnya kunyit dan daun pandan. Dibandingkan dengan pewarna alami maka bahan pewarna buatan mempunyai banyak kelebihan yaitu dalam hal aneka ragam warnanya, keseragaman warna, kestabilan warna, dan penyimpanannya lebih mudah serta lebih tahan lama (Winarno 1997). Irianto (2007) menegaskan bahwa hampir setiap makanan olahan telah dicampur dengan pewarna sintetis mulai dari jajanan anak-anak, kerupuk, tahu, terasi bahkan buah dingin termasuk mangga. Jika penggunaan bahan-bahan sintetis tersebut secara terus menerus dan melebihi dari kadar yang sudah ditentukan, maka akan terakumulasi dalam tubuh yang akhirnya akan merusak jaringan atau organ tubuh seperti hati dan ginjal. Bahan-bahan sintetis ini tidak saja menganggu kesehatan jika terakumulasi, tetapi juga dapat menyebabkan nilai gizi pada makanan tertentu berkurang. Dalam memilih makanan sebaiknya hindari makanan dengan warna merah, kuning, dan hijau maupun warna-warna lain yang terlihat ’mencolok’,
9
karena tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non-makanan seperti pewarna tekstil yang sangat berbahaya
bagi
kesehatan
(Yulianti
2007).
Menurut
Permenkes
No.
1168/Menkes/PER/X/1999 batas aman penggunaan bahan pewarna yaitu 30300 mg/kg BB/hari tergantung jenis BTP yang digunakan. Pemanis Makanan Cahyadi (2008) menyatakan bahwa industri pangan dan minuman lebih menyukai menggunakan pemanis sintetis karena selain harganya relatif murah, tingkat kemanisan pemanis sintetis jauh lebih tinggi dari pemanis alami. Hal tersebut mengakibatkan terus meningkatnya penggunaan pemanis sintetis terutama sakarin dan siklamat. Rasa manis yang dirasakan dari pemanis sintetis biasanya menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin terasa dengan bertambahnya bahan pemanis ini. Dalam kehidupan sehari-hari, pemanis buatan sakarin dan siklamat maupun campuran keduanya sering ditambahkan ke dalam berbagai jenis jajanan anak-anak seperti makanan ringan (snack), cendol, limun, makanan tradisional dan sirop (Yulianti 2007). Menurut WHO batas aman penggunaan bahan pemanis sintetis yaitu 0-5 mg/kg BB/hari. Penyedap Rasa dan Aroma Makanan Menurut Permenkes RI No. 1168/Menkes/PER/X/1999 penyedap rasa dan aroma didefenisikan sebagai BTP yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima, dan lebih menarik. Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu makanan seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon dan sebagainya (Cahyadi 2008). Monosodium Glutamat (MSG) adalah salah satu penyedap sintetis yang merupakan senyawa kimia yang dapat memperkuat atau memodifikasi rasa makanan sehingga makanan tersebut terasa lebih gurih dan nikmat. Tetapi bila dibandingkan, rasa bumbu alami tentu lebih nikmat dan segar dibandingkan MSG, meskipun sangat gurih kadang meninggalkan rasa pahit atau rasa tidak enak di mulut. MSG dapat memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal, bintik-bintik merah di kulit, keluhan mual, muntah, sakit kepala dan migren. Dalam jumlah tertentu MSG masih dianggap aman. Namun demikian, untuk kesehatan konsumen, sebagai antisipasi adanya efek buruk yang mungkin terjadi bila mengkonsumsi dalam jumlah besar, penggunaannya harus dibatasi (Yulianti 2007). Menurut WHO batas aman penggunaan MSG yaitu 120 mg/kg BB/hari.
10
Pengetahuan Gizi Pengetahuan merupakan kesan yang ada dalam pikiran manusia, dimana kesan tersebut merupakan hasil dari penggunaan panca inderanya (Soekanto 2002). Menurut Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian Rogers (1974), diacu dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat tahan lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Pengetahuan gizi seseorang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal ialah melalui kurikulum yang diterapkan di sekolah, dicirikan dengan adanya tingkatan kronologis yang ketat untuk tingkat usia sasaran. Sementara pendidikan informal tidak terorganisasi secara struktural
dan
tidak
mengenal
tingkatan
kronologis,
keterampilan,
dan
pengetahuan, tetapi terselenggara setiap saat di lingkungan sekitar manusia (Hayati 2000). Pengetahuan diperoleh oleh seseorang melalui pendidikan formal, informal dan non formal. Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman dan kejelasan mengenai objek tertentu (Sukandar 2009). Menurut Sukandar (2009), pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi, belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan ketrampilan gizi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang akan cenderung memilih makanan yang murah dengan nilai gizi yang lebih tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan dan minum sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi. Sikap Gizi Menurut
Pranadji
(1989),
sikap
seseorang
dapat
diketahui
dari
kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Jadi sikap belum merupakan suatu perubahan, akan tetapi dari sikap yang ditunjukannya, seseorang dapat diramalkan perbuatannya. Sikap akan sangat berguna bagi seseorang, sebab sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung. Dengan demikian sikap positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negative akan menumbuhkan perilaku yang negative saja, seperti menolak, menjauhi,
11
meninggalkan, bahkan sampai hal-hal yang merusak. Didalam sikap ada tiga komponen, yaitu : (1) Komponen kognitif, yang menyangkut pengertian, kepercayaan, motif, dan sebagainya, (2) Komponen afektif, yang melibatkan proses internal yang berkembang sebagai bagian dari emosi dan perasaan, dan (3)
Komponen
perilaku
yang
membentuk
kecenderungan
tertentu
dan
mengarahkannya pada suatu tindakan tertentu. Sikap bersifat relatif tetap, stabil, dan terus menerus. Suatu sikap yang sudah tumbuh dalam psikis seseorang tidak mudah akan berubah. Umum mengetahui bahwa sikap itu terbentuk melalui pengetahuan dan pengalaman. Bahkan
untuk
membentuk
sikap
diperlukan
penguatan-penguatan
(reinforcement) yang sengaja dilakukan. Hasil belajar, pengalaman, kehidupan, dalam kelompok mempengaruhi pembentukan sikap seseorang dan dalam periode waktu yang cukup lama akan dapat menjadi sifat kepribadian seseorang. Sikap mengandung komponen afektif. Sikap terbentuk dari pengalaman seseorang, bertambah dan berkembang dalam psikis yang merupakan bagian perasaan dan emosi. Perasaan erat hubungannya dengan gejala psikis yang lain, merupakan proses internal, melibatkan keseluruhan pribadi dalam menanggapi objek pada suatu situasi. Pendidikan baik formal maupun non formal merupakan upaya yang memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan. Pendidikan akan menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga mengetahui dan lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai objek baik segi positif maupun segi negatifnya. Perubahan-perubahan akan memungkinkan tersentuhnya struktur konsep penilaian yang selama ini kurang tepat. Menurut Suhardjo (1989) sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh
ada
yang
dirasakan
menyenangkan
atau
sebaliknya
tidak
menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka (like or dislike) terhadap makanan. Menurut Khomsan (1997) sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyrakat. Pengukuran sikap dapat menggunakan skala sikap yang berupa kumpulan
pernyataan-pernyataan
sikap
mengenai
objek
sikap.
Dalam
pengukuran sikap, pernyataan tersebut dapat dilakukan secara tertulis yang
12
merupakan jawaban subjek terhadap stimulus yang ada pada suatu skala sikap, berupa setuju atau tidak setuju yang merupakan indikator utama subjek (Azwar 1988). Praktek Gizi Praktek
adalah
respons
seseorang
terhadap
suatu
rangsangan
(stimulus). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik). Praktek memiliki beberapa tingkatan yatu: (a) Persepsi (perception), ialah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, (b) Respon terpimpin (guide response), ialah dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, (c) Mekanisme (mechanism), ialah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, dan (d) Adopsi (adoption), ialah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo 2003). Winkel (1996) menjelaskan bahwa sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Sikap yang positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sikap yang negatif menumbuhkan perilaku yang negatif. Melalui proses belajar akan diperoleh pengalaman yang nantinya dapat membentuk sikap, kemudian sikap akan dicerminkan dalam bentuk praktek yang sesuai dengan yang diharapkan. Akan tetapi menurut Sumintarsih et al. (2000), meskipun didukung oleh pengetahuan yang kemudian menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Schantz (2004) menyatakan bahwa anak akan mengkonsumsi makanan yang tersedia bagi mereka. Jika makanan yang tersedia adalah makanan yang sehat dan bergizi, maka mereka akan makan makanan sehat dan bergizi. Maka dari itu, hal ini adalah kesempatan dan kewajiban orang tua untuk menawarkan anak-anak pilihan makanan sehat. Dengan demikian, hal ini mendorong mereka melakukan pola makan yang sehat, memberikan pendidikan gizi, dan meningkatkan gaya hidup sehat. Kebiasaan Makan Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan (Khumaidi 1994). Sedangkan menurut Suhardjo (1989) dalam
Sukandar
(2009)
kebiasaan
makan
adalah
suatu
istilah
untuk
13
menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Khumaidi (1994) menyatakan bahwa dari segi gizi, kebiasaan makan ada yang baik dan ada yang buruk. Kebiasaan makan yang baik adalah yang dapat menunjang terpenuhinya kecukupan gizi. Sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecupan gizi, seperti adanya pantangan atau tabu yang berlawanan dengan konsep gizi. Konsumsi pangan sebagai cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi dan menggunakan makanan-makan yang tersedia, yang didasarkan pada fakto-faktor sosial dan budaya dimana individu tersebut hidup. Jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial ekonomi keluarga (Khumaidi 1989 dalam Sukandar 2009) Menurut Khomsan et al. (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi makan/pangan seseorang adalah (a) Karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pegetahuan gizi, kesehatan), (b) karakteristik makanan (rasa, rupa, tekstur, harga, bumbu, kombinasi makanan), dan (c) Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk, jumlah keluarga, tingkat sosial pada masyarakat). Selain itu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan adalah pengalaman dari pendidikan gizi serta pengetahuan dan sikap terhadap makanan. Makanan Jajanan Moertjipto (1993) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan makanan jajanan ialah jenis-jenis makanan yang dimakan sepanjang hari, tidak terbatas pada waktu, tempat dan jumlah yang dimakan. Tujuan jajan ialah untuk pengurangan rasa lapar walaupun tidak mutlak, menambah zat-zat yang tidak ada atau kurang pada makanan utama dan lauk pauknya, dan sebagai hiburan. Jenis makanan atau minuman yang disukai anak-anak adalah makanan yang mempunyai rasa manis, enak, dengan warna-warna yang menarik, dan bertekstur lembut. Jenis makanan seperti coklat, permen, jeli, biskuit, makanan ringan (snack) merupakan produk makanan favorit bagi sebagian besar anakanak. Untuk kelompok produk minuman yakni minuman yang berwarna-warni (air minum dalam kemasan maupun es sirop tanpa label), minuman jeli, es susu (milk ice), minuman ringan (soft drink) dan lain-lain (Nuraini 2007).
14
Makanan jajanan yang terlalu sering dan menjadi kebiasaan akan berakibat negatif, antara lain (1) Nafsu makan menurun, (2) Makanan yang tidak higienis akan menimbulkan berbagai penyakit, (3) Salah satu penyebab terjadinya obesitas pada anak, (4) Kurang gizi sebab kandungan gizi pada jajanan belum tentu terjamin, (5) Pemborosan, dan (6) Permen yang menjadi kesukaan anak-anak bukanlah sumber energi yang baik sebab hanya mengandung karbohidrat. Terlalu sering makan permen dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan gigi (Irianto 2007). Makanan dan Kesehatan Sesuai dengan wujudnya, makanan adalah hasil dari proses pengolahan dari suatu bahan, sedangkan bahan makanan tersebut dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto 1993). Irianto et al. (2004) mengatahkan bahwa yang dimaksud dengan makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh, terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel. Zat gizi yaitu zat-zat yang diperoleh dari bahan makanan yang dikonsumsi, mempunyai nilai yang sangat penting untuk (a) Memelihara proses dalam pertumbuhan dan perkembangan terutama bagi mereka yang masih dalam proses pertumbuhan, dan (b) Memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari (Kartasapoetra et al. 2008). Fungsi makanan bagi tubuh manusia yaitu sebagai bahan penghasil energi yang berguna untuk segala kegiatan hidup, Sebagai bahan pembangun, yaitu untuk pertumbuhan dan perbaikan sel-sel tubuh yang rusak, dan sebagai bahan pelindung dan pengatur kerja fisiologis tubuh agar tetap lancar dan teratur. Pangan yang tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut dengan foodborne disease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan/senyawa beracun atau organisme patogen (Adam et al. 2004). Yulianti (2007) menyatakan bahwa keracunan makanan dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya aktivitas mikroorganisme. Keracunan akibat mikroorganisme dapat dibedakan menjadi food intoxication dan food infection. Food intoxication adalah keracunan yang terjadi karena tercemarinya makanan oleh toksin yang ada dalam makanan. Misalnya toksin yang dihasilkan Clostrodium botolinum dan Staphylococci. Adapun food infection terjadi karena makanan terkontaminasi oleh parasit, protozoa atau bakteri patogen (penyebab sakit) seperti Salmonella, Proteus, Escherichia dan Pseudomonas yang ada dalam makanan tersebut. Keracunan makanan dapat pula disebabkan oleh
15
bahan kimia. Ketika masuk kedalam tubuh manusia zat kimia ini akan menimbulkan efek yang berbeda-beda, tergantung jenis dan jumlah zat kimia yang masuk ke dalam tubuh. Menurut Adam et al. (2004) umumnya penyakit yang ditimbulkan oleh pangan berkaitan dengan gangguan pencernaan (gastroenteritis) dengan gejala sakit perut, diare, demam, sakit kepala, mual, dan muntah-muntah. Tipus, kolera, dientri, dan basiler, merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh pangan yang terkontaminasi. Penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, dan sebagainya dapat disebabkan konsumsi pangan sumber karbohidrat, lemak, gula, dan garam secara berlebihan. Efek samping penggunaan BTP berlebih untuk jangka pendek yaitu sakit perut, diare, demam, sakit kepala, mual, dan muntah-muntah sedangkan pada jangka panjang dapat menyebabkan penyakit kanker, tumor, dan gangguan saraf, gangguan fungsi hati, iritasi lambung, dan perubahan fungsi sel (Saparinto 2006). Remaja Usia Sekolah Sekolah
memegang
peranan
penting
dalam
pendidikan
karena
pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah pun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak (Ahmadi et al. 2003). Menurut Sutatmo (1979) dalam Daniati (2009) menegaskan bahwa lingkungan fisik sekolah yang sehat dapat dibagi menjadi tiga yaitu sarana dan prasarana sekolah, kebersihan perorangan dan kebersihan lingkungan dan keamanan di sekolah. Kantin sekolah merupakan salah satu yang termasuk dalam sarana dan prasarana sekolah. Kantin sekolah harus memenuhi kriteria antara lain: (1) Makanan dan minuman yang disediakan hendaknya bergizi dan memenuhi syarat-syarat kesehatan, dan (2) dikelola oleh orang tertentu dan mendapat pengawasan langsung dari guru mengenai makanan dan minuman yang disajikan dan kebersihannya. Anak sekolah adalah anak yang belajar di semua lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Tingkat Atas. Anak-anak merupakan modal negara, mereka adalah manusiamanusia pembangunan di hari esok, dan akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa/negara pada generasi yang akan datang. Sekolah memiliki fungsi antara lain (1) Membantu lingkungan keluarga untuk mendidik dan mengajar, memperbaiki, dan memperdalam atau memperluas tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarga serta membantu pengembangan bakat,
dan (2)
Mengembangkan kepribadian peserta didik lewat kurikulum agar peserta didik
16
dapat bergaul dengan guru, dan teman-temannya sendiri, taat kepada peraturan atau disiplin, dan dapat terjun di masyarakat berdasarkan norma yang berlaku (Ahmadi 2003). Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya ”tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Menurut WHO remaja adalah suatu masa dimana (1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 1997). Ali et al. (2004) menyatakan bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial. Perkembangan intelektual yang terus menerus menyebabkan remaja mencapai tahap berfikir operasional formal. Tahap ini memungkinkan remaja mampu berfikir secara lebih abstrak, menguji hipotesis, dan mempertimbangkan apa saja yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya. Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut (1) Masa remaja awal (12-15 tahun), Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya, (2) Masa remaja pertengahan (16-18 tahun),
Masa ini ditandai dengan berkembangnya
kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan diri, dan membuat keputusankeputusan yang ingin dicapai, dan (3) Masa remaja akhir (19-22 tahun). Menurut Agustiani (2006), masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peranperan orang dewasa. Cirinya adalah keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. Status Gizi Anak Sekolah Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Selanjutnya menurut Supariasa et al. (2001) status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian gizi yang dilakukan secara langsung meliputi antropometri, biokimia,
17
klinis dan biofisik. Penilaian yang dilakukan secara tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Penilaian status gizi secara antropometri memiliki beberapa keunggulan seperti prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, alatnya murah, mudah
dibawa,
menggambarkan
hasilnya riwayat
akurat gizi
di
dan masa
tepat,
dapat
lampau,
dan
mendeteksi
atau
umumnya
dapat
mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas. Metode antropometri juga dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Serta metode antropometri juga dapat digunakan untuk pelapisan kelompok yang rawan terhadap gizi (Supariasa et al 2001). Gibson (2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U). Indeks antropometri dapat dinyatakan dalam istilah z-skor, persentil atau persen terhadap median. Indikator BB/u menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini karena mudah berubah. Namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB). Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu dan indikator BB/TB menggambarkan status gizi saat ini secara sensitif dan spesifik. Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U).
18
KERANGKA PEMIKIRAN Sesuai dengan wujudnya, makanan adalah hasil dari proses pengolahan dari suatu bahan. Sedang bahan makanan tersebut dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan adanya teknologi (Moertjipto 1993). Irianto et al. (2004) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh, terutama untuk membangun dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel. Menurut Suhardjo (1989) dalam Sukandar (2009) kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata karma makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial, dan budaya. Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi pangan yang salah. Khomsan (1997) mengungkapkan bahwa sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengatahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Sikap akan mengarahkan perilaku secara langsung. Dengan demikian sikap positif akan menumbuhkan perilaku yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan menumbuhkan perilaku yang negatif, dalam hal ini lebih mengarah pada perilaku memilih makanan yang tercermin dari kebiasaan makan dan kebiasaan jajan. Meningkatnya pendapatan seseorang akan terjadi perubahan dalam susunan makanan, begitu pula dengan tingkat pendidikan yang berpengaruh terhadap tingkat kecukupan pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengetahuan gizi, sikap, dan perilaku memilih makanan sangat mudah dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi sosial dan ekonomi keluarga. Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam segi kualitas dan kuantitas dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah. Jika kebutuhan gizi tercukupi akibat konsumsi yang baik, maka akan berdampak pada tingkat kecukupan gizi yang baik pula dan menjadi salah satu faktor untuk mencapai status gizi yang baik.
19
Karakteristik Individu: Jenis kelamin Usia Uang saku
Siswa
Karakteristik Keluarga: Pekerjaan Pendapatan Pendidikan
Orang Tua
Guru
Media Informasi
Pengetahuan Gizi
Penggunaan BTP pada jajajan
Sikap Sikap
Pedagang
Praktek Gizi
Konsumsi pangan
Kebiasaan jajan
Status Kesehatan
Status Gizi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengetahuan, Sikap, Praktek Gizi Terhadap Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) Pada Makanan Jajanan.
Keterangan: = Variabel yang diamati ------------ = Variabel yang tidak diamati = Hubungan yang diteliti
20
METODOLOGI PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan di lingkungan SMPN 5 Bogor yang berlokasi di Jalan Dadali no 10A Kota Bogor. Pemilihan SMPN ini dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa SMPN 5 Bogor memiliki kantin dan pedagang yang menjual makanan jajanan di lingkungan sekolah. Waktu penelitian data dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2010. Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini ada tiga yaitu siswa kelas VIII, guru, dan pedagang makanan. Metode yang digunakan dalam pengambilan contoh dilakukan secara cluster sampling dari semua siswa kelas VIII yaitu dipilih 2 kelas secara acak dari 9 kelas sebagai contoh dengan jumlah yaitu 62 siswa, pengambilan contoh guru diambil secara purposive berdasarkan bersedia menjadi contoh penelitian dan sebagai guru mata pelajaran terkait kesehatan yaitu diambil sebanyak 10 orang. Sedangkan pedagang jajanan sebanyak 10 orang yang diamati semua. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengambilan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan alat bantu kuesioner yang diisi oleh contoh setelah mendapat penjelasan dari peneliti. Jenis data primer yang dikumpulkan antara lain karakteristik (usia, jenis kelamin, pendapatan/uang saku), karakteristik sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan) pengetahuan gizi, sikap, praktek tentang penggunaan BTP pada makanan jajanan, kebiasaan jajan contoh (Food Frequency Questionare). Adapun data sekunder diperoleh dari pihak sekolah meliputi profil sekolah, jumlah siswa dan peraturan yang berlaku di sekolah. Jenis data dan cara pengumpulannya secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 1.
21
Tabel 1 Variabel, jenis data, dan cara pengumpulan data No. 1.
Variabel
Jenis data Primer
2.
Karakteristik siswa : Nama Umur Jenis Kelamin Jumlah anggota keluarga Uang saku BB dan TB Pengetahuan gizi
3.
Sikap gizi
Primer
4.
Praktek gizi
Primer
5.
Kebiasaan jajan
Primer
6.
Data sekolah Lokasi Jumlah guru dan siswa Sarana Dan Prasarana Struktur organisasi
Primer
Sekunder
Cara Pengumpulan Data Wawancara dan pengamatan langsung
Alat Pengumpul Data Kuesioner, Pengukuran antropometri
Pertanyaan multiple choice Pertanyaan untuk menilai respon contoh Pertanyaan untuk menilai respon contoh Wawancara menggunakan food frequency questionare Wawancara
Kuesioner Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Data Sekolah
Pengolahan dan Analisa data Proses pengolahan meliputi editing, cooding, entry, scoring dan analisis. Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner, sehingga memudahkan pada saat memasukkan data ke komputer. Entry adalah memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi suatu data dasar. Data yang telah terkumpul kemudian dientry ke dalam work sheet computer sesuai code book yang dikembangkan pada penelitian ini. Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer yang digunakan adalah program Microsoft excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows. Kategori variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
22
Tabel 2 Kategori variabel penelitian No. 1
Variabel Karakteristik siswa Jenis Kelamin
2
Usia Besar uang saku
Karakteristik guru dan pedagang Jenis Kelamin
Pendidikan
Pendapatan
3.
Pengetahuan terhadap penggunaan BTP
4.
Sikap terhadap penggunaan BTP
5.
Praktek terhadap penggunaan BTP
6.
Kebiasaan jajan
Kategori
Laki-laki Perempuan 12 th – 14 th < Rp 10.000 Rp 10.000 – Rp 15.000 Rp15.000 – Rp 20.000 > Rp 20.000
Laki-laki Perempuan SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi < Rp. 500.000 Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000 > Rp. 2.000.0000 Kurang, apabila skor < 60% Sedang, apabila skor 60 – 80% Baik, apabila skor > 80% Kurang, apabila skor < 60% Sedang, apabila skor 60 – 80% Baik, apabila skor > 80% Kurang, apabila skor < 60% Sedang, apabila skor 60 – 80% Baik, apabila skor > 80% < 5 kali/minggu 5-10 kali/minggu 11-15 kali/minggu > 15 kali/minggu
Penilaian tingkat pengetahuan adalah berdasarkan kemampuan contoh dalam menjawab berbagai pertanyaan mengenai BTP pada makanan jajanan. Penilaian terhadap pertanyaan benar diberi skor 2, pertanyaan benar tetapi kurang tepat diberi skor 1, Sedangkan untuk pertanyaan salah diberi skor 0. Menurut Khomsan (2000), pengetahuan dapat dikategorikan menjadi: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar; (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar. Penilaian
terhadap
sikap
didasarkan
pada
tingkat
penerimaan
(persetujuan) pentingnya penggunaan BTP pada makanan jajanan. Pengukuran peubah sikap menggunakan skala Guttman, yaitu pertanyaan setuju maupun tidak setuju. Pernyataan positif apabila setuju diberi skor 2 dan tidak setuju diberi skor 0. Sedangkan untuk pertanyaan negatif apabila setuju diberi skor 0 dan tidak setuju diberi skor 2. Dari hasil penilaian terhadap pernyataan yang
23
dianjurkan, sikap contoh dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar, (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar, dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar. Penilaian terhadap praktek dilakukan menggunakan skala nilai terbesar apabila praktek yang digunakan sudah sesuai. Pengukuran peubah praktek menggunakan skala, yaitu pertanyaan selalu, kadang-kadang maupun tidak. Pernyataan selalu diberi skor 0, pernyataan kadang-kadang diberi skor 1 dan pernyataan tidak diberi skor 2. Dari hasil penilaian terhadap pernyataan yang dianjurkan, praktek contoh dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) kurang, apabila skor < 60% dari total jawaban yang benar, (2) sedang, apabila skor 60% - 80% dari jawaban yang benar, dan (3) baik, apabila skor > 80% dari total jawaban yang benar. Pengukuran status gizi dengan metode antropometri melalui perhitungan indeks massa tubuh dibandingkan menurut umur (IMT/U). IMT yang digunakan untuk anak yang berumur 5 hingga 19 tahun. Caranya adalah tentukan umur anak kemudian hitung indeks massa tubuh (IMT) dengan menggunakan rumus : IMT = Berat Badan (kg) Tinggi Badan2 (cm) Kemudian hasilnya disesuaikan dengan nilai yang telah ditentukan oleh WHO 2007. Kategori status gizi pada anak yang berumur 5 – 19 tahun yaitu kurus (-3 ≤ z ≤ -2), normal (-2 ≤ z ≤ +1), gemuk (+1 ≤ z ≤ +2) dan obese (z > +2). Pengukuran Skor Simpang Baku (Z-score) dapat diperoleh dengan mengurangi berat badan Nilai Induvidual Subjek (NIS) dengan berat badan Nilai Median Baku Rujukan (NMBR) pada umur yang bersangkutan, hasilnya dibagi dengan berat badan Nilai Simpang Baku Rujukan (NSBR). Atau dengan menggunakan rumus : Z-score = (BB NIS – BB NMBR) BB NSBR Analisis data yang dilakukan secara deskriptif sesuai dengan variablevariabel yang diamati yaitu 1) Peubah karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, pendapatan/uang saku) dan sosial ekonomi (tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan), 2) Jenis BTP yang digunakan pada makanan jajanan 2) Kebiasaan dalam pemilihan makanan jajanan, 3) Pengetahuan gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan, 4) Sikap gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan, dan 5) Praktek gizi terhadap penggunaan BTP pada makanan jajanan. Sedangkan uji Independent sample T-Test untuk mengetahui ada
24
tidaknya perbedaan antara jenis kelamin dengan pengetahuan, sikap, dan praktek gizi tentang penggunaan BTP. Sebelum dilakukan uji tentang nilai tengah dua populasi bebas (independent), terlebih dahulu dilakukan uji kesamaan ragam. Rumusan hipotesis tentang pengujian ragam tersebut adalah sebagai berikut:
H0 : 𝜎𝐿2 = 𝜎𝑃2 H1 : 𝜎𝐿2 ≠ 𝜎𝑃2
Keterangan :
H0 : 𝜎𝐿2 = 𝜎𝑃2 → Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki dan perempuan sama
H1 :
𝜎𝐿2
≠
𝜎𝑃2
→ Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki dan perempuan tidak sama
Kriteria pengujian hipotesis tolak H0 jika 𝑓 =
s 2L
s 2P
> F (1, 2) atau terima
H0 jika sebaliknya. Keterangan : sL2 = Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki sP2 = Ragam pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa perempuan v1 =n1 –1derajat bebas pembilang v2= n 2–1derajat bebas penyebut Pengujian Hipotesis terhadap nilai tengah sebagai berikut: H0* : 𝜇L= 𝜇P → Rata-rata pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki dan perempuan sama H1* : 𝜇L> 𝜇P→ Rata-rata pengetahuan, sikap atau praktek gizi siswa laki-laki lebih besar dari perempuan Nilai t hitung tergantung dari hasil pengujian ragam. Tolak H0* jika 𝑡 hit > t() atau terima H1* jika sebaliknya. Apabila dari pengujian ragam ternyata H0 ditolak atau 𝜎𝐿2 ≠ 𝜎𝑃2 , maka:
𝑡 hit=
x L− x P 𝑠𝐿 ² 𝑠𝑃 ² + 𝑛𝐿 𝑛𝑃
𝑠𝐿 ² 𝑠𝑃 ² + )² 𝑛𝐿 𝑛𝑃 = (𝑠 ²/ 𝑛𝐿)² (𝑠 ²/ 𝑛𝑃)² 𝐿 𝑃
(
𝑛𝐿−1
+
𝑛𝑃 −1
25
Apabila H0 diterima atau 𝜎𝐿2 = 𝜎𝑃2 , maka: x L− x P
𝑡 hit=
sg
sg =
1 𝑛𝐿
+
1
> t(𝑛𝐿 + 𝑛𝑃 − 2)
𝑛𝑃
𝑛 𝐿 −1 𝑠𝐿 ² + 𝑛 𝑃 −1 𝑠𝑃 ² 𝑛 𝐿 +𝑛 𝑃 −2
Uji kolerasi pearson digunakan untuk menganalisis korelasi dua peubah yaitu: 1) Menganalisa korelasi antara pengetahuan dan sikap gizi tentang penggunaan BTP, 2) Menganalisa korelasi antara pengetahuan dan praktek gizi tentang penggunaan BTP, dan 3) Menganalisa korelasi antara sikap dan praktek gizi, tentang penggunaan BTP. Rumusan hipotesis tentang kolerasi pearson sebagai berikut: H0 : 𝜌xy = 0 → kolerasi antara pengetahuan dengan sikap gizi, pengetahuan dengan praktek gizi, atau sikap dengan praktek gizi sama dengan nol
9 H1 : 𝜌xy > 0 → kolerasi antara pengetahuan dengan sikap gizi, pengetahuan dengan praktek gizi, atau sikap dengan praktek gizi lebih dari nol Kriteria pengujian hipotesis tolak H0* jika 𝑡 hit > t(n-2) atau terima H0 jika 𝑡 hit < t(n-2). Keterangan : 𝑡 hit =
𝑟 𝑥𝑦 𝑛 −2 1−𝑟𝑥𝑦 ²
rxy = koefisien kolerasi contoh n
= Ukuran Contoh
Definisi Operasional Uang saku adalah uang yang diterima siswa setiap hari untuk berbagai keperluan di sekolah. BTP adalah bahan tambahan pada makanan meliputi pengawet, pemanis, pewarna dan penyedap rasa. Contoh adalah siswa laki-laki dan perempuan kelas 8, pengajar dan pedagang makanan Karakteristik contoh adalah identitas contoh yang meliputi jenis kelamin, usia, berat badan, tinggi badan, serta pendapatan/uang saku. Kebiasaan jajan adalah cara seseorang dalam memilih dan mengkonsumsi makanan jajanan yang meliputi jumlah jenis makanan jajanan dan frekuensi jajan per hari yang dilakukan di lingkungan sekolah baik pada penjual di kantin sekolah maupun penjual menetap di luar sekolah. Makanan jajanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang dibeli dan siap dikonsumsi ataupun terlebih dahulu diolah oleh penjual jajanan. Makanan jajanan dikelompokkan menjadi empat golongan yaitu makanan utama (sepinggan), makanan camilan (panganan), minuman dan buah. Pengetahuan Gizi adalah pemahaman contoh yang berhubungan dengan makanan jajanan terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner. Praktek gizi adalah melakukan perbuatan atau aktivitas nyata dari contoh mengenai makanan jajan terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner. Sikap gizi adalah tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi dan mengarah pada praktek gizi terhadap penggunaan BTP yang diukur dari skor jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan dalam kuisioner. Status Gizi adalah keadaan tingkat kecukupan gizi anak yang ditentukan berdasarkan data antropometri dan penilaian konsumsi pangan. Sumber informasi adalah sumber dari mana siswa mendapatkan informasi tentang makanan dan minuman jajanan yang mengandung BTP.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh Umur dan Jenis Kelamin Jumlah siswa yang diteliti sebanyak 62 orang, terdiri dari siswa laki-laki yaitu 34 orang dan siswa perempuan yaitu 28 orang. Umur siswa antara 12-14 tahun. Sebagian besar siswa berumur 13 tahun, yaitu siswa laki-laki (88.2%) dan siswa perempuan (75%). Sebagian kecil siswa berumur 14 tahun, yaitu siswa laki-laki (2.9%) dan siswa perempuan (7.1%). Jumlah guru yang diteliti sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 4 orang dan perempuan yaitu 6 orang. Umur guru antara 40-58 tahun. Sebagian besar guru berumur 40-45 tahun (60%). Sebagian kecil guru berumur 49 tahun (10%). Jumlah pedagang yang ada di SMPN 5 Bogor sebanyak 10 orang, terdiri dari laki-laki yaitu 7 orang dan perempuan 3 orang. Umur pedagang antara 22-51 tahun. Sebagian besar pedagang berumur 32-36 tahun (40%) dan sebagian kecil pedagang berumur 22 tahun (10%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin. Tabel 3 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan umur dan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
12 13 14 Total
3 30 1 34
8.8 88.2 2.9 100.0
5 21 2 28
17.9 75.0 7.1 100.0
8 51 3 62
12.9 82.3 4.8 100.0
40-45 46-50 >50 Total Pedagang <30 30-40 40-50 >50 Total
3 0 1 4
75 0 25 100
3 1 2 6
50.0 16.7 33.3 100
6 1 3 10
60 10 30 100
1 1 3 2 7
14.3 14.3 42.9 28.6 100.0
0 3 0 0 3
0 100 0 0 100
1 4 3 2 10
10 40 30 20 100
Usia (tahun)
Total
Siswa
Guru
28
Uang Saku Besar uang saku siswa antara Rp 5.000 – Rp. 25.000 per hari. Sebagian besar siswa menerima uang saku antara Rp 10.000 – Rp 15.000 (53.2%). Ratarata uang saku siswa yaitu Rp. 15.096,7 dan simpangan baku Rp. 6.835,2. Alokasi uang saku yang dimiliki siswa untuk keperluan seperti biaya transportasi, jajan, pulsa, dan menabung. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4 menunjukan sebaran siswa berdasarkan uang saku. Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan uang saku Uang Saku (Rp/hari) 5.000 – 9.000 10.000 – 15.000 15.500 – 20.000 > 20.000 Total
n 6 33 18 5 62
% 9.7 53.2 29.0 8.1 100.0
Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, atau bulanan. Perolehan uang saku sering menjadi kebiasaan, sehingga anak diharapkan untuk belajar mengelola dan bertanggung jawab atas uang saku yang dimilikinya (Napitu 1994). Besar uang saku anak merupakan salah satu indikator sosial ekonomi keluarga. Semakin besar uang saku, maka semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin maupun diluar sekolah (Andarwulan et al. 2008) Tingkat Pendidikan Sebagian besar guru memiliki latar belakang pendidikan sarjana (80%), sebagian kecil tingkat pendidikan Diploma 3 (20%). Sebagian besar pedagang memiliki latar belakang pendidikan SLTP (50%). Sebagian kecil tingkat pendidikan SLTA (20%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5 menunjukan sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan. Tabel 5 Sebaran guru dan pedagang bedasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
1 3 4
25 75 100
1 5 6
16.7 83.3 100.0
2 8 10
20 80 100
3 3 1 7
42.9 42.9 14.3 100.0
0 2 1 3
0.0 66.7 33.3 100.0
3 5 2 10
30 50 20 100
Total
Guru D3 S1 Total Pedagang SD SLTP SLTA Total
29
Tingkat pendidikan guru pada umumnya memiliki tingkat pendidikan sarjana sedangkan pada pedagang banyak yang memiliki tingkat pendidikan SLTP. Hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang biasanya mempunyai taraf pengetahuan dan keterampilan yang semakin baik serta akan lebih mengerti tentang sesuatu hal, karena menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (1997) bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, dimana dapat membuat seseorang untuk lebih mudah menerima ide-ide dan teknologi baru. Hal ini juga sesuai dengan Notoatmodjo (2003), yang mengemukakan bahwa manusia yang memiliki sumber daya manusia yang lebih baik, dalam arti tingkat pendidikan yang lebih tinggi maka akan semakin mengerti dan semakin mudah memahami manfaat dari suatu hal. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan guru antara
Rp. 2.000.000 – Rp. 3.000.000 per
bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan guru > Rp. 2.800.000 per bulan (50%). Sebagian kecil tingkat pendapatan guru Rp. 2.000.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan guru yaitu Rp.2.470.000 dan simpangan baku yaitu Rp.333.999,3.
Besar
atau
kecil
pendapatan
guru
ditentukan
oleh
pangkat/golongan, jabatan dan masa kerja. Berdasarkan Tabel 6 tingkat pendapatan pedagang antara Rp.800.000 – Rp.1.800.000 per bulan. Sebagian besar tingkat pendapatan pedagang Rp.1.000.000 – Rp.1.500.000 per bulan (60%). Sebagian kecil tingkat pendapatan pedagang Rp.1.800.000 per bulan (10%). Rata-rata tingkat pendapatan
pedagang
yaitu
Rp.1.230.000 dan
simpangan
baku
yaitu
Rp.316.403,3. Besar atau kecil pendapatan tergantung dari permodalan dan omset (hasil penjualan). Menurut Berg (1986) dalam Adhistiana (2009) pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Jelas ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Menurut Gallo (1996) faktor ekonomi seperti harga dan pendapatan konsumen juga merupakan faktor penentu yang penting dalam pemilihan makanan yang berhubungan secara langsung dengan ketersediaan pangan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukan sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan.
30
Tabel 6 Sebaran guru dan pedagang berdasarkan pendapatan Tingkat Pendapatan (Rp. Juta /bulan) Guru <2,5 2,5 - 2,8 > 2,8 Total Pedagang <1 1 - 1,5 > 1,5 Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
0 2 2 4
0 50 50 100
1 2 3 6
16.7 33.3 50.0 100.0
1 4 5 10
10 40 50 100
3 3 1 7
42.9 42.9 14.3 100.0
0 3 0 3
0 100 0 100
3 6 1 10
30 60 10 100
Jenis Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan khususnya pada makanan jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7 menunjukan sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP. Tabel 7 Sebaran pedagang menurut cara pengadaan makanan (dibuat atau dibeli) yang menggunakan BTP BTP Penyedap rasa
Pewarna
Pemanis Pengawet
Jenis BTP Masako Royko Sasa Ajinomoto (umami) MSG (lainnya) Kunyit Pandan Pewarna buatan Gula Pemanis buatan Garam STPP/Poshat
Jajanan yang dibuat n % 3 30 3 30 4 40 4 40 1 10 1 10 0 0 0 0 3 30 0 0 7 70 0 0
Jajanan yang dibeli n % 0 0 0 0 0 0 0 0 2 20 3 30 1 10 3 30 2 20 1 10 7 70 1 10
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa semua pedagang yang membuat makanan jajanan menggunakan BTP yang berbentuk penyedap rasa dari berbagai merek. Adapun bumbu penyedap rasa dengan aneka jenis rasa seperti rasa ayam dan sapi, adapun pedagang yang menggunakan penyedap rasa yang berbentuk butiran seperti sasa dan ajinomoto. BTP sebagai pewarna alami hanya pedadang roti yang menggunakan bahan alami buah. Adapun pewarna buatan yang digunakan yaitu jajanan yang di beli seperti meisis warnawarni dan pada saos yang dibeli pedagang bakso dan mie ayam yang mungkin ditambahkan pewarna buatan. Pemanis alami yang digunakan yaitu gula pasir
31
dan gula merah untuk pembuatan minunan jus dan kuah pempek. Sedangkan pemanis sintetis yang terdapat dalam minuman kemasan yang di produksi oleh industry minuman. BTP pengawet tidak ditemukan menggunakan bahan berbahaya hanya bahan pengental bakso sodium tri phosphate (STPP) merupakan bahan kimia untuk makanan yang ditambahan dalam proses pengolahan. Hal ini disebabkan karena kantin yang berada di dalam lingkungan sekolah biasanya sudah mendapat bimbingan dan pengawasan dari pihak guru dan pengelola kantin atau langsung dari kepala sekolah. Kebiasaan Jajan Kebiasaan jajan adalah salah satu bentuk kebiasaan makan baik pada anak-anak, remaja ataupun dewasa. Jajanan yang baik akan mempunyai kontribusi yang positif terhadap kebutuhan konsumsi gizi seseorang. Dengan demikian apabila makanan jajanan yang dikonsumsi aman dan sehat akan membantu kecukupan harian energi dan zat gizi seseorang. Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa kebiasaan jajan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan jajan dan makanan jajanan seperti frekuensi jajan. Penelitian ini mengidentifikasi frekuensi jajan per minggu yang dilakukan di lingkungan sekolah. Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan bertujuan untuk menghilangkan rasa lapar yang biasanya muncul 3-4 jam setelah makan pada waktu-waktu tertentu. Konsumsi makanan jajanan akan meningkatkan kadar gula darah sehingga semangat dan kosentrasi belajar akan pulih. Berdasarkan Tabel 8 Frekuensi jajan siswa yang diukur adalah frekuensi jajan berdasarkan kelompok jajanan makanan utama dalam 1 minggu terakhir. Frekuensi jajan siswa dibagi menjadi 4 kelompok yaitu <5 kali/minggu, 6-10 kali/minggu, 11-15 kali/minggu, >15 kali/minggu. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 53.2% siswa memiliki frekuensi jajan makanan utama 6–10 kali per minggu. Sebagian besar persentase 33.8% siswa memiliki frekuensi jajan makanan ringan 6–10 kali per minggu. Sebesar 48.3% siswa memiliki frekuensi jajan jenis minuman 6–10 kali per minggu. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukan sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan. Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi jajan Frekuensi jajan (kali/minggu) <5 6–10 11–15 >15 Total
Makanan Utama n % 8 12.9 33 53.2 14 22.5 7 11.2 62 100
Makanan Ringan n % 13 20.9 21 33.8 16 25.8 12 19.3 62 100
Minuman n % 18 29.0 30 48.3 14 22.5 0 0 62 100
32
Khapipah (2000) menyatakan bahwa siswa menyukai makanan jajanan seperti ciki karena rasanya enak dan gurih, mempunyai banyak pilihan rasa, warna dan merk yang diproduksi oleh produsen. Tingginya persentase frekuensi jajan dikarenakan banyaknya jenis pangan yang ada dibandingkan kelompok jajanan lainnya, sehingga siswa lebih sering mengkonsumsi jajanan yang berbeda-beda dalam setiap minggunya. Selain itu aktivitas siswa disekolah yang cukup padat dapat menyebabkan frekuensi jajan disekolah meningkat. Khomsan (2003) menyatakan aspek negatif dari jajan yang terlalu sering yaitu dapat mengurangi nafsu makan seseorang dirumah. Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga mengancam kesehatan seseorang. Jenis Makanan Jajanan yang Dikonsumsi Terdapat tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa dan guru dikelompokan kedalam tiga golongan yaitu makanan utama (main dish), makanan ringan (snack), dan minuman. Menurut Apriadji (1986) jenis jajanan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makanan utama (meals) dan makanan ringan (snack). Makanan utama adalah makanan yang cukup mengandung karbohidrat dan lemak, tetapi mengandung sedikit protein seperti siomay, nasi uduk, bubur ayam, roti bakar, dan lainnya. Sedangkan makanan ringan adalah makanan yang mengandung zat pembangun dan sedikit zat pengatur seperti biskuit, gorengan, dan makanan ringan kemasan. Seluruh contoh menyatakan sering membeli makanan utama. Sumber jajanan yang paling diminati oleh contoh yaitu minuman sebagian besar siswa (88.7%) dan guru (70%), contoh menganggap bahwa minum itu paling penting untuk kebutuhan cairan sehingga lebih diminati. Sebagian kecil siswa (9.7%) memilikh gorengan dan sebagian kecil guru (10%) memilih makanan ringan kemasan. Hal ini sesuai dengan kebiasaan jajan yang menganggap tidak ada pilihan makanan jajanan lain sehingga hanya mengkonsumsi jajanan yang tersedia di lingkungan sekolah. Berdasarkan Tabel 9 jenis jananan makanan yang paling diminati oleh siswa yaitu mie ayam, sedangkan pada guru sumber jajanan makanan yaitu nasi uduk. Baik mie ayam maupun nasi uduk, keduanya dapat memberikan kalori yang cukup untuk mendukung aktivitas fisik dan memenuhi kecukupan energi dalam sehari. Menurut hasil penelitian Widjayanti (1990), diacu dalam Khapipah (2000) menyatakan bahwa makanan jajanan memberikan sumber energi dan zat gizi terbesar diantaranya berasal dari karbohidrat. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9 menunjukan persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan.
33
Tabel 9 Persentase siswa dan guru menurut jenis jajanan Guru
Siswa
Jenis jajanan
n 44 55 7 16 10 6 34 54 47 41
Nasi uduk Minuman Siomay Bubur ayam Makanan ringan kemasan Gorengan Mie Bakso Mie ayam Pempek/batagor Roti bakar
% 71.0 88.7 11.3 25.8 16.1 9.7 54.8 87.1 75.8 66.1
n 8 7 4 2 1 5 3 3 4 5
% 80 70 40 20 10 50 30 30 40 50
Status Gizi Siswa Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi (Khomsan 2000). Menurut Riyadi (2001) status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran yang dikonsumsinya dalam jangka waktu cukup lama. Berdasarkan Tabel 10 sebagian besar siswa (71.0%) memiliki status gizi normal. Selanjutnya sebanyak (14.5%) memiliki status gizi kurang, (11.3%) memiliki status gizi gemuk, dan (3.2%) memiliki status gizi lebih. Status gizi normal diduga memiliki pengetahuan gizi yang tergolong baik, sedangkan status gizi kurang diduga karena siswa lebih menyukai makanan jajanan yang tidak memiliki zat gizi seperti makanan ringan (snack) untuk mencukupi kebutuhan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 10 menunjukan sebaran status gizi siswa. Tabel 10 Sebaran status gizi siswa Status Gizi Kurus Normal Gemuk Obese Total
n 5 22 5 2 34
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan % n % 14.7 4 14.3 64.7 22 78.6 14.7 2 7.1 5.9 0 0.0 100.0 28 100.0
Total n 9 44 7 2 62
% 14.5 71.0 11.3 3.2 100.0
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Faktor langsung meliputi konsumsi makan dan keadaan kesehatan, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Secara tidak langsung pengetahuan tentang gizi berpengaruh terhadap status gizi seseorang (Riyadi 2006).
34
Pengetahuan Gizi Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup sehat. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoadmodjo 2005). Berdasarkan
Tabel
11
sebagian
besar
siswa
(67.7%)
memiliki
pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (32.3%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi siswa dalam kategori baik (82.1%) dan simpangan baku (6.6). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi guru dalam kategori baik (86.8%) dan simpangan baku (2.9). Dari
beberapa
pertanyaan
mengenai
pengetahuan
gizi
terhadap
BTP
menunjukan bahwa semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil pedagang (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor pengetahuan gizi pedagang dalam kategori sedang (66.1%) dan simpangan baku (6.9). Tabel 11 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan pengetahuan gizi terhadap BTP Kategori Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
20 14 0 34
58.8 41.2 0.0 100.0
22 6 0 28
78.6 21.4 0.0 100.0
42 20 0 62
67.7 32.3 0.0 100.0
4 0 0 4
100 0 0 100
6 0 0 6
100 0 0 100
10 0 0 10
100 0 0 100
0 5 2 7
0.0 71.4 28.6 100.0
0 2 1 3
0.0 66.7 33.3 100.0
0 7 3 10
0 70 30 100
Total
35
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam pengetahuan siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 12 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (1.91) dan peluang (0.17), maka pengujian kesamaan rata-rata dari pengetahuan gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata pengetahuan gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga karena siswa mendapat informasi yang sama dari materi yang diajarkan guru dan media informasi mengenai penggunaan BTP. Tabel 12 Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa Pengetahuan Gizi n Rata-rata sd Pengetahuan Gizi Hasil uji t-test
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata Simpangan baku galat
Laki-laki 34 81.12 7.14 Ragam diasumsikan sama -1.36 60 0.17 -2.27
Perempuan 28 83.39 5.74 Ragam diasumsikan tidak sama -1.39 59.97 0.17 -2.27
1.67
1.63
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang akan lebih baik dan dapat bertahan lebih lama apabila didasari oleh tingkat pengetahuan dan kesadaran yang baik. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang baik terhadap sesuatu hal diharapkan akan mempunyai sikap yang baik juga. Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa seluruh siswa mendapat informasi tentang BTP. Sebagian besar (88,7%) mendengar informasinya dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil siswa sebanyak (3.2%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar guru (100%) mendapat informasi dari media cetak (surat kabar, majalah, buku). Sebagian kecil guru sebanyak (30%) mendapat informasi dari internet. Sebagian besar pedagang (100%) mendapat informasi dari media elektronik (TV dan radio). Sebagian kecil pedagang (10%) mendapat informasi dari teman. Hal ini menunjukan bahwa siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Sedangkan pedagang tidak mencari informasi lain dari beberapa sumber hanya mengetahui dari keadaan sekitar saja. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13 menunjukan sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP.
36
Tabel 13 Sebaran siswa, guru dan pedagang berdasarkan sumber informasi terhadap BTP Sumber Informasi Media elektronik (TV dan radio) Media cetak (surat kabar, majalah, buku) Orang Tua Guru Teman Lainya (internet)
Siswa n % 55 88.7 39 62.9 52 83.9 48 77.4 26 41.9 2 3.2
Guru n % 8 80 10 100 7 70 3 30
Pedagang n % 10 100 3 30 4 40 1 10 0 0
Siswa dan guru menyatakan bahwa mendengar informasi mengenai BTP tidak hanya dari satu sumber saja, melainkan dari radio, surat kabar, majalah, buku, orang tua, guru, teman-teman, dan sumber lainnya (internet) juga berperan dalam penyampaian informasi tentang BTP. Pengetahuan gizi bisa diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Pendidikan formal dapat diperoleh dari pengajar dengan diadakanya pendidikan gizi. Pendidikan gizi adalah proses belajar dalam bidang gizi sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai gizi yang lebih baik. Selain itu, melaui media komunikasi seperti televisi, majalah, Koran, radio, atau penyuluhan kesehatan gizi, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan gizi. Uraian terhadap hasil pengetahuan gizi dapat di lihat dari Tabel 14 yang menunjukkan pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa, guru, dan pedagang. Tabel 14 Persentase siswa, guru, dan pedagang yang menjawab pertanyaan pengetahuan mengenai BTP dengan benar. Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Definisi makanan/minuman yang bergizi Definisi makanan jajanan (makanan/minuman) Contoh makanan jajanan yang bergizi Definisi BTP Manfaat penggunaan BTP Contoh BTP Ciri makanan yang menggunakan pemanis buatan Ciri makanan yang mengandung pengawet Contoh BTP yang dilarang Apakah fungsi sebenarnya dari formalin Contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin Ciri bakso yang mengandung formalin dan boraks Ciri jajanan yang menggunakan pewarna sintetis (buatan) Fungsi MSG (Monosodium Glutamat) Contoh jajanan yang mungkin mengandung MSG Bahaya BTP bagi kesehatan
Siswa n % 59 95.2
Guru Pedagang n % n % 10 100 4 40
31
50.0
10
100
0
0
61 55 32 45
98.4 88.7 51.6 72.6
10 9 10 4
100 90 100 40
0 6 0 1
0 60 0 10
25
40.3
9
90
9
90
38
61.3
10
100
5
50
45 5
72.6 8.1
9 0
90 0
9 0
90 0
18
29.0
0
0
0
0
53
85.5
10
100
2
20
49
79.0
10
100
6
60
30
48.4
1
10
1
10
51
82.3
10
100
7
70
56
90.3
10
100
4
40
37
Berdasarkan Tabel 14 pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan benar oleh contoh. Adapun pertanyaan yang tidak dijawab dengan benar oleh sebagian kecil siswa (8.1%) dalam menjawab mengenai fungsi sebenarnya dari formalin. Bahkan tidak seorangpun guru dan pedagang (0%) yang menjawab dengan benar mengenai fungsi sebenarnya dari formalin dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin. Fungsi formalin adalah sebagai insektisida dan pengawet mayat dan contoh makanan yang mungkin ditambahkan formalin yaitu bakso, mie, tahu dan ikan asin. Selebihnya contoh dapat menjawabnya dengan benar. Sikap Gizi Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Orang-orang yang berada disekitar kita akan membuat kita menerima atau menolak sesuatu (Contento 2007). Oleh karena itu, pembentukan sikap juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut Khomsan (2000) sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan yang dimiliki seseorang. Seseorang dengan pengetahuan yang baik maka akan memiliki sikap yang baik pula. Sikap merupakan suatu pandangan tetapi dalam hal ini masih berbeda dengan suatu pengetahuan yang dimiliki orang. Pengetahuan mengenai suatu objek tidak sama dengan sikap terhadap objek itu. Pengetahuan saja belum menjadi penggerak, seperti halnya pada sikap. Pengetahuan mengenai suatu objek baru menjadi sikap apabila pengetahuan itu disertai kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut (Purwanto 1998). Berdasarkan Tabel 15 menunjukan sebagian besar siswa (88.7%) memiliki sikap gizi baik terhadap BTP. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap gizi sedang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi siswa dala kategori baik (86.5%) dan simpangan baku (6.8). sebagian besar guru (100%) memiliki pengetahuan gizi baik terhadap BTP. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan benar oleh seluruh guru. Rata-rata total skor sikap gizi guru dalam kategori baik (94%) dan simpangan baku (5.2). sebagian besar pedagang (70%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil (30%) memiliki pengetahuan gizi kurang terhadap BTP. Rata-rata total skor sikap gizi pedagang dalakategori sedang (67.0%) dan simpangan baku (14.9). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 15 menunjukan sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP
38
Tabel 15 Sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan sikap gizi terhadap BTP Kategori Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan n % n %
n
%
30 4 0 34
88.2 11.8 0.0 100.0
25 3 0 28
89.3 10.7 0.0 100.0
55 7 0 62
88.7 11.3 0.0 100.0
3 1 0 4
75 25 0 100
5 1 0 6
83.3 16.7 0 100
8 2 0 10
80 20 0 100
2 3 2 7
28.6 42.9 28.6 100.0
1 2 0 3
33.3 66.7 0.0 100.0
3 5 2 10
30 50 20 100
Total
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam sikap siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 16 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (0.66) dan peluang (0.41), maka pengujian kesamaan rata-rata dari sikap gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasrkan uji t pada = 0.05, bahwa ratarata sikap gizi laki-laki dan perempuan sama. Hal ini diduga bahwa siswa memiliki sikap yang homogen tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, selain itu jenis jajanan yang dikonsumsi siswa sama setiap hari. Tabel 16 Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa Sikap Gizi n Rata-rata Sd
Laki-laki 34 68.0 6.22 Ragam Diasumsikan Sama
Perempuan 28 69.4 4.89 Ragam Diasumsikan Tidak Sama
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata
-0.98 60 0.32 -1.42
-1.01 59.88 0.31 -1.42
Simpangan baku galat
1.44
1.41
Sikap Gizi Hasil uji t-test
Menurut Notoatmodjo (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu. Lembaga pendidikan sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep pada sesorang. Hal tersebut menjadikan dasar sebagai
39
program-program
pendidikan
gizi
dilakukan
melalui
perantara
lembaga
pendidikan. Sikap belum merupakan suatu tindakan akan tetapi merupakan predisposisi tindakan. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang tebuka (Notoadmodjo, 2003). Uraian terhadap hasil sikap gizi dapat di lihat dari Tabel 17 yang menunjukkan bahwa pertanyaan yang di jawab dengan benar oleh siswa. Berdasarkan pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan positif oleh siswa. Sebagian besar siswa (100%) memilih sikap positif mengenai BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman jajanan. Sebagian kecil siswa (11.3%) memiliki sikap positif mengenai membawa bekal makanan dari rumah. Adapun faktor penyebab siswa malas membawa bekal dari rumah yaitu menganggap membawa bekal dari rumah tidak praktis dan jajan di sekolah lebih praktis. Selebihnya, lebih dari separuh siswa dapat menjawabnya dengan positif. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 17 menunjukan persentase sikap siswa yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar. Tabel 17 Persentase sikap siswa yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar Pertanyaan Sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah Membawa bekal makanan dari rumah Mendapat uang jajan sebelum berangkat sekolah Jajan sebelum berangkat sekolah Bahan yang mengandung BTP berbahaya di jual bebas BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat jajanan jadi lebih menarik 7 Jika BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman jajanan 8 Jajanan ditambahkan formalin agar lebih awet (tahan lama) 9 Jika boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso 10 Jajanan yang mengandung pewarna buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pewarna alami seperti kunyit atau pandan 11 Jajanan harus mengandung banyak MSG (Monosodium Glutamat) agar lebih enak dan gurih 12 BTP dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan 1 2 3 4 5 6
n 49 7 58 59 19
% 79.0 11.3 93.5 95.2 30.6
61
98.4
62
100
60 60
96.8 96.8
59
95.2
58
93.5
61
98.4
Berdasarkan Tabel 18 pertanyaan mengenai sikap gizi mengenai BTP. Berdasarkan pertanyaan yang diberikan, secara umum pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan positif oleh guru dan pedagang. Sebagian kecil guru (40%) dan pada pedagang (0%) yang memiliki sikap positif mengenai BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat makanan dan minuman jajanan jadi lebih menarik. Contoh menyebutkan apabila makanan tidak menggunakan BTP dapat mempengaruhi selera makan. Selebihnya, lebih dari separuh contoh dapat menjawabnya dengan positif.
40
Tabel 18 Persentase sikap guru dan pedagang yang menjawab pertanyaan mengenai BTP dengan jawaban benar Pertanyaan 1 Bahan yang mengandung BTP berbahaya di jual bebas 2 BTP yang digunakan dalam pengolahan jajanan dapat memperbaiki kualitas dan membuat jajanan jadi lebih menarik 3 BTP harus selalu digunakan dalam pengolahan jajanan 4 Jajanan mengandung bahan tambahan makanan dalam dosis yang berlebihan 5 Jajanan ditambahkan formalin agar lebih awet 6 boraks digunakan untuk mengenyalkan bakso 7 Jajanan yang mengandung pewarna buatan (dari bahan kimia) diganti dengan pewarna alami seperti kunyit atau pandan 8 Jajanan harus mengandung banyak MSG (Monosodium Glutamat) agar lebih enak dan gurih 9 BTP dapat menimbulkan berbagai bahaya kesehatan 10 Makanan yang diberi BTP akan menjadi lebih bergizi dibandingkan dengan makanan yang tidak diberi BTP
Guru Pedagang n % n % 10 100 10 100 4
40
0
0
10
100
9
90
10
100
9
90
10 10
100 100
9 7
90 70
10
100
8
80
10
100
3
30
10
100
4
40
10
100
8
80
Praktek Gizi Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan (stimulus). Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudiam mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik)
(Notoatmodjo
2003).
Menurut
Notoatmodjo
(2005)
Sikap
adalah
kecenderungan untuk bertindak (praktek), sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Berdasarkan Tabel 19 sebagian besar siswa (59.7%) memiliki praktek gizi sedang terhadap BTP. Sebagian kecil siswa (38.7%) memiliki praktek gizi yang kurang terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi siswa dalam kategori kurang (57.1%) dan simpangan baku (10.6). Sebagian besar guru (90%) memiliki praktek gizi sedang terhadap BTP. Sedangkan sebagian kecil guru (10%) memiliki praktek gizi baik terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi guru dalam kategori sedang (68%) dan simpangan baku (6.3). Sebagian pedagang (50%) memiliki pengetahuan gizi sedang terhadap BTP. Sisanya pedagang memiliki pengetahuan kurang terhadap BTP. Rata-rata skor praktek gizi pedagang dalam kategori kurang (59.2%) dan simpangan baku (14.5). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 19 menunjukan sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan praktek gizi terhadap BTP.
41
Tabel 19 Sebaran siswa, guru, dan pedagang berdasarkan praktek gizi terhadap BTP Kategori
Laki-laki n
Siswa Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Guru Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total Pedagang Baik (>80%) Sedang (60%-80%) Kurang (<60%) Total
Jenis Kelamin Perempuan % n %
Total n
%
1 25 8 34
2.9 73.5 23.5 100.0
0 12 16 28
0.0 42.9 57.1 100.0
1 37 24 62
1.6 59.7 38.7 100.0
0 4 0 4
0 100 0 100
1 5 0 6
16.7 83.3 0.0 100.0
1 9 0 10
10 90 0 100
0 2 5 7
0.0 28.6 71.4 100
0 3 0 3
0.0 30.0 0.0 100
0 5 5 10
0 50 50 100
Uji F untuk menguji kesamaan ragam menunjukan bahwa pada =0.05 ragam praktek siswa laki-laki dan perempuan sama, seperti dapat dilihat pada Tabel 20 Karena ragamnya sama sedangkan nilai F hitung (0.54) dan peluang (0.46), maka pengujian kesamaan rata-rata dari praktek gizi menggunakan uji t untuk populasi yang ragamnya sama. Berdasarkan uji t pada = 0.05, bahwa rata-rata praktek gizi laki-laki dan perempuan berbeda. Hal ini diduga bahwa banyaknya aktifitas siswa di sekolah sehingga memungkinkan bahwa siswa sering mengkonsumsi makanan jajanan. Praktek yang kurang juga didukung oleh banyaknya jenis jajanan yang dijual di sekolah yang rata-rata mengandung BTP dan secara umum siswa mengkonsumsi lebih dari satu jenis makanan atau minuman jajanan. Selain itu kebiasaan siswa yang suka membeli makanan jajanan tanpa memikirkan dampak dari penggunaan BTP yang berlebih. Tabel 20 Hasil uji ragam dan rata-rata praktek gizi siswa Praktek Gizi n Rata-rata sd Praktek Gizi Hasil uji t-test
t df Peluang (2-tailed) Rata-rata Simpangan baku galat
Laki-laki 34 59.4 11.2 Ragam Diasumsikan Sama 1.77 60 0.05 4.76 2.69
Perempuan 28 54.6 9.6 Ragam Diasumsikan Tidak Sama 1.79 59.90 0.05 4.76 2.65
42
Secara teori memang perubahan perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu melalui proses perubahan Pengetahuan – Sikap – Praktek. Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian lainnya juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu seperti teori diatas, bahkan dalam praktek sehari-hari terjadi sebaliknya (Notoadmodjo 2003). Seperti halnya pada penelitian ini diperoleh bahwa seseorang bisa berperilaku negatif meskipun pengetahuan dan sikapnya positif. Seperti yang dikatakan oleh Sumintarsih et al. (2000) bahwa dukungan pengetahuan seseorang yang dapat menumbuhkan suatu sikap dan keyakinan atas sesuatu, belum menjamin bahwa seseorang akan bertindak sesuai dengan apa yang diketahui dan dipahaminya. Menurut Notoatmodjo (2003) secara logis, sikap akan ditunjukkan dalam bentuk praktek namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan praktek mempunyai hubungan yang sistematis. Artinya status pengetahuan atau sikap yang baik belum tentu terwujud dalam praktek yang baik pula (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu praktek, diperlukan suatu faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan seseorang itu dapat menerapkan apa yang mereka ketahui. Pada Tabel 21 menunjukkan bahwa siswa (38.7%) selalu jajan di sekolah dan (61.3%) yang kadang-kadang jajan di sekolah. Sebagian besar siswa menganggap bahwa jajan di sekolah lebih praktis. Sebagian siswa menjawab selalu membeli jajanan yang rasa sangat manis (8.1%) dan (85.5%) menjawab kadang-kadang membelinya. Tidak ada contoh yang membeli jajanan yang warnanya sangat mencolok. Selain itu dapat juga dilihat bahwa seluruh contoh membeli jajanan seperti mie, bakso, makanan ringan kemasan (snack) dan gorengan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 21 menunjukan persentase siswa dan guru menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP Praktek jajan sedikit dan banyaknya bisa dipengaruhi oleh sarapan atau tidak sarapannya siswa sebelum berangkat ke sekolah. Bagi anak sekolah, meninggalkan sarapan membawa dampak yang kurang menguntungkan. Konsentrasi belajar disekolah bisa buyar karena tubuh tidak memperoleh masukan gizi yang cukup. Sebagai gantinya, anak jajan di sekolah untuk sekadar mengganjal perut. Tetapi, mutu dan keseimbangan gizi jadi tidak terjamin (Khomsan 2003).
43
Tabel 21 Persentase siswa dan guru menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP
n
%
Kadangkadang n %
0
0.0
38
61.3
24
38.7
Guru Membeli jajanan yang rasanya sangat manis seperti es sirup, minuman kemasan, atau permen Siswa
0
0
10
100
0
0
4
6.5
53
85.5
5
8.1
Guru Membeli jajanan yang warnanya sangat mencolok? seperti gulali, agar-agar, kerupuk, sirop Siswa
6
60
4
40
0
0
62
100
0
0.0
0
0.0
10
100
0
0
0
0
7
11.3
48
77.4
7
11.3
0
0
10
100
0
0
11
17.7
48
77.4
3
4.8
2
20
8
80
0
0
Tidak
Pertanyaan 1
3
4
Siswa
Guru Membeli jajanan seperti mie dan bakso
5
n
%
Jajan di sekolah
2
Selalu
Siswa
Guru Membeli makanan ringan kemasan (snack) dan gorengan Siswa
Guru
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa pedagang (80%) selalu menggunakan BTP dan (10%) yang menjawab kadang-kadang dan tidak menggunakan BTP. Semua pedagang menjawab kadang-kadang (100%) membeli makanan jajanan yang mengandung BTP. Pedagang menjawab kadang-kadang membaca komposisi yang terdapat pada BTP. Sebagian pedagang menggunakan BTP sesuai dosis yang dianjurkan. Adapun ada sebagian pedagang yang pernah menggunakan BTP secara berlebih. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 22 menunjukan persentase pedagang menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP. Tabel 22 Persentase pedagang menurut jawaban pertanyaan mengenai praktek gizi terkait BTP Pertanyaan 1 2 3 4 5 6
Menjual makanan yang mengandung BTP Makanan jajanan yang anda beli mengandung BTP Membaca komposisi pada kemasan BTP Memperhatikan keamanan pangan pada makanan jajanan yang anda buat Menggunakan BTP sesuai dosis yang dianjurkan Pernah menggunakan BTP secara belebih
Tidak n %
Kadang-kadang n %
Selalu n %
1
10
1
10
8
80
0
0
10
100
0
0
0
0
9
90
1
10
0
0
5
50
5
50
0
0
4
40
6
60
0
0
5
50
5
50
44
Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Gizi Siswa Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang disimpan dalam ingatan (Engel et al. 1994). Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal. Selain itu, melalui media komunikasi seperti televisi, majalah, Koran, radio, atau melalui penyuluha kesehatan, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang gizi. Menurut Pranadji (1989), sikap seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada suatu objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2005) Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak, sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktek adalah respon seseorang terhadap suatu rangsangan. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, kemudiam mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan akan melaksanakan apa yang diketahui dengan baik. Berdasarkan Tabel 23 menunjukan bahwa sebagian besar siswa (62.9%) yang tingkat sikap gizi dalam kategori baik. Namun hanya sebagian kecil (4.8%) menunjukan sikap gizi sedang memiliki pengetahuan gizi yang baik. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang berpengetahuan gizi baik dapat mencerminkan sikap gizi yang baik pula. Tabel 23 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan sikap gizi Pengetahuan gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 39 16 0 55
% 62.9 25.8 0.0 88.7
Sikap Gizi Sedang n % 3 4.8 4 6.5 0 0.0 7 11.3
Kurang n % 0 0 0 0 0 0 0 0
Total n 42 20 0 62
% 67.7 32.3 0.0 100.0
Berdasarkan Tabel 24 menunjukan bahwa sebagian besar siswa (38.7%) yang tingkat praktek gizi dalam kategori sedang. Namun hanya sebagian kecil (1.6%) menunjukan praktek gizi baik memiliki pengetahuan gizi yang sedang. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa yang berpengetahuan gizi baik belum tentu mencerminkan praktek gizi yang baik pula. Tabel 24 Sebaran siswa berdasarkan pengetahuan gizi dan praktek gizi Pengetahuan gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 0 1 0 1
% 0 1.6 0.0 1.6
Praktek Gizi Sedang n % 24 38.7 13 21.0 0 0.0 37 59.7
Kurang n % 18 29.0 6 9.7 0 0.0 24 38.7
Total n 42 20 0 62
% 67.7 32.3 0.0 100.0
45
Berdasarkan Tabel 25 berikut dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa (54.8%) yang tingkat praktek gizi dalam kategori sedang memiliki sikap gizi baik. Namun hanya sebagian kecil (1.6%) mencerminkan praktek gizi baik memiliki sikap gizi yang sedang. Jadi dapat dilihat semakin tinggi sikap gizi yang dimiliki maka belum tentu akan mencerminkan praktek yang baik. Tabel 25 Sebaran siswa berdasarkan sikap gizi dan praktek gizi Sikap gizi Baik Sedang Kurang Total
Baik n 0 1 0 1
% 0 1.6 0 1.6
Praktek Gizi Sedang n % 34 54.8 3 4.8 0 0 37 59.7
Kurang n % 21 33.9 3 4.8 0 0 24 38.7
Total n 55 7 1 62
% 88.7 11.3 1.6 100.0
Berdasarkan Tabel 26 hasil uji kolerasi Pearson, pada siswa diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan sikap gizi. Hal ini diduga bahwa semakin tinggi pengetahuan gizi seseorang, maka semakin tinggi sikap gizi yang dimilikinya. Sebagian besar paradigma mengasumsikan bahwa apabila konsumen dibekali pengetahuan gizi, maka sikap terhadap makanan akan berubah dan akhirnya berdampak pada perubahan pola makan (Blayock et al. 1999). Menurut Khomsan (1997) juga berpendapat bahwa sikap gizi merupakan tahapan lebih lanjut dari pengetahuan gizi. Seseorang yang berpengetahuan gizi baik akan mengembangkan sikap gizi yang baik. Pembentukan sikap gizi akan lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan/sosial budaya yang ada di masyarakat. Tabel 26 Matrik korelasi antara pengetahuan, sikap dan praktek gizi siswa Peubah Pengetahuan Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Sikap Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Praktek Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n
Pengetahuan
Sikap
Praktek
1 0 62
0.30 0.01 62
-0.09 0.47 62
0.30 0.01 62
1 0 62
-0.25 0.04 62
-0.09 0.47 62
-0.25 0.04 62
1 0 62
Hasil uji kolerasi pearson pada siswa menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pengetahuan dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa pengetahuan siswa tidak berpengaruh yang signifikan antara pengetahuan yang dimiliki dengan praktek kebiasaan mengkonsumsi makanan
46
jajanan, selain itu jenis jananan hanya tersedia di lingkungan sekolah saja untuk memenuhi kebutuhan makan. Hal ini sejalan dengan pernyataan blaylock et al. (1999) yang mengungkapkan bahwa bagaimanapun, pengetahuan saja tidak akan mempengaruhi praktek, terkecuali bila ada motivasi. Pengetahuan gizi disertai dengan motivasi dapat membentuk kebiasaan makan yang baik sehingga dapat memperbaiki status kesehatan dan menurunkan penyakit kronis. Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau sekelompok individu dalam memilih pangan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya. Menurut Gallo (1996) menyatakan bahwa faktor ekonomi seperti harga dan pendapatan konsumen merupakan faktor penentu yang penting dalam memilih makanan yang berhubungan secara langsung dengan ketersediaan zat gizi. Hasil uji kolerasi pearson pada siswa menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara sikap dengan praktek gizi. Hal ini diduga bahwa praktek yang kurang didukung oleh banyaknya jenis jajanan yang dijual di sekolah
yang
rata-rata
mengandung
BTP
dan
secara
umum
siswa
mengkonsumsi lebih dari satu jenis makanan atau minuman jajanan. Selain itu kebiasaan siswa yang suka membeli makanan jajanan tanpa memikirkan dampak dari penggunaan BTP yang berlebih. Blaylock et al. (1999) mengungkapkan bahwa sikap terhadap makanan akan berubah dan akhirnya berdampak pada perubahan pola makan. Hal ini sejalan dengan pendapat Pranaji (1989) yang menyatakan bahwa sikap positif akan menumbuhkan praktek yang positif dan sebaliknya sikap negatif akan menumbuhkan praktek yang negatif saja.
47
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian secara umum bahwa persentase terbesar siswa yaitu yang berusia 13 tahun sebanyak 88.2% siswa laki-laki dan 75.0% siswa perempuan. Persentase guru terbesar yaitu berusia 40-45 tahun sebanyak 60%. Persentase pedagang terbesar yaitu berusia 32-36 tahun sebesar 40%. Rata-rata besar uang saku siswa menerima antara Rp 10.000-Rp 15.000. Ratarata pendapatan guru per bulannya yaitu RP. 2.470.000. Rata-rata pendapatan pedangang per bulannya yaitu Rp. 1.230.000. Tingkat pendidikan guru menunjukan bahwa 80% guru dengan tingkat pendidikan Strata S1. Pendidikan pedagang yaitu 50% dengan tingkat pendidikan SLTP. Bahan tambahan pangan (BTP) yang sering digunakan pada makanan jajanan antara lain pengawet, pewarna, pemanis, dan penyedap rasa dan aroma. Frekuensi jajan siswa per minggu sebanyak 6–10 kali, frekuensi jajan makanan utama yaitu 53.2%. Frekuensi jajan makanan ringan yaitu 33.8%. Frekuensi jajan jenis minuman yaitu 48.3%. Rata-rata pengetahuan gizi siswa dalam kategori baik yakni sebesar 82,1%. Rata-rata pengetahuan gizi guru dalam kategori baik yakni sebesar 86.8%. Rata-rata pengetahuan gizi pedagang dalam kategori sedang yakni sebesar 66.1%. Berdasarkan uji statistik (Independent sample TTest), dapat diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat pengetahuan gizi siswa laki-laki dengan pengetahuan gizi siswa perempuan. Rata-rata sikap gizi siswa dalam kategori baik yakni sebesar 86.5%. Rata-rata sikap gizi guru dalam kategori baik yakni sebesar 94%. Rata-rata sikap gizi pedagang dalam kategori sedang yakni sebesar 67.0%. Berdasarkan uji statistik (Independent sample T-Test), dapat diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara sikap gizi siswa laki-laki dengan sikap gizi siswa perempuan. Rata-rata praktek gizi siswa dalam kategori kurang yakni sebesar 57.1%. Rata-rata praktek gizi guru dalam kategori sedang yakni sebesar 68%. Rata-rata praktek gizi pedagang dalam kategori kurang yakni sebesar 59.2%. Berdasarkan uji statistik (Independent sample T-Test), dapat diketahui ada perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara praktek gizi siswa laki-laki dengan praktek gizi siswa perempuan. Berdasarkan hasil uji kolerasi Pearson, pada siswa diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan gizi dengan sikap gizi. Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi dengan praktek gizi (p>0.05). Ada hubungan yang signifikan (p<0.05) antara sikap gizi dengan praktek gizi.
48
Saran Diharapkan kepada pihak sekolah agar bermitra dengan puskesmas atau Balai POM untuk memberikan informasi kepada siswa tentang BTP terutama yang terdapat dalam makanan dan minuman jajanan. Pihak sekolah hendaknya memberi sanksi yang tegas kepada penjual jajanan di kantin sekolah apabila menjual makanan jajanan yang mengandung BTP yang berbahaya ataupun yang berlebihan. Kepada siswa diharapkan agar lebih selektif dalam memilih makanan dan minuman jajanan yang akan dikonsumsi. Hendaknya Balai POM memberi informasi kepada siswa mengenai BTP yang berlebihan dan berbahaya yang terdapat dalam makanan jajanan yang mereka konsumsi, dengan menempel poster-poster tentang BTP di setiap kantin yang ada di sekolah.
49
DAFTAR PUSTAKA Adam, M.; Motarjemi, Y. 2004. Dasar-Dasar Keamanan Makanan Untuk Petugas Kesehatan. EGC, Jakarta. Adhistiana R. 2009. Studi tentang Identifikasi Muatan Gizi dalam Mata pelajaran anak Sekolah dasar [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Agustiani, Hendriati, 2006. Psikologi Perkembangan. Refika Aditama, Bandung. Ahmadi, Abu; Uhbiyah, Nur, 2003. Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta, Jakarta. Ali, Mohammad; Asrori, M., 2004. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Bumi Aksara, Jakarta. Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2008. Monitoring Verifikasi dan Profil Keamanan Pangan Makanan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional tahun 2008. Seafast Center. Azwar S. 1988. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV. Rajawali Blaylock J, Smallwood D, Kassel K, Variyam J, Aldrich L. 1999. Economics, food choices, and nutrition. Food Policy. 24:269-286 Cahyadi, Wisnu, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Makanan. Bumi Aksara, Jakarta. Contento I et al. 1995. The Effectiveness of Nutrition education and implications for nutrition education policy, programs, and research: a rieview of research. J. nutr. Educ. 27(6): 277-418 Daniati, Lia. 2009. Perilaku Tentang Makanan dan Minuman yang Mengandung Bahan Tambahan Makanan (BTM) Tertentu di SMPN 3 dan SMAN 1 BINJAI Tahun 2009 [skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilku Konsumen: Edisi Keenam Jilid I. F.X Budiyanto, Penerjemah: Jakarta: Binarupa Aksara. Evy, 2008. Keamanan Pangan Di Sekolah Rendah. http://www.penapendidikan. com/keamanan-pangan-di-sekolah-rendah/. Diakses tanggal 20 Agustus 2010. Gallo A. 1996. Food Marketing Review. Washington DC: US Departemen of Agriculture, Economic Research Service Gibson. 2005. Principal of Nutritional Assessment. Oxford : Oxford University Perss. Hayati F. 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi fast food waralaba modern dan tradisional pada remaja siswa SMU Negeri di Jakarta Selatan. [skripsi]. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irianto, Kus; Waluyo, Kusno, 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya, Bandung. Irianto, Pekik Djoko, 2007. Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahraga. Penerbit Andi, Yogyakarta. Iswaranti., Widjajarta M., Februhartanty J. 2007. Jajanan di Indonesia berkualitas Buruk. http://www.republika.co.id. Diakses tanggal 20 Agustus 2010.
50
Kartasapoetra, G., Marsetyo H., 2008. Ilmu Gizi. PT Rineka Cipta, Jakarta. Khapipah. 2000. Kebiasaan Makan Pagi dan Jajan serta Status Gizi Anak Sekolah Dasar di Kota Bogor. [skripsi]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Khomsan A. 1997. Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Anemia pada Peserta dan Bukan Peserta Program Suplementasi Tablet Besi pada Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga 21(2): 1-7 Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Gizi. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Khomsan A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Khomsan A, Faisal A, Riyadi H, Sukandar D, Mudjajanto S,. 2009. Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi dan Kader Posyandu serta Pertabaikan Gizi. Jurusan Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat (community Nutrition). Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Khumaidi. 1994. Bahan Pegajaran Gizi Masyarakat. (A Student Book of Community Nutrition). Gunung Mulia. Jakarta. Moertjipto, dkk. 1993. Makanan : Wujud, Variasi, dan Fungsinya Serta Cara Penyajiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mudjajanto S Eddy. 2005. Waspadai Bahan Kimia Lain Dalam Makanan. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Napitu N. 1994. Perilaku jajan di Kalangan Siswa di Kota Bogor dan dipinggiran Kota DKI Jakarta [tesis]. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Notoatmodjo S. 2005.Konsep Promosi Kesehatan. Di dalam: Notoatmodjo S, editor: Promosi Ksehatan (Teori dan Aplikasi). Jakarta: PT. Rineka Cipta Nuraini, Heny, 2007. Memilih dan Membuat Jajanan Anak yang Sehat dan Halal. Qultum Media, Jakarta. Purwanto H. 1999. Pengantar Perilaku Kesehatan untuk Keperawatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Pranadji DK. 1989. Diktat Pendidikan Gizi (Proses Belajar Mengajar). Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Riyadi H. 2003. Penilaian gizi secara antropometri. Diktat yang tidak dipublikasikan. Bogor : Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saparinto, Cahyo; Hidayati, Diana. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanikus. Yogyakatta. Sarwono, Wirawan Sarlito, 1997. Psikologi Remaja. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
51
Soekanto S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soekirman .2003. Fortifikasi dalam Program Gizi, Apa dan Mengapa. Koalisi Fortifikasi Indonesia Solihin P. 2005. Ilmu Gizi Pada Anak. Fakultas Kedokteran Jakarta: Universitas Indonesia Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukandar D. 2009. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi. Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Supariasa et al. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG. Sumintarsih, Herawati I, Murtala SA, Salamun, Albiladiyah SI. 2000. Pengetahuan, Sikap, Keyakinan, dan Perilaku di Kalangan Generasi Muda Berkenaan dengan Tatakrama di Kota Semarang, Jawa Tengah. Yogyakarta: Depdiknas, Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Pengkajian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. Susanto, 2003. Gizi dan Kesehatan. Bayu media, Malang. Sutatmo, Djoned; dkk., 1979. Pengantar Kesehatan Sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Winkel WS. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Winarno, G. F. 1997. Kumpulan Tulisan Naskah Akademis Keamanan Pangan. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Yulianti, Nurheti, 2007. Awas Bahaya Dibalik Lezatnya Makanan. Penerbit Andi, Yogyakarta.
52
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Gambaran umum sekolah SMP Negeri 5 Bogor yang berlokasi di Jalan Dadali No. 10A Kota Bogor. Berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 tetang sistem Pendidikan Nasional dan Keputusan Mentri Pendidikan Nasional no 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. SMPN 5 Bogor dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah, 54 orang guru, 11 orang Tata Usaha, 6 orang penjaga sekolah dan pesuruh. Jumlah murid sebanyak 915 orang, terdiri dari kelas VII sebanyak 281 orang, kelas VIII 289 orang, kelas IX sebanyak 345 orang, yang masing-masing kelas terdiri dari 9 kelas belajar. Tabel 1. Jumlah Siswa Pada Tahun Ajaran 2007 - 2010 Jumlah Siswa
Jumlah Pendaf tar
Juml ah diteri ma
L
P
Jml
L
P
Jml
L
P
Jml
L
P
Jml
2007/2008
481
342
152
244
396
206
220
426
161
206
367
519
670
1,189
2008/2009
646
271
164
211
375
172
235
407
207
220
427
543
666
1,209
2009/2010
414
281
150
131
281
157
132
289
160
185
345
437
483
915
Tahun Pelajaran
Kelas VII
Kelas VIII
Kelas IX
Jumlah
(Sumber: SMPN 5 Bogor)
Fasilitas yang dimiliki sekolah diantaranya ruang kelas, Laboratorium IPA, Laboratorium Bahasa, Laboratorium Komputer, Perpustakaan, Ruang Kesenian, Ruang Ibadah/Musholah, Ruang Akses Internet, Lapangan Upacara/Olahraga, Ruang Koperasi, Ruang OSIS, Ruang Pramuka Ruang Klinik, Kantin, Gudang, WC/Toilet Pria dan Wanita. Tabel 2. Daftar Jumlah Siswa Kelas VIII di SMPN 5 Bogor. n
Kelas VIII
N
Laki-laki
Perempuan
A
18
16
34
B
16
14
30
C
17
13
30
D
17
15
32
E
21
13
34
F
17
17
34
G
17
15
32
H
18
14
32
I
16
15
31
Total
157
132
289
(Sumber: Daftar Absensi Siswa Kelas VIII)
54
Lampiran 2. Struktur organisasi SMP Negeri 5 Bogor Struktur organisasi SMP Negeri 5 Bogor merupakan suatu koorganisasi kerja, yaitu adanya kerja sama yang telah diatur antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan yang lainnya yang mendapat tugas tambahan selain tugas pokok sebagai guru. Berikut ini disajikan struktur organisasi di SMP negeri 5 Bogor, sebagai berikut:
Wakil Bidang Pendidikan
Kurikulum
Perpustaka an
KIR
TU
Kepala Sekolah
Komite Sekolah
Wakil Bidang Administrasi
Wakil Bidang SDM
Keuangan
Sarana dan Prasarana
Humas
Osis
Guru
Siswa
Gambar. Struktur Organisasi SMP Negeri 5 Bogor
Perkembangan jabatan kepala sekolah dari mulai beridiri tahun 1960 sampai sekarang 2010 dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 3. Daftar Periode Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Kepala Sekolah ONAH H.M.SYAMSUL BAHRI M. DJADJI SUWARDI, BA DRS. SUPARMAN WAWA KARTARAHARDJA, BA DRA. HJ. ELLY RACHMALIA DRS. YOYO A. SUWARYO SRI SOEKEKSI SOERIPTO DRS. H. OMAN ROCHMAN W, M.PD HJ. TITIN SARTIKA, S.PD DRA. HJ. ARNI SUHAERANI,M.PD
(Sumber: SMPN 5 Bogor)
Periode 1960-1963 1963-1969 1969-1981 1981-1990 1990-1993 1993-1995 Jan- Okt 1995 1995-1998 1998-2003 2003-2004 2004 - sekarang
Rumah Tangga
55
Lampiran 3. Hasil uji ragam dan rata-rata pengetahuan gizi siswa Group Statistics Jk pengetahuan
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
laki
34
81.12
7.143
1.225
prempuan
28
83.39
5.744
1.085
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F pengetahuan
Equal variances assumed
t-test for Equality of Means
Sig.
1.91
t
df
.17 -1.36
Equal variances not assumed
Sig. (2tailed)
Mean Differen Std. Error ce Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
60
.17
-2.27
1.67
-5.61
1.06
-1.39 59.97
.17
-2.27
1.63
-5.54
.99
Lampiran 4. Hasil uji ragam dan rata-rata sikap gizi siswa Group Statistics Jk Sikap
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
laki
34
68.00
6.228
1.068
prempuan
28
69.43
4.895
.925
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
F sikap
Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .665
.418
t-test for Equality of Means
t -.988
Sig. (2tailed)
df
Mean Std. Error Difference Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
60
.327
-1.429
1.446
-4.321
1.464
-1.011 59.889
.316
-1.429
1.413
-4.255
1.398
56
Lampiran 5. Hasil uji ragam dan rata-rata praktek gizi siswa Group Statistics jk praktek
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
laki
34
59.41
11.266
1.932
prempuan
28
54.64
9.616
1.817
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of Variances
F praktek
Equal variances assumed
Sig. .54
.46
Equal variances not assumed
t-test for Equality of Means
t 1.77
df
Sig. (2tailed)
95% Confidence Std. Interval of the Error Difference Differen ce Lower Upper
Mean Difference
60
.05
4.76
2.69
-.61 10.15
1.78 59.9
.05
4.76
2.65
-.53 10.07
Lampiran 6. Matrik korelasi antara pengetahuan, sikap dan praktek gizi siswa Peubah Pengetahuan Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Sikap Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n Praktek Korelasi pearson Peluang (2-tailed) n
Pengetahuan
Sikap
Praktek
1 0 62
0.303* 0.017 62
-0.092 0.479 62
0.303* 0.017 62
1 0 62
-0.256* 0.044 62
-0.092 0.479 62
-0.256* 0.044 62
1 0 62
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
57
Lampiran 7. Jenis jajanan yang dijual di kantin SMP Negeri 5 Bogor
Makanan ringan
Gorengan
Minuman
Pempek dan Batagor
Mie Ayam
Mie Bakso
Roti Bakar
Siomay
Bubur Ayam
Nasi Uduk